Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
Sejarah penulis wanita Malaysia-Indonesia bermula hampir pada waktu yang sama. Menurut Cahyaningrum Dewojati ( 2006: 90 ) pengarang wanita telah muncul di Indonesia sejak tahun 1930-an, ketika Selasih mengarang novel Kalau Tak Untung dan Hamidah menerbitkan Kehilangan Mestika . Namun menurut Hellwig ( 2003 ) pada tahun itu hanya terbit beberapa novel dan cerpen saja. Era kebangkitan pengarang wanita justru terjadi setelah tahun 1965 ketika kondisi negara mulai membangun. Pada tahun 60-an itu muncul cerpen-cerpen Titie Said, Titis Basino, Tjahjanningsih, Marga T dan NH Dini. Di Malaysia, penulis wanita pertama ditemui puisi ialah Ibu Zain ( Zainon Sulaiman ) Puisi pertamanya ditemui pada tahun 1926, Memuja Semangat Melayu yang tersiar Majalah Guru. Puisi Ibu Zain juga tersiar di akhbar Al-Ikhwan dan Saudara . Ibu Zain juga menerbitkan majalah Bulan Melayu ( 1930 ) Bersama Harun Aminurrashid ( 1950 ) Ibu Zain menerbitkan akhbar Melayu Raya . Ketika bersemaraknya semangat kemerdekaan, beberapa tokoh wanita yang muncul sebagai pejuang kemerdekaan. Mereka menggunakan pelbagai medium untuk menyemarakkan jiwa merdeka. Antara mereka ialah Shamsiah Fakeh, Aishah Ghani dan Fatimah Hashim. Selain syarahan dan pidato, mereka juga menulis puisi. Ini terjadi ketika awal kemerdekaan Tanah Melayu. Walau bagaimanapun, perkembangan penulis wanita Malaysia juga berkembang pada tahun-tahun 1950-an apabila Hamidah Hassan, Rokiah Abu Bakar dan Salmi Manja mulai menulis di majalah-majalah dan akhbar pada tahun 1956. Novel Hari Mana Bulan Mana oleh Salmi Manja @ Saleha Abdul Rashid ( 1960 ) Saroja Masih di Kolam ( 1963 ) oleh Adibah Amin dan Badai Semalam ( 1965 ) oleh Khatijah Hashim adalah pencetus yang mewarnakan dunia sastra tanah air. Ini diikuti oleh Fatimah Busu, Zaharah Nawawi, Zurinah Hassan, Habsah Hassan, Zaihasra, Zaiton Ajmain, Siti Zainon Ismail, Sarah Rahim, Salmah Mokhsin, Anis Sabirin, Amida Abdulhamid ( sekedar menyebut beberapa nama ) di samping penulis wanita lain yang menulis subbidang kajian dan lingustik seperti Siti Hawa Salleh, Asmah Haji Omar, Nik Sapiah Karim, Noriah Mohamed, Noriah Taslim, Tengku Maimunah Tahir, Azah Aziz, Rosnah Baharudin dan lain-lain.
Generasi lebih muda seperti Mawar Shafie, Nisah Harun, Siti Jasmina Ibrahim, Aminah Mokhtar, Rosmini Shaari, Azmah Nordin ( sekedar beberapa nama ) kemudiannya turun menyumbang terhadap sastra Malaysia. Mereka menulis puisi, cerpen, novel dan drama dengan gencar sekali. Penghujung abad ke 20 dan awal abad ke 21, ternyata penulis menguasai medium sastra genre novel popular ini seluasnya yang bisa menjana pendapatan
1/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
ekonomi.
Di Indonesia, peroid yang sama juga berlaku. Keghairahan penulis wanita Indonesia ini semakin terpacu setelah perekonomian Indonesia mulai membaik dalam tahun 1970-an. Industristrialisasi sastra pada masa itu mulai mengeliat. Kebutuhan baru masyarakat, seperti koran, majalah, dan buku mulai menghidupkan penerbitan dan media massa, termasuk majalah yang ditujukan untuk wanita. Sesuai dengan efek domino, wanita menjadi semakin terlibat dalam sastra tidak hanya sebagai pembaca, melainkan juga sebagai penulis. Selain itu, mereka juga menjadi editor berbagai majalah wanita dan gadis remaja, serta memasuki dunia sastra dari sudut yang berbeda ( 2006: 91 )
Penghujung tahun 1970-an, penerbit Malaysia berlumba-lumba mendapat ijin untuk mengulang cetak novel-novel penulis wanita Indonesia ini di Malaysia. Antara mereka yang sangat popular di Malaysia ketika itu ialah Titie Said, Yati Maryati Wihardja, La Rose, NH Dini, Titis Basino, Marga T, Yvone de Frebes dan Lastri Fardani. Novel Jangan Ambil Nyawaku ( Titie Said ) da n Flamboyan Berguguran ( Yati Maryati Wihardja ) sangat laris di pasaran. Titis Basino misalnya giat menulis antara 1960- 1990 memulai dengan menulis cerpen yang tersiar di majalah Sastra , yaitu Dia, Hotel dan Surat Kepastian . Kemudian kunjung datang novel pertamanya Bukan Rumahku ( 1976 ) dan Pelabuhan Hati ( 1978 ) sebelum karya besarnya Dari Lembah ke Coolibah yang diangkat sebagai masterpiecenya.
Model terhebat dan paling prolifik pada tahun 1970-an adalah Yati Maryati Wihardja. Pada tahun 1976-1977 adalah tahun paling produktif bagi Yati. Sebuah biografi dengan wanita Ni Pollok dari Desa Keledes ( 1976 ) pernah saya miliki bukunya. Kemudian novelnya Lagu Cinta Untuk Sofia ( 1977 ) Sebening Kaca ( 1977 ) dan Flamboyan Berguguran ( 1977 ) Sekertaris
2/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
( 1977 ) Puisi Yang Terindah ( 1977 ) Kerinduan ( 1977 ) serta Di Balik Mendung Kelabu ( 1978 ) antara karyanya menembusi pembaca Malaysia. Saya sendiri membaca dan Flamboyan Berguguran dalam usia belasan tahun.
Titie Said yang paling raja menerbitkan Jangan Ambil Nyawaku ( 1977 ) Reinkarnasi, Fatima, Ke Ujung Dunia dan Prahara sangat terkenal di Malaysia.
NH Dini muncul sebagai karyawan sastra paling berprestasi nasional. Beliau mengusur sastra nasional Indonesia dengan Pada Sebuah Kapal ( 1972 ) La Barka ( 1975 ) Namaku Hiroko ( 1977 ) Orang-Orang Tran ( 1983 ) Pertemuan Dua Hati ( 1986 ) Hati Yang Damai ( 1998 ) Dari Parangkik ke Kamboja ( 2003 ) Beliau terlepas dari kelompok popular dan Pada Sebuah Kapal nya begitu menggugah. Kemarahannya terhadap lelaki ( meminjam kata Budi Darma ) telah mengekpresi dan mengekplorasi seksual dalam kehidupan lelaki. The inner life of woman disodor secara insten. Pada tahun 1998, di tengah revolusi pasca kejatuhan presiden order baru, meledak dengan kemunculan revolusineer Ayu Utami. Berlindung di sebalik komunitas Utan Kayu seliaan Goenawan Mohamad, Ayu melontarkan Saman ( 1998 ) dan Larong ( 2001 ) Ngetop dengan cara itu, Ayu diikuti oleh penulis wanita lain antara Dewi Lestari ( Dee ) dengan novel Supernova . Supernova 1: Ksatria, Putri ( 1998 ) dan Bintang Jatuh
3/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
( 2001 ) Supernova 2: Akar ( 2002 ) Supernova 3: Petir ( 2002 ) Datang pula Djenar Measa Ayu dengan Mereka Bilang Saya Monyet ( 2003 ) Jangan Main-Main ( Dengan Kelaminmu ) ( 2004 ) Djenar, penulis cerpen ini sudah membuka lebar daerah sekjsual wanita tanpa tapis-tapis lagi. Berdasarkan dua cerpennya Lintah dan Melukis Jendela dijadikan film dengan jodol Mereka Bilang Saya Monyet . Kemudian Nova Riyanti Yusof dengan novel Mahadewa Mahadewi dan Herlinatiens ( Herlina Tien Suhesti ) dengan novelnya Garis Tepi Seorang Lesbian . Semua pengarang di atas menyusuri daerah kelamin wanita. Mereka ini adalah kaum terpelajar yang cukup akrap dengan teori-teori feminisme barat seperti Helena Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigary yang menggesa, Tubuhmu adalah milkmu. Maka tulislah.. Jaman wanita dilarang mengungkap kata-kata kotor dan jorok sudah ke penghujung. Jaman Wulang Putri, Serat Wulang Estri Candrarini dan seumpamanya sudah berlalu. Ketika itu, karya sastra sangat mendemonasi lelaki terutama kaum pangeran dan pesantren. Kemudian datang pula karya-karya pop regilius ( Islamik ) patriotik dan sosialogi gender seperti karya Oka Rusmini ( Tarian Bumi, 2000 ) Abidah al-Khilaquie ( Perempuan Berkalong Sorban , 2004 ) Helvy Tiara Rosa ( Tanah Perempuan , 2006 ) De Kemalawati ( Surat dari Negeri Tak Bertuan , 2006 ) Wina SW1 ( Garis , 2006 ) Sastri Bakri ( Hatinya Tertinggal di Gaza , 2007 ) Dewi Nova ( Burung-Burung Bersayap Air , 2010 ) dan Zubaidah Djohar ( Pulang Melawan Lupa , 2012 ) Di celah-celah itu, muncul juga penulis yang hebat dengan puisinya, Lintang Sugianto melagan novel pertamanya
4/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
Matahari Di Atas Gilli . Matahari Di Atas Gilli ( 2008 ) lari dari sosok semasa karena kembali ke dalam kemurnian sastra yaitu kelestarian massa dan upaya manusia. Dalam kata sambutannya, WS Rendra menyatakan, sekarang saya menghadap novel yang ditulisnya. Saya kembali terpegun dan terkagum. Tanpa ragu-ragu, dia menggarap gambaran lingkungan cerita yang rupa-rupanya sudah sangat dikenalnya, sehingga dia dapat menggambarkan percik air laut yang pedih di mata, dan gambaran ilmu bumi Pulau Gilli, di mana ceritanya terjadi dengan sangat menarik sekali ( 2009: 1 ) Sementara Sastrawan Negara Malaysia, A. Samad Said menyatakan, pada sesetengah tempat, ayat-ayat Lintang Sugianto meriak lembut, terkadang sempat menitis sebagai bait puisi. Membaca novel ini, saya semakin terangsang untuk lebih ingin tahu tentang Gilli ( 2009, endosment ) Bagi penulis wanita Malaysia pula, tahun 1970-an adalah jaman kelahiran yang membuak-buak. Kelahiran penulis wanita dari institusi pengajian tinggi ini memeriahkan gelanggang sastra Malaysia. Para pengarang wanita ini menulis dengan kesadaran bahwa karya-karya sastra oleh pengarang lelaki sering menggambarkan wanita dengan imej yang streotaip, pengalaman wanita dipinggirkan, suara wanita dibisukan oleh bentuk-bentuk paparan yang menyerlahkan male-centredness ( Norhayati Abdul Rahman: 2006: 298 ) Yang demikian, pengarang wanita tampil dengan imej, pengalaman, suara, keinginan dan wawasan mereka sendiri yang menekankan women centredness.
Hari Mana Bulan Mana ( Salmi Manja ) menyentuh kepincangan masyarakat Melayu terutamanya dalam soal rumah-tangga akibat campurtangan mertua dan jiran tetangga. Seroja Masih di Kolam ( Adibah Amin ) mencoret tentang gadis remaja yang berada dalam persimpangan nilai. Dia akan ditunangkan dengan pegawai MCS, Rusli, sedangkan cintanya sudah berbagi pada Ridhwan, seorang seniman. Dalam Badai Semalam ( Khatijah Hashim ) Mazni digambarkan sebagai remaja perempuan yang tak kalah dengan cabaran. Akhirnya dia berjaya setelah menerima pelbagai cabaran termasuk kegagalan rumahtangganya. Ini bentuk awal pengarang wanita tahun 1960an. Apabila lahir penulis dari menara gading, keadaan ini berubah 100 peratus. Fatimah Busu membawa gejala nasib perempuan di menara gading yang sukar mendapat teman hidup. Menjadi anak dara tua yang disisih masyarakat ortodok. Zaharah Nawawi dengan Jalur Sinar di Celah Daun , mengangkat Tijah sebagai pratagonis. Suaminya tidak betah menahan gelombang hidup yang begitu besar. Pada tahun ini, penulis wanita terus menggeser kehidupan jaman baru wanita di negara yang baru lepas merdeka. Antaranya Siti Zainon Ismail, Zurinah Hassan, Zaihasra, Salmah Mochsin, Sarah Rahim, Anis Sabirin, Amida Abdulhamid, Zaiton Ajmain dan lain-lain.
5/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
Generasi ini kemudian disambung oleh penulis yang lebih muda. Karya mereka agak lain dari generasi terdahulu. Karya mereka lebih avent-garde dan ubsurd. Karya mereka menjadi lebih individualistik dan menjauh dari masyarakat proleter.
Apabila memasuki abad melinium ke 21, karya sastra menjadi komuditi perdagangan. Karya-karya bertemakan cinta muda-mudi mendasari setiap penulisan novel. Karya jenis ini mampu terjual puluhan ribu empler dan sangat disenangi penerbit. Penerbit berlumba-lumba menerbitkan karya sebegini hingga karya sastra tulin dari tersingkir. Penulis karya serius mulai mencari media baru termasuk fesbuk untuk menyiarkan tulisannya. Inilah fenomina yang menimpa penulis hari ini.
Tiga nama yang harus saya nama di sini bagi penulis wanita yang sangat mempengaruhi sastra Malaysia yang didominasi oleh lelaki. Penulis tersebut ialah Fatimah Busu, Siti Zainon Ismail dan Zurinah Hassan. Ketokohan mereka bertiga amat menyerlah sekali hingga karya-karya setanding dengan karya penulis lelaki dalam mana-mana massa sekali pun. Fatimah Busu menulis cerpen dan novel. Kumpulan cerpennya ialah Lambaian Tanah Hijau ( ( 1980 ) Yang Abadi ( 1990 ) Al-Isra ( 1985 ) Novelnya pula Ombak Bukan Biru ( 1978 ) Kepulangan ( 1980 ) Salam Maria ( 2000 ) dan Missing Piece ( 2004 ) Pada awal penulisan cerpennya menunjukkan Fatimah menerapkan apa yang dikatakan oleh Kamila Bhasin dan Nighat Said Khan sebagai " kesadaran tentang penindasan dan eksplotasi wanita dalam masyarakat " ( 1986: 2 ) Melalui novelnya Salam Maria , pengarang mendedahkan halangan dan kekangan yang membantutkan usaha-usaha memperkasa wanita. Beliau mengaitkan soal ini dengan kepincangan dan penyelewengan kekuasaan lelaki dalam institusi masyarakat yang bertunjangkan sistem patriarki. Sementara bagi penyair Zurinah Hassan, beliau antara penyair wanita yang paling menonjol kebolehannya. Muncul pada era 1970-an dari Universitas Sains Malaysia. Puisi yang tersiar di akhbar Utusan Zaman, Sepanjang Jalan ke Pulau Pinang ( 1970 ) meledak sebagai sebuah puisi yang mendapat ulasan yang baik. Kumpulan puisinya, Sesayup Jalan ( 1974 )
6/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
Di Sini Tiada Perhentian ( 1977 ) Keberangkatan ( 1985 ) Kuala Lumpur and Other Places ( 1988 ) dan Pujangga Tak Bernama ( 1994 ) antara karya beliau yang dianggap masterpiece.
Siti Zainon Ismail berpendidikan ASRI, Yogyakarta menekuni seni halus dan seni lukis. Namun bakatnya juga pada puisi dan prosa ( cerpen dan novel ) Karyanya Nyanyian Malam ( 1976, puisi ) Sri Padma ( 1980, cerpen ) Daun-Daun Muda ( 1986, puisi ) Perkasihan Subuh ( 1987, puisi ) Pulau Renik Ungu ( 1987, novel ) dan Delima Ranting Senja ( 2009, novel ) Karya beliau banyak menekuni sejarah bangsanya. Sebagai penulis, di mana pun mereka berada, harus menulis bukan untuk dirinya saja. Harus diingat, penulis adalah penterjemah jaman dan kemanusiaan. Barangkali itulah besarnya penulis lelaki yang menulis di luar kepentingan gendernya. Penulis wanita juga harus berpikiran besar karena hari ini wanita bukan lagi kelompok yang duduk di ceruk-ceruk dapur tetapi telah memimpin masyarakat dan negara. Mereka harus keluar dengan kadar segera seperti yang dilakukan oleh penulis-penulis wanita yang telah sebutkan di atas tadi. Dan kewujudan WOHAI ( Women For Harmony Inst ) dilihat menepati kehendak ini.
Daftar Pustaka
Puteri Roslina Abdul Wahid ( ed ) Persidangan Antarabangsa Pengajian Melayu, Kuala Lumpur, 2006
7/8
Penullis Malaysia-Indonesia Satu Lihatan Gender - Esai - Horison Online Ditulis oleh Djazlam Zainal Jumat, 09 Maret 2012 10:58 -
Biografi Penulis ( ed ) Kuala Lumpur, 2005
Lintang Sugianto, Matahari di Atas Gilli, Kuala Lumpur , 2009
Dewan Sastra, Kuala Lumpur 1986, 2002, 2004
Gatra, Jakarta, 2003, 2007
Ensaiklopedia Sastra dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur, 1999
Titie Said antara pelopor novel Indonesia
Ibu Zain ditemukan puisi pada 1926
dalam majalah Memuia Semangat Melayu.. Joomla SEO by AceSEF
8/8