STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis) PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU
RISA WENTASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis ini yang berjudul : “Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe Vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau” merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan dari komisi pembimbing saya, kecuali yang dengan jelas ditujukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, November 2005 Risa Wentasari NIM A351020291
ABSTRAK RISA WENTASARI. 2005. Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir, Riau. Dibimbing oleh SUDRADJAT sebagai ketua komisi pembimbing dan SUDIRMAN YAHYA sebagai anggota komisi pembimbing. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis optimum pemupukan N, P, K, Mg, dan mengetahui serapan hara N, P, K, dan Mg oleh tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) pada lahan gambut Indragiri Hilir-Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan perkebunan kelapa sawit PT. Bumireksa Nusasejati, Teluk Bakau, Indragiri Hilir, Riau, pada bulan Maret 2004 sampai bulan April 2005. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang disusun secara faktorial dalam lingkungan acak kelompok terdiri dari 4 faktor. Faktor pertama adalah dosis pupuk nitrogen (N0= 0 g N, N1 = 5 g N, N2= 10 g N dan N3 = 20 g N/tanaman/bulan); faktor ke dua adalah dosis pupuk fosfat (P0 = 0 g P2O5, P1 = 4 g P2O5, P2 = 8 g P2O5, dan P3 = 16 g P2O5/tanaman/bulan); faktor ke tiga adalah dosis pupuk kalium (K0 = 0 g K2O, K1 = 7.5 g K2O, K2 = 15 g K2O, dan K3 = 30 g K2O/tanaman/bulan); dan faktor ke empat adalah dosis pupuk magnesium (Mg0 = 0 g MgO, Mg1 = 2.5 g MgO, Mg2 = 5 g MgO, dan Mg3 = 10 g MgO/tanaman/bulan). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan NPKMg lengkap dan faktor tunggal N, P, K, dan Mg terhadap parameter pengamatan diambil beberapa perlakuan yang kemudian dikelompokan menjadi 5 kelompok perlakuan terdiri dari (1) faktor NPKMg lengkap (N0P0K0Mg0, N1P1K1Mg1, N2P2K2Mg2, N3P3K3Mg3), (2) faktor tunggal N (N0P0K0Mg0 (N0), N1P0K0Mg0 (N1), N2P0K0Mg0 (N2), N3P0K0Mg0 (N3)), (3) faktor tunggal P (N0P0K0Mg0 (P0), N0P1K0Mg0 (P1), N0P2K0Mg0 (P2), N0P3K0Mg0 (P3)), (4) faktor tunggal K (N0P0K0Mg0 (K0), N0P0K1Mg0 (K1), N0P0K2Mg0 (K2), N0P0K3Mg0 (K3)), dan (5) faktor tunggal Mg (N0P0K0Mg0 (Mg0), N0P0K0Mg1 (Mg1), N0P0K0Mg2 (Mg2), N0P0K0Mg3 (Mg3)). Masing-masing kelompok disusun dengan mengunakan rancangan faktorial faktor tunggal dalam lingkungan acak kelompok yang terdiri dari 3 ulangan sehingga diperoleh 12 unit percobaan untuk masing-masing kelompok dan terdapat 60 total unit percobaan dalm penelitian ini. Dari hasil penelitian ini diperoleh dosis optimum N = 15.9 g N/tanaman/bulan, P =12.72 g P2O5/, K = 23.16 g K2O, dan Mg = 7.95 g MgO/tanaman/bulan. Pemberian NPKMg lengkap dan faktor tunggal N, P, K tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hara N, P, K, dan Mg tanah. Kadar hara N tertinggi dalam kulit pelepah pada perlakuan NPKMg lengkap adalah 2.12 %, sedangkan pada perlakuan faktor tunggal P adalah 1.59 %. Terdapat kolerasi nyata antara bobot kering tanaman dengan kadar hara N (%) baik pada perlakuan NPKMg lengkap dan faktor tunggal K.
© Hak cipta milik Risa Wentasari, tahun 2005 Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
STUDI PENENTUAN DOSIS OPTIMUM N, P, K, DAN Mg TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera chinensis) PADA LAHAN GAMBUT INDRAGIRI HILIR RIAU
RISA WENTASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis Nama NIM Program Studi
: Studi Penentuan Dosis Optimum N, P, K, dan Mg Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera chinensis) pada Lahan Gambut Indragiri Hilir Riau : Risa Wentasari : A351020291 : Agronomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sudradjat, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Satryias Ilyas, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 27 Oktober 2005
Tanggal Lulus:………………………
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Ir. Sudradjat, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Sudirman Yahya, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, saran dan bimbingannya sejak perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini diselesaikan;
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr yang telah bersedia sebagai penguji luar komisi yang memberikan saran dan masukannya;
3.
Bapak Presiden Direktur PT. Minamas Plantation dan Manager PT. Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau Estate serta staf dan karyawan atas bantuan dan perhatian yang diberikan selama penelitian ini dilaksanakan.
4.
Ayahnda Sutardi dan Ibunda Komiyati, Saudaraku Yudi Ernawanto, S.T. dan Neny Triana atas doa, dukungan, pengorbanan, dan kepercayaan yang tulus diberikan merupakan harta yang tidak ternilai bagi penulis;
5.
Catur Wasonowati, S.P. sebagai saudara dan teman seperjuangan, Ir. Iwan Sasli, M.Si., Lusiana Tatipata, S.P. M.Si., Astuti Kurnianingsih, S.P., M.Si., Ir. Ismail Maskromo, M.Si., Ir Amisnaipa, M.Si., Ir. Dwi Wasgito Purnomo, M.Si., Eries Dyah Mustikarini, S.P. M.Si., Aris Hairmansis, S.P. M.Si., Eko Setiawan, S.P. M.Si., Basrudin S.P. M.Si., Hesti Pujiwati, S.P. M.Si., Gulam M Sharon, Otto Sinaga, dan rekan-rekan Agronomi 2002 atas bantuan, saran dan dukungannya;
6.
Bapak Ir. Chusnul Nurtjahja, Ir. Bardansyah, Drs Mariudin Harahap, Tedy Lesmana, S.P., Parno S.P., Lastiur Sinaga, Ibu Suhaenah, dan saudaraku Suprayitno, Masdarona, Sumeri, Ika Setiowati, Very Yusdian, Sarpono, Tati Priani, atas doa, dukungan, dan keikhlasannya menerima penulis sebagai bagian dari keluarga mereka. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat dimanfaatkan bagi
berbagai pihak yang memerlukan. Bogor, November 2005 Risa Wentasari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mangunharjo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, pada tanggal 24 Agustus 1978, sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari Ayah
Sutardi
dan Ibu Komiyati. Pendidikan SD, SMP, dan SMA
diselesaikan penulis di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Pada tahun 1996 penulis diterima di Universitas Bengkulu (UNIB) melalui jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA), pada Program Studi Agronomi. Pendidikan Strata-1 diselesaikan pada tahun 2001. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Agronomi pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
.............................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................xii PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ................................................................................ Tujuan ................................................................................ Hipotesis ................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ Lidah Buaya ...................................................................................... Tanah Gambut ................................................................................... Hara pada Lahan Gambut dan Tanaman ............................................... Serapan Hara, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman..................................
4 4 6 8 14
BAHAN METODE ................................................................................... Bahan dan Alat ................................................................................... Waktu dan Tempat .......................................................................... Metode Penelitian ................................................................................ Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... Analisis Data ......................................................................................
18 18 18 18 20 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... Hasil ............................................................................................ Pembahasan ......................................................................................
23 23 54
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... Kesimpulan ...................................................................................... Saran ......................................................................................
59 59 59
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
60
LAMPIRAN
64
......................................................................................
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Standadrisasi Produk Pelepah Lidah Buaya ...............................
5
2.
Dosis Perlakuan N, P, K, dan Mg
.............................................
19
3.
Metode Analisis Hara Tanaman dan Tanah ...............................
22
4.
Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Basah Total Tanaman, Pelepah Total, Akar dan Batang...................................................
25
5.
Pengaruh Perlakuan NPKMg terhadap Bobot Basah Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .................................................
26
6.
Persamaan Regresi Pengaruh NPKMg untuk Parameter Bobot Basah Pelepah ke-4, 7, 11, dan 12 .............................................
27
7.
Pengaruh Perlakuan N terhadap Bobot Basah Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
27
8.
Persamaan Regresi Pengaruh N untuk Peubah Bobot Basah Pelepah Ke-7, 8, 9, 10, dan 11 .............................................
28
9.
Pengaruh Perlakuan P terhadap Bobot Basah Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
28
10. Persamaan Regresi Pengaruh P untuk Peubah Bobot Basah Pelepah ke-6 dan 7 .............................................
29
11. Pengaruh Perlakuan K terhadap Bobot Basah Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
29
12. Persamaan Regresi Pengaruh K untuk Peubah Bobot Basah Pelepah ke-9 dan 10 .............................................
30
13. Koefisien Kolerasi antara Bobot Basah Setiap Pelepah dengan Bobot Basah Total dan Pelepah Total ..........................................
30
14. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Kering Total Tanaman, Pelepah Total, Akar dan Batang .............................................
31
15. Pengaruh Perlakuan NPKMg terhadap Bobot Kering Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
32
16. Persamaan Regresi Pengaruh NPKMg terhadap Peubah Bobot Kering Pelepah ke-4, 7, 11, dan 12 .............................................
33
17. Pengaruh Perlakuan N terhadap Bobot Kering Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
33
18. Persamaan Regresi Pengaruh N terhadap Peubah Bobot Kering Pelepah ke-7, 8, 9, 10, dan 11 .............................................
34
19. Pengaruh Perlakuan P terhadap Bobot Basah Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
34
20. Persamaan Regresi Pengaruh P terhadap Peubah Bobot Kering Pelepah ke- 6 dan 7 .............................................
34
21. Pengaruh Perlakuan K terhadap Bobot Kering Pelepah pada Kedudukan ke-4 sampai 12 .............................................
35
22. Persamaan Regresi Pengaruh K terhadap Peubuh Bobot Kering Pelepah ke-9 dan 10 .............................................
35
23. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hara Tanah .........................
36
24. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hara N, P, K, dan Mg Kulit Pelepah ke-9 .............................................
38
25. Koefisien Kolerasi antara Kadar Hara N Kulit pelepah Ke-9 dengan Bobot Kering Pelepah ke-942..........................................
41
26. Koefisien Kolerasi antara Kadar Hara K Kulit pelepah Ke-9 dengan Bobot Kering Pelepah ke-9 ............................................
43
27. Hasil Analisis Kadar Hara N Kulit Pelepah Daun ke-4 sampai 12 ....................................................................................
44
28. Hasil Analisis Kadar Hara P Kulit Pelepah Daun Ke-4 sampai 12 ....................................................................................
45
29. Hasil Analisis Kadar Hara K Kulit Pelepah Daun Ke-4 sampai 12
46
30. Hasil Analisis Kadar Hara Mg Kulit Pelepah Daun ke-4 sampai 12 ....................................................................................
47
31. Hasil Analisis Kadar Hara N, P, K, dan Mg Akar Tanaman .........
48
32. Hasil Analisis Kadar Hara N, P, K, dan Mg Batang Tanaman......................................................................................
50
33. Pengaruh Perlakuan terhadap Serapan Hara N, P, K, dan Mg Pelepah Daun ke-9 ................................................................
51
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kondisi Lahan Sebelum dan Sesudah Pengolahan ...................................23
2.
Perbedaan Pelepah Lidah Buaya dengan Berbagai Perlakuan NPKMg.....24
3.
Respon Kadar Hara P (ppm) Tanah terhadap Perlakuan Mg.....................37
4.
Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan NPKMg………………..
5.
Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan N.....................................40
6.
Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan P………………………..
7.
Respon Kadar Hara N (%) terhadap Perlakuan K.....................................41
8.
Kurva Regresi antara Kadar Hara N dan Bobot Kering Pelepah pada Perlakuan NPKMg ..................................................................................42
9.
Kurva Regresi antara Kadar Hara N dan Bobot Kering Pelepah pada Perlakuan K……………………………………………………………..
39 40
..42
10. Respon Kadar Hara K terhadap Perlakuan NPKMg………………
43
11. Respon Serapan Hara K (g) Pelepah terhadap Pemberian Perlakuan NPKMg…………………………………………………………………. .
52
12. Respon Serapan Hara N (g) Pelepah terhadap Pemberian Perlakuan .......52 13. Respon Serapan Hara Mg Pelepah (g) terhadap Perlakuan K ...................53
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Hasil Analisis Tanah Awal dan Akhir .......................................
64
2.
Hasil Analisis Pupuk Abu Janjang, Rock Phosphate, dan Dolomit
65
3.
Data Curah Hujan dari Bulan Maret 2004 sampai Maret 2005 ............................................................................................
65
4.
Pengaruh Perlakuan NPKMg Lengkap terhadap Bobot Basah Masing-Masing Pelepah .................................................................
66
5.
Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal N terhadap Bobot Basah Masing-Masing Pelepah .................................................................... 67
6.
Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal P terhadap Bobot Basah Masing-Masing Pelepah .............................................................. 68
7.
Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal K terhadap Bobot Basah Masing-Masing Pelepah .............................................................. 69
8.
Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal Mg terhadap Bobot Basah Masing-Masing Pelepah .............................................................. 70
9.
Pengaruh Perlakuan NPKMg Lengkap terhadap Bobot Kering Masing-Masing Pelepah .............................................................. 71
10. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal N terhadap Bobot Kering Masing-Masing Pelepah .............................................................. 72 11. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal P terhadap Bobot Kering Masing-Masing Pelepah .............................................................. 73 12. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal K terhadap Bobot Kering Masing-Masing Pelepah .............................................................. 74 13. Pengaruh Perlakuan Faktor Tunggal Mg terhadap Bobot Kering Masing-Masing Pelepah .............................................................. 75 14. Sidik Ragam Bobot Basah Pelepah ..............................................
76
15. Sidik Ragam Bobot Basah Pelepah Total dan Bobot Basah Total Tanaman...................................................................................... 78 16. Sidik Ragam Bobot Basah Akar dan Bobot Basah Batang ...........
79
17. Sidik Ragam Bobot Kering Pelepah.............................................
79
18. Sidik Ragam Bobot Kering Total dan Bobot Kering Total Tanaman
82
19. Sidik Ragam Bobot Kering Akar dan Bobot Kering Batang.........
82
20. Sidik Ragam Kadar Hara N, P, K, dan Mg Kulit Pelepah ke
........ 83
21. Sidik Ragam Kadar Hara N, P, K, dan Mg Tanah………………… 22. Sidik Ragam Serapan Hara N, P, K, dan Mg Pelepah Ke-9………
84 85
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada awalnya tanaman lidah buaya hanya dikenal masyarakat luas sebagai tanaman hias. Akan tetapi pada perkembangannya tanaman ini merupakan tanaman yang memiliki prospek ekonomi yang tinggi. Tanaman ini merupakan salah satu bahan baku industri, utamanya dalam industri komestik dan farmasi (Vicar 1994). Hal ini disebabkan tanaman lidah buaya kaya akan kandungan senyawa kimia nabati, antara lain: anthraquinon, polisakarida, dan prostagladin. Selain itu juga memiliki kandungan vitamin yang meliputi vitamin B1, B2, B6, C, dan E, asam folat, kolin dan betakaroten, serta kandungan mineral yang meliputi kalsium, natrium, mangan, seng, tembaga, dan kromium. Lidah buaya menghendaki tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan tumbuh baik pada daerah gambut yang memiliki pH rendah. Budi daya lidah buaya pada lahan gambut sudah lama diusahakan di kota Pontianak, Kalimantan Barat dan daerah ini merupakan salah satu sentra produksi lidah buaya Indonesia. Budidaya lidah buaya pada daerah ini mampu menghasilkan 8 000 kg/ha/ bulan dengan rata-rata bobot pelepah sekitar 1.5 kg dan panjang 70 cm. Realisasi ekspor lidah buaya Pontianak sampai 2004 mencapai 47 ton dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong, dan Singapura serta sebagian dipasarkan di dalam negeri (Dinas Urusan Pangan Pontianak 2004). Sehubungan dengan tingginya produksi lidah buaya pada lahan gambut dan peluang pasar yang ada, pengembangan lidah buaya pada lahan gambut memiliki propek yang menjanjikan. Hal ini didukung pula oleh luasan lahan gambut Indonesia sekitar 20 sampai 27 juta hektar dari 34 juta hektar total gambut di seluruh wilayah Asia (Setiadi 1999). Meskipun demikian usaha pemanfaatan lahan gambut memerlukan upaya perbaikan drainase, tingkat kesuburan tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah lainnya baik sifat fisik, biologi, kimia maupun hidrologi. Pada kondisi alami tanaman sulit tumbuh pada tanah gambut, dengan demikian diperlukan pengelolaan yang tepat apabila akan diusahakan sebagai
lahan pertanian. Kendala tersebut meliputi ketebalan dan taraf dekomposisi gambut, status hara makro dan mikro yang rendah, kemasaman tanah dan kandungan asam-asam organik yang tinggi, dan pengaturan tata air. Selain sifatsifat tersebut, reaksi tanah masam sampai sangat masam dengan KTK tinggi, kejenuhan basa (KB) yang rendah merupakan kendala utama. Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju dan penyediaan hara yang memadai bagi tanaman terutama basa-basa seperti K, Ca, dan Mg. Selain itu juga ketersediaan hara makro dan mikro juga rendah seperti N, P, K, Ca, dan Cu (Radjagukguk 1990). Secara umum kejenuhan basa gambut harus mencapai 30% agar tanaman dapat menyerap basa-basa yang diperlukan (Soepardi dan Surowinoto 1982). Upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan gambut bagi pertumbuhan tanaman adalah dengan melakukan pengolahan tanah, pemampatan atau pemadatan tanah, dan pemberian bahan amelioran. Bahan amelioran yang dapat digunakan, antara lain, kapur, pupuk kandang, dan abu sawmill dan berbagai sumber pupuk fosfat alam serta pemberian pupuk makro (N dan K) dan pupuk mikro seperti Cu, Fe, dan Zn (Irawan 1999). Hasil penelitian Tatipata (2005) menunjukkan bahwa pemberian pupuk mikro Fe, Mn, Zn, dan Cu dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya dan faktor pembatas pada produksi lidah buaya lahan gambut adalah Cu yang ditunjukkan dengan penurunan bobot basah pelepah sekitar 36.6% bila tanpa pemberian Cu. Pemberian abu tanah gambut, pengapuran, pencampuran bahan gambut dengan tanah mineral, dan pemupukan dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan gambut. Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan tanaman karena adanya tambahan hara dari abu, tetapi memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut tersebut (Ismunadji dan Soepardi 1984). Dari penelitian Kurnianingsih (2004) diketahui bahwa dosis optimum abu janjang kelapa sawit untuk tanaman lidah buaya pada lahan gambut sebesar 98 g menghasilkan bobot basah optimum 543 g pada minggu ke-32 setelah tanam. Unsur hara N, P, K, dan Mg merupakan unsur hara esensial bagi tanaman, yang ketersediaannya harus cukup untuk mendapatkan hasil yang optimum. Pada umumnya kemampuan tanah untuk menyuplai hara sangat terbatas terutama pada
lahan gambut. Upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan pemberian hara melalui pemupukan. Pemberian pupuk yang tepat akan memberikan respons pertumbuhan yang baik dan juga akan memberikan hasil yang optimum. Pemupukan pada lahan gambut, terutama untuk budi daya tanaman lidah buaya pada lahan yang baru dibuka, belum banyak diteliti. Oleh karena itu, diperlukan suatu studi mengenai penetapan dosis optimum berbagai unsur hara untuk tanaman lidah buaya pada tanah gambut.
Tujuan Penelitian ini bertujuan: 1
Menentukan dosis optimum pemupukan N, P, K, dan Mg pada tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) di lahan gambut Indragiri Hilir, Riau
2
Mengetahui serapan hara tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) pada lahan gambut di Indragiri Hilir, Riau. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Pemberian N, P, K, dan Mg dapat meningkatkan ketersediaan hara pada tanaman lidah buaya,
2.
Peningkatan ketersediaan N, P, K, dan Mg bagi tanaman dapat meningkatkan serapan hara tanaman lidah buaya,
TINJAUAN PUSTAKA Lidah Buaya Tanaman lidah buaya (Aloe vera L.) termasuk dalam famili Liliacea. Lidah buaya yang ditanam di Indonesia khususnya di Pontianak termasuk kategori Aloe vera chinensis Baker. Tanaman ini berdaun tebal dan banyak mengandung air dengan duri-duri lunak pada tepi daun serta tersusun secara roset. Tanaman ini memiliki bunga merah dan perakaran yang tipis (Aguilar dan Brink 1999). Tanaman Lidah buaya dapat tumbuh pada ketinggian 0-1 500 m dpl dengan kisaran suhu 16-33 oC dengan curah hujan tahunan 1 000 - 3 000 mm/tahun (Briggs dan Calvin 1987). Tanah dengan drainase baik dan memiliki kadar bahan organik tinggi disukai oleh tanaman ini. Selain itu juga tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah gambut yang memiliki pH rendah. Lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air karena dari segi fisiologis tumbuhan tanaman ini termasuk jenis CAM (Crassulacea Acid Metabolism) dengan sifat tahan kekeringan (Furnawanthi 2002). Tanaman jenis ini memiliki mekanisme fiksasi CO2 pada malam hari dan berfotosintetis pada siang dengan stomata tertutup, sehingga dapat mengurangi kehilangan air lewat penguapan (Gardner et al. 1991). Hal ini juga didukung dengan bentuk daunnya yang sekulen dan memiliki lapisan kutikula yang tebal sehingga dapat mengurangi penguapan lewat daun (Aguilar dan Brink 1999). Perlakuan frekuensi penyiraman tanaman lidah buaya menunjukkan bahwa frekuensi penyiraman 1 kali seminggu cenderung lebih efisien yang ditunjukkan oleh hasil bobot basah tertinggi 243 g pada 16 minggu setelah tanam dibandingkan dengan frekuensi penyiraman 2 kali dan 3 kali seminggu berturut-turut menghasilkan bobot basah 199 g dan 230 g (Aminah 2003). Komposisi terbesar tanaman lidah buaya adalah air (99.5%) akan tetapi tanaman ini juga kaya akan lemak, karbohidrat, protein, vitamin A dan C serta asam amino. Lidah buaya mengandung mineral berupa Ca (458 ppm), P (20.10 ppm), Fe (1.18 ppm), Mg (60.80 ppm), Mn (1.04 ppm), K (797 ppm), Na (84.4 ppm) dan Cu (0.11 ppm) (Furnawanthi 2002). Bagian tanaman lidah buaya yang
memiliki nilai ekonomis adalah pelepah daunnya. Pelepah daun lidah buaya dikatakan berkualitas baik harus memiliki kriteria tertentu (Tabel 1). Tabel 1. Standarisasi Produk Pelepah Lidah Buaya Spesifikasi
Satuan
Mutu 1
Mutu II
Mutu III
kg
> 1.3
0.9-1.2
0.5-0.9
Warna daun
-
100 % Seragam Hijau Segar
< 25 % Seragam Hijau Segar
< 75 % Seragam Hijau Segar
Panjang daun
cm
> 50
40-50
<50
Pelepah cacat dan busuk
%
0
0
0
Berat pelepah segar
Sumber: Dinas Urusan Pangan Pontianak 2002. Untuk menghasilkan pelepah yang bermutu baik diperlukan pemeliharaan tanaman secara intensif, pemupukan merupakan salah satu kegiatan yang penting agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Sebenarnya belum ada rekomendasi pemupukan yang tepat untuk tanaman lidah buaya. Pada budidaya lidah buaya yang dilakukan oleh petani Pontianak, pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk organik maupun anorganik yang dilakukan secara kontinyu berdasarkan umur tanaman. Pemupukan dasar diberikan 3-4 hari sebelum tanam, dengan dosis 200 g pupuk kandang/tanaman, 20 g Urea/tanaman, 10 g SP 36/tanaman, 25 g abu bakaran/ tanaman dan 25 g kulit udang/tanaman. Pemupukan susulan tahun pertama diberikan 2 bulan sekali dimulai pada 1.5 sampai 2 bulan setelah tanam dengan dosis 20 g Urea/tanaman, 10 g TSP/tanaman, dan 10 g KCl/tanaman, sedangkan pupuk kandang, abu bakaran dan kulit udang diberikan setiap 6 bulan sekali, dengan dosis 250 sampai 300 g pupuk kandang/tanaman, 30-50 g abu bakaran/tanaman dan 25-40 g kulit udang/tanaman (Dinas Urusan Pangan Pontianak 2002). Hasil penelitian Supriyadi (2001) menunjukkan bahwa dosis pupuk optimum untuk tanaman lidah buaya adalah 50 g Urea/tanaman, 18 g SP 36/tanaman dan 20 g KCl/tanaman. Aminah (2003) melaporkan bahwa dosis pupuk kandang optimum adalah 3.3 kg/tanaman yang ditunjukkan dengan lebar
pelepah terlebar pada semua perlakuan pemberian dosis pupuk kandang pada tanaman lidah buaya. Dari hasil penelitian Gintings (2003) diperoleh dosis optimum kalium 17.9 g KCl/tanaman yang dapat menghasilkan bobot optimum 429 g pada umur 5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian pemberian abu janjang kelapa sawit pada tanaman lidah buaya di lahan gambut Indragiri Hilir diperoleh dosis optimum abu janjang kelapa sawit adalah 97.9 g per tanaman (Kurnianingsih 2004). Pemberian hara mikro Fe, Mn, Zn, dan Cu pada tanaman lidah buaya dapat meningkatkan panjang pelepah lidah buaya dan hara Cu merupakan faktor pembatas pertumbuhan lidah buaya ditunjukkan dengan penurunan bobot basah pelepah sebesar 36.3% (Tatipata 2005) Tanah Gambut Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerobik. Hal ini bisa terjadi karena pembentukan gambut pada umumnya terjadi pada daerah cekungan dengan genangan air. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya akumulasi bahan organik dengan kondisi anaerob. Laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dari pada proses dekomposisinya karena kondisi anaerob dapat menghambat oksidasi bahan organik oleh mikro organisme. Penguraian bahan organik hanya dapat dilakukan oleh bakteri anaerob, cendawan, dan ganggang (Hakim et al. 1989). Istilah gambut sendiri berasal dari salah satu nama kecamatan (kecamatan Gambut) di daerah Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah organik banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar (Sabiham 1996). Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia, yang sebagian besar terletak di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia
gambut
tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, akan tetapi tidak seluruh lahan gambut ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, hanya sekitar 5,6 juta hektar lahan gambut yang dapat dikembangkan (Subagyo et al. 1996). Gambut tropika umumnya memiliki kebasaan yang tinggi karena umumnya berada di dataran rendah sekitar lembah sungai dengan iklim
bercurah hujan tinggi. Gambut tropika juga memiliki sifat kering tidak balik (irreversible drying). Dalam pengelolaan lahan gambut perlu memperhatikan sifat-sifat gambut dengan sistem tata air untuk menjaga keseimbangan muka air sampai pada batas kritis. (Sumotarto 1998). Berdasarkan sifat meneralisasinya atau dekomposisinya gambut dibagi atas tiga kategori yaitu : (1) fibrik adalah tanah gambut yang masih bersifat mentah, (2) hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami dekomposisi dan bersifat separuh matang, (3) saprik adalah tanah gambut dengan tingkat dekomposisi
lanjut
dan
bersifat
matang
sampai
sangat
matang
(Notohadiprawiro 1998) Tanah gambut yang memiliki ketebalan tinggi (lebih dari 3 m) umumnya tidak subur karena vegetasi pembentuknya terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara yaitu tanaman dan pepohonan dengan kadar kayu tinggi yang memiliki sifat sulit terdekomposisi. Sifat kimia tanah gambut sangat beragam dari yang subur sampai yang sangat miskin. Berdasarkan kesuburannya gambut dibagi atas dua kategori yaitu ombrogenous dan topogenous. Topogenous lebih dapat dimanfaatkan bagi pertanian karena gambut topogenous mengandung relatif banyak unsur hara (Rismunandar 2001). Tanah gambut umumnya mempunyai kadar abu yang sangat rendah, dimana kadar abu dalam gambut merupakan gambaran kesuburan tanah gambut. Semakin tinggi kadar abu maka semakin subur gambut tersebut. Kadar abu gambut daerah tropika sekitar 1%. Kadar abu yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya kadar mineral yang berbeda. Semakin tinggi kadar abu akan semakin mempengaruhi kadar P2O5 dan K2O (Hardjowigeno 1996). Tanah gambut tropik pada umumnya memiliki lignin 60%, sedangkan komponen lain seperti selulosa, hemiselulosa dan protein umumnya 11%, hal ini karena bahan dasar gambut tropik adalah kayu-kayuan. Tanah gambut memiliki kadar hara relatif lebih rendah, baik unsur mikro dan makro, jika dibandingkan dengan tanah mineral. Umumnya kadar hara dalam gambut lebih rendah pada bagian bawah dibandingkan lapisan atas, karena sebagian besar unsur tersebut terlibat dalam daur hara dan kebanyakan tersimpan dalam vegetasi setempat (Driessen 1978).
Tanaman pada umumnya sulit tumbuh pada kondisi alami tanah gambut. Tanah gambut memiliki reaksi masam sampai sangat masam dengan KTK yang tinggi, dan kejenuhan basa yang rendah. Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju dan penyediaan hara yang memadai bagi tanaman terutama basa-basa K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Secara umum kejenuhan basa gambut harus mencapai
30% agar tanaman dapat menyerap basa-basa yang
dibutuhkan (Soepardi dan Surowinoto 1982). Kadar bahan organik gambut menyebabkan hara mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah tersedia (Stevenson 1982). Tingkat kesuburan gambut dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut yang ditentukan oleh sifat, bahan penyusun, dan tingkat dekomposisinya, semakin tinggi tingkat kematangan gambut akan semakin baik sifat fisik kimia tanahnya (Hardjowigeno 1996). Berdasarkan karakteristiknya tanah gambut kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, maka diperlukan pengelolaan yang tepat untuk meningkatkan potensi gambut (Driessen dan Soepraptohardjo 1974). Banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan gambut bagi pertumbuhan tanaman dan bertujuan menambah hara ke dalam tanah untuk persediaan hara bagi tanaman. Upaya tersebut meliputi pemberian abu tanah gambut, pengapuran, pencampuran bahan gambut dengan tanah mineral dan pemupukan. Pemberian abu bakaran tanah gambut memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan tanaman kerena adanya tambahan hara dari abu, tetapi memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanah gambut tersebut (Ismunadji dan Soepardi 1984).
Hara pada Lahan Gambut dan Tanaman Nitrogen Kadar Nitrogen (N) pada tanah gambut berkisar 2 000 dan 4 000 kg N/ha pada lapisan 0 – 20 cm, dimana ketersediaannya bagi tanaman kurang dari 3 % dan selebihnya terdapat sebagai bahan organik yang komplek. Nisbah C
dan N pada umumnya lebar, maka N yang ada dalam tanah gambut kurang tersedia (Driessen 1978).
Nitrogen tanah dalam kompleks organik dapat
tersedia bagi tanaman apabila sudah diubah bentuk menjadi N anorganik melalui proses mineralisasi yang meliputi tiga proses yaitu aminasi, amonifikasi dan nitrifikasi (Stevenson 1982; Tisdale et al. 1985). Hasil penelitian Nasoetion, Sudarsono, dan Soepardi (1977) pada tanah gambut Delta Upang dengan menggunakan 100 sampai 400 ppm N, setelah 4 minggu jumlah NH4+ terfiksasi berkisar antara 28 sampai 76%. Fiksasi tertinggi terjadi pada dosis 100 ppm N, dan menurun pada dosis yang lebih tinggi. Berdasarkan fungsinya nitrogen termasuk ke dalam unsur yang berperan dalam penyimpanan energi dan transfer energi. Unsur N dalam tanaman banyak berperan dalam pembentukan dan pembelahan sel, sehingga unsur ini banyak ditemui pada bagian-bagian vegetatif tanaman (Gardner et al. 1991). Nitrogen dalam tanaman merupakan senyawa penyusun asam amino, asam nukleat dan purin, di dalam tanaman nitrogen dalam bentuk anorganik terakumulasi dalam bentuk nitrat (NO3-) dan nitrogen organik banyak ditemui dalam molekul protein (Jones et al. 1991). Kadar nitrogen dalam tanaman rata-rata berkisar antara 2-4% dan bisa mencapai 6% dari bobot kering jaringan (Gardner et al. 1991). Nitrogen dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk bentuk ion nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+) yang kemudian diubah menjadi bentuk reduksi menjadi NH2- (Bennet 1994). Nitrogen merupakan hara yang mudah bergerak dalam tanaman, unsur N bergerak dari daun tua ke daun-daun yang lebih muda sehingga kadar N terbesar dalam tanaman terdapat pada daun-daun muda (Gardner et al. 1991). Kadar N total dalam jaringan tanaman akan menurun dengan meningkatnya umur jaringan tersebut (Jones et al. 1991). Kekurangan nitrogen banyak ditemui pada daun-daun tua dibandingkan pada daun yang lebih muda. Gejala awal defisiensi ditandai dengan daun yang menguning dan klorosis karena terjadi penghambatan sintetis klorofil (Salisbury dan Ross 1992). Kekurangan nitrogen dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman, gejala yang ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang kerdil dan menguning. Pada tanaman buah-buahan kadar N rendah dapat menyebabkan penurunan hasil panen baik secara kualitas dan kuantitas. (Gardner et al. 1991) Kelebihan akan hara ini juga dapat berdampak negatif
bagi
pertumbuhan dan hasil tanaman, gejala yang ditunjukkan adalah daun yang berwarna hijau tua dan sukulen serta rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Jones et al. 1991). Pertumbuhan tanaman pada kondisi N berlebihan menyebabkan tanaman menjadi kerdil. Hasil tanaman juga dipengaruhi oleh kondisi kelebihan unsur hara ini, misalnya pada kentang dapat menyebabkan ukuran umbi yang kecil dan dapat mengakibatkan buah tanaman tomat pecah pada saat matang, serta terjadi hambatan pada fese pembungaan dan pembentukan biji (Salisbury dan Ross 1992). Masitah (2003), melaporkan bahwa pemberian nitrogen 15 g/tanaman pada tanaman lidah buaya memberikan hasil bobot basah tanaman tertinggi dan terjadi penurunan bobot basah pada taraf nitrogen yang lebih tinggi.
Fosfor Secara umum P pada tanah organik terdapat dalam bentuk senyawa fosfor organik, jumlahnya kurang lebih 75%. Bentuk P-anorganik dalam tanah berikatan kuat dengan besi, kalsium, dan alumunium (Tisdale et al. 1985). Dari ketiga bentuk ikatan tersebut yang penting adalah P-anorganik yang berikatan dengan kalsium, terutama dalam mono dan di-kalsium fosfat dimana bentuk ini yang paling tersedia bagi tanaman (Buckman dan Brady 1980). Dalam tanah sebagian besar P-organik dijumpai dalam bentuk fitin, asam nukleat, dan asam fosfolipid. Ketiga P-organik tersebut merupakan 40-50% P-organik dalam tanah. Bentuk fitin merupakan bentuk yang dapat diserap langsung oleh tanaman (Tisdale et al. 1985) namun pada pH rendah fitin dapat tidak tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Fe dan Al menjadi Fe dan Al fitat yang sukar larut. Ketersediaan hara bagi tanaman banyak dipengaruhi
oleh pH tanaman, pada pH rendah P banyak diikat oleh Fe dan Al sedangkan pH terlalu tinggi P diikat oleh Ca, pH ideal bagi ketersediaan hara P adalah 6 sampai 7 (Hakim et al 1989). Kadar P dikatakan rendah pada tanaman bila kadarnya lebih kecil dari 60 kg /ha. Kadar P pada gambut lapis atas Riau berkisar antara 0,06-0,36% setara dengan 13 sampai 17,8 kg/ha (Suharjo dan Widjaja-Adhi 1976) Fosfor berdasarkan fungsinya tegolong dalam hara yang berperan dalam penyusun dan transfer energi (Gardner et al. 1991). Hal ini disebabkan oleh fungsi P yang merupakan komponen dari ATP (Adenin Triphosphat) dan ADP (Adenosin Diphosphat) yang banyak berperan dalam banyak reaksi transfer energi (Salisbury dan Ross 1992). Di dalam tanaman P merupakan komponen pembentukan enzim dan protein seperti : ATP dan ADP yang berperan dalam transfer energi, DNA (Dioxyribulonukleotida Acid) dan RNA (Ribolusa nucleotide Acid) yang berperan dalam informasi genetik serta phitin (Jones et al. 1991). Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4dan kurang diserap dalam bentuk ion bervalensi dua HPO4-2. Akar secara aktif menyerap P dari larutan tanah yang berkonsentrasi rendah dan menyimpannya dalam tanaman pada konsentrasi sampai lebih dari 1 000 kali (Gardner et al. 1991). Penumpukkan P dalam tanaman terjadi pada daun muda, dan biji yang sedang berkembang (Salisbury dan Ross 1992). Kadar P dalam jaringan tanaman berkisar antara 0.15 – 1.0% dari bobot keringnya, dan
terbesar
terdapat pada daun muda dan tangkai daunnya (Jones et al. 1991). Gejala kekurangan P biasanya mulai tampak pada daun yang lebih dewasa, tanaman menjadi kerdil dan berwarna hijau tua, pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan kerdil (Salisbury dan Ross 1992). Pada tanaman yang mengalami kekurangan P terjadi penimbunan gula yang ditunjukkan oleh pigmentasi antosianin pada bagian dasar batang dan urat daun (Gardner et al. 1991) Kelebihan
hara P menunjukan gejala defisiensi unsur hara mikro
utamanya Fe dan Zn. Gejala kekurangan unsur hara Fe dan Zn yaitu terjadi
klorosis pada daun muda. Kelebihan hara P dapat mengakibatkan tergganggunya metabolisme dalam tanaman, kadar P lebih besar dari 100% dapat menyebabkan keracunan pada tanaman (Jones 1989).
Kalium Kalium pada tanah gambut pada umumnya rendah karena K merupakan kation basa yang mempunyai afinitas rendah dan berikatan dengan asam organik, sehingga ikatannya mudah tercuci. Pemberian amelioran pada umumnya dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanaman. Abu tanaman pada tanah gambut berfungsi sebagai amelioran atau bahan pembenah tanah. Abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah dan kadar hara gambut dengan memasok hara dan mempercepat lapisan olah tanah yang lebih baik sifat fisiknya (Radjagukguk 1990). Pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan hasil jagung, pH, daya hantar listrik, kadar kalium tanaman, kalium dapat ditukar, kadar boron tersedia bagi tanaman dan kadar boron dalam tanaman (Ginting 1990). Menurut Panjaitan (1983) abu janjang kelapa sawit dapat menaikkan pH tanah dimana semakin tinggi dosis abu janjang semakin naik pula pH tanah. Kurnianingsih (2004) melaporkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan pH dari 3.2 menjadi 4, terjadi juga peningkatan P dan K pada lahan gambut sebesar 150.3 – 602.7 mg/100g P dan dan 78.3-141 mg/100 g K. Penggunaan limbah abu janjang kelapa sawit sebagai sumber hara kalium disarankan berdasarkan dosis pupuk KCl yang dianjurkan pada suatu daerah tertentu atau pH pada ketersediaan hara optimum. Kalium termasuk dalam unsur hara esensial yang berfungsi dalam keseimbangan muatan listrik (Gardner et al. 1991). Penyerapan K dilakukan secara aktif
dalam bentuk ion K+ dan translokasinya berlawanan dengan
gradien listrik dan konsentrasi kimia. Kalium banyak dijumpai dalam tanaman bagian muda dan sedang aktif tumbuh seperti: tunas, daun muda, dan ujung
akar (Salisbury dan Ross 1992). Kadar kalium dalam tanaman biasanya berkisar antara 1-5 % dari bobot keringnya (Jones et al. 1991). Unsur K dalam tanaman berperan aktif dalam translokasi gula pada pembentukan pati, proses membuka dan menutupnya stomata, efesiensi penggunaan air, memperluas pertumbuhan akar dan meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Kalium mudah disalurkan dari organ dewasa ke organ yang muda maka gejala kekurangan unsur hara ini tampak pertama kali pada daun tua. Pada kebanyakan tanaman monokotil seperti serealia gejala ditandai dengan kematian sel pada ujung dan tepi daun dan nekrotis ke bawah sepanjang tepi menuju bagian daun yang muda (Salisbury dan Ross 1992). Kadar K yang tinggi dalam tanaman akan menyebabkan kekurangan hara Mg atau Ca dalam tanaman. Gejala kelebihan K pertama kali menunjukan adanya kekurangan unsur hara Mg terlebih dahulu dibandingkan Ca (Jones et al. 1991) Kalium di dalam tanaman memiliki peran penting dalam mengatur tekanan osmotik tanaman yang menyebabkan pergerakan air ke dalam akar. Tanaman yang mengalami kekurangan K akan memiliki ketahanan terhadap kekeringan yang rendah dibandingkan tanaman yang cukup K (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Fungsi lain dari K adalah dalam pembentukan dinding sel, pada tanaman yang memiliki K yang cukup memiliki dinding sel yang tebal, jaringan yang lebih stabil dan tahan terhadap hama dan penyakit. Pada tanaman sayuran pemberian K yang cukup akan memiliki daya tahan hidup yang lebih baik (Bennet 1994) Pada pemberian N rendah (13.8 g/tan) dan K tinggi (16.2 g/tan) pada tanaman lidah buaya dapat meningkatkan tebal daun 6% dan bobot basah daun 87% dibandingkan dengan pemberian N rendah (13.8 g/tan) dan K rendah (10.8 g/tan) (Supriyadi 2001). Pemberian abu janjang dengan kadar K2O 26% secara nyata meningkatkan kadar hara K pelepah lidah buaya sebesar 171.8 % (Kurnianingsih 2004).
Magnesium Magnesium merupakan kation basa, sama halnya dengan kalium yang mempunyai afinitas rendah dan berikatan dengan asam organik, sehingga ikatannya mudah tercuci yang menyebabkan ketersediaannya rendah pada lahan gambut. Pemberian abu janjang pada lahan gambut dapat meningkatkan kadar hara Mg dalam tanah dari 16.8 me/ 100 g menjadi 29.9 me/100 g, tetapi hal tersebut tidak diikuti peningkatan kadar hara Mg (0.21% - 0.22%) pada jaringan kulit pelepah lidah buaya, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan hara Mg untuk memenuhi kebutuhan tanaman (Kurnianingsih 2004). Penambahan dolomit (CaCO3.MgCO3) dengan kadar MgO 47%, 4 ton/ha yang diamati 3 minggu setelah tanam sangat nyata meningkatkan kadar Mg-dd dan pH pada gambut (Limin 1992). Pemberian dolomit 1 gram/pot pada percobaaan semai Pinus merkusii pada medium sapih tanah gambut memberikan hasil yang paling baik terhadap pertumbuhan bibit (Muin 1988) Berdasarkan fungsinya magnesium termasuk ke dalam unsur hara esensial yang berfungsi dalam keseimbangan muatan listrik (Gardner et al. 1991). Penyerapan magnesium dilakukan secara aktif dan pasif dalam bentuk Mg2+, transpor terutama terjadi dalam aliran transpirasi. Magnesium merupakan pusat molekul klorofil yang merupakan khelat-Mg dalam kloroplas. Di samping terdapat dalam klorofil, Mg juga bergabung dengan ATP dan menjadikan ATP berfungsi dalam berbagai reaksi, mengaktifkan beberapa enzim yang diperlukan dalam fotosistesis, respirasi dan pembentukan DNA serta RNA (Salisbury dan Ross 1992). Kadar klorofil terbesar terdapat pada daun, akan tetapi Mg juga banyak terdapat dalam biji. Hal ini berhubungan dengan fungsi lain dari fosfor yaitu sebagai pengangkut P dalam tanaman (Jones 1989) Secara umum kadar Magnesium didalam tanaman berkisar 0.15 – 1.0% dari bobot kering jaringan. Pada sebagian besar tanaman, kadar Mg pada tingkat kecukupan berkisar 0.25% dari bobot kering tanaman. Batas kritis kadar hara ini sangat bervariasi, tanaman Leguminosa memiliki kadar kritis jaringan lebih rendah dan batas kritis kadar hara tertinggi dimiliki oleh beberapa tanaman sayursayuran dan buah-buahan (Jones et al 1991). Pemberian Mg pada tanaman lidah
buaya mampu meningkatkan kadar klorofil daun sebanyak 30%, jumlah daun 11%, lebar daun 10%, panjang daun 11%, tebal daun 11%, bobot basah daun 43%, tinggi tanaman 11% dan bobot basah tanaman 43% dibandingkan tanaman tanpa perlakuan (Supriyadi 2001). Gejala kekurangan Mg pertama kali terlihat adanya klorosis pada daun tua, biasanya klorosis tampak pada urat-arat daunnya (Salisbury dan Ross 1992). Kelebihan hara Mg tidak menunjukkan gejala yang spesifik, kadar P yang tinggi (> 1.0 %) pada jaringan daun dapat menyebabkan kekurangan unsur hara Ca atau K. Pada kadar hara Mg tinggi dalam jaringan terjadi ketidakseimbangan kadar Mg, Ca, dan K dalam tanaman, hal ini dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan tanaman (Jones 1989). Serapan Hara, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman Penyerapan hara oleh akar tanaman dilakukan dengan cara (1) pertukaran kontak, (2) pertukaran ion tanah dengan H di dalam musigel, (3) difusi ion sebagai respon terhadap landaian kimia, (4) aliran masa ion ke dalam akar sebagai respon perbedaan kelembapan, (5) pemanjangan akar ke sumber ion (Gardner et al. 1991). Penyerapan hara dapat berlangsung secara aktif dan pasif, penyerapan secara aktif ion melintasi membran sitoplasma, plasmalema, dengan energi dari senyawa-senyawa fosfat berenergi tinggi (ATP) yang dihasilkan melalui respirasi (pompa ion) (Hakim et al. 1986). Penyerapan pasif merupakan proses penyerapan hara secara fisika dimana ion bergerak bersama air tanpa melibatkan proses metabolik. Serapan hara oleh tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor dari
tanaman
itu
sendiri
maupun
lingkungannya.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi seluruh metabolisme tumbuhan berpengaruh terhadap serapan hara oleh akar. Hal ini berkaitan dengan energi yang dihasilkan oleh proses metabolisme yang kemudian digunakan dalam proses serapan hara oleh akar. Faktor kepadatan tanah juga dapat menyebabkan penurunan serapan hara oleh akar, dimana pada tanah tanah padat terjadi penurunan ketersediaan oksigen yang akan mempengaruhi energi yang dihasilkan oleh respirasi. Kadar air tanah sangat berpengaruh pada serapan hara tanah karena air sangat berperan penting dalam
proses difusi dan berpengaruh pada kelarutan hara. Faktor lain yang berperan adalah kerapatan dan distribusi akar. Kerapatan akar yang rapat maka akan memungkinkan lebih banyak bersentuhannya akar dan larutan tanah sehingga akan menyebabkan meningkatkan jumlah hara yang diserap oleh akar. Semakin dalam akar menembus tanah maka akan lebih banyak hara yang diambil dibandingkan dengan perakaran yang dalam (Hakim et al. 1986) Pada umumnya jumlah hara yang diserap tanaman dapat diketahui dari kadar unsur hara dalam bobot basah atau keringnya. Kadar hara dalam jaringan bervariasi hal ini dipengaruhi oleh jenis hara, spesies dan umur tanaman dan bagian organ mana yang diamati (Marschner 1995). Sejauh ini unsur terbesar dalam bobot kering tanaman adalah oksigen dan karbon masing-masing sekitar 44% dari bobot kering tanaman, sedangkan hidrogen berada pada peringkat ke-3 sebesar 6.2% dari berat kering tanaman. Pada sebagian besar tanaman angiospermae dan gimnospermae memiliki kadar N, P, K, dan Mg berturut-turut sebesar1.5% , 0.2%, 1% dan 0.5 dari bobot kering tanaman (Salisbury dan Ross 1992). Tatipata (2005) melaporkan bahwa kadar rata-rata hara pada kulit pelepah lidah buaya pada pemberian berbagai kombinasi pupuk mikro pada lahan gambut rata-rata berkisar 0.63-2.04% N, 0.38-0.51% P, 0.95-1.08% K, 0.22-0.23% Mg, 2 506.7-3226 ppm Fe, 954.3-151.3 ppm Mn, 626-983.3 ppm Zn dan 45.67-60 ppm Cu. Hasil penelitian Kurnianingsih (2004) menunjukkan bahwa kadar hara N, P, K, Mg dan Fe kulit pelepah lidah buaya pada perlakuan pemberian dosis abu janjang kelapa sawit pada lahan gambut rata-rata berkisar 1.51-2.09% N, 0.280.35% P, 0.14-0.166% K, 0.21 – 0.22% Mg dan 3 590 - 4 930 ppm Fe dan kadar N, P, K, Mg, Fe pada gel pelepah lidah buaya rata-rata berkisar 0.02% N, 0.010.02% P, 0,14 -0.17% K, 0.02-0.03% Mg, 538-598.7 ppm Fe. Kadar unsur hara dalam jaringan tanaman dapat diketahui dengan melakukan analisa kadar hara tanaman. Hasil analisis kadar hara tanaman dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara kadar hara yang ada dalam tanaman terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman (Taiz dan Ziger 1991). Pola hubungan tersebut biasanya digambarkan dalam grafik respon pertumbuhan tanman yang terdiri dari 3 zona pola respon yaitu (1) zona defisiensi yaitu kadar hara dalam jaringan tanaman rendah yang diikuti dengan pertumbuhan dan hasil
tanaman yang rendah, penambahan hara pada zona ini dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman, (2) zona kecukupan dimana peningkatan kadar hara dalam jaringan tidak memberikan peningkatan yang besar terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, dan (3) zona kelebihan dimana peningkatan kadar hara memberikan penurunan terhadap hasil dan pertumbuhan tanaman (Taiz dan Ziger 1991). Diantara zona defisiensi dan kecukupan terdapat zona transisi dimana penambahan hara dapat meningkatkan kadar hara jaringan dan pertumbuhan serta hasil tanaman (Salisbury dan Ross 1992). Di dalam zona transisi terdapat titik kritis konsentrasi hara tanaman, yaitu dimana terdapat konsentrasi kadar hara di bawah konsentrasi hara yang memberikan pertumbuhan optimum. Selain itu juga terdapat konsentrasi minimum jaringan yaitu konsentrasi yang memberikan pertumbuhan mendekati maksimum (Gardner et al. 1991). Dalam penentuan dosis anjuran pemupukan dalam penelitian-penelitian rekomendasi pemupukan
biasanya ditentukan dengan mengacu pada hasil
maksimal yang diperoleh dari dosis pemupukan yang diberikan. Dosis anjuran yang dipakai sebagai rekomendasi adalah dosis perlakuan yang dapat mencapai hasil panen sekitar 90-95% dari hasil panen maksimal (Marschner 1995). Keberadaan hara dalam tanaman sangat bervariasi, selang konsentrasi hara dalam tanaman dapat digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu (1) taraf ketersediaan hara rendah, (2) taraf ketersediaan hara cukup, dan (3) taraf ketersediaan hara tinggi. Pada tanaman Nanas (Ananus comunus) yang merupakan tanaman famili liliacea dan secara fisiologi termasuk ke dalam golongan tanaman CAM memiliki selang konsentrasi kadar hara N sebagai berikut: (1) rendah < 1.5%, (2) cukup pada konsentrasi 1.5 – 1.7% dan (3) tinggi pada konsentrasi > 1.7%. Selang konsentrasi kadar hara P sebagai berikut: (1) cukup pada konsentrasi < 0.1%, dan (2) tinggi pada konsentrasi > 0.1%. Selang konsentrasi kadar hara K sebagai berikut: (1) rendah < 2.2%, (2) cukup pada konsentrasi 2.3% - 3%, dan (3) tinggi pada konsentrasi > 3%. Selang kadar konsentrasi hara Mg adalah : (1) sedang pada konsentrasi < 0.3%, dan (2) tinggi pada konsentrasi > 0.3% (Jones et al. 1991). Kriteria kadar hara tanaman kaktus (Schulumbargera bridgesii) yang merupakan tanaman sekulen dan termasuk ke dalam golongan CAM adalah : 1) kadar hara N, dikatakan rendah bila memiliki kadar berkisar 2.5 sampai 2.7% N, sedang 2.8
sampai 4.5% N dan tinggi > 4.5% N, 2) kadar hara P dengan kisaran kadar hara rendah 0.40 sampai 0.50% P, sedang 0.1 sampai 0.6% P, tinggi > 1% P, 3) kadar hara K dengan kisaran kadar hara rendah 3.2 sampai 3.9% K, sedang 4.0 sampai 5.0% K, dan tinggi > 6.0% K, 4) kisaran kadar hara Mg adalah rendah 0.25 sampai 0.39% Mg, sedang 0.40 sampai 0.10% Mg, dan tinggi > 1.00% Mg (Jones et al. 1991)
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada lahan perkebunan kelapa sawit PT. Bhumireksa Nusasejati, Teluk Bakau Estate, Kecamatan Plangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau, pada bulan Maret 2004 sampai bulan April 2005. Curah hujan rata-rata 247 mm/bulan dan suhu udara berkisar 27 oC sampai 31 oC dengan jenis tanah gambut hemik. Analisis hara jaringan tanaman dan tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit tanaman lidah buaya (Aloe vera chinensis) berasal dari tanaman dewasa dengan tinggi bibit 20 cm dengan jumlah pelepah 5- 6 cm. Bahan lainnya adalah, pupuk Urea (45% N), pupuk Rock Phosphate (33% P2O5), pupuk KCl (10% K2O), Dolomit (22% MgO), pupuk mikro FeSO4.7H2O, MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2O, fungisida Benlate, Dithane M-45, Bakterisida Bactomycin 15/5 WP, dan abu janjang kelapa sawit. Alat yang digunakan adalah peralatan pengolahan tanah, meteran, timbangan, tali, spayer, plastik, jangka sorong, serta bahan dan alat untuk analisis jaringan tanaman dan tanaman di laboratorium. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang disusun secara faktorial dalam lingkungan acak kelompok terdiri dari 4 faktor. Faktor pertama dosis pupuk nitrogen, faktor kedua dosis pupuk fosfat, faktor ketiga dosis pupuk kalium dan faktor keempat dosis pupuk magnesium, dengan tiga ulangan maka diperoleh 256 kombinasi perlakuan sehingga terdapat 768 unit percobaan. Dosis pupuk perlakuan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Dosis Perlakuan N, P, K, dan Mg Perlakuan
N
P
K
Mg
(g N/tan/1 bln)
(g P2O5 /tan/1 bln)
(g K2O/tan/1 bln)
(g MgO /tan/1 bln)
0
0
0
0
0
1
5
4
7,5
2,5
2
10
8
15
5
3
20
16
30
10
Taraf
Keterangan : tan : tanaman, bln : bulan. Untuk mengetahui pengaruh faktor tunggal N, P, K, dan Mg dan faktor NPKMg lengkap terhadap parameter yang diamati diambil beberapa perlakuan dari penelitian tersebut. Kemudian dikelompokkan menjadi 5 kelompok perlakuan terdiri dari : 1. Dosis pupuk NPKMg terdiri dari 4 perlakuan yaitu: perlakuan N0P0K0Mg0, N1P1K1Mg1, N2P2K2Mg2, dan N3P3K3Mg3. 2. Dosis pupuk N terdiri dari 4 perlakuan yaitu: N0P0K0Mg0 (N0), N1P0K0Mg0 (N1), N2P0K0Mg0 (N2), dan N3P0K0Mg0 (N3) 3. Dosis pupuk P terdiri dari 4 perlakuan yaitu: N0P0K0Mg0 (P0), N0P1K0Mg0 (P1), N0P2K0Mg0 (P2), dan N0P3K0Mg0 (P3). 4. Dosis pupuk K terdiri dari 4 perlakuan yaitu: N0P0K0Mg0 (K0), N0P0K1Mg0 (K1), N0P0K2Mg0 (K2), dan N0P0K3Mg0 (K3), 5. Dosis pupuk Mg terdiri dari 4 perlakuan yaitu: N0P0K0Mg0 (Mg0), N0P0K0Mg1 (Mg1), N0P0K0Mg2 (Mg2), dan N0P0K0Mg3 (Mg3), Masing-masing kelompok di atas disusun menggunakan rancangan faktorial faktor tunggal dalam lingkungan acak kelompok dengan 3 ulangan sehingga diperoleh 12 unit percobaan untuk masing-masing kelompok dan terdapat total unit percobaan sebanyak 60 unit percobaan. Model linier aditif yang digunakan adalah: Yij dimana :
= µ + αi + βj + εij,
Yij
= respon satuan percobaan
µ
= rerataan umum
αI
= pengaruh perlakuan dosis pupuk
βj
= pengaruh aditif kelompok
εij,
= pengaruh acak yang menyebar normal Pelaksanaan Penelitian
Persiapan lahan Lahan yang akan digunakan dibersihkan, selanjutnya dibuat parit keliling yang berfungsi untuk membuang air tanah yang berlebihan (drainase). Selanjutnya lahan dicangkul dan dibersihkan dari akar tanaman. Sebelum dilakukan penanaman lahan diolah dan digemburkan, kemudian dibuat petak dengan ukuran 4 m x 4 m sebanyak 768 petak percobaan dengan jarak antar petak 1 m, selanjutnya dibuat lubang tanam dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm. Penanaman Penanaman dilakukan dengan cara memasukkan bibit lidah buaya pada lubang tanam dengan jarak tanam 1m x 1m. Bibit lidah buaya
yang sudah
memenuhi syarat adalah bibit dengan tinggi 25-30 cm yang memilki jumlah 5-6 pelepah. Sebelum ditanam akar dari bibit direndam dahulu dengan fungisida Benlate untuk menghindari terserang jamur. Satu minggu sebelum penanaman dilakukan pemberian pupuk dasar berupa abu janjang kelapa sawit 50 g/tanaman/lubang tanam.
Pemeliharaan 1
Penyiraman. penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, terutama setelah tanam dan penyulaman.
2
Pembumbunan. pembumbunan bertujuan untuk memperbaiki drainase antar bedengan dan memperkokoh berdirinya tanaman. Dilakukan secara rutin dengan melihat kondisi dilapang.
3
Penyiangan. Penyiangan dilakukan setiap bulan
dengan cara mencabut
gulma dengan tangan atau kored. 4
Penyulaman. Penyulaman dilakukan bila terdapat tanaman yang mati.
5
Pemupukan. Pemupukan N, P, K dan Mg dilakukan 1 bulan sekali sesuai dengan dosis perlakuan. Pemberian hara mikro FeSO4.7H2O, MnSO4.4H2O, ZnSO4.7H2O, CuSO4.5H2O dengan dosis 2 ppm dilakukan 2 bulan sekali.
6
Pengendalian
hama dan penyakit
Pengendalian penyakit dilakukan
dengan penyemprotan fungisida Dithane M-45, Benlate dan bakterisida Bactomycin serta dilakukan pencegahan dengan cara memperbaiki drainase dan menjaga sanitasi lahan.
Pengamatan Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1.
Bobot basah total tanaman, pelepah total, pelepah setiap daun, akar, batang, ditimbang Dilakukan pada saat tanaman berumur 42 minggu setelah tanam.
2.
Bobot kering total tanaman, pelepah total, pelepah setiap daun, akar, batang. Dilakukan pada saat tanaman berumur 42 minggu setelah tanam,. dengan memisahkan bagian tanaman kemudian ditimbang bobot basah. Sampel dioven pada suhu 105 oC selama 24 jam kemudian dilakukan penimbangan bobot kering. Untuk pelepah daun bobot kering dilakukan pada beberapa sampel saja kemudian dilakukan perhitungan kadar airnya yang digunakan untuk menghitung bobot kering. BB - BKT
% KA
BKT
X 100 %
Keterangan : KA
= Kadar Air
BKT
= Bobot Kering Oven
BB
= Bobot Basah
3.
Analisis hara jaringan tanaman meliputi analisis kandungan N, P, K dan Mg.
4.
Serapan hara pelepah dengan rumus : Serapan Hara = % unsur dalam jaringan x bobot kering tanaman
5.
Analisis hara tanah dilakukan untuk keadaan sebelum penelitian meliputi: analisis C-organik, pH, N, P, K, Ca, Mg, Cu, Mn, Fe, Zn, dan sesudah penelitian meliputi analisis C-organik, pH, N, P, K, dan Mg.
Metode analisis yang digunakan dalam analisis hara tanah dan tanaman terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Metode Analisis Hara Tanah dan Tanaman Hara N total P total P-tersedia K-total K-tertukar Ca-tertukar Mg-tertukar Fe(ppm) Cu (ppm) Zn (ppm)
Ekstraksi
Cara penetapan
Kjeldahl
Auto titrasi
H2SO4 HCl 25 %
Spektrofotometer
Bray I
Spektrofotometer
HCl 25 %
Spektrofotometer
NH4O asetat 1 N
Flame fotometer
NH4O asetat 1 N
AAS
NH4O asetat 1 N
AAS
NH4O asetat 1 N
AAS
NH4O asetat 1 N
AAS
NH4O asetat 1 N
AAS
Analisis Data Data hasil penelitian dari tiap peubah pengamatan dianalisis mengunakan uji F pada taraf kesalahan 1% dan 5%. Untuk mengetahui pola respon peubah terhadap perlakuan dilakukan uji polinomial ortogonal dan kemudian dilanjutkan dengan uji regresi bagi peubah yang nyata dipengaruhi oleh perlakuan.