1165
Karakteristik kualitas perairan tambak di Kabupaten Pontianak (Makmur)
KARAKTERISTIK KUALITAS PERAIRAN TAMBAK DI KABUPATEN PONTIANAK Makmur, Andi Indra Jaya Asaad, Utoyo, Akhmad Mustafa, Erfan Andi Hendrajat, dan Hasnawi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian mengenai kualitas perairan tambak telah dilakukan pada bulan Agustus 2009 di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Sebanyak 21 titik sampel telah ditentukan secara acak pada perairan tambak yang meliputi: tambak tradisional dan intensif. Parameter kualitas perairan yang diamati adalah suhu, konduktivitas, salinitas, kandungan oksigen terlarut, pH, NH3, NO2, NO3, PO4, dan Fe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perairan pada tambak tradisional menunjukkan kondisi yang kurang sesuai untuk kegiatan budidaya perikanan. Sedangkan untuk tambak intensif beberapa parameter kimia seperti kandungan N dan P menunjukkan nilai yang melebihi kisaran optimal pada perairan tambak.
KATA KUNCI:
kualitas perairan, tambak, Kabupaten Pontianak
PENDAHULUAN Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2° 08’ LU serta 3° 05’ LS serta di antara 108° 0’ BT dan 114° 10’ BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini maka, Daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0°) tepatnya di atas Kota Pontianak. Karena pengaruh letak ini pula, maka Kalimantan Barat adalah salah satu daerah tropik dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi. 1. 2. 3. 4.
Batas-batas Utara Selatan Timur Barat
wilayah selengkapnya Daerah Provinsi Kalimantan Barat adalah: : Sarawak (Malaysia) : Laut Jawa & Kalimantan Tengah : Kalimantan Timur : Laut Natuna dan Selat Karimata
Secara geografis, Kalimantan Barat memiliki potensi yang cukup bagus di bidang perikanan, baik perikanan laut maupun perairan umum. Jumlah rumah tangga perikanan pada tahun 2007 mengalami peningkatan, baik untuk perikanan laut, perairan umum maupun perikanan budidaya, di mana masingmasing meningkat sebesar 2,69%; 12,78%; dan 10,38% dibanding tahun 2006. Daerah pesisir di Kalimantan Barat yang mencakup Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, dan Kota Singkawang (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, 2008). Khususnya di Kabupaten Pontianak, terdapat aktivitas budidaya tambak yang dilakukan secara semi intensif–intensif. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pontianak, terdapat 10 perusahaan budidaya tambak intensif yang meliputi Kecamatan Mempawah Hilir, SEI Kunyit, SEI Pinyoh, dan Siantan Kabupaten Pontianak. Luas total tambak intensif kesepuluh perusahaan tersebut adalah 306,6 ha dan sekitar 90,5 ha yang dioperasikan. Komoditas yang dibudidayakan yaitu udang vaname dan beberapa di alokasikan untuk udang windu. Tulisan ini merupakan hasil survai lapangan mengenai karakteristik lingkungan perairan di Kabupaten Pontianak. Data dan informasi mengenai karakteristik ini akan bermanfaat sebagai basis data untuk menentukan pengolahan lahan dan komoditas target yang akan dibudidayakan sehingga dapat dilakukan efisiensi input akuakultur. BAHAN DAN METODE Survai ini telah dilakukan pada bulan Agustus 2009 dengan lokasi survai di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Sebanyak 21 titik pengamatan ditentukan secara acak pada kawasan tambak
1166
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
tradisional dan intensif. Seluruh titik pengamatan ditentukan titik koordinatnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Selain itu, dilakukan juga pengumpulan data sekunder untuk melihat keadaan umum dan keragaan perikanan budidaya di Kabupaten Pontianak. Pengukuran kualitas perairan meliputi pengukuran in situ dan ex situ. Secara in situ, parameter yang diukur adalah salinitas, pH, suhu, Total Dissolved Solid (TDS), dan kandungan oksigen terlarut. Sedangkan secara ex situ yaitu pengukuran parameter kimia perairan dilakukan di laboratorium kualitas air BRPBAP Maros. Alat dan metode pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1 (Sutrisyani & Rohani, 2006). Tabel 1. Parameter yang diamati Parameter Salinitas (ppt) pH Suhu (°C) TDS (g/L) Kandungan oksigen terlarut (mg/L) NH3 (mg/L) NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) PO4 (mg/L) Fe (mg/L)
Alat pengukur
Keterangan
YSI 650 MDS YSI 650 MDS YSI 650 MDS YSI 650 MDS
In situ In situ In situ In situ
YSI 650 MDS
In situ
Spektrofotometer (Metode Phonat) Spektrofotometer (Metode Kolorimeter) Spektrofotometer (Metode reduksi Cadmium) Spektrofotometer (Metode Asam Askorbat) Spektrofotometer (Metode Penantrolin)
Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ
Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melihat rentang nilai, pola rerata, dan standar deviasi setiap parameter. Nilai-nilai hasil analisis kemudian dibandingkan dengan nilai yang disyaratkan untuk kualitas air dan baku mutu air laut untuk biota laut serta untuk kegiatan budidaya air payau. HASIL DAN BAHASAN Kondisi Umum Kabupaten Pontianak Luas Kabupaten Pontianak sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Kubu Raya meliputi 5,62% dari total luas Provinsi Kalimantan Barat atau sekitar 8.262 ha. Kabupaten Pontianak merupakan salah satu Kabupaten pesisir di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna di sebelah barat. Namun dari total luasan area Kabupaten Pontianak, sekitar 85% atau seluas 7.300 ha merupakan daerah terendam. Berdasarkan jenis tanah permukaan, terdapat tiga jenis tanah yaitu OGH (2.061,63 ha), Aluvial (5.143,68 ha), dan PMK/Podsolet Merah Kuning (1.056,79 ha) (BPS Provinsi Kalbar, 2008). Identifikasi jenis tekstur tanah Kabupaten Pontianak telah dilakukan oleh BAPPEDA-BPN tahun 2004 dalam laporan hasil perhitungan peta tekstur skala 1:250.000. Jenis tekstur tanah Kabupaten Pontianak adalah halus, sedang, kasar, dan gambut (BPS Provinsi Kalbar, 2008). Dari kelas kelerengan, luasan Kabupaten Pontianak dapat dikelompokkan sebagai berikut: kelerengan <2% (6.801,67 ha); kelerengan 2%–15% (305,8 ha); kelerengan 15%–40% (1.146,13 ha) dan kelerengan >40% (8,5 ha). Dalam wilayah administratif Kabupaten Pontianak terdapat beberapa Pulau Besar yaitu Pulau Temajo (Kecamatan Sungai Kunyit), Pulau Panjang, Pulau Nyamuk, Pulau Sepuk Parupuk, Pulau Minyak, Pulau Karunia, Pulau Laut, Pulau Betangin Tengah, Pulau Butung (Kecamatan Siantan). Sungai yang melalui Kabupaten Pontianak adalah: Sungai Mendawak, Sungai Batu Ampar, Sungai Ambawang, Sungai Punggur, dan Sungai Kubu (BPS Provinsi Kalbar, 2008).
1167
Karakteristik kualitas perairan tambak di Kabupaten Pontianak (Makmur)
Keragaan Perikanan Budidaya Kabupaten Pontianak Perkembangan perikanan budidaya air payau di Kalimantan Barat pada tahun 2008 menunjukkan angka realisasi lebih besar dibandingkan target yang ditetapkan. Realisasi yang dicapai sekitar 100% dari target menunjukkan bahwa perikanan budidaya air payau memegang peranan penting dalam produksi perikanan budidaya setelah perikanan budidaya air tawar. Keragaan produksi dari sub sektor budidaya ini menunjukkan peningkatan signifikan (Gambar 1). Peningkatan Produksi Perikanan Ini diakibatkan meningkatnya produksi perikanan budidaya (DKP Kalimantan Barat, 2008). Hal ini merupakan upaya implementasi strategi kebijakan DKP Provinsi Kalimantan Barat tahun 2008–2013
8 7
Target (ton) Realisasi (ton)
6 5 4 3 2 1 0
Payau
Laut
Tawar
(Sumber: DKP Provinsi Kalimantan Barat, 2008 diolah)
Gambar 1. Perkembangan produksi perikanan budidaya per jenis usaha tahun 2008 bahwa salah satu poin strategi kebijakan di bidang budidaya yaitu: pengembangan perikanan budidaya melalui pengelola Kawasan Berbasis Budidaya. Pada Gambar 2 dapat dilihat keragaan produksi budidaya tambak pada 5 kabupaten/kota yang memiliki merupakan kawasan pesisir dari tahun 2002–2007. Secara umum produksi budidaya tambak bervariasi per tahun. Rata-rata produksi tertinggi terdapat di Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas. Namun dilihat dari trend peningkatan produksi secara gradual , Kabupaten Pontianak menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya dari tahun 2002–2006 dan terjadi penurunan pada tahun 2007. Berdasarkan BPS Provinsi Kalimantan Barat (2008), bahwa luas pemeliharaan perikanan budidaya pada tahun 2007 di Kabupaten Pontianak adalah sebesar 1.179,62 ha (luas kotor) dan 834,96 ha (luas bersih). Kualitas Perairan Sebanyak 21 stasiun pengamatan (titik sampling) kualitas air, dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu tambak tradisional dan tambak intensif (Gambar 3). Kelompok stasiun tambak tradisional (7 stasiun) merupakan area pertambakan yang dikelola oleh masyarakat secara tradisional. Termasuk dalam kelompok ini adalah tambak non aktif bekas tambak intensif. Selain itu, terdapat juga tambak tradisional yang dikelola oleh masyarakat dengan membuka lahan gambut. Kelompok stasiun tambak intensif (14 stasiun) meliputi area pertambakan yang dikelola secara intensif. Kualitas Air Tambak Tradisional Pada Tabel 2 dapat dilihat peubah kualitas air yang diukur pada tambak tradisional di Kabupaten Pontianak. Secara administratif, tambak-tambak tradisional terdapat di Kecamatan Segedong, Siantan,
1168
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
2002 2005
1200
2003 2006
2004 2007
1000
Ton
800 600 400 200 0 Kab. Pontianak
(Sumber:
Kota Kab. Sambas Singkawang
Kab. Ketapang
Kab. Bengkayang
Statistik Perikanan Kalimantan Barat, 2008 diolah)
Gambar 2. Keragaan produksi budidaya tambak tahun 2002–2007
Gambar 3. Stasiun Pengamatan: (atas) tambak tradisional; (bawah) tambak intensif dan SUI Pinyoh. Komoditas utama yang dibudidayakan di tambak tradisional adalah ikan bandeng. Sebanyak 7 stasiun pengamatan yang termasuk dalam kelompok ini. Secara umum kualitas air menunjukkan kualitas yang kurang menunjang untuk kegiatan budidaya. Hal ini dapat dilihat pada suhu perairan yang cukup tinggi yaitu 33,87°C ± 2,97 di mana nilai maksimum didapatkan 37,95°C. Berdasarkan Haliman et al . (2006), bahwa suhu optimal pertumbuhan udang antara 26°C–32°C. Suhu yang tinggi mengakibatkan metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut akan meningkat. Sementara rata-rata kandungan oksigen terlarut adalah 4,01±0,83 merupakan nilai minimum dalam suatu usaha budidaya. Secara empirik kandungan oksigen
1169
Karakteristik kualitas perairan tambak di Kabupaten Pontianak (Makmur) Tabel 2. Kualitas air tambak tradisional Peubah Suhu (°C) Konduktivitas TDS (g/L) Salinitas (‰) DO (mg/L) pH NH3 (mg/L) NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) PO4 (mg/L) Fe (mg/L)
Minimum
Maksimum
Rataan
Standar deviasi
30,25 23,48 15,27 14,10 2,58 7,48 0,09 0,01 0,01 0,07 0,000065
37,95 63,65 33,44 32,71 5,25 9,00 2,65 0,16 0,09 0,57 0,004
33,97 42,38 25,54 24,78 4,01 8,15 0,78 0,04 0,02 0,26 0,001
2,97 14,10 6,43 6,66 0,83 0,49 0,95 0,05 0,03 0,23 0,002
terlarut pada siang hari cenderung tinggi karena adanya proses fotosintesis fitoplankton, namun pada stasiun pengamatan di tambak tradisional menunjukkan nilai yang minimum. Hal ini dapat disebabkan karena pergantian air yang minim dilakukan di lokasi survai. Berdasarkan KepMen LH Nomor 51 tahun 2004 bahwa nilai Dissolved oxygen (DO) yang disyaratkan untuk biota laut adalah >5. Kandungan oksigen terlarut (Dissolved oxygen/DO) di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air dan proses biologi yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen. Selain itu, proses fisik juga mempengaruhi kecepatan oksigen memasuki dan terdistribusi dalam laut (Dahuri et al., 2001). Parameter pH menunjukkan kisaran yang cukup besar yaitu 7,48–9 (rerata 8,15 ± 0,49). Menurut Haliman et al. (2006), bahwa air tambak ideal memiliki pH antara 7,5–8,5. Menurut Effendi (2003), sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan memiliki preferensi 7–8,5. Berdasarkan nilai parameter nitrit (NO2) didapatkan rata-rata 0,04 mg/L ± 0,05. Nilai ini cukup tinggi untuk tambak sebagaimana yang disyaratkan oleh BBPBAP Jepara (2007) dan Haliman et al. (2006), bahwa kandungan nitrit direferensikan <0,1 mg/L. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/L dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/L (Canadian Council of Resource and Environment Ministers, 1987 dalam Effendi, 2003). Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Parameter Nitrat (NO3) menunjukkan nilai 0,02 mg/L ± 0,03. Nilai ini termasuk kategori normal karena nilai yang disyaratkan adalah <0,5 mg/L (BBPBAP Jepara, 2007), dan kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/L (Effendi, 2003). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003) dan berdasarkan baku mutu ammonia untuk biota laut: 0,3 mg/L (KepMen LH No. 51 tahun 2004). Nilai ammonia pada tambak tradisional menunjukkan rata-rata 0,78 mg/L ± 0,95. Nilai ini tergolong tinggi sekali untuk aktivitas budidaya. Nilai amonia untuk kegiatan budidaya udang disyaratkan <0,5 mg/L (BBPBAP Jepara, 2007). Nilai fosfat menunjukkan rata-rata 0,26 mg/L ± 0,23. Nilai ini tergolong tinggi dan menunjukkan bahwa perairan tersebut tergolong perairan eutrofik. Kisaran nilai fosfat yang termasuk kategori eutrofik adalah 0,031–0,1 mg/L (Vollenweider dalam Wetzel, 1975 dalam Effendi, 2003). Sedangkan Nilai Fe (0,001 mg/L ± 0,002) menunjukkan masih dibatas nilai yang direferensikan untuk budidaya udang yaitu <1 mg/L (Haliman et al., 2006). Kualitas Air Tambak Intensif Wilayah administratif tambak intensif di Kabupaten Pontianak terletak di Kecamatan Mempawah Hilir dan Mempawa Timur. Karakteristik umum budidaya tambak intensif di Kabupaten Pontianak yaitu penggunaan kincir, terdapat tandon air untuk meminimalkan lumpur, dan komoditas utama
1170
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
budidaya yaitu udang vaname serta terdapat penggunaan biofilter rumput laut dan tambak plastik khususnya di Kecamatan Mempawah Hilir. Sebanyak 14 stasiun pengamatan mewakili kelompok tambak intensif. Secara umum nilai kualitas air in situ pada tambak intensif masih mendukung kegiatan budidaya perairan (Tabel 3). Namun parameter kimia seperti nitrit, amonia, fosfat menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Tingginya unsur hara tersebut disebabkan oleh adanya input pakan secara berkala sehingga pakan yang tidak terkonsumsi akan menyebabkan kualitas air menurun karena penumpukan bahan organik yang dapat menyebabkan pertumbuhan plankton yang tinggi sehingga akibatnya terjadi persaingan oksigen. Hal ini dapat berakibat buruk terutama pada malam hari. Oleh karena itu, input teknologi berupa penggunaan kincir sangat diperlukan. Menurut Haliman et al. (2006), bahwa tambak seluas 0,25 ha membutuhkan 4–6 unit kincir air. Kincir air ini berfungsi sebagai penyuplai oksigen dan membuat arus untuk mengumpulkan kotoran di tengah tambak sehingga memudahkan proses penyiponan sebagai upaya pengurangan bahan organik. Tabel 3. Kualitas air tambak intensif Peubah Suhu (°C) Konduktivitas TDS (g/L) Salinitas (‰) DO (mg/L) pH NH3 (mg/L) NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) PO4 (mg/L) Fe (mg/L)
Minimum
Maksimum
Rataan
Standar deviasi
29,14 16,32 10,61 9,46 3,40 6,94 0,14 0,001 0,003 <0,0025 <0,0005
36,09 53,02 34,46 34,68 8,39 8,98 3,83 2,70 1,38 4,61 0,02
31,20 37,88 24,62 24,02 5,79 7,98 0,70 0,39 0,32 1,26 0,003
1,90 10,02 6,52 6,90 1,47 0,64 1,00 0,97 0,47 1,60 0,004
Tambak intensif di Kabupaten Pontianak sejauh ini membudidayakan komoditas udang vanname. Dari pengamatan umum didapatkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan tambak intensif adalah sedimentasi yang cukup tinggi di perairan pesisir dan sungai sehingga membutuhkan biaya operasional untuk pengerukan tandon yang dipenuhi oleh lumpur (Gambar 4). Selain itu, ancaman penyakit yang mengakibatkan risiko gagal panen.
Gambar 4. Tandon tambak intensif yang dipenuhi lumpur Mengacu pada permasalahan budidaya udang vaname di Jawa Timur, maka hal yang penting diperhatikan dalam kegiatan budidaya khususnya untuk budidaya udang vaname adalah: (1) kualitas benur udang vaname; (2) serangan penyakit Taura syndrome virus (TSV); (3) tidak resisten terhadap
1171
Karakteristik kualitas perairan tambak di Kabupaten Pontianak (Makmur)
White Spot Syndrom Virus (WSSV) dan Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV); (4) belum ada standarisasi teknologi pembudidayaan udang vaname; (5) harga produk yang masih labil, sementara biaya produksi masih tetap tinggi (Sudrajat et al., 2006) KESIMPULAN Karakteristik perairan tambak tradisional di Kabupaten Pontianak mengindikasikan kualitas perairan yang kurang mendukung kegiatan budidaya perikanan. Kondisi kandungan oksigen terlarut berada pada nilai minimum. Parameter nitrit, amoniak, dan fosfat juga menunjukkan nilai yang tidak sesuai untuk kegiatan budidaya perikanan. Kondisi perairan tambak intensif menunjukkan nilai yang cukup mendukung kegiatan budidaya walaupun beberapa parameter seperti nitrit, amoniak, dan fosfat menunjukkan nilai yang melebihi kisaran optimal pada perairan tambak. DAFTAR ACUAN Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. Kalimantan Barat Dalam Angka 2008. BPS Kalimantan Barat. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 2007. Penerapan Best management Practices (BMP) Pada Budidaya Udang Windu Intensif. Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, 68 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat. 2008. Statistik Perikanan Budidaya Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2007, 54 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat. 2009. Rencana Strategis Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun 2008–2013, 35 hlm. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 249 hlm. Haliman, Rubiyanto, W., & Dian, A.S. 2006. Udang Vannamei. Penerbit Swadaya. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut tahun 2004. Lobban, C.S., & Harrison, P.J. 1994. Seaweed Ecology and Physiologi. Cambridge University Press. USA. Sudrajat, A., Rusastra, I.W., Heruwati, E.S., & Priono, B. 2006. Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan Budi Daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, 181 hlm. Sutrisyani & Rohani, S. 2006. Panduan Praktis Analisis Kualitas Air Payau. Pusat Riset Perikanan Budidaya.