Jurnal
ISSN 1907-0799
Sumberdaya Lahan Indonesian Journal of Land Resources Vol. 4 No. 1
Juli 2010
Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian
Hal.
1-12
Hal.
13-25
Hal.
27-38
Hal.
39-46
Hal.
47-56
Ai Dariah, A. Abdurachman, dan D. Subardja
Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik untuk Kesuburan dan Produktivitas Tanah Melalui Pemberdayaan Sumberdaya Hayati Tanah Subowo G.
Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan S. Ritung
Development of National Climate Database System for Supporting Agriculture Research E. Runtunuwu
Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam Setelah Reklamasi Lahan W. Annisa dan B.H. Purwanto
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian DEPARTEMEN PERTANIAN J. SDL
Vol. 4
No. 1
Hal. 1-56
Bogor, Juli 2010
Terakreditasi C Nomor 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009
ISSN 1907-0799
Jurnal
Sumberdaya Lahan
ISSN 1907-0799
Indonesian Journal of Land Resources Terakreditasi dengan Predikat C Nomor : 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009
Diterbitkan oleh : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Tlp. 0251 8323012 Fax 0251 8311256 e-mail :
[email protected] http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id DEWAN PENYUNTING Penanggungjawab
: Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS (Kepala Balai Besar Litbang SDLP)
Ketua Dewan Penyunting : Dr. Ir. Achmad Hidayat, MSc (Pemetaan dan Evaluasi Lahan/BB Litbang SDLP) Anggota
: Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan/Balittanah) Prof. Dr. Ir. Didi Ardi Suriadikarta, MSc (Kesuburan Tanah/Balittanah) Bambang Hendro Prasetyo, MSc (Genesa dan Mineralogi Tanah/BB Litbang SDLP) Dr. Ir. Ai Dariah, MS (Konservasi, Reklamasi, dan Rehabilitasi Lahan/Balittanah) Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, MS (Agroklimatologi/Balitklimat) Dr. Ir. Nono Sutrisno, MS (Konservasi Tanah dan Air/Puslitbang Hortikultura) Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus (Tanah dan Pengembangan SDL/ IPB)
Penyunting Pelaksana
: Karmini Gandasasmita, Widhya Adhy, Sukmara
Mitra Bestari
: Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham (Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Ir. Sumarno (Puslitbang Tanaman Pangan) Dr. Ir. A.M. Fagi (Badan Litbang Pertanian)
Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Jurnal Sumberdaya Lahan terbit dua nomor dalam setahun. Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.
PEDOMAN BAGI PENULIS Ruang Lingkup: Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) terbit dua kali dalam setahun, memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam penyuntingan di publikasi lainnya. Bentuk Naskah: Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (21,0 X 29,7 cm) dengan jarak ketikan dua spasi, dengan huruf Times New Roman 12 point, pada satu permukaan saja dan maksimum 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak ketikan dari tepi kiri 3,0 cm, sedangkan kanan, atas dan bawah 2,5 cm. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul tulisan (dalam bahasa Indonesia dan Inggris), nama dan alamat penulis, abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris (200300 kata) dan kata kunci (3-4 kata), pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan/ penutup, daftar pustaka. Judul Naskah: Terdiri atas suatu ungkapan yang dengan tepat mencerminkan isi naskah. Nama serta instansi tempat kerja penulis dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari satu orang, maka perlu menuliskan namanya sesuai aturan penulisan. Kalau dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan sub judul untuk mempertegas maksud tulisan. Teks Naskah: Sitasi literatur di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan harus tercantum dalam daftar pustaka. Satuan ukuran dalam teks dan grafik memakai sistem metrik. Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat tetapi jelas, dengan catatan bawah secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan secara mandiri.
Gambar dan Grafik: Dibuat dengan garis cukup tebal, sehingga memungkinkan penciutan dalam proses cetak. Keterangan grafik dan gambar jangan pada gambar/ grafik itu, tetapi diketik dua spasi pada kertas tersendiri sebagai suatu legenda. Nama penulis serta nomor gambar/grafik dengan disertai sumbernya, ditulis dengan pensil lunak dibalik gambar itu. Seperti halnya tabel, keterangan gambar/grafik harus cukup lengkap, agar dapat disajikan secara mandiri. Foto hitam putih atau berwarna, dicetak pada kertas mengkilap, dan dipilih yang memiliki kotras yang baik. Slide berwarna atau yang berujud data digital lebih diharapkan. Daftar Pustaka: Semua pustaka yang disitir di dalam teks hendaknya disusun menurut abjad, sesuai nama penulisnya, dengan sistem nama tahun. Jangan masukkan pustaka yang tidak disitir dalam teks ke dalam daftar pustaka. Pustaka primer diharapkan lebih banyak (80%) dan pengacuan pustaka 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir. Penyunting melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan redaksi jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal dapat diterbitkan tepat waktu. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar jurnal. Surat Menyurat: Naskah tulisan dikirim rangkap dua ke alamat Redaksi Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123. Tlp. 0251-8323012. fax. 02518311256. e-mail:
[email protected]. id.
ISSN 1907-0799
REKLAMASI LAHAN EKS-PENAMBANGAN UNTUK PERLUASAN AREAL PERTANIAN Reclamation of Ex-Mining Land for Agricultural Extensification Ai Dariah1, A. Abdurachman1, dan D. Subardja2 1 Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 2 Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
ABSTRAK Pemanfaatan lahan eks-penambangan untuk perluasan areal pertanian merupakan suatu peluang untuk memecahkan persoalan pangan dan lingkungan. Paper ini membahas prospektif pemanfaatan lahan eks penambangan untuk perluasan areal pertanian. Areal pertambangan resmi yang dilengkapi dengan izin usaha penambangan di Indonesia jumlahnya cukup luas, diantaranya sekitar 2,2 juta ha di bawah Perjanjian Pengusahaan Batu Bara (PKP2B), dan 2,9 juta ha berdasarkan Kontrak Karya (KK). Sebagian lahan tersebut sudah selesai ditambang, dan perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah pemetaan lahan-lahan bekas tambang tersebut, yang dilengkapi dengan status kepemilikan (land tenure) atau penguasaan lahannya, agar pemanfaatan selanjutnya baik untuk pertanian maupun usaha lain, dapat berjalan berkelanjutan. Reklamasi lahan perlu dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan pengelolaan lahan tambang tidak cukup hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan penutupannya (planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin penambangan. Kata kunci : Tambang, reklamasi, pertanian
ABSTRACT Utilization of ex-mining land for agricultural extensification is an opportunity to solve the problem of food and environment. This paper discusses prospective utilization of ex-mining land for agricultural extensification. Mining area equipped with a business license for mining in Indonesia is around 2.2 million ha under Coal Concession Agreement, and 2.9 million ha under the Contract of Effort. A part of land is already finished being mined, and be managed properly in order to benefit the community and not damage the environment. The initial steps that need to be done is mapping of mined lands, included a status of ownership (land tenure), so that subsequent use of both for agriculture and other businesses can be sustainable. Land reclamation is necessary to increase capacity and efficiency for biomass production. Determination of land use types, should be based on land tenure, bio-physical conditions of land, and the needs of the community or local government. In the future, mining land management requirements is not enough simply by opening a feasibility study for mining operations, but need to be accompanied also with its closure plan (planning of closures), which includes environmental protection and mitigation of socio-economic problems. This needs to be one of the terms of the granting of mining permits. Keywords : Mining, reclamation, agriculture
K
elangkaan lahan secara umum menjadi permasalahan yang semakin sulit diatasi, seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat, sementara lahan cadangan yang tersedia makin terbatas. Pertanian merupakan sektor pembangunan yang sering dirugikan, karena lahan pertanian tidak jarang dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan sektor lain, misalnya untuk pemukiman, industri, jalan, pasar dan pertokoan. Sebagai contoh, selama periode 1979-1999 konversi lahan
sawah mencapai 1.627.514 ha atau 81.376 ha/ tahun (Isa, 2006). Berbagai upaya telah dilakukan, antara lain program reforma agraria, namun perluasan lahan pertanian tetap lamban. Pemanfaatan lahan ekspenambangan untuk perluasan areal pertanian merupakan suatu peluang, setelah terlebih dahulu direklamasi untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna bagi produksi biomassa (Mulyanto, 2008). 1
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Reklamasi lahan eks tambang sebenarnya merupakan kewajiban perusahaan penambang, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun pelaksanaanya berjalan sangat lambat. Menurut Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi (2006) baru sekitar sepertiga dari luas lahan yang dibuka untuk tambang yang telah direklamasi, sehingga percepatan reklamasi sangat diperlukan. Kelambatan reklamasi lahan eks tambang disebabkan oleh berbagai kendala teknis dan non teknis. Kendala-kendala tersebut perlu dikenali terlebih dahulu, kemudian dicarikan solusi yang terbaik dan mudah dilaksanakan (practicable), agar lahan-lahan tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, dan bila memungkinkan dapat digunakan untuk peningkatan produksi bahan pangan nasional. Tulisan ini membahas prospektif pemanfaatan lahan eks penambangan untuk perluasan areal pertanian. Pokok bahasan meliputi luas areal eks tambang; permasalahan lahan eks tambang ditinjau dari aspek teknis, sosial ekonomi, land tenure dan peraturan perundangan; serta teknologi dan strategi reklamasi lahan eks tambang.
LUAS AREAL PERTAMBANGAN DAN PERMASALAHANNYA Luas areal pertambangan Kegiatan operasional pertambangan yang berjalan relatif besar dimulai pertengahan 1970an. Sebelum tahun 1970, kegiatan penambangan juga telah dilakukan, namun masih dalam skala yang relatif kecil. Sampai dengan tahun 2009, dari total lahan yang telah diberi izin eksploitasi yaitu 2.205.348 ha, lahan yang telah dibuka untuk areal tambang dan infrastrukur hanya 135.000 ha, dengan luas total yang telah direklamasi 33.767,58 ha (Tabel 1). Lahan yang dibuka untuk pertambangan tidak luas, sehingga setelah 30 tahun, areal yang rusak relatif sempit yaitu 0,07% dibandingkan dengan seluruh daratan Indonesia (Soelarso, 2008). Namun, mengingat penambangan terkonsentrasi pada wilayah tertentu, maka dampaknya terhadap wilayah yang bersangkutan cukup dominan. Sebagai contoh, aktivitas penambangan timah di Provinsi Bangka-Belitung, sangat mempengaruhi lingkungan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Hasil evaluasi yang dilakukan Puslittanah (1987) menunjukkan areal
Tabel 1. Rekapitulasi lahan bekas tambang Jenis usaha
I. Kontrak karya (KK) tahap produksi II. Perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) tahap produksi III. Kuasa pertambangan (KP) eksploitasi* Jumlah
Reklamasi Pemanfaatan Jumlah lain ……………………………………….. ha ……………………………………….. 516.803,30 15.856,48 9.088,09 877,81 9.965,90
Luas wilayah
Luas lahan yang dibuka** Penghijauan
825.862,60
36.988,63
15.077,32
735,30
15.812,62
862.682,46
25.965,78
7.044,29
944,77
7.989,06
2.205.348,35
78.810,89
31.209,70
2.557,88
33.767,58
Sumber : Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (2009) * Khusus data untuk KP setelah otonomi tidak termutahirkan karena tidak ada data dari daerah dan begitu juga dari Perusahaan Pemegang Izin KP Daerah, yang masih ada data dari pemegang KP BUMN dan 5 KP Perusahaan Nasional). Data Periznan KP Eksploitasi dari berbagai wilayah yang dilaporkan ke Direktorat Pengusahaan mineral dan Batubara per Juli 2009 adalah 770 KP. ** Pada areal bekas tambang dan penimbunan material buangan (dimanfaatkan untuk perumahan, perkantoran, penampung air bersih, dan tempat rekreasi) selain luas lahan untuk penambangan tersebut di atas, diperlukan luas lahan utuk jaringan jalan, pelabuhan udara, pelabuhan air, perkotaan, pabrik, pembangkit listrik, pengelolaan tailing, dan lain-lain. Luas total yang dibuka untuk pertambangan mencapai 135.000 ha.
2
Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian
seluas 198,75 ha yang secara aktual dinyatakan tidak sesuai untuk pertanian sebagian besar merupakan kolong, hamparan tailing pasir, lumpur, dan tanah berpirit yang dihasilkan dari aktivitas penambangan.
Limbah tailing
Limbah tailing dari prosesing bijih tambang dapat menutupi lansekap baik di dalam maupun di luar lokasi penambangan. Limbah ini mempunyai daya dukung yang sangat rendah untuk kehidupan flora maupun fauna, misalnya limbah tambang dari Timah di Bangka-Belitung dimana tekstur tanah didominasi pasir kuarsa (>90%), dengan C-organik <1%, sehingga kemampuan memegang hara dan air sangat rendah. Selain itu, kandungan hara, kapasitas tukat kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB), tidak mendukung persyaratan tumbuh tanaman (Tabel 2).
Permasalahan Perusahaan penambangan dituntut untuk mampu mengembalikan lahan bekas tambang ke kondisi yang sesuai dengan persyaratan tata guna lahan berdasarkan tata ruang daerah (Mulyanto, 2008; Soelarso, 2008). Artinya, setelah penambangan selesai, harus terjadi transformasi manfaat atau mengembalikan lahan yang ditambang ke kondisi awal, sehingga selaras dengan azas manfaat dan bersifat berkelanjutan. Namun, kedua hal tersebut sulit dicapai, karena umumnya perencanaan penutupan tambang (termasuk reklamasinya) tidak terintegrasi dengan operasi pertambangan sejak awal sampai penutupan, sehingga pasca penambangan timbul berbagai permasalahan.
Tercampurnya tanah pucuk dengan overburden (bahan galian)
Setiap tahun sekitar 1,2 milyar m3 tumpukan bahan galian (overburden) dihasilkan dari proses penambangan batu bara, sedangkan dari penambangan bahan mineral dan logam diperkirakan sekitar 0,3 milyar m3. Jika mengikuti tata cara penambangan yang benar, bagian tanah yang paling atas (tanah pucuk), seharusnya dipisahkan dari bahan galian di bawahnya untuk kepentingan reklamasi, namun kenyataannya sebagian besar tanah pucuk tercampur dengan overburden (Tabel 3), sehingga daya dukung lahan menjadi sangat terbatas.
Aspek teknis
Sumberdaya mineral dan batu bara di Indonesia sebagian besar terdapat pada lapisan bumi yang dekat permukaan tanah, oleh karena itu penambangannya banyak dilakukan dengan cara terbuka (open pit mine methode). Sistem ini menyebabkan perubahan unsur-unsur bentang alam, seperti topografi, vegetasi penutup, pola hidrologi, dan kerusakan tubuh tanah (Mulyanto, 2008), sehingga menyulitkan proses reklamasinya. Beberapa permasalahan teknis yang sering timbul, antara lain :
Faktor pembatas overburden Sampur jika digunakan sebagai media tanam adalah kandungan bahan organik tanah dan unsur hara tanah lainnya yang sangat rendah. Faktor
Tabel 2. Hasil analisis tailing timah dari Bangka Belitung Jenis tailing
Tailing Tailing Tailing Tailing Tailing
putih coklat putih kekelabuan campuran
Pasir % 94 91 98 89 94
pH H2O 4,9 4,4 4,5 4,6 4,8
Bahan org. C
N
... % ... 0,07 0,01 0,73 0,07 0,24 0,02 0,59 0,05 0,09 0,01
HCl 25% P2O5
K2O
..mg/100g.. 1 3 5 3 7 9 5 4 1 6
P Bray ppm 3,8 1,5 6,2
NH4OAc 1 N, pH 7 Ca
Mg
K
Na
KTK
............ cmol(+)/kg ............ 0,18 0,06 0,03 0,05 1,12 0,23 0,06 0,03 0,05 2,80 0,28 0,17 0,03 0,14 3,11 0,23 0,08 0,03 0,06 3,57 0,09 0,12 0,03 0,05 1,78
KB
Kej. Al
..... % ..... 29 3 13 56 20 18 11 56 16 10
Sumber : PT Benua dan PT Timah (2009)
3
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Tabel 3. Hasil analisis tanah (campuran overburden dan tanah pucuk) dari kegiatan penambangan timah di BangkaBelitung Lokasi pengambilan sampel
Parameter yang dianalisis (satuan) Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
Sampur
Jurung
Lempung berpasir 73 15 12
Lempung berdebu 15,0 71,1 25,5
Masam 4,8 4,3
Sangat masam 2,7 2,6
1.17 0,08 7,7 2,0 0,35 0,07 0,03 2,72 17,33
5,7 0,18 8 11 2,86 1.41 0.04 17.42 25,00
pH H2 O KCl C-organik (%) N- Total (%) P2O5 HCl 25% (mg/100g K2O HCl 25% (mg/100g) Ca (cmol(+)/100g) Mg (cmol(+)/100g) K (cmol(+)/100g) KTK (cmol(+)/100g) KB (%) Sumber : Puslittanak, 1995
pembatas yang terdapat pada overburden Jurung berbeda dengan overburden Sampur, meskipun kandungan bahan organik tanah >5%, namun pH-nya tergolong sangat masam (pH<3). Hal ini merupakan indikasi bahwa overburden tersebut berasal dari tanah sulfat masam, yang terjadi karena terangkatnya lapisan yang mengandung pirit, dan kemudian bercampur dengan bagian tanah lainnya. Tumpukan overburden yang sangat masam tersebut juga merupakan sumber pencemaran air dan tanah.
masam (Tabel 4). Permasalahan lain adalah kandungan garam-garam sulfat yang tinggi seperti MgSO4, CaSO4, AlSO4, yang dapat meracuni tanaman. Pada musim kemarau garamgaram tersebut muncul ke permukaan tanah berbentuk kerak putih (Tala’ohu ,1995; Yustika dan Tala’ohu, 2007).
Pada areal bekas pertambangan batu bara, sifat fisik merupakan faktor pembatas jika overburden batu bara digunakan sebagai media tanam. Hasil analisis bahan galian yang diambil di beberapa lokasi tambang batubara di Tanjung Enim (Sumatera Selatan) menunjukkan tanah menjadi padat karena rata-rata BD tanah bahan galian batu bara tergolong tinggi (Tabel 4), yang berarti tanah menjadi padat.
Erosi dan aliran permukaan yang tidak terkendali
Kendala sifat kimia tanah ditentukan oleh asal bahan galian. Bahan galian yang berasal dari tanah sulfat masam, pH nya <3 atau sangat 4
Kondisi fisik tanah yang buruk ditemui pula pada areal bekas tambang batubara di Kalimantan (Tabel 5), meskipun telah direklamasi selama 1-3 tahun (PT Kitadin, 2009).
Salah satu ciri khas dari areal bekas tambang yang belum direklamasi adalah kondisi lahan yang tidak bervegetasi, dengan bentuk permukaan yang tidak beraturan. Pada kondisi ini, tanah pucuk atau bahan (overburden) merupakan bagian tanah yang paling mudah tererosi, baik oleh curah hujan langsung, maupun oleh aliran permukaan yang tidak terkendali, akibat rusaknya saluran drainase alami.
Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian
Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia overburden dari lokasi penambangan batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan Parameter 3
BD (g/cm ) pH (H2O) pH (KCl) C-organik (%) Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) KTK KB Al3+ DHL
Lokasi Klawas Timur
Mahayung
Suban
Udongang
1,35 2,90 2,75 5,12 7,12 9,42 0,10 0,15 11,70 91,00 5,43 2.58
1,28 4.65 4.15 1.75 7.40 11.61 0.41 0.59 20.0 95.5 1.18 0,91
1,12 4,70 3,60 0.35 3.04 7.16 0,38 0,39 18,40 60,50 6,26 0,73
1,21 4,90 4,55 1,50 8,87 13,79 0,56 2,25 23,8 98,0 1,01 1,39
Sumber : Tala’ohu (1995), diolah kembali
Tabel 5. Sifat fisik tanah pada areal bekas tambang batu bara di Kutai Kartanegara, Kalimantan Lokasi KTD-02 = area lahan reklamasi dengan Acasia sp. umur 1 tahun
Kedalaman cm 0-20 20-60
Kelas tekstur
KTD-03 = area reklamasi dengan Acasia sp. berumur 3 tahun
0-20 20-60
Liat Liat
0,17 (lambat)
KTD-04 = area ladang penduduk Desa Bangun Rejo
0-20 20-60
Liat Liat
0,45 (lambat)
KTD-05 = area disposal Seam 19
0-20 20-60
Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir
1,20 (agak lambat)
KTD-06 = area stockpile batubara
0-20 20-60
Liat Liat
0,72 (agak lambat)
Lempung berliat Lempung berliat
Permeabilitas cm/jam 1,13 (agak lambat)
Sumber : PT Kitadin (2009)
Sutton dan Dick dalam Yustika dan Tala’ohu (2007) menyatakan bahwa erosi dari areal pertambangan 100 kali lebih besar dibanding saat lahan masih bervegetasi hutan. Erosi pada areal bekas pertambangan batubara pada lereng 15-25% di Kutai Kertanegara juga tergolong sangat berat. Pada areal yang landai, erosi masih tergolong berat, jika penutupan tajuk tanaman masih rendah (PT Kitadin, 2009).
dalam bentuk air asam dan logam berat. Misalnya, aktivitas penambangan emas menghasilkan pencemaran logam berat berbahaya berupa Hg. Aktivitas penambangan umumnya menghasilkan bahan pencemar yang ditunjukkan oleh kadar logam-logam berat dalam tanaman yang melebihi kadar normal (Sitorus et al., 2008).
Pencemaran logam berat
Aspek sosial-ekonomi
fikasi
Beberapa aktivitas penambangan diidentimenghasilkan bahan-bahan pencemar
Penutupan tambang dapat menimbulkan dampak yang menakutkan apabila perekonomian 5
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
masyarakat hanya bergantung pada usaha pertambangan, dan tidak ada penggerak ekonomi lainnya sebagai pengganti. Ketidaksiapan masyarakat sekitar tambang untuk beralih usaha dapat menjadi kendala pemanfaatan lahan bekas tambang termasuk pemanfaatan untuk budidaya pertanian. Lebih jauh, kegiatan usaha penambangan yang telah berjalan lama banyak mempengaruhi aspek budaya, dan juga melemahkan kemampuan (skill) masyarakat untuk melakukan usaha baru. Land tenure
Pemanfaatan areal bekas tambang seringkali terbentur pada permasalahan status lahan. Sebagian besar aktivitas penambangan di Indonesia berada dalam kawasan hutan (Tabel 6). Tabel 6 menunjukkan luas izin penambangan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, yang berjumlah sekitar 5 juta ha. Sekitar 620.000 ha diantaranya merupakan kawasan lindung, yang seharusnya tidak digunakan untuk pemanfaatan lain. Izin penambangan yang berada dalam kawasan hutan produksi dan penggunaan lain, mempunyai peluang dimanfaatkan untuk
kegiatan budidaya, jika memenuhi persyaratan kesesuaian lahan. Namun demikian kepastian hukum dari lahan yang akan digunakan harus ditetapkan terlebih dahulu, sehingga tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan pemerintah, atau pihak lainnya di kemudian hari. Peraturan perundang-undangan
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan agar proses reklamasi pasca penambangan dapat berjalan dengan baik. Dalam UU No. 4 tahun 2009 tentang penambangan bahan mineral dan batubara dinyatakan bahwa pemegang izin usaha penambangan harus melaksanakan reklamasi pasca penambangan. Khusus untuk aktivitas penambangan dalam kawasan hutan, maka pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang juga harus mengacu pada UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur pengelolaan kawasan pasca tambang, terutama ketentuan reklamasinya diantaranya adalah :
Tabel 6. Luas izin penambangan yang bertumpang tindih dengan kawasan hutan Jenis usaha/status lahan
Tahapan kegiatan Eksplorasi
Studi kelayakan
Konstruksi
Produksi
Total luas izin
………………………………………….. ha ……………………………………………. PKP2B 1. Hutan lindung 2. Hutan produksi 3. Hutan produksi terbatas 4. Hutan produksi dikonversi 5. Hutan konservasi 6. Areal penggunaan lain Luas
100.793,916 57.262,197 167.789,868 17.098,647 8.498,044 143.279,328 494.722,000
53.946,824 199.348,721 128.769,676 58.787,171 1.277,572 280.925,636 723.055,600
7.516,035 106.277,061 34.612,950 15.631,258 4.673,391 3.992,305 172.703,000
5.703,019 167.959,794 242.164,454 605.052,433 30.794,895 361.967,389 11.455,218 102.972,294 6.866,222 21.315,229 467.189,242 895.386,511 764.173,050 2.154.653,650
Kontrak karya 1. Hutan lindung 256.418,925 2. Hutan produksi 90.711,041 3. Hutan produksi terbatas 193.073,788 4. Hutan produksi dikonversi 13.534,937 5. Hutan konservasi 30.382,291 6. Areal penggunaan lain 1.250.094,018
32.073,715 10.243,625 25.795,199 15.871,871 775,738 458.844,852
1.410,188 12.049,439 1.746,003 288,341 33.275,029
165.259,186 455.162,014 47.474,265 160.478,370 114.152,649 334.767,639 57.350,658 87.045,807 8.446,283 39.604,312 94.388,960 1.836.602,859
543.605,000
48.769,000
487.072,001 2.913.661,001
Luas
1.834.215,000
Sumber : Direktorat Teknik Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (2009)
6
Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian
• UU No. 11/1967, tentang ketentuan pokokpokok pertambangan. • PP No. 32/1969, tentang pelaksaaan UU No. 11/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. • PP No. 75/2001, tentang perubahan kedua atas PP No. 32/1969. • Kepmen PE No. 1211.K/1995, tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan pertambangan umum. • Keputusan Dirjen Penambangan Umum No. 336/1996 tentang jaminan reklamasi. Walaupun Undang-undang dan PP sudah ada, namun reklamasi di lapangan masih belum terlaksana dengan baik, diduga karena penegakkan hukumnya belum dilaksanakan dengan ketat.
mencerminkan bahwa proses reklamasi harus sudah mulai berjalan sejak proses penambangan dilakukan, karena konservasi tanah pucuk harus dilakukan pada awal penggalian. Namun, banyak perusahaan tambang yang tidak mematuhi hal ini, akibatnya harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya tinggi, dan menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada. Beberapa hal yang harus diperhatikan, adalah: (a) menghindari tercampurnya subsoil yang mengandung unsur atau senyawa beracun, seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan, (b) menggali tanah pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan untuk tumbuh tanaman, (c) menempatkan galian tanah pucuk pada areal yang aman dari erosi dan penimbunan bahan galian lainnya, (d) menanam legum yang cepat tumbuh pada tumpukan tanah pucuk untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah.
REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG Kegiatan pertambangan selalu menimbulkan ganguan lahan dan perubahan bentang alam, baik yang bersifat sementara (misalnya adanya timbunan sisa galian dan limbah tailing) ataupun permanen (misalnya tanah kolong yang sangat dalam, perubahan tubuh tanah, dan hilangnya keragaman hayati). Perbedaan sifat gangguan tersebut memerlukan pendekatan dan teknologi reklamasi yang berbeda.
Penataan lahan
Reklamasi lahan bekas tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat gangguan yang terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses reklamasi). Namun secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai berikut:
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam, antara lain dengan cara: (a) menutup lubang galian (kolong) dengan menggunakan limbah tailing (overburden). Lubang kolong yang sangat dalam dibiarkan terbuka, untuk penampung air; (b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air, (c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi terkendali, diantaranya dilakukan dengan cara meratakan permukaan tanah, jika tanah sangat bergelombang penataan lahan dilakukan bersamaan dengan penerapan suatu teknik konservasi, misalnya dengan penterasan, (d) menempatkan tanah pucuk agar dapat digunakan secara lebih efisien. Karena umumnya jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah pucuk diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat pula diletakkan pada lubang tanam.
Konservasi top soil
Pengelolaan sedimen dan pengendalian erosi
Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk, merupakan lapisan tanah yang perlu dikonservasi, karena paling memenuhi syarat untuk dijadikan media tumbuh tanaman. Hal ini
Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan penangkap sedimen, seperti rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan penangkap yang relatif besar. Cara vegetatif
Teknologi dan langkah-langkah reklamasi
7
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
juga merupakan metode pencegahan erosi yang dapat diterapkan pada areal bekas tambang. Tala’ohu et al. (1998) menggunakan srtip vetiver untuk pencegahan erosi pada areal bekas tambang batu bara. Vetiver merupakan pilihan yang terbukti tepat, karena selain efektif menahan erosi, tanaman ini juga relatif mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk sehingga bertindak sebagai tanaman pioner. Penanaman cover crop
Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan usaha untuk memulihkan kualitas tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena itu keberhasilan penanaman penutup tanah sangat menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca penambangan. Karakteristik cover crop yang dibutuhkan, sebagai berikut: mudah ditanam, cepat tumbuh dan rapat, bersimbiosis dengan bakteri atau fungi yang menguntungkan (rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza), menghasilkan biomassa yang melimpah dan mudah terdekomposisi, tidak berkompetisi dengan tanaman pokok dan tidak melilit. Pada areal bekas tambang nikel PT Inco (Ambodo, 2008) menggunakan dua jenis rumput (Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon) serta dua jenis legum (Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista sp.) sebagai cover crop. Selain itu juga dicampurkan tanaman legum lokal seperti Clotalaria sp., Theprosia sp., Calindra sp., dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis tersebut dalam waktu dua bulan setelah penanaman didapatkan penutupan lebih dari 80%. Kemampuan tanaman penutup untuk mendukung pemulihan kualitas tanah sangat tergantung pada tingkat kerusakan tanah. Santoso et al. (2008) menyatakan bahwa sebaiknya cover crop ditanam pada tahun pertama dan kedua proses reklamasi. Penanaman tanaman pionir
Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit, serta untuk lebih banyak menarik binatang penyebar benih, khususnya burung, lebih baik jika digunakan 8
lebih dari satu jenis tanaman pionir/multikultur (Ambodo, 2008). Beberapa jenis tanaman pionir adalah : sengon buto (Enterrolobium cylocarpum), Albizia (Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), kayu angin (Casuarina sp.), dan Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun kerapatan tajuk yang dibentuk tanaman-tanaman tersebut mampu mencapai 50-60% sehingga kondusif untuk melakukan restorasi jenis-jenis lokal, yang umumnya bersifat semitoleran. Tanaman pioner ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang x dalam sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk dan pupuk organik. Di beberapa lokasi, tanaman pioner ditanam langsung setelah penataan lahan, padahal tingkat keberhasilannya relatif rendah (Puslittanak, 1995). Pada areal bekas timah, meskipun sudah ditanam dengan sistem pot, tanaman tumbuh baik hanya pada awal pertumbuhan, selanjutnya pertumbuhannya lambat dan beberapa diantaranya mati, karena media tanam dalam pot sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso et al. (2008) menyatakan bahwa penanaman tanaman pioner sebaiknya dilakukan pada tahun ke 3-5, setelah penanaman tanaman penutup tanah. Penanggulangan logam berat
Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar di atas ambang batas diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar logam berat tersebut. Vegetasi penutup tanah yang digunakan untuk memantapkan timbunan buangan tambang dan membangun kandungan bahan organik, bermanfaat pula untuk mengurangi kadungan logam berat dengan menyerapnya ke dalam jaringan (Notohadiprawiro, 2006). Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa bahan organik berkorelasi negatif dengan kelarutan logam berat di dalam tanah, karena keberadaan bahan organik tanah meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Salam et al. dalam Haryono dan Soemono, 2009). Hasil penelitian Haryono dan Soemono (2009) menunjukkan pemberian bahan organik dikombinasikan dengan pencucian dapat menurunkan kandungan logam mercuri (Hg) dalam tanah sampai 84%.
Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian
Pada areal dengan kandungan logam berat tinggi sebaiknya jangan dulu dilakukan penanaman komoditas yang dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman yang toleran terhadap logam berat, misalnya di Ameria Serikat ditemukan jenis tanaman pohon hutan, diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang dapat bertahan hidup di areal bekas tambang yang mengandung Pb sampai 30.000 mg/kg dan Zn sampai 100.000 mg/kg. Kemampuan ini ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon dengan mikoriza (Notohadiprawiro, 2006). Perlu diidentifikasi tanaman-tanaman lain yang toleran terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik di wilayah tropis seperti Indonesia. Selain dalam tanah penanggulangan pencemaran logam berat dalam air juga harus dilakukan, tanaman eceng gondok dapat digunakan untuk membersihkan badan air dari logam berat (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut dengan bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen logam berat di lingkungan perairan (Muryidin, 2006) Peluang pemanfaatan lahan ex-tambang untuk pertanian Ditinjau dari aspek teknis, areal bekas tambang dapat digunakan untuk budidaya pertanian jika telah dilakukan perbaikan kondisi lahan, dan selanjutnya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan produktif seperti untuk pertanian. Dari aspek kualitas tanah, kendala utama rehabilitasi lahan adalah rendahnya kandungan unsur hara dan bahan organik, toksisitas unsur tertentu, kemampuan tanah dalam menjerap hara dan air, pH tanah, dan sifat fisik tanah yang sangat buruk. Untuk mempercepat pemulihan kualitas tanah (fisik, kimia dan biologi), juga dapat digunakan bahan pembenah tanah atau amelioran, seperti bahan organik; kapur, tanah liat, dan abu terbang. Senyawa humat dapat
digunakan sebagai pengganti bahan organik (Iskandar, 2008). Zeolit merupakan bahan pembenah mineral yang dapat meningkatkan KTK (kapasitas tukar kation) tanah. Pupuk hayati dapat digunakan untuk memperbaiki sifat biologi tanah, misalnya pemanfaatan fungi mikoriza sebagai pemicu pertumbuhan tanaman (Santoso et al., 2008; Sitorus et al., 2008). Pemanfaatan lahan bekas tambang seyogianya mengarah kepada keberlanjutan perekonomian daerah dan masyarakat, tanpa mengabaikan fungsi lingkungan, diantaranya berupa polikultur perkebunan dengan kehutanan. Sebagai contoh, PT Inco (Ambodo, 2008) telah membuat plot contoh polikultur coklat dan tanaman kehutanan lokal yang bernilai ekonomi tinggi. Dalam percobaan ini, 1 ha cover crop cukup untuk memberi pakan 10 ekor sapi pedaging dari jenis Brahman. Dalam jangka pendek, dihasilkan daging sapi potong, dan kotoran sapi digunakan untuk pupuk tanaman coklat. Dalam jangka menengah (3-4 tahun) hasil tanaman coklat sudah dapat dipetik, dan dalam jangka panjang dapat dipanen kayu-kayu yang bernilai ekonomi tinggi, yang ditanam di selasela tanaman coklat Selain untuk tanaman perkebunan, lahan ex tambang berpeluang dimanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim termasuk padi sawah. Salah satu tantangan untuk mencetak sawah pada areal bekas tambang adalah dalam pembentukan lapisan tapak bajak, yang merupakan komponen penting dalam sistem pengelolaan air pada lahan sawah. Keberhasilan akan sulit diperoleh, apabila hanya dilakukan pelapisan permukaan tanah dengan tanah pucuk. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai manipulasi untuk mempercepat pembentukan lapisan kedap, terutama jika tekstur tanah didominasi pasir. Usaha yang dapat dilakukan adalah pemadatan tanah pada lapisan di bawah lapisan olah, perlu juga dicoba untuk menggunakan bahan perekat seperti semen, atau senyawa organik untuk mempercepat pembentukan lapisan kedap, namun sebelum teknologi ini diterapkan secara luas, diperlukan terlebih dahulu pengkajian lebih mendalam, baik
9
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
aspek teknis ekonominya.
maupun
aspek
perhitungan
Setelah dilakukan penataan lahan untuk sawah, lahan tidak dapat langsung digunakan untuk tanaman padi, perlu direhabilitasi dulu dengan menggunakan tanaman penutup tanah dari jenis kacang-kacangan (legume), sehingga perbaikan status bahan organik akan berjalan secara insitu. Perbaikan iklim mikro dan kondisi biologi tanah juga sudah berjalan, saat penanaman padi dilakukan. Kandungan logam berat dalam tanah maupun air irigasi juga harus diidentifikasi terlebih dahulu, untuk menghindari pencemaran produk pangan yang dihasilkan. Hasil analis jaringan tanaman padi yang dihasilkan pada areal bekas tambang timah di Babel menunjukkan kandungan besi dalam seluruh jaringan tanaman (akar, batang/daun dan beras) melebihi batas yang ditoleransikan. Kandungan Pb dalam akar juga berada di atas ambang batas (Tabel 7). Oleh karena itu untuk mengurangi kadar logam berat dalam tanah penting untuk dilakukan penanaman penutup tanah dalam jangka waktu tertentu tergantung kandungan logam beratnya dan pemberian sumber bahan organik lainnya.
STRATEGI REKLAMASI Internatioanal Institute for Environmental and Development (IIED) dan World Bisiness Counsil for Sustainable Development (WBCSD) dalam Soelarno (2008) menyebutkan bahwa agar pertambangan dapat berkontribusi positif
pada pembangunan berkelanjutan, maka tujuan penutupan tambang dan dampak akibat penutupan tambang harus dipertimbangkan sejak tahap awal proyek. Dalam hal ini, selain diperlukan studi kelayakan membuka tambang (planning for opening), juga harus dilakukan perencanaan menutup tambang (planning for closure). Oleh karena itu, Rick dalam Soelarno (2008) menyatakan bahwa perencanaan penutupan tambang awalnya hanya dititikberatkan pada perlindungan lingkungan saja, namun saat ini sudah diperluas, mencakup juga aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan perencanaan penutupan tambang yang terintegrasi dengan kondisi lingkungan. Sebagai upaya berkelanjutan, rencana rehabilitasi lahan pasca tambang juga harus mengacu kepada undang-undang yang mengatur peruntukan lahan dalam areal konsesi dan kerangka rencana penutupan lahan pasca tambang, yaitu: (1) Restorasi dan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik flora maupun fauna pada kawasan hutan lindung, (2) evaluasi atau studi alternatif pemanfaatan lahan yang berbasis kehutanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat di masa mendatang pada areal APL (areal penggunaan lain) dan hutan produksi (Ambodo, 2008), dan (3) evaluasi atau studi alternatif pemanfaatan lahan yang berbasis pertanian pada areal non kehutanan atau pada areal APL atau hutan produksi yang secara peraturan perundangundangan dan kesesuaian lahan memungkinkan untuk dikonversi.
Tabel 7. Kadar logam berat dalam tanaman dan kadar yang dapat ditoleransikan Unsur
Fe Mn Cu Pb
Kandungan dalam Akar
Batang dan daun
Beras
…………………………………… ppm …………………………………… 26.471,67 2,784,67 232,33 1.500 55,67 245,00 106,00 2.000 1,67 1,33 1,00 100 17,33 3,67 0,00 10
* Sumber : Maekert (1994) dalam Sitorus et al. (2008)
10
Kadar yang ditoleransikan*
Ai Dariah et al. : Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian
KESIMPULAN 1. Areal pertambangan resmi yang dilengkapi dengan izin usaha penambangan di Indonesia jumlahnya cukup luas, diantaranya sekitar 2,2 juta ha di bawah Perjanjian Pengusahaan Batu Bara (PKP2B), dan 2,9 juta ha berdasarkan Kontrak Karya (KK). Sebagian lahan tersebut sudah selesai ditambang, dan perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak merusak lingkungan hidup. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah pemetaan lahan-lahan bekas tambang tersebut, yang dilengkapi dengan status kepemilikan (land tenure) atau penguasaan lahannya, agar pemanfaatan selanjutnya baik untuk pertanian maupun usaha lain, dapat berjalan berkelanjutan. 2. Upaya pemanfaatan lahan bekas tambang perlu memperhatikan aspek-aspek teknis (seperti kualitas tanah, erosi dan pencemaran logam berat), dan non teknis (kesiapan masyarakat beralih usaha, kekurangan tenaga trampil, penyediaan dana, dan sebagainya). Oleh karena itu, Departemen Teknis dan Pemda bersangkutan perlu menyiapkan perencanaan yang matang dan komprehensif meliputi semua aspek penting tersebut, agar pelaksanaan reklamasi lahan dan pemanfaatan selanjutnya dapat berjalan secara efektif. 3. Penentuan jenis pemanfaatan lahan, apakah untuk tanaman pangan, perkebunan, perikanan, agrowisata, atau lainnya, antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Bagi Provinsi Bangka-Belitung misalnya, yang produksi beras tahunannya hanya cukup untuk konsumsi penduduk dalam waktu satu bulan saja, maka pemilihan reklamasi lahan untuk pertanian tanaman pangan merupakan satu alternatif yang tepat. Namun demikian, untuk mereklamasi lahan bekas tambang timah menjadi sawah subur memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta perlu didukung oleh teknologi pengelolaan lahan dan air yang lebih maju, lebih rumit dari teknologi tradisional.
4. Persyaratan pengelolaan lahan tambang di masa yang akan datang, tidak cukup hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan penutupannya (planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin penambangan. Pengawasan baik saat pelaksanaan penambangan maupun reklamasi harus dilakukan secara baik.
DAFTAR PUSTAKA Ambodo, A.P. 2008. Rehabilitasi lahan pasca tambang sebagai inti dari rencana penutupan tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPMIPB. Bogor, 22 Mei 2008. Direktotat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, Depertemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2006. Peraturan tentang Reklamasi Tambang. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Rehablitasi Lahan Tambang. 11 Pebruari 2006, Kampus UGM Bulaksumur, Yogyakata. Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi. 2009. Rekapitulasi Lahan Bekas Tambang. Direktotat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, Depertemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Haryono dan S. Soemono. 2009. Rehabilitasi tanah tercemar mercuri (Hg) akibat penambangan emas dengan pencucian dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal Tanah dan Iklim (29):53-64. Isa, I.T. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi tanah pertanian. Hlm. 17 Dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
11
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Iskandar. 2008. Rekayasa perbaikan kualitas tanah pada kegiatan reklamasi lahan bekas tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPM-Institut Pertanian Bogor. Bogor, 22 Mei 2008. Mulyanto, B. 2008. Hubungan fungsi tanah dan kelembagaan pengelolaan kawasan pasca tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPM-Institut Pertanian Bogor. Bogor, 22 Mei 2008. Menege, I. 2008. Reklamasi dan penutupan tambang secara progresif. 2008. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPM-Institut Pertanian Bogor. Bogor, 22 Mei 2008. Mursyidin, D.H. 2006. Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Biologi FMIPA Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia. Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan Pasca Penambangan, Departemen Ilmu Tanah, Universitas Gajah Mada. Puslitanak. 1995. Studi Upaya Rehabilitasi Lingkungan Penambangan Timah (Laporan Akhir Penelitian). Kerjasama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. PT
12
Kitadin. 2009. Summary data rona lingkungan awal dan kondisi lahan bekas tambang batubara PT Kitadin di Kabupaten Kutai Kartanegara. 2009. Dokumen Rencana Penutupan Tambang PT Kitadin.
Santoso, E., Pratiwi, M. Turjaman, C.H. Siregar, A. Subiakto, R.S.B. Irianto, R.R. Sitepu, dan Anwar. 2008. Input teknologi untuk rehabilitasi lahan pasca penutupan tambang (mine closure). Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPM-IPB. Bogor, 22 Mei 2008. Sitorus, S.R.P., E. Kusumastuti, dan L. Nurbaeti Badri. 2008. Karakteristik dan teknik rehabilitasi lahan pasca penambangan timah. Jurnal Tanah dan Iklim (27):5774. Soelarso, S.W. 2008. Perencanaan reklamasi dan penutupan tambang sebagai bagian integral perencanaan tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPM-IPB. Bogor, 22 Mei 2008. Tala’ohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, dan S. Gunawan. 1995. Sifat fisikokimia tanah timbunan batubara (PT BA) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hlm 39-48. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku IV. Bidang Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat. Puslitbangtanak. Cisarua, 26-28 September 1995. Yustika, R.D. dan S.H. Tala’ohu. 2007. Pengelolaan penambangan batubara yang berpihak pada lingkungan. Hlm 3752. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Buku IV. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor 7-8 November 2007.
ISSN 1907-0799
STRATEGI EFISIENSI PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK UNTUK KESUBURAN DAN PRODUKTIVITAS TANAH MELALUI PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA HAYATI TANAH Efficiency Strategy of Organic Matter Use for Soil Fertility and Productivity by Soil Biology Resources Empowerment Subowo G. Balai Penelitian Tanah Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
ABSTRAK Indonesia merupakan negara kepulauan di kawasan vulkanik tropika basah memiliki keanekaragaman hayati tanah, laju pelapukan dan erosi tanah tinggi, namun memiliki kesuburan dan kandungan bahan organik tanah yang rendah. Perbaikan kesuburan tanah untuk tanaman secara langsung dengan pemberian bahan organik memerlukan jumlah yang besar dan mahal. Masalah yang dihadapi kemampuan produksi bahan organik rendah, laju pelapukan tinggi, diperlukan dalam jumlah besar dan berada di wilayah kepulauan, sehingga sulit dalam pengadaan dan konservasi bahan organik di dalam tanah serta biaya transportasi mahal. Pemberian bahan organik dengan tujuan untuk pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah potensial diupayakan. Selain memerlukan dosis pemberian bahan organik yang relatif lebih rendah juga dapat mencegah munculnya serangan hama penyakit tular tanah dan meningkatkan konservasi bahan organik tanah. Dalam menentukan evaluasi kesesuaian lahan di kawasan vulkanik tropika basah hendaknya perlu mempertimbangkan adanya peranan populasi organisme tanah untuk mendukung produksi tanaman dan menjaga kelestarian kandungan bahan organik tanah. Kata kunci : Kesuburan dan produktivitas tanah, keaneka-ragaman hayati, bahan organik, pemberdayaan hayati tanah
ABSTRACT Indonesia is an archipelago in wet tropical volcanic regions have high soil biodiversity, high rate of weathering and high of soil erosion, but low on soil fertility and soil organic matter content. Improvement of soil fertility to plant directly with the provision of organic materials requires a large amount and expensive. Problems faced by low organic matter production ability, high decomposition rate, bulky and is in the archipelago, making it difficult in the procurement and conservation of organic matter in soil and expensive transportation costs. Provision of organic materials with the aim of empowering the soil biology resources to enhance soil fertility potential pursued. In addition to the dose of organic matters required is relatively lower may also prevent the emergence of soil born diseases are also increasing of soil organic matter conservation. In determining land suitability evaluation in wet tropical volcanic region should consider the role of soil organism populations to support crop production and protected soil organic matter content. Keywords : Soil fertility and productivity, biodiversity, organic matter, empowering soil biology
K
awasan tropika basah yang berada antara 23o30’ Lintang Utara dan 23o30’ Lintang Selatan memiliki pasokan sinar matahari dan curah hujan yang besar sepanjang tahun. Laju pelapukan mineral ataupun bahan organik (BO), erosi tanah, dan pencucian hara berlangsung intensif serta memiliki laju fotosintesis dan fotorespirasi yang tinggi. Sebagian besar tanah lahan kering memiliki kesuburan tanah dan kandungan bahan organik rendah. Fotorespirasi yang tinggi mengakibatkan produk biomassa (bahan organik) yang dihasilkan yang merupakan selisih antara hasil fotosintesis terhadap fotorespirasi per individu
tanaman/hewan relatif rendah/kecil. Pengadaan biomasa sebagai sumber bahan organik tanah secara insitu sangat terbatas. Dukungan kesuburan tanah untuk pertumbuhan tanaman semusim dengan intensitas panen tinggi menjadi rendah. Sedang tanaman tahunan berakar dalam dan permanen memiliki penyanggaan relatif lebih baik. Untuk mendukung produksi pangan yang merupakan kebutuhan pokok dengan berbasis pada tanaman semusim banyak menghadapi hambatan. Tanpa pengkayaan bahan organik yang memiliki kandungan hara lengkap, kesuburan dan produktivitas tanah sulit ditingkatkan. Masalah yang dihadapi jumlah 13
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
bahan organik yang harus diberikan cukup besar, karena kandungan hara pada bahan organik relatif rendah dan laju pelapukan cepat serta mudah tercuci. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang berada di tropika basah. Selain memiliki laju pelapukan, erosi, dan pencucian hara tinggi juga memiliki laju pengkayaan mineral dan keanekaragaman jenis organisme (megabiodiversity) yang tinggi. Secara potensial kandungan mineral/hara dalam tanah pada prinsipnya telah ada, namun tingkat ketersediaannya sangat beragam dan tergantung pada kondisi lahan dan kemampuan tanaman melakukan serapan. Dengan mempertimbangkan dukungan sumberdaya seperti ini Indonesia memiliki peluang yang baik untuk pengembangan pertanian dengan berbasis pada pemanfaatan sumberdaya tanah/lahan. Dalam batas tertentu laju pelapukan tinggi potensial dimanfaatkan untuk mempercepat pelapukan mineral-mineral primer, sehingga hara yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk pertanian. Pengkayaan hara/bahan organik di dalam tanah dapat meningkatkan aktivitas organisme tanah yang pada tahap selanjutnya akan memperbaiki dan mempertahankan kesuburan tanah. Beberapa organisme tanah mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui hasil samping yang dihasilkan, seperti organisme pelarut fosfat ataupun penambat N-bebas yang hidup bebas/soliter ataupun yang hidup bersimbiose secara mutualistis dengan tanaman. Benang-benang miselium/hifa dari jamur benang (fungi) juga dapat mengikat agregat-agregat tanah untuk saling berikatan, sehingga tidak mudah rusak dan tahan terhadap tekanan fisik/ erosi. Fauna tanah yang hidup di dalam tanah dengan menggali lubang dan mencampur tanah dapat memperbaiki aerasi dan kesuburan tanah. Sebaliknya juga terdapat organisme tanah yang merugikan tanaman, seperti organisme hama ataupun penyakit tanaman. Untuk itu selektivitas dalam pemberdayaan organisme tanah sesuai dengan yang diharapkan perlu diperhatikan, agar nilai manfaat dari aktivitas organisme target
14
tersebut dapat membantu produktivitas tanah.
memperbaiki
Tujuan dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang pentingnya efisiensi penggunaan bahan organik di kawasan megabiodiversity tropika basah yang tidak hanya sebagai sumber hara, namun juga berperan penting dalam mendukung perbaikan aktivitas organisme tanah. Meningkatnya aktivitas organisme tanah yang mampu mencegah laju penyusutan bahan organik, memperbaiki aerasi dan agregat tanah, meningkatkan ketersediaan hara, dan mencegah berkembangnya hamapenyakit tular tanah akan meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah atau dosis pemberian bahan organik tanah untuk meningkatkan produksi tanaman. Kandungan bahan organik dan kesuburan tanah di Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan tropika basah yang memiliki tanah mineral bermasalah dalam kaitannya dengan tingginya laju dekomposisi bahan organik dan pencucian hara. Bahan organik tanah umumnya rendah (<2%) dan pH tanah masam. Las dan Setyorini (2010) menyatakan bahwa sekitar 73% lahan pertanian di Indonesia ± 73% memiliki kandungan C-organik tanah <2,00%. Sanchez (1976) mengatakan bahwa rendahya kandungan bahan organik tanah tropika disebabkan oleh temperatur yang tinggi dan cepatnya laju dekomposisi. Sudriatna dan Subowo (2007) juga mendapatkan bahwa pengaruh residu bahan organik yang diberikan sebanyak 5 t/ha pada tanaman tomat selama empat bulan di Bogor sudah tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan kacang hijau yang ditanam pada musim berikutnya. Bahkan Kariada dan Aribawa (2009) mendapatkan bahwa pemberian pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap hasil gabah kering panen. Kasno et al. (2009) juga mendapatkan bahwa pemberian pupuk kandang sebanyak 10 t/ha tidak meningkatkan produksi
Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik
padi sawah, namun neraca hara P dan K menjadi positif. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penambahan hara P dan K dalam tanah namun belum mempengaruhi produksi padi. Efisiensi penggunaan bahan organik sebagai pupuk untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah perlu diupayakan dengan tetap memperhatikan nilai fungsi bahan organik yang tidak hanya sebagai fungsi fisiko-kimia tetapi juga fungsi hayati sebagai sumber hara dan energi bagi organisme tanah.
N/ha/musim diperlukan pupuk kotoran unggas ± 67 t/ha/musim atau 151 t/ha/musim jerami padi. Hasil penelitian Sutono et al. (2009) dengan memberikan bahan organik dari pupuk kandang didapatkan bahwa hubungan antara bahan organik tanah dengan produksi jagung pada tanah terdegradasi berat dengan C-organik 0,68% didapatkan persamaan regresi : Y (produksi jagung) = -1,0856x2 + 6,2855x + 2,1079
Sebagai fungsi keharaan, pelepasan hara/ mineral diawali dengan adanya mineralisasi oleh pelapukan/perombakan melalui proses fisikokimia ataupun biologi dengan dihasilkan unsurunsur pembentuknya dalam bentuk ion (kation/ anion). Swift et al. (1979) menyatakan dekomposisi bahan organik merupakan proses pemecahan integratif kompleks di antara organisme (makro dan mikro organisme), faktor lingkungan (utamanya temperatur dan kelembaban) dan jenis bahan organik. Kandungan hara makro pada beberapa sumber bahan organik tanah sebagian besar <1,0% (Tabel 1). Hasil dekomposisi dihasilkan bahan mudah larut dan sisa padatan serta jaringan organisme hidup. Melalui proses pertukaran aktif maupun pasif, bahan mudah larut yang ada dalam tanah terserap ke jaringan tanaman melalui proses pertukaran ion dan selanjutnya dimobilisasi dalam metabolisme tanaman. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman padi sawah sebanyak 100 kg
R2 = 0,9011 Dari nilai persamaan kwadratik ini menunjukkan bahwa puncak produksi jagung dicapai pada kandungan 2,9% C-organik tanah dengan puncak produksi 11,21 t/ha. Sedang untuk kandungan C-organik 1% dicapai produksi 7,31 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produksi jagung dari C-organik 1,0% menjadi 2,9% terjadi peningkatan produksi ± 3,90 t/ha atau dengan pemberian bahan organik sebanyak ± 65,36 t/ha dapat memberikan hasil jagung 3,90 t/ha. Sementara pengadaan pupuk kandang tersebut juga membutuhkan hijauan pakan yang besarnya ± 2 kali lipat (± 130,72 ton hijauan). Sementara potensi kemampuan produksi hasil samping/ limbah bahan organik dari tanaman semusim relatif rendah <10 t/ha. Bahkan apabila mempertimbangkan nilai laju perkembangan/ penyusutan alami bahan organik tanah pertanian kawasan tropika basah (internal rate natural of increase) yang bernilai <1, akan memerlukan tambahan bahan organik tanah yang lebih besar
Tabel 1. Kandungan hara makro beberapa sumber bahan organik tanah No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kandungan hara makro
Jenis bahan organik
Jerami padi Sekam Batang jagung Serbuk kayu Kotoran sapi perah Kotoran sapi daging Kotoran unggas Kotoran domba
N
P
K
Ca
...................... % ...................... 0,66 0,07 0,93 0,29 0,49 0,05 0,49 0,06 0,81 0,15 1,42 0,24 1,33 0,07 0,60 1,44 0,53 0,35 0,41 0,28 0,65 0,15 0,30 0,12 1,50 0,77 0,89 0,30 1,28 0,19 0,93 0,59
Sumber : Las dan Setyorini (2010)
15
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
untuk kebutuhan pertanaman berikutnya. Sholeh et al. (1997) mendapatkan bahwa pemberian bahan organik sebanyak 10 t/ha pada tanah Ultisols Lampung mampu meningkatkan produksi padi gogo, namun residu bahan organik yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ketela pohon yang ditanam pada musim berikutnya (Tabel 2). Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa untuk musim tanam pertama (MT I) pemberian bahan organik tanpa penambahan pupuk N (Urea) memberikan produksi gabah padi gogo lebih rendah dibanding dengan yang mendapat tambahan Urea. Sedangkan pada musim taman kedua (MT II) residu pemberian bahan rorganik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi ketela pohon. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian bahan organik tanah dengan orientasi semata-mata untuk mendukung produksi tanaman secara langsung sangat kurang efisien. Untuk itu pemberian bahan organik tanah untuk tanaman semusim di kawasan vulkanik tropika basah perlu ditingkatkan nilai efektivitasnya melalui pemberdayaan potensi sumberdaya hayati tanah.
Peranan bahan organik terhadap aktivitas organisme tanah Masalah yang penting dalam usahatani di kawasan tropika basah adalah rendahnya kandungan hara tanah, ketersediaan bahan organik tanah, dan kemampuan tanah menahan air (William and Joseph, 1976). Pemberian bahan organik ke dalam tanah akan membantu mengurangi erosi, mempertahankan kelembaban tanah, mengendalikan pH tanah, memperbaiki drainase, mencegah pengerasan dan retakan, meningkatkan kapasitas pertukaran ion, dan meningkatkan aktivitas biologi tanah (Vidyarthy and Misra, 1982). Semua peran tersebut dapat berlangsung setelah bahan organik mengalami perombakan oleh aktivitas organisme tanah. Tanpa adanya aktivitas organisme tanah bahan organik tersebut akan tetap utuh (tidak terurai) di dalam tanah dan dapat mengganggu sistem produksi tanaman seperti halnya yang banyak terjadi di kawasan subtropika. Lal (1995) menyatakan penurunan jumlah dan kualitas bahan organik serta aktivitas biologi maupun
Tabel 2. Rata-rata produksi padi gogo (MT I) dan ketela pohon (MT II) pada penelitian pengaruh pemberian beberapa bahan organik pada tanah Ultisols Lampung Perlakuan ** Petak utama : BO (10 t/ha) Anak petak : urea (kg/ha) Tanpa BO (kontrol)
Produksi* 0
Padi gogo (MT I) 50 100
200
0
Ketela pohon (MT II) 50 100
200
.................................................. t/ha .................................................. 46,6 b 52,1 b 55,5 a 53,3 ab 29,4 a 31,2 a 34,0 a 37,3 a B A A A A A A A
BO kotoran sapi
57,0 a A
59,8 a A
57,5 a A
58,6 a A
31,5 a A
34,3 a A
31,5 a A
35,2 a A
BO sisa tanaman
51,0 ab A
51,6 b A
52,4 a A
51,7 a A
32,2 a A
36,0 a A
37,6 a A
35,4 a A
BO Flemingia congesta
49,8 ab A
51,9 b A
54,6 a A
53,9 a A
30,4 a A
34,2 a A
36,9 a A
37,8 a A
51,1
53,9
55,0
54,4
30,9
33,9
35,0
36,4
Rata-rata produksi
Sumber : Sholeh et al. (1997) Keterangan : * Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dari masing-masing musim tanam tidak berbeda nyata sampai taraf nyata 5%, huruf kecil antar kolom (petak utama) dan huruf besar antar baris (anak petak). ** Perlakuan pemberian bahan organik (petak utama) dan N (urea) (anak petak) hanya diberikan pada MT I, kecuali pemberian BO sisa tanaman diberikan hanya pada MT II dengan menggunakan jerami hasil panen MT I. Pupuk dasar diberikan setiap musim tanam dengan dosis 200 kg TSP/ha dan 100 kg KCl/ha.
16
Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik
keanekaragaman spesies fauna tanah merupakan bentuk degradasi tanah yang penting untuk tanah tropika basah. Sebagai wilayah megabiodiversity Indonesia layak memberdayakan potensi sumberdaya hayati tanah tersebut untuk memberikan sumbangan yang besar dalam upaya meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Dalam evaluasi kesesuaian lahan yang selama ini dianut di Indonesia juga disusun berdasarkan beberapa parameter kesuburan tanah dan lahan dengan berbasis sifat fisikokimia tanah yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Kriteria parameter kesesuaian lahan yang digunakan antara lain: ketinggian tempat, kelerengan, zona
agroklimat, drainase, potensi banjir, kedalaman efektif, toksisitas, dan kesuburan tanah. Sedangkan aspek potensi biologi tanah yang tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman belum dipertimbangkan dalam kriteria kesuburan tanah (Tabel 3). Hal ini terjadi karena kriteria tersebut sebagian besar didasarkan pada kondisi yang ada di kawasan subtropika yang memiliki kandungan C-organik tanah tinggi. Akibatnya kriteria kandungan bahan organik (C-organik) tanah yang mampu memberikan produksi tanaman secara nyata memiliki kandungan rendah pada tingkat >2,0% dan tinggi pada >3,0%. Sementara tanah-tanah pertanian di Indonesia >70% berada pada kandungan <2%
Tabel 3. Kriteria kesuburan tanah mineral Sifat tanah I. Sifat fisika : 1. Pori aerasi (%) 2. Pori pemegang air tersedia (%) 3. Permeabilitas (cm/jam) 4. Erodibilitas II. Sifat kimia : 5. C (%) 6. N (%) 7. C/N 8. P2O5 HCl 25% (mg/100g) P2O5 Bray (ppm P) P2O5 Olsen (ppm P) 9. K2O5 HCl 25% (mg/100g) 10. KTK(CEC) (me/100g tanah) 11. Susunan kation : K (me/100g) Na (me/100g) Mg (me/100g) Ca (me/100g) 12. Kejenuhan basa (%) 13. Kejenuhan alumunium (%) 14. Cadangan mineral (%) 15. Salinitas DHL ECEx103 (mmhos/cm) 16. Persentase natrium dapat tukar (ESP) 17. Kemasaman 18. pH (H2O)
Rendah 5 – 10 5 – 10 <2,00 <0,200
Sedang 11 11 2,02 0,21
– – – –
15 15 6,35 0,32
Tinggi >15 16 – 20 6,36 – 12,70 >0,33
1,0 – 2,0 0,1 – 0,2 5 – 10 15 – 20 5–7 5 – 10 10 – 20 5–6
2,01 – 3,00 0,21 – 0,50 11 – 15 21 – 40 8 – 10 11 – 15 21 – 40 17 – 24
3,01 0,51 16 41 11 16 41 25
– – – – – – – –
5,00 0,75 25 60 15 20 60 40
0,1 – 0,3 0,1 – 0,3 0,4 – 1,0 2–5 20 – 40 5 – 10 5 – 10 1–2 2–5 Masam 4,5 – 5,5
0,40 – 0,50 0,40 – 0,70 1,10 – 2,00 6 – 10 41 – 60 11 – 20 11 – 20 2–3 5 – 10 Agak masam 5,6 – 6,5
0,60 – 1,00 0,80 – 1,00 2,10 – 8,00 11 – 20 61 – 80 20 – 40 20 – 40 3 –4 10 – 15 Agak alkalis 7,6 – 8,5
Sumber : Pusat Penelitian Tanah (1983) Catatan : Penilaian ini hanya didasarkan pada sifat umum tanah secara empiris dan belum dihubungkan dengan kebutuhan tanaman.
17
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
dan bahkan banyak yang <1,0%. Untuk itu pengaruh pemberian bahan organik tanah di Indonesia yang kaya sumberdaya hayati tanah perlu mempertimbangkan peranan organisme tanah yang selain mampu memperbaiki kesuburan tanah juga memperpanjang daur energi/hara di dalam tanah melalui hierarhi rantai makanan (food web) yang pada gilirannya akan menghambat pelepasan karbon (emisi karbon) ke udara. Kriteria populasi biologi tanah, utamanya organisme yang memiliki andil dalam perbaikan kesuburan tanah di kawasan vulkan tropika basah hendaknya juga dipertimbangkan dalam menentukan tingkat kesuburan dan kesesuaian lahan untuk mendukung produksi tanaman. Beberapa peranan organisme tanah dalam meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah antara lain adalah : Perbaikan sifat fisik tanah
Masalah kesuburan tanah di kawasan tropika basah yang sementara ini sulit diatasi dengan upaya pengelolaan lahan, baik melalui pengolahan tanah ataupun pemupukan adalah perbaikan sifat fisik tanah. Kerusakan sifat fisik tanah ini terjadi akibat tingginya laju pelapukan bahan organik, erosi dan iluviasi/eluviasi liat serta sistem pengolahan tanah yang kurang tepat. Tanah lapisan atas memiliki kandungan bahan organik rendah dan terdapat akumulasi liat di lapisan bawah. Tanah didominasi oleh Ultisols, Inseptisols, dan Oxisols. Untuk memperbaiki kondisi fisik tanah ini dapat diupayakan dengan perbaikan stabilitas agregat tanah, perbaikan aerasi tanah di lapisan yang memadat dan pencampuran kembali tanah lapisan bawah dengan lapisan atas. Erfandi et al. (2004) mendapatkan bahwa pemberian bahan organik pada tanah Ultisols dapat memperbaiki berat isi, pori aerasi, air tersedia, dan stabilitas agregat tanah lapisan 0 – 20 cm. Lebih dari 50% pembentukan agregat tanah di Eropa dilakukan oleh cacing tanah, sehingga dapat meningkatkan ruang pori, meningkatkan kapasitas tanah menahan air dan laju infiltrasi (Strok and Eggleton, 1992). Keadaan ini menunjukkan bahwa perbaikan ini hanya dapat 18
berlangsung apabila ada dukungan dari aktivitas populasi organisme tanah. Dengan perbaikan ini, maka tanah lapisan atas akan lebih tahan terhadap erosi dan juga dapat meningkatkan potensi menyangga kapasitas pertukaran ion. Adanya lubang-lubang cacing tanah ataupun dari fauna tanah lainnya dapat meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air, sehingga dapat mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah. Subowo et al. (2002) mendapatkan bahwa populasi cacing tanah geofagus Pheretima hupiensis pada tanah Ultisols berkorelasi nyata dan negatif dengan ketahanan tanah serta berkorelasi positif dengan kadar air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan cacing tanah mampu menurunkan kepadatan tanah dan meningkatkan potensi ketersediaan air bagi tanaman. Cacing tanah geofagus dengan kemampuannya mencerna tanah dan melepaskan kembali dalam bentuk kascing yang memiliki stabilitas agregat tinggi, selain dapat memperbaiki aerasi tanah (melalui lubang-lubang yang dihasilkan) juga dapat mengembalikan kandungan liat yang tereluviasi dari lapisan bawah ke lapisan atas. Kascing merupakan makroagregat yang stabil dan dapat bertahan lebih dari 1 tahun (Blanchart et al. 1991 dalam Martin, 1991). Demikian juga dengan aktivitas pencernaannya yang mampu mencampur bahan organik dan mineral tanah, cacing tanah dapat mencegah kehilangan bahan organik melalui erosi dan pencucian. Terbentuknya lubang-lubang pada lapisan argilik juga akan memperbaiki aerasi tanah dan juga memberi peluang akar tanaman untuk mampu menembus lapisan argilik, memperluas daerah jelajah akar dan mempertahankan tegaknya tanaman. Benang-benang hifa dari jamur benang (fungi) juga dapat memperkuat ikatan antar partikel tanah, sehingga dapat tahan terhadap gerusan erosi ataupun tekanan fisik lainnya. Peningkatan ketersediaan hara tanah
Tanaman merupakan organisme authotrof yang dalam pertumbuhannya memerlukan hara dalam bentuk anorganik (ion). Pelepasan hara
Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik
tanaman yang berasal dari bahan induk tanah ataupun dari bahan organik diawali oleh proses demineralisasi. Proses demineralisasi ini berlangsung secara fisiko-kimia ataupun oleh aktivitas biologis yang dalam kenyataan di lapangan kedua proses ini selalu berlangsung bersama-sama saling melengkapi satu dengan yang lain. Tanpa adanya peran organisme tanah mineralisasi/dekomposisi mineral ataupun bahan organik tanah berlangsung lambat. Adanya aktivitas dekomposisi bahan organik, hara-hara yang terkandung di dalamnya dilepaskan dalam bentuk tersedia bagi tanaman, baik hara makro maupun mikro. Selama dekomposisi bahan organik unsur hara Na, Ca, Mg, dan K terus dilepaskan sebagai kation-bebas, tetapi Fe dan Al banyak dalam ikatan, dan N banyak diasimilasi dalam sel mikroba (Coleman and Crossley, 1995). Edwards dan Lofty (1977) juga menyatakan bahwa bahan tanah mineral maupun bahan organik yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran dan hara yang lebih tersedia bagi tanaman. Diperkirakan cacing tanah mempunyai andil pengkayaan N tanah sebesar 3,41 – 4,1 g/tahun melalui sekresi, lendir, dan kotorannya/ kascing (Curry et al., 1995). Selain itu beberapa organisme tanah mampu memanfaatkan hara dari udara seperti N2-bebas yang hidup bebas ataupun bersimbiose dengan tanaman dan selanjutnya dapat tersedia bagi tanaman. Organisme tanah yang mampu menambat N2-udara melalui simbiose dengan tanaman adalah bakteri Rhizobium bersimbiose dengan tanaman kacang-kacangan (legume). Sedang yang hidup bersimbiose dengan Azolla adalah dari kelompok blue green algae (BGA), seperti Anabaena, Nostoc, Oscillatoria, dan lainlain. Organisme penambat N2-udara yang hidup bebas (soliter) antara lain dari kelompok BGA yang hidup di lahan basah dan Azotobacter (bacteria). Juga terdapat fungi Mikorisa yang dapat hidup di dalam akar tanaman hidup (endotropik) ataupun hidup bebas di tanah (ektotropik) dapat meningkatkan serapan dan ketersediaan P untuk tanaman serta melindungi akar dari serangan patogen (Alexander, 1977).
Keberadaan organisme tanah ini mampu memperkaya hara tanah untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Pemberian pupuk organik (20 t/ha) dan pupuk buatan/anorganik serta kombinasinya pada tanah lahan kering masam di Tamanbogo (Lampung) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat kimia tanah termasuk C-organik tanah (Yusnaini et al., 2004). Namun berpengaruh nyata terhadap populasi cacing tanah dengan populasi tertinggi pada perlakuan pemberian kotoran ayam. Populasi Mikoriza Vesikular Arboskular (MVA) dapat dijumpai pada seluruh perlakuan, dan terdapat beda nyata dengan produksi jagung. Produksi jagung tertinggi pada perlakuan kotoran ayam 50% + pupuk NPK 50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik ataupun pupuk buatan terhadap produksi tanaman tidak semata-mata disebabkan oleh perbaikan sifat kimia ataupun kandungan C-organik tanah, tapi juga dipengaruhi perkembangan populasi biologi tanah (cacing tanah dan VMA). Konservasi C-organik tanah dan menekan emisi CO2
Belakangan ini isue pemanasan global telah banyak mendapatkan perhatian serius dari beberapa kalangan. Sebagai penyebab terjadinya pemanasan global adalah akibat terbukanya lapisan pelindung ozon sebagai akibat tingginya emisi gas CF, CO2, CH4, NOx , SOx, dan lainlain. Pembukaan lahan untuk pertanian ataupun pengolahan tanah secara intensif merupakan salah satu penyebab meningkatnya emisi CO2. Indonesia sebagai salah satu negara tropika basah dengan laju pelapukan bahan organik tanah yang tinggi disinyalir merupakan salah satu negara yang memiliki andil dalam peningkatan emisi CO2. Dalam proses dekomposisi bahan organik oleh organisme heterotrof selain dihasilkan kompos juga dilepaskan CO2 sebagai hasil samping oksidasi bahan organik untuk menghasilkan energi. C6H12O6 + O2 → 6CO2 ↑ + 6H2O + Energi
19
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Konversi pemanfaatan bahan organik oleh organisme tanah untuk menghasilkan energi dan sintesis bahan-bahan pembentuk sel baru untuk mempertahankan kehidupannya (Alexander, 1977). Hasil samping yang dihasilkan dalam proses dekomposisi bahan organik antara lain CO2, asam-asam organik, alkohol, dan lain-lain. Dekomposisi bahan organik pada kondisi aerobik 20-40% C-organik terasimilasi dalam sel dan sisanya sebagai CO2 ataupun produk samping. Diantaranya C yang terasimilasi dalam pembentukan sel baru bagi bakteri aerobik sebanyak 5-10% dan pada bakteri anaerobik hanya sebanyak 2-5%. Dalam proses dekomposisi bahan organik C banyak hilang oleh respirasi mikroba tanah, sedangkan N banyak terasimilasi dalam sel mikroba dan dekomposisi akan terhenti setelah mencapai kesetimbangan C:N seperti pada biomasa mikroba (Coleman and Crossley, 1995). Sementara dari jenis fungi dapat mengendalikan C-organik tanah, karena dalam proses dekomposisi bahan organik tanah pelepasan C sebagai CO2 sangat rendah dan 3040% C-organik tersimpan sebagai meselium (Alexander,1977). Sedang fauna tanah yang berperanan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah adalah dari kelompok meso dan mikro fauna, termasuk cacing tanah. Fauna tanah berperanan dalam pemecahan bahan oganik secara fisik menjadi ukuran yang lebih halus dan dilepaskan kembali sebagai kotoran (Walters, 1991 dalam Coleman and Crossley, 1995). Bahkan untuk jaringan dari insekta tanah banyak dibangun dari bahan kitin dan sangat tahan terhadap pelapukan, sehingga dapat melindungi C-organik dalam tanah dan terhindar dari pelepasan sebagai CO2. Makulec dan
Kusinha (1997) juga mendapatkan bahwa kandungan C pada kascing selalu lebih tinggi (± 2 kali) dari pada kandungan C tanah di sekitarnya. Martin (1991) juga mendapatkan bahwa mineralisasi C pada kascing 4 kali lebih lambat (3%/th) dibanding pada tanah (11%/th). Pada saatnya setelah organisme tanah mati pada prinsipnya juga merupakan salah satu sumber bahan organik tanah. Masalah yang dihadapi pada tanah pertanian yang mengalami pengolahan tanah ataupun aplikasi pestisida intensif dan memiliki penutupan rendah menekan berkembangnya populasi fauna tanah, sehingga aktivitas perombakan bahan organik dilakukan langsung oleh mikroorganisme tanah dan laju penyusutan bahan organik tanah menjadi lebih cepat. Hasil inventarisasi populasi cacing tanah Pheretima hupiensis pada tanah Ultisols didapatkan bahwa pada tanah terbuka (padang rumput) dan intensitas pengolahan tinggi (lahan padi gogo) mempunyai populasi lebih rendah dibanding pada tanah yang lebih permanen dan berpenutupan lebih tinggi, seperti kebun karet, pisang, sengon, dan belukar (Tabel 4). Sejalan dengan upaya efisiensi penggunaan bahan organik tanah dengan memberdayakan aktivitas organisme tanah, maka peningkatan populasi fauna tanah (meso dan mikro fauna) ataupun fungi tanah yang mempunyai andil dalam memperbaiki kesuburan tanah juga dapat mencegah kehilangan Corganik tanah dan menekan pelepsan emisi CO2. Untuk itu pemberdayaan sumberdaya hayati tanah, utamanya fauna dan fungi tanah akan mampu mempertahankan kandungan C-organik tanah dan kesuburan tanah tetap tinggi.
Tabel 4. Populasi cacing tanah Pheretima hupiensis pada tanah Ultisols beberapa penggunaan lahan Penggunaan lahan Bulan (musim)
Maret (musim hujan) Juli (peralihan MH ke MK) Agustus (musim kering) Sumber : Subowo et al. (2002)
20
Semak belukar
Padang rumput
Kebun sengon
Kebun pisang
Kebun karet
Padi gogo
................................... populasi cacing tanah/m2 ................................... 7 2 20 45 49 4 26 52 17 35 6 16 19 14 12 1
Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik
Pengendalian hama-penyakit tular tanah
Organisme yang hidup di dalam tanah ada yang dapat berperan sebagai predator, detritifor ataupun sebagai hama-penyakit tanaman. Peledakan hama penyakit tular tanah sering terjadi akibat hilangnya predator akibat penggunaan pestisida ataupun sistem pengelolaan lahan yang kurang selektif. Sementara dalam rangka menetapkan evaluasi kesesuaian lahan faktor populasi organisme yang memiliki peluang sebagai organisme penyubur tanah ataupun yang berpotensi sebagai hama penyakit tidak termasuk dalam parameter yang dipertimbangkan (Tabel 3). Akibatnya sering terjadi wilayah yang direkomendasikan untuk kegiatan produksi pertanian pada saat tertentu muncul serangan hama-penyakit tanah. Kasus serangan jamur upas (Fusarium) pada lahan pisang, serangan jamur akar putih pada lahan karet, serangan Ganoderma pada lahan kelapa sawit merupakan bukti pentingnya mempertimbangkan sumberdaya hayati tanah sebagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan. Sementara pengendalian secara kimiawi dengan aplikasi di dalam tanah akan memerlukan biaya yang cukup besar dan kurang efektif. Apabila terjadi pada tanaman tahunan yang memerlukan investasi besar dan berjangka panjang, maka kondisi ini akan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Beberapa hama tanah yang sering mengganggu sistem produksi pertanian antara lain hama sundep, blast, Agromixa, uret. Sedang untuk penyakit antara lain Fusarium, Nematoda, Pithium, Pithoptora, kresek (Xantomonas). Sementara predator alami yang mampu menekan perkembangan populasi organisme hamapenyakit ini antara lain dari kelompok insekta tanah (Collembola, Coleoptera, dan lain-lain). Fungi tanah Arthrobotrys, Dactylaria, Dactylella, dan Harposporium, dengan aerasi tanah yang baik mampu hidup di tanah masam lahan kering serta mampu mematikan Nematoda ataupun Protozoa yang banyak berperan sebagai penyakit pada akar tanaman (Alexander, 1977). Selain itu fungi berperan dalam dekomposisi selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Pemberdayaan
organisme predator melalui perbaikan habitat/ mikroklimat organisme predator akan mampu menekan serangan hama-penyakit tular tanah secara alami dan kondusif mengikuti dinamika serangannya dan murah. Strategi efisiensi penggunaan bahan organik untuk produksi pertanian Bahan organik mempunyai peranan penting sebagai bahan pemicu kesuburan tanah, baik secara langsung sebagai pamasok hara bagi organisme authotrof (tanaman) juga sebagai sumber energi bagi organisme heterotrof (fauna dan mikroorganisme tanah). Meningkatnya aktivitas biologi tanah akan mendorong terjadinya perbaikan kesuburan tanah, baik kesuburan fisik, kimia maupun biologi tanah. Perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang searah dengan kebutuhan tanaman (plant requirement) tanaman target akan mampu memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasil penelitian Subowo et al. (2002) didapatkan bahwa inokulasi cacing tanah Pheretima hupiensis (endogaesis) pada tanah Ultisols dengan diikuti pemberian bahan organik secara vertikal sampai pada lapisan argilik dan pengolahan tanah minimum memberikan hasil kedelai lebih tinggi dibanding dengan perlakuan pemberian bahan organik secara mulsa dan pengolahan tanah dalam (Tabel 5). Adanya bahan organik sampai lapisan argilik, cacing tanah memanfaatkan sebagai sumber makanan dan melakukan pengolahan tanah di lapisan bawah/argilik, sehingga menurunkan kepadatan lapisan argilik dan meningkatkan aerasi tanah. Peningkatan aerasi tanah memberikan dukungan yang baik bagi berkembangnya Rhizobium dalam bintil akar kedelai untuk melakukan aktivitas penambatan N dan meningkatkan pertumbuhan/ produksi kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh langsung pemberian bahan organik meningkatkan aktivitas cacing tanah. Selanjutnya aktivitas cacing tanah memperbaiki aerasi tanah untuk meningkatkan aktivitas penambatan N oleh Rhizobium, sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman kedelai. 21
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Tabel 5. Rata-rata produksi kedelai, pengaruh pengolahan tanah, cara pemberian bahan organik dan inokulasi P. hupiensis pada tanah Ultisols No. Cara pemberian BO
Cara pengolahan tanah* Olah minimum
Olah atas
Olah dalam
Rata-rata
………………………… t/ha ………………………… 2,36 b 2,17 a 1,77 a 2,10 B B A 2. Alur 1,83 a 2,11 a 1,95 a 1,96 A A A 3. Mulsa 1,90 a 1,88 a 2,06 a 1,95 A A A Rata-rata 2,04 2,05 1,93 Sumber : Subowo et al. (2002) Catatan :* Angka yang diikuti dengan oleh huruf kecil dalam kolom dan huruf besar dalam baris yang sama tidak berbeda nyata sampai taraf nyata 5% (DMRT). 1.
Vertikal
Masalah yang dihadapi dalam penggunaan bahan organik yang bersifat bulky (volumeous) dan berada di wilayah kepulauan (± 13.700 pulau) serta memiliki laju pelapukan yang cepat, maka selain sulitnya dalam pengadaan dan konservasi juga transportasi yang mahal. Anas et al. (2010) telah menemukan bahwa petani di Jombang (Jawa Timur) yang menerapkan SRI sejak 2007-2009 untuk lahan seluas 625 ha telah mengalami kesulitan mendapatkan pupuk organik. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah menyadari pentingnya bahan organik untuk meningkatkan produksi padi sawah. Namun dengan orientasi bahan organik sebagai sumber hara tanaman diperlukan dosis yang besar, sehingga mengalami kesulitan dalam pengadaannya. Untuk itu nilai fungsi bahan organik hendaknya dapat ditingkatkan efektifnya dengan orientasi bukan hanya sebagai sumber hara langsung bagi tanaman semata, namun juga sebagai sumber energi organisme tanah ataupun perbaikan sifat fisik tanah untuk memperbaiki kesuburan tanah. Adanya bahan organik tanah dapat meningkatkan aktivitas organisme tanah, sehingga dapat membantu menyediakan hara, memperbaiki sifat fisik tanah, ataupun dapat menekan aktivitas organisme hama-penyakit. Langkah-langkah strategis yang perlu dipertimbangkan agar bahan organik efektif untuk perbaikan pertumbuhan dan produksi tanaman antara lain : 22
Analisis faktor pembatas kesuburan tanah untuk produksi tanaman
Ketersediaan hara tanah merupakan faktor utama untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Tanpa dukungan keharaan tanah yang cukup tanaman akan mengalami hambatan pertumbuhan. Sesuai dengan kondisi fisiologi tanaman, ketersediaan hara tanah akan diserap oleh akar tanaman melalui sistem pertukaran ion ataupun proses difusi. Melalui proses ini hara tanah akan masuk ke jaringan tanaman dan melalui proses metabolisme hara-hara tersebut mendukung pertumbuhan tanaman. Apabila jumlah ataupun jenis hara tidak tercukupi, maka tanaman akan tumbuh merana. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi faktor pembatas ini, sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan melalui pemberian bahan organik yang efisien. Untuk menguji faktor pembatas daya dukung tanah dapat dilakukan dengan melihat tampilan tanaman yag ada ataupun melalui hasil analisis tanaman ataupun kesuburan tanah. Dari faktor pembatas sifat fisik, kimia ataupun biologi tanah yang ada, selanjutnya dipilih upaya perbaikan yang dapat dilakukan. Perbaikan secara langsung untuk sifat fisik tanah dengan pengolahan tanah, sifat kimia tanah dengan pemupukan, dan biologi tanah dengan melakukan inokulasi organisme. Sedang perbaikan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pemberian
Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik
bahan organik ataupun bahan amelioran lain. Adanya bahan organik ini akan memberikan pasokan energi bagi organisme tanah dan selanjutnya dapat memperbaiki kondisi fisikokimia tanah. Jenis, jumlah dan cara pemberian bahan organik hendaknya disesuaikan dengan upaya perbaikan faktor-faktor pembatas yang ada, sehingga penggunaan bahan organik lebih efektif dan bernilai guna. Evaluasi organisme tanah native potensial untuk perbaikan pertumbuhan tanaman
Masing-masing subsistem tanah pada prinsipnya memiliki kondisi biofisik tanah yang berbeda. Hal-hal yang mempengaruhi daya dukung tanah selain dari bahan induk pembentuk tanah juga kondisi lingkungan yang menyertainya, termasuk daya dukung biologi tanah baik sebagai organisme yang mampu memasok hara, memperbaiki sifat fisik tanah, sebagai predator, ataupun sebagai hama-penyakit tanaman. Indonesia memiliki keanekaragaman jenis organisme yang tinggi (megabiodiversity), termasuk populasi organisme tanah. Namun pemanfaatannya untuk mendukung produksi komoditi pertanian sering kali belum mampu memberikan manfaat secara langsung, karena kondisi lingkungan belum sesuai untuk mendukung aktivitasnya. Inventarisasi jenis dan populasi organisme tanah native penting dilakukan, sehingga dapat diketahui secara pasti potensi daya dukungnya. Apabila jenis organisme target telah tersedia dapat dilakukan upaya perbaikan habitatnya dengan ameliorasi, sehingga nilai manfaat organisme tersebut dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Sebaliknya apabila tidak terdapat organisme yang mampu mendukung perbaikan pertumbuhan tanaman dapat dilakukan introduksi/inokulasi dan diikuti ameliorasi agar kondisi fisiko-kimia tanah sesuai untuk mendukung aktivitas organisme target. Dengan diketahuinya daya dukung organisme tanah native yang telah terseleksi secara alami dalam kurun waktu yang panjang kita dapat mendayagunakan potensi biologi tanah, baik melalui kemampuannya meningkatkan ketersediaan hara, memperbaiki sifat kimia dan
fisik tanah serta kemampuannya untuk mencegah serangan hama-penyakit tanaman. Penggunaan bahan amelioran ataupun bahan organik untuk mendukung aktivitas biologi tanah akan lebih efektif dan berkelanjutan sesuai dengan dinamika klimak ekosistem tanah. Pemberdayaan organisme tanah sebagai agen pembaik kesuburan tanah
Banyak organisme di dalam tanah yang mampu meningkatkan ketersediaan hara tanah ataupun perbaikan sifat fisik-kimia tanah untuk pertumbuhan tanaman. Dengan diketahuinya faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman dan jenis organisme tanah native yang ada, maka upaya untuk memperbaiki daya dukung tanah untuk tanaman dapat dilakukan lebih mudah dan efektif dengan mengaktifkan peranan organisme tanah native ataupun introduksi yang mampu mengatasi permasalahan faktor pembatas pertumbuhan tanaman tersebut. Dengan memberikan kondisi habitat yang baik bagi aktivitas organisme tanah, maka pertumbuhan tanaman akan mampu tumbuh dengan baik. Pemberian bahan organik merupakan kunci utama untuk dapat mengaktifkan peranan organisme tanah yang sebagian besar merupakan organisme heterotrof yang sangat membutuhkan bahan organik sebagai sumber energi. Tingginya aktivitas organisme tanah yang mampu memperbaiki kesuburan tanah dan mencegah adanya serangan hama penyakit tanaman akan mampu memberikan dukungan untuk produksi tanaman. Seleksi input teknologi sesuai dengan kebutuhan organisme target untuk perbaikan kesuburan tanah merupakan langkah yang tepat agar penggunaan bahan organik tanah efektif dan bernilai guna untuk mendukung produksi tanaman.
KESIMPULAN 1. Dalam upaya meningkatkan produktivitas tanah di Indonesia yang berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan kandungan bahan organik tanah rendah, pemberian bahan organik mutlak diperlukan. Masalah 23
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
yang dihadapi kemampuan produksi bahan organik rendah, laju pelapukan bahan organik tinggi juga bersifat bulky dan berada di wilayah kepulauan, sehingga sulit dalam pengadaan dan konservasi bahan organik juga biaya transportasi yang mahal. 2. Pemberian bahan organik dengan tujuan pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah potensial perlu diupayakan. Selain memerlukan dosis yang lebih rendah juga dapat meningkatkan konservasi bahan organik tanah dan menekan emisi CO2. 3. Dalam menentukan evaluasi kesesuaian lahan hendaknya perlu mempertimbangkan adanya peranan populasi organisme tanah untuk mendukung produksi tanaman dan menjaga kelestarian kandungan bahan organik tanah.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction of Soil Microbiology. John Wiley and Sons, New York-Chichester-Brisbane-TorontoSingapore. Anas, I., M.P. Utami, N. Hakim, dan F. Rozie. 2010. Peranan Pupuk Organik dan Pupuk Hayati dalam Meningkatkan Produksi Padi untuk Mencapai Swasembada beras berkelanjutan. Hlm 20. Dalam Prosiding Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 24 Februari 2010. Coleman, D.C. and D.A. Crossley Jr. 1995. Fundamental of Soil Ecology. Academic Press. San Diego. New York. Boston. London. Sydney. Tokio. Toronto. Curry, J.P., D. Byrne, and K.E. Boyle. 1995. The earthworm population of winter cereal field and its effects on soil and nitrogen turnover. Biol. Fertil. Soils. (19):166172. Edwards, C.A., and J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John Wiley & Sons, New York. 24
Erfandi, D., U. Kurnia, dan I. Juarsah. 2004. Pemanfaatan Bahan Organik dalam Perbaikan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Ultisols. Hlm 77-85. Dalam Prosiding Semnas. Pendayagunaan Tanah Masam, Buku II, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Kariada, I K. dan I B. Aribawa. 2009. Kajian peranan pupuk organik dalam mendukung pengelolaan terpadu (PTT) di Subak Mangku, Tabanan, Bali. Hlm 265-276. Dalam Prosiding Semiloka Nas. Inovasi Sumberdaya Lahan: Inovasi Teknologi Sumberdaya Lahan Mendukung Sistem Pertanian Industrial, Bogor 24-25 November 2009. Kasno, A., Nurjaya, dan D. Ardi S. 2009. Neraca hara N, P, dan K pada pengelolaan hara terpadu lahan sawah bermineral liat campuran dan 1:1. Hlm 205-219. Dalam Prosiding Semiloka Nas. Inovasi Sumberdaya Lahan: Inovasi teknologi Sumberdaya Lahan Mendukung Sistem Pertanian Industrial, Bogor 24-25 November 2009. Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United nations University Press, Tokio-New York-Paris. Pp 25-29. Las, I. dan D. Setyorini. 2010. Kondisi Lahan, Teknologi, Arah, dan Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik. Hlm 47. Dalam Prosiding Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor 24 Februari 2010. Makulec, G. and A. Kusinska. 1997. The role of earthworms (Lumbricidae) in transformations of organic matter and in the nutrient cycling in the soils of ley meadow and permanent meadows. Ekologia Polska (Ekol. pol) 45(3-4):825837. Martin, A. 1991. Short and long-term effects of endogeic earthworm Milsonia anomala (Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta) of tropical savanna, on soil organic matter. Biol. Fertil. Soils (11):234-238.
Subowo G. : Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik
Pusat
Penelitian Tanah. 1983. Term of Reference (TOR): Survei Kapabilitas Tanah. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Kerjasama Pusat Penelitian Tanah dan Departemen Transmigrasi.
Sholeh, D. Nursyamsi, dan J.S. Adiningsih. 1997. Pengelolaan bahan organik dan nitrogen untuk tanaman padi dan ketela pohon pada lahan kering yang mempunyai tanah Ultisols di Lampung. Hlm 193-206. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Stork, N.E. and P. Eggleton. 1992. invertebrates as determinants and indicators of soil quality. American Journal of Alternative Agriculture 7(1 and 2):38-47. Subowo, I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdurachman, dan S. Hardjowigeno. 2002. Pemanfaatan cacing tanah untuk meningkatkan produktivitas Ultisols lahan kering. Jurnal Tanah dan Iklim 20:35-46. Sudriatna, U. dan Subowo. 2007. tanggap kacang hijau terhadap sisa bahan amelioran pada tanah Inceptisols dan Alfisols. Hlm 12. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Palembang, 26-27 Juli 2006.
Sutono, S., H. Kusnadi, dan U. Kurnia. 2009. Baku Mutu Tanah pada Lahan Terdegradasi di Daerah Aliran Sungai Citanduy. Makalah disampaikan pada Semiloka Nas. Inovasi Sumberdaya Lahan: Inovasi teknologi Sumberdaya Lahan Mendukung Sistem Pertanian Industrial, Bogor 24-25 November 2009. Swift, M.J., O.W. Heal, and J.M. Anderson. 1979. Decomposition in Terrestrial Ecosyatem. Blackwell, Oxford. Vidyarthy, G.S. and R.V. Misra. 1982. The role and importance of organic materials and biological nitrogen fixation in rational improvement of agricultural production. FAO Soils Bulletine, No. 45. Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate Soil and Crop Production in Humictropics. Kualalumpur, Oxford University Press. London. Yusnaini, M.A.S. Arif, J. Lumbanraja, S.G. Nugroho, dan M. Monaha. 2004. Pengaruh jangka panjang pemberian pupuk organik dan inorganik serta kombinasinya terhadap perbaikan kualitas tanah masam Taman Bogo. Hlm 283293. Dalam Prosiding Semnas. Pendayagunaan Tanah masam, Buku II, Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.
25
ISSN 1907-0799
LAHAN SAWAH DAN KECUKUPAN PRODUKSI BAHAN PANGAN Rice Field Necessity to Sufficient Production of Food Material S. Ritung Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123
ABSTRAK Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,5%/tahun, sehingga mendorong permintaan pangan yang terus meningkat. Lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luasnya pada tahun 2005 mencapai 7,89 juta ha ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia, sehingga perlu ditambah dengan impor yang pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Kebutuhan bahan pangan mulai meningkat dan pada tahun 2020 diperkirakan terjadi defisit jika tidak ada penambahan produksi sebesar 1,1 juta ton beras atau setara 1,8 juta ton GKG. Pada tahun 2050 kebutuhan beras akan mencapai 48,2 juta ton atau meningkat 145%. Komoditas jagung dan kedelai diperkirakan akan terjadi defisit masing-masing 2,2 juta ton dan 2,5 juta ton pada 2050. Untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan hingga tahun 2050, dengan asumsi bahwa konversi lahan sawah dapat ditekan menjadi 60.000 ha/tahun, diperlukan pencetakan sawah baru sekitar 1,6-2,4 juta ha pada tahun 2020 dan luas kumulatif hingga tahun 2050 adalah 6,0 juta ha. Potensi ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di Indonesia adalah 8,28 juta ha, terdiri atas sawah rawa 2,98 juta ha dan non rawa 5,30 juta ha. Potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masing-masing 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Strategi perluasan sawah dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan sawah potensial di daerah irigasi, optimalisasi lahan sawah terlantar di daerah rawa pasang surut dan rawa lebak, dan perluasan sawah secara kawasan di daerah yang potensinya cukup luas seperti Papua dan Kalimantan. Kata kunci : Kebutuhan lahan, kecukupan pangan, ketersediaan lahan, surplus, defisit
ABSTRACTS Indonesian population from year to year increasing, with growth of about 1.5%/year, thus pushing food demands continues to increase. Particularly agricultural land especially rice field, covering an area in 2005 reached 7.89 million hectares was not able to meet the food needs of Indonesia, so that needs to be supplemented by imports which in the last decade it has increased. The need for food began to increase and in the year 2020 deficit is estimated to occur if there is no additional production of 1.1 million tons of rice or equivalent to 1.8 million tons of GKG. In 2050 demand for rice will reach 48.2 million tons, an increase of 145%. Commodity corn and soybeans are expected to occured a deficit each of 2.2 million tons and 2.5 million tons in 2050. To sufficient the necessity of food until the year 2050, assuming that the conversion of rice land could be reduced to 60,000 hectares/year, required the new rice fields of about 1,6-2,4 million hectares in 2020 and the cumulative area until the year 2050 is 6.0 million hectares.The potential availability of land for extensification of rice field in Indonesia is 8.28 million hectares, consists of 2.98 million hectares swamp rice field and 5.30 million hectares of non swamp rice field. The largest potential development are in Papua, Kalimantan, and Sumatra, each of 5.19 million hectares, 1.39 million hectares, and 0.96 million hectares. Rice field extensification strategies can be done through land use potential rice fields in the irrigation areas, abandoned rice field optimization in the tidal swamp and inland swamp, and extensification of rice field region scale in area large potential like Papua and Kalimantan. Keywords : Land necessity, food necessity, land availability, surplus, deficit
P
enduduk Indonesia dalam waktu empat puluh tahun ke depan masih akan terus bertambah dengan pertumbuhan sekitar 1,5%/tahun, sehingga permintaan pangan juga terus meningkat. Lahan pertanian sawah pada tahun 2005, seluas 7,89 juta ha (BPS, 2008) produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan akan pangan penduduk Indonesia terutama
beras, gula, kacang tanah, dan kedelai, sehingga perlu impor, yang pada dekade terakhir jumlahnya meningkat. Irawan (2005) memperkirakan pengadaan beras impor pada tahun 2010 mencapai 4,12 juta ton. Swastika et al. (2000) memproyeksikan pada tahun 2010 impor kedelai dan jagung masing-masing akan mencapai 1,8 dan 1,5 juta ton. Agus dan Irawan (2007) 27
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
memperkirakan bahwa tahun 2025 Indonesia akan harus mengimpor 11,4 juta ton beras jika konversi lahan sawah tetap terjadi dengan laju 187.720 ha/th (Sutomo dan Suhariyanto, 2005) dan pencetakan sawah baru mencapai 100.000 ha/th. Adanya perkiraan impor pangan yang semakin besar bukan berarti menunjukkan rasa pesimis terhadap kemampuan bangsa Indonesia dalam menyediakan pangan, tetapi harus dimaknai sebagai cambuk peringatan perlunya pemecahan yang berkelanjutan dalam menangani produksi pangan. Ketersediaan lahan untuk memproduksi pangan yang tidak bertambah, bahkan berkurang, merupakan masalah penting yang perlu diatasi secepatnya. Dengan adanya Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang bertujuan untuk menekan laju konversi lahan, maka diperkirakan pada tahun-tahun mendatang konversi lahan sawah produktif dapat ditekan menjadi minimal, atau bahkan dihentikan. Lahan sawah merupakan penghasil utama bahan pangan, utamanya beras. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 total luas panen padi sekitar 12,3 juta ha dengan produksi padi sebesar 60 juta ton, 95%nya dihasilkan dari lahan sawah dengan luas panen 11,3 juta ha dan 5% dihasilkan dari lahan kering dengan luas panen 1,1 juta ha. Rata-rata produktivitas padi sawah 5,1 t/ha dan padi ladang 2,9 t/ha (Deptan, 2008). Kontribusi produksi lahan sawah terhadap total produksi padi tahun 2009 diperkirakan tetap sekitar 95%. Luas baku lahan sawah di P. Jawa terus menurun yang antara lain disebabkan oleh terjadinya konversi lahan sawah produktif ke lahan non pertanian (pemukiman, perkotaan, infrastruktur, dan kawasan industri). Karena itu Jawa makin sulit diandalkan sebagai pemasok pangan nasional, karena: (1) tingginya alih fungsi lahan, (2) pemenuhan kebutuhan pangan di Jawa sendiri, dan (3) menurunnya kecukupan air untuk pertanaman padi (Ritung dan Hidayat, 2007). Luar Jawa, permintaan pangan juga terus meningkat, dengan perkembangan agak lambat. Maka oleh adanya kecenderungan menurunnya laju peningkatan produksi padi, produksi nasional diperkirakan tidak akan 28
mampu memenuhi permintaan, tanpa adanya penambahan lahan pertanian baru. Luas wilayah Indonesia mencakup 188,2 juta ha (Puslittanak, 2000). Dari total luas tersebut, 148,2 juta ha di antaranya berupa lahan kering dan sisanya 40 juta ha lahan basah, yang sebagian besar berupa hutan, semak belukar dan rumput rawa, yang belum dimanfaatkan, berupa dataran gambut, dataran aluvial, pasang surut ataupun lebak. Sebagian kecil dari lahan basah tersebut berupa sawah, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan sawah lebak, dengan total luas 7,89 juta ha (Deptan, 2008), dan perkebunan kelapa, kelapa sawit, serta hutan tanaman industri (HTI). Ketersediaan lahan sawah yang relatif sempit dibandingkan jumlah penduduk, mengakibatkan terjadinya defisit pangan secara kronis. Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu solusi yang lebih permanen untuk mengatasi terbatasnya penyediaan pangan nasional terutama beras, melalui perluasan areal lahan sawah yang dilaksanakan secara terkendali dan bijaksana, terutama untuk mengganti lahanlahan sawah produktif yang dikonversi dan mengoptimalkan lahan sawah bukaan baru. Tulisan ini bertujuan untuk memprediksi kebutuhan lahan sawah dalam mencukupi kebutuhan pangan pada saat ini dan di masa yang akan datang. Data kebutuhan lahan didasarkan atas analisis kebutuhan pangan sejalan dengan pertambahan penduduk. Sedangkan ketersediaan lahan didasarkan pada hasil analisis potensi lahan.
SEBARAN LAHAN SAWAH Berdasarkan data statistik pertanian (Deptan, 2008), luas lahan sawah di Indonesia sekitar 7,89 juta hektar, tidak termasuk Papua dan Maluku. Sebagian besar lahan sawah terdapat di Jawa 3,23 juta hektar (41,0% dari luas sawah Indonesia). Lainnya terdapat di Sumatera 2,34 juta hektar, Kalimantan 0,99 juta hektar dan Sulawesi 0,89 juta hektar. Sedangkan di Nusa Tenggara dan Bali hanya 0,42 juta hektar atau 5,35% dari luas sawah Indonesia.
S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan
Berdasarkan status pengairannya, lahan sawah irigasi teknis maupun semi teknis adalah yang terluas sekitar 3,2 juta hektar, tersebar terutama di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar dari luasan sawah irigasi dilayani oleh sumber air berupa bendungan kecil, sumber air lokal, dan bendungan sungai kecil, sedangkan yang dilayani oleh waduk air permanen skala kecil, sedang dan besar, hanya 10% dari luas lahan irigasi (Soenarno, 2001). Kondisi ini menunjukkan bahwa produksi pangan beras nasional sangat tergantung pada pola dan curah hujan sewaktu. Lahan sawah tadah hujan mencapai luas 2,09 juta hektar, dan sawah irigasi sederhana seluas 1,58 juta hektar. Sawah tadah hujan dan irigasi sederhana tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Luas lahan sawah pasang surut dan lahan sawah lainnya termasuk lahan sawah lebak mencapai luas 1 jutaan hektar, tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
kebutuhan beras nasional mencapai 30 juta ton (Irawan, 2005). Pada tahun 2008 penduduk Indonesia telah mencapai 237 juta jiwa, dengan kebutuhan pangan sekitar 32 juta ton. Jika pertumbuhan penduduk diasumsikan masih 1,5% pertahun, maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah 241 juta jiwa, dan pada tahun 2050 mencapai 436 juta jiwa.
Data tersebut menunjukkan bahwa produksi pangan pokok nasional sangat tergantung dari lahan yang relatif sempit, sumber irigasi yang sebagian airnya berasal dari hujan sewaktu, serta pola dan curah hujan tahun berjalan. Oleh karena itu apabila terjadi anomali iklim, akan secara langsung berpengaruh terhadap produksi dan ketersediaan pangan nasional. Dengan adanya pemanasan global, diperkirakan frekuensi anomali iklim akan lebih sering terjadi, yang akan berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di masa depan, nampaknya upaya yang paling aman adalah dengan perluasan lahan pertanian di wilayah baru.
Dengan peningkatan kebutuhan bahan pangan yang besar tersebut, penambahan penyediaan lahan sawah perlu dilakukan lebih awal dan secara bertahap agar tidak terjadi kekurangan pangan secara drastis.
JUMLAH PENDUDUK DAN KEBUTUHAN BAHAN PANGAN Beras sebagai bahan pangan utama penduduk Indonesia, jumlah permintaannya terus meningkat dari tahun ketahun, sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2000 dengan penduduk berjumlah 206,27 juta jiwa,
Pada tahun 2010 permintaan beras diperkirakan sebesarr 33,065 juta ton, dan pada tahun 2050 meningkat menjadi sebesar 48,182 juta ton atau meningkat 45% (Tabel 1). Demikian pula untuk komoditas lainnya seperti jagung dari 8,724 juta ton pada tahun 2010 meningkat 70% menjadi 14,86 juta ton pada tahun 2050. Kebutuhan pangan pokok lainnya, seperti kedelai, bawang merah, gula, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, juga terus meningkat cukup besar, yang berdampak terhadap status kecukupan penyediaan pangan nasional.
Perhitungan defisit/surplus bahan pangan pada tahun 2010-2050 apabila tidak ada penambahan lahan sawah bukaan baru disajikan pada Tabel 2. Dengan menggunakan data produksi tahun 2008, produksi beras dari lahan sawah ditambah produksi padi gogo dari lahan kering, pada tahun 2010 tersedia total produksi beras 35,927 juta ton. Apabila pada tahuntahun berikutnya tingkat produktivitas seperti pada tahun 2008 dan tidak terjadi anomali iklim yang mengganggu produksi, serta serangan OPT terjadi pada kerusakan normal, diprediksikan bahwa produksi beras masih mencukupi hingga tahun 2013/2014. Defisit beras diprediksikan mulai terasa pada tahun 2015, disebabkan kapasitas produksi lahan tidak mampu mendukung pertambahan permintaan beras oleh adanya penambahan penduduk. Hampir semua komoditas bahan pangan lainnya, kecuali jagung, akan mulai mengalami defisit sejak tahun 2010 dan meningkat cukup besar pada
29
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Tabel 1. Jumlah penduduk dan kebutuhan bahan pangan tahun 2010-2050 Tahun
2010 2020 2030 2040 2050 1 2
Jumlah penduduk juta jiwa 241 279 324 376 436
Kebutuhan bahan pangan pokok Bawang Kacang Kacang Kedelai Gula Ubi jalar Beras Jagung merah tanah hijau ......................................... ribu ton2 ............................................ 33.065 8.724 2.057 704 2.175 815 314 1.881 37.021 9.967 2.381 1.018 2.530 900 347 2.078 40.183 11.386 2.668 1.355 2.940 994 383 2.295 44.500 13.007 2.896 1.687 3.416 1.098 423 2.535 48.182 14.859 3.043 1.986 3.966 1.213 468 2.801 1
Kebutuhan domestik termasuk untuk industri pakan Perkiraan kebutuhan pangan dalam periode 2010-2050 (Sudaryanto et al., 2010)
tahun 2050. Defisit beras pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 1,094 juta ton atau setara 1,8 juta ton GKG. Produksi komoditas pertanian, terutama padi, sangat rentan terhadap perubahan iklim dan dinamika biologis hama dan penyakit. Produktivitas yang cukup tinggi pada tahun 2008, tidak selalu dengan pasti dapat diperoleh pada tahun selanjutnya. Produksi jagung saat ini sebesar 12,7 juta ton (BPS, 2008) terdiri atas 60% lahan kering dan 40% lahan sawah. Jika dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan sampai tahun 2050 sebesar 14,859 juta ton, maka defisit diperkirakan mulai terjadi pada tahun 2039/2040, dan pada tahun 2050 defisit mencapai 2,159 juta ton. Produksi kedelai akan terjadi defisit sebesar 1,47 juta ton pada tahun 2010 dan 2,45 juta ton pada tahun 2050. Untuk gula terjadi defisit sebesar 183 ribu ton pada tahun 2010 dan meningkat tajam pada tahun 2050 menjadi 2,0 juta ton. Sedangkan komoditas ubikayu dan ubi jalar produksinya sesuai kebutuhan. Kebutuhan beras pada Tabel 2 adalah kebutuhan domestik untuk konsumsi maupun untuk bahan mentah industri, tidak dihitung kebutuhan untuk ekspor. Dalam menghitung penyediaan produksi, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi perlu ditambah 10% yang berfungsi sebagai “cadangan penyangga pasar” dan sisa terbuang (waste). Atas dasar perhitungan tersebut, maka angka kebutuhan produksi beras perlu ditambah 10% menjadi berturut-turut 2010 = 36,372 juta ton, dan 2050 = 53,00 juta ton. Atas dasar perhitungan 30
tersebut, produksi beras tahun 2010 apabila hanya sama dengan tahun 2008 (36 juta ton), maka defisit beras sudah mulai terjadi pada tahun 2011/2012. Defisit bahan pangan dalam waktu tiga tahun mendatang masih dapat diatasi dengan optimasi produktivitas, terutama dari wilayah yang produktivitasnya masih rendah. Kebutuhan jagung akan dipengaruhi oleh kesanggupan Indonesia untuk memasok pasar internasional (ekspor). Data Tabel 2 adalah kebutuhan domestik jagung minimal untuk keperluan sebagai pangan, industri pakan, dan industri lainnya. Apabila dikehendaki Indonesia untuk mengekspor jagung, maka kebutuhan total adalah kebutuhan domestik ditambah ekspor. Kebutuhan kedelai untuk konsumsi selama empat puluh tahun ke depan terbesar tetap sebagai bahan tempe, tahu, dan kecap, yang jumlahnya terus meningkat. Kebutuhan untuk komponen ransum pakan berupa bungkil kedelai (soybean meal), juga akan terus meningkat, sehingga kebutuhan “setara kedelai” sebanyak 3,04 juta ton pada tahun 2050 (Tabel 2), ada kemungkinan merupakan estimasi yang lebih rendah (under estimate). Dengan tingkat produksi kini sebanyak 589.000 ton per tahun, defisit produksi kedelai akan terus bertambah besar tanpa ada perluasan areal tanam. Defisit produksi juga telah dialami oleh kacang tanah, kacang hijau, dan gula. Angka defisit akan semakin besar apabila tidak dilakukan penambahan areal panen, karena penambahan produksi dari kenaikan produktivitas bagi komoditas tersebut sangat lamban atau sulit.
Tabel 2. Defisit dan surplus bahan pangan tahun 2010-2050 dengan luas lahan sawah seperti tahun 2008 Beras Tahun
Total produksi2
Suplus/ defisit
Kebutuhan1
Kedelai
Total produksi2
Surplus/ defisit
Kebutuhan1
Total produksi2
Gula Surplus/ defisit
Kebutuhan1
Produksi yang dicapai
Surplus/ defisit
.......................................................................................... ribu ton .......................................................................................... 33.065 35.927 2.862 8.724 12.700 3.976 2.057 589 -1.468 2.175 1.992 -183 37.021 35.927 -1.094 9.967 12.700 2.733 2.381 589 -1.792 2.530 1.992 -538 40.183 35.927 -4.256 11.386 12.700 1.314 2.668 589 -2.079 2.940 1.992 -948 44.500 35.927 -8.573 13.007 12.700 -307 2.896 589 -2.307 3.416 1.992 -1.424 48.182 35.927 -12.255 14.859 12.700 -2.159 3.043 589 -2.454 3.966 1.992 -1.974
Lanjutan Tabel 2. Kacang tanah Tahun
2010 2020 2030 2040 2050
Kebutuhan1
Total produksi2
Ubi jalar
Kacang hijau Surplus/ defisit
Kebutuhan1
Total produksi2
Surplus/ defisit
Kebutuhan1
Total produksi2
Surplus/ defisit
........................................................................ ribu ton ......................................................................... 815 815 0 314 314 0 1.881 1.881 0 900 815 -85 347 314 -33 2.078 1.881 -197 994 815 -179 383 314 -69 2.295 1.881 -414 1.098 815 -283 423 314 -109 2.535 1.881 -654 1.213 815 -398 468 314 -154 2.801 1.881 -920
1
Kebutuhan adalah jumlah keperluan bahan pangan “as consumed”. Perhitungan penyediaan untuk mencukupi kebutuhan semestinya lebih besar, diasumsikan perlu ditambah 10%.
2
Total produksi adalah total produksi yang dicapai waktu kini dari luasan lahan sawah yang tersedia, ditambah produksi dari lahan kering
S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan
2010 2020 2030 2040 2050
Kebutuhan1
Jagung
31
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Hingga tahun 2010 peningkatan produksi bahan pangan nasional lebih mengandalkan pada peningkatan produktivitas melalui berbagai upaya intensifikasi. Program peningkatan produksi pangan melalui perbaikan teknologi, penyediaan pengairan, penyediaan sarana produksi, fasilitasi modal usahatani, pemberdayaan kelembagaan petani dan kegiatan penyuluhan, telah berhasil melipatgandakan produksi beras, dari sekitar 9 juta ton pada tahun 1965 menjadi 35 juta ton pada tahun 2008. Kenaikan produksi yang spektakuler tersebut perlu dipahami tidak dapat terus berlanjut, apabila luas areal sawah tetap atau bahkan semakin berkurang.
GKG atau setara dengan 35,88 juta ton beras. Peningkatan produksi tersebut tercapai sebagai akibat penerapan teknologi maju, peningkatan areal panen, peningkatan indeks pertanaman, perbaikan sarana dan prasarana pengairan, dan perbaikan hara melalui pemupukan berimbang. Dengan memperhatikan peningkatan kebutuhan beras yang cukup besar, maka peningkatan produktivitas per ha tidak dapat diandalkan lagi, dan perluasan areal melalui pembukaan lahan sawah bukaan baru menjadi sangat penting, karena produktivitas padi yang dicapai waktu kini sudah tinggi dan tidak dapat secara terusmenerus ditingkatkan (Tabel 3).
Atas dasar pemikiran tersebut, untuk mengantisipasi peningkatan permintaan bahan pangan nasional yang semakin besar di masa depan, pilihan yang paling bijaksana adalah dengan penambahan luas areal tanam pada lahan-lahan pertanian baru, dibarengi dengan penghentian konversi lahan pertanian yang subur menjadi fungsi-fungsi non pertanian.
Dengan mempertimbangkan luas baku sawah, konversi lahan, teknologi usaha tani padi, pertumbuhan penduduk, konsumsi beras, bencana alam dan harga gabah, Irawan (2005) memprediksi neraca ketersediaan dan kebutuhan beras pada tahun 2010, masing-masing sebesar 32,65 juta ton dan 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton. Berdasarkan data produksi beras tahun 2008 sebesar 35,88 juta ton beras, defisit tahun 2010 hanya sebesar 0,9 juta ton. Apabila kebutuhan beras tahun 2010 menggunakan data prediksi Sudaryanto et al. (2010) pada Tabel 2, maka pada tahun 2010 belum terjadi defisit beras. Dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 241 juta, apabila konsumsi per kapita
KEBUTUHAN LAHAN SAWAH UNTUK MENCUKUPI KEBUTUHAN PANGAN Menurut data BPS (1997-2008), pada tahun 1997 produksi padi nasional adalah 49,34 juta ton GKG, dan pada tahun 2008 produksi padi nasional meningkat menjadi 59,88 juta ton
Tabel 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi padi periode 1997-2008 Tahun Luas panen 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
juta ha 11,13 11,72 11,96 11,79 11,50 11,52 11,49 11,92 11,84 11,78 12,15 12,39
+/-
Produktivitas
+/-
Produksi
+/-
%
kw/ha GKG 44,32 41,97 42,52 44,01 43,88 44,69 45,38 45,36 45,74 46,18 47,05 48,35
%
juta ton GKG 49,34 49,20 50,87 51,90 50,46 51,49 52,14 54,09 54,15 54,40 57,16 59,88
%
5,30 2,11 -1,42 -2,49 0,18 -0,28 4,23 -0,67 -0,51 3,14 1,98
-5,3 1,31 3,5 -0,3 1,85 1,54 0,04 0,84 0,96 1,88 2,76
-0,28 3,39 2,03 -0,28 2,04 1,26 4,23 0,11 0,46 5,07 4,76
Sumber: Data BPS tahun 1997-2008, termasuk lahan sawah rawa dan lahan kering
32
S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan
130 kg/th, maka kebutuhan beras “as consumed” adalah 31,3 juta ton. Kebutuhan produksi beras “as produced” biasanya ditambah 10% dari kebutuhan “as consumed”, atau 34,5 juta ton. Dengan perhitungan tersebut memang pada tahun 2010 belum defisit, asalkan produktivitas dapat dipertahankan tinggi seperti tahun 2008. Pada tahun 2020 diprediksi terjadi kekurangan beras sebanyak 1,09 juta ton, dan defisit terus meningkat hingga mencapai 12,25 juta ton pada tahun 2050. Pada tahun 2050 dibutuhkan 48,18 juta ton beras, atau 80,3 juta ton GKG. Untuk menghasilkan padi/beras dan bahan pangan lainnya pada tingkat kecukupan kebutuhan konsumsi domestik (taraf swasembada pangan nasional) dari tahun 2010 sampai dengan 2050 diperlukan peningkatan luas baku lahan sawah menjadi 10,038 juta ha dengan asumsi bahwa produktivitas padi sawah stabil pada 5 t/ha GKG dan indeks pertanaman (IP) padi 160% (Tabel 4). Berdasarkan prediksi kebutuhan beras dan bahan pangan lainnya, termasuk jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, tebu dan sayuran, secara nasional dari tahun 2010 sampai tahun 2050, dengan mempertimbangkan luas baku sawah awal 7,89 juta ha, untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan tersebut, yaitu kebutuhan pangan dan bahan industri domestik, maka diperlukan penambahan luas baku sawah
sekitar 1,614 juta ha pada tahun 2020, dan kumulatif tambahan lahan sawah seluas 6,1 juta ha sampai tahun 2050. Konversi lahan sawah diasumsikan menurun setelah disahkan Undangundang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB). Pada kenyataannya, konversi lahan sawah menjadi penggunaan lainnya masih terus terjadi karena kebutuhan lahan untuk perumahan, industri dan infrastruktur lainnya. Kebutuhan penambahan areal sawah seluas 6 juta ha dari tahun 2010 sampai tahun 2050 memerlukan pendanaan yang besar, tidak saja untuk pencetakan sawah (land reclamation), pembangunan prasarana irigasi dan bangunan sumber pengairan, tetapi juga untuk biaya ganti rugi lahan yang telah diaku oleh warga setempat. Program perluasan lahan pertanian akan berhadapan dengan permasalahan sosial, pendanaan, teknis agronomis dan teknis operasional, serta issue lingkungan, Bahkan kadang-kadang LSM dan NGO internasional ikut mempermasalahkan aspek kelestarian keaneka ragaman hayati, kelestarian lingkungan dan emisi gas rumah kaca. Masyarakat setempat selalu mengaku bahwa lahan yang akan direklamasi menjadi lahan pertanian adalah lahan milik adat/suku, sehingga memerlukan biaya besar untuk dijadikan lahan pertanian bagi masyarakat petani calon penggarap.
Tabel 4. Perhitungan kebutuhan penambahan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan bahan pangan domestik tahun 2010 sampai dengan 2050 Tahun
2010 2020 2030 2040 2050
Kebutuhan lahan sawah Kebutuhan Bawang beras1 Beras/padi Gula Total merah x1.000 ton 33.065 37.021 40.183 44.500 48.182
Sawah yang Prediksi konversi telah ada lahan sawah
Kebutuhan penambahan sawah kumulatif
......................................................1.000 ha .............................................................. 7.164 65 245 7.474 7.386 88 8.021 94 285 8.400 7.386 600 1.614 8.706 126 331 9.163 7.386 1.200 2.977 9.631 157 384 10.172 7.386 1.800 4.586 10.439 184 446 11.069 7.386 2.400 6.083
Keterangan : Jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar diasumsikan dapat menggunakan lahan sawah melalui pola tanam padi-padi palawija atau padi-palawija, sedangkan bawang merah dan tebu umumnya menggunakan lahan sawah secara terus-menerus dalam setahun 1
Kebutuhan beras adalah jumlah kebutuhan beras “as consumed”
33
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Namun apabila bangsa dan negara Indonesia ingin mempunyai ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, upaya perluasan areal lahan pertanian dengan biaya besar tersebut perlu ditempuh. Dalam jangka panjang, biaya yang harus dikeluarkan atas kekurangan pangan nasional, jauh akan lebih besar dibandingkan dengan biaya investasi pembukaan dan reklamasi lahan pertanian baru.
didelineasi dalam peta skala 1:250.000 yang digunakan (Ritung dan Suharta, 2007).
WILAYAH POTENSIAL PENGEMBANGAN LAHAN SAWAH
Potensi lahan untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia berdasarkan hasil perhitungan Badan Litbang Pertanian (2007) disajikan per pulau dan per provinsi. Luas lahan yang sesuai untuk perluasan sawah di seluruh Indonesia adalah 8,28 juta ha, terdiri atas potensi sawah rawa 2,98 juta ha, dan non rawa 5,30 juta ha. Potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, masingmasing 5,19 juta ha, 1,39 juta ha, dan 0,96 juta ha. Di Sulawesi hanya tersedia lahan sekitar 0,42 juta ha, Maluku dan Maluku Utara 0,24 juta ha, Nusa Tenggara dan Bali 0,05 juta ha, dan Jawa hanya 0,014 juta ha.
Untuk melihat berapa luas lahan yang potensial untuk pengembangan atau perluasan areal lahan sawah di masa depan, akan dibandingkan antara data luas lahan yang sesuai dengan data penggunaan lahan yang ada saat ini. Potensi lahan sawah diperoleh dari peta arahan tata ruang pertanian yang disusun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat atau Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian periode tahun 2002-2006, baik yang berskala 1:250.000 pada 20 provinsi maupun skala 1:1.000.000 untuk provinsi lainnya. Data penggunaan lahan yang digunakan berskala 1:250.000 bersumber dari Badan Pertanahan Nasional, Bakosurtanal dan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Kedua data spasial tersebut, yakni data potensi lahan dan penggunaan lahan ditumpangtepatkan (overlayed) untuk mendapatkan lahanlahan yang masih tersedia untuk pengembangan atau perluasan areal persawahan. Lahan-lahan potensial yang digolongkan tersedia apabila penggunaan lahannya belum digunakan untuk pertanian maupun penggunaan lainnya yang bersifat permanen, yaitu pada saat ini masih berupa belukar atau hutan yang dapat dikonversi (Ritung dan Hidayat, 2003). Dari hasil overlay tersebut, selanjutnya dikalikan dengan suatu faktor koreksi sebesar 0,7 dengan asumsi bahwa ada sebesar 0,3 (30%) dari lahan tersebut tidak sesuai dan sudah digunakan untuk berbagai macam penggunaan namun tidak dapat 34
Potensi ketersediaan lahan sawah dibedakan antara lahan rawa dan non rawa sesuai dengan agroekosistemnya. Lahan rawa yang potensial untuk sawah diarahkan sebagai sawah pasang surut dan/atau lebak, sedangkan lahan non rawa yang potensial diarahkan sebagai lahan sawah irigasi, berupa sawah irigasi teknis, semi teknis maupun irigasi sederhana.
SISTEM PRODUKSI BAHAN PANGAN PADA LAHAN SAWAH BUKAAN BARU Sawah bukaan baru umumnya mempunyai tingkat produktivitas yang rendah karena berbagai faktor, diantaranya: lahan yang ada saat ini umumnya dari jenis tanah yang kesuburannya tergolong rendah, kondisi lahan yang tidak stabil atau homogen, dan tingkat keracunan dari unsur-unsur besi dan mangan relatif tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan sawah bukaan baru umumnya mempunyai produktivitas tergolong rendah sekitar 2-3 t/ha atau 40-50% dari produktivitas optimal. Produktivitas optimal akan dicapai setelah lahan dikelola beberapa tahun (5-10 tahun) dengan berbagai perbaikan-perbaikan yang diperlukan, baik dari segi tanahnya maupun pengairan dan sarana-prasarana lainnya. Untuk mempercepat peningkatan produktivitas agar
S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan
dapat memenuhi kebutuhan pangan, perlu dilakukan pengawalan teknologi pengelolaan lahan oleh tenaga ahli dan petugas yang terlatih, pada lahan sawah bukaan baru. Teknologi untuk sawah bukaan baru telah tersedia. Hasil penelitian Kasno et al. (1999) menunjukkan bahwa pengaruh pemupukan dan penggenangan akan meningkatkan pH tanah dan hasil padi pada tanah sawah bukaan baru. Perluasan areal untuk digunakan sebagai sistem produksi bahan pangan pada lahan sawah bukaan baru (Tabel 4), persiapan pembukaan lahannya perlu dipercepat, agar kebutuhan pangan, terutama beras dapat terpenuhi. Walaupun pada tahun 2010 penambahan lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan masih sedikit yakni 88.000 ha, namun untuk tahun 2020 perlu penambahan 1,6 juta ha, sehingga penambahan atau pencetakan lahan sawah baru tetap harus dilakukan dan bahkan ditingkatkan karena produktivitas yang dicapai hanya sekitar 4050% dari produktivitas optimal. Oleh karena itu penambahan sawah baru sampai tahun 2020 seharusnya 1,5 kali dari 1,6 juta ha atau sekitar 2,4 juta ha. Demikian pula untuk tahun 2030 sampai dengan 2050, sehingga dapat dicapai penambahan sekitar 6,0 juta ha kumulatif. Dari segi potensi lahan berdasarkan kondisi tahun 2007 masih terdapat lahan yang dapat dikembangkan untuk pembukaan sawah baru seluas 8,28 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa 2,98 juta dan lahan non rawa 5,30 juta ha.
HAMBATAN, MASALAH, DAN DUKUNGAN PRASARANA YANG DIPERLUKAN Hambatan non teknis yang sering dihadapi adalah status legal pemilikan lahan, isu terkait dengan kesukuan, penyebaran penduduk dan lingkungan. Masalah tersebut apabila tidak diatasi dapat mengakibatkan gagalnya reklamasi lahan untuk lahan pertanian baru. Hambatan dan masalah lainnya dalam pembukaan lahan sawah seperti yang telah
disebutkan sebelumnya antara lain (i) ketersediaan data penyebaran lahan potensial pada skala operasional di lapangan, (ii) ketidak jelasan status kepemilikan lahan, baik sebagai tanah adat maupun tanah Negara atau kepemilikan lainnya, (iii) ketersediaan air irigasi, (iv) jumlah penduduk yang masih sedikit di wilayah potensial, (v) tingkat kesuburan tanah yang rendah dan keracunan besi tinggi. Keengganan atau minat masyarakat muda yang semakin menurun untuk bekerja di sektor pertanian (bertani sawah) disebabkan oleh selain harga hasil usahatani yang rendah tidak sesuai harapan, juga hasilnya tidak dapat dinikmati secara instant seperti menjadi buruh bangunan atau bidang-bidang usaha lainnya. Oleh karena itu, pembukaan lahan pertanian baru selain harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sistem produksinya, juga keharmonisan hubungan sosial masyarakatnya. Kepemilikan lahan baik oleh suku atau masyarakat adat maupun status kawasan kehutanan merupakan hambatan yang sering dihadapi dalam pelaksanaan perluasan sawah. Di samping itu hambatan lain muncul karena adanya tumpang tindih peruntukan lahan antara sektor pertanian dan non pertanian, atau antara pertanian tanaman semusim dan tanaman tahunan, seperti antara pengembangan kelapa sawit yang berkembang sangat pesat dengan usaha tanaman semusim. Ketersediaan sumberdaya air nasional (annual water resources, AWR) masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Sebaliknya di sebagian besar wilayah timur bagian selatan yang radiasinya melimpah, curah hujan rendah (< 1.500 mm/tahun) yang hanya terdistribusi selama 3-4 bulan. Dewasa ini, masalah meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya air di beberapa tempat semakin besar, yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi (Pasandaran dan Sugiharto, 1999). 35
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Penyebab berikutnya adalah kelangkaan air akibat tekanan demografi, anomali iklim (El Nino dan La Nina) serta rendahnya komitmen pemerintah dan masyarakat dalam mengelola air yang tercemar, sehingga ketersediaan air yang berkualitas cenderung menurun. Penurunan tersebut mempengaruhi pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan lingkungan. Selain itu, dengan adanya perubahan iklim global produksi padi akan menurun. Menurut Rejekiningrum dan Amin (1998), peningkatan CO2 akan mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim, mempengaruhi potensi hasil (produktivitas), dan kandungan biomassa tanaman padi. Diperkirakan produktivitas padi di Cianjur dan Sukabumi akan menurun pada dekade tahun 2010, 2030, dan 2050. Penyediaan air irigasi melalui pembangunan waduk merupakan hal yang sangat penting. Perluasan sawah yang saat ini masih berjalan lambat antara lain karena ketersediaan air irigasi yang kurang mendukung. Pengadaan air irigasi secara besar-besaran memerlukan biaya yang tidak sedikit, disamping waktu pembangunannya cukup lama. Oleh karena itu irigasi yang sudah ada dan irigasi sederhana dalam kapasitas relatif kecil sering menjadi andalan. Sungai-sungai besar yang sangat potensial sebagai sumber air irigasi dan cukup banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga terbuang percuma. Jika potensi sumber air yang besar tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dengan membangun waduk-waduk atau bangunan-bangunan irigasi, maka peluang untuk memenuhi kebutuhan pangan ke depan terutama beras melalui perluasan areal sawah dapat terpenuhi.
PENUTUP Kebutuhan bahan pangan pada tahun 2010 dan tahun selanjutnya akan terus meningkat, namun defisit beras apabila 36
produktivitas 5 t/ha GKG dapat dipertahankan, baru terjadi mulai tahun 2014. Pada tahun 2010 mulai terjadi defisit beberapa komoditas pangan terutama gula, dan kacang-kacangan, sehingga perlu dimulai penambahan luas baku lahan sawah. Total kebutuhan penambahan lahan sawah 6 juta ha sampai dengan tahun 2050 dapat dibagi menjadi kebutuhan perluasan bertahap per tahun, menjadi 150.000 ha, dimulai tahun 2010. Untuk perluasan lahan sawah di masa depan masih tersedia peluang dengan memanfaatkan lahan tersedia seluas 8,28 juta ha, terdiri atas lahan potensial sawah rawa 2,98 juta ha dan sawah non rawa 5,30 juta ha. Sebagai catatan, tanaman pangan spesifik di lahan rawa, yaitu sagu yang banyak dijumpai di Kawasan Timur Indonesia (Papua) dan merupakan makanan pokok masyarakat setempat perlu tetap dilestarikan. Pengembangan lahan sawah harus dilengkapi dengan prasarana/infrastruktur yang dibutuhkan seperti bendungan air, saluran irigasi dan pengaturan drainase untuk lahan rawa, pembuatan petakan, prasarana jalan, dan teknologi pengelolaan tanah dan air. Perluasan lahan sawah merupakan investasi untuk mencapai ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan, dinilai menjadi solusi permanen terhadap kekurangan pangan. Adanya pro dan kontra antara berbagai golongan masyarakat lebih sering disebabkan oleh karena masing-masing golongan yang terkait berpikir secara sempit berdasarkan minatnya sendirisendiri. Apabila Pemerintah menjadikan program ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan menjadi kebijakan nasional yang diprioritaskan, maka solusinya adalah perluasan areal lahan pertanian, baik berupa lahan sawah ataupun lahan kering. Ekses negatif dari perluasan areal lahan pertanian, seperti isu lingkungan, keaneka ragaman hayati, kesenjangan kesempatan ekonomi, keharmonisan hubungan antar suku dan golongan, perlu di atasi dengan adil dan sebaik-baiknya. Kecukupan pangan beras merupakan kebutuhan pokok kehidupan bangsa
S. Ritung : Lahan Sawah dan Kecukupan Produksi Bahan Pangan
Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah hendaknya membangun kebijakan yang jelas, kokoh dan konsisten dalam hal ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, dan bukan kebijakan penyelamatan jangka pendek, yang justru menjadi lebih mahal.
Pasandaran, E. dan B. Sugiharto. 1999. Kebutuhan Pengairan Bagi Pengembangan Agribisnis Pangan, Hortikultura, Peternakan dan Perikanan Darat. Makalah pada Lokakarya Kebijakan Pengairan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis. Jakarta, 8 Desember 1999.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000. Puslittanak, Bogor.
Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Sumarno atas segala masukan yang telah diberikan selama penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan Irawan. 2007. Agricultural land conversion as a threat to food security and environmental quality. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(3):90-98. Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas Pertanian: Tinjauan Aspek Sumberdaya Lahan. BPS. 1997-2008. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Departemen Pertanian (Deptan). 2008. Statistik Pertanian, Departemen Pertanian. Irawan. 2005. Analisis ketersediaan beras nasional: suatu kajian simulasi pendekatan sistem dinamis. Hlm 107-130. Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan, Bogor 12 Oktober dan 24 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Kasno, A., Sulaeman, dan Mulyadi. 1999. Pengaruh pemupukan dan pengairan terhadap Eh, pH, ketersediaan P dan Fe, serta hasil padi pada tanah sawah bukaan baru. Jurnal Tanah dan Iklim (17):72-81.
Rejekiningrum, P. dan L.I. Amien. 1998. Skenario perubahan iklim dan dampaknya terhadap potensi hasil padi sawah di Sukabumi dan Cianjur. Jurnal Tanah dan Iklim (16):43-48. Ritung, S. dan A. Hidayat. 2003. Potensi dan ketersediaan lahan untuk pengembangan pertanian di Provinsi Sumatera Barat, Hlm 263-282. Dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar Lampung 29-30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian. Ritung, S. dan A. Hidayat. 2007. Prospek Perluasan lahan untuk padi sawah dan padi gogo di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Ritung, S. dan N. Suharta. 2007. Sebaran dan potensi pengembangan lahan sawah bukaan baru. Dalam Buku Tanah Sawah Bukaan Baru. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Sudaryanto T., R. Kustiari, dan H.P. Saliem. 2010. Perkiraan kebutuhan pangan dalam periode 2010-2050. Hlm 1-23. Dalam buku Analisis Sumber Daya Lahan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
37
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Sunarno. 2001. Penyediaan air irigasi dalam pencapaian produksi dan antisipasi El Nino. Hlm 18-23. Dalam M. Sola, Agusman, S. Munir, M. Thoyib, dan Mulyadi (Eds.). Prosiding Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan Produksi Tanaman Pangan, Ditjentan. Departemen Pertanian, Jakarta. Sutomo, S., dan K. Suhariyanto. 2005. Data Konversi Lahan Pertanian, Hasil Sensus Pertanian 2003. BPS-Statistik Indonesia. Swastika, D.K.S., P.U. Hadi, dan N. Ilham. 2000. Proyeksi Penawaran dan Permintaan Komoditas Tanaman Pangan: 20002010. Pusat Penelitian Sosial Ekonom Pertanian. Hlm 24.
38
ISSN 1907-0799
DEVELOPMENT OF NATIONAL CLIMATE DATABASE SYSTEM FOR SUPPORTING AGRICULTURE RESEARCH Pengembangan Sistem Database Iklim Nasional untuk Menunjang Penelitian Pertanian E. Runtunuwu Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Jl. Tentara Pelajar 1a, Bogor 16111
ABSTRACT One of the most significant challenges for improving the agroclimate research is availability of integrated climate data. This paper reviewed several climate database systems development of national and international levels; such as those produced by Indonesian Meteorological Climatological and Geophysical Agency (BMKG), World Meteorological Organization (WMO), and New Zealand climatic database systems. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) through Indonesian Agroclimate and Hydrology Research Institute (IAHRI) has developed a national climate database system (CDS), called as IAHRI CDS, as a basic part of agroclimatic researches. The system was integrated the numeric climate data and thematic spatial maps by applying Geographic Information System (GIS) and programming technologies. The data mainly comes from automated and manual climate stations of Ministry of Agriculture, BMKG and Irrigation service of each province. The development of IAHRI CDS is expected as a great resource for many potential applications on agriculture research in Indonesia. Keywords : Aagriculture, climate, database system, Indonesia
ABSTRAK Ketersediaan data iklim yang terintegrasi untuk seluruh Indonesia merupakan suatu tantangan untuk meningkatkan penelitian agroklimat. Tulisan ini mereview beberapa pengembangan sistem database iklim untuk skala nasional ataupun international, seperti Badan Meteolrologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), World Meteorological Organization (WMO), dan sistem database New Zealand. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi sedang membangun sistem database iklim nasional (disebut IAHRI CDS), sebagai bagian dari penelitian agroklimat. Sistem tersebut menggabungkan data iklim tabular dengan peta spatial dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dan programming. Data hujan/iklim dikumpulkan terutama berasal dari stasiun manual dan otomatik milik Kementrian Pertanian, BMKG, dan Dinas Pertanian dari setiap provinsi. Pengembangan IAHRI CDS diharapkan menjadi sumberdaya yang potensial untuk aplikasi penelitian di bidang pertanian. Kata kunci : Pertanian, iklim, sistem database, Indonesia
C
limate variables, such as rainfall, solar radiation and air temperature, their spatial and seasonal variations, are basic to all climatic, hydrologic, and natural resources studies. Therefore, a lot of researches have been done in the area of climate database development on various levels of region. Hanson et al. (2001) and Sboarina (2002) have done for specific watersheds, Froude and Beanland (1999) have done for national level, as well Hijman (1999) and Leemans and Cramer (1991) have done for global levels which based on available data and purposes.
In Indonesia, some institutions has developed climatic database based on their own purposes. Indonesian Meteorological and Geophysical Agency (BMKG) provides national climate data in particularly for transportation and disaster observation. Irrigation Service of each province provides rainfall data for irrigation uses. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) through Indonesian Agroclimate and Hydrology Research Institute (IAHRI) has developed a national daily climate database system as a basic part of agroclimatic researches (Runtunuwu dan Las, 2007). 39
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010
This paper reviewed several climate database systems development for national and international levels in order to get better assessment of the climate database system development for agriculture purposes. Several examples have been described on this paper, such as BMKG, World Meteorological Organization (WMO), and New Zealand climatic database systems. Based on this information, we considered some efforts that we have to improve the climate database system in Indonesia in the future.
CLIMATE DATABASE SYSTEM REFERENCES Indonesian meteorological climatological and geophysical agency (BMKG) Indonesian Meteorological and Geophysical Agency (BMKG) provides national climate data from around 4000 rainfall stations in Indonesia (Figure 1). Beside the rainfall station, BMKG also managed around 60 meteorology stations, which contain of daily radiation, air temperature, wind, air humidity, air pressure, rainfall and evapotranspiration/evaporation. The data could be obtained by order of BMKG branches at each region or province. Time series of monthly rainfall data is then analyzed by BMKG into 220 zones to determine monthly rainfall estimation (in mm) and monthly
rainfall characteristics (wet, normal or dry conditions). This information is available at http: //iklim.bmg.go.id. Other information such flooding and water balance also available at that address. Irrigation service Irrigation service (Former Ministry of Public Works) of each province in Indonesia collects the climate especially rainfall data. Usually the data has been collected based on the watershed project. The data could be accessed direct to local office of each province or by browsing in internet, such as produced by Irrigation Service of East Java Province at http://www. dpuairjatim.org. In agricultural sector, a real-time irrigation scheduling computer package for use on farms is imperative. Hes (1996) developed that kind of software by combining four models, i.e. a reference crop evapotranspiration model, an actual evapotranspiration model, a soil water balance model and an irrigation forecast model. World meteorological organization (WMO) Since before 1950, World Meteorological Organization (WMO) has been conducting a Climate Databases Project (http://www.wmo. int), notably through publication the climatological data for consecutive periods of 30 years. Those for 1931-1960 were published by WMO in 1962 to be followed by an enlarged
Figure 1. Distribution of rainfall stations managed by BMKG 40
E. Runtunuwu : Development of National Climate Database System
edition in 1971. The National Climatic Data Center (NCDC) in the USA prepared the 19611990 which were published by WMO in 1996, followed by an electronic edition on CD-ROM from NCDC in 1998. Similarly, WMO published the World Weather Records (WWR) which contains monthly and annual means or totals for each year of a decade, and the corresponding decadal (10-year) averages of pressure, temperature and precipitation. WWRs have been routinely published in regional volumes since the 1920s. The last of the five volumes for the decade 1981-1990 was published late in 1999. In addition, WMO also made publication of Monthly Climate Data of the World that contains monthly mean temperature, pressure, precipitation, vapor pressure, and sunshine for approximately 2,000 surface data collection stations worldwide and monthly mean upper air temperatures, dew point depressions, and wind velocities for approximately 500 observing sites of the world. The data could be online and offline accessed at http://www.ncdc.noaa.gov/ oa/mpp. New Zealand's National Climate Database CliFlo is the web system that provides a free access to New Zealand's National Climate
Database (http://cliflo.niwa.co.nz/). The climate database holds data from about 6,500 climate stations which have been operating for various periods since the earliest observations were made in the year 1850. The database continues to receive data from over 600 stations that are currently operating including wind, precipitation, temperature and humidity, sunshine and radiation, weather, pressure, clouds, and evaporation/soil moisture. CliFlo returns raw data and statistical summaries. Raw data include ten minute, hourly and daily frequencies as well the statistical data include about eighty different types of monthly and annual statistics. Global climate perspectives system (GCPS) The climate data could be derived also from Global Climate Perspectives System (GCPS) at http://iridl.ldeo.columbia.edu. This is a collection of quality-controlled monthly temperature and precipitation data from over 8,000 weather stations located around the world (Baker et al., 1994). The data is available here as a dataset, including an interactive data viewer and downloadable data files (Figure 2). Indonesia also supported this database system even only with around 110 stations.
(Source : http://iridl.ldeo.columbia.edu)
Figure 2. The locations of the 8000 GCPS weather stations over the world 41
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010
CLIMATE DATABASE SYSTEM DEVELOPED BY IAARD Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD) through Indonesian Agroclimate and Hydrology Research Institute (IAHRI) has developing national climate database system (IAHRI CDS) for agriculture purpose. Figure 3 showed the capture of the IAHRI CDS for Indonesia developed by IAARD. The strengths of the system are user friendly; fast compute long term climate data average based on the user’s requirement (daily, 10-days, three-days, weekly, 15-days, monthly, and annual); updatable with unlimited time; connected to water balance analysis software (Runtunuwu et al., 2007a), and the computed result could be display in graph, or tabular into monitor display, print out or in file.
The daily meteorological data were obtained from various sources (Table 1). Each institution has its own data format, schedule and timing of observed, position of meteorological stations, as well the policy how to obtain data. The data were homogeneous; therefore, we have to pull together in a standard database system. Approximately 95% of the data is only on paper forms. This older data is being entered year by year into the electronic database by IAHRI technicians. It is also often difficult to identify specific climate information for a specific time. This is because individual sites only record some data; some stations can be for a short term only; and some long term stations can be closed for various reasons such as equipment was missed and broken, limited financial for management, and no human resources.
Source : Runtunuwu et al. (2005) Notes : (a) distribution of climatic station spatially, (b) information of the name and location of the station, (c) data display in graph, and (d) data display in tabular.
Figure 3. 42
The capture of the national climatic database system which managed by IAHRI:
E. Runtunuwu : Development of National Climate Database System
Table 1. Main sources of climate data No. 1. 2. 3.
Institution
Types of stations
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development Indonesia Meteorological and Geophysical Agency Irrigation Service
Climatic automatic and manual Climate/rainfall manual Climate/rainfall manual
Table 2. Variables, units, and abbreviations used in IAHRI CDS No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Variables Rainfall Humidity (07.00) Humidity (12.00) Mean humidity Evaporation Wind speed Solar radiation Sunshine duration Minimum temperature Maximum temperature Mean temperature
Different climate stations report different parameters, particularly rainfall data; therefore, determining the main climate variable before design the system was important. Table 2 provides a summary of the variables, their units, and abbreviations. All variables from all climate stations were collected, computed, processed, and stored in a single standard database by using specific software. Principally, all inventory data might be classified into two types of data, i.e. digital spatial information such as administration boundary and tabular data set. Combination of spatial and tabular data in IAHRI CDS using programming technology made not difficult to search the climate information. The administration boundaries file in 1:250.000 scale updated in 1996 by National Mapping and Survey Agency (Bakosurtanal). The climate stations are located using latitude and longitude grid references.
Unit
Abbreviations
mm % % % mm m2 cal/m2 jam o C o C o C
RR UNM UND UNM EV WTM RGM SD TN TX TM
Since mid 2003, IAHRI has been developing the IAHRI CDS with collecting, entering, and evaluation to update the climate data actively. Until at the end of December 2009 the computed data for whole Indonesia was 3,366 stations and distributed by province as shown in Table 3, covering a period of around 30 years from 1975-2009, but, in general; the record is from 1990’s. The major recorded is daily rainfall. Recently, the amount of computer-accessible data series is about 4 gigabytes of data. Recently, IAHRI develops automating data delivery system from rainfall gauge to IAHRI CDS by using Global System for Mobile communication (GSM) modem (Unadi et al., 2009). Until the end of 2009, we have five automatic weather stations of Java Island could be accessed automatically. In the near future, the other weather stations will also be developed to cover other islands all over Indonesia.
43
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010
Table 3. The distribution of climate station in Indonesia by province No. 1. 2. 3. 4. 5.
Islands Java and Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku, Papua, Nusa Tenggara
Total
FUTURE CHALANGES Janssen et al. (2009) noted that to develop a good database system, data sources for database has to be collected, managed, and distributed by different institutions, residing in different locations, resulting in conceptual and practical problems. Therefore, in the future IAARD through IAHRI has to improve the climate database system by concerning the following aspects: Spatial climate database system development Ideally, the database system must cover not only the information of climate station but every hectare of the region/province, as developed by The Climatic Research Unit (Brohan et al., 2006) about the spatial variability in monthly global temperature. For this aim it is essential for IAHRI to face an interpolation process. The choice of the best spatial interpolator, the one that minimizes errors, is especially important in regions with complex geography like Indonesia, where variables may considerably change in few hundred meters. The best way to work with georeferred data, like the meteorological ones, is to use a GIS because it allows managing a great number of data without loosing their geographic information. One method is artificial neural networks (ANN) that has been trying to utilize in spatial climate interpolation (Nasseri et al., 2008) or by using radar-rainfall product (Mandapaka et al., 2009) and other remote sensing technologies (Jenifer et al., 2010). To 44
Time range Number of stations 1975-2009 1982-2007 1975-2009 1980-2009 1975-2007
1,860 482 468 345 211 3,366
interpolate data in area with no climatic station it is necessary to integrate with other spatial data like topographic and slope data. The IAHRI CDS was designed to store a variety of climate information from climate stations as well as other spatial datasets. Enhancement of climate database application The IAHRI CDS was primarily established for scientific research purposes especially to get climate information of a given area. The application uses of the IAHRI CDS are expected to aggregate and report climate information in real time (Unadi et al., 2009), assist with modeling possible more accurate of climate estimation (Pramudia et al., 2008), to assist climate, environmental and crop correlation (Tao et al., 2009; Rodríguez et al., 2010), and to analyze risk assessment of climate hazards such as flooding (Cloke and Pappenberger, 2009) and drought (Runtunuwu et al., 2007b). National climate networking As mentioned before, the climate data was collected from several difference institutions. Therefore, we have to develop national climate networking. This networking could be share in climate data, information, method, and equipments; hence the coverage of climate information becomes more representatives for whole Indonesia. Janssen et al. (2009) noted that the use of dispersed data for agricultural systems research requires the integration of data sources,
E. Runtunuwu : Development of National Climate Database System
which means to ensure consistency in data interpretations, units, spatial and temporal scales, to respect legal regulations of privacy, ownership and copyright, and to enable easy dissemination of data. However, it is very important to utilize in Indonesia since the area is extremely large and almost impossible to maintain only by one institute or ministry.
climate station especially in agricultural area in whole Indonesia. In the future, by learning from other institutions, we realized some aspects that have to improve are spatial climate database system, climate analyses applications, and web based national climate information system.
Web based national climate information
Baker, C.B., J.K. Eischeid, T.R. Karl, and H.F. Diaz. 1994. The quality control of longterm climatological data using objective data analysis. Preprints of AMS Ninth Conference on Applied Climatology, Dallas, TX.
Interactive web access is also essential to assist the users in getting the climate information faster, such as produced by United States Geological Survey (USGS). USGS has a distributed water database that is locally managed and easy to access by user (http:// groundwaterwatch.usgs.gov/). The objective of those efforts in climate information access is to simplify and effectives for users to access and further process large and unwieldy amounts of data and information.
CONCLUSIONS This paper reviewed several climate database systems development for national and international levels in order to get better assessment of the climate database system development for agriculture purposes. Several examples have been described on this paper, such as BMKG, WMO, and New Zealand climatic database systems. IAARD through IAHRI has developed the daily national climate database system for agriculture, called IAHRI CDS. This IAHRI CDS stores a variety of climate information from climate stations for whole Indonesia. Since, different climate stations report different parameters and forms, especially rainfall data, IAHRI CDS has standardized in one system. This system is updatable for data entering, applications and output of analysis. Since this product describes the climate information for whole Indonesia, consequently, this system has to update time to time. For that reason, we have to cooperate with other link institutes and also improve the distribution of
REFERENCES
Brohan, P., J.J. Kennedy, I. Harris, S.F.B. Tett, and P.D. Jones. 2006. Uncertainty estimates in regional and global observed temperature changes: A new data set from 1850, J. Geophys. Res., 111, D12106, doi:10.1029/2005JD006 548. Cloke,
H.L. and F. Pappenberger. 2009. Ensemble flood forecasting: A review. Journal of Hydrology 375(3-4):613-626.
Froude, V.A. and R.A. Beanland. 1999. Review of Spatial Frameworks and Environmental Classification Systems. Report prepared for the Ministry for the Environment. Pacific Ecologic Resource Management Associates and Ruth Ann Beanland Planning and Resource Management Consultant. Hanson, C.L., D. Marks, and S.S. Van Vactor. 2001. Long-term climate database, Reynolds Creek experimental watershed, Idaho, United States. Water Resources Research 37(11):2839-2841. Hijmans, R.J. 1999. Global Climate Surfaces at a 10-minute Resolution (GCLIM10). Production Systems and Natural Resource Management Working Paper No. 3. International Potato Center, Lima, Peru. Hess, T. 1996. Computers and electronics in agriculture 15(3):233-243. http://cliflo.niwa.co.nz. Accesed on March 2010. http://iridl.ldeo.columbia.edu. February 2010.
Accesed
on
45
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1, Juli 2010
http://iklim.bmg.go.id. Accesed on April 2010. http://www.wmo.int. Accesed on March 2010. http://www.ncdc.noaa.gov/oa/mpp. Accesed on March 2010. http://groundwaterwatch.usgs.gov. Accesed on March 2010. http://www.dpuairjatim.org. Accesed on April 2010. Janssen, S., E. Andersen, I.N. Athanasiadis, and M.K. van Ittersum. 2009. A database for integrated assessment of European agricultural systems. Environmental Science and Policy 12(5):573-587. Jeniffer, K., Z. Su, T. Woldai, and B. Maathuis. 2010. Estimation of spatial–temporal rainfall distribution using remote sensing techniques: A case study of Makanya catchment, Tanzania. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation 12(1):S90-S99. Leemans, R. and W. Cramer. 1991. The IIASA Database for Mean Monthly Values of Temperature, Precipitation and Cloudiness on A Global Terrestrial Grid. IIASA Research Report RR-91-18. International Institute of Applied Systems Analyses, Laxenburg. 61 p. Mandapaka, P.V., W.F. Krajewski, G.J. Ciach, G. Villarini, and J.A. Smith. 2009. Estimation of radar-rainfall error spatial correlation. Advances in Water Resources 32(7):1020-1030. Nasseri, M., K. Asghari, and M.J. Abedini. 2008. Optimized scenario for rainfall forecasting using genetic algorithm coupled with artificial neural network. Expert Systems with Applications 35(3): 1415-1421. Pramudia, A., Y. Koesmaryono, I. Las, T. June, I W. Astika, dan E. Runtunuwu. 2008. Pewilayahan hujan dan model prediksi curah hujan untuk mendukung analisis ketersediaan dan kerentanan pangan di sentra produksi padi. Forum Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 31(2):1-8. Rodríguez, E.F., C. Kubota, G.A. Giacomelli, M.E. Tignor, S.B. Wilson, and M. Mc
46
Mahon. 2010. Dynamic modeling and simulation of greenhouse environments under several scenarios: A web-based application. Computers and Electronics in Agriculture 70(1):105-116. Runtunuwu, E., E. Surmaini, W. Estiningtyas, dan Suciantini. 2005. Sistem basis data sumberdaya iklim dan air. Hlm 39-54. Dalam Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. E. Pasandaran, H. Pawitan, and L.I. Amien (Eds.). Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Runtunuwu, E. dan I. Las. 2007. Penelitian agroklimat dalam mendukung perencanaan pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 1(3):33-42. Runtunuwu, E., F. Ramadhani, dan K. Sari. 2007a. Petunjuk Teknis Penggunaan Perangkat Lunak Neraca Air Tanaman WARM 2.0. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Hlm 55. Runtunuwu, E., E. Susanti, dan S.H. Adi. 2007b. Analisis kekeringan meteorologis berdasarkan standard precipitation index Provinsi Jawa Tengah. Hlm 173-184. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Sboarina, Ch. 2002. Development of a complete climate database using a new GRASS module. In Proceedings of the Open source GIS–GRASS users conference. Trento, Italy, 11-13 September 2002. Unadi, A., B. Budiman, A. Pramudia, dan Nasrullah. 2009. Pengembangan Jaringan AWS Telemetri untuk Percepatan Delivery Data Iklim Guna Meningkatkan Akurasi Analisis Dan Prediksi Iklim. Laporan akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Tao, F., Z. Zhang, J. Liu, and M. Yokozawa. 2009. Modeling the impacts of weather and climate variability on crop productivity over a large area: A new superensemble-based probabilistic projection. Agricultural and Forest Meteorology 149(8):1266-1278.
ISSN 1907-0799
RETENSI P OLEH OKSIDA BESI DI TANAH SULFAT MASAM SETELAH REKLAMASI LAHAN Retention P by Iron Oxide in Acid Sulphate Soil after Land Reclamation W. Annisa1 dan B.H. Purwanto2 1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebon Karet, Lok Tabat, Banjarbaru 70700 2 Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta
ABSTRAK Tanah Sulfat Masam merupakan tanah yang banyak mengandung pirit (FeS2). Kesalahan reklamasi pada tanah sulfat masam mengakibatkan timbulnya permasalahan akibat teroksidasinya pirit sehingga tanah menjadi sangat masam. Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akan menghasilkan oksida-oksida besi seperti goethite (α-FeOOH) dan hematit (α–Fe2O3). Besi oksida baik berupa goethite maupun hematit memiliki kemampuan untuk berikatan dengan anion maupun kation dalam tanah seperti P yang menghasilkan kompleks permukaan binuklear dengan model jerapannya Fe-O-P(O2)-O-Fe. Di lahan basah seperti lahan sulfat masam P merupakan faktor pembatas karena asosiasinya dengan Fe tanah dan kelarutannya berubah selama proses reduksi dan oksidasi tanah. Semakin banyak oksida besi dalam tanah maka akan semakin banyak P yang diretensi dan diduga bahwa setiap m.mol Fe dalam tanah akan meretensi P sebanyak 0,17 m.mol. Kata kunci : Tanah sulfat masam, besi oksida, fosfor, reklamasi
ABSTRACT Acid Sulphate Soil is a kind of soil with high pyrite (FeS2) content. Miss management in land reclamation of acid sulphate soil will cause pyrite oxidation that made the soil becomes very acid. Pyrite oxidation on acid sulphate soil will produce iron oxides such as goethite (α-FeOOH) and hematite (α-Fe2O3). Goethite and hematite have ability to bind the anions and cations in the soil such as phosphate which produces a complex surface binuclear with model of Fe-OP(O2)-O-Fe. On acid sulphate land because of its association with soil Fe and its solubility alteration during reduction and oxidation processes of land, P is a limiting factor. More iron oxide in the soil, more P is retentioned. Each m.mol Fe in soil will bind P as much as 0,17 m.mol P. Keywords : Acid sulphate soil, iron oxide, phosphorus, reclamation
K
ebutuhan lahan yang terus meningkat menjadi penyebab dimanfaatkannya lahan-lahan marginal seperti lahan rawa. Reklamasi lahan merupakan salah satu cara yang dilakukan agar lahan marginal dapat dijadikan sebagai lahan pertanian. Namun demikian, pada kenyataannya banyak kasus yang menunjukkan bahwa setelah tanah sulfat masam direklamasi muncul masalah-masalah yang sukar diatasi. Kondisi inilah yang sering terjadi pada saat reklamasi dijalankan akibat dari penggalian saluran-saluran irigasi/drainase berdimensi besar, yang memungkinkan terjadinya drainase berlebihan (overdrain) yang mengakibatkan teroksidasinya pirit sehingga tanah menjadi masam (Widjaja-Adhi, 1997). Hal inilah yang menjadi penyebab degradasi pada lahan rawa. Widjaja-Adhi et al. (1992) menyatakan bahwa
untuk menghindari kerusakan yang berkelanjutan, maka sistem pengelolaan lahan rawa harus didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan air. Pada dasarnya sawah merupakan alternatif yang sangat memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan reduktif. Namun demikian, bervariasinya tipologi lahan pada setiap kawasan dengan tipe luapan yang berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan lahan yang berbeda Kemasaman tanah yang tinggi di lahan sulfat masam setelah reklamasi merupakan salah satu permasalahan yang timbul (Noor, 2004). Pirit menjadi tidak stabil dengan kehadiran O2, sehingga merubah kelarutan Fe3+ dan SO42menjadi jarosit atau goethite, tetapi bagaimanapun juga hasil akhir dari oksidasi pirit ini adalah terbentuknya ion H+ yang akan menurunkan pH 47
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
tanah (Breemen and Buurman, 2002). Selain itu, timbulnya retakan (crack) dan meningkatnya unsur-unsur toksik seperti Al3+, Fe3+, sulfida, dan asam-asam organik merupakan permasalahan lain yang juga timbul sesudah reklamasi tanah sulfat masam (Noor, 2004).
setelah reklamasi lahan sehingga menurunkan kelarutan P.
Reaksi oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akan menghasilkan oksida-oksida besi seperti goethite (α-FeOOH) dan hematit (α– Fe2O3). Namun pada kondisi pH terlalu masam (<4) dan potensial redoks tinggi (Eh ≥ 400 mV) oksidasi pirit akan menghasilkan jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] (Dent, 1986). Jarosit akan mengalami perubahan bentuk menjadi oksida melalui proses hidrolisis (Stahl et al., 1993). Kelarutan dan reaktifitas dari bentuk oksida besi diantaranya ditentukan oleh pH tanah dan potensial redoks.
Tanah sulfat masam merupakan tanah yang umumnya ditemukan di daerah rawa dan mengandung pirit (FeS2). Pemanfaatan lahan rawa khususnya tanah sulfat masam baik sebagai lahan transmigrasi maupun lahan pertanian sudah lama dilakukan. Mengingat kondisi tanah sulfat masam yang marginal dan fragile maka untuk menjadikannya sebagai lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi dalam pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diperlukan perencanaan yang sangat teliti, agar kesalahan dalam pengembangan dan kerusakan lingkungan yang terjadi dapat dihindari.
Besi oksida baik berupa goethite maupun hematit memiliki kemampuan untuk berikatan dengan anion maupun kation karena dapat terhidrolisis secara sempurna (Liu, 1999). Adapun mekanisme serapan fosfat oleh oksida besi berdasarkan hasil pengamatan Parfitt et al. (1975) adalah melalui penggantian satu ion fosfat oleh dua ion hidroksil permukaan (atau molekul air) dari oksida besi. Kemudian dua atom oksigen dari ion fosfat tersebut akan berkoordinasi dengan masing-masing ion Fe3+ yang menghasilkan kompleks permukaan binuklear dengan model jerapannya adalah: FeO-P(O2)-O-Fe. Dan hasil penelitian Parfitt et al. (1975) menunjukkan bahwa semakin besar jumlah oksida besi dalam tanah maka akan semakin banyak pula fosfat yang teradsorbsi. Adapun prinsip dari adsorbsi ion oleh oksida besi adalah ikatan binuklear yang kuat oleh ion Fe di permukaan (Parfitt et al., 1975). Pada dasarnya sifat kimia permukaan besi oksida inilah yang menentukan reaktivitas penjerapan besi oksida terhadap anion terutama fosfat (Liu, 1999). Bohn et al. (2003) menyatakan bahwa besar kecilnya muatan positif dan negatif permukaan Fe oksida ini yang menentukan reaktivitas jerapannya terhadap ion-ion dalam tanah. Makalah ini bertujuan membahas tentang jerapan P oleh oksida-oksida besi yang terbentuk di tanah sulfat masam akibat teroksidasinya pirit 48
TANAH SULFAT MASAM
Adapun kendala utama dalam reklamasi tanah sulfat masam ini adalah bahan yang timbul akibat oksidasi pirit. Menurut Dent (1986) pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang kaya kandungan bahan organik dan mendapat tambahan sulfur yang umumnya dari air laut. Pembentukan pirit digambarkan berikut ini (Dent, 1986) : Fe2O3 + 4SO42- + 8CH2O + ½O2 → 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O Pirit ini akan stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang. Akan tetapi apabila permukaan air bawah permukaan (groundwater) menurun hingga melebihi kedalaman lapisan pirit dapat mengakibatkan pirit teroksidasi dan tanah menjadi masam (Dent, 1986). Kondisi ini terjadi karena reklamasi yang dijalankan kurang tepat. Menurut Widjaja-Adhi (1997) ada beberapa faktor penyebab degradasi pada lahan rawa, antara lain: (a) reklamasi lahan yang dilakukan dengan membangun saluran drainase dalam dimensi besar, yang memungkinkan terjadinya drainase berlebihan (overdrain) yang mengakibatkan pirit teroksidasi, dan (b) penerapan sistem pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan.
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfidik
Penurunan agrofisik lahan
Reklamasi
Tanah sulfat masam
Penurunan sifat-sifat tanah
Penurunan produktivitas Sumber : Noor (2004)
Gambar 1. Bagan alur perubahan pada tanah sulfat masam dan penurunan produktivitas lahan Degradasi pada lahan sulfat masam umumnya didominasi oleh (a) proses pemasaman tanah dan air sebagai akibat dari oksidasi pirit, dan (b) pencucian basa-basa sebagai dampak dari pencucian asam (Adimihardja et al., 2006).
OKSIDASI BESI AKIBAT REKLAMASI LAHAN Reklamasi lahan yang kurang tepat dengan penggalian saluran-saluran irigasi/drainase berdimensi besar memungkinkan terjadinya drainase berlebihan (overdrain) yang mengakibatkan teroksidasinya pirit. Menurut Fanning dan Burch (1997) pada saat tanah sulfat masam didrainasekan maka pirit akan teroksidasi secara aerob. Pirit yang stabil pada kondisi reduksi mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat yang dapat menurunkan pH tanah secara drastis. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi dengan pirit yang akan menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi. Reaksinya
adalah sebagai berikut (Dent, 1986; Breemen and Buurman, 2002) : FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO42+ 4 H+ Apabila pH menurun hingga di bawah 4, maka feri (Fe3+) menjadi larut dan akan mengoksidasi pirit dengan cepat. Adapun reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ secara lengkap menghasilkan 16 molekul H+ sebagai berikut (Dent, 1986) : FeS2 + 14 Fe3+ + 8H2O → 15 Fe2+ + 2SO42+ 16 H+ Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH dibawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi (Nordstrom, 1982 dalam Noor, 2004). Oksidasi besi ini akan merubah bentuk kelarutan Fe2+ dan SO42- menjadi jarosit dan goethite (Breemen dan Buurman, 2002). Menurut Brady et al, (1986) reaksi oksidasi dan hidrolisis akan menyebabkan peningkatan dua mol H+ tiap mol Fe yang terhidrolisis. Reaksi kimia pembentukan FeOOH dari Fe2+ adalah sebagai berikut : 49
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Fe2+ + ¼O2 + 3/2H2O → FeOOH + 2H+ Selain itu, hasil akhir dari oksidasi pirit adalah terbentuknya ion H+ yang akan mengakibatkan penurunan pH tanah dan kemudian sebagian dari ion tersebut juga digunakan untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ (Dent, 1986; Breemen and Buurman, 2002). Menurut Subagyo (2006) terlalu banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur dari mineral liat, sehingga membebaskan banyak ion aluminium (Al3+) yang bersifat toksik terhadap tanaman. Pada pH tanah > 4 sebagian besar dari besi-III koloidal atau Fe(OH)3 yang terbentuk pada akhirnya mengkristal menjadi oksida besi goethite yang berwarna coklat, kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam tanah dan dinding-dinding saluran drainase (Dent, 1986; Breemen dan Buurman, 2002; Subagyo, 2006). Menurut Dent (1986) goethite ini lambat laun akan berubah menjadi hematit dengan reaksi sebagai berikut : 2FeO.OH → Fe2O3 + H2O goethite hematit
terbentuk oleh hidrolisis Fe3+ atau proses hidrolisis yang diikuti dengan proses dehidrasi, sedangkan jarosit terbentuk dari banyak jenis ion (seperti: SO42-, K+, Fe3+, OH-) yang diperlukan untuk membentuk mineral tersebut. Mineral jarosit mengalami perubahan bentuk menjadi oksida melalui proses hidrolisis (Stahl et al., 1993). Brady et al. (1986) menyatakan bahwa penjenuhan selama kurang lebih 30 hari dapat menyebabkan perubahan bentuk dari mineral jarosit.
STABILITAS OKSIDA BESI Perubahan potensial redoks dan pH tanah mempengaruhi terhadap bentuk Fe yang aktif di larutan tanah. Berdasarkan penelitian Brown (1971) dalam Stahl et al. (1993) pada pH rendah dan oksidasi berada pada kondisi moderat dengan aktivitas SO4 yang tinggi akan menghasilkan endapan jarosit. Hal tersebut dapat diprediksi dengan menggunakan Diagram Stabilitas Fe akibat pengaruh Eh dan pH seperti ditunjukkan oleh Bohn et al. (2003) pada Gambar 2.
merupakan Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] endapan berwarna kuning pucat yang merupakan hasil dari oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh di atas 400 mV dan pH kurang dari 3,7 (Dent, 1986). Reaksi pembentukan jarosit adalah : FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3 K+ → 1/3(KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO42- + 3H+ Pada pH lebih tinggi (pH>4), jarosit menjadi tidak stabil dan berubah menjadi goethite dan terhidrolisis menjadi besi oksida dengan persamaan sebagai berikut (Dent, 1986): KFe3(SO4)2(OH)6 → 3FeO.OH + K+ + 3H+ + 2SO42jarosit goethite
Hasil penelitian Stahl et al. (1993) menunjukkan pembentukan goethite lebih cepat dibandingkan jarosit karena goethite dapat
50
Sumber : Bohn et al. (2003)
Gambar 2. Diagram stabilitas bentuk Fe pada beberapa nilai Eh dan pH
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
Gambar 2 merupakan diagram stabilitas yang menunjukkan bentuk/spesies dominan dari besi yang stabil pada kondisi potensial redoks dan pH yang spesifik. Pengendapan besi ditentukan oleh kisaran nilai pH dan potensial redoks. Potensial redoks inilah yang menentukan besi mengalami oksidasi atau reduksi. Diagram pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kondisi kemasaman sedang FeOOH akan larut menjadi Fe2+, sedangkan Fe3+ akan dominan pada kondisi sangat oksidatif dengan nilai potensial redoks >400 mV dan pH < 2. Bentuk besi yang stabil adalah dalam bentuk Fe2+. Siderit (FeCO3) terbentuk pada kondisi reduksi sedang dan pH >7. Menurut Kirk, (2004) besi akan stabil pada kondisi yang sangat reduktif.
MEKANISME FIKSASI P OLEH OKSIDA BESI AKIBAT REKLAMASI LAHAN SULFAT MASAM Liu (1999) menyatakan bahwa besi oksida memiliki sifat kimia permukaan, yang dapat mengadsorbsi anion maupun kation. Besar kecilnya muatan positif dan negatif permukaan inilah yang menentukan reaktivitas jerapan dari oksida besi terhadap ion-ion dalam tanah (Reddy and De Laune, 2008). Muatan permukaan merupakan fungsi pH dan kekuatan ion dalam larutan, dimana bisa bermuatan positif atau negatif bahkan bisa bermuatan nol. Point Zero Charge (PZC) adalah penting untuk menentukan karakteristik permukaan. Menurut Breemen dan Buurman (2002) PZC adalah saat muatan permukaan negatif sama dengan muatan positif. PZC ini juga mencerminkan dari kemasaman permukaan, dimana pada saat pH < PZC muatan permukaan positif, tetapi apabila pH > PZC muatan permukaan adalah negatif. PZC inilah yang menentukan dari reaktivitas permukaan, dimana nilai PZC goethite (α– FeOOH) adalah 7,8 dan nilai PZC untuk hematit (α–Fe2O3) adalah 8,2-9,5 (Essington, 2004; Kirk, 2004; Violente et al., 2005).
Sumber : Reddy dan De Laune (2008)
Gambar 3. Pengaruh pH terhadap muatan tanah pada fase padat Gambar 3 menunjukkan hubungan antara PZC dengan muatan permukaan. Goethite memiliki PZC pada pH 7,8 sehingga pada kondisi pH di bawah 7,8 muatan permukaan didominasi oleh muatan positif tanah, sedangkan di atas pH 7,8 muatan permukaan didominasi oleh muatan negatif. Bohn et al. (2003) menyatakan bahwa dengan semakin bertambahnya muatan positif tanah maka kemampuan dalam meretensi anion melebihi kemampuan dalam meretensi kation. Adapun mekanisme penjerapan fosfat oleh oksida besi berdasarkan pengamatan Parfitt, et al. (1975) menggunakan metode Infrared spectroscopic didapatkan model struktur reaksi permukaan antara oksida besi dengan ion fosfat yaitu dengan menggantikan dua ion hidroksil permukaan oleh satu ion fosfat. Dua atom oksigen fosfat akan berkoordinasi dengan masing-masing ion Fe3+ yang berbeda, sehingga menghasilkan kompleks permukaan binuklear dengan tipe Fe-O-P(O2)-O-Fe. Kenyataannya bahwa absorpsi fosfat akan menghasilkan struktur koordinasi permukaan dari oksida besi seperti goethite, hematit, lepidocrocite, β-ferric hydroxide dan ferric hydroxide amorf. Pembentukan dari kompleks fosfat meliputi perubahan ataupun pemindahan dari ligan-ligan (hidroksil atau air) dari koordinasi Fe3+(Parfitt et al., 1975). Berdasarkan hasil pengamatan dengan infrared spectroscopic diperoleh bahwa frekuensi dari pita adsorbsi fosfat berbeda untuk
51
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
masing-masing oksida besi. Untuk goethite pada pH 4 hasil infrared spectroscopic memperlihatkan tiga pita hasil pengamatan dengan frekuensi: 1191 cm-1, 1105 cm-1, dan 993 cm-1 (Parfitt et al., 1975). Ketiga pita tersebut menunjukkan karakteristik dari adsorbsi fosfat yang membentuk kompleks binuklear dengan dua oksigen dari fosfat berkoordinasi dengan dua ion ferric yang berbeda di permukaan (Gambar 4).
ion ferri. Keberadaan air akan menghasilkan ikatan hidrogen yang kuat untuk dua atom fosfat sehingga terjadi perluasan pita P-O, dan akibatnya frekunsi pita spektra menurun dari 1191 menjadi 1130 cm-1. Pada Gambar 5 terlihat model ideal permukaan goethite dengan tipe hidroksil berwarna gelap.
Sumber : Parfitt et al. (1975)
Gambar 5. Struktur ideal goethite (satu koordinasi OH ditunjukkan oleh warna gelap)
Sumber : Parfitt et al. (1975)
Gambar 4. Pita infrared (A) goethite menghilang; (B) serapan max fosfat oleh goethite pada pH 4 di udara; (C) serapan max fosfat goethite pH 4, menghilang; (D) fosfat goethite pada pH 10 di udara; dan (E) fosfat goethite pH 10, menghilang Pita yang sangat tajam terbentuk pada frekuensi 1.191 dan 993 cm-1 akibat menghilangnya air sehingga dua atom oksigen bebas dari fosfat dan tidak berkoordinasi dengan
52
Untuk hematit pada pH ≥ 10 hasil infrared pita adsorbsi fosfat terlihat pada frekuensi: 1.163 cm-1, 1.100 cm-1, 990 cm-1, dan 860 cm-1 dan memperlihatkan kemungkinan terbentuknya kompleks binuklear oleh dua hidroksil yang berdekatan (Gambar 6). Bentuk pita pada pH tinggi ini menunjukkan hubungan terhadap kehilangan proton dari permukaan grup OH dan sebagai akibat dari pemindahan ikatan hidrogen untuk mengadsorbsi fosfat yang berdekatan (Parfitt et al., 1975). Pada contoh yang disiapkan pada pH tinggi pita infrared terlihat pada frekuensi 1163 cm-1, yang disebabkan karena hematit pada pH 10 membawa muatan negatif. Menurut Kirk (2004) nilai PZC hematit berkisar antara 8,2-9,5. Gambar 7 memperlihatkan permukaan natural dari hematit, dan OH berkoordinasi dengan Fe3+ ditunjukkan pada gambar dengan bagian yang berwarna gelap.
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
Sumber : Parfitt et al. (1975)
Gambar 7. Struktur ideal hematit (satu koordinasi OH ditunjukkan oleh warna gelap) Adsorbsi fosfat oleh goethite akan membentuk kompleks permukaan binuklear, dan mekanisme penjerapannya adalah sebagai berikut (Parfitt et al., 1975) :
atau Sumber : Parfitt et al. (1975)
Gambar 6. Pita infrared (A) hemathite menghilang; (B) serapan fosfat oleh hemathite pada pH 4 di udara; (C) fosfat hematit, menghilang ; (D) Fe (OH)3 gel menghilang; (E) fosfat Fe (OH)3 gel diudara; dan (F) fosfat Fe (OH)3 gel, menghilang
Hasil penelitiannya Parfitt et al. (1975) menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya oksida besi maka akan semakin banyak pula P yang diadsorbsi. Prinsip dari absorpsi ion oleh oksida besi adalah melalui ikatan binuklear yang kuat oleh ion Fe di permukaan. Pospor merupakan faktor pembatas dilahan basah karena asosiasinya dengan Fe tanah, dimana kelarutannya berubah selama proses reduksi dan oksidasi. Hasil penelitian Kirk, (2004) menunjukkan penggenangan selama 6 minggu dapat meningkatkan konsentrasi P pada larutan Tanah (Gambar 8).
53
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
dalam tanah (Khalid et al., 1977; Berkheiser et al., 1980; Richardson, 1985; Walbridge and Struthers, 1993; Gale et al., 1994; Reddy et al., 1998 dalam Reddy and De Laune, 2008). Hubungan kapasitas serapan P (dihitung dengan persamaan Langmuir) atau adsorbsi maksimum dari P dan ekstrak oksalat besi dan aluminium pada Gambar 9. Jumlah besi dan aluminium yang terekstrak dengan amonium oksalate berkorelasi tinggi dengan kapasitas serapan P di tanah mineral basah yang didominasi oleh besi dan aluminium. Berdasarkan Gambar 9 dapat diduga bahwa kira-kira 0,17 m.mol P akan diretensi setiap m.mol Fe dan Al.
Sumber : Kirk (2004)
Gambar 8. Perubahan konsentrasi P pada larutan tanah pada berbagai jenis tanah akibat penggenangan Hasil penelitian Larsen et al. (1959) menunjukkan pemberian Fe-oksida pada tanah organik akan meningkatkan kapasitas jerapan P pada tanah tersebut. Sebaliknya, jumlah P yang terfiksasi dari kompleks Fe-senyawa humat dapat mencapai 6 kali lebih besar dibandingkan dengan jerapan P oleh oksida besi. Peneliti umumnya menyatakan bahwa ada korelasi yang nyata secara statistik antara bentuk amorf dari besi dan Al dengan retensi maksimum posfor
KESIMPULAN Upaya reklamasi tanah sulfat masam dilakukan dengan tetap memperhatikan keberadaan pirit agar tidak teroksidasi ke permukaan sehingga pirit stabil. Teroksidasinya pirit mengakibatkan tanah menjadi sangat masam dan kahat hara terutama P akibat diretensi oleh besi oksida seperti goethit dan hematit. Keberadaan goethit dan hematit dalam tanah berkorelasi nyata dengan retensi P maksimum dan diduga bahwa setiap m.mol Fe
Sumber : Reddy et al. (1995) dalam Reddy dan De Laune (2008)
Gambar 9. Hubungan antara ekstrak oksalat besi dan aluminium dan serapan fosfat maksimum pada tanah mineral rawa 54
W. Annisa dan B.H. Purwanto : Retensi P oleh Oksida Besi di Tanah Sulfat Masam
dalam tanah akan meretensi P sebanyak 0,17 m.mol. Retensi P oleh goethit maupun hematit akan membentuk kompleks permukaan binuklear dengan tipe Fe-O-P(O2)-O-Fe melalui ikatan binuklear yang kuat oleh ion Fe di permukaan.
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A., K. Subagyono, dan M. Al-Jabri. 2006. Konservasi dan rehabilitasi lahan rawa Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Berkheiser, V.E., J.J. Street, P.S.C. Rao, and T.L. Yuan. 1980. Partitioning of inorganic orthophosphate in soil-water systems. Crit. Rev. Environ. Sci. Technol. 10:179-224. Bohn, H.L., B.L. McNeal, and G.A. O’Connor. 2003. Soil Chemistry. 3rd Edition. John Wiley and Sons. New York, USA. Brady, K.S., J.M. Bingham, W.F. Jaynes, and T.J. Logan. 1986. Influence of Sulphate on Fe-oxide formation: Comparison with a Stream Receiving Acid Main Drainage, Clay Miner. Breemen, N.V. and P. Buurman. 2002. Soil Formation. Second Edition. Kluwer Academic Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. Cornell, R.M. and U. Schwertmann. 1996. The Iron Oxides. VCH Verlagsgesellschaft, Weinheim. Dent. 1986. Acid Sulphate Soils. A Baseline for Research and Development Publication 39. ILRI. Wageningen, Nederland. Essington, M.E. 2004. Soil and Water Chemistry: An integrative approach. CRC. Press. Boca Raton, Florida, USA. Fanning, D.S. and S.N. Burch. 1997. Acid Sulphate Soil and Some Associated Environmental Problems. Advances Geoecology. Gale, P.M., K.R. Reddy, and D.A. Graetz. 1994. Phosphorus retention by wetland soils used for treted wastewater disposal. J. Environ. Qual. 23:370-377.
Guenzi, W.D. 1974. Pesticides in Soil and Water. American Society of Agronomy, Madison In H.L. Bohn, B.L. McNeal, and G.A. O’Connor. 2001. Soil Chemistry. 3rd Edition. John Wiley and Sons. New York, USA. Khalid, R.A., W.H. Patrick Jr., and R.D. De Laune. 1977. Phosphorus sorption characteristics of flooded soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 41:305-310. Kirk,
G. 2004. The Biogeochemistry of Submerged Soils. John Wiley and Sons Ltd, England.
Liu, C. 1999. Surface Chemistry of Iron Oxide Mineral Formed in Different Ionic Environment. A Dissertation. Department of Soil Science, University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada. Noor,
M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Parfitt, R.L., R.J. Atkinson, and R.ST.C. Smart. 1975. The Mechanism of Fosfat Fixation by Iron Oxides. Soil Science Society America. Proc. 39. Pp. 837-841. Reddy, K.R. and R.D. De Laune. 2008. The Bigeochemistry of Wetland; Science and Application. CRC Press. New York. Reddy, K.R., G.A. O’Connor, and P.M. Gale. 1998. Phosphorus sorption capacities of wetland soils and stream sediments impacted by dairy effluent. J. Environ. Qual. 27:438-447. Reddy, K.R., Y. Wang, W.F. De Busk, M.M. Fisher, and S. Newman. 1998. Forms of soil phosphorus in selected hydrologic units of the Florida Everglades. Soil Sci.Soc. Am. J. 62:1134-1147. Richardson, C.J. 1985. Mechanisms controlling phosphorus retention capacity in freshwater wetlands. Science 228: 1424-1426. Richardson, J.L. and M.J. Vepraskas. 2001. Wetland Soils. Genesis, Hydrology, Landscapes and Classification. Lewis Publishers. Boca Raton London New York. Washington, D.C. 55
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010
Stahl, R.S., D.S. Fanning, and B.R. James. 1993. Goethite and jarosite precipitation from ferrous sulfate solution. Soil Science Society American Journal. Vol. 57. January-February.
elements onto metal oxides and organomineral complexes. In P.M. Huang and G.R. Gobran (Ed.). Biogeochemistry of Trace Elements in tha Rhizosphere. Elsevier.
Subagyo, H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Hlm. 1-23. Dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Walbridge, M.R. and J.P. Struthers. 1993. Phosphorus retention in non-tidal palustrine forested wetlands of the midAtlantic region. Wetlands 13:84-94.
Van Mensvoort, M.E.F. and D.L. Dent. 1998. Acid sulphate soil. Pp. 301-337. In R. Lal, W.H. Blum, C. Valentine, and B.A. Steward (Eds.). Methods for Assessment of Soil Degradation. Florida. CRC Press LLC. Violente, A., M. Ricciarrdella, M. Pigna, and R. Capasso. 2005. Effects of organic ligands on the adsorption of trace
56
Widjaja-Adhi, I P.G. 1997. Mencegah Degradasi dan Merehabilitasi Lahan Sulfat Masam. Makalah disajikan dalam Pertemuan Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan, 18 Maret 1997 di Banjarmasin (tidak dipublikasikan). Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D. Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan Dalam P. Sutjipto dan M. Syam (Ed.). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.