Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) SUMBER : KOMPAS, 25 Januari 1996
Film yang Membuatnya Hidup… “FILMLAH satu-satunya yang membuat saya merasa hidup”. Kata-kata ini diucapkan Wim Umboh bulan November 1981 ketika ia tengah mempersiapkan film Putri Seorang Jendral. Padahal ia masih tertatih-tatih jalannya, karena sakit keras yang membuatnya terkapar selama dua tahun di tengah pembuatan film Pengemis dan Tukang Becak (1978). Harap dicatat bahwa Putri Seorang Jendral adalah film ketiga sejak ia merasa “sehat” di tahun 1980. Saat itu ia baru seminggu mengalami perceraian dengan istri keduanya, almarhum Paula Rumokoy. Setelah itu, ia masih membuat 19 film lagi sebagai sutradara, dua film sebagai editor, dan satu film tampil sebagai pemain. Jadi, meski dalam keadaan tak pernah sehat betul, selama 15 tahun terakhir ia sudah menyutradarai 22 film. Padahal sepanjang kariernya, sejak tahun 1955 (Kasih Ibu dan Di Balik Dinding), Wim Umboh telah menyutradarai 50 film. Artinya, dalam keadaan sehat (28 film) maupun sakit (22 film), ia sama produksinya. Sepanjang kariernya dalam film itu ia telah menerima lima piala Citra untuk editing, tiga untuk film terbaik, dan satu untuk penyutradaraan. Catatan lain: hampir tidak ada filmnya yang “jatuh” di pasaran. Bahkan Pengantin Remaja (1971) dan Perkawinan (1972) merupakan film terlaris di zamannya dan dua film yang mengorbitkan pasangan Sophan Sophian dan Widyawati sebagai bintang laris hingga 20 tahun kemudian. Wim Umboh juga orang yang selalu ingin sebagai orang pertama. Ia adalah orang pertama yang membuat film berwarna pertama yang seluruhnya dikerjakan oleh tenaga Indonesia, yaitu sembilan (1967). Ia juga pertama menggunakan film berukuran 70 mm dengan suara stereofonik enam jalur, yaitu Mama (1972). Hingga saat jatuh sakit di tahun 1978, Wim Umboh memang selalu mengebu-gebu. Selalu ingin nomor satu. Selalu ingin yang terbaik. Ini yang membuatnya selalu kelihatan resah. Dalam peta perfilman tahun-tahun 70-an dan 80-an itu, ada nama-namam seperti Syumanjaya, Teguh Karya, Djajakusumah, Asrul Sani, yang punya aura intelektual. Juga seperti Arifin C. Noor, Chaerul Umam di kemudiannya. Wim Umboh bukannya berasal dari lingkungannya seperti “saingannya” itu. Ia sudah menjadi yatim piatu sebelum berusia 10 tahun. Ia mulai karier filmnya di perusahaan Golden Arrow milik Chok Ching Shien sebagai tukang sapu dan pengantar surat panggilan shooting pada para pemain. Ini berarti Wim Umboh memulai karier filmnya dalam budaya “dagang”, budaya “anak wayang” yang merupakan kelanjutan dari budaya teater keliling Dardanella, atau film Terang Bulan. Sebuah budaya yang masih menjadi
arus utama budaya film hingga sekarang, bahkan juga masuk ke televisi. Cirinya antara lain adalah kebetulan yang sukar masuk akal, meratap-ratap, banyolan fisik. Agaknya karena menyadari kekurangan ini, maka Wim kemudian selalu bekerja sama dengan orang lain dalam menuliskan gagasannya ke dalam skenario. Misbach Yusa Biran, Syumanjaya dan Arifin C. Noer, adalah namanama yang juga ikut memberi warna pada film-filmnya. Nama-nama itu yang bersama Wim Umboh berhasil mengembangkan budaya tadi menjadi lebih baik. Tahun 70-an itu boleh dikatakan adalah puncak dari kariernya, karena setelah ia jatuh sakit, maka Wim boleh dikatakan tinggal mengulang saja akan apa yang pernah dibuatnya. Sejak itu, kondisinya boleh dikatakan kondisi bertahan saja. Kerja sama dengan syumanjaya tidak hanya menghasilkan Pengantin Remaja yang pop, manis dan laris, tapi juga Mama yang lebih bersifat eksperimental. Film terakhir ini dibuat tanpa skenario yang rapi terlebih dahulu. Skenario ditulis oleh Syumanjaya bersamaan dengan rekaman gambar di tempat shooting. Struktur penceritaannya juga agak aneh, karena sebenarnya ada dua cerita yang berlangsung tanpa hampir bersinggungan satu dengan yang lain. Dengan Arifin C. Noor, Wim menghasilkan percobaan seperti Senyum di Pagi Bulan Desember dan Sesuatu Yang Indah, yang punya warna “dongeng” dan sedikit surelistis, karena tempat kejadiannya dan fotografinya seolah tak menyarankan tempat yang jelas. Percobaan-percobaannya memang kemudian tak berlanjut. Tapi ada orang lain yang meneruskannya. Slamet Rahardjo dengan Rembulan dan Matahari, maupun Garin Nugroho dengan Surat untuk Bidadari dan Bulan Tertusuk Ilalang adalah penerus percobaan-percobaan itu. Yang disayangkan dari percobaan-percobaan itu adalah bahwa film-film itu belum sempat bergaung dan memberi warna pada arus utama perfilman nasional. MESKI demikian Wim Umboh bukan hanya meninggalkan kisah-kisah cobanya. Yang jauh lebih penting adalah Wim Umboh yang boleh dikata seorang otodidak telah mendirikan sebuah “mashab” tersendiri dalam perfilman nasional, justru dari film-film “cinta” yang melodramatik. Dalam jenis ini, ia berhasil “menyempurnakan” jenis melodrama dari zaman-zaman sebelumnya. Dalam jenis inilah sebetulnya keberhasilan Wim Umboh. Kisah percobaannya, boleh dikatakan adalah usahanya untuk lebih memberi bobot “intelektual” pada filmfilmnya, dan karenanya juga lebih terasa sebagai sebuah percobaan dan kurang terasa “jujur”. Pergulatan Wim Umboh sebenarnya lebih pergulatan atas bentuk bukan atas isi. Pengaruh film-film melodramanya itu sampai sekarang bisa dilihat dalam ratusan sinetron yang bertebaran di siaran-siaran televisi, maka ia bisa disebut sebagai sebuah “mashab”. Cirinya antara lain adalah hampir tidak adanya master shot, atau sebuah rekaman adegan yang menyeluruh. Filmnya, 80 persen terdiri dari rangkaian gambar medium shot dan close up. Rangkaian tadi dimanipulasikan sedemikian rupa dalam editing, hingga penonton mendapatkan kesan seperti yang dimauinya. Puncak dari permainan editingnya mungkin bisa dilihat dari film Sesuatu yang Indah, dimana hampir separuh film dibuat hampir
tanpa dialog. Gaya ini dipadukan dengan fotografi yang “lebih indah dari aslinya”, hingga penonton mendapat kesenangan terendiri dalam menonton. Gaya demikian ini kemungkinan besar disebabkan karena Wim berangkat sebagai editor pertama-tama, hingga ia mempunyai ingatan fotografis yang sangat kuat akan rekaman gambar yang pernah dibuatnya dan yang akan dibuatnya. Daya ingat ini yang membuat para asistennya selalu terkagumkagum. Ia seolah sudah memiliki film dalam otaknya sebelum film dibuat, hingga rekaman gambar hanyalah sebuah pelaksanaan saja. Daya ingat demikian ini yang tak pernah surut dari dirinya, meski fisiknya tidak pernah pulih karena sakitnya di tahun 1978. Gaya ini tidak hanya mempengaruhi banyak sutradara lain (Sophan Sophian yang kemudian terkenal sebagai sutradara boleh dikata adalah salah saatu pengikutnya), tapi juga dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh semacam Teguh Karya dan Arifin C. Noor. Mungkin gaya inilah yang disumbangkan oleh Wim Umboh dalam perfilman nasional. Mungkin ada baiknya jika ada studi yang cukup serius terhadap gaya Wim Umboh ini, hingga menjadi lebih jelas tempatnya dalam perfilman nasional. Untuk perkembangan perfilman nasional sendiri, studi demikian ini juga diperlukan, karena jangan-jangan itulah salah satu ciri film Indonesia. FILM telah membuat Wim Umboh merasa hidup. Ia merasa hidup kalau membuat film, karena diluar itu baginya hidup tak ada artinya. Ini lanjutan dara kata-kata yang diucapkannya di atas. Ternyata film juga yang kemungkinan besar membuatnya meninggal. Sudah empat tahun ia tidak membuat film lagi, karena tidak ada lagi produser yang memintanya jadi sutradara, di samping karena begitu surutnya jumlah produksi sekarang ini. Tahun 1995 kemungkinan tidak lebih dari 15 film dibuat, tak sampai separuh dari tahun sebelumnya. Tahun 1991 adalah tahun kejayaan terakhir film Indonesia, karena sejak itu merosot dengan sangat tajam, dan tinggal film-film seks dan kekerasan yang dibuat sangat gampang, murahan dan menginjak-nginjakestetika sinema yang antara lain diperjuangkan dan dikembangkan oleh Wim Umboh. Seperti juga kebanyakan orang film, Wim Umboh lalu beralih ke televisi. Pahlawan tak Dikenal dan Apsari adalah dua serial televisi yang dibuatnya. Ia juga ikut-ikutan mendirikan rumah produksi meski belum sempat berproduksi, sementara ia tengah mempersiapkan seri lain dan merencanakan pembuatan dokumentasi tentang riwayat hidupnya. Meski sama-sama berbentuk audiovisual, film televisi tampaknya hanya sekedar agar ia bisa bertahan hidup, karena seperti diketahui sakitnya juga membuat perusahaan dan keuangannya berantakan. Hal ini juga tak pernah bisa diraihnya kembali. Ia hanya bisa menghuni sebuah rumah sederhana di Perumnas Depok Utara. Di samping itu, umum diketahui bahwa film televisi tidak pernah bisa menandingi kehebatan film. Belum pernah ada sebuah film televisi yang menjadi “abadi” dan dikenang orang.