Jurnal
ISSN 1907-0799
Sumberdaya Lahan Indonesian Journal of Land Resources Vol. 4 No. 2
Desember 2010
Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian Kawasan Megabiodiversity Tropika Basah
Hal.
57-68
Hal.
69-78
Hal.
79-92
Subowo G., Edi Santosa, dan I. Anas
Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review Santun R.P. SItorus
Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems Sukristiyonubowo and Gijs Du Liang
Peranan Cacing Tanah Dalam Meningkatkan Kesuburan dan Aktivitas Hayati Tanah
Hal. 93-102
Ea Kosman dan Subowo G.
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian KEMENTERIAN PERTANIAN J. SDL
Vol. 4
No. 2
Hal. 57-102
Bogor, Desember 2010
Terakreditasi C Nomor 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009
ISSN 1907-0799
Jurnal
Sumberdaya Lahan
ISSN 1907-0799
Indonesian Journal of Land Resources Terakreditasi dengan Predikat C Nomor : 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009
Diterbitkan oleh : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Tlp. 0251 8323012 Fax 0251 8311256 e-mail :
[email protected] http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id DEWAN PENYUNTING Penanggungjawab
: Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS (Kepala Balai Besar Litbang SDLP)
Ketua Dewan Penyunting : Dr. Ir. Achmad Hidayat, MSc (Pemetaan dan Evaluasi Lahan/BB Litbang SDLP) Anggota
: Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan/Balittanah) Prof. Dr. Ir. Didi Ardi Suriadikarta, MSc (Kesuburan Tanah/Balittanah) Bambang Hendro Prasetyo, MSc (Genesa dan Mineralogi Tanah/BB Litbang SDLP) Dr. Ir. Ai Dariah (Konservasi, Reklamasi, dan Rehabilitasi Lahan/ Balittanah) Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, MS (Agroklimatologi/Balitklimat) Dr. Ir. Nono Sutrisno, MS (Konservasi Tanah dan Air/Puslitbang Hortikultura) Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus (Tanah dan Pengembangan SDL/ IPB)
Penyunting Pelaksana
: Karmini Gandasasmita, Widhya Adhy, Sukmara
Mitra Bestari
: Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham (Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Ir. Sumarno (Puslitbang Tanaman Pangan) Dr. Ir. A.M. Fagi (Badan Litbang Pertanian)
Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Jurnal Sumberdaya Lahan terbit dua nomor dalam setahun. Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.
PEDOMAN BAGI PENULIS Ruang Lingkup: Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) terbit dua kali dalam setahun, memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam penyuntingan di publikasi lainnya. Bentuk Naskah: Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (21,0 X 29,7 cm) dengan jarak ketikan dua spasi, dengan huruf Times New Roman 12 point, pada satu permukaan saja dan maksimum 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak ketikan dari tepi kiri 3,0 cm, sedangkan kanan, atas dan bawah 2,5 cm. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul tulisan (dalam bahasa Indonesia dan Inggris), nama dan alamat penulis, abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris (200300 kata) dan kata kunci (3-4 kata), pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan/ penutup, daftar pustaka. Judul Naskah: Terdiri atas suatu ungkapan yang dengan tepat mencerminkan isi naskah. Nama serta instansi tempat kerja penulis dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari satu orang, maka perlu menuliskan namanya sesuai aturan penulisan. Kalau dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan sub judul untuk mempertegas maksud tulisan. Teks Naskah: Sitasi literatur di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan harus tercantum dalam daftar pustaka. Satuan ukuran dalam teks dan grafik memakai sistem metrik. Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat tetapi jelas, dengan catatan bawah secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan secara mandiri.
Gambar dan Grafik: Dibuat dengan garis cukup tebal, sehingga memungkinkan penciutan dalam proses cetak. Keterangan grafik dan gambar jangan pada gambar/ grafik itu, tetapi diketik dua spasi pada kertas tersendiri sebagai suatu legenda. Nama penulis serta nomor gambar/grafik dengan disertai sumbernya, ditulis dengan pensil lunak dibalik gambar itu. Seperti halnya tabel, keterangan gambar/grafik harus cukup lengkap, agar dapat disajikan secara mandiri. Foto hitam putih atau berwarna, dicetak pada kertas mengkilap, dan dipilih yang memiliki kotras yang baik. Slide berwarna atau yang berujud data digital lebih diharapkan. Daftar Pustaka: Semua pustaka yang disitir di dalam teks hendaknya disusun menurut abjad, sesuai nama penulisnya, dengan sistem nama tahun. Jangan masukkan pustaka yang tidak disitir dalam teks ke dalam daftar pustaka. Pustaka primer diharapkan lebih banyak (80%) dan pengacuan pustaka 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir. Penyunting melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan redaksi jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal dapat diterbitkan tepat waktu. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar jurnal. Surat Menyurat: Naskah tulisan dikirim rangkap dua ke alamat Redaksi Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123. Tlp. 0251-8323012. fax. 02518311256. e-mail:
[email protected]. id.
ISSN 1907-0799
PERANAN BIOLOGI TANAH DALAM EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN KAWASAN MEGABIODIVERSITY TROPIKA BASAH Soil Biology Contribution on Agricultural Land Suitability Evaluation of Wet Tropical Megabiodiversity Regions Subowo G1., Edi Santosa1, dan I. Anas2 1 Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 2 Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Darmaga, Bogor
ABSTRAK Indonesia berada di wilayah ”megabiodiversity tropika basah” perlu kiranya melengkapi sistem evaluasi kesesuaian lahan pertanian agar sesuai dengan kondisi riil, sehingga meningkatkan nilai tambah sumberdaya secara optimal dan jaminan investasi produksi aman dan terukur. Organisme tanah sebagai salah satu komponen pendukung produksi dapat berperan sebagai agen daur energi dan hara di dalam tanah, perbaikan sifat fisik tanah, dan pengendali serangan hama-penyakit. Untuk itu parameter biologi tanah yang perlu diperhatikan dalam evaluasi kesesuaian lahan yang telah ada antara lain adalah: kelompok bakteri penambat N ataupun pemasok P yang hidup bersimbiose maupun hidup bebas, kelompok fungi pelarut P dan pengurai bahan organik tanah, kelompok BGA penambat N yang hidup bebas maupun simbiotik, kelompok fauna tanah yang mampu mengkonservasi bahan organik dan memperbaiki sifat fisik tanah. Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan dalam evaluasi lahan meliputi inventarisasi populasi biologi tanah dan peranannya terhadap pertumbuhan tanaman, dan evaluasi kesesuaian nilai fungsional parameter biologi tanah terhadap pilihan komoditas. Kata kunci : Megabiodiversity tropika basah, evaluasi kesesuaian lahan, parameter biologi tanah, efisiensi sumberdaya lahan
ABSTRACT Indonesia is in the region "wet tropical megabiodiversity" it would need to complete the system for agricultural land suitability evaluation in accordance with real conditions, thus increasing the value-added resources optimally and sustainable and accountable production investment. Soil organisms as a component of production support can act as an agent of energy and nutrient cycling in the soil, improving soil physical properties, and controlling pests and disease. For that soil, biological parameters that need to be considered in evaluating the suitability of land that already exist include: N-fixing or P-solubilizing bacteria groups that live symbiosis and free-living, the fungi solubilizing P and soil organic matter decomposition groups, BGA fixing and free-living N symbiotic groups, fauna groups are able to conserve soil organic matter and improve soil physical properties. Important steps that need to be done in the evaluation of land cover inventory of soil biological populations and its role on the growth of crops, and evaluate the suitability of the soil biological parameters of the functional value of commodity options. Keywords : Wet tropical megabiodiversity, evaluation of land suitability, soil biological parameters, land resource efficiencies
D
alam upaya memaksimalkan nilai guna sumberdaya tanah/lahan diperlukan upaya pemanfaatan yang selaras dengan daya dukung terhadap target kebutuhan yang diharapkan. Pemanfaatan lahan sesuai dengan dinamika daya dukung akan memberikan kemudahan dalam pengelolaan dan aman bagi lingkungan. Efektivitas pilihan parameter sumberdaya lahan sesuai jenis penggunaan yang akan diterapkan merupakan titik kunci keberhasilan dalam menentukan pilihan penggunaan lahan. Biaya produksi menjadi
murah dan tidak mengganggu subsistem yang ada di sekitarnya serta menjamin kesinambungan sistem produksi. Keselarasan peruntukan antar unit satuan lahan dalam satu-kesatuan sistem produksi akan memperkuat nilai tambah dan daya saing wilayah secara maksimal dan kondusif. Komponen sumberdaya alam/lahan pada prinsipnya terdiri dari komponen iklim, biofisik tanah, dan sosio kultural masyarakat. Seluruh komponen sumberdaya alam ini menyatu dan berinteraksi secara holistik saling pengaruh mempengaruhi untuk selanjutnya 57
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
menghasilkan output sesuai dengan dinamika interaksi yang terjadi. Pengaturan manusia sebagai salah satu faktor penggerak ekosistem sangat mempengaruhi dinamika perubahan ekosistem. Namun dinamika faktor alam yang belum mampu dikuasai manusia sering kali dapat mengakibatkan terjadinya gangguan ekosistem yang ekstrim dan mengganggu kepentingan manusia, seperti banjir, peledakan serangan hama-penyakit, penurunan produktivitas, kontaminasi produk oleh pestisida/logam berat, dan lain-lain. Agar dapat dihindari, identifikasi parameter sumberdaya dalam evaluasi kesesuaian lahan hendaknya dilakukan secara cermat sesuai kondisi alami dari masing-masing wilayah. Demikian juga Indonesia yang berada pada 6oLU-11oLS dan 95o-141oBT, nilai indeks erupsi 99% (Munir, 1996) merupakan wilayah vulkan tropika basah. Intensitas pasokan sinar matahari, curah hujan dan laju penyegaran mineral yang tinggi sepanjang tahun, sehingga memiliki energi fotosintesis, pasokan hara dan keanekaragaman hayati tanah yang tinggi (megabiodiversity). Tingginya dinamika perubahan lingkungan ini pada prinsipnya juga akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan. Pilihan pemanfaatan lahan hendaknya disesuaikan dengan dinamika daya dukung lahan, sehingga dapat memberikan hasil optimal dan terhindar dari gangguan ekosistem, seperti banjir, peledakan hama-penyakit, pencemaran produk, dan lain-lain. Perlu kiranya melengkapi sistem evaluasi kesesuaian lahan dengan memasukkan parameter biologi tanah agar hasil evaluasi lahan sesuai dengan kondisi riil yang ada, sehingga produksi aman dan terukur. Evaluasi lahan adalah upaya manusia untuk dapat mentafsirkan peluang pemanfaatan dari suatu lahan untuk dapat memenuhi kebutuhan: pertanian, pemukiman, kehutanan, pertanian, bangunan, dan lain-lain. Daya dukung sumberdaya lahan/tanah yang banyak berperan dalam produksi tanaman pertanian antara lain: kondisi iklim, ketersediaan air dan hara, dan serangan hama-penyakit. Faktor-faktor ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap kemampuan 58
tumbuh tanaman yang selanjutnya akan dihasilkan produk. Semakin rendah daya dukung suatu lahan memiliki nilai kesesuaian rendah/ tidak sesuai (N), sebaliknya makin tinggi daya dukung suatu lahan semakin tinggi nilai kesesuaiannya (S1). Agar penilaian ini dapat dilakukan secara mudah dan cepat, maka parameter karakterisasi lahan hendaknya dapat komprehensif dan terukur sesuai kebutuhan tanaman. Beberapa parameter sifat lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan untuk komoditas pertanian meliputi: temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut, kapasitas tukar kation tanah, kejenuhan basa, pH H2O, C-organik, genangan, batuan di permukaan, dan singkapan batu (Djaenudin et al., 2003). Parameter-parameter ini terutama merupakan sifat tanah yang memiliki pengaruh langsung dan sulit/mahal untuk diperbaiki sesuai kebutuhan fisiologi tanaman. Sementara populasi organisme tanah yang merupakan sumberdaya penting dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman di kawasan vulkanik tropika basah belum terakomodir sacara langsung. Seperti kriteria kesesuaian lahan untuk kedelai (Glycine max) terlihat bahwa parameter yang digunakan lebih ditujukan pada indikator statis yang berpengaruh langsung terhadap produksi tanaman. Indikator/parameter dinamis yang merupakan permasalahan penting untuk tanah di kawasan megabiodiversity tropika basah yang banyak diperankan oleh aktivitas populasi biologi tanah belum banyak dilibatkan. Sementara tanaman kedelai memerlukan pasokan N yang tinggi untuk mendukung produksi dan tanah tropika basah banyak mengalami kekurangan N akibat pencucian. Tanpa bersimbiose secara mutualistik dengan bakteri Rhizobium yang mampu menambat N2bebas dengan membentuk bintil akar, tanaman legume akan mengalami defisiensi N. Pada kondisi yang baik, simbiose antara tanaman kedelai dengan Bradyrhizobium mampu menambat N sebanyak ±300 kg/ha (Keyser and Li, 1992).
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Untuk itu parameter dasar yang penting dilakukan dalam upaya melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian selain faktor mineral/ketersediaan hara dan sifat fisik lahan perlu kiranya dilengkapi dengan faktor biologi tanah. Peranan biologi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dapat berlangsung dalam membantu meningkatkan ketersediaan hara, mencegah kehilangan hara dan memperbaiki sifat fisik tanah, serta sebagai agen pengendali hama-penyakit. Namun juga dapat menjadi pengganggu tanaman sebagai hama ataupun penyakit tanaman. Pengaruh biologi tanah untuk penilaian kesesuaian lahan Laju degradasi tanah di kawasan tropika basah berlangsung intensif akibat tingginya laju pelapukan mineral/bahan organik dan pencucian hara. Tanah didominasi oleh Oxisols, Ultisols, dan Alfisols (Lal, 1995). Pendauran untuk mencegah kehilangan hara dan energi serta pengkayaan hara merupakan strategi penting dalam upaya kelestarian sistem produksi. Sifat dasar organisme tanah yang mampu berkembangbiak, beradaptasi serta memiliki kemampuan mobilisasi sesuai kondisi habitatnya (niche) akan mampu mengimbangi dinamika perubahan ekosistem yang ada di sekitarnya. Untuk itu dalam evaluasi kesesuaian lahan hendaknya mempertimbangkan komponen biologi tanah ini, sehingga seluruh parameterparameter tanah yang mempengaruhi sistem produksi tanaman dapat terekam secara jelas dalam sistem evaluasi kesesuaian lahan. Selanjutnya nilai besaran dari masing-masing parameter dipilahkan sesuai dengan tingkat daya dukungnya. Nilai besaran yang mempunyai nilai hubungan terbaik terhadap produksi tanaman mendapatkan nilai tertinggi (S1), selanjutnya berturut-turut mempunyai nilai lebih rendah (S2, S3 atau N). Peranan populasi biologi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dapat berlangsung melalui peningkatan daur dan ketersediaan hara
tanaman, memperbaiki sifat fisik tanah, sebagai predator ataupun sebagai hama-penyakit tanaman. Aktivitas organisme tanah yang merupakan organisme heterotrof akan berlangsung apabila tersedia bahan organik sebagai sumber energi. Vidyarthy dan Misra (1982) mengatakan pemberian bahan organik ke dalam tanah meningkatkan aktivitas biologi tanah, selanjutnya mengurangi erosi, mempertahankan kelembaban tanah, mengendalikan pH tanah, memperbaiki drainase, mencegah pengerasan dan retakan, dan meningkatkan kapasitas pertukaran ion. Tanpa adanya aktivitas organisme tanah, bahan organik tersebut akan tetap utuh di dalam tanah dan bahkan dapat mengganggu sistem produksi tanaman. Lal (1995) menyatakan penurunan jumlah dan kualitas bahan organik serta aktivitas biologi maupun keanekaragaman spesies fauna tanah merupakan bentuk degradasi tanah yang penting untuk tanah tropika basah. Fauna tanah adalah hewan yang secara permanen merupakan komponen ekosistem tanah yang salah satu atau lebih phase dalam siklus hidupnya berada dalam tanah atau serasah tanah (Richards, 1978). Peranan penting organisme tanah untuk diperhatikan dalam evaluasi kesesuaian lahan pertanian agar sistem produksi efektif dan aman bagi lingkungan diuraikan sebagai berikut. Peranan organisme tanah mengendalikan daur energi dan hara di dalam tanah
Tanah di kawasan tropika basah didominasi oleh tanah-tanah tua yang memiliki kondisi fisika cukup baik: stabilitas, struktur, hidrolik konduktivitas, dan aerasi. Namun kondisi kimia kurang baik: kekahatan hara, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, kapasitas tanah menahan air rendah, sematan P tinggi, dan Al/Fe dapat meracun tanaman (Lal, 1995). Perpanjangan daur energi dan hara merupakan langkah yang penting untuk mengurangi laju penyusutan bahan organik tanah dan juga menahan kehilangan hara/pupuk dalam ekosistem tanah (Gambar 1).
59
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Sinar matahari (Energi fotosintesis)
Pelepasan energi (respirasi)
Konsumen (fauna)
Produsen (flora) Limbah organik
Bahan organik (fisik-kimia)
Pengurai (mikro organisme)
Hara bebas dalam tanah
Daur energi Daur hara
Sumber : Deshmukh (1986) Gambar 1. Daur energi dan hara dalam ekosistem
Organisme tanah autotrof seperti alga dan sebagian bakteri tanah dapat memanfaatkan hara bebas yang tidak dimanfaatkan oleh akar tanaman, sehingga dapat terhindar dari pencucian. Demikian pula organisme tanah heterotrof seperti fauna, fungi dan sebagian bakteri tanah dapat memperpanjang daur energi dan hara dari bahan organik, sehingga dapat secara bertahap dilepaskan kembali ke dalam tanah untuk dimanfaatkan oleh organisme lainnya. Ketersediaan hara P dalam tanah tanpa dukungan organisme tanah akan sangat sulit untuk dapat tersedia bagi tanaman (Gambar 2). Usahatani di kawasan tropika basah masalah yang penting adalah mengenai kandungan hara tanah, ketersediaan bahan organik tanah, dan kemampuan tanah menahan air (William dan Joseph, 1976). Faktor utama yang mempengaruhi kesuburan tanah tersebut adalah akibat tingginya laju dekomposisi, erosi dan pencucian hara. Upaya menurunkan kehilangan bahan organik tanah dengan melibatkan fauna tanah akan menekan 60
percepatan kehilangan hara dan bahan organik dari subsistem tanah. Meningkatnya aktivitas fauna tanah juga dapat mengkonservasi air melalui perbaikan aerasi, perkolasi dan infiltrasi. Bahkan fungi tanah dapat mengendalikan Corganik tanah, karena dalam proses dekomposisi bahan organik pelepasan C sebagai CO2 sangat rendah dan 30-40% C-organik tersimpan sebagai meselium (Alexander, 1977). Pada saatnya setelah organisme tanah mati juga merupakan salah satu sumber bahan organik tanah. Hasil penelitian Subowo et al. (2002) didapatkan bahwa dinamika pengaruh populasi cacing tanah endogaesis Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung, Banten tergantung pada musim (Tabel 1). Cacing tanah mampu menurunkan ketahanan tanah dan meningkatkan daur bahan organik, sehingga berkorelasi negatif nyata dengan nisbah C:N dan ketahanan tanah dan mampu meningkatkan kapasitas tanah menahan air (air tersedia) serta meningkatkan P-HCl pada musim hujan. Sementara di musim peralihan MK
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Tanaman
Hewan
Mikoriza Bahan organik tanah
Bakteri pelarut P
P-anorganik
Ortofosfat
Mineralisasi/dekomposer
Immobilisasi
Sumber : Rao (1994)
Gambar 2. Daur hara P dalam tanah untuk tanaman
Tabel 1. Dinamika nilai indeks korelasi antara populasi Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung No.
Parameter tanah
1.
Sifat fisik tanah : • Ketahanan tanah • Air tersedia
2.
Sifat kimia tanah: • P2O5 - HCl 25% • Nisbah C:N Batas nyata 5%
Dinamika indeks korelasi dengan populasi P. hupiensis Musim Kemarau (MK)
Peralihan MK ke MH
Musim Hujan (MH)
-0,33 0,48
-0,44 0,16
-0,48 0,30
0,26 -0,40
-0,12 -0,41
0,68 -0,16
±0,34
±0,36
±0,38
Sumber : Subowo et al. (2002)
ke MH cacing tanah mengkonsumsi P untuk melindungi diri dari tekanan dehidrasi, sehingga cenderung berkorelasi negatif dengan P-HCl. Di kawasan tropika cacing tanah berperanan dalam menekan kecepatan dekomposisi bahan organik yang sangat penting untuk menghambat kehilangan humus dari lahan pertanian (Martin, 1991 dalam Stork and Eggleton, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa cacing tanah merupakan indikator yang penting bagi kualitas tanah kawasan tropika basah, selain mudah juga murah dalam melakukan determinasi/identifikasi. Dari hasil ini nampak bahwa sebagai wilayah megabiodiversity layak memberdayakan potensi sumberdaya hayati tanah sebagai agen untuk mencegah kehilangan hara tanah melalui peranannya dalam memperpanjang daur energi dan hara di dalam subsistem tanah.
Peranan organisme tanah meningkatkan ketersediaan hara tanaman
Tanaman merupakan organisme autotrof yang dalam pertumbuhannya memerlukan hara dalam bentuk ion (anorganik). Pelepasan hara tanaman yang berasal dari bahan induk tanah ataupun dari bahan organik diawali oleh proses mineralisasi. Proses mineralisasi ini berlangsung secara fisiko-kimia ataupun oleh aktivitas biologis yang dalam kenyataan di lapangan kedua proses ini selalu berlangsung bersamasama saling melengkapi satu dengan yang lain. Tanpa adanya peran organisme tanah mineralisasi/dekomposisi mineral ataupun bahan organik tanah berlangsung lambat. Adanya aktivitas perombakan bahan organik, hara-hara yang terkandung di dalamnya dilepaskan dalam 61
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
bentuk tersedia bagi tanaman, baik hara makro maupun mikro. Edwards and Lofty (1977) menyatakan bahwa bahan tanah mineral maupun bahan organik yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran dan hara yang lebih tersedia bagi tanaman. Elliot et al. (1991) juga mendapatkan bahwa kotoran cacing tanah secara umum mengandung NO3-, NH4+ dan kelembaban yang tinggi dibanding dengan tanah di sekitarnya. Selain itu beberapa organisme tanah mampu memanfaatkan hara dari udara seperti N2-bebas yang hidup bebas ataupun bersimbiose dengan tanaman dan selanjutnya dapat tersedia bagi tanaman. Organisme tanah yang mampu menambat N2-udara melalui simbiose mutualistik dengan tanaman antara lain adalah bakteri Rhizobium dengan tanaman kacang-kacangan (legume) dan kelompok blue green algae (BGA) dengan Azolla. Organisme penambat N2-udara yang hidup bebas (soliter) antara lain dari kelompok BGA yang hidup di lahan basah. Selain itu juga terdapat fungi Mikoriza yang dapat hidup di dalam akar tanaman hidup (endotropik) ataupun hidup bebas di tanah (ektotropik) dapat meningkatkan serapan dan ketersediaan P untuk tanaman serta melindungi akar dari serangan patogen (Alexander, 1977). Keberadaan organisme tanah ini mampu memperkaya hara tanah untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Penelitian Yusnaini et al. (2004), pemberian pupuk organik (20 ton/ha) dan pupuk buatan/inorganik serta kombinasinya pada tanah lahan kering masam di Taman Bogo (Lampung) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat kimia tanah termasuk C-organik tanah. Namun populasi cacing tanah berbeda nyata dengan populasi tertinggi pada perlakuan pemberian kotoran ayam, populasi Mikoriza Vesikular Arboskular (MVA) dapat dijumpai pada seluruh perlakuan, dan produksi jagung terdapat beda nyata dengan produksi tertinggi pada perlakuan kotoran ayam 50% + pupuk NPK 50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik ataupun pupuk buatan dalam tanah terhadap produksi tanaman tidak 62
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Adanya bantuan dari organisme tanah kandungan hara dalam pupuk dan bahan organik dirombak dan dilepaskan kembali sebagai hara tersedia bagi tanaman. Organisme tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan peningkatan ketersediaan hara sebagai akibat tingginya laju pencucian hara pada tanah tropika basah. Anas (2010) mengelompokan jenis pupuk hayati meliputi: (1) Mikroba penambat N2-udara baik secara simbiotik maupun non simbiotik, (2) Mikroba pelarut fosfat (bakteri maupun fungi), (3) Mikroba pengahasil senyawa pengatur tumbuh, (4) Mikroba yang dapat memperluas permukaan akar, (5) Mikroba perombak bahan organik (dekomposer), dan (6) Mikroba pelindung tanaman terhadap hama-penyakit. Peranan organisme tanah terhadap sifat fisik tanah untuk tanaman
Tanah vulkan tropika basah memiliki laju pelapukan, erosi dan iluviasi liat cukup tinggi. Tanah lapisan atas memiliki struktur lepas, kandungan bahan organik rendah, pH masam, dan lapisan bawah padat akibat akumulasi liat. Tanpa adanya perlakuan pemupukan yang cukup jelajah akar tanaman semusim yang berakar dangkal akan banyak mengalami hambatan dan pertumbuhan tanaman menjadi merana. Demikian juga jelajah akar tanaman tahunan yang berakar dalam pada tahap awal pertumbuhan mengalami hambatan akibat tertahan oleh lapisan padat di subsoil. Untuk memperbaiki kondisi fisik tanah ini dapat diupayakan dengan perbaikan stabilitas agregat tanah, perbaikan aerasi tanah di lapisan argilik dan pencampuran kembali tanah lapisan bawah dengan lapisan atas. Perbaikan sifat fisik secara mekanik bersamaan adanya tanaman akan merusak perakaran tanam. Pemanfaatan aktivitas biologi tanah merupakan langkah yang aman untuk dilakukan. Pemberdayaan organisme tanah dengan diikuti pemberian bahan organik dapat menurunkan berat isi dan meningkatkan pori aerasi, air tersedia, serta stabilitas agregat
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
tanah. Lee (1985) menyatakan bahwa cacing tanah merupakan kelompok fauna tanah yang penting dan mempunyai peranan dalam memperbaiki produktivitas tanah melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Adanya lubang-lubang cacing tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air, tempat menembus akar tanaman, sehingga dapat meningkatkan jelajah akar tanaman dan mengurangi aliran permukaan dan erosi. Cacing tanah geofagus dengan kemampuan mencerna tanah dan melepaskan kembali dalam bentuk cascing yang memiliki stabilitas agregat tinggi, selain dapat mengembalikan kandungan liat dari lapisan bawah ke lapisan atas juga dapat menahan kehilangan hara oleh pencucian. Kascing merupakan makroagregat yang stabil dan dapat bertahan lebih dari 1 tahun (Blanchart et al., 1991 dalam Martin, 1991). Marinissen and Dexter (1990) juga menyatakan bahwa kotoran cacing tanah (kascing) lebih stabil dibanding agregat alami dari tanah. Demikian juga dengan aktivitas pencernaannya yang mampu mencampur bahan organik dan mineral tanah, cacing tanah dapat mencegah kehilangan bahan organik dari erosi dan pencucian. Hasil penelitian Anwar (2007) didapatkan bahwa perlakuan inokulasi cacing tanah pada tanah Ultisols mampu meningkatkan ruang pori dan menurunkan berat isi tanah (Tabel 2). Benang-benang hifa dari jamur benang (fungi) juga dapat menghaluskan fragmentasi bahan organik tanah dan memperkuat ikatan antar partikel tanah. Pemecahan fragmentasi bahan organik akan menurunkan ketahanan bahan organik tanah dan meningkatkan ketersediaan hara untuk tanaman. Berkembangnya hifa sebagai jaring untuk
memperkuat stabilitas agregat tanah akan menjaga stabilitas sifat fisik tanah terhadap kerusakan fisik dan tahan terhadap gerusan erosi ataupun tekanan fisik lainnya. Untuk itu dalam evaluasi kesesuaian lahan organisme tanah yang memiliki peranan penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah terutama peningkatan stabilitas agregat, aerasi tanah, dan pencampuran tanah yang merupakan kendala tanah tropika basah untuk mendukung produksi tanaman penting untuk dipertimbangkan. Peranan organisme tanah sebagai predator hamapenyakit bawaan tanah
Kasus peledakan hama-penyakit bawaan tanah belakangan ini sering terjadi sebagai akibat parameter populasi organisme hama-penyakit tanah belum digunakan sebagai parameter dalam kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian. Pada kondisi ekosistem klimaks, populasi masing-masing komunitas pada prinsipnya berada pada posisi saling mengendalikan dan berada pada keseimbangan (stabil). Namun apabila terjadi goncangan/ perubahan lingkungan akan mengalami perubahan untuk menuju kesetimbangan baru. Menurunnya populasi predator dapat menyebabkan terjadinya peledakan hamapenyakit, seperti akibat penggunaan pestisida ataupun sistem pengelolaan lahan yang kurang selektif, sehingga organisme hama-penyakit berkembang dan menurunkan produksi pertanian. Bahkan serangan jamur Fusarium moniliformis pada akar tanaman tomat meningkat seiring meningkatnya kandungan NO3dan serangan blast (Piricularia oryzae) pada padi sawah juga meningkat akibat pemberian N yang berlebihan. Serangan Streptomycetes scabies
Tabel 2. Pengaruh cacing tanah terhadap sifat fisik tanah Ultisols Perlakuan
Ruang pori tanah % vol
Tanpa cacing Dengan cacing
Berat Isi g/cc
Pori drainase Pori drainase cepat lambat .............. %vol ...............
Permeabilitas m/jam
72,6
0,75
32,4
4,4
12,4
74,9
0,67
37,4
4,6
17,0
Sumber : Anwar (2007)
63
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
pada tanaman kentang meningkat pada kondisi tanah pH tinggi, sebaliknya serangan Fusarium roseum justru meningkat pada pH rendah (masam). Weber (1973) menyatakan di kawasan tropika yang lembab dan panas, potensial untuk berkembangnya hama-penyakit tanaman. Berkembangnya populasi hama-penyakit tanaman sering terjadi akibat hilangnya organisme predator alami. Beberapa predator yang hidup di dalam tanah dan mampu menekan perkembangan populasi organisme hama-penyakit ini antara lain dari kelompok insekta tanah (Collembola, Coleoptera, dan lain-lain). Fungi tanah Arthrobotrys, Dactylaria, Dactylella, dan Harposporium, dengan aerasi tanah yang baik mampu
hidup di tanah masam lahan kering serta mampu mematikan Nematoda ataupun Protozoa yang banyak berperan sebagai penyakit pada akar tanaman (Alexander, 1977). Selain itu fungi berperan dalam dekomposisi selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin, sehingga dapat menekan populasi hama-penyakit yang banyak memiliki dinding sel dari bahan-bahan ini. Untuk itu dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan faktor populasi organisme tanah yang memiliki potensi sebagai predator ataupun sebagai hamapenyakit hendaknya dimasukkan sebagai salah satu parameter kesesuaian lahan. Identifikasi jenis, jumlah populasi, sebaran, dan kemampuan sebagai predator ataupun sebagai hama-penyakit penting untuk diketahui.
Tabel 3. Beberapa organisme tanah penting dalam evaluasi kesesuaian lahan pertanian No. 1.
2.
Jenis organisme tanah Bakteri : • Rhizobium • Azotobacter sp. • Azospirilum sp. • Nitrosomonas sp. • Nitrococcus sp. • Bacillus sp. • Pseudomonas sp. Fungi : • Endomikoriza(VMA)
4.
Penambat N-simbiotik Penambat N hidup bebas Penambat N hidup bebas Penambat N hidup bebas Penambat N hidup bebas Pelarut fosfat hidup bebas Pelarut fosfat hidup bebas
• Pemasok fosfat tanaman lahan kering
Indikator populasi
Tanaman kacang-kacangan Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman Aneka tanaman
>103 cfu/g >103 cfu/g >103 cfu/g >103 cfu/g >103 cfu/g >103 cfu/g >103 cfu/g
• Aneka tanaman semusim lahan kering (jagung, kopi, sorgum, dan lain-lain). • Aneka tanaman tahunan lahan kering. • Aneka tanaman lahan kering (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hutan, dan pekarangan)
Ditemukan
• • • • • • •
tnh tnh tnh tnh tnh tnh tnh
• Aspergillus niger • Trichoderma
Blue Green Algae : • Nostoc • Anabaena • Oscilatoria
• Penambat N (bebas/simbiotk) • Penambat N (bebas/simbiotk) • Penambat N (bebas/simbiotk)
Aneka tanaman lahan basah dan sebagai sumber pupuk organik
Ditemukan Ditemukan Ditemukan
• Perbaikan fisik dan perombak bahan organik tanah kering • Perombak bahan organik tanah kering • Perombak bahan organik tanah kering
Aneka tanaman (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hutan, dan pekarangan)
>10 ekor/m2
Fauna tanah : • Cacing tanah • Rayap • Collembola
64
• • • • • • •
Tanaman sasaran/target
• Pemasok fosfat tanaman lahan kering • Pelarut fosfat tanah kering • Perombak bahan organik
• Ectomikoriza
3.
Peranan dalam kesuburan tanah
Ditemukan Ditemukan Ditemukan
Ditemukan Ditemukan
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Implementasi peranan organisme tanah untuk evaluasi kesesuaian lahan pertanian Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa beberapa organisme tanah memiliki peranan penting dan spesifik dalam mendukung kesuburan tanah secara alami, baik dalam memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan kesuburan tanah, memasok hara bagi tanaman, maupun melindungi kehilangan bahan organik tanah. Beberapa organisme tanah yang untuk sementara ini dapat dimanfaatkan sebagai parameter pelengkap dalam evaluasi kesesuaian lahan antara lain sepeti pada Tabel 3. Dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian perlu mempertimbangkan indikator biologi tanah pada saat melakukan kegiatan survei dan pemetaan tanah. Indikator biologi tanah hendaknya dapat disampaikan kondisi riil saat itu dan juga prediksi ke depan akibat penggunaan yang akan dilakukan. Melalui hasil evaluasi ini para pemangku kepentingan dapat memanfaatkan sumberdaya lahan yang ada untuk penggunaan yang tepat, murah dan lestari sesuai dengan realita dinamika yang terjadi. Sehubungan dengan jenis interaksi antara biologi tanah dengan tanaman berlangsung sangat kompleks dan spesifik, maka penetapan indikator kuantitatif masih sulit untuk ditetapkan. Sebagian besar hanya dapat ditetapkan secara kualitatif dengan kriteria: ditemukan ataupun tidak ditemukan. Permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan usahatani di kawasan megabiodiversity tropika basah yang kaya keanekaragaman hayati, deposit mineral, sinar matahari, dan curah hujan adalah tingginya laju pelapukan, pencucian hara, erosi tanah, dan serangan hama-penyakit. Peningkatan pendauran hara, peningkatan perkolasi dan infiltrasi serta pencegahan serangan hama-penyakit tanaman merupakan langkah yang tepat untuk mendukung sistem produksi pertanian yang efektif dan efisien. Bakteri penambat N, fungi Mikoriza, cacing tanah dan rayap merupakan kelompok biota tanah yang penting dalam pengaturan daur hara tanah, dekomposisi dan penyusun bahan organik tanah serta menjaga
stabilitas struktur tanah di tropika (Anonim, 1997). Lal (1995) juga menyatakan bahwa pendauran hara merupakan strategi yang penting dalam upaya kelestarian sistem produksi pertanian di kawasan tropika basah. Fauna tanah (cacing dan rayap) berperan penting dalam daur hara C, N, P, S, B, Cu, Zn, dan Mo. Selanjutnya dikatakan bahwa pasokan N dari hasil penambatan organisme tanah penambat N sangat penting untuk mendukung produksi pertanian tropika basah. Pertumbuhan tanaman kacang-kacangan semusim di tropika basah tanpa bersimbiose dengan bakteri Rhizobium akan mengalami kekahatan N yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Rao (1994) menyatakan tanah yang subur terdapat 10-100 juta bakteri/gram tanah. Untuk itu parameter biologi tanah penting untuk dimanfaatkan sebagai bagian dari kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian di kawasan vulkanik tropika basah. Sehubungan dengan tingginya keanekaragaman jenis, sifat dan perilaku organisme tanah, maka metode sampling dan analisis data penting untuk dipertimbangkan secara tepat dan bernilai guna sesuai dengan nilai fungsionalnya. Kualitas interpretasi sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan keragaman jenis data, keakuratan/validitas nilai data, dan ketepatan analisis. Masing-masing data dilakukan rating/ penilaian secara parsial terhadap persyaratan tumbuh dari masing-masing target komoditas pertanian yang akan dikembangkan. Untuk itu parameter biologi tanah penting untuk dimanfaatkan sebagai bagian dari kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian di kawasan megabiodiversity tropika basah. Dalam pelaksanaannya parameter biologi tanah ini dapat dimanfaatkan sebagai parameter tambahan/pelengkap dari parameter evaluasi kesesuaian lahan yang telah ada, sehingga pemberdayaan sumberdaya lahan yang ada dapat optimal dan efisien dalam usahatani. Dalam upaya memanfaatkan data dukung populasi biologi tanah untuk kelengkapan evaluasi kesesuaian lahan yang tepat dan searah dengan permasalahan yang ada, maka langkahlangkah penting yang perlu dilakukan antara lain: 65
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
(expert judgment). Semakin tinggi tingkat keeratan hubungan memperoleh nilai kompatibilitas paling tinggi (1,0). Organisme yang memiliki fungsional kompatibilitas positif diberi nilai/simbol positif (+), sebaliknya yang negatif diberi nilai/simbol negatif (-).
Inventarisasi populasi biologi tanah dan peranannya terhadap tanaman
Inventarisasi data biologi dilakukan mengikuti skala pengamatan yang dilakukan untuk pengamatan data tanah lainnya. Pengamatan organisme tanah meliputi jenis, jumlah, dan sebaran vertikal maupun horizontal. Selanjutnya masing-masing jenis dikelompokan ke dalam kelompok fungsional terhadap kepentingan pertumbuhan tanaman. Kelompok fungsional positif merupakan jenis organisme tanah yang dapat mendukung perbaikan pertumbuhan tanaman target yang meliputi fungsi daur hara, penyediaan hara, dan pengendali hama-penyakit (predator). Sedang kelompok fungsional negatif merupakan kelompok yang mempunyai potensi merugikan tanaman, seperti sebagai hama-penyakit ataupun sebagai perantara berkembangnya hamapenyakit (host).
•
Nilai dominansi : dihitung dengan melihat perbandingan nilai fungsional dari suatu jenis organisme tanah terhadap nilai fungsional dari organisme lainnya. Hal ini dapat dilihat dengan berdasarkan pada data hasil analisa kesuburan tanah yang mencerminkan besarnya pengaruh dari organisme tanah yang ada. Semakin tinggi peranannya dalam mempengaruhi kesuburan tanah semakin tinggi nilai dominansinya (1,0).
•
Nilai sebaran/agian : dihitung berdasarkan nilai peluang ditemukannya suatu organisme pada data sampling masing-masing satuan peta tanah (SPT) yang dilakukan di lapangan. Semakin tinggi nilai peluangnya semakin besar nilai indeks sebarannya (1,0).
•
Nilai fungsional organisme = kompatibilitas x nilai dominansi x sebaran.
Evaluasi kesesuaian nilai fungsional biologi tanah terhadap pilihan komoditas
Hasil inventarisasi kelompok fungsional organisme tanah di atas selanjutnya dipadukan dengan komoditas pertanian yang layak untuk dikembangkan. Pilihan komoditas yang akan dikembangkan hendaknya dapat meningkatkan kelompok fungsional positif dan menekan kelompok fungsional negatif dengan mempertimbangkan kondisi aktual alami yang ada. Analisis nilai fungsional penting ini dapat dilakukan dengan menghitung data populasi yang ada yang meliputi nilai kompatibilitas (keeratan hubungan), dominansi dan sebaran/ agihan terhadap masing-masing target komoditas yang akan dikembangkan. •
66
Nilai kompatibilitas : ditentukan berdasarkan peluang tingkat keeratan hubungan antara suatu jenis organisme tanah yang ditemukan dengan parameter-parameter kesuburan tanah dengan uji korelasi-regresi. Selain itu juga dikaitkan keeratan hubungannya dengan tanaman target yang akan dikembang berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya ataupun dengan pemahaman lain yang dapat dipertanggung jawabkan
nilai nilai
Jenis organisme yang memiliki nilai fungsional tinggi memperoleh nilai tinggi dalam menentukan nilai kesesuaian lahan (diutamakan), selanjutnya secara bertahap pada jenis yang memiliki nilai penting rendah. Penerapan kelengkapan data biologi tanah dalam sistem evaluasi kesesuaian lahan
Untuk melengkapi parameter evaluasi kesesuaian lahan pertanian parameter organisme tanah seperti pada Tabel 3 untuk sementara ini penting untuk dipertimbangkan. Dengan memasukkan parameter biologi tanah ini, maka hasil evaluasi lahan dapat ditulis sebagai berikut: ”misal tanah berliat terdapat populasi bakteri Rhizobium, Fungi Pelarut Fosfat, dan Agromixa memiliki kesesuaian lahan untuk kedelai S1”. Sehubungan bakteri Rhizobium dan Fungi Pelarut P memiliki fungsional positif untuk kedelai, maka diberi simbol positif (+). Sebaliknya Agromixa
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
memiliki fungsional negatif sebagai hama/ penyakit kedelai, maka diberi simbol negatif (-). Berdasarkan tambahan data biologi tanah tersebut, maka simbol kesesuaian lahan pada tanah berliat tersebut dapat ditulis : Kedelai S1, Rhizobium+, Fungi Pelarut P+, AgromixaAgar nilai fungsi parameter biologi tanah untuk masing-masing unit kesesuaian lahan dapat berpengaruh nyata, maka perlu dilengkapi 2-5 indikator biologi tanah dengan sekurangkurangnya 1 (satu) indikator biologi tanah yang berpengaruh positif (+) dan 1 (satu) indikator biologi tanah negatif (-). Semakin lengkap indikator biologi tanah pendekatan evaluasi kesesuaian lahan semakin sempurna. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan ini, langkahlangkah teknologi pengelolaan lahan dilakukan dengan mengembangkan peranan organisme tanah positif dan menekan organisme tanah negatif.
KESIMPULAN Indonesia yang berada di wilayah ”megabiodiversity” vulkan tropika basah, peranan biologi tanah sangat penting dalam menentukan kualitas pertumbuhan tanaman pertanian. Peranan organisme dapat berfungsi sebagai agen daur dan penyediaan hara, perbaikan sifat fisik tanah, dan pengendali serangan hama-penyakit. Untuk itu parameter biologi tanah perlu diperhatikan untuk melengkapi evaluasi kesesuaian lahan yang telah ada antara lain adalah: kelompok bakteri penambat N ataupun P yang hidup bersimbiose maupun hidup bebas, kelompok fungi pelarut P dan pengurai bahan organik tanah, kelompok BGA penambat N yang hidup bebas maupun simbiotik, kelompok fauna tanah yang mampu mengkonservasi bahan organik dan memperbaiki sifat fisik tanah. Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan dalam evaluasi lahan meliputi inventarisasi populasi biologi tanah dan peranannya terhadap pertumbuhan tanaman, serta evaluasi kesesuaian nilai fungsional parameter biologi tanah terhadap pilihan komoditas.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction of Soil Microbiology. John Wiley and Sons, New York-Chichester-Brisbane-TorontoSingapore. P 467. Anas, I. 2010. Peranan Pupuk Organik dan Pupuk Hayati dalam Peningkatan Produktivitas Beras Berkelanjutan. Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produktivitas dan Swasembada Beras Berkelanjutan, BBSDLP, 24 Februari 2010. Hlm 20. Anonim. 1997. The Biology and Fertility of Tropical Soils: Report of the Tropical Soil Biology and Fertility Programme (TSBF) (Swift, J.M. Ed.), c/o UNESCO, UN Complex, P.O. Box 30592, Nairobi, Kenya. P 9. Anwar, E.K. 2007. Pengaruh inokulan cacing tanah dan pemberian bahan organik terhadap kesuburan dan produktivitas tanah Ultisols. Jurnal Tanah Tropika 12(2):121-130. Deshmukh, I. 1986. Ecology and Tropical Biology. Blackwell Scientific Publications, Palo Alto, Oxford, London, Edinburgh, Boston, Victoria. P 6. Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian. Hlm 154. Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John Wiley & Sons, New York. P 333. Elliot, P.W., D. Knight, and J.M. Anderson. 1991. Variables Controlling Denitrification from Earthworm Cast and Soil in Permanent Pastures. Biol. Fertil. Soils 11:24-29. Freire, J.R.J. 1984. Important limiting factors in soil for the rhizobium-legume symbiosis. Pp 51-74. In Biological Nitrogen Fixation: Ecology, Technology, and Physiology (Alexander, M. Edt.). Plenum Press. New York and London. 67
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Keyser, H.H. and F. Li. 1992. Potential for increasing biological nitrogen fixation in soybean. Pp 119-135. In Biological Nitrogen Fixation for Sustainable Agriculture (J.K. Ladha, T. George, and B.B. Bohlool (Eds.). Plant and Soil 141, Kluwer Academic Publishers. Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United nations University Press, Tokio-New York-Paris. Pp 25-29. Lee, K.E. 1985. Earthworms, Their Ecology and Relationships with Soils and Land Use. Academic Press (Harcourt Brace Jovanovich, Publishers), Sydney. Orlando. San Diego. New York. London. Toronto. Montreal. Tokyo. P 411. Marinissen, J.C.Y. and A.R. Dexter. 1990. Mechanism of stabilization of earthworm cast and artificial cast. Biol. Fertil. Soils 11:234-238. Martin, A. 1991. Short and long-term effects of endogeic earthworm Milsonia anomala (Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta) of tropical savanna, on soil organic matter. Biol. Fertil. Soils 11:234-238. Munir. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya. Hlm 290. Rao, S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan pertumbuhan Tanaman. Penerbit Universitas Indonesia. Hlm 354. Richard, B.N. 1978. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman, London and New York. Pp 43-50.
68
Stork, N.E. and P. Eggleton. 1992. Invertebrates as determinants and indicators of soil quality. American Journal of Alternative Agriculture 7(1 & 2):38-47. Subowo, I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdurachman, dan S. Hardjowigeno. 2002. Pemanfaatan cacing tanah untuk meningkatkan produktivitas Ultisols lahan Kering. Jurnal Tanah dan Iklim (20):35-46. Vidyarthy, G.S. and R.V. Misra. 1982. the role and importance of organic materials and biological nitrogen fixation in rational improvement of agricultural production. FAO Soils Bulletine No. 45. Weber,
G.F. 1973. Bacterial and Fungal Diseases of Plants in Tropics. University of Florida Press. Gainesville. P xv-xvii.
Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate Soil and Crop Production in Humictropics. Kualalumpur, Oxford University Press. London. Yusnaini, M.A.S. Arif, J. Lumbanraja, S.G. Nugroho, dan M. Monaha. 2004. Pengaruh jangka panjang pemberian pupuk organik dan inorganik serta kombinasinya terhadap perbaikan kualitas tanah masam Taman Bogo. Hlm 283-293. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pendayagunaan Tanah masam, Buku II, Puslitbang Tanah dan Agroklimat.
ISSN 1907-0799
LAND CAPABILITY CLASSIFICATION FOR LAND EVALUATION : A REVIEW Klasifikasi Kemampuan Lahan untuk Evaluasi Lahan : Suatu Tinjauan Santun R.P. Sitorus Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Darmaga, Bogor
ABSTRACT Land capability classification has been used for land evaluation for various purposes in many countries in the world. Since developed by the United States Department of Agriculture as a part of the programme to control soil erosion, the land capability classification has been further developed by a number of authors in many countries to suit their requirements. Of the numerous land capability classification have been published, fourteen are selected to be reviewed. The results shows that the aims of the various land capability classification schemes are generally similar: to evolve methodology whereby land may be evaluated for a particular land use purposes. Most of the methodologies were designed mainly for evaluating the capability of land for agriculture, either in narrow (specific) or in broad terms (including forestry, pasture, etc). Three methods of evaluation of data can be identified: Firstly, descriptive methods whereby capability classes or other categories are descriptive solely in words. Secondly, rating, grading or indexing system whereby each attribute is assigned a rate, grade or index and the capability class or other category is defined in terms of the sum of the weighted scores. Thirdly, quantitative methods whereby the relationships between variables are defined in terms of an equation used to obtain a score or index which defines the capability class or other categories. The capability methods also vary both as hierarchical systems and in terms of the number of categories used. They are also vary in terms of scale, and some do not even specify the scales used. Although substantial differences are found among the methodologies in terms of their purposes and detailed procedures, these are all broadly similar in terms of the general approach and activities involved. Keywords : Land classification, land capability assessment, land capability methodology, land evaluation
ABSTRAK Klasifikasi kemampuan lahan telah digunakan untuk evaluasi lahan untuk berbagai keperluan di berbagai negara di dunia. Sejak dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat sebagai bagian dari program untuk mengendalikan erosi tanah, sistem klasifikasi kemampuan lahan telah dikembangkan lebih lanjut oleh banyak ahli di berbagai negara sesuai dengan keperluannya. Dari sekian banyak klasifikasi kemampuan lahan yang sudah dipublikasikan, 14 klasifikasi dipilih untuk ditinjau. Hasil menunjukkan bahwa tujuan dari berbagai sistem klasifikasi kemampuan lahan yang ada pada umumnya sama yaitu melibatkan metodologi dimana lahan dievaluasi untuk keperluan penggunaan lahan tertentu. Sebagian besar metodologi dirancang utamanya untuk mengevaluasi kemampuan lahan untuk pertanian, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas (termasuk kehutanan, padang penggembalaan, dan sebagainya). Tiga metode evaluasi data dapat diidentifikasikan. Pertama, metode deskriptif dimana kelas kemampuan atau kategori lainnya dideskripsikan hanya dalam bentuk kalimat saja. Kedua, sistem nilai, angka, indeks dimana masing-masing atribut diberi nilai, angka atau indeks dan kelas kemampuan atau kategori lainnya ditentukan berdasarkan jumlah skornya. Ketiga, metode kuantitatif dimana hubungan antara variabel ditentukan dalam bentuk persamaan yang digunakan untuk memperoleh skor atau indeks yang menentukan kelas kemampuan atau kategori lainnya. Metode kemampuan juga beragam, baik dalam sistem hirarki maupun dalam jumlah kategori yang digunakan. Klasifikasi kemampuan juga beragam dalam skala, dan beberapa bahkan tidak mencantumkan skala yang digunakan. Meskipun beberapa perbedaan dijumpai dalam metodologi dalam kaitan dengan kegunaan dan prosedur terincinya, tetapi semuanya secara umum sama dalam pendekatan umum dan jenis kegiatannya. Kata kunci : Klasifikasi lahan, penilaian kemampuan lahan, metodologi kemampuan lahan, evaluasi lahan
L
and capability assessment forms part of the board field of ‘land evaluation’ defined as: “the process of assessment of land performance when used for specified purposes, involving the execution and interpretation and surveys and studies of land-forms, soil,
vegetation, climate and other aspects of land in order to identify and make a comparison of promising kinds of land use in terms of applicable to the objective of the evaluation” (FAO, 1976). Land evaluation requires consideration of not only soil characteristics but 69
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
of all natural conditions such as relief, hydrologic conditions, etc., which influence the utilization of land, application of techniques and crop yields (Blagovidov, 1960). Land evaluation is a relatively new concept whose methodologies are contentious due mainly to the complexity of the problem, the multitude of disciplines involved, and the lack of precise definitions and associated misuse of terminology. For instance, the same features of land are sometimes described by different terms, and the same terms may be applied with numerous meanings. For the purpose of this paper, therefore, it is important that terminology and definitions are examined explicitly, including such terms as ‘land’, ‘capability’, and ‘classification’ which can all be interpreted differently. The word ‘land’ can have numerous meanings. One that corresponds to common usages, and is most appropriate to the context of this paper is ‘the entire complex of surface and near-surface attributes of the solid portions of the surface of the earth which are significant to man; water bodies recurring within land masses are included in some land classification systems’ (Soil Conservation Society of America, 1982). Land in its physical aspects may be subdivided into several principal components, notably soil, climate, topography and relief, vegetation and geographic location (Lacate, 1961). Through the principles of land evaluation, however, land as the complex of many interrelated and integrated parts must be viewed as a combined entity and not separately in terms of its components. The present review has revealed that the concept of ‘capability’ has not been clearly distinguished from all other related terms. There is a lack of international standardization of terms which refer, or are related, to capability (see for instance, Smyth, 1974) particularly concerning the distinction between ‘capability’ and ‘suitability’. ‘Capability’ is viewed by some as the inherent capacity of land to support a generally defined land use (Klingebiel and Montgomery, 70
1961; FAO, 1976), or refers to a range of uses, e.g. for agricultural, forestry, or recreational development (McRae and Burnham, 1981). ‘Suitability’, on the other hand, refers to the fitness of a given type of land for a particular use, for example, suitability for sugar cane or rice, etc. (Brinkman and Smyth, 1973; FAO, 1976; McRae and Burnham, 1981). However, some authors consider that the two terms are interchangeable, with no essential difference between them (e.g. Vink, 1975). For the purpose of this paper ‘capability’ is used to refer to “the potential of the land for use in specified ways, or with specified management practices” as defined by Dent and Young (1981). This means capability is more simply an assessment of the relative suitability of the land for a particular use. ‘Classification’ means ordering or arranging objects into groups or classes on the basis of their similarities or relationships. The product of this process is a classification system, and subsequent placement of objects into the system is called identification (Sokal, 1974). Such identification of objects and their subsequent delineation over an area of land becomes mapping or regionalization. The science of classification is called taxonomy (Bailey et al., 1978). Classification has been applied somewhat loosely in most resource survey fields under all of these meanings. As the term is commonly used in a broad sense, the present author will include all of these related aspects of the classification process, identification and regionalization under ‘classification’. It is important to emphasize that classifications are man-made rather than natural, and that a set of objects can be arranged in many different ways according to the classification procedure applied to the data. Although the classification procedure can be carried out in many ways, most writers agree on the fundamental purposes of classification: to provide a grouping which is valid for the scientific activity being undertaken and to allow generalizations to be made about the object classified (e.g. Grigg, 1965; Sokal, 1974; Johnston, 1976).
Santun R.P. Sitorus : Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review
LAND CLASSIFICATION The term ‘land classification’ has been used widely in many different fields of study and hence has some differences in meaning. In this paper, ‘land classification’ is defined as “the arrangement of land units into various categories based on the properties of land or its suitability for some particular purposes” (Soil Conservation Society of America, 1982). Land classification implies the development of a logical system for the arrangement of different kinds of land into defined categories, according to the characteristics of the land itself. These characteristics may include those that are directly observable, such as slope gradient, or those that may be ascertained only by inference, such as soil fertility. The systems are often designed to serve very restricted purposes and may stress only certain attributes of land. As land units with similar properties and environmental settings should respond similarly to the same management practices, or to a particular crop, a suitable classification system can increase our ability to generalize, to extrapolate research results, and to transfer management experience. A comprehensive system of land classification that would serve all purposes can only be developed if our knowledge of all science were, complete and properly integrated. This stage of perfection has not been reached, and may never be. Therefore, several more-orless pragmatic or ‘technical’ systems have been developed, based on the fundamental concepts. Numerous approaches to land classification have been postulated, as reviewed, for example, by Lacate (1961), Mabbutt (1968), Wright (1972), Mitchell (1973), Olson (1974), Whyte (1976), Higgins (1977), Zonneveld (1979), McRae and Burnham (1981), Dent and Young (1981) and Sitorus (1983). This paper is not intended to consider the diversity of these schemes, but selected classification systems are reviewed.
The procedure of land classification varies from one system to another due to differences in principles, assumptions and purposes. Moreover, to achieve the same purposes, the same attributes of land may be integrated differently, being given different weights within unlike combinations (Kellogg, 1951). Most schemes, however, are intended as aids to planning whether to ensure the range of alternatives for selected uses is considered on its merits, or to minimize the harmful consequences of changing from existing uses and to maximize its usefulness. Most systems achieve a land classification by dividing the land into smaller, more homogeneous units to achieve a simpler and more precise description (Beckett and Webster, 1965). In this ‘divisive’ procedure the problem is to find a consistent method of delimiting the units on the ground and ultimately on maps. Two considerations are commonly used for delineating units: recognisability and reproducibility (Beckett and Webster, 1965). Recognisability refers to establishing the identify of the units and requires differentiating characteristics to be selected (Cline, 1949; Beckett and Webster, 1965). The differentiating characteristics should be intrinsic properties of the land to be classified (Wright, 1972). There is an infinite number of land properties which could be selected as differentiating characteristics to be selected (Cline, 1949; Beckett and Webster, 1965). The common approach is to select properties which are visible and measurable, to facilitate field delimitation of units. Reproducibility appears to be subjectively recognized in many systems and when defined is usually considered in relative terms. According to Beckett and Webster (1965) and Sitorus (2001), reproducibility refers to how similar in their attributes are different occurrences of the same unit. Of special interest in Sitorus (2001) research is whether different occurrences of the same unit are similar and also relatively homogeneous in terms of properties which are related to plant growth, so
71
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
that they can provide a solid basis for the evaluation of land use potential. Many boundaries for land classification mapping can be identified from remote sensing imagery particularly the conventional panchromatic aerial photographs. These latter are widely uses in soil and other land surveys, to provide a stereoscopic model of the terrain from which boundaries can be drawn for subsequent checking in the field (Thomas, 1980). Moreover, aerial photography and remote sensing imagery constitute valuable field tools for the acquisition of observable land use data and other land attributes. Air-photos may be employed as base maps and, depending on the scale, the images contain an infinite number of control points allowing extremely accurate location of various field phenomena (Aldrich, 1981). Conventional land classification has developed in the main in association with soil surveys, and land classification is often used to represent a second phase of mapping based on the interpretation of the soil survey results or soil mapping units. In Canada, this is called soil capability classification (Canada Land Inventory, 1965). Many such second-phase mappings deal with the potential for land uses. However, Zonneveld (1979) objects to the use of the term land classification for those activities which involve evaluation, instead he proposes the use of the term ‘pragmatic land classification’. Land classification poses various difficulties. Most systems of land classification imply that specific bodies of land in the different categories will be shown to scale on maps. Mapping is sometimes very costly and timeconsuming, especially if boundaries are drawn with reasonable accuracy in respect of local detail. Thus, for the purpose of mapping, particularly at a small scale, unlike bodies of land sometimes must be grouped into geographic associations or ‘complexes’, defined in terms of the taxonomic units in the system of classification. In this sense, land classification is an integrative process (Nelson et al., 1978). One of the function of any land classification system 72
is to permit inferences about the objects being classified. In most applications, classification provides a framework for interdisciplinary inventory of the land controlling its capability (Nelson et al., 1978). At least three fundamental problems in classifying land have been identified (Mabbutt, 1968; Zonneveld, 1979). Firstly, there is the problem of the complexity of land attributes, their spatial variations and the intricacy of these relationships which have to be simplified. Secondly, there is the problem of defining the ‘extent’, and hence location, of boundaries of land areas possessing a large number of attributes varying in different spatial expression, and for which the unit limits may be sharply defined or gradational, forming part of a continuum. Thirdly, there is the problem of association resulting from the interrelationships of adjoining areas, which means that each area is an open rather than a closed system.
THE METHODOLOGY OF CAPABILITY ASSESSMENT The capability scheme for evaluating agricultural land has been developed by the United States Department of Agriculture (USDA) since half a century ago as part of the programme to control soil erosion (Hockensmith and Steele, 1943; 1949; Hockensmith, 1950; 1953). Capability as a methodology for land use planning, however, was first made explicit in the land capability classification system by the USDA (Klingebiel and Montgomery 1961). This classification system is one of a number of interpretative groupings made primarily for agricultural purposes. One of its aims is to group arable lands according to their potentialities and limitations for sustained production of the common cultivated land. The system involves the application to a land classification of accepted limiting factors and hazard potentials (Klingebiel and Montgomery, 1961; Canada Land Inventory, 1967; Bibby and Mackney, 1969).
Santun R.P. Sitorus : Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review
The USDA System divides land into a small number of ranked categories according to the number and extent of its physical limitations to crop growth, from the highest category ‘class’ to ‘sub class’ and ‘capability units’. The capability classes range from Class I, in which soils have no major limitations to crop growth, to class VIII in which soils have limitations which preclude their use for commercial crop production. The grouping of soils into capability units, sub-classes, and classes is done primarily on the basis of their capability to produce common cultivated crops and pasture plants without deterioration over a long period of time. In short, agricultural capability is defined in terms of the relationship between land properties and known crop requirements, with the overall aim of maximizing sustained crop yield over a period of time, which is a readily measurable variable. This system is, in fact, derived from an assessment of inherent land qualities based on conventional soil and physiographic data (Thomas, 1976). Although designed for detailed classification of land in a highly developed area, the system has several advantages that make it also suitable for use in a first, broad assessment of the resources of undeveloped areas, as follows. Firstly, as it is based on the evaluation of the nature and degree of limiting physical characteristics, it is conducive to objective, comparative assessment, avoiding personal or regional bias in classification. Secondly, it is based almost entirely on physical land characteristics, and economics are not considered except for an assumption for certain management practices applied. Thirdly, the system indicates the kind of land uses that are adapted in both developed and developing countries, sometimes with modifications to suit local conditions and the availability of data, as discussed by McRae and Burnham (1981). For reconnaissance survey purposes, the system has been used successfully for land capability
classification as demonstrated, for example, by Haantjens (1963) in a survey of Papua and New Guinea. Translated into general terms, the concept behind the USDA approach is that capability classes can be defined for a particular land-use based on the degree of correlation between the physical characteristics of the land and the landrequirement of the use in question. Whilst the process of land classification is complex, Kellogg (1961) explained that it involved two main stages: firstly, analysis, requiring a study of individual land characteristics (for example, allocating land into slope groups as nearly level, sloping and hilly); secondly, synthesis, in which all the essential date are combined according to the classification desired. This second stage also entails interpretation, whereby predictions are made about each unit of land as an entity, and the assessment of qualities like productivity and fertility.
REVIEW OF LAND CAPABILITY METHODOLOGY The physical factors affecting land use are generally grouped under three broad headings: climate, relief and soils. In reality, however, there is no clear-cut three-fold division, the interactions between the three phenomena being very important in determining land use possibilities (Bibby, 1973). Of the numerous capability methodologies which have been published, fourteen are selected and summarized in comparative form in Table 1, on which the following review is largely based. The aims of the various schemes are generally similar: to evolve a methodology whereby land may be evaluated for a particular land use purpose. It is notable, however, that in the description of capability classes, most of these classification systems also include the ability of the resource to sustain the productivity of the land use.
73
74
Table 1. Comparative summary of selected land capability methodologies for agricultural purposes Author (s)
Data sources
Method of data evaluation
Categories or land units (in order of decreasing generalisation)
Study aims
Klingebiel & Montgomery (1961)/Haatjens (1963)/Oyama (1965)
USA/Papua New Guinea/ Japan
To group (1) arable soils according to their potentialities and limitations for sustained production of the common cultivated crops; (2) non arable soils for the production of permanent vegetation
8 capability classes (I Soil-Survey maps Descriptive interpretation based on to VIII); capability subknown or inferred class; capability units relationships between land factors and the growth and management of crops
14 assumptions, including moderately high level of management; ignores location and landownership patterns
Small to large
Hills (1961)
Canada
To rate the potential of land units for the purpose of agriculture, forestry, etc.
Physiographic/ landscape unit maps
Rating system applied to land factors based on known and inferred relationships with crop productivity
7 classes (A to G) defined by rating. Class A: the highest, Class G: the lowest potentially
---
Small to large 1:253, 433, landscape unit
Canada Land Inventory (1965)
Canada
To group mineral soils according to their potentialities and limitations for agricultural use
Soil maps
Descriptive interpretation based on known relationships between land factors and crop production
7 capability classes (1 7 assumptions, 1:63, 360 to 7); capability subincluded good class soil management practices; ignores location, access, and land-ownership patterns
Bibby and Mackney (1969)
Great Britain
To present the result of soil surveys in a form which may be of more use to agricultural advisers, farmers, planners and other land users
Soil maps
Descriptive 7 capability classes (1 interpretation based on to 7); capability subknown relationships class; capability units between the growth and management of crops and physical factors of soil, site and climate
United States Department of Interior (1953)
USA
To group soils according to Survey data: field physical and economic and laboratory attributes which affect their suitability for irrigated agriculture
Descriptive classes defined according to known or inferred relationships between land factors, productive capacity, cost, and their payment capacity under irrigation system
Assumptions
10 assumptions, including moderately highlevel of management; ignores location and access
6 classes (1 to 6); sub --classes. Classes 1,2,3 arable; Class 4 limited arable; Class 5,6 nonarable
Mapping scales
Small to large; 1:25,000 and larger for unit
1:24,000 1:12,000 1:4,800
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Study area
Author (s)
Study area
Study aims
Netherlands
To evaluate suitability of soil types quantitatively
Bennema, Beek & Camargo (1964)
Brazil
Soil maps, field and trial data
Categories or land units (in order of decreasing generalisation)
Assumptions
Mapping scales
Quantitative interpretation based on ‘rate of suitability’ calculated from an equation
Suitability defined by --a score obtained using an equation
---
To group soils according to Soil maps degree of limitation and degree of feasibility for improvement of the management systems
Descriptive interpretation based on known relationships between land factors and the growth and management of crops
4 classes (I to IV) Class I: good; Class IV: No.
Reconnaissance
Riquier, Bramao and --Cornet (1970)
To evolve a quantitative approach to the assessment of soil and to use the concept of productivity to compare soils
Quantification of factors to determine productivity in the form of equation
Productivity index and --potentiality index obtained using an equation
---
Beek and Bennema (1972)
---
To group soils according to Field data and the degree of suitability published within the framework of a research data specific land utilization type for crop production
Grading system applied to land qualities ad land improvement capacities
4 classes (I to IV) Class I: high suitability; Class IV: low suitability
---
1:100,000 1:50,000 1:25,000 1:10,000
Sys and Frankart (1971)
Humid tropics; Congo
To group soils according to Soil-survey maps their suitability for various and published crops research data
Indexing system applied to soil factors; capability index calculated using an equation
6 classes (I to VI) defined by capability index values; Class I: Exellent
---
Sys and Verheye (1972)
Arid and semi-arid regions; Iraq
To evaluate the capability of soils crop production, irrigation and land improvement requirements
Ditto Soil-survey reports and maps
Soepraptohardjo and Robinson (1975)
Indonesia
To define areas based upon their suitability for use at defined levels of generalizations and for specified types of utilization and management
Soil-survey reports and published research data
Soil-survey reports and maps and published research data
---
Class VI: Very poor 5 classes (1 to 5), defined by capability index values; Class 1: very suitable
---
Class 5: Unsuitable Descriptive interpretation based on relationships between production of crops and soil characteristics, site and climate
3 order (suitable, conditionally suitable, unsuitable); Classes; sub-classes; management group
12 assumptions; including moderately high level of management; ignores location, access and landowner-ship patterns
Reconnaissance to detail; 1:100,000 1:20,000
Santun R.P. Sitorus : Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review
Vink (1960)
Data sources
Method of data evaluation
75
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Most of the methodologies were designed mainly for evaluating the capability of land for agriculture either in narrow (specific) or in broad terms (including forestry, pasture, etc.). The main exceptions are the approach of Hills (1961) which evaluates land capability for a variety of land uses, including forestry, wildlife, recreation and of freshwater fish resources; and the United States Department of the Interior (1953) approach designed for evaluating land for the very specific purposes of irrigated agriculture. Data inputs for the capability methodologies are inevitably strongly influenced by available data sources such as soil maps and other published data. This is particularly true of the large-scale more comprehensive surveys which are actually being implemented as planning tools. Most of the methods reviewed combined fieldwork with a greater or lesser use of data from others sources, such as soil survey reports and maps and published research data. Some methods, in particular that of Haantjens (1963), utilize air-photo-interpretation supplemented by fieldwork as a rapid means of data collection for large-scale survey purposes. Three methods of evaluation of data can be identified from those summarized in Table 1. Firstly, descriptive methods whereby capability classes or other categories are descriptive solely in words. Secondly, rating, grading or indexing systems whereby each attribute is assigned a rate, grade or index and the capability class or other category is defined in terms of the sum of the weighted scores. Thirdly, quantitative methods whereby the relationships between variables are defined in terms of an equation used to obtain a score or index which defines the capability class or other categories. The methods also vary both as hierarchical systems and in terms of the number of categories used. The number of highest categories (i.e. order or classes), in the systems reviewed vary from 3 to 8. Six of the methodologies clearly stated the assumptions used, but in other studies the assumption are not made explicit. They also vary in terms of scale, and some do not even specify the scales 76
used. Broader scale comprehensive studies tend to define land units on the basis of general physiographic criteria. Those which are more limited in aim and larger in scale have defined land units in more detail and more precisely.
CONCLUSION 1. The schemes reviewed are broadly similar in aim, however, widely the methodologies used to achieve this aim-combined with the assumption made-may differ. Also the methods operate at a variety of scales with differing degrees of general applicability. All of the methods described have some practical value but no seems to provide an adequate assessment of land resource potential for all purposes. 2. Although substantial differences are found among the methodologies in terms of their purposes and detailed procedures, these are all broadly similar in terms of the general approach and activities involved. For instance, all of them include activities such as a prolonged field survey and laboratory analysis of soils to collect information, followed by organization of the information into a classification; and the establishing of land capability classes on the basis of the classification results. These capability classes are commonly expressed in the form of maps, accompanied by descriptions and information about the characteristics of each class, as well as the kinds of management needed.
REFERENCES Aldrich, F.T. 1981. Land use data and their acquisition. Pp 79-95. In Lounsbury, J.F., Sommers, L.M. and Fernald, E.A. (Eds.) Land Use. A Spasial approach. Kendall/Hunt Publ. Co. Dubuque, Iowa, USA. Bailey, R.G., R.D. Pfister, and J.A. Henderson. 1978. Nature of land and resource classification-A review. Journal of Forestry 76(10):650-655.
Santun R.P. Sitorus : Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review
Beckett, P.H.T. and R. Webster. 1965. A Classification System for Terrain. Report No. 872. Military Engineering Experimental Establishment. Christchurch, Hampshire, England. Pp 28 + Appendices A-D. Beek,
K.J. and J. Bennema. 1972. Land Evaluation for Agricultural Land Use Planning. An Ecological Methodology. Agricultural University, Department of Soil Science and Geology. Wageningen, P 72.
Bennema, J., K.J. Beek, and M. Camargo. 1964. Soil survey interpretation in Brasil. A system of land capability classification for reconnaissance surveys. First Draft. Rio de Janeiro. P 54. Bibby, J.S. 1973. Land capability. Pp 51-65. In Tivy, J. (Ed.) The Organic Resources of Scotland. Oliver & Boyd, Edinburgh. Bibby, J.S. and D. Mackney. 1969. Land Use Capability Classification. The Soil Survey, Technical Monograph No.1. The Soil Survey, Rothamsted Experimental Station, Harpenden, Herts, U.K. P 26. Blagovidov, N.L. 1960. Principles of soil and land evaluation. Trans. 7th Int. Congr. Soil Sci. 4:357-364. Brinkman, R. and A.J. Smyth. 1973. Land Evaluation for Rural Purposes. Summary of an expert consultation, Wageningen, The Netherlands, 6-12 October 1972. Publication 17. International Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen, The Netherlands. P 116. Canada Land Inventory. 1965. Soil Capability Classification for Agriculture. Report No. 2 Department of Forestry, Canada. P 16. Canada Land Inventory. 1967. Land capability Classification for Forestry. The Canada Land Inventory Report No. 4. Department of Forestry and Rural Development, Canada. P 26. Cline, M.G. 1949. Basic principles of soil classification. Soil Science 67:81-91. Dent, D. and A. Young. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen and Unwin, London. P 278.
FAO. 1976. A Framework for land evaluation. Soils Bull. No. 32. FAO, Rome and ILRI, Wageningen, Publ. 22:333. Grigg, D.B. 1965. The logic of regional systems. Annals of the Association of American Geographers 55:465-491. Haantjens, H.A. 1963. Land capability classification in reconnaissance surveys in Papua and New Guinea. J. Austr. Inst. Agric. Sci. 29:104-107. Higgins, G.M. 1977. Land classification. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Soils Bulletin No. 33. Soil Conservation and Management in Developing Countries. Pp. 59-75. Hills, G.A. 1961. The Ecological Basis for LandUse Planning. Research Report No. 46. Ontario Department of Lands and Forests, Research Branch. P 204. Hockensmith, R.D. 1950. Classifying land according to its capabilities. Trans. 4th Int. Congr. Soil Science 1:342-345. Hockensmith, R.D. 1953. Using soil survey information for farm planning. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 17:285-287. Hockensmith, R.D. and J.G. Steele. 1943. Classifying land for conservation farming. USDA Farmers’ Bull. 1853. P 45. Hockensmith, R.D. and J.G. Steele. 1949. Recent trends in the use of landcapability classification. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 14:383-388. Johnston, R.J. 1976. Classification in Geography. Concepts and Techniques in Modern Geography. Concepts and Techniques in Modern Geography No. 6. P 43. Kellogg, Ch.E. 1951. Soil and land classification. Journ. Farm Econ. 33:499-513. Kellogg, C.E. 1961. Soil Interpretation in the Soil Survey. USDA Soil Conservation Service. P 27. Klingebiel, A.A. and P.H. Montgomery. 1961. Land Capability Classification. Soil Conservation Service USDA. Handbook No. 210. P 21. 77
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Lacate, D.S. 1961. A review of land type classification and mapping. Land Economics. 37:271-278.
Soil Conservation Society of Amerika. 1982. Resource Conservation Glossary. Third Edition. SCSA, Ankeny, Iowa. P 193.
Mabbutt, J.A. 1968. Review of concepts of land classification. Pp 11-28. In Stewart, G.A. (Ed.) Land Evaluation. Papers of a CSIRO Symposium organised in cooperation with UNESCO 26-31 August 1968. Macmillan of Australia.
Sokal,
McRae, S.G. and C.P. Burnham. 1981. Land Evaluation. Clarendon Press. Oxford. P 239. Mitchell, C. 1973. Terrain Evaluation. Longman, London. P 221. Nelson, D.V., G.A. Harris, and T.E. Hamilton. 1978. Land and resource classificationwho cares? Journal of Forestry 76(10): 644-646. Olson, G.W. 1974. Land classification of Japan. Wld. Soil Resour. Rep. 14:115-124. Riquier, J., D.L. Bramao, and J.P. Cornet. 1970. A new system of soil appraisal in terms of actual and potential productivity. (first approximation). Soil Resources, Development and Conservation Service. Land and Water Development Division. Food and Agriculture Organization of the United Nations. P 35. Sitorus, S.R.P. 1983. The Analysis of Soil Variability for Land Capability Assessment. Ph.D. Thesis. University of Sheffield. United Kingdom. P 373.
R.R. 1974. Classification: purposes, principles, progress, prospects. Science 185:1115-1123.
Sys, C. and R. Frankart. 1971. Land capability classification in arid and semi-arid regions. International Training Centre for Post-graduate Soil Scientist, State University, Ghent, P 42. Thomas, M.F. 1976. Purpose, scale and method in land resource surveys. Geographia Polonica 34:207-223. Thomas, M.F. 1980. Postscript-assessing land for Scotland’s future. Pp. 127-134. In M.F. Thomas, and J.T. Coppock (Eds.) Land Assessment in Scotland. Aberdeen University Press. United States Department of Interior. 1953. Bureau of Reclamation Manual. Volume V. Irrigated land use Part 2. Land Classification. Denver, Colorado, USA. Vink, A.P.A. 1960. Quantitative aspects of land classification. 7th Intern. Congress of Soil Sci. Madison, Wisconsin, USA. 4:371378. Vink, A.P.A. 1975. Land Use in Advancing Agriculture. Springer-Verlag, Berlin. P 394.
Sitorus, S.R.P. 2001. Statistical discrimination of surface attributes and soil characteristics for validating land complexes classified using the site analysis method of land classification system. Jurnal AGRISTA 5(2):149-162.
Whyte, R.O. 1976. Land and Land Appraisal. W. Junk, B.V. Publishers, The Hague. P 370.
Soepraptohardjo, M. and G.H. Robinson. 1975. A proposed land capability appraisal system for agricultural uses in Indonesia. Soil Research Institute, Bogor, No. 9/1975. P 31.
Zonneveld, I.S. 1979. Land Evaluation and Land (scape) Science. Second Edition. ITC Textbook of photo-interpretation vol. VII chapter. 4 ITC, Enschede, The Netherlands. P 134.
78
Wright, R.L. 1972. Principles in a geomorphological approach to land classification. Zeitschr. f. Geom. 16(4):351-373.
ISSN 1907-0799
FARM SCALE NITROGEN BALANCES FOR TERRACED PADDY FIELD SYSTEMS Neraca Hara Nitrogen Skala Usaha Tani pada Sistim Sawah Berteras Sukristiyonubowo1 dan Gijs Du Liang2 1 Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 2 Laboratorium of Analytical Chemistry and Applied Ecochemistry, Faculty of Bio Sciences Engineering, Ghent University, Coupure Links 653 Ghent-9000, Belgium
ABSTRACT Nitrogen balance at farm scale is not only important to refine the site specific nitrogen fertiliser application rate, but also to estimate how much nitrogen fertiliser should be provided every planting season at district level. The nitrogen fertiliser stock for the district can be calculated by multiplying the total planting areas with nitrogen fertiliser rate per hectare. The aims were to evaluate the nitrogen balance of terraced paddy field systems under conventional farmer practices and improved technologies during the wet season 2003-04 and dry season 2004 and to predict how much nitrogen fertiliser should be provided in every planting season for wetland cultivation in the Semarang district. The nitrogen input-output assessments were carried out in terraced paddy fields for the conventional farmer practices (CFP), conventional farmer practices + rice straw (CFP + RS), improved technology (IT), and improved technology + rice straw (IT + RS) treatments. Balances were computed based on the differences between input and output. Nitrogen originating from fertiliser (IN-1), recycled rice straw (IN-2), irrigation (IN-3), and precipitation (IN-4) were grouped as input. Nitrogen removal by rice grains (OUT-1) and rice straw (OUT-2) was considered as output. The input-output analyses showed negative nitrogen balances for all the treatments, both in the wet season 2003-04 and the dry season 2004. The more nitrogen deficit was observed when the nitrogen volatilisation was considered. The nutrient inputs, particularly coming from inorganic fertilisers, were not sufficient to replace the nitrogen removed by rice grains and straw. The application of only 50 kg of urea/ha/season with and without returning rice straw was not enough to reach the optimal yield and should be left out. To balance the nitrogen deficit and to improve cultural practices in wetland rice farming especially terraced paddy field system, about 200 -250 kg urea/ha/season is recommended when the ammonia volatilisation is not considered, where as when the ammonia volatilisation is taken into account about 250-300 kg urea/ha should be added. When the rice yield of 5.73 t/ha is targeted as reached in the IT+RS treatment even higher and the planting areas in the Semarang district is about 24.833 ha for the wet season, the amount of urea should be provided will be about 4.97-6.21 million tons/season/district, meanwhile for the dry season when about 18,440 ha wetland rice is expected to be cultivated is about 4.61 to 5.53 million tons urea/season/district should be available.
Keyword : Nitrogen, input, output, balance, terraced paddy field
ABSTRAK Neraca hara nitrogen pada tingkat usaha tani tidak hanya penting untuk memperbaiki rekomendasi pemupukan nitrogen spesifik lokasi, tetapi juga dapat digunakan untuk memprediksi berapa banyak pupuk urea yang harus disediakan ditingkat kabupaten untuk setiap musim tanam. Kebutuhan pupuk nitrogen pada tingkat kabupaten dapat dihitung dengan mengkalikan luas tanam dengan takaran pupuk urea per hektar. Tujuan paper ini adalah untuk mengevaluasi neraca hara nitrogen pada sistim sawah berteras dengan cara petani dan cara perbaikan atau introduksi di musim hujan dan musim kemarau dan untuk memprediksi berapa banyak pupuk urea yang harus disediakan untuk setiap musim tanam di Kabupaten Semarang. Evaluasi neraca hara ditekankan pada hara yang masuk ke dalam sawah dan yang diambil oleh tanaman padi yang dilakukan untuk cara petani (CFP), cara petani + pengembalian jerami (CFP + RS), cara yang diperbaiki (IP) dan cara yang diperbaiki + pengembalian jerami (IP + RS). Perhitungan neraca hara didasarkan pada perbedaan hara yang masuk ke dalam sawah dan hara yang keluar dari sawah atau yang diserap oleh tanaman padi. Hara yang berasal dari pupuk (IN-1), pengembalian jerami (IN-2), air irigasi (IN-3) dan air hujan (IN-4) dikategorikan sebagai hara yang masuk ke dalam sawah, sementara hara yang digunakan untuk menghasilkan gabah (OUT1) dan hara yang terdapat pada jerami yang diangkut keluar sawah (OUT-2) digolongkan pada hara yang terangkut keluar dari sawah. Hasil penghitungan hara yang masuk dan hara yang terangkut keluar dari sawah menunjukkan bahwa neraca hara nitrogen pada skala usaha tani untuk semua cara yang diuji adalah negatif, baik di musim hujan 2003-04 (MH 2003-04) maupun musim kemarau (MK 2004). Kondisi neraca hara nitrogen akan semakin defisit, apabila nitrogen yang hilang karena penguapan dimasukkan dalam perhitungan. Nitrogen yang berasal dari pupuk urea tidak cukup untuk menggantikan nitrogen yang diangkut keluar oleh gabah dan jerami. Penggunaan pupuk urea dengan dosis 50 kg/ha/musim dengan dan tanpa pengembalian jerami (CFP + RS dan CFP) tidak mampu mencapai hasil padi yang optimal, sehingga perlu untuk ditinggalkan atau tidak diterapkan lagi. Untuk mendapat neraca hara yang positif atau yang seimbang, rekomendasi pemupukan urea dengan dosis antara 200-250
79
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
kg/ha/musim perlu diterapkan, apabila hilangnya nitrogen karena penguapan tidak dimasukkan dalam perhitungan neraca hara. Namun demikian, apabila hilang nitrogen kerena penguapan dimasukkan dalam perhitungan neraca hara, maka rekomendasi pemupukan urea menjadi sebanyak 250-300 kg/ha/musim. Apabila hasil gabah yang ditargetkan sebesar 5,73 t/ha/musim seperti yang didapatkan pada cara IP + RS dan luas tanam pada kabupaten Semarang yaitu 24.833 ha pada musim hujan, maka jumlah urea yang harus disediakan sebanyak 4,97-6,21 juta ton/musim/kabupaten, selanjutnya untuk musim kemarau apabila 18.440 ha sawah diharapkan dapat ditanami, maka sebanyak 4,61-5,53 juta ton urea/musim/kabupaten harus disediakan. Kata kunci : Nitrogen, input, output, neraca hara, sistim sawah berteras
T
o meet rice growing demand and improve farmers’ income in Indonesia, rice farming in terraced paddy field systems should be intensified and managed more efficiently. At this time, the production in terraced paddy field systems is confronted with less input and traditionalism managements. Imbalanced nutrient inputs and decreasing soil organic matter contents are commonly identified. There is a need, therefore, to refine nitrogen fertiliser application rate, besides to estimate the nitrogen fertiliser supply at district level to properly manage rice farming especially in terrace paddy field systems. Recently, the need to protect environmental quality is becoming a major concern in agricultural activities, besides improvement of crop production and farmers' income. The use of agro-chemicals has been recognised as an important non-point source of surface and subsurface water contamination (Lal et al., 1998; Sutriadi. 2009). Nutrients carried away by eroded sediments and water run-off do not only reduce fertility of soil, but also degrade surface water qualities (Duque et al., 2003; Phomassack et al., 2003; Sukristiyonubowo et al., 2003; Toan et al., 2003). Therefore, quantification of nutrient inputs and outputs is urgently needed for agronomical, economical and environmental analyses. Crop residue is a fundamental natural resource for conserving and sustaining soil productivity. It supplies essential plant nutrients, improves physical and biological conditions of the soil, and prevents soil degradation (Aulakh et al., 2001; Jastrow et al., 1998; Puget and Drinkwater, 2001; Sukristiyonubowo et al., 2011b; Sukristiyonubowo and Tuherkih, 2009; Tisdale and Oades, 1979; Walter et al., 1992). However, the nutrients present in roots often 80
have been ignored in assessment of cropping systems. Most attention was paid to cover crops since they are considered to be a potential source of nitrogen for the following crops (Harris and Hesterman, 1990; Kumar and Goh, 2000; Thomsen, 1993). Currently, it has been observed that the contribution of plant nutrients from roots is important, ranging between 13 and 40% of total plant N (Chaves et al., 2004; Kumar and Goh, 2000). This is also found to be the case for rice residues (Sukristiyonubowo et al., 2011b; 2004; 2003). The objectives were (1) to evaluate nitrogen balances of rice farming at terraced paddy field system under conventional farmer practices and improved technologies and (2) to estimate how much nitrogen fertilisers should be provided at the Semarang district every planting season.
NUTRIENT BALANCE According to Bationo et al. (1998) Hashim et al. (1998), Lefroy and Konboon (1999), Smaling et al. (1993), Stoorvogel et al. (1993), Syers (1996), and Van den Bosch et al. (1998a; 1998b) , nutrient balances can be developed at different scales and for different purposes, including (1) plot, (2) field, farm or catchment, (3) district, province, and (4) country scale. According to Karoline et al., (2007) and Wortmann and Kaizzi, (1998) nutrient balance at farm scale can be used to improve nutrient management by re-examining the routine agriculture practices. Theoretically, nutrient balances are computed according to the differences between nutrient gains and losses (Sukristiyonubowo et al., 2011). The inputs can be from nutrients in
Sukristiyonubowo dan Gijs Du Liang : Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
fertilisers, returned crop residues, irrigation, rainfall, and biological nitrogen fixation (Lefroy and Konboon, 1999; Miller and Smith, 1976; Sukristiyonubowo et al., 2011; Wijnhoud et al., 2003). Furthermore, according to Sukristiyonubowo et al. (2011a) and Uexkull (1989), the outputs include removal through harvested biomass (all nutrients), erosion (all nutrients), leaching (mainly nitrate, potassium, calcium and magnesium), fixation (mainly phosphate), and volatilisation (mainly nitrogen and sulphur). Furthermore, nutrient removed from cultivated land usually exceeds the natural rate of nutrient input. Hence, when the removals are not replaced by application of fertilisers or returning of biomass, soil mining takes place and finally crop production reduces. Practically, a complete study of nutrient balances is very complicated. In a first approach, nutrient loss is mainly calculated based on removal by harvested products and unreturned crop residues, while the main inputs are organic and mineral fertilisers. So far, it is reported that most assessment is partial analysis of these inand output data (Drechsel et al., 2001; Lefroy and Konboon, 1998; Wijnhoud et al., 2003). Many studies indicate that at plot, farm, district, province, and national levels, agricultural production is characterised by a negative nutrient balance. A long-term nitrogen experiment at plot scale in the sloping area of Kuamang Kuning (Jambi Province, Indonesia) provided confirmation that the balance in the plots without input was -4 kg N/ha/yr. However, this is not happen in the plots treated with a combination of high fertiliser application rates and Flemingia congesta leaves planted in a hedge row system (Santoso et al., 1995). The similar finding is observed in the newly opened wetland rice. When the nitrogen recommended rate is applied namely 250 kg urea/ha/season combined with 2,000 kg compost made of straw/ha, the N balance is + 44 to 88 kg N/ha/ season (Sukristiyonubowo et al., 2011a). Studies at the farm level in the semi arid South Mali showed that nutrient balances for a
cotton-based agro ecosystem are -25 kg N/ha/ yr, 0 kg P/ha/yr, and -20 kg K/ha/yr (Van der Pol, 1992). Meanwhile, Van den Bosch et al. (1998b) found that the average balance for all farms in three different districts in Kenya were 71 kg N/ha/yr, +3 kg P/ha/yr, and -9 kg K/ha / yr. Similar results are observed in northern Nigeria and in Uganda (Harris, 1998; Nkonya et al., 2005; Wortmann and Kaizzi, 1998). At the district level, negative balances were also observed for major agricultural systems in the Kissi District of Kenya and amounted up to 112 N, 3 P, and 70 K kg/ha/yr (Smaling et al., 1993). Meanwhile, the nutrient balance of rice farming in the Ubon Ratchathani Province (Thailand) was + 6.5 kg N/ha, + 5.2 kg P/ha,and -6.4 kg K/ha based on average yields and recommended fertiliser rates (Lefroy and Konboon, 1999). At the national level, Jager et al. (1998) and Van den Bosch et al. (1998b) reported that agricultural production in Kenya is characterised by negative nutrient balances and a downward trend in food production. Similarly, Stoorvogel et al. (1993) observed negative N, P, and K balances in the arable land of some Sub Saharan African Countries. Studies in China using data from 1961 to 1997 confirmed that the N, P, and K balance were negative, both at national and provincial levels (Sheldrick et al., 2003).
FARM SCALE NITROGEN BALANCE AT TERRACED PADDY FIELD Nitrogen balance at farm scale is constructed according the published and available data. The rice residues were not taken into acopcount either as an input nor an output in this balance assessment although they rich in nitrogen. The reason was as practically they always remain in the field. Nitrogen fixation, especially by Azolla sp. may contribute significant to N-input. However, it was not considered as an input, as practically, farmers in many sites of producing rice have no longer grown Azolla sp. 81
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
The ammonia volatilisation is considered as one of the important losses, affecting N-use efficiency in rice and the overall results and in Indonesia the data are officially not yet published and available. Consequently, the nitrogen input-output analysis is calculated based on with and without taken in to account the ammonia (NH3) volatilisation to avoid underestimate of the results. Many studies reported that NH3 volatilisation is influenced by pH, CEC, NH4+ concentration, pounding depth, when and how fertiliser is applied (Cho et al., 2000; Chowdary et al., 2006; Fan et al., 2006; Ghost and Bhat, 1998; Hayashi et al., 2006; Manolov et al., 2003; Xing and Zhu, 2000). In general, the loss ranges from 20.5 to 33.5% of the amount of N applied, equivalent to 13 to 44.6 kg N/ha, and it is considered a significant loss (Cho et al., 2000; Chowdary et al., 2006; Fan et al., 2006). However, other studies in China and Japan reported smaller losses, about 11% and 1.4 ± 0.8%, respectively (Hayashi et al., 2006; Xing and Zhu, 2000). Ghost and Bhat (1998) reported the range of NH3 losses to be about 2-30%. As it was not feasible to measure N volatilisation during the field experiments, quantification of NH3 losses was determined 20% of nitrogen fertiliser applied. The erosion in the terraced paddy field system mainly occurs during harrowing both in the WS 2003-04 and the DS 2004. Moreover, total soil amounts displaced during the harrowing are low; both in the wet and dry season (Sukristiyonubowo, 2008). Therefore, OUT-3 is neglected. The nitrogen inputs are the sum of nitrogen coming from fertiliser (IN-1), recycled rice straw (IN-2), irrigation (IN-3), and precipitation (IN-4). Outputs are sum of nutrients removed by rice grains (OUT-1) and rice straw (OUT-2). As all rice grains are consumed, OUT-1 was estimated based on rice grain yield multiplied with nutrient concentration in the grains. OUT-2 is calculated according to the total rice straw produced multiplied with nutrient concentration in the straw. Therefore, N balance is constructed according to the formula:
82
N Inputs (IN) = IN-1 + IN-2 + IN-3 + IN ..... (1) N Outputs (OUT) = OUT-1 + OUT-2 ........... (2) N Balance = IN – OUT ............................... (3)
Nitrogen input =arameters Mineral fertiliser rate (IN-1) and recycled rice straw (IN-2)
The contributions of inorganic fertilisers to inputs are given in Table 1. For the CFP and CFP + RS treatments, only 50 kg of urea/ha/season is regarded, while for the IT and IT + RS treatments 100 kg of urea/ha/season are taken into account. The IN-1 is 45 kg N for the improved technologies in ha/season, whereas it is only 22.5 kg N for the conventional farmer practices. The contributions of recycled rice straw are also presented in Table 1. Interestingly, the IN-2 for the CFP + RS treatment in the WS 2003-04 was higher than for the IT + RS treatment. This is due to higher rice straw production in the CFP + RS treatment compared to the IT + RS treatment in the DS 2003, although the concentrations of N is lower. However, the IN-2 for the IT + RS treatment is greater than for the CFP + RS treatment in the DS 2004, as in the WS 2003-04, the production and nitrogen content in rice straw for the IT + RS treatment are significantly superior over other treatments. It is also interesting to note that the average of IN-2 for the IT + RS and CFP + RS treatments is higher than IN-1 for the CFP treatment. This means that the contribution of 33% rice straw recycling to the nutrient supply is greater than the contribution of the application of 50 kg urea/ha/season. Irrigation (IN-3)
The contribution of irrigation water to the input (IN-3) is computed according to the periods the farmers opened and closed the inlet and outlet, between land preparation and ripening stages and it is presented in Table 2.
Sukristiyonubowo dan Gijs Du Liang : Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
Table 1.
The contribution of mineral fertilisers and recycled rice straw to input in the WS 2003-04 and the DS 2004
Treatment
IN-1: Mineral fertiliser urea
N
IN-2: Recycled rice straw Recycled rice straw
N
...................................... kg/ha/season ...................................... WS 2003-04 IT + RS IT CFP + RS CFP DS 2004 IT + RS IT CFP + RS CFP
100 100 50 50
45.0 45.0 22.5 22.5
100 100 50 50
45.0 45.0 22.5 22.5
2, 420 2,780
26.4 28.4 29.0 19.8 -
Source : Sukristiyonubowo et al. (2010); Sukristiyonubowo (2007)
Table 2.
Contribution of irrigation water to the nutrient input during rice growth in the WS 2003-04 and DS 2004 Stage
Incoming nitrogen WS 2003-04
DS 2004
Outgoing nitrogen WS 2003-04
DS 2004
Net input WS 2003-04
DS 2004
............................................... kg/ha/season ............................................... CFP Puddling Puddling to planting Vegetative Generative Total
0.58 4.20 22.50 9.50 36.78
0.29 3.48 3.99 6.96 14.72
0.36 3.06 12.96 7.20 23.58
0.14 2.16 2.52 3.84 8.66
0.22 1.20 9.90 2.30 13.62
0.15 1.32 1.47 3.12 6.06
CFP + RS Puddling Puddling to planting Vegetative Generative Total
1.20 6.48 29.52 12.50 49.70
0.41 5.40 6.30 10.44 22.55
0.86 5.64 19.98 10.20 36.68
0.18 3.66 5.04 6.48 15.36
0.33 0.90 9.54 2.30 13.07
0.23 1.74 1.26 3.96 7.19
Puddling Puddling to planting Vegetative Generative Total
0.52 3.24 12.60 6.60 22.96
0.38 2.52 2.52 5.04 10.46
0.34 2.16 8.46 4.80 15.76
0.30 1.26 2.10 3.00 6.66
0.18 1.08 4.14 1.80 7.20
0.08 1.26 0.42 2.04 3.80
IT + RS Puddling Puddling to planting Vegetative Generative Total
0.68 6.36 25.56 12.30 44.90
1.12 5.10 5.67 10.08 21.97
0.56 4.48 15.66 10.30 31.32
0.93 3.54 4.62 8.40 17.49
0.12 1.50 9.90 2.00 13.52
0.19 1.56 1.05 1.68 4.48
IT
Source : Summarized from Sukristiyonubowo (2007)
83
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Nutrients gain (kg/ha/month)
Furthermore, the IN-3 in the WS 2003-04 is greater than in the DS 2004. This may be explained by: (1) the amounts of incoming dissolved nutrient is greater in the WS 2003-04 than in the DS 2004 (2) there is nutrients contribution coming from rain waters, which is
high, especially in nitrogen and (3) the decomposition product of organic matter and nitrates may be washed away from upstream locations during rain events. In addition, urea applied by farmers upstream and urea used in private plantations (rambutan, clove, tea, and coffee) may be washed away during rain events and may increase nutrients, in this case N in the irrigation water (Sukristiyonubowo, 2007). Rainfall (IN-4)
The monthly rainfall and its contributions to nitrogen input during the wet season 200304 are given in Figure 1. The annual precipitation is 3 395 mm, with the highest monthly rainfall in January 2004 being 856 mm. The total nitrogen gains from the rainfall (IN-4) are about 20.6 kg N/ha. This means the rainfall water supply relatively high N amounts, almost equivalent to 45 kg of urea. In Belgium, N-input from rainfall is about 25 kg N/ha and in South Korea, N input from rainfall is 39.5 kg N/ ha (Sukristiyonubowo, 2007).
Rainfall (mm)
From the field monitoring and information given by the farmers, the total period of water inlet in the WS 2003-04 was found to be about 35 days and in the DS 2004 about 40 days. The difference was mainly due to the lower discharge and other external factors affecting water use in the DS 2004. During the wet season, opening inlet and outlet was aimed to control water level, to avoid dike damages and landslides, while to irrigate rice fields was most important during the dry season. Depending on the treatment, the contribution to N input (IN-3) vary between 7.20 and 13.62 kg N in the WS 2003-04 and 3.80-7.19 kg N/ha/season in the DS 2004. So far, it can be said that N and K input from irrigation water is equivalent to 1630 kg of urea/ha/season in the WS 2003-04 and about 8-16 kg of urea/ha/season in the DS 2004 (Sukristiyonubowo, 2007).
Source : Sukristiyonubowo (2007)
Figure 1. Monthly rainfall and its contribution to nutrient inputs in the WS 2003-04 84
Sukristiyonubowo dan Gijs Du Liang : Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
Nitrogen output parameters Crop removal : rice grains (OUT-1) and rice straw (OUT-2)
The nitrogen removed through rice grains (OUT-1) in the WS 2003-04 and the DS 2004 are presented in Table 3. Statistically, the data indicated that the variations of grain yields within treatment are small; meaning that soil properties variability within the farmers is small. Since rice grain yields and nutrient contents of the rice grains for the IT + RS treatments are significantly higher than for other treatments, the OUT-1 values also are significantly higher, both in the wet and dry season. Depending on the treatment and season, the OUT-1 range from 38.6 to 76.5 kg N/ha/season in the WS 2003-04 and from 45 to 82.85 kg N/ha/season in the DS 2004. These losses are equivalent to 75-180 kg of urea (45% N). It is also noted that the nitrogen losses are higher than the nitrogen applied as urea in all treatments. Table 3. Nitrogen output through rice grains in the WS 2003-04 and in the DS 2004 Treatment WS 2003-04 IT + RS IT CFP + RS CFP DS 2004 IT + RS IT CFP + RS CFP
Rice grains
OUT-1
t/ha/season
kg N/ha/season
5.73 4.14 3.82 3.19
5.91 4.45 4.12 3.69
± ± ± ±
± ± ± ±
0.62 0.57 0.45 0.29
0.33 0.59 0.22 0.10
a b b b
a b bc c
76.48 51.87 48.70 38.63
82.78 58.77 51.47 44.99
± ± ± ±
± ± ± ±
6.25 a 11.25 b 10.11 b 6.89 b
7.19 9.56 3.54 1.89
a b bc c
Sources : Sukristiyonubowo (2007)
The nitrogen removed by rice straw (OUT2) in the WS 2003-04 and the DS 2004 are given in Table 4. The highest OUT-2 is observed for the IT+ RS treatments both in the wet and dry season. Depending on the treatment and season, the OUT-2 range from 49.2 to 87.8 kg N/ha/season in the WS 2003-04 and from 48.6
to 81.7 kg N/ha/season in the DS 2004. These outputs are equivalent to 110-185 kg of urea and higher than mineral fertiliser application rate. Therefore, rice straw should be properly managed to reduce N loss from rice fields. From the results both in the WS 2003-04 and the DS 2004, we may learn that rice straw on the one hand may be an important nitrogen source for improving soil fertility when it is managed properly. On the other hand, it shows the greatest nutrient loss, when it is removed from the field for animal feeding or burning. Table 4. Nitrogen output through rice straw in the WS 2003-04 and in the DS 2004 Treatment WS 2003-04 IT + RS IT CFP + RS CFP DS 2004 IT + RS IT CFP + RS CFP
Rice straw
OUT-2
t/ha/season
kg N/ha/season
7.50 6.25 6.16 5.25
± ± ± ±
± ± ± ±
12.17 a 8.50 b 6.25 b 17.80 b
6.37 5.52 5.33 5.10
± 0.30 a 81.72 ± ±+ 0.79 b 59.22 ± ± 1.05 b 55.29 ± ± 0.48 b 48.62 ±
6.44 a 11.36 b 12.98 b 7.00 b
0.91 0.38 0.77 0.63
a ab ab b
87.77 54.43 60.08 49.17
Source : Sukristiyonubowo (2007)
Nitrogen balance when ammonia (NH3) volatilisation is not taken into account The input-output nitrogen analysis when the ammonia volatilisation is not considered for the WS 2003-04 and the DS 2004 are presented in Tables 5. In general, the results indicate that inorganic fertiliser (IN-1) contribute considerably to N input in all treatments. The amounts vary depending on the treatment and season. In the improved technology (IT + RS and IT) treatments, IN-1 cover from 43 to 92% of total N inputs, while in the conventional practices (CFP + RS and CFP) treatments, it contributes from 27 to 79% of the total N inputs. Therefore, it can be said that inorganic fertilisers are the most important nutrient sources to manage rice field and to sustain 85
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Table 5. The N balance at terraced paddy fields under traditional irrigation systems, in the WS 2003-04 and the DS 2004 when ammonia volatilisation is not considered Nitrogen balance Parameter
IT + RS WS 2003-04
DS 2004
IT WS 2003-04
CFP + RS DS 2004
WS 2003-04
DS 2004
CFP WS 2003-04
DS 2004
............................................. kg/ha/season ............................................. Gains IN-1: Fertiliser IN-2: Recycled straw IN-3: Irrigation IN-4: Rainfall Total gains Losses Removal by harvest OUT-1: Rice grains OUT-2: Rice straw Total loss Balance
45.0 (43%) 26.4 (25%) 13.5 (13%) 20.6 (19%) 105.5 (100%)
76.5 (47%) 87.8 (53%) 164.3 (100%) - 58.8
45.0 (57%) 29.0 (37%) 4.5 (6%) -
45.0 (62%) -
45.0 (92%) -
48.8 (100%)
22.5 (27%) 28.4 (34%) 13.1 (15%) 20.6 (24%) 84.6 (100%)
3.8 (8%) -
78.5 (100%)
7.2 (10%) 20.6 (28%) 72.8 (100%)
82.8 (50%) 81.7 (50%) 164.5 (100%) - 86.0
51.9 (49%) 54.4 (51%) 106.3 (100%) - 33.5
58.7 (50%) 59.2 (50%) 117.9 (100%) - 69.1
48.7 (45%) 60.1 (55%) 108.8 (100%) - 24.2
22.5 (45%) 19.8 (40%) 7.2 (15%) -
22.5 (40%) -
22.5 (79%) 6.1 (21%) -
49.5 (100%)
13.6 (24%) 20.6 (36%) 56.7 (100%)
28.6 (100%)
51.5 (48%) 55.3 (52%) 106.8 (100%) - 57.3
38.6 (44%) 49.2 (56%) 87.8 (100%) - 31.1
45.0 (48%) 48.6 (52%) 93.6 (100%) - 65.0
Source : Sukristiyonubowo (2007)
highly rice yield. It is also interesting to note that the ratio of contribution of mineral fertiliser (IN-1) to the total amount of inputs was greater in the dry season than in the wet season. This means that the needs for mineral fertilisers may be greater in the dry season than in the wet season, as less nitrogen sources were found in the dry season. Recycled straw (IN-2) is also an important nutrient source, covering from 25 to 40% of total N inputs, depending on the treatment and season. The IN-2 inputs are getting more important, when no or less inorganic fertilisers are applied like in the CFP + RS treatments. The N inputs are equivalent to 45 to 65 kg of urea. Although the amounts of nitrogen coming from irrigation water (IN-3) are smaller than the amounts of nutrients originating from inorganic fertilisers (IN-1) and returning rice straw (IN-2), 86
the contributions of IN-3 are still important especially for the dry season, covering between 6 and 24% of the total N input. The nitrogen coming from rainfall water (IN-4) is also an important nitrogen source, especially during the wet season, covering from 19 to 36% of the total of N input. With respect to the output, depending on the treatment and season, around 44-50% of total N is taken up by rice grains and the rest by rice straw. This means that N is equally removed by rice straw and rice grains The nitrogen input and output analysis showed a negative balance for all treatments both in the WS 2003-04 and in the DS 2004 (Table 5). The nitrogen deficit range between 24.2 and 86.0 kg N/ha/season, depending on the treatment and season. The N balance in the DS 2004 is more negative than in the WS 2003-
Sukristiyonubowo dan Gijs Du Liang : Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
Table 6. Rice residue production and their contributions to the nutrient pool in the soil in the WS 2003-04 and in the DS 2004 Treatment
Contribution to the nutrient pool in the soil
Rice residue
N
t/ha/season
P
K
................... kg/ha/season ...................
WS 2003-04 IT+RS IT CFP + R S CFP
6.93 ± 1.17 4.67 ± 0.97 4.58 ± 1.39 4.57 ± 0.60
a b b b
43.13 23.35 22.90 21.02
a b b b
5.21 3.27 2.29 2.74
± ± ± ±
0.94 0.67 0.60 0.78
a b b b
152.81 ± 59.10 a 88.00 ± 21.90 b 72.05 ± 32.99 b 81.84 ± 16.47 b
DS 2004 IT+RS IT CFP + R S CFP
6.55 5.69 5.31 5.16
± ± ± ±
a b b b
42.60 ± 3.98 a 32.46 ± 6.60 ab 27.23 ± 5.09 b 24.34 ± 7.12 b
5.23 3.99 3.72 3.61
± ± ± ±
0.55 0.48 0.61 0.49
a b b b
143.05 ± 6.40 a 111.94 ± 13.10 b 91.32 ± 16.71 b 87.66 ± 12.11 b
0.21 0.68 0.88 0.71
04. This may be explained by increased rice grain and straw productions and no additional input from precipitation, having an input of 20.6 kg/ha. It should also be noted that the N output will even be higher, when NH3 volatilisation is taken into account and rice residues would be removed from the rice field. The data show that rice residue productions both in the WS 200304 and DS 2004 are high, ranging from 4.57 to 6.93 t/ha/season, and especially rich in N and K, thus being important nutrient sources. Depending upon the treatment and season, the contribution to the nutrient pool in the soil range from 21.0 to 43.1 kg N/ha/season in the WS 2003-04 and from 24.3 to 42.6 kg N/ha/season in the DS 2004, respectively (Table 6). It is also interesting to note that the N input by rice residue is higher than that the N amount in 50 kg of urea, as applied in the CFP. Therefore, it can be said that the presence of rice residues in terraced paddy field systems may be considered as an important natural nutrient investment. However, as practically the residues always remain in the field, they may be regarded as an organic pool in the soils and they are not regarded as an input or an output. The overall balances would be lower, if the rice residues would be removed from the rice field. In that case, the rice residues should be regarded as an output.
± ± ± ±
7.29 6.46 7.28 1.58
The negative N balances in all treatments also demonstrate that the application rates of nitrogen and organic fertilisers are not sufficient to balance N removed by rice grains and straw. Therefore, to avoid nutrient mining and to sustain a high rice yield, nitrogen fertiliser application rate must be between 200 to 250 kg of urea/ha/season, which implies an increase of about 100-150 kg of urea compared to the current application rate of improved technology (IT+RS and IT) treatments. Nitrogen balance when ammonia volatilisation is considered As we adopted that the 20% of N applied is loss through NH3 volatilisation, the nitrogen deficit is expected to be higher than that input output analysis in which ammonia volatilisation is not considered as output. This input output analysis is important to avoid underestimate of the results, to closely relate to the total nitrogen losses and to simply calculate how much nitrogen fertiliser should be provided for the Semarang district for every planting season. The amount of nitrogen losses through ammonia volatilisation is presented in Table 7. The nitrogen input output analysis when the ammonia volatilisation is considered indicated that more negative balances are observed in all treatments (Table 8). 87
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Table 7. Nitrogen losses through ammonia volatilisation in the WS 2003-04 and DS 2004 N application rate Treatment
IT+RS IT CFP + R S CFP
WS 2003-04
DS 2004
kg ha/season 45.0 45.0 45.0 45.0 22.5 22.5 22.5 22.5
NH3 Volatilisation WS 2003-04
DS 2004
kg N/ha/season 9.0 9.0 9.0 9.0 4.5 4.5 4.5 4.5
The deficits vary between 29 and 95 kg N/ha/season. These values also approved that the application rates of inorganic fertiliser are not enough to replace the nitrogen removed by rice grains and straw. Depending on the treatment and season, the amount of removed nitrogen through rice grains and rice straw range from 93 to 96% of the total nitrogen loss and they are about 94-160 kg N/ha/season. Therefore, to avoid nutrient depletion and to sustain a high rice yield, nitrogen fertiliser application rate must be between 250 to 300 kg of urea/ha/season, which implies an increase of about 150-200 kg of urea compared to the current application rate of improved technology (IT+RS and IT) treatments. Hence, it is strongly recommended that to properly manage terraced paddy fields and to achieve the high rice grain yield (at least about 5.73 t/ha as reached at the IT+RS treatment) about 250 to 350 kg urea/ha/ season should be applied.
rice with half regulated technical irrigation system (4,004 ha), wetland rice with simple irrigation system including the traditional irrigation (8,911 ha), and wetland rice with rainfed irrigation system (6,017 ha). Furthermore, it can be estimated that during the wet season about 24 833 ha of the wetland are cultivated for rice, while in the dry season at least about 18.440 ha wetland. When at least 5.73 t/ha rice yield as achieved in the IT + RS treatment even higher is targeted, therefore, the urea should be provided for the Semarang district in the wet season will be 4.97 to 6.21 million tons/district/season, while in the dry season will be 4.61 to 5.53 million tons urea/district/season should be supplied when about 18.4400 ha wetland rice is expected to be planted.
CONCLUSIONS 1.
The negative N balances in all treatments, both in the wet and dry season, demonstrate that the rates of mineral fertiliser (100 kg of urea/ha/season) applications is not enough to meet N removals by rice grains and straw. Towards sustainable and profitable rice farming, more nitrogen fertilisers have to be applied. About 200-250 kg of urea/ha/season is recommended when the ammonia volatilisation is not considered, but when the ammonia volatilisation about 20% of nitrogen applied is taken in to account about 250-300 kg urea/ha/season should be applied.
2.
When the rice yield of 5.75 t/ha as reached in the IT + RS treatment even higher and the total planting area of 24,833 ha/season/ district for the wet season is targeted, the total urea should be provided for the wet season is 4.97 to 6.21 million tons/district, while in the dry season will be 4.61 to 5.53 million tons urea/district should be supplied when about 18,440 ha wetland rice is expected to be planted.
How much urea should be provided at planting in the Semarang District? The Semarang district, where the field experiment was located, is one of the rice producing areas in the Central Java Province. According to Anonymous (2008) approximately 24,823 ha of the lands are granted to wetland rice and around 15,764 ha can be planted two times a year. Regarding the irrigation net work system constructed in the field, the paddy field can be grouped into wetland rice with fully regulated irrigation system (5,525 ha), wetland
88
Sukristiyonubowo dan Gijs Du Liang : Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
Table 8. The N balance at terraced paddy fields under traditional irrigation systems, in the WS 200304 and the DS 2004 when ammonia volatilisation is considered Nitrogen balance IT + RS
Parameter
WS 2003-04
DS 2004
IT WS 2003-04
CFP + RS DS 2004
WS 2003-04
DS 2004
CFP WS 2003-04
DS 2004
........................................ kg/ha/season ........................................ Gains IN-1: Fertiliser IN-2: Recycled straw IN-3: Irrigation IN-4: Rainfall Total gains Losses Removal by harvest OUT-1: Rice grains OUT-2: Rice straw OUT-4: Volatilisation Total loss Balance
45.0 (43%) 26.4 (25%) 13.5 (13%) 20.6 (19%) 105.5 (100%)
45.0 (57%) 29.0 (37%) 4.5 (6%) -
45.0 (62%) -
45.0 (92%) -
48.8 (100%)
22.5 (27%) 28.4 (34%) 13.1 (15%) 20.6 (24%) 84.6 (100%)
3.8 (8%) -
78.5 (100%)
7.2 (10%) 20.6 (28%) 72.8 (100%)
76.5 (44%) 87.8 (51%) 9.0 (5%) 173.3 (100%)
82.8 (48%) 81.7 (47%) 9.0 (5%) 173.5 (100%)
51.9 (45%) 54.4 (47%) 9.0 (8%) 115.3 (100%)
58.7 (46%) 59.2 (47%) 9.0 (7%) 126.9 (100%)
- 67.8
- 95.0
- 42.5
-78.1
22.5 (45%) 19.8 (40%) 7.2 (15%) -
22.5 (40%) -
22.5 (79%) 6.1 (21%) -
49.5 (100%)
13.6 (24%) 20.6 (36%) 56.7 (100%)
28.6 (100%)
48.7 (43%) 60.1 (53%) 4.5 (4%) 113.3 (100%)
51.5 (46%) 55.3 (50%) 4.5 (4%) 111.3 (100%)
38.6 (42%) 49.2 (53%) 4.5 (5%) 92.3 (100%)
45.0 (46%) 48.6 (50%) 4.5 (4%) 98.1 (100%)
- 28.7
- 61.8.3
- 35.6
- 69.5
Sources: Sukristiyonubowo. 2007
REFERENCES Anonymous. 2008. Semarang dalam angka 2008. Biro Pusat Statistik Kabupaten Semarang. Aulakh, M.S., T.S. Khera, J.W. Doran, and K.F. Bronson. 2001. Managing crop residue with green, urea, and tillage in a ricewheat rotation. Soil Science Society of America Journal 65:820-827. Bationo, A., F. Lompo, and S. Koala. 1998. Research on nutrient flows and balances in West Africa: State-of-the-art. Agricultural Water Management 71:19-35. Chaves, B., S. De Neve, G. Hofman, P. Boeckx, and O.V. Clemput. 2004. Nitrogen mineralisation of vegetables roots residues and green manures as related to
their (bio) chemical composition. European Journal of Agronomy 21:161-170. Cho, J.Y., K.W. Han, and J.K. Choi. 2000. Balance of nitrogen and phosphorus in a paddy field of central Korea. Soil Science and Plant Nutrition 46:343-354. Chowdary, V.M., N.H. Rao, and P.B.S. Sarma. 2004. A coupled soil water and nitrogen balance model for flooded rice fields in India. Agriculture Ecosystems and Environment103:425-441. Clark, M.S., W.R. Horwath, C. Shennan, and K.M. Scow. 1998. Changes in soil chemical properties resulting from organic and low-input farming practices. Agronomy Journal 90:662-671. Drechsel, Pay, D. Kunze, and F.P. de Vries. 2001. Soil nutrient depletion and 89
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
population growth in Sub-Saharan Africa: A Malthusian Nexus? Population and Environment: A Journal of Interdisciplinary Studies 22(4):411-423. Duque Sr, C.M., R.O. Ilao, L.E. Tiongco, R.S. Quita, N.V. Carpina, B. Santos, and T. de Guzman. 2003. Management of soil erosion consortium : an innovative approach to sustainable land management in the Philippines. MSECPhilippines Annual Report. In S.P. Wani, A.R. Maglinoa, A. Ramakrisna, and T.J. Rego (Eds.). Integrated Catchment Management for Land and Water Conservation and Sustainable Agricultural Production in Asia. CD-Rom (one CD). Fan, X.H., Y.S. Song, D.X. Lin, L.Z. Yang, and J.F. Lou. 2006. Ammonia volatilisation losses and N-15 balance from urea applied to rice on a paddy soil. Journal of Environmental Science China 18(2): 299-303. Ghosh, B.C. and R. Bhat. 1998. Environmental hazards of nitrogen loading in wetland rice fields. Environmental pollution 102: 123-126. Harris, F.M.A. 1998. Farm-level assessment of the nutrient balance in northern Nigeria. Agriculture, Ecosystems and Environment 71:201-214. Harris,
G.H. and O.B. Hesterman. 1990. Quantifying the nitrogen contribution from alfalfa to soil and two succeeding crops using nitrogen-15. Agronomy Journal 82:129-134.
Hashim, G.M., K.J. Caughlan, and J.K. Syers. 1998. On-site nutrient depletion : an effect and a cause of soil erosion. Pp 207-222. In F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr (Eds.). Soil Erosion at Multiple Scale. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in Association with IBSRAM. Hayashi, K., S. Nishimura, and K. Yagi. 2006. Ammonia volatilisation from the surface of a Japanese paddy field during rice cultivation. Soil Science and Plant Nutrition 52:545-555.
90
Jastrow, J.D., R.M. Miller, and J. Lussenhop. 1998. Contributions of interacting biological mechanisms to soil aggregate stabilisation in restored prairie. Soil Biology Biochemistry 30:905-916. Kumar, K. and K.M. Goh. 2000. Biological nitrogen fixation, accumulation of soil nitrogen, and nitrogen balance for white clover (Trifolium repens L.) and field pea (Pisum sativum L.) grown for seed. Field Crop Research 68:49-59. Lal, R., F.P. Miller, and T.J. Logan. 1998. Are intensive agricultural practices environmentally and ethically sound? Journal of Agriculture Ethics 1:193-210. Lefroy, R.D.B. and J. Konboon. 1999. Studying nutrient flows to assess sustainability and identify areas of nutrient depletion and imbalance: an example for rainfed rice systems in Northeast Thailand. Pp. 77-93. In Ladha (Ed.). Rainfed Lowland Rice: Advances in Nutrient Management Research. IRRI. Manolov, I.G., M. Ikeda, and T. Yamakawa. 2003. Effect of methods of nitrogen application on nitrogen recovery from N15-labeled urea applied to paddy rice (Oryza sativa L.). Journal of the Faculty of Agriculture Kyushu University 48:111. Miller, R.J., and R.B. Smith. 1976. Nitrogen balance in the Southern San Joaquin Valley. Journal of Environmental Quality. 5(3):274-278. Nkonya, E., C. Kaizzi, and J. Pender. 2005. Determinants of nutrient balances in a maize farming system in eastern Uganda. Agricultural System 85:155182. Phommassack, T., A. Chanthavongsa, C. Sihavong, C. Thonglatsamy, C. Valentine, A. de Rouw, P. Marchand, and V. Chaplot. 2003. An innovative approach to sustainable land management in Lao PDR. MSEC-Lao PDR Annual Report. In S.P. Wani, A.R. Maglinoa, A. Ramakrisna, and T.J. Rego (Eds.), Integrated Catch-
Sukristiyonubowo dan Gijs Du Liang : Farm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
ment Management for Land and Water Conservation and Sustainable Agricultural Production in Asia. CD-Rom (one CD). Puget, P. and L.E. Drinkwater. 2001. Short-term dynamics of root- and shoot- derived carbon from a leguminous green manure. Soil Science Society of America Journal 65:771-779. Santoso, D., I G.P. Wigena, Z. Eusof, and X.H. Chen. 1995. The ASIALAND management of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping lands. In International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia: Challenges, Opportunities, and Prospects. IBSRAM-Thailand Proceedings 14:93-108. Sheldrick, W.F., J.K. Syers, and J. Lingard. 2003. Soil nutrient audits for China to estimate nutrient balance and output/ input relationships. Agriculture, Ecosystems and Environment 94:341-354. Smaaling, E.M.A., J.J. Stoorvogel, and P.N. Wiindmeijer. 1993. Calculating soil nutrient balances in Africa at different scales II. District scale. Fertiliser Research 35(3):237-250. Stoorvogel, J.J., E.M.A. Smaaling, and B.H. Janssen. 1993. Calculating soil nutrient balances in Africa at different scales. I. Supra-national scale. Fertiliser Research 35(3):227-236. Sukristiyonubowo and E. Tuherkih. 2009. Rice production in terraced paddy field systems. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3):139-147. Sukristiyonubowo, F. Agus, D. Gabriels, and M. Verloo. 2004. Sediment and nutrient balances under traditional irrigation at terraced paddy field systems. Paper presented at the second International Symposium on Land Use Change and Soil and Water processes in Tropical Mountain Environments held in Luang Prabang, Lao PDR on 14-17 December 2004. Organised by Ministry of Agriculture and Forestry, Lao PDR and sponsored by National Agriculture and Forestry Research Institute (NAFRI),
International Water Management Institute (IWMI) and Institut de Recherche pour le Développement (IRD). Sukristiyonubowo, Y. Fadhli, and S. Agus. 2011a. Plot scale nitrogen balance of newly opened wetland rice at Bulungan district. Journal of Crop science and Soil Science 1(7):234-241. Sukristiyonubowo, R.L. Watung, T. Vadari, and F. Agus. 2003. Nutrient loss and the onsite cost of soil erosion under different land use systems. Pp 151-164. In A.R. Maglinao, C. Valentin, and F.W.T. Penning de Vries (Eds.). From Soil Research to Land and Water Management : Harmonising People and Nature. Proceedings of the IWMI-ADB Project MSEC Annual Meeting and 7th Assembly. Sukristiyonubowo. 2007. Nutrient Balances in Terraced Paddy Fields under Traditional Irrigation in Indonesia. PhD thesis. Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University, Ghent, Belgium. P 184. Sukristiyonubowo. 2008. Sedimen dan unsur hara yang saat pengolahan tanah pada sawah berteras. Hlm 225-246. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Buku II. Sukristiyoubowo, A.S. Ibrahim, T. Vadari, and S. Agus. 2011b. Management of inherent soil fertility of newly opened wetland rice at Bulungan district. Journal of Plant Breeding and Crop Science 3 (8):146-153. Sutriadi, M.T. 2009. Dampak Pemupukan Nitrogen pada Budidaya Tanaman Semusim di Daerah Pertanian Dataran Tinggi (Studi pada Sub DAS Klakah DAS Serayu Kabupaten Wonosobo). Thesis S2 Universitas Indonesia. Hlm 100. Thomsen, I.K. 1993. Nitrogen uptake in barley after spring incorporation of 15N labelled Italian ryegrass into sandy soils. Plant Soil 150:193-201. Tisdall,
J.M. and J.M. Oades. 1979. Stabilisation of soil aggregates by the root systems of ryegrass. Austrian Journal of Soil Research 29:729-743. 91
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Toan, T.D., T. Phien, D.D. Phai, and L. Nguyen. 2003. Managing soil erosion for sustainable agriculture in Dong Cao Catchment. MSEC-Vietnam Annual Report. In S.P. Wani, A.R. Maglinoa, A. Ramakrisna, and T.J. Rego (Eds.). Integrated Catchment Management for Land and Water Conservation and Sustainable Agricultural Production in Asia. CD-Rom (one CD). Uexkull, H.R. von. 1989. Nutrient cycling. In Soil Management and Smallholder Development in the Pacific Islands. IBSRAM-Thailand Proceedings 8:121132. Van den Bosch, H., J.N. Gitari, V.N. Ogoro, V.N., S. Maobe, and J. Vlaming. 1998b. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems (NUTMON) III. Monitoring nutrient flows and balances in three districts in Kenya. Agriculture, Ecosystems and Environment 71:63-80. Van den Bosch, H., A. de Joger, and J. Vlaming. 1998a. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems (NUTMON) II. Tool Development. Agriculture, Ecosystems and Environment 71:49-62.
92
Walters, D.T., M.S. Aulkh, and J.W. Doran. 1992. Effect of soil aeration, legume residue and soil texture on transformations of macro and micronutrients in soils. Soil Science 153:100-107. Wijnhoud, J.D., Y. Konboon, and R.D.B. Lefroy. 2003. Nutrient budgets: Sustainability assessment of rainfed lowland ricebased systems in northeast Thailand. Agriculture, Ecosystems and Environment 100:119-127. Wortmann, C.S. and C.K. Kaizzi. 1998. Nutrient balances and expected effects of alternative practices in farming systems of Uganda. Agriculture, Ecosystems and Environment 71:115-129. Xing, G.X. and Z.L. Zhu. 2000. An assessment of N loss from agricultural fields to the environment in China. Nutrient Cycling in Agroecosystems 57:67-73.
ISSN 1907-0799
PERANAN CACING TANAH DALAM MENINGKATKAN KESUBURAN DAN AKTIVITAS HAYATI TANAH Contribution of Earthworms to Increase Soil Fertility and Soil Organism Activities Ea Kosman dan Subowo G. Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
ABSRAK Lahan kering di kawasan tropika basah didominasi oleh tanah masam, kandungan bahan organik rendah dan terdapat lapisan bawah yang padat (terutama horison argilik). Tanah yang padat menyebabkan penetrasi akar tanaman dan infiltrasi air permukaan ke lapisan bawah terhambat, aliran permukaan dan erosi meningkat, serta produktivitas lahan rendah. Pemulihan kesuburan tanah melalui pengolahan secara mekanik sulit dilakukan, selain dapat merusak akar tanaman juga dapat meningkatkan erosi tanah. Pemberdayaan cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang dalam tanah (burrower) dan mencegah pemadatan tanah, meningkatkan aerasi tanah, menyebarkan bahan organik dan menghambat laju penyusutan bahan organik tanah, dan meningkatkan aktivitas hayati tanah, dan selanjutnya dapat meningkatkan kesuburan tanah tanpa mengganggu pertumbuhan tanaman. Kata kunci : Tanah lapisan bawah padat, kesuburan tanah, bahan organik, cacing tanah, aktivitas hayati
ABSTRACT Upland in the wet tropical region is dominated by acid soils, low organic matter content, and compacted subsoil layer (especially argillic horizone). The compacted soil inhibit penetration of plant roots and surface water infiltration and increase surface runoff and soil erosion, and low soil productivity. Soil fertility restoration through mechanical processing is difficult to be done, beside damaging the plant roots but also increasing soil erosion. Empowerment of earthworms in their life cycle can make a hole in the soil (burrower), prevent soil compaction, improve soil aeration, spreading organic matter and organic matter inhibits the rate of depreciation of land, and increase soil biological activity, and further can improve soil fertility without disrupting growth plants. Keywords : Compacted subsoil layer, soil fertility, organic matter, earthworms, biological activities
I
ndonesia merupakan negara kepulauan yang berada di kawasan vulkanik tropika basah memiliki keaneka ragaman hayati besar (megabiodiversity), laju penyegaran mineral muka daratan dan pelapukan mineral/bahan organik tinggi serta erosi dan pencucian hara berlangsung intensif. Mineral-mineral primer akan lebih cepat melapuk dan menghasilkan mineral sekunder serta melepaskan unsur hara yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, tingginya laju pelapukan dan pencucian akan mempercepat penyusutan ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah serta iluviasi liat ke lapisan bawah. Kesuburan tanah lapisan olah lahan pertanian intensif umumnya rendah akibat ketebalannya tipis, pH tanah masam, dan kandungan bahan organik rendah. Pada wilayah
dengan curah hujan tinggi memiliki laju degradasi tanah cepat dan tanah didominasi oleh Oxisols, Ultisols dan Alfisols (Lal, 1995). Pendauran dan pengkayaan hara dengan memanfaatkan sumberdaya hayati tanah merupakan strategi penting dalam upaya memperbaiki sifat fisika tanah, mempertahankan kandungan bahan organik tanah, mencegah erosi dan pencucian hara serta efisiensi dan kelestarian sistem produksi. Tanpa adanya masukan yang cukup, jelajah pertumbuhan tanaman semusim berakar dangkal akan banyak mengalami hambatan dan tanaman merana. Demikian juga jelajah akar tanaman tahunan yang berakar dalam pada tahap awal pertumbuhan mengalami hambatan akibat tertahan oleh lapisan padat di lapisan 93
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
bawah (subsoil). Untuk memperbaiki kondisi fisik tanah ini dapat diupayakan dengan perbaikan stabilitas agregat tanah, perbaikan aerasi tanah di lapisan padat/argilik dan pencampuran kembali tanah lapisan bawah dengan lapisan atas. Perbaikan sifat fisik secara mekanik pada saat menjelang tanam untuk tanaman semusim yang dilakukan di musim hujan akan merusak struktur agregat tanah, sehingga mudah tererosi. Sementara pada tanaman tahunan, pengolahan tanah dapat merusak perakaran. Pemberdayaan aktivitas cacing tanah yang mampu mencampur/ mengolah tanah, selain dapat memperbaiki agregat dan aerasi tanah juga tidak merusak akar tanaman dan meningkatkan infiltrasiperkolasi air hujan. Keberadaan cacing tanah juga dapat memperpanjang daur C-organik tanah, sehingga dapat memperpanjang fungsi bahan organik tanah untuk pertumbuhan tanaman (Martin, 1991). Cacing tanah merupakan kelompok fauna tanah yang mempunyai peranan penting dalam memperbaiki produktivitas tanah melalui perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Lee, 1985). Adanya lubang-lubang cacing tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air dan menjadi tempat menembus akar tanaman, sehingga dapat meningkatkan jelajah akar tanaman dan mengurangi aliran permukaan dan erosi. Cacing tanah geofagus dengan kemampuan mencerna tanah dan melepaskan kembali dalam bentuk kascing memiliki stabilitas agregat tinggi, selain dapat mengembalikan kandungan liat dari lapisan bawah ke lapisan atas juga dapat menahan kehilangan hara oleh pencucian. Kascing merupakan makroagregat yang stabil dan dapat bertahan lebih dari satu tahun (Blanchart et al., 1991 dalam Martin, 1991). Marinissen dan Dexter (1990) juga menyatakan bahwa kotoran cacing tanah lebih stabil dibanding agregat alami dari tanah. Demikian juga dengan aktivitas pencernaannya yang mampu mencampur bahan organik dan mineral tanah, cacing tanah dapat mencegah kehilangan bahan organik dari erosi dan pencucian. Subowo et al. (2002) mendapatkan bahwa inokulasi cacing tanah (Pheretima hupiensis) dengan dikombinasikan pemberian bahan organik dapat meningkatkan produktivitas tanah Ultisol lahan kering di Lebak, Banten. 94
Tingginya peranan cacing tanah dalam menjaga kelestarian kesuburan tanah tropika basah perlu kiranya dapat diberdayakan secara proporsional, sehingga sistem produksi pertanian dapat berlangsung secara efisien dan lestari. Sifat dan perilaku cacing tanah Cacing tanah merupakan Oligochaeta biseksual hermaprodit, akan tetapi tidak dapat melakukan fertilisasi sendiri. Untuk reproduksi, dua ekor cacing tanah berkopulasi dengan saling mempertukarkan sel sperma. Cacing tanah bersifat fototaksis negatif, yaitu menjauhi arah datangnya cahaya. Untuk menghindari cahaya dan pemangsa, cacing tanah membuat lubang persembunyian dalam tanah. Oleh karena itu, cacing tanah aktif di malam hari (nocturnal). Cara membuat lubang dari masing-masing jenis cacing tanah tidak sama, ada yang dilakukan dengan mendesak masa tanah, dan ada pula yang dilakukan dengan memakan langsung masa tanah (Minnich, 1977). Kehidupan cacing tanah sangat tergantung pada kadar air, jenis tanah, vegetasi (palatibilitas serasah), dan pH tanah. Cacing tanah sangat sedikit atau tidak dijumpai pada tanah tergenang, tanah asam dan tanah yang mengandung pasir tinggi. Sesuai dengan sifat dan perilaku kehidupannya, cacing tanah dibedakan dalam tiga kelompok yaitu: (1) kelompok epigeisis: pemakan serasah (litter feeder/limifagus), dan hidup di permukaan tanah, (2) kelompok anaseisis: pemakan serasah dan yang hidup dalam lubang tanah, dan (3) kelompok endogeisis: pemakan tanah (geofagus) dan hidup membuat lubang di dalam tanah. Pembuatan lubang dalam tanah oleh kelompok anaseisis dilakukan dengan mendesak masa tanah, sehingga dinding lubang umumnya memadat. Sedang kelompok geofagus (endogaesis), lubang dihasilkan dengan mencerna tanah yang ada, sehingga tidak hanya untuk mendukung pergerakan cacing tanah dalam menghindari tekanan lingkungan, tetapi juga diperuntukkan sebagai sumber makanan (Schwert, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa cacing tanah tidak memakan jaringan organisme lain yang masih
Ea Kosman dan Subowo G. : Peranan Cacing Tanah Dalam Meningkatkan Kesuburan dan Aktivitas Hayati Tanah
hidup atau bukan merupakan hama ataupun penyakit bagi organisme lainnya. Cacing tanah berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik, karena cacing tanah memakan serasah daun dan sisasisa tumbuhan yang telah mati menjadi partikelpartikel kecil yang selanjutnya dirombak oleh organisme tanah lainnya. Cacing tanah juga berperan meningkatkan jumlah populasi mikroba tanah. Menurut Parmelee et al. (1990) di dalam usus cacing tanah terjadi pertumbuhan mikroba tanah yang lebih baik dan lebih banyak daripada di dalam tanah, sehingga cacing tanah dapat dianggap sebagai tempat pembenihan mikroba tanah. Peranan penting cacing tanah dalam meningkatkan kesuburan tanah antara lain dengan menyebarkan bahan organik dan mikroorganisme ke lapisan tanah yang lebih dalam serta meningkatkan aerasi tanah. Cacing tanah yang mati merupakan sumber makanan mikroorganisme tanah dan unsur hara yang dilepaskan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Sumbangan cacing tanah terhadap sifat fisik tanah Tanah kering di kawasan tropika basah umumnya memiliki laju pelapukan, erosi dan iluviasi liat cukup tinggi. Tanah lapisan atas memiliki struktur padat (blocky), kandungan bahan organik rendah, pH masam, dan terdapat lapisan bawah yang padat akibat akumulasi liat. Tanaman semusim berakar dangkal akan banyak mengalami hambatan pertumbuhan. Demikian juga tanaman tahunan yang berakar dalam pada tahap awal pertumbuhan mengalami hambatan akibat tertahan oleh lapisan bawah yang padat. Untuk memperbaiki kondisi fisik tanah ini dapat diupayakan dengan perbaikan stabilitas agregat tanah, perbaikan aerasi tanah di lapisan bawah dan pencampuran kembali tanah lapisan bawah dengan lapisan atas. Perbaikan sifat fisik secara mekanik pada saat menjelang tanam hanya berlangsung sementara dan bahkan apabila dilakukan pada saat musim hujan justru akan mempercepat tanah tererosi. Sedangkan apabila pengolahan tanah dilakukan ketika ada (diantara) tanaman tahunan dapat merusak perakaran
tanaman. Pemanfaatan cacing tanah yang mampu membuat lubang, memperbaiki aerasi, dan memcampur tanah lapisan atas dan tanah lapisan bawah merupakan langkah yang aman untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Perbaikan sifat fisik tanah ini tidak merusak akar tanaman dan dapat berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan ketersediaan bahan organik sebagai pakan yang diperlukan. Cacing tanah merupakan kelompok fauna tanah yang penting dan mempunyai peranan dalam memperbaiki produktivitas tanah melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Lee, 1985). Adanya lubang-lubang cacing tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air, tempat menembus akar tanaman, sehingga dapat meningkatkan jelajah akar tanaman dan mengurangi aliran permukaan dan erosi. Wibowo (2000) mendapatkan bahwa cacing tanah berkorelasi nyata dan positif terhadap porositas tanah dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y = 0,05 X + 41,41
(R = 0,79)
dimana : Y = porositas tanah (% ruang pori total) X = populasi cacing tanah (ekor/m2) Anwar (2007) mendapatkan bahwa perlakuan inokulasi cacing tanah pada tanah Ultisols mampu meningkatkan ruang pori dan menurunkan berat isi tanah (Tabel 1). Cacing tanah geofagus dengan kemampuan mencerna tanah dan melepaskan kembali dalam bentuk kascing yang memiliki stabilitas agregat tinggi, selain dapat mengembalikan kandungan liat dari lapisan bawah ke lapisan atas juga dapat menahan kehilangan hara oleh pencucian. Kascing merupakan makroagregat yang stabil dan dapat bertahan lebih dari 1 tahun (Blanchart et al., 1991 dalam Martin, 1991). Marinissen dan Dexter (1990) juga menyatakan bahwa kotoran cacing tanah lebih stabil dibanding agregat alami dari tanah. Demikian juga dengan aktivitas pencernaannya yang mampu mencampur bahan organik dan mineral tanah, cacing tanah dapat mencegah kehilangan bahan organik dari erosi 95
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Tabel 1. Pengaruh cacing tanah terhadap sifat fisik tanah Ultisols Perlakuan
Ruang pori tanah
Berat isi
% vol 72,6 74,9
g/cc 0,75 0,67
Tanpa cacing Dengan cacing
Pori drainase cepat
Pori drainase lambat
................... % vol ................... 32,4 4,4 37,4 4,6
Permeabilitas m/jam 12,4 17,0
Sumber : Anwar (2007)
Tabel 2. Matrik korelasi populasi organisme tanah terhadap kandungan bahan organik tanah (C-organik) dan pH tanah No. 1. 2. 3.
Populasi organisme tanah Fungi Total mikroorganisme Cacing tanah : • Jumlah populasi • Bobot basah • Jumlah kokon • Bobot kascing
pH tanah
C-organik tanah
-0,52 -0,42
0,55 0,61
-0,09 0,01 0,29 0,51
0,84* 0,83* 0,86* 0,86*
Keterangan : * mempunyai hubungan sangat erat antar dua faktor Sumber : Wibowo (2000)
dan pencucian. Subowo (2002) mendapatkan bahwa populasi P. hupiensis berkorelasi nyata dan positif terhadap produksi kedelai, berat bintil dan berat akar lapisan bawah (20-30 cm) yang sebelumnya merupakan horizon argilik. Peranan cacing tanah melindungi bahan organik tanah Perlakuan pengolahan tanah ataupun aplikasi pestisida pada lahan pertanian intensif mengakibatkan tertekannya populasi fauna tanah. Padahal pelaku dekomposisi bahan organik ataupun daur hara dalam tanah banyak diperankan oleh kelompok mikroorganisme tanah. Perbaikan sifat fisik tanah maupun pendauran bahan organik tanah yang banyak diperankan oleh fauna tanah termasuk cacing tanah menjadi hilang. Sudharto et al. (1988) mendapatkan bahwa cacing tanah di Haplorthox Jambi yang baru dibuka secara mekanik tidak mampu hidup. Wibowo (2000) mendapatkan bahwa populasi cacing tanah, bobot basah cacing tanah, jumlah kokon, dan bobot kascing berkorelasi nyata dan positif terhadap C-organik tanah. Sementara jumlah fungi dan mikro96
organisme tanah tidak berkorelasi nyata terhadap C-organik tanah dan cenderung berkorelasi negatif dengan pH tanah (Tabel 2). Akibatnya kandungan bahan organik tanah cepat menurun dan pH tanah menurun (masam). Rendahnya bahan organik tanah akan menekan populasi organisme tanah dari kelompok detritifora, sehingga populasi cacing tanah di tanah lahan petanian intensif rendah. Penurunan jumlah dan kualitas bahan organik serta aktivitas biologi dan keaneka ragaman fauna tanah merupakan bentuk degradasi tanah yang penting di wilayah tropika basah (Lal, 1995). Subowo (2002) mendapatkan bahwa pada lahan padang rumput dan lahan tanaman padi gogo yang lebih terbuka dan mendapat pengolahan tanah intensif memiliki populasi cacing tanah Pheretima hupiensis lebih rendah dibanding pada kebun pisang, kebun sengon dan kebun karet yang merupakan tanaman tahunan yang tertutup dan tidak dilakukan pengolahan tanah (Tabel 3). Peranan penting bahan organik di dalam tanah adalah sebagai pemasok hara bagi tanaman, meningkatkan kapasitas pertukaran
Ea Kosman dan Subowo G. : Peranan Cacing Tanah Dalam Meningkatkan Kesuburan dan Aktivitas Hayati Tanah
Tabel 3. Dinamika populasi cacing tanah Pheretima hupiensis pada beberapa tipe penggunaan lahan di Banten No.
Musim pengamatan
Tipe penggunaan lahan Rumput
Tanaman pangan
Belukar
Pisang
Sengon
Karet
2
1. 2. 3.
Musim hujan (MH) (Maret) Peralihan MH-MK (Juli) Musim kemarau (MK) (Agustus)
………….……………………. ekor/m …………………..…………. 2 4 7 45 20 50 6 26 17 52 36 1 16 14 19 12
Jumlah
2
11
49
76
91
98
Sumber : Subowo (2002)
ion, pemantap agregat, meningkatkan kapasitas tanah menahan air, dan sebagai sumber energi biota tanah. Cacing tanah yang bersifat litter feeder, selektif dalam memilih bahan organik (palatabilitas) yang bergantung pada nilai C:N, kandungan lignin dan polifenol. Sedang untuk cacing tanah yang bersifat geofagus tidak secara nyata dipengaruhi oleh faktor palatabilitas tersebut (Hendriksen, 1990; dan Lavelle and Barois, 1988). Dengan demikian cacing tanah endogaesis-geofagus ini dapat melakukan proses pencernaan terhadap segala bentuk C-organik yang ada di dalam tanah dari fraksi ringan sampai berat, selanjutnya diakumulasikan dalam kascing dan didepositkan di daerah rhizosfir. Dalam kascing C-organik terlindung dari dekomposisi untuk dilepaskan sebagai CO2. Nilai fungsi dan sebaran bahan organik untuk mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih efektif dan lestari. Pelepasan C-organik harian melalui ekskresi mucus dari permukaan tubuh dan pada kotoran cacing tanah adalah 0,2-0,5% dari total biomassa cacing tanah (Scheu, 1991). Sebanyak 10-19% bahan organik yang tercerna oleh cacing tanah geofagus terasimilasi dalam biomassa, dan sisanya dilepaskan kembali melalui kascing (Lavelle and Barois, 1988). Kandungan C-organik kotoran cacing mencapai dua kali lebih tinggi untuk lapisan 0-5 cm dan tiga kali untuk lapisan 5-10 cm dibanding tanah di sekitarnya. Hasil penelitian yang dilakukan Martin (1991) mendapatkan bahwa mineralisasi C dari kotoran cacing tanah Millsonia anomala
(tropical geophagous earthworm) di bawah kondisi laboratorium 3%/tahun, hal ini empat kali lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di tanah kontrol yaitu 11%/tahun. Disimpulkan bahwa untuk jangka panjang, M. anomala dapat secara nyata menurunkan kecepatan penurunan C-organik tanah. Martin (1991) dan Fragoso et al. (1997) menyatakan bahwa laju dekomposisi bahan organik tanah menurun akibat C-organik terlindung dalam kascing secara fisik yang padat dan hidrofobik. Dekomposisi bahan organik yang lambat, erosi tanah yang rendah, adanya pasokan C-organik dari biomassa tanaman maupun dari eksudat organisme tanah dengan diikuti tingginya efisiensi penggunaan C-organik berperan penting dalam menjaga kelestarian fungsi bahan organik di dalam tanah (Monreal et al. 1997). Tetap tingginya kandungan C-organik di dalam tanah tropika basah akan mampu mendukung kelanggengan nilai fungsi bahan organik untuk meningkatkan produktivitas tanah untuk tanaman. Dengan kemampuan menekan laju dekomposisi bahan organik cacing tanah endogaesis-geofagus dapat dimanfaatkan mencegah penyusutan bahan organik tanah secara cepat, sehingga sistem usahatani lebih murah. Pemberian bahan organik sampai dosis 5 t/ha pada tanah Ultisol dengan diinokulasi cacing tanah meningkatkan hasil dan biomassa jagung lebih tinggi dibandingkan dengan hanya diberi bahan organik dengan dosis yang sama. Pada kedalaman 10 cm, pemberian bahan organik 5 t/ha memberikan hasil jagung pipilan 59,3 g/pot 97
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
(setara 3,95 t/ha) dan biomassa 212,8 g/pot (setara 14,18 t/ha). Pada kedalaman 20 cm, pemberian bahan organik 5 t/ha memberikan hasil jagung pipilan 74,8 g/pot (setara 4,99 t/ha) dan biomassa 198,8 g/pot (setara 13,25 t/ha). Dengan penambahan inokulan cacing memberikan hasil jagung pipilan 81,4 g/pot (setara 5,42 t/ha) dan biomassa 231,7 g/pot (setara 15,45 t/ha) (Tabel 4). Peranan cacing tanah meningkatkan aktivitas hayati tanah Sebagian besar tanah di Indonesia merupakan tanah kering, dan memiliki lapisan bawah/subsoil yang padat, sehingga akar tanaman tidak mudah menembus lapisan bawah dengan baik. Akar tanaman akan cenderung berada di lapisan atas, sehingga ketersediaan hara tidak memadai untuk tanaman dan tegakan tanaman menjadi lemah, utamanya untuk tanaman tahunan. Lubis (1992) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit roboh adalah merupakan salah satu gangguan alami pada usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sebagian besar berada pada tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Daya dukung tanah untuk tanaman ataupun organisme detritifora termasuk cacing tanah rendah. Hasil inventarisasi populasi cacing tanah di Ultisol Lebak-Banten hanya ditemukan P. hupiensis dengan populasi rata-rata <10 ekor/m2, kecuali pada kebun karet yang juga ditemukan
Metapheretima elongata pada musim hujan (Subowo, 2002). Pada musim kemarau tanah dengan penutupan rendah dan intensitas pengolahan tinggi hanya sedikit ditemukan populasi P. hupiensis. Sebagian besar bahan mineral/hara yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran (kascing) yang lebih tersedia bagi tanaman (Edwards dan Lofty, 1972 dalam Schwert, 1990). Subowo (2002) mendapatkan bahwa kascing Pheretima hupiensis dari Ultisol mempunyai indek stabilitas agregat, pH, KTK, Ca, dan Mg lebih tinggi dibanding tanah di sekitarnya (Tabel 5), dan kascing tersebut sebagian besar didepositkan kembali dalam liang cacing yang ditinggalkan. Demikian pula Brata (1996) mendapatkan bahwa inokulasi Pheretima sp. meningkatkan kandungan hara N, P, K, Ca, Mg, dan menurunkan Al-dd tanah. Hal ini menunjukkan bahwa cacing tanah endogaesis-geofagus mampu berperan sebagai agen pengumpul hara dan bahan organik tanah dan selanjutnya didistribusikan ke rhizosfir, sehingga dapat lebih tersedia bagi tanaman. Adanya liang dan kaya hara akan memudahkan akar tanaman menembus sampai lapisan bawah, dan organisme aerobik, seperti bakteri Rhizobium yang mampu menambat N2-udara meningkat. Gambaran di atas menunjukkan bahwa keberadaan cacing tanah pada tanah tropika basah akan mampu memperbaiki aktivitas hayati tanah yang selanjutnya dapat memperbaiki
Tabel 4. Pengaruh cacing tanah dan bahan organik terhadap biomassa dan hasil jagung Perlakuan (dosis bahan organik) Kedalaman Tanpa BO 2,5 t/ha BO 5 t/ha BO 10 t/ha BO KK
Berat biomassa
Berat buah (jagung pipilan)
Tanpa cacing tanah Dengan cacing tanah
Tanpa cacing tanah Dengan cacing tanah
10 cm
20 cm
10 cm
20 cm
10 cm
20 cm
10 cm
20 cm
...................................................... g/pot ...................................................... 146,4 gh 83.0 j 65,4 d 34,9 g 173,7 fg 163,6 g 205,8 e 163,6 g 72,1 cd 223,2 d 84,8 b 223,2 d 59,3 de 231,7 cd 83,7 bc 231,7 cd 188,7 ef 198,8 e 212,8 de 198,8 e 235,9 cd 281,4 a 241,5 c 281,4 a 89,3 ab 239,7 cd 82,9 bc 239,7 cd 13,71
6,80
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT Sumber : Anwar (2006)
98
Ea Kosman dan Subowo G. : Peranan Cacing Tanah Dalam Meningkatkan Kesuburan dan Aktivitas Hayati Tanah
Tabel 5. Sifat fisik dan kimia kascing Pheretima hupiensis dan tanah di sekitarnya (Palehumults) Parameter A. Sifat fisik Agregat (%) Indeks stabilitas agregat
Kascing P. hupiensis Tanah di sekitar 90 476
B. Sifat kimia pH : H2O KCl
6,70 6,00
Kation dapat tukar (me/100g) Ca Mg K Na KTK Al3+ (me/100g)
13,59 1,41 0,43 0,82 13,20 0,00
56 221 4,55 3,85 7,61 1,05 0,12 0,11 10,12 2,66
Sumber : Subowo (2002)
kesuburan tanah. Beberapa aktivitas hayati tanah yang dipengaruhi oleh keberadaan cacing tanah antara lain diuraikan berikut ini. Populasi mikroorganisme tanah Populasi mikroorganisme tanah (bakteri maupun fungi) merupakan organisme yang paling dominan pada tanah pertanian di kawasan tropika. Tingginya intensitas pengolahan tanah maupun pemakaian pestisida banyak menekan populasi fauna tanah, termasuk cacing tanah yang memiliki mobilisasi maupun sensitivitas tinggi terhadap perubahan lingkungan. Hilangnya populasi cacing tanah juga berakibat menurunnya aerasi tanah, meningkatkan kepadatan tanah, dan menurunkan konservasi bahan organik tanah. Populasi mikroorganisme tanah secara bertahap juga akan mengalami penurunan, terutama untuk mikroorganisme aerobik. Sementara mikroorganisme anaerobik juga mengalami hambatan sebagai akibat tidak adanya pasokan bahan organik dari lapisan atas. Yulipriyanto (1993) menyatakan bahwa pemberian kascing sebanyak 20-40% sebagai tanah penutup pada media produksi jamur merang dapat meningkatkan produksi jamur secara nyata. Keberadaan cacing tanah selain dapat memberikan aerasi yang baik bagi aktivitas mikroorganisme tanah juga menghasilkan kascing maupun tubuhnya sendiri yang kaya
bahan organik maupun hara. Hasil pengamatan dengan metoda ”trapping” oleh Anwar (2005) didapatkan bahwa pengkayaan media tumbuh mikroorganisme tanah Potatos Dextract Agar/ PDA dan tanah steril dengan gerusan kascing maupun badan cacing tanah Pheretima hupiensis dapat meningkatkan populasi total bakteri (Tabel 6). Namun, pada media Nutrient Agar (NA) yang didalamnya banyak mengandung asam amino (protein), pengkayaan dengan gerusan cacing tanah justru berpengaruh negatif (menurunkan populasi). Demikian juga untuk populasi fungi tanah (Penicillium, Fusarium, dan Rhyzopus) yang merupakan organisme heterotrof dan membutuhkan C-organik lebih besar, pemberian gerusan cacing, kascing maupun isi rumen sapi cenderung berpengaruh negatif. Sehubungan dengan sifat tersebut hubungan keberadaan cacing tanah terhadap populasi fungi tanah adalah akibat adanya kegiatan penghancuran fraksi-fraksi organik tanah oleh cacing tanah. Luas permukaan kontak bahan organik terhadap miselium fungi tanah semakin luas. Demikian juga dengan sifat fungi yang aerobik, maka lubang-lubang cacing yang dapat masuk sampai lapisan dalam dapat mendukung aktivitas fungi tanah. Meningkatnya aerasi dan stabilitas agregat tanah oleh aktivitas cacing tanah akan menjaga kelembaban tanah dan melindungi C-organik yang merupakan permasalahan penting pada 99
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Tabel 6. Total mikroorganisme Perlakuan NA NA+Cacing PDA PDA+Cacing PDA+Kascing Tanah Tanah steril Tanah steril+Cacing Tanah steril+Rumen
Rhyzopus Fusarium Penicillium Total bakteri (x 103) sel 103 (x √ X + 1) spk 103 (x √ X + 1) spk 103 (x √ X + 1)spk ………………………………….. g/sampel ………………………………….. 300,0 a 3,9 c 7,3 b 4,1 b 202,7 c 5,2 b 1,0 e 3,5 b 212,0 c 6,9 a 12,0 a 1,0 c 250,0 b 1,0 e 1,0 e 1,5 c 300,0 a 1,0 e 11,9 a 1,0 c 50,0 e 5,6 b 1,3 d 1,2 c 34,3 e 2,6 d 1,7 c 1,1 c 135,0 d 2,6 d 1,0 e 9,5 a 42,3 e 2,8 d 1,8 c 3,6 b
KK (%)
4,5
10,2
12,2
9,9
Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT Sumber : Anwar (2005)
tanah kawasan tropika, sehingga dapat mendukung kelangsungan hidup organisme tanah lainnya. Adanya struktur tanah yang ringan akan memudahkan penetrasi akar tanaman yang selanjutnya juga akan dihasilkan asam-asam organik yang sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme tanah. Peran cacing tanah geofagus yang mampu memakan mineral tanah maupun bahan organik sebagai sumber energi merupakan salah satu peran penting cacing tanah untuk menjaga kelangsungan daur energi subsistem tanah. Daur energi di dalam tanah tidak mengalami pemutusan, sehingga efisiensi energi menjadi lebih baik. Melalui ikatan organik dalam cacing tanah ini, organisme heterotrof lainnya dapat memanfaatkannya sebagai sumber energi baru. Populasi fauna tanah lainnya Kelompok fauna tanah penting selain cacing tanah antar lain protozoa, nematode, dan arthropoda. Kelompok biota ini melakukan penguraian sisa-sisa tumbuhan dan hewan seperti halnya cacing tanah (Anellida). Tiunov et al. (2001) mendapatkan bahwa pada dinding liang cacing tanah Lumbricus terrestris L. kaya keragaman jenis dan jumlah biomassa dari Nematoda, Protozoa, Flagellata, Amoeba, dan mikroba serta kandungan N dan P lebih tinggi 100
dibandingkan dengan tanah di luar liang. Protozoa merupakan salah satu kelompok fauna bersel tunggal. Kebanyakan dari spesies protozoa terutama yang hidup dalam tanah merupakan organisme mikroskopik yang hanya bisa diamati dengan menggunakan mikroskop. Peran utama protozoa adalah menyobek, menginokulasi dan mengubah serasah tanaman secara kimia, Protozoa juga meningkatkan mineralisasi dan penyerapan N tanaman melalui rantai makanan. Nematoda adalah cacing gelang yang tidak bersegmen, dapat ditemukan dalam segala keadaan, baik di tempat berair maupun yang hanya kadang-kadang berair. Banyak nematode merupakan parasit terhadap manusia, hewan maupun tanaman. Sebaliknya, jenis nematode hidup bebas yang memangsa bakteri dan jamur mempunyai fungsi ekologi yang nyata seperti perannya dalam siklus hara pada ekosistem tanah. Arthropoda tanah adalah kelompok fauna tanah yang mempunyai kaki berbuku-buku dan sebagian besar terdiri atas ordo Collembola dan Acarina. Kelompok fauna ini mempunyai penyebaran luas dan ditemukan di seluruh lokasi yang ditumbuhi tanaman. Arthropoda tanah tergolong pemakan sisa-sisa tanaman, dan sebagian kecil karnivora berperan dalam dekomposisi bahan organik baik dengan enzim yang diproduksi sendiri atau dari enzim yang dihasilkan mikroflora tanah.
Ea Kosman dan Subowo G. : Peranan Cacing Tanah Dalam Meningkatkan Kesuburan dan Aktivitas Hayati Tanah
Adanya perbedaan keadaan lingkungan habitat mengakibatkan perbedaan struktur maupun sifat fauna tanah tersebut. Klasifikasi menurut cara hidup fauna tanah didasarkan pada morfologi dan fisiologi tergantung pada kedalaman tanah dan pola makan. Fauna fitotropik memakan tanaman hidup, fauna zootrofik memakan materi hewan, fauna mikrotrofik hidup dengan memakan mikroba dan fauna safrofitik memakan materi organik yang telah mati. Melalui proses mineralisasi materi yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuhtumbuhan. Secara umum, fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses dalam tanah. Dengan perkataan lain, fauna tanah berperan dalam menentukan kesuburan tanah, bahkan beberapa jenis fauna tanah dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan tanah di suatu daerah pertanian (Adianto, 1983). Fauna tanah merupakan organisme heterotrof yang menggunakan sumber energy dari bahan organik tanah. Dalam kaitannya dengan sumber bahan organic tanah, di antara fauna tanah akan mengalami persaingan. Namun, sebagian cacing tanah yang bersifat endogeisis merupakan jenis fauna tanah yang mampu menggunakan sumber energi dari bahan organik maupun bahan anorganik (mineral tanah). Cacing tanah endogaesis hidup di dalam tanah dengan secara aktif mencerna mineral tanah dan bahan organik dengan membuat lobang-lobang, sehingga selain mampu memperbaiki aerasi tanah juga menghasilkan kascing yang merupakan makroagregat tanah yang stabil dan kaya hara. Adanya perbaikan aerasi tanah ini akan memberi peluang berkembangnya aktivitas fauna tanah lainnya yang sangat memerlukan aerasi di dalam tanah. Sementara cacing tanah yang pemakan bahan organik murni (litter feeders) tentunya akan bersaing dengan fauna tanah lainnya dalam memanfaatkan sumber bahan organik tanah.
KESIMPULAN Lahan kering di kawasan tropika basah didominasi oleh tanah masam, kandungan bahan organik rendah dan terdapat lapisan bawah yang padat (argilik). Keadaan ini menyebabkan
penetrasi akar tanaman dan infiltrasi air permukaan ke lapisan bawah terhambat, aliran permukaan dan erosi meningkat, serta produktivitas tanah rendah. Perlakuan pemulihan kesuburan tanah melalui pengolahan tanah secara mekanik sulit dilakukan, selain dapat merusak akar tanaman juga dapat meningkatkan erosi tanah. Pemberdayaan cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang dalam tanah (burrower) mampu mencegah pemadatan tanah, meningkatkan aerasi tanah, menyebarkan bahan organik dan menghambat laju penyusutan bahan organik tanah, dan meningkatkan aktivitas hayati tanah, dan selanjutnya dapat meningkatkan kesuburan tanah tanpa mengganggu pertumbuhan tanaman. Pemberdayaan cacing tanah, efektif dalam upaya konservasi lahan secara alami dan rehabilitasi lahan terdegradasi, sedangkan meningkatkan hasil pertanian dalam sistim pertanian intensif masih perlu penelaahan yang lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA Adianto. 1983. Biologi Pertanian. Penerbit Alumni 1983, Bandung Hlm 118. Anwar,
E.K. 2005. Manfaat cacing tanah Pheretima hupiensis terhadap kelimpahan mikroorganisme tanah. Jurnal Wacana Pertanian 4(2). STP Dharma Wacana Kota. Metro Lampung.
Anwar, E.K. 2007. Pengaruh inokulan cacing tanah dan pemberian bahan organik terhadap kesuburan dan produktivitas tanah Ultisols. Jurnal Tanah Tropika 12(2). Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan HITI Komda Lampung. Brata,
K.R. 1999. The introduction of earthworm as biological tillage agent for the improvement of soil physical and chemical properties in upland agriculture. Pp 80-85. In Proc. Inter. Sem. Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century, Bandar Lampung Indonesia, September 27-28.
Fragoso, C., G.G. Brown, J.C. Patron, E. Blanchart, P. Lavelle, B. Pashanasi, B. 101
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 2, Desember 2010
Senapati, and T. Kumar. 1997. Agricultural Intensification, Soil Biodeversity and Agroecosystem Function in the Tropics : The Role of Earthworms. Appl. Soil Ecol. 6:17-35. Hendriksen, N.B. 1990. Leaf Litter selection by detritivor geophagous earthworms. Biol. Fertil. Soils 10:17-21. Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United nations University Press, Tokio-New York-Paris. Pp 25-29. Lavelle, P., and I. Barois. 1988. Potential use of earthworms in tropical soils. Pp 273279. In Edward and Neuhauser (Eds.). Earthworm in Waste and Environmental Management SPB Academic Publishing. The Haque, The Nederlands. Lee, K.E. 1985. Earthworms, Their Ecology and Relationships with Soils and Land Use. Academic Press (Harcourt Brace Jovanovich, Publishers), Sydney. Orlando. San Diego. New York. London. Toronto. Montreal. Tokyo. P 411. Lubis,
A.U. 1992. Kelapa Sawit (Elaesis guineensis, Jaeq) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat, Bandar Kuala. P 435.
Marinissen, J.C.Y. and A.R. Dexter. 1990. Mechanism of stabilization of earthworm cast and artificial cast. Biol. Fertil. Soils 11:234-238. Martin, A. 1991. Short and long-term effects of endogeic earthworm Milsonia anomala (Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta) of tropical savanna, on soil organic matter. Biol. Fertil. Soils 11:234-238. Minnich, J. 1977. Behavior and Habits of The Earthworm, in The Earthworm Book, How to Raise and Use Earthworms for Your Farm and Garden. Rodale Press Emmanaus. Pp 115-149. Monreal, C.M., R.P. Zentner, and J.A. Robertson. 1997. An analysis of soil organic matter dynamics in relation to management, erosion and yield of wheat in long-term crop rotation plots. Can. J. Soil Sci. 77(4):553-563. 102
Parmelee, R.W., M.H. Beare, W. Cheng, P.F. Hendrix, S.J. Rider, D.A. Crossley Jr., and D.C. Coleman. 1990. Earthworm and Enchytraeids in conventional and notillage agroecosystems: A biocide approach to asses their role in organic matter breakdown. Biol. Fertil. Soils 10: 1-10. Scheu, S. 1991. Mucus excretion and carbon turnover of endogeic earthworms. Biol. Fertil. Soils 12:217-220. Schwert, D.P. 1990. Oligochaeta: Lumbricidae, Pp 341-356. In D.L. Dindal (Ed.), Soil Biology Guide. A Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons. New York. Chichaster. Brisbone. Toronto. Singapore. Subowo, I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdurachman, dan S. Hardjowigeno. 2002. Pemanfaatan cacing tanah untuk meningkatkan produktivitas Ultisols lahan kering. Jurnal Tanah dan Iklim (20):35-46. Subowo. 2002. Pemanfaatan cacing tanah Pheretina hupiensis untuk meningkatkan produktivitas Ultisols Lahan Kering. Jurnal Tanah dan Iklim (20):12. Sudharto, T., H. Suwardjo, A. Barus, dan D. Supardy. 1988. Pemberian Cacing Tanah (Peryonic excavatus, E. Perr) dalam Usaha Rehabilitasi Lahan Rusak Akibat Pembukaan Lahan Secara Mekanis. Laporan Hasil Penelitian Pasca Pembukaan Lahan Menunjang Transmigrasi di Kuamang Kuning-Jambi, Kerjasama Pusat Penelitian Tanah Bogor dengan Departemen Transmigrasi. Hlm 93-98. Tiunov, A.V., M. Bonkowski, J. Alphei, and S. Scheu. 2001. Microflora, protozoa, nematoda in Lumbricus terrestris burrow walls: a laboratory experiment. Pedobiologia 45:46-60. Wibowo, S. 2000. Keragaman dan Populasi Cacing Tanah pada Lahan dengan Berbagai Masukan Bahan Organik di Daerah Lampung. Thesis S-2, IPB. Hlm 203. Yulipriyanto. 1993. Mengenal jenis-jenis cacing tanah asli Indonesia dan kemungkinan pemanfaatannya. Cakrawala Pendidikan (1):95-105.