Sumber Daya dan Perilaku Dalam Ruang: Perilaku Pelaju Wanita di Gerbong Khusus Wanita Selama Perjalanan Siti Bararah Nurhaqiyati, Enira Arvanda
1. Arsitektur Interior, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia 2. Arsitektur Interior, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Gerbong khusus wanita memberikan pelaju wanita keamanan & kenyamanan dari potensi kejahatan di ruang publik. Namun, berdasarkan pengakuan beberapa pelaju wanita, acap kali terjadi perilaku tidak menyenangkan. Skripsi ini bertujuan untuk memahami perilaku pelaju wanita akibat hadirnya gerbong khusus wanita. Untuk itu dilakukan observasi kondisi gerbong khusus wanita, wawancara, serta pengumpulan data melalui kuisioner. Temuan skripsi ini mengungkapkan bahwa pelaju wanita menunjukkan respon berbeda terhadap ketersediaan hal-hal yang dibutuhkan pelaju untuk bertahan terhadap pengaruh mobilitas kereta selama perjalanan (sumber daya). Ketersediaan sumber daya ini juga dipengaruhi oleh dominasi ruang akibat pembedaan gerbong berdasarkan jenis kelamin. Karena itu ketersediaan sumber daya, dan dominasi ruang penting menjadi pertimbangan dalam desain gerbong untuk wanita.
Resources and Behavior within Space: Behavior of Women Commuter in Women-Only Carriage During the Journey Abstract
Women-only carriage provides women commuters a safer and comfortable feeling against the feared crime in public space. However, several women commuters confess that annoying behavior frequently happened in women-only carriage. This thesis objective is to understand women commuters behavior that appear to be the effect of women-only carriage present. Methods of this research are observations, interviews, and collecting datas from online questionaires. The findings show that women commuters respond to the adequacy of resources around them. The resources adequacy is influenced by the space domination as the effect of genderbased carriage distinction. From this findings it is clear that resources adequacy and space domination are important consideration for designing carriage for women.
Keywords: Women, behavior, transportation, resource
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Pendahuluan
Setiap harinya sebanyak 400.000 pelaju memadati gerbong-gerbong Commuter Line untuk sampai ke tempat kerja.1 Jumlah manusia yang memadati gerbong sering melampaui kapasitas normal gerbong yaitu sebanyak 150 pelaju.2 Dalam kondisi gerbong yang padat, baik pria maupun wanita memiliki keterbatasan dalam mengendalikan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Kondisi ini kerap menjadi momen yang dimanfaatkan oleh pelaku kriminal dalam menjalankan aksinya. Salah satu yang sering terjadi adalah kejahatan seksual terhadap wanita. Hal ini kemudian berimbas pada munculnya rasa takut dan khawatir dalam menggunakan transportasi publik. Untuk menghadapi rasa takut dan mencegah terjadinya kejahatan seksual, pelaju wanita kerap kali melakukan antisipasi selama perjalanan (Anastasia Loukaitou-Sideris, 2008). Misalnya, dengan menghindari pakaian tertentu, aksesori yang tidak mencolok, memposisikan diri sedekat mungkin dengan pelaju wanita lainnya, dan menggunakan gerbong khusus wanita. Hadirnya gerbong khusus wanita menghadirkan pengalaman perjalanan yang berbeda bagi wanita. Dalam kondisi gerbong yang homogen, kekhawatiran akan kejahatan seksual cenderung berkurang akibat ketiadaan pria. Hal ini disebabkan oleh persepsi bahwa prialah yang berpotensi melakukan kejahatan terhadap wanita, dibandingkan sesama wanita. Antisipasi tidak perlu lagi dilakukan sehingga wanita memiliki lebih banyak kemungkinan aktifitas dan pengalaman selama perjalanan. Selain itu, wanita cenderung lebih mudah menerima keadaan berdampingan dengan orang asing yang sesama jenis kelamin karena dengan kesamaan ini pelaju wanita dapat memrediksi apa yang dialami dan mungkin dilakukan orang pelaju wanita lainnya (Paul A Bell, 1996). Ketidaknyamanan yang timbul akibat keberadaan orang lain, sesama wanita, pun dapat lebih mudah dikurangi karena kesamaan ini (Paul A Bell, 1996). Menurut Marc Auge (1995) ruang pada transportasi publik adalah salah satu contoh non-place, yaitu tempat yang miskin empati dan memori manusia. Namun, kondisi ini justru memberi keleluasaan pelaju untuk berkelana di alam pikiran dan mengakses memori yang tersimpan dalam dirinya. Pelaju menjadi terlarut dalam khayalanya sehingga dapat 1
“Commuter Line”. Iklan Kereta Api iklankeretaapi.com. Web. 25/5/14 09.25 PM Elisabeth, Berliana. “KERETA MALAM: Dinanti meski ekstra hati-hati.” Bisnis Indonesia 8 Maret 2013: hlm. 2 Bisnis.com. Web. 13/3/14 10.01 AM 2
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
mengabaikan sejenak ketidaknyamanan akibat ruang personal dan lingkungan di sekitarnya (Bissel, 2007). Sifat non-place gerbong kereta, berkurangnya ketakutan terhadap kejahatan seksual, serta kemudahan menyesuaikan ruang personal dalam kondisi homogen dapat mengurangi tekanan selama perjalanan sehingga memungkinkan wanita untuk memanfaatkan gerbong sebagai ruang tempat melepaskan tekanan dari satu tempat ke tempat lain. Walaupun begitu, di gerbong khusus wanita ternyata masih terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan di antara sesama pelaju wanita. Gerbong khusus wanita kemudian dipersepsikan oleh sebagian pelaju wanita sebagai tempat yang „egois‟ dan „ganas‟. Hal ini justru membuat sebagian pelaju wanita lebih memilih gerbong campur pada saat-saat tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk memahami perilaku wanita dalam gerbong khusus wanita dan melihat apakah ada pengaruh kehadiran gerbong khusus wanita terhadap perilaku wanita selama perjalanan. Dengan memetakannya akan terlihat bagaimana peran gerbong khusus wanita dalam mereduksi ketakutan di ruang publik dan pengaruhnya dalam memunculkan kemungkinan aktifitas dan pengalaman yang lebih beragam bagi wanita selama perjalanan.
Tinjauan Teoritis
Mobilitas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), adalah kesiapsiagaan untuk bergerak atau gerakan yang berpindah-pindah. Pada era perkembangan teknologi, ruang dan waktu menjadi terkompresi menjadi sesuatu yang lebih mudah dijangkau. Jarak tidak lagi menjadi hambatan untuk berpindah dari tempat yang jauh. Mobilitas menjadi sesuatu yang dibutuhkan untuk keberlangsungan kegiatan dalam era teknologi (Peter Adey, 2012). Sifat ini menimbulkan hal-hal lain yang mempengaruhi manusia dalam merespon ruang di sekelilingnya seperti, pengalaman kepasifan, persinggungan individu privat dengan massa publik, serta kepadatan.
Pengalaman Kepasifan Kepasifan muncul akibat mobilitas yang dimiliki gerbong kereta memaksa manusia di dalamnya untuk sepenuhnya menyerahkan kontrol perjalanan terhadap kendaraan ini dan menjadikan manusia sebagai penonton dari segala pengalaman yang dihadirkan
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
oleh gerbong (Bissel, 2012). Pengalaman tersebut diterima secara pasif tanpa melibatkan keseluruhan indera dan peran diri dalam pembentukannya (Bissel, 2012). Gerbong menjadi sebuah ruang yang minim pemaknaan sehingga digolongkan sebagai ruang yang meniadakan place, atau yang disebut Marc Auge (2000) sebagai non-place. Menurut David Bissel (2007), mobilitas tidak hanya menghadirkan kepasifan selama perjalanan tetapi juga pengalaman yang muncul akibat kepasifan tersebut. Pengalaman ini dibagi menjadi dua sudut pandang yaitu, pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pengalaman kepasifan menyenangkan merupakan
pengalaman
yang
memiliki
efek
menyegarkan
tubuh
dengan
menghadirkan perasaan relaks dan menghipnotis. Ada dua jenis pengalaman dalam kategori ini (Bissel, 2007): 1. Melamun, merupakan suatu pengalaman yang terjadi akibat pergantian terus menerus antara kesadaran terhadap apa yang benar-benar dirasakan pada saat itu maupun yang merupakan memori. Pergantian ini menghasilkan suatu pengalaman yang rapuh, yang sulit dibedakan antara yang nyata maupun tidak. Pengalaman ini melibatkan ketidakfokusan tubuh dalam menerima rangsangan di sekitar sehingga menyebabkan dirinya bisa terlepas dari apa yang terjadi di sekitarnya, walaupun tidak sepenuhnya. 2. Tertidur. Energi yang terpakai untuk mencapai kereta, kegiatan yang dilakukan sebelum naik, serta kepasifan yang dihadirkan oleh perjalanan kereta membuat gerbong kereta menjadi sebuah tempat yang memberikan kesempatan untuk berdiam dan mengembalikan energi. Kereta juga menghadirkan ruang yang tidak memiliki definisi tertentu terkait aktifitas yang terjadi di dalamnya. Hal ini membuat kereta menjadi ruang yang bisa mengakomodir berbagai kemungkinan kegiatan. Salah satunya adalah tertidur. Pengalaman kepasifan yang tidak menyenangkan, menurut Bissel (2007), adalah pengalaman yang menghambat pelaju untuk terlarut dalam pengalaman kepasifan menyenangkan. Pengalaman kepasifan yang tidak menyenangkan ini antara lain ketidaknyamanan akibat material & desain, kejadian di luar ekspektasi, contohnya keterlambatan perjalanan kereta, dan keletihan pada tubuh.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Gerbong kereta sebagai transportasi massal membentuk suatu kondisi sosial yang mempertemukan antara individu privat dengan massa publik secara kolektif (David Bissel, 2009). Hal ini menuntut adanya penyesuaian terhadap ruang-ruang interaksi antar individu pengguna kereta yang harus bisa berdampingan dengan orang-orang asing dalam tempo waktu tertentu (David Bissel, 2009). Bissel (2009) juga menyatakan bahwa pertemuan privat dengan publik yang tidak berhasil disesuaikan dapat menyebabkan konflik berupa ketidaknyamanan. Penyesuaian terhadap ruang interaksi antar individu dapat dilakukan dengan membentuk ruang personal, yaitu mekanisme yang mengatur bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain sehingga proteksi diri dan komunikasi yang sesuai dapat tercapai (Paul A Bell, 1996). Dalam Environmental Psychology edisi kelima, karangan Paul A. Bell dkk (1996), dijelaskan bahwa ruang personal muncul ketika ada interaksi antara dua orang atau lebih. Secara spesifik, beberapa konsep fungsi ruang personal adalah untuk mengontrol timbulnya keterangsangan (arousal) pada diri seseorang, menjaga privasi pada kondisi yang diinginkan, mengontrol agresi antar spesies sejenis, dan melindungi dari gangguang terhadap kewenangan yang dimiliki (Paul A Bell, 1996). Pembentukan jarak ruang personal ini bisa beragam dan ditentukan oleh situasi dan perbedaan individu (Paul A Bell, 1996). Salah satu faktor situasi yang berpengaruh adalah situasi kemiripan, misalnya dari segi umur, preferensi seksual, ras, agama, dan status sosial. Faktor perbedaan individu menggambarkan proses memahami lingkungan di sekitar yang juga berbeda. Salah satu jenis perbedaan individu adalah perbedaan berdasarkan jenis kelamin, di mana interaksi antar wanita membentuk jarak yang lebih dekat daripada interaksi antar pria, sedangkan pada kondisi yang tidak disukai wanita membentuk jarak yang lebih besar dibandingkan pria. Edward T. Hall (1990) juga mendefinisikan perbedaan jarak interaksi melalui pemetaan terhadap jenis dan intensitas stimulus inderawi, serta aktivitas yang mungkin dilakukan pada jarak tersebut. Ada 4 kategori jarak yaitu jarak intim, personal, sosial, dan publik. Jarak personal merupakan jarak yang memisahkan antar individu untuk tidak terjadi kontak fisik, namun masih memungkinkan terjadinya kontak fisik. Keberadaan orang lain dikenali melalui penglihatan, suara, dan bau. Panjang jaraknya adalah antara 46 cm – 120 cm.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Kepadatan Sebagai transportasi massal, kepadatan dalam gerbong kereta adalah kondisi yang sering dijumpai. Menurut Paul A. Bell dkk (1996), kepadatan adalah suatu kondisi di mana manusia kehilangan atau kekurangan fungsi kontrol terhadap sekitarnya. Kondisi ini dapat menganggu pembentukan ruang personal sehingga timbul ketidaknyamanan. Namun, ketika penyebab ketidaknyamanan dapat dikontrol, ketidaknyamanan tersebut dapat berkurang. Salah satu dari konsep fungsi ruang personal yang terganggu akibat kondisi padat antara lain keterangsangan (arousal), privasi yang kurang, dan ekologis, yaitu yang berkaitan dengan sumber daya. Selain itu, kepadatan juga menimbulkan interferensi dalam mencapai suatu tujuan, serta interaksi yang tidak diinginkan (Paul A Bell, 1996). Beberapa efek kepadatan pada perilaku sosial antara lain adalah terjadinya penarikan diri (withdrawal) dan agresi. Pada kondisi kepadatan sosial, yaitu ketika terjadi interaksi dengan intentsitas yang terlalu banyak, manusia cenderung memilih untuk menarik diri dibandingkan melakukan agresi. Sedangkan perilaku agresi cenderung muncul dalam kondisi keterbatasan sumber daya dan spasial (Paul A Bell, 1996). Selain itu kurangnya kontrol terhadap sekitar juga dapat membuka peluang terjadinya perilaku tidak menyenangkan, terutama pada wanita. Wanita dianggap lebih lemah dan rentan terhadap kekerasan dibandingkan pria. Hal ini terutama disebabkan karena fisiknya yang tidak sekuat pria (Anastasia Loukaitou-Sideris, 2008). Pemikiran ini berpengaruh pada munculnya rasa takut pada wanita, terutama terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh pria. Rasa takut ini juga muncul akibat pengetahuan tentang kondisi wanita lain yang pernah mengalaminya, maupun karena pengalaman pribadi (Loukaitou-Sideris, 2009). Rasa takut ini kemudian memicu terjadinya perilaku-perilaku antisipasi yang dilakukan wanita untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan menjadi target kekerasan seksual (Loukaitou-Sideris, 2009). Menurut Skogan and Maxfield (1980), ada dua jenis strategi antisipasi yang digunakan wanita (Scott, 2003, hal. 205): 1. Menghindar. Strategi ini berupa perilaku menghindari tempat atau kondisi yang berpotensi menyebabkan kekerasan terhadap dirinya. Dengan melakukan penghindaran potensi terjadinya kekerasan bisa diminimalisir.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
2. Pengaturan Resiko. Strategi ini dipakai ketika wanita telah masuk pada tempat atau situasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada dirinya dan tidak terelakkan lagi. Dalam kondisi seperti ini, wanita akan berusaha memperkecil resiko dirinya dijadikan target kekerasan. Perilaku ini membentuk suatu pola penggunaan ruang yang membatasi wanita untuk berpartisipasi dalam masyarakat dari segi ruang dan waktu. Pembatasan ini membentuk ruang-ruang yang akhirnya didominasi oleh pria karena menghambat wanita dalam berpartisipasi di dalamnya (Valentine, 1990). Menurut Scott (2003), perbedaan usia berpengaruh terhadap fokus rasa takut yang dihadapi wanita. Wanita muda dengan kondisi fisik yang masih bugar akan lebih fokus terhadap rasa takut akan kekerasan seksual dibandingkan dengan wanita berusia lanjut. Wanita lansia, dengan kondisi fisik yang sudah melemah, akan lebih fokus terhadap rasa takut akan kondisi tubuhnya dalam menghadapi kondisi sekitar (Scott, 2003). Sumber Daya Salah satu aspek yang dipengaruhi kepadatan adalah aspek ekologi, yaitu sumber daya. Agar dapat bertahan dari pengaruh mobilitas dan efek yang ditimbulkannya, pelaju membutuhkan sumber daya yang dikategorikan oleh penulis sebagai berikut: Table 1. Kategori Sumber Daya dan Parameternya
NO.
KATEGORI
PARAMETER
SUMBER DAYA
Mengakomodir pelaju agar dapat memetakan posisi kereta terhadap stasiun tujuan. 1
Informasi
Mengakomodir pelaju untuk tahu kondisi perjalanan yang sedang dijalani. Mengakomodir pelaju untuk tahu kondisi gerbong yang akan dinaiki. Mengakomodir pembentukan ruang personal sesuai preferensi individu.
2
Ruang Mengakomodir pelaju agar dapat berada di dalam gerbong.
3
Alat
Mengakomodir kebutuhan tubuh untuk bertahan terhadap efek mobilitas.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Sumber daya ini dapat diakomodir melalui pembentukan ruang personal dan teritori yang membantu pelaju mengatur kondisi di sekitarnya agar sesuai dengan preferensi yang diinginkan selama mengalami mobilitas. Teritori berfungsi sebagai mekanisme yang mengatur siapa saja yang boleh mengakses kepemilikan terhadap sesuatu, misalnya sumber daya. Tujuanya adalah untuk menjaga keteraturan dalam berbagai aspek, seperti hubungan sosial, memberikan gambaran tentang perilaku orang lain yang akan ditemui di suatu tempat, serta mengatur interaksi dan aktivitas yang terjadi di dalamnya (Paul A Bell, 1996). Walaupun begitu, teritori memiliki kekuatan yang bervariasi tergantung pada seberapa besar kepemilikan terhadap teritori tersebut yang ditentukan oleh jenis tempat (Paul A Bell, 1996). Teritori yang terbentuk di ruang publik, seperti gerbong kereta, memiliki kekuasaan yang kecil dan sifatnya sementara, namun terkadang bisa dipersonalisasi secara temporer. Ada beberapa cara untuk mempertahankan teritori, antara lain (Paul A Bell, 1996): 1. Personalisasi dengan menandai teritori dengan simbol diri, bisa berupa nama, barang personal, dll. 2. Personalisasi secara non-verbal dengan menyentuh atau berdiri di dekat teritori tersebut. 3. Personalisasi dengan cara mengembangkan dan merawat kepemilikan tersebut. 4. Menahan penggunaan suatu teritori lebih lama terhadap orang lain yang terlihat akan menggunakannya kemudian. Ini berlaku pada teritori publik di mana klaim akan teritori minim. Teritori terkadang bisa salah dimengerti oleh orang lain atau sengaja dilanggar. Penyebabnya bisa karena simbol teritori yang kurang jelas, atau karena kurangnya kekuasaan terhadap kepemilikan (Paul A Bell, 1996). Kepemilikan teritori yang tidak jelas bisa menimbulkan efek negatif apabila teritori berkaitan dengan kepemilikan sumber daya yang terbatas, yaitu agresi. Agresi antar Wanita Agresi, sebagai salah satu efek dari crowding dan teritori, merupakan perilaku yang bisa terjadi baik pada pria maupun wanita. Bjorkqvist dan Niemela (1992) mendefinisikan agresi sebagai suatu aksi maupun keinginan untuk menyakiti orang
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
lain, diri sendiri, atau objek tertentu. Sakit yang ditimbulkan oleh agresi bisa berupa sakit secara fisik maupun psikologis. Pelaku maupun target agresi bisa merupakan individu maupun grup (Kaj Bjorkqvist, Pirkko Niemela, 1992). Lagerspetz, Bjorkqvist, dan Peltonen (1988) mengemukakan dua strategi yang dipakai dalam melakukan agresi (Kaj Bjorkqvist, Pirkko Niemela, 1992, hal. 52): 1. Agresi Langsung. Merupakan aksi agresi yang dilakukan secara langsung dengan tatap muka antara pelaku dengan target. Bentuknya bisa fisik, contohnya menjambak, maupun verbal, contohnya memaki. 2. Agresi Tidak Langsung. Merupakan aksi agresi yang dilakukan melalui perantara manipulasi sosial sehingga jati diri pelaku tersamarkan oleh medium perantara. Bentuknya juga bisa berupa fisik, contohnya menyakiti melalui orang suruhan, maupun verbal, contohnya bergosip. Kedua strategi ini digunakan sesuai dengan kondisi yang dipengaruhi oleh kebutuhan penggunanya. Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan strategi agresi antara lain perkembangan intelejensi dan kekuatan fisik (Kaj Bjorkqvist, Pirkko Niemela, 1992). Pada tahap dewasa, perilaku agresif cenderung terjadi terhadap sesama jenis kelamin. Hal ini disebabkan oleh kompetisi, status, dan dominasi. Pada tahap ini agresi antara pria terhadap wanita lebih sering terjadi di dalam keluarga dan cenderung menggunakan strategi agresi langsung. Sedangkan agresi antara pria terhadap wanita yang tidak saling mengenal lebih jarang terjadi. Hal ini disebabkan oleh norma sosial yang membentuk persepsi bahwa pria harus bersikap melindungi dan sopan terhadap wanita (Kaj Bjorkqvist, Pirkko Niemela, 1992). Agresi antar sesama jenis, yaitu wanita terhadap wanita lain, lebih sering terjadi akibat adanya kompetisi dalam hierarki dominasi terhadap sesama wanita, perilaku mempertahankan sumber daya, dan respon terhadap emosi (Kaj Bjorkqvist, Pirkko Niemela, 1992). Baik pria dan wanita keduanya merespon keterbatasan sumber daya, namun menurut Ilsa M. Glazer (1992), perilaku agresif pada wanita juga dipengaruhi oleh struktur sosial. Ada dua jenis struktur sosial yang berpengaruh, yaitu: 1. Struktur Patriarki. Adalah masyarakat yang menempatkan pria pada posisi utama dan berkuasa (Patriarchy, n.d.).
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
2. Struktur Matriarki. Adalah masyarakat yang menempatkan wanita pada posisi utama dan berkuasa (Matriarchy, n.d.). Pada masyarakat sosial yang mengadopsi perspektif patriarki, agresi antar wanita lebih sering terjadi. Hal ini disebabkan karena kondisi patriarki menyebabkan pria mendominasi sumber daya yang dimiliki sehingga sumber daya untuk wanita menjadi terbatas. Keterbatasan ini memicu terjadinya kompetisi antar wanita terhadap sumber daya tersebut. Sedangkan pada masyarakat yang matriarki wanita memiliki kontrol terhadap sumber daya sehingga agresi akibat kompetisi lebih jarang terjadi (Kaj Bjorkqvist, Pirkko Niemela, 1992).
Metode Penelitian Bahasan yang akan diangkat dalam skripsi ini akan berfokus pada perilaku pelaju, yaitu pengguna rutin, yang didefinisikan sebagai pekerja & mahasiswa. Rute Commuter Line yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah rute antara Stasiun Depok – Manggarai. Kedua stasiun ini merupakan stasiun transit yang cukup ramai digunakan karena memiliki kemungkinan aktivitas yang beragam, seperti naik, turun, dan transit ke kereta lain. Karena itu, rute ini potensial mengalami kepadatan yang relevan dengan teori yang digunakan untuk menjelaskan penelitian ini. Sedangkan gerbong yang dipilih adalah gerbong khusus wanita. Penelitian ini dituliskan dengan metode deskriptif melalui penjabaran data yang bersumber dari: 1. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara responden, dan melalui kuisioner online. Pengamatan langsung dilakukan selama 12 jam sehari dan dilaksanakan pada 3 hari, yaitu 2 hari kerja dan 1 hari akhir pekan. Tempat yang dipilih untuk observasi adalah gerbong khusus wanita yang dilakukan bergantian antara gerbong nomor 1 dan 8. Pengamatan juga dilakukan di setiap stasiun antara Manggarai dan Depok untuk memetakan ciri fisiknya. Untuk melengkapi data ciri stasiun penulis melakukan wawancara di setiap stasiun tersebut dengan total responden 30 orang. Kuisioner online digunakan untuk memetakan perilaku dan pengalaman pelaju di gerbong khusus wanita. Kuisioner ini disebarkan kepada komunitas pelanggan
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Commuter Line di dunia maya. Komunitas dan responden yang menjadi target adalah follower akun Twitter @krlmania, @CurhatKRL, dan @CommuterLine, serta blogger yang memuat ulasan tentang pengalaman di gerbong khusus wanita dalam blognya. Jumlah responden yang berpartisipasi dalam kuisioner online berjumlah 64 orang dari total populasi 288 orang (perkiraan jumlah populasi ideal dalam dua gerbong khusus wanita dalam satu rangkaian kereta). 2. Data sekunder, yaitu teori hasil studi literatur yang mendukung topik penelitian. Teoriteori yang akan dijabarkan berhubungan dengan mobilitas, women’s fear of crime, ruang personal, teritori, kepadatan, non-place, dan perilaku agresif pada wanita. Data dari studi kasus, yaitu data primer, akan dianalisis keterkaitannya dengan data sekunder untuk diambil kesimpulannya. Metode analisis dilakukan secara kualitatif karena hal yang diteliti adalah perilaku wanita terkait perjalanan kereta.
Hasil Penelitian Komposisi umur responden yang di dapatkan mayoritas berada dalam kategori rentang umur 20-29 tahun (72 %), yaitu usia produktif. Responden ini mayoritas berprofesi sebagai mahasiswa (48 %) dan karyawan (38 %). Mayoritas responden ini mengaku sering menggunakan Commuter Line sebagai alat transportasi yaitu sebesar 75 % dari total responden.
Gambar 1 Komposisi Umur
Gambar 2 Komposisi Pekerjaan
Gambar 3 Komposisi Intensitas
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Para responden ini mayoritas berangkat dari arah selatan yaitu, Depok/Bogor menuju arah utara. Sedangkan pulangnya mayoritas bergerak dari arah utara, menuju ke selatan.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4 Stasiun keberangkatan (a) & tujuan (b) saat berangkat, dan stasiun keberangkatan (c) & tujuan (d) saat pulang
Hasil observasi menunjukkan pola pergerakan seperti ini berpotensi mengakibatkan kepadatan pada saat perjalanan berangkat dan pulang. Penulis mengkategorikan kepadatan yang terjadi dalam 4 kondisi sebagai berikut: a) Sepi (S)
: jarak antar pelaju lebih dari jarak personal
b) Ramai (R)
: jarak antar pelaju berkisar antara jarak personal hingga tidak ada jarak
c) Padat (P)
: tidak terbentuk jarak antar pelaju namun masih memungkinkan penambahan pelaju lain.
d) Padat sekali (PS) : tidak terbentuk jarak antar pelaju dan tidak memungkinkan adanya penambahan pelaju lain. Ruang personal = jarak personal = 46 cm ± 50 cm
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Kondisi
kepadatan
ini
mempengaruhi pemilihan jenis gerbong oleh pelaju wanita. Mayoritas responden (72 % & 69 %) memilih gerbong khusus wanita, terutama pada saat padat, agar merasa aman dan nyaman, serta terhindar dari pelecehan seksual dan pencopetan. Namun, ada sebagian responden (13 % Gambar 5 Ilustrasi kategori kepadatan. a) Sepi. b) Ramai. c) Padat. d) Padat Sekali
& 12 %) yang memilih gerbong campur. Alasannya karena gerbong khusus wanita
seringkali padat, kemungkinan mendapat tempat duduk kecil, dan, terutama, karena di gerbong khusus wanita sering terjadi perilaku intoleran. Ada beberapa aktivitas yang dirasa nyaman
dilakukan
oleh pelaju wanita di gerbong wanita
khusus antara
ditunjukkan
lain pada
Gambar 6. Gambar 6 Aktivitas yang nyaman dilakukan di gerbong khusus wanita
Beberapa aktivitas yang sering dilakukan selama di gerbong khusus wanita antara lain bermain gadget (25 %), mendengarkan musik (17 %), tidur (17 %), memperhatikan orang di sekitar (17 %), melihat pemandangan sekitar (15 %), dan melamun (8 %).
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Responden
juga
menyebutkan beberapa perilaku yang
tidak
intoleran,
di
menyenangkan, gerbong
khusus
wanita antara lain, tidak mengalah pada penumpang prioritas (16 %), tidak mau sabar seperti seperti saling
dorong,
tidak
mau
mengalah & memaksa masuk walau penuh (13 %), tidak toleran seperti acuh, mudah tersulut emosi & egois Gambar 7 Perbandingan Penyebab Ketidaknyamanan di Gerbong Khusus Wanita
(9 %), berisik (9 %),
duduk di lantai (7 %), dan duduk menggunakan dingklik (6 %).
Hasil kuisioner juga mengungkapkan bahwa perilaku tidak menyenangkan ini direspon oleh pelaju dengan beberapa cara seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Jenis Perilaku Respon
Gambar 9 Jenis Pilihan Posisi & Gerbong dalam Merespon Perilaku Mengganggu
Responden menyertakan posisi dan gerbong pilihan ketika memilih untuk merespon dengan menghindari posisi dan gerbong tertentu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9 di atas.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Perilaku tidak menyenangkan ini berhubungan dengan sumber daya yang ada dan dibutuhkan selama pelaju dalam perjalanan. Dari hasil observasi, sumber daya tersebut antara lain ditunjukkan pada tabel berikut: Table 2. Sumber Daya di Gerbong Khusus Wanita
NO.
KATEGORI
JENIS
SUMBER DAYA
1
Ciri fisik stasiun
2
Ciri non-fisik stasiun
3
Peta rute Informasi
4
Jendela
5
Pintu
6
Informasi dari pengeras suara
7
Ruang
Ruang personal
8
Tempat duduk
9
Pegangan gantung
10
Rak barang Alat
11
Lampu
12
AC
13
Kipas
Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh, pengguna Commuter Line gerbong khusus wanita menunjukkan perilaku yang berbeda-beda selama perjalanan. Perilaku ini berkaitan dengan waktu, jenis hari, tingkat kepadatan, profesi, dan umur. Prosentase intensitas penggunaan Commuter Line menunjukkan bahwa mayoritas responden didominasi oleh wanita di usia produktif yaitu 20-29 tahun (72%) yang mayoritas profesinya adalah karyawan (38%) atau mahasiswa (48%). Hal ini berhubungan dengan jenis hari di mana pelaju sering melakukan perjalanan, yaitu di hari kerja (63%). Data ini menunjukkan bahwa wanita, terutama di usia produktif, memiliki kebutuhan mobilitas yang tinggi.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Selain itu, pemetaan stasiun keberangkatan dan tujuan ketika pulang dan pergi menunjukkan bahwa ada kecenderungan pola pergerakan antara utara dan selatan yang mengindikasikan terjadinya kepadatan di gerbong. Kondisi ini menempatkan wanita pada keadaan rawan kekerasan dan menimbulkan rasa takut di gerbong kereta. Ketakutan ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan yang tinggi dalam penggunaan gerbong khusus wanita (72 % & 69 %). Walaupun begitu, hadirnya pilihan gerbong ini juga menunjukkan peningkatan dominasi pria di ruang-ruang tertentu, yaitu di gerbong campur. Ruang yang didominasi pria menyebabkan wanita terdesak ke ruang-ruang yang masih tersisa, yaitu gerbong khusus wanita. Akibatnya gerbong khusus wanita sering kali mengalami kepadatan karena digunakan oleh mayoritas pelaju wanita, sedangkan jumlahnya hanya dua gerbong dalam satu rangkaian kereta. Kepadatan ini akan mempengaruhi ketersediaan sumber daya yang di butuhkan di gerbong seperti yang ditunjukkan pada tabel analisa berikut: Tabel 3. Analisis Skenario Kondisi Kepadatan
Ketika kondisi sumber daya yang dibutuhkan pelaju cukup, yaitu pada kondisi sepi hingga ramai, maka pengalaman kepasifan yang menyenangkan dapat dirasakan. Pada kondisi sepi pelaju lebih leluasa dalam melihat keadaan di sekelilingnya sehingga bisa mengetahui dan memprediksi apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Kemampuan memprediksi ini memberikan pelaju gambaran tentang apa yang harus dilakukannya terkait prediksi tentang sekitarnya.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Persepsi tentang kesiapan bertindak ini membuat pelaju lebih merasa aman & nyaman sehingga tuntutan untuk waspada terhadap kondisi sekitar tidak lagi menjadi fokus utama perhatian. Akibat ketiadaan fokus perhatian, pelaju menjadi lebih leluasa untuk terlarut dalam pengalaman perjalanan kereta seperti tidur dan melamun. Keleluasaan ini juga membuat para pelaju memiliki kontrol yang cukup terhadap ketersediaan sumber daya. Karena itu pelaju tidak perlu saling berkompetisi terhadap sumber daya, sehingga pada kondisi ini agresi
Gambar 10 Perilaku ketika sumber daya cukup
antar wanita tidak terjadi. Namun, ketika sumber daya yang dibutuhkan selama perjalanan dalam kondisi terbatas hingga minim, pelaju dituntut untuk lebih waspada terhadap fokus perhatiannya serta menemukan alternatif yang dapat mengakomodir kebutuhannya. Hal ini menyebabkan kemampuan pelaju untuk terlarut dalam perjalanan kereta menjadi berkurang. Perilaku tidur dan melamun lebih dibatasi agar tidak kehilangan kemampuan untuk mengatur fokus. Beberapa perilaku pencarian alternatif sumber daya alat antara lain dengan menggunakan tiang pembatas tempat duduk untuk bersandar, memaksakan duduk di sisa ruang tempat duduk yang masih memungkinkan, duduk di lantai, atau menggunakan alat bantu yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Keterbatasan sumber daya informasi direspon dengan mencari posisi di dekat jendela maupun pintu (13%), serta posisi
Gambar 11 Kondisi dan perilaku ketika sumber daya terbatas
berdiri (11%) dibandingkan duduk (3%). Memilih untuk menggunakan rangkaian kereta berikutnya yang lebih lowong juga merupakan salah satu strategi. Dalam kondisi jarak antar pelaju yang sangat minim, dan bahkan tidak ada, pelaju menunjukkan beberapa perilaku yang digunakan sebagai strategi mengurangi dampak negatif akibat ruang personal yang tidak sesuai. Beberapa perilaku yang dilakukan adalah mendengarkan musik, memperhatikan orang di sekitar, bermain gadget, dan melamun. Perilaku ini merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian agar fokus pikiran terhadap efek negatif invansi ruang personal yang tidak terelakkan bisa sedikit dikurangi. Ada kondisi yang bertolak belakang dalam perilaku melamun dan menggunakan gadget. Di satu sisi ada pelaju yang menghindari penggunaan gadget ketika kondisi padat (23%), namun ada yang menggunakan gadget dalam kondisi padat (7%) untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat minimnya sumber daya ruang. Perbedaan ini menunjukkan adanya fokus kebutuhan sumber daya yang berbeda di antara pelaju.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Selain itu, dalam kondisi gerbong wanita yang hanya digunakan oleh wanita timbul kompetisi terhadap sumber daya yang lebih besar. Berbeda dengan kondisi di gerbong campur, kejelasan dominasi pria terhadap wanita, karena fisik yang lebih kuat, mendorong pria untuk bersikap melindungi wanita yang fisiknya lebih lemah, salah satunya dengan
merelakan
tempat
duduknya.
Pada
gerbong
wanita,
ketidakjelasan dominasi menimbulkan pandangan yang bertolak belakang terhadap sikap enggan memberikan tempat duduk pada penumpang prioritas. Terlepas dengan adanya aturan mengutamakan penumpang prioritas, kategori pelaju wanita yang dianggap lebih kuat diharapkan untuk merelakan tempat duduknya layaknya terhadap pria.
Gambar 12 Agresi terhadap penumpang prioritas
Sedangkan antar wanita tidak terdapat dominasi yang jelas, layaknya terhadap pria, sehingga antar wanita berkompetisi mendominasi, terutama terhadap sumber daya. Akibatnya setiap wanita merasa pantas menguasai sumber daya dan mempertahankannya. Salah satu contohnya adalah perilaku enggan memberikan tempat duduk kepada penumpang prioritas walaupun aturan ini sudah dinyatakan dalam simbol-simbol di gerbong kereta. Di samping itu, perilaku tidak memberi tempat duduk pada penumpang prioritas termasuk perilaku agresi terhadap teritori. Penumpang prioritas diberi kelebihan untuk didahulukan dalam mendapatkan tempat duduk sehingga dia memiliki klaim kepemilikan terhadap sumber daya tempat duduk yang ada di gerbong. Penumpang yang enggan memberikan tempat duduk melakukan agresi terhadap kepemilikan tersebut dengan menolak memberikannya. Beberapa perilaku yang menggambarkan agresi ini antara lain pura-pura tidur/ tidak tahu ketika ada penumpang prioritas di dekatnya, dan ekspresi/perasaan sebal ketika terpaksa harus memberikan tempat duduk kepada penumpang prioritas. Konflik cara pandang ini juga menggambarkan kurangnya ketersediaan informasi untuk bisa memprediksi cara pandang wanita lain terhadap perilaku tersebut. Akibatnya, beberapa wanita (13% di hari kerja dan 12% di akhir pekan) menyesuaikan kebutuhan terhadap sumber daya alat dengan memilih gerbong yang lebih mudah diprediksi cara pandang penumpangnya, salah satunya dengan memilih gerbong campuran yang didominasi oleh pria. Gerbong campuran karena kemungkinan dapat tempat duduk lebih besar. – Responden Kuisioner 62
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Perilaku-perilaku yang muncul ketika terjadi keterbatasan sumber daya ini dirasa mengganggu oleh pelaju lain sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Kompetisi dan ketidaknyamanan akibat efek keterbatasan ini kemudian memicu timbulnya agresi antar wanita seperti adu mulut, sindiran, tatapan tajam, dan rasa sebal terhadap penumpang lain. Bagi beberapa pelaju, adu mulut dan celetukan tajam merupakan hal yang mangganggu kenyamanan dan paling sering dilakukan oleh ibu-ibu umur 30an hingga 50an tahun. Hal ini mendorong beberapa pelaju (13% di hari kerja, dan 12% di akhir pekan) di luar rentang umur tesebut untuk lebih memilih menggunakan gerbong campur untuk menghindari adu mulut dan celetukan tajam dari pelaju wanita lain. Perilaku ini bertolak belakang dengan tujuan keberadaan gerbong khusus wanita sebagai pencegah terjadinya kekerasan seksual yang acap kali terjadi ketika kondisi padat. Namun, hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan fokus kebutuhan yang mendorong pelaju untuk menentukan pilihan gerbong sesuai kondisinya. Pelaju wanita yang memilih gerbong campur lebih fokus pada kebutuhan sumber daya alat dan kenyamanan ruang, dibandingkan yang konsisten memilih gerbong khusus wanita.
Kesimpulan Penelitian ini menemukan bahwa wanita di gerbong khusus wanita menunjukkan perilaku yang beragam sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan selama perjalanan, seperti sumber informasi, alat, dan ruang. Ketika sumber daya cukup, pelaju memiliki keleluasaan untuk melakukan hal lain yang dianggap menyenangkan selama perjalanan, seperti tidur, melamun, dan bermain gadget, karena kebutuhannya sudah terpenuhi. Namun, ketika sumber daya tidak mencukupi maka timbul usaha untuk mengembalikan kestabilan kebutuhan yang dapat menghalangi pelaju dalam melakukan aktivitas yang dianggap menyenangkan selama perjalanan. Keberadaan gerbong khusus wanita ternyata juga mempengaruhi perilaku pelaju wanita dalam memilih jenis gerbong, apakah gerbong campur atau gerbong khusus wanita, dan bagaimana dia berperilaku di dalamnya. Hadirnya gerbong yang dikhususkan untuk wanita membentuk dominasi pria yang lebih kuat di ruang yang lebih banyak, yaitu di gerbong campur. Wanita akhirnya terdesak ke ruang-ruang yang tidak didominasi pria, yaitu gerbong khusus wanita yang berjumlah dua gerbong dalam satu rangkaian. Akibatnya, para pelaju wanita harus berkompetisi sebagai usaha mendapatkan sumber daya yang terbatas.
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Usaha-usaha ini acap kali menimbulkan ketidaknyamanan pada pelaju lain, melanggar tata tertib di gerbong, dan memicu perilaku agresif. Akibatnya, pelaju-pelaju yang merasa terganggu melakukan antisipasi dengan beberapa cara seperti, menghindari gerbong khusus wanita saat penuh dan di waktu-waktu tertentu, dan menghindari posisi yang dekat dengan orang-orang yang dianggap mengganggu. Perilaku-perilaku ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya dan pengaruh dominasi ruang berdasarkan jenis kelamin memicu terjadinya kompetisi antar wanita yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pelaju lain. Karena itu, kedua aspek ini penting untuk dipertimbangkan dalam desain gerbong bagi wanita karena berpengaruh pada perilaku dan pengalaman yang dialami selama perjalanan.
Daftar Referensi Buku: Auge, M. (1995). Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity. London: Verso. Hall, E. T. (1990). The Hidden Dimension. New York: Anchor Books. Paul A. Bell, T. G. (1996). Environmental Psychology. Harcourt Brace College Publishers. Tuan, Y.-F. (1977). Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Bab dalam Buku: Auge, M. (2000). Non-Places. In A. Read, Architecturally Speaking: Practice of Art, Architecture and the Everyday (pp. 7-11). London: Psychology Press. Glazer, I. M. (1992). Interfemale Aggression and Resource Scarcity in a Cross-Cultural Perspective. In P. N. Kaj Bjorkqvist, Of Mice and Women: Aspects of Female Aggression (pp. 163-170). California: Academic Press. Kaj Bjorkqvist, K. O. (1992). The Development of Direct and Indirect Aggressive Strategies in Males and Females. In P. N. Kaj Bjorkqvist, Of Mice and Women: Aspects of Female Aggression (pp. 51-63). California: Academic Press. Kaj Bjorkqvist, P. N. (1992). New Trends in the Study of Female Agression . In P. N. Kaj Bjorkqvist, Of Mice and Women: Aspects of Female Aggression (pp. 3-16). California: Academic Press.
Dokumen Online: Commuter Line. (n.d.). Retrieved from Iklan Kereta Api: http://www.iklankeretaapi.com/p/commuter-line.html Elisabeth, B. (2013, Maret 8). Kereta Malam: Dinanti Meski Ekstra Hati-hati. Retrieved from Bisnis Indonesia: http://industri.bisnis.com/read/20130308/98/2743/kereta-malam-dinanti-meski-ekstra-hati-hati Fadillah, R. (2014, April 19). Satu lagi Cerita Nestapa Ibu Hamil Naik KRL. Retrieved from Merdeka: http://www.merdeka.com/peristiwa/satu-lagi-cerita-nestapa-ibu-hamil-naik-krl.html
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014
Pengertian Transportasi. (2010, Juli 3). Retrieved from Mogajaya Trans: mogajayatrans.com/pengertiantransportasi.html Rosalina. (2010, Agustus 19). Gerbong Kereta Khusus Wanita Diluncurkan. Retrieved from Tempo: http://www.tempo.co/read/news/2010/08/19/083272305/Gerbong-Kereta-Khusus-Wanita-Diluncurkan Rudi, A. (2013, Agustus 13). Pengamat: Jakarta Tak Layak Dihuni 20-30 Juta Orang. Retrieved from Kompas: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/13/1317134/Pengamat.Jakarta.Tak.Layak.Dihuni.2030.Juta.Orang. Sekilas KRL. (n.d.). Retrieved from Commuter : http://www.krl.co.id/sekilas-krl.html Types of Trains, Locomotives, and Rails. (n.d.). Retrieved from Train History: http://www.trainhistory.net/trainfacts/train-types/ Zahra, N. (2014, April 17). Penumpang KRLdi Gerbong Wanita Egois. Retrieved from Kompas: http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/17/0949287/.Penumpang.KRL.di.Gerbong.Wanita.Egois
Artikel Jurnal: Anastasia Loukaitou-Sideris, C. F. (2008). Addressing Women‟s Fear of Victimization in Transportation Settings. Urban Affairs Review, pp. 1-34. Bissel, D. (2007, Mei 16). Travelling Vulnerabilities: mobile timespaces of qiuescecnce. Cultural Geographies, pp. 427–445. Bissel, D. (2009). Moving with others: The sociality of the railway Journey. In P. Vannini, Cultures of Alternative Mobilities (pp. 55-69). Surrey: Ashgate Publishing Group. Peter Adey, D. B. (2012, February 19). Profiling the passenger: mobilities, identities, embodiments. Cultural Geographies, pp. 169 –193. Scott, H. (2003, Maret 4). Stranger Danger: Explaining Women's Fear of Crime. Western Criminology Review, pp. 203-214. Valentine, G. (1990). Women's Fear and the Design of Public Space. Built Environment, pp. 288-303.
Tesis, Disertasi: Üngür, E. (2012). Contradiction and Ambiguity in Non-Place: Non-Place as a Transitional; Spatial Concept. 3rd Global Conference (pp. 1-12). Oxford: Inter-Disciplinary.Net.
Laporan Penelitian: Loukaitou-Sideris, A. (2009). How to Ease Women's Fear of Crime of Transportation Environments: Case Study and Best Practices. San Jose: Mineta Transportation Institute College of Business.
Ensiklopedia, Kamus: Kereta Api. (2002). Retrieved from Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): http://kbbi.web.id/kereta api Matriarchy. (n.d.). Retrieved from Encyclopedia Britannica: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/369468/matriarchy Mobilitas. (2002). Retrieved from Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): http://kbbi.web.id/mobilitas Patriarchy. (n.d.). Retrieved from Encyclopedia Britannica: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/446604/patriarchy
Sumber daya..., Siti Bararah Nurhaqiyati, FT UI, 2014