PEMIDANAAN TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
TESIS
YUDHISTIRA ADHI NUGRAHA N P M : 1106032466
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2013
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
PEMIDANAAN TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH)
YUDHISTIRA ADHI NUGRAHA N P M : 1106032466
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI PASCASARJANA KEKHUSUSAN PRAKTEK PERADILAN JAKARTA JANUARI 2013
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
is ini diajukan oleh :
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis panjatkan atas selesainya penulisan tesis dengan judul “PEMIDANAAN TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”, yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga penyusunan tesis ini berakhir, adalah tidak mungkin bagi penulis untuk bisa menyelesaikan penulisan tesis ini sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2.
Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
3.
Ketua Bidang Ilmu Hukum Pidana Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4.
DR. Eva Achjani Zulfa, SH., MH., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan serta saran kepada penulis dalam rangka menyelesaikan penulisan tesis ini.
5.
Bapak dan ibu dosen penguji serta bapak dan ibu dosen pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang makin memperluas wawasan pengetahuan penulis.
6.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan USAID yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
7.
Muhammad Razzad, SH., MH., mantan Ketua Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk mengikuti iv
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
seleksi yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, USAID, dan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hingga akhirnya penulis bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. 8.
Pimpinan, rekan-rekan hakim, dan seluruh karyawan/karyawati Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, tempat penulis terakhir bertugas sebelum mengikuti pendidikan ini.
9.
Pimpinan, hakim-hakim, dan karyawan/karyawati Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan pengambilan data dalam rangka penulisan tesis ini.
10.
Sembilan belas orang rekan penulis di Peminatan Praktek Peradilan Kelas Khusus (MA), semoga semuanya memperoleh sukses dalam pendidikan ini dan juga dalam karier pekerjaan di masa yang akan datang.
11.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penulisan tesis ini. Secara khusus, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada : 1.
Isteri penulis, Yetty Enggriany, SE., dan putera kami Muhammad Yudha Prawira Nugraha. Terima kasih untuk kesabaran, doa, dan juga dukungan kalian, semoga kesabaran kalian ini akan berbuah manis bagi keluarga kecil kita. Amin.
2.
Ayahanda H. Endang Suryana, S.Sos., MM., dan adik-adik penulis, serta kakak-kakak dan adik-adik ipar penulis. Terima kasih untuk segala dukungan dan doanya.
3.
Mereka yang telah tiada, ibunda tercinta almarhumah Hj. Yeye Nurlaela, serta kedua mertua penulis yang sangat penulis hormati, ayah almarhum H. Ishak Umpusinga dan emak almarhumah Hj. Lena Juwita. Semoga Allah SWT, melimpahkan karunianya kepada mereka semua. Amin. Penulis menyadari bahwa dengan pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki, tesis ini masih jauh dari kata sempurna, namun demikian penulis tetap v
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
berharap bahwa tesis ini dapat sesuai dan memenuhi kriteria yang diinginkan. Untuk itu masukan dan saran yang membangun demi penyempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga tesis ini bisa membawa manfaat bagi kita semua.
Jakarta, Januari 2013
PENULIS
vi
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: YUDHISTIRA ADHI NUGRAHA : Pascasarjana – Praktek Peradilan : PEMIDANAAN TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Penulisan tesis ini membahas mengenai permasalahan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta bertentangan atau tidaknya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan asas legalitas. Dari hasil penelitian yang bersifat yuridis normatif, di mana penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data sekunder dengan cara meneliti bahan pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, diperoleh kesimpulan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada (sebelum diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Pemidanaan di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tersebut dijatuhkan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selanjutnya, Penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tidaklah bertentangan dengan asas legalitas, karena di sini hakim bukan sebuah “corong” atau “terompet”-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya, melainkan hakim juga memiliki tugas untuk melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman, salah satunya dengan cara melakukan interpretasi atau menafsirkan undang-undang dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut. Kata kunci : pemidanaan, terdakwa anak, pidana minimum khusus, asas legalitas, menafsirkan undang-undang.
viii
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
ABSTRACT Name Study Program Title
: YUDHISTIRA ADHI NUGRAHA : Post Graduate – Court Practice : PUNISHMENT FOR THE ACCUSED CHILDREN WHO THREATENED BY SPECIAL MINIMUM SENTENCING ON COURT PRACTICE BEFORE THE ENACTMENT OF LAW NUMBER 11 YEAR 2012 ABOUT THE CHILDREN’S CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
This thesis is to discuss the issues of punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence in court practice before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, the basic consideration of judges in imposing capital below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, as well as whether or not the judge's decision which below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System contradicts with the principle of legality. From the research that is normative, where the research was conducted based on secondary sources and examine library materials including primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, we concluded that the punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence, could be below the special minimum sentence, although the regulation on that matter not already yet (before the promulgation and enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System). Punishment below the special minimum sentence imposed by certain considerations. Furthermore, the punishment below the special minimum sentence for the accused children who threatened by special minimum sentence is not against the principle of legality, because here the judge is not a "funnel" or "horn" of the law (la bouche de la loi) that just simply apply existing law as it is, but the judge also has a duty to perform rechtvinding which means aligning legislation with the spirit of the age, one way to interpretation the law in order to clarify or supplement the law. Keywords
: punishment, the accused children, special minimum sentence, the principle of legality, law interpretation.
ix
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................... vii ABSTRAK ......................................................................................................... viii ABSTRACT ......................................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii BAB. 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Pernyataan Masalah ........................................................................ 8 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 10 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 11 1.5. Kerangka Teori ............................................................................. 11 1.6. Kerangka Konseptual ................................................................... 15 1.7. Metode Penelitian ......................................................................... 18 1.8. Sistematika Penulisan ................................................................... 21 BAB. 2. PENGADILAN PIDANA ANAK ..................................................... 24 2.1. Pengertian Anak dan Batasan Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak .................................................................................. 24 2.2. Pengaturan Pengadilan Pidana Anak di Indonesia ....................... 36 2.3. Sanksi Pidana Bagi Anak yang Berkonflik Dengan Hukum ........ 44 BAB. 3. ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS DAN PENEMUAN HUKUM DI DALAM PUTUSAN HAKIM ............ 52 3.1. Latar Belakang Pemikiran Dianutnya Ancaman Pidana Minimum Khusus dan Hubungannya Dengan Tujuan Pemidanaan ................................................................................... 52 3.2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana dan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana ............... 63 3.3. Hubungan Antara Asas Legalitas Dengan Penemuan Hukum di Dalam Putusan Hakim ............................................................. 72
x
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
BAB. 4. ANALISIS PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS .............................. 86 4.1. Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak ............................................................................................. 86 4.2. Pemidanaan yang Dijatuhkan Oleh Hakim Terhadap Terdakwa Anak yang Terancam Pidana Minimum Khusus ........................................................................................ 131 4.3. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak ........................................................................... 139 4.4. Hubungan Antara Putusan Hakim yang Menjatuhkan Pidana di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak Dengan Asas Legalitas ..................................... 148 BAB. 5. PENUTUP ........................................................................................ 160 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 160 5.2. Saran ........................................................................................... 161 DAFTAR REFERENSI ................................................................................... 164
xi
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Batas Usia Minimal Pertanggungjawaban Pidana Di Beberapa Negara ............................................................................................... 35
Tabel 2.
Perbedaan Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum ............................................................................................... 50
Tabel 3.
Pola Minimum Khusus 1 – 7 Tahun Dalam Rancangan KUHP ....... 62
Tabel 4.
Pola Minimum Khusus 1 – 5 Tahun Dalam Rancangan KUHP ....... 63
Tabel 5.
Lamanya Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum Dan Lamanya Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Hakim ............................................. 132
Tabel 6.
Sikap Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Yang Menjatuhkan Pidana Di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak .................................................. 137
Tabel 7.
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak ..... 141
Tabel 8.
Perbandingan Putusan Yang Menjatuhkan Pidana ½ (Satu Perdua) Dari Minimum Ancaman Pidana Atau Lebih Dan Di Bawah ½ (Satu Perdua) Dari Minimum Ancaman Pidana .............................................................................. 155
xii
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian lebih
dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.1 Data lain menyebutkan, lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya.2 Sementara data Komnas Perlindungan Anak menunjukan trend peningkatan kuantitas kasus anak-anak yang berhadapan dengan hukum, di mana data menunjukkan pada tahun 2006 terdapat 6000 anak yang harus berhadapan dengan hukum, yang meningkat menjadi 7000 anak pada tahun 2011.3 Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial, maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.4 Angka statistik di atas tentunya sangat memprihatinkan, mengingat sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, anak sebagai bagian dari generasi muda, merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional, yang diharapkan menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, yang mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa.5 Demikian pula halnya di dalam penjelasan umum UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, _____________ 1
Yayasan Pemantau Hak Anak, Praktek-Praktek Penanganan Anak Berkonflik Dengan Hukum Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia: Perspektif Hak Sipil Dan Hak Politik, (Makalah sebagai bahan masukan bagi upaya penyusunan Laporan Alternatif [Inisiatif] Implementasi Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang dikoordinasi oleh HRWG, Tanpa Tahun), hal. 1. 2 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia, (Jakarta: UNICEF Indonesia, 2003), hal. i. 3
Harian Kompas, Senin 27 Februari 2012, hal. 1.
4
Yayasan Pemantau Hak Anak, loc. cit.
5
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
1
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
2
disebutkan
bahwa
anak
adalah
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.6 Berkaitan dengan pembinaan anak, maka diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mampu mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana dimaksud, menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa berhadapan dengan hukum, dan bahkan diajukan ke muka pengadilan. Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, terkadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Jika lingkungan tempat anak tersebut berada buruk, dapat mempengaruhi si anak untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyeret mereka untuk berurusan dengan aparat penegak hukum. Kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi inipun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal juga dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa diatur dalam konvensikonvensi internasional khusus, seperti diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak yang menyatakan : “...........… the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth…............”.7
_____________ 6
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 7 Harkristuti Harkrisnowo, Tantangan Dan Agenda Hak-Hak Anak, (Jakarta: Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Februari 2002), hal. 4.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
3
Perhatian akan perlindungan hukum bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.8 Bertolak dari deklarasi tersebut, kemudian pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the Rights of the Child, yang salah satu prinsipnya menghendaki perlunya perlindungan khusus bagi anak yang dijamin oleh hukum.9 Selanjutnya bersamaan dengan ditetapkannya tahun 1979 sebagai Tahun Anak Internasional, suatu kelompok kerja dibentuk untuk membuat rumusan Konvensi Hak Anak. Pada 20 Nopember 1989 rancangan Konvensi Hak Anak selesai dan langsung diadopsi oleh PBB, dan selanjutnya pada 2 September 1990 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) mulai berlaku sebagai Hukum Internasional. Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip “First Call for Children”, yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak anak atas “survival protection, development and participation”.10 Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak yang merupakan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 44/25 pada tanggal 26 Januari 1990,11 dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. _____________ 8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal.
108. 9 Herry Subondo, Penjatuhan Pidana Atau Tindakan Terhadap Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Dalam Pandecta 1 Vol. 1 No. 1 Januari - Juni 2007. 10
Harkristuti Harkrisnowo, loc. cit.
11
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 158.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
4
Dibuatnya peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib
dijunjung
tinggi
oleh
setiap
orang,
namun
sayangnya
dalam
pengaplikasiannya, masalah penegakkan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala, baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satu hambatan maupun kendala yang masih menjadi permasalahan penting dalam penegakkan hukum (law enforcement) di Indonesia, adalah sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat suatu tindak pidana sebagaimana halnya pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa. Padahal anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana biasanya akan lebih mudah pengendalian dan perbaikannya dibandingkan dengan orang dewasa yang menjadi pelaku kejahatan. Hal inilah yang menurut Harkristuti Harkrisnowo menjadikan perampasan kemerdekaan haruslah dilakukan sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya.12 Di dalam perkembangan pembuatan undang-undang saat ini telah terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana minimum khusus, seperti terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, maka akan memberikan batasan terhadap kebebasan yang dimiliki hakim didalam menjatuhkan putusan, meskipun mengenai sistem pidana minimum khusus ini tidak ada aturan/pedoman penerapannya, seperti yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief berikut ini : “Apabila dilihat dari sudut sistem pemidanaan, pencantuman jumlah sanksi/ancaman pidana minimum dalam perumusan delik (aturan khusus) hanya merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemidanaan. Oleh karena itu pidana minimum khusus ini tidak dapat begitu saja diterapkan/dioperasionalkan dalam perumusan delik. Untuk dapat _____________ 12
Harkristuti Harkrisnowo, op. cit., hal. 8.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
5
diterapkan, harus ada sub sistem lain yang mengaturnya, yaitu harus ada aturan/pedoman pemidanaannya”.13 Sistem pidana minimum khusus, disamping erat kaitannya dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki terpidana maupun masyarakat, juga berkaitan erat dengan tujuan pembaharuan hukum pidana, yaitu untuk penanggulangan kejahatan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur tentang minimum umum pidana penjara selama 1 (satu) hari,14 sehingga untuk penanggulangan kejahatan yang lebih efektif, terutama untuk delik-delik yang dipandang sangat merugikan atau membahayakan masyarakat pada umumnya, maka dibutuhkan sistem pidana minimum khusus ini. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengaturan mengenai pengadilan pidana anak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, anak yang melakukan tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, disebut dengan istilah anak nakal.15 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang ini, di mana menurut ketentuan pasal 23 undang-undang tersebut, pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal antara lain berupa : pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara, kurungan, dan denda bagi anak nakal harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
_____________ 13
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hal. 134. 14
Lihat Pasal 12 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
15
Lihat Pasal 1 Angka 2 a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
6
1.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.16
2.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.17
3.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.18
4.
Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.19 Dari ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak di atas, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimana pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, sehingga sering menimbulkan kerancuan dalam praktek di pengadilan. Hal mana kemudian coba diperbaiki oleh pembuat undang-undang dengan membuat ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyatakan bahwa minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak.20 Di dalam penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Tendik Wicaksono,21 fokus penelitian hanya dilakukan pada ketentuan pidana minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika. _____________ 16
Lihat Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
17
Lihat Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
18
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
19
Lihat Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
20
Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. 21 Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika: Studi Kasus Putusan No. 2597/Pid.B/2009/PN. Tng, Putusan No. 297/Pid.B/2010/PN. Tng, dan Putusan No. 904/Pid.B/2010/PN. Tng pada Pengadilan Negeri Tangerang, (Tesis, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 2011).
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
7
Selain itu fokus penelitiannya juga bukan pada anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana, yang kemudian diajukan sebagai terdakwa di persidangan, kendati di dalam putusan-putusan yang dianalisa, ternyata terdakwa-terdakwa yang dijatuhi pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus itu masih di bawah umur. Selanjutnya dalam menganalisa apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dapat dibenarkan berdasarkan asas nulla poena sine lege, Tendik Wicaksono tidak memfokuskan pada fungsi dan kewenangan hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtvinding), sehingga dalam kesimpulannya mengenai masalah tersebut di atas, Tendik Wicaksono menyatakan : “Adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang .............. yang dilakukan oleh hakim, .............., tidak dapat dibenarkan berdasarkan asas legalitas (nulla poena sine lege) yang di dalamnya mengandung unsur kepastian hukum, sebab dalam asas nulla poena sine lege, yang berarti tiada pidana tanpa undang-undang, telah dengan tegas menyatakan bahwa setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. .............., sehingga adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan ancaman pidana yang ada .............. oleh hakim, dengan sendirinya tidaklah dapat dibenarkan menurut asas nulla poena sine lege ini”.22 Pada penelitian di dalam tesis ini, mengenai permasalahan apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak bertentangan dengan asas legalitas, akan coba dilihat dari sisi fungsi dan kewenangan hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtvinding), sebab seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hakim mempunyai kedudukan yang penting dalam suatu sistem hukum, begitu pula dalam sistem hukum Indonesia, karena hakim melakukan fungsi yang pada hakekatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui penemuan hukum (rechtvinding) yang mengarah kepada penciptaan hukum baru (creation of new law).
Fungsi
menemukan hukum tersebut harus diartikan mengisi
_____________ 22
Ibid., hal. 168.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
8
kekosongan hukum (recht vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan hukum (tertulis)-nya tidak jelas atau tidak ada.23 Dengan demikian terbuka kemungkinan hasil penelitian di dalam tesis ini, khususnya mengenai permasalahan apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tidak bertentangan dengan asas legalitas, akan berbeda dengan apa yang telah diteliti dan ditulis oleh Tendik Wicaksono dalam penelitian terdahulu. 1.2
PERNYATAAN MASALAH Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti
sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materiil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.24 Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.25 Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.26 _____________ 23
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 99. 24
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), hal. 1. 25
Ibid., hal. 3. Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, perlindungan anak yang serupa ini merupakan salah satu perlindungan melalui pendekatan yuridis. Pendekatan yang lebih luas yaitu menyangkut ekonomi, sosial, dan budaya. Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam Mulyana W. Kusumah, ed. Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 23. 26
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hal. 222.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
9
Di dalam berbagai hal, upaya perlindungan dan juga pembinaan tersebut sering berhadapan dengan permasalahan dan tantangan yang ada dalam masyarakat, bahkan terkadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, di mana baik disengaja maupun tidak, seringkali anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan/atau masyarakat. Sebagaimana yang telah dikemukakan, statistik menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan jumlah anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Dari sejumlah anak yang terpaksa harus berkonflik dengan hukum, beberapa diantaranya harus berhadapan dengan ketentuan-ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, seperti misalnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa. Berdasarkan ketiga ketentuan di atas, sebelum berlakunya ketentuan Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimana pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, di mana dalam prakteknya di pengadilan sering menimbulkan kerancuan, khususnya bagi jaksa penuntut umum dan hakim. Sebagian besar jaksa penuntut umum beranggapan bahwa ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak hanya berlaku bagi ancaman pidana maksimum, sehingga ketika berhadapan dengan terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, ketentuan untuk mengurangi ancaman pidana minimum khusus menjadi ½ (satu perdua) dari ancaman pidana bagi orang dewasa tidak berlaku.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
10
Sebaliknya, sebagian hakim berpendapat, bahwa terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) mengenai ketentuan untuk mengurangi ancaman pidana minimum khusus menjadi ½ (satu perdua) dari ancaman pidana bagi orang dewasa, sehingga dengan menggunakan fungsi dan kewenangannya untuk melakukan penemuan hukum (rechtvinding), sejumlah hakim menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaanpertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ?
2.
Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ?
3.
Apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bertentangan dengan asas legalitas ?
1.3
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2.
Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
11
3.
Untuk mengetahui bertentangan atau tidaknya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan asas legalitas.
1.4
MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.
Manfaat teoritis, di mana diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, yaitu khususnya bagi ilmu hukum pidana, sehingga diharapkan
nantinya
akan
dapat
membantu
dalam
menyelesaikan
permasalahan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, yang mana pada akhirnya mampu untuk memenuhi tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaan yang bukan sekedar sebagai suatu pembalasan, namun memiliki filosofi rehabilitasi (pemulihan) bagi si pelaku, khususnya terdakwa anak. 2.
Manfaat praktis, di mana diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi para penegak hukum, khususnya bagi jaksa penuntut umum dan hakim dalam rangka pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, sehingga dapat meminimalisir kerancuan yang sering timbul dalam praktek di pengadilan.
1.5
KERANGKA TEORI Teori rehabilitasi merupakan salah satu teori dalam tujuan pemidanaan.
Filosofi rehabiltasi (pemulihan) sering diterjemahkan sebagai pertolongan kepada para terpidana untuk pulih seperti sedia kala. Konsekuensinya tentunya adalah menghilangkan penderitaan semaksimal mungkin. Dalam praktek terjadi ambivalensi antara rehabilitasi sebagai bagian dari sanksi pidana atau rehabilitasi dalam rangka pengobatan, karena tujuan keduanya bertolak belakang.27 Teori rehabilitasi dalam pandangan Andrew Ashworth, dilatar belakangi pandangan positivis dalam kriminologi, sehingga penyebab kejahatan lebih _____________ 27
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hal. 50.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
12
dikarenakan adanya penyakit kejiwaan atau penyimpangan sosial, baik dalam pandangan psikiatri atau psikologi. Di pihak lain kejahatan dalam pandangan teori rehabilitasi dipandang sebagai penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat.28 Menurut Yong Ohoitimur, kejahatan dianggap sebagai symptom disharmony mental atau ketidak seimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, konseling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya.29 Menurut teori rehabilitasi, pemidanaan lebih dipandang sebagai suatu proses terapi atas penyakit yang ada, bukan lagi sebagai penjeraan atau penangkalan. Di samping itu menurut teori ini, seorang pelaku tindak pidana dipandang sebagai orang yang justru perlu ditolong.30 Dalam teori rehabilitasi ini, hakim dituntut untuk menentukan model pemidanaan mana yang cocok sebagai sarana terapi bagi pelaku. Di tahun 1960an, pandangan ini banyak mendapatkan kritik. Akan tetapi perkembangan di tahun 1970-an justru sebaliknya, banyak cerita sukses sehingga teori ini dipandang lebih efektif untuk mencegah pelaku tidak mengulangi tindak pidananya.31 Martison menggambarkan bahwa pendekatan ini hanya efektif bila dilakukan dengan jumlah pidana yang kecil, eksklusif, dan membutuhkan banyak ahli yang terlibat di dalamnya.32 Dalam membicarakan masalah pemidanaan, tentunya tidak akan pernah terlepas dari putusan hakim. Salah satu teori dalam penjatuhan putusan yang bisa dikatakan selaras dengan teori rehabilitasi dalam tujuan pemidanaan adalah teori kebijaksanaan. Teori kebijaksanaan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak.33 Landasan dari teori kebijaksanaan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia, serta kekeluargaan yang harus ditanam, _____________ 28
Andrew Ashword sebagaimana dikutip oleh Eva Achjani Zulfa, ibid., hal. 56-57.
29
Yong Ohoitimur sebagaimana dikutip oleh Eva Achjani Zulfa, ibid., hal. 57.
30
Eva Achjani Zulfa, ibid.
31
Andrew Ashword sebagaimana dikutip oleh Eva Achjani Zulfa, ibid.
32
Ibid.
33
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 112.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
13
dipupuk, dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.34 Teori kebijaksanaan memiliki beberapa tujuan, yaitu yang pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan; yang kedua, sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana; yang ketiga, untuk memupuk solidaritas antara keluarga dengan masyarakat dalam rangka membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak pidana anak; dan yang keempat, sebagai pencegahan umum dan khusus.35 Kebijaksanaan yang harus dimiliki oleh hakim dalam menjatuhkan suatu putusan adalah merupakan gabungan dari beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang hakim, seperti wawasan ilmu pengetahuan yang luas, intuisi atau insting yang tajam dan peka, pengalaman yang luas, serta etika dan moralitas yang baik yang terjaga dari pengaruh-pengaruh buruk dalam kehidupannya.36 Dalam menjatuhkan putusan di dalam perkara pidana, hakim tidak bisa terlepas dari adanya asas legalitas. Asas legalitas menurut Bambang Poernomo mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).37 Ketiga frasa tersebut di atas kemudian dikembangkan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach menjadi sebuah adagium terkenal nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali.38 _____________ 34
Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, (Malang: IKIP Malang, 1997), hal. 87. 35
Ibid.
36
Ahmad Rifai, op. cit., hal. 113.
37
Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 Juli 1989, hal. 8. 38
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 605.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
14
Di dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.39 Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana merupakan perumusan adagium bahasa latin yang diperkenalkan von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang secara harfiah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.40 Menurut R. Soesilo Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang. Selanjutnya menuntut pula, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan, yang berarti bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, artinya : peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu. Dengan adanya ketentuan ini, dalam menghukum orang, hakim terikat oleh undang-undang, sehingga terjaminlah hak kemerdekaan diri pribadi orang.41 Jadi dapat dikatakan bahwa menurut asas legalitas ini, untuk menjatuhkan pidana atau sanksi kepada seseorang disyaratkan bahwa perbuatannya atau peristiwa yang diwujudkannya harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis, dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan _____________ 39
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1976), hal. 23. 40 Dalam Muladi dkk, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2003), hal. 17., dikatakan bahwa Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga sering dikatakan sebagai perumusan istilah latin nullum crimen sine lege stricta, yang berarti tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas. 41
R. Soesilo, loc. cit.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
15
pidana atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan hukum pidana (strafrechtsnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan atau peristiwa.42 1.6
KERANGKA KONSEPTUAL Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam kerangka teori di atas, maka
pada bagian ini akan dibahas mengenai kerangka konseptual yang berisikan uraian tentang konsep pidana minimum khusus serta konsep pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Kejahatan merupakan bentuk penyimpangan perilaku atas aturan-aturan hukum yang sering menimbulkan akibat yang merugikan baik bagi si pelaku sendiri maupun bagi masyarakat secara keseluruhan, di mana adalah hal yang tidak mungkin untuk menghilangkan semua kejahatan yang ada. Namun demikian, dengan melihat akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan, maka diperlukan
suatu
penanggulangan
upaya
untuk
tersebut
adalah
menanggulanginya. melalui
sistem
Salah
satu
pemidanaan,
upaya dengan
menggunakan hukum pidana beserta sanksi pidananya. Secara umum, istilah pemidanaan sering diartikan sama dengan hukuman, seperti halnya yang dikemukakan oleh R. Soesilo, yang mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.43 Sementara Muladi dan Barda Nawawi Arief mengutip pendapat beberapa orang sarjana yang memberikan definisi berbeda-beda tentang istilah pemidanaan, seperti : 1.
Sudharto yang mendefinisikan pemidanaan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
_____________ 42
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 132.
43
R. Soesilo, op. cit., hal. 30.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
16
2.
Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa pemidanaan adalah reaksi atas suatu delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
3.
Fitzgerald yang merumuskan punishment is the authoritative infliction of suffering for an offence.
4.
Sir Rupert Cross yang mengartikan punishment sebagai the infliction of pain by the state on someone who has been convicted of an offence.44 Ditinjau dari segi orientasinya, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief
dikenal adanya 2 (dua) macam teori pemidanaan, yaitu : 1.
Teori absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke belakang berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan; dan
2.
teori relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial.45 Dengan mengacu kepada dua teori di atas, dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya tujuan pemidanaan adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, yang mana bertolak dari tujuan tersebut, ketentuan Pasal 12 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur tentang minimum umum pidana penjara selama 1 (satu) hari dianggap sudah tidak memadai lagi, sehingga dalam rangka pembaharuan hukum pidana, diperlukan adanya sanksi pidana yang bersifat minimum khusus, terutama untuk delik-delik yang membahayakan dan merugikan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, dianutnya sistem ancaman pidana minimum khusus didasarkan pada pokok pemikiran sebagai berikut : 1.
Untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya.
2.
Untuk lebih mengefektifkan prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.
_____________ 44
Eva Achjani Zulfa, op. cit., hal. 10.
45
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998)., hal. 60.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
17
3.
Dianalogkan dengan pemikiran bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidana pun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu. 46 Di samping ketiga hal di atas, dalam hal untuk menghindari adanya
disparitas pidana, maka pidana minimum khusus akan mencegah demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan tertentu yang dijatuhi pidana yang lebih berat daripada kalangan yang lain dalam kasus yang sebanding.47 Adanya disparitas pidana48 banyak dianggap sebagai latar belakang pemikiran dianutnya ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, seperti yang dikemukakan oleh Muladi, bahwa pengembangan pidana minimum khusus adalah dalam rangka mengurangi disparitas pidana (disparity of sentencing), dan menunjukkan beratnya tindak pidana yang dilakukan.49 Meskipun hingga saat ini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang bisa dikatakan sebagai yang pertama kali memperkenalkan konsep mengenai sistem sanksi pidana minimum khusus tidak kunjung juga disahkan, dalam perkembangan pembuatan undang-undang saat ini telah terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana minimum khusus, seperti terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebelum berlakunya ketentuan Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimanakah pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum _____________ 46
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 125. 47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, op. cit., hal. 54.
48
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahaya yang dimilikinya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Ibid., hal. 52. 49 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, Dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hal. 155.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
18
khusus, di mana dalam prakteknya di pengadilan sering menimbulkan kerancuan, khususnya bagi jaksa penuntut umum dan hakim. Perbedaan konsep berpikir antara jaksa penuntut umum dan hakim dalam pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dapat terlihat di dalam putusan-putusan yang akan dianalisa di dalam penelitian ini, di mana sebagian besar jaksa penuntut umum beranggapan bahwa ketika berhadapan dengan terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, ketentuan untuk mengurangi ancaman pidana minimum khusus menjadi ½ (satu perdua) dari ancaman pidana bagi orang dewasa tidak berlaku. Sebaliknya, sebagian hakim berpendapat, bahwa terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) mengenai ketentuan untuk mengurangi ancaman pidana minimum khusus menjadi ½ (satu perdua) dari ancaman pidana bagi orang dewasa, mengingat ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak hanya berlaku bagi ancaman pidana maksimum, sedangkan bagi ancaman pidana minimum khusus tidak diatur. 1.7
METODE PENELITIAN
1.
Sifat Penelitian Mengingat penelitian ini difokuskan pada telaah terhadap putusan-putusan
pengadilan yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka penelitian ini bersifat yuridis normatif, di mana penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data sekunder dengan cara meneliti bahan pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.50 2.
Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, seorang peneliti akan _____________ 50 Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 12-13.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
19
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.51 Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).52 Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan kasus (case approach), di mana pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi, yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.53 Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.54 Baik untuk keperluan praktik maupun kajian akademis, ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.55 3.
Sumber Penelitian Yang menjadi sumber penelitian di dalam penelitian ini adalah berupa data
sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.56 Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan
resmi
atau
risalah
dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.57 Putusanputusan hakim yang akan ditelaah di dalam penelitian ini adalah putusan_____________ 51
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 93.
52
Ibid.
53
Ibid., hal. 94.
54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid., hal. 141.
57
Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
20
putusan di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, khususnya terhadap pelanggaran ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di mana pelanggaran ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus di dalam kedua undang-undang tersebut, secara kuantitatif adalah yang lebih banyak dilanggar oleh anakanak yang bermasalah dengan hukum, dibandingkan dengan ketentuan perundang-undangan lain yang juga memuat ancaman pidana minimum khusus. Pemilihan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Tangerang, dikarenakan Pengadilan Negeri Tangerang merupakan barometer dalam penanganan perkara-perkara narkotika, termasuk yang melibatkan terdakwa anak. Sedangkan pemilihan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Bandung, dikarenakan Pengadilan Negeri Bandung merupakan salah satu pengadilan percontohan dalam menangani perkara pidana anak. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder biasanya berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,58 yang meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier terdiri dari kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan buku-buku tentang tata cara penulisan karya ilmiah. 4.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan library
research (studi kepustakaan) dan studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari sumber-sumber literatur, karya ilmiah, peraturan perundang_____________ 58
Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
21
undangan, salinan putusan hakim, serta sumber-sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Studi di atas sangat berguna dalam membantu penelitian ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan gejala yang dipelajari, dengan memberikan pengertian penyusunan persoalan yang tepat, mempertajam perasaan untuk menilai, membuat analisis, dan membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah.59 5.
Analisa Data Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema, serta dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kualitatif, di mana Surakhmad Winarno mengemukakan bahwa : “Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, di mana pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berpikir deduktif – induktif dan mengikuti tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan menunturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti”.60 Data kualitatif tadi kemudian akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang telah diperoleh ke dalam bentuk penjelasan-penjelasan. Artinya permasalahan yang ada dianalisis dan dipecahkan berdasarkan teori dan peraturan yang ada. 1.8
SISTEMATIKA PENULISAN Secara sistematis, penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam 5 (lima) bab,
yang mana pada tiap-tiap bab berisi hal-hal sebagai berikut :
_____________ 59
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 65.
60
Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar: Metode Teknik, (Bandung: Transito, 1994), hal. 17.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
22
BAB I
:
Merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang, pernyataan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
:
Menjelaskan tentang pengadilan pidana anak. Pada bab ini akan dijabarkan ke dalam 3 (tiga) sub bab pokok, yang pertama berisi mengenai pengertian anak dan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak. Sub bab kedua berisi mengenai pengaturan pengadilan pidana anak di Indonesia. Sedangkan sub bab ketiga berisi mengenai sanksi pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
BAB III
:
Menjelaskan tentang ancaman pidana minimum khusus dan penemuan hukum di dalam putusan hakim. Pada bab ini akan dijabarkan ke dalam 3 (tiga) sub bab pokok, yang pertama berisi mengenai latar belakang pemikiran dianutnya ancaman pidana minimum khusus dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan. Sub bab kedua berisi mengenai bentuk-bentuk putusan hakim dalam perkara pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana. Sedangkan sub bab ketiga berisi mengenai hubungan antara asas legalitas dengan penemuan hukum di dalam putusan hakim.
BAB IV
:
Menguraikan tentang analisis putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Pada bab ini akan dijabarkan ke dalam 4 (empat) sub bab pokok, yang pertama berisi mengenai putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak. Sub bab kedua berisi mengenai pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Sub bab ketiga berisi mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
23
di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak. Sedangkan Sub bab keempat berisi mengenai hubungan antara putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak dengan asas legalitas. BAB V
:
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
BAB 2 PENGADILAN PIDANA ANAK
2.1
PENGERTIAN ANAK DAN BATASAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK Berbicara mengenai pengadilan pidana anak, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari pengertian ataupun definisi dari anak itu sendiri, di mana anak merupakan subyek utama di dalamnya. Perumusan pengertian anak, dapat dilihat dari pendapat beberapa ahli, maupun di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dengan batasan yang dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, anak memiliki beberapa pengertian, antara lain yaitu sebagai keturunan yang kedua, atau manusia yang masih kecil.61 Menurut Kartini Kartono, anak adalah keadaan manusia normal yang masih
muda
usia
dan
jiwanya,
sehingga
sangat
mudah
terpengaruh
lingkungannya.62 Sementara menurut Shanty Dellyana, yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi belum dewasa karena peraturan tertentu (akibat mental yang masih belum dewasa).63 Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, pengertian anak menjadi berbeda-beda akibat perbedaan batasan usia dalam peraturan perundangundangan itu sendiri. Seperti dikemukakan oleh Abdussalam, pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu, dan untuk keperluan apa. Hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundangundangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-
_____________ 61 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 57. 62
Kartini Kartono, Gangguan-Gangguan Psikis, (Bandung: Sinar Baru, 2002), hal. 187.
63
Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 50.
24
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
25
Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.64 Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak di atas, dapat dikatakan mengacu pada ketentuan Pasal 330 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid), yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun, atau melakukan “pendewasaan” (venia aetetis, jo. Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).65 Pengaturan tentang batasan anak dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang lain dapat dilihat diantaranya dalam : 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dirumuskan secara khusus tentang pengertian anak, akan tetapi dapat diketahui antara lain dari ketentuan Pasal 45 dan Pasal 72 yang memberi batasan usia 16 tahun, serta Pasal 283 yang memakai batasan usia 17 tahun.
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan, bahwa batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini tidak secara khusus mengatur tentang batas usia seseorang untuk dikatakan sebagai anak, namun di dalam Pasal 153 Ayat (5) disebutkan bahwa hakim dapat melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.
_____________ 64
Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hal. 5.
65
Nashriana, op. cit., hal. 3-4.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
26
4.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan. Dalam ketentuan Pasal 1 Angka 8 Huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan disebutkan, bahwa anak didik pemasyarakatan, baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil yang dapat dididik di lembaga pemasyarakatan anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 tahun.
5.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebutkan, bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun, dan belum pernah kawin.
6.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.
7.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
8.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
9.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 1 Angka 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, batasan usia maksimal baik bagi anak yang berkonflik dengan hukum (diduga melakukan tindak pidana), anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah 18 tahun. Pasal 1 Angka 3 juga memberikan batasan
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
27
usia minimal bagi anak yang berkonflik dengan hukum (diduga melakukan tindak pidana), yaitu 12 tahun. Di samping berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, hukum adat di sejumlah daerah di Indonesia juga memberikan batasan tentang seseorang yang dapat dikategorikan sebagai anak. Menurut Lilik Mulyadi, secara sosiologis, pengertian tentang anak berbeda-beda di setiap daerah, tergantung budaya dan perkembangan sosial daerah tersebut. Dalam hukum adat Indonesia maka batasan umur untuk disebut sebagai anak bersifat pluralistis. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut sebagai anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya, misalnya telah “kuat gawe“, “akil balig“, “menek bajang“, dan sebagainya.66 Sementara itu, berdasarkan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), yang dimaksudkan sebagai anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.67 Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa batasan usia untuk menggolongkan seseorang sebagai anak memiliki variasi antara di bawah 18 tahun sampai dengan di bawah 21 tahun. Terlepas dari perbedaan penentuan batas usia, penentuan berdasarkan usia adalah merupakan ukuran yang dapat dipertanggung jawabkan, hal ini sesuai dengan pendapat Paulus Hadi Suprapto yang menyatakan : “Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku delinquen anak, biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia berapakah seseorang dapat dikategorikan sebagai anak”.68 Setelah mengetahui pengertian anak secara umum, selanjutnya akan dibahas mengenai pengertian anak berkonflik dengan hukum, yang mengacu pada _____________ 66 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia: Teori, Praktik, Dan Permasalahannya, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 6. 67
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009), hal. 12. 68
Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang dalam Kumpulan Pidato Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006), hal. 7.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
28
istilah dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)69, di mana istilah ini telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menggantikan istilah anak nakal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Istilah kenakalan anak diambil dari istilah asing juvenile delinquency. Juvenile artinya young, anak-anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifatsifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.70 Istilah kenakalan anak itu sendiri pertama kali ditampilkan pada badan peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu undangundang peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku anti sosial.71 Beberapa ahli memberikan berbagai macam definisi tentang juvenile delinquency, antara lain seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Paul Moedikno, sebagaimana dikutip oleh Gatot Supramono, memberikan perumusan mengenai pengertian juvenile delinquency sebagai berikut : 1.
Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan lain sebagainya.
2.
Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana “jangki” tidak sopan, mode “you can see”, dan sebagainya.
_____________ 69
Badan Pembinaan Hukum Nasional, op. cit., hal. 13.
70
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 8-9.
71
Ibid., hal. 9.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
29
3.
Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.72 Romli Atmasasmita memberikan rumusan juvenile delinquency, yaitu
sebagai setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.73 Selain memberikan rumusan definisi tentang juvenile delinquency di atas, Romli Atmasasmita juga mengutip pendapat beberapa ahli mengenai juvenile delinquency sebagai berikut : 1.
Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan sebagai juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa, maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.
2.
R. Kusumanto Setyonegoro, mengemukakan pendapatnya, bahwa tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sangat akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delinquen, dan jika ia dewasa, maka tingkah laku ia seringkali disebut psikopatik, dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal.
3.
Tim Proyek juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, memberikan perumusan mengenai juvenile delinquency sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.74
_____________ 72
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 9.
73
Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, (Bandung: Armico, 1983), hal. 40.
74
Ibid., hal. 22-23.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
30
Kartini Kartono, mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai juvenile delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.75 Maud A. Merril sebagaimana dikutip oleh W. A. Gerungan, merumuskan juvenile delinquency sebagai berikut : “A child is classified as a delinquent when his anti social tendencies appear to be so grave that he become or ought to become the subject of official action. (seorang anak digolongkan anak delinquent apabila tampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya)”.76 Sementara Wagiati Soetodjo menyimpulkan, bahwa juvenile delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya.77 Di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak disebutkan, bahwa istilah anak nakal versi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, sebenarnya berbeda dengan istilah juvenile delinquency (kenakalan anak), sebab anak nakal dalam undang-undang tersebut didefinisikan sebagai : 1.
anak yang melakukan tindak pidana; atau
2.
anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.78
_____________ 75
Kartini Kartono, Pathologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 7.
76
W. A. Gerungan, Psikologi Sosial: Suatu Ringkasan, (Bandung: Eresco, 1996), hal. 199.
77
Wagiati Soetodjo, op. cit., hal. 11-12.
78
Badan Pembinaan Hukum Nasional, loc. cit.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
31
Jadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, mencampuradukkan dua pengertian yang sama sekali berbeda pendekatannya. Pertama, anak nakal didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana (crimes actor, dader). Perbuatan yang dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum pidana adalah perbuatan yang sesuai dengan asas legalitas, yakni perbuatan yang dilarang undang-undang. Kedua, anak nakal didefinisikan sebagai pelaku kenakalan (delinquency), yakni melakukan perbuatan selain tindak pidana (Straft baar feit, crimes), yang karenanya tidak terikat dengan asas legalitas.79 Oleh karenanya, perlu pemisahan yang tegas antara definisi anak nakal, dengan definisi pelaku kenakalan anak, sehingga seharusnya kualifikasi anak nakal hanya sebatas pada anak yang melakukan tindak pidana saja, dan tidak mencakup juga pelaku kenakalan anak. Hal ini dengan tepat telah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengkualifikasikan anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana sebagai anak yang berkonflik dengan hukum.80 Dengan dihilangkannya istilah anak nakal dan menggantikannya dengan istilah anak yang berkonflik dengan hukum, selain telah mengacu pada Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), hal tersebut juga dapat menghilangkan kerancuan dan kekhawatiran akan terjadinya kriminalisasi terhadap pelaku kenakalan (delinquency), sebagaimana terjadi pada UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.81 Pada saat membahas tentang pengertian anak dan batasan usia anak, telah diketahui mengenai beragamnya batasan usia anak di dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi secara yuridis mesti dibedakan antara batasan usia anak dengan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak (age of criminal responsibility). Menurut Maulana Hasan Wadong, pada hakekatnya batasan anak dalam kaitan hukum pidana meliputi dimensi sebagai berikut : _____________ 79
Ibid., hal. 13-14.
80
Lihat Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
81
Lihat Badan Pembinaan Hukum Nasional, op. cit., hal. 14-15.
Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
32
1.
Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.
2.
Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak.
3.
Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri,
4.
Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.
5.
Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.82 Di Indonesia, batasan usia pertanggungjawaban pidana anak telah diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menentukan usia pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah di bawah 16 tahun, dan tanpa menentukan batas usia minimum.83 Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang
dikategorikan
sebagai
seorang
anak
yang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban pidana adalah mereka yang sudah mencapai usia antara 8 tahun sampai dengan 18 tahun dan belum pernah kawin.84 Dalam alinea kedua Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebutkan bahwa batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak nakal untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabakan perbuatannya. Kendati demikian Nandang Sambas berpendapat, bahwa walaupun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak pengaturan masalah batas usia sudah mengalami kemajuan, namun menetapkan batas usia minimum 8 tahun secara kualitatif masih dirasakan terlalu rendah.85 Pada usia tersebut, anak-anak masih belum dapat memahami apa yang dilakukannya, belum _____________ 82
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 22. 83
Lihat Pasal 45 dan Pasal 72 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
84
Lihat Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
85
Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 87.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
33
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pelanggaran hukum yang dilakukannya adalah reaksi dari kondisi sosial dan individualnya, termasuk sebagai ekspresi dari problem transisi psikologis yang dialaminya, atau pun lebih sebagai kesalahan adaptasi anak terhadap situasi-situasi sulit atau tidak menyenangkan yang dihadapinya.86 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 1/PUU-VII/2010 kemudian merubah batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak menjadi sekurang-kurangnya 12 tahun. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka terhadap anak yang belum mencapai umur 12 tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, penyidik dapat menyerahkannya kembali kepada orang tua, wali, dan orang tua asuhnya, atau diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendengarkan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan apabila anak tersebut dianggap sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, dan orang tua asuhnya, tanpa diajukan ke sidang anak. Pada saat penyusunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, putusan Mahkamah Konstitusi di atas nampaknya menjadi salah satu acuan dari para pembuat undang-undang dalam menentukan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak. Pasal 1 Angka 3 undang-undang tersebut memberikan batas minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun bagi anak untuk diajukan ke sidang anak. Menurut Wagiati Soetodjo, adanya batasan usia pertanggungjawaban pidana anak menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak.87 Dalam
dokumen
internasional,
penerapan
batasan
usia
pertanggungjawaban pidana anak dapat dilihat antara lain di dalam : 1.
Task Force on Juvenile Delinquency Prevention, yang menentukan bahwa seyogianya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak
_____________ 86
Ibid., hal. 89.
87
Wagiati Soetodjo, op. cit., hal. 26.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
34
dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan terendah 10 tahun dan batas atas antara 16 tahun sampai 18 tahun. 2.
Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak yaitu antara 7 tahun sampai 18 tahun.
3.
Resolusi
PBB
45/113,
hanya
menentukan
batas
atas
bagi
pertanggungjawaban pidana anak yaitu 18 tahun.88 Mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak memang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Hal tersebut bergantung pada bagaimana suatu negara mendefinisikan tentang anak (juvenile) dan bagaimana mendefinisikan kenakalan (delinquency).89 Perbedaan tersebut seperti dapat dilihat berikut ini : 1.
Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8 – 17 tahun, sementara ada pula negara bagian lain menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun.
2.
Di Inggris, ditentukan batas umur antara 12 – 16 tahun.
3.
Di Australia, kebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun.
4.
Di Belanda, menentukan batas umur antara 12 – 18 tahun.
5.
Di Srilangka, menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun.
6.
Di Iran, menentukan batas umur antara 6 – 18 tahun.
7.
Di Jepang dan Korea, menentukan batas umur antara 14 – 20 tahun.
8.
Di Taiwan, menentukan batas umur antara 14 – 18 tahun.
9.
Di Kamboja, menentukan batas umur antara 15 – 18 tahun.
10.
Di negara-negara ASEAN lain, antara lain Philipina (antara 7 – 16 tahun), Malaysia (antara 7 – 18 tahun), Singapura (antara 7 – 18 tahun).90
_____________ 88 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency: Pemahaman Dan Penanggulangannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 8. 89
Nandang Sambas, op. cit., hal. 87.
90
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.
10-11.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
35
Sebagai
pembanding,
data
lain
mengenai
batas
minimum
usia
pertanggungjawaban pidana anak sebagaimana diungkapkan oleh Yayasan Pemantau Hak Anak dapat dilihat dalam tabel berikut :91 Tabel 1. Batas Usia Minimal Pertanggungjawaban Pidana Di Beberapa Negara. Nama Negara
Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal (Tahun)
Austria Belgia Denmark Inggris Finlandia Perancis Jerman Yunani Irlandia Itali Luxemburg Belanda Irlandia Utara Portugal Skotlandia Spanyol Swedia
14 18 15 10 15 13 14 12 7 14 18 12 8 16 8 16 15
Memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh negara-negara di dunia terkait perumusan tentang batasan usia kategori anak dalam kaitan dengan pertanggungjawaban pidana, menunjukkan bahwa sebagian besar mengatur usia minimum anak antara usia 7 dan 8 tahun, dan apabila dikaitkan dengan instrumen internasional
yang
mengatur
tentang
anak
dalam
kaitan
dengan
pertanggungjawaban pidana, Beijing Rules mengatur hal yang serupa, walaupun sebenarnya berapapun usia yang ditentukan sebagai batas minimal diserahkan kepada negara-negara di dunia yang disesuaikan dengan kondisi sosial kemasyarakatan negara yang bersangkutan.92 _____________ 91
Yayasan Pemantau Hak Anak, op. cit., hal. 20.
92
Nashriana, op. cit., hal. 10.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
36
2.2
PENGATURAN PENGADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA Mengenai masalah pengaturan pengadilan pidana anak di Indonesia ini
akan ditinjau semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hingga hadirnya UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang pengadilan pidana anak. Di dalam praktek pada masa itu, pengaturan mengenai pengadilan pidana anak hanya diatur sebatas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), ataupun Keputusan Menteri Kehakiman. Pada dasarnya sejak kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pengaturan mengenai pengadilan pidana anak diatur dalam ketentuan pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 9) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 (Lembaran Negara 1958 Nomor 127), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Di dalam praktek selanjutnya, pengaturan pengadilan pidana anak diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1959 tanggal 15 Februari 1959. SEMA tersebut pada pokoknya berisikan saran kepada seluruh hakim pengadilan negeri untuk memeriksa perkara anak-anak dengan pintu tertutup.93 Menurut Sri Widoyati Wiratmo Soekito, pemeriksaan dengan pintu tertutup ini bisa diartikan bahwa sidang hanya boleh dihadiri oleh orang-orang yang berkepentingan saja. Lebih lanjut menurutnya, sudah menjadi kebiasaan apabila hakim dan jaksa tidak memakai toga, dan di beberapa pengadilan negeri juga telah melakukan dan sudah mendengar pendapat social worker serta meminta kepadanya untuk dibuatkan social study mengenai anak dalam beberapa hal tertentu.94 _____________ 93 Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1959 tanggal 15 Februari 1959 Dalam Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia 1951-2003, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal. 35. 94
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, op. cit., hal. 14.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
37
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), semakin memperkuat ketentuan untuk melakukan pemeriksaan persidangan perkara anak dengan pintu tertutup,95 hal mana sebelumnya hanya diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Bahkan jika SEMA tersebut hanya bersifat saran atau himbauan, di dalam KUHAP ditentukan bahwa tidak dilaksanakannya ketentuan tersebut (melakukan pemeriksaan persidangan perkara anak dengan pintu tertutup) akan menyebabkan batalnya putusan demi hukum.96 Sehubungan dengan pengadilan pidana anak, Menteri Kehakiman juga mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI tahun 1983 Nomor M.06UM.01.06 Tentang Tata Tertib Persidangan Dan Tata Ruang Sidang, yang mana dalam ketentuan pasal 10, 11, dan 12 pada pokoknya menentukan bahwa sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu dilakukan secara majelis. Sidang dilakukan dengan pintu tertutup, serta putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum bersidang tanpa toga, dan pada sidang anak diharapkan kehadiran orang tua/wali/pengasuhnya, serta adanya laporan sosial anak yang bersangkutan. Pengaturan yang sedemikian minim mengenai pengadilan pidana anak mengakibatkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa penanganan perkara pidana yang pelakunya masih tergolong anak-anak hampir tidak ada bedanya dengan perkara yang tersangka atau terdakwanya adalah orang dewasa.97 Penanganan perkara pidana yang pelakunya masih anak-anak yang hampir tidak ada bedanya dengan penanganan perkara orang dewasa adalah tidak tepat, karena tata cara penanganan perkara yang demikian tentunya akan banyak menimbulkan kerugian bagi kepentingan si anak yang bersangkutan. _____________ 95
Lihat Pasal 153 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). 96
Lihat Pasal 153 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). 97
Menurut Bagir Manan, di lapangan hukum pidana, anak-anak diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”, sehingga seluruh proses perkaranya – kecuali di lembaga pemasyarakatan – dilakukan sama dengan perkara orang dewasa. Keadaan dan kepentingan anak sebagai anak-anak (orang belum dewasa) kadang-kadang sedemikian rupa diabaikan tanpa ada perlakuan-perlakuan yang khusus. Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Gatot Supramono, op. cit., hal. 10.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
38
Dasar untuk melindungi kepentingan anak-anak itulah yang melandasi lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Seperti yang disampaikan oleh pemerintah dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Tanggal 1 Maret 1996, pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penyusunan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak adalah : 1.
Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak disusun dengan dasar pemikiran bahwa anak merupakan bagian dari generasi muda yang merupakan aset bangsa.
2.
Peradilan anak meliputi semua aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menurut analisis sejarah, bahwa keterlibatan pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarganya ditujukan kepada upaya penanggulangan keadaan yang buruk sehubungan dengan perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak, penelantaran anak, dan eksploitasi terhadap anak.
3.
Di Indonesia, secara sosiologis perhatian terhadap anak sebenarnya sejak lama diberikan. Hal ini terbukti dari berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun badan-badan sosial.
4.
Secara yuridis, pemberian perlindungan hak-hak anak oleh dunia internasional telah dimulai sejak Deklarasi PBB Tahun 1959 Tentang HakHak Anak, dan terakhir Konvensi Hak Anak (Convention of the Right of the Child) Tahun 1989, yang selanjutnya dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 Tanggal 25 Desember 1989.98 Ketika Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak akhirnya disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, latar belakang lahirnya undang-undang tersebut dapat dilihat dalam konsiderannya, yang antara lain menyebutkan : 1.
Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat
_____________ 98
Lihat Keterangan Pemerintah Di Hadapan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Peradilan Anak Tanggal 1 Maret 1996.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
39
sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. 2.
Bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan, maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Dengan melihat latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak tersebut, tampak bahwa sesungguhnya kita hendak mewujudkan sebuah penanganan terhadap perkara anak yang terlibat tindak pidana yang lebih baik daripada yang terdahulu, dan penanganannya memperhatikan kepentingan anak, sehingga anak yang terkena kasus tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.99 Namun demikian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang dianggap telah cukup melindungi kepentingan anak juga tetap tidak luput dari kritik, seperti yang diungkapakan Darwan Prinst yang berpendapat bahwa rancangan undang-undang (RUU) yang tadinya berjudul RUU Peradilan Anak, yang setelah menjadi undang-undang berubah menjadi UndangUndang Pengadilan Anak, menyebabkan undang-undang ini hanya mengatur mengenai acara sidang pengadilan anak nakal. Sementara acara sidang untuk anak terlantar, perkara perwalian, dan perkara anak sipil tidak diatur dalam undangundang tersebut. Padahal masalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum di Indonesia. Oleh karena itu, pengeluaran masalah tersebut dari materi undangundang sangat merugikan dari segi perlindungan hukum terhadap anak.100 Dalam perkembangan selanjutnya setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, undang-undang ini dianggap masih memerlukan penyempurnaan terutama dalam hal pelaksanaannya. Hal ini terkait dengan dasar pertimbangan sosiologis dan yuridis, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang _____________ 99
Gatot Supramono, op. cit., hal. 12.
100
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 11.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
40
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.101 Di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, disebutkan bahwa diperlukan dasar pemikiran untuk merumuskan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan pemikiran yang diperlukan dalam menyusun materi Rancangan Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak, yang terdiri atas dasar filosofis, dasar sosiologis, dasar yuridis, dan dasar psikopolitik masyarakat. 1.
Dasar Filosofis102 Dasar filosofis adalah pandangan hidup Bangsa Indonesia dalam
berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. 2.
Dasar Sosiologis103 Perwujudan
pelaksanaan
lembaga
peradilan
pidana
anak
dapat
menguntungkan atau merugikan mental, fisik, dan sosial anak. Tindak pidana anak dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat dibandingkan dengan tindak pidana lain. Nyaris semua tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dilakukan pula oleh anak-anak. Berbagai faktor penyebabnya adalah keadaan sosial ekonomi yang kurang kondusif, pengaruh globalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi, hiburan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perubahan gaya hidup. Selain hal tersebut, masalah ini disebabkan pula oleh faktor intern keluarga seperti kurang perhatian, kasih sayang dan pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh terhadap anak, sehingga mudah terpengaruh oleh pergaulan yang negatif di lingkungan masyarakat. 3.
Dasar Yuridis104 Menurut teori, hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai
dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, _____________ 101
Badan Pembinaan Hukum Nasional, op. cit., hal. 3.
102
Ibid., hal. 7.
103
Ibid., hal. 8.
104
Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
41
menjamin keamanan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum. Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini dijabarkan dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 4.
Dasar Psikopolitik Masyarakat105 Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam masyarakat
mengenai tingkat penerimaan (acceptance) atau tingkat penolakan (resistence) terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan anak, baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam proses interaksi anak dengan lingkungannya, di mana anak belum mampu secara dewasa menyikapinya. Paradigma ini yang harus ditanamkan bagi masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam menghadapi anak yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan produk hukum akan membangun acceptance dan diharapkan mampu mereduksi serendah mungkin tingkat resistensinya, sehingga akan menjadi produk hukum yang ideal. Keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukannya menjadi faktor penyeimbang dengan komponen pembuat produk hukum lainnya. Keempat dasar pemikiran yang telah diuraikan di atas kemudian dijabarkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di mana disebutkan bahwa UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun dalam pelaksanaannya _____________ 105
Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
42
anak diposisikan sebagai obyek, dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komperhensif memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.106 Beberapa substansi baru terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain mengenai restorative justice dan diversi. Restorative justice dan diversi adalah upaya penyelesaian di luar jalur peradilan yang pertama harus dilakukan oleh penegak hukum, keluarga, dan masyarakat dalam penyelesaian perkara anak. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menghindari penyelesaian melalui jalur formil atau berdasarkan putusan hakim.107 Penerapan restorative justice diarahkan untuk memulihkan anak dari dampak
yang
buruk
atas
peradilan
dan
penempatan
dalam
lembaga
pemasyarakatan. Penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan korban dan partisipasi masyarakat serta keluarga anak.108 Pengaturan mengenai diversi dimaksudkan antara lain untuk menghindari atau menjauhkan anak dari proses peradilan. Hal ini antara lain bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosialnya secara wajar, oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut.109 _____________ 106
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. 107
Lihat Badan Pembinaan Hukum Nasional, op. cit., hal. 5.
108
Ibid.
109
Ibid., hal. 3. Dalam Naskah Akademik RUU Pengadilan Anak disebutkan bahwa diversi dapat dilakukan mulai tahap penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan oleh hakim. Lihat ibid., hal. 5.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
43
Proses restorative justice dan diversi harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun bagi korban. Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.110 Salah satu substansi baru lainnya yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah mengenai pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus. Seperti telah disinggung pada bab terdahulu, sebelum berlakunya ketentuan Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimanakah pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus. Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa. Sedangkan untuk ancaman pidana minimum khusus tidak diatur tata cara penjatuhan putusannya. Mengingat cukup kompleksnya beberapa perubahan substansi di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini, maka pemberlakuan undang-undang ini baru akan dilakukan setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya, yaitu pada sekitar tanggal 30 Juli 2014 yang akan datang.111 _____________ 110
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. 111
Lihat Pasal 108 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
44
2.3
SANKSI PIDANA BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM Berbicara mengenai sanksi pidana, maka berarti kita akan membicarakan
mengenai masalah hukuman. Beberapa pendapat mengidentikkan hukuman dengan istilah pidana. Namun menurut Andi Hamzah, perlu dipisahkan pengertian kedua istilah tersebut. Menurutnya, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan, atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.112 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengaturan pidana ini tercantum di dalam ketentuan Pasal 10, di mana dibedakan menjadi dua macam pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barangbarang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, sanksi hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam ketentuan Pasal 45 dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan dua ketentuan tersebut, terdapat tiga alternatif penjatuhan sanksi hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana, yaitu : 1.
Dikembalikan kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya; atau
2.
diserahkan kepada negara untuk mendapatkan pendidikan dari negara; atau
3.
dijatuhi hukuman dengan ancaman hukuman dikurangi sepertiga dari ancaman maksimalnya. Pasal 47 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga
menentukan bahwa dalam hal kejahatan yang dilakukan oleh anak tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka anak tersebut dapat dipidana penjara maksimal selama 15 ( lima belas ) tahun. _____________ 112
Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993),
hal. 1.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
45
Sedangkan dalam Ayat (3)-nya disebutkan bahwa hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim tidak dapat dijatuhkan bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), apabila hakim akan menjatuhkan pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana, maka yang dapat dijatuhkan hanyalah berupa : 1.
Pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.
2.
Pidana kurungan.
3.
Pidana denda dengan pidana pengganti berupa pidana kurungan.
4.
Pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, pengaturan mengenai sanksi hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam bab III undang-undang tersebut, yang mengatur tentang pidana dan tindakan. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, anak yang melakukan tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, disebut dengan istilah anak nakal.113 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang ini, di mana menurut ketentuan Pasal 23 undang-undang tersebut, pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah : 1.
Pidana penjara;
2.
Pidana kurungan;
3.
Pidana denda;
4.
Pidana pengawasan.
_____________ 113
Lihat Pasal 1 Angka 2 a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
46
Selain Pidana pokok sebagaimana disebutkan di atas, terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu, dan/atau pembayaran ganti rugi. Sedangkan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah : 1.
Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
2.
Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;
3.
Menyerahkan
kepada
Departemen
Sosial,
atau
organisasi
sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan pidana ataupun tindakan, sedangkan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, maka hakim hanya diperbolehkan untuk menjatuhkan tindakan.114 Penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara, kurungan, dan denda bagi anak nakal harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut : 1.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.115
2.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun.116
3.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.117
_____________ 114
Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
115
Lihat Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
116
Lihat Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
117
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
47
4.
Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.118 Ketentuan Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (6) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak juga memberikan kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak nakal, dengan ketentuan apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, dan dengan waktu masa pidana bersyarat paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan mengenai pidana pengawasan diatur di dalam ketentuan Pasal 30 Ayat (1), dengan lamanya pidana pengawasan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Secara resmi, penggunaan istilah anak yang berkonflik dengan hukum digunakan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak119 yang telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, dan akan
efektif
diberlakukan
setelah
dua
tahun
terhitung
sejak
tanggal
diundangkan.120 Pengaturan mengenai pidana dan tindakan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tertuang di dalam bab V, yang terdiri atas 15 pasal (Pasal 69 sampai dengan Pasal 83). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu pidana pokok, dan pidana tambahan. Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membagi pidana pokok bagi anak yang berkonflik dengan hukum ke dalam : a.
Pidana peringatan;
b.
pidana dengan syarat : (1)
pembinaan di luar lembaga;
(2)
pelayanan masyarakat; atau
_____________ 118
Lihat Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
119
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 120
Lihat Pasal 108 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
48
(3)
pengawasan.
c.
pelatihan kerja;
d.
pembinaan dalam lembaga; dan
e.
penjara. Sedangkan pidana tambahan diatur di dalam Pasal 71 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang terdiri dari : a.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b.
pemenuhan kewajiban adat. Jika di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak, pidana denda masih masuk ke dalam jenis pidana pokok, di dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak ditemukan lagi adanya pidana denda sebagi jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagai gantinya, Pasal 71 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur apabila dalam hukum materiil terdapat ancaman pidana kumulatif berupa penjara dan denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Jadi perbedaannya adalah jika di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pelatihan kerja menjadi pidana pengganti (subsidair) apabila pidana denda tidak dibayar, maka di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pelatihan kerja secara otomatis akan dijatuhkan apabila secara kumulatif di dalam hukum materiil yang dinyatakan terbukti, terdapat ancaman pidana penjara dan pidana denda. Apabila hakim akan menjatuhkan pidana pokok berupa pidana penjara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, maka harus diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Pidana penjara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya digunakan sebagai upaya terakhir.121
2.
Pidana penjara diberlakukan dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan
_____________ 121
Lihat Pasal 81 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
49
kekerasan, atau apabila keadaan dan perbuatannya akan membahayakan masyarakat.122 3.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 123
4.
Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 124
5.
Jika tindak pidana yang dilakukan anak yang berkonflik dengan hukum merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 125 Sementara mengenai tindakan yang dapat dikenakan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum diatur di dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi : a.
pengembalian kepada orang tua/wali;
b.
penyerahan kepada seseorang;
c.
perawatan di rumah sakit jiwa;
d.
perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial);
e.
kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f.
pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g.
perbaikan akibat tindak pidana. Dalam menjatuhkan tindakan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, maka hakim harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : _____________ 122
Lihat Pasal 79 Ayat (1) dan Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 123
Lihat Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. 124
Lihat Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. 125
Lihat Pasal 81 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
50
1.
Anak yang berkonflik dengan hukum yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.126
2.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. 127
3.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh penuntut umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. 128 Untuk melihat perbedaan sanksi pidana bagi anak yang berkonflik dengan
hukum yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dapat dilihat di dalam tabel berikut ini : Tabel 2. Perbedaan Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum. KUHP Pidana pokok : 1. Pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun. 2. Pidana kurungan. 3. Pidana denda dengan pidana pengganti berupa pidana kurungan.
UU. NOMOR 3 TAHUN 1997
UU. NOMOR 11 TAHUN 2012
Pidana pokok : Pidana pokok : 1. Pidana penjara 1. Pidana peringatan. maksimal 10 2. Pidana dengan (sepuluh tahun). syarat : 2. Pidana kurungan. a. pembinaan di luar 3. Pidana denda dengan lembaga; pengganti berupa b. pelayanan pelatihan kerja. masyarakat; atau 4. Pidana pengawasan. c. pengawasan. 3. Pelatihan kerja. 4. Pembinaan dalam lembaga; dan 5. Penjara maksimal 10 (sepuluh tahun).
_____________ 126
Lihat Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. 127
Lihat Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. 128
Lihat Pasal 82 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
51
Pidana tambahan : Pidana tambahan : Pidana tambahan : 1. Perampasan barang- 1. Perampasan barang- 1. Perampasan barang tertentu. barang tertentu; keuntungan yang dan/atau diperoleh dari tindak 2. Pembayaran ganti pidana; atau rugi. 2. Pemenuhan kewajiban adat. Tindakan : Tindakan : Tindakan : 1. Dikembalikan kepada 1. Mengembalikan 1. Pengembalian kepada orang tua, wali, atau kepada orang tua, orang tua/wali. pemeliharanya; atau wali, atau orang tua 2. Penyerahan kepada 2. Diserahkan kepada asuh. seseorang. negara untuk 2. Menyerahkan kepada 3. Perawatan di rumah mendapatkan negara untuk sakit jiwa. pendidikan dari mengikuti 4. Perawatan di LPKS negara. pendidikan, (Lembaga pembinaan, dan Penyelenggaraan Kesejahteraan latihan kerja. Sosial). 3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, 5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal atau organisasi sosial kemasyarakatan yang dan/atau pelatihan yang diadakan oleh bergerak di bidang pemerintah atau pendidikan, badan swasta. pembinaan, dan latihan kerja. 6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 7. Perbaikan akibat tindak pidana. Pidana denda termasuk dalam pidana pokok dengan pidana pengganti berupa pidana kurungan.
Pidana denda termasuk dalam pidana pokok dengan pengganti berupa pelatihan kerja.
Tidak ada pidana denda. Apabila dalam hukum materiil terdapat ancaman pidana kumulatif berupa penjara dan denda, maka pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
BAB 3 ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS DAN PENEMUAN HUKUM DI DALAM PUTUSAN HAKIM
3.1
LATAR
BELAKANG
PEMIKIRAN
DIANUTNYA
ANCAMAN
PIDANA MINIMUM KHUSUS DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau.129 Upaya manusia untuk memperbaharui segala hal demi meningkatkan kesejahteraannya, banyak dijumpai dalam negara yang sedang membangun. Menurut Mardjono Reksodiputro dari sekian banyak isu sosial yang mendesak dalam negara yang sedang membangun, salah satunya adalah masalah penyimpangan sosial. Sering dikatakan bahwa penyimpangan sosial itu merupakan salah satu akibat yang harus diterima oleh masyarakat yang sedang membangun, masyarakat yang sedang mengalami transformasi ke arah masyarakat modern.130 Dalam lingkup hukum pidana, salah satu bentuk penyimpangan tersebut adalah berupa pelanggaran atas aturan-aturan hukum pidana yang disebut sebagai kejahatan. Pelanggaran atas aturan-aturan hukum pidana (kejahatan) adalah salah satu bentuk tingkah laku manusia. Tingkah laku individu ditentukan oleh sikapnya (attitude) dalam menghadapi suatu situasi tertentu. Sikap ini dibentuk oleh kesadaran subyektifnya akan nilai dan norma dari masyarakat atau kelompoknya. _____________ 129 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 1. 130
Lihat Mardjono Reksodiputro, Krimonologi Dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal. 39.
52
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
53
Nilai dan norma mana diterima oleh si individu dari kebudayaan di mana ia dibesarkan.131 Untuk menghadapi tingkah laku menyimpang manusia yang melakukan pelanggaran atas aturan-aturan hukum pidana (kejahatan), pemidanaan sebagai salah satu bagian dalam hukum pidana memperlihatkan arti pentingnya. Menurut Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, karena sanksi berupa pidana itu adalah suatu derita atau rasa sakit yang harus diberikan kepada pelaku kejahatan, oleh karena itu fungsi dari hukum pidana dengan sanksi pidana sangat diperlukan. Kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera, serta untuk menghadapi ancaman dari bahaya.132 Tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu hingga sekarang telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam, baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan.133 Sedangkan yang dipandang sebagai tujuan yang berlaku sekarang, merupakan variasi dari bentuk-bentuk : 1.
penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat;
2.
perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat;
3.
perbaikan (reformasi) kepada penjahat.134 Berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang garis besarnya telah disebutkan
di atas, maka muncul teori-teori mengenai hal tersebut. Pada umumnya secara tradisional, para ahli membagi teori-teori pemidanaan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu :
_____________ 131
Ibid., hal. 1-2.
132
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Ke Mana, (Jakarta: Indhill Co, 2007), hal. 32. 133
Andi Hamzah, op. cit., hal. 24.
134
Ibid., hal. 25. Menurut Andi Hamzah dengan mengutip Phillip O. Hood, bentuk ketiga merupakan yang paling modern dan populer dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan, tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
54
1.
Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).
2.
Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).
3.
Teori gabungan (verenigings theorieen). Teori absolut atau pembalasan merupakan teori pertama yang muncul
mengenai pemidanaan. Teori ini dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo Polak. Menurut teori ini, pemidanaan dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang. Dalam pandangan Johannes Andenaes sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice).
Sedangkan
pengaruh-pengaruhnya
yang
menguntungkan
adalah
sekunder.135 Jadi menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam teori absolut, pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.136 Sementara Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Djisman Samosir, memberikan komentar mengenai teori pembalasan sebagai berikut : “Pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.137 Teori kedua dalam teori pemidanaan adalah teori relatif atau teori tujuan. Teori ini lahir sebagai reaksi atas teori absolut. Menurut Djisman Samosir, secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi juga untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk _____________ 135
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, op. cit., hal. 11. Bandingkan dengan Immanuel Kant yang memandang pidana sebagai “kategorische imperatief”, yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid). Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 11-12. 136
Ibid., hal. 10-11.
137
Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1992), hal. 9.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
55
mempertahankan ketertiban umum. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.138 Salah satu teori yang sering dikaitkan dengan pandangan utilitarian (teori relatif/tujuan) adalah teori deterrence. Menurut pandangan ini, ada tujuan lain yang lebih bermanfaat daripada sekedar pembalasan, yaitu tujuan lain yang lebih bermanfaat.139 Tokoh utilitarian Jeremy Bentham, sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief mengungkapkan, bahwa ia dapat menerima pidana yang berat karena pengaruhnya yang bersifat memperbaiki (reforming effect). Tetapi ia mengakui bahwa pidana berat harus diterima oleh rakyat sebelum diberlakukan atau diefektifkan. Hukum pidana jangan digunakan sebagai pembalasan terhadap si penjahat, tetapi hanya untuk tujuan mencegah kejahatan.140 Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, dapat dibedakan menjadi general deterrence (prevensi umum) dan special deterrence (prevensi khusus). Menurut Utrecht, prevensi umum (general deterrence) bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar.141 Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai masa Revolusi Perancis, dengan jalan menakutkan orang lain melalui cara mempertontonkan pelaksanaan pidana. Cara tersebut memperkenalkan adagium latin nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccetur (supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas, dan pelaksanaannya di depan umum).142 Sementara itu, dalam prevensi khusus (special deterrence), pengaruh pidana lebih dititikberatkan pada si terpidana. Pencegahan kejahatan itu ingin _____________ 138
Ibid., hal. 11-12.
139
Lihat Eva Achjani Zulfa, op. cit., hal. 54.
140
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, op. cit., hal. 31. Bentham mengemukakan bahwa tujuan-tujuan dari pidana adalah : mencegah semua pelanggaran (to prevent all offenses); mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offenses); menekan kejahatan (to keep down mischief); dan menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense). Lihat ibid. 141
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Penerbitan Universitas Jakarta, 1958), hal. 157. Bandingkan dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief yang mengatakan bahwa prevensi general (umum) dimaksudkan untuk memberikan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, op. cit., hal. 18. 142
Andi Hamzah, op. cit., hal. 30.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
56
dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.143 Salah satu bentuk prevensi khusus (special deterrence) adalah konsep (teori) rehabilitasi. Teori ini beranggapan bahwa pemidanaan merupakan jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat.144 Menurut Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, dalam pelaksanaan pidana seseorang itu ditempatkan dalam satu tempat tertentu sebagai bentuk pembatasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan agar dapat berperilaku sewajarnya dan pantas, dengan menanamkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan kata lain seseorang yang dijatuhi hukuman itu sebenarnya hendak direhabilitasi perilakunya.145 Sementara
menurut
Tongat,
pandangan
teori
rehabilitasi
yang
menghendaki adanya pengasingan, bahkan pengisolasian pelaku tindak pidana bertujuan mempermudah rehabilitasi, dengan maksud agar terpidana dapat mengubah kepribadiannya sehingga tidak lagi mempunyai kepribadian yang jahat, tetapi menjadi orang yang baik.146 Dalam teori yang ketiga, yaitu teori gabungan, terjadi suatu kombinasi antara teori absolut atau pembalasan dengan teori relatif atau teori tujuan. Menurut teori gabungan, tujuan pidana selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.147 Pallegrino Rossi bisa dikatakan sebagai orang pertama yang mengenalkan teori gabungan, sebagaimana diungkapkan oleh J. M. van Bemmelen berikut ini : “Penulis yang pertama-tama dengan jelas sekali mempropagandakan teori gabungan ialah Pallegrino Rossi (1787-1848) dalam bukunya Traite de Droit Penal pada tahun 1828. Menurut pendapatnya, pembenaran pidana _____________ 143
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, loc. cit.
144
Sholehuddin, op. cit., hal. 44.
145
Lihat Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, op. cit., hal. 20-21.
146
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 44. 147
Djisman Samosir, op. cit., hal. 13.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
57
terletak pada pembalasan. Hanya ‘yang salah’ boleh dipidana; pidana itu sesuai dengan delik yang dilakukan. ..... hukum ..... harus menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang bersalah, dan beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya pelanggaran, terhadap mana dilakukan tuntutan”.148 Dalam hukum pidana Indonesia, tujuan pemidanaan tidak didefinisikan secara khusus dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tujuan pemidanaan telah diatur dalam ketentuan Pasal 54, yang selengkapnya berbunyi :149 (1)
Pemidanaan bertujuan : a.
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
b. c. d. (2)
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Penjelasan pasal tersebut menyatakan :150 Ayat (1) Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Ayat (2) Meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.
_____________ 148
J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1984), hal. 29. 149
Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun
2010. 150
Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
58
Seperti yang telah diuraikan dalam kerangka konseptual pada bab I, ketentuan Pasal 12 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur tentang minimum umum pidana penjara selama 1 (satu) hari dianggap sudah tidak memadai lagi, sehingga dalam rangka pembaharuan hukum pidana, diperlukan adanya sanksi pidana yang bersifat minimum khusus. Menurut Mardjono Reksodiputro, konsep pidana minimum khusus ini berasal dari Amerika Serikat, di mana pada saat itu pidana penjara yang harus dijalani seorang terpidana di lembaga pemasyarakatan di Amerika Serikat tidak terbatas waktunya (indertimenate sentence), sehingga menimbulkan disparitas dan ketidakpastian. Untuk itulah di beberapa negara bagian di Amerika Serikat kemudian diperkenalkan konsep pidana minimum khusus ini. Di Indonesia sendiri, konsep pidana minimum khusus pertama kali diperkenalkan dalam Rancangan KUHP Nasional pada tahun 1993, dan terbatas hanya untuk tindak pidana perkosaan saja, karena dianggap sangat meresahkan masyarakat, di samping juga karena sering terjadinya disparitas pidana bagi pelakunya.151 Mengenai disparitas pidana, dijelaskan oleh Muladi bahwa disparitas pidana akan mempunyai dampak yang dalam, karena di dalamnya terkandung pertimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana. Disparitas pidana akan berakibat fatal apabila dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana yang telah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan pidana yang dikenakan kepada orang lain, akan merasa menjadi korban dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan. Pada perkembangannya, narapidana tersebut akan menjadi orang yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai dalam tujuan pemidanaan. Dari sini akan tampak persoalan yang berat, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum, dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.152 _____________ 151 Seperti diutarakan oleh Mardjono Reksodiputro pada saat pelaksanaan ujian tesis di Kampus Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Salemba Jakarta pada tanggal 09 Januari 2013. 152
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 120.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
59
Sementara itu, Andi Hamzah juga mencoba untuk mengaitkan antara disparitas pidana dengan pidana minimum khusus. Menurutnya, berhubung karena bermacam-macamnya pidana dan tindakan yang tercantum dalam KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP sering pula merupakan alternatif dalam satu pasal, di samping tidak adanya minimum khusus dalam tiap-tiap pidana yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut sebagaimana halnya di Amerika Serikat, maka hakim di Indonesia mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam menentukan beratnya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Akibat dari ketentuan semacam ini, kadang-kadang dua delik yang sama, misalnya pembunuhan, dipidana sangat berbeda. Yang satu misalnya lima tahun penjara, sedangkan yang lain sepuluh tahun penjara. Di sinilah letak kelebihan jika dicantumkan minimum pidana dalam setiap pasal undang-undang pidana.153 Kekhawatiran yang cukup besar terhadap disparitas pidana, khususnya terhadap delik-delik tertentu, membuat dirasa perlu untuk memperberat ancaman pidana, bahkan dengan disertai ancaman pidana minimum khusus.154 Mengenai pentingnya pidana minimum khusus terhadap delik-delik tertentu, Barda Nawawi Arief mengemukakannya sebagai berikut : “Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu perkecualian, yaitu untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat, dan delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) : sebagai ukuran kuantitaif adalah delik-delik yang diancam pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun (sampai pidana mati) sajalah yang dapat dikenakan minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan ‘sangat serius’, namun dalam hal-hal tertentu patokan itu dapat diturunkan pada delik-delik yang tergolong ‘berat’ {yaitu yang diancam 4 (empat) s.d. 7 (tujuh) tahun penjara}”.155
_____________ 153
Andi Hamzah, op. cit., hal. 5-6.
154
Menurut Loebby Lokman beberapa kejahatan karena sifatnya yang sangat tercela, maka ancaman hukumannya (harus) diperberat oleh pembentuk undang-undang, yaitu perilaku yang mengakibatkan terjadinya kegoncangan dalam masyarakat, seperti penganiayaan, kejahatan terhadap jiwa dan raga, maupun kebebasan manusia. Loebby Loqman, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Datacom, 2002), hal. 18. Lebih lanjut Muladi mengemukakan, dengan memperhitungkan berbagai kepentingan yang terkait dalam penegakkan hukum pidana, maka nampak adanya kecenderungan-kecenderungan internasional, yang salah satunya adalah dengan mengembangkan sanksi (pidana) minimum khusus untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, Dan Sistem Peradilan Pidana, op. cit., hal. 154. 155
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hal. 128.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
60
Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, penerapan pidana minimum khusus diharapkan lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general (umum), di mana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa pencegahan umum terhadap pelaku tindak pidana mempunyai arti bahwa penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan dimaksudkan agar orangorang lain tercegah untuk melakukan kejahatan.156 Sementara menurut Eva Achjani Zulfa, penjatuhan hukuman, di samping merupakan mekanisme yang harus dibuat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana serupa di kemudian hari, penjatuhan hukuman juga bisa menjadi sarana pencegahan bagi mereka yang berpotensi sebagai calon pelaku untuk berfikir bila akan melakukan suatu tindak pidana.157 Dari kedua uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan antara pidana minimum khusus dengan tujuan pemidanaan terletak pada upaya untuk mencegah pelaku tindak pidana untuk mengulangi melakukan tindak pidana (yang serupa) di kemudian hari, sekaligus sebagai upaya untuk mencegah orang lain (terutama mereka yang berpotensi sebagai calon pelaku) untuk melakukan kejahatan. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat beberapa ketentuan pidana yang mencantumkan ancaman pidana minimum khusus, baik yang hingga sekarang masih berlaku, maupun yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Di antaranya yaitu : UU. No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan UU. No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika jo. UU. No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; UU. No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari KKN; UU. No. 31 Tahun 1999 jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU. No. 15 Tahun 2002 jo. UU. No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; UU. No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; UU. No. 15. Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU. No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; UU. No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan lain sebagainya. _____________ 156
Lihat Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, op. cit., hal. 81-83
157
Lihat Eva Achjani Zulfa, op. cit., hal. 55.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
61
Dari rincian di atas, terlihat bahwa dimuatnya ancaman pidana minimum khusus dalam ketentuan pidana pada suatu undang-undang telah menjadi sebuah trend bagi pembuat undang-undang. Padahal dari berbagai undang-undang yang telah disebutkan di atas, menyangkut rumusan pidana minimum khusus, tampak adanya ketidakseragaman dan ketidaksebandingan/ketidaksetaraan, khususnya dalam hal-hal sebagai berikut :158 1.
Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat mulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun), dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan.159 Demikian juga untuk pidana kurungan ada yang menggunakan ukuran tahun, dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan.160 Untuk pidana denda, ada yang menggunakan ukuran jutaan Rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran miliaran Rupiah.161
2.
Tidak ada keseragaman rentang – kisaran untuk pidana penjara minimum khususnya.162 Demikian juga dengan pidana kurungan minimum khusus dan pidana denda minimum khusus.163 Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidan penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan
_____________ 158
Lihat Aminal Umam, Ide Dasar Sistem Pidana Minimum Khusus Dan Implementasinya, Dalam Varia Peradilan Tahun XXIV No. 279 Februari 2009, hal. 66-67. 159
Ada 2 (dua) undang-undang yang berkaitan dengan pemilu (UU. No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD dan UU. No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden yang sudah menentukan pidana penjara minimum khusus (yaitu 15 hari) ketika ancaman pidana maksimum khususnya 3 (tiga) bulan. Lihat ibid., hal. 66. 160
Pasal 65 UU. No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia menetapkan pidana kurungan maksimum khusus 3 (tiga) bulan sebagai tolok ukur (mulai) mengenakan pidana kurungan minimum khusus selama 1 (satu) bulan. Lihat ibid. 161
Di antara beberapa undang-undang tersebut di atas, pidana denda minimum khusus terendah antara lain diatur dalam UU. No. 12 Tahun 2003, UU. No. 23 Tahun 2003, dan UU. No. 32 Tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu Rupiah), sedangkan pidana denda minimum khusus tertinggi diatur dalam UU. No. 5 Tahun 1999 sebesar Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar Rupiah). Lihat ibid. 162 Setidaknya rentang – kisarannya sangat jauh/panjang. Secara umum dapat dikatakan bahwa kisaran pidana penajara minimum khusus untuk UU. khusus di luar KUHP tersebut adalah antara 15 (lima belas) hari sampai dengan 10 (sepuluh) tahun. Bandingkan dengan RUU KUHP 2005 yang menentukan kisaran pidana penjara minimum khususnya adalah antara 1 (satu) tahun hingga 5 (lima) tahun. Lihat ibid., hal. 67. 163 Kisaran pidana denda minimum khusus untuk beberapa UU. khusus di luar KUHP tersebut adalah antara Rp. 100.000,- (seratus ribu Rupiah) hingga Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar Rupiah). Lihat ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
62
bahwa delik-delik tersebut merupakan delik yang sangat membahayakan/ meresahkan masyarakat, dan atau delik-delik yang dikwalifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte). 3.
Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda. Berdasarkan hal-hal di atas, terlihat bahwa pencantuman ancaman pidana
minimum khusus di dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan latar belakang pemikiran dianutnya pola minimum khusus, yaitu hanya untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan disparitas pidana dan dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat. Penerapan konsep pola minimum khusus yang telah coba disesuaikan dengan latar belakang pemikiran dianutnya ancaman pidana minimum khusus di atas ada di dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam rapat Tim Pengkajian pada bulan April 1989, disepakati pola minimum yang berkisar antara 1 (satu) tahun – 7 (tujuh) tahun, dengan penyebaran sebagai berikut :164 Tabel 3. Pola Minimum Khusus 1 – 7 Tahun Dalam Rancangan KUHP. NO. 1. 2.
GOLONGAN “ Berat ” “ Sangat Berat “
ANCAMAN MAKSIMUM
ANCAMAN MINIMUM
4 s.d. 7 Tahun
1 – 2 Tahun
7 s.d. 10 Tahun
2 – 3 Tahun
12 s.d. 15 Tahun
4 – 5 Tahun
Mati/Seumur Hidup/20 Tahun
6 – 7 Tahun
Pola minimum khusus di atas dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi antara 1 (satu) s.d. 5 (lima) tahun dengan kategori sebagai berikut :165 _____________ 164
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hal. 129.
165
Ibid., hal. 159.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
63
Tabel 4. Pola Minimum Khusus 1 – 5 Tahun Dalam Rancangan KUHP. NO.
KATEGORI DELIK
ANCAMAN MAKSIMUM
ANCAMAN MINIMUM
1.
“ Berat ”
4 s.d. 7 Tahun
1 Tahun
2.
“ Sangat Serius “
7 s.d. 10 Tahun
2 Tahun
12 s.d. 15 Tahun
3 Tahun
Mati/Seumur Hidup
5 Tahun
Dari pola di atas terlihat, bahwa penentuan “minimum khusus” didasarkan atau dibedakan menurut ancaman maksimum khusus untuk delik yang bersangkutan. Ini hanya sekedar patokan obyektif atau patokan formal. Tidak setiap delik yang termasuk dalam kategori seperti di atas harus diberi “minimum khusus”. Dalam menetapkan minimum khusus perlu dipertimbangkan akibat dari delik yang bersangkutan terhadap masyarakat luas (antara lain : menimbulkan bahaya/keresahan
umum,
bahaya
bagi
nyawa/kesehatan/lingkungan,
atau
menimbulkan akibat mati), atau faktor pengulangan tindak pidana (recidive). Pada umumnya delik-delik yang “sangat serius” sajalah yang diberi ancaman minimum khusus. Catatan lain yang perlu disampaikan ialah bahwa menurut konsep ancaman minimum khusus inipun dalam hal-hal tertentu tetap dapat dikurangi atau diperingan apabila ada hal-hal yang memperingan pemidanaan.166 3.2
BENTUK-BENTUK PIDANA
DAN
PUTUSAN
DASAR
HAKIM
DALAM
PERTIMBANGAN
PERKARA
HAKIM
DALAM
PENJATUHAN PIDANA Di dalam dunia peradilan sering terdengar istilah putusan merupakan “mahkota” hakim. Dikatakan demikian karena putusan hakim merupakan pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta
_____________ 166
Ibid., hal. 159-160.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
64
visualisasi etika, mentalitas dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.167 Begitu kompleksnya dimensi dan substansi putusan hakim, sehingga tidak mudah untuk memberikan rumusan tentang pengertian putusan hakim. Putusan hakim atau putusan pengadilan yang dimaksud dalam sub bab ini adalah putusan dalam perkara pidana. Membicarakan definisi putusan dalam lingkup perkara pidana, tidak dapat dilepaskan dari definisi yang terdapat pada Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan definisi putusan pengadilan sebagai berikut : “Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Menurut Rusli Muhammad, putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksisaksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti.168 Sementara menurut Lilik Mulyadi, dengan berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan, maka putusan hakim itu merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.169 Jika mengacu pada ketentuan Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka kita dapat membagi putusan ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), dan putusan pemidanaan (veroordeling). 1.
Putusan Bebas (vrijspraak) Pengaturan mengenai putusan bebas terdapat di dalam ketentuan Pasal 191
Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi : _____________ 167
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, Dan Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 119. 168 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 115. 169
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 121.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
65
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Dalam penjelasan Pasal 191 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang disyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP170 tidak terpenuhi, yaitu karena :171 a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP.172 Jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain. b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti. Dalam putusan yang membebaskan terdakwa, pada dasarnya terdapat beberapa hal yang harus tercantum di dalam amar putusan, yaitu : a. Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan. b. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. c. Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan (jika ditahan), kecuali jika ada alasan yang sah, terdakwa tetap berada dalam tahanan. d. Membebankan biaya perkara kepada negara. _____________ 170 Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi, dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 171
Martiman Prodjohamidjojo, Putusan Pengadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 15.
172
Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan, bahwa alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
66
2.
Putusan
Lepas
Dari
Segala
Tuntutan
Hukum
(onslag
van
alle
rechtsvervolging) Pengaturan mengenai putusan lepas dari segala tuntutan hukum terdapat di dalam ketentuan Pasal 191 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Menurut Lilik Mulyadi, putusan lepas dari segala tuntutan hukum terjadi jika dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan :173 a. perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana; b. perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada alasan pemaaf (strafuitsluitings-gronden/feit
de
‘axcuse)
dan
alasan
pembenar
(rechtsvaardigings-grond), seperti : kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya {Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)}; keadaan memaksa/overmacht (Pasal 48 KUHP); pembelaan darurat/noodwer (Pasal 49 KUHP); melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUHP). Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat dalam Pasal 44 Ayat (1) serta Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP di atas, menurut Soedirjo dikatakan sebagai hal yang bersifat umum.174 Di samping itu, terdapat pula hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yaitu yang diatur secara khusus dalam pasal _____________ 173 174
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 165-166. Soedarjo, Jaksa Dan Hakim Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1985),
hal. 58.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
67
tertentu dalam undang-undang, seperti misalnya dalam Pasal 166 dan Pasal 310 Ayat (3) KUHP.175 3.
Putusan Pemidanaan (veroordeling) Pengaturan mengenai putusan pemidanaan terdapat di dalam ketentuan
Pasal 193 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Putusan pemidanaan dapat terjadi jika dari hasil pemeriksaan di persidangan, majelis hakim berpendapat bahwa : a. perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; b. perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen; dan c. dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan {Pasal 183 jo. Pasal 184 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)}.176 Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang memuat pemidanaan, pengadilan dapat menentukan salah satu dari hukuman pokok,177 yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.178 Dalam putusan yang memuat pemidanaan, di dalam putusannya (majelis) hakim selalu akan menguraikan pertimbangan yang menjadi dasar dalam menjatuhkan putusannya. Rusli Muhammad179 membagi pertimbangan hakim ini ke dalam dua kategori, yaitu pertama pertimbangan yang bersifat yuridis, yang terdiri dari : dakwaan jaksa penuntut umum; keterangan terdakwa; keterangan saksi; barang-barang bukti; dan pasal-pasal peraturan hukum pidana. Yang kedua, _____________ 175
Rusli Muhammad, op. cit., hal. 118.
176
Lilik Mulyadi, op. cit., hal. 173.
177
Joko Prakosa, Kedudukan Justisiabel Di Dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
hal. 272. 178
Lihat Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
179
Lihat Rusli Muhammad, op. cit., hal. 124-144.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
68
yaitu pertimbangan yang bersifat non yuridis, yang terdiri dari : latar belakang perbuatan terdakwa; akibat perbuatan terdakwa; kondisi diri terdakwa; keadaan sosial ekonomi terdakwa; dan faktor agama terdakwa. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis dan non yuridis seperti yang telah disebutkan di atas, yang merupakan bagian dalam menentukan kesalahan seorang terdakwa di dalam putusan yang memuat pemidanaan, maka sebelum menjatuhkan
pidana
(hukuman),
hakim
(majelis
hakim)
selalu
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan pidana. Secara limtatif, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur tiga hal yang dijadikan alasan untuk memberatkan pidana, yaitu : 1.
Pegawai negeri yang melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya, atau pada waktu melakukan kejahatan memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh dari jabatannya (Pasal 52 KUHP).
2.
Gabungan perbuatan pidana/samenloop (Pasal 65 dan 66 KUHP).
3.
Pengulangan perbuatan pidana (recidive). Alasan-alasan yang memberatkan pidana dalam KUHP di atas, jika
dibandingkan dengan California’s sentencing rule, terlihat menjadi kurang lengkap mengenai pengaturannya, di mana dalam California’s sentencing rule disebutkan bahwa hal-hal yang memberatkan pidana adalah sebagai berikut :180 1.
Kejahatan itu menggunakan kekerasan yang berakibat cacat dan dilakukan secara keji.
2.
Terdakwa menggunakan senjata dan si korban luka-luka.
3.
Terdakwa membujuk orang lain untuk melakukan kejahatan dan ia merupakan pimpinannya.
4.
Korban berjumlah lebih dari satu.
5.
Terdakwa mengancam para saksi atau mempengaruhi proses peradilan dengan cara-cara lain yang dilarang undang-undang.
_____________ 180 Eddi Djunaidi Karnasudiradja dalam Beberapa Pedoman Dan Pengamatan Pemidanaan Dan Pengamatan Narapidana, seperti dikutip oleh Rusli Muhammad, ibid., hal. 146-147.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
69
6.
Terdakwa dalam melakukan kejahatan menggunakan atau melibatkan anakanak yang belum dewasa.
7.
Kejahatan itu menyangkut barang selundupan yang besar nilainya dan/atau menyebabkan kerugian besar terhadap barang milik korban kejahatan itu.
8.
Terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan-kejahatan lain untuk mana terhadap masing-masing kejahatan dapat dikenakan hukuman secara berturut-turut, tetapi untuk mana hanya dikenakan satu hukuman.
9.
Pelaksanaan kejahatan adanya derajat kehalian yang tinggi dan adanya perencanaan terlebih dahulu.
10.
Terdakwa menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk melakukan kejahatan.
11.
Salah satu atau beberapa keadaan berikut ada pada terdakwa : a. Terdakwa memiliki pola tingkah laku jahat untuk jangka waktu tertentu yang menentukan bahwa ia sangat berbahaya bagi masyarakat. b. Dihubungkan
dengan
penindakan-penindakan
terhadapnya
yang
terdahulu, menunjukkan peningkatan tindak kejahatan. c. Terdakwa telah menjalani untuk kejahatannya yang lain dan/atau pada waktu melakukan kejahatan terdakwa sedang dalam masa percobaan. d. Terdakwa pernah dihukum percobaan atau dilepas bersyarat dan tingkah lakunya selama dalam pengawasan adalah kurang memuaskan. Di dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri, pengaturan yang lebih luas mengenai alasan untuk memberatkan pidana telah dituangkan dalam ketentuan Pasal 134,181 yang meliputi : 1.
Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan.
2.
Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana.
_____________ 181
Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun
2010.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
70
3.
Penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana.
4.
Tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
5.
Tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana.
6.
Tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam.
7.
Tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.
8.
Pengulangan tindak pidana.
9.
Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia sekarang, hal yang dapat dijadikan alasan untuk meringankan pidana, terdiri dari percobaan {Pasal 53 Ayat (2) dan (3) KUHP}, membantu melakukan kejahatan {Pasal 57 Ayat (1) dan (2) KUHP}, dan belum dewasa (Pasal 45 jo. Pasal 47 KUHP). Ketiga hal tersebut menurut Gerson W. Bawengan merupakan alasan-alasan umum182 yang meringankan pidana. Dalam California’s sentencing rule juga disebutkan hal-hal yang dapat meringankan pidana, yaitu sebagai berikut :183 1.
Terdakwa terbukti hanya merupakan peserta yang pasif dan hanya melakukan peran kecil dalam pelaksanaan kejahatan.
2.
Kejahatan itu dilakukan hanya dalam keadaan yang luar biasa dan jarang terjadi.
3.
Korban adalah yang sebenarnya memancing terjadinya kejahatan.
4.
Terdakwa terbukti dalam melakukan kejahatan berada di bawah paksaan pelaku-pelaku yang lain.
5.
Terdakwa berusaha menghindari terjadinya kerugian terhadap korban atau kerusakan terhadap hak milik.
_____________ 182
Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hal. 68. 183
Ibid., hal. 54.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
71
6.
Motif kejahatan yang dilakukan terdakwa adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya atau dirinya sendiri.
7.
Terdakwa terbukti dibujuk oleh orang lain untuk melakukan kejahatan.
8.
Terdakwa mengira bahwa ia memiliki hak atas barang yang diambilnya atau percaya bahwa tindakannya adalah tidak melanggar hukum.
9.
Terdapat keadaan-keadaan berikut yang menyangkut terdakwa : a. Catatan
mengenai
tindak
kejahatan
terdakwa
yang
terdahulu
menunjukkan tidak adanya sifat jahat terdakwa. b. Tanggung jawab pidana terdakwa berkurang karena gangguan jiwa atau menderita karena keadaan fisiknya. c. Seandainya ada kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman percobaan kepada terdakwa, hakim akan memilih hukuman tersebut. d. Terdakwa dengan sukarela mengaku sebelum dia ditangkap atau pada waktu pemeriksaan baru saja dimulai. e. Korban mendapat ganti rugi dari terdakwa secara sukarela. f. Tingkah laku terdakwa selama masa percobaan atau masa pelepasan bersyarat dinilai baik. Di dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri, pengaturan mengenai alasan untuk memperingan pidana telah dituangkan dalam ketentuan Pasal 132,184 yang meliputi : 1.
Percobaan melakukan tindak pidana.
2.
Pembantuan terjadinya tindak pidana.
3.
Penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana.
4.
Tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil.
5.
Pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan.
6.
Tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat.
7.
Tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
_____________ 184
Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun
2010.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
72
8.
Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
3.3
HUBUNGAN ANTARA ASAS LEGALITAS DENGAN PENEMUAN HUKUM DI DALAM PUTUSAN HAKIM Sebagaimana telah sedikit disinggung pada bagian kerangka teori dalam
Bab I, asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach melalui sebuah adagium terkenal nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang secara harfiah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Dalam hal definisi asas legalitas, menurut Eddy O.S. Hiariej kiranya terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana, bahwa pengertian asas legalitas adalah : “tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu”.185 Namun demikian hal tersebut tidak berlaku apabila kita membicarakan mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas, karena para ahli hukum pidana memiliki perbedaan pendapat mengenai makna yang terdapat di dalam asas legalitas. Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa terdapat dua hal sebagai makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu pertama, bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang, dan kedua, bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.186 Sudarto juga mengemukakan adanya dua hal yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu pertama, bahwa suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, dan kedua, bahwa peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.187 _____________ 185
Eddy O.S. Hiariej, Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas, Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 16, Tahun IV, April-Juni 2007, hal. 124. 186
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2003), hal. 42. 187
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), hal. 22. Pemikiran senada yang diungkapkan oleh Sudarto dan juga Wirjono Prodjodikoro tentang makna yang terkandung dalam asas legalitas, datang dari Ch. J. Enschede, yang mengatakan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana, dan kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut. Ch. J. Enschede sebagaimana dikutip oleh Eddy
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
73
Sementara itu menurut Jan Remmelink, terdapat tiga hal sebagai makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, tidak hanya perundang-undangan dalam arti formil saja yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan, tetapi menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate, termasuk di dalamnya adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah, baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten atau kotamadya. Kedua, perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidana karena warga akan selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, pada asas legalitas juga terkandung makna larangan untuk menetapkan ketentuan pidana secara analogis, yang dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta”.188 Sementara itu Komariah Emong Sapardjaja dengan mengutip pendapat Groenhuijsen mengungkapkan bahwa terdapat empat makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu : 1.
Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana yang berlaku mundur;
2.
semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya;
3.
hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan; dan
4.
terhadap peraturan hukum pidana dilarang menerapkan analogi.189
_____________ O.S. Hiariej dalam Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 24. 188
Jan Remmelink, op. cit., hal. 357-359. Demikian pula halnya dengan Richard G. Singer dan Martin R. Gardner yang menyatakan bahwa ada tiga aspek yang berkaitan dengan asas legalitas : pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif; kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut; dan ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang. Richard G. Singer dan Martin R. Gardner sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dalam Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op.cit., hal. 25-26. 189
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan Dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 5-6.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
74
Untuk makna yang pertama dan kedua ditujukan kepada pembuat undangundang, sedangkan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi para hakim.190 Lebih lanjut menurut Eddy O.S. Hiariej, sesungguhnya hanya ada tiga makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu : 1.
Ketentuan pidana yang berisi perbuatan pidana yang disertai ancaman pidana harus tertulis dalam peraturan perundang-undangan;
2.
seseorang tidak dapat dipidana sebelum ada ketentuan pidana terlebih dahulu; dan
3.
pembentuk undang-undang tidak boleh memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.191 Bila merujuk kepada tiga frasa yang dikemukakan Feuerbach, yakni nulla
poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang), asas legalitas ini berlaku baik dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil. Frasa nulla poena sine lege dan frasa nulla poena sine crimine lebih mengarah pada hukum pidana materiil yang berisi perbuatan yang dilarang beserta ancaman pidananya, sedangkan frasa nullum crimen sine poena legali lebih mengarah pada hukum pidana formil. Frasa “tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang” adalah suatu kalimat negatif. Jika kalimat tersebut dipositifkan, bunyinya menjadi “semua perbuatan pidana harus dipidana menurut undang-undang”.192 Dengan demikian asas legalitas yang selama ini kita kenal dalam hukum acara pidana yang berarti bahwa semua perbuatan pidana harus dituntut, merupakan penjabaran lebih lanjut dari frasa ketiga di atas (nullum crimen sine poena legali).193 _____________ 190 191
Ibid. Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op.cit.,
hal. 27. 192
Ibid., hal. 27-28.
193
Ibid., hal. 27. Menurut Mark Constanzo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, sebagaimana hukum pidana materiil, hukum pidana formil atau hukum acara pidana juga memiliki asas-asas yang abstrak sifatnya terhadap kasus-kasus tertentu. Beberapa asas dalam hukum acara pidana adalah : pertama, asas legalitas yang berarti bahwa setiap perbuatan pidana harus dituntut. Penyimpangan terhadap
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
75
Terkait dengan asas legalitas, baik kaitannya dengan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, tidak jarang hakim akan mendapati situasi bahwa terdapat suatu ketentuan yang belum diatur dalam perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur, namun ternyata tidak lengkap atau bahkan tidak jelas. Mengantisipasi hal yang demikian, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10-nya mengatur bahwa pengadilan (hakim) dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (asas ius curia novit). Jika hal demikian terjadi, maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo berikut ini : “Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum”.194 Menurut Pontang Moerad B.M. tidak ada peraturan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena undang-undang tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada.195 Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran),196 sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada, digunakan metode argumentasi (argumentum per analogiam, argumentum a _____________ asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana. Kedua, asas diferensial fungsional, artinya setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain. Ketiga, asas lex scripta yang berarti bahwa hukum acara pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis, dan keempat, asas lex stricta yang menyatakan bahwa aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Konsekuensi selanjutnya, ketentuan dalam hukum acara pidana tidak dapat ditafsirkan selain dari apa yang tertulis. Eddy O.S. Hiariej, Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas Eksaminasi Putusan Pra Peradilan PT. IIS terhadap Ditjend Pajak Departemen Keuangan RI di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tanggal 22 Juli 2008. 194
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 4. 195
Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 86. 196 Menurut Logemann sebagaimana dikutip oleh Andi Zainal Abidin, dalam mempergunakan penafsiran, para hakim tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang, dengan perkataan lain,
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
76
contrario, rechtsvervijning, atau fiksi hukum) dan metode eksposisi untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru.197 Dalam penemuan hukum, terdapat beberapa aliran yang timbul sebagai bukti bahwa hukum merupakan sesuatu yang dinamis, terbuka dan mengalami perkembangan dari masa ke masa. Ketika aliran penemuan hukum yang sudah ada dianggap tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarkat, maka kemudian dikoreksi dan disempurnakan oleh aliran penemuan hukum yang muncul berikutnya, dan begitu seterusnya.198 Menurut Sudjono Dirdjosisworo, secara garis besar, aliran penemuan hukum terbagi menjadi tiga, yang terdiri dari aliran legisme, aliran freie rechtbewegung, dan aliran rechtvinding.199 Aliran legisme berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini pembentuk undang-undang. Jadi semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, maka hanya undangundanglah yang dapat menjadi sumber hukum, karena pengakuan kebiasaan sebagai sumber hukum berarti mengakui kekuasaan tertinggi lain di samping kekuasaan negara tertinggi (pembentuk undang-undang).200 Penganut legisme pada intinya berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut Montesquieu, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum. Jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah hukum, dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.201 Oleh karena itu hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim tidak lebih dari sekedar “corong” atau “terompet”-nya undang-undang (la bouche de la loi).202 _____________ mereka tidak boleh sewenang-wenang. Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana: Bagian Pertama, (Bandung: Alumni, 1987), hal. 145. 197
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), hal. 141-142. 198
Ibid., hal. 52.
199
Sudjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999),
200
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001),
hal. 161. hal. 93. 201
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, (Jakarta, Chandra Pratama, 1993), hal. 146. 202
Bambang Sutiyoso, op. cit., hal. 32.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
77
Aliran freie rechtbewegung memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan aliran legisme. Aliran ini timbul di Jerman dari adanya anggapan bahwa tidak terdapat kekosongan-kekosongan atau kekurangan-kekurangan dalam undang-undang setelah diadakannya kodifikasi di Jerman pada tahun 1900. Akan tetapi kemudian timbulah pendapat bahwa undang-undang itu tidak sempurna, banyak kekurangan-kekurangannya yang harus dilengkapi atau diisi oleh hakim. Dengan makin melepaskan diri dari sistem, timbulah pandangan bahwa putusanputusan itu tidak begitu saja berasal dari undang-undang maupun dari sistem asasasas hukum atau pengertian hukum, tetapi ada unsur penilaian memegang peranan.203 Sementara itu menurut Pontang Moerad B.M., aliran freie rechtbewegung ini berpandangan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, seorang hakim bebas untuk melakukannya menurut undang-undang atau tidak. Hal ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum. Akibatnya adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal primer dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder. Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Keputusannya ini lebih bersifat dinamis dan up to date, karena senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat.204 Aliran ketiga dalam penemuan hukum, yaitu aliran rechtvinding dapat dianggap sebagai aliran tengah diantara aliran legisme dan aliran freie rechtbewegung. Dalam pandangan aliran ini, benar bahwa hakim terikat kepada undang-undang, tetapi keterikatannya tidak seketat menurut pandangan aliran legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan. Walaupun kebebasan hakim tidak seperti anggapan aliran freie rechtbewegung, tetapi dalam melaksanakan tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut “kebebasan yang terikat” (gebonded _____________ 203
Lihat Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op. cit., hal. 11.
204
Pontang Moerad B.M., op. cit., hal. 125. Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo yang menyatakan : “Bahwa hakim harus diberi kebebasan pada umumnya disepakati. Sebaliknya tidak dapat diterima kalau hakim diberi kebebasan sedemikian, sehingga ia dapat mengesampingkan undang-undang dengan mendasarkan semata-mata pada itikad baik, kepatutan, atau hanya karena undang-undangnya sudah usang, sebab hakim harus menghormati undang-undang, meskipun ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima”. Lihat Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 100.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
78
vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (vrij gebondenheid). Oleh karena itu tugas hakim dianggap sebagai upaya melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman.205 Menurut Bambang Sutiyoso, dalam melakukan rechtvinding, bukan berarti hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan.206 Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, boleh dikatakan bahwa setiap undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang kongkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan, atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya, untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya.207 Machteld Boot sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej menyatakan : “every legal norm needs interpretation” (setiap norma hukum membutuhkan interpretasi). Senada dengan Boot, van Bemmelen dan van Hattum juga secara tegas menyatakan : “elke geschreven wetgeving behoeft interpretatie” (setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi).208 Sementara itu, Satjipto Rahardjo juga memberikan pendapat yang mengatakan bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi adil dan membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya.209 Menurut Bambang Sutiyoso, interpretasi atau penafsiran adalah metode untuk menafsirkan teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang_____________ 205
Pontang Moerad B.M., op. cit., hal. 126.
206
Bambang Sutiyoso, op. cit., hal. 31.
207
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op. cit., hal. 12.
208
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op.cit.,
hal. 65. 209
Satjipto Rahardjo, Penafsiran Hukum Yang Progresif dalam Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 6. Sementara Jan Remmelink juga berpendapat bahwa sekalipun rangkaian kata-kata yang ditemukan dalam hukum pidana diberi bobot lebih berat dibandingkan dengan hukum keperdataan, dan penerapan analogi tidak diterima dalam hukum pidana, pakar hukum pidana, terutama hakim pidana tidak mungkin menerapkan perundang-undangan tanpa menggunakan penafsiran. Jan Remmelink, op. cit., hal. 45.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
79
undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal, dan disebut dengan hermeneutika yuridis.210 Metode “hermeneutika hukum” menurut Jazim Hamidi211 merupakan alternatif penemuan hukum baru oleh hakim yang berbasis pada interpretasi teks hukum. Sementara menurut Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu dikaji dengan hasil yang diperoleh.212 Di sisi lain Utrecht sebagaimana dikutip oleh Riduan Syahrani mengungkapkan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut susunan katakatanya, maka haruslah ditafsirkannya, sehingga hakim dapat memberikan putusan yang betul-betul mencerminkan rasa keadilan serta dapat menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat.213 Dalam literatur lazimnya dibedakan beberapa metode penafsiran. Metode interpretasi atau penafsiran yang akan diuraikan berikut ini bukanlah merupakan metode yang diperintahkan kepada hakim untuk digunakan dalam penemuan hukum, tetapi merupakan penjabaran putusan-putusan hakim. Dari alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat metode interpretasi :214 _____________ 210
Bambang Sutiyoso, op. cit., hal. 77-78.
211
Sebagaimana dikutip oleh Bambang Sutiyoso dalam ibid., hal. 78.
212
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op. cit., hal. 13.
213
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hal. 53.
214
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op. cit., hal. 13-14.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
80
1) menurut bahasa (gramatikal); 2) teleologis atau sosiologis; 3) sistematis atau logis; 4) historis; 5) perbandingan hukum (komparatif); dan 6) Futuristis. Interpretasi pertama, yakni interpretasi menurut bahasa (gramatikal), yaitu makna ketentuan undang-undang yang ditafsirkan dengan cara menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Di sini arti atau makna ketentuan undangundang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari.215 Hakim dalam sebuah putusan dapat juga secara eksplisit menyatakan arti dari teks undang-undang menurut pemakaian bahasa yang biasa atau menurut arti teknik yuridikal yang sudah lazim.216 Interpretasi kedua, yakni interpretasi teleologis atau sosiologis. Interpretasi ini lebih menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undangundang daripada bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut.217 Interpretasi teleologis juga harus memperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual.218 Interpretasi ketiga, yakni interpretasi sistematis atau logis, yaitu penafsiran ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain, atau dengan keseluruhan sistem hukum.219 Artinya ketika akan melakukan interpretasi, kita tidak hanya mengacu pada pasal yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lain, bahkan sistem hukum secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.220 Interpretasi keempat, yakni interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan tersebut.221 Interpretasi sejarah hukum menurut J.A. Pontier adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari _____________ 215 216
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 57. Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op. cit.,
hal. 66. 217
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 61.
218
J.A. Pontier sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op. cit., hal. 67. 219
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 58.
220
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, loc. cit.
221
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 59.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
81
pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau.222 Interpretasi kelima, yakni interpretasi perbandingan hukum (komparatif), yaitu penafsiran dengan jalan memperbandingkan atau penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan, hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang, terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional. Ini penting, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara.223 Interpretasi keenam, yakni interpretasi futuristis. Menurut Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.224 Dalam ajaran legisme yang berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, kedudukan hakim tidak lebih dari sekedar pelaksana undang-undang. Hakim hanyalah sekedar “corong” atau “terompet”nya undang-undang (la bouche de la loi). Dalam ajaran legisme ini, penerapan asas legalitas bisa dikatakan sangat ketat (strict). Namun di Indonesia yang juga menerapkan asas ius curia novit yang tergambar dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak bisa dikatakan hanya sekedar “corong” atau “terompet”-nya undang-undang, yang tidak lebih dari sekedar pelaksana undang-undang. Jika asas legalitas diterapkan dengan sangat ketat (strict), maka ia tentunya tidak akan bisa bersinergi dengan asas ius curia novit yang melarang hakim untuk menolak mengadili suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, karena jika hal demikian terjadi, maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut, hal mana tidak dimungkinkan dalam asas legalitas yang mengandung _____________ 222
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, loc. cit.
223
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op. cit., hal. 19.
224
Ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
82
makna bahwa suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundangundangan, yang dapat diartikan bahwa tidak boleh menerapkan sesuatu yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Kembali kepada persoalan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengaturan mengenai pengadilan pidana anak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimana pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa, sementara untuk pidana minimum khusus tidak ada pengaturannya. Tidak diaturnya ketentuan mengenai pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, boleh jadi disebabkan karena pada masa itu bisa dikatakan belum ada ketentuan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana minimum khusus di dalam ketentuan pidananya. Seperti diketahui, undang-undang yang pertama kali mencantumkan pidana minimum khusus di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.225 Kendati disahkan dan diundangkan di tahun yang sama, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak memang terlebih dulu disahkan dan diundangkan, yaitu pada tanggal 3 Januari 1997 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika yang baru disahkan dan diundangkan pada tanggal 11 Maret 1997. Apa yang diuraikan di atas memperlihatkan bahwa undang-undang memiliki kelemahan, yaitu sifatnya statis dan kaku, sehingga terkadang tidak _____________ 225
Joko Wuryanto, Kebijakan Formulasi Pidana Penjara Minimum Khusus Dalam PerundangUndangan Di Indonesia, (Tesis, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2004), hal. 80.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
83
relevan dengan perkembangan masyarakat. Seperti diketahui, bahwa hukum yang tertulis (perundang-undangan) itu selalu ketinggalan dari peristiwanya (het recht hinkt achter de faiten aan).226 Di sini terlihat bagaimana undang-undang yang baru dua bulan disahkan dan diundangkan, dalam waktu sesingkat itu ternyata sudah tidak mampu untuk mengakomodasi suatu hal baru yang berkembang. Menghadapi situasi yang demikian, menurut Bambang Sutiyoso, kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang dibolehkan. Hakim boleh melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk menafsirkan undang-undang.227 Jika Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dianggap kurang jelas setelah adanya ketentuan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana minimum khusus, karena tidak bisa memberikan jawaban atas persoalan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, maka hakim dimungkinkan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran atas ketentuan tersebut. Dalam memilih metode interpretasi mana yang akan digunakan oleh hakim, menurut Sudikno Mertokusumo, pembentuk undang-undang tidak memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim akhirnya hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannya, hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu.228 _____________ 226
Lihat Bambang Sutiyoso, op. cit., hal. 32.
227
Ibid.
228
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hal. 175. Bandingkan dengan Pontang Moerad B.M. yang mengatakan “dalam pertimbangan putusan, hakim tidak pernah mengemukakan alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode (interpretasi) tertentu. Yang diutamakan adalah hasilnya, penyelesaian masalah, dan putusan yang memuaskan”. Pontang Moerad B.M., op. cit., hal. 89-90.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
84
Dalam praktik, tidak ada prioritas penggunaan metode interpretasi. Oleh karena itu metode interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan dengan beberapa metode interpretasi sekaligus.229 Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode interpretasi tertentu, tetapi yang penting bagi hakim adalah interpretasi yang dipilih adalah dapat tepat sasaran, yaitu dapat memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga
dapat
secara
tepat
diterapkan
terhadap
peristiwanya.230 Dalam melakukan interpretasi terhadap ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dapat dilakukan penafsiran dengan menggunakan metode interpretasi sistematis dan juga metode interpretasi futuristis. Interpretasi sistematis dapat dilakukan dengan menghubungkan ketentuan pasal-pasal di atas dengan peraturan hukum (undang-undang) yang lain, dalam hal ini yaitu dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya dalam Pasal 24 yang berbunyi : “Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Sedangkan interpretasi futuristis dapat dilakukan dengan menghubungkan ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dengan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, dalam hal ini yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya ketentuan dalam Pasal 123 Ayat (3) yang berbunyi “minimum khusus pidana denda tidak berlaku terhadap anak”, serta Pasal 124 Ayat (3) yang berbunyi “minimum khusus pidana _____________ 229
Bambang Sutiyoso, op. cit., hal. 80. Sudikno Mertokusumo juga mengatakan : “metode-metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan undang-undang terdapat unsur-unsur gramatikal, historis, sistematis, dan teleologis”. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, op. cit., hal. 175-176. Lihat juga Pontang Moerad B.M., op. cit., hal. 90. 230
Bambang Sutiyoso, loc. cit.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
85
penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) tidak berlaku terhadap anak”. Dengan melakukan interpretasi sistematis dan futuristis terhadap ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, hakim dapat menemukan jawaban atas kekurang jelasan kedua pasal tersebut untuk menjawab persoalan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, yaitu bahwasanya ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus (denda maupun penjara) tidak berlaku terhadap anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
BAB 4 ANALISIS PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS
4.1
PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH ANCAMAN
PIDANA
MINIMUM
KHUSUS
TERHADAP
TERDAKWA ANAK Di dalam Bab III telah dijelaskan bahwa penerapan asas ius curia novit yang tergambar dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menjadikan hakim di Indonesia tidak bisa dikatakan hanya sekedar “corong” atau “terompet”-nya undang-undang (la bouche de la loi), yang tidak lebih dari sekedar pelaksana undang-undang. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim untuk menolak mengadili suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Jika hal yang demikian terjadi, maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Berkaitan dengan penemuan hukum, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimana pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa, sementara untuk pidana minimum khusus tidak ada pengaturannya. Hal di atas menimbulkan anggapan bahwa ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 menjadi kurang jelas ketika berhadapan dengan persoalan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum
86
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
87
khusus. Menghadapi situasi yang demikian, menurut Bambang Sutiyoso, kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang dibolehkan. Hakim boleh melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk menafsirkan undang-undang.231 Peranan hakim yang bukan lagi hanya sekedar “corong” atau “terompet”nya undang-undang, terlihat dari putusan-putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan putusan di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Dari hasil penelitian dan pengambilan data yang telah dilakukan di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung, penulis berhasil memperoleh 5 (lima) putusan dari masing-masing pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan berupa pemidanaan di bawah ancaman pidana minimum terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, yaitu dikarenakan melanggar ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penjabaran mengenai putusan-putusan tersebut akan diuraikan sebagai berikut : 1.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1110/Pid.B/2010/ PN.Tng. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara para terdakwa RA bin
R, umur 16 tahun dan PR bin K, umur 17 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan : Primair : Melanggar Pasal 114 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Subsidair : Melanggar Pasal 111 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. _____________ 231
Ibid., hal. 32.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
88
Lebih Subsidair : Melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi HS bin DS, saksi AS bin J, dan saksi NW. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa RA bin R dan terdakwa PR bin K. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) ample paket kecil narkotika jenis daun ganja kering dengan berat netto 1,6584 gram yang sudah dicampur dengan tembakau rokok Gudang Garam Filter dibungkus dengan kertas koran, dimana setelah dilakukan pemeriksaan laboratoris pada Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional, barang bukti tersisa seberat 1,5238 gram; dan 1 (satu) bungkus kertas papier. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Berita Acara Laboratoris No. 19.F/VI/2010/UPT Lab Uji Narkoba pada Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional hari Selasa tanggal 1 Juni 2010, dengan hasil pemeriksaan terhadap bahan/daun dengan berat netto 1,6584 gram di atas adalah benar ganja mengandung THC (Tetrahydrocannabinol) yang terdaftar dalam golongan I nomor urut 8 dan 9 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan para terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa RA bin R dan terdakwa PR bin K terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan subsidair Pasal 111 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RA bin R dan terdakwa PR bin K, masing-masing dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun penjara
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
89
dikurangi selama mereka terdakwa berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta Rupiah), dimana apabila denda tersebut tidak dibayar oleh mereka terdakwa diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dengan perintah agar mereka terdakwa tetap ditahan. (3)
Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) ample paket kecil narkotika jenis daun ganja kering dengan berat netto 1,6584 gram yang sudah dicampur dengan tembakau rokok Gudang Garam Filter dibungkus dengan kertas koran dan 1 (satu) bungkus kertas papier, dimana setelah dilakukan pemeriksaan laboratoris pada Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional, barang bukti tersisa seberat 1,5238 gram dirampas untuk dimusnahkan.
(4)
Menetapkan agar terdakwa-terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan para terdakwa
melalui penasehat hukumnya, hakim kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa I RA bin R dan terdakwa II PR bin K tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair.
(2)
Membebaskan terhadap terdakwa I RA bin R dan terdakwa II PR bin K tersebut oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut.
(3)
menyatakan terdakwa I RA bin R dan terdakwa II PR bin K telah terbukti secara
sah
dan
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum memiliki narkotika golongan I dalam bentuk tanaman”. (4)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I RA bin R dan terdakwa II PR bin K tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta Rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan.
(5)
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
90
(6)
Memerintahkan para terdakwa tetap ditahan.
(7)
Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) ample paket kecil narkotika jenis daun ganja kering dengan berat netto 1,6584 gram yang sudah dicampur dengan tembakau rokok Gudang Garam Filter dibungkus dengan kertas koran dan 1 (satu) bungkus kertas papier, dimana setelah dilakukan pemeriksaan laboratoris pada Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional, barang bukti tersisa seberat 1,5238 gram dirampas untuk dimusnahkan.
(8)
Membebani para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu) Rupiah. Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk subsidairitas, maka hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan primair, yaitu melanggar Pasal 114 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 114 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut : 1. Unsur setiap orang. 2. Unsur percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika. 3. Unsur tanpa hak dan melawan hukum. 4. Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa unsur ke-1, unsur ke-2, dan unsur ke-3 dari dakwaan primair di atas telah terpenuhi, akan tetapi unsur ke-4 tidak terpenuhi, sehingga dakwaan primair dinyatakan tidak terbukti, dan oleh karena itu para terdakwa
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
91
dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair, dan karenanya harus dibebaskan dari dakwaan tersebut. Oleh karena dakwaan primair dinyatakan tidak terbukti, hakim kemudian mempertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu melanggar Pasal 111 Ayat (1) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang unsur-unsurnya diuraikan sebagai berikut : 1. Unsur setiap orang. 2. Unsur percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika. 3. Unsur tanpa hak dan melawan hukum. 4. Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan subsidair di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya para terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan para terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan para terdakwa, maka para terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya para terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Latar belakang perbuatan para terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa latar belakang perbuatan para terdakwa antara lain karena para terdakwa sudah pernah sebelumnya mengkonsumsi ganja, sehingga ketika akan melihat pertunjukan hiburan band dalam acara perpisahan siswa kelas III SMK “K”, para terdakwa kembali ingin mengkonsumsi ganja untuk meningkatkan rasa percaya diri.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
92
(2)
Akibat perbuatan para terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan para terdakwa tersebut sangat membahayakan, bukan hanya bagi diri para terdakwa sendiri, namun juga bagi masyarakat, bangsa, serta ketahanan nasional Indonesia.
(3)
Kondisi diri para terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa para terdakwa mengaku terus terang dan tidak mempersulit pemeriksaan di persidangan, para terdakwa menyesali perbuatannya, dan para terdakwa masih berusia muda (umur 17 tahun), serta masih bersekolah. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri para terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkotika. Para terdakwa sudah pernah menggunakan narkotika jenis ganja.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Para terdakwa mengaku terus terang dan tidak mempersulit pemeriksaan di persidangan. Para terdakwa menyesali perbuatannya. Para terdakwa masih muda, umur 17 tahun, dan masih sekolah di SMK. Selain mempertimbangkan hal-hal di atas, hakim sebelum menjatuhkan
putusan juga telah mendengar dan memperhatikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan Serang, yang menyarankan agar para terdakwa dijatuhi pidana yang seringan-ringannya. Untuk masalah penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, hakim mendasarkan pada Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus: Buku II, halaman 86 angka 5, terbitan Mahkamah Agung RI tahun 2008 yang menyatakan : “pidana penjara, pidana kurungan, atau pidana denda dapat dijatuhkan kepada anak nakal, paling
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
93
lama atau paling banyak ½ dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Ketentuan ini diberlakukan juga dalam hal minimum ancaman pidana bagi anak. 2.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1175/Pid.B/2010/ PN.Tng. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa NA alias G
bin E, umur 15 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan : Primair : Melanggar Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Subsidair : Melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi korban SK binti MBS, saksi MBS bin T, dan saksi EP bin E. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa NA alias G bin E. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa kaos warna hijau; celana dalam warna putih; celana jeans warna hitam. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Visum Et Repertum No. S.02/23/358/VI/2010 tanggal 17 Juni 2010 dari Rumah Sakit Umum Pemerintah Kabupaten Tangerang, dengan kesimpulan sebagai berikut : pada pemeriksaan korban anak perempuan berusia empat belas tahun ini ditemukan robekan luka lama pada selaput dara tidak sampai dasar pada arah sepuluh dan arah jam dua belas akibat kekerasan tumpul yang melewati liang senggama. Selanjutnya tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada bagian tubuh lainnya. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa NA alias G bin E bersalah melakukan tindak pidana “dengan
sengaja
melakukan
perbuatan
melakukan
tipu
muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
94
membiarkan dilakukan perbuatan cabul” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana surat dakwaan subsidair kami. (2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa NA alias G bin E dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi lamanya terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan di rutan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) apabila denda tidak dapat dibayar maka diganti dengan latihan kerja selama 6 (enam) bulan.
(3)
Menetapkan barang bukti berupa kaos warna hijau; celana dalam warna putih; celana jeans warna hitam; dikembalikan kepada saksi SK binti MBS.
(4)
Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa, majelis
hakim kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa NA alias G bin E tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan pertama primair.
(2)
Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut.
(3)
Menyatakan terdakwa NA alias G bin E telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membujuk anak melakukan cabul”.
(4)
Menjatuhkan putusan oleh karena itu dengan pemidanaan pidana penjara terhadap terdakwa NA alias G bin E dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) dan apabila pidana denda tidak dapat dibayar, maka diganti dengan latihan kerja sosial selama 2 (dua) bulan.
(5)
Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(6)
Menetapkan barang bukti berupa kaos warna hijau; celana dalam warna putih; celana jeans warna hitam; dikembalikan kepada SK binti MBS.
(7)
Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu Rupiah).
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
95
Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk subsidairitas, maka hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan primair, yaitu melanggar Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai berikut : 1. Unsur setiap orang. 2. Unsur dengan sengaja. 3. Unsur melakukan ancaman kekerasan memaksa anak. 4. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa unsur ke-1 dan unsur ke-2 dari dakwaan primair di atas telah terpenuhi, akan tetapi unsur ke-3 tidak terpenuhi, sehingga dakwaan primair dinyatakan tidak terbukti, dan oleh karena itu terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair, dan karenanya harus dibebaskan dari dakwaan tersebut. Oleh karena dakwaan primair dinyatakan tidak terbukti, hakim kemudian mempertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu melanggar Pasal 82 UndangUndang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang unsurunsurnya diuraikan sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur dengan sengaja. 3. Unsur melakukan perbuatan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak. 4. Unsur untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
96
Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan subsidair di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Latar belakang perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa latar belakang perbuatan terdakwa adalah ketika terdakwa baru pulang ke rumah, terdakwa mendapati saksi korban SK binti MBS tengah tidur dalam posisi tengkurap bersama dengan kakak dan adik terdakwa, sehingga timbullah hasrat terdakwa untuk melakukan perbuataan tidak senonoh tersebut.
(2)
Akibat perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan saksi korban SK binti MBS.
(3)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa terdakwa masih anak-anak, menyatakan menyesal atas perbuatannya, bersikap sopan selama persidangan, dan juga belum pernah dihukum. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat. Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
97
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan. Terdakwa telah berdamai dengan keluarga korban dan korban. Terdakwa masih anak-anak. Terdakwa menyesali perbuatannya.
3.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 123/Pid.Sus/2011/ PN.Tng. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa YS alias A,
umur 16 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan : Kesatu Primair : Melanggar Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Subsidair : Melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP. ATAU Kedua Melanggar Pasal 290 ke-1 dan ke-3 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi korban D, saksi LI, saksi AB alias D bin SP, saksi T, saksi RA alias B, saksi CS alias E, saksi FP bin J, dan saksi YS alias O bin M. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa YS alias A. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) potong kaos Bali warna pink, 1 (satu) potong rok pendek motif kotak-kotak, 1 (satu) potong kaos dalam warna pink, 1 (satu) potong BH warna putih dengan gambar tawon di ujung, dan 1 (satu) buah celana dalam warna cream. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Visum Et Repertum No. 545/I/PKT/XII/10 tanggal 14 Desember 2010, dari Pusat Krisis Terpadu
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
98
Untuk Perempuan Dan Anak RSUP. Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, dengan kesimpulan : pada pemeriksaan korban anak perempuan berusia tiga belas tahun ini ditemukan robekan lama pada selaput dara dan memar pada bibir kemaluan kecil akibat trauma tumpul yang melewati liang senggama (penetrasi). Selanjutnya ditemukan pula memar pada leher akibat kekerasan tumpul yang tidak menimbulkan halangan atau penyakit dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa YS alias A bersalah melakukan tindak pidana “melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa YS alias A dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan, denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
(3)
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) potong kaos Bali warna pink, 1 (satu) potong rok pendek motif kotak-kotak, 1 (satu) potong kaos dalam warna pink, 1 (satu) potong BH warna putih dengan gambar tawon di ujung, dan 1 (satu) buah celana dalam warna cream, dipergunakan dalam perkara YS alias O.
(4)
Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa melalui
penasehat hukumnya, majelis hakim kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa YS alias A tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang tersebut dalam dakwaan pertama primair.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
99
(2)
Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan pertama primair tersebut.
(3)
Menyatakan terdakwa YS alias A telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama-sama melakukan perbuatan cabul terhadap anak”.
(4)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan, denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.
(5)
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan selama terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan padanya.
(6)
Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan.
(7)
Memerintahkan agar barang bukti berupa 1 (satu) potong kaos Bali warna pink, 1 (satu) potong rok pendek motif kotak-kotak, 1 (satu) potong kaos dalam warna pink, 1 (satu) potong BH warna putih dengan gambar tawon di ujung, dan 1 (satu) buah celana dalam warna cream, dipergunakan dalam perkara.
(8)
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 3.000,- (tiga ribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah majelis hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan
jaksa
penuntut
umum
disusun
dalam
bentuk
alternatif
subsidairitas, maka majelis hakim dapat memilih dakwaan mana yang akan dipertimbangkan terlebih dahulu. Oleh karena dakwaan mencampurkan antara ketentuan yang bersifat umum yaitu ketentuan di dalam KUHP dengan ketentuan yang bersifat khusus, yaitu ketentuan di dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka dengan mengingat asas lex specialist derrogat legi generallis, maka menurut
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
100
majelis hakim lebih dahulu akan dipertimbangkan dakwaan kesatu. Oleh karena dakwaan kesatu berbentuk subsidairitas, maka yang akan dipertimbangkan terlebih dahulu adalah dakwaan kesatu primair, yaitu melanggar Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP. (2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 3. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, majelis hakim berpendapat bahwa unsur ke-1 dari dakwaan kesatu primair di atas telah terpenuhi, akan tetapi unsur ke-2 tidak terpenuhi, sehingga tanpa perlu mempertimbangkan lagi unsur ke-3, maka dakwaan kesatu primair dinyatakan tidak terbukti, sehingga terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu primair, dan karenanya harus dibebaskan dari dakwaan tersebut. Oleh karena dakwaan kesatu primair dinyatakan tidak terbukti, majelis hakim kemudian mempertimbangkan dakwaan kesatu subsidair, yaitu melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya diuraikan sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
101
3. Unsur untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. 4. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, majelis hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan kesatu subsidair di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain
pertimbangan
yang
bersifat yuridis, majelis hakim juga
memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Latar belakang perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengungkapkan bahwa latar belakang perbuatan terdakwa antara lain karena terdakwa terlebih dahulu melihat saksi korban D disetubuhi oleh saksi AB alias D bin SP dan saksi T, sehingga timbul hasrat terdakwa untuk ikut juga menyetubuhi saksi korban.
(2)
Akibat perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan saksi korban D.
(3)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengungkapkan bahwa terdakwa berterus terang dan bersikap sopan selama persidangan, terdakwa juga belum pernah dihukum sebelumnya, dan ada kesanggupan dari orang tua terdakwa untuk mendidik terdakwa menjadi anak yang lebih baik. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, majelis hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu :
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
102
(1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban D.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa berterus terang dan sopan dalam persidangan. Terdakwa belum pernah dihukum. Telah terjadi perdamaian. Dari keluarga korban telah memaafkan perbuatan terdakwa. Orang tua terdakwa bersedia mendidik anaknya menjadi anak yang baik.
4.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 351/Pid.Sus/2011/ PN.Tng. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara para terdakwa MNA
alias T bin S, umur 15 tahun dan A alias B bin E, umur 17 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan : Primair : Melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Subsidair : Melanggar Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi HDS, saksi AW, dan saksi IK. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa MNA alias T bin S dan terdakwa A alias B bin E. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) paket kecil daun ganja, berat keseluruhan 2,5050 gram. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Hasil Pemeriksaan Laboratoris UPT Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional No. 333.A/I/2011/UPT Lab Uji Narkoba tanggal 26 Januari 2011, yang ditandatangani oleh
Kepala
UPT
Laboratorium
Narkoba
BNN
beserta
pemeriksanya
menyimpulkan bahwa barang bukti bahan/daun tersebut di atas adalah benar ganja mengandung THC (Tetrahydrocannabinol) dan terdaftar dalam golongan I nomor
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
103
urut 8 dan 9 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan para terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa 1. MNA alias T bin S dan terdakwa 2. A alias B bin E bersalah “secara tanpa hak atau melawan hukum menananm, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golnagn I dalam bentuk tanaman” yang melanggar Pasal 111 Ayat (1) UndangUndang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam dakwaan primair.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa berupa pidana penjara masingmasing selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dengan dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara ditambah dengan denda masing-masing sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta Rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
(3)
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) paket kecil daun ganja dirampas untuk dimusnahkan.
(4)
Menetapkan agar para terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 1.000,- (seribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan para terdakwa sendiri
serta pembelaan yang disampaikan melalui penasehat hukumnya, hakim kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa I MNA alias T bin S dan terdakwa II A alias B bin E, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak memiliki, menguasai narkotika golongan I”.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I MNA alias T bin S dan terdakwa II A alias B bin E oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta Rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
104
(3)
Memerintahkan masa penangkapan dan masa selama para terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan padanya.
(4)
Memerintahkan agar para terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(5)
Memerintahkan agar barang bukti berupa 1 (satu) paket kecil daun ganja dirampas untuk dimusnahkan.
(6)
Membebankan biaya perkara kepada para terdakwa masing-masing sebesar Rp. 3.000,- (tiga ribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk subsidairitas, maka hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primair dari jaksa penuntut umum, yaitu melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut : 1. Unsur setiap orang. 2. Unsur tanpa hak dan melawan hukum. 3. Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan primair di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya para terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan para terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
105
perbuatan para terdakwa, maka para terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya para terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Latar belakang perbuatan para terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa latar belakang perbuatan para terdakwa semata-mata karena keinginan para terdakwa untuk menghisap ganja, sebab sebelumnya para terdakwa sudah pernah memakai ganja, masing-masing untuk terdakwa MNA alias T bin S sebanyak 3 (tiga) kali dan terdakwa A alias B bin E sebanyak 2 (dua) kali.
(2)
Akibat perbuatan para terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan para terdakwa tersebut sangat membahayakan, bukan hanya bagi diri para terdakwa sendiri, namun juga bagi para generasi muda yang lain yang kemungkinan dapat terpengaruh untuk mengikuti perbuatan para terdakwa.
(3)
Kondisi diri para terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa para terdakwa menyesali perbutannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, para terdakwa selama persidangan juga berterus terang serta bersikap sopan, para terdakwa belum pernah dihukum, masih berusia muda dan masih bersekolah, sehingga dikemudian hari diharapkan dapat memperbaiki perbuatannya, orang tua para terdakwa masih sanggup untuk mendidik dan menyekolahkan para terdakwa. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri para terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan para terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan narkoba. Perbuatan para terdakwa dapat mempengaruhi para generasi muda untuk mengikutinya.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
106
(2)
Hal-hal yang meringankan : Para terdakwa berterus terang dan sopan dalam persidangan. Para terdakwa belum pernah dihukum. Para terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Usia para terdakwa masih muda. Para terdakwa masih berstatus pelajar sehingga dikemudian hari diharapkan dapat memperbaiki perbuatannya. Orang tua para terdakwa masih sanggup mendidik dan menyekolahkan para terdakwa. Selain mempertimbangkan hal-hal di atas, hakim sebelum menjatuhkan
putusan juga telah memperhatikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan, yang menyarankan agar para terdakwa dijatuhi pidana yang seringan-ringannya. Untuk masalah penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut : (1)
Bahwa berdasarkan hasil Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia yang diadakan di Palembang, bahwa minimal pidana yang dijatuhkan kepada anak nakal ialah separuh dari minimal ancaman pidana orang dewasa.
(2)
Bahwa barang bukti sebesar 2,5050 gram yang dibeli secara patungan oleh para terdakwa dan saksi AW (terdakwa dalam berkas terpisah), masingmasing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu Rupiah), sangatlah sedikit, apalagi para terdakwa hanya berniat untuk memakainya sendiri bersamasama dengan saksi AW, dan itupun belum sempat dipakai karena sudah keburu tertangkap.
(3)
Adanya kemauan para terdakwa dan orang tua para terdakwa agar para terdakwa dapat bersekolah lagi.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
107
5.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 543/Pid.Sus/2011/ PN.Tng. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa AA alias B
bin S, umur 17 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi RS dan saksi MR. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa AA alias B bin S. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) bungkus kertas warna cokelat yang dimasukkan ke dalam kertas rokok Djarum Super berisikan narkotika jenis daun ganja dengan berat netto 1,9825 gram sisa hasil lab dari barang bukti seberat 2,2333 gram; fotokopi Kutipan Akta Kelahiran No. 474.1/4286-CS/1996, tanggal 26 Juni 1996; fotokopi Surat Keterangan Nomor : 072/SMK.PB/II/2011, tanggal 23 Februari 2011; fotokopi ijazah Sekolah Dasar Negeri Curug Kulon 11, tanggal 20 Juni 2006; fotokopi ijazah Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Panongan Tangerang, tanggal 20 Juni 2009. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris dari UPT Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional No. 247.B/II/UPT Lab Uji Narkoba, tanggal 22 Februari 2011, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut : Kesimpulan : Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 1 (satu) bungkus kertas warna cokelat yang berisikan narkotika jenis daun ganja yang telah dikuasai oleh terdakwa adalah benar bahan/daun tersebut di atas adalah benar ganja mengandung THC (Tetrahydrocannabinol) dan terdaftar dalam golongan I nomor urut 8 dan 9 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dan barang bukti setelah diperiksa sisanya berupa 1 (satu) bungkus kertas warna cokelat berisikan ganja dengan berat netto 1,9825 gram di dalam bungkus rokok Djarum Super. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut :
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
108
(1)
Menetapkan terdakwa AA alias B bin S terbukti bersalah melakukan tindak pidana”tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
(2)
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa AA alias B bin S pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan membayar denda masing-masing sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta Rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan penjara.
(3)
Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas warna cokelat yang dimasukkan ke dalam kertas rokok Djarum Super berisikan narkotika jenis daun ganja dengan berat netto 1,9825 gram berdasrkan hasil UPT Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional No. 247.B/II/UPT. Lab Uji Narkoba; dirampas untuk dimusnahkan.
(4)
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa, hakim
kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa AA alias B bin S terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan melawan hukum memiliki narkotika golongan I jenis tanaman ganja”.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AA alias B bin S dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 400.000.000,(empat ratus juta Rupiah), apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka diganti dengan pelatihan kerja di BAPAS Serang selama 3 (tiga) bulan.
(3)
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan.
(4)
Memerintahkan terdakwa tetap ditahan.
(5)
Memerintahkan agar barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas warna cokelat yang dimasukkan ke dalam kertas rokok Djarum Super berisikan narkotika jenis daun ganja dengan berat netto 1,9825 gram berdasrkan hasil
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
109
UPT
Laboratorium Uji
Narkoba
Badan
Narkotika
Nasional
No.
247.B/II/UPT. Lab Uji Narkoba; dirampas untuk dimusnahkan. (6)
Membebankan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk tunggal, yaitu melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah, kesemua unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya harus terpenuhi dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut : 1. Unsur setiap orang. 2. Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman. 3. Unsur tanpa hak dan melawan hukum. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
110
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Latar belakang perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa latar belakang perbuatan terdakwa semata-mata karena keinginan terdakwa untuk menghisap ganja, sebab sebelumnya terdakwa sudah pernah sekali menghisap daun ganja.
(2)
Akibat perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa tersebut sangat membahayakan bagi diri terdakwa sendiri, dan juga telah mengabaikan program pemerintah yang sedang giat memerangi narkoba.
(3)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa terdakwa selama persidangan berlaku sopan dan mengakui terus terang atas perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya, terdakwa masih berstatus pelajar, serta belum pernah dihukum sebelumnya. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa telah mengabaikan program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas narkotika.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa berlaku sopan dan mengakui terus terang atas perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan. Terdakwa memiliki daun ganja untuk diri sendiri dan bukan untuk diedarkan kepada orang lain. Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa menyesali perbuatannya. Terdakwa masih berstatus pelajar, dan diharapkan akan melanjutkan sekolahnya lagi jika sudah menjalani pemidanaannya.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
111
Untuk masalah penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut : (1)
Bahwa oleh karena Undang-Undang Pengadilan Anak tidak mengatur tentang batasan paling minimum pidana penjara maupun pidana denda, maka berdasarkan penafsiran teleologis atau penafsiran berdasarkan maksud pembentuk undang-undang tentang pengadilan anak, pembedaan perlakuan anak dengan orang dewasa dimaksudkan demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, maka ancaman paling minimum dari pidana hukuman badan dan pidana denda harus ditafsirkan oleh hakim pengadilan adalah ½ (satu perdua) dari ancaman pidana paling minimum bagi orang dewasa.
(2)
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka tuntutan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum adalah tidak memenuhi rasa keadilan dan juga tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan mental anak, karena tujuan dari pemidanaan kepada terdakwa anak adalah untuk melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang.
(3)
Bahwa oleh karena itu, maka penjatuhan pidana kepada diri terdakwa adalah lebih tepat diterapkan batas minimum dari pidana penjara dan pidana denda bagi anak nakal, yaitu ½ (satu perdua) dari ancaman pidana paling minimum bagi orang dewasa.
6.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 41/Pid.A/2009/PN.Bdg. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa IL alias I bin
E, umur 15 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Bandung dengan dakwaan : Kesatu : Melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 56 ke-2 KUHP. ATAU
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
112
Kedua : Melanggar Pasal 290 ke-1, ke-2 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHP. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi korban N, saksi AS, dan saksi GR. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa IL alias I bin E. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) lembar surat akta lahir asli a.n. sdri. N; 1 (satu) lembar Kartu Keluarga Asli a.n. Kepala Keluarga Sdr. AS; 1 (satu) potong sweeter panjang warna abu-abu; 1 (satu) potong baju tank/over all warna cream; 1 (satu) potong baju kaos oblong warna pink; 1 (satu) potong celana legging warna hitam. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Visum Et Repertum dari RSHS UPF Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal No. 2009167/VK/IKFM/IV/2009, No. Rekam Medik 0000848292, hasil kesimpulan : “pada pemeriksaan alat kelamin tidak ditemukan tanda-tanda trauma. Pada selaput dara terdapat luka robekan lubang berebntuk tidak beraturan dengan tepi rata. Terdapat celah pada arah kiri bawah dan kanan bawah dengan ukuran sekitar satu centimeter. Tidak ada bekuan darah, warna merah kemerahan sesuai dengan warna sekitar, dan tidak ada tanda-tanda trauma. Ditemukan adanya infeksi (keputihan). Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa IL alias I bin E terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memberi kesempatan melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa IL alias I bin E selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan potong masa tahanan yang telah dijalani dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
113
(3)
Menyatakan barang bukti : 1 (satu) lembar surat akta lahir asli a.n. sdri. N; 1 (satu) lembar Kartu Keluarga Asli a.n. Kepala Keluarga Sdr. AS; 1 (satu) potong sweeter panjang warna abu-abu; 1 (satu) potong baju tank/over all warna cream; 1 (satu) potong baju kaos oblong warna pink; 1 (satu) potong celana legging warna hitam; dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi N.
(4)
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa, hakim
kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa IL alias I bin E tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memberi kesempatan melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul”.
(2)
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, dan denda sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu Rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
(3)
Menetapkan bahwa lamanya masa penahanan yang pernah dijalani terdakwa dalam perkara ini dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(4)
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) lembar surat akta lahir asli a.n. sdri. N; 1 (satu) lembar Kartu Keluarga Asli a.n. Kepala Keluarga Sdr. AS; 1 (satu) potong sweeter panjang warna abu-abu; 1 (satu) potong baju tank/over all warna cream; 1 (satu) potong baju kaos oblong warna pink; 1 (satu) potong celana legging warna hitam; dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi N.
(5)
Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(6)
Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain :
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
114
(1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk alternatif, maka hakim akan terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan kesatu, yaitu melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur sengaja memberi kesempatan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan
pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa terdakwa selama persidangan berlaku sopan dan mengakui terus terang perbuatannya, serta terdakwa menyesali perbuatannya tersebut.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
115
Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa menyatakan belum pernah dihukum. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya. Terdakwa sopan selama persidangan. Terdakwa belum menikmati hasil dari kejahatannya. Terdakwa menyesali perbuatannya.
7.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 59/Pid.An/2009/PN.Bdg. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa GS bin NS,
umur 16 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Bandung dengan dakwaan : Kesatu : Melanggar Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. ATAU Kedua : Melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi korban VYA, saksi ER, saksi RR, dan saksi RA, juga didengarkan keterangan saksi meringankan (adecarge) AM yang dihadirkan oleh terdakwa. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa GS bin NS. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) lembar foto asli USG a.n. VYA beserta surat pengantar dari bidan IRY yang menerangkan hasil pemeriksaan G2PiAo Gravida kurang lebih usia janin 8 (delapan) minggu; 1 (satu) buah test pack dengan hasil (+) positif; 1 (satu) lembar fotokopi akta kelahiran sdri. VYA; 1 (satu) lembar fotokopi kartu keluarga AKR.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
116
Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Visum Et Repertum No. VER 2009226/VK/IKFM/VI/2009 dari RS. Hasan Sadikin, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut : Selaput dara : selaput tipis dengan lubang berbentuk bulat di tengah, tepi bergelombang, ditemukan celah pada kanan atas dan kanan bawah berukuran 1 X 2 cm., tidak tampak kemerahan, tidak ada nyeri tekan. Pemeriksaan penunjang : 1.
Tes kehamilan : tes kehamilan menunjukkan hasil positif (+).
2.
Tes hapus vagina : tidak ditemukan sel sperma.
Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi (termasuk saksi adecarge) dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa GS bin NS tersebut di atas terbukti bersalah melakukan tindak pidana “persetubuhan”.
(2)
Menghukum terdakwa oleh karenanya dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta Rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
(3)
Menetapkan tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(4)
Menyatakan terdakwa tetap dalam tahanan.
(5)
Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) lembar foto asli USG a.n. VYA beserta surat pengantar dari bidan IRY yang menerangkan hasil pemeriksaan G2PiAo Gravida kurang lebih usia janin 8 (delapan) minggu; 1 (satu) buah test pack dengan hasil (+) positif; 1 (satu) lembar fotokopi akta kelahiran sdri. VYA; 1 (satu) lembar fotokopi kartu keluarga AKR; terlampir dalam berkas.
(6)
Menghukum pula terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa, hakim
kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut :
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
117
(1)
Menyatakan terdakwa GS bin NS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya”.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan denda Rp. 15.000.000,- (lima belas juta Rupiah) subsidair 2 (dua) minggu kurungan.
(3)
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(4)
Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
(5)
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) lembar foto asli USG a.n. VYA beserta surat pengantar dari bidan IRY yang menerangkan hasil pemeriksaan G2PiAo Gravida kurang lebih usia janin 8 (delapan) minggu; 1 (satu) buah test pack dengan hasil (+) positif; 1 (satu) lembar fotokopi akta kelahiran sdri. VYA; 1 (satu) lembar fotokopi kartu keluarga AKR; terlampir dalam berkas.
(6)
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,- (seribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk alternatif, maka hakim akan memilih salah satu dakwaan yang akan dipertimbangkan terlebih dahulu, yaitu dakwaan kedua, melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP sebagai berikut :
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
118
1. Unsur barang siapa. 2. Unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Latar belakang perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa latar belakang perbuatan terdakwa semata-mata karena terdakwa ingin melakukan persetubuhan dengan saksi korban VYA yang tidak lain adalah pacar terdakwa sendiri. Untuk itu terdakwa membujuk saksi korban VYA dengan mengatakan bahwa ia akan bertanggung jawab kalau ada apa-apa.
(2)
Akibat perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan saksi korban VYA, karena ia sampai hamil.
(3)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa terdakwa selama persidangan mengakui terus terang atas perbuatannya, telah meminta maaf kepada saksi korban VYA dan bersedia bertanggung jawab menikahinya, serta terdakwa juga bersedia untuk ikut membesarkan anaknya kelak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
119
Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi VYA, karena hamil.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya. Terdakwa meminta maaf kepada korban dan mau bertanggung jawab menikahi saksi VYA. Terdakwa mau ikut membesarkan anaknya kelak lahir dengan memberi kasih sayang dan bantuan materi.
8.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 84/Pid.A/2009/PN.Bdg. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa GJK alias J
bin GER, umur 17 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Bandung dengan dakwaan : Kesatu : Melanggar Pasal 332 Ayat (1) KUHP. ATAU Kedua : Melanggar Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. ATAU Ketiga : Melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi korban DY, saksi D, saksi MAY, saksi M, dan saksi JRT. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa GJK alias J bin GER.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
120
Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) potong BH warna putih; 1 (satu) potong celana legging warna hitam merek Gisca; 1 (satu) potong singlet/tanktop warna putih; 1 (satu) potong kaus oblong warna hitam merek Holly Spirit; 1 (satu) potong celana jeans merek Gustafo; 1 (satu) potong kaos oblong warna abu-abu merek Super T; 1 (satu) unit sepeda motor merek Yamaha Mio wrna hitam No. Pol. D-6696-GK. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa hasil Visum Et Repertum No. R/E/249/XI/2009/Doksik tanggal 05 Nopember 2009 dari Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih Bandung, dengan hasil pemeriksaan : Infeksi : vulva/vagina tidak ada kelainan. Palpasi : tak ada masa. Pemeriksaan colok dubur : sphinter kuat, ampula kosong, mucosa licin, corpus utori retro fleky besar dan konsistensi biasa, hymen terdapat robek sampai dasar jam 3, 7, dan 9. Dengan kesimpulan : selaput dara seorang gadis yang sudah tidak utuh lagi (pernah bersetubuh). Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa GJK alias J bin GER bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa GJK alias J bin GER dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan.
(3)
Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) potong BH warna putih; 1 (satu) potong celana legging warna hitam merek Gisca; 1 (satu) potong singlet/tanktop warna putih;
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
121
Dikembalikan kepada saksi korban DY. 1 (satu) potong kaus oblong warna hitam merek Holly Spirit; 1 (satu) potong celana jeans merek Gustafo; 1 (satu) potong kaos oblong warna abu-abu merek Super T; Dikembalikan kepada GJK alias J bin GER. 1 (satu) unit sepeda motor merek Yamaha Mio wrna hitam No. Pol. D6696-GK. Dikembalikan kepada yang berhak. (4)
Menetapkan agar terdakwa supaya dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa, hakim
kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa GJK alias J bin GER bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul”.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa GJK alias J bin GER dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan 15 (lima belas) hari.
(3)
Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(4)
Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.
(5)
Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) potong BH warna putih; 1 (satu) potong celana legging warna hitam merek Gisca; 1 (satu) potong singlet/tanktop warna putih; Dikembalikan kepada saksi korban DY. 1 (satu) potong kaus oblong warna hitam merek Holly Spirit; 1 (satu) potong celana jeans merek Gustafo; 1 (satu) potong kaos oblong warna abu-abu merek Super T; Dikembalikan kepada GJK alias J bin GER.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
122
1 (satu) unit sepeda motor merek Yamaha Mio wrna hitam No. Pol. D6696-GK. Dikembalikan kepada yang berhak. (6)
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk alternatif, maka hakim akan memilih salah satu dakwaan yang akan dipertimbangkan terlebih dahulu, yaitu dakwaan ketiga, melanggar Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
(3)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
123
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Akibat perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa telah merugikan dan merusak masa depan saksi korban DY.
(2)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa terdakwa masih di bawah umur, dan terdakwa selama persidangan mengakui terus terang atas perbuatannya, serta menyatakan menyesal atas perbuatannya tersebut. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban. Perbuatan terdakwa merugikan saksi korban.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa masih di bawah umur. Telah terjadi perdamaian antara keluarga saksi korban dengan keluarga terdakwa.
9.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 691/Pid.A/2010/PN.Bdg. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa AA bin DW,
umur 16 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Bandung dengan dakwaan : Kesatu : Melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. ATAU
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
124
Kedua : Melanggar Pasal 286 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. ATAU Ketiga : Melanggar Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi korban IP binti SS, saksi FI binti SS, saksi T binti K, saksi Y alias P bin J, saksi SH bin HB, saksi MS alias I bin H. US, dan saksi CPS bin EJ. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa AA bin DW. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 1 (satu) potong jaket warna abu-abu merek Bandit; 1 (satu) potong celana panjang jeans warna cokelat merek FS; 1 (satu) potong kaos tangan pendek warna abu-abu merek sport; 1 (satu) potong celana dalam warna cokelat; 1 (satu) unit sepeda motor merek Honda/NF 100 Supra Fit X No. Pol. D-4070-FX tahun 2008 warna silver merah. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa hasil Visum Et Repertum Nomor : 354/765-RSUD/2010 tanggal 24 April 2010 dari Rumah sakit Umum Daerah Kota Bandung, dengan kesimpulan : hasil pemeriksaan : pada pemeriksaan alat kelamin vulva : mucosa licin, tidak tampak laserasi, hymen intak, tampak laserasi di dinding luar hymen arah jam 4. Kesimpulan : telah dilakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan umur 16 (enam belas) tahun, ditemukan hymen intak. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa AA bin DW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kesatu Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
125
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AA bin DW dengan pidana penjara selam 4 (empat) tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan terdakwa tetap ditahan, dengan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
(3)
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) potong jaket warna abu-abu merek Bandit; 1 (satu) potong celana panjang jeans warna cokelat merek FS; 1 (satu) potong kaos tangan pendek warna abu-abu merek sport; 1 (satu) potong celana dalam warna cokelat; 1 (satu) unit sepeda motor merek Honda/NF 100 Supra Fit X No. Pol. D-4070-FX tahun 2008 warna silver merah; dipergunakan dalam perkara Y alias P bin J.
(4)
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,(dua ribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa, hakim
kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa AA bin DW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
(2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan, dan denda terhadap terdakwa sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah) dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama 2 (dua) bulan.
(3)
Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(4)
Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
(5)
Menetapkan barang bukti berupa1 (satu) potong jaket warna abu-abu merek Bandit; 1 (satu) potong celana panjang jeans warna cokelat merek FS; 1 (satu) potong kaos tangan pendek warna abu-abu merek sport; 1 (satu) potong celana dalam warna cokelat; 1 (satu) unit sepeda motor merek Honda/NF 100 Supra Fit X No. Pol. D-4070-FX tahun 2008 warna silver merah; dipergunakan dalam perkara Y alias P bin J.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
126
(6)
Membebankan membayar biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk alternatif, maka hakim akan memilih salah satu dakwaan yang akan dipertimbangkan terlebih dahulu, yaitu dakwaan kesatu, melanggar Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke1 KUHP.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat serangkaian kebohongan atau membujuk nak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 3. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
127
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa selama persidangan terdakwa mengakui terus terang atas perbuatannya, merasa bersalah, serta menyatakan menyesal atas perbuatannya tersebut. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat. Perbuatan terdakwa melakukan persetubuhan dengan seorang wanita yang belum dewasa.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa mengaku terus terang. Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
10.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 1048/Pid/AN/2012/ PN.Bdg. Putusan di atas merupakan putusan dalam perkara terdakwa HE bin D,
umur 17 tahun yang diajukan ke persidangan anak Pengadilan Negeri Bandung dengan dakwaan melanggar Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam persidangan telah didengarkan keterangan saksi-saksi, yaitu saksi ZC dan saksi WK. Selanjutnya telah pula didengarkan keterangan terdakwa HE bin D. Barang bukti yang diajukan ke persidangan berupa 5 (lima) bungkus plastik berisikan kristal (shabu) seberat 1,8144 gram; 1 (satu) unit HP NOKIA 2680; 1 (satu) unit HP NOKIA 1280. Alat bukti surat yang diajukan ke persidangan berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Badan Narkotika Nasional terhadap barang bukti 5
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
128
(lima) paket kecil yang dikemas menggunakan bekas bungkus permen dengan kesimpulan positif mengandung metamfetamin termasuk golongan I. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan tuntutan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa HE bin D terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman” sebagaimana diatur dalam Pasal 112 Ayat (1) UndangUndang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
(2)
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 400.000.000,(empat ratus juta Rupiah) subsidair 2 (dua) bulan penjara dikurangi selama dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
(3)
Menetapkan barang bukti berupa : 5 (lima) bungkus plastik berisikan kristal (shabu) seberat 1,8144 gram; dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan bukti dalam perkara H. 1 (satu) unit HP NOKIA 2680 dan 1 (satu) unit HP NOKIA 1280 dirampas untuk dimusnahkan.
(4)
Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,(dua ribu Rupiah). Setelah mendengarkan pembelaan yang disampaikan terdakwa melalui
penasehat hukumnya, hakim kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : (1)
Menyatakan terdakwa HE bin D dengan identitas tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman”.
(2)
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 400.000.000,(empat ratus juta Rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pelatihan kerja selama 1 (satu) bulan.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
129
(3)
Memerintahkan agar terdakwa menjalani hukuman tersebut di Lembaga Pemasyarkatan Anak Tangerang.
(4)
Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(5)
Memerintahkan supaya terdakwa tetap dalam tahanan.
(6)
Menetapkan barang bukti berupa : 5 (lima) bungkus plastik berisikan kristal (shabu) seberat 1,8144 gram; dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan bukti dalam perkara H. 1 (satu) unit HP NOKIA 2680 dan 1 (satu) unit HP NOKIA 1280 dirampas untuk dimusnahkan.
(7)
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,- (seribu Rupiah). Putusan tersebut di atas diambil setelah hakim mempertimbangkan
pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu antara lain : (1)
Dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa oleh karena dakwaan jaksa penuntut umum disusun dalam bentuk tunggal, yaitu melanggar Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah, kesemua unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya harus terpenuhi dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
(2)
Pasal-pasal peraturan hukum pidana. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan unsur-unsur dari Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut : 1. Unsur barang siapa. 2. Unsur tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman. Dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dari dakwaan di atas telah terpenuhi, dan oleh karenanya terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
130
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tersebut, dan oleh karena selama persidangan tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa, yaitu berupa alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula ditemukan faktor-faktor yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dijatuhi hukuman. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim juga memberikan pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu antara lain : (1)
Akibat perbuatan terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa dapat membahayakan dan merugikan orang lain.
(2)
Kondisi diri terdakwa. Dalam pertimbangannya, hakim mengungkapkan bahwa selama persidangan terdakwa bersikap sopan, mengakui terus terang perbuatannya, serta menyatakan menyesal atas perbuatannya tersebut. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, hakim juga
mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan, yaitu : (1)
Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa merugikan orang lain.
(2)
Hal-hal yang meringankan : Terdakwa bersikap sopan dan memberikan keterangan secara terus terang di persidangan, sehingga memperlancar jalannya pemeriksaan. Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa
menyesali
perbuatannya
dan
berjanji
tidak
akan
mengulanginya lagi.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
131
4.2
PEMIDANAAN YANG DIJATUHKAN OLEH HAKIM TERHADAP TERDAKWA ANAK YANG TERANCAM PIDANA MINIMUM KHUSUS Secara umum, istilah pemidanaan sering diartikan sama dengan hukuman,
seperti halnya yang dikemukakan oleh R. Soesilo, yang mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.232 Pengaturan mengenai putusan pemidanaan sendiri terdapat di dalam ketentuan Pasal 193 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, antara lain adalah berupa pidana penjara dan pidana denda. Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) undang-undang tersebut juga menentukan, bahwa pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa. Sedangkan untuk ancaman pidana minimum khusus, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak mengaturnya. Untuk mengetahui pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, penulis telah melakukan penelitian dan pengambilan data di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung, yang hasilnya seperti telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya. Untuk lebih jelasnya dalam memperoleh gambaran tentang bagaimana Hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutus perkara terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, dapat dilihat dalam tabel berikut ini. _____________ 232
R. Soesilo, op. cit., hal. 30.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
132
Tabel 5. Lamanya Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum Dan Lamanya Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Hakim JPU NOMOR PUTUSAN
HAKIM
1. Pasal Yang Dinyata- 1. Pasal Yang Dinyatakan Terbukti kan Terbukti 2. Ancaman Pidana 2. Ancaman Pidana 3. Lamanya Tuntutan 3. Lamanya Pidana Pidana Yang Dijatuhkan
1110/Pid.B/2010/PN.Tng. 1. 111 (1) jo. 132 (1) UU. 1. 111 (1) jo. 132 (1) UU. Narkotika. Narkotika. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 4 tahun dan paling 4 tahun dan paling lama 12 Tahun, dan lama 12 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- dan Rp. 800.000.000,- dan paling banyak 8 milyar paling banyak 8 milyar Rupiah. Rupiah. 3. Masing-masing penjara 3. Masing-masing penjara 5 tahun, dan denda Rp. 3 tahun, dan denda Rp. 800.000.000,800.000.000,1175/Pid.B/2010/PN.Tng. 1. 82 UU. Perlindungan 1. 82 UU. Perlindungan Anak. Anak. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 3 tahun dan paling 3 tahun dan paling lama 15 Tahun, dan lama 15 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. paling banyak Rp. 300.000.000,300.000.000,3. Penjara 3 tahun dan 6 3. Penjara 2 tahun dan 6 bulan, dan denda Rp. bulan, dan denda Rp. 60.000.000,60.000.000,123/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 1. 82 UU. Perlindungan 1. 82 UU. Perlindungan Anak jo. 55 (1) KUHP. Anak jo. 55 (1) KUHP. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 3 tahun dan paling 3 tahun dan paling lama 15 Tahun, dan lama 15 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. paling banyak Rp. 300.000.000,300.000.000,-
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
133
3. Penjara 3 tahun, dan 3. Penjara 1 tahun dan 1 denda Rp. 60.000.000,bulan, dan denda Rp. 60.000.000,351/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 1. 111 (1) UU. Narkotika. 1. 111 (1) UU. Narkotika. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 4 tahun dan paling 4 tahun dan paling lama 12 Tahun, dan lama 12 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- dan Rp. 800.000.000,- dan paling banyak 8 milyar paling banyak 8 milyar Rupiah. Rupiah. 3. Masing-masing penjara 3. Masing-masing penjara 4 tahun dan 6 bulan, 2 tahun, dan denda Rp. dan denda Rp. 400.000.000,800.000.000,543/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 1. 111 (1) UU. Narkotika. 1. 111 (1) UU. Narkotika. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 4 tahun dan paling 4 tahun dan paling lama 12 Tahun, dan lama 12 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- dan Rp. 800.000.000,- dan paling banyak 8 milyar paling banyak 8 milyar Rupiah. Rupiah.
41/Pid.A/2009/PN.Bdg.
3. Penjara 4 tahun dan 6 3. Penjara 2 tahun, dan bulan, dan denda Rp. denda 800.000.000,Rp. 400.000.000,1. 82 UU. Perlindungan 1. 82 UU. Perlindungan Anak jo. 56 ke-2 Anak jo. 56 ke-2 KUHP. KUHP. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 3 tahun dan paling 3 tahun dan paling lama 10 Tahun, dan lama 10 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. paling banyak Rp. 200.000.000,200.000.000,3. Penjara 1 tahun dan 6 3. Penjara 1 tahun dan 6 bulan. bulan, dan denda Rp. 500.000,-
59/Pid.An/2009/PN.Bdg.
1. 81 (2) UU. 1. 81 (2) UU. Perlindungan Anak jo. Perlindungan Anak jo. 65 (1) KUHP. 65 (1) KUHP. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 3 tahun dan paling 3 tahun dan paling
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
134
lama 15 Tahun, dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. 300.000.000,-
84/Pid.A/2009/PN.Bdg.
lama 15 Tahun, dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. 300.000.000,-
3. Penjara 7 bulan, dan 3. Penjara 7 bulan, dan denda Rp. 30.000.000,denda Rp. 15.000.000,1. 82 UU. Perlindungan 1. 82 UU. Perlindungan Anak. Anak. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 3 tahun dan paling 3 tahun dan paling lama 15 Tahun, dan lama 15 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. paling banyak Rp. 300.000.000,300.000.000,3. Penjara 10 bulan.
691/Pid.A/2010/PN.Bdg.
3. Penjara 5 bulan dan 15 hari. 1. 81 (2) UU. 1. 81 (2) UU. Perlindungan Anak jo. Perlindungan Anak jo. 55 (1) ke-1 KUHP. 55 (1) ke-1 KUHP. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 3 tahun dan paling 3 tahun dan paling lama 15 Tahun, dan lama 15 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- dan Rp. 60.000.000,- dan paling banyak Rp. paling banyak Rp. 300.000.000,300.000.000,-
1048/Pid/AN/2012/ PN.Bdg.
3. Penjara 4 tahun, dan 3. Penjara 2 tahun dan 6 denda Rp. 60.000.000,bulan, dan denda Rp. 50.000.000,1. 112 (1) UU. Narkotika. 1. 112 (1) UU. Narkotika. 2. Penjara paling singkat 2. Penjara paling singkat 4 tahun dan paling 4 tahun dan paling lama 12 Tahun, dan lama 12 Tahun, dan denda paling sedikit denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- dan Rp. 800.000.000,- dan paling banyak 8 milyar paling banyak 8 milyar Rupiah. Rupiah. 3. Penjara 2 tahun dan 6 3. Penjara 2 tahun, dan bulan, dan denda Rp. denda Rp. 400.000.000,400.000.000,-
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
135
Dari tabel 5. di atas, diketahui bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, hakim-hakim Pengadilan Negeri Tangerang maupun Pengadilan Negeri Bandung tidak terpaku pada ketentuan minimum khusus yang ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dapat dilihat bahwa dari lima putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan lima putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, kesemuanya menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus. Hal ini berarti dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada (sebelum diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Belum jelasnya pengaturan mengenai ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak, menimbulkan banyak polemik dan pro kontra pendapat dari berbagai pihak mengenai penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak. Pihak yang tidak sependapat mengatakan bahwa penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, bagi seorang terdakwa anak sekalipun adalah bertentangan dengan undang-undang, serta melanggar asas legalitas. Kendati Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat ketentuan bahwa minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, namun oleh karena baru efektif diberlakukan setelah dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, membuat pihak-pihak yang tidak setuju dengan penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak tadi berpendapat bahwa hal tersebut belum memiliki dasar hukum, karena ketentuan dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 di atas belum bisa dijadikan pedoman atau dasar hukum sebelum undang-undang tersebut dinyatakan efektif berlaku. Sebaliknya pihak yang setuju dengan kemungkinan hakim untuk menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak, beranggapan bahwa hakim bukan hanya sekedar “corong” atau “terompet”-
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
136
nya undang-undang (la bouche de la loi), yang tidak lebih dari sekedar pelaksana undang-undang. Manakala undang-undangnya tidak jelas atau tidak lengkap, maka hakim dapat melakukan interpretasi atau penafsiran. Seperti dikatakan Mardjono Reksodiputro : “penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan undang-undang ............. memang dapat dikatakan telah melanggar undang-undang, namun di sini hakim mempunyai kewenangan menafsirkan undang-undang, karena itu dikenal istilah undang-undang dibuat oleh hakim (judge made law). Sehingga untuk hal-hal tertentu hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah batas minimal asalkan ada pertimbangan ataupun argumentasi yang mengarah kepada demi keadilan”.233 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengatakan, hakim bukan sekedar corong undang-undang, melainkan harus mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga hukum yang harus diterapkan oleh hakim adalah “pengalaman merasakan jeritan mereka yang mencari keadilan”.234 Apa yang diutarakan Mardjono Reksodiputro di atas sejalan dengan Teori kebijaksanaan yang diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak.235 Menurut Ahmad Rifai, kebijaksanaan yang harus dimiliki oleh hakim dalam menjatuhkan suatu putusan adalah merupakan gabungan dari beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang hakim, seperti wawasan ilmu pengetahuan yang luas, intuisi atau insting yang tajam dan peka, pengalaman yang luas, serta etika dan moralitas yang baik yang terjaga dari pengaruh-pengaruh buruk dalam kehidupannya.236 Terlepas dari adanya dualisme pendapat mengenai penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak, menarik untuk dicermati bagaimana jaksa-jaksa penuntut umum yang bersidang di Pengadilan Negeri Bandung menyikapi masalah pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus ini. _____________ 233
Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Tendik Wicaksono, op. cit., hal. 149.
234
Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Tendik Wicaksono, ibid., hal. 153.
235
Ahmad Rifai, op. cit., hal. 112.
236
Ibid., hal. 113.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
137
Dari tabel 5. di atas, terlihat bahwa dualisme pendapat mengenai penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak juga muncul di kalangan jaksa-jaksa penuntut umum yang bersidang di Pengadilan Negeri Bandung. Hal ini terlihat dari adanya tuntutan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus yang lebih rendah atau di bawah dari ancaman minimum pidana sebagaimana yang diatur dalam undangundang yang bersangkutan. Setidaknya dari tabel 5. tersebut diketahui terdapat 4 (empat) perkara yang dituntut lebih rendah atau di bawah ancaman minimum pidana yang berlaku untuk tindak pidana yang bersangkutan, yaitu dalam perkara Nomor
41/Pid.A/2009/PN.Bdg.;
Nomor
59/Pid.An/2009/PN.Bdg.;
Nomor
84/Pid.A/2009/PN.Bdg.; dan Nomor 1048/Pid/AN/2012/PN.Bdg. Ada temuan juga dari hasil penelitian penulis terhadap putusan-putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak, yaitu bagaimana sikap jaksa penuntut umum terhadap putusan tersebut. Apakah menerima atau mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 6. Sikap Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Yang Menjatuhkan Pidana Di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak. BANDING NOMOR PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
KASASI
1. Pihak Yang Mengajukan
1. Pihak Yang Mengajukan
2. Isi Putusan
2. Isi Putusan
1110/Pid.B/2010/PN.Tng. 1. Jaksa Penuntut Umum. 1. Jaksa Penuntut Umum. 2. Menguatkan Putusan 2. Menolak permohonan Pengadilan Negeri kasasi dari pemohon Tangerang Tanggal 26 kasasi : jaksa/penuntut Juli 2010 No. umum pada Kejaksaan 1110/Pid.B/2010/PN. Negeri Tigarakasa Tng yang dimintakan tersebut; Memperbaiki amar banding tersebut. putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor : 126/Pid/2010/PT.Btn
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
138
tanggal 30 Agustus 2010 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1110/Pid.B/2010.PN. Tng sekedar mengenai subsidair pidana denda. 1175/Pid.B/2010/PN.Tng. 1. Tidak Ada. 2.
-
1. Tidak Ada. 2.
-
123/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 1. Jaksa Penuntut Umum. 1. Tidak Ada. 2. Penjara 2 tahun, dan 2. denda Rp. 60.000.000,351/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 1. Jaksa Penuntut Umum. 1. Jaksa Penuntut Umum. 2. Menguatkan Putusan 2. Menolak permohonan Pengadilan Negeri kasasi dari pemohon Tangerang Tanggal 4 kasasi : jaksa/penuntut April 2011 No. umum pada Kejaksaan 351/Pid.Sus/2010/PN. Negeri Tangerang Tng yang dimintakan tersebut; banding tersebut. 543/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 1. Jaksa Penuntut Umum. 1. Tidak Ada.
41/Pid.A/2009/PN.Bdg.
2. Menguatkan Putusan 2. Pengadilan Negeri Tangerang Tanggal 20 April 2011 No. 543/Pid.Sus/2010/PN. Tng yang dimintakan banding tersebut. 1. Tidak Ada. 1. Tidak Ada. 2.
59/Pid.An/2009/PN.Bdg. 84/Pid.A/2009/PN.Bdg. 691/Pid.A/2010/PN.Bdg. 1048/Pid/AN/2012/ PN.Bdg.
-
2.
-
1. Tidak Ada.
1. Tidak Ada.
2.
2.
-
-
1. Tidak Ada.
1. Tidak Ada.
2.
2.
-
-
1. Tidak Ada.
1. Tidak Ada.
2.
2.
-
-
1. Tidak Ada.
1. Tidak Ada.
2.
2.
-
-
Dari tabel 6. di atas terlihat bahwa dari lima putusan Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
139
terhadap terdakwa anak, semuanya dinyatakan diterima oleh jaksa penuntut umum tanpa
mengajukan
upaya
hukum,
termasuk
dalam
Putusan
Nomor
691/Pid.A/2010/PN.Bdg., yang jaksa penuntut umumnya tidak mengajukan tuntutan pidana penjara dan pidana denda di bawah ancaman pidana minimum khusus. Sementara dari lima putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak, hanya satu putusan saja yaitu dalam perkara Nomor 1175/Pid.B/2010/PN.Tng. yang dinyatakan diterima oleh jaksa penuntut umum tanpa mengajukan upaya hukum. Sedangkan empat lainnya mengajukan upaya hukum banding. Dua di antaranya kemudian mengajukan upaya hukum kasasi, ketika ternyata putusan banding tetap menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, sedangkan dua lainnya, yaitu dalam perkara Nomor 123/Pid.Sus/2011/PN.Tng. dan Nomor 543/Pid.Sus/2011/PN.Tng. dinyatakan diterima oleh jaksa penuntut umum tanpa mengajukan upaya hukum kasasi, kendati putusan banding tetap menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus. 4.3
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS TERHADAP TERDAKWA ANAK Pertimbangan merupakan salah satu bagian penting dalam sebuah putusan
hakim. Bukan hanya dalam menentukan kesalahan terdakwa saja, namun pertimbangan juga penting untuk menentukan berat ringannya pemidanaan. Seperti diungkapkan M. Yahya Harahap, bahwa dalam uraian pertimbangan putusan,
mengenai
fakta
atau
keadaan
yang
“memberatkan”
dan/atau
“meringankan” harus jelas diungkapkan, karena landasan yang dipergunakan sebagai dasar titik tolak untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang “memberatkan” dan/atau “meringankan” tadi.237 _____________ 237
Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 361.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
140
Pentingnya sebuah pertimbangan hukum dapat dilihat dari ketentuan Pasal 197 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada pokoknya menyatakan bahwa tidak adanya pertimbangan dalam putusan dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum. Rusli Muhammad membagi pertimbangan hakim ini ke dalam dua kategori, yaitu pertama pertimbangan yang bersifat yuridis, yang terdiri dari : dakwaan jaksa penuntut umum; keterangan terdakwa; keterangan saksi; barangbarang bukti; dan pasal-pasal peraturan hukum pidana. Yang kedua, yaitu pertimbangan yang bersifat non yuridis, yang terdiri dari : latar belakang perbuatan terdakwa; akibat perbuatan terdakwa; kondisi diri terdakwa; keadaan sosial ekonomi terdakwa; dan faktor agama terdakwa.238 Menurut pendapat penulis, pertimbangan yang bersifat non yuridis inilah yang sering kali menjadi dasar hakim di dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, yang dalam putusan biasanya termuat pada bagian “hal-hal yang memberatkan” dan “hal-hal yang meringankan”. Seperti halnya dalam putusan-putusan pada umumnya, dalam putusanputusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, juga dicantumkan pertimbangan-pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan yang menjadi dasar hakim di dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa. Untuk mengetahui perbandingan dari setiap putusan mengenai pertimbangan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
_____________ 238
Lihat Rusli Muhammad, op. cit., hal. 124-144.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
141
Tabel 7. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Terhadap Terdakwa Anak. PERTIMBANGAN NOMOR PUTUSAN
1. Hal-Hal Yang Memberatkan 2. Hal-Hal Yang Meringankan 3. Pertimbangan Lain Menyangkut Penjatuhan Pidana Di Bawah Ancaman Pidana Minimum Khusus
1110/Pid.B/2010/ 1. Perbuatan para terdakwa tidak mendukung program PN.Tng. pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkotika; Para terdakwa sudah pernah menggunakan narkotika jenis ganja. 2. Para terdakwa mengaku terus terang dan tidak mempersulit pemeriksaan di persidangan; Para terdakwa menyesali perbuatannya; Para terdakwa masih muda, umur 17 tahun, dan masih sekolah di SMK. 3. Berdasarkan pada Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus: Buku II, halaman 86 angka 5, terbitan Mahkamah Agung RI tahun 2008 yang menyatakan : “pidana penjara, pidana kurungan, atau pidana denda dapat dijatuhkan kepada anak nakal, paling lama atau paling banyak ½ dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Ketentuan ini diberlakukan juga dalam hal minimum ancaman pidana bagi anak. 1175/Pid.B/2010/ 1. Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat; PN.Tng. Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban. 2. Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan; Terdakwa telah berdamai dengan keluarga korban dan korban; Terdakwa masih anak-anak; Terdakwa menyesali perbuatannya. 3. Tidak Ada. 123/Pid.Sus/ 2011/PN.Tng.
1. Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban D.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
142
2. Terdakwa berterus terang dan sopan dalam persidangan; Terdakwa belum pernah dihukum; Telah terjadi perdamaian; Dari keluarga korban telah memaafkan perbuatan terdakwa; Orang tua terdakwa bersedia mendidik anaknya menjadi anak yang baik. 3. Tidak Ada. 351/Pid.Sus/ 2011/PN.Tng.
1. Perbuatan para terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan narkoba; Perbuatan para terdakwa dapat mempengaruhi para generasi muda untuk mengikutinya. 2. Para terdakwa berterus terang dan sopan dalam persidangan; Para terdakwa belum pernah dihukum; Para terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi; Usia para terdakwa masih muda; Para terdakwa masih berstatus pelajar sehingga dikemudian hari diharapkan dapat memperbaiki perbuatannya; Orang tua para terdakwa masih sanggup mendidik dan menyekolahkan para terdakwa. 3. Berdasarkan hasil Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia yang diadakan di Palembang, bahwa minimal pidana yang dijatuhkan kepada anak nakal ialah separuh dari minimal ancaman pidana orang dewasa.
543/Pid.Sus/ 2011/PN.Tng.
1. Perbuatan terdakwa telah mengabaikan program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas narkotika. 2. Terdakwa berlaku sopan dan mengakui terus terang atas perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan; Terdakwa memiliki daun ganja untuk diri sendiri dan bukan untuk diedarkan kepada orang lain; Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa menyesali perbuatannya; Terdakwa masih berstatus pelajar, dan diharapkan akan melanjutkan sekolahnya lagi jika sudah menjalani pemidanaannya.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
143
3. Oleh karena Undang-Undang Pengadilan Anak tidak mengatur tentang batasan paling minimum pidana penjara maupun pidana denda, maka berdasarkan penafsiran teleologis atau penafsiran berdasarkan maksud pembentuk undang-undang tentang pengadilan anak, pembedaan perlakuan anak dengan orang dewasa dimaksudkan demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, maka ancaman paling minimum dari pidana hukuman badan dan pidana denda harus ditafsirkan oleh hakim pengadilan adalah ½ (satu perdua) dari ancaman pidana paling minimum bagi orang dewasa. 41/Pid.A/2009/ PN.Bdg.
1. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. 2. Terdakwa menyatakan belum pernah dihukum; Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; Terdakwa sopan selama persidangan; Terdakwa belum menikmati hasil dari kejahatannya; Terdakwa menyesali perbuatannya; 3. Tidak Ada
59/Pid.An/2009/ PN.Bdg.
1. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat; Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi VYA, karena hamil. 2. Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; Terdakwa meminta maaf kepada korban dan mau bertanggung jawab menikahi saksi VYA; Terdakwa mau ikut membesarkan anaknya kelak lahir dengan memberi kasih sayang dan bantuan materi. 3. Tidak Ada.
84/Pid.A/2009/ PN.Bdg.
1. Perbuatan terdakwa merusak masa depan saksi korban; Perbuatan terdakwa merugikan saksi korban. 2. Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi; Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa masih di bawah umur; Telah terjadi perdamaian antara keluarga saksi korban dengan keluarga terdakwa. 3. Tidak Ada.
691/Pid.A/2010/ PN.Bdg.
1. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat;
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
144
Perbuatan terdakwa melakukan persetubuhan dengan seorang wanita yang belum dewasa. 2. Terdakwa mengaku terus terang; Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa mengaku bersalah perbuatannya.
dan
menyesali
3. Tidak Ada. 1048/Pid/AN/ 2012/PN.Bdg.
1. Perbuatan terdakwa merugikan orang lain. 2. Terdakwa bersikap sopan dan memberikan keterangan secara terus terang di persidangan, sehingga memperlancar jalannya pemeriksaan; Terdakwa belum pernah dihukum; Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. 3. Tidak Ada.
Berdasarkan tabel 7. di atas dapat dilihat bahwa dari sepuluh putusan yang diteliti oleh penulis, hanya tiga putusan saja yang hakimnya mempertimbangkan alasan ataupun dasar untuk menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Dari ketiga putusan tersebut, ternyata hanya satu putusan yang melakukan upaya penemuan hukum dalam pertimbangannya, yaitu putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 543/Pid.Sus/2011/PN.Tng., di mana dalam pertimbangannya hakim berupaya melakukan interpretasi atau penafsiran melalui interpretasi teleologis atau sosiologis. Menurut Sudikno Mertokusumo, dengan menggunakan interpretasi teleologis atau sosiologis, undang-undang yang masih berlaku tapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan, dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diudangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.239 Penafsiran teleologis atau sosiologis menjadi sangat penting apabila hakim menjalankan suatu undangundang, di mana keadaan masyarakat pada waktu undang-undang tersebut _____________ 239
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, op. cit., hal. 171.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
145
ditetapkan berbeda sekali dengan keadaan pada waktu undang-undang itu dijalankan.240 Dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
Tangerang
Nomor
543/Pid.Sus/2011/PN.Tng. tersebut, hakim menyatakan bahwa pembedaan batasan maksimum untuk anak, yaitu ½ (satu perdua) dari ancaman pidana maksimum untuk dewasa dimaksudkan oleh pembentuk Undang-Undang Pengadilan Anak (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak. Maka ketika anak berhadapan dengan ancaman paling minimum dari pidana hukuman badan dan pidana denda, hakim harus menafsirkan bahwa ketentuan ½ (satu perdua) dari ancaman pidana maksimum bagi orang dewasa juga berlaku bagi ancaman minimum. Jika dihubungkan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo di atas, terlihat bahwa hakim di dalam putusan tersebut menganggap ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang menyatakan bahwa pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa, sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa hubungan, kebutuhan, dan kepentingan masa kini. Seperti telah penulis sampaikan pada sub bab ketiga pada Bab III, tidak diaturnya ketentuan mengenai pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, disebabkan karena pada masa itu belum ada ketentuan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana minimum khusus di dalam ketentuan pidananya. Sehingga ketika ketentuan pidana minimum khusus sudah marak dan menjadi trend dalam pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini, maka dianggap perlu adanya interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, sebelum adanya ketentuan yang secara khusus mengatur hal tersebut (penerapan ketentuan pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak). _____________ 240
Riduan Syahrani, op. cit., hal. 59.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
146
Menurut salah satu Hakim Pengadilan Negeri Bandung, DR. H. Syahrul Machmud, SH., MH., dalam suatu putusan yang bisa dikatakan “menyimpang” dari ketentuan perundang-undangan, seharusnya hakim dapat memberikan suatu pertimbangan yang mengarah pada suatu penemuan hukum untuk memberikan dasar atas “penyimpangan”-nya tersebut. Lebih lanjut dengan mengutip Satjipto Rahardjo ia mengatakan bahwa penegak hukum (utamanya hakim) harus berani keluar dari alur tradisi penegakkan hukum yang hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan semata. Sebab hukum bukanlah hanya ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Ia harus dilihat pula dari perspektif sosial dan perilaku yang senyatanya, serta dapat diterima oleh dan bagi semua manusia yang ada di dalamnya. Namun sayangnya lanjut Syahrul Machmud, sebagian besar hakim masih terjebak dalam tugas rutinismenya belaka, kurang atau tidak berani keluar dari paradigma legalistik positivis. Karena berpikir ala aliran positivis tidak terlalu memerlukan pemikiran yang mendalam, hanya sekedar mencocokkan dengan bunyi pasal-pasal yang ada. Padahal diharapkan dalam putusannya hakim akan selalu memberikan pertimbangan yang lebih mendalam dari berbagai aspek, baik aspek sosiologis, aspek yuridis, dan aspek filosofis, dan dalam hal-hal tertentu, manakala undang-undang sudah dianggap out of date ia harus berani meninggalkannya dan memberikan alternatif baru sebagai pencerahan.241 Terkait dengan “hal-hal yang memberatkan” dan “hal-hal yang meringankan” yang menjadi dasar hakim di dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, penulis akan menganalisa hal-hal “meringankan” yang menjadi pertimbangan hakim-hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Dari sepuluh putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung tersebut di atas, enam diantaranya merupakan perkara yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. _____________ 241
Hasil wawancara melalui sambungan telepon dengan DR. H. Syahrul Machmud, SH., MH. (Hakim Pengadilan Negeri Bandung) pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2013.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
147
Sedangkan sisanya adalah perkara-perkara yang menyangkut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dari enam putusan yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, berdasarkan tabel 7. di atas terlihat bahwa dalam hal-hal yang meringankan, hakim sangat mengutamakan adanya perdamaian dan sikap saling memaafkan antara pihak korban serta keluarganya dengan pihak terdakwa (juga beserta keluarganya), sebagai hal yang memperingan pidana yang dijatuhkan (menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus). Tercatat ada empat putusan, yaitu Putusan Nomor 1175/Pid.B/2010/ PN.Tng.; Nomor 123/Pid.Sus/2011/PN.Tng.; Nomor 59/Pid.An/2009/PN.Bdg.; dan Nomor 84/Pid.A/2009/PN.Bdg., yang memuat mengenai hal ini. Pertimbangan tentang adanya perdamaian dan sikap saling memaafkan antara pihak korban dengan pihak terdakwa menjadi hal penting jika dikaitakan dengan teori rehabilitasi dalam tujuan pemidanaan. Seperti dikatakan Andrew Ashworth sebagimana dikutip oleh Eva Achjani Zulfa, rehabilitasi lebih memfokuskan diri untuk mereformasi atau memperbaiki pelaku.242 Di satu sisi, adanya perdamaian dan sikap saling memaafkan antara kedua belah pihak akan sangat membantu terdakwa dalam membebaskan diri dari rasa bersalah sehingga bisa fokus dalam usaha memperbaiki diri di dalam masyarakat. Untuk itu pidana (penjara) yang terlalu lama tidak seharusnya diberikan, karena justru akan menghalangi proses perbaikan atau rehabilitasi itu sendiri. Sementara itu dalam perkara-perkara yang menyangkut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, berdasarkan tabel 7. di atas, dapat dilihat bahwa status para terdakwa yang masih anak-anak di bawah umur, berusia sangat muda, dan masih bersekolah menjadi fokus hakim sebagai hal yang memperingan pidana yang dijatuhkan (menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus). Tercatat tiga dari empat perkara yang menyangkut Undang-Undang
Nomor
35
Tahun
2009
mempertimbangkan
hal
ini.
Sesungguhnya pertimbangan mengenai status para terdakwa yang masih anakanak di bawah umur ini secara umum menjadi pertimbangan bagi para hakim _____________ 242
Eva Achjani Zulfa, op. cit., hal. 56.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
148
dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, baik dinyatakan secara tegas dalam pertimbangannya maupun tidak. Seperti dikatakan Kartini Kartono, anak adalah keadaan manusia normal yang masih muda usia dan jiwanya, sehingga sangat mudah terpengaruh lingkungannya.243 Jika definisi ini dihubungkan dengan kajian yang dibuat oleh Yong Ohoitimur, yang menganggap kejahatan sebagai symptom disharmony mental atau ketidak seimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, konseling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya,244 maka anak-anak yang melakukan tindak pidana ini merupakan pihak yang perlu ditolong, sebagaimana teori rehabilitasi memandang seorang pelaku tindak pidana justru merupakan orang yang perlu ditolong.245 Untuk itu seperti yang telah diutarakan di atas, pemidanaan yang terlalu lama menjadi tidak sesuai dengan tujuan rehabilitasi, karena semakin lama suatu pidana, maka diharapkan akan semakin memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan bukan untuk membantu seseorang menjadi lebih baik. Jadi menurut penulis bisa dikatakan penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, memiliki keterkaitan dengan teori rehabilitasi dalam tujuan pemidanaan, sebagai upaya untuk mereformasi atau memperbaiki anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
4.4
HUBUNGAN ANTARA PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS TERHADAP TERDAKWA ANAK DENGAN ASAS LEGALITAS Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-
1883), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya lehrbuch des _____________ 243
Kartini Kartono, loc. cit.
244
Yong Ohoitimur sebagaimana dikutip oleh Eva Achjani Zulfa, op. cit., hal. 57.
245
Eva Achjani Zulfa, ibid.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
149
penlichen recht pada tahun 1801.246 Asas legalitas menurut Bambang Poernomo mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).247 Ketiga frasa tersebut kemudian berkembang sebagai adagium terkenal oleh Feuerbach, yaitu nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang secara harfiah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Dengan mendasarkan pada pemikiran Machteld Boot, Eddy O.S. Hiariej mengungkapkan bahwa ada empat hal penting yang berkaitan dengan asas legalitas. Pertama, tidak ada perbutan pidana, tidak ada pidana tanpa undangundang sebelumnya (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Konsekuensi dari makna ini adalah tidak boleh berlaku surutnya ketentuan hukum pidana. Kedua, tidak ada perbutan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (nullum crimen, noela poena sine lege scripta). Konsekuensi dari makna ini adalah harus tertulisnya semua ketentuan pidana, atau dengan kata lain, perbuatan yang dilarang maupun pidana yang diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis dalam undang-undang. Ketiga, tidak ada perbutan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (nullum crimen, noela poena sine lege certa). Konsekuensi dari makna ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas agar tidak multitafsir sehingga dapat membahayakan kepastian hukum. Keempat, tidak ada perbutan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Konsekuensi dari makna ini secara implisit adalah tidak diperbolehkannya analogi. Ketentuan pidana harus ditafsirkan dengan ketat, agar tidak menimbulkan perbuatan pidana baru.248 Dalam asas legalitas, terlihat bahwa undang-undang memiliki kedudukan yang begitu tinggi dan penting dalam hukum. Jika dilihat secara historis, hal ini _____________ 246
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op. cit.,
hal. 7. 247 248
Bambang Poernomo, loc. cit. Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op. cit.,
hal. 4-5.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
150
bermula ketika pada abad pertengahan di mana sebagian besar hukum pidana tidak tertulis, sehingga dengan kekuasaannya yang sangat absolut raja dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang. Rakyat tidak mengetahui pasti mana perbuatan yang dilarang, dan mana yang tidak. Proses pengadilan berjalan tidak adil karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum penguasa. Pada saat itulah muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan J.J. Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-undang tertulis.249 Secara umum, undang-undang dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi kepentingan manusia sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan.250 Namun demikian kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia.251 Oleh karena itu dikatakan oleh Pontang Moerad B.M., bahwa tidak ada peraturan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelasjelasnya.252 Selain karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya, undang-undang juga memiliki kelemahan lain. Seperti diutarakan Bambang Sutiyoso, meskipun kepastian hukum dapat terwujud dengan adanya undang-undang, tetapi di sisi lain undangundang juga memiliki kelemahan, yaitu sifatnya statis dan kaku, sehingga kadang tidak relevan dengan perkembangan masyarakat. Seperti diketahui, bahwa hukum yang tertulis (perundang-undangan) itu selalu ketinggalan dari peristiwanya (het recht hinkt achter de faiten aan).253 Menghadapi dua situasi seperti yang telah diuraikan di atas, menurut Bambang Sutiyoso, kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang dibolehkan. Hakim boleh melakukan _____________ 249
Lihat Ibid., hal. 8.
250
Ahmad Rifai, op. cit., hal. 5.
251
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, op. cit., hal. 37.
252
Pontang Moerad B.M., op. cit., hal. 86.
253
Bambang Sutiyoso, op. cit., hal. 32.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
151
kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk menafsirkan undang-undang.254 Menafsirkan undang-undang selalu hampir dipastikan menjadi kewajiban hakim sebagai pelaksana undang-undang, karena seperti dikemukakan secara tegas oleh van Bemmelen dan van Hattum “elke geschreven wetgeving behoeft interpretatie” (setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi).255 Demikian juga seperti yang dinyatakan oleh Bismar Siregar, bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hakim agar undang-undang berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law), karena hakim tidak sematamata menegakkan aturan formal, tetapi harus menemukan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.256 Dalam kesepuluh putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang telah diteliti oleh penulis di atas, terlihat bahwa hakim berupaya melakukan penemuan hukum dengan jalan melakukan interpretasi atau penafsiran atas masalah pemidanaan bagi terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus. Seperti telah berulang kali disinggung oleh penulis, masalah pemidanaan bagi terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus telah menjadi suatu perdebatan tersendiri di kalangan penegak hukum sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahkan setelah undang-undang tersebut disahkan, peluang untuk tetap timbulnya polemik mengenai pemidanaan bagi terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus masih mungkin berlanjut. Seperti diketahui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam Pasal 79 Ayat (3)-nya telah mengatur bahwa minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Namun demikian undang-undang ini sendiri dinyatakan baru akan efektif berlaku setelah dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.257 Dengan demikian hingga undang-undang tersebut dinyatakan berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dinyatakan tetap berlaku.258 Oleh karena itu pihak-pihak yang _____________ 254
Ibid.
255
van Bemmelen dan van Hattum sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dalam Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, op. cit., hal. 65. 256
Bismar Siregar sebagaimana dikutip oleh Bambang Sutiyoso dalam op. cit., hal. 11.
257
Pasal 108 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
258
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
152
tidak setuju dengan penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak, boleh jadi akan berpendapat bahwa hal tersebut (penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak) belum memiliki dasar hukum, karena ketentuan dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 di atas belum bisa dijadikan pedoman atau dasar hukum sebelum undang-undang tersebut dinyatakan efektif berlaku. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, tidak tergambar dengan jelas tentang bagaimana pemidanaan terhadap anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang memuat ancaman pidana minimum khusus, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa, sementara untuk pidana minimum khusus tidak ada pengaturannya. Menurut pendapat penulis, tidak diaturnya ketentuan mengenai pidana minimum khusus bagi terdakwa anak, menunjukkan adanya kelemahan undangundang sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu bahwa undang-undang tidak pernah lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya, serta undang-undang kadang tidak relevan dengan perkembangan masyarakat. Seperti telah disinggung sebelumnya, secara historis pembentukannya, tidak diaturnya ketentuan mengenai pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, boleh jadi disebabkan karena pada masa itu bisa dikatakan belum ada ketentuan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana minimum khusus di dalam ketentuan pidananya. Seperti diketahui, undang-undang yang pertama kali mencantumkan pidana minimum khusus di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.259 Kendati disahkan dan diundangkan di tahun yang sama, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak memang terlebih dulu disahkan dan diundangkan, yaitu pada tanggal 3 Januari 1997 dibandingkan _____________ 259
Joko Wuryanto, loc. cit.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
153
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika yang baru disahkan dan diundangkan pada tanggal 11 Maret 1997. Sehingga ketika ketentuan pidana minimum khusus sudah semakin banyak dicantumkan, dan bahkan cenderung menjadi trend dalam pembentukan peraturan perundangundangan saat ini, sudah selayaknya menurut penulis jika hakim melakukan penemuan hukum dengan cara melakukan interpretasi atau penafsiran atas ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam putusan-putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung di atas, terlihat bahwa para hakim telah melakukan interpretasi atau penafsiran atas ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, kendati hanya satu putusan saja yang memberikan pertimbangan secara khusus mengenai interpretasi atau penafsiran tersebut, yaitu putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 543/Pid.Sus/2011/PN.Tng., di mana dalam pertimbangannya hakim berupaya melakukan interpretasi atau penafsiran melalui interpretasi teleologis atau sosiologis. Di dalam putusan tersebut menurut pendapat penulis, hakim beranggapan bahwa ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa hubungan, kebutuhan, dan kepentingan masa kini, di mana jika dibandingkan dengan saat undang-undang tersebut disahkan dan diundangkan, terdapat sebuah kondisi yang berbeda, yaitu menyangkut ketentuan pidana minimum khusus dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam pertimbangannya dapat dikatakan bahwa hakim menyimpulkan ketentuan yang menyatakan bahwa pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa juga berlaku bagi ancaman minimum khusus, sehingga pidana penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana adalah paling singkat ½ (satu perdua) dari minimum ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi orang dewasa.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
154
Dalam praktik, tidak ada prioritas penggunaan metode interpretasi. Oleh karena itu hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode interpretasi tertentu, tetapi yang penting bagi hakim adalah interpretasi yang dipilih adalah dapat tepat sasaran, yaitu dapat memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya. Selain itu metode interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan dengan beberapa metode interpretasi sekaligus. Dalam permasalahan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, selain menggunakan interpretasi teleologis atau sosiologis seperti telah diterangkan di atas, hakim juga dapat melakukan penafsiran dengan menggunakan metode interpretasi sistematis dan juga metode interpretasi futuristis. Interpretasi sistematis dapat dilakukan dengan menghubungkan ketentuan pasal-pasal di atas dengan peraturan hukum (undang-undang) yang lain, dalam hal ini yaitu dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya dalam Pasal 24 yang berbunyi : “Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Sedangkan interpretasi futuristis dapat dilakukan dengan menghubungkan ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dengan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, dalam hal ini yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya ketentuan dalam Pasal 123 Ayat (3) yang berbunyi “minimum khusus pidana denda tidak berlaku terhadap anak”, serta Pasal 124 Ayat (3) yang berbunyi “minimum khusus pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) tidak berlaku terhadap anak”. Atau setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam masa transisi sebelum diberlakukan, hakim dapat menggunakan ketentuan Pasal 79 Ayat (3) undang-
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
155
undang tersebut yang isinya identik dengan ketentuan Pasal 124 Ayat (3) RUU KUHP untuk melakukan interpretasi atau penafsiran futuristis. Dengan melakukan interpretasi sistematis dan/atau interpretasi futuristis terhadap ketentuan Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, hakim dapat menemukan jawaban atas kekurang jelasan kedua pasal tersebut untuk menjawab persoalan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, yaitu bahwasanya ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus (denda maupun penjara) tidak berlaku terhadap anak. Walaupun tidak secara tegas dipertimbangakan dalam putusannya, nampak jika hakim-hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung telah mengikuti hasil yang disimpulkan dari metode interpretasi sistematis dan/atau interpretasi futuristis ini. Terlihat dari beberapa putusan, yaitu putusan Nomor 123/Pid.Sus/2011/PN.Tng.; Nomor 59/Pid.An/2009/PN.Bdg.; dan Nomor 84/Pid.A/2009/PN.Bdg., yang hakim-hakimnya menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus, bukan hanya ½ (satu perdua) dari minimum ancaman pidana, melainkan bahkan di bawah ½ (satu perdua) dari minimum ancaman pidana. Untuk lebih memperjelas mengenai hal tersebut, dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 8. Perbandingan Putusan Yang Menjatuhkan Pidana ½ (Satu Perdua) Dari Minimum Ancaman Pidana Atau Lebih Dan Di Bawah ½ (Satu Perdua) Dari Minimum Ancaman Pidana Putusan Yang Menjatuhkan Pidana ½ (Satu Perdua) Dari Minimum Ancaman Pidana Atau Lebih 1. Nomor Putusan 2. Lamanya Dijatuhkan
Putusan Yang Menjatuhkan Pidana Di Bawah ½ (Satu Perdua) Dari Minimum Ancaman Pidana 1. Nomor Putusan
Pidana
1. 1110/Pid.B/2010/PN.Tng.
Yang 2. Lamanya Dijatuhkan
Pidana
Yang
1. 123/Pid.Sus/2011/PN.Tng.
2. Masing-masing penjara 3 tahun, dan 2. Penjara 1 tahun dan 1 bulan, dan denda Rp. 800.000.000,-
denda Rp. 60.000.000,-
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
156
1. 1175/Pid.B/2010/PN.Tng.
1. 59/Pid.An/2009/PN.Bdg.
2. Penjara 2 tahun dan 6 bulan, dan 2. Penjara 7 bulan, dan denda Rp. denda Rp. 60.000.000,-
15.000.000,-
1. 351/Pid.Sus/2011/PN.Tng.
1. 84/Pid.A/2009/PN.Bdg.
2. Masing-masing penjara 2 tahun, dan 2. Penjara 5 bulan dan 15 hari. denda Rp. 400.000.000,1. 543/Pid.Sus/2011/PN.Tng. 2. Penjara 2 tahun, dan denda Rp. 400.000.000,1. 41/Pid.A/2009/PN.Bdg. 2. Penjara 1 tahun dan 6 bulan, dan denda Rp. 500.000,1. 691/Pid.A/2010/PN.Bdg. 2. Penjara 2 tahun dan 6 bulan, dan denda Rp. 50.000.000,1. 1048/Pid/AN/2012/PN.Bdg. 2. Penjara
2
tahun,
dan
denda
Rp.400.000.000,Kembali kepada persoalan apakah penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus bertentangan atau tidak dengan asas legalitas, menurut pendapat penulis harus dilihat dari aliran yang dianut oleh sistem hukum yang bersangkutan. Jika menganut aliran legisme, maka penerapan asas legalitas akan sedemikian ketat (strict), karena menurut aliran ini hakim tidak lain hanyalah sebuah “corong” atau “terompet”-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang sekedar hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya. Penulis sendiri termasuk yang tidak sependapat dengan pandangan ini. Bagi penulis, tugas hakim bukanlah sekedar menerapkan hukum (undang-undang) saja, namun ia juga harus mampu untuk menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata yang ada di dalam masyarakat. Ketika undang-undang-dalam bahasa Sudikno Mertokusumo-masih berlaku tapi sudah usang atau sudah tidak sesuai
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
157
lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan, dan kepentingan masa kini, maka hakim harus mampu menyesuaikannya dengan kondisi yang nyata, melalui penemuan hukum, salah satunya dengan menggunakan metode interpretasi (penafsiran). Interpretasi atau penafsiran undang-undang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Menurut Logemann sebagaimana dikutip oleh Andi Zainal Abidin, dalam mempergunakan penafsiran, para hakim tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang. Dengan perkataan lain, mereka tidak boleh sewenang-wenang.260 Dalam upaya menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal nyata yang ada di dalam masyarakat, hakim tidak juga harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat, karena seperti yang diungkapkan oleh van Apeldoorn, hakim memang bukan la bouche de la loi, tetapi tidak pula merupakan la bouche de la societe.261 Bagi mereka yang berpendapat bahwa penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus bertentangan asas legalitas, salah satu alasannya adalah karena hal tersebut telah mengaburkan kepastian hukum, dengan menerapkan sesuatu yang tidak memiliki landasan yuridis dalam undang-undang. Dalam pandangan Sudikno Mertokusumo, unsur kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit), ketiganya seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proporsional. Itu adalah idealnya. Akan tetapi di dalam prakteknya, jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional, maka paling tidak ketiga faktor itu seyogyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum), tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta : hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). _____________ 260
Andi Zainal Abidin, loc. cit.
261
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, op. cit., hal. 89.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
158
Kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang harus didahulukan.262 Jika dikatakan penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus adalah lebih mengutamakan unsur keadilan dibandingkan kepastian hukum, bagi mereka yang tidak sependapat dengan hal ini akan memunculkan pertanyaan lanjutan, yaitu keadilan untuk siapakah yang dimaksud di sini. Sebab keadilan yang dimaksud di sini hanyalah keadilan bagi si pelaku pidana dan bukan keadilan bagi korban, masyarakat maupun negara. Perlu diingat kembali bahwa perlakuan terhadap anak merupakan suatu perlakuan yang khusus dan istimewa. Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa bahkan diatur dalam konvensi-konvensi internasional khusus, seperti diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak yang menyatakan : “...........… the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth…............”.263 Semangat untuk membedakan perlakuan antara anak dengan orang dewasa inilah yang salah satunya mendasari pemikiran bahwa tidak mungkin untuk menyamakan ancaman pidana minimum khusus bagi orang dewasa dengan anak, sedangkan
untuk
ketentuan
maksimumnya
saja,
undang-undang
sudah
mengaturnya secara khusus. Memang dalam hal pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, jika mengacu pada asas pembedaan perlakuan antara anak dengan orang dewasa, maka korban pun perlu mendapatkan perlakuan khusus dan istimewa yang sebanding dengan terdakwa. Untuk itu memang dalam hal penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terjerat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memerlukan kebijakkan yang ekstra, dikarenakan korban yang juga masih anak-anak juga perlu untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan khusus. Untuk itulah dalam putusan-putusan di atas, _____________ 262
Ibid., hal. 90.
263
Harkristuti Harkrisnowo, op. cit., hal. 4.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
159
hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terjerat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, mengutamakan adanya perdamaian dan sikap saling memaafkan antara pihak korban serta keluarganya dengan pihak terdakwa (juga beserta keluarganya), karena disadari rehabilitasi untuk memulihkan keadaan, bukan hanya menjadi hak terdakwa, tetapi juga korbannya. Berdasarkan seluruh apa yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tidaklah bertentangan dengan asas legalitas, karena di sini hakim bukan hanya sebuah “corong” atau “terompet”-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang sekedar hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya. Adalah benar bahwa hakim terikat kepada undang-undang, tetapi keterikatannya tidak seketat menurut pandangan aliran legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan, yaitu yang disebut “kebebasan yang terikat” (gebonded vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (vrij gebondenheid). Oleh karena itu tugas hakim dianggap sebagai upaya melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman. Melakukan interpretasi atau menafsirkan undang-undang bukanlah sesuatu yang dilarang. Yang dilarang adalah menafsirkan undang-undang bertentangan dengan undang-undang itu sendiri (contra legem). Terlebih jika undang-undang tersebut sudah jelas. Hasil interpretasi atau penafsiran undang-undang oleh hakim dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut, yang memenuhi kaidah-kaidah interpretasi, adalah sebuah penemuan hukum, dan hal itu tidak bertentangan dengan asas legalitas.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
BAB 5 PENUTUP
5.1
KESIMPULAN Dari pembahasan-pembahasan dalam bab yang lalu, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : 1.
Dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, hakim-hakim Pengadilan Negeri Tangerang maupun Pengadilan Negeri Bandung tidak hanya terpaku pada ketentuan minimum khusus yang ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hal ini dapat dilihat dari lima putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan lima putusan Pengadilan Negeri Bandung yang dijadikan obyek penelitian ini, kesemuanya menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus. Hal ini berarti dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada (sebelum diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
2.
Seperti halnya dalam putusan-putusan pada umumnya, dalam putusanputusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, juga dicantumkan
pertimbangan-pertimbangan
mengenai
hal-hal
yang
memberatkan dan yang meringankan yang menjadi dasar hakim di dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa. Dalam putusan yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terlihat bahwa dalam hal-hal yang meringankan, hakim sangat mengutamakan adanya perdamaian dan sikap
160
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
161
saling memaafkan antara pihak korban serta keluarganya dengan pihak terdakwa (juga beserta keluarganya), sebagai hal yang memperingan pidana yang dijatuhkan (menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus). Sedangkan dalam putusan yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dapat dilihat bahwa status para terdakwa yang masih anak-anak di bawah umur, berusia sangat muda, dan masih bersekolah menjadi fokus hakim sebagai hal yang memperingan pidana yang dijatuhkan (menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus). 3.
Penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum
khusus tidaklah
bertentangan dengan asas legalitas, karena di sini hakim bukan sebuah “corong” atau “terompet”-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang sekedar hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya. Adalah benar bahwa hakim terikat kepada undang-undang, tetapi keterikatannya tidak seketat menurut pandangan aliran legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan, yaitu yang disebut “kebebasan yang terikat” (gebonded vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (vrij gebondenheid). Oleh karena itu tugas hakim dianggap sebagai upaya melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman. Melakukan interpretasi atau menafsirkan undang-undang bukanlah sesuatu yang
dilarang.
Yang
dilarang
adalah
menafsirkan
undang-undang
bertentangan dengan undang-undang itu sendiri (contra legem). Terlebih jika undang-undang tersebut sudah jelas. Hasil interpretasi atau penafsiran undang-undang oleh hakim dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut, yang memenuhi kaidah-kaidah interpretasi, adalah sebuah penemuan hukum, dan hal itu tidak bertentangan dengan asas legalitas. 5.2
SARAN
1.
Belum jelasnya pengaturan mengenai ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak, menimbulkan banyak polemik mengenai penjatuhan
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
162
pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak. Walaupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dalam ketentuan Pasal 79 Ayat (3)-nya menyatakan minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, namun oleh karena baru efektif diberlakukan setelah dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, masih memungkinkan untuk menimbulkan perdebatan mengenai penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak. Untuk itu mengingat pentingnya perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, maka perlu kiranya Mahkamah Agung melakukan eksaminasi terhadap beberapa putusan yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak, untuk kiranya putusan yang terbaik bisa dijadikan sebuah yurisprudensi tetap untuk mengisi kekosongan sebelum mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2.
Selain pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis menyangkut fakta-fakta yang terungkap di persidangan, perlu kiranya hakim-hakim yang akan menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus juga mempertimbangkan alasan ataupun dasar untuk menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus bagi terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus, di mana pertimbangannya tersebut mengarah pada suatu interpretasi dalam rangka melakukan upaya penemuan hukum.
3.
Bagi para pembentuk undang-undang, untuk menghindari polemik dan perdebatan ataupun pro kontra yang berkepanjangan, kiranya perlu segera dipikirkan revisi atas suatu peraturan perundang-undangan, apabila telah banyak suara di masyarakat terutama dari para praktisi dan akademisi hukum yang mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan, dan kepentingan di masyarakat saat ini. Revisi ataupun pembentukan undang-undang kiranya jangan hanya dimotivasi oleh kepentingan politik, namun juga diharapkan untuk memberikan suatu kepastian hukum. Sebagai
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
163
misal adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, butuh lima belas tahun untuk menyelaraskan ketentuan mengenai pidana minimum khusus bagi anak. Padahal permasalahan sudah mulai muncul hanya berkisar dua bulan saja sejak undang-undang tersebut disahkan dan diundangkan, yaitu ketika undang-undang pertama yang memuat ketentuan pidana minimum khusus, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika disahkan dan diundangkan.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
DAFTAR REFERENSI
I.
BUKU Abdussalam. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung, 2007.
Abidin, Andi Zainal. Asas-Asas Hukum Pidana: Bagian Pertama. Bandung: Alumni, 1987. Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Jakarta, Chandra Pratama, 1993. Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. -------------. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. -------------. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Astuti, Made Sadhi. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana. Malang: IKIP Malang, 1997. Atmasasmita, Romli. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja. Bandung: Armico, 1983. B.M., Pontang Moerad. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Bandung: Alumni, 2005. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009. Bawengan, Gerson W. Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979. Dellyana, Shanty. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988. Dirdjosisworo, Sudjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Gerungan, W.A. Psikologi Sosial: Suatu Ringkasan. Bandung: Eresco, 1996. Gosita, Arief. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo, 1993.
164
Universitas Indonesia
Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
165
Hadisuprapto, Paulus. Juvenile Delinquency: Penanggulangannya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Pemahaman
dan
-------------. “Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang” dalam Kumpulan Pidato Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006. Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2009. Kartono, Kartini. Gangguan-Gangguan Psikis. Bandung: Sinar Baru, 2002. -------------. Pathologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Koentjaraningrat. Gramedia, 1991.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Kusumaatmaja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 2002. Loqman, Loebby. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Datacom, 2002. Mahkamah Agung RI. Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia 19512003. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2005. -------------. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2001. ------------- dan A. Pitlo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Muhammad, Rusli. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002. -------------. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1985.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
166
-------------, dkk. Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2003. ------------- dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1992. ------------- dan -------------. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998. Mulyadi, Lilik. Pengadilan Anak di Indonesia: Teori, Praktik, dan Permasalahannya. Bandung: Mandar Maju, 2005. -------------. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007. Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Nusantara, Abdul Hakim Garuda. Hukum dan Hak-Hak Anak. Ed. Mulyana W. Kusumah. Jakarta: Rajawali, 1986. Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. Pidana Penjara Mau Ke Mana. Jakarta: Indhill Co, 2007. Prakosa, Joko. Kedudukan Justisiabel di Dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2003. Prodjohamidjojo, Indonesia, 1983.
Martiman.
Putusan
Pengadilan.
Jakarta:
Ghalia
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia. Jakarta: UNICEF Indonesia, 2003. Rahardjo, Satjipto. “Penafsiran Hukum Yang Progresif”. Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna. Ed. Anthon Freddy Susanto. Bandung: Refika Aditama, 2005. Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007. Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
167
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Sambas, Nandang. Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bandung: Binacipta, 1992. Sapardjaja, Komariah Emong. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni, 2002. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Soedarjo. Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana. Jakarta: Akademi Pressindo, 1985. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Soekito, Sri Widoyati Wiratmo. Anak dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES, 1989. Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1976. Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama, 2008. Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990. Supramono, Gatot. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan, 2007. Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press, 2006. Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Tongat. Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2001. Utrecht, E. Hukum Pidana I. Jakarta: Penerbitan Universitas Jakarta, 1958.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
168
van Bemmelen, J.M. Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Binacipta, 1984. Wadong, Maulana Hasan. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo, 2000. Winarno, Surakhmad. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar: Metode Teknik. Bandung: Transito, 1994. Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011. II.
ARTIKEL
Harkrisnowo, Harkristuti. “Tantangan dan Agenda Hak-Hak Anak”. Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Februari (2002). Hiariej, Eddy O.S. “Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas”. Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 16, Tahun IV, April-Juni (2007). Subondo, Herry. “Penjatuhan Pidana atau Tindakan Terhadap Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”. Pandecta 1 Vol. 1 No. 1 Januari - Juni (2007). Umam, Aminal. “Ide Dasar Sistem Pidana Minimum Khusus dan Implementasinya”. Varia Peradilan Tahun XXIV No. 279 Februari (2009). III. MAKALAH Hiariej, Eddy O.S. “Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana”. Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas Eksaminasi Putusan Pra Peradilan PT. IIS terhadap Ditjend Pajak Departemen Keuangan RI di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tanggal 22 Juli 2008. Poernomo, Bambang. “Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan Hukum di Indonesia”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 Juli 1989. Yayasan Pemantau Hak Anak. “Praktek-Praktek Penanganan Anak Berkonflik Dengan Hukum Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia: Perspektif Hak Sipil dan Hak Politik”. Makalah sebagai bahan masukan bagi upaya penyusunan Laporan Alternatif (Inisiatif) Implementasi Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang dikoordinasi oleh HRWG, Tanpa Tahun.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013
169
IV.
TESIS
Wicaksono, Tendik. Penjatuhan Pidana Oleh Hakim di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika: Studi Kasus Putusan No. 2597/Pid.B/2009/PN. Tng, Putusan No. 297/Pid.B/2010/PN. Tng, dan Putusan No. 904/Pid.B/2010/PN. Tng pada Pengadilan Negeri Tangerang. Tesis, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta, 2011. Wuryanto, Joko. Kebijakan Formulasi Pidana Penjara Minimum Khusus Dalam Perundang-Undangan di Indonesia. Tesis, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2004. V.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DAN
RANCANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2010. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. VI.
SURAT KABAR Harian Kompas, Senin 27 Februari 2012.
Universitas Indonesia Pemidanaan terhadap..., Yudhistira Adhi Nugraha, FH UI, 2013