PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
DISERTASI
AGUS DJOKO ISMANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada Program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber-sumber informasi yang dipergunakan dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2010
Agus Djoko Ismanto NRP. A. 5460140914
PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
AGUS DJOKO ISMANTO
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul
:
PENGARUH PERUBAHAN INSTITUSI TERHADAP RESPON PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN, DAN KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Nama Mahasiswa
:
AGUS DJOKO ISMANTO
Nomor Pokok
:
A. 5460140914
Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota
Mengetahui :
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA
Tanggal Ujian : 14 Juli 2010
3. Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS
Tanggal Pengesahan :
Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup : Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MSc, dosen Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, dan Dr. Ir. Haryanto, MS, dosen pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penguji luar komisi pembimbing pada ujian terbuka: Prof. Dr. Ir. Harjanto, MS, dosen Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, dan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementrian Kehutanan.
PRAKATA
Disertasi ini disusun sebagai bagian akhir dari proses penyusunan karya ilmiah yang dimulai dari penelitian, analisa, dan sintesa hasil-hasil penelitian, yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Proses penyelesaian disertasi ini tidak dapat dipisahkan dari peran dan dukungan yang berharga dari rekan, sahabat dan keluarga, melalui kesempatan ini saya sampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas segala sesuatu yang telah diberikan hingga disertasi ini dapat terselesaikan. Arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing, kesabaran dan dukungan yang tanpa reda adalah pembangkit semangat dan pembuka inspirasi saat tiada asa tersisa. Secara khusus terima kasih dan rasa hormat saya berikan kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS sebagai Komisi Pembimbing. Pengetahuan terus berkembang dan informasi terus bertambah, oleh karenanya apa yang telah saya tuliskan selalu memiliki ruang untuk penyempurnaan dan terbuka ruang untuk penelitian lanjutan Bogor, September 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Februari 1960 di Magelang Jawa Tengah, sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara dari Bapak R Soerachmat dan Ibu R Soelasih. Menyelasikan studi tingkat dasar di SD Negeri Banyudono I – Magelang tahun 1972, dan melanjutkan ke SMP Negeri I Muntilan sampai dengan tahun 1975, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri I Magelang dan lulus pada tahun 1979. Jenjang pendidikan tinggi dimulai dengan memasuki IPB pada tahun 1979, dan Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1980 hingga meraih gelar Sarjana Kehutanan bulan Desember 1984. Pada tahun 1989 berkesempatan menerima beasiswa dari The Ford Foundation untuk melanjutkan studi S2 bidang Development Management dan meraih Master in Development Management dari Asian Institute of Management di Manila tahun 1990. Selesai studi S2 berkesempatan untuk menjadi Proffesional Associate di Institute on Policy and Environment – East West Center di Hawaii pada tahun 1991. Selanjutnya studi S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Selesai pada tahun 2010. Setelah selesai jenjang pendidikan S1 pada 1984, penulis langsung bekerja sebagai Staf Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan. Berbagai jabatan yang telah dijalani selama berkarier di Departemen Kehutanan antara lain, sebagai Kepala Bagian pada Biro Humas, pada Biro Kerjasama Luar Negeri, pada Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV, pada Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan, pada Pusat Penelitian dan Pengembangan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Selama bekerja telah mendapatkan 3 penghargaan dari Presiden Republik Indonesia, yaitu Satya Lencana Pembangunan XIII dari Presiden BJ. Habibie sebagai penghargaan atas prestasi dalam mengembangkan investasi kehutanan. Satya Lencana Karya Satya X dari Presiden Megawati Sukarno Putri dan Satya Lencana Karya Satya XX dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Menikah dengan Siti Nurhayati Q, SST tahun 1991 dan dikaruniai tiga anak Harist Adinursanto (1993), Ishadi Adikusumo (1996) dan Chaerani Agustin (1998).
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kontribusi Kehutanan terhadap PDB Tahun 1993-2006 ……………
3
2.
Rerata Produksi per Hektar per Tahun pada Hutan Alam …………
4
3.
Rerata Produksi Kayu Per Perusahaan Tahun 1997-2007 …………...
5
4. Hubungan Keterkaitan Masalah Struktur, Perilaku dan Kinerja ……..
10
5. Hubungan Kualitas Institusi dan Kualitas Kebijakan Ekonomi dengan Pertumbuhan Ekonomi ……………………………………….
15
6. Kuadran Kebijakan Publik ……………………………………………
47
7. Sumber, Penyebab Langsung dan Penyebab Utama Deforestasi …….
50
8. Ilustrasi Alokasi Faktor Produksi Allocable dan Non-allocable dalam Proses Produksi Multiproduk ………………………………………
55
9. Produksi Optimal pada Pasar Bersaing Sempurna dan Tak Sempurna
57
10. Kerangka Penelitian “Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja ….
60
11. Kerangka Penelitian Substansi Peraturan ……………………………
61
12. Format Peta Peletakan Kewenangan Urusan Berdasarkan Peraturan Tertentu ………………………………………………………………
69
13. Format Peta Kuadran Kebijakan ……………………………………..
72
14. Hirarki Organisasi Kehutanan Berdasarkan UU. 41/1999 …………
82
15. Distribusi Posisi Penempatan Kewenangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan antar tahun 2000-2008 …………………………
91
16. Peta Peletakan Kewenangan Berdasarkan PP. 34/2002 ………………
95
17. Posisi Wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan pada Kuadran Kebijakan ………………………………………… 104
18. Jenis Usaha dan Pelaku Usaha di dalam KPHP ……………………… 109 19. Pengaturan Wewenang Perijinan …………………………………….
110
20. Kepentingan Pengelola dan Pengguna atas Kewajiban IUPHHK ……
129
21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki Organisasi Kehutanan ………………………………………………
188
22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan …………………………………
189
23. Adverse Selection pada Perijinan Pemanfaatan Kayu ………………
208
24. Hubungan antara Struktur Tidak Efektif dengan Kapasitas Penegakan
211
25. Keterkaitan Unsur-unsur Penyebab Institusi Tidak Efektif ………….
215
26. Moral Hazard pada Sistem Produksi Kayu di Hutan Alam …………..
226
27. Konsep Berfikir Terkungkung dan Kreatif …………………………..
229
28. Situasi Masalah dan Implikasi Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Alam …………………………………
241
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan menjadi Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan undang-undang ini telah diikuti dengan berbagai perubahan peraturan-peraturan di bawahnya seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal dan lain-lain. Fenomena perubahan ini menarik untuk dikaji guna mengetahui apa yang telah terjadi baik dalam hal perubahan institusi maupun perilaku dan kinerja para pihak yang berhubungan dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam di Indonesia. Dalam kajian Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999) masalah pembangunan kehutanan yang dihadapi pada saat itu sehingga diperlukan perubahan institusi adalah sebagai berikut : Pertama, kekayaan alam dan potensi hutan baru sebagian kecil yang diketahui manfaatnya. Sebagian besar jenis flora, fauna dan mikroorganisme serta isi hutan lainnya masih belum diketahui kedudukan, fungsi dan perannya dalam sistem kehidupan. Sedangkan disisi lain pemanfaatan hutan produksi telah dilakukan secara intensif yang berorientasi pada produksi kayu dan telah terjadi kerusakan hutan yang luas, hal ini menyebabkan resiko hilangnya nilai hutan bagi kesejahteraan masa depan. Berdasarkan pemahaman atas permasalahan ini, perubahan yang dikehendaki
2
adalah peningkatan kemampuan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang isi hutan, dan perubahan pengelolaan hutan dari yang berorientasi kayu menjadi pengelolaan hutan yang berbasis sumberdaya serta menekan dampak kerusakan hutan.
Pemikiran ini telah diadopsi dan diwujudkan dalam Undang-
Undang No. 41 tahun 1999, yang secara khusus dinyatakan pada butir a dan b mukadimah dan pasal-pasal di dalamnya. Kebutuhan akan informasi yang lengkap dinyatakan dalam pasal 13 ayat 1, bahwa tujuan inventarisasi adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang sumberdaya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungan secara lengkap; Kedua, pemanfaatan hutan dirasakan belum memenuhi azas keadilan, dimana masyarakat di dalam dan di sekitar hutan masih hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan, sementara di pihak lain terdapat kelompok masyarakat yang meningkat kesejahteraannya
dari
memanfaatkan
hutan.
Perubahan
menghendaki
agar
pemanfaatan hutan berkeadilan, dimana pemberian luas setiap unit HPH harus dibatasi, pembatasan ini dimaksudkan agar pengelolaan lebih rasional dan mampu memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang untuk berusaha. Disamping itu kesempatan bekerja dan berusaha melalui berbagai kerjasama antara pemilik HPH dengan masyarakat dapat dibuka lebih luas. Pemikiran ini telah diadopsi dengan memperkenalkan pembatasan luas IUPHHK dan mekanisme lelang. Namun demikian mekanisme lelang yang dibangun oleh pemerintah bukan merupakan mekanisme pasar bersaing, namun sebuah mekanisme pasar yang terdistorsi antara lain berupa hambatan teknik yaitu mekanisme yang mendasarkan pada kompetensi teknik, dan distrosi berupa rekomendasi pemerintah daerah.
3
1.1.2. Perkembangan Kinerja Makro Kehutanan Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), kinerja sektor kehutanan secara makro yang berupa data kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto cenderung menurun selama 14 tahun seperti disajikan pada gambar 1. Kecenderungan penurunan peran ini tidak dapat secara langsung disimpulkan sebagai penurunan kinerja kehutanan, karena peran yang menurun ini dapat saja terjadi karena faktor lain seperti peningkatan peran sektor lain yang lebih besar, atau masuknya industri baru seperti industri teknologi informasi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik, maka pengetahuan tentang perkembangan produktivitas hutan alam layak untuk diperhatikan.
Grafik 3.1 Kontribusi Kehutanan Terhadap PDB 1993-2006 2 1.5 1 0.5
20 05
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
0
Gambar 1. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB Tahun 1993-2007
4
Secara umum produktivitas hutan cenderung menurun, atau setidaknya tidak lebih baik dari periode sebelum reformasi. Trend kenaikan yang terjadi sejak periode setelah 2001 diduga bukan merupakan kinerja pengelolaan hutan, mengingat bahwa pada tahun 1998 terdapat kondisi tidak normal dan pada tahun 2001 terdapat kebijakan moratorium penebangan, yang merupakan intervensi oleh pihak ekternal terhadap unit manajemen.
Grafik 3.1 Rerata Produksi per Ha Hutan Alam
19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07
350 300 250 200 150 100 50 0
Gambar 2. Rarata Produksi Kayu per Hektar Pertahun pada Hutan Alam
Sementara itu, Departemen Kehutanan (2007) dan Badan Libang Kehutanan (2007) menunjukkan bahwa laju deforestasi rata-rata tahunan pada periode tahun 1995-2005 seperti pada Tabel 1
5
Tabel 1. Laju Deforestasi tahun 1995-1997, 1998-2000 dan 2000-2005 Periode 19982000 2.830.0
19951997 1.870.0
Laju Deforestasi /tahun (Ha) 00
00
20002005 1.089.0 00
Data laju deforestasi yang menunjukkan angka positif mengindikasikan bahwa luas kerusakan hutan setiap tahun lebih besar daripada kemampuan merehabilitasi hutan. Data ini juga menunjukkan bahwa keadaan hutan di Indonesia semakin banyak yang mengalami kerusakan. Produktivitas setiap unit manajemen hutan alam dapat diperhatikan dari gambar 3. Rata-rata perusahaan memproduksi lebih sedikit kayu pada periode setelah reformasi. Penurunan ini dapat terjadi karena jatah tebang rata-rata perusahaan lebih kecil dan dimungkinkan pula bahwa
produksi per hektar per perusahaan mengalami
penurunan. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa kinerja sektor kehutanan sebelum reformasi dan sesudah reformasi tidak mengalami perubahan.
6
Grafik 3.3. Produksi Kayu Rerata Perusahaan
19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Gambar 3. Rerata Produksi Kayu Per Perusahaan Tahun 1997-2007 1.1.3. Kebijakan Pasar dan Teknologi Kondisi hutan yang semakin memburuk telah direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pasar (market shocks) dan melalui kebijakan-kebijakan di bidang teknologi. Dengan asumsi bahwa pengusaha HPH tidak memiliki insentif untuk mengelola hutan dengan baik sebagai akibat tidak adanya pasar kayu bulat yang bersaing, maka IMF menganjurkan agar Indonesia membuka ekspor kayu bulat. Pembukaan pasar ekspor ini dilakukan pada tahun 2000, namun setelah berlangsung kurang lebih satu tahun pasar ekspor ini ditutup kembali karena pada saat yang bersamaan aktivitas illegal logging dan ekspor kayu illegal berkembang pesat. Pemerintah juga mempercayai bahwa kerusakan hutan terjadi akibat dari jumlah permintaan melampaui batas kemampuan pasokan kayu yang dapat disediakan oleh hutan secara lestari. Untuk menurunkan permintaan kayu bulat, pemerintah
7
mengambil kebijakan restrukturisasi industri, diantara tujuan yang diinginkan adalah menurunkan kapasitas terpasang industri primer. Tidak berhasil menurunkan permintaan melalui restrukturisasi Industri, pemerintah kemudian menempuh kebijakan softlanding, yaitu melakukan intervensi di sisi penawaran
dengan
menurunkan secara tajam quota produksi kayu perusahaan HPH atau IUPHHK. Upaya mempengaruhi pasar juga dilakukan dengan standarisasi dan sertifikasi, pada waktu terjadi kampanye anti kayu tropis yang dimulai di Amerika Serikat, Indonesia bersama-sama dengan negara-negara anggota ITTO menetapkan target tahun 2000 yaitu bahwa hanya perusahaan yang telah mengelola hutan secara lestari yang diijinkan berproduksi, target ini tidak pernah tercapai hingga saat ini. Berbagai skema sertifikasi, mulai dari sertifikasi model Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), hingga kepada model-model sertifikasi yang bersifat sukarela maupun wajib telah diberlakukan oleh pemerintah. Intervensi pemerintah melalui goyangan pasar (market shocks) tidak mampu menghentikan penebangan hutan, bahkan pada kenyataannya ketika kebijakan itu dijalankan berkembang secara luas praktek illegal logging dan perdagangan illegal kayu bulat di pasar domestik maupun pasar internasional. Secara keseluruhan laju kerusakan hutan masih positif yang menunjukkan bahwa keseimbangan antara penebangan dan pembangunan hutan belum terwujud. Pemerintah juga melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan teknologi pengelolaan hutan. Sistem silvikultur telah mengalami berbagai perubahan dimulai dari sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian beralih menjadi Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI), berkembang pula Tebang Pilih Tanam Jalur
8
(TPTJ), kemudian Silvikultur Intensif (SILIN), Sistem Pembalakan Ramah Lingkungan (RIL, reduced impact logging), dan kebijakan-kebijakan teknik lainnya. Faktanya bahwa laju kerusakan hutan masih tetap positif.
1.1.4. Operasi Pengamanan Hutan Upaya untuk mencegah kerusakan hutan juga telah ditempuh melalui berbagai operasi pengamanan hutan. Kegiatan pengamanan hutan dilakukan secara rutin oleh jajaran polisi kehutanan di Dinas-Dinas Kehutanan seluruh Indonesia, merupakan tugas rutin yang wewenangnya telah lama di desentralisasikan. Lalu lintas kayu hasil tebangan telah diatur dengan keharusan membawa dokumen Surat Angkutan Kayu Bulat (SAKB) yang kemudian diubah menjadi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), sebabagi upaya mencegah peredaran kayu illegal, namun instrumen ini tidak berhasil mencapai tujuannya. Di luar kegiatan rutin tersebut, juga dilakukan operasi-operasi yang melibatkan instansi pemerintah lainnya, pembentukan Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang beranggotakan aparat Kajaksaan, Polisi, hingga organisasi militer. Dalam perkembangannya tim ini diubah menjadi Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT). Tidak berhasil dengan pengorganisasian melalui tim, pemerintah menjalankan operasi-operasi pengamanan antara lain Operasi Wana Lestari, Operasi Wana Bahari, Operasi Wana Laga, dan lain sebagainya. Berbagai operasi-operasi tersebut tidak dapat menghentikan aktivitas yang merusak hutan, hal ini mendorong Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden yang memerintahkan kepada 18 instansti pemerintah pusat dan Gubernur
9
seluruh Indonesia di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan untuk memberantas praktek illegal logging. Departemen Kehutanan menempatkan program pemberantasan illegal logging sebagai salah satu program prioritasnya.
1.2. Rumusan Masalah Pada latar belakang tersebut diatas dijelaskan bahwa reformasi institusional belum mampu meningkatkan kinerja sektor kehutanan secara umum, dan secara khusus belum mampu mencapai tujuan pengelolaan hutan, tetapi yang terjadi laju kerusakan hutan pertahun masih positif pada angka di atas 1.000.000 Ha pertahun. Kebijakankebijakan untuk merestrukturisasi pasar dan induksi teknologi pengelolaan hutan telah dilakukan, serta operasi penegakan hukum telah ditangani lansung oleh Presiden Republik Indonesia namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Sangat mungkin bahwa kebijakan pemerintah dibuat dalam rangka menjawab permasalahan yang diformulasikan secara salah. Dunn (1996) mengangkat isu “kesalahan ketiga” yang diambil dari pemikiran Howard Raiffa (1968), di dalam Nugroho (2008), yaitu : ‘kesalahan karena memecahkan masalah yang salah karena salah memformulasikan masalah’. Pernyataan ini menekankan bahwa sangat penting untuk merumuskan masalah dengan tepat agar diperoleh jawaban yang tepat pula. Memperhatikan kegagalan pemerintah dalam melakukan intervensi pasar dan induksi teknologi, serta penegakan hukum maka menjadi penting untuk memperhatikan aspek institusi yang merupakan
10
perangkat yang mengatur hubungan-hubungan para pihak dalam melaksanakan praktek-praktek yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dimungkinkan adanya berbagai masalah ditingkat peraturan, perilaku atau ditingkat kinerja yang memerlukan penelitian, hubungan-hubungan antar masalah digambarkan pada Gambar 4. Oleh karenanya berdasarkan kepada latarbelakang, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Mengapa perubahan peraturan pengelolaan hutan alam produksi tidak mampu menghasilkan kinerja pengelolaan hutan pemanfaatan yang baik, apakah respon pemerintah dan perusahaan bermasalah,
dan masalah institusional apa yang
KINERJA SEKTOR KEHUTANAN
Perubahan Institusional Tahun 1999 UU No. 41 /99
Permen
PP Permen
PP
PERILAKU
Permen Permen
KINERJA PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN
terjadi pada kurun waktu antara tahun 1999 sampai dengan 2007 ?”. Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Masalah Struktur, Perilaku dan Kinerja
1.3. Tujuan Penelitian
11
Sebagaimana telah dikemukanan diatas bahwa diduga telah terjadi kesalahan perumusan masalah dalam mengurus hutan di Indonesia sehingga perubahan peraturan, intervensi pasar, induksi teknologi dan penegakan hukum belum mampu memperbaiki kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji perubahan institusi di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi; 2. Mengkaji respon pemerintah dan perusahaan, dan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan hutan hutan alam produksi, dan 3. Mengkaji dan merumuskan masalah institusi yang mendasar yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Dalam konteks ini institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan dibatasi pada peraturan-peraturan yang terkait dan penegakan atas aturan-aturan yang diberlakukan sejak tahun 1999 yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi. Adapun wewenang dalam penelitian ini adalah kewenangan tentang pengelolaan hutan (forest management), wewenang yang dibahas dalam hal ini bukan wewenang yang dimaksudkan dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2004 dan perubahannya termasuk Undang-Undang no. 112 Tahun 2008. Pengelolaan hutan dibatasi pada pengelolaan hutan tingkat unit manajemen, sedangkan pemanfaatan hutan berupa hasil hutan kayu melalui mekanisme IUPHHK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan
12
Peraturan-peraturan yang digunakan dalam analisa ini dibatasi pada peraturan yang diterbitkan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2007 yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan kayu di hutan alam produksi, dan jika diperlukan peraturan yang terbit susudahnya dimanfaatkan sebagai bahan pembahasan. Penegakan aturan difokuskan pada penegakan aturan administrasi yang menjadi wewenang Menteri Kehutanan, sedangkan penegakan hukum pidana digunakan sebagai bahan pembahasan apabila terdapat keterkaitan dengan subyek tertentu. Kinerja dalam penelitian ini adalah kinerja pengelolaan hutan, oleh sebab itu tidak melibatkan analisa atas kinerja sektor kehutanan.
1.5. Manfaat yang Diharapkan Dengan mengetahui arah perubahan instusi yang dilakukan oleh pemerintah, perilaku perusahaan atas peraturan dan masalah institusi yang sedang dihadapi, maka diharapkan dapat memberikan arahan guna membantu merumuskan pilihan-pilihan kebijakan publik dalam bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pembuka pandangan untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang diperlukan untuk menjawab masalah institusi ini.
1.6. Keterbatasan Penelitian
13
Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam beberapa hal sebagai berikut : 1. Penelitian tidak dimaksudkan untuk mempelajari hubungan antara kinerja tingkat mikro (IUPHHK) dengan kinerja makro (sektor kehutanan); 2. Tidak secara khusus mempelajari kinerja UU Kehutanan dalam mencapai tujuan baru pengelolaan hutan yaitu menghasilkan hutan berkualitas tinggi dan lestari, dan optimalisasi aneka manfaat hutan dan distribusi manfaat yang berkeadilan; 3.
Tidak mempelajari secara langsung latarbelakang, motivasi dan kendala yang dihadapi pembuat peraturan (regulator) dalam menghasilkan institusi yang efisien;
4.
Kesenjangan waktu (lag) yang terjadi antara pemberlakuan kebijakan dengan terjadinya dampak dari kebijakan tidak secara khusus dijadikan pertimbangan dalam penelitian ini;
5.
Penelitian lebih memfokuskan pada tataran konsep, sehingga aspek-aspek tentang biaya dan manfaat yang timbul akibat perubahan kebijakan tidak menjadi bagian dari penelitian ini;
6.
Tidak dikaitkannya penelitian ini dengan aturan main yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kehutanan, menyebabkan gambaran tentang permasalahan yang dihadapi menjadi relatif lebih sederhana dibandingkan dengan kondisi aktual di lapangan, mengingat bahwa aturan main tentang desentralisasi juga mempunyai implikasi pada kompleksitas permasalahan; dan
14
7. Data contoh 40 perusahaan yang digunakan merupakan data yang tersedia di Departemen
Kehutanan
pada
periode
tahun
2008-2009,
sehingga
memungkinkan adanya bias terutama terhadap ijin-ijin yang diberikan dalam ukuran luasan yang kecil.
II. STUDI PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN
2.1. Peran Institusi dalam Ekonomi Van den Berg (2001), mengemukakan bahwa alasan mengapa institusi diperlukan adalah karena individu, kelompok atau perusahaan mempunyai dua pilihan cara untuk memperkaya dirinya yaitu dengan memproduksi sesuatu yang berharga atau dengan mengambil sesuatu yang berharga dari orang lain. Tetapi kesejahteraan nasional hanya meningkat jika ada peningkatan produksi, transfer kekayaan (termasuk kekayaan alam) hanya berperan sebagai redistribusi dari output yang telah ada. Masyarakat secara keseluruhan hanya meningkat standar hidupnya jika output perkapita meningkat. Jadi institusi akan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat jika ia dapat mengarahkan usaha-usaha masyarakat pada aktivitas produktif.
Institusi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja ekonomi,
sebagaimana dikemukakan oleh Coase (1998) di dalam Menard (2000), yang mengutip Adam Smith sebagai berikut : “produktivitas ekonomi tergantung pada spesialisasi, tetapi spesialisasi hanya mungkin kalau pertukaran (exchange) dan biaya pertukaran lebih murah, makin banyak spesialisasi makin produktif sebuah sistem ekonomi. Sedangkan biaya pertukaran (biaya transaksi) sangat tergantung pada institusi yang bekerja di suatu negeri, oleh karena itu institusi akan menentukan kinerja ekonomi”.
Yeager, (1999) mengemukakan bahwa dalam pendekatan lama, para ahli ekonomi umumnya menggunakan empat factor utama sebagai hipotesis untuk menjelaskan
15
sumber kemajuan ekonomi suatu negara. Faktor tersebut adalah sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya alam, kepadatan penduduk dan teknologi. Akan tetapi hasil-hasil penelitian mengindikasikan bahwa faktor-faktor penjelas tersebut tidak secara konsisten menjelaskan hubungannya dengan kemajuan ekonomi. Oleh karena itu ada faktor lain yang turut berpengaruh, yang dalam berbagai model yang digunakan selama itu sering dianggap sebagai faktor residu. Faktor dimaksud adalah institusi. Hasil Penelitian Keefer dan Shirley (2000) yang diilustrasikan pada gambar 5, menyimpulkan bahwa negara dengan kualitas institusi yang tinggi dan kualitas kebijakan makroekonomi rendah mempunyai pertumbuhan ekonomi dua kali lipat dari pada negara yang memiliki kebijakan makroekonomi baik tetapi institusinya buruk.
Gb.1 Institusi, Kebijakan dan Pertumbuhan
3 2 GDP riil Perkapita
Kualitas Institusi
1 0
Tinggi Rendah
-1 Tinggi
Rendah
Kebijakan Ekonom i
Gambar 5. Hubungan antara Kualitas Institusi dan Kualitas Kebijakan Ekonomi dengan Pertumbuhan Ekonomi. (Sumber Keefer dan Shirley, 2000)
16
Sementara itu Knack dan Keefer (2000) dalam Fereira (2004) mengaitkan antara keamanan hak-hak property dan kontrak dengan pertumbuhan ekonomi. Keamanan hak-hak dimaksud diambil dari indeks International Country Risk Guide (ICRG) 1 yang mengukur berbagai dimensi tentang keamanan hak property dan kemanjuran (efficacy) penegakan suatu kontrak. Terdapat hubungan yang signifikan antara ICRG dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu bahwa setiap kenaikan satu standar deviasi indeks ICRG akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dari 1.2 persen pertahun. Dengan demikian semakin efektif institusi yang mengatur hak-hak properti cenderung semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan Wells (1997) menyatakan bahwa insentif untuk konservasi biodiversitas hanya akan efektif apabila didukung oleh kerangka institusional yang tepat. Disamping peraturan yang dirancang secara seksama
juga
diperlukan
organisasi
yang
mempunyai
kemampuan
untuk
melaksanakan, memantau, menegakan (enforcing) dan mengevaluasi kebijakan tersebut pada tingkat lokal, nasional atau internasional. Ferreira (2004) melakukan studi antar negara untuk mencari penjelasan atas perdebatan “perdagangan-lingkungan hidup” dengan cara melakukan explorasi interaksi antara perdagangan internasional dengan factor-faktor institusional dan dampaknya pada laju deforestasi dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa perdagangan bebas tidak berpengaruh secara langsung terhadap deforestasi, pengaruh perdagangan tersebut baru signifikan ketika faktor-faktor institusi dimasukkan ke dalam model. 1
Hal-hal yang diukur adalah keamanan hak-hak kepemilikan dan kemanjuran penegakan kontrak : aturan main, resiko pengambil-alihan, pembatalan kontrak oleh pemerintah, korupsi dan kualitas birokrasi.
17
Hal ini mempertegas bahwa faktor-faktor institusional mempunyai pengaruh yang lebih dominan dari pada perdagangan bebas terhadap laju deforestasi di dunia. Pendapat ini mempertegas bahwa institusi adalah komponen penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemajuan di bidang kehutanan yang merupakan salah satu pendukung ekonomi Indonesia. Lebih dari itu adalah penegakan aturan main itu merupakan landasan yang penting untuk menciptakan insentif perilaku produktif. Dari sisi pandang ini dapat dipahami bahwa institusi merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pilihan perilaku seseorang, masyarakat atau populasi tertentu yang selanjutnya berpengaruh terhadap kinerja, termasuk terhadap deforestasi yang terjadi di suatu negara.
2.2. Pengertian Institusi Ekonomi Banyak ahli ekonomi (North, 2000; Werin, 2000; Williamson, 2000;) di dalam Menard, (2000) yang menempatkan Ronald Harry Coase sebagai tokoh penting peletak dasar teori Ekonomi Institusi. Namun Ronald H Coase sendiri menyebutkan bahwa istilah “the New Institutional Economics” dikemukakan untuk pertama kali oleh Oliver Williamson.
North, (2000) menyatakan bahwa dalam kehidupan
masyarakat politik atau perekonomian telah ada struktur, dan struktur-struktur itu adalah fungsi-fungsi yang dibuat oleh manusia yang mengatur hubungan-hubungan antar manusia di dalam masyarakat yang bersangkutan. Struktur dimaksud terdiri dari campuran yang rumit antara aturan-aturan, norma-norma, konvensi-konvensi, dan perilaku karena kepercayaan (behavioral belief), yang kesemuanya membentuk caracara bagaimana orang-orang bertindak untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut ia
18
mengelaborasi bahwa proses-proses pembentukan struktur sesungguhnya diawali dari adanya keyakinan tentang sesuatu, kemudian diterjemahkan ke dalam institusi, dan kemudian institusi diterjemahkan ke dalam cara-cara perkenomian bekerja (berperilaku) dari waktu ke waktu.
Rutherford, (1994) mendefinisikan institusi
sebagai : “a regulatory of behaviour or a rule that is generally accepted by members of a social group, that specifies behaviour in specific situations, and that is either self-policed or policed by external authority”.
Menurut Hayami and Ruttan (1985), institusi adalah aturan-aturan yang berlaku di masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antara orang-orang yang terlibat, dengan cara membantu mereka untuk membentuk harapan dimana setiap orang dapat secara rasional mempergunakannya untuk berhubungan dengan yang lainnya. Dalam hubungan-hubungan ekonomi aturan main ini mempunyai peranan yang penting dalam menciptakan harapan tentang hak untuk menggunakan sumberdaya pada aktivitas ekonomi dan harapan tentang pembagian aliran pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi dimaksud. Institusi pada percakapan sehari-hari sering dimaknai sebagai sebuah organisasi seperti pemerintah, universitas, perusahaan, yayasan, organisasi keagamaan, dan lainlain. Talcott Parsons (1940) di dalam Hodgson (1998), menegaskan bahwa institusi bukanlah struktur organisasi semata : ”Ia adalah pola normatif yang menentukan apa yang mesti dilakukan, pada suatu komunitas tertentu, cara-cara bertindak atau hubungan-hubungan sosial yang dianggap tepat, legal atau yang diharapkan. Aoki
19
(2000) menganalogikannya dengan sebuah permainan, ia mengambil pernyataan dari Adam Smith : ”Dalam sebuah papan catur besar tentang masyarakat manusia, setiap “single piece’ (orang) mempunyai prinsip jalannya masing-masing, dan secara keseluruhan berbeda dengan apa yang mungkin dipilih oleh pembuat peraturan untuk memuaskan mereka sendiri.
Dalam analogi ini ekonomi memandang institusi sebanding dengan pemain, aturan main, dan hasil dari permainan itu. Namun demikian North (1990) menyarankan agar institusi diidentifikasikan sebagai aturan main, dan dibedakan (as distinct from) dari pemain itu sendiri. Menurutnya terdapat aturan formal dan informal. Aturan formal – perdefinisi – tidak dapat diubah atau dibuat oleh pemain pada saat yang bersangkutan sedang bermain, tetapi aturan itu sudah ditetapkan sebelum permainan dimulai. Aturan dimaksud menjadi insentif bagi para pemain mengenai bagaimana melakukan transaksi, memilih inovasi, dan akhirnya meningkatkan permintaan akan perubahan aturan main itu. Kemudian terjadilah negosiasi yang akan diputuskan di ‘pasar politik’, berdasarkan aturan main politik dan akhirnya jadilah aturan baru. Ditegaskan oleh North (1990) bahwa “ Adalah politik yang akan menentukan dan memaksakan (enforces) aturan ekonomi dari suatu permainan”.
North (2000) di
dalam Menard (2000) menyampaikan bahwa aturan informal adalah sama pentingnya dengan aturan formal. Dengan demikian North menegaskan bahwa institusi memiliki tiga komponen yaitu aturan formal, aturan informal dan mekanisme penegakan. Lebih tegas lagi ia memandang bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk membangun efektivitas dan menurunkan ongkos penegakan inilah yang dianggap sebagai faktor
20
kunci sehingga menyebabkan negara dunia ketiga masih terbelakang sampai sekarang (North, 1990). Dapat dijelaskan disini bahwa institusi adalah aturan main yang dapat bersifat formal atau informal yang akan memberikan pilihan perilaku produktif atau perilaku yang hanya bersifat transfer kekayaan. Institusi menjadi ‘infrastruktur’ yang diperlukan untuk menjalin hubungan-hubungan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu sistem perekonomian dan menjadi pedoman berperilaku dalam mencapai tujuan. Jika kebijakan makroekonomi sebagai resep untuk mencapai tujuan, maka institusi sebagai prosedur operasional yang harus diikuti oleh para pelakunya. Apakah orang-orang atau para pelakunya akan bertindak sesuai dengan aturan main, sangat dipengaruhi oleh efisiensi biaya pelaksanaan aturan itu dan kemampuan penegakan aturan itu sendiri. Jika untuk menjalankan aturan main itu menimbulkan biaya-biaya transaksi yang terlalu mahal, maka aturan itu cenderung dilanggar,. Jika pelanggaran banyak terjadi maka aturan itu cenderung tidak berlaku, dan jika hal-hal ini terjadi maka institusi menjadi tidak efektif, sehingga institusi tidak mampu mengarahkan orang-orang berperilaku produktif, akibatnya kinerja ekonomi akan menurun karena akan lebih banyak orang memilih melakukan transfer kekayaan melalui tindakan mengambil kekayaan dari pihak lain. Keadaan seperti itu menurut Van den Berg, (2001) sebagai kondisi yang dapat mendorong terjadinya bencana ekonomi, jika penegakan hukum lemah maka dengan batasan “rational behaviour” sebagai konsep berfikir untuk memaksimumkan keuntungan sendiri pada suatu situasi tertentu, terciptalah insentif untuk bertindak tidak produktif dan melawan hukum, dan tidak terjadi peningkatan kesejahteraan
21
karena
tidak ada tambahan produksi.
Menurut Van den Berg (2001), bencana
ekonomi disebabkan oleh sikap rasional sebagai reaksi atas insentif yang disediakan oleh institusi yang cacat. Kegagalan ekonomi seperti kelaparan, kemiskinan dan pengangguran adalah akibat dari institusi yang menyediakan insentif untuk orangorang rasional untuk berperilaku merusak bukan berbuat yang konstruktif. Perilaku rasional yang dimaksudkan oleh ekonom adalah bahwa orang-orang akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada. Orang-orang yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan baik. Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai institusi ekonomi adalah institusi pengelolaan hutan alam yang berupa hasil-hasil inovasi dalam bentuk peraturan-peraturan pengelolaan hutan alam yang dimaksudkan untuk mengarahkan perilaku para pelaku usaha kehutanan untuk mencapai tujuan kegiatan ekonomi yang berupa pengelolaan hutan lestari dan memperoleh keuntungan.
2.3. Institusi dan Hak Properti Di dalam ilmu ekonomi hak properti merujuk kepada satu kesatuan kepemilikan yang menentukan hak pemilik, keistimewaan, dan pembatas penggunaan sumberdaya (Tietenberg, 1992).
Hayami dan Ruttan (1985) menekankan bahwa pengaturan
tentang hak-hak properti merupakan bagian dari dasar ekonomi institusi. Sedangkan Tietenberg (1992) berpandangan bahwa pada pasar ekonomi yang berfungsi dengan baik, struktur hak properti dapat efisien jika memiliki empat karakter yaitu (a) Universality, dimana semua sumberdaya dimiliki secara privat, dan semua hak
22
terdefinisikan dengan baik; (b) Exclusivity, semua manfaat dan biaya yang timbul akibat kepemilikan dan penggunaan sumberdaya berada pada pemiliknya, dan hanya kepada pemiliknya, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penjualan kepada pihak lain; (c) Trasnferability, semua hak properti harus dapat dipindahtangankan dari satu pemilik ke pemilik yang lain melalui pertukaran yang bersifat sukarela; dan (d) enforceability, hak properti harus aman dari pengambilan secara paksa atau perambahan oleh orang lain. sumberdaya
milik
negara,
seperti
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan
hutan,
Schlager
dan
Ostrom
(1992)
mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak properti (property right) dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusion dan alienation.
Berdasarkan konsep Ostrom ini maka ragam strata kepemilikan hak
adalah sebagai berikut : Tabel 2. Hak-hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat
Strata Hak Access and Withdrawal Management Exclusion Alienation
PEMILIK (Owner)
PENGELOLA (Proprietor)
PENYEWA (Claimant)
PENGGUNA (Autorized User)
X
X
X
X
X X X
X X
X
Sumber : Schlager dan Ostrom (1992). Property Right Regimes and Natural Resources : A Conceptual Analysis. Land Economic 68(3) :249-262, di dalam Kartodihardjo (1999)
Yang dimaksudkan sebagai Access adalah hak untuk memasuki areal atau sumberdaya tertentu yang telah ditetapkan batas-batasnya secara fisik, withdrawal
23
adalah hak untuk memanfaatkan atau memanen produk dari sumberdaya tertentu. Management adalah hak untuk mengubah / memanipulasi sumberdaya menjadi produk tertentu dan hak untuk mengatur manfaatnya. Exclusion diartikan sebagai hak untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan dan yang tidak mendapat akses dan hak menentukan cara tersebut dapat dialihkan. Sedangkan alienation diartikan sebagai hak untuk menjual dan atau menyewakan sumberdaya tersebut. Keberadaan hak-hak tersebut perlu dilindungi agar dapat bekerja secara efisien. Van den Berg, (2001) menyatakan jika hukum dan penegakan hukum tidak memadai maka orang-orang yang rasional akan bertindak memanfaatkan atau mengambil yang berharga dari orang lain, bukan memproduksinya sendiri. Di negara-negara yang hak propertinya didefinisikan secara jelas dan ditegakkan secara ketat, kejahatan jarang terjadi, orang-orang rasional akan lebih cenderung beraktivitas produktif daripada mencuri. Oleh sebab itu keamanan properti dapat mempunyai pengaruh kepada kinerja ekonomi suatu negara. Ferreira (2004) mengutip berbagai studi yang dilakukan oleh Gordon (1954), Schaefer (1957), Dasgupta dan Heal (1979) dan Munro dan Scott (1985), dan menarik kesimpulan bahwa batasan yang tidak lengkap tentang hak atas properti (property rights) dan kepemilikan yang tidak aman berdampak buruk terhadap hutan yang mempunyai kontribusi pada deforestasi. Ketika hutan berada dalam kondisi open access para pihak akan berpandangan dan bertindak secara miopik dengan tidak mempertimbangkan ekternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas aktivitas yang ia lakukan, dan tindakan itu akan menyebabkan ekstraksi atas sumberdaya melebihi kapasitas optimalnya. Penegakan hukum yang lemah atas hak property
24
membuat hutan beresiko tinggi untuk dirambah, diambil alih oleh pihak lain atau dikonversi, direspon oleh pihak lembaga keuangan dengan tingkat suku bunga tinggi. Hal ini mendorong orang untuk tidak melakukan investasi pada tanaman hutan, mengurangi minat untuk melakukan pengelolaan hutan dengan intensitas yang lebih tinggi (Mendelsohn, 1994) dan mendorong pemanenan yang lebih sering pada tanaman hutan (Clark, 1990). Kepemilikan yang tidak aman berpengaruh pada pengurangan investasi ekonomi dalam arti luas, dalam hal-hal tertentu juga menyebabkan dis-investasi, meningkatkan kerusakan hutan dan konversi lahan hutan. Ketidak-amanan itu juga dapat mendorong alokasi yang tidak efisien karena adanya kendala akses terhadap kredit bagi para petani yang tidak mempunyai hak property dan ketiadaan pasar formal atas lahannya untuk melakukan transaksi kepada pihak lain yang mempunyai produktivitas marginal yang lebih tinggi (Jaramillo dan Kelly 1997, dalam Ferriera, 2004). Studi antar Negara yang dilakukan oleh Deacon (1994); Bohn dan Deacon (2000) dalam Ferreira (2004) membuktikan secara nyata pandangan ini. Indikator-indikator kualitas institusi dan proxi atas aturan main menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap deforestasi, dimana negara-negara dengan kualitas institusi buruk cenderung mengalami laju deforestasi yang lebih tinggi. Yin (2003), mempelajari inovasi institutional yang terjadi di China yang dimulai pada tahun 1978. Perubahan inovatif yang dimaksud adalah perubahan organisasi produksi dan tenurial lahan dari sistem kolektif menjadi sistem tanggung jawab keluarga (HRS : Houshold Responsibility System) dan pengenalan mekanisme pasar melalui perubahan bertahap dari batasan kuota dan penetapan harga menuju kepada
25
transaksi komoditas berdasarkan harga pasar.
Respon atas perubahan tersebut
berbeda antara China bagian utara dan China bagian selatan. Di wilayah pertanian bagian utara-tengah, termasuk Henan, Shandong dan wilayah sekitarnya, penanaman yang luas telah terjadi meskipun wilayah ini adalah daerah pertanian non-hutan. Bukan hanya perkebunan dan pohon-pohon pelindung telah dibangun, tetapi juga pohon-pohon komersial telah ditanam di lahan pertanian. Hasilnya adalah penutupan hutan meningkat dari 5 persen pada 1977 menjadi 12,5 persen pada tahun 1999. Selain itu sejumlah besar pepohonan telah ditanam di seluruh wilayah, sehingga dapat mengatasi masalah kelangkaan suplai kayu lokal dan kebutuhan bahan bakar. Sebaliknya di wilayah hutan bagian selatan yang merupakan daerah berhutan termasuk provinsi-provinsi di selatan Sungai Yangtze, tidak ada progress yang nyata dalam membangun hutan baru. Yin menyimpulkan bahwa aturan panenan dan pemasaran kayu di China Selatan telah mencegah para petani menikmati manfaat dari perubahan institusi. Sebaliknya kombinasi perbaikan hak tanah dan penghapusan kontrol dan distorsi pasar membuat petani merespon dan mempengaruhi kondisi pasar. Sebagai hasilnya pohon, buah-buahan, minyak, peneduh dan pohon-pohon pelindung banyak di tanam di lahan pertanian, sehingga hutan berkembang pesat di daerah yang secara tradisional merupakan daerah pertanian. Selain itu kebijakan yang stabil dan terduga juga menjadi faktor penentu yang berpengaruh. Sedangkan di Indonesia, Kartodiharjo (1998) mendapatkan bahwa pengusahaan hutan negara melalui HPH, tidak memberikan wewenang kepada perusahaan untuk menentukan management, exclusion dan alienation terhadap sumberdaya hutan yang dikelolanya. Perusahaan hanya berhak atas kayu dengan berbagai kewajiban, dengan
26
pengaturan yang seperti ini menyebabkan perusahaan tidak menjalankan prinsip pengelolaan hutan lestari dengan baik sehingga resiko kerusakan hutan tinggi. Berbagai studi-studi tersebut di atas menunjukkan bahwa peraturan berpengaruh kuat terhadap kepastian akan hak properti atas hutan dan hasil hutan, dan kepastian hak-hak tersebut menjadi faktor penting insentif atau disinsentif untuk perkembangan investasi yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan hutan dan kelestariannya.
2.4. Institusi dan Perversi Kekuasaan (Perversion of Power) Scott (2008) membangun konsep institusi yang terdiri dari elemen-elemen regulatif, normatif dan kognitif yang secara bersama-sama dikaitkan dengan kegiatan dan sumberdaya, serta menjadikan kehidupan sosial yang mapan dan bermakna. Dalam pandangan ini institusi dijalankan oleh gabungan dari struktur sosial, aktivitas sosial dan sumberdaya material, sebagaimana tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Tiga Pilar-Pilar Institusi Dimensi Basis Kepatuhan Basis Perintah Mekanisme Logika Indikator
Pengaruh
Regulatif Kelayakan (expedience) Aturan hukum Paksaan Instrumentalitas Aturan, Hukum, Sanksi Efek jera / tidak bersalah Sanksi Hukum
Tiga Pilar Normatif Cultural koqnitif Kewajiban Terima apa adanya sosial Saling pengertian Harapan yang Skema resmi mengikat Normatif Meniru Kepatutan Menurut adat Certifikasi, Kepercayaan masyarakat, Akreditasi Logika umum untuk berbuat, isomorphisme Malu / Bangga Kepastian / Kebingungan
Berlandaskan Basis moral Legitimasi Sumber : Scott, W Richard. 2008.
Kelengkapan, pengakuan, dukungan budaya
27
Berger dan Luckman (1967) di dalam Scott (2008), institusi itu “mati” jika hanya ditampilkan dalam bentuk penunjukan verbal dan obyek-obyek fisik saja. Semua penampilan tersebut kehilangan realitas subyektifnya, kecuali dihidupkan di dalam tingkah laku nyata manusia. Selanjutnya Scott (2008) dan Sewel (1992) agar institusi dapat hidup, maka harus dikaitkan atau dilekatkan pada sumberdaya : jika tidak diberdayakan atau diwariskan oleh sumberdaya hampir pasti institusi akan dibuang atau dilupakan, seperti halnya sumberdaya yang tanpa pola-pola kultural yang mengatur penggunaannya hampir pasti akan menghilang atau membusuk. Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scott (2008) menekankan pentingnya menyertakan sumberdaya (material dan manusia) ke dalam setiap konsep struktur sosial sedemikian rupa sehingga dapat memperhitungkan kekuasaan yang tidak simetrik. Agar aturan dan norma menjadi efektif maka harus didukung dengan kekuatan sanksi. Sebaliknya mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya memerlukan wewenang dan legitimasi untuk menggunakannya. Menurut Scott (2008), pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kapasitas untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang layak adalah inti pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal. Oleh sebab itu North (1990) menekankan perlunya penegakan aturan dijalankan oleh “pihak ketiga” yang bukan pelaku itu sendiri. Hal ini pula yang menjadi perhatian Skocpol (1985) di dalam Van den Berg (2001), bahwa negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya
28
sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya. Disini letak penting aspek regulatif institusi membangun kembali batasan peran negara sebagai : pembuat aturan, wasit dan penegak peraturan. Van den Berg (2001), menengarai bahwa negara atau pemerintah sebagai “pihak ketiga” disatu sisi diperlukan untuk memfasilitasi transaksi yang semakin kompleks untuk menggapai kesejahteraan yang lebih tinggi bagi setiap anggota masyarakatnya, namun di sisi lain ada bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang akan mengarah kepada “perversi kekuasaan” (perversion of power) untuk memberikan keuntungan kepada sekelompok orang-orang atas beban pihak-pihak yang lain. Sejalan dengan kekhawatiran atas terjadinya perversi kekuasaan, North (1987), menengarai bahwa dalam sejarah, sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien, karena alasan bahwa membatasi transaksi (fokus, previliledge), akan memudahkan memungut pajak atau mengeksploitasi para pihak untuk kepentingannya, disamping itu institusi yang efisien tidak menguntungkan kelompok tertentu yang penting bagi keberlangsungan penguasa atau oligarchi. Keberadaan perversi kekuasaan perlu mendapatkan perhatian, terutama kecenderungan birokrasi untuk memperversi kekuasaannya sebagaimana dinyatakan oleh Osborn dan Plastrik, (2001) bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya, dan mengingat bahwa salah satu peran pemerintah adalah membuat peraturan, maka peraturan menjadi salah satu bentuk alat yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan. Bila terdapat aturan yang mengandung perversi, akan sulit mengharapkan pemerintah menghapuskannya secara sukarela karena menurut Jepperson, (1991) di dalam Scott, (2008) sebagai tatanan social, institusi secara relatif resisten terhadap
29
perubahan, cenderung diwariskan antar generasi, dipelihara dan direproduksi. Demikian pula dalam pandangan Scott (2008), kesulitan birokrasi dapat pula terjadi akibat mereka juga terhalang oleh aturan-aturan formal maupun informal. Pentingnya memperhatikan keberadaan perversi kekuasaan di dalam institusi karena peran institusi yang penting dalam sebuah sistem. Schmid, (1987) dalam Kartodiharjo (1998) berpendapat bahwa bentuk institusi mempunyai implikasi terhadap inisiatif dan kemampuan suatu organisasi untuk menjalankan penegakan peraturan (law enforcement) guna mengatasi permasalahan free rider 2, dan permasalahan lainnya. Sebagaimana disampaikan terdahulu bahwa keberadaan perversi kekuasaan sejalan dengan memfasilitasi terjadinya free riding. Dengan demikian keberadaan perversi kekuasaan menjadi sumber terjadinya transaksi biaya tinggi dan kesulitan dalam menegakkan aturan. Dalam pandangan North (1990) ketidakmampuan masyarakat untuk membangun efektivitas dan menurunkan ongkos penegakan adalah faktor kunci yang mempengaruhi kinerja ekonomi suatu negara. Hal yang senada dikemukakan juga oleh Costanza, et al (2001) bahwa kegagalan pengelolaan sumberdaya alam berhubungan dengan ketidakmampuan sistem manusia membangun kontrol yang efektif terhadap persediaan (tegakan hutan) dan aliran (produksi). Williamson (1985) menekankan bahwa bila kesepakatan dicapai, muncul kendala-kendala ex post yang tak terduga yang akan membuka peluang perilaku opportunistik, membuat penegakan (enforcement) sulit dilakukan dan mendorong para mitra untuk membuat penyesuaian atau menjadikan konflik.
2
Free rider adalah individu atau kelompok masyarakat yang ikut menikmati atau memanfaatkan barang dan atau jasa tetapi tidak ikut menanggung biaya produksi atau pengadaannya.
30
Dari berbagai pandangan tersebut, tergambar bahwa perversi kekuasaan dapat berbentuk pemberian hak-hak monopoli maupun berupa peraturan-peraturan yang memberikan legitimasi kewenangan pemerintah untuk mengatur dan mengurusi berbagai hal hingga ke tingkat detail yang kadang kala menjadi domain privat. Hirakuri (2003), meneliti implementasi hukum kehutanan di Brazil dan Finlandia. Ia mempelajari penegakan dan kepatuhan terhadap hukum pengelolaan hutan, melalui analisa penegakan instrumen-instrumen seperti peraturan-peraturan dan pendekatan orientasi pasar, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Dijelaskan bahwa sebagian besar peraturan kehutanan di Brazil berupa peraturan administratif (administrative acts) yang kurang stabil karena mudah diubah tanpa persetujuan konggres. Kepatuhan yang penuh hampir dipastikan tidak pernah terjadi. Meskipun sertifikasi dapat membawa perkembangan positif, namun sejarah kelangkaan kontrol yang efisien dan monitoring yang efektif terhadap praktek logging menyebabkan terjadinya “predatory logging”. Sementara di Findlandia keadaan berbalikan dengan Brazil. Pemerintah hanya mengatur hal-hal pokok yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, tetapi tingkat kepatuhannya amat sangat tinggi.
Terdapat enam faktor yang dianggap punya
pengaruh besar atas keberhasilan tersebut, yaitu : insentif ekonomi, bimbingan kehutanan, kelembagaan manajemen dan kerjasama, hutan-hutan skala kecil, rencana pengelolaan hutan dan sertifikasi. Di Indonesia, Kartodihardjo (1998) mendapatkan bahwa institusi pengusahaan hutan alam belum mampu mengarahkan perilaku perusahaan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan yang memiliki kinerja baik kurang dari 20 %,
31
sebagian terbesar berkinerja buruk. Kinerja yang buruk mengindikasikan bahwa terdapat pelanggaran atas peraturan yang berlaku. Diketahui pula bahwa pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan perilaku perusahaan. Kelemahan dalam penegakan aturan diindikasikan dengan adanya produksi illegal dan ekspor log illegal. Dikemukakan pula bahwa kegagalan penegakan tersebut juga disebabkan oleh konsesi yang terlalu luas, di luar kapasitas perusahaan untuk mengamankannya. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Costanza et al, (2008) bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan pengelolaan sumberdaya alam adalah mismatch of scale, yaitu pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi yang bersumber dari skala yang berbeda. Anggapan bahwa skala besar (luas) adalah kumpulan dari skala kecil yang digabungkan adalah menafikan adanya faktor-faktor lain yang timbul akibat penggabungan tersebut. Thiele (1994) menyatakan bahwa unit pengusahaan hutan yang terlalu luas menyebabkan berkurangnya insentif bagi pemegang HPH untuk mencegah kegiatan perladangan dan pencurian kayu serta menyebabkan sumberdaya hutan mengalami idle. Institusi yang berlaku di bidang pengusahaan hutan di Indonesia sebelum reformasi memberikan insentif penguasaan areal hutan yang sangat luas. Kartidihardjo (1998) mendapati bahwa selain unit-unit pengelolaan yang luas juga terjadi konglomerasi, sehingga melampaui kapasitas perusahaan untuk melakukan kontrol terhadap konsesinya.
2.5. Institusi dan Status Asset Tegakan Hutan Alam Meiler dan Meiners, (1986) di dalam Kartodihardjo, menjelaskan bahwa orientasi perilaku perusahaan komersial berpusat pada mencari keuntungan dan meminimalkan
32
resiko. Menurut Hampton (1989) untuk memaksimumkan keuntungan, perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan meminimumkan biaya produksi. Untuk meminimumkan resiko usaha, perusahaan mengatur komposisi terbaik penggunaan jenis-jenis aset yang dimiliki, dan menentukan cara terbaik menggunakan aset melalui peningkatan efisiensi dan meminimumkan penggunaan asset yang tidak perlu
Usaha kehutanan
banyak melibatkan pengeluaran jangka panjang untuk membiayai penanaman pohon yang akan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen. Biaya penanaman pohon adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka membangun “pabrik” yang diharapkan dapat menghasilkan stok yang dapat ditransaksikan. Keterlibatan pengeluaran jangka panjang dalam usaha kehutanan, memerlukan jaminan keamanan atas investasi yang ditanamkan dalam bentuk tegakan hutan, dan jaminan atas hak untuk dapat melakukan transaksi atas hasil yang diperoleh. Sebagaimana dikemukakan oleh Tietenberg (1992) bahwa salah satu karakteristik hak properti yang efisien adalah adanya karakter transferability, maka dalam usaha kehutanan sangat diperlukan adanya jaminan bahwa pengeluaran jangka panjang dapat diperhitungkan sebagai investasi yang dapat diakumulasikan sebagai asset yang dapat ditransaksikan. Mengingat bahwa dalam usaha kehutanan yang melibatkan pengelolaan hutan, membangun tegakan hutan adalah inti dari pekerjaan ini, oleh sebab itu jaminan untuk dapat menjadikan pengeluaran jangka panjang sebagai investasi yang dapat diakumulasikan sebagai asset yang dapat ditransaksikan adalah merupakan hal yang sangat penting. Kegagalan memberikan jaminan akan hal ini dapat menjadi disinsentif untuk membangun hutan yang baik. Van den Berg (2001) mengemukakan
33
bahwa pengakuan asset memberikan lebih banyak pilihan, karena asset dapat diakumulasikan sebagai alat penyimpan kekayaan, dapat dikonversikan ke dalam jenis asset lainnya atau dikonsumsi sejalan dengan perkembangan kebutuhan, sehingga memberikan insentif terhadap inovasi dan investasi. Pengalaman yang terjadi di Mexico seabad yang lalu dapat menjadi pelajaran berharga, seperti yang dicontohkan oleh Van den Berg (2001), pada tahun 1920-an Pemerintah Mexico melakukan reformasi agraria dengan menyita lahan dari para tuan tanah dan membagikannya kepada masyarakat melalui pengelolaan lahan secara kolektif kepada
masyarakat Ejidos yang terletak di Mexico berbatasan dengan
Guatemala. Setiap anggota masyarakat diberikan hak untuk bercocok tanam dan memanen hasilnya, meskipun dapat diwariskan kepada anaknya dan tetap diijinkan menggunakan tanahnya sepanjang masih bersedia menanam, tetapi tanah tetap menjadi milik kolektif,. Mereka diijinkan sebagai pengguna permanen tetapi tidak diberikan hak properti yang berupa hak transfer. Sejalan dengan kemajuan zaman, generasi muda banyak yang beralih profesi dan bermigrasi ke tempat lain. Karena definisi hak properti yang tidak lengkap, maka segala investasi yang ditanamkan di lahan tersebut tidak dapat ditransaksikan melainkan menjadi milik komunal. Investasi tidak dapat diakumulasikan menjadi asset dan tidak dapat ditransaksikan sehingga investasi tersebut tidak dapat memfasilitasi perpindahan profesi anak-anak mudanya, bahkan menjadi beban tetap (fixed cost) bagi kepindahaanya. Investasi yang berupa tanaman keras, bangunan tidak bergerak harus ditinggalkan sebagai bentuk biaya kepindahannya.
34
Di dalam system pengusahaan hutan Indonesia, dikemukakan oleh Kartodihardjo (1998) bahwa stok tegakan hutan tidak tercatat sebagai asset perusahaan maupun asset Negara. Dengan menggunakan konsep Meiler dan Hampton tersebut di atas, maka tegakan hutan berada dalam posisi sebagai asset menganggur sehingga beresiko untuk dikonversi secepatnya menjadi uang tunai.
2.6. Institusi dan Penguasaan Informasi Informasi yang tidak seimbang (asymetric information) secara teori dianggap menjadi penyebab kegagalan kebijakan dan kegagalan pasar (Pindyck & Rubinfeld, 2001). Informasi yang tidak berimbang atau tidak benar tersebut dapat melahirkan kesepakatan yang melanggar aturan legal atau kolusi antara pelaksana dan pengawas dalam mengambil keputusan diterima atau tidaknya hasil pekerjaan (Williamson, 1985). Costanza, et al (2008) juga mengemukakan bahwa sebab lain dari kegagalan pengelolaan sumberdaya alam adalah karena keputusan didasarkan pada informasi agregat pada skala yang salah, meskipun informasi itu ada pada skala yang benar. Adanya informasi yang tidak simetrik ini dapat menimbulkan masalah-masalah yang berupa salah pilih mitra kerja (adverse selection problem), bahaya karena kerusakan moral (moral hazard) dan masalah antara induk dan agen (principal-agent problems). Pindyck, et al (2001), menggambarkan masalah salah pilih dengan mengambil contoh masalah yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dan kartu kredit. Perusahaan tidak mengetahui secara pasti kualitas dari calon pelanggannya yang berupa resiko klaim kesehatan dan resiko tidak membayar tagihan. Pelanggan keduanya dapat dibedakan kedalam pelanggan baik yang memiliki resiko rendah, dan
35
pelanggan buruk yang memiliki resiko tinggi. Karena ketidak-tahuan perusahaan, maka perusahaan menetapkan tarif tunggal berdasarkan peluang resiko rata-rata, sehingga pelangggan yang masuk terdiri dari pelanggan baik dan buruk. Dengan kebijakan tarif ini, pelanggan dalam kategori buruk, mendapat insentif lebih besar dari pada pelanggan baik untuk mengikuti program asuransi atau kartu kredit, sehingga perusahaan menanggung resiko klaim atau gagal bayar yang tinggi. Untuk mempertahankan viabilitasnya perusahaan menaikkan tarifnya, dan pada akhirnya hanya pelanggan-pelanggan buruk yang terjaring dalam programnya. Selanjutnya Pindyck, et al (2001), menjelaskan problem moral hazard terjadi bila satu pihak yang tindakannya tidak dapat diamati mempengaruhi peluang atau sifat pembayaran transaksi tertentu. Jika satu pihak (pertama) dalam mendapatkan hak pihak lain (kedua) disertai syarat atau kewajiban kepada pihak kedua, dan pihak lain tersebut tidak dapat diawasi perilaku terkait syarat atau kewajiban tersebut oleh pihak kedua, maka pihak pertama akan melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan resiko beban pihak kedua semakin besar. Misalnya seseorang yang bekerja pada majikannya akan diberikan gaji tertentu dengan syarat harus menghasilkan tingkat produksi dengan jumlah dan kualitas tertentu, apabila majikan tidak dapat mengawasi maka pekerja akan mengurangi pemenuhan kewajibannya, sehingga majikan menanggung beban per-unit produksi yang lebih tinggi. Sedangkan
Principal Agent Problems adalah masalah yang muncul apabila
manager (agen) tetap berbuat untuk mencapai tujuannya meskipun ketika perbuatan ini dilakukan menurunkan keuntungan pemilik perusahaan (principal). Masalah ini akan terjadi pada situasi pengaturan hubungan dimana prestasi atau kesejahteraan
36
seseorang (pemilik) bergantung kepada perbuatan pihak lain (agen). Jika pemilik tidak mempunyai cukup informasi, atau biaya untuk mendapatkan informasi terlalu mahal, maka pemilik kehilangan kendali atas perjanjian yang disepakati. Ascher (1993) Pemerintah Indonesia tidak menguasai data dan informasi tentang
potensi hutan alam produksi di Indonesia, pengetahuan yang dimiliki pemerintah relatif terbatas. Kartodihardjo (1998), menyimpulkan bahwa ketersediaan informasi mengenai sumberdaya hutan alam pada pemerintah rendah, yang menyebabkan ketidak-pastian dalam pengukuran hasil kerja atau kinerja (performance). Pemerintah belum mengetahui secara lengkap kondisi hutan (batas kawasan, potensi hutan, riap) pada saat hutan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada pemegang HPH. Pemerintah mendapatkan informasi riap berdasarkan pemantauan data Petak Ukur Permanen (PUP) di setiap areal HPH/IUPHHK. Pusat Penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) adalah lembaga yang bertugas memantau dan mengolah data PUP serta merekomendasikan kepada pemerintah besarnya riap pada areal tertentu. Menurut Haruni, Rinaldi dan Wahjono (2010) data Laporan PUP yang diterima oleh P3HKA terus menurun dari tahun ke tahun, seperti pada Tabel 4. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai cukup informasi untuk menetapkan riap, dan pemerintah tidak mampu menegakkan aturan kewajiban perusahaan untuk melaporkan data PUP. Dengan kebijaksanaan ini timbul resiko akibat ketidak-tepatan informasi potensi hutan, yang berupa tindakan-tindakan melanggar aturan main seperti yang dikemukakan oleh Wiliamson (1985) tersebut diatas.
37
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Laporan PUP sampai dengan Tahun 2009 Lap ke 1 2 3 4 5 6 7 8
TAHUN PENGIRIMAN 95 55 53 3
111
96 45 37 42 3 1
128
97 35 20 30 26 3
98 20 13 10 22 14 1
114
80
99 10 9 8 10 8 2 1 48
00 5 4 5 3 7 5
29
01 1 5 1 1 2 4 2 1 17
02 2 1 1 2 1 1 8
03 5 1 3
04 5 1
Jml 05
06
3
2 1 1
07 3 2
08 4
09 2 2
5
4
4
1 1 1 11
6
3
5
186 150 109 67 35 15 5 3 573
Sumber : Haruni, Rinaldi, dan Wahyono (2010)
2.7. Institusi dan Biaya Transaksi Menurut North (1991) biaya transaksi (transaction cost) adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost) yang dipertukarkan, biaya melindungi hak atas barang (exclusion cost), dan biaya untuk menetapkan kontrak/ perjanjian (contractual cost) serta biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Menurut Schmid (1987) biaya transaksi merupakan salah satu karakteristik inherent sumberdaya alam, yang secara alami memberikan bentuk interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Lebih lanjut Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan dapat efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu
mengendalikan
karakteristik
inherent
sumberdaya
alam
tersebut.
Karakterisitik inherent yang dimaksudkan oleh Schmid antara lain adalah biaya eksklusi yang umumnya tinggi, skala ekonomi, dan keterkaitan antar generasi. Kartodiharjo (1998) mendapatkan situasi selama periode 1989 – 1995 terdapat penambahan dan atau penggantian peraturan di bidang pengusahaan hutan sebanyak 132 peraturan Di dalam setiap Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang
38
Pemberian HPH, setiap pemegang HPH diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah aktivitas yang pelaksanaannya diatur oleh peraturan tersebut diatas. Ascher (1993), Dauvergne (1994),King, (1996), Ross, (1996), Darusman, (1997) dalam Kartodiharjo (1998) . Karena pemerintah tidak memiliki informasi lengkap yang diperlukan sebagai landasan penyusunan dan pelaksanaan kontrak (Ascher, 1993), maka bentuk kontrak tidak dapat mengatasi sifat biaya transaksi tinggi, bahkan sebaliknya menimbulkan biaya transaksi yang harus ditanggung pemegang HPH
2.8. Institusi dan Konflik Kepentingan Peraturan menentukan kondisi lingkungan kerja bagi individu atau organisasi. Sedangkan kondisi lingkungan menyediakan tatanan kesempatan (opportunity sets) tertentu. Setiap individu / organisasi melakukan respon terhadap tatanan kesempatan yang tersedia, untuk memaksimumkan apa yang diinginkan (Shaffer, 1980, dalam Kartodiharjo, 1998). Williamson (1985)
menekankan bahwa bila kesepakatan
dicapai, muncul kendala-kendala ex post yang tak terduga yang akan membuka peluang perilaku opportunistik, membuat penegakan (enforcement) sulit dilakukan dan mendorong para mitra untuk membuat penyesuaian atau menjadikan konflik. Sebagaimana diingatkan oleh Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) bahwa diperlukan pembatasan peran negara agar tidak masuk terlalu jauh dalam urusanurusan bisnis tingkat mikro, karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari
aktor-aktor
sosial
lainnya.
Sejalan
dengan
ini
pula
North
(1987),
mengkhawatirkan adanya konflik kepentingan peran pemerintah dalam membangun
39
institusi mengingat bahwa dalam sejarah, sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien, karena alasan pragmatis untuk memudahkan memungut pajak atau mengeksploitasi para pihak untuk kepentingannya, disamping itu institusi yang efisien juga tidak menguntungkan kelompok tertentu yang dianggap penting bagi keberlangsungan kekuasaannya atau oligarchi. Oleh karenanya dalam pandangan Van den Berg (2001), dan Stiglitz (2000), pemerintah perlu mengambil peran sebagai regulator dan sebagai penegak aturan. Dalam konsep North (1990), agar institusi dapat efisien harus ada pemisahan antara aturan main dengan pemainnya. Pemerintah sebagai pihak pembuat aturan main dan sebagai wasit dalam permainan ini, tidak dapat sekaligus menjadi pemain untuk menghindari adanya konflik kepentingan.. Berdasarkan konsep-konsep tersebut di atas, penting memperhatikan perilaku pemerintah dalam membangun institusi melalui kewenangannya untuk membuat peraturan dan menegakkannya. Pemisahan peran sebagai pemain dan pembuat aturan main diperlukan agar tidak menimbulkan aturan-aturan main yang mengandung konflik kepentingan. Van den Berg (2001), dan Osborn dan Plastrick (2001), mengingatkan bahwa bukan saja karena birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya,
namun juga perlu dipahami bahwa pemegang kekuasaan juga
cenderung mencari cara-cara yang paling menguntungkan bagi kepentingannya meskipun atas beban pihak lain. Pemisahan yang jelas ini juga sangat diperlukan agar pemerintah dapat menegakkan aturan secara efektif, adanya konflik kepentingan dapat mengakibatkan pemerintah lemah dalam menegakkan aturan Kartodihardjo (1998), mendapati fakta bahwa peraturan pengusahaan hutan mereduksi kebijaksanaan pengelolaan hutan menjadi pengaturan manajemen hutan.
40
Adanya karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, sampai saat ini belum teratasi.
Banyaknya jumlah peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan
administrasi pelaksanaan pekerjaan dapat diartikan bahwa peraturan pengusahaan hutan adalah penjabaran implementasi teknologi 3 daripada implementasi institusi. Disampaikan lebih lanjut bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukannya (Kartodiharjo, 1998) kepentingan-kepentingan normatif yang seharusnya dapat dilaksanakan pemerintah
telah bergeser. Kedua pihak, yaitu pemerintah dan
pemegang HPH terbawa dalam situasi opportunism yaitu sikap atau tindakan yang didefinisikan oleh Williamson (1985) sebagai dominannya kepentingan individu dengan cara tipu muslihat yang seringkali diikuti oleh sifat menipu dan mencuri. Penyebab terjadinya sikap oportunis tersebut adalah kurangnya informasi, khususnya informasi yang diperlukan untuk memperhitungkan upaya-upaya yang diperlukan untuk memperbaiki terjadinya kesalahan pelaksanaan pekerjaan, serta adanya distorsi kebijaksanaan atau ketidaksesuaian kebijaksanaan dengan tujuan yang akan dicapai.
2.9. Peran Pemerintah dan Kebijakan Publik Studi ekonomi membedakan antara ekonomi makro dan ekonomi mikro, keduanya mempunyai fokus perhatian yang berbeda, pengambil keputusan ekonomi makro dan 3
Definisi “teknologi” adalah sebagai berikut : a system based on the application of knowledge, manifested in physical objects and organizational forms, for the attainment of specific goals. Dengan tambahan penjelasan sebagai berikut : 1). Successful technological development requires the presence of effective demand, 2). Only market force can produce technological innovation, 3). Science does not always play the decisive role in the development of technology, ….. most technology have been developed and applied with little scientific input. 4). Technology differs from science in the type and depth of knowledge that is required. …. technology is not applied science. (Rudi Volti, 1992 dalam Kartodiharjo,H. 1998).
41
pengambil keputusan ekonomi mikro dilakukan oleh orang-orang yang berbeda. Mankiw (2000), menjelaskan ekonomi makro sebagai disiplin studi ekonomi yang mempelajari perekonomian secara menyeluruh, dan ekonomi makro dimaksudkan untuk menjelaskan kejadian-kejadian ekonomi dan untuk merumuskan kebijakankebijakan dalam rangka meningkatkan kinerja ekonomi. Sedangkan ekonomi mikro adalah disiplin studi ekonomi yang mempelajari bagaimana perusahaan atau individu membuat keputusan dan bagaimana para pembuat keputusan (individual) tersebut saling berinteraksi. Dalam pandangan Pindyck (2001) ekonomi mikro adalah cabang ilmu ekonomi yang berhubungan dengan unit-unit ekonomi individual, - seperti konsumen, perusahaan, pekerja dan investor, - dan juga pasar dimana individuindividu tersebut saling berhubungan. Sedangkan makro ekonomi adalah cabang ilmu ekonomi yang berhubungan dengan variable-variabel ekonomi secara agregat. Dua teori tersebut dapat menjadi awal untuk memposisikan peran pemerintah dan pelaku usaha dengan baik. Pada abad ke 19 dan 20 terjadi dikotomi sistem ekonomi yang dianut oleh negara. System yang pertama adalah pandangan laissez fair yang dikemukakan oleh John Stuard Mill, agar pasar bersaing sempurna, pemerintah tidak perlu turut campur tangan dalam kegiatan ekonomi, biarkan pelaku bisnis yang memutuskan sendiri. Pemerintah seharusnya tidak mengatur atau mengontrol perusahaan. Pandangan yang kedua berdasarkan pemikiran Karl Max dan lain-lain yang memandang penting keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pandangan kedua ini didasarkan pada kondisi masyarakat yang tidak sama, seperti perbedaan tingkat pendapatan dan adanya orangorang yang menganggur yang tidak diuntungkan dalam sistem pasar bersaing
42
sempurna. Akan tetapi paham tentang pemerintahan yang kuat mengalami titik balik ke arah melemahnya negara pada tahun 1980-an, yang ditandai dengan dimulainya privatisasi pada pertengahan 1985, hingga runtuhnya negara-negara sosialis. Fukuyama, (1992) dalam Nugroho (2008), menyatakan bahwa persaingan (paham ekonomi) telah selesai dengan kalahnya paham sosialis-komunis dari paham liberaliskapitalis, sejarah telah selesai dan tinggal satu jalan yaitu liberalis-kapitalis. Pada tahun yang sama Osborne dan Gaebler (1992) mengajukan konsep Reinventing Government, yang menyarankan pengurangan peran pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Dalam pandangan Boaz (1996) di dalam Nugroho (2008) keterlibatan pemerintah harus seminimal mungkin sehingga dikatakan bahwa the best government is the least government. Pandangan ini diterima secara luas sejak Bank Dunia dan IMF menerima konsep Washington Concensus pada tahun 1992 untuk digunakan sebagai instrumen pembenahan perekonomian negara-negara anggotanya. Keterlibatan pemerintah dalam aktivitas ekonomi memang masih menjadi perdebatan, namun Van den Berg (2001) dan North (1990) memposisikan bahwa peran pemerintah masih tetap diperlukan namun secara selektif. Dalam pandangan Osborne dan Gaebler (1992), dikatakan bahwa pemerintah hanya perlu mengarahkan (steering) dan tidak perlu menjalankan (rowing). Apabila dikaitkan dengan konsep makro-mikro tersebut di atas, maka pemerintah sebaiknya berkonsentrasi pada urusan-urusan ekonomi makro, dan tidak menjalankan urusan-urusan di tingkat ekonomi mikro tetapi menfasilitasi agar ekonomi mikro dapat bergerak. Perkembangan selanjutnya, paham melemahkan negara berkembang kearah ekstrim yang berupa menyerahkan keseluruhan ekonomi kepada mekanisme pasar.
43
Kesadaran baru timbul setelah peristiwa 11 September 2001, dimana gedung WTC di Amerika Serikat dihancurkan oleh teroris. Peristiwa ini menyadarkan banyak pihak bahwa swasta tidak dapat melindungi rakyat, karena swasta lebih tertarik untuk melindungi dirinya sendiri. Perubahan pandangan antara lain dikemukakan oleh Francis Fukuyama dan Milton Friedman sebagai berikut : “Selama lebih dari satu generasi, kecenderungan dari politik dunia adalah melemahkan negara, …….. Persoalan utama dalam politik dunia tidak lagi bagaimana merampingkan negara, melainkan bagaimana membangunnya. Bagi masing-masing masyarakat dan komunitas global, meluruhnya negara bukanlah awal utopia melainkan malapetaka …..”(Fukuyama ,2005 dalam Nugroho, 2008)
Perubahan pandangan juga dikemukakan oleh Milton Friedman dalam pernyataan yang sampaikan pada wawancara yang dikutip oleh Fukuyama (2005) dalam Nugroho (2008), sebagai berikut : “…. Satu dekade sebelumnya ia menyerukan tiga kata bagi negara-negara yang mengalami transisi dari sosialisme, yaitu : swastanisasi, swastanisasi, dan swastanisasi. Namun saya salah, ‘apa yang benar adalah bahwa pemerintahan yang berdasarkan hukum mungkin lebih mendasar daripada swastanisasi’ ”.
Dengan demikian, jika pada mulanya terdapat dua pandangan ekstrim tentang sistem ekonomi negara yaitu sistem yang memberikan posisi kuat kepada negara seperti yang dianut oleh negara sosialis-komunis dan sistem yang memberikan posisi kuat kepada swasta (liberal-kapitalis), maka saat ini dan selanjutnya terdapat sistem ketiga yang menjadikan negara dan swasta sama-sama kuat. Sebagaimana telah
44
dipahami secara umum, bahwa syarat adanya negara yaitu ada wilayah, ada penduduk dan ada pemerintahan. Oleh sebab itu sistem ketiga dimaknai sebagai pemerintahan yang kuat dan penduduk sebagai pelaku ekonomi yang kuat. Sistem ini memerlukan pembagian tugas yang jelas, yaitu apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah dan apa yang lebih baik dikerjakan oleh swasta, serta instrumen untuk mencegah pemerintahan yang totaliter. Sebagaimana dikemukakan oleh North (1990) dan Van den Berg (2001), bahwa pemerintah memang diperlukan tetapi terlalu berbahaya jika kekuasaannya terlalu besar dan terakumulasi pada suatu kelompok tertentu. Drucker (1984) dalam Nugroho (2008), menyatakan bahwa para ekonom telah terjebak pada obsesi bahwa negara harus menyejahterakan seluruh isi negara, sehingga lebih banyak berfikir tentang ‘apa yang seharusnya dilakukan pemerintah’ dan tidak mendiskusikan tentang ‘apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah’. Dalam pandangan Drucker (1984) pemerintah dapat melakukan tiga kegiatan usaha yaitu : (1) usaha yang bersifat monopoli, (2) usaha yang bersifat selamanya harus ada, dan (3) usaha yang dianggap sebagai simbul suci dan ultimate. Dijelaskan lebih lanjut bahwa usaha yang bersifat monopoli adalah jenis usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dan untuk menjalankannya hanya ada satu pilihan yang tidak mungkin ada persaingan, maka usaha ini lebih baik dijalankan oleh pemerintah karena ‘pemegang saham’ dari usaha ini adalah seluruh rakyat. Pada masa lalu barangkali apa yang dikemukakan oleh Drucker ini mengandung kebenaran, namun perkembangan mutakhir hampir tidak ada jenis usaha yang sepenuhnya hanya menyangkut hajat hidup orang banyak dan tidak dimungkinkan adanya pesaing, oleh sebab itu dalam hal pilihan ini lebih tepat digunakan pendapat Osborne dan Gaebler
45
bahwa pemerintah lebih baik steering rather than rowing. Sementara dua jenis usaha lainnya masih dianggap relevan seperti mengelola keamanan nasional, menarik pajak dan hal-hal yang menyangkut moral sosial dan tidak diperjual-belikan. Pengarahan (steering) oleh pemerintah dilakukan melalui kebijakan publik (public policy), dalam hal ini digunakan difinisi yang dikemukakan oleh Prof. Thomas R Dye (1995, dalam Nugroho, 2008), kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Dalam definisi ini tercermin wilayah kompetensi pemerintah yaitu : Pertama, kebijakan publik berkaitan dengan pembuatan dan penegakan aturan main tentang hubungan antar warga dan hubungan antara warga dengan pemerintah. Kedua, kebijakan publik adalah keputusan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama dan bukan mengatur kehidupan orang-perorang atau kelompok. Ketiga, kebijakan publik dibuat oleh organisasi publik yang dalam pengertian tersebut adalah pemerintah. Keempat, kebijakan publik juga dicirikan oleh manfaat yang dihasilkan, yaitu apabila produk/manfaat yang dihasilkan lebih banyak dinikmati oleh pengguna
tidak
langsung (indirect beneficieries) daripada pengguna lansungnya, atau dengan kata lain nilai eksternalitasnya tinggi Kelima, yang dimaksudkan sebagai pemerintah dalam konteks pembuatan kebijakan publik adalah organisasi-organisasi publik yang berwenang membuat dan menegakkan aturan publik. Nugroho (2008), mengemukakan bahwa rentetan kebijakan publik sangat banyak, mulai dari ketetapan MPR hingga ke peraturan-peraturan pelaksanaannya, namun dapat dibedakan dalam tiga kelompok kebijakan publik yaitu :
46
(1) kebijakan makro yaitu kebijakan publik yang bersifat umum atau mendasar yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Presiden dan Peraturan Daerah; (2) kebijakan meso atau kebijakan tingkat menengah yang berupa aturan pelaksanaan yang dapat diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota; dan (3) kebijakan mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atas kebijkan publik tingkat meso dan makro. Dalam hal tertentu terdapat pengecualian atas pengaturan hirarki dimaksud, atas dasar pertimbangan efisiensi organisasi, kebijakan makro dan meso dapat saja mengatur pelaksanaan apabila kebijakan tersebut tidak memerlukan aturan lebih lanjut, dan bila formulasi kebijakannya sendiri sudah menimbulkan hight cost economy, maka dikhawatirkan pelaksanaannya juga akan hight cost economy pula. Hubungan makro-meso dan mikro juga dapat ditinjau dari cakupan atau jangkauan wilayah yang dilayani oleh kebijakan publik, dan jenis urusan yang diatur sebagai urusan bersama atau urusan individu/golongan. Kebijakan yang mempunyai cakupan luas berhubungan erat dengan urusan-urusan bersama, sedangkan kebijakankebijakan yang cakupannya sempit biasanya menyangkut urusan individu/golongan. Hubungan ini dapat digambarkan dalam kuadran kebijakan publik pada Gambar 6 Dengan demikian dapat dipahami bahwa tugas pemerintah yang utama adalah membuat kebijakan publik yang menyangkut hal-hal yang menjadi urusan bersama, dan menjankan penegakan hukum untuk melindungi kepentingan setiap warga negara, individu, atau kelempok. Dalam bidang kebijakan pemerintah bertanggung jawab pada tingkat makro dan meso, sedangkan dibidang penegakan hukum pemerintah berkewajiban melindungi setiap warga negara (mikro).
47
Organisasi masyarakat Organisasi Publik
Penanggung jawab pertama
Lingkup Isu/Urusan/Masalah Pribadi dan/atau Masyarakat/Bersama golongan Kuadran I Kuadran II Operasional Perusahaan
Gotong Royong, Pemeliharaan lingkungan kampung
Kuadran III
Kuadran IV
Tindak Kejahatan yang memerlukan lembaga peradilan negara
Kebijakan Publik
Gambar 6. Kuadran Kebijakan Publik (diadopsi dari Nugroho, 2008)
Dalam pandangan Goldman (2004) hubungan makro-meso-mikro adalah merujuk kepada kebijakan dan institusi yang mengatur dan mempengaruhi aktivitas pembangunan di semua sektor. Pembangunan dan pertumbuhan umumnya dikaitkan dengan ekonomi tingkat makro dan menggunakan pendekatan “top-down”, tetapi akhir-akhir ini pendekatan tersebut telah dikombinasikan dengan pendekatan “bottum up”. Secara sederhana Goldman mendifinisikan setiap tingkatan makro-meso dan mikro berdasarkan kewilayahannya sebagai berikut : (1) institusi dan kebijakan Makro adalah kebijakan yang mempunyai cakupan wilayah pengaruh yang luas dan dilakukan oleh institusi tingkat nasional atau global; (2) institusi dan kebijakan Meso adalah kebijakan yang mempunyai cakupan wilayah pengaruh di tengah-tengah (intermediate) dan dilakukan oleh institusi tingkat provinsi atau distrik; dan (3) institusi dan kebijakan Mikro adalah kebijakan yang
48
mempunyai cakupan wilayah pengaruh yang berhubungan langsung dengan masyarakat langsung (grass roots), komunitas dan individu, dan dilakukan oleh institusi tingkat masyarakat, kimunitas atau individu. Dengan demikian kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang mengatur urusan bersama dan berhubungan dengan variabel-variable agregat serta mencakupi wilayah yang luas dan menengah. Dalam konteks kehutanan Indonesia yang mempunyai wilayah luas dan keanekaragaman ekosistem hutan, kondisi infrastruktur serta kondisi sosial ekonomi yang beragam, maka dalam konteks penelitian ini batasan tentang makro-meso dan mikro dirumuskan sebagai berikut : (1) kebijakan publik tingkat makro meliputi wilayah nasional dan provinsi, variabelvariable yang digunakan sebagai dasar kebijakan adalah variable agregat nasional, antar provinsi, dan antar kabupaten yang dilakukan oleh organisasi pemerintah nasional dan organisasi pemerintah provinsi; (2) kebijakan publik tingkat meso meliputi wilayah kabupaten atau kota, variabel-variable yang digunakan sebagai dasar kebijakan adalah variable agregat kabupaten atau kota, dan antar Kesatuan Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh organisasi pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota; dan (3) kebijakan tingkat mikro menyangkut urusan yang mengatur individu yang dilakukan oleh organisasi unit pengelolaan hutan terkecil atau perusahaan-perusahaan kehutanan. Pemerintah sebagai aktor pengambil kebijakan publik dituntut untuk dapat berindak secara efektif, akan tetapi banyak kejadian bahwa peran pemerintah tersebut tidak berjalan secara efektif. Stiglitz (2000), menekankan adanya empat faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah yaitu : (1) keterbatasan informasi, sebagai
49
konsekwensi banyaknya aktivitas urusannya menjadi rumit dan sulit diamati, pemerintah tidak mampu mendapatkan seluruh informasi yang diperlukan; (2) keterbatasan kontrol terhadap respon pasar privat, pemerintah hanya mempunyai rentang kendali yang kecil atas semua tindakan yang dilakukan terlebih lagi terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh individu baik orang maupun perusahaan; (3) keterbatasan kontrol terhadap birokrasi, undang-undang banyak menyerahkan pengaturan hal-hal teknis dan pelaksanaannya kepada lembaga eksekutif sehingga tidak jarang bahwa apa yang dikehendaki oleh undang-undang sering tidak sesuai dengan yang dipraktekkan. Kegagalan ini dapat terjadi karena ketidak jelasan maksud undang-undang dan dapat pula karena birokrasi kurang mendapat insentif untuk melaksanakannya; dan (4) pelemahan oleh proses politik, meskipun pemerintah mempunyai kapasitas untuk melaksanakannya, namun keputusan untuk bertindak seringkali menghadapi kesulitan tersendiri. Para politisi sering kali hanya berfikir untuk kepentingan kelompok tertentu dan kadang kala memandang persoalan yang kompleks dengan cara yang sangat sederhana berdasarkan keterbatasan pengetahuan yang ia miliki saja, sehingga tidak benar-benar menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan yang sesungguhnya.
2.10. Sebab-sebab Kerusakan Hutan Laju deforestasi yang positif menunjukkan bahwa pengelolaan hutan masih belum berhasil mencapai tujuannya. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk menekan kerusakan hutan melalui praktek pengelolaan hutan yang lestari. Pengelolaan hutan adalah aktivitas yang kompleks, persoalan yang telah berlangsung
50
lama yang menambah kompleksitas permasalahannya, oleh sebab itu tidak mungkin ada solusi tunggal. Angelsen dan Kaimowitz (1999) di dalam Angelsen (2009) mengemukakan tentang hirarki penyebab deforestasi seperti pada gambar 7 .
Deforestasi
Sumber
Agen Deforestasi : Pilihan Variabel
Penyebab Langsung
Parameter2 Keputusan
Institusi
Infrastruktur
Pasar
Variable makro dan instrumen kebijakan
Teknologi
Penyebab Utama
Gambar 7. Sumber, Penyebab Langsung dan Penyebab Utama Deforestasi Sumber : Angelsen dan Kaimowitz (1999)
Sebagai sumber deforestasi adalah para pelaku yang bertindak menebang hutan, yaitu petani subsisten yang berladang berpindah, perusahaan kecil perkebunan, dan perusahaan besar perkebunan dan peternakan, dilaporkan bahwa ketiga aktor ini mempunyai kontribusi terhadap hilangnya 2/3 hutan tropika. Penyebab langsungnya adalah harga, akses pasar, teknologi pertanian, kondisi agro-ekologik dan lain sebagainya yang mempengaruhi pilihan-pilihan para pelaku deforestasi.
Dalam
model ini kebijakan untuk mengurangi deforestasi akan mempengaruhi parameter
51
keputusan melalui restrukturisasi pasar, mengenalkan teknologi baru, membangun infrastruktur dan institusi. Model Angelsen ini tidak mempertimbangkan hubungan saling mempengaruhi antara institusi, infrastruktur, pasar dan teknologi, namun demikian model ini telah dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam membuat kebijakan publik menekan deforestasi.
2.11. Pengelolaan Hutan di Swedia Setelah konferensi Rio de Jainero pada tahun 1992, pemerintah Swedia melakukan reformasi kehutanan dengan mengubah Undang-Undang Kehutanannya sehingga pada tahun 1993 di tetapkan undang-undang baru yang dinamakan Undang-undang Kehutanan Swedia tahun 1993. Undang-undang ini mulai diberlakukan pada tahun 1994,
dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa “Hutan adalah sumberdaya
Nasional yang harus dikelola sehingga memberikan manfaat berdasarkan kelestarian dan menjamin pelestarian keanekaragaman hayati” (Skogsstyrelsen, 1994). Undangundang kehutanan Swedia 1993 juga mengatur bahwa kepentingan produksi dan konservasi mempunyai prioritas yang sama. Kelestarian hutan bukan hanya memastikan produksi kayu dan kegunaan multiguna atas hutan saja, melainkan juga melestarikan keanekaragaman hayati. Hak kepemilikan atas hutan diakui secara jelas, sehingga terdapat hutan negara, hutan milik perorangan, hutan milik perusahaan, dan hutan milik komunitas (Nilsson, 1990)
Terhadap hutan yang dimiliki oleh negara, sejak tahun 1993 pemerintah
memberikan hak pengelolaan atas hutan negara kepada perusahaan kehutanan
52
“AssiDoman”, pemerintah memiliki saham sebesar 51 % dan sisanya 49% dijual ke pasar modal (Borealforest, 2010). Selanjutnya dijelaskan bahwa pemerintah sebagai salah satu pemilik hutan tidak terlibat langsung dalam urusan-urusan mikro. Pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan publik untuk memajukan kehutanan di seluruh wilayah negaranya. Tugas-tugas pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang berupa : (1) pemberian nasehat; (2) distribusi hibah pemerintah kepada pemilik hutan yang berhasil memenuhi syarat, (3) inventarisasi hutan, (4) aktifitas informasi, (5) urusan-urusan ekologik tertentu, (6) pengaturan timber scaling, dan (7) statistik kehutanan dan peramalan sektor kehutanan. Tugas-tugas pemerintah dan perusahaan tercermin dalam perbedaan ruang lingkup perencanaan kehutanan, menurut Ericson, Hedlund dan Thalin (1992) pemerintah tidak bisa atau tidak seharusnya membuat rencana untuk aktor-aktor individual, tetapi harus ; (1) membuat aturan main, (2) mendukung para aktor, dan (3) bertanggung jawab atas kegiatan tertentu. Adapun tujuan perencanaan kehutanan tingkat nasional disebutkan sebagai : (1) Menyediakan informasi kepada para pengambil keputusan politik untuk membuat kebijakan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, (2) untuk memberikan landasan bagi inisiasi, promosi, dukungan dan dalam hal tertentu melaksanakan pembangunan hutan, (3) memberikan informasi kepada aktoraktor finansial yang potensial, dan (4) memberikan landasan umum berupa informasi sebagai bahan diskusi berbagai pihak yang terkait. Sedangkan perencanaan di tingkat perusahaan harus diberikan fleksibilitas karena kondisi bisnis yang terus menerus berubah yang memerlukan pemutahiran rencana. Proses perencanaan harus dilihat sebagai proses yang kontinu yang memproduksi
53
pengalaman dan pengetahuan mengenai masalah yang harus dihadapi perusahaan. Oleh karenanya perencanaan pada perusahaan bukanlah sebuah skema yang dihasilkan oleh spesialis untuk mengoperasikan dengan segala resiko, melainkan hasil dialog antara spesialis dan eksekutif yang mendefinisikan tujuan atas operasional dan memberi arahan bagi eksekutif untuk mengisinya. Perencanaan pada tingkat bisnis terdiri dari (1) Perencanaan Strategis, (2) Perencanaan Jangka Panjang, dan (3) Rencana Operasional. Dijelaskan lebih lanjut bahwa perencanaan strategis berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak diketahui dan peluang-peluang ke depan. Oleh sebab itu studi dan peramalan tentang lingkungan perusahaan di masa yang akan datang merupakan elemen fundamental dalam perencanaan strategis. Perencanaan strategis dikaitkan dengan daur produksi pada area tertentu, dan setidaktidaknya meliputi satu rotasi. Perencanaan jangka panjang merujuk pada aktivitas yang luas dan memerlukan horison waktu tiga sampai 10 tahun atau lebih. Tujuan dan arah yang ditentukan pada rencana strategik diterjemahkan dan dinyatakan secara persis dalam bentuk biaya, penerimaan, dan lokasi geografis atas kegiatan-kegiatan yang bermacam-macam. Rencana Operasional umumnya terdiri dari rencana jangka menengah (hingga 5 tahun) dan rencana jangka pendek (maksimum satu tahun). Setiap orang yang akan melakukan penebangan hutan harus menyampaikan rencana penebangannya kepada kantor kehutanan setempat untuk diberikan petunjuk terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, apabila dalam 15 hari tidak ada petunjuk maka penebangan dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan rencana tersebut pemerintah memeriksa dan menilai kondisi setelah penebangan, jika hasilnya memenuhi aturan yang berlaku misalnya jumlah minimum tegakan sisa dan minimum
54
kerusakan hutan, maka pemerintah merencanakan besarnya hibah atau subsidi yang akan diberikan kepada yang bersangkutan untuk membiayai penanaman kembali. Nilsson (1990) juga menjelaskan bahwa hal-hal yang bersifat teknis tidak diurus oleh pemerintah secara langsung melainkan didevolusikan kepada para pemilik/ pengelola hutan. Para pemilik/pengelola hutan membentuk Federasi Pemilik Hutan Swedia (Skogsagarnas Riksforbund) untuk meningkatkan pendapatan finansial para anggotanya. Tujuan tersebut dicapai dengan mengkoordinasikan perdagangan kayu dan bantuan kepada pemilik tentang teknik-teknik logging dan silvikultur. Undang-undang kehutanan swedia juga mengatur hak-hak tradisional masyarakat Swedia yang berupa akses kehutan (right of common acces) setiap orang berhak melewati hutan milik siapapun, berhak menikmati lanskap, memungut jamur dan buah berry, dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Aktivitas berkendaraan dan berkemah lebih dari 24 jam diharuskan mendapat ijin dari pemilik/pengelola hutan.
2.12. Optimasi Produksi Multiproduk Pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat optimal adalah alokasi sumberdaya secara optimal sehingga dihasilkan manfaat yang maksimal. Dengan kata lain konsep pengelolaan hutan yang dikehendaki oleh Undang-undang adalah sebuah konsep produksi multiproduk (multiproducts production). Beattie dan Taylor. (1985) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi dalam produksi multiproduk sangat tergantung pada faktor produksinya yaitu apakah faktor produksi itu dapat dibagi (allocable factors) atau tidak dapat dibagi (non-allocable factors). Jika faktor produksi itu allocable maka untuk setiap jenis produk yang akan diproduksi dapat
55
diketahui berapa jumlah faktor produksi yang diperlukan untuk memproduksi produk yang satu dan berapa yang diperlukan untuk produk yang lainnya. Sementara itu jika faktor produksinya non-allocable maka tidak dapat diketahui jumlah yang diperlukan oleh masing-masing produk, namun terdapat jumlah minimum tertentu yang harus ada agar produk-produk tersebut dapat diproduksi. Dalam hal ini juga perlu dipahami bahwa produksi multiproduk juga dihadapkan pada hubungan saling ketergantungan (interdependensi) antara produk yang satu dengan yang lain. Hubungan-hubungan ini secara matematik digambarkan oleh Beattie dan Taylor (1985) seperti gambar 8.
x 11
P1 : F1 (y1 , y2, z , x11) = 0
y1
P2 : F2 (y1 , y2, z , x12 ) = 0
y2
z
x 12
Gambar 8. Ilustrasi Alokasi Faktor Produksi Allocable dan Non-allocable dalam Proses Produksi Multiproduk Dalam konsep ini x adalah faktor produksi yang allocable dan untuk memproduksi produk y 1 dan produk y 2 yang dilakukan melalui proses produksi P 1 dan P 2 maka x tersebut dapat dibagi menjadi x 11 yang diperlukan untuk menghasilkan y 1 dan x 12 untuk memproduksi y 2. Sedangkan faktor produksi yang
non-allocable
digunakan secara bersama-sama oleh proses produksi P 1 dan proses produksi P 2. Terdapat hubungan ketergantungan antara produksi y 1 dan produksi y 2 . Adanya
56
konsep interdependensi antara satu produk dengan produk lainnya, dalam hubungannya dengan produksi hasil hutan, konsep tersebut dapat dikaitkan dengan konsep ekosistem hutan alam. Cara pandang bahwa hutan adalah sebuah ekosistem telah diterima secara luas, pandangan ini telah diadopsi dalam undang-undang kehutanan sebagaimana tercantum dalam ayat (2) pasal 1, UU No. 41/1999 yang mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Kedudukan hutan dalam cara pandang bangsa Indonesia telah ditem-patkan pada posisi yang sangat tinggi, dalam mukadimah undang-undang kehutanan butir (a) dan butir (b) hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan yang wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, karena hutan juga dipandang sebagai penentu sistem penyangga kehidupan. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Hamilton (1993), bahwa kontaminasi atas ekosistem bukan hanya menjadi racun bagi tetumbuhan dan binatang-binatang tetapi juga mengganggu proses berfungsinya ekosistem, sehingga berperan terhadap terjadinya kepunahan dan mempengaruhi sistem penyangga kehidupan. Pengelolaan hutan adalah tindakan optimasi yaitu upaya untuk menghasilkan keuntungan (manfaat) secara maksimal pada situasi kendala (constraints) pengelolaan hutan tertentu. Beattie, et al (1985) menjelaskan bahwa titik optimal terjadi saat kurva isorevenue bersinggungan dengan kurva rate of production transformation. Titik singgung dari setiap jenis produk yang disebut sebagai Output expansion path, adalah merupakan pilihan-pilihan optimal yang tersedia. Ilustrasi tentang kondisi optimal dengan menggunakan satu faktor produksi allocable dengan dua pilihan jenis produk dan kondisi pasar bersaing secara sempurna dan tidak sempurna adalah seperti gambar 9.
57
Y2 Y2
Kurva transformasi produk
Output expantion path
Isorevenue
Y1
0
0
a. Pesaingan tidak sempurna
Y1 b. Pasar bersaing sempurna
Gambar 9. Produksi Optimal pada Pasar Bersaing Sempurna dan Tidak Sempurna
Dengan demikian produksi yang optimal terjadi apabila produksi dari setiap jenis produk berada pada titik-titik maksimum yang dapat dicapai pada kendala tertentu. Jumlah keseluruhan dari setiap tingkat produksi maksimum tersebut merupakan tingkat produksi optimal yang dapat dilakukan pada setiap unit produksi tertentu.
2.13. Metode Analisa Qualitatif dan Quantitatif Neuman (1997) menyatakan bahwa pada penelitian qualitatif, konteks merupakan aspek yang penting, artinya penelitian qualitatif akan memperhatikan hal-hal yang melingkungi obyek yang diteliti. Peristiwa yang sama yang terjadi pada konteks yang berbeda dapat mempunyai arti yang berbeda. Berbeda dengan penelitian quantitatif
58
yang menghimpun data dari berbagai kasus, pada penelitian kualitatif dapat memfokuskan pada satu atau beberapa kasus, kemudian mendalaminya hingga mendapatkan informasi secara detail. Proses imersi (imersion) memperkaya pemahaman peneliti atas konteks yang sedang ditelitinya.
Penelitian qualitatif
diawali dengan sebuah pertanyaan penelitian, sementara teori dibangun bersamaan dengan pengumpulan data, penelitian qualitatif tetap terbuka pada perubahan, sehingga dapat saja di tengah jalan terjadi perubahan pertanyaan. Penelitian qualitatif membangun
teori
dengan
membuat
perbandingan.
Penelitian
qualitatif
memperhatikan urutan kejadian, mana yang pertama, kedua dan seterusnya, karena penelitian qualitatif memperlajari satu kasus yang sama sehingga dapat diketahui isue yang berkembang, konflik yang timbul, hubungan sosial yang terjadi. Dalam mengintepretasikan data yang berupa teks atau kata-kata, peta, photo dan lain-lain, penelitian kualitatif mencari makna dari data tersebut yaitu dengan mencari tahu apa motivasi atau alasan terjadinya suatu tindakan. Hasil tersebut merupakan interpretasi tahap pertama, yang dilanjutkan dengan interpretasi tahap ke dua, menghubungkan berbagai makna tersebut, karena makna dibangun dari berbagai makna, bukan dari ruang hampa, interpretasi tahap kedua mengaitkannya dengan konteks yang sedang dihadapi pada penelitian. Beberapa penelitian dapat berhenti sampai pada interpretasi tahap kedua, namun dapat pula dilanjutkan sampai tahap ke tiga untuk membangun teori yang signifikan. Penelitian ini berhubungan dengan pendalaman makna teks yang tertuang dalam berbagai peraturan-peraturan, oleh karenanya pendekatan qualitatif lebih tepat digunakan. Disamping itu pengalaman peneliti yang telah bekerja selama lebih dari
59
20 tahun di Departemen Kehutanan, merupakan proses imersi yang mendalam yang menbantu dalam menangkap informasi guna melakukan interpretasi tahap kedua, maupun dalam menangkap makna dari interpretasi tahap pertama. Untuk memberikan pemahaman tentang pengaruh struktur terhadap perliku, disamping data qualitatif tersebut terdapat pula informasi qualitatif yang di tabulasikan menjadi data quantitatif. Guna mengetahui hubungan keeratan antara variable-variabel perilaku perusahaan, maka dilakukan analisa quantitatif dengan menggunakan uji keeratan (independent test) dengan Chi Square Test.
2.14. Kerangka Penelitian Berdasarkan berbagai informasi tersebut diatas dan untuk mencapai tujuan seperti yang disebutkan pada Bab I, maka untuk mengkaji masalah institusi yang ada dilakukan dengan mempelajari keterkaitan/respon antara struktur-perilaku dan kinerja. Gambar 10 memperlihatkan kerangka penelitian yang menggambarkan keterkaitan tersebut. Kinerja pengelolaan hutan dicerminkan oleh keberhasilannya membangun stok tegakan hutan, dan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan (rentabilitas). Kinerja tersebut merupakan respon atas perilaku perusahaan dalam menyikapi aturan main yang berlaku dan perilaku pemerintah dalam menegakkan aturan main tersebut. Sedangkan perilaku adalah respon dari struktur institusi yang dalam hal ini adalah berupa peraturan-peraturan yang diberlakukan setelah reformasi institusi kehutanan dilakukan pada tahun 1999.
60
Kinerja :
GROWING
Perilaku
Struktur :
RENTABILITAS
AFP
TAT
PAL
AKU
VMI
MO
RIV
BIN
TEK
SDM
EVA
PAK
PEL
SIL
RUS
TTG
LIK
SOL
RAS
RIA
INV
LIN
GNG
PAR
UK
KPA
STRATA HAK
STATUS ASSET
ENFORCEABILITY
KONFLIK
TRANSAKSI
INFORMASI
LUAS
TRANSFER
EXCLUDE
MANAGE
ACESSS
Gambar 10. Kerangka Penelitian “Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja
T
61
Dalam rangka mengetahui efektifitas struktur institusi yang dibangun, maka dilakukan penelaahan atas substansi peraturan perundangan yang berlaku, dengan kerangka pemikiran pada Gambar 11.
Pilihan Efektifitas Institusi
Property Right Asymetric Information
ATURAN
Produktif
Perversion of Power Status Asset Hutan
PENEGAKAN
Aturan yg Konflik
Transfer
High Transaction cost Gambar 11. Kerangka Penelitian Substansi Peraturan
2.15. Posisi Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian Kartodihardjo (1998), penelitian menggunakan data contoh 60 perusahaan HPH dan rentang waktu peraturan yang diteliti antara tahun 1985 sampai dengan 1995 dengan kesimpulan bahwa institusi yang berlaku pada pengusahaan hutan dengan pola HPH tidak mampu mengarahkan perilaku perusahaan untuk mengelola hutan secara lestari. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dengan pola HPH, pemerintah dan pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan ijin-ijin yang diberikan yang ditengarai dari banyaknya kegiatan penebangan liar. Demikian pula perusahaan tidak dapat mengontorol areal kerjanya karena konsesi yang terlalu luas.
62
Perusahaan tidak melaksanakan kewajiban yang ditunjukkan dengan biaya investasi yang terlampau rendah dibandingkan dengan rencana investasi yang dihitung berdasarkan standar yang berlaku. Dana perusahaan banyak digunakan untuk membiayai biaya transaksi yang tinggi yang timbul akibat prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah menjalankan fungsinya dengan kebijakan administratif yang bersifat comand and control, mereduksi manajemen hutan menjadi manajemen teknik. Dalam hubungannya dengan perusahaan, pemerintah terjebak dalam perilaku opportunistik sehingga hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemeintah untuk mendorong pengelolaan hutan lestari menjadi tidak dapat dijalankan. Institusi yang dibangun dan dijalankan menimbulkan berbagai macam konflik kepentingan di lapangan seperti konflik antara perusahaan, masyarakat, pemerintah daerah dan sektor-sektor lain. Konflik-konflik ini juga berkaitan dengan batasan hak yang diberikan kepada HPH yang hanya sebagai pengguna saja. Selain Kartodihardjo (1998), terdapat Mardipriyono (2004) yang dalam penelitian pada program Master di IPB mencermati biaya transaksi yang timbul berkaitan dengan institusi pengelolaan hutan alam produksi. Sementara itu Darusman dan Bahruni (2003), mencari jawaban atas kinerja pengelolaan hutan alam produksi dari perbedaan struktur biaya produksi pada perusahaan yang mempraktekkan pengelolaan hutan lestari dan perusahaan yang tidak mempraktekkan pengelolaan hutan lestari. Berbeda dengan sebelumnya adalah penelitian ini akan mengetahui letak perbedaan pengaruh institusi sebelum tahun 1999 dengan institusi sesudah reformasi
63
institusi tahun 1999, hasil penelitian Kartodihardo (1998) menjadi informasi yang digunakan sebagai pembandingnya. Yang kedua dapat diperoleh pemahaman tentang struktur institusi yang dikehendaki oleh Undang-Undang Kehutanan yang baru yaitu UU. 41/1999, pemahaman ini akan menjadi dasar untuk mengetahui perilaku/respon pemerintah dalam menjalankan misi perubahan yang diinginkan oleh reformasi institusi. Ketiga penelitian ini berupaya untuk mengetahui posisi hirarki institusi dan kebijakan yang dibangun oleh pemerintah dalam konteks hubungan makro-meso dan mikro, dan dalam hubungan kebijakan publik-privat, sehingga dapat diperoleh penjelasan kecenderungan perilaku pemerintah. Sementara untuk mengetahui perilaku perusahaan dalam merespon institusi yang baru digunakan data hasil Penilaian Kinerja Perusahaan IUPHHK pada tingkat Unit Manajemen tahun 2008 dan 2009. Selain itu untuk mendapatkan latar belakang yang mempengaruhi perilaku, dilakukan penelitian tentang unsur-unsur yang dapat menyebabkan institusi menjadi tidak efektif, yaitu apakah institusi yang baru telah terbebas dari unsur-unsur tersebut akan menjadi fokus perhatian dari penelitian ini. Diharapkan bahwa penelitian ini dapat mengisi bagian-bagian yang belum dapat dijelaskan oleh penelitian sebelumnya dalam menjawab pertanyaan besar mengapa hutan Indonesia masih terus semakin rusak.
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Data dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bogor, dan menggunakan data dan informasi yang berupa peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah yang berhubungan dengan pengengelolaan hutan alam produksi. Peraturan-peraturan yang akan dipelajari terdiri dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan tingkat Menteri Kehutanan yang berhubungan erat dengan pengusahaan hutan produksi alam, yang diterbitkan setelah tahun 1999 sampai dengan 2007, dan beberapa peraturan yang terbit sesudahnya digunakan sebagai bahan bahasan. Untuk mengetahui respon/perilaku dan kinerja digunakan data hasil penilaian kinerja tingkat unit manajemen tahun 2008 dan 2009 dari 40 perusahaan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan, dan hasil-hasil penelitian terdahulu seperti Kartodihardjo (1998), Darusman dan Bahruni (2003) dan Mardipriyono (2004), serta data statistik kehutanan yang terkait.
3.2. Contoh Perusahaan Penerima IUPHHK Data perusahaan IUPHHK sebanyak 40 unit perusahaan diambilkan dari laporan hasil penilaian kinerja unit manajemen tahun 2008 dan 2009 yang ada di Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Data perusahaan tersebut diklasifikasikan berdasarkan kelas umur perusahaan dan kelas luas konsesi seperti pada Tabel 5.
65
Tabel 5.
Data Perusahaan Contoh Berdasar Kelas Umur dan Luas Konsesi
Kelas Luas < 50.000 Ha 50.000 – 100.000 Ha >100.000 Ha Jumlah
<10 6 4 0 10
Kelas Umur (tahun) 10-20 >20 9 2 8 4 5 2 22 8
Jumlah 17 16 7 40
Daftar perusahaan-perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada lampiran 1. Data penilaian kinerja ini dilakukan pada unit-unit manajemen, sehingga terdapat beberapa perusahaan yang mempunyai unit manajemen lebih dari satu, oleh sebab itu dalam satu perusahaan dapat diperoleh lebih dari satu nilai kinerja.
3.3. Metode Analisis Analisis yang dilakukan pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang konsep hubungan “Struktur, Respon, Kinerja”. Yang dimaksudkan sebagai struktur adalah peraturan-peraturan di bidang pengusahaan hutan, sedangkan respon adalah perilaku perusahaan dalam menyikapi peraturan tersebut dan kinerja adalah hasil akhir tindakan perusahaan yang berupa kondisi potensi tegakan (stok) dan tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan. Konsep hubungan tersebut diilustrasikan pada gambar 10 pada Bab terdahulu. 3.3.1. Analisis Isi Peraturan Analisis isi peraturan digunakan metode analisis successive approximation dan analytic comparation, pemahaman makna peraturan melalui identifikasi issue atau
66
aturan tertentu yang ada pada Undang-undang dan selanjutnya dilakukan pendalaman dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah yang terkait serta didalami lagi melalui Peraturan Menteri. Interpretasi dilakukan atas tiga tingkatan peraturan. Disamping itu untuk
mengetahui
perubahan
yang
terjadi
data
atau
informasi
tersebut
diperbandingkan dengan aturan yang setara dengan metode analitic comparation. Untuk mengetahui perubahan institusi pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia yang telah terjadi setelah tahun 1999 dilakukan dengan membandingkan peraturan-peraturan yang berlaku sebelum tahun 1999 dan sesudah tahun 1999. Adapun peraturan yang ditinjau adalah peraturan sampai dengan tingkat Menteri Kehutanan. Dari segi substansi hal-hal yang akan dianalisa adalah yang berkaitan dengan arah perubahan UU, faktor penyebab institusi tidak efisien : hak properti, status asset, informasi tidak simetrik, perversi kekuasaan, konflik kepentingan, biaya transaksi dan penegakan aturan. Definisi kelengkapan dan efektifitas hak properti perusahaan ditinjau berdasarkan konsep Schlager dan Ostrom (1992) yaitu dengan meninjau keberadaan strata hak yang berupa hak-hak access and withdrawal, management, exclusion, alienation, menurut peraturan yang berlaku dan Keputusan Menteri Kehutanan yang berhubungan dengan pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Konsistensi dalam mengatur hubungan kontraktual, ditinjau dari segi keberadaan perversi kekuasaan (perversion of power), yaitu keberadaan dari peraturan yang dimaksudkan atau menyebabkan terjadinya pengambilan keuntungan atas beban pihak lain. Keberadaan perversi ini dapat berupa pengalihan pelaksanaan tanggung jawab sesuatu hal demi mencapai tujuan yang menjadi akuntabilitasnya, atau dapat
67
pula berupa pengaturan persyaratan dan prosedur yang memberikan peluang pengambilan keutungan kepada para pencari rente, dan pengaturan hal-hal mikro yang menjadi domain privat. Untuk keperluan analisis ini digunakan tabel 6. Tabel 6. Blanko Penanggung Beban dan Pengguna Manfaat berdasarkan Kontrak IUPHHK No
Jenis Kewajiban
Hasil Akhir / Kegunaan
Penanggung Beban Pengguna Langsung Perusahaan Pemerintah Perusahaan Pemerintah
Tabel 6 ini dapat menunjukkan apakah peraturan atau kontrak yang diberlakukan terdapat perversi atau pengalihan tanggung jawab kepada pihak lain sementara manfaat tetap dinikmati oleh pihak yang bersangkutan. Mengenai status asset, yang dimaksudkan sebagai asset disini adalah tegakan hutan, dalam berbagai peraturan disebutkan bahwa perusahaan berkewajiban melakukan reinvestasi untuk memastikan terjadinya pengelolaan hutan lestari. Setiap investasi berhubungan dengan pembentukan asset, sehingga perlu dipastikan berdasarkan aturan yang ada apakah biaya-biaya jangka panjang yang berkaitan dengan penanaman dan pemeliharaan hutan diakui sebagai asset dan siapa yang akan menjadi pemilik asset yang berupa stok tegakan. Sedangkan informasi yang tidak simetrik dilihat dari cara-cara pemerintah memperoleh informasi untuk kepentingan perencanaan, pemberian ijin, dan pemantauan dan evaluasi perusahaan, berdasarkan peraturan yang belaku. Konflik kepentingan dapat dilihat dari penempatan wewenang pada hirarkhi institusi dan pada kuadran kebijakan.
68
Penegakan
aturan
dilakukan
dengan
membandingkan
tingkat
kepatuhan
perusahaan terhadap aturan main dengan data pengenaan sanksi oleh pemerintah.
3.3.2. Pemetaan Makro, Meso dan Mikro Untuk mengetahui kedudukan hirarki institusi dan kebijakan, yaitu dengan membandingkan hirarki yang dikehendaki undang-undang dengan hirarki makromeso-mikro dan hirarki kebijakan publik dengan metode analytic comparation. Selanjutnya diperbandingkan dengan aturan pelaksanaannya. Pemetaan peringkat kebijakan makro, meso dan mikro dilakukan melakui dua tahap. Pertama mempelajari jenis urusan yang diatur dan mengklasifikasikannya ke dalam tingkatan makro, meso dan mikro berdasarkan substansi yang diatur, yaitu apakah mengatur hal-hal yang menjadi isu atau urusan bersama atau individu dan apakah cakupan pengaruhnya nasional, lintas provinsi dan lintas kabupaten (makro); mencakupi urusan tingkat kabupaten, atau lintas kesatuan pengelolaan hutan (meso), atau hanya spesifik lokasi atau individu tertentu saja (mikro). Kedua mempelajari peletakan kewenangan dari urusan-urusan tersebut kepada organisasi tingkat makro (Menteri, Dirjen, Gubernur), organisasi tingkat meso (Bupati atau Walikota dan jajarannya) dan organisasi tingka mikro (pengelola KPHP, perusahaan, perorangan). Berdasarkan kedua informasi tersebut, jenis-jenis urusan diletakkan kedalam Tabel 7 hubungan institusi makro, meso dan mikro. Selanjutnya berdasarkan Tabel 7 dilakukan pemetaan peletakan kewenangan atas suatu urusan pada organisasi tingkat makro, meso dan mikro dengan menggunakan matriks peta Gambar 12
69
Tabel 7. Hubungan Institusi Makro, Meso dan Mikro berdasarkan Peraturan
KEWENANGAN
Substansi / urusan yang diatur
Individu / Bisnis
Tingkat Urusan Lintas Lintas KPH Kab/ Kota
Lintas Prov
Tingkat Kewenangan Individu Lintas Lintas Lintas / Bisinis KPH Kab/ Prov Kota
MAKRO (Menteri) MAKRO (Gubernur) MESO (Bupati) MIKRO (KPH/bisnis NAMA PERATURAN
MIKRO (individu)
MESO (lintas KPH)
MAKRO (lintas Kab) URUSAN
MAKRO (LINTAS Prov)
Gambar 12. Format Peta Peletakan Kewenangan Urusan berdasarkan Peraturan Tertentu Berdasarkan peta ini dapat diketahui apakah urusan-urusan tertentu telah ditempatkan kewenangannya pada organisasi yang sesuai atau belum. Terdapat tiga kemungkinan yang dapat terjadi, kemungkinan pertama adalah terjadi penarikan keatas yaitu peletakan wewenang suatu urusan pada organisasi yang lebih tinggi, pada gambar tersebut tercermin adanya urusan-urusan yang berada di atas garis (sel) diagonal. Dalam hal ini terdapat peluang untuk dilakukan dekonsentrasi, desentralisasi atau devolusi. Kemungkinan kedua urusan telah diletakkan secara tepat yaitu apabila berada pada sel-sel diagonal atau bagian yang diarsir. Kemungkinan
70
ketiga adalah urusan ditempatkan pada organisasi yang kedudukannya lebih rendah, yaitu apabila berada pada sel-sel dibawah diagonal.
Jika baris “Kewenangan”
sebagai ordinat (sumbu Y) dan kolom “Urusan” sebagai axis (sumbu X), maka posisi kebijakan dan institusi akan terklasifikasi kedalam 16 kelompok sebagai berikut : Institusi (1,1) : kebijakan dan institusi tingkat mikro telah diletakkan secara tepat pada tingkat yang semestinya Institusi (1,2) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat mikro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingka meso Institusi (1,3) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat mikro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat makro (povinsi) Institusi (1,4) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat mikro tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat makro (nasional/pusat) Institusi (2,1) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat meso tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat mikro Institusi (2,2) :
kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat meso telah diletakkan pada organisasi dengan kewenangan yang tepat.
Institusi (2,3) :
kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat meso tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat makro (Provinsi)
Institusi (2,4) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat meso tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat makro (Pusat/nasional) Institusi (3,1) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (provinsi) tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat mikro Institusi (3,2) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (provinsi) tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat meso Institusi (3,3) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (provinsi) telah diletakkan secara tepat Institusi (3,4) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (provinsi) telah diletakkan pada institusi makro (pusat /nasional)
71
Institusi (4,1) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (pusat/nasional) tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat mikro Institusi (4,2) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (pusat/nasional) tetapi secara aktual ditempatkan pada tingkat meso Institusi (4,3) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (pusat/nasional) secara aktual diletakkan pada tingkat provinsi Institusi (4,4) : kebijakan dan institusi seharusnya berada pada tingkat makro (nasional) telah diletakkan pada institusi makro (pusat /nasional)
3.3.3. Analisis Kuadran Kebijakan Metode yang digunakan adalah membandingkan kesesuaian struktur yang dibangun dengan hirarki kebijakan publik. Untuk mengidentifikasi kebijakankebijakan termasuk dalam wilayah kebijakan publik, quasi publik atau privat dilakukan dengan memetakannya ke dalam diagram kuadran kebijakan. Untuk memetakannya digunakan kriteria sebagai berikut : Tabel 8. Kriteria Identifikasi Jenis Kebijakan
No 1 2
3 4 5 6
Kiteria Kepentingan umum /bersama Penegakan aturan tentang hubungan antar warga negara dan antara warga negara dengan pemerintah Manfaat kebijakan lebih banyak dinikmati oleh pengguna tidak langsung Kepentingan individu Penanggung jawabnya adalah pemerintah (institusi makro dan meso)) Penanggung jawabnya individu (institusi mikro)
Kebijakan Quasi Publik Privat Publik x x x
x x
x x
x
72
Berdasarkan tabel diatas kebijakan tersebut dapat dipetakan ke dalam kuadran kebijakan pada Gambar 13. Lingkup Isu/Urusan/Masalah/Manfaat
Individu/Perusahaan/KPHP Organisasi Publik
Penanggung jawab pertama
Individu
Masyarakat/Bersama
Kuadran I
Kuadran II
Operasional Perusahaan
Quasi Publik
Kuadran III kebijakan Penegakan aturan publik (Kebijakan publik khusus)
Kuadran IV Kebijakan Publik
Gambar 13. Format Peta Kuadran Kebijakan
3.3.4. Analisis Respon Terhadap Aturan Respon perusahaan terhadap peraturan dan kebijakan diketahui dari data hasil penilaian kinerja unit pengelolaan hutan produksi lestari tahun 2008 dan 2009. Respon perusahaan adalah berupa informasi tindakan-tindakan perusahaan yang dicerminkan dalam variabel yang dinamakan sebagai “verifier” yang telah dilakukan verifikasi lapangan oleh Tim Penilai Independen. “Verifier” adalah data atau informasi yang membandingkan antara ketentuan, standard atau aturan dengan kondisi pelaksanaannya di lapangan. Dengan demikian data ini merupakan informasi kondisi riil lapangan yang terkini yang telah divalidasi oleh Tim Penilai Independen.
73
Data ini meliputi kemampuan perusahaan memenuhi persyaratan pengelolaan hutan lestari, data tentang pelaksanaan kegiatan produksi, data tentang pengelolaan aspek ekologi dan pengelolaan aspek sosial. Variable-variabel yang dipelajari dalam penelitian ini terdiri dari sejumlah 27 variabel yang menunjukkan respon perilaku perusahaan. Variabel-variabel tersebut adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Daftar Variabel Respon Perusahaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
KODE 112 AFP 113 TAT 114 PAL 115 AKU 123 VMI 131 MOD 132 RIV 133 BIN 142 TEK 143 POT 152 SDM 164 EVA 211 PAK 22 PEL 232 SIL 233 RUS 241 TTG 252 LIK 253 SOL 254 REN 262 RAS 263 RIA 27 INV 324 LIM 325 GNG 453 PAR 454 UKM
RESPON YANG DINILAI Kesesuaian Areal dengan fungsi Produksi Realisasi Tata Batas Kondisi Tata Batas Pengakuan para pihak atas existensi areal UM Kesesuaian Visi, Misi dg Implementasi PHL Peningkatan modal perusahaan Re-investasi ke hutan Realisasi Fisik Pembinaan dan Perlindungan Hutan Kesesuaian implementasi teknis dg aturan Kecukupan potensi tegakan menurut peraturan Keberadaan tenaga profesional di lapangan Mekanisme pengambilan keputusan, Evaluasi, Feed back Rencana Penataan areal kerja, pertimbangkan ekologi-sos Tingkat Pemanenan Lestari jenis kayu/hhbk per jenis Implementasi SOP seluruh tahapan Silvikultur Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Penerapan teknologi tepat guna Likuiditas keuangan perusahaan Solvabilitas keuangan perusahaan Rentabilitas Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tahunan Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap tegakan Investasi pemanfaatan, administrasi, litbang, SDM Implementasi perlindungan hutan Eskalasi gangguan hutan Mekanisme partisipasi masyarakat dlm ekonomi Peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat
74
Untuk menjalankan aturan-aturan di bidang pengelolaan hutan alam, Pemerintah mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Dalam penelitian ini tugas-tugas tersebut dibatasi pada pemenuhan syarat perlu (necessary conditions) khususnya pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan penegakan aturan. Informasi tentang pembentukan KPHP diperoleh dari data statistik kehutanan, sedangkan penegakan aturan oleh pemerintah diperoleh dari kesenjangan sanksi yang seharusnya diberikan dengan realisasi yang dikenakan pada 40 perusahaan contoh dan data statistik penanganan tindak pidana kehutanan.
3.3.5. Analisis Korelasi Memperhatikan Gambar 10 maka melalui analisa ini diharapkan dapat diketahui hubungan yang terjadi antara respon perusahaan atas peraturan yang berlaku terhadap kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan terdiri dari kondisi stok tegakan yang dihasilkan selama perusahaan beroperasi, dan rentabilitas yang dicapai oleh perusahaan. Stok tegakan (POT) adalah hasil penilaian yang diperoleh perusahaan atas kondisi potensi tegakan hutan dibandingkan dengan persyaratan peraturan, nilai ini didapatkan dari verifier no. 143 pada dokumen penilaian hasil kinerja, yang diklasifikasikan kedalam nilai baik, sedang dan buruk berdasarkan kriteria yang berlaku menuruk Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 42/Kpts/VI-PHP/2003 tentang Teknis Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam di Unit Manajemen, yang telah diubah dengan keputusan No. P.03/VI-BPHA/2007. Adapun rentabilitas (REN) adalah capaian nilai hasil penilaian kinerja unit manajemen yang berupa verifier no 254 pada dokumen
75
penilaian hasil kinerja. Selain itu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kerusakan hutan dilakukan uji korelasi terhadap variabel RUS. Korelasi kinerja dari 40 perusahaan contoh ditentukan dengan analisa korelasi berdasarkan 24 variabel pada Tabel 9. Untuk mengetahui korelasi antara umur kepemilikan ijin usaha oleh perusahaan, luas konsesi dan dukungan modal pada perusahaan, dengan nilai akhir capaian kinerja perusahaan tingkat unit manajemen digunakan analisa Chi Square sebagai beikut :
Tabel 10. Kontengensi Uji Chi Square Kelas Kinerja Kelas Umur / Jumlah Luas/ Modal Baik Sedang Buruk 1 a 11 a 12 a 13 S1 2 a 21 a 22 a 23 S2 3 a 31 a 32 a 33 S3 Jumlah T1 T2 T3 G Sumber : SAS Institute (1990) Uji independensi sebagai berikut : X2 = 1/G ∑ ij {(Gaij – SiTj)2/SiTj} , derajad bebas (r-1) (c-1) dimana , i : kelas umur, kelas luas dan kelas modal j : kelas kinerja baik, sedang, buruk
Analisa korelasi atas ke 24 variabel terhadap kondisi stok, keuntungan perusahaan dan tingkat kerusakan hutan digunakan teknik yang sama seperti pada uji korelasi terhadap umur, luas dan modal.
IV. PERUBAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Setelah Undang-undang kehutanan no. 5 tahun 1967 diubah menjadi Undangundang no. 41 tahun 1999, sistem pengusahaan hutan produksi alam diberikan melalui ijin-ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan kayu dan ijin usaha pemungutan hasil hutan. Disamping itu tujuan pengelolaan hutan produksi yang semula adalah “untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat” (ps 13, ayat 1, UU No. 5/ 1967) berubah menjadi “untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”. Untuk mendapatkan gambaran tentang arah perubahan peraturan di bidang pengelolaan hutan maka dilakukan penelusuran peraturan dengan fokus pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Pertama perlu diketahui tujuan yang akan dicapai, kemudian perlu diketahui kedudukan institusi IUPHHK dalam hirarki institusi kehutanan terutama untuk menjawab kerancuan tentang posisinya sebagai pengelola atau pemanfaat. Selanjutnya
perlu dijawab pula
kedudukan
institusi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di dalam system kehutanan, kejelasan tentang kedudukan KPHP akan memperjelas perannya agar dapat dibedakan dengan peran pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian pembagian peran para pihak tersebut dipetakan berdasarkan tingkatan organisasi mikro, meso
77
dan makro, dan peletakan wewenang dalam konteks kuadran kebijakan untuk mengetahui kecenderungan birokrasi dalam mengatur sistem kehutanan.
4.1. Tujuan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Pada bagian ini dicari jawaban atas pertanyaan apa tujuan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, khususnya hutan produksi sehingga dapat diperoleh gambaran tentang arah perubahan yang diinginkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dipelajari isi dari pasal-pasal dalam undang-undang yang menyangkut tujuan. Tujuan pemanfaatan hutan ditetapkan dalam pasal (23) UU. 41/1999 yaitu untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam penjelasannya disebut bahwa manfaat optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari, sedangkan makna berkeadilan adalah apabila pemanfaatan dapat disitribusikan secara berkeadilan melalui peran serta masyarakat yang semakin berdaya dan berkembang potensinya. Selanjutnya Pasal 4, menyatakan bahwa seluruh hutan dikuasai oleh negara, penguasaan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pada pasal 10 disebutkan bahwa tujuan dari pengurusan hutan adalah untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna dan lestari. Pengertian tentang manfaat serbaguna yang dimaksudkan oleh undang-undang ini dapat diambil dari paragraph 7 penjelasan umum sebagai berikut :
78
“……Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan hutan lainnya seperti plasma nutfah dan jassa lingkungan sehingga manfaat hutan lebih optimal”.
Sementara paragraph 8 lebih spesifik menjelaskan optimasi pada hutan produksi sebagai berikut : “Dilihat dari sisi fungsi produksinya, dan keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat”
Inti dari perubahan tersebut terletak pada tiga hal penting, yaitu perubahan dari orientasi kayu menjadi orientasi sumberdaya, manfaat maksimal dan distribusi berkeadilan. Perubahan orientasi diaktualisasikan dengan produksi berbagai macam hasil hutan berupa kayu, non-kayu dan jasa lingkungan melalui optimasi pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Sedangkan keadilan yang dimaksudkan adalah distribusi atas manfaat yang diproduksi dari aktivitas pengelolaan hutan. Hal ini perlu mendapat perhatian agar tidak dikaburkan dengan distribusi lahan, atau hak pengelolaan hutan. Dengan demikian tujuan dari perubahan tersebut dapat dicapai melalui optimasi pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat sebesar-besarnya, dan atas hasil produksi yang maksimal ini kemudian dilakukan distribusi secara berkeadilan.
79
4.2. Hirarki Organisasi Kehutanan Bagaimanakah stuktur atau hirarki organisasi kehutanan yang dibangun untuk mencapai tujuan yang dikehendaki ?
Pertanyaan ini akan dijawab dengan
mempelajari isi undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan. Untuk menjawabnya dapat dimulai dengan memperhatikan pasal 4 dimana pemerintah bertindak mewakili negara yang mempunyai wewenang mengatur dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Wewenang sebagai pengurus diatur pada pasal 10 yaitu bahwa pengurusan hutan meliputi penyelenggaraan (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan, dan (4) pengawasan. Pasal ini menunjukkan hubungan struktur antara pengurusan dengan pengelolaan dimana pengelolaan hutan merupakan bagian pengurusan hutan. Sedangkan tiga kegiatan lainnya tidak bersifat hirarkis karena ketiganya unsur-unsur pendukung bagi penyelenggaraan pengurusan maupun pengelolaan hutan. Selanjutnya pasal 21, menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang dimaksudkan oleh pasal 10 meliputi kegiatan (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan (4) perlindungan dan konservasi alam. Keempat kegiatan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua hal yaitu kegiatan yang berupa proses untuk menghasilkan sesuatu dan kegiatan yang berupa tindakan atas hasil (output) dari proses yang pengelolaan hutan. Termasuk kelompok pertama adalah butir (1), (3) dan (4), sedangkan kelompok kedua adalah pemanfaatan hasil hutan dan kawasan. Dengan demikian terdapat hubungan hirarki antara pengelolaan dengan pemanfaatan. Jika
80
diperhatikan pada pasal 17, dapat diketahui pula bahwa di dalam pengelolaan hutan juga dikenal hirarki yang terdiri dari pengelolaan hutan wilayah provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Kemudian pada pasal 22 dijelaskan bahwa kawasan hutan dibagi kedalam blok-blok dan kemudian dibagi lagi ke dalam petakpetak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaannya, melalui kegiatan tata hutan. Kegiatan tata hutan sendiri dimaksudkan untuk menciptakan prakondisi yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan hutan yang lebih intensif. Untuk memaknai pasal ini pertama perlu diperhatikan penjelasan pasal 17 tentang wilayah unit pengelolaan, yaitu bahwa unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil yang dapat dikelola secara efisien. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa pembagian blok dan petak tersebut dilakukan di dalam unit pengelolaan atau (KPH).
Hal yang belum dapat dijelaskan oleh undang-undang adalah dimana
pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dilakukan ? Apakah di wilayah pengelolaan hutan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok atau petak ? Untuk menjawab pertanyaan ini, dipelajari Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Pada pasal 2 (2) disebutkan bahwa “Kegiatan tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan di wilayah hutan dalam bentuk unit atau kesatuan pengelolaan hutan …….”. Berdasarkan ketentuan pasal ini diperoleh pemahaman bahwa pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dilakukan di KPH yang secara teknik pemanfaatan ini dilakukan pada petak atau blok di dalam KPH. Penting untuk dipahami pula bahwa tidak dikenal pemanfaatan pada tingkat wilayah kabupaten/kota
81
dan provinsi, outlet pemanfaatan hutan adalah KPH. Pengaturan ini telah mempunyai konsistensi dengan definisi KPH sebagai unit terkecil yang dapat dikelola secara efisien, pengelolaan ini akan menghasilkan produk/manfaat, oleh sebab itu hubunganhubungan yang terkait dengan pemanfaatan dilakukan pada tingkat KPH. Di dalam pasal 28 UU. 41/1999 dijelaskan jenis-jenis pemanfaatan di hutan produksi yang terdiri dari pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang diberikan melalui ijin-ijin usaha. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas diketahui bahwa untuk mencapai tujuan telah diatur hirarki organisasi kehutanan yang terdiri dari pengurusan, pengelolaan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok, petak, dan pemanfaatan hutan, pada masing-masing tingkatan mempunyai instrumen-instrumen pendukungnya sendirisendiri. Hubungan hirarki ini disampaikan pada gambar 14. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah wewenang yang diatur dalam hirarki organisasi kehutanan tersebut telah sesuai dengan hirarki makro, meso dan mikro?.
4.2.1 . Hubungan Organisasi Makro-Meso-Mikro Pengelolaan Hutan Alam Produksi
Hubungan organisasi pada berbagai tingkatan Makro-Meso dan Mikro, terindikasi diperkenalkan pada pasal 13 (3) UU. 41/1999, yaitu dengan adanya pengklasifikasian kegiatan inventarisasi tingkat nasional, wilayah, daerah aliran sungai dan tingkat unit pengelolaan.
Hal serupa juga ditunjukkan pada pasal 17, berupa pembentukan
wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan.
82
Dasar Aturan PENGURUSAN Pasal 4, Pasal 10 UU. 41/1999
Hirarki Organisai PENGURUSAN Perencanaan Kehutanan
LitBang, DikLat, Penyuluhan
Pengawasan PENGELOLAAN Pasal 10, pasal 17, pasal 21, pasal 22 UU.41/1999
PENGELOLAAN PROVINSI PENGELOLAAN KAB/KOTA PENGELOLAAN UNIT/KPH Rehabilitasi Reklamasi
Rencana Pengelolaan Tata Hutan
BLOK
PETAK PEMANFAATAN Pasal 28 UU.41/1999 Pasal 2 (2) PP. 34/2002
PEMANFAATAN
IJIN-IJIN USAHA PEMANFAATAN
Gambar 14. Hirarki Organisasi Kehutanan Berdasarkan UU. 41/1999 Aturan ini membagi pengelolaan hutan kedalam tiga tingkatan yang berdasarkan ayat (1) pasal 17 UU.41/1999 menjadi : (1) wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Provinsi adalah seluruh hutan di wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari.
83
(2)
wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan
dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari; dan (3) Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Unit Pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara lestari. Dengan demikian berdasarkan klasifikasi Goldman (2000) organisasi yang menangani wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi dan nasional dapat digolongkan sebagai institusi tingkat makro, sedangkan organisasi yang bekerja pada tingkat wilayah kabupaten/kota adalah institusi tingkat meso, dan organisasi yang menangani pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan (KPHP) adalah institusi tingkat mikro. Dihubungkan dengan penjelasan pasal 17 UU.41/1999, ruang lingkup urusan yang ditangani oleh masing-masing wilayah diatur seperti Tabel 11. Tabel 11. Ruang Lingkup Urusan Setiap Tingkatan Wilayah Pengelolaan Hutan Hirarki Makro
Meso
Mikro
Organisasi Pengelola Hutan Wilayah Tingkat Provinsi Pengelola Hutan Wilayah Tingkat Kabupaten/Kota
Pengelola hutan Tingkat Unit Pengelolaan (KPHP)
Ruang Lingkup Seluruh wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten / kota yang ada dalam provinsi Seluruh unit-unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya (KPHL, KPHP, KPHK, KPHKM,KPHA, KPDAS) yang ada di dalam wilayah kabupaten / kota Satu unit pengelolaan hutan terkecil yang mempunyai fungsi pokok produksi (KPHP)
Berdasarkan Table 11 telah terdapat pembagian fungsi unit-unit organisasi sesuai dengan peringkat makro-meso dan mikro, dimana kebijakan-kebijakan tingkat mikro diorganisasikan oleh KPHP, meso diorganisasikan oleh Pengelola Wilayah
84
Kabupaten, dan makro oleh Provinsi, dan oleh Menteri Kehutanan.
Table 12
menyajikan hubungan antar tingkatan terkait dengan perencanaan, kedudukan dan peran dari masing-masing tingkatan. Tabel 12. Hubungan Organisasi Tingkat Makro-Meso-Mikro Rencana Pengelolaan Hutan berdasarkan Pasal 13 (3) dan 17 (1) UU 41/1999 Hirarki
Makro
Meso
Mikro
Organisasi
Misi 1. Inventarisasi Hutan tingkat Nasional / Provinsi 2. Menyusun Rencana Kehutanan Nasional / Pengurusan Provinsi dan 3. Menetapkan fungsi dan penggunaan kawasan Pengelolaan hutan Tingkat Nasional / Provinsi Hutan 4. Menetapkan dan Mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan Tingkat 5. Menetapkan dan mempertahankan kecukupan Nasional/ penutupan hutan pada DAS atau pulau Provinsi 6. Optimalisasi manfaat, social, lingkungan dan ekonomi tingkat Nasional/Provinsi. 1. Inventarisasi Hutan Tingkat Kabupaten / Kota 2. Menyusun Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten / Kota Pengelolaan 3. Menetapkan fungsi dan penggunaan kawasan Hutan hutan Tingkat Kabupaten Tingkat 4. Menetapkan dan Mempertahankan kecukupan Kabupaten/ luas kawasan hutan Kabupaten Kota 5. Menetapkan dan mempertahankan kecukupan penutupan hutan pada DAS dalam Kabupaten 6. Optimalisasi manfaat, social, lingkungan dan ekonomi tingkat Kabupaten/Kota Wilayah 1. Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Tingkat Unit 2. Menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Pengelolaan produksi (KPHP)
Struktur berdasarkan jiwa undang-undang kehutanan tersebut di atas menunjukkan secara jelas batas-batas jurisdiksi pada setiap tingkatan organisasi. Dalam hal ini pelaku pemanfaatan adalah pelaku usaha, sedangkan manajemen hutan dilakukan
85
oleh organisasi KPHP, sedangkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat melaksanakan tugas-tugas pengurusan hutan dan pengelolaan hutan wilayah yang meliputi gabungan unit-unit pengelolaan hutan dengan peruntukan dan fungsi-fungsi pokok, lindung, konservasi, produksi, dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pemerintah tidak berhubungan secara langsung dengan pelaku usaha, hubungan pemerintah dengan pelaku usaha dilakukan melalui organisasi KPHP. Undang-undang kehutanan juga memandatkan kepada pemerintah untuk menjabarkan hal-hal yang diatur dalam undang-undang ke dalam aturan-aturan operasional. Bagaimana pemerintah menata tugas dan wewenangnya akan dijawab dengan mempelajari peraturan pemerintah no 34/2002. Tatanan yang dikehendaki seperti pada Gambar 13 tersebut mulai tidak konsisten pada saat dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002. Inkonsistensi ini berawal dari dasar pertimbangan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan dan bermuara pada pembagian kewenangan. Pada ayat (4) pasal 22 UU 41/1999, diatur bahwa berdasarkan blok dan petak yang dihasilkan dari kegiatan tata hutan disusun rencana pengelolaan jangka waktu tertentu, pasal ini menunjukkan bahwa rencana pengelolaan hutan adalah perencanaan tingkat mikro, yaitu perencanaan yang berhubungan dengan urusan-urusan individu unit manajemen terkecil (KPHP), karena pembagian blok dan petak hanya dilakukan di KPHP tidak dapat dilakukan di wilayah. Sejalan dengan pasal 4 undang-undang tersebut, maka (2) pasal 2 PP. No 34/2002 menegaskan bahwa kegiatan penyusunan rencana pengelolaan hutan produksi dilaksanakan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Hal ini
dapat digunakan untuk membedakannya dengan perencanaan kehutanan sebagaimana
86
dimaksudkan oleh pasal 20 UU 41/1999, yang dinyatakan “berdasarkan hasil inventarisasi (nasional, wilayah, DAS dan Unit pengelolaan), factor lingkungan, dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan”. Dua pasal tersebut dimaksudkan untuk membedakan rencana tingkat makro-meso dengan rencana tingkat mikro, rencana kehutanan tergolong sebagai rencana tingkat makromeso dan rencana pengelolaan hutan adalah rencana tingkat mikro. Kedudukan rencana pengelolaan hutan pada tingkat mikro diperkuat oleh ayat (3) pasal 14 PP. 34/2002, bahwa rencana pengelolaan hutan memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi pengendalian, pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Jelas bahwa rencana ini berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan individual unit pengelolaan hutan, bukan wilayah pengelolaan hutan kabupaten yang terdiri dari berbagai macam unit-unit pengeloaan (KPHP-KPHP,KPHL,KPHL,dll) Perbedaan ruang lingkup perencanaan tersebut akan memerlukan masukan data dan informasi yang berbeda pula, oleh sebab itu informasi yang digunakan untuk setiap tingkatan institusi akan mempunyai perbedaan jenis dan resolusi data. Pada Tabel 13 disampaikan perbandingan dasar pertimbangan yang digunakan dalam menyusun rencana kehutanan dan rencana pengelolaan hutan menurut UU dan menurut PP. Tabel 13 memberikan indikasi bahwa Peraturan Pemerintah no.34 /2002 telah membaurkan antara rencana kehutanan dengan rencana pengelolaan hutan. Rencana pengelolaan hutan yang dalam undang-undang diposisikan pada tingkat mikro, oleh peraturan pemerintah didistribusikan ke semua tingkatan dari mikro, meso dan makro. Kencenderungan ini menjadi jelas jika diperhatikan ayat (2 a,b,c) pasal 14 PP. No. 34/2002 bahwa wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan
87
didistribusikan
berdasarkan
jangka
waktu
perencanaan
bukan
berdasarkan
pewilayahan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Perencanaan jangka panjang disusun oleh instansi di provinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan, jangka menengah disahkan menteri, dan rencana pengelolaan jangka pendek disahkan oleh gubernur, pengaturan tersebut di sajikan pada table 14 . Tabel 13. Perbandingan Dasar Pertimbangan Penyusunan Rencana Kehutanan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Rencana Kehutanan (1) Rencana Pengelolaan Rencana Pengelolaan Hutan (KPHP) menurut Hutan (KPHP) menurut UU (2) PP (3) Hasil Inventarisasi Hasil Inventarisasi unit Inventarisasi hutan unit Nasional, Wilayah, pengelolaan pengelolaan DAS, Unit pengelolaan Tata Hutan : Ekosistem, Tata hutan : luas, potensi Tipe dan Fungsi hasil hutan, kesesuaian ekosistem Rencana Pemanfaatan Faktor Lingkungan Kondisi lingkungan Faktor Sosial Aspirasi, partisipasi, nilai budaya Masyarakat (1) (2) Sumber : Pasal 20 UU No. 41 tahun 1999; Pasal 22 UU No. 41 tahun 1999 (3) Pasal 13 dan pasal 14(1) PP. No. 34 tahun 2002
Tabel 14. Penyusunan dan Pengesahan Rencana Pengelolaan Tingkat Unit Pengelolaan Nama Rencana Penyusun Pengesah Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Instansi bidang kehutanan Menteri Panjang (20 tahun) tingkat Provinsi Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Instansi bidang kehutanan Menteri Menengah (5 tahun) tingkat Provinsi Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Instansi bidang kehutanan Gubernur Menengah (1 tahun) Sumber : PP 32/2004 Dijelaskan di dalam butir (a),(b),(c) ayat (2) pasal 14 bahwa rencana pengelolaan hutan jangka panjang memuat rencana kegiatan secara makro tentang pedoman,
88
arahan serta dasar-dasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan jangka waktu 20 tahun, rencana jangka menengah memuat rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan jangka 5 tahun, dan rencana jangka pendek memuat rencana operasional secara detail yang merupakan rencana pengelolaan jangka satu tahun. Di dalam peraturan ini tidak menyebutkan secara jelas siapa yang dimaksud instansi kehutanan yang menyusun rencana pengelolaan jangka satu tahun. Pasal 14 ini bukan saja tidak konsisten dengan Undang-Undang, tetapi juga antara ayat (3) pasal 14 PP.34/2002 yang memposisikan rencana pengelolaan hutan sebagai perencanaan tingkat mikro yang berupa rencana kegiatan operasional, sedangkan ayat (2) memposisikan sebagai perencanaan tingkat makro yang berupa pedoman, arahan dan dasar-dasar pengelolaan hutan. Dapat disimpulkan bahwa peraturan pemerintah tidak memposisikan rencana pengelolaan hutan wilayah provinsi, kabupaten dan KPHP secara tepat. Gubernur dan Menteri yang seharusnya mengurusi pengelolaan keseluruhan unit-unit dengan berbagai fungsi pokok dan peruntukannya secara agregat di seluruh kabupaten/kota dalam provinsi diposisikan untuk mengurusi individu KPHP. Peraturan Menteri Kehutanan no.P. 28/Menhut-II/2006, system perencanaan kehutanan tidak mengenal rencana pengelolaan hutan tingkat wilayah kecuali tingkat unit pengelolaan. Berdasarkan peraturan tersebut, sistem perencanaan kehutanan terdiri dari rencana-rencana kehutanan seperti Tabel 15. Tidak adanya rencana pengelolaan hutan tingkat wilayah membuktikan bahwa PP. No. 34/2002 tidak membedakan antara rencana kehutanan dengan rencana pengelolaan wilayah.
89
Tabel 15. Jenis-jenis Rencana Kehutanan dalam Sistem Perencanaan Kehutanan Kabupaten/Kota Unit Pengelolaan RP jangka panjang Kabupaten / kota RP jangka Menegah Kabupaten /kota, / Renstra SKPD RP jangka Tahun- RP jangka Tahun- RP jangka Tahunan Nasional / an Provinsi / an Kabupaten/ Renja KL/ RKA- Renja SKPD/ kota, / Renja KL RKA-SKPD SKPD/ RKASKPD
Rencana Pengelolaan
Rencana Pembangunan
Nasional RP jangka panjang Nasional RP jangka Menengah Nasional / Renstra KL
-
Provinsi RP jangka panjang Provinsi RP jangka Menegah Provinsi / Renstra SKPD
-
-
Rencana Pengelolaan KPHL, KPHP, KPHK
Apabila dicermati lebih lanjut tentang ketentuan perencanaan, tidak nampak adanya arahan perubahan orientasi pengelolaaan hutan. Indikasinya bahwa dokumen tersebut tidak menyinggung target produksi selain kayu, tidak terdapat pilihan teknologi pengelolaan hutan multi produk, dan tidak ada indikasi upaya dan langkahlangkah untuk melakukan optimasi.
Terdapat indikasi yang kuat bahwa visi
perubahan yang dikehendaki undang-undang belum diterjemahkan dengan baik kedalam aturan pelaksanaan tentang perencanaan pengelolaan hutan. Selanjutnya, bagaimanakah pengaturan penempatan tugas dan wewenang pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan pada tataran hirarki makro, meso dan mikro berdasarkan peraturan menteri, akan disampaikan berikut ini.
Hasil
identifikasi peraturan Menteri Kehutanan antara tahun 1999 sampai dengan 2008
90
yang terdapat pada lampiran 4, dan peletakan posisi kewenangannya pada Lampiran 5. Pada prinsipnya penempatan yang terbaik adalah apabila wewenang tersebut ditempatkan sesuai dengan urusan, mandat atau kepentingan langsungnya. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa urusan-urusan yang
bersifat
individual KPHP atau bisnis adalah merupakan urusan tingkat mikro, sedangkan urusan yang mencakupi kepentingan kelompok KPHP-KPHP atau kelompok bisnis dan tatanan yang berlaku lokal (wilayah) merupakan urusan tingkat meso, dan urusan yang menyangkut kepentingan antar kabupaten atau diatasnya dan tatanan yang bersifat umum dan berlaku nasional adalah urusan tingkat makro. Para pelaku usaha dan pengelola KPHP adalah pemangku kewenangan tingkat mikro, sedangkan Bupati adalah pemangku tingkat meso, Gubernur dan Menteri adalah pemangku tingkat makro. Dengan mengidentifikasi substansi yang diatur oleh peraturan Menteri dan penempatan kewenangannya maka dapat dipetakan kepatutan peletakannya. Jenis urusan dijadikan sebagai axis dan letak kewenangan sebagai ordinat dengan satuan skala (1) mikro, (2) meso dan (1) makro, maka peletakan yang paling patut adalah apabila berada pada garis pantas yaitu koordinat (1,1), (2,2) dan (3,3). Apabila nilai ordinat lebih tinggi dari axis maka kewenangan tersebut diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang sepantasnya, dan bila ordinatnya lebih rendah dari axis, maka wewenang tersebut ditempatkan lebih rendah dari yang sepantasnya. Gambar 15 menginformasikan bahwa 44 % aspek yang diatur melalui peraturan menteri kehutanan telah diposisikan pada tingkat makro, meso dan mikro secara tepat. Sejumlah 56 % menempatkan urusan pada tataran yang lebih tinggi dari yang seharusnya, dan tidak ada yang ditempatkan pada tataran yang lebih rendah. Sebagian
91
terbesar urusan-urusan diangkat ke peringkat yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan adanya bias kebijakan yang berorientasi pada pengumpulan kekuatan birokrasi. Perilaku ini sejalan dengan pendapat Osborn dan Plastrik (2001), bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya dengan membuat peraturan yang diciptakan
GUBERNUR (MAKRO)
16,18,19,57,60
BUPATI (MESO)
4,5,6,7,15,16, 17, 20, 21,22,23,24,25, 36,37,39,40,44, 46,49,55,61,62, 63,64
18,18,19,51,60
KPH (MIKRO)
KEWENANGAN
MENTERI (MAKRO)
untuk memperkuat kekuasaan.
3
KPH PERMEN HUT
33,34,335,39,40, 53
39,40,42
1,8,9,10,11,12,13 ,14,15,26,27,28, 29,30,31,32,33, 34,35,38,39,40,4 1,42,43,44,45,47, 50,52,54,56,58, 59
2,42,44,48
44
LINTAS KPH
LINTAS KAB
LINTAS PROV
URUSAN
Gambar 15. Distribusi Posisi Penempatan Kewenangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan antar tahun 2000-2008 Ijin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang berisi hubungan kontraktual antara pemerintah dengan pelaku usaha sebagaimana telah dibahas dalam hubungan makro-meso-mikro, terindikasi adanya penempatan kewenangan yang tidak tepat. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan kontraktual dalam
92
kaitannya dengan konteks makro-mikro, berikut ini dilakukan pendalaman atas substansi pengaturan kontrak IUPHHK. Peraturan Pemerintah no. 34/2002 mengatur 8 kewenangan yang berhubungan dengan pelaksanaan IUPHHK, seperti pada Tabel 15. Pertama berdasarkan pasal (14) pada setiap unit pengelolaan disusun rencana pengelolaan hutan. Rencana ini merupakan urusan individu unit manajemen (KPHP) yang sesungguhnya berupa perencanaan tingkat mikro, namun demikian wewenang penyusunan dan pengesahan dokumen ini diatur berdasarkan waktu jangkauan rencana tersebut. Rencana tahunan disusun oleh aparat Bupati dan disahkan oleh Gubernur, sedangkan yang berjangka 5 tahun dan 20 tahun disusun oleh aparat provinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila diperhatikan tentang hirarkhi makro-mikro, urusan-urusan individual seperti ini dapat diserahkan kepada pengelola KPHP, sedangkan Bupati, Gubernur dan Menteri Kehutanan dapat khusus menangani kebijakan publik. Kedua adalah kriteria pengelolaan hutan secara lestari dan kriteria potensi hutan, berdasarkan pasal (15) pemanfaatan hutan harus dilaksanakan dengan berpedoman pada kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari dan berdasarkan pada pasal 29 (3) pemanfaatan hutan dilakukan berdasarkan pada kriteria potensi hutan alam, keduanya diterbitkan oleh menteri kehutanan. Kirteria dan indikator ini merupakan norma yang mengatur kepentingan bersama, oleh karenanya merupakan urusan publik yang harus diterbitkan oleh institusi publik.
93
Tabel 16. Peta Hubungan Institusi Makro-Meso-Mikro PP.34/02 (IUPHHK) Substansi
Rencana Pengelolaan Hutan tingkat unit (1) Kriteria Potensi Hutan Alam (2) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (3) Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu/komoditas (4) Pelengan ijin (5) Membuat Rencana Usaha (6) Menyetujui rencana usaha (7) Perpanjangan ijin usaha (8)
Tingkat urusan Letak Kewenangan Individual Lintas Lintas Lintas Bisnis KPHP Kab Prov Bisnis Bupati Gubernur Menteri
z
z
z
z
z
z
z
z z z
z
z
z
z z
z
z
z
z
z
Ketiga, pasal 29 (6) menyatakan bahwa mengatur lebih lanjut tentang usaha pemanfaatan hasil hutan, apabila diperhatikan penjelasan pasal 28 yang menyatakan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada dasarnya hanya diberikan untuk menebang kayu, dengan berbagai kewajiban. Menebang adalah kegiatan memanen hasil pengelolaan hutan, yaitu aktifitas mengambil manfaat yang merupakan aktivitas tingkat mikro dan mencakupi wilayah individual KPHP. Dalam hal ini pihak yang paling relevan untuk berhubungan dengan pelaku usaha adalah pengelola KPHP. Namun peraturan pemerintah ini menempatkan kewenangan mengatur hubungan transaksi individual atas hasil pengelolaan hutan pada Menteri. Sebagai lembaga publik Menteri lebih tepat mengatur norma-norma usaha pemanfaatan hutan yang bersifat umum melalui kebijakan publik daripada melakukan transaksi bisnis.
94
Keempat, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai ijin dapat disederhanakan sebagai sebuah kontrak jual beli hasil hutan, dimana metode pembayarannya dilakukan dengan kombinasi tunai dan nontunai. Pembayaran tunai dalam bentuk iuran, dana reboisasi dan provisi sumberdaya hutan, sedangkan bentuk pembayaran non-tunai berupa pelaksanaan kewajibankewajiban non moneter. Transaksi ini juga merupakan transaksi individual, hanya melibatkan satu KPHP dengan pembeli, bukan lintas KPHP dan tidak tergolong sebagai kebijakan publik. Namun peraturan mengatur bahwa transaksi dilakukan dengan melibatkan rekomendasi Bupati dan Gubernur serta dilakukan oleh Menteri Kehutanan, sedangkan pengelola hutan tidak diberikan peran sama sekali (pasal 42). Kelima pelelangan ijin, pasal 43 dan pasal 44 mengatur bahwa Menteri mengatur lebih lanjut tentang pelelangan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Aturan pelelangan ini dapat merupakan kebijakan publik (kebijakan makro) apabila mengatur tentang tata-cara dan norma-norma yang berlaku umum. Namun apabila diperhatikan pada pasal 44 dan praktek yang berlaku, menteri bukan hanya mengatur kebijakan publik, melainkan juga bertindak sebagai pelaku kegiatan lelang (“menjual”) ijin usaha pada setiap satuan areal hutan. Transaksi ijin usaha ini merupakan transaksi individual yang melibatkan satu satuan areal hutan dengan satu orang / perusahaan pemenang. Ke enam membuat rencana usaha, adalah sebuah kegiatan tingkat mikro yang dilakukan oleh individu perusahaan. Peraturan pemerintah mengatur bahwa setiap perusahaan berkewajiban menyusun rencana usahanya masing-masing. Ke tujuh menyetujui rencana usaha, rencana usaha yang merupakan aktivitas individual perusahaan tersebut namun diatur hingga harus mendapat persetujuan
95
Menteri Kehutanan (pasal 47, ayat 4). Dalam hal ini sebuah aktivitas individual tingkat mikro, namun persetujuannya dilakukan oleh institusi publik tingkat nasional. Ini bukan saja tidak berada dalam satu tingkat yang sama, namun juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan rentang kendali pihak yang memberi persetujuan, kemampuan pengawasan dan pengendaliannya harus sangat kuat mengingat bahwa aktivitas individual dikendalikan langsung oleh pemerintah nasional. Situasi ini berpotensi menimbulkan Princaple-Agent Problem, apabila hubungan kerja disertai dengan syarat-syarat berupa kewajiban tertentu dan pemberi kewajiban (Principal) tidak mampu mengendalikan dan mengawasi pelaksanaannya, maka pihak penerima
kewajiban (Agent) akan berusaha mencapai tujuannya
meskipun tindakannya merugikan pemberi kewajiban (Pindyck dan Rubinfels, 2001). Ke delapan perpanjangan ijin usaha, seperti halnya pemberian ijin usaha, perpanjangan ijin usaha juga merupakan hubungan transaksi individual tentang pemanfaatan hasil produksi dari aktivitas pengelolaan hutan, oleh karena itu merupakan kegiatan tingkat mikro, namun peraturan menempatkan kewenangan transaksi ini berada di Menteri yang merupakan institusi tingkat makro. Kecenderungan pemerintah dalam mengatur hubungan makro-mikro disajikan pada gambar 16 peta peletakan kewenangan urusan makro-mikro yang terkait dengan dengan IUPHHK
MENTERI (MAKRO)
1, 3,4,5,7,8
GUBERNUR (MAKRO)
4
BUPATI (MESO)
4
KPH (MIKRO)
KEWENANGAN
96
6
PP. 34 /2002
IUPHHK (MIKRO)
2
LINTAS KPH LINTAS KAB (MESO) (MAKRO) TINGKAT URUSAN
LINTAS PROV (MAKRO)
Gambar 16. Peta Peletakan Kewenangan berdasarkan PP. 34/2002
Pada gambar 16 terlihat bahwa dua urusan yang kewenangannya telah ditempatkan sesuai dengan hirarkinya, yaitu urusan tentang kriteria potensi hutan yang merupakan urusan bersama dan kewenangannya diberikan kepada institusi publik tingkat makro (Menteri), dan urusan tentang penyusunan rencana kerja yang merupakan kegiatan tingkat mikro dan kewenangannya telah ditempatkan di tingkat mikro (perusahaan IUPHHK). Sebagian besar kewenangan urusan-urusan tingkat mikro diambil alih secara langsung oleh Menteri, dan terdapat satu urusan yang melibatkan Bupati dan Gubernur dalam bentuk pemberian rekomendasi pada proses pelelangan ijin.
97
Dalam perkembangannya PP. No. 34/2002 ini telah diubah menjadi PP. No. 6/2007, dimana peran pemerintah telah diperjelas dalam menetapkan KPHP, disamping itu organisasi KPHP telah dielaborasi, namun demikian perubahan ini tidak mengubah struktur kewenangan yang berkaitan dengan perijinan. Secara umum PP. 34/2002 dan PP. 6/2007 tidak membuat perubahan yang signifikan, perbandingan kedua peraturan pemerintah tersebut disajikan pada Tabel 17. Dengan substansi pengaturan seperti pada kedua Peraturan Pemerintah tersebut, KPHP yang sebenarnya dapat diperankan sebagai pengelola menjadi tidak jelas kedudukannya. Berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostorm (1992), dalam kedudukannya sebagai pengelola, KPHP seharusnya mempunyai hak access and withdrawl, management dan hak exclusion. Namun aturan tersebut mencabut hak exclusion dengan mengambil wewenang membuat hubungan-hubungan transaksional atas hasil-hasil yang diproduksi melalui aktivitas pengelolaan hutan, baik hasil hutan yang berupa barang maupun jasa. Kewenangan ini ditempatkan sebagai wewenang Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri. Demikian pula halnya dengan hak management, dimana wewenang menentukan pilihan teknologi berada pada Menteri. Sementara itu PP. 6/2007 telah memberikan wewenang kepada pengelola KPHP untuk menyetujui/mengesahkan Rencana Karya Tahunan, wewenang ini merupakan bentuk hak withdrawal yaitu menentukan hak-hak memanen hasil. Dengan struktur seperti itu, kedudukan pengelola KPHP tidak berbeda dengan perusahaan IUPHHK yang hanya memiliki hak access and withdrawl, sementara PP. 6/2007 meskipun telah mengelaborasi tugas dan tanggung jawab pengelola KPHP lebih rinci, namun pengaturan ini sesungguhnya tidak mengubah kedudukannya.
98
Tabel 17. Perbandingan Pengaturan KPHP menurut PP 34/2002 dan PP 6/2007
No
PP 34 / 2002
Organisasi 1 Kesatuan pengelolaan tingkat unit adalah kesatuan pengelolaan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari
PP 6 /2007 Kesatuan pengelolaan hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan dalam wilayah yang dikelolanya KPH, bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN Kehutanan Direksi BUMN membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH
Kewenangan
Menyelenggarakan pengelolaan hutan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam
Penetapan Organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP lintas provinsi oleh Menteri, KPHL dan KPHP lintas Kab oleh Gubernur, KPHL dan KPHP didalam Kab oleh Bupati Menyelenggarakan pengelolaan hutan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untukdiimplementasikan Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penga-wasan serta pengendalian Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya
99
Pengelola KPHP tidak dapat dimintakan akuntabilitas atas tugasnya sebagai pengelola hutan produksi karena batasan hak properti yang tidak lengkap. KPH diposisikan sebagai pekerja pelaksana instruksi pemilik. Penjelasan tentang KPH yang dipimpin oleh seorang kepala sebagai penanggung jawab, dan
KKPH
diposisikan sebagai bagian dari sebuah BUMN yang berada di bawah direksi. KPH tidak diposisikan sebagai sebuah entitas yang mandiri. Disamping itu PP. No. 6/2007 telah hanya mengatur tugas dan wewenang teknis kepala kesatuan pengelolaan hutan. Meskipun tugas-tugas pengelola telah dielaborasikan dengan lebih jelas oleh peraruran terbaru, tetapi kewenangan yang menyangkut perijinan masih belum diberikan. Ketiadaan wewenang pengelola KPHP untuk mengatur hubungan transaksional dengan pengguna atau pemanfaat multi produk yang dihasilkannya berpotensi menimbulkan masalah, yang akan berpengaruh terhadap aktivitas pengelolaan hutan itu sendiri. Dari sisi pandang Osborn dan Plastrik (2001), Scott (2008) dan Jepperson (1992), perilaku pemerintah (birokrasi) telah menggunakan peraturan untuk memperkuat kekuasaannya
(perversi kekuasaan) dan sebagai
indikasi adanya resistensi terhadap perubahan. Potensi perversi terindikasi dengan menempatkan pengelola KPH di bawah kendali direksi BUMN, oleh sebab itu KPH mengandung resiko
lebih besar terkooptasi oleh pihak-pihak yang berkuasa
dibandingkan dengan menjadikannya sebagai entitas yang mandiri.
4.2.2. Organisasi Kehutanan dan Kuadran Kebijakan Undang-undang telah mengatur hirarkhi institusi kehutanan kedalam pengurusan hutan sebagai organisasi makro, pengelolaan wilayah sebagai organisasi makro dan
100
mezo, pengelolaan tingkat unit dan pemanfaatan hutan sebagai organisasi mikro. Selanjutnya perlu diketahui apakah pengaturan ini juga telah memilah kedudukannya dalam kuadran kebijakan, sehingga dapat diketahui kesesuaian pengaturan tugastugas pemerintah dengan wewenang publik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hubungan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan diawali dari pasal 10 UU. 41/1999, bahwa wewenang pengurusan hutan meliputi penyelenggaraan : (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan (4) pengawasan. Ketiga aspek, kecuali pengelolaan hutan, dapat mempunyai cakupan nasional (makro), karena pengelolaan hutan berdasarkan pembentukan wilayah menurut pasal 17 terdiri dari pengelolaan wilayah provinsi, kabupaten/kota dan pengelolaan unit manajemen. Pengelolaan hutan diatur dalam pasal 21, meliputi kegiatan : (1) tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan dan penggunaan kawasan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, (4) perlindungan hutan dan konservasi alam. Pada pasal 22 dinyatakan bahwa tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan adalah aktivitas alokasi sumberdaya manajemen secara intensif untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Tata hutan sendiri merupakan kegiatan pembagian blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan. Sedangkan di dalam setiap blok dibuat petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Pasal 21 dan 22 ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan pengelolaan hutan disini adalah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan, bukan pengelolaan wilayah kabupaten dan provinsi.
101
Pembagian blok dan petak tidak mungkin dilakukan di tingkat wilayah kabupaten maupun provinsi, karenanya hirarki pengelolaan hutan adalah pengelolaan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok dan terendah adalah petak. Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan hasil produksi pengelolaan hutan, oleh sebab itu kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan di dalam unit manajemen. Berdasarkan kepada pasal-pasal tersebut diatas dan pasal-pasal dalam bab pemanfaatan menurut UU 41/1999 wewenang pengurusan, pengelolaan, dan pemanfaatan disampaikan pada Tabel 18. Pada pasal 10, termasuk dalam pengurusan hutan adalah LIBANG, DIKLAT dan penyuluhan, serta pengawasan. Kegiatankegiatan tersebut tidak termasuk yang diatur dalam pengelolaan dan pemanfaatan, oleh karenanya merupakan bagian dari pengurusan hutan. Selain itu kegiatan tersebut merupakan kegiatan pendukung bagi seluruh sistem kehutanan. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan hutan, meskipun pengaturannya berada dalam pasal yang sama dengan pengurusan hutan, namun jika dilihat dari segi ruang lingkup kegiatannya yang berada di dalam unit pengelolaan, dan kegunaan dari hasil inventarisasi adalah untuk kepentingan pengelolaan tingkat unit, maka kegiatan inventarisasi tingkat unit dapat dianggap sebagai bagian dari pengelolaan hutan. Sementara itu perijinan-perijinan pemanfaatan, adalah pengaturan hubungan transaksional tentang hasil-hasil pengelolaan, maka posisinya berada pada pemanfaatan.
102
Tabel 18. Daftar Kewenangan Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Menurut Undang-Undang 41/1999. Peng- Penge- Peman No Kewenangan urusan lolaan -faatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Inventarisasi hutan tingkat nasional Inventarisasi hutan tingkat wilayah Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan Pengukuhan kawasan hutan Penatagunaan kawasan hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan Penyusunan rencana kehutanan nasional Penyusunan rencana kehutanan provinsi Penyusunan rencana kehutanan kabupaten/kota Penyusunan rencana kehutanan daerah aliran sungai Penyusunan rencana kehutanan unit pengelolaan Pembagian blok berdasar ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan Pembagian petak berdasar intensitas dan efisiensi pengelolaan Penyusunan rencana pengelolaan hutan menurut jangka waktu Ijin usaha pemanfaatan kawasan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu Ijin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan Pengawasan
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
Selanjutnya wewenang atau kegiatan pada tabel tersebut diuji dengan kriteria kuadran kebijakan sebagai berikut :
103
Tabel 19. Pengklasifikasian Wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfatan Dalam Kuadran Kebijakan Berdasarkan Undang-undang 41/1999 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kewenangan 1 Inventarisasi hutan tingkat nasional Inventarisasi hutan tingkat wilayah Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan Pengukuhan kawasan hutan Penatagunaan kawasan hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan Penyusunan rencana kehutanan nasional Penyusunan rencana kehutanan provinsi Penyusunan rencana kehutanan kabupaten/kota Penyusunan rencana kehutanan daerah aliran sungai Penyusunan rencana kehutanan unit pengelolaan Pembagian blok berdasar ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan Pembagian petak berdasar intensitas dan efisiensi pengelolaan Penyusunan rencana pengelolaan hutan menurut jangka waktu Ijin usaha pemanfaatan kawasan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu Ijin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan Pengawasan
x x x
Kriteria 2 3 4 5 x x x
x x x
x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x x x x
x x x x x
x x x x
x x
6
x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x
x x x x
Catatan (1) : Kepentingan umum /bersama, (2) Penegakan hukum, (3) Manfaat lebih banyak dinikmati oleh pengguna tidak langsung, (4) Kepentingan individu, (5) Penanggung jawabnya adalah pemerintah (institusi makro dan meso), (6) Penanggung jawabnya individu (institusi mikro).
104
Selanjutnya data pada tabel 19, kemudian dimasukkan kedalam gambar 17 kuadran kebijakan sebagai berikut : Lingkup Isu/Urusan/Masalah/Manfaat
Individu/Perusah aan/KPHP Organisasi Publik
Penanggung jawab pertama
Individu Kuadran I Operasional Perusahaan
Masyarakat/Bersama Kuadran II Quasi Publik 4, 14, 15, 16, 17
18,19,20,21,22,23 Pemanfaatan Kuadran III kebijakan Penegakan Hukum
Pengelolaan Unit Kuadran IV Kebijakan Publik 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11, 12,13,23, 24 Pengurusan Pengelolaan Wilayah
Gambar 17. Posisi wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan pada Kuadran Kebijakan
Dengan menggunakan kriteria tersebut diketahui bahwa pengurusan hutan termasuk dalam wilayah kebijakan publik, pengelolaan unit termasuk dalam wilayah quasi publik dan pemanfaatan termasuk dalam wilayah privat.
4.2.3. Hubungan IUPHHK dengan KPHP Tujuan pengelolaan hutan alam produski dapat dicapai melalui operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Dengan penjelasan tentang tujuan seperti yang tersebut di atas, KPHP dituntut untuk mampu mewujudkan rejim pengelolaan hutan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan,
105
bukan hanya berorientasi pada produksi kayu saja untuk mengoptimalkan manfaat hutan. Operasionalisasi pencapaian tujuan yang baru tersebut dilakukan melalui penataan berbagai peraturan maupun penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Perbandingan antara peraturan yang berlaku sebelum tahun 1999 dan sesudah terjadi perubahan disajikan pada Lampiran 2. Terdapat beberapa perubahan yang berkaitan dengan perijinan yaitu perubahan dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Para pihak yang dapat diberikan IUPHHK bukan hanya badan hukum tetapi terdiri dari perorangan, koperasi, perusahaan swasta dan perusahaan milik Negara. Terdapat pernambahan jangka waktu ijin, pembatasan luas ijin, kewajiban bekerjasama dengan koperasi, dan lain-lain. IUPHHK adalah bentuk baru dari HPH, perbedaan dan persamaan dari keduanya dapat dilhat dari hak dan kewajiban yang ada pada kontrak keduanya, seperti yang tersaji pada Lampiran 3. Secara garis besar tidak terdapat perbedaan antara HPH dan IUPHHK, keduaduanya diberikan konsesi berbasis luas hutan, diberikan hak untuk menebang kayu, dan dibebani berbagai macam kewajiban yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, serta ada batasan jangka waktu ijin. Undang-undang kehutanan telah mengatur hirarki institusi kehutanan kedalam tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Dalam hal ini perlu diperjelas terlebih dahulu kedudukan HPH dan IUPHHK dalam hirarki institusi kehutanan yaitu apakah sebagai institusi pengelola atau pemanfaat hutan. Ayat (2) pasal (2) Peraturan Pemerintah no. 34/2002 mengatur bahwa ijin-ijin usaha di hutan produksi dilaksanakan di dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
106
(KPHP). Berdasarkan definisi menurut Undang-Undang nomor 41/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 34/2002, KPHP adalah unit pengelolaan hutan terkecil yang dapat dikelola secara lestari. Sebagai unit pengelolaan terkecil, maka di dalam KPHP tidak akan ada lagi unit-unit lain yang dapat mengelola hutan secara lestari, artinya bahwa di dalam satu KPHP berlaku hanya satu pelaku pengelolaan hutan.. Selanjutnya dalam penjelasan umum UU. 41/1999 paragraf (7) dan (8), bahwa perubahan yang dinginkan dalam pengelolaan hutan produksi adalah mengubah orientasi produksi dari produksi kayu menjadi berorientasi pada pemanfaatan optimal seluruh sumberdaya hutan, maka di dalam KPHP dapat dilakukan berbagai macam kegiatan usaha kehutanan. Jenis-jenis usaha yang dapat diberikan ijin di dalam KPHP adalah ijin-ijin usaha pemanfaatan yaitu ijin pemanfaatan Kawasan (IUPK), ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHB), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK), ijin usaha pemungutan hasil hutan (IUPHH) (pasal 23 s/d 29 UU. No.41/1999. Pelaksanaan dari ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sejalan dengan penjelasan Undang-undang no. 41/1999, Peraturan Menteri Kehutanan P.10/Menhut-II/2006 mendefinisikan KPHP sebagai unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat dikelola secara efisien dan lestari oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan. Peraturan ini menegaskan bahwa KPHP adalah satuan terkecil yang dikelola artinya ada pihak yang mengelola yaitu pemerintah, pemerintah daerah atau BUMN. Oleh karenanya optimasi pengelolaan hutan tingkat unit dilakukan di KPHP.
107
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas pengelolaan hutan tingkat unit berada pada pengelola KPHP, dan di dalam setiap KPHP terdapat jenis-jenis usaha pemanfaatan yang diberikan melalui ijin-ijin usaha yaitu IUPK, IUPJL, IUPHHB, IUHHK, IUPHH. Dengan demikian berlaku aturan bahwa pengelolaan hutan dilakukan oleh pengelola KPHP, dan pemanfaatan oleh pemegang IUPHHK. Namun sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 3, IUPHHK sebagai pemanfaat yang diberi tugas-tugas pengelolaan dalam bentuk kewajiban-kewajiban. Oleh karena itu perlu diketahui strata hak yang dimiliki oleh IUPHHK dengan menggunakan pendekatan Schlager dan Ostorm
(1992) yang membagi strata hak berdasarkan
keberadaan hak access and withdrawal, management, exclusion, aleniation, sebagai berikut : 1. Hak access and withdrawal, IUPHHK memiliki hak untuk memasuki areal hutan yang menjadi konsesinya dan diberikan hak untuk menebang pohon, mengangkut dan menjual kayu. 2. Hak manajement, IUPHHK tidak mempunyai hak untuk mengelola, melainkan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mengelola hutan. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dimaksuk IUPHHK harus mengikuti peraturan-peraturan teknis yang ditentukan oleh pemerintah, termasuk pilihan teknik silvikultur, penggunaan alat, dan pemilihan jenis yang diatur oleh Menteri Kehutanan. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut harus dipertanggung jawabkan kepada pemberi ijin, dengan demikian pihak yang berkepentingan atas hasil pelaksanaan kewajiban tersebut adalah pihak pemberi ijin.
108
3. Hak exclusion, IUPHHK tidak mempunyai hak exclusion, karena didalam kawasan hutan yang menjadi konsesinya dapat diberikan ijin-ijin lainnya oleh pemerintah. IUPHHK tidak dapat menolak pihak lain yang akan mengambil manfaat sumberdaya yang ada di dalam areal kerjanya, apabila pemerintah memberi ijin kepada pihak lain; 4. Hak alienation, IUPHHK dilarang memindah-tangankan ijin yang diberikan kepadanya, pemindah-tanganan harus atas ijin tertulis dari Menteri Kehutanan. Bahkan akibat dari ijin yang dimiliki, pemegang IUPHHK tidak dapat mengubah struktur kepemilikan saham pada perusahaan. Meskipun kepemilikan saham seseorang pada perusahaan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kepemilikan IUPHHK, namun akibat kepemilikan IUPHHK, maka pengalihan saham-saham perusahaan harus atas ijin Menteri Kehutanan.
IUPHHK hanya mempunyai strata hak access and withdrawal saja, tanpa strata lainnya. Menurut klasifikasi Schlager dan Ostrom (1992) posisi IUPHHK dikategorikan pengguna (Authorized User). Kedudukannya sebagai pengguna, dapat dipastikan bahwa IUPHHK adalah organisasi tingkat pemanfaat berdasarkan hirarchi UU. 41/1999. Para pemilik IUPHHK adalah para pihak yang diberikan ijin untuk memanfaatkan hasil-hasil yang diproduksi oleh pengelola hutan, melalui mekanisme transaksi tertentu.
Dengan demikian IUPHHK adalah organisasi pengguna
(pemanfaat), struktur hubungan ini digambarkan dalam model pengoperasian KPHP seperti Gambar 18.
109
KPHP
KOPERASI
BUMN / BUMD
BUMS
KOPERASI
PERORANGAN
PERORANGAN
IUPHH
IUPHHK
BUMN / BUMD
BUMS
KOPERASI
PERORANGAN
IUPHHBK
BUMN / BUMD
BUMS
KOPERASI
IUPJL PERORANGAN
KOPERASI
IUPK PERORANGAN
Pengelola Peman faat Pelaku Usaha
Gambar 18. Jenis Usaha dan Pelaku Usaha di dalam KPHP
4.2.4. Perijinan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi Menurut pasal 28 UU No. 41/1999 dan ayat (2) pasal (2) PP. No. 34/2002 kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan di unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemanfaatan hutan produksi diberikan melalui pemberian ijin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK), ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK), ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), ijin pemungutan hasil hutan (IUPHH). Wewenang pemberian ijin-ijin usaha diatur didalam pasal-pasal 37, 38, 39,40, 41 dan 42 pada PP. No 34/2002. Kecuali ijin pemanfaatan hasil hutan kayu yang sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Kehutanan, ijin-ijin usaha lainnya dapat diberikan oleh Bupati/ Walikota, Gubernur dan Menteri Kehutanan. Pembagian kewenangan perijinan IUPK, IUPJL, IUPHHBK, IUPHH, didistribusikan berdasarkan letak KPHP dalam konteks wilayah administratif, gambar 19 memberikan ilustrasi distribusi dimaksud.
110
KPHP
KPHP
KPHP 3
KPHP 2
KPHP 2
Keterangan : Unit Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah Pengelolaan Hutan Kabupaten Wilayah Pengelolaan Hutan Provinsi Wilayah Pengelolaan Hutan Nasional
Gambar 19. Pengaturan Wewenang Perijinan Pada Gambar 19, model KPHP 1 dimana seluruh areal KPHP berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten/Kota, perijinan-perijinan tersebut di berikan oleh Bupati. Model KPHP 2 adalah model dimana areal KPHP terletak di dua wilayah administrasi Kabupaten yang berbeda, dalam kondisi seperti ini perijinan menjadi wewenang Gubernur. Model KPHP 3, areal KPHP terletak di kabupaten dan provinsi yang berbeda, dalam hal ini perijinan menjadi wewenang Menteri Kehutanan. Sebagai pembanding
Lampiran 6 menyajikan distribusi peran para pihak,
indikator utama kinerja dan jenis perencanaan, pada berbagai tingkatan, yang dikembangkan berdasarkan perubahan yang dikehendaki oleh undang-undang
111
kehutanan no. 41/1999. Pengurusan hutan dilakukan pada tingkat makro (nasional dan provinsi) dan meso (kabupaten/kota) dengan indikator utama kinerja adalah kecukupan luas hutan, kecukupan penutupan hutan dan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian, dan jenis-jenis perencanaan kehutanan jangka panjang, menengah dan tahunan yang menjadi tanggung jawabnya. Pengelolaan hutan tingkat makro dilaksanakan oleh institusi provinsi, dan tingkat meso oleh institusi kabupaten/kota dengan indikator utama kinerja adalah Kelestarian Hutan (Stok), Manfaat Hutan yang Optimal, indikator normatif distribusi manfaat yang berkeadilan. Sedangkan pengelolaan hutan tingkat mikro dilakukan oleh institusi KPHP dengan indikator utama kinerja kelestarian hutan (stok), manfaat hutan yang optimal, pelaksanaan distribusi manfaat yang berkeadilan. Pengelola hutan wilayah masingmasing menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang, menengah dan tahunan. Pemanfaatan dilakukan oleh pelaku usaha dan dilaksanakan di dalam KPHP melalui perijinan berbagai jenis usaha dengan indikator utama kinerja produktivitas atau kesehatan perusahaan, dan menyusun rencana Sementara pemerintah mengatur distribusi kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan letak geografis yang dikaitkan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, dan meniadakan peran pengelola KPHP. Ijin-ijin tersebut adalah bagian dari manajemen KPHP, sehingga pihak yang paling berkepentingan terhadap keberhasilan pengelolaan hutan adalah pengelola KPHP. Sedangkan Bupati/Wlikota, Gubernur dan Menteri tidak berkepentingan langsung atas kinerja individu KPHP. Oleh sebab itu penempatan wewenang seperti itu, telah melampaui batas jurisdiksi pengelola KPHP.
112
Perubahan PP.34/2002 menjadi PP. 6/2007, tidak mengandung perubahan yang mendasar tentang pengaturan hak dan kewajiban terkait dengan properti IUPHHK, perhatikan Tabel 20. Dalam hal hak, perubahan yang terjadi adalah pada ketentuan tentang pengalihan ijin, jika sebelumnya dinyatakan dilarang mengalihkan tanpa seijin menteri, berubah menjadi ijin dapat dipindah tangankan seijin pemberi ijin. Menurut pemikiran North (1990) pengaturan ini menempatkan pemerintah sebagai pemain dan sekaligus regulator dan penegak aturan, sedangkan dalam pandangan Van den Berg (2001) merupakan tindakan penggunaan aturan untuk memperkuat kekuasaan, dan menurut Scott (2008) dan Jepperson (1991) sebagai upaya melindungi kepentingan. Dengan demikian pengaturan ini mengandung unsur perversi dan konflik kepentingan. Tabel 20. Perbandingan Pengaturan Hak Properti (IUPHHK) Menurut PP 34/2002 dan PP 6/2007
No 1
PP 34 / 2002 Hak Berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya Kegiatan Pemanfaatan meliputi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan Izin tidak dapat dipindah tangankan tanpa seizin Menteri Jangka waktu 55 tahun
PP 6/2007 Hak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya Kegiatan Pemanfaatan meliputi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan Ijin dapat dipindah tangankan dengan seizjin pemberi izin Jangka waktu 55 tahun
113
Tabel 21. Perbandingan Kewajiban IUPHHK Menurut PP 34/2002 dan PP 6/2006
No
Kewajiban PP 34/02, ps (47)
Kewajiban PP 6/2006
1
membuat rencana kerja untuk seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin
2
melaksanakan kegiatan nyata dilapangan selambat-lambatnya 3 bulan sejak diberikan izin melaksanakan penataan batas areal kerja selambat-lambatnya 3 bulan sejak diberikan izin membuat laporan secara periodik
menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan selambat-lambatnya 1 tahun sejak diberikan izin melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1(satu) tahun sejak diberikan IUPHHK menyampaikan laporan kinerja pemegang ijin secara periodik kepada menteri melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
3
4 5
6 7
8
9 10
11
melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya dari gangguan keamanan menatausahakan keuangan sesuai standar akuntansi kehutanan mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan; Melaksanakan teknik silvikultur sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan membayar IIUPHHK, PSDH, DR wajib bekerjasama dengan koperasi paling lambat 1 tahun setelah diterimanya izin Melaksanakan perlindungan hutan
12
Mengajukan ijin penggunaan peralatan
13
Mengajukan ijin pengalihan saham
14
Melakukan penatausahaan kayu (LHC, LPKP, SKSHH, dll) melakukan pengukuran dan pengujian hasil hutan
15
menatausahakan keuangan sesuai standar akuntansi kehutanan mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan; melaksanakan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi setempat membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan wajib bekerjasama dengan koperasi paling lambat 1 tahun setelah diterimanya izin melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku Mengajukan ijin pengalihan saham melakukan penatausahaan hasil hutan melakukkan pengukuran dan pelujian hasil hutan
114
16
17
menyusun RKUPHHK, RKU 5 tahun, RKT diajukan 2 bulan sebelumnya menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan
menyusun RKUPHHK, dan RKT yang disahkan oleh KPH diajukan 2 bulan sebelumnya menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan
Dari sisi kewajiban meskipun terdapat perbedaan pengaturan namun perbedaan tersebut kurang berarti. Beberapa ketentuan yang menyangkut batas waktu pelaksanaan kewajiban cenderung diperlunak. Jika diperhatikan daftar kewajiban Tabel 21, kewajiban tersebut dimaksudkan untuk beberapa tujuan (1) memastikan perusahaan segera bekerja, (2) memberikan informasi kepada pemerintah, (3) melaksanakan tugas-tigas pengelolaan hutan, dan (4) membayar transaksi hasil hutan. Pemberian wewenang kepada Kepala KPH (KKPH) untuk mengesahkan RKT adalah perkembangan yang baik, RKT adalah salah satu dokumen yang menjukkan kontrak produksi yang ditransaksikan selama satu tahun. Perkembangan pemberian hak eksklusi atas produksi kayu ini belum cukup untuk memberi akuntabilitas kepada KKPH, karena di dalam KPHP dapat diberikan ijin-ijin lain yang kewenangannya ada pada Bupati, Gubernur dan Menteri.
4.3. Efektifitas Institusi Kehutanan Apakah struktur yang dibangun melalui berbagai peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan institusi menjadi tidak ekfektif ? Unsur-unsur penyebab institutisi tidak efektif, sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu terdiri dari (1) definisi hak properti yang tidak lengkap, (2) tegakan yang tidak diakui sebagai asset, (3) informasi tidak simetrik, (4) peraturan yang mengandung perversi
115
kekuasaan, (5) peraturan yang konflik, dan (6) biaya transaksi tinggi. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dipelajari isi dari berbagai teks peraturan yang diberlakukan.
4.3.1. Kelengkapan Definisi Hak Properti Pasal 4 UU no. 41/1999, mengatur bahwa seluruh hutan di wilayah negara Repulik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dijelaskan pada penjelasan pasal 4 (1) bahwa yang dimaksudkan sebagai “dikuasi” tidak berarti “dimiliki” melainkan pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Makna dikuasi juga dijelaskan pada paragraf 4 penjelasan umum UU, yaitu bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur, mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; mengatur
perbuatan
hukum mengenai
kehutanan.
Selanjutnya pemerintah
berwenang memberi ijin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Sedangkan pada pasal 5 disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan adat dan pemerintah bertugas untuk menetapkan status hutan. Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan pasal 5 (1), bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaanya kepada
116
masyarakat hukum adat. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Dari pasal-pasal tersebut terdapat tiga makna penting, pertama negara menguasai seluruh hutan tetapi tidak memiliki, dan menurut statusnya terdapat hutan negara dan hutan hak. Hutan hak didefinisikan sebagai hutan yang berada diatas lahan milik, dengan demikian kepemilikan hutan hak melekat pada pemilik lahan, kecuali ada perjanjian lain antar pemilik dengan pihak lain. Menjadi belum jelas adalah siapa pemilik hutan negara ?. Kedua, negara dapat memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat dalam bentuk hutan adat, dan kepada desa dalam bentuk hutan desa serta kepada masyarakat dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Ketiga secara tersirat yang dimaksudkan pemanfaatan adalah penggunaan atas hasil pengelolaan hutan untuk kepentingan kesejahteraan. Pengaturan ini memperjelas hirarki institusi kehutanan yang berupa pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas undang-undang mengenal hak milik pada hutan hak, hak mengelola, dan hak memanfaatkan, akan tetapi penjelasan undangundang
mengandung
distorsi
pemaknaan
atas
pengertian
dikuasai
yang
menyebabkan definisi hak properti atas hutan negara menjadi tidak lengkap, kepemilikan atas hutan negara menjadi tidak jelas. Undang-undang membangun logika yang menempatkan penetapan status hutan sebagai hal utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah sebelum mengatur halhal lainnya. Tata urutan yang dibangun oleh undang-undang menempatkan
117
penetapan satus hutan pada pasal 5 setelah pendefinisian mandat kepada negara. Sesudahnya baru mengatur fungsi hutan (pasal 6), dan selanjutnya menyusul pengaturan tentang pengelolaan hutan, pemanfaatan dan terakhir perijinan. Pendekatan ini mengandung makna bahwa dalam melaksanakan mandat pengurusan hutan, pertama-tama harus ditetapkan status hutan kedalam hutan negara dan hutan hak. Pada hutan-hutan yang telah ditetapkan statusnya kemudian pemerintah menetapkan fungsi pokoknya yaitu produksi, lindung, konservasi atau kombinasi dari padanya. Pemerintah diperintahkan untuk memberikan kompensasi pada pemanfaatan hutan hak untuk fungsi lindung dan konservasi. Dengan demikian unitunit pengelolaan hutan tidak terbatas pada hutan negara saja, melainkan termasuk unit pengelolaan pada hutan hak. Oleh sebab itu pihak yang berwenang memberikan perijinan adalah pemilik hutan, dan pemilik dapat melimpahkan kewenangannya kepada pengelola hutan.
4.3.2 Status Asset Tegakan Hutan dalam IUPHHK Apakah peraturan telah mengatur status asset tegakan hutan yang dibangun melalui tindakan-tindakan silvikultur yang memerlukan biaya ?
Undang-undang
tidak mengatur tentang status asset atas tegakan hutan, demikian pula peraturanpemerintah juga tidak mengatur status asset atas tegakan hutan alam. Oleh sebab itu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, dilakukan penelusuran lebih lanjut pada peraturan-peraturan tingkat menteri. Salah satu unsur yang digunakan untuk menilai kinerja IUPHHK adalah reinvestasi ke hutan yaitu modal yang ditanamkan kembali ke dalam hutan (SK Dirjen
118
BPK, no. 42/KPTS/VI/2003). Perusahaan dianggap sangat baik apabila modal berupa hutan selalu meningkat. Kegiatan yang berhubungan erat dengan re-investasi ke hutan adalah kegiatan pembinaan hutan yang dimaksudkan untuk membangun kembali stok tegakan, sehingga biaya-biaya yang timbul untuk melaksanakan kegiatan ini diperhitungkan sebagai investasi. Pasal 47 Peraturan Pemerintah no.34 tahun 2002, mewajibkan perusahaan penerima IUPHHK melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh pemerintah, di dalam sistem tersebut terkandung kegiatan pembinaan hutan dan lain-lain. Demikian pula di dalam kontrak (SKIUPHHK), pelaksanaan kegiatan pembinaan hutan dinyatakan sebagai kewajiban. Oleh karena itu pembinaan hutan dan kewajiban lainnya dilihat dari sisi pandang perusahaan bukan merupakan investasi yang diakumulasikan sebagai asset perusahaan, melainkan untuk memenuhi kewajiban dalam rangka bertransaksi dengan pemerintah. Disamping itu perusahaan juga diwajibkan untuk menata-usahakan keuangannya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Standar yang dimaksud adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 32. Menurut standar ini tegakan hutan alam tidak dapat dibukukan sebagai asset (Ikatan Akuntan Indonesia ,1994). Dijelaskan lebih lanjut bahwa biaya-biaya penanaman dalam rangka pengusahaan hutan dibebankan sebagai biaya produksi hasil hutan. Sedangkan biaya penanaman untuk kegiatan bukan produksi, seperti penanaman hutan lindung disajikan sebagai beban lain-lain. Karena dibebankan sebagai biaya produksi dan beban lain-lain, maka biaya-biaya tersebut tidak dapat diakumulasikan sebagai asset perusahaan.
119
Jelas disini bahwa tegakan hutan tidak diakui sebagai asset perusahaan IUPHHK karena dua alasan, pertama tindakan pembinaan hutan dilakukan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi kontrak, sehingga hasilnya menjadi milik pemberi kewajiban. Alasan kedua adalah berdasarkan Standar Akuntansi yang berlaku, biayabiaya penanaman di hutan alam dibebankan sebagai biaya produksi sehingga tidak dapat diakumulasikan sebagai asset. Dengan demikian, perubahan-perubahan peraturan yang terjadi selama tahun 1999 sampai dengan 2007 tidak menyentuh issue pengakuan tegakan hutan sebagai asset. Ketentuan mengenai akuntansi kehutanan ini telah diubah oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan diadopsi oleh Menteri Kehutanan sebagai Peraturan Menteri Kehutanan no. P.69/Menhut-II/2009, perubahan tersebut adalah ketentuan pembebanan biaya penanaman daur kedua pada hutan tanaman. Pada ketentuan sebelumnya beban penanaman daur kedua diperhitungkan sebagai biaya, diubah dengan ketentuan baru menjadi beban yang dikapitalisasi. Hal ini berarti bahwa tegakan hutan hasil penanaman di hutan tanaman diakui sebagai asset. Sedangkan penanaman di hutan alam tidak mengalami perubahan.
4.3.3. Penguasaan Informasi Mekanisme IUPHHK yang berlaku saat ini adalah sebagaimana yang tergambar pada Gambar 19, dimana perijinan dan pengelolaan hutan secara langsung berada di bawah kewenangan Menteri, dengan beberapa dukungan dari pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Dengan mekanisme seperti ini, semua pihak mulai dari pelaku usaha, bupati/wali kota, gubernur dan menteri memerlukan informasi dengan resolusi yang sama untuk setiap ijin IUPHHK. Menarik untuk dipelajari adalah
120
bagaimana cara masing-masing untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengeksekusi kewenangannya, sehingga dapat tergambar siapa yang lebih menguasai informasi tersebut. Pengetahuan ini akan membantu untuk mengenali keberadaan informasi yang tidak simetrik (Assymetric Information). Menurut Pindyck and Rubinfeld (2001) keberadaan informasi yang tidak simetrik dapat menjelaskan berbagai penataan institusi di dalam masyarakat, keberadaannya juga yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Ketidak-mampuan pemerintah untuk memonitor tindakan individual pemilik IUPHHK adalah salah satu bentuk informasi tidak simetrik, kondisi seperti ini dapat menimbulkan moral hazard (Pindyck and Rubinfeld, 2001). Hal lain yang dapat terjadi akibat keberadaan informasi asimetrik adalah Principal-Agent Problem, dalam konteks IUPHHK dapat terjadi dalam bentuk pemilik IUPHHK tidak memelihara hutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam konteks hubungan transaksional ini, pemerintah dan daerah bertindak sebagai penjual sedangkan pelaku usaha bertindak sebagai pembeli. Pemerintah mentransaksikan kayu dari hutan alam kepada pelaku usaha dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Oleh karenanya informasi yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah informasi yang berkaitan dengan atribut obyek perijinan, termasuk di dalamnya areal hutan dan potensi sumberdaya hutan yang diperlukan pada proses perolehan ijin, pelaksanaan ijin dan informasi untuk memonitor perilaku pemilik ijin. Tingkat resolusi informasi yang dimiliki oleh setiap tingkatan institusi pada Tabel 22, diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor 67/Menhut-II/2006, resolusi citra satelit dan non-satelit yang digunakan untuk tingkat nasional adalah sedang (1050m) sampai rendah (50-250m), tingkat provinsi tinggi (4-10m) atau sedang (10-
121
50m), kabupaten kota sangat tinggi (1-4m) sampai sedang (10-50m) dan tingkat unit pengelolaan kota sangat tinggi (1-4m) sampai sedang (10-50m). Sedangkan pasal (8)hasil inventarisasi hutan nasional disajikan dalam peta berskala 1 : 500.000, hasil inventarisasi hutan provinsi disajikan dalam peta berskala 1 : 250.000, hasil inventarisasi hutan kabupaten/kota disajikan dalam peta 1 : 100.000, hasil inventarisi hutan unit pengelolaan disajikan dalam skala 1:250.000, 1:100.000 atau 1:50.000 tergantung luasnya. Penyelenggara kegiatan inventarisasi hutan dimaksud adalah Badan Planologi Kehutanan untuk Nasional, Dinas Kehutanan Provinsi untuk untuk Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota untuk tingkat kabupaten/kota dan organisasi pengelola untuk tingkat unit. Jenis resolusi tersebut menunjukkan tingkat penguasaan informasi, masing masing pihak. Tabel 22. Tingkat Penguasaan Informasi yang dimiliki oleh Para Pihak
Pihak Terkait
Tingkat Resolusi Data Citra (m) Keperluan Terendah Tertinggi untuk Perijinan 50-250 10-50 1-4
Menteri Kehutanan Gubernur 10-50 4-10 Bupati/Walikota 10-50 1-4 Pengelola 10-50 1-4 KPHP Pemilik 1-4 1-4 IUPHHK(*) Sumber Permenhut 67/Menhut-II/2006 (*)
Kesesuaian Kurang
1-4 1-4 1-4
Kurang Sedang Sedang
1-4
Tepat
ITSP dan ITT dengan intensitas 100 %
Selain itu Keputusan Menteri Kehutanan No. 05.1/Kpts-II/2000, pemohon melaporkan hasil survey potensi kepada bupati/walikota, gubernur, menteri
122
kehutanan, sebagai dasar penetapan peta, dan luas areal kerja, dan penetapan target tebangan tahunan. Keputusan Menteri Kehutanan No. 05.1/Kpts-II/2000, dan pasal (4) Keputusan Menteri Kehutanan no. 88/Kpts-II/2003, pemilik IUPHHK wajib melakukan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) pada setiap petak di dalam Blok RKT dengan intensitas 100 % (resolusi tinggi) dan Inventarisasi Tegakan Tinggal di tempat yang sama dengan intensitas 100 %. Pasal (4) Keputusan Meneteri Kehutanan no. 149/Kpts-II/2003, dalam rangka penilaian ketaatan pemegang IUPHHK terhadap peraturan perundangan, pemegang IUPHHK melakukan presentasi dihadapan kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri. Pasal (6) Keputusan Meneteri Kehutanan No. 208/Kpts-II/2003, bahwa penilaian kinerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam di unit manajemen dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen yang ditetapkan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal (10) bahwa biaya penilian tahap pertama disediakan oleh Departemen Kehutanan, dan untuk penilaian berikutnya dibebankan kepada masingmasing badan usaha. Pasal (3) Keputusan Menteri Kehutanan no. 150/Kpts-II/2003, dalam rangka penyerahan IUPHHK sebelum jangka waktu ijin berakhir terlebih dahulu dilakukan audit komprehensif. Pada pasal (4) diatur bahwa untuk keperluan audit komprehensif
tersebut pemegang IUPHHK wajib melakukan presentasi
dihadapan kelompok kerja yang dibentuk Menteri. Peraturan-peraturan tersebut di atas menunjukkan bahwa untuk memonitor ketaatan perusahaan dan kondisi hutan di lapangan, pemerintah sangat tergantung pada informasi yang disediakan oleh perusahaan. Dalam menilai kinerja tahap pertama pemerintah menyewa sendiri penilai independent, akan tetapi pada penilaian
123
tahap ke dua biaya penilaian dibebankan kepada perusahaan. Pengalihan sumber pembiayaan ini meningkatkan ketergantungan pemerintah pada perusahaan. Untuk menerbitkan jatah tebang tahunan yang dituangkan di dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan dan pemerintah memerlukan data riap pohon pada areal tertentu. Data riap ini diperoleh dari data riap pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP) yang ada diperusahaan yang bersangkutan. Permasalahannya adalah bahwa lokasi penebangan berbeda dengan lokasi PUP, sehingga data riap pada PUP tidak menggambarkan riap pada lokasi penebangan. Secara umum tergambar bahwa penguasaan informasi oleh pemerintah masih tetap lemah, perusahaan lebih menguasai informasi tentang kondisi hutannya dari pada pemerintah, sehingga terjadi informasi yang tidak simetrik dimana pembeli lebih menguasai informasi dari pada penjual (pemerintah). Tidak ada perbedaan pengaturan dari periode sebelum 1999 dengan periode sesudahnya, hingga laporan ini disusun.
4.3.4. Perversi Kekuasaan Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan IUPHHK mengandung unsur-unsur kepentingan pihak pengelola (pemerintah) dan pihak pengguna ( penerima IUPHHK). Masing-masing pihak mempunyai kepentingan untuk menyukseskan misinya, pihak pengelola berkepentingan untuk mengoptimalkan manfaat hutan, misi ini terwujud apabila pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari (penjelasan pasal 23, Undang-undang no. 41/1999). Penerima IUPHHK yang merupakan entitas bisnis bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan yang menurut Hampton (1989) akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset
124
menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Hubungan antara pengelola dan pengguna diatur dalam peraturan pemerintah no. 34/2002 dan peraturan-peraturan lain yang berupa kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna dalam rangka transaksi IUPHHK. Prinsip Excludibilitas mengharuskan entitas dapat menjamin terjadinya situasi dimana pihak yang menanggung beban adalah pihak yang memperoleh manfaat, sebaliknya pihak yang memperoleh manfaat harus dipastikan sebagai penanggung seluruh beban yang diakibatkan. Dengan mengidentifikasi pihak-pihak penanggung beban secara langsung yang timbul dari kewajiban, dan pihak yang menikmati secara langsung hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, maka dapat diketahui posisi excludabilitas dari kewajiban tersebut. Berdasarkan PP. No. 34/2002 dan Surat ijin usaha yang diterbitkan Menteri Kehutanan, teridentifikasi sebanyak 17 jenis kewajiban teknik yang terkait dengan pengelolaan hutan, kewjiban ini merupakan bentuk pembayaran transaksi bukan dalam satuan moneter. Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 17 jenis kewajiban, seluruh beban pelaksanaannya ditanggung oleh pengguna (pemilik IUPHHK) sedangkan seluruh manfaatnya dinikmati oleh pengelola, terdapat dua jenis manfaat yang menjadi kepentingan kedua belah pihak. Dari sisi pandang keputusan pilihan metode transaksi tunai dan nontunai, maka pengaturan seperti ini bisa tidak menimbulkan masalah jika kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama dan mempunyai kapasitas untuk mengukur kualitas hasil pelaksanaan kewajiban. Pihak pengelola berkepentingan untuk mendapatkan hasil pelaksanaan kewajiban dengan kualitas terbaik agar misi sebagai pengelola dapat dicapai. Sedangkan pihak
125
pengguna berkepentingan untuk meminimumkan biaya agar keuntungan maksimum dapat dicapai. Dalam kondisi pengguna memiliki kebebasan memilih teknologi maka pengguna dapat meminimumkan biaya dengan teknologi yang paling efisien. Namun dalam hal ini pengguna tidak dapat memilih teknologinya sendiri, pemerintah melalui Menteri Kehutanan bertindak sebagai penentu pilihan teknologi. Dengan kendala seperti ini, maka upaya meminimumkan biaya dapat mempengaruhi penurunan kualitas pelaksanaan kewajiban. Apakah keputusan ini yang menjadi pilihan pengguna, kondisi empiriknya akan dibahas pada bab VI. Adanya perbedaan kepentingan ini, menunjukkan bahwa pengguna melaksanakan kegiatan yang tidak menjadi kepentingan langsungnya, melainkan melaksanakan yang menjadi kepentingan pihak lain. Kewajiban adalah sebuah tindakan yang dipertanggung-jawabkan kepada pemberi kewajiban, dan dianggap selesai apabila pemberi kewajiban menilai bahwa kewajiban tersebut telah terpenuhi. Hal ini membawa implikasi bahwa pemberi kewajiban dituntut untuk memiliki informasi yang cukup baik dan lengkap untuk mengetahui setiap detail pelaksanaan kewajiban dan kualitas hasilnya. Tetapi pada bagian terdahulu diketahui bahwa kepampuan pemerintah lemah, bahkan pengguna menguasai informasi yang lebih baik daripada pengelola.
126
Tabel 23. Peletakan Penanggung Beban dan Pemanfaat Langsung Kode
Kewajiban
Hasil akhir / kegunaan
Informasi Detail Unit Inventarisasi Hutan Tingkat Pengelola / 1 Unit Pengelolaan Hutan perncanaan Inventarisasi Tegakan Potensi penebangan / 2 Sebelum Penebangan niliai atribut Invetarisasi Tegakan Informasi kondisi 3 Tinggal hutan/ pemeliharaan Pengelolaan Petak Ukur Informasi riap / 4 Permanen perencanaan Penataan Hutan kedalam Desain pengelolaan 5 Blok dan Petak hutan Pelaksanaan Tata Batas 6 Areal Kerja Klaim areal Membuat Rencana Kerja (Pengelolaan) seluruh 7 jangka waktu Rencana pengelolan Melaksanakan teknik silvikultur yang ditentukan Membangun Stok 8 Menteri Kehutanan Tegakan Penanaman dan rehabilitasi Membangun Stok 9 hutan Tegakan Membangun Stok 10 Pengayaan tegakan tinggal Tegakan Membangun Stok Melaksanakan perlindungan Tegakan / melindungi 11 hutan "asset" Mengajukan ijin 12 penggunaan peralatan Alat Pengawasan Mengajukan ijin pengalihan 13 saham Alat Pengawasan Melakukan penatausahaan kayu (LHC, LPKP, SKSHH, 14 dll) Alat Pengawasan Klaim / melindungi 15 Memelihara Pal Batas "asset" Membangun Stok Alokasi dan pemeliharaan Tegakan / melindungi 16 kawasan lindung "asset" Membangun Stok Konservasi keanekaragaman Tegakan / melindungi 17 hayati "asset"
Penanggung Pemanfaat Penggun Pengelol Penggun Pengel a a a ola
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
127
Bila kewajiban tersebut di atas dipetakan berdasarkan tingkat kepentingan masingmasing pihak, didapatkan gambaran keberadaan aturan yang mengandung konflik kepentingan, hasilnya adalah sebagai Gambar 20. Undang-undang menetapkan bahwa pengelolaan hutan tingkat unit menjadi tanggung jawab pemerintah, untuk melaksanakannya pemerintah mempunyai pilihan yaitu melaksanakan sendiri melalui penguatan organisasi pengelola KPHP, atau mengalihkan tanggung jawab pelaksanaannya kepada pihak lain (IUPHHK) melalui pengaturan kontrak dengan membebankan kewajiban teknik pengelolaan hutan. Memperhatikan pendapat Van den Berg (2001) dan Plastrick (2001), yang mengingatkan bahwa bukan saja karena birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya, dan mengingat bahwa salah satu peran pemerintah adalah membuat peraturan, maka peraturan menjadi salah satu bentuk alat yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan, namun juga perlu dipahami bahwa pemegang kekuasaan juga cenderung mencari cara-cara yang paling menguntungkan bagi kepentingannya meskipun atas beban pihak lain. Gambar 20 memberikan ilustrasi tentang adanya cara-cara mengambil keuntungan bagi kepentingan pemerintah atas beban pihak lain. Sejalan dengan keputusan pemerintah untuk tidak memperkuat organisasi KPHP yang tercermin dari kedua peraturan pemerintah yang disebutkan terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah dengan sengaja mengambil keputusan untuk mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan penerima IUPHHK dengan cara memberikan beban kewajiban pengelolaan hutan. Dalam terminologi Van den Berg (2001), tindakan ini tergolong sebagai perversi kekuasaan (perversion of power), yaitu bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang akan mengarah
128
kepada memberikan keuntungan kepada suatu pihak atas beban pihak-pihak yang lain. Dalam pandangan North (1987), pilihan ini merupakan kecenderungan yang umum terjadi dalam sejarah keputusan politik yang membuat institusi tidak efisien .
4.3.5. Konflik Kepentingan Pengelola dan Pengguna Sebagaimana diingatkan oleh Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) bahwa diperlukan pembatasan peran negara agar tidak masuk terlalu jauh dalam urusan bisnis tingkat mikro, karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktoraktor sosial lainnya. Dalam pandangan Van den Berg (2001), dan Stiglitz (2000), pemerintah perlu mengambil peran sebagai regulator dan penegak aturan. Dalam konsep North (1990), agar institusi dapat efisien harus dipisahkan antara aturan main dengan pemainnya. Pemerintah sebagai pembuat aturan main dan wasit , tidak dapat sekaligus menjadi pemain untuk menghindari adanya konflik kepentingan. Penjelasan-penjelasan pada bagian ini dan bagian-bagian terdahulu, menunjukkan bahwa dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah telah memasuki wilayah-wilayah mikro. Pemerintah bertindak sebagai pembuat peraturan, wasit yang bertugas menegakkan aturan, tetapi pada saat yang bersamaan juga menjadi pemain. Perannya sebagai pemain ditunjukkan dalam keterlibatannya menentukan pilihan teknologi, persetujuan rencana usaha dari setiap penerima ijin usaha, mengatur kebutuhan tenaga profesional, menentukan jenis-jenis alat, menentukan hubungan kontrak dengan pengguna. Dalam pandangan North (1990) keterlibatan pemerintah
129
sebagai pemain dapat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi
Pemanfaat langsung
pembuatan peraturan maupun konsistensi penegakan aturan main.
Pengelola Hutan (Mikro)
Pengguna Ijin
(Mikro)
Beban dan Manfaat Kewajiban IUPHHK
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)
(1) (2)
Pengguna Ijin Pengelola Hutan (Mikro (Mikro) Penanggung Beban
Gambar 20. Kepentingan Pengelola dan Pengguna atas Kewajiban IUPHHK
Dalam menjawab persoalan penurunan produksi hutan alam, terdapat dua kebijakan pemerintah dalam bentuk goyangan teknologi (technological shock) yang berharga untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan konflik kepentingan peran sebagai regulator dan sebagai pemain, yaitu peraturan Menteri Kehutanan tentang teknik silvikultur intensif (SILIN) dan peraturan Menteri N0. 11/Menhut-II/2010 yang menurunkan batas diameter pohon yang dapat ditebang.
Hasil penelitian
Heriansyah I (2008), menyimpulkan bahwa SILIN tidak tepat diimplementasikan sebagai teknik silvikultur untuk menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari, teknik ini mengandung resiko kegagalan ekonomi yang besar dan cenderung
130
menimbulkan masalah ekologi. Kesimpulan ini didasarkan pada temuan hasil kajian bahwa (1) bibit yang digunakan bukan bibit hasil pemuliaan sebagaimana ditentukan dalam aturan, melainkan berasal dari cabutan alam yang dipelihara secara masal dipersemaian dengan kualitas yang bervariasi; (2) akibat pemanenan kayu mulai diameter 40 cm semakin banyak tegakan tinggal yang rusak dan tidak produktif, dan adanya pembuatan jalur tanam dengan tingkat pembukaan 15-50% membuat kondisi hutan semakin sulit untuk dipulihkan dan semakin banyak sumber genetik yang hilang; (3) jalur tanam 3 meter hanya mampu mengakomodasi pertumbuhan sampai umur sekitar 3 tahun dan persen pertumbuhan tanaman merosot setelah melewati masa 3 tahun, sehingga target produksi tidak mungkin dapat dicapai; dan (4) jenis yang dikembangkan tidak mewakili jenis yang dipanen tetapi terbatas pada jenis yang cepat tumbuh dan intoleran, sehingga akan mengancam biodiversitas. Hasil Heriansyah (2008) menunjukkan bahwa regulator menciptakan aturan main yang dapat memastikan kepentingan jangka pendeknya yaitu peningkatan produksi dapat dipenuhi dengan resiko ketidak pastian atas kepentingan jangka panjang. Kepentingan jangka pendek berupa peningkatan produksi adalah kepentingan yang lebih melekat pada kepentingan perusahaan bukan kepentingan pemerintah sebagai pengelola hutan yang harus membangun hutan berkualitas tinggi. Dominasi kepentingan perusahaan dalam keputusan ini adalah sejalan dengan pendapat Hampton (1989) bahwa untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Keputusan untuk menurunkan batas diameter berimplikasi mempercepat konversi asset mengganggur
131
menjadi uang tunai. Sementara kegiatan pemeliharaan hutan adalah menyimpan uang kedalam hutan sebagai asset yang menganggur. Sejalan dengan kesimpulan penelitian Heriansyah tersebut, Peraturan Menteri Kehutanan No. 11/Menhut-II/2010, yang menurunkan batas diameter dari 50 Cm menjadi 40 Cm adalah bentuk legalisasi dari kepentingan percepatan konversi asset menganggur menjadi uang tunai. Kebijakan ini menjawab kepentingan jangka pendek, dan tidak berhubungan dengan kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan. Dalam hal ini kepentingan pengusaha IUPHK bertemu dengan kepentingan jangka pendek pemerintah dengan mengorbankan kepentingan jangka panjangnya. Dampak kerusakan hutan yang terjadi akibat keputusan ini akan ditanggung oleh sebagian rakyat dalam bentuk eksternalitas negatif dan perusahaan-perusahaan atau generasi yang akan datang. Jika dipandang dari pengertian tentang perversi kekuasaan menurut Van den Berg (2001), peraturan-peraturan tersebut adalah bentuk penggunaan kekuasaan yang menguntungkan kelompok tertentu (pemerintah dan perusahaan IUPHHK yang sekarang) atas beban yang harus ditanggung oleh sebagian besar rakyat dan generasi yang akan datang. Selanjutnya konflik kepentingan juga dapat dilihat dari pengaturan tentang sanksi, berdasarkan peraturan pemerintah no. 34/2002, diluar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU41/1999,
jenis-jenis sanksi administratif yang dapat dikenakan
kepada pemilik IUPHHK terdiri dari : (a) penghentian sementara pelayanan administrasi, (b) penghentian sementara kegiatan di lapangan, (c) denda administrasi, (d) pengurangan areal kerja, dan (e) pencabutan ijin. Dalam konsep regulasi Scott (2008) sanksi diperlukan untuk mempengaruhi perilaku kedepan agar di hari
132
kemudian berperilaku sesuai dengan norma yang dikehendaki. Apabila diperhatikan sanksi-sanksi tersebut bukan hanya berdampak kepada perusahaan melainkan dapat berdampak kepada pemerintah juga. Sanksi penghentian sementara pelayanan administrasi adalah berupa penghentian sementara pelayanan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dokumen yang diperlukan untuk pengangkutan kayu keluar dari lokasi penebangan. Penerapan secara konsisten atas sanksi ini dapat menurunkan suplai kayu di pasar dan suplai ke industri pengolahan kayu. Jika pelanggaran yang berakibat pengenaan sanksi ini bersifat masif, maka akan terjadi penurunan kualitas stok tebangan kayu di hutan dalam jumlah besar, dan kelangkaan suplai log sehingga perekonomian akan terganggu. Jika hal ini terjadi maka kepentingan pemerintah juga terganggu. Sanksi berupa penghentian sementara kegiatan lapangan dan sanksi pencabutan ijin, akan mempunyai dampak berupa pengurangan produksi kayu, sehingga akan membuat target produksi kayu nasional tidak tercapai, target penerimaan Negara dari DR dan PSDH tidak tercapai pula. Penerapan sanksi-sanksi tersebut memiliki implikasi negatif pada kepentingan pemerintah. Disatu sisi pemerintah membuat kebijakan yang mengarah kepada peningkatan produksi bahkan dengan cara menurunkan batas diameter yang mengandung resiko kerusakan hutan, namun disisi lain sanksi yang dibuat berakibat pada penurunan produksi. Sanksi yang mengandung unsur konflik yaitu apabila diterapkan akan mempengaruhi tujuan yang lainnya, sehingga pemerintah akan sulit untuk menerapkan aturan yang dibuatnya sendiri.
133
4.3.6. Biaya Transaksi IUPHHK Sebagaimana dikemukakan oleh North (1991) bahwa yang dimaksud dengan biaya transaksi adalah biaya untuk mengukur nilai atribut suatu barang atau jasa yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungi penguasaan atas barang (exclusion cost), dan biaya untuk membuat kontrak (contractual cost) serta biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Dengan menggunakan batasan Costanza (2001), IUPHHK dapat dimaknai sebagai transaksi asset yang berupa tegakan hutan
dari penguasaan negara
kepada
perusahaan. Sedangkan cakupan biaya transaksi menurut pengertian North (1991), adalah biaya peninjauan lapangan untuk mendapatkan data/informasi lapangan (pasal 8, Permenhut No. P.15/Menhut-II/2004), biaya inventarisasi hutan, inventarisasi sebelum penebangan, inventarisasi tegakan tinggal, dan biaya penyelenggaraan Petak Ukur Permanen (PUP). Biaya-biaya ini adalah biaya untuk mendapatkan informasi. Biaya proses perijinan meliputi : biaya-biaya penyusunan proposal, perolehan rekomendasi gubernur dan Bupati/walikota, menyusun AMDAL, UKL dan UPL, dan Biaya Iuran IUPHHK (pasal 6, 15 dan 19, Permenhut No. P.15/Menhut-II/2004) Biaya-biaya yang terkait dengan pelaksanaan dan berimplikasi pada pengelolaan hutan meliputi : pembuatan rencana kerja, penataan batas areal kerja, penanaman/ rehabilitasi dan pengayaan, pemeliharaan tanaman. Sedangkan biaya untuk untuk melindungi penguasaan atas haknya (exclusion cost) adalah biaya pengamanan dan perlindungan hutan dan biaya-biaya yang terkait dengan peñata-usahaan kayu. Jika dikaitkan dengan pengertian (Scott, 2008) dan kedudukan pemilik IUPHHK sebagai pengguna (pemanfaat), sesungguhnya yang ditransaksikan adalah kayu hasil
134
produksi di hutan Negara yang dibayar dalam bentuk transaksi tunai dan non-tunai. Transaksi tunai adalah berupa pembayaran iuran ijin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi. Sedangkan transaksi non-tunai adalah berupa pemenuhan kewajiban-kewajiban non financial seperti, inventarisasi hutan, pengajuan berbagai rencana, tata batas, pembinaan hutan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan biaya pengelolaan hutan dan tidak berkaitan langsung dengan kepentingannya sebagai pengguna / pemanfaat. Tabel 24 berikut ini menyajikan jenisjenis biaya yang digolongkan sebagai biaya transaksi. Tabel 24. Jenis-jenis biaya IUPHHK (sebagai pengguna) yang Digolongkan sebagai Biaya Transaksi Tunai dan Non-tunai Kategori Biaya NonPeruntukan Pembiayaan Tunai Transaksi Tunai Biaya Informasi Survey pra lelang Inventarisasi Hutan x Biaya Kontrak Persyaratan lelang x Proses lelang x Iuran IUPHHK x Biaya Penyusunan Rencana (RKUPHHK), Pelaksanaan Rencana Kerja 5 tahun, Rencana Kerja x Tahunan. Penataan Batas Areal Kerja x Pembinaan hutan x Membayar PSDH x Membayar DR x Perlindungan Perlindungan Hutan X Penata Usahaan Kayu X
Peranan biaya transaksi merugikan yang tinggi terhadap kinerja pengelolaan hutan lestari telah dipastikan oleh Mardipriyono (2004), yang menunjukkan bahwa biayabiaya transaksi merugikan yang tinggi tersebut menyebabkan perusahaan tidak memberikan perhatian terhadap upaya-upaya pencapaian kinerja pengelolaan hutan
135
lestari. Sejalan dengan hal ini Darusman dan Bahruni (2003) mengkonfirmasikan bahwa biaya-biaya untuk pengelolaan hutan lestari tidak berpengaruh secara nyata terhadap total biaya produksi, hal ini mengindikasikan bahwa dari segi pembiayaan terdapat faktor-faktor biaya lainnya yang lebih berpengaruh. Keduanya menunjukkan bahwa institusi yang dibangun setelah berlakunya undang-undang no 41 tahun 1999, belum mampu memberi insentif bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Hasil penelitian Kartodihardjo (1998) mendapatkan bahwa biaya transaksi yang terjadi di perusahaan HPH berkisar antara 24% sampai dengan 46% dari biaya produksi. Jumlah ini merupakan porsi yang besar, sehingga mengindikasikan adanya biaya transaksi yang tinggi. Sementara Mardipriyono (2004), menunjukkan biaya transaksi pada perusahaan penerima IUPHHK sebagai Tabel 25 berikut : Tabel 25. Biaya Transaksi Pada Biaya Produksi Kayu Bulat
No
Sumber Perhitungan Biaya Produksi
Total Biaya Produksi* Rp/M3
Biaya Transaksi Rp/M3
%
608 523 783 985
93 924 93 924
15.43 11.98
434 454 688 714
168 696 153 474
38.83 22.28
I
Penelitian Mardipriyono 2004 1. Hutan Rawa 2. Hutan Kering II Penelitian Darusman & Bahruni 2003** 1. Hutan Rawa 2. Hutan Kering Sumber : Diolah dari Mardipriyono (2004)
* : Biaya produksi tertinggi ** : Dihitung berdasarkan laporan audit keuangan
136
4.4. Proses Pemilihan Perusahaan Penerima IUPHHK Pemilihan perusahaan yang akan menerima IUPHHK diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan nomor 32/Kpts-II/2003, yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.15/Menhut-II/2004, dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.20/Menhut-II/2007. Pernyataan tujuan yang hendak dicapai oleh ketiga peraturan tersebut, disajikan secara berturut-turut sebagai berikut :
1. “untuk mendapatkan penawar profesional dan berkualitas serta mempunyai komitmen yang tinggi dalam pemanfaatan hutan secara lestari” 2. “untuk mendapatkan penawar profesional dan berkualitas serta mempunyai komitmen yang tinggi dalam pemanfaatan hutan secara lestari” 3. “diperolehnya pengelola hutan produksi yang profesional dan akuntabel ….. dalam rangka peningkatan investasi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan perbaikan kualitas lingkungan hidup”
Ketiga pernyataan tujuan tersebut mengharapkan bahwa proses pemilihan dapat memperoleh mitra kerja yang berkualitas tinggi dan kompeten. Namun demikian dari pernyataan tujuan tersebut terindikasikan bahwa pemerintah tidak membedakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga pemerintah tidak membedakan entitas yang kompeten bagi keduanya. Sebagai implikasinya pemerintah tidak membedakan antara pengguna dengan pengelola. Apa yang dimaksudkan sebagai entitas yang berkualitas tinggi, profesional dan kompeten, dapat dipelajari dari syarat kualifikasi dari peserta lelang dan pemohon ijin. Entitas dianggap berkualitas apabila dapat menunjukkan status legalitasnya yang berupa dokumen persyaratan administrasi, dan dianggap kompeten apabila dapat
137
melewati saringan uji kelayakan yang meliputi : (1) visi dan misi yang jelas dalam pemanfaatan hutan lestari, (2) kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan, (3) catatan prestasi, pengalaman dan pengetahuan dalam pemanfaatan hutan, dan (4) memiliki sumberdaya manusia yang cukup dan berkualitas.
Peraturan-peraturan
tersebut diatas tidak mengatur dengan jelas indikator-indikator yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur variabel-variable yang diuji. Terhadap peserta atau pemohon yang dinyatakan sebagai pemenang, maka panitia mengajukan kepada Menteri Kehutanan calon penerima IUPHHK untuk ditetapkan, dan atas dasar ketetapan Menteri ini entitas yang dianggap berkualitas dan kompeten tersebut diperintahkan untuk mencari rekomendasi dari bupati/walikota dan gubernur, dan memenuhi persyaratan lainnya. Rekomendasi tersebut menyangkut kelayakan areal yang akan diusahakan dan rekomendasi tentang kemampuannya. Apabila dalam 150 hari kerja rekomendasi bupati dan rekomendasi gubernur serta persyaratan lainnya tidak dapat dipenuhi, maka ketetapan tersebut dibatalkan. Dengan demikian proses-proses seleksi, kualifikasi dan uji kelayakan tidak dapat memberikan kepastian bagi para peserta. Dalam proses ini yang menentukan sesuatu pihak dapat memperoleh IUPHHK adalah rekomendasi bupati dan gubernur. Pemenang lelang yang telah mengikuti proses dan ditetapkan oleh menteri dapat batal menerima IUPHHK jika tidak mendapat rekomendasi bupati dan gubernur. Proses lelang pada dasarnya dimaksudkan agar perolehan IUPHHK dapat dilakukan melalui pasar bersaing sehingga peluang untuk mendapatkan entitas yang berkualitas tinggi dan kompeten lebih besar, namun mekanisme pasar ini terdistorsi oleh aturan main itu sendiri yang memberikan hak monopoli kepada bupati dan
138
gubernur. Dengan demikian mekanisme pemilihan perusahaan penerima IUPHHK beresiko terjadi kesalahan pemilihan, sehingga dimungkinkan adanya perusahaanperusahaan yang tidak berkualitas memasuki usaha pemanfaatan hasil hutan.
4.5. Mekanisme Penilaian Kinerja IUPHHK Keputusan Menteri Kehutanan 149/Kpts-II/2003, menyebutkan bahwa penilaian terhadap pemegang IUPHHK dimaksudkan untuk mengevaluasi ketaatannya terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Adapun penilaiannya dilakukan oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri, informasi-informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian tersebut didapatkan dari presentasi perusahaan dihadapan kelompok kerja yang dihadiri oleh direksi dan komisaris perusahaan. Mekanisme yang diatur dalam keputusan Menteri ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki informasi guna menilai ketaatan perusahaan, informasi yang diperlukan hanya didapatkan dari perusahaan yang akan dievaluasi. Sedangkan keputusan Menteri Kehutanan no. 280/Kpts-II/2003, menyebutkan bahwa tujuan penilaian kinerja usaha pemanfaatan hasil hutan adalah untuk melakukan pembinaan dan sebagai sarana untuk mendapatkan bahan pertimbangan pengambilan keputusan atas perpanjangan dan persetujuan pemberian IUPHHK. Penilaian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari pada unit manajemen sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan nomor 4795/Kpts-II/2002. Peraturan ini menunjukkan dua hal penting yaitu, pertama pemerintah tidak memiliki perangkat mekanisme yang
139
menyatu (build in mechanisme) yang dapat menyediakan informasi secara reguler atas kinerja pengelolaan hutan, hal ini memperkuat penjelasan pada bagian-bagian terdahulu bahwa kemampuan pemerintah dalam penguasaan informasi tentang hutan dan pelaksanaan perjanjian kontrak adalah lemah. Kedua mengingat bahwa obyek yang dinilai adalah entitas perusahaan penerima IUPHHK dan kriteria penilaian yang digunakan adalah kriteria dan indikator PHL maka pemerintah memandang, pihak yang dianggap bertanggung jawab mengelola hutan adalah perusahaan IUPHHK. Hal yang kedua ini mengonfirmasi bahwa pemerintah tidak membedakan kedudukan perusahaan sebagai pengguna (pemanfaat) dengan kedudukannya sebagai pengelola. Berdasarkan kepada pernyataan tujuan dari dua peraturan tersebut dapat dipahami bahwa evaluasi dan penilaian kinerja perusahaan penerima IUPHHK adalah untuk mengetahui praktek-praktek pengelolaan hutan lestari. Mengingat bahwa pilihan teknik pengelolaan dan pemanfaatan hutan dibuat dalam bentuk peraturan, maka praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan adalah bentuk aktualisasi peraturan. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan tujuan pada peraturan yang pertama, tujuan dari evaluasi dan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan perusahaan dalam rangka pelolaan hutan secara lestari. Peraturan penilaian kinerja mengatur bahwa kegiatan penilaian kinerja dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen yang telah lulus kualifikasi di Departemen Kehutanan. Penilaian kinerja ini dilakukan secara periodik yaitu setiap kurun waktu tiga tahun. Diatur pula bahwa biaya penilaian yang pertama kali pada setiap perusahaan ditanggung oleh pemerintah, namun biaya penilaian periode kedua dan seterusnya dibebankan pada anggaran perusahaan yang bersangkutan.
140
Jika diperhatikan tujuan dari penilaian kinerja, dapat dimaknai bahwa kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah yaitu sebagai evaluasi ketaatan pelaksanaan peraturan perundangan dan sebagai bahan pengambilan keputusan perpanjangan dan pemberian IUPHHK. Dengan mengatur bahwa biaya penilaian tahap kedua dan seterusnya menjadi beban perusahaan, maka pemerintah telah melakukan perversi kekuasaan yaitu mengambil keuntungan atas beban pihak lain, disamping itu juga menciptakan konflik kepentingan. Proses penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilai dilakukan melalui beberapa tahapan, pertama menetapkan nilai penting dari setiap indikator, penetapkan tingkat penting indikator pada prinsipnya adalah dengan memperhatikan perkembangan dan perubahan-perubahan faktor-faktor internal dan eksternal untuk mendapatkan issue penting yang actual berkaitan dengan pencapaian pengelolaan hutan lestari. Nilai penting diberikan berdasarkan hasil penilaian tingkat sensitifitas (kerawanan) unit manajemen berdasarkan konteks baku atau kondisi yang bersifat normal. Konteks baku ditunjukkan oleh tipologi akhir yang aman yang dihadapi oleh IUPHHK dengan pengalaman lebih dari lima tahun. Suatu indikator dianggap penting apabila obyek yang dinilai memerlukan perbedaan perhatian, konsekwensi penilaian khusus, derajad substansi yang lebih tajam dan makna penilaian yang lebih tinggi. Sebaliknya tidak penting apabila tidak memerlukan hal tersebut diatas. Dengan demikian nilai akhir yang didapatkan oleh suatu perusahaan adalah gambaran tentang perilakunya dalam menempatkan skala prioritas orientasinya pada pencapaian pengelolaan hutan lestari. Jika perusahaan mendapatkan nilai baik untuk semua indikator, berarti perusahaan tersebut telah dapat menempatkan kepentingan
141
PHL sebagai prioritas kegiatan, dan sebaliknya jika nilai akhir buruk maka PHL bukan menjadi prioritasnya. Kemampuan memilih prioritas ini juga mencerminkan komitmennya terhadap praktek PHL, yang dilaksanakan berdasarkan aturan main. Ke dua berdasarkan nilai penting tersebut ditetapkan indikator-indikator fokus, yaitu indikator yang dianggap mempunyai peran penting dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya pada setiap indikator ditetapkan beberapa verifier, yaitu variabel-variabel yang diverifikasi dilapangan. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara membandingkan ketentuan atau standard yang berlaku dengan realisasi dilapangan, verifikasi juga dilakukan dengan membandingkan dokumen perencanaan dengan realisasinya di lapangan. Hasil verifikasi ini kemudian diklasifikasikan kedalam nilai baik, sedang dan buruk, dengan kriteria klasifikasi sebagaimana tersaji pada lampiran 7. Nilai-nilai verifyer ini dapat menggambarkan tingkat ketaatan perusahaan dalam melaksanakan peraturan. Bobot tertimbang dari nilai penting, dan nilai verifyer pada indikator fokus merupakan nilai dari setiap indikator. Berdasarkan nilai tersebut kemudian dilakukan perhitungan klasifikasi nilai akhir dengan formula sebagai berikut : Total Nilai Penting
=
A
Nilai Akhir Maksimum (X) =
A x B, dimana B nilai bobot verifyer tertinggi
Nilai Akhri Minimum (Y) =
A x C, dimana C nilai bobot verifyer terrendah
Range ( R )
= X-Y
Hasil Nilai Akhir
= Z
Predikat Kinerja dilakukan dengan membandingkan posisi nilai Z terhadap hasil perhitungan berikut ini :
142
Tabel 26. Kriteria Predikat Nilai Akhir Perhitungan > 90 % x R 75% x R s/d 89,9% x R 66% x R s/d 74,9 x R 50% x R s/d 65,9 x R < 50% x R
Perdikat Kinerja Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
Berdasarkan mekanisme tersebut diatas, hasil penilaian kinerja perusahaan IUPHHK pada tingkat unit manajemen ini tidak merefleksikan kinerja dalam mencapai pengelolaan hutan lestari karena beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, variabel-variabel yang diukur adalah berupa tingkat ketaatan perusahaan dalam melaksanakan peraturan, oleh karena itu yang dapat digambarkan dari hasil penilaian ini adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan. Selain itu dapat digambarkan kecenderungan perilaku perusahaan dalam memilih prioritas tindakan yang dilakukan dalam kaitannya dengan praktek PHL. Kedua, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan PHL dibuat dengan asumsi bahwa jika peraturan ini dilaksanakan dapat menjamin terjadinya praktek pengelolaan hutan lestari. Sampai dengan saat ini asumsi ini belum teruji kebenarannya, selama 40 tahun sejarah dimulainya pengusahaan hutan alam belum ditemukan adanya perusahaan yang terbukti dapat mengelola hutannya secara lestari sebagai akibat dari pelaksanaan peraturan. Terdapat kemungkinan bahwa meskipun peraturan diterapkan secara penuh disiplin namun tidak menghasilkan kinerja berupa hutan produksi lestari, sebaliknya dapat pula terjadi bahwa meskipun tidak melaksanakannya secara penuh namun menghasilkan kinerja pengelolaan hutan lestari.
V. RESPON PEMERINTAH,PERUSAHAAN DAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN ATAS PERUBAHAN INSTITUSI Pada bab ini akan dibahas hasil kerja pemerintah dalam menyediakan syarat perlu pengelolaan hutan yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan tingkat unit manajemen. Peran pemerintah lainnya adalah penegakan aturan, disini akan diulas kemampuan pemerintah dalam menegakan aturan main pengelolaan hutan, dan pada bagian akhir dibahas tentang penegakan hukum pidana kehutanan.
5.1. Respon Pemerintah 5.1.1. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Salah satu tugas yang diperintahkan oleh UU.41/1999 kepada pemerintah adalah membentuk wilayah pengelolan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan tingkat unit manajemen yang disebut sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) merupakan syarat perlu bagi pelaksanaan teknik-teknik pengelolaan hutan lestari. Sebagai syarat perlu, maka KPHP harus dapat dihadirkan oleh pemerintah, jumlah KPHP yang telah ada sampai dengan 2007, seperti terlihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perkembangan Pembentukan KPHP Rasio terhadap Jumlah KPHP Luas KPHP Tahun luas hutan Produksi(1) (unit) (Ha) (%) 2003 2004 2005 2006 2007
0 18 32 60 74
0 284.318 832.077 1.907.962 2.405.742
0 0,48 1,41 3,23 4,07
Sumber : Departemen Kehutanan .2008. Statistik Kehutanan 2007. (1)
Luas Hutan Produksi Tetap 59.152.642 Ha, Departemen Kehutanan (2007)
144
KPHP yang telah selesai dibentuk mencapai 4,07 %, jumlah ini belum cukup sebagai landasan pengelolaan hutan lestari secara nasional. Pembentukan KPHP adalah syarat perlu untuk menjalankan praktek pengelolaan hutan lestari. Sebagai syarat perlu (necessary condition) maka keberadaanya menjadi sebuah keharusan, tanpa KPHP maka praktek-praktek pengelolaan yang dijalankan tidak menjamin terjadinya pengelolaan hutan lestari. Akibat perubahan orientasi pengusahaan hutan dari kayu ke sumberdaya hutan, maka tingkat kepentingan KPHP semakin tinggi. Sebelum berlaku UU.41/1999, unit kelestarian diletakkan pada satuan HPH, atau bagian HPH
dan berorientasi pada kelestarian hasil kayu (sustained yield).
Perubahan orientasi pada optimalisasi manfaat dan adanya berbagai jenis usaha dan pelaku usaha di dalam setiap KPHP, tidak dapat disikapi hanya dengan menyetarakan HPH sebagai KPHP, sebagaimana yang diatur dalam Permenhut nomor 10/KptsII/2007. Indikasi penyetaraan KPHP dengan HPH atau IUPHHK terdapat pada indikator sasaran program jangka menengah Departemen Kehutanan yaitu : “Sebanyak 59 pemegang IUPHHK-HA dan HT memiliki sertifikat PHL mandatory dan mampu menyelenggarakan pengelolaan hutan secara lestari” (Departemen Kehutanan. 2009). Hal senada juga diatur di dalam Permenhut No. 208/kpts-II/2003 tentang Tatacara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Unit Manajemen dalam rangka Pengelolaan Hutan secara lestari yang medefinisikan unit manajemen sebagai “kesatuan hutan produksi terkecil yang dibebani IUPHHK pada hutan alam yang ditetapkan batas-batasnya secara jelas dan pemanfaatan hutan untuk mencapai hutan lestari berdasarkan rencana pemanfaatan hutan jangka panjang.”
145
Penyetaraan KPHP dengan IUPHHK dan memposisikannya sebagai pengelola menimbulkan banyak konflik, antara pengguna (pemanfaat) dan pengelola. KPHP adalah unit pengelolaan hutan yang dimaksudkan untuk memproduksi multiproduk sehingga diperoleh manfaat optimal, sedangkan IUPHHK hanya berorientasi pada produksi kayu saja, sehingga membebaninya dengan tugas-tugas pengelolaan untuk memproduksi selain yang menjadi kepentingannya, hal ini merupakan tindakan yang melembagakan kegagalan pasar. Di dalam setiap KPHP dapat diberikan berbagai macam jenis ijin usaha yang diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri, perijinan ini dapat mengganggu kepentingan IUPHHK. Untuk mengoperasionalkan KPHP, perlu diikuti dengan melengkapinya dengan organisasi pengelolanya, yang berupa struktur organisasi, prosedur-prosedur, personel dan sarana-prasarananya.
Namun dari sejumlah KPHP yang telah dinyatakan
terbentuk tersebut belum ada yang dilengkapi dengan organisasi pelaksananya. Pada peraturan pemerintah no. 6 /2007 telah diuraikan tentang organisasi dan tugas kepala pengelola KPHP namun kewenangan untuk melakukan transaksi atas hasilhasil produksinya tidak diberikan dengan alasan bahwa perijinan adalah wewenang publik. Ijin-ijin usaha yang ada di dalam KPHP sesungguhnya bukan merupakan wilayah kewenangan publik, melainkan bentuk transaksi komoditas yang bersifat individual, yaitu merupakan aktivitas kuadran satu pada Gambar 17.
5.1.2. Penegakan Aturan Administratif Berdasarkan peraturan pemerintah no. 34/2002, di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU. 41/1999, terdapat sejumlah 21 perbuatan yang dapat
146
dikenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif tersebut terdiri dari : (1)
penghentian sementara pelayanan administrasi, (2) penghentian sementara kegiatan di lapangan, (3) denda administrasi, (4) pengurangan areal kerja, dan (5) pencabutan ijin. Adapun jenis-jenis perbuatan dan sanksi dapat dilihat pada Table 28. Tabel. 28. Perbuatan dan Sanksi Administratif yang Dapat Dikenakan kepada Pemilik IUPHHK
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Sanksi a b c d E Tidak membuat laporan * * Tidak melakukan penataan batas * * Menggunakan peralatan kerja yang jumlah dan jenisnya tidak * Jenis Pelanggaran
sesuai dengan ijinnya Tidak memiliki tenaga profesional dibidang kehutanan dan tenaga lain sesuai kebutuhan Volume tebangan melebihi RKT/ijin Menebang sebelum RKT disahkan Menebang Koridor tanpa ijin Menebang di bawah limit diameter Menebang di luar blok Menebang di jalan angkutan diluar RKT Mengontrakkan atau menyerahkan seluruh kegiatan usahanya kepada pihak lain Tidak menanam sesuai rencana kerja yang ditetapkan Tidak melaksanakan Standar Akuntasi Kehutanan Tidak melaksanakan kerjasama dengan koperasi masyarakat Tidak melakukan usaha secara nyata selama 180 hari sejak ijin diberikan Tidak membayar pungutan kehutanan Meninggalkan areal kerja sebelum ijin berakhir Dikenakan hukuman pidana pasal 78 UU No. 41/1999 Tidak melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh Menteri Tidak membayar DR Tidak menyerahkan RKT, RKL, RKU dalam waktu yang telah ditentukan
Keterangan, (a) : penghentian sementara pelayanan administrasi, (b) : Penghentian sementara kegiatan di lapangan, (c) : denda administrasi, (d) : pengurangan areal kerja, dan (e): pencabutan ijin
* * * * * * * * * * * * * * * * * *
147
Selama periode antara tahun 2004 sampai dengan 2009, pemerintah telah mencabut sebanyak 59 IUPHHK, karena berbagai alasan. Tabel 29 menyajikan data pencabutan IUPHHK yang diklasifikasikan menurut alasan pencabutan dan kelompok umur kepemilikan ijin tersebut oleh peusahaan. Tabel 29. Pencabutan IUPHHK Berdasarkan Klasifikai Alasan dan Umur Ijin Tahun 2004 -2009 Kelas Umur ijin (Tahun) No Alasan Pencabutan Jumlah 0-5 6-10 11-15 16-20 1 Diserahkan Kembali oleh 1 8 4 4 17 Pemilik 2 Meninggalkan Areal Kerja 0 1 3 4 8 3 Tidak Mengajukan Ijin 1 1 0 2 4 Penggunaan Alat 4 Tidak Mengajukan URKT (3 0 3 9 8 20 tahun) 5 Tidak Menyusun RKU-PHHK 0 0 2 0 2 10 tahun 6 Tidak Membayar PSDH/DR 0 0 0 3 3 7 Tidak melaksanakan sistem 0 0 1 0 1 silvikultur 8 Melakukan Kontrak dengan 0 0 1 0 1 Pihak lain tidak sesuai ketentuan 9 Tidak melaksanakan pengalihan 0 0 0 1 1 saham 20% kepada masyarakat 10 Menjual Saham tanpa 0 0 1 0 1 persetujuan Menteri 11 Alasan lain 0 0 0 1 1 Jumlah 2 13 21 23 59 Sumber Departemen Kehutanan (2010). a
Pada periode 2004 sampai 2009 jumlah rata-rata ijin usaha yang beroperasi adalah 305 unit, jumlah yang dicabut mencapai 59 unit adalah hampir setara dengan 20 %, merupakan porsi jumlah yang besar. Pencabutan ini sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan rencana produksi tahunan selama
148
tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10 tahun. Perusahaan-perusahaan yang telah berpengalaman tentu tidak mengalami kesulitan untuk menyusun RKT, pasti ada alasan lain mengapa tidak mangajukan RKT.
Sebanyak 17 ijin dicabut karena
diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya. Sementara itu terdapat perusahaan yang dicabut ijinnya karena tidak mengajukan ijin penggunaan alat, terdapat hal yang menarik disini adalah bahwa terdapat 2 perusahaan yang pencabutannya dilakukan setelah menerima IUPHHK lebih dari 15 tahun. Dua perusahaan dicabut karena tidak membuat RKU10 tahun, selebihnya masing-masing satu perusahaan dicabut ijinnya karena alasan tidak melaksanakan sistem silvikultur dan alasan-alasan yang lainnya. Berdasarkan daftar nama IUPHHK yang telah mendapatkan peringatan dari Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam periode 2008-2009, diketahui bahwa terdapat 4 jenis pelanggaran yang dimonitor perkembangannya dan dinamika perkembangan peringatan I, II , III dan eksekusi atas sanksi terkait. Data tentang penerapan sanksi atas pelanggaran tersebut disajikan pada Tabel 30. Yang menarik dari data Tabel 30 adalah bahwa perubahan dari setiap tingkatan proses pemberian sanksi dari peringatan I ke peringatan II, III dan sampai dengan eksekusi, hampir sebanyak 40 % tidak dapat dilanjutkan ke tingkat berikutnya setelah tanggapan dari pihak perusahaan dianggap mempunyai alasan yang dapat diterima oleh pemerintah. Melalui proses “pembinaan” yang dipraktekkan oleh Departemen
149
Kehutanan, pelanggaran yang mendapatkan sanksi hingga tingkat eksekusi adalah 20% dari jumlah yang mendapat peringatan I. Tabel 30. Penerapan Sanksi Administrasi atas Pelanggaran Kontrak IUPHHK Tahun 2008-2009 Peringatan Frek Ekse No Jenis Pelanggaran Sanksi Batal wensi I kusi(1) II III 1 Tidak Menyusun Cabut ijin 19 19 10 2 0 2 th RKU-10 2 Ijin Penggunaan Cabut ijin 26 26 19 15 1 7 Alat Berat 3 Meninggalkan Cabut ijin 6 6 4 2 0 2 Areal Kerja 4 Tidak Cabut ijin 3 3 0 0 0 0 mempekerjakan tenaga profesional kehutanan Jumlah 54 54 33 19 1 11 Sumber : Departemen Kehutanan (2010). b
Catatan : (1), Termasuk yang sedang diajukan penetapannya ke Menteri Kehutanan
Jika dibandingkan dengan respon pemilik IUPHHK terhadap verifier yang mempunyai implikasi pada pengenaan sanksi yaitu verifier (142) TEK, yaitu penggunaan silvikultur yang ditentukan dan verifyer (153), SDM yaitu penggunaan tenaga profesional pada Tabel 41, perusahaan yang mempunyai nilai baik tidak lebih dari 5 %, artinya bahwa sekitar 95 % perusahaan tidak menaati aturan tentang silvikultur dan penggunaan tenaga profesional. Tabel 28 menunjukkan kondisi yang sebaliknya yaitu hanya sekitar 5 % perusahaan yang mendapat peringatan karena tidak menggunakan tenaga kerja profesional, sebagian besar perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan tidak termonitor dan tidak mendapat sanksi pelanggaran. Tindakan pencabutan terhadap 20 % IUPHHK meskipun merupakan porsi yang besar tidak mencerminkan konsistensi kemampuan pemerintah dalam menegakkan
150
aturan. Jika diperhatikan bahasan bab VI, perusahaan yang mempunyai nilai verifier baik hanya berada pada kisaran 10 %, sedangkan sisanya 90 % dapat digolongkan tidak melaksanakan peraturan dengan baik. Sementara itu perusahaan yang terpantau oleh pemerintah sekitar 20 % dari total populasi. Hal ini dapat menjadi salah satu penjelasan tentang terjadinya kondisi yang berbalikan seperti tersebut diatas. Kapasitas pemerintah yang lemah dalam menegakkan aturan selain di jelaskan oleh data tersebut diatas, juga terjadi karena pemerintah pusat terlibat dalam urusan mikro sehingga rentang kendali yang dimiliki tidak mampu menjangkau persoalan tingkat individual, disamping itu keterbatasan penguasaan informasi menyebabkan pemerintah pusat tidak dapat memperoleh gambaran riil atas kondisi di lapangan.
5.1.3. Penegakan Hukum Pidana Selain sanksi administrasi, undang-undang juga mengatur sanksi-sanksi pidana, meskipun penanganan sanksi pidana ini merupakan wilayah kuadran III menurut Kuadran Kebijakan pada Gambar 17, namun penting untuk diketahui lingkungan makro yang mempengaruhi iklim penegakan aturan di Indonesia. Tabel 31 berikut ini menyajikan data perkembangan penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang berupa illegal logging selama tahun 2005-2009. Jumlah kasus yang berhasil diselesaikan masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang ada, sementara itu angka-angka pada proses justisi yang terus menurun mengindikasikan bahwa banyak tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut dan tidak termonitor perkembangannya. Kualitas vonis dari perkara yang telah disidang dan diputuskan hukumannya dapat dilihat pada Tabel 32.
151
Tabel 31. Perkembangan Penanganan Perkara Pidana Illegal Logging Tahun 2005-2009 Proses Penyelesaian Kasus Tahun Jumlah Kasus Lidik Proses Justisi Sidik SP3 P21 Sidang Vonis 2005 720 12 708 25 442 281 245 2006 1714 142 364 2 249 199 153 2007 478 114 133 1 82 40 31 2008 177 44 133 1 82 40 31 2009 119 28 91 1 52 35 25 Sumber : Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (2010)
Tabel 32. Hukuman yang Dijatuhkan pada Kasus Illegal Logging Tahun 2006-2009 Vonis Hukuman Kasus yang > 3 th 2-3th 1-2th <1th Bebas Tidak ada Tahun divonis keterangan 2006 304 2 4 63 158 3 74 2007 153 0 3 49 60 0 41 2008 31 0 1 13 11 0 6 2009 25 0 0 6 7 0 12 Jumlah 513 2 8 131 236 3 133 Sumber : Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (2010)
Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus-kasus illegal loging relatif ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuman yang diberikan oleh undangundang. Sebagian besar hukuman yang diberikan adalah kurang dari satu tahun dan sebagian dibebaskan dari hukuman. Data ini menggambarkan bahwa secara umum pemerintah belum menempatkan penegakan hukum tindak pidana kehutanan sebagai hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian. Banyaknya kasus yang tidak terselesaikan dan vonis-vonis hakim yang tergolong ringan, merupakan signal yang memberikan pesan bahwa penegakan hukum kehutanan tergolong lemah.
152
5.2. Respon Perusahaan Salah satu asumsi mendasar yang digunakan dalam analisa ekonomi adalah bahwa orang-orang bertindak secara rasional. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan perilaku rasional oleh para ekonom adalah bahwa orangorang yang rasional berusaha memperkecil kerusakan di dalam situasi yang buruk, dan mengambil keuntungan atas peluang-peluang yang baik. Pada bagian ini akan dibahas respon pelaku usaha atas perubahan sistem pengusahaan hutan yang dikehendaki undang-undang. Dapatkah perusahaan pemilik IUPHHK menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritasnya dan bagaimanakah perusahaan menyikapi peraturan yang diberlakukan.
5.2.1. Integritas Perusahaan Pada bab sebelumnya telah dapat dipahami bahwa kedudukan pelaku usaha pemilik IUPHHK adalah pengguna sedangkan yang bertindak sebagai pengelola adalah penanggung jawab KPHP atau pemerintah. Rancang bangun institusi yang ada mengarahkan pengguna untuk berperilaku sebagai pengelola hutan. Bagaimana perusahaan merespon rancangan institusi itu, maka dapat dilihat dari hasil penilaian yang berupa nilai akhir kinerja dari 40 perusahaan contoh yang dibandingkan juga nilai pada hasil penelitian terdahulu sebagai Tabel 33. Hasil penilaian tahun 2008 dan 2009, menunjukkan bahwa sebanyak 15% dari perusahaan contoh dapat menempatkan secara baik prioritas kegiatannya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, 45 % ragu-ragu dan 40 % tidak menempatkan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan. Mengingat bahwa berbagai
153
peraturan yang diberlakukan kepada perusahaan merupakan kewajiban untuk mendukung kepentingan pemerintah menjalankan misi pengelolaan hutan lestari, dan berlakunya rational behaviour maka pada keadaan tertentu, nilai kinerja sedang tersebut cenderung akan mengarah kepada kinerja buruk. Dengan demikian sebanyak 85 % perusahaan tidak menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas yang perlu mendapat perhatian. Dengan kata lain 85% perusahaan IUPHHK-HA tergolong sebagai perusahaan dengan perilaku tidak baik. Tabel 33. Nilai Akhir Kinerja Perusahaan HPH/ IUPHHK pada Unit Manajemen Tahun 1989-1996, dan 2008-2009 Nilai Akhir (%) Tahun Jumlah Baik Sedang Buruk 1989/1990 4.20 39.50 56.30 100 1990/1991 20.70 56.00 23.30 100 1991/1992 18.5 57.80 23.70 100 1992/1993 19.20 61.60 19.20 100 1993/1994 4.00 61.90 34.10 100 1994/1995 10.55 71.11 18.34 100 1995/1996 21.35 69.19 9.46 100 2008-2009 15.00 45.00 40.00 100 Sumber : 1) Data tahun 1989-1996, Kartodihardjo, 1998 2) Data tahun 2008-2009, diolah dari Departemen Kehutanan, 2008 dan 2009 Dibandingkan dengan hasil penilaian 10 tahun yang lalu tidak terdapat perbedaan perilaku, perusahaan yang memperoleh nilai baik merupakan kelompok minoritas. Ini mengindikasikan bahwa populasi perusahaan baik tidak berubah meskipun telah dilakukan berbagai perubahan peraturan. Usaha kehutanan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang tidak masuk dalam kategori baik. Tidak terdapat perbedaan nilai menurut kelas umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan induknya.
154
Tabel 34. Jumlah Perusahaan menurut Klasifikasi Nilai Kinerja, Kelompok Umur, Luas Konsesi dan Dukungan Modal dari Perusahaan Induk Nilai Akhir Kinerja Jumlah No Pengelompokan Baik Sedang Buruk I Kelas Umur 1 Kurang dari 10 tahun 2 4 4 10 2 Antara 10 tahun-20 tahun 2 11 6 20 3 Lebih dari 30 tahun 2 3 6 11 II 1 2 3 III 1 2 3
Jumlah Kelas Luas Lahan Konsesi Kurang dari 50.000 Ha Antara 50.000 Ha – 100.000 Ha Lebih dari 100.000 Ha Jumlah Kelas Dukungan Modal Kuat Sedang Lemah Jumlah
6
18
16
40
2 2 2 6
4 10 4 18
10 5 1 16
16 17 7 40
3 1 2 6
6 6 6 18
4 3 9 16
13 10 17 40
Berdasarkan data pada Tabel 34 tersebut diatas kemudian dilakukan pengujian korelasi antara umur, luas dan modal terhadap nilai akhir capaian kinerja dengan menggunakan uji Chi Square, dengan hasil sebagai Tabel 35. Tabel 35. Hasil Uji Korelasi antara Umur, Luas dan Dukungan Modal terhadap Nilai Akhir Kinerja IUPHHK pada Unit Manajemen X2 X2 Kesimpulan Hitung Tabel (5%) < 9.49 Tidak ada hubungan Umur IUPHHK- 3.4388 HA 7.0769 < 9.49 Tidak ada hubungan Luas Konsesi 2.9491 < 9.49 Tidak ada hubungan Dukungan Modal
Umur perusahaan tidak mempengaruhi perolehan nilai akhir kinerja, demikian pula dengan luas konsesi yang dimiliki maupun dukungan modal yang diberikan oleh perusahaan induknya.
Tidak adanya hubungan antara nilai kinerja menjelaskan
155
bahwa baik dan buruknya nilai yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh umur, dengan kata lain bahwa tidak terdapat proses belajar dalam membentuk perilaku perusahaan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan lestari. Data tentang sanksi-sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pada tabel 30, menunjukkan bahwa pencabutan ijin terjadi pada semua kelas umur kepemilikan ijin. Perusahaanperusahaan yang telah berpengalaman dan yang belum berpengalaman dapat mempunyai nilai baik maupun buruk dengan peluang yang tidak dapat dibedakan. Luas konsesi juga tidak mempengaruhi nilai akhir kinerja, berdasarkan data diatas semua perusahaan dengan luas konsesi yang besar maupun yang kecil cenderung memiliki nilai tidak baik, ini mengindikasikan bahwa luas konsesi tidak menjadi dasar timbulnya motivasi untuk mengelola hutan dengan cara-cara yang benar. Mengapa luas konsesi yang seharusnya dapat menjadi jaminan kepastian produksi tidak menjadi insentif bagi pengelolaan hutan lestari ? Kembali ke pembahasan pada bagian 4.2 bab IV terdahulu, bahwa IUPHHK adalah izin untuk memanfaatkan hasil produksi pengelolaan hutan, dan kedudukannya sebagai pengguna (pemanfaat) mempunyai kepentingan utama untuk mendapatkan hasil hutan yang diperoleh melalui transaksi dengan pengelola hutan yang memproduksi produk yang diperlukannya. Pihak yang paling berkepentingan terhadap luas hutan adalah pihak pengelola yang mempunyai misi menghasilkan hutan berkualitas tinggi, sedangkan pengguna (pemanfaat) akan merespon jumlah produksi yang ditawarkan oleh pengelola. Pembebanan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan kepada pengguna (pemanfaat) tidak sesuai dengan motivasi dan misi dari entitas pemanfaat, oleh sebab itu kewajiban-kewajiban tersebut lebih tepat
156
diposisikan sebagai beban biaya bukan sebagai investasi. Sebagai entitas yang berorientasi memaksimumkan keuntungan, maka sesuai dengan pendapat Hampton (1989) perusahaan akan melakukan minimisasi biaya dan dalam kondisi kemampuan penegakan aturan yang lemah, sejalan dengan pendapat Van den Berg (2001), pilihan yang rasional bagi perusahaan adalah tidak melaksanakan kewajiban sepenuhnya. Sementara itu dukungan modal yang tidak berkorelasi dengan nilai akhir kinerja, mengkonfirmasi bahwa praktek-praktek pengelolaan hutan bukan merupakan pilihan rasional bagi perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna (pemanfaat). Dukungan modal (capital) adalah dukungan dana yang diperlukan untuk melakukan investasi jangka panjang, apakah usaha pemanfaatan hasil hutan kayu memerlukan investasi ? Kembali ke pembahasan bagian 4.3.2, pengeluaranpengeluaran jangka panjang di hutan alam seperti biaya-biaya pembinaan hutan dan biaya-biaya
yang
berhubungan
dengan
pengelolaan
hutan
lestari
tidak
diakumulasikan sebagai investasi yang dapat dibukukan sebagai asset, melainkan sebagai biaya produksi. Perusahaan tidak sedang membangun asset melalui investasi jangka panjang, melainkan sedang melakukan kegiatan produksi, oleh sebab itu perusahaan IUPHHK hanya memerlukan
biaya produksi bukan biaya investasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perusahaan akan meminimumkan biaya, perusahaan induk akan menekankan penggunaan dana internal perusahaan IUPHHK dan hanya akan memberikan dukungan dana untuk hal-hal yang sangat selektif. Dengan demikian dukungan modal perusahaan induk tidak akan diberikan untuk membangun hutan, melainkan hanya diberikan untuk kepentingan produksi. Selain itu perusahaan tidak akan menyimpan modalnya di perusahaan IUPHHK, karena
157
mempertahankan modal berada di perusahaan ini berarti membiarkan adanya asset menganggur, setiap kelebihan modal akan dimanfaatkan untuk keperluan lain. Untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut tentang respon perusahaan maka dapat diperhatikan responnya terhadap 24 indikator penilaian yang dikelompokkan kedalam indikator prasyarat, produksi, ekologi dan indikator sosial. Berdasarkan nilai penting masing-masing, kemudian ditentukan satu atau lebih indikator fokus sebagai penentu klasifikasi baik, sedang dan buruk.
Sebagai acuan penilaian ini adalah
peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.42/Kpts/IV-PHP/2003 dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.03/BPHA/2007. Hasil penilaian terhadap kelompok indikator prasyarat disajikan pada Table 36 yang menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan tidak mampu memenuhi aturan atau standar prasyarat yang ditentukan. Di dalam standard prasyarat ini juga terdapat ketentuan-ketentuan yang memiliki sanksi administratif, misalnya pada indikator S.1.5 yang berupa kecukupan tenaga profesional, ketidak sanggupan memenuhi persyaratan ini diancam sanksi administratif berupa penghentian kegiatan di lapangan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa hanya terdapat satu perusahaan (2.5%) yang mampu memenuhi persyaratan, lebih dari 90% perusahaan tidak dapat memenuhi indikator persyaratan yang seharusnya dapat dikenakan sanksi. Pada Tabel 36 ditunjukkan bahwa sangat sedikit perusahaan IUPHHK yang memberikan perhatian pada indikator-indikator fokus yang berperan dominan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan bersikap mendua (ragu-ragu). Sikap mendua ini dapat dimaknai sebagai perilaku oportunis, pilihan tindakan yang menguntungkan dirinya disesuaikan dengan situasi yang berkembang.
158
Apabila “situasi” menghendaki perhatian mereka akan memberi prioritas, tetapi bila terjadi “situasi” sebaliknya seperti penegakan aturan yang lemah, maka cenderung bergeser kepada pengabaian. Prasyarat yang paling kurang mendapat perhatian adalah jumlah tenaga perofesional yang harus dipekerjakan, hanya ada satu perusahaan (2.5%) diantara 40 perusahaan contoh yang mampu memenuhi ketentuan ini. Tabel 36. Hasil Penilaian Indikator Prasyarat pada 40 Perusahaan Contoh Baik Frek % 1 Kepastian kawasan unit manajemen 4 10 IUPHHK pada hutan alam (S 1.1) 2 Komitmen pemegang IUPHHK pada 4 10 hutan alam(S.1.2) 3 Kesehatan Perusahaan /holding 4 10 company (S.1.3) 4 Kesesuaian dengan kerangka hukum, 5 12.5 potensi tegakan minimal, kebijakan dan peraturan dalam rangka PHL (S.1.4) 5 Jumlah dan kecukupan tenaga 1 2.5 professional (S.1.5) 6 Kapasitas dan mekanisme 2 5.0 perencanaan, pelaksanaan, monev dan umpan balik (S.1.6) Jumlah 20 8.3 No
Indikator
Sedang Frek % 28 80
Buruk Frek % 8 10
20
50
16
40
23
57.5
13
32.5
33
82.5
2
5
34
85
5
12.5
23
57.5
15
37.5
161
67.1
59
24.6
Dengan gambaran perilaku seperti tersebut diatas, dimana prasyarat-prasyarat penting yang diperlukan untuk mencapai PHL tidak mendapat perhatian yang cukup dari sebagian besar perusahaan IUPHHK, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat prasyarat (necessary conditions) tersebut dapat dipenuhi. Apabila syarat perlu tersebut tidak dapat dipenuhi, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat akan terwujud pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas dan lestari seperti yang diharapkan oleh Undang-undang Kehutanan.
Selanjutnya
159
bagaimana perilaku perusahaan dalam menyikapi indikator-indikator fokus dalam menjalankan aktivitas produksinya, dapat diperhatikan pada Table 37. Tabel 37. Hasil Penilaian Indikator Produksi pada 40 Perusahaan Contoh Baik Frek % 1 Presentase hutan produksi yg 3 7.5 dicakup dalam rencana pemanfaatan lestari dan blok/petak yang dipanen menurut rencana operasional (P.2.1) 2 Tingkat pemanenan setiap jenis 3 7.5 pada setiap tipe ekosistem (P 2.2) 3 Ketersediaan prosedur 2 5.0 implementasi penilaian kerusakan tegakan dan ITSP (P 2.3) 4 Ketersediaan teknologi tepat guna 3 7.5 untuk PHL dan penerapan RIL (P 2.4) 5 Kesehatan financial pemegang ijin 6 15.0 (P.2.5) 6 Volume yang dipanen pertahun 5 12.5 pertipe hutan (P.2.6) 7 Tingkat investasi dan reinvestasi 3 7.5 untuk memenuhi kebutuhan pemanfaatan, administrasi, litbang dan pengembangan SDM (P 2.7) Jumlah 25 8.92 No
Indikator
Sedang Frek % 29 72.5
Buruk Frek % 8 20
16
40
21
52.5
30
75.0
8
20
26
55.0
11
27.5
17
42.5
17
42.5
25
62.5
10
25.0
24
60.0
13
32.5
167
59.64 88
31.42
Terlalu sedikit perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK yang memberi perhatian pada praktek-praktek produksi yang mendukung pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan sepenuhnya aturan main yang telah ditetapkan. Sejalan dengan penjelasan terdahulu hal-hal yang diatur dalam bentuk kewajiban perusahaan penerima IUPHHK dan peraturan lainnya, berimplikasi pada aktivitas-aktivitas yang tidak melayani kepentingan langsung perusahaan, melalinkan
160
kepentingan pengelola hutan. Sebagaimana telah dibahas pada bagian 4.3.4 bab IV, bahwa pemerintah telah memindahkan beban pengelolaan hutan kepada IUPHHK yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan hasil akhir atas kegiatan tersebut. Produksi (output) yang dihasilkan oleh aktivitas yang diwajibkan tersebut adalah untuk mendukung misi pengelola hutan. Model pengaturan yang mengandung perversi
kekuasaan
seperti
ini
memerlukan
kemampuan
pengawasan
dan
pengendalian yang kuat dari pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Pindyck dan Rubenfeld (2001), bahwa dalam kondisi pemberi kewajiban tidak mampu mengawasi pelaksanaan kewajiban oleh pihak lain, maka peluang terjadinya moral hazard menjadi besar. Dengan respon perilaku seperti tergambar pada table diatas, tidak berlebihan jika diperkirakan kondisi hutan dalam tahun-tahun kedepan masih akan menurun kualitasnya, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak cukup memadai sebagai tindakan yang mempraktekkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya hasil penilaian pada indikator ekologi sebagaimana disajikan pada Tabel 38, menunjukkan respon yang tidak berbeda dari indikator-indikator sebelumnya, dimana populasi perusahaan yang mematuhi aturan ekologi masih sangat kecil. Perusahaan tidak memiliki perhatian terhadap kelestarian keaneka-ragaman hayati, indikator yang berkaitan dengan perlindungan flora dan fauna menjadi penting bila dikaitkan dengan perubahan orientasi dari kayu kepada sumberdaya hutan untuk dapat dilakukan tindakan-tindakan dalam rangka optimasi manfaat hutan. Tingkat kepatuhan rata-rata pada indikator ekologi hanya sebesar 3.75 % saja, suatu kondisi
161
yang pantas dipertimbangkan sebagai penanda perlunya kewaspadaan yang lebih tinggi tentang kemungkinan terjadinya tingkat kerusakan hutan yang tinggi. Tabel 38. Hasil Penilaian atas Indikator Ekologi pada 40 Perusahaan Contoh No 1
Indikator
Baik Frek % pada 2 5.0
Data kawasan dilindungi setiap tipe hutan (E 3.1) 2 Ketersediaan prosedur dan implementasi perambahan, kebakaran, penggembalaan dan pembalakan liar (E 3.2) 3 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3) 4 Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic (E3.4) 5 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic (E 3.5) 6 Pengelolaan Fauna langka, dilindungi, endemic (E3.6) Jumlah
Sedang Frek % 28 70.0
Buruk Frek % 10 25.0
5
12.5 25
62.5
10
25.0
1
2.5
30
75.0
9
22.5
0
0
21
52.5
19
47.5
23
57.5
17
42.5
22
55.0
17
42.5
0 1
2.5
9
3.75 149
62.08 82
34.16
Beban yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan indikator ekologi akan menghasilkan output berupa barang publik atau manfaat eksternalitas. Melaksanakan peraturan dengan sepenuhnya berarti mengeluarkan biaya yang lebih besar, sementara manfaat yang akan dihasilkan tidak dapat dinikmati sendiri dan tidak mempunyai prestasi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan secara langsung. Perilaku bisnis yang rasional akan menekan biaya ekologi serendahrendahnya sampai batas yang masih dapat ditoleransi oleh pengawas atau pemberi kewajiban. Seperti pada indikator lainnya, sistem ini memerlukan pengawasan ketat.
162
Tabel 39. Hasil Penilaian atas Indikator Sosial pada 40 Perusahaan Contoh Baik Sedang Frek % Frek % 1 Luas dan batas UM dengan 4 10.0 34 85.0 kawasan adat dan masyarakat setempat dan telah mendapat persetujuan para pihak (SS 4.1) 2 Kesetaraan hak, tanggung jawab, 4 10.0 33 82.5 dan kewajiban dalam pengelolaan hutan secara bersama dan diakui para pihak. (SS 4.2) 3 Ketersediaan mekanisme dan 5 12.5 33 77.5 pendistribusian insentif yang efektif serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak (SS 4.3) 4 Perencanaan dan implementasi 4 10.0 32 80.0 pemanfaatan hutan telah mempertimbangkan hak masyarakat hokum adat dan, atau masyarakat setempat (SS 4.4) 5 Peningkatan peran serta dan 1 2.5 30 75.0 aktivitas ekonomi masyarakat hukum adat an masyarakat setempat yang aktivitasnya berbasis hutan (SS 4.5) Jumlah 18 9.00 162 81.00 No
Indikator
Buruk Frek % 2 5.0
3
7.5
2
10.0
4
10.0
9
22.5
20
10.00
Terakhir capaian nilai kinerja sosial (Tabel 39) juga tidak menunjukkan prestasi yang menonjol seperti indikator-indikator sebelumnya hanya sebagian kecil perusahaan yang mendapat nilai baik, sebagian besar tergolong tidak baik. Salah
satu
tujuan
perubahan
undang-undang
kehutanan
adalah
untuk
meningkatkan pemanfaatan hutan yang berkeadilan, untuk mencapai tujuan ini diantaranya dilakukan dengan memberikan kewajiban kepada para pihak yang berusaha di bidang kehutanan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat sekitar
163
hutan. Tabel 39 mengindikasikan bahwa hanya ada satu perusahaan (2.5%) yang dapat dengan baik meningkatkan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat. Data ini menunjukan bahwa institusi tidak mampu mengarahkan perilaku perusahaan IUPHHK-HA untuk peduli kepada pemberdayaan masyarakat. Hasil penilaian terhadap ke 4 kelompok-kelompok indikator menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai nilai baik rata-rata untuk setiap kelompok indikator seluruhnya berjumlah kurang dari 10 %, data selengkapnya ada pada Tabel 40. Tabel 40. Nilai Rata-rata untuk Setiap Kelompok Indikator No Kelompok Indikator 1 2 3 4
Prasyarat Produksi Ekologi Sosial
Baik Frek % 20 8.3 25 8.92 9 3.75 18 9.00 72 7.50
Sedang Frek % 161 67.1 167 59.64 149 62.08 162 81.00 639 66.56
Buruk Frek % 59 24.6 88 31.42 82 34.16 20 10.00 249 25.94
Apabila setiap indikator diberikan bobot yang sama maka jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik hanya 7.50% saja atau setengah dari jumlah perusahaan yang mencapai nilai akhir baik (lihat Tabel 32). Meskipun sebagian besar mempunyai nilai sedang (66.56 %), tidak dapat diharapkan bahwa sebagian dari perusahaan ini akan meningkatkan nilai kinerjanya seiring dengan berjalannya waktu. Hasil uji korelasi pada Tabel 35, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara umur dengan nilai kinerja, ini menggambarkan bahwa tidak ada proses belajar untuk memperbaiki kinerja, kecuali terdapat keadaan yang memaksa. Perubahan kinerja tidak mungkin dilakukan dengan mempercayakan perusahaan untuk memperbaiki dirinya sendiri, melainkan harus melalui paksaan dalam bentuk penegakan aturan.
164
IUPHHK diberikan melalui proses seleksi untuk mendapatkan mitra / perusahaan yang berkualitas tinggi yang mempunyai kompetensi untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari. Data hasil penilaian kinerja (Tabel 40) menggambarkan kondisi sebaliknya, yaitu sebagian besar (90%) perusahaan mempunyai nilai tidak baik, hal ini berarti mayoritas perusahaan yang dipilih tidak menempatkan kegiatan yang penting bagi pengelolaan hutan lestari sebagai kegiatan prioritas yang dilaksanakan oleh perusahaan. Pembahasan pada bab IV menjelaskan bahwa terdapat situasi informasi yang tidak simetrik dan terdapat distorsi pada mekanisme seleksi calon penerima IUPHHK.
5.2.2. Kepatuhan Perusahaan Terhadap Peraturan Dalam pembahasan pada Bab IV, diperoleh pengetahuan bahwa tujuan evaluasi dan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan perusahaan terhadap peraturan dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari. Karena konteks yang ingin dilihat adalah ketaatan, hasil penilaian yang masuk kategori baik dapat dimaknai sebagai taat, sedangkan perolehan nilai sedang dan buruk dimaknai sebagai tidak taat. Seperti halnya pengklasifikasian kompetensi, maka hanya dikenal kategori kompeten dan tidak kompeten, pihak yang tergolong kompeten dapat diberikan hak untuk melaksanakan tugas tertentu, sedangkan pihak yang tidak kompeten tidak berhak dan dapat diberikan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya melalui proses pembelajaran atau pelatihan. Berikut ini akan dibahas hasil penilaian ketaatan yang dikelompokkan kedalam indikator-indikator seperti yang telah dibahas terdahulu.
165
Setiap indikator terdiri dari berbagai verifier yang diverifikasikan dengan kondisi actual dilapangan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI). Verifier tersebut terbagi dalam beberapa kelompok yaitu verifier prasyarat sebanyak 17, verifier produksi sejumlah 27, verifier ekologi sebanyak 26 dan verifier sosial sebanyak 20.
5.2.3. Pelaksanaan Peraturan Prasyarat Untuk mengetahui respon perusahaan atas peraturan yang berlaku digunakan data hasil verifikasi lapangan oleh Lembaga Penilai Independen atas berbagai indikatorindikator. Untuk mengarahkan agar pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan, maka unsur-unsur yang merupakan syarat perlu (necessary conditions) harus dapat dipenuhi. Dalam penelitian ini digunakan 11 verifier prasyarat berdasarkan data hasil penilaian oleh Lembaga Penilai Independen. Adapun hasil penilaian terhadap 40 perusahaan adalah seperti pada Tabel 41. Apabila setiap verifier diperlakukan sama dan diambil nilai rata-ratanya, maka sebanyak 13 % perusahaan yang berdasarkan sistem penilaian yang berlaku dianggap mampu dengan baik memenuhi verifier kinerja prasyarat. Jumlah terbanyak peraturan yang ditaati adalah kesesuaian areal dengan fungsi produksi (AFP) yang mencapai 47.5%. Berdasarkan kriteria pada Lampiran 7, perusahaan mendapat nilai baik apabila 100 % areal kerjanya merupakan kawasan hutan dengan fungsi produksi dan < 10 % digunakan untuk pemanfaatan lain. Sementara itu realisasi pelaksanaan tata-batas (TAT) dianggap baik apabila 100 % terealisasi, dan dinyatakan buruk bila realisasinya kurang dari 70%, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik sebanyak 20%
166
Tabel 41. Respon Perusahaan Contoh Terhadap Peraturan Prasyarat PHL No
Verifier
Baik
Frek 1 Kesesuaian areal dengan fungsi 17 produksi (AFP) 2 Realisasi Pembuatan Tatabatas 8 (TAT) 3 Kondisi Lapangan Patok-patok 8 Batas (PAL) 4 Pengakuan para pihak atas 7 eksistensi unit manajemen (AKU) 5 Kesesuaian Visi dan Misi dengan 4 implementasi di lapangan (VMI) 6 Peningkatan Modal Perusahaan 13 (MOD) 7 Investasi yang dikembalikan ke 5 hutan (RIV) 8 Realisasi secara fisik pembinaan 2 dan perlindungan hutan (BIN) 9 Kesesuaian implementasi teknis 3 dengan aturan yang berlaku (TEK) 10 Keberadaan tenaga professional 1 kehutanan (SDM) 11 Pelaksanaan mekanisme 1 pengambilan keputusan, evaluasi dan umpan balik (EVA) Jumlah 52
Sedang
Buruk
% 42.5
Frek % 16 40.0.
Frek 7
% 17.5
20.0
9
22.5
23
57.5
20.0
9
22.5
23
57.5
17.5
20
50.0
13
32.5
10.0
19
47.5
17
42.5
32.5
10
25.0
17
42.5
12.5
16
40.0
19
47.5
5.0
15
37.5
23
57.5
7.5
22
55
15
37,5
2.5
12
30
27
67,5
2.5
15
37,5
24
60
13.00
147
36.75
201
50.25
Catatan : Verifier AFP dikeluarkan dari perhitungan rata-rata karena merupakan outlyer.
Pada varifier Pemeliharaan batas (PAL) perusahaan memperoleh nilai baik apabila lebih dari 90 % pal batas terpelihara dan ada rintisan yang baik, banyaknya perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 20 %. Dari segi pengakuan batas-batas oleh masyarakat (AKU), dianggap baik apabila tidak ada konflik, jika ada konflik tetapi ada mekanisme penyelesaiannya maka diberi nilai sedang, dan bila ada konflik dan tidak ada mekanisme penyelesaiannya maka kondisinya buruk, terdapat 17.5% yang tidak memiliki konflik, dan 50% berkonflik tetapi ada mekanisme penyelesaian
167
dan 32.5 % ada konflik dan tidak ada mekanisme penyelesaian konflik. Jika pernyataan visi dan misi sesuai dengan praktek di lapangan maka perusahaan mendapat nilai baik yang dalam hal ini terdapat 10 %, yang sebagian sesuai 47.5% dan yang hanya sebagai dokumen formalitas ada 42.5%. Namun jika diperhatikan secara lebih mendalam, jumlah terendah peraturan yang ditaati adalah penggunaan tenaga professional sebesar 2.5%.
Selain itu 90%
perusahaan tidak melaksanakan visi dan misinya dengan baik, 87.5% perusahaan tidak melaksanakan reinvestasi ke hutan dengan baik, dan 80 % perusahaan tidak melaksanakan penataan batas areal kerja dan pemeliharaan pal batas dengan baik. Ketiga verifier ini merupakan syarat yang penting bagi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Apabila batas areal kerja tidak dibuat dengan baik, maka perlakuanperlakuan pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan secara tepat, termasuk pelaksanaan re-investasi ke hutan. Komitmen yang lemah terhadap visi dan misi merupakan penjelas bagi rendahnya nilai kepatuhan untuk seluruh aspek yang dinilai. Jumlah perusahaan yang mencapai nilai rata-rata baik sebesar 13 % ini tidak dapat dimaknai sebagai nilai capaian perusahaan yang berhasil menaati peraturan, melainkan sebuah gambaran umum tentang kecenderungan perusahaan-perusahaan untuk memenuhi ketentuan prasyarat. Verifier no. 8,9 dan 10 pada table diatas yaitu BIN, TEK dan SDM adalah kewajiban-kewajiban yang berdasarkan aturan yang berlaku mempunyai sanksi apabila tidak dilaksanakan dilapangan. Hanya ada 2 perusahaan (5%) yang melaksanakan pembinaan hutan sesuai aturan, hanya ada 3 perusahaan (7.5%) melaksanakan ketentuan teknis sesuai peraturan dan hanya ada 1 perusahaan (2.5%) yang melaksanakan aturan tentang penggunaan tenaga kerja
168
professional. Jika diasumsikan bahwa 1 perusahaan yang dapat memenuhi persyaratan penggunaan tenaga profesional tersebut mampu memenuhi seluruh aturan yang lainnya, maka dari segi ketaatan dalam melaksanakan peraturan maksimal hanya ada 2.5 % perusahaan yang taat, dan 97.5 % melakukan pelanggaran peraturan syarat perlu (necessary conditions) bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Kondisi ini dapat dijelaskan pula oleh kecilnya perusahan-perusahaan yang mempunyai komitmen baik, yaitu hanya ada 4 perusahaan (10%) yang terindikasi melaksanakan dokumen visi dan misinya, sisanya 90% hanya menjadikan dokumen visi dan misi sebagai alat untuk memenuhi ketentuan administrasi. Pelanggaran terhadap verifier no 9, yaitu tidak melaksanakan silvikultur yang ditentukan oleh Menteri terancam pencabutan ijin, apabila ini dimaknai sebagai tidak melaksanakan dengan baik, maka 92.5 % perusahaan pemilik IUPHHK terancam untuk dibatalkan perijinannya. Sementara itu 97.5 % perusahaan IUPHHK dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan dilapangan karena tidak menggunakan tenaga kerja professional secara memadai dan 92.5 % terkena sanksi denda administratif. Setelah berjalan lebih dari 40 tahun, institusi pemanfaatan hutan belum mampu mengarahkan perilaku para pihak untuk menyediakan syarat perlu (necessary condition) pengelolaan hutan lestari. Disamping itu tidak adanya korelasi antara lamanya perusahaan memegang ijin dengan nilai kinerja yang dihasilkan menunjukkan bahwa tidak ada proses belajar, sehingga memperkuat alasan untuk menyatakan bahwa perusahaan tidak menaruh perhatian pada pengelolaan hutan. Hal ini dapat memberikan tambahan penjelasan atas kegagalan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari sebagai komplemen atas penjelasan para peneliti terdahulu.
169
5.2.4. Pelaksanaan Peraturan Produksi Pelaksanaan produksi terikat pada berbagai peraturan mulai dari perencanaan, penataan areal kerja yang harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial, tingkat pemanenan yang disesuaikan dengan komposisi jenis, pelaksanaan tahapan silvikultur yang harus sesuai dengan standar operasi yang ada, hingga pemanenan yang harus disesuaikan dengan target rencana karya tahunan dan pertumbuhan riap pohon. Respon perusahaan dalam melakukan aktivitas produksi atas peraturan yang berlaku ditinjau dari ketaatanya terhadap 11 verifier yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan pada Tabel 42. Respon perusahaan terhadap beberapa verifier penting yang berhubungan erat dengan kelestarian hutan, yaitu pelaksanaan tahapan silvikultur, kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana karya tahunan dan kesesuaian realisasi tebangan dengan riap, menunjukkan bahwa hanya ada 1 perusahaan (2.5%) yang termasuk dalam kategori baik, sisanya 97.5% termasuk dalam kategori sedang dan buruk. Dalam konteks ketaatan terhadap peraturan, jika diambil dikotomi taat dan tidak taat, maka kategori sedang dapat dimasukkan kedalam kelompok tidak taat, sehingga terhadap tiga verifier tersebut, jumlah perusahaan pemilik IUPHHK-HA yang mentaati peraturan hanya sebesar 2.5 %, sisanya sebesar 97.5 % tergolong tidak taat. Dengan demikian tingkat kepatuhan terhadap tiga indikator yang penting ini tergolong sangat rendah. Akibat dari perilaku ini, tingkat kerusakan tegakan tinggal sangat tinggi, hanya 12.5 % perusahaan yang mencapai kategori kerusakan tegakan tinggal kecil.
170
Tabel 42. Respon Perusahaan Contoh Terhadap Peraturan Produksi No 1
Verifier
Rencana Penataan Areal yang mempertimbangkan aspek Ekologi dan social(PAK) 2 Tingkat pemanenan lestari setiap jenis kayu dan bukan kayu (PEL) 3 Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL) 4 Kerusakan tegakan tinggal (RUS) 5 Penggunaan teknologi tepat guna (TTG) 6 Likuiditas keuangan perusahaan (LIK) 7 Solvabilitas perusahaan (SOL) 8 Rentabilitas perusahaan (REN) 9 Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS) 10 Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA) 11 Investasi untuk kegiatan pemanfaatan hutan, administrasi,libang dan pengembanngan sumberdaya manusia (INV) Jumlah
Baik Frek %
Sedang Frek %
Buruk Frek %
14
35.0
15
37.5
11
27.5
7
17.5
6
15.0
27
67.5
1
2.5
17
42.5
22
55.0
5 7
12.5 17.5
18 17
45.0 37.5
17 17
37.5 37.5
15
37.5
9
22.5
16
40.0
11 4 1
27.5 10.0 2.5
13 5 14
32.5 12.5 35.0
16 31 25
40.0 77.5 62.5
1
2.5
8
25.0
31
77.5
5
12.5
16
40.0
19
47.5
71
16.14 138
31.36 232
52.7 0
Catatan :Verifier Potensi tegakan (POT) menjadi outlaier sehingga dikeluarkan dari table sebanyak 22 (55%) perusahaan mendapat nilai baik, 12 perusahaan (30%) sedang dan 6 (15%) perusahaan mendapat niali buruk.
Terhadap kecenderungan perusahaan yang mendapat nilai baik atas verifier no. 10 yaitu kesesuaian realisasi tebangan dengan riap tegakan (RIA) yang hanya mencapai 2.5%, maka sebagaimana pembahasan pada bab sebelumnya, bahwa data riap diambilkan dari petak ukur permanen (PUP), sementara blok atau petak yang ditebang adalah berbeda dengan blok atau petak dimana PUP berada. Perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan lainnya dapat menyebabkan deviasi data riap.
171
Apabila setiap verifier diperlakukan sama, maka sebanyak 16 % perusahaan masuk dalam kategori baik. Diantara perusahaan yang memiliki nilai verifier baik tersebut, sebanyak 35% melakukan penataan areal kerja dengan mempertimbangkan aspek ekologis dan aspek social, sementara itu 37.5 % perusahan berusaha memenuhi likwiditas dan 27.5% memberi perhatian pada pencapaian solvabilitas. Menarik untuk diperhatikan pada Table 42 adalah nilai verifier rentabilitas dan potensi tegakan, hanya sebanyak 10% perusahaan yang memiliki rentabilitas baik dan sebaliknya 77.5 % mempunyai nilai rentabilitas buruk. Sementara dengan perilaku ketaatan rendah dan rentabilitas rendah justru banyak perusahaan (55%) mempunyai potensi tegakan yang baik.
Sangat dimungkinkan bahwa data ini menunjukkan
indikasi adanya moral hazard yang terjadi akibat assymmetric information dimana pemerintah tidak menguasai informasi tentang hutan dan kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan ijin tebangan dalam jumlah yang besar yang hanya dapat diberikan bila potensi hutannya masih baik.
5.2.5. Pelaksanaan Peraturan Ekologi dan Sosial Terhadap pelaksanaan peraturan yang menyangkut aspek ekologi dan aspek sosial pada penelitian ini digunakan 4 verifier yaitu implementasi perlindungan hutan, ekskalasi gangguan hutan, ketersediaan mekanisme partisipasi masyarakat dalam kegiatan perekonomian, dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat yang berbasis kehutanan, hasil penilaian 40 perusahaan contoh adalah seperti Tabel 43. Seperti pada hasil-hasil penilaian sebelumnya, jumlah perusahaan yang mendapat predikat baik sebanyak 15 % saja. Data ini menunjukkan bahwa tingkat gangguan
172
terhadap hutan terjadi di sebagian besar perusahaan terindikasi dari sedikitnya jumlah perusahaan yang mampu mengendalikan ekskalasi gangguan.
Demikian pula
terhadap verifier peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat hanya sebagian kecil perusahaan yang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat dengan baik. Tabel 43. Respon Perusahaan atas Peraturan Ekologi dan Sosial No 1 2 3
4
Verifier Implementasi Kegiatan Perlindungan Hutan ( LIN) Ekskalasi Gangguan Hutan (GNG) Ketersediaan Mekanisme Partisipasi & aktivitas ekonomi masyarakat (PAR) Peningkatan Aktivitas masyarakat dalam perekonomian yang berbasis Kehutanan (UKM)
Baik
Sedang
Buruk
Frek 9
% 22.5
Frek 23
% 57.5
Frek 8
% 20.0
5 5
12.5 12.5
19 25
47.5 62.5
16 10
40.0 25.0
5
12.5
23
57.5
12
30.0
24
15.0
90
56.25
46
28.75
Perusahaan berkonsentrasi pada aktivitas produksi, sedangkan perlindungan hutan harus dilaksanakan di seluruh areal usahanya. Dari sisi kepentingan perusahaan, perlindungan hutan dimaksudkan untuk melindungi asset dan kepentingannya, dengan sumberdaya yang terbatas, maka apabila perusahaan harus menyusun prioritas perlindungan hutan, pilihan yang rasional adalah melindungi blok-blok yang akan diproduksi dan melindungi asset miliknya. Sementara tegakan tinggal dan areal bekas tebangan tidak tercatat sebagai asset perusahaan dan bukan kepentingan langsungnya.
5.3. Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang, tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan berkualitas tinggi dan lestari. Indikator keberhasilannya adalah
173
pembangunan stok potensi kayu hasil dari tindakan-tindakan pengelolaan hutan, sedangkan kelestarian diindikasikan dari minimum kerusakan hutan. Sementara itu dari sisi pengusahaan, tujuannya adalah untuk memaksimumkan keuntungan, dalam penelitian ini tujuan tersebut didekati dari nilai rentabilitas yang dicapai perusahaan. Institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan telah menghasilkan perilaku sebagaimana tersebut pada bagian-bagian terdahulu. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku tersebut terhadap kinerja pengelolaan hutan dan kinerja usaha analisa korelasi nilai klasifikasi (baik, sedang dan buruk) verifier-verifier yang disebutkan diatas dengan nilai klasifikasi potensi dan rentabilitas. Kajian ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila seluruh ketentuan ditaati dengan baik maka akan berdampak kepada pembentukan stok tegakan yang baik, demikian pula apabila ketentuan tersebut tidak ditaati dan dilaksanakan seadanya maka akan menyebabkan potensi hutan menurun. Dalam hubungannya dengan rentabilitas perusahaan, perilaku perusahaan akan berpengaruh terhadap perolehan rentabilitas baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hubungan keeratan tersebut dihitung dengan analisa korelasi Chi Square seperti pada Lampiran 8. Hanya sebagian kecil variabel yang berkorelasi dengan Potensi Tegakan (STOK), Kerusakan Tegakan Tinggal (RUS) dan Rentabilitas (REN), beberapa varibale yang mempunyai korelasi secara nyata pada tingkat kepercayaan 5% dengan nilai X2 Tabel 9,49 disajikan pada Tabel 44. Untuk memaknai korelasi seperti pada Tabel 44, digunakan kerangka berfikir yang memposisikan kedudukan perusahaan sebagai pengguna yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, sehingga akan terjawab pertanyaan tentang apakah institusi dapat menginternalisasikan misi pengelolaan
174
hutan sebagai misi perusahaan sebagaimana dikehendaki oleh pemerintah. Selain itu harus pula dimengerti fungsi dari variabel-variabel yaitu apakah variabel tersebut berhubungan dengan pembangunan potensi hutan atau pemanfaatan hasil hutan. Tabel 44. Daftar Variabel yang Berkorelasi Nyata Terhadap Potensi Hutan, Rentabilitas, dan Kerusakan Tegakan Tinggal Nilai X2 Hitung No Nama Variabel Potensi Rentabilitas Kerusakan Hutan Tegakan 1 Keseuaian Areal dengan Fungsi 13.8974 Produksi 2 Pelaksanaan Tata Batas 17.4444 3 Kondisi Pal Batas 10.9715 4 Pengakuan para pihak atas 13.1276 keberadaan unit pengelolaan 5 Peningkatan Modal Perusahaan 10.2553 6 Investasi kembali ke dalam hutan 16.8025 7 Ketersediaan mekanisme 9.6212 pengambilan keputusan, evaluasi dan feed back 8 Implementasi seluruh tahapan 10.2605 silvikultur 9 Solvabilitas 10.3063 11 Kesesuaian realisasi tebangan 1.4277 dengan riap 12 Implementasi tindakan perlindungan 12.8251 hutan
Terdapat dua variabel yang berhubungan dengan potensi hutan (STOK) yaitu Ketersediaan mekanisme pengambilan keputusan, evaluasi dan feed back (EVA) dan Implementasi tindakan perlindungan hutan (LIN). Pada dasarnya EVA adalah sistem informasi yang tersedia dan guna pengambilan keputusan oleh perusahaan, dengan demikian variabel ini tidak berhubungan langsung dengan pembangunan potensi hutan, melainkan dengan kemampuan perusahaan untuk mengenali potensi tegakan hutan. Apabila diperhatikan Lampiran 8, terlihat bahwa kecenderungan korelasi yang
175
ada bersifat negatif, jumlah perusahaan yang sistem informasinya buruk tetapi mempunyai potensi hutan baik sebanyak 13 perusahaan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang mempunyai sistem informasi baik mempunyai potensi hutan yang baik, sedangkan perusahaan yang sistemnya buruk dan potensinya buruk berjumlah 4 perusahaan. Korelasi ini memperkuat argumen adanya moral hazard, dimana informasi tentang potensi hutan yang dilaporkan kepada pemerintah cenderung dibuat lebih besar dan didasarkan pada informasi yang berkualitas buruk. Perusahaan yang sistem informasinya baik tidak dapat menunjukkan bahwa potensi hutannya baik. Variabel LIN, adalah intensitas kegiatan pengamanan hutan yang dilakukan oleh perusahaan, semakin intensif pengamanan hutannya semakin baik potensinya. Apabila dikaitkan dengan motivasi perusahaan, dapat dimaknai bahwa perusahaan akan mengalokasikan sumberdaya pengamanan hutan sesuai dengan potensi hutan yang masih ada. Melindungi potensi hutan dari pencurian pihak lain adalah pilihan yang rasional bagi perusahaan. Variabel-variabel lain yang berupa kewajiban membangun potensi hutan tidak berkorelasi dengan potensi (POT) ini menunjukkan bahwa potensi hutan yang ada saat ini bukan merupakan hasil dari pelaksanaan kewajiban perusahaan, melainkan hasil dari faktor lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan potensi tegakan, melainkan untuk maksudmaksud lain misalnya untuk melengkapi dokumen administrasi, untuk pencitraan atau untuk memberi impresi kepada pengawas, dan lain-lain. Sebagain besar nilai verifier berada pada kisaran sedang, ini menunjukkan bahwa ada kisaran nilai yang dianggap pantas oleh perusahaan maupun pengawas, yaitu angka kesepakatan yang dapat
176
dianggap aman oleh perusahaan dan masih dapat diterima oleh pemerintah. Jika dikaitan dengan biaya transaksi tinggi dan ilegal (Mardipriyono, 2004), nilai ambang yang “disepakati” dapat merupakan hasil dari kegiatan kolutif, dimana antara pelaksana dan pengawas “menyepakati” ukuran yang berbeda dari yang seharusnya. Hasil ini mendukung temuan Kartodihardjo (1998) bahwa pemerintah dan pengusaha terjebak dalam sikap opportunistik, dan sejalan pula dengan pernyataan Williamson (1985), North (1990) , Van den Berg (2001), dan Pindyck dan Rubinfeld (2001) bahwa institusi yang tidak efektif membuat aturan tidak dapat ditegakkan dan menjadi insentif untuk melakukan kesepakatan melanggar aturan. Berkaitan dengan rentabilitas (REN), variabel yang berkorelasi adalah variabel yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan, baik terkait karena persyaratan perijinan penebangan maupun terkait dengan modal kerja. Variabel-variabel kondisi tata batas (PAL), realisasi tata batas (TAT), pembinaan hutan (RIV), penerapan prosedur teknik silvikultur (SIL), dan kesesuaian volume tebangan dengan riap (RIA) adalah variabelvariabel yang dijadikan pertimbangan dalam memberikan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang diantaranya memuat jatah produksi tahunan. Besarnya jatah produksi tahunan ini berpengaruh terhadap penerimaan perusahaan. Variabel yang terkait dengan modal kerja adalah solvabilitas, yang dapat menjadi indikator bagi pihak lain untuk memberikan dukungan finansial bagi kegiatan produksi.
Semakin lancar
modal kerja, semakin lancar pula kegiatan produksi sehingga pendapatan lebih besar, demikian pula berlaku hal yang sebaliknya. Sedangkan variabel-variabel yang lain tidak berhubungan secara nyata dengan rentabilitas. Rentabilitas adalah perbandingan antara laba perusahaan sebelum pajak
177
dengan total aktiva perusahaan yang digunakan untuk berproduksi. Mengingat bahwa tegakan tidak diperhitungkan sebagai asset, maka aktivitas produksi adalah aktivitas jangka pendek yang berupa eksploitasi potensi hutan yang telah ada. Sedangkan variabel-variabel yang tidak berhubungan secara nyata adalah kewajiban jangka panjang yang dimaksudkan untuk membangun hutan yang tidak diperhitungkan sebagai asset perusahaan.
Sesuai dengan hak yang diberikan,
maka aktivitas
perusahaan adalah aktivitas produksi yang hanya memerlukan dukungan modal kerja, perusahaan tidak sedang menjalankan investasi jangka panjang membangun hutan. Terhadap kerusakan tegakan tinggal terdapat tiga variabel berkorelasi secara nyata, yaitu kesesuaian areal dengan fungsi produksi (AFP), pengakuan unit manajemen (AKU) dan perkembangan modal perusahaan (MOD). Korelasi tersebut bersifat positif (lihat Lampiran 6), jika areal tidak sesuai dengan fungsi produksi, atau tidak diakui oleh para pihak, atau tidak cukup memiliki modal maka kecenderungannya adalah kerusakan tegakan tinggal yang lebih besar, di bandingkan kondisi sebaliknya.
VI.
MASALAH INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Berdasarkan kepada hasil penelitian pada bab-bab terdahulu dapat diperoleh pengetahuan situasi institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam, yaitu cita-cita perubahan yang dikehendaki, respon pemerintah dalam membangun struktur, respon perusahaan dalam bentuk pilihan perilaku dan kinerja. Bagaimana interaksi antara situasi yang satu dengan situasi lainnya, dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi akan dibahas dalam bab ini.
6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang Perubahan UU, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang terbit antara tahun 1999 sampai dengan 2007 dicirikan oleh perubahan orientasi yang belum di aktualisasikan kedalam kebijakan kehutanan secara utuh, mempunyai hirarkhi yang tidak konsisten dan mengandung unsur-unsur yang menyebabkan institusi tidak efektif. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah dan direspon oleh perusahaan secara rasional, berikut ini disampaikan analisanya.
6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41 tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh, dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan
179
mendistribusikan manfaat yang optimal secara berkeadilan. Yang dimaksudkan dengan hutan yang berkualitas tinggi adalah apabila fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dapat berjalan, sehingga hutan bukan hanya memproduksi kayu saja tetapi hutan juga menghasilkan produk-produk lain seperti hasil hutan bukan kayu, plasma nuftah, dan jasa-jasa lingkungan (paragraf 7 dan 8 penjelasan umum UU. 41.1999) . Dengan kata lain bahwa pengelolaan hutan dimaknai sebagai kegiatan untuk memproduksi multiproduk (dan jasa) hasil hutan yang optimal. Produksi multiproduk di hutan alam dicirikan oleh hubungan ketergantungan antara produk yang satu dengan lainnya, seperti keberadaan beberapa spesies tumbuhan maupun satwa tertentu bergantung dari keberadaan spesies lainnya, sebagaimana dikemukakan oleh Hamilton (1993).
Hubungan interdependensi
memungkinkan adanya faktor produksi yang non-allocable (Beattie dan Taylor, 1985), sebagai contoh produksi jasa lingkungan yang berupa tata air tidak dapat dipisahkan dari proses produksi kayu. Jasa lingkungan bergantung pada kualitas tegakan hutan yang dibangun melalui pengelolaan hutan untuk produksi kayu, faktorfaktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan jasa lingkungan sama dengan faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan tegakan yang baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Beattie dan Taylor (1985) bahwa untuk menghasilkan manfaat optimal melibatkan
proses pengambilan keputusan untuk
menentukan tingkat produksi multiproduk yang menghasilkan keuntungan (manfaat) maksimal. Keputusan tersebut melibatkan perhitungan dalam rangka minimisasi biaya produksi dan maksimasi keuntungan. Proses ini memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi. Pertama optimasi dapat dilakukan
180
apabila terdapat unit analisis atau unit produksi yang jelas, kedua terdapat berbagai pilihan kombinasi produk yang dikehendaki, ketiga diketahui nilai keuntungan setiap produk yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Undangundang no. 41 /1999 mengenal tiga tingkatan unit pengelolaan hutan, yaitu pengelolaan hutan wilayah provinsi, pengelolaan hutan wilayah kabupaten dan pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Pembagian wilayah administrasi pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota sudah jelas batas-batasnya, dengan demikian kepastian tentang batas-batas wilayah pengelolaan hutan tingkat unit manajemen menjadi suatu hal yang harus dipastikan keberadaannya. Wilayah pengelolaan tingkat unit ini dalam undang-undang dikenal sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), jika KPH tidak tersedia maka optimasi tidak dapat dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 belum tersedia satupun KPH yang telah dilengkapi dengan organisasi dan sarananya. Optimasi manfaat dapat dilakukan apabila di dalam setiap unit tersebut memiliki potensi lebih dari satu produk atau manfaat yang dapat diproduksi. Dalam konsep optimasi yang terjadi adalah mengkombinasikan upaya-upaya pengelolaan hutan untuk menghasilkan berbagai macam produk atau manfaat sehingga diperoleh total nilai produk akhir secara maksimal. Hutan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan berbagai manfaat, oleh sebab itu untuk melakukan optimasi, pada setiap unit pengelolaan hutan harus ditetapkan terlebih dahulu jenis-jenis produk atau manfaat yang akan diproduksi sebagai tujuan pengelolaan hutan. Optimasi pada tingkat unit pengelolaan (KPH) berbeda dengan optimasi pengelolaan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi. Pengelolaan hutan
181
tingkat kabupaten dan provinsi, merupakan agregasi dari berbagai KPH (produksi, lindung, konservasi), jenis-jenis status hutan (hutan negara, adat, dan hutan hak). Optimasi pada tingkat ini dimaksudkan untuk mendukung misi pengurusan hutan tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi (pasal 10 dan pasal 18). Pengelolaan pada tingkat wilayah ini dilakukan oleh pemerintah, sehingga permerintah perlu membuat perhitungan optimasi manfaat hutan tingkat wilayah, menetapkan tujuan pengelolaan hutan secara spesifik dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik untuk memfasilitasi upaya para pihak dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat optimal di wilayahnya. Optimasi tingkat wilayah ini berkaitan dengan indikator kinerja utama organisasi makro dan meso yang berupa kecukupan hutan, penutupan hutan dan peran sektor kehutanan yang dikehendaki (lihat lampiran 6). Optimasi memerlukan nilai sebagai dasar untuk mengukur manfaat yang diproduksi dan mengukur biaya untuk memproduksinya. Sebagaimana telah diketahui bahwa hutan mempunyai karakteristik disamping menghasilkan produk-produk privat yang dapat diperdagangkan, hutan juga menghasilkan barang-barang publik dan eksternalitas. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), pengertian eksternalitas dinyatakan sebagai pengaruh aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak dicerminkan di dalam pasar. Eksternalitas dapat berupa eksternalitas negatif manakala tindakan salah satu pihak menimbulkan beban kepada pihak lain, atau berupa eksternalitas positif manakala tindakan salah satu pihak memberikan manfaat kepada pihak lain. Aktifitas pengelolaan hutan dapat mengandung kedua jenis eksternalitas ini, sebagai contoh eksternalitas positif dapat terjadi ketika pengelola hutan melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan hutan yang sehat sehingga
182
dapat berfungsi secara maksimal, ketika hutan berfungsi dengan baik, maka hutan memberikan pengaruh terhadap stabilitas iklim, fungsi tata air, habitat bagi berbagai macam kehidupan, keindahan alam dan fungsi-fungsi lain yang dinikmati oleh pihakpihak lain yang tidak turut membiayai pengelolaan hutan tersebut. Sementara eksternalitas negatif terjadi terutama pada saat dilakukan penebangan pohon dalam rangka produksi kayu, dampak dari penebangan tersebut dapat berupa erosi yang menimbulkan sedimentasi sungai, gangguan tata air, hilangnya habitat satwa dan lainlain akibat yang ditanggung oleh pihak lain, sementara pihak lain itu tidak turut menikmati manfaat dari penebangan pohon tersebut. Sedangkan barang publik oleh Pindyck dan Rubinfeld (2001) dinyatakan bahwa barang publik mempunyai dua karakter yaitu non-rival dan non-exclusive. Barang publik yang dihasilkan hutan bersifat non-rival yaitu ketika hutan telah berfungsi maka penambahan jumlah pengguna manfaat hutan tidak akan menambah biaya produksi barang tersebut. Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat nonekslusif sebagai contoh adalah oxigen, tidak ada yang bisa mencegah orang untuk mengkonsumsi oksigen yang diproduksi dari hutan yang dikelolanya dan pengguna produk tersebut tidak dapat dikenai biaya. Manfaat hutan lebih banyak dinikmati oleh pengguna tidak langsung, dalam pengertian Dye (1995) merupakan hal yang tergolong kedalam urusan publik. Dengan memperhatikan karakteristik hutan sebagaimana tersebut di atas, untuk melakukan
optimasi
pengelolaan
hutan
diperlukan
adanya
ukuran
yang
mencerminkan nilai kemanfaatan dari produk yang dihasilkannya, dan ukuran yang dapat mencerminkan biaya produksi, serta tersedia mekanisme yang menghubungkan
183
antara perolehan pendapatan dengan pembiayaan oleh pengelola hutan. Terhadap produk yang dapat diperdagangkan, pasar telah menyediakan mekanisme hubungan tersebut, sedangkan terhadap eksternalitas dan barang-barang publik diperlukan kebijakan publik yang dapat menghubungkan antara biaya dan pendapatan. Untuk melakukan koreksi pasar atas keberadaan eksternalitas (Pindyck dan Rubinfeld, 2001), terdapat beberapa pilihan kebijakan yaitu standardisasi emisi, pajak emisi, perdagangan ijin emisi atau daur ulang. Standar emisi adalah aturan yang menetapkan tingkat emisi yang masih diperbolehkan terjadi, pelanggaran atas batas ini dapat dikenakan denda atau hukuman kriminal. Sedangkan pajak emisi adalah biaya yang dikenakan atas setiap satuan emisi yang dihasilkan oleh seseorang atau perusahaan. Pada perdagangan ijin emisi, setiap pelaku diharuskan mempunyai ijin emisi yang menunjukkan jumlah emisi yang diperbolehkan, mereka yang memproduksi emisi lebih besar dari ijinnya dapat membeli ijin emisi dari pihak yang memproduksi emisi lebih kecil dari ijinnya.
Sedangkan koreksi pasar atas
keberadaan barang publik dilakukan dengan kebijakan subsidi oleh pemerintah. Pemerintah di beberapa negara mempunyai kebijakan pemberian subsidi sebagai insentif kepada untuk membangun hutan, pemerintah Findlandia menanggung biaya pembangunan hutan hingga mencapai 25% dari total biaya dengan nilai rata-rata setara dengan Rp. 550 Milyard pertahun (APHI, 2004). Sementara itu di tingkat dunia sedang berkembang mekanisme perdagangan karbon yang merupakan bentuk upaya koreksi terhadap keberadaan eksternalitas pada pengelolaan hutan. Berbagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment on Environmental Services / PES) telah banyak didiskusikan oleh berbagai lembaga internasional.
184
Dalam perkembangannya, kehendak undang-undang belum dapat diterjemahkan dengan baik oleh aturan-aturan pelaksanaannya. Peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi yaitu Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 serta peraturan-peraturan menteri tidak mengarahkan perubahan tujuan pengelolaan hutan dari orientasi kayu menjadi orientasi produksi multiproduk, peraturan-peraturan tersebut mengatur pemanfaatan multiproduk dengan tidak memberi perhatian yang cukup pada manajemen produksi multiproduk. Peraturan Pemerintah no. 44 tahun 2004 maupun Peraturan Menteri Kehutanan no. P.28/Menhut-II/2006 tidak menjelaskan dan tidak mengatur tentang proses-proses optimasi
fungsi
maupun
produksi/manfaat.
Mandat
undang-undang
untuk
mewujudkan manfaat optimal masih diterima sebatas retorika, belum ditejemahkan ke dalam kebijakan dan peraturan. Berdasarkan peraturan yang telah diterbitkan pemerintah, disimpulkan bahwa belum ada kebijakan publik yang secara eksplisit dimaksudkan untuk melakukan koreksi atas masalah eksternalitas dan barang publik yang terjadi pada pengelolaan hutan produksi alam. Selain itu KPH sebagai unit analisa belum disiapkan, oleh sebab itu perubahan orientasi belum dapat dilaksanakan.
6.1.2. Hirarkhi Organisasi Kehutanan Undang-undang Kehutanan mengatur hirarkhi organisasi dan kebijakan ke dalam tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Pengaturan hirarkhi ini berkaitan dengan hirarkhi organisasi dan kebijakan yang terdiri dari makro, meso
185
dan mikro. Sedangkan dari konteks kebijakan pengaturan hirarkhi juga mempunyai kesesuaian dengan kuadran kebijakan yang memposisikan kebijakan publik, kebijakan privat dan quasi publik. Pengurusan hutan adalah hirarkhi tingkat makro yang berhubungan dengan pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan mencakup wilayah luas, pengurusan hutan juga merupakan domain kebijakan publik yang berupa tugas pemerintah yang menyangkut kepentingan bersama. Pengelolan hutan dibagi kedalam tiga tingkatan yaitu wilayah provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit manajemen atau disebut sebagai KPH, masing-masing berada pada tingkat makro, meso dan mikro. Sejalan dengan karakteristik hutan yang juga memproduksi ekternalitas dan barang publik maka pengelolaan hutan termasuk dalam ranah kebijakan publik dan quasi publik. Pada tingkat makro dan meso pengelolaan hutan termasuk dalam kebijakan publik karena mencakup wilayah luas dan mengatur kepentingan bersama masyarakat di dalam wilayahnya, sedangkan pengelolaan hutan pada tingkat KPH dapat dikategorikan sebagai quasi publik karena KPH sebagai unit managemen terkecil adalah sebuah entitas individual yang mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan manajemen atas kawasan hutan negara yang dikelolanya,
tetapi
KPH
juga
melaksanakan
pekerjaan
pemerintah
dalam
memproduksi barang publik dan mengelola eksternalitas hutan, dua hal terakhir ini yang dipercaya menyebabkan kegagalan pasar. Sepanjang tidak dilakukan koreksi atas keberadaan barang publik dan ekternalitas pada pengelolaan hutan, maka peran pemerintah masih diperlukan. Pemanfaatan hutan adalah hirarkhi tingkat mikro dan merupakan wilayah privat, dimana pemanfaatan hutan adalah aktifitas memanfaatkan hasil produksi multiproduk dari pengelola hutan (KPH). Hubungan-hubungan
186
transaksi antara pengelola hutan (KPH) dangan pengguna (pemanfaat) adalah hubungan transaksi individual. Hubungan struktur organisasi kehutanan yang diatur oleh Undang-Undang 41/1999 adalah seperti Tabel 45. Tabel 45. Hubungan Hirarkhi Organisasi Kehutanan Menurut UU. 41/1999 Organisasi Kehutanan
Hirarkhi Institusi
Kuadran Kebijakan
Pengurusan Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi 2. Wilayah Kab/Kota 3. Unit Pengelolaan (KPH) Pemanfaatan
Makro
Publik
Makro Meso Mikro Mikro
Publik Publik Quasi Publik Privat
Berdasarkan ketentuan undang-undang, transaksi antara pengelola dengan pengguna dilakukan melalui mekanisme ijin-ijin usaha. Berdasarkan hirarki yang ditentukan oleh undang-undang, apabila organisasi pengelola tingkat unit telah ada maka kedudukan ijin usaha berada pada lapisan yang paling rendah, seperti pada gambar 21. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa ijin usaha yang terjadi dalam konteks hubungan antara pengelola dengan pengguna adalah bentuk transaksi pemanfaatan hasil produksi yang merupakan wilayah privat, harus dibedakan dengan ijin usaha yang berupa ijin pendirian usaha yang merupakan kewenangan publik karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi demi melindungi kepentingan publik. Ijin usaha dalam konteks pemanfaatan hasil hutan adalah hubungan transaksi produk hasil hutan antara pengelola dengan pengguna, hubungan transaksi ini seperti yang terjadi antara Perum Perhutani dengan pembeli kayu, antara pengelola hotel dengan penyewa ruang pamer atau pengguna kamar, antara pengelola kebun binatang dengan penyewa toko cindera mata yang ada di dalamnya dan
187
transaksi pengelola stadion dengan pengunjung yang membeli karcis ijin masuk. Hubungan-hubungan transaksional individu ini memerlukan ijin dari pengelola untuk mengambil manfaat. Aturan pelaksanaan yang berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak konsisten melaksanakan struktur organisasi kehutanan yang dikehendaki oleh undang-undang. Penyimpangan ini dapat dilacak dari pengaturan perencanaan pengelolaan hutan dan perijinan usaha pemanfaatan dalam Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002. Wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan hutan (RPH) yang merupakan rencana tingkat unit (KPHP) yang merupakan rencana individual dan mikro, didistribusikan kepada institusi tingkat meso dan makro dengan meniadakan peran institusi mikro. RPH jangka satu tahun disusun oleh instansi kehutanan (tanpa disebut identitasnya) dan disahkan oleh Gubernur, RPH jangka 5 tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri, RPH 20 tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri. Pengaturan ini menyebabkan Menteri, Gubernur dan Bupati melaksanakan urusanurusan yang bersifat mikro Di bidang perijinan juga berlaku hal yang serupa, bupati, gubernur dan menteri mempunyai peran dalam pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan, sedangkan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi wewenang menteri. Dalam terminologi Schlager dan Ostorm (1992) perijinan adalah exclusion right maka dengan diambilnya hak ekslusi oleh birokrasi maka definisi hak pengelolaan pada KPH menjadi tidak lengkap, dan KPH sebagai unit pengelolaan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengelola.
188
Pengurusan Hutan
Pengelolaan Provinsi
Pengelolaan Kabupaten
Pengelolaan Unit Blok Petak Pemanfaatan
Ijin Usaha Pemanfaatan
48
Gambar 21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki Organisasi Kehutanan
Akibat dari pilihan organisasi yang tidak membedakan hirarki makro, meso mikro, dan tidak membedakan domain publik dan privat membawa pemerintah terlibat langsung dalam aktivitas operasional sehingga pemerintah menjalankan peran regulator, penegak aturan dan pemain. Kedudukan dan peran para pihak menjadi bercampur-baur tanpa hirarki yang jelas (Gambar 22).
North (1990) telah
mengingatkan bahwa agar institusi ekonomi berjalan secara efektif harus ada pemisahan antara pembuat aturan dan pemain, dan menurut Sewel (1992) peran pemerintah diposisikan pembuat aturan dan penegak peraturan. Mengapa pemisahan ini diperlukan, Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scoot (2008), memberikan alasan bahwa
mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya
memerlukan wewenang dan legitimasi. Namun demikian berdasarkan pemahaman Skocpol (1985) dan North (1990) di dalam Scott (2008), bahwa dalam prakteknya
189
negara membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor social lainnya.
Organisasi Kehutanan
Hirarkhi Institusi
Kuadran Kebijakan
Pengurusan Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi 2. Wilayah Kab/Kota 4. Unit Pengelolaah (KPH Pemanfaatan Gambar 22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan
Keterlibatan pemerintah secara langsung pada urusan mikro pada situasi hirarki yang tidak terstruktur dengan baik menimbulkan kesulitan untuk memposisikan perannya dalam fungsi publik dan privat. Perannya sebagai regulator, wasit dan sekaligus pemain, menghasilkan aturan-aturan yang mengandung konflik kepentingan seperti peraturan mengenai sanksi yang berimbas pada kepentingan langsung pemerintah, kebijakan SILIN dan penurunan batas diameter yang mengutamakan kepentingan jangka pendek daripada tujuan optimasi manfaat adalah contoh dari adanya konflik kepentingan tersebut. Sebagai pemegang kekuasaan, maka untuk mendapatkan kepentingannya, pemerintah melakukan perversi yaitu mengambil keuntungan atas beban pihak lain melalui peraturan yang dibuatnya, pemindahan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan, pembebanan biaya penilaian kinerja kepada perusahaan, pembebanan biaya informasi dan lain sebagainya adalah contoh aturan yang bersifat perversif.
190
Salah satu negara yang telah menerapkan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat multiguna, dan menerapkan hirarki secara konsisten adalah Swedia. Swedia juga pernah mengalami kerusakan hutan yang serius pada masa yang lalu dan akibat perang, namun telah berhasil mengembalikan kondisi hutannya dengan sangat baik hasil inventarisasi hutan nasional pada 1990 menunjukkan bahwa stok hutan meningkat 50% dan produksi kayu terus meningkat, jika pada tahun 1982 produksi kayu mencapai 64,5 jutan m3 maka pada tahun 1999 meningkat menjadi 72,4 juta m3
jauh melampaui produksi kayu Indonesia. Tabel 46 menyampaikan
perbandingan pengaturan institusi hutan negara antara Indonesia dan Swedia. Tabel 46. Perbandingan Pengaturan atas Hutan Negara di Indonesia dengan Hutan Negara di Swedia Aspek Indonesia Swedia(1) Landasan Undang-Undang Kehutanan Undang-Undang Kehutanan Peraturan Republik Indonesia nomor 41 Swedia tahun 1993 tahun 1999 Filosofi Hutan karunia Tuhan Yang Maha Hutan adalah suatu sumberEsa sebagai salah satu sumber daya nasional harus dikelola penyangga kehidupan, harus sehingga memberi manfaat disyukuri dan dikelola dengan maksimal yang lestari dan sebaik-baiknya untuk sebesar- menjamin pelestarian besarnya kemakmuran rakyat. keaneka-ragaman hayati. Tujuan Menghasilkan hutan berkualitas Menghasilkan produktivitas Pengelolaan tinggi dengan beragam produk dan hutan yang tinggi yang manfaat yang optimal dan memproduksi multiguna terdistribusi secara berkeadilan Instrumen Belum jelas pengaturannya Mengubah orientasi monoteknologi untuk kultur menjadi hutan mencapai campuran, dan memadukan tujuan sistem silvikultur dengan konservasi sumberdaya hutan secara sederajad. Peran Pemerintah 1. Pengurusan Regulator Memberikan petunjuk;
191
Aspek
Indonesia Inventarisasi hutan;
Swedia(1) Memberikan hibah kepada
Pengukuhan hutan;
pemilik
Penatagunaan hutan;
memenuhi kontrak;
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan;
Inventarisasi hutan;
Litbang, Diklat, Penyuluhan;
2. Pengelolaan
3. Pemanfaatan
hutan
yang
Informasi kehutanan;
Pengawasan;
Urusan lingkungan (ekologi) tertentu;
Informasi Kehutanan
Pengaturan timber scaling; Statistik Kehutanan dan Peramalan tren sektor kehutanan Memiliki 51% saham pada Perusahaan Negara Kehutanan “Assidoman”, 49% saham di jual di bursa saham
Menentukan pilihan teknologi, volume produksi, rencana usaha, dan rencana karya tahunan, mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan praktek pengelolaan hutan kepada peru-sahaan IUPHHK, Tidak ada pembatasan umur ijin Memberikan ijin-ijin usaha pada Bersama-sama dengan kawasan hutan negara; Dewan Kehutanan Nasional (Skog-svardsforbund) Mengesahkan rencana-rencana menetapkan traget produksi usaha dan rencana karya tahunan; tahunan; Mengawasi pelaksanaan kewajiban pengelolaan hutan oleh perusaMelalui kantor kehutanan haan IUPHHK; daerah memberikan petunjuk atas renca-na penebangan Memberikan sanksi administrasi yang diajukan oleh atas pelanggaran kewajiban pemilik/pengelola hutan; perusahaan.
Kecenderungan Negatif (laju deforestasi positif) Kinerja Pembangunan Stok Hutan Sumber : Skogsstyrelsen. 1994
Memberikan penilaian atas kinerja produksi, dan merenca-nakan pemberian subsidi penanaman kembali. Positif (Stok tegakan hutan terus meningkat)
192
Swedia
mengaktualisasikan
perubahan
orientasi
kayu
menjadi
orientasi
sumberdaya hutan dengan mengubah pilihan teknologi pengelolaan hutan, yaitu dengan memadukan teknik silvikultur dan teknik konservasi sumberdaya hutan. Sementara pemerintah tidak terlibat langsung dalam kegiatan operasional, dengan menyerahkan operasional pengelolaan hutan kepada perusahaan kehutanan Assidoman/Domansverket, sehingga pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan publik. Pemerintah Swedia selain mengambil jarak untuk menghidari keterlibatannya secara langsung dalam aktivitas tingkat mikro, juga membangun mekanisme kontrol yang melekat (built in control mechanism) dengan melibatkan publik melalui pasar modal. Hasil studi Hirakuri (2003) mendukung teori tentang perlunya pemerintah tidak terlibat langsung pada urusan tingkat mikro. Studi yang membandingkan praktek pengelolaan hutan di Brazil dan Finlandia, menunjukkan bahwa pemerintah Brazil yang banyak mengatur aspek-aspek administratif dan hal-hal detail lainnya, pada akhirnya kehilangan tingkat kepatuhan yang berakibat kerusakan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan Findlandia yang mengatur hal-hal pokok, dan menyerahkan keputusan pengelolaan hutan kepada organisasi tingkat mikro, sementara pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan publik memberikan hasil bahwa tingkat kepatuhan sangat tinggi dan produktivitas hutan lebih tinggi. Hasil studi Yin (2003), menggambarkan bahwa campurtangan pemerintah yang minimal mampu meningkatkan partisipasi masyarakat secara nyata dalam membangun hutan di China. Reformasi yang dilakukan di China bagian utara, yang
193
mengubah sistem komunal menjadi sistem tanggung jawab keluarga (household responsibility system), yang dikombinasikan dengan perubahan pasar dari sistem quota produksi dengan mekanisme pasar mampu meningkatkan rasio luas hutan dari 5% menjadi 12.5 %. Sebaliknya di China bagian selatan dimana hutan-hutan dikelola negara menunjukkan bahwa produktifitas hutannya lebih rendah.
6.2. Arti Penting Kepemilikan Hutan Negara Mengapa berkembang aturan main yang mempunyai ciri tanpa hirarki, konflik dan perversif ? Penelitian ini tidak secara khusus meneliti tentang motivasi para pihak dalam membuat aturan, sehingga tidak memberi jawaban dari sisi motivasi. UU memberikan “pesan” yang mengambang tentang status kepemilikan hutan negara, disatu sisi dikatakan bahwa status hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak, namun di sisi lain diatur bahwa pengertian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki” (pasal 4: 1), pengaturan ini memberikan ketidak pastian tentang siapa pemilik hutan negara. Ketidak pastian tentang kepemilikan ini menyebabkan definisi tentang hak properti atas hutan negara tidak lengkap sehingga klasifikasi hak sebagaimana dikemukakan oleh Schlager dan Ostorm (1992) tidak dapat dilakukan. Hak kelola, hak sewa dan hak guna adalah hak-hak yang dapat ada kalau jelas pemiliknya. Jika hak-hak tersebut diberikan tanpa dilandasi dengan ijin dari pemiliknya, maka telah terjadi tindak kejahatan. Status kepemilikan atas hutan negara yang tidak terdefinisi dengan lengkap, menyebabkan pemerintah tidak dapat memposisikan kepemilikan atas asset tegakan di hutan negara dan tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dalam menata hubungan-hubungan tentang hak-hak properti.
194
6.2.1. Dasar Menentukan Status Asset Tegakan Hutan Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam lainnya, pengelolaan hutan melibatkan pembiayaan untuk menghasilkan tegakan hutan, sehingga biaya-biaya tersebut tersimpan di dalam stok tegakan hutan itu sendiri. Pada pengelolaan tambang biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan dengan pembuatan stok bahan tambang, demikian pula dengan perikanan tangkap biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan dengan pembentukan populasi ikan di laut. Pengelolaan atas dua jenis sumberdaya alam tersebut tidak perlu secara eksplisit mengatur kepemilikan atas barang tambang dan ikan di laut, melainkan cukup dengan penguasaan yang efektif. Undang-undang kehutanan tidak secara spesifik mengatur tentang status asset tegakan hutan, demikian pula aturan-aturan yang dibangun oleh pemerintah juga tidak menyinggung status ini. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset memerlukan kejelasan tentang pengaturan definisi hak properti secara lengkap, sehingga dapat ditentukan siapa pemilik asset tersebut. Undang-undang dan aturan-aturan yang tidak secara eksplisit menentukan pemilik hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk menentukan siapa yang menjadi pemilik atas stok tegakan hutan alam yang berstatus sebagai hutan negara. Pengalaman masyarakat Ejidos di Mexico sebagaimana disampaikan oleh Van den Berg (2001), bahwa 100 tahun yang lalu pemerintah setempat mengubah kebijakan properti lahan komunal (community land right), menjadi hak pengelolaan kepada keluarga yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya dan berlaku selama masih digunakan untuk produksi hasil tanaman. Hak tersebut kembali ke negara bila yang bersangkutan tidak bekerja sebagai penggarap lahan tersebut. Dari segi keamanan
195
atas hak, skema ini cukup aman, tetapi tidak ada pengakuan atas asset tegakan yang ditanam. Meskipun keluarga tersebut telah mengeluarkan banyak biaya untuk menanam pepohonan, namun ketika keluarga itu beralih profesi atau pindah tempat tinggal, investasinya tidak terakumulasi sebagai asset yang bisa ditransaksikan, akibatnya seluruh biaya yang sudah ditanamkan menjadi beban tetap (fix cost) bagi pergantian profesinya. Kegiatan yang dilaksanakan dalam IUPHHK adalah kegiatan bisnis dengan tujuan untuk
memaksimumkan
keuntungan.
Menurut
Hampton
(1989),
untuk
memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Di dalam Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, status asset tegakan merupakan hal yang sangat penting, mengingat bahwa ketidak jelasan statusnya dapat menimbulkan persepsi sebagai asset menganggur dan mendorong perusahaan untuk menjadikannya tunai. Hasil penelitian Kartodiharjo (1998), menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan HPH tidak termotivasi untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari adalah akibat dari tidak adanya pengakuan dan pencatatan tegakan sebagai asset. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan diperlakukan sebagai biaya yang “hilang sia-sia” karena nilai tesebut tidak tersimpan di dalam tegakan dan tidak menjadi kekayaan perusahaan maupun pemerintah, tegakan hutan tidak ada yang memiliki. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa pengakuan asset memberikan lebih banyak pilihan, karena asset dapat diakumulasikan sebagai alat penyimpan kekayaan, yang dapat dikonversikan ke dalam jenis asset lainnya atau
196
dikonsumsi sejalan dengan perkembangan kebutuhan, sehingga memberikan insentif terhadap inovasi dan investasi.
Siapapun yang membiayai dan mencurahkan
kemampuannya untuk membangun hutan tidak akan kehilangan nilai usahanya karena nilai itu tersimpan di dalam tegakan sebagai asset, dan apabila ia memerlukan atau akan berganti usaha asset tersebut dapat diubah ke jenis asset lainnya dengan cara bertransaksi kepada pihak yang ingin melanjutkan usaha pembangunan hutan. Dengan mentransaksikan asset tegakan memungkinkan masuknya perusahaan lain yang
lebih
kompeten
untuk
melanjutkan
usaha,
dibandingkan
dengan
mempertahankan perusahaan yang lama. Sementara apabila tidak diakui sebagai asset, maka perusahaan-perusahaan kehutanan yang menanamkan uangnya dalam bentuk tegakan akan terjebak di dalamnya dan tidak dapat keluar dari bisnis ini, jika ia beralih bidang usaha seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membangun tegakan harus direlakan sebagai biaya tetap atas pergantian usaha. Pengakuan tegakan sebagai asset juga mengurangi resiko finansial apabila didukung dengan kebijakan untuk meniadakan batas umur ijin dan menggantikannya dengan kriteria kinerja fungsi hutan. Sanksi pencabutan dan umur ijin memberi ketidak-pastian usaha, karena sewaktu-waktu asset dapat beralih menjadi milik negara, sehingga lembaga keuangan tidak tertarik untuk membiayai proyek pembangunan hutan (Ferreira, 2004) . Pengakuan dan jaminan keamanan asset serta transferabilitasnya dapat meningkatkan bankabilitas proyek pembangunan hutan (Mendelshon, 1990 di dalam Ferreira, 2004). Jika pengakuan sebagai assset diintegrasikan dengan neraca sumberdaya hutan, maka akan diperoleh ukuran moneter atas kekayaan hutan. Dengan adanya ukuran
197
moneter, pembangunan kehutanan dapat dikomunikasikan dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh otoritas fiskal. Dengan demikian kebijakan kehutanan dapat difasilitasi untuk masuk ke dalam arus utama (main stream) kebijakan ekonomi. Pengaturan gaya Ejidos tergolong lebih maju daripada IUPHHK karena tiga hal yaitu ada kejelasan strata hak yang diberikan berupa hak kelola, ada kepastian jangka panjang berupa kepastian hak sepanjang masih digunakan sesuai kontrak, dan hak tersebut dapat diwariskan. Berbeda dengan IUPHHK yang diberikan hak pemanfaatan, dibatasi jangka waktu ijinnya dan tidak dapat diwariskan. Mekanisme ini bukan saja menimbulkan beban tetap terhadap perusahaan yang akan berganti bidang usahanya, melainkan juga memberikan ketidak pastian usaha. Adanya sanksi pencabutan, jangka waktu ijin dan ketentuan bahwa asset tidak bergerak menjadi milik negara, menyebabkan hutan tidak dapat dijadikan agunan sehingga sulit mendapatkan layanan investasi dari perbankan. Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk mendudukkan status tegakan hutan sebagai asset karena pengakuan asset memerlukan kejelasan pemiliknya. Tegakan hutan tidak dapat menjadi alat penyimpan asset, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan alam menjadi biaya yang hilang karena tidak disimpan sebagai kekayaan, dan bisnis kehutanan sulit mendapat dukungan perbankan oleh sebab itu perilaku rasional tidak akan membelanjakan uangnya untuk membangun hutan. Sama seperti pada bagian terdahulu, pemerintah tidak melakukan perubahan yang nyata, disamping kemungkinan adanya motivasi untuk memperkuat kekuasaan dan adanya resistensi namun terdapat kemungkinan bahwa respon ini karena mereka
198
terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal, (Scott, 2008). Dalam hal ini birokrasi terikat oleh aturan PSAK-32 yang kewenangan regulasinya tidak langsung berada di Departemen Kehutanan, tetapi pada Ikatan Akuntan Indonesia.
6.2.2. Dasar Menata Hubungan Hak Properti Pengakuan atas kepemilikan hutan negara akan memudahkan pengaturan strata hak properti atas hutan secara baik, dapat diketahui siapa pemilik, siapa pengelola, siapa penyewa dan siapa pengguna. Masing-masing aktor dapat mengidentifkasikan dirinya, sehingga dapat menjalankan peran masing-masing sesuai dengan kedudukannya. Kemampuan identifikasi ini akan memfasilitasi pengaturan hirarki institusi. Sebagai pembanding dapat diperhatikan pengaturan hak-hak properti hutan negara yang berlaku di Swedia, data perbandingan ini disajikan pada Tabel
47.
Hak
kepemilikan atas hutan diakui secara jelas, sehingga terdapat hutan negara, hutan milik perorangan, hutan milik perusahaan, dan hutan milik komunitas (Nilsson, 1990). Terhadap hutan yang dimiliki oleh negara, sejak tahun 1993 pemerintah memberikan hak pengelolaan atas hutan negara kepada perusahaan kehutanan “AssiDoman”, pemerintah memiliki saham sebesar 51 % dan sisanya 49% dijual ke pasar modal (Borealforest, 2010). Pemerintah sebagai salah satu pemilik hutan tidak terlibat langsung dalam urusan-urusan mikro.
Pemerintah berkonsentrasi pada
kebijakan publik untuk memajukan kehutanan di seluruh wilayah negaranya. Tugastugas pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang berupa : pemberian nasehat; distribusi hibah pemerintah kepada pemilik hutan yang berhasil memenuhi
199
kontrak, inventarisasi hutan, aktifitas informasi, urusan-urusan ekologik tertentu, pengaturan timber scaling, statistik kehutanan dan peramalan sektor kehutanan. (Skogsstyrelson, 1994). Selanjutnya undang-undang kehutanan swedia juga mengatur bahwa setiap orang yang
akan
melakukan
penebangan
hutan
harus
menyampaikan
rencana
penebangannya kepada pemerintah setempat untuk diberikan petunjuk apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, dan apabila dalam 15 hari tidak ada petunjuk maka penebangan dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan rencana tersebut pemerintah memeriksa dan menilai kondisi setelah penebangan, jika hasilnya memenuhi kriteria kinerja yang berlaku, maka pemerintah merencanakan besarnya hibah atau subsidi yang akan diberikan kepada yang bersangkutan untuk membiayai penanaman kembali. Hal-hal yang bersifat teknis tidak diurus oleh pemerintah secara langsung melainkan didevolusikan kepada para pemilik/pengelola hutan. Para pemilik/pengelola hutan membentuk Federasi Pemilik Hutan Swedia (Skogsagarnas Riksforbund) untuk meningkatkan pendapatan finansial para anggotanya. Tujuan tersebut dicapai dengan mengkoordinasikan perdagangan kayu dan memberikan bantuan kepada pemilik tentang teknik-teknik logging dan silvikultur. Undang-undang kehutanan swedia juga mengatur hak-hak tradisional masyarakat Swedia yang berupa akses kehutan (right of common acces) setiap orang berhak melewati hutan milik siapapun, berhak menikmati lanskap, memungut jamur dan buah berry, dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Aktivitas berkendaraan dan berkemah yang melampaui 24 jam diharuskan mendapat ijin dari pemilik/pengelola hutan.
200
Apabila kepemilikan hutan negara dinyatakan dengan jelas seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Swedia, maka klasifikasi hak sesuai metoda Schlager dan Ostorm (1992) dapat dilakukan atas properti hutan negara menjadi sebagai berikut : pemilik hutan negara adalah negara mewakili warga negara Indonesia, yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan pengurusan hutan; pengelola adalah pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan pengelolaan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, sedangkan pengelola tingkat unit adalah KPH pada hutan negara dan masyarakat adat terhadap hutan adat serta pihak lain yang diberikan wewenang pengelolaan; termasuk dalam kelompok penyewa adalah penerima ijin usaha pemanfaatan kawasan dan penerima ijin usaha jasa lingkungan wisata alam yang memerlukan areal tertentu untuk mengembangkan produk wisatanya; terakhir dapat digolongkan sebagai pengguna adalah penerima ijin-ijin usaha pemanfaatan kayu, bukan kayu, produk jasa lingkungan dan penerima ijin pemungutan hasil hutan. Klasifikasi menurut Schlager dan Ostorm (1992) tersebut dapat membantu untuk memposisikan KPHP dan pihak-pihak lainnya dengan lebih jelas dan lebih baik dibandingkan dengan penataan menurut peraturan pemerintah yang ada. Dengan memanfaatkan klasifikasi Schlager dan Ostorm, maka hubungan-hubungan tersebut dapat diatur menjadi sebagaimana Tabel 48. Negara sebagai perwakilan seluruh rakyat Indonesia dapat diposisikan sebagai “pemilik” hutan negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah melalui kewe-nangan pengurusan hutan. Negara sebagai pemilik hutan mempunyai strata hak yang paling lengkap, termasuk hal alienation yaitu hak untuk memindah tangankan seluruh atau sebagian dari hutan tersebut kepada pihak lain. Melalui kewenangan
201
pengurusan, pemerintah dapat melakukan tindakan alih fungsi hutan produksi termasuk mengubah status hutan menjadi bukan hutan, tukar menukar kawasan, dan ijin pinjam pakai. Pemerintah mempunyai pilihan untuk mengaktualisasikan hak-hak atas kepemilikannya dengan cara melaksanakan sendiri atau dengan cara memberikan kepada pihak lain kepada pengelola, penyewa dan atau pengguna sesuai dengan strata hak yang diberikan. Agar efektif batasan hak properti harus lengkap dan tepat, oleh karenanya setiap pilihan mengandung implikasi pendelegasian hak-haknya. Jika pemilik memilih menjalinj hubungan dengan pengelola, maka hak-hak access and withdrawal, management, dan exclusion, harus didevolusikan kepada pengelola, sementara hak allienasion tetap menjadi hak pemeili8k untuk melaksanakannya. Demikian pula jika pemilik menjalin hubungan dengan pengguna, maka hak yang diberikan adalah access and withdrawal, sehingga strata hak yang lainnya menjadi tanggung jawab pemilik untuk melaksanakannya. Situasi yang berlaku saat ini, pemerintah juga tidak dapat membuat definis hakhak properti atas hutan negara secara lengkap dan jelas, kedudukan pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna (pemanfaat) tidak terdifinisi dengan baik, sehingga terjadi kerancuan pengaturan. Dalam kasus IUPHHK, pengguna diposisikan sebagai pengelola dengan memberikan beban kewajiban-kewajiban pengelolaan. Pemerintah tidak mampu mengidentifikasikan dirinya, akibatnya tidak dapat mengidentifikasi peran diri sendiri dan aktor-aktor lain dalam menjalin hubungan kontraktual dengannya. Oleh sebab itu sejalan dengan pendapat Titienberg (1992) hak-hak properti atas hutan tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
Strata Hak Access and withdrawal
Tabel 47. Perbandingan Penggunaan Strata Hak Pada Hutan Negara di Indonesia dan Swedia Indonesia Swedia Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Pemilik Pengelola Penyewa Diatur Tidak Jelas Tidak Jelas Mendapat Negara (Assidoman) Atas ijin pemerinta pelaku dan pelaku dan ijin usaha menyerahkan Berwenang pengelol h pengaturanny pengaturanny dari kewenanganny melaksanaka a a a pemerintah a kepada n dengan pengelola, dibebani Perusahaan kewajiban Negara pengelolaa Kehutanan n (Assidoman)
Pengguna Dijamin oleh undangundang sebagi right of common access. Seijin pengelola jika melampau i batas 24 jam
Managemen Diatur pemerinta t h Diatur Exclusion pemerinta h Diatur Alienation pemerinta h
na
na
na
na
Na
na
Menjualan saham di bursa saham
Berwenang melaksanaka n Berwenang melaksanaka n
Atas ijin pengelol a
na
na
Na
na
na
na
203
Tabel 48. Pengaturan Hak-hak Properti yang Berlaku pada KPHP, Berdasarkan Klasifikasi Schlager dan Ostorm PEMILIK (Owner)
PENGELOLA (Proprietor)
PENYEWA (Claimant)
Negara
KPH, Hutan Adat, Hutan Desa
IUPK, IUPJL
X
X
X
X X
X X
X
Strata Hak
Access and Withdrawal Management Exclusion Alienation
PENGGUNA (Autorized User) IUPHHK, IUPHHBK, IUPHH, IUPJL
X
X
Kerancuan dalam mendefinisikan hak properti menyulitkan pemerintah dalam memposisikan hirarkhi institusi dan kebijakan secara jelas menyebabkan pemerintah pusat dan daerah memasuki wilayah-wilayah mikro yang merupakan domain urusan individu, hal seperti ini tidak terjadi di Swedia. Ijin-ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang merupakan hubungan transaksi individu ditangani langsung oleh Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Menteri juga terlibat langsung dalam memutuskan pilihan teknologi yang digunakan pada pengelolaan hutan tingkat KPH. Sedangkan Bupati/walikota dan Gubernur juga mengambil alih peran yang dapat dilakukan oleh KPH, sehingga terlibat langsung dalam transaksi pemanfaatan kawasan, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan, yang merupakan urusan tingkat mikro. Pilihan manajemen yang memposisikan Menteri, Gubernur dan Bupati/walikota terlibat dalam urusan tingkat mikro memerlukan penguasaan informasi yang detail dan kapasitas pengendalian dan pengawasan yang kuat. Penguasaan informasi secara cepat menjadi
204
semakin penting jika dikaitkan dengan misi pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi hutan, dimana karakterisitik tegakan hutan disamping sebagai produk, ia juga berperan sebagai “pabrik” sehingga jika terjadi kesalahan akan berdampak jangka panjang. Oleh sebab itu informasi yang cepat dapat memberikan arahan untuk mengambil tindakan secara cepat guna menghindari dampak buruk yang meluas. PP no. 34/2002 dan PP no. 6/2007 mempunyai bias terhadap hutan negara. Hal-hal yang diatur lebih tepat diberlakukan untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan negara, sedangkan undang-undang memerintahkan pengaturan terhadap seluruh status hutan, sehingga pembentukan KPH, penunjukan pengelola dan prosedur perijinan tidak tepat diberlakukan pada hutan hak, hutan adat, hutan desa yang menurut undang-undang diberikan kewenangan pengelolaan. Bias pengaturan ini dapat terjadi karena logika tata urutan penetapan tidak diikuti, undang-undang membangun logika urutan penetapan dimulai dari status hutan, fungsi hutan, wilayah pengelolaan, pemanfaatan dan terakhir perijinan.
6.3. Respon Pemerintah Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat tiga respon pemerintah yaitu mengosongkan pranata pengelolaan hutan tingkat unit, memindahkan tanggung jawab pengelolaan hutan dan kapasitas penegakan aturan yang lemah.
6.3.1. Kekosongan Pranata Pengelolaan Hutan Tingkat Unit. Definisi hak properti atas hutan negara yang tidak lengkap, tegakan yang tidak diakui sebagai asset dan hirarki yang rancu, memberikan pilihan kepada pemerintah
205
untuk tidak segera membentuk pengelolaan tingkat unit (KPH). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 tidak ada satupun unit manajemen KPHP yang telah dilengkapi dengan organisasi yang beroperasi di lapangan. Luas KPHP yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan data tersebut baru mencapai 4% dari luas hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Dengan demikian tidak ada orgaisasi yang bekerja untuk melaksanakan tugas pengelolaan hutan negara, atau terjadi kekosongan pranata pengelola hutan tingkat unit. Kekosongan pranata ini diisi dengan cara memindahkan tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK dan dengan mengambil wewenang melaksanakan hubungan transaksional pemanfaatan hasil hutan dari pengelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Kekosongan pranata ini telah terjadi sejak dimulainya sistem pengusahaan hutan pada tahun 1970 dan berlangsung sampai sekarang. Hak pengelolaan yang efektif berdasarkan Schlager dan Ostorm (1992) harus dilengkapi dengan strata hak (1) access and withdrawal, (2) management, dan (3) exclusion. Strata hak management dan exclusion masih dipegang oleh pemerintah, oleh sebab itu pemberian kewajiban pengelolaan kepada perusahaan tidak menghilangkan situasi kekosongan pranata. Dengan demikian pilihan kebijakan ini memiliki peluang gagal yang tinggi terutama jika tidak didukung oleh penguasaan informasi dan kapasitas pengawasan yang tinggi oleh pemerintah. Adalah tugas pemerintah
untuk
mengubah
ketidak-pastian
menjadi
resiko
yang
dapat
diperhitungkan melalui kebijakan publik sehingga memfasilitasi perusahaan untuk memasuki bisnis dan mengambil resiko itu, bukan tindakan yang sebaliknya.
206
KPHP yang diharapkan dapat diperankan sebagai pengelola yang dilengkapi dengan strata hak access and withdrawl, management, dan exclusion pada akhirnya tidak dapat menjalankan peran tersebut karena hak management, dan exclusion diambil alih oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 yang telah menjabarkan tugas dan tanggung jawab kepala KPH belum dapat memposisikan KPHP secara baik. Dengan pengambil-alihan kedua strata hak-hak tersebut, maka kepala KPHP hanya berperan sebagai pekerja pelaksana dari pemegang wewenang pengelolaan yang sesungguhnya.
6.3.2. Salah Pilih (adverse selection) Tujuan pemerintah melakukan seleksi perusahaan penerima IUPHHK baik melalui mekanisme lelang maupun pengajuan permohonan adalah agar diperoleh mitra kerja yang berkualitas tinggi dan kompeten untuk melaksanakan pekerjaannya dan kewajiban yang diberikan kepadanya untuk mengelola hutan.
Akan tetapi hasil
penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mendapat kualifikasi baik dari 40 perusahaan contoh hanya sekitar 10 %, populasi, sedangkan perusahaan yang tidak berkualifikasi baik lebih dominan. Dengan demikian mekanisme yang dijalankan oleh pemerintah tidak berhasil memilih perusahaan yang baik, pemerintah telah salah pilih. Bagaimana hal ini terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut : Mekanisme seleksi kualifikasi yang dilakukan oleh Menteri terdistorsi oleh prosedur yang mengharuskan perusahaan yang lulus seleksi mendapatkan rekomendasi bupati dan gubernur. Subyektifitas bupati dan gubernur menjadi penentu pemilihan calon perusahaan yang akan menerima IUPHHK.
Selain itu masing-
207
masing perusahaan lebih mengetahui kapasitasnya atau keinginannya untuk memenuhi aturan main atau kewajiban yang diterima apabila ijin diberikan dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Diasumsikan bahwa terdapat dua jenis perusahaan yang mengikuti proses lelang, yaitu perusahaan yang “baik” yaitu perusahaan yang mempunyai komitmen pada pengelolaan hutan lestari, ia telah menginternalisasikan kewajiban-kewajiban kedalam bisnisnya sebagai bagian nilainilai perusahaan dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan ini melaksanakan kewajiban-kewajiban itu sesuai dengan standard dan ketentuan yang berlaku. Jenis perusahaan kedua adalah perusahaan “buruk” adalah perusahaanperusahaan yang memposisikan kewajiban sebagai beban exogenus yang tidak berhubungan dengan kepentingan usahanya. Ia akan meminimumkan biaya menjalankan kewajiban, termasuk dengan cara melaksanakan kewajiban dibawah standar aturan yang berlaku. Jenis perusahaan “baik” akan memiliki kurva permintaan yang tajam, sedangkan perusahaan “buruk” akan mempunyai kurva permintaan yang lebih landai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darusman, et all (2003) yang menunjukkan bahwa biaya perunit output perusahaan yang menerapkan PHL sedikit lebih tinggi dari biaya perusahaan non-PHL meskipun perbedaan tersebut tidak signifikan. Di dalam setiap unit ijin melekat satu set kewajiban untuk mewujudkan PHL, dengan demikian dapat dianalogikan bahwa unit ijin setara dengan set kewajiban. Kemiringan kurva permintaan ijin menurun karena setiap penambahan satu set kewajiban menyebabkan utilitas marginalnya menurun, dan sampai batas tertentu nilai marginal utilitasnya sama dengan nol.
Sementara itu kurva suplai yang
208
menggambarkan seperangkat kewajiban mempunyai kemiringan mendatar karena hanya ada satu set kewajiban pada setiap ijin dan nilai biaya perunit dianggap tetap. Pemerintah pada prinsipnya melakukan penawaran ijin (set kewajiban) kepada pelaku bisnis, dan pelaku bisnis memberikan permintaan ijin (set kewajiban) maka hubungan transaksional keduanya dapat diilustrasikan pada gambar 23. UC
S1
Pi
S
Pe MB
Q1
MB1
Q3
Q2
Q
Gambar 23. Adverse Selection pada Perijinan Pemanfaatan Kayu
Jika S adalah kurva penawaran set kewajiban, dan MB adalah kurva permintaan set kewajiban perusahaan “baik”, dan MB 1 adalah kurva permintaan set kewajiban perusahaan “buruk” , Q adalah jumlah ijin dan jika diasumsikan setiap ijin dimiliki oleh satu perusahaan maka Q juga mencerminkan jumlah perusahaan, sedangkan UC adalah beban perunit yang timbul sebagai konsekwensi pelaksanaan kewajiban.
209
Pemerintah hanya mempunyai satu tarif (set kewajiban) yang dibayar secara tunai dalam bentuk iuran ijin usaha (IIU), dana reboisasi (DR) dan provisi sumberdaya hutan (PSDH) dan dibayarkan tidak dalam bentuk tunai yang berupa kewajibankewajiban pengelolaan hutan lestari. Tidak ada pembedaan tarif untuk perusahaan “baik” dan perusahaan “buruk”. Pada tingkat penawaran S maka biaya perunit adalah merupakan tarrif yang ditentukan pemerintah sebesar Pe, maka jumlah perusahaan atau jumlah ijin yang ditransaksikan adalah Q 2 yang terdiri dari perusahaan baik sebanyak Q 1 dan perusahaan buruk sebanyak (Q 2 – Q 1 ). Apabila pemerintah mengubah aturan mainnya yang mengakibatkan beban perunitnya meningkat hingga > Pi, maka hanya perusahaan buruk yang memasuki bisnis kehutanan sebanyak Q 3. Jika data hasil penilaian kinerja tersebut diterapkan pada gambar 22, maka Q 1 adalah perusahaan yang mempunyai nilai baik sebesar lebih-kurang 10 %, perusahaan yang tidak masuk dalam kategori baik adalah (100% - 10%) atau sebanyak 90%. Adanya adverse selection menghadirkan lebih banyak perusahaan tidak dalam kategori baik yang memasuki usaha kehutanan. Dalam penelitian ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang tergolong baik hanya berkisar 10%, dan perusahaan yang menjalankan visi dan misinya dengan baik tidak lebih dari 5% saja. Mengingat bahwa salah satu kriteria penting yang digunakan dalam proses seleksi adalah pernyataan visi dan misi, namun kenyataan menunjukkan bahwa hanya 5 % yang menjalankannya, dan hanya 10 perusahaan penerima IUPHHK tergolong sebagai perusahaan yang mencapai nilai akhir baik. Kenyataan ini mengkonfirmasi adanya masalah salah pilih.
210
6.3.3. Penegakan Lemah Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas dalam mengendalikan pelaksanaan kewajiban teknis dan administrasi perusahan (urusan mikro) adalah rendah, didukung dengan kemampuan menguasai informasi yang rendah pula, serta adanya peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan secara bersamasama membuat penegakan aturan lemah. Hubungan keterkaitan dari berbagai masalah yang timbul dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah diilustrasikan pada gambar 24. Pengidentifikasian pengguna yang diposisikan sebagai pengelola dan adanya kekosongan pranata pengelola hutan, menimbulkan konflik kepentingan para pihak yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu. Keterlibatan pemerintah pada urusan mikro dan inkonsistensi dalam penempatan kewenangan menyebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sangat rumit. Kompleksitas ini menimbulkan peluang dibuatnya peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan. Ketentuan tentang sanksi administrasi yang berupa penghentian pelayanan, penghentian kegiatan di lapangan dan pencabutan ijin, akan berdampak kepada kepentingan pemerintah. Penerapan sanksi-sanksi tersebut secara konsisten
akan
berpengaruh
kepada
penurunan
produksi,
dan
pemerintah
berkepentingan atas kinerja produksi hasil hutan. Konflik ini mendorong pemerintah memberikan toleransi-toleransi dalam penegakan aturan, signal ini menunjukkan adanya ruang negosiasi terhadap sanksi pelanggaran administrasi, maka berlakukah apa yang disebutkan oleh Wiliamson (1985) terdahulu, bahwa situasi ini membuka peluang kolusi antara pengawas dan
211
perusahaan. Kebiasaan perusahaan yang lebih banyak mengembangkan manajemen lobi daripada manajemen profesional (Abeng, 1996), juga mendukung terjadinya pelemahan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998) maka situasi yang berlaku pada masa HPH masih belum berubah dimana pemerintah dan pengusaha terjebak dalam perilaku opportunistik.
Kesalahan Identifikasi Peran Pemerintah Pengusaha
Konflik Aturan
Konflik Kepentingan
Sulit Ditegakkan
Lobby Transaksi
Kapasitas Penegakan Aturan Lemah
Asymmetric Information
Gambar 24. Hubungan antara Struktur tidak Efektif dengan Kapasitas Penegakan Kapasitas pemerintah yang lemah dalam penegakan aturan ditunjukkan oleh data hasil penelitian bahwa jumlah perusahaan yang termonitor dikenakan sanksi dalam bentuk peringatan maupun eksekusi terlalu rendah jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang mendapat nilai buruk. Mengingat bahwa penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen dilakukan dengan membandingkan antara
212
peraturan dan pelaksanaannya maka nilai buruk memberikan indikasi pelanggaran, namun tidak semua pelanggaran dikenakan sanksi oleh pemerintah. Berdasarkan hasil nilai pada verifier-verifier pada keempat kelompok indikator diketahui adanya kecenderungan bahwa hanya sebagian kecil perusahaan yang melaksanakan peraturan yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaaan yang mencapai nilai baik pada verifier-verifier tersebut rata-rata berada dibawah 10%. Pada Tabel 49 disampaikan aturan (verifier) yang paling banyak dilanggar yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang tidak mendapat nilai baik pada verifier / indikator yang bersangkutan. Selama periode tahun 2004-2009 pemerintah telah menjatuhkan sanksi pencabutan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebanyak 59 ijin yang mendekati 20% dari jumlah ijin yang diberikan dan berlaku pada periode tersebut. Pencabutan ini sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan rencana produksi tahunan (RKT) selama tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10 tahun. Sebanyak 17 ijin dicabut karena diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya. Pencabutan terhadap 20% dari ijin yang diterbitkan, tidak menggambarkan kemampuan pemerintah dalam menegakkan aturan. Berdasarkan data sanksi yang diberikan oleh pemerintah baik dalam bentuk peringatan pertama, peringatan kedua,
213
peringatan ketiga dan eksekusi atas sanksi diketahui bahwa jumlah perusahaan yang mendapatkan sanksi berbanding terbalik dengan perusahaan yang tidak mendapat nilai baik. Jika diperhatikan Tabel 49 jumlah perusahaan yang tidak menjalankan aturan penggunaan tenaga kerja mencapai 97,5 % namun jumlah perusahaan yang mendapat sanksi peringatan pada tahun 2008-2009 sebanyak 3 perusahaan (+ 1%). Diantara 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh terdapat 1 (2.5%) perusahaan yang mendapat sanksi peringatan, selebihnya tidak mendapat sanksi dari pemerintah. Mengingat bahwa pemerintah mengatur urusan mikro, maka sangat banyak aturan yang harus ditegakkan. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kapasitas dalam menegakkan aturan tergolong lemah, pemerintah hanya mempunyai kiemampuan terbatas untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian kontrak dengan penerima IUPHHK Tabel 49. Daftar 9 Ketentuan yang Paling Banyak Dilanggar Berdasarkan Nilai Verifier Hasil Penilaian LPI pada 40 Perusahaan Tahun 20082009 Jumlah perusahaan No Verifier tidak bernilai baik (%) 1 Realisasi secara fisik pembinaan dan perlindungan 95 hutan (BIN) 2 Keberadaan tenaga professional kehutanan (SDM) 97.5 3
Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL)
97.5
4
Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS) Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA)
97.5
97.5
8
Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3) Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic
9
Pengelolaan Fauna langka, dilindungi, endemic
97.5
5 6 7
97.5
100 100
214
6.4. Respon Perusahaan Perusahaan merspon peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah dan sekaligus juga merespon perilaku pemerintah, oleh sebab itu penting disini untuk memahami bagaimana sistem yang dibangun bekerja dilapangan.
6.4.1. Cara Kerja Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Definisi hak properti yang tidak lengkap, kekosongan pranata dan pemindahan tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan IUPHHK-HA, membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatur perlakuan akuntansi atas biayabiaya yang timbul pada pengelolaan hutan sebagai asset. Pilihan kebijakan yang pertama mempengaruhi perilaku pemerintah dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan selanjutnya. Hubungan-hubungan tersebut diilustrasikan seperti gambar 25. Struktur peraturan yang tidak secara tegas mengakui tegakan hutan alam sebagai asset dan penjelasan undang-undang yang menyatakan bahwa pengertian negara “menguasai” seluruh hutan di Indonesia tidak berarti “memiliki” menimbulkan kendala bagi pemerintah untuk memposisikan kepemilikan hutan negara sejajar dengan kepemilikan hutan hak oleh individu, meskipun pengertian tersebut dimaksudkan untuk menghindari penafsiran perampasan hak kepemilikan warga negara atas hutan hak oleh negara bukan dimaksudkan sebagai larangan bagi negara untuk memiliki hutan negara. Tidak adanya penegasan tentang kepemilikan hutan negara dan tidak adanya pengakuan tegakan hutan alam sebagai asset mempengaruhi definisi hak properti atas hutan negara, sehingga menghasilkan aturan yang tidak mendefinisikan hak properti secara lengkap.
215
Investasi tidak menghasilkan asset
Definisi Hak Properti Tidak lengkap & inkonsistensi hirarkhi wewenag makro, meso, mikro
Kesalahan Identifikasi IUPHHK : Pengguna sebagai Pengelola
Perversi Kekuasaan
Konflik Aturan
Informasi asimetrik
Biaya Transaksi Tinggi
Gambar 25. Keterkaitan Unsur-unsur Penyebab Institusi Tidak Efektif
Pilihan kebijakan seperti yang diatur atau sengaja tidak diatur dalam peraturanperaturan pemerintah tersebut, membawa implikasi kepada peraturan-peraturan tingkat menteri yang menyebabkan banyaknya urusan-urusan pemerintah di tingkat mikro. Seperti telah dingatkan oleh berbagai ahli (Douglas C North, Oliver C Williamson, Joseph E Stiglitz dan Hendix Van den Berg) bahwa peran pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang bersaing, namun kekuasaan yang besar pada pemerintah dapat membahayakan kelangsungan ekonomi. Oleh karenanya tidak diharapkan pemerintah mencampuri urusan-urusan individual kegiatan usaha, pemerintah sebagai regulator dan wasit penegak aturan sebaiknya tidak dalam waktu yang bersamaan berperan sebagai pemain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 56 % kewenangan urusan-urusan pengelolaan dan
216
pemanfaatan hutan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang seharusnya sementara 44% urusan-urusan yang diatur dalam peraturan menteri telah ditempatkan pada posisi yang sebenarnya. Banyak urusan-urusan tingkat mikro yang diposisikan pada tingkat meso dan makro, demikian pula terdapat urusan tingkat meso yang kewenanganya diposisikan pada tingkat makro. Masih terdapat kecenderungan sentralisasi kekuasaan yang berupa mengangkat urusan tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Struktur yang demikian dan adanya kendala-kendala lain yang dimiliki pemerintah yang menyebabkan pemerintah tidak segera memberdayakan KPH, mendorong pemerintah untuk memposisikan pengguna hak/pemanfaat hutan alam sebagai pengelola melalui pengaturan pemberian beban kewajiban pengelolaaan hutan dan ancaman sanksi-sanksi termasuk pencabutan ijin kepada penerima HPH/IUPHHK. Posisi perusahaan penerima HPH/IUPHHK yang lemah dihadapan pemerintah dan adanya kondisi informasi yang tidak simetrik merupakan insentif bagi pembuatan aturan-aturan yang mengandung perversi kekuasaan, yaitu kebijakan atau tindakan yang menguntungkan satu pihak atas beban pihak lain. Sebaliknya perversi kekuasaan memberikan kemampuan untuk menciptakan kebijakan atau tidak membuat kebijakan yang menimbulkan informasi tidak simetrik. Struktur yang diciptakan melalui cara-cara di atas menimbulkan kerumitan administrasi dan manajemen, akibat dari kompleksitas ini lahirlah peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan. Dengan struktur yang banyak mengandung masalah ini menimbulkan biaya transaksi tinggi termasuk dengan memberikan peluang kepada pencari rente dan free riders.
217
Disamping itu,
cara pengaturan yang berupa pemindahan tanggung jawab
pengelolaan hutan dan perolehan informasi pelaksanaan perjanjian dari pemerintah kepada perusahaan adalah bentuk pengaturan yang mengandung konflik kepentingan. Selain itu kebijakan penggunaan teknik silvikultur intensif (SILIN) yang berdasarkan laporan Heriansyah (2008) menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dan kehilangan sumberdaya genetik, dan demikian pula Peraturan Menteri Kehutanan no P.11/Menhut-II/2007 yang menurunkan batas diameter yang dapat ditebang, adalah peraturan yang mengandung konflik kepentingan pemerintah. Keputusan-keputusan ini diambil karena desakan kebutuhan meningkatkan produksi jangka pendek, sementara kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan multiproduk harus dikorbankan. Konflik kepentingan ini terjadi karena pemerintah berperan sebagai regulator, wasit dan pemain, bangun institusi yang seperti ini akan cenderung tidak stabil, mudah berubah bergantung kepada kekuatan kelompok kepentingan yang bermain. Bangunan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi, melibatkan pemerintah dalam urusan-urusan tingkat mikro, rancang bangun institusi seperti ini memerlukan dukungan informasi yang kuat. Kapasitas pemerintah dalam penguasaan informasi tentang hutan, hasil hutan, perusahaan, dan tentang perbuatan perusahaan di lapangan tergolong lemah. Data dan informasi tentang kondisi hutan yang dimiliki oleh pemerintah adalah data yang memiliki resolusi rendah dan tidak aktual. Kebutuhan pemerintah atas data beresolusi tinggi dalam rangka menjalankan wewenangnya bergantung dari data informasi milik perusahaan. Situasi penguasaan
218
informasi yang lemah masih belum berubah jika dibandingkan dengan situasi pada masa HPH (Kartodihardjo, 1998) Dalam menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian IUPHHK, pemerintah memperoleh informasi dari perusahaan yang bersangkutan. Prosedur evaluasi keberlanjutan ijin usaha yang dilakukan dengan mengundang perusahaan (direksi dan komisaris) untuk mempresentasikan laporannya didepan kelompok kerja adalah bentuk paling kongkrit dari ketergantungan ini.
Sementara itu penilaian
kinerja yang dilakukan oleh lembaga penilai independen yang dibiayai oleh perusahaan IUPHHK yang dinilai, terutama pada penilaian kedua dan seterusnya, adalah modifikasi dari cara evaluasi tersebut diatas. Hubungan kontraktual yang berlaku dalam sistem pengusahaan hutan /HPH tidak berbeda dengan sistem ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu/IUPHHK (periksa Lampiran 3). Pada kedua sistem tersebut mempunyai kemiripan dalam proses-proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya banyak melibatkan peran pemerintah pusat dan daerah sampai pada tingkat mikro, demikian pula dengan kewajibankewajiban yang menjadi beban perusahaan. Meskipun terdapat perbedaan dalam proses perolehannya, dimana dalam sistem HPH hubungan koneksitas antara pemohon dengan pemerintah sangat kuat, sedangkan dalam mekanisme IUPHHK perolehan dilakukan dengan mekanisme “lelang” namun mekanisme yang mengharuskan adanya rekomendasi bupati/walikota dan gubernur masih memberikan adanya hubungan koneksitas yang mempengaruhi sistem. Dalam penelitian Kartodihardjo (1998), diketahui bahwa institusi yang bekerja pada sistem pengusahaan hutan (HPH) menimbulkan transaksi biaya tinggi. Sedangkan penelitian
219
Mardipriyono (2004) dan Darusman dan Bahruni (2003) pada Tabel 44 menunjukkan bahwa institusi yang bekerja pada sistem IUPHHK juga menimbulkan transaksi biaya tinggi, termasuk di dalamnya teridentifikasi biaya-biaya transaksi yang merugikan dan illegal.
Kedua penelitian tersebut dilakukan pada dua rejim institusi yang
berbeda, namun kedua-duanya menyimpulkan terjadinya biaya transaksi tinggi, merugikan dan illegal. Oleh sebab itu terdapat indikasi bahwa institusi yang bekerja pada sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan belum terbebas dari transaksi biaya tinggi, transaksi merugikan dan transaksi illegal Hasil penelitian ini menunjukkan respon perusahaan yang berbeda dengan respon layak yang diharapkan. Jumlah perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik hanya berkisar 10 % dari 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh, ini mengindikasikan bahwa hanya sedikit perusahaan yang menempatkan kegiatan pengelolaan hutan lestari sebagai kegiatan prioritas perusahaan. Bagian terbesar dari penerima IUPHHK tidak tertarik untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari yang juga diindikasikan secara kuat oleh banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan visi dan misinya (95%), perilaku ini adalah respon dari struktur dan akibat dari salah pilih. Perhitungan korelasi antara umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan induk dengan capaian nilai kinerja menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut tidak berhubungan dengan capaian nilai akhir kinerja pengelolaan hutan pada tingkat unit manajemen. Umur atau lamanya kepemilikan ijin oleh perusahaan yang tidak berkorelasi dengan capaian nilai akhir kinerja, menunjukkan perilaku bahwa perusahaan tidak mengalami proses belajar untuk mengelola hutan secara lestari. Diantara 10% perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik terdapat perusahaan baru
220
dan perusahaan lama, demikian pula masih banyak perusahaan yang telah lama beroperasi namun mempunyai nilai yang tidak termasuk dalam kategori baik. Sedangkan tidak ada korelasi antara luas konsesi dengan nilai akhir menjelaskan bahwa kedudukan perusahaan IUPHHK sebagai pengguna, tidak mempunyai kepentingan langsung dengan keberhasilan pengelolaan hutan, oleh sebab itu ia tidak memiliki kepentingan langsung dengan luas ijin. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel-variabel yang berupa kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan untuk menghasilkan STOK mempunyai korelasi yang tidak nyata dengan potensi hutan dan rentabilitas. Korelasi yang tidak nyata menunjukkan bahwa aktivitas perusahaan tidak sedang membangun stok tegakan melainkan sedang melakukan produksi jangka pendek. Kedudukannya sebagai pengguna menyebabkan perusahaan tidak memiliki hak mengeksklusi atas manfaat dan biaya, dan tidak memiliki hak mengelola hutan, sehingga luas konsesi tidak dapat menggambarkan efektifitas penggunaan hak-hak tersebut melainkan hanya sebagai informasi untuk memperkirakan manfaat yang dapat ia terima dalam jangka waktu tertentu. Pada penilaian indikator prasyarat, berdasarkan 6 indikator yang termasuk sebagai indikator fokus yaitu yang mempunyai peranan penting dalam mencapai pengelolaan hutan lestari, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada setiap indikator berkisar pada angka 10%, apabila masing-masing berbobot sama maka rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 8,3%. Sebagian besar perusahaan tidak mampu memenuhi atau mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari. Informasi ini menjelaskan bahwa struktur institusi pengelolaan dan pemanfaatan
221
hutan tidak memberikan insentif untuk mengarahkan perilaku perusahaan dalam mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari. Pada indikator produksi, berdasarkan rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada setiap indikator diperoleh nilai rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 8,9 persen, nilai sedang sebanyak 59,6 persen dan 31 persen buruk. Indikator-indikator ini mencerminkan perilaku perusahaan dalam menjalankan aktifitas produksi kayu, sebagian besar berperilaku tidak termasuk dalam kategori baik dan 31 persen nyata-nyata berperilaku buruk. Untuk memahami makna dari hasil nilai ini, sebagai contoh digunakan indikator (P.2.1) sebagaian besar perusahaan mempunyai nilai sedang dan buruk, ini menunjukkan bahwa dokumen perencanaan yang terkait dengan perencanaan blok dan petak tebangan terdapat ketidak sesuaian antara isi dokumen dengan kondisi lapangan, dan sebagian dokumen tersebut hanya formalitas untuk memenuhi syarat administrasi saja. Sementara itu pada indikator (P.2.2) dimana perusahaan yang mendapatkan nilai buruk sebesar 52.5%, berarti bahwa terdapat verifier yang bernilai buruk yang menunjukkan bahwa ada ketentuan yang tidak dilaksanakan. Meskipun produksi adalah tujuan utama perusahaan IUPHHK, namun institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak dapat mengarahkan perilaku perusahaan untuk memberikan prioritas pada cara-cara menjalankan produksi yang lestari. Jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada kelompok indikator ekologi sangat sedikit, jika diambilkan rata-ratanya hanya sebesar 3,4%. Pada indikator (E.3.4) ketersediaan prosedur identifikasi dan implementasi flora-fauna langka, dilindungi dan endemik, dan indikator (E.3.5) tentang pengelolaanya, tidak ada
222
satupun dari contoh perusahaan dalam penelitian ini yang mempunyai nilai baik. Perusahaan tidak sungguh-sungguh memperhatikan indikator ekologi, karena produk tindakan-tindakan pengelolaan ekologi adalah berupa barang publik dan atau eksternalitas, sementara itu pemerintah tidak menyediakan mekanisme insentif sebagai koreksi atas adanya persoalan tersebut. Pada indikator sosial, terdapat 9 % perusahaan yang mendapatkan nilai baik, 81 % sedang dan 10 % buruk. Mengingat bahwa indikator sosial berhubungan dengan kepentingan masyarakat sekitar, maka terdapat tuntutan langsung dari masyarakat terhadap pelaksanaan aktivitas yang diukur dalam kelompok indikator sosial. Sebanyak 81 persen perusahaan mencapai nilai sedang, adalah nilai sedang yang tertinggi diantara kelompok indikator lainnya. Capaian ini juga dapat dimaknai sebagai indikasi kapasitas negosiasi masyarakat dengan perusahaan, tuntutan masyarakat atas kebutuhan ekonominya dapat mempengaruhi keputusan pilihan perilaku perusahaan sampai kepada batas ruang negosiasi yang tersedia.
6.4.2. Keberadaan Principal-Agent Problems Pindyck, et al (2001) Principal Agent Problems adalah masalah yang muncul apabila manager (agen) tetap berbuat untuk mencapai tujuannya meskipun ketika perbuatan ini dilakukan menurunkan keuntungan pemilik (principal). Masalah ini akan terjadi pada situasi pengaturan hubungan dimana prestasi atau kesejahteraan seseorang (pemilik) bergantung kepada perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain (agen). Jika pemilik tidak mempunyai cukup informasi, atau biaya untuk
223
mendapatkan informasi tersebut terlalu mahal, maka pemilik kehilangan kendali atas perjanjian yang disepakati. Bahwa pemerintah tidak mempunyai cukup informasi baik untuk kepentingan perencanaan maupun kepentingan pengawasan pelaksanaan kewajiban telah dijelaskan sebelumnya. Mengingat bahwa aturan yang dibuat pemerintah adalah aturan-aturan teknis opersional lapangan, maka akan memerlukan biaya yang besar oleh sebab itu pemerintah melalui peraturan yang dibuatnya menyerahkan pembiayaan penilaian (evaluasi) atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada perusahaan yang bersangkutan. Oleh sebab itu pemerintah telah kehilangan kendali atas perjanjian yang menjadi dasar perikatannya dengan perusahaan penerima IUPHHK. Situasi ini masih menunjukkan situasi yang sama jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998). Apakah kesejahteraan atau keberhasilan misi pemerintah (principal) bergantung kepada perbuatan perusahaan penerima IUPHHK (agent) ? Jawabnya adalah ya. Pertama kesejahteraan pemerintah yang berupa penerimaan pendapatan negara bukan pajak tergantung kepada hasil kerja perusahaan dalam memproduksi kayu. Semakin besar volume produksi kayu semakin besar pula pendapatan pemerintah. Kedua produksi kayu di hutan alam dapat dilakukan dengan cara-cara non-PHL yang menimbulkan kerusakan hutan lebih besar dari yang seharusnya, jika hal ini terjadi maka pemerintah menanggung beban yang lebih besar, bukan saja beban langsung yang berupa biaya pemulihan potensi hutan, namun juga beban tidak langsung yang timbul karena terjadinya eksternalitas negatif.
224
Dengan demikian institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang bekerja saat ini, menyebabkan pemerintah kehilangan kendali atas perjanjian IUPHHK karena pemerintah tidak dapat menguasai informasi yang diperlukan untuk mengawasinya. Institusi juga memberi insentif kepada perusahaan untuk melakukan tindakantindakan untuk mencapai keuntungan meskipun tindakan-tindakannya menyebabkan peningkatan beban pemerintah sebagai dampak dari perbuatannya. Problem principal-agent terjadi bukan semata-mata keinginan perusahaan untuk melakukan tindakan menyimpang, melainkan karena struktur yang diberlakukan memberi peluang untuk tindakan tersebut sebagai pilihan rasional.
6.4.3. Keberadaan Moral Hazard Problems Pindyck, et al (2001), menjelaskan problem moral hazard terjadi bila satu pihak yang tindakannya tidak dapat diamati mempengaruhi peluang atau sifat pembayaran hal yang terkait dengan peristiwa. Jika satu pihak (pertama) dalam mendapatkan hak pihak lain (kedua) disertai syarat atau kewajiban kepada pihak kedua, dan pihak lain tersebut tidak dapat diawasi perilakunya yang berkaitan dengan syarat atau kewajiban tersebut oleh pihak kedua, maka pihak pertama akan melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan resiko atau peluang beban pihak kedua semakin besar. Hubungan kontrak antara pemerintah dengan perusahaan penerima IUPHHK dibuat dengan perjanjian bahwa pihak penerima harus melaksanakan kewajibankewajiban yang dikehendaki oleh pihak pemberi. Jenis kewajiban yang diatur dalam perjanjian IUPHHK adalah kewajiban yang bersifat teknis operasional pengelolaan hutan di lapangan. Model perjanjian yang disertai dengan syarat menjalankan
225
kewajiban hanya akan efektif jika pemerintah mempunyai kapasitas untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaannya. Menurut Wiliamson (1985), adanya informasi yang tidak berimbang dapat melahirkan kesepakatan yang melanggar aturan atau kolusi antara pengawas dan pelaksana dalam mengambil keputusan diterima atau tidaknya hasil pekerjaan atau hasil pelaksanaan kewajiban. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak cukup menguasai informasi, dan kapasitas pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban dan menegakkan aturannya adalah lemah. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan 40 perusahaan yang digunakan sebagai contoh terdapat 8.3 % yang mendapat nilai baik pada kelompok indikator prasyarat, sedangkan untuk kelompok indikator produksi, ekologi dan sosial jumlah perusahaan yang mendapat nilai baik beruturt-turut adalah 8.92%, 3.75% dan 9.00%. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. Tindakannya yang menjalankan proses produksi dengan tidak mengikuti aturan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 12.5 % perusahaan dalam contoh yang mendapatkan nilai baik pada verifier kerusakan tegakan tinggal, dengan kata lain aktivitas sebagian besar perusahaan menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dari yang diperbolehkan dalam perjanjian. Tindakan perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban dengan baik, menimbulkan beban kepada pemerintah untuk mengembalikan potensi hutan. Problem moral hazard terjadi sebagai respon atas institusi yang dikembangkan oleh
226
pemerintah. Potensi kerusakan hutan yang timbul akibat bekerjanya institusi yang menyebabkan problem moral hazard dijelaskan pada gambar 26.
UC
S
Pe MB
Q1
MB1
Q2
Q
Gambar 26. Moral Hazard pada Sistem Produksi Kayu di Hutan Alam
Gambar 26 memberi ilustrasi moral hazard dalam kaitannya dengan produksi, pemerintah tidak mempunyai informasi yang cukup terhadap kapasitas perusahaan dalam memenughi persyaratan produksi sehingga perusahaan cenderung memberi informasi kapsitas yang lebih besar, disamping itu pemerintah juga tidak mengetahui potensi yang benar sehingga perusahaan menggunakan peluang untuk memperbesar volume potensi hutan. Jika S sebagai kurva penawaran pemerintah yang berupa nilai kewajiban perunit volume atau unit luas pemanenan yang dijinkan, dan MB adalah
227
kurva permintaan perusahaan-perusahaan yang melaksanakan pengelolaan hutan lestari, maka tingkat kesetimbangan produksi lestari berada pada Q 1 . Jika terjadi moral hazard perusahaan-perusahaan hanya melaksanakan sebagaian kewajiban atau melakukan tindakan-tindakan penyuapan atau kulusi untuk mempengaruhi penilaian pemerintah atas pelaksanaan kewajiban oleh pemerintah sehingga biaya perunit menjadi lebih rendah, maka kurva permintaan akan bergeser menjadi MB 1 . Akibatnya jumlah yang dipanen menjadi Q 2 yaitu lebih besar dari yang seharusnya. Volume yang dipanen lebih tinggi mempercepat kerusakan hutan dari Q 1 menjadi Q 2 .
6.5. Resistensi pada Perubahan Mengapa pemerintah tidak dapat merealisasikan perubahan yang dikehendaki oleh UU. North (1990) menyampaikan alasan bahwa resistensi terjadi karena sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien demi melindungi kepentingan tertentu. Sementara Van den Berg (2001) beralasan bahwa birokrasi menggunakan peraturan untuk memperkuat kekuasaannya. Sedangkan Jepperson (1991) dan Scott (2008), menyatakan bahwa birokrasi cenderung resisten karena perubahan tersebut menyangkut tatanan sosial yang cenderung dipelihara diwariskan, dan direporduksi. Penelitian ini tidak secara spesifik meneliti motivasi dari para penyelenggara negara, tetapi bahwa peluang adanya alasan-alasan tersebut sangat dimungkinkan. Akan tetapi disamping hal tersebut di atas layak untuk dipertimbangkan alasan-alasan berdasarkan pendekatan kesejarahan institusi (historical institutionalism). Para pengambil kebijakan adalah birokrat yang telah lama bekerja di Departemen
228
Kehutanan, dan telah menjalani karier sebagai pejabat pelaksana kebijakan di daerah. Dua hal ini layak dipertimbangkan sebagai alasan yang mewarnai kebijakannya. Pertama, konsep hubungan pemerintah dengan swasta dalam memanfaatkan hasil hutan yang paling banyak dikenal adalah konsep Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Konsep ini merupakan konsep yang lahir sebelum konsep-konsep hubungan kontraktual yang lainnya dibuat. Aplikasi yang luas pada masa itu, dan dinilai berhasil dalam kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas, dan berkembangnya industri kehutanan yang pesat dibandingkan dengan industri lainnya, menjadikan HPH sebagai satu-satunya konsep institusi yang sangat dikenal dan di kagumi. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa semua konsep hubungan kontraktual antara pemerintah dengan pihak swasta (pengusaha) dibuat dengan menggunakan model HPH., tabel berikut ini sebagai gambarannya Tabel 50. Perbandingan Model Institusi HPH dan Bentuk Perijinan Lain di Kehutanan Substansi
HPH HPHTI HPHKm HP-
IUPHHK
WA Syarat Administrasi
X
X
X
X
X
Syarat Teknis
X
X
X
X
X
Umur Ijin
X
X
X
X
X
Kewajiban-kewajiban
X
X
X
X
X
Pengesahan Rencana Karya
X
X
X
X
X
Sanksi-sanksi
X
X
X
X
X
Perpanjangan ijin
X
X
X
X
X
Teknis
229
Substansi yang diatur mempunyai kemiripan struktur, yang membedakan adalah komoditasnya, ukuran-ukuran (luas, volume, biaya, dll). Sebagai sebuah model yang paling dikenal, dapat mempengaruhi pendekatan dan cara berfikir yang diikuti oleh banyak pihak dan menjadi kepercayaan bersama yang cenderung diwariskan. Pewarisan kultur juga dapat menyebabkan cara berfikir yang terkungkung oleh batas-batas imaginer yang dibuat sendiri, keterkungkungan ini yang membatasi kemampuan menghasilkan perubahan. Konsep berfikir yang digunakan masih bergantung kepada batas-batas kebiasaan yang berlaku umum, rujukan-rujukan yang terbatas, dan pengetahuan yang terbatas. Berfikir keluar dari kerangka yang umum berlaku dianggap sebagai hal yang salah atau tidak baik. Gambar 27 berikut ini biasa digunakan dalam test psikologi, dapat membantu menjelaskannya. Jika pada gambar 27 (a) diajukan perintah “Hubungkan kesembilan titik dengan menggunakan empat buah garis”!, maka orang yang berfikir terkungkung (Gambar 27.b) akan membatasi pikirannya pada batas imaginer di titik-titik terluar yang mengakibatkan mereka tidak pernah dapat menyelesaikan perintah itu, selalu ada kekurangan satu garis. Sedangkan mereka yang membebaskan diri dari kungkungan dapat menjawab secara kreatif menembus batas-batas imaginer (Gambar 27.c).
(a). Perintah
(b). Terkungkung
(c). Kreatif
Gambar 27. Konsep Berfikir Terkungkung dan Kreatif
230
Kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan publik juga terjadi dalam pola berfikir terkungkung pantas untuk dipertimbangkan sebagai penyebab resistensi, pertama dalam banyak kasus kebijakan publik bidang kehutanan dilakukan melalui proses konsultasi publik dengan harapan bahwa dominasi kepentingan kelompok tertentu dapat dihilangkan, namun pada kenyataanya masih terdapat peraturan yang mengandung perversi. Kedua sistem pengusahaan hutan telah berlangsung selama 40 tahun merupakan pengetahuan yang paling banyak diketahui oleh komunitas kehutanan, dan komunitas ini adalah pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan termasuk dalam konsultasi publik. Ketiga birokrat kehutanan di pusat dan daerah tebiasa berkerja sebagai pelaksana peraturan, dan terbiasa membuat kebijakan teknis yang berupa aturan-aturan mikro. Hal seperti ini menjadi media yang cocok bagi berkembangnya kultur berfikir terkungkung, yaitu cara-cara berfikir yang terbatas pada hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai kebenaran, dan tabu untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa. Dalam hal penegakan aturan, Scott (2008) membangun institusi dengan tiga pilar, salah satunya adalah pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kepasitas untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang layak adalah inti dari pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal. Sedangkan oleh North (1987) berpendapat bahwa “ Adalah politik yang akan menentukan dan memaksakan (enforces) aturan ekonomi
231
dari suatu permainan”. Pendapat-pendapat ini juga layak untuk dipertimbangkan sebagai hal yang memberi kontribusi pada kesulitan melakukan perubahan. Alasan kedua adalah bahwa Pemerintah bias pada hutan negara sehingga logika penetapan kebijakannya melompat dan mengabaikan hutan hak. Undang-undang mengembangkan logika pengurusan hutan dimulai dengan penetapan status hutan, fungsi hutan, wilayah / unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Penerapan logika pengurusan hutan menurut Undang-undang akan menghasilkan pranata seperti Tabel 51. Tabel 51. Logika Pengurusan Hutan berdasarkan Undang-Undang dan Pranata yang Dihasilkan No. Urutan Logika
1
Status Kepemilikan Hutan (Pasal 5) Pengelola (Pasal 5,)
2
Fungsi Pokok (Pasal 6, Pasal 7)
Unit Pengelolaan 3
Pranata yang Dihasilkan Hutan Negara
Hutan Hak
Pemerintah/BUMN Masyarakat Adat Pemerintah Desa Pengelola Khusus Lindung (L) Konservasi (K) Produksi (P)
Pemilik atau Pengelola yang ditunjuk Lindung Konservasi Produksi
K
L
(L) (K) (P)
K
L
(KPH) (Pasal 8, Pasal 17) KHdTK
4
Perijinan Pemanfaatan Pemilik Pengelola
P
KHdTK Pemilik Pengelola
P
232
Kewajiban pemerintah untuk menetapkan status hutan merupakan perintah pertama yang diberikan oleh undang-undang, hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hak properti atas hutan baik pada hutan negara maupun pada hutan hak atau hutan rakyat (Pasal 5). Kepastian tentang kepemilikan ini akan menjadi dasar untuk menentukan pihak-pihak yang berhak untuk mengelola hutan (penjelasan pasal 5).
Selanjutnya berdasarkan status kepemilikannya tersebut,
pemerintah ditugaskan untuk menetapkan fungsi pokok pada hutan-hutan tersebut berdasarkan fungsi yang dominan (pasal 6 dan 7). Kemudian pada pasal 8 dan pasal 17 pemerintah diberi mandat untuk membentuk unit-unit pengelolaan (KPH) termasuk Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHdTK). Apabila pada hutan hak difungsikan sebagai hutan lindung dan/atau konservasi pemerintah berkewajiban memberikan kompensasi (penjelasan pasal 36). Berdasarkan unit-unit pengelolaan tersebut dilakukan pemanfaatan hutan melalui pemberian ijin-ijin oleh pihak yang berwenang sesuai dengan status kepemilikan hutannya. Undang-undang mengatur urutan tersebut secara sistemik, namun ditinjau dari sejarah kelahiran peraturan pelaksanaannya aturan yang pertama lahir adalah peraturan pemerintah yang berkaitan dengan perijinan pemanfaatan, yang dalam urutan undang-undang merupakan urutan terkahir. PP. 34/2002 lahir secara premature, yaitu ketika perangkat-perangkat lainnya belum tersedia, seperti organisasi pengelola hutan tingkat unit, mekanisme kompensasi, perencanaan dan konsep hubungan transaksional yang sesuai dengan kehendak perubahan. Sedangkan peraturan yang lahir lebih awal cenderung dijadikan sebagai rujukan bagi peraturanperaturan yang lahir kemudian, oleh sebab itu bias pada PP. 34/2002 terus terbawa
233
dan mempengaruhi rumusan-rumusan peraturan dan kebijakan lainnya sehingga biasnya juga terus berkembang. Birokrasi yang bekerja saat ini terjebak oleh aturan yang ada, sebagaimana pernyataan Scott (2008) bahwa kapasitas birokrasi untuk melakukan perubahan sering dibatasi oleh aturan formal dan informal. Sebagai implikasi dari kelahiran yang premature tersebut, dalam menjalankan undang-undang pemerintah telah bias dengan membuat aturan yang hanya mengurus kepentingannya sendiri yaitu mengurus hutan negara. Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) menyatakan bahwa karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya, hal ini telah terbukti terjadi. Demikian pula Stiglitz (2000) yang mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan adalah karena lemahnya kontrol politik, pemerintah diberikan kewenangan untuk membuat aturan pelaksanaan yang dapat tidak sejalan dengan keinginan undang-undang. Tuntutan undang-undang yang berupa optimasi pengelolaan hutan memerlukan organisasi dan mekanisme baru yang berbeda dengan konsep HPH, namun sebelum konsep baru ini ada, telah dilahirkan PP. 34/2002 yang melanjutkan konsep HPH dengan mengubah nama menjadi IUPHHK. Peraturan Pemerintah no. 34/2002 dan Peraturan Pemerintah no. 6/2007 adalah peraturan yang hanya mengatur urusan-urusan pemerintah terhadap hutan negara, keberadaan hutan hak terabaikan karena belum ada peraturan yang setara yang berkaitan dengan hutan hak. Akibat dari bias pemerintah pada hutan negara, maka kebijakan-kebijakan publik untuk meningkatkan partisipasi publik dalam membangun hutan masih kurang mendapat perhatian demikian pula pasal 36 UU. 41/1999.
234
6.6. Kinerja Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi Tujuan pengelolaan hutan adalah untuk menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi untuk memproduksi multiproduk secara optimal. Berdasarkan indikatorindikator yang digunakan dalam penilaian kinerja pengelolaan hutan di perusahaan IUPHHK pada unit manajemen, indikator yang dapat menunjukkan kualitas hutan adalah indikator Potensi hutan. Oleh sebab itu pada penelitian ini sebagai proxi atas capaian kinerja pengelolaan hutan dalam menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi digunakan nilai capaian kinerja potensi hutan. Sedangkan usaha pemanfaatan hutan adalah aktivitas bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, untuk itu sebagai proxi atas indikator kinerja usaha digunakan nilai capaian rentabilitas perusahaan. Berdasarkan hasil penilaian terhadap indikator potensi tegakan diperoleh informasi bahwa jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik adalah 15 %, nilai sedang 45 % dan nilai buruk 40%. Berdasarkan kriteria yang digunakan nilai sedang diberikan jika potensi sama dengan standard dan baik jika lebih tinggi dari standar, dengan demikian jumlah perusahaan yang mempunyai kondisi tegakan hutan layak untuk diproduksi mencapai 60%. Dapat dimaknai bahwa 60% perusahaan yang menerima IUPHHK mempunyai kondisi hutan yang berkualitas baik, dan 40 % mempunyai kondisi kualitas hutan yang buruk. Berdasarkan aturan yang berlaku, maka hanya 60% dari total ijin usaha yang ada yang dapat diberikan jatah tebangan, jika pemerintah menjalankan aturan dengan konsisten maka 40% perusahaan yang mempunyai kondisi hutan buruk tidak diijinkan menebang, namun dari 40 perusahaan yang dinilai seluruhnya mendapat ijin penebangan. Informasi ini mendukung hasil
235
penelitian yang menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah menjalankan aturan adalah lemah. Hasil uji korelasi 24 variabel dengan potensi hutan menunjukkan bahwa variabelvariabel yang berupa kewajiban yang dimaksudkan untuk membangun hutan, mempunyai korelasi yang tidak nyata terhadap potensi hutan. Ini menunjukkan bahwa IUPHHK konsisten menjalankan kedudukannya sebagai pengguna yang mempunyai kepentingan produksi jangka pendek, perusahaan tidak sedang membangun hutan. Pengalihan kewajiban pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan tidak dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi. Potensi hutan yang ada bukan merupakan kinerja perusahaan melainkan hasil dari faktor lain. Argumen ini diperkuat oleh korelasi yang tidak nyata antara kerusakan tegakan tinggal dengan kewajiban-kewajiban membangun hutan, baik-buruknya tegakan tinggal hanya dipengaruhi oleh kesesuaian areal dengan fungsi produksi, pengakuan unit manajemen oleh para pihak dan ketersediaan modal. Berdasarkan capaian nilai rentabilitas, terdapat 15 % perusahaan mendapatkan nilai baik, 45% mendapat nilai sedang dan 40 % mendapat nilai buruk. Hasil uji korelasi 24 variabel bahwa dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang cenderung tidak memperhatikan hasil akhir atas praktek-praktek pengelolaan hutan dan hasil perhitungan korelasi antara variabel-variabel dengan potensi hutan, maka korelasi positif yang terjadi dengan rentabilitas dapat dipahami sebagai korelasi atas tujuan jangka pendek kegiatan usaha. Rentabilitas yang diperoleh bukan merupakan hasil kinerja pengelolaan hutan dalam membangun hutan yang berkualitas baik, melainkan semata-mata karena aktivitas produksi / pemanfaatan.
236
Variabel-variabel
yang
berkorelasi
nyata
adalah
variabel-variabel
yang
berhubungan dengan produksi baik yang terkait dengan persyaratan penerbitan Rencana Karya Tahunan (RKT) maupun yang berkaitan dengan modal kerja untuk produksi. Variabel yang terkait dengan RKT adalah realisasi tata batas (TAT), kondisi pal batas di lapangan (PAL), kesesuaian produksi dengan riap (RAS), penerapan silvikultur (SIL) dan investasi kembali ke hutan (RIV), sedangkan variabel yang terkait dengan perolehan modal kerja untuk produksi adalah solvalitas (SOL). Sementara itu korelasi yang tidak nyata antara rentabilitas dengan potensi hutan, mengkonfirmasi bahwa hubungan-hubungan yang positif tersebut berorientasi jangka pendek
dan
menjelaskan
bahwa
perolehan
keuntungan
perusahaan
tidak
menjadikannya sebagai insentif untuk mengelola hutan dengan baik. Terdapat pemisahan yang tegas antara kepentingan perusahaan yang dalam rancang bangun institusi diposisikan sebagai pengguna, dengan kepentingan pengelolaan hutan. Perusahaan dalam statusnya sebagai pengguna tidak mempunyai kepentingan terhadap keberhasilan pengelolaan hutan, melainkan berkepentingan terhadap rentabilitas. Kepentingan pengelolaan hutan harus diletakkan secara baik kepada pengelola hutan, kebijakan yang memindahkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada pengguna (pemanfaat) hasil hutan terbukti tidak dapat mengarahkan perilaku perusahaan maupun perilaku pemerintah untuk mempraktekkan pengelolaan hutan lestari dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan hutan yaitu produksi multiproduk yang memberikan manfaat optimal.
237
6.7. Masalah Mendasar Institusi Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi Hasil penelitian diatas mengonfirmasi bahwa ada kontribusi atas adanya masalah institusional pengelolaan dan pemanfaatan hutan terhadap penurunan kinerja makro sektor kehutanan, melalui laju deforestasi yang masih positif sehingga mempengaruhi kualitas hutan dan produksi hasil hutan. Kualitas hutan yang terus menurun terjadi karena institusi yang dibangun tidak dapat mengarahkan perilaku para pihak yang terkait untuk menjalankan prinsip-prinsip dan praktek-praktek pengelolaan hutan alam produksi dalam rangka menghasilkan multiproduk hutan secara lestari dan berkeadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang kehutanan. Berdasarkan pengetahuan dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa masalah institutional pengelolaan dan pemanfaatan hutan meliputi sumber masalah yang berhubungan dengan deforestasi dan penurunan kualitas hutan, masalah langsung dan masalah mendasar atau masalah pokok, yaitu Sumber masalah yang berhubungan dengan kerusakan hutan dan penurunan produktivitas hutan adalah perilaku pemerintah dan perusahaan atas kebijakankebijakan yang diambil dan tindakannya dilapangan. Kebijakan pemerintah berupa pilihan teknologi silvikultur intensif (SILIN) terbukti mendongkrak produksi kayu tetapi juga menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar, demikian pula kebijakan penurunan batas diamater yang dapat ditebang melalui Peraturan Menteri Kehutanan berpotensi meningkatkan kerusakan hutan. Demikian pula konsisten terhadap penerapan aturan dalam keputusan pemerintah (daerah) menetapkan/mengesahkan RKT akan berdampak langsung pada kualitas hutan. Perilaku pemerintah dalam
238
mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak, menjatuhkan sanksi atau tidak menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, memberikan signal tentang batas-batas normatif yang dipertimbangkan oleh perusahaan untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan ia lakukan. Hasil penelitian yang mengindikasikan pemerintah lemah dalam menegakkan aturan mengisayaratkan bahwa pemerintah cenderung memberi toleransi pada pelanggaranpelanggaran yang terjadi, tersedia ruang negosiasi. Kemungkinan tindakan negosiasi ini bisa terjadi, Abeng (1996) di dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa pengusaha Indonesia dan banyak pengusaha asing yang bekerja di negara berkembang membiasakan diri untuk mengembangkan manajemen lobi daripada manajemen profesional.
Keputusan dan perilaku pemerintah direspon oleh
perusahaan dengan melakukan perbuatan yang tidak menjadikan kepentingan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas, dan tidak melaksanakan peraturanperaturan dengan baik. Sesuai dengan kepentingan utamanya, perusahaan lebih memperhatikan produksi kayu jangka pendek dari pada optimasi dan produktivitas hutan jangka panjang. Masalah langsung adalah kelahiran premature PP.34/2002 yang menimbulkan berbagai masalah termasuk kekosongan pranata pada pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Masalah ini terkait dengan pengorganisasian aktivitas pengelolaan hutan di lapangan. Unit-unit pengelolaan hutan yang dirancang untuk memproduksi multiproduk seperti yang diharapkan oleh undang-undang belum tersedia, secara mencukupi. Adapun terhadap unit KPHP yang telah ditetapkan batas-batasnya belum dilengkapi dengan organisasi pelaksana yang bertanggung atas keberhasilan
239
pengelolaan hutan di KPHP yang bersangkutan. Kekosongan pranata ini disikapi dengan berbagai cara-cara yang cenderung pragmatis menyetarakan areal IUPHHK sebagai KPHP, mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan IUPHHK, meletakkan wewenang managemen (right to manage) pada hirarkhi institusi meso dan makro, dan meletakkan wewenang pemberian ijinijin transaksi multiproduk (right to exclude) pada hirarkhi yang lebih tinggi. Keputusan penyelesaian masalah secara pragmatis ini menyebabkan tidak ada akuntabilitas pengelolaan hutan. Tidak ada satu pihakpun yang dapat memikul tanggung jawab secara langsung atas kinerja pengelolaan hutan. Perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya karena hak yang diberikan adalah hak memanfaatkan hasil hutan, sementara pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu ia pertanggung jawabkan kepada pemberi kewajiban, sehingga yang ia pertanggung jawabkan adalah pelaksanaan aturan bukan kinerja pengelolaan hutan, dimana pemerintah telah mengatur pedoman hingga petunjuk teknisnya. Sementara pemerintah berdalih bahwa pengelolaan hutan menjadi kewajiban perusahaan penerima IUPHHK. Masalah pokok atau mendasar adalah berkaitan dengan masalah struktural berupa rancang bangun institusi yang tidak efektif. Definisi hak properti atas hutan tidak dapat dilakukan karena tidak ada penegasan tentang status kepemilikan hutan negara. Pasal 4 Undang-Undang no 41/1999 mengatur bahwa semua hutan wilayah negara Republik Indonesia termasuk kekayaan alamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, dan pasal 5 membagi status hutan di Indonesia menjadi hutan hak dan hutan negara. Penjelasan atas pasal ini yang menyebutkan bahwa
240
pengerian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”, menimbulkan penafsiran bahwa negara tidak mempunyai hak memiliki atas hutan, pada hal di dalam penjelasan pasal 5 juga menyebutkan adanya hutan desa dan hutan rakyat. Pemerintah tidak berbuat untuk mempertegas status kepemilikan hutan negara melainkan membiarkan pengertian yang mengambang tersebut dan mengambil langkah-langkah kebijakan berdasarkan status kepemilikan hutan negara yang tidak jelas. Didukung oleh undang-undang yang juga tidak mengatur secara jelas status asset tegakan hutan, pemerintah tidak dapat mendefinisikan hak properti atas hutan negara secara lengkap, definisi yang tidak lengkap ini membuat hak properti atas hutan menjadi tidak efektif. Dihadapkan pada kenyataan ini dan situasi dimana pemerintah tidak menguasai informasi atas hutan, pemerintah membangun institusi dan kebijakan yang rumit dan mengandung unsur-unsur yang membuat institusi yang tidak efektif. Hirarkhi organisasi tidak dibuat dengan batas-batas jurisdiksi yang jelas, pemerintah banyak memasuki urusanurusan tingkat mikro yang menyebabkan pemerintah memegang peran sebagai regulator, wasit dan sekaligus pemain. Peran ini mengandung unsur konflik kepentingan, sehingga kekuasaannya sebagai regulator dapat melahirkan aturanaturan
yang
mengandung
konflik
kepentingan,
mengandung
perversi
dan
menimbulkan biaya transaksi tinggi dan merugikan. Sementara kewenangannya sebagai wasit yang harus menegakkan aturan tidak dapat dilaksanakan secara efektif akibat adanya konflik kepentingan, peraturan yang konflik antara satu dengan lainnya,
penguasaan
informasi
yang
lemah,
sehingga
secara
keseluruhan
menyebabkan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi lemah. Hubungan-hubungan permasalahan kelembagaan ini ditunjukkan pada gambar 28.
241
Gambar 28
VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN PENELITIAN LANJUTAN 7.1. Kesimpulan Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan yang berkaitan dengan arah perubahan struktur, perilaku para perusahaan peneriman IUPHHK dan perilaku pemerintah, pengaruh struktur perilaku terhadap kinerja, dan masalah institusional yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam produksi.
7.1.1. Arah Perubahan Institusi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Arah perubahan yang dikendaki berdasarkan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdiri dari dua aspek yaitu pemanfaatan dan pengelolaan. Pemanfaatan yang berorientasi kayu dan hasil hutan bukan kayu diperluas dengan pemanfaatan lainnya termasuk hasil hutan nabati, hasil hutan hewani, benda-benda non-hayati yang merupakan satu kesatuan ekosistem hutan dan jasa hutan sehingga manfaat hutan lebih optimal. Sedangkan pengelolaan hutan yang hanya berorientasi kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pemberdayaan mayarakat. Untuk menjalankan perubahan tersebut dibangun hirarki organisasi kehutanan yang terdiri dari Pengurusan Hutan yang merupakan institusi tingkat makro dan mengemban tugas kebijakan publik, Pengelolaan Hutan yang terdiri dari Pengelolaan Hutan Wilayah Provinsi sebagai institusi makro dengan tugas publik, Pengelolaan Hutan Wilayah Kabupaten/Kota sebagai institusi meso
243
dengan tugas kebijakan publik, Pengelolaan Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan sebagai institusi mirko dan quasi publik, dan Pemanfaatan Hutan sebagai institusi mikro dan privat. Optimasi pengelolaan hutan yang dikehendaki belum dapat diaktualisasikan, tidak tersedia aturan main yang mengarahkan tujuan dan langkah-langkah optimalisasi, demikian pula dengan hirarki organisasi kehutanan yang memisahkan peran pemerintah dalam kebijakan publik dan privat belum dapat diwujudkan. Pemerintah banyak terlibat dalam urusan-urusan mikro, dan kurang memperhatikan fungsi-fungsi publik pengelolaan wilayah. Pemerintah terperangkap oleh PP.34/2002 sebagai peraturan yang lahir pertama dan premature, sebelum rancangan baru hubungan transaksional pemanfaatan hutan dan peraturan tentang prakondisi diterbitkan. PP. 34/2002 hanya melanjutkan konsep HPH dengan mengganti nama menjadi IUPHHK menjadi faktor utama penghambat perubahan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Sebagai peraturan yang terbit pertama, memberikan implikasi menjadi rujukan bagi peraturan yang lahir kemudian. PP. 34/2002 mengingkari hirarki organisasi kehutanan dengan meniadakan peran pengelola hutan tingkat unit manajemen, dan menarik urusan mikro kedalam kewenangan tingkat messo dan makro, sementara konsep pengelolaan tingkat wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan wilayah kebijakan publik belum disiapkan. Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 yang mengandung bias pada hutan negara dan mengabaikan urutan logika yang diawali dari penetapan status kepemilikan hutan dan pengelolanya, kemudian diikuti dengan penetapan fungsi pokok, pembentukan/penetapan unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Akibat
244
dari bias ini pemerintah lebih banyak mengurus dirinya sendiri, dan kurang memperhatikan pengembangan hutan hak termasuk mekanisme kompensasi yang diatur dalam pasal 36 UU. 41/1999. Pilihan kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam urusan mikro tidak dikuti secara konsisten dengan melengkapi dengan instumen-instrumen yang diperlukan untuk menjalankan kewenangannya. Unit-unit pengelolaan tidak disiapkan, penguasaan informasi dan mekanisme pengawasan yang kuat, adalah prasyarat utama dan penting untuk menjalankan kewenangan yang telah dipilih. Keterlibatan pemerintah sebagai regulator, wasit dan sebagai ‘pemain’ menimbulkan banyak kerumitan, sehingga pemerintah kehilangan kendali atas sistem yang dibangun, dan akhirnya gagal mencapai tujuan pengelolaan hutan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Pengalaman Brazil dan China bagian selatan yang menempatkan pemerintah terlibat dalam urusan mikro berujung kepada kegagalan dalam mengelola hutan lestari. Sebaliknya model yang di pakai di Swedia dan China bagian utara yang memisahkan fungsi pemerintah sebagai lembaga publik dengan pengelolaan hutan (unit) sebagai entitas individual menunjukkan kinerja pengelolaan hutan yang lebih baik. Undang-undang tidak menyatakan secara jelas status kepemilikan atas hutan negara yang tidak dibebani hak-hak atas tanah berdasarkan UU. 5/1960, dan status asset atas tegakan dan isi hutan. Ketidak jelasan atas dua hal ini menyebabkan pihakpihak yang terlibat dalam pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak mampu mengindentifikasikan dirinya (selves identification) dan menentukan perannya sesuai dengan strata hak yang dimilikinya.
245
Institusi formal pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam yang dibangun oleh pemerintah mengandung unsur-unsur perversi kekuasaan (perversion of power) , informasi yang tidak simetrik (assymmetric information), dan konflik kepentingan. Adanya unsur-unsur tersebut terbukti menimbulkan biaya transaksi tinggi (high transaction cost), kesalahan pemilihan (adverse selection), kejahatan moral (moral hazard) dan masalah induk-agen (principal-agent problems). Sehingga secara keseluruhan Institusi Kehutanan tidak efektif mengendalikan perilaku para pihak. Implikasi dari keberadaan unsur-unsur tersebut di atas adalah bahwa aturan pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan tidak dapat ditegakkan, sehingga memberi insentif untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar aturan dan tidak berperilaku produkstif. Potensi masyarakat untuk mencapai penutupan hutan yang dipersyaratkan oleh undang-undang dan menjadi tanggung jawab pemerintah tidak dapat diberdayakan.
7.1.2. Pengaruh Perubahan Terhadap Perilaku Pemerintah dan Perusahaan Perubahan institusional kehutanan diharapkan dapat mempengaruhi perilaku para pihak yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Para pihak dalam penelitian ini terdiri dari pertama adalah pemerintah yang mempunyai peran utama sebagai regulator dan sebagai pihak yang menegakkan aturan, kedua adalah para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam. Berdasarkan peraturanperaturan yang diterbitkan pemerintah dan hasil penilaian kinerja pengelolaan hutan serta data lainnya diperoleh pengetahuan tentang perilaku sebagai berikut :
246
Pemerintah tidak menterjemahkan tujuan pengelolaan hutan produksi yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu perubahan orientasi dari kayu ke sumberdaya hutan untuk “menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dengan produksi multiproduk hasil hutan” kedalam institusi dan kebijakan publik. Sistem pengelolaan hutan produksi alam masih berorientasi pada produksi kayu dengan memberikan peran dominan kepada perusahaan penerima IUPHHK. Pemerintah masih terbatas mengakomodasi
pemanfaatan
multiproduk
melalui
pengaturan
kewenangan
pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu dan ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu kepada Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri, bukan kepada optimasi pengelolaan hutan untuk produksi multiproduk. Sebagai regulator pemerintah tidak memperjelas status kepemilikan hutan negara, meskipun tersedia ruang untuk menterjemahkan penjelasan pasal 4 (1) Undangundang nomor 41/1999, karena batasan pengertian “dikuasai” oleh negara tidak berarti “dimiliki “ menurut pada pasal tersebut di maksudkan untuk melindungi status kepemilikan hutan hak agar tidak jatuh kepemilikannya menjadi milik negara. Sedangkan pada pasal 4 diakui adanya dua macam status hutan diseluruh Indonesia yaitu hutan negara dan hutan hak, jika hutan hak adalah hutan yang dimiliki oleh individu, kelompok atau perusahaan, maka hutan negara seharusnya juga jelas kepemilikannya. Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara dan tidak adanya pengakuan secara eksplisit status asset tegakan hutan di hutan alam, mempengaruhi pengaturan hak properti atas hutan dan menghasilkan definisi hak properti yang tidak lengkap. Dengan batasan hak properti yang tidak lengkap menyebabkan sulit memposisikan
247
pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna hutan alam. Situasi ini tidak memberi insentif
kepada pemerintah untuk membangun dan memberdayakan institusi
pengelolaan hutan negara tingkat unit managemen (KPHP), akibatnya terjadi kekosongan pranata pengelolaan hutan negara tingkat manajemen unit. Disisi lain pemerintah tidak memberdayakan dirinya untuk menguasai informasi tentang hutan negara secara maksimal, sehingga informasi yang dimiliki oleh pemerintah terbatas dari segi resolusi maupun kemutahirannya. Dalam situasi seperti ini pemerintah mengambil pilihan kebijakan memposisikan pengguna (penerima IUPHHK) sebagai pengelola hutan melalui pemberian kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan sebagai pelaksana pengelolaan hutan, sementara wewenang keputusankeputusan tentang pilihan teknologi, perencanaan, dan alokasi sumberdaya hutan serta perijinan transaksi hasil hutan masih dipegang oleh pemerintah, disamping itu pemerintah menetapkan sanksi-sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban tersebut. Pilihan kebijakan ini menuntut penguasaan informasi yang mutahir, cepat dan beresolusi tinggi. Posisi pemerintah menjadi dilematis karena sekaligus memegang tiga peran sebagai regulator, wasit dan pemaian dengan memasuki urusan-urusan tingkat mikro dalam pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Peran pemegang kekuasaan yang mengandung konflik kepentingan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengandung perversi yaitu kebijakan yang menguntungkan dirinya atau kelompok tertentu sementara bebannya ditanggung oleh pihak lain. Perannya yang konfik tersebut juga menghasilkan peraturan-peraturan yang konflik.
248
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam menjadi kompleks, disertai dengan peran pemerintah yang konflik dan penguasaan informasi yang lemah, pemerintah tidak mampu menegakkan peraturan-peraturan yang mengatur aspekaspek teknis (mikro), kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi lemah. Kelemahan dan keterbatasan yang ada pada giliran selanjutnya akan melemahkan kapasitasnya sebagai regulator. Dihadapkan pada struktur institusi pengelolaan hutan dan perilaku pemerintah seperti tersebut diatas, perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna dan tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap hasil pengelolaan hutan merespon peraturan dan kewajiban-kewajiban tersebut tidak dengan motivasi yang bersungguh-sungguh untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Sesuai kedudukannya penerima IUPHHK adalah pengguna yang mempunyai kepentingan langsung untuk mengambil manfaat melalui kegiatan produksi jangka pendek, sehingga pilihannya untuk tidak mengambil peran sebagai pengelola adalah pilihan yang rasional. Berdasarkan analisa 40 perusahaan, sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan, kurang dari 10 persen dari perusahaan penerima IUPHHK yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan. Perusahaan cenderung tidak menaati peraturan-peraturan yang diberlakukan, hanya sekitar 10 persen perusahaan yang mempunyai nilai verifier baik. Perilaku ini disamping sebagai respon atas aturan dan kewajiban-kewajiban yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan lagsungnya juga sebagai respon atas kapasitas penegakan yang lemah dan merupakan pilihan rasional. Kapasitas penegakan yang
249
lemah dan adanya konflik kepentingan pada pemerintah dan pada perusahaan memberikan ruang terjadinya moral hazard.
7.1.3. Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi Hasil uji korelasi antara 24 variabel-variabel dengan potensi hutan, kerusakan tegakan tinggal dan rentabilitas 40 perusahaan contoh menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Tingkat kerusakan hutan yang terjadi cukup tinggi diindikasikan oleh besarnya jumlah perusahaan yang tidak berhasil mencapai nilai baik (87.5%) pada variable kerusakan tegakan tinggal, sedangkan yang mencapai nilai baik hanya 12,5% saja. Perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak sesuai aturan dan rencana sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat merupakan penyebab terjadinya hal ini. Dari segi potensi terdapat 55% perusahaan yang melaporkan kondisi hutannya masih baik, tetapi hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variabel-variabel terkait pengelolaan hutan mempunyai hubungan yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hutan yang baik tersebut terjadi karena faktor lain. Hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa salah satu variabel yang berkorelasi nyata dengan potensi (stok) adalah EVA. Pada dasarnya EVA adalah sebuah sistem informasi yang tersedia dan dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan oleh perusahaan, dengan demikian variabel ini tidak berhubungan langsung dengan pembangunan potensi hutan, melainkan berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk mengenali potensi tegakan hutan. Berdasarkan data ada kecenderungan bahwa korelasi bersifat negatif, jumlah perusahaan yang sistem informasinya buruk tetapi mempunyai potensi hutan
250
baik sebanyak 13 perusahaan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang mempunyai sistem informasi baik mempunyai potensi hutan yang baik, sedangkan perusahaan yang sistemnya buruk dan potensinya buruk berjumlah 4 perusahaan. Korelasi ini memperkuat argumen adanya moral hazard, dimana informasi tentang potensi hutan yang dilaporkan kepada pemerintah cenderung dibuat lebih besar dan didasarkan pada informasi yang berkualitas buruk. Perusahaan-perusahaan yang sistem informasinya baik tidak dapat menunjukkan bahwa potensi hutannya baik. Kemungkinan moral hazard didukung dengan data bahwa dengan potensi yang besar tersebut sebanyak 77,5 % perusahaan mempunyai rentabilitas yang tidak baik, ini berarti bahwa sebagian besar perusahaan melaporkan bahwa perusahaannya mengalami kerugian. Diantara 24 variabel yang diuji, variabel-variabel yang terkait langsung dengan dengan produksi mempunyai hubungan positif nyata dengan potensi dan rentabilitas. Variabel-variabel tersebut adalah yang terkait dengan sumber keuangan untuk membiayai produksi, dan variabel yang terkait dengan persyaratan untuk mendapatkan pengesahan RKT. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa perusahaan tidak berkepentingan dengan pengelolaan hutan, melainkan berkepentingan pada produksi kayu jangka pendek, dan institusi yang berlaku tidak dapat mengarahkan perilaku perusahaan untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan hutan.
7.1.4. Masalah Institusi Berdasarkan kepada hal-hal tersebut diatas maka dapat dikenali masalah institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi yang dapat dikelompokkan
251
kedalam masalah mendasar (pokok), masalah utama dan masalah langsung sebagai berikut : Masalah yang mendasar adalah tidak adanya kejelasan pengakuan status pemilik hutan negara yang timbul akibat penjelasan pasal 4 (1) Undang-Undang no 41/1999, dan adanya ketidak jelasan pengakuan status tegakan hutan alam sebagai asset seperti halnya pengakuan yang diberikan kepada tegakan hutan hasil penanaman. Kedua hal ini menyebabkan pengaturan tentang hak properti hutan tidak dapat didefinisikan secara lengkap sehingga tidak dapat dibangun hak properti yang efektif, dan dampak selanjutnya adalah timbulnya berbagai kompleksitas kebijakan dan pengaturan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang mengandung unsur-unsur penyebab institusi tidak efektif. Disamping itu tidak diikutinya urutan logika pengurusan hutan dan bias pemerintah pada hutan negara menyebabkan pemerintah berkonsentrasi pada dirinya sendiri dan kurang memperhatikan kebijakan publik. Peraturan Pemerintah no. 34/2002 yang lahir premature, menjadi rujukan peraturanperaturan yang lahir kemudian, menempatkan pemerintah berhubungan langsung dengan urusan-urusan tingkat mikro dan kebijakan privat, sementara kebijakan publik kurang mendapat perhatian, dan melebarkan kesenjangan tujuan perubahan institusi, serta menjadi kendala bagi birokrasi untuk melakukan perubahan. Masalah langsung berupa kekosongan pranata pengelolaan hutan negara pada tingkat unit manajemen. Kekosongan pranata ini menyeret pemerintah terlibat dalam urusan-urusan mikro, sehinga pemerintah menjalankan peran sebagai regulator, wasit dan sekaligus pemain. Pilihan peran ini membutuhkan informasi yang akurat dan cepat, namun pemerintah tidak cukup menguasai informasi untuk menjalankan
252
kewenangannya. Keterbatasan penguasaan informasi dan
sumberdaya lainnya
menyebabkan kapasitas penegakan aturan lemah. Sumber masalah adalah perilaku pemerintah dan perusahaan penerima IUPHHK yang bertindak dengan cara-cara yang tidak mengutamakan kepentingan pencapaian tujuan pengelolaan hutan, melainkan lebih banyak berorientasi pada kepentingan produksi jangka pendek.
7.2. Implikasi Kebijakan Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan hutan alam produksi yaitu menghasilkan hutan berkualitas tinggi guna memproduski multiproduk yang memberi manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang no. 41 tahun 1999, maka diperlukan koreksi berbagai kebijakan publik dalam bidang institusi kehutanan, sebagai jawaban atas masalah institusi yang ada. Sebagaimana kesimpulan hasil studi maka pada dasarnya penyelesaian tersebut memerlukan tiga hal (lihat gambar 27) yaitu: pertama adanya batasan tentang hak properti yang lebih lengkap sehingga dapat dibedakan siapa pemilik hutan, siapa pengelola, siapa penyewa dan siapa pemanfaat hutan, sehingga masing-masing pihak dapat mengidentifikasikan diri dan perannya secara tepat; kedua diperlukan pengakuan status asset atas tegakan hutan sebagai alat penyimpan kekayaan yang dapat ditransaksikan ; dan ketiga diperlukan devolusi kewenangan pengelolaan hutan kepada institusi tingkat mikro yang menjalankan pengelolaan hutan berupa alokasi sumberdaya manajemen dan penerapan teknik-teknik pengelolaan hutan pada unit
253
kelestarian hutan di lapangan. Dalam rangka melakukan koreksi kebijakan publik ini, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Setiap kebijakan publik harus mengarahkan
agar pengelolaan hutan
menghasilkan manfaat yang optimal dan lestari. Untuk itu perlu dipastikan bahwa setiap pengelola hutan negara melakukan tindakan optimasi agar manfaat-manfaat ekologi, sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari pengelolaan hutan merupakan hasil kombinasi yang optimal. Agar dapat dilakukan tindakan optimasi yaitu menghasilkan nilai manfaat yang maksimal dalam situasi kendala-kendala (constranins) tertentu, terdapat beberapa syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi, sebagaimana disajikan pada Tabel 52. Setiap pengelola harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis multiproduk atau manfaat yang akan diproduksi melalui praktek-praktek pengelolaan hutan, produk apa saja yang termasuk dalam kategori ekologi, sosial dan ekonomi, atau jenisjenis hasil hutan nabati, hewani, benda non-nabati atau jasa hutan yang akan diproduksi untuk ditetapkan sebagai tujuan pengelolaan hutan. Selain itu pengelola perlu mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah produksi setiap jenis produk atau manfaat, oleh karena itu harus tersedia satuan-satuan jumlah produksi setiap jenis, dan tersedia teknologi untuk mengukur jumlah produksi jenis-jenis produk dimaksud. Selanjutnya identifikasi karakterisitik jenis-jenis produk dan mengklasifikasikannya ke dalam jenis yang dapat diperdagangkan dan jenis manfaat yang tidak dapat diperdagangkan. Siapa sajakah pelanggan dari setiap produk dan manfaat yang dihasilkan perlu diketahui, bukan saja untuk keperluan strategi pemasaran melainkan juga
254
diperlukan untuk mengukur kebutuhan yang harus dilayani dan karakter hubungan transaksional
yang
sesuai.
Pelanggan-pelanggan
produk
yang
dapat
diperdagangkan dapat melakukan transaksi jual-beli di pasar, sehingga hubunganhubungan transaksional dapat dilakukan melalui mekanisme pasar. Sedangkan pelanggan-pelanggan yang memanfaatkan barang publik atau produk eksternalitas tidak melakukan transaksi jual beli di pasar, kelompok ini disebut sebagai kelompok penerima manfaat (beneficieries). Hubungan pertukaran (exchange) antara produsen dengan beneficieries memerlukan kebijakan publik yang menyediakan infrastruktur untuk memfasilitasi terjadinya pertukaran tersebut. Manfaat optimal adalah sebuah nilai hasil yang maksimal yang dapat diperoleh dari alokasi sumberdaya pada suatu kondisi dengan kendala tertentu. Berbagai produk dan manfaat yang dihasilkan melalui pengelolaan hutan mempunyai satuan-satuan ukuran yang berbeda-beda, sedangkan optimasi memerlukan sebuah satuan yang dapat mencerminkan nilai dari keseluruhan produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan valuasi terhadap setiap jenis produk atau manfaat tersebut. Nilai produk-produk yang dapat diperdagangkan mempunyai nilai (harga) yang diterima oleh pasar, sehingga harga produk atau jasa dimaksud sudah dapat mencerminkan nilai dari produk atau jasa itu. Sedangkan terhadap produk atau jasa yang tidak diperdagangkan seperti barang publik atau manfaat eksternalitas diperlukan adanya nilai yang disepakati. Adanya kebijakan publik dalam bentuk standar atau tarif akan membantu mempermudah perhitunganperhitungan dalam rangka optimasi.
255
Tabel 52. Syarat-syarat Perlu Optimasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi pada Unit Manajemen Lestari Parameter Syarat Perlu Jenis Produk Identifikasi jenis-jenis produk/manfaat (ekologi, sosial dan / Manfaat ekonomi) yang akan diproduksi melalui praktek-praktek pengelolaan hutan. Identifikasi karakteristik daya-jual (tradeability) dari setiap jenis dan manfaat yang diproduksi. Tersedia satuan dan teknik pengukuran jumlah produksi atas setiap jenis produk/ manfaat Pelanggan Identifikasi pasar yang dapat melakukan transaksi jual-beli produk/manfaat yang diperdagangkan (tradeable /marketable) dan penerima manfaat (beneficieries) atas manfaat-manfaat yang tidak diperdagangkan (non tradeable) Valuasi Terdapat nilai atau harga atas setiap jenis produk/manfaat yang diproduksi dari kegiatan pengelolaan hutan, baik yang terbentuk melalui mekanisme pasar maupun kebijakan publik. Biaya Dikenali biaya produksi dan pemasaran atas setiap jenis Produksi produk /manfaat yang diproduksi dan dipertukarkan Keuntungan maksimal yang diperoleh sebagai hasil optimasi dilakukan dengan memaksimumkan keuntungan dan / atau meminimumkan biaya. Oleh sebab itu struktur dan nilai biaya produksi dan biaya pemasaran setiap jenis produk / manfaat juga harus diketahui.
2. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset merupakan kebijakan publik yang penting untuk mengarahkan perilaku para pihak agar mengelola hutan sesuai dengan perintah undang-undang.
Akan tetapi kebijakan publik tunggal yang hanya
mengakui status tegakan sebagai asset saja, mempunyai potensi timbulnya masalah-masalah baru, seperti hubungan-hubungan transaksional atas hutan negara, penilaian asset, kebijakan harga dan lain sebagainya. Oleh sebab itu kebijakan publik tentang status asset tegakan hutan memerlukan kebijakankebijakan pendukung lainnya, yaitu :
256
Pertama, kejelasan siapa pemilik hutan negara karena hal ini akan berhubungan erat dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada kepemilikan atas asset tersebut. Sebagai gambaran dalam sistem pengusahaan hutan alam dalam bentuk HPH maupun IUPHHK, dimana pengelolaan hutan dilakukan melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan adanya ketentuan yang mengatur bahwa apabila ijin berakhir seluruh asset tidak bergerak menjadi milik negara, maka asset yang berupa tegakan tidak dapat dicatat sebagai asset perusahaan. Sementara pihak pemerintah tidak pernah membukukan nilai asset hutan kedalam neraca keuangannya, karena pemerintah dianggap bukan pemilik hutan. Oleh sebab itu kebijakan ini tidak dapat berlaku efektif. Siapapun yang ditetapkan sebagai pemilik hutan, maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan atas hak kepemilikan tersebut. Kedua : asset hanya bisa diukur apabila ada ukuran nilainya dan ada cara mengukur yang disepakati. Satuan nilai dapat dalam bentuk satuan nilai moneter, tetapi bagaimana menilainya terdapat banyak pendekatan. Pendekatan yang umum dapat dipilih dari akumulasi biaya investasi atau penaksiran nilai asset. Keduaduanya memerlukan aturan main yang menjadi pedoman semua pihak. Ketiga : berkaitan dengan pencapaian tujuan optimasi dan pembentukan asset tegakan hutan, pengelola hutan memerlukan otoritas untuk menentukan pilihan manajemen yang efektif dan / atau efisien untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa kondisi obyektif dari setiap unit manajemen berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Intervensi pemerintah sampai pada tingkat mikro seperti yang telah dilakukan selama ini dalam bentuk pilihan teknologi,
257
perencanaan usaha dan yang lainnya dapat menjadi kendala tersendiri bagi pengelola untuk mencapai tujuan. Keempat : obyek yang dipertukarkan atau ditransaksikan harus teridentifikasi dengan jelas. Apakah obyek yang ditransaksikan tersebut berupa lahan, atau kekayaan alam, atau tegakan hutan, atau manfaat hutan, atau kombinasi sebagian atau keseluruhannya. Setiap model transaksi memerlukan aturan atau bentuk kontrak yang berbeda-beda. Sebagai contoh transaksi dalam bentuk IUPHHK adalah melakukan transaksi manfaat hasil hutan yang berupa kayu, obyek yang ditransaksikan adalah hasil produksi dari pengelolaan hutan yang berupa kayu, sehingga yang diperlukan hanya kontrak jual-beli yang bersifat umum antara lain mencakup kesepakatan harga, volume, kualitas dan pengiriman (delivery) serta jaminan yang disepakati. Transaksi dalam bentuk ijin pemanfaatan kawasan (IUPK) adalah melakukan pertukaran ruang sehingga model kontraktualnya dapat berupa sewa. Sedangkan alih-fungsi hutan, pinjam pakai, tukar guling adalah model transaksi yang mempertukarkan seluruh asset dan potensi manfaat yang ada pada hutan tersebut. Kelima, batasan jangka waktu ijin tidak diberlakukan kepada pemilik asset agar kepastian atas kepemilikan hak dan kepastian usaha terjamin. Penilaian dan sanksi hendaknya berdasarkan indikator kinerja yang mencerminkan bekerjanya fungsifungsi hutan yang memberi manfaat secara berkelanjutan. Syarat-syarat perlu dalam menentukan pilihan kepemilikan atas hutan negara harus dipenuhi. Pada dasarnya terdapat tiga strata kepemilikan atas hutan, yaitu milik negara, milik komunal dan milik privat. Dalam hal ini kepemilikan komunal
258
pada prinsipnya adalah bentuk lain dari kepemilikan privat dimana anggota komunitas tersebut menyatukan kehendaknya dan menyepakati aturan internal yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota dalam berhubungan dengan kepemilikan atas hutan. Oleh karena itu opsi kepemilikan dapat disederhanakan menjadi milik negara dan milik privat. Tabel 53 menguraikan syarat-syarat perlu yang harus dipenuhi atas pilihan kebijakan publik tentang kepemilikan hutan negara, yaitu apakah akan dinyatakan sebagai milik negara atau dialihkan menjadi milik privat. Pada tingkat pengurusan pilihan untuk menjadikan kepemilikan atas hutan negara sebagai milik negara diperlukan penafsiran sebagai penegasan atas penjelasan pasal 4 (1) UU. No. 41/1999, dimana penjelasan yang ada masih bias pada perlindungan atas hutan hak, sementara status kepemilikan hutan negara tidak disinggung. Selain itu diperlukan aturan perwakilan yang menetapkan pelaksanaan kepemilikan hutan oleh negara dilaksanakan oleh pemerintah melalui wewenang pengurusan hutan. Kedudukannya sebagai pemilik melekat hak alienation yaitu hak untuk mempertukarkan/ mentransaksikan properti hutan, untuk itu harus tersedia mekanismenya, kebijakan-kebijakan alih fungsi dan pinjam pakai merupakan bentuk pelaksanaan hak alienation. Jika kepemilikan akan diberikan kepada privat, diperlukan konfirmasi makna konstusi yang menyatakan bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Selain itu mekanisme transfer dari negara kepada privat harus disediakan, dan jaminan tentang penggunaan lahan sebagai hutan dapat terjaga, negara harus dapat menjamin hak transfer atas hutan-hutan tersebut kepada pihak lain.
259
Tabel 53. Syarat Perlu atas Pilihan Kebijakan Kepemilikan Hutan Hirakhi
Syarat Perlu Opsi Kepemilikan oleh : Negara
Pemerintah membuat kebijakan publik, mengatur urusan bersama dan menghindari urusan privat Diperlukan penafsiran pengertian “dikuasai tidak Pengurusan berarti dimiliki” pada UU 41/1999 dan Pemerintah menjadi wakil Kepemilikan bagi seluruh rakyat hutan Indonesia sebagai pemilik hutan negara
Tersedia mekanisme transfer atas hutan negara Tersedia unit pengelolaan hutan yang memenuhi syarat kelestarian sumberdaya dan hasil Terdapat entitas penanggung jawab operasional Pengelolaan pengelola hutan Entitas pengelola hutan Hutan mempunyai hak-hak : to access dan withdrawal, to exclude, to manage dan hak untuk mengatur hubungan transaksional atas produk dan manfaat hasil pengelolaan Transaksi produk diperdagangkan dapat dilakukan Pemanfaatan dengan mekanisme pasar Tersedia mekanisme Hutan transaksi atas jasa hutan yang tidak diperdagangkan
Privat Pemerintah membuat kebijakan publik, mengatur urusan bersama dan menghindari memasuki urusan privat Diperlukan penafsiran yang formal atas makna “bumi dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara” Diperlukan mekanisme transfer kepemilikan dari negara menjadi milik privat, apa saja yang ditransaksikan, kualifikasi penerima, dan syarat-syarat serta perjanjian lainya sebagai jaminan atas peruntukannya sebagai hutan Terdapat jaminan hak transfer atas hutan Unit pengelolaannya memenuhi syarat kelestarian
Terdapat entitas yang bertanggung jawab secara operasional untuk mengelola hutan Entitas pengelola hutan mempunyai hak-hak : to access dan withdrawal, to exclude, to manage dan hak untuk mengatur hubunganhubungan transaksional atas produk dan manfaat hasil pengelolaan
Transaksi produk yang dapat diperdagangkan dapat dilakukan dengan mekanisme pasar Pemerintah memfasilitasi pemberian kompensasi / insentif kepada pengelola hutan atas produk jasa manfaat
260
Pada tingkat pengelolaan memerlukan kejelasan unit pengelolaan, keberadaan entitas atau lembaga yang bertanggung jawab mengelola, dan jaminan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikannya. Pada tingkat pemanfaatan, kepemilikan oleh pemerintah memerlukan mekanisme transaksi produk yang tidak diperdagangkan. Sedangkan pada opsi kepemilikan oleh privat diperlukan mekanisme insentif atau kompensasi terhadap produksi barang publik dan pengelolaan eksternalitas.
3. Devolusi atau penyerahan kewenangan pengelolaan dari pemerintah kepada entitas pengelola hutan diperlukan bukan saja karena pengelolaan hutan alam merupakan wilayah quasi publik, mempunyai kekhasan setempat (local spesifik) melainkan juga untuk memberikan fleksibilitas dalam memilih teknologi dan alokasi sumberdaya sesuai dengan tujuan dan kondisi masing-masing lokasi. Kedudukannya sebagai pengelola maka perlu diberikan wewenang akses dan memanen, mengeksklusi dan mengelola. Dalam rangka melaksanakan wewenang mengelola, ia harus dapat mengalokaikan sumberdaya dan menentukan pilihan teknologi yang paling tepat. Sedangkan kewenangan untuk mengekslusi memugkinkan pengelola menjalin hubungan-hubungan kontraktual pemanfaatan hasil hutan dengan pihak lain. Devolusi akan efektif dilaksanakan apabila dua masalah terdahulu sudah dapat diatasi. Pemerintah membatasi diri pada fungsi-fungsi publik yaitu pengelolaan hutan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi, pengurusan hutan, dan penegakan aturan. Devolusi memerlukan kemampuan kontrol yang kuat, oleh
261
sebab itu perintah undang-undang untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan perlu diberdayakan. Terhadap hutan negara pengelolaan hutan tingkat unit dapat diberikan kepada Badan Usaha dalam bentuk persero dimana pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas, dan sisanya diberikan kepada publik. Pembentukan unit pengelolaan hutan hendaknya mempertimbangkan skala ekonomis, agar unit-unit ini dapat menjadi unit usaha yang mandiri. Kemandirian ini diperlukan guna menghindari terjadinya kooptasi pengelolaan hutan secara nasional oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat menyebabkan pengelolaan hutan tidak efektif mencapai tujuan optimasi manfaat.
7.3. Saran Penelitian Lanjutan Untuk mendukung pelaksanaan perubahan orientasi pengelolaan hutan menuju pengelolaan sumberdaya hutan menyeluruh, perlu berbagai penelitian antara lain : 1.
Selama 10 tahun terakhir perubahan sulit dilaksanakan dengan sempurna, untuk memfasilitasi terjadinya perubahan selanjutnya perlu diketahui faktor-faktor penyebab resistensi atas perubahan selain masalah struktural yang telah diketahui dari penelitian ini, perlu pula di dalami motivasi dan hambatan lain yang menyebabkan para pihak sulit menjalankan perubahan.
2.
Perubahan kebijakan harus mempertimbangkan kapasitas untuk menanggung beban atas perubahan itu sendiri, untuk itu perlu diketahui beban yang akan timbul sebagai ongkos dari perubahan disamping manfaat yang akan diperoleh. Penting pula untuk dapat diidentifikasi siapa yang akan menanggung ongkos perubahan, agar dapat diformulasikan strategi perubahan yang paling rasional.
262
3.
Inti dari perubahan adalah optimasi pengelolaan hutan, untuk itu diperlukan model-model optimasi pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan (KPHP), model optimasi pengelolaan hutan tingkat wilayah kabupaten dan model optimasi pengelolaan hutan tingkat wilayah provinsi atau pulau. Model-model tersebut sampai dengan saat ini belum dimiliki oleh pemerintah maupun pemerintah daerah.
4.
Optimasi juga memerlukan perhitungan nilai hutan, untuk itu model valuasi hutan produksi yang memberikan nilai pada seluruh kekayaan yang ada di dalam hutan produksi, nilai barang publik dan ekternalitasnya. Model-model ini diperlukan untuk menghasilkan standar valuasi pada tingkat nasional dan wilayah, sebagai bahan kebijakan standardisasi valuasi hutan.
5.
Perubahan orientasi dari kayu ke sumberdaya hutan memerlukan teknologi pengelolaan hutan yang berbeda. Sistem silvikultur yang selama ini berlaku adalah teknologi yang dikembangkan untuk keperluan produksi kayu, untuk itu sistem ini perlu diperkaya dengan teknik konservasi tanah dan air dan konservasi alam.
6.
Standar akuntansi kehutanan perlu disempurnakan, oleh sebab itu diperlukan pengetahuan-pengetahuan untuk memberikan justifikasi pada arah perubahan yang seharusnya.
VIII.
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan yang berkaitan dengan arah perubahan struktur, perilaku perusahaan peneriman IUPHHK dan pemerintah, pengaruh struktur perilaku terhadap kinerja, dan masalah institusional yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam produksi.
8.1.1. Arah Perubahan Institusi Pengelolaan Hutan Produksi Alam Arah perubahan yang dikendaki berdasarkan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdiri dari dua aspek yaitu pemanfaatan dan pengelolaan. Pemanfaatan yang berorientasi kayu dan hasil hutan bukan kayu diperluas dengan pemanfaatan lainnya termasuk hasil hutan nabati, hasil hutan hewani, benda-benda non-hayati yang merupakan satu kesatuan ekosistem hutan dan jasa hutan sehingga manfaat hutan lebih optimal. Sedangkan pengelolaan hutan yang hanya berorientasi kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pemberdayaan mayarakat. Untuk menjalankan perubahan tersebut dibangun hirarki organisasi kehutanan yang terdiri dari Pengurusan Hutan yang merupakan institusi tingkat makro dan mengemban tugas kebijakan publik, Pengelolaan Hutan yang terdiri dari Pengelolaan Hutan Wilayah Provinsi sebagai organisasi makro dengan tugas publik, Pengelolaan Hutan Wilayah Kabupaten/Kota sebagai organisasi meso
243
dengan tugas kebijakan publik, Pengelolaan Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan sebagai organisasi mikro dan quasi publik, dan Pemanfaatan Hutan sebagai organisasi mikro dan privat. Optimasi pengelolaan hutan yang dikehendaki belum dapat diaktualisasikan, tidak tersedia aturan main yang mengarahkan tujuan dan langkah-langkah optimalisasi, demikian pula dengan hirarki organisasi kehutanan yang memisahkan peran pemerintah dalam kebijakan publik dan privat belum dapat diwujudkan. Pemerintah banyak terlibat dalam urusan-urusan mikro, dan kurang memperhatikan fungsi-fungsi publik pengelolaan wilayah. Pemerintah terperangkap oleh PP.34/2002 sebagai peraturan yang lahir pertama dan premature, sebelum rancangan baru hubungan transaksional pemanfaatan hutan dan peraturan tentang prakondisi diterbitkan. PP. 34/2002 hanya melanjutkan konsep HPH dengan mengganti nama menjadi IUPHHK menjadi faktor utama penghambat perubahan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Sebagai peraturan yang terbit pertama, memberikan implikasi menjadi rujukan bagi peraturan yang lahir kemudian. PP. 34/2002 mengingkari hirarki organisasi kehutanan dengan meniadakan peran pengelola hutan tingkat unit manajemen, dan menarik urusan mikro kedalam kewenangan tingkat messo dan makro, sementara konsep pengelolaan tingkat wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan wilayah kebijakan publik belum disiapkan. Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 yang mengandung bias pada hutan negara dan mengabaikan urutan logika yang diawali dari penetapan status kepemilikan hutan dan pengelolanya, kemudian diikuti dengan penetapan fungsi pokok, pembentukan/penetapan unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Akibat
244
dari bias ini pemerintah lebih banyak mengurus dirinya sendiri, dan kurang memperhatikan pengembangan hutan hak termasuk mekanisme kompensasi yang diatur dalam pasal 36 UU. 41/1999. Pilihan kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam urusan mikro tidak dikuti secara konsisten dengan melengkapi dengan instumen-instrumen yang diperlukan untuk menjalankan kewenangannya. Unit-unit pengelolaan tidak disiapkan, penguasaan informasi dan mekanisme pengawasan yang kuat, adalah prasyarat utama dan penting untuk menjalankan kewenangan yang telah dipilih. Keterlibatan pemerintah sebagai regulator, wasit dan sebagai ‘pemain’ menimbulkan banyak kerumitan, sehingga pemerintah kehilangan kendali atas sistem yang dibangun, dan akhirnya gagal mencapai tujuan pengelolaan hutan untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Pengalaman Brazil dan China bagian selatan yang menempatkan pemerintah terlibat dalam urusan mikro berujung kepada kegagalan dalam mengelola hutan lestari. Sebaliknya model yang di pakai di Swedia dan China bagian utara yang memisahkan fungsi pemerintah sebagai lembaga publik dengan pengelolaan hutan (unit) sebagai entitas individual menunjukkan kinerja pengelolaan hutan yang lebih baik. Undang-undang tidak menyatakan secara jelas status kepemilikan atas hutan negara yang tidak dibebani hak-hak atas tanah berdasarkan UU. 5/1960, dan status asset atas tegakan dan isi hutan. Ketidak jelasan atas dua hal ini menyebabkan pihakpihak yang terlibat dalam pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak mampu mengindentifikasikan dirinya (selves identification) dan menentukan perannya sesuai dengan strata hak yang dimilikinya.
245
Institusi formal pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam yang dibangun oleh pemerintah mengandung unsur-unsur perversi kekuasaan (perversion of power) , informasi yang tidak simetrik (assymmetric information), dan konflik kepentingan. Adanya unsur-unsur tersebut terbukti menimbulkan biaya transaksi tinggi (high transaction cost), kesalahan pemilihan (adverse selection), kejahatan moral (moral hazard) dan masalah induk-agen (principal-agent problems). Sehingga secara keseluruhan Institusi Kehutanan tidak efektif mengendalikan perilaku para pihak. Implikasi dari keberadaan unsur-unsur tersebut di atas adalah bahwa aturan pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan tidak dapat ditegakkan, sehingga memberi insentif untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar aturan dan tidak berperilaku produkstif. Potensi masyarakat untuk mencapai penutupan hutan yang dipersyaratkan oleh undang-undang dan menjadi tanggung jawab pemerintah tidak dapat diberdayakan.
8.1.2. Pengaruh Perubahan Terhadap Perilaku Pemerintah dan Perusahaan Perubahan institusional kehutanan diharapkan dapat mempengaruhi perilaku para pihak yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Para pihak dalam penelitian ini terdiri dari pertama adalah pemerintah yang mempunyai peran utama sebagai regulator dan sebagai pihak yang menegakkan aturan, kedua adalah para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam. Berdasarkan peraturanperaturan yang diterbitkan pemerintah dan hasil penilaian kinerja pengelolaan hutan serta data lainnya diperoleh pengetahuan tentang perilaku sebagai berikut :
246
Pemerintah tidak menterjemahkan tujuan pengelolaan hutan produksi yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu perubahan orientasi dari kayu ke sumberdaya hutan untuk “menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dengan produksi multiproduk hasil hutan” kedalam institusi dan kebijakan publik. Sistem pengelolaan hutan produksi alam masih berorientasi pada produksi kayu dengan memberikan peran dominan kepada perusahaan penerima IUPHHK. Pemerintah masih terbatas mengakomodasi
pemanfaatan
multiproduk
melalui
pengaturan
kewenangan
pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu dan ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu kepada Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri, bukan kepada optimasi pengelolaan hutan untuk produksi multiproduk. Sebagai regulator pemerintah tidak memperjelas status kepemilikan hutan negara, meskipun tersedia ruang untuk menterjemahkan penjelasan pasal 4 (1) Undangundang nomor 41/1999, karena batasan pengertian “dikuasasi” oleh negara tidak berarti “dimiliki “ menurut pada pasal tersebut di maksudkan untuk melindungi status kepemilikan hutan hak agar tidak jatuh kepemilikannya menjadi milik negara. Sedangkan pada pasal 4 diakui adanya dua macam status hutan diseluruh Indonesia yaitu hutan negara dan hutan hak, jika hutan hak adalah hutan yang dimiliki oleh individu, kelompok atau perusahaan, maka hutan negara seharusnya juga jelas kepemilikannya. Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara dan tidak adanya pengakuan secara eksplisit status asset tegakan hutan di hutan alam, mempengaruhi pengaturan hak properti atas hutan dan menghasilkan definisi hak properti yang tidak lengkap. Dengan batasan hak properti yang tidak lengkap menyebabkan sulit memposisikan
247
pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna hutan alam. Situasi ini tidak memberi insentif
kepada pemerintah untuk membangun dan memberdayakan institusi
pengelolaan hutan negara tingkat unit managemen (KPHP), akibatnya terjadi kekosongan pranata pengelolaan hutan negara tingkat manajemen unit. Disisi lain pemerintah tidak memberdayakan dirinya untuk menguasai informasi tentang hutan negara secara maksimal, sehingga informasi yang dimiliki oleh pemerintah terbatas dari segi resolusi maupun kemutahirannya. Dalam situasi seperti ini pemerintah mengambil pilihan kebijakan memposisikan pengguna (penerima IUPHHK) sebagai pengelola hutan melalui pemberian kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan sebagai pelaksana pengelolaan hutan, sementara wewenang keputusankeputusan tentang pilihan teknologi, perencanaan, dan alokasi sumberdaya hutan serta perijinan transaksi hasil hutan masih dipegang oleh pemerintah, disamping itu pemerintah menetapkan sanksi-sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban tersebut. Pilihan kebijakan ini memnuntut penguasaan informasi yang mutahir, cepat dan beresolusi tinggi. Posisi pemerintah menjadi dilematis karena sekaligus memegang tiga peran sebagai regulator, wasit dan pemaian dengan memasuki urusan-urusan tingkat mikro dalam pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Peran pemegang kekuasaan yang mengandung konflik kepentingan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengandung perversi yaitu kebijakan yang menguntungkan dirinya atau kelompok tertentu sementara bebannya ditanggung oleh pihak lain. Perannya yang konfik tersebut juga menghasilkan peraturan-peraturan yang konflik.
248
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam menjadi kompleks, disertai dengan peran pemerintah yang konflik dan penguasaan informasi yang lemah, pemerintah tidak mampu menegakkan peraturan-peraturan yang mengatur aspekaspek teknis (mikro), kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi lemah. Kelemahan dan keterbatasan yang ada pada giliran selanjutnya akan melemahkan kapasitasnya sebagai regulator. Dihadapkan pada struktur institusi pengelolaan hutan dan perilaku pemerintah seperti tersebut diatas, perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna dan tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap hasil pengelolaan hutan merespon peraturan dan kewajiban-kewajiban tersebut tidak dengan motivasi yang bersungguh-sungguh untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Sesuai kedudukannya penerima IUPHHK adalah pengguna yang mempunyai kepentingan langsung untuk mengambil manfaat melalui kegiatan produksi jangka pendek, sehingga pilihannya untuk tidak mengambil peran sebagai pengelola adalah pilihan yang rasional. Berdasarkan analisa 40 perusahaan, sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan, kurang dari 10 persen dari perusahaan penerima IUPHHK yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan. Perusahaan cenderung tidak menaati peraturan-peraturan yang diberlakukan, hanya sekitar 10 persen perusahaan yang mempunyai nilai verifier baik. Perilaku ini disamping sebagai respon atas aturan dan kewajiban-kewajiban yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan lagsungnya juga sebagai respon atas kapasitas penegakan yang lemah dan merupakan pilihan rasional. Kapasitas penegakan yang
249
lemah dan adanya konflik kepentingan pada pemerintah dan pada perusahaan memberikan ruang terjadinya moral hazard.
8.1.3. Kinerja Pengelolaan Hutan dan Usaha Hasil uji korelasi antara 24 variabel-variabel dengan potensi hutan, kerusakan tegakan tinggal dan rentabilitas 40 perusahaan contoh menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Tingkat kerusakan hutan yang terjadi cukup tinggi diindikasikan oleh besarnya jumlah perusahaan yang tidak berhasil mencapai nilai baik (87.5%) pada variable kerusakan tegakan tinggal, sedangkan yang mencapai nilai baik hanya 12,5% saja. Perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak sesuai aturan dan rencana sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat merupakan penyebab terjadinya hal ini. Dari segi potensi terdapat 55% perusahaan yang melaporkan kondisi hutannya masih baik, tetapi hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variabel-variabel terkait pengelolaan hutan mempunyai hubungan yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hutan yang baik tersebut terjadi karena faktor lain. Hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa salah satu variabel yang berkorelasi nyata dengan potensi (stok) adalah EVA. Pada dasarnya EVA adalah sebuah sistem informasi yang tersedia dan dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan oleh perusahaan, dengan demikian variabel ini tidak berhubungan langsung dengan pembangunan potensi hutan, melainkan berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk mengenali potensi tegakan hutan. Berdasarkan data ada kecenderungan bahwa korelasi bersifat negatif, jumlah perusahaan yang sistem informasinya buruk tetapi mempunyai potensi hutan
250
baik sebanyak 13 perusahaan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang mempunyai sistem informasi baik mempunyai potensi hutan yang baik, sedangkan perusahaan yang sistemnya buruk dan potensinya buruk berjumlah 4 perusahaan. Korelasi ini memperkuat argumen adanya moral hazard, dimana informasi tentang potensi hutan yang dilaporkan kepada pemerintah cenderung dibuat lebih besar dan didasarkan pada informasi yang berkualitas buruk. Perusahaan-perusahaan yang sistem informasinya baik tidak dapat menunjukkan bahwa potensi hutannya baik. Kemungkinan moral hazard didukung dengan data bahwa dengan potensi yang besar tersebut sebanyak 77,5 % perusahaan mempunyai rentabilitas yang tidak baik, ini berarti bahwa sebagian besar perusahaan melaporkan bahwa perusahaannya mengalami kerugian. Diantara 24 variabel yang diuji, variabel-variabel yang terkait langsung dengan dengan produksi mempunyai hubungan positif nyata dengan potensi dan rentabilitas. Variabel-variabel tersebut adalah yang terkait dengan sumber keuangan untuk membiayai produksi, dan variabel yang terkait dengan persyaratan untuk mendapatkan pengesahan RKT. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa perusahaan tidak berkepentingan dengan pengelolaan hutan, melainkan berkepentingan pada produksi kayu jangka pendek, dan institusi yang berlaku tidak dapat mengarahkan perilaku perusahaan untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan hutan.
8.1.4. Masalah Institusi Berdasarkan kepada hal-hal tersebut diatas maka dapat dikenali masalah institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi yang dapat dikelompokkan
251
kedalam masalah mendasar (pokok), masalah utama dan masalah langsung sebagai berikut : Masalah yang mendasar adalah tidak adanya kejelasan pengakuan status pemilik hutan negara yang timbul akibat penjelasan pasal 4 (1) Undang-Undang no 41/1999, dan adanya ketidak jelasan pengakuan status tegakan hutan alam sebagai asset seperti halnya pengakuan yang diberikan kepada tegakan hutan hasil penanaman. Kedua hal ini menyebabkan pengaturan tentang hak properti hutan tidak dapat didefinisikan secara lengkap sehingga tidak dapat dibangun hak properti yang efektif, dan dampak selanjutnya adalah timbulnya berbagai kompleksitas kebijakan dan pengaturan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang mengandung unsur-unsur penyebab institusi tidak efektif. Disamping itu tidak diikutinya urutan logika pengurusan hutan dan bias pemerintah pada hutan negara menyebabkan pemerintah berkonsentrasi pada dirinya sendiri dan kurang memperhatikan kebijakan publik. Peraturan Pemerintah no. 34/2002 yang lahir premature, menjadi rujukan peraturanperaturan yang lahir kemudian, menempatkan pemerintah berhubungan langsung dengan urusan-urusan tingkat mikro dan kebijakan privat, sementara kebijakan publik kurang mendapat perhatian, dan melebarkan kesenjangan tujuan perubahan institusi, serta menjadi kendala bagi birokrasi untuk melakukan perubahan. Masalah langsung berupa kekosongan pranata pengelolaan hutan negara pada tingkat unit manajemen. Kekosongan pranata ini menyeret pemerintah terlibat dalam urusan-urusan mikro, sehinga pemerintah menjalankan peran sebagai regulator, wasit dan sekaligus pemain. Pilihan peran ini membutuhkan informasi yang akurat dan cepat, namun pemerintah tidak cukup menguasai informasi untuk menjalankan
252
kewenangannya. Keterbatasan penguasaan informasi dan
sumberdaya lainnya
menyebabkan kapasitas penegakan aturan lemah. Sumber masalah adalah perilaku pemerintah dan perusahaan penerima IUPHHK yang bertindak dengan cara-cara yang tidak mengutamakan kepentingan pencapaian tujuan pengelolaan hutan, melainkan lebih banyak berorientasi pada kepentingan produksi jangka pendek.
8.2. Implikasi Kebijakan Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan hutan alam produksi yaitu menghasilkan hutan berkualitas tinggi guna memproduski multiproduk yang memberi manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang no. 41 tahun 1999, maka diperlukan koreksi berbagai kebijakan publik dalam bidang institusi kehutanan, sebagai jawaban atas masalah institusi yang ada. Sebagaimana kesimpulan hasil studi maka pada dasarnya penyelesaian tersebut memerlukan tiga hal (lihat gambar 27) yaitu: pertama adanya batasan tentang hak properti yang lebih lengkap sehingga dapat dibedakan siapa pemilik hutan, siapa pengelola, siapa penyewa dan siapa pemanfaat hutan, sehingga masing-masing pihak dapat mengidentifikasikan diri dan perannya secara tepat; kedua diperlukan pengakuan status asset atas tegakan hutan sebagai alat penyimpan kekayaan yang dapat ditransaksikan ; dan ketiga diperlukan devolusi kewenangan pengelolaan hutan kepada institusi tingkat mikro yang menjalankan pengelolaan hutan berupa alokasi sumberdaya manajemen dan penerapan teknik-teknik pengelolaan hutan pada unit
253
kelestarian hutan di lapangan. Dalam rangka melakukan koreksi kebijakan publik ini, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Setiap kebijakan publik harus mengarahkan agar pengelolaan hutan menghasilkan manfaat yang optimal dan lestari. Untuk itu perlu dipastikan bahwa setiap pengelola hutan negara melakukan tindakan optimasi agar manfaat-manfaat ekologi, sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari pengelolaan hutan merupakan hasil kombinasi yang optimal. Agar dapat dilakukan tindakan optimasi yaitu menghasilkan nilai manfaat yang maksimal dalam situasi kendala-kendala (constranins) tertentu, terdapat beberapa syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi, sebagaimana disajikan pada tabel 52. Setiap pengelola harus dapat mengidentifikasi jenis-jenis multiproduk atau manfaat yang akan diproduksi melalui praktek-praktek pengelolaan hutan, produk apa saja yang termasuk dalam kategori ekologi, sosial dan ekonomi, atau jenisjenis hasil hutan nabati, hewani, benda non-nabati atau jasa hutan yang akan diproduksi untuk ditetapkan sebagai tujuan pengelolaan hutan. Selain itu pengelola perlu mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah produksi setiap jenis produk atau manfaat, oleh karena itu harus tersedia satuan-satuan jumlah produksi setiap jenis, dan tersedia teknologi untuk mengukur jumlah produksi jenis-jenis produk dimaksud. Selanjutnya identifikasi karakterisitik jenis-jenis produk dan mengklasifikasikannya ke dalam jenis yang dapat diperdagangkan dan jenis manfaat yang tidak dapat diperdagangkan. Siapa sajakah pelanggan dari setiap produk dan manfaat yang dihasilkan perlu diketahui, bukan saja untuk keperluan strategi pemasaran melainkan juga
254
diperlukan untuk mengukur kebutuhan yang harus dilayani dan karakter hubungan transaksional
yang
sesuai.
Pelanggan-pelanggan
produk
yang
dapat
diperdagangkan dapat melakukan transaksi jual-beli di pasar, sehingga hubunganhubungan transaksional dapat dilakukan melalui mekanisme pasar. Sedangkan pelanggan-pelanggan yang memanfaatkan barang publik atau produk eksternalitas tidak melakukan transaksi jual beli di pasar, kelompok ini disebut sebagai kelompok penerima manfaat (beneficieries). Hubungan pertukaran (exchange) antara produsen dengan beneficieries memerlukan kebijakan publik yang menyediakan infrastruktur untuk memfasilitasi terjadinya pertukaran tersebut. Manfaat optimal adalah sebuah nilai hasil yang maksimal yang dapat diperoleh dari alokasi sumberdaya pada suatu kondisi dengan kendala tertentu. Berbagai produk dan manfaat yang dihasilkan melalui pengelolaan hutan mempunyai satuan-satuan ukuran yang berbeda-beda, sedangkan optimasi memerlukan sebuah satuan yang dapat mencerminkan nilai dari keseluruhan produk yang dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan valuasi terhadap setiap jenis produk atau manfaat tersebut. Nilai produk-produk yang dapat diperdagangkan mempunyai nilai (harga) yang diterima oleh pasar, sehingga harga produk atau jasa dimaksud sudah dapat mencerminkan nilai dari produk atau jasa itu. Sedangkan terhadap produk atau jasa yang tidak diperdagangkan seperti barang publik atau manfaat eksternalitas diperlukan adanya nilai yang disepakati. Adanya kebijakan publik dalam bentuk standar atau tarif akan membantu mempermudah perhitunganperhitungan dalam rangka optimasi.
255
Tabel 52. Syarat-syarat Perlu Optimasi Pengelolaan Hutan Alam Produks pada Unit Manajemen Lestari Parameter Syarat Perlu Jenis Produk Identifikasi jenis-jenis produk/manfaat (ekologi, sosial dan / Manfaat ekonomi) yang akan diproduksi melalui praktek-praktek pengelolaan hutan. Identifikasi karakteristik daya-jual (tradeability) dari setiap jenis dan manfaat yang diproduksi. Tersedia satuan dan teknik pengukuran jumlah produksi atas setiap jenis produk/ manfaat Pelanggan Identifikasi pasar yang dapat melakukan transaksi jual-beli produk/manfaat yang diperdagangkan (tradeable /marketable) dan penerima manfaat (beneficieries) atas manfaat-manfaat yang tidak diperdagangkan (non tradeable) Valuasi Terdapat nilai atau harga atas setiap jenis produk/manfaat yang diproduksi dari kegiatan pengelolaan hutan, baik yang terbentuk melalui mekanisme pasar maupun kebijakan publik. Biaya Dikenali biaya produksi dan pemasaran atas setiap jenis Produksi produk /manfaat yang diproduksi dan dipertukarkan
Keuntungan maksimal yang diperoleh sebagai hasil optimasi dilakukan dengan memaksimumkan keuntungan dan / atau meminimumkan biaya. Oleh sebab itu struktur dan nilai biaya produksi dan biaya pemasaran setiap jenis produk / manfaat juga harus diketahui.
2. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset merupakan kebijakan publik yang penting untuk mengarahkan perilaku para pihak agar mengelola hutan sesuai dengan perintah undang-undang.
Akan tetapi kebijakan publik tunggal yang hanya
mengakui status tegakan sebagai asset saja, mempunyai potensi timbulnya masalah-masalah baru, seperti hubungan-hubungan transaksional atas hutan negara, penilaian asset, kebijakan harga dan lain sebagainya. Oleh sebab itu
256
kebijakan publik tentang status asset tegakan hutan memerlukan kebijakankebijakan pendukung lainnya, yaitu : Pertama, kejelasan siapa pemilik hutan negara karena hal ini akan berhubungan erat dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada kepemilikan atas asset tersebut. Sebagai gambaran dalam sistem pengusahaan hutan alam dalam bentuk HPH maupun IUPHHK, dimana pengelolaan hutan dilakukan melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan adanya ketentuan yang mengatur bahwa apabila ijin berakhir seluruh asset tidak bergerak menjadi milik negara, maka asset yang berupa tegakan tidak dapat dicatat sebagai asset perusahaan. Sementara pihak pemerintah tidak pernah membukukan nilai asset hutan kedalam neraca keuangannya, karena pemerintah dianggap bukan pemilik hutan. Oleh sebab itu kebijakan ini tidak dapat berlaku efektif. Siapapun yang ditetapkan sebagai pemilik hutan, maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan atas hak kepemilikan tersebut. Kedua : asset hanya bisa diukur apabila ada ukuran nilainya dan ada cara mengukur yang disepakati. Satuan nalai dapat dalam bentuk satuan nilai moneter, tetapi bagaimana menilainya terdapat banyak pendekatan. Pendekatan yang umum dapat dipilih dari akumulasi biaya investasi atau penaksiran nilai asset. Keduaduanya memerlukan aturan main yang menjadi pedoman semua pihak. Ketiga : berkaitan dengan pencapaian tujuan optimasi dan pembentukan asset tegakan hutan, pengelola hutan memerlukan otoritas untuk menentukan pilihan manajemen yang efektif dan / atau efisien untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa kondisi obyektif dari setiap unit manajemen berbeda
257
antara yang satu dengan yang lainnya. Intervensi pemerintah sampai pada tingkat mikro seperti seperti yang telah dilakukan selama ini dalam bentuk pilihan teknologi, perencanaan usaha dan yang lainnya dapat menjadi kendala tersendiri bagi pengelola untuk mencapai tujuan. Keempat : obyek yang dipertukarkan atau ditransaksikan harus teridentifikasi dengan jelas. Apakah obyek yang ditransaksikan tersebut berupa lahan, atau kekayaan alam, atau tegakan hutan, atau manfaat hutan, atau kombinasi sebagian atau keseluruhannya. Setiap model transaksi memerlukan aturan atau bentuk kontrak yang berbeda-beda. Sebagai contoh transaksi dalam bentuk IUPHHK adalah melakukan transaksi manfaat hasil hutan yang berupa kayu, obyek yang ditransaksikan adalah hasil produksi dari pengelolaan hutan yang berupa kayu, sehingga yang diperlukan hanya kontrak jual-beli yang bersifat umum antara lain mencakup kesepakatan harga, volume, kualitas dan pengiriman (delivery) serta jaminan yang disepakati. Transaksi dalam bentuk ijin pemanfaatan kawasan (IUPK) adalah melakukan pertukaran ruang sehingga model kontraktualnya dapat berupa sewa. Sedangkan alih-fungsi hutan, pinjam pakai, tukar guling adalah model transaksi yang mempertukarkan seluruh asset dan potensi manfaat yang ada pada hutan tersebut. Kelima, batasan jangka waktu ijin tidak diberlakukan kepada pemilik asset agar dapat memberikan jaminan kepastian atas kepemilikan hak dan kepastian usaha. Penilaian
dan
sanksi
hendaknya
berdasarkan
indikator
kinerja
yang
mencerminkan bekerjanya fungsi-fungsi hutan yang memberi manfaat secara berkelanjutan.
258
Syarat-syarat perlu dalam menentukan pilihan kepemilikan atas hutan negara harus dipenuhi. Pada dasarnya terdapat tiga strata kepemilikan atas hutan, yaitu milik negara, milik komunal dan milik privat. Dalam hal ini kepemilikan komunal pada prinsipnya adalah bentuk lain dari kepemilikan privat dimana anggota komunitas tersebut menyatukan kehendaknya dan menyepakati aturan internal yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota dalam berhubungan dengan kepemilikan atas hutan. Oleh karena itu opsi kepemilikan dapat disederhanakan menjadi milik negara dan milik privat. Tabel 53 menguraikan syarat-syarat perlu yang harus dipenuhi atas pilihan kebijakan publik tentang kepemilikan hutan negara, yaitu apakah akan dinyatakan sebagai milik negara atau dialihkan menjadi milik privat. Pada tingkat pengurusan pilihan untuk menjadikan kepemilikan atas hutan negara sebagai milik negara diperlukan penafsiran sebagai penegasan atas penjelasan pasal 4 (1) UU. No. 41/1999, dimana penjelasan yang ada masih bias pada perlindungan atas hutan hak, sementara status kepemilikan hutan negara tidak disinggung. Selain itu diperlukan aturan perwakilan yang menetapkan pelaksanaan kepemilikan hutan oleh negara dilaksanakan oleh pemerintah melalui wewenang pengurusan hutan. Kedudukannya sebagai pemilik melekat hak alienation yaitu hak untuk mempertukarkan/ mentransaksikan properti hutan, untuk itu harus tersedia mekanismenya, kebijakan-kebijakan alih fungsi dan pinjam pakai merupakan bentuk pelaksanaan hak alienation.
259
Tabel 53. Syarat Perlu atas Pilihan Kebijakan Kepemilikan Hutan Syarat Perlu Opsi Kepemilikan oleh : Negara Privat Pemerintah membuat Pemerintah membuat kebijakan kebijakan publik, publik, mengatur hal-hal yang mengatur hal-hal yang menjadi urusan bersama dan menjadi urusan bersama menghindari memasuki urusan dan menghindari privat memasuki urusan privat Diperlukan penafsiran Diperlukan penafsiran yang pengertian “dikuasai tidak konstitusional atas makna berarti dimiliki” pada UU dikuasai dalam “bumi dan Pengurusan 41/1999 seluruh kekayaan alam yang dan terkandung di dalamnya dikuasi Kepemilikan oleh negara” hutan Pemerintah menjadi wakil Diperlukan mekanisme transfer bagi seluruh rakyat kepemilikan dari negara menjadi Indonesia sebagai pemilik milik privat, apa saja yang hutan negara ditransaksikan, kualifikasi penerima, dan syarat-syarat serta perjanjian lainya sebagai jaminan atas peruntukannya sebagai hutan Tersedia mekanisme Terdapat jaminan hak transfer transfer atas hutan negara atas hutan Tersedia unit-unit Unit pengelolaannya memenuhi pengelolaan hutan yang syarat kelestarian memenuhi syarat terjadinya kelestarian sumberdaya dan kelestarian hasil Terdapat entitas yang ber- Terdapat entitas yang tanggung jawab secara bertanggung jawab secara ope-rasional mengelola operasional untuk mengelola Pengelolaan hutan hutan Hutan Entitas pengelola hutan Entitas pengelola hutan mempunyai hak-hak : to mempunyai hak-hak : to access access dan withdrawal, to dan withdrawal, to exclude, to exclude, to manage dan manage dan hak untuk mengatur hak untuk mengatur hubungan-hubungan hubungan-hubungan transaksional atas produk dan transaksional atas produk manfaat hasil pengelolaan dan manfaat hasil pengelolaan Hirakhi
260
Transaksi produk diperdagangkan dapat dilakukan dengan mekanisme pasar Pemanfaatan Tersedia mekanisme Hutan transaksi atas jasa hutan yang tidak diperdagangkan
Transaksi produk yang dapat diperdagangkan dapat dilakukan dengan mekanisme pasar Pemerintah memfasilitasi pemberian kompensasi / insentif kepada pengelola hutan atas produk jasa manfaat
Jika kepemilikan akan diberikan kepada privat, diperlukan konfirmasi makna konstusi yang menyatakan bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Selain itu mekanisme transfer dari negara kepada privat harus disediakan, dan jaminan tentang penggunaan lahan sebagai hutan dapat terjaga, negara harus dapat menjamin hak transfer atas hutan-hutan tersebut kepada pihak lain. Pada tingkat pengelolaan memerlukan kejelasan unit pengelolaan, keberadaan entitas atau lembaga yang bertanggung jawab mengelola, dan jaminan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikannya. Pada tingkat pemanfaatan, kepemilikan oleh pemerintah memerlukan mekanisme transaksi produk yang tidak diperdagangkan. Sedangkan pada opsi kepemilikan oleh privat diperlukan mekanisme insentif atau kompensasi terhadap produksi barang publik dan pengelolaan eksternalitas.
3. Devolusi atau penyerahan kewenangan pengelolaan dari pemerintah kepada entitas pengelola hutan diperlukan bukan saja karena pengelolaan hutan alam merupakan wilayah quasi publik, mempunyai kekhasan setempat (local spesifik) melainkan juga untuk memberikan fleksibilitas dalam memilih teknologi dan alokasi
261
sumberdaya
sesuai
dengan
tujuan
dan
kondisi
masing-masing
lokasi.
Kedudukannya sebagai pengelola maka perlu diberikan wewenang akses dan memanen,
mengeksklusi
dan
mengelola.
Dalam
rangka
melaksanakan
wwewenang mengelola, ia harus dapat mengalokaikan sumberdaya dan menentukan pilihan teknologi yang paling tepat. Sedangkan kewenangan untuk mengekslusi memugkinkan pengelola menjalin hubungan-hubungan kontraktual pemanfaatan hasil hutan dengan pihak lain. Devolusi akan efektif dilaksanakan apabila dua masalah terdahulu sudah dapat diatasi. Pemerintah membatasi diri pada fungsi-fungsi publik yaitu pengelolaan hutan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi, pengurusan hutan, dan penegakan aturan. Devolusi memerlukan kemampuan kontrol yang kuat, oleh sebab itu perintah undang-undang untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan perlu diberdayakan. Terhadap hutan negara pengelolaan hutan tingkat unit dapat diberikan kepada Badan Usaha dalam bentuk persero dimana pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas, dan sisanya diberikan kepada publik. Pembentukan unit pengelolaan hutan hendaknya mempertimbangkan skala ekonomis, agar unit-unit ini dapat menjadi unit usaha yang mandiri. Kemandirian ini diperlukan guna menghindari terjadinya kooptasi pengelolaan hutan secara nasional oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat menyebabkan pengelolaan hutan tidak efektif mencapai tujuan optimasi manfaat.
262
8.3. Saran Penelitian Lanjutan Untuk mendukung pelaksanaan perubahan orientasi pengelolaan hutan menuju pengelolaan sumberdaya hutan secara keseluruhan, diperlukan berbagai penenlitian antara lain : 1. Selama 10 tahun terakhir perubahan sulit dilaksanakan dengan sempurna, untuk memfasilitasi terjadinya perubahan selanjutnya perlu diketahui faktor-faktor penyebab resistensi atas perubahan selain masalah struktural yang telah diketahui dari penelitian ini, perlu pula di dalami motivasi dan hambatan lain yang menyebabkan para pihak sulit menjalankan perubahan.
2. Perubahan kebijakan harus pula mempertimbangkan kapasitas untuk menanggung beban atas perubahan itu sendiri, untuk itu perlu diketahui beban yang akan timbul sebagai ongkos dari perubahan disamping manfaat yang akan diperoleh. Penting pula untuk dapat diidentifikasi siapa yang akan menanggung ongkos perubahan, agar dapat diformulasikan strategi perubahan yang paling rasional.
3. Inti dari perubahan adalah optimasi pengelolaan hutan, untuk itu diperlukan model-model optimasi pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan (KPHP), model optimasi pengelolaan hutan tingkat wilayah kabupaten dan model optimasi pengelolaan hutan tingkat wilayah provinsi atau pulau. Model-model tersebut sampai dengan saat ini belum dimiliki oleh pemerintah maupun pemerintah daerah.
263
4. Optimasi juga memerlukan perhitungan nilai hutan, untuk itu model valuasi hutan produksi yang memberikan nilai pada seluruh kekayaan yang ada di dalam hutan produksi, nilai barang publik dan ekternalitasnya. Model-model ini diperlukan untuk menghasilkan standar valuasi pada tingkat nasional dan wilayah, sebagai bahan kebijakan standardisasi valuasi hutan.
5. Perubahan orientasi dari kayu ke sumberdaya hutan memerlukan teknologi pengelolaan hutan yang berbeda. Sistem silvikultur yang selama ini berlaku adalah teknologi yang dikembangkan untuk keperluan produksi kayu, untuk itu sistem ini perlu diperkaya dengan teknik konservasi tanah dan air dan konservasi alam.
6. Standar akuntansi kehutanan perlu disempurnakan, oleh sebab itu diperlukan pengetahuan-pengetahuan untuk memberikan justifikasi pada arah perubahan yang seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA Abeng, T. 1996. Manajemen Suharto: Suatu Fenomena. Dalam Dwidjowijoto, (ed) Manajemen Presiden Suharto. Yayasan Bina Generasi Bangsa, Jakarta. Angelsen, A. and D. Kaimowitz. 1999. Rethinking the Causes of Deforestation : Lessons from Economic Models. World Bank Research Observer, 14 (1) : 73-98. Angelsen, A. 2009. Realizing REDD+, National Strategy and Policy Option. CIFOR, Bogor. Aoki, M. 2000. Institutional Evolution as Punctuated Equilibria. In Claude Menard (ed). Institutions, Contracts and Organizations. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. 2004. Masalah Pondasi Pembangunan Kehutanan Indonesia. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Jakarta. Ascher, W. 1993. Political Economy and Problematic Foretry Policies in Indonesia : Obstacle to Incorporating Sound Economics and Science. Centre for Tropical Conservation, Duke University, Durham, NC. Beattie, B.R. and C.R. Taylor. 1985. The Economics of Production. John Wiley and Sons, Singapore. Benoit A.A. and R. Weber. 2001. Transaction Cost Theory, The Resource Based View, and Information Technology Sourcing Decision : A Reexamination of Lacity et al’s Findings, University of Queensland, Brisbane. Borealforest.
2010.
Sweden-Forest
and
Forestry.
Dokumen diunduh dari Http://www.borealforest.org/world/world_swewden.htm. pada tanggal 14 Mei 2010.
Brander, J. A. and M.S. Taylor. 1998. “Open Access Renewable Resources:Trade and Trade Policy in a Two-CountryModel.” Journal of International Economics. 44 (3). Casson A.C., A. Setyarso, M. Boccucci, dan D.W. Brown. 2006. Upaya Penanggulangan Pembalakan Liar dan Peredaran Kayu Illegal di Indonesia. WWF Indonesia, Wold Bank, DFID Multi Stakeholder Forestry Program, Jakarta CIFOR dan DFID. 2000. Sintesa Diskusi : Dialog Berbagai Pihak Mengenai Issue Kritis yang dihadapi Sektor Kehutanan, “ Mencari Pijakan yang Sama”. CIFOR, Bogor Coase, R. H. 1998. The New Institutional Economics. American Economic Review, 88 (2), 72-4.
264
Costanza, R., B.S. Low, E.Ostrom, and J. Wilson. 2001. Ecological Economic Series : Institutions, Ecosystems and Sustainability. Lewis Publishers, Washington, DC. Darusman, D. and Bahruni. 2004. Economic Analysis of Sustainable Forest Management at Forest Management Unit Level. Association of Indonesion Forest Concession Holders, Jakarta. Departemen Kehutanan.1999. Hasil Pemikiran Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan, Jakarta -----------------------------. 2009. Laporan Akuntabilitas Departemen Kehutanan Tahun 2008. Departemen Kehutanan, Jakarta ----------------------------. 2010a. Daftar Nama IUPHHK yang dicabut periode tahun 2004 – 15 Februari 2010. Departemen Kehutanan, Jakarta. ----------------------------. 2010b. Daftar Nama IUPHHK yang telah mendapat Peringatan, Bulan Februari 2010. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dunn, W.N. 2004. Public Policy Analysis : An Introduction. Prentice Hall, New Jersey. Dye, R.T. 1995.Understanding Public Policy. Prentice Hall, New Jersey. Ekowaluyo, H. 2000. Pokok-pokok Pikiran Penangangan Industri Kayu dalam Status Kredit Bermasalah : Prespektif Pemerintah. Prosiding Seri Lokakarya 1. Moratorium Konversi Hutan Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu Sarad Hutang. Badan Planologi Kehutanan dan PerkebunanNRM/EPIQ Program (USAID), Jakarta. Ericsson B., B. Hedlund, and B. Thalin. 1992. Forestry Planning at National Level and Company Level, and Aerial Survey Technique. Management of Forest and Wood Inudstries. The Swedish University or Agriculture and Sciences, Upsala. Fukuyama, F. 1995. The End of History and The Last Man. Free Press, New York. ----------------. 2005. Memperkuat Negara.Terjemahan. Gramedia/Freedom Institute, Jakarta. Gaebler, T. and P. Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy : The Five Strategy for Reinventing Government. Addison Wesley, Massachusetts. Goldman, I. 2000. Micro to Macro : Policies and Institution for Empowering the Rural Poor. WWW. Transport.links.org. Downloaded January 5’th, 2010. Hampton J.J. 1989. Financial Decision Making. Concepts, Problems, and Cases. Fourth Edition. Prentice-Hall International Editions, New Jersey. Hayami, Y. and V.W. Ruttan. 1985 Agriculture Development: An International Perspective. Baltimor MD. The Johns Hopkins University Press, London
265
Hirakuri, S.R. 2003. Can Law Save The Forest ? : Lesson from Finland and Brazil. CIFOR, Bogor Hodgson, G. M. 1998. Economics and Institution. Polity Press, Oxford. Ikatan Akuntan Indonesia. 1994, Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat, Jakarta Ismanto, A. D. 1993. Legal Case for Social Forestry in the Production Forest of Indonesia. East West Center, Honolulu. ------------------- . 2002. Kajian Kebijakan Hutan Tanaman dalam Rangka Meningkatkan Daya Tarik Investasi. Departemen Kehutanan, Jakarta. Jepperson, R. L. 1991. Institution, Institutional effects, and institutionalization. In The New Institutionalism in Organizational Analysis. Chicago University Pers, Chicago. Kartodiharjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengelolaan Hutan Alam Produksi melalui kebijaksanaan Penataan Institusi. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ------------------. 1999. Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Pustaka Latin, Bogor -----------------, S. Astana, H. K. Reza, dan A. D. Ismanto. 2004. Masalah pondasi Pembangunan Kehutanan Indonesia. Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia, Jakarta Mankiw, N.G. 2000. Macroeconomics. Worth Publisher, New York. Menard, Cl. 2000. Ronald H Coase and The Emergence of a New Approach to Economics. In Menard (Ed). Institutions, Contracts and Organizations. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts. Neuman, W.L. 1997. Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches. Third Edition. Allyn and Bacon, Boston. Nilsson, N.E. 1990. National Atlas of Sweden : The Forest. SNA Publishing, Stockholm University, Stockholm. North, D. C. 1987. Institution, Transaction Cost and Economic Growth. In Hendrik Van Berg (2001). Economic Growth and Development. Mac Graw Hill, Singapore. ------------- 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Pres, Cambridge. --------------. 2000a. Understanding Institutions. In Menard (ed). Institutions, Contracts and Organizations. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts.
266
--------------, 2000b. A Revolution in Economics. In Menard (ed). Institutions, Contracts and Organizations. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts. Nugroho, R. 2008. Public Policy. PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta Osborn, D. dan P. Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Pusat Pengembangan Manajemen, Jakarta. Pindyck. R. S. and D. L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Prentice Hall International, Inc, Singapore. Richards, M. 1999. Internalizing the Externalities of Tropical Forestry : A review of Inovative Financing and Insentive Mechanism. Overseas Development Institute, London Rutherford, M. 1994. Institutions in Economics: The Old and the New Institutionalism. Cambridge University Press, Cambridge. SAS Institute Inc. 1990. SAS/STST Guide for Personal Computers, Version 6 Edition. SAS Institute Inc, Cary, NC. USA Scott, W.R. 2008. Institution and Organization. SAGE publication, Singapore. Sewel, W. H.Jr. 1992. A Theory of Structure : Duality, Agency, and Transformation. American Journal of Sociology 98:1-29. Sampson, G. P. 2000. Trade, Environment, and the WTO : The Post Seattle Agenda. Policy Essay No. 27. Washington D.C. Schlager dan E. Ostrom. 1992. Property Right Regimes and Natural Resources : A Conceptual Analysis. Land Economic 68(3) :249-262. Skocpol, T. 1985. Bringing the State Back in : Strategies of analysis in current research. In the Institution and organization by W Richard Scott. 2008. SAGE publication, Singapore. Skogsstyrelsen. 1994. Swedish Forestry Law. Swedish National Forestry Board, Stockholm. Stiglitz, E.J. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company, New York. Tietenberg, T. 1992. Environmental and Natural Resource Economics. Harper Collins Publisher, New York Todaro, M. P. 1997. Economic Development. Sixth Edition. Longman, d New York Wells,M. 1992. Biodiversity Concervasion, Affluence and Poverty : Mismatched Cost and Benefits and Efforts to Remedy Them. AMBIO, 21 (3): 237-243.
267
Werin, L. 2000. Ronald Coase and The New Microeconomics. In Claude Menard, (ed). Institutions, Contracts and Organizations. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts. Williamson, O. E. 1985. The Economics Institutions of Capitalism. Macmillan Press, New York ---------------------. 2000. Ronald Harry Coase : Institutional Economist/institution Builder. In Claude Menard, (ed). Institutions, Contracts and Organizations. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts. Van den Berg, H. 2001. Economic Growth and Development. Mac Graw Hill-Irwin, Singapore. Yeager, T. J. 1999. Institutions, Transition Economies, and Economic Development. Political Economy of Global Interdependence, Oxford Yin. R., Jintao XU and Zhou, L. 2003. Building Institution for Markets : Experiences and Lessons From China’s Rural Forest Sector. Oxford.
LAMPIRAN
269 Lampiran 1. Daftar Nama Perusahaan Contoh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Provinsi
Nama Perusahaan
Aceh Gorontalo Kalimantan Barat
Alas Helau Sapta Krida Kita Bakti Dwipa Kariza Toras Banua Sukse Harapan Kita Utama Kalimantan Tengah BCT Fitamaya Asmaparma Dasa Intiga Intrado Jaya Intiga Sindo Lumber Pandujaya Gemilang Agung Amprah Mitra Jaya Putra Dayak Jaya Graha Sentosa Permai Lestari Damai Indah Timber Austral Byna Kalimantan Timur ITCI Gunung Gajah Abadai Triwira Asta Bharata Darusalam Utama Damai Indah Timber
Maluku Utara Papua
Papua Barat
Saulawesi Tengah
Sulawesi Utara Sumatra Barat
INHUTANI I Civika Wana Lestari Poleko YBT Jayanti Intim MSP TSE Mondialindo Setya Pratama Mamberamo Alas Mandiri Salaki Mandiri Sejahtera Yotefa Sarana Timber Hanurata Salawati Hanurata Fakfak BRR unit 1 BRR unit 2 Mijaraya Sembada Wahana Sari Sakti I Wahana Sari SAkti II Lembah Hijau Semesta Minas Pagai Lumber
Tahun 2009 2008 2009 2009 2008 2009 2009 2008 2008 2009 2009 2009 2009 2009 2008 2008 2009 2008 2009 2009 2008
Luas 152000 57000 11010 24920 40500 124950 43880 170100 51040 76925 49500 77700 24610 44970 10945 294600 283000 81000 51000 21690 49250
2008 54230 2008 53000 2009 86559 2009 70000 2009 94800 2008 244850 2009 94800 2008 295010 2008 79130 2009 182000 2008 51600 2008 80600 2009 72500 2009 37000 2009 48140 2008 68000 2008 32000 2009 34000 2009 83330
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Lampiran 1. Daftar Laporan Hasil Penilaian Kinerja IUPHHK Provinsi Nama Perusahaan Tahun Luas Aceh Alas Helau 2009 152000 Gorontalo Sapta Krida Kita 2008 57000 Kalimantan Barat Bakti Dwipa Kariza 2009 11010 Toras Banua Sukse 2009 24920 Harapan Kita Utama 2008 40500 Kalimantan Tengah BCT 2009 124950 Fitamaya Asmaparma 2009 43880 Dasa Intiga 2008 170100 Intrado Jaya Intiga 2008 51040 Sindo Lumber 2009 76925 Pandujaya Gemilang Agung 2009 49500 Amprah Mitra Jaya 2009 77700 Putra Dayak Jaya 2009 24610 Graha Sentosa Permai 2009 44970 Lestari Damai Indah Timber 2008 10945 Austral Byna 2008 294600 Kalimantan Timur ITCI 2009 283000 Gunung Gajah Abadai 2008 81000 Triwira Asta Bharata 2009 51000 Darusalam 2009 21690 Utama Damai Indah Timber 2008 49250
Maluku Utara Papua
Papua Barat
Saulawesi Tengah
Sulawesi Utara Sumatra Barat
INHUTANI I Civika Wana Lestari Poleko YBT Jayanti Intim MSP TSE Mondialindo Setya Pratama Mamberamo Alas Mandiri Salaki Mandiri Sejahtera Yotefa Sarana Timber Hanurata Salawati Hanurata Fakfak BRR unit 1 BRR unit 2 Mijaraya Sembada Wahana Sari Sakti I Wahana Sari SAkti II Lembah Hijau Semesta Minas Pagai Lumber
2008 54230 2008 53000 2009 86559 2009 70000 2009 94800 2008 244850 2009 94800 2008 295010 2008 79130 2009 182000 2008 51600 2008 80600 2009 72500 2009 37000 2009 48140 2008 68000 2008 32000 2009 34000 2009 83330
270
Lampiran 2. Perbandingan Peraturan Sebelum dan Sesudah Periode Reformasi Sub Sistem Organisasi (1) I A
INSTITUSI Organisasi
B 1
Aturan Main Property Right a. Pemegang HPH/Ijin
Perturan yang berlaku Sebelum Reformasi (*) (2)
Peraturan yang Berlaku Sesudah Reformasi (**) (3)
Organisasi pengelolaan hutan produksi diatur dalam UUPK no 5/1967 dan PP 21/1970, ps 1 ayat 1 Keputusan Menteri Kehutanan No. 23/94
Organisasi pengelolaan hutan diatur dalam ps 22 UU.41/1999 dan dalam Rencana Pengelolaan Hutan (Ps 14, PP. 34/2002)
Ditetapkanj persyaratannya tetapi tidak ditetapkan criteria pihak yang bisa mendapatkan hak (PP 21/1970 ps. Ayat 2)
Ditetapkan persyaratan yang merujuk pada : a. bentuk legal formal badan hokum seperti : Firma, CV, PT, Koperasi b. Kepemilikan modal seperti : Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMD, BUMN c. Perijinan dari instansi berwenang d. Kepemilikan NPWP Ragam pemanfaatan hutan produksi diberikan melalui ijin usaha : a. pemanfaatan kawasan (IUPK) b. pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) c. pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK) d. pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) e. restorasi ekosistem (SK.159/Menhut-II/2004 Hutan bukan asset perusahaan, Ps 34, PP 34/2002 : ijin pemanfaatan pada hutan produksi tidak
Hutan bukan asset pemegang HPH, konsesi HPH selama 20 tahun dan dapat diperpanjang (PP.
271
Sub Sistem Organisasi (1)
b. Pemerintah
2
Batas Juridiksi a. Pemegang HPH/IUPHHK
Perturan yang berlaku Sebelum Reformasi (*) (2) 21/1970, pasal 10 ayat 1)
Hutan alam produksi yang diusahakan pemerintah adalah milik Negara (UUPK pasal 2 ayat 1)
HPH tidak berhak menentukan system silvikultur (TPTI diatur pelaksanaannya berdasarkan
Peraturan yang Berlaku Sesudah Reformasi (**) (3) merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan IUPK, jangka 5 tahun, luas 50 Ha, maks 2 ijin perorang/kab (Ps.35 PP.34/2002) IUPJL, jangka 10 tahun, luas 1000 Ha ha, maks 2 ijin per BU (Ps.35 PP.34/2002) IUPHHK, jangka 55 tahun, luas maks (50000, 100000, 400000) (SK. 05.1/KptsII/2000) dan (Ps.35 PP.34/2002) IUPHHBK, jangka 10 tahun, luas 5000 Ha prov, 20000 Ha Ind) (SK. 05.1/Kpts-II/2000) (Ps.35 PP.34/2002) Apabila berakhir, ijin-ijin tersebut dapat diperpanjang berdasarkan hasil penilaian kinerja (ps 50, PP 34/2002) Semua hutan dikuasai oleh Negara, Negara berwewenang : a. mengatur & mengurus hutan, kawasan, hasil hutan b. menetapkan status sebagai kawasan atau non kawasan hutan c. mengatur dan menetapkan hubungan hokum
Perusahaan menerapkan system silvikiultur yang ditentukan pemerintah (ps 47, PP.34/2002) yaitu TPTI
272
Sub Sistem Organisasi (1)
Perturan yang berlaku Sebelum Reformasi (*) (2) SK Dirjen PH. No. 564/1989) HPH wajib menyusun Rencana Karya Pengusahaan Hutan, Rencana Karya Lima Tahun dan Rencana Karya Tahunan
HPH tidak berhak menjual Hak yang sudah diberikan, kecuali dengan persetujuan Menteri Kehutanan, (diatur dalam SK HPH)
HPH dilarang mengontrakkan kegiatannya (diatur dalam SK HPH)
HPH wajib melaksanakan kegiatan pembinaan desa hutan (SK Menteri Kehutanan No. 69/1995
b. Pemerintah
Mengatur seluruh aspek : 1. Kawasan hutan (PP No. 21/1970 ps 10 ayat 2 2. Produksi (SK Ditjen PH No. 204/1994) 3. Profesionalisme (SK Ditjen PH no 537/1989
Peraturan yang Berlaku Sesudah Reformasi (**) (3) atau TPTJ (SK. 05.1/KptsII/2000) Perusahaan wajib melakukan inventarisasi hutan tingkat IUPHHK dan menyusun Rencana Kerja seluruh jangka waktu, Rencana Kerja Usaha, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan atau bagan kerja Ijin tidak boleh diperjualbelikan, tetapi diperbolehkan melakukan pengalihan saham perusahaan, dengan kesanggupan menanggung kewajiban yang terhutang (SK. 47/Menhut II/2004, dan P.19/Menhut-II/2006 Perusahaan wajib bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dalam bentuk penyertaan saham atau kerjasama usaha pada segmen kegiatan usaha pemanfaatan hutan (ps 42 (7) PP.34/2002), dan SK. 292/Kpts-II/2003 Perusahaan wajib melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, bekerjasama dengan masyarakat melalui pemberian kesempatan usaha (SK.05.01/Kpts-II/2000) Mengatur : Penggunaan Kawasan Hutan, (ps 72, PP.34/2002) Perijinan Pemanfaatan Kawasan Hutan produksi (ps 29, UU.41/1999) Perencanaan Kehutanan sd
273
Sub Sistem Organisasi (1)
Perturan yang berlaku Sebelum Reformasi (*) (2)
Peraturan yang Berlaku Sesudah Reformasi (**) (3) tingkat unit pengelolaan (KPHP/IUPHHK) Jatah Produksi 2005: (SK. 207/Menhut-II/2004) Pengendalian pengelolaan hutan (ps 81-83, PP.34/2002) Peredaran Hasil Hutan (SK.132/Menhut-II/2000 dan 13.1/Kpts-II/2000) Tenaga Professional bidangt Kehutanan (ps 47. PP. 34/2002) Pemerintah dan Daerah Wajib menyelenggarakan bantuan teknis inventarisasi hutan (P.10/Menhut-II/2006, ps 7)
3
Aturan Perwakilan Ditetapkan per unit HPH dengan ketentuan seperti diatur dalam SK HPH
Pemerintah melaksanakan control pelaksanaan kerja HPH : Pemerintah Pusat, Kanwil & Dinas Kehutanan, TKPH)
II
TUJUAN
HPH disamping melaksanakan pemanenan kayu juga harus melaksanakan rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, minimasi dampak negative terhadap lingkungan dan social (diatur dalam setiap
Ditetapkan per unit pengelolaan (KPHP), atau unit pemanfaatan (IUPK, IUPJL, IUPHHK, IUPHHBK) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan control pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan, dengan mengikut sertakan masyarakat. (Ps. 60 UU no. 41/1999) Memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan (ps 23, UU no 41/1999) dengan kewajiban menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya (ps 32, ps 48, UU
274
Sub Sistem Organisasi (1)
Perturan yang berlaku Sebelum Reformasi (*) (2) SK HPH)
Peraturan yang Berlaku Sesudah Reformasi (**) (3) 41/1999)
III SUMBERDAYA MANUSIA
Jumlah tenaga teknis kehutanan diatur pemerintah (SK Ditjen PH no. 537/1989)
Jumlah tenaga teknis kehutanan diatur pemerintah (SK Ditjen PH no. 537/1989), SE. no 11 2006 dan peraturan Menteri P.58/2008 Pemerintah wajib menciptakan kondisi yang mendukung penyelenggaraan diklat kehutanan (ps 55, UU41/1999)
IV TEKNOLOGI DAN INVESTASI
Investasi ditetapkan dalam SK HPH
Wajib menyediakan investasi untuk pelestarian hutan (ps 35, UU 41/1999) dan PP ….. Dunia usaha wajib menyediakan dana investasi untuk Litbang, Diklat, luh (ps 57, UU 41/1999) Ijin peralatan diatur dalam SK. 428/Kpts-II/2003 dan SK.401/Menhut-II/2004 Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat wajib mempublikasikan hasil penelitian dan membangunun system informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan Pemerintah wajib melindungi hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan
Peralatan Eksploitasi di monitor pemerintah
V
INFORMASI Informasi mengenai DAN KONTRAK sumberdaya hutan di gali dan dibiayai oleh pemegang HPH (PP. No. 21 pasal 2
Informasi tentang Standing Stock diperoleh dari inventarisasi hutan 5 tahunan dan tahunan yang
275
Sub Sistem Organisasi (1)
Perturan yang berlaku Sebelum Reformasi (*) (2) ayat 2)
Peraturan yang Berlaku Sesudah Reformasi (**) (3) dilaksanakan oleh pengelola KPHP dan pemegang IUPHHK. (ps 4, P.10/Menhut-II/2006) Pemerintah dan Daerah menyelenggarakan bantuan teknis (ps 4, P.10/MenhutII/2006)
VI LINGKUNGAN
Tata ruang wilayah diatur melalui UU No. 24/92 dan fungsi melalui TGHK Kontribusi pembangunan kehutanan bagi daerah diatur dalam PP. 41/1993 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 271/1993 HPH diwajibkan membangun pabrik pengolahan kayu atau sahamnya dijual kepada pabrik pengolahan kayu (PP21/ 970 dan SK Menhut253/1993)
Tata ruang wilayah diatur melalui UU No. 24/92 dan fungsi melalui TGHK
Perusahaan wajib menjamin pasokan bahan baku industri primer (ps.37.PP.34/2002)
276
Lampiran 2.
Lanjutan
Lampiran 2.
Lanjutan
Lampiran 2.
Lanjutan
Lampiran 2.
Lanjutan
Lampiran 4 Daftar Peraturan Sebagai Bahan Kajian No Tahun 1
2
1999
1999 2002
3 4 5 6
2002 2007
Perihal UNDANG-UNDANG Kehutanan
Nomor 41 tahun 1999
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 6 tahun 1999 Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pamanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan Dana Reboisasi Perencanaan Kehutanan Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pamanfaatan hutan
34 tahun 2002 35 tahun 2002 44 tahun 2004 6 tahun 2007
PERATURAN MENTERI 7 8
1999 1999
2000 9
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
312/kpts-II/1999, 7-051999 309/kpts-II/1999
132/kpts-II/2000, 22-052000
2000
Kriteria dan standar tarif Iuran Pemanfaatan Hutan Kriteria dan standar peredaran dan pemasaran hasil hutan Kriteria dan standar tarif provisi sumberdaya hutan
05.01/Kpts-II/2000, 611-2000 08.1/Kpts-II/2000, 6-112000 09.1/kpts-II/2000, 6/11/2000 11.1/kpts-II/2000, 0611-2000 12.1/kpts-II/2000, 0611-2000 13.1/kpts-II/2000, 0611-2000 14.1/kpts-II/2000
2001
Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan
32/kpts-II/2001
2000 10 11
Tatacara pemberian HPH melalui permohonan Sistem Silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi Pemberlakuan SKSHH sebagai pengganti SKAB,SAKO dan SAHHBK, dan mencabut SK no. 402/kpts-IV/1990 jo 525/kpts-II/1991 dan Keputusn Dirjen PH No. 85/kpts/IVPPHH/98 Kriteria dan Standar Perijinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan di Hutan Produksi Alam Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Produksi Lestari Kriteria dan standar pengelolaan hutan produksi secara lestari
2000 2000 2000 2000 2000
2002 2002 2002 2002
Kriteria dan Standar Tarif Dana Reboisasi
Kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan cara penilaian pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan Tatacara dan persyaratan perpanjangan IUPHHK Kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi yang dapat diberikan IUPHHK pada hutan alam
4795/kpts-2/2002 4796/kpts-2/2002 6885/kpts-II/2002 8171/kpts-2/2002
278
Lampiran 4 Daftar Peraturan Sebagai Bahan Kajian No 1
Tahun 1999
Perihal UNDANG-UNDANG Kehutanan PERATURAN PEMERINTAH Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pamanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan Dana Reboisasi Perencanaan Kehutanan Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pamanfaatan hutan
Nomor 41 tahun 1999
2
1999
3
2002
4 5 6
2002
7
1999
8
1999
9
2000
10
2000
11
2000
12
2000
13
2000
Kriteria dan Standar Perijinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan di Hutan Produksi Alam Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Produksi Lestari Kriteria dan standar pengelolaan hutan produksi secara lestari Kriteria dan Standar Tarif Dana Reboisasi
14
2000
Kriteria dan standar tarif Iuran Pemanfaatan Hutan
15
2000
16 17 18 19 20
2000
Kriteria dan standar peredaran dan pemasaran hasil hutan Kriteria dan standar tarif provisi sumberdaya hutan
08.1/Kpts-II/2000, 611-2000 09.1/kpts-II/2000, 6/11/2000 11.1/kpts-II/2000, 0611-2000 12.1/kpts-II/2000, 0611-2000 13.1/kpts-II/2000, 0611-2000 14.1/kpts-II/2000
2001
Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan
32/kpts-II/2001
2002
4795/kpts-2/2002
21
2002
22
2002
Kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan cara penilaian pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan Tatacara dan persyaratan perpanjangan IUPHHK
2007
PERATURAN MENTERI Tatacara pemberian HPH melalui permohonan Sistem Silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi Pemberlakuan SKSHH sebagai pengganti SKAB,SAKO dan SAHHBK, dan mencabut SK no. 402/kpts-IV/1990 jo 525/kpts-II/1991 dan Keputusn Dirjen PH No. 85/kpts/IV-PPHH/98
6 tahun 1999 34 tahun 2002
35 tahun 2002 44 tahun 2004 6 tahun 2007
312/kpts-II/1999, 705-1999 309/kpts-II/1999 132/kpts-II/2000, 2205-2000
05.01/Kpts-II/2000, 6-11-2000
4796/kpts-2/2002 6885/kpts-II/2002
279
23
2002
Kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi yang dapat diberikan IUPHHK pada hutan alam Sistem Silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi
8171/kpts-2/2002
24
2002
25
2003
Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam Pemberian IUPHHK pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan Penyelenggaraan kerjasama pemegang IUPHHK dengan Kperasi
16/kpts-2/2003
26
2003
27
2003
28 29
2003 2003
Ijin peralatan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam dan atau tanaman atau kegiatan ijin pemanfaatan kayu Perubahan Kepmenhut No. 6887/kpts-II/2002, tentang tatacara pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ijin usaha pemanfaatan hasil hutan, ijin pemungutan hasil hutan dan ijin usaha industri primer hasil hutan
428/kpts-II/2003
30
2003
31
2003
Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan, mencabut SK. No.650/Kpts-II/90 Kriteria Potensi Hutan alam pada hutan produksi yang dapat dilakukan pemanfaatan hutan secara lestari Tatacara penilaian kelangsungan IUPHHK pada hutan alam Tatacara penyerahan dan penerimaan IUPHHK pada hutan alam sebelum ijin berakhir Pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan, mencabut Sk No. 311/kpts-IV/1995; 574/kpts-II/1997, 707/kpts-II/1997 Tatacara penilaian kinerja usaha pemanfaatan hutan kayu pada hutan alam di unit manajemen dalam rangka pengelolaan hutan lestari, mencabut Kepmenhut 4796/kpts-II/2002
87/kpts-II/2003, 1203-2003 88/kpts-II/2003, 1203-2003
32
2003
33
2003
34
2003
35
2003
36
2003
37
2003
Perubahan Kepmenhut N0. 16/kpts-II/2003, tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam
280/kpts-II/2003, 1006-2003
38
2003
39
2003
230/kpts-II/2003, 1407-2003 308/kpts-II/2003
40
2003
Pembentukan KPHP, mencabut Kepmenhut 308/kpts-II/1999 Denda atas keterlambatan pengembalian pinjaman dan penjadwalan kembali pinjaman DR ole perusahaan Jaminan Pasokan Bahan Baku yang berkelanjutan dan rencana pemenuhan bahan baku industri primer, mencbut kepmenhut no. 594/kpts-II/1996
10172/kpts-II/2002
32/kpts-II/2003 292/kpts-II/2003
59/kpts-II/2003, 5-112003
149/kpts-II/2003, 2204-2003 150/kpts-II/2003, 0205-2003 163/kpts-II/2003, 2605-2003 208/kpts-II/2003, 10 juli 2003
326/kpts-II/2003
280
41
2004
42
2004
Tatacara pengenaan penagihan dan pembayaran iuran ijin usaha pemanfaatan hutan pada hutan produksi Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi
43
2004
Penetapan Jatah Produksi
44
2004
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
45
2004
46
2004
47
2004
48
2004
49
2004
50
2004
51
2004
Perubahan SK.126/Menhut-II/2003, Penatausahaan Hasil Hutan Kewajiban membayar pengganti biaya tatabatas dan cintra lansad, bagi perusahaan yang menyerahkan ijinnya Tatacara penetapan PSDH persatuan hasil hutan kayu dan bukan kayu Ijin pembuatan dan penggunaan koridor untuk kegiatan IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman Pencabutan keputusan Menteri Kehutanan No. 523/kpts-2/1997 dan No. 165/kpts-2/1998 Pemberian IUPHHK pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan, dan mencabut Keputusan Menhut no. 32/kpts-II/2003 Perubahan Kepmenhut n0. 428/kpts-II/2003, tentang Ijin peralatan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam dan atau tanaman atau kegiatan ijin pemanfaatan kayu
52
2004
53
2006
54
2006
55
2006
56
2006
57
2006
58
2006
Kriteria Hutan Produksi yang dapat diberikan ijin usaha pemanfatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem Inventarisasi Hutan Produksi Tungkat Unit Pengelolaan Perubahan Permenhut N0.P.15/Menhut-II/2004 tentang IUPHHK pada Hutan Alam Melalui Penawaran Pinjam Pakai Kawasan Tatacara Penghapusan Piutang Macet yang beraasal dari DR dan IHH Perubahan Keputusan /Menhut No. SK47 -II/2004 tentang Tatacara dan Persyaratan Pengambilan Alihan Saham pada perusahaan IUPHHK pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman yang berbentuk PT Perubahan Keputusan /Menhut No. SK149 -II/2004 tentang Tatacara Pengenaan, Penagihan dan Pembayaran IUPHH pada Hutan Produksi
SK 149/Menhut-II/04, 24-05-2004 SK 159/Menhut-II/04, 04-06-2004 SK.207/Menhut-II/04, 14-06-2004 P01/Menhut-II/04, 12-07-2004 279/Menhut-II/04, 208-2004 P06/Menhut-II/04, 20-08-2004 P09/Menhut-II/04, 16-09-2004 SK352/Menhut-II/04, 28-09-2004 P.11/Menhut-II/04, 29-09-2004 P.15/Menhut-II/04, 15-10-2004 SK.401/MenhutII/2004, 18-10-2004
P.18/Menhut II/2004, 19-10-2004 P.10./Menhut-II/06, tanggal 24-02-2006 P.13/Menhut-II/06, tanggal 09-03-2006 P.14/Menhut-II/06, tanggal 10-03-2006 P.15/Menhut-II/06, tanggal 16-03-2006 P.19/Menhut-II/06, tanggal 04-04-2006
P.57/Menhut-II/06, tanggal 29-08-2006
281
59
2006
Penatausahaan haasil hutan yang berasal dari hutan negara Perubahan P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan haasil hutan yang berasal dari hutan negara Perubahan Permenhut N0.P.14/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Krietria dan Standar Inventarisasi Hutan
P.55/menhut-II/06,
60
2006
61
2006
62
2006
63
2006
Perubahan Keputusan Menhut No. SK450/MenhutII/05, tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 445/Kpts-II/03 tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 124/Kpts-II/03, tentang Juknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan ….. PSDH
64
2006
Perubahan Keputusan Menhut No. SK451/MenhutII/05, tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 446/Kpts-II/03 tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 128/Kpts-II/03, tentang Juknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan ….. DR
P.80/Menhut-II/06, tanggal 29-12-06
65
2007
Petunjuk Teknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan dan Pemayaran PSDH dan DR, mencabut kepmenhut : 124/kpts-II/2003 jo No. 445/kptsII/2003; No. 450/menhut-II/2005; No. 79/MenhutII/2006; 128/Kpts-II/2003 jo 446/kpts-II/2003; No. 451/Menhut-II/2005 dan No. 80/Menhut-II/2006
P18/Menhut-II/07, 12-05-2007
66
2007
Tatacara Pemberian ijin usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam produksi melalui permohonan, mencbut P..15/menhut-II/2004 jo P.13/Menhut-II/2006
P.20/Menhut-II/2007, 06-06-2007
67
2007
Tatacara pengenaan, pemungutan dan pemnayaran Iuran Usaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi, mencbut P.149/menhut-II/2004
P.32/menhut-II/2007, 24-08-2007,
68
2008
Tatacara pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi melalui permohonan, mencabut SK. No. 159/menhut-II/2004 dan P.18 Menhut-II/2004
61/MenhutII/2008,28-10-2008
P.63/Menhut-II/06, 17 Oktober 2006 P.64/Menhut-II/06, tanggal 17-10-2006 P.67/Menhut-II/2006, 06-11-2006 P.79/Menhut-II/06, tanggal 29-12-2996
24
2002
2003 25 26 27 28
2003 2003
29
2003 30 2003 2003 32 33 34
2003 2003 2003
35 2003 36 2003 37 38
2003 2003
39 2003 40
2004 41
10172/kpts-II/2002
Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam 16/kpts-2/2003 Pemberian IUPHHK pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan 32/kpts-II/2003 Penyelenggaraan kerjasama pemegang IUPHHK dengan Kperasi 292/kpts-II/2003
2003 2003
31
Sistem Silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi
Ijin peralatan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam dan atau tanaman atau kegiatan ijin pemanfaatan kayu Perubahan Kepmenhut No. 6887/kpts-II/2002, tentang tatacara pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ijin usaha pemanfaatan hasil hutan, ijin pemungutan hasil hutan dan ijin usaha industri primer hasil hutan Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan, mencabut SK. No.650/Kpts-II/90 Kriteria Potensi Hutan alam pada hutan produksi yang dapat dilakukan pemanfaatan hutan secara lestari Tatacara penilaian kelangsungan IUPHHK pada hutan alam Tatacara penyerahan dan penerimaan IUPHHK pada hutan alam sebelum ijin berakhir Pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan, mencabut Sk No. 311/kpts-IV/1995; 574/kpts-II/1997, 707/kpts-II/1997 Tatacara penilaian kinerja usaha pemanfaatan hutan kayu pada hutan alam di unit manajemen dalam rangka pengelolaan hutan lestari, mencabut Kepmenhut 4796/kpts-II/2002 Perubahan Kepmenhut N0. 16/kpts-II/2003, tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam Pembentukan KPHP, mencabut Kepmenhut 308/kptsII/1999 Denda atas keterlambatan pengembalian pinjaman dan penjadwalan kembali pinjaman DR ole perusahaan Jaminan Pasokan Bahan Baku yang berkelanjutan dan rencana pemenuhan bahan baku industri primer, mencbut kepmenhut no. 594/kpts-II/1996
Tatacara pengenaan penagihan dan pembayaran iuran ijin usaha pemanfaatan hutan pada hutan produksi
428/kpts-II/2003
59/kpts-II/2003, 5-112003 87/kpts-II/2003, 12-032003 88/kpts-II/2003, 12-032003 149/kpts-II/2003, 22-042003 150/kpts-II/2003, 02-052003 163/kpts-II/2003, 26-052003
208/kpts-II/2003, 10 juli 2003
280/kpts-II/2003, 10-062003 230/kpts-II/2003, 14-072003
308/kpts-II/2003
326/kpts-II/2003
SK 149/Menhut-II/04, 24-05-2004
42 43 44 45
2004 2004 2004 2004 2004
46 47
2004 2004
48 49
2004 2004
50 2004 51 2004 52 53
2006 2006
54 55 56
2006 2006
2006 57 2006 58 59
2006 2006
60 61
2006
Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi Penetapan Jatah Produksi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Perubahan SK.126/Menhut-II/2003, Penatausahaan Hasil Hutan Kewajiban membayar pengganti biaya tatabatas dan cintra lansad, bagi perusahaan yang menyerahkan ijinnya Tatacara penetapan PSDH persatuan hasil hutan kayu dan bukan kayu Ijin pembuatan dan penggunaan koridor untuk kegiatan IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman Pencabutan keputusan Menteri Kehutanan No. 523/kpts2/1997 dan No. 165/kpts-2/1998 Pemberian IUPHHK pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan, dan mencabut Keputusan Menhut no. 32/kpts-II/2003 Perubahan Kepmenhut n0. 428/kpts-II/2003, tentang Ijin peralatan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam dan atau tanaman atau kegiatan ijin pemanfaatan kayu Kriteria Hutan Produksi yang dapat diberikan ijin usaha pemanfatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem Inventarisasi Hutan Produksi Tungkat Unit Pengelolaan Perubahan Permenhut N0.P.15/Menhut-II/2004 tentang IUPHHK pada Hutan Alam Melalui Penawaran
SK 159/Menhut-II/04, 04-06-2004 SK.207/Menhut-II/04, 14-06-2004 P01/Menhut-II/04, 1207-2004 279/Menhut-II/04, 2-082004 P06/Menhut-II/04, 2008-2004 P09/Menhut-II/04, 1609-2004 SK352/Menhut-II/04, 28-09-2004 P.11/Menhut-II/04, 2909-2004 P.15/Menhut-II/04, 1510-2004
SK.401/MenhutII/2004, 18-10-2004 P.18/Menhut II/2004, 19-10-2004 P.10./Menhut-II/06, tanggal 24-02-2006 P.13/Menhut-II/06, tanggal 09-03-2006 P.14/Menhut-II/06, tanggal 10-03-2006 P.15/Menhut-II/06, tanggal 16-03-2006
Pinjam Pakai Kawasan Tatacara Penghapusan Piutang Macet yang beraasal dari DR dan IHH Perubahan Keputusan /Menhut No. SK47 -II/2004 tentang Tatacara dan Persyaratan Pengambilan Alihan Saham pada perusahaan IUPHHK pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman yang berbentuk PT Perubahan Keputusan /Menhut No. SK149 -II/2004 tentang Tatacara Pengenaan, Penagihan dan Pembayaran IUPHH pada Hutan Produksi Penatausahaan haasil hutan yang berasal dari hutan negara
P.55/menhut-II/06,
Perubahan P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan haasil hutan yang berasal dari hutan negara Perubahan Permenhut N0.P.14/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
P.63/Menhut-II/06, 17 Oktober 2006 P.64/Menhut-II/06, tanggal 17-10-2006
P.19/Menhut-II/06, tanggal 04-04-2006 P.57/Menhut-II/06, tanggal 29-08-2006
2006
P.67/Menhut-II/2006, 06-11-2006
64
Krietria dan Standar Inventarisasi Hutan Perubahan Keputusan Menhut No. SK450/Menhut-II/05, tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 445/KptsII/03 tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 124/Kpts-II/03, tentang Juknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan ….. PSDH Perubahan Keputusan Menhut No. SK451/Menhut-II/05, tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 446/KptsII/03 tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 128/Kpts-II/03, tentang Juknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan ….. DR
65
Petunjuk Teknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan dan Pemayaran PSDH dan DR, mencabut kepmenhut : 124/kpts-II/2003 jo No. 445/kpts-II/2003; No. 450/menhutII/2005; No. 79/Menhut-II/2006; 128/Kpts-II/2003 jo 446/kpts-II/2003; No. 451/Menhut-II/2005 dan No. P18/Menhut-II/07, 1280/Menhut-II/2006 05-2007
62
2006 63
2006
2007
P.79/Menhut-II/06, tanggal 29-12-2996
P.80/Menhut-II/06, tanggal 29-12-06
67
Tatacara Pemberian ijin usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam produksi melalui permohonan, mencbut P..15/menhut-II/2004 jo P.13/Menhut-II/2006 Tatacara pengenaan, pemungutan dan pemnayaran Iuran Usaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi, mencbut P.149/menhut-II/2004
68
Tatacara pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi melalui permohonan, mencabut SK. No. 61/Menhut-II/2008,28159/menhut-II/2004 dan P.18 Menhut-II/2004 10-2008
2007 66 2007
2008
P.20/Menhut-II/2007, 06-06-2007 P.32/menhut-II/2007, 24-08-2007,
Lampiran 5. Pemetaan Penempatan Kewenangan dari Peraturan Menteri Substansi Aturan KP (1) Standardisasi dokumen angkutan (2) Penerbit dokumen (3) Pemakai dok (4) Permohonan IUPHHK (5) Ijin lapor hasil survey (6) Penyusunan RKD,RKL, RKT, (7) Pengesahan RKD,RKL,RKT (8) standard kegiatan (9) Standar Pemanfaatan (10) Standar Pengelolaan KPHP (11) Standar tarif & prosedur (12) Standar Tarif & Prosedur (13) Standar & Prosedur (14) Standar & Prosedur (15) Pilihan teknologi operasional (16) Penyusunan RKU,RKL,RKT (17) Syarat Pemohon IUPHHK, (18) Rekomendasi Kelayakan Areal (19) Rekomendasi kemampuan pemohon.(20) Pengumuman Lelang,(21) Pengujian Kelayakan (22) Penetapan pemenang (23)Pembatalan pemenang (24) Penerbitan IUPHHK (kontrak/transaksi komoditas)
Tingkat Urusan Lin LinKP Kab
(3) (4) (5) (6) (7)
LinPro (1) (2) (8)
Letak Kewenangan KP Bup Gub (3) (4) (5) (6) (7)
(2)
(1)
(4) (5) (6) (7)
(4) (5) (6) (7)(8)
(9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24)
(16) (18) (19)
Ment
(16) (18) (19)
(9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)( 20) (21)( 22) (23)( 24)
(25) Penilaian BAP pelanggaran (25) (26) Standar Prosedur Pelatihan penguji & pengawas (27) Standar dan Prosedur Pengukuran
(26)( 27)
(25) (26)( 27)
(28) Kriteria Potensi minimal
(28)
(28)
(29) Pembentukaan Kelompok krja penilai IUPHHK (30) Keputusan hasil penilaian
(29) (30)
(29) (30)
(31) Pembentukan Kelompok Kerja Audit Komprehensif (32) Keputusan (33) Standarisasi kelompok jenis kayu (34) Standar penilaian (35) Penetapan LPI mampu (36) Tim Evaluasi (37) Keputusan Hasil Penilaian (kepentingan indicidual KPHP)
(31) (32) (33) (34) (35)
(31) (32) (33) (34) (35) (36) (37) (38) (39) (40) (41)
(36) (37)
(38) Standar & Kriteria Pembentukan KPHP, (39) Penyusunan Rancang Bangun KPHP (40) Penetapan KPHP (41) Standar dan Prosedur pengembalian pinjaman DR (42) Prosedur pelaksanaan dan pengawasan kebijakan
(39) (40)
(43) Standar dan Prosedur pengenaan & penagihan Iuran IUPHK. (44) Pejabat Penagih
(44)
(45) Standar & Prosedur restorasi ekosistem. (46) Perijinan restorasi (47) Penetapan JPT Nasional (48) Alokasi JPT (49) Alokasi JPT Perusahaan)
(46)
(50) Prinsip-prinsip HKm (51) Perijinan HKm (52) Standarisasi dokumen SKSHH (53) Penanggung jawab distribusi di provinsi (54) Standar biaya ganti kerugian. (55) laporan bukti pembayaran (56) Prosedur Penetapan PSDH
(49)
(39) (40)
(39) (40)
(3) (39) (40) (41)
(42)
(42)
(42)
(44)
(44)
(43)( 44)
(44)
(42)
(42)
(44)
(43)( 44)
(45) (48)
(47)
(51)
(50)
(55)
(52)( 53) (54) (56)
(48)
(51)
(45)( 46) (47)( 49) (50)
(53)
(52) (54)( 55) (56)
283
(57) Ijin Koridor (58) Syarat Pemohon IUPHHK, (59) Kriteria Areal (60) Rekomendasi areal & kemampuan pemohon.(61) Pengumuman Lelang,(62) Pengujian Kelayakan (63) Penetapan pemenang (64)Pembatalan pemenang (65) Penerbitan IUPHHK
(57) (60) (61) (62) (63) (64) (65)
(66) Pilihan Teknologi (67) Ijin Penggunaan alat
(66)( 67)
(57)
(57)
perubahan tata waktu (74) Pernyataan tidak keberatan pemegang IUPHHK (75) Rekomendasi Teknis Bupati, gubernur (76) Kajian teknis (77) Biaya ditanggung pemohon (78) Monev Tahunan oleh provinsi (79) Monev 5 tahunan oleh provinsi, (80)Persetujuan
284
(60)
(60)
(67)
(68) Kriteria Hutan Produksi untuk IUPHHK Restorasi (69) KPHP/IUPHHK wajib inventarisasi hutan (70) Standar metoda (71) Pemerintah, Provinsi, Kab menyelenggarakan bantuan teknis (72) pengelolaan PUP (73) Pengawasan oleh Menteri
(57) (58) (59)
(68) (69) (72)
(74) (76) (77) (78) (79) (80)
(75) (76) (77) (78) (79) (80)
(75) (76) (77) (78) (79) (80)
(75) (76) (77) (78) (79) (80)
(58)( 59)(6 1)(62 ) (63)( 64)(6 5) (66)( 67) (68)
(69) (72)
(71)
(71)
(70)( 71)(7 3)
(74)
(75)
(75)( 78)(7 9)
(77)( 80)
Lampiran
No
Daftar Peraturan Sebagai Bahan Kajian
Tahun
Perihal
Nomor
Substansi
Tingkat urusan Individual Lintas KPHP/Binis KPHP
1
1999
1999 2
2002 3 4 5 6
7 8
2002 2007
1999 1999
2000 9
2000
10
UNDANG-UNDANG Kehutanan
PERATURAN MENTERI Tatacara pemberian HPH melalui permohonan Sistem Silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi Pemberlakuan SKSHH sebagai pengganti SKAB,SAKO dan SAHHBK, dan mencabut SK no. 402/kpts-IV/1990 jo 525/kpts-II/1991 dan Keputusn Dirjen PH No. 85/kpts/IVPPHH/98
Lintas Lintas Kab Prov KPHP Bupati Gubernur Menteri
41 tahun 1999
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 6 tahun 1999
Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pamanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan Dana Reboisasi Perencanaan Kehutanan Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pamanfaatan hutan
Letak Kewenangan
Rencana Pengelolaan & Pemanfaatan Hutan tk Unit Kriteria Potensi Hutan Alam Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu (komoditas) Pelengan ijin
Membuat Rencana Usaha
Menyetujui rencana usaha Perpanjangan ijin usaha
(1) Standardisasi dokumen angkutan (2) Penerbit dokumen (3) Pemakai dok
(3)
34 tahun 2002 35 tahun 2002 44 tahun 2004 6 tahun 2007
312/kpts-II/1999, 7-05-1999 309/kpts-II/1999
132/kpts-II/2000, 22-05-2000
(4) Permohonan IUPHHK (5) Ijin lapor hasil survey (6) Penyusunan RKD,RKL, RKT, (7) Pengesahan Kriteria dan Standar Perijinan Usaha RKD,RKL,RKT (8) Pemanfaatan Hasil Hutan dan Pemungutan 05.01/KptsHasil Hutan di Hutan Produksi Alam II/2000, 6-11-2000 standard kegiatan (4) (5) (6),(7)
(1) (2)
(2)
-1
(8)
(4) (5) (4) (5) (4) (5) (6) (6) (7)(8) (6) (7) (7)
2000 11 12 13 14 15 16 17 18 19
2000 2000 2000 2000 2000
2001
2002 20 21 22
2002 2002 2002
23 24
2002
2003 25
Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Produksi Lestari Kriteria dan standar pengelolaan hutan produksi secara lestari
08.1/Kpts-II/2000, 6-11-2000 09.1/kpts-II/2000, 6/11/2000 11.1/kpts-II/2000, Kriteria dan Standar Tarif Dana Reboisasi 06-11-2000 Kriteria dan standar tarif Iuran Pemanfaatan 12.1/kpts-II/2000, Hutan 06-11-2000 Kriteria dan standar peredaran dan 13.1/kpts-II/2000, pemasaran hasil hutan 06-11-2000 Kriteria dan standar tarif provisi sumberdaya hutan 14.1/kpts-II/2000
27 28
2003 2003
(9)
(9)
(10)
(10)
(11)
(11)
(12)
(12)
(13) Standar & Prosedur
(13)
(13)
(14) Standar & Prosedur
(14)
(14)
Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan 32/kpts-II/2001
Kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan cara penilaian pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan Tatacara dan persyaratan perpanjangan IUPHHK Kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi yang dapat diberikan IUPHHK pada hutan alam Sistem Silvikultur dan daur tanaman pokok dalam pengelolaan hutan produksi
4795/kpts-2/2002 4796/kpts-2/2002 6885/kpts-II/2002
8171/kpts-2/2002 10172/kpts(15) Pilihan teknologi II/2002 operasional
Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam 16/kpts-2/2003
2003
26
(9) Standar Pemanfaatan (10) Standar Pengelolaan KPHP (11) Standar tarif & prosedur (12) Standar Tarif & Prosedur
Pemberian IUPHHK pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan Penyelenggaraan kerjasama pemegang IUPHHK dengan Kperasi
32/kpts-II/2003 292/kpts-II/2003
(16) Penyusunan RKU,RKL,RKT
(15)
(16)
(17) Syarat Pemohon IUPHHK, (18) Rekomendasi Kelayakan Areal (19) Rekomendasi kemampuan pemohon.(20) Pengumuman Lelang,(21) Pengujian Kelayakan (22) Penetapan pemenang (23)Pembatalan pemenang (24) Penerbitan IUPHHK 9) (20) (21) (22) (23) (24)
(15)
(16)
(16)
(16)
(17)(20) (21)(22) (18) (19) (18) (19) (23)(24)
2003 29
2003 30
Ijin peralatan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam dan atau tanaman atau kegiatan ijin pemanfaatan kayu 428/kpts-II/2003 Perubahan Kepmenhut No. 6887/kptsII/2002, tentang tatacara pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ijin usaha pemanfaatan hasil hutan, ijin pemungutan hasil hutan dan ijin usaha industri primer 59/kpts-II/2003, 5- (25) Penilaian BAP hasil hutan 11-2003 pelanggaran
2003 31 2003 32 2003 33 2003 34 2003 35
2003 36
2003 37
Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan, mencabut SK. No.650/Kpts-II/90 Kriteria Potensi Hutan alam pada hutan produksi yang dapat dilakukan pemanfaatan hutan secara lestari
88/kpts-II/2003, 12-03-2003
Tatacara penilaian kelangsungan IUPHHK pada hutan alam
149/kpts-II/2003, 22-04-2003
Tatacara penyerahan dan penerimaan IUPHHK pada hutan alam sebelum ijin berakhir Pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan, mencabut Sk No. 311/kpts-IV/1995; 574/kpts-II/1997, 707/kpts-II/1997 Tatacara penilaian kinerja usaha pemanfaatan hutan kayu pada hutan alam di unit manajemen dalam rangka pengelolaan hutan lestari, mencabut Kepmenhut 4796/kpts-II/2002 Perubahan Kepmenhut N0. 16/kpts-II/2003, tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam
87/kpts-II/2003, 12-03-2003
2003 39
(25)
(26) Standar Prosedur Pelatihan penguji & pengawas (27) Standar dan Prosedur Pengukuran
150/kpts-II/2003, 02-05-2003
(28) Kriteria Potensi minimal (29) Pembentukaan Kelompok krja penilai IUPHHK (30) Keputusan hasil penilaian (31) Pembentukan Kelompok Kerja Audit Komprehensif (32) Keputusan
163/kpts-II/2003, 26-05-2003
(33) Standarisasi kelompok jenis kayu
208/kpts-II/2003, 10 juli 2003
(34) Standar penilaian (35) Penetapan LPI mampu (36) Tim Evaluasi (37) Keputusan Hasil Penilaian
(26)(27)
(26)(27)
(28)
(28)
(29) (30)
(29) (30)
(31) (32)
(31) (32)
(36) (37)
(33)
(33)
(34) (35)
(34) (35) (36) (37)
(3)(39) (40)
(38)(39) (40)
(41)
(41)
280/kpts-II/2003, 10-06-2003
2003 38
(25)
Pembentukan KPHP, mencabut Kepmenhut 230/kpts-II/2003, 308/kpts-II/1999 14-07-2003 Denda atas keterlambatan pengembalian pinjaman dan penjadwalan kembali pinjaman DR ole perusahaan 308/kpts-II/2003
(38) Standar & Kriteria Pembentukan KPHP, (39) Penyusunan Rancang Bangun KPHP (40) Penetapan KPHP (41) Standar dan Prosedur pengembalian pinjaman DR
(39) (40)
(39) (40)
(39) (40)
40
Jaminan Pasokan Bahan Baku yang berkelanjutan dan rencana pemenuhan bahan baku industri primer, mencbut kepmenhut no. 594/kpts-II/1996
41
Tatacara pengenaan penagihan dan pembayaran iuran ijin usaha pemanfaatan hutan pada hutan produksi
SK 149/MenhutII/04, 24-05-2004
Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi
SK 159/MenhutII/04, 04-06-2004
2003
2004
2004 42 2004
Penetapan Jatah Produksi
43 44
2004
2004 45 2004 46 47
2004 2004
48 2004 49
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
Perubahan SK.126/Menhut-II/2003, Penatausahaan Hasil Hutan Kewajiban membayar pengganti biaya tatabatas dan cintra lansad, bagi perusahaan yang menyerahkan ijinnya Tatacara penetapan PSDH persatuan hasil hutan kayu dan bukan kayu Ijin pembuatan dan penggunaan koridor untuk kegiatan IUPHHK pada hutan alam atau hutan tanaman Pencabutan keputusan Menteri Kehutanan No. 523/kpts-2/1997 dan No. 165/kpts2/1998
2004
Pemberian IUPHHK pada hutan alam melalui penawaran dalam pelelangan, dan mencabut Keputusan Menhut no. 32/kptsII/2003
2004
Perubahan Kepmenhut n0. 428/kptsII/2003, tentang Ijin peralatan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam dan atau tanaman atau kegiatan ijin pemanfaatan kayu
50
51
326/kpts-II/2003
SK.207/MenhutII/04, 14-06-2004 P01/Menhut-II/04, 12-07-2004
(42) Prosedur pelaksanaan dan pengawasan kebijakan (43) Standar dan Prosedur pengenaan & penagihan Iuran IUPHK. (44) Pejabat Penagih (44) (45) Standar & Prosedur restorasi ekosistem. (46) Perijinan restorasi (46) (47) Penetapan JPT Nasional (48) Alokasi JPT (49) Alokasi JPT Perusahaan) (49) (50) Prinsip-prinsip HKm (51) Perijinan HKm (51)
(52) Standarisasi dokumen 279/Menhut-II/04, SKSHH (53) Penanggung 2-08-2004 jawab distribusi di provinsi (54) Standar biaya ganti P06/Menhut-II/04, kerugian. (55) laporan 20-08-2004 bukti pembayaran P09/Menhut-II/04, (56) Prosedur Penetapan 16-09-2004 PSDH SK352/MenhutII/04, 28-09-2004 (57) Ijin Koridor
(42)
(42)
(42)
(44)
(44) (43)(44)
(44)
(42)
(44)
(43)(44)
(45)
(48)
(45)(46)
(47) (50)
(48) (51)
(52)(53)
(55)
(57)
(42)
(57)
(57)
(47)(49) (50)
(53)
(52)
(54)
(54)(55)
(56)
(56)
(57)
P.11/MenhutII/04, 29-09-2004 (58) Syarat Pemohon IUPHHK, (59) Kriteria Areal (60) Rekomendasi areal & kemampuan (60)(61)(62) P.15/Menhutpemohon.(61) (63(64)(65 II/04, 15-10-2004 Pengumuman Lelang,(62) Pengujian Kelayakan (63) Penetapan pemenang (64)Pembatalan pemenang (65) Penerbitan IUPHHK
SK.401/MenhutII/2004, 18-102004
(66) Pilihan Teknologi (67) Ijin Penggunaan alat
(66)(67)
(58) (59)
(60)
(60)
(58)(59) (61)(62) (63)(64) (65)
(67)
(66)(67)
2004 52
Kriteria Hutan Produksi yang dapat diberikan ijin usaha pemanfatan hasil hutan P.18/Menhut kayu pada hutan alam dengan kegiatan II/2004, 19-10restorasi ekosistem 2004
2006
Inventarisasi Hutan Produksi Tungkat Unit Pengelolaan
P.10./MenhutII/06, tanggal 2402-2006
(69) KPHP/IUPHHK wajib inventarisasi hutan (70) Standar metoda (71) Pemerintah, Provinsi, Kab menyelenggarakan bantuan teknis (72) pengelolaan PUP (73) Pengawasan oleh Menteri
2006
Perubahan Permenhut N0.P.15/MenhutII/2004 tentang IUPHHK pada Hutan Alam Melalui Penawaran
P.13/MenhutII/06, tanggal 0903-2006
perubahan tata waktu
P.14/MenhutII/06, tanggal 1003-2006
(74) Pernyataan tidak keberatan pemegang IUPHHK (75) Rekomendasi Teknis Bupati, gubernur (76) Kajian teknis (77) Biaya ditanggung pemohon (78) Monev Tahunan oleh provinsi (79) Monev 5 tahunan oleh provinsi, (80)Persetujuan
53
54
2006
Pinjam Pakai Kawasan
2006
P.15/MenhutTatacara Penghapusan Piutang Macet yang II/06, tanggal 16beraasal dari DR dan IHH 03-2006
2006
Perubahan Keputusan /Menhut No. SK47 II/2004 tentang Tatacara dan Persyaratan P.19/MenhutII/06, tanggal 04Pengambilan Alihan Saham pada perusahaan IUPHHK pada Hutan Alam dan 04-2006 Hutan Tanaman yang berbentuk PT
55
56
57 2006 58 59
2006 2006
60 2006 61
(68) Kriteria Hutan Produksi untuk IUPHHK Restorasi
Perubahan Keputusan /Menhut No. SK149 II/2004 tentang Tatacara Pengenaan, Penagihan dan Pembayaran IUPHH pada Hutan Produksi Penatausahaan haasil hutan yang berasal dari hutan negara Perubahan P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan haasil hutan yang berasal dari hutan negara Perubahan Permenhut N0.P.14/MenhutII/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
P.57/MenhutII/06, tanggal 2908-2006 P.55/menhutII/06, P.63/MenhutII/06, 17 Oktober 2006 P.64/MenhutII/06, tanggal 1710-2006
(68)
(69) (72)
(75)(76 (75)(76 (74)(76)(77) )(77)(7 )(77)(7 (78)(79)(80) 8)(79)( 8)(79)( 80) 80)
(75)(7 6)(77)( 78)(79 )(80)
(68)
(69) (72)
(71)
(74)
(75)
(71)
(70)(71) (73)
(75)(78)( (77)(80) 79)
P.67/MenhutII/2006, 06-112006
2006
Krietria dan Standar Inventarisasi Hutan
2006
Perubahan Keputusan Menhut No. SK450/Menhut-II/05, tentang Perubahan P.79/MenhutKeputusan Menhut No. 445/Kpts-II/03 II/06, tanggal 29tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 12-2996 124/Kpts-II/03, tentang Juknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan ….. PSDH
2006
Perubahan Keputusan Menhut No. SK451/Menhut-II/05, tentang Perubahan P.80/MenhutKeputusan Menhut No. 446/Kpts-II/03 II/06, tanggal 29tentang Perubahan Keputusan Menhut No. 12-06 128/Kpts-II/03, tentang Juknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan ….. DR
62
63
64
67
Petunjuk Teknis Tatacara Pengenaan, Pemungutan dan Pemayaran PSDH dan DR, mencabut kepmenhut : 124/kptsII/2003 jo No. 445/kpts-II/2003; No. 450/menhut-II/2005; No. 79/Menhut-II/2006; 128/Kpts-II/2003 jo 446/kpts-II/2003; No. 451/Menhut-II/2005 dan No. 80/MenhutII/2006 Tatacara Pemberian ijin usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam produksi melalui permohonan, mencbut P..15/menhut-II/2004 jo P.13/Menhut-II/2006 Tatacara pengenaan, pemungutan dan pemnayaran Iuran Usaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi, mencbut P.149/menhut-II/2004
68
Tatacara pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi melalui permohonan, mencabut SK. No. 159/menhut-II/2004 dan P.18 Menhut-II/2004
2007
65
2007 66 2007
2008
P18/Menhut-II/07, 12-05-2007
P.20/MenhutII/2007, 06-062007 P.32/menhutII/2007, 24-082007,
61/MenhutII/2008,28-102008
Lampiran 7. Kriteria Klasifikasi Nilai Verifyer Kode
Nama Verivier
BURUK (5)
SEDANG (7)
114 PAL Kondisi Tata Batas
sesuai fungsi produksi 70-90%, sesuai fungsi produksi <70%, >10% lain >10% lain Realisasi <80% Realisasi 80-90% Jumlah Pal Batas 70-90%, rintis Jumlah Pal Batas <70%, rintis tak jelas jelas
115 AKU Pengakuan para pihak atas existensi areal UM 123 VMI Kesesuaian Visi, Misi dg Implementasi PHL
konflik, tak ada upaya penyelesaian Hanya sebagian yang sesuai
131 MOD Peningkatan modal perusahaan
Modal turun
112 AFP Kesesuaian Areal dengan fungsi Produksi 113 TAT Realisasi Tata Batas
132 RIV
Re-investasi ke hutan
Konflik, ada upaya penyelesaian Sebagian Besar sesuai
Modal tetap Ada saldo kewajiban pembinaan & Tak ada saldo kewajiban pembinaan hut linhut
BAIK (9) sesuai fungsi produksi 100%, <10% lain Realisasi 100% Jumlah Pal Batas >90%, rintis jelas Tak ada konflik Seluruhnya sesuai Modal naik Saldo meningkat
133 BIN Realisasi Fisik Pembinaan dan Perlindungan Hutan Secara fisik buruk 142 TEK Kesesuaian implementasi teknis dg aturan Hanya sebagian yang sesuai 143 POT Kecukupan potensi tegakan menurut peraturan Kurang dibanding aturan
Secara fisik sedang Sebagian Besar sesuai sama dengan aturan
Secara fisik baik Telah sesuai Lebih tinggi dari aturan
152 SDM Keberadaan tenaga profesional di lapangan Mekanisme pengambilan keputusan, Evaluasi, 164 EVA Feed back Rencana Penataan areal kerja, pertimbangkan 211 PAK ekologi-sos Tingkat Pemanenan Lestari jenis kayu/hhbk per 22 PEL jenis 232 SIL Implementasi SOP seluruh tahapan Silvikultur
< 80%
sesuai ketentuan
hanya formalitas
80-90 ada sinkronisasi, tapi feed back tak jalan pertimbangkan eko-sos, tak sesuai lapang
ada unsur buruk < 70%
ada unsur sedang, tanpa buruk 70-90%
semua baik >90%
233 RUS Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal
tinggi >30%
sedang 20-30 %
241 TTG Penerapan teknologi tepat guna 252 LIK Likuiditas keuangan perusahaan 253 SOL Solvabilitas keuangan perusahaan
Tak tersedia teknologi tepat guna <100% <100 %
Ada TTG tetapi tidak digunakan 100-150% 100-150 %
rendah <20% TTG dimanfaatkan dalam pengelolaan hut >150% >150%
254 REN Rentabilitas Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana 262 RAS tahunan Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap 263 RIA tegakan
< suku bunga
sama dengan suku bunga
> suku bunga
<70% atau >100%
70-90 %
90-100%
<70% atau >100%
70-90 %
90-100%
27 INV
Investasi pemanfaatan, administrasi, litbang, SDM
<70% dari kebutuhan
90-100% dari kebutuhan
324 LIM
Implementasi perlindungan hutan
tidak ada tindakan
70-90 % dari kebutuhan ada tindakan pada sebagian gangguan
gangguan tak terkendali tak ada mekanisme proses dan implemntasi
gagngguan terkendali sebagian ada mekanisme, tidak dimplementasikan
gangguan terkendali sepenuhnya
325 GNG Eskalasi gangguan hutan 453 PAR Mekanisme partisipasi masyarakat dlm ekonomi
Tak ada sinkronisasi antar bidang
ada sinkronisasi, feed back efektif pertimbangkan eko-sos, sesuai aktual
ada tindakan untuk seluruh gangguan
ada mekanisme dan diimplemantasikan
287