997
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
DISTRIBUSI KARAKTERISTIK KIMIA TANAH TAMBAK DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO Kamariah, Ruzkiah Asaf, dan Mat Fahrur Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Pohuwato merupakan daerah pesisir Provinsi Gorontalo yang sektor perikanannya cukup menjanjikan untuk diusahakan dan dikembangkan dengan potensi pertambakan yang cukup luas yaitu 9.000 ha dan lahan tambak 3.284 ha dengan produksi 1.534,60 ton (DKP Kabupaten Pohuwato, 2010). Kualitas tanah merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas tambak, sehingga Identifikasi distribusi karakteristik tanah memiliki peran penting dalam banyak sistem bio-lingkungan termasuk lingkungan tambak. Penentuan titik pengukuran dan pengambilan contoh tanah secara acak sederhana pada 68 titik dan masing-masing pada dua kedalaman tanah yang berbeda yaitu 0-20 cm dan 5070 cm. Sebanyak 17 karakteristik kimia tanah diukur di lapangan dan dianalisis di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tekstur tanah tambak di Kabupaten Pohuwato adalah kategori lempung berpasir dengan rata-rata merupakan tanah tambak sulfat masam dengan karakteristik kimia tanah tambak tergolong memiliki variabilitas tinggi atau relatif heterogen. Karakteristik kimia tanah secara distribusi vertikal dari dua kedalaman yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nilai dari karakteristik kimia tanah yang diukur, disebabkan oleh adanya perlakukan yang menyebabkan nilai kedalaman 0-20 cm lebih tinggi daripada 0-50 cm. Pola distribusi spasial yang menunjukkan kemasaman tanah memiliki distribusi spasial yang relatif sama, demikian juga halnya dengan karakteristik tanah yang menunjukkan kandungan unsur hara tanah. Salah satu daerah yang memiliki karakteristik kimia tanah yang rata-rata bernilai tinggi adalah di Kecamatan Randangan. Pengelolaan tanah tambak di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo sebaiknya disesuaikan dengan karakteristik kimia tanah tambak, sehingga produktivitas tambak yang diharapkan dapat tercapai KATA KUNCI:
distribusi karakteristik, tanah, tambak, Kabupaten Pohuwato
PENDAHULUAN Kabupaten Pohuwato merupakan daerah pesisir Provinsi Gorontalo yang sektor perikanannya cukup menjanjikan untuk diusahakan dan dikembangkan. Daerah ini memiliki potensi pertambakan yang cukup luas yaitu 9.000 ha dan lahan tambak 3.284 ha dengan produksi 1.534,60 ton (DKP Kabupaten Pohuwato, 2010). Budidaya tambak merupakan usaha perikanan dengan memanfaatkan kawasan pesisir yang mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa Negara. Budidaya tambak di Kabupaten Pohuwato terdapat pada beberapa kecamatan di antaranya: Kecamatan Paguat, Duhiadaa, Wonggarasi, Randangan, Popayato Timur, Popayato dan Popayato Barat. Berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.32/MEN/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan, Kabupaten Pohuwato telah ditetapkan sebagai lokasi pengembangan Kawasan Minapolitan di Indonesia dengan Komoditas andalan untuk budidaya tambak adalah udang. Secara geografis, Kabupaten Pohuwato terletak antara 0,27 dan 1,01o Lintang Utara dan 121,23 dan 122,44o Bujur Timur dengan batas-batas wilayah administratif, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buol (Provinsi Sulawesi Tengah), sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tomini, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong (Provinsi Sulawesi Tengah) dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo), dengan luas wilayah 4.244,31 km2 (DKP Kabupaten Pohuwato, 2010). Kualitas tanah merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas tambak. Kualitas tanah adalah faktor produksi utama dalam budidaya tambak sebab dapat mempengaruhi
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
998
kualitas air, proses biologis dan rekayasa tambak (Boyd, 1995; Sammut, 1999). Kualitas tanah telah umum dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tambak (Muir dan Kapetsky, 1988; Boyd, 1995; Treece, 2000; Salam et al., 2003; Karthik et al., 2005; Mustafa et al., 2007). Distribusi spasial Karakteristik tanah memiliki suatu peran penting dalam banyak sistem biolingkungan (Rossi et al., 1992; Zuo et al., 2008; Dong et al., 2009; Akbarzadeh dan TaghizadehMehrjardi, 2010; Zare-Mehrjardi et al., 2010). Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui Distribusi karakteristik kimia tanah baik secara vertikal maupun spasial agar pengelolaan tanah dapat dilakukan sesuai dengan karakteristiknya. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 di kawasan pesisir yaitu di Kecamatan Paguat, Duhiadaa, Wonggarasi, Randangan, Popayato Timur, Popayato dan Popayato Barat, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Pengambilan dan Pengukuran Contoh Tanah Sebanyak 68 titik pengamatan dan pengambilan contoh tanah yang terdiri dari dua kedalaman yaitu pada kedalaman 0-20 cm dan 50-70 cm diambil secara acak sederhana dan merupakan data primer. Contoh tanah diambil dengan menggunakan bor tanah, sisa tumbuhan segar, kerikil, cangkang dan kotoran lainnya dibuang dan bongkahan besar dikecilkan dengan tangan. Peubah kualitas tanah yang diukur langsung di lapangan adalah pH F (pH tanah yang diukur di lapangan) dengan pH-meter (Watling et al., 2004), pHFOX (pH tanah yang diukur di lapangan setelah dioksidasi dengan hidrogen peroksida (H 2O2) 30%) dengan pH-meter (Watling et al., 2004), dan potensial redoks dengan redox-meter (Essington, 2004). Adapun untuk peubah kualitas tanah lainnya yang selanjutnya akan dianalisis di Laboratorium Tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) di Maros, maka contoh tanah yang ada secepatnya dimasukkan dalam kantong plastik dan selanjutnya dimasukkan dalam cool box yang diberi es (Watling et al., 2004). karena adanya contoh tanah yang tergolong tanah sulfat masam, contoh tanah diovenkan pada suhu 80-85oC selama 48 jam (Ahern et al., 2004), sedangkan contoh tanah lainnya dikeringudarakan untuk analisis bahan organik metode Walkley dan Black sesuai petunjuk Sulaeman et al., (2005). Setelah kering, contoh tanah dihaluskan dengan cara ditumbuk pada lumpang porselin dan diayak dengan ayakan ukuran lubang 2 mm dan selanjutnya dianalisis. Peubah kualitas tanah sulfat masam yang dianalisis meliputi pHKCl (pH dari ekstrak KCl) (McElnea dan Ahern, 2004a), pHOX (McElnea dan Ahern, 2004b), SP (sulfur peroksida) (Melville, 1993; McElnea dan Ahern, 2004c), SKCl (sulfur yang diekstrak dengan KCl) (Melville, 1993; McElnea dan Ahern, 2004d), SPOS (SP-SKCl) (Ahern dan McElnea, 2004), TPA (Titratable Peroxide Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Potential Acidity) (McElnea dan Ahern, 2004b), TAA (Titratable Actual Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Actual Acidity) (McElnea dan Ahern, 2004a), TSA (Titratable Sulfidic Acidity atau sebelumnya dikenal dengan Total Sulfidic Acidity) (TPA-TAA) (McElnea dan Ahern, 2004b) dan pirit (Ahern et al., 1998a, 1998b), Fe dengan spektrofotometer (Menon, 1973). Penyajian Data Distribusi vertikal tanah disajikan dalam bentuk tabel untuk dua kedalaman yaitu kedalaman 020 cm dan 50-70 cm dan distribusi spasial tanah disajikan dalam bentuk peta spasial untuk beberapa peubah kualitas tanah. HASIL DAN BAHASAN Umumnya tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo didominasi tanah sulfat masam yang beasosiasi dengan tanah gambut yang dicirikan oleh indikator yang dijumpai di lapangan baik berupa indikator biologi yaitu adanya vegetasi paku laut, nipah, api-api dan mangrove serta adanya gundukan tanah hasil galian kepiting lumpur maupun pengukuran pH F dan pHFOX yang diukur langsung di lapangan, di mana pHF - pHFOX umumnya bernilai tinggi.
999
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, secara vertikal dapat dilihat pada Tabel 1. dan secara spasial (horizontal) dapat dilihat pada Gambar 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12. Tekstur Tanah Tekstur tanah merupakan satu sifat fisik tanah yang secara praktis dapat dipakai sebagai alat evaluasi atau jugging (pertimbangan) dalam suatu potensi penggunaan tanah. Tekstur tanah menunjukkan perbandingan relatif antara pasir (sand) berukuran 2 mm–50 mikron, debu (silt) berukuran 50–2 mikron dan liat (clay) berukuran <2 mikron. Tekstur merupakan sifat yang sangat penting karna berpengaruh pada sifat–sifat kimia, fisik dan biologi tanah. Tanah secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kelas yaitu tanah bertekstur kasar (dominan pasir) dan tanah bertekstur halus (dominan liat). Tanah bertekstur kasar lebih porus dan laju infiltrasinya lebih cepat sedangkan tanah bertekstur halus memiliki kapasitas memegang air lebih besar dari pada tanah pasir karna memiliki permukaan yang lebih luas. Tanah–tanah berliat memiliki persentase porus yang lebih banyak yang berfungsi dalam retensi air (water retension). Pada umumnya tekstur tanah tambak di kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo di dominasi oleh lempung berpasir yaitu sekitar 45% dan sebagian ada yang bertekstur lempung berdebu, pasir berlempung, lempung, lempung liat berpasir, lempung berliat, liat dan liat berpasir seperti terlihat pada Gambar 1. Tekstur tanah tersebut memiliki porus yang lebih besar sehingga bahan organik dari penebangan lahan mangrove yang berubah menjadi lahan tambak berpengaruh sampai pada lapisan tanah yang lebih dalam.
Gambar 1. Grafik persentase tekstur tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Tekstur tanah sangat mempengaruhi jumlah air. Semakin tinggi persentasi pasir dalam tanah maka semakin banyak ruang pori-pori di antara partikel-partikel tanah tersebut, sehingga kadar air dalam tanah menjadi rendah. Selain itu tanah ini juga mempunyai akumulasi liat pada horizon bawah permukaan tanah, sehingga mengurangi daya serap air dan meningkatkan aliran permukaan serta aerasi tanah Distribusi Vertikal Nilai koefisien variasi tanah tambak di Kabupaten Pohuwato bervariasi dari terendah pada pH F (3,758%) dan tertinggi pada TAA (900%) untuk kedalaman tanah 0-20 cm (Tabel 1), sedangkan nilai koefisien variasi terendah juga pada pHF (4,082%) dan tertinggi pada TAA (361%) untuk kedalaman 50-70 cm (Tabel 1). Hasil yang sama telah dilaporkan untuk tanah tambak di Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan (Mustafa et al., 2010) ; Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan (Rachmansyah & Mustafa, 2011), dan Goh et al. (1998) yang menyatakan bahwa koefisien variasi karakteristik tanah di Sabah (Malaysia) dapat melebihi 100% pada seri tanah yang sama. Berdasarkan
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1000
klasifikasi yang ditetapkan oleh Essington (2004) maka tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo tergolong variabilitas tinggi atau relatif heterogen dengan kedalaman 0-0,2 m dan 0,50,7 m. Seperti dikatakan oleh Essington (2004) bahwa karakteristik tanah relatif tinggi variabilitasnya terhadap lokasi pada bentang lahan dan kedalaman tanah. Variabilitas tinggi dari karakteristik tanah dalam seri tanah yang sama juga telah dilaporkan di Semenanjung Malaysia oleh Law & Tan (1977). Tabel 1. Kualitas Tanah Tambak pada Kedalaman 0-20 cm dan 50-70 cm di Kecamatan Pohuwato Kabupaten Gorontalo Kedalaman 0-20 cm
Kedalaman 50-70 cm
Peubah Rata-rata Koefisien variasi 6,92 3,758
Maks Rata-rata Koefisien variasi 6,39 7,14 6,86 4,082
Min
Maks
pHF
5,47
7,55
pHFOX
1,34
7,22
3,84
59,635
1,01
7,49
2,95
74,576
pHF-pHFOX Potensial redox
0,33
4,13
3,08
73,052
-0,35
5,35
3,90
57,436
-171
249
-105
-137,143
-233
181
-95
-170,526
0
10,42
8,05
99,379
0
25,12
8,60
99,419
Bahan Organik (%) N.Total (%)
Min
0,02
0,33
0,26
96,154
0,04
0,73
0,18
94,444
C/N
0
18,33
19,37
93,443
0
19,959
27,79
63,332
P2O5
0
110,57
40,38
86,751
0
153,67
28,09
96,76
4,5
4876,5
2419,4
85,091
17
4774
2989,7
67,191
TPA (mol H+/ton)
0
856
432,7
111,139
0
1463
604,2
96,408
TAA (mol H+/ton)
0
24
0,1
900
0
0
4,4
361,364
TSA (mol H+/ton)
0
855,52
432,7
111,139
0
1463
604,1
96,408
SKCl (%)
0,1
0,68
0,39
71,795
0,13
1,16
0,53
83,019
SP (%)
0,21
3,16
1,67
80,838
0,15
4,56
2,15
68,372
SPOS (%)
-0,03
2,67
1,29
87,597
0
3,59
1,61
70,807
0
3,82
1,93
111,399
0
653
2,70
96,296
Fe
Pyrite (%)
pHF adalah pH tanah yang diukur di lapangan dalam kondisi tanah jenuh dengan air, sedangkan pHFOX adalah pH tanah yang diukur di lapangan setelah dioksidasi sempurna dengan H2O2 (hidrogen peroksida) 30% (Ahern & Rayment, 1998). pHF bernilai rata-rata 6.92 pada kedalaman 0-20 cm dan 6.86 pada kedalaman 50-70 cm. Sedangkan pHFox pada kedalaman 0-20 cm bernilai 3,84 dan pada kedalaman 20-50 cm bernilai 2,95. pH pada kedalaman 0-20 cm lebih tinggi daripada kedalaman 5070 cm diduga sebagai akibat proses pencucian secara alami dalam jangka waktu yang relatif lama yang membuang senyawa penyebab kemasaman pada permukaan tanah. Selain itu pengelolaan tanah seperti pengapuran menyebabkan tingginya pH F tanah di permukaan (Mustafa & Sammut, 2011). Tambak produktif mempunyai pH tanah antara netral sampai basa Nilai rata-rata potensial redoks pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, pada kedalaman 020 cm adalah -105 mV, pada kedalaman 50-70 cm adalah 95 mV, Potensial redoks menggambarkan kondisi tanah yang teroksidasi atau tereduksi. Potensial redoks adalah hasil pengukuran kuantitatif untuk menginformasikan suatu indeks diagnostik dari tingkat anaerobik atau anoksia tanah (Patrick & Delaune, 1977). Parameter redoks merupakan parameter yang mengindikasikan kualitas tanah tambak. Suatu senyawa dapat teroksidasi oleh oksigen atau pelepasan ion negatif bila terdapat oksigen yang tersedia. Pada keadaan anaerob, bakteri reduktor melakukan dekomposisi bahan organik dengan mereduksi senyawa lain seperti Mn, Fe dan Sulfat. Tingginya tingkat reduksi ini menunjukkan besarnya tingkat reaksi anaerob di dalam tanah. Semakin tinggi nilai redoks akan semakin baik. Nilai yang optimal untuk tanah tambak adalah > 250 mV (Direktorat Pembudidayaan, 2003). Nilai potensial redoks yang terendah menunjukkan bahwa sedimen berada dalam keadaan tereduksi dan bersifat anaerob, memiliki kemungkinan besar bersifat toksik. Potensial redoks terendah berkaitan dengan
1001
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
proses oksidasi yang terjadi. Proses reduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+ sangat berpengaruh terhadap laju penurunan potensial redoks atau Eh. Pada prinsipnya makin lama tambak tersebut digenangi, maka makin besar tingkat reduksinya dan makin besar pula kelarutan ion Fe3+ menjadi ion Fe2+. Secara fisik tanah sedimen yang tereduksi tampak hitam, karena terdapat senyawa besi Fe2+. Pada kondisi tersebut akumulasi bahan organik yang berlebihan cenderung sulit terdekomposisi. Fe merupakan unsur hara esensial yang dapat berada pada konsentrasi toksik pada tanah-tanah asam. Konsentrasi Fe3+ yang tinggi terjadi pada tanah dengan pH di bawah 3,5, sedangkan Fe2+ terdapat pada tanah tergenang (Tood, 1980). Bahan organik pada kedua kedalaman hampir sama yaitu rata-rata 8,05% pada kedalaman 0-20 cm dan 8,60% pada kedalaman 50-70 cm. Menurut Boyd et al. (1998), persentasi bahan organik yang ideal untuk budidaya udang adalah 6-9%. Bahan organik tanah tambak dapat berpengaruh terhadap kestabilan tanah, konsumsi oksigen, sumber unsur hara dan kesesuaian habitat dari dasar tambak. Kandungan bahan organik dapat mempengaruhi kesuburan tambak, tetapi bila jumlahnya berlebihan dapat membahayakan kehidupan dan populasi ikan dan udang yang dibudidayakan. Nilai rata-rata kandungan nitrogen total pada tanah tambak pada kedalaman 0-20 adalah 0,26% dan 20-40 cm adalah 0,18% (Tabel 1.). Berdasarkan kriteria penilaian hasil analisis tanah (Eviati dan Sulaeman, 2009), nilai yang diperoleh tergolong sedang pada kedalaman 0-20 cm dan rendah pada kedalaman 20-40 cm. Namun demikian nilai C/N rasio tergolong tinggi. Parameter kualitas terdekomposisi cepat adalah C/N <20% dan N>1,6%. Berdasarkan data dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa nilai C/N rata-rata di bawah 20% dan nilai N lebih besar dari 1,6%, yang menunjukkan bahwa daerah tambak di Kabupaten Pohuwato kualitas bahan organiknya terdekomposisi dengan cepat. Hal tersebut dapat diduga karena adanya penutup/penggunaan lahan tertentu seperti kawasan mangrove yang dapat menjadi penyebab adanya kandungan bahan organik tanah seperti tersebut sebelumnya. Fosfat tersedia dalam tanah sebagai P2O5 pada kedalaman 0-20 cm dan 50-70 cm) menunjukkan nilai yang rendah. Ketersediaan fosfat lebih besar 60 mg/L dalam tanah tambak dapat digolongkan sebagai slight atau tergolong baik dengan faktor pembatas yang sangat mudah diatasi. (Karthik et al., 2005). Kandungan fosfat tanah yang relatif rendah, sebagai akibat dari Fe dan Al tanah yang dapat menyebabkan PO4 menjadi tidak tersedia. Pada tanah yang pHnya rendah, PO4 diikat secara kuat oleh Fe dan Al dalam bentuk FePO4 atau AlPO4 yang tidak larut (Kselik et al., 1992; Tu et al., 1993; Mustafa & Sammut, 2007; Moriarty, 2010). Kondisi kemasaman pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Privinsi Gorontalo semakin diperkuat dengan tingginya konsentasi besi (Fe) pada kedua kedalaman. Kandungan besi ferro biasanya terdapat berlebihan pada lahan sulfat masam yang tergenang dan kosentrasinya bisa mencapai ribuan mg/L dalam larutan tanah (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000; Boyd, 1995). Haanhart dan Ni (1992), menunjukkan bahwa kelarutan Fe2+ di dalam tanah sulfat masam mengikuti pola kondisi redoks tanah dimana kelarutan Fe2+ meningkat pada saat nilai redoks tanah turun dan pada saat nilai redoks tanah naik (kondisi oksidasi) maka kondisi Fe2+ menjadi rendah. Kandungan pirit yang tinggi di dapatkan pada daerah yang memiliki nilai pH yang rendah sebagai akibat dari bekas lahan mangrove dan adanya pengaruh dari pasang surut sehingga meninggalkan endapan liat dari sungai begitu pula dari akar bakau. Sesuai Noor (2004) menyatakan bahwa endapan liat yang berasal dari serat sisa akar vegetasi bakau mengandung pirit yang tinggi. Juga sebagai akibat kandungan bahan organik yang merupakan sumber karbon bagi bakteri dalam pembentukan pirit. Menurut Breeman (1993) dan White et al. (1997), bahwa konsentrasi pirit (FeS2) pada tanah masam yang teroksidasi menghasilkan asam sulfat yang merupakan asam kuat dan mampu meningkatkan kemasaman secara mendadak dalam tambak dan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Dengan kondisi tersebut menandakan bahwa tambak memiliki tingkat produktivitas rendah dan agar dapat di manfaatkan dengan baik diperlukan usaha dengan meremediasi untuk mengurangi kemasaman tambak tersebut. Selain itu hasil pengukuran peubah yang juga menggambarkan kemasaman tanah yaitu TAA, TPA dan TSA diperoleh rata-rata nilai TSA adalah 432,7 mol H+/ton pada kedalaman 0-20 cm dan 604,1 mol H+/ton pada kedalaman 50-70 cm (Tabel 1). Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa TSA di
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1002
tambak Kabupaten Pohuwato, termasuk tinggi, adanya peningkatan TSA dari kedalaman 0-20 cm dengan kedalaman 50-70 cm menunjukkan adanya pencucian pada lapisan atas yang mengakibatkan tanah pada lapisan bawah memiliki nilai TSA yang lebih tinggi. Sebagai sumber kemasaman yang penting pada tanah sulfat masam, maka sulfur yang diukur dalam bentuk SPOS tanah telah digunakan oleh Ahern et al. (1998) untuk menentukan kebutuhan kapur bagi tanah masam. Hasil analisis menunjukkan rata-rata SPOS pada kedalaman 0-20 cm adalah 1,29% dan pada kedalaman 50-70 cm adalah 1,61% sehingga dapat dikatakan bahwa tanah tambak di Kabupaten Pohuwato memiliki nilai SPOS yang rendah. Distribusi Spasial. Distribusi spasial pHF, pHFOX dan pHFOX-pHF masing-masing di sajikan pada Gambar 2, 3 dan 4.
Gambar 2. Peta distribusi spasial pHF pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Dari Gambar 2. tersebut di atas terlihat bahwa di daerah randangan memiliki pH F lebih tinggi dibandingkan daerah yang lain yaitu berkisar pada nilai 6.5 – 7.3. Tanah dengan pH 7, mengandung banyak garam Natrium dan Fosfor, sehingga dapat mendukung pertumbuhan alga dasar (kelekap). Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tambak di daerah Pohuwato Gorontalo masih dapat dikatakan sebagai tambak produktif, karena memiliki nilai rata-rata pHF mendekati 7. Distribusi spasial pHFox ditunjukkan pada peta Gambar 3., Nilai dari pHFox merupakan indikator untuk mengetahui kecepatan oksidasi yang terjadi pada tanah, hal ini erat kaitannya dengan proses oksidasi dalam tanah, karena Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent,1986; Langenhoff, 1986). Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans yang dapat mengoksidasi ion besi tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe 3+. Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa daerah-daerah yang memiliki konsentarsi pHFOX rendah akan dapat mengakibatkan terjadinya proses oksidasi dengan kecepatan oksidasi berdasarkan nilai pH di bawah 4. Dari data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa daerah Pohuwato merupakan daerah yang memiliki nilai rata-rata di bawah 4, kecuali pada daerah randangan memiliki nilai pHFOX tinggi. Hal ini disebabkan oleh lahan tambak
1003
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
Gambar 3. Peta distribusi spasial pHFOX pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo merupakan lahan hutan mangrove yang baru dibuka, sehingga memiliki keadaan tanah yang asam. Menurut Kordi et.al. (2010), Lahan hutan mangrove yang baru dibuka untuk tambak umumnya memiliki keadaan tanah asam. tanah-tanah yang asam di daerah payau muncul karena beberapa hal. biasanya pada tanah-tanah pantai yang baru terbentuk seringkali ion-ion pirit terakumulasi. Selama tanah yang mengandung pyrit ini muncul, tanah demikian sangat peka terhadap perubahan yang kecil sekalipun. Bila lahan tambak diairi, pyrit akan teroksidasi dan menghasilkan asam sulfurik atau asam sulfat yang menyebabkan keasaman tanah menjadi sangat rendah. Keasaman tanah yang rendah dapat berasal dari keasaman air tambak yang sangat rendah karena pencucian dasar tambak atau oleh aliran air hujan dari pematang. Tanah-tanah asam dapat pula menyebabkan rendahnya produktivitas tambak. asam sulfurik yang terbentuk karena teroksidasinya pirit akan mempengaruhi mineral-mineral tanah. Tanah asam sulfat tidak baik untuk lokasi tambak. Namun, untuk menjadikannya produktif dan dapat digunakan, kita perlu melakukan pengapuran. Dengan pengapuran, sifat keasaman tanah akan rusak sehingga pH tanah naik menjadi netral atau basa Nilai pH F-pHFOX sering digunakan sebagai salah satu peubah kualitas tanah untuk mengetahui potensi kemasaman dari tanah . Nilai pHF-pHFOX berkisar rata-rata 3,08 dan 3,90, dengan nilai minimum
Gambar 4. Peta distribusi spasial pH F-pH FOX pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1004
pHF-pHFOX pada kedalaman 0-20 cm adalah 0,33, maksimum 4,13, pada kedalaman 50-70 cm, memiliki nilai pHF-pHFOX minimum adalah -0,35 dan maksimum 5.35. Hal ini memperjelas bahwa tanah tambak di Kabupaten Pohuwato tergolong tanah sulfat masam. Secara umum tanah tambak di Kabupaten Pohuwato tergolong dalam kondisi tereduksi sehingga potensial redoks bernilai negatif (Gambar 5). Hal ini sebagai akibat pengambilan contoh tanah dilakukan pada tambak yang sementara dalam proses budidaya, baik budidaya udang maupun ikan bandeng secara monokultur maupun polikultur antara ikan bandeng dan rumput laut, sehingga tambak dalam keadaan tergenang air.
Gambar 5. Peta distribusi potensial redoks pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Pola distribusi spasial kandungan bahan organik (Gambar 6.) juga memiliki pola yang sama dengan pHF-pHFOX. Hal ini menunjukkan bahwa potensi kemasaman tanah di tambak Kabupaten Pohuwato, selain berasal dari pirit juga berasal dari bahan organik. Diduga kandungan bahan organik yang tinggi ini berasal dari lahan mangrove yang dijadikan tambak. Daun yang gugur adalah penyumbang terbesar bahan organik di sedimen hutan mangrove (Koch, 2005). Penguraian bahan organik dapat
Gambar 6. Peta distribusi spasial bahan organik pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo
1005
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
menghasilkan asam-asam humat yang menyebabkan pH tanah menjadi lebih rendah. Kualitas bahan organik dibedakan berdasarkan kemampuan terdekomposisi yaitu, terdekomposisi cepat, penyediaan unsur hara kurang, sehingga kontribusi ke bahan organik juga kurang. Sedangkan yang terdekomposisi lambat, ketersediaan unsur hara lebih lama dan kontribusi ke bahan organik lebih besar.
Gambar 7. Peta distribusi spasial N total pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial. Menurut Hardjowigeno (2003) Nitrogen dalam tanah berasal dari pupuk, air hujan, bahan organik tanah, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara. Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer, dan lainnya berasal dari aktifitas di dalam tanah sebagai sumber sekunder. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainnya setelah mengalami proses dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah. Nitrogen terdapat di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, N2O dan unsur N. Dalam siklusnya, nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi. Nitrogen tanah secara umum dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu organik dan anorganik. Bentuk organik merupakan bagian terbesar, bentuk anorganik dapat berbentuk NH4, NO2-, NO3-, N2O dan NO. Sedangkan gas N2 hanya dapat dimanfaatkan oleh bakteri Rhizobium (Hakim et al, 1986). Nitrogen berada dalam bentuk NH4+ dan NO3-, ion-ion ini dalam tanah berasal dari pupuk yang ditambahkan serta dekomposisi bahan organik. Sehingga dekomposisi bahan organik merupakan sumber utama nitrogen dalam tanah dan dapat juga berasal dari air atau air irigasi (Hakim et al, 1986). ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh sifat dan ciri-ciri tanah serta ciri-ciri dari unsur hara itu sendiri. Faktor tanah yang mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam tanah adalah bahan organik, kemasaman tanah dan tipe liat. Hasil penguraian bahan organik menjadi sumber nutrien bagi mikroorganisme dalam tanah dapat langsung dimanfaatkan oleh plankton. Karbon Merupakan sumber energi bagi mikroorganisme, sedangkan nitrogen dalam bahan organik lebih banyak sebagai nitrogen organik, selain dalam bentuk nitrat dan amonium. Nitrogen dalam bentuk nitrat dimanfaatkan fitoplankton sebagai sumber nutrien. Diketahui bahwa bahan organik pada tambak di kabupaten pohuwato adalah bernilai tinggi hal tersebut juga menunjukkan bahwa nitrogen pada tambak di kabupaten pohuwato (Gambar 7.) tersedia dengan baik karena telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahan organik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam tanah. Distribusi spasial P tersedia dalam bentuk P2O5 di Kabupaten Pohuwato (Gambar 8.) terlihat bahwa sebagian tambak di Kecamatan Popayato, Kecamatan Randangan dan Kecamatan Duhiadaa tergolong tinggi sebagai akibat pemberian pupuk yang cukup banyak yang melebihi dosis yang dianjurkan. Sumber fosfat yang dalam tanah sebagai fosfat mineral yaitu batu kapur fosfat, sisa-sisa tanaman dan bahan organik lainnya. Perubahan fosfor organik menjadi fosfor anorganik dilakukan oleh
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1006
Gambar 8. Peta distribusi spasial P2O5 pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo mikroorganisme. Selain itu, penyerapan fosfor juga dilakukan oleh liat dan silikat (Isnaini, 2006). Fosfat anorganik maupun organik terdapat dalam tanah. Bentuk anorganiknya adalah senyawa Ca, Fe, Al, dan F. Fosfor organik mengandung senyawa yang salah satunya berasal mikroorganisme dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid, dan fitin (Rao, 1994). Bentuk fosfor anorganik tanah lebih sedikit dan sukar larut. Walaupun terdapat CO 2 di dalam tanah tetapi menetralisasi fosfat tetap sukar, sehingga dengan demikian P yang tersedia dalam tanah relatif rendah. Fosfor tersedia didalam tanah dapat diartikan sebagai P-tanah yang dapat diekstraksikan atau larut dalam air dan asam sitrat. P-organik dengan proses dekomposisi akan menjadi bentuk anorganik. Pengaruh CO2 terhadap fosfor tanah adalah sebagai berikut : Ca3(PO4)2 + 4 H2O + 4 CO2 Ca(H2PO4)2 + 2 Ca(HCO3)2 P- tidak larut
P larut dalam air
Fosfor sebagian besar berasal dari pelapukan batuan mineral alami, sisanya berasal dari pelapukan bahan organik. Walaupun sumber fosfor didalam tanah mineral cukup banyak, tetapi masih tetap bisa terjadi kekurangan fosfor. Pasalnya, sebagian besar fosfor terikat secara kimia oleh unsur lain sehingga menjadi senyawa yang sangat sukar larut dalam air. Ketersediaan fosfor didalam tanah ditentukan oleh banyak faktor, tetapi yang paling penting adalah pH tanah. Pada tanah ber-pH rendah, fosfor akan bereaksi dengan ion besi dan aluminium. Reaksi ini membentuk besi dan fosfat almunium sehingga tidak dapat digunakan. Pada tanah ber pH tinggi, fosfor akan bereaksi dengan ion kalsium. Reaksi ini membentuk ion kalsium fosfat yang sifatnya sukar larut dan tidak dapat digunakan. Kisaran pH tanah yg optimum bagi ketersediaan P-tanah adalah 5.5–7.0. Pada tanah dengan pH rendah, retensi terjadi karena adanya reaksi fosfat dengan Fe, Al dan oksida hidratnya. Pada tanah dengan pH tinggi, retensi fosfat terjadi karena reaksi fosfat dengan Ca dan Mg dan karbonatnya. Tingkat kejenuhan fosfat dalam tanah atau jumlah fosfat yg telah difiksasi oleh tanah sangat menentukan besarnya fiksasi fosfat dari pupuk P. Rasio R2O3 : P2O5 merupakan ukuran jumlah fosfat yg ada dalam tanah terhadap jumlah oksida Fe dan Al. Nilai rasio yang besar, berarti tanah miskin fosfat atau nilai kejenuhan fosfat rendah; sehingga fiksasi fosfat dari pupuk P sangat besar. Oleh karenanya tanahtanah yag dipupuk fosfat dosis tinggi selama bertahun-tahun kemungkinan akan mereduksi dosis pupuk P saat ini, menggunakan lebih banyak fosfat yg ada dalam tanah dan kombinasi keduanya. Besi merupakan salah satu unsur yang banyak dijumpai pada lingkungan tanah, tetapi konsentrasi besi terlarut umumnya sangat rendah pada lingkungan tanah aerob. Kandungan besi berkisar mulai kurang dari 0,05 % dalm tanah bertekstur kasar sampai lebih 10% pada tanah-tanah melapuk lanjut seperti oxisol yang banyak di jumpai di daerah tropika. Siklus besi dicirikan oleh adanya oksidasi
1007
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
Gambar 9. Peta distribusi spasial Fe pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo dan reduksi senyawa besi dalam tanah. Namun, mineralisasi besi dari besi terikat organik dan pelarutan besi dari senyawa anorganik oleh mikroorganisme juga merupakan proses penting. Oksidasi Fe2+ secara kimiawi berjalan sangat cepat pada kondisi aerob pada pH> 3 dan ini merupakan rantai oksidasi besi yang utama pada kebanyakan lingkungan tanah. Pada kondisi asam besi fero (Fe2+) dapat dioksidasi menjadi besi feri (Fe3+) oleh bakteri khemoautotrof seperti Thiobacillus ferrooxidans. Reaksi yang dilakukan oleh bakteri ini adalah : 12FeSO4 + 3O2 + 6H2O 4Fe2(SO4)3 + 4Fe(OH)3. Pada tanah-tanah yang beraerasi baik, Fe3+ merupakan bentuk besi yang dominan. Aktifitas Fe3+ dalam larutan tanah pada kondisi aerob adalah rendah. Pada pH 7 aktivitas Fe3+ dalam larutan tanah menjadi sekitar 10-17 M (Lindsay, 1979). Aktivitas terus menurun dengan kenaikan pH. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada tidaknya reaksi besi oksida dan pirit di dalam tanah sangat di pengaruhi oleh kelarutan Fe3+, dari hal tersebut maka dapat dikatakan, jika daerah tambak di Kabupaten Pohuwato (Gambar 9.) yang memiliki nilai pH rendah akan mengakibatkan aktivitas Fe3+ dalam tanah akan meningkat. Kadar Fe biasanya tinggi pada tanah sulfat masam (Attanandana & vacharotayan, 1984 ) Pirit (FeS2) merupakan ciri utama dari tanah sulfat masam. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pirit adalah jumlah bahan organik, suhu sedimen, pasokan SO4 dan bikarbonat serta suasana anaerob dan kandungan Fe (Dent, 1986). Tanah sulfat masam mempunyai pH rendah, kandungan yang bersifat toksis H+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaan ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah serta kekahatan hara-hara lainnya (Andriesse & Sukardi 1990). Reaksi oksidasi pirit menurut Boyd (1982) adalah sebagai berikut: 1) FeS2 + H2O + 3,5 O2 FeSO4 + H2SO4 2) 2 FeSO4 + ½ O2 + H2SO4 Fe2(SO4)3 + H2O 3) FeS2 + 7 Fe2(SO4)3 + 8 H2O 15 FeSO4 + 8 H2SO4 Produksi ferri sulfat dari ferro sulfat sangat besar karena proses pembentukannya dipercepat oleh aktivitas bakteri Thiobacillus ferrooxidans (No. 2), dan pada kondisi yang masam reaksi pirit dengan ferri sulfat (No. 3) berlangsung sangat cepat. Ferri sulfat juga dapat terhidrolisis sehingga menambah kemasaman seperti diperlihatkan reaksi berikut: Fe2(SO4)3 + 6 H2O 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO4 Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat antara lain Al, Mn, Zn, dan Cu. Dengan demikian aliran permukaan (run off) atau air rembesan (sepage) dari galian tanah berpirit
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1008
Gambar 10. Peta distribusi spasial Pirit pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo mencapai kemasaman sangat tinggi dan berisi ion-ion yang berpotensi sebagai racun. Menurut WidjajaAdhi (1986), di dalam lumpur yang anaerob, pirit tidak membahayakan karena stabil, tetapi bila lumpur itu mengering, potensial redoks (Eh) meningkat dan pirit tidak lagi stabil. Pirit diubah menjadi asam sulfat oleh bakteri Thiobacillus thiooxidans.
Gambar 11. Peta distribusi spasial TSA pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo Kemasaman potensial sulfur (TSA) (Gambar 11) diperoleh dari kemasaman potensial total (TPA) dikurangi kemasaman aktual total (TAA). Kemasaman potensial total merupakan kemasaman tanah yang dapat berkembang dari oksida sulfida dalam tanah, yaitu jumlah maksimum kemasaman tanah yang dapat berkembang dari tanah tereduksi setelah tanah dioksidasi sempurna. Besarnya Kemasaman potensial total biasanya jauh melebihi dari kemasaman aktif (Hakim et al., 1986; Tan, 1982). Menurut Brady dalam Tan (1982) bahwa pada tanah liat yang mengandung bahan organik tinggi dapat mencapai 50.000 – 100.000 kali lebih besar dari kemasaman aktif. Kemasaman tanah dapat merubah populasi dan aktivitas jasad mikro yang berperanan dalam transformasi N, S, dan P dalam tanah. Kemasaman
1009
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
yang tinggi dari oksidasi sulfida dapat berpengaruh terhadap munculnya unsur-unsur yang beracun. Nilai pH (H2O) semakin rendah kelapisan bawah. Reaksi tanah (pH) dalam air menunjukkan jumlah H+ dalam larutan tanah. Peningkatan kemasaman tanah pada lapisan bawah karena pengangkutan bahan-bahan asam pada lapisan atas akibat dari gerakan air pasang surut dan digantikan oleh air yang tidak masam. Untuk lokasi non pasang surut peningkatan kemasaman diduga karena pencucian bahan-bahan asam ke lapisan bawah. Terjadinya penurunan pH setelah tanah dioksidasi sempurna menunjukkan bahwa di dalam tanah terdapat senyawa S yang dapat teroksidasi menghasilkan ion H+ dan SO42- yang mengakibatkan pH tanah turun, juga terdapatnya asam-asam organik. Sulfur merupakan bagian yang penting disamping besi-besi lainya dalam proses pembentukan pirit. Terbentuknya pirit (FeS2) menurut Breemen dan Pons (1982) adalah sebagai berikut : Fe2O3 (s) + 4 SO42(aq) + 8 CH2O + ½ O2 2 FeS2 (s) + 8 HCO3-(aq) + 4 H 2O Bila pirit ini mengalami peristiwa oksidasi maka kemasaman tanah akan meningkat, karena menghasilkan asam sulfat. Kandungan pirit ini merupakan ukuran bagi kemasaman potensial menurut reaksi (Konsten dan Sarwani, 1992) : FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2 SO42 + 4 H+ Semakin tinggi kandungan pirit dalam tanah, semakin banyak dihasilkan ion H+ yang menyebabkan kemasaman tanah. Menurut Konsten & Brinkman (1988) bahwa semakin tinggi kemasaman potensial total semakin tinggi pula kandungan pirit atau sulfida dalam tanah.
Gambar 12. Peta distribusi spasial S POS pada tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo SPOS merupakan nilai yang dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan kapur pada tanah tambak, dalam hal penentuan kebutuhan kapur hal yang paling penting diketahui adalah bobot volume tanah. Bobot volume tanah yang tinggi umumnya dijumpai pada tanah yang memiliki bahan organik yang rendah. Bahan organik adalah faktor utama yang mempengaruhi bobot volume tanah, terutama pada tanah yang tidak terganggu (Pitty, 1979). Terdapat hubungan yang sangat erat antara kandungan bahan organik dan bobot volume tanah pada tanah sulfat masam, dimana kandungan bahan organik tinggi, dijumpai tanah dengan bobot volume rendah (Mustafa, 2007). Hal lain yang dapat menentukan kebutuhan kapur yaitu nilai pHF-pHFOX dan pirit, semakin tinggi nilai tersebut maka kebutuhan kapur juga meningkat, jadi dapat dikatakan bahwa nilai SPOS berkaitan dengan nilai pHF-pHFOX dan pirit. KESIMPULAN Tekstur tanah tambak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo adalah kategori tanah lempung berpasir yang berpengaruh terhadap karakteristik kimia tanah tambak daerah tersebut. Rata-rata
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1010
tambak di daerah Kabupaten pohuwato tergolong tanah sulfat masam dengan karakteristik kimia tanah tambak tergolong memiliki variabilitas tinggi atau relatif heterogen dengan nilai koefisien variasi yang melebihi 36%. Karakteristik kimia tanah secara distribusi vertikal dari dua kedalaman yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nilai dari karakteristik kimia tanah yang diukur, disebabkan oleh adanya perlakukan yang menyebabkan nilai kedalaman 0-20 cm lebih tinggi daripada 0-50 cm. Karakteristik kimia tanah yang menunjukkan kemasaman tanah memiliki pola distribusi spasial yang relatif sama dan demikian juga halnya dengan karakteristik kimia tanah yang menunjukkan kandungan unsur hara tanah juga memiliki pola distribusi spasial yang relatif sama. Salah satu daerah di Kabupaten Pohuwato yang memiliki karakteristik kimia yang rata-rata bernilai tinggi adalah di Kecamatan Randangan. Pengelolaan tanah yang dilakukan di tambak Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo sebaiknya disesuaikan dengan karakteristik kimia tanah yang di peroleh, yang tergambar pada pola distribusi spasial dari masing-masing karakteristik kimia tanah, sehingga produktivitas tambak yang diharapkan dapat tercapai. DAFTAR ACUAN Ahern, C.R. & McElnea, A.E. 2004. Calculated sulfur parameters. In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. pp. B11-1-B11-2. Ahern, C.R., McElnea, A. and Baker, D.E. 1998a. Peroxide oxidation combined acidity and sulfate. In: Ahern, C.R., Blunden , B. and Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. pp. 4.1-4.17. Ahern, C.R., McElnea, A. and Baker, D.E. 1998b. Total oxidisable sulfur. In: Ahern, C.R., Blunden, B. and Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. pp. 5.1-5.7. Ahern, C.R. and Rayment, G.E. 1998. Codes for acid sulfate soils analytical methods. In: Ahern, C.R., Blunden , B. and Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. pp. 3.1-3.5. Akbarzadeh, A. and Taghizadeh-Mehrjardi, R. 2010. Spatial Distribution of Some Soil Properties, Using Geostatistical Methods in Khezrabad Region (Yazd) of Iran. ProEnvironment, 3: 100–109. Andriesse, W.M. dan M. Sukardi 1990. Survey Compound Introduction, Objection and Outline. Workshop on Acid Sulfate Soil in the Humid Tropics, Bogor. Indonesia. 20-22 November. p 10-17. Attanandana, T. And S. Vacharotayan, 1984. Rock phosphate utilization on acid sulphate soilof Thailand. Ecology and Management of Problem Soil inAsia. FFTC Book Series No. 27. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Fish Pound Culture. Elsevier Sci. Publication Co., Amsterdam Boyd, C.E. 1995. ottom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York. 348 pp. Boyd, C.E., Massaut, L. & Wedding, L.J. 1998. Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH International, 2(98): 27 – 33. Breemen, V.N, and L.J. Pons. 1982. Factors influencing the formation of poten tial acidity in tidal swamps. Proceeding of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils.International Institute for Land Reclamation and Improvement. Netherlands. Breemen N van. 1993. Environmental aspects of acid sulphate soils. Di dalam: Dent DK and van Mensvoort MEF. (ed). Selected Paper of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils; Vietnam, March 1992. hlm.391 -402 Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A Baseline for Research and Development. ILRI Publication 39. International Institute for Land Reclamation and Improvement, Wageningen. 204 pp. Direktorat Pembudidayaan, 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Udang. Program Intensifikasi Pembudidayaan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Kabupaten Pohuwato. 2010. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pohuwato Tahun 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pohuwato, Marisa, 47 hlm. Dong, X.W., Zhang, X.K., Bao, X.L. and Wang, J.K. 2009. Spatial distribution of soil nutrients after the
1011
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013
establishment of sand-fixing shrubs on sand dune. Plant Soil Environment, 55(7): 288–294 Eviati dan Sulaeman. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Petunjuk Teknis Edisi 2. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 234 hlm. Essington, M.E. 2004. Soil and Water Chemistry: An Integrative Approach. CRC Press, Boca Raton. 534 pp. Goh, K.J., Kee, K.K. and Chew, P.S. 1998. Soil fertility status of some common soils in Sabah, Malaysia. In: Aziz, B. and Husni, A.M.S. (eds.), Proceedings of the Soil Science Conference of Malaysia. Malaysian Society of Soil Society, Kuala Lumpur. pp. 1-16. Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, G.B. Hong Dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. hlm. 488. Hanhart, K. and D. V. Ni. 1992. Water Management of the rice field at Hoa An, Mekong Delta, Vietnam. Dalam D. L. Dent and M. E. F. Van Mesvoort (Ed). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI publ. No. 53. Wageningen, The Netherland. Hardjowigeno. S. 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik Untuk Keuntungan Ekonomi dan Kelestarian Bumi. Kreasi Wacana. Jakarta. Karthik, M., Suri, J., Saharan, N. and Biradar, R.S. 2005. Brackish Water Aquaculture Site Selection in Palghar Taluk, Thane district of Maharashtra, India, Using the Techniques of Remote Sensing and Geographical Information System. Aquacultural Engineering, 32: 285-302. Koch, B.P. 2005. Organic Matter Pathways in a Mangrove System in Northen Brazil – Chemical Tracers of Major Sources under the Influence of Sedimentation and Biological Degradation. Center for Tropical Marine Ecology, Bremen. 109 pp. Konsten, C.J.M., and R. Brinkman. 1988. A field laboratory method to determine total poten tial and actual acidity in acid sulphate soils. Dalam Selected Papers on The Dakar Symposium on Acid Sulphate Soil. International Institute for Land Reclamatio n and Improvement. Netherlands. Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1992. Actual and potential acidity and related chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Kalimantan. In Workshop on Acid Sulphate Soil in the Humid Tropic. Bogor. Indonesia. Kordi K, M. Ghufran H. (2010), Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya - Pintar Budidaya Ikan di Tambak Secara intensif. Lily publisher. Yogyakarta Kselik, R.A.L., Smilde, K.W., Ritzema, H.P., Subagyono, K., Saragih S., Damanik M., and Suwardjo, H. 1992. Integrated research on water management. soil fertility and cropping systems on acid sulphate soils in South Kalimantan. Indonesia. In: Dent. D.L. and van Mensvoort. M.E.F. (eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publication 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement. Wageningen. pp. 177-194. Law, W.M. and Tan, M.M. 1977. Chemical properties of some Peninsular Malaysian soil series. In: Proceedings of Chemistry and Fertility of Tropical Soils. Malaysian Society of Soil Society, Kuala Lumpur. pp. 180-191. McElnea, A.E. and Ahern, C.R. 2004a. KCl extractable pH (pHKCl) and titratable actual acidity (TAA). In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. pp. B2-1-B2-3. McElnea, A.E. and Ahern, C.R. 2004b. Peroxide pH (pHOX), titartable peroxide acidity (TPA) and excess acid neutralising capacity (ANCE). In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. pp. B3-1-B3-7. McElnea, A.E. and Ahern, C.R. 2004c. Sulfur-peroxide oxidation method. In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. pp. B7-1-B7-2. McElnea, A.E. and Ahern, C.R. 2004d. Sulfur 1M KCl extraction (SKCl). In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy,
Distribusi karakteristik kimia tanah tambak ... (Kamariah)
1012
Indooroopilly, Queensland, Australia. pp. B8-1-B8-2. Menon, R.G. 1973. Soil and Water Analysis: A Laboratory Manual for the Analysis of Soil and Water. Proyek Survey O.K.T. Sumatera Selatan, Palembang. 190 pp. Moriarty, D.J.W. 2010. Sulphide and phosphate problems in shrimp ponds. AQUA Culture Asia Pacific 6(5):42-45. Muir, J. F. and Kapetsky, J.M. 1988. Site selection decisions and project cost: the case of brackish water pond systems. In: Aquaculture Engineering Technologies for the Future. Hemisphere Publishing Corporation, New York. pp. 45-63. Mustafa, A. 2007. Improving Acid Sulfate Soils for Brackish Water Ponds in South Sulawesi, Indonesia. Ph.D. Thesis. The University of New South Wales, Sydney. 418 pp Mustafa, A. and Sammut, J. 2007. Effect of different remediation techniques and dosages of phosphorus fertilizer on soil quality and klekap production in acid sulfate soil-affected aquaculture ponds. Indonesian Aquaculture Journal, 2(2): 141-157. Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. 238 hlm. Patrick, W.H.Jr. and Delaune, R.D. 1977. Chemical and biological redox systems affecting nutrient availability in the coastal wetlands. Geoscience and Man, 18: 131 137. Pitty, A.F. 1979. Geography and Soil Properties. Methuen & Co. Ltd.,London. Rao, N. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Penerbit UI. Jakarta. Rossi, R.E., Mulla, D.J., Journel, A.G. and Franz, E.H. 1992. Geostatistical tools for modeling and interpreting ecological spatial dependence. Ecological Monographs, 62: 277–314. Salam, M.A., Ross, L.G. and Beveridge, C.M.M. 2003. A comparison of development opportunities for crab and shrimp aquaculture in southwestern Bangladesh, using GIS modeling. Aquaculture, 220: 477-494. Sammut, J. 1999. Amelioration and management of shrimp ponds in acid sulfate soils: key researchable issues. In: Smith, P.T. (ed.), Towards Sustainable Shrimp Culture in Thailand and the Region. ACIAR Proceedings No. 90. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra. pp. 102106. Sastrawijaya, Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan.Jakarta: PT. Rineka Cipta. Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan. Iptek Tanaman Pangan 2(1) :12 -25. Sulaeman, Suparto and Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Diedit oleh: Prasetyo, B.H., Santoso, D. & Widowati, L.R. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 136 hlm. Tan, K.H. 1982. Principle of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. Tood, D.K. 1980. Ground Water Hydrology. New York: John Wiley and Sons. Treece, G.D. 2000. Site selection. In: Stickney, R.R. (ed.), Encyclopedia of Aquaculture. John Wiley & Sons, Inc., New York. pp. 869-879. Tu, S.X., Guo,Z.F., and Chen, S.S. 1993. Transformation of applied phosphorus in a calcareous fluvisol. Pedosphere 3:277-283. Watling, K.M., C.R. Ahern and K.M. Hey. 2004. Acid sulfate soil field pH test. In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Departement of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. P. H1-1-H1-4. White, I., Melville, M.D., Wilson, B.P. and Sammut, J. 1997. Reducing acidic discharges from coastal wetlands in eastern Australia. Wetlands Ecology and Management 5: 55-72. Widjaja-Adhi, IPG. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(1) : 1-9 Zuo, X.A., Zhao, H.L., Zhao, X.Y., Zhang, T.H., Guo, Y.R., Wang, S.K. and Sam, D. 2008. Spatial pattern and heterogeneity of soil properties in sand dunes under grazing and restoration in Horqin Sandy Land, Northern China. Soil and Tillage Research, 99: 202–212.