Kumpulan Kasus Jawa Tengah
PROYEK PILOT INISIATIF KOMUNITAS KREATIF 2008 – 2009
Kasus-Kasus di Jawa Tengah
32
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Kasus 1 Kecamatan Gondangrejo
IRONI SEBUAH PROGRAM Nining Sunartiningsih Kecamatan Gondangrejo adalah salah satu wilayah kabupaten Karanganyar yang langsung berbatasan dengan kota Solo. Kedekatan dengan kota ini membawa karakteristik yang agak berbeda, bukan lagi dikatakan sebagai wilayah pedesaan namun juga belum sepenuhnya memiliki karakteristik perkotaan. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya tidak lagi didominasi pada pertanian namun beberapa beralih ke sektor informal yang berhubungan langsung dengan ritme perekonomian perkotaan. Pelan-pelan wilayah ini tumbuh menjadi penopang kota Solo, beberapa tahun ke belakang pabrik-pabrik berdiri. Perumahan-perumahan mulai tumbuh dan yang terakhir tertiup kabar jalan lingkar (ring road) Solo akan dibangun di wilayah ini. Kabar terakhir ini telah membuat harga tanah naik pesat. Belajar dari Kelompok Lesung : Antusiasme yang Mengharukan … Desa Rejosari adalah salah satu desa yang mayoritas para perempuannya bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Legi, pasar buah dan sayuran terbesar di kota Solo. Meskipun pertanian masih menjadi pekerjaan utama, namun pada musim-musim tertentu ketika sawah tidak lagi bisa diharapkan sebagai satu-satunya gantungan hidup, menjadi buruh di kota adalah salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan. Pagi-pagi sekali mereka sudah pergi ke Solo, bekerja sepanjang hari sampai jam 5 sore. Mereka mendapat upah antara Rp. 1.500 s.d. Rp. 2.000 setiap satu beban gendongan yang dibawa naik atau turun tangga pasar. Malam hari selepas waktu Isya, ketika terdengar lesung dipukul ‘ … dong ! ... dong ! …’, mereka beranjak dari rumah masing-masing berbondong-bondong ke rumah kepala desa untuk latihan lesung. Berlatih lesung menjadi sebuah kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri sekaligus upaya untuk menghibur diri dari persoalan hidup sehari-hari.
33
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
“… Apalagi pekerjaan saya ini jekso. Jekso itu apa? ajeg rekoso (ajeg = tetap, rekoso = sengsara) jadi kuli di pasar Legi ; kalau naik itu mbrangkang (merangkak) kalau turun itu gandulan (pegangan), mbungkuk-mbungkuk begini.. Kalau malam memukul lesung… pokoke tetap semangat terus sambil memukul lesung ya ikut bernyanyi… Namanya juga senang, meski nggak ada bayaran juga begini ini berangkat. Bathinya (untungnya) senang itu .. .tidak ada yang meminta, ya hanya karena senang, karena ingin maju, kalau mikir ekonominya kan pusing, terus kalau bersama teman-teman kan jadi senang, sambil nyanyi-nyanyi ya jadi senang …”1 Kebahagiaan dan kebanggaan memainkan lesung menjadi penyemangat yang nyata-nyata menghidupi kelompok lesung Melati Kuncoro. Kelompok ini berusia 3 tahun, ada kurang lebih 30 orang anggota yang sebagian besar ibu-ibu yang sudah tidak lagi muda, di antaranya sudah ber-cucu atau menjanda karena suaminya meninggal. Melati Kuncoro terdiri dari dua kelompok pemain, sebagian besar ibu-ibu memukul 2 lesung dan sisanya nembang. Meski tidak semua anggota bisa membaca dan menulis, mereka mampu berlatih irama lesung secara otodidak.2 Pernah ada pelatih di kelompok lesung ini, namun para anggota justru mengalami kesulitan. “Pak Bagyo itu maunya mengajari begini itu bunyinya A ya nggak bisa A, B itu bunyinya gimana, ini B la B itu apa nggak tahu kok, ini C la C itu wujudnya seperti apa la nggak pada sekolahan kok. Pokoknya kalau bapak mengatur begitu itu nggak jadi pak, sudah biarkan kami semau kami sendiri-sendiri saja lah kalau pake A, B ya semua maju memukul bersama malah nggak jadi, namanya juga tidak tahu aksara ya ….”3 “Ya yang mengajari diri kita sendiri mbak..pertama mau latihan itu kan belum bisa, semua memukul terus bareng-bareng dicari..pokoknya karena nekad saja kok, kalau yang memukul bagian sini si ini suaranya begini itu saja jadi ya pilihannya orang itu sendirisendiri.”4 Kegigihan dan keuletan ibu-ibu untuk berlatih membuahkan hasil. Kelompok ini telah beberapa kali tampil dalam perhelatan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Bahkan, pernah menyabet penghargaan sebagai kelompok dengan pendukung terbanyak pada Festival Lesung se-Kabupaten Karanganyar. Festival ini tercatat dalam Rekor MURI sebagai Festival Lesung terbesar se-Indonesia. Pak Triman, pemimpin kelompok ini memiliki keahlian menggubah syair lagu campur sari atau lagu jawa yang lain disesuaikan dengan irama lesung. Dalam penampilannya, kelompok ini menyanyikan lagu-lagu gubahan Pak Triman. Selain itu, mereka juga membawakan lagu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. “Ibu-ibu ini orang pertanian, kalo orang pertanian itu nyanyinya seperti ilir-ilir, nandur pantun (menanam padi), kalau klothekan itu lesung jumengglung itu kalau orang pertanian itu rasanya senang, ayem, menanam padi juga bagus ... makanya juga senang, ini kesenangannya ibu-ibu jadi tidak merasa capek.”5 Kedekatan dengan konteks ekologis ini juga mampu dibaca dan digunakan secara cerdas sebagai bahan
1
Disampaikan dalam FGD informal Desa Rejosari tanggal 30 April 2009
2
Kalau pun ada yang bisa membaca dan menulis, mereka pernah mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Mbak Sarinah, disampaikan dalam FGD informal Desa Rejosari tanggal 30 April 2009
3
4
Bu Ngatinah, disampaikan dalam FGD informal Desa Rejosari tanggal 30 April 2009
5
Bu Pariyem, disampaikan dalam FGD informal Desa Rejosari tanggal 30 April 2009
34
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
diplomasi oleh Bu Rina, bupati Karanganyar. ”Mendapat dorongan pertama, dari Bu Bupati. Bu Rina pernah mengatakan demikian, Bu ... .sekarang ini Mbok Sri (Dewi Padi) sudah marah, karena sekarang lesung sudah tidak digunakan lagi. Mbok Sri digiles dengan selep (penggilingan padi dengan mesin). Sekarang lesungnya dibunyikan lagi meski tidak untuk menutu ...itu perintah dari Bu Rina”6 Bu Rina dengan cerdas mampu membangkitkan semangat kelompok ini dengan menggunakan filosofi Jawa dan dengan tepat menunjuk ‘musuh bersama’ penggunaan mesin penggilingan padi yang mengakibatkan lesung tidak digunakan. Lesung kembali disandingkan eksistensinya bersama Mbok Sri, dewi padi dalam mitologi Jawa yang marah karena sekarang tidak lagi mendengar alunan lesung. Bu Rina piawai membawa situasi dengan mendudukkan penggunaan mesin sebagai bagian dari modernisasi yang telah menjauhkan nilai-nilai yang dulu sangat berakar pada hidup keseharian orang Jawa. Dalam sekejap, ibu-ibu kelompok ini menjadi yakin, makin mantap dan bersemangat dengan kelompoknya. Namun demikian, pada titik tertentu dukungan Bu Rina ini bukan tanpa maksud tertentu. Terakhir kali Bu Rina hadir ke Kelurahan Rejosari adalah dalam rangkaian kampanye Pemilihan Kepala Daerah bulan Oktober 2008. “... anu mbak waktu itu juga dapat dari Bu Rina 300 ribu dibagi 2 kelompok (lesung), dapat beras sak amplek 5 kilo, kaos satu, uangnya dapat sembilan ribu per orang)…. Waktu ke sini Bu Rina kita bikinkan lagu, milihlah Bu Rina saja ... apa nggak seneng ... Bu Rina kan lagi njago waktu itu.” 7 Antusiasme ibu-ibu kelompok lesung yang mengharukan ini dimanfaatkan secara mengesankan oleh Bu Rina untuk kebutuhan vote gatherer. Bu Rina memenangkan Pilkada dan menjabat sebagai bupati untuk kedua kalinya. Meski demikian bukan berarti harus selalu memandang sinis apa yang dilakukan Bu Rina. Kebijakannya untuk menghidupkan kesenian lesung perlu mendapat perhatian. Diikuti keseriusannya dengan membuat peraturan bahwa, ”lesung tidak boleh keluar dari Karanganyar.”8 Hal ini sebagai respon atas begitu banyaknya para kolektor dan broker barang antik yang keluar masuk Karanganyar dan membuat masyarakat rela menjual lesungnya. Dalam kelompok lesung sendiri terjadi ironi. Antusiasnya ibu-ibu berlatih tidak diimbangi transparansi pengurus di tingkat desa dan para pelaku IKK di tingkat kecamatan. Kelompok lesung ini adalah satusatunya kelompok kesenian yang mendapatkan support dana IKK di Desa Rejosari. Namun tidak satu pun anggota terlibat dalam penyusunan proposal, termasuk mengajukan besar anggaran kegiatan. Demikian juga ketika dana tersebut turun, hanya menjadi transaksi antara pengurus UPK dan Kader Budaya yang disaksikan oleh kepala desa. Berapa jumlah yang diterimakan, untuk kebutuhan apa dan seperti apa wujudnya, seperti misteri bagi semua anggota. “... itu hanya mendengar saja mbak mendapatkan uang Rp 5.530.000 itu hanya mendengarkan saja, kalau sudah diberikan untuk membayar hutang ya harus bagaimana lagi..kami hanya mendengar saja, melihat bentuknya saja tidak. ” 9 “Ya sudah untuk membayar hutang habis, setiap pentas itu kan mengeluarkan dana
6
Pak Triman, disampaikan dalam FGD informal Desa Rejosari tanggal 30 April 2009
7
Bu Sri Lestari, disampaikan dalam FGD informal Desa Rejosari tanggal 30 April 2009
8
Diceritakan oleh Pak Triman
9
Mbah Sarinah
35
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
istilahnya yang membayar duluan Bu Lurah, elektronik seperti tape itu kan harga mahal ya terpaksa kami membayar.”10 Dana sejumlah itu bisa saja dipandang sangat besar dan dibutuhkan kecerdasan untuk bisa menyiasati agar pemain lesung yang mayoritas adalah rumah tangga miskin menjadi penerima manfaat langsung. Selama ini dana digunakan untuk memfasilitasi kelompok dalam berlatih maupun pentas, misalnya untuk sewa tape, konsumsi dan transport. Salah satu kebijakan dari Kelola yang agaknya perlu dipikirkan ulang adalah tidak diijinkannya penerima bantuan membeli alat. Kebijakan ini dikeluhkan beberapa kelompok kesenian di desa-desa, salah satunya adalah kelompok lesung Melati Kuncoro yang harus menyewa lesung dari desa tetangga. Lesung milik Melati Kuncoro sudah pecah, suaranya kurang bagus, hanya bisa digunakan untuk latihan saja. Sementara pada kelompok karawitan, kebijakan Kelola tersebut tidak merisaukan karena kelompok ini sudah memiliki peralatan pentas. Yang diperlukan kelompok karawitan ini adalah bagaimana mengorganisir agar kelompok ini berjalan. Mengacu pada kebijakan Kelola, para anggota kelompok juga mengusahakan pakaian seragam sendiri. Mereka dengan terpaksa harus menabung untuk bisa membeli seragam. “ ... karena pak Triman sudah bilang begitu, uang dari pasar Legi, dapat uang limabelas ribu diselipkan (disimpan) seribu, besok lagi dapat sepuluh ribu diselipkan lima ratus nanti lama-lama untuk beli seragam begitu hasil dari naik mbrangkang (merangkak) turun gandulan (pegangan) tadi yang kerjanya jekso (ajeg rekoso).”11 Aturan tidak boleh membeli alat jika dilihat dalam kelompok ini menjadi ironis. Dalam antusiasme dan hidup yang serba pas-pasan para perempuan dalam kelompok ini berjuang untuk memiliki seragam entah dengan cara hutang atau menabung. Dengan ketulusan, semangat dan kecintaan para perempuan ini menghidupi kelompok Melati Kuncoro untuk bisa ‘kuncoro’, bersinar namanya, seperti yang diharapkan para anggotanya. Konsep Program yang Ditemukan: dari Patembayan ke Bebrayan PNPM Mandiri telah berjalan selama 3 tahun ketika program IKK masuk dan berkolaborasi. Sejak awal, PNPM Mandiri telah menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah lokal dari tingkat kecamatan, kelurahan sampai tingkat kebayanan (dusun). Karenanya ketika IKK masuk, tidak bisa tidak, tetap memiliki keterkaitan erat dengan pejabat lokal. Oleh karena itu jenis program yang dimunculkan sangat dipengaruhi oleh keberadaan para elit lokal.12 Tidak semua orang di kecamatan ini tahu tentang program IKK. Kepanjangan IKK juga tidak tahu. Terlalu sulit untuk menghapalkannya. “ ... Itu yang simpan pinjam itu kan mbak? PNPM Mandiri yang simpan pinjam...kalo IKK nggak tahu kok, kepanjangannya saja nggak tahu, kalau IKK kami dengar tapi nggak tahu apa itu..kami kan nggak tahu baca tulis mbak.”13
10
Pak Triman
11
Bu Sarinah
12
Secara gamblang dipaparkan dalam Kasus 2 Kec. Gondangrejo, berjudul Terjebak dalam Grup Elite Tertentu,, yang ditulis oleh Maria Dameria Swadesi
13
Disampaikan Ibu Ngatinah
36
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Ibu Ngatinah yang secara aktif mengikuti latihan lesung tidak tahu menahu tentang program IKK, yang ia tahu hanya berlatih dan mendapat undangan untuk tampil. Jika Bu Ngatinah yang terlibat saja tidak tahu, apalagi masyarakat umum yang menjadi penonton waktu latihan maupun pentas. Begitulah, apa dan bagaimana program ini, hanya menjadi pengetahuan para elit tingkat desa dan kecamatan. Beberapa kepala desa yang kami temui memahami program IKK hanya sebatas kesenian belaka. Atas kehadiran IKK, mereka memberi penilaian positif . “Dengan program IKK ini termasuk program yang positif karena salah satunya dengan adanya pemberian stimulan latihan yang menjadikan semangat anggota keroncong. Kedua secara tidak langsung kita bisa berlatih berputar dan menghibur masyarakat. Ketiga masyarakat itu haus hiburan dengan adanya masalah ekonomi, sore itu masyarakat berkumpul full. Pada prinsipnya tetap dengan program IKK banyak manfaatnya di bawah”14 “Itu rodat yang saya masukkan dalam IKK khususnya PNPM itu kesenian itu sangat langka. Kalau yang lainnya seni karawitan, seni tari itu kami kira banyak. Rodat itu masih langka. Ini masalah budaya rodat itu sudah sejak dulu. Karenanya adanya PNPM bagian dari IKK itu kok diperhatikan. Kaitannya budaya di IKK itu rodat itu karena merupakan seni yang sangat langka.“15 Program yang punya semangat pelestarian atau nguri-uri budaya jawi ini menjadi kunci pemahaman terhadap program. Dalam setiap sambutan pada acara latihan atau pementasan hal tersebut yang selalu ditekankan oleh setiap kepala desa. Sebelum sambutan berakhir biasanya terselip harapan, semoga bantuan ini akan berlanjut. Pada tingkat pelaku IKK, pemahaman kebudayaan mengalami pencarian yang cukup mendalam, terutama untuk memenuhi kebutuhan proposal di mana proposal merupakan salah satu tolok ukur untuk mengetahui sampai dimana pemahaman konsep program IKK. Pada awalnya, para pelaku tersebut mengerti bahwa kebudayaan berarti membangkitkan kelompok kesenian. Kemudian juga berhubungan dengan pengentasan kemiskinan seperti yang tercantum dalam PTO. “Pertama kali kan kita masih ragu-ragu, meraba-raba proposalnya akan seperti apa. Akhirnya kita menemukan, kita dipacu untuk menemukan sendiri. Akhirnya kebetulan saya pas mengerjakan tugas tentang kearifan lokal, saya baca dari jurnal internasional tentang budaya-budaya adanya orang Jawa punya gaya hidup bebrayan, itu hidup bersama berdampingan secara damai itu pernah kita alami pada waktu masa-masa lalu. Itulah yg kita cari. Akhirnya proposal itu kita wujudkan menemukan hidup bebrayan yang kini telah hilang berganti patembayan, hidup sudah tidak lagi jaman dulu misalnya gotong royong. Orang memilih tidak datang gotong royong, memilih untuk membayar saja. Sedang bebrayan itu dia datang ke situ dan kumpul dengan masyarakat. Patembayan itu bisa terkikis kembali ke arah bebrayan ... Urip bebrayan bisa diartikan sebagai hidup berdampingan, susah senang dilalui bersama tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan, khususnya uang. Urip patembayan yang diartikan sebagai hidup yang segala sesuatunya harus dikerjakan dengan uang (profit oriented). “16
14
Pak Haji Mukmin
15
Kepala Desa Bulurejo
16
Pak Bowo
37
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Namun sampai di mana konsep ini diterapkan dan ke mana arah program ini akan dibawa, nampaknya hal ini hanya sebatas konsep belaka. Di Kecamatan Gondangrejo istilah patembayan masih menjadi polemik, di satu sisi mengacu pada profit oriented, di sisi yang lain seperti yang diungkapkan oleh tim kreatif (yang juga seorang guru) menentang pemahaman tersebut. Kembali pada antuasiasme ibu-ibu kelompok lesung, barangkali benar bahwa kehidupan bebrayan bisa dicapai seperti tampak dari semangat mereka menghidupi kelompok lesungnya dengan rajin latihan dan rela iuran membeli seragam, tetapi hal ini kontras dengan situasi di mana tidak pernah ada transparansi tentang dana di sana. Jika memang ada semangat mengedepankan bebrayan dan menghilangkan patembayan seharusnya hal ini menjadi semangat yang dimiliki para elit penguasa lokal dan bukan untuk alat mobilisasi masyarakat. Para penguasa lokal justru mengharapkan turunnya dana dalam setiap sambutannya. Lalu benarkah bahwa harapan program ini akan menuju ke arah sana? Apakah pembangunan berkebudayaan yang dicita-citakan selalu erat dengan romantisme? Masyarakat desa bisa berkumpul tanpa harus berpikir uang dan dengan demikian menjadi lebih mudah dimobilisasi. Apa buruknya jika masyarakat desa berpikir ekonomi uang? Barangkali lebih tepat jika tembakannya adalah orang lebih mengutamakan individu. Seperti yang dikeluhkan PenLok, “Gondangrejo ini sudah kayak kota kok mbak, apa-apa dihitung dengan uang.” Suasana apa-apa dihitung dengan uang, terasa sekali di kecamatan Gondangrejo. Laporan Penggunaan Dana yang dibuat oleh UPK sangat persis dengan Rancangan Penggunaan Dananya. Ini agak lucu karena bagaimana mungkin penggunaan dana bisa sama persis dengan rancangannya. Kontrol atas uang yang diberikan pada masyarakat juga sangat lemah, terkesan ada “permainan“ yang sudah menjadi bahasa umum dan disembunyikan supaya tidak diketahui orang luar. Contohnya adalah ketika jadwal pelaksanaan Komponen I di kecamatan mundur karena tidak disetujui oleh seorang anggota DPRD. Menurut Sekretaris UPK, seorang polisi dari Polsek sempat datang dan berkata pada PenLok, “Kamu kok nggak tanggap tho nduk…” Maksud dari polisi tersebut adalah bahwa bapak DPRD tersebut meminta ‘amplopan’. Ketika akhirnya acara Gelar Citra Budaya berlangsung bapak DPRD tersebut meminta panitia untuk sowan sambil ngopi-ngopi. Jika demikian panitia sudah harus tanggap bahwa beliau minta “amplopan.“ Namun tidak satu orang pun yang kemudian datang ke rumahnya. Hal tersebut mencerminkan sesuatu yang miris sekali yang menimpa masyarakat kita. Penguasa, aparat pemerintah, dan kepolisian, adalah pihak-pihak yang justeru mengesahkan uang pelicin. Sudah menjadi bahasa awam bahwa semua harus dengan uang. Jangan-jangan PNPM Mandiri yang sudah sejak lama bergandengan mesra dengan kecamatan dan semua kelurahan juga dimintai upeti. Tentu saja itu hanya pertanyaan nakal dan di luar kewajiban kami untuk mengajukan pertanyaan itu, meski indikasi ke arah sana bisa di-endus. Tekad pelaku dan pengurus IKK untuk mengikis patembayan menjadi bebrayan adalah langkah maju dalam konteks sosial yang carut marut ini. Namun jangan sampai hal ini menjadi kontraproduktif, karena kami mendapati pelaku yang berteriak lantang tentang hal itu adalah orang yang pertama kali bertanya tentang uang saku. Satu hal yang kami nilai kontraproduktif adalah kebijakan untuk tidak membeli alat, namun di sisi lain, dana digunakan untuk konsumsi, sewa tikar, sewa sound system, yang menurut kami telah menghapus swadaya yang sudah ada di masyarakat. Akibat pelarangan itu, dengan kesadaran penuh para pelaku ‘memutar’ uang. Ungkapan seperti, “ini kan bisa-bisa nya kita” atau yang cukup jelas seperti, ”uang sewa kami kumpulkan untuk dibelikan alat”. Hal-hal ini agaknya menarik untuk dipikirkan dalam kerangka konsep pemberdayaan yang macam apa yang akan dilakukan program ini.
38
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Kasus 2 Kecamatan Gondangrejo
TERJEBAK DALAM GRUP ELIT TERTENTU Maria Dameria Swadesi Gondangrejo termasuk salah satu kecamatan di kabupaten Karanganyar yang kemajuan program IKK-nya tergolong cepat. Pemahaman pengurus IKK tingkat kecamatan mengenai konsep dan tujuan IKK pun lebih mendalam. Hal ini mungkin dikarenakan Gondangrejo juga merupakan salah satu dari tiga kecamatan yang menerima pelatihan IKK periode pertama di Jakarta. Selain itu diskusi dengan PenProv berlangsung lebih lancar karena Penprov Jateng juga berasal dari kecamatan ini. Pengurus IKK menemukan pemikiran untuk menggunakan kesenian sebagai alat untuk menghidupkan kembali budaya hidup “Bebrayan” yaitu tradisi gotong royong dan berkumpul bersama di desa. Kegiatan-kegiatan IKK pun berjalan selaras beriringan dengan acara-acara PNPM. Walaupun sempat terdengar ada permasalahan antara FK PNPM dan PenLok IKK (FK tidak memperpanjang kontrak kerja PenLok PNPM sehingga terdapat 2 orang PenLok di Gondangrejo, yaitu PenLok PNPM dan PenLok IKK), namun tidak ditemukan hambatan-hambatan kerja sama antara PNPM dan IKK. Jalannya program IKK di desa pun memperoleh dukungan dari perangkat desa, terutama kepala desa setempat. Kepala desa menanggapi adanya program ini dengan antusias dan banyak terlibat proses kreatif di desa. Sayangnya keterlibatan perangkat desa dalam program IKK terlalu mewarnai arah dan proses pelaksanaan IKK sehingga mengurangi peran masyarakat umum dalam proses kreatif IKK. Sebagian besar keputusan mengenai program di desa diambil oleh Kader Budaya dan Kepala Desa. Proses penyusunan proposal pun banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan pemikiran kepala desa atau bahkan kesukaan kepala desa terhadap kesenian tertentu. Contohnya: Desa Tuban mengusulkan kelompok seni keroncong sebagai kelompok seni yang akan dikembangkan. Ketika digali lebih lanjut ternyata usulan ini datang dari Kepala Desa Tuban yang
39
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
memang menyukai musik keroncong sehingga kelompok yang diajukan adalah kesenian keroncong walaupun di desa tersebut terdapat kelompok seni lainnya. Hal serupa terjadi di desa Rejosari yang mengangkat kesenian musik tradisional lesung. Usulan ini juga berasal dari Kepala Desa Rejosari yang memiliki angan-angan untuk menggiatkan kegiatan-kegiatan islami di desa tersebut menggunakan media lesung sebagai penarik massa. Sangat sedikit warga biasa yang memahami konsep dan esensi program IKK yang berjalan di desa mereka. Bahkan anggota kelompok kesenian di desa pun jarang yang mengetahui program IKK. Pengetahuan para anggota kelompok kesenian hanya terbatas, bahwa terdapat dana untuk program pelatihan kelompok kesenian desa dan mereka merupakan kelompok yang terpilih untuk didanai. Mereka kemudian diminta untuk latihan rutin selama 2 bulan sebagai persiapan untuk tampil pada acara Gelar Citra Budaya di kecamatan. Masyarakat biasa jarang yang berperan dalam IKK atau dilibatkan dalam proses pembimbingan/ pelatihan program IKK. Mereka biasanya hanya tahu kapan ada latihan seni di desa, ikut menonton acara-acara latihan ataupun pentas di desa, tapi tidak tahu menahu tentang program IKK, proposal kegiatan yang diajukan untuk desa mereka, apalagi tentang penggunaan dana dari IKK. Proposal sebagian besar disusun oleh Kader Budaya dan terkadang dengan masukan-masukan dari kepala desa, tanpa melalui diskusi terbuka dengan masyarakat ataupun kelompok kesenian. Peran dan pengaruh Kader Budaya, ketua kelompok seni, dan kepala desa sangat terasa dalam pengelolaan keuangan dana Komponen I di desa. Tanggung jawab dan kewajiban mengenai keuangan diserahkan oleh UPK kepada Kader Budaya dan kepala desa/ ketua kelompok kesenian. Dana yang diturunkan dari UPK harus diambil oleh Kader Budaya dengan disaksikan oleh kepala desa/ketua kelompok seni yang bersangkutan. “…pada saat pencairan dana, Kader Budaya harus didampingi dengan ketua kelompok seni. Bahkan awalnya maunya penerima manfaat harus langsung datang ke UPK, tapi karena kesibukan dan lain-lain, cukup diwakili ketua kelompok seni…”17 Mekanisme ini semula bertujuan untuk mengawasi penggunaan dana IKK dengan adanya saksi dari perangkat desa dan/ atau kelompok kesenian yang didanai. Namun sayangnya pada kenyataannya, mekanisme ini justru mengakibatkan terbatasnya akses dan transparansi dana di tingkat elit IKK (pengurus IKK tingkat kecamatan, Kader Budaya, Kepala Desa, dan Ketua Kelompok Kesenian). Namun penggunaan dana dan transparansinya malahan hanya terbatas pada pihak-pihak elit tersebut saja. Penggunaan dana Komponen I pun terkesan hanya memberi manfaat pada sebagian kecil orang saja tanpa menyentuh sasaran akhir program IKK itu sendiri. Dana sebagian besar digunakan untuk menyewa peralatan kesenian, yang mana pemilik peralatan tersebut biasanya merupakan perangkat desa, pemilik rumah dimana diadakan latihan kesenian, pelatih kesenian, ataupun kenalan para pengurus IKK atau perangkat desa. Sangat sedikit dana yang pada akhirnya dirasakan manfaatnya oleh anggota kelompok seni. Penggunaan dana pun jarang diketahui oleh anggota kelompok seni. “…tentang uang itu kita juga hanya mendengar dari pak Kader Budaya tapi juga tidak pernah melihat wujudnya…”18 “…dananya dipakai untuk melunasi utang ke kepala desa untuk biaya latihan, seperti sewa sound, sewa tikar, konsumsi latihan, juga listrik latihan…”19
17
Mas Mamat, Sekretaris UPK Ibu-ibu anggota kelompok seni lesung desa Rejosari, FGD Kecil, Rejosari 19 Triman, Kader Budaya Rejosari, FGD Kecil, Rejosari 18
40
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
“…pernah ditanyakan, dana yang di proposal kalau sudah turun akan digunakan untuk apa, ketua kelompok menjawab untuk uang transport… tapi hingga sekarang tidak pernah melihat wujud uang itu…”20 Kenapa Begitu? Penggabungan kegiatan IKK dengan acara-acara PNPM kemungkinan sedikit banyak mengakibatkan fenomena pengaruh kaum elit tersebut. PenLok IKK selalu menggabungkan setiap kegiatan sosialisasi dan musyawarah IKK dengan acara-acara PNPM Mandiri di desa. Misalnya, kegiatan sosialisasi kecamatan IKK dilakukan saat MAD Penetapan PNPM, sosialisasi desa IKK dilakukan saat Musdes PNPM di desa, ataupun pertemuan RT/RW dalam rangka membahas PNPM. Hampir tidak ada tahap kegiatan IKK yang berdiri sendiri kecuali kegiatan pelatihan Kader Budaya dan pembuatan peta budaya desa. PenLok juga selalu melibatkan unsur perangkat desa dalam proses sosialisasi dan musyawarah desa mengenai IKK dengan cara memberitahu atau menghubungi kepala desa secara pribadi untuk meminta dukungan dalam hal program IKK ini. PenLok juga berkeyakinan bahwa perangkat desa harus dilibatkan dalam program IKK untuk memobilisasi warga sehingga warga mau mengikuti kegiatan IKK. Sosialisasi yang selalu dilakukan dalam pertemuan-pertemuan PNPM di tingkat desa menyebabkan sedikitnya warga masyarakat yang hadir dan mengetahui adanya kegiatan IKK tersebut. Rancangan kegiatan desa dan peta budaya desa dibuat oleh pengurus tingkat desa dan kecamatan saja, kurang melibatkan masyarakat umum. Akibatnya? Fenomena keterlibatan sekelompok elit dalam masyarakat terkesan sudah terjadi sejak sosialisasi awal program IKK. Selama proses evaluasi di lapangan, terkesan bahwa masyarakat umum dan kelompokkelompok kesenian di desa tidak memahami konsep program IKK dan tema yang ingin dituju dalam proposal kecamatan Gondangrejo. Tema, konsep, mimpi, dan juga mantra yang tertera dalam proposal tidak tersosialisasikan kepada masyarakat dan hanya berlaku seperti kata-kata dalam proposal saja, tanpa aktualisasi di lapangan. Mungkin karena proposal tersebut disusun oleh pengurus IKK, tanpa berdiskusi dan musyawarah bersama dengan anggota masyarakat, sehingga sedikit masyarakat yang bahkan mengetahui mengenai tema program “…membangun kembali budaya bebrayan…”. Dalam kaitannya dengan pendanaan, program IKK dianggap sebagai proyek kegiatan desa yang dikelola oleh kepala desa dan Kader Budaya. Dana “proyek” ini pun sering tidak sampai ke masyarakat dan berhenti hingga lingkup kepala desa dan kenalannya saja. Hal lain yang tercatat adalah, karena “terjebak” dalam tingkat elit desa dan kecamatan, maka bila ada pihak yang posisinya lebih tinggi memutuskan sesuatu, maka bawahan harus mengikuti. Kasus ini sempat terjadi dalam acara pelaksanaan Festival Hari Kartini di Gondangrejo. Kasus di dalam Kasus: Penundaan Pelaksanaan Festival Hari Kartini Festival Hari Kartini sejatinya akan dilaksanakan pada tanggal 27 April 2009. Semua persiapan untuk pelaksanaan hari tersebut sudah dilaksanakan, dari menyewa segala peralatan sound system dan panggung, latihan kelompok-kelompok seni di desa, hingga meminta kelompok pembatik untuk segera
20
Pak Wakiman, anggota kelompok karawitan “Ngudi Laras”, desa Selokaton
41
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
menyelesaikan pelatihan mereka sehingga dapat memamerkan batik hasil pelatihan tersebut pada pameran hari Kartini. Namun beberapa hari sebelum hari H, didengar kabar bahwa salah seorang anggota DPRD Karanganyar meminta agar pelaksanaan perayaan hari Kartini ditunda. Alasan yang diajukan adalah karena rangkaian perayaan tersebut berdekatan dengan Ujian Nasional tingkat SMA. Padahal sebelumnya, semua perijinan untuk melaksanakan acara tersebut sudah disetujui, dari meminta ijin di kecamatan hingga ijin di kantor kepolisian setempat. Permintaan penundaan ini dilakukan secara langsung oleh anggota DPRD tersebut kepada Camat Gondangrejo. Atas permintaan ini pun, Camat langsung meminta pengurus IKK dan UPK untuk memundurkan jadwal pameran. Walaupun dengan berat hati, panitia dan seluruh masyarakat akhirnya menyetujui penundaan tersebut. “Kemarin sudah siap digelar, kajang-kajang sudah dipasang tapi mau nggak mau harus ditunda karena ada keluhan dari anggota masyarakat karena pelaksanaannya bareng dengan UAN sudah ada karnaval umum, instansi-instansi sudah. Kemarin waktu dibatalkan ada yang ke sini menunda. Rencana Senin tanggal 20, tanggal 18 itu disuruh menunda. Pak Camat sendiri yang mengatakan kalau bisa ditunda. Rugi 1,8 juta. Kajang sudah dipasang tapi ya belum semua, baru tempatnya. Nggak mau tahu Pak Camat. Pak Camat suruh nunda, nggak mungkin pak, ya sudah yang penting nggak mengganggu, ternyata ada keberatan dari DPRD katanya ada keluhan dari masyarakat ” 21 “…mau bagaimana lagi mbak? Kan yang minta juga pak DPRD, kita tidak bisa apa-apa… Itu juga permintaan langsung ke Pak Camat lalu Pak Camat memerintahkan untuk menunda pelaksanaan. Padahal sudah hampir hari H. Kecewa juga, tapi ya mau bagaimana lagi…” 22 Di kemudian hari, sempat tercetus bahwa kemungkinan anggota DPRD tersebut mendengar ada kegiatan kesenian yang diadakan tanpa sepengetahuannya, dan meminta jatah “amplop” kepada pengurus IKK. “…katanya diundur karena permintaan anggota DPRD dari PPP, Pak Romdhoni. Alasannya karena bersamaan dengan pelaksanaan ujian nasional. Tapi kata pak polisi yang datang ke UPK katanya mungkin pak Romdhoni minta bagian…” 23 Analisis Singkat Kasus keterlibatan kelompok elit di Gondangrejo cukup mengkhawatirkan karena ternyata proses kreatif dan demokratis yang diharapkan muncul dalam program IKK ini malahan terjebak dalam lingkup birokratis desa dan kecamatan. Harus diakui bahwa hubungan baik dan dukungan dari perangkat desa dan kecamatan akan sangat berpengaruh terhadap jalannya program di tingkat masyarakat desa. Namun yang perlu diberi perhatian adalah mekanisme hubungan antarkomponen tersebut (pengurus IKK, masyarakat umum, perangkat desa/kecamatan). Sebenarnya struktur dan mekanisme PNPM sudah berusaha untuk mencari hubungan antar komponen tersebut dengan secara eksplisit tidak memasukkan komponen perangkat desa/kecamatan dalam struktur pengambilan keputusan, namun tetap melibatkan mereka dalam proses musyawarah antar desa maupun musyawarah desa sebagai peserta dan saksi dari kalangan birokrat. Mungkin sistem ini dapat diterapkan untuk IKK dan posisi perangkat desa/ kecamatan dijelaskan secara eksplisit dalam PTO.
21
Pak Edi
22
Pak Warno, Tim Kreatif
23
Mas Mamat, Sekretaris UPK
42
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Kasus 1 Kecamatan Plupuh
BERUBAHNYA FOKUS DARI DESA KE KECAMATAN Agung Haryanto
Antusiasme masyarakat dalam melaksanakan program IKK di kecamatan Plupuh tampak pada banyaknya usulan dan besarnya ajuan dana di tahap I. Usulan Pertama ini sebanyak 58 usulan dengan nilai dana yang diajukan mencapai 2 milyar rupiah.24 Besarnya dana PNPM Mandiri yang dialokasikan di Kecamatan Plupuh tahun 2008 mencapai 2 milyar. Awal pertama, besarnya dana ini dianggap unlimited. Dengan harapan yang besar itu, setelah melalui tahapan identifikasi budaya, pemetaan budaya dan sebagainya, dilakukan verifikasi atas usulan kelompok-kelompok yang mengajukan pendanaan tersebut. Verifikasi dilakukan dengan mengunjungi masing-masing kelompok kesenian. Kelompok kesenian itu menampilkan atau mementaskan karyanya dalam proses verifikasi. Hasil identifikasi budaya ini kemudian diusulkan menjadi berbagai kegiatan kepada Yayasan Kelola. Namun usulan itu ditanggapi berbeda oleh Yayasan Kelola atau World Bank. Ini merupakan masalah dalam menafsir PTO, mengingat training yang dilaksanakan untuk pelaku IKK di kecamatan dianggap tidak mencerahkan dan tidak membekali peserta dengan alat dan teknik melaksanakan kegiatan di lapangan. Training itu dianggap terlalu banyak permainan dan PTO hanya diserahkan dalam bentuk buku untuk dibaca dan dipahami oleh masing-masing peserta.
24
Laporan Bulanan PNPM Budaya Kecamatan Plupuh, Oktober 2008
43
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
“Yang namanya training itu mestinya membuka cakrawala, membuka gagasan dan memberi cara, alat alat. Namun yang saya dapatkan hanya permainan saja dan pulang membawa buku. Saya kira bukan begitu training yang baik itu. Sama-sama membaca buku tapi hasil satu dengan orang yang lain berbeda.” 25 Oleh karena itu terjadi penafsiran yang berbeda terhadap PTO itu. Dirasakan ada kesulitan dalam menafsirkan PTO. “Kita memang dibantu oleh PTO. Tetapi, diktum-diktum yang telah ditetapkan di PTO ternyata di lapangan meleset.” 26 “PTO itu abu-abu. Membaca PTO itu sulit dan lalu kami bertanya-tanya mengapa bisa menjadi seperti ini.” 27 Perbedaan dalam penafsiran PTO ini menimbulkan beragam implikasi. Pertama adalah bergesernya fokus kegiatan di desa menjadi kegiatan di kecamatan. Kedua, implikasi pada besarnya dana yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan tersebut. “Usulan yang pertama itu dananya sampai 2 milyar lebih. Lalu dari Jakarta muncul informasi jika per kegiatan di Komponen II, itu yang pertama 5.400.000. Lalu kita kalikan 6, maka akan ada hasil sekitar 30 juta lebih. Akhirnya ada petujuk dari Jakarta, untuk Komponen II dananya hanya Rp 21.600.000. Proposal yang masuk ke Jakarta ada 6 kegiatan. Maka ada kegiatan pentas wayang kulit Rp 5.000.000 all in mana ada itu.”28 Para pelaku IKK berusaha mengikuti tenggat waktu yang telah ditetapkan dalam PTO. Namun sistem administrasi program telah menimbulkan masalah bagi IKK di kecamatan dalam melaksanakan kegiatan yang direncanakan di Komponen II. “Dana untuk kegiatan MDST itu sesungguhnya belum turun, tetapi kami sudah berani untuk melaksanakannya. Kerena persetujuannya sudah turun, kami cari pinjaman dari luar. Ini kami lakukan karena MDST-nya sudah hampir lewat. Kami takut melewati tenggat waktu yang ditentukan oleh Kelola.”29 Penafsiran PTO juga telah menyebabkan bergesernya fokus kegiatan dari desa ke kecamatan. Pelatihan batik yang semula akan dilaksanakan di masing-masing desa kemudian dipusatkan di tingkat kecamatan. “ .... Komponen I kan difokuskan ke desa, tetapi ternyata dipusatkan di kecamatan. Termasuk Komponen II juga. Banyak yang kecelik. Keceliknya karena begini, desa banyak yang sudah mempersiapkan ....” 30
25
Trisutrisno, UPK Kecamatan Plupuh
26
Sunardi, Penlok PNPM Kecamatan Plupuh
27
Waluyo, Kader Budaya, Desa Gentan
28
Sunardi, Penlok IKK, Kecmatan Plupuh
29
Sunardi, Penlok IKK, Kecamatan Plupuh
30
Waluyo, Kader Budaya Desa Gentan
44
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Perubahan fokus dari desa ke kecamatan, disebabkan oleh penjelasan yang berasal dari World Bank.31 Namun terdapat juga pendapat bahwa perubahan ini karena adanya memo dari Yayasan Kelola. “PTO itu gugur karena memo dari Kelola. Jadi, perubahan dari desa ke kecamatan itu terjadi karena, saya ditelpon Mas Paul, disuruh memilih yang mana antara usulan 6 desa saja yang dikabulkan atau kegiatannya dilaksanakan di kecamatan. Saya berpikir dari pada nanti rame karena hanya sedikit desa saja yang dapat, saya pilih di kecamatan saja ...” 32. Perubahan itu menimbulkan kesulitan. Salah satu kesulitannya adalah bahwa dalam PTO, di mana jika kegiatan itu dilaksanakan di desa maka harus dilaksanakan Musyawarah Desa Serah Terima dan Musyawarah Desa Pertanggungjawaban. Bagaimana dengan kegiatan IKK yang semula dilaksanakan di desa tetapi kemudian dipindah ke kecamatan? Bagaimana serah terima dan pertanggungjawabannya? “Yang jadi masalah, IKK ini mengadopsi PNPM Mandiri, yang di situ salah satu kegiatannya adalah MDST dan Musdes Pertanggungjawaban. Lalu, yang mau diserahterimakan itu apa, dan bagaimana mempertanggungjawabkannya. Kami belum menemukan formulanya. Kita kan tidak memberi kontribusi apa-apa ... Tetapi ketika Komponen I itu dilaksanakan di kecamatan lalu bagaimana? Memang, PTO itu masuk akal, tapi pusingnya kan di situ. Jelas, itu mandeg dan tidak dapat dilaksanakan. Padahal Musdes Pertanggungjawaban itu sebanyak Rp. 8.100.000. Mungkin nanti dirubah dari Musdes Serah terima menjadi MAD serah terima. ...”33
31
Waluyo, Kader Budaya Desa Gentan
32
Trisutrisno, UPK Kecamatan Plupuh
33
Trisutrisno, UPK Kecamatan Plupuh
45
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Kasus 2 Kecamatan Tawangmangu
ENERGI ORANG MUDA MENUJU REKONSILIASI Nining Sunartiningsih Ketegangan antara tradisi dan agama telah menjadi perdebatan panjang yang tidak ada ujung sejak sekian lama. 34 Setua Babad Tanah Jawa mencatat awalnya Islam memberikan pengaruh melalui kerajaan Demak. Sering juga tradisi dan agama didudukkan bersama seperti Sunan Kalijaga dan wayang kulit, Betara Katong dan Reyog Ponorogo. Di sisi yang lain, agama berusaha keras menggunakan idiom tradisi untuk ditumpangi. Sering terdengar bagaimana seorang kyai menggunakan kesenian sebagai media dakwah. Akhirnya munculah banyak kesenian yang telah mengalami perubahan, tempelan dan ‘hiasan’ corak keislaman yang terkadang terkesan dipaksakan. Lalu apakah akulturasi terjadi seperti diceritakan Sunan Kalijaga dalam lagu ilir-ilir? Ataukah agama sedang menunggangi kesenian-kesenian sebagai pembawa pesan? Perdebatan yang sudah uzur ini masih menjadi dilema di desa-desa kita hingga saat ini. Kehidupan Tradisi di Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu adalah salah satu tujuan wisata paling popular di Propinsi Jawa Tengah setelah Candi Borobudur. Udaranya yang sejuk, air terjun, gunung beserta pemandangannya yang indah telah menjadi tempat pilihan untuk berlibur bahkan sejak jaman Belanda. Selain sebagai tempat wisata, Tawangmangu menjadi persinggahan terakhir bagi petualang yang mendaki Gunung Lawu. Namun di sela-
34
Kata tradisi vs agama ini saya ambil dari ungkapan ketua Tim Kreatif Harwono
46
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
sela pegunungan dan rindangnya pohon-pohon juga terdapat tempat-tempat pertapaan yang sering dikunjungi masyarakat umum maupun petinggi negeri untuk tujuan-tujuan tertentu seperti tetirah, ngalap berkah, mencari pesugihan ataupun agar enteng jodoh. Kerap terdengar cerita petinggi negeri ini datang ke situ, atau si itu datang ke sini. Jika dilihat secara kasat mata, Tawangmangu tak ubahnya sebuah kota dan bukan lagi sebuah desa. Bagaimana tidak? Rumah-rumah mewah menghiasi setiap bukit, lereng dan lembahnya. Dari rumah tipe Jawa, Belanda, klasik, modern, minimalis dan art deco, semua tersedia di sini. Berjalan-jalan di sana tidak hanya menikmati pemandangan alamnya namun juga menikmati arsitektur dari jaman ke jaman. Sambil berusaha mencuri pandangan kehidupan macam apakah yang ada di dalamnya? Kehidupan di rumahrumah mewah itu mayoritas hanya bersifat temporer, yang hanya dihuni beberapa waktu untuk peristirahatan saja. Rumah-rumah kosong ini berada di antara hiruk pikuk kehidupan pedesaan. Hampir setiap desa memiliki rumah ‘mewah’ yang dimiliki bersama yakni masjid dan satu lagi punden (tempat upacara dan mengirimkan sesaji). Namun rumah yang kedua ini tidaklah semegah rumah pertama. Terkadang di setiap desa terdapat beberapa punden dan setiap punden memiliki upacara yang berbeda. Seperti di Kelurahan Kalisoro terdapat tidak kurang 3 punden. Di dusun Pancot Lor dilangsungkan upacara Modosiyo sedang di dusun Nglebak dilakukan upacara Julungan, juga digelar upacara yang lain Ruwahan, Suran dan bersih desa. Keberadaan punden-punden ini sering dihubungkan dengan sejarah nenek moyang pendiri desa/dusun setempat. Sebagian besar masyarakat masih menjunjung tinggi tradisi dan adat yang berhubungan dengan keberadaan punden. Sebagian orang bahkan anak muda sering menyebutnya dengan istilah ‘kyai’. Seperti ketika beberapa anak muda bercanda tentang mitos perjodohan yang berlaku, Sadiyono menyelutuk, “dari mbah kyai dulu nggak ada sejarahnya orang Blumbang dapat orang Pancot, itu pantangan tidak akan jadi ...” Mbah kyai tetua dan pendiri desa itu sering sekali menjadi bumbu cerita yang setiap saat ditemui saat berkeliling beberapa desa. Kepercayaan ini masih sedemikian kuat hidup dalam benak dan hati masyarakat pendukungnya, sehingga jangankan meninggalkan upacara, melanggar ketentuannya saja bisa berakibat fatal. “Di Dusun Pancot sini dulu ada seorang buto (raksasa), dia punya babu (pembantu) kebetulan pada saat masak jari manisnya teriris bersama masakannya, buto merasakan enak. Akhirnya setiap waktu tertentu ia minta daging manusia. Ada mbok rondo punya 1 anak yang akan dijadikan tumbal. Mbok rondo menangis terus, sambil memandikan anaknya ia terus menangis. Kemudian terdengar oleh Prabu Boko, akhirnya Prabu Boko memutuskan untuk menggantikan anak mbok rondo sebagai tumbal. Ia didandani untuk dibawa kehadapan buto, sesampai di sana ia melawan buto tersebut dan akhirnya sang buto kalah, buto disebrakke(dibanting) ke Watu(batu) Gilang dan hancur berkepingkeping. Prabu Boko berkata, karena ia telah makan manusia maka biarlah ia badannya berserakan disitu, dikubur di tanah itu untuk menjadi makanan manusia kembali ( dalam wujud hasil pertanian). Prabu Boko meminta ada ayam yang dikorbankan setiap Selasa Kliwon juga air tape dan kesenian. Danyange (penunggunya) kesenangannya minta reyog. Karenanya setiap Suro Seloso Kliwon kami tidak berani meninggalkan upacara itu, kita minta tentrem, bertani jadi(berhasil), hidup juga jadi.”35 “lakon wayangnya keliru jadinya setelah bersih desa banyak orang sakit kena pagebluk dan meninggal. Terus yang masih hidup memutuskan pindah desa. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas rumahnya dan sekarang benar-benar kosong tidak ada desa
35
Mbah Slamet, 20 Mei 2009
47
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
lagi.”36 “Menurut kepercayaan acara ini harus tetap dilakukan, kalau tidak seperti yang terjadi di desa Blumbang ketika tidak melakukan Modosiyo akhirnya beberapa rumah tertimpa bencana angin ribut.”37 Cerita Mbah Slamet ini mengisyaratkan bagaimana eratnya hubungan tradisi dengan masyarakat pendukungnya. Melakukan upacara adalah sebuah keharusan dan meninggalkannya berarti akan mengundang malapetaka. Apakah benar semua orang berpencapat demikian? Orang muda yang relatif lebih terbuka dan mengenyam dunia pendidikan pun memiliki pendapat yang sama bahwa upacara itu tidak mungkin untuk ditiadakan. Meski posisi mereka ketika upacara hanya sebatas menjadi penonton saja. Beberapa orang muda bahkan lebih meminati campur sari dan dangdut daripada reyog yang dianggap begitu-begitu saja. Tradisi Vs Agama Pada bulan Februari tahun 2007 pecah sebuah konflik SARA di dusun Pancot Lor, Desa Kalisoro. Benihbenih konflik ini sudah tersimpan beberapa waktu yang akan bisa meledak di lain waktu bak bom waktu. Benih konflik itu di antaranya munculnya jamaah pengajian yang membuat orang Islam memiliki penampilan yang berbeda. Bagi laki-laki memelihara jenggot dan menggunakan celana panjang di atas mata kaki, sedangkan bagi perempuan menggunakan jubah yang longgar dan jilbab yang panjang. Penampilan yang berbeda ini sebenarnya tidak banyak mempengaruhi pergaulan sehari-harinya. Lambat laun anggota jamaah itu semakin besar seiring dengan kehadiran para pendatang. “Sekitar 30 persen mbak, kalau di Dusun Pancot sini.” Begitu ungkap seorang warga. Bagaimana hitungan 30 persen ini bisa muncul? Apakah mereka benar-benar menghitungnya? Karena ketika ditanyakan jumlah tidak bisa memberikan jawaban. Ini adalah hitungan kira-kira saja, begitu beberapa orang menambahkan. Anehnya angka ajaib ini menjadi lazim saya dengar dari berbagai orang. Terkadang jumlah ini juga menjadi pembanding bagi wilayah lain. “Kalau di Pancot sini sebenarnya cuma 30 persen saja mbak, tapi kalau di Blumbang 50 persen. Di sini ini banyak Islam berbagai golongan di Blumbang itu malah sudah 50 persen tapi tidak apa-apa, gak pernah berkonflik. Di Kelurahan Kalisoro sini juga ada Ahmadiyah, ada masjid dan jamaahnya.” 38 Keberadaan beberapa aliran dalam Islam seperti jamaah Ahmadiyah tidak pernah menimbulkan gejolak apapun. Bahkan ketika aliran ini di Jawa Barat dan Jakarta ditentang keras, tidak terjadi apa pun di sini. Masyarakat justeru menjaga jamaah Ahmadiyah dari serbuan kelompok Islam yang lain. Penghargaan atas perbedaan ini seolah menjadi jaminan demokrasi yang hidup dalam masyarakat. Tetapi tunggu dulu, hidup tak lagi menjadi harmonis manakala ada satu pihak yang terusik. “Waktu itu awal mulanya di pengajian itu dikatakan tidak boleh melakukan adat. Tidak boleh mengirim sesaji apalagi membakar kemenyan di punden. Itu musyrik. Saat itu juga pengajian langsung pecah... Banyak yang tidak percaya (ora nggugu), satu per satu orang nggak mau ngaji lagi karena nggak boleh lagi ke punden.” 39
36
Bu Samini, 21 Mei 2009
37
Pak Sularno, 22 Mei 2009
38
Sadiyono, 20 Mei 2009 Pak Sularno, 22 Mei 2009
39
48
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
Larangan ini menjadi awal munculnya konflik-konflik kecil yang menyertainya, masyarakat seperti terusik dengan hal itu. Dan perlahan masing-masing pihak mengibarkan bendera permusuhan. Konflik selanjutnya mulai terjadi ketika dalam suasana seperti itu akan dilangsungkan upacara Modosiyo. Meskipun telah menjadi warga masyarakat di desa tersebut, namun anggota jamaah ini menolak untuk ikut membayar iuran apalagi kerja bakti. Kondisi agak memanas karena beberapa orang bereaksi keras dengan tidak ada partisipasi dari mereka. “Ada acara ritual bersih desa, Ruwahan sama Suran. Pada waktu itu ditetapkan swadaya Rp 30.000 – Rp 50.000 ada keputusan lingkungan disosialisasikan ke lingkungan. Ada warga yang tidak mau karena tidak sesuai dengan keyakinannya. Dulu 5 tahun yang lalu itu sudah pernah terjadi ribut warga yang tidak umum (tidak mau iuran) rumahnya dilempari batu. Dua tahun yang lalu bentrok lagi.” 40 Konflik berhasil diredamkan tidak membesar meski gerundelan, gossip dan berita burung masih saja dihembuskan. Suasana panasnya pergesekan ini juga mengerucut pada konflik antar personal. Orang mulai menandai siapa-siapa saja yang paling bersuara nyaring dari kubu lawan dan pada beberapa kesempatan sengaja ‘menyerang’. Setiap 3 tahun sekali dilakukan upacara Modosiyo secara besar-besaran, dan pada saat itulah konflik pecah. “Pada waktu itu malam Selasa akan dilaksanakan, maka hari Minggu kerja bhakti. Sore jam 15.00 ada yang mengusulkan untuk menembok punden tempat acara ritual. Jam 5 sore akhirnya punden itu ditembok yang ternyata juga menutupi akses jalan ke rumah bapak Agung, yang orang MMI 41 itu. Terus suasana panas. Malam itu jaringan MMI itu mungkin sudah dikontak, terus mereka berdatangan. Jam 03.00 pagi mereka menculik 7 orang panitia Modosiyo. Setiap pasukan menculik satu orang, persis kayak PKI itu. Satu pasukan mengambil satu orang itu dipukuli terus di bawa ke masjid. Ada yang dipukuli di rumah terus diseret ke masjid, Ada yang dipukuli di masjid. Yang paling parah 2 orang: pak Mano dan pak Sular, paling keras dihajar. Pak Sular itu pak Bayan Pancot Lor. Dari 7 orang hanya 1 orang yang tidak berhasil ditemukan yaitu pak Slamet. Sampai jam 6 pagi mereka masih cari. Kalau katanya dia itu hanya bersembunyi di balik pintu, mungkin kalau orang dulu itu kan punya ilmu itu. Kalo pak Sular itu sembunyi, sampe lama gak ketemuketemu terus keluarganya diancam mau dibunuh, dimasukkan jurang akhirnya dia keluar, habis dipukuli dia … sampai masuk RS di Solo 3 hari. Mereka iru pakai baju putih-putih terus wajahnya ditutupi hanya kelihatan mata dan mulutnya itu ... jadi gak ada yang tahu itu siapa. Banyak keluarganya yang trauma, anak istrinya itu pada njerit-njerit. Rumahnya diedor-gedor, kacanya pecah. Persis kayak PKI42 itu kok ... tapi itu katanya, soalnya saya tertidur pulas kok.”43 “Kalo menurut saya itu seperti ada yang menyuruh gitu lho mbak … menyuruh supaya pecah, jadi rame gitu ... Wong saya tahu habis magrib itu Kepala desa saya sudah di sini kok. Tapi saya cari nggak ketemu itu.. Polisi sama Koramil itu juga sudah datang sejak
40
Harwono, 19 Mei 2009
41
MMI : Majelis Mujahidin Indonesia, menurut informan gerakan ini dipengaruhi dari Solo segaris dengan gerakan yang dipimpin Ustadz Abu Bakar Baasyir.
42
PKI yang dibayangankan informan adalah seperti penggambaran film G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer yang dibuat pada masa emasnya Orde Baru.
43
Harwono, 19 Mei 2009
49
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
sore…mosok kayak gitu kok bisa pecah, tapi ini menurut saya lho mbak. Mereka (Islam garis keras) itu sudah berkumpul, mungkin ada sekitar 500 orang. Jam 03.00 pagi itu juga ada Koramil dan polisi. Pak Sular itu tokoh yang vokal, dia itu DPC PDIP Pancot. Dia sampai dibawa berobat ke Solo saking parahnya.” 44 Peristiwa ini akhirnya sampai ke meja hijau, 4 orang yang dituduh menjadi otak dibalik konflik tersebut dijatuhi hukuman 6 bulan penjara. Peristiwa ini begitu membekas bagi keluarga korban dan seluruh masyarakat. Ketika saya sempat bertandang ke rumah Mbah Slamet, seorang korban. Begitu saya masuk, anak-anak dan cucu Mbah Slamet memancarkan tatapan mata waswas, tanda tanya, dan curiga. Beberapa orang yang saya wawancarai tentang konflik ini seperti Harwono dan Pak Sularno mengaku tidak melihat secara langsung peristiwa tersebut karena tertidur. Tidak berapa lama setelah peristiwa tersebut, Pak Camat ditarik dan dipindahtugaskan. Beberapa orang bahkan mensinyalir keberpihakan Pak Camat pada kelompok Islam garis keras tersebut. Tidak jauh berbeda dengan nasib Pak Lurah ia kemudian di demo oleh masyarakat karena dinilai kinerjanya tidak memuaskan. 45 Semua orang saling membicarakannya dalam diam. Kesan bahwa ingin melupakan dan mengubur peristiwa ini dalam-dalam sangat kuat saya rasakan. Seorang informan bahkan memberi pesan kepada saya supaya jangan masuk wilayah itu jika melakukan wawancara. “Tanya saja tentang kesenian itu nggak papa mbak asal jangan yang itu. Kalau sama saya nggak pa pa tapi kalau sama orang lain lebih baik jangan dibuka.” 46 Beberapa pihak pernah ingin mencari jalan tengah untuk membincangkan peristiwa ini dengan lebih dingin dalam sebuah forum diskusi. Forum ini diprakarsai sebuah paguyuban yang berkantor di Hotel Tejomoyo, dengan mengundang wakil dari tradisi dan wakil dari golongan Islam dan sebagai narasumber dari Universitas Sebelas Maret. Pihak ketiga ini penting untuk melakukan pembacaan atas konflik yang terjadi dan bagaimana menarik pada konteks yang lebih besar kehidupan politik dan bernegara. Diskusi berlangsung di Hotel Tejomoyo, namun pembicaraan tidak berimbang karena forum lebih banyak didatangi wakil dari tradisi sedangkan wakil dari kelompok Islam tidak banyak yang datang. Fenomena pertentangan tradisi dan agama ini tentu menjadi hal mendasar yang perlu difahami untuk melihat bentuk program IKK dijalankan di kecamatan Tawangmangu. Dari ketiga tempat yang diteliti di Jawa Tengah kasus tarik ulur dengan agama hanya terjadi di sini. Lalu bagaimana program IKK ini berjalan? Energi Rekonsiliasi dari Orang Muda Satu hal yang membuat kecamatan Tawangmangu istimewa adalah terlibatnya orang muda dalam hampir keseluruhan program IKK, ini yang tidak kami dapati di dua kecamatan sebelumnya. Energi orang muda ini tentu membawa angin segar karena bisa memacu spirit, antuasiasme dan orientasinya. Tentu saja tidak dipungkiri kalau semangat orang muda termasuk pula semangat menggaet lawan jenis dari berbagai event dan acara yang digelar. Tidak bisa dipungkiri ini menjadi obrolan lain yang tidak kalah menarik dan tidak kalah serunya mewarnai bagaimana spirit dibangun antarkelompok, antardusun dan antardesa. Dominasi orang muda dalam kepengurusan ini dari tingkat kecamatan baik itu pengurus UPK, Tim Kreatif dan
44
Wawancara Pak Sularno, 22 Mei 2009
45
Desa Kalisoro masuk dalam kategori desa dalam kota sehingga posisi kepala desa atau lurah adalah posisi penugasan dari pemerintah
46
Pak Sularno, 22 Mei 2009
50
Kumpulan Kasus Jawa Tengah
sepasukan Kader Budaya. Kader Budaya di Kecamatan Tawangmangu ini adalah sebuah tim yang terdiri dari satu orang Kader Budaya dan 4 orang Tim Penulis Usulan. Semangat anak muda ini pulalah yang memungkinkan untuk memutar otak berjuang keras agar acara berlangsung sukses meski dana belum ada di tangan. Kadang merayu dan sedikit memaksa camat atau pemerintah desa agar mereka turun tangan membantu. Atau membuat pihak kabupaten jatuh hati pada program ini. Pada dasarnya mereka melangkah lebar ke segala arah membangun jaringan. Di antara sedikit anak muda, terdapat beberapa anggota Tim Penulis Usulan yang pernah menjadi anggota jamaah Islam yang berhaluan agak keras. Tentu saja ini menyenangkan karena beberapa orang ini tidak hanya asal ikut kegiatan namun terlibat secara intens dalam event Komponen I yakni Rumah Ngenger. Ketika dalam satu kesempatan saya berbincang dengannya, dia punya pendapat lain mengenai hal ini. “Kalau yang kelihatan begini ini malah sebenarnya tidak terlalu keras mbak, tapi ada yang penampilannya biasa saja tidak berubah tetapi secara ideologi dia sangat keras itu ada dan malah lebih berbahaya.” 47 Lalu bagaimana dan di mana kegiatan IKK ini mengambil peran? Ketika IKK datang memang ketegangan konflik tersebut masih terasa panasnya. Seperti wilayah lain yang memusatkan kegiatan hanya untuk kesenian saja, begitu pula di Tawangmangu. Wilayah tradisi dan adat luput dari perhatian. Hanya beberapa event dalam Komponen II yang menjadi satu dengan pelaksanaan Julungan. Itu pun tidak di dusun Pancot Lor. Di Dusun Pancot Lor sendiri tidak banyak orang tahu tentang program IKK. Bahkan ketika saya datang ke rumah Mbah Slamet, seorang tokoh budaya, Tim Kreatif harus terlebih dahulu memberikan pengantar tentang program ini. Keterlibatan dusun ini hanya sebatas pada kemunculan kelompok reyog Singo Gilang Mudo. Kelompok reyog ini terdiri dari sekelompok anak sekolah dasar yang sudah berlatih reyog di sekolahnya namun belum memiliki kelompok. Atas ide Tim Kreatif, dibantu pengurus reyog Singo Gilang, akhirnya dibentuklah kelompok ini. Melibatkan anak-anak adalah sebuah strategi yang secara khusus menjadi perhatiannya. Ia selalu bilang ini atas nama regenerasi. Sebuah upaya untuk memulihkan dan memilih tradisi namun tidak mau juga terbaca keterlibatannya. Lagi-lagi sebuah kehati-hatian. “Bagaimana mereka bisa lupa tentang konflik yang pernah terjadi. Supaya hubungannya bisa baik lagi”, ungkap Sadiyono.
47
Agus, 23 Mei 2009
51