1015
Studi penggunaan sarana produksi di tambak ... (Admi Athirah)
STUDI PENGGUNAAN SARANA PRODUKSI DI TAMBAK KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO Admi Athirah, Ruzkiah Asaf, dan Andi Indra Jaya Asaad Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Pohuwato merupakan daerah yang dijadikan pusat produksi perikanan di Provinsi Gorontalo, sampai sejauh ini belum ada informasi mengenai studi penggunaan sarana produksi yang dilakukan oleh pembudidaya di kabupaten tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penggunaan sarana produksi pada sistem budidaya tambak sebagai upaya awal untuk mengantisipasi dampaknya terhadap lingkungan serta mendukung usaha Pemerintah dalam hal pembebasan tambak dari cemaran biologi, kimia, dan fisika yang merupakan sarana produksi tambak. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada teknologi tradisional ada dua sistem budidaya yang diaplikasikan yaitu monokultur ikan bandeng dan polikultur udang windu dengan ikan bandeng. Hanya ada 6 jenis produk kimia yang digunakan oleh pembudidaya tambak, di mana jenis produk kimia terbanyak digunakan pada sistem polikultur udang windu dan ikan bandeng sebab dilaksanakan pada tambak yang tergolong tanah sulfat masam. Jenis pestisida yang digunakan ada 3 yaitu: saponin, besnoid, dan aquadang. Jenis pupuk yang digunakan ada 2 yaitu: TSP/SP 36 dan pupuk urea. Jenis kapur yang digunakan hanya ada 1 yaitu kapur tembok. KATA KUNCI:
sarana produksi, produk kimia, tambak, Kabupaten Pohuwato
PENDAHULUAN Usaha budidaya perikanan sudah lama dikembangkan oleh masyarakat terutama yang memiliki potensi perairan umum seperti di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka mengembangkan berbagai jenis dan usaha perikanan budidaya, di antaranya budidaya tambak dengan luas mencapai 489.811 ha pada tahun 2004. Usaha perikanan budidaya tambak merupakan kegiatan yang memanfaatkan kawasan pesisir yang mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa negara yang potensial. Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi dengan sektor perikanannya cukup menjanjikan, khususnya di Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato, dalam hal ini Kabupaten Pohuwato merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Boalemo. Potensi yang dimiliki kedua Kabupaten tersebut menjadikan Kabupaten Pohuwato dijadikan pusat produksi perikanan dan Kabupayen Boalemo sebagai pusat etalase perikanan. Lain halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki tiga kelompok komoditas yang dibudidayakan di tambak yaitu: ikan, krustase, dan rumput laut (Gracilaria verrucosa). Di mana rumput laut baru dibudidayakan pada tahun 1989 di pantai Selatan dan pantai Timur. Dalam hal ini seperti dinyatakan oleh Mustafa et al. (2009a) produksi ketiga kelompok komoditas tersebut meningkat dari tahun 1985 sampai tahun 2000. Setelah tahun 2000, terjadi penurunan produksi kelompok ikan dan krustase, sedangkan produksi rumput laut tetap meningkat sampai tahun 2004. Penurunan produksi ikan dan krustase yang sangat drastis di pantai selatan adalah pada tahun 2000 yang merupakan penyebab utama penurunan produksi tambak di Sulawesi Selatan. Penurunan produksi ikan dan krustase sebagai akibat serangan penyakit dan kemerosotan kualitas lingkungan memberikan konsekuensi kepada pembudidaya tambak untuk dapat mempertahankan produksinya. Oleh karena itu, banyak pembudidaya tambak menggunakan produk kimia sejak persiapan tambak sampai panen. Dalam akuakultur, seperti halnya dengan semua sektor yang
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1016
memproduksi makanan, salah satu masukan eksternal yang dibutuhkan untuk keberhasilan produksi adalah sarana produksi, baik kimia maupun biologi (Subasinghe et al., 2000). Namun demikian, penggunaan sarana produksi ini perlu diwaspadai, sebab memiliki dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia (Gräslund & Bengstsson, 2001; Gräslund et al., 2003). Survai mengenai penggunaan sarana produksi, baik produk kimia maupun biologi pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) di Thailand telah dilakukan oleh Tonguthai (2000) dan Gräslund et al. (2003). Primavera (1993) telah melakukan hal yang sama di Visayas Barat dan Mindanao Timur, Filipina. Survai mengenai penggunaan sarana produksi untuk tambak budidaya udang windu dan ikan bandeng (Chanos chanos) dan polikultur keduanya di seluruh Filipina juga telah dilakukan oleh Cruz-Lacierda et al. (2000, 2008). Alam (2007) telah melakukan survai untuk mengetahui sarana produksi yang digunakan di tambak udang windu sistem ekstensif yang terletak di Barat Daya Bangladesh. Kemudian Lyle-Fritch et al. (2006) telah melakukan survai mengenai penggunaan sarana produksi pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Sinaloa, Meksiko. Untuk penggunaan produk kimia saja di tambak udang juga telah dilaporkan oleh Phillips (2000) di Banglades, Kamboja, Srilanka, dan Vietnam; Pathak et al. (2000) di India; Yulin (2000) di Cina; Shariff et al. (2000) di Malaysia dan Singapura, serta Supriyadi & Rukyani (2000) di Indonesia. Di Indonesia, Mustafa et al. (2009b) juga telah melakukan studi penggunaan sarana produksi di tambak udang vaname Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Maka untuk menambah informasi mengenai hal ini, khususnya di Indonesia dengan berbagai sistem budidaya, maka telah dilakukan survai penggunaan sarana produksi di tambak Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Survai yang dilakukan di tambak Kabupaten Pohuwato ini adalah merupakan usaha untuk mengetahui penggunaan sarana produksi pada sistem budidaya tambak sebagai upaya awal untuk mengantisipasi dampaknya terhadap lingkungan serta mendukung usaha Pemerintah dalam hal pembebasan tambak dari cemaran biologi, kimia, dan fisika. BAHAN DAN METODE Survai dilakukan di pertambakan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Survai diawali melalui pertemuan dengan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pohuwato untuk mendapatkan informasi awal mengenai sistem budidaya tambak. Penentuan tambak dilakukan secara acak dari Peta Mapping Unit (Satuan Pemetaan) yaitu gabungan Peta Landscape (Bentuk Lahan) dan Land Use (Penggunaan Lahan). Pembudidaya tambak dari tambak yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini. Titik-titik pengamatan ditentukan posisinya dengan Global Positioning System (GPS). Peta yang menunjukkan titik-titik pengamatan dibuat dengan bantuan teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode pengumpulan data yang diaplikasikan adalah metode survai, termasuk untuk mendapatkan data primer dari berbagai karakteristik usaha budidaya tambak melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur (Wirartha, 2006). Data diperoleh langsung di lokasi budidaya tambak dari pengelola atau pemilik dari setiap usaha budidaya tambak. Pembagian kelompok produk kimia yang digunakan di tambak Kabupaten Pohuwato didasarkan atas kriteria dari studi-studi sebelumnya mengenai penggunaan sarana produksi dalam bidang akuakultur (Primavera, 1993; Boyd & Massaut, 1999; Phillips, 2000; Johnston & Santillo, 2002; Gräslund et al., 2003; Lyle-Fritch et al, 2006; Alam, 2007; Cruz-Lacierda et al., 2008; Mustafa et al., 2009b). Data karakteristik tambak yang ada juga dibedakan atas sistem budidaya yang diaplikasi oleh pembudidaya. Statistik deskriptif yang berupa minimum, maksimum dan rata-rata digunakan untuk mendapatkan informasi umum dari data yang ada. HASIL DAN BAHASAN Ada dua sistem budidaya yang diaplikasikan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo yaitu: monokultur ikan bandeng dan polikultur ikan bandeng dan udang windu (Tabel 1), di mana semua responden menerapkan teknologi tradisional. Sistem budidaya yang banyak dilakukan untuk mengurangi risiko kegagalan panen di tambak adalah monokultur ikan bandeng. Rata-rata petambak yang memolikulturkan ikan bandeng dan udang windu, hasil produksi udang
1017
Studi penggunaan sarana produksi di tambak ... (Admi Athirah)
Gambar 1. Lokasi survai tambak di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo windunya hanya sedikit dan kebanyakan dari petambak hanya untuk dikonsumsi sendiri. Walaupun hal ini sejalan dengan pernyataan Ranoemihardjo et al. (1979) maupun Eldani & Primavera (1981) bahwa udang windu dan ikan bandeng adalah komoditas yang dapat dipolikulturkan di tambak namun kedua komoditas tersebut secara umum menuntut kondisi lingkungan yang relatif sama, tetapi menempati relung ekologi yang berbeda dalam tambak. Perbedaan habitat makanan dari kedua komoditas tersebut yang menyebabkan tidak terjadi kompetisi di antaranya (Eldani & Primavera, 1981). Konsep dasar dari polikultur adalah jika dua atau lebih spesies ikan yang cocok dipelihara secara bersama-sama akan meningkatkan produksi (Reich, 1975 dalam Eldani & Primavera, 1981; Shang, 1986). Pada Tabel 1, terlihat bahwa luas tambak pada sistem monokultur cenderung lebih kecil daripada tambak yang digunakan untuk polikultur, di mana kisaran luas untuk tambak monokultur ikan bandeng antara 1,00-127,00 ha sedangkan kisaran luas untuk polikultur ikan bandeng dan udang windu antara 2,00-200,00 ha. Hal ini terkait dengan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan pada masingmasing sistem budidaya. Tingkat pengelolaan yang lebih tinggi cenderung dijumpai pada sistem monokultur. Dengan ukuran tambak yang lebih kecil cenderung pembudidaya tambak memaksimumkan penggunaan sumberdaya lahan tersebut untuk memperoleh produksi yang lebih tinggi. Islam et al. (2005) dan Milstein et al. (2005) menyatakan bahwa tambak yang lebih kecil akan lebih mudah dikelola dan produktivitasnya untuk udang windu lebih tinggi daripada yang berukuran lebih luas di Banglades. Penyebab penggunaan produk kimia di tambak adalah merupakan upaya mempertahankan produksi komoditas budidaya tambak. Selain itu, produk kimia juga digunakan sebagai produk yang sudah biasa digunakan di tambak atau sudah merupakan standar operasional prosedur dalam Tabel 1. Kisaran dan rata-rata luas dan produktivitas tambak pada berbagai sistem budidaya di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo
Sistem budidaya
Luas tambak (ha)
Produktivitas (kg/ha/siklus)
Monokultur ikan bandeng (n=23) 1,00-127,00 (23,22) 58,33-1.000,00 (446,38) Polikultur ikan bandeng dan 30,0-833,33(336,28)a 2,00-200,00 (18,30) udang windu (n=20) 0,00-50,00 (7,52)b Keterangan:
a = ikan bandeng; b = udang windu
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1018
budidaya di tambak. Seperti halnya di bidang pertanian, penggunaan produk kimia adalah “ramuan” yang esensial untuk keberhasilan pada bidang akuakultur, telah digunakan dengan jenis produk berbeda di berbagai negara (Subasinghe et al., 2000). Di Kabupaten Pohuwato hanya ditemukan 1 jenis produk yang digunakan di tambak yaitu kapur tembok (Tabel 4). Jumlah jenis produk yang didapatkan ini sangat sedikit dibandingkan dengan yang ditemukan dalam penelitian lain, misalnya dibandingkan dengan temuan Mustafa et al. (2009b) yang melaporkan bahwa usaha budidaya udang vaname di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung menggunakan 48 jenis sarana produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi sistem teknologi yang diaplikasikan, maka semakin banyak jenis sarana produksi yang digunakan. Seperti telah disebutkan di awal bahwa hanya ada 2 sistem budidaya yang diaplikasikan di Kabupaten Pohuwato. Pada sistem teknologi yang lebih tinggi dan komoditas yang lebih rentan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan menggunakan lebih banyak jenis sarana produksi dalam budidaya tambak. Selain itu, jumlah jenis sarana produksi yang digunakan pada tambak udang lebih banyak daripada tambak bandeng. Produk kimia digunakan dalam bidang akuakultur karena merupakan komponen yang esensial untuk: konstruksi tangki dan tambak; pengelolaan tanah dan air; peningkatan produktivitas alami; transportasi hidup organisme; formulasi pakan; manipulasi dan peningkatan reproduksi; merangsang pertumbuhan; pengelolaan kesehatan; serta pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk akhir (Subasinghe et al., 2000). Berdasarkan pendapat tersebut serta mempertimbangkan kriteria dari survaisurvai sebelumnya mengenai penggunaan produk kimia dalam bidang akuakultur, maka jenis produk yang digunakan di tambak Kabupaten Pohuwato dibagi atas 3 kelompok yaitu pestisida, pupuk, serta perlakuan tanah dan air (Gambar 2). 50
Polikultur ikan bandeng dan udang
45
Pembudidaya
40
Monokultur ikan bandeng
35 30 25 20 15 10 5 0 Pestisida
Pupuk
Perlakuan tanah dan air
Gambar 2. Jumlah pembudidaya yang menggunakan setiap kelompok produk kimia di tambak Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo Pestisida Secara umum hama berpotensi menurunkan produksi tambak sehingga harus dihilangkan atau setidaknya dikontrol dengan menggunakan pestisida sebelum penebaran. Tambak merupakan lahan yang tergenang air, maka akan terjadi penyebaran pestisida oleh gerakan air permukaan dan perkolasi larutan tanah, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah. Perilaku pestisida di tanah jenuh air seperti tambak mencakup perpindahan massa dan peristiwa peuraian. Proses perpindahan massa dalam tanah jenuh air mencakup proses perpindahan massa secara adveksi, proses perpindahan massa difusi dan disfersi, proses perpindahan massa antarfase air-tanah, yaitu: adsorpsi, absorpsi, dan desorpsi, serta proses perpindahan massa karena terambil oleh tanaman dan makhluk hidup
1019
Studi penggunaan sarana produksi di tambak ... (Admi Athirah)
lain (Rahayuningsih, 2009). Adapun peristiwa peruraian mencakup peruraian secara abiotik, yaitu terdiri atas reaksi hidrolisis dan fotolisis dan peruraian secara biotik, yaitu reaksi karena adanya aktivitas mikroorganisme (Wolfe et al., 1980). Ada 3 jenis pestisida yang digunakan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Pohuwato yaitu: saponin, besnoid, dan aquadang (Tabel 2). Pada Tabel 2, terlihat bahwa jenis pestisida yang paling banyak digunakan adalah saponin dengan nilai 12 (52,17%) pengguna untuk monokultur ikan bandeng dan nilai 13 (59,09%) untuk polikultur ikan bandeng dan udang. Tabel 2. Jenis pestisida yang digunakan oleh pembudidaya pada berbagai sistem budidaya di tambak Kabupaten Pohuwato (angka dalam kurung adalah persentase pengguna)
Jenis pestisida (bahan aktif)
Monokultur ikan bandeng
Polikultur ikan bandeng dan udang
Saponin Besnoid Aquadang
12 (52,17%) 3 (13,04%) 8 (34,78%)
13 (59,09%) 3 (13,64%) 6 (27,27%)
Saponin adalah pestisida organik yang umum digunakan di tambak untuk kedua sistem budidaya tambak di Kabupaten Pohuwato. Saponin adalah produk sampingan dari proses pembuatan minyak dari biji teh (Camellia sinensis). Biji teh mengandung 10%-15% saponin yang efektif dalam mematikan hama ikan yang tidak diinginkan, namun tidak mematikan udang. Saponin digunakan sebagai pestisida awal dan susulan pada sistem monokultur ikan bandeng dan polikultur ikan bandeng dan udang windu. Dosis saponin yang umum digunakan di tambak berkisar antara 15-25 mg/L, di mana pada salinitas yang tinggi digunakan dosis yang lebih rendah. Saponin tidak hanya mematikan hama ikan yang tidak diinginkan, tetapi juga dapat merangsang pergantian kulit dalam budidaya udang (Primavera, 1993; Shariff et al., 2000), saponin dapat juga berfungsi sebagai pupuk organik yang dapat merangsang pertumbuhan alga di tambak (Liao et al., 2000). Saponin dosis 2-3 mg/L selama 24 jam diaplikasikan untuk merangsang pergantian kulit pada udang windu dan saponin dosis 2030 mg/L direkomendasikan untuk pembasmian penyakit bintik hitam (blackspot disease) pada udang (Shariff et al., 2000). Selain itu, dalam pembasmian infeksi protozoa di tambak digunakan saponin dosis 5-25 mg/L (Baticados & Paclibare, 1992). Penggunaan pestisida lainnya yaitu besnoid dan aquadang memiliki angka penggunaan yang relatif sama. Di mana, penggunaan besnoid untuk sistem monokultur ikan bandeng sebanyak 3 (13,04%) dan polikultur ikan bandeng dan udang windu sebanyak 3 (13,64%) pengguna. Sedangkan, penggunaan aquadang untuk sistem monokultur ikan bandeng sebanyak 8 (34,78%) dan polikultur ikan bandeng dan udang windu sebanyak 6 (27,27%) pengguna (Tabel 2). Jenis pestisida yang digunakan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Pohuwato memiliki persentase pengguna masingmasing pestisida relatif rendah. Pemerintah sudah melarang penggunaan pestisida yang banyak di tambak, karena pestisida memiliki daya racun yang tinggi, sulit terurai, terakumulasi dalam tanah tambak dan memiliki potensial tinggi untuk terakumulasi dalam jaringan organisme. Perhatian terhadap kesehatan manusia dan lingkungan mengenai penggunaan sarana produksi dalam akuakultur telah tercermin dalam “FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries” (FAO, 1995 dalam Subasinghe et al., 2000). Pupuk Ada dua jenis pupuk yang digunakan pembudidaya tambak di Kabupaten Pohuwato yaitu TSP/SP 36 dan pupuk urea, dengan masing-masing persentase penggunaan TSP/SP 36 dan urea untuk monokultur ikan bandeng sebanyak 23 (100,00%) dan 20 (100,00%) untuk polikultur ikan bandeng dan udang windu. Penggunaan pupuk pada budidaya tambak diharapkan tidak berdampak negatif pada lingkungan dan belum ada masalah lingkungan yang didapatkan di Asia sebagai akibat
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1020
penggunaan pupuk (Phillips, 2000). Sebelumnya, Boyd & Massaut (1999) menyatakan bahwa penggunaan pupuk anorganik dalam akuakultur tidak berdampak negatif terhadap keamanan makanan yang diproduksi di tambak. Pupuk ditambahkan ke tambak untuk meningkatkan kandungan nutrien, menstimulasi pertumbuhan plankton dan meningkatkan suplai pakan pada budidaya tambak. Pada budidaya udang, pupuk diaplikasikan untuk menstabilkan populasi plankton (Cruz-Lacierda et al., 2008). Pupuk dan kapur adalah produk kimia yang paling banyak digunakan di tambak Asia (Phillips, 2000). Dalam penelitian ini, pupuk yang digunakan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Pohuwato adalah pupuk anorganik dalam sistem monokultur ikan bandeng dan polikultur ikan bandeng dan udang windu (Tabel 3). Tabel 3. Jenis pupuk yang digunakan oleh pembudidaya pada berbagai sistem budidaya di tambak Kabupaten Pohuwato (angka dalam kurung adalah persentase pengguna)
Jenis pupuk
Monokultur ikan bandeng
Polikultur ikan bandeng dan udang
TSP/SP 36 Urea
23 (100,00%) 23 (100,00%)
20 (100,00%) 20 (100,00%)
Pupuk anorganik digunakan pada kedua sistem budidaya, di mana pupuk TSP/SP 36 dan urea adalah pupuk anorganik yang terbanyak digunakan dalam budidaya di tambak Kabupaten Pohuwato. Pupuk urea (46-0-0) merupakan sumber nitrogen yang tergolong unsur hara makro bagi makanan alami di tambak dan pupuk TSP/SP 36 (0-36-0) yang merupakan sumber fosfor juga digunakan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Pohuwato. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Jones & Bachmann (1976) dalam Davis & Cornwell (1991) mengemukakan korelasi positif antara kadar fosfat dengan klorofil-±. TSP/SP 36 menjadi sangat penting di tambak Kabupaten Pohuwato yang tergolong tanah sulfat masam, di mana fosfat dapat terikat oleh besi dan aluminium menjadi tidak tersedia. Perlakuan Tanah dan Air Tambak di Kabupaten Pohuwato umumnya didominasi oleh tanah aluvial non-sulfat masam dan pada areal tertentu yang sempit dijumpai tanah sulfat masam. Perbedaan jenis tanah tersebut ikut berpengaruh terhadap sistem budidaya tambak yang diaplikasikan oleh pembudidaya. Tanah tersebut tergolong tanah bermasalah sebab tingkat kemasaman dan kandungan unsur toksik tergolong tinggi dan sebaliknya kandungan unsur hara makronya rendah. Khusus pada tanah gambut juga memiliki kandungan bahan organik yang tinggi yang juga merupakan sumber kemasaman. Sebagai akibatnya, penggunaan kapur menjadi penting sebagai bahan remediasi untuk memperbaiki kualitas tanah berupa penurunan kemasaman dan kandungan unsur toksik serta peningkatan ketersediaan unsur hara makro (Mustafa & Sammut, 2007). Seperti terlihat pada Tabel 4, di mana penggunaan kapur Tabel 4. Jenis kapur yang digunakan oleh pembudidaya pada berbagai sistem budidaya di tambak Kabupaten Pohuwato (angka dalam kurung adalah persentase pengguna)
Jenis kapur
Monokultur ikan bandeng
Polikultur ikan bandeng dan udang
Kapur tembok
0 (0,00%)
1 (5,00%)
1021
Studi penggunaan sarana produksi di tambak ... (Admi Athirah)
hanya digunakan pada sistem polikultur, akan tetapi hanya menggunakan satu jenis kapur saja yaitu kapur tembok. Hanya ada 1 jenis kapur yang digunakan di tambak Kabupaten Pohuwato (Tabel 4) yaitu kapur tembok yang diaplikasikan pada sistem polikultur ikan bandeng dan udang. Tidak ditemukan jenis kapur lainnya seperti: kapur bangunan (CaOH 2) dan dolomit (CaMg(CO3)2) yang merupakan jenis kapur yang dominan digunakan di tambak Sulawesi Selatan. Di Filipina, kapur bangunan digunakan pada tambak yang baru beroperasi dan tambak yang memiliki pH d” 5,0 (Cruz-Lacierda et al., 2008). Untuk tambak yang tergolong tanah bermasalah di tambak budidaya udang vaname di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung, kapur yang digunakan adalah kapur bangunan yang dapat meningkatkan pH tanah lebih besar daripada menggunakan dolomit dan kapur pertanian atau kaptan (CaCO3) pada dosis yang sama (Mustafa et al., 2009b). Penggunaan kapur pada tanah bermasalah, bukan saja dilakukan pada tanah dasar tambak, tetapi juga pada tanah pematang tambak. Pengapuran pada pematang tambak dimaksudkan untuk menetralisir kemasaman tanah yang biasanya tinggi karena terjadinya proses oksidasi pada tanah pematang yang menyebabkan terlarutnya berbagai senyawa toksik dan terbawa masuk dalam tambak bila terjadi hujan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa monokultur udang windu dan monokultur ikan bandeng dominan dilakukan pada tambak dengan tanah tidak bermasalah yaitu tanah aluvial non-sulfat masam, maka kapur tidak banyak digunakan oleh pembudidaya. Monokultur ikan bandeng banyak juga dilakukan pada tambak dengan tanah bermasalah seperti pada tanah sodik, namun masalah pada tanah sodik bukan karena pH tanah yang rendah tetapi pH tanah yang tinggi. Selain itu, sebagai akibat dari konsentrasi natrium yang tinggi pada kompleks jerapan tanah sodik, dapat menyebabkan rusaknya struktur tanah (Buringh, 1983). Akibat lebih lanjut agregat tanah yang merupakan daya kohesi internal tanah akan menjadi lemah sehingga tanah mudah hancur dan berdampak pada pematang tambak yang mudah hancur (Mustafa et al., 2009). Sesuai penjelasan tersebut, maka wajarlah jika kapur tidak digunakan oleh pembudidaya tambak untuk sistem monokultur ikan bandeng di Kabupaten Pohuwato, sebab tanah yang digunakan untuk sistem tersebut tidak terkait dengan masalah kemasaman tanah yang tinggi. KESIMPULAN Hasil survai yang dilakukan di tambak Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa pada teknologi tradisional ada dua sistem budidaya yang diaplikasikan yaitu monokultur ikan bandeng dan polikultur udang windu dengan ikan bandeng. Hanya ada 6 jenis produk kimia yang digunakan oleh pembudidaya tambak dan dapat dikelompokkan atas 3 kelompok yaitu: pestisida, pupuk, serta perlakuan tanah dan air. Jenis produk kimia terbanyak digunakan pada sistem polikultur udang windu dan ikan bandeng sebab dilaksanakan pada tambak yang tergolong tanah bermasalah. Jenis pestisida yang digunakan ada 3 yaitu: saponin, besnoid, dan aquadang. Jenis pupuk yang digunakan ada 2 yaitu: TSP/SP 36 dan pupuk urea. Jenis kapur yang digunakan hanya ada 1 yaitu kapur tembok. DAFTAR ACUAN Alam, S.M.N. 2007. Biological and chemical products use in extensive shrimp farming in Southwest Bangladesh. Journal of Fisheries and Aquatic Science, 2(1): 56-62. Anonim. 2010. Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. Baticados, M.C.L. & Paclibare, J.O. 1992. The use of chemotherapeutic agents in aquaculture in the Philippines. In Shariff, M., Subasinghe, R.P., & Arthur, J.R. (Eds.) Diseases in Asian Aquaculture I. Fish Health Section, Asian Fisheries Society. Manila, p. 531-546. Boyd, C.E. & Massaut, L. 1999. Risks associated with the use of chemicals in pond aquaculture. Aquacultural Engineering, 20(2): 113-132. Buringh, P. 1983. Pengantar Pengajian Tanah-tanah Wilayah Tropika dan Subtropika. Diterjemahkan oleh: Tejoyuwono Notohadiprawiro. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 164 hlm. Chong, K.–C., Lizarondo, M.S., dela Cruz, Z.S., Guerrero, C.V., & Smith, I.R. 1984. Milkfish Production
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1022
Dualism in the Philippines: A Multisiplinary Perspective on Continuous Low Yields and Constraints to Aquaculture Development. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome; Bureau of Agricultural Economics, Quezon City; Bureau of Fisheries and Aquatic Resources, Quezon City; International Center for Living Aquatic Resources Management. Manila, 70 pp. Cruz-Lacierda, E.R., de la Peña, L.D., & Lumanlan-Mayo, S.C. 2000. The use of chemicals in aquaculture in the Philippines. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 155-184. Cruz-Lacierda, E.R., Corre, V.L.Jr., Yamamoto, A., Koyama, J., & Matsuoka, T. 2008. Current status on the use of chemicals and biological products and health management practices in aquaculture farms in the Philippines. Mem. Fac. Fish. Kagoshima Univ., 57: 37-45. Davis, M.L. & Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Environmental Engineering. Second edition. McGraw-Hill, Inc. New York, 822 pp. Eldani, A. & Primavera, J.H. 1981. Effect of different stocking combination of growth, production and survival rate of milkfish (Chanos chanos Forskal) and prawn (Penaeus monodon Fabricius) in polyculture in brackishwater ponds. Aquaculture, 23: 59-72. Gräslund, S. & Bengstsson, B.-E. 2001. Chemicals and biological products used in south-east Asian shrimp farming, and their potential impact on the environment: a review. Science of the Total Environment, 280(1-3): 93-131. Gräslund, S., Holmström, K., & Wahlström, A. 2003. A field survey of chemicals and biological products used in shrimp farming. Marine Pollution Bulletin, 46(1): 81-90. Islam, M.S., Milstein, A., Wahab, M.A., Kamal, A.H.M., & Dewan, S. 2005. Production and economic return of shrimp aquaculture in coastal ponds of different management regimes. Aquaculture International, 13: 489-500. Johnston, P. & Santillo, D. 2002. Chemical Usage in Aquaculture: Implications for Residues in Market Products. Greenpeace Research Laboratories, Department of Biological Sciences, University of Exeter, UK, 16 pp. Liao, I.C., Guo, J.-J., & Su, M.-S. 2000. The use of chemicals in aquaculture in Taiwan, Province of China. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 193-205. Lyle-Fritch, L.P., Romero-Beltrán, E., & Páez-Osuna, F. 2006. A survey on use of the chemical and biological products for shrimp farming in Sinaloa (NW Mexico). Aquacultural Engineering, 35(2): 135-146. McNeely, R.N., Nelmanis, V.P., & Dwyer, L. 1979. Water Quality Source Book, A Guide to Water Quality Parameter. Inland Waters Directorate, Water Quality Branch, Ottawa, 89 pp. Milstein, A., Islam, M.S., Wahab, M.A., Kamal, A.H.M., & Dewan, S. 2005. Characterization of water quality in shrimp ponds of different size and with different management regimes using multivariate statistical analysis. Aquaculture International, 13: 501-518. Mustafa, A. & Ratnawati, E. 2005. Faktor pengelolaan yang berpengaruh terhadap produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak tanah sulfat masam (studi kasus di Kabupaten Luwu Provinsi Gorontalo). Jurnal Pen.Perik. Indonesia, 11(7): 67-77. Mustafa, A., Sapo, I., & Paena, M. 2009a. Keragaan budidaya tambak di Sulawesi Selatan dengan menggunakan data sensus. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 15 hlm. Mustafa, A., Sapo, I., & Paena, M. 2009b. Studi penggunaan sarana produksi pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 28 hlm. Mustafa, A. & Sammut, J. 2007. Effect of different remediation techniques and dosages of phosphorus fertilizer on soil quality and klekap production in acid sulfate soil-affected aquaculture ponds. Indonesian Aquaculture Journal, 2(2): 141-157. Pathak, S.C., Ghosh, S.K., & Palanisamy, K. 2000. The use of chemicals in aquaculture in India. In
1023
Studi penggunaan sarana produksi di tambak ... (Admi Athirah)
Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 87-112. Phillips, M. 2000. The use of chemicals in carp and shrimp aquaculture in Bangladesh, Cambodia, Lao PDR, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, and Vietnam. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 75-86. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Rev. Fish. Sci., 1: 151201. Rahayuningsih, E. 2009. Analisis Kuantitatif Perilaku Pestisida di Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 278 hlm. Ranoemihardjo, B.S., Kahar, A., & Lopez, J.V. 1979. Results of polyculture of milkfish and shrimp at the Karanganyar provincial demonstration ponds. Bulletin of Brackishwater Aquaculture Development Center, 5(1&2): 334-350. Retnowati, N., Murtini, J.T., Wibowo, S., & Suparno. 1995. Kajian pemasaran dalam menunjang usaha budidaya rumput laut. Dalam Cholik, F., Rukyani, A., Sarnita, A.S., Heruwati, E.S., Suparno, Monintja, D., Soewardi, K., Widodo, J., & Nikijuluw, V.P. (Eds.) Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Buku II Bidang: Pascapanen, Sosial Ekonomi, dan Penangkapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta, hlm. 289-302. Riley, J.P. & Chester, R. 1971. Introduction to Marine Chemistry. Academic Press, London, 465 pp. Shang, Y.C. 1986. Pond production systems: stocking practices in pond fish culture. In Lannan, J.E., Smitherman, R.O., & Tchobanoglous, G. (Eds.) Principles and Practices of Pond Aquaculture. Oregon State University Press, Corvallis, Oregon, p. 85-96. Shariff, M., Nagaraj, G., Chua, F.H.C., & Wang, Y.G. 2000. The use of chemicals in aquaculture in Malaysia and Singapore. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 127-141. Subasinghe, R.P., Barg, U., & Tacon, A. 2000. Chemicals in Asian aquaculture: need, usage, issues and challenges. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 1-5. Supriyadi, H. & Rukyani, A. 2000. The use of chemicals in aquaculture in Indonesia. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 113-118. Tonguthai, K. 2000. The use of chemicals in aquaculture in Thailand. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 207-220. Wirartha, I.M. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Andi. Yogyakarta, 383 hlm. Wolfe, N.L., Paris, D.F., Steen, W.C., & Baughman, G.L. 1980. Correlation of microbial degradation rate with chemical structure. Journal of Envrironmental Science, 14: 1,134-1,144. Yulin, J. 2000. The use of chemicals in aquaculture in the People’s Republic of China. In Arthur, J.R., Lavilla-Pitogo, C.R., & Subasinghe, R.P. (Eds.) Use of Chemicals in Aquaculture in Asia. Southeast Asian Fisheries Development Center Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines, p. 141-153.