STUDI TENTANG PELAKSANAAN MANAJEMEN RESIKO HUKUM DI RUMAH SAKIT UMUM NOONGAN Arista F. Wowor* A. J. M. Rattu** F. Kalalo** *Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado **Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado
ABSTRAK Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta bertujuan melaksanakan pelayanan kesehatan umum. Sayangnya, akhir-akhir ini isu tentang maltreatment dan malpraktek medik marak terjadi di RS swasta maupun pemerintah. Masyarakat umum khususnya pihak keluarga pasien tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang maltreatment maupun malpraktik medik. Semua penanganan pelayanan kesehatan yang hasilnya buruk secara sepihak dipandang sebagai kegagalan pelayanan kesehatan dari pihak RS maupun dokter, terlepas dari jenis penyakit yang ditangani. Untuk itu, penting bagi pihak RS untuk menerapkan suatu manajemen risiko hukum. Penelitian ini bermaksud mempelajari usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen Rumah Sakit RSUD Noongan untuk mencegah kerugian maupun memperkecil risiko. Penelitian ini bersifat kualitatif karena tujuan akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu deskripsi tentang pemahaman mengenai suatu fenomena, yaitu manajemen resiko. Secara khusus, penelitian ini mengeksplor dampak dari ketiadaan program quality improvement maupun jika ada, impak dari penyelenggaraan program-program pada staff, institusi maupun pada aspek resiko itu sendiri. Tujuan dari eksplorasi adalah untuk mengungkap apa sebenarnya terjadi di Rumah Sakit. Sampel diambil dari kalangan perawat, dokter, dan pihak manajemen RS (n=7). Dari hasil wawancara dan analisis data, ditemukan bahwa belum ada tim khusus yang bertugas untuk memanajemen risiko hukum di RSUD Noongan. Kebanyakan tindakan manajemen risiko hukum dilakukan oleh pribadi masing-masing, baik dokter, perawat, maupun manajemen, tanpa adanya protokol atau mekanisme yang tetap. Indikator pertama adalah tidak terlihat dalam struktur organisasi RSUD Noongan bagian hukum. Indikator kedua adalah bahwa manajemen resiko tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiadaan program yang terstruktur yaitu program yang disusun dengan proses perencanaan dan tujuan, target maupun output yang jelas. Sehingga oleh peneliti bahwa strategi manajemen resiko hukum di RSUD Noongan belum tersedia dan bahkan terkesan pihak manajemen RSUD Noongan belum menyadari pentingnya program ini. Disimpulkan bahwa manajemen risiko di RSUD Noongan belum berjalan, sehingga petugas medis berada dalam situasi yang berisiko untuk terkena tuntutan hukum pada keadaan-keadaan seperti ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu, disarankan kepada pihak RS untuk membentuk tim manajemen risiko demi meningkatkan kepastian hukum dan kualitas pelayanan medis bagi para pasien. Kata Kunci : Pelaksanaan, Manajemen Resiko Hukum ABSTRACT Both public and private hospitals aim to provide a healthcare service for the community. Recently, there are a rising in news issue about medical maltreatment and malpractice. General society, in particular the relatives of the patients do not possess an adequate knowledge and information about maltreatment and malpractice. This leads to an assumption that every medical failure, despite of the prognosis of the disease, is a maltreatment from either the hospital or the medical team. Therefore, it is compulsory for each hospital to apply and implement a risk management system to minimize law sue. This current research aims to identify and analyze the efforts put by the RSUD Noongan management team in order to prevent loss or minimize lawrelated risks. This is a qualitative research that will produce a description about a phenomenon, in this case, risk management. In particular, this research explores the effect of program quality improvement absence, or when it is available, to enquire the impact of the program implementation among staffs, institution, and the risk itself. The aim of this exploration is to reveal what is actually occurring in Noongan General Hospital. Samples were taken from key informants, including nurses, physicians, and management of the hospital (n=7). From the interview and data analyses, it is found that RSUD Noongan does not possess any special team to manage the law-related risk. Most risk management acts have been performed personally, by the
28
physician, nurses, and management, without any protocol or solid mechanism. This is indicated by the absence of law division in RSUD Noongan, as well as the absence of structured program, together with the planning, aims, target, and output, about law risk management. These show that the law risk management strategy in RSUD Noongan is not available yet, and the management team in the RSUD does not possess any awareness about the importance of this risk management team. It was concluded that risk management in RSUD Noongan is not existence in an ideal way, putting the medical officers in a risky situation of being sued for their medical intervention, especially when the treatment fails and the health service does not meet the patient expectation. It is suggested that the hospital management team to assemble a risk management team, in order to increase law-assurance for the officers, and eventually, the quality of medical service for the patients. Keywords : Implementation, Law Risk Management Rumah Sakit baik yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah maupun swasta harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan menurut aturan yang tersedia menurut golongan dan klasifikasi Rumah Sakit. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, mengatur perihal mengenai Rumah Sakit. Surat Keputusan MenteriKesehatan cq SK Dirjen Pelayanan Medik dan Kelembagaan No 159b/ Tahun 1988 Tahun tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit mengatur mengenai penataan fungsi dan manajemen yang harus dilaksanakan oleh Rumah Sakit manapun. Bidang pelayanan kesehatan umum dapat dikatakan telah cukup diatur dengan berbagai peraturan. Baik pada tingkat undang-undang sampai pada pengaturan administrasinya telah diatur oleh hukum dengan tujuan agar maksud dan tujuan dari amanat Undang - undang Dasar 1945 dan Undang - undang Kesehatan termasuk Undang - undang tentang Rumah Sakit dapat dijewantahkan secara konsekwen. Isu tentang maltreatment dan malpraktek medik marak terjadi di Rumah Sakit swasta maupun pemerintah. Masyarakat umum khususnya pihak keluarga pasien tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang maltreatment maupun malpraktik medik. Semua penanganan pelayanan kesehatan yang hasilnya buruk secara sepihak dipandang sebagai kegagalan pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit dan kegagalan profesi dokter. Terhadap beberapa kasus dapat diselesaikan secara mediasiantara pihak Rumah Sakit dan keluarga pasien tanpa melibatkan prosedur hukum atau tidak sampai ke tingkat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Dalam konteks dan kepentingan keterjaminan mutu (quality assurance) terhadap kasus - kasus sengketa medik baik
PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan umum merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Dasar 1945 khususnya alinea keempat yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yangberkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Setiap warga Negara berhak untuk memperoleh derajad kesehatan yang setinggi-tingginya. Kemudian implementasi pada Undang-undang Tentang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009. Untuk mengusahakan terwujudnya ketentuan tadi, maka pemerintah mensubsidi institusi Rumah Sakit Umum yang dibiayai oleh pemerintah pusat melalui anggaran pendapatan belanja nasional (APBN), Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yaitu melalui anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) melaksanakan pelayanan kesehatan umum tadi.
29
yang diselesaikann melalui mediasi maupun yang sampai di pengadilan tetap saja merupakan permasalahan bagi Rumah Sakit dan perlu diantisipasi oleh pihak manajemen Rumah Sakit. Terutama sekali adanya “incidents, atau accidence” mempunyai dampak pada performance Rumah Sakit seperti persoalan “branding maupun image.” Namun terlebih dari itu juga menyangkut aspek financial dan efisiensi pelayanan. Adanya “incidents ataupun accident memunculkan persoalan resiko (risk) dan kerugian (loss). Studi ini bermaksud mempelajari usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen Rumah Sakit RSUD Noongan untuk mencegah (prevent) kerugian (loss) maupun memperkecil (eliminate) resiko (risk). Tujuan dari penelitian ini yakni untuk memperoleh informasi tentang pemahaman program peningkatan mutu dan manajemen resiko Rumah Sakit, Memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan program peningkatan mutu dan manajemen Rumah Sakit dan bagaimana pelibatan dokter dan perawat dalam program tersebut.
melihat bahasa tubuh (gesture), suara/nada (voice) dan perilaku tampak luar dari staff rumah sakit. HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Resiko Hukum & Quality Assurance Di RSUD Noongan program yang berhubungan dengan quality assurance, loss and risk, atauquality improvement secara struktural tidak secara harafiah dapat ditemukan. Peneliti berusaha mengungkap dengan cara berbeda. Mungkin pertanyaan atau terminologi yang peneliti gunakan tidak dimengerti. Dari hasil wawancara diungkapkan bahwa secara resmi, atau secara terstruktur tidak ditemukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan program manajemen resiko. Peneliti kemudian berusaha melihat adanya fungsi-fungsi tertentu yang berperan dalam usaha menurunkan tingkat resiko dan meningkatkan kualitas layanan rumah sakit. Menggunakan istilah meningkatkan kualitas layanan Rumah Sakit lebih dimengerti dari pada quality improvement. Begitu juga istilah patient safety lebih dimengerti dari pada quality assurance and risk management. Seperti peneliti sebutkan diatas adanya staf medik merupakan organ fungsional yang dapat berperan menekan resiko dan meningkatkan pelayanan kesehatan. Staf Medik (Medical Staff), Manajemen dan Governing Body. Baiklah terlebih dahulu peneliti menjelaskan medical committee/komite medik dalam tatanan sistim Rumah Sakityang menganut triad system, seperti yang digunakan pada rumah sakit di Amerika terdapat pemisahan tegas antara Dewan Penyantun (Governing Body), Staf Medik (Medical Staff) dan Staf Manajemen (Management Staff ). Dewan penyantun biasa mewakili share holder (pemilik), staff medik adalah mereka yang bekerja di rumah sakit dengan memiliki ijazah, ijin praktik dan mempunyai seppesialisasi tertentu dan memiliki privilege di Rumah dimana dia bekerja. Staf manajemen adalah kelompok yang dipercayakan oleh pemilik untuk mengelolah rumah sakit tersebut. Baik dewan penyantun, staf medic dan staf manajemen memiliki kepentingan masing-masing. Tiga komponen seperti dewan penyantun (governing body), Staf medik
METODE “Penelitian Kualitatif berusaha memahami obyek penelitian (tentang perilaku manusia, misalnya) dengan mengamati obyeknya (mengamati proses terjadinya perilaku manusia tersebut, misalnya), tanpa harus mencocokkan dengan teori yang sudah ada. Teori yang sudah ada tidak membatasi ruang gerak kerja peneliti dalam menangkap atau menemukan sistem yang sedang dicarinya (generating theory). Peneliti secara bebas berusaha menemukan sistem (atau teori) yang ada pada obyek penelitiannya.” Peneliti menggunakan kualitatif research karena tujuan akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu diskripsi tentang pemahaman mengenai fenomena tertentu seperti resiko. Khususnya penelitian ini mengeksplore dampak dari ketiadaan program quality improvement maupun jika ada dampak dari penyelenggaraan program program pada staff, institusi maupun pada aspek resiko itu sendiri. Tujuan dari eksplorasi itu adalah untuk mengungkap apa sebenarnya terjadi di Rumah Sakit, khususnya yang menyangkut “quality improvement”, dan itu diamati dengan
30
(medical staff) dan staf manajemen (management staff) bahkan di beberapa Rumah Sakit Swasta dengan badan hukum yayasan dewan penyantun yang dalam hal ini pengurus yayasan bahkan menjadi anggota komite medik, bersama-sama dengan pimpinan Rumah Sakit/Direktur dan para staf dokter terpilih. Komite medik yang beranggotan ketiga unsur itu adalah satu model kolaborasi yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu. Yaitu bahwa komunikasi antara unsur-unsur manajemen, pemilik dan staf medik menjadi lancar. Perbedaan antara mereka dapat segera dibicarakan dan dicari solusinya. Sehingga akan mengurangi ketegangan diantara mereka sebagaimana yang sering terjadi dalam triad system. Selanjutnya terdapat sebuah komite yang sebenarnya apabila dioptimalkan fungsinya akan sangat strategik dalam melakukan pencegahan atau meminimalkan resiko maupun penjaminan mutu. Menurut Permenkes No. 755 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit (Medical Staff Rules). Tujuan dari ketentuan ini adalah ntuk mengatur tata kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien di rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi serta mengatur penyelenggaraan komite medik di setiap rumah sakit dalam rangka peningkatan profesionalisme staf medis. Pencegahan Kerugian
Resiko
dan
ikatan moral profesi ini juga menjadi satu acuan untuk turut mencegah munculnya tindakan tidak professional yang dapat berujung pada kerugian, penderitaan dan resiko rumah sakit. Beban dan kewajiban seorang dokter terutama dokter yang bekerja disebuah rumah sakit swasta dengan berlatar belakang perusahan (PT). Rumah sakit dengan dasar keberdiriannya perusahan terbatas (PT) pasti mempunyai motif pada propfit oriented, terkecuali rumah sakit swasta dengan dasar charity yang dalam hal ini berbadan hukum Yayasan. Rumah Sakit swasta dengan berbadan hukum Perusahan Terbatas pasti mencari keuntungan atau paling tidak tidak mau merugi sehingga pihak manajemennya harus berusaha merencanakan strategi businessnya agar tidak merugi dan tentunya kelebihan atau selisih pengeluaran harus diperoleh melalui “charging” pasien, dengan mengoptimalkan dokter spesilialis yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Bisa juga secara diam-diam seorang staff dokter diberikan beban/kewajiban membawa pemasukan sejumlah tertentu melalui pelayanannya kepada pasien kepada Rumah Sakit. Keputusan-keputusan untuk mengambil tindakan tertentu terhadap seorang pasien sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan motif ekonomi diatas. Mekanisme mediasi (dispute settlement) sebenarnya perlu diadakan, disediakan dan dikembangkan di Rumah Sakit. Di Siloam Hospitals Manado secara resmi mekanisme ini tidak ada/tersedia namun dari beberapa kasus yang sudah terjadi mekanisme mediasi digunakan. Mekanisme mediasi yaitu penyelesaian sengketa medik melalui cara-cara kekeluargaan tanpa melibatkan institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan apalagi pengadilan yang terlibat biasanya hanya penasehat hukum masing-masing pihak.
Minimalisasi
Code of conductadalah kode etik profesi dokter yaitu ketentuan-ketentuan Etika bagi profesi dokter yang sudah ada sejak munculnya Sumpah Dokter Kuno (Sumpah Hipokrates) yang kemudian mengalami beberapa kali Peru bahan disesuaikan dengan perkembangan dan kultur moderen. Etika kedokteran muncul dan berkembang sesuai dengan perkembangan kedokteran di dunia. Kode etik profesiadalah seperangkat etika profesi dan code of conduct adalah etika berperilaku seorang dokter terutama apabila berkaitan dengan tindakan medis yang harus dilakukan atas seorang pasien. Code of conduct juga mempunyai fungsi untuk mengatur tindakan profesi. Seorang dokter yang tidak memahami ketentuan hukum bahkan lebih memahami code of conduct-nya. Ikatan-
Patient Safety & Ekonomi Idealnya keselamatan pasien (patient safety) harus diutamakan. Berbagai regulasi dan kebijakan pada tingkat kementerian atau direktorat pelayanan medik dan kelembagaan telah dikeluarkan namun demikian persoalan patient safety menjadi sangat rentan apabila berhadapan dengan kepentingan ekonomi. Kasus yang baru saja terjadi di Siloam Hospitals pada tahun 2015 menunjukan
31
bahwa tanpa adanya unsur medically needed, seorang dokter telah melakukan tindakan yang tidak diiperlukan sehingga menyebabkan pasien meninggal. Sehingga unsur adanya indikasi medis (medical indication) menjadi sangat penting dengan pertimbangan bahwa sebuah tindakan tidak dilakukan akan memperparah dan membahayakan keselamatan pasien. Terdapat perbedaan antara pelaksanaan program quality improvementdan manajemen resiko hukum di Rumah Sakit (profit) dan Rumah Sakit (Non Profit) Asumsi peneliti adalah bahwa rumah sakit dengan status swasta non profit (yayasan) adalah rumah sakit yang tidak mengejar keuntungan (profit) sehingga seandainya terdapat kelebihan hasil usaha semuanya akan digunakan untuk pengembangan rumah sakit tersebut. Sehingga hipotesa peneliti adalah rumah sakit dengan status yayasan akan lebih mengutamakan pengembangan rumah sakit termasuk membiayai program program pengembangan manajemen yang semuanya ditujukan bagi kualitas pelayanan dan pasien safety. Menurut peneliti keadaan diatas merupakan gejala menarik. Seharusnya Rumah Sakit dengan profit oriented akan cenderung meningkatkan kemampuan berkompetisi dengan melakukan investasi tidak saja pada aspek tehnologi, tetapi aspek manajerial termasuk didalamnya adalah quality improvement. Karena salah satu ukuran adanya kuality improvement ialah meningkatnya kepercayaan pasien pada tenaga dokter, pengelolaan administrasi rumah sakit dan tingkat keselamatan pasien (patient safety). Semuanya itu hanya dapat dijamin melalui adanya serangkaian program yang terangkai dan terstruktur dengan target yang jelas dari waktu ke waktu.
gugatan atau klaim. Harus diakui secara nyata RSUD Noongan tidak merencanakan, melaksanakan program manajemen resiko secara terstruktur. Sehingga peneliti melihat bahwa Rumah Sakit hanya lebih mementingkan melaksanakan kegiatannya pada kegiatan rutin Rumah Sakit yaitu menjaga agar pelayanan kesehatan pada pasien terlaksana dengan baik. Patient safety telah introduksi dan standard pelayanan Rumah Sakit telah menjadi prioritas. Namun pihak manajemen belum merencakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan meminimalkan resiko Rumah Sakit. 2.
Pihak manajemen RSUD Noongan telah melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di RSUD Noongan. Hasil wawancara sekilas dengan pihak tertentu yang bekerja di rumah sakit ini menyatakan mengetahui terdapat program namun tidak secara resmi tertata dan teratur dilakukan oleh pihak manajemen.
3.
Beberapa program-program yang dikategorikan kedalam program peningkatan kualitas pelayanan itu bisa saja dalam bentuk yang berbeda-beda. Seperti misalnya kegiatan untuk merealisasikan surat perintah, atau surat pedoman atau petunjuk direktur yang menyangkut pelayanan, tindakan medis terkait dengan fasilitas rumah sakit, atau upaya lain untuk memperlancar pelayanan, meningkat perawatan, memperbaiki kinerja staff medik atau tenaga kesehatan, penyempurnaan mekanisme kerja atau melaksanakan surat edaran maupun petunjuk dari Dirjen Yan Medik atau Bina Layanan dan Institusi.
4.
Strategi manajemen resiko hukum di RSUD Noongan secara nyata tidak terlihat. Indikator pertama adalah tidak terlihat dalam struktur organisasi RSUD Noongan bagian hukum. Indikator kedua adalah bahwa manajemen resiko tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiadaan program yang terstruktur yaitu program yang disusun dengan proses perencanaan dan tujuan, target maupun
KESIMPULAN 1.
Rumah Sakit Umum Daerah Noongan belum mengenal bentuk formal dari quality assurance (penjaminan mutu), quality improvement (peningkatan kualitas) maupun program risk and assurance (resiko dan penjaminan). Ketiga istilah mempunyai persamaan namun ketiganya menekankan pada keselamatan pasien dan peningkatan pelayanan Rumah Sakit agar supaya terlepas dari kemungkinan menghadapi
32
output yang jelas. Sehingga oleh peneliti bahwa strategi manajemen resiko hukum di RSUD Noongan belum tersedia dan bahkan terkesan pihak manajemen RSUD Noongan belum menyadari pentingnya program ini. Apakah ini oleh ketidak mengertian bagian/departemen Risk & Assurance atau mungkin dianggap persoalan ini belum prioritas.
Listyawati, F. (2011). Peran Pendokumentasian Rekam Medis Pada Data Asuransi Dalam Manajemen Risiko Di Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta : D3 Rekam Medis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. [Tidak dipublikasikan]. Jerry G. Tambun, Hukum, Kedokteran Dan Kesehatan, Pacific Institute for Sustaianable development 2009.
SARAN Khususnya untuk kepentingan pelayanan kesehatan serta mengejar atau memenuhi kriteria rumah sakit modern RSUD Noongan seharusnya mulai melakukan beberapa hal, yaitu : 1. Mengembangkan program manajemen resiko (risk management) bersama dengan kegiatan quality assurance. Dengan demikian maka aspek manajerial rumah sakit menjadi lebih baik dan segi keselamatan pasien dengan sendirinya terperhatikan. 2.
Manullang. (2008). Dasar-Dasar Manajemen. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Muninjaya, A. A. (2004). Manajemen Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Mutu layanan kesehatan perpektif internasional – Al-Assaf (editor) – EGC Penyelesaian hukum dalam malpraktik kedokteran – Nusye K. I. Jayanti – Pustaka Yustisia, 2009 – 136 halaman
Untuk mencegah muncul resiko baik harm, loss maka hendak program diatas dilaksanakan.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014. Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. [internet]. Sumber : http://keuda.kemendagri.go.id [diakses pada tanggal 10 Februari 2015].
DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik : Peduli, Inklusif dan Kolaboratif,Gadjah Mada University Press.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014. Tentang Petunjuk Teknis Sistem INA-CBGs. [internet]. Sumber : http://www.depkes.go.id [diakses pada tanggal 22 April 2015]
Arikunto, S. (2006). Metodelogi penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara. Azwar, S. (2000). Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga. Jakarta : Binarupa Aksara.
Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di INDONESIA, Gudang Penerbit 2007
Buku Pedoman Standard Akreditasi Rumah Sakit., Kerjasama Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian RI dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) September 2011, 2012.
M. Taufik, Juliane, Komunikasi Terapeutik dan Konselling dalam Praktik Kebidanan, Salemba Medika, 2009 Smith DG and Wheeler JRC 1992, “ Strategies and Structures for hospital risk management program”, Health Care
Latief, Moh.PhD., Metode Kualitatif dan Kuantitatif, Universitas Negeri Malang 2009.
33
Management Review, Volume 17, no 3, pp. 9-17 dalam Jerry G. Tambun dan James F. Siwu., Integrative approach to hospital law: hospital legal risk halaman 7.
34