SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
Subtitusi Buah Sukun (Artocapus altilis Forst) Dalam Pembuatan Mie Basah Berbahan Dasar Tepung Gaplek Berprotein Subtitution of Breadfruit (Artocapus altilis Forst) As an Additional Ingredient in The Process of Manufacturing Wet Noodles From Protein Cassava Flour Frahma Safitri*, Sri Hartini** *Mahasiswa Progdi Kimia, FSM-UKSW , Salatiga ** Dosen Progdi Kimia, FSM-UKSW , Salatiga
[email protected]
ABSTRACT In the effort Indonesia food diversify hence conducted by research of making wet noodles from bread-fruit subtitution to produce wet noodles with good physical characteristic and have fiber rate and also high protein rate. The purpose of this research is to determine he best concentration addition of bread-fruit as an ingredent in making a wet noodle made from protein cassava flour. Data were analyzed using Randomized Completely Block Design (RCBD) with time analyse
as a group and concentration
addition of breadfruit as a treatment, as a breadfruit additional substitution as follows : control , 20 % , 25 % , 30 % , 35 % and 40 %, and analysis time used repeat the study. The Honestly Significant Differences (HSD) test at 5 % level of significance used to compared treatment average. Parameter perceived is
water rate, dusty rate, rehidrasi energy,
elasticity, protein rate, and fibre rate. From result of research show the average water rate is : 54, 10 - 58,93% dusty rate : 2,23%-2,89% fibre rate : 10,32-20,61%. Addition most optimal of Bread-Fruit seen from water absorpsion, cooking lose, broken time and long addition of noodles is the addition of 40 % bread-fruit. Key word : bread-fruit, Protein cassava Flour, Protein, Fiber, Wet Noodle
PENDAHULUAN
Mie merupakan makanan yang banyak digemari oleh masyarakat terutama di Indonesia. Mie merupakan hasil olahan dari tepung dan dapat disajikan sebagai bahan pengganti nasi karena mempunyai nilai gizi dan sumber karbohidrat. Ditinjau dari segi kandungan airnya,mie dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie kering dan mie basah. Kedua jenis mie ini mempunyai perbedaan pokok yakni pada tingkat keawetannya. Bila
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
disimpan pada suhu ruang, mie kering akan awet sampai berbulan-bulan, sedangkan mie basah hanya tahan disimpan selama satu sampai dua hari. Mie basah adalah produk makanan yang terbuat dari terigu baik dengan atau tanpa penambahan bahan baku lain, dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta mempunyai kadar air maksimal 35%. (Widyaningrum, 2005). Mie yang baik mempunyai sifat yang elastis dan tidak mudah putus. Beberapa hal yang mempengaruhi kualitas mie (tekstur) adalah besarnya daya regang mie, kemampuan mie dalam menyerap air dan besarnya padatan yang keluar mie akibat pemanasan. Besarnya konsumsi terigu, khususnya untuk produksi mie menyebabkan naiknya impor gandum Indonesia sehingga mengakibatkan tersedotnya sebagian devisa negara. Sebagai salah satu upaya mengurangi impor gandum tersebut perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan komoditi sumber karbohidrat yang dapat diproduksi di dalam negeri seperti singkong, sagu, ubi jalar, dan sebagainya. Penelitian tentang pemanfaatan tepung gaplek berprotein sebagai bahan pengganti tepung terigu telah dilakukan. Berdasarkan penelitian
Hadinataria (2011) kondisi optimum pembuatan tepung gaplek berprotein
adalah dengan perbandingan 5:25 %. Salah satu kendala dalam pemanfaatannya dalam pembuatan mie tepung gaplek berprotein yang dihasilkan belum memberikan tekstur yang kuat. Hal ini dikarenakan kandungan serat yang terdapat dalam tepung gaplek berprotein masih rendah. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kondisi optimum mie basah yang mempunyai tekstur yang baik dan meningkatkan kandungan seratnya. Mie basah pada umumnya mengandung karbohidrat dan energi, dengan kadar serat yang rendah. Konsumsi serat pangan yang kurang akan menyebabkan masalah gizi buruk yang sering terjadi di masyarakat Indonesia. Serat merupakan unsur terpenting yang harus ada didalam tatanan gizi suatu produk pangan. Selain itu pada pembuatan suatu produk mie, adanya kandungan serat didalam bahan juga dapat mempengaruhi pembentukan tekstur mie yang dihasilkan. Penelitian Goesti (2006) kadar serat yang baik pada suatu produk mie basah adalah 2,430 %. Salah satu bahan lokal yang terdapat di Salatiga yang mengandung serat yang tinggi adalah sukun. Buah sukun merupakan buah yang mudah tumbuh dan buahnya yang mudah dijumpai, akan tetapi pemanfaatan dari buah ini masih belum banyak dikembangkan. Buah sukun merupakan bahan pangan dengan kalori dan sumber gizi yang cukup tinggi. Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
0,2%, abu 1,21%, fosfor 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, fosfor 0,048%, kalsium 0,21%, besi 0,0026%, kadar air 61,8% dan serat atau fiber 2% (Hendalastuti,2006). Sedangkan menurut penelitian Rohadi (2002) adanya penambahan tepung sukun dapat memperbaiki tekstur dari sebuah mie, sehingga dilakukan penelitan ini untuk menentukan konsentrasi penambahan sukun yang tepat sebagai bahan tambahan dalam pembuatan mie basah ditinjau dari kadar serat serta protein dari bahan dasar. Mie basah yang dihasilkan akan diukur juga karakteristik sifat fisiknya.
BAHAN DAN METODA Bahan dan Piranti Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah ketela pohon yang didapat dari petani ketela pohon didaerah Jembrak , Kabupaten Semarang. Sukun varietas putih yang didapat dari Pasar Raya Salatiga dan ragi yang diggunakan adalah ragi Raprima yang didapatkan dari Pasar Raya Salatiga . Sedangkan bahan kimia yang diggunakan adalah NaOH (PA, MerckGermany) ,CuSO4.5H2O + natrium kalium tartat (PA, Merck-Germany), aquades, H2SO4 (PA, Merck-Germany), BSA (Bovine Serum Albumin, PA, Merck-Germany). Piranti Piranti yang digunakan antara lain : drying cabinet, grinder, ayakan aperture 250 μm-mesh 60, centrifuge (EBA 21 Hettich Zentrifugen), kertas saring, alat gelas, Shoklet, refluks, Spektrofotometer Optizen UV 2120, Tensile Strength Tester.
Metoda Pembuatan Tepung Gaplek kering dikukus dan ditambah dengan kedelai 25 gram , kemudian ditambah dengan sukun dengan variasi konsentrasi penambahan sukun sebagai berikut : 0%, 20 %,25 %, 30% ,35% dan 40 %. Masing-masing campuran difermentasi menggunakan ragi tempe 10 % dari berat total selama 30 jam 20 menit.
Penentuan Kadar Protein Dengan Metode Biuret (AOAC,1995) 1 gram sampel ditambah dengan 1 ml NaOH 1 M dan dilarutkan dalam 10 ml akuades, larutan di panaskan didalam water bath selama 10 menit, kemudian larutan
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
dipusingkan dengan sentrifuge selama 30 menit 3000 rpm. 1 ml supernatan diambil dan ditambahkan dengan 2 ml reagen biuret. Larutan yang sudah ditambahkan dengan reagen diinkubasi selama 30 menit dan absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 550 nm.
Penentuan Kadar Serat (Sutrisno,dkk., 2009) 2 gram sampel yang sudah diekstraksi lemaknya dengan shoklet diambil dan ditambahkan dengan 25 ml bufer fosfat 0.08 M pH 6.0 ditambahkan dengan 1μl termamil dididihkan selama 30 menit kemudian ditambahkan dengan 100 ml asam sulfat 1,25 % panas dan didihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin balik. Larutan disaring dan dicuci dengan 100 ml akuades panas. Residu diambil dan ditambahkan dengan 100 ml NaOH 2,75 % dan didihkan kembali meggunakan pendingin balik selama 30 menit. Larutan disaring kembali dengan kertas saring yang sudah dikeahui massanya dan residu dicuci dengan 50 ml 1,25 % asam sulfat panas, 50 ml akuades panas dan 15 ml etanol.
Untuk mengendapkan sampel dicuci dengan 140 ml etanol 95% yang telah
dipanaskan hingga 60°C selama 60 menit. Residu dikeringkan didalam oven pada suhu 105°C dan ditimbang sampai berat konstan.
Pembuatan Mie Basah (Anonim, 2012) 100 gram tepung ditambahkan dengan 10 % garam dapur dan soda abu 0,5 %. Dengan ditambahkan air adonan diaduk sampai kalis selama kurang lebih15 menit dan selanjutnya adonan diistirahatan selama 15-30 menit. Kemudian adonan yang ada di cetak dengan alat penggiling mie
Penentuan Kadar Air (Sudarmadji dkk., 1997) 1 gram sampel ditimbang. Masing-masing sampel dikeringkan dalam oven selama 1 malam untuk pertama kali, dan dilanjutkan setiap 1 jam, kemudian ditimbang massa dari masing-masing sempel sampai massanya konstan (+ 0,2 mg).
Analisis Mie Karakteristik mie yang diamati adalah sifat fisik dan anilis proksimat untuk mie basah yang paling baik. Analisis fisik meliputi daya serap air (DSA) dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), pemanjangan mie basah yang diukur dengan menggunakan alat Tensile Strength Tester
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
Daya Serap Air (DSA)(Hardiningsih,1999) 5 gram mie direbus didalam 150 ml air selama 5 menit. Mie ditiriskan dan disiram dengan air kemudian ditiriskan kembali. Mie ditimbang (A) dan dikeringkan pada suhu 105°C, Mie ditimbang sampai berat konstan(B).
%DSA=
[ 𝐴−𝐵 −(𝐾𝐴 𝑥 𝐵.𝑎𝑤𝑎𝑙 ) 𝐵.𝑎𝑤𝑎𝑙 (1−𝐾𝐴)
x 100%
Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) (Rasper dan J.M. de Man,1980) 5 gram mie direbus selama 5 menit didalam 150 ml air, mie ditiriskan dan dipindahkan didalam cawan. Mie ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105°C, Mie ditimbang sampai berat konstan. 1−(𝐴−𝐵)
% KPAP =𝐵.𝑎𝑤𝑎𝑙 (1−𝐾𝐴) 𝑥 100%
Daya Regang Mie Basah (Kekuatan Mie) (Rohadi,2002) Daya regang mie yang dihasilkan dapat ditentukan dengan mie yang sudah diketahui panjang awalnya diberikan suatu beban kemudian diukur pemanjangan mie dan waktu putusnya yang dihasilkan.
Analisis Data (Steel dan Torie, 1989) Data yang diperoleh akan dinalisa menggunakan Rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 6 kali pengulangan.Sebagai perlakuan adalah variasi konsentrasi penambahan sukun 0%, 20%, 25%, 30%, 35% dan 40% . Sedangkan sebagai kelompok adalah waktu analisa. Dan untuk menguji antar perlakuan dilakukan uji Beda nyata jujur (BNJ) dengan tingkat kepercayaan 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Protein
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan makronutrien lainnya (karbohidrat, lemak), protein ini berperan lebih penting dalam
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
pembentukan biomolekul daripada sumber energi (Erick, 2012). Bahan yang mempunyai kandungan protein yang tinggi berperan penting dalam menetukan elatisitas suatu produk mie
Penambahan Sukun (%)
Purata + SE W=5,06
Kontrol
20
25
30
35
40
6,8375
15,52
18,9975
15,3075
13,84
22,485
4,78473
4,03715
6,89017
4,81763
6,00613
7,25806
a
bc
bc
bc
b
c
basah. Kadar Protein yang diperoleh dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel. 1 dan Gambar.1
Kadar Protein (%)
Tabel 1. Rataan Kadar Protein (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun
25 20 15 10 5 0 kontrol
20
25
30
35
40
Penambahan Sukun
Keterangan= • W = BNJ 5% • Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna.
Gambar 1. Histogram Kadar Protein (%) Antar Berbagai Penambahan Sukun
Pada Tabel 1 dan Gambar1 terlihat bahwa hasil analisa data kadar protein dari bahan berkisar antara 9,47 -21,51 %, apabila dibandingkan dengan kontrol, penambahan menunjukan adanya perbedaan yang berarti dari setiap perlakuan apabila dibandingkan dengan kontrol, ini berarti adanya penambahan sukun memberikan pengaruh terhadap kenaikan kadar protein. Kenaikan kadar protien dapat disebabkan oleh adanya perubahan
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
komponen yang terdapat didalam bahan. Kandungan protein dalam suatu bahan dipengaruhi oleh adanya proses fermentasi dan metabolisme oleh Rhizopus sp. Menurut Ida Bagus, (2012) sukun merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan jamur dan kapang, konsentrasi penambahan sukun yang berbeda akan menyebabkan perubahan kandungan protein pada bahan. Komposisi substrat yang berbeda akan mempengaruhi adanya aktivitas proteolitik kapang yang menguraikan protein menjadi asam amino dan memenyebabkan adanya peningkatan nitrogen telarut yang menyebabkan adanya kenaikan kadar protein terlarut (Agus,2011). Setelah proses fermentasi kandungan total asam amino akan mengalami penurunan tetapi asam amino bebas akan meningkat dengan tajam, hal ini disebabkan karena kapang Rhizopus sp. memakai asam amino sebagai sumber N (nitrogen) untuk pertumbuhannya (Dwi,dkk 2012).
Kadar Air Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan karena dapat mempengaruhi cita rasa, tekstur, aroma dan keawetan dari bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dalam pengolahan pangan, air tersebut sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan dan pengentalan atau pengeringan. Pengurangan kandungan air dalam bahan pangan tersebut bertujuan agar bahan pangan lebih awet dan tahan lama (Sudamadji,1997). Kadar air dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel. 2 dan Gambar. 2 Tabel 2. Rataan Kadar Air (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun
Penambahan Sukun (%) Kontrol
20
25
30
35
40
Purata
55,23
54,54
54,10
58,92
57,14
55,19
+ SE
19,95
19,30
20,03
19,17
19,36
19,55
A
a
a
a
a
a
W=5,45
Kadar Air (%)
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 kontrol
20
25
30
35
40
Panambahan Sukun (%)
Gambar. 2 Histogram Kadar Air (%) Antar Berbagai Penambahan Sukun
Kadar air merupakan komponen terpenting dalam suatu bahan makanan, karena kadar air mempunyai pengaruh terhadap kelembaban suatu bahan, bahan yang terlau lembab merupakan tempat tumbuh yang baik bagi mikroba sehingga akan mempengaruhi keawetan bahan. Menurut Winarno, (2010) kadar air yang terdapat pada mie basah tidak boleh lebih dari 60%. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan sukun tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air. Akan tetapi kandungan air dari bahan dapat dipengaruhi oleh proses fermentasi. Selain itu adanya kandungan yang berbeda dari masing-masing bahan menyebabkan komposisi air berubah. Sedangkan dampak dari substitusi sukun sendiri mempunyai kecenderungan pada mie yang dihasilkan akan sulit melepaskan air bebas. Kandungan serat yang tinggi didalam suatu bahan akan mempengaruhi kadar air dari bahan tersebut. Bahan yang mempunyai kandungan serat yang tinggi bersifat hidrokoloid yang mampu mengikat air yang ditambahkan selama proses pembuatan mie. Proses perebusan juga dapat meningkatkan kandungan air. Bahan yang mengandung pati akan cenderung suka air (hidrofil), karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar maka kemampuan dalam menyerap air juga besar yang menebabkan air berada didalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas (Titiek, 2012).
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
Kadar Abu Kadar abu menunjukan adanya komponen mineral yang terdapat didalam suatu bahan. Kandungan mineral dari miebasah dapat dilihat pada Tabel. 3 dan Gambar. 3
Tabel 3. Rataan Kadar Abu (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun Penambahan Sukun (%) kontrol 20 25 30 35 40 Purata 2,32 2,39 2,22 2,23 2,54 2,98 + SE 2,40 1,42 1,73 1,2 1,2 1,84 W= ab ab a ab ab b 0,44 Keterangan= • W = BNJ 5% • Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna.
3,5 3
Kadar Abu ( %)
2,5 2
1,5 1 0,5 0 kontrol
20
25
30
35
40
Penambahan Sukun (%)
Gambar 3. Histogram Kadar Abu (%) Antar Penambahan Sukun Pada Tabel 3 dan Gambar 3 berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan kadar abu
berkisar antara 2,23%-2,89 %. Dari hasil uji ditunjukan bahwa adanya
penambahan sukun tidak berpengaruh pada kadar abu dari suatu bahan, adanya penambahan sukun hanya berpengaruh pada konsentrasi 40% . Substitusi sukun tidak memberikan pengaruh karena sukun bukan merupakan sumber mineral, sukun hanya mengandung berberapa mineral lain seperti kalsium dan fosfor. Kadar abu bahan dapat dipengaruhi oleh penambahan air khi sebagai larutan alkali pada proses pembuatan mie. Kandungan air khi anata lain garam kalsium dan natrium (Ratnaningsih, 2010). Selain itu
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
kandungan mineral hanya dipengaruhi oleh proses fermentasi
Rhizhopus sp yang
menghasilkan enzim fitase yang dapat membantu dalam menguraikan asam fitat yang dapat meningkatkan beberapa mineral menjadi fosfor dan inositol. (Deliani, 2008)
Kadar Serat Serat adalah zat non gizi yang berperan mengikat air, selulosa dan pektin. Istilah dari serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Kadar serat dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel. 4 dan Gambar. 4
Tabel 4. Rataan Kadar Serat (% ± SE) Antar Berbagai Penambahan Sukun
Purata + SE W=9,44
Penambahan Sukun (%) 20 25 30 35 14,95 14,19 17,25 13,27 4,68 4,68 5,95 6,66 ab ab ab ab
Kontrol 10,32 1,91 a
40 20,61 13,86 b
Keterangan= • W = BNJ 5% • Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna.
25 Kadar Serat (%)
20 15 10 5 0 kontrol
20
25 30 Penabahan Sukun (%)
35
40
Gambar 4. Kadar Serat Adanya komponen serat akan membantu dalam pembentukan tekstur dari mie. Kadar serat pada sukun akan bertambah seiring dengan tingkat ketuaan buah. Berdasarkan dari hasil penelitian diketahui kadar serat pangan berkisar antara 10,32-20,61 %. Adanya penambahan sukun tidak memberikan perbedaan pada penambahan 20-35 %, akan tetapi pada konsentrasi 40% memberikan pengaruh terhadap kadar seratnya yang lebih tinggi bila
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini berarti besarnya konsentrasi sukun yang ditambahkan dapat berpengaruh pada kandungan seratnya. Kandungan serat yang terdapat didalam bahan dapat dipengaruhi oleh Rhizhopus sp dan adanya komponen serat yang terdapat di dalam sukun. Dinding sel hifa kapang Rhizopus sp sebagian besar terdiri atas polisakarida (selulosa). Penambahan inokulum akan menghasilkan kapang Rhizopus sp yang tumbuh serta miselium yang terbentuk sehingga kandungan selulosa dalam bahan akan semakin besar (Hanny, 2007). Ini berarti proses fermentasi dan lamanya waktu fermentasi dapat berpengaruh terhadap kandungan seratnya. Komponen serat pangan yang banyak terdapat pada sukun adalah hemiselulosa dan pektin. Kandungan serat didalam sukun sendiri dapat dipengaruhi oleh proses pematangan, penyimpanan, dan pengolahan yang menyebabkan komponen serat (selulosa dan hemiselulosa) mengalami perubahan komposisi kimia. Perubahan tejadi karena pada buah sukun yang sudah tua akan mengandung jumlah pektin yang lebih tinggi (Rintha, 2012).
Karakteristik Fisik Mie Basah
Kekuatan tekstur/struktur dari suatu mie basah ditentukan oleh komponen bahan yang digunakan. Kandungan protein dan gluten yang tinggi akan mempengaruhi suatu mie akan mudah putus atau tidak. Akan tetapi adanya komponen serat juga dapat membantu memperbaiki tekstur. Penggunaan bahan tambahan memungkinkan terjadinya proses gelatinisasi pati-protein lebih sempurna sehingga dapat memperbaiki tekstur mie menjadi lebih liat dan kenyal. Selain itu, bahan tambahan yang digunakan dapat mengikat air sehingga menurunkan aktivitas air (Aw) akibatnya kerusakan mikrobiologis dapat dicegah. Dari hasil penelitian diperoleh beberapa karakteristik fisik mie basah diantaranya dapat dilihat sebagai berkut:
Hasil analisis mie basah dapat dilihat pada Tabel 5 Penambahan Sukun (%) Kontrol
20
25
30
35
40
DSA (%)
68,19
39,93
54,13
55,68
50,15
72,95
W=25,75
±23,95
±19,98
±30,37
±44,87
±30,29
±25,90
b
a
a
B
a
a
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
KPAP(%)
28,36
22,98
17,57
37,00
30,86
29,95
±14,54
±14,58
±5,54
±19,07
±14,93
±20,65
a
b
b
B 6,95±1,1
W=10,42
b
a
Waktu Putus 3,63±1,5
5,4±0,7
3,99±1,9
4,83±1,0
4,55±1,7
a
a
a
a
(detik) W=2,9
a
Penambahan
0,25±0,098 0,25±0,091 0,26±0,1
B
0,24±0,08
0,32±0,1
0,35±0,1
a
a
A
panjang (cm) W=0,19
a
a
a
Penambahan Panjang Mie Kekenyalan suatu mie dapat dlihat dari penambhan panjang mie, Penambahan panjang mie dapat dilihat pada Gambar 5.
Penambahan Panjang (cm)
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 kontrol
20
25
30
35
40
Penambahan Sukun
Gambar 5. Penambahan Panjang Mie Pada Berbagai Penambahan Suku Waktu Putus Selain pemanjangan mie waktu putus mie juga berpengaruh terhadap kekuatan suatu mie basah. Waktu putus diukur tepat pada saat mie mulai putus. Hasil dari waktu putus mie dapat dlihat dari Gambar. 6
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
8
Waktu Putus (detik)
7 6
5 4 3 2 1 0 kontrol
20
25
30
35
40
Penambahan Sukun
Gambar 6. Waktu Putus Mie Daya Serap Air (DSA) Dan Kehilangan Padatan Akibat Pemanasan (KPAP) 80 70 % DSA & KPAP
60 50 40
Daya Serap Air
30 Kehilangan Padatan Akibat Pemanasan
20 10 0 kontrol
20
25
30
35
40
Penambahan Sukun (%)
Gambar 7. Grafik Daya Serap Air (DSA) Dan Kehilangan Padatan Akibat Pemanasan
Beberapa hal yang menentukan kekuatan dari mie adalah penambahan panjang dan waktu putus mie dari hasil penelitian dapat dilihat dari Gambar.5 dan 6. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa bahwa dengan penambahan konsentrasi sukun maka penambahn panjang mie berkisar antara 0,2-0,3 cm sedangkan waktu putus mie adalah 3,63-6,48 detik. Adanya penambahan sukun berpengaruh pada kekuatan mie basah, hal ini dapat dilihat
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
dari parameter pengukuran waktu putus mie pada penambahan 40 %, sedangkan pada penambahan panjang mie untuk setiap perlakuan tidak mempunyai berbeda ini berarti penambahan sukun tidak berpengaruh terhadap penambahan panjang mie. Mie basah yang terbuat dari tepung terigu mempunyai penambahan panjang mie yang baik yaitu berkisar antara 1-2 cm, tetapi untuk mie yang terbuat dari bahan yang mengadung kadar gluten rendah (tepung komposit, termasuk mocaf) penambahan panjang mie yang baik adalah sekitar 0,2- 2 cm (Puji,2010). Adanya komponen serat didalam bahan akan berpengaruh terhadap kekuatan mie basah. Hal ini disebabkan adanya komponen serat akan membantu dalam mengikat air dan berinteraksi dengan makromoleul seperti protein yang mempengaruhi dalam pembentukan gel. Selain itu proses pengukusan pada mie juga akan mempengaruhi tekstur mie yang dihasilkan, pemanasan akan berpengaruh pada gelatinisasi pati dan koagulasi protein yang memberikan sifat kenyal.(Masrhokah,2012)
Daya serap air merupakan kemampuan suatu mie untuk menyerap air secara maksimal. Menurut Elison (2012), DSA mie yang dihasilkan sangat berkaitan dengan sifat retrogradasi pati. Semakin tinggi nilai DSA menyebabkan mie yang dihasilkan akan mudah lunak saat direbus. Dari hasil diketahui DSA pada mie berkisar antara 39,93 -72,95 % dan terdapat perbedaan nilai rataan dari antar perlakuan hal ini berarti penambahan sukun berpengaruh pada besarnya nilai daya serap air. Selain kandungan serat yang tinggi sukun juga menggandung pati yang relatif tinggi juga oleh karena itu kandungan pati didalam sukun (bahan ) dapat berpengaruh terhadap nilai DSA. Kadar serat didalam bahan juga dapat mempengaruhi besarnya daya serap air. Hal ini karena serat yang terkandung didalam bahan dapat menyerap air lebih banyak, penyerapan air terjadi karena selulosa mampu berikatan dengan molekul air (Astawan, 2012). Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) adalah banyaknya padatan yang terkandung dalam mi yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan. Mie yang baik diharapkan mempunyai nilai KPAP yang rendah yaitu berkisar antara 24,59 – 30,16% (Ratnaningsih,2010). Dari hasil percobaan diketahui bahwa nilai KPAP bahan berkisar nilai 17,00 - 33,83 %, dari rataan antar perlakuan diketahui bahwa adanya penambahan sukun pada konsentrasi 30-40% memberi pengaruh terhadap nilai KPAP dibandingkan dengan kontrol.
Tjahja (2009) menyatakan bahwa nilai KPAP pada mie merupakan
parameter terpeting untuk produk mie basah, semakin rendah nilai KPAP mie akan menunjukan bahwa mie tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen. Nilai KPAP pada mie basah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kadar air dari suatu
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
bahan, dan retrogradasi pati. Garam alkali yang ditambahkan dalam proses pembuatan mie juga dapat mempengaruhi nilai KPAP, hal ini disebabkan garam alkali yang berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga pada saat terjadi pemanasan (perebusan) komponen-komponen tersebut tidak terlepas (Indah,2010). Pati merupakan komponen lain yang berpengaruh pada tekstur mie basah selain serat, hal ini dikarenakan didalam pati terdapat granula yang mampu mengikat air. Adanya peningkatan kadar air menyebabkan peningkatan derajat gelatinisasi, sehingga amilosa yang dapat berfungsi sebagai pengikat dan mencegah komponen-komponen mie terlepas saat dimasak. Gelatinisasi diakibatkan oleh terjadinya dehidrasi dan konversi dari amorphous amylase menjadi bentuk helik. Bentuk helik ini menjadi bagian yang lemah dari Kristal pada granula pati selama pemasakkan. (Mahmudah, 2006)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa adanya penambahan sukun akan berpengaruh pada penambahan nilai gizi dari suatu bahan yaitu kandungan protein dan serat. Kandungan protein yang optimum dapat dilihat pada konsentrasi penambahan sukun sebesar 25% dan kadar serat pada penambahan 40%. Selain itu penambahan sukun juga dapat memperbaiki sifat fisik dari mie yang dilihat dari waktu putus mie,waktu putus mie yang paling baik terdapat pada konsentrasi penambahan 40%. Penambahan panjang, daya serap air dan kehilangan padatan akibat pemanasan yang optimum terjadi pada penambahan sukun 30%
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti uji organoleptik yang meliputi parameter-parameter standar mutu Mie basah serta pengamatan secara visual. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti pengaruh penambahan konsentrasi air khi terhadap mutu mie basah.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak DrsYahanes Martono S.Si , M.sc yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
Daftar Pustaka AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC :Washinton DC DPPHP, 2002. Nilai Gizi Dan Penglahan Sukun. Jakarta: Subdit Teknologi Pengolahan [10 Januari 2012] Ekawidiasta, Orca, 2003. Karakteristik Tepung Sukun Dengan Menggunakan Pengering Kabinet Dan Aplikasinya dalam PeUntuk Substitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Roti Tawar. [8 agustus 2012] Hadinataria, Nerissa. 2011. Pemanfaatan Tepung Kedelai (Glycine Max (L)) Dalam Optimalisasi Pembuatan Tepung Gaplek Berprotein Sebagai Subtitusi Tepung Terigu. Skrpsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, FSMKimia Hanny, 2010. Karakteristik Mie Basah. [30 Juli 2012] Kumalasari, Indah. 2010. Perbedaan Penambahan Rumput Laut Eucheuma cottonii Pada Mie Basah Terhadap Kekuatan Regangan (Tensile) Kadar Serat Kasar Dan Daya Terima. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta Fakultas-Kesehatan Koswara,Sutrisno, 2006. Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif. Hasil Hortikultura, Ditjen BPPHP Departemen Pertanian. (26 Januari 2012) Krisno, Agus, 2011. Peranan Rhizopus Oryzae Pada Industri Tempe dalam Peningkatan Gizi Pangan. [8 Agustus 2012] Muhandri, TjahTja, 2009. Pengaruh Kadar Air, NaCl dan Jumlah Pashing Terhadap Karakteristik Reologi Mie Jagung. [4 Juli 2012]
SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013, Yogyakarta,16 November 2013
Ratnaningsih, dkk. 2010. Pembuatan Tepung Komposit dari Jagung, Ubi Kayu, Ubi Jalar dan Terigu (Lokal dan Impor) untuk Produk Mi [ 20 Juli 2012] Rohadi.2002.
Karakteristik
Mie
Kering
Yang
Dihasilkan
Dari
Substitusi
Terigu(Triticum vulgare) Dengan Pati Sukun (Artocapus comuni Lin). Jurnal Tekhnologi Pangan dan Hasil Pertanian [6 Januari 2012] Sarbini, Dwi. 2008. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat Kasar Sifat Organoleptik dan Daya Terima Pada Pembuatan Tempe Kedelai Glycine max (L) Meriil [20 desember 2012] Sudarmadji, S., Bambang Haryono, dan Suhardi. 1997. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta Steel, R.G.D dan J.H. Torie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia, Jakarta. Wang, Hwa L., Doris I. Ruttle, and C. W. Hasseltine. 1968. Protein Quality of Wheat and Soybeans After Rhizopus oligosporus Fermentation. [5 Agustus 2012] Widaningrum, 2005. Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembuatan Mie Basah Dengan Bahan Baku Tepung Terigu Yang Disubtitusi Tepung Garut. Jurnal Tekhnologi Pangan dan Hasil Pertanian [6 Januari 2012]