ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN INDONESIA: MODEL DISAGREGASI WILAYAH DAN POLA PANEN
JAN PITER SINAGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN INDONESIA: MODEL DISAGREGASI WILAYAH DAN POLA PANEN
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2011
Jan Piter Sinaga NRP.H351040141
ABSTRACT
JAN PITER SINAGA, Indonesia Rice Policy Impact Analysis: Disaggregate Regions and Harvested Pattern Model (HARIANTO as the Chairman and NUNUNG KUSNADI as Member of the Advisory Committe) The objective of this research is to analyze the impact of rice policy on rice economy based on harvested pattern in national and regional level. For that purpose, disaggregation data are collected by months and regions (Sumatera, Java, Bali and Nusa Tenggara, Kalimantan and Sulawesi). Econometric model is formulated as a simultaneous equations and estimated using Two Stages Least Squares (2SLS) method. Rice policy aims not only to protect producer and domestic prices stabilization but also to provide rice to specified target-group of consumers through reserves and distribution mechanism. The results revealed that the model is able to well discribe the variation impact of rice policy in national and regional level. Furtheremore, this result supported previous finding indicated that the rice producer in some regions are unlikely benefited from the rice policy especialy during harvested period. Therefore, government intervention in terms of stabilizing price needs to be reviewed to reach it’s targeted objectives. Key words: price stabilization, reserves and distribution mechanism, rice policy, variation impact
RINGKASAN
JAN PITER SINAGA. Analisis Dampak Kebijakan Perberasan Indonesia: Model Disagregasi Wilayah dan Pola Panen (HARIANTO sebagai Ketua dan Nunung Kusnadi sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Mengingat peranan beras sebagai komoditi strategis, maka beras sarat akan intervensi kebijakan pemerintah. Kebijakan perberasan bertujuan untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen sehingga penerapan kebijakan harus tepat baik instrumen, sasaran dan waktu implementasinya. Produksi padi tidak dihasilkan merata antar wilayah dan antar waktu sepanjang periode satu tahun. Kebijakan perberasan menurut beberapa penelitian sebelumnya dan data empiris menunjukkan tidak efektif pada waktu tertentu terutama pada saat panen. Hal ini terjadi terkait dengan kondisi variasi antar wilayah dan antar waktu. Berdasarkan hal itu maka penting untuk melihat dampak kebijakan di tingkat nasional dan wilayah pada setiap periode berdasarkan variasi antar wilayah dan antar waktu berdasarkan siklus produksi padi. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan perberasan berdasarkan variasi produksi antar wilayah dan waktu. Perbedaan dampak kebijakan di level nasional dan wilayah terjadi sesuai dengan variasi pola panen nasional dan masing-masing wilayah Penelitian ini bertujuan untuk: (1) membangun model ekonomi perberasan yang mampu menjelaskan perbedaan dampak kebijakan stabilisasi harga gabah produsen dan harga beras produsen di tingkat wilayah, dan (2) mempelajari dampak kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), tarif impor beras, pengadaan dan penyaluran oleh Perum Bulog serta kombinasi kebijakan HPP dan tarif impor beras di tingkat wilayah. Jenis data yang digunakan adalah data bulanan agregat nasional dan lima wilayah Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi. tahun 2004-2008. Model dibangun untuk menjelaskan adanya perbedaan dampak kebijakan perberasan di tingkat nasional dan wilayah dalam bentuk model persamaan simultan dan diduga dengan metode 2 SLS menggunakan program aplikasi komputer SAS versi 9.2. Hasil penelitian mengenai analisis ekonomi perberasan di Indonesia menyimpulkan bahwa model yang dibangun mampu menjelaskan perbedaan dampak akibat adanya variasi antar waktu dan antar wilayah di masing-masing wilayah. Kebijakan stabilisasi harga gabah produsen dan harga beras konsumen menghasilkan dampak sebagai berikut: (1) kebijakan kenaikan HPP sebesar 5 persen efektif mendorong peningkatan Indonesia, Kalimantan dan Sulawesi tetapi tidak efektif di Sumatera dan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, (2) dampak kebijakan kenaikan tarif impor sebesar 5 persen akan efektif mendorong peningkatan harga beras Indonesia, Sumatera dan Sulawesi serta harga gabah Sumatera dan Jawa namun tidak efektif di wilayah lainnya dengan besaran yang bervariasi antar waktu, (3) dampak kebijakan kenaikan penyaluran sebesar 5 persen efektif menurunkan harga beras Indonesia dan semua wilayah dengan besaran bervariasi antar waktu, dan (4) kebijakan kombinasi kenaikan HPP dan tarif impor masing-masing sebesar 5 persen akan memperkuat pengaruh kebijakan
tunggal kenaikan HPP dan kebijakan tunggal kenaikan tarif impor dengan besaran bervariasi antar waktu. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: (1) penerapan kebijakan yang bersifat sentralistik tidak tepat dan kebijakan sebaiknya bersifat desentralistik sesuai dengan variasi antar waktu dan antar wilayah, (2) perlu dukungan alokasi anggaran pemerintah yang sangat besar dalam mengintervensi pasar seperti pada kondisi kelebihan penawaran saat panen raya, dan (3) sebagai upaya melindungi kepentingan petani saat panen raya dan konsumen pada saat periode bukan panen upaya pembatasan impor dapat diberlakukan melalui pengenaan tarif impor. Kata kunci: stabilisasi harga, mekanisme pengadaan dan penyaluran, kebijakan perberasan, variasi dampak
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN INDONESIA: MODEL DISAGREGASI WILAYAH DAN POLA PANEN
JAN PITER SINAGA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Wakil Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian – Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Henny K. Daryanto, M.Sc (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan pernyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Analisis Dampak Kebijakan Indonesia: Model Disagregasi Wilayah dan Pola Panen”. Penelitian ini dilatar belakangi variasi dampak kebijakan perberasan di beberapa wilayah yang ditemukan penulis yang merugikan petani akibat rendahnya harga produknya. Penelitian ini diharapkan dapat memberi solusi penanganan kebijakan harga gabah produsen dan konsumen sehingga dapat menguntungkan produsen dan konsumen padi. Tesis ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibu saya, terimakasih atas kesabaran, bimbingan, nasehat dan pengertiannya yang tidak berkesudahan. Kepada saudara-saudara, ipar, keponakanku tercinta dan kakakku yang di surga. Selama menempuh pendidik S-2 ini, banyak harapan dan keinginan kalian yang tidak dan belum dapat saya laksanakan. Saya mohon maaf atas semua kesalahan itu. Kasih karunia Tuhan yang selalu menyertai hati dan pikiran kita sehingga kita memperoleh damai, sejahtera dan sukacita sampai selama-lamanya.Amin. Ucapan terimaksih penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Harianto, MS dan Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS yang telah berkenan mengarahkan dan memberikan saran serta pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada penguji luar komisi dan penguji yang mewakili Program Studi yang telah memberi saran dan pemikiran untuk perbaikan tesis ini. Terimakasih yang tulus kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan staf pengajar yang telah membimbing dalam proses pembelajaran di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
2. Seluruh teman-teman EPN angkatan 2006 (Indra, Pak Andi, Pak Dahya, Mbak Sayekti, Mbak Femmi, Deasi, Ismi, Husein, Wayan) untuk petemanan dan kebersaman selama menempuh perkuliahan. 3. Terimakasih untuk pimpinan dan teman-teman di Bidang Cadangan Pangan dan Bidang Akses Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian atas segala pengertian dan dukungan terhadap penulis dalam menjalani proses perkuliahan. 4. Teman-teman di Sekretariat EPN SPs IPB. 5. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Akhirnya tesis ini dipersembahkan kepada pembaca sebagai salah satu pemikiran dan masukan yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
Jan Piter Sinaga
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, Sumatera Utara pada tanggal 8 Januari 1979 sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menyelasaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1991 di SD Negeri 122398 Pematang Siantar, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Pematangsiantar
dan
pendidikan
menengah
atas
di
SMA
Negeri
3
Pematangsiantar. Penulis menerima gelar sarjana teknologi pertanian (S.TP) di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003 dan saat ini bekerja di Bidang Akses Pangan, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Kementerian Pertanian. Tahun 2006 penulis melanjutkan studi S-2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………….…..…………...
iv
DAFTAR GAMBAR………………………….……………….….......
vi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..
vii
I. PENDAHULUAN………………………………………….…………
1
1.1. Latar Belakang…………………………………………...……….
1
1.2. Perumusan Masalah………………………………………............
5
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................…...………..............
7
1.4. Ruang Lingkup......................................………..............................
8
1.5. Konsep............................................................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
11
2.1. Permintaan dan Penawaran..........................……………...……....
11
2.1.1. Perkembangan Produksi ......................................................
11
2.1.2. Pola Panen Padi ........................................................……...
16
2.1.3. Impor Beras ……………………….....................................
21
2.1.4. Konsumsi Beras…………...................................................
23
2.1.5. Perkembangan Harga Gabah dan Beras……………………
24
2.2. Kebijakan Ekonomi Stabilisasi Harga Gabah dan Beras...............
27
2.3. Tinjauan Penelitian Sebelumnya.....................................................
34
III. KERANGKA PEMIKIRAN..................................................................
38
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis.........................................................
38
3.1.1. Analisis Penawaran Beras....................................................
38
3.1.2. Analisis Permintaan Beras...................................................
40
3.1.3. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian..................
42
3.1.4. Model Nearlove................................................. .................
43
3.1.5. Model Respon Penawaran Padi ..........................................
45
3.2. Harga Dasar dan Harga Tertinggi...................................................
48
3.3. Mekanisme Pengendalian Harga Gabah.........................................
49
3.4. Analisis Pengembangan Model Hayami........................................
50
3.5. Kerangka Pemikiran Operasional...................................................
52
IV. METODE PENELITIAN.......................................................................
54
4.1. Jenis dan Sumber Data...................................................................
54
4.2. Spesifikasi Model...........................................................................
54
4.3. Model Ekonometrika......................................................................
55
4.3.1. Produksi Padi dan Produksi Beras......................................
55
4.3.2. Luas Areal Panen................................................................
58
4.3.3. Impor Beras.........................................................................
60
4.3.4. Penawaran Beras.................................................................
61
4.3.5. Konsumsi Beras..................................................................
62
4.3.6. Harga Gabah Petani............................................................
64
4.3.7. Harga Beras Domestik …………………………………...
67
4.3.8.Stok Opersional Perum Bulog.............................................
70
4.4. Identifikasi dan Pendugaan Model................................................
70
4.5. Validasi Model...............................................................................
73
4.6. Simulasi Dampak Kebijakan Perberasan terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia... ..................................................................
74
V. KERAGAAN PERBERASAN INDONESIA.......................................
76
5.1 Hasil Pendugaan Model Ekonomi Perberasan Indonesia………...
76
5.2. Pembahasan Pendugaan Model Ekonomi Perberasan Indonesia ...
77
5.2.1. Luas Areal Panen Padi.........................................................
77
5.2.2. Impor Beras……………………..........................................
80
5.2.3. Harga Beras Impor…...........................................................
82
5.2.4. Harga Gabah Petani..............................................................
82
5.2.5. Konsumsi Beras…... ...........................................................
89
5.2.6. Harga Beras Domestik ........................................................
94
5.2.7. Stok Operasional Perum Bulog............................................
101
ii
VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN......................
103
6.1 Hasil Validasi Model Ekonomi Perberasan Indonesia .................
103
6.2. Pembahasan Hasil Simulasi Model Ekonomi Perberasan Indonesia.........................................................................................
105
6.2.1. Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen...............................................................
105
6.2.2 Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen…….
109
6.2.3 Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen .........
114
6.2.4. Kebijakan Kombinasi Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Masing-masing Naik 5 Persen…………………………………………………...
118
VII. SIMPULAN DAN SARAN..................................................................
123
7.1. Simpulan.........................................................................................
123
7.2. Saran................................................................................................
124
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
125
LAMPIRAN...........................................................................................
128
iii
iv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Produksi Padi Nasional Tahun 2004-2008........................................... 11 2. Produksi padi Wilayah Jawa Tahun 2004-2008................................... 12 3. Produksi Padi Wilayah Sumatera Tahun 2004-2008............................ 13 4. Produksi Padi Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2004-2008.... 14 5. Produksi Padi Wilayah Kalimantan Tahun 2004-2008........................ 15 6. Produksi Padi Wilayah Sulawesi Tahun 2004-2008............................ 16 7. Impor Beras Indonesia Tahun 2004-2008…………………….….…... 22 8. Konsumsi Beras Indonesia Bulanan Tahun 1999-2008....................... 24 9. Perkembangan Harga Gabah Petani Indonesia Tahun 2004-2008..... 25 10. Perkembangan Harga Beras Eceran Indonesia Tahun 2004-2008 ....
26
11. Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen Tahun 20042008..................................................................................................... 30 12. Perkembangan Pengadaan Beras Tahun 2004-2008………………..
31
13. Perkembangan Penyaluran Beras Tahun 2004-2008…………..……
32
14. Perkembangan Stok Operasional Perum Bulog Tahun 2004-2008..
33
15. Rencana Simulasi Parsial dan Kombinasi Kebijakan Perberasan.......
75
16. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Sumatera...........
77
17. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Jawa..................
78
18. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Bali dan NT......
79
19. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Kalimantan.......
79
20. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Sulawesi............ 80 21. Hasil Pendugaan Parameter Impor Beras............................................ 81 22. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Impor.................................
82
23. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Indonesia...............
83
24 Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Sumatera...............
85
25. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Jawa......................
86
iv
Nomor
Halaman
26. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Bali dan Nusa Tenggara………………………………………………………..........
87
27. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Kalimantan............
88
28. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Sulawesi.................
89
29. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Beras Sumatera.......................
90
30. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Beras Jawa..............................
91
31. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Beras Bali dan Nusa Tenggara...............................................................................................
92
32. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Kalimantan.............................
93
33. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sulawesi................................
93
34. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Indonesia...........
94
35. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Sumatera...........
95
36. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Jawa..................
97
37. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Bali dan Nusa Tenggara…………………………………………………………......
98
38. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Kalimantan ......
99
39- Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Sulawesi............
100
40. Hasil Pendugaan Parameter Stok Operasional Perum Bulog……….. 101 41. Hasil Indikator Statistik Validasi Model Ekonomi Perberasan Indonesia............................................................................................. 104 42. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah……………………........ 106 43. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah………......................................................................... 110 44. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah……………...……….................................................. 115 45. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Masing-masing Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah……….……....…………………………………………......
v
119
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Perimbangan Produksi, Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Indonesia...............................................................................................
3
2. Harga Gabah Petani Indonesia Tahun 2008.......................................... 4 3. Pola Panen Padi Indonesia Tahun 2004-2008...................................... 17 4. Pola Panen Padi Jawa Tahun 2004-2008.............................................. 18 5. Pola Panen Padi Sumatera Tahun 2004-2008....................................... 19 6. Pola Panen Padi Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2004-2008 ……….. 20 7. Pola Produksi Padi Kalimantan Tahun 2004-2008............................... 20 8. Pola Produksi Padi Sulawesi Tahun 2004-2008................................... 21 9. Impor Beras Bulanan Indonesia Tahun 2008........................................ 23 10. Perkembangan GKP, GKG dan Beras di Indonesia............................. 28 11. Penetapan Harga Dasar........................................................................ 48 12. Penetapan Harga Tertinggi................................................................... 49 13. Mekanisme Pengendalian Harga Gabah Petani………………..……. 50 14. Model Skema Pembelian Beras Domestik............................................ 51 15. Alur Kerangka Pemikiran Operasional………………………………. 52
vi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Dasar Bulanan Kondisi Perberasan Indonesia Tahun 20042008................................................................................................... 129 2. Diagram Model Ekonomi Perberasan Indonesia............................... 134 3. Program PendugaanModel Ekonomi Perberasan Tahun 20042008................................................................................................... 135 4. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Perberasan Tahun 20042008................................................................................................... 140 5. Program Validasi dan Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode Agregat................................................................................. 165 6. Program Validasi dan Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode I............................................................................................. 170 7. Program Validasi dan Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode II............................................................................................ 174 8. Hasil Dasar Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode Agregat…………………………………………………...………… 178 . 9. Hasil Dasar Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode I……... 183 10. Hasil Dasar Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode II……
184
11. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode Agregat……………..
185
12. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode I…………………….
186
13. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II……………..……
187
14. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode Agregat………………..………………
188
15. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode I…………….…………...……………
189
16. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II……………..…………………..……
190
17. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode Agregat………………………………
191
18. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode I………………...………...…………… 193
vii
Nomor
Halaman
19. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II…………………………….……..……
195
20. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan HPP dan Tarif Impor Masingmasing Sebesar 5 Persen Perberasan Tahun 2004-2008 Periode Agregat……...……………………………………………
197
21. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan HPP dan Tarif Impor Masingmasing Sebesar 5 Persen Perberasan Tahun 2004-2008 Periode I….
198
22. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan HPP dan Tarif Impor Masingmasing Sebesar 5 Persen Perberasan Tahun 2004-2008 Periode II…
199
19. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II…………………….……………..……
195
20. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan HPP dan Tarif Impor Masingmasing Sebesar 5 Persen Perberasan Tahun 2004-2008 Periode Agregat……...………………………………………………………. 197 21. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan HPP dan Tarif Impor Masingmasing Sebesar 5 Persen Perberasan Tahun 2004-2008 Periode I….
198
22. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan HPP dan Tarif Impor Masingmasing Sebesar 5 Persen Perberasan Tahun 2004-2008 Periode II…
199
viii
1
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia pada
umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia menyebutkan bahwa kelompok padi-padian memberikan sumbangan sebesar 64.02 persen dari total ketersediaan energi 2,919 kalori per kapita per hari dan sebesar 46.65 gram per kapita per hari dari ketersediaan protein (Badan Ketahanan Pangan, 2008). Pengeluaran rumahtangga untuk kelompok padi-padian diperkirakan mencapai 11.37 persen, sedangkan pengeluaran rumahtangga di pedesaan sebesar 16.65 persen dari total pengeluaran rumahtangga Susenas 2006 (Badan Pusat Statistik, 2006). Beras merupakan komoditi yang fluktuasi harganya sering menjadi sorotan publik sehingga pemerintah dan masyarakat berkepentingan terhadap harga komoditi beras yang relatif stabil (Sumaryoto, 2009). Mengingat peran beras sebagai komoditi strategis tersebut, maka beras merupakan komoditi yang sarat akan intervensi kebijakan pemerintah termasuk kebijakan stabilisasi harga gabah petani dan harga beras konsumen. Kebijakan sudah dilakukan sejak tahun 1968 saat pemberlakuan harga dasar. Pelaksanaan kebijakan stabilisasi harga gabah dan harga beras dilakukan dengan cara mengelola buffer stok melalui pengadaan gabah di tingkat petani pada saat panen raya dan penyaluran pada saat musim paceklik. Pengelolaan pengadaan dan penyaluran diserahkan pada Bulog untuk melaksanakan kebijakan pembelian gabah petani dan operasi pasar murah (OPM). Kebijakan harga dasar berfungsi untuk meningkatkan rata-rata harga gabah petani. Kebijakan ini bertujuan untuk
2
meningkatkan pendapatan petani dan mempersempit kisaran fluktuasi harga gabah melalui pengadaan sebesar harga dasar yang telah ditetapkan untuk meningkatkan stabilistas harga gabah yang diterima petani terutama saat panen raya Indonesia memiliki variasi agroekosistem di masing-masing wilayah sehingga mengakibatkan perbedaan potensi produksi padi suatu wilayah dan perbedaan pola panen padi yang disebut sebagai variasi antar waktu panen padi. Pola panen wilayah Sumatera dan Jawa berbeda dengan pola panen wilayah lainnya. Periode panen raya di wilayah Bali dan Nusa Tenggara berlangsung singkat yaitu bulan Maret-Mei. Wilayah ini tidak mengalami masa panen gadu sehingga periode bukan panen berlangsung lebih lama. Wilayah Kalimantan memiliki dua periode puncak panen bulan Maret dan Agustus dan memiliki 2 periode panen raya yaitu Februari-Mei dan Juli-Oktober. Pola panen Sulawesi juga memiliki dua periode 2 periode panen raya yaitu Maret-Juni dan Juli-Oktober. Hal ini menyebabkan produksi padi nasional tidak dihasilkan merata antar wilayah dan antar waktu sepanjang periode satu tahun. Sepanjang periode satu tahun terdapat kondisi surplus produksi beras Indonesia pada bulan Februari-Mei dan kondisi cukup sampai dengan bulan Agustus. Perimbangan produksi, ketersediaan dan kebutuhan beras mengalami defisit memasuki antara bulan September-Januari. Infrastruktur fisik wilayah juga memiliki kondisi yang berbeda-beda pula. Perbedaan ini akan mempengaruhi harga gabah dan harga beras di pasar masing-masing wilayah. Variasi antar waktu dan antar wilayah tersebut merupakan faktor penting yang harus dipertimbangankan pemerintah dalam menerapkan suatu kebijakan perberasan termasuk kebijakan stabilisasi harga gabah produsen dan harga beras konsumen.
3
12,000 10,000 8,000
Produksi
6,000
Ketersediaan Kebutuhan konsumsi beras 139.15 Kg/Kap/thn.
4,000 2,000 -
Jan
Peb
Mar
April
Mei
Juni
Juli
Produksi Padi
SURPLUS Sumber: Badan Ketahanan Pangan, 2007
Agus
Sept
Okt
Nov
Des
Ketrs. Beras
CUKUP
DEFISIT
Gambar 1. Perimbangan Produksi, Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Indonesia Meskipun secara aggregat tahunan dan aggregat nasional tujuan kebijakan stabilisasi harga gabah tercapai, tetapi di tingkat wilayah kebijakan tersebut justru dapat mengakibatkan pendapatan petani semakin menurun. Kisaran fluktuasi harga gabah semakin lebar pada periode tertentu seperti periode panen raya nasional (Februari-Mei) sehingga dapat merugikan produsen padi di wilayah tersebut. Harga rata-rata gabah petani Indonesia sebesar Rp. 2,240 per kilogram gabah pada periode Februari-Mei 2008 sedangkan harga gabah petani setiap wilayah berbeda-beda. Harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara serta Sulawesi berada di bawah harga dasar sebesar Rp. 2,200 per kilogram gabh. Harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara Rp. 1,999 per kilogram sedangkan harga gabah petani Sulawesi adalah sebesar Rp. 1,918 per kilogram. Harga gabah petani Sumatera dan Kalimantan berada di atas harga dasar dengan harga gabah petani masing-masing sebesar Rp. 2,451 per kilogram gabah dan Rp. 2,795 per kilogram,
4
sedangkan harga gabah petani Jawa sesuai dengan harga dasar sebesar Rp. 2,201 per kilogram.
3.100 Sumatera
2.900
Jaw a
2.700
Bali dan NT 2.500 Kalimantan 2.300
Sulaw esi
2.100
Indonesia
1.900 1.700 1.500 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Sumber: Badan Ketahanan Pangan, 2008
Gambar 2. Harga Gabah Petani Indonesia Tahun 2008 Kebijakan tersebut juga menghasilkan dampak yang berbeda-beda terhadap harga rata-rata tahunan gabah petani tahun 2008 (Januari-Desember) di tingkat wilayah dan nasional. Harga rata-rata gabah petani Indonesia sepanjang tahun 2008 adalah sebesar Rp. 2,239. Harga gabah petani Sumatera sebesar Rp. 2,324, harga gabah petani Jawa sebesar Rp. 2,268, harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara sebesar Rp. 2,053 harga gabah petani Kalimantan sebesar Rp. 2,555 dan harga gabah petani Sulawesi sebesar Rp. 1,900. Penelitian selama ini belum mempertimbangkan kondisi variasi antar wilayah dan antar waktu. Erwidodo dan Hadi (1999), Feridhanustyawan dan Pangestu (2003), serta Hadi dan Wiryono (2005) yang menggunakan data aggregat nasional dan aggregat tahunan menyatakan bahwa kebijakan efektif
5
terhadap stabilisasi harga beras konsumen. Penelitian Karo-Karo Sitepu (2001), juga menyatakan bahwa kebijakan harga dasar efektif terhadap harga gabah petani. Selain itu, Dwijono (2001) dan Departemen Pertanian (2007) juga menyatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga melalui instrumen Harga Pembelian Pemerintah (HPP), pembeliaan gabah dan beras petani dan pengelolaan stok berlangsung efektif. Penggunaan data disaggregasi wilayah dapat menunjukkan dampak kebijakan ini berbeda di wilayah tertentu. Harga dasar gabah berpengaruh nyata terhadap harga gabah secara nasional, Jawa dan Bali, dan Sulawesi. Sementara di Sumatera dan Kalimantan pengaruh harga dasar tidak nyata terhadap harga gabah. Respon harga dasar di wilayah menunjukkan bahwa meskipun secara nasional harga dasar nyata berpengaruh terhadap harga gabah tetapi harga dasar tidak menunjukkan efektivitas yang sama terhadap harga gabah (Mulyana, 1998). Pengaruh intervensi pemerintah pada harga beras juga menghasilkan dampak yang berbeda antar wilayah. Harga beras nasional, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dipengaruhi secara nyata oleh intervensi pemerintah sedangkan harga beras Jawa dan Bali tidak nyata dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Variasi antar wilayah dapat menunjukkan perbedaan dampak kebijakan sentralistik di masing-masing wilayah. Berdasarkan hal itu, maka penting untuk melakukan penelitian dampak kebijakan stabilisasi harga gabah produsen dan harga beras konsumen dengan menggunakan data disaggregasi wilayah dan bulanan.
1.2.
Perumusan Masalah Penelitian
6
Kebijakan perberasan terutama kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras bertujuan untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Tujuan kebijakan tersebut dapat tercapai apabila implementasi kebijakan tepat baik dari segi waktu maupun sasaran kebijakan sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlu dipertimbangkan. Kondisi masing-masing wilayah di Indonesia berbeda-beda terkait adanya variasi antar wilayah dan antar waktu. Hal ini merupakan salah faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan waktu dan sasaran implementasi kebijakan stabilisasi harga gabah dan harga beras . Perbedaan agroekosistem, infrastruktur dan kondisi spesifik suatu wilayah menyebabkan terjadi perbedaan surplus-defisit produksi padi dan pola panen antar wilayah. Perbedaan kondisi infrastruktur suatu wilayah dapat menyebabkan perbedaan kemampuan distribusi antar daerah di masing-masing wilayah. Perbedaan antar wilayah dan antar waktu tersebut dapat mengakibatkan kebijakan sentralistik tidak tepat dan tidak efektif di wilayah tertentu. Kebijakan saat ini merupakan kebijakan yang berlaku umum untuk setiap wilayah (sentralistik) dan berlaku sepanjang tahun. Menurut data empiris kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras berlangsung efektif secara aggregat nasional. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyatakan hal yang sama. Erwidodo dan Hadi (1999), Feridhanustyawan dan Pangestu (2003), serta Hadi dan Wiryono (2005) yang menggunakan data aggregat nasional dan aggregat tahunan menyatakan bahwa kebijakan efektif terhadap stabilisasi harga beras konsumen. Penelitian Karo-Karo Sitepu (2001), Dwijono (2001) dan Departemen Pertanian (2007) juga menyatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga melalui instrumen harga dasar, pembeliaan gabah dan beras petani serta pengelolaan stok
7
berlangsung efektif. Namun demikian hasil penelitian Mulyana (1998) menyatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras menghasilkan dampak yang berbedabeda di setiap wilayah. Data empiris bulanan juga menunjukkan perbedaan dampak kebijakan ini di beberapa wilayah pada periode tertentu seperti pada periode Februari-Mei yang disebut sebagai periode panen raya nasional di masing-masing wilayah. Penggunaan data disaggregasi wilayah dan disaggregasi bulanan dapat menunjukkan perbedaan dampak kebijakan di masing-masing wilayah. Penelitian ini menunjukkan perbedaan dampak kebijakan terhadap harga gabah dan harga beras antar wilayah. Harga dasar gabah berpengaruh nyata terhadap harga gabah secara nasional, Jawa dan Bali, dan Sulawesi. Sementara di Sumatera dan Kalimantan pengaruh harga dasar tidak nyata terhadap harga gabah. Respon harga dasar di wilayah menunjukkan bahwa meskipun secara nasional harga dasar nyata berpengaruh terhadap harga gabah tetapi harga dasar tidak menunjukkan dampak dengan efektivitas yang sama terhadap harga gabah. Penggunakan data aggregat tahunan dan nasional dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat. Konsekuensi dari hal itu adalah penerapan kebijakan perberasan selama ini yang belum mempertimbangkan variasi antar wilayah dan antar waktu akan terus berlangsung sehingga tujuan kebijakan untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen tidak tercapai. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini sangat penting untuk mengkaji dampak kebijakan perberasan berdasarkan variasi antar wilayah dan antar waktu. Penelitian ini akan menganalisis dampak kebijakan perberasan
8
terhadap harga gabah dan harga beras nasional dan wilayah sesuai dengan variasi antar waktu dan antar wilayah sehingga dapat menjawab pertanyaan apakah perbedaan variasi antar waktu dan antar wilayah mempunyai dampak yang berbeda terhadap efektivitas kebijakan perberasan.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan penelitian di atas
maka tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis dampak kebijakan perberasan di tingkat nasional dan wilayah dengan menggunakan model ekonomi perberasan yang dibangun berdasarkan data disaggregasi wilayah dan bulanan. Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Membangun model ekonomi perberasan yang mampu menjelaskan perbedaan dampak kebijakan stabilisasi harga gabah produsen dan harga beras produsen di tingkat wilayah berdasarkan variasi antar wilayah dan antar waktu. 2. Mempelajari dampak kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), tarif impor beras, penyaluran oleh Perum Bulog dan kombinasi kebijakan HPP dan tarif impor beras di tingkat wilayah berdasarkan variasi antar wilayah dan antar waktu.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Konstruksi model yang akan dibangun merefleksikan keterkaitan antara penawaran, permintaan dan harga dalam konteks penerapan instrumen kebijakan stabilisasi harga gabah produsen dan harga beras konsumen. 1.
Ruang lingkup penelitian adalah tingkat nasional dan beberapa pulau terbesar
9
(wilayah) sehingga data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data nasional dan disaggregat wilayah secara bulanan selama periode tahun 2004-2008. 2.
Komoditas beras tidak dipisahkan menurut kualitas dan jenisnya, melainkan digunakan
jumlah
seluruh
beras
yang
diproduksi,
diminta
dan
diperdagangkan berdasarkan data yang tersedia. 3.
Harga beras internasional yang digunakan mengacu pada harga beras FOB Thailand kualitas medium broken 25 persen, sedangkan harga beras domestik mengacu pada harga beras kualitas medium IR II di pasar induk wilayah masing - masing. Perubahan harga beras kualitas medium menjadi indikator perubahan semua harga beras dan akan diikuti oleh perubahan harga beras kualitas lainnya dengan cara yang sama. Hasil uji kointegrasi pasar domestik Indonesia dengan pasar internasionalnya (Bangkok) pada penelitian Irawan (2004) menunjukkan bahwa pasar beras (propinsi, Jakarta dan Bangkok) saling terintegrasi. Perubahan yang terjadi di pasar beras internasional seperti kelebihan produksi, kegagalan panen dari negara-negara produsen beras dunia akan berimbas pada pasar domestik.
4.
Kebutuhan beras yang sesungguhnya mencakup konsumsi, benih, pakan maupun susut, tetapi dalam penelitian ini konsumsi beras dibatasi pada kebutuhan konsumsi masyarakat secara nasional. Data kebutuhan konsumsi tersebut tersedia secara berkelanjutan.
5.
Kebijakan ekonomi perberasan dalam penelitian adalah kebijakan harga dasar, tarif, pengadaan dan penyaluran beras.
6.
Analisis yang dilakukan adalah model persamaan simultan dengan
10
menggunakan metode pendugaan two stage least squares (2 SLS).
1.5. Definisi Definisi dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Disaggregasi wilayah adalah pemisahan data nasional menjadi data wilayah berdasarkan pulau terbesar di Indonesia yaitu: Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi.
2.
Disaggregasi bulanan adalah pemisahan data berdasarkan periode waktu satu bulan dari data tahunan.
3.
Periode I adalah periode antara bulan Februari-Mei dimana periode ini merupakan periode panen raya nasional.
4.
Periode II adalah periode bulan Juni-Januari dimana periode ini merupakan periode bukan panen raya nasional.
5.
Periode aggregat adalah periode satu tahun yaitu antara bulan Januari sampai dengan bulan Desember.
6.
Variasi antar wilayah adalah perbedaan pola produksi padi dan kondisi surplus-defisit antar wilayah akibat adanya perbedaan agroekosistem.
7.
Variasi antar waktu adalah perbedaan jumlah produksi beras antara periode I dan periode II sesuai pola panen padi suatu wilayah.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Permintaan dan Penawaran Beras Indonesia
2.1.1. Perkembangan Produksi Produksi padi nasional dihasilkan tidak merata antar wilayah dan antar waktu. Kondisi ini terjadi karena perbedaan potensi produksi dan pola produksi masing-masing wilayah. Pulau Jawa merupakan wilayah utama penghasil beras nasional dengan rata-rata produksi sebesar 54.52 persen dari total produksi beras Indonesia. Berdasarkan data Angka Tetap (ATAP) dan Angka Ramalan (ARAM) (Badan Pusat Statistik, 2008), produksi padi nasional tahun 2004 sebesar 54.08 juta ton dan mencapai 60.25 juta ton pada tahun 2008 (Tabel 1).
Tabel 1. Produksi Padi Nasional Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2004 2,417.57 6,630.75 9,604.15 7,268.09 4,557.59 4,013.35 4,852.16 4,736.18 3,745.93 2,664.35 1,804.42 1,789.91
2005 1,985.87 4,380.94 9,676.19 8,783.21 4,397.83 3,979.33 4,710.52 5,413.58 4,324.79 2,915.47 1,870.77 1,712.63
Tahun (000 ton) 2006 2,178.35 6,013.83 10,334.72 7,398.25 4,223.08 4,215.15 5,115.00 5,024.90 4,170.36 2,519.49 1,757.14 1,504.67
2007
2008
1,566.19 2,882.22 7,319.63 10,543.54 6,483.74 4,546.34 4,748.66 6,305.21 5,408.75 3,171.34 2,335.76 1,845.87
1,634.16 3,001.44 7,739.92 11,186.74 6,844.40 4,809.12 5,048.68 6,639.85 5,657.30 3,321.03 2,434.51 1,933.87
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Angka Tetap, 1999-2007 dan Angka Ramalan III, 2008)
Produksi padi tidak dihasilkan merata baik antar wilayah maupun antar waktu sepanjang periode satu tahun. Sepanjang periode satu tahun terdapat kondisi surplus produksi beras Indonesia pada bulan Februari-Mei dan kondisi cukup sampai dengan bulan Agustus. Perimbangan antara produksi, ketersediaan dan kebutuhan beras akan mengalami defisit memasuki bulan September
12
-Januari. Produksi padi sebesar 49.72 persen dari total produksi nasional dihasilkan pada periode bulan Februari-Mei. Periode bulan Februari-Mei ini disebut sebagai periode panen raya nasional. Rata-rata produksi padi Jawa sepanjang tahun 2004-2008 adalah sebesar 30.43 juta ton. Total produksi padi Jawa tahun 2004 sebesar 29.63 juta ton dan meningkat menjadi 32.34 juta pada tahun 2008 yang berarti lebih dari setengah produksi padi nasional berasal dari produksi padi Jawa. Semua provinsi di wilayah Jawa merupakan provinsi penghasil padi terutama Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat yang merupakan provinsi penghasil padi terbesar di Indonesia. Produksi padi Jawa Timur sebesar 10.12 juta ton sedangkan Jawa Barat menghasilkan padi sebesar 9.14 juta ton pada tahun 2008 (Tabel 2). Tabel 2. Produksi Padi Wilayah Jawa Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2004 1,159.04 4,095.84 5,679.17 3,883.12 2,174.08 2,408.76 3,284.53 2,692.41 1,584.57 1,200.64 801.27 672.42
2005 738.02 2,498.39 6,240.91 4,995.35 2,058.25 2,481.68 3,171.43 2,859.29 1,787.08 1,369.62 898.75 665.61
Tahun (000 ton) 2006 933.45 3,681.94 6,452.06 3,905.13 2,051.59 2,723.05 3,461.83 2,559.64 1,636.06 1,151.88 820.92 583.09
2007
2008
576.18 1,126.58 4,136.61 6,449.78 3,361.44 2,665.58 3,167.52 3,316.34 2,444.26 1,414.29 1,072.45 735.31
613.82 1,199.61 4,421.91 6,867.76 3,556.72 2,837.11 3,393.51 3,486.62 2,565.31 1,498.67 1,128.41 774.76
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Angka Tetap, 1999-2007 dan Angka Ramalan III, 2008)
Produksi padi Jawa terbesar terjadi pada bulan Februari-Mei sehingga disebut sebagai masa panen raya Jawa. Pada periode ini produksi padi mencapai sekitar 51.81 persen dari total produksi Jawa dengan jumlah produksi sebesar 3-6 juta ton per bulan. Sebagai wilayah produksi padi utama, maka pola produksi nasional ditentukan oleh pola produksi Jawa sehingga masa panen raya nasional
13
juga terjadi pada periode Februari-Mei. Rata-rata produksi padi Sumatera sepanjang tahun 2004-2008 sebesar 12.90 juta ton dimana pada tahun 2004 produksi padi sebesar 12.66 juta ton sedangkan tahun 2008 produksi padi sebesar 13.58 juta ton. Wilayah ini berkontribusi sebesar 23.03 persen terhadap total produksi nasional. Tabel 3. Produksi Padi Wilayah Sumatera Tahun 2004-2008 Bulan
2004
2005
Tahun (000 ton) 2006
2007 2008 Januari 785.49 786.59 738.80 564.17 567.54 Februari 1,607.84 1,219.29 1,385.59 1,004.31 1,006.17 Maret 2,074.92 1,940.85 1,889.74 1,829.01 1,866.30 April 1,559.96 1,708.60 1,561.78 2,064.33 2,106.09 Mei 1,031.35 995.15 873.56 1,373.42 1,392.55 Juni 792.91 802.31 777.26 812.07 821.57 Juli 789.40 850.57 727.91 795.58 810.30 Agustus 963,13 1,062.59 1,089.49 1,201.57 1,225.75 September 1,122.34 1,208.23 1,320.34 1,517.86 1,555,96 Oktober 875.70 918.91 798.19 991.72 1,010.18 November 509.20 552.24 439.37 631.14 632.96 Desember 553.69 629.70 601.20 585.52 590.87 Sumber: Badan Pusat Statistik, (Angka Tetap, 1999-2007 dan Angka Ramalan III, 2008)
Pola produksi Sumatera sama dengan pola produksi Jawa. Panen raya padi mulai berlangsung pada bulan Februari setelah masa paceklik dan terus meningkat sampai bulan Mei. Pada periode ini dihasilkan sekitar 47.47 persen dari total produksi padi Sumatera. Pola produksi yang sama antara kedua wilayah utama penghasil padi nasional tersebut mengakibatkan pola panen nasional juga terjadi pada periode bulan Februari-Mei (Tabel 3). Periode panen raya di Bali dan Nusa Tenggara berlangsung singkat antara bulan Maret-Mei. Produksi padi rata-rata wilayah ini sebesar 2.87 juta ton sepanjang tahun 2004-2008. Wilayah ini adalah wilayah dengan kontribusi produksi padi terkecil diantara wilayah lainnya. Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara hanya sekitar 5.13 persen dari total produksi padi nasional. Daerah
14
sentra produksi di wilayah ini tidak merata. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan sentra produksi sedangkan Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur bukan sentra produksi padi. Pada tahun 2008 produksi padi Provinsi NTB sebesar 1.75 juta ton (Tabel 4). Tabel 4. Produksi Padi Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2004-2008 Bulan
2004
2005
Tahun (000 ton) 2006
2007 2008 Januari 73.39 77.89 89.61 71.41 76.60 Februari 214.53 48.06 68.34 89.93 96.81 Maret 643.56 95.48 179.92 276.60 304.50 April 560.87 568.53 653.16 665.83 748.78 Mei 264.59 631.59 642.85 485.57 542.85 Juni 194.22 340.23 327.19 295.22 328.62 Juli 309.74 164.84 178.55 217.20 241.96 Agustus 170.82 188.48 251.40 242.29 268.32 September 96.18 166.07 163.39 166.13 177.53 Oktober 94.12 97.09 132.66 116.16 122.33 November 107.42 113.31 97.81 121.50 128.77 Desember 73.39 112.57 112.83 123.92 133.59 Sumber: Badan Pusat Statistik, (Angka Tetap, 1999-2007 dan Angka Ramalan III, 2008)
Rata-rata produksi padi Kalimantan sebesar 3.94 juta ton per tahun sepanjang tahun 2004-2008. Produksi tahun 2004 sebesar 3.66 juta ton sedangkan pada tahun 2008 dihasilkan sebesar 4.35 juta ton padi. Produksi tersebut terutama dihasilkan pada bulan Maret dan Agustus yang merupakan puncak produksi padi Kalimantan. Produksi padi wilayah ini memiliki 2 periode panen raya yaitu Februari-Mei yang menghasilkan 47.33 persen produksi dan Juli-Oktober sebesar 35.72 persen dari total produksi padi Kalimantan dimana puncak panen terjadi pada bulan Maret dan Agustus. Produksi padi antar propinsi di wilayah ini tidak merata dimana produksi terutama berasal dari Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Pada tahun 2008 produksi padi Kalimantan Selatan sebesar 1.98 juta ton sedangkan produksi padi Propinsi Kalimantan Barat sebesar 1.34 juta ton (Tabel 5).
15
Infrastruktur distribusi padi antar propinsi di wilayah ini masih relatif kurang baik sehingga merupakan salah satu faktor hambatan pasar (barrier) di wilayah ini. Tabel 5. Produksi Padi Wilayah Kalimantan Tahun 2004-2008 Bulan
2004
2005
Tahun (000 ton) 2006
2007 2008 Januari 192.45 262.02 234.19 216.88 225.43 Februari 445.50 464.64 542.94 453.65 467.37 Maret 599.57 499.90 613.13 579.26 588.40 April 444.25 458.94 408.38 478.28 479.23 Mei 288.23 322.05 351.97 419.73 421.66 Juni 184.08 136.66 155.81 259.45 261.00 Juli 218.74 191.09 355.72 199.09 200.22 Agustus 462.70 556.48 499.97 555.42 553.18 September 342.08 347.99 289.16 617.16 616.12 Oktober 148.99 203.42 128.90 275.97 277.15 November 109.30 68.39 128.86 160.96 162.21 Desember 220.79 102.77 68.36 93.26 96.59 Sumber: Badan Pusat Statistik, (Angka Tetap, 1999-2007 dan Angka Ramalan III, 2008)
Wilayah Sulawesi memiliki kontribusi sebesar 10.12 persen terhadap total produksi nasional. Produksi padi Sulawesi pada tahun 2004 sebesar 6.55 juta ton pada tahun 2008 dimana sebesar 4.07 juta ton berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi lainnya di wilayah ini bukan merupakan provinsi sentra produksi padi yang berarti bahwa produksi padi tidak merata di wilayah ini. Rata-rata produksi padi Sulawesi sepanjang tahun 2004-2008 adalah sebesar 5.70 juta ton. Perbedaan besar pola produksi Sulawesi dengan pola produksi nasional adalah terdapat 2 periode panen raya yang relatif sama yaitu Maret-Juni yang menghasilkan 45.96 persen produksi dan Juli-Oktober sebesar 37.86 persen dari total produksi padi Sulawesi (Tabel 6). Masa paceklik pada pola panen nasional merupakan masa panen raya di wilayah Sulawesi sedangkan awal masa panen raya nasional merupakan akhir paceklik di wilayah ini. Perbedaan pola panen Sulawesi dengan pola panen nasional menjadi faktor penyebab tingginya distribusi beras dengan wilayah lain terutama Jawa dan Kalimantan.
16
Tabel 6. Produksi Padi Sulawesi Tahun 2004-2008 Bulan
2004
2005
Tahun (000 ton) 2006
2007 2008 Januari 192.54 134.85 193.74 131.39 143.39 Februari 250.29 91.96 211.71 195.49 216.34 Maret 595.50 408.66 684.75 474.49 529.64 April 808.64 972.13 847.69 860.76 958.15 Mei 776.11 646.11 600.94 798.71 881.89 Juni 415.95 373.58 365.49 492.09 535.96 Juli 242.47 296.52 307.60 353.97 384.84 Agustus 438.72 754.24 692.85 969.19 1,081.34 September 593.38 861.32 774.80 657.17 735.60 Oktober 339.42 308.49 333.60 358.65 396.44 November 265.61 235.92 237.09 333.56 364.06 Desember 252.74 217.03 143.55 298.53 327.62 Sumber: Badan Pusat Statistik, (Angka Tetap, 1999-2007 dan Angka Ramalan III, 2008)
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terjadi variasi antar wilayah dan waktu produksi padi Indonesia di masing-masing wilayah. Variasi antar wilayah terjadi akibat perbedaan jumlah produksi wilayah dimana suatu wilayah disebut sentra produksi atau bukan sentra produksi. Variasi antar waktu terkait dengan pola produksi dimana terdapat periode panen raya dan bukan panen raya di masing-masing wilayah yang berbeda-beda pula. Selain variasi antar wilayah dan antar waktu terdapat juga variasi infrastruktur distribusi padi. Wilayah Jawa dan Sumatera relatif memiliki infrastruktur yang baik sedangkan Kalimantan dan Nusa Tenggara memiliki infrastruktur yang relatif kurang baik. 2.1.2. Pola Panen Padi Pola panen padi wilayah dapat dibagi menjadi 3 (tiga) pola panen. Pola pertama adalah pola panen wilayah Sumatera dan Jawa. Pola panen nasional termasuk dalam pola pertama ini. Kedua adalah pola panen wilayah Bali dan Nusa Tenggara, sedangkan pola panen ketiga adalah pola panen wilayah Kalimantan dan Sulawesi.
17
Produksi Padi (000 Ton) 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul Agust Sep
Okt Nop Des
Bulan
Gambar 3. Pola Panen Padi Indonesia Tahun 2004-2008 Produksi padi sebesar 49.72 persen dari total produksi nasional dihasilkan pada priode antara bulan Februari-Mei. Periode ini disebut sebagai periode panen raya. Memasuki Bulan Agustus dan September terjadi masa panen kedua yang disebut masa panen gadu, namun dalam penelitian ini masa panen gadu digolongkan sebagai periode bukan panen raya. Periode bukan panen raya terjadi antara Juni-Januari yang terdiri dari masa sesudah panen raya (Juni-Juli), masa panen gadu (Agustus-September) dan masa paceklik (Oktober-Januari). Pola panen yang sama terjadi di wilayah Jawa bahkan pada periode panen raya sekitar 51.81 persen dari total produksi Jawa dihasilkan pada periode ini. Pola panen secara nasional ditentukan oleh pola panen wilayah Jawa sebab lebih dari setengah (54.33 persen) produksi padi dihasilkan di wilayah ini. Masa panen gadu di wilayah Jawa juga terdiri dari 2 bulan yaitu pada bulan Juli dan Agustus. Pola panen menyebabkan terdapat kondisi surplus yang tinggi pada saat panen raya, kondisi cukup dan kurang pada saat bukan panen raya (Gambar 4).
18
Produksi padi (000 Ton) 5000 4000 3000 2000 1000 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul Agust Sep
Okt
Nop Des
Bulan
Gambar 4. Pola Panen Padi Jawa Tahun 2004 – 2008 Pola panen wilayah Sumatera juga hampir serupa dengan pola panen Jawa dan Indonesia dimana masa panen raya terjadi pada periode Februari-Mei dimana jumlah produksi sebesar 47.47 persen dari total produksi wilayah Sumatera. Wilayah ini berkontribusi sebesar 23.03 persen terhadap total produksi nasional. Pola yang berbeda dengan wilayah Jawa adalah pada pola panen gadu yang berlangsung selama periode bulan Agustus-Oktober. Hal ini berarti bahwa penyediaan beras di wilayah ini relatif lebih merata sepanjang tahun daripada wilayah Jawa. Pola panen Jawa dan Sumatera yang berkontribusi menghasilkan sekitar 77.35 persen dari total produksi padi nasionl menentukan bentuk pola panen nasional. Pola produksi yang sama antara kedua wilayah utama penghasil padi nasional tersebut mengakibatkan pola panen nasional juga terjadi pada periode bulan Februari-Mei. Pola panen yang sama, kondisi surplus dan infrastruktur yang relatif lebih baik daripada wilayah lainnya mengakibatkan pengaruh kebijakan
19
memiliki dampak yang hampir sama di kedua wilayah ini.
Produksi Padi (000 Ton) 2000 1500 1000 500 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul Agust Sep
Okt
Nop
Des
Bulan
Gambar 5. Pola Produksi Padi Sumatera Tahun 2004-2008 Pola panen wilayah lainnya berbeda dengan pola panen Indonesia, Sumatera dan Jawa di atas. Pola panen Bali dan Nusa Tenggara tidak mengalami masa panen gadu sehingga periode bukan panen berlangsung lebih lama. Periode panen raya di Bali dan Nusa Tenggara berlangsung singkat antara bulan MaretMei. Pada bulan lainnya produksi padi Bali dan Nusa Tenggara relatif sama Memasuki bulan September produksi padi Bali dan Nusa Tenggara kembali mengalami peningkatan. Wilayah Bali dan Nusa Tenggara ini adalah wilayah yang memiliki kontribusi produksi padi paling kecil diantara seluruh wilayah lainnya. Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara hanya sekitar 5.13 persen dari total produksi padi nasional. Daerah sentra produksi padi di wilayah ini tidak merata dan terpusat pada satu provinsi saja. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan sentra produksi sedangkan Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur
20
bukan sentra produksi padi. Pada tahun 2008 produksi padi Provinsi NTB sebesar 1.75 juta ton.
Produksi Padi (Ton) 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 Jan
Feb
Mar Apr
Mei Jun Jul Agust Sep Bulan
Okt
Nop Des
Gambar 6. Pola Produksi Padi Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2004-2008
Produksi Padi (Ton) 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 Jan
Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agust Sep
Okt
Nop Des
Bulan
Gambar 7. Pola Produksi Padi Kalimantan Tahun 2004-2008 Wilayah Kalimantan memiliki dua periode puncak panen bulan Maret dan Agustus. Produksi padi wilayah ini memiliki 2 (dua) periode panen raya dengan jumlah produksi relatif sama yaitu 47.33 persen dari total produksi padi
21
Kalimantan pada periode Februari-Mei dan sebesar 35.72 persen pada periode Juli-Oktober. Puncak panen pada periode panen Kalimantan masing-masing terjadi pada bulan Maret dan Agustus. Pola panen Sulawesi juga memiliki 2 (dua) periode panen raya yang relatif sama yaitu Maret-Juni yang menghasilkan 45.96 persen produksi dan Juli-Oktober sebesar 37.86 persen dari total produksi padi Sulawesi. Masa paceklik pada pola panen nasional merupakan masa panen raya di wilayah Sulawesi sedangkan awal masa panen raya nasional merupakan akhir masa paceklik di wilayah ini.
Produksi Padi (Ton) 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 Jan
Feb
Mar Apr
Mei
Jun
Jul Agust Sep
Okt
Nop Des
Bulan
Gambar 8. Pola Produksi Padi Sulawesi Tahun 2004-2008
2.1.3. Impor Beras Indonesia menjadi negara importir beras dengan jumlah impor berfluktuasi. Jumlah impor beras mencapai titik puncak pada tahun 1999 dengan jumlah lebih dari 4.74 juta ton. Jumlah impor beras sempat mengalami penurunan pada tahun 2004-2006 ke angka 187 698 ton. Jumlah impor beras kembali meningkat tahun
22
2007 menjadi sebesar 1.05 juta ton. Jumlah impor beras tahun 2008 kemudian menurun tajam dengan pertumbuhan -73.33 persen sampai bulan Juni berbanding dengan periode yang sama tahun 2007. Sebagian besar beras impor Indonesia berasal dari Thailand dan Vietnam. Pada tahun 1999-2007 pertumbuhan impor beras dari Vietnam meningkat sebesar 34.21 persen sedangkan beras impor dari Thailand relatif stabil dengan pertumbuhan -3.89 persen. Tabel 7. Impor Beras Indonesia Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2004 35.30 20.65 16.37 34.10 30.41 10.88 15.88 13.68 9.40 3.67 4.80 31.57
2005 4.41 12.76 3.72 4.43 7.19 29.86 12.84 36.98 7.00 10.94 16.28 44.79
Tahun (000 ton) 2006 21.19 70.62 7.40 12.69 3.55 27.50 26.02 11.35 18.81 49.47 79.42 110.10
2007 32.35 96.29 195.50 86.30 86.30 101.95 38.52 65.55 151.92 54.38 140.02 107.84
2008 136.58 9.06 74.19 76.27 29.08 30.05 10.22 21.50 14.57 12.23 16.16 16.01
Sumber : BPS, diolah oleh Departemen Perdagangan RI, 2009
Realisasi impor justru terjadi pada periode panen raya nasional FebruariMei yaitu sekitar 29.51 persen dari total seluruh realisasi impor sepanjang tahun. Jumlah realisasi impor yang cukup besar pada periode ini semakin menambah besarnya jumlah penawaran hingga mencapai sekitar 51.85 persen dari total penawaran sepanjang tahun, melengkapi total penawaran yang berasal dari produksi nasional sebesar 49.72 persen dari total produksi nasional. Penghapusan monopoli Bulog dan pembebasan impor beras tahun 2000 produksi dan krisis politik mengakibatkan beras impor membanjiri pasar domestik. Harga gabah petani menurun sehingga komoditas beras produksi
23
nasional menjadi tidak kompetitif lagi dibanding beras impor (Hadi dan Wiryono, 2005). Sebagian besar beras impor Indonesia berasal dari Thailand disamping Vietnam. Thailand merupakan salah satu negara eksportir utama dunia sehingga harga beras Thailand mempengaruhi harga beras dunia. Berdasarkan alasan tersebut, maka penelitian ini menggunakan harga beras Thailand sebagai acuan harga beras dunia.
(Ton) 80.000 70.000 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agust
Sep
Okt
Nop
Sumber : BPS, diolah oleh Departemen Perdagangan RI, 2009
Gambar 9. Impor Beras Bulanan Indonesia Tahun 2008
2.1.4. Konsumsi Beras Penduduk Indonesia mayoritas mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Peningkatan jumlah penduduk yang mengkonsumsi beras disebabkan oleh beralihnya konsumsi makanan pokok dari jagung, ubi, atau sagu ke beras di beberapa daerah. Kebijakan harga beras murah yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan stabilisasi harga beras juga mendukung peningkatan jumlah konsumsi beras.
24
Data konsumsi yang digunakan dalam berbagai penelitian adalah data pendekatan (proxy) yaitu ketersediaan untuk konsumsi (apparent consumption), seperti Neraca Bahan Makanan yang dipublikasi Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Konsumsi beras per kapita adalah total ketersediaan konsumsi beras dibagi jumlah penduduk pada tahun yang sama. Konsumsi beras sepanjang periode tahun 2000-2008 relatif stabil yaitu berkisar antara 22.8-23.8 juta ton per tahun. Tabel 8. Konsumsi Beras Indonesia Bulanan Tahun 1999-2008 Bulan
2004
2005
Tahun (00 ton) 2006
2007 2008 Sumatera 55.892 56.47 56.29 59.14 54.75 Jawa 133.05 131.21 129.33 126.58 132.41 Kalimantan 14.73 14.51 14.15 14.18 14.82 Bali dan NT 12.74 12.88 12.68 12.76 13.29 Sulawesi 18.37 17.03 17.79 17..56 18.56 Indonesia 234.14 231.63 228.78 225.69 238.135 Sumber: Neraca Bahan Makanan, 1999-2006 dan Neraca Bahan Makanan Perkiraan, 2007-2008
2.1.5. Perkembangan Harga Gabah dan Beras Harga gabah kering panen (GKP) nasional dan tahunan umumnya berada di atas harga HPP. Meskipun demikian pada periode dan bulan tertentu harga gabah berada di bawah HPP. Harga rata-rata GKP sebesar Rp 1,060 per kilogram jauh di bawah HPP sebesar Rp 1,095 per kilogram pada periode bulan Januari-Juli 2001. Harga rata-rata GKP pada bulan April dan Mei 2003 juga berada di bawah HPP yaitu sebesar Rp 1,173 per kilogram dan Rp 1,217 per kilogram sedangkan HPP sebesar Rp 1,230 per kilogram. Kondisi serupa terjadi pada bulan Maret-September 2004, harga rata-rata GKP adalah Rp 1,192 per kilogram berada di bawah HPP yang berlaku yaitu sebesar Rp 1,230 per kilogram. Harga GKP yang berada di bawah HPP juga
25
terjadi pada bulan Maret dan April 2008. Pada periode ini harga GKP hanya sebesar Rp 2,149 per kilogram pada bulan Maret dan Rp 2,186 per kilogram pada bulan April berada di bawah HPP yang berlaku yaitu sebesar Rp 2,200 per kilogram. Tabel 9 . Perkembangan Harga Gabah Petani Indonesia Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2004 1,263 1,171 1,096 1,156 1,234 1,217 1,199 1,187 1,218 1,271 1,285 1,232
2005
Tahun (000 ton) 2006
1,406 1,398 1,379 1,339 1,366 1,424 1,446 1,530 1,606 1,704 1,762 1,824
1,995 1,973 1,771 1,828 1,977 2,036 2,034 2,095 2,071 2,104 2,180 2,394
2007 2,571 2,634 2,433 2,134 2,155 2,267 2,261 2,259 2,308 2,323 2,328 2,393
2008 2,531 2,587 2,319 2,008 2,044 2,158 2,159 2,166 2,200 2,190 2,201 2,300
Sumber: Statistik Harga Produsen (BPS, 2005- 2009)
Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan harga beras domestik. Secara umum harga beras domestik juga relatif stabil meskipun pada periode tertentu mengalami ketidakstabilan. Harga beras Thailand Broken 25 persen dan PIBC kualitas medium IR II sangat berfluktuasi sepanjang tahun 2004-2007. Harga beras IR II PIBC berada di bawah harga beras Thailand Broken 25 persen antara bulan Maret 2004-Desember 2005. Kondisi ini dimana harga beras IR II PIBC lebih murah daripada harga beras Thailand Broken persen terjadi sejak Januari 2006. Perkembangan harga beras baik IR II PIBC maupun beras Thailand Broken 25 persen terus mengalami peningkatan. Harga beras IR II PIBC dan beras Thailand Broken 25 persen mengalami pertumbuhan sebesar 25.41 persen dan 28.71 persen. Harga beras dunia mengalami peningkatan yang sangat tajam pada
26
tahun 2008. Harga beras Thailand Broken 25 persen yang menjadi representasi harga beras dunia meningkat menjadi Rp 8,329 per kilogram pada bulan Agustus dimana harga beras Thailand Broken 25 persen semula sebesar Rp 4,829 per kilogram pada bulan Januari. Tabel 10 . Perkembangan Harga Beras Eceran Indonesia Tahun 2004-2008 Bulan
2004
Januari 2,700 2,700 Februari 2,700 Maret 2,700 April 2,700 Mei Juni 2,693 Juli 2,571 Agustus 2,456 September 2,450 Oktober 2,456 November 2,450 Desember 2,566 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009
2005
Tahun (000 ton) 2006
2,821 2,993 2,735 2,603 2,600 2,780 2,900 3,006 3,077 3,294 3,370 3,590
4,145 4,439 3,989 3,777 3,939 4,047 4,085 4,182 3,987 4,144 4,257 4,719
2007 4,958 5,459 5,489 4,588 4,642 4,610 4,623 4,669 4,623 4,647 4,541 4,852
2008 5,084 4,866 4,832 5,053 5,100 5,010 5,100 5,100 5,100 5,100 5,100 5,180
Sejak era perdagangan bebas beras tahun 2000, membanjirnya beras impor mengakibatkan harga beras dalam negeri terus tertekan dan rendah mengikuti harga beras dunia, namun pada saat harga beras di pasar dunia melonjak tajam pada tahun 2008 tidak diikuti peningkatan harga domestik. Harga beras paritas Thailand Broken 25 persen meningkat dari Rp 3,948 per kilogram pada bulan Januari 2007 menjadi Rp 8,329 per kilogram pada bulan Agustus atau meningkat sebesar lebih dari 2 kali lipat (BKP, 2008). Perbedaan tingkat harga gabah kering giling (GKG) dengan harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) sebagai acuan harga pedagang besar semakin melebar. Pertumbuhan harga beras PIBC yang lebih cepat dibandingkan dengan harga GKG/GKP karena sejak pertengahan tahun 2004 harga beras konsumen pedesaan lebih tinggi daripada harga beras PIBC. Perbedaan harga antara
27
GKG/GKP dengan harga beras PIBC tersebut menunjukkan semakin besar marjin pemasaran beras pada pedagang beras yang berarti bahwa para petani yang merupakan konsumen beras pedesaan akan semakin mahal membeli beras dibandingkan alat tukarnya berupa GKG/GKP.
2.2.
Kebijakan Ekonomi Stabilisasi Harga Gabah dan Beras Kebijakan harga beras merupakan kebijakan penting untuk mengendalikan
ketidakstabilan harga baik ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu musim panen dan paceklik maupun ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan dan kebanjiran, serta fluktuasi harga beras dunia. Ketidakstabilan harga antar musim terkait dengan panen raya yang berlangsung antara bulan Februari-Mei sebesar 60-65 persen dari total produksi nasional. Bila harga gabah dan beras sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar, harga gabah dan beras akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik. Ketidakstabilan harga dapat merugikan produsen pada masa panen raya dan memukul konsumen pada saat paceklik dan dapat berdampak luas pada ekonomi makro termasuk inflasi (Sawit, 2001). Kebijakan harga dasar gabah (HDG) yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1969 (MT 1969-1970), menggunakan pendekatan rumus tani dengan pendekatan 1 (satu) kilogram sama dengan 1 (satu) kilogram pupuk urea (Amang dan Sawit, 2001). Kebijakan harga dasar kemudian berubah menjadi harga pembelian pemerintah (HPP) bertujuan untuk menjaga petani dapat menikmati harga yang wajar. Istilah HDG diberlakukan hanya sampai pada akhir tahun 1998. Istilah HDG diberlakukan hanya sampai pada akhir tahun 1998, mengingat setelah
10
GKP Petani GKP Penggilingan GKG Penggilingan / KUD Beras Pasar Induk Cipinang Beras Pedesaan Beras Konsumen Perkotaan
5,000 4,500 4,000
HARGA
3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 6.20. : Perkembangan Harga GKP Petani, GKP Penggilingan, GKG Penggilingan/KUD, Beras PIC dan beras Pedesaan, Tingkat Nasional Tahun 2000-2006
Sumber: Badan Ketahanan Pangan, 2007
Gambar 10. Perkembangan GKP, GKG dan Beras di Indonesia
2006
29
krisis ekonomi pada tahun 1999, Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus tunduk pada kesepakatan International Monetary Fund (IMF) yang tertuang dalam International Labor Organization (ILO) yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan hak monopoli impor beras Bulog. Pada saat dimulainya pencabutan monopoli impor oleh Perum Bulog, Indonesia tidak dapat lagi menerapkan kebijakan harga dasar yang dikenal dengan floor price policy secara teknis saat dalam globalisasi perdagangan bebas (Kariyasa, 2007). HPP merupakan salah satu cara untuk memberikan insentif kepada petani yang dikenal dengan procurement price policy. Pemerintah membeli sejumlah tertentu gabah dan beras dari petani berdasarkan HPP yang relatif tinggi daripada harga pasar untuk mengangkat harga gabah dan beras di tingkat petani. Tabel 11. Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2004 1,230*) 1,230*) 1,230*) 1,230*) 1,230*) 1,230*) 1,230 1,230 1,230 1,230 1,230 1,230
2005 1,230 1,230 1,330 1,330 1,330 1,330 1,330 1,330 1,330 1,330 1,330 1,330
Tahun (Rp/kg) 2006 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730 1,730
2007 1,730 1,730 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000
2008 2,000 2,000 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200
Keterangan: *) adalah Harga Dasar Gabah (HDG) Sumber: Pusat Distribusi Pangan, BKP, Departemen Pertanian (2008)
Implementasi kebijakan HPP adalah pemerintah hanya menetapkan harga pembelian dan tidak mempunyai kewajiban untuk membeli seluruh ekses suplai gabah/beras petani sebagaimana kebijakan HDG karena keuangan pemerintah yang sangat terbatas. Simatupang et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu
30
kelemahan kebijakan pemerintah ini adalah tidak ada kewajiban pemerintah membeli gabah petani dan harga yang ditetapkan dalam kebijakan ini adalah di tingkat penggilingan, bukan di tingkat petani. Selama pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 Tahun 2005, Inpres Nomor 3 Tahun 2007, Inpres Nomor 1 Tahun 2008 dan Inpres Nomor 8 Tahun 2008 yang berisi tentang amanat pengamanan harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG) dan beras yang disebut sebagai harga pembelian pemerintah (HPP). Kebijakan ini berlaku umum untuk semua wilayah dan diterapkan sepanjang tahun. Pemerintah memberikan jaminan tercapainya harga dasar dengan mengelola stok yang disebut buffer stok melalui pengadaan gabah di tingkat petani pada musim panen dan penyaluran beras beras pada masa paceklik. Pengadaan dilakukan pada saat panen raya agar harga di petani meningkat dan sebaliknya dilakukan penyaluran pada saat tingkat harga terlalu tinggi. Realisasi pengadaan terutama dilakukan pada bulan Maret-Juni yang bertujuan untuk meningkatkan harga gabah petani yang mengalami tekanan akibat over supply panen raya. Tabel 12. Perkembangan Pengadaan Beras Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
2004 1 44 404 596 494 260 102 47 41 63 28 17 2,097.0
Tahun (000 Ton) 2006 24.1 8.7 116.8 187.0 493.2 457.2 514.7 342.9 200.8 157.9 115.3 62.6 52.4 21.0 18.8 101.9 3.6 58.0 2.3 12.7 11.9 0.2 1,529.7 1,434.1
2005
2007 296.7 641.1 375.8 220.9 97.6 58.9 34.2 27.6 13.2 1,766.0
Sumber: Devisi Pengadaan dan Penyaluran Perum Bulog, 2008
2008 2.4 352.7 639.5 548.4 332.8 339.1 255.5 245.3 186.3 201.5 102.5 3,205.9
Persen (%) 0.04 2.12 19.25 28.43 23.58 12.42 4.86 2.24 1.94 2.99 1.33 0.81 100.00
31
Tabel 13. Perkembangan Penyaluran Beras Tahun 2004-2008 Tahun 2004
2005
2006
Bulan
Penawaran Beras (Rp/kg)
Januari
182,032
Februari Maret
Tahun
2007
Bulan
Penawaran Beras (Rp/kg)
Januari
231,227
211,586
Februari
290,765
217,967
Maret
290,988
April
202,948
April
171,909
Mei
200,861
Mei
159,500
Juni
211,937
Juni
171,677
Juli
187,234
Juli
165,353
Agustus
194,112
Agustus
174,249
September
201,844
September
176,693
Oktober
215,382
Oktober
168,194
Nopember
247,581
Nopember
155,474
Desember
138,103
Januari
178,694
Februari
Desember 2008
79,709
Januari
170,981
207,970
Februari
315,839
Maret
203,631
Maret
266,457
April
186,269
April
239,706
Mei
182,254
Mei
234,434
Juni
189,021
Juni
342,862
Juli
431,801
188,698
Juli
Agustus
185,463
Agustus
September
208,990
September
338,415
Oktober
213,447
Oktober
294,806
Nopember
160,612
Nopember
345,766
Desember
128,167
Desember
59,736
Januari
124,421
Februari
168,169
Maret
160,556
April
156,608
Mei
178,521
Juni
178,930
Juli
185,061
Agustus
176,182
September
183,842
Oktober
188,878
Nopember
107,035
Desember
34,476
Sumber: Devisi Pengadaan dan Penyaluran Perum Bulog, 2008
89,503
32
Kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah dilaksanakan melalui mekanisme pengadaan oleh Perum Bulog. Pada saat panen raya akan terjadi kelebihan penawaran yang mengakibatkan anjloknya harga gabah petani. Perum Bulog membeli gabah petani sesuai dengan harga dasar yang telah ditetapkan. Upaya ini bertujuan mempersempit kisaran flukutuasi harga antara masa panen dan bukan panen sehingga petani dapat memperoleh harga gabah pada tingkat yang wajar. Kebijakan penyaluran dilakukan untuk melindungi konsumen akibat kenaikan harga beras. Kenaikan harga beras akan mengurangi daya beli masyarakat sehingga dapat mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan pokok ini terutama masyarakat miskin yang memiliki daya beli sangat rendah. Penyaluran Perum Bulog dilakukan sebagai instrumen kebijakan stabilisasi di pasar domestik yang bertujuan mengendalikan kenaikan harga beras domestik. Tabel 14. Perkembangan Stok Operasional Perum Bulog Tahun 2004-2008 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2004 1,856 1,721 1,864 2,321 2,627 2,663 2,530 2,362 2,205 1,996 1,769 1,771
Tahun (000 Ton) 2005 2006 1,547 943 1,291 936 1,207 946 1,514 1,245 1,827 1,409 1,867 1,363 1,805 1,262 1,686 1,110 1,478 1,014 1,212 958 1,118 989 1,093 958
2007 738 554 434 694 1,272 1,533 1,714 1,747 1,683 1,685 1,662 1,573
2008 1,402 1,089 1,175 1,575 1,889 1,878 1,786 1,952 1,859 1,750 1,606 1,649
Persen (%) 5.39 5.00 5.42 6.75 7.63 7.74 7.35 6.87 6.41 5.80 5.14 5.15
Sumber: Devisi Pengadaan dan Penyaluran Perum Bulog, 2008
Perkembangan stok beras pada penelitian ini adalah perkembangan stok yang dikuasai oleh Perum Bulog. Sepanjang periode tahun 2004-2008 besaran
33
stok operasional Perum Bulog relatif stabil sepanjang kurun waktu satu tahun. Besaran stok pada tiga bulan awal dan tiga bulan akhir setiap tahun berkisar sebesar 5 persen dari jumlah stok komulatif sepanjang satu tahun. Jumlah terbesar stok operasional bulan terjadi mulai bulan April sebesar 6.75 persen dari stok komulatif tahunan sampai pada titik tertinggi pada bulan Agustus sebesar 7.74 persen. Hal ini terjadi karena pada periode tersebut merupakan periode panen raya dimana Perum Bulog melakukan pengadaan gabah dengan membeli gabah petani yang bertujuan untuk mencegah jatuhnya harga gabah tingkat petani pada saat panen raya.
2.3.
Tinjauan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai penawaran dan permintaan beras telah banyak
dilakukan sejak lama. Namun demikian penelitian mengenai perberasan tersebut belum mempertimbangkan adanya variasi antar waktu dan antar wilayah sehingga kesimpulan penelitian tersebut bersifat umum di level nasional. Kesimpulan tersebut tidak selalu tepat dengan fenomena riil di tingkat wilayah atau periode tertentu. Salah satu penelitian mengenai kebijakan intervensi pemerintah terhadap pasar gabah dan beras dilakukan oleh Rasahan (1983). Penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras sangat penting sehingga perkembangan harga selalu menjadi perhatian pemerintah baik harga gabah tingkat petani maupun harga beras di tingkat konsumen melalui intervensi penyediaan di pasar domestik maupun kebijakan tarif dan non tarif. Penelitian ini menegaskan pentingnya stabilisasi harga beras bahkan lebih penting daripada mendorong swasembada beras.
34
Meskipun secara aggeregat peneliti dapat menyebutkan bahwa intervensi pemerintah sangat tergantung pada impor, namun kesimpulan tersebut tidak dapat menjelaskan perkembangan penawaran dan permintaan saat surplus pada periode panen terkait dengan pengelolaan stok. Kondisi surplus-defisit secara aggregat tahunan belum dapat menjelaskan kondisi pasar gabah dan beras dalam jangka pendek apalagi pasar gabah dan beras di tingkat wilayah yang tersegmentasi. Hal ini merupakan faktor yang mengakibatkan perbedaan kesimpulan tentang efektifitas stabilisasi harga gabah dan beras antara kondisi makro aggregat nasional dan tahunan dengan tingkat wilayah pada periode tertentu. Kesimpulan penelitian tentang keefektifan kebijakan terhadap stabilisasi harga gabah dan beras akan tidak sesuai dengan kondisi riil di tingkat wilayah dan periode tertentu. Hutauruk (1996) menggunakan model ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisis dampak kebijakan penetapan dan perubahan harga dasar gabah terhadap perubahan permintaan dan penawaran beras di Indonesia. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa kebijakan tersebut efektif terhadap harga produsen dan konsumen nasional. Erwidodo dan Hadi (1999) melakukan penelitian proteksi dan liberalisasi perdagangan dengan menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial (partial equilibrium model). Hasil penelitian ini memperlihatkan kebijakan proteksi dapat melindungi kepentingan konsumen melalui kebijakan stabilisasi harga beras yang dilakukan oleh Bulog. Kesimpulan penelitian ini juga masih bersifat nasional dan belum dapat menangkap perilaku harga di tingkat wilayah. Bahkan Feridhanustyawan dan Pangestu (2003) yang juga melakukan penelitian mengenai proteksi dan liberalisasi perdagangan menggunakan aggregat komoditi
35
serealia. Penelitian ini mengunakan pendekatan model keseimbangan umum (general equilibrium model). Dampak kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras nasional yang berlangsung efektif juga dinyatakan oleh penelitian Hadi dan Wiryono (2005). Penelitian Hadi dan Wiryono tersebut menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial (partial equilibrium model). Penelitian Mulyana (1998) dan Karo-Karo Sitepu (2001) juga menyatakan bahwa kebijakan harga dasar efektif terhadap harga produsen nasional. Penelitian Departemen Pertanian (2007) memperkuat kesimpulan yang sama dan menyatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga melalui pembelian gabah/beras petani dan pengelolaan stok berlangsung efektif terhadap kepentingan produsen dan konsumen. Namun demikian kesimpulan yang berbeda terhadap efektifitas stabilisasi harga juga banyak dikemukan oleh beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa kebijakan stabilisasi harga gabah dan beras sulit dan tidak efektif untuk dilaksanakan. Malian et al. (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras di pasar domestik adalah nilai tukar riil, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan harga dasar gabah. Kebijakan harga dasar tidak efektif karena tidak diikuti kebijakan pendukung yang compatible. Kebijakan harga dasar yang tidak efektif dan penghapusan subsidi pupuk telah menurunkan pendapatan petani produsen. Gunjal (1990) dalam Ashraf (2008) mengatakan bahwa kebijakan stabilisasi harga tidak efektif karena keterbatasan teori (limitations in the theory), ketidaksempurnaan pasar dan ketidakmampuan produsen memperoleh keuntungan dari tingginya harga di pasar bebas. Penelitian ini menggunakan pengembangan
36
model Hayami (1982) dengan menggunakan model yang terdiri dari disaggregat pasar bebas domestik dan pasar intervensi pemerintah. Selain itu, perbedaan pengaruh dan efektifitas kebijakan harga dasar di tingkat wilayah berbeda-beda. Mulayana (1998), menyatakan bahwa harga gabah berpengaruh nyata terhadap harga gabah secara nasional, Jawa dan Bali, dan Sulawesi. Pengaruh harga dasar tidak nyata terhadap harga gabah Sumatera dan Kalimantan. Mulyana membangun model persamaan simultan keragaan penawaran dan permintaan beras Indonesia dan wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah sisa. Instrumen-instrumen kebijakan intervensi pemerintah merupakan peubah endogen. Respon harga dasar di wilayah menunjukkan bahwa meskipun secara nasional harga dasar nyata berpengaruh terhadap harga gabah tetapi harga dasar tidak menunjukkan efektivitas yang sama terhadap harga gabah wilayah. Pengaruh intervensi pemerintah terhadap harga beras juga menghasilkan dampak yang berbeda antar wilayah. Harga beras nasional, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dipengaruhi secara nyata oleh intervensi pemerintah sedangkan harga beras Jawa dan Bali tidak nyata dipengaruhi
oleh
intervensi
pemerintah.
Namun
penelitian
ini
belum
mempertimbangkan kondisi variasi pola panen sehingga belum dapat menangkap variasi dampak kebijakan harga gabah dan beras di wilayah pada periode tertentu. Perbedaan kesimpulan dari beberapa penelitian di atas terjadi karena belum mempertimbangkan adanya kondisi variasi antar wilayah dan antar musim menurut siklus produksi padi. Perbedaan kondisi wilayah penelitian dan penggunaan data aggregat nasional dan tahunan dapat mengakibatkan perbedaan kesimpulan tentang efektifitas kebijakan harga gabah dan beras di tingkat nasional
37
dan wilayah. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan menggunakan data disaggregasi wilayah menurut pulau terbesar di Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi seperti pada penelitian Mulyana (1998) serta mempertimbangkan kondisi variasi pola panen menurut siklus produksi padi di tingkat nasional dan wilayah. Pengembangan model tersebut
dapat
digunakan
baik
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi harga di tingkat produsen dan konsumen maupun menganalisis dampak kebijakan intervensi pemerintah terhadap produsen dan konsumen di tingkat wilayah. Perbedaan variasi pola panen antar wilayah kemudian dikembangkan dalam penelitian ini mengacu pada modifikasi model penelitian Mulyana yang menggunakan disaggregasi wilayah dan mempertimbangkan variasi pola panen sehingga digunakan data disaggregasi bulanan wilayah dan nasional.
38
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Analisis Penawaran Beras Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam transformasi input (resources) ke dalam output atau melukiskan antara input dengan output (Dibertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Hubungan antara inputoutput produksi suatu komoditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Y = f (x1, x2, x3, x4)…………………………......……………..…...
(3.1)
dimana: Y = Output (Kg/ha) x1 = Lahan (ha) x2 = Modal (Rp/ha) x3 = Tenaga kerja (HOK/ha) x4 = Faktor produksi laainnya Produsen yang rasional berusaha memaksimumkan keuntungannya pada tingkat produksi maksimum dengan tingkat harga tertentu. Produksi maksimum harus memenuhi syarat FOC (First Order Condition) dan SOC (Second Order Condition). Syarat pertama dipenuhi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol, yang berarti produktivitas marginal faktor produksi sama dengan harga faktornya, sedangkan syarat kedua yang harus dipenuhi yaitu, jika fungsi produksinya cembung, dan nilai determinan Hessian lebih besar dari nol (Koutsoyiannis, 1979).
39
Fungsi produksi padi secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Y
= f (FP, FL) .………………….............................................
(3.2)
dimana: Y
= produksi padi
FP
= faktor produksi
FL
= faktor produksi lainnya.
Pada tingkat harga gabah tertentu (HG), maka fungsi keuntungan produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut: π
= HG * f(FP,FL) – HFP* FP – HFL * FL ...........................
(3.3)
dimana: π
= Keuntungan (Rp/kg)
HG
= Harga output/padi (Rp/kg)
HFP
= Harga faktor produksi (Rp/kg)
HFL
= Harga faktor produksi lainnya (Rp/kg)
Fungsi keuntungan maksimum diperoleh jika turunan pertama dari fungsi keuntungan sama dengan nol dan turunan keduanya mempunyai nilai Hessian determinan lebih besar dari nol. Melalui prosedur penurunan secara matematis dari persamaan 3.3 di atas maka diperoleh: ∂π = HG * FP’ – HFP = 0 atau HG * FP’ = HFP.…......………... ∂FP
(3.4)
∂π = HG * FL’ – HFL = 0 atau HG * FL’ = HFL…..…………… ∂FL
(3.5)
FP’ dan FL’ adalah produk marginal dari masing-masing produksi sehingga keuntungan maksimum diperoleh jika produk marginal sama dengan rasio harga faktor produksi terhadap harga produk (gabah) atau dapat juga dikatakan bahwa
40
keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor produksinya (NPM = P). Fungsi permintaan faktor produksi oleh petani dapat dirumuskan sebagai berikut: FP = fp (HG, HFP, HFL)……....…………….…………....………..
(3.6)
FL = fl (HG, HFP,HFL)….…………………….………......……..... (3.7) Substitusi persamaan 3.6 dan 3.7 ke persamaan 3.2 akan menghasilkan fungsi penawaran padi sebagai berikut: Qs = qs (HG, HFP, HFL).…………………………………...............
(3.8)
Dolan (1974) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi, yaitu harga komoditi itu sendiri, harga komoditi lain (sebagai kompetitifnya), biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pupuk, subsidi, harapan harga dan keadaan alam.
3.1.2. Analisis Permintaan Beras Fungsi permintaan seorang konsumen (disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian) yaitu menunjukkan jumlah komoditi (beras) yang akan dibelinya dan jumlah komoditi lain yang dikonsumsinya. Fungsi utilitas seorang konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut: U = f (B,L) ……..…...………………………………....……........... dimana: U = Total utilitas dari beras B = Jumlah beras yang dikonsumsi (unit) L = Jumlah komoditi lain yang dikonsumsi (unit)
(3.9)
41
Konsumen
yang
rasional
akan
memaksimumkan
utilitinya
dari
mengkonsumsi suatu komoditi pada tingkat harga yang berlaku serta pada tingkat pendapatan tertentu. Kendala untuk memaksimumkan fungsi utilitasnya adalah sebagai berikut: Y = HB * B + HL * L...........….......…….………………...….....
(3.10)
dimana: Y = tingkat pendapatan HB = harga beras (Rp/kg) HL = harga komoditi lainnya (Rp/kg) Berdasarkan persamaan 3.9 dan 3.10 dapat dirumuskan fungsi kepuasan seseorang konsumen yang akan dimaksimumkan yaitu: Z = f (B, L) + λ (Y – HB * B – HL * L)........................................
(3.11)
dimana λ adalah Langrange Multiplier. Kepuasan maksimum terjadi apabila syarat turunan parsial dari persamaan
Langrange Multiplier di atas harus sama dengan nol. Melalui prosedur penurunan secara matematik dari persamaan 3.11 akan menghasilkan persamaan: B’ - λ HB = 0 atau B’ = λ HB.....….........……….......…………...
(3.12)
L’ - λ HL = 0 atau L’ = λ HL……………..………....…………..
(3.13)
dimana B’ adalah utilitas marginal dari beras dan L’ adalah utilitas marginal dari komoditi lain, sehingga jika dilakukan penyesuaian kembali maka diperoleh persamaan seperti: Y - λ HB * B – HL * L = 0.......…………......………....……….....
(3.14)
42
λ=
B' L ' = HB HL
….………………………………...………….
(3.15)
Persamaan 3.15 menunjukkan bahwa tingkat kepuasan maksimum tercapai jika utilitas marginal dibagi harganya harus sama untuk kedua komoditi tersebut dan juga harus sama dengan utilitas marginal dari pendapatan (λ). Persamaan 3.14 dan 3.15 menunjukkan bahwa HB (harga beras), HL (harga komoditi lainnya) dan Y (pendapatan) merupakan peubah eksogen yang mempengaruhi permintaan suatu komoditi (beras). Fungsi permintaan beras dapat dirumuskan sebagai berikut: B = b (HB, HL, Y)...………………………………………….……
(3.16)
Jumlah beras yang diminta merupakan fungsi dari harga beras (HB), harga komoditi lainnya (HL) dan pendapatan (Y). Menurut Dolan (1974), permintaan suatu barang dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang lain, selera, pendapatan, jumlah penduduk dan harapan harga.
3.1.3. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian
Karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Hasil yang diperoleh petani yang didasarkan pada perkiraan-perkiraan dimasa mendatang serta pengalaman dimasa lalu. Harga output komoditi pertanian tidak dapat dipastikan saat produk itu ditanam sehingga petani harus mengambil keputusan produksi berdasarkan perkiraan atas harga produknya musim lalu. Persoalan di atas mengacu pada bedakala (lag) diantara dua periode, yaitu saat penanaman dan panen. Respon petani terjadi setelah bedakala sebagai dampak perubahan harga-harga input dan produk serta kebijakan pemerintah.
43
Ekspektasi peningkatan harga yang diperkirakan petani akan bertahan terus pada periode berikutnya dapat diterima maka hubungan-hubungan yang spesifik diantara harga harapan dengan harga dimasa lalu dapat dibuat. Model dapat dikembangkan menjadi dinamik yang dirintis antara lain oleh Nerlove melalui penyesuaian parsial. Nerlove (1958) mengemukakan bahwa para petani setiap periode produksi merevisi dugaan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai proporsi yang normal terhadap perbedaan yang terjadi dengan yang sebelumnya dianggap normal. Petani menyesuaikan prakiraan harga dimasa mendatang dalam bentuk proporsi dari selisih antara prakiraan dengan kenyataan.
3.1.4. Model Nerlove
Model penyesuaian parsial didasarkan atas hipotesis perilaku satuan-satuan ekonomi yang lebih realistis dalam bentuk model-model lag. Model penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer digunakan dalam studi-studi ekonometrika dalam hal ini respon penawaran. Bentuk paling sederhana misalnya dalam konteks respon areal padi. Areal padi yang diinginkan (Yt*) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi (Pt), maka persamaannya ditulis sebagai berikut: Yt* = βo + β1Pt + Ut .......................................................................... dimana: Yt* = areal panen yang diinginkan tahun ke t Pt = harga tahun t
(3.17)
44
Perubahan Yt* pada persamaan di atas tidak teramati (not observable) karena masih merupakan target (bukan aktual), atau dengan kata lain areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga untuk mengatasinya didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. Peubah ini harus diganti untuk menaksir modelnya dengan menghipotesiskan perilakunya, sebagai berikut ini: Yt - Yt-1 = δt (Yt* - Yt-1) + Vt.............................................................
(3.18)
dimana: Yt - Yt-1 = perubahan yang sesungguhnya Yt*- Yt-1 = perubahan yang dibutuhkan
δt
= koefisien penyesuaian parsial dan nilainya (0 < δ < 1)
Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari perubahan yang diinginkan. Proporsi tersebut disebut koefisien penyesuaian parsial (δt), jika nilai δt = 0, berarti tidak ada perubahan apapun dalam areal, dan jika δt = 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dibutuhkan. Areal panen padi yang diamati pada periode ke - t dipengaruhi oleh luas areal yang diinginkan dan luas areal yang ada pada permulaan periode sebelumnya. Substitusi persamaan 17 ke persamaan 18 akan diperoleh persamaan berikut: Yt - Yt-1 = δt [( βo + β1Pt + Ut )- Yt-1] + Vt........................................
(3.19)
Yt = δtβo + δβ1Pt + (1- δ) Yt-1 + (Vt + δUt) .....................................
(3.20)
dimana: δ βo adalah konstanta, δ β1 dan (1-δ) adalah parameter yang diduga sedangkan (Vt + δUt) adalah merupakan peubah penggangu.
45
Persamaan di atas menunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis. Uji Watson dilakukan untuk mengetahui dalam model ini apakah galat tidak mengalami korelasi serial (Koutsoyiannis, 1977). Nerlove (1958) mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menghitung elastisitas penawaran jangka pendek kerena sebenarnya merupakan elastisitas titik (point elasticity) sehingga nilainya berubah-ubah pada titik yang berbeda. Elastisitas jangka panjang sukar dihitung secara langsung sehingga ditawarkan cara baru dengan model distribusi bedakala penyesuaian parsial. Elastisitas jangka pendek selalu lebih kecil daripada jangka panjang karena dalam periode jangka panjang dapat terjadi pergeseran fungsi penawaran dan penyesuaian sumberdaya. Nerlove berpendapat bahwa masalah formulasi hubungan-hubungan ekonomi yang dimasukkan distribusi bedakala terletak pada bagaimana menformulasikan hubungan-hubungan diantara peubah yang dapat diamati. Masalah pada pendugaan distribusi bedakala sesungguhnya terletak pada dugaan elastisitas jangka panjang.
3.1.5. Model Respon Penawaran Padi
Model empiris yang digunakan dalam studi ini merupakan pengembangan model penyesuaian Nerlove, yaitu untuk memperoleh dugaan penawaran dilakukan dengan menggunakan pendugaan tak langsung. Bentuk sederhana output dispesifikasi sebagai perkalian antara luas panen dan produktivitas, sehingga dapat dituliskan : Q = A * Y........................................................................................ dimana :
(3.21)
46
Q = output (kg) A = luas areal panen (ha) Y = produktivitas (kg/ha) Persamaan ini dalam bentuk logaritma natural (ln) adalah: ln Q = ln A + ln Y Asumsi yang digunakan adalah produktivitas (Y) dan luas panen (A) respon terhadap perubahan harga (P) dan produktivitas respon terhadap perubahan areal dan jika dideferensialkan secara total terhadap harga (P), maka akan diperoleh: 1 dY 1 dA 1 dQ + ................................................................ = Q dP A dP Y dP
(3.22)
∂Y ∂Y ∂A + .................................................................... ∂P ∂A ∂P
(3.23)
dY = dP
Perubahan produktivitas karena terjadi perubahan harga terdiri atas perubahan produktivitas secara parsial tehadap harga dan perubahan produktivitas karena terjadi perubahan areal akibat dari perubahan harga. Substitusi persamaan 3.19 ke dalam persamaan 3.20 akan diperoleh penjabaran sebagai berikut: 1 dQ 1 dA 1 ⎛ ∂Y ∂Y ∂A ⎞ = + ⎜ + ⎟ .............................................. Q dP A dP Y ⎝ ∂P ∂A ∂P ⎠
(3.24)
Kedua ruas dikalikan dengan P, maka: dQ P dA P dY P dY dA P A = ............................................. + + dP Q dP A dP Y dA dP Y A
(3.25)
dY P dA P ⎛ dY A ⎞ dQ P + = ⎜1 + ⎟ .................................................. dP Y dP A ⎝ dA Y ⎠ dP Q
(3.26)
Bentuk elastisitas persamaan tersebut adalah:
47
E(Q,P) = E(Y,P) + E(A,P) (1 + E(Y,A)).......................................................
(3.27)
dimana: E(Q,P)
= Elastisitas penawaran (produksi)
E(Y,P)
= Elastisitas produktivitas terhadap harga
E(A,P) = Elastisitas luas panen terhadap harga E(Y,A)
= Elastisitas produktivitas terhadap areal
Respon penawaran secara agragat E(Q,P) dapat diduga secara tidak langsung dengan menduga terlebih dahulu elastisitas produktivitas terhadap harga, elastisitas luas panen terhadap harga dan elastisitas produktivitas terhadap areal. Nilai kuantitatif diperoleh dari respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menggunakan konsep elastisitas. Elastisitas jangka pendek dan jangka panjang dapat dihitung untuk model dinamis. Persamaan untuk mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang adalah: Elastisitas Jangka Pendek (ESR): −
∂Yt X * = b ESR = ∂X t Y−
−
X
..............................................................
(3. 28)
ESR ................................................................................. 1 − blag
(3. 29)
−
Y
Elastisitas Jangka Panjang (ELR): ELR =
dimana: b
= parameter dugaan dari peubah endogen
blag
= parameter dugaan dari lag endogen
X
= rata-rata peubah eksogen
Y
= rata-rata peubah endogen
48
3.2.
Harga Dasar dan Harga Tertinggi
Harga dasar (floor price) adalah harga terendah yang ditetapkan pemerintah untuk komoditas-komoditas tertentu terutama untuk komoditas-komoditas pertanian yang bertujuan untuk menstabilkan pendapatan petani. Penetapan harga gabah yang memadai di atas harga pasar yang berlaku merupakan salah satu contoh yang bertujuan memberi dorongan bagi petani untuk berproduksi. Harga
Surplus
S Floor Price
E D 0
Q1
Q2
Jumlah
Sumber: Sugiarto et al (2005)
Gambar 11. Penetapan Harga Dasar Penetapan harga dasar akan diikuti dengan jumlah produk yang ditawarkan meningkat, jumlah permintaan menurun dan akan menciptakan surplus (over supply) di pasar. Konsekuensi logis akibat penetapan harga dasar harus dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan harga ini. Upaya mengatasi surplus yang dapat ditempuh pemerintah adalah membeli sejumlah surplus tersebut dan ditampung di dalam gudang atau dengan cara melakukan eskpor surplus tersebut jika harganya mampu bersaing dengan komoditas yang sama di luar negeri (Gambar 11).
49
Harga tertinggi (ceiling price) adalah suatu bentuk intervensi pemerintah dalam menentukan harga suatu komoditas yang bertujuan untuk melindungi konsumen dengan cara menentukan batas harga suatu komoditas. Penetapan harga ini secara umum berada di bawah harga pasar. Penentuan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya bertujuan agar lebih banyak anggota masyarakat yang mampu membeli komoditas tersebut. Penetapan harga ini akan berdampak terhadap jumlah komoditas yang diminta akan meningkat, jumlah komoditas yang ditawarkan akan menurun dan dapat berakibat terjadinya kekurangan (shortage) di pasar (Sugiarto et al. 2005). Harga
Surplus S Shortage Ceiling Price
D 0
Q1
Q2
Jumlah
Sumber: Sugiarto et al (2005)
Gambar 12. Penetapan Harga Tertinggi
3.3.
Mekanisme Pengendalian Harga Gabah
Gambar 13 mengasumsikan produksi gabah berfluktuasi antara musim paceklik dengan musim panen raya. Kurva penawaran gabah tidak elastis sempurna dalam jangka pendek yang berarti produksi gabah petani tidak
50
ditentukan oleh tingkat harga pada saat panen, melainkan oleh harga musim panen sebelumnya. Kurva penawaran gabah pada musim bukan panen raya adalah S1 dan kurva penawaran gabah pada musim panen raya adalah S2. Kurva permintaan gabah di tingkat petani adalah D1 sedangkan kurva permintaan gabah ditingkat petani dengan adanya intervensi pengadaan gabah (pembelian) gabah petani adalah D2. Harga gabah yang terbentuk pada musim paceklik adalah Pc apabila tidak ada intervensi pemerintah baik langsung maupun tidak langsung, sedangkan pada musim panen raya sebesar Pr. Kisaran fluktuasi harga ditingkat petani (resiko harga gabah) sangat lebar sebesar Pc – Pr. Hal ini tercermin dari koefisien variasi harga gabah bulanan setiap tahun.
Sumber: Departemen Pertanian, 2007
Gambar 13. Mekanisme Pengendalikan Harga Gabah Tingkat Petani
3.4.
Analisis Pengembangan Model Hayami
Analisis mekanisme dan dampak kebijakan perberasan terhadap harga produsen dan konsumen dapat dilakukan dengan menggunakan model skema
51
pembeliaan beras domestik yang merupakan pengembangan model Hayami (1982). Model ini terdiri dari disaggregat pasar bebas domestik dan pasar intervensi pemerintah. Model ini terdiri dari disaggregat pasar beras bebas domestik (free market) dan pasar intervensi pemerintah (controlled market). Kurva permintaan pasar yang diintervensi lebih elastis daripada permintaan pasar bebas domestik. Keseimbangan permintaan aggregat (D), penawaran jangka pendek (Ss) dan penawaran jangka panjang (Sl) berada pada harga keseimbangan (Pe). Harga yang diintervensi pemerintah (Pg) diasumsikan berada di bawah harga keseimbangan (Pe).
P R I C E
Ss
Pm
Sl
Pw
Pe Pg
Dp Qpe
Qpg
Dr Qrg
Qre
D Qe Ql
QUANTITY Sumber: Ashraf et al (2008)
Gambar 14. Model Skema Pembelian Beras Domestik
Pada harga Pg dibutuhkan penambahan kuantitas penawaran dari Qpe ke Qpg. Jumlah dengan proporsi sama yang tidak disalurkan ke pasar bebas domestik yaitu sebesar Qrg dan Qre berakibat pada meningkatnya harga pasar bebas domestik secara tajam karena kurva permintaan pasar intervensi pemerintah bersifat elastis. Harga rata-rata yang diterima produsen (Pw) dalam jangka pendek
52
lebih besar daripada harga Pe jika tanpa intervensi pemerintah. Hal ini merupakan dasar kerangka pikir implementasi kebijakan stabilisasi harga melalui pengaturan jumlah penawaran oleh pemerintah (Ashraf, 2008).
3.5.
Kerangka Pemikiran Operasional
Kerangka pemikiran penelitian dapat secara lengkap dijelaskan pada Gambar 15. Penelitian kebijakan perberasan dilakukan melalui pengamatan perilaku hubungan keterkaitan antara aspek permintaan, penawaran dan harga yang dapat diestimasi mengacu pada analisis kuantitatif. Penelitian ini menggunakan alat analisis ekonometrik model persamaan simultan dan metode 2 SLS dengan menggunakan disaggregasi data bulanan. Penggunaan data bulanan karena fluktuasi data bersifat dinamis sepanjang tahun sehingga ketepatan waktu implementasi kebijakan menjadi hal penting untuk diperhatikan.
Kebijakan - HPP - Tarif impor - Penyaluran
Komponen: - Penawaran - Permintaan
(Data: bulanan)
Estimasi perilaku Analisis Ekonometrik Model : Persamaan Simultan Metode : 2 SLS
Dampak Kebijakan: Respon: 1. Penawaran 2. Permintaan 3. Harga gabah produsen 4. Harga beras konsumen
Implikasi Kebijakan
Analisis dampak kebijakan - Analisis ekonometrik : Simulasi instrumen kebijakan (HPP, tarif impor, penyaluran dan kombinasi HPP dan tarif impor)
Gambar 15. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
53
Setidaknya ada dua alasan penting analisis yaitu: (1) untuk mengetahui perilaku dengan mengestimasi koefisien (parameter) ekonomi tertentu seperti elastisitas permintaan dari harga komoditas, dan (2) untuk meramalkan (forecasting) di masa mendatang. Hasil estimasi tersebut menjadi dasar analisis lebih lanjut dampak kebijakan tersebut terhadap respon penawaran, permintaan, harga gabah produsen, harga beras konsumen. Simulasi instrumen kebijakan (HPP, tarif impor, penyaluran dan kombinasi kebijakan HPP dan tarif impor) digunakan untuk menganalisis kebijakan terhadap harga gabah produsen dan harga beras konsumen. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, kemudian dapat dirumuskan implikasi dan rekomendasi kebijakan.
54
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berdasarkan deret waktu periode tertentu. Penelitian ini menggunakan data sekunder bulanan. Produksi komoditi pertanian terutama beras sebagai pangan pokok yang dihasilkan tersebar antar waktu dan antar wilayah secara agregat, sehingga data yang digunakan adalah data periodik bulanan. Penggunaan data bulanan dapat menggambarkan fluktuasi harga di tingkat petani dan konsumen, jumlah permintaan dan penawaran, serta faktor-faktor lainnya dalam rentang waktu yang relatif singkat (bulanan). Sumber data dapat diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan pertanian dan pangan seperti Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Perum Bulog, Badan Pusat Statistik (BPS), maupun instansi lainnya.
4.2.
Spesifikasi Model Model ekonometrika adalah suatu model statistik yang menghubungkan
peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur stokastik yang terdiri dari satu atau lebih peubah acak (Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis (1977), dikatakan suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria ekonomi (theoritically meaningfull), kriteria statistik yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) biasanya dengan melihat R Squares (R2) nyata secara statistik, dan kriteria ekonometrika yaitu apakah suatu pendugaaan model tersebut memiliki sifat unbias, konsistensi, kecukupan, dan efisiensi.
55
Model persamaan simultan merupakan model yang mengandung lebih dari satu persamaan, dimana sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang
menggambarkan
ketergantungan
diantara
berbagai
peubah
dalam
persamaan-persamaan tersebut. Ciri unik dari model persamaan simultan adalah bahwa peubah tak bebas dalam satu persamaan mungkin muncul sebagai peubah yang menjelaskan dalam persamaan lain dari sistem. Fungsi permintaan dan penawaran tersebut dianalisis menggunakan persamaan simultan. Persamaan simultan dapat melakukan analisis terhadap dua persamaan secara bersama-sama. dalam model ini tidak mungkin mengestimasi hanya satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lain.
4.3. Model Ekonometrika 4.3.1. Luas Areal Panen Luas areal panen panen tidak mempengaruhi harga secara langsung tetapi pada penelitian ini areal merupakan peubah endogen. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap upaya peningkatan lahan, harga gabah tingkat petani dan harga barang substitusi (jagung) diduga sebagai peubah eksogen. Luas areal panen padi dipengaruhi oleh harga gabah petani, harga jagung petani sebagai substitusi, produktivitas dan lag luas areal panen. (Diagram model ekonomi perberasan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Lampiran 2). Respon luas areal panen Sumatera: ARLSt
=
a0 + a1PGSUt + a2PJSUt + a3PDVSt + a 4ARLSt-1 + U1..............................................................................
PGSUt
=
(4.1)
Harga gabah tingkat petani Sumatera dideflasikan dengan
56
indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg) PJSUt =
Harga jagung tingkat petani Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ARLSt-1 =
Lag luas areal panen Sumatera (Ha)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: a1, a3 > 0;
a2 < 0;
0 < a5< 1
Respon luas areal panen Jawa: ARLJt
=
b0 + b1PGJWt-1 + b2PJJWt + b3PDVJt + b4 LTt............. (4.2)
dimana: PGJWt-1n=
Lag harga gabah tingkat petani Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PJJWt =
Harga jagung tingkat petani Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
LT
Log tren waktu
=
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: b1, b3 , b4 > 0;
b2 < 0;
Respon luas areal panen Bali dan Nusa Tenggara: ALBNt =
c0 + a1PGBNt-1 + c2PJBNt-1 + c3PVBNt + c4ALBNt-1 + U3..............................................................................
(4.3)
dimana: PGBNt-1=
Lag harga gabah tingkat petani Bali dan NT dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PJBNt-1 =
Lag harga jagung tingkat petani Bali dan NT dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ALBNt-1 =
Lag luas areal panen Bali dan NT (Ha)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: c1, c3 > 0;
c2 < 0;
0 < c4< 1
57
Respon luas areal panen Kalimantan: ARLKt =
d0 + d1PGKNt + d2PJKNt + d3PDVKt + d4LTt + d5ARLKt-1 + U4..............................................................................
(4.4)
dimana: PGKNt =
Harga gabah tingkat petani Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PJSWt =
Harga jagung tingkat petani Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ARLKt-1 =
Lag luas areal panen Kalimantan (Ha)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: d1, d3,d4 > 0;
d2 < 0;
0 < d5 < 1
Respon luas areal panen Sulawesi: ALSWt =
e0 + e1PGSWt-1 + e2PJSWt + e3PVSWt + e4ALSWt-1 + U5..............................................................................
(4.5)
dimana: PGSWt-1=
Lag harga gabah tingkat petani Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PJSWt =
Harga jagung tingkat petani Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ALSWt-1 =
Lag luas areal panen Sulawesi (Ha)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: e1, e3> 0;
e2 < 0;
0 < e4 < 1
Total luas areal panen Indonesia adalah total seluruh luas areal panen wilayah dengan persamaan identitas berikut ini : AREAt = ARLSt + ARLJt + ALBNt + ARLKt + ALSWt + ARLLt...... (4.6)
58
4.3.2. Produksi Padi Jumlah produk padi merupakan perkalian antara luas areal panen dengan produktivitas padi. Jumlah produksi beras diperoleh dari perkalian antara produksi padi dengan suatu angka konversi (k). Angka konversi tersebut adalah besarnya konversi Gabah Kering Panen (GKP) menjadi beras. Persamaan produksi tidak dimasukkan ke dalam persamaan identitas pada penelitian ini sebab persamaan produksi yang pada penelitian ini adalah persamaan produksi padi wilayah dan produksi padi nasional. Secara matematis persamaan produksi padi dan produksi beras Indonesia, seperti pada persamaan identitas berikut: Produksi padi di wilayah Sumatera: TPPSt = ARLSt * PDVS t ...................................................................
(4.7)
Produksi padi di wilayah Jawa : TPPJ t = ARLJ t * PDVJ t ...................................................................
(4.8)
Produksi padi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara : TPBN t = ALBN t * PVBN t ...............................................................
(4.9)
Produksi padi di wilayah Kalimantan: TPPKt = ARLKt * PDVKt ...............................................................
(4.10)
Produksi padi di wilayah Sulawesi: TPSWt = ALSWt * PVSW t..............................................................
(4.11)
Produksi padi wilayah lainnya adalah: TPPLt = ARLLt * PDVLt ..............................................................
(4.12)
Total produksi padi Indonesia adalah jumlah produksi padi seluruh wilayah dengan persamaan identitas berikut: TPPIt = TPPSt + TPPJt + TPBNt + TPPKt + TPSWt + TPPLt.........
(4.13)
59
dimana: TPPSt
=
Produksi padi di wilayah Sumatera (000 ton)
TPPJt
=
Produksi padi di wilayah Jawa (000 ton)
TPBNt
=
Produksi padi di wilayah Bali dan NT (000 ton)
TPPKt
=
Produksi padi di wilayah Kalimantan (000 ton)
TPSWt
=
Produksi padi di wilayah Sulawesi (000 ton)
TPPLt
=
Produksi padi di wilayah lainnya (000 ton)
TPPIt
=
Produksi padi Indonesia (000 ton)
k
=
Angka konversi 0.623
ARLSt
=
Luas areal panenSumatera (Ha)
ARLJt
=
Luas areal panen Jawa (Ha)
ALBNt
=
Luas areal panen Bali dan Nusa Tenggara (Ha)
ARLKt
=
Luas areal panen Kalimantan (Ha)
ALSWt
=
Luas areal panen Sulawesi (Ha)
ARLLt
=
Luas areal panen wilayah lainnya (Ha)
AREAt
=
Luas areal panen Indonesia (Ha)
PDVSt
=
Produktivitas padi Sumatera (ton/ha)
PDVJt
=
Produktivitas padi Jawa (ton/ha)
PVBNt
=
Produktivitas padi Bali dan Nusa Tenggara (ton/ha)
PDVKt
=
Produktivitas padi Kalimantan (ton/ha)
PVSWt
=
Produktivitas padi Sulawesi (ton/ha)
60
4.3.3. Impor Beras Jumlah impor beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga impor beras Indonesia, stok beras Perum Bulog, jumlah produksi beras, stok beras dunia dan lag jumlah impor beras. Fungsi dari persamaan jumlah impor beras dapat diformulasikan seperti pada persamaan berikut. IMPRt = f0 + f1PIMPt + f2TPBIt-1 + f3STCKt-1 + f4EXCR + f5LTt + f6IMPRt-1 + U6................................................................
(4.14)
dimana: IMPRt
=
Jumlah impor beras Indonesia (1 000 ton)
PIMPt
=
Harga beras impor Indonesia dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
STCKt = IMPRt-1 =
Jumlah stok operasional Perum Bulog (1 000 ton) Lag jumlah impor beras (1 000 ton)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: f5> 0;
f1, f2, f3, f4 < 0;
0 < f6 < 1
Harga impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga beras negara asal impor utama (Thailand), besarnya tarif impor beras dan lag harga impor beras Indonesia. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: PIMPt = g0 + g1TRIFt + g2PTHAt + g3PIMPt-1 + U7......................
(4.15)
dimana : TRIFt
=
Tarif impor dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PTHAt =
Harga beras Thailand Broken 25 persen dideflasikan dengan indeks konsumen Indonesia (Rp/kg)
PIMPt-1 =
Lag harga beras impor Indonesia dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
61
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: g1, g2 > 0;
0 < g3 < 1
4.3.4. Penawaran Beras Total penawaran beras Indonesia merupakan persamaan identitas dari penjumlahan produksi beras nasional dikurangi dengan jumlah beras untuk benih/susut, ditambah dengan stok beras awal tahun dan jumlah impor beras Indonesia sesuai persamaan identitas berikut. QSBRt =
TPBIt + IMPRt + STCKt - BSPLt ........................
(4.16)
dimana: BSPLt
= Jumlah beras untuk benih, pengunaan lain dan susut (000 ton)
STCKt = Stok operasional Perum Bulog (000 ton)
4.3.5. Konsumsi Beras Permintaan pasar terhadap beras pada periode tertentu juga dipengaruhi oleh selera, jumlah penduduk dan faktor lainnya (Mulyana, 1998) sehingga respon kebutuhan beras pada penelitian ini dipengaruhi oleh peubah-peubah eksogen harga beras domestik, income per kapita, dan jumlah penduduk. Kebutuhan konsumsi wilayah Sumatera: KBSU
=
h0 + h1(PBSUt/INCSt) + h2JPSUt + h3LTt + h4KBSUt-1 + U8……………….........................................................(4.17)
dimana: KBSUt
=
Konsumsi beras Sumatera (1 000 ton)
PBSUt
=
Harga beras domestik Sumatera (Rp/kg)
62
INCSt
=
Income per kapita Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/bulan)
JPSUt
=
Jumlah penduduk Sumatera ( 1 000 orang)
KBSUt-1 =
Lag konsumsi beras Sumatera (1 000 ton)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: h2, h3 > 0;
h1 < 0 ;
0 < h4< 1
Kebutuhan konsumsi wilayah Jawa: KBJWt =
i0 + i1(PBJWt/INCJt) + i2JPJW + i3LT + i4KBJWt + U9.............................................................................. (4.18)
dimana: KBJWt
=
INCJt
=
Income per kapita Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
JPJWt
=
Jumlah penduduk Jawa (000 orang)
KBJWt-1 =
Lag konsumsi beras Jawa(000 ton)
Konsumsi beras Jawa(000 ton)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: i2, i3 > 0;
i1 < 0 ;
0 < i4< 1
Kebutuhan konsumsi wilayah Bali dan Nusa Tenggara: =
j0 + j1(PBBNt/ICBNt) + j2JPBNt + j3LTt + j4KBBNt + U10............................................................................ (4.19)
KBBNt
=
Konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara (000 ton)
ICBNt
=
Income per kapita Bali dan Nusa Tenggara dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/bulan)
JPBNt
=
Jumlah penduduk Bali dan Nusa Tenggara (000 orang)
KBBNt-1 =
Lag konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara (000 ton)
KBBNt dimana:
63
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: j2, j3 > 0;
j1 < 0 ;
0 < j4< 1
Kebutuhan konsumsi wilayah Kalimantan: KBKNt
=
k0 + k1(PBKNt/ICKNt) + k2JPKN + k3LTt + k4KBKNt + U11 ...............................................................................(4.20)
dimana: KBKNt
=
Konsumsi beras Kalimantan (000 ton)
ICKNt
=
Income per kapita Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/bulan)
JPKNt
=
Jumlah penduduk Kalimantan (000 orang)
KBKNt-1 =
Lag konsumsi beras Kalimantan (000 ton)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: k2, k3 > 0;
k1 < 0 ;
0 < k4< 1
Kebutuhan konsumsi wilayah Sulawesi: KBSWt
=
l0 + l1(PBSWt/ICSWt) + l2JPSW + l3LTt + l4KBSWt + U12 ...........................................................................(4.21)
dimana: KBSWt
=
Konsumsi beras Sulawesi (000 ton)
ICSWt
=
Income per kapita Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/bulan)
JPSWt
=
Jumlah penduduk Sulawesi (000 orang)
KBSWt-1
=
Lag konsumsi beras Sulawesi (000 ton)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: l2, l3 > 0;
l1 < 0 ;
0 < l4< 1
64
Kebutuhan konsumsi nasional adalah jumlah kebutuhan konsumsi seluruh wilayah dengan persamaan identitas berikut: KBINt = KBSUt + KBJWt + KBBNt + KBKNt + KBSWt + KBBLt.....(4.22)
4.3.6. Harga Gabah Petani Harga gabah yang berlaku di tingkat petani secara nasional dijadikan sebagai peubah endogen. Harga gabah di tingkat petani, selain ditentukan oleh HPP yang ditetapkan pemerintah, juga dipengaruhi oleh harga impor beras impor Indonesia, marjin pemasaran, jumlah produksi dan lag harga gabah tingkat petani. Harga gabah tingkat petani Indonesia: PGTPt
=
m0 + m1PDPP + m2TPPIt + m3ASBIt-1 + m4STCKt-1 + m5PBINt + m6MRJN + m7PGTPt -1 + U13 ................. (4.23)
dimana: PGTPt
=
Harga gabah tingkat petani Indonesia (Rp/kg)
ASBIt -1 =
Lag pengadaan Indonesia (1 000 ton)
MRJNt =
Marjin pemasaran beras Indonesia (Rp)
PBINt
Harga beras domestik Indonesia dideflasikan dengan indeks harga pedagang besar Indonesia (Rp/kg)
=
PDPPt =
Harga pembelian pemerintah dideflasikan dengan indeks harga pedagang besar Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: m1, m3, m5 > 0;
m2, m4, m6 < 0;
0 < m7< 1
Harga gabah tingkat petani di wilayah Sumatera: PGSUt
= n0 + n1PDPPt + n2TPPSt-1 + n3(TPPS/ASBISt-1) + n4STCKSt-1 + n5PBSUt + n6 MRJNSUt + n7LT + n8PGSUt-1 + U14.......(4.24)
65
dimana: PGSUt
=
Harga gabah tingkat petani Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ASBISt-1 =
Lag pengadaan Sumatera (000 ton)
STCKSt-1 =
Lag stok Sumatera (000 ton)
MRJNSUt =
Marjin pemasaran beras Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp)
PBSUt
Harga beras domestik Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
=
PGSUt-1 =
Lag harga gabah petani Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: n1, n5, n7 > 0;
n2, n3, n4, n5, n6 > 0;
0 < n8< 1
Harga gabah tingkat petani di wilayah Jawa: PGJWt
=
o0 + o1PDPPt + o2TPPJt + o3STCKJt-1 + o4PBJWt + o5MRJNJt + o6LT + o7PGJWt -1 + U15................... (4.25)
dimana: PGJWt
=
Harga gabah tingkat petani Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
STCKJt-1 =
Lag stok Jawa (000 ton)
MRJNJt
=
Marjin pemasaran beras Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp)
PBJWt
=
Harga beras domestik Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PGJWt-1
=
Lag harga gabah petani Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: o1, o4, o6 > 0;
o2, o3,o5 < 0;
0 < o7< 1
66
Harga gabah tingkat petani di wilayah Bali dan Nusa Tenggara: PGBNt
=
p0 + p1PDPPt + p2TPBNt + p3(TPBNt-1/ASBIBt) + p4PBBNt + p5MRJNBNt + p6PGBNt -1 + U16............. (4.26)
dimana: PGBNt
=
Harga gabah tingkat petani Bali dan NT dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ASBIBt
=
Pengadaan Bali dan NT (000 ton)
MRJNBNt =
Marjin pemasaran beras Bali dan NT dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp)
PBBNt
=
Harga beras domestik Bali dan NT dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PGBNt-1
=
Lag harga gabah petani Bali dan NT dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: p1, p4 > 0;
p2, p3,p5 < 0;
0 < p6< 1
Harga gabah tingkat petani di wilayah Kalimantan: PGKNt
=
q0 + q1PDPP + q2(TPPKt-1 – TPPKt)/ASBIKt-1 + q3PBKNt + q4MRJNKt-1 + q5Tt + q6PGKNt -1 + U17.................
(4.27)
dimana: PGKNt
=
Harga gabah tingkat petani Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
ASBIKt-1 =
Lag pengadaan Sumatera (000 ton)
MRJNKt =
Marjin pemasaran beras Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp)
PBKNt
Harga beras domestik Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
=
PGKNt-1 =
Lag harga gabah petani Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
67
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: q1, q3, q5> 0;
q2, q4 < 0;
0 < q6< 1
Harga gabah tingkat petani di wilayah Sulawesi: PGSWt =
r0 + r1PDPP + r2TPSWt + r3PBSWt + r4LTt + r5PGSWt -1 + U18.......................................................... (4.28)
dimana: PGSWt
=
Harga gabah tingkat petani Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PBSWt
=
Harga beras domestik Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PGSWt-1 =
Lag harga gabah petani Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: r1, r3, r4 > 0;
r2 < 0;
0 < r5 < 1
4.3.7. Harga Beras Domestik Perilaku harga beras di setiap wilayah dan nasional dianalisis untuk dibandingkan perkembangannya masing-masing. Harga beras domestik Indonesia: PBINt
= s0 + s1(QSBRt - KBINt) + s2 PGTPt-1 + s3LSBIt + s4PIMPt-1 + s5Tt + s6PBINt -1+ U20 ............................................ (4.29)
dimana: PBINt
=
Harga beras domestik Indonesia dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
TPBIt
= Produksi beras Indonesia (000 ton)
LSBIt
= Penyaluran Perum Bulog (000 ton)
PBINt-1
=
Lag harga beras domestik Indonesia dideflasikan dengan
68
indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg) Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: s2, s4, s5 > 0;
s1, s3 < 0;
0 < s 6< 1
Harga beras domestik Sumatera: = t0 + t1(TPBSt-1/KBSUt) + t2PGSUt + t3LSBISt + t4PIMPt
PBSUt
t5Tt + t6PBSUt -1+ U21 .................................................. (4.30) dimana: PBSUt
=
Harga beras domestik Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
LSBISt
=
Penyaluran Sumatera (000 ton)
PBSUt-1
=
Lag harga beras domestik Sumatera dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: t2, t4,
t5
> 0;
t1, t3 < 0;
0 < t6< 1
Harga beras domestik Jawa: PBJWt
= u0 + u1(TPBJt /KBJWt-1)+ u2 PGJWt-1 + u3LSBIJt + u4PIMPt + u5Tt + u6PBJWt -1+ U22 ......................................... (4.31)
dimana: PBJWt
= Harga beras domestik Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
LSBIJt
= Penyaluran Jawa (000 ton)
PBJWt-1
= Lag harga beras domestik Jawa dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: u2, u4, u5 > 0;
u1, u3 < 0;
0 < u6< 1
Harga beras domestik Bali dan Nusa Tenggara:
69
PBBNt
= v0 + v1(TPBBt /KBBNt)+ v2 PGBNt-1 + v3LSBIBt-1 + v4Tt + v5PBBNt -1 + U23 ................................................. (4.32)
dimana: PBBNt
=
LSBIBt-1
Harga beras domestik Bali dan Nusa Tenggara dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg) = Lag penyaluran Bali dan Nusa Tenggara (000 ton)
PBBNt-
=
Lag harga beras domestik Bali dan Nusa Tenggara dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: v2, v3, v4 > 0;
v1, v3 < 0;
0 < v5< 1
Harga beras domestik Kalimantan: PBKNt
= w0 + w1(TPBKt/KBKNt) + w2 PGKNt-1 + w3LSBIKt-1 w4PIMPt-1 + w5Tt + w6PBKNt -1+ U23........................ (4.33)
dimana: PBKNt
=
Harga beras domestik Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
LSBIKt-1
= Lag penyaluran Kalimantan (000 ton)
PBKNt-1
=
Lag harga beras domestik Kalimantan dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: w2, w4, w5 > 0;
w1, w3 < 0;
0 < w6 < 1
Harga beras domestik Sulawesi: PBSWt = x0 + x1(TPBSWt/KBSWt)+ x2PGSWt + x3LSBISWt + x4PIMPt + x5Tt + x6PBSWt -1+ U24 ............................. (4.34) dimana:
70
PBSWt
=
Harga beras domestik Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
PBSWt-1 =
Lag Harga beras domestik Sulawesi dideflasikan dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: x2, x4, x5 > 0;
x1, x3 < 0;
0 < x6< 1
4.3.8. Stok Operasional Perum Bulog Bulog sebagai suatu lembaga pangan yang bertugas untuk mempengaruhi harga tertentu mempunyai cadangan stok beras untuk dapat mempengaruhi harga di pasaran. Fungsi persamaan jumlah beras yang disimpan untuk stok akhir tahun diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: STCKt = y0 + y1TPBIt + y2IMPRt + y3ASBIt + y4STCKt-1 + U6........ (4.35) dimana: STCKt =
Jumlah stok operasional Perum Bulog (1 000 ton)
TPBIt
=
Total produksi beras Indonesia(1 000 ton)
IMPRt
=
Jumlah impor beras Indonesia (1 000 ton)
STCKt- 1 =
Lag jumlah stok operasional Perum Bulog (1 000 ton)
Tanda serta besaran parameter dugaan yang diharapkan adalah: y2, y3 > 0;
4.4.
y1 < 0;
0 < y4 < 1
Identifikasi dan Estimasi Model Salah satu yang menentukan metode pendugaan model adalah identifikasi
model. Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat
71
keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Identifikasi model struktural berdasarkan order condition menurut Koutsoyiannis (1977) adalah: (K-M) > (G-1) ……………………………………………...………… (4.36) dimana: K
=
total peubah dalam model (peubah endogen dan peubah predeterminan)
M
=
jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model
G
=
total persamaan dalam model, banyaknya jumlah peubah endogen dalam model
Berdasarkan hasil perhitungan order condition diatas, akan ditentukan metode pendugaan model untuk mendapatkan seluruh nilai dan koefisienkoefisien model. Bila hasil perhitungan order condition ternyata model overidentified atau (K-M) > (G-1), maka untuk mendapatkan nilai penduga-penduga (estimator) yang unbiased, consistent, dan valid, lebih efisien bila menggunakan metode Two Stage Least Squares (2 SLS) . Sedangkan bila model ternyata model ditemukan under identified ((K-M) < (G-1)) atau exackly identified ((K-M) = (G1)) maka metode pendugaan yang dipergunakan adalah Three Stage Least Squares (3 SLS). Kedua metode pendugaan ini merupakan metode pendugaan yang relatif baik untuk model simultan yang bersifat linear. Setelah model diidentifikasi maka tahap selanjutnya adalah melakukan pendugaan model dengan menggunakan prosedur SYSLIN sehingga diperoleh hasil apakah seluruh parameter memberikan koefisien parameter pendugaan yang sesuai dengan harapan yang didasarkan pada konsep teori, fenomena dan pengalaman empiris. Untuk menguji apakah ada autocorrelation dalam model dilakukan dengan menggunakan Durbin-Watson, tetapi karena seluruh persamaan
72
struktural mengandung peubah beda kala (lag) maka uji statistik yang dapat digunakan adalah uji statistik durbin-h. Bila statistik h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami autocorrelation. ⎡ ⎤ T h = [1 − 0.5 DW ]* ⎢ ⎥ ⎣ {1 − T (VarBarth )}⎦
0. 5
............................................... (4.37)
dimana: h
= angka statistik durbin-h
T
= jumlah pengamatan contoh
Var Barth
= varian dari koefisien peubah bedakala endogen
DW
= nilai statistik Durbin Watson
Untuk mengetahui dan menguji apakah peubah bebas (independent variable) secara bersama-sama berpengaruh signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas (dependent variable), maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F. Sedangkan untuk menguji apakah masing-masing peubah bebas berpengaruh signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas dilakukan uji statistik t. Penggunaan program SAS atau program aplikasi lain, hasil uji statistik t bisa dilihat dari nilai nilai probabilitas Pr. Nilai probabilitas Pr ini merupakan probabilitas Pr untuk uji dua sisi (two tails test), sementara pada penelitian ini hipotesis parameter pendugaan yang diharapkan searah maka probabilitas Pr menggunakan uji satu sisi (one tail test). Untuk itu, jika ingin melakukan uji hipotesis satu sisi dan arah parameter pendugaan yang dihasilkan sesuai dengan hipotesis maka nilai probabilitas Pr dibagi dua. Sebaliknya bila arah yang dihasilkan berlawanan dengan hipotesis, maka hasil uji hipotesis satu sisi adalah
73
satu dikurangi dengan nilai probabilitas ρ yang telah dibagi dua (UCLA Academic Technology Services, 2009; Widarjono, 2007).
4.5. Validasi Model Hal penting lain yang diperhitungkan dalam melakukan proyeksi ini adalah menghitung keakuratan model dalam menghasilkan proyeksi peubah endogenus. Beberapa nilai ukuran statistik yang tersedia untuk menilai kemampuan suatu model dalam melakukan simulasi (Sitepu, 2006). Tingkat keakuratan ini diukur berdasarkan kriteria-kriteria nilai-nilai Mean Error (ME), Mean Percent Error (MPE), Mean Absolute Error (MAE), Mean Absolute Percent Error (MAPE), Mean Squares Error (MSE), Root Mean Squares Error (RMSE) dan Root Mean Percentage Squares Error (RMPSE). Apabila nilai-nilai di atas mendekati nol maka dimulasi model mengikuti nilai-nilai aktualnya. Nilai-nilai ini akan secara langsung dihitung dengan menggunakan program komputer dan tidak dijelaskan secara lebih rinci dalam penjelasan penelitian ini. Tingkat absolut dari peubah tidak terlalu menjadi perhatian utama dalam simulasi kebijakan, sebab yang lebih penting adalah bagaimana dampak perubahan eksogen atau instrumen terhadap varibel endogen di dalam sistem. Untuk mengetahui kemampuan model dalam peramalan maka ketepatan peramalan untuk model ekonometrika diukur dengan koefisien U-Theil atau Theils inequality. Statistik U-Theil selalu bernilai antara 0 dan 1. Jika U=0 maka model secara historis adalah sempurna atau mencapai kesempurnaan peramalan. Sebaliknya jika U=1, maka model adalah tidak lebih baik dari peramalan perubahan nol atau naif dalam peramalan. Statistik U dihasilkan dari nilai regresi
74
aktual dan dari nilai simulasi, dan dapat diuraikan ke dalam komponen bias, regresi serta disturban yang apabila dijumlahkan sama dengan satu. Pindyck dan Rubenfeld (1991) mengatakan bahwa proporsi bias adalah indikator kesalahan sistematik yang ditunjukkan oleh penyimpangan nilai simulasi dari nilai aktualnya, proporsi regresi adalah indikator kesalahan dari komponen regresi yang menunjukkan penyimpangan kemiringan (slope) regresi dengan nilai aktualnya, dan proporsi disturban adalah komponen bias residual sebagai kesalahan yang tidak sistematik. Optimalnya komponen bias dan regresi adalah mendekati nol dan komponen disturban mendekati satu. Dalam melakukan proyeksi dengan model simultan ini, dalam prakteknya secara langsung nilai proyeksi untuk peubahpeubah endogen yang ditentukan secara langsung diperoleh dari hasil program pengolahan model dengan menggunakan program/aplikasi komputer SAS/ETS (Statistical Analysis System/ Econometric Times Series) version 9.1 Seluruh besaran dan nilai dalam proyeksi ini didapat sebagai output pengolahan SAS/ETS.
4.6.
Simulasi Dampak Kebijakan Perberasan terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Simulasi yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis dan meramalkan
kondisi ketepatan waktu (timing intervention), sehingga simulasi di disagregasi menurut periode masa panen raya, di luar masa panen raya dan agregasi tahunan nasional. Perbedaan pola panen antar wilayah menyebabkan periode panen raya masing-masing wilayah berbeda-beda. Simulasi dampak kebijakan menurut waktu implementasi kebijakan, sehingga simulasi kebijakan yang akan dilakukan dibagi menjadi 3 (tiga) periode yang berbeda yaitu: periode I, periode II dan periode aggregat. Periode I adalah
75
periode sepanjang bulan Februari-Mei. Periode II adalah periode sepanjang bulan Juni-Januari, sedangkan periode agregat adalah periode sepanjang waktu satu tahun. Beberapa skenario simulasi alternatif kebijakan ekonomi secara parsial dan alternatif kombinasi kebijakan perberasan adalah: Tabel 15. Rencana Simulasi Parsial dan Kombinasi Kebijakan Perberasan Simulasi
Periode I
Periode II
Aggregat Tahunan
1. Menaikkan harga dasar gabah 5% 2. Menaikkan tarif impor beras sebesar 5% 3. Menaikkan jumlah penyaluran sebesar 5 %. 4. Menaikkan harga dasar gabah dan tarif impor masing-masing sebesar 5%.
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
76
V. KERAGAAN PERBERASAN INDONESIA 5.1
Hasil Pendugaan Model Ekonomi Perberasan Indonesia Keragaan hasil empiris pendugaan model ekonomi beras yang dibangun dan
diduga dalam penelitian ini cukup baik. Nilai koefisien determinasi (R2) masingmasing persamaan perilaku dalam model berkisar antara 0.7664 - 0.9789 kecuali persamaan perilaku persamaan luas areal panen dan persamaan jumlah impor beras (IMPR) yang mempunyai nilai R2 yang relatif rendah antara 0.22450.4042. Hal ini secara umum menjelaskan bahwa peubah-peubah eksogen mampu menjelaskan dengan baik keragaman setiap peubah endogennya. Hampir semua tanda dan besaran parameter penduga dari peubah-peubah penentu dalam model sesuai dengan harapan dan logika ekonomi, meskipun hasil uji statistik t menunjukkan ada beberapa peubah penentu yang berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogennya pada tingkat α antara 0.05-0.15. Berdasarkan penjelasan
tersebut
maka pendugaan model cukup representatif untuk
menggambarkan fenomena keragaan kondisi perberasaan Indonesia. Mengetahui respon peubah endogen terhadap peubah-peubah penjelasnya dapat dilihat dari nilai elastisitas peubah-peubah yang berpengaruh nyata. Model yang digunakan dalam penelitian ini mengandung peubah endogen bedakala maka masalah korelasi serial tidak dapat dideteksi dengan menggunakan statistik Durbin Watson (DW) sehingga digunakan uji Durbin h (Dh). Berdasarkan nilai Durbin h yang diperoleh beberapa persamaan mengandung masalah korelasi serial. Menurut Pindyck dan Rubenfeld (1991), masalah korelasi serial hanya mengurangi efisiensi penggunaan parameter, dan tidak menimbulkan bias parameter regresi. Model persamaan simultan penelitian ini cukup baik karena memenuhi kriteria
77
ekonomi (tanda yang sesuai), kriteria statistik (akurat), dan kriteria ekonometrika (tidak ada serial korelasi yang serius). Beberapa peubah eksogen yang dimasukkan ke dalam persamaan struktural yang parameter dugaannya tidak sesuai dengan harapan dapat dijelaskan sesuai kondisi yang ada di lapang.
5.2. Pembahasan Pendugaan Model Ekonomi Perberasan Indonesia Berdasarkan analisis persamaan simultan ini, akan dijelaskan perilaku antara faktor-faktor penawaran, permintaan dan harga. Persamaan-persamaan struktural terdiri dari 25 persamaan yang dijelaskan pada sub bagian sebagai berikut. 5.2.1. Luas Areal Panen Persamaan respon areal panen padi sawah dan ladang dalam penelitian ini, bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga gabah petani terhadap luas areal panen padi. Luas areal panen padi menunjukkan bahwa harga gabah petani berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap luas areal panen padi. Areal panen padi nasional adalah jumlah dari seluruh luas areal wilayah-wilayah (agregat nasional) yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nus Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi. Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Sumatera Peubah
Parameter Dugaan
P-value
Intercept Harga gabah petani Sumatera Harga jagung petani Sumatera Produktivitas padi Sumatera Lag luas areal panen Sumatera
-942,100 0.0761 -0.0141 24.5050 0.6149
0.6148 0.2917 0.8974 0.0985 <.0001
DW = 1.0278 ; R2 = 0.3814
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.3554 -0.0553 0.3650 0.6149
0.9228 -0.1436 0.3650 0.6149
78
Luas areal panen padi dipengaruhi perubahan harga gabah petani meskipun pengaruh harga gabah petani tidak nyata terhadap luas areal panen. Kenaikan harga harga gabah petani mampu mendorong peningkatkan jumlah produksi melalui peningkatan luas areal panen dan produktivitas. Persamaan luas areal dipengaruhi oleh harga gabah petani, harga jagung petani, produktivitas dan lag luas areal. Perilaku luas areal panen masing-masing wilayah terdiri dari 2 pola yang berbeda. Pola pertama adalah luas areal lebih dipengaruhi oleh produktivitas daripada harga gabah petani dan harga jagung petani. Wilayah yang termasuk pola pertama ini adalah Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara. Wilayah Jawa, Kalimantan dan Sulawesi termasuk dalam pola yang kedua dimana pengaruh harga gabah dan jagung lebih signifikan daripada produktivitas. Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Jawa
Peubah Intercept Harga gabah petani Jawa Harga jagung petani Jawa Produktivitas padi Jawa DW = 0.7960 ; R2 = 0.22447
Parameter Dugaan 2484.5340 0.3058 -1.7404 48.7775
P-value 0.2980 0.1194 0.0017 0.9133
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 1.0431 -2.9486 0.4627
Meskipun tidak nyata, harga jagung petani berpengaruh negatif terhadap luas areal panen padi yang berarti lahan jagung bersifat substitusi dengan luas lahan padi. Harga jagung berpengaruh nyata terhadap luas areal panen di Jawa. Persaingan pengunaan lahan untuk jagung sangat berpengaruh terhadap pengurangan luas areal panen padi Jawa sedangkan di wilayah lainnya lahan jagung sebagai substitusi lahan padi tidak mempengaruhi luas areal panen padi. Hal ini menunjukkan bahwa potensi perluasan lahan padi sudah mencapai tingkat
79
jenuh akibat konversi lahan padi menjadi komoditas lainnya dan kepentingan non pertanian seperti perumahan dan industri. Tabel 18. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Padi Bali dan Nusa Tenggara Peubah Intercept Harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara Harga jagung petani Bali dan Nusa Tenggara Produktivitas padi Bali dan Nusa Tenggara Lag luas areal panen Bali dan Nusa Tenggara DW = 1,5358; R2 = 0.2893
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Dugaan
P-value
-109.2700
0.4566
0.0399
0.3274
0.9579
2.8891
-0.0888
0.2047
-2.1260
-6.4123
4.6385
0.1125
0.3031
0.9141
0.6685
<.0001
0.6685
2.0162
Produktivitas berpengaruh nyata terhadap peningkatan luas areal panen Bali dan Nusa Tenggara namun tidak direspon secara elastis oleh luas areal. Luas areal sangat responsif terhadap kenaikan harga jagung petani. Kenaikan harga jagung sebagai produk substitusi beras menjadi insentif petani memproduksi jagung dan menurunkan luas areal padi. Jagung merupakan makanan pokok sebagian masyarakat terutama Nusa Tenggara Timur sehingga kenaikan harga jagung akan mendorong petani beralih untuk menanam padi pada lahan pertaniannya. Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Kalimantan Peubah Intercept Harga gabah petani Kalimantan Harga jagung petani Kalimantan Produktivitas padi Kalimantan Lag Tren Waktu Lag luas areal panen Kalimantan DW = 1,4790; R2 = 0.4039
Parameter Dugaan 2.5742 0.0283 -0.0555 44.6634 -18.8900 0.4630
P-value 0.9816 0.1442 0.1214 0.2459 0.0556 0.0003
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.4996 -1.0986 2.0175 -0.7921 0.4630
0.9303 -2.0457 3.7569 -1.4751 0.8622
80
Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Panen Sulawesi Peubah Intercept Harga gabah petani Sulawesi Harga jagung petani Sulawesi Produktivitas padi Sulawesi Lag Tren Waktu Lag luas areal panen Sulawesi
Parameter Dugaan
P-value
-860.0790 0.0228 -0.0001 202.2507 0.4333 -860.0790
0.1061 0.1937 0.9995 0.0770 0.0006 0.1061
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.3598 -0.0004 8.1916 0.4333 0.3598
0.6349 -0.0007 14.4538 0.7645 0.6349
DW = 1,6797; R2 = 0,2574
Luas areal panen padi Kalimantan dan Sulawesi lebih responsif terhadap peningkatan produktivitas daripada harga gabah dan jagung petani. Pengaruh produktivitas padi akan mendorong petani menanam padi untuk memperoleh keuntungan dari usahatani padinya. Implikasi dari hasil pendugaan parameter di atas adalah bahwa peningkatan luas arel panen dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan harga gabah tingkat petani untuk mendorong peningkatan produksi selain pencetakan lahan baru.
5.2.2. Impor Beras Secara teori semua faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras dalam persamaan tersebut memiliki pengaruh negatif terhadap peubah endogen jumlah impor beras. Jumlah permintaan terhadap suatu produk (impor beras) berbeda arah dengan harga produk tersebut yang berarti jumlah impor beras akan menurun jika harga beras impor meningkat. Peningkatan nilai tukar atau yang disebut sebagai pelemahan mata uang Rupiah terhadap US Dollar akan berakibat semakin mahalnya beras impor. Implikasi pelemahan mata uang domestik tersebut adalah jumlah impor beras akan menurun. Hal ini sesuai dengan hasil pendugaan persamaan jumlah impor beras pada penelitian ini.
81
Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Impor Beras Indonesia Peubah Intercept Harga impor beras Lag produksi beras Indonesia Lag stok operasional Perum Bulog Nilai tukar Rp terhadap USD Lag tren waktu Lag jumlah impor beras DW= 2.2028 ; R2 = 0.4240
Parameter Dugaan 212.4910 -0.0159 -0.0018 -0.0077 -0.0142 -0.3560 0.2557
P-value 0.0280 0.0399 0.5400 0.5144 0.0556 0.9741 0.0598
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang -1,084 -0,136 -0,285 -2,641 -0,027 0,256
-1,457 -0,183 -0,383 -3,548 -0,037 0,344
Stok operasional Perum Bulog dan produksi beras juga memiliki pengaruh negatif terhadap jumlah impor beras. Jumlah produksi dan stok beras merupakan komponen-komponen pembentuk jumlah penawaran beras. Selisih antara jumlah penawaran dan permintaan beras domestik akan dipenuhi dari impor beras dari luar negeri sehingga parameter jumlah impor beras berlawanan arah dengan parameter komponen penawaran beras lainnya yaitu jumlah produksi dan stok beras. Hal ini sesuai dengan hasil pendugaan persamaan jumlah impor beras pada penelitian ini. Elastisitas jumlah impor beras terhadap nilai tukar adalah elastisistas terbesar diantara peubah eksogen lainnya yang berarti jumlah impor beras lebih responsif terhadap nilai tukar daripada peubah eksogen lainnya dengan nilai elastisitas sebesar -2,6410 dan -3,5480 masing-masing pada jangka pendek dan jangka panjang. Perilaku impor Perum Bulog lebih dipengaruhi perubahan nilai tukar daripada jumlah produksi dan jumlah stok operasional Bulog. Pengaruh jumlah stok terhadap impor tidak signifikan dan direspon tidak elastis sehingga pengelolaan stok operasional bukan menjadi pertimbangan utama Bulog dalam melakukan kebijakan impor.
82
5.2.3. Harga Beras Impor Harga beras impor Indonesia dipengaruhi oleh harga beras Thailand, besaran tarif impor beras dan lag harga beras impor. Harga beras Thailand yang digunakan sebagai acuan karena selain sebagai negara asal impor beras utama Indonesia, harga beras Thailand juga merupakan penentu harga beras di pasar beras dunia. Peubah tarif merupakan instrumen kebijakan yang secara langsung ditambahkan menjadi bagian dari harga beras impor tersebut. Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Impor Peubah Intercept Tarif impor Harga beras Thailand Lag harga beras impor DW= 0.5152; R2 = 0.9154
Parameter Dugaan -284.1940 1.1993 1.2908 0.0639
P-value 0.6016 0.2875 <.0001 0.2558
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.1357 0.8678 0.1024
0.1449 0.9270 0.1094
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana harga beras Thailand sebagai reprensentasi harga beras dunia berpengaruh positif secara nyata sedangkan tarif berpengaruh tidak nyata terhadap harga beras impor. Harga beras impor mengikuti mengikuti pergerakan harga beras dunia dalam hal ini beras Thailand yang dijadikan sebagai acuan harga beras dunia. Harga beras Thailand menentukan harga beras impor Indonesia karena disamping sebagai harga yang representasikan harga dunia, Thailand merupakan negara asal impor beras utama Indonesia selain Vietnam.
5.2.4. Harga Gabah Petani Hasil pendugaan seluruh persamaan harga gabah petani terdiri dari lima wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi
83
serta satu persamaan harga gabah petani agregat Indonesia. Harga gabah petani dipengaruhi oleh produksi padi, pengadaan oleh Perum Bulog, harga pembelian pemerintah, harga beras eceran domestik dan lag harga gabah petani. Produksi padi berpengaruh negatif terhadap harga gabah petani, artinya peningkatan jumlah produksi padi mengakibatkan harga gabah petani menurun. Peningkatan produksi pada periode tertentu (panen raya) akan mengakibatkan terjadi kelebihan penawaran (excess supply) pada periode tersebut. Melalui mekanisme penyesuaian keseimbangan (equilibrium) antara fungsi penawaran dan permintaan maka harga gabah petani akan menurun pada titik keseimbangan yang baru. Tabel 23. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Indonesia Peubah Intercept Harga pembelian pemerintah Produksi padi Indonesia Lag pengadaan Indonesia Lag stok Harga Beras Indonesia Margin pemasaran Lag harga gabah petani Indonesia DW= 1.2717; R2 = 0.9760
Parameter Dugaan 217.5604 0.0054 -0.0150 0.0382 -0.0300 0.4570 -0.2877 0.2944
Elastisitas P-value 0.0309 0.9188 <.0001 0.2057 0.0420 <.0001 <.0001 <.0001
Jangka Pendek 0.0077 -0.0624 0.0054 -0.0384 0.9506 -0.4960 0.4631
Jangka Panjang 0.0109 -0.0885 0.0076 -0.0544 1.3473 -0.7030 0.6564
Harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga beras domestik searah dengan harga gabah petani, dimana harga gabah petani meningkat jika harga dasar dan harga beras domestik meningkat. Beras yang merupakan hasil konversi dari gabah akan memiliki perilaku yang sama dengan gabah terhadap harganya masing-masing. Hal ini berarti peningkatan harga beras domestik akan berakibat meningkatnya harga gabah tingkat petani. Hubungan keduanya dapat bersifat saling mempengaruhi atau timbal balik secara positif. Berdasarkan hal itu maka
84
persamaan struktural harga beras domestik juga dipengaruhi oleh harga gabah petani sebagai salah satu peubah eksogennya. HPP berpengaruh tidak nyata terhadap harga gabah Indonesia dan seluruh wilayah. Harga gabah juga tidak responsif terhadap harga dasar tersebut bahkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebesar kurang dari 0.01 mendekati nilai 0 (nol). Hal ini berarti harga gabah di semua wilayah tidak tergantung pada besarnya harga dasar yang berlaku sehingga dapat disebutkan bahwa kebijakan harga dasar tidak efektif meningkatkan harga gabah petani. Pengaruh jumlah produksi lebih direspon oleh harga gabah petani daripada harga dasar. Respon harga gabah Sulawesi terhadap harga dasar merupakan yang terbesar diantara wilayah lain tetapi respon harga gabah Sulawesi terhadap harga beras domestik terkecil dengan nilai sebesar 0.4580 sedangkan untuk nilai elastisitas jangka pendek dan 0.6258 untuk elastisitas jangka panjang. Harga gabah petani Indonesia lebih responsif terhadap harga beras domestik daripada HPP. Harga gabah di semua wilayah juga lebih responsif terhadap harga beras domestik sehingga kenaikan harga gabah mengikuti harga beras domestik bukan HPP yang berlaku. Hasil pendugaan parameter persamaan harga gabah petani Sumatera sama dengan persamaan harga gabah petani secara nasional dimana parameter produksi padi pada wilayah ini berpengaruh nyata terhadap harga gabah. HPP berpengaruh tidak nyata terhadap harga gabah petani tersebut. Respon harga gabah Sumatera terhadap HPP sebesar 0.0006 dalam jangka pendek dan 0.0010 dalam jangka panjang. Hal ini berarti perilaku harga gabah petani Sumatera tidak tergantung
85
pada besarnya HPP yang berlaku. Pengaruh harga beras Sumatera nyata dan direspon elastis oleh harga gabah Sumatera. Harga beras Sumatera merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan harga yang berlaku di tingkat petani.
Tabel 24. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Sumatera Peubah Intercept Harga pembelian pemerintah Lag produksi padi Sumatera Rasio produksi padi Sumatera dan pengadaan Sumatera Lag stok operasional Bulog Sumatera Harga beras Sumatera Margin pemasaran beras Sumatera Log tren waktu Lag harga gabah petani Sumatera DW= 1.6926; R2 = 0.9704
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Dugaan
P-value
189.7756 0.0005 -0.0268
0.1262 0.9935 0.0047
0.0006 -0.0231
0.0010 -0.0358
0.0000 -0.0719 0.4016 -0.3253 37.0603 0.3555
0.9656 0.2880 <.0001 <.0001 0.0134 <.0001
-0.0001 -0.0194 0.8932 -0.6238 0.0935 0.5556
-0.0001 -0.0301 1.3858 -0.9679 0.1451 0.8620
HPP juga tidak nyata berpengaruh terhadap harga gabah petani Jawa sedangkan harga beras domestik nyata mempengaruhi kenaikan harga gabah petani Jawa. Respon harga gabah terhadap HPP hanya 0.0001 baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berarti menunjukkan bahwa harga gabah petani Jawa tidak tergantung pada HPP yang berlaku. Harga gabah dipengaruhi secara nyata oleh harga beras domestiknya. Respon harga gabah Jawa terhadap harga beras domestik cukup tinggi dengan nilai 1.1342 dan 1.4290 untuk jangka pendek dan jangka panjang. Harga gabah yang terbentuk di Jawa berada di atas HPP yang berlaku sehingga peningkatan HPP tidak dapat menjadi faktor yang mendorong kenaikan harga gabah petani. Peningkatan harga gabah berjalan melalui mekanisme pasar gabah yang
86
berlangsung secara sempurna. HPP yang menjadi instrumen intervensi pasar tidak menjadi faktor yang nyata mempengaruhi pasar gabah di wilayah Jawa. Tabel 25. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Jawa Peubah Intercept Harga pembelian pemerintah Produksi padi Jawa Lag stok operasional Bulog Jawa Harga beras Jawa Margin pemasaran beras Jawa Log tren waktu Lag harga gabah petani Jawa DW= 1.0149; R2 = 0.9739
Parameter Dugaan
P-value
-59.5129 0.00004 -0.0210 -0.1049 0.5468 -0.3028 58.5339 0.2063
0.4499 0.9994 <.0001 0.5361 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.0001 -0.0500 -0.0314 1.1342 -0.5124 0.1565 0.3255
0.0001 -0.0630 -0.0395 1.4290 -0.6456 0.1972 0.4101
Stok operasional Bulog berpengaruh negatif terhadap harga gabah Jawa meskipun direspon tidak elastik dan berpengaruh tidak nyata. Pengelolaan stok dilakukan melalui impor dan pengadaan. Penurunan jumlah stok akan ditingkatkan kembali melalui pengadaan terutama pada saat panen raya. Pengadaan oleh Perum Bulog dilakukan sebagai upaya mencegah anjloknya harga gabah petani. Pengadaan oleh Perum Bulog dilakukan bertujuan untuk mengendalikan harga gabah petani sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan. Pengadaan tersebut dilakukan melalui mekanisme pembelian kelebihan supply (excess supply) pada periode tertentu. Surplus tersebut dibeli, dikelola, dan digunakan selanjutnya digunakan untuk tujuan stabilisasi harga beras melalui mekanisme Operasi Pasar (OP) dan Program Beras Miskin (Raskin). Harga gabah petani Jawa lebih mengikuti pergerakan harga beras domestik bukan HPP yang berlaku sehingga kebijakan HPP di wilayah Jawa bukan kebijakan yang efektif untuk meningkatkan harga gabah sebab harga gabah petani sudah berada di atas HPP.
87
HPP juga berpengaruh tidak nyata terhadap harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara. Respon harga gabah Bali dan Nusa Tenggara terhadap HPP juga bersifat tidak elastis. Parameter harga beras domestik Bali dan Nusa Tenggara yang paling berpengaruh nyata terhadap gabah petani. Harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara responsif terhadap kenaikan harga beras domestik dengan nilai elastisitas sebesar 0.9834 dalam jangka pendek dan 1.3717 dalam jangka panjang. Tabel 26. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Bali dan Nusa Tenggara Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Dugaan
P-value
Intercept Harga pembelian pemerintah Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara Rasio lag produksi padi dan pengadaan Bulog Bali dan Nusa Tenggara Harga beras Bali dan Nusa Tenggara Margin pemasaran Bali dan Nusa
98.9306 0.0039 -0.0829
0.2344 0.9514 0.0009
0.0061 -0.0253
0.0085 -0.0353
-0.0010 0.4534
0.5007 <.0001
-0.0015 0.9834
-0.0021 1.3717
Tenggara
-0.2648
<.0001
-0.4944
-0.6896
0.2831
<.0001
0.4456
0.6215
Peubah
Lag harga gabah petani Bali dan Nusa
Tenggara 2
DW= 1.9297; R = 0.9450
Respon harga gabah terhadap HPP juga sangat kecil dengan nilai elastisitas jangka pendek dan elastisitas jangka panjang sebesar 0.0061 dan 0.0085. Harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara juga lebih mengikuti pergerakan harga beras domestik bukan harga dasar yang berlaku sehingga kebijakan harga dasar juga tidak efektif untuk meningkatkan harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara. Harga beras domestik Kalimantan juga berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga gabah petani dan responsif terhadap kenaikan harga beras
88
domestik. Nilai elastisitas harga gabah Kalimantan terhadap harga beras domestik sebesar 1.0669 dalam jangka pendek dan 1.2311 dalam jangka panjang. Nilai elastisitas harga gabah Kalimantan terhadap HPP hanya sebesar 0.0178 dalam jangka pendek dan 0.0206 dalam jangka panjang. Hal ini berarti harga gabah Kalimatan juga lebih dipengaruhi oleh harga beras domestiknya daripada HPP yang berlaku.
Tabel 27. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Kalimantan Peubah Intercept Harga pembelian pemerintah Rasio antara selisih lag produksi dan produksi padi dengan lag pengadaan
Kalimantan Harga beras Kalimantan Lag margin pemasaran Kalimantan Tren waktu Lag harga gabah petani Kalimantan DW= 2.1104; R2 = 0.8478
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Dugaan
P-value
-216.1630 0.0140
0.4013 0.9461
0.0178
0.0206
-0.0054 0.6473 -0.1029 -1.8199 0.1334
0.1747 <.0001 0.3376 0.7020 0.2642
-0.0047 1.0669 -0.1080 -0.0419 0.2116
-0.0054 1.2311 -0.1246 -0.0483 0.2442
Seperti semua wilayah lainnya, harga beras domestik Sulawesi berpengaruh secara nyata terhadap harga gabah petani sedangkan pengaruh harga dasar terhadap kenaikan harga gabah tidak nyata. Harga gabah petani Sulawesi responsif terhadap harga beras domestiknya dengan nilai elastisitas masingmasing sebesar 0,4580 dan 0,6258 pada jangka pendek sedangkan dalam jangka panjang. Respon wilayah yang paling besar di antara semua wilayah lainnya ditunjukan oleh harga gabah petani Sulawesi terhadap harga dasar dengan besaran elastisitas 0.014 dalam jangka pendek sedangkan dalam jangka panjang sebesar 0.0156.
89
Tabel 28. Hasil Pendugaan Parameter Harga Gabah Petani Sulawesi Peubah Intercept Harga pembelian pemerintah Produksi padi Sulawesi Harga beras Sulawesi Log tren waktu Lag harga gabah petani Sulawesi DW= 1.3940; R2 = 0.7664
Parameter Dugaan
P-value
509.0921 0.0073 -0.1418 0.2253 -55.3158 0.2681
<.0001 0.9452 0.0011 <.0001 0.0719 0.0046
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang 0.0114 -0.0622 0.4580 -0.1615 0.4234
0.0156 -0.0850 0.6258 -0.2206 0.5785
Respon harga gabah petani Sulawesi terhadap harga dasar terbesar diantara seluruh wilayah lainnya tetapi respon harga beras domestik sebagai peubah yang berpengaruh nyata terhadap harga gabah petani paling kecil daripada wilayah lainnya. Hal ini berati, meskipun respon terhadap harga dasar terbesar diantara semua wilayah tidak berakibat langsung secara efektif meningkatkan harga gabah petani di wilayah Sulawesi. Kenaikan harga gabah lebih dipengaruhi oleh pergerakan harga beras domestiknya dimana repon harga gabah terhadap pengaruh harga beras domestik wilayah ini paling kecil daripada wilayah lainnya.
5.2.5. Konsumsi Beras Fungsi
permintaan
konsumen
(fungsi
permintaan
Marshallian)
menunjukkan jumlah beras yang akan dibelinya sebagai fungsi dari harga beras, harga komoditi pengganti dan pendapatan konsumen. Pada kenyataannya permintaan pasar terhadap beras pada periode tertentu juga dipengaruhi oleh selera, jumlah penduduk dan faktor lainnya (Mulyana, 1998). Dengan demikian respon kebutuhan beras pada penelitian ini dipengaruhi oleh peubah-peubah eksogen harga beras domestik, income per kapita, jumlah penduduk dan lag konsumsi Indonesia.
90
Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang diminta adalah negatif. Artinya jika harga suatu barang meningkat maka jumlah permintaan barang tersebut akan menurun. Pendapatan konsumen mempengaruhi jumlah konsumsi terhadap barang. Besarnya perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila harga berubah disebut sebagai elastisitas permintaan terhadap harga. Semakin besar pendapatan konsumen maka jumlah permintaan terhadap beras akan meningkat. Sedangkan jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras dimana konsumsi beras merupakan jumlah konsumsi beras keseluruhan penduduk Indonesia. Hasil pendugaan parameter persamaan konsumsi beras sesuai dengan yang diharapkan dimana rasio antara harga domestik dan income per kapita menghasilkan pengaruh negatif. Peubah jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras. Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok maka jumlah konsumsi beras nasional dan wilayah paling dipengaruhi oleh jumlah penduduk secara nasional maupun jumlah penduduk di wilayah masing-masing. Tabel 29. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Beras Sumatera Peubah Intercept Rasio harga beras domestik dan income per kapita Sumatera Jumlah penduduk Sumatera Log tren waktu Lag konsumsi beras Sumatera DW= 2.4755; R2 = 0.9622
Parameter Dugaan 82.4846
P-value
-0.1086 36.7787 -9.1827 0.7516
0.0005 0.0086 0.6048 0.8673
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.8673 -0.0659 0.3062 -0.0051 0.7516
-0.2653 1.2326 -0.0204 3.0257
Peubah jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras meskipun direspon inelastis oleh konsumsi beras dalam jangka panjang. Hal ini
91
berarti respon perubahan jumlah konsumsi beras mengikuti perubahan jumlah penduduk daripada rasio antara pergerakan harga beras domestik dan perubahan tingkat pendapatan per kapita. Konsumsi merupakan hasil kali jumlah penduduk dengan konsumsi per kapita sehingga konsumsi ditentukan oleh jumlah penduduk. Hasil pendugaan parameter konsumsi beras Sumatera sesuai dengan yang diharapkan. Rasio antara harga beras domestik dan pendapatan per kapita direspon tidak elastis oleh konsumsi beras setempat. Peubah jumlah penduduk direspon inelastis oleh konsumsi beras Sumatera dalam jangka panjang. Hal ini berarti respon konsumsi beras Sumatera mengikuti perubahan jumlah penduduknya daripada rasio antara pergerakan harga beras domestik dan perubahan tingkat pendapatan per kapita.
Tabel 30. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Beras Jawa Peubah Intercept Rasio harga beras domestik dan income per kapita Jawa Jumlah penduduk Jawa Log tren waktu Lag konsumsi beras Jawa DW= 2.2094; R2 = 0.8630
Parameter Dugaan -3022.3900
P-value
-0.1303 48.3532 -108.3160 0.8079
0.0089 0.0122 0.0230 0.1685
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.1685 -0.0323 0.4821 -0.0261 0.8079
-0.1680 2.5095 -0.1357 4.2049
Hasil pendugaan parameter konsumsi beras Jawa sesuai dengan yang diharapkan dimana rasio antara harga domestik dan pendapatan per kapita berpengaruh nyata negatif sedangkan jumlah penduduk berpengaruh nyata positif. Rasio antara harga beras domestik dan pendapatan per kapita direspon tidak elastis oleh konsumsi beras setempat. Peubah jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras meskipun direspon tidak elastis oleh konsumsi
92
beras Jawa. Hal ini berarti respon perubahan jumlah konsumsi beras Jawa mengikuti perubahan rasio antara pergerakan harga beras domestik dan perubahan tingkat pendapatan per kapita dan jumlah penduduknya. Jawa sebagai wilayah yang paling banyak penduduknya, wilayah ini memiliki tingkat konsumsi beras yang sangat tinggi pula. Perubahan jumlah penduduk sangat mempengaruhi jumlah konsumsi beras di wilayah ini. Jumlah penduduk Jawa direspon lebih elastis oleh konsumsi Jawa daripada jumlah penduduk Sumatera yang direspon oleh konsumsi Sumatera. Tabel 31. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Beras Bali dan Nusa Tenggara Peubah Intercept Rasio harga beras domestik dan income per kapita Bali dan Nusa Tenggara Jumlah penduduk Bali dan Nusa Tenggara Log tren waktu Lag konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara DW= 2.1549; R2 = 0.9102
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Dugaan 30.3292
P-value
-0.0098
0.0013
-0.0425
-0.1382
42.5140 -10.5026
0.0005 0.0808
0.3525 -0.0225
1.1471 -0.0732
0.6927
0.7696
0.6927
2.2541
0.7696
Hal yang sama juga terjadi pada hasil pendugaan parameter konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki pola yang sama dengan wilayah Sumatera dan Jawa dimana rasio antara harga beras domestik dan pendapatan per kapita direspon tidak elastis oleh konsumsi beras setempat. Peubah jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras meskipun direspon inelastis oleh konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara dalam jangka panjang. Respon perubahan jumlah konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara mengikuti perubahan jumlah penduduknya daripada rasio antara pergerakan harga beras domestik dan perubahan tingkat pendapatan per kapita.
93
Tabel 32. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Kalimantan Peubah Intercept Rasio harga beras domestik dan income per kapita Kalimantan Jumlah penduduk Kalimantan Log tren waktu Lag konsumsi beras Kalimantan DW= 1.9079; R2 = 0.9789
Parameter Dugaan -219.9590
P-value
-0.0025 44.8353 -2.9520 0.7448
0.7494 0.0006 0.2561 <.0001
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.0032 -0.0033 0.4306 -0.0070 0.7448
-0.0127 1.6870 -0.0274 2.9179
Hasil pendugaan parameter konsumsi beras Kalimantan memiliki pola yang sama dengan wilayah-wilayah lainnya dimana rasio antara harga beras domestik dan pendapatan per kapita direspon tidak elastis oleh konsumsi beras wilayah ini. Peubah jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras meskipun direspon inelastis oleh konsumsi beras Kalimantan dalam jangka panjang. Hal ini berarti respon perubahan jumlah konsumsi beras Kalimantan lebih dipengaruhi perubahan jumlah penduduknya daripada rasio antara pergerakan harga beras domestik dan perubahan tingkat pendapatan per kapita. Tabel 33. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sulawesi Peubah Intercept Rasio harga beras domestik dan income per kapita Sulawesi Jumlah penduduk Sulawesi Log tren waktu Lag konsumsi beras Sulawesi DW= 1.9942; R2 = 0.8353
Parameter Dugaan -339.1590
P-value
-0.0327 71.7457 -18.9818 0.6745
0.0082 0.0457 0.2826 <.0001
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
0.4946 -0.0945 0.6436 -0.0334 0.6745
-0.2903 1.9771 -0.1026 2.0719
Hasil pendugaan parameter konsumsi beras Sulawesi juga memiliki pola yang sama dengan wilayah-wilayah lainnya dimana rasio antara harga beras domestik dan pendapatan per kapita direspon tidak elastis oleh konsumsi beras
94
setempat. Peubah jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah konsumsi beras meskipun direspon inelastis oleh konsumsi beras Sulawesi dalam jangka panjang. Hal ini berarti respon perubahan jumlah konsumsi beras Sulawesi juga mengikuti perubahan jumlah penduduknya daripada rasio antara pergerakan harga beras domestik dan perubahan tingkat pendapatan per kapita.
5.2.6. Harga Beras Domestik Harga beras domestik dipengaruhi secara positif oleh harga impor beras. Hal ini mengindikasikan bahwa pergerakan harga beras domestik secara nasional mengikuti perubahan harga beras impor. Meskipun demikian respon harga beras domestik lebih responsif mengikuti perubahan harga gabah petani yang dicerminkan oleh elastisitas harga beras domestik terhadap harga petani gabah petani lebih besar daripada elastisitas harga beras domestik terhadap harga beras impor. Mengingat bahwa hubungan antara harga gabah dan harga beras bersifat saling mempengaruhi maka harga beras paling dipengaruhi oleh pergerakan harga gabah petani. Tabel 34. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Indonesia
Peubah Intercept Selisih penawaran dan konsumsi Indonesia Lag harga gabah petani Indonesia Penyaluran Perum Bulog Lag harga impor beras Indonesia Tren waktu Lag harga beras domestik Indonesia DW=
1.5660; R2 = 0.8705
Parameter Dugaan
P-value
504.4792
0.1877
-0.0252 0.7789 -0.6444 0.0313 -26.9851 0.3647
0.0843 0.0006 0.0463 0.2927 <.0001 0.0005
Elastisitas Jangka Jangka Panjang Pendek
-0.2114 0.5889 -0.0515 0.0569 -0.3331 0.5779
-0.3327 0.9269 -0.0811 0.0895 -0.5243 0.9096
95
Penyaluran Perum Bulog dilakukan sebagai instrumen kebijakan stabilisasi di pasar domestik yang bertujuan mengendalikan kenaikan harga beras domestik. Semakin besar penyaluran maka harga beras domestik semakin menurun. Penyaluran ini dilaksanakan melalui mekanisme Operasi Pasar (OP) dan Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin). Penyaluran dan produksi beras Indonesia berpengaruh signifikan namun direspon secara tidak elastis. Pengaruh penawaran, konsumsi dan harga gabah petani merupakan peubah eksogen yang paling besar pengaruhnya terhadap respon harga beras domestik. Hal ini berarti bahwa pergerakan harga beras domestik sangat tergantung pada jumlah penawaran, tingkat konsumsi dan harga gabah petani. Kecukupan penyediaan terhadap konsumsi yang berlangsung stabil akan menjaga stabilisasi harga beras sehingga faktor ini sangat mempengaruhi harga beras sedangkan kenaikan harga gabah petani secara langsung akan ditransmisikan oleh harga beras domestik sehingga harga beras akan bergerak naik mengikuti pergerakan harga gabah petani. Tabel 35. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Sumatera Peubah Intercept Rasio lag produksi beras dan konsumsi Sumatera Harga gabah petani Sumatera Penyaluran Perum Bulog Sumatera Harga beras impor Tren waktu Lag harga beras domestik Sumatera DW= 1.2132; R2 = 0.8384
Parameter Dugaan
P-value
806.9153
0.0015
-61.7230 0.7840 -1.2768 0.0261 -18.9231 0.4566
0.8553 <.0001 0.2636 0.3574 0.0015 0.0002
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
-0.0026 0.3525 -0.0201 0.0264 -0.2083 0.7145
-0.0048 0.6486 -0.0370 0.0485 -0.3833 1.3148
Hasil pendugaan parameter harga beras di tingkat wilayah terbagi dalam dua pola yang berbeda. Wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan dan Sulawesi.
96
dan memiliki pola yang sama dimana harga gabah petani menjadi peubah yang paling berpengaruh dan direspon inelastis oleh harga beras domestik masingmasing. Wilayah lainnya dengan pola harga beras atau pola kedua adalah harga gabah petani direspon tidak elastis oleh harga beras domestik wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Harga gabah petani berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik Sumatera sedangkan peubah lainnya tidak berpengaruh nyata. Hasil pendugaan harga beras domestik Sumatera memiliki pola yang sama dengan harga beras domestik secara nasional dimana harga gabah merupakan peubah yang berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Respon harga beras Sumatera terhadap pengaruh peubah-peubah lainnya bersifat tidak elastis. Rasio produksi dan konsumsi Sumatera tidak nyata berpengaruh terhadap harga beras Sumatera. Respon harga beras Sumatera terhadap rasio produksi dan konsumsi Sumatera direspon secara tidak elastis. Harga beras domestik Sumatera juga mengikuti peningkatan harga beras impor meskipun berpengaruh tidak nyata dan direspon secara tidak elastis. Hal ini menunjukkan bahwa harga beras Sumatera sangat tergantung pada pergerakan harga gabah petani daripada pengaruh peubah lainnya. Penyaluran merupakan salah satu peubah yang mempengaruhi harga beras Sumatera. Intervensi harga melalui penyaluran bertujuan untuk menurunkan harga beras pada saat harga beras mengalami kenaikan. Penyaluran pada persamaan struktural harga beras Sumatera akan menurunkan harga beras Sumatera meskipun peubah penyaluran pada persamaan ini direspon secara tidak elastis oleh harga beras domestik Sumatera.
97
Tabel 36. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Jawa Elastisitas Peubah Intercept Rasio produksi beras dan lag konsumsi Jawa Lag harga gabah tingkat petani Jawa Penyaluran Perum Bulog Jawa Harga beras impor Tren waktu Lag harga beras domestik Jawa
Parameter Dugaan
P-value
1216.4850
<.0001
-614.0170 0.2783 -1.3974 0.0231 -25.4168 0.5810
0.0409 0.0611 0.0426 0.6182 <.0001 <.0001
Jangka Pendek
-0.0340 0.1342 -0.0580 0.0266 -0.3179 0.9161
Jangka Panjang
-0.0812 0.3202 -0.1384 0.0634 -0.7588 2.1866
DW= 1.3086; R2 = 0.8235
Secara umum peubah-peubah eksogen hasil pendugaan parameter harga beras domestik Jawa berpengaruh nyata terhadap pergerakan harga beras domestik di wilayah ini kecuali harga beras impor. Harga beras Jawa mengikuti kenaikan harga impor beras namun demikian pengaruh tersebut tidak nyata meningkatkan harga beras Jawa. Peubah-peubah eksogen lainnya berpengaruh nyata terhadap pergerakan harga beras Jawa meskipun respon harga beras Jawa tidak elastis terhadap pengaruh peubah-peubah eksogennya. Harga gabah dan harga beras saling mentransmisikan pergerakan harga masing-masing dalam mekanisme keseimbangan permintaan dan penawaran dalam pasar persaingan sempurna sehingga harga beras Jawa berpengaruh nyata terhadap kenaikan harga beras Jawa. Respon harga beras Jawa terhadap harga gabah petani Jawa paling besar diantara peubah lainnya yang menunjukkan bahwa harga beras domestik Jawa sangat ditentukan oleh harga gabah petaninya daripada faktor-faktor lainnya. Rasio produksi-konsumsi dan penyaluran berpengaruh nyata negatif. meskipun direspon tidak elastis dalam pendugaan parameter harga beras Jawa.
98
Tabel 37. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Bali dan Nusa Tenggara Peubah Intercept Rasio produksi beras dan konsumsi Bali dan Nusa Tenggara Lag harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara Lag penyaluran Perum Bulog Bali dan Nusa Tenggara Lag harga beras impor Tren waktu Lag harga beras domestik Bali dan Nusa Tenggara DW= 1.7119; R2 = 0.8191
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
Parameter Dugaan
P-value
1299.9090
0.0007
-388.1880
0.1388
-0.0233
-0.0741
0.0067
0.9815
0.0049
0.0156
-24.4581 0.0162 -20.3042
0.0728 0.7267 0.0460
-0.0715 0.0309 -0.2631
-0.2279 0.0984 -0.8380
0.6861
<.0001
1.0862
3.4600
Hasil pendugaan parameter harga beras Bali dan Nusa Tenggara mempunyai pola yang berbeda dengan wilayah Sumatera dan Jawa. Harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara berpengaruh tidak nyata dan direspon tidak elastis oleh harga beras Bali dan Nusa Tenggara sedangkan di wilayah lainnya, harga gabah petani berpengaruh nyata dan direspon secara inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa transmisi harga harga gabah tingkat petani Bali dan Nusa Tenggara pada harga berasnya relatif kecil sehingga pengaruh kenaikan harga gabah tingkat petani direspon secara tidak elastis oleh harga beras Bali dan Nusa Tenggara. Rasio produksi dan konsumsi beras setempat dan jumlah penyaluran berpengaruh nyata namun direspon tidak elastis oleh harga beras domestik wilayah ini. Harga beras Bali dan Nusa Tenggara mengikuti perubahaan jumlah produksi, konsumsi dan penyaluran di wilayah setempat sehingga pergerakan harga beras Bali dan Nusa Tenggara tergantung pada perubahan jumlah ketiga faktor ini. Harga beras impor berpengaruh tidak nyata dan direspon tidak elastis
99
oleh harga beras Bali dan Nusa Tenggara sehingga pergerakan harga beras Bali dan Nusa Tenggara tidak ditentukan oleh harga beras impor. Tabel 38. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Kalimantan Peubah Intercept Rasio produksi beras dan konsumsi Kalimantan Lag harga gabah petani Kalimantan Lag penyaluran Perum Bulog Kalimantan Lag harga beras impor Tren waktu Lag harga beras domestik Kalimantan DW= 1.6286; R2 = 0.8817
Parameter Dugaan
P-value
Elastisitas Jangka Jangka Pendek Panjang
1459.2280
<.0001
-182.4860 0.4864
0.5442 0.0003
-0.0100 0.4683
-0.0144 0.6725
-8.3583 0.0302 -14.2202 0.3037
0.0011 0.1103 0.0002 0.0050
-0.0968 0.0620 -0.1986 0.4795
-0.1391 0.0890 -0.2852 0.6887
Harga gabah petani Kalimantan merupakan peubah yang berpengaruh signifikan dan direspon paling elastis diantara peubah eksogen lainnya. Harga beras Kalimantan sangat ditentukan oleh kenaikan harga gabah petani Kalimantan. Transmisi kenaikan harga gabah Kalimantan pada harga beras Kalimantan berlangsung sempurna sehingga kenaikan harga gabah Kalimantan direspon lebih elastis. Penyaluran dan harga beras impor berpengaruh nyata terhadap harga beras Kalimantan meskipun kedua peubah ini direspon tidak elastis. Harga beras Kalimantan mengikuti pergerakan harga impor. Kalimantan termasuk wilayah non sentra produksi beras. Konsumsi beras masyarakat Kalimantan dipenuhi lain melalui distribusi beras dari wilayah melalui mekanisme pemasaran beras antar wilayah terutama dari Sulawesi dan Jawa. Harga beras domestik Kalimantan akan dipengaruhi oleh harga impor melalui harga beras Indonesia pada mekanisme pasar beras tersebut.
100
Rasio produksi dan konsumsi berpengaruh tidak nyata dan direspon tidak elastis. Hal ini menunjukkan bahwa harga beras Kalimantan tidak ditentukan jumlah produksi dan konsumsi wilayahnya. Proporsi produksi dan konsumsi Kalimantan relatif tetap sehingga pengaruh peubah produksi dan konsumsi tidak nyata dan direspon tidak elastis oleh harga beras Kalimantan. Tabel 39. Hasil Pendugaan Parameter Harga Beras Domestik Sulawesi Elastisitas Peubah Intercept Rasio produksi beras dan konsumsi Sulawesi Harga gabah petani Sulawesi Penyaluran Perum Bulog Sulawesi Harga beras impor Tren waktu Lag harga beras domestik Sulawesi DW= 1.2409; R2 = 0.7731
Parameter Dugaan
P-value
228.5497
0.5551
-322.8020 0.7659 -11.0990 0.0371 -24.8084 0.6655
0.2098 0.0271 0.0537 0.3573 <.0001 <.0001
Jangka Pendek
-0.0243 0.3767 -0.0578 0.0474 -0.3455 1.0413
Jangka Panjang
-0.0726 1.1262 -0.1728 0.1417 -1.0330 3.1131
Harga gabah petani dan penyaluran berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik Sulawesi sedangkan peubah lainnya tidak berpengaruh nyata. Hasil pendugaan harga beras domestik Sulawesi memiliki pola yang sama dengan harga beras domestik secara nasional dan wilayah lainnya dimana harga gabah merupakan peubah yang berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Respon harga beras Sulawesi terhadap pengaruh peubah-peubah lainnya bersifat tidak elastis. Rasio produksi dan konsumsi Sulawesi tidak nyata berpengaruh terhadap harga beras Sulawesi. Respon harga beras Sulawesi terhadap rasio produksi dan konsumsi Sulawesi direspon secara tidak elastis. Harga beras domestik Sulawesi juga mengikuti peningkatan harga beras impor meskipun berpengaruh tidak nyata dan direspon secara tidak elastis. Hal ini
101
menunjukkan bahwa harga beras Sulawesi sangat tergantung pada pergerakan harga gabah petani daripada pengaruh peubah lainnya. Penyaluran merupakan salah satu peubah yang mempengaruhi harga beras Sulawesi. Intervensi harga melalui penyaluran bertujuan untuk menurunkan harga beras pada saat harga beras mengalami kenaikan. Penyaluran berpengaruh nyata menurunkan harga beras Sulawesi meskipun direspon secara tidak elastis.
5.2.7. Stok Beras Operasional Perum Bulog Perum Bulog adalah lembaga pelaksana instrumen kebijakan stabilisasi pasokan dan harga. Peran tersebut dilaksanakan Perum Bulog melalui pengelolaan stok operasionalnya dalam mekanisme pengadaan dan pelepasan stok. Stok operasional Perum Bolog berasal dari produksi domestik melalui pengadaan dan impor beras dari luar negeri sehingga kedua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap stok operasional Perum Bulog. Peubah pengadaan berpengaruh nyata dan direspon secara elastis. Hal ini berarti pengadaan merupakan sumber pasokan untuk stok operasional Perum Bulog. Produksi berpengaruh tidak nyata sedangkan impor berpengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa stok lebih dipengaruhi perubahan jumlah beras impor daripada jumlah produksi dalam negeri. Tabel 40. Hasil Pendugaan Parameter Stok Operasional Perum Bulog Elastisitas Peubah Intercept Produksi beras Indonesia Jumlah impor beras Pengadaan Bulog Lag stok operasional Perum Bulog DW = 1.6154; R2 = 0.9730
Parameter Dugaan -120.5980 -0.0029 0.8692 0.9414 0.9542
P-value 0.0285 0.7219 0.0053 <.0001 <.0001
Jangka Pendek
Jangka Panjang
-0.0059 0.0234 0.1034
-0.1298 0.5113 2.2596
102
Berdasarkan hal itu maka optimalisasi pengadaan dapat memperkuat pengelolaan stok Perum Bulog. Upaya ini juga dapat membantu petani meningkatkan keuntungannya terutama pada saat panen raya. Berkaitan dengan manajemen stok ini, kebijakan jangka pendek lebih difokuskan pada desentralisasi penanganannya pada level kabupaten atau provinsi (Jamal, 2007). Respon stok operasional Perum Bulog terhadap setiap kenaikan 1 persen produksi beras adalah sebesar -0.0059 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.1298 persen dalam jangka panjang. Stok operasional Perum Bulog lebih responsif terhadap perubahan jumlah impor beras sebesar 0.0234 persen dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang sebesar 0.5113 persen untuk setiap kenaikan jumlah impor sebesar 1 persen.
VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN 6.1. Hasil Validasi Model Ekonomi Perberasan Indonesia Simulasi model dilakukan untuk melihat dampak kebijakan perdagangan dengan cara mengubah nilai-nilai peubah tersebut. Baik atau tidaknya suatu hasil simulasi kebijakan tergantung pada hasil validasi model yang telah diduga. Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk melihat keeratan dan keragaman antara nilai dugaan dengan nilai aktual peubah endogen selama periode pengamatan (Pyndyck dan Rubenfield, 1991). Suatu model valid dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti Root Mean Squares Percent Error (RMSPSE), Statistic U Theil, dan nilai koefisien determinasi atau R Squares (R2) semua variabel endogen. Hasil validasi model menurut kriteria statistik dapat dilihat pada Tabel 41. Umumnya suatu pendugaan valid jika nilai RMSPSE dan U semakin kecil, serta nilai R Squares (R2) mendekati satu. Nilai U berkisar antara nol dan satu, jika U sama dengan nol maka pendugaan model adalah sempurna, sebalikanya bila U sama dengan satu, pendugaan model adalah naif. Model dapat dikatakan valid model dari nilai statistik U-Theil yang pada pesamaan ini besarnya sekitar 0.0048-0.4810. Angka ini relatif kecil sehingga dapat dijadikan indikasi bahwa model cukup valid untuk disimulasi. Sementara yang mengindikasikan adanya kesalahan sistemik, dapat dilihat berdasarkan nilai persentase komponen dari nilai statistik U-Theil. Bias (UM), Reg (UR), Var (US) dan U-Theil mendekati nilai idealnya yaitu nol, sedangkan nilai Dist (UD) dan Covar (UC) juga mendekati nilai idealnya yaitu satu, sehingga mengindikasikan bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik.
104
Tabel 41. Hasil Indikator Statistik Validasi Model Ekonomi Perberasan Indonesia Notasi
U-Theil
Bias (UM)
Reg (UR)
Dist (UD)
Var (US)
Covar (UC)
PGTP
0.2527
0.11
0.86
0.02
0.77
0.12
PGSU
0.3207
0.00
0.99
0.01
0.96
0.04
PGJW
0.1072
0.02
0.78
0.21
0.50
0.49
PGBN
0.1309
0.52
0.32
0.16
0.14
0.34
PGKN
0.1686
0.89
0.01
0.10
0.00
0.11
PGSW
0.2505
0.95
0.02
0.03
0.00
0.05
PBIN
0.2000
0.56
0.41
0.03
0.33
0.11
PBSU
0.2170
0.21
0.77
0.02
0.70
0.09
PBJW
0.0931
0.77
0.03
0.20
0.00
0.23
PBBN
0.1681
0.91
0.00
0.08
0.04
0.05
PBKN
0.1764
0.93
0.00
0.07
0.02
0.06
PBSW
0.3567
0.96
0.02
0.02
0.00
0.04
STCK
0.1480
0.25
0.40
0.34
0.17
0.57
IMPR
0.3744
0.47
0.13
0.40
0.00
0.53
PIMP
0.0379
0.27
0.01
0.72
0.00
0.73
TPPS
0.3805
0.02
0.67
0.31
0.11
0.87
TPPJ
0.2901
0.22
0.06
0.72
0.26
0.52
TPBN
0.4760
0.79
0.06
0.15
0.00
0.21
TPPK
0.2797
0.58
0.01
0.41
0.12
0.30
TPSW
0.2460
0.00
0.01
0.99
0.61
0.39
TPPI
0.2520
0.26
0.03
0.72
0.24
0.51
KBIN
0.0317
0.84
0.11
0.04
0.07
0.09
KBSU
0.0628
0.24
0.75
0.01
0.69
0.06
KBJW
0.0184
0.79
0.03
0.19
0.01
0.21
KBBN
0.0298
0.82
0.00
0.17
0.05
0.13
KBKN
0.0048
0.34
0.01
0.66
0.03
0.63
KBSW
0.1987
0.88
0.11
0.01
0.05
0.07
AREA
0.2436
0.26
0.04
0.70
0.24
0.50
ARLS
0.3691
0.01
0.73
0.26
0.13
0.86
ARLJ
0.2891
0.23
0.06
0.71
0.25
0.52
ALBN
0.4810
0.79
0.07
0.14
0.00
0.21
ARLK
0.2823
0.57
0.01
0.42
0.14
0.29
ALSW
0.2461
0.00
0.01
0.99
0.62
0.38
QSBR
0.0695
0.41
0.09
0.50
0.03
0.56
Berdasarkan semua komponen di atas dapat disimpulkan bahwa model penelitian yang sudah dirumuskan dan telah diduga cukup valid untuk digunakan untuk simulasi kebijakan. Pemilihan periode ini dilandasi karena mulai tahun
105
2004 perekonomian Indonesia sudah mulai stabil dari dampak krisis ekonomi tahun 1997 dimana banyak diterapkannya sejumlah perubahan dalam kebijakan finansial, perdagangan dan penyelenggaraan negara, yang salah satunya adalah membebaskan perdagangan termasuk beras di bawah pengelolaan Bulog.
6.2. Pembahasan Hasil Simulasi Model Ekonomi Perberasan Indonesia Simulasi model dapat berdampak positif maupun negatif atau tidak memberikan dampak sama sekali terhadap masing-masing peubah endogen. Simulasi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah simulasi kebijakan HPP, tarif impor, penyaluran dan kombinasi kenaikan HPP dan tarif impor. Simulasi dilakukan pada periode I (Februari-Mei) dan periode II (Juni-Januari) dan periode agregat (Januari-Desember). Simulasi bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan perberasan di seluruh wilayah pada setiap periode tersebut.
6.2.1. Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen Perbedaan dampak kebijakan perberasan Indonesia antar waktu dan antar wilayah dapat dilihat pada Tabel 42 hasil. Harga gabah Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8-9 persen pada semua periode. Harga gabah wilayah Kalimantan dan Sulawesi meningkat relatif sama dengan harga gabah Indonesia akibat dampak kebijakan kenaikan HPP sebesar 5 persen. Harga gabah Kalimantan meningkat sebesar 8 persen, sedangkan harga gabah Sulawesi meningkat sebesar 6-7 persen. Besaran peningkatan harga gabah Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan dan harga gabah Sulawesi sama besar pada semua periode.
106
Tabel 42. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Peubah Harga gabah Harga gabah Sumatera Harga gabah Jawa Harga gabah Bali dan Nusa Tenggara Harga gabah Kalimantan Harga gabah Sulawesi Harga beras Indonesia Harga beras Sumatera Harga beras Jawa Harga beras Bali dan Nusa Tenggara Harga beras Kalimantan Harga beras Sulawesi Stok Operasional Bulog Impor beras Indonesia Harga beras impor Indonesia Produksi padi Sumatera Produksi padi Jawa Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara Produksi padi Kalimantan Produksi padi Sulawesi Produksi padi Indonesia Konsumsi beras Indonesia Konsumsi beras Sumatera Konsumsi beras Jawa Konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara Konsumsi beras Kalimantan Konsumsi beras Sulawesi Areal panen Areal panen Sumatera Areal panen Jawa Areal panen Bali dan Nusa Tenggara Areal panen Kalimantan Areal panen Sulawesi Jumlah penawaran beras Indonesia
Agregat
Periode I
Periode II
9.86 1.62 0.03 1.72 8.71 7.67 4.87 0.87 0.01 -0.17 3.38 6.46 -0.16 -0.10 0.00 1.78 0.02 1.37 6.94 4.84 1.26 -0.37 -0.30 0.00
8.34 1.23 0.04 2.01 8.33 6.99 3.30 0.59 0.01 -0.14 2.94 5.29 0.28 -0.17 0.00 1.17 0.01 1.24 6.04 3.44 0.97 -0.20 -0.14 0.00
8.23 1.30 0.03 1.65 8.43 7.29 4.11 0.72 0.01 -0.16 3.22 6.02 0.66 -0.27 0.00 1.33 0.01 1.41 6.86 4.58 1.16 -0.34 -0.27 0.00
0.04
0.02
0.04
-0.06 -5.86 1.44 1.68 0.01 1.36 6.96 4.86 0.84
-0.05 -2.80 1.12 1.10 0.01 1.23 6.03 3.40 0.57
-0.05 -5.21 1.33 1.27 0.01 1.38 6.89 4.53 0.85
107
Harga gabah Sumatera dan Jawa hanya mengalami peningkatan yang lebih kecil akibat dampak kebijakan kenaikan HPP sebesar 5 persen. Harga gabah Jawa relatif tetap dengan peningkatan sebesar 0.003-0.004 persen untuk semua periode sedangkan harga gabah Sumatera meningkat sebesar 1.23-1.62 persen untuk semua periode. Hal ini berarti bahwa kebijakan HPP efektif mendorong kenaikan harga gabah Indonesia, namun dampak kebijakan berbeda-beda di masing-masing wilayah. Kebijakan kenaikan HPP tidak efektif mendorong peningkatan harga gabah Sumatera, Jawa serta Bali dan Nusa Tenggara namun efektif mendorong kenaikan harga gabah Kalimantan dan Sulawesi. Kenaikan harga gabah ditransmisikan pada kenaikan harga beras. Harga beras Indonesia meningkat sebesar 3.44-4.87 persen untuk semua periode. Harga beras Sumatera dan harga beras Jawa relatif stabil dan hanya meningkat sebesar 0.59-0.87 persen dan hanya sebesar 0.01 persen untuk harga beras Jawa pada semua periode. Berbeda dengan wilayah lainnya, harga beras Bali dan Nusa Tenggara mengalami penurunan sebesar -0.17 persen pada periode agregat. Berdasarkan hasil pendugaan harga gabah Bali dan Nusa Tenggara direspon tidak elastis sempurna oleh harga beras Bali dan Nusa Tenggara sehingga pergerakan harga beras Bali dan Nusa Tenggara tidak tergantung harga gabahnya. Kondisi wilayah ini yang merupakan non sentra produksi dan pola panen yang berbeda dengan pola panen nasional dan Jawa mengakibatkan harga beras tidak ditentukan oleh harga gabah yang berlaku di wilayah ini. Harga beras wilayah ini ditentukan oleh semua faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan harga beras seperti produksi, konsumsi dan penyaluran di wilayah ini tidak oleh salah satu peubah yang berpengaruh nyata dan direspon secara elastis. Besaran
108
transmisi harga beras Kalimantan dan Sulawesi berbeda dimana kenaikan harga Kalimantan lebih kecil daripada harga beras Sulawesi meskipun kenaikan harga gabah Kalimantan lebih besar daripada harga gabah Sulawesi akibat dampak kenaikan HPP sebesar 5 persen. Harga beras wilayah Kalimantan meningkat sebesar 2.94-3.38 persen, sedangkan harga beras wilayah Sulawesi meningkat sebesar 5.29-6.46 persen. Kebijakan kenaikan HPP sebesar 5 persen hanya mampu mendorong peningkatan produksi padi di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Produksi Kalimantan akan meningkat sebesar 6 persen untuk semua periode sedangkan produksi padi Sulawesi akan meningkat sebesar 3.44-4.84 persen. Kebijakan kenaikan HPP tidak mampu mendorong kenaikan produksi padi nasional yang hanya mengalami peningkatan sekitar 1 persen. Hal yang sama terjadi pada wilayah Sumatera, Jawa dan Bali dan Nusa Tenggara. Produksi beras Jawa relatif stabil pada kisaran 0.01-0.02 persen sedangkan produksi beras wilayah Sumatera dan wilayah Bali Nusa Tenggara hanya meningkat sekitar 1-2 persen untuk semua periode. Kenaikan harga gabah dan beras akibat pengaruh kenaikan HPP sebesar 5 persen akan menurunkan konsumsi beras Indonesia dan Sumatera. Konsumsi beras Indonesia -0.37 persen pada periode agregat sedangkan konsumsi beras Sumatera menurun sebesar -0.30 persen pada periode tersebut. Penurunan konsumsi juga terjadi pada konsumsi beras Kalimantan dengan penurunan tingkat konsumsi masing-masing sekitar -0.05 persen untuk semua periode. Konsumsi beras Sulawesi menurun sebesar -5 persen pada periode agregat dan periode II sedangkan penurunan konsumsi beras pada periode I hanya sebesar -2 persen.
109
Penurunan konsumsi beras Sulawesi terjadi akibat kenaikan harga beras sehingga akan menurunkan tingkat konsumsi beras wilayah ini. Kenaikan harga beras pada periode II akan mendorong penurunan konsumsi yang lebih besar. Kenaikan harga gabah akan mendorong peningkatan luas areal panen padi terutama areal panen Kalimantan dan Sulawesi. Hal ini terjadi karena peningkatan harga gabah yang relatif tinggi di kedua wilayah ini menjadi insentif bagi petani untuk memperluas areal produksi padinya. Namun demikian kenaikan luas areal Indonesia relatif lebih kecil karena peningkatan luas areal Sumatera dan Jawa yang merupakan wilayah utama produksi padi juga relatif kecil. Dampak kebijakan kenaikan HPP sebagai insentif petani terhadap peningkatan harga gabah di Sumatera dan Jawa tidak cukup besar untuk meningkatkan luas areal.
6.2.2. Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Kebijakan tarif impor naik mendorong penurunan jumlah impor beras pada semua periode. Penurunan jumlah impor terjadi dipengaruhi kenaikan harga impor karena peningkatan tarif yang merupakan komponen dari harga beras impor itu sendiri. Harga gabah yang semakin mahal akibat kenaikan HPP mengakibatkan kemampuan pengadaan Perum Bulog menurun. Kebijakan pengadaan Perum Bulog yang tidak dapat membeli gabah petani di atas HPP semakin menurunkan tingkat realisasi pengadaan (Machfoedz, 2010). Penurunan jumlah impor akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah penawaran. Pengadaan Perum Bulog secara agregat juga menurun sehingga terjadi penurunan jumlah stok operasional Perum Bulog sebesar -17.70 persen pada periode tersebut. Pada periode I stok operasional Perum Bulog masing-naik sebesar 11.65 persen, sedangkan periode II turun sebesar -0.74 persen.
110
Tabel 43. Hasil Simulasi Dampak Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Peubah Harga gabah Harga gabah Sumatera Harga gabah Jawa Harga gabah Bali dan Nusa Tenggara Harga gabah Kalimantan Harga gabah Sulawesi Harga beras Indonesia Harga beras Sumatera Harga beras Jawa Harga beras Bali dan Nusa Tenggara Harga beras Kalimantan Harga beras Sulawesi Stok Operasional Bulog Impor beras Indonesia Harga beras impor Indonesia Produksi padi Sumatera Produksi padi Jawa Produksi padi Bali dan NT Produksi padi Kalimantan Produksi padi Sulawesi Produksi padi Indonesia Konsumsi beras Indonesia Konsumsi beras Sumatera Konsumsi beras Jawa Konsumsi beras Bali dan NT Konsumsi beras Kalimantan Konsumsi beras Sulawesi Areal panen Areal panen Sumatera Areal panen Jawa Areal panen Bali dan Nusa Tenggara Areal panen Kalimantan Areal panen Sulawesi Jumlah penawaran beras Indonesia
Agregat
Periode I
Periode II
9.80 16.18 5.07
5.30 11.77 4.86
5.90 13.33 4.76
2.14 3.92 6.06 6.26 10.37 3.26
2.25 3.54 4.96 3.87 7.37 2.99
2.06 3.86 5.86 4.32 9.03 3.17
1.4 3.13 7.93 -17.70 -25.79 42.3 17.64 2.63 1.77 3.17 3.92 4.8 -1.56 -3.49 -0.71 -0.29 -0.05 -7.01 5.06 17.00 2.62
1.44 2.84 6.81 11.65 -32.54 41.76 11.48 2.14 1.50 2.64 2.53 3.28 -0.92 -1.83 -0.48 -0.24 -0.05 -3.70 3.46 11.30 2.15
1,46 3,09 7.73 -0.74 -30.29 42.60 13.86 2.58 1.86 3.19 3.81 4.53 -1.48 -3.33 -0.69 -0.28 -0.05 -6.61 4.69 13.44 2.57
1.74 3.14 4.01
1.51 2.59 2.46
1.85 3.23 3.76
-2.80
-0.98
-2.46
111
Kenaikan tarif impor akan meningkatkan harga beras impor dan mendorong penurunan jumlah impor beras dan stok operasional Perum Bulog. Semakin mahalnya harga beras impor berakibat jumlah beras yang mampu diimpor akan menurun. Penurunan jumlah beras impor tersebut mendorong kenaikan harga beras domestik karena jumlah penawaran menurun. Besaran dampak kebijakan tersebut berbeda-beda terhadap harga gabah dan harga beras di wilayah. Harga beras nasional meningkat sebesar 9.80 persen pada periode agregat sedangkan peningkatan harga beras wilayah bervariasi mulai dari sebesar 1.47 persen (Bali dan Nusa Tenggara) sampai dengan sebesar 10.37 persen (Sumatera). Peningkatan harga beras Sumatera, Jawa dan Sulawesi yang sangat besar menunjukkan bahwa harga beras Sumatera, Jawa dan Sulawesi sangat dipengaruhi pergerakan harga beras impor. Harga beras Indonesia, Sumatera dan Jawa pada periode I meningkat lebih kecil daripada periode II dan agregat karena jumlah penawaran lebih besar karena panen raya. Periode I merupakan masa panen raya pada wilayah Sumatera dan Jawa. Peningkatan harga beras Bali dan Nusa Tenggara serta Kalimantan relatif sama untuk semua periode. Selain harga gabah, harga beras wilayah ini ditentukan oleh konsumsi beras. Konsumsi beras bersifat tidak elastis yang mengakibatkan harga beras di kedua wilayah ini juga bersifat tidak elastis sehingga peningkatan harga beras akibat dampak kebijakan kenaikan tarif sama pada semua periode. Penerapan
kebijakan
peningkatan
tarif
impor
sangat
merugikan
kepentingan konsumen Sumatera dan Sulawesi karena konsumen beras di wilayah ini akan menanggung peningkatan harga beras domestik yang sangat besar. Namun demikian disisi lain kebijakan kenaikan tarif impor mampu mendorong
112
peningkatan harga gabah. Harga gabah Sumatera dan Jawa mengalami peningkatan yang sangat besar melalui transmisi harga berasnya sedangkan wilayah lainnya relatif sama dengan kenaikan harga beras. Harga beras Sumatera dan Jawa berpengaruh signifikan dan direspon secara elastis oleh harga gabah Sumatera dan Jawa sehingga kenaikan harga gabah lebih besar daripada kenaikan harga beras. Penurunan jumlah impor akan menurunkan stok operasional Perum Bulog sehingga pengadaan gabah petani dilaksanakan untuk meningkatkan stok operasional Perum Bulog terutama pada periode I. Pengadaan mendorong kenaikan stok operasional Perum Bulog sebesar 11.65 persen. Kondisi ini secara langsung akan mengefektifkan kebijakan kenaikan HPP untuk meningkatkan harga gabah petani terutama di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Kenaikan gabah yang relatif sama untuk semua periode di wilayah Bali dan Nusa Tenggara serta Kalimantan terjadi karena kenaikan harga beras Bali dan Nusa Tenggara serta Kalimantan juga sama untuk semua periode. Konsumsi beras bersifat tidak elastis mengakibatkan harga beras di kedua wilayah ini juga bersifat tidak elastic sehingga peningkatan harga beras akibat dampak kebijakan kenaikan tarif impor relatif sama pada semua periode. Kebijakan kenaikan impor berdampak terhadap peningkatan produksi padi Indonesia termasuk dan produksi padi wilayah. Kenaikan harga padi dan beras akibat kebijakan ini mendorong peningkatan produksi melalui peningkatan luas areal padi atau peningkatan produktivitas. Produksi padi Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 4.76 persen pada periode agregat. Produksi padi di wilayah juga mengalami peningkatan terutama Sumatera. Peningkatan produksi padi dan beras Sumatera merupakan dampak dari kenaikan harga padi dan beras.
113
Insentif peningkatan harga gabah dan beras hanya mampu mendorong peningkatan produksi Jawa sebesar 2.63 persen. Keterbatasan potensi perluasan areal dan peningkatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas akan membatasi peningkatan produksi padi Jawa. Luas areal panen padi Jawa meningkat hanya sebesar 2.62 persen akibat dampak kebijakan kenaikan tarif impor ini. Peningkatan luas areal panen untuk wilayah lain relatif kecil karena insentif bagi petani dari peningkatan harga gabah dan beras juga relatif kecil. Peningkatan produksi Sulawesi hanya sebesar 3.92 persen sedangkan kenaikan harga gabah Sulawesi mencapai 7.39 persen pada periode agregat. Sentra produksi padi yang terpusat pada salah satu daerah yaitu di Provinsi Sulawesi Selatan akan membatasi potensi peningkatan produksi di wilayah ini. Peningkatan luas areal wilayah ini akibat dampak kebijakan kenaikan tarif impor hanya sebesar 4.01 persen. Kenaikan harga beras akan menurunkan tingkat konsumsi beras Indonesia dan semua wilayah. Konsumsi Indonesia menurun sebesar -1.56 persen pada periode agregat. Konsumsi Sumatera menurun sebesar -3.49 pada periode agregat sedangkan penurunan konsumsi beras Sumatera dan Jawa lebih kecil pada periode I. Hal ini terjadi karena pada periode I ini jumlah penawaran meningkat sehingga peningkatan harga beras menurun yang mengakibatkan penurunan konsumsi lebih kecil pada periode panen raya wilayah Sumatera dan Jawa. Dampak kebijakan terhadap penurunan konsumsi lebih besar pada konsumsi Sulawesi -7.01 persen. Peubah harga beras domestik berpengaruh nyata terhadap penurunan konsumsi Sulawesi sehingga tingkat konsumsi Sulawesi menurun relatif cukup besar. Konsumsi Sulawesi pada periode I lebih kecil
114
daripada periode II dan agregat. Jumlah penawaran yang tinggi pada periode I ini akan menekan peningkatan harga beras sehingga penurunan konsumsi lebih kecil daripada periode lainnya.
6.2.3. Kebijakan Kenaikan Penyaluran Perum Bulog Sebesar 5 Persen Kebijakan penyaluran dilakukan bertujuan untuk mengendalikan kenaikan harga beras agar dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat. Mekanisme penyaluran dilaksanakan oleh Perum Bulog melalui pelepasan stok operasional kepada mayarakat (Raskin) dan pasar beras (OPM). Penyaluran dilakukan pada saat terjadi kekurangan jumlah penawaran terutama pada periode II dimana di wilayah Sumatera, Jawa dan Indonesia terjadi masa bukan panen raya. Stok operasional pada periode ini menurun sebesar -30.66 persen sedangkan pada periode I dan agregat stok operasional relatif tidak mengalami perubahan akibat dampak kebijakan kenaikan jumlah penyaluran. Jumlah penawaran akan mengalami peningkatan akibat adanya penyaluran. Jumlah penawaran lebih kecil pada periode I karena pada periode panen nasional sehingga proporsi penyaluran terhadap jumlah penawaran semakin kecil. Realisasi impor beras terjadi pada periode II ini yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah stok operasional tersebut. Jumlah impor pada periode I dan agregat relatif tetap sedangkan pada periode II, jumlah impor meningkat sebesar 6.77 persen. Peningkatan jumlah impor akan memperkuat stok operasional Perum Bulog sehingga kemampuan penyaluran dan jumlah penawaran meningkat. Jumlah penawaran akan meningkat akibat kebijakan kenaikan penyaluran sebesar 5 persen untuk semua periode.
115
Tabel 44. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Peubah Harga gabah Harga gabah Sumatera Harga gabah Jawa Harga gabah Bali dan Nusa Tenggara Harga gabah Kalimantan Harga gabah Sulawesi Harga beras Indonesia Harga beras Sumatera Harga beras Jawa Harga beras Bali dan Nusa Tenggara Harga beras Kalimantan Harga beras Sulawesi Stok Operasional Bulog Impor beras Indonesia Harga beras impor Indonesia Produksi padi Sumatera Produksi padi Jawa Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara Produksi padi Kalimantan Produksi padi Sulawesi Produksi padi Indonesia Konsumsi beras Indonesia Konsumsi beras Sumatera Konsumsi beras Jawa Konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara Konsumsi beras Kalimantan Konsumsi beras Sulawesi Areal panen Areal panen Sumatera Areal panen Jawa Areal panen Bali dan Nusa Tenggara Areal panen Kalimantan Areal panen Sulawesi Jumlah penawaran beras Indonesia
Agregat
Periode I
Periode II
-10.43 -17.47 -27.87
-8.91 -13.25 -27.8
-2.69 -13.59 -24.80
-33.63 0.00 -18.10 -6.99 -11.27 -18.00
-27.8 0.00 -15.43 -5.52 -8.39 -17.2
-30.70 0.00 -16.51 -2.89 -9.28 -16.50
-23.12 0.00 -23.77 0.00 0.00 0.00 -18.96 -14.16
-23.6 0.00 -21.38 0.00 0.01 0.00 -12.59 -11.7
-21.80 0.00 -21.87 -30.66 6.77 0.00 -13.95 -13.10
-26.27 0.00 -11.43 -15.37 4.28 3.76 3.82
-22.1 0.00 -7.46 -12.12 0.00 2.01 2.60
-25.70 0.00 -10.40 -13.81 3.86 3.36 3.50
4.57 0.00 21.16 -14.68 -18.01 -14.20
3.80 0.00 11.34 -11.57 -12.30 -11.80
4.30 0.00 18.60 -13.12 -13.41 -13.10
-26.40 0.00 -11.40 9.65
-22.10 0.00 -7.49 6.78
-25.70 0.00 -10.43 9.57
116
Harga beras Indonesia akan menurun sebesar -6.99 persen akibat dampak kebijakan kenaikan penyaluran pada periode agregat sedangkan pada periode II harga beras dapat diturunkan sebesar -2.89 persen. Kebijakan kenaikan penyaluran semakin efektif apabila kebijakan ini merata di seluruh wilayah. Harga beras Sumatera akan mengalami penurunan sebesar -9.28 persen pada periode II sedangkan pada periode agregat menurun sebesar -11.27 persen. Hal yang sama terjadi pada wilayah lainnya, harga beras Jawa menurun sebesar -16.50 persen, harga beras Bali dan Nusa Tenggara menurun sebesar -21.80 persen dan harga beras Sulawesi menurun sebesar -21.87 persen pada periode II. Dampak kebijakan kenaikan penyaluran ini terhadap penurunan harga beras di wilayah ini relatif sama untuk seluruh periode. Namun disisi lain, kebijakan ini juga berdampak pada penurunan harga gabah petani yang lebih besar daripada penurunan harga beras. Penurunan harga beras di tingkat konsumen akan ditransmisikan langsung pada penurunan harga gabah produsen. Harga gabah Indonesia periode I menurun sebesar -8.91 persen sedangkan harga beras periode II menurun hanya sebesar -2.69 persen. Petani produsen akan mengalami kerugian karena harga produknya menurun terutama pada periode panen raya tersebut. Harga gabah di tingkat wilayah juga mengalami dampak akibat penurunan harga beras. Harga gabah petani pada periode I akan menurun sebesar -27.88 persen di wilayah Bali dan Nusa Tenggara serta Jawa sedangkan penurunan harga gabah petani Sulawesi sebesar -15.43 persen. Penurunan harga gabah Sulawesi lebih kecil daripada penurunan harga beras sedangkan di wilayah lainnya penurunan harga gabah petani lebih besar daripada penurunan harga beras.
117
Respon harga gabah petani Sulawesi terhadap harga beras Sulawesi bersifat inelastis sehingga kenaikan transmisi harga beras Sulawesi pada harga gabah Sulawesi menghasilkan tingkat penurunan harga yang lebih kecil daripada harga berasnya. Selain itu, pengaruh distribusi antar wilayah Sulawesi dengan wilayah lainnya sangat dinamis terutama dengan wilayah Jawa dan Kalimantan. Hal ini berpengaruh terhadap pergerakan harga beras Sulawesi di samping pengaruh harga gabah petaninya. Kebijakan penyaluran efektif menurunkan harga beras domestik secara merata di setiap wilayah baik pada periode I maupun periode II. Penyaluran melalui operasi pasar (OP) dan mekanisme penyaluran raskin (spesified target group of consumer) merata sepanjang tahun di semua wilayah akan mendorong penurunan harga beras domestik. Penurunan harga gabah dan beras yang terjadi juga berdampak negatif terhadap kinerja produksi padi nasional dan wilayah. Produksi padi Indonesia akan mengalami penurunan sebesar -15.37 persen pada periode agregat sedangkan pada periode I kinerja produksi menurun sebesar -12.12 persen. Produksi padi Sumatera menurun sebesar -18.96 persen pada periode agregat dan menurun sebesar -12.59 persen pada periode I. Produksi beras Jawa juga menurun sebesar -14.16 persen pada periode agregat dan -11.70 persen pada periode I. Penurunan harga gabah petani akan menjadi sinyal negatif bagi petani untuk menurunkan produksinya. Penurunan produksi tersebut dapat terjadi akibat penurunan luas areal produksi maupun penurunan produktivitas padi. Luas areal panen nasional menurun sebesar -14.68 persen pada periode agregat dan menurun sebesar -11.57 persen pada periode I. Areal panen Jawa menurun sebesar -18.10 persen pada periode agregat dan menurun sebesar -12.30
118
persen pada periode I. Luas areal Sulawesi juga menurun sebesar -11.40 persen pada periode agregat dan -7.49 persen. Penurunan luas areal panen juga terjadi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang menurun paling besar mencapai -26.27 persen pada periode agregat dan -22.10 persen pada periode I. Wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang bukan sentra produksi, kondisi defisit produksi beras dan tidak meratanya daerah sentra produksi beras di wilayah ini serta tingginya biaya produksi akibat dukungan infrastruktur yang kurang memadai akan semakin menambah dampak negatif terhadap penurunan luas areal panen di wilayah ini.
6.2.4. Kebijakan Kombinasi Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Masing-masing Sebesar 5 Persen Pengaruh kebijakan kombinasi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan tarif impor ini akan menurunkan jumlah impor beras. Harga impor akan meningkat akibat pengaruh kebijakan tarif sehingga kemampuan Perum Bulog menurun yang berakibat terjadinya penurunan jumlah impor. Hal ini berdampak pada penurunan jumlah stok operasional Perum Bulog pada periode agregat sebesar -17.87 persen dan -46.12 persen pada periode II. Jumlah stok operasional Perum Bulog yang menurun tajam pada periode II tersebut terjadi karena pada periode ini merupakan periode bukan panen raya sehingga pengadaan yang dilakukan untuk memperkuat stok operasional Perum Bulog juga relatif sedikit. Pengaruh kondisi periode bukan panen raya dan penurunan jumlah impor mengakibatkan jumlah stok operasional Perum Bulog menurun tajam. Sebaliknya pada periode I dimana terjadi masa panen raya, penambahan stok operasional terjadi melalui pengadaan gabah petani meskipun jumlah impor pada periode ini menurun.
119
Tabel 45. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Kombinasi Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia Antar Waktu dan Antar Wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Peubah Harga gabah Harga gabah Sumatera Harga gabah Jawa Harga gabah Bali dan Nusa Tenggara Harga gabah Kalimantan Harga gabah Sulawesi Harga beras Indonesia Harga beras Sumatera Harga beras Jawa Harga beras Bali dan Nusa Tenggara Harga beras Kalimantan Harga beras Sulawesi Stok Operasional Bulog Impor beras Indonesia Harga beras impor Indonesia Produksi padi Sumatera Produksi padi Jawa Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara Produksi padi Kalimantan Produksi padi Sulawesi Produksi padi Indonesia Konsumsi beras Indonesia Konsumsi beras Sumatera Konsumsi beras Jawa Konsumsi beras Bali dan Nusa Tenggara Konsumsi beras Kalimantan Konsumsi beras Sulawesi Areal panen Areal panen Sumatera Areal panen Jawa Areal panen Bali dan Nusa Tenggara Areal panen Kalimantan Areal panen Sulawesi Jumlah penawaran beras Indonesia
Agregat 19.67 17.79 5.09 3.87 12.62 13.74 11.13 11.24 3.27 1.30 6.52 14.40 -17.87 -25.90 42.37 19.41 2.65 3.14 10.11 8.78 6.07 -1.93 -3.79 -0.71 -0.25 -0.11 -12.8 6.51 18.68 2.63 3.15 10.10 8.87 -1.96
Periode I 13.69 12.99 4.89 4.26 11.88 11.95 7.20 7.95 2.99 1.30 5.78 12.10 11.61 -32.64 41.76 12.64 2.15 2.74 8.67 5.97 4.26 -1.12 -1.98 -0.49 -0.22 -0.08 -6.50 4.59 12.45 2.16 2.74 8.70 5.96 -0.41
Periode II 22.43 14.62 4.79 3.70 12.28 13.16 12.73 9.75 3.18 1.30 6.31 13.74 -46.12 -20.58 42.59 15.19 2.60 3.27 10.05 8.39 5.69 -1.82 -3.60 -0.69 -0.25 -0.11 -11.82 6.02 14.75 2.59 3.29 10.11 8.38 -1.60
120
Pengaruh kebijakan kombinasi ini terhadap pergerakan harga gabah petani dan harga beras domestik memperkuat kenaikan harga mengikuti pola pengaruh kebijakan tunggal kenaikan harga dasar dan tarif. Peningkatan harga gabah petani dan beras domestik tersebut akan lebih besar akibat pengaruh kombinasi kebijakan daripada akibat pengaruh kebijakan kenaikan HPP atau tarif impor. Harga gabah petani mengalami peningkatan karena dampak kebijakan kenaikan HPP dan kenaikan tarif impor mampu mendorong peningkatan harga gabah yang lebih besar daripada pengaruh masing-masing kebijakan tunggal. Harga gabah Indonesia meningkat tajam sebesar 19.67 persen pada periode agregat. Peningkatan harga gabah pada periode I lebih kecil daripada periode lainnya karena pada periode I penawaran meningkat sehingga peningkatan harga gabah. Harga gabah wilayah juga mengalami peningkatan yang sangat tajam. Harga gabah Sumatera meningkat sebesar 17.79 persen, harga gabah Kalimantan meningkat sebesar 12.62 persen dan harga gabah Sulawesi meningkat sebesar 13.74 persen pada periode agregat masing-masing wilayah. Harga gabah Jawa dan harga gabah Bali dan Nusa Tenggara meningkat relatif kecil daripada harga gabah wilayah lainnya. Harga gabah Jawa meningkat sebesar 5.09 persen sedangkan harga gabah Bali dan Nusa Tenggara meningkat sebesar 3.87 persen. Hal ini terjadi karena HPP direspon secara inlelastis oleh harga gabah petani Bali dan Nusa Tenggara. Harga gabah Jawa terbentuk oleh mekanisme pasar pada tingkat yang relatif tinggi sehingga pengaruh kebijakan kombinasi tersebut hanya mampu meningkatkan harga gabah Jawa sebesar 5.09 persen. Harga gabah Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi meningkat relatif
121
sama pada semua periode. Pola panen ketiga wilayah ini berbeda dengan pola panen nasional, Sumatera dan Jawa. Selain itu ketiga wilayah ini memiliki sentra produksi yang terpusat pada salah satu daerah. Hal ini mengakibatkan pengaruh permintaan terhadap harga gabah lebih besar sehingga harga gabah relatif sama pada semua periode. Sulawesi merupakan sentra produksi padi dimana dampak kebijakan HPP berpengaruh nyata dan direspon elastis oleh harga gabah Sulawesi sehingga harga gabah Sulawesi meningkat relatif tinggi dengan nilai yang sama untuk semua periode. Kenaikan harga beras akibat kebijakan kombinasi juga berdampak terhadap kenaikan harga beras nasional. Harga beras nasional meningkat sebesar 11.13 persen pada periode agregat sedangkan pada periode I meningkat sebesar 7.20 persen. Peningkatan harga beras lebih kecil pada periode I akibat pada periode panen raya ini penawaran meningkat sehingga peningkatan harga beras lebih kecil daripada periode II dan periode agregat. Harga beras Sumatera juga mengalami peningkatan yang hampir sama besar dengan harga beras Indonesia. Peningkatan harga beras Sulawesi lebih besar daripada harga gabahnya sedangkan peningkatan harga beras Kalimantan meningkat jauh lebih kecil daripada peningkatan harga gabahnya. Harga beras Kalimantan meningkat lebih kecil karena harga impor direspon tidak elastis oleh harga beras Kalimantan. Respon harga gabah petani Sulawesi terhadap harga beras Sulawesi bersifat inelastis sehingga kenaikan harga gabah Sulawesi menghasilkan tingkat peningkatan harga yang lebih kecil daripada harga berasnya. Peningkatan harga gabah dan beras nasional dan seluruh wilayah mendorong peningkatan produksi melalui peningkatan luas areal padi atau
122
peningkatan produktivitas. Produksi padi Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 6.07 persen pada periode agregat. Produksi mengalami peningkatan lebih besar pada produksi wilayah. Produksi padi Sumatera meningkat sebesar 19.41 persen, produksi Kalimantan sebesar 10.11 persen sedangkan produksi Sulawesi meningkat sebesar 8.78 persen. Peningkatan produksi ketiga wilayah tersebut terjadi karena insentif harga mendorong petani meningkatkan luas areal. Peningkatan luas areal Jawa dan luas areal Bali dan Nusa Tenggara relatif kecil daripada wilayah lainnya karena adanya keterbatasan perluasan lahan di wilayah ini sehingga peningkatan produksi juga lebih kecil daripada wilayah lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa variasi wilayah dan waktu sangat mempengaruhi dampak yang terjadi pada harga gabah wilayah akibat kebijakan kombinasi ini. Perbedaan dampak antar wilayah dan perbedaan antar waktu tersebut harus menjadi pertimbangan dalam melakukan implementasi kebijakan kombinasi ini agar kebijakan kombinasi ini berlangsung efektif dan tujuan kebijakan untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen tercapai.
115
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis ekonomi perberasan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa: 1. Model ekonomi perberasan yang dibangun mampu menjelaskan variasi dampak kebijakan perberasan terhadap ekonomi perberasan di tingkat nasional dan wilayah akibat adanya variasi antar waktu dan antar wilayah. 2. Kebijakan perberasan menghasilkan dampak yang bervariasi terhadap ekonomi perberasan di level nasional dan wilayah. a.
Kebijakan kenaikan HPP sebesar 5 persen efektif mendorong peningkatan harga gabah petani di tingkat Nasional, Kalimantan dan Sulawesi tetapi, tidak efektif di wilayah Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
b.
Dampak kebijakan kenaikan tarif impor sebesar 5 persen akan efektif mendorong peningkatan harga beras Nasional, Sumatera dan Sulawesi serta harga gabah Sumatera dan Jawa namun tidak efektif di wilayah lainnya dengan besaran yang bervariasi antar waktu.
c.
Dampak kebijakan kenaikan penyaluran sebesar 5 persen efektif menurunkan harga beras Nasional dan semua wilayah dengan besaran bervariasi antar waktu.
d.
Kebijakan kombinasi kenaikan HPP dan tarif impor masing-masing sebesar 5 persen akan memperkuat pengaruh kebijakan tunggal HPP dan kebijakan tunggal tarif impor dengan besaran bervariasi antar waktu.
124
7.2. Saran 1. Penerapan kebijakan yang bersifat sentralisasi tidak tepat. Kebijakan sebaiknya bersifat desentralisasi sesuai dengan variasi antar wilayah dan pola panen. 2. Intervensi pemerintah tidak cukup mampu mempengaruhi harga gabah dan beras mengingat adanya kondisi variasi antar waktu dan wilayah. Kebijakan ini juga harus didukung oleh kemampuan pemerintah dalam mengintervensi pasar seperti pada kondisi kelebihan penawaran (excess supply) saat panen raya yang memerlukan dukungan alokasi anggaran pemerintah yang sangat besar. 3. Kebijakan penyaluran efektif menurunkan harga beras domestik tetapi juga berdampak menekan harga gabah petani. Kebijakan kombinasi pengadaan dan penyaluran lebih baik dilakukan jika orientasi kebijakan bertujuan untuk menurunkan harga beras domestik, namun jika orientasi kebijakan bertujuan untuk meningkatkan harga gabah petani, sebaiknya diterapkan kebijakan tunggal pengadaan. Kebijakan pengadaan harus dilakukan tepat pada saat panen raya agar kebijakan penyaluran yang dilakukan tidak menurunkan harga gabah petani dan harus disesuaikan dengan variasi antar waktu dan antar wilayah. 4. Kebijakan pembatasan impor melalui pengenaan tarif impor pada periode bukan panen harus terus dilakukan secara konsisten sebagai upaya untuk melindungi kepentingan petani saat panen raya dan konsumen pada periode bukan panen.
125
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. dan H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Edisi Kedua. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ashraf, M.A. 2008. Econometryc Analysis of the Impact of Domestic Rice Procurement Policy on Producer Price: The Case of Rice in Bangladesh. Jurnal Agro Ekonomi, 26 (1): 80 – 89. Badan Pusat Statistik. 1999-2007. Angka Tetap (ATAP). Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2004-2006. Survey Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas). Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2005-2009. Statistik Harga Produsen. Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2008. Angka Ramalan III Statistik, Jakarta.
(ARAM III). Badan Pusat
Badan Ketahanan Pangan. 2004-2008. Database Analisis Harga. Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. _____________________. 2004-2008. Neraca Bahan Makanan Indonesia. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. _____________________. 2007. Studi Dampak Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan. Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. Dwidjono, D.H. 2001. Perilaku Harga Beras dan Gabah di Indonesia. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Dibertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. McMillan Publishing Company, New York. Dolan, E.G. 1974. Basic Microeconomics: Principles and Reality. The Dryden Press, Illinois. Doll, J. P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Applications. Second Edition. Jhon Wiley and Sons, New York.
126
Erwidodo dan P.U. Hadi. 1999. Effect of Trade Liberalization on Agriculture in Indonesia. Commodity Aspect. The UN/ESCAP CGPRT Centre, Bogor. Feridhanusetyawan, T. dan M. Pangestu. 2003. Indonesia Trade Liberalization: Estimating The Grains. Bulletin of Indonesian Economics Studies, 39 (1): 51 – 74. Gunjal, R. K. 1990. The Role of Dual Pricing Policies in Agricultural Development: Revisited. Paper presented to a seminar on August 5. University of British Columbia, Vancouver. Hadi. P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23 (2): 159 – 175. Hayami, Y., K. Subbarao and K. Otsuka. 1982. Efficiency and Equity in the Producer Levy in India. American Journal of Agricultural Economics, 64 (4): 655-663. Hutauruk, J. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis Megister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Intriligator, M., R. Bodkin and C.Hsiao. 1978. Econometric Models, Techniques, and Applications. Prince-Hall Inc, New Jersey. Irawan, A. 2004. Analisis Integrasi Pasar Beras (Analysis of Rice Market Integration). Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bagian Studi Sektor Riil Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Jamal, E., E. Ariningsih, Hendiarto, K.M. Noekman dan A. Askin. 2007. Beras dan Jebakan Kepentingan Jangka Pendek. Analisis Kebijakan Pertanian, 5 (3): 224 – 238. Kariyasa, K. 2007. Usulan HET Pupuk Berdasarkan Tingkat Efektivitas Kebijakan Harga Pembelian Gabah. Analisis Kebijakan Pertanian, 5 (1): 72 – 85. Karo-Karo Sitepu. R. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Penawaran Dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Megister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. McMillan Education Ltd, London. Mahfoedz, M.M. 2010. Simalakama Inpres Beras. http:// www.kompas.com/print/?i=1208437764. Diakses 22 September 2010.
127
Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nerlove, M. 1958. Distributed Lags and Estimation on Long Run Supply and Demand Elasticities. Theoritical Considerations. Journal of Farm Economics, 40 (2): 301 – 314. Pindyck, R.S. and D.L. Rubenfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecast. Third Edition. McGraw – Hill Inc, New York. Rasahan, C.A. 1983. Government Intervention in Food Grain Markets: An Econometric Study of the Indonesian Rice Economy. PhD. Dissertation, University of Minnesota. Sawit, H. 2001. Kebijakan Harga Beras: Peride Orba dan Reformasi. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Simatupang, P., S. Mardianto, K. Kariyasa dan M. Maulana. 2005. Evaluasi Pelaksanaan dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Tahun 2005 dan Perspektif Penyesuaian Tahun 2006. Analisis Kebijakan Pertanian, 3 (3): 187 – 200. Sugiarto., T. Herlambang, Brastoro, R. Sudjana dan S. Kelana. 2005. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sumaryanto. 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama dengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Agro Ekonomi, 27 (2): 135 – 163. UCLA Academic Technology Services. 2009. SPFS FAQ: How Can I Convert from a Two-Tailed to a One-Tailed Test?. http://www.ats.ucla.edu/stat/ Spss/faq/pvalue.html. Accessed: June 25, 2009.
129
Lampiran 1. Data Dasar Bulanan Kondisi Perberasan Indonesia 2004 - 2008 Bulan
TPPS
TPPJ
TPBN
TPPK
TPSW
TPPL
TPPI
ARLS
ARLJ
ALBN ARLK ALSW
Jan-04
Feb-04
Mar-04
Apr-04
May-04
Jun-04
Jul-04
Aug-04
Sep-04
Oct-04
Nov-04
Feb-04
1,607,843
4,095,840
214,530
445,497
250,292
16,748
6,630,750
457,708
912,018
59,274
Dec-04 167,294
Jan-05 45,877
AREA Feb-05 1,653,579
Mar-04
2,074,918
5,679,165
643,561
599,569
595,502
11,434
9,604,149
529,792
1,092,128
168,276
188,794
135,582
2,118,685
Apr-04
1,559,958
3,883,120
560,866
444,252
808,643
15,255
7,272,095
323,369
615,098
114,671
162,831
179,082
1,395,186
May-04
1,031,349
2,174,082
264,593
288,227
776,111
23,233
4,557,595
234,527
424,233
72,246
74,979
132,538
953,867
Jun-04
792,909
2,408,760
194,215
184,078
415,951
17,440
4,013,352
188,149
540,809
60,048
38,624
74,896
911,685
Jul-04
789,397
3,284,533
309,739
218,745
242,467
7,278
4,852,159
214,865
598,237
47,234
64,033
70,506
994,447
Aug-04
963,131
2,692,410
170,825
462,696
438,718
8,403
4,736,182
239,613
469,658
22,162
176,028
142,024
1,041,656
Sep-04
1,122,341
1,584,571
96,177
342,083
593,382
7,375
3,745,929
299,841
276,100
23,447
104,857
172,778
875,352
Oct-04
875,704
1,200,638
94,116
148,993
339,417
5,485
2,664,354
204,210
217,929
23,151
44,774
107,525
607,276
Nov-04
509,204
801,268
107,416
109,299
265,607
11,624
1,804,419
126,668
143,196
23,401
33,258
75,218
407,305
Dec-04
553,689
672,416
77,889
220,791
252,740
12,390
1,789,915
150,425
121,253
19,840
55,534
55,209
400,781
Jan-05
786,588
738,024
48,055
262,021
134,853
16,324
1,985,865
202,278
139433
10,044
94,586
30,227
481,469
Feb-05
1,219,290
2,498,388
95,479
464,640
91,957
11,184
4,380,938
325,476
496,996
21,271
177,669
21,827
1,046,693
Mar-05
1,940,852
6,240,911
568,527
499,897
408,659
17,339
9,676,185
497,478
1,218,530
130,642
180,469
91,299
2,123,540
Apr-05
1,708,598
4,995,354
631,585
458,942
972,129
16,597
8,783,205
408,221
941,610
152,210
140,387
209,752
1,857,444
May-05
995,153
2,058,252
340,228
322,050
646,114
36,029
4,397,826
1,433,453
2,796,569
314,167
593,111
353,105
978,189
Jun-05
802,310
2,481,682
164,836
136,660
373,584
20,256
3,979,328
241,385
395,495
87,826
94,633
147,985
835,486
Jul-05
850,566
3,171,433
188,481
191,087
296,515
12,441
4,710,523
192,856
473,855
39,253
37,667
86,018
976,440
Aug-05
1,062,587
2,859,289
166,065
556,475
754,237
14,926
5,413,579
205,945
603,051
40,994
55,498
67,298
1,172,186
Sep-05
1,208,234
1,787,078
97,092
347,987
861,320
23,079
4,324,790
254,961
544,084
35,972
166,634
165,898
955,758
Oct-05
918,909
1,369,618
113,311
203,416
308,493
1,718
2,915,465
895,147
2,016,485
204,045
354,432
467,199
631,760
Nov-05
552,244
898,750
112,566
68,386
235,924
2,897
1,870,767
292,616
338,823
20,085
102,252
195,571
399,165
Dec-05
629,702
665,613
89,612
102,766
217,027
7,906
1,712,626
219,677
259,448
24,290
56,605
71,175
380,929
Jan-06
738,801
933,447
68,344
234,194
193,739
9,827
2,178,352
138,399
100,503
14,262
72,186
27,758
354,860
Feb-06
1,385,590
3,681,944
179,918
542,939
211,713
11,725
6,013,829
245,729
200,355
17,338
164,091
42,077
672,921
Mar-06
1,889,742
6,452,056
653,161
613,131
684,749
41,875
10,334,716
441,244
754,667
56,274
200,060
98,865
1,557,453
Apr-06
1,561,776
3,905,130
642,852
408,379
847,694
32,419
7,398,251
488,605
1,186,953
155,994
145,181
179,415
2,162,797 1,343,771
May-06
873,556
2,051,594
327,186
351,966
600,942
17,839
4,223,084
311,272
615,472
115,125
118,251
171,195
Jun-06
777,262
2,723,047
178,545
155,806
365,493
14,992
4,215,145
184,137
485,985
66,571
69,417
107,333
919,515
Jul-06
727,912
3,461,830
251,399
355,716
307,599
10,544
5,115,002
180,783
572,599
46,861
54,091
76,567
935,000
Aug-06
1,089,493
2,559,641
163,385
499,974
692,845
19,563
5,024,903
271,137
595,798
49,156
154,763
201,056
1,277,272
Sep-06
1,320,336
1,636,061
132,657
289,159
774,801
17,341
4,170,355
333,744
428,329
31,706
150,823
142,055
1,088,484
Oct-06
798,188
1,151,880
97,808
128,901
333,595
9,120
2,519,492
219,615
247,303
22,042
63,654
77,521
634,202
Nov-06
439,372
820,917
112,830
128,859
237,094
8,072
1,757,144
139,512
186,417
23,630
36,447
72,574
463,216
Dec-06
601,202
583,093
97,343
68,359
143,551
11,122
1,504,670
132,298
127,940
25,599
23,480
64,872
376,939
Jan-07
564,166
576,181
71,412
216,879
131,389
6,361
1,566,388
142,640
103,583
14,699
74,398
28,609
365,735
Feb-07
1,004,309
1,126,581
89,926
453,646
195,494
12,263
2,882,219
253,260
206,495
17,869
169,120
43,366
693,543
Mar-07
1,829,010
4,136,607
276,596
579,257
474,487
23,674
7,319,631
454,766
777,795
57,999
206,191
101,895
1,605,183
Apr-07
2,064,334
6,449,775
665,832
478,279
860,762
24,554
10,543,536
503,579
1,223,328
160,775
149,630
184,913
2,229,078
May-07
1,373,416
3,361,441
485,569
419,725
798,714
44,876
6,483,741
320,811
634,334
118,653
121,875
176,441
1,384,952
Jun-07
812,067
2,665,583
295,219
259,451
492,092
21,924
4,546,336
189,780
500,879
68,611
71,544
110,622
947,694
Jul-07
795,578
3,167,519
217,198
199,088
353,969
15,303
4,748,655
186,323
590,147
48,297
55,749
78,913
963,654
Aug-07
1,201,569
3,316,335
242,293
555,424
969,192
20,399
6,305,212
279,446
614,057
50,662
159,506
207,218
1,316,415
Sep-07
1,517,863
2,444,261
166,131
617,160
657,174
6,156
5,408,745
343,972
441,456
32,678
155,445
146,408
1,121,842
Oct-07
991,720
1,414,291
116,158
275,971
358,651
14,551
3,171,342
226,345
254,882
22,718
65,605
79,897
653,638
Nov-07
631,138
1,072,451
121,495
160,962
333,556
16,155
2,335,757
143,787
192,130
24,354
37,564
74,798
477,412
Dec-07
585,520
735,314
123,921
93,259
298,530
9,329
1,845,873
136,352
131,861
26,384
24,200
66,860
388,491
Jan-08
567,541
613,820
76,597
225,425
143,393
7,388
1,634,164
162,444
216,062
14,894
75,387
28,989
501,038
Feb-08
1,006,168
1,199,613
96,805
467,372
216,336
15,150
3,001,444
256,584
376,409
18,107
171,369
43,943
872,007
Mar-08
1,866,299
4,421,907
304,500
588,401
529,643
29,174
7,739,924
460,794
717,801
58,770
208,933
103,250
1,559,081
Apr-08
2,106,093
6,867,760
748,781
479,226
958,147
26,737
11,186,744
510,281
963,942
162,913
151,620
187,372
1,983,084
May-08
1,392,545
3,556,718
542,851
421,659
881,887
48,740
6,844,400
325,071
588,073
120,231
123,495
178,787
1,341,114
Jun-08
821,574
2,837,110
328,617
260,995
535,959
24,868
4,809,123
192,271
458,177
69,523
72,495
112,093
909,249
Jul-08
810,299
3,393,507
241,955
200,220
384,843
17,860
5,048,684
188,774
481,975
48,939
56,490
79,962
860,324
Aug-08
1,225,746
3,486,623
268,319
553,176
1,081,336
24,654
6,639,854
283,138
632,507
51,336
161,627
209,973
1,345,345
Sep-08
1,555,959
2,565,312
177,532
616,122
735,600
6,779
5,657,304
348,520
523,414
33,112
157,512
148,355
1,214,652
Oct-08
1,010,175
1,498,671
122,331
277,153
396,435
16,269
3,321,034
229,353
279,561
23,020
66,477
80,959
683,944
Nov-08
632,962
1,128,412
128,765
162,205
364,063
18,105
2,434,512
120,976
102,802
51,516
31,695
135,594
528,020
Dec-08
590,873
774,755
133,589
96,591
327,621
10,437
1,933,866
138,100
247,311
26,735
24,522
67,749
508,302
130
Lampiran 1. Lanjutan Bulan PDVS PDVJ
TPBI
PDPP
IMPR
PIMP
Jan-04
3.602
4.552
PVBN PDVK PVSW PRDV 4.608
2.612
4.19
3.962
1,527,903
1,230
35
2,636
Feb-04
3.513
4.491
3.619
2.663
5.46
4.010
4,190,634
1,230
20,645
2,658
Mar-04
3.916
5.200
3.824
3.176
4.39
4.533
6,069,822
1,230
16,369
2,931
Apr-04
4.824
6.313
4.891
2.728
4.52
5.212
4,595,964
1,230
34,095
2,995
May-04
4.398
5.125
3.662
3.844
5.86
4.778
2,880,400
1,230
30,409
3,096
Jun-04
4.214
4.454
3.234
4.766
5.55
4.402
2,536,439
1,230
10,879
3,126
Jul-04
3.674
5.490
6.558
3.416
3.44
4.879
3,066,564
1,230
15,879
3,119
Aug-04
4.020
5.733
7.708
2.629
3.09
4.547
2,993,267
1,230
13,685
3,190
Sep-04
3.743
5.739
4.102
3.262
3.43
4.279
2,367,427
1,230
9,400
3,151
Oct-04
4.288
5.509
4.065
3.328
3.16
4.387
1,683,872
1,230
3,671
3,169
Nov-04
4.020
5.596
4.590
3.286
3.53
4.430
1,140,393
1,230
4,804
3,279
Dec-04
3.681
5.546
3.926
3.976
4.58
4.466
1,131,226
1,230
31,567
3,549
Jan-05
3.889
5.293
4.784
2.770
4.46
4.125
1,255,067
1,230
4,410
3,684
Feb-05
3.746
5.027
4.489
2.615
4.21
4.186
2,768,753
1,230
12,757
3,718
Mar-05
3.901
5.122
4.352
2.770
4.48
4.557
6,115,349
1,330
3,722
3,782
Apr-05
4.185
5.305
4.149
3.269
4.63
4.729
5,550,986
1,330
4,434
3,882
May-05
0.694
0.736
1.083
0.543
1.83
4.496
2,779,426
1,330
7,185
3,830
Jun-05
3.324
6.275
1.877
1.444
2.52
4.763
2,514,935
1,330
29,861
3,755
Jul-05
4.410
6.693
4.802
5.073
3.45
4.824
2,977,051
1,330
12,840
3,748
Aug-05
5.160
4.741
4.051
10.027
11.21
4.618
3,421,382
1,330
36,980
3,863
Sep-05
4.739
3.285
2.699
2.088
5.19
4.525
2,733,267
1,330
6,997
3,981
Oct-05
1.027
0.679
0.555
0.574
0.66
4.615
1,842,574
1,330
10,942
3,950
Nov-05
1.887
2.653
5.604
0.669
1.21
4.687
1,182,325
1,330
16,282
3,843
Dec-05
2.866
2.565
3.689
1.815
3.05
4.496
1,082,380
1,730
44,793
3,773
Jan-06
5.338
9.288
4.792
3.244
6.98
6.139
1,376,718
1,730
21,194
3,752
Feb-06
5.639
18.377
10.377
3.309
5.03
8.937
3,800,740
1,730
70,621
3,847
Mar-06
4.283
8.550
11.607
3.065
6.93
6.636
6,531,541
1,730
7,400
3,731
Apr-06
3.196
3.290
4.121
2.813
4.72
3.421
4,675,695
1,730
12,691
3,620
May-06
2.806
3.333
2.842
2.976
3.51
3.143
2,668,989
1,730
3,551
3,685
Jun-06
4.221
5.603
2.682
2.245
3.41
4.584
2,663,972
1,730
27,497
3,869
Jul-06
4.026
6.046
5.365
6.576
4.02
5.471
3,232,681
1,730
26,018
3,854
Aug-06
4.018
4.296
3.324
3.231
3.45
3.934
3,175,739
1,730
11,349
3,813
Sep-06
3.956
3.820
4.184
1.917
5.45
3.831
2,635,664
1,730
18,806
3,839
Oct-06
3.634
4.658
4.437
2.025
4.30
3.973
1,592,319
1,730
49,465
3,746
Nov-06
3.149
4.404
4.775
3.536
3.27
3.793
1,110,515
1,730
79,418
3,708 3,770
Dec-06
4.544
4.558
3.803
2.911
2.21
3.992
950,951
1,730
110,102
Jan-07
3.955
5.563
4.858
2.915
4.59
4.283
989,957
1,730
32,349
3,948
Feb-07
3.966
5.456
5.033
2.682
4.51
4.156
1,821,562
1,730
96,294
3,993 4,051
Mar-07
4.022
5.318
4.769
2.809
4.66
4.560
4,626,007
2,000
195,498
Apr-07
4.099
5.272
4.141
3.196
4.65
4.730
6,663,515
2,000
86,305
4,060
May-07
4.281
5.299
4.092
3.444
4.53
4.682
4,097,724
2,000
86,305
4,013
Jun-07
4.279
5.322
4.303
3.626
4.45
4.797
2,873,284
2,000
101,955
4,208
Jul-07
4.270
5.367
4.497
3.571
4.49
4.928
3,001,150
2,000
38,518
4,144
Aug-07
4.300
5.401
4.783
3.482
4.68
4.790
3,984,894
2,000
65,553
4,168
Sep-07
4.413
5.537
5.084
3.970
4.49
4.821
3,418,327
2,000
151,918
4,186
Oct-07
4.381
5.549
5.113
4.207
4.49
4.852
2,004,288
2,000
54,383
4,249
Nov-07
4.389
5.582
4.989
4.285
4.46
4.893
1,476,198
2,000
140,016
4,468
Dec-07
4.294
5.576
4.697
3.854
4.47
4.751
1,166,592
2,000
107,845
4,712
Jan-08
3.494
2.841
5.143
2.990
4.95
3.262
1,032,792
2,000
136,580
4,933
Feb-08
3.921
3.187
5.346
2.727
4.92
3.442
1,896,913
2,000
9,060
5,647
Mar-08
4.050
6.160
5.181
2.816
5.13
4.964
4,891,632
2,200
74,195
7,014
Apr-08
4.127
7.125
4.596
3.161
5.11
5.641
7,070,022
2,200
76,266
9,842
May-08
4.284
6.048
4.515
3.414
4.93
5.104
4,325,661
2,200
29,077
10,655 8,885
Jun-08
4.273
6.192
4.727
3.600
4.78
5.289
3,039,366
2,200
30,046
Jul-08
4.292
7.041
4.944
3.544
4.81
5.868
3,190,768
2,200
10,217
8,329
Aug-08
4.329
5.512
5.227
3.423
5.15
4.935
4,196,388
2,200
21,497
7,858
Sep-08
4.464
4.901
5.361
3.912
4.96
4.658
3,575,416
2,200
14,565
7,941
Oct-08
4.404
5.361
5.314
4.169
4.90
4.856
2,098,893
2,200
12,231
6,772
Nov-08
5.232
10.977
2.500
5.118
2.68
4.611
1,538,612
2,200
16,157
6,911
Dec-08
4.279
3.133
4.997
3.939
4.84
3.805
1,222,203
2,200
16,011
6,457
131
Lampiran 1. Lanjutan Bulan Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 May-04 Jun-04 Jul-04 Aug-04 Sep-04 Oct-04 Nov-04 Dec-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05 Oct-05 Nov-05 Dec-05 Jan-06 Feb-06 Mar-06 Apr-06 May-06 Jun-06 Jul-06 Aug-06 Sep-06 Oct-06 Nov-06 Dec-06 Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08
QSBR PTHA 1,563,191 4,211,272 6,086,168 4,630,036 2,910,791 2,546,801 3,082,335 3,006,817 2,376,803 1,687,540 1,145,172 1,162,786 1,259,442 2,770,882 6,106,524 5,551,166 2,771,960 2,544,749 2,989,862 3,458,337 2,740,263 1,853,484 1,198,585 1,127,150 1,397,765 3,871,314 6,538,801 4,688,317 2,672,502 2,691,369 3,258,602 3,186,987 2,654,370 1,641,710 1,189,910 1,061,030 1,022,250 1,917,846 4,821,497 6,749,819 4,183,995 2,975,216 3,039,655 4,050,446 3,570,184 2,058,637 1,616,121 1,273,157 1,169,320 1,905,964 4,965,797 7,146,238 4,354,679 3,069,351 3,200,958 4,217,801 3,589,819 2,111,125 1,554,581 1,238,060
1,671 1,689 1,919 1,973 2,049 2,071 2,066 2,127 2,094 2,112 2,207 2,432 2,473 2,501 2,553 2,633 2,585 2,524 2,514 2,608 2,706 2,681 2,589 2,534 2,524 2,607 2,514 2,425 2,479 2,626 2,616 2,585 2,599 2,524 2,495 2,548 2,600 2,645 2,729 2,688 2,653 2,814 2,767 2,786 2,805 2,864 3,036 3,246 3,428 3,255 4,167 6,054 6,595 5,413 6,414 6,015 6,081 5,074 5,156 4,779
JPSU
JPJWJPDKBN JPKN JPSW
JPDK
TRIF KKSU KKJW KKBN KKKN KKSW
44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 44,858 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 46,378 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,185 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 47,995 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807 48,807
127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 127,312 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 128,835 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 130,184 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 131,528 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857 132,857
215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 215,454 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 219,852 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 222,747 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 225,642 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523 228,523
430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 430.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000 450.000
11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,505 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 11,834 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,027 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,221 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414 12,414
11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 11,764 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,191 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,409 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,628 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848 12,848
15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,427 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 15,813 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,052 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,292 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531 16,531
122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 122.06 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 120.51 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 119.68 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 117.29 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17 121.17
104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 104.51 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 101.84 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 99.35 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 96.24 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66 99.66
128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 128.00 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 122.64 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 117.68 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 116.00 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38 119.38
108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 108.28 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 105.67 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 102.16 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 101.01 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35 103.35
119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 119.08 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 107.72 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 110.81 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 107.77 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997 112.24997
132
Lampiran 1. Lanjutan Bulan
PGSU
PGJW
PGBN
PGKN
PGSW
PGTP
PBSU
PBJW
PBBN
PBKN
Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 May-04 Jun-04 Jul-04 Aug-04 Sep-04 Oct-04 Nov-04 Dec-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05 Oct-05 Nov-05 Dec-05 Jan-06 Feb-06 Mar-06 Apr-06 May-06 Jun-06 Jul-06 Aug-06 Sep-06 Oct-06 Nov-06 Dec-06 Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08
1,240 1,194 1,240 1,253 1,316 1,292 1,363 1,348 1,347 1,346 1,329 1,342 1,509 1,572 1,650 1,578 1,559 1,516 1,585 1,591 1,679 1,729 1,821 1,836 1,905 2,064 2,021 2,015 1,951 2,067 2,101 2,117 2,020 2,074 2,241 2,373 2,536 2,625 2,673 2,430 2,317 2,343 2,313 2,313 2,253 2,280 2,290 2,419 2,484 2,599 2,618 2,343 2,243 2,283 2,252 2,269 2,204 2,187 2,182 2,224
1,263 1,182 1,115 1,167 1,248 1,221 1,187 1,165 1,166 1,226 1,244 1,235 1,351 1,343 1,368 1,298 1,333 1,369 1,398 1,489 1,596 1,733 1,740 1,775 1,990 1,953 1,706 1,757 1,886 1,968 1,983 2,079 2,106 2,104 2,181 2,401 2,528 2,701 2,470 2,025 2,058 2,124 2,205 2,245 2,346 2,332 2,335 2,397 2,593 2,716 2,298 1,847 1,944 2,066 2,168 2,220 2,335 2,296 2,319 2,411
1,109 1,109 1,074 1,126 1,091 1,056 1,094 1,069 1,202 1,173 1,227 1,189 1,274 1,274 1,200 1,159 1,275 1,383 1,447 1,416 1,405 1,521 1,589 1,647 1,719 1,668 1,555 1,604 1,654 1,650 1,852 1,929 1,838 1,910 1,880 1,851 2,200 2,403 2,122 1,930 1,931 2,158 2,150 2,161 2,223 2,277 2,367 2,260 2,187 2,429 2,015 1,778 1,774 1,986 1,998 2,027 2,067 2,102 2,186 2,081
1,150 1,100 1,257 1,237 1,243 1,307 1,263 1,223 1,223 1,264 1,264 1,264 1,370 1,289 1,502 1,572 1,415 1,389 1,423 1,427 1,557 1,608 1,625 1,700 1,898 2,065 2,325 2,532 2,819 2,661 2,404 2,373 2,390 2,376 2,414 2,506 2,797 3,012 3,009 2,889 2,545 2,681 2,648 2,358 2,475 2,465 2,213 2,358 2,701 2,945 2,925 2,804 2,507 2,620 2,605 2,308 2,348 2,346 2,252 2,299
958 970 1,006 1,115 1,017 900 1,030 1,025 1,146 1,094 1,094 1,094 1,240 1,450 1,377 1,154 1,130 1,236 1,191 1,301 1,275 1,459 1,463 1,257 1,733 1,794 1,621 1,565 1,663 1,758 1,719 1,806 1,834 1,935 2,006 2,022 2,363 2,363 2,211 1,876 1,872 2,115 2,115 2,010 1,965 2,068 1,986 1,885 2,300 2,216 2,031 1,722 1,703 1,895 1,889 1,798 1,752 1,835 1,831 1,829
1,263 1,171 1,096 1,156 1,234 1,217 1,199 1,187 1,218 1,271 1,285 1,232 1,406 1,398 1,379 1,339 1,366 1,424 1,446 1,530 1,606 1,704 1,762 1,824 1,995 1,973 1,771 1,828 1,977 2,036 2,034 2,095 2,071 2,104 2,180 2,394 2,571 2,634 2,433 2,134 2,155 2,267 2,261 2,259 2,308 2,323 2,328 2,393 2,531 2,587 2,319 2,008 2,044 2,158 2,159 2,166 2,200 2,190 2,201 2,300
2,723 2,815 2,903 2,989 2,978 2,976 2,976 2,934 2,934 2,950 3,019 3,225 3,418 3,718 3,844 3,748 3,701 3,655 3,707 3,665 3,721 3,622 3,664 3,718 4,019 4,206 4,206 4,356 4,344 4,344 4,391 4,363 4,450 4,450 4,400 4,960 5,254 5,406 5,229 5,301 5,159 5,041 5,087 5,178 5,234 5,087 5,184 5,126 5,143 5,190 5,723 5,638 5,421 5,408 5,479 5,539 5,651 5,574 5,525 5,525
2,825 2,754 2,665 2,751 2,723 2,617 2,588 2,553 2,553 2,587 2,587 2,688 2,769 2,840 2,895 2,763 2,709 2,707 2,703 2,825 2,893 3,198 3,218 3,293 4,074 4,270 3,984 3,784 3,874 3,951 4,048 4,108 4,145 4,124 4,155 4,688 5,028 5,396 5,324 4,615 4,300 4,379 4,482 4,503 4,503 4,503 4,400 4,414 4,646 4,870 4,454 4,700 4,929 4,983 4,840 5,138 5,114 5,103 5,039 5,106
2,392 2,371 2,280 2,288 2,222 2,218 2,236 2,239 2,239 2,296 2,375 2,497 2,880 2,790 2,820 2,600 2,560 2,780 2,920 2,900 2,975 3,325 3,376 3,450 3,961 4,456 4,000 3,956 3,956 4,044 4,033 4,144 4,167 4,133 4,300 4,533 4,894 4,894 4,505 4,950 5,008 4,684 5,131 4,918 4,225 4,411 4,200 4,200 4,488 4,758 4,683 4,114 4,347 4,443 4,550 4,700 4,700 4,700 4,700 4,700
2,296 2,259 2,284 2,267 2,267 2,267 2,277 2,456 2,284 2,331 2,269 2,300 2,331 2,385 2,385 2,441 2,940 2,425 2,394 2,644 2,644 2,706 2,738 2,731 3,210 3,410 3,410 3,865 4,135 4,115 4,095 3,865 3,865 3,975 4,025 4,125 4,200 4,200 4,228 4,290 4,263 4,164 4,145 4,089 4,136 4,419 4,112 4,228 4,407 4,719 4,612 4,451 4,438 4,465 4,472 4,158 4,133 4,000 4,100 4,100
PBSW 2307 2167 2136 2112 2140 2140 2140 2140 2200 2296 2245 2245 2850 3265 3273 3177 2997 2,969 3,041 2,891 2,891 3,095 3,095 3,188 3,275 3,475 3,335 3,415 3,535 3,515 3,515 3,413 3,529 3,563 3,596 4,192 4,292 4,292 4,553 4,240 4,000 4,000 3,979 4,079 4,000 4,000 4,000 4,000 4,235 4,400 4,400 4,072 4,000 4,173 4,200 4,247 4,312 4,250 4,250 4,250
133
Lampiran 1. Lanjutan Bulan INCS Jan-04
910,555
Feb-04
910,555
Mar-04
910,555
Apr-04
910,555
May-04
910,555
Jun-04
910,555
Jul-04
910,555
Aug-04
910,555
Sep-04
910,555
Oct-04
910,555
Nov-04
910,555
Dec-04
910,555
Jan-05 1,068,266 Feb-05 1,068,266 Mar-05 1,068,266 Apr-05 1,068,266 May-05 1,068,266 Jun-05 1,068,266 Jul-05
1,068,266
Aug-05 1,068,266 Sep-05 1,068,266 Oct-05 1,068,266 Nov-05 1,068,266 Dec-05 1,068,266 Jan-06 1,235,998 Feb-06 1,235,998 Mar-06 1,235,998 Apr-06 1,235,998 May-06 1,235,998 Jun-06 1,235,998 Jul-06
1,235,998
Aug-06 1,235,998 Sep-06 1,235,998 Oct-06 1,235,998 Nov-06 1,235,998 Dec-06 1,235,998 Jan-07 1,406,834 Feb-07 1,406,834 Mar-07 1,406,834 Apr-07 1,406,834 May-07 1,406,834 Jun-07 1,406,834 Jul-07
1,406,834
Aug-07 1,406,834 Sep-07 1,406,834 Oct-07 1,406,834 Nov-07 1,406,834 Dec-07 1,406,834 Jan-08 1,626,504 Feb-08 1,626,504 Mar-08 1,626,504 Apr-08 1,626,504 May-08 1,626,504 Jun-08 1,626,504 Jul-08
1,626,504
Aug-08 1,626,504 Sep-08 1,626,504 Oct-08 1,626,504 Nov-08 1,626,504 Dec-08 1,626,504
INCJ ICBN ICKN ICSW INCK INFL ASBI LSBI STCK PJSU PJJW PJBN PJKN PJSW PJTP IHK 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 5 767 182,032 1,856,236 1,262 1,052 1,221 1,716 992 1,249 0.98 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 5 44,427 211,586 1,720,755 1,285 1,012 1,329 1,719 977 1,264 0.96 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 5 403,598 217,967 1,864,032 1,260 1,013 1,380 1,729 994 1,275 0.97 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 6 596,008 202,948 2,321,368 1,308 1,073 1,415 1,744 1,007 1,309 0.98 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 6 494,291 200,861 2,626,867 1,321 1,121 1,438 1,855 1,018 1,351 0.99 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 7 260,294 211,937 2,662,950 1,324 1,161 1,483 1,855 1,051 1,375 1.00 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 7 101,932 187,234 2,529,604 1,333 1,199 1,478 1,865 1,044 1,384 1.00 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 7 47,006 194,112 2,362,467 1,361 1,185 1,471 1,865 1,098 1,396 0.98 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 6 40,746 201,844 2,204,824 1,350 1,189 1,481 1,910 1,106 1,407 0.97 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 6 62,690 215,382 1,996,474 1,334 1,194 1,468 1,988 1,163 1,429 0.98 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 6 27,782 247,581 1,768,663 1,366 1,197 1,499 2,013 1,176 1,450 1.00 848,952 451,908 1,469,507 491,638 884,173 6 17,067 138,103 1,770,532 1,373 1,192 1,484 2,013 1,154 1,443 1.03 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 7 0 178,694 1,547,223 1,379 1,184 1,469 2,083 1,160 1,455 1.06 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 7 0 207,970 1,291,216 1,362 1,155 1,475 2,092 1,110 1,439 1.04 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 9 116,776 203,631 1,206,896 1,366 1,147 1,438 2,083 1,101 1,427 1.04 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 8 493,183 186,269 1,514,032 1,366 1,168 1,429 2,092 1,090 1,429 1.04 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 7 514,685 182,254 1,827,388 1,390 1,181 1,435 1,995 1,111 1,422 1.04 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 7 200,838 189,021 1,867,018 1,400 1,206 1,386 1,985 1,128 1,421 1.05 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 8 115,282 188,698 1,804,777 1,423 1,228 1,413 1,827 1,117 1,401 1.07 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 8 52,441 185,463 1,686,227 1,466 1,218 1,454 1,867 1,111 1,423 1.07 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 9 18,774 208,990 1,478,498 1,457 1,219 1,497 2,001 1,121 1,459 1.08 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 18 3,595 213,447 1,211,766 1,531 1,280 1,603 2,043 1,152 1,522 1.16 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 18 2,257 160,612 1,118,394 1,485 1,273 1,609 2,043 1,154 1,513 1.19 1,018,971 511,475 1,838,699 572,932 1,056,295 17 11,887 128,167 1,092,588 1,442 1,259 1,600 2,043 1,192 1,507 1.17 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 17 24,092 124,421 943,230 1,586 1,224 1,773 2,080 1,190 1,570 1.22 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 18 8,711 168,169 935,827 1,459 1,240 1,691 2,042 1,191 1,525 1.23 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 16 186,976 160,556 945,942 1,421 1,235 1,668 2,042 1,188 1,511 1.22 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 15 457,227 156,608 1,245,483 1,456 1,252 1,592 2,088 1,189 1,515 1.21 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 16 342,857 178,521 1,408,965 1,471 1,330 1,640 2,084 1,192 1,543 1.22 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 16 157,914 178,930 1,363,028 1,453 1,381 1,717 2,094 1,208 1,571 1.23 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 15 62,567 185,061 1,261,898 1,456 1,386 1,677 2,186 1,231 1,587 1.24 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 15 20,990 176,182 1,109,860 1,457 1,433 1,693 2,228 1,238 1,610 1.24 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 15 101,933 183,842 1,013,789 1,517 1,461 1,687 2,311 1,261 1,647 1.25 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 6 58,019 188,878 958,150 1,519 1,477 1,738 2,361 1,481 1,715 1.27 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 5 12,651 107,035 988,614 1,499 1,506 1,724 2,371 1,529 1,726 1.28 1,189,053 559,697 2,002,283 652,816 1,252,478 7 191 34,476 957,658 1,522 1,587 1,697 2,413 1,652 1,774 1.32 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 6 0 231,227 738,353 1,681 1,682 1,801 2,544 1,479 1,838 1.36 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 6 0 290,765 554,321 1,759 1,746 1,904 2,560 1,771 1,948 1.37 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 7 0 290,988 433,952 1,885 1,709 1,932 2,503 1,734 1,953 1.37 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 6 296,666 171,909 693,545 1,880 1,609 2,011 2,613 1,722 1,967 1.35 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 6 641,078 159,500 1,271,685 1,872 1,628 2,028 2,663 1,627 1,964 1.35 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 6 375,834 171,677 1,532,960 2,194 1,602 2,023 2,418 1,413 1,930 1.35 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 6 220,892 165,353 1,714,348 1,814 1,688 2,023 2,436 1,563 1,905 1.37 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 7 97,601 174,249 1,747,097 2,038 1,648 1,999 2,607 1,554 1,969 1.38 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 7 58,948 176,693 1,682,648 1,904 1,706 2,082 2,793 1,643 2,025 1.41 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 7 34,206 168,194 1,685,046 2,067 1,757 2,108 2,790 1,636 2,072 1.43 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 7 27,612 155,474 1,661,690 1,996 1,792 2,104 2,819 1,663 2,075 1.43 1,318,082 650,722 2,124,431 737,569 1,465,115 7 13,150 79,709 1,572,933 1,634 1,807 2,206 3,033 1,567 2,050 1.47 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 7 0 170,981 1,401,952 1,647 1,726 1,791 2,456 1,439 1,812 1.51 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 7 2,388 315,839 1,088,501 1,742 1,756 1,924 2,503 1,660 1,917 1.53 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 8 352,678 266,457 1,174,722 1,846 1,590 1,835 2,433 1,592 1,859 1.56 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 9 639,514 239,706 1,574,530 1,813 1,467 1,854 2,536 1,580 1,850 1.56 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 10 548,410 234,434 1,888,506 1,812 1,537 1,863 2,623 1,480 1,863 1.59 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 11 332,824 342,862 1,878,468 2,137 1,559 1,862 2,363 1,267 1,838 1.58 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 12 339,105 431,801 1,785,772 1,767 1,660 1,880 2,396 1,396 1,820 1.60 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 12 255,465 89,503 1,951,734 1,998 1,630 1,875 2,552 1,389 1,889 1.62 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 12 245,289 338,415 1,858,608 1,863 1,698 1,935 2,649 1,465 1,922 1.65 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 12 186,263 294,806 1,750,065 1,983 1,730 1,946 2,655 1,452 1,953 1.66 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 12 201,493 345,766 1,605,792 1,896 1,702 1,999 2,678 1,580 1,971 1.65 1,527,085 735,039 2,408,543 844,421 1,733,802 11 102,508 59,736 1,648,564 1,536 1,698 2,074 2,851 1,473 1,927 1.66
T SKBG EXCR 1
8
8,441
2
8
8,447
3
7
8,575
4
7
8,606
5
7
9,210
6
7
9,415
7
7
9,350
8
7
9,328
9
7
9,328
10
7
9,170
11
7
9,016
12
7
9,290
13
7
9,207
14
7
9,244
15
7
9,367
16
8
9,532
17
8
9,481
18
8
9,616
19
8
9,800
20
9
9,977
21
10
10,228
22
11
10,101
23
12
10,063
24
13
9,860
25
13
9,481
26
13
9,481
27
13
9,158
28
13
8,931
29
13
8,981
30
13
9,363
31
12
9,137
32
12
9,091
33
11
9,142
34
11
9,192
35
10
9,130
36
10
9,092
37
10
9,071
38
9
9,066
39
9
9,151
40
9
9,103
41
9
8,981
42
9
9,363
43
8
9,019
44
8
9,091
45
8
9,142
46
8
9,107
47
8
9,264
48
8
9,334
49
8
9,406
50
8
9,179
51
8
9,595
52
8
8,534
53
8
9,450
54
9
9,296
55
9
9,163
56
9
9,149
57
10
9,341
58
11
10,048
59
11
11,711
60
11
11,711
134
Lampiran 2. Diagram Model Ekonomi Perberasan Indonesia Jml pddk wilayah
Stok Wilayah
Prdkvtas Wilayah
Prod Padi Nasional
Harga Gabah Nasional
Marjin Wilayah
Konsumsi Wilayah Pengadaan Nasional
HPP Prod Padi Wilayah
Areal Panen Wilayah
Harga Gabah Wilayah
Pengadaan Wilayah
Prod Beras Wilayah
Stok Nasional (Operasional Bulog) Tarif
Penyaluran Nasional
Harga Beras Nasional
QSBR
: Peubah Endogen
Impor
Prod Beras Nasional Penyaluran Wilayah
: Peubah Eksogen
Konsumsi Nasional
Harga Beras Thailand
Harga Impor
Hrg Beras Wilayah
Harga Jagung Wilayah
Income per kapita wilayah
Exchange Rate
135
Lampiran 3. Program Pendugaan Model Ekonomi Perberasan Tahun 20042008 data beras; set work.piter; if asbi=0 then asbi=0.01; if asbis=0 then asbis=0.01; if asbij=0 then asbij=0.01; if asbib=0 then asbib=0.01; if asbik=0 then asbik=0.01; if asbiss=0 then asbiss=0.01; AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; LPJBN =lag(PJBN); KBSU =KKSU*JPSU; KBJW =KKJW*JPJW; KBBN =KKBN*JPBN; KBKN =KKKN*JPKN; KBSW =KKSW*JPSW; KBIN =KOBI*JPDK; LMRJNK = lag(MRJNK); TPBI = TPBS + TPBJ + TPBB + TPBK + TPBSW + TPBL; QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK; TPSW = ALSW*PVSW; TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL; TPBI = TPBS + TPBJ + TPBB + TPBK + TPBSW + TPBL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU);
136
Lampiran 3. Lanjutan LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LLSBI =lag(LSBI); LT =log(T); LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS=lag(TPBS); RPBI =(PBIN/INCK); RPBIS =(PBSU/INCS); RPBIJ =(PBJW/INCJ); RPBIBN=(PBBN/ICBN); RPBIK =(PBKN/ICKN); RPBISW=(PBSW/ICSW); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); LLSBIK =lag(LSBIK); RTPAS =(TPPI‐LTPPI)/LASBI; RTPASS =(TPPS/LASBIS); RTPASB =(LTPBN/ASBIB); RTPASK =(LTPPK‐TPPK)/LASBIK; RQSK =(QSBR‐KBIN); RTPBKS =(LTPBS/KBSU); RTPBKJ =(TPBJ/LKBJW); RTPBKB =(TPBB/KBBN); RTPBKK =(TPBK/KBKN); RTPBKSW=(TPBSW/KBSW); label AREA = 'Luas Areal Panen' PJTP = 'Harga Jagung Petani Indonesia' PRDV = 'Produktivitas Padi' LT = 'Log Tren Waktu' LAREA = 'Lag Luas Areal Panen' RPBX = 'Rasio antara Harga Beras dan Harga Impor' EXCR = ' Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar' LIMPR= 'Lag Jumlah Impor Beras Indonesia' TPBI = 'Total Produksi Beras Indonesia' IMPR = 'Jumlah Impor Beras Indonesia' PIMP = 'Harga Impor Beras Indonesia' TRIF = 'Tarif Impor' PTHA = 'Harga Beras Thailand' LPIMP= 'Lag Harga Beras Impor Indonesia' KBIN = 'Konsumsi Beras Indonesia' RPBI = 'Rasio antara Income per kapita dan Harga BerasSumatera' RPBIS= 'Rasio antara Income per kapita dan Harga Beras Sumatera Sumatera' RPBIJ= 'Rasio antara Income per kapita dan Harga Beras JawaJawa'
137
Lampiran 3. Lanjutan RPBIBN='Rasio antara Income per kapita dan Harga BerasBali NT' RPBIK ='Rasio antara Income per kapita Kalimantan dan Harga BerasKalimantan' RPBISW='Rasio antara Income per kapita dan Harga Beras Sulawesi' JPDK = 'Jumlah Penduduk Indonesia' JPSU = 'Jumlah Penduduk Sumatera' JPJW = 'Jumlah Penduduk Jawa' JPBN = 'Jumlah Penduduk Bali dan Nusa Tenggara' JPKN = 'Jumlah Penduduk Kalimantan' JPSW = 'Jumlah Penduduk Sulawesi' KBSU = 'Konsumsi Beras Sumatera' KBJW = 'Konsumsi Beras Jawa' KBBN = 'Konsumsi Beras Bali Nusa Tenggara' KBKN = 'Konsumsi Beras Kalimantan' KBSW = 'Lag Konsumsi Beras Sulawesi' LKBSU = 'Lag Konsumsi Beras Sumatera' LKBJW = 'Lag Konsumsi Beras Jawa' LKBBN = 'Lag Konsumsi Beras Bali Nusa Tenggara' LKBKN = 'Lag Konsumsi Beras Kalimantan' LKBSW = 'Lag Konsumsi Beras Sulawesi' PDPP = 'Harga Pembelian Pemerintah' PGTP = 'Harga Gabah Petani Indonesia' TPAS= 'Rasio Produksi Padi dan Pengadaan Perum Bulog' RTPASS ='Rasio Selisih Lag & Produksi Padi Sumatera dan Pengadaan Perum Bulog' RTPASJ ='Rasio Produksi Padi Jawa dan Pengadaan Perum Bulog' RTPASB='Rasio Lag Produksi Padi Bali & NT dan Pengadaan Perum Bulog' RTPASK='Rasio Selisih Lag & Produksi Padi Kalimantan dan Pengadaan Perum Bulog' RTPASSW= 'Rasio Selisih Lag & Produksi Padi Sulawesi dan Pengadaan Perum Bulog' PGSU = 'Harga Gabah Petani Sumaatera' PGJW = 'Harga Gabah Petani Jawa' PGBN = 'Harga Gabah Petani Bali Nusa Tenggara' PGKN = 'Harga Gabah Petani Kalimantan' PGSW = 'Harga Gabah Petani Sulawesi' LPGTP ='Lag Harga Gabah Petani Indonesia' LPGSU ='Lag Harga Gabah Petani Sumaatera' LPGJW ='Lag Harga Gabah Petani Jawa' LPGBN ='Lag Harga Gabah Petani Bali Nusa Tenggara' LPGKN ='Lag Harga Gabah Petani Kalimantan' LPGSW ='Lag Harga Gabah Petani Sulawesi' PBIN = 'Harga Beras Indonesia' RTBIM= 'Rasio antara Produksi Beras dan Jumlah Beras Impor Indonesia' RTBIMS='Rasio antara Produksi Beras Sumatera dan Jumlah Beras Impor Indonesia' RTBIMJ= 'Rasio antara Produksi Beras Jawa dan Jumlah Beras Impor Indonesia' RTBIMB= 'Rasio antara Produksi Beras Bali Nusa Tenggara dan Jumlah Beras Impor Indonesia' RTBIMK='Rasio antara Produksi Beras Kalimantan dan Jumlah Beras Impor Indonesia' RTBIMSW='Rasio antara Produksi Beras Sulawesi dan Jumlah Beras Imnpor Indonesia' PBSU = 'Harga Beras Sumatera' PBJW = 'Harga Beras Jawa' PBBN = 'Harga Beras Bali Nusa Tenggara' PBKN = 'Harga Beras Kalimantan' PBSW = 'Harga Beras Sulawesi' LPBIN = 'Lag Harga Beras Indonesia' LPBSU = 'Lag Harga Beras Sumatera' LPBJW = 'Harga Beras Jawa' LPBBN = 'Lag Harga Beras Bali Nusa Tenggara' LPBKN = 'Lag Harga Beras Kalimantan'
138
Lampiran 3. Lanjutan LPBSW = 'Lag Harga Beras Sulawesi' ASBI = 'Jumlah Pengadaan Gabah Perum Bulog' LSBI = 'Jumlah Penyaluran Beras Perum Bulog' LASBI = 'Lag Jumlah Pengadaan Gabah Perum Bulog' LLSBI = 'Lag Jumlah Penyaluran Beras Perum Bulog' STCK = 'Stok Operasional Perum Bulog' RTBK = 'Rasio Produksi Beras dan Konsumsi Beras Indonesia'; array bagi PGTP INCK INCS INCJ ICBN ICKN ICSW EXCR TRIF PTHA PBIN PIMP PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PJSU PJJW PJBN PJKN PJSW PJTP; do over bagi; bagi=(bagi/ihk); end; proc syslin 2sls data=beras outest=hasil; endogenous AREA STCK IMPR PIMP KBIN KBSU KBJW KBBN KBKN KBSW KBIN PGTP PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PBIN PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW TPPS TPPJ TPBN TPPK TPSW TPPI TPBI TPBS TPBJ TPBB TPBK TPBSW; instruments LT T EXCR LIMPR TRIF PTHA LPIMP JPDK JPSU JPJW JPBN JPKN JPSW LKBSU LKBJW LKBBN LKBKN LKBSW PDPP LPGTP LPGSU LPGJW LPGBN LPGKN LPGSW LSBI LSTCK LPBIN LPBSU LPBJW LPBBN LPBKN LPBSW ARLL TPPL TPBL KBLL TPBS TPBJ TPBB TPBK TPBSW; eq01: MODEL ARLS = PGSU PJSU PDVS LARLS /dw; eq02: MODEL ARLJ = LPGJW PJJW PDVJ LT /dw; eq03: MODEL ALBN = LPGBN LPJBN PVBN LALBN /dw; eq04: MODEL ARLK = PGKN PJKN PDVK LT LARLK /dw; eq05: MODEL ALSW = LPGSW PJSW PVSW LALSW /dw; eq06: MODEL IMPR = PIMP LTPBI LSTCK EXCR LT LIMPR /dw; eq07: MODEL PIMP = TRIF PTHA LPIMP /dw; eq08: MODEL KBSU = RPBIS JPSU LT LKBSU /dw; eq09: MODEL KBJW = RPBIJ JPJW LT LKBJW /dw; eq10: MODEL KBBN = RPBIBN JPBN LT LKBBN /dw; eq11: MODEL KBKN = RPBIK JPKN LT LKBKN /dw; eq12: MODEL KBSW = RPBISW JPSW LT LKBSW /dw; eq13: MODEL PGTP = PDPP TPPI LASBI LSTCK PBIN MRJN LPGTP /dw; eq14: MODEL PGSU = PDPP LTPPS RTPASS LSTCKS PBSU MRJNSU LT LPGSU /dw; eq15: MODEL PGJW = PDPP TPPJ LSTCKJ PBJW MRJNJ LT LPGJW /dw; eq16: MODEL PGBN = PDPP TPBN RTPASB PBBN MRJNBN LPGBN /dw; eq17: MODEL PGKN = PDPP RTPASK PBKN LMRJNK T LPGKN /dw; eq18: MODEL PGSW = PDPP TPSW PBSW LT LPGSW /dw; eq19: MODEL PBIN = RQSK LPGTP LSBI LPIMP T LPBIN /dw; eq20: MODEL PBSU = RTPBKS PGSU LSBIS PIMP T LPBSU /dw; eq21: MODEL PBJW = RTPBKJ LPGJW LSBIJ PIMP T LPBJW /dw; eq22: MODEL PBBN = RTPBKB LPGBN LLSBIB LPIMP T LPBBN /dw; eq23: MODEL PBKN = RTPBKK LPGKN LLSBIK LPIMP T LPBKN /dw; eq24: MODEL PBSW = RTPBKSW PGSW LSBISW PIMP T LPBSW /dw; eq25: MODEL STCK = TPBI IMPR ASBI LSTCK /dw; ident01: identity AREA = AREA; ident02: identity TPPS = TPPS; ident03: identity TPPJ = TPPJ; ident04: identity TPBN = TPBN; ident05: identity TPPK = TPPK;
139
Lampiran 3. Lanjutan ident06: identity TPSW = TPSW; ident07: identity TPPI = TPPI; ident08: identity TPBI = TPBI; ident09: identity KBIN = KBIN; ident10: identity QSBR = QSBR; run
140
Lampiran 4. Hasil Pengolahan Data Model Ekonomi Perberasan Tahun 2004-2008 The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ01 Dependent Variable ARLS Label ARLS Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 287995.6 71998.90 8.32 <.0001 Error 54 467086.2 8649.745 Corrected Total 58 756724.5 Root MSE 93.00401 R‐Square 0.38141 Dependent Mean 267.79606 Adj R‐Sq 0.33559 Coeff Var 34.72942 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐94.2100 186.1143 ‐0.51 0.6148 Intercept PGSU 1 0.076065 0.071436 1.06 0.2917 Harga Gabah Sumatera PJSU 1 ‐0.01408 0.108668 ‐0.13 0.8974 Harga jagung Sumatera PDVS 1 24.50495 14.57500 1.68 0.0985 Produktivitas Sumatera LARLS 1 0.614898 0.111123 5.53 <.0001 Lag Areal Sumatera Durbin‐Watson 1.027839 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.432448
141
Lampiran 4. Lanjutan
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ02 Dependent Variable ARLJ Label ARLJ Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1532545 383136.3 3.91 0.0074 Error 54 5294867 98053.09 Corrected Total 58 6827412 Root MSE 313.13430 R‐Square 0.22447 Dependent Mean 548.48088 Adj R‐Sq 0.16702 Coeff Var 57.09120 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2484.534 2364.088 1.05 0.2980 Intercept LPGJW 1 0.305848 0.193298 1.58 0.1194 Lag Harga Gabah Petani Jawa PJJW 1 ‐1.74044 0.527909 ‐3.30 0.0017 Harga jagung Jawa PDVJ 1 48.77752 445.9958 0.11 0.9133 Produktivitas Jawa LT 1 ‐248.431 99.64408 ‐2.49 0.0158 Log Tren Waktu Durbin‐Watson 0.795997 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.579357
142
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ03 Dependent Variable ALBN Label ALBN Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 73347.41 18336.85 9.15 <.0001 Error 54 108229.4 2004.249 Corrected Total 58 181576.8 Root MSE 44.76884 R‐Square 0.40395 Dependent Mean 71.96859 Adj R‐Sq 0.35979 Coeff Var 62.20608 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐109.270 145.7081 ‐0.75 0.4566 Intercept LPGBN 1 0.039923 0.040398 0.99 0.3274 Lag Harga Gabah Petani Bali Nusa Tenggara LPJBN 1 ‐0.08877 0.069140 ‐1.28 0.2047 Lag Harga Jagung Bali dan Nusa Tenggara PVBN 1 46.38473 28.75011 1.61 0.1125 Produktivitas Bali dan Nusa Tenggara LALBN 1 0.668455 0.112862 5.92 <.0001 Lag areal panen Bali dan Nusa Tenggara Durbin‐Watson 1.479036 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.254243
143
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ04 Dependent Variable ARLK Label ARLK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 24667.41 4933.482 4.31 0.0023 Error 53 60599.43 1143.385 Corrected Total 58 84514.24 Root MSE 33.81398 R‐Square 0.28930 Dependent Mean 75.52966 Adj R‐Sq 0.22225 Coeff Var 44.76914 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2.574190 111.3304 0.02 0.9816 Intercept PGKN 1 0.028262 0.019068 1.48 0.1442 Harga Gabah Petani Kalimantan PJKN 1 ‐0.05554 0.035286 ‐1.57 0.1214 Harga Jagung Kalimantan PDVK 1 44.66340 38.06451 1.17 0.2459 Produktivitas Kalimantan LT 1 ‐18.8900 9.650731 ‐1.96 0.0556 Log Tren Waktu LARLK 1 0.462995 0.118623 3.90 0.0003 Lag areal panen Kalimantan Durbin‐Watson 1.535799 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.226603
144
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ05 Dependent Variable ALSW Label ALSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 53294.96 13323.74 4.68 0.0026 Error 54 153771.2 2847.614 Corrected Total 58 207066.1 Root MSE 53.36304 R‐Square 0.25738 Dependent Mean 109.06688 Adj R‐Sq 0.20237 Coeff Var 48.92690 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐860.079 523.3185 ‐1.64 0.1061 Intercept LPGSW 1 0.022835 0.017350 1.32 0.1937 Lag Harga Gabah Petani Sulawesi PJSW 1 ‐0.00005 0.069684 ‐0.00 0.9995 Harga jagung Sulawesi PVSW 1 202.2507 112.1936 1.80 0.0770 Produkstivitas Sulawesi LALSW 1 0.433254 0.119481 3.63 0.0006 Lag Areal Panen Sulawesi Durbin‐Watson 1.679743 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.148471
145
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ06 Dependent Variable IMPR Label Jumlah Impor Beras Indonesia Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 46555.90 7759.316 6.38 <.0001 Error 52 63246.56 1216.280 Corrected Total 58 108629.7 Root MSE 34.87521 R‐Square 0.42400 Dependent Mean 41.07725 Adj R‐Sq 0.35753 Coeff Var 84.90151 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 212.4910 93.98369 2.26 0.0280 Intercept PIMP 1 ‐0.01587 0.007532 ‐2.11 0.0399 Harga Impor Beras Indonesia LTPBI 1 ‐0.00178 0.002892 ‐0.62 0.5400 Lag Produksi Beras LSTCK 1 ‐0.00767 0.011680 ‐0.66 0.5144 Lag stok EXCR 1 ‐0.01419 0.007248 ‐1.96 0.0556 Nilai Tukar Rp terhadap US Dollar LT 1 ‐0.35596 10.92909 ‐0.03 0.9741 Log Tren Waktu LIMPR 1 0.255731 0.132913 1.92 0.0598 Lag Jumlah Impor Beras Indonesia Durbin‐Watson 2.208159 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation ‐0.1098
146
Lampiran
4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ07 Dependent Variable PIMP Label Harga Impor Beras Indonesia
Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 35350869 11783623 198.29 <.0001 Error 55 3268522 59427.67 Corrected Total 58 38619391 Root MSE 243.77791 R‐Square 0.91537 Dependent Mean 3501.14486 Adj R‐Sq 0.91075 Coeff Var 6.96281 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐284.194 541.2066 ‐0.53 0.6016 Intercept TRIF 1 1.199330 1.116704 1.07 0.2875 Tarif Impor PTHA 1 1.290764 0.130771 9.87 <.0001 Harga Beras Thailand LPIMP 1 0.063863 0.055613 1.15 0.2558 Lag Harga Beras Impor Indonesia Durbin‐Watson 0.515193 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.726988
147
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ08 Dependent Variable KBSU Label Konsumsi Beras Sumatera Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1042960 260739.9 343.34 <.0001 Error 54 41008.55 759.4176 Corrected Total 58 1083968 Root MSE 27.55753 R‐Square 0.96217 Dependent Mean 5700.94844 Adj R‐Sq 0.95937 Coeff Var 0.48339 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 82.48459 491.2290 0.17 0.8673 Intercept RPBIS 1 ‐0.10858 0.029280 ‐3.71 0.0005 Rasio antara Income per kapita dan Harga Beras Sumatera JPSU 1 36.77865 13.48615 2.73 0.0086 Jumlah Penduduk Sumatera LT 1 ‐9.18270 17.63885 ‐0.52 0.6048 Log Tren Waktu LKBSU 1 0.751593 0.067018 11.21 <.0001 Lag Konsumsi Beras Sumatera Durbin‐Watson 2.475473 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation ‐0.24228
148
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ09 Dependent Variable KBJW Label Konsumsi Beras Jawa Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2945628 736407.1 85.04 <.0001 Error 54 467592.5 8659.121 Corrected Total 58 3413221 Root MSE 93.05440 R‐Square 0.86301 Dependent Mean 13056.0846 Adj R‐Sq 0.85286 Coeff Var 0.71273 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐3022.39 2165.606 ‐1.40 0.1685 Intercept RPBIJ 1 ‐0.13033 0.047989 ‐2.72 0.0089 Rasio antara Income per kapita dan Harga Beras Jawa JPJW 1 48.35321 18.64854 2.59 0.0122 Jumlah Penduduk Jawa LT 1 ‐108.316 46.29890 ‐2.34 0.0230 Log Tren Waktu LKBJW 1 0.807872 0.065514 12.33 <.0001 Lag Konsumsi Beras Jawa Durbin‐Watson 2.209403 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation ‐0.10821
149
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ10 Dependent Variable KBBN Label Konsumsi Beras Bali Nusa Tenggara Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 70010.02 17502.51 136.75 <.0001 Error 54 6911.626 127.9931 Corrected Total 58 76921.65 Root MSE 11.31340 R‐Square 0.91015 Dependent Mean 1467.63699 Adj R‐Sq 0.90349 Coeff Var 0.77086 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 30.32915 103.0358 0.29 0.7696 Intercept RPBIBN 1 ‐0.00984 0.002909 ‐3.38 0.0013 Rasio antara Income per kapita dan Harga BerasBali NT JPBN 1 42.51397 11.51743 3.69 0.0005 Jumlah Penduduk Bali dan Nusa Tenggara LT 1 ‐10.5026 5.901971 ‐1.78 0.0808 Log Tren Waktu LKBBN 1 0.692698 0.076547 9.05 <.0001 Lag Konsumsi Beras Bali Nusa Tenggara Durbin‐Watson 2.154924 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation ‐0.07985
150
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ11 Dependent Variable KBKN Label Konsumsi Beras Kalimantan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 154249.2 38562.31 625.49 <.0001 Error 54 3329.175 61.65139 Corrected Total 58 157578.4 Root MSE 7.85184 R‐Square 0.97887 Dependent Mean 1323.58713 Adj R‐Sq 0.97731 Coeff Var 0.59322 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐219.959 71.27333 ‐3.09 0.0032 Intercept RPBIK 1 ‐0.00249 0.007768 ‐0.32 0.7494 Rasio antara Income per kapita Kalimantan dan Harga Beras Kalimantan JPKN 1 44.83534 12.23330 3.67 0.0006 Jumlah Penduduk Kalimantan LT 1 ‐2.95202 2.571710 ‐1.15 0.2561 Log Tren Waktu LKBKN 1 0.744760 0.084373 8.83 <.0001 Lag Konsumsi Beras Kalimantan Durbin‐Watson 1.907929 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.042409
151
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ12 Dependent Variable KBSW Label Lag Konsumsi Beras Sulawesi Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 159026.8 39756.70 68.48 <.0001 Error 54 31350.92 580.5725 Corrected Total 58 190377.7 Root MSE 24.09507 R‐Square 0.83532 Dependent Mean 1786.68144 Adj R‐Sq 0.82312 Coeff Var 1.34859 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐339.159 493.2343 ‐0.69 0.4946 Intercept RPBISW 1 ‐0.03273 0.011921 ‐2.75 0.0082 Rasio antara Income per kapita dan Harga Beras Sulawesi JPSW 1 71.74569 35.08378 2.04 0.0457 Jumlah Penduduk Sulawesi LT 1 ‐18.9818 17.48850 ‐1.09 0.2826 Log Tren Waktu LKBSW 1 0.674467 0.084562 7.98 <.0001 Lag Konsumsi Beras Sulawesi Durbin‐Watson 1.994226 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.002263
152
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ13 Dependent Variable PGTP Label Harga Gabah Petani Indonesia Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 2170714 310102.0 296.28 <.0001 Error 51 53378.38 1046.635 Corrected Total 58 2268518 Root MSE 32.35174 R‐Square 0.97600 Dependent Mean 1472.16868 Adj R‐Sq 0.97271 Coeff Var 2.19756 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 217.5604 97.98529 2.22 0.0309 Intercept PDPP 1 0.005423 0.052944 0.10 0.9188 Harga Pembelian Pemerintah TPPI 1 ‐0.01497 0.001782 ‐8.40 <.0001 Produksi padi Indonesia LASBI 1 0.038207 0.029806 1.28 0.2057 Lag Jumlah Pengadaan Gabah Perum Bulog LSTCK 1 ‐0.02996 0.014366 ‐2.09 0.0420 Lag stok PBIN 1 0.456953 0.034268 13.33 <.0001 Harga Beras Indonesia MRJN 1 ‐0.28773 0.026105 ‐11.02 <.0001 Marjin LPGTP 1 0.294421 0.040667 7.24 <.0001 Lag Harga Gabah Petani Indonesia Durbin‐Watson 1.271649 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.33202
153
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ14 Dependent Variable PGSU Label Harga Gabah Petani Sumaatera Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 8 1705553 213194.1 205.19 <.0001 Error 50 51949.61 1038.992 Corrected Total 58 1772353 Root MSE 32.23340 R‐Square 0.97044 Dependent Mean 1540.35996 Adj R‐Sq 0.96571 Coeff Var 2.09259 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 189.7756 122.0376 1.56 0.1262 Intercept PDPP 1 0.000469 0.056894 0.01 0.9935 Harga Pembelian Pemerintah LTPPS 1 ‐0.02680 0.009048 ‐2.96 0.0047 Lag Produksi padi Sumatera RTPASS 1 ‐4.68E‐6 0.000108 ‐0.04 0.9656 Rasio Produksi Padi dan Lag Pengadaan Sumatera LSTCKS 1 ‐0.07186 0.066909 ‐1.07 0.2880 Lag stok Sumatera PBSU 1 0.401566 0.038198 10.51 <.0001 Harga Beras Sumatera MRJNSU 1 ‐0.32533 0.027046 ‐12.03 <.0001 Marjin Sumatera LT 1 37.06034 14.44806 2.57 0.0134 Log Tren Waktu LPGSU 1 0.355485 0.044058 8.07 <.0001 Lag Harga Gabah Petani Sumatera Durbin‐Watson 1.692581 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.15122
154
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ15 Dependent Variable PGJW Label Harga Gabah Petani Jawa Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 2302426 328918.0 271.38 <.0001 Error 51 61813.32 1212.026 Corrected Total 58 2431876 Root MSE 34.81416 R‐Square 0.97385 Dependent Mean 1459.09433 Adj R‐Sq 0.97027 Coeff Var 2.38601 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐59.5129 78.15502 ‐0.76 0.4499 Intercept PDPP 1 0.000042 0.056601 0.00 0.9994 Harga Pembelian Pemerintah TPPJ 1 ‐0.02095 0.002961 ‐7.08 <.0001 Produksi padi Jawa LSTCKJ 1 ‐0.10493 0.168421 ‐0.62 0.5361 Lag stok Jawa PBJW 1 0.546820 0.030537 17.91 <.0001 Harga Beras Jawa MRJNJ 1 ‐0.30277 0.027567 ‐10.98 <.0001 Marjin Jawa LT 1 58.53385 13.66153 4.28 <.0001 Log Tren Waktu LPGJW 1 0.206291 0.030419 6.78 <.0001 Lag Harga Gabah Petani Jawa Durbin‐Watson 1.014919 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.482519
155
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ16 Dependent Variable PGBN Label Harga Gabah Petani Bali Nusa Tenggara Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1627068 271178.1 148.93 <.0001 Error 52 94685.38 1820.873 Corrected Total 58 1736111 Root MSE 42.67168 R‐Square 0.94501 Dependent Mean 1346.18679 Adj R‐Sq 0.93866 Coeff Var 3.16982 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 98.93058 82.22790 1.20 0.2344 Intercept PDPP 1 0.003945 0.064379 0.06 0.9514 Harga Pembelian Pemerintah TPBN 1 ‐0.08286 0.023613 ‐3.51 0.0009 Produksi padi Bali dan Nusa Tenggara RTPASB 1 ‐0.00096 0.001416 ‐0.68 0.5007 Rasio Lag Produksi Padi Bali & NT dan Pengadaan Perum Bulog PBBN 1 0.453366 0.035161 12.89 <.0001 Harga Beras Bali Nusa Tenggara MRJNBN 1 ‐0.26479 0.035560 ‐7.45 <.0001 Marjin Bali dan Nusa Tenggara LPGBN 1 0.283070 0.044796 6.32 <.0001 Lag Harga Gabah Petani Bali Nusa Tenggara Durbin‐Watson 1.929723 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.020337
156
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ17 Dependent Variable PGKN Label Harga Gabah Petani Kalimantan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 4267193 711198.8 48.29 <.0001 Error 52 765849.8 14727.88 Corrected Total 58 4964214 Root MSE 121.35848 R‐Square 0.84784 Dependent Mean 1650.59044 Adj R‐Sq 0.83028 Coeff Var 7.35243 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐216.163 255.4341 ‐0.85 0.4013 Intercept PDPP 1 0.014016 0.206204 0.07 0.9461 Harga Pembelian Pemerintah RTPASK 1 ‐0.00544 0.003950 ‐1.38 0.1747 Rasio Selisih Lag & Produksi Padi Kalimantan dan Pengadaan Perum Bulog PBKN 1 0.647339 0.113343 5.71 <.0001 Harga Beras Kalimantan LMRJNK 1 ‐0.10293 0.106344 ‐0.97 0.3376 Lag Marjin Kalimantan T 1 ‐1.81986 4.729896 ‐0.38 0.7020 Tren waktu LPGKN 1 0.133373 0.118159 1.13 0.2642 Lag Harga Gabah Petani Kalimantan Durbin‐Watson 2.110419 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation ‐0.05911
157
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ18 Dependent Variable PGSW Label Harga Gabah Petani Sulawesi Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 866544.3 173308.9 34.78 <.0001 Error 53 264107.1 4983.153 Corrected Total 58 1081786 Root MSE 70.59145 R‐Square 0.76641 Dependent Mean 1340.12574 Adj R‐Sq 0.74437 Coeff Var 5.26752 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 509.0921 120.8797 4.21 <.0001 Intercept PDPP 1 0.007296 0.105555 0.07 0.9452 Harga Pembelian Pemerintah TPSW 1 ‐0.14177 0.040900 ‐3.47 0.0011 Produksi padi Sulawesi PBSW 1 0.225276 0.047638 4.73 <.0001 Harga Beras Sulawesi LT 1 ‐55.3158 30.12316 ‐1.84 0.0719 Log Tren Waktu LPGSW 1 0.268092 0.090599 2.96 0.0046 Lag Harga Gabah Petani Sulawesi Durbin‐Watson 1.394029 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.2854
158
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ19 Dependent Variable PBIN Label Harga Beras Indonesia Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 6936477 1156079 58.26 <.0001 Error 52 1031890 19844.05 Corrected Total 58 7968367 Root MSE 140.86890 R‐Square 0.87050 Dependent Mean 3071.40134 Adj R‐Sq 0.85556 Coeff Var 4.58647 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 504.4792 377.9364 1.33 0.1877 Intercept RQSK 1 ‐0.02523 0.014337 ‐1.76 0.0843 Selisih penawaran dan konsumsi Indonesia LPGTP 1 0.778859 0.212864 3.66 0.0006 Lag Harga Gabah Petani Indonesia LSBI 1 ‐0.64438 0.315596 ‐2.04 0.0463 Jumlah Penyaluran Beras Perum Bulog LPIMP 1 0.031309 0.029454 1.06 0.2927 Lag Harga Beras Impor Indonesia T 1 ‐26.9851 5.179762 ‐5.21 <.0001 Tren waktu LPBIN 1 0.364660 0.098418 3.71 0.0005 Lag Harga Beras Indonesia Durbin‐Watson 1.566009 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.210415
159
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ20 Dependent Variable PBSU Label Harga Beras Sumatera Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 3531953 588658.8 44.97 <.0001 Error 52 680707.8 13090.53 Corrected Total 58 4178936 Root MSE 114.41387 R‐Square 0.83841 Dependent Mean 3426.99772 Adj R‐Sq 0.81977 Coeff Var 3.33860 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 806.9153 240.7781 3.35 0.0015 Intercept RTPBKS 1 ‐61.7230 336.7655 ‐0.18 0.8553 Rasio lag produksi beras dan konsumsi Sumatera PGSU 1 0.784014 0.159106 4.93 <.0001 Harga Gabah Petani Sumaatera LSBIS 1 ‐1.27678 1.129675 ‐1.13 0.2636 Lag penyaluran Sumatera PIMP 1 0.026101 0.028109 0.93 0.3574 Harga Impor Beras Indonesia T 1 ‐18.9231 5.656508 ‐3.35 0.0015 Tren waktu LPBSU 1 0.456558 0.111952 4.08 0.0002 Lag Harga Beras Sumatera Durbin‐Watson 1.213241 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.389582
160
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ21 Dependent Variable PBJW Label Harga Beras Jawa Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 5420271 903378.5 40.42 <.0001 Error 52 1162049 22347.10 Corrected Total 58 6578712 Root MSE 149.48947 R‐Square 0.82346 Dependent Mean 3019.99621 Adj R‐Sq 0.80309 Coeff Var 4.94999 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1216.485 251.7658 4.83 <.0001 Intercept RTPBKJ 1 ‐614.017 292.8745 ‐2.10 0.0409 Rasio produksi beras dan konsumsi Jawa LPGJW 1 0.278252 0.145337 1.91 0.0611 Lag Harga Gabah Petani Jawa LSBIJ 1 ‐1.39743 0.672249 ‐2.08 0.0426 Penyaluran Jawa PIMP 1 0.023139 0.046147 0.50 0.6182 Harga Impor Beras Indonesia T 1 ‐25.4168 5.059062 ‐5.02 <.0001 Tren waktu LPBJW 1 0.581026 0.089586 6.49 <.0001 Harga Beras Jawa Durbin‐Watson 1.308556 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.324129
161
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ22 Dependent Variable PBBN Label Harga Beras Bali Nusa Tenggara Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 8718002 1453000 39.24 <.0001 Error 52 1925256 37024.16 Corrected Total 58 10643259 Root MSE 192.41663 R‐Square 0.81911 Dependent Mean 2929.60814 Adj R‐Sq 0.79824 Coeff Var 6.56800 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1299.909 360.5129 3.61 0.0007 Intercept RTPBKB 1 ‐388.188 258.2111 ‐1.50 0.1388 Rasio produksi beras dan konsumsi Bali dan Nusa Tenggara LPGBN 1 0.006737 0.289810 0.02 0.9815 Lag Harga Gabah Petani Bali Nusa Tenggara LLSBIB 1 ‐24.4581 13.35384 ‐1.83 0.0728 Lag penyaluran Bali dan Nusa Tenggara LPIMP 1 0.01620 0.046108 ‐0.35 0.7267 Lag Harga Beras Impor Indonesia T 1 ‐20.3042 9.930638 ‐2.04 0.0460 Tren waktu LPBBN 1 0.686085 0.093964 7.30 <.0001 Lag Harga Beras Bali Nusa Tenggara Durbin‐Watson 1.711916 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.132834
162
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ23 Dependent Variable PBKN Label Harga Beras Kalimantan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 6750873 1125145 64.59 <.0001 Error 52 905845.2 17420.10 Corrected Total 58 7656718 Root MSE 131.98523 R‐Square 0.88169 Dependent Mean 2712.27314 Adj R‐Sq 0.86804 Coeff Var 4.86622 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1459.228 143.4059 10.18 <.0001 Intercept RTPBKK 1 ‐182.486 298.9526 ‐0.61 0.5442 Rasio produksi beras dan konsumsi Kalimantan LPGKN 1 0.486377 0.123940 3.92 0.0003 Lag Harga Gabah Petani Kalimantan LLSBIK 1 ‐8.35830 2.421773 ‐3.45 0.0011 Lag penyaluran Kalimantan LPIMP 1 0.03016 0.018566 ‐1.62 0.1103 Lag Harga Beras Impor Indonesia T 1 ‐14.2202 3.540507 ‐4.02 0.0002 Tren waktu LPBKN 1 0.303675 0.103530 2.93 0.0050 Lag Harga Beras Kalimantan Durbin‐Watson 1.62885 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.169144
163
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ24 Dependent Variable PBSW Label Harga Beras Sulawesi Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 3940332 656722.1 29.53 <.0001 Error 52 1156423 22238.90 Corrected Total 58 5115217 Root MSE 149.12713 R‐Square 0.77311 Dependent Mean 2706.30904 Adj R‐Sq 0.74693 Coeff Var 5.51035 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 228.5497 384.7593 0.59 0.5551 Intercept RTPBKSW 1 ‐322.802 254.1838 ‐1.27 0.2098 Rasio produksi beras dan konsumsi Sulawesi PGSW 1 0.765920 0.336857 2.27 0.0271 Harga Gabah Petani Sulawesi LSBISW 1 ‐11.0990 5.623499 ‐1.97 0.0537 Lag penyaluran Sulawesi PIMP 1 0.037074 0.039916 0.93 0.3573 Harga Impor Beras Indonesia T 1 ‐24.8084 3.905138 ‐6.35 <.0001 Tren waktu LPBSW 1 0.665513 0.103931 6.40 <.0001 Lag Harga Beras Sulawesi Durbin‐Watson 1.240868 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelation 0.329034
164
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EQ25 Dependent Variable STCK Label Stok Operasional Perum Bulog Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 13614341 3403585 487.07 <.0001 Error 54 377345.2 6987.875 Corrected Total 58 13987007 Root MSE 83.59351 R‐Square 0.97303 Dependent Mean 1516.99653 Adj R‐Sq 0.97103 Coeff Var 5.51046 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐120.598 53.56592 ‐2.25 0.0285 Intercept TPBI 1 ‐0.00289 0.008089 ‐0.36 0.7219 Total Produksi Beras Indonesia IMPR 1 0.869165 0.298901 2.91 0.0053 Jumlah Impor Beras Indonesia ASBI 1 0.941430 0.071978 13.08 <.0001 Jumlah Pengadaan Gabah Perum Bulog LSTCK 1 0.954247 0.024976 38.21 <.0001 Lag stok Durbin‐Watson 1.615374 Number of Observations 59 First‐Order Autocorrelatio
165
Lampiran 5. Program Validasi dan Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Agregat data data beras; set work.piter; if asbi=0 then asbi=0.01; if asbis=0 then asbis=0.01; if asbij=0 then asbij=0.01; if asbib=0 then asbib=0.01; if asbik=0 then asbik=0.01; if asbiss=0 then asbiss=0.01; AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; LPJBN =lag(PJBN); KBSU =KKSU*JPSU; KBJW =KKJW*JPJW; KBBN =KKBN*JPBN; KBKN =KKKN*JPKN; KBSW =KKSW*JPSW; KBIN =KOBI*JPDK; KBLL =KBIN‐KBSU‐KBJW‐KBBN‐KBKN; LMRJNK = lag(MRJNK); QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK; TPSW = ALSW*PVSW; TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL; TPBI = TPBS + TPBJ + TPBB + TPBK + TPBSW + TPBL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU); LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LT =log(T);
166
Lampiran 5. Lanjutan LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS =lag(TPBS); RPBI =(PBIN/INCK); RPBIS =(PBSU/INCS); RPBIJ =(PBJW/INCJ); RPBIBN=(PBBN/ICBN); RPBIK =(PBKN/ICKN); RPBISW =(PBSW/ICSW); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); LLSBIK =lag(LSBIK); RTPAS =(TPPI‐LTPPI)/LASBI; RTPASS =(TPPS/LASBIS); RTPASB =(LTPBN/ASBIB); RTPASK =(LTPPK‐TPPK)/LASBIK; RQSK =(QSBR‐KBIN); RTPBKS =(LTPBS/KBSU); RTPBKJ =(TPBJ/LKBJW); RTPBKB =(TPBB/KBBN); RTPBKK =(TPBK/KBKN); RTPBKSW=(TPBSW/KBSW); ; array bagi PGTP INCK INCS INCJ ICBN ICKN ICSW EXCR TRIF PTHA PBIN PIMP PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PJSU PJJW PJBN PJKN PJSW PJTP; do over bagi; bagi=(bagi/ihk); bagi=(bagi/ihk); if 2 <= t <=5 or 14 <= t <= 17 or 26 <= t <= 29 or 38 <= t <=41 or 50 <= t <= 53 then panen=1; else panen=2; *if panen=1; *PDPP = PDPP*1.05; *TRIF = TRIF*1.05; *LSBI=LSBI*1.05; *LSBIS=LSBIS*1.05; *LSBIJ=LSBI *1.05; *LSBIB=LSBIB*1.05; *LSBIK=LSBIK*1.05; *LSBISW=LSBISW*1.05; end; Proc simnlin DATA=BERAS simulate stats outpredict theil; endogenous PGTP PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PBIN PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW STCK IMPR PIMP TPPS TPPJ TPBN TPPK TPSW TPPI KBIN KBSU KBJW KBBN KBKN KBSW KBIN AREA ARLS ARLJ ALBN ARLK ALSW QSBR; instruments LT T EXCR TPBI TPBS TPBJ TPBB TPBK TPBSW LIMPR TRIF PTHA LPIMP JPDK JPSU JPJW JPBN JPKN JPSW LKBSU LKBJW LKBBN LKBKN LKBSW PDPP LPGTP LPGSU LPGJW LPGBN LPGKN LPGSW LSBI LSTCK LPBIN LPBSU LPBJW LPBBN LPBKN LPBSW ARLL TPPL TPBL KBLL;
167
Lampiran 5. Lanjutan Parameter a0 ‐94.2100 a1 0.076065 a2 ‐0.01408 a3 24.50495 a4 0.614898 b0 2484.534 b1 0.305848 b2 ‐1.74044 b3 48.77752 b4 ‐248.431 c0 ‐109.270 c1 0.039923 c2 ‐0.08877 c3 46.38473 c4 0.668455 d0 2.574190 d1 0.028262 d2 ‐0.05554 d3 44.66340 d4 ‐18.8900 d5 0.462995 e0 ‐860.079 e1 0.022835 e2 ‐0.00005 e3 202.2507 e4 0.433254 f0 212.4910 f1 ‐0.01587 f2 ‐0.00178 f3 ‐0.00767 f4 ‐0.01419 f5 ‐0.35596 f6 0.255731 g0 ‐284.194 g1 1.199330 g2 1.290764 g3 0.063863 h0 82.48459 h1 ‐0.10858 h2 36.77865 h3 ‐9.18270 h4 0.751593 i0 ‐3022.3900 i1 ‐0.1303 i2 48.3532 i3 ‐108.3160 i4 0.8079 j0 30.32915 j1 ‐0.00984 j2 42.51397 j3 ‐10.5026 j4 0.692698 k0 ‐219.959 k1 ‐0.00249 k2 44.83534 k3 ‐2.95202 k4 0.744760 l0 ‐339.159 l1 ‐0.03273 l2 71.74569 l3 ‐18.9818 l4 0.674467 m0 217.5604 m1 0.005423 m2 ‐0.01497 m3 0.038207 m4 ‐0.02996 m5 0.456953 m6 ‐0.28773 m7 0.294421 n0 189.7756 n1 0.000469 n2 ‐0.02680 n3 ‐4.68E‐6 n4 ‐0.07186 n5 0.401566 n6 ‐0.32533 n7 37.06034 n8 0.355485 o0 ‐59.5129 o1 0.000042 o2 ‐0.02095 o3 ‐0.10493 o4 0.546820 o5 ‐0.30277 o6 58.53385 o7 0.206291 p0 98.93058 p1 0.003945 p2 ‐0.08286 p3 ‐0.00096 p4 0.453366 p5 ‐0.26479 p6 0.283070 q0 ‐216.163 q1 0.014016 q2 ‐0.00544 q3 0.647339 q4 ‐0.10293 q5 ‐1.81986 q6 0.133373 r0 509.0921 r1 0.007296 r2 ‐0.14177 r3 0.225276 r4 ‐55.3158 r5 0.268092 s0 504.4792 s1 ‐0.02523 s2 0.778859 s3 ‐0.064438 s4 0.031309 s5 ‐26.9851 s6 0.364660 t0 806.9153 t1 ‐61.7230 t2 0.784014 t3 ‐0.27678 t4 0.026101 t5 ‐18.9231 t6 0.456558 u0 1216.485 u1 ‐614.017 u2 0.278252 u3 ‐1.39743 u4 0.023139 u5 ‐25.4168 u6 0.581026 v0 1299.909 v1 ‐388.188 v2 0.006737 v3 ‐24.4581 v4 0.01620 v5 ‐20.3042 v6 0.686085 w0 1459.228 w1 ‐182.486 w2 0.486377 w3 ‐8.35830 w4 0.03016 w5 ‐14.2202 w6 0.303675 x0 228.5497 x1 ‐322.802 x2 0.765920 x3 ‐11.0990 x4 0.037074 x5 ‐24.8084 x6 0.665513 y0 ‐120.598 y1 ‐0.00289 y2 0.869165 y3 0.941430 y4 0.954247 ; ARLS = a0 + a1*PGSU + a2*PJSU + a3*PDVS + a4*LARLS ; ARLJ = b0 + b1*LPGJW + b2*PJJW + b3*PDVJ + b4*LT ; ALBN = c0 + c1*LPGBN + c2*LPJBN + c3*PVBN + c4*LALBN ; ARLK = d0 + d1*PGKN + d2*PJKN + d3*PDVK + d4*LT + d5*LARLK ; ALSW = e0 + e1*LPGSW + e2*PJSW + e3*PVSW + e4*LALSW ; IMPR = f0 + f1*PIMP + f2*LTPBI + f3*LSTCK + f4*EXCR + f5*LT + f6*LIMPR ; PIMP = g0 + g1*TRIF + g2*PTHA + g3*LPIMP ; KBSU = h0 + h1*(PBSU/INCS) + h2*JPSU + h3*LT + h4*LKBSU ; KBJW = i0 + i1*(PBJW/INCJ) + i2*JPJW + i3*LT + i4*LKBJW ; KBBN = j0 + j1*(PBBN/ICBN) + j2*JPBN + j3*LT + j4*LKBBN ; KBKN = k0 + k1*(PBKN/ICKN) + k2*JPKN + k3*LT + k4*LKBKN ; KBSW = l0 + l1*(PBSW/ICSW) + l2*JPSW + l3*LT + l4*LKBSW ; PGTP = m0 + m1*PDPP + m2*TPPI + m3*LASBI + m4*LSTCK + m5*PBIN + m6*MRJN + m7*LPGTP; PGSU = n0 + n1*PDPP + n2*LTPPS + n3*(TPPS/LASBIS) + n4*LSTCKS + n5*PBSU + n6*MRJNSU + n7*LT + n8*LPGSU; PGJW = o0 + o1*PDPP + o2*TPPJ + o3*LSTCKJ + o4*PBJW + o5*MRJNJ + o6*LT + o7*LPGJW; PGBN = p0 + p1*PDPP + p2*TPBN + p3*(LTPBN/ASBIB) + p4*PBBN + p5*MRJNBN + p6*LPGBN ; PGKN = q0 + q1*PDPP + q2*(LTPPK‐TPPK)/LASBIK + q3*PBKN + q4*LMRJNK + q5*T + q6*LPGKN ; PGSW = r0 + r1*PDPP + r2*TPSW + r3*PBSW + r4*LT + r5*LPGSW ; PBIN = s0 + s1*(QSBR‐KBIN) + s2*LPGTP + s3*LSBI + s4*LPIMP + s5*T + s6*LPBIN ; PBSU = t0 + t1*(LTPBS/KBSU) + t2*PGSU + t3*LSBIS + t4*PIMP + t5*T + t6*LPBSU ; PBJW = u0 + u1*(TPBJ/LKBJW) + u2*LPGJW + u3*LSBIJ + u4*PIMP + u5*T + u6*LPBJW ; PBBN = v0 + v1*(TPBB/KBBN) + v2*LPGBN + v3*LLSBIB + v4*LPIMP + v5*T + v6*LPBBN ; PBKN = w0 + w1*(TPBK/KBKN) + w2*LPGKN + w3*LLSBIK + w4*LPIMP + w5*T + w6*LPBKN ; PBSW = x0 + s1*(TPBSW/KBSW) + x2*PGSW + x3*LSBISW + x4*PIMP + x5*T + x6*LPBSW ; STCK = y0 + y1*TPBI + y2*IMPR + y3*ASBI + y4*LSTCK ; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK;
168
Lampiran 5. Lanjutan TPSW = ALSW*PVSW; TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL;AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; ASBI = ASBIS + ASBIJ + ASBIB + ASBIK + ASBISS + ASBIL; QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; LPJBN =lag(PJBN); LMRJNK = lag(MRJNK); LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU); LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LT =log(T); LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS=lag(TPBS); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); range Bulan 7 to 60; run;
169
Lampiran 5. Lanjutan Proc means; var RTPBKS RTPBKJ RTPBKB RTPBKK RQSK RTPASS RTPASB RTPASK LASBI RPBIK RPBISW ARLS ARLJ ALBN ARLK ALSW AREA STCK LSTCK LSTCKS LSTCKJ LSBI LSBIS LSBIJ LLSBIB LLSBIK IMPR PIMP LPIMP KBIN KBSU KBJW KBBN KBKN KBSW KBIN PGTP PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PBIN PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW TPPS TPPJ TPBN TPPK TPSW TPPI LTPPS TPBI TPBS TPBJ TPBB TPBK TPBSW PJSU PJJW PJBN PJKN PJSW PDVS PDVJ PDVK PVSW LT T EXCR LIMPR TRIF PTHA LPIMP JPDK JPSU JPJW JPBN JPKN JPSW LKBSU LKBJW LKBBN LKBKN LKBSW PDPP LPGTP LPGSU LPGJW LPGBN LPGKN LPGSW LSBI LSTCK LPBIN LPBSU LPBJW LPBBN LPBKN LPBSW ARLL TPPL TPBL KBLL MRJN MRJNSU MRJNJ MRJNBN MRJNK LMRJNK MRJNSW; run;
170
Lampiran 6. Program Validasi dan Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode I data data beras; set work.piter; if asbi=0 then asbi=0.01; if asbis=0 then asbis=0.01; if asbij=0 then asbij=0.01; if asbib=0 then asbib=0.01; if asbik=0 then asbik=0.01; if asbiss=0 then asbiss=0.01; AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; LPJBN =lag(PJBN); KBSU =KKSU*JPSU; KBJW =KKJW*JPJW; KBBN =KKBN*JPBN; KBKN =KKKN*JPKN; KBSW =KKSW*JPSW; KBIN =KOBI*JPDK; KBLL =KBIN‐KBSU‐KBJW‐KBBN‐KBKN; LMRJNK = lag(MRJNK); QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK; TPSW = ALSW*PVSW; TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL; TPBI = TPBS + TPBJ + TPBB + TPBK + TPBSW + TPBL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU); LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LT =log(T);
171
Lampiran 6. Lanjutan LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS =lag(TPBS); RPBI =(PBIN/INCK); RPBIS =(PBSU/INCS); RPBIJ =(PBJW/INCJ); RPBIBN=(PBBN/ICBN); RPBIK =(PBKN/ICKN); RPBISW =(PBSW/ICSW); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); LLSBIK =lag(LSBIK); RTPAS =(TPPI‐LTPPI)/LASBI; RTPASS =(TPPS/LASBIS); RTPASB =(LTPBN/ASBIB); RTPASK =(LTPPK‐TPPK)/LASBIK; RQSK =(QSBR‐KBIN); RTPBKS =(LTPBS/KBSU); RTPBKJ =(TPBJ/LKBJW); RTPBKB =(TPBB/KBBN); RTPBKK =(TPBK/KBKN); RTPBKSW=(TPBSW/KBSW); ; array bagi PGTP INCK INCS INCJ ICBN ICKN ICSW EXCR TRIF PTHA PBIN PIMP PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PJSU PJJW PJBN PJKN PJSW PJTP; do over bagi; bagi=(bagi/ihk); bagi=(bagi/ihk); if 2 <= t <=5 or 14 <= t <= 17 or 26 <= t <= 29 or 38 <= t <=41 or 50 <= t <= 53 then panen=1; else panen=2; if panen=1; *PDPP = PDPP*1.05; *TRIF = TRIF*1.05; *LSBI=LSBI*1.05; *LSBIS=LSBIS*1.05; *LSBIJ=LSBI *1.05; *LSBIB=LSBIB*1.05; *LSBIK=LSBIK*1.05; *LSBISW=LSBISW*1.05; end; Proc simnlin DATA=BERAS simulate stats outpredict theil; endogenous PGTP PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PBIN PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW STCK IMPR PIMP TPPS TPPJ TPBN TPPK TPSW TPPI KBIN KBSU KBJW KBBN KBKN KBSW KBIN AREA ARLS ARLJ ALBN ARLK ALSW QSBR; instruments LT T EXCR LIMPR TRIF PTHA LPIMP TPBI TPBS TPBJ TPBB TPBK TPBSW JPDK JPSU JPJW JPBN JPKN JPSW LKBSU LKBJW LKBBN LKBKN LKBSW PDPP LPGTP LPGSU LPGJW LPGBN LPGKN LPGSW LSBI LSTCK LPBIN LPBSU LPBJW LPBBN LPBKN LPBSW ARLL TPPL TPBL KBLL;
172
Lampiran 6. Lanjutan Parameter a0 ‐94.2100 a1 0.076065 a2 ‐0.01408 a3 24.50495 a4 0.614898 b0 2484.534 b1 0.305848 b2 ‐1.74044 b3 48.77752 b4 ‐248.431 c0 ‐109.270 c1 0.039923 c2 ‐0.08877 c3 46.38473 c4 0.668455 d0 2.574190 d1 0.028262 d2 ‐0.05554 d3 44.66340 d4 ‐18.8900 d5 0.462995 e0 ‐860.079 e1 0.022835 e2 ‐0.00005 e3 202.2507 e4 0.433254 f0 212.4910 f1 ‐0.01587 f2 ‐0.00178 f3 ‐0.00767 f4 ‐0.01419 f5 ‐0.35596 f6 0.255731 g0 ‐284.194 g1 1.199330 g2 1.290764 g3 0.063863 h0 82.48459 h1 ‐0.10858 h2 36.77865 h3 ‐9.18270 h4 0.751593 i0 ‐3022.3900 i1 ‐0.1303 i2 48.3532 i3 ‐108.3160 i4 0.8079 j0 30.32915 j1 ‐0.00984 j2 42.51397 j3 ‐10.5026 j4 0.692698 k0 ‐219.959 k1 ‐0.00249 k2 44.83534 k3 ‐2.95202 k4 0.744760 l0 ‐339.159 l1 ‐0.03273 l2 71.74569 l3 ‐18.9818 l4 0.674467 m0 217.5604 m1 0.005423 m2 ‐0.01497 m3 0.038207 m4 ‐0.02996 m5 0.456953 m6 ‐0.28773 m7 0.294421 n0 189.7756 n1 0.000469 n2 ‐0.02680 n3 ‐4.68E‐6 n4 ‐0.07186 n5 0.401566 n6 ‐0.32533 n7 37.06034 n8 0.355485 o0 ‐59.5129 o1 0.000042 o2 ‐0.02095 o3 ‐0.10493 o4 0.546820 o5 ‐0.30277 o6 58.53385 o7 0.206291 p0 98.93058 p1 0.003945 p2 ‐0.08286 p3 ‐0.00096 p4 0.453366 p5 ‐0.26479 p6 0.283070 q0 ‐216.163 q1 0.014016 q2 ‐0.00544 q3 0.647339 q4 ‐0.10293 q5 ‐1.81986 q6 0.133373 r0 509.0921 r1 0.007296 r2 ‐0.14177 r3 0.225276 r4 ‐55.3158 r5 0.268092 s0 504.4792 s1 ‐0.02523 s2 0.778859 s3 ‐0.064438 s4 0.031309 s5 ‐26.9851 s6 0.364660 t0 806.9153 t1 ‐61.7230 t2 0.784014 t3 ‐0.27678 t4 0.026101 t5 ‐18.9231 t6 0.456558 u0 1216.485 u1 ‐614.017 u2 0.278252 u3 ‐1.39743 u4 0.023139 u5 ‐25.4168 u6 0.581026 v0 1299.909 v1 ‐388.188 v2 0.006737 v3 ‐24.4581 v4 0.01620 v5 ‐20.3042 v6 0.686085 w0 1459.228 w1 ‐182.486 w2 0.486377 w3 ‐8.35830 w4 0.03016 w5 ‐14.2202 w6 0.303675 x0 228.5497 x1 ‐322.802 x2 0.765920 x3 ‐11.0990 x4 0.037074 x5 ‐24.8084 x6 0.665513 y0 ‐120.598 y1 ‐0.00289 y2 0.869165 y3 0.941430 y4 0.954247 ; ARLS = a0 + a1*PGSU + a2*PJSU + a3*PDVS + a4*LARLS ; ARLJ = b0 + b1*LPGJW + b2*PJJW + b3*PDVJ + b4*LT ; ALBN = c0 + c1*LPGBN + c2*LPJBN + c3*PVBN + c4*LALBN ; ARLK = d0 + d1*PGKN + d2*PJKN + d3*PDVK + d4*LT + d5*LARLK ; ALSW = e0 + e1*LPGSW + e2*PJSW + e3*PVSW + e4*LALSW ; IMPR = f0 + f1*PIMP + f2*LTPBI + f3*LSTCK + f4*EXCR + f5*LT + f6*LIMPR ; PIMP = g0 + g1*TRIF + g2*PTHA + g3*LPIMP ; KBSU = h0 + h1*(PBSU/INCS) + h2*JPSU + h3*LT + h4*LKBSU ; KBJW = i0 + i1*(PBJW/INCJ) + i2*JPJW + i3*LT + i4*LKBJW ; KBBN = j0 + j1*(PBBN/ICBN) + j2*JPBN + j3*LT + j4*LKBBN ; KBKN = k0 + k1*(PBKN/ICKN) + k2*JPKN + k3*LT + k4*LKBKN ; KBSW = l0 + l1*(PBSW/ICSW) + l2*JPSW + l3*LT + l4*LKBSW ; PGTP = m0 + m1*PDPP + m2*TPPI + m3*LASBI + m4*LSTCK + m5*PBIN + m6*MRJN + m7*LPGTP; PGSU = n0 + n1*PDPP + n2*LTPPS + n3*(TPPS/LASBIS) + n4*LSTCKS + n5*PBSU + n6*MRJNSU + n7*LT + n8*LPGSU; PGJW = o0 + o1*PDPP + o2*TPPJ + o3*LSTCKJ + o4*PBJW + o5*MRJNJ + o6*LT + o7*LPGJW; PGBN = p0 + p1*PDPP + p2*TPBN + p3*(LTPBN/ASBIB) + p4*PBBN + p5*MRJNBN + p6*LPGBN ; PGKN = q0 + q1*PDPP + q2*(LTPPK‐TPPK)/LASBIK + q3*PBKN + q4*LMRJNK + q5*T + q6*LPGKN; PGSW = r0 + r1*PDPP + r2*TPSW + r3*PBSW + r4*LT + r5*LPGSW ; PBIN = s0 + s1*(QSBR‐KBIN) + s2*LPGTP + s3*LSBI + s4*LPIMP + s5*T + s6*LPBIN ; PBSU = t0 + t1*(LTPBS/KBSU) + t2*PGSU + t3*LSBIS + t4*PIMP + t5*T + t6*LPBSU ; PBJW = u0 + u1*(TPBJ/LKBJW) + u2*LPGJW + u3*LSBIJ + u4*PIMP + u5*T + u6*LPBJW ; PBBN = v0 + v1*(TPBB/KBBN) + v2*LPGBN + v3*LLSBIB + v4*LPIMP + v5*T + v6*LPBBN ; PBKN = w0 + w1*(TPBK/KBKN) + w2*LPGKN + w3*LLSBIK + w4*LPIMP + w5*T + w6*LPBKN ; PBSW = x0 + s1*(TPBSW/KBSW) + x2*PGSW + x3*LSBISW + x4*PIMP + x5*T + x6*LPBSW ; STCK = y0 + y1*TPBI + y2*IMPR + y3*ASBI + y4*LSTCK ; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK; TPSW = ALSW*PVSW;
173
Lampiran 6. Lanjutan TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL; AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; ASBI = ASBIS + ASBIJ + ASBIB + ASBIK + ASBISS + ASBIL; QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; LPJBN =lag(PJBN); LMRJNK = lag(MRJNK); LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU); LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LT =log(T); LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS=lag(TPBS); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); range Bulan 7 to 60; run;
174
Lampiran 7. Program Validasi dan Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode II data data beras; set work.piter; if asbi=0 then asbi=0.01; if asbis=0 then asbis=0.01; if asbij=0 then asbij=0.01; if asbib=0 then asbib=0.01; if asbik=0 then asbik=0.01; if asbiss=0 then asbiss=0.01; AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; LPJBN =lag(PJBN); KBSU =KKSU*JPSU; KBJW =KKJW*JPJW; KBBN =KKBN*JPBN; KBKN =KKKN*JPKN; KBSW =KKSW*JPSW; KBIN =KOBI*JPDK; KBLL =KBIN‐KBSU‐KBJW‐KBBN‐KBKN; LMRJNK = lag(MRJNK); QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK; TPSW = ALSW*PVSW; TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL; TPBI = TPBS + TPBJ + TPBB + TPBK + TPBSW + TPBL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU); LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LT =log(T);
175
Lampiran 7. Lanjutan LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS =lag(TPBS); RPBI =(PBIN/INCK); RPBIS =(PBSU/INCS); RPBIJ =(PBJW/INCJ); RPBIBN=(PBBN/ICBN); RPBIK =(PBKN/ICKN); RPBISW =(PBSW/ICSW); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); LLSBIK =lag(LSBIK); RTPAS =(TPPI‐LTPPI)/LASBI; RTPASS =(TPPS/LASBIS); RTPASB =(LTPBN/ASBIB); RTPASK =(LTPPK‐TPPK)/LASBIK; RQSK =(QSBR‐KBIN); RTPBKS =(LTPBS/KBSU); RTPBKJ =(TPBJ/LKBJW); RTPBKB =(TPBB/KBBN); RTPBKK =(TPBK/KBKN); RTPBKSW=(TPBSW/KBSW); ; array bagi PGTP INCK INCS INCJ ICBN ICKN ICSW EXCR TRIF PTHA PBIN PIMP PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PJSU PJJW PJBN PJKN PJSW PJTP; do over bagi; bagi=(bagi/ihk); bagi=(bagi/ihk); if 2 <= t <=5 or 14 <= t <= 17 or 26 <= t <= 29 or 38 <= t <=41 or 50 <= t <= 53 then panen=1; else panen=2; if panen=2; *PDPP = PDPP*1.05; *TRIF = TRIF*1.05; *LSBI=LSBI*1.05; *LSBIS=LSBIS*1.05; *LSBIJ=LSBI *1.05; *LSBIB=LSBIB*1.05; *LSBIK=LSBIK*1.05; *LSBISW=LSBISW*1.05; end; Proc simnlin DATA=BERAS simulate stats outpredict theil; endogenous PGTP PGSU PGJW PGBN PGKN PGSW PBIN PBSU PBJW PBBN PBKN PBSW STCK IMPR PIMP TPPS TPPJ TPBN TPPK TPSW TPPI KBIN KBSU KBJW KBBN KBKN KBSW KBIN AREA ARLS ARLJ ALBN ARLK ALSW QSBR; instruments LT T EXCR LIMPR TRIF PTHA LPIMP TPBI TPBS TPBJ TPBB TPBK TPBSW JPDK JPSU JPJW JPBN JPKN JPSW LKBSU LKBJW LKBBN LKBKN LKBSW PDPP LPGTP LPGSU LPGJW LPGBN LPGKN LPGSW LSBI LSTCK LPBIN LPBSU LPBJW LPBBN LPBKN LPBSW ARLL TPPL TPBL KBLL;
176
Lampiran 7. Lanjutan Parameter a0 ‐94.2100 a1 0.076065 a2 ‐0.01408 a3 24.50495 a4 0.614898 b0 2484.534 b1 0.305848 b2 ‐1.74044 b3 48.77752 b4 ‐248.431 c0 ‐109.270 c1 0.039923 c2 ‐0.08877 c3 46.38473 c4 0.668455 d0 2.574190 d1 0.028262 d2 ‐0.05554 d3 44.66340 d4 ‐18.8900 d5 0.462995 e0 ‐860.079 e1 0.022835 e2 ‐0.00005 e3 202.2507 e4 0.433254 f0 212.4910 f1 ‐0.01587 f2 ‐0.00178 f3 ‐0.00767 f4 ‐0.01419 f5 ‐0.35596 f6 0.255731 g0 ‐284.194 g1 1.199330 g2 1.290764 g3 0.063863 h0 82.48459 h1 ‐0.10858 h2 36.77865 h3 ‐9.18270 h4 0.751593 i0 ‐3022.3900 i1 ‐0.1303 i2 48.3532 i3 ‐108.3160 i4 0.8079 j0 30.32915 j1 ‐0.00984 j2 42.51397 j3 ‐10.5026 j4 0.692698 k0 ‐219.959 k1 ‐0.00249 k2 44.83534 k3 ‐2.95202 k4 0.744760 l0 ‐339.159 l1 ‐0.03273 l2 71.74569 l3 ‐18.9818 l4 0.674467 m0 217.5604 m1 0.005423 m2 ‐0.01497 m3 0.038207 m4 ‐0.02996 m5 0.456953 m6 ‐0.28773 m7 0.294421 n0 189.7756 n1 0.000469 n2 ‐0.02680 n3 ‐4.68E‐6 n4 ‐0.07186 n5 0.401566 n6 ‐0.32533 n7 37.06034 n8 0.355485 o0 ‐59.5129 o1 0.000042 o2 ‐0.02095 o3 ‐0.10493 o4 0.546820 o5 ‐0.30277 o6 58.53385 o7 0.206291 p0 98.93058 p1 0.003945 p2 ‐0.08286 p3 ‐0.00096 p4 0.453366 p5 ‐0.26479 p6 0.283070 q0 ‐216.163 q1 0.014016 q2 ‐0.00544 q3 0.647339 q4 ‐0.10293 q5 ‐1.81986 q6 0.133373 r0 509.0921 r1 0.007296 r2 ‐0.14177 r3 0.225276 r4 ‐55.3158 r5 0.268092 s0 504.4792 s1 ‐0.02523 s2 0.778859 s3 ‐0.064438 s4 0.031309 s5 ‐26.9851 s6 0.364660 t0 806.9153 t1 ‐61.7230 t2 0.784014 t3 ‐0.27678 t4 0.026101 t5 ‐18.9231 t6 0.456558 u0 1216.485 u1 ‐614.017 u2 0.278252 u3 ‐1.39743 u4 0.023139 u5 ‐25.4168 u6 0.581026 v0 1299.909 v1 ‐388.188 v2 0.006737 v3 ‐24.4581 v4 0.01620 v5 ‐20.3042 v6 0.686085 w0 1459.228 w1 ‐182.486 w2 0.486377 w3 ‐8.35830 w4 0.03016 w5 ‐14.2202 w6 0.303675 x0 228.5497 x1 ‐322.802 x2 0.765920 x3 ‐11.0990 x4 0.037074 x5 ‐24.8084 x6 0.665513 y0 ‐120.598 y1 ‐0.00289 y2 0.869165 y3 0.941430 y4 0.954247 ; ARLS = a0 + a1*PGSU + a2*PJSU + a3*PDVS + a4*LARLS ; ARLJ = b0 + b1*LPGJW + b2*PJJW + b3*PDVJ + b4*LT ; ALBN = c0 + c1*LPGBN + c2*LPJBN + c3*PVBN + c4*LALBN ; ARLK = d0 + d1*PGKN + d2*PJKN + d3*PDVK + d4*LT + d5*LARLK ; ALSW = e0 + e1*LPGSW + e2*PJSW + e3*PVSW + e4*LALSW ; IMPR = f0 + f1*PIMP + f2*LTPBI + f3*LSTCK + f4*EXCR + f5*LT + f6*LIMPR ; PIMP = g0 + g1*TRIF + g2*PTHA + g3*LPIMP ; KBSU = h0 + h1*(PBSU/INCS) + h2*JPSU + h3*LT + h4*LKBSU ; KBJW = i0 + i1*(PBJW/INCJ) + i2*JPJW + i3*LT + i4*LKBJW ; KBBN = j0 + j1*(PBBN/ICBN) + j2*JPBN + j3*LT + j4*LKBBN ; KBKN = k0 + k1*(PBKN/ICKN) + k2*JPKN + k3*LT + k4*LKBKN ; KBSW = l0 + l1*(PBSW/ICSW) + l2*JPSW + l3*LT + l4*LKBSW ; PGTP = m0 + m1*PDPP + m2*TPPI + m3*LASBI + m4*LSTCK + m5*PBIN + m6*MRJN + m7*LPGTP; PGSU = n0 + n1*PDPP + n2*LTPPS + n3*(TPPS/LASBIS) + n4*LSTCKS + n5*PBSU + n6*MRJNSU + n7*LT + n8*LPGSU; PGJW = o0 + o1*PDPP + o2*TPPJ + o3*LSTCKJ + o4*PBJW + o5*MRJNJ + o6*LT + o7*LPGJW; PGBN = p0 + p1*PDPP + p2*TPBN + p3*(LTPBN/ASBIB) + p4*PBBN + p5*MRJNBN + p6*LPGBN ; PGKN = q0 + q1*PDPP + q2*(LTPPK‐TPPK)/LASBIK + q3*PBKN + q4*LMRJNK + q5*T + q6*LPGKN ; PGSW = r0 + r1*PDPP + r2*TPSW + r3*PBSW + r4*LT + r5*LPGSW ; PBIN = s0 + s1*(QSBR‐KBIN) + s2*LPGTP + s3*LSBI + s4*LPIMP + s5*T + s6*LPBIN ; PBSU = t0 + t1*(LTPBS/KBSU) + t2*PGSU + t3*LSBIS + t4*PIMP + t5*T + t6*LPBSU ; PBJW = u0 + u1*(TPBJ/LKBJW) + u2*LPGJW + u3*LSBIJ + u4*PIMP + u5*T + u6*LPBJW ; PBBN = v0 + v1*(TPBB/KBBN) + v2*LPGBN + v3*LLSBIB + v4*LPIMP + v5*T + v6*LPBBN ; PBKN = w0 + w1*(TPBK/KBKN) + w2*LPGKN + w3*LLSBIK + w4*LPIMP + w5*T + w6*LPBKN ; PBSW = x0 + s1*(TPBSW/KBSW) + x2*PGSW + x3*LSBISW + x4*PIMP + x5*T + x6*LPBSW ; STCK = y0 + y1*TPBI + y2*IMPR + y3*ASBI + y4*LSTCK ; TPPS = ARLS*PDVS; TPPJ = ARLJ*PDVJ; TPBN = ALBN*PVBN; TPPK = ARLK*PDVK; TPSW = ALSW*PVSW;
177
Lampiran 7. Lanjutan TPPI = TPPS + TPPJ + TPBN + TPPK + TPSW + TPPL; AREA = ARLS + ARLJ + ALBN + ARLK + ALSW + ARLL; KBIN = KBSU + KBJW + KBBN + KBKN + KBSW + KBLL; ASBI = ASBIS + ASBIJ + ASBIB + ASBIK + ASBISS + ASBIL; QSBR = TPBI + IMPR + STCK + IMPR ‐BSPL ‐ EXPR; LPJBN =lag(PJBN); LMRJNK = lag(MRJNK); LARLS=lag(ARLS); LALBN=lag(ALBN); LARLK=lag(ARLK); LALSW=lag(ALSW); LAREA=lag(AREA); LASBI=lag(ASBI); LIMPR=lag(IMPR); LKBSU=lag(KBSU); LKBJW=lag(KBJW); LKBBN=lag(KBBN); LKBKN=lag(KBKN); LKBSW=lag(KBSW); LKBIN=lag(KBIN); LPBBN=lag(PBBN); LPBIN=lag(PBIN); LPBJW=lag(PBJW); LPBKN=lag(PBKN); LPBSU=lag(PBSU); LPBSW=lag(PBSW); LPGBN=lag(PGBN); LPGJW=lag(PGJW); LPGKN=lag(PGKN); LPGSU=lag(PGSU); LPGSW=lag(PGSW); LPGTP=lag(PGTP); LPIMP=lag(PIMP); LSTCK=lag(STCK); LSTCKJ =lag(STCKJ); LSTCKS =lag(STCKS); LT =log(T); LTPPI=lag(TPPI); LTPPS=lag(TPPS); LTPPJ=lag(TPPJ); LTPBN=lag(TPBN); LTPPK=lag(TPPK); LTPBI =lag(TPBI); LTPBS=lag(TPBS); LASBIS =lag (ASBIS); LASBIJ =lag (ASBIJ); LASBIK =lag(ASBIK); LLSBIB =lag(LSBIB); range Bulan 7 to 60; run;
178
Lampiran 8. Hasil Dasar Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Agregat The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary
Model Variables 34 Endogenous 34 Parameters 154 Range Variable Bulan Equations 34 Number of Statements 78 Program Lag Length 1 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= BERAS Solution Summary Variables Solved 34 Simulation Lag Length 1 Solution Range Bulan First 7.0000 Last 60.0000 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E‐8 Maximum CC 4.37E‐9 Maximum Iterations 15 Total Iterations 177 Average Iterations 3.277778 Observations Processed Read 55 Lagged 1 Solved 54 First 7 Last 60
179
Lampiran 8. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 54 54 1182.2 183.4 1425.0 816.4 PGTP PGSU 54 54 1240.0 200.8 1300.6 1144.4 PGSU PGJW 54 54 1167.5 175.8 1199.9 361.3 PGJW PGBN 54 54 1079.3 161.1 1308.6 279.5 PGBN PGKN 54 54 1318.8 227.6 1823.0 198.3 PGKN PGSW 54 54 1068.6 136.0 1764.3 146.5 PGSW PBIN 54 54 2433.2 288.3 3319.8 969.1 PBIN PBSU 54 54 2743.8 399.7 3384.5 1593.1 PBSU PBJW 54 54 2394.3 304.1 2822.7 298.8 PBJW PBBN 54 54 2350.1 353.1 3256.5 170.1 PBBN PBKN 54 54 2163.9 321.2 3054.9 206.6 PBKN PBSW 54 54 2182.5 365.2 4550.4 493.7 PBSW STCK 54 54 1450.1 442.8 1698.6 648.7 STCK IMPR 54 54 42.7993 44.7987 83.1192 46.2588 IMPR PIMP 54 54 2775.7 560.3 2667.1 551.3 PIMP TPPS 54 54 1042.3 515.4 909.9 818.5 TPPS TPPJ 54 54 2677.9 1712.7 3621.0 696.4 TPPJ TPBN 54 54 315.8 254.3 868.2 246.0 TPBN TPPK 54 54 257.4 135.7 406.4 66.8145 TPPK TPSW 54 54 468.6 265.2 467.2 69.8825 TPSW TPPI 54 54 4778.7 2636.3 6289.4 1171.3 TPPI KBIN 54 54 24935.9 501.4 23525.7 909.1 KBIN KBSU 54 54 5717.5 130.8 5373.5 718.8 KBSU KBJW 54 54 13034.7 242.7 12617.2 208.4 KBJW KBBN 54 54 1467.8 38.0620 1390.6 18.8461 KBBN KBKN 54 54 1314.1 43.5719 1306.8 41.3117 KBKN KBSW 54 54 1782.7 58.3222 1218.7 192.7 KBSW AREA 54 54 1063.9 542.5 1386.1 229.6 AREA ARLS 54 54 259.7 110.3 238.2 187.2 ARLS ARLJ 54 54 519.3 331.0 702.6 136.9 ARLJ ALBN 54 54 66.6073 51.4957 184.1 50.2114 ALBN ARLK 54 54 74.5247 38.6624 117.8 17.3132 ARLK ALSW 54 54 107.5 60.5513 107.1 15.3191 ALSW QSBR 54 54 4121.9 1450.8 5535.9 622.3 QSBR
180
Lampiran
8. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R‐Square PGTP 54 163.0 5.9838 649.9 57.6515 743.4 66.9837 ‐.1574 PGSU 54 67.7732 ‐8.6318 865.5 77.4155 973.4 96.0029 ‐.2295 PGJW 54 118.5 8.7683 230.3 19.8413 281.7 23.7791 ‐.1616 PGBN 54 425.6 41.1106 425.6 41.1106 468.1 45.8746 ‐.7597 PGKN 54 518.8 41.7031 518.8 41.7031 548.8 45.1796 ‐.4921 PGSW 54 695.7 67.2757 695.7 67.2757 713.2 70.5202 ‐.2704 PBIN 54 773.8 29.6737 884.4 35.3830 1152.5 45.6813 ‐.1528 PBSU 54 651.9 18.2826 1278.1 47.5418 1445.0 54.7306 ‐.1231 PBJW 54 559.6 24.2884 560.6 24.3245 616.3 27.2505 ‐.3184 PBBN 54 1241.9 56.3057 1241.9 56.3057 1285.4 61.4894 ‐.1250 PBKN 54 910.7 44.4991 910.7 44.4991 946.7 47.9631 ‐.7850 PBSW 54 2367.8 113.4 2367.8 113.4 2421.5 11.91 ‐.4378 STCK 54 322.7 25.2588 358.0 27.3902 541.5 40.8264 ‐.5237 IMPR 54 42.0769 304.0 48.6370 323.4 59.7207 54.90 ‐.8107 PIMP 54 ‐108.6 ‐3.8991 121.1 4.3105 210.5 6.6788 0.8562 TPPS 54 ‐126.5 8.2231 728.2 80.7777 915.0 10.05 .2110 TPPJ 54 1074.6 123.3 1704.1 135.2 2066.8 21.08 .4837 TPBN 54 654.5 365.5 666.3 368.6 724.4 46.58 .2690 TPPK 54 151.6 123.8 165.9 127.3 199.1 20.09 .1920 TPSW 54 ‐1.4754 38.4241 207.8 64.3410 248.3 96.6342 .1067 TPPI 54 1752.8 85.2809 2606.4 95.0318 3128.2 142.0 .4345 KBIN 54 ‐1572.2 ‐6.3240 1572.2 6.3240 1701.6 6.8580 .7300 KBSU 54 ‐351.0 ‐6.3256 623.8 10.9090 716.2 12.5157 .5700 KBJW 54 ‐543.2 ‐4.1520 543.2 4.1520 598.3 4.5608 .1920 KBBN 54 ‐106.5 ‐7.1936 106.5 7.1936 116.4 7.7923 .5360 KBKN 54 ‐7.4667 ‐0.5603 10.7619 0.8158 12.7067 0.9611 .9133 KBSW 54 ‐564.1 ‐31.5392 564.1 31.5392 599.6 33.3762 .7000 AREA 54 371.8 74.5858 557.3 84.5087 662.0 12.30 .5169 ARLS 54 ‐19.8341 8.2231 179.4 80.7777 217.7 10.05 .9700 ARLJ 54 208.8 123.3 329.9 135.2 399.6 21.08 .4845 ALBN 54 139.2 365.5 141.9 368.6 154.0 46.58 .1170 ARLK 54 44.0090 123.8 48.3356 127.3 58.0272 20.09 .2950 ALSW 54 ‐0.3397 38.4241 47.6594 64.3410 56.9121 96.6342 .0999 QSBR 54 406.9 10.8966 438.0 11.7063 635.9 17.6809 .8043
181
Lampiran 8. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PGTP 54 513009 0.79 0.11 0.86 0.02 0.77 0.12 0.5988 0.2527 PGSU 54 914209 0.92 0.00 0.99 0.01 0.96 0.04 0.7614 0.3207 PGJW 54 68029.3 0.73 0.02 0.78 0.21 0.50 0.49 0.2210 0.1072 PGBN 54 101058 0.61 0.52 0.32 0.16 0.14 0.34 0.2914 0.1309 PGKN 54 285985 0.65 0.89 0.01 0.10 0.00 0.11 0.3997 0.1686 PGSW 54 508601 0.37 0.95 0.02 0.03 0.00 0.05 0.6621 0.2505 PBIN 54 1395356 0.72 0.56 0.41 0.03 0.33 0.11 0.4822 0.2000 PBSU 54 1993994 0.85 0.21 0.77 0.02 0.70 0.09 0.5094 0.2170 PBJW 54 239151 0.69 0.77 0.03 0.20 0.00 0.23 0.2026 0.0931 PBBN 54 898063 0.63 0.91 0.00 0.08 0.04 0.05 0.3988 0.1681 PBKN 54 857758 0.61 0.93 0.00 0.07 0.02 0.06 0.4234 0.1764 PBSW 54 5863876 0.32 0.96 0.02 0.02 0.00 0.04 1.0946 0.3567 STCK 54 243053 0.75 0.25 0.40 0.34 0.17 0.57 0.3254 0.1480 IMPR 54 3436.5 0.56 0.47 0.13 0.40 0.00 0.53 0.9508 0.3744 PIMP 54 44318.3 0.95 0.27 0.01 0.72 0.00 0.73 0.0744 0.0379 TPPS 54 819527 0.14 0.02 0.67 0.31 0.11 0.87 0.7800 0.3805 TPPJ 54 3957584 0.12 0.22 0.06 0.72 0.26 0.52 0.6275 0.2901 TPBN 54 386300 0.34 0.79 0.06 0.15 0.00 0.21 1.5385 0.4760 TPPK 54 38583.3 0.34 0.58 0.01 0.41 0.12 0.30 0.6764 0.2797 TPSW 54 61657.2 0.33 0.00 0.01 0.99 0.61 0.39 0.4622 0.2460 TPPI 54 8902232 0.26 0.26 0.03 0.72 0.24 0.51 0.5479 0.2520 KBIN 54 2355658 0.77 0.84 0.11 0.04 0.07 0.09 0.0615 0.0317 KBSU 54 488717 0.83 0.24 0.75 0.01 0.69 0.06 0.1222 0.0628 KBJW 54 221969 0.53 0.79 0.03 0.19 0.01 0.21 0.0361 0.0184 KBBN 54 7237.3 0.35 0.82 0.00 0.17 0.05 0.13 0.0579 0.0298 KBKN 54 159.3 0.97 0.34 0.01 0.66 0.03 0.63 0.0096 0.0048 KBSW 54 359554 ‐0.07 0.88 0.11 0.01 0.05 0.07 0.3362 0.1987 AREA 54 400059 0.18 0.26 0.04 0.70 0.24 0.50 0.5306 0.2436 ARLS 54 46408.5 0.01 0.01 0.73 0.26 0.13 0.86 0.7646 0.3691 ARLJ 54 147811 0.13 0.23 0.06 0.71 0.25 0.52 0.6260 0.2891 ALBN 54 17444.9 0.28 0.79 0.07 0.14 0.00 0.21 1.5742 0.4810 ARLK 54 3279.3 0.27 0.57 0.01 0.42 0.14 0.29 0.6834 0.2823 ALSW 54 3239.0 0.32 0.00 0.01 0.99 0.62 0.38 0.4624 0.2461 QSBR 54 404354 0.95 0.41 0.09 0.50 0.03 0.56 0.1457 0.0695
182
Lampiran 8. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PGTP 54 0.3851 0.21 0.05 0.94 0.01 0.83 0.12 12.8071 0.9180 PGSU 54 0.8614 0.26 0.01 0.99 0.00 0.93 0.07 21.9464 0.9462 PGJW 54 0.0532 0.22 0.00 0.94 0.06 0.60 0.40 3.9998 0.7856 PGBN 54 0.0827 0.25 0.56 0.40 0.04 0.22 0.22 4.6420 0.8209 PGKN 54 0.1889 0.35 0.85 0.12 0.03 0.06 0.09 5.8968 0.8551 PGSW 54 0.4853 0.10 0.92 0.08 0.01 0.04 0.04 12.5433 0.9311 PBIN 54 0.2174 0.32 0.55 0.44 0.01 0.36 0.09 10.3670 0.9055 PBSU 54 0.2803 0.20 0.12 0.88 0.01 0.77 0.11 13.2141 0.9234 PBJW 54 0.0454 0.27 0.75 0.21 0.04 0.10 0.15 4.9725 0.8429 PBBN 54 0.2013 0.08 0.83 0.16 0.01 0.08 0.09 8.5925 0.9037 PBKN 54 0.2130 0.16 0.87 0.12 0.02 0.05 0.08 7.4186 0.8915 PBSW 54 1.3835 ‐0.05 0.91 0.09 0.00 0.06 0.03 22.0708 0.9617 STCK 54 0.1211 0.68 0.30 0.54 0.16 0.31 0.39 1.8348 0.5605 IMPR 54 18.0900 0.63 0.30 0.60 0.10 0.39 0.31 2.3402 0.5999 PIMP 54 0.00553 0.64 0.31 0.02 0.67 0.05 0.64 0.9372 0.4778 TPPS 54 1.4084 0.67 0.02 0.84 0.15 0.55 0.43 1.8741 0.5495 TPPJ 54 3.3908 0.39 0.28 0.55 0.17 0.22 0.50 2.2034 0.6435 TPBN 54 16.9379 0.39 0.57 0.38 0.05 0.23 0.20 4.1842 0.7628 TPPK 54 2.9794 0.57 0.36 0.51 0.13 0.27 0.37 2.1974 0.6049 TPSW 54 0.7669 0.55 0.06 0.31 0.63 0.02 0.93 1.0226 0.4640 TPPI 54 1.7568 0.41 0.30 0.56 0.15 0.25 0.45 2.3515 0.6529 KBIN 54 0.00383 0.33 0.84 0.14 0.02 0.08 0.07 7.5797 0.8811 KBSU 54 0.0149 0.22 0.26 0.74 0.00 0.68 0.06 21.0163 0.9529 KBJW 54 0.00129 0.25 0.79 0.16 0.05 0.06 0.15 4.4859 0.8178 KBBN 54 0.00325 0.13 0.84 0.14 0.02 0.05 0.11 6.3009 0.8784 KBKN 54 0.000091 0.54 0.33 0.25 0.42 0.02 0.65 1.2917 0.5213 KBSW 54 0.1119 ‐0.10 0.89 0.11 0.00 0.08 0.03 22.2099 0.9604 AREA 54 1.2511 0.39 0.31 0.53 0.17 0.21 0.49 2.2354 0.6496 ARLS 54 0.9503 0.27 0.00 0.86 0.14 0.41 0.59 2.5318 0.6989 ARLJ 54 3.3910 0.39 0.28 0.55 0.17 0.22 0.50 2.1994 0.6430 ALBN 54 16.4829 0.39 0.58 0.38 0.05 0.22 0.20 4.1267 0.7602 ARLK 54 2.9024 0.55 0.36 0.50 0.13 0.26 0.38 2.2086 0.6096 ALSW 54 0.7644 0.55 0.06 0.31 0.63 0.02 0.93 1.0200 0.4636 QSBR 54 0.0278 0.94 0.40 0.10 0.49 0.04 0.56 0.4977 0.2298
183
Lampiran 9. Hasil Dasar Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode I The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 14 To 53 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 16 16 1177.2 174.8 1170.7 475.0 PGTP PGSU 16 16 1293.4 186.3 1165.7 436.3 PGSU PGJW 16 16 1151.5 186.2 1116.1 270.5 PGJW PGBN 16 16 1063.5 165.1 1178.5 180.8 PGBN PGKN 16 16 1422.4 229.7 1773.4 153.8 PGKN PGSW 16 16 1102.7 152.1 1537.8 130.9 PGSW PBIN 16 16 2493.7 320.9 3043.6 493.4 PBIN PBSU 16 16 2855.3 442.0 3196.1 532.2 PBSU PBJW 16 16 2458.6 336.1 2770.9 199.8 PBJW PBBN 16 16 2418.1 381.8 3154.8 160.6 PBBN PBKN 16 16 2246.0 292.6 2977.3 178.8 PBKN PBSW 16 16 2316.8 443.9 3841.7 486.8 PBSW STCK 16 16 1191.0 414.1 2845.8 424.4 STCK IMPR 16 16 48.4600 53.2463 75.7360 40.9874 IMPR PIMP 16 16 2886.7 700.5 2674.8 637.4 PIMP TPPS 16 16 1484.4 580.2 806.0 306.6 TPPS TPPJ 16 16 4161.7 1935.5 3781.1 809.1 TPPJ TPBN 16 16 576.2 318.8 873.8 212.7 TPBN TPPK 16 16 381.1 70.5052 420.8 69.0793 TPPK TPSW 16 16 586.2 294.2 462.2 29.1812 TPSW TPPI 16 16 7215.3 2900.0 6369.7 988.7 TPPI KBIN 16 16 24811.3 514.4 24124.4 503.4 KBIN KBSU 16 16 5707.3 132.1 5495.0 120.8 KBSU KBJW 16 16 12960.8 227.6 12828.6 184.9 KBJW KBBN 16 16 1456.1 39.2218 1409.6 23.9174 KBBN KBKN 16 16 1301.4 36.2903 1314.9 40.2964 KBKN KBSW 16 16 1767.1 57.6605 1457.7 208.4 KBSW AREA 16 16 1577.0 576.2 1380.8 187.5 AREA ARLS 16 16 377.7 103.3 208.9 51.1138 ARLS ARLJ 16 16 802.7 372.8 731.3 163.4 ARLJ ALBN 16 16 118.1 64.4612 179.1 43.6414 ALBN ARLK 16 16 108.0 18.7113 119.5 19.2441 ARLK ALSW 16 16 134.1 67.2614 105.8 6.5699 ALSW QSBR 16 16 5238.7 1577.5 6586.2 874.1 QSBR
184
Lampiran 10. Hasil Dasar Simulasi Kebijakan Tahun 2004-2008 Periode II The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 38 38 1184.3 189.2 1637.0 650.9 PGTP PGSU 38 38 1217.5 204.7 1469.5 1038.6 PGSU PGJW 38 38 1174.3 173.3 1263.1 341.6 PGJW PGBN 38 38 1085.9 161.2 1367.1 266.7 PGBN PGKN 38 38 1275.2 215.0 1828.0 189.3 PGKN PGSW 38 38 1054.3 128.0 1741.5 142.4 PGSW PBIN 38 38 2407.7 274.0 3588.7 756.2 PBIN PBSU 38 38 2696.8 376.9 3635.2 1413.4 PBSU PBJW 38 38 2367.3 290.1 2880.9 274.9 PBJW PBBN 38 38 2321.5 341.5 3289.5 171.4 PBBN PBKN 38 38 2129.3 330.1 3065.9 202.4 PBKN PBSW 38 38 2126.0 316.5 4468.2 512.0 PBSW STCK 38 38 1559.2 412.4 1182.6 532.1 STCK IMPR 38 38 40.4158 41.3001 85.8385 50.9745 IMPR PIMP 38 38 2728.9 493.1 2663.2 516.4 PIMP TPPS 38 38 856.1 352.1 1081.1 704.9 TPPS TPPJ 38 38 2053.2 1153.4 3620.2 680.0 TPPJ TPBN 38 38 206.2 98.6964 802.4 242.8 TPBN TPPK 38 38 205.3 122.3 391.9 64.0725 TPPK TPSW 38 38 419.1 239.1 451.9 74.3615 TPSW TPPI 38 38 3752.8 1702.3 6360.3 1048.8 TPPI KBIN 38 38 24988.3 493.3 23313.5 855.0 KBIN KBSU 38 38 5721.8 131.8 5193.7 568.3 KBSU KBJW 38 38 13065.9 244.9 12565.6 265.8 KBJW KBBN 38 38 1472.8 36.9696 1386.9 22.1265 KBBN KBKN 38 38 1319.5 45.6764 1312.6 42.9186 KBKN KBSW 38 38 1789.3 58.0963 1235.7 224.1 KBSW AREA 38 38 847.9 353.9 1408.2 216.5 AREA ARLS 38 38 210.0 67.3760 276.0 159.6 ARLS ARLJ 38 38 399.9 226.4 704.1 135.5 ARLJ ALBN 38 38 44.9208 21.9956 173.3 52.0884 ALBN ARLK 38 38 60.4220 36.1919 114.7 17.1304 ARLK ALSW 38 38 96.2830 54.6183 103.8 16.2760 ALSW QSBR 38 38 3651.7 1113.4 5125.1 456.4 QSBR
185
Lampiran 11. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 persen Tahun 2004- 2008 Periode Agregat The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 54 54 1182.2 183.4 1565.5 778.2 PGTP PGSU 54 54 1240.0 200.8 1321.7 1138.5 PGSU PGJW 54 54 1167.5 175.8 1200.2 361.2 PGJW PGBN 54 54 1079.3 161.1 1331.1 275.8 PGBN PGKN 54 54 1318.8 227.6 1981.7 176.5 PGKN PGSW 54 54 1068.6 136.0 1899.7 154.2 PGSW PBIN 54 54 2433.2 288.3 3481.5 926.0 PBIN PBSU 54 54 2743.8 399.7 3414.0 1584.6 PBSU PBJW 54 54 2394.3 304.1 2822.9 298.8 PBJW PBBN 54 54 2350.1 353.1 3250.9 170.6 PBBN PBKN 54 54 2163.9 321.2 3158.3 198.0 PBKN PBSW 54 54 2182.5 365.2 4844.5 535.9 PBSW STCK 54 54 1450.1 442.8 1695.8 6480 STCK IMPR 54 54 42.7993 44.7987 83.0320 46.2345 IMPR PIMP 54 54 2775.7 560.3 2667.1 551.3 PIMP TPPS 54 54 1042.3 515.4 926.1 814.8 TPPS TPPJ 54 54 2677.9 1712.7 3621.6 696.4 TPPJ TPBN 54 54 315.8 254.3 880.1 248.8 TPBN TPPK 54 54 257.4 135.7 434.6 71.7610 TPPK TPSW 54 54 468.6 265.2 489.8 73.3358 TPSW TPPI 54 54 4778.7 2636.3 6368.9 1172.5 TPPI KBIN 54 54 24935.9 501.4 23437.9 899.1 KBIN KBSU 54 54 5717.5 130.8 5357.6 712.8 KBSU KBJW 54 54 13034.7 242.7 12617.0 208.4 KBJW KBBN 54 54 1467.8 38.0620 1391.1 18.7375 KBBN KBKN 54 54 1314.1 43.5719 1306.0 41.5057 KBKN KBSW 54 54 1782.7 58.3222 1147.3 225.8 KBSW AREA 54 54 1063.9 542.5 1406.1 229.9 AREA ARLS 54 54 259.7 110.3 242.2 186.1 ARLS ARLJ 54 54 519.3 331.0 702.7 136.9 ARLJ ALBN 54 54 66.6073 51.4957 186.6 50.8137 ALBN ARLK 54 54 74.5247 38.6624 126.0 18.7035 ARLK ALSW 54 54 107.5 60.5513 112.3 16.1047 ALSW QSBR 54 54 4121.9 1450.8 5582.5 629.3 QSBR
186
Lampiran 12. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode I The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 14 To 53 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 16 16 1177.2 174.8 1270.9 435.3 PGTP PGSU 16 16 1293.4 186.3 1180.0 431.1 PGSU PGJW 16 16 1151.5 186.2 1116.5 270.4 PGJW PGBN 16 16 1063.5 165.1 1202.2 178.4 PGBN PGKN 16 16 1422.4 229.7 1921.2 151.3 PGKN PGSW 16 16 1102.7 152.1 1645.3 168.2 PGSW PBIN 16 16 2493.7 320.9 3145.3 451.4 PBIN PBSU 16 16 2855.3 442.0 3214.9 525.1 PBSU PBJW 16 16 2458.6 336.1 2771.1 199.7 PBJW PBBN 16 16 2418.1 381.8 3150.4 159.8 PBBN PBKN 16 16 2246.0 292.6 3064.9 187.4 PBKN PBSW 16 16 2316.8 443.9 4044.9 580.9 PBSW STCK 16 16 1191.0 414.1 2844.9 423.8 STCK IMPR 16 16 48.4600 53.2463 75.6636 40.9504 IMPR PIMP 16 16 2886.7 700.5 2674.8 637.4 PIMP TPPS 16 16 1484.4 580.2 815.4 305.6 TPPS TPPJ 16 16 4161.7 1935.5 3781.6 809.1 TPPJ TPBN 16 16 576.2 318.8 884.6 217.1 TPBN TPPK 16 16 381.1 70.5052 446.2 76.8356 TPPK TPSW 16 16 586.2 294.2 478.1 30.2141 TPSW TPPI 16 16 7215.3 2900.0 6431.6 998.8 TPPI KBIN 16 16 24811.3 514.4 24075.6 527.2 KBIN KBSU 16 16 5707.3 132.1 5487.3 119.6 KBSU KBJW 16 16 12960.8 227.6 12828.5 185.0 KBJW KBBN 16 16 1456.1 39.2218 1409.9 23.7413 KBBN KBKN 16 16 1301.4 36.2903 1314.3 40.5795 KBKN KBSW 16 16 1767.1 57.6605 1416.9 236.4 KBSW AREA 16 16 1577.0 576.2 1396.3 190.9 AREA ARLS 16 16 377.7 103.3 211.2 50.2450 ARLS ARLJ 16 16 802.7 372.8 731.4 163.4 ARLJ ALBN 16 16 118.1 64.4612 181.3 44.5581 ALBN ARLK 16 16 108.0 18.7113 126.7 21.4919 ARLK ALSW 16 16 134.1 67.2614 109.4 6.7787 ALSW QSBR 16 16 5238.7 1577.5 6623.7 886.1 QSBR
187
Lampiran 13. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah Naik 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 38 38 1184.3 189.2 1765.9 615.9 PGTP PGSU 38 38 1217.5 204.7 1488.6 1032.9 PGSU PGJW 38 38 1174.3 173.3 1263.5 341.5 PGJW PGBN 38 38 1085.9 161.2 1389.6 263.1 PGBN PGKN 38 38 1275.2 215.0 1982.1 171.5 PGKN PGSW 38 38 1054.3 128.0 1868.5 161.1 PGSW PBIN 38 38 2407.7 274.0 3733.9 721.3 PBIN PBSU 38 38 2696.8 376.9 3661.5 1405.5 PBSU PBJW 38 38 2367.3 290.1 2881.1 274.9 PBJW PBBN 38 38 2321.5 341.5 3284.3 171.6 PBBN PBKN 38 38 2129.3 330.1 3164.7 199.1 PBKN PBSW 38 38 2126.0 316.5 4737.1 577.7 PBSW STCK 38 38 1559.2 412.4 1180.5 532.4 STCK IMPR 38 38 40.4158 41.3001 85.7543 50.9452 IMPR PIMP 38 38 2728.9 493.1 2663.2 516.4 PIMP TPPS 38 38 856.1 352.1 1095.5 701.7 TPPS TPPJ 38 38 2053.2 1153.4 3620.7 680.1 TPPJ TPBN 38 38 206.2 98.6964 813.7 246.1 TPBN TPPK 38 38 205.3 122.3 418.8 70.0834 TPPK TPSW 38 38 419.1 239.1 472.6 78.3405 TPSW TPPI 38 38 3752.8 1702.3 6434.2 1056.5 TPPI KBIN 38 38 24988.3 493.3 23234.9 861.4 KBIN KBSU 38 38 5721.8 131.8 5179.9 563.7 KBSU KBJW 38 38 13065.9 244.9 12565.4 265.9 KBJW KBBN 38 38 1472.8 36.9696 1387.4 21.9675 KBBN KBKN 38 38 1319.5 45.6764 1311.9 43.1538 KBKN KBSW 38 38 1789.3 58.0963 1171.3 258.8 KBSW AREA 38 38 847.9 353.9 1426.9 218.7 AREA ARLS 38 38 210.0 67.3760 279.5 158.7 ARLS ARLJ 38 38 399.9 226.4 704.2 135.5 ARLJ ALBN 38 38 44.9208 21.9956 175.7 52.8051 ALBN ARLK 38 38 60.4220 36.1919 122.6 18.8480 ARLK ALSW 38 38 96.2830 54.6183 108.5 17.1949 ALSW QSBR 38 38 3651.7 1113.4 5168.9 458.0 QSBR
188
Lampiran 14. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Agregat The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 54 54 1182.2 183.4 1564.7 821.2 PGTP PGSU 54 54 1240.0 200.8 1511.0 1157.5 PGSU PGJW 54 54 1167.5 175.8 1260.7 373.5 PGJW PGBN 54 54 1079.3 161.1 1336.6 286.1 PGBN PGKN 54 54 1318.8 227.6 1894.4 215.9 PGKN PGSW 54 54 1068.6 136.0 1871.3 170.7 PGSW PBIN 54 54 2433.2 288.3 3527.5 987.1 PBIN PBSU 54 54 2743.8 399.7 3735.4 1620.8 PBSU PBJW 54 54 2394.3 304.1 2914.8 318.8 PBJW PBBN 54 54 2350.1 353.1 3304.4 182.0 PBBN PBKN 54 54 2163.9 321.2 3150.5 230.9 PBKN PBSW 54 54 2182.5 365.2 4911.3 572.9 PBSW STCK 54 54 1450.1 442.8 1397.9 670.9 STCK IMPR 54 54 42.7993 44.7987 61.6838 52.7264 IMPR PIMP 54 54 2775.7 560.3 3797.1 759.1 PIMP TPPS 54 54 1042.3 515.4 1070.4 836.1 TPPS TPPJ 54 54 2677.9 1712.7 3716.3 702.8 TPPJ TPBN 54 54 315.8 254.3 883.6 247.4 TPBN TPPK 54 54 257.4 135.7 419.3 68.6906 TPPK TPSW 54 54 468.6 265.2 485.5 73.4649 TPSW TPPI 54 54 4778.7 2636.3 6591.8 1230.8 TPPI KBIN 54 54 24935.9 501.4 23158.9 964.3 KBIN KBSU 54 54 5717.5 130.8 5185.9 713.8 KBSU KBJW 54 54 13034.7 242.7 12528.1 230.1 KBJW KBBN 54 54 1467.8 38.0620 1386.6 19.5239 KBBN KBKN 54 54 1314.1 43.5719 1306.1 41.4658 KBKN KBSW 54 54 1782.7 58.3222 1133.3 216.2 KBSW AREA 54 54 1063.9 542.5 1456.3 243.1 AREA ARLS 54 54 259.7 110.3 278.7 189.6 ARLS ARLJ 54 54 519.3 331.0 721.0 137.6 ARLJ ALBN 54 54 66.6073 51.4957 187.3 50.4478 ALBN ARLK 54 54 74.5247 38.6624 121.5 17.7967 ARLK ALSW 54 54 107.5 60.5513 111.4 16.1407 ALSW QSBR 54 54 4121.9 1450.8 5380.7 623.7 QSBR
189
Lampiran 15. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode I The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 14 To 53 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 16 16 1177.2 174.8 1257.4 452.1 PGTP PGSU 16 16 1293.4 186.3 1302.9 414.0 PGSU PGJW 16 16 1151.5 186.2 1170.3 268.3 PGJW PGBN 16 16 1063.5 165.1 1205.0 183.4 PGBN PGKN 16 16 1422.4 229.7 1836.2 167.0 PGKN PGSW 16 16 1102.7 152.1 1614.1 155.8 PGSW PBIN 16 16 2493.7 320.9 3179.8 476.9 PBIN PBSU 16 16 2855.3 442.0 3431.5 507.5 PBSU PBJW 16 16 2458.6 336.1 2853.7 202.5 PBJW PBBN 16 16 2418.1 381.8 3200.3 169.1 PBBN PBKN 16 16 2246.0 292.6 3061.9 201.2 PBKN PBSW 16 16 2316.8 443.9 4103.4 564.2 PBSW STCK 16 16 1191.0 414.1 2695.8 377.7 STCK IMPR 16 16 48.4600 53.2463 53.3085 46.0074 IMPR PIMP 16 16 2886.7 700.5 3791.7 804.7 PIMP TPPS 16 16 1484.4 580.2 898.5 311.0 TPPS TPPJ 16 16 4161.7 1935.5 3861.9 811.7 TPPJ TPBN 16 16 576.2 318.8 886.9 217.6 TPBN TPPK 16 16 381.1 70.5052 431.9 72.7831 TPPK TPSW 16 16 586.2 294.2 473.9 29.3616 TPSW TPPI 16 16 7215.3 2900.0 6578.8 1025.8 TPPI KBIN 16 16 24811.3 514.4 23903.5 603.5 KBIN KBSU 16 16 5707.3 132.1 5394.2 132.7 KBSU KBJW 16 16 12960.8 227.6 12766.4 214.1 KBJW KBBN 16 16 1456.1 39.2218 1406.2 25.1044 KBBN KBKN 16 16 1301.4 36.2903 1314.3 40.5574 KBKN KBSW 16 16 1767.1 57.6605 1403.8 236.2 KBSW AREA 16 16 1577.0 576.2 1428.6 197.2 AREA ARLS 16 16 377.7 103.3 232.5 46.8585 ARLS ARLJ 16 16 802.7 372.8 747.0 164.4 ARLJ ALBN 16 16 118.1 64.4612 181.8 44.6363 ALBN ARLK 16 16 108.0 18.7113 122.6 20.3046 ARLK ALSW 16 16 134.1 67.2614 108.4 6.5929 ALSW QSBR 16 16 5238.7 1577.5 6521.7 877.4 QSBR
190
Lampiran 16. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Impor Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 38 38 1184.3 189.2 1764.4 654.4 PGTP PGSU 38 38 1217.5 204.7 1665.4 1042.8 PGSU PGJW 38 38 1174.3 173.3 1323.2 352.9 PGJW PGBN 38 38 1085.9 161.2 1395.2 273.6 PGBN PGKN 38 38 1275.2 215.0 1898.5 206.6 PGKN PGSW 38 38 1054.3 128.0 1843.6 166.9 PGSW PBIN 38 38 2407.7 274.0 3780.2 775.5 PBIN PBSU 38 38 2696.8 376.9 3963.4 1429.1 PBSU PBJW 38 38 2367.3 290.1 2972.2 293.8 PBJW PBBN 38 38 2321.5 341.5 3337.5 183.0 PBBN PBKN 38 38 2129.3 330.1 3160.5 226.6 PBKN PBSW 38 38 2126.0 316.5 4813.4 590.6 PBSW STCK 38 38 1559.2 412.4 921.1 599.0 STCK IMPR 38 38 40.4158 41.3001 63.9360 57.6733 IMPR PIMP 38 38 2728.9 493.1 3797.6 743.6 PIMP TPPS 38 38 856.1 352.1 1230.9 716.5 TPPS TPPJ 38 38 2053.2 1153.4 3713.7 689.3 TPPJ TPBN 38 38 206.2 98.6964 817.3 244.9 TPBN TPPK 38 38 205.3 122.3 404.4 66.6805 TPPK TPSW 38 38 419.1 239.1 469.1 77.9280 TPSW TPPI 38 38 3752.8 1702.3 6648.3 1115.6 TPPI KBIN 38 38 24988.3 493.3 22967.7 937.0 KBIN KBSU 38 38 5721.8 131.8 5020.6 566.3 KBSU KBJW 38 38 13065.9 244.9 12479.1 291.2 KBJW KBBN 38 38 1472.8 36.9696 1383.0 22.9644 KBBN KBKN 38 38 1319.5 45.6764 1311.9 43.1109 KBKN KBSW 38 38 1789.3 58.0963 1154.0 251.8 KBSW AREA 38 38 847.9 353.9 1474.3 232.4 AREA ARLS 38 38 210.0 67.3760 313.1 160.8 ARLS ARLJ 38 38 399.9 226.4 722.2 136.8 ARLJ ALBN 38 38 44.9208 21.9956 176.5 52.5298 ALBN ARLK 38 38 60.4220 36.1919 118.4 17.8531 ARLK ALSW 38 38 96.2830 54.6183 107.7 17.0958 ALSW QSBR 38 38 3651.7 1113.4 4999.2 472.2 QSBR
191
Lampiran 17. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode Agregat The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 54 54 1182.2 183.4 1276.4 845.8 PGTP PGSU 54 54 1240.0 200.8 1300.6 1144.4 PGSU PGJW 54 54 1167.5 175.8 1199.9 361.3 PGJW PGBN 54 54 1079.3 161.1 1308.6 279.5 PGBN PGKN 54 54 1318.8 227.6 1823.0 198.3 PGKN PGSW 54 54 1068.6 136.0 1764.3 146.5 PGSW PBIN 54 54 2433.2 288.3 3087.7 1009.2 PBIN PBSU 54 54 2743.8 399.7 3384.5 1593.1 PBSU PBJW 54 54 2394.3 304.1 2822.7 298.8 PBJW PBBN 54 54 2350.1 353.1 3256.5 170.1 PBBN PBKN 54 54 2163.9 321.2 3054.9 206.6 PBKN PBSW 54 54 2182.5 365.2 4550.4 493.7 PBSW STCK 54 54 1450.1 442.8 1698.6 648.7 STCK IMPR 54 54 42.7993 44.7987 83.1192 46.2588 IMPR PIMP 54 54 2775.7 560.3 2667.1 551.3 PIMP TPPS 54 54 1042.3 515.4 909.9 818.5 TPPS TPPJ 54 54 2677.9 1712.7 3621.0 696.4 TPPJ TPBN 54 54 315.8 254.3 868.2 246.0 TPBN TPPK 54 54 257.4 135.7 406.4 66.8145 TPPK TPSW 54 54 468.6 265.2 467.2 69.8825 TPSW TPPI 54 54 4778.7 2636.3 6289.4 1171.3 TPPI KBIN 54 54 24935.9 501.4 23525.7 909.1 KBIN KBSU 54 54 5717.5 130.8 5373.5 718.8 KBSU KBJW 54 54 13034.7 242.7 12617.2 208.4 KBJW KBBN 54 54 1467.8 38.0620 1390.6 18.8461 KBBN KBKN 54 54 1314.1 43.5719 1306.8 41.3117 KBKN KBSW 54 54 1782.7 58.3222 1218.7 192.7 KBSW AREA 54 54 1063.9 542.5 1386.1 229.6 AREA ARLS 54 54 259.7 110.3 238.2 187.2 ARLS ARLJ 54 54 519.3 331.0 702.6 136.9 ARLJ ALBN 54 54 66.6073 51.4957 184.1 50.2114 ALBN ARLK 54 54 74.5247 38.6624 117.8 17.3132 ARLK ALSW 54 54 107.5 60.5513 107.1 15.3191 ALSW QSBR 54 54 4121.9 1450.8 5535.9 622.3 QSBR
192
Lampiran 17. Lanjutan Penyaluran (Wilayah) Agregat The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 54 54 1182.2 183.4 1595.7 757.8 PGTP PGSU 54 54 1240.0 200.8 1073.4 1190.7 PGSU PGJW 54 54 1167.5 175.8 865.5 418.3 PGJW PGBN 54 54 1079.3 161.1 868.5 332.2 PGBN PGKN 54 54 1318.8 227.6 1823.0 198.3 PGKN PGSW 54 54 1068.6 136.0 1444.9 150.0 PGSW PBIN 54 54 2433.2 288.3 3557.5 892.0 PBIN PBSU 54 54 2743.8 399.7 3003.1 1666.8 PBSU PBJW 54 54 2394.3 304.1 2314.7 390.0 PBJW PBBN 54 54 2350.1 353.1 2503.7 294.9 PBBN PBKN 54 54 2163.9 321.2 3054.9 206.6 PBKN PBSW 54 54 2182.5 365.2 3468.6 452.3 PBSW STCK 54 54 1450.1 442.8 1733.3 653.8 STCK IMPR 54 54 42.7993 44.7987 84.1609 46.3701 IMPR PIMP 54 54 2775.7 560.3 2667.1 551.3 PIMP TPPS 54 54 1042.3 515.4 737.4 846.0 TPPS TPPJ 54 54 2677.9 1712.7 3108.3 653.0 TPPJ TPBN 54 54 315.8 254.3 640.1 203.3 TPBN TPPK 54 54 257.4 135.7 406.4 66.8145 TPPK TPSW 54 54 468.6 265.2 413.8 63.6918 TPSW TPPI 54 54 4778.7 2636.3 5322.6 1152.4 TPPI KBIN 54 54 24935.9 501.4 24531.7 1084.2 KBIN KBSU 54 54 5717.5 130.8 5575.8 780.0 KBSU KBJW 54 54 13034.7 242.7 13099.4 198.5 KBJW KBBN 54 54 1467.8 38.0620 1454.2 25.9600 KBBN KBKN 54 54 1314.1 43.5719 1306.8 41.3117 KBKN KBSW 54 54 1782.7 58.3222 1476.6 105.8 KBSW AREA 54 54 1063.9 542.5 1182.6 226.4 AREA ARLS 54 54 259.7 110.3 195.3 195.4 ARLS ARLJ 54 54 519.3 331.0 602.8 126.7 ARLJ ALBN 54 54 66.6073 51.4957 135.5 40.8240 ALBN ARLK 54 54 74.5247 38.6624 117.8 17.3132 ARLK ALSW 54 54 107.5 60.5513 94.8939 13.9309 ALSW QSBR 54 54 4121.9 1450.8 4970.4 544.8 QSBR
193
Lampiran 18. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode I The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 14 To 53 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 16 16 1177.2 174.8 1066.4 518.4 PGTP PGSU 16 16 1293.4 186.3 1165.7 436.3 PGSU PGJW 16 16 1151.5 186.2 1116.1 270.5 PGJW PGBN 16 16 1063.5 165.1 1178.5 180.8 PGBN PGKN 16 16 1422.4 229.7 1773.4 153.8 PGKN PGSW 16 16 1102.7 152.1 1537.8 130.9 PGSW PBIN 16 16 2493.7 320.9 2875.5 550.4 PBIN PBSU 16 16 2855.3 442.0 3196.1 532.2 PBSU PBJW 16 16 2458.6 336.1 2770.9 199.8 PBJW PBBN 16 16 2418.1 381.8 3154.8 160.6 PBBN PBKN 16 16 2246.0 292.6 2977.3 178.8 PBKN PBSW 16 16 2316.8 443.9 3841.7 486.8 PBSW STCK 16 16 1191.0 414.1 2845.8 424.4 STCK IMPR 16 16 48.4600 53.2463 75.7360 40.9874 IMPR PIMP 16 16 2886.7 700.5 2674.8 637.4 PIMP TPPS 16 16 1484.4 580.2 806.0 306.6 TPPS TPPJ 16 16 4161.7 1935.5 3781.1 809.1 TPPJ TPBN 16 16 576.2 318.8 873.8 212.7 TPBN TPPK 16 16 381.1 70.5052 420.8 69.0793 TPPK TPSW 16 16 586.2 294.2 462.2 29.1812 TPSW TPPI 16 16 7215.3 2900.0 6369.7 988.7 TPPI KBIN 16 16 24811.3 514.4 24124.4 503.4 KBIN KBSU 16 16 5707.3 132.1 5495.0 120.8 KBSU KBJW 16 16 12960.8 227.6 12828.6 184.9 KBJW KBBN 16 16 1456.1 39.2218 1409.6 23.9174 KBBN KBKN 16 16 1301.4 36.2903 1314.9 40.2964 KBKN KBSW 16 16 1767.1 57.6605 1457.7 208.4 KBSW AREA 16 16 1577.0 576.2 1380.8 187.5 AREA ARLS 16 16 377.7 103.3 208.9 51.1138 ARLS ARLJ 16 16 802.7 372.8 731.3 163.4 ARLJ ALBN 16 16 118.1 64.4612 179.1 43.6414 ALBN ARLK 16 16 108.0 18.7113 119.5 19.2441 ARLK ALSW 16 16 134.1 67.2614 105.8 6.5699 ALSW QSBR 16 16 5238.7 1577.5 6586.2 874.1 QSBR
194
Lampiran 18. Lanjutan Penyaluran (Wilayah) Periode I The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 14 To 53 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 16 16 1177.2 174.8 1244.1 423.9 PGTP PGSU 16 16 1293.4 186.3 1011.3 496.7 PGSU PGJW 16 16 1151.5 186.2 806.1 364.7 PGJW PGBN 16 16 1063.5 165.1 747.4 259.7 PGBN PGKN 16 16 1422.4 229.7 1773.4 153.8 PGKN PGSW 16 16 1102.7 152.1 1300.5 66.5922 PGSW PBIN 16 16 2493.7 320.9 3139.1 429.4 PBIN PBSU 16 16 2855.3 442.0 2927.9 626.4 PBSU PBJW 16 16 2458.6 336.1 2293.7 335.9 PBJW PBBN 16 16 2418.1 381.8 2409.0 195.3 PBBN PBKN 16 16 2246.0 292.6 2977.3 178.8 PBKN PBSW 16 16 2316.8 443.9 3020.2 234.2 PBSW STCK 16 16 1191.0 414.1 2857.5 432.5 STCK IMPR 16 16 48.4600 53.2463 76.6382 41.4571 IMPR PIMP 16 16 2886.7 700.5 2674.8 637.4 PIMP TPPS 16 16 1484.4 580.2 704.5 324.0 TPPS TPPJ 16 16 4161.7 1935.5 3337.6 798.3 TPPJ TPBN 16 16 576.2 318.8 681.0 128.0 TPBN TPPK 16 16 381.1 70.5052 420.8 69.0793 TPPK TPSW 16 16 586.2 294.2 427.7 35.0272 TPSW TPPI 16 16 7215.3 2900.0 5597.4 924.5 TPPI KBIN 16 16 24811.3 514.4 24793.3 366.8 KBIN KBSU 16 16 5707.3 132.1 5605.7 155.7 KBSU KBJW 16 16 12960.8 227.6 13167.4 94.3969 KBJW KBBN 16 16 1456.1 39.2218 1463.6 15.3462 KBBN KBKN 16 16 1301.4 36.2903 1314.9 40.2964 KBKN KBSW 16 16 1767.1 57.6605 1623.0 106.9 KBSW AREA 16 16 1577.0 576.2 1221.0 164.6 AREA ARLS 16 16 377.7 103.3 183.2 61.9033 ARLS ARLJ 16 16 802.7 372.8 644.7 156.5 ARLJ ALBN 16 16 118.1 64.4612 139.5 25.9054 ALBN ARLK 16 16 108.0 18.7113 119.5 19.2441 ARLK ALSW 16 16 134.1 67.2614 97.8760 7.9842 ALSW QSBR 16 16 5238.7 1577.5 6118.5 740.5 QSBR
195
Lampiran 19. Hasil Simulasi Kebijakan Kenaikan Penyaluran Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode II The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 38 38 1184.3 189.2 1504.9 675.7 PGTP PGSU 38 38 1217.5 204.7 1469.5 1038.6 PGSU PGJW 38 38 1174.3 173.3 1263.1 341.6 PGJW PGBN 38 38 1085.9 161.2 1367.1 266.7 PGBN PGKN 38 38 1275.2 215.0 1828.0 189.3 PGKN PGSW 38 38 1054.3 128.0 1741.5 142.4 PGSW PBIN 38 38 2407.7 274.0 3381.4 786.3 PBIN PBSU 38 38 2696.8 376.9 3635.2 1413.4 PBSU PBJW 38 38 2367.3 290.1 2880.9 274.9 PBJW PBBN 38 38 2321.5 341.5 3289.5 171.4 PBBN PBKN 38 38 2129.3 330.1 3065.9 202.4 PBKN PBSW 38 38 2126.0 316.5 4468.2 512.0 PBSW STCK 38 38 1559.2 412.4 1182.6 532.1 STCK IMPR 38 38 40.4158 41.3001 85.8385 50.9745 IMPR PIMP 38 38 2728.9 493.1 2663.2 516.4 PIMP TPPS 38 38 856.1 352.1 1081.1 704.9 TPPS TPPJ 38 38 2053.2 1153.4 3620.2 680.0 TPPJ TPBN 38 38 206.2 98.6964 802.4 242.8 TPBN TPPK 38 38 205.3 122.3 391.9 64.0725 TPPK TPSW 38 38 419.1 239.1 451.9 74.3615 TPSW TPPI 38 38 3752.8 1702.3 6360.3 1048.8 TPPI KBIN 38 38 24988.3 493.3 23313.5 855.0 KBIN KBSU 38 38 5721.8 131.8 5193.7 568.3 KBSU KBJW 38 38 13065.9 244.9 12565.6 265.8 KBJW KBBN 38 38 1472.8 36.9696 1386.9 22.1265 KBBN KBKN 38 38 1319.5 45.6764 1312.6 42.9186 KBKN KBSW 38 38 1789.3 58.0963 1235.7 224.1 KBSW AREA 38 38 847.9 353.9 1408.2 216.5 AREA ARLS 38 38 210.0 67.3760 276.0 159.6 ARLS ARLJ 38 38 399.9 226.4 704.1 135.5 ARLJ ALBN 38 38 44.9208 21.9956 173.3 52.0884 ALBN ARLK 38 38 60.4220 36.1919 114.7 17.1304 ARLK ALSW 38 38 96.2830 54.6183 103.8 16.2760 ALSW QSBR 38 38 3651.7 1113.4 5125.1 456.4 QSBR
196
Lampiran 19. Lanjutan Penyaluran (Wilayah) Periode II The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 38 38 1184.3 189.2 1777.5 602.9 PGTP PGSU 38 38 1217.5 204.7 1269.8 1078.9 PGSU PGJW 38 38 1174.3 173.3 950.1 393.0 PGJW PGBN 38 38 1085.9 161.2 947.6 306.4 PGBN PGKN 38 38 1275.2 215.0 1828.0 189.3 PGKN PGSW 38 38 1054.3 128.0 1453.9 122.9 PGSW PBIN 38 38 2407.7 274.0 3782.9 700.0 PBIN PBSU 38 38 2696.8 376.9 3298.0 1476.2 PBSU PBJW 38 38 2367.3 290.1 2404.3 357.5 PBJW PBBN 38 38 2321.5 341.5 2571.2 273.9 PBBN PBKN 38 38 2129.3 330.1 3065.9 202.4 PBKN PBSW 38 38 2126.0 316.5 3490.8 394.3 PBSW STCK 38 38 1559.2 412.4 1209.2 525.9 STCK IMPR 38 38 40.4158 41.3001 86.8167 51.1336 IMPR PIMP 38 38 2728.9 493.1 2663.2 516.4 PIMP TPPS 38 38 856.1 352.1 930.3 726.4 TPPS TPPJ 38 38 2053.2 1153.4 3146.3 610.0 TPPJ TPBN 38 38 206.2 98.6964 595.8 191.4 TPBN TPPK 38 38 205.3 122.3 391.9 64.0725 TPPK TPSW 38 38 419.1 239.1 404.9 67.8843 TPSW TPPI 38 38 3752.8 1702.3 5482.1 948.8 TPPI KBIN 38 38 24988.3 493.3 24213.0 876.4 KBIN KBSU 38 38 5721.8 131.8 5368.2 611.9 KBSU KBJW 38 38 13065.9 244.9 13001.3 174.4 KBJW KBBN 38 38 1472.8 36.9696 1446.2 20.6637 KBBN KBKN 38 38 1319.5 45.6764 1312.6 42.9186 KBKN KBSW 38 38 1789.3 58.0963 1465.6 128.6 KBSW AREA 38 38 847.9 353.9 1223.5 192.8 AREA ARLS 38 38 210.0 67.3760 239.0 166.0 ARLS ARLJ 38 38 399.9 226.4 611.8 120.5 ARLJ ALBN 38 38 44.9208 21.9956 128.7 40.9480 ALBN ARLK 38 38 60.4220 36.1919 114.7 17.1304 ARLK ALSW 38 38 96.2830 54.6183 92.9693 14.7942 ALSW QSBR 38 38 3651.7 1113.4 4606.6 420.5 QSBR
197
Lampiran 20. Hasil Simulasi Kebijakan Kombinasi Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Masing-masing Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode Agregat The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 54 54 1182.2 183.4 1705.3 784.5 PGTP PGSU 54 54 1240.0 200.8 1532.0 1151.8 PGSU PGJW 54 54 1167.5 175.8 1261.0 373.4 PGJW PGBN 54 54 1079.3 161.1 1359.2 282.5 PGBN PGKN 54 54 1318.8 227.6 2053.1 195.0 PGKN PGSW 54 54 1068.6 136.0 2006.7 178.7 PGSW PBIN 54 54 2433.2 288.3 3689.2 946.3 PBIN PBSU 54 54 2743.8 399.7 3764.9 1612.7 PBSU PBJW 54 54 2394.3 304.1 2915.0 318.8 PBJW PBBN 54 54 2350.1 353.1 3298.7 182.5 PBBN PBKN 54 54 2163.9 321.2 3254.0 222.5 PBKN PBSW 54 54 2182.5 365.2 5205.5 612.5 PBSW STCK 54 54 1450.1 442.8 1395.1 670.4 STCK IMPR 54 54 42.7993 44.7987 61.5967 52.7020 IMPR PIMP 54 54 2775.7 560.3 3797.1 759.1 PIMP TPPS 54 54 1042.3 515.4 1086.5 833.0 TPPS TPPJ 54 54 2677.9 1712.7 3716.9 702.8 TPPJ TPBN 54 54 315.8 254.3 895.5 250.2 TPBN TPPK 54 54 257.4 135.7 447.5 73.4978 TPPK TPSW 54 54 468.6 265.2 508.2 77.0528 TPSW TPPI 54 54 4778.7 2636.3 6671.3 1232.7 TPPI KBIN 54 54 24935.9 501.4 23071.1 958.7 KBIN KBSU 54 54 5717.5 130.8 5170.0 708.3 KBSU KBJW 54 54 13034.7 242.7 12527.9 230.2 KBJW KBBN 54 54 1467.8 38.0620 1387.1 19.4167 KBBN KBKN 54 54 1314.1 43.5719 1305.3 41.6601 KBKN KBSW 54 54 1782.7 58.3222 1061.9 248.9 KBSW AREA 54 54 1063.9 542.5 1476.3 243.5 AREA ARLS 54 54 259.7 110.3 282.7 188.6 ARLS ARLJ 54 54 519.3 331.0 721.1 137.6 ARLJ ALBN 54 54 66.6073 51.4957 189.9 51.0480 ALBN ARLK 54 54 74.5247 38.6624 129.7 19.1439 ARLK ALSW 54 54 107.5 60.5513 116.6 16.9575 ALSW QSBR 54 54 4121.9 1450.8 4862.9 556.3 QSBR
198
Lampiran 21. Hasil Simulasi Kebijakan Kombinasi Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Masing-masing Sebesar 5 Persen Tahun 2004-2008 Periode Periode I The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 14 To 53 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 16 16 1177.2 174.8 1357.6 414.0 PGTP PGSU 16 16 1293.4 186.3 1317.2 409.3 PGSU PGJW 16 16 1151.5 186.2 1170.7 268.2 PGJW PGBN 16 16 1063.5 165.1 1228.7 181.1 PGBN PGKN 16 16 1422.4 229.7 1984.1 168.4 PGKN PGSW 16 16 1102.7 152.1 1721.6 193.1 PGSW PBIN 16 16 2493.7 320.9 3281.5 439.7 PBIN PBSU 16 16 2855.3 442.0 3450.2 501.5 PBSU PBJW 16 16 2458.6 336.1 2853.9 202.5 PBJW PBBN 16 16 2418.1 381.8 3195.9 168.3 PBBN PBKN 16 16 2246.0 292.6 3149.5 212.3 PBKN PBSW 16 16 2316.8 443.9 4306.6 658.0 PBSW STCK 16 16 1191.0 414.1 2694.9 377.1 STCK IMPR 16 16 48.4600 53.2463 53.2361 45.9703 IMPR PIMP 16 16 2886.7 700.5 3791.7 804.7 PIMP TPBI 16 16 4557.7 1830.7 4199.8 654.1 TPBI TPBS 16 16 924.8 361.5 565.6 193.8 TPBS TPBJ 16 16 2592.7 1205.8 2406.3 505.7 TPBJ TPBB 16 16 359.0 198.6 559.3 138.3 TPBB TPBK 16 16 237.4 43.9247 284.9 50.2161 TPBK TPBSW 16 16 365.2 183.3 305.1 19.8767 TPBSW TPPS 16 16 1484.4 580.2 907.9 311.0 TPPS TPPJ 16 16 4161.7 1935.5 3862.5 811.7 TPPJ TPBN 16 16 576.2 318.8 897.7 222.1 TPBN TPPK 16 16 381.1 70.5052 457.3 80.6037 TPPK TPSW 16 16 586.2 294.2 489.8 31.9049 TPSW TPPI 16 16 7215.3 2900.0 6640.8 1037.8 TPPI KBIN 16 16 24811.3 514.4 23854.7 629.7 KBIN KBSU 16 16 5707.3 132.1 5386.5 134.1 KBSU KBJW 16 16 12960.8 227.6 12766.3 214.2 KBJW KBBN 16 16 1456.1 39.2218 1406.5 24.9274 KBBN KBKN 16 16 1301.4 36.2903 1313.8 40.8411 KBKN KBSW 16 16 1767.1 57.6605 1363.0 264.2 KBSW AREA 16 16 1577.0 576.2 1444.2 201.1 AREA ARLS 16 16 377.7 103.3 234.9 46.2398 ARLS ARLJ 16 16 802.7 372.8 747.1 164.4 ARLJ ALBN 16 16 118.1 64.4612 184.0 45.5554 ALBN ARLK 16 16 108.0 18.7113 129.9 22.5681 ARLK ALSW 16 16 134.1 67.2614 112.1 7.1549 ALSW QSBR 16 16 5238.7 1577.5 6091.8 754.2 QSBR
199
Lampiran 22.Hasil Simulasi Kebijakan Kombinasi Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Masing-masing Sebesar 5 Persen Periode Tahun 2004-2008 Periode II The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Bulan = 7 To 60 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PGTP 38 38 1184.3 189.2 1893.4 621.6 PGTP PGSU 38 38 1217.5 204.7 1684.4 1037.4 PGSU PGJW 38 38 1174.3 173.3 1323.6 352.8 PGJW PGBN 38 38 1085.9 161.2 1417.7 270.0 PGBN PGKN 38 38 1275.2 215.0 2052.5 189.9 PGKN PGSW 38 38 1054.3 128.0 1970.6 185.7 PGSW PBIN 38 38 2407.7 274.0 3925.3 744.2 PBIN PBSU 38 38 2696.8 376.9 3989.6 1421.7 PBSU PBJW 38 38 2367.3 290.1 2972.4 293.8 PBJW PBBN 38 38 2321.5 341.5 3332.3 183.2 PBBN PBKN 38 38 2129.3 330.1 3259.3 223.5 PBKN PBSW 38 38 2126.0 316.5 5082.3 654.2 PBSW STCK 38 38 1559.2 412.4 919.0 599.5 STCK IMPR 38 38 40.4158 41.3001 63.8518 57.6440 IMPR PIMP 38 38 2728.9 493.1 3797.6 743.6 PIMP TPBI 38 38 2370.0 1074.1 4219.9 700.7 TPBI TPBS 38 38 533.4 219.3 775.8 444.7 TPBS TPBJ 38 38 1279.1 718.6 2314.0 429.5 TPBJ TPBB 38 38 128.4 61.4878 516.2 154.6 TPBB TPBK 38 38 127.9 76.1971 268.7 45.1984 TPBK TPPS 38 38 856.1 352.1 1245.3 713.8 TPPS TPPJ 38 38 2053.2 1153.4 3714.3 689.4 TPPJ TPBN 38 38 206.2 98.6964 828.6 248.2 TPBN TPPK 38 38 205.3 122.3 431.3 72.5497 TPPK TPSW 38 38 419.1 239.1 489.8 82.1489 TPSW TPPI 38 38 3752.8 1702.3 6722.2 1124.1 TPPI KBIN 38 38 24988.3 493.3 22889.1 947.8 KBIN KBSU 38 38 5721.8 131.8 5006.9 562.6 KBSU KBJW 38 38 13065.9 244.9 12478.9 291.2 KBJW KBBN 38 38 1472.8 36.9696 1383.4 22.8068 KBBN KBKN 38 38 1319.5 45.6764 1311.2 43.3466 KBKN KBSW 38 38 1789.3 58.0963 1089.6 286.2 KBSW AREA 38 38 847.9 353.9 1493.0 234.8 AREA ARLS 38 38 210.0 67.3760 316.7 160.0 ARLS ARLJ 38 38 399.9 226.4 722.3 136.9 ARLJ ALBN 38 38 44.9208 21.9956 179.0 53.2448 ALBN ARLK 38 38 60.4220 36.1919 126.3 19.5273 ARLK ALSW 38 38 96.2830 54.6183 112.5 18.0711 ALSW QSBR 38 38 3651.7 1113.4 4525.4 440.4 QSBR