042011
Jan
Lokananta, Rekaman Pidato Bung Karno Mengenai Misteri Supersemar Ada di Sini Cagar Budaya
Sumber: Indonesiarevive.com 4 Januari 2011
Lokananta, kata dalam bahasa sansekerta yang berarti “Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh” adalah perusahaan rekaman musik (label) pertama di Indonesia yang
didirikan pada
tahun 1956
dan
berlokasi di Solo, Jawa Tengah. Sejak
berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI.
Di Lokananta inilah terdapat bukti-bukti sejarah yang terekam dalam piringan hitam yang kini bisu. Salah satu rekaman yang penting adalah pidato Presiden Soekarno yang mengungkap rahasia dibalik misteri Supersemar.
Di Lokananta pula terrekam lagu Indonesia Raya dengan versi 3 stanza yang sempat heboh itu. Tempat ini juga menyimpan bukti rekaman 5000 lagu daerahdari seluruh wilayah Indonesia, termasuk rekaman lagu Rasa Sayange dari Maluku yang sempat dibagikan kepada kontingen Asian Games pada tanggal 15 Agustus 1962-dan diklaim Malaysia beberapa waktu yang lalu. Namun seiring berkembangnya teknologi, piringan hitam mulai ditinggalkan dan orang melupakanLokananta, tempat yang mungkin sebentar lagi benar-
benar ada di kahyangan, karena tempat ini akan diubah fungsinya sehingga menghilangkan nilai
sejarah
Indonesia
sendiri.
Dukung
usaha
kami
untuk
mencegah
“moksa“nya Lokananta ini.
Lokananta mempunyai arti “gamelan di kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh”, sungguh beraroma mistis. Tempat yang berdiri pada 29 Oktober 1956 ini, dulu sebenarnya adalah bagian dari Jawatan RRI, yang mempunyai tugas memproduksi piringan hitam untuk bahan siaran RRI di seluruh Indonesia. Kini Lokanantamenjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara. Lokananta adalah perusahaan rekaman pertama di Indonesia.
Disebut sebagai Lokananta sebagai perpustakaan audio, karena hingga saat ini Lokananta memiliki koleksi sekitar 40ribu keping piringan hitam dan masih banyak lagi koleksi audio dalam beragam format. Koleksinya mulai dari rekaman lagu nasional dan daerah (seperti Gesang, Waldjinah, Titik Puspa, Bing Slamet, dan bahkan Didik Kempot), rekaman seni budaya (semisal Karawitan Ki Nartosabdho, pementasan kesenian, dan dagelan Basiyo), hingga fakta-fakta sejarah penting, antara lain beberapa piringan hitam pidato-pidato Soekarno, dan 833 keping piringan hitam yang berisi lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza yang sempat buat heboh itu.
Ada satu rekaman pidato Bung Karno yang sebenarnya mampu mengungkapkan secara gamblang tentang misteri seputar Supersemar – yang tidak jelas keberadaannya itu. Rekaman yang saya maksud adalah rekaman Pidato Kenegaraan Bung Karno pada peringatan kemerdekaan RI ke-21 (tahun 1966).
Detail-detail sejarah semacam petikan pidato-pidato presiden pertama Indonesia sangat jarang dan bahkan tidak pernah kita dapatkan di bangku sekolah, dari SD hingga SMA. Banyak orang konservatif di Republik ini hanya mengakui sejarah sebagai yang tertulis dan tercetak, bukan yang terdengar (audible), bahkan fakta sahih tentang sejarah yang baru (boleh) terucap sekarang sekalipun cuma dianggap menodai sejarah yang sudah tercetak dalam buku-buku sejarah berkurikulum. Seharusnya Pemerintah turun tangan dalam usaha menyelamatkan fakta-fakta sejarah semacam itu, misalnya dengan mengubahnya menjadi file digital, agar tidak rusak dimakan usia, dan bisa bertahan lebih lama. Sehingga, generasi
penerus di negeri ini tidak perlu terbang ke negara lain untuk mempelajari dan mencari faktafakta sejarah tentang bangsanya sendiri.
Lokananta yang berada di Solo ini Letaknya ada di Jalan Jend. Ahmad Yani No 379. Selain banyak menyimpan koleksi-koleksi audio, di situ juga menyimpan alat-alat lawas dalam industri rekaman, seperti mikropon jaman dulu yang konon harganya semahal roda empat, alat pengganda piringan hitam dan kaset, speaker-box besar yang bentuknya lebih mirip bupet, hingga mixer tahun 80an. Revitalisasi Lokananta sebagai Pusat Budaya
Memasuki ruang-ruang tempat penyimpanan peralatan rekam masa lalu dan hasilnya berupa piringan hitam dan kaset di Lokananta Surakarta, hati berdecak kagum betapa besar aset budaya yang dimiliki lembaga itu. Di sana ada puluhan ribu keping piringan hitam berisi rekaman lagu-lagu daerah, lagu kebangsaan, termasuk Indonesia Raya tiga stanza yang pernah menjadi polemik, rekaman wayang, ketoprak, seni tradisional lain, dan rekaman pidato kenegaraan Presiden Soekarno. Namun, kekayaan itu sekarang mangkrak, merana, dan seolah tanpa makna lagi. Lokasi yang strategis, bangunan bernilai sejarah dan masih kokoh, ruang studio rekaman yang berkelas pun tampaknya tidak kuasa mengangkat kembali pamor Lokananta.
Melihat kondisi riil Lokananta kini timbul perasaan prihatin dan rasa penasaran, mengapa aset budaya yang begitu besar dibiarkan merana dan lepas dari perhatian publik? Bukankah Lokananta
sangat
potensial
untuk
menjadi
pusat
kebudayaan
dan
pendidikan?
Nama Lokananta pada periode 1960 -1980 pernah populer karena produksi lagu keroncong, langgam, gendhing-gendhing, wayang, ketoprak, lagu daerah, dan seni auditif lain dengan kualitas tinggi. Pada saat itu, industri rekaman belum cukup berkembang di Indonesia sehingga masyarakat sangat meminati produk Lokananta.
Sejarah Lokananta terkait erat dengan RRI. Lokananta berdiri atas prakarsa Direktur RRI Jakarta yang pernah menjadi Kepala RRI Surakarta, R Maladi. Tujuan pendirian, memenuhi kebutuhan bahan siaran RRI di seluruh Indonesia yang waktu itu ada 26 stasiun. Uji coba pertama tahun 1950, dipimpin Kepala RRI Surakarta R Oetojo Soemowidjojo, dibantu Kepala Teknik R Ngabehi Soegoto Soerjodipoero. Saat peresmian, Menteri Penerangan RI Soedibyo, 29 Oktober 1956, memberi nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian Penerangan. Berselang empat tahun, status Lokananta berubah menjadi Perusahaan Negara berdasarkan PP No 215 Tahun 1960. Tujuan perubahan agar cakupan kerja Lokananta tidak hanya melayani kebutuhan bahan siaran RRI, tetapi juga mengemban misi menggali, membina, melestarikan, dan menyebarluaskan kesenian/kebudayaan nasional. Jadi, produksi Lokananta terbuka bagi masyarakat umum.
Seiring dengan perkembangan teknologi rekaman, sejak 1972 Lokananta berhenti memproduksi piringan hitam dan digantikan dengan kaset. Pada saat yang sama, industri rekaman komersial di Indonesia bermunculan. Hal itu berpengaruh pada prospek usaha Lokananta. Kebutuhan bahan siaran RRI tidak lagi sepenuhnya tergantung pada Lokananta, tetapi
juga
dari
industri
rekaman
komersial
dan
produksi
stasiun RRI
sendiri.
Guna meningkatkan kemampuan Lokananta agar mampu bersaing dengan industri rekaman komersial, status Lokananta diubah menjadi BUMN Departemen Penerangan berdasarkan Keputusan Presiden No 13 Tahun 1983. Melalui status baru itu, Lokananta berhak menjadi pusat penggandan video bersama dengan TVRI dan PPFN. Akan tetapi, setelah Departemen Penerangan dilikuidasi pada awal (1999) pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), status Lokananta menjadi tidak jelas. Pegawai RRI Surakarta yang semula bertugas di sana memilih kembali ke instansi asal sehingga yang bertahan di Lokananta hanya yang berstatus pegawai perusahaan, sejumlah sekitar 24 orang. Dalam masa transisi tidak menentu itu, atas perjuangan mantan Dirjen PPG Deppen Subrata, status Lokananta menjadi cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan berada di bawah Kementerian BUMN. Namun, nasib Lokananta dan karyawannya tetap merana.
Dilematis Mengingat
fokus
usaha
Lokananta
tetap
di
ranah
seni
budaya,
tidak
mudah
mengembangkan lembaga itu sesuai prinsip BUMN yang berorientasi pada profit. Namun, karena statusnya sebagai BUMN tidak ada pilihan lain bagi Lokananta kecuali menangguk untung. Jadi, posisi Lokananta saat ini sangat dilematis. Sebagai perusahaan ia harus mendatangkan keuntungan komersial, tetapi komoditas produknya lebih tepat sebagai barang layanan publik. Melihat kenyataan itu, upaya merevitalisasi Lokananta mustinya bukan mengubahnya menjadi BUMN, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan. Untuk menjadi pusat kebudayaan, Lokananta memiliki aset luar biasa dan memiliki dukungan sarana dan prasarana yang sangat memadai. Pembentukan Lokananta menjadi
pusat kebudayaan akan memperkuat karakter Solo sebagai kota budaya sekaligus tempat tujuan wisata yang sangat potensial. Fungsi edukasi dapat terwujud melalui pembangunan Lokananta sebagai museum media elektronik sehingga dapat melengkapi keberadaan Museum Pers yang ada di Kota Solo. Untuk menuju ke sana, bukan hal sulit karena ruang dan materialnya sudah tersedia di Lokananta. Hanya tinggal menunggu komitmen para pemangku kepentingan.
Gagasan menjadikan Lokananta sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan memerlukan kepedulian semua pihak, terutama Pemerintah Kota Solo dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah agar lebih proaktif dalam proses mereposisi Lokananta. Idealnya, Lokananta tidak lagi berada di bawah BUMN, tetapi menjadi bagian dari bentuk pelayanan publik sehingga dana operasionalnya tidak tergantung hasil usaha, tetapi dari APBD Solo dan atau Jawa Tengah.
Meski usaha untuk menarik kembali Lokananta dari PNRI tidak mudah, jika Pemkot Solo dan Pemprov Jawa Tengah berkomitmen kuat untuk menjadikan Lokananta sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan, usaha tersebut akan berhasil. Kebutuhan paling mendesak saat ini adalah komitmen yang kuat dari Pemkot Solo dan Pemprov Jawa Tengah, serta dukungan masyarakat di kedua wilayah itu.Rin(Satriyo)