3.1 Rente Ekonomi Sumberdaya Hutan Alam (Forest Rent)
Manfaat yang bisa diperoleh dari sumberdaya hutan alam, tidak hanya menghasilkan kayu dan hasil hutan ikutannya yang mudah dinilai dengan uang
(tangible benefit),
tetapi juga
menghasilkan jasa lingkungan sebagai manfaat lain yang tidak ada
pasarnya
(non-marketed) seperti
pengaturan tata
air,
habitat satwa liar, plasma nutfah, dan lainnya. Dengan
memperhatikan adanya manfaat-manfaat dari
hutan
alam di atas, maka sesungguhnya rente ekonomi dari sumberdaya hutan alam, seharusnya
dihitung sebagai (i) rente dari hasil
kayu dan hasil hutan ikutan (ricardian rent), (ii) rente jasa lingkungan (environment rent), dan (iii) rente berdasarkan keunggulan
jarak
dan
lokasi
dari
sumberdaya
hutan
alam
(location rent). Namun, atas dasar pertimbangan bahwa di dalam ekonomi pengusahaan hutan (hak-hak HPH) adalah dipusatkan perhatian kepada pemanfaatan ka-yu pada
tingkat produksi dan sistem
pengelolaan hutan alam secara lestari sesuai ketentuan pemerintah, maka rente ekonomi sumberdaya hutan alam yang dikelola oleh HPH dihitung berdasarkan rente dari tegakan hutan
(stumpage value) yang
dipengaruhi
oleh
keunggulan
lokasi
(location rent) sumberdaya hutan alam yang bersangkutan.
3.2 Harga Tegakan Hutan (Stumpage Value)
Penafsiran antara nilai dan harga tegakan hutan sering dikelirukan di dalam analisis penetapan fee dan royalties. ~ i l a idan harga tegakan hutan mempunyai pengertian berbeda dari cara pendekatannya. Istilah nilai tegakan hutan biasaqya digunakan di dalam model pertukaran (tender terbuka yang bersaing), yakni tegakan hutan yang dinilai dari sisi ,pembeli dan dari sisi penjual. Nilai pembeli ini merupakan nilai maksimum keinginan untuk membayar tegakan hutan tersebut, yang besarnya berbeda tergantung kepada penggunaan lebih l m j u t dari tegakan hutan (misalnya kayu gergajian, veneer, moulding, kayu lapis dan lainnya), serta
tingkat efisiensi &lam
pengolahan. Nilai
maksimum keinginan membayar akan ditentukan oleh nilai dari pembeli yang paling efisien dan menguntungkan dalam mengolah kayu bulat menjadi kayu olahan. Tegakan hutan alam adalah milik pemerintah, maka nilai dari sisi penjual juga mempunyai beragam nilai. Nilai ini merupakan nilai minimum keinginan menjxaal tegakan hutan, yang didasarkan atas pertimbangan alternazif penggunaan tegakan hutan oleh
Pemerintah dan
nilai
ekonominya. Jika nilai
keinginan membayar berhimpitan dengarr nilai keinginan men-
.
jual, maka harga tegakan hutan dapat terjadi. Harga inilah yang merupakan harga tegakan hutan yang bisa diterima oleh pembeli dan penjual. Sedangkan cara pendekatan harga tegakan hutan lainnya
adalah rente ekonomi tegakan hutan alam, dihitung sebagai balas jasa dari digunakannya tegakan hutan ke dalam faktor produksi
kayu bulat.
Harga tegakan hutan diturunkan dari harga kayu bulat atas dasar jenis dan kualita kayu. Jika harga kayu bulat itu adalah harga permintaan ekspor (cif) setelah dikurangi biaya pengapalan dan asuransi, maka harga permintaan ekspor
kayu
bulat tersebut kemudian dikurangi oleh seluruh biaya produksi yang dikeluarkan HPH dan biaya angkutan ke pelabuhan ekspor. Biaya-biaya
tersebut mencakup
balas
jasa terhadap modal,
tetapi tidak mencakup segala macam pajak, fee dan royalties dan pungutan-pungutan lain yang dikenakan pemerintah. Jadi pengurangan
biaya operasi (produksi dan angkutan) dari harga
permintaan ekspor kayu bulat menghasilkan nilai yang akan terbagi untuk keuntungan wajar pengusaha HPH dan harga tegakan hutan.
Metoda
perhitungan memperoleh nilai balas
jasa
ekonomi sumberdaya hutan alam (harga tegakan hutan) seperti ini disebut dengan metoda conversion return. Secara simbolik menurut Gillis (dalam Repetto dan Gillis, 1988) conversion
return dan nilai tegakan hutan didefinisikan sebagai berikut: Margin keuntungan (MK) = R
-
Conversion return
= KWP
Nilai tegakan (HT)
=MK
C,
+
-
HT,
KWP,
di mana : MK = magin keuntungan per meter kubik, R = harga penjualan kayu bulat per meter kubik, C = biaya opersional (produksi dan angkutan) HPH termasuk penyusutan per meter kubik, tidak termasuk harga tegakan hutan,
HT = harga tegakan hutan per meter Rubik. KWP = keuntungan wajar pengusaha HPH (normal profit )
.
Dalam struktur pasar persaingan, kedua pendekatan harga tegakan hutan dalam cara tender terbuka dan cara imbalan ekonomi sumberdaya alam (tegakan hutan) menggunakan metoda conversion return, akan menghasilkan ukuran nilai tegakan hutan yang sama.
3.3
f
Struktur Pasar Kayu Alam
Tingginya harga kayu bulat yang bisa diterima HPH akan mempengaruhi
margin
keuntungan,
dan
tentusaja memengaruhi
pula kepada tingginya harga tegakan hutan. Dalam rangka kebijaksanaan pemerintah mengembangkan industri
pengolahan
ekspor kayu bulat
kayu
di
dalam
negeri, maka
larangan
Indonesia yang kemudian disusul dengan
dikenakannya pajak ekspor yang tinggi sekali terhadap kayu bulat, merupakan insentif yang cenderung melindungi industri pengolahan kayu hulu (IPKH) di dalam negeri. Harga kayu bulat -
yang murah sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah ini, jelas sangat mempengaruhi daya saing produk kayu olahan Indonesia yang akhirnya mempengaruhi margin keuntungan yang dinikmati
IPKH. Namun, akibat dari murahnya harga kayu bulat memberi insentif
kepada pemborosan penggunaan kayu bulat.
Kebijaksanaan pemerintah mendorong merger HPH untuk mendirikan IPKH dan mengamankan pasokan input kayu bulat, ternyata telah menghasilkan
konglomerasi
(kesatuan usaha)
antara usaha HPH dan usaha IPKH menjadi suatu kesatuan usaha dalam satu payung induk usaha perkayuan.
Akibatnya mereka
cenderung melakukan transfer pricing kepada HPH dari usaha induknya
(meninggikan total biaya
penebangan hutan) untuk
rnenciptakan tekanan kepada harga permintaan tegakan hutan alam. Akibat dari praktek demikian, jelas menjadikan pemerintah kurang mampu menangkap harga tegakan hutan secara lebih tinggi
.
Sistem kelembagaan pasar perqintaan kayu bulat di Indonesia dewasa ini ditandai oleh adanya penguasaan pasar oleh group-group
usaha
perkayuan
yang
masing-masing
merupakan
konglomerasi usaha HPH dengan usaha IPKH. Penguasaan pasar demikian
jelas
menghasilkan
penyimpangan
pasar,
sehingga
mekanisme pasar tidak mampu berjalan secara efisien dalam mengalokasikan sumberdaya. Kegagalan pasar dari pasar kayu bulat Indonesia ini bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh kekeliruan kebijaksanaan pemerintah yang mengarah kepada distorsi pasar, seperti (i) transaksi penjualan hakhak HPH tidak berjalan secara transparant dan jelas, (ii) tidak ada batasan maksimal
pemilikan luas areal dari unit
HPH, (iii) sumberdaya hutan alam dipaksa untuk mengimbangi kebutuhan permintaan kayu bulat bagi pertumbuhan domestik I
IPKH, dan (iv) adanya kebijaksanaan pemerintah yang mendorong berlangsungnya proses merger di antara HPH dan konglomerasi usaha HPH dan usaha IPKH, mengakibatkan munculnya group-group besar pengusaha perkayuan di Indonesia.
Kebijaksanaan tersebut diatas memang pada awalnya dirasakan cukup baik, namun dalam perkembangannya telah mengarah kepada penguasaan pasar yang cenderung untuk menekan harga dan mengeksploitasi sumberdaya hutan alam. Menurut pengamatan Gillis (1988) bahwa harga permintaan tegakan hutan alam (forest rent) di Indonesia, adalah merupakan rent
yang
dihasilkan
oligopsoni, karena
oleh struktur pasar
suplai kayu
bulat
dari
HPH
monopolidibatasi,
pernilikan HPH tidak dilakukan berdasarkan lelang (auction), dan ekspor kayu bulat dilarang. Dari data dan informasi perkembangan konsentrasi luas pemilikan HPH dalam keterkaitannya dengan IPKH di Indonesia, menunjukkan pula bahwa harga permintaan kayu bulat di Indonesia adalah juga harga permintaan kayu bulat yang dihasilkan struktur pasar kolusi oligopoli-oligopsoni
(bilateral oli-
gopoly-oligopsony). Struktur pasar oligopsoni dapat ditaksir dengan menggunakan metoda derajat konsentrasi (concentration ratio) dari kekuatan pasar. Untuk ini diperlukan data hasil sensus yang diamati secara periodik mengenai
jumlah pemilik HPH, luas
areal pemilikan HPH, serta keterkaitannya dengan IPKH (pemilik, jenis dan kapasitas terpasang), sehingga dapat diketahui perkembangan tingkat konsentrasi (concentration ratio) kekuatan pasar dalam memberikan
keleluasaan untuk keluar dan
masuk (exit and entry barriers) bagi produsen (penjual) kayu
gopsoni ditandai dari adanya kecenderungan lebih sedikitnya jumlah pembeli yang keberadaannya sangat dominan. Data yang diperlukan untuk mengukur tingkat konsentrasi penjual kayu bulat (HPH) di Indonesia tidak adapengkap, maka di dalam menganalisisnya digunakan cara tidak langsung yaitu menggunakan proxy penguasaan pasar (Tabel 3). Penguasaan pasar permintaan kayu bulat di Indonesia dewasa
ini menyerupai struktur pasar bilateral oligopoli-
oligopsoni
yang
ditandai
oleh ,kehadiran sedikit
(kelompok-kelompok HPH) tapi keberadaannya
penjual
sangat dominan
karena memiliki luas areal HPH yang sangat besar.
Sebagai
penjual mereka ini merangkap juga sebagai pembeli kayu bulat bagi input IPKH yang mereka miliki dengan rata-rata jumlah kapasitas terpasang industri kayu olahan yang juga sangat besar, sehingga membentuk konglomerasi usaha hulu dan usaha hilir dalam group-group usaha perkayuan. Dari Tabel 3 terlihat bahwa ada 12 group yang menguasai luas areal HPH sekitar 36,6 persen dari total luas areal HPH di Indonesia, dengan total rata-rata pemilikan sekitar 1,8 juta hektar. Sedangkan kapasitas terpasang IPKH setara kayu bulat yang dimiliki oleh kedua belas group tersebut menguasai sekitar 30 persen dari total kapasitas terpasang IPKH yang ada di Indonesia. Dari 12 group tersebut ada 4 group dominan yang menguasai luas areal HPH sekitar 21,O persen dari total luas areal HPH di Indonesia dengan total rata-rata pemilikan diatas 3 juta hektar, serta menguasai sekitar 18 persen dari total
kapasitas
terpasang IPKH yang ada
di
Indonesia.
Di
Tabel 3 : Konsentrasi Penguasaan Luas Areal HPH Dalam Kaitannya Dengan IPKH Di Indonesia Sampai Pebruari 1995.
JuMLAE UAWI GROUP
YO.
~pll
. 8E'n
(UNIT)
LUAa PKNGUASAAN
IOTAL ---TI
........................... AREAL
8$
(HA)
KAPABITAS I T ) LOYHAPS
PAUGSA ( 8 ) TCREADAP TOTAL
............................ HPB
LUAS IIP11.
6
7
8
9
3.242.825
17.57
21.01
18.24
JUI(M
.................................................................................................... 1 .................................................................................................... 2
3
4
(W3 L€JGS/TR) 5
1
BARIT0 P A S I P I C
39
3.536.300
3.028.810
2
U Y U L A P I S I*DOWESIA
17
3-142.800
1.730.075
-
101
12.971.300
7.879.950
6
1.417.300
37 4.400
10
1.235.500
722.800
5
1-204.000
120.000
5
1.134.700
4 1 8 . 0
TOTAL 1
4
6
PORODIM TRADIYO
7
M
O
BUI[IRATA COY.
9
l4UTXARA TIMBER
A WAYA RAYA
TOTAL 5
12
55
9.668.000
5.094.210
1.208.500
9.57
15.66
11.79
12
156
22.639.300
12.974.160
1.886.608
27.13
36.68
30.03
LAINNYA
230
21.OS5.810
18.268.748
375.997
40.00
34.11
42.29
386
43-695.110
31.242.908
67.13
70.79
72.33
189
18.030.790
11.954.554
32.87
29.21
TOTAL 1
13
WKX]P
-
LTD.
K1PASITAS IPKH
............................................................................................. TOTAL
G-
W A L Il011-GROOP
...............................................................................................
27.67
. Somber Data : 1) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Pebruari 1995. 2) P r o f i l I n d u s t r i Pengolahan Kayu Sampai Dengan Maret 1993, D itjen. Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan.
samping
kondisi
adanya
dominan di atas, (APKINDO) yang
penguasaan
pasar
oleh
group-group
kehadiran Asosiasi Panel Kayu Indonesia
keberadaannya
ternyata
cukup kuat
sebagai
asosiasi pembeli kayu bulat dibandingkan dengan asosiasi yang dimiliki penjual seperti Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), mengakibatkan terciptanya iklim yang kondusif bagi group-group dominan (oligopsonis) untuk secara leluasa menguasai pasar input (kayu bulat), sehingga harga input cenderung rendah (tidak memadai). Dengan rendahnya harga permintaan kayu bulat, berarti
pula
menjadikan makin
rendahnya
(tidak memadai) harga permintaan tegakan hutan alam yang akan diterima pemerintah, akibat adanya pembentukan harga permintaan tegakan hutan yang dihasilkan oleh struktur pasar monopoli-oligopsoni. Sementara itu adanya kebijaksanaan pemerintah mengenakan pajak ekspor tinggi terhadap kayu bulat Indonesia (sebagai pengganti kebijaksanaan non-tarif),-sekitar US$ 500 per meterkubik
untuk
menjadikan
pasar
jenis meranti domestik
dan
tidak
jenis
rimba campuran-,
terpengaruh
permintaan ekspor ka-yu bulat dunia
oleh
harga
(internasional), karena
ekspor tidak mungkin dilaksanakan dengan pajak yang tinggi. Dengan demikian, maka struktur pasar permintaan kayu bulat di
.
dalam negeri menyerupai struktur pasar bilateral oligopolioligopsoni. Penentuan struktur pasar ini tidak bertentangan dengan karakteristik yang dimiliki (dipenuhi) oleh struktur pasar oligopsoni yang diidentifikasikan oleh Roger dan Sexton (1994) sebagai berikut : (i) Produk yang dihasilkan biasanya
banyak dan atau lekas rusak, biaya angkutan sangat mahal, mobilitas pemasarannya terbatas atau dibatasi oleh kemudahan (akses) pembeli dalam daerah (lokasi) yang bersangkutan; (ii) Memerlukan spesialisasi proses hilir
(biaya dan keahlian)
yang lebih tinggi, serta tidak ada barang substusinya dalam proses hilir tersebut; (iii) Dalam memproduksi produk hulu sebagai input bagi produksi hilir ini, diperlukan biaya yang sangat besar (extensive capital), sehingga depresiasi modal (aset) dari usaha hulu untuk
leluasa keluar
seterusnya
menyebabkan
inelastist
dan
ini menyebabkan sulit bagi mereka
(exit barriers) dari usahanya, yang suplai dari
(iv) Hadirnya
produk hulu
asosiasi dari
cenderung
pembeli
yang
cenderung menguasai pasar, sehingga menyebabkan posisi tawar menawar dari penjual menjadi lemah. Konsekuensi dari penguasaan pasar oleh group-group dominan pengusaha perkayuan yang bertindak sebagai pembeli merangkap juga penjual tersebut menjadikan pemerintah kurang mampu untuk menangkap harga permintaan tegakan hutan alam dengan lebih baik
(tinggi), karena struktur pasar tegakan
hutan cenderung oligopsoni. Struktur pasar permintaan kayu bulat bilateral oligopoli-oligopsoni
seperti ini
jelas sangat merugikan terhadap
kesejahteraan masyarakat, karena cenderung melakukan eksploiI
tasi
terhadap
sumberdaya
hutan
dan
eksploitasi
terhadap
konsumen, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3 menggunakan model sederhana struktur pasar oligopsoni dan kompetitif. Struktur pasar oligopsoni adalah struktur pasar yang
47
menyimpang dan cenderung
untuk
selalu aenekan
harga input
pada harga yang rendah di PI, dan menjual outputnya pada harga yang tinggi di P2, sehingga cenderung sangat merugikan kesejahteraan
masyarakat.
Pada situasi dimana harga pasar
dicirikan oleh sedikit jumlah pembeli sementara mereka itu berkolusi dengan penjual, maka besarnya harga premium
(P2
minus P1) tidak mengakibatkan melonjaknya kuantitas permintaan kayu bulat. Kurva S merupakan kurva suplai kompetitif,
Gubar 3. I l u s t ~ sStruktclr i Pasar o ligopsoni dan Kompetit if.
dan MRP
adalah marginal
revenue product
dari
oligopsoni
yang diperoleh dari - penjualan outputnya di pasar output. Kurva suplai oligopsoni dari perusahaan yang dominan diberikan oleh kurva MO, mencerminkan perubahan pembiayaan marginal
(warginal o u t l a y ) untuk setiap unit Q. Dengan adanya kerjasama
(kolusi) dalam penentuan harga, memungkinkan perusahaan
dominan memperoleh kuantitas yang sama pada harga P1 atau P2. Padahal mereka sesungguhnya
berkemampuan untuk membayar di
P2 sebanyak Q1 unit, sedangkan yang mereka bayarkan kepada
penjual sebesar P1. Perilaku oligopsoni yang berkolusi memiliki karakter yang mirip dengan monopsoni yaitu meminimalkan ongkos bersama (joint cost minimization) terhadap harga pembelian input pada harga terendah di PI. Dalam meminimalkan harga, oligopsoni akan menghitungnya pada fungsi marginal factor cost (MFC) yakni nrembeli pada tingkat dimana pembiayaan marginal (MO) sama dengan marginal revenue product
(MRP) untuk membeli
inputnya, yang identik dengan kuqva suplai P1B pada tingkat pembelian lebih besar atau sama dengan OQ1 unit. Dalam kolusi oligopsoni pada harga P1 dan kuantitas OQ1 ini muncul permasalahan alokasi, karena sejumlah perusahaan ( pembeli )
kecil lain (follower) akan mengikuti harga pembe-
lian perusahaan dominan di PI. ~ehingga jika tidak ada pembatasan
alokasi
pada
harga
PI,
maka
total permintaan akan
berada di C yakni sebanyak 043 unit. Padahal jika saja seluruh perusahaan pembeli tersebut bertindak secara kompetitif, maka pada harga P1 seharusnya mereka hanya dapat membeli sebanyak OQl unit, dan tidak mungkin bisa membeli sebanyak 043. Pada tingkat 043-unit harga penawaran akan bergerak naik
ke PO yakni mengarah ke kondisi keseimbangan pasar (ekuilibrium) dalam struktur pasar kompetitif pada harga PO dan OQO unit.
.
Jadi, jelas terlihat bahwa jika dibandingkan dengan struktur pasar kompetitif, maka struktur pasar oligopsoni ini cenderung merugikan kesejahteraan masyarakat, berupa terjadinya eksploitasi terhadap sumberdaya dan eksploitasi terha-
dap
konsumen.
Kerugian
masyarakat
pembelian oleh perusahaan
akibat
penekanan
harga
dominan ditandai oleh hilangnya
surplus produsen sebesar c+d, sedangkan perusahaan dominan
. memperoleh keuntungan (gain) dari surplus konsumen sebesar c-b.
Sehingga
tindakan
perusahaan
dominan
menekan
harga
permintaan kayu bulat pada harga P1 tersebut, menghasilkan total kerugian bersih yang harus ditanggung masyarakat (dead
weight social loss) sebesar b+d. Kemudian dalam struktur pasar bilateral oligopoli-oligopsoni,
maka
sejumlah
perusahaan
kecil
(followers) akan
mengikuti harga pembelian perusahaan dominan pada harga P1 dengan ikut membeli sebanyak 0143 unit, jika tidak ada pembatasan dalam alokasi sumberdaya. Sehingga akibat dari pembelian oleh follower pada harga P1 dan kuantitas QlQ3, maka
follower memperoleh manfaat e+f.
dari surplus konsumen sebesar
Jadi, total kerugian masyarakat itu merupakan kerugian
besar yang harus ditanggung masayarakat. Dalam ha1 ini pemerintah harus mengusahakan terjadinya perbaikan struktur pasar permintaan kayu bulat dan struktur pasar pemintaan tegdcan hutan alam ke arah struktur pasar yang kompetitif, agar semua pihak memperoleh manfaat (better
off).
.
Meskipun upaya perbaikan struktur pasar ini tidak mudah, karena kemungkinan akan berhadapan dengan mereka yang telah merasakan keuntungan di atas kerugian masyarakat, akan berupaya mempertahankan bagian keuntungan dari forest rent dengan melakukan aktivitas rent seeking. Dengan demikian pemerintah
perlu mempunyai komitmen yang kuat (kemauan politik) untuk memperbaiki struktur pasar ke arah yang kompetitif, dengan jalan melakukan perbaikan kekeliruan kebijaksanaan pemerintah (policy reform) untuk peningkatan forest rent. Adapun secapa umum cara yang perlu ditempuh pemerintah harus meliputi perbaikan (i) pemberian izin HPH secara lebih transparan,
(ii) mencegah
luas
areal
pemilikan
HPH
yang
terlalu besar, karena mempunyai kecenderungan kepada penguasaan pasar, dan
(iii) mempertegas property right hak-hak
HPH, yang mengarah kepada pilihan masyarakat sehingga semua pihak memperoleh manfaat. Pilihan masyarakat berkenaan dengan kepemilikan hak atas sumberdaya alam dalam bentuk kelembagaan (institutions), diperlukan dalam mengontrol dan mengarahkan kondisi saling ketergantungan antar semua fihak yang terkait (berkenaan
dengan
transfer
pengelolaan
sumberdaya
hutan
alam), menjadi peluang-peluang yang saling memberi manfaat (positif) untuk semua fihak. Menurut Randall (1987) pemilikan hak yang tegas (non attenuated property right) akan menjadikan putusan produksi dan konsumsi seseorang menjadi pemilikan
hak
haruslah
lebih baik, dan untuk ini
memiliki
ciri-ciri
berikut
:
(i)
completely specified yaitu cukup informasi dari kepemilikan-
.
nya yakni batasan tentang hak yang bisa dinikmati dan ancaman hukuman yang akan diperoleh bila melanggar,
(ii) exclusive
yaitu bahwa dengan kepemilikannya, seseorang dapat bertindak atau mengambil tindakan, (iii) transferable yaitu dengan hak yang dimiliki seseorang boleh menggunakannya untuk menghasil-
kan manfaat/nilai pemakaian tertinggi, dan (iv) enforceable dan completely enforced yaitu bagi siapa yang melanggar hak pemilikan seseorang, akan dihadapkan pada hukuman yang jelas dan tegas, sehingga ha1 ini akan merupakan insentif kepada orang lain atau dirinya sendiri untuk tidak melanggarnya. Dengan cara perbaikan kebijaksanaan pemerintah seperti disebutkan di atas, diharapkan perbaikan struktur pasar akan mengarah
kepada
struktur
pasar
kompetitif
dan
perbaikan
terhadap harga permintaan kayu bulat dan harga pemintaan tegakan
hutan.
Meningkatnya rente ekonomi tegakan hutan (rent capture) oleh
pemerintah akibat perbaikan kebijaksanaan pemerintah
yang mengarah kepada struktur pasar persaingan bebas akan meningkatkan rente ekonomi (balas jasa atas harga) tegakan hutan, sehingga bukan saja akan memperbesar pendapatan pemerintah tapi juga akan menahan kerusakan (degradasi) hutan lebih lambat. Oleh karenanya dalam jangka pendek upaya yang h a m s ditempuh pemerintah adalah menciptakan struktur pasar kayu yang kompetitif. Dari masalah-masdlah yang dihadapi dalam sistem pengusahaan hutan alam di
Indonesia, yang
ingin diteliti dalam
disertasi ini adalah mengestimasi persentase tingkat penyesuaian rente ekonomi terhadap perubahan harga permintaan kayu I
bulat dan harga permintaan terhadap input HPH, sebagai cara untuk
mengendalikan rente ekonomi tetap memadai/tinggi.
Keterlambatan dalam penyesuaian harga tegakan hutan alam, dapat menjadikan tidak tepatnya harga tegakan hutan
tersebut
a t a u t i d a k t e r t a n g k a p n y a b a g i a n f o r e s t forest
rent
secara memadai d a r i margin keuntungan yang d i n i k m a t i HPH.
3.4 Pungutan P e m e r i n t a h (Fee Dan R o y a l t i e s ) D i I n d o n e s i a
Pengkajian ini
merupakan analisis r e n t e ekonomi d a r i s e k t o r
meliputi
alar
pungutan p e m e r i n t a h d a r i t e g a k a n h u t a n
tarif
pungutan
yang dikenakan
dan
kehutanan,
potensi
yang
s e h a r u s n y a d a p a t d i t a r i k o l e h pemerintah.
pasar
Penyimpangan
t e g a k a n hutan alan dan
pasar
b u l a t sebagaimana yang t e r j a d i saat i n i d i I n d o n e s i a , penyebab
l e b i h rendahnya r e n t e ekonomi d a r i
kayu adalah
kemampuan
yang
s e h a r u s n y a b i s a d i t e r i m a pemerintah.
B a s i l p e r h i t u n g a n Ahmad (1992) memperlihatkan bahaa pada tahun 1990 p e m e r i n t a h hanya mampu menangkap s e b e s a r 17 p e r s e n dari
potensial
r e n t e ekonomi ( l i h a t Lampiran T a b e l
rana
perbedaan i n i l e b i h d i s e b a b k a n o l e h
pendekatan
p e r s a i n g a n yang digunakan, yakni n i l a i
pasar
diturunkan (f.0.b) Sedangkan
olahan
pemerintah
Indonesia y h g
asumsi
tegakan
hutan
harga
ekspor
lebih
tepat.
d a r i h a r g a p o t e n s i a l ekonomis d a r i
kayu
1). D i
dinilai
menghitung m e l a l u i s t r u k t u r
pasar
di
dalam n e g e r i yang menyimpang, d a n pada kenyataannya mendekati
cara
perpajakan
conversion dalan
Lam ini
k a r e n a t i d a k secara u t u h
return.
rengikuti
P a d a h a l h a r g a permintaan kayu
n e g e r i j a u h l e b i h k e c i l d a r i harga b u l a t ( p a r i t a s harga),
metoda
bulat
permintaan
s e h i n g g a beda h a r g a
mempengaruhi b e s a r n y a r e n t e e k o n o r i tegakan
kayu hutan
di
ekspor bulat yang
diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kenaikan IHH dan DR (Tabel 2). Di mana pemerintah menetapkan IHH atas dasar penyesuaian tarif pungutan IHH sebesar 6 persen dari perkembangan harga kayu bulat di dalam negeri, berbeda dengan penetapan kenaikan tarif pungutan DR yang kurang dinamis. Pengendalian tarif pungutan IHH sebesar 6 persen inipun masih dipertanyakan, karena bukan diperoleh dari hasil kajian secara enapiris tetapi lebih didasarkan atas penetapan pemerintah (official judgement).
f
Dari perkembangan tarif-tarif
pungutan pemerintah,
besarnya total tarif pungutan yang diambil pemerintah ternyata rente ekonomi tegakan hutan cenderung lebih kecil, karena pemerintah
sangat
lambat
(tidak dinamis)
dalam
melakukan
penyesuaian tarif pungutannya, dibandingkan dengan perubahan cepat yang terjadi pada harga kayu bulat dan harga input HPH.
3.5 Keterkaitan ~ a r g i nKeuntungan HPH Dengan Harga Tegakan
Hutan
Kayu bulat yang dihasilkan HPH dari tegakan hutan alam di Indonesia adalah tidak sejenis, melainkan terdiri dari berbagai jenis kayu dengan kualitas ekonomis dan harga yang berbeda.
.
Sumberdaya hutan tropis Indonesia meskipun mempu-
nyai komposisi jenis dan potensi yang beragam tapi lebih baik dibandingkan yang dimiliki hutan tropika Brazil, karena lebih di dominasi oleh jenis-jenis kayu bernilai komersial tinggi. Keanekaragaman potensi dan komposisi jenis kayu dari tegakan
hutan
alam
dipengaruhi oleh
faktor lingkungan
(topografi
lapangan, iklim, jenis tanah, dan lain-lain). Dalam tata guna hutan kesepakatan (TGHK), ketiga faktor di atas oleh pemerintah telah diklassifisikan secara makro ke dalam hutan lindung, hutan suaka margasatwa, hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan alam ini, pemerintah mengatur pembatasan ja$ah tebangan tahunan berdasarkan limit diameter yang boleh ditebang oleh HPH disesuaikan dengan faktor lingkungan, yang dikenal dengan istilah tebang pilih tanam Indonesia (TPTI). Di mana pada harga input
dan harga output tertentu akan berpengaruh kepada kombinasi pemakaian minimal dari input-input yang digunakan dan output yang
akan
lokasi
HPH
dihasilkan
HPH.
Sehingga
tersebut,
akan
memberi
perbedaan
keunggulan
konsekuensi
perbedaan
margin keuntungan. Untuk memberikan gambaran tentang keterkaitan yang dinamis antara harga tegakan hutan dengan margin keuntungan HPH dalam hubungannya dengan harga kayu bulat dan harga input HPH selain input tegakan hutan, maka berikut ini diuraikan baik secara simbolik maupun secara grafik. Di sini digunakan asumsi bahwa HPH bertindak sebagai penerima harga, yakni HPH *
dihadapkan pada struktur pasar persaingan sempurna. Sehingga dengan pendekatan asumsi struktur pasar persaingan sempurna
(perfect competition) ini, dengan jelas bisa tergambarkan perkembangan perubahan margin keuntungan HPH akibat pengaruh
perubahan harga permintaan kayu bulat dan harga permintaan input HPH selain tegakan hutan (Gambar 4). Dalam jangka pendek biaya
variabel
total
total biaya HPH dibedakan atas
(TVC) dan biaya tetap total
(TFC),
sebagaimana digambarkan pada Gambar 4. Pada Gambar 4a, OYBA adalah
total biaya input-variabel, ABDC
adalah
total biaya
tetap, sedangkan CDEP adalah keuntungan total kotor dalam jangka pendek. Jika misalnya dari keuntungan total kotor HPH (sementara keuntungan tersebut berada pada tingkat keuntungan wajar pengusaha HPH), dan pemerintah tidak menerima balas jasa produksi dari tegakan hutan yang digunakan, maka dalam jangka pendek HPH menerima excess profits. Dalam jangka panjang excess profits tersebut akan menjadi
normal profits HPH
sebagaimana digambarkan dalam Gambar 4b (Koutsoyiannis, 1979; Hartwick dan Olewiler, 1986). Pada Gambar 4c, jika dalam jangka pendek harga jual kayu bulat sebesar P f , di mana P 8 lebih besar dari P, maka PPf merupakan harga tegakan hutan yang harus diambil Pemerintah (fee dan royalties). Dalam rangka memaksimalkan keuntungan, jika terjadi harga permintaan kayu bulat sebesar Pf, maka HPH akan cenderung berproduksi sebesar Y f atau berproduksi lebih besar dari Y, bila pemerintah tidak menarik balas jasa produksi tegakan hutan (harga tegakan hutan) sebesar PPr atau pemerintah menarik harga tegakan hutan lebih kecil dari yang seharusnya diterima (lebih kecil dari PP').
Hal inf disebabkan
adanya pergerakan biaya marginal HPH (kurva MC) ke sebelah
GAMBAR 4. KETERKAITAN HARGA PERMINTAAN TEGAKAN HUTAN ALAM DENGAN HARGA PERMINTAAN KAYU BULAT (OUTPUT) DAN HARGA PERMINTAAN INPUT
nc Ex-
0
fiIC
/
E
m
prof it
I
I
t
Vo lumo
Y
Tegakm
Gurbsr 4a. Ex-
0
prof i t da lar
I
Jaiangka
pondok
.
.
I
Y
Vo l u w
Tegrkm.
mc
+
l w ban royal-
kiri atas, sejalan dengan besar kecilnya harga tegakan hutan yang ditetapkan pemerintah. Pada tingkat produksi optimal Y, harga tegakan hutan yang harus dipungut Pemerintah (fee dan royalty) adalah sebesar .PEGP1
.
Jika misalnya harga kayu bulat melebihi tingkat harga P f , dengan asumsi harga input variabel (R) tidak berubah, maka kurva penerimaan marginal MRf akan bergerak naik ke atas sementara kurva MC tetap, dan ini menjadikan harga tegakan hutan yang harus diterima Pemerintah menjadi lebih besar lagi (lebih besar dari PP8). Sebaliknya jika terjadi kenaikan harga input R, dengan asumsi harga output tidak berubah di P',
maka bagian harga
yang diterima Pemerintah menjadi berkurang karena kurva MC bergerak naik ke kiri atas sementara kurva MRr tidak berubah. Namun, tentu saja kenaikan harga permintaan kayu bulat (P) dan harga permintaan terhadap input (R) oleh HPH selain harga permintaan tegakan hutan dapat terjadi secara simultan, maka penyesuaian harga permintaan tegakan hutan yang harus diterima Pemerintah akan tergantung kepada elastisitas harga peranintaan kayu bulat maupun harga permintaan inputnya.