Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : PELITA, 10 September 1992
Memperjuangkan Harapan Hidup Film Nasional NAMA Arifin C. Noer, seorang sutradara dan teaterwan terkenal hingga kini masih selalu disebut-sebut orang. Mungkin karena semangatnya yang tak pernah padam memperjuangkan teater dan film Indonesia – lewat karya-karya bersahajanya yang menarik. Hal itu terlihat ketika dia kembali membuat film Bukan Semua Lelaki, yang bercerita tentang manusia Indonesia – di saat masa putar film Bibir Mer belum lagi usai. Film Bukan Semua Lelaki itu tidak hanya harus ditonton oleh kaum perempuan, tetapi juga oleh pria, karena dalam film tersebut kaum lelaki berada dalam posisi terdakwa. Dapat dibayangkan betapa Arifin berani mengungkap realita hidup masyarakat bangsa ini dalam bentuk yang trasparan, yang barangkali akan mendapatkan tanggapan yang beragam nantinya. Ya, itulah Arifin yang selalu memiliki semangat dan tak pernah puas dengan apa yang telah diciptakan. Arifin bukan hanya ingin mengajak manusia Indonesia melihat dirinya sendiri dalam film itu, tetapi lewat eksperimen-eksperimenya tadi, ia memperjuangkan harapan hidup film nasional yang oleh sebagian orang sudah dinilai sekarat. Ia ingin masyarakat Indonesia tahu akan dirinya dan menjadikan film nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri, meski dia harus berpikir dan bekerja keras dalam merombak proses produksi film, budaya/seni maupun bisnisnya. “Itu tugas utama yang telah menjadi ‘fardlu kifayah’ dalam hidup saya”, katanya pada Pelita. Terlepas dari semua itu, yang jelas obsesi Arifin justru menguat setelah keberhasilan film Bibir Mer yang dibanjiri penonton – meski saat pemutarannya., kota Jakarta disibukkan oleh KTT Nonblok yang memenuhi hampir seluruh halaman media massa. Ini betul-betul suatu keajaiban, ungkapnya. Kenyataan itu telah pula melahirkan sebuah konklusi baginya, bahwa masyarakat Indonesia khususnya di Jakarta semakin rindu untuk ditemani oleh filmfilm nasional yang baik. “Keajaiban itu tak habis-habisnya saya syukuri dan saya percaya – sebagaimana juga saya percaya akan keajaiban- keajaiban dan kekuasaan Allah”, ungkap Arifin bersahaja. Terus terang, kata Arifin yang pernah menjadi dosen tamu di salah satu universitas ternama di Amerika Serikat belum lama ini, dia adalah orang yang sangat rasional bahkan terkadang radikal dan selalu melakukan pendekatan pada teologi – terhadap gejala serta pengalaman yang ditemuinya. Mungkin karena itu pulalah ia selalu melakukan eksperimen dalam setiap karyanya. Sebagai seniman Arifin sadar dan bertanggungjawab atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, sehingga dia mutlak harus menyampaikan amanat itu pada manusia – lewat propesi yang dimilikinya. Dan ia tahu juga kalau semua itu berasal dari cinta Allah yang diberikan kepada MakhlukNya. ALLAH selalu memperlihatkan realita kehidupan pada umatNya, dan atas dasar itu pulalah saya ingin membeberkannya pada orang-orang yang tak mampu melihat realita, akibat kondisi yang dibentuk oleh lingkungannya, kata pendiri teater kecil ini. hal ini dilakukan lewat film yang bertemakan manusia Indonesia secara utuh dari berbagai bentuk.
Salah satunya adalah film Bukan Semua Lelaki yang diangkat dari lagu yang dibawakan oleh Gubernur DKI Jakarta, H. Basofi Sudirman – yang sekaligus sebagai artis pendatang baru. “Sudah lama sebetulmya saya ingin menciptakan lakon-lakon tentang manusia Indonesia dalam teater maupun film”, ujarnya. Selain itu dia juga akan mempersiapkan tema lain yang sangat menyentuh, yakni film yang bertemakan ‘Anak Jalanan’ yang selalu menjadi permasalahan serius dalam kehidupan masyarakat, dalam agama, atau dalam warisan dan sebagainya. Motivasinya adalah agar manusia mencoba berfikir dan membatasi diri dari perbuatan amoral (pelecehan seksual). Kendati sudah sejauh itu keinginan Arifin untuk mengangkat masalah kompleks yang terdapat dalam kehidupan, tapi masih saja ia mengatakan bahwa perjuangannya belum berarti, karena dia hanya seorang seniman kecil jika dibandingkan dengan persoalan besar manusia Indonesia. “Itu baru merupakan upaya saya yang kesekian kalinya yang lebih pasti, setelah selama ini sibuk dengan lakon-lakon yang berdasarkan ide-ide saja. Insya Allah pada lakon mendatang saya mampu menemani masyarakat penonton Indonesia”, kata peraih Piala Citra ini. Arifin mengakui bahwa sebetulnya dia malu, tetapi juga sadar atas kemampuannya itu. Namun kemudian dia menjadi lega – setelah sampai saat ini tetap berbuat dan berkarya, seirama dengan helaan nafasnya yang penuh dengan zikir. “Setiap helaan zikir itu pula saya berdoa, semoga semua rakyat Indonesia memandang suatu karya seni lewat kaca mata yang baik dan positif, sehingga tak terulang kembali pelecehan karya seniman. Yang ditekankan oleh Arifin, adalah bahwa dialah satu-satunya sutradara yang pernah dua kali ‘ketanggor’ (terbentur) oleh BSF. Film tujuh tahun itu adalah Petualang-Petualang yang pada akhirnya hancur berantakan. Sementara film yang lainnya adalah MatahariMatahari. Padahal menurut pengakuannya, dia termasuk salah seorang sutradara yang pernah bekerja sama dengan PFN (Perusahaan Film Negara). Apa artinya semua itu?, tanya Arifin. “Itu adalah pelecehan intelektualitas dan saya bukanlah orang picik, karena tahu bagaimana harus bicara di negeri ini. sebagai seorang calon demokrat yang sejati – saya menyadari betul bahwa hidup itu tidak hitam putih, tak terstandarkan dan jumlah nuansa itu tidak terhingga. “Saya tahu bagaimana harus berbicara di negeri ini. Dihadapan saya bukan hanya pemerintah, tetapi ada yang lebih dahsyat, yaitu masyarakat Indonesia, katanya menegaskan. Terus terang, ungkap sutradara yang jenius ini, bahwa dia sangat menyesali sikap para intelektual dan seniman yang selalu menganggap rendah masyarakat. Entah itu lewat katakata, perbuatan ataupun sikap. Dia tak tega melihat masyarakat dinilai demikian, karena itu dia selalu menempatkan mereka pada posisi yang sangat personal, terbuka dan jujur. Bahkan mereka ditempatkan pada kedudukan yang sangat apresiatif dalam mengapresiasi suatu karya seni. Sikap intelektual dan para seniman yang selalu merendahkan itu terpaksa saya tanggapi sebagai suatu skandal dalam sejarah, katanya. Apalagi hal itu sudah sangat lama terjadi, sehingga masyarakat menjadi yakin kalau mereka bodoh dan tak apresiatif, padahal justeru sebaliknya. Skandal itu harus dihentikan dan bersama Putu Wijaya – saya sering mengatakan bahwa sudah waktunya kita melepaskan kesombongan intelektual yang memalukan itu, ungkapnya. Akibat pelecehan intelektual itu pula, masyarakat Indonesia menjadi tak percaya diri dan kehilangan daya kritis, karena mereka tak lagi dapat melihat realitas dirinya sendiri. Padahal sesungguhnya, jauh didasar nurani mereka – bergetar kerinduan untuk menyaksikan diri mereka sendiri, tukas Arifin agak kecewa. DI SISI lain Arifin ingin pula membangkitkan film-film keagamaan yang semakin lenyap, karena memiliki potensi yang sangat besar dalam segi komersial – dan sangat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang semakin menjauh dari Allah. Hanya saja membuat film yang bertema keagamaan tidaklah mudah. Diperlukan seorang pembuat film yang baik dan menguasai tema dasarnya, katanya. Yang lebih penting lagi, adalah agama harus lebih dahulu menjadi semangat si pembuatnya. Sehingga seluruh elemen dalam film tersebut mengandung percikan-percikan keagamaan, bukan hanya verbal atau visual, tetapi total, ungkap Arifin. Sunan Kalijaga misalnya, menurut penilaian Arifin adalah film yang sangat bagus, baik dari segi cerita, teknis dan presentasinya. Sukses itu terjadi karena pembuatan film tersebut betul-betul dilakukan oleh orang yang mengerti betul tentang tema dan sejarah agama. “Ini salah satu contoh bahwa film yang bagus akan ditonton oleh orang”, ungkapya. Persoalan sekarang adalah masihkah ada orang yang seperti pembuat film Sunan Kalijaga itu. Jawabnya, masih ada, hanya saja keinginan membuat film semacam itu yang kurang. Semangat itu akan bisa muncul kembali jika para pembuat film tidak terperangkap pada tema masa lalu, tetapi harus melihat masa kini dan mendatang. “Banyak persoalan sekarang yang sarat dengan persoalan keagamaan”, ungkap Arifin seperti memberi dorongan. Sutradara yang suka berdiplomasi ini tetap percaya bahwa film-film yang bertemakan keagamaan masih memiliki potensi komersial yang tinggi, selama film tersebut mampu ‘menemani’ kesepian masyarakat dan mampu pula berdialog dengan masyarakat pendukungnya. Meski begitu, pembuat film keagamaan harus bisa memisahkan proses kerja keagamaan dengan proses bisnis. Cerita kegamaan macam apakah yang baik? Banyak sekali, kata Arifin. Kalau kita mau menyadari, halaman masjid yang semakin hari semakin tak mampu menampung jamaahnya – adalah sebuah fenomena, bahwa betapa masyarakat rindu dengan siraman rohani. Tema ini sangat baik diangkat ke dunia film – sebagai gambaran bagi kehidupan masyarakat masa kini. LAHIR di Cirebon pada tanggal 10 Maret 1941, Arifin yang adalah anak pedagang sate ini – sempat duduk di SMA Jurnalistik di Solo, kemudian meneruskan ke Fakultas Sospol Universitas Cokroaminoto di Yogyakarta tahun 1967 dan pada 1972 meneruskan ke International Writing Program di AS. Arifin tak banyak mengungkap masalah keluarganya, kecuali membeberkan perjalanan karirnya. Karir saya dimulai sebagai manager personalia Dana Bantuan Haji Indonesia, kemudian sebagai wartawan Harian Pelopor Baru. Tak lama kemudian ia mulai menjadi sutradara teater Muslim pada tahun 1962. Dari sejak 1968 hingga kini ia berhasil mendirikan teater kecil yang menjadi ‘buah bibir’ semua orang. Sebagai orang yang sangat produktif dalam bidang penulisan puisi dan skenario film – dapat dibayangkan betapa banyak karya-karyanya yang mengigit dan menggelitik sejak tahun 60-an silam itu. Diantaranya, Bulan Pada Suatu Malam (1961), Sepasang Pengantin (1962), Nenek Tercinta (1963), Jendela Belakang (1965), Mega Mega (1966), Kapai Kapai (1970), Orkes Madun 1 sampai 3 (74-79), Interogasi No. 1-2 (84-89) dan Suci Sang Primadona (1977). Ozon Atawa Orkes Madun (1989), Bulan Dalam Baskom (1990), Taksi (1991), dan Bibir Mer (1992). Saat ini – Arifin C. Noer sedang menggarap film Tidak Semua Laki Laki yang diangkat dari lagu penyanyi pendatang baru H. Basofi Sudirman.