Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
PEMANFAATAN LAHAN KERING DISEKITAR HUTAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN (KASUS KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH) Dry-land Farming around Forest Areas to Enhance Food Production: A Case in Blora Regency, Central Java Province Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Food crops farming in dry land is a considered option to support national food security. In addition, dry-land farming is expected to offer value added, increased farmers' income, improved income equity, and environmental sustainability. Among potential dry land areas for farming are those owned by Perum Perhutani (the Government-Own Forest Company) or around the forests. This paper discusses forest land use for crops farming through Community-Based Forest Management (CBFM) in Blora Regency, Central Java Province. This program allows the farmers around the forests to cultivate Perum Perhutani's land with various commodities such as upland rice, maize, and pulses both in monoculture and intercropping practices. CBFM could increase food production and farmers’ income, and it is beneficial to the company in terms of improved security and forest sustainability. Key words : dry land, food security, income, Blora
ABSTRAK Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan pilihan strategis untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Disamping itu, optimalisasi pemanfaatan lahan kering diharapkan mampu memberikan nilai tambah, meningkatkan pendapatan petani, pemerataan, dan kelestarian lingkungan. Salah satu jenis lahan kering yang cukup potensial untuk dimanfaatkan untuk maksud tersebut adalah lahan milik Perum Perhutani atau lahan di sekitar hutan. Tulisan ini membahas upaya yang dilakukan pemerintah dan BUMN (Perum Perhutani) dalam pemanfaatan lahan hutan melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilakukan di Kabupaten Blora Jawa Tengah. Dengan PHBM masyarakat sekitar hutan diberi kesempatan untuk mengelola lahan Perhutani dengan berbagai komoditas seperti padi gogo, jagung, dan palawija, baik secara monokultur maupun tumpangsari. Upaya ini terbukti mampu meningkatkan produksi pangan dan pendapatan bagi petani serta memberikan manfaat bagi Perhutani berupa keamanan dan kelestarian hutan. Kata kunci : lahan kering, ketahanan pangan, pendapatan, Blora
98
Pemanfaatan Lahan Kering di Sekitar Hutan dalam Peningkatan Produksi Pangan (Kasus Kabupaten Blora, Jawa Tengah)
PENDAHULUAN
Pengembangan pertanian lahan kering merupakan satu alternatif untuk peningkatan produksi pangan nasional, peningkatan pendapatan petani, peningkatan nilai tambah, pemerataan, dan kelestarian lingkungan. Meskipun potensi pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan pertanian sangat besar, namun ciri khas agroekosistem lahan kering adalah relatif rentan terhadap degradasi sehingga dalam pengelolaan jangka panjang harus lebih berhati-hati dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian dan kesinambungan produktivitas lahan (dryland sustainable agriculture). Tidak sekedar masalah biofisik lahan yang lemah, lahan kering juga memiliki masalah sosial-ekonomi yang cukup kompleks. Perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) dirasakan saat ini sangat kurang. Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas hortikultura tertentu) sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistem pesawahan. Demikianpun halnya dengan peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan, dapat dikembangkan padi gogo, jagung, sorghum, kedelai, dan palawija lainnya. Ketersediaan lahan ini cukup luas, terutama di luar Pulau Jawa. Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup baik (Bamualim, 2004). Ternak ruminansia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non-landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Disamping itu ada juga pengembangan pola mixfarming, kombinasi antara usahatani ternak dengan tanaman (Crops Livestock System-CLS). Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional (Mulyani et al., 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya mempunyai tingkat produktivitas yang rendah (Guritno et al, 1997; Sholahuddin dan Ladamay, dalam Kadekoh 2010), kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan/perkebunan. Pada usahatani lahan kering dengan tanaman semusim, selain produktivitas relatif rendah juga menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana dalam Syam, 2003). Saat ini, optimalisasi lahan kering disekitar hutan maupun dalam areal hutan dikembangkan melalui program Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) seperti kasus di Kabupaten Blora. Melalui mekanisme pengembangan hutan bersama masyarakat, lahan sekitar hutan dapat dimanfaatkan sebagai lahan
99
Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
pertanian yang dapat ditanami tanaman pangan dan pakan ternak. Tumpang sari tanaman hutan dengan tanaman pangan dan tanaman pakan ternak berkembang dengan baik. Kebijakan ini mempunyai prospek yang cukup baik dalam kontribusinya terhadap peningkatan produksi pertanian, dan peningkatan pendapatan petani. Tulisan ini akan membahas tentang kebijakan pemanfaatan lahan sekitar hutan untuk produksi pertanian yang dapat memberikan kontribusi terutama di sektor tanaman pangan termasuk peternakan. Kabupaten Blora merupakan wilayah lahan kering yang 60,15 persen wilayahnya berupa hutan, sehingga optimalisasi pemanfaatan lahan hutan diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
SUMBER DAYA LAHAN KERING DAN PEMANFAATANNYA DI KABUPATEN BLORA
Total luas lahan kering di Kabupaten Blora adalah 150.321 ha, sekitar 60,15 persen (90.417 ha) merupakan lahan hutan yang meliputi 89.412 ha berupa hutan negara dan 1.005 ha merupakan hutan rakyat. Sedangkan jenis lahan kering lainnya adalah berupa lahan tegalan/huma seluas 26.241 ha (17,46 %), sawah tadah hujan 29.663 ha (19,73 %) dan perkebunan rakyat seluas 4000 ha (2,66 %). Potensi lahan kering yang cukup luas di Kabupaten Blora dengan komoditas utama palawija, menyebabkan tanaman palawija (jagung dan kacangkacangan) pada musim pertama (MH) cukup dominan. Jenis komoditas yang banyak diusahakan di lahan kering adalah jagung, kacang-kacangan, dan padi lahan kering atau padi gogo. Hutan di Kabupaten Blora mempunyai peranan penting dalam perekonomian wilayah. Sebagian besar areal hutan merupakan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Produksi jati yang bernilai tinggi membuat sebagian masyarakat, menanami sebagian areal lahan keringnya dengan jati. Kabupaten Blora memiliki hutan Negara seluas 90.416,312 ha yang terbagi dalam 6 KPH (Kawasan Pemangku Hutan), yaitu (1) KPH Blora (15.105 ha), (2) KPH Cepu (27.702,79 ha), (3) KPH Randublatung (31.418,9 ha), (4) KPH Mantingan (5.719,10 ha), (5) KPH Kebonharjo (2.137,72 ha), dan (6) KPH Ngawi (8.332,8 ha). Sumber daya hutan diharapkan tidak hanya menguntungkan bagi pihak yang mengelolanya (Perum Perhutani), namun juga memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar hutan. Hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme perlu dibangun sehingga terbangun kondisi yang membutuhkan dan menguntungkan antar semua pihak yang terlibat di dalamnya. Pihak Perum Perhutani, telah melaksanakan program pengeloaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk berperan aktif dalam pengelolaan hutan, diantaranya dengan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).
100
Pemanfaatan Lahan Kering di Sekitar Hutan dalam Peningkatan Produksi Pangan (Kasus Kabupaten Blora, Jawa Tengah)
Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Bertambahnya jumlah penduduk dan kondisi lahan kering yang kritis, miskin unsur hara tanaman, serta meningkatnya kebutuhan hidup terhadap kebutuhan pangan telah mendorong masyarakat tani di kawasan hutan memanfaatkan hutan untuk bercocok tanam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka memanfaatkan dan mengelola hutan diantaranya dengan menanam tanaman pangan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pokok (tanaman jati, mahoni, sengon). Pemanfaatan hutan bertujuan agar seluruh masyarakat memperoleh manfaat bagi kesejahteraannya dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Tindak perusakan terhadap hutan merupakan indikasi bahwa banyak pihak yang ingin mengambil manfaat dari keberadaan hutan, namun masyarakat sekitar hutan selama ini justru termarginalisasikan. Partisipasi masyarakat desa hutan diperlukan dalam pengelolaan hutan karena masyarakat desa hutan mempunyai pengalaman dan ketrampilan alami untuk melestarikan hutan, meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan akses masyarakat desa hutan terhadap sumber daya alam atau hutan. Awalnya, tanaman pangan yang banyak ditanam petani di areal bekas tebangan hutan berupa palawija, lalu semakin berkembang ke tanaman padi jenis gogo serta singkong. Tumpangsari di lahan hutan pada umumnya menghasilkan produksi tanaman pangan cukup tinggi, karena lahan subur dan gulma sedikit (Simon, 2004). Sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kelestarian dan produktifitas hutan, karena pesanggem (penggarap lahan hutan) sebagai pelaku usaha tumpangsari selain merawat tanaman tumpangsari, juga sekaligus mengelola tanaman tegakan hutan yang berpengaruh terhadap produktifitas hutan selama satu daur berikutnya. Adanya berbagai tindak kriminal di kawasan hutan sangat berpengaruh terhadap pendapatan Perusahaan Umum Perhutani, selain itu secara umum kelestarian hutan dan kualitas lingkungan mengalami degradasi. Disamping itu dampaknya juga dirasakan masyarakat desa sekitar hutan dengan berkurangnya ketersediaan air di desa sekitar hutan. Kebijakan pengembangan desa hutan ini diawali dengan adanya peristiwa penjarahan besar-besaran terhadap kayu milik Perum Perhutani pada tahun 1998. Di balik tindak kriminalitas tersebut sebetulnya ada isyarat bahwa masyarakat di sekitar hutan menginginkan adanya akses terhadap hutan. Kenyataan demikian mendorong Perum Perhutani untuk menerapkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dimulai pada tahun 2000, dan diperkuat secara hukum dengan dikeluarkannya Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat yang ditetapkan pada Bulan Maret 2001. Untuk mengakselerasi PHBM ini, pada tahun 2007 dilaksanakan PHBMplus. Proses implementasi PHBM plus dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu sosialisasi intern dan ekstern, dialog multi stakeholder, pembentukan LMDH,
101
Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat pada tingkat kecamatan dan kabupaten, perjanjian kerja sama dan penyusunan Renstra.
LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Dalam implementasi Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) telah dibentuk sebuah Kelembagaan Desa Hutan yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yaitu kelompok pesanggem yang bermitra dengan Perum Perhutani melalui sistim bagi hasil tanaman pokok (kayu) atau non kayu dalam Perpu 2002. Lembaga ini dibentuk oleh masyarakat desa hutan dalam rangka kerja sama pengelolaan sumber daya hutan dengan Perum Perhutani. LMDH merupakan lembaga yang berbadan hukum, mempunyai fungsi sebagai wadah bagi masyarakat desa hutan untuk menjalin kerja sama dengan Perum Perhutani dalam PHBM dengan prinsip kemitraan. LMDH memiliki hak kelola di petak hutan pangkuan di wilayah desa dimana LMDH tersebut berada, bekerja sama dengan Perum Perhutani dan mendapat bagi hasil dari kerja sama tersebut. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan hutan, LMDH mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Proses pembentukan LMDH juga melibatkan notaris dan diatur secara rinci tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sampai Triwulan IV 2008 dari 1.945 desa hutan, sebanyak 1.927 sudah terbentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), 1.886 desa melakukan perjanjian kerja sama dan 1,653 desa sudah menyusun renstra. Disamping mendapatkan bagi hasil, masyarakat sekitar hutan juga mendapat hak mengolah lahan hutan industri dengan umur tanaman kurang dari 2 tahun. Umumnya petani memanfaatkan lahan untuk tanaman padi dan palawija. Namun ketika umur tanaman lebih dari 2 tahun lebih banyak dimanfaatkan untuk tanaman sela yang tahan naungan seperti porang/umbi-umbian. Proses implementasi PHBM juga melibatkan pihak eksternal seperti pemda kabupaten maupun provinsi dengan memberikan bantuan dana APBD dan pihak eksternal lintas sektoral seperti Depdiknas dalam kegiatan Pemberantasan Buta Akasara LMDH di Jawa tengah. Jumlah LMDH di Kabupaten Blora sebanyak 138 buah dengan total luas areal 86.488,3 ha. Di tingkat Kabupaten LMDH memiliki wadah yang disebut Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB) Kabupaten Blora. Bertindak sebagai ketua adalah Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat- Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Blora. Gambaran LMDH yang ada di Kabupaten Blora disajikan pada Tabel 1. LMDH aktif mengadakan pertemuan dari tingkat desa-kecamatankabupaten. Pada tingkat kabupaten Ketua Forum Komunikasi PHBM yang memimpin saat rapat. Kegiatan produktif LMDH dapat dilakukan di dalam maupun di luar hutan.
102
Pemanfaatan Lahan Kering di Sekitar Hutan dalam Peningkatan Produksi Pangan (Kasus Kabupaten Blora, Jawa Tengah)
Tabel 1. Jumlah LMDH dan Luas Pangkuan Hutan di Kabupaten Blora (2009) Kecamatan Jati Randublatung Kradenan Kunduran Todanan Ngawen Japah Banjarejo Tunjungan Blora Jepon Bogorejo Jiken Sambong Kedungtuban Cepu TOTAL BLORA
Jml. LMDH 10 16 6 10 19 9 14 8 5 3 5 6 10 9 6 2 138
Luas Pangkuan (ha) 12.382,7 14.126,0 6.465,6 3.779,2 5.100,7 2.405 6.116,9 3.815,3 2.227,1 639,5 5.536,5 1.454,4 12.659,4 6.158,1 3.247,6 374,3 86.488,3
Sumber: Dinas Kehutanan Kab Blora
Sistem Bagi Hasil Perum Perhutani dengan Petani Hak petani untuk menanam pada lahan bukaan (tebangan) baru jika jarak tanam tanaman utama 3 x 3 m (normal) adalah selama 2 tahun. Sementara jika jarak tanaman utama 6 x 2 m, dapat digunakan maksimal 5 tahun. Namun demikian, dalam kontrak ditetapkan 2 tahun dan bisa diperpanjang setiap tahun hingga secara budidaya masih memungkinkan. Untuk bagi hasil kayu, secara keseluruhan petani akan mendapatkan bagian 25 persen dari nilai kayu dikurangi biaya produksi dan faktor keamanan. Waktu dan besarnya bagian hasil petani bervariasi tergantung dari umur tanaman. Umur panen pohon jati adalah 70 tahun, namun petani tidak harus menunggu hingga 70 tahun karena pada saat penjarangan tanaman, petani juga sudah bisa memperoleh hasilnya. Rumus sharing (bagi hasil) ketika umur 5 tahun (pada saat dilakukan penjarangan) adalah 5/70 x 25% x nilai kayu. Sharing yang diterima petani (LMDH) cukup besar, di Perum Perhutani Jateng, misalnya dalam 1 tahun rata-rata Rp 5,9 milyar. Dari hasil sharing tersebut, umumnya oleh LMDH dialokasikan untuk berbagai pos kegiatan diantaranya: (1) usaha produktif (50%), (2) bantuan pembangunan desa, (3) honor pengurus, (4) subsidi silang ke LMDH lain. Subsidi ini diberikan bagi LMDH yang belum dapat menikmati bagi hasil karena tanaman masih terlalu muda. Sampai dengan Triwulan IV tahun 2008 jumlah bagi hasil yang diberikan mencapai Rp 54,532 milyar yang terdiri bagi hasil produksi kayu (Rp 43,751 M) dan nonkayu (Rp 10,772 M). Tahun 2010 target bagi hasil kayu senilai Rp 12,167 milyar setara dengan 229.227 m3 kayu untuk 1917 kelompok di Jateng, target bagi hasil nonkayu (getah dsb) senilai Rp 4,8 milyar dan target produksi tanaman
103
Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
pangan di kawasan hutan dengan pola tumpangsari adalah sebagai berikut : padi 6.450 ton, jagung 12.041 ton, kedelai 1.032 ton, ubi kayu 6.020 ton, kacang tanah 6,02 ton dan porong 2.150 ton (Perum Perhutani Jawa Tengah, 2010). Keuntungan dari PHBM dengan LMDH yang paling dirasakan adalah semakin kondusifnya hubungan Perum Perhutani dan masyarakat sekitar hutan sehingga tidak ada konflik sosial. Adanya LMDH juga memudahkan untuk koordinasi kegiatan. Anggota LMDH umumnya minimal 20 petani dan setiap petani anggota harus mempunyai kartu anggota. Rata-rata tiap anggota diberi kesempatan untuk menggarap lahan sekitar 0,25 ha. Jika lebih dari luasan tersebut justru menjadi kurang optimal karena diperlukan tenaga kerja dan modal yang cukup besar. Lahan hutan dapat ditanami 2 kali per tahun atau IP 200.
KONTRIBUSI LAHAN KERING SEKITAR HUTAN DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN Padi dan Palawija Dalam rangka meningkatkan serta mendukung ketahanan pangan, melalui program Cadangan Benih Nasional (CBN), Kabupaten Blora melaksanakan kegiatan penanaman padi gogo seluas 600 ha. Dari total luas tersebut, 450 ha ditanam di luar kawasan hutan (tegal), dan 150 ha ditanam di kawasan hutan. Penanaman di kawasan hutan melibatkan LMDH sebagai ujung tombak. Komoditas yang dominan yang ditanam adalah padi (gogo) dan jagung, sisanya adalah palawija lainnya. Petani menggarap lahan Perhutani rata-rata selama 2-3 tahun, namun ada juga petani yang tetap menanam komoditas pangan lebih dari 5 tahun dan masih diperbolehkan oleh Perum Perhutani asalkan tidak merusak tanaman pokok. Namun dari pengalaman umumnya produktifitasnya kurang bagus sehingga tidak menguntungkan. Agroforestri yang melibatkan LMDH ini cukup membantu dalam penyediaan pangan. Rata-rata hasil panen di kawasan hutan lebih tinggi dibanding lahan milik petani karena kandungan humus (unsur hara) yang tinggi. Salah satu contoh lokasi penanaman padi gogo diareal hutan adalah di Desa Bogem, Kecamatan Japah. Varietas padi gogo yang ditanam adalah Situ Bagendit, produktifitas padi gogo tersebut cukup tinggi yaitu di atas 6,7 ton/ha (ubinan). Tingginya produktivitas padi gogo di kawasan hutan diduga karena kandungan haranya (bahan organik) masih tinggi. Untuk antisipasi penurunan hasil setelah tahun pertama, digunakan juga pupuk anorganik. Pemda Jateng telah mengusulkan dan mengklaim bahwa untuk tanaman pangan, walaupun ditanam di kawasan hutan akan tetap mendapatkan subsidi pupuk. Untuk mengatur lahan bukaan lahan hutan, Perum Perhutani sudah mempunyai jadwal gilir-tebang kawasan. Walaupun demikian, diakui bahwa suatu saat akan terjadi ketidak-seimbangan antara ketersediaan lahan dan jumlah petani. Oleh karena itu, sudah ada lembaga yang dibentuk untuk mengantisipasi ini.
104
Pemanfaatan Lahan Kering di Sekitar Hutan dalam Peningkatan Produksi Pangan (Kasus Kabupaten Blora, Jawa Tengah)
Dalam kegiatan di LMDH pada tahun 2010 ditargetkan produksi pangan mencapai 28.296 ton dengan luas areal tanam 8.601 ha. Secara rinci target produksi tersebut adalah: padi (6.450 ton), ubi kayu (6.020 ton), jagung (12.041 ton), kedelai (1.032 ton), kacang tanah (602 ton). Disamping itu juga ditanam komoditas Porang dengan target 2.150 ton. Porang secara agronomi sangat cocok dibawah pohon lain (naungan). Perkembangan realisasi tumpangsari Perum Perhutani Jawa Tengah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Terjadi pertumbuhan yang sangat besar pada produksi jagung, kedelai, kacang tanah, dan tanaman lainnya seperti porang. Dari tahun 2004 hingga 2005, jumlah penggarap meningkat lebih dari 100 persen (Tabel 2). Selain padi gogo, tanaman lain yang dominan ditanam adalah jagung, ubi kayu, kacang tanah dan kedelai. Untuk pengelolaan pascapanen hasil ubi kayu sudah ada home industry yang membuat tepung tapioka. Tabel 2.
Realisasi Tumpangsari (Insus + Non Insus) Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2004-2008)
No
Uraian
2004
2005
2006
2007
2008
Pertumb. (%/th)
1
Luas (ha)
47.499
58.602
77.153
98.210
31.138
3,51
2
Produksi total (ton)
77.427
174.399
191.127
189.484
196.069
34,36
a. padi
35.798
36.965
14.793
42.811
22.302
21,19
b. jagung
32.685
92.930
85.716
101.293
97.648
191,34
c. kedelai
139
209
62
322
692
128,57
d. kacang tanah
1.741
828
3.878
9.078
3.328
167,98
e. lainnya
7.064
43.467
86.678
35.980
72.099
212,30 60,44
3
Nilai produksi (Rp juta)
74.042
174.399
ta
268.093
246.807
4
Jumlah penggarap (org)
22.745
48.911
ta
ta
ta
115,04*
Sumber : DKP/Biro Pembinaan Sumber daya Hutan Buku Saku Statistik 2004-2008, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah *Pertumbuhan tahun 2004-2005
Kendala utama pertanian adalah ketersediaan air dan tidak adanya saluran irigasi yang memadai. Sumber air hanya mengandalkan hujan dan semacam waduk dengan sumber mata air dari hutan. Potensi untuk meningkatkan produksi pertanian di kawasan hutan masih terbuka jika pembangunan waduk dan irigasi diprioritaskan. Permasalahan lainnya adalah teknik budidaya sebagian petani yang masih dilakukan secara tradisional. Penyuluh pertanian dan UPTD terus berusaha untuk memperkenalkan teknik budidaya yang baik dan benar termasuk untuk antisipasi kondisi iklim yang jika menggunakan cara konvensional kemungkinan bisa gagal. Antisipasi permasalahan ini adalah dengan memperkuat/pemberdayaan kelembagaan petani (klomtan) atau gapoktan,
105
Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
memperkenalkan penggunaan pupuk organik dan pestisida nabati. Untuk memperoleh hasil yang bagus dalam program pemberdayaan diperlukan campur tangan pemerintah berupa pemberian dana stimulan. Untuk meningkatkan ketersediaan air, ada wacana untuk membangun waduk di areal Perum Perhutani (Waduk Randu Gunting). Gubernur Jawa Tengah telah menginstruksikan ke Bappeda untuk menyusun desain awal/studi kelayakan tentang berapa luas waduk, cakupan area yang dapat diairi, aspek sosial budaya, dan lain-lain. Rencana lokasi waduk yang berada di lahan Perum Perhutani juga harus mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan, sementara lahan milik penduduk harus ditetapkan juga berapa nilai ganti rugi. Rencana pembangunan waduk masih memerlukan kajian yang lebih mendalam dan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhatikan berbagai aspek. Usahatani tanaman pangan di lahan sekitar hutan (di lahan Perum Perhutani) disamping tergantung dari musim dan juga tergantung pada kondisi tegakan tanaman pokok hutan yang ada. Perum Perhutani melalui skema PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) mengajak Kelompok Tani Hutan untuk memanfaatkan hutan dan memelihara tanaman pokok yaitu kayu jati sejak mulai ditanam hingga umur 3 tahun.
Ternak Ternak unggulan di Kabupaten Blora adalah sapi potong. Bangsa sapi yang banyak dikembangkan di Blora adalah sapi PO, Limosin dan Simental. Tujuan usaha umumnya usaha perbibitan dengan pemilikan 2-4 ekor induk per petani menyebar merata pada semua kecamatan yang ada di Kabupaten Blora. Pengembangbiakan 60% dilakukan menggunakan inseminasi buatan dan 40% menggunakan kawin alam. Umumnya peternak di Kabupaten Blora juga merupakan petani padi dan jagung. Petani juga melakukan usaha penggemukan, namun jumlahnya tidak banyak karena mengalami keterbatasan modal. Usaha penggemukan sapi petani hanya berkisar 1-4 ekor per petani. Selain pakan hijauan dan jerami, usaha penggemukan sapi menggunakan pakan onggok yang dibeli dari daerah Pati. Sapi bakalan yang dibeli berumur 18-24 bulan dan digemukkan selama 4-6 bulan. Usaha penggemukan lebih banyak dilakukan oleh pedagang pemotong (pejagal) sapi. Mereka tidak menghadapi masalah modal. Jumlah pemeliharaan sapi antara 10 – 20 ekor. Dengan kondisi sumber daya lahan yang terbatas, populasi sapi potong terbesar di Jawa Tengah berada di Kabupaten Blora (Tabel 3). Ketersediaan pakan merupakan masalah utama dalam pengembangan sapi potong. Pakan utama bersumber dari jerami baik dari dalam maupun luar kabupaten. Untuk memanfaatkan jerami petani sudah mampu melakukan fermentasi jerami yang sudah disosialisasikan sejak lama. MK 2 merupakan puncak kritis ketersediaan pakan, sehingga untuk membeli jerami ada peternak yang harus menjual sapi.
106
Pemanfaatan Lahan Kering di Sekitar Hutan dalam Peningkatan Produksi Pangan (Kasus Kabupaten Blora, Jawa Tengah)
Tabel 3. Populasi Beberapa Jenis Ternak di Provinsi Jawa Tengah, menurut Kabupaten/ Kota, 2009 No
Kabupaten/Kota
Sapi Potong
Sapi Perah
Kerbau
Kambing
Domba
1
Kab. Blora
217.995
33
2.874
96.981
16.389
2
Kab. Wonogiri
155.505
0
1.438
489.546
117.890
3
Kab. Grobogan
137.322
335
2.476
105.252
15.422
4
Kab. Rembang
115.220
4
403
117.243
88.469
5
Kab. Boyolali
88.919
62.038
2.253
110.715
50.787
6
Kab. Klaten
86.656
6.974
2.366
87.961
58.326
7
Kab. Sragen
78.371
63
225
71.452
71.788
8
Kab. Magelang
73.764
767
8.565
74.246
87.624
9
Kab. Pati
71.906
314
3.461
111.600
28.993
10
Kab. Semarang
69.670
35.451
5.791
169.830
179.191
11
Kab. Karanganyar
49.498
353
720
22.185
115.488
12
Kab. Banjarnegara
41.638
21
2.023
182.612
107.159
13
Kab. Kebumen
41.430
31
1.389
268.425
126.739
14
Kab. Temanggung
35.718
199
2.288
55.685
250.421
15
Kab. Jepara
30.712
11
4.787
69.376
21.958
16
20 Kab/Kota lain
23.926
14.083
64.447
1.466.739
812.108
Jumlah 1.525.250 120.677 105.506 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka (BPS Jateng, 2010)
3.499.848
2.148.752
Jika dikonversi dalam satuan ternak (animal unit), pada tahun 2009 jumlah populasi ternak sapi, sapi perah, kerbau, kambing, dan domba di Kabupaten Blora adalah 168.855 satuan ternak. Sementara kapasitas tampung kelima jenis ternak hanya 159.927 satuan ternak (Tabel 4). Ini berarti Kabupaten Blora harus mendatangkan pakan untuk ternak dari luar Kabupaten Blora. Selama ini pakan yang banyak didatangkan dari luar Kabupaten Blora adalah onggok yang digunakan untuk usaha penggemukan sapi potong. Potensi untuk pengadaan pakan adalah lahan kehutanan yang dikelola Perum Perhutani. Pemanfaatan lahan Perhutani untuk tanaman pangan akan meningkatkan hasil limbah pertanian dari tanaman pangan. Selain itu untuk usaha konservasi lahan kehutanan, pihak Perum Perhutani KPH Blora bekerja sama Dinas Peternakan Blora melakukan penanaman pakan hijauan di lahan Perhutani. Pengembangan hijauan pakan tersebut didukung juga dengan pembangunan embung untuk kebutuhan tanaman dan ternak. Realisasi upaya tersebut pada tahun 2007 dikembangkan LMDH – Peternak di Kecamatan Sambong dengan bantuan dana bergulir 20 ekor bibit sapi untuk 20 petani.
107
Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
Tabel 4. Kapasitas Tampung Ternak di Kabupaten Blora, 2009
No
Sumber
Luas panen ( Ha )
Produksi Pakan ton/th
Yang Dapat dikonsumsi ton/th
Kapasitas Tampung (AU/th)
1
Jerami padi
74.359
185.897
55.769
19.215
2
Jerami jagung
65.252
652.520
326.260
121.890
3
Daun ketela pohon
1.599
7.995
3.998
465
4
Daun ketela rambat
422
6.330
2.532
240
5
Jerami kedelai
5.495
16.485
6.594
2.080
6
Daun kacang tanah
3.953
15.812
6.325
2.085
7
Daun tebu
1.146
1.160
116
40
8
Daun-daunan
16.815
252.000
113.400
13.181
9
Rumput lapangan
32
1.020
1.020
165
10
Rumput unggul
35
3.500
3.500
567
Jumlah Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka (BPS Jateng, 2010)
159.927
Umumnya setiap desa di Kabupaten Blora terdapat ternak sapi. Namun di Desa Pengkol Rejo, Kecamatan Japah populasi ternak sapi cukup tinggi mencapai 9.000 ekor sapi. Rataan setiap Kepala Keluarga (KK) memiliki 3-5 ekor. Pada daerah ini juga dikembangkan penanaman rumput gajah untuk ditanam di pinggiran hutan dan jalan sebagai sumber pakan. Petani menyadari, tempat usahatani mereka adalah daerah lahan kering. Karena itu petani melakukan pola tanam dan konservasi menyesuaikan kondisi lahan yang dimiliki. Petani yang memiliki lahan di daerah miring dan tepi sungai melakukan konservasi dengan cara menanami tanaman jati untuk menghindari lahannya dari bahaya erosi dan aberasi. Pada hamparan yang ditanami jati, di bawah pohon jati ditanami rumput dan lengkuas untuk menghindari erosi. Petani juga membuat terasering pada lahan-lahan perbukitan. Kegiatan pembuatan teras sering didukung dengan Program Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Upaya ini selain bertujuan konservasi juga untuk memperoleh hasil pakan untuk ternak.
PENUTUP
Kebijakan pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar, mempunyai prospek yang cukup baik dalam kontribusinya terhadap peningkatan produksi pangan, dan peningkatan pendapatan petani, disamping menjaga keamanan dan kelestarian hutan bersama masyarakat atau petani disekitar hutan. Sistem tanam pindah yang diatur dengan baik akan meningkatkan kesuburan lahan yang berdampak pada peningkatan produktifitas tanaman. Sulitnya
108
Pemanfaatan Lahan Kering di Sekitar Hutan dalam Peningkatan Produksi Pangan (Kasus Kabupaten Blora, Jawa Tengah)
perluasan areal tanam dengan penambahan luas baku lahan terutama di Pulau Jawa, membuat kebijakan ini merupakan salah satu alternatif dalam perluasan areal pertanaman tanaman pangan, terutama di wilayah yang dominasi arealnya merupakan areal hutan. Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian baik terkait dengan aspek teknis maupun sosial. Permasalahan ketersediaan sarana produksi dan modal (seperti : fasilias subsidi pupuk maupun benih) harus mendapat dukungan, karena walaupun usaha mereka berada di lahan hutan, namun memberikan kontribusi yang nyata di sektor pertanian. Dalam program LMDH sendiri, permasalahan yang umumnya dijumpai adalah bersifat sosial, yaitu perlu waktu untuk mensosialisasikan program ke masyarakat sekitar hutan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Perum Perhutani mempunyai petugas pendamping (mandor). Hal yang cukup penting dan tidak mudah dibenahi secara cepat adalah mengubah perilaku masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, dengan adanya insentif berupa kerja sama pengelolaan hutan yang memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan, lambat laun masyarakat akan menjadi bagian dari program ini. Apabila dirancang dan dibimbing dengan baik, sistem tumpangsari di lahan sela kawasan hutan dapat diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan nasional melalui penanaman komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi seperti pangan, palawija, dan hortikultura. Jadi pemberdayaan pesanggem yang baik akan berpeluang besar untuk memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan desa, bahkan secara regional serta nasional. Arah dari pemanfaatan sumber daya hutan diharapkan memberikan dampak positif bagi pengembangan kawasan hutan tersebut, sehingga berdampak positif pada pengembangan wilayah dimana hutan tersebut berada. Ini menunjukkan bahwa pengembangan kawasan hutan berkaitan dengan pengembangan wilayah, yaitu pemanfaatan ruang dan sumber daya yang ada di dalam suatu wilayah yang mendukung kegiatan kehidupan petani. Dari segi pembangunan ekonomi wilayah maupun nasional, pemberian peluang kepada pesanggem dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu sarana yang efektif untuk pemerataan dan tahapan untuk mengatasi kemiskinan di lingkungan masyarakat desa hutan. Yang perlu dilakukan dalam kerangka program PHBM adalah sinkronisasi dengan program dari pemerintah pusat maupun daerah sehingga dampak positifnya akan jauh lebih besar bagi peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.
109
Henny Mayrowani, Ashari, dan Nyak Ilham
Guritno, B., T. Adisarwanto, dan E. Legowo. 1997. Teknologi Tepat Guna Lahan Kering di Kawasan Timur Indonesia Bagian Selatan. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI 25-27 Juli 1996. Perhimpunan Agronomi Indonesia. Mayrowani, H., Sumaryanto, N. Ilham, S. Friyatno, Ashari dan D.H. Azahari. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Pertanian pada Ekosistem Lahan Kering. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Mulyani, A.; F. Agus; dan David Allelorung. 2006. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Jarak Pagar. Jurnal Badan Litbang Pertanian, Vol 25 (4). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan dengan Sistem Polikultur. http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosiding%2007/1-4.pdf [29/1/10). Simon, H. 2004. Aspek Sosio-teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4): 162-171. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
110