KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH Julia F. Sinuraya, Nur K. Agustin, dan Sahat M. Pasaribu
Konsolidasi lahan pertanian dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengelolaan usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi pertanian, khususnya produksi pangan. Di satu pihak, perkembangan ekonomi yang pesat akhir-akhir ini telah mengancam keberlangsungan usaha pertanian, terutama di wilayah pertanian yang berbatasan dengan perkotaan. Pengembangan usaha yang berorientasi ekonomi telah mendorong peningkatan akses transportasi, terutama pembangunan jaringan jalan, pengembangan aneka industri dengan pembangunan kawasan industrinya, pembangunan perumahan, perkantoran, pasar, dan sebagainya. Semua kegiatan pembangunan kegiatan ekonomi ini membutuhkan tanah, termasuk lahan pertanian yang mengakibatkan terjadinya fragmentasi dan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain di luar pertanian. Di pihak lain, kebutuhan pangan dan produksi pertanian lainnya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan selera, dan kebutuhan produk pertanian berkualitas. Di tengah berbagai kepentingan di atas, upaya pemenuhan pangan dan produksi berbagai komoditas pertanian lainnya perlu terus diperbarui, disesuaikan dengan kondisi terkini, dan selalu mendahulukan pemenuhan permintaan pasar. Situasi ini harus diakui sebagai suatu dilema karena dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apakah harus merelakan terjadinya fragmentasi, konversi atau alih fungsi lahan? Jika hal ini tidak dapat dihindarkan, apakah tersedia lahan pengganti atau apakah dapat dilakukan ektensifikasi? Dalam konteks inilah upaya melakukan konsolidasi lahan pertanian menjadi sangat penting, khususnya dalam upaya menyediakan bahan pangan/produksi pertanian dan mendorong keberlanjutan pembangunan berbagai aspek pada sektor pertanian. Hal ini perlu dipelajari lebih jauh untuk pemenuhan kebutuhan produksi pertanian, khususnya bahan pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri. Relevan dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional, Departemen Pertanian telah meluncurkan program konsolidasi lahan pada tahun 2009 untuk meningkatkan produksi pangan dan sekaligus mengendalikan fragmentasi dan alih fungsi lahan pertanian (Departemen Pertanian 2009). Mengacu pada Petunjuk Teknis, program ini dilaksanakan di empat lokasi, yakni Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo (Provinsi Jawa Tengah), serta Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar (Provinsi Bali). Program konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani oleh Kementerian Pertanian melalui Direktorat Perluasan
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
dan Pengelolaan Lahan masih berlanjut hingga tahun 2011. Pada tahun 2010, kegiatan ini dilaksanakan di 21 lokasi kabupaten/kota meliputi 12 provinsi (Kementerian Pertanian 2010). Sementara untuk tahun 2011, pelaksanaan kegiatan ini di 39 lokasi kabupaten/ kota pada 10 provinsi (Kementerian Pertanian 2011). Pada awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, program ini bahkan disebut sebagai salah satu program unggulan yang diluncurkan dalam masa 100 hari program pembangunan pada awal pemerintahan tersebut. Keberlanjutan program ini hingga tahun 2011 menunjukkan perhatian yang sangat besar dari Kementerian Pertanian (Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan) akan pentingnya konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani untuk mencegah dan mengendalikan alih fungsi lahan diperdesaan serta untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan usaha tani, produksi, pendapatan rumah tangga petani, dan menciptakan lapangan kerja baru. Kasus di Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya permasalahan fragmentasi dan alih fungsi lahan di wilayah ini antara lain adalah: sistem pewarisan pemilikan tanah, pertambahan penduduk, kebutuhan lahan untuk sektor lain, dan rangsangan harga lahan yang menggiurkan dari pihak lain. Di sisi lain, fasilitas irigasi dan dukungan iklim serta cuaca semakin menurun, upah tenaga kerja semakin tinggi, harga sarana produksi semakin tinggi, dan harga hasil pertanian kurang menentu terutama penurunan harga pada saat panen yang menyebabkan pendapatan petani semakin menurun. Hal ini kemungkinan juga terjadi di wilayah Indonesia lainnya. Tulisan ini ditujukan untuk mempelajari kemungkinan melaksanakan konsolidasi lahan dan dengan menelaah program konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani seperti yang telah disebutkan di atas. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan deskripsi komprehensif tentang dinamika konsolidasi lahan pertanian, sementara kasus di Provinsi Jawa Tengah dipilih sebagai area kajian untuk memperlihatkan perkembangan program tersebut. Dengan tambahan informasi dari sumber lain, hasil analisis dan implikasi kebijakan tentang konsolidasi lahan akan dituangkan dalam tulisan ini.
Kecenderungan Pemanfaatan Lahan Pertanian Bagi Indonesia, permintaan terhadap lahan yang letaknya strategis diduga akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi, terutama di Pulau Jawa dan kota besar lainnya di luar Pulau Jawa. Letak yang strategis di sini adalah posisi lahan dengan aksesibilitas tinggi dengan sarana jalan, seperti lahan pertanian di pinggir jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor, dan terjangkau infrastruktur dasar lainnya, seperti aliran listrik dan fasilitas air bersih. Letak lahan pertanian yang berdampingan dengan kawasan perdagangan dan industri atau kegiatan ekonomi lainnya diduga akan sangat rentan terhadap perubahan pemanfaatan lahan yang bersangkutan. Dengan harga penawaran yang tinggi, sebagai akibat letak strategis tadi, secara ekonomi lahan yang bersangkutan akan dengan sangat mudah terfragmentasi, berpindah tangan dan beralih 248
KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH
fungsi. Kecenderungan pemanfaatan lahan seperti ini sangat jelas telihat pada lahan pertanian di wilayah perkotaan yang penduduknya semakin padat atau pada lokasi lainnya yang terjangkau atau telah memiliki fasilitas publik. Alih fungsi lahan pertanian menjadi usaha lainnya akan semakin tidak terbendung. UU No. 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk sementara belum efektif, sulit diikuti/dipatuhi khususnya oleh pemerintah daerah karena peraturan pelaksanaannya sendiri belum terbit secara lengkap. Lemahnya penegakan hukum, tidak tersedianya peraturan yang memadai (termasuk peraturan daerah), kurang kompetennya pejabat yang berwenang (termasuk dengan seringnya pergantian pejabat di daerah), dan miskinnya koordinasi pengendalian patut diduga turut berkontribusi terhadap semakin tidak terbendungnya alih fungsi lahan dan semakin terfragmentasinya lahan pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah beririgasi di Pulau Jawa paling tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Pulau Sumatera termasuk dalam urutan kedua dalam penggunaan lahan sawah beririgasi, sementara pulau-pulau lainnya relatif rendah. Kecenderungan penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa pada kurun waktu 1980 hingga 2009 terlihat semakin menurun baik itu sawah irigasi teknis (84,58% tahun 1980 menjadi 80,89% tahun 2009), semi teknis (50,73% tahun 1980 menjadi 44,61% tahun 2009), maupun sederhana (8,99% tahun 1980 menjadi 7,65% tahun 2009). Sebaliknya, di Pulau Sumatera penggunaan lahan sawah beririgasi semakin meningkat baik teknis (11,56% tahun 1980 menjadi 14,78% tahun 2009), semi teknis (32,29% tahun 1980 menjadi 50,65% tahun 2009), maupun sederhana (37,21% tahun 1980 menjadi 44,71% tahun 2009). Hal ini diduga antara lain karena sebagian besar wilayah di Pulau Jawa sudah berubah menjadi wilayah perkotaan dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman, perkantoran, kawasan industri atau peruntukan nonpertanian lainnya. Sementara di Pulau Sumatera terjadi peningkatan penggunaan lahan sawah beririgasi karena adanya program pemerintah untuk pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa. Dengan telah dimulainya pembuatan rencana tata ruang dan wilayah di tingkat kabupaten di berbagai wilayah di Indonesia, data peruntukan lahan pertanian, termasuk tanaman pangan akan menjadi jelas. Data ini sangat penting jika konsolidasi lahan akan dilaksanakan di sentra produksi pangan untuk penataan dan pembangunan pertanian pangan. Rencana tata ruang dan wilayah daerah dapat dipakai sebagai payung hukum yang menjamin pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan. Pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dapat merencanakan perbaikan kinerja dan pengembangan usaha tani pangan berkelanjutan dengan memiliki legalitas peruntukan lahan.
249
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Tabel 1. Persentase luas penggunaan lahan sawah beririgasi berdasarkan pulau, tahun 1980–2009 Sarana irigasi (%) No.
Uraian
Teknis
Semi Teknis
Sederhana
1980
1990
2000
2009
1980
1990
2000
2009
1980
1990
2000
2009
1
Sumatera
11,56
12,86
13,73
14,78
32,29
36,64
37,60
40,65
37,21
46,74
45,70
44,71
2
Jawa
84,58
83,24
81,31
80,89
50,73
44,03
44,52
44,61
8,99
7,34
7,21
7,65
3
Bali
0,00
0,00
0,00
0,00
3,38
3,12
3,29
3,27
0,27
0,24
0,27
0,27
4
Nusa Tenggara
0,00
0,00
0,00
0,00
11,25
9,34
9,59
6,86
2,72
2,13
2,19
1,70
5
Kalimantan
0,79
0,83
1,41
1,02
0,85
5,18
2,92
2,33
17,82
15,00
14,12
10,35
6
Sulawesi
3,06
3,07
3,56
3,32
1,50
1,69
2,08
2,28
31,10
25,69
27,35
32,41
7
Maluku
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,35
1,41
1,00
8
Papua
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,89
2,51
1,76
1,91
Sumber: BPN, 2010 (diolah)
Dimilikinya tata ruang dan wilayah akan membuat pembangunan menjadi sangat strategis, khususnya karena tata ruang bersifat pendekatan fundamental dalam pengelolaan lahan dan sumber daya air. Penataan ruang yang mencakup ekosistem sumber daya pertanian perlu mengendalikan pemanfaatan lahan dan air dalam satu kesatuan manajemen hingga membentuk suatu wilayah pengelolaan terintegrasi yang mencakup berbagai aspek ekologi, tekno-sosio-budaya, politik dan ekonomi, serta sistem pemerintahan. Aspek legalitas dalam tata ruang dan wilayah memungkinkan dilakukannya konsolidasi lahan di berbagai sentra produksi pangan, terutama lahan sawah. Walaupun demikian, sosialisasi, pendekatan, dan penyuluhan yang intensif dibutuhkan untuk menyamakan persepsi semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam satu pandangan yang objektif. Kawasan peruntukan pertanian dalam RTRW terdiri atas kawasan pertanian lahan basah dan kawasan pertanian lahan kering. Lahan pertanian basah dan lahan pertanian kering dikelola untuk mendukung suatu program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Tengah diperoleh data jumlah luasan untuk pertanian lahan basah adalah 990.652 ha, pertanian lahan kering seluas 955.587 ha, dan lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas 1.022.570,86 ha. Luas lahan basah untuk Kabupaten Boyolali yang ditetapkan dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah seluas 23.070 ha, lahan kering seluas 40.106 ha, dan lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas 16.245,30 ha. Sementara itu, di Kabupaten Boyolali luasan untuk pertanian lahan basah adalah 22.858,42 ha, pertanian lahan kering seluas 30.667,30, dan lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas 20.000 ha. Perbedaan ini terjadi karena penggunaan basis data yang berbeda. RTRW provinsi menggunakan data tahun 2005, sementara kabupaten menggunakan data tahun 2009 sehingga luasan yang tercantum dalam data tahun 2005 250
KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH
sudah mengalami perubahan baik itu disebabkan adanya alih fungsi maupun fragmentasi lahan. Basis data yang sama sangat dibutuhkan untuk ketepatan perencanaan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan. Peran Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) sangat dibutuhkan dalam pemetaan luas baku lahan di Indonesia.
Konsolidasi Lahan untuk Meningkatkan Produksi Pangan Untuk tanaman pangan, Daywin (1999) mencatat bahwa konsolidasi lahan dimulai di Jepang sekitar tahun 1890 oleh petani sendiri selama 50 tahun. Setelah masa itu, sekitar 2,1 juta ha lahan sawah bersistem irigasi selesai dikonsolidasikan dan kemudian memasuki era modernisasi pertanian dengan memperkenalkan mesin-mesin pertanian, seperti traktor, mesin penanam, mesin pemanen, dan lain-lain. Langkah operasional konsolidasi dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni (a) pengaturan kembali letak sawah dengan bentuk dan petak tertentu, disesuaikan dengan sistem irigasi dan drainasenya; (b) perencanaan jalan usaha tani; (c) perencanaan perbaikan lapisan kedap (hard pan) untuk peningkatan daya sanggah (bearing capacity) bagi alat dan mesin pertanian; (d) perencanaan sistem irigasi dengan pembangunan saluran primer hingga kuarter serta pengaturan pemberian air pada pertanaman; dan (e) perencanaan sistem drainase untuk pelepasan air pada petakan hingga saluran pembuangan. Konsolidasi lahan pertanian yang dilakukan di Jepang telah menginspirasi sejumlah negara penghasil padi/beras lainnya. China, Taiwan, dan Korea melakukannya mulai tahun 1960-an, sementara Thailand, Malaysia dan Filipina pada tahun 1970-an. Indonesia sendiri, atas bantuan Jepang, melakukan konsolidasi lahan sawah pada awal 1970-an dengan percontohan seluas kira-kira 100 ha di Cihea, Provinsi Jawa Barat dan Tani Makmur, Provinsi Lampung. Biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan konsolidasi lahan di Thailand, Taiwan, Korea atau Filipina berkisar US$ 5.000 per hektare (saat itu) dengan alat dan mesin pertanian. Lahannya juga menyusut sekitar 8% per hektare untuk jalan dan saluran irigasi/drainase. Namun pada beberapa musim tanam kemudian, penyusutan lahan ini tergantikan oleh penerimaan dari pertanaman karena peningkatan produksi (10%– 30%) dan peningkatan IP (hingga 300%). Pengalaman negara-negara ini melakukan konsolidasi lahan adalah bahwa reaksi masyarakat tani, khususnya pemilik lahan, perlu diredam dengan sosialisasi yang efektif dan efisien. Penyuluhan dan pendekatan individu dinilai penting dilakukan untuk keberhasilan konsolidasi lahan usaha tani ini. Program Departemen Pertanian (2009) di beberapa lokasi seperti disebutkan di atas dapat dipelajari lebih lanjut sebagai bahan untuk membahas apakah konsolidasi lahan pertanian dapat dilakukan di Indonesia. Pengertian Consolidated Farming pada program ini adalah suatu usaha konsolidasi pengelolaan lahan sawah dalam satu luasan tertentu, yang dikelola oleh beberapa orang sebagai “pengelola” sedemikian rupa sehingga secara teknis dapat memenuhi skala usaha yang dapat memberikan margin tertentu bagi pengelola, dan 251
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
para petani lainnya sebagai pemilik lahan dapat bekerja di lahan dan mendapat insentif, memperoleh sewa tanah yang dimilikinya, dapat menjadi penyedia jasa tenaga kerja di luar usaha tani tetapi masih di dalam desa tersebut atau di luar desa. Program Konsolidasi Pengelolaan Lahan Usaha Tani (Consolidated Farming) Kabupaten Boyolali tahun 2009 dilaksanakan pada kelompok tani Kismo Taruno I di Desa Kuwiran, Kecamatan Banyudono. Jumlah anggota kelompok tani sebanyak 100 orang dengan total luas lahan sebesar 25,805 hektare. Program ini bertujuan untuk mengendalikan lahan pertanian agar tidak beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Sasaran kegiatan pada lahan pertanian yang potensial untuk alih fungsi dengan luasan sekitar 25 hektare (1 paket). Program ini merupakan pilot percontohan yang diprakarsai oleh Direktorat Pengelolaan Lahan yang saat ini sudah berubah nama menjadi Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Fasilitas yang disediakan untuk kegiatan ini adalah insentif bagi kelompok tani berupa dana bantuan sosial (bansos) sebesar Rp4,5 juta per hektare, dengan alokasi penggunaan dana sebagai berikut: (a) perbaikan infrastruktur Rp3 juta per hektare; (b) pengadaan sarana produksi Rp1 juta per hektare; dan (c) penguatan kelembagaan Rp500 ribu per hektare. Total nilai dana untuk program ini adalah Rp112,5 juta per 25 hektare. Perbaikan infrastruktur yang dilakukan di kelompok tani Kismo Taruno adalah pembangunan jalan usaha tani. Kegiatan Consolidated Farming telah digalakkan di Kota Denpasar, Provinsi Bali pada kelompok tani dengan jumlah anggota sebanyak 75 orang, yang menjadi pengelola sebanyak 25 orang dan bukan pengelola sebanyak 50 orang. Luas lahan yang dikelola adalah 25 hektare, sehingga rata-rata lahan yang dikelola setiap petani adalah: 25 ha/75 orang = 3.300 m2. Penerapan program ini memberikan peningkatan pendapatan bagi petani di kelompok tersebut. Pendapatan petani saat melakukan usaha tani model konvensional untuk luasan 25 ha adalah Rp1.483.733 per orang, sementara setelah menggunakan model konsolidasi diperoleh pendapatan sebesar Rp2.625.400 per orang. Sehingga diperoleh selisih pendapatan selama satu musim tanam sebesar Rp1.141.667 per orang. Hal ini antara lain disebabkan adanya penghematan upah tenaga kerja karena pekerjaan usaha tani dalam model konsolidasi dilakukan secara gotong royong. Perhitungan pendapatan kegiatan konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani ini belum termasuk pendapatan tidak langsung dari kegiatan atau upah tenaga kerja di luar kegiatan konsolidasi pengelolaan usaha tani yang dilakukan oleh 50 orang anggota kelompok tersebut. Insentif kepada pengelola lahan usaha tani dalam kegiatan konsolidasi ini di musyawarahkan sehingga pendapatan yang diterima oleh seluruh anggota kelompok, baik pengelola maupun anggota bersifat proporsional (Kementerian Pertanian 2010).
252
KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH
Peran Kelembagaan Petani Membangun Lahan Pangan Terkonsolidasi Jika konsolidasi lahan akan dilakukan, peran kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan) sangatlah penting. Kehadiran kelembagaan petani gapoktan saat ini semakin dikenal sebagai wadah “federasi kelompok tani” yang mampu menjembatani kepentingan petani dengan pembina (atau pemangku kepentingan dan kalangan lainnya). Dengan pelaksanaan sejumlah program pembangunan pertanian beberapa tahun terakhir ini, seperti PUAP, SLPTT, dan FEATI keberadaan gapoktan dalam satu desa sudah semakin dikenal dan dapat dimanfaatkan untuk mengintroduksikan program konsolidasi lahan pertanian. Struktur organisasi gapoktan yang beranggotakan sejumlah kelompok tani cukup sederhana dan pengurus biasanya dapat bekerja secara efisien (lihat Lampiran 1). Namun, harus dicatat bahwa tidak semua individu dalam kepengurusan memiliki keterampilan mengelola organisasi dan berpikir ke depan untuk memajukan Gapoktan. Harus diakui bahwa sebagian pengurus, selain sudah berusia lanjut, juga berpendidikan rendah, walaupun memiliki kharisma atau menjadi tokoh masyarakat di wilayahnya masing-masing. Kepercayaan terhadap gapoktan dalam pengelolaan dana cukup tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh keberhasilan memanfaatkan dana yang tersedia untuk usaha ekonomi produktif. Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A) yang dibentuk oleh kebanyakan Gapoktan dalam program PUAP saat ini, dalam taraf tertentu oleh sebagian Gapoktan potensial terus menunjukkan kecenderungan positif (Pasaribu, et al. 2011). Di antara banyak kajian tentang organisasi petani, hasil kajian Parker et al. (2008) juga menjelaskan bahwa peran kelembagaan tani dan nelayan dalam pemanfaatan kredit mikro sangat signifikan, termasuk oleh kelompok tani wanita dan kelompok usaha skala ekonomi kecil lainnya di perdesaan. Salah satu contoh Gapoktan yang dianggap berhasil dalam mengelola dana yang diberikan melalui program PUAP antara lain adalah Gapoktan Harapan Tani Jaya, Desa Kalibata Lor, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Gapoktan ini sudah berbadan hukum dan memiliki LKM-A. Unit usaha dominan adalah simpan pinjam. Gapoktan ini menerima dana PUAP sebesar Rp100 juta pada tahun 2009 dan sampai bulan April 2011 dana tersebut telah berkembang menjadi sekitar Rp124 juta. Dana ini digunakan Gapoktan untuk membantu permodalan anggotanya pada kegiatan on-farm dan off-farm. Bunga pinjaman ditetapkan sebesar 2% per bulan, dengan sistem pembayaran cicilan untuk usaha dagang hasil pertanian secara bulanan dan untuk usaha tani secara musiman. Proses dan syarat administrasi peminjaman yang ditetapkan Gapoktan sangat mudah, sederhana, cepat, dan tanpa agunan. Hal ini sangat membantu bagi anggota Gapoktan terutama petani kecil yang kesulitan dalam mengakses permodalan. Keberhasilan Gapoktan ini mengembangkan dana PUAP tersebut tidak terlepas dari hubungan yang baik antara pengurus Gapoktan dan anggotanya. 253
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Hubungan sosial yang erat antara pengurus dengan anggotanya (kelompok tani) dapat dinilai sebagai salah satu modal utama dalam kebersamaan membangun. Namun demikian, kurangnya fasilitas berusaha dengan kemampuan sumber daya manusia yang terbatas perlu didukung oleh perencana pendamping yang memadai jika konsolidasi lahan pangan akan menjadi salah satu program pengembangan sentra produksi pangan. Dengan semua kelemahan dan kekurangan yang dimiliki, Gapoktan terpilih dengan pengurusnya dapat diandalkan sebagai medium untuk mempercepat pembangunan pertanian, termasuk program konsolidasi lahan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua lembaga petani (Gapoktan atau poktan) merespons kegiatan program tersebut dengan baik. Selain karena kurangnya inisiatif pengurus/pelaksana-pengelola sebagai akibat keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, kurangnya pembinaan oleh pemerintahan lokal, khususnya untuk menghubungkan Gapoktan dengan lembaga terkait, seperti lembaga penelitian (teknologi terapan untuk budi daya), lembaga keuangan (kredit perbankan untuk modal kerja) dan lembaga usaha terkait (kemitraan usaha untuk pemasaran) menyebabkan beberapa Gapoktan tidak merespons program tersebut dengan baik. Oleh karena itu, hanya mereka yang memiliki potensi (khususnya sumber daya manusia) dan dapat bekerjasama dengan berbagai pihak yang layak dipertimbangkan dalam program konsolidasi lahan ini. Beberapa langkah operasional memanfaatkan partisipasi Gapoktan dan instansi pembina untuk membangun lahan pangan terkonsolidasi melalui: a.
Sosialisasi program konsolidasi lahan kepada semua anggota Gapoktan/poktan bersama instansi terkait (untuk menyamakan persepsi). b. Pemilihan Gapoktan yang memiliki potensi sumber daya manusia yang dapat diandalkan (menggunakan kriteria tertentu) dan mendokumentasikan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki (SDM, aset, unit usaha, aksesibilitas ekonomi, kondisi infrastruktur daerah, dan lain-lain). c. Memetakan rencana pelaksanaan dengan memanfaatkan seluruh data dan informasi yang tersedia bersama instansi pembina di daerah. d. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh dukungan keuangan (terutama dari pihak pemerintah daerah) dan konsultasi dari berbagai pihak (untuk aplikasi lapangan). e. Menyiapkan rencana aksi (Lampiran 2) sebagai pedoman melaksanakan kegiatan dan untuk digunakan memperoleh dana, tenaga, dan fasilitas pendukung lainnya. Pemerintah daerah, khususnya instansi yang mengurusi kepentingan produksi pangan, perlu menangkap peluang melaksanakan konsolidasi lahan sebagai salah satu upaya peningkatan produksi komoditas pangan. Kesungguhan pemerintah daerah melaksanakan program konsolidasi lahan ini dapat diukur dari ada tidaknya inisiatif, komunikasi dan
254
KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH
aplikasi pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan program ini di Kabupaten Boyolali dan Kota Denpasar dapat dijadikan contoh bagaimana tanggapan (response) pemerintah daerah membangun pertanian di wilayahnya. Pelaksanaan kegiatan konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani ditanggapi oleh Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Boyolali dengan menerbitkan SK Tim Teknis, Petunjuk Teknis, membuat Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK), melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan aparat daerah, inventarisasi Calon Petani dan Calon Lokasi (CPCL), dan menetapkan lokasi sesuai dengan pedoman teknis yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian pada saat itu. Jika dilihat dari susunan tim yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Boyolali, seluruhnya masih dari unsur Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan termasuk di dalamnya Penyuluh Pertanian Kecamatan, belum adanya instansi terkait lainnya seperti dari Dinas Pekerjaan Umum (PU), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) maupun dari pihak Bupati/Walikota yang ikut terlibat di dalamnya. Hal tersebut mengakibatkan tingkat keberhasilan program masih kurang memadai. Sudah saatnya dalam pelaksanaan suatu program dilakukan secara sinergi dengan melibatkan semua instansi terkait dari pemerintahan daerah demi keberhasilan pembangunan pertanian. Sangat diharapkan prioritas pemerintah daerah mengalokasikan dana untuk mendukung program pembangunan pertanian di wilayahnya.
Penutup Konsolidasi lahan pertanian pangan saat ini sangat dibutuhkan sebagai salah satu alternatif program peningkatan produksi pangan nasional. Konsolidasi lahan pertanian pangan berorientasi pada pengelolaan pertanian secara modern, termasuk manajemen usaha tani yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas kegiatan. Melaksanakan konsolidasi lahan pertanian pangan membutuhkan beberapa tahapan, di antaranya yang paling penting adalah tahapan membangun kebersamaan di awal kegiatan untuk memperoleh persepsi yang sama di antara pemilik atau penggarap lahan yang bersangkutan. Peran kelembagaan petani (Gapoktan) sangat besar dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan konsolidasi lahan pangan. Gapoktan yang memiliki sumber daya manusia yang kuat lebih berpeluang melaksanakan konsolidasi lahan. Oleh karena itu, di samping pemenuhan kriteria teknis wilayah, juga dibutuhkan identifikasi karakteristik, kapasitas, dan kemampuan Gapoktan sebelum memutuskan melaksanakan program konsolidasi lahan pangan. Pelaksanaan program konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2009 hingga sekarang, walaupun masih berupa uji coba di beberapa lokasi dapat dikatakan berhasil untuk mengurangi laju alih fungsi dan
255
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
fragmentasi lahan pertanian. Keberhasilan ini antara lain disebabkan adanya dukungan dari pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian untuk pelaksanaan di daerah. Keberhasilan dibeberapa daerah dalam pilot percontohan ini mengindikasikan bahwa program konsolidasi lahan dapat dilaksanakan walaupun memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang relatif lama. Walaupun demikian, ada juga kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani ini yakni kesulitan dalam menentukan calon lokasi kegiatan. Rencana tata ruang dan wilayah daerah dapat dipakai sebagai payung hukum yang menjamin pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan. Dengan memiliki legalitas peruntukan lahan, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dapat merencanakan perbaikan kinerja dan pengembangan usaha tani pangan berkelanjutan. Penegakan hukum yang kuat dengan ketersediaan peraturan yang memadai (termasuk peraturan daerah), kompetensi pejabat yang berwenang, dan koordinasi pengendalian yang intensif diharapkan dapat membendung pengurangan alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian diberbagai wilayah di Indonesia. Penyusunan rencana aksi program konsolidasi lahan pangan dibutuhkan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan. Pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) dan pemerintah daerah (dinas yang mengurusi kepentingan sektor pertanian dan komoditas pangan) secara bersama-sama perlu mengambil inisiatif memperkenalkan program konsolidasi lahan, merumuskan langkah-langkah implementasi dan mengawal pelaksanaan kegiatannya, termasuk pengalokasian pendanaan (APBN dan APBD).
Daftar Pustaka Badan Pertanahan Nasional RI. 2010. Peta Penggunaan Tanah Sawah. Jakarta. Daywin FJ. 1999. Modernisasi Pertanian Indonesia: Konsolidasi Lahan Pertanian Khususnya Lahan Padi Sawah. Bull. Keteknikan Pert. 13 (2): Agustus 1999. Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Teknis Konsolidasi Pengelolaan Lahan Usaha tani (Consolidated Land). Direktorat Pengelolaan Lahan, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Boyolali. 2009. Petunjuk Teknis Konsolidasi Pengelolaan Lahan Usaha tani (Consolidated Farming/CF). Boyolali. Kementerian Pertanian. 2010. Pedoman Teknis Konsolidasi Pengelolaan Lahan Usaha tani (Consolidated Land). Direktorat Pengelolaan Lahan, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian. Jakarta.
256
KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH
Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Teknis Konsolidasi Pengelolaan Lahan Usaha tani (Consolidated Land). Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. Parker S, S Pasaribu dan S DeMeulenare. 2008. A Rapid Assessment of Microcredit Schemes Available to Smallholder Farmers and Fishermen. USAID-funded Project No. EDH-I-1-00-05-00004-00. DAI-AMARTA. Jakarta. Pasaribu SM, JF Sinuraya, NK Agustin, Saptana, E Jamal, S Wahyuni, B Prasetyo, Y Supriyatna, J Hestina, Supadi, Y Marisa, M Iqbal, dan Sugiarto. 2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Laporan Kemajuan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Bogor.
257
258
POKTAN 1
Unit Usaha Pemasaran
POKTAN 2
Unit Usaha Alsintan
Sekretaris
Ketua
Unit Usaha
Bendahara
PENGURUS GAPOKTAN
POKTAN 3
Unit Usaha Pengelolaan Hasil
Kasir
Penagihan
POKTAN 4
Pembukuan
MANAJER
UNIT USAHA KEUANGAN MIKRO
Tim Pengawas : 1. Tim Teknis Kab/Kota 2. Koord. Prog. Kecamatan
Komite Pengarah/Penasehat Penyuluh Pendamping, PMT, Tokoh Masyarakat
Unit usaha gapoktan dan jumlah poktan bervariasi. Pada LKM-A, bagian penagihan juga bervariasi (boleh ada atau tidak ada). PMT = Penyelia Mitra Tani
Keterangan:
Unit Usaha Saprodi
Pelindung/Pembina Camat, Kepala Desa
Lampiran 1. Struktur Organisasi Gapoktan
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Kegiatan
Pemilihan Ggapoktan dan pendokumentasian sumber daya yang ada
Konsolidasi Sosialisasi lahan pangan
Program Dua hari pada pada bulan pertama kegiatan di awal tahun (Dilanjutkan oleh Penyuluh dalam pertemuan informal dengan anggota poktan secara periodik sebulan kemudian) Seleksi oleh instansi terkait; menyampaikan hasilnya kepada gapoktan terpilih; sosialisasi kepada anggota; melakukan pendataan/ dokumentasi
Pertemuan, dipimpin pejabat dinas pertanian tingkat kabupaten bersama pengurus gapoktan dan dihadiri oleh semua anggota poktan dan undangan lain dari lembaga terkait
Waktu Cara pelaksanaan pelaksanaan
Bulan ketiga Sentra produksi padi di tingkat kecamatan, kantor dinas terkait dan kantor Kemtan
Sentra produksi padi di tingkat kabupaten
Lokasi
Gapoktan terpilih bersama tenaga pendamping mulai melaksanakan konsolidasi lahan pangan tentang langkah-langkah pelaksanaan di lapangan
Seperti diatas RpX juta ditambah petugas (APBN) lain tingkat kecamatan dan desa
Gapoktan terpilih; kesediaan dan komitmen anggota melaksanakan program konsolidasi lahan pangan garapannya; kesungguhan pemda dengan memasukkan kegiatan ini pada program pembangunan pertanian daerah; dokumen program
Catatan Pembicara dari gapoktan, Dinas terkait, IPB, lembaga penelitian: Penjelasan tentang peluang, manfaat dan masalah tentang konsolidasi lahan
Biaya dan sumber dana
RpX juta Gapoktan/ poktan, Kemtan (APBN) di tk pusat, Dinas Pertanian/ Penyuluh, Bappeda, Dinas PU, BPN tk kabupaten, tokoh masyarakat, LSM, IPB, BUMN, lembaga penelitian pertanian
Lembaga yang terlibat
Pemahaman dan persepsi yang sama terhadap konsolidasi lahan pangan (sawah/ padi)
Hasil yang diharapkan
Lampiran 2. Matriks Rencana Aksi Gapoktan untuk Konsolidasi Lahan Pangan1
KONSOLIDASI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KASUS DI PROVINSI JAWA TENGAH
259
1
260 Rapat-rapat, pertemuan, konsultasi, seminar
Penyusunan rencana Kantor dinas Bulan keenam Rapat-rapat dan aksi kegiatan terkait tingkat konsultasi kabupaten
Kantor dinas Bulan kelima terkait tingkat kabupaten
Penyiapan usulan kegiatan dan dana
Rapat-rapat, pertemuan, konsultasi, seminar
Waktu Cara pelaksanaan pelaksanaan
Bulan Lokasi keempat terpilih, kantor Kemtan dan kantor dinas terkait tingkat kabupaten
Lokasi
Penyusunan peta pelaksanaan
Kegiatan
Hasil yang diharapkan
Biaya dan sumber dana
Dinas terkait RpX juta bersama gapoktan (APBD)
Dinas terkait RpX juta bersama gapoktan (APBN)
Lembaga yang terlibat
Dokumen Dinas terkait RpX juta berbentuk matriks bersama gapoktan (APBD) rencana aksi dengan uraian
Dokumen berisi usulan kegiatan dengan metode sesuai peta pelaksanaan
Dokumen berisi peta pelaksanaan di lapangan
Matriks ini masih membutuhkan uraian lebih rinci untuk setiap bagian pelaksanaan kegiatan
Program
Lampiran 2. Matriks Rencana Aksi Gapoktan untuk Konsolidasi Lahan Pangan1 (lanjutan)
Disiapkan sebagai pedoman pelaksanaan
Dokumen tertulis, rinci dan operasional
Peta pelaksanaan disiapkan sebagai dokumen tertulis, rinci dan operasional
Catatan
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN