STUDI PERKEMBANGAN DAN REVITALISASI PECINAN MAKASSAR Khilda Wildana Nur1 Endang Titi Sunarti Darjosanjoto2 Ispurwono Soemarno2 1
Mahasiswa Program Magister Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya
[email protected] 2 Staf pengajar Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS Surabaya
ABSTRAK Kawasan Pecinan Makassar adalah salah satu artefak kota yang memiliki nilai sejarah dan simbol arsitektural. Namun faktanya, potensi, muatan sejarah dan perannya sebagai collective memory dalam kawasan kota lama Makassar yang dimilikinya ini tidak sejalan dengan kondisi yang ada saat ini. Kawasan ini mengalami degradasi vitalitas yang tidak relevan dengan statusnya sebagai pusaka kota. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis komponen-komponen yang mengalami penurunan vitalitas di Pecinan Makassar. Melalui penganalisaan tipo-morfologi kota, elemen-elemen kawasan dari berbagai periode, perubahan tata guna lahan, dan bahkan karakter yang intangibel dapat diuraikan sebagai referensi identifikasi pada Pecinan Makassar. Adapun hasil studi ini adalah kondisi degdrasi vitalitas fisik dan non fisik yang menjadi suatu komponen fundamental dalam melaksanakan revitalisasi. Kata kunci : Pecinan Makassar, perkembangan, revitalisasi, tipo-morfologi PENDAHULUAN Urban artefak mengandung makna asli adalah suatu hal yang menyiratkan bukan hanya pada fisik dalam sebuah kota, tetapi semua hal, dari sejarahnya, geografi, struktur, dan hubungan kehidupan kota secara umum (Summerson dalam Rossi, 1982). Salah satu artefak yang yang sarat dengan muatan perkembangan sejarah adalah kawasan kota lama. Kawasan kota lama berkembang pada titik yang paling strategis dalam kota, biasanya awalnya ditentukan dengan grid jalan, menjadi konsentrasi pelayanan masyarakat, yang memberi asumsi bahwa masyarakat memiliki kemudahan akses dalam memenuhi kebutuhannya (Spreiregen,1985). Hal ini pulalah yang terlihat pada integrasi Pecinan Makassar, sebagai konsentrasi khusus etnis Cina di Makassar dan berperan penting dalam pemetaan aktivitas kota. Keidentikan tradisi dan karakter yang khas Cina di kawasan ini merupakan wujud dari sikap masyarakat Cina yang ingin mempertahankan kehidupan, budaya, lingkungan seperti di negara asalnya. Akibatnya lingkungan permukiman Cina memiliki karakter berbeda dengan kawasan kota tempatnya berada (Widayati:2004). Pecinan pun menjadi embrio kawasan perdagangan skala kota Makassar dan sekaligus berstatus pusaka kota (urban heritage). Dari kondisi sekarang, maka diperlukan suatu penanganan dalam bentuk revitalisasi yang dapat mengkoneksikan antara tuntutan dan potensi Pecinan serta mencegah degradasi visual kawasan. REVITALISASI : INTEGRASI TANGIBLE DAN INTANGIBLE Sidharta (1989) mengemukakan bahwa revitalisasi adalah merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai. Yang dimaksud dengan fungsi yang lebih sesuai adalah kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis, atau yang hanya memerlukan sedikit dampak minimal. Berdasarkan Piagam Burra, revitalisasi merupakan pendekatan yang cermat untuk perubahan dengan melakukan sebanyak yang diperlukan untuk memelihara tempat tersebut dan membuatnya bermanfaat, tetapi sebaliknya merubah sedikit mungkin siginifikasi budayanya.
1
Upaya konservasi termasuk revitalisasi tidak lepas dari kegiatan perlindungan dan penataan serta tujuan perencanaan kota yang bukan hanya secara fisik, tetapi juga stabilitas penduduk dan gaya hidup yang serasi (Yuen:2005, Wieland:1997). Revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat). Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi (Antariksa:2008). Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota. Revitalisasi pada umumnya dilakukan pada kawasan kota yang masih banyak terdapat artefak-artefak urbannya. Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu. Danisworo dalam Purnawan (2008), membagi beberapa tahapan revitalisasi yang meliputi intervensi fisik, rehabilitasi ekonomi dan revitalisasi sosial atau institusional. Aspek sosial dan budaya sangat berpengaruh dalam keberhasilan revitalisasi, karena berupa gagasan merupakan produk dari kehidupan sosial budaya. Keberhasilan revitalisasi dari aspek non fisik ini akan menjadi tumpuan untuk keberlanjutan suatu kawasan. Hal ini pulalah yang dikemukakan Juliarso (2001), revitalisasi menjadi bagian dari strategi konservasi kawasan perkotaan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan membawa pengaruh dan mendorong pada penguatan nilai budaya lokal. Modal sosial eksistensi suatu kawasan akan menjadi spirit of place. Hal ini merupakan modal ruang yang terdiri dari ruang-ruang internal yang terkandung dalam ruang dan prilaku manusia terhadap ruang yang mampu menggerakkan sendi-sendi kehidupan informal masyarakat pada ruang atau kawasan (Juwono, 2009). Lebih lanjut menurut Juwono, kontribusi komunitas dalam aspek sosial budaya pada revitalisasi menjadi kekuatan keberadaan komunitas yang dapat dijelaskan dengan konsep genius loci, suatu strategi investasi komunitas dan semangat bagi ruang sehingga mampun mengendalikan suksesi dan mengurangi segresi yang ekstrim. Sejalan dengan Juliarso (2009), Juwono (2001) menambahkan bahwa revitalisasi dapat pula dilakukan pada kawasan yang memiliki asset bangunan yang perlu dilindungi sebagai cagar budaya, terkait pula kehidupan budaya, tradisi, seni, masyarakat ataupun terkait dengan momentum, peristiwaperistiwa, sekaligus tindakan konservasi sebagai upaya penyelamatan terhadap pusaka warisan budaya. Dari hasil penjabaran revitalisasi sebagai referensi tersebut, maka pengidentikasian kawasan dapat ditelususri berdasarkan aspek fisik (tangible) dan aspek non fisik (intangible.) METODE PENELITIAN Secara umum penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana variabel penelitian muncul kemudian. Ada dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi observasi, materi dan wawancara. Sedangkan data sekunder berupa data survei, kumpulan data, peta, tabel dan uraian terkait. Untuk mengidentifikasi komponen yang mengalami penurunan vitalitas Kawasan Pecinan Makassar ini, akan mengkaitkan beberapa metode. Namun, metode basisnya menggunakan metode analisa typo-morphology. Tipomorfologi merupakan pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan keruangan dan merupakan gabungan dari studi morfologi dan tipologi (Moudon dalam Wijanarka, 2005). Menurut Lozano (1990) studi morfologi merupakan science factor yang beragam yang mempengaruhi bentuk dari kota, khususnya suatu permukiman. Pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, system jaringan jalan, dan blokpblok bangunan, townscape, urban spawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi kota (Pontoh, 2009). Studi morfologi menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatas ruang dan pembentukan dan dinamika dari type dan struktur obyek yang diteliti (Darjosanjoto, 2006, Schultz dan Loeckx dalam Wijanarka, 2005). System figurasi ruang dapat dihubungkan melalui pola, hirarki ruang, maupun hubungan ruang yang satu dengan ruang lainnya. Selanjutnya, dalam perkembangan tipologi akan dibedakan dalam beberapa priode. Tipologi terkait dengan beberapa aspek sosial
2
ekonomi, budaya, dan teknologi. Budaya merupakan penggerak utama, dan teknologi menjadi komponen budaya dalam suatu komunitas sosial. Dengan mengaitkan referensi revitalisasi dan metode analisa typo-morfology, maka hal ini memiliki relevansi dan korelasi kuat untuk mengdentifikasi komponen yang mengalami penurunan vitalitas khususnya pada kawasan Pecinan sebagai suatu permukiman dalam skala kota. EKSISTENSI PECINAN DI KOTA MAKASSAR Kedatangan para imigran yang terdiri dari komunitas Cina, Arab Melayu dan tentu saja Bangsa Belanda berlangsung sejak abad ke 16 di Makassar. Namun, Belanda yang berperan sebagai karateker perkembangan kota. Priode colonial banyak meninggalkan artefak kota baik tangible dan intangible di kawasan kota lama. Salah satunya dengan terdapatnya pengelompokan permukiman berdasarkan rasial oleh Belanda, yaitu Pecinan, Kampung Arab dan Melayu dan kompleks permukiman Eropa dan yang sederajat. Pengelompolan ini pada dasarnya untuk memudahkan pengontrolan dan kelancaran akitivtas administrasi dan perdagangan Belanda di kota Makssar. Dari beberapa permukiman multi rasial tersebut, Pecinanlah yang masih memiliki eksistensi yang kuat di banding lainnya. Kebertahanan Pecinan ini tidak diikuti dengan Kampung etnis lain, dimana saat ini Kampung Arab dan Melayu telah masuk dalam wilayah Pecinan Makassar. Masuknya komunitas Cina yang mencapai puncaknya pada abad ke 17 menjadikan populasi Pecinan cukup besar dan permukiman etnis ini cenderung mentransplantasikan daerah barunya sama dengan daerah asalnya walaupun masih dalam koridor adaptasi (Widodo, 2004). Permukiman Cina tersebut dibarengi dengan pendirian bangunan yang khas Cina, misalnya bentuk bangunan arsitektur oriental dan klenteng.
Gambar 1. Eksistensi Pecinan dari sekuel peta kota Makassar Sumber : Bappeda kota Makassar, 1991, RDTRK Makassar 2007
Gambar 2. Perkembangan land use Pecinan Makassar pada tahun 1960an dan sekarang Sumber: Soemalyo, 1997, digambar ulang penulis sesuai pengamatan, 2010)
3
Kondisi Fisik Kawasan Pecinan Makassar Tata guna lahan dan konfigurasinya Pola spasial sangat berkaitan dengan perwujudan kegiatan manusia secara internal dan eksternal, sehingga bersifat dinamis untuk mengalami perubahan dalam batas-batas area sebelumnya. Secara spasial, penataan kawasan Pecinan Makassar berbeda dengan kota tradisional di Cina. Perlahan komunitas Cina di Makassar telah meninggalkan pengaturan secara kosmologis. Selain karena sejak keberadaaannya telah didesain oleh campur tangan Belanda secara spontan. Seiring dengan waktu telah terjadi peralihan tata guna lahan dan degradasi aktivitas yang mempengaruhi vitalitas kawasan. Secara makro, pola spasial dominan monoton terbentuk dari kompleks deretan bangunan ruko, bergaya campuran yang telah mengalami degradasi visual. Hal ini dirasakan dalam spasial margin perbandingan antara bangunan dan jalan (streetscape). Jalan Sulawesi sebagai main road Pecinan dipenuhi jajaran ruko dengan berbagai macam kondisi. Kondisi eksisting yang berupa massif tidak menyediakan adanya ruang terbuka untuk jalur hijau dan parkir bagi kendaraan baik untuk pengunjung maupun penghuninya. Selain itu, pada beberapa koridor terlihat kumuh dan liar. Padahal, kawasan ini berpotensi untuk mengkoneksikan path-path secara spasial kawasan, seperti path Kampung Melayu di Jl. Ternate, path pasar tradisional Bacan dan sekuen path lainnya. Tabel 1. Perbandingan kondisi permukiman Cina tradisional dengan Pecinan Makassar Permukiman Spasial ideal Cina Dilatarbelakangi oleh pegunungan atau perbukitan, sebagai pertahanan terhadap angin yang dapat membawa pergi semua keberuntungan
Kondisi Eksisting Pecinan Makassar Utara
Membawa keberuntungan Barat Laut Selat Makassar
Timur
Membawa sial
Menghadap ke laut Selatan
Qi atau nafas hidup senantiasa atau sungai, dimana mengalir dari sungai, atau tempat yang jauh daru perbukitan.
dianggap sebagai media untuk mencapai rezeki, misalnya untuk berdagang, transportasi.
Terrestrial Pecinan Makassar tidak memungkinkan aplikasi Honshui/Fengshui, walaupun terdapat Selat Makassar di pesisir barat kawasan
Indikasi yang terlihat Pada pemukiman ideal sesuai Feng Shui, bangunan diatur sedapat mungkin berorientasi sepenuhnya ke laut yang disimbolkan merak merah yang membawa keberuntungan. Namun, terjadi perbedaan dalam orientasi dan penataan pemukiman di Pecinan Makassar. Bangunan lebih pada pendekatan penyesuaian lahan dan sesuai aturan pada zaman colonial Belanda. Walaupun pada sisi barat terdapat laut yaitu Selat Makassar sebagai kiblat keberuntunan etnis Cina, namun prinsip tersebut tidak berlaku dalam penentuan arah orientasi bangunan. Kecenderungan arah orientasi mengikuti jalan dan pola yang telah ditentukan sejak era colonial dan RDTRK saat ini.
Hirarki lingkungan sekitar Dengan mengetahui hirarki setempat, dapat membantu dalam melihat elemen kota.. Dalam beberapa teori dan referensi menyatakan bahwa dari sekian banyak komponen morfologikal, pola jalan merupakan komponen yang paling nyata (Pontoh, 2009, Moudon, 1997). Keberadaan pola jalan ini tidak terlepas dari hirarki pembentuknya. Pola jalan merupakan manifestasi dalam menentukan
4
periodisasi pembentukan kawasan dan jalur sirkulasi. Sirkulasi dan hirarki dapat pula berasal bentukan dari tata massa bangunan, yang kemudian berpengaruh pada jalur akses lain untuk pedestrian dan system parkir kawasan. Dalam komunitas Cina, hirarki menjadi bagian dalam tetapan kehidupan. Hal ini terlihat pada penerapan ajaran Feng Shui, Hong Shui atau Geomancy nya sebagai manifestasi tatanan kawasan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan. Dalam membahas hirarki lingkungan Pecinan akan diawali dari unit bangunan. Setiap bangunan tersebut penentuan hirarki ditentukan dengan pertimbangan tertentu, misalnya bahwa pada dasarnya manusia membutuhkan suatu teritoritas yang membatasi konflik sebelum meluas ke kawasan secara makro. Kemudian akan berjenjang ke luar bangunan di sekitarnya. Dari sinilah awal pembentukan hirarki yang sebenarnya. Bagaimana peruntukan bagi arus kendaraan baik umum maupun pribadi, rute para pejalan kaki dan tentu saja hirarki ini akan berimbas pada fungsi bangunan dan bahkan pada tata guna lahan. Peralihan hirarki jalan berdampak pada pengorganisasian fungsi bangunan-bangunan. Hal ini sejalan dengan pola pembangunan bersifat seragam dari pola grid, yang menyebabkan pertemuan dua susunan di beberapa titik. Hirarki menjadi dasar kriteria alokasi bangunan, pemikiran strategis komersial, pertimbangan privasi atau standar keamanan dan kenyamanan penghuni. Tabel 2. Hirarki lingkungan Pecinan Makassar Kondisi Eksisting Pecinan Makassar Indikasi yang terlihat Rumah dengan tipe Di Kawasan Pecinan ini pada Bangunan Individu Rumah tanpa bercourtyard dasarnya berbentuk pola grid. courtyard ataupun tidak Bentuk pola grid-komples blok Sirkulasi internal bercourtyard ini secara tidak langsung Dinding/ bangunan/ tembok diartikan sebagai menjadi zonasi fungsi-fungsi rumah Ruang zona privat dari bangunan dan wujud hirarki, hirarki jalan. karena bangunan dengan Rumah dengan Zona privat kesamaan fungsi cenderung courtyard diimplementasikan akan berada pada blok yang dalan bentuk sama. pekarangan, ataupun a. Jalan primer (jalan kolektor), beranda hunian. dalam hal ini koridor Sulawesi, landusenya berupa Sejumlah bangunan Blok Bangunan bangunan berskala besar dan membentuk blok Rumah tanpa bertipikal bertingkat dan Pagar/ bangunan, sehingga courtyard tembok Jalan sekaligus pusat aktivitas. terbentuk pula jalur tetangga, Lingkungan Ketinggian bangunan semi publik berupa Pembatas jalan umumnya bertingkat dua atau jalur pedestrian, dan lebih. jalan lingkungan. Jalan lingkungan b. Jalan sekunder (jalan lingkungan), bangunan tidak meliputi jl. Sumba, Rumah dengan terlalu massif dan ketinggian Jl. Lombok, Jl. courtyard bangunan bervariasi. Lembeh, Jl. Timor. Fungsinya pun campuran, Kompleks bangunan Kompleks Blok berupa toko, rumah tinggal, dari jalan lingkungan bangunan sekolah, pusat pelatihan dll. akan bermuara pada c. Jalan tersier (jalan lokal, path, Jalan Kolektor. Di Unit blok Jalan gang): bangunan rumah Kolekor bangunan Kawasan Pecinan tinggal. Di area ini akan Makassar, jalan dijumpai bangunan dengan tersebut berada di halaman depan ataupun rumah koridor Sulawesi. yang masih mempertahankan Hirarki jalan yang tercipta dan berintegrasi dengan pola jalur transportasi courtyardnya. Kesan ini kendaraan dan jalur pedestrian. sangat terasa di gang-gang kecil percabangan jalan lokal tersebut.
Dari penelusuran hirarki jalan dan sirkulasi secara keseluruhan di Pecinan Makassar, maka Koridor Sulawesi adalah wujud hirarki yang memiliki domain besar untuk aksesbilitas dan lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Di sepanjang jalan ini mayoritas sebagai perdagangan dan perniagaan. 5
Sedangkan pada hirarki jalan lingkungan seperti Jl. Timor, Jl. Jampea terdapat bangunan yang serupa sebagai fungsi perdagangan namun dalam skala lebih kecil dibanding di jalan Sulawesi. Selain itu, terlihat fungsi komersil lain, seperti hotel atau penginapan yang kehadiran bangunan tersebut membutuhkan tingkat privasi dan psikologis yang lebih tinggi dari fungsi lain. Pada hirarki jalan lokal terlihat bangunan yang dominan sebagai rumah tinggal. Faktor ini dikarenakan karena aksesbilitasnya kurang strategis yang tidak terlalu menguntungkan dari segi ekonomi. Rumitnya aksesbilitas dan masalah lalu lintas menumbulkan gangguan terhadap para pengunjung dan penghuni. Kepadatan dan kesemrawutan parkir menciptakan konflik di antara para juru parkir dan potensi munculnya kriminilitas. Kepadatan parkir menyebabkan kemacetan, kesemrawutan jalan dan konflik di antara juru parkir, selain itu di beberapa ruas koridor memiliki jalur pedestrian yang terputus sehingga tidak memenuhi standar kelayakan pedestrian, khususnya bagi orang cacat. Pada area bagian depan bangunan, dimana area antara dinding gedung dan trotoar, menyebabkan pejalan kaki tidak merasa nyaman karena secara langsung berdekatan dengan dinding bangunan atau pagar. Kondisi ini tidak memberika teritori yang verbal pejalan kaki dan tdiak adanya perangkat pelengkap jalur pedestrian seperti perabot jalan. Tatanan, bentuk dan massa bangunan Dalam tinjauan tatanan, bentuk dan massa bangunan terlihat ketidaksamaan elevasi pada peil halaman, garis level dan garis atap bangunan. Bangunan satu dengan bangunan yang lain mempunyai perbedaan elevasi mencolok yang menyebabkan tampilan garis level maupun garis atapnya tidak selaras. Dalam setiap unit ruko menampilkan fasade yang menarik yang mencerminkan eksistensi fungsi dan kesan yang ingin ditonjolkan. Namun apabila dikoneksikan dengan bangunan di sekitarnya akan terlihat suatu ketidakselarasan irama yang ekstrim. Sejumlah landmark seperti klenteng, Mesjid Arab As Saad, Mesjid Kampung Melayu, dan Rumah Abu tidak teroptimalkan visualisasinya, bahkan cenderung similar dengan bangunan umum lain. Hal lain yang menjadi fokus degrdasai visual adalah tidak adanya jarak antara bangunan. Pemilik kaveling cenderung memaksimalkan pemanfaatan lahannya untuk bangunan, sehingga bangunan satu dan lainnya tidak berjarak (saling berdempetan) yang menyebabkan blok menjadi massif, tidak memiliki ruang terbuka untuk pencahayaan dan penghawaan alamiah, lahan untuk peresapan air hujan dan upaya meminimalkan perambatan api jika terjadi kebakaran.
Gambar 3. Landmark di Pecinan Makassar Sumber : Hasil pengamatan lapangan, 2010
Gambar 4. Koneksi Tatanan, bentuk dan massa bangunan pada koridor Sulawesi, Pecinan Makassar Sumber : Hasil pengamatan lapangan, 2010
Ruang terbuka Jika dilihat dari sejarah pembentukannya, kawasan kota lama Makassar ini tidak terdapat alokasi ruang publik yang real. Kalaupun ada, hanyalah lapangan Karebosi yang melayani ketersediaan ruang komunal skala kota Makassar secara keseluruhan. Hal ini pulalah yang terjadi di 6
Vlaardingen atau khususnya di Pecinan, karena merupakan bagian penting dari pemetaan fungsi kota pada saat kolonial. Kondisi penataan di kota- kota Cina memang berbeda dengan kota – kota di Eropa yang selalu memiliki plaza. Eksistensi ruang terbuka hadir di Cina pada zaman dahulu juga terpengaruh dari Eropa, khususnya pada zaman Napoleon yang memberikan orasi politiknya di ruang publik. Ruang terbuka secara alamiah adalah tempat berkumpul dan pemusatan aktivitas yang lambat laun menginvansi Cina. Fakta lain adalah perbedaan kota Makassar dengan kota kolonial di Pulau Jawa yang tidak memiliki alun-alun, semakin menguatkan bahwa eksistensi ruang komunal bukan dalam aspek primer perancanan kota, khususnya yang mengakomodasi komunitas etnis Cina di Pecinan Makassar. Karena di negeri asalnya pun sangat minim open space dan Makassar adalah kota yang terbentuk secara spontan berlainan morfologi dengan kota colonial di Jawa. Ruang terbuka individu diwujudkan dalam adanya courtyard pada masing-masing bangunan. Namun ini hanya dijumpai pada bangunan yang masih orisinal sama dengan lay out arsitektur asli Cina. Keterbatasan ruang publik ini tidak dapat menampung kegiatan yang bersifat komunal, ritual dan keagamaan. Klenteng lah menjadi pusat tempat kegiatan, namun dengan keterbatasan luas lahan, kadang mengambil zona ruang publik lain, seperti jalur pedestrian dan juga jalan sirkulasi kendaraan. Keadaan ini secara otomatis berpengaruh pada arus lalu lintas kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Pada situasi seperti ini menimbulkan kemacetan, parkir yang semrawut, displacement tempat mendrop off penumpang dan sejumlah konflik antara pemilik kendaraan, dan pemilik rumah di kawasan Pecinan.
Ruang tamu
Ruang terbuka diantara blok bangunan
Ruang tidur
Ruang usaha
Ruang servis Courtyard Lorong hitam
Ruang terbuka linear
Ruang terbuka courtyard pada unit hunian, sebagai ruang komunal. Namun keberaddaan courtyard hanya terbatas pada sebagian komunitas yang masih mempertahankan denah rumahnya sesuai arsitektur tradisional Cina.
Konfigurasi solid–void pada kawasan Pecinan Makassar, menunjukkan bahwa area yang memiliki ruang void yang cukup luas adalah berada pada bagian belakang bangunan. Hal ini karena orientasi bagian depan bangunan diusahakan sejajar, tetapi bagian belakang bangunan disesuaiakan dengan denah lay out bangunan penghuni. Dari indikasi ini disimpulkan bahwa di Pecinan Makassar menunjukkan minimnya ruang terbuka, baik yang bersifat ruang komunal plaza, square maupun ruang terbuka hijau.
Gambar 4. Aplikasi Ruang terbuka di Pecinan Makassar Sumber : Hasil pengamatan lapangan, 2010
Kondisi Non Fisik Pecinan Makassar Kondisi Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perkelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi disebabkan oleh perkara internal dan eksternal. Mengacu pada pemaparan tersebut, perubahan kondisi sosial kemasyarakatan di Pecinan Masyarakat akan ditinjau dalam melakukan interaksi dalam
7
dua konteks, yaitu hubungan sosial di kalangan etnis Cina (intern) dan hubungan sosial etnis Cina dengan komunitas luar yang majemuk (extern). - Hubungan internal (sesama komunitas Cina) Secara tidak tertulis, dalam system sosial komunitas Cina terdiri dari adanya dualism, antara Cina Totok dan Cina peranakan. Masing-masing golongan pun memiliki perbedaan dalam menyikapi kehidupannya meskipun berada di daerah perantauan. Cina totok cenderung tertutup dan masih menjaga tradisi asli etnis Cina, misalnya mereka masih menggunakan bahasa Cina dalam kehidupan sehari-hari dalam mendidik anaknya. Kelompok sosial ini tergolong dalam proses evolusi yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dalam kehidupan sosialnya di kota Makassar. Lain halnya dengan Cina peranakan yang lebih fleksibel, sehingga terkategorikan dalam suatu akulturasi. Kondisi sosial yang berlangsung saat ini lebih dominan pada proses akulturasi, tanpa mengesampingkan proses lain yang juga terjadi dalam berbagai indikasi. Berdasarkan tinjauan Pratiwo (2009) yang juga disesuaikan dengan yang terjadi di Pecinan Makassar, Cina Totok merasa lebih Tionghoa dan memiliki perasaan superior terhadap kaum peranakan. Mereka lebih mementingkan harta dari status sosial sehingga mereka bekerja lebih keras, lebih percaya diri dan lebih spekulatif dalam perdagangan. Namun, perbedaan ini sudah cenderung memudar dan tidak terlihat lagi secara ekstrim pada saat ini di kota Makassar. Eksistensi perbedaan misalnya juga terlihat pada kepemilikan rumah abu. Rumah abu adalah bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai rumah sembahyang untuk menghormati leluhur mereka (Indrani, 2005). Umumnya rumah abu hanya dimiliki oleh keluarga mampu, sedangkan bagi keluarga kurang mampu cukup menyediakan sebuah altar yang ditempatkan di ruang depan rumah tinggalnya berupa meja sembahyang berfungsi untuk meletakkan papan-papan nama dan foto-foto leluhur. Rumah abu pada umumnya dimiliki oleh Cina Totok yang memiliki taraf hidup yang tinggi dibanding Cina peranakan. - Hubungan eksternal (komunitas Cina dengan komunitas sosial luar) Dari kondisi sosial internal Cina bahasan tadi, diketahui bahwa etnis Cina telah melakukan akulturasi terhadap komunitas lain, terutama dari golongan peranakan. Sedangkan untuk hubungan eksternal lintas etnis Cina juga terlihat dari indikasi pada hubungan dalam sistem kemasyarakatannya. Contoh kasus dapat dilihat pada komunitas Cina di Jawa (Zahnd, 2007), dimana daerah ini dipengaruhi budaya Cina dalam tiga hal yaitu banyak orang Cina masuk Islam, karena status sosialnya akan menjadi lebih tinggi dan mereka juga menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti perkembangannya. Selain itu, etnis Cina itu tidak homogen, di satu pihak adalah para pedagang dengan kaya dengan hubungan luas dan status tinggi, namun di lain pihak terdapat orang Cina bekerja sebagai pengusaha kecil. Dari berbagai faktor pengaruh tersebut, terlihat pula secara nyata di kota Makassar. Sebagian etnis Cina melakukan perkawinan dengan pribumi, bukti dalam agama yang dianut telah beragam, dan pranata sosial yang dijalankannya telah mengalami penyesuaian dengan kehidupan di kota Makassar. Contoh-contoh tersebut bukan saja karena bentuk antisipasi diskriminasi anti-Cina di zaman orde baru (setelah tahun1965), namun timbul secara alamiah sampai sekarang. Trauma akan peristiwa renggangnya hubungan etnis Cina dan pribumi memang telah berangsur hilang. Namun keharmonisan hubungan sosial etnis Cina dan masyarakat kota Makassar, khususnya yang Pecinan harus tetap terbina. Berkenaan dengan peningkatkan vitalitas Pecinan ini, diperlukan suatu perhatian secara komprehensif terutama dari aspek sosial kemasyarakatan. Kondisi Budaya Penelusuran kondisi budaya Pecinan Makassar ini dilakukan dengan referensi dari Pratiwo (2009), Widodo (2004), Wijanarka (2004), beserta tinjauan dari Pecinan lain, khususnya di Indonesia seperti Pecinan Semarang, Pecinan Jakarta dan Pecinan Surabaya (http://dwithebigone.blogspot.com, www.wikipedia.com, dan melantjong-petjinan-soerabaia-tjiamik.html) yang akhirnya disesuaikan yang terjadi di kota Makassar. Akulturasi budaya Cina dan kaum pribumi, khususnya di kota Makassar dapat dilihat dari indikasi berikut : Bahasa Akulturasi budaya Cina dan pribumi kota Makassar dalam bidang bahasa terjadi dalam bentuk peminjaman istilah pada bahasa lisan atau tulisan. Penggunaan bahasa pada unsur nama orang, makanan Cina dan istilah lain. Untuk hal makanan sangatlah familiar, seperti : bakso, mie titi, 8
bakmi, capjay, lunpia, dan lainnya. Jika dikontekskan dengan Pecinan Makassar ini terdapat pusat kuliner franchise Mie Titi (Titee), dan kuliner lain dengan penggunaan kata serapan Cina yang berada di sepanjang Jl. Bali, Jl. Lombok dan Jl. Timor. Kios kuliner yang menggunakan istilah bahasa dan aksara Cina
Penempatan dapur produksi berada di depan atau daerah depan kios, khas tipikal Cina
Gambar 5. Penggunaan bahasa dan aksara Cina pada pusat jajanan dan kuliner di Pecinan Makassar Sumber : Hasil pengamatan lapangan, 2010
-
Kesenian Jika dibandingkan dengan etnis Cina di Jawa, dalam bentuk kesenian di Pecinan Makassar tidak terlalu kental pembaurannya. Di Semarang misalnya dikenal Gambang Semarang, yang berasal dari Gambang Kromong Jakarta yaitu perpaduan unsur kesenian masyarakat Cina dan pribumi. Sedangkan di Makassar perpaduan kesenian tersebut tidak terinventarisir sejauh pengamatan peneliti. Namun demikian, kegiatan kesenian di Pecinan menjadi suatu hal yang perlu mendapat perhatian, baik berupa kegiatan gabungan bernuansa ritual keagamaan, ataupun yang sepenuhnya menghibur masyarakat. Salah satu bentuk kesenian insidentil biasanya ditampilkan, terutama di klenteng Ibu Agung Bahari yang merupakan klenteng terbesar di Pecinan Makassar. bentuk kesenian itu misalnya atraksi barongsai, leong-leong, atau rangkaian kegiatan etnis Cina dari perayaan hari raya tertentu. Sistem Kepercayaan (Religi) Rangkaian sejarah Indonesia diwarnai berbagai pergolakan yang melibatkan etnis Cina yang kontradiktif terhadap pribumi. Pada masa ini terjadi pula peralihan status dan identitas, termasuk dalam system kepercayaan. Indikasi ini terlihat pula di Etnis Cina di Makassar, ada yang semula beragama Kong Hu Chu atau Budha berpindah memeluk agama Islam, Katolik dan Kristen Protestan. Apabila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya masyarakat asli Makassar memiliki kesamaan dengan etnis Cina dalam hal system kepercayaan. Contohnya, baik suku Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar yang berdomisili di Makassar masih melakukan kegiatan tradisi leluhur bentuknya beragam, ada yang mengadakan selamatan, syukuran, barazanji (akulturasi islam), dan lainnya yang dilengkapi dengan makanan yang khas pula. Sistem Pengetahuan Kebudayaan sungai Kuning (Cina) termasuk salah satu kebudayaan yang mempunyai peradaban tertinggi di dunia. Buktinya bahwa hasil kebudayaannya tetap berkelanjutan bahkan diwarisi hingga sekarang. Cina telah membawa pengetahuan dan teknologi seperti teknologi metalurgi (pengolahan logam dan besi), bahkan, bangsa Cina membawa bibit-bibit tanaman seperti teh, tembakau, dan kacang hijau atau tauge. Implikasi lanjutannya, pengetahuan dan pengolahan makanan berkembang sehingga kita semakin mengenal variasi kuliner yang kaya sampai kini. Perwujudan di Pecinan Makassar yang relative sama di tempat lain pada umumnya dapat dilihat dibuktikan dengan adanya praktek Sin she atau tabib beserta toko dan ramuan khas Cina di Jl. Sulawesi Makassar. Berdasarkan kondisi eksisting telaah aspek ekonomi, dapat disimpulkan bahwa terdapat keberagaman budaya yang tetap eksis di Pecinan namun tidak dibarengi ketersediaan wadah untuk menampung kegiatan baik yang bersifat rutin dan insidentil. Kondisi Ekonomi Dalam peran dan kedudukan Pecinan terhadap kota Makassar, terlihat jelas bahwa kawasan ini merupakan embrio dari area perekonomian kota Makassar. pada zaman colonial, etnis Cina menjadi mediator dalam negosisasi dagang antara pemerintah Belanda dan pribumi. Komunitas Cina selalu 9
memanfaatkan peluang dalam kerangka orientasi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dengan indikasi penggunaan bangunan rumah tinggal sekaligus tempat usaha. Hal ini juga dibarengi dengan pemanfaatan koridor yang lokasi strategis berubah menjadi mesin ekonomi etnis Cina. Selain itu adanya kegiatan perdagangan tanpa mengenal waktu. Pemberlakuan ini pada jenis perdagangan tertentu, seperti kuliner aktif 24 jam. Sebenarnya kompleks perdagangan jenis lainnya yang dikelola etnis Cina dapat beroperasi lebih lama lagi. Namun karena minimnya dukungan atmosfer sarana dan infrastruktur secara keseluruhan, membuat kawasan ini terlihat kontras antara siang dan malam hari. Padahal keinginan untuk menghidupkan nadi perekonomian dari intern komunitas Cina ini sendiri sangat besar. Tak jarang kaum etnis Cina dianggap tak mau membaur, eksklusif, dan menutup diri serta masih ditimpa stigma sebagai homo oeconomicus, kaum yang hanya mementingkan ekonomi dalam setiap tarikan napasnya. Kekuatan ekonomi Cina juga terlihat di Pecinan Makassar, yang merupakan awal kawasan perekonomian kota. Beberapa tempat di Pecinan Makassar merupakan daerah perdagangan yang sangat beragam, antara lain : a. Jalan Sulawesi, merupakan pusat perdagangan campuran, terdapat Pusat Grosir Butung, toko obat dan ramuan Cina, material bahan bangunan, toko buah-buahan, toko kue, toko oleh-oleh, lampu, dan lain-lain. b. Jalan Bacan, merupakan pasar tradisional c. Jalan Timor, merupakan industri rumah tangga (home industry) untuk bahan mie, kulit lunpia. d. Jalan Bali, merupakan pusat kuliner makanan khas Cina. Dengan potensi ada, perlu menggalakkan terciptanya suatu kegiatan yang berciri karakter khas Pecinan yang berpotensi untuk kegiatan ekonomi. Hal ini diupayakan agar orang memiliki niat dan keinginan untuk berkunjung ke Pecinan Makassar. Di Pecinan yang telah dikonservasi seperti di Petaling street Malaysia, China Town Singapura dan tempat lainnya menjadi salah satu tujuan wisata yang yang mendukung kegiatan ekonomi kota. Kegiatan peningkatan vitalitas dari sektor ekonomi ini juga diharapkan menjadi suatu magnet daya tarik orang untuk berkunjung di Pecinan Makassar. KESIMPULAN 1. 2.
3.
Dengan menggunakan tipomorfologi, secara sehingga diidentifikasi komponen-komponen yang mengalami penurunan vitalitas pada Pecinan Makassar yang berupa aspek fisik dan non fisik. Dari penelusuran tersebut, sudah saatnya pemerintah menanganani khusus dalam bentuk revitalisasi. Pecinan ini dapat menjadi salah satu kekuatan dalam paket promosi di kawasan kota lama Makassar, sehingga menjadi obyek eksperimen revitalisasi yang dapat menjadi percontohan di kota-kota lain. Revitalisasi dapat menjadi modal kerjasama antara Pemerintah dan pihak swasta dalam penciptaan lapangan kerja, mendorong home industry, peningkatan retribusi dan menambah pendapatan daerah dan kalangan investor. Sehingga keterlibatan pihak swasta, sangat dibutuhkan mengingat potensi kawasan yang dapat menjadi suatu komoditi komersial berbasis budaya dan sejarah. Selain itu diperlukan kerjasama antara masyarakat melalui organisasi Paguyuban ataupun organisasi keagamaan sebagai mediator antara pemerintah dan internal komunitas agar partisipatif masyarakat dapat mendorong percepatan revitalisasi Pecinan Makassar.
DAFTAR PUSTAKA Antariksa, (2008), Sejarah Dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Perancangan Kota, Antariksa blog, diakses tgl. 22 Juni 2009 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang, (1991) Pola Perkembangan Kota dan Arsitektur dalam Proyek Penelitian dan Survey Terapan 1991-1992. Darjosanjoto, Endang T.S. 2006. Penelitian Arsitektur di bidang Perumahan dan Permukiman. ITS Press. Surabaya.
10
Juliarso, Pudjo, Koeswhoro 2001, Revitalisasi Pusaka (Warisan) Budaya Kawasan Bersejarah, dalam Tesa Arsitektur, Vol. 4 No. 11 September – Desember 2001, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Juwono, 2009, Kampung Kuningan di Kawasan Mega Kuningan Jakarta : Kebertahanan Kampung dalam Perkembangan Kota, Disertasi pada Teknik Arsitektur dan Perkotaan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Lozano, E. Eduardo, 1990, Community Design and the Culture of Cities, Cambridge University Press, Cambridge. Moudon, Anne Vernez. 1997. Urban Morphology as an Emerging Interdiclinary Field. Proceeding of International Seminar on Urban Form (ISUF). College of Architecture and Urban Planning. University of Washington. Seattle. WA. USA. Pontoh, Nia. dan Kustiawan, Iwan 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Penerbit ITB. Bandung. Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Penerbit Ombak. Yogyakarta. Rossi, Aldo, 1982, Architecture of the City, The MIT Press, London-England. Shidarta dan Budiharjo, Eko, (1989), Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surkarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widodo. Johannes. 2004. The Boat and the City, Chinese Diaspora and The Southeast Asian Coastal City. Marshal Cavendish Academic. Singapore. Wieland, H.F, 1997, Braga : Revitalization in an Urban Development, GRK and UNPAR Architectural Department, Bandung. Wijanarka. 2004. Teori Desain Kawasan Bersejarah. Suatu Dasar Mewujudkan Desain Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Bersejarah dengan Semarang sebagai Obyek Kajian. Universitas Palangkaraya. Palangkaraya. Yuen, Belinda 1998, Planning Singapore : From Plan to Implementation, Singapore Institute of Planner, Singapore.
11