Jurnal
ISSN 1907-0799
Sumberdaya Lahan Indonesian Journal of Land Resources Vol. 1 No. 4
Nutrient Balances for Wetland Rice Farming Sukristiyonubowo (Balai Penelitian Tanah, Bogor)
Pembagian Air Secara Proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air H. Sosiawan (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor) dan K. Subagyono (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Bandung)
Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia S. Ritung dan A. Hidayat (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor)
Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua Berbasis Sumberdaya
Desember 2007
Hal. 1 Hal. 15
Hal. 25
Hal. 39
Wahyunto dan D. Kuntjoro (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor)
Peran Pupuk Hayati dalam Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Menunjang Keberlanjutan Produktivitas Tanah
Hal. 51
R. Saraswati (Balai Penelitian Tanah, Bogor)
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian DEPARTEMEN PERTANIAN
Jurnal
Sumberdaya Lahan
ISSN 1907-0799
Indonesian Journal of Land Resources Diterbitkan oleh : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Tlp. 0251 323012 Fax 0251 311256 e-mail :
[email protected] www.soil-climate.or.id
Penanggungjawab
:
Ketua Dewan Penyunting :
Anggota
:
Penyunting Pelaksana
:
Mitra Bestari
:
DEWAN PENYUNTING Irsal Las (Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) Achmad Hidayat (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) Undang Kurnia (Balai Penelitian Tanah) Rasti Saraswati (Balai Penelitian Tanah) Nono Sutrisno (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian) Didi Ardi Suriadikarta (Balai Penelitian Tanah) Santun R.P. Sitorus (Institut Pertanian Bogor) Karmini Gandasasmita Suwarto Widhya Adhy Supiandi Sabiham (Institut Pertanian Bogor) Suyamto (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan) A.M. Fagi
Jurnal Sumberdaya Lahan menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.
PEDOMAN BAGI PENULIS Ruang Lingkup: Jurnal Sumberdaya Lahan terbit dua kali dalam setahun, memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam penyuntingan di publikasi lainnya. Bentuk Naskah: Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (21,0 X 29,7 cm) dengan jarak ketikan dua spasi, dengan huruf Times New Roman 12 point, pada satu permukaan saja dan maksimum 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak ketikan dari tepi kiri 3,0 cm, sedangkan kanan, atas dan bawah 2,5 cm. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul tulisan (dalam bahasa Indonesia dan Inggris), nama dan alamat penulis, abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris (200-300 kata) dan kata kunci, pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan/penutup, daftar pustaka. Judul Naskah: Terdiri atas suatu ungkapan yang dengan tepat mencerminkan isi naskah. Nama serta instansi tempat kerja penulis dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari satu orang, maka perlu menuliskan namanya sesuai aturan penulisan. Kalau dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan sub judul untuk mempertegas maksud tulisan. Teks Naskah: Sitasi literatur di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan harus tercantum dalam daftar pustaka. Satuan ukuran dalam teks dan grafik memakai sistem metrik. Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat tetapi jelas, dengan catatan bawah secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan secara mandiri.
Gambar dan Grafik: Dibuat dengan garis cukup tebal, sehingga memungkinkan penciutan dalam proses cetak. Keterangan grafik dan gambar jangan pada gambar/ grafik itu, tetapi diketik dua spasi pada kertas tersendiri sebagai suatu legenda. Nama penulis serta nomor gambar/grafik dengan disertai sumbernya, ditulis dengan pensil lunak dibalik gambar itu. Seperti halnya tabel, keterangan gambar/grafik harus cukup lengkap, agar dapat disajikan secara mandiri. Foto hitam putih atau berwarna, dicetak pada kertas mengkilap, dan dipilih yang memiliki kotras yang baik. Slide berwarna atau yang berujud data digital lebih diharapkan. Daftar Pustaka: Semua pustaka yang disitir di dalam teks hendaknya disusun menurut abjad, sesuai nama penulisnya, dengan sistem nama tahun. Jangan masukkan pustaka yang tidak disitir dalam teks ke dalam daftar pustaka. Pustaka primer dari beberapa penulis diharapkan lebih banyak daripada pustaka sekunder, dan pustaka dari dalam negeri lebih banyak dari yang dari luar negeri. Penyunting melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penu-lis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan redaksi jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal dapat diterbitkan tepat waktu. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar jurnal. Surat Menyurat: Naskah tulisan dikirim rangkap dua ke alamat Redaksi Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123. Tlp. 0251-323012. fax. 0251-311256. e-mail:
[email protected]. id.
NUTRIENT BALANCES FOR WETLAND RICE FARMING Keseimbangan Hara pada Usaha Tani Lahan Sawah Sukristiyonubowo Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRACT Studies on nutrient balances in agriculture farming systems including wetland rice cultivation were aimed to refine agricultural farming/wetland rice management in order to make it more profitable and sustainable with less negative impact to the environment. In practice, they were aimed to improve recommended fertilizers application rate by taking into account agronomical, economical and environmental aspects. By definition, nutrient balances are the differences between inputs and outputs. The nutrients originating from fertilisers, returned crop residues, irrigation, rainfall, and biological nitrogen fixation are classified as input. Whereas, nutrient losses through removal harvested biomass (all nutrients), erosion (all nutrients), leaching (mainly nitrate, potassium, calcium and magnesium), fixation (mainly phosphate), and volatilisation (mainly nitrogen and sulphur) are considered as output. However, the balances assessment could also be constructed from the simple parameters, as the complete nutrient balances were complicated. Research on nutrient balances can be developed at different scales, e.i. (1) plot, (2) field, farm or catchment area, (3) district, province, and (4) country, and for different purposes. Many studies indicated that nutrient analyses from various commodities at plot, farm, district, province, and national levels, is characterised by a negative nutrient balance. This is also found to be the case for wetland rice production including terraced paddy field system in Indonesia. At the farm level, the deficits ranged from 24 to 86 kg N ha-1 season-1, 4 to 11 kg P ha-1 season-1, and 60 to 86 kg K ha-1 season-1. At the district level, the negative balances varied from 13 to 3,282 t N yr-1 district-1, from 241 to 470 t P yr-1 district-1, and from 287 to 3,692 t K yr-1 district-1. To reach sustainable and profitable wetland rice cultivation, then about 200-250 kg of urea ha-1 season-1, 100 kg of TSP ha-1 season-1, and 200 kg of KCl ha-1 season-1 should be recommended. Keywords : Nutrient balance, input, output
ABSTRAK Penelitian mengenai keseimbangan hara pada berbagai sistem usaha tani termasuk pada usaha tani lahan sawah dimaksudkan untuk memperbaiki pengelolaan lahan sawah agar lebih menguntungkan, lumintu, dan mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan. Dalam prakteknya hal ini diarahkan pada perbaikan dosis pemupukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomis, dan agronomis. Keseimbangan hara didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah hara yang masuk dan yang hilang. Hara yang berasal dari pupuk, pengembalian jerami, air irigasi, air hujan, dan hasil penambatan nitrogen secara biologis dikelompokkan sebagai hara yang masuk, sedangkan hara yang terangkut melalui hasil panen, jerami yang tidak dikembalikan, erosi, pencucian, fiksasi, dan volatilisasi dikelompokkan sebagai hara yang hilang. Namun demikian, dalam prakteknya analisis input-output dapat dilaksanakan secara sederhana, karena rumitnya pengukuran hara yang masuk dan yang hilang dalam bentuk gas. Penelitian keseimbangan hara dapat dilakukan pada skala yang beragam, mulai dari (1) skala plot, (2) skala lapangan, usaha tani, DAS, (3) skala kabupaten, provinsi dan (4) Negara, dengan tujuan yang beragam pula. Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai komoditas dilaporkan bahwa analisa hara yang masuk dan yang keluar pada skala plot, skala lapangan, skala kabupaten dan skala negara menunjukkan keseimbang hara yang negatif. Hal ini terjadi pula pada usaha tani padi sawah termasuk di sistem sawah berteras di Indonesia. Pada skala lapangan, keseimbangan hara bervariasi dari 24 sampai - 86 kg N ha-1 musim-1, - 4 sampai - 11 kg P ha-1 musim-1 dan - 60 sampai - 86 kg K ha-1 musim-1. Sedangkan, pada skala Kabupaten Semarang bervariasi antara - 13 sampai - 3,282 t N tahun-1 kabupaten-1, - 241 sampai - 470 t P tahun-1 kabupaten-1, dan antara - 287 sampai - 3,692 t K tahun-1 kabupaten-1. Untuk menuju usaha tani sawah yang menguntungkan dan lumintu sebanyak 200-250 kg urea ha-1 musim-1, 100 kg TSP ha-1 musim-1, dan 200 kg KCl ha-1 musim-1 seyogyanya direkomendasikan. Kata kunci : Keseimbangan hara, input, ouput
L
and conversion from agricultural to non agricultural purposes is being occurred in Indonesia, resulting in shrinking land for cultivating rice. It is reported that about 1.6 million hectares of agricultural lands have been
converted to non agricultural purposes, like for housing, industrial areas, road facilities, and other infrastructural purposes (Adimihardja et al., 2004; BPS, 2002). At the same time, competing water demand with other sectors including industry and 1
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
urbanisation is getting increase. This brings about available water for irrigation is becoming increasingly scarce constraining for more rice production. Therefore, the Indonesian agriculture challenge ahead, especially in wetland rice cultivation is how to produce more food from limited water and land. To meet growing rice demand and to support food security programme, the Indonesian Government through Ministry of Agriculture has targeted improving rice production about 2 million tons in 2007 and about 5% in the following years (Anonymous, 2007). Along with achieving this target, the need to protect environmental quality is also a major concern in modern agriculture, besides improvement of both quality and quantity of agricultural production and farmers' income. Consequently, wetland rice cultivation including terraced paddy field systems should be intensified and managed more efficiently by using inputs without reducing biomass production and soil fertility. Cultural practices, especially application of inorganic and organic fertilisers are very critical to be improved. The use of agro-chemicals has been recognised as an important non-point source of surface and subsurface water contamination (Lal, 1998; Lal et al., 1998). Nutrients carried away by eroded sediments and water run-off do not only reduce fertility of the soils, but also degrade surface water qualities (Duque et al., 2003; Phomassack et al., 2003; Sukristiyonubowo et al., 2003; Toan et al., 2003). In addition, recently in downstream areas, negative off-site impact due to improper land management has risen as crucial issue to be solved. Therefore, quantification of nutrient inputs and outputs is urgently needed for agronomical, economical and environmental analyses. Research on nutrient balances has been carried out and well documented for most agricultural productions. In general, studies on nutrient balances were aimed to refine agricultural farming management including wetland rice management making it more profitable and sustainable with less negative impact to the environment. Practically, they were addressed to improve recommended fertiliser application rate based on the input-output analysis.
2
NUTRIENT BALANCES : DEFINITION, PARAMETER, AND SCALE OF ANALYSIS Definition Theoretically, nutrient balances are the different between nutrient gains and losses. The inputs include nutrients originating from fertilisers, returned crop residues, irrigation water, rainfall, and biological nitrogen fixation (Lefroy and Konboon, 1999; Miller and Smith, 1976; Van den Bosch et al., 2001; Whitbread et al., 2000; Wijnhoud et al., 2003). According to Uexkull (1989 and 1970), the outputs include removal through harvested biomass (all nutrients), erosion (all nutrients), leaching (mainly nitrate, potassium, calcium and magnesium), fixation (mainly phosphate), and volatilisation (mainly nitrogen and sulphur). Two different balances are classified, namely partial and full or complete balance. Partial balance is made up solely of inorganic and organic fertiliser (IN-1 + IN-2) and harvested product (OUT1 + OUT-2). While, the complete balance is defined as the different between inputs (IN-1 to IN-5) and outputs (OUT-1 to OUT-5). The balance can be negative, zero or positive depending upon the different between total nutrient inputs and the outputs (Stoorvogel et al., 1993; Sukristiyonubowo, 2007a; Uexkull, 1989 and 1970). When the sum of nutrient inputs is lower than the outputs, the balance will be negative. This means that the input is deficit and therefore, it must be increased as much as the negative point to replace the removed nutrients. If no improvement in land management including fertiliser input and happening in the long period, the nutrient mining occurs and the yield decreases. On the other hand, when the nutrient input is higher than the output, the positive balance will be observed suggesting that the nutrient input is excessive. Hence, it is recommended to reduce input originating from inorganic fertiliser to avoid negative impacts. For the principal reasons, the agronomical, economical and environmental aspects, the difference inputoutput of zero will be the realistic.
Parameters and method of quantification
Sukristiyonubowo : Nutrient Balances for Wetland Rice Farming
A complete study of nutrient balances is indeed a good approach to develop recommended fertiliser application rate. However, practically, it will be very complicated. Incoming and outgoing nutrient, especially through gases are not easy to be measured. Nutrient balance, therefore, can be constructed in a simple manner (Drechsel et al., 2001; Lefroy and Konboon, 1999; Sukristiyonubowo et al., 2003; Van den Bosch et al., 2001; Wijnhoud et al., 2003). Nutrient losses
are mainly estimated based on nutrients removal by harvested products and unreturned crop residues, while the main inputs are computed according to inorganic and organic fertilisers. Although the assessment is not so perfect, at least we still get the picture of how much fertilisers should be applied for the next season. So far, it is reported that most assessment is partial analysis of the in- and output data.
Table 1. Data collected and method of quantification for INPUTS in the assessment of N, P, and K balances in most agricultural production including wetland rice cultivation Input data
Code and nutrients
Data required/collected
Method of quantification
Inorganic fertilisers
IN-1: N, P, and K
• Type of fertiliser applied • Field observation • Amount of fertiliser applied • Field measurement • Nutrient concentration in fertiliser • Laboratory analysis/check from the label
Organic fertilisers
IN-2: N, P, and K
• Amount of organic matter (straw/crop residue) recycled • Nutrient content in straw/crop residue
• Field measurement • Laboratory analysis
Irrigation
IN-3: N, P, and K
• Discharge Water input Nutrient concentration in irrigation water
• Field measurement • Transfer function • Laboratory analysis
Rainfall
IN-4: N, P, and K
• Daily, monthly, and annual rainfall • Nutrient concentration in rainfall
• Field measurement
Biological N-Fixation
• Laboratory analysis
IN-5: N only
3
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Table 2. Data collected and method of quantification for OUTPUTS in the assessment of N, P, and K balances in most agricultural production including wetland rice cultivation Output data
Code and nutrients
Data required/collected
Method of quantification
Harvested product
OUT-1: N, P, and K
• Grain yield • Nutrient concentration in grains
• Field measurement • Laboratory analysis
Unreturned straw/ crop residue
OUT-2: N, P, and K
• Straw/Crop residue production • Nutrient concentration in straw
• Field measurement • Laboratory analysis
Erosion
OUT-3: N, P, and K
• Discharge at in- and outlet • Nutrient concentration in suspended sediment • Sediment concentration
• Field measurement • Laboratory analysis • Laboratory analysis
Leaching
OUT-4: N and K
• Soil water content and movement • Nutrient content
• Ceramic cup and tensiometer • Laboratory analysis
Denitrification
OUT-5: N
• Moisture content • Organic carbon content • Texture
• • • •
From the previous studies, detailed parameters as presented in Table 1 and 2 could be developed to assess N, P and K balances in most agricultural production, including wetland rice cultivation (Lefroy and Konboon, 1999; Miller and Smith, 1976; Poss and Saragoni, 1992; Smaling et al., 1993; Sukristiyonubowo, 2007a; Van den Bosch et al., 2001; Whitbread et al., 2000; Wijnhoud et al., 2003; Stoorvogel et al., 1993). In this approach, nutrient originating from inorganic fertiliser (IN-1), organic fertiliser (IN-2), irrigation water (IN-3), rainfall (IN-4), and biological Nfixation (IN-5) are taken into account as the inputs. The outputs can be calculated from harvested product (OUT-1), unreturned rice straw or crop residues (OUT-2), erosion (OUT-3), leaching (OUT-4), and denitrification (OUT-5). Not all input and output parameters are considered in the budget analysis. Besides, complicated in measuring gaseous parameters, it depends also on the farming system to be evaluated. Sukristiyonubowo (2007a and 2007b) informed that as leaching may not occur in wetland rice cultivation, thus it is not important to be measured. So far, since in the terraced paddy fields system, erosion mainly occurs during puddling and the eroded nutrients are considered very low, therefore, it can be neglected. However, erosion to 4
Laboratory analysis Laboratory analysis Laboratory analysis Transfer function
be an important output parameter in the sloping area. The contributions of fertilisers to input (IN-1) are being very important. Not only provide high nutrients, but they also easily release nutrients required by plant. In the balances assessment, the IN-1 is estimated according to the fertiliser application rate and nutrient content in the fertilisers. For example, in the Conventional Farmer Practices treatments, applied only 50 kg of -1 -1 urea ha season , the IN-1 is 22.5 kg N. The nutrients contributed by recycled straw or crop residues (IN-2) are estimated based on the amount of recycled straw or crop residue and nutrient content in the straw or crop residue. Sukristiyonubowo (2007a) reported that the contributions, especially to N and K inputs are about 25-40% and 41-83% of total N input and K input, respectively. Depending on the amount of returned rice straw, treatment, and season, the IN2 in wet land rice cultivation varied from 20 to 29 -1 kg N, 2 to 3 kg P, and from 40 to 59 kg K ha -1 season . This confirms that the rice straw is rich in nitrogen and potassium. These amounts are considered significant and may be higher than that -1 -1 application of 50 kg urea ha season and -1 relatively equal to the K amount in 100 kg KCl ha -1 season . Therefore, it can be said that rice straw is natural potassium source. Similar conclusions are
Sukristiyonubowo : Nutrient Balances for Wetland Rice Farming
drawn from other studies. They also provided confirmation that incorporation organic substances including straw in paddy soils improve soil fertility, root morphological characteristics, and yield (Eneji et al., 2001; Hasegawa et al., 2005; Mohammad et al., 1992; Singh et al., 2001; Yang et al., 2004). Specifically, other studies recommended incorporating rice straw, one of the silicon sources, to cope the levelling off, to increase soil fertility and to improve yield. One of the reasons is that rice is known as a silicon (Si) accumulator and could get benefits from the silicon nutrition (Sudhakar et al., 2004; Takahashi, 1995; Yang et al., 2004). Irrigation water (IN-3) is also important nutrient sources. The daily amount of nutrients added by irrigation waters is drawn from daily water input and nutrients content in irrigation water. The water input is calculated by multiplying discharge and time. The residential time should be taken into account when the irrigation is given in short period. The nutrients content in irrigation waters is determined from the daily collected samples. It was reported that irrigation water contributes about 4-14 kg N, 0.1-0.2 kg P, and 6-1 -1 13 kg K ha season (Sukristiyonubowo, 2007a). These inputs (IN-3) are equal to 8-30 kg of urea and 12-25 kg of KCl. The K contribution verifies that irrigation water contains relatively high potassium. Nutrients gains from rainfall water (IN-4) are also considered as important input. It supplies high nutrient, especially nitrogen. The annual amount of nutrients brought by the rains is estimated by multiplying the average nutrients content in the rains and total annual rainfall (Poss and Saragoni, 1992; Sukristiyonubowo, 2007a). The mineral content in the rains is determined by the samples collected from rain gauges and automatic weather station installed in the fields. Sukristiyonubowo (2007a) confirmed that the nutrients coming from rainfall water (IN-4) are about 21 kg N, 3 kg P, and -1 6 kg K ha from the annual precipitation of 3,395 mm. This contributed nitrogen is equivalent to about 45 kg of urea and considered significant. The similar findings are observed in Belgium and South Korea. It was reported that the N-input from -1 rainfall water in Belgium is about 25 kg N ha (Demyttenaere, 1991) and in South Korea is about -1 40 kg N and 0.7 kg P ha . Biological
N
fixation
(IN-5)
is
important in leguminous crops and wetland rice. It is assumed that about 50-75% of the N requirement of leguminous crop is derived from -1 biological fixation, small contribution (2-5 kg N ha ) is coming from non-symbiotic N fixation (Smaling et al., 1993; Stoorvogel et al., 1993). Since all the input parameters are being significant to the nutrients inputs, thus, it is advised to measure all the parameters to develop better recommended fertiliser application rates, if not the balances are still underestimated.
Nutrient removed from cultivated land usually exceeds the natural rate of nutrient input. Consequently, when the nutrients removals are not replaced by inorganic fertilisers or returning of biomass, soil mining takes place and finally crop production decreases. This also takes place in the terraced paddy fields, in which nutrient removal by rice grains (OUT-1) and rice straw (OUT-2) were greater than natural input (see Table 3 to 5). Smaling et al., (1993) also observed that removal nutrients (N, P and K) by harvested product is the strongest negative contributor. Measurement of removed nutrients through harvested product (rice grains and rice straw) in the hectare basis could be extrapolated from the sampling areas. Nutrient removal (OUT-1 and OUT-2) is estimated according to the productions in hectare basis and nutrients content in rice grain or rice straw. Nutrients losses through erosion (OUT-3) are sum of nutrients in the soil and nutrient runoff water. Total soil loss by erosion can be derived from runoff plot research or from discharge and sediment load measurements in catchments area (Ceisiolka and Rose, 1998; Sukristiyonubowo, 2007a; Stoorvogel et al., 1993). Nutrients carried away by erosion are estimated based on the total soil loss and nutrient content in the soil. Especially for phosphorous, the result then is multiplied by enrichment factor as eroded soil is richer in nutrients (P) than the soil in situ. The dissolved nutrients in the runoff water are calculated according to total volume runoff and nutrient
mainly 5
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
content in runoff water. Furthermore, Smaling et al. (1993) provided confirmation that leaching (OUT-4) can be estimated by mean of transfer functions using rainfall, texture (clay content), soil N and K content, and fertiliser input. Leaching of phosphorus tends to be negligible, especially for
most soils containing fresh volcanic constituents as they strongly retain phosphorus. So far, from the study NPK balance of land use systems in subSaharan Africa was reported that depending on -1 clay content (%) and average rainfall (mm yr ) leaching N soil (LN soil ) ranges between 15% and -1 40% of total mineral soil N (N min in kg ha ), where Nmin = 20 x N tot (total soil N) x M (annual nitrogen mineralization rate). The M is set for 2.5% to 3% depending on the land use types (Smaling et al., 1993). K leaching generally does not go beyond 2 -1 -1 kg ha yr (Tisdale et al., 1985). According to Smaling et al. (1993) denitrification losses are quantified as a function of -1 clay content (%), average rainfall (P, in mm yr ), and mineral soil N and fertiliser N. Through simplification procedure the denitrified N is calculated as follow: DN (percentage denitrification) = -9.4 + 0.13 x clay content + 0.01 x P Sukristiyonubowo (2007a) informed that when NH 3 volatilisation and nitrogen fixation are not measured in balances assessment of wetland rice cultivation, the N balances are a bit underestimated. Many studies reported that NH 3 + volatilisation is influenced by pH, CEC, NH 4 concentration, pounding depth, when and how fertiliser is applied (Cho et al., 2000; Chowdary et al., 2004; Fan et al., 2006; Ghosh and Bhat, 1998; Hayashi et al., 2006; Manolov et al., 2003; Xing and Zhu, 2000). In general, the N loss through NH 3 volatilisation ranges from 20 to 33% of the amount -1 of N applied, equivalent to 13 to 45 kg N ha , and it is considered a significant loss (Cho et al., 2000; Chowdary et al., 2004; Fan et al., 2006). However, other studies in China and Japan showed smaller losses, about 11% and 1.4 ± 0.8%, respectively (Hayashi et al., 2006; Xing and Zhu, 2000). Ghosh 6
and Bhat (1998) reported the range of NH 3 losses to be about 2-30%. These losses are considered high. Hence, it should be kept in mind that when NH 3 volatilisation during the field experiments is not feasible to be quantified, the N outputs are thus expected to be a bit undervalued. In Indonesia, research and publication dealing with NH 3 losses in wetland rice cultivation is hardly ever conducted. Therefore, it is highly recommended to be studied. Crop residue is a fundamental natural resource for conserving and sustaining soil productivity. It supplies essential plant nutrients, improves physical and biological conditions of the soil, and prevents soil degradation (Aulakh et al., 2001; Jastrow et al., 1998; Puget and Drinkwater, 2001; Tisdale and Oades, 1979; Walters et al., 1992). However, the nutrients present in roots often have been ignored in assessment of nutrient balances. Most attention was paid to cover crops since they are considered to be a potential source of nitrogen for the following crops (Harris and Hesterman, 1990; Kumar and Goh, 2000; Thomsen, 1993). Currently, it has been observed that the contribution of plant nutrients from roots is important, ranging between 13 and 40% of total plant N (Chaves et al., 2004; Kumar and Goh, 2000). This is also found to be the case for rice residues in wetland rice cultivation as reported in Sukristiyonubowo (2007a) and Sukristiyo-nubowo et al. (2003 and 2004). However, the rice residues (containing roots and steam) are not taken into account either as an input nor an output in the balance assessment. As practically, they always remain in the rice field. Therefore, they may be regarded as an organic pool in the soils. So far, Sukristiyonubowo (2007a) provided confirmation that the rice residue productions both in the wet season and the dry season were high, ranging from 5 to 7 t ha-1 season-1, and rich in N and K. Thus, it is being important nutrient sources. Depending upon the treatment and season, the contribution to the nutrient pool in the soil ranged from 21 to 43 kg N, 2 to 5 kg P, and 72 to 153 kg K -1 -1 ha season in the Wet Season 2003-2004 and from 24 to 43 kg N, 3.4 to 5 kg P, and 88 to 143 kg -1 -1 season in the Dry Season 2004, K ha respectively. It is also interesting to note that the N
Sukristiyonubowo : Nutrient Balances for Wetland Rice Farming
input by rice residue is higher than that the N amount in 50 kg of urea, as applied by most farmers in the research site. The input of K is -1 higher than the K amount in 100 kg of KCl ha -1 season . Therefore, it can be concluded that the presence of rice residues in terraced paddy field systems may be considered as an important natural nutrient investment. However, practically the residues always remain in the field. Hence, they are not regarded either as an input nor an output. The overall balances would be lower, if the rice residues would be removed from the rice field. In that case, the rice residues should be regarded as an output. Scale of analyses According to Akonde et al. (1999), Bationo et al. (1998), Faerge et al. (2001), Hashim et al. (1998), Lefroy and Konboon (1999), Poss and Saragoni (1992), Santoso et al. (1995), Smaling et al. (1993), Sukristiyonubowo (2007a), Stoorvogel et al. (1993), Syers (1996), and Van den Bosch et al. (2001; 1998a; 1998b), nutrient balances can be developed at different scales, including (1) plot, (2) field, farm or catchment, (3) district, province, and (4) country scale, and for different purposes. Many studies indicated that at plot, farm, district, province, and national levels, agricultural production including wetland rice cultivation is characterised by a negative nutrient balance. A long-term nitrogen experiment at plot scale in the sloping area of Kuamang Kuning (Jambi Province, Indonesia) provided confirmation that the balance in the plots without input was
-1
-1
-
cotton-based agro ecosystem were -25 kg N ha yr -1 -1 -1 -1 1 , 0 kg P ha yr , and -20 kg K ha yr . Meanwhile, Van den Bosch et al. (1998b) found that the average balance for all farms in three -1 -1 different districts in Kenya were -71 kg N ha yr , -1 -1 -1 -1 +3 kg P ha yr , and -9 kg K ha yr . Similar results are found in northern Nigeria and in Uganda (Harris, 1998; Nkonya et al., 2005; Wortmann and Kaizzi, 1998).
The negative balances at the farm scale were also observed for terraced paddy field systems in Indonesia (Sukristiyonubowo, 2007a; Sukristiyonubowo et al., 2003 and 2004). Table 3 to 5 present the negative for terraced paddy field systems in Indonesia (Sukristiyonubowo, 2007a). In this study, twelve terraced paddy fields and four treatments including Farmer Practices (FP), Farmer Practices + Rice Straw (FP + RS), Improved Technology (IT) and Improved Technology + Rice Straw (IT + RS) were tested during the Wet Season 2003-2004 and the Dry Season 2004. In the conventional farmer practices -1 -1 treatments, only 50 kg of urea ha season was applied. In the improved technology treatments, about 100 kg of urea, 100 kg of Triple Super Phosphate (TSP), and 100 kg of Potassium -1 -1 Chloride (KCl) ha season were applied. About 33% of rice straw produced in the previous season was recycled in the treatments of conventional farmer practices + rice straw and improved technology + rice straw.
-1
-4 kg N ha yr . However, this did not happen in the plots treated with a combination of high fertiliser application rates and Flemingia congesta leaves planted in a hedge row system (Santoso et al., 1995). Studies at the farm level in the semi arid South Mali showed that nutrient balances for a 7
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Table 3. The N balance at terraced paddy fields under traditional irrigation systems, in the WS 200304 and the DS 2004 Parameter
Gains : IN-1 : Fertiliser IN-2 : Recycled straw IN-3 : Irrigation IN-4 : Rainfall Total gains Losses : Removal by harvest • OUT-1 : Rice grains • OUT-2 : Rice straw Total loss Balance
Nitrogen balance IT + RS IT CFP + RS CFP WS 2003WS 2003WS 2003WS 2003DS 2004 DS 2004 DS 2004 DS 2004 04 04 04 04 -1 -1 ……..…………..………………….. kg ha season …….……………………………….. 45.0 (43%) 26.4 (25%) 13.5 (13%) 20.6 (19%) 105.5 (100%)
76.5 (47%) 87.8 (53%) 164.3 (100%) - 58.8
45.0 (57%) 29.0 (37%) 4.5 (6%) -
45.0 (62%) -
45.0 (92%) -
48.8 (100%)
22.5 (27%) 28.4 (34%) 13.1 (15%) 20.6 (24%) 84.6 (100%)
3.8 (8%) -
78.5 (100%)
7.2 (10%) 20.6 (28%) 72.8 (100%)
82.8 (50%) 81.7 (50%) 164.5 (100%) - 86.0
51.9 (49%) 54.4 (51%) 106.3 (100%) - 33.5
58.7 (50%) 59.2 (50%) 117.9 (100%) - 69.1
48.7 (45%) 60.1 (55%) 108.8 (100%) - 24.2
22.5 (45%) 19.8 (40%) 7.2 (15%) -
22.5 (40%) -
22.5 (79%) 6.1 (21%) -
49.5 (100%)
13.6 (24%) 20.6 (36%) 56.7 (100%)
28.6 (100%)
51.5 (48%) 55.3 (52%) 106.8 (100%) - 57.3
38.6 (44%) 49.2 (56%) 87.8 (100%) - 31.1
45.0 (48%) 48.6 (52%) 93.6 (100%) - 65.0
Table 4. The P balance at terraced paddy fields under traditional irrigation systems, in the WS 200304 and the DS 2004 Parameter
Gains : IN-1 : Fertiliser IN-2 : Recycled straw IN-3 : Irrigation IN-4 : Rainfall Total gains Losses : Removal by harvest OUT-1 : Rice grains OUT-2 : Rice straw Total loss Balance
8
Phosphorus balance IT + RS IT CFP + RS CFP WS 2003WS 2003WS 2003WS 2003DS 2004 DS 2004 DS 2004 DS 2004 04 04 04 04 -1 -1 ……..…………..………………….. kg ha season …….……………………………….. 20.0 (79%) 3.2 (12%) 0.1 (0%) 2.6 (10%) 25.9 (100%)
10.8 (65%) 5.8 (35%) 16.6 (100%) + 9.3
20.0 (91%) 1.9 (9%) 0.1 (0%) -
20.0 (88%) -
20.0 (99%) -
-
-
-
-
1.6 (94%) 0.1 (6%) -
-
-
1.7 (100%)
0.2 (7%) 2.6 (93%) 2.8 (100%)
0.1 (100%) -
20.1 (100%)
2.2 (44%) 0.2 (4%) 2.6 (52%) 5.0 (100%)
0.1 (1%) -
22.2 (100%)
0.1 (1%) 2.6 (11%) 22.7 (100%)
12.0 (67%) 6.0 (33%) 18.0 (100%) + 4.0
6.0 (53%) 5.4 (47%) 11.4 (100%) + 11.3
7.1 (60%) 4.8 (40%) 11.9 (100%) + 9.2
4.5 (48%) 4.8 (52%) 9.3 (100%) - 4.3
5.5 (58%) 4.0 (42%) 9.5 (100%) - 7.8
3.9 (47%) 4.4 (53%) 8.3 (100%) - 5.5
4.6 (55%) 3.8 (45%) 8.4 (100%) - 8.3
0.1 (100%)
Sukristiyonubowo : Nutrient Balances for Wetland Rice Farming
Table 5. The K balance at terraced paddy fields under traditional irrigation systems, in the WS 2003-04 and the DS 2004
Parameter
Gains : IN-1 : Fertiliser IN-2 : Recycled straw IN-3 : Irrigation IN-4 : Rainfall Total gains Losses : Removal by harvest OUT-1 : Rice grains OUT-2 : Rice straw Total loss Balance
Potassium balance IT + RS IT CFP + RS CFP WS DS 2004 WS 2003- DS 2004 WS 2003- DS 2004 WS 2003- DS 2004 2003-04 04 04 04 -1 -1 ……..…………..………………….. kg ha season …….……………………………….. 50.0 (44%) 46.2 (41%) 11.3 (10%) 6.1 (5%) 113.6 (100%)
20.3 (10%) 178.0 (90%) 198.3 (100%) - 84.7
50.0 (43%) 58.8 (50%) 7.8 (7%) -
50.0 (79%) -
50.0 (89%) 6.4 (11%) -
116.6 (100%)
7.3 (12%) 6.1 (9%) 63.4 (100%)
21.7 (12%) 157.1 (88%) 178.8 (100%) - 62.2
13.5 (9%) 133.4 (91%) 146.9 (100%) - 83.5
The analysis indicated that negative N, P, and K balances were observed, except in the IT -1 and IT+RS treatments, where 100 kg of TSP ha -1 season was applied. These results mean that (1) to substitute the N and K removed from the rice fields through harvested products, N and K fertilisers must be added as much as the amount of their deficits, (2) application rate of 100 kg of TSP -1 -1 ha season was enough to meet P requirement. Therefore, it could be said that towards sustainable wetland rice cultivation about 200-250 kg of urea -1 -1 -1 -1 ha season , 100 kg of TSP ha season , and -1 -1 season should be 200 kg of KCl ha recommended. Nutrient input-output analysis at the district level has been conducted in several countries for different farming systems. At the district level, negative balances were also observed for major agricultural systems in the Kissi District of Kenya -1 and amounted up to 112 N, 3 P, and 70 K kg ha -1 yr (Smaling et al., 1993). Meanwhile, the nutrient balance of rice farming in the Ubon Ratchathani -1 Province, Thailand was + 6.5 kg N ha , + 5.2 kg P
-
-
-
-
39.8 (83%) 8.3 (17%) -
-
-
48.1 (100%)
11.4 (65%) 6.1 (35%) 17.5 (100%)
8.1 (100%) -
56.4 (100%)
52.5 (73%) 13.4 (19%) 6.1 (8%) 72.0 (100%)
15.7 (11%) 123.5 (89%) 139.2 (100%) - 82.8
11.7 (9%) 120.6 (91%) 132.3 (100%) - 60.3
12.5 (11%) 103.9 (89%) 116.4 (100%) - 68.3
9.5 (9%) 94.9 (91%) 103.1 (100%) - 85.6
10.4 (10%) 97.1 (90%) 107.5 (100%) - 99.4
-1
8.1 (100%)
-1
ha , and - 6.4 kg K ha based on average yields and recommended fertiliser rates (Lefroy and Konboon, 1999). A similar finding is also observed in the wetland rice cultivation in the Semarang District, Indonesia using data from 1978 to 2003. -1 The balances varied from -13 to -3,282 t N yr -1 -1 -1 district , from + 156 to 893 t P yr district , and -1 -1 district from -287 to -3,692 t K yr (Sukristiyonubowo, 2007a). Assessment of nutrient balances at the national level has been initiated by Jager et al. (1998), Stoorvogel et al. (1993), Van den Bosch et al. (1998b), and Sheldrick et al. (2003). So far, Jager et al. (1998), Stoorvogel et al. (1993), Van den Bosch et al. (1998b), and Sheldrick et al. (2003) reported a negative balance for most agriculture farming system. Furthermore, Jager et al. (1998) and Van den Bosch et al. (1998b) informed that agricultural production in Kenya is characterised by negative nutrient balances and a downward trend in food production. Similarly, Stoorvogel et al. (1993) observed negative N, P, and K balances in the arable land of some Sub 9
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Saharan African Countries. Meanwhile, studies in China using data from 1961 to 1997 confirmed that the N, P, and K balances were negative, both at national and provincial levels (Sheldrick et al., 2003).
CONCLUSION Nutrient balances have been researched and well documented for many agricultural productions including for wetland rice cultivation. Different scales and purposes have been developed to improve agricultural management including wetland rice management making it more profitable and sustainable with less negative impact to the environment. A complete and simple nutrient balances can be created depending on the nutrient input and output parameters considered. Studies at plot, farm, catchment, district, province, and national levels showed a negative balance for most agricultural system including wetland rice cultivation in Indonesia. Study at the farm level in terraced paddy systems in Indonesia showed the -1 -1 deficits, ranging from 24 to 86 kg N ha season , 4 -1 -1 -1 to 11 kg P ha season , and 60 to 86 kg K ha -1 season . Meanwhile, at the district level assessment of nutrient balances for wetland rice production using data from 1978 to 2003 also indicated the negative balances varying from 13 to -1 -1 -1 3,282 t N yr district , from 241 to 470 t P yr -1 -1 -1 district , and from 287 to 3,692 t K yr district . Towards sustainable and profitable wetland rice -1 -1 cultivation about 200-250 kg of urea ha season , -1 -1 100 kg of TSP ha season , and 200 kg of KCl ha 1 -1 season should be recommended.
REFERENCES Adimihardja, A., Wahyunto, and R. Shofiyati. 2004. Advocacy for controlling sawah conversion for improvement of the national food security. Pp 47-63. In F. Agus, H. Pawitan, and E. Husen (Eds.). Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. (in Indonesian).
10
Akonde, T.P., A.E. Leihner, and R. Kuhne. 1999. Nutrient balance in agroforestry systems. Plant Research and Develop-ment. Institute for Scientific Cooperation, Tubingen, Federal Republic of Germany 50:7-17. Anonymous. 2007. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada padi sawah spesifik lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 286 hlm. Aulakh, M.S., T.S. Khera, J.W. Doran, and K.F. Bronson. 2001. Managing crop residue with green, urea, and tillage in a rice-wheat rotation. Soil Science Society of America Journal 65:820-827. Bationo, A., F. Lompo, and S. Koala. 1998. Research on nutrient flows and balances in West Africa: State-of-the-art. Agricultural Water Management 71:19-35. BPS. 2002. Statistic of Indonesia. Biro Pusat Statistik (in Indonesian). Ceisiolka, C.A.A. and C.W. Rose. 1998. The measurement of soil erosion. Pp. 287-302. In F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.). Soil Erosion at Multiple Scale. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in Association with IBSRAM. Chaves, B., S. De Neve, G. Hofman, P. Boeckx, and O.V. Clemput. 2004. Nitrogen mineralisation of vegetables roots residues and green manures as related to their (bio) chemical composition. Euro-pean Journal of Agronomy 21:161-170. Chowdary, V.M., N.H. Rao, and P.B.S. Sarma. 2004. A coupled soil water and nitrogen
balance model for flooded rice fields in India. Agriculture Ecosystems and Environment 103:425-441. Cho, J.Y., K.W. Han, and J.K. Choi. 2000. Balance of nitrogen and phosphorus in a paddy field of Central Korea. Soil Science and Plant Nutrition 46:343-354. Demyttenaere, P. 1991. Stikstofdynamiek in de bodems van de westvlaamse groentestreek. Doctorate Thesis. 203p.
Sukristiyonubowo : Nutrient Balances for Wetland Rice Farming
Drechsel, Pay, D. Kunze, and F. Penning de Vries. 2001. Soil nutrient depletion and population growth in Sub-Saharan Africa: A Malthusian nexus? population and environment. A Journal of Interdisci-plinary Studies 22(4):411-423. Duque Sr., C.M., R.O. Ilao, L.E. Tiongco, R.S. Quita, N.V. Carpina, B. Santos, and T. de Guzman. 2003. Management of soil erosion consortium: an innovative approach to sustainable land management in the Philippines. MSEC-Philip-pines Annual Report. In. S.P. Wani, A.R. Maglinoa, A. Ramakrisna, and T.J. Rego (Eds.). Integrated Catchment Management for Land and Water Conservation and Sustainable Agricultural Production in Asia. CD-Rom (one CD). Eneji, A.E., S. Yamamoto, and T. Honna. 2001. Rice growth and uptake as affected by livestock manure in four Japanese soils. Journal of Plant Nutrient 123:333-343. Faerge, J., J. Magid, and F. Penning de Vries. 2001. Estimating rural-urban nutrient flows for mega-cities. Pp. 163-175. In. P. Drechsel and D. Kunze (Eds.) Waste Composting for Urban and Peri-Urban Agriculture: Closing the Rural-Urban Nutrient Cycle in Sub-Saharan Africa. CABI Pub. Fan, X.H., Y.S. Song, D.X. Lin, L.Z. Yang, and J.F. Lou. 2006. Ammonia volatilisation losses and N-15 balance from urea applied to rice on a paddy soil. Journal of Environmental Science China 18(2): 299-303. Ghosh, B.C. and R. Bhat. 1998. Environmental hazards of nitrogen loading in wetland rice fields. Environmental pollution 102: 123126. Harris, F.M.A. 1998. Farm-level assessment of the nutrient balance in northern Nigeria. Agriculture, Ecosystems and Environment 71:201-214. Harris, G.H. and O.B. Hesterman. 1990. Quantifying the nitrogen contribution from alfalfa to soil and two succeeding crops using nitrogen-15. Agronomy Journal 82:129134. Hasegawa, H., Y. Furukawa, and S.D. Kimura. 2005. On-farm assessment of organic
amendments effects on nutrient status and nutrient use efficiency of organic rice fields in Northern Japan. Agriculture, Ecosystems, and Environment 108:350362. Hashim, G.M., K.J. Caughlan, and J.K. Syers. 1998. On-site nutrient depletion: an effect and a cause of soil erosion. Pp. 207-222. In F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.). Soil Erosion at Multiple Scale. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in Association with IBSRAM. Hayashi, K., S. Nishimura, and K. Yagi. 2006. Ammonia volatilisation from the surface of a Japanese paddy field during rice cultivation. Soil Science and Plant Nutrition 52:545-555. Jager, A. De, S.M. Nandwa, and P.F. Okoth. 1998. Monitoring nutrient flows and economic performance in african farming systems (NUTMON) I. Concepts and methodologies. Agriculture, Ecosystems, and Environment 71:37-48. Jastrow, J.D., R.M. Miller, and J. Lussenhop. 1998. Contributions of interacting bio-logical mechanisms to soil aggregate stabilisation in restored prairie. Soil Biology Biochemistry 30:905-916. Kumar, K. and K.M. Goh. 2000. Biological nitrogen fixation, accumulation of soil nitrogen, and nitrogen balance for white clover (Trifolium repens L.) and field pea (Pisum sativum L.) grown for seed. Field Crop Research 68:49-59. Lal, R. 1998. Soil erosion impact on agronomic productivity and environment quality. Critical Reviews in Plant Sciences 17(4): 319-464. Lal, R., F.P. Miller, and T.J. Logan. 1998. Are intensive agricultural practices environmentally and ethically sound ? Journal of Agriculture Ethics 1:193-210. Lefroy, R.D.B., and J. Konboon. 1999. Studying nutrient flows to assess sustainability and identify areas of nutrient depletion and imbalance: an example for rainfed rice systems in Northeast Thailand. Pp. 77-93. In Ladha et al. (Eds.). Rainfed Lowland Rice: Advances in Nutrient Management Research. IRRI.
11
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Manolov, I.G., M. Ikeda, and T. Yamakawa. 2003. Effect of methods of nitrogen application on nitrogen recovery from N-15-labelled urea applied to paddy rice (Oryza sativa L.). Journal of the Faculty of Agriculture Kyushu University 48:1-11. Miller, R.J. and R.B. Smith. 1976. Nitrogen balance in the Southern San Joaquin Valley. Journal of Environmental Quality 5(3):274278. Mohammad, S.Z., M. Mohamad, A. Muhammad, and A.G. Maqsood. 1992. Integrated used of organic manure and inorganic fertilisers for cultivation of lowland rice in Pakistan. Soil Science and Plant Nutrition 38:331338. Nkonya, E., C. Kaizzi, and J. Pender. 2005. Determinants of nutrient balances in a maize farming system in eastern Uganda. Agricultural System 85:155-182. Phommassack, T., A. Chanthavongsa, C. Sihavong, C. Thonglatsamy, C. Valentine, A. de Rouw, P. Marchand, and V. Chaplot. 2003. An innovative approach to sustainable land management in Lao PDR. MSEC-Lao PDR Annual Report. In S.P. Wani, A.R. Maglinoa, A. Ramakrisna, and T.J. Rego (Eds.). Integrated catchment management for land and water conservation and sustainable agricultural production in Asia. CD-Rom (one CD). Poss, R. and H. Saragoni. 1992. Leaching of nitrate, calcium, and magnecium under maize cultivation on an oxisol in Toso. Fertilizer Research 33(2):123-134. Puget, P. and L.E. Drinkwater. 2001. Short-term dynamics of root- and shoot-derived carbon from a leguminous green manure. Soil Science Society of America Journal 65:771-779. Santoso, D., I G.P. Wigena, Z. Eusof, and X.H. Chen. 1995. The ASIALAND management of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping lands. In International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia: Challenges, Opportunities, and Prospects. IBSRAM-Thailand Proceedings 14:93-108. Sheldrick, W.F., J.K. Syers, and J. Lingard. 2003. Soil nutrient audits for China to estimate
12
nutrient balance and output/ input relationships. Agriculture, Ecosys-tems, and Environment 94:341-354. Singh, B., R.K. Niranjan, and R.K. Pathak. 2001. Effect of organic matter resources and inorganic fertilisers on yield and nutrient uptake in the rice-wheat cropping system. IRRN 26(2):57-58. Smaling, E.M.A., J.J. Stoorvogel, and P.N. Wiindmeijer. 1993. Calculating soil nutrient balances in Africa at different scales II. District scale. Fertiliser Research 35(3):237-250. Stoorvogel, J.J., E.M.A. Smaling, and B.H. Janssen. 1993. Calculating soil nutrient balances in Africa at different scales. I. Supra-national scale. Fertiliser Research 35(3):227-236. Sudhakar, P.C., J.P. Singh, and K. Singh. 2004. Effect of silicon sources and fertility levels on transplanted rice. IRRN 29(2): 61-63. Sukristiyonubowo. 2007a. Nutrient Balances in Terraced Paddy Fields under Traditional Irrigation in Indonesia. PhD thesis. Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University, Ghent, Belgium. 184 p. Sukristiyonubowo. 2007b. Sedimen dan unsur hara yang terangkut saat pelumpuran pada sawah berteras. Paper presented at the National Seminar on Land Resources and Agricultural Environment. Bogor, 7-8 November 2007. 22 p. Sukristiyonubowo, F. Agus, D. Gabriels, and M. Verloo. 2004. Sediment and nutrient balances under traditional irrigation at terraced paddy field systems. Paper presented at the second International Symposium on Land Use Change and Soil and Water Processes in Tropical Mountain Environments. Luang Prabang, Lao PDR, 14-17 December 2004. Sukristiyonubowo, R.L. Watung, T. Vadari, and F. Agus. 2003. Nutrient loss and the on-site cost of soil erosion under different land use systems. Pp. 151-164. In A.R. Maglinao, C. Valentine, and F.W.T Penning de Vries (Eds.). From Soil Research to Land and Water Mana-gement: Harmonising People and Nature. Proceedings of the IWMI-ADB th Project Annual Meeting and 7 MSEC Assembly.
Sukristiyonubowo : Nutrient Balances for Wetland Rice Farming
Syers, J.K. 1996. Nutrient budgets: uses and abuses. In soil data for sustainable land uses: a training workshop for Asia. IBSRAM-Thailand Proceedings 15:163168. Takahashi, E. 1995. Uptake mode and physiological function of silica. Science of Rice Plant 2:58-71. Thomsen, I.K. 1993. Nitrogen uptake in barley after spring incorporation of 15N labelled Italian ryegrass into sandy soils. Plant Soil 150:193-201. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. th ed. Soil fertility and fertilisers. 4 Macmillan Publishing Company, New York. Tisdale, J.M. and J.M. Oades. 1979. Stabilisation of soil aggregates by the root systems of ryegrass. Austrian Journal of Soil Research 29:729-743. Toan, T.D., T. Phien, D.D. Phai, and L. Nguyen. 2003. Managing soil erosion for sustainable agriculture in Dong Cao catchment. MSEC-Vietnam Annual Report. In S.P. Wani, A.R. Maglinoa, A. Ramakrisna, and T.J. Rego (Eds.). Integrated Catchment Management for Land and Water Conservation and Sustainable Agricultural Production in Asia. CD-Rom (one CD). Uexkull, H.R. von. 1989. Nutrient cycling. In soil management and smallholder development in the Pacific Islands. IBSRAMThailand Proceedings 8:121-132.
Van den Bosch, H., A. De Jager, and J. Vlaming. 1998a. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems (NUTMON) II. Tool Development. Agriculture, Ecosystems and Environment. 71:49-62. Van den Bosch, H., J.N. Gitari, V.N. Ogoro, S. Maobe, and J. Vlaming. 1998b. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems (NUTMON) III. Monitoring nutrient flows and balances in three districts in Kenya. Agriculture, Ecosystems and Environ-ment 71:63-80. Walters, D.T., M.S. Aulakh, and J.W. Doran. 1992. Effect of soil aeration, legume residue, and soil texture on transfor-mations of macro and micronutrients in soils. Soil Science 153:100-107. Whitbread, M. Anthony, Blair, J. Graeme, and R.D.B. Lefroy. 2000. Managing legume leys, residues and fertilisers to enhance the sustainability of wheat cropping system in Australia. 1. The effects on wheat yields and nutrient balance. Soil and Tillage Research 54:63-75. Wijnhoud, J.D., Y. Konboon, and R.D.B. Lefroy. 2003. Nutrient budgets: sustainability assessment of rainfed lowland rice-based systems in northeast Thailand. Agriculture, Ecosystems and Environ-ment 100:119127. Wortmann, C.S. and C.K. Kaizzi. 1998. Nutrient balances and expected effects of alter-
Uexkull, H.R. von. 1970. Some notes on the timing of potash fertilisation of rice (nitrogenpotash balance in rice nutrition). Pp. 413416. In The International Potash Institute. th Proceedings of the 9 congress of the International Potash Institute. Van den Bosch, H., D. Eaton, M.S. Van Wijk, J. Vlaming, and A. De Jager. 2001. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming system: the NUTMON approach and its applicability to peri-urban agriculture. Pp. 163-175. In Drechsel, Pay and D. Kunze (Eds.). Waste Composting for Urban and Peri-Urban Agriculture: Closing the Rural-Urban Nutrient Cycle in Sub-Saharan Africa. CABI Pub.
13
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
native practices in farming systems of Uganda. Agriculture, Ecosystems, and Environment 71:115-129. Xing, G.X. and Z.L. Zhu. 2000. An assessment of N loss from agricultural fields to the environment in China. Nutrient Cycling in Agroecosystems 57:67-73. Yang,
14
Changming, Yang, Linzhang, Yang, Yongxing, and Z. Ouyang. 2004. Rice root growth and nutrient uptake as influenced by organic manure in conti-nuously and alternately flooded paddy soils. Agricultural Water Management 70:67-81.
PEMBAGIAN AIR SECARA PROPORSIONAL UNTUK KEBERLANJUTAN PEMANFAATAN AIR Proportional Water Sharing for Sustainable Water Use H. Sosiawan1 dan K. Subagyono2 1
2
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Bandung
ABSTRAK Kompetisi, alokasi, dan distribusi penggunaan air untuk keperluan pertanian, industri, dan domestik di negara berkembang seperti Indonesia dari tahun ke tahun semakin tajam, rumit, dan penuh konflik. Kondisi ini diperburuk oleh laju pertumbuhan penduduk dan sektor industri yang semakin tidak terkendali, sementara ketersediaan air yang dapat dan layak digunakan semakin menurun. Sementara itu setiap pengguna air merasa bahwa dirinya memerlukan air yang lebih banyak dari yang lainnya, tanpa disertai data kebutuhan air yang tepat untuk setiap sektor. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani yang notabene harus menanggung beban pangan hampir selalu kalah dalam setiap negosiasi dengan stakeholder non pertanian, sehingga dilampiaskan dalam bentuk protes yang berujung pada perusakan sarana dan prasarana pendistribusian air. Konflik tersebut seringkali berkepanjangan antar pihak pengguna kepentingan maupun dengan pihak pengelola karena belum ada mekanisme yang jelas baik dalam hal distribusi dan alokasi serta kewenangan dan wasit yang bisa menjembataninya. Seri data tentang alokasi penggunaan air dari berbagai daerah dianalisis untuk mendapatkan gambaran pola alokasi penggunaan antar sektor dan pengaruhnya terhadap alokasi untuk sektor pertanian. Untuk menanggulangi konflik kepentingan antar pengguna air, maka pemanfaatan air harus diatur melalui pembagian air secara proporsional (proportional water sharing) yang tidak hanya berhenti pada teori dan wacana tetapi harus diimplementasikan dengan proyek percontohan (pilot project) di berbagai karakteristik sumber air dan stakeholder agar dapat dijadikan acuan (reference) dalam alokasi dan distribusi air antar sektor dan antar wilayah. Kata kunci : Alokasi air, konflik sektoral, pembagian air secara proporsional
ABSTRACT In developing countries such as Indonesia, competition, allocation, and distribution of water uses for agriculture, industry, and domestic purposes have been significantly increased, complicated, and very easy to lead a conflict. The uncontrolable of population and industrial sectors growth, and the decreasing of available water are factors affecting those problems. Unfortunately, most of users seem to need more water allocation than others without giving proper data of water requirement for each sector. This condition leads to arrise conflict among the users. In fact, farmers who have to produce foods for all people in the country are very often defeated in many negotiation among stakeholders of other sectors. Consequently, this condition tends to provoke protest from farmers that leads to demonstration and finaly destroys infrastructure of water distribution. The conflict is often prolonged due to the absence of rules and mechanisms in term of water distribution and allocation, and no authorization who acted as a negotiator in the conflict. Water allocated series data from several regions have been analyzed to gain and illustration of sectoral water use pattern and its infuences to water allocation for agriculture. To avoid conflict among the users, the use of water should be regulated under the implementable concept of proportional water sharing. A pilot project in various water resources characteristics and stakeholders should be conducted, so it can be used as a reference for water allocation and distribution between sectors and areas. Keywords : Water allocation, sectoral conflict, proportional water sharing
I
ndonesia termasuk salah satu negara yang diproyeksikan mengalami krisis air pada 2025 (World Water Forum II di Denhaag, Maret 2000) yang penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satu diantaranya adalah pemakaian air yang kurang efisien. Kelangkaan air (water scarcity) derajatnya semakin meningkat. Sementara pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan pola hidup yang semakin menuntut penggunaan air yang relatif
banyak, semakin menambah tekanan terhadap kuantitas air. Daya beli masyarakat (khususnya masyarakat kota) terhadap air yang disediakan oleh lembaga servis pemerintah seperti PDAM cukup memadai, sehingga masyarakat tidak merasa adanya kesulitan mendapatkan air. Kalaupun tidak, masyarakat memanfaatkan air bawah permukaan (groundwater) dengan menggunakan pompa, dan sangat jarang memikirkan dampak penurunan tinggi muka air 15
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
bawah permukaan (groundwater level) dan intrusi air laut. Demikian halnya dengan petani di kawasan beririgasi khususnya golongan I dan II, mereka tidak pernah kebingungan selama fasilitas air irigasi tersedia di saluran, padahal tidak jarang saluran-saluran irigasi kering di musim kemarau. Di sisi lain, alokasi dan distribusi air antar sektor dan antar wilayah semakin komplek dengan potensi konflik yang cenderung meningkat akibat kemampuan pasokan yang semakin menurun dengan tingkat ketidakpastian tinggi dan pengguna yang semakin beragam dan banyak jumlahnya. Peningkatan kebutuhan air untuk non pertanian (domestik, munisipal, dan industri) pada 10 tahun terakhir yang sangat signifikan akan berdampak terhadap penurunan kemampuan suplai kebutuhan air irigasi di suatu daerah. Masalahnya semakin komplek dengan adanya keragaman (variability) ketersediaan air antar waktu (temporal) dan antar wilayah (spatial) pada musim kemarau, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan pasokan air untuk keperluan pertanian, domestik, dan munisipal. Di Indonesia, konflik alokasi air antar sektor dan antar wilayah ekskalasinya cenderung meningkat, bahkan dari tertutup menjadi konflik terbuka. Sejarah konflik penggunaan sumberdaya air antar negara maupun antar wilayah sudah ada sejak 2.300 tahun lalu di negara-negara Timur Tengah (Gleick, 2003) yang melegenda, mengandung nuansa mitos, melibatkan banyak negara dan banyak kepentingan yang melatarbelakanginya. Hal tersebut sangat dapat dipahami karena sumberdaya air yang semakin hari semakin terbatas dan langka akan menguasai hajat hidup semua makhluk hidup di planet bumi yang dapat dijadikan sebagai sarana pengendali berbagai kepentingan. Joyce Star dalam Ohlsson (1995) mengemukakan bahwa
konflik alokasi sumberdaya air merupakan isu yang sangat serius pasca perang dingin dan bahkan di
16
negara-negara Timur Tengah diperkirakan perang bukan lagi berkaitan dengan konflik politik tetapi lebih merupakan perang air (“the next war in the Middle East will be over water, not politics”). Di Indonesia, pemanfaatan air untuk berbagai penggunaan cenderung melebihi pasokan air yang tersedia dan belum terintegrasi dengan upaya konservasi air. Pengguna air umumnya mengabaikan usaha konservasi air yang seharusnya dilakukan. Hal ini semakin memberikan tekanan pada ketersediaan sumberdaya air dan pasokan air untuk berbagai penggunaan. Besaran proporsi pemanfaatan air untuk setiap sektor (rumah tangga, industri, irigasi, rekreasi, energi, dan lain-lain) sangat dinamis dan relatif sulit ditetapkan secara tepat dan akurat. Untuk sektor pertanian, pemanfaatan air untuk irigasi juga sangat beragam menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Berapa volume air yang tepat untuk irigasi pada daerah irigasi golongan I, II, III, dan IV masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab. Ego-sektoral dalam pemanfaatan air masih melekat pada setiap pengguna air. Setiap pengguna air merasa bahwa dirinya memerlukan air yang lebih banyak dari yang lainnya, tanpa disertai data kebutuhan air yang tepat untuk setiap sektor. Kondisi tersebut sangat memung-kinkan terjadinya konflik antar pengguna air. Hal ini menuntut pembagian air secara adil dan masingmasing pengguna air berkewajiban untuk mengelola dan menjaga kelestarian sumberdaya air. Untuk menanggulangi konflik kepentingan antar pengguna air, maka pemanfaatan air harus diatur melalui pembagian air secara proporsional. Makalah ini mencoba membahas kondisi distribusi dan alokasi air antar sektor dan upaya alternatif pemecahannya agar pemanfaatan sumberdaya air dapat berkelanjutan.
POTENSI SUMBERDAYA AIR DI INDONESIA
H. Sosiawan dan K. Subagyono : Pembagian Air Secara Proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air
Indonesia menduduki urutan ke-lima negaranegara yang kaya air setelah Brazil, Rusia, China, dan Canada. Hal ini tercermin dari potensi ketersediaan air permukaan (terutama sungai) yang menurut catatan Depkimpraswil dalam Sjarief (2003) rata-rata mencapai kurang lebih 15.500 3 m /kapita/tahun jauh melebihi rata-rata dunia yang 3 hanya 600 m /kapita/tahun. Namun jumlah yang berlimpah tersebut ketersediaannya sangat bervariasi menurut ruang dan waktu. Sebagai contoh, Pulau Jawa yang penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah air yang tersedia di P. Jawa mencapai 30.569,2 3 juta m /tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya di pulau yang terpadat penduduknya ini selalu mengalami defisit paling tidak hingga nanti 2015 dan defisit akan terus meningkat jika tidak ada upaya konservasi dan efisiensi pemanfaatannya. Demikian juga halnya di wilayah lain, walaupun pada tahun yang sama masih tergolong surplus, namun secara umum kelebihan air tersebut jumlahnya menurun (Gambar 1), dan ketersediaannya sangat berfluktuasi antara musim hujan dan musim kering. Sebagai contoh catatan Depkimpraswil dalam Sjarief (2003), menunjukkan bahwa pada musim 3 hujan debit air di S. Cimanuk mencapai 600 m /dt 3 tetapi hanya 20 m /dt pada musim kemarau.
Ketersediaan air di dam-dam utama di Indonesia juga mengalami perubahan, karena berubahnya kapasitas tampung dam akibat sedimentasi. Pada Gambar 2 disajikan perubahan ketersediaan air di dam-dam utama di Indonesia yang dimonitor pada Pebruari 2007. Pada umumnya potensi ketersediaan air di dam mengalami penurunan sekitar 20-30% dibandingkan dengan potensi yang direncanakan pada saat pembangunan dam tersebut. Sejak tahun 1900, sekitar 200 dam dengan berbagai ukuran telah dibangun di Indonesia. Dimensi dam tersebut adalah tinggi 15 m atau lebih, dan dam dengan tinggi 10-15 m dengan 500 m atau lebih panjang 3 (crest), kapasitas simpan 1 km atau lebih dan 3 dengan kapasitas spillway 2.000 m / detik (Loebis, 2006). Tekanan terhadap sumberdaya air juga telah merubah kualitas air menjadi semakin buruk, salah satu penyebabnya adalah pencemaran pada air permukaan (sungai, danau, waduk) dan air bawah permukaan (groundwater). Faktanya adalah terjadinya eutrofikasi di danau-danau. Intrusi air laut ke daratan menyebabkan salinitas air di sumur-sumur penduduk meningkat. Kebocorankebocoran limbah industri ke sungai dan lahanlahan pertanian makin memberikan tekanan pada lingkungan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, sumur-sumur dangkal penduduk telah tercemar
Surplus
400 1995 300
2000 2015
(km 3/thn)
200 100
Papua
Maluku
NTT
NTB
Bali
Sulawesi
Kalimantan
Jawa
-100
Sumatera
Defisit
0
-200 Sumber : Sutopo Nugroho dalam Sjarief (2003) dengan modifikasi
Gambar 1. Ilustrasi surplus dan defisit ketersediaan air maya (virtual water) di sebagian besar wilayah Indonesia 17
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
1.600 Volume rencana 1.400 Volume pemantauan
1.000
800
600 3
Volume waduk (juta m3)
1.200
400
200
0 Djuanda
Cirata
Saguling Kedungombo Wonogiri
Sempor
Wadaslintang
Sermo
Sutami
Lahor
Wonorejo
Batutegi
Bili-Bili
Sumber : PJT II dalam Subagyono dan Surmaini (2007)
Gambar 2. Perubahan potensi ketersediaan air di dam-dam utama di Indonesia bakteri coli dari kotoran manusia akibat kebocoran septic tank.
KEBUTUHAN AIR UNTUK BERBAGAI PEMANFAATAN Kebutuhan air makin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan ragam kebutuhan yang menuntut sumberdaya air dalam jumlah banyak, baik kebutuhan air untuk keluarga, industri, irigasi, penggelontoran, energi (hydroelectricity), rekreasi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Indeks penggunaan air (IPA) atau rasio kebutuhan dan ketersediaan air sudah melebihi 1, artinya sumberdaya air yang ada sudah tidak cukup untuk menopang kebutuhan penggunaannya. Depkimpraswil dalam Suara Pembaruan (2003), mencatat IPA untuk daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane sudah melampaui 1,2 (129,4%) pada tahun 1995. Pada tahun-tahun terakhir indeks tersebut diperkirakan makin meningkat, karena pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif cepat, perkembangan pesat sektor industri, energi, dan rumah tangga sementara potensi ketersediaan air cenderung menurun. Pemanfaatan air secara nasional telah 3 mencapai sekitar 80 miliar m per tahun, dengan 18
tingkat pemanfaatan tertinggi di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60% (Suara Pembaruan, 2003). Dalam lima tahun terakhir diperkirakan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan ragam kebutuhan air. Penggunaan air tawar di Indonesia didominasi untuk kebutuhan pertanian sekitar 76% dan sisanya adalah untuk kebutuhan industri 11%, dan domestik 3%. Menurut UNESCO-IHE-Waterfootprint dalam Subagyono dan Surmaini (2007), kebutuhan air untuk memproduksi 1 kg padi adalah sebanyak 2.300 liter, untuk 1 kg jagung diperlukan 900 liter, dan untuk domestik kebutuhan air setiap harinya mencapai 100 liter/kapita dengan perkiraan kebutuhan debit untuk budidaya padi per ha adalah 1 liter/detik. Masalah air antar sektor Peningkatan kebutuhan air setiap sektor makin menekan potensi pasokan air yang tersedia, hal ini berdampak pada makin meningkatnya potensi konflik antar sektor. Sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar di antara sektorsektor pengguna air lainnya. Sebagai gambaran, sampai saat ini di pantai utara Jawa Barat, untuk 3 mengairi sawah irigasi dibutuhkan 5.592 juta m
H. Sosiawan dan K. Subagyono : Pembagian Air Secara Proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air
air/tahun. Sementara itu, kebutuhan air untuk industri dan rumah tangga (domestic municipal and 3 industry/DMI) sekitar 952 juta m . Terjadinya peningkatan kebutuhan air akibat laju pertumbuhan penduduk (1,6%/tahun), perkembangan sektor industri dan peningkatan taraf hidup masyarakat, menyebab-kan kebutuhan air DMI pada tahun 2025 diproyeksikan meningkat 3 tiga setengah kali lipat, menjadi 3.311 juta m . Tabel 1. Tingkat kebutuhan air untuk berbagai keperluan pada tahun 1990, dan perkiraan tahun 2005 dan 2025 di Jawa berdasarkan hasil simulasi Tahun Irigasi Industri Air minum Perikanan Penggelontoran Hidro-elektrik Jumlah kebutuhan Air tersedia
1990 2005 2025 3 .......... juta m .......... 5.592 5.520 5.298 249 473 788 308 672 1.419 32 315 631 63 315 473 300 100 0 6.544 7.395 8.609 7.650 7.700 7.750
Sumber : Sosiawan, 2002
Berhubung sektor pertanian, domestik, munisipal, dan industri mendapatkan air dari sebagian besar air dari waduk, maka pemenuhan air untuk DMI akibat peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan pembangunan pada masa mendatang (tahun 2025) akan mengambil porsi air yang digunakan untuk pertanian sekitar 25%, sehingga secara langsung akan mengganggu kinerja sistem produksi pertanian (Tabel 1). Meskipun kelangkaan air (water scarcity) dan konflik air antar sektor sudah terjadi dan dirasakan langsung petani, namun pemerintah belum memberikan perhatian dan penanganan secara proporsional, sehingga dalam jangka panjang diperkirakan terjadinya konflik horizontal maupun vertikal dalam alokasi dan distribusi air akan memerlukan tenaga, waktu, dan biaya yang sangat
mahal untuk pemecahannya. Konflik dan dampak penggunaan air antar sektor Dua fenomena besar yang sangat meresahkan petani dan masyarakat kelas menengah bawah adalah (1) penguasaan absolut atas sumber mata air (spring water resources) oleh sektor tertentu yang tidak terkendali, serta (2) belum tersedianya pola, sistem, dan mekanisme dalam: penetapan water sharing, implementasi, pemantauan, dan penyelesaian konfliknya, sehingga masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) mendapat perlakuan yang adil. Kedua isu tersebut saat ini terus mengemuka, karena selain air menguasai hajat hidup orang banyak, ia juga menjadi komponen utama penyusun makhluk hidup. Sementara itu, secara kuantitas ketersediaannya yang utilizable terus menurun akibat rusaknya daur hidrologi dan pencemaran. Kondisi ini akan mendorong masyarakat masuk dalam perangkap krisis air (water crisis trap) yang secara akumulatif dapat memicu munculnya konflik air horizontal maupun vertikal (vertical and horizontal conflict). Ironisnya, masalah krusial ini belum direspons secara proporsional oleh pengambil kebijakan maupun perencana (Irianto, 2004). Permasalahan fenomena pertama seringkali menimbulkan konflik penggunaan air terutama antara petani dengan stakeholder yang lain seperti PDAM atau dengan industri. Contoh konflik yang pernah terjadi adalah antara petani dengan PDAM kota Bandung yang disebabkan oleh pengambilan air oleh PDAM dari outlet PLTA Cikalong serta peningkatan debit aliran yang dimanfaatkan oleh PDAM untuk meningkatkan pasokan air bersih yang mencapai kenaikan 1.000 liter/detik. Konsekuensinya adalah budidaya pertanian di wilayah Ciherang dan Kiangroke gagal panen terutama pada musim kemarau (Anonim, 2004).
19
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Sumber : Sosiawan (2002)
Gambar 3. Evolusi perkiraan penggunaan air waduk Jatiluhur Permasalahan fenomena kedua lebih terkait dengan aspek implementasi dan kebijakan terutama yang berkaitan dengan mekanisme distribusi dan kontrol, alat, dan wasit (jury) yang mengawasi alokasi air untuk berbagai sektor serta perangkat undang-undang yang dapat mendukung implementasi tersebut.
semakin menurun, akibat terbatasnya modal, akses teknologi serta keberpihakan pengelola sumberdaya air. Kon-sekuensi logis dari penurunan jatah kebutuhan air tersebut terhadap kondisi agronomis budidaya padi adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air tanaman pada beberapa fase pertumbuhannya.
Teladan yang lebih signifikan tentang water sharing adalah alokasi penggunaan air di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Barat yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II yang mempunyai tanggung jawab mengelola waduk Jatiluhur untuk kebutuhan sektor pertanian, munisipal, industri, perikanan, dan pembangkit listrik (hydro-electric). Mengacu pada kebutuhan air untuk sektor pertanian dan non pertanian serta kapasitas tampung waduk jatiluhur selama 10 tahun terakhir serta proyeksi kebutuhan air di masa akan datang, diperkirakan mulai tahun 2015 jumlah kebutuhan air akan melebihi jumlah air yang tersimpan di waduk Jatiluhur (Gambar 3). Kondisi demikian akan mengakibatkan timbulnya potensi konflik antar pengguna air dalam pengelolaan sumberdaya air. Dampaknya dapat diprediksi bahwa ketersediaan air untuk sektor pertanian
Program peningkatan indek pertanaman (IP 200/IP 300) di daerah sentra produksi padi seperti di daerah pantura Jawa Barat menuntut suatu sistem budidaya pertanaman padi yang baik. Dalam melaksanakan upaya ini ada dua masalah utama yaitu (a) efisiensi jaringan irigasi yang relatif rendah (55%) dan (b) deraan iklim (terutama ElNino) yang seringkali mengakibat-kan kegagalan panen. Kondisi tersebut akan membawa dampak terhadap keberlanjutan (sustainability) budidaya sawah irigasi yang ada. Hasil simulasi proyeksi kebutuhan air berbagai sektor pengguna air di wilayah pantura Jawa Barat menunjukkan bahwa pada tahun 2025, akibat persaingan penggunaan air untuk kebutuhan domestik, munisipal, dan industri akan membawa dampak penurunan pasokan air irigasi
20
H. Sosiawan dan K. Subagyono : Pembagian Air Secara Proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air
hingga mencapai 25%. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air tanaman padi. Hasil simulasi neraca air tanaman (studi kasus Kabupaten Karawang dengan luas areal irigasi teknis 90.300 ha) menunjukkan bahwa pada tahun-tahun normal wilayah yang mengalami defisit air untuk tanaman adalah golongan irigasi III (24.600 ha) dan golongan irigasi IV (14.300 ha). Selama periode musim tanam I defisit air tanaman lebih dari 50% yang terjadi pada fase pembentukan biji dan pematangan, akan tetapi tidak mempengaruhi penurunan hasil yang signifikan (< 20%). Sedangkan pada musim tanam II defisit air yang terjadi pada fase pembungaan di daerah golongan irigasi III dan IV masing-masing sebesar 25 dan 22% mengakibatkan penurunan hasil sebesar 62 dan 56%. Golongan irigasi I (23.700 ha) dan golongan irigasi II (27.700 ha) yang mendapatkan air irigasi sebulan lebih awal mempunyai peluang lebih baik dari segi kecukupan air untuk tanaman. Defisit air untuk tanaman hanya terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif masing-masing sebesar 17 dan 20% yang terjadi pada periode musim tanam I. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan hasil masing-masing sebesar 17 dan 20%. Pada tahun El-Nino defisit air tanaman ditemukan di semua wilayah golongan irigasi dan berpengaruh secara nyata terhadap penurunan hasil. Defisit air yang terjadi pada fase pembungaan berkisar 22-26% mengakibatkan penurunan hasil sebesar 56-64% dan umumnya terjadi pada periode musim tanam II (Sosiawan,
2004). Rekapitulasi hasil simulasi neraca air tanaman yang berkaitan dengan defisit air dan potensi penurunan hasil tanaman yang diproyeksikan pada tahun 2025 disajikan pada Tabel 2. Ilustrasi tersebut menjelaskan bahwa dengan asumsi potensi hasil padi maskimum sebesar 6 t/ha, maka pada tahun-tahun normal potensi kehilangan hasil padi sebesar ± 144.000 t/tahun yang berasal dari daerah golongan irigasi III dan IV. Sementara itu, pada tahun El-Nino potensi kehilangan hasil akan mencapai ± 324.000 t/tahun, karena berdasarkan hasil simulasi pada periode tersebut semua wilayah akan mengalami defisit air yang berpengaruh nyata terhadap penurunan hasil. Apabila hal ini diproyeksikan untuk seluruh sentra produksi padi di pantai utara Jawa Barat yang mempunyai karakteristik sumberdaya lahan, iklim serta sistem pengelolaan air irigasi yang relatif sama, dengan luas total ± 242.000 ha, maka potensi kehilangan pada tahun normal akan mencapai ± 435.600 t/tahun. Kejadian tersebut akan lebih parah pada saat anomali iklim (El-Nino) yang mendera hampir setiap lima tahun, yang akan mengakibatkan penurunan hasil mencapai ± 871.200 t/tahun.
STRATEGI IMPLEMENTASI PEMBAGIAN AIR SECARA PROPORSIONAL Di dalam hukum Islam konsep pembagian
Tabel 2. Hasil simulasi neraca air berkaitan dengan cekaman air dan perkiraan kehilangan hasil untuk proyeksi tahun 2025 Golongan irigasi
Telagasari (Gol I) - musim hujan - musim kemarau Rengasdengklok (Gol II) - musim hujan - musim kemarau Batujaya (Gol III) - musim hujan - musim kemarau Cibuaya (Gol IV) - musim hujan - musim kemarau
Tahun El-Nino Tahun Normal Defisit air tanaman Potensi penurunan Defisit air tanaman Potensi penurunan hasil hasil Dv Fl Fg Ma Dv Fl Fg Ma Dv Fl Fg Ma Dv Fl Fg Ma …………..…………………………………. % …………………………………………..…. 17 0
0 0
0 3
27 0
17 0
0 0
0 1
3 0
38 17
22 0
3 4
0 38
38 17
56 0
1 1
0 6
20 0
0 0
0 14
0 27
20 0
0 0
0 4
0 3
45 20
6 26
0 14
0 34
45 20
15 65
0 4
0 3
14 7
0 25
50 23
57 34
14 7
0 62
13 7
7 4
18 26
0 26
12 55
63 52
18 26
0 64
4 17
6 8
14 7
6 22
23 26
52 36
14 7
14 56
7 8
8 4
22 30
0 25
0 2
63 84
22 30
0 63
0 1
6 8
Keterangan : Dv = Fase vegetatif, Fl = Pembungaan, Fg = Pembentukan biji, Ma = Pematangan
21
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
air secara proporsional yang melibatkan banyak pemangku kepentingan pada dasarnya menggunakan asas urutan prioritas yaitu : 1) hak untuk memuaskan kedahagaan (haq al shafa), 2) domestik termasuk di dalamnya adalah untuk binatang, 3) sektor pertanian, dan 4) komersial dan industri (Hussein and Odeh Al-Jayyousi dalam Faruqui et al., 2001). Untuk mengalokasikan dan mendistribusikan air secara proporsional dan mengurangi konflik antar sektor pengguna air, kebutuhan air setiap sektor harus ditetapkan, dan jaringan distribusi air harus dibangun secara luas. Identifikasi, karakterisasi, dan penetapan kebutuhan air serta sosialisasi hasil penetapan proporsi kebutuhan tersebut pada setiap sektor pengguna air perlu segera dilakukan. Alokasi air untuk sektor pertanian, munisipal, industri, dan lingkungan diatur sesuai dengan kaidah-kaidah dalam pengelolaan sumberdaya air yang intinya untuk mengendalikan keseimbangan sumberdaya air dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkunan hidup, dan kepentingan ekonomis secara selaras. Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, air minum, industri, serta potensi lestari pemanfaatan mata air dan lingkungan, maka dapat ditetapkan alokasi penggunaan air masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder). Alokasi penggunaan air yang dimaksud harus mempertimbangkan potensi sumberdaya air dalam hal volume yang tersedia menurut ruang dan waktu serta permintaan dari berbagai pemangku kepentingan dengan segala konsekuensi logis dan risiko paling minimum. Pemanfaatan air secara efisien dengan mempertimbangkan kebutuhan yang rasional dan pasokan yang semakin terbatas perlu dilakukan. Setiap pengguna air harus melakukan upaya konservasi air dan ini perlu dituangkan dalam peraturan perundangan yang mengikat dan melaksanakan peraturan tersebut secara konsisten. Pemerintah perlu memfasilitasi pengguna air dalam melaksanakan konservasi air. Penerapan inovasi teknologi panen air (water harvesting) dan teknologi konservasi air seperti embung, dam parit, sumur resapan, rorak, dan lain-lain perlu dilakukan (Fakhrudin, 2003). Perlu segera ditetapkan proporsi penggunaan air untuk setiap sektor melalui analisis kebutuhan air untuk setiap sektor, mengidentifikasi potensi sumberdaya air permukaan (sungai, danau, dam, embung, dan lain-lain), dan bawah permukaan (groundwater) serta curah hujan efektif 22
yang berkontribusi terhadap pengisian (recharge) air bawah permukaan. Proporsi pembagian air Proporsi dan alokasi penggunaan air untuk masing-masing pemangku kepentingan di setiap daerah dan mata air berbeda tergantung seberapa besar prioritas masing-masing sektor di wilayah tersebut. Di Kali Kuning, Sleman, Yogyakarta, misalnya dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, air minum, industri, dan lingkungan, serta potensi lestari pemanfaatan mata air, maka ditetapkan bahwa sektor pertanian mendapat alokasi 50% debit dari mata air, 35% untuk air minum dan industri, sedangkan sisanya, 15%, untuk keperluan lingkungan. Perum Jasa Tirta II yang bertanggung jawab mengelola dan mendistribusikan kebutuhan air waduk Jatiluhur menetapkan bahwa alokasi untuk sektor pertanian sebesar 78% dari debit total, domestik sebesar 7%, industri 5%, hydro-electric 2%, dan sisanya masing-masing 3% untuk sektor perikanan dan penggelontoran (flushing). Meskipun sudah ditetapkan alokasi dan distribusi air antar sektor/pengguna, namun dalam implementasi di lapangan sangat beragam terutama pada musim kemarau. Hal ini terjadi akibat alokasi yang sudah direncanakan tidak selalu tepat sasaran dalam hal kuantitas dan waktu pendistribusian, sehingga sangat merugikan sektor pertanian. Sebagai contoh, Perum Jasa Tirta II sudah memperkirakan bahwa tidak akan terjadi defisit air sampai dengan musim kemarau 2004, tetapi Kompas (2004) mengungkapkan bahwa sebagian besar kawasan pertanian di pantura Jawa Barat mengalami keterlambatan tanam sekitar satu hingga satu setengah bulan pada awal musim tanam I (2003/2004). Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air yang sudah disahkan DPR merupakan salah satu bentuk manifestasi dari konsep water sharing. Namun sayangnya dengan undang-undang sumberdaya air tersebut posisi air untuk pertanian rakyat belum dapat terlindungi dengan baik akibat adanya pasal-pasal kontradiktif antara memberikan peluang investasi swasta masuk dalam penyediaan air minum dengan pasal yang menjamin pasokan air untuk pertanian. Bahkan lebih parah lagi, pemerintah secara sengaja membuka peluang swasta untuk mengeksploitasi air yang menguasai hajat hidup
H. Sosiawan dan K. Subagyono : Pembagian Air Secara Proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air
orang banyak secara terbuka. Dengan kontrol pemerintah yang lemah atas swasta, maka hak air yang diberikan kepada swasta akan menjadi bumerang bagi masyarakat Indonesia yang kebutuhan airnya terus meningkat. Apalagi fakta di lapangan air tidak dapat dibedakan antara air untuk pertanian, industri, air minum, dan tenaga listrik, sehingga diperlukan kearifan semua pihak dalam alokasi dan distribusinya. Untuk memberikan jaminan air untuk pertanian secara berkelanjutan, maka UU No. 7 tahun 2004 perlu diamandemen terutama hak guna air, selain itu dalam penyu-sunan peraturan pemerintah perlu dilakukan penjabaran yang rinci agar penyalahgunaan dan salah interpretasi oleh berbagai pihak untuk kepentingan terbatas dapat diantisipasi dan diminimalkan. Strategi pembagian air Untuk menghindari terjadinya mal praktek dalam implementasi proportional water sharing, maka Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara Eropa, seperti Perancis, dalam implementasi proportional water sharing untuk berbagai sektor yang dilengkapi dewan pengawas dan dewan pelaksana alokasi air. Komposisinya terdiri atas elemen masyarakat yang merupakan wakil-wakil dari petani, pengusaha, birokrat, parlemen, cendekiawan (perguruan tinggi, lembaga penelitian), dan LSM. Komposisi tersebut memungkinkan terjadinya pengawasan berlapis (stratified monitoring), baik dalam implementasi maupun tanggung jawab dalam pendayagunaan sumberdaya air (Bradley and Emilio de la Fluente, 2002). Transparansi ini lebih jauh memungkinkan akses, kontrol, dan partisipasi masyarakat dalam pendayagunaan sumberdaya air dapat dioptimalkan. Selain itu, perlu dibuat suatu perencanaan jangka panjang yang melibatkan semua stakeholder yang mencakup aspek teknis, finansial, dan sosial budaya. Identifikasi secara cermat dan transparan sangat diperlukan untuk mengetahui antara potensi sumberdaya air menurut ruang dan waktu baik yang konven-sional maupun yang non konvensional (supply) dan kebutuhan riil antar sektor dan subsektor (demand). Dengan menggunakan persamaan matematis real time dengan menggunakan data seri yang panjang dapat dibuat skenario yang lebih akurat antara pasokan air dan alokasi penggunaannya, baik kuantitas maupun kualitas-nya secara terintegrasi (integrated quantity and quality model) (Acil
Consulting, 2002). Skenario tersebut akan dapat menjawab pertanyaan bagaimana pada saat pasokan air turun ? Alternatif strateginya adalah : 1) menyesuaikan distribusi dan alokasi penggunaan air (demand) untuk berbagai sektor secara proporsional; 2) melakukan penyimpanan air hujan (storage) pada saat musim hujan; 3) memanfaatkan dan eksploitasi sumber air tanah dalam (deep goundwater); dan 4) mendaur ulang air yang sudah digunakan oleh berbagai sektor (recycled water) dan desilinated water. Langkah 2 sampai 4 tersebut sudah banyak dilakukan oleh negara-negara yang mempunyai permasalahan terhadap kelangkaan air (water scarcity) seperti Mexico dan New South Wales, sehingga dengan keterbatasan air yang ada, alokasi penggunaan air untuk berbagai sektor dapat dipertahankan. Selanjutnya implementasi di lapangan harus dilengkapi dengan perangkat lunak dan perangkat keras, mekanisme distribusi dan kontrol serta wasit (jury) yang adil dan profesional.
KESIMPULAN 1. Konflik tentang distribusi, alokasi, dan kompetisi penggunaan air antar sektor dan sub-sektor telah terjadi sebagai akibat peningkatan kebutuhan air dan egosentris pengguna air pada setiap sektor. Konflik tersebut umumnya terjadi pada saat musim kemarau. Konflik tersebut seringkali berkepanjangan antar pihak pengguna kepentingan maupun dengan pihak pengelola karena belum ada mekanisme yang jelas, baik dalam hal distribusi dan alokasi serta kewenangan dan wasit yang bisa menjem-bataninya. 2. Pembagian air secara adil (proportional water sharing) harus segera dilaksanakan, karena masalahnya yang sangat komplek baik dimensi, sistem, besaran, dan stakeholder yang terlibat sangat banyak, sehingga diperlukan kemampuan deteksi dini (early warning) masalah konflik air dan alternatif pemecahannya, sehingga air yang menjadi kebutuhan dasar yang paling utama bagi manusia dapat digunakan secara berkelanjutan. 3. Alokasi dan distribusi air antar sektor/ pengguna di lapangan sangat beragam terutama pada musim kemarau. Hal ini terjadi akibat alokasi yang sudah direncana-kan tidak selalu tepat sasaran dalam hal kuantitas dan waktu pendistribusiannya.
23
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
DAFTAR PUSTAKA Acil Consulting. 2002. Economic impact of draft water sharing plans. An independent assessment for the New South Wales (NSW) Department of Land and Water Conservation. Anonim. 2004. Pedoman pengelolaan sumberdaya air : Upaya penyelesaian konflik. Draft 1. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Jakarta. Bradley, R.B. and Emilio de la Fluente. 2002. Water without border. A look at water sharing in the San Diego-Tijuana Region. http://www.sannet.gov/mwwd/general/ map.server.shtml. Fakhrudin, M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung, Bahan Seminar Program Pascasarjana IPB, Bogor, Gleick, P. 2003. Environment and security water conflict chronology-introduction. The World's Water-Water Conflict Chrono-logyintroduction.htm. Hussein, I. and Odeh Al-Jayyousi. 2001. Management of shared waters: a comparasion of international and Islamic
law. Pp. 128-135. In I.N. Faruqui et al. Water Management in Islam. Water Resources Management and Policy. United Nations university press. TokyoNew York-Paris. Irianto, G. 2004. “Proportional water sharing” untuk mencegah penguasaan absolut sumber mata air. Kompas. Kompas. 2004. Menteri Pertanian keterlambatan tanam di Pantura.
akui
Loebis, J. 2006. The Effect of Dams Develop-ment toward Water Conservation and River Basin Management in Indonesia. The nd paper presented in the 2 GWSP-Asia Network Workshop, June 8-11, 2006. Guangzhou, China. Ohlsson, F. 1995. Hydropolitics: Conflicts Over Water as A Development Constraint. London: Zed Books. Department of Peace and Development Studies, Göteborg University, Sweden. Sjarief, 24
R.
2003.
Pembaharuan
Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. dalam Sosialisasi Nasional PKPI Lingkup Departemen Pertanian. Direktorat Pemanfaatan Air Irigasi. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian. Jakarta. Sosiawan, H. 2002. Sénsibilité du systéme rizicole irrigué au risque de la diminution de la ressource en eau dans la region de Purwakarta (Ouest Java-Indonesie). ENSA de Montpelier. France. Mémoire du CESA. Sosiawan, H. 2004. Perkiraan kebutuhan air domestik dan industri serta dampak agronomis budidaya padi di pantura Jawa Barat. Jurnal Tanah dan Air. UPN “Veteran” Yogyakarta 4(1). Suara Pembaruan. 2003. Benarkah Indonesia krisis air tawar ? 24 September 2003. http/www.suara pembaruan.com. Subagyono, K. dan E. Surmaini. 2007. Adaptasi Pertanian Terhadap Perubahan Iklim. Seminar Bulanan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Kampus IPB, Dramaga, Bogor, 28 Juni 2007.
PROSPEK PERLUASAN LAHAN UNTUK PADI SAWAH DAN PADI GOGO DI INDONESIA Prospect of Extensification for Paddy Fields and Upland Rice in Indonesia S. Ritung dan A. Hidayat Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
ABSTRAK Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,5%/tahun, sehingga mendorong permintaan pangan yang terus meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luasnya mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia terutama beras, jagung, dan kedelai, sehingga perlu ditambah dengan impor yang pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Produksi dan kebutuhan beras pada tahun 2010 diperkirakan 32,65 juta ton dan 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian pula untuk tahun 2015 dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 2015 dan meningkat menjadi 7,49 juta ton beras pada tahun 2020. Untuk menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha jika diasumsikan IP 150%. Konversi lahan sawah terutama di Jawa tidak terkendali, sehingga mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Dalam periode 1981-1999 konversi lahan sawah nasional mencapai 1.628 ribu ha dimana sekitar 61,6% terjadi di Jawa. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi. Bahkan jika dilihat pada 3 tahun terakhir atau periode 1999-2002 menunjukkan peningkatan konversi lahan sawah rata-rata sekitar 187.720 ha/tahun. Potensi ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia adalah seluas 8,28 juta ha, terdiri atas potensi sawah rawa 2,98 juta ha dan sawah non rawa 5,30 juta ha. Potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masing-masing dengan luas 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Di Sulawesi hanya mencakup sekitar 0,42 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,24 juta ha, Nusa Tenggara dan Bali 0,05 juta ha, dan Jawa hanya 0,014 juta ha. Strategi perluasan sawah dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan potensial sawah di daerah irigasi, optimalisasi lahan-lahan sawah terlantar terutama di daerah rawa pasang surut dan lebak, dan perluasan sawah secara kawasan di daerah yang potensinya cukup luas seperti di Papua dan Kalimantan. Kata kunci : Lahan sawah, luas baku, potensi ketersediaan lahan, padi sawah, padi gogo
ABSTRACT Population of Indonesian people are increasing rapidly, with population growth is about 1.5 percent/year. It means the demand of foods also increases. Meanwhile, agriculture land, especially paddy fields which covers 7.7 million hectares can not fullfil the need of Indonesian food especially rice, corn, and soybean. Therefore, imported rice, corn, and soybean increases lately. Supply and demand of rice in year 2010 is predicted about 32.65 million tons rice and 36.77 million tons rice respectively, thus about 4.12 million tons of rice deficit will be occured. Deficit of rice about 5.8 million tons in year 2015 and 7.49 million tons in 2020 has also been predicted. To produce rice as much as predicted we need harvest area about 13,500-15,000 hectares of paddy fields or about 9,000-10,000 hectares paddy fields based on standard acreage, assuming that growth index is 150%. Paddy fields conversion, especially in Java is uncontrollable, therefore the stability of national food security is in danger. During 1981-1999, national paddy fields conversion covers 1,628 thousand hectare where 61.6 percent occured in Java. Most of the paddy field which have been converted was actually land with technical or semi technical irrigation that has high productivity. Even in the last three years (1999-2002) paddy field conversion has increased about 187,720 hectares a year. The potency of land availability for paddy fields extension in Indonesia covers 8.28 million hectares which consists of 2.98 million hectares swampy areas and 5.30 million hectares non swampy areas. The largest potential paddy fields area in Indonesia can be found in Papua, Kalimantan, and Sumatra, that covers 5.19 million hectares, 1.39 hectares, and 0.96 million hectares respectively. Meanwhile in Sulawesi, Maluku and North Maluku, Bali and Nusa Tenggara, and Java, the potential paddy fields are only 0.42; 0.24; 0.05; and 0.014 million hectares respectively. Extensification paddy field strategy can be done by utilizing potential paddy field in irrigation areas, optimizing paddy field in bareland, and conducting paddy field extensification in large potential areas such as in Papua and Kalimantan. Keywords : Paddy fields, standard acreage, land availability potency, rice fields, upland rice
25
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
L
ahan sawah merupakan penghasil utama beras, dimana sebagai gambaran pada tahun 2003 dari total luas panen padi sekitar 11,5 juta ha dengan produksi padi sebesar 52,1 juta ton, ternyata 49,3 juta ton padi 94,7% diantaranya dihasilkan dari lahan sawah dengan luas panen 10,4 juta ha dan sisanya 2,8 juta ton (5,3%) dari lahan kering dengan luas panen 1,1 juta ha. Rata-rata produktivitas padi sawah saat itu 4,7 t/ha dan padi ladang 2,5 t/ha (BPS, 2003). Penurunan luas baku lahan sawah di Pulau Jawa menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan sawah produktif ke lahan non pertanian. Konversi lahan sawah terutama di Jawa tidak terkendali, sehingga mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional. Dalam periode 19811999 konversi lahan sawah nasional mencapai 1.628 ribu ha dimana sekitar 61,6% terjadi di Jawa (Sudaryanto, 2000). Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas tinggi (Sumaryanto, 2001). Sedangkan di luar Jawa berdasarkan data dari BPN (2000) selama periode 1995-1999, lahan sawah di Sumatera cenderung meningkat yakni sekitar 213 ribu ha, sedangkan di Sulawesi dan Kalimantan sebaliknya berkurang sekitar 102 ribu ha di Sulawesi dan sekitar 170 ribu ha di Kalimantan. Bahkan jika dilihat pada tiga tahun terakhir atau periode 19992002 menunjukkan peningkatan konversi lahan sawah rata-rata sekitar 187.720 ha/tahun (Sutomo dan Suhariyanto, 2005). Jawa makin sulit diandalkan sebagai pemasok pangan nasional, karena : (a) alih fungsi, (b) pemenuhan kebutuhan di Jawa sendiri, dan (c) menurunnya kecukupan air untuk pertanaman padi. Menurut Las et al. (2000), pada tahun 2000 Jawa surplus padi 4 juta ton, namun pada tahun 2010 surplus padi diperkirakan hanya sebesar 0,26 juta ton. Sementara di luar Jawa, meskipun permintaan pangan juga terus meningkat perkembangannya masih lambat. Maka kecenderungan menurunnya laju peningkatan produksi padi, pertumbuhan produksi padi diperkirakan tidak akan mampu memenuhi permintaan, karena penurunan surplus di Jawa. Upaya 26
pemenuhan
kebutuhan
beras
nasional dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu : (a) Peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan, (b) Peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru, (c) Peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah. Khusus untuk peningkatan produksi padi melalui pembukaan areal baru pada lahan irigasi maupun lahan potensial yang belum memiliki irigasi sangat dimungkinkan, karena potensi lahan yang sesuai untuk perluasan sawah masih cukup luas di seluruh Indonesia. Menurut data dari PU pada 2004 terdapat potensi lahan irigasi seluas 360.000 ha yang sudah ada jaringan utama tetapi belum menjadi sawah (Direktorat Perluasan Areal, 2006). Untuk mengetahui kelayakan potensi lahan tersebut bagi perluasan sawah, diperlukan data dan informasi mengenai potensi sumberdaya lahan. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000, luas wilayah Indonesia mencakup 188,2 juta ha (Puslitbangtanak, 2000). Dari total luas tersebut, 148,2 juta ha di antaranya berupa lahan kering dan sisanya 40 juta ha lahan basah. Dari 40 juta ha lahan basah tersebut, sebagian besar berupa hutan, semak belukar dan rumput rawa yang belum dimanfaatkan, dan berada pada lahan gambut, dataran aluvial, pasang surut ataupun lebak. Sedangkan sebagian kecil sudah berupa sawah yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan sawah lebak, dengan total luas 7,7 juta ha (BPS, 2005), serta perkebunan kelapa, kelapa sawit, dan hutan tanaman industri. Berdasarkan kondisi lahan sawah tersebut di atas, perlu suatu terobosan baru kelembagaan untuk mengatasi terbatasnya penyediaan pangan nasional terutama beras, melalui intensifikasi dan pemacuan teknologi yang telah dihasilkan. Dalam jangka panjang perluasan areal lahan sawah mutlak perlu dilaksanakan secara terkendali dan bijaksana, terutama untuk mengganti lahan-lahan sawah produktif yang dikonversi dan mengoptimalkan lahan sawah bukaan baru.
S. Ritung dan A. Hidayat : Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia
TIPOLOGI LAHAN SAWAH Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan, yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, sawah selalu mempunyai permukaan datar atau yang didatarkan (dibuat teras), dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Puslitbangtanak, 2003). Berdasarkan sumber air yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah irigasi adalah sawah yang sumber airnya berasal dari tempat lain, dialirkan melalui saluran-saluran yang sengaja dibuat untuk itu. Sawah irigasi dibedakan atas sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah (semi) teknis, dan sawah irigasi sederhana. Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan tanpa adanya bangunan-bangunan irigasi permanen. Sawah tadah hujan umumnya terdapat di wilayah yang posisinya lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya, sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan. Waktu tanam padi akan sangat tergantung pada datangnya musim hujan. Sawah pasang surut adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan pasang dan surut serta letaknya di wilayah datar tidak jauh dari laut. Sumber air sawah pasang surut adalah air tawar sungai, akibat adanya pengaruh pasang dan surut air laut dimanfaatkan untuk mengairi melalui saluran irigasi dan drainase. Sawah pasang surut umumnya terdapat di sekitar jalur aliran sungai besar yang terkena pengaruh pasang surut air laut. Sawah lebak adalah sawah yang diusahakan di daerah rawa lebak dengan memanfaatkan naik turunnya permukaan air rawa
secara alami, sehingga di dalam sistem sawah lebak tidak dijumpai sistem saluran air. Sawah ini umumnya terdapat di daerah yang relatif dekat dengan jalur aliran sungai besar dengan bentuk wilayah datar agak cekung, drainase terhambat sampai sangat terhambat, permukaan air tanah dangkal bahkan hingga tergenang di musim penghujan, selalu terkena luapan air (banjir) dari sungai di dekatnya selama jangka waktu tertentu dalam satu tahun. Oleh karena itu, sawah ini baru dapat ditanami padi setelah air genangan menjadi dangkal (surut), dan terjadi umumnya pada musim kemarau (Direktorat Rawa, 1984).
LAHAN SAWAH DI INDONESIA Luas lahan sawah di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, sekitar 7,75 juta ha, tidak termasuk Papua dan Maluku. Sebagian besar terdapat di Jawa 3,32 juta ha (42,8% dari luas sawah Indonesia), kemudian Sumatera 2,10 juta ha, Kalimantan 1,01 juta ha, dan Sulawesi 0,90 juta ha (11,6%). Sedangkan di Nusa Tenggara dan Bali hanya 0,42 juta ha atau 5,4% dari luas sawah Indonesia (Tabel 1). Berdasarkan status pengairannya, ternyata lahan sawah irigasi, baik teknis maupun semi teknis adalah yang terluas, yakni sekitar 3,2 juta ha, tersebar terutama di P. Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara-Bali. Lahan sawah tadah hujan hanya 2,02 juta ha, namun lebih luas daripada lahan sawah irigasi sederhana yang luasnya sekitar 1,59 juta ha, terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Luas lahan sawah pasang surut mencapai 0,62 juta ha, dan lahan sawah lainnya, yaitu sawah lebak 0,33 juta ha, tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Jawa
27
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Tabel 1. Luas sawah dan penyebarannya di Indonesia menurut jenis pengairan (tahun 2002) Pulau Sumatera Kalimantan Sulawesi NT+Bali Luar Jawa % Luar Jawa Jawa % Jawa Total Indonesia
Irigasi teknis 321.234 24.938 262.144 84.249 692.565 8,9 1.516.252 19,6 2.208.817
Irigasi semi Irigasi Tadah hujan Pasang surut Lainnya teknis sederhana .................................................... ha .................................................... 257.771 455.235 550.940 288.661 230.621 33.297 189.326 339.705 323.556 97.603 121.402 234.933 279.295 2.179 884 171.835 93.385 70.673 19 1.004 584.305 972.879 1.240.613 614.415 330.112 7,5 12,6 16,0 7,9 4,3 402.747 615.172 777.029 776 3.464 5,2 7,9 10,0 0,0 0,0 987.052 1.588.051 2.017.642 615.191 333.576
Total 2.104.462 1.008.425 900.837 421.165 4.434.889 57,2 3.315.440 42,8 7.750.329
Sumber : Badan Pusat Statistik (2002)
Pulau Jawa sebagai penghasil beras utama di Indonesia memiliki lahan sawah terluas, yakni 3,32 juta ha atau 42,8% dari luas total lahan sawah Indonesia. Penyebarannya terutama terdapat di daerah pantai utara (pantura) Jawa dan daerah lereng bawah atau kaki gunung volkan di bagian tengah membentang dari barat di Provinsi Banten sampai ke timur di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan status pengairannya, lahan sawah di Jawa didominasi oleh sawah irigasi teknis dan semi teknis, yakni sekitar 1,28 juta ha (57,9% dari luas lahan sawah Jawa), berikutnya adalah sawah tadah hujan 0,78 juta ha, dan sawah irigasi sederhana 0,62 juta ha. Lahan sawah pasang surut dan lebak di Jawa sangat sempit. Sumatera Lahan sawah di Sumatera sekitar 2,10 juta ha atau 27,2% dari luas lahan sawah Indonesia, terdapat di seluruh provinsi. Sawah terluas terdapat di Sumatera Utara 0,47 juta ha dan tersempit di Bangka Belitung sekitar 1.815 ha. Selain di Sumatera Utara, lahan sawah terdapat cukup luas di Sumatera Selatan 0,46 juta ha, Lampung 0,31 juta ha, Nanggroe Aceh Darussalam 0,29 juta ha, dan Sumatera Barat 0,24 juta ha. Provinsi Jambi, Riau, dan Bengkulu masing-masing mempunyai lahan sawah sekitar 0,13 juta, 0,11 juta, dan 0,09 juta ha. Berdasarkan status pengairannya, lahan sawah terluas di Sumatera adalah sawah irigasi teknis dan semi teknis sekitar 0,58 juta ha, berikutnya adalah sawah tadah hujan 0,55 juta ha, sawah irigasi sederhana 0,46 juta ha, sawah
28
pasang surut 0,29 juta ha, dan tersempit sawah lebak sekitar 0,23 juta ha. Selain lahan sawah irigasi dan tadah hujan, di Sumatera juga terdapat lahan sawah pasang surut dan lebak yang cukup luas, masing-masing 0,29 juta dan 0,23 juta ha. Penyebarannya terutama terdapat di pantai timur Pulau Sumatera, berupa dataran rendah atau daerah pasang surut dan rawa lebak. Lahan tersebut sebagian besar terdapat di Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan Riau. Kalimantan Lahan sawah di Kalimantan luasnya mencapai 1 juta ha, yang terluas terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan 0,42 juta ha, kemudian Kalimantan Barat 0,30 juta ha, Kalimantan Tengah 0,17 juta ha, dan tersempit di Kalimantan Timur yakni 0,12 juta ha. Penyebarannya sesuai dengan keadaan topografinya, yakni pada daerah-daerah dataran aluvial dan dataran pasang surut. Berdasarkan status pengairannya ternyata lahan sawah dominan di Kalimantan adalah sawah tadah hujan dan sawah pasang surut, yakni masing-masing 0,34 juta ha dan 0,32 juta ha. Lahan sawah irigasi sederhana mencapai luas 0,19 juta ha, sedangkan sawah irigasi teknis dan semi teknis hanya 0,06 juta ha. Sawah tadah hujan terluas terdapat di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Demikian pula lahan sawah pasang surut terdapat cukup dominan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Sedangkan di Provinsi
S. Ritung dan A. Hidayat : Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia
Kalimantan Timur didominasi oleh sawah tadah hujan. Sulawesi Sulawesi sebagai penghasil beras utama di Kawasan Timur Indonesia memiliki lahan sawah cukup luas, yakni sekitar 0,90 juta ha. Namun penyebaran lahan sawah tersebut tidak merata di seluruh provinsi, karena sebagian besar terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yakni sekitar 0,63 juta ha atau 69,8% dari luas lahan sawah di Sulawesi. Provinsi lainnya relatif sempit, yakni kurang dari 0,07 juta ha, kecuali di Provinsi Sulawesi Tengah 0,12 juta ha. Lahan sawah irigasi teknis dan semi teknis mendominasi daerah ini dengan luas 0,38 juta ha atau 42,6% dari luas lahan sawah Sulawesi, disusul sawah tadah hujan 0,28 juta ha (31,0% dari luas lahan sawah Sulawesi) dan sawah irigasi sederhana 0,23 juta ha (26,1%). Lahan sawah pasang surut dan lainnya (lebak) sangat sempit di daerah ini, yakni terdapat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Nusa Tenggara dan Bali Lahan sawah di kedua wilayah ini tergolong tidak begitu luas sesuai dengan luas wilayah dan potensinya, yakni sekitar 0,42 juta ha (5,6% dari luas lahan sawah Indonesia). Penyebaran terluas terdapat di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,22 juta ha), kemudian disusul Nusa Tenggara Timur 0,12 juta ha, dan Bali 0,08 juta ha. Walaupun daerah ini mempunyai kondisi iklim yang kering, ternyata lahan sawah irigasi masih mendominasi, yakni mencapai 0,26 juta ha (60,8% dari luas sawah Nusa Tenggara dan Bali), sedangkan lahan sawah irigasi sederhana dan tadah hujan masing-masing 0,09 juta ha dan 0,07 juta ha. Penyebaran lahan sawah pasang surut maupun lebak sangat sempit. Penyebaran lahan
sawah irigasi terluas terdapat di Nusa Tenggara Barat (P. Lombok) dan Bali, sedangkan lahan sawah irigasi sederhana dan tadah hujan terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur.
PRODUKSI DAN KEBUTUHAN BERAS NASIONAL Beras merupakan kebutuhan pangan utama penduduk Indonesia yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2000 dengan penduduk berjumlah 206,27 juta jiwa, kebutuhan beras nasional 32,63 juta ton (Irawan, 2005). Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 1997 produksi padi nasional adalah 49,34 juta ton GKG (Tabel 2). Pada tahun 2006 produksi padi nasional meningkat menjadi 54,40 juta ton GKG atau setara dengan 32,60 juta ton beras. Peningkatan produksi tersebut dilakukan melalui berbagai upaya diantaranya peningkatan indeks pertanaman, perbaikan sarana dan prasarana pengairan, dan perbaikan hara melalui pemupukan berimbang. Bahkan sejak tahun 2007 upaya peningkatan produksi tersebut lebih digalakkan melalui “Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN)” yaitu penyediaan bibit unggul, padi hibrida, pemupukan berimbang, dan perbaikan sarana dan prasarana pengairan. Rata-rata peningkatan produksi selama 10 tahun terakhir (periode 1997-2006) sekitar 1,44%, namun pada dua tahun terakhir peningkatan produksi padi menurun yakni masing-masing hanya 0,11% pada tahun 2005 dan 0,46% pada tahun 2006. Dengan memperhatikan peningkatan produksi tersebut, maka tampaknya perluasan areal melalui pembukaan lahan-lahan sawah baru menjadi sangat penting agar kebutuhan pangan nasional dapat terpenuhi.
29
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Tabel 2. Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata
Tabel 3. Luas yangpadi sesuai dan tersedia untuk perluasan sawah Luas panen, produktivitas, danlahan produksi periode 1997-2007 Luas panen juta ha 11,13 11,72 11,96 11,79 11,50 11,52 11,49 11,92 11,84 11,78 11,67
perluasan lahan +/Produktivitas +/- Potensi Produksi +/- sawah Pulau Rawa Non rawa Total % kw/ha % juta ton % ..................... ha ..................... 44,32 49,34 Sumatera 354.854 49,20 606.193-0,28 960.847 5,30 41,97 -5,3 Jawa 0 50,87 14.3933,39 14.393 2,11 42,52 1,31 Bali dan Nusa Tenggara 0 48.922 48.922 -1,42 44,01 3,5 51,90 2,03 Kalimantan 730.160 665.779 1.395.939 -2,49 43,88 -0,3 50,46 -0,28 Sulawesi 0 51,49 422.9722,04 422.972 0,18 44,69 1,85 Maluku dan Papua 1.893.366 3.539.334 5.432.700 -0,28 45,38 1,54 52,14 1,26 Indonesia 2.978.380 54,095.297.5934,23 8.275.773 4,23 45,36 0,04 -0,67 : Badan Litbang 45,74 Pertanian, 0,842007 54,15 0,11 Sumber -0,51 46,18 0,96 54,40 0,46 0,72 44,41 0,49 51,80 1,44
Sumber : Data BPS tahun 1997-2007
Dengan mempertimbangkan luas baku sawah, konversi lahan, teknologi usaha tani padi, pertumbuhan penduduk, konsumsi beras, bencana alam, dan harga gabah, maka Irawan (2005) memprediksi neraca ketersediaan dan kebutuhan beras sampai tahun 2010. Produksi dan kebutuhan beras pada tahun 2010 diperkirakan 32,65 juta ton dan 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Demikian pula untuk tahun 2015 dan 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 2015 dan meningkat menjadi 7,49 juta ton beras pada tahun 2020. Perhitungan tersebut didasarkan pada kondisi tahun 1990-2002. Untuk menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha jika diasumsikan indeks pertanaman (IP) padi 150%. Berdasarkan prediksi kebutuhan beras secara nasional sampai tahun 2020 tersebut, dengan mempertimbangkan luas baku sawah saat ini yakni sekitar 7,7 juta ha, maka diperlukan penambahan luas baku sawah sekitar 1,3-2,3 juta ha dengan asumsi bahwa konversi lahan sawah tidak terjadi. Namun pada kenyataannya, konversi lahan sawah menjadi penggunaan lainnya sulit dihindari karena kebutuhan untuk perumahan, industri, dan lainnya. Dengan demikian, penambahan luas baku lahan sawah akan lebih besar lagi tergantung dari besarnya laju konversi yang akan terjadi. Menurut Pasaribu (2007), ancaman rawan pangan akan terjadi karena: (a) penduduk 30
Indonesia tahun 2035 diperkirakan menjadi 440 juta jiwa, (b) makin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat sehingga terjadi pula peningkatan konsumsi per kapita untuk berbagai jenis pangan. Oleh karena itu, pada 30 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari dua kali lipat jumlah kebutuhan saat ini, sehingga akibatnya memunculkan kerisauan akan terjadi “rawan pangan”.
PROSPEK PERLUASAN LAHAN SAWAH DAN PADI GOGO Potensi perluasan lahan sawah Potensi lahan untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia berdasarkan hasil perhitungan Badan Litbang Pertanian (2007) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan luas lahan yang sesuai untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia seluas 8,28 juta ha, terdiri atas potensi sawah rawa 2,98 juta ha dan sawah non rawa 5,30 juta ha. Potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masingmasing dengan luas 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Di Sulawesi hanya mencakup sekitar 0,42 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,24 juta ha, Nusa Tenggara dan Bali 0,05 juta ha, dan Jawa hanya 0,014 juta ha. a. Papua Potensi lahan untuk sawah di Papua masih
S. Ritung dan A. Hidayat : Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia
sangat luas, yakni 5,19 juta ha terdiri atas lahan rawa 1,89 juta ha dan lahan non rawa 3,29 juta ha. Lahan tersebut umumnya berupa belukar maupun hutan yang sebagian besar terdapat di daerah dataran aluvial dan rawa. Pada lahan tersebut terdapat tanaman spesifik seperti sagu yang banyak dijumpai di lahan basah dan bahkan sebagai makanan pokok masyarakat setempat sehingga harus tetap dilestarikan. b. Kalimantan Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal sawah di Kalimantan mencakup 1,39 juta ha, terdiri atas lahan rawa 0,73 juta ha dan non rawa 0,66 juta ha. Lahan potensial tersebut terluas terdapat di Kalimantan Tengah 0,65 juta ha, kemudian Kalimantan Selatan 0,33 juta ha, Kalimantan Timur 0,23 juta ha, dan Kalimantan Barat 0,18 juta ha. Di Provinsi Kalimantan Tengah penyebaran lahan potensial untuk perluasan sawah seluas 646.397 ha, terdiri atas lahan rawa 177.194 ha dan lahan non rawa 469.203 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi jalur aliran sungai, rawa belakang, kubah gambut, dan dataran pasang surut. Lahan potensial untuk perluasan sawah di Provinsi Kalimantan Selatan seluas 334.681 ha
terdiri atas lahan rawa 211.410 ha dan non rawa 123.271 ha. Penyebarannya terdapat pada lahan rawa dan non rawa, pada fisiografi dataran gambut, dataran aluvial dan jalur aliran sungai. Lahan potensial untuk perluasan sawah di Provinsi Kalimantan Timur seluas 231.763 ha, terdiri atas lahan rawa 167.276 ha dan non rawa 64.487 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi basin aluvial, jalur aliran sungai, dataran aluvial, dan dataran antar perbukitan. Lahan potensial untuk perluasan sawah di Provinsi Kalimantan Barat seluas 183.098 ha, terdiri atas lahan rawa 174.279 ha dan non rawa 8.819 ha. Penyebarannya terutama pada lahan rawa pada fisiografi kubah gambut dan dataran gambut. c. Sumatera Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal sawah di Sumatera mencakup 0,96 juta ha, terdiri atas lahan rawa 0,35 juta ha dan non rawa 0,61 juta ha. Lahan potensial tersebut terluas terdapat di Sumatera Selatan 0,24 juta ha, kemudian Jambi 0,197 juta ha, Riau 0,186 juta ha, Sumbar 0,11 juta ha, Sumatera Utara 0,075 juta ha, NAD 0,068 juta ha, Lampung 0,04 juta ha, Bangka Belitung 0,025 juta, dan Bengkulu 0,022 juta ha.
31
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Gambar 1. Peta potensi lahan tersedia untuk perluasan sawah
Lahan yang berpotensi untuk perluasan sawah di Provinsi Sumatera Selatan seluas 253.393 ha, terdiri atas lahan rawa 195.742 ha dan non rawa 39.650 ha. Penyebarannya sebagian besar terdapat pada daerah rawa tergolong pada fisiografi rawa belakang, dataran pasang surut, delta/estuarin, dan kubah gambut, serta sebagian kecil pada fisiografi aluvial/jalur aliran. Potensi perluasan sawah di Provinsi Jambi seluas 197.000 ha, terdiri atas lahan rawa 40.500 ha dan non rawa 156.600 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi aluvial/ jalur aliran, rawa belakang, dan kubah gambut. Potensi perluasan sawah di Provinsi Riau seluas 186.000 ha, terdiri atas lahan rawa 46.400 ha dan non rawa 139.700 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi aluvial/jalur aliran, rawa belakang, dan kubah gambut. Lahan yang berpotensi untuk perluasan sawah di Provinsi Sumatera Barat seluas 110.047 ha, terdiri atas lahan rawa 39.352 ha
dan non rawa 70.695 ha. Penyebarannya sebagian besar terdapat pada fisiografi dataran aluvial, dan 32
sebagian lagi pada jalur aliran sungai, dataran antar perbukitan, dataran volkan, dan rawa belakang. Potensi perluasan sawah di Provinsi Sumatera Utara seluas 75.500 ha, terdiri atas lahan rawa 6.700 ha dan non rawa 68.800 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi aluvial, dataran volkan, dataran antar perbukitan, dan dataran aluvio-koluvial. Di Provinsi NAD lahan potensial untuk perluasan sawah seluas 68.261 ha, terdiri atas lahan rawa 3.660 ha dan non rawa 64.601 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi aluvial dan aluvio-marin dari bahan induk aluvium. Penyebaran lahan yang potensial untuk perluasan sawah di Provinsi Lampung hanya mencakup sekitar 40.000 ha, terdapat pada lahan rawa (dataran pasang surut) seluas 22.500 ha dan non rawa (jalur aliran sungai) seluas 17.500 ha.
Di Provinsi Bangka Belitung lahan yang potensial untuk perluasan sawah juga tidak luas hanya sekitar 25.807 ha, tergolong lahan non rawa. Penyebaran terdapat pada fisiografi jalur
S. Ritung dan A. Hidayat : Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia
aliran sungai dari bahan-bahan aluvium. Potensi lahan untuk perluasan sawah di Provinsi Bengkulu tidak begitu luas yakni hanya 22.840 ha, semuanya tergolong lahan non rawa. Penyebaran terdapat pada fisiografi jalur aliran sungai, dataran aluvio-koluvial, dan dataran antar perbukitan. d. Sulawesi Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal sawah di Sulawesi juga agak luas, yakni mencakup 0,42 juta ha, semuanya tergolong lahan non rawa. Lahan potensial tersebut terluas terdapat di Sulawesi Tengah 0,19 juta ha, kemudian Sulawesi Tenggara 0,12 juta ha, Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 0,06 juta ha, Sulawesi Utara 0,026 juta ha, dan Gorontalo 0,02 juta ha. Lahan potensial untuk perluasan sawah di Provinsi Sulawesi Tengah seluas 191.825 ha, penyebarannya terdapat pada fisiografi jalur aliran sungai dan dataran antar perbukitan. Penyebaran lahan potensial di Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 121.122 ha, terdapat pada fisiografi dataran aluvial, jalur aliran sungai, dan dataran antar perbukitan dari bahan induk aluvium. Di Provinsi Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) lahan potensial untuk perluasan sawah seluas 63.403 ha, terdapat pada fisiografi dataran aluvial dan jalur aliran sungai. Di Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo lahan potensial untuk perluasan sawah tidak begitu luas, yakni masing-masing 26.367 ha dan 20.257 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi jalur aliran sungai. e. Nusa Tenggara dan Bali Potensi lahan untuk perluasan areal persawahan di Nusa Tenggara dan Bali mencakup areal seluas 48.922 ha, terluas terdapat di Nusa Tenggara Timur (28.583 ha), kemudian disusul Bali (14.093 ha), dan Nusa Tenggara Barat (6.247 ha). Penyebarannya pada fisiografi dataran aluvial, dataran tektonik dan volkan dari bahan induk aluvium, batuan sedimen, dan volkan.
f. Jawa Potensi lahan untuk perluasan sawah di Pulau Jawa sangat sedikit hanya mencakup 14.393 ha, dan lokasinya sangat berpencar dalam luasan sempit. Penyebaran terluas terdapat di Provinsi Jawa Barat (7.447 ha), kemudian disusul Jawa Timur (4.156 ha), Banten (1.488 ha), dan Jawa Tengah (1.302 ha). Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran antar perbukitan, volkan dan dataran tektonik dari bahan induk aluvium, volkan, dan batuan sedimen. Potensi perluasan lahan padi gogo Potensi perluasan lahan kering untuk tanaman padi gogo berdasarkan hasil perhitungan adalah ± 1,42 juta ha. Secara rinci luas potensi perluasan tersebut pada masing-masing pulau dan provinsi disajikan pada Tabel 4. a. Papua dan Maluku Potensi lahan kering untuk tanaman padi gogo di Papua yakni 0,34 juta ha. Lahan tersebut umumnya berupa belukar maupun hutan yang sebagian besar terdapat di daerah dataran tektonik, dataran aluvial, dan pegunungan tektonik dari bahan induk batuan sedimen dan aluvium. Sementara itu, potensi lahan untuk tanaman padi gogo di Provinsi Maluku Utara mencakup 10.078 ha. Lahan tersebut umumnya terdapat pada fisiografi dataran karst, dataran aluvial, dan dataran tektonik dari bahan induk batuan sedimen, aluvium, dan batugamping. b. Kalimantan Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal tanaman gogo di Kalimantan mencakup 0,73 juta ha. Lahan potensial tersebut terluas terdapat di Kalimantan Timur 0,38 juta ha, kemudian Kalimantan Barat 0,17 juta ha, Kalimantan Selatan 0,09 juta ha, dan Kalimantan Tengah 0,08 juta ha.
33
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Tabel 4. Luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal tanaman semusim dan padi gogo Pulau Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia *) **)
LK-Semusim*) 1.311.776 40.544 137.659 3.639.403 215.452 1.738.978 7.083.811
Sumber: Badan Litbang Pertanian, 2007 Dihitung berdasarkan asumsi untuk padi gogo= 20% dari luas lahan kering semusim
Di Provinsi Kalimantan Timur penyebaran lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo seluas 377.253 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, dataran karst, pegunungan volkan, pegunungan tektonik, dataran volkan, dan perbukitan tektonik. Lahanlahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Kalimantan Barat seluas 171.274 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, perbukitan tektonik, dan dataran volkan. Lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Kalimantan Selatan seluas 98.958 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, perbukitan tektonik, dataran karst, dan perbukitan tektonik dari bahan induk sedimen dan batu gamping. Lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 80.396 ha. Penyebarannya terutama pada fisiografi dataran volkan dan dataran tektonik. c. Sumatera Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Sumatera mencakup 0,26 juta ha. Lahan potensial tersebut terluas terdapat di Sumatera Utara 0,086 juta ha, kemudian Sumatera Selatan 0,061 juta ha, NAD 0,056 juta ha, Riau 0,051 juta ha, Jambi 0,035 juta ha, Bengkulu 0,017 juta ha, Sumbar 0,011 juta ha, dan Lampung 0,005 juta ha. Lahan yang berpotensi untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Sumatera 34
Padi Gogo**) 262.355 8.109 27.532 727.881 43.090 347.796 1.416.762
Utara seluas 85.950 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi kerucut volkan, dataran dan perbukitan tektonik, dan pegunungan volkan. Potensi perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Sumatera Selatan seluas 61.445 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, jalur aliran sungai, dan dataran volkan Potensi perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi NAD seluas 56.422 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, dataran volkan, perbukitan volkan, perbukitan tektonik, perbukitan karst, pegunung-an tektonik, kubah gambut, dan pegunungan volkan. Lahan yang berpotensi untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Riau seluas 50.596 ha. Penyebarannya sebagian besar terdapat pada fisiografi dataran tektonik, jalur aliran sungai, dan dataran volkan. Potensi perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Jambi seluas 35.468 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, jalur aliran sungai, dan dataran kaki volkan. Di Provinsi Bengkulu lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo seluas 17.616 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi perbukitan tektonik, teras marin, perbukitan volkan, kerucut volkan, pegunungan tektonik, dan pegunungan volkan dari bahan induk sedimen, aluvium, dan volkanik. Di Provinsi Sumatera Barat, lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo juga tidak luas hanya sekitar 11.024 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran dan kaki volkan, kerucut volkan, dataran dan
S. Ritung dan A. Hidayat : Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia
perbukitan tektonik, teras marin, dan pegunungan volkan. Penyebaran lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Lampung hanya mencakup sekitar 5.280 ha. Penyebaran terdapat pada fisiografi dataran dan kaki volkan, dan dataran tektonik.
induk volkanik, aluvium, dan batugamping. Jenis tanahnya adalah Haplustepts (Aluvial coklat-coklat kekuningan), Haplusterts (Grumusol), tanah lainnya adalah Haplustalfs (Mediteran), Ustorthents (Regosol), dan Ustip-samments (Regosol).
d. Sulawesi
f. Jawa
Lahan potensial dan tersedia untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Sulawesi yakni mencakup 0,043 juta ha. Lahan potensial tersebut terluas terdapat di Sulawesi Tenggara 0,018 juta ha, kemudian Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 0,013 juta ha, Sulawesi Tengah 0,009 juta ha, dan Sulawesi Utara 0,001 juta ha.
Potensi lahan untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Pulau Jawa mencakup 8.109 ha dengan lokasi yang sangat berpencar dalam luasan sempit. Penyebaran terluas terdapat di Provinsi Jawa Timur (5.279 ha), Jawa Tengah (1.793 ha), Jawa Barat (975 ha), dan Banten (62 ha). Penyebarannya di Provinsi Jawa Timur terdapat pada fisiografi dataran tektonik, perbukitan tektonik, dataran aluvial, perbukitan karst, perbukitan volkan, kerucut volkan, dan dataran volkan.
Lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 18.683 ha, penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran tektonik, pegunungan tektonik, dataran aluvial, perbukitan volkan, dataran karst, dan pegunungan volkan. Penyebaran lahan potensial di Provinsi Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) seluas 13.945 ha, terdapat pada fisiografi dataran karst, perbukitan tektonik, perbukitan volkan, dataran aluvial, dataran tektonik, dan dataran volkan. Di Provinsi Sulawesi Tengah lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo seluas 9.444 ha, terdapat pada fisiografi
Potensi lahan untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Jawa Tengah mencakup areal seluas 1.793 ha. Penyebarannya pada fisiografi perbukitan tektonik, dataran volkan, kerucut volkan, perbukitan karst, dan dataran tektonik dari bahan induk sedimen, volkanik, dan batugamping. Potensi lahan untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Jawa Barat mencakup areal seluas 975 ha. Penyebarannya pada fisiografi dataran volkan, dan dataran tektonik.
STRATEGI PERLUASAN LAHAN UNTUK PADI perbukitan volkan, perbukitan tektonik, dataran karst, dataran tektonik, pegunungan tektonik, dan dataran volkan. Di Provinsi Sulawesi Utara lahan potensial untuk perluasan areal tanaman padi gogo tidak begitu luas, yakni 1.018 ha. Penyebarannya terdapat pada fisiografi dataran volkan. e. Nusa Tenggara Barat Potensi lahan untuk perluasan areal tanaman padi gogo di Nusa Tenggara Barat mencakup areal seluas 27.532 ha. Penyebarannya pada fisiografi dataran volkan, dataran aluvial, dataran karst, dan pegunungan volkan dari bahan
Strategi perluasan sawah di masa yang akan datang perlu mempertimbangkan berbagai faktor kendala antara lain : (a) belum tersedianya data penyebaran lahan yang potensial skala operasional (1:25.000-1:50.000), (b) status kepemilikan lahan baik sebagai tanah adat maupun tanah Negara atau kepemilikan lainnya, (c) ketersediaan air irigasi, dan (d) jumlah penduduk di wilayah potensial, dan sebagainya. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka strategi perluasan sawah di masa akan datang adalah sebagai berikut :
35
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
• Jangka pendek - Memanfaatkan
lahan potensial sawah di daerah yang sudah ada jaringan utama tetapi belum menjadi sawah. Menurut data dari PU pada 2004 lahan potensial tersebut meliputi areal seluas 360.000 ha (Direktorat Perluasan Areal, 2006). Dari data tersebut menunjukkan adanya peluang untuk perluasan sawah karena telah tersedia sarana irigasinya.
- Optimalisasi lahan sawah rawa pasang surut
maupun lebak yang cukup luas dan saat ini sebagian terlantar atau produktivitasnya masih rendah. Pengelolaan di lahan rawa pasang surut maupun rawa lebak tidak cukup hanya oleh petani tetapi peranan pemerintah sangat besar agar dapat berproduksi dengan optimal. • Jangka panjang
- Memanfaatkan lahan rawa untuk perluasan sawah yang cukup luas di Kalimantan dan Papua serta Sumatera dengan pertimbangan bahwa persaingan dengan komoditas lainnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi diperkirakan akan lebih rendah karena kondisi ekosistemnya lebih sesuai untuk sawah. Demikian pula dengan ketersediaan air akan lebih mudah dibandingkan dengan lahan kering yang harus dilengkapi dengan bangunan-bangunan irigasi (waduk, dam). Lahan rawa lebak maupun pasang surut ketersediaan air relatif cukup, baik dari hujan maupun dari air sungai berupa air rawa dan pasang surut. Menurut Alihamsyah (2004), pendayagunaan lahan rawa untuk meningkatkan produksi padi dapat ditempuh melalui tiga opsi, yaitu opsi jangka pendek, opsi jangka menengah, dan opsi jangka panjang. Opsi jangka pendek adalah optimalisasi lahan yang sudah direklamasi dan diusahakan terusmenerus, sedangkan opsi jangka menengah diarahkan kepada pemanfaatan lahan yang sudah direklamasi tetapi tidak diusahakan atau lahan tidur. Untuk pembukaan lahan baru melalui karakterisasi kesesuaian lahan termasuk sebagai opsi jangka panjang. - Pemanfaatan lahan non rawa yang cukup luas 36
potensinya berdasarkan hasil perhitungan ketersediaan lahan yaitu Papua dan Kalimantan. Kedua daerah ini memiliki jumlah penduduk relatif jarang, sehingga pola transmigrasi baik transmigrasi lokal maupun nasional lebih tepat atau dengan sistem “rice estate” oleh perusahaan swasta nasional. Pada lahan kering strategi perluasan untuk padi gogo dapat dilakukan dengan memanfatkan lahan-lahan terlantar atau lahan tidur dan lahan perkebunan pada saat tanaman masih berumur muda.
PENUTUP Potensi lahan untuk pengembangan atau perluasan lahan untuk tanaman padi sawah maupun tanaman padi gogo di masa depan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih memberi peluang dengan memanfaatkan lahan basah dan lahan kering yang terdapat cukup luas di beberapa wilayah. Namun demikian, pengamanan tanaman-tanaman spesifik seperti sagu yang banyak dijumpai di lahan basah Kawasan Timur Indonesia dan bahkan sebagai makanan pokok masyarakat setempat harus tetap dilestarikan. Lahan yang sesuai untuk pengembangan tersebut tentunya harus dilengkapi dengan sarana/infrastruktur yang dibutuhkan seperti pembuatan petakan, saluran irigasi, dan pengelolaan tanah dan air (pengaturan drainase untuk lahan rawa). Demikian pula dengan pengembangan di lahan kering perlu disertai dengan teknologi yang tepat (terutama peningkatan kesuburan tanah) dan tindakan konservasi yang sesuai agar dapat berproduksi secara aman (sustainable agriculture).
DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi. Hlm 327-345. Dalam Ekonomi Padi dan Beras. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
S. Ritung dan A. Hidayat : Prospek Perluasan Lahan untuk Padi Sawah dan Padi Gogo di Indonesia
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas Pertani-an: Tinjauan Aspek Sumberdaya Lahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN). 2000. Neraca Sumberdaya Lahan dan Penggunaan Lahan di Indonesia periode 1995-1999. Badan Pusat Statistik (BPS). 1997. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS). 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Direktorat Perluasan Areal. 2006. Data potensi perluasan sawah pada lahan irigasi. Tidak dipublikasikan. Direktorat Perluasan Areal, Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian.
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Pasaribu, B. 2007. Implikasi UU Lahan Pertanian Pangan Abadi terhadap Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Utama pada Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian, Bogor 7-8 November 2007. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000. Puslit-bangtanak, Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). 2003. Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder Nasional di P. Jawa, P. Bali, dan P. Lombok. Laporan Akhir Kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian dengan Proyek Koordinasi Perencanaan Peningkatan Ketahanan Pangan, Biro Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.
Direktorat Rawa. 1984. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan Umum dalam Rangka Pengembangan Daerah Rawa. Diskusi Pola Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan di Lahan Pasang Surut/ Lebak. Palembang, 30 Juli-2 Agustus 1984. Dirjen Pengairan, Departemen PU. Irawan.
2005. Analisis ketersediaan beras nasional: suatu kajian simulasi pendekatan sistem dinamis. Hlm 107-130. Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan, Bogor 12 Oktober dan 24 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Las, I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani. 2000. Proyeksi Kebutuhan dan Pasokan Pangan Tahun 2000-2020. Pusat 37
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Sutomo, S. dan K. Suhariyanto. 2005. Data Konversi Lahan Pertanian, Hasil Sensus Pertanian 2003. BPS-Statistics Indonesia. Sumaryanto. 2001. Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan dampak negatifnya. Hlm 1-18. Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah, Bogor 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
38
ARAHAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PAPUA BERBASIS SUMBERDAYA Recommendation on Resources Based Agricultural Development Acceleration in Papua Wahyunto dan D. Kuntjoro Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
ABSTRAK Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 kemiskinan di wilayah pedesaan berkisar sekitar 55%, sedangkan di perkotaan hanya 28%. Diindikasikan bahwa kemiskinan terjadi pada penduduk dengan mata pencaharian bertani. Sampai saat ini budaya bertani penduduk asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai peladang berpindah, dengan demikian sebagian besar sumberdaya lahan di Papua belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan Inpres No. 5 tahun 2007, arahan percepatan pembangunan Papua di sektor pertanian mempertimbangkan karakteristik dan potensi sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia. Percepatan pembangunan pertanian Papua dapat diupayakan melalui klarifikasi status lahan untuk pembangunan pertanian oleh pemda dan masyarakat adat, pengembangan infrastruktur pertanian termasuk jaringan jalan, pasar, peningkatan SDM, dan pemberdayaan masyarakat untuk membangun sektor pertanian. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan yang tersedia secara tepat dan lestari akan dapat mengangkat daerah Papua sebagai sentra produksi pertanian di wilayah timur, memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua, dan melestarikan sumber pangan lokal yang sudah terbukti adaptif untuk ketahanan pangan dan kelestarian budaya setempat. Kata Kunci : Pembangunan, pertanian, sumberdaya, percepatan, Papua
ABSTRACT In general, the proportion of population living in poverty in Papua is still the highest among districts and provinces in Indonesia. In 2003, the percentages of poverty in urban area is about 28%, whereas in the villages is 55%. It is indicated that the poverty occurs within population dominated by farmers. Up to now, most farmers in Papua are conducting shifting cultivation and gathering natural resources. Therefore, land resources have not been utilized optimaly for agriculture. In line with Inpres (President’s decree) No. 5, 2007, the direction of agricultural development acceleration in Papua Province should be based on both characteristic and potency of land and human resources. The efforts to speed up agricultural development in Papua can be executed by legalizing land status for agricultural development by local government and traditional society, developing infrastructures on agriculture including market and road network, improving the quality of human resources, and empowering society to build agricultural sectors. By optimizing the utility of available land resources properly and sustainably, Papua can be promoted as a central area of agro products in eastern Indonesia. It also can empower local people in the field of agriculture, so it can improve their prosperity and preserve local food sources which is adaptable for food security and local culture preservation. Keywords : Development, agriculture, land resources, acceleration, Papua
S
ampai saat ini pertanian masih merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan wilayah di kedua Provinsi Papua, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada tahun 1990 sampai 2003, sektor ini mampu menyerap sekitar 72 sampai 77% tenaga kerja dan berkontribusi 15 sampai 24% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil pertanian Papua sejauh ini masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan daerah. Realisasi investasi untuk sektor pertanian sangat kecil. Pada tahun 2003, jumlah investasi dari dalam negeri untuk pertanian hanya 0,4% dan investasi luar
negeri 4,24% dari jumlah realisasi investasi sebanyak Rp 19,99 triliun (Asmuruf, 2005). Data tahun 2003, Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Kemiskinan di wilayah pedesaan sekitar 54%, sedangkan di perkotaan hanya 28%. Sebagai perbandingan, rumah tangga tanpa akses jalan di wilayah dataran seperti di Kabupaten Jayapura dan Merauke berturut-turut sebesar 24,5 dan 60,0%, namun di wilayah perbukitan dan pegunungan seperti di wilayah Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, rumah tangga tanpa akses jalan berturut-turut sebesar 93 dan 98,5% (Dewan 39
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Ketahanan Pangan, 2005). Hal ini memberikan indikasi bahwa kemiskinan terjadi pada penduduk dengan mata pencaharian bertani. Budaya bertani penduduk asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai peladang berpindah, dengan demikian sampai saat ini sebagian besar sumberdaya lahan di Papua belum dimanfaatkan secara optimal. Data dan informasi sumberdaya lahan mempunyai peranan sangat penting dalam menunjang program pembangunan pertanian suatu daerah, khususnya dalam menyusun perencanaan pengembangan wilayah melalui pemilihan daerah-daerah berpotensi. Untuk mengetahui wilayah-wilayah berpotensi tersebut diperlukan data sumberdaya lahan. Potensi sumberdaya lahan untuk pertanian di Papua masih relatif besar. Namun, keterbatasan infrastruktur, keterisolasian dari pasar domestik dan internasional, keterbatasan dan ketidak-merataan penyebaran sumberdaya manusia terampil, dan gangguan keamanan merupakan disinsentif untuk penanaman modal di Papua (Suradisatra, 2001 dan 2003a). Pemanfaatan sumberdaya lahan di Papua perlu disesuaikan dengan kondisi dan sifat-sifat sumberdaya lahan tersebut serta kondisi lingkungannya, sehingga dapat dicapai pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal, seimbang, dan berkelanjutan. Di Papua, sumberdaya lahan pertanian sebagai sumber penghasil pangan, sumber pendapatan petani, maupun sumber pendapatan daerah, perlu digali dan dikembangkan secara optimal, mengingat sebagian besar masyarakat etnis Papua kehidupannya masih tergantung pada sumberdaya lahan dan lingkungannya. Dengan demikian, usaha pengembangan pertanian, secara tidak langsung juga ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat Papua. Pemanfaatan potensi sumberdaya lahan daerah ini secara terarah dan terpadu dapat menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia bagian timur, khususnya di daerah Papua.
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PAPUA Penggunaan lahan dan vegetasi 40
Sebagian besar wilayah Papua (70%) masih berupa hutan (Tabel 1). Menurut Pusat Perpetaan Kehutanan, Departemen Kehutanan (2005), kawasan hutan tersebut 47% berupa hutan lindung dan hutan perlindungan dan pelestarian alam, umumnya berupa hutan hujan tropis yang menempati daerah atas dan hutan rawa di daerah dataran. Di daerah hutan rawa umumnya terdapat tanah gambut, sebagian hutan rawa tersebut ditumbuhi pohon sagu. Sementara di sekitar Merauke dan Pegunungan Jayawijaya terdapat padang rumput, hutan savana, dan sebagian berupa tanah tandus dengan luas sekitar 2,15 juta ha. Padang rumput juga dijumpai di wilayah dataran tinggi sekitar Wamena (Lembah Baliem). Selain berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah, jenis-jenis vegetasi tertentu dapat merupakan petunjuk tentang keadaan tanahnya, misalnya mangrove merupakan indikasi wilayah pantai yang airnya payau dan drainase sangat terhambat (tergenang). Jenis vegetasi ramin dan mentangur misalnya merupakan indikasi adanya tanah gambut. Hutan sagu terdapat secara terpencarpencar, luasnya sekitar 667 ribu ha dan umumnya sudah dimiliki penduduk setempat secara turuntemurun. Sagu merupakan sumber makanan pokok, sehingga perlu dilindungi dan dipertahankan. Mengingat mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah berburu (rusa, kanguru, babi, dan sebagainya) dan menokok sagu, maka bila daerah ini dibuka perlu disediakan atau disisihkan sebagian lahannya untuk padang perburuan. Daerah dataran dan pinggiran rawa sudah banyak yang dimanfaatkan untuk pertanian. Wilayah yang telah digunakan untuk budi daya pertanian sekitar 17,6%, digunakan sebagai tegalan, sawah, pekarangan/pemukiman termasuk pemukiman transmigasi, perkebunan, kebun campuran dan pertambangan, sedangkan 8,9% berupa tanah tandus, savana, rawa, dan penggunaan lainnya.
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
Tabel 1. Penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di Papua No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Penggunaan lahan/vegetasi Hutan lahan kering Hutan rawa bergambut Hutan rawa Hutan mangrove Rawa Tegalan, semak, dan kebun campuran Belukar rawa Hutan tanaman industri (HTI) Perkebunan Ladang Sawah Pemukiman dan kawasan transmigrasi Tanah terbuka, savana, dan tandus Kawasan pertambangan Penggunaan lain Jumlah
Luas (x 1000 ha) 20.098 5.466 2.510 1.622 561 5.547 1.317 4 330 917 32 577 2.157 10 1.050 42.198
% 47,6 13,0 5,9 3,8 1,3 13,1 3,1 0,0 0,8 2,2 0,1 1,4 5,1 0,0 2,5 100,0
Sumber : Hasil analisis citra satelit rekaman tahun 2004-2007, didukung informasi dari Badan Pertanahan Nasional (2005), Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Papua (2006), Pusat Perpetaan Kehutanan, Departemen Kehutanan (2005).
Budi daya pertanian di Papua Sebagian besar petani di Papua melaksanakan kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga, hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan untuk memperoleh kebutuhan hidup lain seperti sandang dan kebutuhan sekunder lainnya. Ciri lain dari pertanian semacam ini adalah pembagian tugas antara pria dan wanita dalam kehidupan seharihari sangat jelas, dan pertanaman berpola campuran sebagai strategi memperkecil risiko gagal panen. Selama tidak ada pengaruh budaya dari luar, penyakit maupun bencana alam lainnya, maka sistem ini dapat berjalan dengan baik dalam menunjang kehidupan rumah tangga. Hal ini ditunjang oleh sistem sosial yang kuat dalam membentuk sistem komunal dan mekanisme saling membantu dan mengatasi permasalahan sudah menjadi budaya dan adat masyarakat. (Suradisastra et al., 1991 dan 2001). Secara umum, budaya bertani di Papua mencakup budaya meramu (hunting and gathering), ladang berpindah (slash-and-burn agriculture), usaha tani transisi (sedenter), dan usaha tani maju (semi-komersil dan komersil). Meramu dan ladang berpindah merupakan budaya yang dianut masyarakat lokal, terutama di zona Manokwari-Fakfak, zona Pegunungan, dan
Merauke-Digoel. Sebagian etnis Arfak di zona Manokwari masih menganut budaya meramu dan ladang berpindah. Sebagian telah berevolusi ke arah usaha tani sedenter, terutama bagi etnis lokal yang tergabung dalam program transmigrasi nasional seperti di Desa Prafi Mulya yang semula merupakan lokasi transmigrasi. Etnis Papua lokal umumnya menganut budaya lumbung, yaitu penanaman tanaman pangan (ubijalar, talas) secara bertahap (relay planting), sehingga panen dapat dilaksanakan sewaktu-waktu ketika petani membutuhkannya (Kepas, 1990). Teknik ini mampu menjaga kelangsungan konsumsi selama berabad-abad karena tata pengaturan dan pelaksanaannya dikontrol oleh lembaga norma dan adat setempat. Etnis pendatang, terutama petani transmigran memiliki keterampilan dan penguasaan teknik bertani modern, telah memiliki orientasi ekonomi dan agribisnis. Sebagian besar merupakan petani maju yang telah menerapkan teknologi tepat-guna dan berorientasi produksi untuk memenuhi kebutuhan dan dijual guna menambah pendapatan. Sebagian lainnya merupakan usaha tani komersil dimana petani memilih dan mengembangkan komoditas yang memiliki nilai pasar tinggi (Dimyati et al., 1991).
41
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Kondisi sumberdaya lahan dan lingkungan 2
Wilayah Papua dengan luas ± 421.981 km atau ± 42.198.100 ha (Badan Pusat Statistik, 2005) merupakan pulau paling timur dan terluas (± 22% luas Indonesia), terdiri atas lahan rawa (rawa pasang surut dan non pasang surut) seluas 11.942.100 ha atau 28,3% dan lahan kering (upland) seluas 30.256.000 ha atau 71,7%.
Sumberdaya lahan di Papua belum banyak digali sifat-sifat dan potensinya untuk berbagai tujuan, sehingga masih sedikit sekali pemanfaatannya di sektor pertanian. Penelitian tanah di Papua sudah dimulai sejak tahun 1932 (Soepraptohardjo et al., 1971), namun sampai sekarang wilayah yang telah diteliti masih sangat sempit. Penelitian/survei dan pemetaan tanah sampai periode tahun 1990-an baru sekitar 66.989 2 km (Retno et al., 1994) atau 15,8% dari luas total seluruh Papua. Bersumber dari Peta Tanah Irian Jaya skala 1:1.000.000 (Wahyunto dan Marsoedi et al., 1994) dan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2000), berdasarkan keadaan tanah dan fisiografinya, wilayah Papua dibedakan menjadi 33 satuan peta. Wilayah Papua didominasi oleh tanah Inceptisols (Kambisols) sekitar 22,2%, kemudian Ultisols (Podsolik) sekitar 21,4%. Tanah Inceptisols dan Ultisols umumnya berpenyebaran di daerah lahan kering (upland). Kedua tanah ini untuk pengembangan pertanian mempunyai ken-dala kemasaman tanah dan tingkat kesuburan yang rendah. Selain itu dijumpai tanah-tanah Alfisol (Mediteran), Mollisol (Renzina), Gleysol, dan Aluvial yang luasnya mencapai 31,8% dan mempunyai potensi relatif tinggi untuk pengembangan pertanian dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan lingkungan/iklim setempat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah Entisols (Litosols dan Regosols) seluas 15,9% bila dikembangkan untuk pertanian mempunyai faktor penghambat tanah dangkal, berbatu, dan berada pada lereng yang curam serta tekstur berpasir. Tanah-tanah ini mempunyai kesuburan alami yang sangat rendah dan tidak berpotensi untuk pertanian. Tanah Histosols (Organosol) terdapat di dataran rawa pantai dan pedalaman meliputi luas 42
sekitar 8,7%. Kendala untuk pengembangan pertanian pada tanah ini adalah adanya lapisan gambut yang tebal dan selalu tergenang air. Lahan rawa yang ada di Papua dikelompokkan ke dalam tipologi: (1) lahan rawa lebak bertanah aluvial seluas 2,71 juta ha, dan bertanah gambut atau berasosiasi dengan tanah gambut seluas 3,59 juta ha; (2) rawa pasang surut air tawar 2,32 juta ha, dan rawa pasang surut air payau/salin 1,89 juta ha (Widjaja-Adhi, 1995). Iklim di Papua umumnya cukup basah. Variasi curah hujan cukup besar, dari ± 1.500 mm sampai ± 5.000 mm per tahun, dengan tendensi makin dekat ke Pegunungan Jayawijaya semakin basah. Curah hujan rata-rata di kawasan pegunungan berkisar antara 1.823 dan 4.355 mm/tahun. Namun menurut RePPProT (1989), curah hujan di daerah ini bisa mencapai 5.000 mm/tahun yang terjadi di daerah pegunungan utara, sebelah selatan S. Turui dan S. Idenberg serta dekat muara sungainya (Djaenudin, 1994). Wilayah di sekitar Merauke paling kering dengan curah hujan <1.500 mm/tahun dan musim kemarau cukup panjang (Juli-November), sedangan pada ketinggian di atas 4.500 m dpl terdapat salju yaitu di puncak Jayawijaya. Berdasarkan sistem Agroklimat Oldeman et al. (1980), Indonesia dibedakan menjadi lima zona utama agroklimat (AE) atau 14 zona agroklimat, dimana 11 zona agroklimat diantaranya terdapat di Papua (zona agroklimat A sampai D2). Jumlah curah hujan ratarata bulanan meningkat ke pedalaman yang berupa daerah perbukitan dan pegunungan (upland), mengikuti bertambahnya ketinggian tempat dari permukaan laut. Berdasarkan jumlah dan distribusi curah hujan, daerah upland mempunyai regim kelembaban tanah udik, sedangkan di daerah rendah/berawa (lowland) termasuk akuik. Makin besar curah hujan dan makin lama periode hujannya, proses pencucian hara di dalam tanah menjadi semakin kuat/intensif, sehingga tanah dipermiskin, sementara jika curah hujan terbatas pencucian hara relatif rendah. Infrastruktur Secara umum kondisi infrastruktur di Papua terutama di kawasan pegunungan tengah
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
(rangkaian Pegunungan Jayawijaya dan Pegunungan Sudirman) masih memprihatinkan, jalan belum dibangun dan sebagian besar listrik belum menyala. Menurut Dinas Pekerjaan Umum Papua (2006), panjang jalan di Papua mencapai 4.677 km. Minimnya pembangunan infrastruktur jalan di Papua, hingga saat ini sebagian besar daerah tidak bisa dijangkau dengan transportasi darat. Untuk mencapai lokasi yang dituju, ada dua pilihan, menggunakan transportasi udara atau laut. Namun transportasi udara umumnya menjadi pilihan utama. Tersedia dua jenis transportasi udara di Papua, yakni penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan non niaga (yang dilakukan sejumlah misionaris). Di Papua ada 45 landasan lapangan udara yang beroperasi. Ketergantungan masyarakat Pegu-nungan Jayawijaya terhadap angkutan udara teramat besar. Dampaknya, harga barang-barang yang dibutuhkan masyarakat menjadi mahal (Dinas Perkerjaan Umum Provinsi Papua, 2006). Harga kebutuhan pokok bisa mencapai enam kali lipat dari harga yang berlaku di Jayapura, Sorong dan Manokwari. Untuk menunjang transportasi laut dan danau, telah dibangun enam dermaga yaitu Yahim, Kamaiyaka dan Ayapo (Distrik Sentani), Pagai (Distrik Kaureh), Depapre (Distrik Depapre) dan Youlim Sari (Distrik Demta). Pelabuhan Jayapura melayani pelayaran antar samudera, kapal perintis/nusan-tara, kapal lokal, tanker serta lainnya. Sedangkan pelabuhan di Nabire hanya melayani kapal perintis/nusantara, kapal lokal, tanker serta lainnya. Trans Papua (dulu disebut Trans Irian), yakni jalan yang menghubungkan JayapuraWamena (panjang jalan 585 km, diresmikan tahun 1985) belum selesai dibangun. Dari arah Wamena jalan yang sudah beraspal baru sekitar 37 km, selanjutnya kilometer 37-48 masih setengah aspal, berlanjut jalan “sungai mati” hingga kilometer 140, distrik Lereh Kabupaten Jayapura praktis tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Kawasan ini sebenarnya sudah dibuka pada tahun 1990-an , tetapi kemudian tertutup karena jarang dilalui kendaraan (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua, 2006). Seandainya pembangunan transportasi darat Wamena-Jayapura bisa segera direalisasikan, distribusi dan pemasaran hasil pertanian dapat terbuka lebar. Total jalan yang telah dibangun di daerah pegunungan Jayawijaya
ke arah kabupaten di sekitarnya mencapai panjang 558,68 km, 26,2% diaspal, sisanya masih berupa jalan kerikil dan tanah. Klasifikasi jalan berdasarkan kondisinya tercatat 61% baik, 31% sedang, 5% rusak, dan 3% rusak berat (Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jayawijaya, 2006). Masalah infrastruktur di Papua pada kawasan pegunungan yang mendesak untuk dilaksanakan, dengan membuka hambatan akses darat antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya di kawasan pegunungan serta dengan kabupaten di pesisir. Hal ini dilakukan dengan melanjutkan pembangunan poros jalan darat JayapuraWamena, pembangunan ruas Wamena-Kenyam, serta pembangunan jalan antar kecamatan serta jalan usaha tani. Pengembangan infrastruktur untuk menunjang pertanian berdasarkan arahan penggunaan lahan dan kedekatan (aksesibilitas) daerah yang berpotensi dengan prasarana transportasi yang telah ada. Daerah yang sesuai dan berjarak ≤ 5 km di kiri dan kanan jalan dan sungai yang digunakan untuk transportasi air, secara geografis dianggap berpotensi untuk dikembang-kan dalam jangka pendek menjadi daerah pertanian. Pada daerahdaerah yang dianggap berpotensi untuk dikembangkan pertanian, pengembangannya harus diikuti dengan rencana pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan desa, saluran irigasi, saluran drainase, bangunan air, alat dan mesin pertanian, serta rencana lokasi pasar.
ANALISIS/PEMECAHAN MASALAH Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 05/2007, Departemen Pertanian ditugaskan memberikan dukungan kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk percepatan pembangunan di kedua provinsi tersebut. Berkaitan dengan itu, percepatan pembangunan pertanian berbasis sumberdaya digunakan dua pendekatan utama, yakni (1) analisis biofisik sumberdaya lahan dan teknologi pertanian dan (2) analisis sosial-ekonomi dan kelembagaan. Pendekatan yang pertama mencakup kajian, tentang : (a) evaluasi potensi sumberdaya lahan pertanian, (b) pengembangan infrastruktur pertanian, (c) pemantapan ketahanan
43
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
dan diversifikasi pangan lokal, dan (d) pengembangan produksi bio-energi. Pendekatan yang kedua mencakup kajian: (a) pengembangan sumberdaya manusia di sektor pertanian, (b) pengembangan agroindustri, (c) pengembangan kelembagaan pertanian, dan sistem pemasaran komoditas pertanian.
lahan kering, dan 5,6 juta ha untuk tanaman perkebunan dataran rendah (<700 m dpl). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk lahan sawah, tanaman semusim lahan kering, dan tanaman perkebunan berturut-turut adalah sekitar 0,2; 0,4; dan 0,1 juta ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001).
Analisis diarahkan kepada komoditas pertanian unggulan hasil musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) pada masing-masing provinsi dan kabupaten untuk mendukung : (1) pertumbuhan perekonomian daerah, yaitu komoditas yang secara nyata berpotensi meningkatkan pendapatan daerah yang dalam pengembangannya memerlukan investasi dari pihak ketiga. Termasuk dalam kelompok ini adalah kelapa sawit dan kakao; (2) peningkatan perekonomian rakyat, yaitu komoditas yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, tidak mutlak memerlukan areal yang luas (10-100 ha dalam satu hamparan), dan tidak mutlak memerlukan investasi pihak ketiga. Contoh kelompok ini adalah kakao, kopi, dan ternak; dan (3) peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan lokal, yaitu komoditas yang dapat diusahakan oleh masyarakat dalam skala usaha rumah tangga dan penggunaan utamanya adalah untuk konsumsi keluarga. Contoh kelompok ini adalah sagu, ubijalar, talas, dan gembili.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) melakukan kajian untuk percepatan pembangunan pertanian di Papua. Dalam menyusun arahan pengembangan komoditas pertanian unggulan, pemilihan prioritas tanaman yang diunggulkan adalah mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua tahun 2004/2005, dan Program Pembangunan Pertanian (Badan Pertanahan Nasional, 2005). Komoditas tanaman pertanian yang diunggulkan untuk setiap kabupaten mengacu pada hasil musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten dan provinsi. Umumnya dalam satu wilayah kabupaten hanya satu atau dua komoditas pertanian yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan, permintaan pasar, ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia, dan kondisi sosial ekonominya. Misalnya di Kabupaten Jayapura, komoditas pertanian yang diunggulkan adalah kakao, sagu, diintegrasikan dengan ternak babi dan sapi. Dengan demikian di daerah Kabupaten Jayapura hanya diarahkan untuk pengembangan komoditas kakao dan sagu, walaupun lahan tersebut juga berpotensi tinggi untuk pengembangan komoditas tanaman pertanian lainnya, misalnya kelapa sawit dan karet. Potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan di Papua disajikan pada Tabel 2.
DUKUNGAN DATA POTENSI SUMBERDAYA LAHAN Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki sekitar 17,3 juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian, 7,2 juta ha di antaranya sesuai untuk dijadikan lahan sawah, 4,1 juta ha untuk pertanian tanaman semusim
44
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
Tabel 2. Potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan di Papua No.
Komoditas pertanian unggulan
Luas wilayah potensial ha
I. Perkebunan 1. Sawit 2. Kakao 3. Karet 4. Kelapa 5. Kopi 6. Sawit atau kakao 7. Sawit atau kopi 8. Tebu atau jambu mete 9. Kopi atau hortikultura (buah-buahan) Jumlah I
1.429.644 477.321 81.098 78.781 180.733 254.880 4.634 268.782 50.976 2.826.849
II. Palawija dan hortikultura 1. Ubijalar, jagung, padi gogo 2. Padi gogo dan palawija 3. Hortikultura, palawija, sayuran 4. Hortikultura (buah-buahan) Jumlah II
426.345 296.588 210.856 1.237.327 2.171.116
III. Sagu dan padi sawah 1. Sagu 2. Sagu, sayuran, palawija 3. Padi sawah, palawija Jumlah III
836.470 215.489 2.717.947 3.769.906
IV. Perikanan dan peternakan 1. Perikanan 2. Peternakan Jumlah IV
210.855 6.951 217.806
Luas wilayah potensial (I+II+III+IV)
8.985.677
Sumber : Diolah dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2000, 2001 dan 2002); Peta RTRWP Papua (Badan Pertanahan Nasional, 2005), Peta Penggunaan Lahan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007)
Di Papua lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman perkebunan, paling luas adalah untuk kelapa sawit 1,4 juta ha, kemudian diikuti kakao 477 ribu ha, kopi 180 ribu ha, dan tebu dan atau jambu mete 268 ribu ha (Tabel 2). Di daerah pantai utara Papua, lahan potensial yang cukup luas untuk pengembangan komoditas kelapa sawit terdapat di Kabupaten Nabire >50.000 ha, Sarmi dan Keerom masing-masing >15.000 ha. Sedangkan di wilayah kepala Burung Papua, lahan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit antara 25.000-60.000 ha, terdapat di Kabupaten Sorong, Fak-fak, Bintuni, dan Kaimana. Wilayah potensial dengan luasan 10.000 ha atau lebih untuk pengembangan kakao dan kelapa dapat dikembangkan di Kabupaten Sarmi,
Waropen, Nabire, Manokwari, dan Kaimana (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2000, 2001, dan 2002; dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Di kawasan pegunungan, dukungan lahan sangat menonjol untuk pengembangan komoditas pangan lokal seperti ubijalar, padi-padian, dan palawija. Lahan potensial untuk pengembangan tanaman ubijalar, jagung, dan padi gogo seluas 426 ribu ha. Di Kabupaten Jayawijaya dan Puncak Jaya, terdapat lahan potensial untuk komoditas ubijalar, jagung, dan palawija seluas 150.000 ha. Petani di wilayah ini tidak mengusahakan komoditas pangan lain. Ubijalar atau hipere merupakan komoditas eksklusif untuk Kabupaten
45
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Jayawijaya (Suradisastra, 2003b dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1998). Sebaliknya, Kabu-paten Paniai dapat mendukung pengembangan pangan komoditas padi, palawija, jagung, dan padi gogo, serta sagu di lahan sekitar 48.000 ha. Di kawasan pegunungan ini juga berpotensi untuk pengembangan tanaman hortikultura (buah-buahan dan sayuran dataran tinggi), serta tanaman kopi dengan luas lahan sekitar 210 ribu ha. Kopi Wamena dan jeruk Bokondini termasuk komoditas pertanian yang telah dipasarkan ke luar Papua (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1997). Kawasan dataran rendah Papua bagian selatan mencakup lima kabupaten, yakni Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel, Asmat, dan Mimika. Kabupaten Boven Digoel memiliki wilayah terluas untuk tanaman perkebunan terutama untuk kelapa sawit 544.000 ha, kemudian diikuti Kabupaten Merauke 139.000 ha, Mappi 90.000 ha, dan Mimika 6.000 ha. Di Kabupaten Boven Digoel dan Mappi terdapat wilayah potensial untuk pengembangan tanaman karet masing-masing seluas 74.000 dan 6.900 ha. Untuk komoditas tanaman tebu dan jambu mete dapat dikembangkan di Kabupaten Merauke dengan luas wilayah potensial sekitar 268.000 ha. Lahan sawah sebagian besar terdapat di Kabupaten Merauke, umumnya ditanami padi oleh petani transmigrasi. Produksi padi saat ini mampu memenuhi kebutuhan empat kabupaten lainnya. Lahan yang berpotensi untuk pengembangan tanaman padi sawah di seluruh Papua sekitar 2,7 juta ha. Lahan potensial untuk padi sawah, terluas di Kabupaten Merauke 1,39 juta ha, kemudian diikuti Kabupaten Mappi 468.000 ha. Untuk Kabupaten Boven Digoel, Asmat, dan Mimika, area potensial untuk pengembangan tanaman padi berturut-turut seluas 81.000, 32.000, dan 27.000 ha. Kalau dilihat dari potensi lahan yang dimiliki, kabupaten-kabupaten di wilayah selatan Papua ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena lahan di wilayah ini terbentuk dari bahan aluvial yang subur. Kabupaten Merauke yang mencanangkan program MIRE (Merauke Inte-
46
grated Rice Estate), merupakan pengembangan lahan pertanian berbasis tanaman padi (pilot project 20.000 ha) diintegrasikan dengan ternak, ikan, dan sarana pendukung lainnya. Direncanakan akan mengoptimalkan pemanfaatan mekanisasi pertanian, namun masih terkendala masalah penyediaan sumberdaya manusia yang memadai. Lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian masih luas dan baru sebagian kecil saja yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Kawasan lahan yang berpotensi tinggi (Sesuai-1) untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan yang diunggulkan oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten hasil Musrembang seluas 8,9 juta ha (Tabel 2), lahannya telah dimanfaatkan sekitar 759 ribu ha, sehingga masih tersedia lahan untuk pengembangan pertanian seluas 8,2 juta ha (Tabel 3). Lahan yang sudah dibuka untuk sawah hanya 1,3% dari seluruh lahan yang sesuai untuk sawah. Luas sawah Papua sekitar 25,1 ribu ha terluas terdapat di Kabupaten Merauke 19.350 ha dan Kabupaten Nabire 2.940 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2006). Karena berbagai kendala, tiap tahun luas tanam padi tidak pernah mencapai luas areal sawah yang ada. Sebetulnya sumberdaya air cukup banyak tersedia, namun karena belum dikelola secara optimal, tidak dapat digunakan untuk mengairi seluruh sawah yang ada. Produksi padi tahun 2006 mencapai 73.168 ton dengan produktivitas rata-rata 4,2 t/ha. Wilayah potensial untuk sagu terdapat di daerah-daerah dataran rawa di sekitar pantai, dataran rendah, dan pelembahan sungai yang sering tergenang dengan luas sekitar 900.000 ha. Kabupaten yang mempunyai wilayah untuk pengembangan sagu cukup luas adalah Kabupaten Kaimana 157.000 ha, Nabire 150.000 ha, Waropen 139.000 ha, Sarmi 106.000 ha, Asmat 90.000 ha, Sorong 64.000 ha, dan Fak-fak 60.000 ha.
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
Tabel 3. Arahan pengembangan komoditas pertanian unggulan di Papua No. 1. 2. 3. 4.
Komoditas pertanian unggulan Perkebunan Palawija dan hortikultura Sagu dan padi sawah Perikanan dan peternakan Jumlah
Telah digunakan untuk Lahan untuk pertanian pengembangan ……………………………… ha ……………………………… 2.826.849 442.563 2.384.286 2.171.116 90.369 2.084.747 3.769.906 189.962 3.579.944 217.806 37.074 180.732 8.985.677 759.968 8.225.709
Lahan potensial
Sebagian besar tanaman sagu masih merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan sendirinya. Biasanya masyarakat hanya mengambil anakan dari rumpun tanaman yang tumbuh liar dan menanam kembali di lahan kosong yang diperkirakan baik untuk pertumbuhan sagu. Berdasarkan peta wilayah pertanian (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2006), luas hutan sagu 513.000 ha, letak terpencar-pencar dan seluruhnya sudah dimiliki masyarakat, produksinya sekitar 139 ton dan melibatkan 1.663 petani.
ARAHAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Sektor pertanian memiliki potensi menjadi salah satu sektor andalan dalam percepatan pembangunan Papua. Dengan sumberdaya lahan yang dimiliki, pembangunan pertanian diharapkan dapat menjadi pilar permbangunan ekonomi Papua dan Papua Barat. Tata ruang untuk daerah yang belum banyak terganggu, perlu diatur secara seksama dan ketat dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup. Sedangkan daerah yang sudah rusak/ terdegradasi dan menurun fungsi produksinya perlu direhabilitasi. Tanpa usaha ini, degradasi lahan dan penurunan fungsi lingkungan akan semakin parah, dan rehabilitasinya jauh lebih berat, memerlukan waktu lama dan dana yang besar. Dengan rusaknya hidrologi daerah DAS hulu, daerah pantai/DAS hilir yang merupakan sentra pengembangan pertanian akan terancam bencana, karena intrusi air laut akan semakin masuk jauh ke daratan. Hutan dan tanaman tahunan diperlukan terutama di daerah hulu DAS untuk memelihara tata air dan sebagai kawasan penyangga, sehingga lingkungan secara menyeluruh tetap
terpelihara. Di sepanjang pantai dengan tanaman bakau dan hutan nipah juga perlu dipertahankan untuk penyangga maupun tempat habitat ber-bagai satwa yang secara ekonomis mempunyai nilai tinggi dan penyeimbang lingkungan, sebagaimana juga di sepanjang aliran sungai maupun mata air. Pertanian dan pengusahaan tanaman semusim hanya dianjurkan pada lahan dengan lereng <8% apabila tanahnya sesuai. Pertanian ini tidak dianjurkan pada lahan datar sekiranya tanahnya berbahan induk pasir kuarsa maupun gambut dalam, serta tanah yang terlalu banyak berbatu sehingga menyulitkan pengolahan tanah. Lahan dengan lereng 8-16% dianjurkan sistem wanatani, dimana tanaman semusim diusahakan bersama dengan tanaman keras/tahunan. Sedangkan lereng 16-40% sebaiknya hanya diusahakan tanaman permanen/tahunan seperti perkebunan maupun kehutanan (Amin et al., 1994). Penggunaan lahan yang tepat dan pengelolaan yang sesuai adalah kunci dari pertanian berkelanjutan. Namun walaupun usaha pertanian tersebut menguntungkan, tetapi kalau kelestarian terusik, kondisi lingkungan terganggu, usaha pertanian tidak akan dapat bertahan lama. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi DAS. Kegagalan introduksi teknologi dan teknik bercocok tanam sering terjadi karena pengabaian terhadap nilai-nilai lokal serta adat dan norma yang berlaku di wilayah pembangunan pertanian. Sebaiknya proses adopsi teknologi dan penyuluhan pertanian mengikutsertakan kelembagaan lokal seperti kepala suku (ondoafie, keret, otini, dan lain-lain) dan lembaga tata pengaturan (sambanimpakasanim, otini-tabenak, dan lain-lain). Strategi yang ditempuh untuk mempertahankan ketahanan dan diversifikasi pangan lokal adalah melalui: pencapaian kemandirian beras, 47
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
ubi-ubian dan sagu sampai mendekati 100%; mempertahankan tingkat konsumsi ubi-ubian dan sagu, sekurang-kurangnya pada tingkat konsumsi sekarang; mendorong produksi sayur-sayuran, buah-buahan dan ternak untuk meningkatkan gizi masyarakat; meningkatkan ketahanan (aksesibilitas, kecukupan, dan keamanan) pangan rumah tangga; meningkatkan pengembangan komoditas non beras; meningkatkan daya beli rumah tangga atas pangan; dan meningkatkan upaya kecukupan pangan menjadi kecukupan gizi. Untuk mengatasi ketimpangan/ketidak selarasan budaya bertani antara etnis pendatang dan etnis Papua terutama tentang ketrampilan dan pengetahuan bertani hendaknya dikembang-kan program percepatan pembangunan pertanian dan adopsi-inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial-budaya, kelembagaan, dan penguasaan teknologi stakeholder petani maju dan petani tertinggal. Program pembinaan dan penyuluhan seyogyanya dipilah menjadi bimbingan dan penyuluhan untuk petani maju (etnis pendatang) dan petani tertinggal. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan dan strategi pelaksanaan percepatan sektor pertanian yang berbasis sumberdaya, baik sumberdaya lahan, air, iklim, dan sumber daya manusia secara terintegrasi dan sesuai dengan kondisi setempat.
PENUTUP Arah percepatan pembangunan pertanian dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian lahan dan aspek bio-fisik wilayah, dan interaksi kepadatan penduduk dengan aspek pasar. Berdasarkan keadaan sumberdaya lahan dan aspek bio-fisik wilayah, wilayah Papua cukup potensial untuk pengembangan pertanian termasuk pangan lokal dan bio-energi (kelapa sawit, kelapa, tebu, ubijalar, dan jagung). Pangan tradisional perlu dipertahankan dalam rangka diversifikasi dan pengembangan tanaman bio-energi. Konsep desa mandiri dengan mengutamakan sumber-sumber kekayaan setempat untuk dijadikan bahan pangan, bahan bakar, terutama untuk suplai energi listrik. Upaya selayaknya mendorong kemandirian ekonomi kerakyatan ke dalam pasar tradisional. Adanya hak ulayat dan suku-etnis Papua memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam serta lingkungan tempat 48
mereka berpijak, maka rekomendasi pengembangan pertanian, infrastruktur, dan investasi di Papua tidak boleh memutuskan hubungan masyarakat adat dengan aspek penguasaan tanah ulayatnya. Kesiapan masyarakat dalam mengadopsi teknologi sangat penting untuk dipertimbangkan misal pengembangan agroindustri diprioritaskan untuk penyimpanan bahan pangan agar dapat bertahan lama, bukan teknik pengolahan menjadi berbagai produk olahan baru.
DAFTAR PUSTAKA Asmuruf, D. 2005. Upaya Peningkatan Investasi di Provinsi Irian Jaya. Makalah untuk Kegiatan Rapat Pendahuluan Raker II APPSI. APPSI, Bandung. Amin, I., H. Sosiawan, dan E. Susanti. 1994. Agroekologi dan Alternatif Pengembangan Pertanian di Sulawesi, Nusa Teng-gara, Maluku dan Irian Jaya. Makalah pada Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Palu, 16-20 Januari 1994.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Sumberdaya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Draft Laporan Akhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Pertanahan Nasional. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua. Proyek Inev-SDL Badan Pertanahan Nasional, Kerjasama dengan Bappeda Provinsi Papua. Jayapura. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi di Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 1997. Pola Pengembangan Pertanian di Wilayah DAS Mamberamo, Irian Jaya. Laporan Kerjasama antara Bagian Proyek Sumberdaya Pertanian dan Agrotekno-logi dengan IPB. Jalan Thamrin Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 1998. Studi Evaluasi Zonase Lahan dan
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
Pra Studi Kelayakan Budidaya Lahan Padi dan Kelapa Sawit, di DAS Mamberamo Hilir, Irian Jaya. Laporan Kerjasama antara Bagian Proyek Sumberdaya Pertanian dan Agrotekno-logi dengan IPB. Jalan Thamrin Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian dan World Food Programe. Jakarta. Dimyati, A., K. Suradisastra, A. Taher, M. Winugroho, D.D. Tarigan, dan A. Sudradjat. 1991. Sumbangan Pemikiran Bagi Pembangunan Pertanian di Irian Jaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. 2006. Rencana Pembangunan Jalan di Papua. Dinas Pekerjaan Umum, Provinsi Papua. Jayapura. Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Jayawijaya. 2006. Pembangunan Jalan di Kabupaten Jayawijaya. Wamena. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2006. Potensi Pengembangan Komoditas Pertanian Utama. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jayapura. Djaenudin, D. 1994. Potensi Sumberdaya Alam Daerah Aliran Sungai Mamberamo di Provinsi Irian Jaya. Hlm. 403-412. Dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Kepas.
1990. Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Cenderawasih dan the Ford Foundation.
Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contr. Centr. Res. Insti. Of Agric. No. 60.
Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Indonesia skala 1:1.000.000. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Atlas Arahan Pengembangan Komoditas Pertanian Unggulan Indonesia skala 1:1.000.000. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pusat Perpetaan Kehutanan. 2005. Kawasan Hutan di Papua. Pusat Perpetaan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProT). 1989. Hasil Studi Regional Physical Planning Programme for Transmigration di Provinsi Irian Jaya dan Maluku. Ditjen Pankim, Departemen Transmigrasi. Jakarta. Retno, M.W., Suparmi, dan Marsoedi Ds. 1994. Liputan Wilayah Pemetaan Sumberdaya Lahan/Tanah di Provinsi Maluku dan Irian Jaya. Malakah pada Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Palu, 16-20 Januari 1994. Soepraptohardjo, M., M. Soekardi, dan W.J. Surjanto. 1971. Tanah Irian Barat. Edisi ke-2. Dokumen Pusat Penelitian Tanah Bogor. No.3/1971. Suradisastra, K. 1991. Comparison and Conflict between Agriculturalists and Semi-Nomadic Society in Prafi-IV Resettlement Unit, Manokwari-Irian Jaya. The Research Group of Agro-ecosystem. The Ford Foundation. Suradisastra, K. 2001. Rancangan Strategik Pengembangan Investasi di Kawasan Timur Indonesia, dalam Kawasan Timur Indonesia dan Prospek Investasi. Hlm. 29-42. Lembaga Informasi Nasional. Suradisastra, K. 2003a. Eastern Indonesia: the Great Challenge for Investment. Ministry for Acceleration of Eastern Indonesia Development, Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1: 1000.000. Puslit Tanah dan Agroklimat, 49
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
Suradisastra, K. 2003b. Roadmap to Investment in Eastern Indonesia. Ministry for Acceleration of Eastern Indonesia Deve-lopment, Jakarta. Suradisastra, K., A. Taher, A. Dimyati, D.D. Tarigan, A. Sudradjat, dan M. Winugroho. 1990. Potensi, Kendala, dan Peluang Pembangunan Pertanian di Provinsi Irian Jaya. Badan Litbang Pertanian. Wahyunto dan Marsoedi. Ds. 1994. Keadaan Tanah di Provinsi Irian Jaya. Hlm. 147162. Dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Lahan Rawa di Kawasan Timur Indonesia: Potensi, Pengelolaan, dan Teknologi Pengembangannya. Hlm. 323-342. Dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
50
PERAN PUPUK HAYATI DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI PEMUPUKAN MENUNJANG KEBERLANJUTAN PRODUKTIVITAS TANAH Roles of Biofertilizers to Increase Fertilization Efficiency in Supporting Sustainable Soil Productivity R. Saraswati Balai Penelitian Tanah
ABTSRAK Kualitas tanah berhubungan erat dengan aktivitas mikroba tanah. Komunitas mikroba secara berkelanjutan bertanggungjawab atas transformasi hara, mengatur ketersediaan hara bagi tanaman, mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui kemampuannya menambat N 2 , melarutkan P dan K, dan menghasilkan zat pemacu tumbuh. Penggunaan pupuk hayati dapat meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik. Pengembalian jerami ke dalam tanah melalui percepatan teknik pengomposan cepat dengan M-Dec atau pengkayaan bahan organik tanah dengan mikroba tanah dapat meningkatkan efisiensi perombakan bahan organik dan efisiensi pemupukan menunjang keberkelanjutan produktivitas tanah. Kata Kunci : Pupuk hayati, efisiensi pemupukan, produktivitas tanah
ABTSRACT There is close relationship between soil quality and soil microbial activity in the soil. Microbial community plays an important roles, such as transforming soil nutrient, managing nutrient availability, affecting plant growth through the ability to fix nitrogen, solubilize P and K, and produce plant growth promoting hormone. The use of biofertilizer can increase inorganic fertilization efficiency. Quick composting of straws by using M-Dec increases the efficiency of organic decomposition. Efficient fertilization and organic decomposition will support sustainable soil productivity. Keywords : Biofertilizers, fertilizer efficiency, soil productivity
T
anah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk dilindungi kualitas dan produktivitasnya. Perlindungan terhadap komunitas mikroba dalam eksositem pertanian sangat penting bagi keberlanjutan sistem produksi pertanian. Berbagai jenis mikroorganisme dapat meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan ketersediaan hara, menghasilkan senyawa anti patogen dan serangga hama. Asosiasi beberapa jenis mikroba bermanfaat dan efektif (MBE) dapat meningkat-kan kesuburan tanah untuk keberlanjutan produktivitas pertanian.
Penerapan teknologi MBE perlu dukungan kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Produk MBE adalah pupuk hayati atau produk biologi aktif yang terdiri atas mikroba menguntungkan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah, dan merupakan salah satu sumber alternatif penyediaan hara tanaman yang aman lingkungan.
Tanah bukanlah media tumbuh yang kekal, tanah harus dilindungi agar dapat digunakan sepanjang masa. Perlu pemahaman terhadap proses dan strategi pemanfaatan pupuk hayati untuk memperbaiki kualitas tanah, meningkatkan bahan organik tanah, dan memelihara keanekaragaman hayati dalam menunjang keberlanjutan produktivitas tanah. Mikroba tanah yang paling bertanggungjawab pada berbagai transformasi hara dalam tanah yang berhubungan dengan kesuburan dan kesehatan tanah (Kennedy and Papendick 1995). Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan mikroba, yaitu (1) menyediakan sumber hara bagi tanaman, (2) melindungi akar dari gangguan hama dan penyakit, (3) menstimulir sistem perakaran agar berkembang sempurna memperpanjang usia akar, (4) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, (5) sebagai penawar racun beberapa logam berat, (6) sebagai metabolit pengatur tumbuh, dan (7) 51
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
sebagai bioaktivator perombak bahan organik.
and Gewin, 1997).
Dengan berbagai dampak positif yang timbul dari pemanfaatan pupuk hayati, kaidah biologi perlu digalakkan dan dilibatkan secara proporsional. Dengan komitmen yang tinggi dalam meningkatkan kelestarian lahan akan menyelamatkan ekosistem kita dan mampu menopang kehidupan manusia.
Transformasi beberapa pupuk kimia dalam tanah tergantung pada mikroba tanah, seperti nitrifikasi pupuk amonia, produksi enzim fosfatase yang mengkatalisis hidrolisis pupuk P, dan produksi enzim urease yang mengkatalisis hidrolisis urea untuk memproduksi amonium karbonat. Namun demikian, pemberian pupuk kimia berlebihan dapat memberikan efek negatif pada lingkungan mikroba, khususnya pada daerah yang dekat dengan partikel pupuk granul, meningkatkan konsentrasi garam dalam larutan tanah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan hara, pH rendah, pH tinggi atau nitrit tinggi. Pemberian pupuk kimia dalam jumlah sedikit memberikan efek menguntungkan pada komunitas mikroba heterotrofik, yang pada gilirannya memberikan efek positif pada struktur tanah, perbaikan ketersediaan hara dan meningkatkan kandungan humus (Beauchamp and Hume, 1997).
PROSES DAN STRATEGI PEMANFAATAN PUPUK HAYATI Kualitas tanah dikendalikan oleh tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu fisika, kimia, dan biologi. Komponen biologi masih sedikit dimengerti dan sulit diinterpretasikan. Siklus hara, proses perombakan bahan organik, dan pembentukan humus dalam tanah sangat tergantung pada adanya mikroba penyubur tanah dan perombak bahan organik. Pemanfaatan mikroba perombak bahan organik untuk percepatan perombakan bahan oganik dapat meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah, mengurangi penyakit, larva insek, biji gulma, dan volume bahan buangan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah. Pengelolaan tanah mempengaruhi komunitas mikroba dan pembentukan bahan organik tanah selama musim tanam (MT). Perubahan ciri fisik dan kimia tanah hasil olah tanah akan mempengaruhi lingkungan tanah yang mendukung pertumbuhan populasi mikroba (Kennedy and Papendick, 1995) dan keanekaragamannya (Kennedy and Smith, 1995). Kerusakan tanah akan mempengaruhi fungsi mikroba (Gochenauer, 1981; Boddy et al., 1988; Christensen, 1989), dan menyebabkan perubahan yang cepat pada struktur komunitas mikroba (Peterson and Klug, 1994). Pengelolaan tanah yang membiarkan sisa-sisa daun pada permukaan tanah (tanpa olah tanah) akan menghasilkan senyawa karbon organik larut yang dapat meningkatkan populasi mikroba tanah (Alvarez et al., 1998; Grayston et al., 1998). Mikroba tanah merupakan dasar transformasi bagi berlanjutnya suatu kehidupan, fungsinya mempengaruhi berbagai proses dalam tanah yang pada gilirannya akan mempengaruhi produktivitas tanah (Kennedy
52
Proses dekomposisi bahan organik dan siklus mineral penting bagi ketersediaan hara dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Dalam lingkungan tanah, komponen pembatas aktivitas mikroba yaitu substrat karbon (Alexander, 1977). Dekomposisi tumpuk-an sisa-sisa tanaman pada lahan pertanian merupakan strategi yang baik untuk melindungi dan meningkatkan kualitas tanah, dan penting untuk menghindari adanya imobilisasi hara dan alelopati (Martin et al., 1990), dan sebagai substrat patogen, yang mana akan mempe-ngaruhi hasil pada sistem tanam benih langsung (Cook, 1986; Elliott and Papendick, 1986). Pemanfaatan pupuk hayati yang sesuai dengan kondisi tanah, selain merupakan alternatif yang murah untuk meningkatkan kesuburan tanah juga meningkatkan efisiensi pemupukan, produktivitas tanah, dan mengurangi bahaya pencemaran lingkungan. Hal yang tidak kalah penting dan perlu diperhatikan dalam pemanfaatan pupuk hayati adalah kualitas pupuk hayati itu sendiri. Meskipun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan berbagai jenis pupuk hayati, namun tidak menjamin mutu pupuk hayati tersebut selalu baik sehingga perlu dukungan kebijakan pemerintah dalam sistem pengawasan mutunya.
R. Saraswati : Peran Pupuk Hayati dalam Meningkatkan Efisiensi Pemupukan
EFEKTIVITAS PUPUK HAYATI Salah satu upaya untuk mencapai renewable input dalam sistem pertanian berkelanjutan adalah memelihara kesehatan dan kualitas tanah dengan mengurangi keter-gantungan terhadap penggunaan pupuk kimia melalui proses biologi. Menjaga keberlangsungan kaidah-kaidah hayati yang mendukung rantai daur ulang yang terjadi di alam antara organisme produsen, konsumen dan pengurai dan melibatkan secara proporsional penyediaan unsur hara dan pengendalian hama dan penyakit tanaman yang sinergis dengan kaidah hayati merupakan hal yang sangat penting. Pemanfaatan inokulan rhizobia pada intensifikasi kedelai pada tahun 80-an menunjukkan bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi ini rendah. Berbagai metode aplikasi dan efisiensi yang tidak pasti merupakan faktor penyebabnya. Dalam upaya mengatasi keragaman keefektifan, mutu inokulan harus ditingkatkan. Sistem teknologi produksi yang kurang efisien, diantaranya formulasi mikroba dan bahan pembawa mempengaruhi keefektifan produksi sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas inokulan. Berbagai jenis pupuk hayati dengan komposisi mikroba berbeda telah diperoleh oleh Tim Peneliti Pupuk Hayati Badan Litbang Pertanian. Hasil penggunaan Rhizo-plus di 24 provinsi dengan luas areal keseluruhan 273.013 ha pada kedelai dapat menekan kebutuhan pupuk N (sampai 100%) dan P (sampai 50%) dari yang direkomendasikan. Rata-rata hasil penggunaan Rhizo-plus pada tanaman kedelai di sembilan provinsi yang tersebar di 30 kabupaten pada tahun 1997/98 meningkatkan hasil 4,79 sampai dengan 5,40 kw/ha (42,09-56,69%) (Saraswati, 1999; Simanungkalit and Saraswati, 1999). Di beberapa lokasi pertanian kedelai bekas sawah berpengairan seluas 25 ha, pada MT 2003, menunjukkan bahwa aplikasi Rhizo-plus mampu menghasilkan kedelai rata-rata 2,5 t/ha (Laporan Hasil Demonstrasi Area oleh Direktorat Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tingkat II). Pupuk mikroba pelarut fosfat (PMPF) dapat digunakan untuk memecahkan masalah inefisiensi pemupukan P. Aplikasi PMPF pada tanaman
kedelai di lahan Podsolik Merah Kuning yang belum pernah ditanami kedelai mampu menekan kebutuhan pupuk SP-36 sampai 60% (53 kg/ha), sedangkan tanpa aplikasi PMPF membutuhkan pupuk SP-36 sebanyak 125 kg/ha. Hasil demonstrasi plot pada tanaman kedelai di 12 lokasi transmigrasi di Lambale, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara (Desember 1998-April 1999) seluas 10 ha menunjukkan bahwa kombinasi pemberian PMPF (200 g/ha) dengan pupuk anorganik takaran pola bantuan (urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha, dan KCl 50 kg/ha) meningkatkan hasil kedelai sebesar 12,5%, sedangkan dengan pupuk anorganik takaran ½ pola bantuan (urea 50 kg/ha, SP-36 25 kg/ha, dan KCl 25 kg/ha) dapat meningkatkan hasil kedelai sebesar 28,32%. Usaha perlindungan tanah akibat pencemaran logam berat dengan pemberian mikroba pengakumulasi logam berat Bacillus sp. dapat mengurangi dampak negatif logam berat di lahan sawah tercemar limbah industri, dan kasus keracunan bahan pangan oleh logam berat dapat diatasi. Pemanfaatan dapat menurunkan dengan nyata serapan Cd beras dan meningkatkan bobot beras, dengan kata lain meningkatkan kualitas beras (Saraswati et al., 2006). Mikroba pelindung tanaman, BioReg-NPS yang mempunyai kemampuan menghasilkan senyawa organik alami pemacu pertumbuhan tanaman, serta anti patogen dan serangga hama kedelai dapat digunakan untuk perlindungan tanaman kedelai. Nematoda patogen serangga (NPS) yang dikandungnya bekerjasama dengan bakteri simbionnya dari genus Heterorhabditis dan Steinernema menghasilkan senyawa yang toksik bagi serangga sasaran, mampu membunuh serangga hama dalam waktu 24-48 jam. Nematoda patogen serangga ini efektif terhadap hama penggerek polong kedelai. Aplikasi mikroflora tanah multiguna (MTM) BioNutrient yang mengandung mikroorganisme bersifat multifungsi secara terpadu dengan bahan organik pada tanaman padi gogo di lahan kering masam mampu meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk N, P, K, menekan kebutuhan pupuk N, P, dan K hingga 50% dengan peningkatan hasil gabah 153%, demikian pula halnya pada jagung mencapai efektivitas 106,2%, apalagi bila kombinasinya dilengkapi dengan mikroba 53
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
pelindung tanaman (BioReg-NPS), akan lebih efektif menyehatkan tanah, mendukung pertumbuhan tanaman, dan per-lindungan tanaman. Pupuk hayati perombak bahan organik MTM M-Dec bersifat multifungsi, dapat mempercepat perombakan bahan organik dan menekan penyakit tular tanah. Dalam waktu 12 hari, nisbah C/N jerami dapat mencapai 16,85, yang biasanya untuk mencapai nilai tersebut diperlukan waktu kurang lebih dua bulan. Dari waktu pengomposan yang lebih cepat, maka dapat mempercepat waktu tanam, sehingga produksi dan keuntungan usaha tani dapat ditingkatkan. Penggunaan teknologi percepatan pembuatan kompos dengan M-Dec (MDec-based quick composting) sangat disarankan digunakan di lahan sawah mengingat sebagian besar lahan sawah rendah C-organik. Pengembalian bahan organik jerami yang dikomposkan terlebih dahulu dapat menekan biaya pembelian pupuk karena jerami merupakan sumber hara utama kalium. Kombinasi aplikasi MTM BioNutrient dan kompos jerami M-Dec secara terpadu dengan ½ takaran rekomendasi pupuk anorganik pada pertanaman padi sawah di Sukamandi dibandingkan dengan aplikasi hanya pupuk anorganik takaran penuh menunjukkan peningkatan keuntungan usaha tani padi sekitar Rp 1.132.500,(Tabel 1).
PROSPEK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PUPUK HAYATI Potensi pupuk hayati di Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan, karena belum adanya sistem baku mutu dan pengawasan untuk berbagai pupuk hayati yang beredar dewasa ini di pasaran. Pupuk hayati, dalam pengembangannya memerlukan kebijakan khusus, diintegrasikan dengan program pemerintah sehingga mitra swasta dan pengguna (petani) tertarik untuk memanfaatkannya, agar segera dapat berdampak pada peningkatan pendapatan usaha tani, khususnya di lahan marginal. Kebijakan pemerintah yang disarankan untuk menggalakkan penggunaan pupuk hayati adalah sebagai berikut : 1. Dibentuk sistem penilaian dan pengakuan resmi produk teknologi pupuk hayati oleh komisi independen. 2. Hanya produk yang telah dinyatakan lulus dan diakui yang dapat diproduksi dan dipasarkan kepada petani. 3. Penggunaan pupuk hayati perlu didukung penyuluhan dan kampanye oleh instansi pemerintah. 4. Perlu peningkatan pemahaman petani dan juga penyuluh terhadap manfaat pupuk hayati serta teknik penggunaannya. 5. Perlu
memasukkan
penggunaan
Tabel 1. Perkiraan tambahan keuntungan dengan penggunaan paket teknologi pupuk hayati-pupuk organik-pupuk kimia pada pertanaman padi di lahan sawah, Sukamandi, MK 2007 Peningkatan nilai pendapatan petani (per ha)
Harga satuan
Harga total
........... rupiah ........... Penghematan biaya pupuk : • Urea 50% (= 125 kg) • SP-36 25% (= 37,5 kg) • KCl 100% (= 0 kg) Total • Pembelian M-Dec 4 kg/5 ton jerami • BioNutrient 200g/ha Keuntungan I Produksi padi rata-rata 4,5 t/ha, peningkatan produksi padi 10% (= 450 kg) Tambahan keuntungan riil
54
1.500 2.000 3.500 25.000 100.000
2.000
187.500 70.000 175.000 432.500 100.000 100.000 232.500 900.000 1.132.500
teknologi
R. Saraswati : Peran Pupuk Hayati dalam Meningkatkan Efisiensi Pemupukan
pupuk hayati dalam teknologi anjuran, sesuai kebutuhan setempat. Teknik aplikasi pupuk hayati merupakan fase kritis yang perlu mendapat perhatian, oleh karenanya teknologi pupuk hayati yang dimanfaatkan harus sudah matang/teruji dengan tingkat efisiensi tinggi. Cara pengirimannya kepada pengguna (petani) dan cara penyim-panannya merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan, sehingga dalam pemanfaatannya diperlukan penyuluhan oleh lembaga pertanian terkait.
KESIMPULAN 1. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan pupuk hayati. Aplikasi pupuk hayati dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, melindungi akar dari gangguan hama dan penyakit, menstimulir sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, memacu jaringan meristem pada titik tumbuh, metabolit pengatur tumbuh tanaman, dan bioaktivator. 2. Pupuk hayati dapat meningkatkan efisiensi pemupukan melalui perannya dalam menambat N 2 , melarutkan hara P dan K, dekomposisi sisa tanaman dan transformasi hara, sehingga hara yang ada di dalam tanah menjadi lebih tersedia bagi tanaman. 3. Proses penyehatan tanah dari kontaminasi bahan-bahan kimia secara biologi dapat mengubah senyawa kimia kompleks atau sederhana menjadi bentuk yang tidak berbahaya. Bakteri pengakumulasi logam berat dapat dimanfaatkan sebagai perantara dalam reaksi kimia dan proses fisik secara metabolik di atas permukaan (ex situ) dan di dalam tanah (in situ), sehingga mampu mengakumulasi logam berat di tanah sawah tercemar limbah industri dan logam berat tidak terserap tanaman padi dan kualitas beras dapat ditingkatkan. 4. Dalam pengembangannya, mutu pupuk hayati harus menjadi perhatian utama. Mikroba adalah mahluk hidup yang memerlukan persyaratan tertentu untuk berkembang dan mempertahankan hidupnya. Pupuk hayati harus mempunyai standar mutu yang dapat dipertanggungjawabkan agar pengguna tidak
mengalami kerugian.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil nd ed. New York. John Microbiology. 2 Wiley and Sons, Inc. Alvarez, C.R., R. Alvarez, M.S. Grigera, and R.S. Lavado. 1998. Asociations between organic matter fractions and the active soil microbial biomass. Soil Biol. and Biochem. 27:229-240. Beauchamp, E.G. and D.J. Hume. 1997. agricultural soil manipulation. Pp. 643-663. In Modern Soil Microbiology. J.D. van Elsas, J.T. Trevors, and E.M.H. Wellington (Eds.) New York, Marcel Dekker. Boddy, L., R. Watling, and A.J.E. Lyon. 1988. Fungi and ecological disturbance. Section B. Proc. Royal Soc. Edinburg. Vol. 94. 187 p. Christensen, M. 1989. A view of fungal ecology. Mycologia. 81:1-19. Cook, R.J. 1986. Plant health and the sustainability of agriculture, with special reference to disease control by beneficial microorganisms. Biol. Ag. Hort. 3:211-232. Elliott, L.F. and R.I. Papendick. 1986. Crop residue management for improved soil productivity. Biol. Agric. and Hort. 3:131-142. Gochenauer, S.E. 1981. Responses of soil faunal communities to disturbance. Pp. 459-479. In D.T. Wieklow, G.C. Carroll (Eds.). The Fungal Community: Its Organization and Role in the Ecosystem. New York, Marcel Dekker. Grayston, S.J., S. Wang, C.D. Campbell, and A.C. Edwards. 1998. Selective influence of plant species on microbial diversity in the rhizosphere. Soil Biol. and Biochem. 30:369-378. Kennedy, A.C. and K.L. Smith. 1995. Soil microbial diversity and the sustainability
55
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
of agricultural soils. Plant and Soil. 170:7886. Kennedy, A.C. and R.I. Papendick. 1995. Microbial characteristics of soil quality. J. Soil Water Conserv. 50:243-248. Kennedy, A.C. and V.L, Gewin. 1997. Soil microbial diversity: Present and future considerations. Soil Sci. 162:607-617. Martin, V.L., E.L. McCoy, and W.A. Dick. 1990. Allelopathy of crop residues influences corn seed germination and early growth. Agron. J. 82:555-560. Peterson, S.O. and M.J. Klug. 1994. Effects of tillage, storage, and incubation temperature on the phospholipid fatty acid profile of a soil microbial community. Appl. Environ. Microbiol. 60:2421-2430. Saraswati, R., 1999. Teknologi pupuk mikroba multiguna menunjang keberlanjutan sistem produksi kedelai. J. Mikrobiol. Indon. (4)1:1-9. Simanungkalit, R.D.M. and R. Saraswati. 1999. Application of biotechnology on biofertilizer production in Indonesia. In. Proc. Seminar of Sustainable Agriculture and Alternative Solution for Food Crisis. PAU-IPB.
56