SUSUNAN REDAKSI Penanggungjawab : Uli Parulian Sihombing, SH, LL.M Redaktur Pelaksana : Pultoni, AM, SH Dewan Redaksi : Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH Dadang Trisasongko Renata Arianingtyas Uli Parulian Sihombing Sony Setyana Siti Aminah Keuangan dan Sirkulasi : Evi Yuliawaty Herman Susilo Alamat Redaksi : Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email :
[email protected], Website : www.mitrahukum.org Penerbitan Jurnal Keadilan Sosial edisi 2 didukung oleh; Open Society Institute (OSI)
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi
v
Diskursus Penyelenggaraan Pendidikan Hukum Menuju Pembangunan dan Pengembangan Daya Saing Bangsa Oleh : Agus Lanini dan Amrinif
1
Konsep Asosiasi Legal Clinic di Beberapa Negara dan Urgensi Pembentukannya di Indonesia Oleh : Pultoni
13
Tulisan Tamu Pesan Konstitusional Keadilan Sosial Oleh : Jimly Asshiddiqie
35
Telaah Buku Konstitusi Ekonomi Oleh : Uli Parulian Sihombing
43
Telaah Kasus Kasus Ahmadiyyah dalam Persfektif Keadilan Sosial Oleh : Siti Aminah
Para Kontributor Menulis di Jurnal Keadilan Sosial Tentang ILRC
49
75 77 79
iv
PENGANTAR REDAKSI Pendidikan Tinggi Hukum Sebagai Pendidikan Manusia Ada dua kutub yang saling bersinggungan dalam orientasi pendidikan tinggi hukum yaitu pengembangan keterampilan (skill/ professional) yang berbasis pada penggunaan hukum dan cara-cara penggunaan hukum tersebut, dan untuk kepentingan akademik. Kedua-duanya dibutuhkan di dalam titik tertentu, dan tidak bisa dipisahkan. Sejalan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, orientasi pendidikan tinggi hukum ternyata juga ditujukan untuk kemanusiaan dan manusia. Satjipto Raharjo telah mengangkat orientasi pendidikan tinggi hukum menuju kemanusian dan manusia (2009). Intinya, kurikulum pendidikan tinggi hukum harus lebih menekankan pengajaran yang bermuatan kemanusian dan manusia. Di mana pada saat mahasiswa/mahasiswi masuk ke dunia pendidikan hukum maka yang pertama-tama diajarkan adalah tentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan dan manusia. Jurnal Keadilan Sosial pada edisi II ini mengangkat tema tentang pendidikan tinggi hukum. Hal ini sejalan dengan program yang sedang digagas oleh ILRC yaitu pendidikan tinggi hukum berbasis keadilan sosial. Keadilan sosial sangat erat hubungannya dengan distribusi sumber daya yang adil, dan sifatnya lokalitas. Kemudian penerapan keadilan sosial tidak boleh diskriminatif dan menghargai nilai-nilai Hak-hak Azasi Manusia (HAM), walaupun ada tindakan afirmatif untuk kelas/kelompok termarjinalkan di masyarakat tetapi itupun sifatnya sementara. Di dalam keadilan sosial, nilainilai kemanusiaan yang harus didahulukan. Oleh karena itu, pendidikan tinggi hukum sejak awal harus menyerap nilai-nilai kemanusiaan.
PENGANTARREDAKSI
Orientasi pendidikan tinggi hukum seharusnya juga mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum pendidikan tinggi hukum harus mampu memberikan wawasan kepada mahasiswa/ mahasiswi tentang realitas kondisi sosial dan politik di masyarakat, dan juga kondisi ideal tentang keadilan itu sendiri khususnya berkaitan dengan keadilan sosial dan HAM, karena hukum itu sendiri bukanlah variable independen, melainkan dia sangat tergantung perkembangan disiplin ilmu yang lain terutama ilmu sosial, politik dan antropologi. Tentunya, ada metode penyampaian wawasan keadilan dan juga aspek-aspek humanitas yang lainnya dilakukan secara adaptif dan komunikatif. Pendidikan tinggi hukum yang berorientasi pasar akan menyebabkan mahasiswa/mahasiswi terasing dengan dinamika kehidupan sosial dan politik di masyarakat. Begitu juga, orientasi pendidikan tinggi hukum yang lebih menekankan pada aspek akademis, akan menyebabkan mahasiswa/mahasiswi sulit menerapkan apa yang mereka peroleh di bangku kuliah. Mahasiswa/ mahasiswi tentunya membutuhkan baik keterampilan penerapan hukum, dan juga aspek teori dari hukum itu sendiri. Kemudian, aspek humanitas dapat membawa mahasiswa/mahasiswi akan memahami realitas keadilan di masyarakat dan bagaimana menyikapinya. Kondisi dunia pengadilan di negeri kita yang hampir “lumpuh” akibat praktek korupsi, ini berarti terdapat permasalahan pemahaman dan penerapan aspek humanitas dari para aparat penegak hukum. Ternyata aspek religiositas saja tidak cukup untuk mengikat aparat penegak hukum untuk berkomitmen atas keadilan. Untuk itu aplikasi dan pemahaman yang matang atas aspek humanitas dibutuhkan tidak hanya untuk aparat penegak hukum, tetapi juga pendidikan tinggi hukum harus mengakomodir aspek humanitas tersebut baik di dalam kurikulumnya maupun metode pengajaran. Jakarta, Juni 2011
Uli Parulian Sihombing Direktur Eksekutif ILRC
DISKURSUS Penyelenggaraan Pendidikan Hukum Menuju Pembangunan dan Pengembangan Daya Saing Bangsa Oleh : Agus Lanini dan Amrinif ABSTRAKSI Tujuan pendidikan hukum adalah mahasiswa fakultas hukum diharapakan tidak sekedar mengetahui teori hukum dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlakunya hukum di tengah masyarakat. Pemikiran dan pendekatan yang bersifat positivistik merupakan salah satu unsur yang ada dalam pendidikan hukum dan dominan dalam pendidikan hukum Indonesia. Akibatnya, lulusan fakultas hukum yang akan berperan sebagai penegak hukum akan menggunakan pendekatan positivis dan tidak memperhatikan rasa keadilan ditengah masyarakat. Pendidikan dengan wajah seperti ini seharusnya sudah mulai ditinggalkan dan beralih lepada konsep hukum progresif. Hukum progresif berpegang pada paradigma hukum untuk manusia. Hukum dianggap sebagai jembatan antara undang-undang yang statis dengan penerapannya di masa kini dan masa yang akan datang. Hukum bertugas untuk menuntun dan melayani masyarakat. Pendidikan progresif dicirikan sebagai pendidikan yang (1) kreatif; (2) responsif; (3) protagonis; (4) berwatak pembebasan dan (5) berorientasi pada Indonesia dan kebutuhan Indonesia. Penerapan kurikulun berbasis kompetensi dalam pendidikan hukum dengan merubah metode belajar, kurikulum dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa, ditunjang tenaga pengajar yang profesional dan memperkenalkan pendidikan hukum progresif diharapkan mampu membawa iklim baru dalam dunia pendidikan hukum yang pada akhirnya bermuara pada penerapan hukum dalam masyarakat. Kata Kunci : Pendidikan Hukum, Kurikulum Berbasis Kompetesi, Metode Belajar, Pendidikan Hukum Progresif. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
1
DISKURSUS
PENDAHULUAN Dalam era kompetitif yang semakin terbuka, bangsa Indonesia mau tidak mau harus terjun dalam persaingan tersebut. Indonesia tidak dapat terus bersembunyi dari dinamika globalisasi dan harus menjawab tantangan meningkatkan kualitas sumber daya manusia diberbagai bidang, khususnya di bidang hukum. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan nasional, diantaranya adalah pendidikan hukum. Indonesia harus berupaya mengatasi ketidaksiapan lulusannya untuk bersaing dengan sarjana hukum asing, menghapus image bahwa sarjana hukum Indoesia tidak siap pakai dan berbagai image negatif lainnya yang mengindikasikan rendahnya kualitas lulusan fakultas hukum. Tujuan pendidikan hukum yang ditekankan dewasa ini adalah mahasiswa fakultas hukum diharapakan tidak sekedar mengetahui teori hukum dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlakunya hukum di tengah masyarakat. Dalam hal ini, Mochtar Kusumaatmadja, menekankan pengkajian hukum dilakukan dengan pendekatan sosiologis. Sehingga hukum akan selalu terkait dengan pembangunan sosial-ekonomi. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, yang diperlukan adalah sebuah pembaharuan pendidikan hukum yang diterjemahkan secara luas dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan tantangan globalisasi. Pembaharuan secara luas yang dimaksud adalah sebuah reorietasi pendidikan hukum pada pencapaian tujuan pendidikan hukum serta membawa pendidikan hukum dan hukum itu sendiri sebagai sarana pembangunan. Terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mencermati perkembangan pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui penyelenggaraan pendidikan hukum berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi dapat diterjemahkan sebagai perwujudan reorientasi pendidikan hukum nasional. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam melakukan reorientasi pendidikan hukum. Kurikulum pendidikan hukum tidak mengalami perubahan yang berarti dari zaman penjajahan Belanda, mata kuliah dan metode belajar yang diterapkan cenderung statis. Sehingga apa yang diharapkan masyarakat mapun elemen lainnya dari lulusan fakultas hukum sekarang ini tidak tercapai. Untuk itu reorietasi yang perlu 2
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Kurikulum Berbasis Kompetesi Tujuan penyelenggaraan pendidikan hukum seperti yang disebutkan dalam kurikulum tahun 1993 adalah ”memberikan dasar akademis atau teori ilmu hukum disamping berusaha menekankan aspek keterampilan hukum (legal skills) dan penguasaan hukum positif secara praktis”. Berdasarkan tujuan tersebut, mahasiswa seharusnya memiliki keterampilan hukum dalam mengaplikasikan pendidikan akademis atau teori ilmu hukum yang diperoleh. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana melaksanakan penyelenggaraan pendidikan hukum agar mahasiswa tidak sekedar tahu teori hukum tetapi juga memiliki keterampilan hukum (legal skills) dalam mengaplikasikan ilmunya. Dewasa ini sedang berkembang sistem pendidikan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK (Competence Based Curriculum). KBK diselenggarakan baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kebijakan ini perlu direspon oleh penyelenggara pendidikan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan lulusan fakultas hukum yang kompeten dalam profesi tradisional hukum1 dan memiliki daya saing tinggi. SK Mendiknas No 045/U/2002 mengemukakan kompetensi sebagai ”seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang untuk dianggap mampu dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu”. KBK adalah kurikulum menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pengembangan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik pelajar dan pola pengembangan kurikulum bersifat desentralisasi. KBK sendiri dilahirkan sebagai respons atas berbagai persoalan di seputar pendidikan, di antaranya bahwa perkembangan kedewasaan pelajar dalam proses pembelajaran juga ditentukan oleh lingkungan dan relasi sosial. Sehingga pengalaman hidup pelajar juga menjadi materi/bahan ajar yang penting. 1 Profesi tradisional hukum yang dimaksud adalah penegak hukum diantaranya jaksa, hakim, advokat dan notaris Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
3
DISKURSUS
dilakukan dalam pendidikan hukum adalah menerjemahkan kurikulum berbasis kompetensi dan menerapkan pendidikan hukum progresif.
DISKURSUS
KBK dalam implementasi alur pembelajaran menitikberatkan pada beberapa hal, di antaranya: (1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi pelajar baik secara individual maupun klasikal (kelompok); (2) Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman; (3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; dan (4) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi 2. Ada tiga ciri yang melekat pada lulusan fakultas hukum sebagai kompetensinya dalam menjalankan profesi hukum, diantaranya : Pertama adalah lulusan fakultas hukum harus mampu melihat suatu masalah di tengah masyarakat dari perspektif yang berbeda dengan menemukan suatu fakta dari sudut pandang berbeda Kedua adalah kekuatan untuk mencari dasar dari argumentasi. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan hukum yang luas bagi mahasiswa untuk dapat mengemukakan pendapatpendapat hukum. Penting bagi mahasiswa untuk memiliki kemampuan melakukan penulusuran terhadap berbagai bahan hukum. Ketiga adalah kemampuan untuk menyampaikan argumentasi secara meyakinkan dalam suatu forum baik lisan mapun tertulis3. Kemampuan dasar yang pertama dan paling penting adalah kemampuan untuk berpikir kritis analitis. Perlu digarisbawahi bahwa belajar hukum bukan menghafal pasal-pasal, namun bagaimana membentuk kerangka berpikir yang kritis sehingga mampu menganalisa persoalan hukum dengan baik melalui seuatu proses penalaran (analiysis skills). Kemampuan ini yang kemudian berimbas pada kemampuan dasar lainnya yang perlu dimiliki. Seorang sarjana hukum diharapkan untuk memahami asas, prinsip dan ketentuan hukum yang dipelajarinya sehingga memahami latar belakang dan logika dibalik mengapa hal tersebut diatur termasuk mengenai 2 Trisno Yulianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.freelists.org, diakses 25 April 2007 3 Hikmanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, www.pemantauperadilan.com, diakses 25 Maret 2007 pukul 10.00 WITA
4
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
4 Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmianti, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 38-39 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
5
DISKURSUS
kaidah-kaidah dasar dalam hukum acara. Untuk dapat memenuhi kualifikasi seperti yang disyaratkan di atas, KBK harus tercermin dalam kurikulum pendidikan hukum. Hal ini tentunya agar dapat mengarahkan mahasiswa untuk mampu berargumentasi secara ilmiah dalam melakukan pemecahan masalah-masalah hukum di tengah masyarakat. Dalam konteks hukum, pemecahan masalah dengan mengemukakan argumentasi hukum biasa disebut dengan legal opinion. Legal opinion didasarkan pada logika dan memberikan dasar-dasar pemikiran yang kuat terhadap sebuah penjelasan yang bersifat konseptual terhadap norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan4. Penyusunan legal opinion berangkat dari penalaran, sehingga dengan melakukn legal opinion mahasiswa akan cenderung terdorong untuk melakukan pemikiran pemikiran yang kritis serta mampu memecahkan permasalahan hukum secara ilmiah. Sampai sekarang ini pendidikan hukum di Indonesia belum menempatkan argumentasi hukum sebagai mata kuliah inti nasional. Dalam kurikulum, saat ini hanya dikenal adanya mata kuliah “Metode Penelitian Hukum“ dengan materi perkuliahan merupakan formulasi penulisan hukum dan penelitian hukum. Penulisan hukum mencakup pembelajaran menulis dokumen hukum dan melakukan penulisan tugas akhir mahasiswa. Sedangkan materi penelitian hukum hanya mendeskripsikan bagaimana melakukan sebuah penelitian hukum. Sebagai mata kuliah yang penting untuk membekali kemahiran penelitian dan penulisan hukum, matakuliah MPH sangat sempit, dan hanya dilakukan dalam satu semester. Seharusnya melalui mata kuliah ini, mahasiswa diberikan dasardasar penelitian, metode-metode penelitian hukum dan diperkenalkan langsung dengan kegiatan penelitian, demikianhalnya dengan kemahiran penulisan hukum. Dengan waktu yang ditawarkan dalam satu semester, akan sangat sulit bagi mahasiswa dan tenaga pengajar untuk mencapai tujuan tersebut. Pendidikan hukum berbasis kompetensi diharapkan dapat menjawab tantangan globalisasi yang dinamis. Era globalisasi membawa kita pada pemanfaatan teknologi dan hukum harus berada dalam ranah tersebut. Maka dari itu di fakultas hukum perlu
DISKURSUS
diperkenalkan materi atau pengajaran mengenai hukum telematika, penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan tenaga pengajar harus senantiasa melakukan pengembangan profesionalisme, untuk menjamin kelancaran dan mutu pendidikan. Pembenahan untuk memperbaiki kualitas sarjana hukum Indonesia tidak cukup hanya dengan menambahkan mata kuliah seperti yang dikemukakan di atas meskipun dengan demikian mahasiswa akan terdorong untuk berfikir lebih kritis, perlu dilakukan perbaikan metode belajar mengajar. Pendidikan hukum seharusnya menggunakan cara-cara pengajaran yang menjamin partisipasi maksimal dari mahasiswa dalam proses pendidikan yang membangkitkan kemampuan kreatif dan tidak hanya menggunakan sistem kuliah yang membiasakan mahasiswa berada dalam posisi yang pasif. Model yang cukup ideal untuk diterapkan adalah model pendidikan hukum klinis seperti yang dirancang oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Pendidikan hukum klinis dimaksudkan adalah suatu kegiatan belajar untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan praktik beracara dan drafting. Praktik beracara sebagai persiapan profesi hukum dilakukan dengan pendidikan prajaksa, pra-hakim dan pra-pengacara yang disatukan dalam bidang peradilan, kemudian legal drafting (kontrak dan legislasi) sebagai keahlian hukum yang dimiliki secara umum oleh sarjana hukum sehingga dimasukkan dalam kategori mata kuliah umum. Untuk melaksanakan pembelajaran seperti ini, diperlukan dukungan dari intansi-instansi dan lembaga terkait penyelenggaraan teknis baik itu Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, notaris maupun yang terkait dengan pembuatan undang-undang. Metode belajar seperti ini diharapkan dapat lebih mendekatkan mahasiswa pada keadaan nyata di lapangan, dan mahasiswa dibekali kemampuan berlitigasi mapun non-litigasi5. Metode belajar tersebut membawa mahasiswa melihat, mengetahui dan memahami proses peradilan secara nyata. Disamping itu mahasiswa pada akhir semester dihadapkan untuk membandingkan keadaan persidangan sebenarnya dengan yang seharusnya dalam hukum positiv. Metode ini akan memotivasi mahasiswa dalam menyusun argumentasi hukum berdasarkan hukum positif dengan kenyataan5 Berlitigasi meksudnya berperan sebagai sebagai hakim, jaksa, dan advokat sedangkan non-litigasi adalah kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan
6
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Pendidikan Hukum Progresif Penegakan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat Indonesia. Kepercayaan akan penegakan hukum kian terdegradasi dengan berbagai bentuk penyimpangan yang ada dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Salah satu faktonya disebabkan oleh persoalan keadilan yang hadir dalam penegakan hukum atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Fakultas-fakultas hukum yang akan mencetak penegak hukum lebih banyak mengajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan.6 Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam konteks penegakan hukum. Para hakim yang merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yakni “untuk mencapai keadilan” yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Hukum sebagai bagian dari ilmu memiliki kriteria sosiologis yang pada akhirnya memunculkan sebuah tanggung jawab etik. Hal ini dipahami bahwa dalam mengaplikasikan hukum harus dilandasi dengan sebuah tanggung jawab moral dan etika. Maka dari itu perlu mengupayakan sebuah terobosan dalam pendidikan hukum indonesia dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memperbaiki image peradilan di tanah air. Pemikiran dan pendekatan yang bersifat positivistik merupakan salah satu unsur yang ada dalam pendidikan hukum. Pendekatan positistik ini lebih condong pada hukum positif ketimbang rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sementara 6 Anonim, Carut Marut Dunia Pendidikan Hukum, http://anggara.wordpress. com, diakses 25 Maret 2007 Pukul 10.00 WITA Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
7
DISKURSUS
nya di peradilan. KBK yang mengedepankan legal skills, pemikiran kritis, penalaran, penguasaan bahasa dan teknologi merupakan sebuah reorientasi terhadap penyelenggaraan pendidikan hukum akan menghapus keraguan akan ketidakmampuan sarjana hukum Indonesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sarana pembangunan.
DISKURSUS
pendidikan hukum indonesia tidak dapat dipungkiri didominasi dengan warna positivistik, sehingga lulusan fakultas hukum yang akan berperan sebagai penegak hukum juga akan berbau positivis yang tidak begitu memperhatikan rasa keadilan ditengah masyarakat. Pendidikan dengan wajah seperti ini seharusnya sudah mulai ditinggalkan sebagai upaya pembangunan nasional melalui konsep hukum. Hukum sepantasnya ada untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Untuk itu Satjipto Rahardjo kemudian memperkenalkan hukum progresif yang masih saja bersifat kontekstual. Hukum progresif berpegang pada paradigma hukum untuk manusia. Hukum dianggap sebagai jembatan antara undangundang yang statis dengan penerapannya di masa kini dan masa yang akan datang. Hukum bertugas untuk menuntun dan melayani masyarakat. Pemikiran akan hukum progresif dapat diterjemahkan kedalam pendidikan hukum Indonesia untuk melakukan perubahan terhadap citra penegakan hukum di indonesia. Meskipun dalam kurikulum hukum telah dikenal adanya mata kuliah etika dan tanggung jawab profesi akan tetapi dengan memberikan mata kuliah ini ternyata tidak cukup untuk memberikan dasar yang kuat bagi mahasiswa untuk melakukan penegakan hukum yang lebih mengedepankan rasa keadilan setelah berprofesi sebagai penegak hukum, karena pandangan positivistik yang melekat dalam proses pembelajarannya pada saat kuliah. Pendidik hukum hendaknya tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan apa yang dapat dilakukan seorang ahli hukum (profesi hukum) tetapi juga apa yang seharusnya (ought to be) dilakukan seorang ahli hukum. Pembelajaran seperti ini cenderung memberikan pandangan legal ethic kepada mahasiswa untuk dapat melaksanakan legal trust dengan baik sehingga tidak mengabaikan cita hukum yakni kedilan. Pada akhirnya pendekatan seperti ini akan membawa penegak hukum yang dididik dalam nuansa pendidikan hukum progresif untuk melaksanakan penegakan hukum yang lebih memihak pada keadilan secara materil dan tidak menjadi pembingkai perbuatan dalam aturan hukum positiv semata. Pendidikan progresif dicirikan sebagai pendidikan yang (1) kreatif, (2) responsif, (3) protagonis, (4) berwatak pembebasan dan yang terakhir adalah (5) berorientasi pada Indonesia dan kebutu8
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
7 Hikmanto Juwana, Op. Cit. hal 5 8 Anthony Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 139 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
9
DISKURSUS
han Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan hukum yang progresif diharapkan melahirkan lulusan yang senantiasa mengedepankan hati nurani dan keadilan, sehingga pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat akan lebih diutamakan sejalan dengan kondisi hukum dan masyarakat yang senantiasa dinamis7 Pendidikan hukum progresif merupakan pendidikan yang membebaskan diri dari kungkungan dogmatisme hukum, lebih di namis dan berlawanan dengan pendidikan hukum status quo. Pendidikan hukum progresif yang dimaksud mencoba memadukan atau mensintetiskan berbagai basis pendidikan dengan dasar pengintegrasian IESQ (Intellectual Emotional Spiritual Quitionent) dalam penerapannya8. IESQ dimaksudkan sebagai perpaduan kecerdasan yang harmonis dan dilandasi dengan komitmen moral. Terciptanya suatu iklim hukum yang baik di tengah masyarakat melalui reorientasi pendidikan hukum tidak hanya membangun bangsa dari sektor hukum atau aturan-aturan yang berkembang dari masrakat. Akan tetapi juga di sektor-sektor lainnya yakni ekonomi, politik, sosial dan secara keseluruhan aspek-aspek yang bersentuhan dengan hukum juga mengalami perkembangan. Penulis kembali kepada landasan berfikir penulis bahwa hukum sebagai ilmu praktis bersifat normatif karena berdampak secara langsung dalam kehidupan masyarakat, di mana hukum memiliki peran untuk memecahkan persoalan ditengah masyarakat. Untuk itu pembenahan produk fakultas hukum melalui pendidikan hukum perlu untuk dilaksanakan segera dalam menghadai persoalan krisis sumberdaya manusia baik secara intelektual maupun moralitas. Penerapan kurikulun berbasis kompetensi dalam pendidikan hukum dengan merubah metode belajar, kurikulum dan mengambangkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa yang ditunjang dengan tenaga pengajar yang profesional dan juga memperkenalkan pendidikan hukum progresif diharapkan mampu membawa suatu iklim baru dalam dunia pendidikan hukum yang pada akhirnya bermuara pada penerapan hukum dalam masyarakat.
DISKURSUS
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendidikan hukum di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan yang juga merubah tujuan penyelenggaraan pendidikan hukum yang sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dan kebijakan pemerintah. Meskipun tujuan pendidikan hukum telah mengalami beberapa kali perubahan seiring berubahnya tuntutan zaman, akan tetapi produk fakultas hukum tidak banyak mengalami perubahan dan cenderung legalistik bahkan tidak memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca kemerdekaan. Hal tersebut berdampak pada ketidak mampuan produk fakultas hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di era pembangunan. Persoalan ini tidak lain karena adanya kesenjangan antara ilmu yang diperoleh ketika kuliah dengan kenyataan di lapangan. Hal ini disebabkab kendala di kurikulum fakultas hukum, metode belajar, tenaga pengajar dan fasilitas belajar. 2. Upaya untuk membenahi pendidikan hukum adalah dengan melakukan reorientasi pendidikan hukum dengan menerapkan KBK, mempersiapkan mahasiswa untuk profesi hukum praktis dengan memberikan pendidikan yang dapat mendorong mahasiswa berfikir kritis, melakukan penalaran, memperbaiki metode belajar di fakultas hukum dan membawa mahasiswa lebih dekat pada kenyataan di lapangan, serta memanfaatkan secara maksimal perpustakaan, komputerisasi dan laboratorium di fakultas hukum. Disamping itu, perlu diperkenalkan suatu pendidikan progresif untuk mengatasi persoalan menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia (legal trust). Saran-Saran Penulis merekomendasikan hal-hal berikut, atas kesimpulan dan pembahasan yang dipaparkan di atas : 1. Kurikulum berbasis kompetensi hendaknya diterjemahkan dalam pendidikan hukum, dengan menekankan metode-metode yang mampu mendorong pemikiran kritis, penalaran, kreatifitas, 10
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Daftar Pustaka Anonim, Carut Marut Dunia Pendidikan Hukum, http://anggara. wordpress.com, diakses 25 Maret 2007 Pukul 10.00 WITA Anthony Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT.Refika Aditama, Bandung, 2005 ___________, Reformasi Hukum di Indonesia (Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia), PT. Cyberconsult, Jakarta, 1999 HIkmanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, www.pemantauperadilan.com, diakses 25 Maret 2007 pukul 10.00 WITA Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmianti, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, yogyakarta, 2005 Trisno,Yulianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.freelists.org, diakses 25 April 2007
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
11
DISKURSUS
dan legal skills mahasiswa fakultas hukum diantaranya dengan mengetangahkan mata kuliah legal opinion, hukum telematika dan memberikan pendidikan dan ketrampilan profesi hukum serta menerapkan pendidikan hukum yang bersifat progresif. 2. Pendidikan hukum harus meninggalkan metode lama yang tidak lagi sejalan dengan kebutuhan pembangunan dan masyarakat. Perlu untuk segera dilakukan reorientasi pendidikan hukum di Indonesia. Untuk membekali legal skill itu perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga profesi hukum dalam penyelenggaraan pendidikan hukum dan mengupayakan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran.
12
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
DISKURSUS
KONSEP ASOSIASI LEGAL CLINIC DI BEBERAPA NEGARA DAN URGENSI PEMBENTUKANNYA DI INDOENSIA Pultoni 9 ABSTRAKSI Pendidikan hukum klinik adalah metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh fakultas hukum di berbagai negara untuk mengajarkan kepada mahasiswa ketarampilan, nilai, dan pandangan mereka tentang hukum serta hak asasi manusia. Implementasi prinsip-prinsip pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum, diyakini dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan mahasiswa hukum dalam bidang kepengacaraan, menanamkan nilai-nilai keadilan, melatih kepekaan sosial dan keberpihakan mereka kepada kepentingan publik serta tanggungjawab sosial profesi sebagai praktisi hukum dalam berbagai bidang. Pelaksanaan pendidikan hukum klinik mencakup empat komponen yaitu (1) komponen praktik; (2) Mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampilan dan nilai; (3) Fokus kerja klinik yaitu pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu atau kelompok marginal, dan memperkuat atau mempromosikan hak asasi manusia; dan (4) Pemberian kredit kepada mahasiswa atau pengajar atas partisipasi mereka dalam kegiatan klinik. Bagi fakultas hukum di Indonesia konsep pendidikan hukum klinik sudah dikenal sejak lama, walaupun dalam praktik yang berbeda yang umumnya dipahami dan diterapkan oleh fakultas hukum di berbagai negara. Kurikulum fakultas hukum di Indonesia baik negeri maupun swasta memiliki sejumlah matakuliah yang bersifat praktis dan lembaga bantuan hukum yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, tidak ada korelasi antara matakuliah praktis dan lembaga bantuan hukum yang dapat menjadi tempat bagi mahasiswa berpraktek. Sehingga terdapat kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan hukum di Indonesia dengan mengadopsi sistem pendidikan hukum klinik. Kata Kunci : Pendidikan Hukum Klinik, Asosiasi Legal Clinic, Kurikulum Fakultas Hukum 9 Program Manager The Indonesian Legal Resource Center dan Pilnet Fellow (2010-2011) untuk program pengembangan pendidikan hukum klinik di Indonesia Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
13
DISKURSUS
A. PENGANTAR Pendidikan hukum klinik adalah metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh fakultas hukum di berbagai negara untuk mengajarkan kepada mahasiswa ketarampilan, nilai, dan pandangan mereka tentang hukum serta hak asasi manusia. Melalui pendidikan hukum klinik mahasiswa hukum tidak hanya belajar tentang hukum dalam teks, tetapi juga belajar tentang bagaimana menerapkannya dalam situasi dan konteks yang berbeda-beda, dan memahami sekaligus mengevaluasi bekerjanya hukum di tengah masyarakat. Bagi fakultas hukum di Indonesia konsep pendidikan hukum klinik sudah dikenal sejak lama, walaupun dalam praktik yang berbeda yang umumnya dipahami dan diterapkan oleh fakultas hukum di berbagai negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) terhadap kurikulum fakultas hukum di Indonesia baik negeri maupun swasta menyebutkan, bahwa hampir semua fakultas hukum memiliki sejumlah matakuliah yang bersifat praktis dan juga lembaga bantuan hukum yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, tidak ada korelasi antara matakuliah praktis dan lembaga bantuan hukum yang dapat menjadi tempat bagi mahasiswa berpraktek. Hampir semua lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh fakultas hukum tidak menjadi bagian dari kurikulum fakultas hukum dan minimnya partisipasi maupun keterlibatan mahasiswa.10 Open Society Justice Initiative (OSJI) merumuskan standart pelaksanaan pendidikan hukum klinik11. Pertama, adanya komponen praktik. Dalam pendidikan hukum klinik fakultas hukum harus memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bekerja dan berpraktik melalui kasus-kasus konkrit di pengadilan, atau setidak-tidaknya berhubungan langsung dengan klien untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi. Untuk mendapatkan pengalaman praktik tersebut, fakultas hukum dapat melakukannya melalui tiga pendekatan yaitu: (i) In house clinic atau lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh 10 The Indonesian Legal Resource Center, Overview of Law Schools Curricula in Indonesia, 2011. 11 Open Society Justice Initiative, Standards for Law School Clinic.
14
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
12 Di Afrika Selatan program Street Law yang dikembangkan di Universitas Natal oleh Professor David McQuoid-Mason menjadi sarana pembelajaran yang efektif baik bagi mahasiswa dan paralegal di komunitas dalam menentang praktik-praktik Aphartheid.Program yang diselenggarakan secara terus-menerus tersebut terbukti dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
15
DISKURSUS
fakultas hukum dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa menangani kasus-kasus yang ada dengan supervisi dari pengajar klinik; (ii) Externship Clinic dimana fakultas hukum bertanggungjawab terhadap komponen kelas, kemudian mahasiswa bekerja dengan NGO atau institusti penegak hukum dimana mereka dapat menangani kasus secara langsung; (iii) Street Law Clinic yaitu suatu metode dimana mahasiswa akan mengajar dan mendidik komunitas atau kelompok masyarakat tertentu tentang masalah-masalah hukum yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua, mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampilan dan nilai. Pendidikan hukum klinik harus meliputi komponen kelas yang akan mengkombinasikan pembelajaran terhadap subtansi hukum dan keterampilan. Selain itu, komponen kelas juga akan menjadi media refleksi terhadap profesionalisme seorang praktisi hukum dan nilai-nilai keadilan sosial. Ketiga, fokus kerja klinik. Fokus atau ruang lingkup kerja dari klinik adalah pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu atau kelompok marginal, dan memperkuat atau mempromosikan hak asasi manusia. Keempat, pemberian kredit bagi kerja-kerja klinik. Fakultas hukum harus memberikan sejumlah kredit kepada mahasiswa atau pengajar atas partisipasi mereka dalam kegiatan klinik. Pendidikan hukum klinik adalah sebuah metode pembelajaran hukum yang tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga berdampak terhadap masyarakat, terutama untuk memberikan pengetahuan kepada mereka tentang prinsipprinsip hukum dan hak asasi manusia, dan bagaimana seharusnya hukum bekerja dalam kehidupan sosial.12 Melalui model pendidikan ini diharapkan masyarakat juga mendapatkan akses yang layak terhadap keadilan, khususnya bantuan hukum. Implementasi prinsip-prinsip pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum, diyakini dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan mahasiswa hukum dalam bidang kepengacaraan, menanamkan nilai-nilai keadilan, melatih kepekaan sosial
DISKURSUS
dan keberpihakan mereka kepada kepentingan publik serta tanggungjawab sosial profesi sebagai praktisi hukum dalam berbagai bidang.13 Ada kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan hukum di Indonesia dengan mengadopsi sistem pendidikan hukum klinik. Dalam mempromosikan konsep pendidikan hukum klinik dan meningkatkan kapasitas para pengajar klinik, beberapa negara membentuk asosiasi legal clinic dengan model yang berbeda-beda. Tulisan berikut akan menguraikan tentang model-model tersebut yang diterapkan di berbagai negara, menawarkan strategi pembentukan dan rekomendasi konsep asosiasi yang mungkin tepat untuk konteks Indonesia. B. ASOSIASI LEGAL CLINIC DI BEBERAPA NEGARA 1. Latar Belakang Setiap negara memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam membentuk asosiasi legal clinic yang dipengaruhi oleh sistem hukum, sistem pendidikan, dan juga budaya proses pembelajaran hukum di masing-masing negara. Perbedaan sistem dan budaya tersebut berpengaruh terhadap pilihan model dan bentuk asosiasi yang mereka kembangkan, baik sifat organisasi, tujuan organisasi, struktur organisasi, dan strategi lain dalam mempromosikan pendidikan hukum klinik. Secara umum setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi lahirnya asosiasi, yaitu masih terbatasnya pendidikan hukum yang mengadopsi dan menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip dan standar dalam melaksanakan pendidikan hukum klinik dalam pembalajaran hukum. Latarbelakang yang lain adalah adanya kebutuhan untuk lebih mempromosikan dan menyebarluaskan konsep pendidikan hukum klinik sebagai bagian dari proses pembelajaran di fakultas hukum. 2. Bentuk dan Sifat Bentuk organisasi yang dikembangkan di setiap negara berbeda-beda, terutama istilah dan dasar hukum yang digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di masing13 Dibeberapa negara seperti USA, progam pendidikan hukum klinik merupakan program yang wajib diselenggarakan oleh fakultas hukum. American Bar Association juga memandatkan program tersebut untuk menjamin kualitas lulusan fakultas hukum.
16
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
3. Tujuan Organisasi asosiasi legal clinic di setiap negara juga memiliki tujuan yang berbeda-beda dan juga strategi untuk mencapai tujuan itu. Setidaknya ada empat tujuan utama yang hampir ada disemua organisasi yaitu; a. Mempromosikan pendidikan hukum klinik dalam proses pendidikan hukum dalam rangka memperbaiki output fakultas hukum; b. Mengkonsolidasikan dan memperkuat jaringan organisasi le14 Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal Clinics”. 15 Constitution of the Association of University Legal Aid, South Africa. 16 Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. 17 Constitution of Network Of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). 18 The Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland. 19 Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia. 20 Article 1 paragraph (1.1), Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal Clinics”. 21 Article 1 Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. 22 Article 1 paragraph (1.1), Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
17
DISKURSUS
masing negara. Setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan yaitu ‘Asosiasi’, ‘Network’, ‘Komite’ dan ada juga yang menggunakan ‘Yayasan’. Moldova14 dan Afrika Selatan15 menggunakan Asosiasi, China menggunakan Komite,16 Nigeria menggunakan istilah Network,17 serta Polandia18 dan Rusia19 menggunakan Yayasan. Selain itu, pendirian organisasi dilakukan berdasarkan pengesahan, baik oleh pemerintah masing-masing ataupun notaris. Terkait dengan sifat dan karakteristik organisasi, ada yang menyebut secara tegas dalam Anggaran Dasar (AD), ada juga yang tidak menyebutkan secara tegas. Moldova menyebut secara tegas dalam AD bahwa organisasi yang mereka bentuk bersifat asosiasi publik, organisasi non-pemerintah, non-politik, dan non-profit.20 Hal yang sama juga disebutkan dalam AD Committee of Chinese Clinical Legal Education, bahwa komite adalah organisasi akademik bersifat national, non-profit yang didirkan oleh para pengajar klinik, pengurus dan lain sebagainya.21 Lain halnya dengan Rusia yang menyebutkan bahwa the Clinical Legal Foundation adalah non-membership based dan organisasi non-profit.22
DISKURSUS
gal clinic maupun pengajar klinik, baik ditingkat lokal, nasional, maupun internasional. c. Meningkatkan kapasitas organisasi legal clinic dan individu pengajar klinik; d. Mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic. Beberapa asosiasi seperti Nigeria dan Afrika Selatan juga memiliki tujuan untuk mempromosikan bantuan hukum sebagai bagian dari akses terhadap keadilan. Sedangkan Legal Clinic Foundation di Polandia juga bertujuan untuk melakukan advokasi kebijakan terkait dengan pendidikan hukum klinik. Untuk mencapai tujuan organisasi ada beberapa kegiatan yang umum mereka kerjakan diantaranya melalui pendidikan, penelitian, publikasi, diskusi publik, pengembangan jaringan, penggalangan dana, dan lain-lain. 4. Badan-Badan Asosiasi legal clinic di setiap negara memiliki model struktur organisasi yang berbeda-beda dengan mandat atau wewenang yang berbeda-beda pula. Selain itu, cara pengisian anggota badanbadan tersebut juga berbeda-beda. a. Moldova Struktur organisasi di Moldova terdiri dari; (i) General Asembly (ii) Executive Bureau; (iii) Executive Director; (iv) Audit Committee.23 General Asembly adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam asosiasi yang memiliki wewenang diantaranya (i) menyusun kegiatan asosiasi, (ii) menyetujui rencana kegiatan tahunan, (iii) menyetujui penyempurnaan dan perubahan AD, (iv) menyetujui anggaran tahunan, (v) memilih dan memberhentikan Executive Bureau, Executive Director dan Audit Commite, (vi) menyetujui laporan tahunan keuangan, (vii) memutuskan pembubaran asosiasi, (viii) mengawasi kegiatan Executive Bureau, (ix) mengadopsi keuangan umum dan pengembangan strategis, (x) menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan asosiasi.24 Executive Bureau adalah badan pelaksana asosiasi 23 Article 4 paragraph (1), Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal Clinics”. 24 Ibid,article 4 paragraph (2).
18
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
25 Ibid, article 4 paragraphs (5). 26 Ibid, article 4 paragraphs (8). 27 Ibid, article 4 paragraphs (9). Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
19
DISKURSUS
yang memiliki wewenang diantaranya: (i) menyetujui peraturan internal asosiasi, (ii) menyetujui jabatan dalam asosiasi, mengangkat dan memberhentikan seseorang, (iii) menyusun anggaran asosiasi, laporan tahunan keuangan dan kegiatan, dan menyampaikannya dalam sidang umum, (iv) menentukan tugas dan tanggunjgawab Direktur Eksekutif, (v) menginformasikan kepada anggota kegiatan-kegaitan dan keputusankeputusan asosiasi, mengajukan kepada sidang umum pemberhentian anggota, dan (vi) memutuskan masalah yang tidak menjadi kompetensi dari badan-badan yang ada dalam asosiasi. Badan ini memilliki tiga orang anggota yaitu Direktur Eksekutif dan dua anggota dan dipilih oleh rapat anggota untuk masa jabatan 2 tahun.25 Direktur Eksekutif dipilih oleh Rapat Umum anggota, dan memiliki tanggungjawab diantaranya: (i) menjamin pelaksanaan strategi yang diputusan oleh rapat umum, (ii) menjamin jalannya menejemen asosiasi dan Executive Bureau, (iii) menyusun rencana program tahunan, (iv) melakukan penggalangan dana, (v) mewakili asosiasi dalam berhubungan dengan individu, lembaga atau pemerintah, (vi) menyusun peraturan internal, (vii) mengorganisasikan pembukuan dan data statistik terkait dengan produk legislasi, (viii) menyetujui permintaan, keputusan, dan instruksi, dan (ix) mengelola kekayaan asosiasi.26 Anggota Komite Audit dipilih oleh rapat umum untuk masa kerja 2 tahun dan bertugas mengawasi kegiatan asosiasi. Badan ini bertanggungjawab untuk: (i) melakukan analisa terhadap apa yang telah dilakukan Executive Bureau dalam mengimplementasikan rencana strategis dan keputusan sidang, serta menyetujui laporan tahunan Executive Bureau, (ii) menyusun laporan pengawasan tahunan terhadap kegaitan Executive Bureau. Selain itu, komite juga berhak atas kebebesan akses terhadap informasi, membuat usulan kepada rapat umum dan berkonsultasi dengan Executive Bureau.27
DISKURSUS
b. Nigeria Penanggungjawab menejemen NULAI adalah Executive Committee yang terdiri dari tidak lebih 7 orang yang dipilih oleh rapat umum anggota. Rapat umum akan memilih (i) President, (ii) Vice president, (iii) Secretary, dan (iv) tiga atau empat anggota tambahan. Komite eksekutif bertindak mewakili kepentingan NULAI. Executive commite bertindak untuk dan atas nama organisasi. Dalam pengambilan keputusan komite dilakukan dengan suara terbanyak, dan suara ketua menentukan jika ada kesamaan jumlah suara. Komite berkewajiban untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota terkait kebijakan penting organisasi.28 c. Afrika Selatan Asosiasi legal clinic di Afrika Selatan dijalankan oleh Executive Committee yang berjumlah tidak lebih dari 8 orang yang terdiri dari (i) Presiden, (ii) Wakil Presiden, (iii) Sekretaris/Bendahara, (iv) Tiga atau lima anggota tambahan untuk memastikan keterwakilan wilayah. Anggota komite eksekutif dipilih dalam rapat umum anggota. Executive Commite bertindak untuk dan atas nama organisasi. Dalam pengambilan keputusan komite dilakukan dengan suara terbanyak, dan suara ketua menentukan jika ada kesamaan jumlah suara. Komite berkewajiban untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota terkait kebijakan penting organisasi.29 d. China Komite CLE China terdiri dari Kommite Permanen dan Badan Pelaksana Komite. Pengajar klinik dapat dipilih sebagai anggota tetap komite. Anggota komite permanen dipilih untuk masa kerja 3 tahun dan memiliki hak dan kewajiban diantaranya; (i) menjalankan hak untuk memilih dan bertindak yang ditujukan kepada komite permanen, (ii) melaksanakan keputusan komite, (iii) memilih dan memberhentikan Direktur 28 Article 7 Constitution of Network of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). 29 Article 7 Constitution of the Association of University Legal Aid of South Africa
20
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
e. Polandia Kepengurusan Yayasan Legal Clinic terdiri dari Board of Foundation, Councel of the Foundation, dan Advosory Board. Council memegang hak memutuskan dan pengawasan. Council terdiri dari dua kelompok anggota yaitu dosen dari klinik yang terakreditasi oleh yayasan, dan mereka yang mendukung kerja-kerja yayasan. Council memiliki beberapa tugas diantaranya (i) menyusun kegiatan yayasan setelah berkonsultasi dengan Advisory Board, (ii) menyusun tugas-tugas pengurus dengan waktunya, (iii) membenutk sistem penggajian anggota board, (iv) melakukan supervisi terhadap kerja-kerja board, (v) menyetujui rencana keuangan tahunan yayasan, (vi) menyetujui laporan tahunan board dalam kegiatan, dan keuangan, (vii) menentukan tugas-tugas board tahunan selanjutnya, (viii) membuat standard penggajian bagi pegawai yang bekerja di 30 Article 19 Regulation of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators 31 Ibid, Article 21-24. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
21
DISKURSUS
dan Wakil Direktur, (iv) memutuskan pembentukan lembaga yang akan menangani kegiatan komite dan lembaga khusus lain, (v) merancang program tahunan, (vi) memutuskan anggaran tahunan komite dan mengawasi keuangan komite, (vii) mengarahkan pengembangan kerja komite cabang, (viii) berpartisipasi dalam menyusun dan merubah peraturan komite, (viii) ikut memutuskan kegiatan penting komite30. Badan Pelaksana Komite terdiri dari; (i) direktur, (ii) tiga wakil direktur, (iii) Satu orang sekretaris komite. Direktur dan tiga wakil direktur dipilih oleh anggota komite permanen untuk masa kerja 3 tahun. Direktur bertanggungjawab dalam mengelola kegiatan harian komite, mengarahkan kerja-kerja sekretariat, dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan individu, dan bertanggungjawab terhadap komite. Sekretaris komite diusulkan dan ditetapkan oleh Direktur setelah mendapat persetujuan dari komite parmanen untuk masa kerja 3 tahun dan bisa diperbaharui. Sekretaris komite bertanggungjawab terhadap kerja-kerja sekretariat dan bertanggungjawab kepada direktur. Sekretaris komite dapat diangkat dari orang yang bukan anggota komite permanen31.
DISKURSUS
yayasan, (ix) mengadopsi peraturan menejemen sumber daya keuangan yayasan32. Anggota badan pengurus terdiri dari 5 orang yang diangkat oleh dewan yayasan untuk masa kerja 2 tahun dan bisa menjabat lebih dari satu periode. Anggota dewan tidak diperboleh menjawab sebagai pengurus yayasan. Pengurus yayasan memiliki tugas; (i) melaksanakan kegiatan yayasan, (ii) mengelola kekayaan yayasan, (iii) menyiapkan rancangan rencana keuangan tahunan yayasan, (iv) menyiapkan laporan tahunan kegiatan yayasan, (v) melaksanakan resolusi dewan, (vi) mengontrol kegiatan legal clinic berdasarkan standart, (vi) membentuk unit-unit dalam yayasan, (vii) menyusun peraturan tentang kepegawaian, penggajian dan lain sebagainya.33 The Advisory board adalah badan konsultasi yayasan. Anggota badan ini diangkat dan diberhentikan oleh Council dari perorangan yang kompeten dan memiliki otoritas penting terhadap kegiatan yayasan.34 f. Rusia Struktur organisasi Yayasan Pendidikan Hukum Klinik Rusia terdiri dari Dewan Yayasan, Badan Eksekutif, dan Badan Penasehat.Dewan yayasan memegang kekuasaan tertinggi dalam yayasan. Badan ini memiliki beberapa wewenang diantaranya, (i) mengubah AD yayasan, (ii) mengidentifikasi prioritas program yayasan, (iii) mengatur prinsip-prinsip pembentukan dan penggunaan kekayaan yayasan, (iv) membentuk badan eksekutif dan badan penasehat (v) membuat perjanjian atau kontrak kerja dengan Direktur dan menentukan gajinya, (vi) mengambil keputusan terhadap anggota baru dewan yayasan, (vii) menyetujui laporan tahunan dan keuangan, (viii) menyetujui rencana keuangan dan perubahannya, (ix) membentuk cabang dan kantor perwakilan yayasan, (x) mengambil keputusan untuk membentuk lembaga komersil maupun tidak komersil, berpartisipasi dalam non-profit organization terma32 Article 13 the Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland 33 Ibid, article 19-20. 34 Ibid, article 23-24.
22
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
5. Keanggotaan Mayoritas organisasi asosiasi legal clinic berbasis keanggotaan, kecuali Polandia dan Rusia. Ada dua tipe keanggotaan yang diadopsi oleh asosiasi yaitu berbasis lembaga/organisasi dan berabasis perorangan. Keanggotaan asosiasi legal clinic di Moldova38 dan China39 mengadopsi keanggotaan berbasis kelembagaan dan individu, yang memiliki perhatian dan tertarik terhadap pengembangan pendidikan hukum klinik. Sedangkan keanggotaan asosiasi legal clinic di Nigeria dan Afrika Selatan hanya dibatasi pada kelembagaan yaitu lembaga bantuan hukum yang dibentuk di perguruan tinggi. Selain itu asosiasi legal clinic di Nigeria40 dan Afrika41 Selatan juga mengadopsi keanggotaan mitra, yaitu keanggotaan yang diberikan kepada lembaga bantuan hukum kampus yang tidak memenuhi syarat sebagai angota tetap. Setiap negara juga berbeda dalam mengatur mekanisme keanggotaan, hak dan kewijiban anggota. Ada beberapa hak yang secara umum diatur dalam Anggaran Dasar asosiasi diantaranya 35 Article 5 Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia. 36 Ibid, article 6 37 Ibid, article 8 38 Opcit,Article 5.11. 39 Opcit,Article 14. 40 Opcit,Article 5. 41 Opcit,Article 5. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
23
DISKURSUS
suk asosiasi, (xi) mengambil keputusan terhadap reorganisasi yayasan, (xii) menyetujui concept paper yayasan dalam kegiatan, termasuk rencana strategi pengembangan yayasan, perubahan, dan implementasinya. Dan masih ada lagi wawenang lain badan ini. 35 Anggota Badan Eksekutif yayasan terdiri dari 3-6 orang yang dipilih oleh Dewan Yayasan untuk masa kerja 2 tahun, dan dapat dipilih kembali tanpa ada pembatasan. Badan Eksekutif dipimpin oleh seorang ketua.36 Sedangkan badan penasehat adalah badan yayasan yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap penggalangan dana, dan tercapainya tujuan yayasan. Anggota badan ini diangkat oleh dewan yayasan.37
DISKURSUS
adalah hak untuk memilih dan berpendapat, dan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan asosiasi. Sedangkan kewajiban anggota antara lain menjaga nama baik asosiasi, dan membayar iuran tahunan anggota. 6. Rapat-rapat Bagi organisasi yang berbasis keanggotaan, kekuasaan tertingi dalam organisasi adalah rapat anggota. Rapat itu diselenggarakan secara periodik, ada yang 18 bulan ada yang 2 tahun. Sebagai kekuasaan tertinggi rapat anggota memiliki wewenang yang cukup luas terkait kebijakan asosiasi dan menentukan arah organisasi seperti merubah dan menyempurnakan anggaran dasar, menyusun kebijakan umum asosiasi terkait program dan keuangan, memilih dan memberhentikan pengurus yang akan bertanggungjawab terhadap jalannya asosiasi, dan menentukan keangotaan asosiasi. C. PEMBENTUKAN ASOSIASI DI INDONESIA 1. Gagasan Pembentukan Asosiasi The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organisasi non-pemerintah yang fokus pada upaya pembaruan pendidikan hukum. Salah satu gagasan yang dikembangkan oleh ILRC untuk mendorong pembaruan pendidikan hukum adalah mengadopsi model pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum bagi mahasiswa. Sejak tahun 2007 ILRC menginisiasi beberapa kegiatan dan program dalam rangka mendorong pembaruan pendidikan hukum dan memperkuat akses terhadap keadilan melalui penguatan LBH Kampus. Selain ILRC, sejak tahun 2006 Open Society Justice Initiative (OSJI) dan Yayasan TIFA juga mengembangkan program pendidikan hukum klinik di dua universitas yaitu Universitas Islam Indonesia Jogjakarta dan Universitas Pasundan Bandung. Dua universitas tersebut menjadi pilot project bagi implementasi program pendidikan hukum klinik di Indonesia.42 Konsolidasi pengembangan pendidikan hukum klinik dan LBH Kampus semakin menguat seiring dengan adanya pertemuan, sharing pengalaman, training dan kegiatan lain yang diselenggarakan sehingga memunculkan ide tentang pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik. 42 Fakultas Hukum UII mengembangkan program bantuan hukum dan fakultas hukum Universitas Pasundan mengembangkan program street law.
24
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
43 Kegiatan ini diikuti oleh diantaranya perwakilan dari Fakultas Hukum Unair Surabaya, Fakultas Hukum Hasanuddin Makasar, Fakultas Hukum UII Jogjakarta, Fakultas Hukum Unpas Bandung, dan Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu 44 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Workshop Penyusunan Guideline Penyelenggaraan LKBH di Fakultas Hukum 25-27 April 2009, di Surabaya 45 Pelatihan diikuti oleh 11 LBH Kampus diantaranya adalah Fakultas Hukum Unair Surabaya, Fakultas Hukum Brawijaya Malang, Fakultas Hukum Unhas Makasar, Fakultas Hukum UII Jogjakarta, Fakultas Hukum Unpas Bandung, Fakultas Hukum Udayana Bali, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Fakulas Hukum Untad Palu, Fakultas Hukum Uncen Papua, Fakultas Hukum Pakuan Bogor, dan Fakultas Hukum Pelita Harapan Tangerang. 46 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Pelatihan Penyelenggaraan LKBH Kampus, Jakarta 27-29 Juli 2009 47 Forum Solidaritas LBH Kampus telah berhasil menyusun position paper tentang RUU Bantuan Hukum yang dipublikasikan bekerjasama dengan ILRC. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
25
DISKURSUS
Gagasan mengenai pentingnya pembentukan asosiasi legal clinic pertama kali muncul pada saat workshop LBH Kampus di Surabaya pada tanggal 25-27 April 2009.43 Pertemuan ini telah merekomendasikan salah satunya untuk memperkuat jaringan LBH Kampus dengan melakukan beberapa kegiatan diantaranya pembentukan forum di tingkat nasional, mengembangkan mekanisme komunikasi antar anggota dan sharing informasi aktivitas masingmasing lembaga melalui website.44 Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan pelatihan pimpinan LBH Kampus untuk memperkuat akses terhadap keadilan yang diselenggarakan pada tanggal 27-29 Juli 2009 di Jakarta.45 Kegiatan ini menyepakati pentingnya pembentukan forum legal clinic yang bertujuan untuk membangun komunikasi dan sharing informasi diantara anggota, serta melakukan konsolidasi untuk memperkuat legal clinic di fakultas hukum.46 Pada tanggal 15 April 2010 ILRC bersama beberapa LBH Kampus menyelenggarakan pertemuan di Universitas Pelita Harapan dalam rangka advokasi RUU Bantuan Hukum yang kemudian juga diikuti oleh pertemuan-pertemuan berikutnya. Selain mengkritisi RUU Bantuan Hukum yang didalamnya juga mengatur tentang keberadaan LBH kampus, pertemuan tersebut juga membahas strategi advokasi dan konsolidasi LBH Kampus. Salah satu hasilnya adalah membentuk Forum Solidaritas LBH Kampus dan menyepakati Universitas Pelita Harapan sebagai host yang akan mengkoordinir komunikasi dalam forum.47 Dalam praktiknya forum
DISKURSUS
yang dibentuk kurang dapat berjalan dengan baik sesuai rencana. Penyelenggaraan training keadilan sosial yang diikuti oleh pengajar fakultas hukum pada tanggal 1-4 Oktober 2010 di Bogor merekomendasikan pembentukan asosiasi legal clinic bukan hanya sekedar forum seperti yang berjalan selama ini.48 Menjelang penyelenggaraan Simposium Nasional tentang pendidikan hukum klinik yang akan diselenggarakan bulan September 2011, ILRC melakukan survey tentang urgensi pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik di Indonesia. Survey dilakukan melalui interview terhadap beberapa dekan fakultas hukum dan pimpinan legal clinic49. Mereka diminta pendapatnya terkait rencana pembentukan asosiasi legal clinic, khususnya terkait dengan urgensi pembentukannya, model yang tepat untuk dikembangkan, mandat atau wewenang serta proses pembentukannya. Mayoritas narasumber yang dimintai pendapat setuju dan mendukung pembentukan asosiasi, karena organisasi ini akan menjadi wadah bagi pengembangan progam klinik di Indonesia di masa yang akan datang. Hanya saja narasumber masih belum bisa memastikan bentuk dan model asosiasi yang tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Meskipun demikian, ada juga diantara narasumber yang kurang setuju dengan pembentukan asosiasi, karena dianggap belum waktunya. Konsep pendidikan hukum klinik belum banyak diketahui oleh penyelenggara pendidikan hukum, dan masih banyak perbedaan dalam memahami CLE baik dalam konsep maupun praktiknya di masing-masing fakultas hukum. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan CLE secara luas, setelah itu kemudian mengembangkan ide pembentukan asosiasi. Terkait dengan bentuk, model dan mandat yang perlu diberi48 Training ini diikuti oleh peserta dari beberapa perguruan tinggi diantaranya Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Fakultas Hukum STIKUBANK. 49 Interview berhasil dilakukan terhadap 9 orang diantaranya Prof. Dr. Moch. Zaidun, SH (Dekan FH Unair), Prof. Dr. Aswanto (Dekan GFH Unhas), Sugeng Supartono, SH, MH (Legal Clinic FH Trisakti), Artadji, SH, MH (Ketua Legal Clinic Universitas Padjajaran), Dr. Lanny Ramly, SH (Ketua Legal Clinic FH Unair), Abdul Azis, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH Unhas), Abdul Jamil, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH UII), Irwan, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH Unpas), Jamin Ginting, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH UPH)
26
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
2. Prinsip Pembentukan Asosiasi Dalam pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik ada prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu prinsip terkait dengan bentuk asosiasi itu sendiri, dan prinsip dalam proses pembentukannya. Terkait dengan bentuk asosiasi ada beberapa prinsip utama yang perlu diperhatikan. Pertama, berbasis membership/keanggotaan. Organisasi asosisasi legal clinic lebih baik dikembangkan berbasis keanggotaan, baik secara organisasi maupun individu. Organisasi yang dapat menjadi anggota asosiasi adalah lembaga-lembaga di tingkat universitas yang memiliki program dan perhatian dalam mengembangkan pendidikan hukum klinik sebagai metode pembelajaran, sedangkan individu adalah para pengajar klinik yang konsen pada pengembangan pendidikan hukum klinik. Sesuai dengan kebutuhan, keanggotaan asosiasi juga dapat diperluas terhadap lembaga atau individu di luar universitas yang memiliki perhatian dan komitmen terhadap pengembangan pendidikan hukum klinik. Dengan berbasis keanggotaan, maka anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menentukan kebijakan asosiasi dan meJurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
27
DISKURSUS
kan kepada asosiasi narasumber menyarankan adanya diskusi secara mendalam sehingga diperoleh konsep yang tepat. Tetapi dari hasil interview ada harapan jika asosiasi dibentuk akan ada beberapa peran utama antara lain adalah lebih mempopulerkan gagasan pendidikan hukum klinik di fakultas hukum, menjadi media pembelajaran dan tukar pengalaman bagi masing-masing anggota, membantu fakultas hukum mengembangkan program legal clinic, memperkuat kapasitas legal clinic dan pengajar clinic. Bahkan ada beberapa narasumber yang mengusulkan agar asosiasi juga dapat merancang standar pelaksanaan program CLE yang tepat untuk Indonesia. Dari proses interview diketahui bahwa belum ada keseragaman dalam memahami konsep pendidikan hukum klinik. Setiap fakultas hukum mempraktikannya secara berbeda-beda dan dengan standar yang berbeda juga. Namun demikian, ada satu gagasan yang sama yaitu mengintegrasikan antara teori dan praktik dan perlunya mahasiswa terlibat secara langsung dalam penanganan kasus-kasus.
DISKURSUS
nerima manfaat dari kegiatan yang dilakukan oleh asosiasi. Kedua, organisasi non-profit. Asosiasi pendidikan hukum klinik adalah organisasi yang yang didirkan dengan tujuan nonprofit. Kerja-kerja asosiasi dilakukan tidak dalam rangka mencari keuntungan, tetapi sebagai tanggungjawab sosial dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan hukum dan meningkatkan kualitas keluaran fakultas hukum. Lebih jauh, kerja-kerja asosiasi dilakukan dalam rangka memperkuat akses terhadap keadilan bagi masyarakat melalui kegiatan pendidikan, konsultasi maupun bantuan hukum. Ketiga, tujuan asosiasi. Asosiasi legal clinic memiliki tujuan untuk lebih mempromosikan penyelenggaraan pendidikan hukum klinik sesuai dengan standar umum yang ada, sehingga dapat meningkatan jumlah pendidikan hukum yang yang memahami dan mengadopsi metode clinic sebagai model pembelajaran. Asosiasi juga adapat merumuskan standart penyelenggaraan program pendidikan hukum klinik sesuai dengan konteks Indonesia. Selain itu, asosiasi juga berperan mengkonsolidasikan legal clinic sehingga terjadi proses pembelajaran bersama dan transformasi pengalaman dari masing-masing anggota. Konsolidasi juga perlu dilakukan dalam rangka advokasi kepentingan bersama terhadap kebijakan negara yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan hukum klinik. Asosiasi akan mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic baik melalui pemberian akses, penyediaan materi dan sumber daya manusia, termasuk dukungan keuangan. Selain itu, asosiasi juga berperan memperkuat kapasitas anggota khususnya dalam metode pembelajaran klinik, maupun kemampuan lain dalam praktik pendidikan hukum. Selain kapasitas anggota, asosiasi juga berperan meningkatkan jaringan baik di tingkat nasional, regional dan internasional. Keempat, kepengurusan kolektif demokratis. Karena berbasis keanggotaan, maka model kepengurusan yang dibentuk dalam asosiasi juga harus demokratis artinya sesuai dengan aspirasi dan kepentingan anggota. Anggota diberikan hak secara bebas untuk menentukan dan memilih para pengurus yang akan menjalankan asosiasi. Kepengurusan yang dibentuk harus menunjukkan kolektivitas diantara para pengurus, sehingga ada kesamaan kedudukan antara pengurus yang satu dengan yang lain. Setiap anggota pengu28
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
29
DISKURSUS
rus memiliki hak yang sama dalam menjalankan asosiasi. Kepengurusan demokratis juga ditunjukkan adanya periodisasi masa jabatan pengurus, dan memungkinkan adanya pergantian pengurus secara konstitusional. Kelima, sekretariat yang representatif. Untuk mendukung kerja-kerja kepengurusan, maka asosiasi membutuhkan ruang kerja yang bersifat khusus dan layak, sehingga pengurus dapat merancang dan mengimplementasikan program-program organisasi. Sekretariat yang bersifat khusus juga diperlukan untuk menerima dan mendiseminasikan informasi terkait dengan program pengembangan pendidikan hukum klinik secara khusus, dan pendidikan praktik hukum secara umum. Asosiasi dapat menentukan kriteria layak dan representatifnya sebuah sekretariat sesuai dengan konteks negara dimana asosiasi berada. Keenam, akuntabilitas dan transparansi. Sistem dan penyelenggaraan organisasi harus memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Pengurus bertanggungjawab membuat laporan program dan keuangan secara periodik dan menyampaikan laporan itu baik kepada anggota maupun kepada masyarakat secara luas. Sedangkan terkait dengan proses pembentukan, ada beberapa tahap yang perlu dilalui sehingga kelembagaan yang dibentuk akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, khususnya anggota asosiasi. Pertama yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan argumentasi dan konsep. Pembentukan asosiasi harus didahului dengan penyusunan argumentasi dan konsep pembentukan asosiasi yang dibuat oleh inisiator atau tim khusus. Inisiator perlu menyiapkan argumentasi pentingnya pembentukan asosiasi, apa manfaatnya bagi pembaruan pendidikan hukum secara khusus, dan reformasi hukum secara umum. Selain argumentasi mengapa asosiasi ini perlu dibentuk di Indonesia, inisiator atau tim juga perlu menyiapkan rancangan konsep organisasi asosiasi yang akan dikembangkan. Draf yang dibuat oleh tim adalah draf yang bersifat sementara yang disusun secara bersama oleh inisiator atau tim berdasarkan pengalaman dan pemahaman mereka tentang pembentukan asosiasi. Setelah draft tersebut disusun tahap bertikutnya adalah mendiseminasika konsep pembentukan asosiasi legal clinic kepada
DISKURSUS
para stakeholder yang potensial menjadi anggota asosiasi. Konsep tersebut akan disampaikan kepada pimpinan legal clinic di Indonesia, dan juga kepada dekan fakultas hukum dengan harapan mereka akan memahami konsep yang ada dan memberikan feedback kepada inisiator atau tim. Konsep tersebut juga dapat disampaikan kepada pihak lain, baik lembaga maupun perorangan yang memiliki perhatian dan komitmen terhadap pengembangan program legal clinic di Indonesia. Selain mendiseminasikan draft yang juga penting untuk dilakukan adalah mendiskusikan konsep tersebut secara mendalam dengan berbagai stakeholder, khusunya dengan pimpinan legal clinic dan dekan fakultas hukum. Diskusi dapat diselenggarakan secara formal maupun informal. Dalam memutuskan pembentukan asosiasi diharapkan dapat melibatkan sebanyak mungkin stakeholder dari perguruan tinggi, sehingga kedepannya asosiasi ini benar-benar dapat berkembang dan bermanfaat bagi anggota, dan juga bagi proses penyelenggaraan pendidikan hukum. Keputusan pembentukan dapat dilakukan melalui pertemuan para stakeholder maupun media lain yang dapat digunakan untuk menyepakati pembentukan asosiasi. 3. Rekomendasi Konsep Asosiasi a. Bentuk dan Sifat Dalam praktik di Indonesia, khususnya dalam pendidikan hukum ada dua model organisasi yang lazim dikembangkan untuk mewadahi suatu profesi atau orang-orang yang memiliki interest tertentu, yaitu asosiasi dan forum. Asosiasi adalah organisasi formal yang berbasis keanggotaan yang umumnya dibentuk berdasarkan akte pendirian oleh Notaris, bahkan registrasi ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan forum lebih bersifat informal yang mewadahi orang-orang dengan profesi atau interest tertentu tanpa ada legalisasi dari pihak yang berwenang. Asosiasi memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan forum. Asosiasi memiliki tujuan yang lebih jelas, terukur, dan didukung dengan sistem keorganisasian yang sudah ditentukan sesuai dengan pendiriannya. Selain itu, asosiasi sebagai badan hukum juga dapat melakukan suatu tindakan hukum untuk mencapai tujuan dan maksud pendirian organisasi. Berbeda halnya dengan fo30
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
b. Misi Asosiasi Tujuan utama pendirian asosiasi ini adalah diadopsinya sistem pendidikan hukum klinik dalam proses pembelajaran hukum di Indonesia, dalam rangka menyiapkan mahasiswa hukum sebagai praktisi hukum yang kompeten, profesional dan memiliki tanggungjawab sosial yang kuat terhadap profesi, serta meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, asosiasi ini memiliki peran untuk; (i) mempromosikan pendidikan hukum klinik dalam proses pendidikan hukum dalam rangka memperbaiki output fakultas hukum, (ii) meningkatkan kapasitas kelembagaan klinik dan individu pengajar klinik, (iii) mengkonsolidasikan dan memperkuat jaringan organisasi legal clinic maupun pengajar klinik, baik ditingkat lokal, national, maupun internasional, (iv) mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic, (v) merumuskan standar pelaksanaan program klinik di fakultas hukum, dan (vi) mendorong pembaruan kurikulum fakultas hukum berbasis klinik. c. Keanggotaan Anggota Asosiasi Legal Clinic di Indonesia akan terdiri dari dua kategori, yaitu kelembagaan dan individu. Anggota kelembagaan adalah lembaga yang dibentuk oleh fakultas hukum dalam Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
31
DISKURSUS
rum, yang memiliki keterbatasan. Forum biasanya sebagai media sharing informasi dan komunikasi diantara anggota, yang kurang memiliki kekuatan untuk melakukan suatu tindakan eksekusi untuk mencapai tujuan dan maksud pendirian forum. Berdasarkan uraian diatas, sebaiknya organisasi yang akan dibentuk di Indonesia sebagai media pengembangan pendidikan hukum klinik berbentuk Asosiasi. Asosiasi ini bersifat non-profit dan bertujuan mengembangkan pendidikan hukum klinik di Indonesia. Atau setidak-tidaknya, jika asosiasi yang dilembagakan dianggap belum waktunya dibentuk maka alternatifnya adalah forum atau network, yang memiliki fungsi, peran, dan mekanisme keorganisasian yang hampir sama dengan asosiasi, yang membedakan hanyalah proses legalisasi oleh pihak berwenang. Forum atau network diharapkan juga memiliki tujuan dan mekanisme keorganisasian yang tertulis sebagai panduan bagi anggota forum.
DISKURSUS
rangka melaksanakan program pendidikan hukum klinik atau bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Sedangkan inidividu adalah pengajar hukum klinik atau pimpinan fakultas hukum yang berkomitmen mengembangkan pendidikan hukum klinik di Indonesia. AD akan mengatur lebih rinci hak dan kewajiban anggota, dan mekanisme keanggotaan.
d. Struktur Organisasi Organisasi asosiasi akan terdiri dari 2 (dua) yaitu badan pengurus dan badan penasehat yang dipilih untuk masa kerja 3 (tiga) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Badan Pengurus adalah badan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan organisasi asosiasi. Badan pengurus terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang bendahara dan 2 orang anggota yang dipilih dari anggota oleh anggota dalam rapat anggota. Sedangkan badan penasehat adalah badan yang bersifat konsultatif yang berperan mengawasi dan memberikan masukan kepada badan pengurus terkait dengan kebijakan organisasi. Anggota badan ini terdiri dari 3 orang yang dipilih dari anggota, oleh anggota, dalam rapat anggota. Untuk menjalankan fungsi organisasi sehari-hari, badan pengurus akan mengangkat sekretaris eksekutif yang diangkat dari anggota maupun non anggota. Sekretaris eksekutif bertanggungjawab kepada badan pengurus dan bertugas melaksanakan keputusan badan pengurus dalam melaksanakan program kerja. Dengan persetujuan badan pengurus, sekretaris ekekutif dapat membentuk bidang-bidang dalam kesekretariatan. e. Kesekretarian Untuk mendukung kerja-kerja organisasi, asosiasi membentuk sekretariat yang akan berdomisili di fakultas hukum dimana ketua badan pengurus asosiasi berasal. Sekretariat juga dapat dipilih di tempat lain sesuai dengan kesepakatan anggota atau badan pengurus. Kesekretariatan berfungsi menjalankan organisasi sehari-hari dan bertugas melaksanakan keputusan badan pengurus.
32
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Open Society Justice Initiative, Standards for Law School Clinic. The Indonesian Legal Resource Center, Overview of Law Schools Curricula in Indonesia, 2011. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Pelatihan Penyelenggaraan LKBH Kampus, Jakarta 27-29 Juli 2009. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Workshop Penyusunan Guideline Penyelenggaraan LKBH di Fakultas Hukum 25-27 April 2009, di Surabaya. Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal Clinics”. Constitution of the Association of University Legal Aid, South Africa. Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. Constitution of Network Of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). The Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland. Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
33
DISKURSUS
DAFTAR BACAAN
34
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
TULISAN TAMU
PESAN KONSTITUSIONAL KEADILAN SOSIAL1 Jimly Asshiddiqie ABSTRAK Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila kelima merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya. Keadilan sosial menunjuk kepada ide pembentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang perekonomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistribusi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan sosial sering dibahas dalam kaitannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan yang terbentuk sebagai akibat penerapan sistem keadilan procedural.Bangsa Indonesia dewasa ini belum berhasil membangun struktur masyarakat yang berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khusus yang dirumuskan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kata Kunci : Keadilan Sosial, Pancasila, Keadilan Ekonomi,Hak Asasi Manusia (HAM). 1 Disampaikan dalam Public Lecture dengan tema “Konstitusionalisme dan Keadilan Sosial, di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 12 April, 2011.
TULISANTAMU
APAKAH KEADILAN SOSIAL ITU? Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila kelima ini tidak lain merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya. Sila pertama sampai dengan sila keempat saling berkaitan satu sama lain. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kesemua ini harus menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu, perumusan kelima sila itu pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakhiri dengan kalimat, “serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ide tentang keadilan memang mengandung banyak aspek dan dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan bahkan keadilan sosial. Pada pokoknya, yang terakhir ini, istilah keadilan sosial, merupakan simpul dari semua dimensi keadilan tersebut. Istilah ini biasanya menunjuk kepada ide pembentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi. Konsep keadilan sosial (social justice) itu sendiri biasa dibedakan dari konsep keadilan hukum yang biasa dipakai dan diberlakukan dalam kebijakan publik yang menuntut paksaan oleh kekuasaan negara. Tetapi konsep keadilan sosial tentu juga tidak hanya menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat universilitasnya menjadi tidak pasti. Keadilan sosial memang harus dibedakan dari pelbagai dimensi keadilan, seperti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi, dan sebagainya, meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluruhan ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup dalam ide keadilan sosial. Karena pada akhirnya, keadilan hukum dan keadilan ekonomi itu harus membuahkan hasil akhir pada perwujudan keadilan sosial bagi semua. Di dalamnya, terkandung pengertian bahwa (i) Ketidakadilan yang ada selama ini harus ditanggulangi sampai ke titik yang terendah, (ii) Redistribusi kekayaan, kekuasaan dan status individu, komunitas, dan kekayaan sosial (societal good), dan (iii) Negara c.q. Pemerintah bertanggungjawab pemer36
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
PRINSIP KEADILAN EKONOMI Menurut Louis Kelso dan Mortimer Adler, dalam konsep keadilan ekonomi, terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interdependen, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya menopang bangunan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya bangunan keadilan menjadi runtuh. Dalam prinsip partisipasi terkandung pengertian bagaimana setiap orang bebas berpartisipasi untuk memberikan masukan (input) ke dalam proses ekonomi untuk membangun kehidupan bersama. Harus ada kesempatan yang sama bagi semua orang (equal opportunity), baik untuk memperoleh hak milik pribadi ataupun terlibat dalam pekerjaan produktif. Prinsip partisipasi ini tentu belum atau tidak menjamin hasil yang sama (equal results). Prinsip partisipasi hanya membuka akses bagi semua untuk ikut serta dalam proses produksi, baik dengan dirinya sebagai pekerja (as a worker) ataupun dengan kekayaannya sebagai pemilik (as an owner). Karena itu, keadilan ekonomi menolak monopoli, hak-hak khusus dan rintangan-rintangan yang bersifat eksklusif lainnya. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
37
TULISANTAMU
intahan untuk memastikan kualitas dasar kehidupan bagi seluruh warganegara. Konsep keadilan sosial didasarkan atas prinsip hak asasi manusia dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang perekonomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistribusi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan sosial sering dibahas dalam kaitannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan yang terbentuk sebagai akibat penerapan sistem keadilan procedural. Karena pentingnya keadilan sosial inilah, maka dalam Konstitusi ILO (International Labor Organisation) ditegaskan bahwa perdamaian yang abadi hanya dapat diperoleh apabila didasarkan atas keadilan sosial. Bahkan, dalam Vienna Declaration dan program aksinya, keadilan sosial dirumuskan sebagai tujuan yang hendak dicapai dalam upaya pendidikan hak asasi manusia.
TULISANTAMU
Sedangkan prinsip distribusi berurusan dengan soal hasil, soal keluaran (output) yang diperoleh dari sistem ekonomi bagi setiap orang (worker) dan bagi setiap capital (owner). Melalui pola distribusi kekayaan pribadi dalam pasar yang bebas dan terbuka, keadilan distributif (distributive justice) secara otomatis terkait dan harus terkait secara berimbang dengan keadilan partisipatif (participative justice), dan pendapatan menjadi terkait dengan peranserta dalam proses produksi (productive contributions). Dalam praktik, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep ‘charity’ atau ‘welas asih’.Konsep ‘charity’ menyangkut ide “bagi semua sesuai kebutuhannya” (to each according to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice, ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan kontribusinya” (to each according to his contribution). Kesalahpahaman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan kontrak (the sanctity of property and contract), sedangkan yang lain menekankan pentingnya intervensi pemerintahan untuk mempertahankan atau memaksakan tegaknya tata sosial yang beradilan. Menurut Kelso dan Adler, konsep distribusi yang sebenarnya harus dipisahkan dan tidak boleh dikacaukan dengan pengertian ‘charity’ yang demikian itu. Dalam keadilan distributif, yang diutamakan adalah bekerjanya sistem pasar bebas dan terbuka (feee and open marketplace), bukan pemerintah. Pasar bebas dan terbuka itulah yang dianggap merupakan sarana yang paling objektif dan demokratis dalam menentukan harga (price), upah (wage), dan keuntungan (profit) yang adil. Namun demikian, tanpa peran negara sebagai pengendali, distorsi dalam sistem pasar yang bebas akan memakan menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Karena itu, peran intervensionis negara tetap harus terbuka kapan saja diperlukan. Dapat dikatakan bahwa pandangan Kelso dan Adler ini cenderung terlalu liberal untuk mengabaikan kebutuhan akan doktrin ‘charity’ sebagai kenyataan dengan hanya mengakui peran pasar dalam mekanisme ‘partisipasi dan distribusi’ untuk keadilan ekonomi. Padahal, ‘adanya charity’ di samping ‘distribusi’ merupakan 38
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
39
TULISANTAMU
kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, prinsip partisipasi dan distribusi itu sendiri dalam kenyataannya tidak pernah bersesuaian secara penuh, sehingga selalu saja timbul konflik sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, maka dibutuhkan prinsip yang ketiga, yaitu harmoni, seperti yang dibayangkan oleh Kelso dan Adler sendiri. Justru dalam rangka harmoni itulah diperlukan peran negara dan pasar secara seimbang. Dalam rangka sistem distribusi yang berkeadilan, harus ada peran pasar dan negara sekaligus. Bahkan seharusnya sistem distribusi terkait erat dengan tiga ranah kekuasaan negara (state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Prinsip harmoni merupakan prinsip pengimbang yang diperlukan untuk mengatasi distorsi baik dalam input maupun output ekonomi dan melakukan koreksi yang diperlukan untuk memulihkan tata ekonomi yang adil dan seimbang bagi semua orang. Prinsip keseimbangan ini dirusak oleh adanya pelbagai kendala yang tidak adil yang membatasi partisipasi dengan monopoli atau dengan menggunakan kekayaan untuk merugikan atau mengeksploitasi hak-hak orang lain. Keseimbangan ekonomi itu sendiri dirumuskan oleh Oxford Dictionary sebagai “Laws of social adjustment under which the self-interest of one man or group of men, if given free play, will produce results offering the maximum advantage to other men and the community as a whole”. Prinsip ini memberikan panduan untuk pengendalian monopoli, penerapan sistem checks and balances di antara institusi-institusi sosial, dan sinkronisasi kembali antara distribusi (out-take) dengan partisipasi (in-take). Dua prinsip pertama, yaitu partisipasi dan distribusi, mengalir dari impian abadi umat manusia akan keadilan pada umumnya yang dengan sendirinya membutuhkan keseimbangan antara input dan out-take, yaitu “bagi masing-masing sesuai dengan apa yang seharusnya” (to each according to he is due). Sebaliknya, prinsip harmoni mencerminkan impian manusia akan nilai-nilai absolute lainnya, termasuk kebenaran (Truth), cinta (Love), dan keindahan (Beauty). Prinsip ketiga ini tidak lain merupakan prinsip yang mengontrol dan membatasi kecenderungan manusia untuk tamak dan monopoli yang mengabaikan dan mengeksploitasi orang lain. Na-
TULISANTAMU
mun harmoni itu sendiri tidak sekedar membatasi, tetapi lebih dari itu ia lebih mengutamakan kedamaian hidup. Karena itu, masyarakat yang menginginkan kedamaian, haruslah terlebih dulu bekerja untuk keadilan. KEADILAN STRUKTURAL Dalam konsepsi keadilan, banyak istilah yang digunakan untuk menerangkan pelbagai konteks pengertian yang dikandungnya. Dalam bidang hukum, kita biasa menggunakan istilah-istilah keadaan substantive versus keadilan procedural untuk menggambarkan dalam keadilan itu ada masalah isi atau esensi dan ada pula masalah prosesnya atau prosedur untuk mewujudkannya. Keduanya sama-sama penting untuk terwujudnya keadilan dalam kenyataan. Namun dalam perspektif masyarakat, juga biasa digunakan istilah keadilan struktural. Dalam konsep ini, masyarakat dipandang sesuatu struktur yang organis atau mekanis dalam interaksi antar orang dan kelompok dalam masyarakat. Meskipun setiap masyarakat secara alamiah pasti terstruktur ke dalam stratifikasi atau pelapisan-pelapisan sosial, tetapi struktur pelapisan sosial itu dapat berkembang dinamis menurut ruang dan waktu. Dinamika itu terbentuk karena bentuk tradisi kebudayaan dan pilihan-pilihan sistem kepemimpinan yang dipakai dalam kehidupan bermasyarakat itu masing-masing. Keduanya menentukan kualitas jarak antara lapis tertinggi dan terendah dalam kehidupan masyarakat. Semakin hirarkis jarak stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat berkembang, struktur masyarakat tersebut dikatakan semakin tidak adil. Semakin landai jarak hirarki pelapisan sosial, strukturnya dianggap semakin adil. Jika digambarkan dalam bentuk piramida, maka semakin tinggi puncaknya, struktur masyarakat itu semakin dianggap tidak adil. Adanya stratifikasi sosial itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam masyarakat tradisional, stratifikasi ditentukan oleh faktor keturunan darah, faktor kekuatan fisik, faktor keindahan, kecantikan atau kegagahan fisik, dan lain-lain. Tetapi dalam struktur masyarakat yang semakin kompleks, faktor penentu stratifikasi sosial itu berkembang pula semakin banyak ragamnya. Orang dianggap lebih tinggi derajatnya dalam pelapisan atau stratifikasi so40
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
PARADIGMA HAK ASASI MANUSIA Untuk mengatasi ketidakadilan struktural itulah, maka kita memerlukan pendekatan yang juga bersifat struktural, di sampan pendekatan yang bersifat cultural. Pendekatan kultural dapat dilakukan melalui proses pendidikan dan penyadaran. Tetapi pendekatan demikian memerlukan waktu yang lama dan tidak dapat diandalkan dalam waktu cepat. Karena itu, bersamaan dengan pendekatan pendidikan, pemasyarakatan, daan pembudayaan, Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
41
TULISANTAMU
sial manakala orang itu memiliki kekuasaan/jabatan lebih tinggi, kekayaan lebih, pendidikan lebih tinggi, penguasaan informasi lebih banyak, teman atau pengikut lebih banyak, dan sebagainya. Semakin tinggi jarak antara strata tertinggi dengan strata terendah, struktur masyarakat itu dianggap tidak berkeadilan. Misalnya, jika jarak pendapatan segelintir orang yang dianggap kaya dengan pendapatan sebagian terbesar orang yang dianggap miskin sangat jauh, maka struktur masyarakat itu dikatakan tidak adil. Ukuran universal yang dianggap ideal antara pendapatan tertinggi dan terendah itu adalah dalam skala 1:7. Jika buruh kasar memperoleh pendapatan 1 dolar per bulan, maka idealnya gaji Presiden tidak lebih dari 7 dolar. Dengan ukuran yang demikian itu, kita dapat mengatakan bahwa struktur masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong tidak atau belum berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Di Indonesia dewasa ini, jarak yang berlaku antar pendapatan tertinggi dan terendah justru sangat jauh. Dalam masyarakat, banyak orang yang bekerja dengan pendapatan Rp.500 ribu per bulan, sedangkan pada tingkat elit, ada orang yang berpendapatan Rp. 500 juta per bulan. Artinya, skalanya adalah 1:1.000. Padahal dalam kenyataan banyak orang yang tidak bekerja (menganggur) yang tidak memperoleh pendapatan sama sekali, dibandingkan dengan mereka yang bahkan dapat memperoleh pendapatan atau keuntungan usaha di atas Rp. 500 juta per bulan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dewasa ini belum berhasil membangun struktur masyarakat yang berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khusus yang dirumuskan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
TULISANTAMU
kita memerlukan pendekatan struktural yang bersifat politik dan ekonomi. Kita memerlukan intervensi kekuasaan yang dapat memaksakan kebijakan-kebijakan publik yang mengarahkan sistem kekuasaan politik yang demokratis, egalitarian, dan tidak feodal, serta struktur pendapatan ekonomi yang semakin mendekati standar internasional dengan skala 1:7 sebagaimana dikemukakan di atas. Ukuran yang penting dalam mengembangkan struktur masyarakat yang berkeadilan itu ialah dengan pendekatan hak asasi manusia. Dalam perspektif politik dan ekonomi, hak asasi manusia, baik hak sipil, politik, ekonomi, budaya, maupun hak atas pembangunan, haruslah dijadikan core-bisnis dan paradigm dalam setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, agenda pembangunan nasional (national development) dan pembangunan daerah (local development) haruslah berparadigma atau berspektif HAM (human right perspectives). Bahkan, oleh karena dewasa ini, sesudah Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, semua instrumen HAM Internasional sudah diadopsikan menjadi muatan UUD 1945, maka setiap warganegara Indonesia dapat dikatakan memiliki ‘constitutional rights’ yang wajib dipenuhi oleh negara c.q. pemerintah dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara.
42
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
TELAAH BUKU
KONSTITUSI EKONOMI Oleh : Uli Parulian Sihombing
Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Jumlah Halaman
: : : : :
Konstitusi Ekonomi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H. Kompas Januari 2010 443
TELAAHBUKU
Kita sangat jarang menemukan literatur-literatur lokal yang secara khusus membahas tentang konstitusi ekonomi. Padahal keberadaan literatur-literatur konstitusi ekonomi sangat dibutuhkan, untuk melihat dan mengikuti perkembangan kontemporer konstitusi, khususnya konstitusi ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., menulis buku ini dimulai dengan tujuan dan makna konstitusi itu sendiri, hubungan antara hukum dan ekonomi, beberapa azas/prinsip yang penting di dalam konstitusi ekonomi, studi komparasi mengenai konstitusi ekonomi di berbagai negara termasuk di negara-negara sosialis dan negara-negara penganut paham negara kesejahteraan, sampai dengan realisme dan konstitusionalisme dalam kebijakan ekonomi. Penulis buku ini memulai menulis buku ini dengan mengantarkan kita untuk mengingatkan kembali tujuan dan makna konstitusi. Globalisasi termasuk di dalamnya liberalisasi ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari di Indonesia. Situasi globalisiasi ini menjadi latar belakang untuk memaknai tujuan dan hakikat konstitusi itu sendiri. Dalam konteks konstitusi yang kontemporer, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie melihat ada 3 tujuan konstitusi yaitu keadilan (justice), kepastian (certainty atau zakerheid), dan kegunaan (utility). Prof. Dr. Jimly Asshidiqie mengelaborasi makna keadilan itu adalah sepadan dengan keseimbangan (balance/mizan), dan kepatutan (equity) dan kewajaran (proportionality). Sedangkan kepastian terkait dengan ketertiban (order) dan keteraturan, yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban. Kemudian, kemamfaatan dimaknai dengan jaminan agar keadilan dan kepastian dapat mewujudkan kebahagian dan kedamaian hidup bersama (halaman 3-10). Ini berarti penulis buku ini memperlebar tujuan konstitusi, yang selama ini dirumuskan hanya untuk keadilan dan kepastian saja. Kesejahteraan (kata lain dari kebahagiaan dan kedamaian) juga merupakan tujuan konstitusi, dan sangat relevan dengan konteks konstitusi kontemporer dan permasalahan sosial-politik di masyarakat. Pemahaman Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., tentang hubungan ekonomi dan konstitusi tidak bisa dilepaskan dari gagasangagasan Jean Jacques Rouseau dan Per Krussel. Mereka menegaskan terdapat keterkaitan erat antara pertumbuhan ekonomi dengan proses-proses berdemokrasi dan berkonstitusi (halaman 44
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Konstitusi Ekonomi dalam Konteks Indonesia Penulis buku ini membandingkan antara Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), UUDS 1950 dan UUD 1945. Penulis buku ini berani menyimpulkan bahwa Konstitusi RIS tidak memuat keJurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
45
TELAAHBUKU
11). Pengaruh pemikiran J.Stigliz, Goerge Akerlof dan Michael Spence terlihat dalam pandangan penulis buku ini, seperti di dalam pendapatnya soal intervensi negara dalam kebijakan ekonomi dalam konteks pasar bebas ; sekalipun negara-negara liberal menganut pasar bebas, tetapi terdapat kecenderungan untuk melakukan pengaturan (regulasi) khususnya berhubungan dengan perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi di dalam konstitusinya. Intervensi negara dalam bentuk perijinan dan regulasi sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi dan pasar bebas (halaman 13). Pengertian konstitusi ekonomi sangat beragam, penulis buku ini mencoba melihat sejarah dan akar konstitusi ekonomi, dan perkembangan kontemporernya. Istilah konstitusi ekonomi pertama kali dikenal di dalam konstitusi Uni Soviet dan Republik Weimar Jerman. Jurist Jerman Franz Bohn adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konstitusi ekonomi (halaman 61). Di sini lain, penulis buku ini memberikan contoh model pengakuan konstitusi ekonomi seperti di Republik Irlandia yang dikenal dengan “Directive Principle of the Social Policy” atau dikenal dengan prinsip-prinsip pokok haluan negara berkaitan dengan kebijakan sosial dan ekonomi. Prinsip-prinsip pokok ini harus dijadikan pegangan atau pedoman bagi kekuasaan legislatif dalam merumuskan kebijakan pemerintah melalui legislasi. Kemudian di dalam konteks Uni Eropa, istilah konstitusi ekonomi mulai dipakai untuk pengertian mengenai dasar-dasar pengaturan mengenai kebijakan ekonomi (halaman 103). Penulis buku ini, memberikan gambaran yang variatif dan komprehensif mengenai pengertian, ruang lingkup dan sejarah konstitusi ekonomi, sehingga dapat memperkaya khazanah/ wawasan pembaca tentang konstitusi ekonomi. Oleh karena itu, penulis buku ini mencoba membedakan istilah konstitusi ekonomi dengan istilah konstitusi sosial, politik dan lain-lain. Pembedaan ini akan membawa konsekuensi luas, khususnya tentang makna konstitusi itu sendiri.
TELAAHBUKU
tentuan tentang pekonomian seperti di dalam pasal 33 & 34 UUD 1945 dan pasal 35-38 UUDS 1945. Konstitusi RIS lebih bercorak konstitusi politik karena substansi Konstitusi RIS yang nir mengatur perekonomi. Sementara UUDS 1945 dan UUD 1945 merupakan konstitusi politik dan sekaligus konstitusi ekonomi. Pasal 33 UUD 1945, dan juga pasal 38 UUDS 1950 mempertegas bahwa kedua konstitusi tersebut adalah konstitusi ekonomi. Substansi pasal 33 UUD 1945 dan pasal 38 UUDS 1950 mengatur perekonomian sosial. Bahkan pasal 34 UUD 1945 dan pasal 35 sampai pasal 38 UUDS 1945 mengatur kesejahteraan sosial. Hal yang paling menarik di buku ini adalah pasca reformasi adanya gagasan untuk menghapus pasal 33 dan 34 UUD 1945. Kebetulan penulis buku ini terlibat secara aktif di tim hukum untuk perubahan UUD 1945 pasca reformasi. Beberapa ahli ekonomi (Syahril dkk) mengusulkan penghapusan pasal 33 dan 34 UUD 1945. Terdapat beberapa alasan yang ditawarkan oleh kelompok yang menginginkan penghapusan pasal 33 dan 34 UUD 1945 yaitu : 1. Perekonomian tidak dapat lagi bersandar atas azas kekeluargaan karena di dunia bisnis modern tidak bisa dihindari sistem kepemilikan pribadi; 2. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup banyak memang dikuasai oleh negara, tetapi pengertian dikuasai tidak dimaksudkan untuk dimiliki; 3. Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, tetapi negara di sini sebagai regulator saja; 4. Ketentuan pasal 34 diambil dari praktek-praktek negara sosialis-komunis. Usulan Syahrir dkk itu ditolak oleh Prof. Dr Mubyarto dkk, bahkan akhirnya Prof. Dr. Mubyarto mengundurkan diri dari forum rapat paripurna BP MPR yang pada waktu itu sedang membahas perubahan UUD 1945 khususnya pasal 33 dan 34 UUD 1945 (halaman 256-258). Namun demikian, pasal 33 dan 34 UUD 1945 itu tidak jadi dihapuskan, melainkan “disempurnakan”, dengan penambahan beberapa ayat dan judul bab yang ditambhakan perkataan “Perekonomian Nasional” (halaman 258). “Penyempurnaan” pasal 33 dan 34 UUD 1945 merupakan dokumen nasional, yang perlu mendapatkan perhatian masyarakat luas, karena jika ada perubahan pasal 33 dan 34 UUD 1945 tersebut akan mempunyai dampak 46
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
47
TELAAHBUKU
luas, tidak hanya terhadap konstitusi itu sendiri tetapi juga terhadap seluruh sendi kehidupan perekonomian nasional. Penulis buku ini mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan beberapa hal penting yaitu ; pertama, pemberian istilah konstitusi ekonomi bertujuan untuk membedakannya dengan istilah konstitusi politik, sosial dll. Kedua, mengkonstitusionalkan ketentuan ekonomi di dalam UUD merupakan gejala baru. Waluapun ini sudah dikenal di Uni Soviet dan Republik Weimar Jerman. Ketiga, di negara-negara barat, gagasan konstitusi baru dikenal pertama kali di Irlandia. Keempat, di negara-negara civil law, mengatur kegiatankegiatan kenegaraan merupakan kebiasaan umum, sehingga pengaturan kegiatan ekonomi dalam konstitusi juga mudah diterima secara lebih luas. Kelima, buku ini menawarkan pengertian tentang konstitusi ekonomi, konstitusi politik, dan konstitusi sosial yang dikaitkan dengan kebutuhan untuk menghubungkan secara seimbang antara ranah negara, masyarakat kewargaan dan pasar yang dikenal “Trias Politika” modern. Keenam, tidak semua negara mengenal pengertian konstitusi ekonomi dan sosial (halaman 387393). Secara umum, buku ini mencoba memberikan gambaran tentang sejarah, pengertian, model, tantangan dan konteks kontemporer konstitusi ekonomi. Tidak ketinggalan juga, implementasi konstitusi ekonomi di Indonesia khususnya pasca reformasi 1998. Penulis mencoba menggunakan metode riset komparasi studi konstitusi ekonomi di berbagai negara, dan juga merangkum berbagai pendapat ahli hukum konstitusi dari berbagai negara. Kemudian juga, pengalaman pribadinya penulis yang terlibat secara aktif di dalam merancang perubahan/”penyempurnaan” pasal 33 dan 35 UUD 1945. Dengan menggunakan metode riset tersebut menjadikan buku ini padat pengetahuan dan juga praktek ketatanegaraan khususnya perekonomian, dan menjadi sumber literatur utama konstitusi ekonomi. Buku ini akan memperkaya pengetahuan hukum tata negara khususnya hukum konstitusi dan hukum ekonomi di tanah air kita. Tetapi, tidak semua orang akan dengan mudah memahami substansi buku ini, hanya kalangan tertentu saja yang dapat memahami substansi buku ini khususnya mereka yang tertarik studi konstitusi. Selain itu, terdapat beberapa istilah bahasa asing khususnya
TELAAHBUKU
Bahasa Jerman, dan Belanda yang cukup sulit dicerna dan tidak ada kata sepadan di dalam Bahasa Indonesia, karena memang referensi penyusunan buku ini berasal dari literature-literatur yang menggunakan bahasa-bahasa asing tersebut. Kemudian juga, terdapat makna filosifi di dalam perumusan istilah konstitusi ekonomi yang sangat sulit dicerna oleh mereka yang tidak mempunyai dasar pengetahuan yang kuat hukum ketatanegaraan dan hukum ekonomi.
48
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
TELAAH KASUS
Kasus Ahmadiyyah dalam Persfektif Keadilan Sosial Siti Aminah ABSTRAKSI Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tahun 2011, terjadi penyerangan di Cikeusik yang memicu terbitnya kebijakan-kebijakan daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Kekerasan terhadap Ahmadiyah diyakini bukan menjadi kasus terakhir terhadap pelanggaran kebebasan beragama/keyakinan kelompok minoritas di Indo-nesia, mengingat berkaitan satu sama lain dengan sistem politik, ekonomi, hukum dan budaya di Indonesia. Pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan dipengaruhi oleh masuknya nalar agama dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, NKRI dan Bhinekka Tunggal Ika tidak dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara. Hal ini akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan negara sendiri. Tulisan ini akan mengeksplorasi kasus Ahmadiyah dari persfektif keadilan sosial, sebagai tujuan akhir dari kehidupan kita berbangsa..
Kata Kunci : Ahmadiyah, Keadilan Sosial, Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
I. PENDAHULUAN Awal tahun 2011, tepatnya pada tanggal 6 Pebruari 2011 terjadi penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Ciumbulan, Cikeusik, Pandeglang, Propinsi Banten. Penyerangan tersebut mengakibatkan tiga orang Jamaah Ahmadiyah tewas secara Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
49
TELAAHKASUS
menggenaskan1, puluhan luka-luka dan kerusakan harta benda. Penyerangan oleh 1500 massa tersebut, merupakan puncak dari dinamika antara Jamaah Ahmadiyah, Gerakan Muslim Cikeusik dan aparat pemerintah lokal yang berlangsung sejak Oktober 20102. Peristiwa memilukan yang terjadi di Cikeusik hanyalah satu kisah panjang penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah. Tercatat, sekelompok orang pernah menyerang tempat-tempat yang menjadi basis Ahmadiyah. Seperti di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat (2002), pertemuan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung Bogor (2005), Lombok Timur, NTB (2001)3, Cisalada (2010) 4, Manis Lor (2010), dan Makassar (2010). Tindak kekerasan dan intolerasi nampak terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pula dari pemantauan yang dilakukan berbagai pihak. 1 Tiga korban tewas yaitu Mulyadi, Tarno dan Roni,lima warga mengalami luka berat dan satu luka ringan. Untuk kerugian materi akibat serangan dengan pembakaran itu, yakni satu unit mobil Kijang, satu unit mobil Suzuki AVP, satu unit motor Honda Tiger, satu unit motor Yamaha Mio. Satu rumah yang menjadi tempat warga Ahmadiyah di Cikeusik untuk ibadah juga rusak. Kasus ini sedang disidangkan di PN Banten dengan 11 (sebelas) terdakwa antara lain Yusuf Abidin, Adam Damini, Saad Baharuddin, Yusri, Muhammad Rohidin, Muhammad Idris alias Idis, Ujang, dan KH Muhammad Munir dan orang penyerang dan 1 (satu) orang JAI. Aparat kepolisian yang ditetapkan sebagai tersangka, karena dinilai lalai berjumlah 3 (tiga) orang. 2 Pro kontra terhadap Ahmadiyah, terjadi sejak bulan Oktober 2010, khususnya terhadap Suparman sebagai pimpinan JAI Cikeusik. Berbagai pertemuan antara JAI, Aparat Desa, Ulama, Koramil, telah dilakukan beberapa kali 3 Pada 2001 penyerangan warga terhadap pengikut Ahmadiyah di Desa Sambi Elen, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam kasus ini satu jemaat Ahmadiyah bernama Papuk Hasan (60) tewas akibat dianiaya massa. Pada 2002, ada pengusiran 87 kepala keluarga atau 350 jiwa pengikut Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur. Kini mereka terusir dari kampung halamannya sendiri dan menempati Transito Imigrasi di Lombok Barat dalam mengalami pelanggaran HAM dalam bentuknya yang lain. Lebih lanjut baca Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan: Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008 4 Dalam penyerangan ke Desa Ciampea Udik, Cisalada Bogor, mengakibatkan satu buah masjid, madrasah, empat unit rumah, satu unit mobil,dan dua unit motor habis dibakar. Sementara 24 unit rumah rusak, dan harta benda lainnya dijarah. Dalam kasus ini 3 orang warga yaitu AR (anak), Aldi Afriansyah (21 tahun) dan Dede Novi (19 tahun) ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan didakwa oleh Penuntut Umum Pasal 170 jo. Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Majelis hakim menyatakan bersalah dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Dede Novi dan Aldi, dengan masa percobaan satu tahun. Sedangkan AR dijatuhi hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Sedangkan Ahmad Nuryamin (30), anggota Ahmadiyah dipidana 9 bulan penjara karena menusuk salah seorang warga dalam peristiwa penyerangan tersebut.
50
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
5 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Setara Institute, Jakarta, 2011 6 Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran berturut-turut: Masyarakat (70 tindakan), MUI (22 tindakan), Front Pembela Islam-FPI (17 tindakan), Forum Umat Islam-FUI (11 tindakan), Gerakan Reformis Islam-GARIS (10 tindakan), Gerakan Anti Ahamadiyah-GERAM (5 tindakan),individu (5 tindakan), dan sisanya berbagai organisasi dengan jumlah keterlibatan di bawah 5 tindakan 7 Bandingkan dengan hasil laporan Wahid Institute 2009 yang menunjukkan, terdapat 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan aparat negara. Sedangkan untuk peristiwa intoleransi antarumat beragama tercatat sebanyak 93 kasus. Peningkatan isu intoleransi pada Juni 2009 dipicu hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden. Bentuk tindakan intoleransi yang paling banyak adalah penebaran kebencian terhadap kelompok, negara/bangsa tertentu (20 kasus). Kemudian, penyerangan, perusakan dan penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadah (18 kasus), tuntutan pembubaran Ahmadiyah (10 kasus) dan penyesatan (9 kasus). 8 Ringkasan Eksekutif, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, The Wahid Institute, Jakarta, 2010 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
51
TELAAHKASUS
Tempo mencatat pada tahun 2010, terjadi 13 kasus Ahmadiyyah. SETARA Institute mencatat terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, yang menyebar di 20 propinsi. Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan berbagai bentuk tindakannya di tahun 2010 paling banyak menimpa Jemaat Kristiani (75 peristiwa) dan Ahmadiyah (50 peristiwa)5. Setara mengindentifikasikan pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini adalah individu warga negara maupun individu yang tergabung dalam organisasi masyarakat6. Sedangkan The Wahid Institute melaporkan bahwa selama tahun 20107 telah terjadi 63 kasus atau rata-rata 5 kasus perbulan untuk pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan di Indonesia dan kasus-kasus tindakan intoleransi berjumlah 133 kasus, dengan 153 korban. Korban tertinggi adalah perorangan/individu (35 korban), jemaat gereja (28 ), kelompok masyarakat (20), jamaah Ahmadiyah (18) dan komunitas yang diduga sesat (15).Pelaku intoleransi dan diskriminasi dominan dilakukan oleh masyarakat sipil (ormas) dengan 116 pelaku (83%). Dan sisanya 17% dilakukan oleh aparat pemerintah8. Laporan-laporan tersebut memperlihatkan bahwa hak kebebasan beragama/keyakinan warga negara belum sepenuhnya dihormati, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Dan kasus Cikeusik kembali menegaskan ketidakmampuan negara dalam melindungi dan menjamin hak kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
TELAAHKASUS
Pasca penyerangan Cikeusik, terjadi pro dan kontra terhadap keberadaan Jamaah Ahmadiyah. Pihak yang pro pada intinya berpendapat bahwa keyakinan Ahmadiyah -yang memiliki perbedaan penafsiran- adalah wilayah forum internum, yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk negara. Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak dasar sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi negara. Sedangkan pihak yang kontra berpendapat bahwa yang terjadi terhadap Ahmadiyah tidak berkaitan dengan hak kebebasan beragama/berkeyakinan, melainkan terkait dengan penodaan agama dan/atau penistaan agama. Kekerasan yang terjadi lebih disebabkan ketidakpatuhan Ahmadiyah sendiri terhadap 12 (duabelas) butir kesepakatan yang dibuat pada Januari 2008 dan SKB Tiga Menteri 2008. Argumen demikian dan peristiwa Cikeusik menjadi dasar sejumlah kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) dan Peraturan Gubernur & Walikota yang pada intinya melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah di wilayahnya. Sampai saat ini tercatat 20 kebijakan kepala daerah terkait larangan Ahmadiyyah, dan 11 kebijakan dihasilkan pasca peristiwa Cikeusik. Di Jawa Barat, untuk melaksanakan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Musyawarah Pimpinan Daerah Jawa Barat menggelar Operasi Sajadah. Operasi ini bertujuan agar pengikut Ahmadiyah kembali ke ajaran Islam dengan melibatkan TNI. Tim Advokasi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara, menemukan 56 kasus intimidasi TNI terhadap anggota Ahmadiyah di Cianjur, Majalengka, Ciamis, Banjar, Bandung, Cirebon, Indramayu, Sukabumi, Tasikmalaya, Salatiga dan Lampung Utara. Para pelaku diantaranya anggota Koramil, TNI, Dandim, Kodim, Polisi baik Polres maupun Polsek, Babinsa, dan pihak Kelurahan. Modusyang digunakan bersifatsistematis, yakni pemaksaan menandatangani surat diikuti oleh pengikraran keluar dari Ahmadiyah atau pentobatan. TNI aktif meminta data jemaah Ahmadiyah terkait keanggotaan, struktur kepengurusan, dan memaksa untuk menguasai masjid dengan menjadi imam salat Jumat. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, diyakini bukan menjadi kasus terakhir terhadap pelanggaran kebebasan beragama/ keyakinan kelompok minoritas di Indonesia, mengingat berkaitan 52
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
II. KONSEP, VARIABEL DAN INDIKATOR KEADILAN SOSIAL Istilah keadilan sosial, bukanlah istilah yang asing bagi bangsa Indonesia. Sila kelima Pancasila berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan sebagai berikut : “...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Didalam Pembukaan UUD 1945 terdapat lima kata “adil”, selebihnya “perikeadilan”, “seadil-adilnya”, “adil dan makmur”, “keadilan sosial”, dan “adil dan beradab”. Bahkan penjelasan konstitusi secara ekplisit menyebutkan tujuan negara “hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Dengan demikian keadilan sosial merupakan nilai yang dirumuskan secara ekplisit dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945 maupun dalam UUD 1945 sendiri. Apabila ditelusuri makna nilai keadilan sosial bersama nilainilai dasar Pancasila lainnya, maka nilai keadilan sosial merupakan salah satu nilai yang dijadikan tujuan dari sebuah sistem nilai. Substansi nilai-nilai dasar Pancasila yang terdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial merupakan suatu sistem nilai. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia. Apabila ditinjau dari stratifikasi niJurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
53
TELAAHKASUS
satu sama lain dengan sistem politik, ekonomi, hukum dan budaya di Indonesia. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, NKRI dan Bhinekka Tunggal Ika tidak dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.Hal ini akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan negara sendiri. Tulisan ini akan mengeksplorasi kasus Ahmadiyah dari persfektif keadilan sosial, sebagai tujuan akhir dari kehidupan kita berbangsa.
TELAAHKASUS
lai dasar pancasila, nilai keadilan sosial merupakan nilai puncak piramida dari sistem nilai Pancasila. Ini berarti, keadilan sosial merupakan norma pokok yang harus menjadi kiblat bagi setiap rejim politik yang memegang tampuk kekuasaan dibawah konstitusi.9 Menurut Bur Rasuanto, keadilan sosial sebagai norma bermakna kedua arah. Ke arah positif adalah kewajiban utama siapapun yang memegang kekuasaan negara untuk mengerahkan kemampuan dan seluruh langkah kebijakannya untuk mewujudkan keadilan sosial; ke arah negatif, adalah kewajiban utama siapapun yang memegang kekuasaan negara untuk mencegah tumbuh apalagi berkembangnya ketidakadilan.10 Konsep keadilan sosial berkembang seiring dengan perkembangan hak asasi manusia (HAM) terutama pasca perumusan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). ILRC melalui kegiatan workshop perumusan konsep dan indikator keadilan sosial yang diselenggarakan di Surabaya, 12-13 Februari 2009, merumuskan konsep keadilan sosial, sebagai “Suatu tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang majemuk yang mendistribusikan hak dan kewajiban yang setara terhadap individu atau kelompok sosial yang termarginalkan oleh sistem hukum dan sosial, secara efektif dan berkelanjutan”11. Dari rumusan konsep yang tersebut, keadilan sosial memiliki lima variabel, dan setiap variabel memiliki indikator. Lima variabel tersebut yaitu12 : 1. Suatu tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang majemuk. Di dalam variabel ini setidaknya terdapat empat indikator, yaitu (1) adanya prinsip pluralisme; (2) adanya prinsip inklusivisme; (3) adanya prinsip toleransi; dan (4) adanya prinsip koeksistensi. 2. Yang mendistribusikan hak dan kewajiban secara setara. Di dalam variabel ini terdapat indikator, yaitu (1) adanya kesadaran distribusi sumber daya alam secara adil; (2) adanya poli9 Bur Rasuanto, Wacana Pasca Kajian, Keadilan Sosial : Dua Pemikiran Indonesia (Sukarno & Hatta), dalam Keadilan Sosial; Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern,Gramedia, Jakarta, halaman 200 10 ibid. 11 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Mengajarkan Hukum yang Berkeadilan, Jakarta, Desember, 2009, halaman 36 12 Ibid, halaman 37-42
54
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
55
TELAAHKASUS
tik afirmasi; (3) adanya disentralisasi; (4) adanya sistem sosial yang partisipatif, serta (5) adanya pengakuan dan penguatan lembaga-lembaga lokal. Kesetaraan (equality) mempunyai dimensi kesetaraan atas kesempatan (equal opportunity) dan perlakuan (equal treatment). Kesetaraan kesempatan berkaitan dengan prosedural keadilan sosial, sementara kesetaraan perlakuan kaitannya dengan substansi keadilan sosial. Kesetaraan perlakuan dan kesempatan harus saling melengkapi. Untuk mencapai kesetaraan terdapat diskriminasi positif, di mana kelompok-kelompok the least well-off berhak untuk memperoleh perlakuan dan kesempatan khusus karena mereka mempunyai hambatan dan keterbatasan dalam mencapai keadilan sosial. 3. Individu atau kelompok sosial yang termarginalkan. Kelompok the least well-off, mereka yang tidak memperoleh akses ke sumber daya, dan kelompok minoritas. Porsi implementasi keadilan sosial harusnya ditujukan lebih banyak untuk kelompok-kelompok the least well-off ini. Kelompok minoritas secara budaya, bahasa, etnis, agama, dan lain-lain harus mendapatkan perlakuan non-diskriminasi dalam mengakses distribusi sumber daya. 4. Secara efektif. Dalam variabel efektif ini terdapat indikator, yaitu (1) adanya jaminan hukum; (2) adanya kapasitas individu; (3) kelompok sosial marginal, dan negara; (4) adanya kesesuaian kebutuhan individu dan kelompok marginal. Distribusi hak dan kewajiban harus dilaksanakan secara efektif, mengandung pengertian bahwa distribusi hak dan kewajiban dilaksanakan secara optimal, yang bermanfaat untuk individu dan kelompok sehingga ada jaminan hukum, baik norma maupun penegakannya. Efektif juga mengandung arti bahwa baik individu maupun kelompok harus mempunyai kapasitas untuk mengakses distribusi keadilan sosial. Selanjutnya, di sisi lain negara harus mempunyai posisi kuat untuk mengimplementasikan tanggungjawab-nya di dalam distribusi hak dan kewajiban tersebut. Tanggung jawab negara tersebut meliputi pemenuhan, penghormatan, serta pelindungan hak-hak individu dan kelompok. 5. Berkelanjutan. Keadilan sosial perlu melihat keberlanjutan, di mana ada penghormatan terhadap kearifan lokal dan nasional, kemudian adanya keberpihakan pemegang sumber daya alam
TELAAHKASUS
terhadap individu dan kelompok marginal, serta adanya konsistensi kebijakan dan implementasinya. Keadilan sosial tidak menegasikan eksistensi kearifan lokal dan nasional, di mana individu dan kelompok tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan. III. KASUS AHMADIYAH DALAM PERSFEKTIF KEADILAN SOSIAL 3.1 Jamaah Ahmadiyah Bagian dari Masyarakat, Bangsa, dan Negara Indonesia yang Majemuk Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami 17.000 pulau, yang memiliki budaya, bahasa, agama dan sistem sosial yang berbeda satu sama lain. Kesadaran akan kenyataan pluralnya bangsa Indonesia pula yang kemudian melahirkan semboyan “Bhinekka Tunggal Ika”, walaupun berbedabeda namun satu juga. Sehingga Pluralisme13 menekankan pada pengakuan perbedaan di antara kelompok-kelompok agama- termasuk perbedaan penafsiran-, budaya, bahasa, gender, dan lainlain. Perbedaan membawa konsekuensi untuk saling menghargai dan memahami perbedaan tersebut atau sering disebut dengan toleransi. Toleransi dan pluralisme berlaku tidak hanya eksternal di antara komunitas, tetapi juga di internal komunitas itu sendiri. Di dalam masyarakat majemuk dibutuhkan inklusivisme di mana individu setiap komunitas dan antara komunitas harus hidup secara inklusif, dan eksklusivisme hanya diterapkan untuk hal-hal tertentu saja dalam kehidupan privat dari individu setiap anggota komunitas. Individu yang hidup di komunitas maupun antarkomunitas harus bisa hidup berdampingan (coexistence). Satu komunitas tidak bisa mengesampingkan komunitas yang lain, begitu juga individu di dalam komunitas tidak bisa dimarginalkan oleh individu yang lain. Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil
13 Pluralisme dalam artian ini adalah pengakuan terhadap perbedaan/kemajemukkan (agama,bahasa,jender dll), berbeda dengan pluralisme yang dimaksud dalam Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme. Pluralisme diartikan sebagai ajaran yang menyamakan semua agama, dan menuju ke paham sinkretisme (penyampuraduk-an ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti.
56
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
14 Berdirinya Ahmadiyah Pakistan dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionari 15 Sejarah Ahmadiyah dan Konfliknya, http://www.p2d.org/index.php/kon/3215-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html, akses terakhir 30 Mei 2011 16 Ahmadiyah Qadian, mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore, tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
57
TELAAHKASUS
yang bernama Qadian, Punjab, India14. Di Indonesia, penyebaran Ahmadiyah dilakukan oleh Maulana Rahmat Ali, pertama kali di Tapaktuan, Aceh dan berkembang di Padang, Sumatera Barat. Pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi. Jika dilihat dari sejarahnya, Ahmadiyah didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dua kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Hal ini dapat ditelusuri dari penyampaian pendapat Ahmadiyah dalam kongres Muhammadiyah ke 13 (1924), dan keterlibatan Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah, dalam mendirikan Ahmadiyah Indonesia15. Ahmadiyah terus berkembang dalam dua kelompok aliran, yaitu :Ahmadiyah Qadian, dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Ahmadiyah Lahore, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)16. Sebagai organisasi, Ahmadiyah telah berbadan hukum melalui sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953 dan pada tahun 2003 diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Walau terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, Ahmadiyah dapat hidup cukup damai dan berdampingan dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dan sebagai bagian dari warga negara Indonesia, jamaah Ahmadiyah telah ikut bersama-sama membangun negara Indonesia. Misalkan WR Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya merupakan seorang Ahmadi, maupun yang tersebar menjadi kalangan profesional, PNS maupun pengusaha. Demikian halnya dalam aktivitas sosial, JAI telah membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan, dari tingkat SD sampai SMA. Pentingnya kesadaran akan kemajemukan atau pluralisme dalam demokrasi pernah disinggung oleh Nurcholish Madjid (2000) bahwa pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan mengatakan
TELAAHKASUS
bahwa masyarakat kita majemuk, terdiri atas beragam suku dan agama. Bagi Nurcholish, pluralisme juga tidak boleh dipahami sebagai sekadar “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay), namun lebih dari itu pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Terkait dengan itu, demokrasi memerlukan sikap untuk bersedia memandang yang berbeda dengan penuh penghargaan, tanpa saling memaksakan kehendak17. Sehingga dalam konteks pluralisme ini terdapat dua arah yaitu, Pertama, kesediaan komunitas agama dan aliran agama lain untuk menerima kenyataan bahwa Ahmadiyah -suka dan tidak suka- merupakan bagian integral dari NKRI yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warganegara; Kedua, kesediaan Ahmadi untuk menerima perbedaan dan hidup berdampingan dengan komunitas dan aliran agama lainnya. Untuk mencapainya, dibutuhkan proses pendewasaan dalam hidup berdampingan, dan negara seharusnya memfasilitasi proses proses untuk membangun sikap dewasa dalam menerima setiap perbedaan. Namun, sayangnya dalam perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah justru terpancing untuk ikut melarang Ahmadiyah, hal yang mengingkari kemajemukan dan sejarah bangsa sendiri. Dimulai dengan keputusan Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, mengeluarkan keputusan bersama tiga menteri (SKB) yang melarang Ahmadiyah, dan 21 kebijakan daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Sedangkan sebagai pejabat publik, sejumlah pejabat telah melakukan tindakan intoleransi dalam bentuk condoning18. 3.2 Posisi Tidak Setara Jamaah Ahmadiyyah Indonesia Untuk penyelesaiaan jangka panjang, digagas sebuah dialog yang diikuti oleh LSM, Ormas dan tokoh mayarakat yang difasilitasi oleh Kementerian Agama. Dialoq seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Yaitu pada September 2007, dialog yang pertama dari tujuh 17 Ridho Imawan Hanafi, Kekerasan Agama Ancaman Bagi Demokrasi, Koran Tempo, 3 Januari 2011 18 Condoning adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan meng-undang terjadinya kekerasan.
58
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
59
TELAAHKASUS
dialog selanjutnya terjadi. Dialog pertama ini dipimpin oleh seorang pejabat tinggi Departemen Agama dan dihadiri oleh para pimpinan Ahmadiyah (JAI). Dialoq ini selanjutnya meminta JAI membuat Dua Belas Pernyataan terkait dengan Ahmadiyyah dan pada tanggal 14 Januari 2008, JAI menyerahkan dua belas butir pernyataan mereka kepada Departemen Agama, dengan tembusan ke MUI. Butir-butir kesepakatan yang penting antara lain: - Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu, Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah; - Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup); - Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat; dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW; - Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah; - Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani; - Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908). Namun MUI dan kelompok Islam menilainya multitafsir dan meminta satu pernyataan tegas terkait dengan Mirza Ghulam Ahmad. Selanjutnya dilakukan pengawasan selama tiga bulan terhadap pelaksanaan duabelas kesepakatan. Dan sebagaimana dik-
TELAAHKASUS
etahui, Bakorpakem kemudian menilai JAI melanggar keduabelas pernyataan, dan hal ini dijadikan sandaran terbitnya SKB Tiga Menteri. Rekomendasi Bakorpakem tersebut, menghentikan upaya dialoq yang tengah dibangun. Padahal menurut CSRC UGM sesungguhnya bagian-bagian penting dalam kesepakatan tidak dilanggar Jemaah Ahmadiyah Indonesia, meskipun ada dua butir kesepakatan yang tak dapat diverifikasi secara tegas, dan butir-butir tersebut persis terkait penafsiran19. Lebih lanjut CSRC menyatakan bahwa berdasarkan laporan pemantauan tim peneliti Balitbang Depag pada Februari—Maret 2008, JAI secara sosial tidak eksklusif, tidak mengkafirkan Muslim non-Ahmadi. JAI juga secara umum tidak melakukan kekerasan, bahkan menjadi korban kekerasan. Karena itu, jika JAI dihakimi, maka yang menjadi masalah pada akhirnya bukanlah tindakan sosialnya, tapi keyakinan keagamaannya yang berbeda20 Sehingga dapat dipahami jika kemudian JAI pada dialoq yang digelar 2011, tidak menghadirinya. Pertimbangan yang diberikan bahwa Menteri Agama, Suryadhama Ali, bukanlah sosok yang fair terhadap masalah keberadaan Ahmadiyah, tidak mempunyai mekanisme dan materi yang jelas, dan peserta dialoq yang tidak jelas mewakili siapa21. Dengan kata lain, forum akan digunakan untuk kembali mengadili keyakinan Ahmadiyah. Dalam membangun dialoq dengan Ahmadiyah, telah terjadi posisi yang tidak setara. Para pihak telah memiliki posisi keberpihakan. Posisi ini menyebabkan sulitnya titik temu. Proses sebenarnya bisa diawali dengan ditemukannya akar masalah dari konflik yang terjadi, apakah perbedaan tafsir pemahaman keagamaan adalah akar dari permasalahan yang sebenarnya, atau malah ternyata akar permasalahan sebenarnya adalah di luar kelompok-kelompok yang terlibat konflik?. Posisi yang nampak dari masing-masing pihak yang bertikai harus dibuka selubungnya untuk menemukan apa yang sebenarnya menjadi kepentingan dari 19 Zainal Abidin Bagir dkk, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan”, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Makalah Posisi mengenai UU No.1/PNPS/1965, Yogyakarta, Maret 2010 20 ibid. 21 Nilai Menag Tidak Fair, JAI Tolak Hadiri Dialog Ahmadiyah, http://www.detiknews.com/read/2011/03/22/203856/1599053/10/nilai-menag-tidak-fair-jai-tolak-hadiri-dialog-ahmadiyah?n99110160, diakses terakhir 30 Mei 2011
60
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
3.3 Ahmadiyyah sebagai Individu atau Kelompok Sosial yang Termarginalkan Pluralisme di Indonesia adalah pluralisme yang multi-warna dan tidak dikotomis baik dari sisi komposisi etnisitas (suku, agama, ras, bahasa, dsb) maupun demografisnya. Fakta tersebut sudah ada bahkan pada jaman Nusantara atau pra-kemerdekaan RI. Kewajiban koheren terhadap corak eksistensi Indonesia tersebut adalah merawat, menjaga dan menghidupi masing-masing elemen bangsa yang menjadi pembentuknya22. Dalam konteks Indonesia, menjadi sulit untuk menemukan definisi dan batasan terkait kelompok minoritas. Namun, mengacu pada definisi minoritas menurut Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Hak Minoritas, Francesco Capotorti yang mendefinisikannya sebagai : “A group, numerically inferior to the rest of the population of a state, in a non dominant position, whose members being nationals of the state-posses ethnic, religious or linguistic characteristic differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language”23 Dari definisi tersebut yang dikategorikan sebagai minoritas adalah : Pertama, perbandingan numeriknya dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok bisa disebut minoritas jika jumlahnya lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah negara. Kedua, posisinya tidak dominan dalam konteks negara. Ketiga, terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah yaitu etnik, agama dan bahasa dengan sisa populasi lainnya. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antara sesamanya, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan di depan 22 Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “....melindungi segenap bangsa Indoensia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...” 23 Hikmat Budiman, Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas dalam Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, The Interseksi Foundation – Yayasan Tifa, Jakarta,2007, halaman 10 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
61
TELAAHKASUS
kelompok-kelompok ini. Dari sanalah kemudian kita bisa mengawali dialog dengan mengacu pada nilai-nilai yang terdapat dalam konstitusi sebagai kontrak sosial bangsa Indonesia.
TELAAHKASUS
hukum dengan populasi di luarnya24. Jika dari sisi jumlah, JAI menyatakan memiliki anggota hingga 400,000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia, tapi angka pemerintah jauh lebih sedikit. Sebuah dokumen internal tahun 2008 dari Departemen Agama menulis angka 50,000 hingga 80,000 berdasarkan kunjungan ke beberapa masyarakat JAI dan meminta informasi dari yang lain. Sedangkan Menteri Agama Suryadharma Ali, pasca peristiwa Cikeusik menyatakan jumlah jamaah Ahmadiyah tidak lebih daripada 50,000 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah pengikut Nahdlatul Ulama (NU) sekitar 45 juta orang dan Muhammadiyah yang sekitar 25 juta orang, maka JAI adalah kelompok yang sangat kecil dan tentunya sulit dibayangkan JAI akan mampu mempengaruhi dinamika politik di Indonesia. Demikianhalnya dalam melakukan penafsiran agama, Ahmadiyah bukan berada dalam kelompok mainstream Islam di Indonesia, yaitu Islam Suni. Walau secara jumlah agama Islam merupakan mayoritas, namun realitas akan pluralitas aliran-aliran dalam menempatkan aliran non mainstream –termasuk Ahmadiyah- adalah minoritas dan termarginalkan. Anak-anak dan perempuan jamaah Ahmadiyah, mereka berada dalam posisi yang paling rentan dalam konflik ini. Sebagai perempuan mereka menempati diskriminasi dalam relasi gender, dan sebagai anggota jamaah Ahmadiyah mereka mendapatkan diskriminasi karena keyakinannya. Secara khusus, tindakan diskriminasi, kekerasan dan intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah memiliki dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menegaskan hal ini. Secara umum dalam hasil pemantauan di sejumlah tempat, perempuan Ahmadiyah telah mengalami: (1) diskriminasi dari komunitas tempat tinggalnya; (2) gangguan dalam menjalankan keyakinannya,(3) mengalami kekerasan seksual dan ancaman kekerasan pada saat penyerangan; (4) mengalami penurunan status kesehatan akibat serangan ke komunitasnya, (5) mengalami penurunan akses terhadap sumber penghidupan yang layak, (6) mengalami kekerasan seksual di pengungsian dan di pasar dan (7) digugat status perkawinannya25. Sedangkan anak- anak Ahmadiyah mengalami diskrimi24 Kritik terhadap definisi ini vide Hikmat Budiman, ibid, halaman10 -13 25 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Perempuan dan Anak
62
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
3.4 Tanggungjawab Negara dalam Pemenuhan, Penghormatan, serta Pelindungan Hak-Hak Individu dan Kelompok Ahmadiyyah Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara konstitusional hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Secara historis negara hukum (rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana kemudian dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan. Melalui amademen ketiga, substansi negara hukum dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945. Perkembangan negara hukum modern melahirkan prinsip-prinsip baru untuk mewujudkan negara hukum26. Dan perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 telah Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis , Laporan Pemantauan, 23 August 2010 26 Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilarpilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum, yaitu : (1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law), (2) Persamaan dalam Hukum (Equality befor of Law), (3) Asas Legalitas Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
63
TELAAHKASUS
nasi di sekolah dan trauma psikologis akibat kekerasan yang disaksikannya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa anak dan perempuan sebagai kelompok minoritas dari minoritas terhambat pemenuhannya dalam menikmati hak-hak dasarnya. Salah satu asumsi dasar dari demokrasi, adalah bahwa demokrasi sebagai sistem pemerintahan dijalankan dengan prinsip penghargaan hak-hak minoritas dan perseorangan, dengan lebih mengedepankan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi ketimbang koersi. Artinya, demokrasi mengakui adanya pluralisme dan hak-hak minoritas. Demokrasi menghargai dan menghormati perbedaan dan keanekaragaman. Di sini ada penekanan pokok, meskipun demokrasi juga memegang prosedur pengambilan keputusan dengan suara mayoritas, pengakuan dan perlindungan hak-hak kaum minoritas tidak boleh diabaikan atau dikenal dengan istilah “majority rule, minority right”. Ketika Indonesia menetapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, maka dengan sendirinya seharusnya nilai-nilai kebebasan dan hak-hak kelompok minoritas ditegakkan. Berbagai gesekan di antara kelompok mayoritas atas nama agama dan minoritas, maupun permusuhan dan perusakan kelompok internal agama yang dianggap menyimpang dari mainstream utama, menyiratkan adanya hak asasi kelompok minoritas yang terancam dan terlanggar.
TELAAHKASUS
menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, termasuk hak kebebasan beragama. Sebagai hak kontitusional dengan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila, maka penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk menjamin, memenuhi dan menghargai hak-hak konstitusional warganya. Dengan tujuan menuju pada pencapaian tujuan negara. Namun perubahan-perubahan mendasar dalam konstitusi, berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Kondisi kebebasan beragama di Indonesia justru makin memburuk di era reformasi. Abdul Munir Mulkhan menilai terdapat kecenderungan demokrasi dipakai sebagai alat legitimasi pemaksaan kehendak bagi kelompok mayoritas kadang juga dipakai sebagai pembenar kekerasan27. Lebih lanjut ia menjelaskan sebagai berikut : Dalam hubungan itulah demokratisasi yang semestinya paralel dengan promosi pluralisme seringkali berubah menjadi anti pluralisme ketika pada saat dimasuki virus ideologisasi agama. Demo dengan pengarahan massa besar memakai simbol agama mulai dilakukan untuk menekan kelompok tertentu atau Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan sesuai tuntutan mayoritas. Tindakan seperti ini tidak bisa atau tidak efektif jika dilakukan kelompok-kelompok minoritas. Demokrasi menjadi alat pembenar tafsir mayoritas, sehingga benar-salah dan baik buruk ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan politik yang berada di tangan kelompok mayoritas. Keadilan kemudian diartikan sebagai perbedaan hak mayoritas dan minoritas bukan perlakuan yang sama di depan hukum tanpa diskriminasi. Kita menjadi khawatir kebebasan beragama dan berkeyakinan ditentukan berdasarkan jumlah pengikut dimana kebebasan bagi minoritas ditentukan oleh kehendak atau tafsir mayoritas28.
Penilaian yang disampaikan oleh Mulkan, nampak dari pros(Due Process of Law), (4) Pembatasan Kekuasaan, (5) Organ-organ pendukung yang independent, (6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, (7) Peradilan Tata Usaha Negara; (8) Peradilan Tata Negara, (9) Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), (10) Bersifat Demokratis, (11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara, dan (12) Transparansi dan kontrol sosial. Baca Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2008,halaman 48 - 52 27 Abdul Munir Mulkhan, Diskriminasi dan Kekerasan Keagamaan dalam Demokrasi, makalah,tt 28 Ibid.
64
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Kami membuka pintu hati, pikiran kami untuk setiap saat menerima pandangan, rekomendasi dan fatwa dari MUI maupun dari para Ulama, baik langsung kepada saya, kepada Saudara Menteri Agama, atau kepada jajaran pemerintah yang lain. Kami ingin meletakkan MUI untuk berperan secara sentral yang menyangkut akidah ke-Islaman, dengan demikian akan jelas bedanya mana-mana yang itu merupakan atau wilayah pemerintahan kenegaraan, dan mana-mana yang pemerintah atau negara sepatutnya mendengarkan fatwa dari MUI dan para Ulama30.
Pernyataan tersebut secara sadar maupun tidak sadar, menjadi pintu masuk ajaran agama atau doktrin agama dalam penyelenggaraan pemerintah, yang disebut oleh Rumadi sebagai “Indonesia dalam nalar Negara Agama”. Nalar negara agama adalah penggunaan ajaran dan doktrin agama sebagai dasar untuk mengambil keputusan-keputusan publik31 Demikian halnya dengan permasalahan Ahmadiyah, negara tidak menyandarkan pada ketentuan konstitusi, tetapi lebih mendasarkan pada doktrin agama. Hal ini nampak dari kebijakan Pemerintah Daerah, yang pada intinya melarang aktivitas JAI dalam segala bentuk. Lahirnya produk hukum daerah tersebut diawali dengan aksi massa, dan tekanan kelompok agama terhadap pemerintah daerah. 29 Indonesia: Implikasi SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah, Crisis Group Asia Briefing No.78, 7 Juli 2008 30 Ibid. 31 Rumadi, Nalar Negara Agama dalam Penyelesaian Ahmadiyah, Suara Pembaruan | Senin, 21 Februari 2011 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
65
TELAAHKASUS
es penerbitan SKB 3 Menteri tentang Pelarangan Ahmadiyah, penyelesaian aliran-aliran yang berbeda, penutupan rumah ibadah, regulasi berbasis syariah sampai dengan penegakkan hukum yang disebut “anti maksiat”. Menurut Internasional Crisis Groups, keberhasilan tekanan terhadap pemerintah tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada bertambah besarnya pengaruh MUI terhadap pemerintah yang terkesan dibiarkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono29. Sementara para pimpinan MUI ini sebenarnya mewakili kelompok-kelompok garis keras, yang berarti ada hubungan langsung ke pembuat kebijakan. Sembilan bulan setelah pengangkatannya sebagai Presiden, SBY menerima undangan untuk membuka Musyawarah Nasional MUI yang ketujuh tanggal 26 Juli 2005. Kepada peserta musyawarah SBY mengatakan:
TELAAHKASUS
No.
Bentuk Kebijakan
Isi
01.
Surat Keputusan Nomor Kep.11/IPK.32.2/L-2. III.3/11/83 tentang Pelarangan terhadap kegiatan Jemaah Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur. Surat ini dilanjutkan dengan Surat Edaran Bupati Nomor 045.2/134/ KUM/2002 pada tanggal 13 September 2002
Pelarangan Jamaah Komunitas Ahmadiyah dan penyebarannya baik secara lisan maupun tertulis. - Akan diambil tindakan hukum kepada siapapun yang melanggar keputusan ini.
02.
SKB tentang Pelarangan aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Wilayah Kabupaten Kuningan. Tanggal 3 November 2002 untuk wilayah Kabupaten Kuningan
1. Ahmadiyah dinilai bertentangan dengan ajaran agama Islam berdasarkan fatwa MUI pusat dan para ulama pimpinan pondok pesantren 2. Melarang untuk selamanya aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah dengan segala kegiatannya. 3. Memerintahkan pada PAKEM untuk melaksanakan pengawasan, 4. Kakandep dan MUI melakukan pembinaan kepada Jamaah Ahmadiyah
03.
Surat Pernyataan Bersa- 1. Melarang seluruh kegiatan Komunitas Ahma tentang Pelarangan madiyah kegiatan Komunitas 2. Memerintahkan PAKEM serta institusi terAhmadiyah di Indonesia kait melakukan pengawasan di Wilayah Kabupaten Bo- 3. Kandepag dan MUI melakukan pembinaan gor tanggal 20 Juli 2005 terhadap Jamah Ahmadiyah dengan cara yang baik sesuai ajaran Islam. 4. Apabila kegiatan ajaran Ahmadiyah tetap dilaksanakan, penanganannya diserahkan kepada pihak Kepolisian RI untuk dilakukan penyelidikan/penyidikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
04.
SKB Nomor 450/Kep. 225 1. Melarang seluruh kegiatan ajaran Ahma– PEM/2005, tanggal 9 diyyah Qodhiyani dan semua aktivitas yang Agustus 2005 bertentangan dengan ajaran Agama Islam Garut di wilayah Kabupaten Garut. 2. Memerintahkan instansi terkait untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan bersama ini. 3. Kandepag bersama MUI agar melakukan pembinaan dan bimbingan kepada seluruh Komunitas Ahmadiyah Qodhiyani dengan cara yang baik sesuai ajaran Islam
66
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
05.
SKB Nomor 21/2005 tanggal 17 Oktober 2005 tentang larangan melakukan aktivitas Penyebaran Ajaran/Faham Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur
1. Melarang aktivitas penyebaran faham/ajaran Ahmadiyah dalam bentuk apapun. 2. Melarang sikap anarkis dan melawan hukum yang merugikan pihak lain dan dirinya. 3. Pembinaan Komunitas Ahmadiyah oleh Depag dan MUI 4. Pengawasan dan penuntutan terhadap pengikut aliran Ahmadiyah yang dilakukan oleh Kejari melalui PAKEM
06.
SKB Nomor 143 tahun 2006, Sukabumi tanggal 20 Maret 2006 di Sukabumi
Penutupan sementara tempat-tempat ibadah Komunitas Ahmadiyah terdiri dari 5 mesjid Ahmadiyah di 4 kecamatan
07.
Keputusan Gubernur nomor 563/KPT/BAN. KESBANGPOL & LINMAS/2008.Tanggal dikeluarkan 1 September 2008,resmi diberlakukan sejak Selasa 8 Februari 2011 untuk wilayah Sumatera Selatan
Melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan Islam dan bertentangan dengan ajaran agama Islam
08.
Surat Edaran Gubernur Sulawesi Selatan 223.2/803/Kesbang tanggal 10 Februari 2011
a. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. b. Penganut, anggota, dan atau pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah tersebut di atas dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
09.
SK Walikota Pekanbaru 450/BKBPPM/749 tanggal 16 November 2010
Larangan aktivitas JAI
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
67
TELAAHKASUS
4. Apabila kegiatan ajaran Ahmadiyah tetap dilaksanakan, penanganannya diserahkan kepada pihak Kepolisian RI untuk dilakukan penyelidikan/penyidikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku
TELAAHKASUS
10.
Peraturan Gubernur a. menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara Banten N0 5 Tahun 2011 lisan dan / atau tulisan baik langsung tentang Larangan Aktimaupun melalui media cetak ataupun vitas Penganut, Anggota elektronik; dan/atau Anggota Penb. memasang papan nama atau identitas lain gurus Jemaat Ahmadiyah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang Indonesia (JAI)di Wilayah dapat diketahui umum; Propinsi Banten c. memasang papan nama pada mesjid, mushola, lembaga pendidikan dan lainlain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); d. menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Pembinan dan; e. Pengawasan terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum dan Tim PAKEM
11.
Peraturan Bupati No 5 tahun 2011, Pandeglang Banten
Terdiri dari 5 (lima) Bab dan 5 (lima) pasal, diantaranya adalah pelarangan aktifitas ahmadiyah, pembinaan dan pengawasan dan ketentuan sanksi bagi yang melanggarnya.
12.
SK Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94/ KPTS/013/2011 tanggal 28 Februari 2011
Dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik Dilarang memasang papan nama Organisasi jemaat ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum Dilarang memasang papan nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lain lain dengan identitas jemaat JAI Dilarang menggunakan atribut jemaat ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya
13.
Peraturan Bupati Kampar Tentang menghentikan kegiatan Jemaat Ah450/PUM/2011/68 tangmadiyah gal 16 February 2011
14.
SK Walikota Samarinda No. 200/160/BKPPM.I/II/ 2011 tgl. 25 Feb. 2011
Menghentikan dan menutup segala aktifitas kegiatan jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di wilayah kota Samarinda
15.
Peraturan Gubernur Jawa Barat No.12 Tahun 2011, tanggal 3 Maret 2011 tentang Pelarangan Kegiatan Jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat.
1. Dilarang melakukan aktifitas dan/atau kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktifitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam. 2. Dilarang menyebarkan Ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, ataupun melalui media elektronik; 3. Dilarang memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tempat umum;
68
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
16.
Surat Keputusan Wa1. Dilarang melakukan aktifitas dan/atau likota Bogor No.300.45kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang 122/2011 tanggal 3 March berkaitan dengan kegiatan penyebaran 2011 tentang pelarangan penafsiran dan aktifitas yang menyimpang kegiatan Ahmadiyah Indari pokok-pokok ajaran agama Islam. donesia di kota Bogor 2. Dilarang menyebarkan Ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, ataupun melalui media elektronik; 3. Dilarang memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tempat umum; 4. pemasangan papan nama pada rumah peribadatan, lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia; dan 5. Pembentukan Tim penanganan jamaah Ahmadiyah 6. dilarang melakukan kegiatan anarki atau perbuatan melawan hukum terkait aktivitas penganut, anggota atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Bogor.
17.
Peraturan Walikota Depok No. 09 Tahun 2011 tentang larangan kegiatan jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok. Sedangkan ketentuan mengenai tim pengawas diatur melalui Surat Keputusan No. 821.29/153/Kpts/ Kesbangpol & Linmas/ Huk/2011 tentang tim penanganan jemaat Ahmadiyah.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
a. Melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia beraktivitas di kota Depok b. Membentuk tim untuk mengawasi dan menangani kegiatan Ahmadiyah.
69
TELAAHKASUS
4. Pemasangan papan nama pada rumah peribadatan, lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia; dan 5. Pembentukan Tim penanganan jamaah Ahmadiyah 6. Penggunaan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apapun. 7. Pemerintah Daerah menghentikan aktifitas/kegiatan Penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
TELAAHKASUS
18.
Peraturan Bupati Konawe Nomor 01 /2011 tertanggal 17 Maret 2011 tentang larangan kegiatan anggota dan atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Konawe Selatan
Pelarangan tersebut bukan sebatas pada aktivitas dakwah semata, melainkan seluruh aspek kegiatan Ahmadiyah. Perbup itu juga memerintahkan pembukaan masjid-masjid Ahmadiyah bagi umum serta pelarangan segala bentuk publikasi atau atribut Ahmadiyah, seperti papan nama
19.
Kebijakan Bupati Karanganyar tanggal 9 Maret 2011 (bentuk belum diketahui)
Pembekuan pengurus Ahmadiyah di Kabupaten Karanganyar, anggota Ahmadiyah kembali ke Syariat Islam yang benar, tidak ada identitas Ahmadiyah di Masjid Al Mubarok, dan masjid Ahmadiyah digunakan untuk umum. Lalu tidak ada kegiatan dakwah dari luar daerah serta tak ada kegiatan rutin lain.
20.
Peraturan Bupati Lebak Nomor 11 tahun 2011 tanggal 8 Maret 2011tentang Pelarangan Aktivitas JAI
Larangan untuk penyebaran faham melalui media lisan maupun tulisan yang sifatnya mempengaruhi, menganjurkan dan/atau mengajak pihak lain, memasang dan menggunakan atribut dan/atau cara lain dalam upaya perbuatan penyebaran faham
Sumber ILRC, 2011
Dalam kajian Serikat Pengajar HAM (Sepaham), terhadap Kewenangan Gubernur Jawa Timur dalam Mengeluarkan Keputusan TUN Pelarangan Ahmadiyah, keputusan tersebut dinilai Cacat Wewenang dan Cacat Substansi, sehingga dengan sendirinya Tidak Sah Secara Hukum.32 Penilaian ini dapat diterapkan pada kebijakan-kebijakan serupa terkait dengan Ahmadiyah. Lebih lanjut bentuk produk hukum negara terkait dengan larangan Ahmadiyah dapat dikategorikan: 1. Bertentangan dengan konsep tanggung jawab negara terkait dengan penegakan hak asasi manusia berdasarkan normanorma hukum internasional maupun konstitusi Indonesia; 2. Paradoksal karena menempatkan korban yang terlanggar hak keamanan dan hak atas kebebasan beragamanya justru sebagai obyek pembatasan hukum atas hak asasi manusia dan hak-hak dasarnya; 32 Melindungi Korban, Bukan Pelaku. Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM),16 Maret 2011
70
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Dampak dari produk hukum tersebut tidak hanya mengenai jamaah Ahmadiyah, tetapi juga akan berimbas pada kelompok-kelompok minoritas non Ahmadiyah, seperti Syiah, Mu’tajillah, Bahai dan aktivis HAM yang memperomosikan hak-hak kebebasan beragama dan demokrasi. Melalui produk hukum negara, menyebabkan Ahmadiyah mengalami anarkisme akibat legitimasi dan justifikasi sebagai kelompok yang “sesat”, “dibatasi”, dan “terlarang”, terlanggar HAM lainnya seperti hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya akibat labelisasi di atas dan Terbatasi hak-hak kewarganegaraan lainnya. Untuk Kelompok Agama Minoritas non-JAI, situasi hukum yang represif menempatkan mereka sebagai kelompok yang sangat rentan dan terbatas dalam penikmatan hak-hak keagamaanya. Sedangkan bagi Aktifis HAM / NGO akan mengalami tindakan represif akibat menguatnya relasi-kuasa dan relasi-kepentingan antara Negara dan Kelompok Anarkis berbasis agama dan melemakan kekuatan kelompok penekan dalam advokasi terkait hak atas kebebasan beragama. Demikian halnya dengan tawaran agar Ahmadiyah menjadi agama sendiri, negara tidak menyandarkan pada ketentuan konstitusi, tetapi pada doktrin agama. Rujukan pada pola penyelesaian seperti di negara Pakistan –yang berdasarkan agama- sekali lagi memperlihatkan nalar yang digunakan adalah nalar agama. Rumadi lebih lanjut menyatakan : Hiruk pikuk soal Ahmadiyah ini menyiratkan satu hal yang cukup merisaukan. Pelan tapi pasti tampaknya nalar Negara agama mulai menjangkiti bangsa ini. Meskipun kita mengklaim sebagai Negara demokrasi dengan konstitusi yang menghargai hak asasi manusia, namun pengelola Negara ini mulai menggunakan nalar Neg-
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
71
TELAAHKASUS
3. Irrelevant dengan situasi masyarakat beragama di Indonesia yang majemuk; 4. Mereduksi secara manipulatif terhadap nilai-nilai normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di atasnya; 5. Kontradiktif karena antara tujuan, konsideran hukum dan isi penetapan inkonsisten dan tidak irrelevant. 6. Diskriminatif karena menerapkan sekularisasi negara secara ekstrim hanya kepada kelompok agama tertentu, yaitu JAI.
TELAAHKASUS
ara agama untuk menyelesai persoalan kebangsaan. ....Keinginan untuk memaksa Ahmadiyah keluar dari Islam dan menjadi agama sendiri, sebagaimana sering diucapkan pejabat-pejabat publik, jelas menunjukkan bahwa nalar Negara agama sedang beroperasi. Jika berpegang pada konstitusi, tidak mungkin ada pikiran untuk memaksa keluar dari Islam. Tidak mungkin Ahmadiyah dipaksa untuk menjadi agama sendiri dan meninggalkan sepenuhnya atributatribut keislaman. Pengelola Negara ini tampaknya masih ambigu dengan konstitusi negaranya sendiri dan masih ragu dengan hak asasi manusia karena dianggap sebagai produk asing.33
Dari uraian diatas nampak bahwa konstitusi belum dipahami sepenuh hati, demokrasi baru dimaknai sebagai rangkaian prosedur-prosedur, belum menyentuh pada substansi nilai demokrasi itu sendiri. Sementara, pemerintah baik pusat maupun daerah-secara khusus untuk kasus Ahmadiyah- selaku pengemban mandat pelaksana konstitusi tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Kondisi ini akan memperjauh kita dari pencapaian yang dijanjikan oleh UUD 1945 yaitu keadilan sosial bagis seluruh rakyat Indonesia. IV. PENUTUP Indonesia merupakan negara yang majemuk baik dari segi budaya, bahasa, agama maupun sistem sosialnya. Kemajemukan dapat menjadi sumber kekayaan dan pengikat bangsa, namun juga dapat menjadi sumber konflik, jika penyelenggara negara tidak mampu mengelolanya. Bangsa Indonesia telah memilih Pancasila sebagai ideologi negara dan menjadikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai puncak nilai dan tujuan akhir negara. Ahmadiyah mengalami tindakan kekerasan terbanyak pada era reformasi. Pelarangan Ahmadiyah menjadi issue yang digunakan dalam proses pemiihan umum. Pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak dasar lainnya baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budayanya baik sebagai individu, maupun kelompok. Hal ini disebabkan pemerintah sebagai pemangku kewajiban, tidak mengacu kepada konstitusi yang telah disepakati, melaink33 Ibid.
72
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan, Diskriminasi dan Kekerasan Keagamaan dalam Demokrasi,makalah,tt Hikmat Budiman, Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas dalam Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, The Interseksi Foundation – Yayasan Tifa, Jakarta,2007 International Crisis Groups, Indonesia: Implikasi SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah, Crisis Group Asia Briefing No.78, 7 Juli 2008 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2008 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Perempuan dan Anak Ahmadiyah:Korban Diskriminasi Berlapis , Laporan Pemantauan, 23 August 2010 Ridho Imawan Hanafi, Kekerasan Agama Ancaman Bagi Demokrasi, Koran Tempo, 3 Januari 2011 Rumadi, Nalar Negara Agama dalam Penyelesaian Ahmadiyah,Suara Pembaruan | Senin, 21 Februari 2011 Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Melindungi Korban, Bukan Pelaku. Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM),16 Maret 2011 Setara Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Setara Institute, Jakarta, 2011 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
73
TELAAHKASUS
an menggunakan nalar agama dalam kebijakan-kebijakan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan tidak dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ‘mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Untuk mengatasinya, seluruh elemen harus kembali menjadikan empat pilar kebangsaan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan mendorong proses demokratisasi ke arah kedewasaan untuk hidup berdampingan satu dengan yang lainnya.
TELAAHKASUS
The Wahid Institute, Ringkasan Eksekutif,Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010,The Wahid Institute, Jakarta, 2010 Zainal Abidin Bagir dkk, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan”, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Makalah Posisi mengenai UU No.1/ PNPS, 2010
74
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Para Kontributor Agus Lanini, lahir di Pinrang, 25 Mei 1966. Menyelesaikan Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu dan Magister Hukum (S2), di Universitas Padjadjaran, Bandung. Aktif menulis dan terlibat dalam sejumlah penelitian yang berkaitan dengan issue lingkungan dan masyarakat adat. Diantaranya, Pola Penguasaan Tanah Melalui Perjanjian Adat Watasa Ntona dan Tana Ni’inda Suku Kaili di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah,(2008); Pencadangan Sumberdaya Alam Dasar Laut Dalam (Seabed Area) Pengaturan dan Permasalahannya (2006) dan Kontrak Farming antara Petani Tambak dengan Perusahaan Agroindustri Udang dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Indonesia (2003). Selain mengajar, ia memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat marginal di wilayah Palu dan sekitarnya.
Aminif, lahir di Pinrang, 1 Juni 1986. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Tadulako. Aktif menulis, diantaranya Degradasi dan Deforestasi Hutan (Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah), Potret Hukum Masyarakat Adat Kulawi di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Semasa mahasiswa menjadi Juara I LKTM Wilayah Indonesia Timur 2006.
Jimly Asshidiq, Lahir di Palembang, 17 April 1956. Memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1982). Pendidikan S-2 (1987) diselesaikan di Fakultas Hukum UI (1987). Gelar Doktor Ilmu Hukum diraih dari Fakultas Pasca Sarjana UI, Sandwich Program kerja sama dengan Recht¬ssfaculteit Rijks-Universiteit dan Van Voolen-hoven Institute, Leiden (1990). Tahun 1998 diangkat menjadi Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
75
PROFILPENULIS
Negara Fakultas Hukum UI.Ia banyak mengikuti pendidikan dan pelatihan serta pertemuan internasional. Pernah mengabdi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Pultoni, Memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Attahiriyah, Jakarta. Dan sedang menyelesaikan S2 di Universitas Jayabaya, Jakarta. Pultoni adalah Program Manager di The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan mengajar hukum konstitusi di Universitas Islam Attahiriyah, Jakarta. Pernah bekerja di LBH Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan sedang mengikuti International PILnet Fellow dengan program pendidikan hukum klinik.
Siti Aminah, memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Univeristas Diponegoro dan sedang menyelesaikan S2 di Universitas Jayabaya Jakarta. Advokat dan Program Officer di ILRC, pernah bekerja di berbagai NGO baik lokal maupun nasional yang meliputi issue buruh perempuan, masyarakat adat, Anak, HIV AIDS, Perempuan, Pluralisme dan Bantuan Hukum. Saat ini duduk sebagai anggota dewan pengurus LBH APIK Semarang. Uli Parulian Sihombing, memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan menyelesaikan S2 di The Central European University, Budapest. Pernah bekerja di LBH Jakarta, dan menjadi direktur LBH Jakarta periode 2003-2006. Telah mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan serta pertemuan internasional. Dan sejak tahun 2007 menjabat Direktur Eksekutif di ILRC.
76
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Jurnal KEADILAN SOSIAL diterbitkan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), NGO yang mempromosikan HAM dan keadilan sosial. Penerbitan jurnal keadilan sosial dilatarbelakangi masih minimnya pemenuhan HAM dan keadilan sosial oleh negara. Negara, melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, bahkan putusan pengadilan merampas HAM warga negara dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, pendidikan tinggi hukum sebagai institusi yang bersentuhan dengan isu-isu HAM dan keadilan sosial, dalam proses pendidikan dan pengajarannya, belum memiliki perspektif HAM dan keadilan yang memadai. Jurnal KEADILAN SOSIAL ditujukan untuk mengembangkan diskursus tentang HAM dan keadilan sosial, sekaligus menjadi wadah bagi persemaian pemikiran kritis terhadap isu-isu HAM dan Keadilan Sosial. Target atau sasaran dari jurnal KEADILAN SOSIAL adalah akademisi, aktivis, praktisi hukum, dan para pengambil kebijakan, baik dari kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif, baik di pusat maupun di daerah. Pemilihan tema setiap edisi merupakan hasil kesepakatan redaksi, namun redaksi tetap menerima tulisan sepanjang terkait dengan issue pendidikan tinggi hukum, Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial. Adapun persyaratan tulisan, adalah sebagai berikut : 1. Tulisan belum pernah dipublikasikan baik di media cetak maupun online 2. Tulisan dapat mempergunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, dengan abstract dan kata kunci (jika tulisan dalam Bahasa Indonesia, abstract harus dalam bahasa Inggris; jika tulisan dalam bahasa Inggris, abstract harus dalam Bahasa Indonesia) 3. Setiap tulisan dibatasi minimal 4.500 kata dan maksimal 5.000 kata atau setara dengan 15-17 halaman, menggunakan font Times New Roman, ukuran 12, spasi 1,5 , kertas ukuran A4. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
77
MENULISJURNAL
Menulis di Jurnal Keadilan Sosial
MENULISJURNAL
4. Penggunaan kutipan hendaknya berisi keterangan sumber tulisan yang terdiri dari penulis, nama artikel atau buku, lengkap dengan letak halaman. Contoh catatan kaki: Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 20. Daftar perpustakaan hendaknya terdiri dari penulis, nama artikel atau buku, cetakan, nama kota dan nama penerbit. Contoh daftar pustaka: Rahardjo, Satjipto, 2009. Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing. 5. Tulisan dapat dikirim ke Redaksi Jurnal KEADILAN SOSIAL, melalui email
[email protected] atau ke Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Telp. 021-93821173, Faks. 0218356641. Tulisan dilengkapi dengan curriculum vitae (CV), beserta alamat email dan nomor telephone yang dapat dihubungi.
78
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organisasi non pemerintah yangkonsen pada reformasi pendidikan hukum. Pada masa transisi menuju demokrasi,Indonesia menghadapi masalah korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM) di tingkat legislasi, dan lemahnya penegakan hukum. Masalah penegakanhukum membutuhkan juga budaya hukum yang kuat di masyarakat. Faktanyakesadaran di tingkat masyarakat sipil masih lemah begitu juga kapasitas untukmengakses hak tersebut. Ketika instrumen untuk mengakses hak di tingkat masyarakattersedia, tetapi tidak dilindungi oleh negara seperti hukum adat tidak dilindungi,negara mengabaikan untuk menyediakan bantuan hukum.Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakatsipil menjadi penting untuk menyediakan lulusan fakultas hukum yang berkualitasdan mengambil bagian di berbagai profesi yang ada, seperti birokrasi, institusi-institusinegara, peradilan, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.Mereka juga mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuanhukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidikan hukum mempunyai perananpenting untuk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil. Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
79
PROFILILRC
THE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC)
PROFILILRC
Pendirian ILRC merupakan bagian keprihatinankami atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalahankeadilan sosial. Pendidikan hukum di Perguruan Tinggi cenderung membuatlulusan fakultas hukum menjadi profit oriented lawyer dan mengabaikan pemasalahankeadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrument/institusi untuk menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakatmiskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda. Masalah-masalah yang terjadi diantaranya: (1) Lemahnya paradigma yang berpihakkepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM; (2) KomersialisasiPerguruan Tinggi dan lemahnya pendanaan maupun sumber daya manusiadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak AzasiManusia (HAM); (3) Pendidikan Hukum tidak mampu berperan, ketika terjadi konflik hokum oleh karena perbedaan norma antara hukum yang hidupdi masyarakat dan hukum negara.Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksuduntuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum. Visi dan Misi Misi ILRC adalah “Memajukan HAM dan keadilan sosial di dalampendidikan hukum’. Sedangkan misi ILRC adalah ; (1) Menjembatani jarak antara Perguruan Tinggi dengan dinamika sosial; (2) Mereformasipendidikan hukum untuk memperkuat perspektif keadilansosial; (3) Mendorong Perguruan Tinggi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk terlibat di dalam reformasi hukum dan keadilan sosial.
80
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
PROFILILRC
Struktur Organisasi ILRC Pendiri/Badan Pengurus: Ketua : Dadang Trisasongko, Sekretaris : Renata Arianingtyas, Bendahara : Sony Setyana , Anggota : Prof. Dr. Muhamad Zaidun, SH, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Uli Parulian Sihombing. Badan Eksekutif: Direktur Program Manajer Programe Officer Keuangan Administrasi
: Uli Parulian Sihombing, : Pultoni, : Siti Aminah, : Evi Yuliawati, : Herman Susilo.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
81
TELAH ELAH TERBIT
”BUKAN JALAN TENGAH” Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Judul Buku Majelis Eksaminasi Penerbit Tahun Terbit Jumlah Halaman
: ”BUKAN JALAN TENGAH” : Margiyono, Muktiono, Rumadi, Soelistyowati Irianto : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) : Edisi Pertama - 2010 : xiv + 200 halaman (14,5cm x 21cm)
”NO MIDDLE ROAD” A Public Examination of the Decision of the Constitutional Court Concerning Review of Law No. 1/PNPS of 1965 Regarding the Abuse and/or Defamation of Religion
Writing team Margiyono, SH Muktiono, SH, MPhil Dr Rumadi, MA Professor Dr Soelistyowati Irianto
Publisher The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) First published in Indonesian as “Bukan Jalan Tengah”, 2010 First English edition as “No Middle Road”, 2011 book size : xxxiv + 154 pages (14,5 cm x 21 cm)
TELAHTERBIT Ukuran Buku (halaman buku) 10,5 x 15 cm; vii + 60 halaman Edisi pertama, © ILRC 2010 ISBN : 978-602-98382-2-0
Ukuran Buku (halaman buku) 10,5 x 15 cm; vii + 68 halaman Edisi pertama, © ILRC 2010 ISBN : 978-602-963821-3
84
Judul Buku : ”Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)” seri ke 5 Buku saku kebebasan beragama Membahas tentang dissenting opinion Hakim Maria Farida tidak hanya sekedar menolak eksistensi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama, tetapi lebih jauh dari itu. Menurut Hakim Maria Farida, UU Penodaan Agama telah telah menciptakan diskriminasi, terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu). UU Penodaan Agama telah“memaksa” kelompok penghayat untuk “menundukan diri” terhadap agama-agama yang diakui oleh negara. Untuk itu, memang perlu “membongkar” pemikiran Hakim Maria Farida. Dissenting opinion Hakim Maria Farida diharapkan jadi tonggak sejarah dan menjadi dokumen penting untuk kebebasan beragama, toleransi dan pluralisme di tanah air.
Judul Buku : ”Memahami Kebijakan Rumah Ibadah” seri ke 6 Buku saku kebebasan beragama Membahas Hak beribadah termasuk di dalamnya rumah ibadah tidak sekedar hak konstitusional dan bagian dari HAM. Lebih jauh, sikap toleran akan tercermin dengan menghormati hak seseorang untuk beribadah. Sikap toleran ini kadang-kadang tercabut dari akarnya di dalam masyarakat yang majemuk hanya karena adanya aturan hukum yang mengaturnya. Sikap tolerandi masyarakat sebagai modal sosial jauh lebih penting dari sebuah aturan hukum termasuk aturan hukum yang mengatur rumah ibadah. Toleransi sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita. Mencabut akar toleransi akan mematikan kehidupan pluralisme di negeri ini.
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
Book Size: 10,5 x 15 cm; viii + 54 pages First published in Indonesian as “Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Materiil UU Penodaan Agama “ ISBN : 978-602-98382-2-0, ILRC © 2011
UNDERSTANDING THE POLICY ON HOUSES OF WORSHIP handbook on Houses of Worship for students who want to become paralegal employees. The aim is to create understanding among students about the Human Rights perspective on houses of worship, and to invite them to be critical of the prevailing regulations pertaining to houses of worship. It furthermore invites the students to be tolerant towards any differences of conviction in society. The right to perform one’s religious duties in a house of worship is not only a constitutional right and part of Human Rights. It goes further, and a tolerant attitude is reflected in the respect a person shows for the right of another person to perform their religious duties. This tolerant attitude is sometimes taken away in plural society because of the laws and regulations that regulate it. An attitude of tolerance in the community as a kind of social capital is much more important than a legal regulation, including legal regulations on houses of worship. Tolerance is firmly rooted in our society. To uproot this will mean the death of pluralism in this country. Book Size: 10,5 x 15 cm; viii + 64 pages First published in Indonesian as “Memahami Kebijakan Rumah Ibadah “ ISBN : 978-602-98382-1-3, ILRC © 2011
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
85
TELAHTERBIT
”UNDERSTANDING THE DISSENTING OPINION IN THE JUDICIAL REVIEW OF THE LAW ON THE DEFAMATION OF RELIGION” handbook explaining the dissenting opinion of Judge Maria Farida in the judicial review of Law No. 1/PNPS of 1965 on the Abuse and/or Defamation of Religion, in the Constitutional Court. The objective of compiling this handbook was to assist university students who will become paralegal workers to understand Judge Maria Farida’s dissenting opinion in this case. Until now the dissenting opinion of the Constitutional Court regarding Law No. 1/PNPS of 1965 has received very minimal space in mass media reporting, and thus understandings of the decision about it are incomplete. In fact, the dissenting opinion is an integral part of that decision. Judge Maria Farida’s dissenting opinion did not simply reject that Law No. 1/PNPS of 1965 on the Abuse and/or Defamation of Religion should exist, but went much further than that.
TELAHTERBIT
GENERASI MUDA, GENERASI BHINNEKA TUNGGAL IKA Modul Pelatihan Paralegal Tingkat Dasar Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa Penyusun : Siti Aminah Uli Parulian Sihombing Ukuran 14,5 x 30 cm; xiv + 94 halaman Edisi pertama, 2010
ILRC bekerjasama dengan Freedom House mengembangkan modul pelatihan tingkat dasar kebebasan beragama/berkeyakinan untuk mahasiswa/ mahasiswi. Tujuan pembuatan modul ini adalah untuk memudahkan fasilitator dalam memandu pelatihan. Selain itu, fasilitator diharapkan dapat mempersiapkan dan memahami substansi materi dari pelatihan tersebut, sehingga para peserta maupun nara-sumber dapat memahami maksud dan tujuan pelatihan kebebasan beragama. Substansi materi yang terdapat dalam modul ini merupakan gabungan antara materi teori dan praktek. Materi teori lebih menekankan antara pengetahuan ke-arifan lokal seperti Pancasila, aturan-aturan nasional dan internasional tentang kebebasan beragama, dan teori-teori tentang kebebasan beragama. Materi praktek lebih menekankan studi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama, yang relevan dan aktual dengan perkembangan kebebasan beragama itu sendiri. Pas-ca pelatihan diharapkan mahasiswa akan mempunyai sensitifitas atas peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Lebih jauh, mereka dapat menyebarkan ga-gasan/pengetahuannya tentang kebebasan beragama tidak hanya untuk di ling-kungan kampusnya, tetapi juga untuk keluarga/kerabat dan tetangganya Modul ini telah diujicobakan dalam Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama untuk Mahasiswa, pada Oktober 2010. Pelatihan melibatkan 20 orang mahasiswa yang berasal dari berbagai fakultas hukum dan organisasi kemahasiswaan. Dan ber-dasarkan evaluasi pelatihan, modul disusun dan dicetak secara terbatas. Modul ini dapat digunakan baik untuk mahasiswa, pelajar maupun masyarakat umum. Untuk membaca lebih lengkap silahkan unduh di http://www.mitrahukum.org/. 86
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
OPINI HUKUM Clinical Legal Education (CLE): Dari Amerika ke Indonesia - Oleh : Pultoni AKTIVITAS 1. Advokasi RUU Bantuan Hukum : dari Kampus ke DPR RI 2. Pelatihan Memahami Social Justice: Memahami untuk Mengajarkan 3. Generasi Muda, Generasi Bhinneka Tunggal Ika; 4. Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Untuk Mahasiswa 5. Eksaminasi Publik : Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945. SUPLEMEN SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum LAPORAN UTAMA : • Diskriminasi Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum • Pendidikan Agama dan Toleransi Beragama OPINI HUKUM : Menyoal Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama Berkeyakinan, oleh : Nurul Mahmudah AKTIVITAS • Workshop Pengembangan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial • Public Lecture : Jimly Asshiddiqie: “Lakukan Revolusi Kurikulum Fakultas Hukum !” • Diskusi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Temu Alumni Pelatihan Paralegal • FGD Reformasi Kurikulum dan Metode Pengajaran, Malang, Surabaya, Makasar, Papua • Pelatihan Legal Klinik Untuk Mahasiswa : “Tidak Menyogok Untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan !” SUPLEMEN “MELINDUNGI KORBAN, BUKAN MEMBELA PELAKU” : Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]
87
TELAHTERBIT
LAPORAN UTAMA : 1. ”Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?” 2. Pendidikan Tinggi Hukum dan Penguatan Kapasitas Hukum Masyarakat (Legal Empowering)
88
Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]