PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN Effendi Pasandaran, Nono Sutrisno, dan Helena Purba
Revolusi hijau merupakan pemicu pertumbuhan produksi pangan sejak penghujung tahun 1960-an, namun faktor-faktor yang memengaruhinya seperti lahan, tenaga kerja, modal, dan lainnya berubah secara terus-menerus. Seperti yang dikemukakan oleh Ruttan dan Hayami (1985), warisan budaya, kelembagaan, dan teknologi yang merupakan kondisi terhadap perkembangan pertanian juga akan terus berubah. Kita tidak dapat sepenuhnya memahami dinamika perubahan yang terjadi pada abad 21, akan tetapi ada pola pola umum dan kecenderungan yang perlu diperhatikan untuk dapat dipertimbangkan dalam membuat proyeksi ke depan. Ketersediaan lahan pertanian per kapita akan terus merosot. Indonesia, misalnya, antara kurun waktu 1970 dan 2000 kepemilikan lahan pertanian merosot separuh (Hayami, 1985). Menurut perkiraan Uphoff (2007), pada tahun 2050 ketersediaan lahan pertanian secara global diperkirakan hanya sekitar sepertiga dari ketersediaan lahan pertanian tahun 1950. Merosotnya ketersediaan lahan tidak saja disebabkan oleh peningkatan populasi penduduk, tetapi juga karena terjadinya konversi lahan pertanian sehubungan dengan meluasnya urbanisasi. Terkait dengan lahan adalah ketersediaan air. Faktor sama yang memengaruhi ketersediaan lahan juga memengaruhi secara relatif ketersediaan air. Perkotaan dan industri merupakan pesaing dalam penggunaan air, selain itu perubahan iklim akan memengaruhi keterandalan pola-pola ketersediaan air. Hal itu menjadikan sektor pertanian menjadi semakin bermasalah khususnya pertanian berbasis persawahan yang relatif memerlukan banyak air. Perubahan iklim akan membawa dampak yang perlu diantisipasi dengan baik. Penyesuaian dan adaptasi diperlukan tidak saja dalam sistem usaha tani, tetapi juga metode produksi. Cara-cara pengelolaan air untuk produksi pangan perlu ditata kembali, termasuk prasarana yang menopangnya. Dengan semakin meningkatnya harga minyak bumi, struktur biaya produksi usaha tani akan berubah. Harga pangan yang diperkirakan tetap tinggi akan mengurangi akses masyarakat miskin terhadap pangan (Timmer, 2010). Bila kapasitas produksi berkurang karena konversi lahan pertanian khususnya lahan beririgasi, maka krisis pangan yang terjadi sebagai akibat kelangkaan pangan akan semakin meluas. Porsi buruh tani yang
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
tidak mempunyai lahan garapan akan semakin meningkat dan pada gilirannya merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya migrasi ke perkotaan. Dengan memperhatikan kecenderungan tersebut di atas, terdapat pertanyaan yang perlu dijawab. (i) Apakah diperlukan upaya peningkatan kapasitas produksi untuk menghadapi krisis pangan melalui perluasan lahan pertanian? (ii) Sistem usaha tani seperti apakah yang diharapkan muncul dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi, baik yang disebabkan oleh perubahan iklim maupun oleh dinamika perubahan faktorfaktor produksi? Dalam upaya menyoroti pertanyaan tersebut, tulisan ini dimulai dengan menyoroti perkembangan yang terjadi secara global menyangkut krisis pangan dan antisipasi masalah tersebut melalui investasi sistem pertanian skala besar. Kemudian, krisis pangan di Indonesia dan keterkaitannya dengan sumber daya lahan dan air, masalah kebijakan, dan pada akhirnya langka-langkah reorientasi yang diperlukan.
Krisis Pangan Global dan Meningkatnya Minat Investasi Usaha Tani Skala Besar Krisis pangan yang terjadi tahun 2008 merupakan bagian integral kecenderungan perubahan secara global, seperti harga minyak bumi dan keragaman iklim. Walaupun krisis biasanya terjadi sekitar tiga puluh tahun sekali, namun karakter dari krisis dapat berbeda (Timmer 2010). Krisis yang terjadi pada tahun 1973 yang disebabkan oleh kelangkaan pangan karena musim kemarau yang panjang (El Nino tahun 1972), telah meningkatkan harga pangan dunia secara tajam. Pada gilirannya negara-negara penghasil minyak bumi (OPEC) meningkatkan harga jual minyak bumi. Setelah tahun 1973, harga komoditas pangan cenderung menurun. Hal itu terjadi karena meningkatnya produksi pangan global yang antara lain dipicu oleh revolusi hijau dan investasi di bidang irigasi. Indonesia sendiri melakukan perluasan areal irigasi setelah krisis pangan, walaupun tidak seluas seperti yang dicapai pada zaman kolonial, tetapi telah mencukupi untuk memungkinkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Berbeda dengan krisis pangan 1973, kelangkaan pangan yang terjadi dalam krisis ekonomi global tahun 2006–2008 lebih banyak disebabkan oleh krisis energi. Meningkatnya harga minyak bumi telah mendorong upaya-upaya penyediaan energi alternatif berupa biofuel yang menyebabkan ketersediaan lahan untuk produksi pangan di negara negara besar seperti Eropa dan Amerika Serikat berkurang. Melonjaknya harga pangan 2007–2008 dan penggelembungan harga sesudahnya telah mendorong kesadaran banyak negara pengimpor pangan akan ancaman yang terjadi dan perlunya upaya kemandirian pangan bagi negaranya tanpa bergantung pada pasar pangan dunia. Demikian pula krisis finansial tahun 2009 menyebabkan investasi dalam beberapa 209
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
sektor menjadi kurang menarik dan hal ini ikut mendorong ditemukannya kembali sektor pertanian sebagai ladang investasi seperti yang pernah terjadi pada pertengahan abad 19. Sebagai akibatnya, permintaan terhadap lahan untuk produksi pangan meningkat pesat setelah tahun 2008. Menurut laporan World Bank, sebelum tahun 2008 rata-rata perluasan areal pertanian global hanya sekitar 4 juta ha per tahun, namun sampai penghujung 2009 telah terjadi deals sebesar 45 juta ha. Sekitar 70% dari permintaan lahan tersebut terjadi di Afrika yaitu di Ethiopia, Mosambique, dan Sudan. Sisanya terdapat di Asia dan Amerika Latin. Perkembangan investasi pertanian yang tergesa-gesa tersebut bukannya tanpa risiko. Belakangan baru disadari perlu diadakan penyesuaian dengan alasan seperti tujuan yang tidak realistik, perubahan harga, demikian pula ketersediaan infrastruktur, teknologi, dan aturan kelembagaan yang tidak memadai. Selanjutnya, muncul kekhawatiran bahwa pemanfaatan sumber daya alam dalam skala luas oleh pihak asing berpotensi mengancam kemandirian pangan domestik negara yang menguasai lahan (World Bank 2010). Pada akhir tahun 2008, beberapa negara seperti China, Korea Selatan, Emirat Arab, Jepang, dan Saudia Arabia telah melakukan land grabbing, yaitu akuisisi lahan dalam skala besar. Menurut perkiraan Kugelman et al. (2009), sekitar 7,6 juta ha lahan pertanian terdapat di Afrika dan Asia. Negara-negara Afrika Utara juga berupaya melakukan land grabbing di Sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Berbagai negara tersebut saling mengintip satu dengan lainnya untuk memperoleh kesempatan menguasai lahan di luar negeri. Lahan pertanian di luar negeri telah tumbuh sebagai komoditas pasar untuk menghasilkan pangan bagi konsumsi dalam negeri. Mengapa muncul kekhawatiran tersebut? Karena pada saat terjadi krisis pangan tidak mudah mengimpor pangan dari luar negeri. Tahun 2008 misalnya, negara seperti India menghentikan kuota ekspor untuk lebih menjamin ketersediaan pangan dalam negeri. Walaupun produksi pangan global cenderung meningkat setelah krisis pangan 1973, setelah tahun 1996 produksi pangan yang berasal dari biji-bijian (grain) cenderung mendatar. Terjadinya kelangkaan pangan dapat disebabkan oleh degradasi sumber daya lahan yang masih terus berlangsung serta penurunan produksi yang disebabkan oleh erosi lahan yang terus-menerus, konversi lahan pertanian yang semakin meluas, penurunan muka air tanah, dan kenaikan suhu permukaan bumi. Di negara besar seperti China, gejala konversi lahan pertanian semakin meluas sebagaimana halnya di negara maju seperti Amerika Serikat yang sebagian lahannya sudah dimanfaatkan untuk pengembangan bahan bakar nabati (biofuel). Di India, negara yang menggunakan pompa air tanah untuk irigasi, telah terjadi penurunan muka air tanah. Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat dan Kanada. Di samping itu terjadi pula pergeseran penggunaan lahan. Di Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan misalnya, sejak berakhirnya era Uni Soviet, ada sekitar 30 juta ha yang dibiarkan tidak ditanami atau dijadikan padang penggembalaan. Struktur penguasaan lahan juga telah 210
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
mengalami perubahan. Sekitar 70 produsen besar menguasai lebih dari 10 juta ha lahan pertanian. Demikian pula di negara negara Amerika Latin seperti Argentina dan Brasilia, investor-investor telah membuka lahan dalam skala besar. Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan tersebut. Teknologi produksi seperti zero tillage, resistensi terhadap hama penyakit, dan teknogi informasi ikut mendorong terjadinya proses tersebut di samping dimungkinkannya proses integrasi vertikal karena kemudahan dalam mengatasi masalah pemasaran dan akses finansial. Walaupun telah terjadi kesepakatan investasi dalam jumlah besar yang menurut perkiraan World Bank (2010) terjadi untuk wilayah seluas 45 juta pada penghujung tahun 2009, namun yang benar-benar dimulai baru sekitar 21 persen. Ada berbagai permasalahan yang muncul yang mungkin bermanfaat bagi Indonesia dalam menghadapi land grabbing, seperti informasi yang tersebar di negara yang bersangkutan dengan mudah menyebabkan terlalaikannya hak-hak masyarakat lokal terhadap penguasaan lahan. Ketertutupan informasi pada sistem birokrasi mendorong terjadinya tata pengelolaan yang buruk (bad governance) dalam investasi. Selanjutnya para investor jarang dipungut pajak dan banyak dari mereka hanya ingin melakukan tindakan spekulatif saja dari pemanfaatan lahan. Di negara-negara tersebut, pemanfaatan lahan hanya didasarkan pada permintaan para investor, bukan pada pertimbangan strategis jangka panjang. Indonesia sendiri belum menghadapi land grabbing oleh swasta asing untuk keperluan pangan, walaupun telah terjadi land grabbing untuk produksi kelapa sawit. Areal kelapa sawit sekitar 2 juta ha diperkirakan telah dibeli oleh pengusaha swasta asing di Pulau Sumatra. Di daerah seperti Riau dan Jambi sebagian dari lahan yang dipakai untuk kelapa sawit sebenarnya berasal dari lahan persawahan. Jadi, tidaklah mudah untuk memperluas areal persawahan di Sumatra karena persaingan dengan areal kelapa sawit. Sebaliknya, tidak mudah menahan laju konversi lahan di Pulau Jawa karena pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi dan proses urbanisasi yang cepat sehingga mendorong permintaan terhadap lahan yang tinggi. Mengapa land grabbing, baik oleh swasta asing maupun oleh swasta dalam negeri perlu diwaspadai? Karena kecenderungan land grabbing yang terjadi menggusur masyarakat petani dalam memanfaatkan lahan dan hal ini pada hakikatnya bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang menjadi persoalan adalah bukannya tidak boleh membangun usaha pertanian dalam skala besar, tetapi apakah para petani lokal ikut sebagai pemilik lahan dan ikut dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya lahan yang ada? Statistik produksi padi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang tinggi, namun data yang dihasilkan tidak begitu mendukung peningkatan harga pangan, malahan kecenderungan impor beras yang justru terjadi dewasa ini. 211
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Ada kekhawatiran bahwa krisis pangan sedang berada di ambang pintu dengan adanya kecenderungan meningkatnya harga pangan di penghujung 2010 dan awal 2011. Menurut Anuradha Mittal (2008), ada beberapa alasan mengapa terjadi kecenderungan peningkatan harga pangan dunia. Semakin menipisnya stok pangan global. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya pertumbuhan produksi pangan dunia. Kecenderungan mengandalkan stok pangan dunia telah menyebabkan negara-negara pengimpor pangan berada dalam posisi terancam, dengan semakin menipisnya stok pangan dan apabila terjadi goncangan harga, maka keamanan pangan domestik menjadi lemah. Melemahnya stok pangan disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan produksi pangan dan semakin meningkatnya permintaan pangan karena pertumbuhan penduduk dunia. Antara tahun 1970 sampai 1990, pertumbuhan hasil secara agregat terjadi sekitar 2 persen per tahun, namun antara tahun 1990 sampai dengan 2007 hanya sekitar 1,1 persen per tahun. Karena itu, pertumbuhan hasil diproyeksikan akan terus menurun pada dasawara antara 2007 sampai 2017. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab menurunnya produktivitas pangan. Pertama, menurunnya dukungan pemerintah negara-negara berkembang, baik investasi menyeluruh sektor pertanian maupun dukungan penelitian lembaga penelitian domestik maupun lembaga penelitian internasional. Kedua, kelangkaan sumber daya seperti lahan, air, dan perubahan iklim yang ikut memengaruhi proses degradasi lahan. Setiap tahun sekitar 5 – 10 juta ha lahan pertanian diperkirakan mengalami proses degradasi karena kelangkaan air. Demikian pula banjir, kekeringan, dan areal yang mengalami cuaca yang sangat dingin semakin meluas. Seperti yang telah disebutkan, krisis sebelumnya berbeda dengan krisis yang terjadi dewasa ini yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan biofuel dan telah menggeser permintaan lahan untuk pangan, khususnya di negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat yang selanjutnya mengurangi stok pangan dunia. Kemudian terjadinya pelarangan ekspor dan kegiatan-kegiatan spekulasi. Faktor-faktor tersebut diperkirakan menjelaskan sekitar 75 persen peningkatan harga pangan dunia (Anurada Mittal 2008).
Krisis Pangan Indonesia dan keterkaitannya dengan Sumber Daya Lahan dan Air Indonesia sendiri sebenarnya telah dapat memanfaatkan dengan baik pendapatan yang diperoleh dari peningkatan harga minyak bumi pada dasawarsa 1970-an dan paruh pertama dasawarsa 1980-an untuk keperluan pembangunan infrastruktur, termasuk irigasi. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia masih merupakan eksportir minyak bumi. Namun setelah itu dengan semakin merosotnya produksi minyak bumi, perkembangan pembangunan infrastruktur mengalami proses perlambatan. Walaupun ekspor Indonesia mengalami peningkatan terutama dari ekspor kelapa sawit, namun hasil yang diperoleh
212
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
kurang dimanfaatkan untuk pembangun infrastruktur, tetapi lebih menekankan pada pemberian subsidi. Setelah tahun 1984 dukungan untuk perluasan irigasi di Indonesia semakin mengendor. Selama lima dasawarsa antara tahun 1950 sampai 2000 misalnya, luas irigasi di Indonesia meningkat sekitar 40 persen dari 3,5 juta ha menjadi 4,8 juta ha. Ini adalah peningkatan areal efektif yaitu areal yang ditanami, berbeda dengan yang selalu dinyatakan oleh Kementerian PU bahwa areal irigasi di Indonesia adalah sekitar 7 juta ha. Lahan yang dimaksud adalah areal yang difasilitasi oleh prasarana irigasi. Memang areal yang difasilitasi prasarana irigasi selalu lebih tinggi dari areal efektif, tetapi untuk Indonesia perbedaannya terlalu menyolok yaitu sekitar 40 persen, sedangkan menurut Bruinsma (2009) secara global perbedaan tersebut hanya sekitar 10 persen. Ada dugaan telah terjadi keteledoran dalam statistik produksi padi yang menimbulkan kesimpulan terjadinya surplus produksi dalam negeri dalam kurun waktu tertentu. Keteledoran tersebut mungkin telah terjadi dalam kurun waktu yang lama, sehingga BPS mengalami kesulitan dalam mengoreksi data yang ada. Sebagai konsekuensinya, pemerintah melakukan larangan impor dalam kurun waktu tertentu. Namun larangan impor justru menyebabkan harga beras dalam negeri menjadi jauh lebih tinggi dari harga beras internasional sejak tahun 2004 (World Bank Office Jakarta 2010). Selanjutnya, keteledoran dalam data statistik mendorong pemerintah agak mengabaikan perluasan kapasitas produksi melalui perluasan areal tanaman pangan khususnya areal irigasi. Sejak tahun 2004, pemerintah mengandalkan penyelesaian jaringan-jaringan irigasi yang dianggap belum berfungsi secara effektif. Namun, belakangan baru diketahui bahwa untuk mengefektifkan jaringan irigasi yang belum berfungsi tidaklah mudah karena terbengkalainya pembangunan jaringan irigasi dalam kurun waktu lama. Hal itu mendorong petani mengubah penggunaan lahan yang semestinya untuk persawahan menjadi penggunaan untuk tanaman lainnya yang tidak mudah dibalikkan kembali, sekalipun air irigasi telah tersedia. Keteledoran tersebut selanjutnya menyebabkan kesiapan untuk melanjutkan perluasan areal irigasi terabaikan dan tidak mudah dilaksanakan. Walaupun sudah ada perubahan sikap untuk melanjutkan perluasan irigasi, namun berbagai permasalahan yang dihadapi tidak dapat segera diatasi. Identifikasi areal yang sesuai dan layak untuk perluasan belum tuntas. Di atas kertas, ada areal yang dapat dimanfaatkan untuk irigasi, namun apabila ditelusuri areal yang diusulkan sudah dimanfaatkan untuk keperluan lain atau secara teknis ataupun ekonomis dan sosial menghadapi berbagai kendala. Ancaman krisis pangan yang cenderung meluas secara global mungkin dianggap sebagai peluang bagi negara-negara pengimpor pangan untuk melakukan manuver melalui land grabbing. Oleh karena itu, Afrika merupakan kawasan yang paling banyak diserbu untuk investasi skala besar walaupun seperti disebutkan sebelumnya bahwa Afrika merupakan kawasan yang mengalami degradasi lahan pertanian paling luas. Di Indonesia 213
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
sendiri, wilayah Papua merupakan salah satu sasaran untuk membangun food estate dalam skala luas. Meskipun perkembangan dewasa ini tidaklah secepat seperti yang diharapkan oleh pemerintah, hal ini mungkin disebabkan oleh beban investasi yang besar untuk membangun infrastruktur yang diperlukan. Bagi Indonesia, mengandalkan upaya jangka pendek seperti pengendalian harga melalui impor atau pemberian subsidi sarana produksi tidaklah menolong dalam mengatasi krisis pangan jangka panjang. Mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan kapasitas produksi tanaman pangan melalui perluasan areal produksi dan membalik kecenderungan proses degradasi lahan, di samping terobosan teknologi yang ramah lingkungan untuk meningkatkan produktivitas. Untuk membalik kecenderungan degradasi, perlu terlebih dahulu ditelusuri akar permasalahan yang dihadapi. Paling tidak ada lima faktor yang terkait satu dengan lainnya, baik sendiri sendiri maupun bersama-sama ikut memengaruhi terjadinya proses degradasi (Pasandaran et al. 2011). Kelima faktor tersebut adalah tekanan populasi penduduk yang semakin meningkat, politik pengelolaan sumber daya alam yang cenderung eksploitatif, adanya konspirasi antara penguasa dan pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam, kebijakan yang cenderung mengabaikan pemeliharaan sumber daya alam, dan tekanan kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kelima faktor tersebut secara menyeluruh memengaruhi jasa ekosistem atau jasa lingkungan dalam wilayah DAS melalui dua hal, yaitu konflik kepentingan dan akumulasi pergeseran pemanfaatan sumber daya. Hal ini yang menyebabkan terbengkalainya fungsi pemeliharaan yang mendukung keberlanjutan pengelolaan wilayah DAS. Untuk memahami proses degradasi sumber daya lahan dan membalik kecenderungan degradasi yang terjadi diperlukan pemahaman keterkaitan antara lahan dan air. Hubungan interaktif antara lahan dan air antara lain dipengaruhi oleh cara manusia memanfaatkan lahan. Misalnya, keberadaan vegetasi di atas lahan akan menentukan apakah air yang jatuh dapat ditahan dan diserap ke dalam tanah atau mengalir sebagai aliran permukaan. Salah satu ciri degradasi sumber daya lahan adalah terjadinya erosi yang dihanyutkan melalui aliran permukaan. Vegetasi dapat menjadi filter untuk menahan laju erosi. Walaupun ada hubungan interaktif yang erat antara lahan dan air, akan tetapi kedua sumber daya tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Ciri pertama, air mempunyai sifat mobilitas atau mengalir, variabilitas atau keberagaman baik dalam dimensi waktu maupun ruang. Oleh karena sifatnya yang mengalir air sulit diklaim dalam kepemilikannya. Air dapat mengalir meliwati batas-batas administrasi wilayah, baik dalam suatu negara maupun antarnegara. Dengan demikian, air sering disebut sebagai common pool resources, penggunaannya tidak eksklusif tetapi antarpengguna dapat bersaing. Ciri kedua, ketersediaan air dapat bervariasi menurut waktu, baik dalam suatu musim maupun
214
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
antarmusim. Ketersediaan air pada tahun tertentu dapat lebih banyak atau lebih kurang dari tahun lainnya. Variabilitas ketersediaan air dapat terjadi antarwilayah karena keragaman geografis dan iklim. Ciri ketiga, air digunakan untuk berbagai tujuan dalam menopang kehidupan, misalnya untuk tujuan ekonomi, sosial, dan budaya, baik dalam dimensi material maupun simbolik. Air dipakai untuk memperbaiki produktivitas lahan melalui irigasi dan pengelolaan air, baik di lahan irigasi maupun di lahan pertanian lainnya. Oleh karena cakupannya yang luas, termasuk masalah lintas batas, pengelolaan air tidak saja merupakan masalah teknik yang perlu diselesaikan oleh teknokrat atau insinyur, tetapi juga merupakan proses politik.1 Ketiga ciri tersebut dalam banyak hal sangat ditentukan oleh cara manusia memanfaatkan lahan. Berbeda dengan air, keberadaan lahan dapat dianggap tetap, walaupun terdapat keragaman dalam pemanfaatannya. Pemanfaatan lahan memengaruhi ketersediaan dan permintaan terhadap air. Selain digunakan untuk tujuan ekonomi, sosial, dan budaya, lahan juga mengandung dimensi material dan simbolik. Dalam pemahaman masyarakat lokal di Indonesia, lahan dan air dianggap sebagai warisan budaya. Adanya hubungan interaktif yang kuat antara kedua sumber daya tersebut menunjukkan bahwa degradasi lahan dapat memengaruhi performa sumber daya air. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa pengelolaan lahan yang baik akan memengaruhi performa air yang tersedia bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, pengelolaan air yang baik akan memperbaiki produktivitas lahan pertanian dan efisiensi pemanfaatannya secara menyeluruh. Kondisi daerah resapan (recharge area) di berbagai DAS di Indonesia sangat berpengaruh terhadap debit mata air dan kualitas airnya. Tata guna lahan pada daerah resapan berpengaruh langsung terhadap bagian air hujan yang masuk ke dalam tanah sebagai aliran air tanah (sumber mata air). Menurut Kartiwa dan Pawitan (2010), beberapa daerah resapan mata air telah mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan. Beberapa mata air di daerah Bogor, Purwokerto, dan Malang telah mengalami penurunan debit bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1970-an. Apabila tidak ada upaya pengendalian kerusakan ekosistem mata air, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan mata air di masa mendatang akan terganggu. Penurunan/hilangnya debit mata air juga berarti kerusakan ekosistem mata air secara keseluruhan sebagai salah satu ekosistem lahan basah. Di wilayah Bogor, hingga tahun 2001 telah terjadi penurunan debit mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM setempat, yakni sebesar 4%–15% (Prastowo 2001). Berkurangnya debit air dapat menyebabkan kelangkaan air dan pada gilirannya akan memengaruhi produktivitas lahan. 1
Lihat misalnya P. Molinga and Alex Bolding, The Politics of Irrigation Reform, Research Center for Strategic Action in Business and Economics, Ashgate Publishing Limited Gower House,Croft Road Aldershot, Hampshire, England, 2004.
215
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Sumber daya air Indonesia, khususnya untuk Pulau Jawa telah mengalami banyak perubahan karena degradasi lingkungan dan penurunan kualitas air. Sejumlah kajian telah menyatakan status kritis yang serius. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sebagai sistem yang kompleks, perubahan yang terjadi di sektor sumber daya air dipengaruhi oleh faktor alami dan antropogenik, seperti perubahan iklim, tekanan penduduk dengan segala aktivitasnya, perubahan penggunaan lahan, eksploitasi sumber daya air, termasuk air bumi, serta pembangunan infrastruktur fisik. Perkembangan pemanfaatan lahan dan air yang dinamis ditunjukkan oleh ketersediaannya yang makin lama makin terbatas sejalan dengan perkembangan penduduk dan ekonomi. Sebagai akibatnya, konflik dalam pemanfaatan kedua sumber daya tersebut makin sering terjadi dan kian meluas. Konflik yang terjadi dapat bersifat horisontal, antarsesama pengguna dalam suatu wilayah atau antarpengguna pada wilayah yang berbeda. Konflik dapat terjadi secara vertikal, antara pemerintah dan pengguna. Khusus dalam masalah lahan di Indonesia, konflik yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat lebih disebabkan oleh berbagai benturan kepentingan. Tidaklah mudah mengelola keterkaitan antara kedua sumber daya tersebut, karena pengalaman yang ada selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya tersebut oleh birokrasi pemerintah telah terkotak-kotak. Dengan semakin terbatasnya ketersediaan sumber daya lahan, pengelolaan sumber daya tersebut cenderung intensif dan eksploitatif. Ini menyebabkan kecenderungan degradasi sumber daya lahan, yang pada gilirannya mempercepat degradasi sumber sumber air dan sumber daya air pada umumnya.
Berbagai Masalah yang Memengaruhi Perluasan Lahan Untuk menghindari krisis pangan berlanjut terus, kapasitas produksi nasional dalam jangka panjang perlu ditingkatkan. Mengingat upaya peningkatan produktivitas tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan intensifikasi yang selama ini dilakukan, mau tidak mau perluasan areal pertanian untuk mendukung produksi pangan harus merupakan pilihan kebijakan. Namun demikian tidaklah mudah untuk menetapkan kawasan-kawasan yang dapat dicadangkan untuk perluasan pertanian karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam land governance. Tekanan pembangunan dan kependudukan juga menuntut adanya akses yang lebih mudah terhadap lahan. Posisi lahan irigasi yang strategis, dekat dengan jalan dan sumber air, memberi peluang yang lebih besar bagi terjadinya konversi lahan, baik untuk industri maupun perumahan. Sebenarnya, kelahiran UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diharapkan mampu menahan laju konversi lahan beririgasi. Namun berbagai peraturan pemerintah yang diperlukan perlu segera disiapkan agar langkah-langkah kebijakan termasuk inventarisasi lahan pertanian pangan yang perlu
216
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
dilindungi segera dapat dilaksanakan mengingat kecepatan konversi lahan yang terjadi dewasa ini telah melampaui kecepatan pengembangan lahan baru, yang umumnya terjadi di luar Jawa. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah lahan-lahan irigasi yang tinggi produktivitasnya di Pulau Jawa tidak serta merta dapat diganti fungsinya dengan lahan baru di luar Jawa. Ada masalah jasa lingkungan dan ekosistem yang hilang karena konversi yang tidak dapat dibalik (irreversible). Seperti telah diuraikan sebelumnya, kita sekarang menyaksikan kecenderungan degradasi ekosistem di berbagai tempat di Indonesia, suatu gejala yang tidak mendadak sifatnya, tetapi sama halnya dengan perubahan iklim yang merupakan suatu proses akumulasi perubahan penggunaan lahan, termasuk konversi lahan sawah irigasi. Gejala yang disebut sebagai Java Syndrome ini pada hakikatnya adalah penurunan kemampuan ekosistem untuk menyediakan jasa lingkungan karena meluasnya penggunaan lahan untuk perumahan dan industri.2 Gejala tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino ke pulau besar lainnya seperti Sumatra, mengingat kecenderungan kebijakan nasional terhadap penggunaan lahan yang masih bersifat permisif. Di samping upaya pemulihan lahan yang mengalami degradasi perluasan lahan, baik melalui perluasan areal irigasi maupun lahan pangan lainnya, mau tidak mau harus dilakukan secepatnya untuk mengatasi konversi lahan irigasi dan dalam jangka panjang untuk memperkokoh kemandirian pangan nasional. Pembangunan irigasi baru beberapa tahun berselang dianggap tidak prioritas karena terdapat dugaan masih ada daerah irigasi yang belum berfungsi sepenuhnya yang dapat diefektifkan menjadi lahan beririgasi. Ternyata dugaan tersebut hanyalah suatu harapan kosong belaka. Hal ini disebabkan oleh lamanya proses pembangunan irigasi itu sendiri. Sebagai contoh, daerah irigasi Batanghari yang semula direncanakan untuk areal irigasi seluas 20.000 ha, dalam kenyataannya areal yang efektif menjadi sawah irigasi baru hanya sekitar 2.000 ha, sedangkan air yang ada dipergunakan untuk suplesi pada areal sawah irigasi yang sudah ada seluas 5.000 ha. Sebagian besar lahan yang diperuntukkan bagi irigasi telah menjadi lahan kelapa sawit. Di Provinsi Riau banyak lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Kendati areal yang dilengkapi dengan fasilitas irigasi diperkirakan seluas 7 juta ha, namun areal efektif yang dimanfaatkan untuk irigasi hanya sekitar 5 juta ha. Untuk membangun daerah irigasi baru tidaklah juga mudah. Masalahnya tidak lain adalah bahwa Indonesia belum mempunyai inventarisasi lahan potensial yang dapat dibangun untuk irigasi. Belum lagi diperlukan studi kelayakan yang memakan waktu untuk merancang pembangunan irigasi dalam suatu kawasan yang luas. Ada berbagai kendala yang perlu dipertimbangkan, termasuk di dalamnya status kepemilikan lahan dan land use yang ada pada kawasan tersebut. Di samping itu, biaya investasi untuk membangun irigasi 2
Java Syndrome adalah suatu fase perkembangan yang terjadi karena perubahan pemanfaatan sumber daya lahan dan air. Penjelasan lebih lanjut tentang Java syndrome lihat Effendi Pasandaran, 2008:Irigasi Masa Depan, Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan, JKII, Jakarta , 2008
217
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
baru juga mahal dan kemampuan anggaran pemerintah untuk membangun prasarana irigasi masih terbatas. Membangun kemampuan kelembagaan dalam mengelola irigasi baru baik kemampuan birokrasi maupun kelembagaan masyarakat tani, juga terbatas. Karena itu tidaklah mengherankan, upaya membangun irigasi baru (apalagi dalam skala besar) sampai sistem irigasi tersebut efektif berfungsi, secara umum memerlukan waktu lebih dari 10 tahun. Pelajaran yang diperoleh selama ini menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Pengembangan dan pengelolaan irigasi ternyata tidak hanya merupakan bagian integral dari masalah pengembangan dan pengelolaan sumber daya lahan dan air, tetapi juga bagian integral dari masalah pembangunan pada umumnya, termasuk lingkungan hidup dan budaya. Kita sering melihat permasalahan hanya kepada hal yang muncul di permukaan saja (masalah simtomatik) tanpa secara baik menelusuri akar permasalahan yang ada. Sebagai contoh, masalah klasik seperti rusaknya hutan sebagai akibat kesalahan pemanfaatan, sering kali pemecahannya hanya pada penghijauan atau reboisasi. Jika faktorfaktor yang menjadi penyebab rusaknya hutan tidak ditelusuri dan akar permasalahannya tidak ditangani dengan baik, kerusakan jelas akan terus berlangsung. Demikian pula turunan permasalahan yang diakibatkannya, seperti banjir dan kekeringan, yang hanya diatasi dengan pembangunan prasarana fisik seperti perbaikan tanggul atau perbaikan jaringan irigasi. Kalau dari segi kepentingan proyek hal tersebut baik-baik saja, akan tetapi bukan merupakan suatu upaya pemecahan permasalahan yang bersifat terpadu (integratif) diragukan keberlanjutannya. Dalam banyak hal, akar permasalahan yang ada sering bersifat eksternal terhadap lembaga pemerintah yang menangani salah satu elemen sumber daya air, seperti irigasi. Dalam banyak hal pula, masalah tersebut kurang berhasil ditangani dengan pendekatan koordinatif, karena masih kuatnya cengkeraman kepentingan birokrasi sektoral serta adanya tekanan pendekatan jangka pendek yang bersifat eksploitatif terhadap sumber daya alam. Dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA dan PP No. 7 Tahun 2006 tentang Irigasi, apakah ada peluang untuk membangun instrumen kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi? Pada hakikatnya, selain UU tentang SDA mengubah konteks kebijakan karena adanya pergeseran batas-batas kewenangan, juga memberikan nuansa yang bersifat multifungsi dalam pengelolaan sumber daya air dan yang mengisyaratkan perlunya keserasian dalam berbagai dimensi pembangunan. Misalnya, pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi sering mengabaikan perbaikan kualitas lingkungan dan juga kurang memperhatikan warisan nilai-nilai budaya. Warisan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pengelolaan sistem irigasi, termasuk sistem persawahan di Indonesia, sudah berumur ribuan tahun 218
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
dan merupakan aset bangsa yang perlu dipelihara eksistensinya. Jika hilangnya produksi padi di suatu sistem irigasi di Pulau Jawa karena konversi sawah untuk keperluan nonpertanian dapat disubstitusi oleh pembangunan baru di luar Pulau Jawa, tidak demikian halnya dengan fungsi lainnya seperti lingkungan hidup dan warisan nilai-nilai budaya. Kedua fungsi tersebut akan hilang bersamaan dengan hilangnya sawah irigasi di suatu lokasi. Sehingga menjadi jelas, bahwa sistem irigasi dan persawahan beririgasi mempunyai makna yang lebih luas dari sekadar dukungan terhadap ketahanan pangan, baik nasional maupun lokal. Perbaikan lingkungan hidup dan upaya melestarikan nilai-nilai budaya, dengan demikian tidak saja memerlukan perhatian secara nasional tetapi juga secara lokal oleh pemerintah daerah. Di samping masalah-masalah yang membutuhkan pendekatan keterpaduan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mungkin ada hal lain yang juga penting untuk dielaborasi lebih lanjut oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional, sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA. Dalam hal ini masalah-masalah spesifik irigasi yang memerlukan identifikasi lebih mendalam pada berbagai jenjang administrasi, mulai dari pusat sampai daerah. Kendati pola pikir sistem birokrasi yang menangani irigasi dan sumber daya air pada umumnya masih didominasi pendekatan sebelumnya yang bernuansa sentralistik, perlu diperhatikan bahwa kecenderungan untuk melakukan pendekatan yang bersifat partisipatif sudah mulai bergema. Kesadaran adanya inisiatif dan potensi masyarakat yang perlu diberdayakan secara penuh dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi mulai tampak. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membangun inisiatif pendekatan partisipatif sebagai arus utama dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi pada berbagai jenjang administrasi pemerintahan. Perlu diperhatikan apakah sudah ada inisiatif dan bagaimana inisiatif tersebut dituangkan dalam berbagai instrumen kebijakan yang dipakai? Apakah ada koherensi dalam pendekatan pada daerah-daerah irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan apakah konsisten dalam pelaksanaannya? Perlu dikaji apakah instrumen kebijakan seperti proyek berbantuan luar negeri menempatkan pendekatan tersebut sebagai salah satu agenda dan bagaimana pelaksanaannya. Demikian pula, apakah proyek yang pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasioanal (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga melakukan pendekatan yang sama secara konsisten? Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemampuan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dalam membangun dan mengelola irigasi yang menjadi kewenangannya. Apakah irigasi masuk dalam agenda APBD dan apakah di lingkungan pemerintah kabupaten pada khususnya telah dibangun kompetensi untuk menangani masalah irigasi? Apakah telah ada program peningkatan capacity building pada jenjang administrasi yang lebih tinggi dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi? 219
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Dalam hal pendekatan partisipatif, salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengintegrasikan kemampuan setempat dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Apakah pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten, menempatkan masalah tersebut dalam agenda pengembangan dan pengelolaan irigasi? Di samping itu, dari segi kompetensi penanganan permasalahan irigasi, kemampuan pemerintah kabupaten menjadi salah satu faktor kritis. Hal ini mengingat pada masa lalu pemerintah kabupaten tidak dilengkapi dengan kemampuan administrasi untuk menangani masalah irigasi. Tatkala otonomi daerah diberlakukan, tidak dengan sendirinya kemampuan tersebut muncul mengingat petugas pengairan di tingkat seksi dalam banyak hal tidak ditransfer menjadi aparat pemerintah kabupaten. Di samping kompetensi mengintegrasikan potensi yang ada pada masyarakat, pemerintah kabupaten perlu memperkuat hubungan horizontal antarpemerintah kabupaten dalam menangani masalah yang menyangkut sumber daya air (termasuk irigasi) dan masalah pengelolaan sumber daya alam yang mempunyai dampak lintas kabupaten. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah administrasi di tingkat provinsi memiliki kompetensi untuk menangani masalah tersebut dan bagaimana penanganannya? Apa instrumen kebijakan yang dipakai pemerintah provinsi untuk menanganinya? Apa pula dukungan pemerintah pusat dalam menangani masalah tersebut? Dalam kaitan ini, muncul pertanyaan lebih lanjut, apakah berbagai Balai atau Balai Besar Pengelolaan SDA yang diorganisir dalam sistem Wilayah Sungai (WS) dirancang untuk maksud tersebut? Apakah balai-balai tersebut dapat melaksanakan fungsi harmonisasi dalam menghadapi masalah transboundary dan trans-sector? Di tingkat pusat, administrasi yang mengurus irigasi dan sumber daya air perlu mempunyai kompetensi dalam mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi, seperti misalnya kelangkaan air sebagai akibat meningkatnya kompetisi penggunaan air antarsektor, bergesernya peran kawasan dalam produksi pangan, dan kecenderungan terjadinya perubahan iklim secara global dan dampaknya terhadap ketersediaan air, serta kecenderungan degradasi sumber daya alam yang belum teratasi. Sementara itu, tantangan yang dihadapi administrasi sumber daya air di tingkat pusat adalah bagaimana mengantisipasi perubahan lingkungan strategis dan merumuskan suatu visi pembangunan yang dapat dipertanggungjawabkan. Juga, bagaimana memperhatikan keselarasan antara dimensi pertumbuhan ekonomi, khususnya ketahanan dan kemandirian pangan, kedaulatan petani, dimensi lingkungan hidup, dan pemeliharaan nilai-nilai budaya yang terkait dengan air?
Reorientasi Kebijakan: Membangun Kerangka Keterpaduan Memperhatikan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, perlu segera diambil langkah peninjauan kembali (reorientasi) terhadap UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA 220
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
yang telah diberlakukan selama ini, serta berbagai kebijakan yang dihasilkan melalui PP, baik yang menyangkut pembangunan dan pengelolaan irigasi maupun keterkaitannya dengan sumber daya lahan dan air. Dalam hubungan dengan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu segera dilakukan langkah identikasi daerah irigasi di seluruh Indonesia yang perlu mendapat perlindungan. Mengingat banyak daerah irigasi yang bersifat transboundary, maka identifikasi daerah irigasi tersebut perlu melibatkan sistem birokrasi yang menangani wilayah sungai. Dalam hubungannya dengan upaya mengatasi krisis pangan jangka panjang, ruang lingkup reorientasi kebijakan tersebut difokuskan pada 2 (dua) hal penting, yaitu pembangunan sistem irigasi dan pengelolaan air serta kelembagaan pengelolaan sumber daya air.
Pembangunan Sistem Irigasi dan Pengelolaan Air Sistem irigasi adalah salah satu cara pengelolaan air untuk mendukung kapasitas produksi pertanian. Pengelolaan air diperlukan untuk semua budi daya pertanian, jadi bukan hanya untuk sistem persawahan yang mendominasi sistem irigasi di Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan air untuk sistem nonpersawahan perlu ditata dalam suatu keterpaduan pengelolaan sumber daya lahan dan air. Kebijakan pembangunan sistem irigasi hendaknya diarahkan untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan petani dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga petani. Akhir-akhir ini muncul upaya membangun food estate, baik melalui dukungan sektor swasta dalam negeri maupun asing. Seperti telah dibahas sebelumnya, gejala tersebut tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di Afrika dan Asia melalui proses transaksi yang disebut sebagai land grabbing, yaitu akuisisi lahan dalam skala luas oleh pihak swasta luar negeri untuk produksi pangan. Gejala tersebut muncul karena adanya kekhawatiran akan kelangkaan pangan di masa yang akan datang. Untuk mengatasinya, negara-negara Timur Tengah dan Asia Timur melalui sektor swasta membeli lahan di luar negara mereka untuk produksi pangan.3 Masalah yang muncul kembali adalah tergusurnya petani-petani lokal yang sebelumnya mengusahakan lahan-lahan yang ada, selanjutnya mereka mengalami proses marjinalisasi untuk dijadikan buruh pada lahan yang dibangun secara modern oleh pengusaha yang telah mengakuisisi lahan tersebut. Bagi Indonesia sendiri, pembangunan melalui proses land grabbing atau food estate pada hakikatnya melanggar hak konstitusional masyarakat, apalagi 3
Penjelasan tentang land grabbing secara rinci terdapat dalam M. Kugelman and Susan L. Levenstain, 2009,Land Grab? The Race for The Worlds Farm Land, Woodrow Wilson Center for Scholar, Asia Program,Washington D.C.2009.
221
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
kalau sektor swasta meminta dukungan pemerintah untuk membangun infrastruktur (termasuk irigasi) dalam mendukung pelaksanaan food estate.4 Kebijaksanaan pembangunan sistem irigasi di masa depan hendaknya tetap mendukung usaha pertanian berbasis keluarga tani. Usaha tersebut tidak harus usaha tani padi, tetapi usaha tani yang mengalami diversifikasi untuk mendukung upaya memperkokoh keragaman pangan di masa yang akan datang. Seperti halnya pembangunan pertanian, kebijakan pembangunan sistem irigasi harus bercorak multifungsi yang memperkokoh keterkaitan antara tanaman dan ternak dan juga antara tanaman dan perikanan. Kebijakan pembangunan sistem irigasi juga harus menunjang terwujudnya sistem pertanian yang responsif dan adaptif terhadap keragaman iklim. Sebagai konsekuensinya, perlu dibangun sistem irigasi yang tanggap terhadap munculnya gejala-gejala iklim yang ekstrem dan fleksibel dalam melakukan realokasi dan redistribusi air. Pada sistem irigasi yang sudah memiliki kemampuan tersebut, perlu dikembangkan dengan cara memperbaiki kelengkapan struktur dan aturan-aturan kelembagaan. Hal ini terkait dengan kebijakan yang menyangkut hak guna air di masa yang akan datang. Kebijakan pembangunan sistem irigasi hendaknya bertumpu pada rintisan-rintisan yang telah dilakukan oleh masyarakat tani. Tatkala irigasi mulai dibangun oleh Pemerintah Belanda sejak pertengahan abad 19 dalam banyak hal, sistem irigasi yang dibangun bertumpu pada lahan persawahan yang telah dirintis dan sistem irigasi yang telah dibangun oleh masyarakat tani. Tatkala kita membangun sistem irigasi yang baru, kita dihadapkan pada masalah-masalah yang lebih kompleks dibandingkan dengan apabila sistem irigasi yang dibangun berdasarkan rintisan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat tani. Di masa yang akan datang, irigasi yang dibangun tidak harus berdasarkan pola persawahan. Kebijakan pembangunan sistem irigasi harus mendukung semua tipe usaha tani, termasuk yang dewasa ini disebut sebagai pertanian lahan kering. Yang perlu segera ditetapkan adalah aturan investasi, prasarana apa yang perlu dibangun pemerintah, yang mana yang menjadi porsi masyarakat tani, serta dalam hal apa pihak swasta dapat berpartisipasi. Dalam hubungan ini, perlu ada capacity building, baik di kalangan birokrasi maupun masyarakat setempat, sebagai prakondisi bagi pembangunan sistem irigasi di wilayah lahan kering. Wilayah lahan kering di Indonesia luasnya diperkirakan 4 atau 5 kali lebih luas dari wilayah sawah irigasi, sehingga sangat potensial bagi upaya-upaya perbaikan water management. Mungkin saja investasi yang diperlukan juga lebih murah dibandingkan dengan investasi untuk pembangunan irigasi baru untuk sistem persawahan. Paradigma pengelolaan air yang perlu dibangun tidak saja menyangkut blue water, tetapi juga green water (Falkenmark dan Rockstrom 2006). Blue water adalah air yang 4
222
Penjelasan yang rinci tentang food estate dan implikasinya bagi Indonesia merujuk pada buku yang ditulis oleh F Kasryno, M. Badrun, dan E. Pasandaran,2010, Land Grabbing : Perampasan Hak Konstitusional Masyarakat, Yapari dan Rajawali Press, 2010.
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
berasal dari hujan yang kemudian ditampung dalam sungai, waduk, atau air tanah yang kemudian dimanfaatkan untuk irigasi. Sedangkan green water adalah bagian dari hujan yang menjadi kelembaban tanah dan yang langsung dipakai dalam proses evaporasi dan transpirasi. Untuk lebih jelasnya mengenai siklus air yang sumbernya dari blue water dan green water dapat dilihat pada Gambar 1. KONSEPPENDEKATAN PENDEKATANKOMPREHENSIF KOMPREHENSIFGREEN&BLUE GREEN & BLUE WATER KONSEP WATER DALAMPENGELOLAAN PENGELOLAANDAN DANMANAJEMEN MANAJEMENSUMBERDAYA SUMBER DAYAAIR AIR DALAM
Zona tak jenuh
Aliran Green water
Sumber Blue water Aliran Blue water Sumber green water
Zona jenuh
Sumber Blue water Sumber Blue water
Gambar 1. Siklus air dan sumber air yang berasal dari blue water dan green water Upaya yang perlu dilakukan dalam membangun paradigma green water adalah mewujudkan keterpaduan pengelolaan tanah dan air melalui soil tillage dan water harvesting. Menurut Rockstrom (2003), tantangan yang dihadapi adalah bagaimana agar evaporasi yang tidak produktif diubah menjadi transpirasi yang produktif. Untuk wilayah pertanian pangan yang produktivitasnya masih rendah antara 1–3 ton/ha, introduksi green water management dapat meningkatkan produktivitas air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Bagi Indonesia, sistem persawahan tadah hujan sebenarnya telah dibangun berdasarkan pendekatan water harvesting. Oleh karena itu, produktivitas padi sawah tadah hujan relatif tinggi. Namun produktivitas padi ladang masih rendah dan upaya mempertinggi produktivitasnya dapat dilakukan dengan green water management. Komoditas pangan lainnya, baik palawija maupun hortikultura masih dapat ditingkatkan, baik dengan water 223
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
harvesting maupun soil tillage yang memadai. Mengingat sifat air yang mengalir dan adanya hubungan interaktif antara blue water maupun green water management, maka paradigma pengelolaan air tersebut hendaknya dibangun dalam suatu kerangka keterpaduan dalam suatu bentangan wilayah seperti Daerah Aliran Sungai. Untuk melihat lebih jelas keterpaduan antara pengelolaan blue water dan green water terhadap pembangunan irigasi pada lahan kering dan lahan irigasi, dapat dilihat pada Gambar 2. Water accounting system diperlukan untuk menentukan apakah suatu wilayah DAS masih terbuka untuk perluasan lahan pertanian dan juga bagi keperluan lainnya, seperti air untuk keperluan domestik dan industri.
KONSEPMEMBANGUNKETERPADUANPENGELOLAANAIR Efisiensi irigasi (intermitten) Infrastruktur BlueWater Management
LAHANKERING
SOILMOUISTURE (greenwater management) Evaporasi dan Transpirasi
Green,Blue watermanag.
LAHANIRIGASI
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
Gambar 2. Keterpaduan antara pengelolaan blue water dan green water terhadap pembangunan irigasi pada lahan kering dan lahan irigasi Sebagai konsekuensinya kebijakan pembangunan sistem irigasi dan pengelolaan air hendaknya memperkuat keterkaitan antarsektor. Mengingat irigasi tetap merupakan sektor pengguna air terbesar dan juga semakin mahalnya investasi prasarana sumber daya air, maka pembangunan prasarana irigasi sebaiknya dirancang secara terpadu dengan sektorsektor pengguna air lainnya, seperti kebutuhan air domestik, sanitasi, industri, dan juga green water management. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, permintaan terhadap air dari berbagai sektor pengguna lainnya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan untuk irigasi. Dengan demikian, pendekatan keterpaduan yang 224
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
menyangkut prasarana untuk berbagai sektor penggunaan air perlu diatur melalui PP. Termasuk dalam pendekatan keterpaduan tersebut adalah kebutuhan air untuk lingkungan hidup serta pemeliharaan dan pengembangan nilai-nilai budaya yang terkait dengan air.
Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Boleh dikatakan bahwa visi pembangunan sumber daya lahan dan air di masa depan adalah keterpaduan, baik pembangunan struktur (hardware) maupun kelembagaan (software). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi kelembagaan pengelolaan lahan dan air di masa yang akan datang untuk mewujudkan proses keterpaduan tersebut. Pertanyaaannya adalah apakah hal itu mungkin mengingat kewenangan pengelolaan sumber daya tersebut telah tersekat sekat dalam berbagai sistem birokrasi baik di Pusat maupun Daerah? Tetap saja hal tersebut mungkin dilaksanakan mengingat yang perlu dibangun adalah kesadaran akan proses keterpaduan itu sendiri dan fasilitas yang berfungsi sebagai katalisator proses tersebut. Birokrasi di tingkat kabupaten mempunyai posisi strategis untuk menjadi arena uji coba proses keterpaduan dan harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengelolaan irigasi dan sumber daya air. Jangan sampai terjadi ada kabupaten yang mempunyai areal irigasi yang luas tetapi tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan. Kewenangan birokrasi provinsi untuk masalah masalah transboundary seharusnya bersifat koordinatif, baik yang menyangkut satu sektor pengguna seperti irigasi maupun antarsektor pengguna, misalnya air tanah dan permukaan, atau juga lebih lanjut antarsektor irigasi dengan sektor industri, air minum, dan sanitasi. Birokrasi di tingkat provinsi bertugas memetakan proses keterpaduan yang diperlukan di tingkat provinsi dan birokrasi di tingkat pusat memetakan proses keterpaduan secara nasional. Sementara itu, Dewan Sumber Daya Air pada berbagai jenjang dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk melaksanakan keterpaduan yang menjadi visi pembangunan irigasi di masa depan. Birokrasi di tingkat pusat juga berfungsi untuk membangun kerangka keterpaduan nasional dalam pengelolaan sumber daya air dengan irigasi sebagai salah satu komponennya. Mengingat irigasi adalah pengguna air terbesar, maka masalah efisiensi memang menjadi faktor penting. Namun demikian, faktor-faktor lain yang juga sama pentingnya adalah keadilan sosial dalam alokasi sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem yang mendukung jasa lingkungan, termasuk jasa penyediaan air. Oleh karena itu, kalau kerangka keterpaduan yang dibangun didasarkan pada ketiga faktor tersebut, masalah keterpaduan jelas memerlukan pendekatan yang berbeda. Dalam hal ini, pendekatan keterpaduan tidak hanya menekankan pada pembagian kewenangan, tetapi juga pada upaya-upaya harmonisasi untuk menuju keseimbangan dan keselarasan di antara ketiga faktor tersebut.
225
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Kelembagaan pengelolaan air yang ada pada masyarakat juga dibangun dan dikembangkan berdasarkan visi keterpaduan. Asas-asas efisiensi, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekosistem yang tetap merupakan faktor utama dalam membangun keterpaduan kelembagaan pengelolaan air di tingkat masyarakat. Mengingat pendekatan wilayah atau bentangan wilayah seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS) dianggap memadai untuk pendekatan keterpaduan, maka perkumpulanperkumpulan masyarakat yang memakai air di wilayah tersebut perlu membangun wadah kemitraan yang memikirkan kepentingan bersama di antara mereka. Pada tingkat DAS, asas keterpaduan dapat dibangun tidak saja dalam pengelolaan air, tetapi juga dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lahan. Ini mengingat eratnya keterkaitan antara kedua sumber daya tersebut. Keberlanjutan ekosistem sangat tergantung pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lahan. Berdasarkan hal itu, fungsi utama kelembagaan pengelolaan sumber daya air dalam kaitannya dengan sumber daya lahan adalah membalik kecenderungan rusaknya sumber daya dimaksud. Rusaknya berbagai sistem irigasi di Indonesia pada hakikatnya terjadi karena rusaknya sumber daya lahan. Dalam hubungan tersebut, perlu segera diambil langkah-langkah strategis untuk memetakan wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan, baik pada tingkat nasional dan regional oleh pemerintah maupun pada tingkat lokal oleh masyarakat setempat. Fungsi utama kelembagaan yang juga perlu segera dibangun adalah mempraktikkan contoh-contoh pengelolaan yang baik (good governance), tidak hanya pada sektor irigasi dan sumber daya air pada umumnya, tetapi juga dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya lahan. Dengan demikian semakin jelas bahwa corak kelembagaan yang perlu dibangun pada masa yang akan datang berbeda dengan yang dipraktikkan dewasa ini. Diperlukan berbagai upaya fundamental untuk melakukan reorientasi kelembagaan yang memerlukan perubahan-perubahan pola pikir dan kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya membangun kemampuan pada berbagai jenjang administrasi pemerintahan dan wilayahwilayah pengelolaan. Patut pula untuk sepenuhnya disadari bahwa ada sejumlah warisan nilai-nilai budaya berupa kearifan lokal yang juga perlu diintegrasikan dalam membangun kemampuan tersebut. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, perlu segera ditempuh upaya untuk merevisi UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA, terutama yang menyangkut kewenangan pada jenjang-jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai dengan kabupaten, dengan memberikan peran yang lebih besar pada pemerintah kabupaten dalam kewenangan pengelolaan. Sebagai contoh, daerah-daerah irigasi yang seluruh areal irigasinya terletak dalam wilayah administrasi kebupaten, sebaiknya diserahkan kepada pemerintah kabupaten
226
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
untuk pengelolaannya. Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi dalam hal yang menyangkut lintas batas. UU tersebut juga sebaiknya memberi jaminan tidak adanya penguasaan sumber daya air oleh pihak tertentu yang dapat menyebabkan hilangnya akses masyarakat luas terhadap air dalam suatu kawasan. Apalagi jika lahan yang ada pada kawasan tersebut telah dikuasai oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hubungan itu, perlu dibangun kemampuan untuk menetapkan rencana tata ruang suatu wilayah yang mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem yang mendukung terpeliharanya lahan dan sumber-sumber air. Mengingat pengelolaan sumber air sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lahan, maka UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu segera dioperasionalkan, walaupun tantangan yang dihadapi untuk menghasilkan berbagai peraturan pemerintah yang menopang enforcement undang-undang tersebut tidaklah mudah untuk diatasi. Masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah bukan hanya bagaimana secara cepat memperoleh pendapatan asli daerah yang lebih tinggi, tetapi juga bagaimana memulihkan sumber daya alam yang rusak yang berdampak pada penurunan jasa ekosistem, seperti ketersediaan air secara kuantitas dan kualitas serta distribusiannya sepanjang tahun. Demikian pula merupakan kewajiban pemerintah, sesuai dengan amanat UUD 1945, untuk memperluas akses terhadap lahan dan air, terutama bagi golongan miskin. Oleh karena itu, pendekatan keterpaduan pada hakikatnya adalah pendekatan yang menyelaraskan 3 (tiga) kepentingan dalam suatu wilayah, yaitu kepentingan pertumbuhan ekonomi, kepentingan keadilan sosial dalam memanfaatkan sumber daya termasuk lahan dan air, dan kepentingan untuk mendukung keberlanjutan jasa ekosistem pada wilayah tersebut. Keterpaduan hendaknya dibangun dalam suatu kerangka yang mengaitkan ketiga prinsip tersebut dalam suatu komitmen politik yang dapat dijadikan acuan berbagai pihak (stakeholders) dalam proses pembangunan suatu wilayah.
Kerangka Keterpaduan dan Perubahan Pola Pikir Di masa yang lampau, penonjolan fungsi ekonomi dalam politik pengelolaan sumber daya alam yang mementingkan berlangsungnya investasi sektor swasta telah menyebabkan terjadinya politik kebijakan yang bersifat permisif, khususnya yang menyangkut eksploitasi hutan. Demikian pula telah terjadi konversi lahan untuk berbagai tujuan yang menyebabkan berkurangnya kemampuan ekosistem dalam memelihara keberlanjutan lingkungan dan ekosistem. Kesadaran pengelolaan sumber daya secara terpadu telah merupakan kesepakatan internasional yang dideklarasikan dalam forum internasional seperti Johanesburg Declaration tahun 2002. Politik internasional tersebut turut memengaruhi politik pengelolaan dalam
227
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
negeri yang memunculkan kesadaran pendekatan keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air. Lebih jauh lagi, muncul pula gagasan-gagasan tentang Integrated Water Resource Management dan Integrated River Basin Management. Pendekatan tersebut pada mulanya menekankan pentingnya keterpaduan antarsektor dan antarwilayah dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air. Namun, konsep dasar yang mendukung asas keterpaduan pada hakikatnya adalah keterpaduan yang didasarkan pada keselarasan dan keseimbangan tiga fungsi dasar, yaitu fungsi yang menopang efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, fungsi yang mewujudkan keadilan sosial, dan fungsi yang mewujudkan kesadaran ekologi untuk mewariskan keberlanjutan lingkungan pada generasi yang akan datang. Pilar pertama cenderung diminati sektor swasta karena kecenderungan orientasi keuntungan yang diutamakan dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Kasus pemanfaatan sumber daya air untuk keperluan air minum oleh swasta dapat menyebabkan akses masyarakat yang berkekurangan menjadi terhalang. Demikian pula pemanfaatan sumber daya hutan tanpa memperhatikan asas kelestarian akan menghilangkan kesempatan generasi yang akan datang memanfaatkan sumber daya alam dalam wilayah DAS sebaikbaiknya. Harus diakui secara jujur bahwa tidaklah mudah membangun prinsip dan pendekatan keterpaduan, sesuatu yang menurut F. Molle, hanya terdapat di Nirwana saja.5 Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana menerapkan dan mengefektifkan kerangka tersebut menjadi lebih operasional? Apakah cukup dengan merevisi UU atau PP? Mengapa kerangka hukum dan peraturan saja tidak cukup? Salah satu kendalanya tidak lain adalah pola pikir sistem birokrasi di Indonesia yang masih merasa nyaman dalam sistem yang terkotak-kotak. Tantangan yang kemudian perlu dihadapi adalah bagaimana menerobos kenyamanan tersebut dengan membangun keselarasan baru yang lebih fundamental. Membangun kerangka tersebut tidaklah sederhana dan bahkan memerlukan pemahaman yang lebih jernih tentang keragaman sumber daya yang kita miliki, tidak saja sumber daya alam, tetapi juga sumber daya manusia, budaya, dan modal sosial yang dimiliki masyarakat. Dapat dikatakan bahwa melaksanakan pendekatan keterpaduan adalah suatu agenda jangka panjang yang harus dirancang dan dibangun dari sekarang dan dimulai dengan pembangunan pola pikir yang kondusif terhadap proses keterpaduan. Kemudian, pertanyaan lebih lanjut yang muncul dan perlu dijawab adalah perubahan pola pikir seperti apa yang diperlukan pada prakondisi bagi proses keterpaduan? Apakah 5
228
Konsep Nirwana menurut pandangan Molle adalah suatu bayangan ideal bagaimana dunia seharusnya berperilaku, yang secara moral tidak dapat dibantah atau seperti suatu visi yang menarik menjadi focal point walaupun kemungkinan terwujudnya rendah. Penjelasan secara rinci terdapat pada Francois Molle, Nirwana Concepst: Narrative and Policy Models, Insights from the Water Sector .Water Alternatives 1(1) , 2008, www .water –alternatives.org.
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
perlu inisiator dalam perubahan pola pikir? Kalau sistem birokrasi perlu terlebih dahulu mengubah pola pikir, siapa yang memulai dan bagaimana cara mencapai kesepakatan dalam perubahan pola pikir? Walaupun tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dapat dirancang dan dibangun suatu agenda untuk mewujudkan kesamaan pola pikir. Misalnya, apakah ada kesepakatan bahwa modal sosial yang ada pada masyarakat dapat dipakai sebagai salah satu pintu masuk untuk mewujudkan keterpaduan? Kalau hal tersebut dapat diterima, sebagai implikasinya potensi yang ada pada masyarakat harus dapat dimanfaatkan sepenuhnya dalam pelaksanaan proses keterpaduan pengelolaan sumber daya air. Dalam hubungannya dengan ekosistem, masyarakat petani adalah pengguna terbesar ekosistem secara global, di Indonesia khususnya. Dengan demikian, salah satu perubahan pola pikir yang mungkin perlu disepakati adalah menjadikan masyarakat petani sebagai arus utama dalam mewujudkan proses keterpaduan. Selain itu, ada berbagai pola pikir lainnya yang dapat dijadikan pintu masuk dan yang perlu diidentifikasi dan diverifikasi lebih lanjut untuk dijadikan kesepakatan bersama. Misalnya, introduksi teknologi ramah lingkungan. Apa yang dimaksud dengan teknologi ramah lingkungan dan sampai seberapa jauh dapat diadaptasi oleh masyarakat lokal? Pada dasarnya, masih ada langkah-langkah lebih lanjut yang perlu ditempuh untuk mewujudkan proses keterpaduan. Tahap pertama, perlu dibahas pola pikir apa yang disepakati bersama, yaitu suatu pola pikir yang berbeda dengan pola pikir yang telah dianut selama ini, baik oleh sistem birokrasi maupun oleh pihak-pihak lainnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya lahan dan air pada umumnya, termasuk pengelolaan irigasi. Ada tiga hal yang perlu disoroti dalam perubahan pola pikir. Pertama, menyangkut peran para pihak atau stakeholders. Salah satu masalah yang terkait dengan peran dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air, yaitu masyarakat umumnya dianggap sebagi sasaran penyusunan kebijakan bukan partisipan dalam perumusan kebijakan. Sebagai akibatnya, banyak kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak efektif, baik dalam hal komunikasi maupun substansi permasalahan. Dengan munculnya masalah seperti kerusakan sumber daya alam dan perubahan iklim, pola pikir yang paling tepat ditempuh adalah menjadikan masyarakat petani yang merupakan pengguna ekosistem terbesar sebagai arus utama dalam upaya membalik kecenderungan degradasi sumber daya lahan dan air yang sedang berlangsung. Dengan menempatkan masyarakat tani sebagai pemeran utama dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air, merupakan upaya memulihkan hak konstitusional masyarakat dan sekaligus menangkal upaya eksternal yang mencoba menggusur mereka dari lahannya sendiri. Kedua, menyangkut asas-asas dalam melaksanakan proses keterpaduan. Asas keselarasan dan keserasian dalam melaksanakan keterpaduan antartiga pilar utama memerlukan tidak saja suatu komitmen politik, tetapi juga keterampilan 229
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, tiga pilar tersebut dapat juga disebut sebagai tiga serangkai (dalam bahasa Rusia disebut sebagai Troika) yang memerlukan kepemimpinan yang andal untuk mengelolanya. Dengan berjalannya waktu perlu dibangun kriteria yang operasional untuk memungkinkan terjadinya kelangsungan proses untuk menghindari benturan benturan keras antara ketiga pilar tersebut. Ketiga, pola pikir yang menyangkut pendekatan pelaksanaan. Pada umumnya, kemitraan adalah suatu konsep yang dianggap ideal untuk melaksanakan proses keterpaduan, namun atas nama kemitraan pihak tertentu dapat menunggangi pihak lain yang dianggap lemah. Pada hakikatnya kemitraan hanya dapat dilaksanakan apabila muncul kesadaran bersama tentang pentingnya permasalahan yang dihadapi dan yang hanya dapat diselesaikan apabila ada iktikad yang baik dalam melaksananakan proses kebersamaan untuk menghasilkan keterpaduan pendekatan. Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk menangkal masuknya kekuatan dari luar yang dapat menggusur hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air. Agenda selanjutnya adalah menetapkan suatu roadmap dalam mewujudkan proses keterpaduan tersebut, termasuk di dalamnya langkah-langkah strategis, pentahapan, dan kurun waktu yang diperlukan untuk mencapai cita-cita yang sangat diharapkan itu. Bagi Indonesia, tersedia peluang untuk menghadapi tantangan dalam rangka mewujudkan citacita tersebut dan tulisan ini hanya memberikan sekelumit gagasan awal untuk mendorong proses ke arah pencapaian tujuan.
Daftar Pustaka Anuradha M. 2008. Price Crisis: Rethinking Food Security Policies. G 24 Intergovernmental Group of Twenty four. UN Headquarter, Geneva. Bappenas. 2004. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indonesia: Antara Krisis dan Peluang. Diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Bossio D, Noble A, J Pretty, and FP de Vries. 2004. Reversing Land and Water Degradation: Trends and Bright Spot Opportunities. Paper Presented at the SIWI/CA Seminar. Stockholm, Sweden, 21 August 2004. Bruinsma J. 2009. The Resource Outlook to 2050: By How Much Do Land, Water and Crop Yields Need to Increase by 2050? FAO Expert Meeting on How to Feed the World in 2050. DFID. 2007. DFID Annual Report 2007: Development on the Record. London: Stationery Office.
230
PERLUASAN LAHAN PERTANIAN PANGAN: MEMBANGUN KERANGKA KETERPADUAN
Hayami Y and VW Ruttan (1985). Agricultural Development: an International Perspective. Johns Hopkins University Press, Baltimore, MD. Kartiwa B dan H Pawitan (2010). Degradasi Sumber-Sumber Air. Faktor Penyebab daan Langkah-Langkah yang Diperlukan. Dalam Suradisastra K, et al. (2010). Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan Dan Air. Badan Litbang Pertanian. IPB Press. Kasryno F, M Badrun, dan E Pasandaran. 2010. Land Grabbing: Perampasan Hak Konstitusional Masyarakat. Yapari. 2010. Kugelman M and Susan L Levenstain.2009. Land Grab? The Race for The Worlds Farm Land, Woodrow Wilson Center for Scholar, Asia Program,Washington D.C.2009. Molinga P and Alex Bolding. 2004. The Politics of Irrigation Reform, Research Center for Strategic Action in Business and Economics, Ashgate Publishing Limited Gower House, Croft Road Aldershot, Hampshire, England. Molle F. Nirwana Concepst: Narrative and Policy Models, Insights from the Water Sector . Water Alternatives 1(1), 2008, www.water–alternatives.org. Nababan A. 2003. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional. INTIP HUTAN, Mei-Juli 2003. Nababan A. 2004. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional. INTIP HUTAN, Februari 2004. Pasandaran E. 2008. Irigasi Masa Depan, Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan, JKII, Jakarta. Prastowo. 2001. Kerusakan Ekosistem Mata Air. Makalah Workshop Bapedal. Jakarta. Rhee S, Darrell Kitchener, Tim Brown, Reed Merrill, Russ Dilts, and Stacey Tighe. 2004. Report on Biodiversity and Tropical Forests in Indonesia. Submitted in accordance with Foreign. Assistance Act Sections 118/119. February 20, 2004. Prepared for USAID/Indonesia Research. 32(10): 3189-3196. Suhardiman. 2008. Bureaucratic Designs: The Paradox of Irrigation Management Transfer in Indonesia. Wageningen UR. Sunaryo TM, J Lubis, H Purwanto, dan Hidayat Pawitan. 2006. Pengelolaan Bencana Alam, Prosiding Forum Air Indonesia III, Hari Air Dunia, 2006. Thijse JP. 1982. Apakah Jawa akan menjadi Padang Pasir? dalam Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga rampai (Penyunting: Sayogyo) Penerbit CV Rajawali. Jakarta. Timmer CP. 2010. Reflections on food crisis past. Food Policy 35 (2010):1-11.Elsevier. www.elsevier.com/locate/foodpol.
231
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Tri Pranaji. 2004. Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor. Uphoff N. 2007. Agricultural Futures: What lies beyond ‘Modern Agriculture’? 2nd Hugh Bunting Memorial Lecture. Tropical Agriculture Association Newsletter, September, 13-19.( http://www.sw-websolutions.co.uk/taa/ assets/pubs/ ndBMLSept2007.pdf World Bank. 2008. World Development Report, 2008. Agriculture for Development. Washington, D. C. World Bank. 2010. Rising Global Interest in Farm Land. Can it Yield Sustainable and Equitable Benefits? World Bank,Wasington D.C. World Bank Office Jakarta. 2010. Trade Development Report. Boom, Bust, and Up Again? Evolution, Drivers, and Impact of Commodity Prices: Implications for Indonesia, WBO Jakarta. World Rainforest Movement. 2002. Mangroves: Local livelihoods vs. corporate profits. WRM Bulletin Nº 65, December 2002 World Rainforest Movement Maldonado 1858 - 11200 Montevideo – Uruguay
[email protected]
232