RAHMIANNA ET AL.: HASIL KACANG TANAH DENGAN UMUR PANEN BERBEDA
Hasil Polong dan Kualitas Biji Kacang Tanah pada Tanah dengan Kadar Air dan Umur Panen Berbeda Agustina A. Rahmianna, A. Taufiq, dan E. Yusnawan
Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Jl. Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Pod Yield and Kernel Quality of Groundnut (Arachis hypogaea L.) Planted under Two Different Irrigations and Times of Harvest. Groundnut planted on dry season often experiences drought stress. The limited availability of soil moisture during generative growing period would likely to retard seed development and to enhance fungal infection. The management of soil moisture and soil temperature, therefore, should be undertaken to reduce the fungal invasion while the crops are still standing in the field. The experiment was undertaken to assess the effect of soil moisture and time of harvest on pod yield and seed quality, both physically and the possibility of aflatoxin contamination. Experiment was conducted at Muneng Research Station, E. Java, on 9 July 2002 and harvesting was carried out three times i.e. on 2, 12 and 22 October 2002, i.e. at 85, 95, and 105 days after sowing (DAS). Kancil cultivar with a 95-day maturity was used as planting material, planted to a plant spacing of 40 cm x 10 cm, 1 plant/hill. A split plot design with 2 main plots (5x irrigations and 4x irrigations), 3 subplots of harvest timings (10 days before normal time, normal time, and 10 days after normal time) and 3 replicates was applied. Fertilizers at rate of 23 kg N + 45 kg P2O5 + 22.5 kg K2O/ha were applied in the furrows at planting time. Dolomite of 500 kg/ha was broadcasted at the flowering stage to ensure the success of pod filling. Applying 4x irrigations (planting time, 28, 56 and 76 DAS) during the dry growing season enabled the crops to produce 1.76 t of dry pods/ha. Harvesting at proper maturity gave better result than groundnut harvest ten days earlier or later. Aflatoxin contamination in groundnuts receiving 5 and 4x irrigations was higher than the upper permissible level for consumption, i.e. >15 ppb. To reduce the level of aflatoxin contamination and to maintain high pod yield, applying irrigation within the last one month of the growing season and proper harvest timing (at maturity: 95 das) should be applied. Keywords: Groundnut, pod yield, aflatoxin, kernel quality, irrigation, time of harvest ABSTRAK. Kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau sering berhadapan dengan kekeringan pada fase akhir pertumbuhannya. Penelitian pengaruh tingkat ketersediaan air dan umur panen terhadap hasil dan kualitas biji kacang tanah, tingkat infeksi A. flavus, dan kontaminasi aflatoksin dilaksanakan pada Juli-Oktober 2002 di Muneng, Probolinggo, menggunakan varietas Kancil (umur panen 95 hari). Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan. Petak utama adalah frekuensi pengairan: (1) lima kali pengairan (saat tanam, 28, 56, 76, 92 HST), dan (2) empat kali pengairan (saat tanam, 28, 56, 76 HST). Anak petak adalah umur panen: (1) 85 HST, (2) 95 HST, dan (3) 105 HST. Jarak tanam 40 cm x 10 cm, 1 benih/lubang. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif. Pupuk dengan takaran 23 kg N + 45 kg P2O5 + 22,5 kg K2O/ha dilarik di sepanjang barisan tanaman pada saat tanam. Dolomit diberikan 500 kg/ha, disebar pada saat tanaman berbunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kacang tanah varietas Kancil yang ditanam di Muneng, tipe iklim D, pada musim kemarau tanpa hujan, diairi sebanyak empat kali menghasilkan 1,76 t polong kering/ ha. Panen pada umur 95 HST, diperoleh hasil tinggi, meskipun
206
distribusi biji bernas, biji keriput, dan biji rusak lebih rendah dari panen pada 105 HST. Panen pada 95 HST menghasilkan cemaran aflatoksin lebih rendah dibanding kacang tanah yang dipanen lebih awal atau lebih akhir. Kontaminasi aflatoksin B1 pada biji kacang tanah pada perlakuan lima kali dan empat kali pangairan melebihi ambang batas aman untuk konsumsi (batas atas aman 15 ppb). Untuk menekan tingkat kontaminasi aflatoksin B 1 disarankan pengairan terakhir dilaksanakan kurang dari 30 hari sebelum panen, dan panen sebaiknya dilakukan pada umur 95 hari.
H
Kata kunci: Kacang tanah, hasil polong, aflatoksin, kebernasan biji, irigasi, waktu panen
asil kacang tanah dipengaruhi oleh ketersediaan lengas tanah pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman. Air yang tersedia bagi tanaman sepanjang pertumbuhannya menghasilkan polong yang banyak. Kacang tanah yang tumbuh pada lingkungan optimal selama fase vegetatif tetapi terdera kekeringan selama fase generatif (mulai pengisian polong hingga panen) mengalami penurunan hasil hingga 15%. Ketersediaan air optimal pada fase vegetatif dan generatif awal (dari fase berbunga hingga awal pengisian polong), setelah itu tanaman dibiarkan mengering tanpa tambahan pengairan hingga dipanen menyebabkan hasil turun hingga 41% (Senthong and Pandey 1989, Rahmianna et al. 2004). Penurunan hasil polong tersebut terjadi karena berkurangnya hasil biji, yang diekspresikan oleh penurunan nisbah bobot biji terhadap bobot polong (Nageswara Rao et al. 1985, Stansell and Pallas 1985, Harsono et al. 2003; Rahmianna et al. 2004). Kekeringan yang terjadi pada fase pengisian biji, yaitu sejak 62 HST hingga 90 HST, nyata menurunkan kebernasan biji dibandingkan dengan kekeringan pada akhir fase generatif, mulai 76 HST hingga 95 HST (Rahmianna 2001). Kualitas biji selain berdasarkan kondisi fisik/kebernasan biji juga ditentukan oleh keutuhan biji tanpa serangan hama dan penyakit. Pengamatan di Kabupaten Pati menunjukkan tingkat infeksi jamur A. flavus pada biji kacang tanah ketika masih belum dipanen berkisar antara 17-25% dan 25-40% masing-masing pada kacang tanah yang ditanam pada musim hujan dan musim kemarau (Dharmaputra et al. 2003). Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Banjarnegara, dengan tingkat infeksi berkisar antara 0-19% (Rahmianna et al. 2007).
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 3 2007
Kontaminasi aflatoksin diawali dengan infeksi jamur A. flavus atau A. parasiticus ke dalam biji, melalui luka makro maupun mikro pada kulit polong (Porter et al. 1986). Kedua jamur ini banyak terdapat di dalam tanah dan infeksi bisa terjadi ketika polong masih di lapang (infeksi prapanen) maupun pada periode pascapanen. Pada periode prapanen, kepekaan polong kacang tanah terhadap infeksi jamur A. flavus sangat berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik lingkungan, umur, dan genotipe tanaman (Mixon 1980). Parameter lingkungan prapanen yang paling penting dalam produksi aflatoksin adalah lengas dan suhu tanah di sekitar polong. Kekeringan dan suhu tanah yang tinggi selama periode pengisian polong hingga pemasakan biji meningkatkan populasi jamur A. flavus di dalam tanah, infeksi jamur A. flavus pada biji, dan produksi aflatoksin. Oleh karena itu, salah satu tindakan yang dianjurkan untuk mencegah infeksi jamur A. flavus dan kontaminasi aflatoksin adalah pengairan (Wilson and Stansell 1983). Pada kadar air yang tinggi, biji kacang tanah mampu menghasilkan senyawa phytoalexin yang berfungsi sebagai penghambat perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa jamur A. flavus yang menginfeksi biji, sehingga berpeluang menekan kontaminasi aflatoksin (Wotton and Strange 1987, Cookey et al. 1988). Kandungan air tanah yang tinggi di sekitar polong selama fase generatif hingga panen diyakini sebagai kondisi fisiologis yang prima bagi polong dan biji sehingga terhindar dari infeksi jamur dan kontaminasi aflatoksin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat ketersediaan air dan umur panen terhadap hasil polong dan kualitas biji kacang tanah, baik fisik maupun tingkat infeksi A. flavus, dan kontaminasi aflatoksin.
BAHAN DAN METODE
Pada MK 2002 (9 Juli-22 Oktober) dilakukan penelitian pengairan tanaman kacang tanah varietas Kancil di Muneng, Probolinggo. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan. Petak utama adalah frekuensi pengairan: (1) lima kali yaitu pada saat tanam, 28, 56, 76, dan 92 HST, dan (2) empat kali yaitu pada saat tanam, 28, 56, dan 76 HST. Anak petak adalah saat panen, yaitu (1) 10 hari sebelum umur masak varietas (85 HST), (2) pada saat umur masak varietas (95 HST), dan (3) 10 hari setelah umur masak varietas (105 HST). Benih ditanam dengan jarak 40 cm x 10 cm, satu benih/lubang, pada tanah yang telah diolah gembur. Pendangiran dilakukan pada 10 HST, penyiangan pada 22 dan 34 HST. Penyemprotan insektisida dan fungisida
dilakukan secara intensif untuk mengendalikan hama dan penyakit. Pupuk dasar 23 kg N + 45 kg P2O5 + 22,5 kg K2O/ha diberikan ke parit di sepanjang barisan tanaman, segera setelah tanam. Dolomit dengan takaran 500 kg/ha disebarkan pada saat tanaman berbunga. Infeksi A. flavus diamati segera setelah panen dengan menanam 100 biji pada media AFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar) di 10 cawan petri selama 4 hari. Pada media ini A. flavus menghasilkan koloni berwarna orange (kuning tua). Kandungan aflatoksin diamati pada 2,5 kg sampel polong kering dengan metode ELISA (Lee & Kennedy 2002a, 2002b). Setiap perlakuan diuji enam kali. Suhu tanah di sekitar polong (pada kedalaman 5-7 cm) diamati setiap 4 hari. Kadar air tanah diamati pada saat tanaman berumur 50, 80 HST, dan saat panen. Kadar air polong diukur pada 50, 60, 70, 80, 90, 100 HST, dan saat panen dari tiga tanaman contoh/petak, sedangkan kadar air biji diamati dengan metode ELISA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Polong dan Distribusi Kelompok Biji
Tidak terdapat pengaruh gabungan antara pengairan dan umur panen terhadap hasil polong dan distribusi kelompok biji. Hal ini berarti bahwa masing-masing perlakuan berpengaruh secara mandiri terhadap hasil polong. Frekuensi pengairan tidak mempengaruhi hasil polong dan distribusi kelompok biji. Pengairan lima kali memberikan hasil polong yang sama dengan tanaman yang diairi empat kali selama pertumbuhan, masingmasing 1,76 t/ha polong kering. Hasil polong yang sama ternyata diikuti oleh bobot biji bernas, biji keriput, dan biji rusak yang sama pula (Tabel 1). Pada penelitian ini tampak bahwa kondisi lahan yang mengering mulai 76 HST hingga panen (105 HST) disertai suhu tanah di bawah 30oC tidak mempengaruhi jumlah polong isi dan biji bernas. Sanders et al. (1981) melaporkan, banyak polong muda dari tanaman yang mengalami kekeringan pada fase generatif dengan suhu tanah sekitar 25oC atau pada kelembaban tanah optimal dengan suhu tanah tinggi (38oC). Dengan demikian kacang tanah varietas Kancil yang ditanam di Muneng pada musim kemarau cukup diairi empat kali, yaitu pada saat tanam, 28, 56, dan 76 HST. Umur panen berpengaruh nyata terhadap hasil polong, bobot biji bernas, dan biji keriput. Panen lebih awal (pada 85 HST) menghasilkan polong paling rendah. Penundaan panen 10 hari meningkatkan hasil 14,3% dari 1,59 t menjadi 1,85 t/ha polong kering, dan menunda panen 10 hari kemudian tidak lagi meningkatkan hasil 207
RAHMIANNA ET AL.: HASIL KACANG TANAH DENGAN UMUR PANEN BERBEDA
Tabel 1. Hasil polong kacang tanah, berat biji bernas, biji keriput, dan biji rusak pada dua frekuensi pengairan dan tiga umur panen. Muneng, Juli-Oktober 2002. Perlakuan
Frekuensi pengairan 5 x (0, 28, 56, 76, dan 92 HST) 4 x (0, 28, 56, dan 76 HST) Umur panen 85 HST (panen awal) 95 HST (panen pada umur masak) 105 HST (panen lambat)
Hasil polong (t/ha)
Biji bernas (kg/2,5 kg polong kering)
Biji keriput (kg/2,5 kg polong kering)
Biji rusak (kg/2,5 kg polong kering)
1,76 1,76
1,03 1,05
0,29 0,27
0,19 0,20
1,59 b 1,85 a 1,82 a
0,81 b 1,11 a 1,19 a
0,43 a 0,21 b 0,19 b
0,16 0,22 0,19
Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 BNT.
Infeksi Aspergillus flavus
Hasil pengamatan pada media AFPA menunjukkan bahwa biji kacang tanah yang dipanen pada umur 85, 95, dan 105 HST, dengan lima atau empat kali pengairan, hampir bebas dari infeksi A. flavus (Tabel 2). Pada setiap perlakuan, jumlah biji yang terinfeksi jamur A. flavus kurang dari 1% dari 100 biji yang ditanam pada media AFPA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat infeksi jamur A. flavus sangat rendah pada biji yang berasal dari polong yang baru dipanen. Kadar air biji pada saat panen tinggi, di atas 45% pada semua perlakuan (Tabel 2). Penelitian Trustinah et al. (2004) menunjukkan bahwa kadar air biji varietas Kancil akan menurun dengan meningkatnya umur tanaman. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa kadar air biji pada panen awal lebih tinggi daripada panen lambat (Tabel 2). Di sisi lain, pertumbuhan jamur optimum pada saat kadar air biji 15-30% dan jika kadar air biji di bawah 15% pertumbuhan jamur akan terganggu (Pettit 1984). Demikian pula pertumbuhan jamur, makin rendah dengan makin tingginya kadar air biji (Diener et al. 1982). Hal ini disebabkan oleh adanya ketahanan biji terhadap jamur dengan dihasilkannya phytoalexin dengan makin tingginya kadar air biji (Basha et al. 1994). Dengan demikian, kondisi lingkungan biji tidak kondusif 208
80,0 70,0 Persentase (%)
(Tabel 1). Rendahnya hasil pada panen awal disebabkan oleh rendahnya bobot biji bernas dan banyaknya biji yang keriput. Penundaan panen 10 hari memberi kesempatan bagi tanaman untuk pengisian biji sehingga bobot biji bernas meningkat dan bobot biji keriput berkurang (Tabel 1). Kacang tanah yang dipanen pada 85 HST terdiri atas 57,8% biji bernas, 30,5% biji keriput, dan 11,7% biji rusak. Jumlah biji bernas meningkat menjadi 71,3% dan 75,7% masing-masing pada panen umur 95 dan 105 HST. Sebaliknya, jumlah biji keriput masing-masing turun dari 30,3% menjadi 14,0% dan 12,1% dengan ditundanya panen dari 85 HST menjadi 95 dan 105 HST (Gambar 1).
60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 5x pengairan
4x pengairan Biji bernas
10 SM Biji keriput
M
10 LM
Biji rusak
Gambar 1. Distribusi biji bernas (SMK), biji keriput (shriveled), biji rusak (damaged) (SM = sebelum masak fisiologis; M= masak fisiologis; LM = lewat masak fisiologis).
untuk perkembangbiakan jamur A. flavus, sehingga tingkat infeksinya rendah. Di lapang, infeksi jamur A. flavus pada biji dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk lengas tanah, suhu tanah, dan kelembaban udara relatif. Kondisi kering (tegangan air tanah 18 bar) dengan suhu tanah sekitar 30oC selama 50 hari pada akhir masa pertumbuhan tanaman menyebabkan tingkat infeksi dapat mencapai 80% (Sanders et al. 1981). Kadar air tanah pada 50 HST (atau 22 hari setelah pengairan 28 HST) di semua petak perlakuan berada di bawah dan di sekitar titik layu permanen (TLP 19%). Pada 80 HST atau empat hari setelah pengairan pada 76 HST, kadar air tanah dalam kondisi kapasitas lapang (KL 32%). Pada 85 HST atau sembilan hari setelah pengairan terakhir pada 76 HST, kadar air tanah menjadi 23,4%, masih dalam kisaran tersedia bagi tanaman. Pada 95 HST kadar air tanah menurun hingga sedikit di bawah titik layu permanen pada perlakuan empat kali pengairan. Air tanah masih tersedia bagi tanaman (antara KL dan TLP) dengan lima pengairan pada tanah dengan kandungan debu tinggi (pasir : debu : lempung= 28:58:16), setelah kondisi kering berlangsung selama 14 hari sejak pengairan terakhir (Tabel 3).
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 3 2007
Tabel 2. Infeksi Aspergillus flavus dan kandungan air biji kacang tanah saat panen dan sesaat sebelum analisis ELISA pada dua saat pengairan dan tiga umur panen. Muneng, Juli-Oktober 2002. Infeksi A. flavus (%) Rata-rata
Kisaran
Kadar air biji saat panen (%)
Frekuensi pengairan 5 x (0, 28, 56, 76 dan 92 HST) 4 x (0, 28, 56, dan 76 HST)
0,1 0,3
0-0,3 0-0,7
46,5 47,9
5,9 8,3
Umur panen 85 HST (panen awal) 95 HST (panen pada umur masak) 105 HST (panen lambat)
0 0,3 0
0 0,3 0
66,3 45,9 50,3
5,1 7,7 8,3
Perlakuan
Tabel 3. Kadar air tanah di daerah polong kacang tanah. Muneng, Juli-Oktober 2002. Kadar air tanah (% basis kering) Perlakuan 50 HST Frekuensi pengairan 5 x (0, 28, 56, 76 dan 92 HST) 4 x (0, 28, 56, dan 76 HST)
80 HST Saat panen
19,7 16,8
32,4 31,0
27,1 a 18,2 b
Umur panen 85 HST (panen awal) 18,8 95 HST (panen pada umur masak) 18,5 105 HST (panen lambat) 17,5
30,2 31,6 33,2
23,4 p 26,1 p 18,3 q
Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 BNT.
Suhu tanah pada perlakuan pengairan selama pertumbuhan tanaman berkisar antara 26-32oC (Gambar 2b). Menjelang panen, suhu tanah turun pada kisaran 27o-28oC. Hal yang sama terjadi pada perlakuan umur panen (Gambar 2a). Apabila ditelaah maka suhu tanah di sekitar polong berada pada kisaran yang kondusif untuk perkembangbiakan jamur A. flavus, seperti yang dilaporkan Middleton et al. (1994) dengan kisaran 1742oC, sedangkan pada suhu 25,7-29,6oC riskan untuk produksi aflatoksin (Cole et al. 1985). Namun infeksi A. flavus pada biji saat panen sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa komponen teknologi yang dicoba menghasilkan lingkungan yang tidak kondusif bagi infeksi A. flavus selama masa prapanen. Cemaran Aflatoksin B1
Analisis ELISA menunjukkan bahwa pengairan lima kali selama masa pertumbuhan tanaman menghasilkan kandungan aflatoksin B1 rata-rata 17,8 ppb (dengan kisaran 11,8-26,2 ppb). Tanaman yang memperoleh pengairan empat kali selama pertumbuhan mempunyai tingkat kontaminasi aflatoksin rata-rata 15,6 ppb dengan kisaran 14,9-23,4 ppb. Tingkat cemaran aflatoksin pada
Kadar air biji sebelum ELISA (%)
kacang tanah yang dipanen sesuai umur varietas lebih rendah daripada yang dipanen 10 hari lebih awal atau lebih lambat dari umur varietas (Tabel 4). Hal ini berbeda dengan pernyataan Mehan et al. (1986) bahwa kontaminasi aflatoksin meningkat dengan meningkatnya umur panen, mulai dari 30 hari lebih awal hingga 10 hari lebih lambat dari umur varietas. Tingkat kontaminasi aflatoksin pada tiga umur panen masih berada di sekitar ambang batas aman dengan kisaran antara aman hingga di atas ambang batas aman (Tabel 4). Seperti disampaikan oleh Dharmaputra et al. (2003), Codex Alimentarius Commision pada tahun 1999 telah menetapkan batas maksimum aman kandungan aflatoksin B1 pada biji kacang tanah yaitu 15 ppb, sedangkan Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Surat Keputusan Nomor HK.00.05.1.4057 tahun 2004 menetapkan kandungan maksimum aflatoksin B1 adalah 20 ppb untuk kacang tanah sebagai bahan baku pangan dan produk olahannya. Dalam percobaan ini, kadar air biji saat panen dan setelah dikeringkan, sesaat sebelum analisis ELISA, pada dua frekuensi pengairan dan tiga umur panen masingmasing berkisar antara 5,9-8,3% dan 5,1-8,3% (Tabel 2). Angka ini lebih rendah dari kisaran kadar air biji yang riskan untuk produksi aflatoksin, yaitu 15-30%, disertai oleh suhu di sekitar polong lebih tinggi dari 28oC selama periode pengisian polong (Crop Link 2000). Dorner et al. (1989) melaporkan, kadar air biji yang peka terhadap insiden kontaminasi aflatoksin adalah 18-28%. Blankenship et al. (1984) melaporkan pula bahwa kontaminasi aflatoksin pada masa prapanen terjadi pada kondisi kering dengan suhu tanah 25,7-27oC dan produksi meningkat dengan meningkatnya suhu tanah hingga 30,5 o C. Ditinjau dari kandungan air biji, sebenarnya kelima lingkungan (dua perlakuan frekuensi pengairan dan tiga perlakuan umur panen) berada di luar kisaran yang riskan bagi kontaminasi aflatoksin. Tingkat infeksi A. flavus juga sangat rendah, namun masih terdapat beberapa sampel biji dengan tingkat 209
RAHMIANNA ET AL.: HASIL KACANG TANAH DENGAN UMUR PANEN BERBEDA
Suhu tanah (oC)
a
Kandungan aflatoksin B1 (ppb) Perlakuan
Pengamatan
Suhu tanah (oC)
b
Rata-rata
Kisaran
Frekuensi pengairan 5 x (0, 28, 56, 76 dan 92 HST) 4 x (0, 28, 56, dan 76 HST)
17,8 15,6
11,8-26,2 14,9-23,4
Umur panen 85 HST (panen awal) 95 HST (panen pada umur masak) 105 HST (panen lambat)
16,5 15,8 17,9
13-26,2 11,8-18,9 13,0-23,4
KESIMPULAN
Pengamatan
Gambar 2. Suhu tanah di daerah polong kacang tanah selama pertumbuhan tanaman pada tiga umur panen (a) dan dua frekuensi pengairan (b).
cemaran aflatoksin di atas 15 ppb. Kontaminasi aflatoksin sedikit lebih rendah pada varietas Kancil yang dipanen sesuai umur varietas. Hal ini terlihat pada nilai rata-rata maupun nilai kisaran kontaminasinya. Pada saat biji kacang tanah berisiko tinggi terkontaminasi aflatoksin (deraan kekeringan pada akhir fase generatif, suhu tanah tinggi di daerah polong, tingkat populasi A flavus toksigenik tinggi di dalam tanah atau adanya infeksi jamur A. flavus toksigenik pada polong/ biji), panen awal dapat menurunkan tingkat kontaminasi. Pada kondisi kering dan riskan demikian, panen awal (kira-kira 10 hari sebelum umur masak varietas) tidak mempengaruhi ukuran/tingkat kemasakan biji, bahkan meningkatkan produksi karena tidak terjadi kehilangan hasil panen. Panen awal pada prinsipnya adalah panen sebelum umur masak suatu varietas. Pada kondisi lingkungan yang rawan kontaminasi aflatoksin, panen lebih awal dianjurkan untuk mengurangi tingkat kontaminasi yang terjadi pada saat tanaman masih di lapang. Pada kondisi lingkungan optimal, tanpa deraan kekeringan, panen disarankan pada umur masak varietas. Hal ini erat kaitannya dengan rendemen biji (nisbah bobot biji/polong). Makin lambat dipanen, rendemen biji makin tinggi. Meskipun pada saat masak suatu varietas tingkat kemasakan dan ukuran biji lebih rendah dari panen lambat, namun kondisi ginofor lebih kuat, sehingga tidak banyak polong yang tertinggal di dalam tanah. 210
Tabel 4. Kandungan aflatoksin B1 pada dua perlakuan pengairan dan tiga umur panen kacang tanah. Muneng, Juli-Oktober 2002.
Kacang tanah varietas Kancil yang ditanam di Muneng, tipe iklim D, pada musim kemarau tanpa hujan, tanaman cukup diairi sebanyak empat kali, yaitu pada saat tanam, 28, 56, dan 76 HST dan menghasilkan 1,76 t/ha polong kering, sama dengan tanaman yang memperoleh lima kali pengairan. Panen varietas Kancil sebaiknya dilakukan pada saat umur masak varietas, yaitu 95 HST karena hasil polong paling tinggi. Namun distribusi biji bernas, biji keriput, dan biji rusak lebih rendah dari kacang tanah yang dipanen lebih lambat (105 HST). Panen pada 95 HST menghasilkan tingkat cemaran aflatoksin lebih rendah pada kacang tanah, dibanding yang dipanen lebih awal atau lebih akhir. Tingkat kontaminasi aflatoksin B1 pada biji kacang tanah varietas Kancil dalam kondisi lingkungan optimum (lima kali pangairan: saat tanam, 28, 56, 76, dan 92 HST) dan sedikit lebih kering dengan empat kali pengairan (saat tanam, 28, 56, dan 76 HST) tergolong tinggi dengan kisaran aman hingga di atas ambang batas aman untuk konsumsi (batas atas aman 15 ppb menurut Codex Alimentarius Commision dan 20 ppb menurut Badan POM). Panen pada umur masak, varietas Kancil menghasilkan biji dengan kontaminasi aflatoksin B1 lebih rendah dan dalam batas aman untuk konsumsi dibanding apabila panen dilaksanakan 10 hari lebih awal atau lebih lambat. Untuk menekan tingkat kontaminasi aflatoksin B1 disarankan pengairan terakhir dilaksanakan dalam waktu kurang dari 30 hari sebelum panen dan panen sebaiknya pada saat tanaman berumur 95 hari.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 3 2007
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ACIAR (Proyek # PHT 97/017) yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Lina Kusumawati, SSi, Sdr. Langgeng Sutrisno, Sdr. Sri Wiyono, dan Sdr. Arum yang telah membantu penelitian ini di lapang maupun laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA Basha, S.M., B.J. Cole, and S.K. Pancholy. 1994. A phytoalexin and aflatoxin producing peanut seed culture system. Peanut Sci. 21:130-134. Blankenship, P.D., R.J. Cole, T.H. Sanders, and R.A. Hill. 1984. Effect of geocarphosphere temperature on pre-harvest colonization of drought-stressed peanuts by Aspergillus flavus and subsequent aflatoxin contamination. Mycopathologia 85:69-74. Cole, R.J., T.H. Sanders, R.A. Hill, and P.D. Blankenship. 1985. Mean geocarphosphere temperatures that induce preharvest aflatoxin contamination of peanuts under drought stress. Mycophatologia 91:41-46. Cookey, C.J., P.J. Garratt, S.E. Richards, and R.N. Strange. 1988. A denyl stilbene phytoalexin from Arachis hypogaea. Phytochemistry 27(4):1015-1016. Crop Link. 2000. Aflatoxin in groundnuts. tips to reduce the risk. Queensland. Australia: Dept. Primary Industries Farming Syst. Inst. 12 p. Dharmaputra, O.S., I. Retnowati, A.S.R. Putri, dan S. Ambarwati. 2003. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts at various stages of the delivery chain in Pati regency. Paper presented at 21st ASEAN/3rd APEC Seminar on Postharvest Technology in Nusa Dua, Bali, Indonesia, 23-26 August 2003. Diener, U.L., R.E. Pettit, and R.J. Cole. 1982. Aflatoxins and other mycotoxins in peanut. p. 486-519. In: H.F. Pattee and C.T. Young (Eds.). Peanut Science and Technology. American Peanut Res., and Educ., Soc., Inc. Texas. Dorner, U.L., R.J. Cole, T.H. Sanders, and P.D. Blankenship. 1989. Interrelationship of kernel water activity, soil temperature, maturity, and phytoalexin production in pre-harvest aflatoxin contamination of drought-stressed peanuts. Mycopathologia 105(5):117-128. Harsono, A., Tohari, D. Indradewa, dan T. Adisarwanto. 2003. Ketahanan dan aktifitas fisiologi beberapa genotipe kacang tanah pada cekaman kekeringan. Ilmu Pertanian 10(2):51-62. Lee, A.N. and I.R. Kennedy. 2002a. Practical 1. University of Sydney quick aflatoxin B 1 ELISA Kit. Paper presented at ELISA Workshop Analysis of Aflatoxin B1 in Peanuts, held in Bogor on 12-13 February 2002. Organized by University of Sydney, ACIAR and SEAMEO Biotrop Bogor. 8 p. Lee, A.N. and I.R. Kennedy. 2002b. Practical 2. Matrix Effects. Paper presented at ELISA Workshop Analysis of Aflatoxin B1 in Peanuts, held in Bogor on 12-13 February 2002. Organized by University of Sydney, ACIAR and SEAMEO Biotrop Bogor. 17 p. Mehan, V.K., D. McDonald, N. Ramakrishna, and J.H. Williams. 1986. Effect of genotypes and date of harvest on infection of
peanut seed by Aspergillus flavus and subsequent contamination with aflatoxin. Peanut Sci., 13(2):46-50. Middleton, K.J., S. Pande, S.B. Sharma, and D.H. Smith. 1994. Diseases. p. 336-394. In. J. Smartt (Ed.). The Groundnut Crop. Chapman and Hall. London. Mixon, A.C. 1980. Potential for aflatoxin contamination in peanuts (Arachis hypogaea L.) before and soon after harvest. A. Review. J.Environ. Qual. 9(3):344-349. Nageswara Rao, R.C., S. Singh, M.V.K. Sivakumar, K.L. Srivastava, and J.H. Williams. 1985. Effect of water deficit at different growth phases of peanut. I. Yield responses. Agron. J. 77(5): 782-786. Pettit, R.E. 1984. Yellow mold and aflatoxin. p. 35-36. In: D.M. Porter el al. (Eds.). Compendium of Peanut Diseases. The Amer., Phytophathological Soc. Porter, D.M., F.S. Wright, and J.L. Steele. 1986. Relationship of microscopic shell damage to colonization of peanut by Aspergillus flavus. Oléagineux 41(1):23-27. Rahmianna, A.A. 2001. Usaha peningkatan hasil polong dan mutu biji kacang tanah melalui pengaturan saat pengairan dan tata letak tanaman. p. 113-120. Dalam. N.K. Wardani et al. (Eds.). Teknologi pertanian mendukung agribisnis dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Bappeda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Rahmianna, A.A., A. Taufiq, dan L. Sutrisno. 2004. Respon kacang tanah terhadap kekeringan pada periode pertumbuhan generatif tanaman yang berbeda. p. 304-310. Dalam. R. Mudjisihono et al. (Eds.). Penerapan dan inovasi teknologi dalam agribisnis sebagai upaya pemberdayaan rumahtangga tani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial-Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Universitas Widya Mataram, Yogyakarta. Rahmianna, A.A., E. Ginting, dan E. Yusnawan. 2007. Cemaran aflatoxin B1 dan kualitas biji kacang tanah pada mata rantai perdagangan di sentra produksi kabupaten Banjarnegara. 13 p. Makalah diajukan ke jurnal Penelitian Palawija edisi 2007. Sanders, T.H., R.A. Hill, R.J. Cole, and P.D. Blankenship. 1981. Effect of drought on occurence of Aspergillus flavus in maturing peanuts. J. Amer. Oil Chem. Soc. 58:966A-970A. Senthong, C., and R.K. Pandey. 1989. Response of five food legume crops to an irrigation gradient imposed during reproductive growth. Agron. J. 81(4):680-866. Stansell, J.R. and J.E. Pallas, Jr. 1985. Yield and quality response of Florunner peanut to applied drought at several growth stages. Peanut Sci. 2:64-70. Trustinah, A. Kasno, Moedjiono, dan J. Purnomo. 2004. Hasil dan mutu hasil kacang tanah varietas Kancil pada berbagai umur panen. p. 221-230. Dalam: S. Hardaningsih et al. (Eds.). Teknologi inovatif agribisnis kacang-kacangan dan umbiumbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Wilson, D.M., and J.R. Stansell. 1983. Effect of irrigation regimes on aflatoxin contamination of peanut pods. Peanut Sci. 10: 54-58. Wotton, H.R. and R.N. Strange. 1987. Increased susceptibility and reduced phytoalexin accumulation in drought-stressed peanut kernels challenged with Aspergillus flavus. Appl. Environ. Microbiol. 53:270-273.
211