BAB VII EKSTERNALITAS, LAJU EKSTRAKSI OPTIMAL DAN PAJAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN PASIR BESI 7.1
Penurunan Produksi Perikanan Tangkap Pemanfaatan potensi bisnis kelautan Kabupaten Tasikmalaya masih sangat
kecil, yaitu kurang dari 3% dibandingkan dengan potensi sesungguhnya. Kontribusi sektor kelautan terhadap PDRB
sangat rendah jika dibandingkan
dengan sektor lain yaitu kurang dari 3%, padahal potensi bisnis kelautan khususnya perikanan cukup besar. Tabel 15 memperlihatkan bagaimana sektor perikanan Kabupaten Tasikmalaya tidak mampu memberikan kontribusi signifikan pada struktur PDRB.
Tabel 15 Sumber Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tasikmalaya Menurut Lapangan Usaha 2008 2009 2010 No Lapangan Usaha (%) (%) (%) 1 Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan 45,8 44,9 45,01 Perikanan a. Tanaman Bahan Makanan 30,2 29,57 29,55 b. Tanaman Perkebunan 6,01 6,07 6,13 c. Peternakan dan hasilnya 3,46 3,4 3,4 d. Kehutanan 3,66 3,51 3,49 e. Perikanan 2,49 2,44 2,44 2 Pertambangan dan Penggalian 0,24 0,23 0,23 3 Industri Pengolahan 7,45 7,48 7,37 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,98 1,02 1,04 5 Bangunan 0,73 0,74 0,73 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 21,3 22,14 22,14 7 Pengangkutan dan Komunikasi 4,72 4,66 4,85 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3,8 3,84 3,83 9 Jasa - Jasa 15 14,87 14,77 Produk Domestik Regional Bruto 100 100 100 Sumber. BPS Kabupaten Tasikmalaya (2011)
Pemanfaatan potensi bisnis kelautan merupakan suatu peluang untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat Tasikmalaya Selatan yang masih sangat rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15 diatas, pada tahun
65
2008 – 2010, kontribusi sektor perikanan hanya berkisar 2.4% atau yang terkecil jika dibandingkan dengan PDRB tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan dan juga peternakan. Permasalahannya pengembangan bisnis kelautan berkaitan dengan investasi yang cukup besar, sehingga sulit terjangkau oleh nelayan kecil. Disamping ketersediaan sarana dan prasarana seperti perahu, dermaga dan alat pancing masih minim. Kondisi ini sebenarnya adalah peluang bagi penanam modal dalam dan luar negeri untuk memanfaatkannya. Pembangunan sektor kelautan atau lebih banyak dikenal sebagai bisnis kelautan merupakan salah satu program prioritas pemerintah propinsi Jawa Barat, termasuk Kabupaten Tasikmalaya. Kabupaten Tasikmalaya memiliki tiga Kecamatan yang berbatasan langsung dengan lautan samudra hindia yaitu Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal dan Cikalong yang merupakan termasuk dalam daerah pesisir, sehingga banyak masyarakat di daerah ini bermata pencaharian nelayan. Di daerah ini terdapat dua TPI (Tempat Pelelangan Ikan), TPI Pamayangsari berdiri pada tahun 2009, TPI Cimanuk yang baru didirikan tahun 2011 dan masih tahap pra operasi. Kedua TPI ini dikelola oleh Koperasi Mina Bangkit. Koperasi ini sendiri memiliki program yaitu pelelangan ikan dan simpan pinjam bagi nelayan di daerah Pamayangsari. Jumlah anggota koperasi sekitar 30 orang bakul 2500 nelayan. Selama ini Koperasi Mina Bangkit sangat berperan penting dalam pengembangan pembangunan nelayan di Pamayangsari dengan bantuan dan sokongan dana dari pemerintah. Beberapa tahun lalu daerah Pamayangsari Kecamatan Cipatujah menjadi salah satu tempat korban bencana tsunami yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan perahu nelayan mengalami kerusakan. Hal ini juga yang mendasari kucuran dana APBN dari pemerintah pusat untuk para nelayan Pamayangsari berupa bantuan perahu. Pemberian bantuan perahu ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan produksi nelayan di Pamayangsari. Produksi ikan di Pamayangsari tiap bulannya tidak menentu, selain sangat tergantung musim, faktor kondisi perairan juga berperan terhadap jumlah produksi perikanan. Kegiatan penambangan pasir besi mengakibatkan turunnya kualitas perairan, hal ini berdampak kepada kehidupan beberapa jenis biota perairan tangkapan nelayan.
66
Gambar10 Suasanna pelelangan di TPI Pamayangsaari Hasiil perikanaan Pamayangsari mem miliki hargga jual yanng cukup tinggi t dibandinggkan dengann harga ikann di daerah lainnya. Hal H ini dikaarenakan ku ualitas ikan tangkkapan nelayyan yang tinggi. t Kuaalitas ikan yang y tinggii ini disebaabkan habitat ikkan yang tinggal padaa daerah laaut yang memiliki m aruus tinggi karena k berbatasann langsung dengan Sam mudera Hin ndia yang kaaya akan pllankton-plan nkton sebagai suumber makkanan ikan.U Untuk kisarran harga ikkan di Pam mayangsari dapat dilihat padda lampirann 2. Nelaayan di Paamayangsarii masih meenggunakann alat-alat yang tradissional beberapa alat a tangkapp yang masih , seperti pancing, jaaring, gilneet).Jenis ikan n dan alat tangkaap yang sessuai dapat dilihat pada Tabel T 16 dibawah ini.
Tabel 16 Jenis Alat Tangkap T Neelayan Kecaamatan Cipaatujah No J Jenis Ikan Jenis Ik kan Manyung, Tengiri, T Baw wal, Cakalaang 1 Jaring 2 Pancing P Kakap putih h, merah, paari 3 Gilnet G Lobster, ton ngkol, kemb bung Sumber : Data D Primer (2012)
Untuuk jenis perrahu yang digunakan d oleh o para neelayan yaituu sejenis peerahul sampan yang y terbuaat dari fibeer dengan ukuran pannjang sekittar 9 meterr dan lebarnya sekitar s 2 meeter. Perahuu tersebut dilengkapi d d dengan messin perahu motor m tempel berrkapasitas 1 GT. Peralatan dan keelengkapan lain yang ddi bawa padaa saat berlayar yaitu y mesinn untuk meenjalankan perahu, p karrena perahuu jenis ini tidak menggunaakan layar, stereofoam untuk temp pat ikan, toong besar unntuk menyimpan ikan. Peraalatan penanngkapan laiinnya terdirri dari jaringg, tambang untuk men ngikat
67
jaringg dan benssin yang dii bawa unttuk sekali berlayar b yaaitu sebanyaak 30 liter denggan durasi waktu berrlayar sekittar 13 jam m serta makkanan dan minuman secukkupnya untuuk perbekallan selama melaut. m Daerah penangkapan p n ikan beraada sekitar 1-2 km daari pantai. Di daerah terseebut kedalam man laut yang y terdalam sekitar lebih dari 10 meter di daerah penaangkapan. Cara C pengopperasian alaat tangkap ini i terbagi menjadi m 2 yyaitu jaring tebarr langsung angkat a dan jaring j yangg ditebar dan n didiamkann dalam janngka waktu tertenntu (gillnett). Menurutt nelayan yang y saya tanyakan t biiasanya padda saat ini yaituu bulan maaret sedang musim ikaan tongkol,, sedangkann bulan aguustus hasil tangkkapan cum mi lebih meelimpah. Biasanya saaat bulan purnama p peenuh, hasil tangkkapan yangg didapat lebbih sedikit sehingga baanyak nelayyan yang tiddak melaut karenna hasil yaang didapaat tidak sebbanding deengan biayya operasi. Pelayaran dilakkukan denggan mengguunakan jennis perahu yang masiih sederhanna selama kuranng lebih 10--15 jam.
GaG Gambar 11 Alat A tangkapp Gilnet
Gaambar 12 Peerahu ukuraan 1 GT
Aktivitass penambanngan pasir besi di pesisir pantai dan sempaddan sungai sangat mempenngaruhi kuaalitas air, saalah satunya menyebabbkan kekerruhan pada badaan air di Kecamatan Ciipatujah. Keekeruhan in nidiperkirakkan telah meengganggu kehiddupan biotaa sungai daan biota lauut.Akibatny ya sangat mempengaru m uhi jumlah tangkkapan yangg semakin berkurang. b Selain jumlah tangkappan, ukurann dan jenis ikan juga menggalami pennurunan.Padda Tabel 17 penurunaan jumlah tangkapan secarra kumulatiif mulai diirasakan paada tahun 2009. 2 Hal ini berkaitan dengan konddisi pada tahhun tersebutt eksploitasi pasir besi berada padda tahapan ooperasional produuksi penuh,, walaupun pada tahunn sebelumny ya sudah menunjukkan m n pengaruh jumlah tangkapaan pada jeniis biota yanng ditangkap p dengan alaat tangkap ttertentu.
68
Tabel 17 Jumlah Produksi Perikanan Tangkap TPI Pamayang Sari Tahun
Produksi (Kg)
Nilai (Rp)
Nilai Riil (Rp)
2007 2008
292.006 612.252
2.521.438.100 6.046.944.800
2.521.438.100 5.212.883.448
2009 2010 2011 Total
484.065 451.143 515.326 2.354.793
4.922.563.800 4.435.775.000 4.697.545.900 22.624.267.600
4.207.319.487 3.606.321.138 3.669.957.734 19.217.919.908
Sumber : Koperasi Mina Bangkit (2012)
Kondisi ini diperparah dengan kemampuan nelayan yang beroperasi dengan peralatan tradisional sehingga tidak dapat melaut lebih jauh.Dari data yang didapatkan dari Koperasi Mina Bangkit memang menunjukkan kecenderungan penurunan produksi tangkapan nelayan seperti terlihat pada Tabel 17. Pada tahun 2008, dua tahun setelah terjadi tsunami, data menunjukkan bahwa produksi perikanan mulai naik, dan mencapai titik maksimum, namun pada saat tahun 2009 penambangan pasir besi mulai marak, nelayan sudah merasakan dampaknya dengan terjadinya penurunan jumlah produksi hingga mencapai 20%. Penurunan ini berlajut hingga tahun 2010 dimana tangkapan nelayan semakin berkurang dari 484.065 ton menjadi 451.143 ton. Jumlah Produksi Perikanan TPI Pamayangsari 700,000
Jumlah (Kg)
600,000 500,000 400,000 300,000
Produksi (Kg)
200,000 100,000 0 2007
2008
2009
2010
2011
Gambar13 Jumlah produksi perikanan tangkap Tpi Pamayangsari Pada tahun 2011 memang kembali terjadi peningkatan, namun peningkatan ini lebih disebabkan oleh salah satu dampak pengembangan Kabupaten Tasikmalaya menjadi salah satu kawasan minapolitan di Indonesia sehingga banyaknya bantuan dari APBN dalam rangka peningkatan armada tangkap.
69
Sebagai perbandingan jumlah armada tangkap nelayan pada saat ini mencapai 150 perahu perahu motor lengkap dengan peralatan tangkap seperti pancing, jaring dan gillnet dibandingkan dengan jumlah perahu motor pada tahun 2007 yang hanya sekitar 85 unit. Jika kita perhatikan jumlah tangkapan 2011 sebanyak 515.325 ton masih belum mencapai jumlah tangkapan tertinggi pada saat armada tangkap jumlahnya jauh lebih sedikit dari kondisi saat ini. Untuk melihat lebih jauh penurunan produksi ini terjadi pada jenis alat tangkap apa saja, maka dapat dilihat pada penjelasan tingkat produksi perjenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Cipatujah berikut ini. a.
Jaring Produksi tahun 2007 produksi alat tangkap jaring sebanyak 55.704 ton
namun mengalami penurunan menjadi 42.986 ton pada tahun 2008. Pada tahun 2009 kembali terjadi kenaikan produksi alat tangkap jaring menjadi 47.497 ton, kenaikan yang lebih besar juga kembali terjadi pada tahun 2010 yaitu mencapai 74.018 ton atau kenaikan hingga mencapai 50%. Kenaikan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya jumlah armada tangkap perahu nelayan dalam skema bantuan nelayan yang diberikan Dinas Kelautan dan Perikanan Tasikmalaya. Bantuan ini menjadikan nelayan yang biasanya hanya menggunakan perahu tanpa motor dan beroperasi ditepi pantai dapat melaut lebih jauh ketengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan. Tentu saja hal ini secara semu akan mengurangi dampak pencemaran oleh limbah pencucian pasir besi ditepi pantai.
80.000 60.000 40.000 20.000 0
Jaring 74.018 55.704
42.986 47.497
56.668 Produksi
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 14 Perkembangan produksi alat tangkap jaring Pada tahun 2009 dengan bertambahnya izin penambangan pasir besi secara resmi dari dinas terkait, menyebabkan terjadi penurunan yang tajam produksi perikanan tangkap menggunakan jaring. Peningkatan produksi memang terjadi lagi pada tahun 2010 dan 2011, namun jumlah produksi belum mencapai titik tertinggi seperti pada saat tahun 2008, ketika belum marak terjadi penambangan 70
pasir besi. Jika dijumlahkan kerugianriil tahunan penangkapan dengan alat tangkap jaring mencapai Rp. 123 juta/ tahun. b.
Pancing/ Rawe Alat tangkap pancing, secara agregat dari tahun 2007-2011 merupakan alat
tangkap yang tidak terlalu terpengaruh besar oleh kegiatan penambangan pasir besi.Jumlah produksi perikanan pada jenis alat tangkap pancing/ rawe kecenderungannya juga tidak jauh berbeda dengan jaring. Produksi mengalami kenaikan pada tahun 2008 mencapai 113.623 ton jika dibandingkan dengan tahun 2007sebanyak 103.365 ton.Pada tahun 2009 ketika penambangan pasir besi berizin mulai marak, hasil penangkapan menggunakan pancingturun hingga 60 % menjadi 85.271 ton.
Pancing
200.000 100.000
103.365 113.623 85.271 102.728 111.897 Produksi
0 2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 15 Perkembangan produksi alat tangkap pancing Pada tahun 2010 dan 2011 program bantuan nelayan berupa armada dan alat tangkap digulirkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Tasikmalaya, namun jumlah produksi alat tangkap pancing,masih belum mencapai titik tertinggi seperti pada tahun2008. Hasilnya pada akhir tahun 2011 nilai kerugian riil dari produktivitas alat tangkap pancing hanya Rp.13 juta. c.
Gillnet Alat tangkap gillnet adalah alat tangkap yang paling dirugikan oleh kegiatan
penambangan pasir besi. Secara umum, alat tangkap ini digunakan untuk menangkap jenis ikan berada diperairan pantai dan bernilai ekonomi tinggi seperti lobster dan ikan tongkol. Alat tangkap gillnet memiliki harga yang mahal, sehingga tidak semua nelayan dapat dengan mudah memilikinya. Pada tahun 2007 produksi alat tangkap gillnet sebanyak 74.561 ton, pada tahun 2008 terjadi peningkatan produksi hampir seratus persen hingga mencapai 146.365 ton. Ini adalah salah satu akibat dari dimulainya bantuan peralatan dan armada tangkap
71
untuk nelayan setelah kejadian gelombang tsunami pada tahun 2006. Pada tahun 2009 jumlah produksi alat tangkap gilnet kembali mengalami penurunan hingga mencapai 106.531 ton. Penurunan ini diperkirakan karena mulai maraknya penambangan pasir besi sehingga kondisi perairan pantai tercemar dan kehilangan beberapa biota air.
Gilnet
200.000
146.365 100.000
74.561
106.531
121.572 71.940 Produksi
0 2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 16 Perkembangan produksi alat tangkap gillnet Penurunan ini berlanjut pada tahun 2010 hingga mencapai titik produksi terendah dalam tiga tahun terakhir yaitu mencapai 71.940 ton.Penurunan yang mencapai 30 % ini lah yang mendorong terjadinya aksi demonstrasi nelayan pada awal hingga pertengahan tahun 2011menuntut berhentinya kegiatan penambangan pasir besi yang merugikan nelayan.Hasil perikanan tangkap menggunakan gilnet kembali naik menjadi 121.572 ton pada tahun 2011, namun ini lebih disebabkan karena pada tahun tersebut Dinas Kelautan dan Perikanan Tasikmalaya kembali menggulirkan program bantuan alat tangkap dan perahu nelayan. Bantuan yang meningkatkan kemampuan nelayan melaut lebih jauh ketengah dan menyisiri pantai yang belum tercemar limbah pencucian pasir besi. Dari hasil analisis perubahan produktivitas alat tangkap gilnent menderita kerugian riil mencapai Rp. 168 juta selama lima tahun. d.
Nilai Perubahan Total Penangkapan Ikan Hasil perhitungan ketiga alat tangkap tersebut, dengan menggunakan data
series tahun 2007-2011, menunjukkan sektor perikanan tangkap kabupaten tasikmalaya telah mengalami kerugian riil mencapai lebih dari Rp. 305 juta rupiah setiap tahunnya. Nilai kerugian untuk setiap jenis alat tangkap yang disebabkan oleh aktivitas pasir besi dapat dilihat pada Tabel 18. Kerugian ini sebagian besar berasal dari pola penangkapan menggunakan gilnet, yang merupakan pola penangkapan nelayan tradisional ditepi pantai. Dimana jenis tangkapan gillnet
72
menurut nelayan yang dominan adalah jenis lobster, ikan tongkol dan layur. Jenis biota ini banyak hidup dan berkembang biak ditepi pantai. Jumlah tangkapan ketiga jenis biota tersebut menurun sejak banyaknya perusahaan pasir besi yang membuang limbah ke perairan. Biota tersebut diperkirakan mengalami penurunan populasi atau bermigrasi keperairan menjauhi pantai Cipatujah.
Tabel 18 Kehilangan Produktivitas Perikanan Peralat Tangkap Jaring
Pancing
Gillnet
Kerugian Riil (Rpx1000)
Jumlah Tahun Produksi (Kg)
Nilai Riil Jumlah Nilai Riil Jumlah Nilai Riil (x1000 Produksi (x1000 Rp Produksi Jaring Pancing Gillnet (Rpx1000 ) Rp) (Kg) ) (Ton) 2007 55.703,8 856.503 103.364,5 702.683 74.561,2 1.227.294 5.064 -83 -487.761 2008 42.985,9 774.024 113.622,8 740.104 146.365,5 1.830.550 -223.073 66.739 527.427 2009 47.496,8 797.585 85.271,2 654.183 106.531,0 1.436.812 -132.283 -138.902 31.520 2010 74.018,0 834.368 102.728,0 762.882 71.939,6 869.797 210.160 -4.817 -389.976 832.470 121.572,5 1.054.415 16.410 2011 56.667,5 719.161 111.897,2 63.388 150.726 Total Kerugian Peralat tangkap -123.722 -13.675 -168.064 Total Kerugian Perikanan -305.461
Sumber. Data sekunder diolah (2012)
Pada Tabel 18 kolom 8-10 tanda negatif menunjukkan telah terjadi degradasi yang merugikan sektor perikanan, sedangkan tanda positif menunjukkan sektor perikanan terapresiasi. Terjadinya apresiasi pada sektor perikanan disebabkan metode perkiraan kerugian ini sangat sederhana yang didasarkan hanya pada data produksi ikan, tanpa memperhitungkan peningkatan biaya produksi perikanan semenjak kegiatan penambangan pasir besi marak. Terlebih lagi pada tahun 2008 dan 2011 terjadinya apresiasisektor perikanan, terutama pada jenis alat tangkap pancing, dan gillnet. Apresiasi ini disebabkan pemberian bantuan armada dan alat tangkap kepada nelayan sehingga nelayan dapat lebih jauh dari daerah pantai yang sudah tercemar. Secara kumulatif sektor perikanan Cipatujah mengalami kerugian riil mencapai Rp.305 juta. 7.2
Kerugian Akibat Kerusakan Jalan
7.2.1 Nilai Kehilangan Waktu Tempuh Penambangan pasir besi secara besar-besaran menggunakan alat berat seperti excavator, bulldozer dan truk-truk pengangkut pasir berukuran besar. Pada saat mobilisasi peralatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada infrastruktur jalan, ditambah lagi dengan kegiatan pengangkutan hasil penambangan menggunakan jalan umum setiap hari dan terus-menerus.
73
Kerusakan infrastruktur jalan terjadi pada beberapa titik ruas jalan yang diakibatkan oleh kegiatan/ penjualan hasil pengangkutan pengolahan pasir besi berupa konsentrat dari aktivitas penambangan. Kegiatan pengangkutan/ penjualan ini juga mengganggu arus lalu lintas orang dan barang lainnya, yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan. Rute pengangkutan/ penjualan berupa hasil pengolahan pasir besi yang dilakukan adalah jalan lintas Jawa Barat Selatan Cipatujah – Cikalong – Cimerak – Parigi – Kalipucang – Cilacap. Menurut petugas bina marga di Kecamatan Cipatujah menyatakan bahwa, konstruksi ruas jalan Cipatujah ini hanya mampu menahan beban kendaraan dengan kapasitas maksimal 5 ton, padahal secara aktualnya satu rit kendaraan pengangkut konsentrat pasir besi bisa mengangkat 10-12 ton. Proses pengangkutan pasir besi inilah yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan gangguan fungsi jalan. Survei di lokasi terhadap responden pengguna jalan, dengan sampel pada
ruas jalan Jawa Barat Selatan Cipatujah-Kalapagenep,
menunjukkan bahwa tidak ada seorang responden pun yang mengatakan bahwa kondisi jalan dalam keadaan bagus. Tabel 19 memberikan gambaran mengenai pendapat responden mengenai kondisi ruas jalan Cipatuah-Kalapagenep. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa kondisi jalan adalah jelek dan sangat jelek.
Tabel 19 Kondisi Jalan Menurut Responden Jenis Kendaraan Kategori Roda 2 Roda 4 Sangat jelek 10 7 Jelek 39 3 Cukup Bagus 7 1 Bagus 0 0 Jumlah Responden (Org) 56 11
% 25% 63% 12% 0% 100%
Sumber : Data primer (2012)
Pada tahap awal dapat kita lihat dari Tabel19diatas,63% responden menjawab bahwa kondisi jalan jelek, sedangkan yang menjawab sangat jelek adalah 25% dan hanya 12% yang menganggap kondisi jalan cukup bagus. Ini menandakan bahwa responden setuju bahwa kondisi infrastruktur jalan dalam keadaan tidak berfungsi dengan semestinya. Jawaban responden yang mengatakan
74
jalan cukup bagus ini lebih disebabkan responden yang diambil berdomisili dan sering melalui beberapa ruas jalan yang kondisinya memang tidak rusak parah. Responden juga dimintai pendapat mengenai penyebab kerusakan jalan yang terjadi. Hasil keterangan responden dapat dilihat dari Tabel 20 berikut ini. Responden mengungkapkan bahwa kerusakan jalan disebabkan oleh aktivitas pengangkutan pasir besi, tidak dirawat dengan benar oleh pemerintah, serta faktor lain seperti cuaca dan kondisi perkerasan jalan. Sebagian besar responden, sebanyak 88% mengungkapkan bahwa kerusakan infrastruktur ini disebabkan oleh maraknya penambangan pasir besi beberapa tahun terakhir. Responden juga menyatakan bahwa tiga atau empat tahun yang lalu kondisi jalan masih bagus dan dapat dilewati dengan kecepatan tinggi.
Tabel 20 Penyebab Kerusakan Jalan Menurut Responden Jenis Kendaraan Kategori Roda 2 Roda 4 49 10 Truk Pengangkut Pasir Besi Tidak dirawat pemerintah 5 1 lain - lain 2 0 Jumlah Responden (Org) 56 11
% 88% 9% 3% 100%
Sumber : Data primer (2012)
Hanya sebagian kecil responden, yaitu sebanyak 9% mengungkapkan bahwa kerusakan lebih dikarenakan oleh pemerintah tidak peduli dengan kondisi jalan. Menurut responden pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab tidak pernah melakukan perbaikan jalan secara sungguh-sungguh, namun hanya bersifat tambal sulam sehingga jalan mudah rusak kembali apabila dilalui oleh kendaraan berat dengan tonase tinggi. Faktor lain seperti cuaca dan konstruksi perkerasan jalan, kendaraan lain seperti truk bahan tambang lain atau kendaraan barang sebagai penyebab kerusakan hanya mendapatkan proporsi 3% dari pendapat responden. Gangguan fungsi jalan sebagai akibat aktivitas penambangan pasir besi juga dibuktikan dengan penurunan kinerja ruas jalan Cipatujah-Kalapagenep. Hasil wawancara dengan responden pengguna jalan terutama sepeda motor dan kendaraan roda empat menunjukkan bahwa kualitas pelayanan jalan masih jauh dari standar yang telah ditetapkan. Pencahanan terhadap 67 responden terangkum dalam Tabel 21 berikut. Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa waktu tempuh, kecepatan kendaraan jauh dari ketentuan yang diatur dalam manual kapasitas jalan
75
Indonesia. Pada kategori waktu tempuh rata – rata responden kendaraan roda 2 pada awalnya sebelum maraknya kegiatan penambangan pasir besi membutuhkan waktu 14,8 menit untuk jarak tempuh 11 Km. Setelah kegiatan penambangan pasir besi mulai marak pada tahun 2007, maka pada akhir tahun 2011 harus menempuh perjalanan selama 29 menit untuk jarak yang sama. Artinya waktu tempuh setelah penambangan pasir besi bertambah selama 18 menit jika dibandingkan dengan waktu tempuh seharusnya berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) untuk kelas jalan IIIC Cipatujah - Kalapagenepyaitu 11 menit. Tabel 21 Statistik Kinerja Jalan dan Pendapatan Responden Kategori Waktu tempuh rata stlh pb (Menit) Waktu tempuh seharusnya (Menit) Waktu tempuh sblm pb (Menit) Tambahan waktu tempuh rata2 stlh pb (menit) Tambahan waktu tempuh rata2 sebelum pb(menit) Kecepatan rata - rata sblm pb (Km/jam) Kecepatan rata - rata stlh pb (Km/jam) Kecepatan standard MKJI (Km/jam) Kehilangan kecepatan rata2 stlh pb (Km/jam) Kehilangan kecepatan rata2 sblm pb(Km/jam) Jarak tempuh rata2 (Km) Jumlah perjalanan rata2/ bln(Kali) Jumlah Responden (Org)
Jenis Kendaraan Roda 4
Roda 2
34,1 13,5 18 20,566 4,5 31,3 16,5 50,0 33,5 18,7 11,27 18 11
29 11 14,8 18 3,8 44,6 22,8 60,0 37,2 15,4 11 14 56
Keterangan: pb; pasir besi Sumber. Data primer diolah (2012)
Kehilangan waktu tempuh ini berkaitan dengan kehilangan kecepatan ratarata akibat kerusakan jalan disepanjang ruas Cipatujah-Kalapagenep. Untuk kendaraan roda 2 sebelum aktivitas penambangan marak terjadi, sepeda motor responden dapat dipacu dengan kecepatan rata-rata 44,6 Km/jam. Setelah pasir besi marak semenjak tahun 2007, maka pada tahun 2011 kendaraan roda 2 milik responden hanya mampu dipacu dengan kecepatan rata-rata 22,6 Km/jam atau hampir setengahnya. Padahal untuk ruas jalan Cipatujah-Kalapagenep jika merujuk pada standar MKJI, seharusnya responden dapat memacu kendaraan hingga kecepatan 60 Km/jam. Artinya kegiatan pasir besi telah menyebabkan kehilangan kecepatan dijalan hingga mencapai 37,2 Km/jam. Kendaraan roda 4 atau lebih juga mengalami keadaan yang sama dengan kendaraan roda 2. Pada kategori waktu tempuh rata-rata responden kendaraan 76
roda 4 pada awalnya, sebelum maraknya kegiatan penambangan pasir besi membutuhkan waktu 18 menit untuk jarak tempuh 11,27 Km. Setelah kegiatan penambangan pasir besi mulai marak pada tahun 2007, maka pada akhir tahun 2011 harus menempuh perjalanan selama 34,1 menit untuk jarak yang sama. Artinya waktu tempuh setelah penambangan pasir besi bertambah selama 20,5 menit jika dibandingkan dengan waktu tempuh seharusnya berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) untuk kelas jalan IIIC Cipatujah-Kalapagenep yaitu 13,5 menit. Kehilangan waktu tempuh ini juga berkaitan dengan kehilangan kecepatan rata -rata akibat kerusakan jalan disepanjang ruas Cipatujah-Kalapagenep. Untuk kendaraan roda 4 sebelum aktivitas penambangan marak terjadi, responden dapat memacu kendaraan dengan kecepatan rata–rata 31,3 Km/jam. Setelah pasir besi marak semenjak tahun 2007, maka pada tahun 2011 kendaraan roda 4 milik responden hanya mampu dipacu dengan kecepatan rata–rata 16,5 Km/jam atau hampir setengahnya. Padahal untuk jalan Cipatujah-Kalapagenep jika merujuk pada standar MKJI, seharusnya responden dapat memacu kendaraan hingga kecepatan 50 Km/jam. Artinya kegiatan pasir besi telah menyebabkan kehilangan kecepatan dijalan hingga mencapai 33,2 Km/jam. Semua ini akibat dari kerusakan jalan kelas IIIC dengan muatan sumbu terberat 8 ton, namun dilalui oleh kendaraan pengangkut pasir besi dengan muatan 10 – 12 ton. Akibatnya setiap hari masyarakat pengguna jalan harus kehilangan waktu tempuh menuju tempat aktivitasnya. Perkiraan kerugian akibat peningkatan waktu tempuh dapat dilihat pada Tabel 22. Asumsi yang digunakan adalah keadaan sebelum penambangan pasir besi pada tahun 2006, maka distribusi kehilangan kecepatan dan peningkatan waktu tempuh pada tahun 2007-2010 dinterpolasi menggunakan basis data tahun 2006 dan 2011 (perhitungan interpolasi lihat pada lampiran 12 dan 13 ). Hasil pengamatan dan perhitungan volume kendaraan roda 2 mencapai 800 unit kendaraan/ hari melewati ruas jalan Cipatujah-Kalapagenep. Tambahan waktu tempuh akibat kerusakan jalan setelah adanya kegiatan penambangan pasir besi pada tahun 2007 adalah 0,1 menit dan berturut-turut untuk tahun 2008-2011 adalah 1; 3,7; 4,9; 14,2 menit. Dengan asumsi bahwa setiap kendaraan roda dua
77
ditumpangi rata-rata 1,5 orang maka setiap sepeda motor yang melintas akan kehilangan waktu tempuh berturut–turut dari tahun 2007-2011 adalah selama 0,2; 1,5; 5,6; 7,4; dan 21,3 menit setiap harinya. Kehilangan waktu tempuh tersebut dapat dikonversi kedalam nilai rupiah, dengan acuan pendapatan rata – rata responden kendaraan roda dua perjam tahun 2011 adalah Rp.7.700. Pendapatan responden 2007-2010 diperkirakan berdasarkan tingkat perbandingan pendapatan perjam tahun 2011 dengan upah minimum kabupaten (UMK) tahun 2011. Hasil dari nilai perbandingan UMK terhadap pendapatan responden kendaraan roda 2 dijadikan perbandingan pendapatan tahun sebelumnya (proses perbandingan lihat lampiran 14). Pertumbuhan jumlah sepeda motor di Kabupaten Tasikmalaya diasumsikan sama dengan jumlah pertumbuhan sepeda motor propinsi Jawa Barat yaitu 15% pertahun maka kita dapat mengestimasi kerugian riil akibat peningkatan waktu tempuh selama lima tahun kebelakang, hasil secara lengkap dapat dilihat dari tabel pada Tabel 22. Tabel 22 Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Waktu Tempuh Kendaraan Roda 2 Kategori 2007 Tambahan waktu tempuh/ 0,1 motor (menit) 417 Jumlah Kendaraan/ hari Tambahan waktu @ 1.5 0,2 penumpang/motor (menit) 5.391,0 Upah/ jam kerja (Rp) Kerugian waktu tempuh/ 13,5 kendaraan/1 jam kerja (Rp) Nilai Kerugian/tahun x1000 1.686,0 (Rp) Kerugian Riil/ tahun x1000 1.686,0 (Rp) Sumber : Data primer diolah (2012)
2008
2009
2010
2011
Jumlah
1,0
3,7
4,9
14,2
23,9
491
578
680
800
2966
1,5
5,6
7,4
21,3
35,9
5.580,0
6.335,0
6.964,0
7.700,0
139,5
586,0
853,1
2.733,5
4.325,6
20.548,4 101.610,2 174.030,4 656.040,0 953.915,0 17.714,1
86.846,4 141.488,1 512.531,3 760.265,8
Terus bertambahnya jumlah sepeda motor maka akan semakin banyak waktu tempuh yang hilang dalam perjalanan pengendara sepeda motor yang melalui ruas Cipatujah-Kalapagenep, dimana terdapat kerusakan jalan akibat proses pengangkutan hasil tambang pasir besi. Kerugian ini akan menyebabkan meningkatnya pendapatan potensial pengguna jalan yang hilang selama perjalanan. Secara kumulatif perkiraan total kehilangan pendapatan riil selama lima tahun untuk pengendara kendaraan roda dua adalah Rp. 760 juta.
78
Penghitungan yang sama juga dilakukan terhadap kerugian akibat peningkatan waktu tempuh kendaraan roda 4 yang dapat dilihat pada Tabel 23. Asumsi keadaan sebelum penambangan pasir besi adalah pada tahun 2006, maka distribusi kehilangan kecepatan dan peningkatan waktu tempuh pada tahun 20072010 dinterpolasi menggunakan basis data tahun 2006 dan 2011 (perhitungan interpolasi lihat pada lampiran 12 dan 13 ). Hasil pengamatan dan perhitungan volume kendaraan roda 4 mencapai 250 unit kendaraan/ hari melewati ruas jalan Cipatujah. Tambahan waktu tempuh akibat kerusakan jalan setelah adanya kegiatan penambangan pasir besi pada tahun 2007 adalah 2,1 menit dan berturut-turut untuk tahun 2008-2011 adalah 3,2; 6,2; 7,6; 18,1 menit. Setiap kendaraan roda 4 diasumsikan ditumpangi rata-rata 4 orang, maka setiap mobil yang melintas akan kehilangan waktu tempuh berturutturut dari tahun 2007-2011 adalah selama 8,4; 12,8; 24,7; 30,4; dan 72,5 menit setiap harinya. Kehilangan waktu tempuh tersebut dapat dikonversi kedalam nilai rupiah, dengan acuan pendapatan rata-rata responden kendaraan roda empat perjam tahun 2011 adalah Rp.16.500. Pendapatan responden 2007-2010 diperkirakan berdasarkan tingkat perbandingan pendapatan perjam tahun 2011 dengan upah minimum kabupaten (UMK) tahun 2011. Hasil dari nilai perbandingan UMK terhadap pendapatan responden kendaraan roda 4 dijadikan perbandingan pendapatan tahun sebelumnya (proses perbandingan lihat lampiran 14). Pertumbuhan jumlah sepeda motor di Kabupaten Tasikmalaya diasumsikan sama dengan jumlah pertumbuhan kendaraan roda empat propinsi Jawa Barat yaitu 3% pertahun maka kita dapat mengestimasi kerugian riil akibat peningkatan waktu tempuh selama lima tahun kebelakang, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 23. Terus bertambahnya jumlah kendaraan roda empat maka akan semakin banyak waktu tempuh yang hilang dalam perjalanan pengendara kendaraan roda empat yang melalui ruas Cipatujah-Kalapagenep, dimana terdapat kerusakan jalan akibat proses pengangkutan hasil tambang pasir besi. Kerugian ini akan menyebabkan meningkatnya pendaptan potensial pengguna jalan yang hilang selama perjalanan. Secara kumulatif perkiraan total kehilangan pendapatan riil selama lima tahun untuk pengendara kendaraan roda empat adalahRp. 2,2 milyar.
79
Tabel 23 Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Waktu Tempuh Kendaraan Roda 4 Kategori Tambahan waktu tempuh/ motor (menit)
2007
2008
2009
2010
2011
Jumlah
2,1
3,2
6,2
7,6
18,1
37,2
228
235
243
250
1.177,0
12,8
24,7
30,4
72,5
148,8
11.950
13.570
14.900
16.500
2.550,9
5.577,1
7.555,9
19.925,4
174.481
393.183
550.824
1.494.405 2.720.072
150.414
336.054
447.824
1.167.504 2.208.976
Jumlah Kendaraan/ hari (unit) 221 Tambahan waktu (@ 4 8,4 penumpang/kendaraan) 11.500 Upah/ jam kerja (Rp) Kerugian waktu tempuh/ 1.616,6 kendaraan (Rp) Nilai Kerugian/tahun Rp x1000 107.179 Kerugian Riil/ tahun Rp 107.179 x1000 Sumber : Data primer diolah (2012)
37.225,8
7.2.2 Nilai Peningkatan Konsumsi BBM Kerusakan jalan selain menyebabkan kerugian kehilangan pendapatan akibat peningkatan waktu tempuh rata-rata, juga berakibat pada peningkatan konsumsi BBM kendaraan roda 2 dan roda 4. Hasil pengamatan dilapangan dan analisis data diperoleh gambaran peningkatan konsumsi BBM dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 24. Kendaraan roda 2 yang memanfaatkan akses jalan ruas Cipatujah-Kalapagenep, mencapai 800 unit perhari. Berdasarkan nilai kehilangan waktu tempuh dan kecepatan dijalan yang sama dengan analisis kehilangan waktu tempuh pada subbab sebelumnya, maka pada tahun 2007 hingga tahun 2011 total kehilangan jarak (Km) akibat kerusakan jalan oleh aktivitas penambangan pasir besi untuk setiap kendaraan/ hari adalah berturut-turut 0,00019; 0,02664; 0,34654; 0, 61872; dan 5,16785. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 24.
80
Tabel 24 Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Konsumsi BBM Kendaraan Roda 2 Kategori Jumlah kendaraan/ hari Kehilangan Kecepatan Km/jam Tambahan waktu tempuh/ kendaraan/ hari (menit) Total Kehilangan KM/ hari Konsumsi bahan bakar 28 km/liter Harga BBM (Rp) Nilai Kerugian/ Hari (Rp)
2007
2008
2009
2010
2011
417
491
578
680
800
Jumlah 2.966
0,1
1,6
5,6
7,6
21,8
37
0,1
1,0
3,7
4,9
14,2
24
0,00019 0,02664 0,34654 0,61872
5,16785
6
0,00001 0,00095 0,01238 0,02210
0,18457
0
6.000
5.500
4.700
4.500
4.500
0,0
5,2
58,2
99,4
830,5
6,2
937,9
12.271,8 24.680,5 242.519,7 280.416
6,2 Kerugian Riil/ tahun x1000 (Rp) Sumber : Data primer diolah (2012)
808,6
10.488,7 20.065,4 189.468,5 220.837
Nilai Kerugian/tahun x1000 (Rp)
993
Asumsi pemakaian bahan bakar untuk kendaraan roda 2 adalah sebanyak 28 liter/ Km, maka sehari satu unit kendaraan roda 2 akan kehilangan bahan bakar minyak sebanyak berturut-turut dari tahun 2007-2011 adalah 0,00001; 0,00095; 0,01238; 0,02210; 0,18457 liter. Jumlah kehilangan bahan bakar ini dapatdikonversi kedalam satuan rupiah harga bahan bakar minyak, sehingga selama lima tahun akan terjadi kerugian riil penambahan konsumsi BBM oleh kendaraan roda 2 senilai Rp.220 juta. Kerugian peningkatan konsumsi BBM berikutnya adalah pada kendaraan roda empat yang menggunakan akses jalan Cipatujah-Kalapagenep. Hasil pengamatan dilapangan dan analisis data diperoleh gambaran peningkatan konsumsi BBM sebagai berikut.Jumlah kendaraan roda 4 yang memanfaatkan akses jalan ruas Cipatujah-Kalapagenep mencapai 250 unit perhari. Jumlah kehilangan waktu tempuh dan kecepatan dijalan yang sama dengan analisis kehilangan waktu tempuh pada subbab sebelumnya, maka pada tahun 2007 hingga tahun 2011 total kehilangan jarak (Km) akibat kerusakan jalan oleh aktivitas penambangan pasir besi untuk setiap kendaraan/ hari adalah berturut-turut 0,00273; 0,05773; 0,39070; 0, 64993; dan 4,46081. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 25.Pemakaian bahan bakar untuk kendaraan roda 4 diasumsikan sebanyak 10 liter/ Km, maka sehari satu unit kendaraan roda 2 akan kehilangan bahan bakar minyak sebanyak berturut-turut dari tahun 2007-2011 adalah 0,00027; 0, 00577; 0, 03907; 0,06499; 0,44608 liter.
81
Tabel 25 Nilai Kerugian Akibat Peningkatan Konsumsi BBM Kendaraan Roda 4 Kategori
2007
2008
2009
2010
2011
Jumlah kendaraan/ hari
221
228
221
243
250
1.163
Kehilangan Kecepatan Km/jam
0,1
1,1
3,8
5,1
14,8
25
Tambahan waktu tempuh/ kendaraan/ hari (menit)
2,1
3,2
6,2
7,6
18,1
37
Total Kehilangan KM/ hari Konsumsi bahan bakar 10 km/liter Harga BBM (Rp) Nilai Kerugian/ Hari (Rp) Nilai Kerugian/tahun x1000 (Rp)
Jumlah
0,00273 0,05773
0,39070 0,64993
4,46081
6
0,00027 0,00577
0,03907 0,06499
0,44608
1
6.000
5.500
4.700
4.500
4.500
2
32
184
292
2.007
2.517
132
2.642
14.823
25.941
183.172
226.710
132,1 Kerugian Riil/ tahun x1000 Rp) Sumber : Data primer diolah (2012)
2.277,8
12.669,3 21.090,0 143.103,1 179.272
Jumlah kehilangan bahan bakar ini jika dikonversi ke dalam satuan rupiah harga bahan bakar minyak, maka selama lima tahun akan terjadi kerugian riil penambahan konsumsi BBM oleh kendaraan roda 4 senilai Rp.179 juta. Nilai ini menunjukkan bahwa terjadi perlambatan dalam berkendara menjadikan perjalanan tidak efektif dan boros BBM akibat rusaknya jalan. Perhitungan ini menunjukkan bahwa kerusakan jalan sangat mempengaruhi waktu tempuh berkendara dan peningkatan konsumsi BBM, baik kendaran roda dua maupun kendaraan roda empat. Secara kumulatif kita dapat perhatikan pada Tabel 26 berikut ini. Nilai kehilangan waktu tempuh untuk kendaraan roda dua maupun roda empat jauh lebh besar daripada kehilangan BBM. Tabel 26 Kerugian Kerusakan Jalan Akibat Penambangan Pasir Besi Nilai Nilai Nilai Nilai Kehilangan Kehilangan Nilai Kehilangan Kehilangan Tahun Waktu Tempuh Waktu Tempuh Kerusakan BBM Riil BBM Riil Riil Roda 2 Riil Roda ≥ 4 Jalan Riil (Rp) Roda 2 (Rp) Roda ≥ 4 (Rp) (Rp) (Rp) 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah
1.686.035,3 17.714.094,8 86.846.352,6 141.488.097,6 512.531.250,0 760.265.830,2
6.240 808.562 10.488.729 20.065.430 189.468.503 220.837.464
107.179.333 150.414.392 336.053.776 447.824.248 1.167.503.906 2.208.975.655
Sumber. Data primer & sekunder diolah (2012)
82
132.117 2.277.809 12.669.303 21.089.965 143.103.082 179.272.277
109.003.725 171.214.858 446.058.160 630.467.740 2.012.606.742 3.369.351.226
Nilai total
kehilangan waktu tempuh kendaraan roda dua dan empat
masing-masing sebesar Rp. 760 juta dan Rp. 2,2 milyar. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan ruas Cipatujah-Kalapagenep sangat penting bagi pergerakan penduduk, sehingga kerusakan jalan mengakibatkan responden kehilangan pendapatan potensialnya akibat waktu tempuh lebih lama. Jika digabungkan dengan nilai peningkatan konsumsi BBM maka nilai kerusakan jalan di Kecamatan Cipatujah adalah Rp 3,369 milyar selama lima tahun dari 2007-2011. 7.3
Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi
7.3.1 Laju Ekstraksi Optimal Penambangan Pasir Besi Tanpa Eksternalitas Sumberdaya non renewable menghadapi kendala stok dalam melakukan ekstraksi artinya karena tidak adanya proses regenerasi, maka pada waktu tertentu stok tersebut akan habis. Hal ini berarti bahwa pengambilan dan pengkonsumsian pada barang sumberdaya alam saat ini akan berakibat pada tidak tersedianya barang tersebut di kemudian hari.Perusahaan penambangan pasir besi mempunyai motivasi untuk mengejar keuntungan privat, bukan keuntungan sosial. Walaupun perusahaan pasir besi sadar akan akibat pencemaran sungai, laut dan jalan dari kegiatan
produksinya,
menanggulangi
biaya
namun
tidak
ini.Tingkat
ada
dorongan
keseimbangan
(keinginan)
produksi
privat
untuk tidak
mempertimbangkan biaya eksternal yang ditanggung oleh masyarakat karena produksi penambangan mengakibatkan air sungai tercemar dan karena efisiensi alokatif mensyaratkan manfaat marjinal sama dengan semua biaya produksi marjinal. Selama biaya eksternal tidak dimasukkan dalam pengambilan keputusan privat, maka biaya privat marginal (MPC)lebih rendah dari biaya oportunitas produksi, dan jumlah output yang diproduksikan menjadi terlalu banyak. Berdasarkan data produksi nasional yang dikeluarkan BKPM (2010) untuk sumberdaya pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya adalah 6.6 juta ton.Laporan dinas pertambangan dan energi kabupaten Tasikmalaya, jumlah cadangan pasir besi yang telah dikeruk selama ini adalah sebanyak 1.438.679 ton. Secara matematis jumlah pasir besi yang tersisa pada akhir tahun 2011 adalah sekitar 5,1 juta ton. Selengkapnya volume ekstraksi pasir besi dari tahun 2007 sampai tahun 2011 di Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada Tabel 27.
83
Tabel 27 Jumlah Produksi Pasir Besi Jumlah Produksi Kab. Tahun Tasikmalaya (Ton)
Jumlah Produksi Perusahaan Penambang Pasir Besi (Ton)
2007 2008
1.960,5 27.297
972,9 13.548,9
2009
42.154
47.627,6
2010 2011
183.114 1.184.173
64.211,6 185.069,0
Total
1.436.736
311.430,0
Sumber. Dinas ESDM Kab. Tasikmalaya (2012)
Tabel 27menunjukkan jumlah produksi perusahaan penambangan pasir besi yang berada pada Kecamatan Cipatujah pada kolom ketiga.Volume ekstraksi penambangan pasir besi mengalami peningkatan dari tahun ketahun, bahkan peningkatannya melebihi dua kali lipat. Hal ini terlihat pada Kecamatan Cipatujah maupun Kabupaten Tasikmalaya secara keseluruhan. Laju ekstraksi seperti ini jika dibandingkan dengan keputusan laju ekstraksi berdasarkan formula Hotelling tentunya tidak akan menghasilkan keuntungan maksimal sepanjang waktu. Dimana Hotelling mensyaratkan bahwa laju ekstraksi menurun sepanjang waktu dan rente ekonomi meningkat sebesar tingkat bunga. Pengumpulan data perusahaan penambangan, terutama pada PT P dengan luas izin usaha pertambangan 14,6 Ha. PT Pmemiliki lama izin 2 tahun yang akan berakhir pada bulan februari 2013. PT P memiliki cadangan terbukti sekitar 300.000 ton.Jumlah tersebut hingga akhir tahun 2011 telah diekstraksi sebesar 276.000 ton. Perusahaan lainnya yang beroperasi di Kecamatan Cipatujah adalah PT R. PT R memiliki izin usaha pertambangan 12 Ha selama 3 tahun dan berakhir pada bulan agustus 2012. Perkiraan secara kasar terhadap stok perusahaan ini adalah 100.000 ton Kenyataan diatas menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam alokasi sumberdaya pasir besi tidak berdasarkan kaidah penambangan yang optimal. Proses ekstraksi dilakukan hanya berdasarkan kemampuan teknis produksi perusahaan tanpa mempertimbangkan situasi pasar secara cermat. Oleh sebab itu agar keadaan ini tidak berlanjut, maka dalam penelitian ini dilakukan
84
estimasi volume ekstraksi yang optimal agar keuntungan yang didapatkan menjadi maksimal. Langkah pertama adalah dengan menentukan kurva biaya total perusahaan. Kurva biaya ini didapatkan dari hasil survei terhadap lima perusahaan (daftar perusahaan ada pada lampiran 1). Hasil regresi jumlah produksi (Q) kelima perusahaan terhadap biaya variabel (VC) ditambah biaya tetap (FC) maka fungsi total biaya (TC) produksi selama 5 tahun adalah : TC = 1.180.000.000 + 158.733 Q + 0,262 Q2 ……………(1) Fungsi diatas dapat digunakan dalam proses optimasi dengan kendala cadangan pasir besi menggunakan program solver excel.
Harga dasar yang
digunakan dalam proses optimasi adalah harga pertonase rata-rata pasir besi tahun yaitu Rp. 331.829,-. Tingkat bunga yang digunakan adalah suku bunga bank indonesia selama 5 tahun dari tahun 2007-2011 yaitu sebesar 7,4%. Proses optimasi yang pertama untuk mendapat volume ekstraksi tahunan, dan net present value yang dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan eksternalitas dengan bentuk persamaan sebagai berikut. 1
1 0,074
331.829
1.180.000.000
Kendala cadangan pasir besi 5.100.000 ton Model
maksimisasi
keuntungan
Q
158.733
Q …
Hotelling
dapat
0,262
Q …..................(2) digunakan
untuk
menyelesaikan fungsi diatas, sehingga didapatkan laju ekstraksi pasir besi dengan dan tanpa mempertimbangkan eksternalitas. Laju ekstraksi pasir besi tanpa mempertimbangkan eksternalitas memiliki daur selama 27 tahun, dengan kendala jumlah cadangan awal 5,1 juta ton. Jumlah ekstraksi pada tahun 2012 adalah 282.584 ton dengan nilai penerimaan bersih sekarang adalah Rp.26.812.509.726 7.3.2 Laju Ekstraksi Optimal Dengan Eksternalitas Memodelkan biaya eksternal dalam struktur biaya produksi perusahaan penambangan pasir besi akan mengubah keuntungan perusahaan.Untuk menentukan pola biaya eksternalitas yang disebabkan oleh penambangan pasir besi bisa dilakukan dengan meregresikan jumlah produksi (Q) kelima perusahaan tersebut dengan nilai kerusakan (TCeks) yang terjadi selama perusahaan tersebut
85
beroperasi. Hasil dari regresi dapat dilihat pada hubungan eksternalitas dengan produksi pasir besi sebagai berikut ini. TCeks = 211.000.000+7.969Q + 0,00258 Q 2 ...……..(3) Biaya sosialharuslah diperhitungkanuntuk mencapai tingkat ekstraksi optimal.Kenyataan yang demikian ini seharusnya tidak menghalangi usaha masyarakat untuk memecahkan masalah kerusakan lingkungan. Eksternalitas yang terjadi pada produksi penambangan di Kabupaten Tasikmalaya adalah eksternalitas yang merusak sumber daya air (sungai dan pantai) serta sarana jalan umum. Selama ini biaya eksternalitas ini ditanggung oleh pihak yang berada di luar transaksi pasar, maka ia tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya penambangan
perusahaan.
Laju
ekstraksi
optimal
dengan
eksternalitas,
mengharuskan kita dapat membuat model formal untuk eksternalitas lingkungan yang bersifat negatif pada biaya penambangan pasir besi. Proses optimasi jika eksternalitas dipertimbangkan dengan menginternalisasikan eksternalitas dengan fungsi biaya penambangan pasir besi dapat dilihat pada formula optimasi yang berubah menjadi bentuk berikut ini. 1
331.829 1 0,074
1.180.000,000
158.733
Kendala cadangan pasir besi 5. 100.000 ton
0,262
Q
211.000.000
Q …
7.969
0,00258
2
Q .......................(4)
Laju ekstraksi pasir besi dengan mempertimbangkan eksternalitas memiliki daur selama 28 tahun dengan asumsi cadangan awal 5,1 juta ton. Secara sederhana dapat kita lihat bahwa umur daur hampir sama dengan ekstraksi optimal tanpa mempertimbangkan eksternalitas, namun volume ekstraksi tahunannya lebih terdistribusi merata sepanjang tahun daripada tanpa mempertimbangkan eksternalitas. Ditambah lagi eksternalitas disini masih terbatas pada dua aspek yaitu kerugian perikanan dan gangguan fungsi jalan. Ini menunjukkan bahwa pertimbangan eksternalitas yang berakibat peningkatan biaya produksi akan mendorong produsen agar tidak terburu-buru melakukan ekstraksi. Hasil proses optimasi adalah kuantitas ekstraksi dengan pertimbangan eksternalitas 270.221 ton pada tahun 2012 dan nilai present value Rp. 23.910.331.861 dan nilai total penerimaan bersih pada tahun 2039 adalah Rp.264.293.419.672, dengan asumsi
86
harga jual pasir besi yang dipakai adalah harga jual rata-rata, yaitu Rp. 331.829/ ton dan dengan suku bunga pinjaman bank rata-rata 5 tahun adalah 7,4%. Kedua optimasi diatas, memang menunjukkan bahwa umur daur penambangan hanya berbeda satu tahun. Perbedaan umur ini menyebabkan total penerimaan optimasi dengan mempertimbangkan eksternalitas memiliki nilai penerimaan bersih lebih kecil sekitar Rp. 26,49 milyar daripada total penerimaan bersih ekstraksi tanpa pertimbangan eksternalitas. Nilai ini menunjukkan bagian penerimaan dari perusahaan tambang yang berkurang akibat internalisasi eksternalitas negatif.
Jumlah Produksi (Ton)
300000 Qt dengan Eks
250000
Qt tanpa Eks
200000 150000 100000 50000
2038
2036
2034
2032
2030
2028
2026
2024
2022
2020
2018
2016
2014
2012
0
Gambar 17 Laju ekstraksi optimal pasir besi dengan dan tanpa eksternalitas Secara grafis dapat kita lihat bahwa jalur ekstraksi tanpa pertimbangan eksternalitas, sedikit lebih curam daripada dengan pertimbangan eksternalitas, sehingga sumberdaya lebih cepat dieksploitasi dan beberapa pihak yang terkena dampak negatif tidak dikompensasi. Jika kita bandingkan dengan lama izin usaha produksi yang diberikan oleh dinas energi dan sumberdaya mineral Kabupaten Tasikmalaya yang hanya berkisar 1-5 tahun. Terlihat jelas bahwa izin usaha pertambangan pasir besi tidak didasarkan pada pengelolaan sumberdaya tidak terbarukan dalam pandangan ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Keadaan ini mendorong para pengusaha pemegang izin untuk secara besar-besaran dan secepat mungkin menghabiskan sumberdaya pasir besi yang mereka kuasai. Akibatnya kemampuan atau daya dukung lingkungan menjadi terabaikan dan banyak pihak lain yang menanggung kerugian.
87
7.4
Solusi Eksternalitas Dengan Nilai Pajak Lingkungan Total nilai eksternalitas negatif akibat penambangan pasir besi, terutama
eksternalitas yang menyebabkan kerugian yang dialami oleh nelayan dan pengguna jalan sebesar Rp. 3,6 milyar. Nilai tersebut dapat diturunkan dalam bentuk pajak yang ditarik untuk setiap tonase pasir besi yang diproduksi oleh perusahaan. Untuk menentukan tingkat pajak berdasarkan hasil survei terhadap lima perusahaan pasir besi yang beroperasi di Kecamatan Cipatujah. Survei ini telah berhasil mengestimasi nilai marginal kerusakan (MD) dan nilai biaya marginal perusahaan (MC), kedua nilai tersebut diturunkan dari kurva biaya dan kurva eksternalitas persamaan (1) dan (3) di subbab laju ekstraksi optimal. Setelah diketahui total eksternalitas akibat pertambangan pasir besi ini, maka dapat ditentukan marginal eksternalitasnya (MD) dengan menurunkan nilai total eksternalitas tersebut terhadap jumlah kuantitas ekstraksi pasir besi (Q), sehingga persamaan (3) menjadi MD= 7.969 + 0,00516Q………….……………..(5) Nilai marginal ini akan sangat menentukan dalam menentukan berapa tingkat ekstraksi pasir besi yang optimal dengan adanya kerusakan lingkungan. 2000000000
1500000000
E
1000000000
500000000
0
0
50000
100000 Q
150000
200000
Gambar 18 Kurva eksternalitas penambangan terhadap jumlah produksi Secara grafis dapat kita lihat pada gambar diatas bahwa hubungan antara eksternalitas dengan jumlah produksi pasir besi bersifat non linear positif, sehingga dengan semakin banyak produksi semakin meningkat jumlah eksternalitas yang diakibatkannya. Dalam menentukan nilai biaya marginal (MC)
88
dari fungsi biaya tersebut ini harus dilakukan
proses derivatif total biaya
(persamaan 1) terhadap quantitas ekstraksi (Q). Sehingga dari proses tersebut dihasilkan nilai biaya marginal sebagai berikut : MC = 158.733+ 0,52Q………….…………………...(6)
Pada gambar dibawah ini dapat dilihat bahwa, biaya variabel produksi pasir besi akan meningkat dengan semakin banyak produksi pasir besi yang dihasilkan. Kurva biaya marginal ini diasumsikan adalah kurva penawaran dari pasir besi.Secara grafis kurva penawaran berslope positif, sedangkan kurva biaya marginal dengan sifat non linearnya memiliki arah kurva yang berslope negatif, sehingga kurva penawaran hanyalah kurva marginal cost yang berada diatas kurva biaya rata – rata penambangan pasir besi. 3.0000E+10 2.5000E+10
TC
2.0000E+10 1.5000E+10 1.0000E+10 5000000000 0 0
50000
100000 Q
150000
200000
Gambar 19 Kurva total biaya terhadap jumlah produksi penambangan besi Penjumlahan persamaan 5 dan 6 maka akan didapatkan total biaya sosial marginal (MSC), yaitu biaya produksi perusahaan dengan nilai marginal kerusakan/ eksternalitas (MD dari aktivitas penambangan pasir besi. MSC = 166.702 + 0,59916Q………………………………(7)
Biaya sosial marginal ini dapat digunakan untuk menentukan jumlah ekstraksi pasir besi dengan mempertimbangkan nilai eksternalitas negatif yang diakibatkannya.Sebelumnya kita harus menentukan terlebih dahulu nilai manfaat socialdaripenambangan pasir besi. Nilai manfaat sosial atau MSB dapat diestimasi dengan menurunkan fungsi penerimaan total (TR) penambangan pasir besi terhadap jumlah ekstraksi (Q) pasir besi.
89
Hasil regresi total penerimaan dengan jumlah ekstraksi pasir besi maka didapatkan fungsi total penerimaan adalah TR = 331.829 Q…………………..………………(8)
Penambangan pasir besi diasumsikan berada pada pasar persaingan sempurna sehingga perusahaan bersifat sebagai penerima harga (price taker), maka penurunan kurva total penerimaan yaitu marginal penerimaan (MR) adalah bersifat linear positif. Kurva MR inidapat dijadikan kurva yang mengestimasi jumlah permintaan pasir besi. MR=331.829……………………………….(9)
Persamaan MR dapat dijadikan sebagai kurva permintaan atau marginal sosial benefit dengan asumsi nilai marginal eksternalitas positif adalah nol. Kurva total penerimaan adalah seperti gambar dibawah ini. 6.0000E+10 5.0000E+10
TR (Rp)
4.0000E+10 3.0000E+10 2.0000E+10 1.0000E+10 0 0
50000
100000 Q (ton)
150000
200000
Gambar 20 Kurva total penerimaan terhadap jumlah produksi Setelah mendapatkan kurva dan persamaan-persamaan diatas kita dapat menentukan berapa jumlah ekstraksi pasir besi dengan mempertimbangkan eksternalitas. Jumlah ekstraksi teresebut didapatkan dari penyelesaian persamaan MSB = MSC yaitu. 331.829 = 166.702 + 0,52916Q……………..……(10)
Hasil penyelesaian
persamaan (10) diatas didapatkan jumlah ekstraksi
optimal pasir besi dengan mempertimbangkan adanya eksternalitas adalah sebanyak 312.054 ton. Berikutnya untuk menentukan jumlah ekstraksi aktual
90
tanpa mempertimbangkan adanya eksternalitas adalah dengan menyelesaikan fungsi permintaan social MSB = MC. 331.829 = 158.733+ 0,52Q ………………………..(11)
Penyelesaian persamaan (11) didapatkan jumlah produksi pertahun pasir besi yang seharusnya dengan kondisi pasar persaingan sempurna saat sekarang ini adalah 330.335 ton. Dapat kita lihat bahwa jumlah produksi dengan mempertimbangkan eksternalitas lebih kecil daripada jumlah produksi tanpa mempertimbangkan eksternalitas. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah biaya, dalam hal ini biaya eksternalitas yang diinternalisasi dalam bentuk pajak akan mendorong produsen mengurangi jumlah produksinya. Tingkat pajak didapatkan dengan mensubstitusikan jumlah produksi pasir besi dengan mempertimbangkan eksternalitas ke persamaan (6) sehingga secara matematis persamaan tersebut berubah menjadi biaya marginal eksternalitas (MCeks). MCeks = 158.733 + 0,52 Q………………………………12)
Penyelesaian persamaan diatas didapatkan nilai MCeks adalah sebesar Rp. 322.249. Nilai pajak didapatkan dari hasil pengurangan nilai marginal eksternalitas dengan permintaan pasir besi dengan pertimbangan eksternalitas. Perlu diingat karena pasar pasir besi berada pada pasar persaingan sempurna, sehingga perusahaan berperan sebagai price taker. Akibatnya kurva permintaan pasir besi adalah sama dengan slope dari penerimaan marginal yaitu sebesar Rp. 331.829. Pajak lingkungan (Etax) untuk setiap tonase pasir besi dari perhitungan diatas adalah Rp. 9.579 yang didapatkan dari persamaan (13). Etax = 331.829-322.249………………………….(13) Nilai tersebut, dijadikan dasar perhitungan pajak lingkungan yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah setiap tahun. Jumlah pajak yang dapat ditarik adalah perkalian jumlah ekstraksi pasir besi dengan pertimbangan eksternalitas yaitu 312.054 ton dengan nilai pajak lingkungan Rp.9.579. Hasilnya perkiraan penerimaan pemerintah adalah sebesar Rp. 2,98 milyar.
91
Nilai Kerusakan (Rp)
Gambar 21Kurva pergeseran produksi dengan adanya eksternalitas Secara grafis dapat dilihat pada gambar 21, dimana MB adalah manfaat marginal, MC adalah biaya produksi perusahaan, MD adalah biaya eksternalitas atau kerusakan lingkungan dan MSC adalah penjumlahan biaya produksi dan biaya kerusakan lingkungan.Kompensasi akibat adanya eksternalitas yang diterjemahkan dalam bentuk pajak yang harus dibayarkan oleh produsen pasir besi kepada pihak yang menderita eksternalitas negatif. Kondisi ini menyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan dalam proses produksi adalah senilai dengan biaya produksi privat ditambah dengan biaya kerusakan lingkungan atau biaya sosial. Hal ini menyebabkan kurva marginal cost sebagai kurva biaya produksi akan bergerak kearah kiri menjadi kurva marginal sosial yang akan menurunkan level produksi dari kondisi aktual. Perbedaan jumlah ekstraksi optimal dengan dan tanpa eksternalitas dengan prosedur optimasi Hotelling dengan jumlah ekstraksi dalam perkiraan nilai pajak disebabkan oleh ekstraksi optimal didasarkan pada aspek intertemporal. Dimana aspek waktu yang secara ekonomi diterjemahkan dengan penetapan tingkat bunga yang berlaku diperhitungkan. Penggunaan tingkat bunga ini tidak diterapkan dalam penghitungan pajak. Secara umum jika ekstraksi pada penetapan nilai pajak dihitung pada saat sekarang maka jumlahnya tidak akan jauh berbeda. Sebagai catatan penting adalah bagaimana penetapan nilai tingkat bunga, dimana sudut
92
pandang perusahaan tentunya akan berbeda apakah menentukan tingkat bunga secara sosial atau privat. 7.5
Implementasi Pajak Lingkungan Pada dasarnya berbagai pungutan dan retribusi telah diterapkan pada
kegiatan penambangan pasir besi di Kabupaten Tasikmalaya. Namun berbagai macam pungutan dan retribusi tersebut belum mencakup kerusakan lingkungan yang diakomodasi dengan pajak lingkungan atau Pajak Pigou. Menurut UU 32 tahun 2008, Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau Badan. Diantaranya yang berlaku di Kabupaten Tasikmalaya untuk penambagan pasir besi adalah pungutan retribusi izin usaha pertambangan eksploitasi sebesar Rp. 45.000/ Ha; Iuran tetap Rp. 15000/ Ha/ Tahun; Leges Rp. 5.000; dan membayar royalti ke kas negara.Royalti adalah kewajiban yang harus dilakukan perusahaan pertambangan. Royalti harus dibayarkan sebesar 3,75 % berdasarkan harga logam pada saat ekspor.Untuk tingkat desa pungutan penambangan pasir besi juga bermacam-macam dengan besaran yang berbeda-beda setiap desa. Hasil penelitian pungutan pada tingkat desa hanya mencakup kategori iuran desa, bantuan pembangunan desa, dan pada beberapa desa terdapat iurankontribusi lingkungan. Iuran kontribusi lingkungan ini mencakup pembayaran jalur jalan desa, dana bising, dana debu, kas lingkungan, bantuan keagamaan, namun belum ada iuran desa yang mencakup kompensasi kehilangan waktu tempuh dan peningkatan konsumsi BBM pengguna jalan dan kerugian nelayan. Eksternalitas negatif dalam kegiatan penambangan terhadap pihak lain diluar perusahaan dapat diatasi salah satunya dengan penerapan pajak lingkungan. Pajak lingkungan adalah ekspresi peraturan terhadap prinsip pembayar oleh poluter: dimana siapa yang melakukan pencemaran harus membayarnya. Perkiraan pajak lingkungan untuk kompensasi kerusakan jalan dan kerugian nelayan sebesar Rp. 9.579/ ton pasir besi dapat dijadikan solusi nilai pungutan pajak lingkungan yang belum terakomodasi pada iuran-iuran yang telah ada di desa maupun kabupaten. Implementasi pemberian kompensasi ini tentunya tidak
93
mudah, mengingat para pengguna jalan tidak dapat diidentifikasi dengan tepat. Pada sektor perikanan jumlah nelayan yang benar-benar terpengaruh juga belum dapat dipastikan. Dilain pihak belum tentu perusahaan bersedia membayarkan pajak tersebut, sehingga untuk menyelesaikan metode pemberian kompensasi ada beberapa langkah yang bisa ditempuh yaitu perubahan Kelembagaan Perusahaan tentunya akan mempertimbangkan seberapa besar tambahan biaya yang harus dikeluarkan dalam bentuk pajak jika dibandingkan dengan terus meningkatkan produksi. Jika tambahan pajak tersebut lebih besar daripada tambahan manfaat yang diterima perusahaan tentunya peruahaan tidak akan meningkatkan jumlah produksinya. Diperlukan semacam aturan main yang mengikat dan disepakati bersama oleh perusahaan penambangan pasir besi dan masyarakat yang terkena dampak mengenai aturan kewajiban membayar pajak terhadap masyarakat. Peraturan ini akan menjadi penegasan akan hak masyarakat akan akses jalan umum yang baik dan kondisi perairan yang tidak tercemar. Aturan main harus diarahkan untuk mengendalikan perilaku masyarakat dan perusahaan agar tidak melakukan penambangan secara berlebihan dan ketaatan perusahaan memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu hak kepemilikan dan pengawasan yang efektif harus dilakukan dalam mencegah kerusakan lingkungan. Perubahan institusi dengan cara menerapkan kebijakan kepemilikan yang sistematikanya memenuhi unsur-unsur hak konkrit. Aturan main ini harus diawasi dengan ketat, sehingga perusahaan tambang harus melaporkan jumlah produksi pasir besi dengan benar. Hal ini bertujuan agar nilai kompensasi tidak dimanipulasi oleh perusahaan dengan cara melaporkan hasil produksi yang lebih rendah daripada yang sebenarnya. Kegiatan penyusunan aturan main, pengawasan dan perundingan antara para pihak ini tentunya tidak akan lepas dari munculnya biaya transaksi. Keterkaitan antara biaya transaksi dengan dampak negatif penambangan pasir besi terlihat dari telah munculnya demonstrasi dari masyarakat, terutama nelayan yang menentang kegiatan penambangan pasir besi. Demonstrasi itu seringkali harus diselesaikan dengan beberapa kali perundingan dan negosiasi antara perwakilan nelayan dan perusahaan. Tentunya proses seperti ini akan membutuhkan biaya besar, apalagi kesepakatan tidak kunjung dihasilkan sehingga membutuhkan negosiasi panjang.
94