Surat Bisnis yang Dituduh Mencemarkan Nama Baik: Bagaimana Linguis Bekerja sebagai Saksi Ahli di Indonesia Untung Yuwono Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected];
[email protected] Abstract The increasing attention of Indonesian society to the problems of human relations caused by the language leads to today's increasingly lawsuit-ended language. Libels, defamations, insults, threats, spreading hatreds and incitements are more frequently exposed to and associated with the articles of the law contained in legislation such as the Code of Penal; Law of the Republic of Indonesia Number 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions (ITE); and the Law of the Republic of Indonesia Number 24 Year 2009 on the Flag, Language, and the State Emblem and Anthem. Linguists are required to provide information whether these acts occur due to the use of language or not. Linguistic expressions that are accused of defamation in general have been determined by the complainants who felt affected by these acts. So, how does a linguist explain the use of language that alleged detrimental to the name of a person or an institution? This paper describes how a linguist faces one of the tasks in forensic linguistics, which explains the language issue in the realm of law. The articles announced in the law regulations that are generally used in the law enforcements are described in this paper. Then, it is followed by a study of how linguistic explanation based on discourse studies was given in a lawsuit that occurs because of the use of written language in business correspondence. Keywords: forensic linguistics, defamation, discourse studies, business letters.
1. Pendahuluan: Bahasa dan Hukum Bahasa bermaslahat bagi manusia, tetapi juga, di sisi lain, bermudarat bagi manusia jika bahasa disalahgunakan, misalnya digunakan sebagai alat untuk menyimpangkan suatu fakta dan menyerang kehormatan orang lain. Dalam konteks pemakaian bahasa untuk tujuan negatif, bahasa mempunyai kemampuan untuk memengaruhi perilaku dan keadaan orang lain. Seperti halnya senjata, bahasa dapat digunakan untuk menyerang orang lain, yang lazimnya disebut “menyerang secara verbal”. Penyerangan verbal itu dilakukan dengan menggunakan ekspresi (kata, frasa, kalimat/tuturan) yang mampu “melukai” perasaan orang lain, bahkan menjatuhkan kehormatan orang lain. Hal itu berarti bahasa mengandung daya (force) yang dapat berakibat negatif bagi orang lain. Dalam ilmu bahasa atau linguistik, kemampuan bahasa untuk memengaruhi perilaku dan keadaan orang lain berasal dari tindak bahasa (speech act). Tindak bahasa bermacam-macam dan salah satunya adalah tindak mengancam muka (face-threatening act/FTA) (Renkema, 2004: 26). Muka (face) mengacu pada ‘kehormatan; martabat; harga diri’ sehingga ketika FTA terjadi, orang yang terkena FTA dapat mengalami “kehilangan muka”, yang merujuk pada kehilangan harga diri atau kehilangan martabat atau kehilangan kehormatan. Dengan demikian, 357
kehilangan kehormatan atau harga diri atau martabat merupakan akibat dari FTA. Sebagai contoh, di Indonesia orang tua, orang yang lebih tua, terlebih orang tua, pada umumnya akan tersinggung jika disapa oleh orang lain dengan kata kamu. Beberapa kategori bahasa berpotensi mengandung daya atau tindak mengancam muka jika ditujukan kepada orang lain sebagai pihak kedua atau pendengar atau pembaca dan dalam konteks tertentu, seperti dalam konteks latar psikologis (scene) marah. (a) Pronomina atau kata ganti orang, seperti elu, kamu, gue, situ. (b) Kata serapah atau umpatan, seperti sial, buset. (c) Kata sifat atau adjektiva kualitas negatif, seperti bodoh, bego, tolol. (d) Metafora atau perumpamaan, seperti hewan yang menjijikkan atau mengandung tabu (bangkai, tikus, babi); benda yang secara umum dinilai mempunyai kualitas negatif dalam budaya Indonesia, seperti tong kosong, rongsokan, kain rombeng; dan organ vital atau kemaluan. (e) Kekurangan fisik, kelainan, atau penyakit, seperti gila, idiot, cacat. (f) Ekspresi apa pun yang menimbulkan nilai rasa atau konotasi negatif dalam situasi ironis (menyindir), seperti kata bagus dalam Eh, bagus ya kamu ulang lagi! yang dituturkan kepada seseorang yang mengulang perbuatan yang negatif. Tidak jarang persoalan hukum timbul karena pemakaian bahasa. Paparan di atas memperlihatkan penggunaan bahasa ber-FTA yang berpotensi merugikan orang lain, yaitu menghilangkan martabat orang lain. Dalam konteks hukum, linguistik berperan penting untuk menjelaskan apakah suatu ekspresi bahasa merugikan orang lain atau tidak. Seorang ahli bahasa dibekali teori-teori linguistik, mulai dari teori tentang struktur bahasa hingga teori pemakaian bahasa dalam lingkungan sosial, yang menjadi acuan untuk menjelaskan apakah seseorang terkena kerugian akibat tindak verbal yang dilakukan oleh orang lain. Dalam linguistik, kajian kaitan antara bahasa dan persoalan hukum akibat penggunaan bahasa termasuk dalam linguistik forensik (forensic linguistics). Istilah linguistik forensik (forensic linguistics) dipopulerkan pertama kali oleh Jan Svartvik pada tahun 1968 saat ia terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan yang menyita perhatian dunia akibat kesalahan pengadilan dalam menjatuhkan vonis hukuman mati pada tahun 1950 kepada Timothy John Evans, tersangka pembunuhan istri dan anak perempuan balitanya di Inggris. Berselang 16 tahun kemudian, Jan Svartvik, dengan analisis linguistiknya, membantu membuktikan bahwa Timothy John Evans, yang telah dieksekusi mati, tidak bersalah. Pembunuh istri dan anak perempuan Evans ternyata adalah John R.H. Cristie, tetangga keluarga Evans seapartemen, yang ternyata juga telah membunuh beberapa perempuan, termasuk istri Evans. Dalam kasus yang pelik itu, terutama karena pernyataan Evans yang berubah-ubah, dibutuhkan penjelasan kebahasaan atas pernyataan-pernyataaan Evans dan Christie. Pada akhirnya, nama baik Timothy John Evans dipulihkan. Sejak kasus itu, linguistik dianggap penting untuk membantu pegiat hukum dalam memaknai bahasa yang menjadi bukti hukum. Linguistik forensik, yang termasuk dalam linguistik terapan, berkembang dengan pengkajian atas dua jenis teks, yaitu teks hukum dan teks proses hukum. (Coulthard dan Johnson, 2007; Olsson 2008). Teks hukum meliputi teks yang digunakan dalam konteks hukum dan kejahatan, mulai dari teks pribadi, seperti pengakuan pribadi dan keinginan pribadi, hingga teks yang bersifat kelembagaan, seperti putusan pengadilan dan undang-undang. Adapun teks proses hukum mengkaji teks-teks yang dihasilkan dalam proses peradilan, seperti interogasi 358
polisi, pertanyaan penegak hukum di persidangan, eksepsi terdakwa, keterangan saksi atau kesaksian, dan vonis hakim. Makalah ini membatasi bahasan linguistik forensik pada apa yang dihadapi oleh seorang linguis ketika berperan sebagai saksi ahli bahasa dalam perkara hukum. Seorang linguis bekerja di dalam linguistik forensik salah satunya ketika ia menjelaskan bentuk-bentuk bahasa dalam teks dan menafsirkan makna teks dengan menggunakan acuan teoretis yang berkaitan dengan tujuan pengungkapan teks itu. Hasilnya adalah keterangan ahli bahasa, yang menjadi bahan pertimbangan bagi pegiat hukum untuk memecahkan suatu perkara yang melibatkan data kebahasaan. 2. Pasal-pasal dalam Peraturan Hukum yang Berkenaan dengan Bahasa Dalam melaksanakan tugas sebagai saksi ahli bahasa, seorang linguis perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang peraturan hukum yang mengatur perkara kebahasaan. Setidaknya terdapat empat peraturan hukum di Indonesia yang memuat pasal-pasal yang berkenaan dengan persoalan kebahasaan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan); dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis). Berikut pasal-pasal yang berkenaan dengan perkara kebahasaan. Tabel 1. Pasal-pasal Hukum yang Berkenaan dengan Perkara Kebahasaan Tentang/Pokok Perkara Penghinaan kepada penguasa atau badan hukum
Peraturan Hukum KUHP
Pasal
Isi
207
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan
208
Penghinaan ringan
KUHP
315
359
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Penghinaan (ringan) terhadap pejabat
KUHP
316
Penghinaan kepada Bendera Merah Putih
UU Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan
24
Penghinaan kepada Lagu Kebangsaan
UU Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan
64
Pencemaran nama baik
KUHP
310
Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah. Pasal 24 Setiap orang dilarang: a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara; b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial; d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara Setiap orang dilarang: a. mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan; b. memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan dengan maksud untuk tujuan komersial; atau c. menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan dengan maksud untuk tujuan komersial. (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
360
UU ITE
27
Pencemaran nama baik orang yang telah meninggal
KUHP
320
Fitnah
KUHP
311
312
Pengaduan yang tidak benar (palsu); fitnah
KUHP
220
Pengaduan yang tidak benar (palsu) tentang seseorang kepada penguasa; fitnah
KUHP
317
318
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (1) Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua dan yang mati itu, atau atas pengaduan suami (istri)nya. Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut: 1. apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna menimbang keterangan terdakwa, bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri; 2. apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya. Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. (1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (1) Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena
361
Informasi bohong (fitnah) yang menyebabkan kerugian material Pengancaman
Pernyataan/penyebaran kebencian (SARA)
UU ITE
28
KUHP
335
UU ITE
27
UU ITE
29
KUHP
156
KUHP
157
menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; 2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
362
Penyebaran keasusilaan
UU ITE
28
UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
4
UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
16
KUHP
282
penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa: a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan: 1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain; 2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; 3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau 4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis. Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan,
363
Informasi perjudian
tentang
UU ITE
27
UU ITE
27
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. (2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Seorang saksi ahli bahasa bertugas menjelaskan pemakaian bahasa yang diperkarakan. Pada akhirnya ia diminta untuk menyimpulkan apakah bahasa yang diperkarakan itu termasuk dalam pokok perkara yang disangkakan atau dituduhkan. Dengan demikian, dalam penyimpulan, ia harus melakukan dua hal, yaitu (1) menyampaikan pengertian tentang konsep yang menjadi pokok perkara, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, pernyataan kebencian, berdasarkan pengetahuan kebahasaannya dengan dukungan pengetahuan tentang pengertian pokok perkara yang termuat dalam peraturan-peraturan hukum itu dan (2) menegaskan pengertian itu ke dalam data bahasa yang sejalan atau tidak sejalan dengan pengertian itu sehingga data bahasa itu dapat atau tidak dapat diklasifikasikan ke dalam pokok perkara yang disangkakan. 364
Pengertian suatu konsep yang termasuk dalam ranah hukum dan menjadi pokok perkara tidak jarang mendatangkan argumentasi dalam pemberian keterangan kebahasaan. Penyidik, yang datang dari bidang hukum, akan membandingkan keterangan ahli mengenai pengertian konsep pokok perkara dengan yang dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Dalam ranah hukum, suatu perkara, misalnya, termasuk dalam pencemaran nama baik, jika memenuhi unsur-unsur (1) bukti verbal yang bertujuan menyerang kehormatan pribadi dengan sarana tulis atau lisan di hadapan umum, (2) pelaku yang dilaporkan melakukan pencemaran nama baik, dan (3) pelapor yang terkena pencemaran nama baik. Unsur-unsur pencemaran nama baik tersebut tertera dalam Pasal 310 Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penghinaan sebagai berikut—garis bawah menunjukkan ketiga unsur tersebut. (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Bekal pengertian pencemaran nama baik dari kamus, khususnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saja tidak akan memadai bagi seorang linguis untuk menjelaskan suatu tindakan disebut pencemaran nama baik. Bandingkan pengertian pencemaran nama baik dalam ranah hukum tersebut dengan pencemaran nama baik yang dijelaskan dalam KBBI edisi terakhir. ce·mar a 1 kotor; ternoda: udara menjadi -- krn asap gas yg keluar dr cerobong asap pabrik itu; 2 ki keji; cabul; mesum: perkataan yg --; 3 ki buruk (tt nama baik); tercela: krn perbuatan jahatnya, nama keluarganya menjadi --; berbuat jahat jangan sekali, terbawa -- segala ahli, pb jangan sekali-kali berbuat jahat krn nama baik keluarga akan terbawa-bawa menjadi buruk; men·ce·mari v 1 menjadikan cemar; mengotori: sampah mulai ~ Teluk Ambon; 2 ki menodai (nama baik); mencabuli: ~ asas-asas demokrasi; peperangan ~ hubungan kemanusiaan yg sejati; ~ nama baik orang tua; men·ce·mar·kan v 1 menjadikan cemar; mengotorkan: sejuta galon minyak yg tumpah telah ~ Selat Malaka; gas yg keluar dr pabrik itu ~ udara serta alam sekelilingnya; 2 ki memburukkan atau merusakkan (nama dsb): hati-hati kelakuanmu jangan sampai ~ nama keluargamu; ter·ce·mar v menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi); ternoda: akibat kebocoran minyak, pemandangan indah di selat itu ~; namanya ~ krn perbuatannya sendiri; pen·ce·mar·an n proses, cara, perbuatan mencemari atau mencemarkan; pengotoran: ~ udara; ~ lingkungan;
Pengertian cemar dalam KBBI seperti yang ditunjukkan di atas hanya menegaskan makna tindakan dan tanpa mengikutsertakan makna yang lengkap tentang siapa saja yang terlibat dalam tindakan itu. Makna ‘untuk diketahui secara umum; untuk diketahui oleh banyak 365
orang/pihak’ yang juga penting dalam pencemaran nama baik dalam ranah hukum tidak terliput dalam pengertian yang dimuat dalam KBBI. Lebih daripada itu, dalam ranah hukum, pengecualian pencemaran nama baik diberikan kepada suatu tindak yang menginformasikan sesuatu yang bertujuan untuk membela kepentingan umum atau yang terpaksa dilakukan untuk membela diri. Jika hal yang terakhir ada kemungkinan terjadi, seorang saksi ahli bahasa akan menghadapi pertanyaan tricky dari penyidik seperti “Apakah menurut Saudara perbuatan X dilakukan untuk membela kepentingan umum?” 3. Analisis Wacana Kritis dalam Pemberian Keterangan oleh Saksi Ahli Bahasa Pada hakikatnya seorang ahli bahasa melakukan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli bahasa. Analisis wacana kritis mendekati bahasa sebagai praktik sosial-budaya. Gejala, peristiwa, dan tindakan yang terjadi dalam realitas sosial direpresentasikan dalam wacana. Namun, tidak selamanya apa yang terjadi dalam realitas sosial terwakili secara jernih di dalam wacana. Oleh karena itu, tujuan analisis wacana kritis adalah menyingkapkan keburaman dalam wacana. Van Dijk (1997) mengemukakan bahwa wacana tidak ubahnya gunung es di atas permukaan laut sehingga penganalisis wacana kritis bertanggung jawab untuk menyingkapkan makna-makna yang tersembunyi dalam teks. Maksud-maksud pernyataan yang belum jelas disingkapkan dan dikaitkan dengan relasi sosial, bahkan pandangan dunia dan keyakinan sosial yang memengaruhi peserta wacana pada akhirnya dapat terkuak. Ciri-ciri analisis wacana kritis yang diterapkan dalam pemberian keterangan oleh saksi ahli bahasa itu adalah sebagai berikut. (1) Analisis wacana kritis selalu berangkat dari persoalan dalam masyarakat. Dalam konteks pemberian keterangan bahasa oleh saksi ahli bahasa, saksi ahli bahasa selalu bertolak dari masalah kebahasaan yang menjadi pokok perkara. (2) Analisis wacana kritis bertujuan mendedah apa yang tersembunyi dalam ekspresi bahasa. Seorang saksi ahli bahasa membantu penegak hukum dan khalayak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada suatu perkara yang bersumber pada persoalan kebahasaan. Apa fungsi sebuah kata yang diucapkan dalam konteks tertentu dibedah oleh saksi ahli bahasa: apakah kata itu, misalnya, merupakan penghinaan atau bukan. (3) Analisis wacana kritis mengkaji kaitan bahasa dengan proses produksi bahasa dan penerimaan (konsumsi) bahasa. Dalam hal ini kajian yang dilakukan oleh seorang ahli bahasa diarahkan pula pada peserta komunikasi yang terlibat dalam perkara. Terkadang aparat hukum telah melakukan pembingkaian terbatas pada data bahasa yang dianggap menimbulkan masalah. Namun, seorang saksi ahli bahasa tidak dapat hanya secara sempit mengkaji teks yang telah ditentukan. Ia harus memperluas pandangannya pada produsen dan konsumen teks yang bermasalah itu. (4) Analisis wacana kritis mengkaji kaitan bahasa dengan konteks yang tidak terbatas, seperti konteks budaya—seperti budaya penuturan, budaya penulisan, cara menulis dalam laras bahasa tertentu, kesantunan, dan lain-lain—dan konteks institusional—bahasa dalam kaitannya dengan fungsi kelembagaan. (5) Analisis wacana kritis, sebagai sebuah ancangan, bersifat interdisipliner sehingga terbuka pada aneka disiplin dan teori, sepanjang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Sebagai contoh, seorang saksi ahli bahasa harus mengetahui sedikit-banyak peraturan hukum. 366
Subbahasan sebelum ini telah menjelaskan pentingnya seorang saksi ahli bahasa memahami pula pengertian-pengertian tentang pokok perkara kebahasaan yang telah dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Demikian pula, seorang saksi bahasa dapat menggunakan landasan teori kebahasaan apa pun yang berkaitan dengan data bahasa yang diperkarakan. (6) Analisis wacana kritis mengarahkan analis untuk menetapkan titik pijak dirinya. Dalam konteks pemberian keterangan oleh saksi ahli bahasa, absah apabila keterangan seorang saksi ahli bahasa cenderung meringankan atau memberatkan pihak tertentu yang berperkara. Tidak jarang dua saksi ahli bahasa berhadapan di pihak-pihak yang berlawanan dan beradu argumentasi dengan tetap berpijak pada analisis kebahasaan. Berikut ini dipaparkan contoh bagaimana seorang saksi ahli bahasa menerapkan ancangan analisis wacana kritis tersebut dalam menjelaskan suatu perkara kebahasaan dengan data bahasa dalam sebuah surat yang diperkarakan. 4. Deskripsi Perkara Kebahasaan Melalui surat bernomor 33/PT C/X/2015 tertanggal 26 Oktober 2015 berperihal “Permohonan Ahli di Bidang Bahasa”, Pengacara A, yang berkedudukan di Kantor Pengacara B, dan yang bertindak sebagai Kuasa Hukum bagi Sdr. X, d.h. Direktur Utama PT C, mengajukan permohonan penjelasan analitis dari segi ilmu kebahasaan mengenai kalimat-kalimat yang tertulis dalam sebuah surat PT C kepada PT D. Sdr. Y, pimpinan PT D, menuduh Sdr. X dari PT C mencemarkan nama baik Y dan PT D dan perkara itu telah dilaporkan oleh Sdr. Y kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia dalam Laporan Polisi No. Pol: xx/xxx/xx/2014/Bareskrim. Surat itu berbunyi sebagai berikut.
KOP SURAT PT C No. 00/000000/2014 Jakarta, 6 Januari 2014 Kepada Yth. Presiden Direktur PT D Jln. Bla bla bla Jakarta 12345 Indonesia Perihal: Tanggapan atas Penghentian Sementara (Suspension) Kontrak No.: 00000 Charter Pesawat Dengan hormat, Kami telah menerima surat PT D No. 1111/2014 tanggal 3 Januari 2014 perihal tersebut dalam pokok surat itu.
367
Perlu kami sampaikan bahwa ketidakmampuan dan kegagalan PT D dalam memenuhi kewajibannya dalam Kontrak yaitu diantaranya: Ketersediaan Hanggar, Pilot/Co-Pilot yang lengkap, dan Ketersediaan Sparepart 1 dan 2 merupakan bagian dari KPI yang bersifat menyeluruh dari pelaksanaan Kontrak dan sangat terkait dengan aspek keselamatan penerbangan yang bukan hanya menjadi perhatian PT C tetapi juga para pemegang saham PT C. Selain kegagalan PT D tersebut di atas, perlu juga kami ingatkan bahwa PT D juga tidak memenuhi kewajibannya dalam hal Training, Quality Assurance dan Audit Closure sehingga ketaatan dan kepatuhan terhadap hal-hal yang diatur dalam Kontrak tidak dipenuhi oleh PT D yang mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat keselamatan penerbangan dan penumpang dalam menunjang kegiatan Operasi Penerbangan PT C, seperti: (i) Pilot yang sedang berkabung disebabkan orang tuanya meninggal masih tetap menerbangkan pesawat karena tidak tersedianya Pilot Pengganti, (ii) Co Pilot yang tidak memenuhi spesifikasi kontrak dan dipaksakan untuk menerbangkan Pesawat, dan (iii) Penerbangan Lembaga AA pernah mengalami kejadian Near Miss. Di dalam surat PT D tersebut di atas, PT D telah mengakui kekurangan-kekurangan dan kegagalankegagalan PT D di atas hal-hal yang dikeluhkan PT C dalam surat PT C sebelumnya (No. 00), namun kami sangat kecewa bahwa pengakuan PT D tersebut tidak disertai dengan penyesalan, bahkan kami melihat bahwa PT D menganggap masalah aspek keselamatan lebih pada semata-mata sesuatu yang dapat dikompensasikan dengan uang. Sehubungan dengan hal-hal di atas dan mengingat kegagalan-kegagalan PT D dalam memenuhi kewajibannya dalam Kontrak telah berlangsung lama dan berulang-ulang, dengan sangat menyesal kami tegaskan bahwa PT C tidak dapat menerima alasan dan usulan yang disampaikan PT D dalam surat PT D tersebut di atas sehingga Penghentian Sementara (Suspension) Kontrak adalah bersifat final dan tetap diberlakukan efektif mulai tanggal 7 Januari 2014, pukul 12.00 WITA sampai dengan 18 Januari 2014 dengan segala konsekuensinya sesuai surat PT C No. 00 tertanggal 2 Januari 2014. Demikian kami sampaikan agar kiranya maklum dan PT C tidak akan membalas korespondensi lanjutan dari PT D perihal keberatan atas Penghentian Sementara ini. Atas perhatiannya, diucapkan terimakasih.
X President Director & CEO Tembusan: 1. President & CEO BB 2. Director & COO PT C 3. VP Production 4. VP Business Support
5. Corporate Secretary 6. Manager Communication 7. Manager Procurement 8. Manager Service
368
Surat tersebut berada dalam konteks permasalahan klaim-klaim yang diajukan oleh PT X atas ketidaksesuaian penerapan kontrak oleh PT Y yang berkenaan dengan jasa penerbangan yang dilaksanakan oleh PT Y. 5. Tahap Analisis Data yang Diperkarakan Untuk menjelaskan apakah surat PT C tersebut dan ekspresi bahasa yang digunakan oleh X di dalamnya mencemarkan nama baik, alur penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) telah menjelaskan bahwa pencemaran nama baik merupakan tindak penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal dengan tujuan yang jelas di atau ke hadapan umum. Diketahui oleh umum menjadi kata kunci untuk menggolongkan suatu tindakan verbal termasuk berfungsi mencemarkan nama baik atau tidak. Definisi kata umum, sebagaimana yang dipaparkan dalam KBBI, adalah ‘orang banyak; khalayak ramai’. Kedua, di dalam ilmu bahasa juga terdapat konsep tindakan verbal yang mengancam nama baik atau kehormatan atau martabat atau harga diri. Konsep itu adalah face-threatening act (FTA) yang diindonesiakan sebagai tindak mengancam muka. FTA merupakan tindak penyerangan kehormatan, seperti yang menjadi bagian dari definisi dalam pencemaran nama baik. FTA terkandung dalam ekspresi-ekspresi kebahasaan, seperti pronomina atau kata ganti orang, seperti elu, kamu, gue, situ.; kata serapah atau umpatan, seperti sial, buset; kata sifat atau adjektiva kualitas negatif, seperti bodoh, bego, tolol; metafora atau perumpamaan, seperti hewan yang menjijikkan atau mengandung tabu (bangkai, tikus, babi); dan kategori ekspresi lainnya yang dilontarkan dalam situasi tertentu, tertentu dalam situasi emosional atau marah. Ketiga, untuk menjelaskan persoalan kebahasaan dalam surat PT X, perlu dianalisis surat tersebut secara utuh, yaitu dari segi kelengkapan bagian surat dan dari segi bahasa yang digunakan dalam surat. Diperlukan teori kebahasaan untuk menjelaskan segi kebahasaan dalam surat itu, yaitu teori tentang superstruktur wacana dalam surat. Tidak hanya itu, kontekskonteks yang termuat dalam surat (manifest intertext) dan hubungannya dengan konteks di luar (interdiscourse). Keempat, penyimpulan diadakan berdasarkan hasil analisis, yang menyatakan apakah kalimat dan bagian-bagian dalam surat X mencemarkan nama baik Y dan PT D. 6. Analisis Data dan Simpulan Hasil Analisis Data Surat yang ditulis oleh X dan ditujukan kepada Y berjenis surat bisnis. Surat bisnis adalah surat yang terutama dipergunakan oleh perusahaan untuk menyampaikan informasi yang berhubungan dengan transaksi jual beli atau perdagangan dan pemenuhan kebutuhan hidup (Finoza, 1991; Bratawidjaja, 1995). Hal ini ditunjukkan oleh perihal dan isi surat yang berkenaan dengan Kontrak No.: 0000 Charter Pesawat, suatu perjanjian antara dua pihak yang berbisnis, yaitu PT C dan PT D. Berdasarkan tujuannya, surat tersebut termasuk dalam lingkup korespondensi eksternal, yaitu ditulis oleh PT X dengan tujuan pihak luar perusahaan (PT D). Struktur surat yang ditulis oleh PT X memperlihatkan kelengkapan bagian surat, yaitu (1) kepala (kop) PT C; (2) nomor surat; (3) tanggal surat; (4) tajuk perihal; 369
(5) (6) (7) (8) (9) (10)
penerima dan alamat tujuan surat; salam pembuka Dengan hormat; isi surat, yang ditulis secara konsisten dengan paragraf lurus; paragraf penutup, yang diisi dengan ucapan terima kasih; nama pengirim surat, yaitu X, lengkap dengan jabatan pengirim surat; tembusan (cc), dengan pihak-pihak penerima tembusan.
Hal yang perlu diberi catatan pada kelengkapan surat adalah jenis surat dan tembusan. Tidak ada tanda atau kode bahwa surat tersebut berjenis surat konfidensial (setengah rahasia) ataukah surat rahasia sehingga surat tersebut dapat dikategorikan sebagai surat biasa. Dalam hal tembusan, yang tampak adalah tembusan (carbon copy)—tidak ada tembusan buta (blind carbon copy). Dalam korespondensi, sebuah surat mempunyai tembusan jika kopi surat dikirimkan kepada pihak-pihak (pihak ketiga; pihak di luar penulis dan penerima surat) yang mempunyai sangkut-paut atau keterkaitan dengan surat yang dikirim dan, dengan cara itu, orang yang dikirimi tembusan dapat turut mengetahui permasalahan surat, sementara orang yang dituju mengetahui kepada siapa saja surat ditembuskan (Finoza, 1991). Memperhatikan tembusan surat itu, dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang diberi kopi surat oleh PT C berkepentingan dengan segala permasalahan yang ditulis di dalam surat itu. Hal itu juga berarti bahwa surat, selain ditujukan kepada tujuan penerima surat (PT D), diketahui secara terbatas oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi surat. Kopi surat tidak ditujukan kepada atau diketahui oleh umum (khalayak ramai; orang banyak), tetapi diketahui secara terbatas oleh pihak-pihak tersebut. Seandainya tembusan inilah yang dianggap menjadi hal yang menyebabkan pencemaran nama baik PT D, tembusan dengan kondisi itu tidak dapat dianggap atau termasuk sebagai upaya mencemarkan nama baik PT D—lihat kembali definisi umum dalam makalah ini. Jika pun perlu diberikan penjelasan tentang mengapa PT C menembuskan surat itu kepada pihak ketiga, jawabannya pastilah karena pihak-pihak ketiga itu berkepentingan dengan permasalahan yang diuraikan dalam surat itu—kepentingan apa saja tentu dapat ditanyakan kepada dan dijelaskan oleh X selaku penulis surat. Selanjutnya, jenis wacana di dalam surat dianalisis. Surat merupakan teks, yaitu bahasa yang berfungsi. Bahasa yang digunakan untuk tujuan menceritakan sesuatu menghasilkan wacana naratif; bahasa yang digunakan untuk tujuan menggambarkan atau memerikan sesuatu menghasilkan wacana deskriptif; bahasa yang digunakan untuk memaparkan suatu informasi yang belum atau tidak banyak diketahui oleh orang menghasilkan wacana ekspositoris; sedangkan bahasa yang digunakan untuk mengajukan dan membuktikan suatu klaim menghasilkan wacana argumentatif. Menyelisik jenis wacana surat tersebut, surat tersebut tergolong dalam wacana argumentatif. Struktur wacana argumentatif secara umum mengacu pada pendapat Toulmin (1958/2003). Ia menyatakan bahwa argumentasi merupakan himpunan argumen berupa sejumlah pernyataan atau proposisi, dengan satu di antaranya dianggap sebagai simpulan (klaim), sementara pernyataan lain mendukung kebenaran simpulan itu. Himpunan argumen itu terdiri atas enam unsur argumen, yaitu (1) klaim (claim), yaitu argumen pokok sebagai simpulan yang akan dibuktikan benar atau tidaknya dengan bukti yang diperkuat landasan atau acuan; (2) bukti atau data (ground), yaitu data atau fakta yang menjadi bukti benar atau tidaknya 370
klaim; (3) landasan atau acuan (warrant), yaitu pendapat atau teori yang menjembatani klaim dengan bukti dan yang memperkuat klaim dan bukti; (4) bukti tambahan atau bukti penguat (backing), yaitu data atau fakta tambahan yang relevan dengan klaim; (5) ukuran besar-kecil klaim (qualifier), yaitu ukuran kepastian atau ketidakpastian klaim, yang pada umumnya dinyatakan dengan kata-kata seperti sangat, mungkin, harus, seharusnya, mustahil. (6) sanggahan atau kekecualian (rebuttal), yaitu pernyataan yang bertolak belakang dengan klaim ketika klaim tidak terpenuhi, yang pada umumnya dinyatakan dengan kata-kata atau ungkapan seperti kecuali dan jika tidak, setidaknya ... . Lebih lanjut, menurut Toulmin, tiga unsur yang wajib ada dalam wacana argumentatif adalah tiga yang disebut pertama di atas, yaitu klaim, bukti, dan landasan. Tiga yang terakhir (bukti tambahan, ukuran klaim, dan sanggahan/kekecualian) merupakan unsur tambahan dalam argumentasi dan dapat tidak hadir dalam wacana. Contoh argumentasi sederhana yang diambil dari kehidupan sehari-hari ditampilkan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2. Contoh Wacana Argumentatif Unsur Argumen Pernyataan Klaim (claim) Direktur ada di dalam ruang kerjanya. Bukti atau data (ground) Di pintu ruang kerja beliau terpasang tanda “Ada”. Landasan atau acuan Tanda “Ada” di pintu ruang kerja pimpinan (warrant) perusahaan menunjukkan pimpinan perusahaan ada di dalam ruang kerja. Bukti tambahan (backing) Direktur pernah bercerita bahwa hal yang dilakukannya pertama kali saat tiba di kantor adalah memasang tanda kehadiran pada pintu ruang kerjanya pada posisi “Ada”. Ukuran besar kecilnya klaim Jadi, pasti Direktur ada di dalam ruang kerjanya. (qualifier) Sanggahan atau kekecualian Kecuali jika beliau lupa mengatur tanda pada pintu (rebuttal) ruang kerjanya pada posisi “Tidak Ada”. Berikut ini disajikan unsur-unsur argumentasi yang termuat dalam surat tersebut. Tabel 3. Unsur Argumen dalam Surat X kepada Y Unsur Argumen Kalimat Klaim PT C tidak dapat menerima alasan dan usulan yang disampaikan PT D dalam surat PT D No. 1111/2014 tanggal 3 Januari 2014. Penghentian sementara bersifat final. (paragraf ke-5 surat: Penghentian Sementara (Suspension) Kontrak adalah bersifat final dan tetap diberlakukan efektif mulai tanggal 7 Januari 2014, pukul 12.00 WITA sampai dengan 18 Januari 2014) Bukti atau data PT D tidak mampu dan gagal dalam memenuhi kewajiban sebagaimana yang termuat dalam kesepakatan dua 371
pihak/kontrak. Ketidakmampuan dan kegagalan itu berhubungan dengan KPI dan keselamatan penerbangan. Keselamatan penerbangan itu bukan hanya penjadi perhatian PT C, tetapi juga para pemegang saham PT C. (Paragraf ke-2 surat: Perlu kami sampaikan bahwa ketidakmampuan dan kegagalan PT D dalam memenuhi kewajibannya dalam Kontrak dst.) PT D tidak memenuhi kewajibannya dalam hal Training, Quality Assurance, dan Audit Closure, yang telah diatur dalam Kontrak. Tingkat keselamatan penerbangan menurun dengan terjadinya pilot yang dalam kondisi berkabung tetap menerbangkan pesawat; ko-pilot yang tidak memenuhi spesifikasi kontrak menerbangkan pesawat; dan penerbangan Lembaga AA pernah mengalami kejadian Near Miss. (Paragraf ke-3 surat: Selain kegagalan PT D tersebut di atas dst.) Kegagalan PT D memenuhi kontrak telah berlangsung lama dan berulang-ulang. (paragraf ke-5 surat: … dan mengingat kegagalan-kegagalan PT D dalam memenuhi kewajibannya dalam Kontrak telah berlangsung lama dan berulang-ulang) Landasan atau acuan Kontrak (tidak disebut isinya; secara implisit terlihat dari bukti-bukti ketidakmampuan PT D dalam memenuhi kontrak) Bukti tambahan PT D mengakui kekurangan dan kegagalan atas hal yang dikeluhkan PT C dalam surat PT D bernomor tersebut (paragraf ke-4) Ukuran besar Tidak dapat dan bersifat final (paragraf ke-5)—final merujuk kecilnya klaim pada titik akhir; tidak ada perubahan; tetap. Dengan demikian, klaim tidak akan diubah dan bersifat final. Sanggahan atau -kekecualian Menelusuri kalimat demi kalimat di dalam isi surat, tidak ada ekspresi bahasa yang mengancam kehormatan penerima surat. Klaim gagal dan tidak mampu tidak dapat dikatakan ekspresi yang menjatuhkan kehormatan penerima surat. Kata itu muncul sebagai simpulan (klaim) atas sejumlah fakta (bukti) yang dilandasi acuan Kontrak, yang menunjukkan bahwa fakta tidak sesuai dengan perjanjian. Kegagalan dan ketidakmampuan merupakan realitas dari sehimpunan fakta tidak dilaksanakannya apa-apa yang telah disepakati dalam Kontrak. Realitas itu mempunyai dasar yang jelas dengan dipaparkannya fakta di dalam surat—sebagai contoh realitas dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan Kamar ini kotor merupakan realitas yang absah jika dilengkapi (baca: dibuktikan) dengan fakta seperti kamar ini penuh dengan debu dan sampah bertebaran di mana-mana. Tidak ada konotasi negatif apa pun, seperti yang muncul pada ironi atau sarkasme, pada kata kegagalan dan ketidakmampuan karena dua kata itu digunakan secara denotatif sebagaimana mestinya, yang mengacu pada makna ‘tidak berhasil; tidak tercapai; tidak sanggup’. Analisis atas surat yang ditulis oleh PT C dan ditujukan kepada PT D, dengan demikian, telah dilakukan atas dua hal, yaitu kelengkapan bagian surat dan struktur wacana surat. Baik 372
dari segi kelengkapan surat maupun struktur wacana surat tidak ditemukan indikasi bahwa PT C atau X selaku pembuat surat mencemarkan nama baik PT D sebagai badan hukum dan Y selaku penerima surat. Dari segi kelengkapan bagian surat, tidak ditemukan bagian apa pun yang menjadi indikasi pencemaran nama baik PT D selaku penerima/tujuan surat oleh X selaku penulis surat. Surat ditujukan kepada penerima/tujuan surat dengan kopi surat ditujukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi surat. Baik surat maupun kopi surat tidak ditujukan kepada umum atau orang banyak atau khalayak ramai, tetapi hanya ditujukan kepada PT D dengan kopi surat yang ditujukan kepada kalangan terbatas atau kalangan yang berkepentingan dengan isi surat. Umum, seperti yang termuat sebagai bagian penting dari definisi pencemaran nama baik, tidak dapat diartikan sama dengan terbatas. Akan berbeda keadaannya jika surat ditujukan kepada masyarakat atau dimuat dalam media massa ataupun ditujukan kepada wakil rakyat di lembaga legislatif negara, maka surat menjadi ditujukan dan diketahui oleh umum. Surat yang dianalisis berstruktur wacana argumentatif. Argumentasi yang dilancarkan oleh PT C dalam surat tersebut berstruktur lengkap, yaitu memuat klaim, bukti, dan acuan sebagai syarat minimal kelengkapan wacana argumentatif. Klaim-klaim yang dilancarkan oleh PT C dilandasi oleh fakta sebagai bukti dan diperkuat dengan acuan. Klaim-klaim tidak mengandung konotasi negatif karena selalu diikuti oleh bukti. Acuan yang digunakan juga bersifat formal-legal, yaitu Kontrak dan laporan hasil inspeksi. Akan berbeda keadaannya jika klaim-klaim tidak dilandasi oleh bukti atau acuan, yang akan berpotensi menjatuhkan kehormatan seseorang, misalnya seseorang yang dikatakan bodoh akan sakit hati jika kepadanya tidak ditunjukkan bukti mengapa ia dinilai bodoh, namun dapat memahami jika ada bukti yang menunjukkan ia bodoh. Argumentasi yang hanya memuat klaim tanpa bukti dan/atau acuan, menurut Toulmin (1958/2003), dinyatakan sebagai argumentasi yang cacat atau tidak lengkap. Argumentasi yang lengkap sekurang-kurangnya memuat klaim, bukti, dan acuan, seperti yang ditemukan dalam surat. Akhirnya, sebagai simpulan umum, surat yang ditulis oleh PT C tidak mencemarkan nama baik PT D selaku badan hukum dan Y sebagai orang yang dituju oleh surat. 7. Simpulan Telah dipaparkan bagaimana seorang linguis bekerja dalam salah satu kegiatan forensik, yaitu menganalisis suatu perkara kebahasaan, sebagai saksi ahli bahasa. Dalam ruang lingkup pemeriksaan perkara hukum dan peradilan, linguistik forensik dibutuhkan untuk membantu proses-proses penegakan hukum. Tentu saja tidak terbatas pada kegiatan saksi ahli bahasa sebagaimana yang dipaparkan dalam makalah ini. Linguistik forensik, jika dikembangkan, akan mampu memberikan sumbangsih yang lebih banyak. Banyak kegiatan penelitian yang dapat dilakukan di ruang pemeriksaan dan pengadilan. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dalam linguistik forensik antara lain penelitian pemakaian bahasa oleh aparat penegak hukum dan terperiksa, tersangka, atau terdakwa, misalnya dalam interogasi atau tanya-jawab dalam persidangan, yang akan menemukan pola-pola komunikasi dan wacana dalam pemeriksaan dan persidangan; penelitian tentang ekspresi bahasa yang tergolong dalam pokok perkara tertentu (misalnya penghinaan dan pencemaran nama baik) sehingga hasilnya mampu membantu penegak hukum untuk menyimpulkan apakah ekspresi bahasa tertentu dapat dikategorikan melanggar hukum; penelitian tentang kegiatan penerjemahan untuk membantu 373
komunikasi antara penegak hukum dan terperiksa, tersangka, atau terdakwa; penelitian tentang bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam hukum mempertahankan titik pijaknya (stance); dan banyak lagi lainnya. Linguistik forensik telah berkembang demikian luasnya di luar negeri dengan berbagai aktivitasnya. Mengapa tidak di Indonesia? Daftar Acuan Bratawidjaja, T.W. (1995). Korespondensi bisnis. Edisi revisi. Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (Lembaga PPM) dan PT Pustaka Binaman Pressindo. Coulthard, M. dan Johnson, A. (2007). An introduction to forensic linguistics: language in evidence. London, Routledge. Finoza, L. (1991). Aneka surat sekretaris dan surat bisnis Indonesia. Jakarta: Mawar Gempita. Olsson, J. (2008). Forensic linguistics. Edisi kedua. London: Continuum. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Renkema, J. (2004). Introduction to discourse studies. Amsterdam/New York: John Benjamins Publishing. Toulmin, S.E. (1958/2003). The uses of argument. Cambridge: Cambridge University Press. Toulmin, S.E.; Rieke, R.; dan Janik, A. (1984). An introduction to reasoning. Edisi Kedua. New York: Macmillan. Van Dijk, T.A. (1997). Discourse as interaction in society. Dalam T.A. van Dijk (ed.), Discourse as social interaction. London: Sage. Yuwono, Untung. (2015). “PT Y Vampire: Terus Makan Korban”: Peran Analisis Speaking dalam Linguistik Forensik”. Disajikan dalam Seminar Nasional SosiolinguistikDialektologi, 9—10 November 2015.
374
White Angels: the Virtue of Language to Elevate a Mass Culture Phenomenon onto A Higher Plane of Culture Vera Syamsi Sampoerna University
[email protected]
Abstract Real Madrid CF is a Spanish soccer club that has existed since 1902. Having collected many silverwares from both domestic and international championships, it is considered to be one of the biggest European soccer clubs in the history of modern soccer. As a club that has achieved many titles and silverwares, Real Madrid is one of a few clubs under the patron of the King of Spain. There have been many writings regarding the club, one of which is a book entitled “White Angels – Beckham, Real Madrid & the New Football” by John Carlin. Using stylistics as the methodology, this paper is analyzing the language style used in some parts of the book in describing the club and the players; the way they played. Carlin describes it as if it were a piece of art belonging to the high culture domain – comparing it with ballet and paintings of famous artists, while in fact soccer is one of the most famous sports enjoyed by the biggest number of sport lovers in the planet, hence a mass culture phenomenon. Keywords: Real Madrid CF., Discourse, Metaphor, Stylistics, High Culture, Low Culture, Grandeur, Majestic. 1. Introduction Football has become very popular in the world. The sport was invented in 206 BC in China during the dynasty of Tsin and Han (Goldblatt, 2008:5), and has been since gaining more and more popularity in the world. Nowadays, this sport is considered to be the most well-known in the world (Giulianotti, 2004), attracting around 1.4 billion people watching and enjoying the game; 250 million people are directly involved in playing the game, and during a world cup competition, there were 3.4 billion people watching it through television (Wood 2010:3). Meanwhile, Fédération Internationale de Football Association (FIFA) as the official institution for the sport stated that in 2006 there were more than 240 million people from more than 200 countries played the game, while many more playing the role as spectators, both directly in stadiums and from television. Another data from Huffington post (2014) stated that there were around 265 million players who were actively involved in this sport, all around the world; that makes 4% out of the total world population. So high is the popularity of the sport in the world that countries around the world hold a regular competition every year in their domestic league. One of the very popular leagues is in 375
Spain, known as La Liga that was first founded in 1929. Within this league, Real Madrid Club de Futbal is one of the biggest and strongest team. First established in 1902, this giant club has collected impressive trophies and cups; 31 league trophies, 11 times winner of UEFA Champions Cup, 3 Intercontinental Cups, 32 La Liga titles, 19 Copa del Rey cups, 3 European Super Cup, Real Madrid C.F is the most successful club in the history of football and was named as the Best Club of the 20th Century by FIFA (http://www.realmadrid.com). Topping the accolade was the recognition as the “Most Valuable Club 2014” with the total income of €518.9 million (£444.7M). (http://sporteology.com/top-10-richest-football-clubs-in-theworld/) and in April 2015 the club was crowned as the richest sport club in the world, for 4 consecutive years, Celebrating the club’s 100 anniversary, a book was published in 2004, entitled “White Angel: Beckham, Real Madrid & the New Football”’ written by John Carlin. The title and the way the writer described the club and the players were not usual. If usually sports which are played by men are associated with power, stamina, speed and other masculine attributes, Carlin described the players and the club using a different style; he compared some of the players with ballerina; the whole players within the club with angels as the suits donned by them is white. This paper is going to analyze the style used in this book, i.e. the dictions used, both those words of Carlin and others in portraying the club and some of the players; the “tone” of the writing, and the use of figurative language of metaphor. In other words, the analysis will be done using stylistics approach. 2. Methodology In this paper, the methodology utilized is stylistics approach, where the text is analyzed based on its linguistics features. Quoting Nørgaard, Montoro and Busse (2010:1-2): Stylistics is the study of the ways in which meaning is created through language in literature as well as in other types of text. To this end, stylisticians use linguistic models, theories and frameworks as their analytical tools in order to describe and explain how and why a text works as it does, and how we come from the words on the page to its meaning. The analysis typically focuses qualitatively or quantitatively on the phonological, lexical, grammatical, semantic, pragmatic or discoursal features of texts, on the cognitive aspects involved in the processing of those features by the reader as well as on various combinations of these. As the most stand out linguistic features in the text are the dictions (lexicology), figurative language of simile, metaphor, those are the focus of the analysis, besides the tone and discoursal feature as stated in the quotation above. 3. Discussion and Analysis The corpus of the analysis is the texts taken from Carlin’s book, entitled “White Angels – Beckham, Real Madrid & the New Football”, especially from the part where he describes the club and the players – how they play. As the analysis will focus on the style of writing – referring to the stylistics approach, hence, the texts selected are only those that utilize a specific style in the description that is using metaphor that compares football players and game with high art. The data and analysis are as follows: 376
1. Zidane spinned and glided, with the ball at his feet and you will see what Beckham meant when he described him as “a ballerina” (P. 6). Zidane was a player of Real Madrid between the years of 2001 - 2006 and was considered one of the best at his time. He was known for his precision in passing the ball and agility at the same time. The way he played was considered by many as something very beautiful, he was compared to a ballerina. When usually a male athlete would be compared to another male sportsman with the characteristics featuring masculinity, Zidane was praised for the graceful and beautiful movements he made. The word “glided” that means to move smoothly, continuously, and effortlessly shows how gracefully he moved. Rather than only trying to pass the ball around and creating goals, Zidane makes swift and graceful moves that are beautiful and a real spectacle to see and enjoy. A spectacle that can elevate the spectators’ feeling. The word “spin” shows how fast he ran. He does not just move gracefully but with the speed that is surely an essential element in the game. The two words combined support the image of a ballerina moving around, in a shape of a man called Zidane, a man playing football. 2. Zidane’s football is art. Art that people will be admiring 500 years from now. And it has the great merit that it is not art reserved for the initiated, for the art historian, the classical music buff, the reader of Shakespeare and Cervantes. It is the only truly globalized art form, accessible to a more ample span of humanity than art has ever been before; Zidane’s football is art. Art for all, unlike those esoteric forms of arts ( p. 7). The works of art that belong to the high culture domain have so far only been enjoyed and consumed by very limited group of society in the world. Famous paintings by Van Gogh, Renoir, Michelangelo; classical music composed by Mendel, Brahms; Opera by Puccini, Verdi; literary works by Dante, Cervantes, or -presumably the most recognized poet of all timeShakespeare all are displayed (or kept), or performed in very distinct places, entertained quite limited number of people. Only very few people have the access and the capacity to enjoy them, and therefore considered to be something elite. However, Zidane could do something that has equal effects with those works of art; he was considered to be on the same plane with those great masters of art. The work of Zidane was even more influential because it can last a long time, a legacy that is very beneficial and significant because he makes football as something very valuable because it reaches out to many more people; enlighten more population in the world, thus more significant in terms of enriching people’s life. 3. Zidane’s magnificent brushstrokes have a wonderfully democratic quality to them. They evoke exactly the same responses – the same admiration, the same delight – in the subsistence farmer in Rwanda as in the banker in the City of London. And like art, what they do is embellish the human condition, enrich life. … they offer consolation for life’s sorrows (p.7). Carlin uses a metaphor when he compares the movements made by Zidane with the brushstrokes of a skillful painter. Unlike the paintings kept in museums or art galleries, the result of the painter in the form of a football player called Zidane is a beautiful work of art that can be enjoyed by the vast number of population in the world, from those in Rwanda – Africa (can be considered as an underdeveloped country) to those living in the city of London 377
(considered as one of the most advanced countries). This is something extraordinary, because usually art such as paintings by well-known painters are only enjoyed by some elite group of people; this one is easy to digest by common people. Unlike the high culture-produced arts, the performance of the football club can evoke the same feeling by people around the globeregardless where they live, their educational background and skin color. The notion proposed by Carlin is that this is a performance that can enrich life, offer consolation to people’s sorrow; something that has been usually associated with work of literature and other high-culture arts. Football played by Zidane can offer consolation to people in suffering; can enrich people’s life experience. Two things from two contradictory domains are used, and it was made possible by the graceful play of Zidane. 4. Joseph Conrad might spin in his grave but his definition of art as something that speaks to ‘the solidarity … which binds men to each other, which binds together all humanity – the dead to the living and the living to the unborn’: this definition can apply with as much validity to football as to music, literature or painting when the game is played with the flourish and genius displayed by the men in white of Real Madrid (p.7). In this text, Carlin again compares a game of football to a work of art that was considered as the peak of human’s civilization; classical music, literature or painting. He even mentions Joseph Conrad as one of the very influential writers in literature who came up with an adage of solidarity as something that binds people in humanity regardless of their background. Real Madrid and its football are something that can be the link for human’s solidarity. People from different corners of the globe can be united as the fans of the club. With the power they have, Real Madrid can really serve a bigger purpose in life for humanities. 5. There are other fine teams, other great players around in the early twenty-first century. It is just that - … - the players at Real Madrid do so more often, more beautifully, on a more elevated plane. That is why conversations I overheard in Majengo (Nairobi’s biggest slum, the AIDS-plagued labyrinth place) minibus should have come as no surprise to me, obvious as it was that people were having the very same discussion in minibuses the length and breadth of planet earth (pp. 7-8). In this part, Carlin compares Real Madrid and its players with other great teams in the world, however, Carlin says that Real Madrid are better, and occupying a better place due to the beauty in the way they play. Other teams play very well, but lack of beauties offered by Real Madrid. Other teams play well, but they remain in the domain of popular / mass culture, lacking sophistication that can enrich and elevate people’s life. 6. The impression was deceptive. They were artists but they were tough guys too. (p. 13). In this text, Carlin combines the description of Real Madrid players as artists and tough guys. Whenever usually athletes –especially males- are associated with toughness, stamina, power – in short masculinities, Carlin inserts the sense of art into the quality of Real Madrid players. It is an added value to the club and players. 7. (On a match between Manchester United versus Real Madrid): The gap in class was at times almost embarrassing. It was a pub band against a symphony orchestra. Real 378
played such beautiful music because each had such perfect command of his instrument, such pure skill. (p.19). In this text, Carlin explicitly compares the two domains of culture (low versus high), when comparing two football clubs; Manchester United versus Real Madrid. He considers Manchester United as the one coming from the domain of the culture of the common peoplea pub band; meanwhile he praises Real Madrid as a club playing football so well they offer a performance with sophistication – closely associated with high art, such as symphony orchestra. A pub band plays popular songs that are considered by art critics to be easy listening; do not need special art talent in composing them. In the meantime, a symphony orchestra consists of many musicians playing various musical instruments. Each and every section of the symphony consists of very skillful musicians that obtain their artistry from years of practice and learning. They need to play in the right rhythm so that they would create a beautiful harmony. As the result, they contribute to the creation of very well assembled musical composition, considered to be a bit complicated by many but highly appreciated by the critics. The collaboration made by Real Madrid players was done in such a way comparable to s symphony orchestra, it means they play exquisitely. 8. The assailants would be Zidane, Raul and Roberto Carlos, dancing around them in tight little circles, threading and weaving the ball between and around their legs. (pp. 19 – 20). Carlin compares the player (Zidane, Raul and Carlos) as dancers; they did not just play with speed and agility, but in a graceful way. The players are artists that do not just entertain the player with ordinary football skills but they have the artistry in their way of playing. 9. The British press was in raptures at Real’s performance – “Fantasy football!” said The Times; ‘They belong in an art gallery’, the Telegraph enthused… (p.24). Carlin quoted what The British newspapers wrote when they called the way Real Madrid played as fantasy football – something beyond belief. They played like never been imagined before, so beautiful that it was like a fantasy. This shows how the press considered the play was marvelously impressive on that day. The fact that it was stated by foreign press from where the game was originated says something important about the club’s playing quality. One newspaper –The Telegraph- specifically refers to an art gallery as the appropriate place for the show displayed by the club. The two expressions uplift the image of a football club as a performance on the par with the high culture phenomenon. After analyzing all of the texts above, it can be seen that the choice of words used in describing the players and the club, such as “art”, “Fantasy football that belong in an art gallery”, “a symphony orchestra”, “this definition can apply with as much validity to football as to music, literature or painting when the game is played with the flourish and genius displayed by the men in white of Real Madrid“ create the majestic tone that show the grandeur of the club. The choice of metaphor “The White Angels” used in the title support that image; the image coming to readers’ mind would be some angels sporting big stretched-out wings spreading light to the surrounding, bringing good news, soothing people’s heart. The angels will make you feel blessed and peaceful. 379
Based on the analysis, it could be concluded that from the point of view of discourse analysis the style utilized in the book was to show the image of royal and grandeur tone as permeated by the club. The title “White Angels – Beckham, Real Madrid & the New Football” also implies that this club brings about the new way of playing football, however, the way of writing and describing a football club and its players was also something new. The discourse contained in the writing is of promoting the image of the club as a sport club that does not only offer good quality of play, but more than that the beauty that is usually shown by those in the art domain, and at the same time a quality not possessed by just any great football club in the world. 4. Conclusion Hall (in Storey 97:3) said that culture is a terrain on which takes place a continual struggle over meaning, in which subordinate groups attempt to resist the imposition of meanings which bear the interests of dominant groups. The writing of this book as a part of celebrating the 100 th anniversary of Real Madrid Club de Futbal, was used as one of the media to send a message regarding the grandeur of the club. The image of the club that was constructed through the book is as a part of the high culture occupied by “serious art” rather than a mere sport club well-liked by billions of the world population. Hall further argues that cultural texts and practices are not inscribed with meaning, guaranteed once and for all by the intentions of production; meaning is always the result of an act of 'articulation' (an active process of 'production in use'); referring to that, Carlin used the phrases and dictions he chose not without any intention; he was trying to create an articulation that can further enhance the image and reputation projected by the club. The popularity of the sport and club was used as a domain to win a targeted meaning by publishing the book, which says that Real Madrid is an elite club with added value rather than simply offers sport matches that feature techniques, agility and stamina. The struggle taking place is the image articulated is that Real Madrid’s players have extraordinary skills in playing the game; they offer beauty and entertainment that is worth performed in a theater or opera house, with people with fine taste as the audience. Mass culture as the home of the most popular sport on earth –i.e. football- was the perfect terrain to shake the hegemony of the high culture usually dominated by the elite social group of society, as proposed by Hall (in Storey 97:4); …”culture is one of the principal sites where this division is established and contested: culture is a terrain on which takes place a continual struggle over meaning”. With the strategy of comparing football with the works of art; painting, orchestra, literature and ballet, Carlin elevated the sport that comes from mass culture or the low culture onto a higher level of culture; the plane that has been so far dominated by the hegemony of the elite. Carlin compares Real Madrid (‘s playing quality and players) with White Angels, symphony orchestra, ballerina, and art belong to an art gallery, yet those art performances are not only to be enjoyed by limited number of spectators as what has been “normally” applied before. This implies that the club can offer something that before that has been associated with a rare opportunity for the common people that is enjoying the enlightenment for the soul, enriching people’s life as offered by literature and other works of art. Thus, implicitly, the message conveyed by the writing is that this great club called Real Madrid has changed the value of football games and contributes to the betterment of the humanity. It is definitely not 380
easy to convince people to accept that message, therefore such image was created and they use culture as the place to fight and win the intended meaning. By instilling the image over time, it is very possible to keep the strong image and branding of the club. Once the club has achieved their objective in this case, then the new model of football has been created; football games that do not only entertain the mass but more importantly games that provide enlightenment in the heart and mind of the spectators. Even though it may not easy, but the club can indeed keep the struggle to shape the image and win eventually. References Carlin, John. (2004) White Angels: Beckham, Real Madrid & the New Football. Bloomsbury. Great Britain. Carter, Ronald. (2012). Methodologies for Stylistic Analysis: Practices and Pedagogies. Retrieved from http://teach-grammar.com/wp-content/uploads/2012/07/2010+Grammar-and-Stylistics.pdf. on Sept. 8th, 2016. Giulianotti, Richard and Roland Robertson. (2004). The Globalization of Football: a Study in the Glocalization of the ‘Serious Life’. UK: The British Journal of Sociology 2004 Volume 55 Issue 4. Goldblatt, David. (2008). The Ball is Round, A Global History of Soccer. United States of America: Penguin Group (USA) Inc. http://www.huffingtonpost.com/2014/05/14/ retrieved in March, 2015. http://www.realmadrid.com Nørgaard, Nina., Rocío Montoro and Beatrix Busse. (2010). Key Terms in Stylistics. Continuum International Publishing Group New York. Storey, John (Ed.). (1997). What is Cultural Studies? A Reader. Arnold. New York. Toolan, Michael. (2013). Language in Literature An Introduction to Stylistics. Routledge. NY. Top 10 Richest Football Clubs in the World 2016. http://sporteology.com/top-10-richestfootball-clubs-in-the-world/. October 19, 2016. Watson, Greg and Sonia Zyngier (Eds.). (2007). Literature and Stylistics for Language Learners Theory and Practice. Palgrave Macmillan. NY. Wood, Michael R. (2010). Football is War: Nationalism, National Identity and Football. A Dissertation at School of Politics and International Study. Faculty of Education, Social Sciences and Law, University of Leeds. United Kingdom.
381
382
Semantic Priming in Communicating Word Recognition of a Brand: Psycholinguistic Analysis Vera Yulia Harmayanthi Doctoral Program of Linguistics Department Universitas Indonesia
[email protected]
Abstract The individuals life in advanced societies attract attention to a brand and its appeal through advertising and promotion on surrounding their environment as central to the creation. A brand creates communicating words to promote the branded goods or services and effect on individuals to extend buying decision. This study was qualitative research. It used psycholinguistic analysis through semantic priming technique as one of linguistics areas. The objective of this research was to find out deeply the communicating words recognition of a brand that represented to the individuals in high social status. The data were collected from an exclusive brand which advertised in Kompas, daily news paper with three separated times. It was started of April to August 2016. The results show many practical communicating words recognitions. They are 1) prime and target words that create words as visual recognition; 2) the prime words lift some real experiences in the past and present time that come close to the individual’s life and stimulate person to find out lexical decision as the target word; 3) target word is implemented to words as a visual brand which has the identical sense to the prime words. All of its due to build word ‘trust’ of the individuals in the wider meaning about value as functional products and quality of a brand. The visual was appeared in the special moments to construct the individuals‘ recall easily and finally, reach for powerful customers of individuals as a target. Key words: psycholinguistics, semantic priming, communicating recognition words, brand
1. Introduction Language is source of inviting creative in many forms. There are words combinations of language structure that create meaning and sense. Meyer (2009: 3) said, “Like any system, language has structure, and the succeeding sections provide an overview of this structure . . . how sounds, words, sentences, and texts are structured”. The various forms of advertising and promotion use language as the central creation of brands to communicate their goods or services to individuals. The individuals life in advanced societies especially in the big cities, attract attention to identified words from brand that being around their environment. A brand creates communicating words through advertising and promotion which effect on individuals. They will call attention primary in order to make better decision in buying goods as products of brand. Advertising is integrated to promotion and play an important role in attracting individuals to brand. Hackley (2005: 1) given the explanation that, “Communicating brands is . . . the role of advertising and promotion in the marketing of branded good and services”. There are some words recognition that bring messages into individuals. It is a way of brand to communicate effectively and efficiently in attaining customers as brand’s target. The advances in technology development have the rapid growth of communication which included the using of brand’s communicating words recognition and appointed to the individuals in particular social status, such as the individuals in high social status. 383
The Words recognition in the communicating brand could be seen in the print mass media such as newspaper, as the better one to get the individuals’ attention. A typical newspaper is regularity in daily publication and readers truly interested in the information they are reading (Semenik, Allen, O’Guinn and Kaufmann, 2012: 465). Its mean communicating brand using newspaper will appear the role of advertising and promotion into visual recognition through written words of individuals’ needs and brand’s products where product give benefit to the individuals. There is an interaction between them. The main words are occurred and accomplished visual recognition. They are attached in the appropriate space and time. The interaction between individuals and brand could be seen when brand displays words recognition on individuals that followed by meaning and sense between them. There is a problem when it is not being suitability on understanding of words as lexical meaning and sense refer to messages. For example, Di Jakarta, pernah terjadi satu peluncuran produk yang berakhir dengan kegagalan. Produk ini berupa rokok dengan nama Staff. Bagi masyarakat kota besar seperti Jakarta, nama seperti itu mengandung arti “tidak memiliki status tinggi dan hanya bawahan” (Kasali, 2007: 169). Based on the case, ‘Staff’ is a new word of brand which recognized to individuals. ‘Staff’ as lexical has meaning ‘all workers employed in an institution or company’ and it has a sense ‘low position in an organizational structure’. There is not being suitability word ‘Staff’ in lexical meaning also sense between brand and individual. The using of lexical decision attracts to individual in buying decision. It is important to acquire lexical meaning and sense in selecting to making a decision of words into the right space on messages. Words recognition in linguistics area is a part of psycholinguistics where comprehension of meaning and sense as the important thing for individuals and brand to achieve their goals in harmony. The appropriate lexical decision is needed relating to words in communicating brand. The using semantic priming in this research, as one of technique in psycholinguistics. Harley (2014: 17) said, “Priming has been used in almost all areas of psycholinguistics. The general idea is that if two things are similar to each other and involve in the same level of processing . . . For example, it is easier to recognize a word (e.g. BREAD) if you have just seen a word that is related in meaning (e.g. BUTTER). This effect is called semantic priming”. It will provide researcher to find out lexical decision that relate words as prime and target words in communicating brand, especially that represented to the individuals in high social status on the right space and time. All of them are included with knowing of meaning and sense which covering its massages in their interactions. 1.1 Word Recognition in Communicating Brand Advertising and promotion are forms of communicating brand and they have the role to influence individual’s buying decision and brand’s selling target of goods or services. Communicating brand creates words combination which recognized to individuals. Words recognition are built in the text, such as applied on newspaper as print mass media. It is important to know the coordinating of words to develop an effective communicating brand. Words must able to attract attention from individuals when they read advertising and promotion in the written text, such as: newspaper. Both of brand and individuals must have the understanding overall its meaning and sense. The comprehension of words recognition has a great deal attention in psycholinguistics. There is a process of visual recognition into words and communicating brand in mass media ‘newspaper’ is a whole set of recognizing written words. Harley (2014: 152) said, “Recognition involves identifying an item as familiar. Of course, we are not only interested in discovering how we decide if a printed string of letters is familiar or not, but also how all the information that relates to a word becomes available. For example, when you see the string of letters “g h o s t”, you know more that they make up a word. You know what the word means. Words recognition are more quickly if they have been
384
read and seen before as embodied their experiences. They are as repetition priming in the similar meaning. Creating of representation words takes signs of meaning and sense as the way of brand introduce products to individuals. Words frequency influence to words recognition. It is a phenomena to develop a variety of words recognition. There are the perceptual information to trigger the lexical access in individuals when its store the representation of all the words which known by them. The perceptual input of experiences is used to build a representation of words. An recognition of words in written text where each word is treated by communicating brand deeply ‘both of advertising and promotion’. Kasali (2007: 10) said, “Iklan adalah bagian dari promosi”. They contain lexical entries for each words that followed by meaning and sense being similar words arrangements. All of them will support semantic priming ordering of words within words frequency. Words recognition access the sensory information to the lexical units. Words input visual recognition of prior experiences to be recognized quickly and rapidly. 1.2 Psycholinguistics and Semantic Priming in Communicating Brand Priming occurs between words which have a direct semantic relationship, such as: house and furniture. It is identified in words recognition. Words are common in language. Linguistics examines language itself (Harley, 2014: 2). Communicating brand available provides information to communicate something new about a product. Brand’s product or services using words that effect the processing of information and individuals memory. The messages appear the effectiveness of communicating brand that focus on individuals perspectives. There are relations between words as stimulation come to hold the responses. It makes clear messages come to beliefs and interests. Choosing words which covering messages will be highlighted brand’s product to individuals’ needs. The comprehension words of messages structure refer to products’ values and individuals’ needs. The primary words influence to target words and both of them associated in communicating brand using semantic priming technique. It’s part of a technique in psycholinguistics where psycholinguistics examines the psychology of language; psycholinguistics study understanding, producing, and remembering language and hence are concerned with listening, reading, speaking, writing, and memory for language (Harley, 2014: 2-3). Thinking to comprehend the messages containing words included the meaning and sense. Lexical decision needs stimulus as response. Semantic priming activates words to be recognized by individuals and have relation to brand. Brand applies words in communicating brand which followed the purpose of advertising and promotion. They are explained by Kasali (2007: 10) that, “Sasaran iklan adalah mengubah jalan pikiran konsumen untuk membeli. Sasaran promosi adalah merangsang pembelian di tempat”. The prime and target words have to hold the correlation of meaning and sense. All of them keeps up the objectives into individuals and brand using communicating brand. 1.3 Lexical Decision on Individuals and Brand Words contribute to the meaning and sense and its occur in a context as a larger connections into sentences. Both of meaning and sense use lexical decision as visual recognition. It is possible input to activate sentences in the context, such as: communicating brand. Lexical decision could be recognized to individual and brand in communicating brand as advertising that integrated into promotion. Lexical decision is variables of meaning and sense which associated with lexical representation. It is due to words recognition easily. Traxler and Gernsbacher (2014: 319) said, “There have been a number of reports in the literature that indicate that semantic variables associated with lexical representation can modulate the ease of word recognition”. Lexical decision activates the interpretation of words. Meaning and sense
385
of lexical decision indicate into individuals and brand to build an interaction into communicating brand. Lexical access to sentences and it is a central of words recognition. Lexical decision on individuals and brand could be seen in the prime and target words as a pattern that using semantic priming technique. Words recognition as written words in text defines the pattern well. Kinds of lexical decision are the different characteristic on individuals and brand. Lexical in pattern of words recognition is supported by stimulus. There are some stimulus as signs of visual recognition which related to individuals and brand that placed as linking between prime and target word in the pattern of words recognition. They are distinctions of comprehension on individuals. 2. Method This study was qualitative research. Creswell (2009: 4) given an explanation that, “Qualitative research is a means for exploring and understanding the meaning individuals or group ascribe to a social or human problem . . . data typically collected in the participants’ setting . . . and researcher making interpretations of the meaning of data”. The research used psycholinguistic analysis through semantic priming technique as one of linguistics areas. Using semantic priming refers to words recognition and its meaning also sense. McDonough and Pavel (2009: 1-2) expressed, “ . . . the initial language form or aspects of its meaning, referred to as the prime, facilitate the recognition or production of a subsequent form or aspects of its meaning, which is referred to as the response or target”. The objective of this research was to find out deeply the communicating words recognition of a brand that represented to the individuals in high social status. There applied some steps of the data analysis, they were: Firstly, collecting data from an exclusive brand which advertised in Kompas, daily newspaper with three separated time as samples. It was started of April to August 2016. Secondly, analyzing them used semantic priming technique to find out the pattern of words recognition looking the target string that mediate to the priming. Thirdly, knowing the lexical decision in prime words which interact to target words looking at their meaning and sense related to individuals and brand. Forthly, mediating priming that occur in lexical decision that effect to target where prime and target words will successful share outcomes for mediated prime-target pairs. Fifthly, checking negative outcome which containing possibly in the prime and target words where indicate effectiveness of interaction between individuals and brand. Finally, represent findings in visual display and checking the accuracy of the research (Cresswell, 2012: 262), such as: comparison table. 3. Findings and Discussions Here are some samples of communicating brand from an exclusive brand (Table 1.) which advertised in Kompas, daily newspaper with three separated time. It was started of April to August 2016 and analyzed using semantic priming technique:
386
Table 1. Patterns of Words Recognition in Communicating Brand COMMUNICATING BRAND Data 1. Eksplorasi Klasik TEMA-TEMA klasik seakan tiada habisnya dieksplorasi. Kabarnya, tema klasik senantiasa menguarkan aroma kekuatan, elegansi, dan pengerjaan detail yang serius. Itulah sebabnya, jika bicara tentang arloji, para kolektor biasanya menaruh minat besar pada desain-desain klasik. Bonia tak ketinggalan mengedepankan kembali gaya-gaya klasik pada arlojinya. Salah satunya melalui seri BN10186-1615. Arloji yang ditujukan untuk pria ini langsung terlihat elegan melalui paduan warna perak dan keemasan. Ditambah penggunaan materi baja antikarat. Bagian case, misalnya, memakai baja antikarat 316L dengan balutan warna IP rose gold. Warna yang sama juga memoles bagian indeks penunjuk waktu yang disematkan pada dial berwarna perak. Kecuali 12, beberapa angka penunjuk waktu lainnya diganti dengan indeks atau butiran berlian. Pada posisi pukul 3 terdapat jendela penanggalan. Untuk memberi kekuatan lebih pada arloji berdiameter 38 milimeter ini, dipasangkan gelang berbahan baja solid dengan kombinasi warna perak dan IP rose gold di bagian tengahnya dan gesper berkonsep kupu-kupu. Selain itu digunakan kaca kristal antipantul. Arloji yang tahan tekanan air hingga 5 atmosfer ini juga dibekali garansi internasional selama 2 tahun. Data 2. Vibrasi Minimalis MELAKONI rutinitas yang sama setiap hari dapat berujung pada penampilan yang monoton dan performa kerja yang menurun. Jika rutinitas tak dapat diubah, cobalah mewarnai keseharian dengan memberikan aksentuasi penampilan yang segar. Hal itu dapat diwakili dengan mengenakan jam tangan berdesain minimalis untuk bermacam aksi gaya, seperti seri terbaru Bonia, BN10251-1362. Permainan warna hitam pada dial, perak pada brackelet, bezel dan top ring menegaskan aksentuasi ini. Didedikasikan untuk pria urban, jam tangan ini dilengkapi fitur modern dan material tangguh. Fitur mesin jam otomatis dan jendela penanggalan di angka 3 pada dial menjadi contoh elemen yang mendukung keakuratan waktu. Sedangkan fitur double pusher folded buckle dan cap folder pada pada bracelet siap membantu memperpanjang usia pemakaian. Memahami arti dari ketangguhan, Bonia memasukkan material kokoh ke dalam jam tangan ini yang mencakup kaca Kristal antipantul, baja antikarat 316L pada case berdiameter 38 milimeter, dan baja antikarat dalam polesan warna perak. Fitur kedap air hingga 10 atmosfer dan garansi internasional 2 tahun juga turut disertakan untuk menyokong ketahanan jam tangan minimalis ini.
Data 3. Apresiasi Indonesia SEBAGAI negara berdaulat, kemerdekaan Indonesia menjadi simbol perjuangan bangsa yang dirayakan setiap tahun. Kini, pada perayaan ke-71. Anda dapat menikmati spirit nasionalisme dan semangat kemerdekaan lewat padu padan penuh gaya dari jam tangan Bonia BN10253-1332. Dipersembahkan khusus untuk Anda yang merayakan kemerdekaan Indonesia, jam tangan ini memiliki desain spesial yang unik. Diciptakan untuk pria urban yang memiliki rutinitas padat, arloji ini memiliki dial dengan aksentuasi bendera Indonesia, merah dan putih. Aksentuasi itu sekaligus menjadi pelengkap indikator menit. Terdapat pula pengaturan waktu GMT yang memudahkan mobilisasi Anda.
387
Kolaborasi warna maskulin hitam dan perak juga menjadi daya tarik tersendiri. Polesan hitam pada dial mengesankan karakter maskulin dan mempermudah Anda membaca waktu. Dial semakin terlihat distingtif karena dilengkapi dengan motif peta dunia. Di dalam dial, Anda akan mendapati indeks berwarna perak dan jendela penanggalan pada posisi pukul 6. Inti jam dibingkai bezel dan case berdiameter 46 milimeter dari baja antikarat 316L. Material baja antikarat juga memperkuat bracelet dilengkapi fitur double pushers folded buckle. Kemudian, untuk memperpanjang usia pemakaian, Bonia memilih kaca Kristal antipantul, fitur kedap air hingga 10 atmosfer, dan garansi internasional 2 tahun. Caption:
Prime words Target words
Lexical decision Stimulus
Response
The results show many practical communicating words recognitions. They are: 1) Prime and target words as visual recognition into individuals and brand Data (1) recognizes ‘Eksplorasi Klasik’ and use ‘tema klasik’ lexical decision which has the correlation meaning and sense with prime and target words. ‘aroma kekuatan, elegansi, pengerjaan detail, minat kolektor, desain klasik’ are prime words. Prime words have the correlation meaning and sense to lexical decision. Such as: ‘tema’ is a subject of a talk that relate to ‘klasik’ things. It is a high quality in long period of time. The things in high quality are identified by ‘elegansi’. Its meaning is the quality of graceful and stylish with detailed work. All of them have sense which give the strong feeling and effect to individuals so many people want to have a thing in a classic theme. The visual recognition into individuals comes from classic theme. Finally, individuals will response to the product of brand ‘jam tangan’. Brand transferred ‘tema klasik’ as classic style into ‘jam tangan’. ‘Pria’ as the target words who is suitable using that sytle that followed by benefits as stimulus ‘elegan’ with ‘warna perak keemasan’. It comes out the visual recognition into brand. Data (2) recognizes ‘Vibrasi Minimalis’ and use ‘rutinitas’ lexical decision. The both of ‘vibrasi’ and ‘minimalis’ has the meaning as a movement which became significant. The lexical decision ‘rutinitas’ as the negative outcome of visual recognition into individuals. ‘Mewarnai keseharian, aksentuasi segar’ as the prime words to indicate the movement in ‘rutinitas’. Individuals response the situation through the various styles. Target words ‘pria urban’ which show up stimulus ‘fitur modern’ and ’material tangguh’ which having the power of movement as sense. Data (3) recognizes ‘Apresiasi Indonesia’ and use ‘kemerdekaan Indonesia’ lexical decision which relate to ‘simbol perjuangan bangsa’ as prime words. Individuals respon ‘spirit nasionalisme’ and ‘semangat kemerdekaan’. There are some implementasion lexical decision which have meaning and sense into target words ‘pria urban’. Some stimulus ‘aksentuasi bendera Indonesia merah putih, mobilisasi, warna maskulin, karakter maskulin, motif peta dunia’ are used to ‘pria urban’. It creates visual recognition of brand into individuals. 2) Stimulus to individuals and response to brand Stimulus in data (1) to (3) are addressed for individuals from brand. An other hand, response comes from individuals when they have interest and beliefs to brand’s product. Lexical decision is attended in the priming which convey meaning and sense into prime and target words linking to brand and individuals. It is indicate the interaction between brand and individual in harmony. Lexical decision is the central of words recognition. Data (1) to (3) show the differences amount of activated stimulus and response, as the following graphics, 388
6 5 4 Respon in Prime Words
3
Stimulus in Target Words
2 1 0 Data 1
Data 2
Data 3
Graphic 1. Respon and Stimulus in Words Recognition
3) Comprehension of words recognition on individuls Lexical decision as a centre to create meaning and sense into brand’s product and individual. Both of them are necessary to comprehend words recognition in harmony. The suitable words decision as lexical decision effect to the suitable meaning and sense in prime and target words as form of communicating brand. Chumbley and Balota (1984: 590-606) expressed an idea that, “word’s meaning affects the decision in lexical decision . . . a decision stage following lexical access”. This research identified the suitable words as lexical decision linking its meaning and sense into prime and target words. All of them to build word ‘trust’ of the individuals based on their needs and interests in the wider meaning about value as functional products and quality of a brand. The visual was appeared in the special moments to construct the individuals‘ recall easily and finally, reach for powerful customers of individuals as a target. The suitable meaning and sense when words compared into the comprehension on individuals. McDonough and Pavel (2009: 3) explained an example where, “Semantic priming refers to the tendency for people to process a word more quickly and more accurately when they have been previously exposed to a word that is related meaning. For example, language users will correctly identify the string cat (the target) as a word more quickly if they recently read the word dog (the prime) . . .”. Some words are visual recognition to individuals and brand. It has previously exposed to a word, such as: ‘rutinitas’, ‘kemerdekaan Indonesia’ and etc. Those are appeared the meaning and sense representations from comprehension of individuals. Based on graphic 1., there are the differences amount of stimulus and response. Data (3) has the highest stimulus. It is more 50 percents than response. The situation means that brand must more active to reach response from individuals as the goal through communicating brand.
4. Conclusion Semantic priming as a technique in psycholinguistics that see the pattern of words recognition in communicating brand. The technique separated words recognition into prime and target words. Lexical decision is the most important thing in semantic priming. It is a centre which addressed meaning and sense into prime and target words. Both of them create words as visual recognition and some of them were carried as stimulus and response. The prime words also lift some real experiences through lexical decision in the past and present time, such as 389
‘kemerdekaan Indonesia’, ‘rutinitas’ and ‘tema klasik’ that come close to the individual’s life and stimulate person to find out the target word in brand’s product Target word is implemented to words as a visual brand which has the identical sense to the prime words. There are the interaction between individuals and brand through prime and target words. All of its due to build word ‘trust’ of the individuals in the wider meaning about value as functional products and quality of a brand with looking first into individuals’ needs and interests. The visual was appeared in the special moments such as: ‘kemerdekaan Indonesia’ as ‘simbol perjuangan bangsa’ and etc. It is aimed to construct the individuals‘ recall easily. The finally, it reaches the powerful customers of individuals as a target to buying decision. References Chumbley, I James and Balota, A. David. (1984). Memory and Cognition. Massachussets, United States: SpringerLink, Volume 12, Issue 6, pp. 590-606. Creswell, W. John. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. United Kingdom: Sage Publications Inc. ________________. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Boston, USA: Pearso. Fennis, M. Bob and Wolfgang, Stroebe. (2010). The Psychology of Advertising. New York: Psychology Press. Gerrig, R. (1986). Processes and Product of Lexical Acess. Language and Cognitive Processes, 1, 187-196. Hackley, Chris. (2005). Advertising & Promotion: Communicating Brands. London: Sage Publications. Harley, A. Trevor. (2014). The Psychology of Language. From Data to Theory. Fourth Edition. New York: Psychology Press. Kasali, Rhenald. (2007). Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. McDonough, Kim & Trofimovich, Pavel. (2009). Using Priming Methods in Second Language Research. New York: Routledge. Meyer, F. Charles. (2009). Introducing English Linguistics. New York: Cambridge University Press. Semenik, Allen, O’Guinn and Kauffmann. (2012). Advertising and Promotions: An Integreted Brand approach. United States: Cengage Learning. Traxler, J. Matthew & Morton, A. Gernsbacher. (2006). Handbook of Psycholinguistics. United Kingdom: Elsevier Inc.
390
Discourse Analysis Mc-Donald "Venez comme Vous Êtes" in Critical Pragmatic Perspective Wahyudi Joko Santoso Universitas Negeri Semarang
[email protected]
Abstract Advertising is non-personal communication paid for by the sponsor who use the mass media to persuade and influence audiences. From that definition, there were several questions that can be examined critically, for example, why is it called communication non-personal, what benefits are gained sponsor even though he had to pay tens or even hundreds of millions, why use the mass media, who were persuaded and influenced and how to persuade and affect them. From those questions, this paper will try to answer them comprehensively. For answering them, transdisciplinary approach is required, e.g. semiotic, pragmatic, sociolinguistic, socio-economic, critical analysis, and so on. On this occasion, the chosen approach is a pragmatic approach critical discourse analysis. It means I integrate two approaches: pragmatic and critical discourse analysis. The advertising that will be analyzed is a discourse Mc-Donald (Mc-Do) having French-language text “Venez comme vous êtes.“ ‘Come to us like you are in your own home'. Keywords: advertising Mc-Donald, French-language text, critical pragmatics perspective
1. Pendahuluan Paradigma kajian bahasa pada awalnya, lebih ditekankan pada kajian yang bersifat historis dengan tokohnya James Burnett (1786), kemudian lahir kajian bahasa struktural dengan tokoh sentalnya Ferdinand de Saussure (1857-1813). Di Amerika, lahirlah kajian bahasa yang bersifat deskriptif yang dipelopori oleh Franz Boas (1888) dan dilanjutkan oleh Leonard Bloomfield (1914). Masih di Amerika, perkembangan selanjutnya adalah pendekatan transformasional oleh Noam Chomsky (1956). Pada tahun 1960-1970, paradigma kajian bahasa mulai untuk memasukkan aspek-aspek eksternal bahasa (konteks), sehingga lahirlah kajian bahasa yang bersikat transdisipliner (lintas disiplin), seperti sosiolingusitik, psikolinguistik, pragmatik, antropolinguistik, ekolinguistik, semiotik, dan sebagainya. Berbagai kajian yang terakhir tersebut, pada awalnya, masih bersifat nonkritis, artinya belum mempertimbangkan faktor-faktor praktik wacana, seperti politik, kekuasaan, dan ideologi. Namun, perkembangan kajian bahasa (wacana) terus berkembang, maka lahirlah kajian bahasa secara kritis. Analisis wacana kritis (AWK) muncul dari 'linguistik kritis' yang dikembangkan di University of East Anglia di tahun 1970-an. Sosiolinguistik belum memfokuskan perhatiannya dalam kajian wacana dengan mengaitkan hirarki sosial dan kekuasaan. Pertama kali, analisis wacana kritis dikembangkan oleh ahli bahasa yang bernama Norman Fairclough di sekolah Lancaster. Ruth Wodak juga telah membuat kontribusi besar
391
untuk bidang kajian wacana secara kritis ini (https://en.wikipedia.org/wiki/Critical_discourse_analysis). Penggunaan paradigma analisis wacana kritis (AWK) dalam kajian bahasa masih tergolong langka di Indonesia. Sejauh ini, AWK banyak digunakan dalam kajian komunikasi. Padahal, bahan baku AWK adalah bahasa, yakni berupa wacana Bahasa terbesar di atas kalimat. Tentu saja pemilihan paradigm AWK dalam kajian bahasa harus disesuaikan pula dengan karakteristik dan permasalahan objek kajiannya. Paradigma AWK memiliki beberapa model. Salah satunya adalah model Norman Fairclough. Model yang dikemukakannya sering disebut dengan model “perubahan social” (social change) karena pakar ini berusaha mengintegrasikan aspek linguistik dan pemikiran sosial politik, menuju perubahan sosial, dengan tetap mengedepankan wacana sebagai satuan bahasa dalam pusat kajiannya. AWK model Fairclough ini merupakan derivasi dari payung besar penelitian keilmuan yang dinamakan paradigma kritis. Sebagai strategi penelitian, AWK model Fairclough ini menganalisis dimensi teks, praktik kewacanaan, serta praktik sosio-kultural. Dalam paper ini, kajian yang dipilih adalah pragmatis kritis, yakni mengkaji wacana iklan Mc-Donald (Mc-Do) dengan teks berbahasa Prancis Venez comme vous êtes ‘Datanglah ke tempat kami seperti Anda di rumah Anda sendiri’. Dengan demikian, pisau yang digunakan untuk menganalisis wacana tersebut adalah pisau analisis pragmatik (Leech, 1983) dan kritis (Fairclough, 1997) di atas, sehingga menjadi pendekatan “pragmatis kritis.” Perpaduan kedua pendekatan ini diharapkan dapat memperoleh penjelasan yang lebih komprehensif (bandingkan Subagyo, 2010:178). Lebih spesifik lagi, paparan ini akan membahas aspek verbal (Venez comme vous êtes) dan aspek-aspek nonverbal yang menjadi konteks aspek verbal tersebut dalam perspektif pragmatik kritis. Menurut William J. Stanton, “Advertising consists of all the activities involves in presenting to a group, a non-personal, oral or visual, openly sponsored message regarding disseminated through one or more media and is paid for by an identified sponsor.” “Iklan terdiri dari semua kegiatan yang melibatkan presentasi sekelompok orang, non-personal, lisan atau visual yang secara terbuka menyesponsori perihal pesan yang disebarkan melalui satu atau lebih media dan dibayar oleh sponsor yang terindintifikasi.” Selanjutnya, pakar ini menambahkan “the above definitions clearly reveal the nature of advertisement. This is a powerful element of the promotion mix. Essentially advertising means spreading of information about the characteristics of the product to the prospective customers with a view to sell the product or increase the sale volume. (lihat http://www.publishyourarticles.net/knowledge-hub/business-studies/advertising g/1028/). “Definisi di atas jelas mengungkapkan sifat (asli) iklan. Ini adalah elemen campuran promosi yang dasyat. Pada dasarnya, iklan sebagai alat untuk menyebarkan informasi tentang karakteristik produk kepada calon pelanggan dengan maksud untuk menjual produk atau meningkatkan volume penjualan”. 2. Metode Mengingat kajian ini bersifat pragmatik kritis, maka metode analisis yang digunakan tentu saja menyesesuaikan dengan sifat kajiannya. Data yang dianalisis diambil dari internet (https://www.ionisbrandculture.com/mcdo-venez-comme-vous-etes--11) dengan metode simak, yakni menyimak wacana iklan Mc-Donald (Mc-Do/McD) dengan teknik lanjutan yang 392
disebut dengan teknik pengopian (sebagai ganti teknik catat). Adapun metode analisis yang digunakan adalah metode padan atau pemadanan yang berifat pragmatis, yakni menemukan pemadanan antara unsur yang diteliti (McD) dan unsur di luar wacana dengan teknik banding menyamakan (Sudaryanto, 1993). Model AIDA sebagai dicetuskan oleh E. St. Elmo Lewis pada tahun 1898 (lihat pada http://file.scirp.org/pdf/IB_2013110809313214.pdf) juga digunakan untuk memperkuat metode analisis wacana bisnis ini. AIDA merupakan kepanjangan dari A - Attention (Awareness): attract the attention of the customer, I - Interest: raise customer interest by focusing on and demonstrating advantages and benefits (instead of focusing on features, as in traditional advertising), D - Desire: convince customers that they want and desire the product or service and that it will satisfy their needs, and A - Action: lead customers towards taking action and/or purchasing. Berkenaan dengan kajian yang bersifat kritis, maka metode padan tersebut digabungkan pula dengan metode kritis. Fairclough (1997), membedakan metode ini menjadi 3, yakni deskriptif (textual description), interpretatif (discourse practice), dan eksplanatif (socio cultural practice). Menurut van Dijk (1985), variasi metode deskriptif dalam analisis wacana bersifat impresif. Apakah diinspirasi oleh instuisi analis atau oleh beberapa pertimbangan teoretis tentang sifat wacana; banyak disiplin dalam bidang ilmu humaniora dan sosial telah mengembangkan pendekatan miliknya masing-masing. Intinya, metode analisis aspek-aspek verbal wacana (kata, frasa, klausa, kalimat) dalam analisis wacana kritis berbeda dengan metode analisis deskriptif secara struktural, tatabahasa generatif atau fungsional. 3. Diskusi dan Pembahasan Sebelum paparan diskusi dan pembahasan, tulisan ini membicarakan terlebih dahulu perihal konsep pragmatik dan analisis wacana kritis (AWK), tujuan dan konteks dalam pragmatik dan AWK. Yule (1996: 3) membedakan 4 definisi pragmatik, yakni (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Keempat konsep itu memiliki penekanan yang sama, yakni kajian makna secara eksternal, artinya pragmatik mengkaji makna penutur (speaker sense) bukan lagi makna leksikal, makna gramatikal, atau pun makna yang lainnya. Dengan demikian, tujuan kajian bahasa secara pragmatik adalah memahami apa yang dimaksudkan penutur secara personal melalui ujaranujaran yang terikat konteks tertentu (depend on context). Fowler et al (1979), Fairclough (2001), van Dijk (1988), van Leeuwen (2008) dan Wodak (2001) mendefinisikan wacana secara kritis dengan menempatan wacana sebagai konstruksi yang tidak bebas nilai sehingga wacana bersifat tidak netral. Wacana merupakan wujud dari tindakan sosial yang diproduksi dengan tujuan/tindakan yang akan dicapai. Sesuai dengan masalah yang akan dikaji, maka penelitian ini berpedoman pada definisi wacana yang tidak bebas nilai dan tidak netral tersebut. Dengan demikian, wacana hadir dengan tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak. (lihat selengkapnya:http://www.kompasiana.com/pandanesia/sekilas-tentang-analisis-wacanakritis). 393
Fairclough dalam bukunya “Critical Discourse Analysis” (1997:23) dan juga dalam bukunya “Language and Power” (1992: 109-140) menyatakan bahwa AWK mengintegrasikan analisisnya ke dalam tiga analisis, yakni (i) analisis teks, (ii) analisis proses produksi, distribusi, dan konsumsi teks, dan (iii) analisis sosio-kultural praktik diskursif, seperti interview, paparan ilmiah, percakapan, dsb. Dengan demikian, ada perbedaan jangkauan konteks dalam pragmatik dan AWK. Konteks dalam pragmatik memiliki jangkauan yang lebih sempit, yakni latar belakang pengetahuan umum (background knowledge) dan pikiran sehat dan praktis (common sense) yang dimiliki bersama antara penutur dan mitra tutur yang dipakai untuk memahami tuturan para peserta tutur dalam hubungan interpersonal. Sebaliknya, konteks dalam AWK memiliki jangkauan yang lebih luas karena melibatkan dua level konteks, yakni konteks praktik wacana tempat wacana itu diproduksi dan didistribuksikan (baca: media massa) yang mana ideologi dan kekuasaan ikut menentukan proses pembentukan wacana yang diproduksi oleh media massa tersebut dan konteks praktik sosio-kultural yang lebih luas, konteks yang melingkupi media massa. Bahkan, salah satu karakteristik AWK adalah historis, artinya aspek (konteks) historis ini menjadi ciri pembeda juga dengan konteks dalam pragmatik. Dengan demikian, tujuan AWK adalah membongkar tujuan yang berdimensi sosio kultural-politisideologis penutur melalui praktik wacana dan praktik sosio-kultural yang ditentukan oleh ketiga konteks tersebut. AWK juga memasukkan intertekstualitas (intertextuality) (Kristeva, 1980) yang antara lain mengemukakan pandangan bahwa wacana tidak pernah ahistoris, dan memiliki kaitan dengan teks-teks sebelumnya. Dengan demikian, wacana selalu bersifat dialogis. Kaitan antara wacana iklan McD yang dibahas ini lahir dan berdialog dengan berbagai wacana iklan McD yang sudah lahir sebelumnya. Adapun kekuasaan dan ideologi merupakan konteks penting karena kekuasaan akan menjadi kontrol atas produksi wacana, dan ideologi menjadi penentu proses reproduksi wacana tersebut (lihat Subagyo, 2010:178). Selanjutnya, Subagyo menambahkan bahwa meskipun ada perbedaan dengan AWK dalam hal jangkauan konteks, beberapa ahli pragmatik telah meluaskan perspektif dan ranah kajiannya. Cummings (1999) dalam buku Pragmatics: A Multidisciplinary Perspective mencatat sekaligus menawarkan konsep pragmatik multidisipliner yang memungkinkan pragmatik mencapai “titik-titik pertemuan” dengan disiplin-disiplin lain, seperti filsafat, psikologi, inteligensi artifisial, dan patologi bahasa. Di samping itu, Cummings juga mengajukan beberapa topik dan disiplin baru yang dapat digarap pragmatik dalam lingkup multidisipliner tersebut. Untuk mengawali telaah wacana iklan Mc-Donald (McD) yang dimaksud, perhatikanlah wacana iklan di bawah ini.
394
Analisis ini dikelompokkan dalam empat hal, yakni analisis secara deskriptif, penerapan model AIDA, analisis pragmatis, dan analisis kritis. Secara deskriptif, analisis ini dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, wacana tersebut memiliki dua aspek, yakni aspek verbal venez comme vous êtes adalah bentuk ringkas dari venez comme vous êtes parce que finalement, chez nous vous êtes chez vous ‘datanglah ke tempat kami karena pada akahirnya di tempat kami, Anda seperti di rumah Anda sendiri’ ‘dan logo M, serta aspek nonverbal. Pertama, dilihat dari modusnya, kalimat venez comme vous êtes merupakan kalimat imperatif dengan subjek orang kedua jamak vous ‘anda sekalian’. Kalimat tersebut terdiri dari dua klausa, yakni klausa venez (chez nous) dan klausa vous êtes (chez vous). Dua klausa tersebut dihubungkan dengan konjungsi comme ‘seperti’. Dengan demikian, tuturan tersebut mengunakan majas perbandingan ekuatif yang disebut dengan simile, yaitu majas perbandingan dengan kata pembanding comme ‘seperti.’ Di samping itu, tuturan tersebut juga menggunakan aliterasi, yakni pengulangan bunyi konsonan v- dalam venez dan vous. Bahkan bila bentuk lengkapnya diperlihatkan, maka ada pengulangan kata, yakni chez pada chez nous dan chez vous, juga menggunakan asonansi, yakni pengulangan bunyi vokal [u] pada nous dan vous (lihat http://www.etudes-litteraires.com/bac-francais/figures-de-style.php). Penggunaan multimajas tersebut, menurut hemat penulis, tuturan tersebut terasa sangat puitis sehingga tuturan itu hidup dan bermakna dan akibatnya (sangat) berdaya perlokusif. Kedua, logo dua busur kembar membentuk huruf M yang merupakan initial dari McD. Logotype, sering hanya disebut logo adalah representasi grafis untuk mengidentifikasi cara yang unik dan langsung segala jenis struktur (badan/lembaga, perusahaan, organisasi masyarakat, situs, merek, peristiwa, ...). Kata logotype adalah kombinasi dari dua kata asal Yunani, yakni logos ‘parole ‘ atau ‘discours’ dan typos ‘figure‘. Logo memiliki 3 fungsi, yakni fungsi representatif (mewakili) dan ekspresif (penggunaan kode dan warna tertentu), fungsi referensial dan informatif (informasi dari badan/perusahaan yang bersangkutan), dan fungsi emfatik (memainkan singularitas untuk membedakan kelompok dan mendorong kepatuhan
395
terhadap nilai-nilai yang dirujuk) (lihat : http://www.forma-tice.net/les-logotypes-definitionfocntions-qualites/). Terakhir atau ketiga, aspek nonverbal ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. Ada perempuan muda cantik dan sensual dengan tubuh dan berpakaian seksi, bersepatu model boots shoes, turun dari tangga tali untuk membeli hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya ala McD yang dibungkus dengan tas kertas berlogo McD. Perempuan tersebut mengulurkan tangannya untuk menerima pesananannya dari sejumlah anak muda (karyawan McD) berbaju merah dan bertopi yang salah salah satunya menyerahkan bungkusan tersebut. Mereka digambarkan sangat antusias, ramah, baik hati, perhatian/mendengarkan konsumen, dan sebagainya. Mereka melongok dari jendela restaurant McD dengan ekspresi penuh kekaguman, kehangatan, dan keceriaan karena melihat perempuan dengan segala ciri fisik yang luar biasa dan dengan atribut yang dikenakan turun dari tangga tersebut. Di belakang ada awan di sore hari dengan warna sebagian kuning keemasan, sebagian abu-abu, dan sebagian hitam. Jadi, aspek nonverbal iklan McD ini dilukiskan secara naratif: imaginer dan fantastis. Selanjutnya, dengan mengikuti model AIDA tersebut, maka masyarakat (khususnya yang berbahasa Prancis), iklan tersebut diciptakan untuk menarik perhatian attention (awareness) dari masyarakat khususnya anak-anak muda berbahasa Prancis. Selanjutnya, setelah mereka memperhatikan dan menyadari kehadiran iklan tersebut, maka akan muncul interest perihal sensasi kenikmatan makan hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya ala McD yang enak dan crispy, misal bersama teman-teman atau keluarga. Setelah muncul ketertarikan, maka akan diikuti dengan desire, yaitu keinginan untuk menikmati lezatnya dan renyahnya hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya. Setelah konsumen menginginkan hamburger/ ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya ala McD tersebut, maka akan diikuti dengan action atau tindakan pembelian atau pemesanan baru dana atau ulang. Adapun secara pragmatis, tuturan venez comme vous êtes adalah bentuk ringkas dari venez comme vous êtes parce que finalement, chez nous vous êtes chez vous ‘datanglah ke tempat kami seperti di rumah Anda sendiri’ termasuk tuturan ilokusif direktif (lihat Searle, 1983), yakni tuturan yang dimasudkan untuk menyuruh mitra tutur (konsumen) agar mau membeli/menikmati hamburger/ayam goreng/kentang goreng, dan sebagainya ala McD tersebut dengan suasana seperti di rumah sendiri: santai, bebas, nyaman, dan (sangat) privasi. Dengan demikian, tuturan itu memiliki kesepadan dengan sesuatu yang berada di luar tuturan, yakni tindakan pembelian oleh masyarakat internasional, khususnya anak-anak muda (mitra tutur yang disasar oleh wacana yang bersangkutan). Tuturan ini disampaikan secara langsung dan literal. Dikatakan langsung karena maksud memerintah disampaikan dengan modus kalimat perintah dan dikatakan literal karena kata-kata yang menyusun tuturan tersebut sesuai dengan maksud pengutaraannya (lihat Searle dalam Parker, 1986). Dalam pandangan pragmatis di atas, tuturan venez comme vous êtes yang memiliki dua klausa venez dan vous êtes yang dihubungkan dengan konjungsi comme mengandung maksud perintah dari penutur kepada mitra tutur. Namun, dalam pandangan pragmatik kritis, tuturan tersebut tidak hanya menyatakan perintah semata tetapi perintah dari hasil pola hubungan yang tidak setara (unequal relation) antara dua pihak, yakni konsumen yang menjadi objek konsumtif yang bisa diperintah/dibujuk oleh sang subjek, yakni oleh pemilik (owner) McD Coorporation. Dalam hal ini, wacana tersebut diperoleh lewat media online (internet) yang 396
dapat diakses siapa pun, di mana pun, kapan pun, dengan harga berapa pun untuk membeli makanan dan minuman ala McD, dan dengan menggunakan jenis tuturan apa pun. Sebagai informasi tambahan bahwa McD Coorporation pada awalnya dimiliki oleh Dick dan McDonald pada tahun 1940, tetapi kemudian dijual dan dibeli oleh Ray Kroc yang kini sudah menyebar di seluruh kota di seluruh dunia ini (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/McDonald%27s) dengan laba bersih mencapai US$ 1,1 miliar (setara dengan 13,5 triliun lebih) pada tahun 2016 ini (lihat http://wartaekonomi.co.id/read/2016/04/24/98140/mcdonalds-laporkan-laba-bersih-kuartalpertama-naik-35-persen.html). Pada zaman teknologi informasi yang sangat canggih ini, iklan dan atau promosi barang/jasa apa pun dapat diakses via internet kapan pun, di mana pun, dengan media apa pun, dengan harga berapa pun, dan dengan jenis tuturan apa pun sehingga masyarakat seakan-akan tidak merasa lagi bahwa mereka berada dalam kendali/kontrol orang/kelompok orang/pemerintah/badan hukum/badan sosial/badan usaha, dan sebagainya. Untuk dapat mengakses internet kita harus memiliki smart phone dan jaringan internet yang membutuhkan pulsa. Kepemilikan kedua barang tersebut kita sudah dikontrol oleh perusahaan handphone dan pulsa. Mengingat itu sudah menjadi kebutuhan komunikasi vital pada zaman ini, maka semuanya dianggap wajar-wajar saja oleh masyarakat moderen ini sehingga praktik wacana oleh media massa apapun (dalam hal ini internet) berjalan dengan mulus dan aman-aman saja sepanjang mematuhi norma-norma sosio-kultural yang mengatur praktik wacana tersebut. Menurut Fairclough, praktik wacana meliputi 3 hal, yakni produksi wacana (iklan McD), distribusi iklan (internet: open source), dan konsumsi iklan (publik). Menurut Fairclough, semakin praktik wacana itu wajar, maka semakin menguntungkan pemilik media massa dan pemilik badan usaha/korporasi yang bersangkutan. Dengan demikian, publik berada dalam kontrolnya tanpa mereka menyadari sama sekali bahwa mereka terus dikontrol dan diatur untuk mengikuti aturan-aturan mainnya. Malah sering terjadi, user name dan password masyarakat yang sifatnya sangat rahasia dan pribadi juga diberikan tanpa mereka/kita dapat menolaknya. Menurut Michel Foucault, pengontrolan dan pendisiplinan yang demikian ini bersifat panoptik (le contrôle panoptique) (lihat https://www.franceculture.fr/philosophie/la-societe-desurveillance-de-foucault). Pada level praktik sosio-kultural, pada hakikatnya, produksi wacana (iklan) terikat atau diatur oleh norma-norma sosial budaya yang berlalu pada masyarakat luas yang bersangkutan, baik norma yang lisan maupun tulis. Wacana iklan McD tersebut berada dalam konteks sosio kultural barat (un contexte occidental), khususnya Amerika (asalnya) dan Eropa (khususnya yang berbudaya Prancis). Konteks sosio-kultural pada iklan McD tersebut tampak dari penggunaan kode sosio kultural, seperti perempuan sendirian merepresentasikan individualitas, kebebasan, dan kemandirian (l’individualité, l’indépendance, la liberté), naik turun lewat tangga tali merepresentasikan “keberanian dan petualangan” (le courage et l’aventure), pakaian dan sepatu boot merepresentasikan modernitas kaum muda, warna hitam merepresentasikan kemewahan dan keanggunan (le luxe et l’élégance) (selain simbol kesedihan dan atau kematian), warna merah merepresentasikan gairah dan cinta (la passion et l’amour) (di samping merepresentasikan kekuatan dan kejantanan ‘la force et la virilité’), serta sensualitas dan keinginan (la sensualité et le désir) (lihat https://www.alfange.com/graphisme10-couleurs-signification). Kode-kode sosio kultural tersebut mengatur copy writer iklan 397
sehingga ia tidak bebas semaunya dalam merancang iklan-iklannya, tetapi ia benar-benar terikat oleh konteks sosio kultual yang berlaku di masyarakat barat, khususnya masyarakat berbudaya Prancis. 4. Kesimpulan Dari perspektif pragmatis kritis terhadap wacana iklan McD di atas dapat terungkap tujuan/maksud sosial-kultural-politis-idelogis korporasi McD melalui iklan tersebut, yakni korporasi kuliner ini ingin terus-menerus me-McD-kan masyarakat internasional melalui penetrasi iklan McD yang terakses oleh masyarakat internasional di manapun dan kapanpun, baik melaui media cetak maupun media digital (audio/audio visual). Oleh sebab itu, iklan komersial pada hakikatnya adalah komunikasi massa nonpersonal yang dibayar oleh sponsor (dalam hal ini McD Corporate). Secara sosio kultural, budaya kuliner makan humberger/ayam goreng/kentang goreng ala McD menjadi trend masyarakat internasional sehingga menggeser budaya kuliner lokal (nasional/regional). Sementara itu, secara politis, wacana iklan di atas mengungkap praktik politis ekonomis, yakni mengeruk profit finansial secara besar-besaran dari masyarakat internasional. Kita tidak bisa membayangkan laba bersih pada tahun 2016 ini saja, yakni telah mencapai belasan triliun rupiah. Ini sangat fantastik!!! Akhirnya, secara ideologis, dengan pendekatan pragmatik kritis ini, terungkap praktik ideologi hedonisme dan ekonomi kapitalis Amerika di muka bumi ini, tak terkecuali di Prancis dan Indonesia. Itulah beberapa benefit yang diperoleh korporasi McD dengan penetrasi iklan yang seakan tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun. Tulisan ini telah membuktikan bahwa ancangan pendekatan pragmatik kritis, yakni perpaduan pendekatan antara pragmatik dan AWK dapat dipakai sebagai pisau analisis wacana secara komprehensif. Bila hanya digunakan ancangan pragmatis saja, maka analisis dan hasilnya tidak akan memadahi karena tidak adanya kajian terhadap pengungkapan tujuantujuan ideologis dan politis. Secara empiris dan teoretis, pragmatik kritis menjadi salah satu ancangan alternatif untuk membongkar praktik wacana dan praktik sosial kultural. Daftar Acuan Fairclough, Norman. (1997). Critical Discourse Analysis. London: Longman. Fairclough, Norman. (1987). Language and Power. London: Longman. Leech, G.N. (1983). Principles of Pragmatics. New York: Longman. Parker, Frank. (1986). Linguistics for Non-Linguists. London: Taylor and Francis Ltd. Yule, George. (1996). Pragmatics. New York. Oxford University Press. Subagyo, Ari P. (2010). “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dan Analisis Wacana Kritis” dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-28, No. 2. Hal. 177-178. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. van Dijk, Teun A (ed.). (1985). Handbook of Discourse Analysis: Dimensions of Discourse. Vol. 2. London: Academic Press.
398
Sumber Internet https://en.wikipedia.org/wiki/Critical_discourse_analysis. https://id.wikipedia.org/wiki/McDonald%27s. https://en.wikipedia.org/wiki/AIDA_(marketing). http://www.kompasiana.com/pandanesia/sekilas-tentang-analisis-wacana-kritis. http://www.publishyourarticles.net/knowledge-hub/business-studies/ advertising g/1028. https://www.ionisbrandculture.com/mcdo-venez-comme-vous-etes--11. http://file.scirp.org/pdf/IB_2013110809313214.pdf. http://www.etudes-litteraires.com/bac-francais/figures-de-style.php https://www.alfange.com/graphisme-10-couleurs-signification. https://www.franceculture.fr/philosophie/la-societe-de-surveillance-de-foucault. http://wartaekonomi.co.id/read/2016/04/24/98140/mcdonalds-laporkan-laba-bersih-kuartalpertama-naik-35-persen.html). http://www.forma-tice.net/les-logotypes-definition-focntions-qualites/
399
400
Surabaya Dialect in JTV Waode Hamsia & Lulut Kharisma Diningroom Muhammadiyah University of Surabaya
[email protected]
Abstract Language is a communication tool that is used to interact with others. Language consists of many kinds of dialect. One of them in Indonesia is known Surabaya dialect that is popular with Suroboyoan. JTV has a news program that is Pojok Kampung uses Suroboyoan dialect. The program encourages Surabaya people to maintain the existance of Suroboyoan dialect by doing a concrete action. The concrete action automatically leads to possess positive attitude toward Pojok Kampung news. The researcher analyzed Suroboyoan dialect in news program Pojok Kampung that is as data by using sosiolinguistic theory. In this research, descriptive qualitative is applied to analyze the data. The researcher analyzed the data by translating Suroboyoan words into common standard Java, describing how those Suroboyoan words are used and how are the audiences’ responses. The purpose of news program “Pojok Kampung” used Suroboyoan dialect to maintain and developing Indonesian Language. Moreover this program can make good relationship to the audiences and become a favourite Surabaya’s people program. Keywords: Dialect, Pojok Kampung News in JTV, Suroboyoan
1. Introduction Language is a communication tool that is used to interact with others. Language consists of many kinds dialect. Hyams, Rodman, and Fromkin states that a dialect is not an inferior or degraded form of a language, and logically could not be so because a language is a collection of dialects (2009:431). Furthemore Hyams, Rodman, and Fromkin states that the language used by a group of speakers is a dialect (2009: 477). In Indonesia, there is a variety of languages that is used by the people to communicate in daily life, one of them is known Surabayoan. Indonesian people who stay at Surabaya use Suroboyoan in their conversations. Suroboyoan is very popular among Surabaya native citizens who live in and out of Surabaya, because it has a peculiarly words in Suroboyoan as a native language. A communication can be done directly or indirectly, an example of indirect communication is electronic media such as television. On television there are various kinds of programs which are broadcasted, one of them is the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya that is broadcasted news about East Java. JTV has a news program that is Pojok Kampung uses Suroboyoan dialect. The program encourages Surabaya people to maintain the existance of Suroboyoan dialect by doing a concrete action. The concrete action automatically leads to possess positive attitude toward Pojok Kampung news. This news program is different from other news program on Indonesian television because it uses Suroboyoan. Examples of such words are as follows: Bajingan embongan Barek Bedil Bronpit Dikewer Ditegep 401
Keplase Mbejudul The examples above are kinds of Suroboyoan words used in news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. For this reason, the researcher uses the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya as a research study. The researcher conducts research on the peculiarly Suroboyoan words with the purpose to analyze how Suroboyoan words used in news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya, and to find how are the audiences’ responses of the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. As far as the researcher’s knowledge, the research that discussed Suroboyoan has revealed that the use of Suroboyoan still hard to find, whereas Suroboyoan is very popular among Surabaya native citizens who live in and out of Surabaya and this study can gives contribution generally in linguistics and specifically in sociolinguistics. 2.
Review of Related Literature
2.1 Sociolinguistics Language is a communication tool to interact with others that are used in daily life. People use language to express their thoughts to others. This is one of the social activities in the community. Matthew in Jendra states that Sociolinguistics is any study of language in relation to the society (2010: 10). It means that the language and society cannot be separated from each other. This is reinforced by the following quotation, Yule states that sociolinguistics is used generally for the study of the relationship between language and society (2010: 254). It can be concluded that language has a relationship with society and sociolinguistics uses them. 2.2 Dialects Dialect is a part of the language used by people to communicate. Indonesia has many cities where every city in Indonesia has a different dialect to each other. One of them is the city of Surabaya, which uses Suroboyoan dialect as a communication tool. According to Coulmas, dialect is used here to refer to any regional, social, or ethnic variety of language. The language differences associated with dialect may occur on any level of language, thus including pronunciation, grammatical, semantic, and language use differences. At first glance, the difference between “dialect” and “language” seems fairly straightforward - dialects are subdivisions of language (2007: 75). Dialect is differentiated by the vocabulary, grammar, and pronunciation. Those things make dialects are distinguishable each other in every city in Indonesia, especially Java island. Jie stated that dialects are different ways of saying the same thing and tend to differ in phonetics, phonology, lexicon, and grammar (2013: 36). 2.3 Vocabulary Vocabulary is commonly defined as collection of words Garvey states that vocabulary with our store of words (2010: 38). Furthermore Garvey states that words are the units from which phrases are constructed. In ordinary written English they are generally separated from each other by spaces. All the items separated by spaces in this paragraph are words (2010: 75). In every paragraph there are a few sentences, and in every sentence there are words, a collection of words that are known vocabulary. 2.4 Markers of Dialect There are two examples from news program ‘Pojok Kampung” on JTV Surabaya. Example 1 News 1/sentence 1 Berita pertama dherek, jalur pendakian gunung raung sak iki ditutup polae onok munggae aktifitas vulkanik gunung barek curah udan duwur nok daerah kunu. 1 402
Example 2 News 5/sentence 2 Masio gak onok ungsur sengojo sing lanang sing wis yo kelangan bojone dijiret pasal telu limo songo perkoro luput sing nggarakno keplase nyowone uwong. 2 Transcript news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya above is using Suroboyoan dialect but just in a few words is purely Suroboyoan dialect. The quotation above show that there are words between clauses to show markers of dialect and the writer give bold or italic. 2.5 Suroboyoan Indonesia consists of several islands, each island has several provinces. East Java is one of the province that is located on Java island where people have been using Javanese language as communication tool in daily life. Kartiningsih in her blog states that Javanese language in general recognizes the level of language. Krama Inggil, for the most subtle levels, usually used for people whose highest degree or older. Krama madya, subtle level, used to talk to the person who was adrift a few years older. While slightly refined, that Ngoko, used when talking to a friend the same age or younger (2014:06/01/2016,19:09). In East Java, there are so many cities, one of them is Surabaya. The residents in Surabaya uses Surabaya dialect or more commonly known as boso Suroboyoan included in the category of slightly refined language that is Ngoko. 2.7 Social Style Every activitiy has the way to do something. Coupland states that ‘style’ refers to a way of doing something (2007: 1). In this sub chapter is about style in speech and about ways of speaking to the other, Coupland states that style is an individual speaker does with a language in relation to other people (2007: 60). The language that is used here is dialect as Coupland states that dialects are social style (2007:02). In the usage of languages there are speaker and listener which have the same dialects so that they can easily understand each other in communication. Sellnow states that communication is the process of sending and receiving verbal and non-verbal messages to create shared meaning (2005: 07). 3. Method of the Study 3.1 Nature of Study In this research, the researcher used qualitative method because the researcher described the data in detail, and not in numerical form. Qualitative research is research that the researcher used to describe the data in detail with words instead of numbers. In this research, there is no numbers or measures because the researcher only describing the data in detail. So, the researcher used descriptive qualitative as the nature of research in this research. 3.2 Source of Data This sub chapter, the researcher provides about source of data that the researcher had taken before analyzing this study to support the researcher did this research. The source of data was from news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This news program which was on Wednesday, 18 February 2015, 09:00 p.m. to 10:00 p.m. edition.
3.3 Data
403
The data that are used are the utterences especially only Suroboyoan dialect words in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya which discussed news about East Java using Suroboyoan and the data consist of one episode. 3.4 Instrument of the Study To get the data, the resarcher used tablet advance its color is black to record the data, there are two ways to get the data that were recording and questionnaire. 3.5 Data Collection Technique Data collection is the way that the researcher collected the data before the researcher did this research. The researcher did this way until the resarcher could draw the analysis and makes a conclusion about this study research. The ways that the researcher must do before making this analysis were: interview, record, transcript, and selection. 3.6 Data Analysis There were some steps in data analysis that the resarcher do until the resarcher made the conclusion about the analysis. The first was translating into common standart East Java, the second is describing how those Suroboyoan words are used, the third is describing why the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya uses Surabaya dialect, and the last describe how are viewer responses toward the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya.
4. Analysis and Finding 1) Kinds of Suroboyoan words used in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya Kinds of words Suroboyoan dialect can be seen in this some sentences below: News 3/sentence Apese teko arah Pacitan ujug-ujug mbejudul mini bis mlaku banter, langsung nabrak trek sing wis melbu nang lajur kiwo. 7 Transcript news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya above used Suroboyoan dialect, the sentences above show that there are words between clauses to show markers of dialect and the writer give bold, based on Jie (2013: 36). Kinds of words can be seen in the table below: Suroboyoan word Mbejudul
Standard Java ‘mbejudul is purely Suroboyo nese word, as its standard Java is ‘pametu’
English ‘mbejudul’ is purely Suroboyo nese word, as its English is ‘appear’
2) How are the common Suroboyoan words used in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya This sub chapter provided the explanation of how the use of Suroboyoan words that used in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This news program used Suroboyoan dialect and the dialect itself is differentiated by the vocabulary, grammar, and pronunciation. It is supported by Holmes dialects are simply linguistics variaties which are distinguishable by 404
their vocabulary, grammar and pronunciation; the speech of people from different social, as well as region, groups may differ in these ways (2001: 132). (1) Vocabulary Based on Garvey vocabulary store of words (2010: 38). The word can be seen in the table below. The table consists of three parts, the first part shows Suroboyoan words, the second part shows the meaning in Indonesian, and the last part shows the meaning in English. Suroboyoan word Indonesian English Mbejudul Muncul Appear (2) Grammar Grammar in boso Suroboyoan is the same with standard Java because standard Java consists of three levels that is Ngoko, Krama Madya, and Krama Inggil, and boso Suroboyoan include Ngoko. It is supported by Kartiningsih that Krama Inggil, for the most subtle levels usually used for people whose highest degree or older. Krama madya is subtle level used to talk to the person who was adrift a few years older. While slightly refined that Ngoko used when talking to a friend the same age or younger. (2014:06/01/2016,19:09). News 3/sentence 7 Boso Suroboyoan: Apese teko arah Pacitan ujug-ujug mbejudul mini bis mlaku banter, langsung nabrak trek sing wis melbu nang lajur kiwo. 7 Krama Madya: Blainipun saka angkah Pacitan moro-moro untup-untup muni bis mlampah banter langsung nabrak trek ingkang sampun melbu ing lajur kiwo. 7 Krama Inggil: Katiwasanipun sakeng angkah Pacitan terus untup-untup nuni bis tindak banter langsung nabrak trek ingkang sampun melbet teng lajur kiwo. 7 English: Unfortunatelly from the direction Pacitan suddenly appears a mini bus that is running fast, direct hit a truck that had entered the left lane. 7 (3) Pronunciation In written form, Suroboyoan and standard Java have the same form, but in pronunciation they have different form. It is supported by Ariandra that Suroboyoan /i/ change to be /e/ meanwhile standard Java /i/ still read /i/, and /u/ change to be /o/ (2012:06/01/2016,17:24). The researcher gives some examples from transcript the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya which is on Wednesday, 18 February 2015, at 09:00 p.m. to 10:00 p.m. edition in the table below: Suroboyoan words Pronunciation Standard Javanese Pronunciation Bis Bes Bis Bis /bes/ /bɪs/ Sing Seng Sing Sing /seŋ/ /sɪŋ/ Wis Wes Wis Wis /wes/ /wɪs/ 3) Why does the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya use Surabaya dialect
405
In this sub chapter, the researher would like to explain why does the news program“Pojok Kampung” on JTV Surabaya: Coupland states that ‘style’ refers to a way of doing something (2007: 1). The researcher was using interview to answer how is viewer respon toward the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. The researcher conducted interview with the JTV’s crew with the following questions why the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya uses Surabaya dialect and why the news program is discussed around the East Java? JTV’s crew states that because as a form of language preservation area so it is not lost by the influence of globalization, in terms of culture editors strive to maintain and popularize peculiar words “boso Suroboyoan” so that the words are hardly used resurfaced, for example word bronpit in Indonesian means ‘bike motorcycle’. Based on the functions of commercial entertainment and editorial use words are funny and entertaining, for example said mbok ndewor in Indonesian means ‘mother or wife’. By using words such unusual, rating news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya are high on top and get a lot of ads that are favorable to the television. This is proven by the success of the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya received an award from Surabaya Heritage as one of the heritage of the nation on Monday, July 7, 2008 because it was considered as a preserver “boso Suroboyoan”. For that reason the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya discussed news about East Java. 4) How are viewer responses toward the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya In this part, the researcher would like to explain how Suroboyoan is viewer responses toward the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya: The researcher was using questionnaires to answer how is viewer respon toward the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This activity suitable with Couplan quotation that ‘style’ refers to a way of doing something (2007: 1) the researcher would like to uses the Questionnaires consists of one hundred and fifty sheets, and every sheet has six questions. Based on questionnaires, the researcher could conclude that Suroboyoan dialects is very popular among Surabaya’s people who live in and out of Surabaya and the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya to show the news about East Java. Therefore, the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya not only using Suroboyoan dialect to establish and maintain good relationship this program with the audience but also the purpose of this news program is to show the audience that that the language usage in this program is the characteristic of native Suroboyoan. In addition, because most of the audiences of JTV Surabaya are East Java people, so that they can understand how Suroboyoan. 5. Conclusion Language is a communication tool used by humans to interact with other people. Language consists of many kinds of dialect. One of them in Indonesia is known Surabaya dialect that is popular with Suroboyoan used by the people of Surabaya as their communication tool in daily life. JTV has a news program that is Pojok Kampung uses Suroboyoan dialect. The program encourages Surabaya people to maintain the existance of Suroboyoan dialect by doing a concrete action. The concrete action automatically leads to possess positive attitude toward Pojok Kampung news. The audiences need to know and understand the Suroboyoan words used in news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. These words as follows: Bajingan embongan Barek Bedil Dikewer 406
Ditegep Keplase Mbejudul These Suroboyoan words are used in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya. This news program using Suroboyoan dialect and dialect itself is differentiated by the vocabulary, grammar, and pronunciation. Suroboyoan words used to show a characteristic Suroboyoan to the audiences in the news program “Pojok Kampung” on JTV Surabaya, but not all words in the news program using Suroboyoan, only a few words in a way that uses Suroboyoan inserted into the clauses. Suroboyoan words used in news programs “Pojok Kampung” on JTV Surabaya to maintain good relationship with the audience because most of the audiences of this program are East Java peoples or those who understand the Suroboyoan. Moreover news programs “Pojok Kampung” on JTV Surabaya become a fovourite Surabaya’s people news’ program. References Andriana. 2012. Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan (Online). Retrieved from: http://id.ariandrasurabaya.wikia.com/wiki/User_blog:Ariandra/BahasaJawa_Dialek_S uroboyoan. January, 06, 2016. Ciparimakmun. 2012. Tembung Bahasa Jawa Ngoko Krama Madya Krama Inggil Tembung Liane (Online). Retrieved from: http://ciparimakmuncilacap.blogspot.com/2012/02/tembung-bahasa-jawa-ngokokrama-madya.html. January, 06, 2016. Coulmas, Florian. 2007. The Handbook of Sociolinguistics. Blackwell Reference Online. Coupland, Nikolas. 2007. Style: Language Variation and Identity. Cambidge University Press, New York. Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches - 3th edition. Sage Publications Ltd., United Kingdom. Garvey, James J. Delahunty, Gerald P. 2010. The English Language: From Sound To Sense. The WAC Clearinghouse, Colorado. Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistic - 2nd edition. Pearson Education Limited, United Kingdom. Fromkin, V., N. Hyams, dan R. Rodman. 2009. An Intoduction to Language - 9th edition. Wadsworth Cengage Learning, New York. Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010. Sociolinguistics: The Study of Societies’ Languages - 1st edition. Graha Ilmu, Yogyakarta. Jie. Gao. 2013. On Function of Dialect in The Mayor of Casterbridge from Sociolinguistic Perspective. Canadian Research & Development Center of Sciences and Cultures, China. Kartiningsih, Julaeha. 2014. Eksistensi Bahasa Jawa dalam Menghadapi Arus Globalisasi (Online). Retrieved from: http://julaeha-kartiningsihfib14.web.unair.ac.id/artikel_detail-119731-Tugas%20KuliahEksistensi%20Bahasa%20Jawa%20Suroboyoan%20dalam%20 Menghadapi%20Arus%20Globalisasi.html. January, 06, 2016. Kurniawati, Ani. 2004. A Study of the Deviation Words in Surabaya The Deviation Words in Surabaya Dialect used in Pojok Kampung. Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya. Meyerhoff, Miriam. 2006. Introducting Sociolinguistics. Routledge Taylor & Francis Group, New York.
407
Nurcahyo, Henry. 2007. Kamus Dialek Surabaya Abjad (Online). Retrieved from: https://henrynurcahyo.wordpress.com/2007/09/29/kamus-dialek-suroboyo-abjad/. January, 06, 2016. Nurkasanah, Pida. 2012. A Study of the Javanese used by People in Baleturi-Prambon Nganjuk. Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya. Sellnow, Deanna D. 2005. Confident Public Speaking – 2nd edition. Thomson Wadsworth, United States of America. Suntoro. 2004. A Study of Language Variety used in Pojok Kampung Awan on JTv. Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya.
408
Tindak Tutur Direktif Presiden Joko Widodo kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Yoga Mestika Putra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstract This research is about the directive speech acts of President Joko Widodo toward Badrodin Haiti, the Chief of National Police of Indonesia (KAPOLRI) 2015-2016. As the president, Jokowi often instructed Badrodin about what the National Police of Indonesia supposed to do. In speech acts, both the speaker and the listener tend not to define words they hear literally. This could happen because there is context which is bordered the speaker and the listener. Searle (1976) developed the concept into five kind of speech acts assertive, directive, commisive, expressive, and declarative. The data is obtained from online news portal Kompas.com and Republika.co.id. The data analyzed based on speech acts theory. In speech acts it is said that ‘the actions performed in saying something’ (Austin, 1962). This theory enables us to analyze the speech in the form of locutionary, illocutionary, and perlocutionary. The finding of the research shows that the types of directive speech acts of Jokowi deal with giving instruction, asking, forbidding, giving permission, and giving advice. Keywords: Context, Speech acts, Directives speech acts
1. Pendahuluan Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena tindak tutur merupakan satuan analisisnya. J.L Austin adalah salah seorang ahli bahasa memperkenalkan teori tindak tutur (speech act) yang disampaikan melalui serangkaian kuliahnya yang dikenal sebagai The William James Lectures di Universitas Harvard pada tahun 1955. Pokok-pokok pikiran Austin kemudian dituangkan menjadi buku yang berjudul How to do things with Words yang memberikan pandangan yang berbeda tentang kalimat-kalimat yang diujarkan. Tulisan Austin tersebut kemudian sangat berpengaruh pada perkembangan kajian bahasa selanjutnya Berdasarkan asumsi bahwa ada tsindakan yang terkandung dalam sebuah kalimat, Austin membedakan tuturan menjadi dua jenis yakni tuturan konstatif dan performatif. Menurut Austin (1962) tindak tutur konstantif merupakan jenis tindak tutur yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta yang terjadi sekarang atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Misalnya “John is running” (1962: 55). Sedangkan tuturan performatif adalah tindak tutur yang diucapkan untuk melakukan suatu tindakan (1962: 1-11). Tindak tutur performatif berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun belum diketahui benar ataupun salahnya. Contoh tindak tutur performatif yaitu pada saat sesorang berkata “I apologize”, “I promise”, “I will” (pada upacara pernikahan), atau “I name this ship”. Penuturnya tidak hanya menuturkan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu yaitu meminta maaf, berjanji, menikahi pasanngan dan memberi nama kapal. Pada akhirnya Austin menyimpulkan bahwa semua tuturan termasuk ke dalam jenis performatif. Selanjutya Austin (1962: 94-107) mengatakan bahwa dalam mengucapkan sebuah tuturan seseorang melakukan tiga tindakan sekaligus, yaitu tindakan lokusi (locutionary act), tindakan ilokusi (illocutionary act), dan tindakan perlokusi (perlocutionary act). Tindakan 409
yang pertama yaitu lokusi merupakan tindak tutur yang memiliki arti dan acuan tertentu yang mirip dengan makna menurut pengertian tradisional (ibid: 109). Dengan kata lain tindakan lokusi merupakan kalimat yang sebenarnya dituturkan tanpa melihat maksud yang ada di balik kalimat tersebut. Kedua, tindakan ilokusi seperti menginformasikan, memerintahkan, dan melakukan merupakan tindak tutur yang memiliki daya tertentu (konvensional). Dalam hal ini ada daya atau dorongan yang dimiliki oleh kalimat yang dituturkan. Ketiga, tindakan perlokusi merupakan tindak tutur yang menggambarkan efek yang ditimbulkan oleh tindakan ilokusi pada pendengarnya. Tindak tutur yang perlokusi dapat juga dikatakan sebagai konsekuensi yang harus dihadapi oleh pendengar terhadap apa yang diujarkan penutur. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yule (1996) yang menyatakan bahwa tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak tutur yang saling berhubungan, lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindak dasar tuturan atau menghasilkan ungkapan linguistik yang bermakna. Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Ilokusi ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur. Jadi, perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu bagi pendengar. Searle membuat klasifikasi tindak tutur dengan dasar pengembangan klasifikasi Austin. Searle mengembangkan teori klasifikasi tindak tutur yang terpusat pada ilokusi yang didasarkan tujuan dari tindak dan pandangan penutur. Tindak tutur itu diklasifikasikan dalam lima jenis tuturan ilokusi, yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Yule (1996) mengklasifikasikan sistem klasifikasi umum tindak tutur mengikuti Searle (1979) ke dalam lima jenis fungsi, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Deklaratif adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Representatif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Ekspresif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yaleeng dirasakan oleh penuturnya. Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Komisif adalah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jokowi merupakan presiden ke tujuh Republik Indonesia yang mulai menjabat sejak 20 Oktober 2014. Sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, Jokowi kerap kali memberi perintah kepada kabinet yang ia pimpin, tak terkecuali kepada Kapolri. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah kepolisian nasional di Indonesia yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Sebagai institusi Polri memiliki wewenang dalam menindak perilaku kriminal. Kapolri merupakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang sejak 16 Januari 2015 dipimpin oleh Jenderal Pol. Badrodin Haiti. Beberapa kali Jokowi memberikan perintah kepada Kapolri sehubungan dengan beberapa kasus kriminal. Dalam makalah ini judul berita yang akan diambil adalah “Jokowi Tantang Polisi Tangkap Mafia DVD Bajakan, Bukan Cuma Pedagang Kecil”, “Jokowi Perintahkan Kapolri Tak Membuat Hal-hal yang Kontroversial”, dan “Jokowi Perintahkan Kapolri Tindak Tegas Penimbun BBM dan Kebutuhan Pokok”. Berdasarkan judul berita tersebut, dapat dilihat bahwa tindak tindak tutur Jokowi memerintahkan Kapolri merupakan tindak tutur direktif. Bach dan Harnis (dalam Syahrul, 2008:34) membagi tindak tutur direktif atas enam kelompok jenis, yakni (a) permintaan yang mencakup meminta, memohon, mengajak, mendorong, mengundang, dan menekan; (b) kelompok pertanyaan, yang mencakup bertanya, berinkuiri, dan menginterogasi; (c) kelompok persyaratan, yang mencakup memerintah, mengomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan; (d) kelompok larangan, yang mencakup melarang dan membatasi; (e) kelompok pengizinan, yang mencakup memberi izin, membolehkan, mengabulkan, melepaskan, memperkenankan, memberi wewenang, dan 410
menganugerahi; (f) kelompok nasihat, yang mencakup menasihati, memperingatkan, mengusulkan, membimbing, menyarankan, dan mendorong. Dengan demikian penelitian ini bertujuan mengetahui tindak tutur direktif apa saja yang digunakan Jokowi dalam menyampaikan perintahnya kepada Kapolri yang dimuat dalam teks berita online 2. Metode Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Kirk dan Miller (dalam Djajasudarma, 1993:9) menyatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya. Metode kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa. Data dengan tipe berita online diambil dari dua media online yang berbeda yaitu dari kompas.com dan republika.co.id. Data kemudian diteliti setiap tuturannya. Tuturan-tuturan itu diklasifikasikan dalam sistem klasifikasi tindak tutur direktif. 3. Diskusi dan Pembahasan Searle (1976) menyatakan bahwa satuan linguistik dalam komunikasi bukanlah hanya sebuah simbol, kata, atau kalimat, namun semuanya ini lebih mengacu kepada kinerja dari tindak tutur (performance of the speech act). Jadi, bahasa itu tidak hanya merupakan sebuah tayangan konsep yang ada dalam pikiran namun bagaimana menghasilkan sebuah pemahaman yang diikuti oleh sebuah tindakan. Di dalam teks berita online tentang perintah presiden kepada Kapolri, tuturan demi tuturan tidak hanya sekadar diucapkan namun punya maksud yang dipahami oleh audiens dan memiliki daya untuk mendatangkan sebuah tindakan. Berikut berita yang dimuat pada kompas.com dan republika.co.id 1. Jokowi Tantang Polisi Tangkap Mafia DVD Bajakan, Bukan Cuma Pedagang Kecil Senin, 18 Mei 2015 | 11:58 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah akan mulai menindak tegas praktik pembajakan yang sudah merajalela di negeri ini. Jokowi memerintahkan agar aparat penegak hukum tidak hanya mengejar pedagang kecil di jalanan, tetapi juga menghukum mafia besar yang mengeruk keuntungan dari bisnis itu. "Jangan yang dikejar-kejar itu pedagang di jalanan, yang kecil-kecil, pemain besarnya saja kelihatan kok. Siapa? Kelihatan. Saya tanya saja pasti tahu itu. Gebuk aja yang gede langsung!" ujar Jokowi di hadapan para seniman yang tergabung dalam Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Jokowi menilai bahwa selama ini penegakan hukum untuk berbagai kasus dijalankan setengah hati. Untuk menghukum pelaku besar, kata Jokowi, terkadang aparat masih berpikir dua kali. Dia mencontohkan dalam kasus illegal fishing. Perintah penenggelaman kapal harus disampaikannya sebanyak tiga kali baru dilakukan. "Baru berani menenggelamkan, sudah perintah tiga kali," ucapnya. Kasus pembajakan pun sama saja. Jokowi mengklaim hampir setiap hari membaca hingga melihat pembajakan terjadi. Pembajakan itu tak hanya melalui keping CD, MP3, hingga DVD, tetapi orang bisa leluasa mengunduh melalui jaringan internet. "Sepertinya kuat-kuatan saja, mana yang kuat. Bosan-bosanan saja, mana yang nanti akan bosan, penegak hukumnya atau pembajak. Paling tidak harus ditekan sekecil-kecilnya. Ini yang saya sampaikan, saya perintah ke Kapolri, seminggu atau 10 hari lalu," kata Jokowi.
411
Jokowi yakin aparat penegak hukum sudah mengetahui pola permainan, pemain, hingga mafia besar yang ada di belakang praktik pembajakan. Namun, Jokowi menantang Kapolri untuk berniat memberantas praktik ilegal itu. "Saya tanya bapak ibu juga semua tahu tempatnya di mana, apalagi penegak hukum, apalagi Kapolri, pasti tahu. Jangan ada yang jawab tidak tahu, tahu semua. Persoalannya cuma satu, niat atau tidak niat, mau atau tidak mau, hanya itu saja," ujar Jokowi. Hadir dalam pertemuan Jokowi dengan kelompok seniman kali ini adalah Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti. Adapun deretan artis yang hadir adalah Bimbo, Marcel, Ashanti, Yovie Widianto, serta anggota DPR Anang Hermansyah. Penulis: Sabrina Asril Editor: Laksono Hari Wiwoho
2. Jokowi Perintahkan Kapolri Tak Membuat Hal-hal yang Kontroversial Jumat, 1 Mei 2015 | 15:02 WIB SOLO, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa ia telah memerintahkan Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Badrodin Haiti agar Polri tak melakukan langkah-langkah yang bisa menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pernyataan ini disampaikan Jokowi menanggapi penangkapan penyidik KPK, Novel Baswedan. "Sudah saya perintahkan juga kepada Kapolri untuk tidak lagi membuat hal-hal kontroversi di masyarakat maupun sikap ketidaksinergian antara KPK dan Polri. Mereka harus bekerja bersama-sama, Polri, KPK, Kejaksaan, semuanya, dalam pemberantasan korupsi," kata Jokowi seusai menunaikan shalat Jumat di Masjid Kotabarat, Jumat (1/5/2015). Sebelumnya, Jokowi mengaku telah memerintahkan Kapolri untuk segera melepaskan Novel serta meminta KPK dan Polri bersinergi. Nasional "Terkait Novel, sudah saya perintahkan kepada Kapolri, pertama, untuk tidak ditahan; kedua,proses hukum harus dilakukan secara transparan dan adil; lalu ketiga, saya perintahkan KPK dan Polri bisa selalu bersinergi," kata Jokowi. Novel Baswedan ditangkap anggota Bareskrim Mabes Polri terkait kasus penganiayaan hingga tewas terhadap tersangka pencurian burung pada tahun 2004. Saat itu, Novel menjabat sebagaiKasa treskrim Polda Bengkulu. Novel ditangkap di rumahnya di kawasan Kelapa Gading padaJumat dini hari tadi. Saat ini ia ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
3.
Presiden Perintahkan Polri Tangkap Penimbun Sembako
03 Juni 2015 19:27 WIB REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepolisian menangkapyang berupaya menimbun dan spekulasi barang kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran (Idul Fitri 1436 H) yang bisa menyebabkan fluktuasi harga. "Saya juga ingin perintahkan Kapolri tindak tegas penimbun BBM dan kebutuhan barang pokok, juga spekulan yang mengambil keuntungan," kata Presiden, saat membuka rapat terbatas membahas persiapan menjelang Bulan Ramadhan dan Lebaran di Kantor Presiden Jakarta, Rabu(3/6) sore. 412
Selain meminta tindakan tegas bagi penimbun dan spekulan, Presiden juga meminta para menteriterkait untuk memantau harga dan stok barang kebutuhan pokok. Sebab menurut Jokowi, karena gejolak harga isu krusial setiap tahun ada. Presiden pun berharap dan minta seluruh jajaran pemerintahan cepat dan tanggap menangani setiap pergerakan. "Kita lihat Mei kemarin inflasi tinggi, saya harapkan terutama kementerian yang berkaitan dengan ini Bulog dan Kemendag pemantauan pasar dan harga, kalau ada masalah segera temukan solusi untuk menangani dan kalau perlu melakukan operasi pasar," kata Presiden. Ditambahkannya,"Saya kira kita sudah berbicara dua kali untuk persiapan ini dan betul-betul saya ingin pastikan stok dan stabilitas harga pangan terjaga. Dan juga pastikan kebutuhan rakyat atas pangan harga betul-betul terjangkau dan terpenuhi." Rapat terbatas yang berlangsung pukul 17.00 WIB tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Mendag Rachmat Gobel, Menteri BUMN Rini Suwandi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin, Direktur Bulog Lenny Sugihat, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Mensesneg Pratikno dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Red: Karta Raharja Ucu Sumber:Antara
Tabel 1. Tindak Tutur Direktif Presiden Jokowi kepada Kapolri No Jenis Tindak Contoh Tutur Direktif 1. Perintah 1. "Sepertinya kuat-kuatan saja, mana yang kuat. Bosan-bosanan saja, mana yang nanti akan bosan, penegak hukumnya atau pembajak. Paling tidak harus ditekan sekecil-kecilnya. Ini yang saya sampaikan, saya perintah ke Kapolri, seminggu atau 10 hari lalu," 2. “Gebuk aja yang gede langsung!" 3. "Terkait Novel, sudah saya perintahkan kepada Kapolri, pertama, untuk tidak ditahan; kedua, proses hukum harus dilakukan secara transparan dan adil; lalu ketiga, saya perintahkan KPK dan Polri bisa selalu bersinergi," 4. "Saya juga ingin perintahkan Kapolri tindak tegas penimbun BBM dan kebutuhan barang pokok, juga spekulan yang mengambil keuntungan," , 5. "Saya kira kita sudah berbicara dua kali untuk persiapan ini dan betul-betul saya ingin pastikan stok dan stabilitas harga pangan terjaga. Dan juga pastikan kebutuhan rakyat 413
atas pangan harga betul-betul terjangkau dan terpenuhi."
2.
Pertanyaan
3.
Larangan
4.
Nasihat
5.
Persyaratan
6.
Pengizinan
1. "Saya tanya bapak ibu juga semua tahu tempatnya di mana, apalagi penegak hukum, apalagi Kapolri, pasti tahu. Jangan ada yang jawab tidak tahu, tahu semua. 1. Jangan yang dikejar-kejar itu pedagang di jalanan, yang kecil-kecil, pemain besarnya saja kelihatan kok. Siapa? Kelihatan. Saya tanya saja pasti tahu itu. 2. "Sudah saya perintahkan juga kepada Kapolri untuk tidak lagi membuat hal-hal kontroversi di masyarakat maupun sikap ketidaksinergian antara KPK dan Polri. 1. Mereka (KPK dan Polri) harus bekerja bersama-sama, Polri, KPK, Kejaksaan, semuanya, dalam pemberantasan korupsi," 1. "Baru berani menenggelamkan, sudah perintah tiga kali," 2. “Persoalannya cuma satu, niat atau tidak niat, mau atau tidak mau, hanya itu saja," 1. "Kita lihat Mei kemarin inflasi tinggi, saya harapkan terutama kementerian yang berkaitan dengan ini Bulog dan Kemendag pemantauan pasar dan harga, kalau ada masalah segera temukan solusi untuk menangani dan kalau perlu melakukan operasi pasar,"
3.1 Tindak Tutur Direktif Permintaan Tindak tutur direktif permintaan merupakan tindak tutur yang sifatnya meminta seseorang melakukan sesuatu pekerjaaan. Tindakan ini dapat terwujud dengan baik apabila penutur memiliki kondisi keabsahan (Felicity Conditions) dalam bertutur. Dalam hal ini Presiden Joko Widodo sudah memiliki kondisi keabsahan meminta Kapolri melakukan suatu tindakan. Berdasarkan data yang ada ditemukan lima tindak tutur direktif permintaan Jokowi kepada Kapolri. Presiden Jokowi terlihat sangat tegas dalam mengujarkan permintaannya kepada Kapolri. Hal tersebut dapat dilihat pada pilihan kata yang digunakan seperti: (1)… Paling tidak harus ditekan sekecil-kecilnya. Ini yang saya sampaikan, saya perintah ke Kapolri, seminggu atau 10 hari lalu,", (2) “Gebuk aja yang gede langsung!", (3) "Terkait Novel, sudah saya 414
perintahkan kepada Kapolri, pertama, untuk tidak ditahan; kedua, proses hukum harus dilakukan secara transparan dan adil; lalu ketiga, saya perintahkan KPK dan Polri bisa selalu bersinergi,", (4)"Saya juga ingin perintahkan Kapolri tindak tegas penimbun BBM dan kebutuhan barang pokok, juga spekulan yang mengambil keuntungan," ,(5)"Saya kira kita sudah berbicara dua kali untuk persiapan ini dan betul-betul saya ingin pastikan stok dan stabilitas harga pangan terjaga. Dan juga pastikan kebutuhan rakyat atas pangan harga betulbetul terjangkau dan terpenuhi."
3.2 Tindak Tutur Direktif Pertanyaan Tindak tutur direktif pertanyaan merupakan tindak tutur menyuruh atau memerintahkan sesuatu kepada seseorang dengan menggunakan bentuk kalimat Tanya. Berdasarkan data di atas terdapat satu bentuk tindak tutur direktif pertanyaan. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh "Saya tanya bapak ibu juga semua tahu tempatnya di mana, apalagi penegak hukum, apalagi Kapolri, pasti tahu. Jangan ada yang jawab tidak tahu, tahu semua. Secara tidak langsung Jokowi memerintahkan Kapolri untuk menindak pelaku kriminal pembajakan DVD dengan bertanya dan memastikan bahwa semua pasti tahu tempat pembajakan DVD. 3.3 Tindak Tutur Direktif Larangan Tindak tutur direktif larangan merupakan tindak tutur yang memerintahkan seseorang untuk tidak melakukan sesuatu. Terdapat dua larangan Jokowi kepada Kalpolri terkait dengan penjual DVD bajakan dan penangkapan penyidik KPK, Novel Baswedan. Tindak tuturnya terlihat sebagai berikut. (1) Jangan yang dikejar-kejar itu pedagang di jalanan, yang kecil-kecil, pemain besarnya saja kelihatan kok. Siapa? Kelihatan. Saya tanya saja pasti tahu itu. (2)"Sudah saya perintahkan juga kepada Kapolri untuk tidak lagi membuat hal-hal kontroversi di masyarakat maupun sikap ketidaksinergian antara KPK dan Polri. 3.4 Tindak Tutur Direktif Nasihat Tindak tutur direktif nasihat merupakan tindak tutur memerintahkan dengan memberi nasihat. Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dianggap sosok yang tepat memberikan nasihat kepada institusi negaran yang sedang bertikai yaitu, KPK dan Polri. Hal tersebut dapat dilihat pada ujaran “Mereka (KPK dan Polri) harus bekerja bersama-sama, Polri, KPK, Kejaksaan, semuanya, dalam pemberantasan korupsi," 3.5 Tindak Tutur Direktif Persyaratan Tindak tutur direktif persyaratan merupakan tindak tutur yang memerintahkan dengan menyertakan syarat. Hal tersebut terlihat pada ujaran (1) "Baru berani menenggelamkan, sudah perintah tiga kali” (2) Persoalannya cuma satu, niat atau tidak niat, mau atau tidak mau, hanya itu saja,". Pada ujaran yang pertama Polri dinilai baru mau menenggelamkan kapal pencuri ikan kalau sudah diperintahkan tiga kali. Pada ujaran yang kedua Jokowi mengisyaratkan bahwa tindakan pembajakan dapat diatasi jika ada niat dari penegak hukum (Polri).
3.6 Tindak Tutur Direktif Pengizinan Tindak tutur direktif pengizinan merupakan tindak tutur yang memberikan izin kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan data di atas tindak tutur direktif pengizinan terdapat pada ujaran "Kita lihat Mei kemarin inflasi tinggi, saya harapkan terutama 415
kementerian yang berkaitan dengan ini Bulog dan Kemendag pemantauan pasar dan harga, kalau ada masalah segera temukan solusi untuk menangani dan kalau perlu melakukan operasi pasar,". Dalam hal ini Jokowi memberikan izin atau wewenang untuk mengambil tindakan yang dirasa perlu demi kesejahteraan rakyat. 4. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis tindak tutur direktif yang ditemukan dalam tuturan Presiden Joko Widodo adalah (1) permintaan, (2) pertanyaan, (3) persyaratan, (4) nasihat, (5) larangan, dan (6) pengizinan. Dari kelima jenis tindak tutur tersebut, yang sering digunakan oleh Jokowi dalam memerintahkan Kapolri adalah tindak tutur direktif permintaan. Hal tersebut disebabkan karena Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki keabsahan (felicity condition) untuk memberikan perintah kepada Kapolri. Data yang diperoleh dari teks berita online menggambarkan bahwa tindak tutur yang digunakan Presiden Jokowi kepada Kapolri merupakan tindak tutur direktif. Tindak tutur Presiden Jokowi kepada Kapolri cenderung meminta, kepada Kapolri untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan yang sudah sejak lama muncul supaya tercipta stabilitas keamanan dalam masyarakat. Daftar Acuan Austin, John L. (1962). How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press. Cutting, Joan. (2002). Pragmatics and Discourse: A resource book for students. London andNew York: Routledge. Djajasudarma, Fatimah. (1993). Metode Linguistik. Bandung: Eresco Anggota Ikapi. Grice, H Paul. (1975). Logic and Coversation dalam Davis S Pragmatics: A Reader: New York: Oxford University Press. http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/03/npdby1-presiden-perintahkan-polritangkap-penimbun-sembako. http://nasional.kompas.com/read/2015/05/01/15023601/Jokowi.Saya.Sudah.Perintahkan.Kap olri.Tak.Membuat.Hal-hal.yang.Kontroversial. http://nasional.kompas.com/read/2015/05/18/11585701/Jokowi.Tantang.Polisi.Tangkap.Mafi a.DVD.Bajakan.Bukan.Cuma.Pedagang.Kecil. Searle, J.R. (1969). Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press. Searle, J.R. (1975). “Indirect Speech Act” dalam Cole, Peter, dan J. Morgan (ed.) Syntax and Semantics: Speech Act. New York: Academic Press. Thomas. Jenny. (1995). Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman. Yule, George. (1996). Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
416
Diglosia dalam Penerjemahan Komik: Studi Kasus Penerjemahan Suske en Wiske dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia Zahroh Nuriah Universitas Indonesia
[email protected] /
[email protected]
Abstract Indonesian language has a diglossic characteristic because the language consists of formal and informal varieties. In translating a text into Indonesian, a translator must choose the variety to be used as the target language. This paper examines which variety a translator should choose in translating a comic so that the text will be equivalent to the source text, what should be considered in deciding the target language variety that will be used, and which variety the readers prefer. To answer those questions, a qualitative case study of a translation of the comic Suske en Wiske from Dutch to Indonesian is conducted by comparing each panel of the target text to the source text, supported by quantification of respondents meaning of the use of both varieties. The result shows that equivalence must not only be based on the text since comic is a semiotic system which does not only consist of verbal elements but also pictures; the translation of a comic should then intersemiotic by considering both elements. Both language varieties can be used in the translation of comics. The choice of a language variety for each panel must be based on the context showed by the pictures, namely the social role of the speaker(s) and the addressee(s). The target readers of Suske en Wiske children age 10-12 still prefer formal variety for written language, but adults are already able to differentiate the function of both varieties for different contexts. The variety choosen should reflect the real target language use for resulting the dynamic equivalence. Keywords: comic, equivalence, intersemiotic, translation 1. Pendahuluan Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang diperoleh di sekolah setelah bahasa pertama yang biasanya merupakan bahasa daerah. Di samping bahasa Indonesia formal yang wajib digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, atau pun bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi lainnya sesuai UU Kebahasaan (24/2009), terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, terdapat variasi bahasa sehari-hari. Sneddon (2003) menyatakan bahwa dengan adanya dua variasi ini maka dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat gejala diglosia. Dalam menerjemahkan sebuah teks ke dalam bahasa Indonesia, seorang penerjemah harus mampu memilih variasi bahasa yang tepat untuk digunakan sebagai bahasa sasaran. 417
Variasi bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam menerjemahkan komik agar teks sasaran (Tsa) sepadan dengan teks sumber (Tsu)? Faktor apa yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan variasi bahasa yang digunakan? Bagaimana sikap pembaca terhadap terjemahan dalam kedua variasi bahasa itu? Untuk menjawab permasalahan tersebut, komik Suske dan Wiske yang berjudul Het Machtige Monument ‘Monumen Mahakarya’ dijadikan data penelitian. Komik ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda. Kalimat-kalimat dalam setiap panel dalam TSa dibandingkan dengan kalimat pada TSu dengan memperhatikan konteks percakapan.Penelitian ini bersifat kualitatif, tetapi juga didukung dengan kuantifikasi data. Untuk mendukung kesimpulan teoretis, juga dilakukan penjaringan sikap bahasa para pembaca komik. Empat potongan cerita yang terdiri dari tiga panel disajikan kepada para responden dalam variasi formal dan informal. Di samping itu, juga disajikan terjemahan asli yang merupakan campuran antara kedua variasi itu. Satu dari empat potongan cerita itu merupakan percakapan informal, tiga lainnya merupakan percakapan formal, yaitu percakapan dengan polisi, perdana mentri, dan raja. Responden diminta memilih penggunaan bahasa sasaran (Bsa) yang menurut mereka paling berterima dan paling tidak berterima. Karena seri ini ditujukan untuk anak umur 10-12 tahun, maka yang dijadikan responden utama juga anak-anak berumur 10-12 tahun, 36 anak, 16 anak mengisi angket di rumah, sedangkan 20 anak mengisinya di sekolah. Di samping itu, 30 orang responden dewasa berumur 18-20 tahun juga diminta untuk melakukan hal yang sama sebagai data pembanding. 2. Komik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komik didefinisikan sebagai “cerita bergambar (dl majalah, surat kabar, atau berbentuk buku) yg umumnya mudah dicerna dan lucu”. Kerrien & Auquier (tt) dalam situs Museum Komik Belgia di Brussel mendefinisikan komik sebagai “een opeenvolging van stilstaande beelden die een verhaal vormen, waarvan het scenario geïntegreerd is in de beelden”1. Dalam bukunya Understanding Comics, McCloud (1993, hlm. 9) mendefinisikan komik sebagai “juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence”. Dari definisi-definisi itu, dapat disimpulkan bahwa gambar merupakan unsur utama dalam komik. McCloud (1993) bahkan tidak menyinggung teks sama sekali dan Kerrien & Auquier (tt) menyebutkan bahwa skenario terintegrasi dalam gambar. Komik juga didukung unsur-unsur penting lainnya seperti tanda-tanda tipografis (jenis huruf, lay-out, format), tandatanda gambar (warna, garis-garis aksi, sketsa, perspektif), serta tanda-tanda linguistis (Kaindl, 1999, dalam: Zanettin 2008). Seorang komikus menggambar dan menulis dialog sedemikian rupa sebagai satu kesatuan yang menjadi dasar imajinasi para pembaca. McCloud (1993) berpendapat bahwa makna komik berada di antara panel gambar. Pembaca seakan-akan menyelami kehidupan para tokohnya dengan menyusun cerita sendiri berdasarkan panel-panel yang disajikan. Mereka menghubungkan panel yang satu dengan panel lainnya. Berbeda dengan pembaca novel yang lebih bebas berfantasi, para pembaca komik merangkai ceritanya sesuai gambar. Banyak komik terkenal yang berasal dari Belgia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Tintin, Smurf, atau Lucky Luke, termasuk dari Belgia utara (daerah 1
sebuah jajaran gambar statis yang membentuk sebuah cerita, yang skenarionya terintegrasi ke dalam gambar.
418
berbahasa Belanda), seperti Jommeke juga Suske en Wiske. Suske en Wiske awalnya merupakan komik yang terbit di koran harian De Nieuwe Standaard (yang kemudian berubah nama menjadi De Standaard). Tokoh utama komik ini adalah seorang anak laki-laki bernama Suske dan anak perempuan bernama Wiske. Mereka tinggal bersama Tante Sidonia, tantenya Wiske, yang mengadopsi Suske. Seperti pesaingnya, Jommeke, komik ini berceritakan petualangan anak (Suske dan Wiske yang humoristis) beserta beberapa temannya. Awalnya Suske en Wiske disajikan dalam dialek sehari-hari Belgia utara, Vlaams, tetapi kemudian disajikan dalam bahasa Belanda standar. 3. Diglosia Diglosia didefinisikan oleh Ferguson (Ferguson 1959: 36) sebagai “a relatively stable language situation in which [...] there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety [...] which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation” (dalam Sneddon 2003: 519). Situasi diglosia dapat dijumpai dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia formal merupakan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan, dalam komunikasi tingkat nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, juga sebagai bahasa media massa, yang telah dikodifikasi dalam bentuk kamus dan buku tata bahasa serta diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Dalam pada itu, variasi formal tidak digunakan dalam situasi informal. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan variasi informal yang tidak – atau setidaknya belum – dikodifikasi dan diperoleh di rumah sebagai bahasa pertama. Variasi formal dan informal cukup berbeda. Perbedaan ini tidak hanya terletak pada pelafalan tetapi juga pada tingkat leksikon dan gramatika. Variasi informal lebih sederhana dibandingkan dengan variasi formal. Pada tingkat leksikon misalnya terdapat perbedaan bentuk kata ganti. Dalam variasi formal dibedakan antara kata ganti orang pertama jamak ekslusif kami dengan bentuk inklusif kita, sementara dalam variasi informal hanya ada satu kata ganti orang pertama jamak, yaitu kita. Selain itu, dalam variasi formal untuk merujuk pada orang pertama digunakan saya dan untuk orang kedua anda, sedangkan dalam variasi informal kata ganti orang pertama cukup beragam, yaitu aku, gue atau gua untuk konteks yang lebih intim, juga nama diri. Beberapa perbedaan leksikon lainnya misalnya: Variasi formal beri besar buat hanya seperti tidak untuk
Variasi informal Kasi Gede bikin cuma(n) Kaya Nggak Buat
Dalam memaparkan perbedaan gramatika, Sneddon (2003) menyebutkan bahwa berbagai preposisi dalam variasi formal dapat digantikan dengan kata sama. Namun perbedaan ini sebaiknya dikategorikan sebagai perbedaan leksikon. Contoh: 419
F: I:
Saya marah dengan/pada dia. Gua marah sama dia.
F: I:
Saya menceritakan itu kepada nenek saya. Gua ceritain itu sama nenek gua.
F: I:
Astrid suka meminjam uang dari ayahnya. Si Astrid suka minjem duit sama bokapnya.
F: I:
Saya dan ayah saya tidak dekat. Gua sama bokap gua nggak deket.
F: F:
Saya tidak diterima oleh orang tuanya dan dia juga ditolak oleh keluarga saya. Gua enggak diterima sama orang tuanya dan dia pun, dia juga ditolak sama keluarga gua.
Sneddon (2003) juga memaparkan perbedaan gramatika pada tataran morfologi. Dalam variasi formal digunakan sufiks -kan dan sufiks -i, tetapi dalam variasi informal keduanya dapat digantikan dengan -in. Perbedaan lain yang tidak disinggung oleh Sneddon adalah penggunaan prefiks meng- dalam variasi formal, yang dalam variasi informal berbentuk -ng. Perbedaan ini bukan hanya terkait pemilihan prefiks saja, tetapi juga berimbas pada kaidah morfofonemis. Perhatikan contoh berikut. Dasar kata baca cuci foto jambak lempar rebut
Formal membaca mencuci memfoto menjambak melempar merebut
Informal baca/ngebaca nyuci moto ngejambak ngelempar ngerebut
Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa terdapat beberapa perbedaan kaidah morfofonemis dalam pembentukan kata pada kedua variasi bahasa tersebut. Dalam variasi formal, proses prefiksasi dengan dasar kata berawalan [b] mengakibatkan terjadinya asimilasi, sedangkan dalam variasi informal menyebabkan delesi atau insersi. Dalam proses prefiksasi dengan dasar kata berawal dengan [c] dan [f] yang dalam dalam variasi formal juga mengakibatkan terjadinya asimilasi, dalam variasi informal menyebabkan peleburan. Proses prefiksasi dalam variasi formal dengan dasar kata berawalan [j] yang juga mengakibatkan asimilasi, serta bunyi likuida [l] dan [r] yang mengakibatkan delesi, dalam variasi informal justru mengakibatkan insersi. Prefiks -ng ini terkadang juga menggantikan prefiks ber-, misalnya: Dasar kata tani ternak
Formal bertani beternak
Informal nani nernak 420
Dalam pada itu, prefiks ter- dalam variasi formal pada umumnya digantikan dengan prefiks keseperti pada contoh berikut. Dasar kata sambar tabrak
Formal tersambar tertabrak
Informal kesamber ketabrak
Namun terkadang prefiks ke- juga menggantikan prefiks ber-, seperti pada dasar kata temu yang dalam variasi formal diberi imbuhan ber- menjadi bertemu dan pada variasi informal diimbuhkan dengan prefiks ke- menjadi ketemu. Prefiks ter- juga tidak selalu dapat digantikan dengan ke-, seperti terjatuh dalam variasi formal tidak muncul dalam kata *kejatuh dalam variasi informal. Sepertinya terdapat sedikit perbedaan sistematika struktur argumen verba pada variasi formal dan informal terkait pemilihan prefiks, tetapi untuk memastikannya dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Pemilihan variasi bahasa formal dan informal disesuaikan dengan situasi tindak tutur, peran sosial penutur dan mitra tutur. Pada pertemuan resmi kenegaraan, dalam dunia pendidikan, komunikasi tingkat nasional, transaksi, dan dokumentasi niaga, juga media massa digunakan variasi formal. Sneddon (2003) memaparkan bahwa bahasa tulis pada umumnya lebih diasosiasikan dengan variasi formal. Sastra akan diterjemahkan dalam variasi formal. Namun ia juga menyebutkan bahwa belakangan ini, majalah, siaran radio, dan drama yang ditujukan untuk kaum muda mulai menggunakan variasi informal. Sneddon juga menjelaskan bahwa tidak ada garis pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal, tetapi ada kontinuum di antara keduanya. 3. Penerjemahan Nida dan Taber (1974: 4) mendefinisikan penerjemahan sebagai “the interpretation of the verbal signs of one language by means of the signs of another”. Catford (1965: 20) kurang lebih juga memberikan definisi yang sama, yaitu the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). Hatim dan Mason (1997: vi) memandang penerjemahan agak berbeda, yaitu “an act of communication which attempts to relay, across cultural and linguistic boundaries, another act of communication (which may have been intended for different purposes and different readers/hearers)”. Menurut Hatim dan Mason penerjemahan bukan hanya sekedar pengalihan bahasa saja, tetapi merupakan satu bentuk komunikasi yang didasarkan pada bentuk komunikasi lainnya yang ditujukan pada pendengar atau pembaca dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Pengirim
Pesan
Penerima
Gambar 1. Proses Komunikasi Komunikasi itu sendiri merupakan proses penyampaian pesan kepada penerima. Dengan demikian seorang penerjemah merupakan penerima pesan dalam bahasa dan budaya 421
sumber, sekaligus pengirim pesan dalam bahasa dan budaya sasaran. Dalam penerjemahan, pesan merupakan tongkat estafet yang harus diterima oleh pembaca TSa secara utuh. Oleh karena itu seorang penerjemah harus memperhatikan kesepadanan Tsa dengan Tsu. Nida dan Taber (1974) membedakan antara kesepadanan dinamis dan kesepadanan formal. Bagi mereka, kesepadanan dinamis tidak hanya terkait dengan teks, tetapi juga dengan kesepadanan reaksi pembaca teks terjemahan dengan pembaca teks asal. Menurut mereka kesepadanan dinamis lebih penting daripada korespondensi formal. Kesepadanan yang absolut tentunya tidak ada, mengingat adanya perbedaan budaya. Namun, penerjemahan tetap dapat dilakukan walaupun nuansa pesan yang disampaikan tidak utuh. Dengan demikian kesepadanan yang maksimal tetap dapat dan harus diusahakan. Sebagai pesan, komik tidak hanya terdiri dari elemen verbal yang bersifat simbolis saja, tetapi juga terdiri dari gambar ikonis. Simbol ataupun ikon merupakan tanda semiotis yang harus diperhatikan dalam proses penerjemahan. Terkait pesan advertensi, Torresi (2007) memaparkan adanya pergerakan dari pendekatan yang hanya memperhatikan unsur verbal saja ke arah pandangan baru yang menerjemahkan teks advertensi sebagai teks multimodal dan bersifat intersemiotis. Dia menganjurkan pelokalan terjemahan teks secara menyeluruh, misalnya dengan mengganti elemen visual untuk mempertahankan komponen makna verbal, atau dengan membangun teks verbal yang sama sekali baru demi mengakomodir pasar yang berbeda. Pendapatnya ini dapat diadopsi dalam penerjemahan komik, karena komik juga terdiri dari gambar dan komponen verbal. Untuk tujuan tertentu, gambar dalam komik memang dapat, atau sebaiknya diubah (Nuriah, 2016). Begitu pula dengan teks yang harus disesuaikan dengan gambar. Kesepadanan yang diupayakan dalam penerjemahan komik bukan lagi kesepadanan formal, tetapi kesepadanan dinamis yang fungsional, agar pembaca komik terjemahan dapat memberikan reaksi yang sama dengan pembaca teks asal. 4. Diskusi dan Pembahasan Secara semiotis, komik terdiri dari ikon (berupa gambar) dan simbol (berupa elemen verbal). Kedua elemen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling tergantung satu sama lain. Dalam menerjemahkan komik, kedua elemen ini harus diperhatikan. Dalam menerjemahkan teks verbal, elemen visual harus diperhatikan. Konteks yang digambarkan melalui elemen visual menentukan variasi bahasa yang digunakan. Sneddon (2003) menjelaskan bahwa memang dalam bahasa Indonesia tidak ada garis pemisah yang jelas di antara variasi bahasa formal dan informal. Namun, itu tidak berarti variasi bahasa yang digunakan bersifat manasuka. Pemilihan variasi bahasa yang tepat tetap diperlukan guna memberikan hasil terjemahan yang sepadan. Penggunaan variasi formal pada semua situasi akan membuat komik terasa kaku, sedangkan penggunaan variasi informal pada situasi formal membuat terjemahan komik terasa aneh. Suske en Wiske merupakan komik berbahasa Belanda standar yang berasal dari Belgia utara. Pada awalnya komik ini disajikan dalam dialek Vlaams, bahasa sehari-hari yang digunakan di Belgia utara. Namun, kemudian disajikan dalam bahasa Belanda standar. Bagaimana dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia? Komik memang bukanlah buku pelajaran sekolah yang menurut UU Kebahasaan (2009) harus menggunakan variasi bahasa formal. Komik merupakan cerminan kehidupan sehari-hari. 422
Dengan demikian, variasi bahasa yang digunakan pun sebaiknya disesuaikan. Dalam situasi formal digunakan variasi formal dan dalam situasi informal digunakan variasi informal. Perhatikan dua contoh berikut (Gambar 2). Contoh 1:
Contoh 2:
Gambar 2. Terjemahan Potongan Cerita Suske en Wiske: Het Machtige Monument Pilihan kata nggak pada contoh 1 masih dirasa wajar. Kalimat yang dilontarkan merupakan reaksi terkejut atas hilangnya atomium yang tidak ditujukan pada orang tertentu. Dalam pada itu, contoh 2 merupakan percakapan dengan seorang raja. Pilihan kata nggak yang disejajarkan dengan kata sapaan Anda terasa janggal. Bagaimana tanggapan para pembaca terhadap penggunaan variasi formal dan informal dalam komik? Para responden, baik anak-anak ataupun dewasa memilih variasi formal untuk situasi formal. Semakin resmi situasinya dan semakin tinggi derajat mitra tutur, persentase pilihan variasi formal yang dipilih oleh responden dewasa juga semakin tinggi, sementara persentase pilihan responden anak tetap di angka 86%. Variasi formal dalam situasi informal masih dijadikan pilihan. Demikian pula dengan responden dewasa. Hanya saja responden dewasa yang memilih variasi formal untuk situasi informal persentasenya jauh lebih rendah, di bawah 50%. Perhatikan tabel 1 dan 2. Pilihan ini bisa jadi ditimbulkan karena bahasa tulis masih diasosiasikan dengan variasi formal, seperti yang dinyatakan oleh Sneddon (2003).
423
Tabel 1. Sikap bahasa anak
Informa l Formal Asli
Informal Berterim a
Formal Berterim Tidak a
3% 75% 22%
86% 3% 11%
0% 86% 14%
Tidak
Perdana menteri Berterim a Tidak
Raja Berterim a
Tida k
81% 0% 19%
8% 86% 6%
3% 86% 11%
97% 0% 3%
81% 6% 14%
Tabel 2. Sikap bahasa mahasiswa Informal Berterim a Informa l 7% Formal 43% Asli 50%
Tidak
Formal Berterim a
73% 17% 10%
0% 90% 10%
Tidak
Perdana menteri Raja Berterim Berterim a Tidak a
Tidak
83% 3% 13%
0% 93% 7%
90% 3% 7%
70% 3% 27%
0% 97% 3%
Hasil menarik lainnya adalah sikap bahasa anak-anak terkait tempat pengambilan sampel. Jumlah responden yang memilih variasi bahasa informal untuk situasi informal lebih tinggi persentasenya ketika mereka diminta menjawab angket di rumah. Para responden yang mengisi angket di sekolah, lebih memilih variasi formal untuk semua situasi. Hasil ini dapat saja terjadi karena anak dipengaruhi latar tempat dalam memilih variasi bahasa, dan sekolah diasosiasikan dengan variasi formal. Tabel 3. Sikap bahasa anak
Informal Formal Asli
Anak di sekolah Berterima Tidak 0% 95% 95% 0% 5% 5%
Anak di rumah Berterima Tidak 6% 75% 50% 6% 44% 19%
Anak-anak usia 10-12 masih dalam proses pemerolehan kemahiran penggunaan variasi bahasa yang berbeda, sehingga cenderung belum menguasai kemahiran ini sepenuhnya. Dalam pada itu, para mahasiswa sudah lebih mahir. Kemahiran penggunaan variasi bahasa oleh anak masih perlu diteliti lebih jauh lagi. Namun hasil angket yang menunjukkan adanya perbedaan persentase pemilihan variasi pada berbagai konteks, mendukung simpulan teoretis bahwa
424
variasi bahasa yang digunakan dalam penerjemahan komik sebaiknya didasarkan pada situasi, latar, penutur dan mitra tutur yang diilustrasikan dalam gambar. 5. Simpulan Penerjemahan komik sebaiknya tidak hanya didasarkan pada elemen verbal saja, karena komik merupakan sistem semiotis yang terdiri dari teks verbal dan gambar. Penerjemahan harus dilakukan secara intersemiotis dengan mempertimbangkan kedua elemen itu, termasuk dalam menentukan variasi bahasa yang digunakan dalam teks sasaran. Seorang penerjemah harus dapat menentukan variasi bahasa digunakan dalam TSa berdasarkan peran sosial penutur dan mitra yang tergambar dalam setiap panel untuk menghasilkan teks terjemahan yang sepadan. Daftar Acuan Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Hatim, B. dan Mason, I. 1997. The Translator as Communicator. London/New York: Routledge. Kerrien, F. dan Auquier, J. Tanpa Tahun. De uitvinding van het Stripverhaal: Pedagogisch Dossier. Brussel: Belgisch Stripcentrum. [diakses pada 29 Mei 2016 pada https://www.stripmuseum.be/uploads/fichiers/pages/uitvinding-stripverhaal-web.pdf]. McCloud, S. 1993. Understanding Comics: The invisible Art. New York: Harper Collins & Kitchen Sink Press. Nida, E. A. dan Taber, C. R. 1974. The theory and practice of translation. Leiden: Brill. Nuriah, Z. 2016. “Cultuurbotsingen bij het Vertalen van Stripverhalen”, dalam: Eliza Gustinelly, Munif Yusuf, dan Kees Groeneboer K. (ed), 45 Jaar Studie Nederlands in Indonesië (45 Tahun Studi Belanda di Indonesia), hlm. 339-359. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sneddon, J.J. 2003. “Diglossia in Indonesian”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (4): 519-549. Torresi, I. 2007. “Advertising”, dalam: M. Baker dan G. Saldanha (ed.), Routledge Encyclopedia of Translation Studies, hlm. 6-10. New York: Routledge. Zanettin, F. 2008. “Comics in Translation Studies: An Overview and Suggestions for Research”. [diakses pada 26 Mei 2016 pada https://comics_in_translation_studiesLisboa.pdf20130812-10706-1qffje0-libre-libre].
425