PKWG SEMINAR SERIES #2: Perempuan, Eksploitasi Alam, dan Pemiskinan AJS FISIP UI – Depok, 17 September 2015
executive summary
Wajah kemiskinan di Indonesia hampir dapat dipastikan adalah wajah perempuan. Konsep feminisasi kemiskinan dengan jelas menggambarkan ketidakadilan dalam soal “keterwakilan” perempuan di antara orang miskin dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, perempuan miskin lebih menderita karena pada sebagian besar masyarakat, perempuan juga menjadi subyek dari nilainilai sosial yang membatasi mereka dalam meningkatkan kondisi ekonomi atau menikmati akses yang sama ke pelayanan umum. Kemiskinan sudah menjadi sumber dan sekaligus akibat dari pemiskinan, yang pada gilirannya telah menciptakan lingkaran setan di Indonesia.
Krisis ekologis tidak terlepas dari tiga hal yang saling kait-mengkait, yaitu; pendekatan eksplotasi alam, keterbatasan ketersediaan sumberdaya alam, dan pola konsumsi. Pengelolaan SDA tidak terlepas dari peta ekonomi-politik yang luas bahkan lintas negara. Pelajaran berharga sudah banyak diperoleh bangsa Indonesia dalam eksplorasi SDA yang melibatkan modal berskala dunia, antara lain; tambang emas (Freeport, Newmont, dll); tambang marmer (NTT); tambang semen, dll. Semua cerita tambang ini menciptakan dampak yang mencapai skala yang membahayakan fungsi reproduksi dan kematian perempuan dan anak-anak. Semua hal ini berujung pada pemiskinan yang sistematis dan masif terhadap perempuan.
Salah satu faktor utama ketika bicara mengenai pemiskinan perempuan terletak pada ekploitasi alam. Komnas Perempuan (2008, 2010) mencatat bahwa eksploitasi sumberdaya alam berdampak pada pemiskinan perempuan tidak terlepaskan pada persoalan politik ekonomi makro. Pantauan Komnas Perempuan terhadap konflik sumberdaya alam sejak tahun 2003, antara lain; pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi Utara terhadap perempuan, Kriminalisasi terhadap aktivis perempuan di Soe dan Pembabatan pohon kopi di Manggarai NTT. Dalam konflik sumberdaya alam tersebut perempuan hampir selalu luput dari perhatian atau nyaris tidak ada akibatnya pengungkapan kekerasan yang dialami perempuan juga luput dari upaya penyelesaiannya, padahal perempuan adalah kelompok paling rentan ketika konflik sumberdaya alam terjadi.
Secara sederhana, eksploitasi dapat diterjemahkan sebagai pengusahaan, pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan sendiri. Pemaparan oleh para penyaji, dengan jelas ingin diutarakan bahwa persoalan eksploitasi alam sebenarnya merupakan usaha pengerukan sampai ke dasar dan tidak tersisa bagi penduduk di sekitar. Seperti contoh eksploitasi alam yang terjadi di wilayah pantai Lor Segoro Yogyakarta. Area ini menjadi area eksplorasi tambang pasir besi yang dijalankan oleh PT KMI yang adalah perusahaan kongsi antara PT. Keraton Magasa Mining (KMM) dengan Aus Mines Ltd. (AM) dari Australia. Kemakmuran adalah kata kunci rencana yang dijalankan KMI sejak tahun 2006 hingga kini di tanah pesisir Empat Desa. Kemakmuran menjadi tujuan yang berusaha dicapai oleh perusahaan dengan kekuatan kapital besar seperti KMI yang telah berikrar
Executive Summary PKWG Seminar Series #2 mesra bersama negara dengan menjalankan apa yang disebut dengan proyek pembangunan. Pendirian tambang pasir besi di empat desa ada wujud nyata bagaimana proyek pembangunan berlangsung. Pembangunan adalah kegiatan memupuk modal dan perekonomian dengan berdasar perdagangan untuk menghasilkan ‘surplus’ dan laba. Hal tersebut kemudian menuntut untuk dilangsungkanya cara tertentu dalam menciptakan kekayaan sekaligus menciptakan kemiskinan dan kesengsaraan sebagai unsur-unsur yang ada dalam ‘pembangunan’. Cerita mengenai eksploitasi alam ada di seluruh Indonesia. Di timur Indonesia, terdapat narasi seorang Aleta Baun yang merawat tubuh dan alam. Aleta sebagai representasi perempuan dari komunitasnya meyakini bahwa kekayaan sumber daya yang telah disediakan di bumi ini bukan untuk diperjualbelikan. Segala sumber daya yang ada ini telah disediakan oleh ibu bumi ini agar seluruh mahluk hidup dapat terus mempertahankan rantai kehidupannya. Bagi masyarakat Molo, tidak ada mahluk bahkan manusia sekalipun yang memiliki kemampuan untuk mereproduksi sumber daya yang akan habis jika terus menerus dieksploitasi. Dalam perspektif environmental justice, praktek-praktek penghisapan sumber daya sering bermula dari keputusan-keputusan sepihak dari para pemodal. Bahwa dalam pengelolaan sumber daya salah satunya harus mempertimbangkan apa yang disebut dengan externalization of cost atau biayabiaya lain yang selam ini hampir tidak pernah dipertimbangkan. Pertimbangan ini nantinya akan mencakup defensive expenditure (biaya risiko polusi), productivity loss (biaya ganti rugi produktivitas bagi masyarakat lokal) dan hedonic pricing (biaya untuk mendapatkan fasilitas hiburan bagi masyarakat terpapar risiko). Di sisi lain, eksploitasi alam seringkali pula bersinggungan dengan perubahan iklim.
Dalam konteks yang lebih luas, penting untuk melihat bahwa dalam lini masa sejarah kebijakan perubahan iklim tidak memasukkan aspek gender (gender blind), ini kemudian ditambahkan sebagai sebuah matra dalam COP 15 Desember 2009, yaitu oleh PBB dan organisasi masyarakat sipil dalam kerangka UNFCCC. Sejak saat itu langkah-langkah dimulai dengan memasukkan rekomendasi gender dalam narasi kebijakan perubahan iklim, terutama di aras mitigasi yang masih sangat buta gender. Mengapa? Misalnya, bahwa akses atas air yang langka membuat perempuan berjalan lebih lama dalam mengambil air. Ini lebih jauh mengubah struktur ekologis, yaitu kemudian menggerus struktur sosial, dari masyarakat berbasis perkebunan perikanan berubah menjadi masyarakat berbasis jasa atau tambang atau industry. Lanskap masyarakat agrikultur yang berubah menjadi masyarakat industri atau tambang, misalnya, kemudian melahirkan ikutan konflik sosial semacam perebutan lahan, perkebunan monokultur yang merusak ekosistem, kelangkaan sumber daya alam, kelangkaan air, dan munculnya pelbagai penyakit ‘baru’ yang khas dalam masyarakat industri dan tambang, yaitu kanker dan HIV/AIDS, dan lain-lain, yang kesemuanya mempengaruhi hak dan kesehatan reproduksi seksual (SRHR). Data EM-DAT menunjukkan jumlah bencana alam yang tercatat di seluruh dunia selama tahun 2012 adalah 357 kejadian. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi rata-rata jumlah kejadian bencana alam pada tahun 2002-2011, yaitu sebanyak 394 kejadian. Namun demikian jumlah korban meninggal karena bencana alam masih sangat tinggi, yaitu sebanyak 9,655 orang dari 124.5 juta penyintas di seluruh dunia. Masih banyaknya korban jiwa selain terjadi karena dipengaruhi oleh faktor tingginya populasi dan luasnya lahan yang dihuni manusia, juga dipengaruhi oleh semakin sempitnya daerah penyangga (buffer zone) karena alih fungsi lahan dan perusakan
2
Executive Summary PKWG Seminar Series #2 lingkungan. Dalam praktek penanggulangan bencana, seringkali perempuan dianggap sebagai kelompok yang tidak berdaya karena tidak memiliki kemampuan, pengetahuan dan akses terhadap informasi, pengambilan keputusan dan sumber daya. Hal ini juga makin ditegaskan dengan konstruksi gender yang membuat ketidaksetaraan antara lelaki dan perempuan. Perempuan kemudian dianggap tidak memiliki kapasitas. Hal ini sejalan dengan laporan World Disaster Report 2007: “Those already marginalized by society–the elderly, women and girls, minority groups and people with disabilities–can become the most vulnerable in a time of crisis. The level of discrimination they face in everyday life is heightened when disaster strikes. Then, too often, these people are invisible both within their own societies and to the national, regional and global communities that mobilize emergency aid”. Tentu saja perlu bagi kita melihat konteks lokal, dalam hal ini menarik jika kita melihat perkembangan industry batik di Indonesia. Dalam konteks industri batik barbasis rumahan, kondisi kesehatan, khususunya fungsi reproduksi dan perlindungannya yang dapat ditelurur dari dua hal, antara lain; (1) tempat kerja (rumah) sebagai area domestik -reproduktif keluarga; (2) modus POS yang menciptakan interelasi pemberi kerja (juragan) pekerja rumahan yang informal tetapi “mengikat”; dan (3) batik yang diproduksi yang tidak ramah lingkungan. Dalam era ekonomi yang semakin fleksibel dan informal maka aktifitas ekonomi tidak hadir dalam rupa pabrik dengan gedung yang besar, tenaga kerja yang terorganisir, sistem kerja yang terkontrol, dan identitas pekerja selayaknya pekerja formal. Modus produksi pabrik (kapitalis) masuk dalam modus produksi rumah (ruang dominasi laki -laki), mengambil rupa rumah tinggal dan ‘bersembunyi’ didalamnya, menguasai rumah tinggal, dan memanipulasinya untuk melegitimasi produk yang dihasilkan. Sistem ini dalam dunia akademik dikenal dengan “putting-out system” (POS)1. POS ini
menggunakan tenaga kerja yang dikenal dengan istilah home based work atau homeworker (selanjutnya disingkat HW)2. Banyak istilah lokal yang dipakai untuk Home Workers yaitu mangklon, sanggan, tempahan, rengsi, buruh borongan, beto wangsul, buruh mancal, rengsi, “jrogan gaok”, pengrajin. Istilah-istilah ini berbeda-beda menurut arena atau wilayah dan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda yang dikaitkan perempuan dan laki-laki. Dalam konteks inilah kita perlu bicara hal yang lebih bersifat teoritis, atau dalam hal ini ekofeminisme. Ekofeminisme sebagai teori etika lingkungan hidup menyodorkan cara pandang yang baru, yaitu menggugat cara pandang dominan masyarakat modern, lalu menggantikannya melalui perilaku yang baru dalam mengatasi krisis lingkungan. Ekofeminisme adalah sebuah teori serta gerakan etika yang sebagaimana Biosentrisme dan Ekosentrisme dalam menentang Antroposentrisme yang mementingkan komunitas manusia. Ekofeminisme tidak hanya melawan Antroposentrisme melainkan Androsentrisme (male-centered environmental ethics), yaitu teori yang berpusat pada laki-laki. Ekofeminisme pun mengkritik Ekosentrisme, karena kritik Ekosentrisme masih sebatas pada Antroposentrisme sebagai penyebab krisis lingkungan. Ekofeminisme berpendapat bahwa, tidak sekedar disebabkan oleh cara pandang antroposentris, namun krisis lingkungan juga banyak disebabkan oleh dominasi lakilaki atas alam. Ekofeminisme penuh dengan dimensi spiritualitas dalam memandang alam secara feminin. Pandangan ini berbeda dengan feminis yang berangkat pada modernisme yang berdasar pada prinsip maskulinitas. Ekofeminisme menawarkan pendekatan holistik, yakni antara prinsip feminitas dan ekologi. Ekofeminisme juga membahas keterkaitan antara pembangunan dan ilmu pengetahuan modern dengan krisis
3
Executive Summary PKWG Seminar Series #2 lingkungan yang tengah berlangsung. Pembangunan diartikan sebagai usaha peningkatan taraf hidup semua orang, yang juga berarti menjadikan kategori-kategori ekonomi, yakni kebutuhan, produktivitas dan pertumbuhan, sebagai kategori ekonomi barat. Perempuan dirugikan karena sengaja disingkirkan dari kegiatan produktif pembangunan. Hal tersebut dikarenakan pembangunan menghancurkan produktivitas perempuan karena proyekproyek atas nama pembangunan merebut pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan dari tangan perempuan yang pada gilirannya memicu pemiskinan pada perempuan. Pemiskinan perempuan tidak hanya berdampak pada diri perempuan itu sendiri, namun juga berdampak pada keluarga dan lingkungan sosialnya. Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa kemiskinan di kalangan perempuan mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak lebih daripada laki-laki. Ketika penghasilan perempuan meningkat dan jumlah perempuan miskin berkurang, anak-anak juga memperoleh manfaat dari perkembangan itu, karena dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih banyak membelanjakan uang mereka untuk keluarga dan khususnya untuk anak-anak. Dengan kata lain, mengurangi jumlah perempuan miskin justru akan memunculkan efek berganda dalam meningkatkan kesejahteraan anak dan keluarga, yang pada gilirannya akan berdampak bagi masyarakat. Perempuan menjadi pihak yang sangat menderita dalam kemiskinan karena mereka seringkali mengalami viktimisasi berlapis dimana perempuan mendapatkan viktimisasi atas peran gender dan status
sosial yang dimilikinya. perempuan dalam hal ini adala kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi. Dengan peran ganda yang dimilikinya, perempuan dengan upah, pekerjaan, kerentanan terhadap kekerasan dan perlakuan yang diskriminatif serta tanggung jawab yang besar terhadap keluarga memberikan beban tambahan bagi perempuan yang berada dalam kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, kontrol, akses, dan partisipasi. Partisipasi menjadi kata kunci penting dalam upaya memberantas kemiskinan perempuan. Dalam hal ini, perempuan tidak lagi diposisikan sebagai objek kebijakan melainkan subjek dari kebijakan itu sendiri. Apabila perempuan tidak dijadikan subjek dalam pengentasan kemiskinan, maka program-program pengentasan kemiskinan tidak akan bisa menjangkau kebanyakan perempuan yang memiliki keterbatasan akses terhadap ruang publik. Padahal dalam konteks kemiskinan, perempuan secara nyata menjadi kelompok yang paling rentan, menderita dan menjadi korban. Oleh karena itu sangat diperlukan kebijakan yang berperspektif gender dalam upaya pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan dari Millenium Development Goals (MDG’s) yang akan berakhir tahun ini. Eksploitasi alam dan pemiskinan menjadi dua sisi dari koin yang sama yang berdampak penuh bagi perempuan, dan manusia secara keseluruhan. Pengalaman hidup dan kerja perempuan di alam lingkungan tempatnya tinggal membentuk mereka untuk mengerahkan akal dan tubuh dalam merespon segala situasi yang terjadi. Perempuan menciptakan ruang geraknya sendiri, dan memainkan peran-peran yang menentukan dalam cerita. Mereka bersiasat, mencari jalan lain dalam sebuah perjuangan.
4
Executive Summary PKWG Seminar Series #2 Perjuangan bagi perempuan adalah sebuah cerita. Para perempuan cerdas mengabaikan segala norma yang berlaku untuk menciptakan titik balik pengaruh dan kendali, demi melawan segala ketimpangan. Persoalan demi persoalan yang harus dihadapi akibat praktek ekploitasi terhadap sumber daya lantas mengantarkan perempuan untuk mengorganisasi gerakan. Tersebutlah nama-nama seperti Etty Anone, Yosina Lake (dokumentasi rakyat Molo 2007) dan Aleta Baun yang menjadi konseptor sekaligus pemimpin gerakan perebutan wilayah Mutis tersebut. Perebutan wilayah dan penghentian aktivitas tambang akhirnya berhasil dilakukan pada tahun 2007. Hal yang menjadi menarik dalam gerakan tersebut adalah kebangkitan para perempuan beserta seluruh simbolisasi-simbolisasi yang ditunjukkan. Aksi payudara misalnya merupakan salah satu ekspresi yang menegaskan bahwa selama ini mati-hidup manusia sangat ditentukan dari kemampuan menyusu pada tanah yang hakekatnya adalah personifikasi seorang ibu. Jika tanah dijarah, dicemari dan kemudian dieksploitasi maka berarti air susu, sumber hidup itu telah terhisap habis oleh apa yang dinamakan dengan keserakahan. Manusia hanya akan menerima limbah, penyakit dan berbagai kekurangan lainnya. Tambang, dalam jejak sejarahnya, memiliki persoalan etik atas lingkungan dan memiliki persoalan dengan pembangunan ekonomi. Tambang dengan sengaja menyembunyikan perempuan dari peran-peran profesinya karena eksklusif banyak dilakukan oleh pekerja laki-laki. Tambang bersifat amat maskulin. Bahaya tambang-tambang baru adalah mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat tambang. Mau tidak mau, perempuan dan anak-anak akan diseret menjadi penambang informal jika alam sudah hancur dan tak bisa menyediakan persediaan untuk ekonomi keluarga para petani—karena air tercemar, karena air
tidak ada, karena situasi lingkungan memburuk karena proses-proses ekstraksi tambang. De-agrikulturasi ini akan menghancurkan perikehidupan masyarakat. Tidak hanya sistem sosial yang rusak, tetapi, paling pertama adalah sistem ekologi. Sebagai penopang suplai air bagi PDAM Rembang dan Blora, Rembang akan mengalami darurat air jika benar tambang semen ini berdiri, dan menjadi besar, dan menghabisan hutan-hutan di Pegunungan Kendeng. Kurang lebih 300-an ibu-ibu Watu Putih meminta seluruh alat-alat berat keluar dari wilayah tapak tambang dan perlawanan masih dilanjutkan bahkan mendapat dukungan dari kota-kota di Indonesia, misalnya: Jakarta, Semarang, Solo, dan lainlain. Upaya membangun resiliensi di tingkat lokal akan semakin baik bila memberikan kesempatan bagi perempuan untuk turut berkontribusi, memenangkan semangat perempuan sebagai agen perubahan sudah tidak bisa ditawar lagi. Melihat makin tingginya kepedulian publik pada pengurangan risiko bencana dan tumbuhnya solidaritas di Indonesia, maka pekerjaan rumah yang utama adalah bagaimana memastikan bahwa pemahaman instrumen gender di Indonesia khususnya dalam pengurangan risiko bencana semakin baik di tiap level bagi multipihak; pemerintah, masyarakat sipil, komunitas bisnis, akademisi dan media. Di sisi lain, perlu adanya upaya untuk mendukung promosi keagenan perempuan dalam pengurangan risiko bencana yang lebih masif lagi. Pemenuhan hak dan perlindungan kesehatan reproduksi, dan kesehatan seksual perempuan pembatik rumahan dipahami dalam konteks industri berbasis POS dan HW yang masih terus ‘disembunyikan’. Oleh karenanya terkait, tiga hal dibawah ini sebagai satu kesatuan, antara lain; (1) persoalan ‘ketersembuyian’ fenomena industri berbasis POS dan Pembatik Rumahan didalamnya; (2) Perlindungan
5
Executive Summary PKWG Seminar Series #2 ruang domestik perempuan melalui batik ramah lingkungan; dan (3) pendidikan kritis bagi perempuan dan laki-laki pembatik rumahan atas tubuh dan fungsi reproduksinya dalam konteks keberlanjutan. Adanya fakta kecenderungan praktik penggunaan HW melalui POS yang semakin meluas, yang disertai praktik eksploitasi pada mereka dan keluarganya, dan ada upaya berbagai pihak yang merasa diuntungkan dari praktik ini untuk terus “menyembunyikannya”. Oleh karenanya dibutuhkan upaya untuk ‘membongkar’ realitas ini agar bisa memberikan pengakuan dan kondisi kerja yang layak dan memenuhi persoalan dan kebutuhan perempuan akan kesehatan seksual dan reproduksi. Bila area ini menjadi jelas maka terbuka peluang mendorong adanya kebijakan yang bisa menjamin pemenuhan hak-hak dari pembatik rumahan, khususnya perempuan dan anak-anak. Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan bahwa perubahan iklim saat ini telah menjadi salah satu ancaman global dan serius bagi keamanan manusia (human security). Berbagai efek dari perubahan iklim mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia. Pihak-pihak yang paling merasakan dampak perubahan iklim tersebut adalah negara-negara miskin dan kelompok masyarakat yang rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Sebuah studi yang dilakukan oleh The London School of Economics and Political Science terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002 juga menemukan kaitan erat antara bencana alam dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam ternyata berakibat pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan peningkatan gender gap dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan ternyata merupakan korban terbesar dari berbagai bencana alam yang terjadi. Akibatnya, terjadi peningkatan angka kemiskinan di kalangan perempuan.
Dampak yang paling besar pada saat perubahan iklim terjadi terutama di daerahdaerah yang masih tergolong miskin, bahkan di beberapa negara maju korban perubahan iklim didominasi oleh perempuan. Data-data menunjukkan tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban dari berbagai fenomena alam akibat perubahan iklim. Bencana tsunami di Aceh, misalnya, sebanyak 55-70% korban meninggal adalah perempuan. Bahkan di beberapa negara maju juga menunjukkan trend yang sama. Ketika terjadi bencana gelombang panas di Perancis pada tahun 2003 perempuan merupakan 70% dari 15,000 korban meninggal. Selain itu, korban badai Katrina di Amerika Serikat (AS) adalah mayoritas perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika, yang termasuk kategori masyarakat miskin di AS. Persoalannya, menurut laporan UNFPA, fakta akan tingginya angka kematian perempuan tidak disertai dengan berbagai kebijakan yang memberikan perhatian kepada perempuan dan anak sebagai pihak yang rentan terhadap bencana. Padahal bencana akibat perubahan iklim tersebut memiliki dua implikasi penting bagi perempuan. Perlu diperhitungkan dalam mengatasi berbagai perubahan iklim di dunia yakni perempuan dapat terlibat secara langsung. Apa yang dilakukan oleh perempuanperempuan di Rembang salah satu tujuannya adalah mengurangi perubahan iklim. Pusat Penelitian Politik LIPI menulis bahwa perempuan bisa memerankan diri sebagai agent of change atau sebagai agen perubahan yang responsnya lebih cepat dibanding lakilaki yaitu terlibat secara langsung dalam stuasi bencana alam, selain itu juga peran perempuan sebagai decision makers (pengambil keputusan) dan community leaders (tokoh masyarakat) juga penting untuk mendorong integrasi perspektif perempuan dalam berbagai kebijakan terkait dengan perubahan iklim. Sebagai penutup, adalah penting bagi perempuan untuk menyampaikan
6
Executive Summary PKWG Seminar Series #2 pengalamannnya terkait dengan pembangunan yang didasarkan pada eksploitasi alam. Pemiskinan, bukan kemiskinan, menjadi konsekuensi serius yang dihadapi oleh perempuan-perempuan di bumi Pertiwi. Pembangunan yang digadang-gadang mampu berperan sebagai jurus ampuh dalam memutus mata rantai kemiskinan justru menjadi sumber pemiskinan bagi perempuan dan manusia secara keseluruhan. Hal ini lah yang harus menjadi perhatian kita semua, mulai dari akademisi, praktisi, hingga pengambil keputusan. Bahwa belajar dari pengalaman perempuan dalam lingkup eksploitasi alam adalah sebuah keharusan. ____________________________ 1. ILO (1996) dalam The Homework Convention tahun 1996 mendefinisikan Putting-Out System (selanjutnya disingkat POS) merupakan sistem produksi yang sebagian besar proses produksinya berada di luar perusahaan atau berada di rumah atau tempat yang dipilih sendiri oleh pekerjanya dan berlangsung tanpa atau sangat sedikit supervisi dari pemberi kerja atau pengusaha. Sistem produksi ini menggunakan tenaga kerja yang dikenal dengan istilah home based work. 2. Home-workers juga sering dipertukarkan atau disamaartikan dengan home-based work. Dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan menjadi Pekerja Rumahan. Sayangnya dalam berbagai diskusi ilmiah, masih terjadi pemahaman istilah Pekerja Rumahan yang dikonotasikan dengan Pekerja Rumah Tangga, padahal kedua istilah ini berbeda secara prinsip dan praktis.
TIM PKWG UI PENASEHAT Tapi Omas IHROMI | Saparinah SADLI | Sjamsiah AHMAD | Sulistyowati IRIANTO | Mia SISCAWATI KETUA: Khaerul Umam NOER SEKRETARIS Safitri ANDRIYANI | Nyssa Janice LATUMETEN BENDAHARA: ROCHWATI ANGGOTA Shelly ADELINA | Ruth EVELINE | Iklilah Muzayyanah Dini FAJRIYAH | Iva KASUMA | Ni Loh Gusti MADEWANTI | Tien Handayani NAFI | Lidwina Inge NURTJAHYO | Tirtawening PARIKESIT | Gratianus Prikasetya PUTRA | Fr. Yohana Tantria WARDHANI SEKRETARIAT PKWG Ruang Kajian Gender, Gedung Rektorat Lt. 4, Kampus UI Salemba - Jakarta. P/F. 021.390.7407 | W. www.pkwg.ui.ac.id E.
[email protected]/
[email protected] T. @pkwg_UI | Fb. PKWG UI © PKWG UI 2015. Executive Summary ini dapat diunduh dan disebarluaskan secara cuma-cuma dengan tetap menyebutkan sumbernya. Terima kasih.
7