SUMBER-SUMBER BURNOUT DAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA MAHASISWA
Tabah Aris Nurjaman Mahasiswa Psikologi Universitas Paramadina
Abstrak
Fenomena burnout dan prokrastinasi sudah merambah ke bidang pengajaran, sehingga berdampak buruk terhadap pelajar. Penelitian ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai uraian sumber-sumber burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Metode yang digunakan penelitian ini adalah studi literatur, yaitu dengan menguraikan hasil penelitian-penelitian terdahulu mengenai burnout dan prokrastinasi akademik. Studi literatur ini menemukan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menimbulkan munculnya burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa, yaitu perfeksionis, minat belajar, dan self efficacy. Kata Kunci: Burnout, Prokrastinasi Akademik, Mahasiswa. Daftar Pustaka: 27, 1977-2012.
Abstract
The phenomenon of burnout and procrastination has penetrated into the field of education, which adversely affects students. This study aims to provide information about the description of the sources of burnout and academic procrastination in college students. The research method used is the study of literature, namely by describing the results of previous studies on burnout and academic procrastination. The literature review found that there are three factors that can lead to the emergence of burnout and academic procrastination in college students: the perfectionist, interest in learning, and self-efficacy. Keywords: Burnout, Academic Procrastination, Students. Bibliography: 27, 1977-2012.
1
Pendahuluan Mahasiswa pada dasarnya tidak dipekerjakan oleh universitas, namun kegiatan mereka terstruktur dan sering koersif, seperti menghadiri kelas perkuliahan dan mengerjakan tugas (Hu dan Schaufeli, 2009). Secara garis besar, tugas-tugas akademik bagi mahasiswa ditentukan oleh Kementrian Pengajaran Nasional, seperti jumlah SKS, batasan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), batasan waktu perkuliahan, pembuatan makalah yang diterbitkan, dan tugas akhir/ skripsi. Pasal 5 pada Keputusan Menteri Pengajaran Nasional, Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pengajaran Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa menyebutkan bahwa beban studi program sarjana sekurang-kurangnya 144 SKS dan sebanyak-banyaknya 160 SKS yang dijadwalkan untuk 8 semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 8 semester dan selama-lamanya 14 semester. Kemudian pada Pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa syarat kelulusan program pengajaran ditetapkan atas pemenuhan jumlah SKS yang disyaratkan dan IPK minimum 2,00. Jumlah SKS yang harus dipenuhi bergantung pada ketetapan masing-masing perguruan tinggi yang didasarkan pada Pasal 5. Surat Keputusan Kementerian Pengajaran dan Kebudayaan, Nomor 152/E/T/2012, tanggal 27 Januari 2012 menambahkan bahwa untuk lulusan program sarjana mahasiswa harus menghasilkan makalah yang diterbitkan pada jurnal ilmiah. Jacob dan Dodd (2003) menyebutkan bahwa beban akademik yang berlebihan dapat menimbulkan
burnout
pada
mahasiswa.
Rostami,
Abedi,
dan
Schaufeli
(2012)
mendefinisikan burnout sebagai perasaan lelah karena tuntutan belajar, timbulnya perasaan sinis pada materi perkuliahan, dan merasa canggung sebagai pelajar. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penelitian mengenai burnout bertambah pesat dan meluas ke hampir setiap pekerjaan, dan bahkan bidang non-pekerjaan, seperti pelajar. Meskipun pada umumnya pelajar tidak bekerja dan tidak memiliki pekerjaan, namun perspektif psikologis melihat bahwa inti kegiatan mereka itu ‘bekerja’. Hal itu disebabkan karena pada kenyatannya mereka terlibat secara struktural (sebagai pelajar), melakukan kegiatan koersif (seperti mengerjakan tugas) yang berujung pada tujuan tertentu (seperti ujian akhir atau skripsi) (Noushad, 2008). Burnout di bidang pengajaran tergambar dengan adanya tuntutan yang besar dari lingkungan sekolah kepada pelajarnya. Proses belajar yang dapat menyebabkan kelelahan emosional; memunculkan kecenderungan desensitisasi; dan merasa memiliki prestasi yang rendah. Burnout yang terus menerus berlanjut pada akhirnya menyebabkan pelajar bolos sekolah, berkurangnya motivasi untuk bersekolah, hingga berhenti sekolah. Adapun faktor sumber timbulnya burnout menunjukan bahwa pelajar mengalami burnout disebabkan 2
kegiatan sekolah mencapai 24,2%, keluarga 11,95%, ketidakcakapan di sekolah 11,34%, dan kehilangan minat sekolah 11,34% (Aypay, 2011). Maslach (1998 dalam Sianifar dan Mufattahah, 2008) mengungkapkan bahwa secara fisik burnout akan menyebabkan penurunan kekebalan tubuh individu sehingga rentan terhadap penyakit seperti demam dan sakit kepala. Sedangkan dampak psikis menyebabkan individu menilai dirinya rendah dan bila berlanjut dapat menyebabkan depresi. Dari sisi sosialnya, individu akan menarik diri lingkungan dan terlibat dalam penyalahgunaan obatobatan untuk mengatasi masalah. Adapun dari fungsi kognitifnya, individu mengalami penurunan tingkat konsentrasi dan penurunan kemampuan dalam memecahkan masalah. Qadariah, Manan, dan Ramdhayani (2012) pun menemukan bahwa mahasiswa yang sulit mengambil keputusan akan melakukan prokrastinasi sebagai bentuk penghindaran dari rasa takut akan kegagalan. Rothblum, Solomon, dan Murakami (1986) mendefinisikan prokrastinasi akademik sebagai: (a) kecenderungan yang hampir selalu atau selalu ditunjukan individu untuk menunda tugas akademik; (b) pengalaman yang hampir selalu atau selalu menimbulkan kecemasan yang diasosiasikan dengan prokrastinasi. Adapun bentuk prokrastinasi akademik menurut Kachgal, Hansen, dan Nutter (2001, dalam Jiao, Daros-Voseles, Collins, dan Onwuegbuzie, 2011) adalah mengulur waktu dalam tugas membaca materi perkuliahan, melebihi batas waktu yang ditentukan dalam pengerjaan tugas, menunda persiapan ujian, dan menolak masuk kelas perkuliahan. Lebih spesifik, Solomon dan Rothblum (1984) membagi area prokrastinasi akademik pada mahasiswa diantaranya: menulis, belajar, membaca, kegiatan administratif, menghindari pertemuan, dan kegiatan secara keseluruhan. Di Indonesia sendiri, Kartadinata dan Sia (2008) menemukan bahwa 95% dari 60 mahasiswa yang ditelitinya telah melakukan prokrastinasi. Secara spesifik, 42% dari jumlah tersebut beralasan karena rasa malas dalam mengerjakan tugas, 25% disebabkan banyak tugas lain yang harus dikerjakan, dan 28% karena ada hal-hal lain. Fenomena prokrastinasi tersebut berbuntut pada konsekuensi negatif terhadap pelajar yang melakukannya, seperti tugas-tugas menjadi terbengkalai, menghasilkan tugas yang kurang maksimal, waktu menjadi terbuang sia-sia, bahkan berdampak pada penurunan prestasi akademik. Selain itu juga prokrastinasi akan berdampak buruk pada kondisi kesehatan fisik dan psikologis seperti menimbulkan kecemasan dan tingkat stres yang tinggi (Chu dan Choi, 2005).
3
Paparan tersebut menggambarkan bahwa burnout dan prokrastinasi akadmeik berdampak buruk terhadap mahasiswa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan sumber-sumber burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa, dengan harapan dapat menjadi bahan informasi dalam pengurangan atau pencegahan timbulnya burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa.
Pembahasan Hu dan Schaufeli (2009) menyebutkan bahwa tingginya tingkat gejala burnout terjadi di beberapa tingkat pengajaran baik sekolah menengah atas, sekolah keperawatan maupun universitas. Slivar (2001) yang melakukan penelitian dengan menggunakan Maslach Burnout Inventory – Student Survey (MBI-SS) menemukan bahwa pelajar sekolah bahasa di Slovenia mengalami burnout. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa citra diri yang negatif (negative self-image) berhubungan dengan burnout pada pelajar. Kutsal dan Bilge (2012) menemukan bahwa pelajar yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat burnout yang rendah. Dukungan guru lebih efektif dirasakan pelajar daripada dukungan keluarga dan temantemannya. Schwenke (2012) menemukan dari hasil penelitiannya bahwa individu yang maladaptif perfeksionis memiliki hubungan yang signifikan dengan burnout, sedangkan individu yang adaptif perfeksionis tidak memiliki hubungan dengan burnout. Lopez, Bolano, Marino, dan Pol (2010) menyebutkan bahwa individu yang merasa tidak puas dengan hasil kinerjanya akan mengalami stres. Kemudian bila stres berlanjut, ia akan mengalami burnout. Stephenson (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu dengan level stres lebih tinggi akan lebih mudah burnout daripada individu yang memiliki level stres rendah. Selain itu, individu yang memiliki self efficacy rendah cenderung mengalami burnout daripada individu yang memiliki self efficacy tinggi. Dalam aspek lain, Rostami, Abedi, dan Schaufeli (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara minat belajar dengan burnout. Individu yang memiliki tingkat minat belajar tinggi memiliki burnout rendah dan sebaliknya. Terkait perfeksionis, minat belajar, dan tingkat self efficacy yang berkorelasi dengan burnout, ketiga konstruk itu pun berhubungan dengan prokrastinasi akademik. Egan, Wade, dan Shaufran (2011, dalam Rice, Richardson, dan Clark, 2012) menyatakan bahwa prokrastinasi berhubungan dengan perfeksionis. Individu yang memiliki kepribadian perfeksionis cenderung menunda-nunda pekerjaannya. Umumnya dilakukan karena individu mempersiapkan bahan-bahan terhadap tugasnya dengan harapan dapat diselesaikan dengan sempurna. Qadariah, Manan, dan Ramdhayani (2012) menambahkan bahwa untuk merasa 4
aman dari rasa takut, cemas, dan gagal; dan untuk melupakan ancaman-ancaman seperti tidak lulus kuliah, tidak menjadi sarjana, dan tidak bisa membanggakan orang tua, mahasiswa menghindari pengerjaan skripsi dengan melakukan prokrastinasi. Mereka merasa lebih baik tidak mengerjakan skripsi daripada gagal, karena merasa bila pengerjaan skripsi harus sempurna. Sehingga, mereka tidak mempedulikan batas waktu yang harus mereka selesaikan dalam pengerjaan skripsi. Milgram, Sroloff, dan Rosenbaum, (1988) mengungkapkan bahwa tanpa adanya minat, individu akan melakukan prokrastinasi karena tugas yang dihadapi tidak memberi rasa nyaman, melainkan penuh pemaksaan dan sulit. Sehingga, mereka memilih kegiatan lain yang lebih mudah dan lebih menyenangkan untuk dirinya. Steel (2007) menyebutkan bahwa rendahnya self efficacy dan rendahnya self esteem berhubungan dengan prokrastinasi. Individu dengan self efficacy dan self esteem tinggi memiliki nilai prokrastinasi rendah. Sebaliknya, individu dengan self efficacy dan self esteem rendah memiliki nilai prokrastinasi tinggi. Hampton (2005) menemukan korelasi yang signifikan antara prokrastinasi dengan locus of control. Pelajar dengan orientasi eksternal locus of control memiliki nilai prokrastinasi yang tinggi. Sementara pelajar dengan orientasi internal locus of control memiliki nilai prokrastinasi yang rendah. Klingsieck, Fries, Horz dan Hofer (2012) menemukan bahwa prokrastinasi berhubungan dengan rendahnya tingkat performa akademik, dan rendahnya strategi belajar dan rendahnya kepuasan hidup. Deniz, Tras, dan Aydogan (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara prokrastinasi dan kecemasan. Individu yang memiliki tingkat kecemasan tinggi memiliki nilai prokrastinasi tinggi pula. Sementara individu dengan tingkat kecemasan rendah memiliki nilai prokrastinasi rendah pula. Beberapa penelitian mengenai burnout ditemukan bahwa burnout berhubungan dengan tiga faktor lain yang memiliki hubungan dengan prokrastinasi akademik, yaitu perfeksionis, minat belajar, dan self efficacy. Individu dengan kepribadian perfeksionis cenderung mengalami burnout (Schwenke, 2012); dan cenderung mengalami prokrastinasi akademik (Egan, Wade, dan Shaufran, 2011, dalam Rice, Richardson, dan Clark, 2012; Qadariah, Manan, dan Ramdhayani, 2012). Faktor minat belajar berhubungan dengan burnout (Rostami, Abedi, dan Schaufeli, 2012); dan berhubungan juga dengan prokrastinasi (Milgram, Sroloff, dan Rosenbaum, 1988). Selain itu, individu yang memiliki self efficacy rendah cenderung mengalami burnout (Stephenson, 2012); dan mengalami prokrastinasi pada tugasnya (Steel, 2007). Uraian mengenai beberapa hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa burnout dan prokrastinasi akademik berhubungan dengan tiga faktor yang sama, yaitu perfeksionis, 5
minat belajar, dan self efficacy. Individu dengan perfeksionis tinggi cenderung mengalami burnout dan prokrastinasi akademik. Sementara individu dengan kurangnya minat belajar dan rendahnya self efficacy cenderung mengalami burnout dan prokrastinasi akademik. Ketiga faktor tersebut dapat dijadikan sebagai dimensi pengurangan atau pencegahan timbulnya burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Menurut Shafran, Cooper, dan Fairburn (2002, dalam Kearns, Forbes, dan Gardiner, 2007) bahwa untuk mengurangi tingkat perfeksioneis individu dapat dilakukan dengan empat tahapan, yaitu (1) membantu individu dalam mengidentifikasi perfeksionisme yang merupakan masalah, (2) memperluas skema individu untuk mengevaluasi diri dan mengurangi ketergantungannya terhadap kesempurnaan, (3) melakukan eksperimen, seperti trial-error, dan (4) menggunakan metode perilaku kognitif untuk berurusan dengan ketidakakuratan kognitif. Tahapan tersebut membutuhkan individu lain, khususnya pengajar, teman, dan keluarga sehingga proses pengurangan atau pencegaran dapat dilakukan. Untuk meningkatkan daya minat belajar pada mahasiswa dibutuhkan kontribusi dari pengajar. Menurut Abrantes, Seabra, dan Lages (2007), untuk meningkatkan minat belajar pada pelajar dapat dilakukan dengan memberikan pengajaran yang baik. Pengaran yang baik dapat dilakukan dengan (1) menggunakan metode instruksional sehingga pelajar dapat terlibat, (2) menciptakan suanasa menyenangkan dan penuh perhatian kepada pelajar, (3) efisiensi waktu belajar-mengajar, dan (4) menyajikan program yang baik dan terorganisir. Adapun cara meningkatkan self efficacy pada individu dapat dilakukan dengan (1) memberikan apresiasi atau penghargaan, (2) belajar dari pengalaman, (3) persuasi verbal, dan (4) menumbuhkan emosi (Bandura, 1877). Proses ini dapat dilakukan dengan melibatkan pengajar dalam memberikan penghargaan, persuasi verbal, dan penumbuhan emosi. Proses pengurangan tingkat perfeksionis dan peningkatan daya minat belajar serta self efficacy pada mahasiswa dapat dilakukan baik secara individual maupun dengan intervensi pengajar. Sehingga, ketiga proses tersebut dapat mengurangi atau mencegah timbulnya burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa.
Kesimpulan Burnout memiliki hubungan dengan citra diri (self-image), dukungan sosial, perfeksionis, stres, self efficacy, dan minat beajar. Sementara prokrastinasi akademik berhubungan dengan perfeksionis, minat belajar, self efficacy, self esteem, locus of control, performa akademik, strategi belajar, kepuasan hidup, dan kecemasan. Aspek-aspek yang
6
berhubungan dengan burnout dan prokrastinasi akademik tersebut dapat dirincikan berdasarkan tabel berikut: Tabel Sumber-sumber Burnout dan Prokrastinasi Akademik pada Mahasiswa
Mahasiswa yang memiliki citra diri yang negatif, kurang Burnout
mendapatkan dukungan sosial, dan mudah stres cenderung mengalami burnout Mahasiswa yang memiliki external locus of control, mudah cemas,
Prokrastinasi
rendahnya tingkat performa akademik, rendahnya strategi belajar, dan
Akademik
kurangnya kepuasan hidup cenderung melakukan prokrastinasi akademik
Burnout dan
Mahasiswa yang memiliki tingkat perfeksionis tinggi, kurangnya
Prokrastinasi
minat belajar, dan rendahnya self efficacy cenderung mengalami
Akademik
burnout dan melakukan prokrastinasi akademik
Terdapat tiga faktor yang berhubungan dengan burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa secara bersamaan, yaitu perfeksionis, minat belajar, dan self efficacy. Mahasiswa dengan perfeksionis tinggi cenderung mengalami burnout dan prokrastinasi akademik. Sementara mahasiswa dengan kurangnya minat belajar serta rendahnya self efficacy cenderung mengalami burnout dan prokrastinasi akademik. Proses pengurangan atau pencegahan timbulnya burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat perfeksionis, meningkatkan minat belajar, dan menumbuhkan self efficacy.
Saran Adapun saran dari penelitian ini adalah: a. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat mengurangi atau menghindari timbulnya burnout dan prokrastinasi akademik dengan mengurangi tingkat perfeksionis, seperti mengikuti pelatihan CBC (Cognitive Behavioural Coaching); meningkatkan minat belajar, seperti memilih metode belajar yang menyenangkan; dan menumbuhkan self efficacy, seperti melakukan atau mengikuti pelatihan relaksasi. b. Bagi pengajar, diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses pengurangan atau penghindaran terhadap timbulnya burnout dan prokrastinasi akademik dengan mengurangi tingkat perfeksionis pada mahasiswa, seperti menyadarkan mahasiswa bahwa perilaku perfeksionis merupakan masalah; meningkatkan minat belajar pada 7
mahasiswa, seperti melibatkan kontribusi mahasiswa dalam proses belajar-mengajar dengan mengadakan diskusi atas presentasi kelompok; dan menumbuhkan self efficacy pada mahasiswa, seperti memuji kelompok presentasi yang terbaik dalam kelas. c. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan studi litelatur ini dapat menjadi salah satu informasi untuk kepentingan peneitian selanjutnya dalam mengkaji burnout dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa.
Daftar Pustaka Abrantes, J., Seabra, C. and Lages, L. (2007). “Pedagogical Affect, Student Interest, and Learning Performance”. Journal of Business Research, Vol. 60. 960-964 Aypay, A. (2011). “Elementary School Student Burnout Scale for Grades 6-8: A Study of Validity and Reliavility”. Educational Science: Theory & Practise, Vol. 11. No. 2. 520527 Bandura, A. (1977). “Self-efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral Change”. Psychological Review, Vol. 84. No. 2. 191-215 Chu, A. and Choi, L. (2005). “Rethinking Procrastination: Positive Effects of Active Procrastination Behavior on Attitudes and Performance”. The Journal of Social Psychology, Vol. 145. No. 3. 245-264 Deniz, E., Tras, Z. and Aydogan, D. (2009). “An Investigation of Academic Procrastination, Locus of Control, and Emotional Intelligence”. Educational Science: Theory & Practice, Vol. 9. No. 2. 623-632 Hampton, A. (2005). “Locus of Control and procrastination”. Epistimi, 3-5 Hu, Q. and Schaufeli, W. (2009). “The Factorial Validity of the Maslach Burnout InventoryStudent Survey in China”. Psychological Report, Vol. 105. 394-408 Jacobs, S. and Dodd, D. (2003). “Student Burnout as a Fuction of Personality, Social Support, and Workload”. Journal of College Student Development, Vol. 44. No. 3. 291303 Jiao, Daros-Voseles, Collins, and Onwuegbuzie. (2011). “Academic Procrastination and the Performance of Graduate-level Cooperative Groups in Research Methods Courses”. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 11. No. 1. 119-138 Kartadinata dan Sia. (2008). “Prokrastinasi Akademik dan Manajemen Waktu”. Anima, Indonesia Psychologycal Journal, Vol. 23. No. 2
8
Kearns, H., Forbes, A. and Gardiner, M. (2007). ”A Cognitive Behavioural Coaching Intervention For The Treatment Of Perfectionism and Self-Handicapping in a NonClinical Population”. Behaviour Change, Vol. 24. No. 3. 157-172 Kemdiknas (Kementrian Pendidikan Nasional). (2000). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000. Dalam http://www.dikti.go.id/files/Lemkerma/kepmen232-2000.txt. 11 April 2013 ---------------- (2012). Surat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012. Dalam www.dikti.go.id/files/atur/SKDirjen152-E-T-2012KaryaIlmiah.pdf. 11 April 2013 Klingsieck, K., Fries, S., Horz, C. and Hofer, M. (2012). “Procrastination in a Distance University Setting”. Distance Education, Vol. 33. No. 3. 295-310 Kutsal, D. and Bilge, F. (2012). “A Study on the Burnout and Social Support Levels of High School Students”. Education and Science, Vol. 37. No. 164. 243-297 Lopez, J., Bolano, C., Marino, M. and Pol, E. (2010). “Exploring Stress, Burnout, and job Dissatisfaction in Secondary School Teachers”. International Journal of Psychology and Psychology Therapy, Vol. 10. No. 1. 107-123 Milgram, N., Sroloff, B. and Rosenbaum, M. (1988). “The Procrastination of Everyday Life”. Journal of Research in Personality, Vol. 22. 197-212 Noursad. (2008). From Teacher Burnout to Student Burnout. Dalam http//www.eric.go.id/from-teacher-burnout-to-student-burnout.pdf. 21 Februari 2013 Qadariah, S., Manan, S. dan Ramdhayani, D. (2012). “Gambaran Faktor Penyebab Prokrastinasi pada Mahasiswa Prokrastinator yang Mengontrak Skripsi”. Journal Sosial, Ekonomi, dan Humaniora Universitas Islam Bandung, Vol. 3. No. 1. 119-126 Rostami, Z., Abedi, M. and Schaufeli, W. (2012). “Does Interest Predicts Academic Burnout?”. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, Vol. 3. No. 9. 877-885 Rothblum, E., Solomon, L. and Murakami, J. (1986). “Affective, Cognitive, and Behavioral Differences Between High and Low Procrastinators”. Journal of Counseling Prychology, Vol. 33. 387-394 Schwenke, T. (2012). “The Relationships Bertween Perfectionism, Stess, Coping Resources, and Burnout among Sigh Language Interpreters”. Counseling and Psychological Services Dissertations, Georgia State University Sianipar, A., dan Mufattahah, S. (2008). “Burnout on Medical Community Health Centers (Community Health)”. Universitas Gunadarma 9
Slivar, B. (2001). “The Syndrome of Burnout, Self-Image, and Anxiety with Grammar School Students”. Horizons of Psychology, Vol. 10. No. 2. 21-32 Solomon, L., and Rothblum, L. (1984). “Academic Procrastination: Frequency and Cognitive-Behavioral Correlates”. Journal of Conseling Psychology, Vol. 31. No. 4. 503-509 Steel, P. (2007). “The Nature of Procrastination: A Meta-Analytic and Theoretical Review of Quintessential Self-Regulatory Failure”. Psychological Bulletin Journal, Vol. 133. No. 1. 65-94 Stephenson, T. (2012). “A Quantitative Study Examining Teacher Stress, Burnout, and SelfEfficacy”. University of Phoenix
10