TESIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI INTERNET DI INDONESIA SEBAGAI CYBERCRIME (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 Ayat (3) UndangUndang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perspektif Kebebasan Bereksprsi) OLEH RONY SAPUTRA, S.H 1420112065
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2016
LEMBARAN PENGESAHAN KOMPREHENSIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI INTERNET DI INDONESIA SEBAGAI CYBERCRIME (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 Ayat (3) UndangUndang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perspektif Kebebasan Bereksprsi) OLEH RONY SAPUTRA, S.H 1420112065
Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua
Anggota
Prof. Dr. Elwi Danil, S.H, M.H Nip: 19600625 198603 1 003
Dr.Shinta Agustina, S,H., M.H Nip : 19630829 198811 2 001
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2016
No. Alumni Universitas
No. Alumni Universitas Roni Saputra, S.H BIODATA a). Tempat/Tgl. Lahir : Gantiang/ 29 Mei 1982; b). Nama Orang Tua : Bustamam dan Yarmi Anwar; c) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas; d). Program Studi Ilmu Hukum; e) No BP : 1420112065; f) Alamat: Jalan Tuanku Nan Renceh Jorong IV, Surabayo, Nagari Lubuk Basung, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Delik Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Melalui Internet di Indonesia Sebagai Cybercrime (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dari Perspektif Kebebasan Berekspresi) Tesis S2 oleh : Roni Saputra, S.H 1. Prof. Dr. H. Elwi Danil, S.H., M.H 2. Dr. Shinta Agustina, S.H., M.H ABSTRAK Melalui kebijakan hukum pidana guna memberikan jaminan dan perlindungan bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi informasi dari kejahatan siber. Legislatif dan pemerintah merancang dan mensahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keberadaan Undang-Undang ini semakin mempertegas keberadaan Indonesia sebagai salah satu negara yang serius dalam melakukan perlawanan terhadap kejahatan siber. Namun Undang-Undang yang relatif lama pembahasannya ini, malah menjadi aturan yang membelenggu pelaksanaan kebebasan berekspresi terutama di dunia maya. Hal ini terjadi karena keberadaan Pasal 27 ayat (3) terkait dengan dijadikannya perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di dunia maya sebagai tindak pidana siber, yang sebenarnya perbuatan penghinaan sudah diatur secara tegas, jelas dan konkrit di dalam KUHPidana dan KUHPerdata. Dalam politik hukum, tidak mudah untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana dan harus terlebih dahulu melalui beberapa proses kajian mendalam. Selain kajian mengenai perbuatan dari sudut kriminologi, harus juga dipertimbangkan tujuan dari hukum pidana itu sendiri, penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana dan hasil dan kemampuan badan penegak hukum. Permasalahan yang dibahas adalah: 1) bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap delik penghinaan/pencemaran nama baik melalui internet di Indonesia? 2) bagaimana jaminan perlindungan kebebasan berekspresi di internet dikaitkan dengan keberadaan delik penghinaan/pencemaran nama baik dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan doctrinal legal reseach, sebagai sebuah sistem yang normatif maka hukum harus dipandang secara komprehensif seperti asas, norma dan meta norma. Kebijakan hukum pidana terhadap delik penghinaan di dunia maya, sesungguhnya merupakan duplikasi terhadap ketentuan Penghinaan yang diatur dalam KUHP, hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex scricta, dan lex certa. Menjadikan delik penghinaan sebagai tindak pidana siber dengan pidana yang relatif lebih berat bukannya memberikan deterrent effect tetapi malah menciptakan chilling effect terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Menghapus Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE adalah pilihan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah sebagai bentuk jaminan terhadap pelaksanaan kebebasan berekspresi, dan menerapkan pengembalian keseimbangan kondisi atas tindak pidana penghinaan berupa pemulihan nama baik serta menerapkan ganti kerugian perlu diasosiasikan dalam RUU KUHP terkait dengan pemidanaan terhadap perbuatan penghinaan. Abstrak telah disetujui oleh : Tanda Tangan Prof.Dr.H.Elwi Danil,S.H.,M.H
Dr. Shinta Agustina,S.H.,M.H
Prof.Dr.Ismansyah,S.H., M.H
Mengetahui : Ketua Program Studi : Prof. Dr. Elwi Danil ,SH,MH NIP. 19600625 198603 1003
Dr.Suharizal, S.H.,MH
Yoserwan, S.H., M.H. LL.M
Tanda Tangan
Alumnus telah mendaftar ke Pascasarjana/Universitas dan mendapat Nomor Alumnus : Petugas Pascasarjana/Universitas No. : Alumni Program Pascasarjana
Nama
Tanda Tangan
No. : Alumni Program Pascasarjana
Nama
Tanda Tangan
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii BAB I:
PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 11 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 12 D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 12 E. Kerangka Teori dan Konseptual............................................................. 13 1. Kerangka Teori................................................................................. 13 2. Kerangka Konseptual ....................................................................... 21 F. Metode Penelitian................................................................................... 27 1. Pendekatan Masalah ......................................................................... 27 2. Sifat Penelitian ................................................................................. 27 3. Sumber Bahan Hukum ..................................................................... 29 4. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 31 5. Analisis Data .................................................................................... 32 BAB II:
CYBERCRIME, TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI ............................................................................................................. 35
A. Tinjauan Tentang Cybercrime................................................................ 35 1. Pengertian Cybercrime ..................................................................... 35 2. Karakteristik dan Jenis Cybercrime ................................................. 38 3. Pengaturan Cybercrime di Indonesia ............................................... 46 B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penghinaan di Indonesia ................... 53 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946) ..... 55 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ........................................... 60 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran ................ 61 4. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) .............................................................. 62 C. Tinjauan Tentang Kebebasan Berekspresi dan Pembatasan Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan Hukum Pidana ............................................ 63 1. Kebebasan Berekspresi dalam Hak Asasi Manusia ......................... 67 2. Pembatasan Kebebasan Berekspresi ................................................ 71 BAB III: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN
NAMA
BAIK
MELALUI
INTERNET DI INDONESIA ............................................................. 78 A. Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia .................................................. 78 1. Kebijakan Kriminal .......................................................................... 80 2. Kebijakan Hukum Pidana ................................................................ 85 3. Kriminalisasi dan Dekriminalisasi ................................................... 89 4. Pemidanaan ...................................................................................... 99
B. Kebijakan Hukum Pidana Terkait dengan Tindak Pidana Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik di Internet...................................................... 114 C. Pembahasan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Persidangan Pembahasan di DPR RI ..... 127 D. Penggunaan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Untuk Menjerat Kebebasan Berekspresi ........... 143 1. Kasus Prita Mulya Sari (Perkara No. 1269/Pid.B/ 2009/PN.TNG) 143 2. Kasus
Fajrika
Mirza,
S.H
(Perkara
No.
1882/Pid.B/2012/PN.JKT.SEL) ..................................................... 149 3. Kasus Ende Mulyana Aliyudin (Perkara No. 16/Pid.B/2014/ PN.PWK) ....................................................................................... 152 4. Kasus M. Arsyad (Perkara No. 390/Pid.B/2014/PN.MKS) ........... 156 5. Kasus Ervani Emy H. (Perkara No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL) .. 157 6. Kasus Risman Taha (Perkara No. 199/Pid.B/2013/PN.GTLO) ..... 159 E. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Uji Materil Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ............................................................................ 168 F. Kebijakan
Pemidanaan
Terhadap
Tindak
pidana
Penghinaan/
Pencemaran Nama Baik di Internet...................................................... 173 BAB IV: JAMINAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INTERNET DIKAITKAN DENGAN KEBERADAAN TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM
UNDANG-UNDANG
NO.
11
TAHUN
2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK ......................... 179 A. Jaminan Perlindungan dan Pembatasan Kebebasan Berekspresi di Internet Dikaitkan dengan Tindak pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ............................................................................................. 183 B. Dekriminalisasi Tindak Pidana Penghinaan Dalam Undang-Undang Tentang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik
Sebagai
Bentuk
Perlindungan Terhadap Kebebasan Berekspresi .................................. 188 BAB V: PENUTUP ............................................................................................ 196 A. KESIMPULAN .................................................................................... 196 B. SARAN ................................................................................................ 198
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN/ PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI INTERNET DI INDONESIA SEBAGAI CYBERCRIME (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dari Perspektif Kebebasan Berekspresi) RONI SAPUTRA, 1420112065, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UNAND ABSTRAK Melalui kebijakan hukum pidana guna memberikan perlindungan bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi dari cybercrime, pemerintah merancang dan mensahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-Undang ini semakin mempertegas keberadaan Indonesia sebagai salah satu negara yang serius dalam melawan cybercrime. Namun dalam praktiknya, Undang-Undang ini malah menjadi aturan yang membelenggu pelaksanaan kebebasan berekspresi. Hal ini terjadi karena keberadaan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik sebagai bagian dari cybercrime. Padahal, perbuatan penghinaan sudah diatur secara tegas, jelas dan konkrit di dalam KUHPidana dan KUHPerdata. Dalam politik hukum, tidak mudah untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana dan harus terlebih dahulu melalui beberapa proses kajian mendalam. Permasalahan yang dibahas adalah: 1) bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik melalui internet di Indonesia? 2) bagaimana jaminan perlindungan kebebasan berekspresi di internet dikaitkan dengan keberadaan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dalam UU ITE? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan doctrinal legal reseach. Sebagai sebuah sistem yang normatif maka hukum harus dipandang secara komprehensif seperti asas, norma dan meta norma. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penghinaan di dunia maya, sesungguhnya merupakan duplikasi terhadap ketentuan Penghinaan yang diatur dalam KUHP, hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex scricta, dan lex certa. Menjadikan tindak pidana penghinaan sebagai tindak pidana siber dengan pidana yang relatif lebih berat bukannya memberikan deterrent effect tetapi malah menciptakan chilling effect terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Menghapus Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE adalah pilihan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dengan menerapkan pengembalian keseimbangan kondisi atas tindak pidana penghinaan berupa pemulihan nama baik serta menerapkan ganti kerugian perlu diasosiasikan dalam RUU KUHP terkait dengan pemidanaan terhadap perbuatan penghinaan. Kata kunci: Kebijakan hukum pidana, tindak pidana penghinaan, kebebasan berekspresi, cybercrime
i
KATA PENGANTAR
Atas berkat dan rahmat dari Allah S.W.T, Penulis telah dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Melalui Internet di Indonesia Sebagai Cybercrime (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dari Perspektif Kebebasan Bereksprsi)”. Shalawat dan salam tidak lupa Penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad S.A.W yang telah mengantarkan umatnya ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Penulisan hasil penelitian tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari dorongan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak mungkin dapat disebut satu-persatu. Keluarga merupakan sumber inspirasi terbesar bagi Penulis, kasih sayang orang tua Bapak Bustamam, Ibu Yarmi Anwar, Papa Asril dan Mama Alfa, serta Istri tercinta Roshanty, S.H., menjadi penyemangat yang luar biasa bagi Penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian tesis ini. Pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Elwi Danil, S.H., M.H., sebagai Pembimbing I dan Ibu Dr. Shinta Agustina, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II yang telah memberikan banyak petunjuk, masukan
ii
dan nasehat, kritikan dan bimbingan yang sangat berguna dalam penulisan tesis ini, tanpa kesabaran Beliau berdua, tentunya penulisan tesis ini tidak akan selesai. Ucapan terima kasih pun penulis tidak lupa Penulis sampaikan teruntuk Bapak Dr. Suharizal, S.H., M.H. dan Bapak Yoserwan, S.H., M.H., LL.M dan Bapak Fadillah Sabri, S.H., M.H sebagai Penguji pada saat ujian proposal dan ujian hasil. Terimakasih juga Penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Saldi Isra. S.H., MPA yang telah memberikan semangat dan support kepada Penulis untuk melanjutkan studi Magister Hukum serta kepada Keluarga Besar Anwar Malin Bandaro atas dukungan, bantuan dan pengertiannya selama ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan di Rumah Ikhlas, AJI Padang, LBH Pers Padang, Integritas, ELSAM, LBH Pers, ABA Roli, Arief Paderi, S.H., Tasriyal, S.H., Bang Kautsar, S.H. Bang Hendra Makmur, S.H. Kak Ocha Mariadi, Kak Neni Vesna Madjid, S.H., M.H., Charles Simabura, S.H., M.H., Erwin Natosmal Oemar, S.H., Wahyudi Djafar, S.H., Kang Asep Komaruddin, S.H., Mr. Mark Wallem, Syahrul Fitra, S.H., M.H, Surya Purnama, S.H., Fery Andi, S.H., Rony Efendi, S.H., M.H., Aprina Wardani, S.H. dan Rani Sayulina, S.H. terkhusus Bang Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M atas dukungan, semangat, dan kritiknya hingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hasil penelitian tesis ini. Pada kesempatan ini Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Dr. Zainul Daulay, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas;
iii
2.
Bapak Prof. Dr. Elwi Danil, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas;
3.
Bapak Dr. Sukanda Husin, S.H., LL.M., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas;
4.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, serta Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas;
5.
Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas Angkatan Tahun 2014 yang selalu memberikan dorongan dan semangat untuk penyelesaian penulisan tesis. Penulis menyadari penulisan tesis ini tidak luput dari berbagai kekurangan,
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya Penulis sangat mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan tesis ini, semoga bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya, terima kasih. Padang, 29 April 2016 Hormat Penulis
Roni Saputra, S.H.
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradaban dunia pada masa saat ini ditandai dengan fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua sektor kehidupan. Perkembangan teknologi dan globalisasi tidak saja terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang. Saat ini teknologi informasi memegang peranan yang penting dalam perdagangan dan ekonomi antar negara-negara di dunia, termasuk memperlancar arus informasi. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan yang besar bagi negara-negara di dunia.1 Setidaknya ada dua keuntungan yang dibawa dengan keberadaan teknologi informasi. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri. Kedua, memudahkan transaksi bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis lainnya.2 Kedua keuntungan tersebut di atas menegaskan telah terjadi perubahan pola transaksi dan pola bersosialisasi masyarakat, dari cara yang konvensional ke cara elektonik yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, kemajuan teknologi juga mempermudah dan mempercepat komunikasi secara elektronik di dalam satu negara, bahkan juga antar negara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dapat diketahui hanya dalam hitungan menit melalui jaringan internet. Transfer uang antar bank dengan mengunakan e-
1 Budi Suhariyanto, 2013, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Depok, PT. Rajagrafindo Persada, hlm. 1 2 Agus Raharjo, 2002, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 1
1
cash dari dalam negeri ke luar negeri dapat dilakukan lebih cepat. Perdagangan melalui internet atau yang dikenal dengan electronic commerce (E-Commerce) semakin meningkat. Pembayaran untuk pemesanan barang atau program komputer dapat dilakukan dengan menggunakan credit card. Artinya kemajuan teknologi menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial berlangsung secara cepat.3 Perubahan sosial akibat kemajuan teknologi tidak saja membawa dampak positif, tetapi juga nampak negatif berupa lahirnya bentuk-bentuk kejahatan baru menggunakan sarana teknologi informasi. Dalam beberapa literatur kejahatan yang menggunakan teknologi dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:4 Un authorized Access to Computer System and Services, Illegal Contents, Data Forgery, Cyber Espionage, Cyber sabotage and Exortion, Offense Against Intellectual Property, dan Infringements of Privacy Banyaknya jenis tindak pidana baru yang muncul akibat kemajuan teknologi menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara materil maupun immateril. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh seseorang dari suatu tempat yang sangat pribadi tapi menimbulkan kerugian pada seseorang atau institusi di tempat lain, yang terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer, bahkan seringkali bersifat lintas batas teritorial. Dengan demikian kejahatan ini kemudian membawa sifat transnational crimes, yaitu kejahatan yang bersifat lintas batas territorial (transnational boundaries).
3
Budi Suhariyanto, 2013, Op.Cit. hal.2 Didik M. Arif, Mansur dan Elisataris Ghultom, 2005, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama, hlm. 9-10 4
2
Kejahatan baru ini sangat berdampak pada dunia usaha. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan KUHP tidak mampu menjangkau kejahatan baru tersebut, sehingga pemerintah menginisiasi lahirnya aturan tentang cybercrime. Berdasarkan dokumen yang ada, Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah dibahas sejak tahun 2003 dan baru pada 5 September 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi menyampaikan usulan inisiatif pembahasan RUU ITE kepada DPR RI melalui surat Presiden No. R/70/Pres/2005.5 DPR RI menindaklanjutinya dengan membentuk Panitia khusus RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 fraksi di DPR. Pada 18 Maret 2008 diadakan rapat pleno pansus RUU ITE untuk mengambil keputusan tingkat pertama terhadap naskah akhir RUU ITE dan menyetujui RUU ITE untuk dibawa ke pengambilan keputusan tingkat kedua. Hingga akhirnya pada rapat paripurna DPR tanggal 25 Maret 2008 RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-undang,6 yang kemudian dikenal dengan Undang- Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 (selanjutnya ditulis dengan UU ITE) Kehadiran undang-undang terkait dengan pengaturan cybercrime ini tentu saja sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum pidana, terutama kejahatankejahatan yang memang lahir dari kehadiran teknologi tersebut. Pentingnya keberadaan undang-undang ini didukung dengan kenyataan bahwa kejahatan di
5 Lihat Dokumen Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jakarta, Sekjen DPR RI. 6 Indriaswati Dyah Saptaningrum, 2011, Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional, Jakarta, Elsam, hlm. 119
3
dunia maya menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat pertama dengan tindak pidana dunia maya terbanyak, mengalahkan Ukraina yang sebelumnya menduduki posisi pertama. Data tersebut berasal dari penelitian Verisign, perusahaan yang memberikan layanan intelijen di dunia maya yang berpusat di California Amerika Serikat.7 Selain itu Staf Ahli Kapolri Bigjen Anton Tabah menyatakan bahwa jumlah cybercrime di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Indikasinya dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit dan pembobolan bank.8 Namun dalam tataran praktek, penegakan hukum pidana dengan UU ITE ini ternyata menimbulkan masalah hukum bagi orang-orang yang menggunakan sarana teknologi informasi untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah berupa jeratan hukum pidana maupun jeratan sanksi lainnya.9 Hal tersebut di atas terjadi karena UU ITE tidak saja mengatur masalah cybercrime sebagaimana yang diatur dalam convention on cybercrime10, tetapi juga mengatur perbuatan pidana tradisional berupa penghinaan yang menggunakan media teknologi informasi. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
7
Ade Arie Sam Indradi, 2006, Carding-Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, Jakarta, Grafika Indah, hlm. 1 8 Harian Merdeka, Indonesia Lahan Cybercrime, Rabu, 1 April 2009, hlm. 11 9 Wahyudi Djafar dan Zainal Abidin, 2014, Membelenggu Ekspresi: Studi Kasus Mengenai Praktik Pemblokiran/Penyaringan Konten Internet Dan Kriminalisasi Pengguna Internet di Indonesia, Jakarta, ELSAM, hlm. 25 10 Dalam Convention on Cybercrime mengatur (2) jenis kejahatan terkait dengan cybercrime, yaitu kejahatan tradisional berupa penyebaran pornografi anak meggunakan komputer dan kejahatan-kejahatan baru yang lahir karena teknologi
4
nama baik”. Atas perbuatan tersebut, seseorang dapat dituntut dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp.1.000.000.000 (satu milyar) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Dalam naskah akademik RUU ITE, BAB V tentang materi muatan regulasi dan transaksi elektronik, Bagian XII tentang perbuatan yang dilarang, tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik menggunakan internet tidak pernah disinggung. dalam naskah akademik tersebut perbuatan yang dilarang hanyalah penyebaran materi pornografi, pornoaksi, perjudian dan atau tindakan kekerasan, tindakan lain berupa hacking atau cracking.11 Bentuk lain dari kejahatan yang termaktub dalam naskah akademis itu adalah merusak sistem transmisi yang dilindungi oleh Negara, menggunakan atau mengakses komputer di luar kewenangan, dan kejahatan menyebarkan, memperdagangkan dan atau memanfaatkan kode akses atau informasi lainnya yang dapat digunakan untuk menerobos komputer atau sistem elektronik yang dilindungi oleh pemerintah.12 Selain tidak pernah menjadi bagian yang dibahas dalam naskah akademik, masalah tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik telah menjadi sorotan khusus di dunia Internasional. Keberadaannya sering dijadikan “benteng pertahanan” oleh pemerintah atau penguasa dari kritik dan protes warga negara atau pekerja. Selain itu kriminalisasi perbuatan penghinaan/pencemaran nama
11 Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jakarta, hlm. 47 12 Ibid. hlm. 48
5
baik juga dijadikan senjata yang mematikan untuk membungkam pendapatpendapat tajam yang mengkritisi penguasa.13 Sebagai salah satu Negara yang pernah berada di bawah jajahan Belanda, Indonesia mengikuti sistem hukum yang berlaku bagi Belanda, yaitu civil law system, dengan sumber hukum utama adalah hukum yang tertulis, dan peraturanperaturan hukum disusun secara sistematis dan menyeluruh ke dalam kodifikasi. Salah satu kodifikasi yang masih berlaku di Indonesia adalah KUHP 14 sebagai sumber hukum dalam bidang hukum pidana dan KUHPerdata15 sebagai sumber hukum bidang hukum perdata. Pada kedua aturan tersebut juga telah pengatur terkait dengan penghinaan/pencemaran nama baik. Dalam praktik pelaksanaan UU ITE, muncul berbagai kasus dengan tuduhan penghinaan/pencemaran nama baik sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Berbagai kasus tersebut berujung pada pelaporan ke polisi, tindakan penahanan dan pemenjaraan. Konsekuensi lain yang muncul juga terjadi berupa pengajuan gugatan pada pengadilan dan permintaan maaf serta ancaman pengeluaran dari institusi tempat bekerja atau sekolah.16 Setidaknya tercatat ada 71 kasus pengguna internet yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sejak
13 Supriyadi Widodo Eddyono, 2014, Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya, Jakarta, ELSAM, hlm. 3 14 Staatsblad 1915 No. 732 Tertanggal 15 Oktober 1915 15 Staatsblad 1847 No. 23 Tertanggal 30 April 1847 16 Salah satu kasus adalah kasus Wahyu Dwi Pranata, seorang mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, Jawa Tengah, ia diminta mengundurkan diri dari kampus karena sering menulis berita miring soal kampu. Wahyu memuat berita-berita tersebut di media online dan membagikannya di akum Facebook dan milis kompasiana.com. Wahyu dipanggil rektorat dan ditawari dua pilihan, akan dijerat menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE atau mengundurkan diri. Lihat “Kritik Kampus, Mahasiswa Semarang Dipaksa Mundur dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/09/19/058514741/Kritik-Kampus-MahasiswaSemarang-Dipaksa-Mundur.
6
undang-undang tersebut diberlakukan, dan tahun 2014 adalah jumlah kasus tertinggi, yaitu 40 kasus.17 Salah satu kasus fenomenal terkait penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari. Kasus yang bermula ketika Prita berobat ke RS Omni International sampai kemudian digugat secara perdata dan dipidana dengan menggunakan UU ITE serta sempat mendekam selama 3 (tiga) minggu di penjara, berawal dari keluhan Prita terkait pelayanan dari Pihak RS Omni dengan mengirim surat ke
[email protected] dan ke kerabatnya yang lain dengan judul “Penipuan RS Omni International Alam Sutra”. Selanjutnya Prita mengirim isi emailnya ke surat pembaca detik.com. Berdasarkan email yang berisi curhatan tersebut Prita akhirnya digugat secara perdata dan dilaporkan ke Polisi.18 Kasus lain yang menarik adalah kasus M. Arsyad. Arsyad ditetapkan sebagai tersangka karena tuduhan penghinaan melalui status BBM, ia ditahan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat selama seminggu, sebelum ditangguhkan penahanannya.19 Arsyad merupakan Aktivis Garda Tipikor dilaporkan ke Polda Sulawesi Selatan dan Barat karena dituduh telah mencemarkan nama baik Nurdin Halid di Status Blackberry Messenger miliknya. Ia menulis di Status BBMnya “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”.
Baca “ICT: 71 Kasus Pidana Akibat UU ITE” http://nasional.tempo.co/read/news /2014/11/16/058622226/ICT-71-Kasus-Pidana-Akibat-UU-ITE diakses pada 19 Juni 2015 18 Iskandar Zulkarnaen “Kronologi Kasus Prita Mulyasari” http://www.kompasiana.com /iskandarjet/kronologi-kasus-prita-mulyasari_54fd5ee9a33311021750fb34 diakses pada 19 Mei 2015 19 Lihat “Polisi Bebaskan Penghina Nurdin Halid” dalam http://www.tempo.co /read/news/2013/09/16/063513795 /polisi-Bebaskan-Penghina-Nurdin-Halid diakses pada 1 Juni 2015 17
7
Kasus lain yang tidak kalah menarik adalah kasus Ervani Handayani Binti Saiman, ia dilaporkan ke Polisi hingga diproses sampai pengadilan dengan tuduhan telah melakukan penghinaan/pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena telah memposting tulisan mengenai kekesalannya atas apa yang memimpa suaminya yang diberhentikan bekerja di Jolie Jogja Jewelery di facebook yang berbunyi “Iya sih Pak Har Baik, Yg gak baik itu yang namanya Ayas dan Spv lainnya …., Kami merasa dia gk pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewelery. Banyak yang lebay dan msh labil sprt anak kecil!”.20 Atas status tersebut, pemilik Jolie Jogja Jewelery merasa terganggu, dan merasa nama baik mereka tercemar dan menganggap komentar Ervani tersebut bisa berpengaruh buruk bagi nama baik perusahaan serta nama baik pemiliknya. Beberapa kasus di atas setidaknya memberikan gambaran bagaimana Pasal 27 ayat (3) UU ITE digunakan oleh aparat penegak hukum untuk melindungi reputasi pejabat atau penguasa setidaknya dibuktikan dari kasus-kasus tersebut di atas. Keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, telah pernah diuji Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan dan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa secara harfiah unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga
20
Putusan Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL, Bagian Dakwaan Penuntut Umum, hlm. 12
8
menyatakan bahwa pasal-pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di dunia maya.21 Setelah Putusan Mahkamah Kontitusi yang menyatakan tindak pidana penghinaan dalam KUHP tidak dapat diterapkan dalam ranah dunia maya, ternyata dalam praktik penegakan hukum ada beberapa perkara penghinaan menggunakan media informasi elektronik yang divonis menggunakan ketentuan tindak pidana penghinaan dalam KUHP, diantaranya adalah Perkara Nomor 40/Pid.B/2012/PN.SRG dengan Terdakwa Lelly Burhanuddin yang didakwa dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP karena telah mengirimkan SMS ke Anggri Syariati yang isinya “Goblok, tahu bayar kah tidak katanya keluarga terhormat, keluarga terhomat tai”. Atas dakwaan tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP.22 Selain itu ada perkara Nomor 53/Pid.B/2012/PN.RGT.TLK. Terdakwa Syamsuddin SPd. Telah mengirimkan SMS kepada Kepala Dinas Pendidikan, yang isinya “Ass. Pak. Saya Syamsuddin, Guru SMA Pangean yang peduli nasib guru di Kuansing yang sekarang lagi di obok-obok oleh setan sukarmis Pak.” Oleh Penuntut Umum, Terdakwa hanya didakwa dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP.23 Dua perkara di atas, setidaknya memberikan gambaran, bahwa tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik di media elektronik pun sebenarnya
21 Baca Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor. 50/PUU-VI/2009 tentang uji materil Pasal 27 ayat (3) UU ITE 22 Lihat putusan Perkara Pidana No. 40/Pid.B/2012/PN.SRG. hlm. 19 23 Lihat putusan Perkara Pidana No. 53/Pid.B/2012/PN.RGT.TLK. hlm. 3
9
masih memungkin untuk dituntut dan diputus berdasarkan ketentuan yang ada di dalam KUHP, sehingga tidak diperlukan aturan hukum lain yang mengatur hal tersebut. Dalam politik hukum pidana, tidak mudah untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana dan harus terlebih dahulu melalui beberapa proses kajian mendalam. Selain kajian mengenai perbuatan dari sudut kriminologi, harus juga dipertimbangkan tujuan dari hukum pidana itu sendiri, penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana dan hasil dan kemampuan badan penegak hukum.24 Oleh karena itu diperlukan kajian pertimbangan strategi yang mendalam mengenai penerapan pemidanaan terhadap tindak pidana penghinaan melalui internet. Apalagi terkait dengan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyisakan banyak persoalan, baik dari segi perumusan tindak pidana, duplikasi pasal sampai pada pemidanaan yang jauh lebih tinggi dari pasal asal/genus deliknya. Terkait dengan kebijakan hukum pidana, Nina Persak Profesor bidang Kriminologi dan sosiologi hukum di Ghent University (Belgium) memberikan perhatian khusus terkait dengan kegiatan menentukan mana perbuatan yang merupakan pidana dan kemudian mengancamnya dengan sanksi pidana, menurut Nina Persak dalam bukunya Criminalizing Harmful Conduct menyebutkan: “Criminalisation is, first and foremost, a political process; a process, through which the world of politics via criminal policy penetrates into the world of law – a process that can and should, nevertheless, be guided by legal principles, rules and standards. That it “should”, stems 24
Agus Rahardjo, 2002, op.cit. hlm. 54
10
from the fact that the power to criminalise certain human conduct is an immense power that shapes our values, divides the population into criminals and non-criminals, limits people’s liberty of action and can make (via imposing certain sanctions on certain conduct) some people’s lives significantly worse.”25 (“kriminalisasi terutama adalah proses politik; sebuah proses yang mana dunia politik melalui kebijakan hukum pidana melakukan penetrasi terhadap dunia hukum-sebuah proses yang dapat dan seharusnya, oleh karenanya, dipandu oleh prinsip-prinsip hukum, aturan dan standar yang berlaku di dunia hukum juga. Bahwa “seharusnya” dilakukan dengan memperhatikan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan yang besar yang membentuk nilai, dan membagi masyarakat ke dalam kriminal atau bukan kriminal, membatasi kebebasan seseorang dalam bertindak dan membuat (melalui pemberian sanksi tertentu terhadap perilaku tertentu) dapat berdambak pada memburuknya kehidupan seseorang.”) Proses politik yang disebutkan oleh Nina Persak selanjutnya dijelaskan Sidharta merupakan interaksi dialektikal antara kepentingan dan tujuan politik dengan momen normatif yang terdiri atas cita hukum, konstitusi, nilai-nilai, asasasas, kaidah dan pranata hukum.26 Banyaknya masalah hukum yang ditemukan dalam perumusan dan penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk mengangkat judul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Melalui Internet di Indonesia sebagai Cybercrime (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dari Perspektif Kebebasan Berekspresi)” B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik melalui internet di Indonesia ? 25
Persak, N. 2007, Criminalising Harmful Conduct: The Harm Principle, Its Limits and Continental Counterparts, New York, Spinger, hlm 5-6 26 Grahat Nagara, 2014, Prinsip-Prinsip Legislasi Hukum Pidana Dalam Rumusan Delik Sumber Daya Alam, Thesis, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, UI, hlm 24
11
2. Bagaimana jaminan perlindungan kebebasan berekspresi di internet dikaitkan dengan keberadaan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik melalui Internet di Indonesia 2. Untuk mengetahui jaminan perlindungan kebebasan berekspresi di Internet dikaitkan keberadaan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat teoritis maupun praktis, yaitu: 1. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu Pengetahuan Hukum, khususnya dalam lingkup Hukum Pidana , sehingga dapat menjadi literatur hukum untuk kajian yang komprehensif bagi siapa saja serta sebagai acuan penelitian bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan kebijakan hukum pidana. 2. Memberikan masukan kepada legislatif dan eksekutif terkait dengan penting atau tidaknya keberadaan tindak pidana penghinaan/
12
pencemaran nama baik dalam Undang–Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE); 3. Membantu penegak hukum menyelesaikan permasalahan hukum yang berkaitan dengan moral dan etika dengan mengedepankan rasionalitas, reliabel, factual dan validitas. E. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori Bicara kerangka teori, sama halnya bicara tentang hukum, sesungguhnya tidak ada definisi yang baku dan abadi.27 Dalam membahas kerangka teori kita akan dihadapkan pada dua macam realitas, yaitu realitas in abstracto yang ada dalam idea imajinatif dan padanannya berupa realitas in concreto yang berada pada pengalaman indrawi.28 Beberapa hal yang menjadi kerangka teori yang perlu dijelaskan, adalah; a) Teori Negara Hukum; b) Teori hak-hak alami; dan c) Teori pemidanaan a) Teori Negara Hukum Istilah rechtsstaat yang diterjemahkan sebagai Negara hukum menurut Philipus M. Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19, meski pemikiran tentang hal itu telah lama ada. 29 Cita Negara hukum itu untuk pertama kalinya di kemukakan oleh Plato dan kemudian
27
Sabian Utsman, 2014, Metodologi Penelitian Hukum Progressif: Pengembaran Permasalahan Penelitian Hukum Aplikasi Mudah Membuat Proposal Penelitian Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 52 28 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali), Bandung, PT. Refika Aditama, hlm 21 29 Philipus. M. Hadjon, 1996, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Jakarta, Media Pratama, hlm. 72
13
pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles. 30 Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik atau buruknya suatu hukum. Aristoteles menjelaskan suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia menyatakan 31: “Constitutional rule in a state is closely connected, also with the requestion whether is better to be rulled by the best men or the best law, since a goverrment in accordinace with law, accordingly the supremacy of law is accepted by Aristoteles as mark of good state and not merely as an unfortunate neceesity.” (“Aturan konstutitusional dalam suatu Negara berkaitan secara erat juga dengan mempertanyakan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia yang terbaik sekalipun atau hukum yang terbaik selama pemerintahan menurut hukum. Oleh sebab itu, supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai pertanda Negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak”) Konsep Negara hukum rechtsstaat di Eropa Kontinental sejak semula didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ciri individualistic itu sangat menonjol dalam pemikiran Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental itu. Konsep rechtsstaat menurut Philus M. Hardjon lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism, sehingga sifatnya revolusioner. 32 Adapun ciri-ciri rechtsstaat adalah sebagai berikut: 33
Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Riview, Yogyakarta, UII Press, hlm.1 31 George Sabine, 1995, A History of Political Theory, London, George G. Harrap & CO. Ltd., hlm. 92 32 Philipus. M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, hlm.72 33 Ni’matul Huda, 2005, op.cit. hlm.9 30
14
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat; 2. Adanya pembagian kekuasaan Negara; 3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri rechtsstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentralnya adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undangundang Dasar secara teoritis memberikan jaminan konstitusional atas kebebasan dan persamaan tersebut. Pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang dimiliki seorang penguasa cendrung bertindak mengekang kebebasaan dan persamaan yang menjadi ciri khas Negara hukum. Salah satu tujuan dari Negara hukum adalah adalah untuk mencapai keadilan.34 Pengertian keadilan yang dimaksud dalam konsep Negara hukum Indonesia adalah bukan hanya keadilan hukum (legal justice), tetapi juga keadilan sosial (sociale justice). b) Teori Hak-Hak Alami (Natural Right Theory) Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human
34 Dahlan Thaib, 1996, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Jakarta, Media Pratama, hlm. 25
15
beings at all times and all places by virtue of being born as human beings).35 Teori hak-hak alami (natural rights theory) yang menjadi asalusul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.36 Selanjutnya, ada Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional” yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.37 Teori hak-hak alami menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior dari hukum nasional suatu negara, yaitu norma
hak
asasi
manusia
internasional.
Namun
demikian,
35
Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 14 36 Rhona K. M. Smith, et. all., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, hlm. 12 37 Mujaid Kumkelo, et. all, 2015, Fiqh HAM, Malang, Setara Press, hlm. 32
16
kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak alami. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. c) Teori Pemidanaan Dalam dunia hukum pidana saat ini berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence).38 Teori absolut menyatakan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan, pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.39 Teori ini menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya, penjatuhan pidana pada dasarnya
38
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007, op.cit. hlm 21 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, PT. Alumni, hlm. 11 39
17
penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.40 Teori relatif/utilitarian menyatakan mempidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Oleh J Andenaes, Teori ini disebut juga sebagai “teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).41 Teori ini mengajarkan pidana bukanlah untuk sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya jangan melakukan kejahatan).42 Teori utilitarisme tak lepas dari sejumlah tokoh seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Bentham adalah seorang filsuf Inggris, penganut ajaran jurisprudence dan dianggap sebagai pencetus teori utilitarisme modern. Bentham mengajukan banyak perubahan hukum dan sosial yang berdasar pada prinsip moral dasar yang seharusnya mendasari.43 Filosofi utilitarisme diambil dari axiom paling dasar, yakni “The greatest happiness of the greatest
40
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta, Pustaka Belajar, hlm 90 41 Ibid. hlm. 16 42 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm, 16. 43 T.J. Gunawan, 2015, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Yogyakarta, Genta Press, hlm. 31
18
number”.44 Bentham menimbang kebenaran atau kebaikan dari suatu tindakan berdasar konsekuensi yang dihasilkan dengan menilai dari berbagai aspek dan menghitung jumlah kebahagiaan yang didapat dari berbagai pihak, yang mana semakin menghasilkan kebaikan terbesar untuk jumlah terbanyak adalah yang lebih baik.45 Pemidanaan menurut Bentham harus spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan
untuk
mencegah
dilakukannya
penyerangan-
penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Dengan demikian tujuan akhir dari hukum menurut Bentham adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah besar rakyat.46 Teori penggabungan (integratif), teori ini muncul akibat reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan untuk menjawab pemidanaan. Tokoh utama dari teori ini adalah Pellegrino Rossi (17871848). Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu:47
Mery Warnock, 2003, Ultilitarism and On Liberty; Including Mill’s ‘essay on Bentham’ and Selections from the Writings of Jeremy Bentham and John Austin, Second Edition, UK, Blackwell Publishing, hlm. 1 45 T.J. Gunawan, 2015, loc.cit. 46 Satjipto Raharjo, 2014, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm 307 47 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, op.cit. hlm. 19 44
19
(1) Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran. (2) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki. (3) Dasar pembenaran dari
pidana terletak pada faktor tujuan
yakni mempertahankan tertib hukum. Lebih lanjut Rossi berpendapat bahwa pemidanaan merupakan pembalasan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, sedangkan berat ringannya pemidanaan harus sesuai dengan justice absolute (keadilan yang mutlak) yang tidak melebihi justice social (keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat). Sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa:48 a. Pemulihan ketertiban; b. Pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana c. Perbaikan pribadi terpidana d. Memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan; e. Memberikan rasa aman bagi masyarakat.
48
Ibid
20
Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu di samping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana. Teori pemidanaan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori
relatif/utilitarian,
karena
pemidanaan
tidak
hanya
untuk
memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. 2. Kerangka Konseptual Untuk menjawab pertanyaan permasalahan guna mencapai tujuan penelitian, dan supaya tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami permasalahan, maka perlu adanya defenisi dan kerangka konseptual dalam penelitian ini, yang terdiri dari: a. Kebijakan Hukum Pidana Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologi politik suatu bangsa dalam fungsinya menanggulangi kejahatan. Dalam penanggulangan tersebut tujuan utamanya adalah bagaimana memastikan masyarakat dapat terlindungi (social defence), sehingga kesejahteraan sosial dapat dicapai (social welfare). Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan hukum pidana yang di susun menurut meliputi berbagai hal termasuk menentukan seberapa jauh ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaharui, dan apa yang dapat
21
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, serta termasuk juga bagaimana pelaksanaan penegakan hukum harus dilakukan.49 Kebijakan hukum pidana oleh karena itu apabila diterjemahkan dalam konteks yang lebih luas merupakan kajian tentang bagaimana masyarakat (termasuk pemerintah) dalam merespon persoalan yang dihasilkan dari fenomena kejahatan. Kebijakan hukum pidana dapat diartikan juga dengan politik hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan diambil dari istilah “policy” dalam bahasa Inggris atau ”politiek” dalam bahasa Belanda. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan istilah penal policy, criminal law policy, atau strafrecth politiek.50 Sudarto menyebutkan Penal policy atau politik hukum pidana sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.51 Tidak berbeda dengan Sudarto, Marc Ancel menyatakan kebijakan pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-
49
A. Mulder, 1980, Strafrechtspolitiek: Delikt en Delinkwent dalam Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 27 50 Barda Nawai Arief, 2011, ibid. hlm. 26 51 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, hlm. 152
22
undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.52 Kebijakan hukum pidana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usaha untuk merumuskan hukum positif guna mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat hingga penerapannya. b. Tindak Pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Mengacu pada perumusan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik.” Selanjutnya, untuk memahami unsur penghinaan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 50/PUU-VI/2008 menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru. Penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang temuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311
52
Barda Nawawi Arief, 2011, op.cit, hlm. 23
23
KUHP, Konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.53 c. Internet Internet (Interconnected-networking) adalah jaringan atau sistem pada jaringan komputer yang saling berhubungan (terhubung) dengan
menggunakan
sistem
global
transmission
control
protocol/internet protocol suite (TCP/IP) sebagai protokol pertukaran paket (package switching communication protocol) untuk melayani miliaran pengguna di seluruh dunia. Sedangkan komputer menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika dan penyimpanan. d. Perumusan Perumusan dalam penelitian ini mengacu pada proses pembentukan dan perumusan peraturan perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, berdayaguna, adanya kejelasan rumusan dan keterbukaan. Pada dasarnya setiap undang-undang dibuat oleh pembuat undang-undang merupakan jawaban hukum terhadap persoalan masyarakat pada saat undang-undang itu dibuat. Pada saat undang-
53
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 50/PUU-VI/2008, hlm 110
24
undang itu dibahas dan diperbincangkan oleh legislatif, semua pendapat sudah baik dan sempurna. Akan tetapi, pada saat diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan seribu macam masalah konkreto yang tidak terjangkau dan tidak terfikirkan pada saat pembahasan.54 Perumusan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses pembahasan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif saat merumuskan sebuah norma dalam suatu undang-undang. e. Penerapan Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, penerapan diartikan sebagai aplikasi, implementasi, pemakaian, dan praktik.55 Penerapan dimaksudkan pada penelitian ini adalah implementasi atau pemakaian Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam proses hukum di Indonesia. f. Kebebasan Berekspresi Mengadopsi konsep Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
54 Yahya Harahap, 2006, Pembahasan dan Penerapan KUHP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 12 55 Departemen Pendidikan Nasional, 2009, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Bandung, Mizan Media Utama, hlm. 605
25
Sejalan dengan hal tersebut di atas, article 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia mengabadikan hak akan kebebasan perpendapat dan berekpresi dalam kerangka “setiap orang memiliki kemerdekaan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat tanpa adanya campur tangan dan untuk mencari, menerima dan memeberikan informasi dan gagasan lewat media namapun dan tanpa memandang batas-batas yang ada” (disahkan dan diproklamirkan oleh resolusi 217 A (III) Sidang Umum pada10 Desember 1948).56 Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh PBB dan instrumen-instrumen regional hak asasi manusia serta nyaris seluruh peraturan perundang-undangan nasional di banyak negara di dunia. Kebutuhan untuk melindungi reputasi individu juga merupakan hak asasi manusia yang mendapatkan pengakuan luas oleh instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di berbagai negara di seluruh dunia.57
56
Emma Watlers dan Alex Johnson, 2005, Dekriminalisasi Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik: Sebuah Acuan Kampanye IFJ Untuk Menghapuskan Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik, (Terjemahan Cristine Tjandraningsih), Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen dan MDLF, hlm .5 57 Rony Saputra, 2015, Mengupas UU ITE: Ancaman Bagi Kebebasan Berekspresi, Makalah disampaikan pada seminar Pengawasan dan Perlindungan Terhadap Kebebasan Berekspresi di Indonesia, Bandar Lampung, 11 Juni 2015, hlm 9
26
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang mencakup tentang asas-asas hukum58 dalam mengkaji persinggungan norma-norma dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan meta norma yang berasal dari kajian filsafat dan teori hukum. Sehingga ditemukan masalah dan solusi mendasar terkait dengan kebijakan hukum pidana tindak pidana penghinaan/pencemaran nama melalui internet dikaitkan dengan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penelitian hukum normatif akan bertitik tolak pada bahan pustaka atau data sekunder, dengan cakupan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.59 2. Sifat Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencari kembali sebuah kebenaran. Sehingga akan dapat menjawab pertanyaan yang muncul tentang suatu objek penelitian.60 Dalam hal sifat penelitian, penulis lebih cenderung menggunakan tipe reform-oriented research, yang menurut Hitchinson sebagai research which intensively evaluates the adequacy of exsiting rules and which recommends changes to any rules found wanting (penelitian yang berorientasi perubahan, yaitu penelitian yang secara intensif mengevaluasi pemenuhan ketentuan yang sedang
58
Soejono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 51 Ibid. hlm. 52 60 Bambang Sugono, 2001, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 59
hlm 29.
27
berlaku dan merekomendasikan perubahan terhadap peraturan manapun yang dibutuhkan.)61 Adapun sifat penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum deskriptif (descriptive legal study) berupa pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap tentang keadaan hukum. Pilihan pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan penelitian hukum doctrinal (doctrinal legal research). Melalui pendekatan ini, berarti peneliti mengkaji hukum sebagai sebuah sistem yang normatif.62 Sebagai sebuah sistem yang normatif maka hukum tidak dapat dipandang hanya sebagai aturan tertulis saja, semacam undangundang, melainkan keseluruhan asas yang ada dan mendasarinya maupun bentuk lain dari kaidah hukum yang tidak tertulis atau ketika dilaksanakan (in conreto). Dalam konsep teori, pertanyaan penelitian diarahkan guna melihat kembali rasionalisasi dan asumsi dasar dalam kebijakan hukum pidana memandang perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik di Internet sebagai tindak pidana yang harus dijatuhkan pidana penjara atau sebaliknya, penghinaan/pencemaran nama baik tidak perlu dijatuhkan pidana penjara. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis perlu menggali teori-teori dalam ilmu hukum yang dapat menjelaskan hal tersebut, selain itu juga perlu melihat dan penggali aturan-aturan internasional yang
61 Abdul kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 52 62 Van Hoecke, M. (ed), 2011, Methodologies of Legal Research, Oxford, Hart Publishing. hlm. 3
28
mengatur masalah penghinaan/pencemaran nama baik tersebut. Kajian tersebut di atas setidaknya mampu menjelaskan batas-batas dalam penentuan kebijakan hukum pidana terkait dengan perlu atau tidaknya penghinaan/pencemaran nama baik dijatuhi penghukuman badan. 3. Sumber Bahan Hukum Sifat penelitian hukum normatif memberi prasyarat bahwa sumber hukum yang dijadikan objek adalah sumber-sumber hukum. Sumbersumber hukum tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif antara lain konstitusi negara, undang-undang serta peraturan di bawahnya yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik melalui Internet dan perumusan UU ITE terkait dengan klausul penghinaan/pencemaran nama baik. Sebagai bahan kajian utama adalah risalah proses pmbahasan Rancangan UndangUndang Republik Indonesia Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu ada baiknya mengkaji seluruh kasus-kasus penghinaan/ pencemaran nama baik melalui internet, namun penulis hanya membatasi 6 (enam) kasus yang telah diputus oleh Pengadilan, yaitu: 1. Kasus Prita Mulya Sari (Perkara No. 1269/Pid.B/ 2009/PN.TNG) 2. Kasus Muhammad Fajrika Mirza, S.H (Perkara No. 1882/Pid.B/ 2012/PN.Jkt.Sel) 3. Kasus Ende Mulyana Aliyudin (Perkara No. 16/Pid.B/2014/PN.Pwk)
29
4. Kasus M. Arsyad (Perkara No. 390/Pid.B/2014/PN.Mks) 5. Kasus Ervani Emy Handayani (Perkara No. No.196/Pid.Sus/ 2014/PN.BTL) 6. Kasus Risman Taha (Perkara No. 199/Pid.B/2013/PN.Gtlo) Untuk lebih komprehensifnya kajian dalam penelitian ini, Penulis juga menganalisis 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Uji Materil Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dua putusan tersebut adalah: 1. Putusan
Nomor
50/PUU-VI/2008
yang
dimohonkan
oleh
Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang. 2. Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, PBHI, AJI, dan LBH Pers. Sebagai bahan perbandingan, penulis juga menganalisis 2 (dua) Putusan Pengadilan terkait dengan tindak pidana penghinaan yang penyebarannya menggunakna sistem komputer, tetapi tidak didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu: 1. Kasus Lelly Burhanudin (Perkara No. 40/Pid.B/2012/PN.Srg) 2. Kasus Syamsuddin (Perkara No. 53/Pid.B/2012/PN.RGT.TLK) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer.63 Bahan hukum sekunder berasal dari buku-buku teks yang berisi prinsip-prinsip hukum dan pandangan
63
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2014, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke -16. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 13.
30
sarjana,64 dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang tidak bersifat otoritatif, seperti hasil penelitian baik berupa tesis, disertasi maupun hasil penelitian lainnya, buku-buku, tulisan jurnal dan dokumen-dokumen yang terkait dengan objek penelitian, seperti teori-teori kebijakan pidana, pembaharuan hukum pidana, kriminologi, teori hukum, asas-asas hukum pidana,
cybercrime,
hukum
dan
perkembangan
social,
kovensi
internasional, dan kamus ensiklopedi. Van hoecke65 menambahkan selain teks otoritatif dan publikasi hukum, bahan hukum lainnya yang dapat digunakan untuk penelitian hukum diantaranya penerapan hukum konkret yang berkaitan dengan putusan hukum. Lalu, system hukum asing yang dihasilkan dari perbandingan hukum atau dengan mengkaji sejarah hukumnya. 4. Metode Pengumpulan Data Sebagaimana ciri dari penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data dapat dilakukan dengan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka.66 Selanjutnya juga dapat dilakukan dengan studi dokumen terhadap literature yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dan perumusan serta penerapan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
64
Ronny Hanitijo, 1993, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indo, hlm 43 Van Hoecke, M. (ed), 2011, Op.Cit. hlm. 6 66 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm 61 65
31
5. Analisis Data Penulis memilih metode penelitian hukum normatif dalam penelitian ini, sehingga pengolahan data dilakukan dengan cara mensistematisasi bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.67 Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data yang diperoleh, dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa dihitung. Bahan hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokkan ke dalam bagian-bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi. Hasil analisa bahan hukum akan diinterpretasikan menggunakan metode (a) sistematis; (b) gramatikal; dan (c) teleologis. 68 Pemilihan interpretasi sistematis ditujukan untuk menetukan struktur hukum dalam penelitian ini. Interpretasi sistematis (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) adalah menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika ditafsirkan adalah pasalpasal suatu undang-undang, ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan.
67
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2014, Ibid, hlm. 251-252 Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan kata-kata undang-undang (leterlijk), interpretasi gramatikal, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi sosiologis, interpretasi sosio-historis, interpretasi filosofis, interpretasi teleologis, interpretasi holistik dan interpretasi holistik tematissistematis. Lihat Jimly Asshiddiqie. 1997. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara. Jakarta: Ind. Hill.Co. hlm. 17-18 68
32
Dalam penafsiran ini mencari ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya saling berhubungan sekaligus apakah hubungan tersebut menentukan makna selanjutnya. Akan tetapi, dalam hubungan tatanan hukum yang tidak terkodifikasi, merujuk pada sistem dimungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat diasumsikan (diandaikan). Selanjutnya interpretasi gramatikal yaitu metode penafsiran hukum pada makna teks yang di dalam kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertitik tolak pada makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makan teknis-yuridis yang lazim atau dianggap sudah baku.69 Interpretasi gramatikal dalam penelitian ini terkait dengan makna teks dalam pasal penghinaan yang dimaksud oleh Pasal 27 ayat (3) UU ITE dipandang dari sudut kebijakan hukum pidana, sedangkan interpretasi teleologis yang merupakan yang metode penafsiran yang difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan atau asas tersebut memengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual.70 Menurut Hoft, penafsiran teleologis memiliki fokus perhatian bahwa fakta pada norma hukum mengandung tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu sehingga ketika ketentuan tersebut diterapkan maksud 69 Ph. Visser’t Hoft. 2001. Penemuan Hukum (Judul Asli: Rechtvinding, Penerjemah B. Arief Shidarta), Bandung, Laboratorium Hukum FH Universitas Parahiyangan. Hal. 25 70 Ibid, hlm. 30
33
tersebut harus dipenuhi, penafsiran ini selanjutnya memperhitungkan konteks kemasyarakatan aktual. Cara ini tidak terlalu diarahkan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari pembentuk undang-undang saat membentuknya dan kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis
guna
memperoleh
kejelasan
penyelesaian
lalu
ditarik
kesimpulan guna menjawab permasalah penelitian secara deduktif yaitu dari hal yang bersifat umum menunju yang hal bersifat khusus.71
71
B. Arief Sidharta (Penerjemah). 2009. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung. PT Rafika Aditama Hal. 56-57
34
BAB II CYBERCRIME, TINDAK PIDANA PENGHINAAN DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI A. Tinjauan Tentang Cybercrime 1. Pengertian Cybercrime Secara terminologi, cybercrime didefenisikan sebagai kejahatan komputer. Mengenai defenisi dari kejahatan komputer sendiri, hingga saat ini belum ada pendapat yang sama dari para sarjana. Bahkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah kejahatan komputerpun masih belum saragam. Beberapa istilah yang sering dipakai dalam tindak pidana komputer adalah computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer-related crime, computer-assisted crime, atau computer crime.72 Barda Nawawi Arief menyebutkan pengertian cybercrime dengan istilah tindak pidana mayantara yang identik dengan tindak pidana di ruang siber.73 The British Law Commision menggunakan istilah computer fraud dalam memaknai cybercrime, yang diartikan sebagai manipulasi komputer dengan cara apapun yang dilakukan dengan itikad buruk untuk memperoleh uang, atau keuntungan lainnya atau dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain.74 Berbeda dengan The British
72
Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime, Yogyakarta, Laksbang Mediatama, hlm. 23 73 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke-3, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 201 74 Budi Suhariyanto, 2013, op.cit, hlm. 11
35
Law Commision, Departemen Kehakiman Amerika Serikat, memberikan klasifikasi terkait dengan pengertian cybercrime, yaitu: 1. Crimes in which the computer or computer network is the target of the criminal activity. For example, hacking, malware and DoS attacks. (kejahatan dimana komputer atau jaringan komputer menjadi target, seperti hacking, malware dan serangan DoS) 2. Existing offences where the computer is a tool used to commit the crime. For example, child pornography, stalking, criminal copyright infringement and fraud. (Komputer sebagai alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, seperti pornografi anak, stalking, pelanggaran hak cipta dan penipuan) 3. Crimes in which the use of the computer is an incidental aspect of the commission of the crime but may afford evidence of the crime. For example, addresses found in the computer of a murder suspect, or phone records of conversations between offender and victim before a homicide. In such cases the computer is not significantly implicated in the commission of the offence, but is more a repository for evidence.75 (kejahatan dimana penggunaan komputer merupakan aspek yang insidental dalam menemukan bukti kejahatan, seperti ditemukannya alamat tersangka pembunuhan didalam komputer, atau catatan telpon antara pelaku dan korban sebelum pembunuhan) 75
Jonathan Clough, 2010, Principles of Cybercrime, UK, Cambridge University Press,
hlm.10
36
Terkait dengan masalah penggunaan istilah cybercrime, Muladi76 menyebutkan bahwa istilah-istilah yang digunakan tetap mengarah pada pengertian kejahatan komputer (crime directed at computer), kejahatan dengan mendayagunakan komputer (crimes utilizing computer), atau semata-mata kejahatan yang berkaitan dengan komputer (crimes-related to computer), walau istilah-istilah tersebut memberi gambaran yang belum tepat. Meskipin demikian, istilah apapun yang digunakan, berbagai pihak elah berusaha membuat defenisinya sendiri-sendiri berdasarkan pemahamannya. Perkembangan teknologi informasi telah menggeser paradigma para ahli hukum dalam memberikan definisi dari kejahatan komputer, diawalnya para ahli hanya terfocus pada alat dan perangkat keras, yaitu komputer. Namun berkembangnya teknologi seperti jaringan internet, maka focus dari definisi cybercrime adalah aktivitas yang dapat dilakukan di dunia siber melalui melalui sistem informasi yang digunakan, sebagaimana yang diutarakan oleh Barda Nawawi Arief dengan kejahatan mayantara. Widodo menjelaskan cybercrime dapat dibedakan menjadi 2 (dua kategori), yaitu; cybercrime dalam arti sempit dan cybercrime dalam arti luas. Cybercrime dalam arti sempit adalah kejahatan terhadap system komputer, sedangkan dalam arti luas mencakup kejahatan terhadap
76 Mardjono Reksodiputro, Kejahatan Komputer: Suatu Catatan Sementara dalam KUHP Nasional yang Akan Datang, Prasaran dalam Lokakarya tentang Bab-Bab Kodifikasi Hukum Pidana, Diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 18-19 Januari 1988, hlm. 2
37
sistem atau jaringan komputer dan kejahatan yang menggunakan komputer.77 Secara umum, dapat kita simpulkan bahwa cybercrime merupakan keseluruhan bentuk kejahatan yang ditujukan terhadap komputer, jaringan komputer dan para penggunanya serta bentuk-bentuk kejahatan tradisional berupa tindak pidana pornografi anak yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer. 2. Karakteristik dan Jenis Cybercrime Arus globalisasi dewasa ini telah merubah hampir semua aspek kehidupan manusia, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perubahan yang terjadi juga mendorong perubahan hukum. Permasalahan yang timbul dalam perubahan hukum adalah sejauh mana hukum bisa sesuai dengan perubahan tersebut, dan bagaimana supaya hukum itu tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat, dan atau sebaliknya. Mengutip pendapat Satjipto Raharjo yang mengatakan bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum harus menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu; 1). Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang; 2). Penyelesaian sengketa-sengketa; dan 3).
77
Widodo, 2009, Op. Cit, hlm. 24
38
Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial.78 Pendapat Satjipto Raharjo di atas menegaskan bahwa hukum tidak bisa lepas dari perubahan-perubahan masyarakat, hukum bekerja atas dasar
mandat
dari
rakyat,
sehingga
hukum
harus
mengikuti
perkembangan masyarakat. Era
globalisasi79
juga
menyebabkan
semakin
canggihnya
teknologi informasi dan berpengaruh pada berkembangnya bentuk kejahatan-kejahatan baru yang sifatnya lebih modern dan berbeda dari kejahatan konvensional. Berbeda dengan kejahatan tradisional, kejahatan di bidang teknologi informasi (cybercrime) memerlukan keahlian tertentu. kejahatan ini dapat juga digolongkan sebagai white collar crime karena pelakunya adalah orang-orang yang menguasai penggunaan aplikasi tertentu dan ahli dibidangnya.80 Kejahatan cybercrime sering kali terjadi melintasi batas negara atau lebih dikenal dengan transnational crime. Berdasarkan literatur, cybercrime memiliki beberapa karakteristik, yaitu:81
78
Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas Media Nusantara,
hlm. 133. 79
Friedman menggambarkan bahwa globalisasi merupakan hal yang tidak bisa ditolak lagi oleh setiap bangsa, ia memaparkan tiap tahapan-tahapan globalisasi secara rinci. Friedman menyatakan globalisasi terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Globalisasi yang dijabarkan termasuk di dalamnya juga pengaruh besar teknologi informasi dalam aktivitas manusia, lihat Teguh Arifandi, Cyberlaw: Tantangan Bagi Perkembangan Hukum di Indonesia dalam www.depkominfo.co.id diakses pada 2 April 2013 80 Budi Suhariyanto, 2013, op.cit, hlm. 12 81 Abdul Wahid dan M. Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Bandung, Refika Aditama, hlm. 76
39
1. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis terjadi diruang/wilayah siber, sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya; 2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang berhubungan dengan internet; 3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional; 4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet dan aplikasinya; 5. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional. Karakteristik yang disebutkan oleh Abdul Wahid dan M. Labib di atas sejatinya hanya memberikan pembeda antara kejahatan tradisonal dengan cybercrime dalam ruang yang berbeda dan yurisdiksi. Sejatinya cybercrime muncul akibat kemajuan teknologi informasi dan digital, yang
memudahkan
mendapatkan
orang-orang
informasi
serta
untuk
melakukan
memudahkan
bisnis.
komunikasi, Disini
lain,
kemudahan yang diberikan oleh teknologi, menjadikan teknologi sebagai target untuk memperoleh dan menyebarkan gangguan. Dengan demikian, karakteristik dari cybercrime adalah penggunaan/pemanfaatan teknologi informasi/digital untuk melakukan kejahatan dan kejahatan yang didukung oleh teknologi informasi/digital.
40
Cybercrime setidaknya diketahui pertama kali terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, pada saat itu ditemukan ada laporan tentang manipulasi komputer, sabotase komputer, spionase komputer dan penggunaan sistem secara illegal.82 Pada tahun 1970an terjadi kejahatan komputer serius di Amerika yaitu menipulasi data nilai akademik mahasiswa di Brooklyn College New York, kasus pengopian data untuk sarana kejahatan penyelundupan narkotika, kasus penipuan melalui kartu kredit.83 Sejak awal tahun 1980-an serangkan survei dan kajian telah dilakukan oleh badan-badan internasional, termasuk OECD, PBB, Dewan Eropa, G8 dan interpol, dan telah menimbulkan kesadaran global dari tantangan yang diakibatkan oleh cybercrime.84 Lalu pada tahun 2001, diadakanlah konvensi pertama terkait dengan crimes committed via the Internet and other computer networks yang lebih dikenal dengan Convention on Cybercrime yang dilaksanakan di Budapest 13 November 2001.85 Dalam mukaddimah convention on cybercrime, 23.XI.2001 disebutkan bahwa konvensi ini diperlukan untuk memberi efek jera bagi tindakan yang ditujukan untuk menentang kerahasiaan, jaringan dan data
82
U. Sieber, 1998, Legal Aspects of Computer-Related Crime in the Information Society, COMCRIME Study, European Commission, hlm. 19. Lihat juga Edy Junaedi Karnasudirja, 1993, Jurisprudensi Kejahatan Komputer, Jakarta, Tanjung Agung, hlm. 3 83 Widodo, 2009, op.cit, hlm. 30 84 Schjølberg and A. M. Hubbard, 2005, Harmonizing National Legal Approaches on Cybercrime, Background Paper Dalam Jonathan Clough, 2010, op. cit. hlm. 21 85 Lebih lanjut lihat http://www.coe.int/en/web/conventions/full-list/-/conventions/ treaty/185 diakses pada 3 Maret 2016
41
komputer, maupun penyewenagan penggunaan sistem, jaringan, dan data tersebut dengan mengkriminalisasi tindakan-tindakan itu sebagaimana dijelaskan di dalam konvensi ini, dan dengan mengadopsi kewenangan yang cukup untuk memerangi tindakan-tindakan pidana tersebut, melalui difasilitasinya pendeteksian, investigasi, dan pemberian hukuman, baik diranah domestik maupun internasional dan dengan menyediakan segala keperluan agar bisa terbentuknya kerjasama yang cepat dan handal. Convenstion on cybercrime menetapkan 4 (empat) bentuk kejahatan yang disebut sebagai cybercrime, yaitu: 1. Pelanggaran-pelanggaran terhadap kerahasiaan, integritas dan ketersediaan data dan sistem komputer; 2. Pelanggaran yang terkait dengan komputer; 3. Pelanggaran yang berkaitan dengan isi; 4. Pelanggaran yang berkaitan dengan hak cipta dan hak terkait lainnya. Keempat bentuk kejahatan di atas, dijabarkan menjadi beberapa bentuk turunan kejahatan, yang penulis jelaskan dalam bentuk tabel dibawah ini. Pidana Materil Jenis kejahatan Pelanggaran1. Illegal access (Akses illegal) Mengakses secara sadar seluruh atau pelanggaran terhadap sebagian dari sistem komputer tanpa hak kerahasiaan, integritas dan 2. Illegal interception (Penyadapan ketersediaan data dan ilegal) Menyadap tanpa hak dan dengan tujuan sistem komputer yang tidak jujur, melalui teknik-teknik tertentu, transmisi data komputer yang bukan milik umum, dari atau dalam
42
sebuah sistem komputer, termasuk emisi elektromagnetik dari sebuah sistem komputer yang membawa data komputer tersebut. 3. Data interference (Gangguan data) Pengrusakan, penghapusan, pemburukan, perubahan, atau menahan data komputer tanpa hak dan dengan sengaja yang dapat menimbulkan dampak yang serius 4. System interference (Gangguan sistem) Secara serius merintangi fungsi dari sebuah sistem komputer dengan tanpa hak melalui memasukkan, memindahkan, merusak, menghapus, memperburuk, mengubah atau menahan data komputer. 5. Misuse of devices (penyalahgunaan perangkat) a. Tanpa hak memproduksi, menjual, mengadakan, mengimpor, mendistribusikan atau mengadakan hal-hal seperti: i. Sebuah perangkat, termasuk program komputer yang didesain atau diadobsi utamanya untuk tujuan melakukan suatu jenis tindak pidana sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 2 (akses ilegal) dan Pasal 5 (gangguan sistem) ii. Sebuah kata kunci komputer, kode akses, atau data serupa yang bisa membuat keseluruhan atau sebagian sistem komputer dapat diakses, dengan tujuan digunakan untuk melakukaun suatu tindak pidana seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 (akses ilegal) dan Pasal 5 (gangguan sistem) b. Kepemilikan sebuah benda yang dimaksudkan pada bagian di atas (5) dengan maksud akan digunakan
43
untuk melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 (akses ilegal) dan Pasal 5 (gangguan sistem) Pelanggaran terkait komputer
yang 1. Pemalsuan yang berhubungan dengan dengan komputer Melakukan secara sengaja dan tanpa hak memasukkan, mengubah, menghapus atau menahan data komputer, yang menyebabkan data menjadi tidak seperti aslinya dengan maksud bahwa hal itu dianggap untuk tujuan hukum tertentu seolah-olah asli 2. Penipuan yang berhubungan dengan komputer Secara sengaja dan tanpa hak menyebabkan kerugian kepada seseorang dengan cara memasukkan, mengubah, mengapus atau menahan data komputer; mengganggu fungsi sistem komputer, dengan niat tidak jujur dan menipu untuk menghasilkan keuantungan ekonomi untuk diri sendiri atau orang lain
Pelanggaran yang 1. Pelanggaran yang berkaitan dengan berkaitan dengan isi pornografi anak Secara sadar dan tanpa hak melakukan perilaku-perilaku memproduksi pornografi anak dengan maksud untuk disebarkan melalui sistem komputer; menawarkan atau menyediakan pornografi anak melalui sistem komputer; menyebarluaskan atau mendistibusikan pornografi anak melalui komputer; menyediakan pornografi anak melalui sistem komputer untuk diri sendiri atau orang lain; dan memiliki anak di sebuah sistem komputer atau di dalam media penyimpanan data komputer Pelanggaran yang 1. Pelanggaran yang terkait dengan hak berkaitan dengan hak cipta dan hak-hak lainnya Pembjakan hak cipta, sebagaimana cipta dan hak terkait dijelaskan oleh masing-masing pihak lainnya.
44
negara, mengikuti kewajiban-kewajiban yang telah diterima menurut Paris Act 24 Juli 1971 yang merevisi konvensi Bern untuk perlindungan Karya sastra dan karya artistik, kesepakatan mengenai aspek-aspek intelektual yang berhubungan dengan perdangan dan perjanjian hak cipta WIPO, dengan pengecualian segala jenis hak-hak moral yang dimaksud oleh konvensi tersebut, dimana perilaku tersebut dilakukan dengan sengaja, pada skala komersil dan melalui sistem komputer. Tabel 1: kategori cybercrime dalam Convenstion on cybercrime
Terkait dengan jenis-jenis cybercrime di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa cybercrime, setidaknya berada dalam lingkup: a. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut sistem, software dan program komputer b. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut dengan data atau informasi yang tersimpan dalam komputer c. Pemakaian fasilitas komputer tanpa hak dan tanpa wewenang untuk
kepentingan
yang
tidak
sesuai
dengan
tujuan
pengelolaan86 d. Tindakan merusak komputer dan atau merusak alat penunjang komputer87 Dari jenis karakteristik dan jenis cybercrime di atas, tidak satupun yang menyebutkan bahwa tindak pidana penghinaan merupakan bagian dari cybercrime. Bahwa cybercrime adalah kejahatan-kejahatan yang menyangkut dengan sistem komputer dan data atau informasi yang 86 87
Abdul Wahid dan M. Labib, 2005, op.cit., hlm.67 Ibid.
45
tersimpan dalam komputer serta penggunaan komputer tanpa hak atau wewenang. 3. Pengaturan Cybercrime di Indonesia UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2008 dan dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 boleh dibilang sebagai jawaban pemerintah Indonesia untuk menanggulangi cybercrime. Namun bukan Undang-Undang yang pertama kali di Indonesia yang dapat menjangkau cybercrime, karena jauh
sebelum
Undang-Undang
ini
disahkan,
penegak
hukum
menggunakan KUHP dan beberapa aturan diluar KUHP untuk mengadili cybercrime. Ketentuan dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
cybercrime
dengan
menggunakan
penafsiran
ekstensif
diantaranya adalah ketentuan tindak pidana pemalsuan (Pasal 263 sampai Pasal 276), tindak pidana pencurian (Pasal 362 sampai dengan Pasal 367), tindak pidana Penipuan (Pasal 378 sampai dengan Pasal 395), dan tindak pidana perungsakan barang (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412).88 Selain penafsiran ekstensif terhadap Pasal-Pasal dalam KUHP, peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadili cybercrime (dengan menggunakan
88
Aloysius Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, hlm. 115
46
penafsiran ekstensif) sebelum keluarnya UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE adalah:89 1. Undang-Undang No. 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Subversi (sudah dicabut) 2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diganti dengan UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Undang-undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan 4. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan 5. Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi 6. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Pencucian Uang 7. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran 9. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Terorisme Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, lebih banyak memang penggunaan Pasal-Pasal KUHP dalam menjerat cybercrime. Beberapa kasus cybercrime diantaranya, Kasus Unauthorized Transfer Payment di BNI cabang New York Agency tahun 89
Muladi, 2002, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Habibie Center, hlm. 217
47
1986. Pengadilan negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana penjara terhadap para terdakwa dengan Pasal 363 KUHP dan juga terbukti melanggar Pasal 233 KUHP yaitu merusak barang yang digunakan untuk membuktikan sesuatu dihadapan pihak yang berwajib, dan putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung.90 Kasus lain adalah penarikan hasil setoran warkat fiktif di PT Bank Bali Jakarta tahun 1989, dalam kasus tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 362 KUHP. Pada tahun 1990, terjadi kasus manipulasi data saldo pada Master File Bank Danamon Cabang Glodok Plaza, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 363 ayat (1) huruf e KUHP yang berbunyi “diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu”. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung91 Tahun 2003, Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 24 Januari 2003 No. 1082K/Pid/2002 dalam kasus Domain Name PT. Mustika Ratu yang oleh Terdakwa Chandra Sugiarto digunakan secara curang melalui 90 91
Aloysius Wisnubroto, 1999, op.cit. hlm. 131 Widyopramono, 1994, Kejahatan di Bidang Komputer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
hlm. 67
48
http://www.mustika-ratu.com dinyatakan bersalah dan dihukum 4 (empat) bulan. Mahkamah Agung menilai berbuatan terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 282 bis KUHP92 yang berbunyi “barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkurenkonkurennya atau konkuren-konkuren orang lain, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah.” Pada kasus-kasus tersebut di atas, setidaknya telah memberikan gambaran ternyata sebelum adanya pengaturan mengenai cybercrime, hukum pidana Indonesia (KUHP) masih tetap mampu menjangkau kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia maya. Namun hakim tentu dituntut harus dapat melakukan penemuan hukum dan penafsiran hukum atas perkara-perkara tersebut. Setelah lahirnya UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
(ITE)
sebagai
cyberlaw93
Indonesia
mengkasifikasikan cybercrime dalam 7 (tujuh) kategori, yaitu: 1. Illegal content, meliputi; a. Konten yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)) 92
Sabartua Tambolon, 2003, Aspek Hukum Nama Domain di Internet, Jakarta, PT. Tata Nusa, hlm. 92 93 Dalam penjelasan umum UU ITE disebut juga dengan dengan law of information technology, virtual world law atau hukum mayantara yaitu hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
49
b. Konten yang memiliki muatan perjudian (Pasal 27 ayat (2)) c. Konten yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencamaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)) d. Menyebarkan berita bohong yang merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1)) e. Menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan ras kebencian dan permusuhan (Pasal 28 ayat (2)) f. Konten yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29) 2. Illegal access, meliputi; a. mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun (pasal 30 ayat (1)) b. mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (Pasal 30 ayat 2)) c. mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30 ayat (3) 3. Illegal interception, meliputi; a. melakukan penyadapan komputer/sistem elektronik milik orang lain (Pasal 31 ayat (1)) b. melakukan penyadapan informasi elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer
50
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain (Pasal 31 ayat (2)) 4. Data interference, meliputi; a. mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik (Pasal 32 ayat (1) b. memindahkan atau mentransfer
Informasi
Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak (Pasal 32 ayat (2)) c. membuka informasi elektronik yang bersifat rahasia dan menjadi dapat diakses oleh publik (Pasal 32 ayta (3) 5. System interference, meliputi; a. melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik atau tidak bekerjanya sistem elektronik sebagaimana mestikanya (Pasal 33) 6. Misuse of device, meliputi; a. menjual,
mengadakan
untuk
digunakan,
mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki; perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 (Pasal 34 ayat (1))
51
b. menjual,
mengadakan
untuk
digunakan,
mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki; sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 (Pasal 34 ayat (1)) 7. Computer related forgery, meliputi; a. melakukan
manipulasi,
penciptaan,
perubahan,
penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik
dengan
tujuan
agar
Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik (Pasal 35) Secara spesifik, terdapat perbedaan pengaturan tentang cybercrime antara UU ITE dengan hasil Convention on Cybercrime. Namun kelahiran UU ITE sebagai cyberlaw di Indonesia, perlu diapresiasi karena globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, dengan adanya UU ITE sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
52
B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penghinaan di Indonesia Tindak pidana penghinaan bukanlah masalah baru di dunia, tindak pidana ini sudah muncul 500 Sebelum Masehi yang ditandai dengan adanya rumusan “twelve tables”. Ketentuan ini sering kali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga pada era kekaisaran Agustinus (63 SM), peradilan kasus penghinaan terus meningkat secara signifikan. Dalam sejarah hukun modern, Inggris adalah negara yang pertama kali memperkenal
penghukuman
terhadap
penghinaa,
yaitu
pada
masa
pemerintahan Edward I (1272-1307). Pada masa itu, belum ada pemisahan antara penghinaan secara lisan maupun penghinaan secara tertulis. Menurut Nono Anwar Makarim, pada tahun 1275 Statute of Wesrminster memperkenalkan Scandalum Magnatum yang menyebutkan “…sejak sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat menumbuhkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orangorang besar di dalam negeri ini”94 Scandulum Magnatum adalah undang-undang pertama yang menyatakan penghinaan lisan dan tertulis dapat dihukum. Undang-undang ini disahkan oleh Inggris karena terdapat cukup korban dan kegaduhan yang diakubatkan oleh pembalasan akibat saling menghina.95
94
Elsam, et. all, Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Berpendapat yang Inkonstitusional, Amicus Curiae, Jakarta, Februari 2010, hlm. 37. Lihat juga Keterangan Ahli disampaikan pada 23 Juli 2008 dalam Perkara Nomor 14/PUU-VI/2008 di Mahkamah Konstitusi 95 Lihat https://garagarauuite.wordpress.com/2013/09/24/riwayat-kelam-hukumpencemaran-nama/ diakses pada 3 Maret 2016
53
Scandalum Magnatum bertujuan menciptakan proses pemulihan nama baik secara damai, karena saat itu terlalu banyak pertarungan bersenjata dan korban jiwa yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Bahkan, ada anggapan bahwa perasaan dendam akibat penghinaan menempati posisi lebih penting daripada perlindungan reputasi semata. Jaman itu, informasi jarang bisa diperoleh dan sulit dikonfirmasi. Desas-desus gampang sekali mengakibatkan adu anggar, pedang maupun pistol di depan umum. Kadangkala, kegaduhan menjadi sedemikian meluas sehingga menyerupai pemberontakan. Dalam sejarah hukum di Indonesia, konsep penghinaan pernah dirumuskan oleh Mahkamah Agung sebagai akibat dari penafsiran terhadap haatzaai artikelen96 yang tindak pidana pokoknya terdapat pada Pasal 145156. Dalam perumusan tersebut, penghinaan diartikan sebagai suatu perbuatan mengeluarkan penyataan permusuhan, benci atau meremehkan (merendahkan) yang ditujukan terhadap pemerintah ataupun terhadap golongan rakyat dalam pasal-pasal haatzaai tersebut. Oemar Seno Adji mengartikan penghinaan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik “aanranding of goede naam” yang dapat berbentuk penghinaan secara tertulis dengan menuduhkan suatu hal, dan penghinaan ringan yang merupakan penghinaan yang tidak mengandung pencemaran secara tertulis yang dilakukan terhadap seseorang.97
96
Lihat http://elsam.or.id/pdf/paper/Haatzaai%20Artikelen.doc diakses pada 3 Maret
97
Oemar Seno Adji, 1990, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Erlangga, Jakarta,
2016 hlm. 36.
54
Oemar Seno Adji dalam bukunya juga mengklasifikasikan perbuatan penghinaan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu penghinaan materil dan penghinaan formil.98 Peghinaan materil adalah penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari penyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan tersebut. Namun masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum. Sedangkan penghinaan formil adalah bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan cara merupakan faktor penentu, kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah telah ditutup. Terkait dengan perbuatan penghinaan ini, setidaknya hingga saat ini ada 4 (empat) Undang-undang yang mengatur, yaitu dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana BAB XII, Pasal 1372 – Pasal 1370 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pasal 36 Undang-Undang
No. 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran dan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berikut penulis uraikan tindak pidana penghinaan yang diatur dalam Undang-Undang di Indonesia. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946) KUHP setidaknya mengklasifikasikan penghinaan dalam 6 (enam) kategori, yaitu:
98
Ibid.
55
a. Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini,
maka
penghinaan
itu
harus
dilakukan
dengan
cara
“menuduhkan seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.99 Beberapa pakar menggunakan istilah “menista” dan ada juga yang menggunakan istilah “celaan”. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata “smaad” dari Bahasa Belanda. Kata “nista” dan kata “celaan” merupakan sinonim.100 b. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP “Bila hal itu dilakukan dnegan tulisan atau gambar yang disiarkan, ditunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka 99 R. Soesilo, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, jakarta, Politeia, hlm. 225 100 Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, Jakarta, PT Grafindo Persada, hlm. 11.
56
diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Menurut
R.
Soesilo
sebagaimana
dijelaskan
dalam
penjelasan Pasal 310 ayat (2) KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar. Istilah “menista secara tertulis” oleh beberapa pakar dipergunakan istilah “menista dengan tulisan”. Perbedaan tersebut disebabkan pilihan kata-kata untuk menerjemahkan yakni kata smaadschrift yang dapat diterjemahkan dengan kata-kata yang bersamaan atau hampir bersamaan. c. Fitnah (Pasal 311 KUHP) “Bila yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis diperbolehkan untuk membuktikan kebenaran tuduhannya itu, namun ia tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahuinya, maka dia diancam karena melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Kata “fitnah” sehari-hari umumnya diartikan sebagai yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni: “perkataan yang dimaksud menjelekkan orang….”. Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya dan ternyata, tidak dapat membuktikannya. Menurut Pasal 313 KUHP,
57
membuktikan kebenaran ini juga tidak diperbolehkan apabila kepada si korban dituduhkan suatu tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, dan pengaduan ini in concreto tidak ada. d. Penghinaan Ringan (Pasal 315 KUHP) “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di depan umum dengan lisan atau tulisan, maupun di depan orang itu sendiri dengan tulisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu kata eenvoudige belediging; sebagian pakar menerjemahkan kata eenvoudige dengan kata “biasa”, sebagian pakar lainnya menerjemahkan dengan kata “ringan”. Dalam Kamus Bahasa Belanda, kata eenvoudige: sederhana, bersahaja, ringan. Dengan demikian, tidak tepat jika dipergunakan kata penghinaan biasa. Unsur-unsur Pasal 315 KUHP terdiri dari Unsur Objektif yaitu Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran (dengan lisan) atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri degan lisan atau perbuatan, dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya. Sedangkan Unsur Subjektif yaitu Dengan sengaja.
58
e. Pengaduan Palsu atau Pengaduan Fitnah (Pasal 317 KUHP) “Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” R. Sugandi, S.H memberikan uraian terhadap pasal di atas, yakni yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang dengan sengaja: a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang.101 f. Perbuatan Fitnah (Pasal 318 KUHP) “Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan dengan pidana penjara paling lama empat tahun” Menurut R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 318 KUHP, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.102 KUHP yang notabene merupakan produk Pemerintah Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia memberikan gradasi
101 R. Sughandi, 1980, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, hlm. 337 102 Ibid.
59
terhadap perbuatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan acaman hukuman yang juga berbeda. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghinaan itu sendiri, namun dapat ditarik pemaknaan, bahwa penghinaan yang dimaksud dalam KUHPerdata adalah kejahatan penghinaan yang dalam KUHPidana diancam dengan pidana, didalamnya termasuk berbagai bentuk penghinaan, menista dengan tulisan, fitnah, penghinaan ringan dan pengaduan yang bersifat memfitnah.103 Pada Pasal 1372 KUHPerdata disebutkan bahwa “tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.” Tuntutan terhadap penghinaan tidak mensyaratkan bahwa terhadap perkara
yang
sama,
sudah
dibuktikan
terlebih
dahulu
pidana
penghinaannya, karena menurut Rosa Agustina unsur-unsur penghinaan dalam Pasal 1372 KUHPerdata bisa dilengkapi dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 1365, yaitu unsur perbuatan melawan hukum.104
103 Rahmat Setiawan, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung, Binacipta, hlm. 49 104 Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-jelas-landasanhukumnya diakses pada 3 Februari 2016
60
Namun yang menarik dari tuntutan perdata terhadap penghinaan ini memiliki masa daluwarsa, yaitu 1 (satu) tahun, terhitung mulai dari hari perbuatan termaksud dilakukan oleh tergugat dan diketahui oleh penggugat,
sebagaimana
yang
disebutkan
dalam
Pasal
1380
KUHPerdata. 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Undang-Undang Penyiaran yang sejatinya lahir sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah untuk melaksanakan kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, yang telah dijamin oleh UUD 1945 dalam ruang penggunaan frekuensi radio. Undang-Undang
ini
ternyata
juga
mengatur
tindak
pidana
penghinaan di dunia penyiaran. Dalam Pasal 36 ayat (5) dinyatakan bahwa isi siaran dilarang: a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Bagi lembaga penyiaran yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 57 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pdana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000 (Sepuluh milyar) untuk penyiaran televisi.
61
Dalam penjelasan pasal-demi pasal, tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan siaran yang bersifat fitnah, menghasut dan/atau bohong. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak ada istilah gradasi perbuatan fitnah/penghinaan/pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Penyiaran. 4. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Undang-Undang ITE sebagai pengaturan hukum siber di Indonesia, juga mengklasifikasikan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagai cybercrime, apabila dilakukan di ruang maya. Terkait dengan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang jika ditulis dalam satu naskah berbunyi; “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Yang hendak dipidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas adalah orang yang sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ketentuan ini juga tidak menjelaskan kategori dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dimaksud.
62
Terkait dengan tindak pidana penghinaan, ternyata tidak hanya diatur oleh satu Undang-Undang saja, tetapi diatur oleh 4 (empat) UndangUndang. Mengutip pendapat Mudzakkir dalam kegiatan “Politik Kodifikasi Rancangan KUHP” pada 28 September 2006 yang diselenggarakan oleh ELSAM menyatakan : “Telah adanya ketentuan yang mengatur mengenai pencemaran nama baik di KUHP dan KUH Perdata, seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak memunculkan delik yang sama dalam Undang-Undang ITE. Pengaturan ulang tersebut dapat menimbulkan duplikasi yang dapat menyulitkan penegakan hukum. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas.”105 Penyataan Mudzakkir sebagai pakar pidana di atas sebenarnya memberikan gambaran, bahwa tidaklah perlu adanya pengaturan berlapis terhadap satu kejahatan. Karena jelas bertentangan dengan kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan dalam menyusun peraturan perundangundangan. C. Tinjauan Tentang Kebebasan Berekspresi dan Pembatasan Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan Hukum Pidana Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum postif, selainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.106 meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan 105 Lihat http://geotimes.co.id/revisi-uu-ite-untuk-melindungi-kebebasan-berekspresi/ diakses pada 10 Desember 2015 106 Jack Donnely, 2003, Universal Human Rights Theory and Practice, Ithaca and London, Cornell University Press, hlm. 7
63
kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Di sinilah letak sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain universal, hakhak tersebut juga tidak dapat dicabut (inalienable).107 John Locke dalam bukunya “The Second Treatise of Civil Government and A Letter Concerning Tolerantion” mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.108 Keberadaan Hak Asasi Manusia yang bersumber dari teori hak kodrati ini pada awal-awalnya juga mendapatkan penentangan baik oleh kalangan utilitarian maupun oleh kalangan positivis.
Bentham
misalnya,
ia
menyebutkan bahwa hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu, hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya.109 Di akhir masa perang dunia II, gerakan hak-hak kodrati mendapatkan sambutan yang luar biasa. Masyarakat Internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa. Hal ini ditandai dengan lahirnya rezim hukum hak
107
Rhona K. M. Smith, et. all, 2008, op.cit, hlm. 11 John lock, The Second Treatise of Civil Government and A Letter Concerning Tolerantion, dalam Jack Donnely, 2003, op.cit. hlm. 12 109 H.L.A Hart, 1982, Essays On Bentham, Studies in Jurisprudence and Political Theory, reprinted 2001, New York, Oxford University Press Inc, hlm. 82 108
64
asasi manusia yang disiapkan oleh PBB yang kemudian dikenal dengan The International Bill of Human Right.110 Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis mengklasifikasikan perkembangan hak asasi manusia dalam kategori “generasi” untuk menujuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak asasi yang diprioritaskan dalam kurun waktu tertentu. Ia membuat kategori generasi berdasarkan slogan revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu “kebebasan, persamaan dan persaudaraan”. HAM generasi pertama dikenal dengan kebebasan, ini digunakan merujuk pada hak-hak sipil politik, yakni hak-hak asasi manusia klasik. Generasi kedua HAM dikenal dengan persamaan, ini merujuk kepada perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dan Generasi ketiga dikenal dengan persaudaraan, ini merujuk atas hak solidaritas/bersama, yang mewaliki hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumberdaya alam sendiri, hak atas lingkungan hidup yang baik dan hak atas warisan budaya sendiri.111 Dalam konsep HAM, dikenal ada konsep kewajiban negara atas HAM. Secara kontekstual ada 3 (tiga) karakteristik penting terkait dengan hal tersebut, yaitu kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk melindungi (to protect) dan kewajiban untuk memenuhi (to fulfil).112
110
Jack Donnely, 2003, Op. Cit. hlm. 14. International Bill of Right adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia beserta optional protocol-nya yang dirancang oleh PBB. Ketiga istrumen itu adalah Deklarasi universal Hak asasi Manusia (DUHAM), Konvenan Internasional tentang Hak Sipil danPolitik dan Kovenan Internasional tentangHak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sedangkan optional protocol yang dimasukkan kedalam kategori ini adalah the optional protocol to the Covenant Civil and Political Right. 111 Ibid. 112 Indriaswati Dyah Saptaningrum, dkk, 2011, op.cit, hlm 46
65
Kewajiban negara untuk menghormati, biasanya diasosiasikan dengan kewajiban dalam bentuk negatif, yaitu negara diharapkan untuk tidak melakukan suatu tindakan-tindakan tertentu, karena tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan pembatasan hukum dan klausula reservasi. Kewajiban melindungi, dimanifestasikan dalam bentuk tindakantindakan aktif yang diperlukan untuk melindungi dan menjamin tiap individu pemegang hak dapat menikmati haknya. Kewajiban ini mencakup perlindungan terhadap kemungkinan pelanggaran hak oleh pihak lain, baik aparatur negara maupun melalui pembentukan ketentuan hukum dan perundang-undangan, serta beragam tindakan lainnya. Sedangkan kewajiban memenuhi, menuntut pemerintah untuk mengambil langkah-langkah positif melalui kebijakan, tindakan administratif, maupun bekerjanya institusi yudisial untuk memastikan tiap individu pemegang hak dapat semaksimal mungkin menikmati hak asasinya. Mengutip pendapat Sudarto yang menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dalam arti luas, adalah merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Pada Bagian inilah konsepsi Hak Asasi Manusia haruslah menjadi salah satu pilar dalam perumusan kebijakan kriminal. Artinya perumusan kebijakan kriminal perlu memperhatikan pemberlakuan hak asasi manusia, dengan segala ketentuan dan prinsip-prinsip HAM yang universal.
66
1.
Kebebasan Berekspresi dalam Hak Asasi Manusia Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang diatur dalam generasi pertama hak asasi manusia. Sebelum disahkannya Universal Declaration on Human Right, Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 59 (I) terlebih dahulu telah menyatakan bahwa “hak atas informasi merupakan hak asasi manusia fundamental dan ... standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB”113. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan‐keputusan. Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas. Kebebasan berekspresi tidak hanya penting bagi martabat individu, tetapi juga untuk berpartisipasi, pertanggungjawaban, dan demokrasi.114 Terkait dengan pengertian kebebasan berekspresi itu sendiri, John Locke, menyatakan bahwa kebebasan bereskpresi adalah cara untuk pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi
113
Rhona K. M. Smith, et. al, 2008, op.cit. hlm. 17 Wahyudi Djafar, Kebebasan Berekspresi: Perlindungan, Implementasi dan Masalahnya di Indonesia, Makalah disampaikan pada Training Bagi Pemantau Untuk Kebebasan Berekspresi,13-14 Oktober 2014, Padang, LBH Padang, hlm. 2-3 114
67
serta kemudian membahas apakah mendukung atau mengkritiknyasebagai sebuah proses untuk menghapus miskonsepsi atas fakta dan nilai.115 Sementara John Stuart Mill mengatakan, kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran.116 Sebab suatu pemerintahan yang
demokratis mensyaratkan
warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Dalam memenuhi kebutuhan kontrol dan penilaian itulah warga musti memiliki semua informasi yang diperlukan tentang pemerintahnya. Tidak sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut, dan kemudian mendiskusikannya antara satu dengan yang lainnya.117 kebebasan bereskpresi kemudian menjadi sebuah klaim untuk melawan
penguasa
yang
melarangnya
atau
pun
menghambat
pelaksanaanya (kebebasan berekspresi).118 Lalu, kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, bahwa kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan militer.119 Kaitan kebebasan bereskpresi dengan demokrasi kemudian diakui dalam hukum internasional hak asasi manusia yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi merupakan
115
Larry Alexander, 2005, Is There a Right to Freedom of Expression, New York, Cambridge University Press, hlm 128 116 John Stuart Mill, 1859, On Liberty, Chapter II, Of The Liberty on Thought and Discussion 117 Larry Alexander, 2005, op.cit., hal. 136 118 Vincenzo Zeno-Zencovich, 2008, Freedom of Expression: A Critical and Comparative Analysis, New York, Routledge-Cavendish, hlm. 1 119 ibid
68
pra‐syarat bagi perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi juga menjadi pintu bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih.120 Kebebasan berekspresi mencakup hak atas informasi, opini dan ide dalam segala bentuknya yang disebarkan melalui media apapun, dan merupakan pondasi utama. Lengkapnya diatur dalam Pasal 19 DUHAM121. “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keteranganketerangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. “ Ketentuan
tersebut
kemudian
dipertegas
kembali
oleh
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR).122 Pada Pasal 19 ayat (2) ICPPR menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
120
CCPR/C/GC/34, Article 19: Freedoms of Opinion and Expression, Human Rights Committee, 102nd session, Geneva, 11-29 July 2011, paragraf 3-4. 121 Universal Declaration of Human Right (UDHR), diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) 122 Kovenan ini ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi
69
Cakupan
perlindungan
hak
atas
kebebasan
berekspresi
sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan, Komentar Umum No. 34 menyebutkan: “Pasal 19 Ayat (1) mensyaratkan perlindungan terhadap hak berpendapat tanpa ikut campur negara. Ini adalah hak yang tidak boleh dikurangi untuk alasan apapun, Termasuk hak untuk merubah pendapat kapan pun dan karena apapun yang dipilih oleh seseorang. Tidak boleh ada orang yang hak-haknya dikurangi menurut Kovenan ini karena pendapat aktual atau dugaan tentang pendapatnya. Semua pendapat dilindungi, termasuk pendapat yang bersifat politik, ilmiah, historis, moral atau agama. Tidak sesuai dengan Ayat (1) untuk memidanakan pendapat. Semua bentuk gangguan, intimidasi, stigmatisasi seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, persidangan dan pemenjaraan karena pendapat mereka termasuk pelanggaran Pasal 19 Ayat (1).”123 “… mensyaratkan negara pihak untuk menjamin kebebasan berekpresi, termasuk hak untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan gagasan tentang semua hal tanpa terkecuali. Yang termasuk dalam hak ini di antaranya hak untuk mengekspresikan dan menerima segala bentuk komunikasi gagasan atau pendapat yang dapat dibagikan ke orang lain, tetapi harus sesuai dengan ketentuan pasal 19, Ayat (3), dan Pasal 20. Termasuk diskursus politik, pendapat tentang seseorang, dan urusan kemasyarakatan, termasuk diskusi tentang HAM, jurnalistik, seni dan budaya, pengajaran, dan ajaran agama. Juga dapat termasuk iklan komersial. Cakupan Ayat (2) juga mencakup gagasan yang dianggap sangat tidak sopan, meskipun ekspresi tersebut dapat dibatasi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Ayat 3, dan Pasal 20.”124 “…melindungi semua bentuk ekpresi dan cara menyebarluasannya. Termasuk berbicara, tulisan dan bahasa isyarat, dan komunikasi non verbal. Seperti gambar atau lukisan dan benda-benda seni lainnya. Cara berekpresi termasuk buku, surat kabar, pamflet, poster, spanduk, pakaian
123 Lihat CCPR/C/GC/34, Article 19: Freedoms of Opinion and Expression, Human Rights Committee, 102nd session, Geneva, 11-29 July 2011, paragraf 9. lihat di http://www2.ohchr.org/ english/bodies/hrc/docs/gc34.pdf. 124 Lihat CCPR/C/GC/34, Article 19, Ibid., paragraf 11
70
dan masukan hukum. Termasuk juga bentuk ekpresi audiovisual, atau berbasis elektronik atau internet.”125 Merujuk
pada
batasan
instrumentasi
di
atas,
kebebasan
berekspresi setidaknya mencakup tiga jenis ekpresi yaitu: a. kebebasan untuk mencari informasi; b. kebebasan untuk menerima informasi; dan c. kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua informasi atau ide apapun termasuk dalam hal ini fakta, komentar kritis, atau pun ide/gagasan. Jadi termasuk gagasan yang bersifat sangat subjektif dan opini pribadi, berita atau pun informasi yang relatif netral, iklan komersial, seni, komentar yang lebih bersifat politis/kritis serta pornografi, dan lain-lain. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua bentuk komunikasi baik lisan, tertulis, cetak, media seni serta media apa pun yang menjadi pilihan seseorang. Perlindungan tersebut ditujukan pada semua bentuk media: radio, televisi, film, musik, grafis, fotografi, media seni, dan lain-lain, termasuk kebebasan untuk melintas batas negara. 2.
Pembatasan Kebebasan Berekspresi Kebebasan berekspresi dipahami sebagai sebuah kebebasan yang dinamis. Kebebasan itu dapat menjadi meluas, dan dalam situasi yang khusus ia dapat juga mengerucut sedemikian kecilnya. Makanya kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan yang tak terbatas.126 Harus
125 126
Lihat CCPR/C/GC/34, Article 19, Ibid., paragraf 12 Rhona K. M. Smith, et. al, 2008, Op.Cit., hlm. 102
71
ada langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan agar kebebasan berekspresi tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain. Persoalannya adalah di mana batas itu, siapa yang menetapkan dan apa konsekuensi yang harus ditanggung bila pembatasan itu tidak dilaksanakan, juga tentunya landasan apa yang paling sah untuk menetapkan pembatasan.127 John Stuard Mill dalam On Liberty telah memberikan kata kunci yaitu penghasutan (instigation) sebagai pembatas dari pelaksanaan atas kebebasan berekspresi. Diakuinya ada bahaya dalam kebebasan berkatakata. Kurang lebih Mill mengatakan “setiap pendapat menjadi kehilangan kekebalan atau impunitasnya ketika materinya disajikan dengan tujuan sebagai anjuran positif untuk melakukan kejahatan.”128 Berdasarkan pendapat Mill di atas, maka pembatasan kebebasan berekspresi dapat dilakukan, apabila kebebasan itu dimaksudkan untuk merangsang dilakukannya tindakan kejahatan yang membahayakan jiwa. Pasal 19 ICCPR sendiri mengakui bahwa kebebasan berekspresi mengakibatkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, sehingga dikenakan pembatasan dengan diberikan syarat musti ditetapkan berdasarkan hukum, serta sesuai dengan kebutuhan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat. Hak imunitas 127
Vincenzo Zeno-Zencovich, 2008, Op. Cit., hlm. 2 lihat juga Wahyudi Jafar dan Justitia Avila Veda, 2014, Internet Untuk Semua: Mengintegrasikan Prinsip Hak Asasi Manusia DalamPengaturan Internet di Indonesia, Jakarta, ELSAM, hlm. 42 128 John Stuart Mill, 1859, On Liberty, Chapter III, On Ondividuality, As One of the Element of Well Being
72
kebebasan
berekspresi
akan
luluh
apabila
materinya
berisikan
propaganda yang merangsang perang, serta segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama, yang ditujukan sebagai hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan sehingga harus dilarang oleh hukum.129 Lalu bagaimana dengan undang-undang yang mengatur pencemaran nama baik? Pengaturan itu bisa sah, namun perlu dicatat bahwa banyak negara yang tidak
sepakat
dengan
penjatuhan
pidana
pemenjaraan
terhadap
pencemaran nama baik. Negara bisa saja mengambil langkah-langkah yang terbaik sehingga nilai-nilai moral yang berlaku bisa tetap terjaga dengan baik, tanpa harus menjatuhkan pemidanaan terhadap orang yang melakukan pencemaran nama baik. Terkait dengan pembatasan pelaksanan kebebasan berekspresi, klausul mengenai pembatasan ini muncul dari tugas dan tanggung jawab khusus yang melekat pada pelaksanaan kebebasan tersebut. Dari pelbagai instrumen HAM internasional hanya ICCPR dan CRC yang berbicara tentang pembatasan ini. Terdapat tiga syarat yang ditetapkan dalam Pasal 18 dan 19 ICCPR yang harus terpenuhi sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dilakukan, yakni: Pertama, harus diatur menurut hukum; Kedua, harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki legitimasi; Ketiga, harus dianggap perlu untuk dilakukan (proporsional). Terkait dengan syarat yang kedua, pembatasan hanya dapat dilakukan
129
Lihat Pasal 20 Kovenan Internasional Sipil dan Politik
73
untuk tujuan “melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain” 130 atau untuk “menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat.131 Pada praktiknya, pembatasan dengan tujuan untuk “melindungi ketertiban umum” merupakan alasan yang paling banyak digunakan oleh Pemerintah untuk membatasi pelaksanaan kebebasan berekspresi. Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa menjelaskan, bahwa pembatasan dengan tujuan untuk melindungi ketertiban umum harus didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu; pertama, tuduhan-tuduhan yang konkrit tentang bagaimana pelaksanaan kebebasan berekspresi si tertuduh mengancam ketertiban umum, dan kedua, bahwa pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi ketertiban umum 132 Dalam perkembangannya, prasyarat pembatasan ini kemudian diturunkan dalam batasan‐batasan yang lebih detail seperti tercantum di dalam sejumlah prinsip hak asasi manusia internasional (softlaw). Prinsip‐prinsip
tersebut
adalah
Prinsip
Siracusa
dan
Prinsip
Johannesburg, yang mengemukakan pembatasan hak sebagai berikut ini:
130
Lihat Pasal 18 Kovenan Internasional Sipil dan Politik Lihat Pasal 19 Kovenan Internasional Sipil dan Politik 132 Ini berarti bahwa ketertiban umum tidak secara otomatis terganggu hanya karena hukum mengatakan seperti itu tetapi karena terdapat keadaan‐keadaan yang secara efektif menyerang atau mengancam ketertiban umum. Pemerintah harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip persamaan dan non‐diskriminasi dalam menerjemahkan lingkup dari klausul pembatasan tersebut. 131
74
Syarat Diatur melalui UU
Keterangan - Didasarkan pada UU - Implementasi UU harus sejalan dengan Kovenan - Kovenan berlaku saat pembatasan dilakukan
Dalam suatu masyarakat yang demokratis
- Negara harus membuktikan pembatasan tidak mengganggu berfungsinya masyarakat yang demokratis, yakni yang mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana tercantum di dalam DUHAM.
Ketertiban Umum
- Sejumlah norma yang menjamin berfungsinya masyarakat - Norma‐norma yang melandasi pembentukan masyarakat - Harus diintepretasikan dalam konteks tujuan suatu hak asasi tertentu - Lembaga negara pemilik otoritas menjaga tertib umum dalam melaksanakan wewenangnya tunduk pada pengawasan parlemen, pengadilan atau badan lain yang kompeten
Kesehatan Masyarakat
- Ancaman terhadap kesehatan populasi atau anggota populasi - Bertujuan khusus untuk mencegah penyakit atau luka atau menyediakan perawatan bagi yang sakit atau terluka
Moral Publik
- Kewenangan melakukan diskresi - Dapat membuktikan bahwa pembatasan penting untuk menjaga penghormatan pada nilai‐nilai fundamental masyarakat - Tidak menyimpangi prinsip non‐diskriminasi
Keamanan Nasional
- Bila terkait dengan eksistensi bangsa, integritas teritorial dan politik, atau kemerdekaan. - Tidak bisa diterapkan pada ancaman yang bersifat lokal atau ancaman yang relatif terisolasi terhadap hukum dan tata tertib - Tidak dapat dipergunakan sebagai alasan pembenar dalam upaya menekan oposisi atau perlawanan terhadap represi negara.
Keamanan Publik
- Ancaman terhadap keamanan, nyawa, dan keutuhan fisik atau kerusakan serius atas kepemilikan. - Tidak dapat diterapkan pada pembatasan yang kabur dan sewenang‐wenang - Hanya bisa diterapkan bila terhadap perlindungan yang memadai dan mekanisme pemulihan yang efektif
75
Hak dan Kebebasan - Tidak dapat dipergunakan untuk melindungi negara dan dari pihak lain pejabat negara dari kritik dan opini publik - Bila terdapat konflik antar hak, preferensi diberikan pada hak yang bersifat paling fundamental dan tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non‐derogable rights)
Tabel 2: Pembatasan Kebebasan Berekspresi
Pelapor khusus PBB menyebutkan bahwa kebebasan berekspresi bisa saja termasuk pandangan dan pendapat yang menyerang, mengganggu. Apalagi Dewan HAM telah menyatakan dalam Resolusi 12/16, pembatasan seharusnya tidak pernah diterapkan di antara lain pada pembahsan kebijakan pemerintah dan debat politik; laporan tentang hak asasi manusia, kegiatan pemerintah dan korupsi di pemerintahan.133 Selain dalam hukum internasional sebagaimana dijelaskan di atas, pembatasan terhadap HAM dalam hukum Nasional dapat kita temukan dalam UUD 1945, Pasal 28 J menyatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang dengan maksud semata‐mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‐nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan tentang pembatasan juga diatur dalam Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang‐undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan 133
Wahyudi Jafar dan Justitia Avila Veda, 2014, op.cit, hlm.48
76
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Sementara itu, Pasal 73 UU 39 Tahun 1999 menyatakan: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang‐undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang‐undang, semata‐mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
77
BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI INTERNET DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia Sebelum membahas masalah kebijakan kriminal dan kebijakan hukum pidana, penting untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan itu sendiri. Berdasarkan keistilahan, kebijakan antara lain diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran garis haluan.134 Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan merupakan pengganti dari istilah policy, atau beleid khususnya dalam arti wijsbeleid, yang dapat juga diartikan sebagai upaya rasionla untuk mencapai tujuan tertentu.135 Oleh R. Mayer dan Ernest Greenwood merumuskan kebijakan atau policy sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama.136
134
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 115 135 Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 33 136 Barda Nawawi Arief, 2000, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, cetakan ke-3, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm. 63
78
Sementara menurut Thomas R. Dye, kebijaksanaan disebut dengan ”Public Policy, is concerned with that governments do, why they do it, and what difference it makes”137 Pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menyangkut kepentingan umum dan untuk keperluan tersebut pemerintah mempunyai berbagai inisiatif penentuan langkah yang dengan singkat, dirumuskan oleh Dye: ”Public policy is whatever governments choose to do or not to do”.138 Dalam merumuskan tujuan kebijaksanaan, pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana yang dinyatakan Friedrich:”it is essential for the policy concept that there be a goal, objective, or purpose”.139 Dengan kata lain, dapat kita simpulkan bahwa kebijakan dapat dimaknai penetapan yang prioritas, efektif, dan efisien. Dalam hal ini, kebijakan dilihat dalam konsep kebijakan kriminal dan kebijakan hukum pidana, yang oleh Sudarto dijelaskan dalam dua bentuk, yaitu: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan
yang
dikehendaki
yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
137 Thomas R Dye, 1978, Understanding Public Policy, third Edition, Prentice Hall.Inc, Englewood Cliifss, NJ, hlm.3 138 Ibid. 139 Ibid
79
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan.140 Berdasarkan kedua hal tersebut, maka bicara kebijakan (Kriminal dan hukum pidana), berarti bicara capaian hasil perundang-undangan pidana dan perbaikannya untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. 1.
Kebijakan Kriminal Sudarto mengemukakan bahwa politik/kebijakan kriminal sebagai
suatu
usaha
yang
rasional
dari
masyarakat
dalam
menanggulangi kejahatan.141 Pengertian tersebut, menurut Barda Nawawi Arif diambil dari defenisi yang pernah dirumuskan oleh Marc Ancel dalam bukunya social defence, ia merumuskan sebagai “the rational organization of the cotrol of crime by society”.142 Rumusan Ancel tersebut dikatakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa “Enschedѐ points out that the legal aspect is lacking in Ancel's concept”, Peter menerangkan bahwa “Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy: the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non-criminal legal crime prevention.143 (kebijakan kriminal sebagai ilmu adalah bagian dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan
140
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, hlm 20. Lihat juga Barda Nawawi Arif, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi ke-2, Jakarta, Kencana Predana Media Group, hlm. 26 141 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, hlm. 38 142 Barda Nawawi Arif, 2011, op.cit, hlm.3 143 G. Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology; An Inversion of the Concept of Crime, New York, Springer Science+Business Media, hlm. 57
80
penegakan hukum. Hal ini memberikan pengertian bahwa hukum administrasi dan hukum perdata menduduki tempat yang sama dalam pencegahan kejahatan.) Terkait dengan kebijakan kriminal, Sudarto mengemukakan 3 (tiga) konsep dari kebijakan kriminal, yaitu:144 1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; 3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kebijakan kriminal merupakan upaya pencegahan kejahatan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Oleh Barda Nawawi Arief, tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.145 Menurut penulis masyarakat dalam kebijakan kriminal sebagaimana yang disebutkan oleh Prof.
144 Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke-4, Bandung, Alumni, hlm. 113-114, lihat juga dalam Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, hlm. 161, dan juga dalam Barda Nawawi Arif, 2011, ibid, hlm. 3 145 Barda Nawawi Arif, 2011, ibid, hlm. 4
81
Barda Nawawi Arif termasuk di dalamnya adalah korban dan pelaku, artinya perlindungan yang menjadi tujuan dari politik kriminal tidak saja untuk masyarakat banyak, namun juga masyarakat yang menjadi korban dan juga masyarakat yang menjadi pelaku. Kongres PBB ke-6 tahun 1980 memberikan perhatian yang khusus terkait dengan politik kriminal. Dalam pertimbangan resolusi mengenai Crime trends and crime prevention strategies, dinyatakan:146 a. The crime problem impedes progress towards the attainment of an accepteble quality of life for all people; (Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang); b. The crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving risw to crime; (bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan
sebab-sebab
dan
kondisi-kondisi
yang
menimbulkan kejahatan); c. The main causes of crime in many countries are social inequality, racial and dational discrimination, low standard of living, unemployment and illetaracy among broad sections of the population. (bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasioal
146
Sixth UN Conggress report dalam Barda Nawawi Arif, 2011, ibid, hlm. 11
82
dan nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan besar penduduk. Pertimbangan dalam Kongres PBB Ke-6 di atas memberikan gambaran bahwa dalam politik kriminal, kejahatan merupakan faktor penghambat untuk pencapaian kualitas hidup yang baik, maka upaya terbaik adalah melakukan pencegahan kejahatan, yang didasarkan kepada
penghapusan
sebab-sebab
dan
kondisi-kondisi
yang
menimbulkan kejahatan ditengah-tengah masyarakat. Dua masalah yang menjadi central dalam kebijakan kriminal menurut Muladi dan Barda Nawawi, ialah masalah penentuan: 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan; 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.147 Bertolak dari pendekatan kebijakan kriminal di atas, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral pertama tersebut, yang sering disebut dengan masalah kriminalisasi, haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:148 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum 147
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, op.cit, hlm. 160, lihat juga Barda Nawawi Arief, 2000, Ibid, hlm. 35 148 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo, 2013, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan III, Bandung, Penerbit Nusa Media, hlm. 38-39
83
pidana
bertujuan
untuk
menanggulangi
kejahatan
dan
mengadakan penenguhan terhadap penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan atau spiritual) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle). 4. Penggunaan
hukum
pidana
harus
pula
memperhatikan
kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Terkait persoalan sanksi, H.L. Packer dalam bukunya The Limits of Criminal Sanction, menjadi penting karena: 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana; (The criminal sanction is indespensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it) 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya; (The criminal sanctionis the best
84
available device we have for dealing with gross and immediate harms and theasts of harm) 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/baik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan ancaman, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime the threatener of human freedom. Used providently
and
humanely,
it
is
guarantor;
used
indiscriminately and coercively, it is threatener)149 2.
Kebijakan Hukum Pidana Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana tidak semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif. Kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif. Bahkan memerlukan juga pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya.150 Barda Nawawi lebih lanjut menjelaskan dibeberapa literatur asing istilah kebijakan hukum pidana dikenal dengan beberapa istilah, diantaranya penal policy, criminal policy, criminal law policy atau
149 Harbert L. Packer, 1968, The Limit of Criminal Sanction, California, Stanford University Press, hlm. 364-366 150 Dwidja Prayitno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung, CV Utomo, hlm. 149,
85
strafrechspolitiek.151dan kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal. Menarik
untuk
menganalisis
pendapat
A
Mulder
yang
menyatakan strafrechspolitiek ialah garis kebijakan yang menentukan, seberapa jauh ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana dan bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.152 Mulder ingin menegaskan bahwa kebijakan hukum pidana sebagai alat untuk mengevaluasi efektifitas berlakunya ketentuan hukum pidana yang telah ditetapkan, serta perbaikan ke depan. Berdasarkan berdapat Mulder ini dapat dipahami bahwa kebijakan hukum pidana mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan apakah suatu perbuatan perlu atau tidak untuk dikriminalkan. Kebijakan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari kebijakan publik atau sosial secara umum.153 Kebijakan hukum pidana sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan perlindungan sosial atau penegakan hukum, keterpaduan tersebut juga harus terjadi hingga kerangka yang lebih besar sehingga kebijakan penegakan dan legislasi tersebut juga selaras dengan kebijakan publik.154 Sehingga apabila kebijakan sosial didefinisikan sebagai mekanisme bagi negara 151
Barda Nawawi Arif, 2011, op.cit, hlm. 24 Ibid, hlm.27 153 Radzinowics, L., 1999, Adventures in Criminology. Routledge. hlm. 115. 154 Hoefnagels, G.P. 1973, The Otherside of Criminology: An Inversion of the Concept of Crime, hlm. 56-57. 152
86
dalam mendistribusikan kekayaan dan kesempatan bagi orang-orang kaya dan miskin, pekerja dan yang bergantung, serta tua dan muda, maka kebijakan hukum pidana akan berada dalam alur tujuan yang sama saling mendekati dan mendukung155. Oleh karena itulah, Ancel menegaskan perlunya kerja sama dalam bentuk interdisipliner, baik itu pihak yang memiliki pemahaman teknis hukum di satu sisi dan pemahaman tentang faktor kriminologis di sisi lainnya. Dengan begitu diharapkan tercapai suatu kebijakan hukum pidana yang realistis, humanis dan progresif, sebagaimana disebutkan oleh Marc Ancel dalam Social Defence, yaitu:156 “Between the study of criminological factors on the one hand, and the legal technique on the other, there is room for a science which observes legislative phenomenon and for a rational art within which scholar and practitiones, criminologist and lawyes can come together, not as antogonist or in fractricidal strife, but as fellowworkers engaged in a common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic, humane, and healthily progressive penal policy.” (Di antara pengkajian faktor-faktor kriminologis di satu sisi, dan teknik hukum di sisi lain, ada ruangan lain untuk keilmuan yang mempelajari fenomena legislatif dalam sebuah cakupan ilmu yang rasional yang mana di dalamnya ilmuan maupuan praktisi, kriminologis dan pengacara bersama-sama, tidak sebagai antagonis dalam perbedaan, tetapi sebagai rekan kerja menghadapi tantangan yang sama, yaitu, terutama untuk membangun kebijakan hukum pidana yang realistis, humanis, dan progresif).
155
Knepper, 2007, Criminology and Social Policy. London: SAGE Publications Ltd., hlm. 4. Mengutip Halsey 2004, Knepper menerangkan bahwa kebijakan sosial pada dasarnya memfokuskan dirinya pada, ”1) role of the state in distribution of resources and opportunities between rich and poor, workers and dependents, old and young; 2) the apportionment of responsibilities for this distribution to government and other social institutions-market, voluntary/charity sector, family and individual; and 3) an understanding of the social and economic consequences of different arrangements.” 156 Marc Ancel, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, London, Routledge & Kegan Paul, hlm. 4-5
87
Mengikuti alur kebijakan hukum pidana tersebut, kebijakan hukum pidana berbeda dengan hukum pidana yang hanya memiliki dimensi ius constitutum. Hukum pidana adalah salah satu instrumen untuk menanggulangi kejahatan, namun berbeda dengan instrumen lainnya, hukum pidana memiliki karakteristik yang membuatnya sebagai instrumen yang paling intrusif dan represif dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana hukum pidana dikonkretkan melalui operasional penegakan hukum dan administrasinya dalam satu cakupan proses kebijakan kriminal dapat dinilai sebagai salah satu bentuk perbuatan pemerintah (negara) yang paling represif karena dalam pelaksanaannya, perbuatan negara tersebut tidak hanya membatasi perbuatan termasuk juga kebebasan satu warga negara, tetapi juga kemudian mengganjarnya dengan pidana.157 Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan, orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy), yang didalamnya terkait juga masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi.
157 Fletcher menyatakan bahwa, “The institution of punishment provides the distinguishing features of the criminal law.” Fletcher, G.P., 1998, Basic Concepts of Criminal Law. New York: Oxford University Press. hlm. 25.
88
Oleh karena kebijakan hukum pidana, pada intinya bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Dengan demikian, penggunaan kebijakan hukum pidana haruslah merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk
menanggulangi
kejahatan
harus
benar-benar
telah
mempehitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya.158 3.
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana materiil (substantive criminal law) yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam dengan sanksi pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana.159 Soerjono Soekanto menyatakan kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat atau golongan
158
Arief Amrullah, 2015, Politik Hukum Pidana: Perlindungan Korban Kejahatan di Bidang Perbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku (Officer), Edisi Revisi, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm.19 159 Salman Luthan, Asas dan Kriteria Kriminalisasi, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16 Januari 2009, hlm. 1
89
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana, 160 atau menjadikan suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal melalui Undang-undang dan karena itu dapat dipidana.161 Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbanganpenimbangan normatif (judgments) yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions).162 Kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai, dimana terjadi sejumlah perubahan yang pada akhirnya menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan tercela, berubah menjadi perbuatan yang tercela. Sebaliknya dekriminalisasi merupakan perubahan tindakan yang dulunya dianggap sebagai tindak pidana/kriminal, namun karena perubahan dan perkembangan waktu, perbuatan tersebut tidak lagi dijadikan sebagai tindak pidana. Untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, diantaranya:163
160
Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.62 161 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, ed. 8th, Tomson West, hlm. 1130 162 Soetandyo Wignjosoebroto, Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa Yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993, hlm. 1 163 M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, dalam Barda Nawawi Arief, 2011, op.cit, hlm. 33. Lihat juga dalam Teguh Prasetyo, 2013, op.cit, hlm. 39.
90
1. Keseimbangan
sarana-sarana
yang
digunakan
dalam
hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai; 2. Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari; 3. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan
prioritas-prioritas
lainnya
dalam
pengalokasian sumber daya manusia; 4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder. Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan akan cenderung menjadi prakmatis dan kualitatif, serta tidak memberi kemungkinan masuknya faktor-faktor yang subjektif ke dalam pembuatan putusan. Namun Bassiouni menegaskan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan harusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan penilaian emosional oleh kebanyakan badan-badan legislatif.164 Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 yang dilaksanakan di Semarang menyatakan masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental
164
Barda Nawawi Arief, 2011, Op.Cit. hlm. 33
91
yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut
di
hukum
dalam rangka menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat.165 Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi simposisum menyatakan, untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak pidana perlu memperhatikan criteria umum sebagai berikut; 1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau di benci oleh masyarakat
karena
merugikan
atau
dapat
merugikan
mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. 2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbag dengan hasilnya yang akan di capai artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan di capai. 3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat di emban oleh kemampuan yang di milikinya 4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
165 Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, 1980 di Semarang dalam Supriyadi Widodo Eddyono, Anggara, dan Syahrial Mertanto Wiryawan, 2015, Meninjau Kebijakan Kriminalisasi Dalam RKUHP 2015, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform, hlm. 13-14
92
Selain kriteria di atas, penting juga untuk memperhatikan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Disisi lain, penting untuk memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia, sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya kriminalisasi dan dekriminalisasi. Persoalan lain terkait dengan proses kriminalisasi ini adalah ketiadaan
proses
evaluasi
yang dilakukan
terhadap
kebijakan
kriminalisasi, sehingga berakibat pada terjadinya overcriminalization, dalam arti melimpahnya kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi.
Terkait dengan persoalan ini penting mendorong
prinsip proporsionalitas dalam proses kriminalisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Douglas Husak dalam bukunya Overcriminalization, bahwa:166 “Overcriminalization often causes substantial injustice even to persons who deserve some degree of punishment for their behavior. An adequate theory of criminalization should include a principle of proportionality, according to which the severity of the sentence should be a function of the seriousness of the crime. Injustice occurs when punishments are disproportionate, exceeding what the offender deserves. I claim that overcriminalization frequently produces disproportionate punishments, although this contention will be more diffi cult to substantiate. No one should profess to know how to anchor a penalty scale-how to assign the precise quantum of punishment deserved by particular offenders who commit given offenses such as larceny or rape.48 Perhaps for this reason, except when the death penalty is at stake, courts have all but abandoned
166
Douglas Husak, 2008, Overcriminalization: The Limit of the Criminal Law, New York, Oxford University Press, hlm. 14
93
attempts to preclude excessive punishments by applying a principle of proportionality.” Untuk mengatasi terjadinya over-kriminalisasi dalam kebijakan hukum pidana, Husak dengan Theory of Criminalization memberikan 7 (tujuh) batasan dalam kebijakan hukum pidana yang ia klasifikasikan dalam 2 kategori besar, yaitu kategori eksternal dan kategori internal.167 4 (empat) diantara batasan yang menurut Husak menjadi penting adalah: 1). Nontrivial harm of evil constraint (batasan kerusakan yang ringan); 2). The wrongfulness constraint (batasan dari perbuatan yang salah); 3). Desert constraint (batasan kepantasn dipidana); dan 4). Burden of proof constraint (batasan beban pembuktian). 4 (empat) batasan yang coba ditawarkan oleh Husak setidaknya dapat dijadikan batu uji untuk mengukur efektifitas dari kriminalisasi yang sudah dilakukan. Persoalan kriminalisasi bukanlah perkara yang gampang, ia memiliki persoalan yang kompleks, diantaranya karena adanya beragam pilihan instrumen pengaturan kehidupan masyarakat di mana hukum pidana hanyalah salah satu instrumen pengatur kehidupan sosial yang ada. Instrumen pengatur yang lainnya adalah hukum perdata, hukum administrasi negara, moral, agama, disiplin dan kebiasaan. Hukum pidana sebagai salah satu instrumen tidaklah boleh ditempatkan sebagai intrumen pertama (primum remedium) untuk mengatur kehidupan masyarakat, melainkan sebagai instrumen terakhir 167
Ibid, hlm. 55
94
(ultimum remedium) untuk mengatur tingkah laku individu dalam kehidupan masyarakat.168 Namun pada praktiknya legislatif sebagai pintu pertama dalam menentuan kriminalisasi, sering menempatkan instrumen pidana sebagai instrumen pertama dalam pengatur kehidupan masyarakat, hal ini menegaskan bahwa pemerintah cenderung untuk memilih proses penyelesaian yang cepat tanpa mempertimbangkan efektifitas berlakunya suatu aturan. Kompleksitas kriminalisasi berkaitan juga dengan perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung secara cepat. Perubahan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan hukum. Bila masyarakat berubah, maka hukum akan ikut berubah pula. Perubahan ukum merupakan resultante dari perubahan masyarakat.169 Pola hubungan masyarakat dan hukum seperti ini tergambar dalam ungkapan adat sakali aie gadang sakali titian baranjak.170 Selain kompleksitas, proses kriminalisasi juga harus didasari oleh konsepsi-konsepsi dasar/asas-asas. Ada 3 (tiga) asas yang perlu diperhatikan pembentuk undang-undang untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman dan sanksi pidananya, yaitu; 1). asas legalitas; 2). asas subsidaritas; dan 3). asas persamaan.
168
Salman Luthan, op.cit, hlm. 3 Pola hubungan hukum dan perubahan sosial bukan hanya dalam bentuk perubahan sosial mempengaruhi perubahan hukum, tapi juga perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan soasial. Undang-undang yang mengalami perubahan secara cepat adalah undangundang khusus di bidang ekonomi, sedangkan undang-undang terkodifikasi sangat sulit berubah karena mengatur banyak hal, tersusun secara sistematis dan terstruktur secara sistemik. 170 Ungkapan tersebut berasal dari pribahasa Minang yang berarti “bila air sungai pasang dan meluap, maka jembatan (titian) akan bergeser dari tempatnya 169
95
Pertama, asas legalitas yaitu, asas yang esensinya terdapat dalam ungkapan nullum delictum, nulla poena sie praevia lege poenali yang dikemukakan oleh von Feurbach. Ungkapan itu mengandung pengertian bahwa “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Asas legalitas adalah asas yang paling penting dalam hukum pidana, khususnya asas pokok dalam penetapan kriminalisasi. Menurut J.E. Sahetapy, asas legalitas mengandung tujuh makna, yaitu: (i) tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang; (ii) tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi; (iii) tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; (iv) tidak boleh ada perumusan tindak pidana yang kurang jelas (syarat lex certa); (v) tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; (vi) tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang; dan (vii) penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.171 Kedua, asas subsidiaritas, artinya, hukum pidana harus ditempatkan sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas) dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan instrumen penal, bukan sebagai primum remedium (senjata utama) untuk mengatasi masalah kriminalitas.
171
J.E. Sahetapy (Ed.), 1996, Hukum Pidana, Yogyakarta, Penerbit Liberty, hlm. 6-7
96
Penerapan asas subsidiaritas dalam kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi mengharuskan adanya penyelidikan tentang efektivitas penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan atau perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat. Pokok permasalahan yang perlu diteliti adalah apakah tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum pidana itu tidak dapat dicapai juga dengan menggunakan cara-cara lain yang lebih kecil ongkos sosial dan individualnya? Hal ini menghendaki agar kita mengetahui tentang akibat-akibat dari penggunaan hukum pidana itu, dan dapat menjamin bahwa campur tangan hukum pidana itu memang sangat berguna.172 Apabila dalam penyelidikan itu ditemukan bahwa penggunaan sarana-sarana
lain
lebih
efektif
dan
lebih
bermanfaat
untuk
menanggulangi kejahatan, maka janganlah menggunakan hukum pidana. Dalam praktek perundang-undangan, upaya untuk mengadakan penyelidikan tersebut bukan hanya tidak dilakukan, tapi juga tidak terpikirkan. Penggunaan asas subsidiaritas dalam praktek perundangundangan ternyata tidak berjalan seperti diharapkan. Hukum pidana tidak merupakan ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium. Penentuan pidana telah menimbulkan beban terlalu berat dan sangat berlebihan terhadap para justitiable dan lembaga-lembaga hukum pidana.
172
Antonie A.G. Peter dalam Roeslan Saleh, 1981, Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1981, hlm.61
97
Ketiga,
asas
persamaan/kesamaan.
Kesamaan
adalah
kesederhanaan dan kejelasan. Kesederhanaan serta kejelasan itu akan menimbulkan ketertiban. Menurut Servan dan Letrossne asas kesamaan bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang hukum pidana yang lebih adil. Asas kesamaan lebih merupakan suatu keinginan diadakannya sistem hukum pidana yang lebih jelas dan sederhana.173 Lacretelle berpendapat bahwa asas kesamaan tidaklah hanya suatu dorongan bagi hukum pidana yang bersifat adil, tetapi juga untuk hukuman pidana yang tepat.174 Asas-asas kriminalisasi tersebut ini adalah asas-asas yang bersifat kritis normatif. Dikatakan kritis, oleh karena dia dikemukakan sebagai ukuran untuk menilai tentang sifat adilnya hukum pidana, dan normatif oleh karena dia mempunyai fungsi mengatur terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam bidang hukum pidana.175 Selain ketiga asas di atas, Organization for Economic CoOperation and Development (OECD) mengajukan prinsip-prinsip model law untuk menghindari overcriminalization dalam kebijakan hukum pidana, yaitu:176 1. Ultima Ratio Principle: hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas.
173
Ibid, hlm. 36 Ibid, hlm. 39 175 Ibid, hlm. 14 176 Teguh Prasetyo, 2013, op.cit, hlm. 40-41 174
98
2. Precision Principle: ketentuan hukum pidana harus tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana. 3. Clearness Principle: tindakan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana 4. Principle of Differentiation: harus jelas perbedaan yang satu dengan yang lain, perumusan yang bersifat global, terlalu luas, multipurpose atau all embracing harus dihindari. 5. Principle of Intent: tindakan yang dikriminalisasikan harus dengan dolus (intention), sedangkan untuk tindakan culpa (negligence) harus dinyatakan dengan syarat khusus untuk memberikan pembenaran kniminalisasinya. 6. Principle of Victim Application: penyelesaian perkara pidana harus memperhatikan permintaan atau kehendak korban. Dalam hal ini kepentingan korban harus diatur dalam rangka pidana dan pemidanaan. 4.
Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. oleh Sudarto, pemidanaan adalah penghukuman dalam arti sempit. Lebih lanjut sudarto menjelaskan Penghukuman adalah memutuskan tentang hukumnya (berechten) untuk peristiwa yang menyangkut dengan
99
hukum pidana dan hukum perdata.177 Secara sederhana, pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Untuk melihat perkembangan pemidanaan ini, kita dapat merujuk pada perkembangan aliran-aliran dalam hukum pidana. Pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan,178 pada saat itu berkembanglah aliran klasik dengan tokoh utamanya adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Aliran klasik berpijak pada 3 (tiga) asas, yaitu legalitas, kulpabilitas, dan pengimbalan (Pembalasan). Made Sadhi Astuti menjelaskan, aliran klasik menghendaki adanya hukum pidana yang tersusun sistematik sehingga dapat menjamin kepastian hukum. Titik berat aliran ini ada pada perbuatan pidana. perbuatan manusia dimaknai secara abstrak dan hanya dilihat secara yuridis, sehingga dianggap terpisah dari orang yang melakukan perbuatan.179 Muladi menjelaskan bahwa aliran ini sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkanpidana dan ukuran pemidanaannya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (defite sentence) yang sangat kaku (rigid). Ciri ini dapat terlihat dalam KUHP Perancis 1791.180
177
Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke-4, Bandung, PT. Alumni,
hlm. 72 178
Muladi, 1992, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, Undip, hlm. 29 Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Malang, IKIP Malang, hlm. 27 180 Muladi, 2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, hlm. 29 179
100
Aliran klasik menegaskan KUHP harus tertulis dan mengatur semua bentuk kejahatan dan ancaman pidana. Ruang lingkup hukum pidana perlu dibatasi karena dapat mengakibatkan pembatasan kebebasan manusia. Asas praduga tidak bersalah merupakan prinsip yang memadu semua langkah dalam proses memperoleh keadilan. Hakhak individu harus dilindungi oleh hukum. Widodo menyebutkan konsekuensi dari pemikiran di atas, fungsi hukum adalah mempromosikan keadilan, mencegah kejahatan lebih penting dibanding dengan menjatuhkan pidana terhadap penjahat. Pidana hanya digunakan sebagai sarana untuk membatu ke arah pencegahan kejahatan dan penerapannya tidak boleh bertentangan dengan keadilan. Proses peradilan harus cepat, jujur dan menghormati hak-hak tersangka.181 Dalam
memandang
konsepsi
pemidanaan,
Beccaria
dan
Bentham melihat suatu keterkaitan antara kekejaman pidana dengan kepastian hukum dalam pemidanaan. Kepastiam hukum lebih efektif untuk menanggulangi kejahatan dibanding dengan kekejaman pidana. hal itu tampak dalam uraian berikut “both Beccaria and Bentham saw a connection between certainly and severty of punishment. Certainly is more effective in deterring crime than severiy of punishment. The more
181
Widodo, 2009, op.cit, hlm. 59
101
severe the punishment, the less likely it is to be applied; and the less certain the punishment, the more wevere it must be to deter crime.”182 Sue Titus Reid memandang beberapa ciri aliran klasik, yaitu “legal definition of crime, let the punishment fit the crime, doctrin of free will, dead penalty of some offences, anecdotal method no emprical research, definite sentence.”183 (kejahatan didefenisikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana terdapat ketentuan tertulis, penjatuhan pidana adalah satu-satunya alat untuk pemberantasan kejahatan, doktin kebebasan manusia dalam bertingkah laku menjadi dasar hukum penjatuhan
pidana,
penjatuhan
pidana
disamakan
dengan
pelanggarannya, tertutup dari hasil penelitian atau penafsiran empiris, dan pidana ditentukan secara kaku oleh legislator.) Pada abad ke-19, muncul Aliran Modern atau aliran positif yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran kesalahan
ini
yang
menolak subyektif.
pandangan Aliran
ini
pembalasan
berdasarkan
menghendaki
adanya
individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi
182 Ronald L. Akers and Cristine S. Seller, 2004, Criminological Theories: Intoduction, Evolution, and Application, Los Angles, Roxbury Publishing Company, hlm. 20 183 Sue Titus Reid, 1985, Crime and Criminilogy, New York, CBS College Publishing, hlm. 37
102
pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undangundang.184 Sue Titus Reid berpendapat bahwa ciri-ciri aliran modern adalah; rejected legal definition of crime; let punishment fit the criminal; abolition of the dead penalty; emperical reseach use of the inductive method; and indeterminate sentence.185 Aliran ini menolak definisi hukum dari kejahatan yang diatur oleh Undang-undang belaka, pidana 184 Marc Ancel mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new social defence) yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (natural crime) yang merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilama ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undang-undang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat, lihat Muladi, 2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, hlm. 29-32 185 Sue Titus Reid, 1985, ibid
103
harus sesuai dengan pelaku tindak pidana, doktrin determinisme, penghapusan pidana mati, riset empiris, dan Pidana yang tidak ditentukan secara pasti. Pusat perhatian aliran modern adalah pada si pembuat (pelaku). Menurutnya, perbuatan jahat seseorang dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor biologis dan faktor lingkungan masyarakat. Berdasarkan asumsi tersebut, aliran ini bercorak deterministik, yaitu menganggap manusia adalah makhluk yang tidak bebas dalam bertingkah laku.186 Pada abad yang sama dengan kemunculan aliran modern, juga muncul aliran neoklasik, diantaranya Von Hirsch dan Fogel. Aliran ini memusatkan perhatian kepada perbuatan pidana, bukan kepada pelaku kejahatan. Aliran ini meminta untuk menetapkan dan memperbaiki pemidanaan, bentuk pidana yang mantap dan membatah teori keadilan yang mengajarkan bahwa kejahatan yang sama harus menerima hukuman yang sama pula. Mereka percaya bahwa hanya pelanggar yang sungguh-sungguh berbahaya yang dapat dipidana.187 Aliran
ini
mulai
mempertimbangkan
kebutuhan
adanya
pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut:188 1. Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain; 186
Widodo, 2009, Op. Cit, hlm. 63 Ibid., hlm 67 188 Muladi, 2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, hlm. 41 187
104
2. Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan; 3. Modifikasi
dari
doktrin
pertanggungjawaban
untuk
mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang
dapat
mempengaruhi
pengetahuan
dan
kehendak
seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan 4. Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban. Ketiga aliran tersebut di atas sangat penting untuk memahami hukum pidana pada jamannya dan jaman sekarang, serta mengkaji isu kontemporer pada abad ke-20. Persoalan pemidanaan lain yang menarik adalah terkait dengan tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori
105
tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).189 Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forwardlooking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).190 Sementara
Muladi
membagi
teori-teori
tentang
tujuan
pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni: a) Teori absolut 189 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, California, Stanford University Press, hlm. 9. 190 Ibid. hlm. 10
106
(retributif); b) Teori teleologis (tujuan); dan c) Teori retributif teleologis.191 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
191 Muladi, op.cit., hlm. 49-51. Bambang Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 teori pemidanaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relatieve theorien) dan teori gabungan atau (verenigings theorien). Lihat Bambang Poernomo, 1985, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, hlm. 27
107
kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang. Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan.192 Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribusi yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat sifatnya kasusistis. Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan
192
Teori ini juga sering dikenal sebagai teori integratif atau juga teori paduan.
108
bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman.193 Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.194 Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan 193
Soehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta, Raja Grafindo Persada.hlm. 61. 194 Sue Titus Reid, 1987, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York, hlm. 352. Dalam Soehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 62.
109
antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi
psikologi
dari
penghukuman
dan
pihak
yang
menghukum.195 Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative justice model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative juctice theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik :196 a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking. b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes. c. The
criminal
justice
process
should
facilitate
active
participation by victims, offenders and their communities. It
195
Micahel Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996, hlm.
15. 196 Daniel W. Van Ness, Restorative justice and International Human Rights, Restorative Justice: International Perspective, edited by Burt Galaway and Joe Hudson, Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland. hlm. 23.
110
should not be dominated by goverment to the exclusion of others. Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu:197 a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab; i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik; j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang
197
Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm. 127-129.
111
melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.198 Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilainilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usahausaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan
konflik
mereka
dan
memperbaiki
luka-luka
mereka.199 Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh (korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka) dan memberikan keutamaan pada kepentingankepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk 198 Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung, Binacipta, hlm. 101. 199 Daniel W. Van Ness, op.cit. hlm, 24.
112
mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.200 Terkait dengan tujuan pemidanaan, penulis menawarkan model tersendiri yang didasarkan kepada evaluasi model pemidanaan yang ada saat ini serta dikaitkan dengan tujuan pemidanaan yang diatur dalam RUU KUHP tahun 2015 yang mengarah kepada sarana pencegahan, pembinaan, pemulihan keadaan dan sarana pembebasan rasa bersalah terpidana. Hal ini dituangkan dalam BAB III, Bagian ke I, Paragraf 1 Pasal 55, yang berbunyi: (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dari ketentuan di atas, tujuan utama dari pemidanaan itu adalah bagaimana memulihkan keadaan/keseimbangan akibat dari perbuatan/
200 lison Morris dan Warren Young, 2000, Reforming Criminal Justice: The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, Australia, The Australian National University, Asghate Publising Ltd, hlm, 14.
113
tindakan pelaku. Tujuan ini mengisyaratkan bahwa kepentingan seluruh pihak terkait perlu di akomudir, baik kepentingan korban, kepentingan masyarakat, dan kepentingan pelaku serta kepentingan pemerintah. Tujuan pemidanaan sebagai upaya untuk memulihkan keadaan/ keseimbangan ini penulis sebut dengan equilibrium theory. Equlibrium theory menitik beratkan tujuan pemidanaan itu bukan untuk pembalasan (sebagaimana yang dikemukakan oleh teori absolut), dan penebar rasa takut, serta bukan semata-mata untuk memperbaiki prilaku sipelaku supaya bisa diterima ditengah-tengah masyarakat, tetapi memulihkan hak-hak korban yang dilanggar oleh sipelaku dan meminimal kerugian yang dialami oleh negara serta membangun kesadaran dari si pelaku. Teori ini bertitik tolak dari pandangan utilitarian, yang melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Konsep di atas penulis gunakan sebagai tools dalam menganalisis kebijakan hukum pidana terkait dengan perumusan dan penggunaan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE. B. Kebijakan Hukum Pidana Terkait dengan Tindak Pidana Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik di Internet Menganalisis masalah tindak pidana penghinaan dalam UU ITE tidak bisa dilepaskan dari kebijakan hukum pidana terhadap cybercrime. Dalam hal kebijakan hukum pidana dalam pemidanaan cyber, berdasarkan dokumen
114
A/CONF.187/15201 dinyatakan bahwa bentuk-bentuk cybercrime itu adalah keseluruhan bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.202 Dari dokumen A/CONF.187/15 yang menjadi menarik adalah ketika ditegaskan perlu memasukkan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer, sebagai bahagian dari kejahatan di dunia siber, diantaranya terkait dengan pengrusakan atau penghapusan data komputer, pemalsuan dalam hal merubah data otentik menjadi tidak otentik, penipuan dalam bentuk mengubah, menghapus
data komputer,
dan kejahatan konvensional
berhubungan dengan pornografi anak dengan menggunakan komputer sebagai sarana. Muatan yang sama juga terdapat di dalam convention on cybercrime 2001 di Budapest yang dilaksanakan oleh Council of Europe. Mengenai harmonisasi kebijakan, Barda Nawawi dalam Seminar Nasional RUU Teknologi Informasi di Semarang pada 26 Juli 2001 menyatakan bahwa perlu dilakukan kajian terhadap; 1). masalah harmonisasi materi/substansi tindak pidana cyber, dan 2). harmonisasi kebijakan formulasi tindak pidana.203 terkait dengan harmonisasi materi subtansi, tidak hanya
201
Dokumen A/CONF.187/15 merupakan laporan Kongres PBB X tahun 2000 untuk Workshop on crimes related to the computer network. 202 Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada. hlm 9 203 Ibid. hlm. 43
115
sebatas masalah kajian harmonisasi eksternal (internasional), tetapi juga kajian harmonisasi internal (nasional). Yang
dimaksud
dengan
harmonisasi
eksternal
adalah
kajian
harmonisasi dan sinkronisasi cybercrime yang akan diberlakukan di Indonesia yang substansinya disepakati secara Internasional, harmonisasi ini mutlak dilakukan, mengingat sifat dari cybercrime sebagai kejahatan global dan tidak mengenal batas negara. Sedangkan harmonisasi internal terkait dengan harmonisasi/ sinkronisasi dengan materi/substansi tindak pidana yang telah ada atau diatur dalam hukum positif di Indonesia selama ini. Dalam hal harmonisasi kebijakan formulasi tindak pidana, yang menjadi masalah adalah, apakah formulasi kebijakan pidana terkait dengan kebijakan siber perlu dituangkan dalam bentuk perundang-undangan khusus, seperti yang ada saat ini yaitu diatur dalam UU ITE, cukup diintegrasikan dalam undang-undang yang telah berlaku umum (KUHP), atau dituangkan bersama-sama dalam Undang-undang khusus dan undang-undang umum. Terkait dengan hal tersebut di atas, Barda Nawawi menyampaikan pokok-pokok pikiran penting dalam hal kebijakan hukum pidana terkait dengan cybercrime, yaitu:204 1. Harmonisasi kebijakan formulasi hukum pidana materil/substantif sangat bergantung dan berkaitan erat dengan sistem hukum pidana materiel yang sedang berlaku di suatu negara atau sistem yang ingin dicita-citakan. Dalam kondisi tersebut, dikaitkan dengan Indonesia,
204
Ibid. hlm. 45
116
maka kebijakan formulasi hukum pidana di bidang cybercrime harus tetap berada dalam sistem hukum pidana (materiel) yang saat ini berlaku di Indonesia. 2. Sistem hukum pidana materiel yang berlaku di Indonesia, terdiri dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP. Statury rules tersebut terdiri dari aturan umum yang terdapat dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus yang terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. Aturan Khusus (Special Rules) Aturan Umum (General Rules) Buku I KUHP
Buku II KUHP
Buku III KUHP
UU Khusus (diluar KUHP) Tabel 3: Sistem Hukum Pidana Materiel Indonesia
Berdasarkan pokok-pokok fikiran dari Barda Nawawi terkait dengan kebijakan harmonisasi dihubungkan dengan masalah cybercrime, maka terkait dengan kejahatan tradisional yang dilakukan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer/jaringan komputer yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHP ataupun di dalam delik-delik khusus di luar KUHP, sebaiknya dilakukan penambahan pada aturan umum pada Bab I KUHP sepanjang dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi. Dengan demikian, terkait dengan kejahatan tradisional cukup tetap dengan menggunakan Pasal-Pasal KUHP yang memiliki kesamaan maksud dan
117
tujuan
dengan
kejahatan
tradisional
yang
menuggukan
media
komputer/jaringan komputer/internet. Untuk menjaring cybercrime dalam bentuk baru/yang belum diatur di dalam KUHP, dapat saja dipilih dengan melakukan penahambahan Pasal dalam Buku II atau Buku III. Apabila cybercrime dimungkinkan dapat terjadi pada delik-delik khusus diluar KUHP, maka cybercrime itu dapat dimasukkan atau diintegrasikan ke masing-masing UU Khusus di luar KUHP. Pilihan lainnya adalah dengan membuat aturan khusus tersendiri terkait dengan cybercrime, seperti yang dilakukan oleh Indonesia, yaitu dengan membuat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetapi, dalam UU khusus tersebut seharusnya tidak hanya merumuskan tindak pidananya saja, melain juga membuat aturan umum yang menjadi payung bagi delik-delik yang sudah ada dalam KUHP ataupun UU Khusus di luar KUHP. Pilihan-pilihan
harmonisasi
kebijakan
hukum
pidana
yang
disampaikan di atas, menarik jika kita kaitkan dengan pengaturan cybercrime yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari 11 Pasal dalam perbuatan yang dilarang di UU ITE, setidaknya 3 (tiga) Pasal mengatur tentang kejahatan tradisional yang sudah di atur oleh KUHP, yaitu Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29. Adapun perbuatan tersebut adalah tindak pidana kesusilaan, perjudian, tindak pidana kehormatan (penghinaan dan atau pencemaran nama baik), tindak pidana terhadap
118
kemerdekaan orang (pemerasan dan atau pengancaman dan atau ancaman kekerasan), dan tindak pidana ketertiban umum (pernyataan permusuhan). Dari pengaturan tersebut di atas, terlihat bahwa UU ITE sebagai rezim hukum siber di Indonesia, malah menarik kejahatan-kejahatan tradisional (salah satunya adalah penghinaan dan atau pencemaran nama baik) sebagai bagian dari cybercrime. Pilihan ini tentu bertentangan dengan pakem harmonisasi dan sinkronisasi hukum pidana materil. Pengaturan seperti yang terdapat dalam UU ITE dengan menarik kejahatan tradisional menjadi kejahatan baru dengan alasan terdapatnya perbedaan media yang digunakan, tentu dapat berdampak pada terjadinya overkriminalisasi karena tumpang tindih aturan hukum. Selain itu, proses penegakan hukumnya pun tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, melainkan pada pertimbangan kemanfaatan orang banyak (utilitarian).205 Dalam doktrin hukum pidana, rumusan tindak pidana harus haruslah memenuhi prinsip lex cripta, lex certa dan lex stripta206. Ketiga prinsip tersebut merupakan pengejawantahan terhadap asas legalitas dalam hukum pidana, yang diartikan bahwa rumusan tindak pidana haruslah tertulis, kemudian rumusan itu harus jelas (memuat unsur-unsur baik perbuatan, keadaan maupun akibat) dan rumusan tindak pidana itu haruslah ketat, tidak bersifat karet dan tidak multitafsir.
205
Douglas Husak, 2008, op.cit, hlm 59 Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus sesuai dengan prinsip kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan. 206
119
Terkait
dengan
kebijakan
hukum
pidana
terhadap
perbuatan
penghinaan di internet, dapat dilihat bahwa tindak pidana ini merupakan tindak pidana tradisional, tetapi dilakukan menggunakan sarana baru berupa komputer dan internet. Tindak pidana tradisional tersebut berasal dari ketentuan Pasal 310 dan 311 KUHP, namun sarana yang digunakan lebih dipersempit. Berikut rumusan Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1). Jika rumusannya disatukan, maka akan berbunyi “dipidana dengan pidana penjaara paling lama 6 (enam) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”. Apabila diperinci, rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur berikut ini: 1. Unsur subjektif: - Kesalahan: dengan sengaja 2. Unsur objektif: - Melawan hukum: tanpa hak - Perbuatan:
mendistribusikan,
mentransmisikan,
dan/atau
membuat dapat diaksesnya - Objek: informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
120
Bagian yang dicetak miring merupakan unsur formil dari tindak pidana yang bersangkutan.207 Sekilas dari rumusan di atas, tidak akan menimbulkan permasalahan, karena tiap unsur yang perlu dalam sebuah rumusan tindak pidana sudah terpenuhi. Namun jika dicermati dengan seksama, maka akan timbul pertanyaan terhadap objek perbuatan yang dilarang tersebut, yaitu “informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, disebutkan “cukup jelas”, selain itu dalam aturan umumnya pun tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Tidak ada penjelasan apapun yang dapat digunakan untuk menemukan maksud norma yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut. Rumusan Pasal 27 ayat (3) jelas dapat menimbulkan tafsir yang banyak, atau setidak-tidaknya dapat disebutkan bahwa terbuka berbagai macam tafsir dari ketidakjelasan maksud “informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Mengutip pendapatnya Barda Nawawi bahwa Undang-Undang Khusus seyogyanya tidak hanya merumuskan tindak pidananya saja, tetapi juga membuat aturan umum yang dapat menjadi aturan payung.208 Namun terkait dengan pemidanaan terhadap tindak pidana penghinaan di dunia maya terlihat
207 Adami Chazawi, dan Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Malang, Media Nusa Creative, hlm. 70 208 Barda Nawawi Arief, 2006, op.cit. hlm. 47
121
bahwa pemerintah hanya memikirkan bagaimana aturannya dirumuskan, tetapi tidak memberikan penjelasan tentang apa yang di atur. Terkait dengan keberadaan tindak pidana penghinaan di dunia maya ini, seharusnya pilihan yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan proses harmonisasi atau sinkronisasi internal dengan cara menambahkan ketentuan umum di dalam Buku I KUHP dengan memasukkan ruang lingkup dunia maya (internet), sehingga dengan sendirinya ketentuan tentang penghinaan yang ada di dalam KUHP tetap bisa digunakan untuk menjerat penghinaan yang dilakukan di dunia maya. Disisi lain, mengutip pendapatnya Muladi terkait dengan metode pendekatan dalam kebijakan kriminalisasi dan penalisasi,209 sebaiknya terkait dengan tindak pidana penghinaan di dunia maya dilakukan berdasarkan metode evolusioner (evolotionary approach), yaitu dengan memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang sudah lama ada dalam KUHP. Hal ini tentu dapat dilakukan berhubung tindak pidana penghinaan di dunia maya bukanlah merupakan bentuk kriminalisasi baru, melainkan tindak pidana lama yang sudah diatur di dalam KUHP, hanya saja ruang dan yurisdiksinya yang diperluas. Dengan telah adanya kebijakan kriminal atas perbuatan penghinaan dalam KUHP, maka tidaklah perlu ada kebijakan kriminal dalam UU ITE terkait dengan tindakan penghinaan dalam dimensi dunia maya. Pengaturan ulang atas suatu perbuatan yang telah dipidana, merupakan duplikasi yang
209
Teguh Prasetyo, 2013, op.cit, hlm.
122
jelas telah melanggar prinsip lex certa dan lex scricta sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.210 Lagi pula jika dikaji berdasarkan masalah sentral dalam kebijakan kriminal sebagaimana pendapat Muladi dan Barda Nawawi, yang menyatakan salah satunya adalah terkait dengan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. Maka sudah sepantasnya penghinaan dalam UU ITE tidak lagi perlu ada pengaturan. Selain itu, jika dirumuskan berdasarkan prinsip tindak pidana berdasarkan doktrin hukum pidana, maka terlihat jelas bahwa tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) tidak tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex stripta yaitu rumusan tindak pidana harus jelas (memuat unsur-unsur baik perbuatan, keadaan maupun akibat) dan rumusan tindak pidana itu haruslah ketat, tidak bersifat karet dan tidak multitafsir. Sangat berbeda dengan rumusan Pasal 310 dan 311 KUHP yang telah memenuhi prinsip perumusan tindak pidana menurut hukum pidana. Ketidakjelasan unsur perbuatan, keadaan dan akibat serta terbukanya tafsir, bisa dilihat dari unsur Pasal 27 ayat (3): 1. Tidak ada diketentuan umum dan dipenjelasan pasal demi pasal apa yang dimaksud dengan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya. istilah mendistribusikan dan
210
Supriyadi Widodo Eddyono, Shiyana, dan Wahyu Wagiman, 2012, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Jakarta, ICJR dan Yayasan Tifa, hlm. 30
123
transmisi adalah istilah teknis yang dalam praktiknya tidak sama di dunia teknologi informasi (TI) dan dunia nyata.211 2. Tidak ada diketentuan umum dan dipenjelasan pasal demi pasal apa yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 3. Tidak jelas mana yang menjadi bagian inti (bestanddeel), apakah “mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya” atau “Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” 4. Frasa “Penghinaan” dalam UU ITE, mengeneralisir bentuk-bentuk penghinaan yang dikenal dalam Bab XVI KUHP yakni pencemaran lisan, pencemaran dengan tulisan atau gambar, fitnah, penghinaan
ringan,
pengaduan
fitnah,
persangkaan
palsu,
pencemaran orang mati, penghinaan pejabat. 212 5. UU ITE seolah-olah membedakan antara penghinaan dengan pencemaran, lalu menempatkan pencemaran sejajar dengan penghinaan, serta seolah-olah menyatakan bahwa penghinaan adalah satu jenis pidana, dan pencemaran nama baik berdiri sendiri, lepas dari penghinaan. Hal ini terlihat dari rumusan yang menggunakan frasa “… dan/atau…”
211 HukumOnline, Dua Permohonan Pengujian UU ITE Kandas, Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21918/dua-permohonan-pengujian-uu-ite-kandas diakses pada 12 Maret 2016. 212 Adami Chazawi, dan Ardi Ferdian, 2015, op.cit. hlm. 74
124
6. Tidak jelas subjek dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE serta tidak dijelaskan tujuannya. KUHP secara tegas menyebutkan “kehormatan atau nama baik seseorang…” dengan tujuan “supaya diketahui umum, …” Politik kriminal dalam upaya mengkriminalisasi perbuatan penghinaan menggunakan sarana komputer/jaringan komputer malah menyebabkan tumpang tindih peraturan, sehingga dapat berakibat pada terjadinya overkriminalisasi atas perbuatan penghinaan. Ketidakjelasan makna dan kategorisasi penghinaan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) pun berpotensi untuk menghambat pelaksanaan kebebasan bereskpresi. Bandingkan misalnya di Belanda, tindak pidana Penghinaan hanya diatur dalam KUHP Belanda, pada Pasal 261 KUHP Belanda dijelaskan penghinaan sebagai tindak pidana diartikan sebagai tindakan yang sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan cara menuduh orang tersebut telah melakukan sesuatu yang bertujuan untuk menjadikannya sebagai fakta publik.213 Menurut Meiji, salah seorang profesor dari University of Amsterdam, ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejak tahun 1978. Saat ini, tuntutan pidana lebih banyak dilakukan terhadap orang atau kelompok orang yang menyebarkan kebencuan atau diskriminasi. Biasanya hukuman yang diberikan adalah denda, bukan pidana pejara.214
213 Charles J. Glasser Jr. Esq (ed), 2013, International Libel and Privacy Handbook: A Global Reference for Journalist, Publishers, Webmasters, and Lawyers, Third Edition, New Jersey, Bloomberg Press, hlm. 401 214 Supriyadi Widodo Eddyono, Shiyana, dan Wahyu Wagiman, 2012, op.cit. hlm. 9
125
Jens van den Brink, seorang Advokat dan partner di Kennedy Van der Laan Amsterdam, menyebutkan, terkait dengan kebebasan berekspresi di Belanda dapat dibatasi dengan (1) dinyatakan secara tegas dalam UndangUndang, (2) memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum, dan (3) menjadi hal yang penting dalam kehidupan masyarakat demokratis. Lengkapnya Jens van Den Brink menyatakan Any limitation of the freedom of speech should meet the test of article 10 of the Convention. In short, the limitation should be (1) prescribed by law, (2) serve one or more defined legitimate aims,1 and (3) be necessary in a democratic society.215 Terkait dengan penghinaan di internet/komputer, dan bahkan terkhusus terkait dengan cybercrime, Belanda tidak membuat dalam aturan tersendiri, tetapi mereka melakukan harmonisasi dan sinkronisasi KUHP. Dalam Cybercrime Legislation in the Netherlands disebutkan bahwa: The Computer Crime Act inserted two definitions in the Criminal Code. First, data are defined in Article 80quinquie. Dutch Criminal Law (DCC: Wetboek van Strafvordering) as ‘any representation of facts, concepts, or instructions, in an agreed-upon way, which is suitable for transfer, interpretation, or processing by persons or automated works’. Second, a computer -in the terminology of the Act an ‘automated work’ (geautomatiseerd werk)- was defined in Article 80sexies DCC as ‘a construction (inrichting) designed to store, process, and transfer data by electronic means’. An earlier proposed definition was broader, but ultimately the definition was restricted to electronic devices.216
215
Charles J. Glasser Jr. Esq (ed), 2013, op.cit., hlm. 402. Lebih lanjut baca Cybercrime Legislation in the Netherlands, http://www.ejcl.org/143/art143-10.pdf diakses pada 21 Maret 2016 216
hlm. 4,
126
C. Pembahasan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Persidangan Pembahasan di DPR RI Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diserahkan oleh Kominfo kepada DPRRI hanya terdiri dari 49 Pasal. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam RUU tersebut tersebar dalam Pasal 26 hingga Pasal 34. Tidak satupun dari Pasal-pasal tersebut yang menyinggung masalah tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana yang terdapat dalam UU ITE yang telah disahkan. Sebagai perbandingan, berikut penulis sajikan tabel terkait perbuatan yang dilarang dalam RUU ITE Pasal Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Isi Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik. Setiap orang dilarang: (1) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik. (2) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi milik pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau dilindungi. (3) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi pertahanan nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap Negara dan atau hubungan dengan subyek Hukum Internasional. Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang secara tanpa hak yang menyebabkan transmisi dari program, informasi, kode atau perintah, komputer dan atau sistem elektronik yang
127
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
dilindungi Negara menjadi rusak. Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, baik dari dalam maupun luar negeri untuk memperoleh informasi dari komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara. Setiap orang dilarang: (1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik pemerintah yang dilindungi secara tanpa hak (2) menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak. (3) menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh masyarakat, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak. (4) mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan oleh pemerintah. Setiap orang dilarang: (1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh informasi keuangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan atau lembaga keuangan, penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan nasabahnya. (2) Menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan yang dilindungi secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, untuk disalah gunakan, dan atau untuk mendapatkan keuntungan daripadanya. Setiap orang dilarang: i. menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan yang akibatnya dapat mempengaruhi sistem elektronik
128
Pasal 34
Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan, serta perniagaan di dalam dan luar negeri. ii. Menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan atau dilindungi oleh pemerintah. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan dalam rangka hubungan internasional dengan maksud merusak komputer atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Tabel 4: Pengaturan tindakan yang dilarang dalam RUU ITE
Dalam RUU ITE terlihat jelas bahwa pengusul dari kementrian komunikasi dan informasi mengacu pada Convention on Cybercrime 2001 yang dilakukan di Budapest, terutama terkait dengan materi perbuatan pidana yang menjadi domain cyber. di dalam naskah akademik RUU ITE, dijelaskan berbagai aturan internasional yang mencoba mengatur teknologi informasi, diantaranya the United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (EU), APEC, ASEAN, dan OECD.217 Namun jika dilihat terkait klasifikasi tindak pidana materil, maka RUU ITE lebih mengarah kepada konsep yang dikeluarkan oleh Uni Eropa dalam menyikapi masalah cybercrime dalam Convention on Cybercrime. Salah satu alasan kelahiran undang-undang ITE inipun karena dampak yang luas dan fatal oleh tindakan para cracker dan hacker, dan hukum positif konvensional tidak mampu mengatasi persoalan melawan hukum di dunia
217
Departemen Komunikasi dan Informatika, (Tanpa Tahun), Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Depkominfo. hlm 16
129
siber.218 Alasan lain yang dikemukakan dalam naskah akademik RUU ITE adalah banyak negara-negara di dunia seperti Malaysia, Singapura, India, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi ke dalam instrumen hukum positif (existing law) nasionalnya, sehingga Indonesia perlu merefleksikan diri terkait dengan persoalan cyberlaw ini. Berdasarkan dokumen pembahasan RUU ITE, setidaknya ditemukan bahwa masuknya perbuatan penghinaan di internet sebagai bagian dari cybercrime versi Indonesia, ketika dilakukan rapat kerja pansus pada tanggal 24 Maret 2007. Pasal 26 RUU ITE yang semula berbunyi “Setiap orang dilarang
menyebarkan
informasi
elektronik
yang
memiliki
muatan
pornografi, pornoaksi, perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik.” Oleh Fraksi Golkar diusulkan redaksional menjadi “Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, penghinaan, fitnah, penyiaran berita bohong, penistaan agama dan ras atau etnis, penyesatan dalam penjualan surat utang, tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap hak cipta dan merek, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik.”219
218
Ibid, hlm 4-5 Lihat Dokumen hasil pembahasan pansus terkait Daftar Inventaris Masalah (DIM), poin pembahasan Nomor 188, hlm. 92. Dalam Biro Persidangan Sekretaris Jenderal DPR RI, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disahkan tanggal 25 Maret 2008, Jakarta, DPR RI. 219
130
Pada perubahan redaksional dari Fraksi golkar inilah yang menjadi bagian awal masuknya pencemaran nama baik sebagai bagian dari tindak pidana siber.220 Fraksi PDIP, mengusulkan tindakan yang dilarang untuk dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana di Indonesia dengan memanfaatkan keunggulan dan kemajuan Teknologi Informasi, pada dasarnya adalah tindakan penyalahgunaan. Maksud dari fraksi PDIP tersebut berdasarkan risalah persidangan, tidak cukup jelas, namun pada intinya, fraksi PDIP menyatakan perlu pemisahaan dari masing-masing perbuatan dalam beberapa ayat, sehingga Pasal 26 harus didahului dengan kalimat “Setiap orang dilarang dengan sengaja memperbanyak dan/atau menyebarkan melalui Media Elektronik, Komputer, jaringan Komputer, Sistem Informasi dan/atau Sistem Elektronik yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan/atau mengabil keuntungan dari Informasi elektronik yang mengandung sebagian atau keseluruhan muatan berikut: …” Fraksi PPP mengusulkan rumusan baru terkait bunyi Pasal 26, usulan PPP sejatinya hampir sama dengan usulan dari Fraksi Golkar, tetapi minus perbuatan penghinaa, dan penyesatan dalam penjualan surat utang. Rumusan Pasal 26 yang usulkan fraksi PPP adalah “Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan ponografi, pornografi anak, pornoaksi, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, ancaman, fitnah, penyebaran berita bohong, penyesatan informasi, terorisme, 220
Faksi Golkar mengusulkan perluasan larangan yang dapat disebarkan lewat informasi
elektronik.
131
tindak pidana terhadap hak cita dan merek dan/atau tindak pidana lainnya melalui komputer atau sistem elektronik.”. Namun Fraksi PAN memberikan usulan yang berbeda, Fraksi PAN hanya menekankan pada perbuatan yang bertentangan dengan atau melawan hukum, tanpa perlu menyebutkan apa-apa saja perbuatan yang bertentangan dengan atau melawan hukum tersebut. Perdebatan pembahasan mengenai pembahasan Pasal 26, berakhir dengan kesepakatan bahwa Pasal 26 yang semula dalam RUU ITE tanpa ayat, diubah dan ditambah menjadi 6 (enam) ayat. Pasal 26 (RUU ITE Pasal 26 (RUU ITE Setelah Sebelum Pembahasan Panja) Pembahasan Panja) Setiap orang dilarang Setiap orang dilarang dengan menyebarkan informasi elektronik sengaja dan tanpa hak: yang memiliki muatan pornografi, (2) Mendistribusikan dan/atau pornoaksi, perjudian, dan atau mentransmisikan dan/atau membuat tindak kekerasan melalui dapat diaksesnya informasi dan/atau komputer atau sistem elektronik. dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan; (3) Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian; (4) Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; (5) Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman; (6) Melakukan penguntitan secara elektronik; (7) Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
132
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Tabel 5: Perbandingan Pasal 26 sebelum dan sesudah pembahasan tingkat Panja
Pada pembahasan akhir Panja pada rapat kerja tanggal 14 Maret 2007 itulah sebagai awal masuknya tindak pidana penghinaan sebagai bagian dari cybercrime, yang diatur di dalam Pasal 26 ayat (3) dengan bunyi “setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” Pembahasan Panja terkait Pasal 26 lebih terlihat berkeinginan untuk memasukkan semua perbuatan yang dilarang baik dalam KUHP maupun dalam UU Khusus, yang perbuatannya dapat terjadi menggunakan atau melalui sistem komputer, menjadi cybercrime dan diatur oleh RUU ITE. Setidaknya terlihat dari pernyataan fraksi Golkar yaitu dengan memperluas larangan yang dapat disebarkan lewat informasi elektronik, yaitu: “informasi elektronik
yang memiliki
muatan
pornografi,
pornoaksi,
perjudian,
pencemaran nama baik, pemerasan, penghinaan, fitnah, penyiaran berita bohong, penistaan agama dan ras atau etnis, penyesatan dalam penjualan surat utang, tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap hak cipta dan merek, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik.” Tidak ada alasan yang lebih konkrit dalam pembahasan di tingkat Panja terkait diperluasnya cakupan pidana dalam RUU ITE, termasuk dengan diusulkannya tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik sebagai
133
tindak pidana yang harus di atur oleh UU ITE. Maskun221 menyebutkan konstruksi perluasan tersebut menjelaskan perkembangan modus kejahatan dengan media komputer atau internet. Hal tersebut sangat penting khususnya membantu penegak hukum dalam memproses dan mengadili kasus-kasus yang telah menggunakan media informasi elektronik untuk memuluskan kejahatan yang dilakukan.222 Terkait dengan tindak pidana pencemaran nama baik, pada saat rapat kerja Pansus DPRRI tahun sidang IV 29 Juni 2007 dengan Pemerintah, Prof Ramli dari Departemen Komunikasi dan Informasi menegaskan bahwa di Amerika dalam Undang-undang terkait cybercrime juga mengatur masalah pencemaran nama baik. Berikut pernyataannya” Kemudian tentang perlindungan harta pribadi, ini pengembanganpengembangan yang signifikan. Berikutnya lagi ini juga termasuk halhal yang terkait dengan perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang dilarang itu kalau dalam Undang-Undang negara lain misalnya di Amerika itu dikenal dengan computer misuse, Undang-Undang tentang Penyalahgunaan komputer. Misalnya tentang larangan pendistribusian, informasi yang dilarang, pencemaran nama baik, kekerasan, cyber system, penyempitan dengan melalui komputer, penyebaran berita bohong dan penyesatan.223
Penyataan dari Prof. Ramli tersebut sebenarnya tidak menjadi alasan yang tepat kenapa penghinaan atau pencemaran nama baik menjadi tindak pidana yang harus diatur dalam UU ITE, tidak ada standing yang kuat yang
221 222
Dr. Maskun, S.H., LL.M adalah Dosen Universitas Hasanuddin Maskun, 2013, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, Jakarta, Kencana,
hlm. 34 223 Biro Persidangan Sekretaris Jenderal DPR RI, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disahkan tanggal 25 Maret 2008, Jakarta, DPR RI. hlm. 338
134
dapat menegaskan kenapa perlu adanya pengaturan ganda terkait pencemaran nama baik. Dalam konsep kebijakan legislasi, masalah kebijakan hukum pidana itu harus disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu. Konsep ini mempertegas bagaimana supaya tidak terjadi tumpang tindih antar undang-undang terkait dengan kebijakan kriminalisasi suatu perbuatan yang sebelumnya telah diatur, namun kemudian muncul kembali dalam aturan lain. Alasan munculnya tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE, jika kita merujuk pada pembahasan di rapat kerja (Panja) DPR RI yaitu perlu memasukkan seluruh tindak pidana yang dapat dilakukan menggunakan komputer atau jaringan komputer sebagai alat atau media. Tentu kurang tepat. Seharusnya jika merujuk pada pendapatnya Barda Nawawi dalam hal kebijakan hukum pidana terkait dengan cybercrime, harusnya tetap berada dalam sistem hukum pidana (materiel) yang saat ini berlaku di Indonesia.224 Sebagaimana juga Belanda, yang hanya melakukan perubahan terhadap KUHP tanpa membuat undang-undang khusus untuk itu. Selanjutnya berdasarkan dokumen risalah persidangan RUU ITE, pada saat pembahasan final RUU ITE tanggal 19 Maret 2008, Suparlan dari fraksi PDIP selaku Pimpinan Pansus RUU ITE menyebutkan bahwa telah dilakukan penyempurnaan RUU ITE yang diajukan oleh Pemerintah. Namun tidak dijelaskan terkait dengan posisi tindak pidana penghinaan di internet, hanya 224
Barda Nawawi Arief, 2006, op.cit. hlm 45
135
saja dalam dokumen tersebut dijelaskan perihal pemecahan Pasal 45 ayat 1 dipecah menjadi 2 (dua) ayat. Sehingga Pasal 45 memiliki 3 ayat. Ayat pertama terkait dengan setiap orang yang memenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1, 2, 3 atau 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak 1 milyar rupiah. Berdasarkan dokumen risalah persidangan yang ada, ada anggapan bahwa masuknya tindak pidana penghinaan dalam RUU ITE tanpa ada perdebatan, semua fraksi mensepakati keberadaan tindak pidana ini. Jika kita track kebelakang, misalnya dalam naskah Akademik RUU ITE, tidak satupun terdapat jenis tindak pidana penghinaan yang menjadi domain dari UU ITE, jikapun ingin dikaitkan, yang ada hanyalah hate sites. Hate Sites yaitu situs web yang dikelola oleh para ekstrimis, dipakai untuk mempromosikan isu kebencian rasial (SARA). Penerbitan nama dan alamat seseorang bisa saja disalahgunakan. Di Amerika, suatu situs anti aborsi berulang kali mendapat serangan dari kelompok yang mendukung kegiatan aborsi ini.225 Hate sites di dalam Naskah Akademik tersebutpun tidak dapat disebut sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik, karena hate sites lebih diartikan sebagai penyebaran informasi melalui situs/website dengan tujuan mempromosikan isu kebencian rasial (SARA). Lebih menarik adalah sanksi pidana yang dijatuhkan terkait dengan cybercrime, khususnya tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa atas tindak pidana penghinaan
225
Departemen Komunikasi dan Infromatika Rebuplik Indonesia, op.cit. hlm, 62
136
dikenakan sanksi pidana penjara 6 tahun dan atau denda sebanyak 1 Milyar Rupiah. Penetapan sanksi inipun tidak ada terdapat argumen rasionalitasnya, dari mana muncul angka 6 (enam) tahun maupun muncul denda 1 Milyar. Padahal sebagaimana pendapat Muladi dan Barda Nawawi dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal, menjadi penting untuk menentukan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.226 Penentuan sanksipun harus dilandasi oleh alasan-alasan yang dapat mendukung pilihan sanksi. Dalam naskah akademik RUU ITEpun tidak ditemukan alasan-alasan penjatuhan saksi. Dalam bagian XVIII. Tentang ketentuan pidana di Naskah Akademik hanya menjelaskan perbuatan pidana dan berapa sanksi yang dijatuhkan, sebagai contoh: Setiap orang menyebarkan infomasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian, penipuan, atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,-. (satu milyar rupiah).227 Tidak ada rasionalisasi kenapa penyebaran informasi yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian, penipuan atau tindak pidana kekerasan melalui komputer diganjar dengan pidana 3 (tiga) tahun dan denda Rp. 1 Milyar. Dalam proses legislasi, terutama terkait dengan kebijakan kriminalisasi, alasan pemilihan jenis, bentuk dan lamanya sanksi adalah kemutlakan, supaya masyarakat mengetahui alasan-alasan dibalik dipilihnya sanksi pidana tersebut.
226 227
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, op cit, hlm. 160. Departemen Komunikasi dan Infromatika Rebuplik Indonesia, op.cit. hlm, 51
137
Sigid Suseno, Dosen Fakultas Hukum UNPAD menjelaskan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan ketentuan yang mengatur contentrelated offences yaitu reformulasi tindak pidana yang terdapat dalam pasalpasal KUHP. Untuk tindak pidana penghinaan khusus untuk perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum dirubah menjadi mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang bermuatan konten yang dilarang.228 Apa yang dijelaskan oleh Sigid Suseno di atas, mempertegas bahwa sebenarnya tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidaklah berbeda dari apa yang sebenarnya diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Dalam kajian formulasi kebijakan, maka terkait keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur tindak pidana penghinaan merupakan kekeliruan, karena sejatinya ketentuan tersebut telah nyata dan tegas disebut dalam KUHP sebagai tindak pidana. Terkait dengan kriminalisasi penghinaan di internet, ada baiknya dilakukan perbandingan dengan BAB XII KUHP tentang penghinaan, hal ini menjadi penting untuk melihat bagaimana politik hukum pidana dalam UU ITE, untuk melihat apakah telah memenuhi prinsip-prinsip model law sebagaimana yang dijelaskan oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD)229 atau tidak.
228
Sigid Suseno, 2012, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Bandung, PT. Refika Aditama,
229
Teguh Prasetyo, 2013, op.cit., hlm. 40
hlm. 166
138
BAB XVI PENGHINAAN KUHP230 Pasal 310 ayat (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum Pasal 310 ayat (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum
Pasal 310 ayat (3) tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Pasal 311 Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, Pasal 315 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
SANKSI
Penjara 9 (sembilan) atau pidana denda paling banyak Rp. 4500,Penjara1 (satu) Tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 4500,-
UU ITE
SANKSI
Penjara 6 Pasal 27 ayat (3) Setiap Orang de- (enam) tahun ngan sengaja dan dan/atau tanpa hak mendis- denda Rp. 1 tribusikan dan/ Milyar atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Penjara 4 (empat) tahun
Pidana 4 (empat) bulan 2 (dua)
230
R. Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hooge Raad, Jakarta, PT. RajaGrafindo, hlm. 186-197
139
pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya Pasal 316 Jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah Pasal 317 Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang
minggu bulan atau denda paling banyak Rp. 4500,-
Pasal 318 Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana Pasal 319 Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316. Pasal 320 Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati
Penjara 4 (empat) tahun
Pidana pokok ditambah sepertiga
Penjara 4 (empat) Tahun
Penjara 4 (empat) bulan 2
140
melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis Pasal 321 Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina atau bagi orang ymg sudah mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu ditahui atau lehih diketahui oleh umum
(dua) minggu atau denda paling banyak Rp. 4500,Penjara 1 (satu) bulan 2 (dua) minggu atau denda paling banyak Rp. 4500,-
Tabel 6: Perbandingan sanksi tindak pidana penghinaan dalam KUHP dengan UU ITE
Dari tabel di atas, dapat kita lihat bahwa sebenarnya dalam KUHP sendiri, Penghinaan sudah dianggap sebagai perbuatan yang dikriminalisasi, dengan kata lain bahwa perbuatan tersebut meupakan perbuatan yang dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan korban. Dengan demikian sudah tidak perlu lagi dilakukan upaya mengkriminalisasian ulang atas perbuatan tersebut. Terkait dengan sanksi, KUHP mengklasifikasikan sanksi sesuai dengan tingkatan tindak pidana penghinaan yang dilakukan, misalnya penistaan lisan (Pasal 310 ayat (1)), dikenakan hukuman penjara maksimal 9 (sembilan) bulan atau denda Rp. 4500., sedangkan penistaan tertulis (Pasal 310 ayat (2)) dikenakan hukuman penjara maksimal 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda Rp. 4500. Dasar penjatuhannya sanksinya disesuaikan dengan tingkatan dari perbuatan yang larang. Berbeda dengan tindak pidana
141
penghinaan/pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, setiap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan penghinaan/pencemaran nama baik, diancam dengan penjara 6 (enam) tahun dan atau denda Rp. 1 Milyar. KUHP memberikan pemidanaan berdasarkan tingkatan dari kejahatan atas tindak pidana penghinaan, bahkan dalam beberapa kejahatan, pilihan pemidanaannya tidak komulatif, melainkan alternatif antara pidana penjara atau pidana denda. Berbeda dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, atas tindak pidana penghinaan, sanksi pidananya bersifat komulatif, antara penjara dan atau denda. KUHP menjelaskan siapa yang menjadi subjek/korban penghinaan, yaitu orang, berbeda dengan Pasal 27 ayat (3), tidak dijelaskan siapa yang menjadi subjek/korban dari penghinaan itu sendiri, apakah hanya orang saja atau dapat selain orang. Hal ini jelas dapat menimbulkan tafsir yang beragam. Selain itu KUHP juga memberikan alasan pembenar terkait dengan penghinaan, yaitu jika perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Selain itu, KUHP juga memberikan hak untuk membuktikan tuduhan/fitnah tersebut (Pasal 312 KUHP), serta hanya bisa dituntut jika ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan. Namun tidak demikian dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang tidak memberikan alasan pembenar, tidak memberikan hak untuk pembuktian, bahkan kategori deliknyapun adalah tindak pidana biasa yang bisa dilaporkan oleh siapapun.
142
D. Penggunaan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Untuk Menjerat Kebebasan Berekspresi Terkait penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini, penulis melakukan analisa terhadap beberapa putusan terpilih dan penting untuk melihat bagaimana pengadilan menerapakan pasal tersebut dalam kasus hukum, yaitu:
1.
Kasus Prita Mulya Sari (Perkara No. 1269/Pid.B/ 2009/PN.TNG) Prita dilaporkan ke Polisi oleh Rumah Sakit Omni Internasional atas tuduhan pencemaran nama baik melalui surat elektronik. Kasus ini bermula dari surat elektronik yang dibuat oleh Prita yang berisi pengalamannya saat dirawat di unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Email itu berisi keluhannya atas pelayanan yang diberikan oleh RS Omni Internasional dan juga dokter yang merawatnya yaitu dr. Hengky Gosal, SpPD, dan dr Grace Herza Yarlen Nela. Belakangan, ia kaget pada saat Hengky memberitahukan revisi hasil laboratorium tentang jumlah trombosit darahnya, yang awalnya 27.000 kini menjadi 181.000. Dokter juga menyatakan ia terkena virus udara. Lantaran tak puas dengan perawatan di rumah sakit itu, Prita memutuskan pindah rumah sakit. Dari sinilah kemudian muncul persoalan baru. Tatkala ia meminta catatan medis lengkap, termasuk semua hasil tes darahnya, pihak rumah sakit menyatakan tidak bisa mencetak data tersebut. Prita lantas menghadap Manajer Pelayanan RS Omni, Grace. Hasilnya sama saja.
143
Atas kekecewaan tersebut, pada 15 Agustus 2008, ia menulis surat elektronik ke sejumlah rekannya yang berjudul ”Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang”. Surat Prita ini sampai ke manajemen Omni Internasional. Omni mengambil langkah cepat dengan melaporkan Prita ke polisi. Dalam kasus Prita di atas, Penuntut Umum mendakwa Prita dengan Dakwaan kesatu Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008, atau dakwaan kedua Pasal 310 ayat (2) KUHP atau dakwaan ketiga Pasal 311 ayat (1) KUHP. Dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan Prita Mulyasari tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum dan membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan tersebut. Pertimbangan yang menarik dari Putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini adalah pengakuan adanya hak kritik dan demi kepentingan umum. Pertimbangan ini menegaskan bahwa keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari Ketentuan Bab XII tentang Penghinaan di KUHP. Adanya pertanyaan bahwa apa yang dilakukan terdakwa demi kepentingan umum, menegaskan peran Pasal 310 ayat (3) sebagai alasan pembenar yang juga berlaku bagi UU ITE, berikut pertimbangannya: “Bahwa dari uraian tentang unsur tersebut dalam poin 3, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa email Terdakwa sebagaimana telah diuraikan diatas tidak bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, karena kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik
144
terhadap orang sedang sakit yang mengharapkan sembuh dari penyakit”231 Selanjutnya pada pertimbangan dakwaan kedua, yaitu Pasal 310 ayat (2) KUHP, Majelis Hakim kembali mempertegas peran dari Pasal 310 ayat (3) KUHP, sebagai alasan pembenar. “Menimbang bahwa telah dipertimbangkan dalam pertimbangan unsur-unsur dakwaan Kesatu email Terdakwa dengan judul “Penipuan Omni Internasional Hospital alam Sutera Tangerang“ yang isinya antara lain “Saya informasikan juga dr. Hengky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk, tapi lebih hati-hati dengan pelayanan medis dokter ini dan tanggapan dr. Grace yang katanya penanggung jawab masalah compliant saya ini tidak profesional sama sekali dan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan custumer“ tidak bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, karena kalimat tersebut adalah kritik dan semi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang mengharapkan sembuh dari penyait ; Menimbang, bahwa karena email yang dikirimkan Terdakwa tersebut adalah demi kepentingan umum, maka menurut Pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut email Terdakwa dengan judul “Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang “ yang isinya antara lain “Saya informasikan juga dr. Hengky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk, tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis doket ini dan tanggapan dr. Grace yang katanya penangggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekalidan tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer “ tidak termasuk pengertian menista;”
Pertimbangan dari Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam perkara Prita menjelaskan bahwa terdapat ketidakjelasan rumusan
231
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1269/Pid.B/ 2009/PN.TNG
145
(unsur-unsur baik perbuatan, keadaan maupun akibat) dan ketidakketatan rumusan, sehingga menimbulkan tafsir-tafsir yang berbeda. Putusan
Pengadilan
Negeri
Tangerang
No.
1269/Pid.B/
2009/PN.TNG dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Kasasi No. 822K/Pid.Sus/2010. Mahkamah Agung perpendapat bahwa e-mail Terdakwa bukan merupakan kritik untuk kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan yang baik, tetapi email tersebut sudah over bodig sehingga mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Dengan pertanyaan sebaliknya dapat dipertanyakan masyarakat nama yang telah dirugikan oleh praktek dr. Hengky Gospal, Sp.PD.232 Mahkamah Agung pun menegaskan bahwa seharusnya terdakwa mebuat pengaduan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) bukan melalui e-mail, sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menyatakan Terdakwa terbukti melakukan perbuatan kesengajaan akan kemungkinan
terjadinya
akibat
yang
lain,
yang
tidak
menjadi
pertimbangannya sebelum ia melakukan perbuatan tersebut (dolus eventualis/opzetbij mogelijkheid bewustzejn), sehingga Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus
232
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 822K/Pid.Sus/2010. hlm. 53
146
dihukum dengan pidana penjara 6 (enam) bulan dan masa percobaan 1 (satu) tahun. Penjatuhan pidana terhadap Prita tidak bulat di Mahkamah Agung, Hakim Agung Dr. Salman Luthan memberikan pendapat yang berbeda. Beliau menyatakan: Untuk menilai suatu pernyataan mengandung unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik harus dilihat secara kontekstual dengan peristiwa yang melatarbelakanginya dan tujuan pernyataan itu dibuat, bukan semata-mata dari isi penyataan yang dibuat. Pernyataan Terdakwa di dalam emailnya yang dikirim kepada beberapa orang mengenai pelayanan RS. Omni Internasional dan pelayanan dr. Hengky Gosal Sp.PD serta dr. Grace Hilza Yarlen Nela yang merugikan kepentingan Terdakwa, secara kontekstual tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik, melainkan kritik Terdakwa terhadap pelayanan RS. Omni Internasional dan pelayanan dr. Hengky Gosal Sp.PD serta dr. Grace Hilza Yarlen Nela.233 Pendapat Hakim Agung Salman Luthan di atas, kembali memperkuat hak untuk memberikan kritik terhadap pelayanan. Putusan Mahkamah Agung No. 822K/Pid.Sus/2010 sejatinya juga memperlihatkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari ketentuan yang ada dalam Bab XII KUHP. Yang menjadi pembeda sebenarnya hanyalah media yang digunakan, yaitu e-mail. Putusan ini setidaknya mengisyaratkan ketentuan Pasal 310 atau 311 KUHP tetap saja bisa menjangkau persoalan di dunia maya. Hal ini terbukti dengan dikabulkannya permohonan PK yang diajukan oleh Prita ke Mahkamah Agung. Majelis hakim PK Mahkamah Agung, memandang apa yang
233
Ibid. hlm. 54
147
dilakukan Prita bukanlah pelanggaran atas UU ITE dan KUHP, melainkan kebebasan berpendapat. Dalam kasus penghinaan melalui sarana situs, Pengadilan Negeri Tangerang menekankan sumber dari rumusan rumusan adalah pada Bab XVI II KUHP yang bersumber pada pencemaran (Pasal 310 KUHP). Dimana alasan peniadaan sifat melawah hukum perbuatan (pasal 310 ayat 3 KUHP) apabila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri dan dua keadaan inilah yang menyebabkan sipembuat berhak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan.234 “Menimbang, bahwa rumusan tindak pidana Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektrono, No.11 Tahun 2008 (UU ITE) mencantumkan unsur tanpa hak yang ditujukan agar orang yang berhak melakukan perbuatan mendistribusi, mentransmisikan, membuat dapat diakses invormasi elektronik tidak boleh dipidana; Menimbang, bahwa UU ITE tidak memberikan keterangan atau penjelasan mengenai dalam hal mana atau dengan syarat apa, orang yang mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang isinya bersifat menghina tersebut berhak melakukan, sehingga harus dicari dari sumber hukum penghinaan dalam Bab XVI buku II KUHP yang bersumber pada pencemaran (Pasal 310 KUHP), karena setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang;235
Meski pada umumnya Pengadilan merujuk pada alasan pembenar yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP, akan tetapi prakteknya Pengadilan juga mengakui alasan-alasan lainnya seperti kebenaran 234 235
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1269/Pid.B/ 2009/PN.TNG ibid
148
pernyataan dan pernyataan yang disebabkan oleh emosi karena suatu keadaan, serta pernyataan tersebut dalam rangka menjalankan perintah undang-undang, dimana alasan-alasan inilah yang menyebabkan terdakwa tidak dipidana.236
2.
Kasus
Fajrika
Mirza,
S.H
(Perkara
No.
1882/Pid.B/2012/
PN.Jkt.Sel) Fajriska Mirza, disebut sebagai pemilik akun twitter @fajriska yang berkicau tentang dugaan suap Jamwas Marwan Effendi. @fajriska menuding Marwan yang kala itu menjabat asisten pidana khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi DKI yang telah menggelapkan uang barang bukti kasus korupsi Bank BRI pada 2003 silam senilai Rp 500 miliar. Dalam laman twitter itu disebutkan bahwa terdapat dua oknum jaksa yang terlibat kasus BRI, yakni Jaksa Agung Muda, dan mantan Kajati Jawa Tengah. Kasus pembobolan BRI senilai Rp 180 miliar yang dilakukan oleh Richard Latif pada 2004 silam itu justru dilepas oleh oknum Jaksa Penyidik yang saat ini sudah menjabat posisi Jaksa Agung Muda (JAM). JAM yang disebut-sebut berinisial ME ini kemudian menyita uang tunai senilai lebih dari Rp 500 miliar yang selanjutnya disedot semua rekening-rekening tersangka yang di luar dari aliran dana pembobolan. Semua uang tersebut ditampung, di rekening yang dibuka
236
Anggara, dkk, 2016, Menimbang Ulang Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Jakarta, ICJR, hlm.
35
149
oleh ME sebagai penampungan di BRI atas nama Aspidsus Kejati DKI dengan total Rp560 miliar. Marwan Efendi yang merasa dirugikan menduga kuat pemilik akun @fajriska merupakan Fajriska. Bahkan Marwan yakin Fajriska adalah pemilik akun yang sama dengan nama @TrioMacan2000. Fajriska dalam sebuah kesempatan membantah sebagai pemilik akun dalam twitter @fajriska atau @Triomacan2000. Atas perbuatan tersebut, Fajriska Mirza didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan komulatif subsidaritas. Dakwaan kesatu primer Pasal 27 atay (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE, Subsidair Pasal 317 ayat (1) KUHP, Lebih Subsidair Pasal 311 ayat (1) KUHP atau Lebih lebih subsidair Pasal 310 aray (2) KUHP dan Dakwaan kedua Primer Pasal 263 ayat (1) KUHP atau Subsidair Pasal 263 ayat (2) KUHP. Dalam pertimbangannya terkait unsur “dengan sengaja dan tanpa hak mendistibusikan, dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”, Majelis Hakim
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
dalam
Putusan
No.1832/Pid.B/2012/PN.Jkt.Sel menyebutkan bahwa unsur ini harus didukung oleh kesengajaan (opzet) dari sipelaku, yaitu suatu kesengajaan melakukan perbuatan yang berakibat menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Dari fakta persidangan terungkap bahwa Saksi Marwan Effendy melaporkan terdakwa telah melakukan pencemaran nama baik yang
150
bersangkutan yang dilakukan dengan menilis di Twitter sekitar tanggal 6 Juni 2012 dan 7 Juni 2012 melalui akun twitter @fajriska yang telah menyebarkan berita yang isinya sama dengan isi surat Terdakwa kepada Jaksa Agung Republik Indonesia dan Rektorat Universitas Trisakti yang sebelumnya dikirim oleh Terdakwa. Dimana isinya memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran mana baik Marwan Effendy. Isi twitter dari
akun
@fajriska
tersebut
kemudian
di
retwitt
oleh
akun
@triomacan2000 dan kemudian dapat diakses dan dibaca oleh siapapun. Marwan Effendy yakin pemilik akun @fajriska adalah Fajriska Mirza dari kesamaan nama serta isi dari twiiter tersebut sama dengan suarat yang dikirimkan ke kejaksaan agung. Namun berdasarkan faktafakta persidangan, baik berdasarkan keterangan saksi maupun keterangan ahli tidak satupun yang mengetahui bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa. Dalam pertimbangannya Majelis menyatakan: Bahwa menenurut majelis hakim nama pada suatu akun twitter bisa saja dibuat oleh orang lain dengan membuat nama orang tertentu maka dalam hal ini majelis sependapat dengan tim Penasihat Hukum Terdakwa dalam Pledoinya yang menyatakan bahwa tidak terbukti akun twitter @fajriska adalah milik terdakwa sehingga tidak terbukti pula bahwa terdakwa telah sengaja dan tanpa hak mendistirbusikan dan atau mentransmisikan dan atau dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik.237
237
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1832/Pid.B/2012/PN.Jak.Sel.
hlm. 141
151
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, tidak terbukti bahwa akun twitter @fajriska adalah milik Terdakwa, sehingga unsur kedua tidak terbukti. Fajriska Mirza menurut hakim terbukti melakukan tindak pidana sebagai mana dakwaan kesatu Subsider yaitu melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP dan dipidana penjara 7 (tujuh) bulan. Dari kasus Fajriska Mirza, Majelis Hakim ingin menegaskan perihal kepemilikan seseorang terhadap akun media sosial. Proses validasi dengan mencocokkan seluruh keterangan saksi dengan kebenaran kepemilikan seseorang terhadap satu akun. Namun hakim tidak melihat pada ketentuan lain yang terdapat dalam UU ITE, yaitu ketentuan Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa “suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan” Proses pembuktian dari kasus Fajriska Mirza ini sebenarnya juga tidak berbeda dengan ketentuan Pasal 310 atau 311 KUHP, dalam hal pembuktian setiap orang, apakah benar Terdakwa yang dihadirkan dipersidangan adalah orang yang sama dengan pemilik akun @fajrizka.
3.
Kasus Ende Mulyana Aliyudin (Perkara No. 16/Pid.B/2014/ PN.PWK) Ende Mulyana Aliyudin pemilik akun facebook N’Doen Poenya dinnie bergabung dengan 3 (tiga) grup di facobook yaitu 1.) Tentang
152
Pilkada Purwakarta, 2). ABUD (Asal Bukan Dedi), dan 3). TPP (Tentang Pilbup Purwakarta). Di dinding akun facebook N’Doen Poenya dinnie terdakwa membuat tulisan yang berisi makian dan penghinaan kepada Bupati yang pada pokoknya menyebutkan Bupati Purwakarta bodoh dan tidak punya otak serta tidak bersekolah, tidak punya harga diri, tidak memiliki etika, dan tidak memiliki rasa malu, dengan kata-kata: “dasar BUPATI teu Gableg polo,,,,,,dasar kurang ngadahar bangku sakola,,,,,,ngayakeun acara GEMPUNGAN dimunjul waktu malem MINGGU kamari meni hareupeun bengeut pisan jiga nu NANGTANG mending mun GABLEG kawani Bari MANTOG ge KABUR sieun,,,,,,meni HAREUPEUN rumah pa DUDUNG teu GABLEG HARGA DIRI,,,,,, teu GABLEG ETIKA,,,,,, teu GABLEG KAERA,,,,,, jiga PURWAKARTA teh nu gablegna si ANJING nu diiket,,,,,, tapi syukur pas acara GEMPUNGAN di GUYUR HUJAN,,,,,, LEBOK tah KUSIA ANJING,,,,,,yen eta jadi bukti ALLAH teu NGARIDHOAN sia JADI BUPATI deui DEDI KOPLOK alhamdulillah saenggeus pamujaan/ pamusryikanna nana DIKIIHAN ku AING si dedi gering teu eureun2 malahan kasurupan di Pemda,,,,,, tah eta bukti bahwa si dedi muja,,,,,, can keneh cukup BUKTI ka masyarakat sok Tingali Di imah si DEDI MURTADI anu disawah KULON aya patung MONYET BODAS,,,,,, eta pamusyrikan si dedi,,,,,, mun di Gedung kembar aya poto anu jadi GURU si DEDI ngarana si OLOT,,,,,, jeung aya DUPA nu teu meunang pareum,,,,,, mun di PEMDA sok aya tempat paranti nyeungeut menyan,,,,,,jeung BAU KEMBANG MALATI tah eta pamusyikan2 si dedi,,,,,, nu paling BAHAYA aya di TAJUR PASANGGRAHAN BOJONG,,,,,, atawa teangan nu ngarana si ASEP KUCIR nu padumukanna di babakan WANAYASA,,,,,, manehna nu ngalkonan jeung nu ngajeujeuhkeun si DEDI MUJA,,,,,,”238 (“Dasar Bupati tidak punya otak, kurang mengenyam pendidikan, mengadakan kegiatan gempungan di daerah munjul tepat dihadapan saya seperti yang menantang, iya kalau berani sambil 238
Lihat putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Perkara No. 16/Pid.B/2014/PN.PWK.
hlm. 58
153
lari kabur ketakutan, acara tersebut dilakukan di depan rumah pak Dudung tidak punya harga diri, tidak punya etika, tidak punya rasa malu, seperti orang yang benar itu si anjing yang diikat. Tapi syukur pas acara gempungan diguyur hujan, makan sama kamu anjing, itu bukti jika Allah tidak meridhoi kamu jadi Bupati lagi Dedi Koplok, Alhamdulilah sesudah barang pemujaannya/pemusrikannya saya kencingi si Dedi sakit tidak berhenti-berhenti malah kesurupan di pemda, itu bukti kalau si Dedi muja, belum juga cukup bukti kemasyarakat coba lihat rumah si Dedi Murtadi yang di sawah kulon ada patung monyet putih itu pemusrikan si dedi, kalau di gedung kembar ada foto yang jadi guru si dedi namanya abah Olot, sama ada dupa yang tidak boleh mati, kalau di pemda suka ada tempat untuk membakar menyan, sama bau kembang melati, ya itu kemusrikan-kemusrikan si dedi, yang paling bahaya ada di tajur pasanggrahan bojong, atau cari yang namanya Asep Kucir di wanayasa, dia yang membuat dan antar Dedi memuja”) Atas status tersebut, Dedi Mulyadi selaku Bupati melapor ke Polda Jabar, saksi merasa terhina dan memiliki resiko yang sangat luas bagi masyarakat serta perolehan suara saksi karena pada saat itu
menjelang
pilkada. Penuntut Umum mendakwa Ende Mulyana Aliyudin dengan dakwaan alternatif, kesatu Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008, atau kedua Pasal 310 ayat (2) KUHP. Dalam
pertimbangannya
mengenai
unsur
“mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik”, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta menjelaskan berdasarkan pengertian yang terdapat dalam KBBI. Mendistribusikan dimaknai dengan menyalurkan atau menyebarkan dalam hal ini adalah perbuatan menyebarkan secara luas
154
informasi dan/atau dokumen elektronik melalui media elektronik misalnya melalui web atau mailing list. Menurut majelis hakim, bahwa dari fakta persidangan terdakwa telah menulis di website media jejaring sosial facebook yang termasuk sebgaia website yang bersifat umum dan dapat dilihat oleh orang umum yang telah menjadi anggotanya dimana sesuai dengan fakta ada lebih dari 1000 orang yang menjadi anggota Grup yang dapat membaca status yang dibuat oleh terdakwa.239 Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa secara tidak langsung Majelis Hakim menjelaskan bahwa grup facebook merupakan wilayah umum yang dapat dilihat, hal ini menegaskan sebenarnya ketentuan Pasal 310 ayat (2) bisa digunakan dalam perkara ini. Terkait pembuktian unsur “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” Majelis Hakim mengarahkan pembuktian muatan penghinaan kepada “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal” sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dalam pertimbangannya disebutkan: “Menimbang, bahwa sesuai fakta tulisan-tulisan terdakwa tersebut dipersidangan tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan sesuai pertimbangan dalam unsur ke-2 merupakan kata-kata dalam bahasa sunda yang kasar merupakan kata-kata yang menghina dan mencemarkan nama baik orang lain yaitu saksi Dedi Mulyadi serta membuat isu pertanyaan PKI adalah mencemarkan nama baik dari saksi Dedi Mulyadi”240 239 240
ibid. hlm. 68 ibid. hlm. 70
155
Menurut majelis hakim, Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan dipidana dengan pidana penjara 4 (empat) bulan. Dari pertimbangan majelis hakim dalam perkara Ende Mulyana di atas, terlihat sebenarnya ketentuan dalam Bab XII KUHP tetap bisa digunakan, karena pembuktian unsurpun majelis hakim merujuk kepada ketentuan yang ada dalam Pasal 310 KUHP. Hal ini semakin menegaskan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) ITE bukanlah sebagai perbuatan baru yang dikriminalisasi, melainkan perbuatan yang telah di atur dalam KUHP.
4.
Kasus M. Arsyad (Perkara No. 390/Pid.B/2014/PN.MKS) Muhammad Arsyad dilaporkan ke kepolisian akibat menulis status di BBM miliknya; “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”, Arsyad dilaporkan ke Polisi oleh Abdul Wahab, anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar, yang kabarnya memiliki hubungan kedekatan dengan Nurdin Halid. Penuntut Umum mendakwa Arsyad dengan dakwaan alternatif, yaitu pertama Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE, atau kedua Pasal 310 ayat (1) KUHP atau ketiga Pasal 315 KUHP. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makasar menjelaskan bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak tidak terbukti. Hal ini didasarkan kepada ketidak mampuan Penuntut umum
156
dalam membuktikan kepemilikan terhadap BBM dengan PIN 215A000AA yang terdapat kata-kata “No Fear Ancaman Koruptor Nurdin Halid” serta “No Fear Ancaman Koruptor Nurdin Halid!!! Jangan Pilih Adik Koruptor”. Dalam membuktikan status BBM yang harus dibuktikan adalah memastikan bahwa pemilik dari akun BBM dengan Pin yang dituduhkan adalah Terdakwa, jika ini tidak mampu dibuktikan, maka tidak kepada terdakwa tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Atas ketidak mampuan penuntut umum membuktikan kepemilikan dari BBM tersebut, maka unsur dengan sengaja dan tanpa hak tidak terpenuhi.241
5.
Kasus Ervani Emy H. (Perkara No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL) Ervani Emy handayani seorang ibu rumah tangga warga Gedongan, Bangunjiwo, Bantul, DI Yogyakarta terjerat UU ITE. Kasus ini berawal saat Alfa Janto, suami Ervani yang bekerja di Joely Jogja Jewellery, akan dipindahtugaskan ke Cirebon. Karena merasa tak ada perjanjian dalam kontrak kerja, Alfa Janto keberatan dengan keputusan manajemen. Penolakan
itu
kemudian
berujung
pemecatan.
Merasa
suaminya
diperlakukan tidak adil, Ervani mengeluh di Facebook 13 Maret 2014. Dalam statusnya, Ervani menyebut nama salah satu karyawati yang dianggap berperan dalam proses pemecatan suaminya. Ervani menulis dalam group Facebook karyawan Jolie Jogja Jewelley yang isinya, "Pak Har baik, yang gak baik itu yang namanya Ayas dan SPV lainnya. Kami
241
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Makassar No. 390/Pid.B/2014/PN.Mks. hlm. 29
157
rasa dia gak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewelley. Banyak yang lebay dan masih seperti anak kecil." Atas curhatan di facebook tersebut Ervani didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu pertama Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008, atau kedua Pasal 310 ayat (1) KUHP, atau ketiga Pasal 311 ayat (1) KUHP. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menjelaskan bahwa Terdakwa menulis status facebook sebagaimana dakwaan Penutut Umum secara spontan setelah mendengar perbincangan suami terdakwa dengan rekan-rekannya pada tanggal 30 Mei 2014, di rumah terdakwa setelah suami dan rekan-rekannya menghadiri pertemuan di Disnaker. Tidak ada niat dari Terdakwa menulis status tersebut hanya memahami itu sebagai kritik saja, setelah mengetahui ada yang tersinggung kemudian Terdakwa langsung meminta maaf di kolom komentar pada status tersebut setelah pemeriksaaan pertama di kepolisian.242 Terdakwa telah mengupayakan untuk bertemu meminta maaf dengan saksi Diah Sarastuty alias Ayas di Toko Jolie dan Toko Adele kerena tidak menyangka status itu menyinggung saksi Diah Sarastuty, tetapi tidak pernah ditanggapi permintaan maaf tersebut. Ahli yang diperiksa di persidangan pun menjelaskan status Terdakwa di facebook sebagai keluh kesah berbau kritik tidak ada penyataan yang mengarah kepada pencemaran meskipun dalam statusnya
242
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Bantul No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL. hlm. 54
158
Ervani menyebutkan nama seseroang itu sebagai kritik biasa, kata lebay adalah kosakata baru yang diartikan sebagai sesuatu yang berlebihan yang konotasinya bisa juga berarti kritik lunak, dan tidak melanggar etika.243 Majelis Hakim menyebutkan bahwa perbuatan Terdakwa membuat postingan bukan bernuatan penghinaan, pencemaran nama baik ataupun fitnah. “Menimbang berdasarkan uraian pertimbangan tersebut Majelis berpendapat perbuatan terdakwa termasuk kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheid-bewustzijn) yaitu terdakwa memposting status facebook dengan maksud menuangkan keluh kesahnya dan kritiknya kemudian akan menyinggung orang lain dan ternyata status tersebut telah menyinggung saksi Diah Sarastuty alias Ayas namun Majelis berpendapat perbautan terdakwa memposting status di facebook bukan bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik ataupun fitnah.”244 Sama dengan kasus Prita, dalam kasus Ervani hakim juga memberikan pertimbangan terkait dengan hak curhat, sebagai bentuk kritik yang tidak dapat dikategotikan sebagai bentuk penghinaan.
6.
Kasus Risman Taha (Perkara No. 199/Pid.B/2013/PN.GTLO) Risman Taha, Anggota DPRD Kota Gorontalo memperoleh resume hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam kerangka pemeriksaan laporan keuangan pemerintah kota gorontalo tahun anggaran 2010 Nomor: 06 b/LHP-LK/XIX.GOR/I/2011, tanggal 18 Juni 2011, yang didalam LHP tersebut tertulis “ditemukan penyimpangan penggunaan dana DPDF dan PPD, DPIPD dan DPPIP senilai Rp.
243 244
ibid. hlm. 56 ibid. hlm. 59
159
9.604.776.073,00, sebulan kemudian, Risman Taha menuliskan kalimat tersebut didalam status Facebook miliknya yaitu @rpk (Risman Pemberantas Korupsi) dengan kalimat “ di kota Gorontalo telah terjadi penyimpangan dana DPID sebesar Rp. 9.604.776.073 Tahun Anggaran 2010,,, sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, bagi teman2 yg punya jaringan ke KPK tolong hubungi sy di nomr
081340097354, sy siap
menjadi pelapor…” Atas perbuatan tersebut, Terdakwa di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaa Subsidaritas, yaitu dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008, atau dakwaan kedua Pasal 207 KUHPidana. Melalui Putusan No. 199/Pid.B/2013/PN.Gtlo Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo menyatakan perbuatan terdakwa tidak terbukti sebagai tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum. Majelis hakim memberikan pertimbangan bahwa apa yang diposting di akun facebook milik Terdakwa bersumber dari laporan hasil Pemeriksaan BPK. Majelis hakim juga menjelaskan bahwa tindak pidana pencemaran atau penghinaan harus jelas dan kongkret subjek hukum yang menjadi korban dan tidak bisa digeneralisir secara umum, sehingga apa yang dibuat oleh Terdakwa tidak bisa dikategorikan penghinaan. “Menimbang, bahwa dalam delik pencemaran atau penghinaan harus jelas dan kongkret subyek hukum yang menjadi korban dan tidak bisa digeneralisir secara umum. selanjutnya setelah Majelis Hakim mencermati kata-kata yang di-Upload terdakwa tersebut, yaitu “dikota Gorontalo telah terjadi penyimpangan dana DPID sebesar RP 9.604.776.073 Tahun Anggaran 2010”, Majelis Hakim
160
berpendapat bahwa kata-kata tersebut sama sekali tidak menujukkan adanya subyek hukum yang dituju dengan jelas atau konkret, kata-kata “di kota Gorontalo” tidaklah serta merta menunjukkan Pemerintah Kota yang saat itu dipimpin oleh Walikota Adhan Dambea, melainkan bermakna majemuk, yaitu dapat bermakna siapa saja yang ada di kota Gorontalo, baik perorangan maupun organisasi”245 Majelis Hakim Pengadilan Gorontalo-pun memberikan catatan terkait dengan tindak pidana pencemaran nama baik di internet, yaitu:246 1. Tindak pidana itu bersifat amat subyektif. Artinya, penilaian terhadap pencemaran nama baik amat bergantung pada orang atau pihak yang diserang nama baiknya. Karena itu, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan. 2. Pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran. Artinya, substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku. 3. Orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat persoalan ketidakjelasan subjek hukum yang menjadi korban dalam tindak pidana penghinaan UU ITE, sehingga majelis hakim merujuk pada tindak
245 246
Lihat putusan Pengadilan Negeri Gorontalo No. 199/Pid.B/2013/PN.Gtlo. hlm. 67 Ibid, hlm. 68
161
pidana Penghinaan dalam KUHP dengan memberikan catatan bahwa korban penghinaan haruslah jelas dan konkret. Dalam pembuktian unsurpun terlihat bahwa majelis hakim menggunakan interpretasi tindak pidana penghinaan KUHP. Dari beberapa kasus tersebut di atas, setidaknya dapat dilihat beberapa persoalan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang semakin memperkuat bahwa keberadaan Pasal ini sebagai “Pasal karet” yang dapat ditarik sesuai dengan kepentingan, yaitu: 1. Lemahnya niat atau unsur sengaja dalam rumusan Dalam kaitan dengan pasal 310 KUHPidana, maka dalam pasalpasal tentang pencemaran/penistaan (penghinaan) atau “smaad”, seperti halnya Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHPidana, terdapat kata-kata sebagai unsur tindak pidana, yaitu “dengan sengaja” di muka kata-kata “menyerang
kehormatan
atau
nama
baik
seseorang. Walaupun pelaku pencemaran nama baik memberikan alasan pembelaan bahwa Pelaku tidak mempunyai “maksud” (niat) atau tidak terbukti secara “sengaja” untuk melakukan penghinaan, yang seakan akan untuk menghindari adanya “opzet” (sengaja) sebagai salah satu unsur dari pasal 310 KUHPidana. 2. Tidak jelas bestanddeel delict dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE Beberapa elemen penting lainnya dalam mengartikan pasal ini justru tidak dijelaskan dalam UU ITE yakni pengertian “mendistribusikan”,
pengertian
”mentranmisikan”
dan
juga
162
pengertian “membuat dapat diaksesnya” juga tidak dijelaskan dalam UU ini. 3. Unsur penghinaan dan pencemaran nama baik kabur Tidak ada kejelasan Muatan penghinaan atau pencemaran nama baik maka untuk menghindari subyektifitas maka akhirnya frase itu kemudian mau tidak mau harus menginduk atau merujuk ke norma awal dari pasal pidana yang terkait yakni yang diatur dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan pasal 315 KUHP, yang kerap di sebut sebagai “genus crime” pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Jadi apa yang pengertian dasarnya penghinaan dan pencemaran nama baik haruslah di uji dengan pengertian yang sama dengan 310 ayat (2) dan 311, mencakup pula ketentuanketentuan khusus pasal tersebut seperti: unsur kejahatannya, alasan pembenarnya,
maupun
doktrin
doktrin
umum
dalam
penggunaannya. 4. Ketidakjelasan siapa yang menjadi sasaran pengaturan247 Norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memperlihatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi sasaran pengaturan, apakah mereka yang membuat dapat diaksesnya informasi ataukan mereka yang membuat muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (dader)
247
Pendapat Ahli Soetandiyo Wignjosoebroto, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009
163
Sebagai perbandingan, berikut penulis masukkan 2 (dua) putusan Pengadilan yang memutus perkara penyebaran informasi elektronik menggunakan Short Message Service (SMS), paska lahirnya UU ITE dan Putusan Mahkamah Konstitusi. 1) Kasus Lelly Burhanudin (Perkara No. 40/Pid.B/2012/PN.SRG) Terdakwa meminjam uang kepada Anggri Syariati sebanyak Rp. 11 Juta, setelah diangsur, sisa hutang terdakwa tinggal Rp. 3 Juta. Kemudian Terdakwa menjual Laptop Terdakwa kepada Kakak Korban. Keesokan harinya, Korban mengirimkan sms kepada Terdakwa yang isinya “Goblok, tahu bayar kah tidak katanya keluarga terhormat keluarga terhormat tai”. Kemudian Terdakwa Lelly Burhanuddin membalas sms korban yang berisikan kata-kata penghinaan yang antara lain berbunyi pertama: “kau itu lonte cuki gratisnya SMU 3, tukang korupsi, beli laki-laki jawa karena sudah tidak laku sama orang bugis, anak mati karena mulut lancangmu makan uang haram”, kedua: “Anakmu besok tunggu ko itu, ko berkunjung ke anakmu itu biar kamu dua baku polo di kuburan, bilang bapak bangsatmu sekalian dengan dia punya”, ketiga: “kalau begitu ko memang lonte karena kan ko bilang jual diri atas bawahlah, ko itu cocok jadi germo saya curiga ni dulu disekolah itu germonya SMU 3 toh, puki su babusa dapat cuki gratis kasian dah ko itu, uang 1,5 jt bikin ko stress”, keempat: “colo dulu baru dapat 1,5 jt bapakmu juga itu
164
germokan waktu itu dia bilang mau tawarkan diteman-temannya kenapa bukan ko saja yang ditawarkan kan ko masih hot”, kelima: “kalau Saya tadi ko bilang tidak laku makanya ko saja yang bapakmu bawah baku cuki sama teman-temannya supaya dapat uang biar tidak stress” dan pesan sms tersebut dikirimkan lebih dari satu. Atas perbuatan Terdakwa, Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan subsidaritas, yaitu Dakwaan Primair Pasal 311 ayat (1), dakwaan Subsidaritas Pasal 310 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim yang menyidangkan perkara aquo menyatakan terdakwa terbukti melakukan pidana “menfitnah” sebagaimana dakwaan primair. Dalam
pertimbangannya,
Majelis
Hakim
menjelaskan
pengertian ”menghina” yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang di serang itu biasanya merasa malu dan kehormatan yang di serang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “Nama Baik”. SMS yang dikirimkan oleh Terdakwa, tidak saja telah menginggung perasaan Korban tetapi juga orang tua dan suami korban. Dengan demikian, maka unsut kejahatan menista atau menista dengan tulisan telah terpenuhi. “Menimbang, bahwa selain itu juga Terdakwa mengirimkan sms kepada orang tua Angri Syariati, SH yang kalimatnya sebagai berikut “bapakmu itu germo kenapa bukan kau saja yang dijual ke teman-temannya,“ jadi bukan Angri Syariati, SH saja yang merasa tidak enak dan malu tetapi juga Bapak Angri Syariati,SH, selain itu sms tersebut suami Angri
165
Syariati, SH juga mengetahuinya dan keluarga suami juga mengetahuinya”248 2) Kasus Syamsuddin (Perkara No. 53/Pid.B/2012/PN.RGT.TLK) Syamsuddin
adalah
guru
SMA
Negeri
Pangean.
Ia
mengirimkan tulisan melalui Short Message Service (SMS) kepada Ketua PGRI Provinsi Riau, Prof. Dr. Isjoni Ishaq. Adapun isi dari sms itu adalah, ”Ass.Pak, saya Syamsuddin,Guru SMA Pangean yang peduli nasib guru di Kuansing yang sekarang lagi di obokobok oleh rezim setan sukarmis pak.” SMS tersebut oleh Prof. Dr. Isjoni Ishaq. Phd diteruskan ke Asmar Rasyid (sekretaris PGRI Kab.Kuansing), selanjunya, Asmar Rasyid mengirimkan SMS tersebut kepada H. Sukarmis Bupati Kuantan Singgingi Atas dasar SMS tersebut, H. Sukarmis merasa terhina dan nama baiknya tercemarkan hingga melapor ke Kepolisian dan oleh Penuntut umum, perbuatan Terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidaritas, yaitu dakwaan Primair Pasal 311 ayat (1) KUHP, dan Subsider Pasal 310 ayat (2) KUHP. Majelis hakim yang menyidangkan perkara aquo menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memfitnah. Dalam pertimbangannya, Majelis hakim menyebutkan bahwa SMS yang dikirim oleh Terdakwa telah menyebar kemana-mana, yaitu ke Prof. Dr. Isjoni Ishaq, Asmar Rasyid, H. Sukarmis, Nedi Yasman dan Zulwasman, sehingga unsur 248
Lihat putusan Pengadilan Negeri Sorong No. 40Pid.B/2012/PN.Srg. hlm. 16
166
maksudnya terang supaya diketahui oleh umum terpenuhi. Selanjutnya, Kata “Sukamis” dalam SMS tersebut jelas merujuk kepada orang yang bernama Sukarmis, yaitu Bupati Kuantan Singgingi, dan tuduhan melalui SMS tersebut tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya oleh Terdakwa, sehingga dengan demikian Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP. Dari 2 (dua) kasus tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa tulisan melalui Short Message Service (SMS) ternyata masih mampu dijangkau oleh ketentuan Pasal-Pasal penghinaan dalam KUHP. Padahal, SMS merupakan bagian dari informasi elektronik sebagaimana yang diatur Pasal 1 angka 1 UU ITE, yaitu satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Namun ketika Penuntut Umum tidak menggunakan Pasal 27 ayat (3) sebagai salah satu Pasal yang di dakwakan, unsur-unsur tersebut ternyata tetap dapat terbukti menurut majelis hakim.
167
E. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Uji Materil Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Penulisan sub bab ini bukan bermaksud untuk mengkritisi Hakim Mahkamah Konstitusi yang telah menolak permohonan uji materil Pasal 27 ayat (3) UU ITE, melainkan hanya untuk menganalisis dan mengetahui bagaimana alasan/pertimbangan dari Hakim Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE, setidaknya tercatat ada 2 (dua) kali permohonan uji materil,249 yaitu pada tahun 2008 dan pada tahun 2009. Tahun 2008 Uji materil diajukan oleh Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang dengan registrasi Perkara No. 50/PUU-VI/2008. Alasan Pemohon adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,250 Pasal 28E UUD 1945,251 Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,252 dan Pasal 28F UUD 1945.253 Tahun 2009 Uji materil diajukan oleh Edy Cahyo, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia(PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Lembaga 249
Penelusuran Uji materil Pasal 27 ayat (3) di www.mahkamahkonstitusi.go.id/ Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ". 251 Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya". 252 Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". 253 Pasal 28F UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". 250
168
Bantuan Hukum (LBH) Pers, dengan registrasi perkara No. 2/PUU-VII/2009. Alasan permohonan adalah Bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 1 ayat (2)254, Pasal 1 ayat (3),255 Pasal 27 ayat (1),256 Pasal 28,257 Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2),258 Pasal 28D ayat (1),259 Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3),260 Pasal 28F,261 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.262 Atas uji materil tesebut Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. 255 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 256 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 257 Pasal 28 UUD 1945 menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dannsebagainya ditetapkan dengan undangundang”. 258 Pasal 28C UUD 1945 ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. 259 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 260 Pasal 28E UUD 1945 Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya”,dan Ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. 261 Pasal 28F UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. 262 Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. 254
169
konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip- prinsip negara hukum.263 Pada Perkara No. 50/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya terkait dengan penafsiran norma yang Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak bisa dilepaskan dari norma hukum sebagaimana dimuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.264 Pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas mensyarat bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan ketentuan pemberlakuan secara khusus yang norma dasarnya (genus delict) berasal dari Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Mahkamah Konstitusipun menegaskan bahwa unsur di muka umum dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP kurang memadai untuk dapat menjerat perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di Internet. “Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a 263 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009 264 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, hlm. 92
170
quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum;”265
Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi juga memberikan penjelasan terkait dengan perbedaan ancaman antara KUHP dengan UU ITE yang lebih berat, dengan alasan komunikasi dan aktivitas melalui internet memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata. Dampak negatif yang ditimbukan sangat ekstrim dan masif. Sehingga wajar sanksi pidananya lebih berat. Perbedaan ancaman pidana antara KUHP dengan UU ITE adalah wajar karena distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif. Bahwa pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh negara tidak dalam rangka mengurangi hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, melainkan untuk memberikan jaminan kepada orang lain untuk menikmati kebebasan dirinya dari ancaman serangan terhadap kehormatan dirinya, keluarganya, serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang dapat menyebabkan dirinya tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta.266
Pertimbangan yang lebih menarik menurut penulis adalah Mahkamah Konstitusi menegaskan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum baru, melainkan hanya mempertegas norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru dengan adanya unsur tambahan khusus yaitu perkembangan di bidang elektronik. Pertimbangan ini menegaskan bahwa keberlakuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat 265 266
Ibid., hlm. 104 Ibid. hlm. 106
171
dipidahkan dari norma pokoknya yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan di atas juga sama dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi pada Putusan No. 2/PUU-VII/2009. Namun penulis mencatat bahwa terdapat beberapa persoalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut: 1. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan, karena Pasal tersebut hanya menegaskan norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP, tanpa memberikan penjelasan teoritis. Dalam persoalan ini, menurut penulis, jika Pasal 27 ayat (3) hanya mempertegas norma hukum yang sudah ada, maka keberadaan pasal ini tidak lagi diperlukan karena hakim yang menyidangkan kasus terkait dengan penghinaan diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum. 2. Tindak
pidana
Penghinaan
dalam
KUHP
masih
mampu
menjangkau ranah internet, hal ini dibuktikan dalam permohonan yang diajukan oleh Pemohon dengan mengajukan bukti Perkara atas nama Terdakwa Tegus Santosa yang didakwa dengan Pasal 156a KUHP karena telah memasang gambar kartun “Nabi Muhammad” di situs berita Rakyar Merdeka Online. 3. Mahkamah Konstitusi melakukan pengabaian fakta hukum berupa tidak dimasukkannya pendapat ahli Prof Willem Khortals Altes (Wakil Ketua PN Amsterdam), George Bonaventur Hwang Chor
172
Chee (Advokat pada Mahkamah Agung Singapura) dan James William Nolan (Advokat Australia) yang pada inti keterangan mereka menyatakan tidak ada negara hukum modern yang memiliki tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur secara khusus untuk penggunaan di ranah internet. F. Kebijakan
Pemidanaan
Terhadap
Tindak
Pidana
Penghinaan/
Pencemaran Nama Baik di Internet Pada bagian ini, penulis focus kepada pilihan sanksi terhadap pelaku pelaku penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di internet. Penentuan sanksi merupakan masalah sentral kedua menurut Barda Nawawi dalam penggunaan Sarana Penal, setelah ditentukannya perbuatan yang dapat di pidana. Pidana
sampai
saat
kini
masih
digunakan
sebagai
sarana
penanggulangan kejahata. Pidana akan bermakna jika tujuan pidana sudah ditetapkan, bukan sebaliknya.267 Maksudnya, tujuan pidana baru mempunyai relevansi apabila diketahui dasar berpijak untuk mencapai tujuan tersebut.268 Oleh karena itu tujuan harus dirumuskan dengan baik.269 Sejauh ini perkembangan teori tujuan pemidanaan yang ada dipengaruhi oleh perkembangan dalam masyarakat.
Disamping itu,
dipengaruhi pula oleh kritik terhadap tujuan pelaksanaan pidana yang telah berjalan. Secara simultan teori dan konsep pemidanaan berkaitan erat dengan
267 Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta, CV. Rajawali, hlm. 189 268 Ibid. 269 Barda Nawai Arief, 2011, op.cit, hlm. 81
173
tujuan pemidanaan, seperti tujuan pemidanaan pembalasan (retribution), utilitarian (deterence), reformasi dan rehabilitasi, gabungan (integrative), perlindungan masyarakat (social defence), pembebasan, bahkan ada tujuan pemidanaan
yang
berkeinginan
untuk
menghapus
pidana
(gerakan
abosionis).270 Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual terkait tujuan pemidanaan, yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).271 Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang. Pandangan
utilitarian
melihat
pemidanaan
dari
segi
manfaat
atau
kegunaannya, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.272 Dalam hukum pidana, dikenal ada 2 (dua) asas dalam penjatuhan sanksi pidana, yaitu ultimum remedium dan primum remedium. Asas tersebut berbicara tentang pilihan posisi pemidanaan sebagai alat pertahanan. Terkait dengan pengenaan sanksi pidana terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (3) dapat dilihat bahwa pemidanaan menjadi primum remedium dengan pencantuman sanksi pidana 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp. 1 Milyar.
270 TJ. Gunawan, 2015, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Yogyakarta, Genta Press, hlm. 69-70 271 Helbert L. Packer, 1968, op.cit. hlm. 9 272 Ibid. hlm. 10
174
Pilihan penetapan sanksi yang relatif tinggi tersebut, tidak ditemukan alasannya dalam pembahasan RUU ITE, namun Mahkamah Konstitusi memberi alasan bahwa distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif.273 Alasan tersebut menurut hemat penulis berlaku jika Indonesia hanya menganut tujuan pemidanaan hanya sebagai bentuk pembalasan belaka. Indonesia sebagai salah satu negara hukum modern, sejatinya melihat kerangka tujuan pemidanaan tidak saja berbasis pada teori absolut yang menganut pemidanaan sebagai pembalasan, tetapi seharusnya sudah jauh lebih maju memandang pemidanaan sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan yang rusak akibat perbuatan pelaku.274 Negara tidak melulu menjalankan tugas dalam penjatuhan pidana untuk mengganti derita yang dialami oleh korban, tetapi setidaknya menjalankan peran sebagai mediator untuk
mengembalikan
hak
korban
yang
dilanggar
dengan
tidak
mengorbankan hak pelaku dalam jumlah yang sangat besar. Konsep keseimbangan ini menurut penulis merupakan sisi lain dari teori Utilitarian yang memiliki pandangan yang lebih humanis. Barda Nawawi Arif berpendapat bahwa keseimbangan itu merupakan keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu, antara unsur objektif dengan unsur subjektif, antara kriteria formel dengan materiel, antara
273
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009 RUU KUHP Tahun Pembahasan 2015 sudah mengakomudir bahwa tujuan pemidanaan diantaranya adalah menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. (BAB III Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Bagian Kesatu Pemidanaan, Paragraf 1 Tujuan Pemidanaan, Pasal 55 ayat (1)) 274
175
kepastian hukum dengan kelenturan dan keadilan.275 Menurut penulis, keseimbangan dalam pemidanaan sebagai tujuan dari pemidanaan berada pada posisi mengakomodir nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum itu sendiri. Dalam hal tindak pidana penghinaan di internet atau tindak pidana penghinaan secara umum, penulis memberikan tawaran yang berbeda terkait dengan pemidanaan yang dapat dipilih sebagai alternatif pemidanaan dengan menggabungkan sistem restorative justice sebagai konsep pemidanaan dengan teori keseimbangan sebagai tujuan pemidanaan dengan poin-poin sebagai berikut: 1. Semua tindak pidana berakhir dengan munculkan kerugian terhadap negara; 2. Tindak pidana penghinaan, baik penghinaan tradisional276 maupun penghinaan siber tidak saja akan menimbulkan kerugian kepada negara tetapi juga menimbulkan kerugian kepada korban baik berupa kerugian atas nama baik maupun kerugian berupa materil 3. Tujuan pemidanaan adalah untuk mengembalikan keseimbangan keadaan akibat perbuatan pidana sipelaku sebagai tujuan utama, dengan tetap tidak mengenyampingkan tindakan prefensi agar kejahatan yang sama tidak kembali dilakukan oleh pelaku (special detteren) atau orang-orang lain (general detteren)
275
Barda Nawawi Arif, op.cit. hlm 14 Penghinaan tradisional penulis buat untuk membedakan penghinaan yang diatur dan dituntut menggunakan KUHP dengan Penghinaan siber yang dituntut menggunakan UU ITE 276
176
4. Perbuatan
pelaku
dianggap
sebagai
tindakan
yang
telah
menimbulkan hutang bagi dirinya baik kepada negara maupun kepada korban 5. Mengadopsi nilai-nilai restorative justice system, dalam konsep pidana baru yang mengutamakan pengembalian kerugian yang dialami oleh korban Kelima poin tersebut di atas dapat diasosiasikan dalam 3 (dua) bentuk Pidana, yaitu pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian atau denda dan pemulihan keadaan. Terkait dengan pidana kerja sosial sudah diakomodir dalam Pasal 66 RUU KUHP tahun pembahasan 2015 sebagai salah satu pidana pokok.277 Terkait dengan pembayaran ganti kerugian-pun juga telah diakomodir dalam Pasal 68 RUU KUHP tahun pembahasan 2015 sebagai salah satu pidana tambahan.278 Namun untuk pemulihan keadaan belum ada di dalam RUU KUHP, dan menurut hemat penulis perlu dijadikan pemulihan keadaan sebagai salah satu jenis dari pidana tambahan. Penulis menilai terdapat kekeliruan dalam perumusan sanksi pidana dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE sebagai ketentuan sanksi bagi pelanggaran
277
Pidana pokok dalam RUU KUHP tahun pembahasan 2015 terdiri dari: 1. Pidana penjara; 2. Pidana tutupan; 3. Pidana pengawasan; 4. Pidana denda; dan 5. Pidana kerja sosial 278 Pidana tambahan dalam RUU KUHP tahun pembahasan 2015 terdiri dari: 1. Pencabutan hak tertentu; 2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan 3. Pegumuman putusan hakim; 4. Pembayaran ganti kerugian; dan 5. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat
177
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, hal ini didasari oleh Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana sebagaimana dimuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Jika terdapat keterkaitan norma, maka seharusnya proses perumusan sanksi pidanapun harusnya mengacu pada konsep KUHP.
178
BAB IV JAMINAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INTERNET DIKAITKAN DENGAN KEBERADAAN TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM UNDANGUNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Peter N. Amprosah279 menyebutkan filosofi dari kebebasan berekspresi dalam masyarakat demoktaris dapat dilihat dalam tiga pembenaran kunci yang disebutkan dengan marketplace yaitu marketplace of ide (ide), marketplace human liberty and self-fulfillment (kebebasan individu dan pemenuhan diri) dan marketplace democtratic self-government (pemerintahan yang demokratis).280 Ketiga pembenaran kunci tersebut berada pada posisi yang saling mendukung untuk kebebasan berbicara, termasuk "ekspresi diri individu, persekutuan sosial, partisipasi politik, mencari kebenaran dan untuk pilihan informasi, katarsis sosial, penegasan sosial dari hak kesetaraan, martabat, rasa hormat, kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, atau peraturan pemerintah yang berlebihan".281 Filosofi yang disebutkan oleh Peter N Amprosah tersebut di atas, sebenarnya mempertegas bahwa ruang lingkup dari kebebasan berekspresi itu tidak saja dalam kerangka kebebasan perpendapat saja, tetapi meliputi kebebasan 279
Peter N. Amponsah adalah sekretaris pribadi uskup dan moderator dari Kuria di Keuskupan Katolik Obuasi, Ghana dan dosen di fakultas Informasi & Ilmu dan Teknologi Komunikasi, Universitas Katolik Ghana. Lihat https://www.lfbscholarly.com/ 280 Peter N. Amponsah, 2004, Libel Law, Political Criticism, and Defamation of Public Figures: The United States, Europe, and Australia, New York, LFB Scholarly Publishing LLC. hlm.23 281 Ibid, hlm. 38
179
untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan ide-ide mengenai apapun tanpa batasan-batasan, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media pilihannya yang lain termasuk Internet, sebagaimana juga tertuang dalam Pasal 19 DUHAM dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Meskipun internet telah dikenal sejak tahun 1960-an, namun ia masih dianggap sebagai medium baru dalam penyampaian informasi dan pelaksanaan kebebasan berekspresi tidak terlepas dari perhatian PBB. PBB menempatkan kebebasan internet berada di bawah kebebasan berpendapat dan berekspresi. Internet adalah alat komunikasi yang paling banyak digunakan oleh individu untuk menyalurkan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan secara tegas dijamin oleh Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kovenan tersebut menyebutkan: (a) Semua orang mempunyai hak untuk berpendapat tanpa adanya campur tangan; (b) Semua orang mempunyai hak kebebasan berpendapat; hak ini meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan ide-ide mengenai apapun tanpa batasan-batasan, baik secara lisan, tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media pilihannya yang lain; (c) Penggunaan hak yang ada di Ayat 2 pasal ini mempunyai kewajiban dan tanggungjawab khusus. Hal tersebut bisa menjadi subjek dari
180
pembatasan-pembatasan tertentu, tapi semua pembatasan ini haruslah dengan hukum dan dilakukan karena benar-benar penting; (d) Sebagai penghargan bagi hak atau reputasi dari pihak lain; (e) sebagai perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat. Hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak yang sangat fundamental baik bagi dirinya maupun sebagai pendukung terhadap hak-hak lain, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti hak atas pendidikan dan hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati keuntungan perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya, termasuk juga halnya dengan hak sipil dan politik, seperti hak atas kebebasan berorganisasi dan berkumpul. Dengan demikian, selain berperan sebagai fasilitas untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat dan berekspresi, Internet juga memfasilitasi perwujudan hak-hak asasi manusia yang lain. Potensi dan keuntungan besar dari Internet berada pada karakternya yang unik, seperti kecepatannya, jangkauan ke seluruh dunia dan kerahasiaan identitasnya. Pada waktu yang sama, kehebatan Internet untuk menyebarkan informasi secara cepat dan untuk memobilisasi massa juga telah menciptakan ketakutan bagi pemerintah dan penguasa. Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan penggunaan Internet melalui penggunaan teknologi canggih untuk memblokir konten, memonitor dan mengidentifikasi para aktifis dan kritikus,
181
pemidanaan terhadap ekspresi yang sah, serta pengadopsian peraturan tertentu yang membenarkan tindakan-tindakan pembatasan.282 Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi memang dibenarkan oleh Kovensi Hak Sipil dan Hak Politik, namun tetap dalam batasan yang ketat. Terkait dengan konten yang dapat dibatasi, setidaknya terdiri dari pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak),283 penyebaran kebencian,
284
pencemaran nama baik
(untuk menjaga hak dan reputasi orang lain dari serangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab), hasutan publik untuk melakukan genosida, dan advokasi nasional, ras atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan (untuk menjaga hak-hak orang lain, seperti hak untuk hidup).285 Pembatasan-pembatasan tersebut di atas, dalam berbagai kasus ternyata banyak didasari pada aturan hukum yang bersifat luas dan ambigu, serta tidak jelas tanpa adanya pembenaran tujuan dari dilakukannya tindakan-tindakan seperti itu, atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan yang direncanakan, sehingga bukannya memberikan deterrent effect tetapi malah menciptakan chilling effect atau efek ketakutan yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
282
Frank La Rue, Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Dewan Hak Asasi Manusia, Sesi-17, Agenda ke-3, GE.11-13201. hlm. 7 283 Penyebaran pornografi anak dilarang oleh hukum hak asasi manusia internasional, lihat Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography, Pasal 3, para. 1 (c). 284 Pasal 3 Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. 285 Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
182
A. Jaminan Perlindungan dan Pembatasan Kebebasan Berekspresi di Internet Dikaitkan dengan Tindak pidana Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jaminan perlindungan kebebasan bereskpresi adalah penting untuk membangun masyarakat demokratis dan memperkuat demokrasi itu sendiri. Human Right Council menegaskan bahwa setiap orang mesti menikmati hak yang sama baik di dunia online maupun di dunia offline286 Karena itu, pengaturan jaminan kebebasan berekspresi baik yang dinyatakan secara langsung ataupun melalui beragam saluran komunikasi lainnya adalah sama termasuk yang dilakukan melalui medium internet. Sebagaimana pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik telah memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, begitu
juga
aturan
nasional.
Selain
pemberian
jaminan,
kebebasan
berekspresipun dapat dilakukan pembatasan, dalah satu konten yang membatasi tersebut terkait dengan hak reputasi/nama baik seseorang. Hak reputasi ini diterjemahkan ke dalam bentuk hukum penghinaan. Terkait dengan eksistensi hukum penghinaan, keberadaannya telah menjadi sorotan khusus. Pidana penghinaan sering dijadikan benteng pertahanan oleh pemerintah di negara dimanapun atas kritik dan protes dari
286
Lihat Resolusi HRC di http://daccess-ddsny.un.org/doc/undoc/gen/g14/082/83/pdf/ g1408283.pdf?openelement26/13 diakses pada 3 April 2016
183
warga negaranya, sekaligus senjata yang efektif untuk membungkam pendapatpendapat tajam terhadap para penguasa.287 Selain
tindakan-tindakan
yang
dilarang
dalam
hukum
pidana
internasional, ada berbagai ekspresi yang seharusnya tidak dikriminalisasi termasuk dengan penghinaan. Meski tujuan penghinaan adalah untuk melindungi kehormatan seseorang. Terhadap permasalahan inilah maka hampir disetiap tahun Komisi HAM PBB dalam resolusinya tentang kemerdekaan berekspresi, selalu menyerukan keprihatinannya terhadap berlangsungnya abuse of legal provisions on defamation and criminal libel.288 Di samping itu dibentuk pula tiga komisi internasional dengan mandat untuk mempromosikan kemerdekaan berekspresi yaitu UN Special Rapporteur, OSCE Representative on Freedom of the Media dan OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression, dan pada December 2002 juga telah mengeluarkan pernyataan penting bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.289 Pembentukan tersebut tidak terlepas dari pidana penghinaan seringkali digunakan untuk menghalangi diskusi atas kebijakan pemerintah dan debat politik, melaporkan situasi hak asasi manusia, kegiatan pemerintah dan korupsi di dalam pemerintahan, kampanye dalam pemilu, demonstrasi damai atau berbagai kegiatan politik lainnya Padahal kegiatan-kegiatan ini, dalam
287
Anggara, dkk, 2016, op.cit. hlm.3 Ibid. 289 Elsam, et. all, Amicus Curiae, op.cit., hlm. 46 288
184
pandangan UN Special Rapporteur tidak dapat dikenakan pembatasan sama sekali.290 Pada
umumnya
konstitusi
negara-negara
modern
dan
hukum
internasional hanya memperbolehkan pembatasan kebebasan berekspresi melalui undang-undang, dengan menerapkan standar yang tinggi, kejalasan asas, aksesibilitas dan tidak multitafsir. Terkait dengan pembatasan ini dapat dilihat dari beberapa prinsip umum yang telah disepakati. Siracusa Principles menjelaskan bahwa pembatasan harus dirumuskan secara ketat untuk kepentingan hak yang dilindungi tersebut291 dan konsisten dengan tujuan ketentuan Kovenan Sipol,292 sehingga pembatasan tersebut tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang dan tanpa alasan yang sah.293 Pembatasan tersebut harus dirumuskan dengan jelas dan dapat diakses oleh setiap orang294 dan menyediakan pengaman serta ganti rugi terhadap dampak dan penerapan dari pembatasan yang ilegal dan cenderung disalahgunakan.295 Camden Principle mengatur terkait Pembatasan haruslah dinyatakan secara tegas bahwa Negara sebaiknya tidak memberlakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi yang tidak sejalan dengan standar yang tercantum dalam Prinsip 3.2296 dan pembatasan yang berlaku sebaiknya diatur dalam undang-
290
Anggara, et. all, 2016, op.cit., hlm.4 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 3 292 Ibid., para 15 293 Ibid., para 16 294 Ibid., para 17 295 Ibid., para 18 296 Prinsip 3.2. Legislasi nasional sebaiknya menjamin bahwa: i. Setiap orang memiliki kedudukan yang setara di muka hukum dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. ii. Setiap orang memiliki hak untuk terbebas dari diskriminasi atas dasar ras, gender, etnis, agama atau keyakinan, kemampuan yang berbeda, usia, orientasi seksual, bahasa, pendapat politik 291
185
undang, bertujuan untuk melindungi hak atau reputasi orang lain, atau kesehatan dan moral masyarakat, dan dibutuhkan oleh masyarakat demokratis untuk
melindungi
kepentingan-kepentingan
tersebut.
Hal
ini
berarti
pembatasan-pembatasan tersebut antara lain haruslah:297 1. Didefinisikan secara jelas dan sempit serta merespon kebutuhan sosial yang mendesak; 2. Merupakan langkah yang paling sedikit menyebabkan gangguan, dalam arti, tidak ada lagi langkah yang lebih efektif daripada pembatasan tersebut, serta tak ada lagi langkah yang memberikan ruang pada kebebasan berekspresi daripada pembatasan tersebut; 3. Tidak bersifat melebar, dalam arti, pembatasan tersebut tidak membatasi ekspresi dengan cara yang luas dan tanpa sasaran yang jelas, atau pembatasan tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya membatasi ekspresi yang merugikan tetapi juga membatasi ekspresi yang sah; 4. Bersifat proporsional, dalam arti, terdapat keuntungan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan akibat kebebasan berekspresi tersebut, termasuk dalam hal sanksi yang terkait.
Prinsip ini menekankan bahwa
Negara sebaiknya mengkaji kerangka kerja hukum yang ada untuk
dan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kewarganegaraan, kepemilikan, kelahiran atau status-status lainnya 297 Article 19, 2009, Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan, Jakata, Artikel 19 dan AJI, hlm. 11
186
memastikan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi mengikuti hal-hal di atas. Untuk
mengukur
ke
absahan
pembatasan
terhadap
kebebasan
berekspresi, dapat digunakan parameter yang diatur dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang dikenal dengan three past test298 yaitu (1) pembatasan tersebut ditetapkan secara jelas dalam undang-undang (provided by law), (2) pembatasan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan yang sah (for the purpose of safeguarding a legitimate interest) dan (3) pembatasan tersebut benar-benar dibutuhkan (necessary) untuk melindungi kepentingan tersebut Terkait dengan tindak pidana Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Dalam UU ITE, jika diuji dengan menggunakan three past test, maka: 1. Ketentuan pasal ini memiliki rumusan yang tidak jelas dan multitafsir, selain rumusan yang tidak jelas, unsur yang menjadi bestanddel delictnya pun tidak jelas, bahkan subjek yang dilindungipun tidak jelas serta ketidakjelasan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur. 2. Melindungi reputasi adalah kepentingan yang sah, namun kepentingan yang dilindungi dalam Pasal 27 ayat (3) kabur/tidak jelas, hal ini terlihat dalam rumusan pasal yang berbunyi “…yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang menjadi soal adalah, penghinaan dan atau pencemaran nama 298
Article 19, 2004, Memorandum on Indonesian Criminal and Civil Defamation Provisions, London, Article 19. hlm. 3
187
baik siapa? Individu, korporasi, pemerintah/ badan umum atau pejabat? 3. Ketidakjelasan
kepentingan
yang dilindungi
mengakibatkan
ketidakjelasan konten yang dibatasi. Sehingga jelas bahwa tidak dibutuhkan sebenarnya pembatasan terhadap hal tersebut. Terkait dengan pilihan pemidanaan terhadap pencemaran nama baik sebagai bentuk perlindungan negara terhadap hak reputasi, memang tidak dilakukan oleh Indonesia sendiri, banyak negara yang memilih mempidana tindakan penghinaan, namun kecenderungan hukum Internasional menganggap pencemaran nama baik itu sebagai pelanggaran perdata. Pengalaman menunjukkan bahwa undang-undang perdata cukup mampu untuk melindungi nama baik dengan tetap mempertahankan masyarakat yang demokratis.299 Terkait dengan hal tersebut, Hukum Indonesia-pun sebenarnya juga telah mengatur perbuatan penghinaan dapat dituntut melalui jalur perdata, dan banyak yang menggunakan jalur ini, namun sayangnya ketentuan pidanapun masih diberlakukan dan bahkan berlapis.
B. Dekriminalisasi Tindak Pidana Penghinaan Dalam Undang-Undang Tentang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik
Sebagai
Bentuk
Perlindungan Terhadap Kebebasan Berekspresi Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penulis sepakat bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi, namun tetap dengan standar yang harus ketat, termasuk dalam hal perlindungan hak reputasi 299
Emma Walters dan Alex Johnson, 2005, op.cit. hlm. 5
188
atau nama baik di internet, namun yang perlu dicatat adalah Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur dan memberikan tindak pidana reputasi dalam KUHP dengan rumusan yang jelas, tegas dan tidak menimbulkan multi tafsir. Sehingga tidak diperlukan lagi upaya untuk mengkriminalisasikan perbuatan yang sama dengan alasan terdapat perbedaan dalam medium yang digunakan. Hukum Belanda misalnya, tidak memiliki ketentuan khusus terkait dengan mengkriminalisasi pencemaran nama baik jika dilakukan melalui internet. Belanda hanya melakukan perubahan terhadap KUHP Belanda pada tahun 1993 terkait dengan kejahatan komputer. Hal ini dijelaskan oleh Prof Willem Khortals Altes, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Amsterdam dalam keterangannya sebagai ahli pada Uji Materil di Mahkamah Konstitusi Perkara No. 2/PUU-VII/2009300. Berikut pernyataannya “Dutch law has no provision specifically criminalizing defamation if committed through the Internet. There is no doubt, however, that the above mentioned provisions also cover the Internet insofar as they criminalize written statements.”. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa “In 1993, the Law on Computer Criminality was adopted and inserted in the Dutch Wetboek van Strarecht. The 1993 law deals with hacking in various forms (Articles 138a, 161 sexies, 161 septies, 350a and 350b), the use of forged credit and debit cards (Article 232), child pornography (Article 240b), the use of stolen computer data belonging to businesses (Article 273), extortion (Article 317), blackmail (Article 318), the use of telecommunications facilities 300
Dr. Willem Frederik Korthals Altes memberikan keterangan secara tertulis yang disampaikan pada 19 Maret 2009
189
without pay (Article 326c), and the unlawful use of confidential radio and internet messages (Article 441). In addition, the so-called Cyber Crime Treaty of Budapest of Nov 23, 2001 was implemented in Dutch law, giving rise to further amendments to some of the provisions mentioned in this paragraph. None of these provisions deals with any type of defamation.” Hukum Penghinaan di Belanda tetap diatur dalam KUHP pada BAB XVI dengan ketentuan sama dengan BAB XVI KUHP Indonesia yaitu terdapat gradasi dari perbuatan penghinaan itu sendiri, bahkan dalam penanganan kasus tindak
pidana
penghinaan,
pemidanaan
terhadap
Terdakwa
lebih
mengedepankan penerapan sanksi denda dari pidana. Alasan bahwa Tindak pidana Penghinaan dalam KUHP tidak mampu menjangkau tindak pidana yang terjadi di dunia maya sebagaimana yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materil Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebenarnya terbantahkan dengan masih adanya kasus-kasus yang berdimensi “penyebaran informasi melalui media elektronik” yang dituntut dan divonis menggunakan Pasal-Pasal Penghinaan dalam KUHP seperti kasus Lelly Burhanudin di Pengadilan Negeri Sorong tahun 2012 karena telah mengirimkan SMS yang menghina dan kasus Syamsuddin S.Pd di Pengadilan Negeri Rengat tahun 2012 dengan kasus yang sama. Dengan masih dapat diberlakukannya ketentuan Pasal-pasal Penghinaan dalam KUHP terhadap kejahatan yang menggunakan medium Internet, maka tidak ada alasan sebenarnya untuk tetap mempertahankan tindak pidana penghinaan di Internet sebagai cybercrime. Apalagi jika kita melihat ketentuan
190
dalam RUU KUHP tahun pembahasan 2015, pada Buku II bagian kelima tentang Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika (Pasal 378 - Pasal 384) tidak satupun yang mengatur terkait dengan content penghinaan di internet. Posisi ini sebenarnya menegaskan bahwa tindak pidana penghinaan di internet tidak dapat dikualifisir sebagai cybercrime. Besarnya desakan publik, akhirnya mendorong Pemerintah untuk mengajukan revisi terhadap UU ITE, namun terkait dengan Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1), pemerintah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) tetap pada bunyi semula, namun pada bagian penjelasan Pasal 27 ayat (3) ditambahkan bahwa ketentuan dalam ayat ini mengacu pada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Terkait dengan ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (1) yang semula 6 (enam) tahun diturunkan menjadi 4 (empat) tahun.301 Usulan revisi oleh pemerintah tersebut di atas, malah tidak sejalan dengan politik kodifikasi RUU KUHP. Terkait dengan penjatuhan pidana terhadap terdakwa penghinaan di internet (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) hasil penelitian ICJR ternyata menunjukkan bahwa meskipun Penuntut Umum sering menuntut hukuman penjara, namun tuntutan hukum penjara tersebut rata-rata hanya 5,1 bulan.302 Hasil penelitian dari ICJR juga menunjukkan bahwa rata–rata hukuman penjara ataupun rata-rata hukuman percobaan yang dijatuhkan oleh Pengadilan juga 301
Dalam Naskah Akademis Perubahan UU ITE, Pasal 27 ayat (3) diusulkan perubahan terhadap kata penghinaan dan/atau pencemaran nama baik menjadi penghinaan ringan dan atau pencemaran nama baik, selain itu juga diusulakn penambahan Pasal delik aduan sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sehingga perbuatan pidana pencemaran dalam Pasal 27 ayat (3) yang dilakukan tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu. 302 Supriyadi Widodo Eddyono, Anggara, dan Erasmus A. T. Napitupulu, 2006, Catatan dan Usulan Masyarakat Sipil atas RUU Perubahan ITE, Jakarta, ICJR, hlm.11
191
tidak mencapai 1 tahun. Untuk hukuman Penjara, pengadilan menjatuhkan rata–rata hukuman penjara adalah 3,7 bulan sementara hukuman percobaan yang dijatuhkan rata–rata hanya 8,4 bulan. Pada tren putusan oleh Pengadilan terkait pidana penjara pasal-pasal penghinaan, ICJR pada 2012 mencatat, rata-rata hukuman penjara yang dituntut oleh Jaksa adalah 154 hari (5 bulan) penjara dan hukuman penjara yang kemudian dijatuhkan oleh Pengadilan berkisar antara 108-112 hari penjara.303 Pola ini secara tegas menjawab bahwa tidak jelas dasar dari kebijakan legislasi dalam penetapan sanksi pidana yang berat dalam Pasal penghinaan di Indonesia. Terkait dengan tindak pidana penghinaan secara umum, penulis menawarkan bahwa penjatuhan pidana penjara adalah langkah yang kurang tepat, karena pada dasarnya pelaku penghinaan bukanlah merupakan penjahat yang profesional, pelaku penghinaan biasanya tidak menyertai penghinaan dengan ancaman serius yang dapat mengancam nyawa atau memancing kerusuhan berbau SARA, dalam kasus penghinaan pemulihan nama baik menjadi tujuan utama dari pelaku. Maka penerapan sanksi berupa kewajiban membayar ganti rugi, memulihkan nama baik korban sesuai dengan keadaan semula atau menjalankan pidana kerja sosial adalah pilihan yang tepat. Penerapan sanksi tersebut sebagaimana pernah penulis singgung pada bab sebelumnya tentu berakibat pada perlu menambahkan jenis-jenis pidana dalam ketentuan umum RUU KUHP. Terkait dengan hal tersebut UNESCO
303
Supriyadi Widodo Eddyono, Shiyana, dan Wahyu Wagiman, 2012, op.cit., hlm. 91
192
menjelaskan dalam menerapkan pidana atau tindakan terhadap pelaku kejahatan perlu memperhatikan prinsip legalitas, yaitu pidana penjara hanya dibutuhkan kepada pelaku kejahatan secara pantas (proporsional) dengan cara memberikan pelatihan dan pendidikan. Keamanan narapidana perlu dipikirkan secara jeli, karena itu pelaksanaannya disesuaikan dengan hukum yang berlaku.304 Sejalan dengan UNESCO, Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa seyogyanya dalam penjatuhan pidana harus hemat, cermat, hati-hati, manusiawi (humanely), dan hanya digunakan sebagai ultimum remidium.305 Lebih menarik lagi penyataan Shain, direktur Penelitian dari Judicial Council of California yang mengemukakan bahwa perlu ada pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara lebih selektif. Ia menawarkan persyaratan Terdakwa yang tidak layak dijatuhi pidana penjara, yaitu: a) Terdakwa tidak termasuk penjahat profesional, dan tidak punya riwayat kejahatan yang buruk b) Banyak faktor subjektif yang meringankan terdakwa c) Terdakwa
tidak
melakukan
ancaman
ataupun
menyebabkan
penderitaan atau kerugian yang serius terhadap korban d) Ada bukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana karena provokasi dari pihak korban e) Terdakwa bersedia memberikan ganti kerugian atas kerugian materil maupun immaterial yang diderita korban
304 305
Widodo, 2009, op.cit., hlm147 Barda Nawawi Arief, 2001, op.cit. hlm. 66
193
f) Tidak terdapat cukup alasan yang menunjukkan, bahwa terdakwa akan melakukan tindak pidana lagi, atau tidak terdapat indikasi sifat jahat terdakwa akan muncul lagi.306 Jika melihat indikator-indikator di atas, maka layak sebenarnya pelaku penghinaan baik penghinaan tradisional maupun penghinaan di internet untuk tidak dijatuhi pidana penjara dan mengganti pidana penjara dengan pidana sebagaimana yang penulis usulkan di atas, dengan mengedepankan konsep keseimbangan dalam pemidanaan. Adapun pemikiran tersebut setidaknya menurut penulis memiliki keuntungan, yaitu: 1. Tujuan pemidanaan penghinaan adalah memulihkan nama baik yang tercemar 2. Kerugian yang dialami oleh korban akibat penghinaan dapat diganti oleh Pelaku 3. Memberikan kesempatan yang luas bagi pelaku untuk dapat memperbaiki prilaku kearah yang lebih baik, karena tidak diisolasi dalam suatu ruangan 4. Pelaku dapat melanjutkan kehidupannya sehari-hari tanpa harus kehilangan kemerdekaan untuk melaksanakan pekerjaan 5. Biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk membina pelaku jauh lebih murah dibandingkan pelaku harus dipenjara
306
Edy Djunadi Kamasudirdja, 1982, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana, tanpa penerbit, hlm. 91
194
6. Beban Lembaga Pemasyarakatan yang overload dapat dikurangi dengan
tidak
perlu
melakukan
penahanan
terhadap
pelaku
penghinaan.
195
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Keberadaan tindak pidana Penghinaan/pencemaran nama baik di internet yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE diawali atas keinginan Legislatif untuk memasukkan semua jenis perbuatan yang dilarang baik yang ada di dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang Khusus yang perbuatannya dapat terjadi dengan menggunakan atau melalui sistem komputer sebagai cybercrime. Dalam pembahasan di Panitia Kerja RUU ITE perbuatan penghinaan, fitnah, penyiaran berita bohong berpotensi terjadi menggunakan internet, dan aturan-aturan hukum tradisional tidak mampu untuk menjangkau kejahatan tersebut. Penghinaan di internet bukanlah merupakan norma hukum baru, melainkan hanya mempertegas norma hukum tindak pidana penghinaan yang diatur dalam BAB XVI KUHP ke dalam Undang-Undang baru dengan adanya unsur tambahan khusus yaitu perkembangan di bidang elektronik, dengan demikian keberlakuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma pokoknya yaitu Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP. Terkait dengan adanya perbedaan ancaman antara Pasal 310, Pasal 311 KUHP dengan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dianggap sebagai suatu kewajaran yang sah, karena penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif.
196
2. Hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat termasuk dengan menggunakan sarana internet merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta UUD RI 1945. Namun dalam pelaksanaannya dapat dilakukan pembatasan, dengan syarat yang ketat. Pembatasan tersebut dapat dilakukan terkait dengan pornografi anak, penyebaran kebencian, hasutan publik untuk melakukan genosida, dan advokasi nasional, ras atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan (hate speech). Terkait dengan pengaturan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik di internet (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) dikaitkan dengan pembatasan kebebasan berekspresi tidak dapat ditemukan adanya alasan pembatasan yang sah, karena ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE memiliki rumusan yang tidak jelas dan multitafsir, pasal tersebut juga tidak jelas unsur mana yang menjadi bestanddeel delict-nya, dan tidak jelas reputasi siapa yang dilindungi, apakah individu, korporasi, pemerintah atau negara. Ketidakjelasan pembatasan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempertegas bahwa ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan yang tidak sah atas kebebasan berekspresi.
197
B. SARAN Bertolak dari kesimpulan di atas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Indonesia sebagai Negara yang menganut budaya ketimuran, tidak memungkinkan untuk menghapuskan penghinaan sebagai salah satu tindak pidana, karena nama baik merupakan bagian yang melekat dan sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Namun tindak pidana penghinaan secara tegas telah di atur dalam KUHP. Dengan demikian tindak pidana penghinaan/pencemaran di Internet tidak perlu menjadi bagian yang diatur di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena tidak ada norma baru yang diatur oleh tindak pidana penghinaan di internet (Pasal 27 ayat (3)). Dalam penerapannya pun tetap harus merujuk kepada genus delictnya yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, dengan kata lain, Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tetap dapat menjerat tindakan penghinaan dengan media yang digunakannya adalah komputer atau jaringan komputer atau internet. Dalam revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sudah tidak ada lagi alasan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) tetap dipertahankan. Ditambah dalam politik kodifikasi RUU KUHP, tindak pidana penghinaan di internet tidak lagi menjadi domain yang diatur di bawah Bab tentang Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika. Terkait dengan penerapan pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana, penulis menyarankan bahwa penjatuhan pidana penjara adalah langkah mundur dalam hukum modern,
198
konsep keseimbangan dalam pemidanaan perlu menjadi acuan dalam penetapan sanksi pidana, yaitu dengan memperhatikan kepentingan korban, hak pelaku dan kepentingan negara. Teori keseimbangan setidaknya memberikan jalan tengah untuk mempertemukan kepentingan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 2. Ketidakjelasan rumusan dan ketidakjelasan kepentingan yang dilindungi membuat keberadaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait dengan tindak pidana penghinaan bukan memberikan detterent effect sebagaimana yang diharapkan oleh pembuat undang-undang, tetapi malah memberikan chilling
effect
terhadap
pelaksanaan
kebebasan
berekspresi
dan
berpendapat. Tindak pidana penghinaan juga sering dijadikan benteng pertahanan oleh pemerintah di negara manapun atas kritik dan protes dari warga negaranya, sekaligus senjata yang efektif untuk membungkam pendapat-pendapat tajam terhadap para penguasa. Sebagai bahagian dari negara-negara yang ada di dunia, Indonesia perlu melihat kecendrungan internasional yang sudah merubah pandangan bahwa pemenjaraan terhadap penghinaan merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Pilihan-pilihan menerapkan hukuman yang manusiawi dengan mengedepankan pengembalian keseimbangan keadaan adalah pilihan yang baik bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
199
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdul kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti Abdul Wahid dan M. Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Bandung, Refika Aditama Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Malang, Media Nusa Creative Ade Arie Sam Indradi, 2006, Carding-Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, Jakarta, Grafika Indah Agus Raharjo, 2002, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti Alexander, Larry, 2005, Is There a Right to Freedom of Expression, New York, Cambridge University Press Aloysius Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya Anggara, et. al, 2016, Menimbang Ulang Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Jakarta, ICJR Amponsah, Peter N. 2004, Libel Law, Political Criticism, and Defamation of Public Figures: The United States, Europe, and Australia, New York, LFB Scholarly Publishing LLC. Arief Amrullah, 2015, Politik Hukum Pidana: Perlindungan Korban Kejahatan di Bidang Perbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku (Officer), Edisi Revisi, Yogyakarta, Genta Publishing
200
Article 19, 2009, Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan, Jakata, Artikel 19 dan AJI _________, 2004, Memorandum on Indonesian Criminal and Civil Defamation Provisions, London, Article 19. B. Arief Sidharta (Penerjemah). 2009. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung. PT Rafika Aditama. Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke-3, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. _________, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. _________, 2006, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada _________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _________, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, cetakan ke-3, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Budi Suhariyanto, 2013, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Depok, PT. Rajagrafindo Persada Charles J. Glasser Jr. Esq (ed), 2013, International Libel and Privacy Handbook: A Global Reference for Journalist, Publishers, Webmasters, and Lawyers, Third Edition, New Jersey, Bloomberg Press.
201
Didik M. Arif, Mansur dan Elisataris Ghultom, 2005, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama Departemen Pendidikan Nasional, 2009, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Bandung, Mizan Media Utama. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Informasi
dan Transaksi
Elektronik, Jakarta, Depkominfo. Donnely, Jack, 2003, Universal Human Rights Theory and Practice, Ithaca Heather Strang and John Braithwaite (ed),
Restorative Justice
Philosophy to Practice, edited by, Australia, The Australian National University, Asghate Publising Ltd Dwidja Prayitno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung, CV Utomo. Edy Junaedi Karnasudirja, 1993, Jurisprudensi Kejahatan Komputer, Jakarta, Tanjung Agung _________,
1982,
Beberapa
Pedoman
Pemidanaan
dan
Pengamatan
Narapidana, tanpa penerbit Emma Watlers dan Alex Johnson, 2005, Dekriminalisasi Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik: Sebuah Acuan Kampanye IFJ Untuk Menghapuskan Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik, (Terjemahan Cristine Tjandraningsih), Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen dan MDLF. Fletcher, G.P., 1998, Basic Concepts of Criminal Law. New York: Oxford University Press. G. Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology; An Inversion of the Concept of Crime, New York, Springer Science+Business Media. Garner, Bryan A. (ed), 2004, Black’s Law Dictionary, ed. 8th, Tomson West
202
Heather Strang and John Braithwaite (ed), Restorative Justice Philosophy to Practice, edited by, Australia, The Australian National University, Asghate Publising Ltd Husak, Douglas, 2008, Overcriminalization: The Limit of the Criminal Law, New York, Oxford University Press Hart, H.L.A, 1982, Essays On Bentham, Studies in Jurisprudence and Political Theory, reprinted 2001, New York, Oxford University Press Inc Indriaswati Dyah Saptaningrum, 2011, Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional, Jakarta, Elsam J.E. Sahetapy (Ed.), 1996, Hukum Pidana, Yogyakarta, Penerbit Liberty Jimly Asshiddiqie. 1997. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara. Jakarta: Ind. Hill.Co. Jonathan Clough, 2010, Principles of Cybercrime, UK, Cambridge University Press Knepper, 2007, Criminology and Social Policy. London: SAGE Publications Ltd. Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, Jakarta, PT Grafindo Persada Marc Ancel, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, London, Routledge & Kegan Paul Maskun, 2013, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, Jakarta, Kencana Mery Warnock, 2003, Ultilitarism and On Liberty; Including Mill’s ‘essay on Bentham’ and Selections From the Writings of Jeremy Bentham and John Austin, Second Edition, UK, Blackwell Publishing. Muhammad Amirulloh, 2011, EU Convention on Cybercrime Dikaitkan Dengan Upaya Regulasi Tindak Pidana Teknologi Informasi, Jakarta, BPHN,
203
Muladi, 2002, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Habibie Center _________,2002, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni. _________, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, Undip. _________, dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, PT. Alumni. Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Riview, Yogyakarta, UII Press Oemar Seno Adji, 1990, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Jakarta, Erlangga. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali), Bandung, PT. Refika Aditama Packer, Harbert L. 1968, The Limit of Criminal Sanction, California, Stanford University Press Persak, N. 2007, Criminalising Harmful Conduct: The Harm Principle, Its Limits and Continental Counterparts, New York, Spinger. Ph. Visser’t Hoft. 2001. Penemuan Hukum (Judul Asli: Rechtvinding, Penerjemah B. Arief Shidarta. Bandung: Laboratorium Hukum FH Universitas Parahiyangan. R. Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hooge Raad, Jakarta, PT. RajaGrafindo Rahmat Setiawan, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung, Binacipta Radzinowics, L., 1999, Adventures in Criminology. London, Routledge. Reid, Sue Titus, 1985, Crime and Criminilogy, New York, CBS College Publishing.
204
_________, 1987, Criminal Justice, Procedur and Issues, New York, West Publising Company. R. Sughandi, 1980, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional Ronny Hanitijo, 1993, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indo. Rhona K. M. Smith, et. al, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung, Binacipta. R. Soesilo, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Jakarta, Politeia Roeslan Saleh, 1981, Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta, Aksara Baru Ronald L. Akers and Cristine S. Seller, 2004, Criminological Theories: Intoduction, Evolution, and Application, Los Angles, Roxbury Publishing Company. Sabartua Tambolon, 2003, Aspek Hukum Nama Domain di Internet, Jakarta, PT. Tata Nusa. Sabian Utsman, 2014, Metodologi Penelitian Hukum Progressif: Pengembaran Permasalahan Penelitian Hukum Aplikasi Mudah Membuat Proposal Penelitian Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta, CV. Rajawali Satjipto Raharjo, 2014, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti. _________, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas Media Nusantara
205
Schjølberg and A. M. Hubbard, 2005, Harmonizing National Legal Approaches on Cybercrime, Background Paper, International Telecommunications Union Sigid Suseno, 2012, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Bandung, PT. Refika Aditama Soejono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press _________, 1981, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia _________, dan Sri Mamudji, 2014, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke -16. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Soehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke-4, Bandung, Alumni _________, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni. _________, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru Supriyadi Widodo Eddyono, Anggara, dan Syahrial Mertanto Wiryawan, 2015, Meninjau Kebijakan Kriminalisasi Dalam RKUHP 2015, Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform _________, 2014, Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya, Jakarta, ELSAM. _________, Shiyana, dan Wahyu Wagiman, 2012, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Jakarta, ICJR dan Yayasan Tifa _________, Anggara, dan Erasmus A. T. Napitupulu, 2006, Catatan dan Usulan Masyarakat Sipil atas RUU Perubahan ITE, Jakarta, ICJR Tonry, Micahel, 1996. Sentencing Matters, New York, Oxford University Press.
206
Thomas R Dye, 1978, Understanding Public Policy, third Edition, New York, Prentice Hall.Inc, Englewood Cliifss. Teguh Prasetyo, 2013, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Cetakan III, Bandung, Penerbit Nusa Media _________, dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta, Pustaka Belajar. T.J. Gunawan, 2015, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Yogyakarta, Genta Press. U. Sieber, 1998, Legal Aspects of Computer-Related Crime in the Information Society, COMCRIME Study, European Commission. Van Hoecke, M. (ed), 2011, Methodologies of Legal Research, Oxford, Hart Publishing. Van Ness, Daniel W., 2015, Restorative justice and International Human Rights, Restorative Justice: International Perspective, edited by Burt Galaway and Joe Hudson, Amsterdam, Kugler Publications Vincenzo Zeno-Zencovich, 2008, Freedom of Expression: A Critical and Comparative Analysis, New York, Routledge-Cavendish. Wahyudi Djafar dan Zainal Abidin, 2014, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai praktik pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia, Jakarta, ELSAM. Wahyudi Jafar dan Justitia Avila Veda, 2014, Internet Untuk Semua: Mengintegrasikan Prinsip Hak Asasi Manusia DalamPengaturan Internet di Indonesia, Jakarta, ELSAM. Warnock, Mary, 2003, Utilitarianism and On Liberty: Including Mill’s ‘Essay on Bentham’ and Selections from the writings of Jeremy Bentham and John Austin, second edition, USA, Blackwell Publishing Ltd.
207
Widyopramono, 1994, Kejahatan di Bidang Komputer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime, Yogyakarta, Laksbang Mediatama. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan dan Penerapan KUHP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika.
B. Risalah Risalah Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Biro Persidangan Sekretriat Jenderal DPR RI, 25 Maret 2008
C. Jurnal dan Karya Ilmiah lainnya Asep Mulyana, tanpa tahun, Makalah Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet, Jakarta, Elsam Mardjono Reksodiputro, Kejahatan Komputer: Suatu Catatan Sementara dalam KUHP Nasional yang Akan Datang, Prasaran dalam Lokakarya tentang Bab-Bab Kodifikasi Hukum Pidana, Diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 18-19 Januari 1988 Rony Saputra, 2015, Mengupas UU ITE: Ancaman Bagi Kebebasan Berekspresi, Makalah disampaikan pada seminar Pengawasan dan Perlindungan Terhadap Kebebasan Berekspresi di Indonesia, Bandar Lampung, 11 Juni 2015. Salman Luthan, Asas dan Kriteria Kriminalisasi, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16 Januari 2009 Soetandyo Wignjosoebroto, “Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa yang Dibicarakan Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini, disampaikan dalam
208
Seminar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 15 Juli 1993 Shinta Agustina, Perspektif Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Dalam UU ITE, Makalah disampaikan pada Pelatihan Bagi Pemantau Untuk Kebebasan Berekspresi, yang diselenggarakan oleh LBH Pers Padang bersama Yayasan Tifa, di Hotel Ibis, Padang, 12-14 Oktober 2014. Wahyudi Djafar, Kebebasan Berekspresi: Perlindungan, Implementasi dan Masalahnya di Indonesia, Makalah disampaikan pada Training Bagi Pemantau Untuk Kebebasan Berekspresi, Padang, LBH Padang, 12-14 Oktober 2014.
D. Media dan Website Harian Merdeka, Indonesia Lahan Cybercrime, Rabu, 1 April 2009 http://www.tempo.co/read/news/2013/09/19/058514741/Kritik-KampusMahasiswa-Semarang-Dipaksa-Mundur. http://nasional.tempo.co/read/news/2014/11/16/058622226/ICT-71-Kasus-PidanaAkibat-UU-ITE http://www.tempo.co/read/news/2013/09/16/063513795/polisi-BebaskanPenghina-Nurdin-Halid http://www.coe.int/en/web/conventions/full-list/-/conventions/treaty/185 http://elsam.or.id/pdf/paper/Haatzaai%20Artikelen.doc http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-jelas-landasanhukumnya http://geotimes.co.id/revisi-uu-ite-untuk-melindungi-kebebasan-berekspresi/
209
E. Putusan Pengadilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-VII/2009 Putusan Perkara No. 1269/Pid.B/ 2009/PN.TNG putusan Perkara No. 40/Pid.B/2012/PN.SRG. putusan Perkara No. 53/Pid.B/2012/PN.RGT.TLK. Putusan Perkara No. 1832/Pid.B/2012/PN.Jak.Sel. Putusan Perkara No. 199/Pid.B/2013/PN.GTLO. Putusan Perkara No. 16/Pid.B/2014/PN.PWK. Putusan Perkara No. 196/Pid.Sus/2014/PN.BTL Putusan Perkara No. 390/Pid.B/2014/PN.MKS. Putusan Mahkamah Agung No. 822K/Pid.Sus/2010.
210