SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN Nur K. Agustin, Julia F. Sinuraya, dan Sahat M. Pasaribu
Masalah lahan pertanian akan menentukan berbagai program pemerintah dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia ke depan. Salah satu aspek penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang bersumber dari tanah adalah kepastian hukum dalam mengusahakan lahan pertanian. Kepastian hukum tersebut mendorong masyarakat meningkatkan rasa aman dan kepercayaan untuk melakukan investasi guna memperoleh hasil yang optimal dari lahan yang diusahakannya. Dengan demikian, sertifikasi lahan menjadi penting dalam rangka optimalisasi sumber daya lahan untuk kepentingan ekonomi, termasuk usaha tani komoditas pertanian. Bersamaan dengan penerbitan sertifikat lahan akan tercipta tertib administrasi peruntukan tanah yang dapat menghindari konflik kepentingan di bidang pertanahan. Mengingat sertifikasi lahan berhubungan erat dengan kepemilikan lahan, untuk mendapatkan gambaran umum pemilikan dan penggarapan lahan pertanian, berikut ini diuraikan hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) pada tahun 2007 yang merupakan kegiatan kerja sama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan JBIC (Jepang). Lokasi penelitian tersebar di 7 (tujuh) provinsi pada 98 desa dengan 1.350 responden (Tabel 1). Tabel 1. Sebaran lokasi, responden contoh dan kepemilikan lahan, 2007 No.
Provinsi
Jumlah desa Jumlah contoh responden (org)
Jumlah persil milik (plot)
Rata-rata persil milik/ resp. (plot)
1 Lampung
16
257
811
3,2
2 Jawa Tengah
12
183
532
2,9
3 Jawa Timur
11
148
345
2,3
4 Nusa Tenggara Barat
13
173
392
2,3
5 Kalimantan Selatan
16
198
672
3,4
6 Sulawesi Utara
12
162
459
2,8
7 Sulawesi Selatan
18
229
899
3,9
98
1.350
4.110
3,0
Total Sumber: Penelitian PATANAS/JBIC (2007), diolah
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Pada Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata rumah tangga petani memiliki sekitar 3 persil lahan (plot). Namun demikian, luas lahan yang dimiliki relatif sempit, yakni sekitar 0,41 ha/plot (Tabel 2). Variasi luas lahan per plot relatif lebar, yakni berkisar 0,001 hingga 18 hektare, tergantung juga pada jenis lahan yang dimiliki. Sebagian besar lahan yang dimiliki oleh rumah tangga tani adalah pekarangan (29,66%), perkebunan (20,15%), bukan lahan pertanian (13,97%) dan lahan kering (11,73%). Di sisi lain, kepemilikan lahan basah relatif sempit menurut jenis sawah, yakni sawah irigasi sederhana, lahan yang dominan dimiliki, (5,28%), sawah tadah hujan (5,13%), dan sawah irigasi teknis (5,01%). Gambaran umum kepemilikan lahan bervariasi antarprovinsi. Di Pulau Jawa, kepemilikan lahan yang menonjol adalah lahan bukan pertanian (perumahan, industri rumah tangga, dan lain-lain) dan lahan kering, sedangkan kepemilikan lahan sawah didominasi oleh petani di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kepemilikan lahan perkebunan, lahan kering, dan pekarangan lebih banyak dijumpai di wilayah luar Pulau Jawa. Sebagian besar lahan milik tersebut diperoleh dari warisan (46,69%) dan dari transaksi jual-beli (34,67%), sedangkan perolehan lahan dari hadiah, pemberian dari pemerintah, dan sumber perolehan lainnya relatif kecil. Berdasarkan penguasaan lahan, sebagian besar lahan yang digarap adalah lahan milik (84,44%) dan sisanya lahan bukan milik yang berasal dari menyewa, bagi hasil, gadai, pinjam atau sistem lainnya (Tabel 3). Pengusahaan lahan milik umumnya digarap sendiri oleh petani, meskipun terdapat 21,91% lahan milik yang tidak diusahakan (bera). Sedangkan pada lahan bukan milik sendiri, pengusahaan lahan pada umumnya digarap dengan sistem bagi hasil (36,83%), pinjam (31,15%) atau menyewa (23,96%). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepemilikan lahan oleh petani masih cukup tinggi dibandingkan dengan lahan yang bukan dimiliki. Meskipun rata-rata luasan lahan per plot relatif kecil, namun penguatan status kepemilikan (asset) lahan yang dimiliki tetap diperlukan. Untuk itu, proses sertifikasi dibutuhkan dan harus mendapat dukungan pemerintah agar petani memperoleh kepastian kepemilikan tanah secara sah, mudah, dan dengan biaya yang terjangkau. Sertifikat hak milik tanah tersebut dapat digunakan sebagai jaminan dalam memperoleh fasilitas kredit perbankan, sehingga membantu petani memperoleh modal usaha tani. Selain itu, sertifikat tanah juga merupakan salah satu cara mencegah terjadinya konversi lahan pertanian ke usaha non-pertanian untuk mengendalikan dan menjaga upaya peningkatan produksi pangan nasional.
262
12 (2,26)
2 (0,38) 99 (18,61) 230 (43,23) 532 (100,00)
7 (0,86) 0 (0,00) 0 (0,00) 16 (1,97) 72 (8,88) 248 (30,58) 1 (0,12) 1 (0,12) 244 (30,09) 140 (17,26) 811 (100,00)
• Sawah pasang surut
• Rawa
• Sawah irigasi dengan pompa
• Sawah tadah hujan
• Lahan kering
• Lahan perkebunan
• Perikanan (kolam/ tambak)
• Perikanan air tawar
• Pekarangan
• Bukan lahan pertanian
Total
131 (24,62)
49 (6,04)
• Sawah Irigasi sederhana dataran rendah
3 (0,56)
5 (0,94)
1 (0,19)
0 (0,00)
0 (0,00)
4 (0,75)
3 (0,56)
5 (0,62)
• Sawah irigasi 1/2 teknis dataran rendah
42 (7,89)
28 (3,45)
• Sawah irigasi dataran rendah
2 Jenis lahan (Persil):
4,00
5,00
0,001
0,002
Minimum (ha)
Maksimum (ha)
Jawa Tengah 0,12
Lampung 0,41
Uraian
1 Rata-rata lahan milik (ha)
No
345 (100,00)
70 (20,29)
93 (26,96)
0 (0,00)
16 (4,64)
9 (2,61)
79 (22,90)
10 (2,90)
7 (2,03)
0 (0,00)
1 (0,29)
45 (13,04)
8 (2,32)
7 (2,03)
5
0,003
0,24
Jawa Timur 0,48
392 (100,00)
16 (4,08)
100 (25,51)
1 (0,26)
2 (0,51)
31 (7,91)
64 (16,33)
27 (6,89)
3 (0,77)
0 (0,00)
1 (0,26)
56 (14,29)
60 (15,31)
31 (7,91)
5
0,004
NTB
672 (100,00)
59 (8,78)
197 (29,32)
1 (0,15)
0 (0,00)
109 (16,22)
42 (6,25)
112 (16,67)
0 (0,00)
59 (8,78)
75 (11,16)
11 (1,64)
4 (0,60)
3 (0,45)
12.7
0,002
0,66
Kalimantan Selatan
459 (100,00)
48 (10,46)
143 (31,15)
6 (1,31)
2 (0,44)
184 (40,09)
20 (4,36)
6 (1,31)
1 (0,22)
1 (0,22)
4 (0,87)
10 (2,18)
9 (1,96)
25 (5,45)
18
0,003
0,52
Sulawesi Utara
Tabel 2. Rata-rata, jenis lahan dan sumber perolehan lahan milik di beberapa provinsi, 2007
899 (100,00)
11 (1,22)
343 (38,15)
1 (0,11)
56 (6,23)
235 (26,14)
74 (8,23)
35 (3,89)
9 (1,00)
0 (0,00)
1 (0,11)
42 (4,67)
22 (2,45)
70 (7,79)
16,5
0,004
0,47
Sulawesi Selatan 0,41
4110 (100,00)
574 (13,97)
1219 (29,66)
12 (0,29)
80 (1,95)
828 (20,15)
482 (11,73)
211 (5,13)
21 (0,51)
60 (1,46)
89 (2,17)
217 (5,28)
111 (2,70)
206 (5,01)
18,00
0,001
Total
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
263
264 4 (0,75)
40 (4,93) 1 (0,12)
• Hadiah
• Program pemerintah
Total
• Kosong (tidak ada data)
• Lainnya
95 (17,86)
375 (46,24)
• Pembelian
12 (2,26) 105 (19,74) 532 (100,00)
29 (3,58) 127 (15,66) 811 (100,00)
0 (0,00)
316 (59,40)
Jawa Tengah
239 (29,47)
Lampung
• Warisan
Asal perolehan lahan (Persil):
Uraian
345 (100,00)
38 (11,01)
15 (4,35)
0 (0,00)
5 (1,45)
91 (26,38)
196 (56,81)
Jawa Timur
Sumber: Penelitian Patanas/JBIC (2007), diolah
Keterangan: ( ) Angka dalam kurung menunjukkan nilai persentase (%)
3
No
392 (100,00)
0 (0,00)
9 (2,30)
35 (8,93)
4 (1,02)
115 (29,34)
229 (58,42)
NTB
672 (100,00)
34 (5,06)
24 (3,57)
72 (10,71)
63 (9,38)
319 (47,47)
160 (23,81)
Kalimantan Selatan
459 (100,00)
62 (13,51)
12 (2,61)
0 (0,00)
7 (1,53)
165 (35,95)
213 (46,41)
Sulawesi Utara
Tabel 2. Rata-rata, jenis lahan dan sumber perolehan lahan milik di beberapa provinsi, 2007 Total
899 (100,00) 4110 (100,00)
3 (0,33) 369 (8,98)
10 (1,11) 111 (2,70)
30 (3,34) 138 (3,36)
25 (2,78) 148 (3,60)
265 (29,48) 1425 (34,67)
566 (62,96) 1919 (46,69)
Sulawesi Selatan
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Tabel 3. Penguasaan dan pengusahaan lahan milik dan lahan bukan milik, 2007 No.
Uraian
Lampung
Jawa Tengah
Jawa Timur
NTB
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Total
1 Lahan Milik: a. Jumlah persil (Plot)
592
323
524
356
520
710
756
3781
b. Rata-rata (ha)
0,49
0,21
0,31
0,48
0,80
0,50
0,44
0,46
c. Jenis garapan (%): • Digarap sendiri
56,08
69,04
27,67
53,09
48,85
23,80
55,03
47,65
• Disewakan
0,84
4,64
4,20
4,21
2,31
1,41
1,59
2,74
• Dibagihasilkan
6,08
5,88
1,34
2,53
6,15
3,52
6,22
4,53
• Dipinjamkan ke petani lain untuk digarap
1,18
3,10
50,38
1,97
2,69
1,55
1,98
8,98
• Digadaikan
1,01
0,93
0,38
4,21
0,58
0,00
2,51
138
29,56
8,05
11,64
33,15
31,15
10,56
29,23
21,91
• Bera (tidak digarap) • Lainnya Total (1.c)
5,24
8,36
4,39
0,84
8,27
59,15
3,44
12,81
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
2 Lahan Bukan Milik : a. Jumlah persil (plot)
129
89
69
58
121
71
160
697
b. Rata-rata (Ha)
0,65
0,25
0,40
0,53
0,51
0,48
0,70
0,50
• Menyewa
7,75
56,18
31,88
22,41
21,49
9,86
18,13
23,96
• Bagi hasil
54,26
29,21
13,04
22,41
49,59
26,76
62,50
36,83
• Gadai
4,65
4,49
4,35
22,41
2,48
0,00
5,63
6,29
• Pinjam
31,78
8,99
44,93
31,03
24,79
63,38
13,13
31,15
• Lainnya
1,55
1,12
5,80
1,72
1,65
0,00
0,63
1,78
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
3 Jumlah persil lahan (milik + bukan milik), (plot)
721
412
593
414
641
781
916
4.478
4 Persentase persil lahan milik (%)
82,11
78,40
88,36
85,99
81,12
90,91
82,53
84,44
5 Persentase lahan bukan milik (%)
17,89
21,60
11,64
14,01
18,88
9,09
17,47
15,56
c. Jenis garapan (%):
Total (2.c)
Sumber: Penelitian Patanas/JBIC (2007), diolah
Program Sertifikasi Lahan Pertanian Kriteria dan Mekanisme Pelaksanaan Sertifikasi Lahan Peningkatan status hak atas tanah dilaksanakan melalui program sertifikasi tanah dan pemberdayaan petani dengan menyinergikan antara kegiatan instansi terkait dengan perbankan dan stakeholder lainnya. Beberapa program pemerintah dalam pemberian sertifikasi lahan telah dan sedang dilaksanakan, yakni Program Sektoral (program kerja sama antara Badan Pertanahan Nasional/BPN dengan kementerian terkait) dan program 265
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
sertifikasi lahan lingkup BPN, seperti Proyek Nasional Agraria (PRONA), Larasita, dan Reforma Agraria. Pelaksanaan program sertifikasi melalui PRONA dilakukan dengan sasaran untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan prioritas pada lahan pekarangan berukuran sampai dengan 2.000 m2 dan lahan pertanian dengan luas hingga 2 hektare. Selain itu, dilakukan program ajudikasi yang merupakan program sertifikasi lahan secara sistemik dengan maksud percepatan pelaksanaan sertifikasi. Mekanisme yang dilakukan adalah pendaftaran tanah secara sistemik untuk seluruh desa dan proses sertifikasi selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Program ajudikasi dimulai tahun 1996 tetapi dihentikan pada tahun 2010 karena keterbatasan anggaran pelaksanaan. Program ajudikasi ini didukung oleh pendanaan yang berasal dari World Bank yang membutuhkan data dan informasi dari pemetaan lahan yang relatif mahal. Selama kurun waktu 1996 hingga 2009, program ajudikasi telah mencakup 11 provinsi di 60 kabupaten/kota dan berhasil menyertifikasi lahan sekitar 4,6 juta bidang tanah. Pelaksanaan program sektoral dilakukan melalui koordinasi antara BPN dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada wilayah pesisir, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Perikanan dan Kelautan. Sertifikasi lahan yang terkait dengan Program Sektoral untuk lahan-lahan transmigrasi diberlakukan ketentuan bahwa sejak diterbitkannya sertifikat lahan, tidak boleh dilakukan pengalihan kepemilikannya minimal selama 20 tahun. Namun demikian, banyak lahan transmigrasi menjadi tanah-tanah terlantar karena kurangnya pengawasan. Saat ini, pemerintah tengah melakukan inventarisasi terhadap tanah-tanah terlantar tersebut. Hasil inventarisasi oleh BPN menunjukkan bahwa terdapat lahan terlantar seluas 7,3 juta hektare di seluruh Indonesia, sekitar 1,9 juta hektare di antaranya memiliki sertifikat hak guna usaha. Sejak awal kemerdekaan hingga 2004, BPN hanya menerbitkan sertifikat sebanyak 770 ribu persil. Sampai dengan tahun 2008, jumlah sertifikat yang diterbitkan telah melonjak hingga 4,67 juta persil (Koran Tempo 4 Agustus 2009). Kerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM dilakukan dalam rangka pemberdayaan pengusaha mikro dan kecil dalam kerangka peningkatan akses permodalan, yakni dengan menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Kebijakan pemerintah tersebut tertuang dalam Kesepakatan Bersama antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan BPN tanggal 16 Juli 2003, No. 04/SKB/M.KUKM/VII/2003 dan No. 06/SKB/BPN/ VII/2003 serta perjanjian bersama antara Menteri Koperasi dan UKM dengan BPN dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) tanggal 16 Juli 2003, No. 96/SKB/III/VII/2003 dan 07/SKB/BPN/VII/2003 serta B.584-DIR/BRI/07/2003. Sejak tahun 2003, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian telah melaksanakan kegiatan sertifikasi tanah petani untuk mendukung dan memfasilitasi petani memperoleh hak atas tanahnya. Kegiatan sertifikasi lahan petani 266
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
tersebut dilakukan melalui dua tahapan, yakni Pra sertifikasi dan Sertifikasi. Pelaksanaan kegiatan Pra sertifikasi merupakan tanggung jawab Kementerian Pertanian dan hasil kegiatan Pra sertifikasi tersebut menjadi dasar bagi BPN untuk melaksanakan kegiatan sertifikasi lahan petani. Dasar pelaksanaan kegiatan Pra Sertifikasi tanah petani tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pertanian dengan Kepala BPN, No. 515/Kpts/HK.060/9/2004 dan No. 2/SKB/BPN/2004, sedangkan operasional pelaksanaannya berupa Keputusan Bersama antara Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian dengan Deputi Bidang Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN, No. 162.2/Kpts/OT.160/B3/4/2009 dan No. 2–SKB–BPN RI–2009. Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian Pertanian telah menyusun Pedoman Teknis Pra Sertifikasi Tanah Petani yang disusun sebagai acuan bagi Dinas lingkup Pertanian Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam menyiapkan subjek dan objek sertifikasi tanah petani. Tujuan kegiatan Pra Sertifikasi tanah petani bagi petani adalah: a. Memberikan kepastian tentang subjek dan objek atas tanah serta kepastian hukum atas kepemilikan tanah yang diusahakan masyarakat pertanian yang tinggal di pedesaan secara cepat, tepat, mudah, murah, dan aman. b. Mempercepat penyajian dokumen administrasi subjek dan objek untuk diproses lebih lanjut dalam pembuatan sertifikat tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sasaran kegiatan Pra Sertifikasi tanah petani adalah: a.
Sasaran Objek merupakan lahan pertanian di sentra produksi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan). b. Sasaran Subjek adalah petani pemilik penggarap yang telah mengusahakan tanahnya tetapi belum mempunyai hak atas tanah yang tetap. Kegiatan pra sertifikasi tanah petani diperuntukan bagi petani pemilik dan atau penggarap lahan pertanian rakyat (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan) dengan luas lahan maksimal 2 hektare/persil/orang. Tanah yang akan di pra sertifikasikan berada dalam kawasan budi daya pertanian sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Tahapan pelaksanaan pra sertifikasi tanah petani adalah sebagai berikut: a. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan oleh Dinas lingkup Pertanian provinsi. b. Penyusunan petunjuk teknis pra sertifikasi tanah petani oleh Dinas lingkup Pertanian kabupaten/kota. c. Membentuk Kelompok Kerja (Pokja) dengan Surat Keputusan yang diterbitkan dan ditandatangani Penjabat Pembuat Komitmen yang mencakup susunan anggota yang terdiri dari unsur-unsur petugas subdinas yang menangani prasarana dan sarana pertanian sebanyak 5 orang, aparat desa 2 orang, PPL 1 orang, dan petugas kantor pertanahan 1 orang. 267
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
d. Tim Pokja melakukan rapat dengan para pemangku kepentingan Pra Sertifikasi, di antaranya pamong desa, ketua kelompok tani, ketua adat dan pemuka agama. Rapat tersebut dilaksanakan dengan agenda: 1. Koordinasi dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 2. Koordinasi pembahasan formulir sebagai bahan inventarisasi data subjek dan objek/calon lokasi dan calon petani Pra Sertifikasi. 3. Evaluasi hasil inventarisasi formulir dan kelengkapan dokumen Pra Sertifikasi. 4. Pembahasan finalisasi dokumen dan data subjek dan objek pra sertifikasi sebagai calon lokasi dan calon peserta sertifikasi sebelum dikirimkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. e. Melakukan inventarisasi data subjek dan objek pra sertifikasi. f. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka persiapan, pelaksanaan, dan pemantauan Pra Sertifikasi tanah petani. g. Pengiriman dokumen dan data calon lokasi dan calon peserta sertifikasi ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pra sertifikasi tanah petani merupakan kegiatan strategis dan perlu dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan subjek dan objek pra sertifikasi tanah petani yang dilaksanakan sebelum proses penyertifikatan tanah oleh BPN. Kegiatan ini akan terlaksana apabila diawali dengan koordinasi oleh Kepala Dinas lingkup Pertanian Kabupaten/Kota untuk mendapat dukungan dan kerja sama yang baik dari semua instansi. Selanjutnya Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) diminta untuk membuat pelaporan tentang perkembangan kegiatan sertifikat lahan dan data lahan petani yang disertifikasi oleh BPN. Tidak ada perbedaan mekanisme/prosedur sertifikasi lahan pertanian dan non-pertanian oleh BPN. Biaya yang terkait dengan kegiatan sertifikasi lahan telah diatur oleh pemerintah dalam PP No. 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Rincian biaya-biaya tersebut terdapat dalam lampiran PP No. 13 tahun 2010 yang meliputi: a) Pelayanan survei, pengukuran batas kawasan atau batas wilayah, dan pemetaan, b) Pelayanan pendaftaran tanah, c) Pelayanan informasi pertanahan, d) Pelayanan lisensi, dan e) Pelayanan pendidikan. Secara lengkap jenis dan tarif atas kegiatan sertifikasi lahan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Program Pemberian Sertifikat Lahan Beberapa program pemerintah dilakukan terkait dengan kegiatan sertifikasi lahan pertanian diuraikan berikut ini. Pemerintah melakukan program redistribusi pada lahan pertanian untuk melegalisasi tanah-tanah ex object landreform, seperti tanah negara dan tanah absentee. Dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun terakhir, terdapat 68.000 bidang lahan yang telah disertifikasi melalui program redistribusi tersebut. 268
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Di samping program redistribusi, juga dilakukan program lintas sektor kerja sama antara BPN dengan Kementerian Pertanian sejak tahun 2003 hingga saat ini. Pada periode 2004–2008, kerja sama dilakukan secara langsung antara Kementerian Pertanian dengan BPN di daerah. Pada periode tersebut, pelaporan kegiatan sertifikasi lahan dari BPN daerah ke tingkat pusat kurang berjalan dengan lancar. Selanjutnya pada tahun 2008, penganggaran kegiatan dilakukan secara campuran antara dana SPK dengan dana APBN, melalui mekanisme dana Kementerian Pertanian yang dialokasikan langsung ke daerah, sedangkan dana di BPN disalurkan ke daerah melalui portofolio. Selanjutnya, pada tahun 2009 dan 2010 pendanaan dilakukan secara murni melalui APBN. Hal ini berimplikasi pada terjadinya perbedaan teknis pengganggaran dan penentuan Calon Petani Calon Lokasi (CPCL) penerima sertifikat. Penganggaran melalui SPK pada dana Kementerian Pertanian menyebabkan penentuan CPCL dilakukan oleh Kementerian Pertanian berkoordinasi dengan BPN daerah. Target bidang lahan yang akan disertifikasi ditentukan oleh Kementerian Pertanian. Sedangkan kegiatan sertifikasi dengan anggaran langsung dari APBN ditangani oleh BPN, penentuan CPCL sesuai dengan juknis yang diberlakukan secara umum untuk seluruh jenis lahan, bukan hanya peruntukan lahan pertanian saja. Hasil kegiatan sertifikasi lahan yang dilakukan melalui Program Lintas Sektoral antara BPN bekerja sama dengan Kementerian Pertanian selama kurun waktu 2009–2011 disajikan pada Tabel 4. Kegiatan sertifikasi lahan yang paling berhasil dilakukan adalah pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh ketatnya pengawasan yang dilakukan UKP4 terhadap proses sertifikasi, sehingga realisasi lahan yang selesai disertifikasi mencapai 99,27% meskipun cakupan wilayahnya lebih luas dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tersebar di 18 provinsi dan 82 kabupaten/kota). Pada tahun 2011, hingga bulan Agustus, proses sertifikasi baru terealisasi sebanyak 1.597 bidang dari target 25.000 bidang atau hanya mencapai 6,39%. Tidak tercapainya target sertifikasi pada tahun 2009, yakni hanya terealisasi 51,41%, dikhawatirkan memengaruhi pencapaian realisasi sertifikat pada tahun 2011. Tidak optimalnya pencapaian ini berimplikasi pada pelaksanaan sertifikasi lahan yang memerlukan pengawalan yang ketat, sejak kegiatan pra sertifikasi hingga sertifikasi. Salah satu kendala penentuan CPCL pada kegiatan pra sertifikasi di tingkat kabupaten/kota adalah terjadinya kesalahan dalam penganggaran di kabupaten, yakni dana kegiatan ini dimasukkan dalam pos anggaran (MAK) Bansos, sedangkan kegiatan sertifikasi lahan bersifat koordinasi antardinas provinsi dan kabupaten. Hal ini menjadi hambatan dalam proses kegiatan sertifikasi selanjutnya. Kasus ini ditemui di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah yang telah mengajukan revisi anggaran untuk kegiatan pra sertifikasi. Beberapa permasalahan terkait dengan kegiatan sertifikasi adalah aksesibilitas yang kurang baik di wilayah luar Pulau Jawa yang mengakibatkan terhambatnya kegiatan pra sertifikasi, terutama membengkaknya biaya transportasi untuk pengukuran lahan. 269
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Untuk itu, program sertifikasi lahan perlu dilakukan dengan sasaran yang terkelompok dan tidak sporadis agar kegiatan menjadi lebih efektif dan efisien. Permasalahan lain yang menonjol adalah kurang tertibnya administrasi, terutama dalam penyiapan dokumen atau “alas hak” atas kepemilikan bidang tanah. Hal ini banyak dijumpai di luar Pulau Jawa, yaitu lahan yang diajukan untuk disertifikasi namun tidak mempunyai alas hak yang jelas. Pada kasus seperti ini, diperlukan surat keterangan oleh kepala desa agar proses sertifikasi lahan dapat dilanjutkan. Namun, jika lahan tersebut tidak memiliki alas hak atau sedang dalam sengketa, proses sertifikasi tidak diteruskan. Untuk itu, penyuluhan atau sosialisasi tentang persyaratan legalisasi sertifikasi lahan kepada masyarakat sangat penting untuk menghindari terhambatnya proses sertifikasi.
Sertifikasi Lahan Mendorong Peningkatan Produksi Pangan Salah satu tujuan sertifikasi lahan pertanian adalah agar petani mempunyai akses finansial terhadap sumber daya pertanian. Selain memberikan kepastian hukum bagi pemilik lahannya, sertifikat lahan dapat digunakan sebagai bukti hukum jika terjadi sengketa lahan. Di samping itu, sertifikat lahan juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi bahkan dapat ditransaksikan. Hasil temuan lapangan di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa sertifikasi lahan kurang berdampak langsung secara signifikan terhadap peningkatan produksi komoditas pertanian. Peningkatan produksi komoditas pertanian diduga lebih dipengaruhi oleh teknologi usaha tani, input, dan perilaku petani. Manfaat utama sertifikasi lahan pertanian adalah status kepemilikan lahan menjadi jelas sehingga petani mempunyai hak penuh dan jaminan kepastian hukum atas lahan pertanian tersebut. Meskipun sertifikat lahan dapat dijadikan akses untuk mendapatkan bantuan modal ke bank, namun faktanya adalah bahwa sebagian besar petani di Provinsi Jawa Tengah adalah petani penggarap sementara pemilik lahan bertempat tinggal di luar kabupaten. Akibatnya, upaya untuk mengubah perilaku petani menjadi relatif sulit. Namun demikian, sertifikasi lahan dapat menjadi salah satu mekanisme dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini dilakukan pada lahan-lahan yang masuk dalam Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Terdapat kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa dengan sertifikasi lahan pertanian akan membuka akses bagi masuknya kepentingan alih fungsi lahan pertanian ke usaha non-pertanian. Nilai lahan menjadi semakin tinggi dan semakin mudah untuk dipindahtangankan ke pihak lain.
270
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Tabel 4. Rekapitulasi kegiatan pemberdayaan petani melalui sertifikasi hak atas tanah, 2009–2011 (per Agustus 2011) No.
Uraian
2009
2010
2011
1.
Jumlah Provinsi
11
18
18
2.
Jumlah Kabupaten/Kota
24
82
80
3.
PRA SERTIFIKASI:
a.
Target sesuai DIPA (Bidang)
8.065
23.000
25.000
b.
Hasil seleksi Pokja: • Bidang • Persentase (%)
7.105 88,10
22.780 99,04
16.448 65,79
Jumlah peserta program sertifikasi sesuai dengan SK Penetapan Kakanwil: 6.963 • KK/bidang 86,34 • Persentase (%)
22.780 99,04
16.113 64,45
6.713 83,24
22.880 99,48
16.003 64,01
5.258 65,20
22.880 99,48
3.896 15,58
4.146 51,41
22.833 99,27
1.597 6,39
c.
4.
SERTIFIKASI:
a.
Selesai pengukuran: • Bidang • Persentase (%)
b.
c.
Selesai penetapan hak/SK • Bidang • Persentase (%) Selesai sertifikat: • Bidang • Persentase (%)
Sumber: BPN (2011)
Untuk daerah-daerah yang dekat dengan perkembangan wilayah ekonomi, kecenderungan untuk mengalihfungsikan semakin besar. Untuk itu, dalam proses penyusunan RTRW perlu dipetakan dengan jelas penetapan batasan Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan batasan lahan-lahan yang dapat dialihfungsikan, sehingga dengan perkembangan ekonomi daerah meningkat pesat, kepentingan untuk menjaga produksi pangan wilayah tetap terjaga. Jenis-jenis lahan yang dapat dialihfungsikan misalnya, lahan embrio dan lahan existing. Lahan embrio adalah lahan pertanian yang tidak produktif atau lahan pertanian yang terletak di lokasi pengembangan ke arah perkotaan, sedangkan lahan existing adalah lahan-lahan pertanian yang terletak di pinggir jalan antarkecamatan/kabupaten, dekat permukiman, atau lahan pertanian yang lokasinya terjepit. Di luar lahan yang dapat dialihfungsikan tersebut, izin pelepasan lahan harus diperketat. Secara khusus, pelepasan lahan di Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak diperkenankan. Jika memungkinkan, sertifikat lahan yang terletak 271
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
di Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diberikan “tanda atau warna” yang berbeda dengan sertifikat lahan di luar kawasan tersebut. Tanda atau warna sertifikat yang khusus tersebut menunjukkan bahwa lahan tersebut tidak boleh dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, praktik “pengeringan” lahan sawah dalam rangka pelepasan lahan yang seharusnya dilindungi untuk kepentingan lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dikurangi. Sosialisasi tentang hal tersebut dari tingkat provinsi hingga tingkat desa menjadi penting untuk dilakukan agar seluruh pemangku kepentingan yang terkait memahami dan melaksanakan ketentuan yang berlaku. Hal yang menarik adalah bahwa setelah kegiatan sertifikasi lahan, kegiatan selanjutnya adalah pascasertifikasi yang merupakan program pemberdayaan lahan petani. Lahan-lahan yang telah selesai disertifikasi masuk dalam access reform, yang difasilitasi dengan bantuan infrastruktur, permodalan, pemasaran, dan sebagainya, yang disesuaikan dengan kebutuhan petani setempat. Koordinasi dengan kementerian terkait lainnya dapat dilakukan dalam kegiatan pascasertifikasi ini. Hal ini sudah dilakukan pada sektor perikanan, yakni pemberian sertifikat lahan nelayan yang diiringi dengan fokus pada pemberian alat tangkap ikan dan pemasaran. Jika kegiatan pascasertifikasi dapat dilakukan secara optimal di sektor pertanian, sertifikat lahan pertanian dapat didorong untuk meningkatkan kegiatan yang mendukung sistem agrobisnis di perdesaan dalam rangka optimalisasi aset dan sumber daya lainnya.
Penutup Kepemilikan lahan cenderung dalam luasan bidang lahan yang sempit, namun penguatan status aset lahan yang dimiliki penting untuk dilakukan. Peran pemerintah (khususnya kementerian dan BPN) sangat menonjol untuk mendorong kegiatan sertifikasi lahan tersebut. Berbagai program pemerintah telah dilaksanakan untuk melakukan sertifikasi lahan, namun hingga saat ini sebagian besar lahan-lahan pertanian belum tersertifikasi. Beberapa tahun terakhir ini, terjadi percepatan penerbitan sertifikat lahan pertanian yang meningkatkan rasa percaya dan kebanggaan terhadap kepemilikan lahan bagi sebagian masyarakat perdesaan. Namun, sebagian pemilik lahan pertanian tidak menetap di perdesaan dan tidak menggarap lahan, tetapi oleh petani penggarap. Hal ini menyulitkan upaya mengubah pola pikir masyarakat tani dalam upaya peningkatan produksi pangan. Sertifikasi lahan kurang berdampak langsung secara signifikan terhadap peningkatan produksi komoditas pertanian. Peningkatan produksi komoditas pertanian lebih dipengaruhi oleh teknologi usaha tani, input, dan perilaku petani. Namun demikian, sertifikasi lahan dapat menjadi access reform untuk bantuan infrastruktur, permodalan, pemasaran, dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan petani setempat. 272
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sertifikasi lahan bersifat teknis atau administratif. Untuk mengatasi kendala yang bersifat teknis perlu ditinjau mekanisme, prosedur, serta dukungan sarana dan prasarana pelaksanaannya. Untuk penanganan kendala yang bersifat administratif diperlukan penyuluhan/sosialisasi secara terfokus terhadap seluruh pemangku kepentingan. Perlu penegakan hukum yang ketat pada batas-batas wilayah Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk menghindari pelepasan lahan pertanian dengan cara yang tidak mengikuti peraturan. Bila memungkinkan, sertifikasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diterbitkan diberi “warna” atau ditandai secara khusus, sehingga para pemangku kepentingan dapat secara cepat mendeteksi bahwa lahan tersebut tidak diperbolehkan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan serta peraturan dan perundangan yang berlaku.
Daftar Pustaka Bachtiar S dan M Pakpahan. 1998. Peranan Deregulasi Pertanahan Dalam Mendukung Sektor Perbankan dan Perpajakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional. Jakarta. Badan Pertanahan Nasional. 2001. Pertanahan Indonesia : Suatu Retrospeksi. BPN. Jakarta. Hariyanto. 2005. Tinjauan Yuridis Pensertifikatan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penyediaan Jaminan Kredit Untuk Pemberdayaan Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Demak. Tesis. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan. Universitas Diponegoro. Semarang. Jemabut I. 2011. Lahan Pertanian, Pemerintah Jangan Hanya Berwacana. Diunduh pada http://www.kpa.or.id/berita-115-lahan-pertanian-pemerintah-jangan-hanya: berwacana.html (6 Agustus 2011). Koran Tempo. 2009. 7,3 juta Hektare Lahan Telantar di Seluruh Indonesia. Diunduh pada: http://www.facebook.com/topic.php?uid=112886776895&topic=11305 (27 September 2011). Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jakarta. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. Jakarta.
273
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Surahman D. 2003. Tinjauan Hukum Pendaftaran Tanah dan Hubungannya dengan Jaminan Kepastian Hukum Hak-hak Atas Tanah. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung. Wartomo. 2008. Kebijakan Pendaftaran Tanah Terhadap Kekuatan Pembuktian Sertifikat Hak Atas Tanah (Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali). Tesis. Fakultas Hukum Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
274
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Lampiran 1. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tanggal 22 Januari 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional NO. I.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PELAYANAN SURVEI, PENGUKURAN BATAS KAWASAN ATAU BATAS WILAYAH, DAN PEMETAAN A. Pelayanan Survei 1. Pelayanan Survei Nilai Bidang Tanah Pemukiman atau Pertanian 2. Pelayanan Survei Nilai Bidang Tanah Usaha B. Pelayanan Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah C. Pelayanan Pemetaan 1. Pemetaan Zona Nilai Tanah dan Zona Nilai Ekonomi Kawasan Skala 1:10.000 2. Pemetaan Zona Nilai Tanah dan Zona Nilai Ekonomi Kawasan Skala 1:25.000 3. Pemetaan Tematik Bidang Skala 1:2.500 4. Pemetaan Tematik Bidang Tanah untuk Pemecahan Sertifikat Skala 1 : 1.000 5. Pemetaan Tematik Kawasan Skala 1:10.000 6. Pemetaan Tematik Kawasan Skala 1 : 25.000 E. Pelayanan Pembuatan Peta Dasar 1. Pembuatan Peta Foto Skala 1:1.000 (minimal 1.000 hektare) 2. Penambahan Pembuatan Peta Foto Skala 1:1.000 seluas 500 Hektare dan kelipatannya 3. Pembuatan Peta Citra Skala 1:2.500 (minimal 10.000 hektare) 4. Pembuatan Peta Garis Skala 1:1.000 (minimal 100 hektare) 5. Pembuatan Peta Garis Skala 1 : 2.500 (minimal 100 hektare)
II.
PELAYANAN PENDAFTARAN TANAH A. Pelayanan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali 1. Pelayanan Pendaftaran Penegasan Konversi atau Pengakuan Hak 2. Pelayanan Pendaftaran Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah untuk: a. Perorangan b. Badan Hukum 3. Pelayanan Pendaftaran Keputusan perpanjangan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan
SATUAN
TARIF
per bidang
Rp450.000,00
per bidang
Rp600.000,00
per tugu
Rp3.500.000,00
per hektare
Rp25.000,00
per hektare per bidang per bidang per hektare
Rp5.000,00 Rp75.000,00 Rp75.000,00 Rp40.000,00 Rp20.000,00
per hektare Rp200.000,00 per hektare per hektare per hektare per hektare
Rp150.000,00 Rp50.000,00 Rp120.000,00 Rp100.000,00
per hektare
per bidang
Rp50.000,00
per bidang
Rp50.000,00 Rp100.000,00
per bidang per bidang
Rp50.000,00
275
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Lampiran 1. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tanggal 22 Januari 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (lanjutan) NO.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 4. Pelayanan Pendaftaran Keputusan pembaruan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan
TARIF
per unit
Rp50.000,00
5. Pelayanan Pendaftaran Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun a. Bersubsidi (berdasarkan penetapan Kementerian Negara Perumahan Rakyat) b. Non subsidi
per unit
Rp50.000,00
per bidang
Rp100.000,00
6. Pelayanan Pendaftaran Hak Guna Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, dan Ruang Perairan
per bidang
Rp50.000,00
per bidang per bidang per bidang
Rp50.000,00 Rp50.000,00 Rp50.000,00
7. Pendaftaran Perubahan Hak: a. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai menjadi Hak Milik b. Hak Pakai menjadi Hak Guna Bangunan c. Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai d. Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
B. Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah 1. Pelayanan pendaftaran pemindahan/peralihan Hak Atas Tanah untuk Instansi Pemerintah dan badan hukum keagamaan dan sosial yang penggunaan tanahnya untuk peribadatan, Panti Asuhan dan Panti Jompo 2. Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah 3. Pemindahan Pejabat Pembuat Akta Tanah 4. Pelayanan Pendaftaran Pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas Hak Milik 5. Pelayanan Pendaftaran Hak Tanggungan [Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)] dengan Nilai Hak Tanggungan: a. sampai dengan Rp250.000.000,00 b. di atas Rp250 juta sampai dengan Rp1 miliar c. di atas Rp1 miliar sampai dengan Rp10 miliar d. di atas Rp10 miliar sampai dengan Rp1 triliun e. di atas Rp1 triliun 6. Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Tanggungan (Cessie, Subrogasi, Merger) 7. Pelayanan Pendaftaran Hapusnya Hak atas Tanah dan Hak Milik Satuan Rumah Susun karena Pelepasan Hak 8. Pelayanan Pendaftaran Pembagian Hak Bersama (tanpa ada pemecahan/pemisahan maupun memerlukan pemecahan/ pemisahan) 9. Pelayanan Pendaftaran Perubahan Data Berdasarkan Putusan Pengadilan atau Penetapan Pengadilan
276
SATUAN
Rp50.000,00
per bidang
Rp50.000,00
per orang per orang per bidang
Rp50.000,00 Rp50.000,00 Rp50.000,00
per bidang
Rp200.000,00
per bidang per bidang per bidang per bidang per bidang per bidang
Rp2.500.000,00 Rp25.000.000,00 Rp50.000.000,00 Rp50.000,00 Rp50.000,00 Rp50.000,00
per bidang
Rp50.000,00
per bidang
Rp50.000,00
per bidang
Rp50.000,00
SERTIFIKASI LAHAN PERTANIAN MENDORONG MENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Lampiran 1. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tanggal 22 Januari 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (lanjutan) NO.
III.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
SATUAN
10. Pelayanan Pendaftaran Pemisahan, Pemecahan, dan Penggabungan 11. Pelayanan Pendaftaran Hapusnya Hak Tanggungan/ Roya (termasuk roya parsial yang memerlukan pemisahan atau tidak) 12. Pelayanan Pendaftaran Perubahan Nama 13. Pelayanan Penggantian Blanko Sertifikat (karena hilang/rusak atau penggantian blanko sertifikat model lama ke model baru) 14. Pelayanan Pencatatan Pemblokiran 15. Pelayanan Pencatatan Lain sesuai ketentuan yang berlaku.
per bidang
PELAYANAN INFORMASI PERTANAHAN A. Pelayanan Informasi Titik Koordinat B. Pelayanan Data Global Navigation Satellite System (GNSS)/Continuously Operating Reference Stations (CORS) 1. Paket data harian
per titik
2. Paket data bulanan 3. Paket data tahunan C. Pelayanan Peta Pertanahan dalam format multimedia dan format raster lainnya 1. Peta sampai dengan Skala 1:5.000 (minimal 25 hektare) 2. Peta dari Skala 1:10.000 sampai dengan 1:50.000 (minimal 4.000 hektare) D. Pelayanan Informasi Nilai Tanah atau Kawasan 1. Nilai Tanah atau Nilai Aset Properti 2. Zonasi Nilai Tanah (minimum 50 hektare) 3. Nilai Ekonomi Kawasan (minimum 50 hektare) 4. Nilai Aset Kawasan (minimum 50 hektare)
per bidang Rp50.000,00 per bidang per bidang
Rp50.000,00 Rp50.000,00
per bidang
Rp4.000,00 Rp100,00
per pengguna/ hari per pengguna/ Rp50.000,00 bulan Rp1.000,00 per pengguna/ Rp1.000,00 tahun Rp1.000,00
per hektare/tema per hektare/tema per bidang per hektare per hektare per hektare
Rp25.000,00 Rp40.000,00 Rp55.000,00
E. Pelayanan Peta Analisis Penatagunaan Tanah (Analisis Penggunaan Tanah, Ketersediaan Tanah, dan peta-peta lainnya) 1. Hitam putih a. Format A4
TARIF Rp50.000,00
Rp75.000,00 Rp100.000,00 per lembar/ wilayah
b. Format A3
277
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Lampiran 1. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 Tanggal 22 Januari 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (lanjutan) NO.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK c. Format A2 d. Format A1 e. Format A0 2. Kertas Berwarna a. Format A4
SATUAN
TARIF
per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah Rp75.000,00
b. Format A3 c. Format A2 d. Format A1 e. Format A0 3. Digital dalam format multimedia a. Skala sama dengan atau lebih besar dari 1 : 10.000 b. Skala lebih kecil dari 1 : 10.000 sampai dengan 1 : 50.000 c. Skala lebih kecil dari 1 : 50.000 sampai dengan 1 : 100.000 d. Skala lebih kecil dari 1 : 100.000 F. Pelayanan Informasi Data Tekstual/Grafikal 1. Pengecekan Sertifikat 2. Penerbitan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) 3. Informasi Tekstual/Grafikal untuk Surveyor Berlisensi IV.
PELAYANAN LISENSI A. Penilai Tanah B. Surveyor Berlisensi C. Ujian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah per lembar/ wilayah
Rp90.000,00 Rp110.000,00 Rp135.000,00 Rp175.000,00 Rp350.000,00
per tema/ wilayah per tema/ wilayah per tema/ wilayah per tema/ wilayah per sertifikat per SKPT
Rp300.000,00 Rp275.000,00 Rp250.000,00 Rp50.000,00 Rp50.000,00 Rp50.000,00
per bidang
per orang/usaha jasa penilaian per orang/usaha jasa perorangan per orang
Rp250.000,00 Rp250.000,00 Rp250.000,00
Keterangan: No. V tentang Pelayanan pendidikan tidak diuraikan dalam tabel di atas.
278