Ditawarkan, Kompres Luka dari Ekstrak Tanaman Lidah Buaya (Aloe Vera) UNAIR NEWS – Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya berhasil membuat inovasi baru penyembuh luka dari ekstrak Aloe Vera. Menurut empat mahasiswa yang menelitinya, yaitu Muhammad Hidayatullah Al-Muslim (2016), Dinda Dhia Aldin Kholidiyah (2016), Kusnul Oktania (2016) dan Retno Dwi Susanti (2014), inovasi baru penyembuh luka ini diberi nama KOMPAS kependekan dari “Kompres Penyembuh Luka Aloe Vera”. “Kami memutuskan untuk membuat kompres luka dari tanaman lidah buaya (Aloe vera) ini dalam proposal Program Kreativitas Mahasiswa yang didanai Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, karena Aloe Vera mempunyai potensi cukup besar sebagai bahan baku obat alami,” kata Retno Dwi Susanti, mewakili tim PKM ini, kemarin di kampusnya. Tanaman lidah buaya (Aloe vera) lebih dikenal masyarakat sebagai tanaman hias. Padahal tanaman ini mengandung berbagai zat aktif yang dapat dipakai untuk menyembuhkan luka. Oleh karena itu Retno dan kawan-kawannya memanfaatkan aloe vera dalam penelitian ini. Selain itu, lidah buaya pasti berpeluang untuk menjadi komoditas perdagangan yang besar. Menurut Retno, anggota paling senior di tim PKM ini, Aloe Vera terdapat kandungan saponin dan flavonoid, bahkan juga mengandung tanin dan polifenol. Saponin itu mempunyai kemampuan sebagai pembersih sehingga efektif untuk menyembuhkan luka, sedangkan tanin dapat digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya antiseptik. ”Jadi cukup efektif dijadikan sebagai penyembuh luka,” lanjutnya.
Ditambahkan oleh Muhammad Hidayatullah Al-Muslim, ketua PKMK ini, bahwa kreativitas “KOMPAS” ini merupakan produk kompres luka yang ampuh dapat menyembuhkan luka dan cukup praktis untuk dipakai. Penggunaannya cukup dengan membersihkan luka terlebih dahulu, kemudian menempelkan KOMPAS pada luka tersebut. ”Orang-orang lebih sering mengira bahwa luka harus dibuat kering dan diangin-anginkan agar cepat sembuh. Padahal kondisi lembap bisa membantu sel fibroblas membentuk jaringan baru yang menutup luka. Jadi kelembapan juga mengurangi jumlah eksudat atau cairan yang keluar dari luka,” jelas Dayat, panggilan akrabnya. Memang, perawatan luka yang baik dengan menggunakan pembalut luka modern, seperti plester, yang bisa menjaga kelembapan luka. Untuk itu dianjurkan untuk tidak menggunakan kain kasa, karena kain kasa tidak bisa menjaga kelembapan luka dan membuat proses penyembuhan luka menjadi lebih lama. ”Berbeda dengan luka yang sudah lama, yang sudah bernanah misalnya, maka perawatannya tidak perlu ditutup. Dibiarkan terbuka saja. Jadi dengan adanya produk KOMPAS ini, kami harapkan sangat efektif untuk proses penyembuhan luka,” timpal Kusnul Oktania, anggota PKMK KOMPAS ini. Ditanya wartawan tentang kemasannya? Dijawab oleh Dinda Dhia, dalam satu kemasan berisi tiga biji KOMPAS. “Kalau kita jual per kemasan harganya Rp 15.000, tapi kalau ada yang ingin membeli per biji, kami siap melayani juga. Jadi kalau per biji kita menjualnya Rp 5.000, kata Dinda. (*) Editor : Bambang Bes
Gelorakan Semangat “Dentalpreneurship” UNAIR NEWS – Dekan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Dr. R. Darmawan Setijanto, drg., M.Kes selalu berupaya membentuk pribadi tahan banting untuk para mahasiswanya. Maka itu, mereka harus punya jiwa entrepreneur atau kewirausahaan. Oleh karena ranahnya adalah kedokteran gigi, bisa pula diistilahkan dengan “dentalpreneurship”. Pria yang lulus pendidikan kedokteran gigi pada 1986 ini menyatakan, mental seorang entrepreneur adalah mutlak dimiliki seorang dokter gigi. Selain dua karakter lain: berintegritas dan profesional. “Jadi, saya ini sedang gethol menebarkan semangat IPE. Integritas, Profesional, dan Entrepreneurship,” kata Darmawan saat ditemui di ruang kerjanya. Dia menyatakan, mental entrepreneurship itu tidak melulu soal berjualan. Meski memang, salah satu bentuknya adalah berdagang. Sebab, aktifitas itu paling bisa diukur secara matematis. Dilanjutkan lelaki asal Madiun ini, entrepreneurship sejatinya mental tahan banting atau tangguh. Gampangnya, mereka yang menjiwai semangat ini, tidak akan pernah menyerah. Kalau ada masalah di hadapannya, dia akan berbelok atau menembus celah penghalang, sampai menemukan jalan agar cita-citanya tercapai. laksana air yang terus mengalir dan memiliki kekuatan atau daya dobrak. Meski lemah lembut, tapi punya prinsip hidup. Dalam banyak kesempatan, dia menularkan paradigma penguatan nilai IPE pada para mahasiswa. Juga, pada para dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan FKG UNAIR. Sistem kinerja di fakultas yang dipimpinnya, dibuat sedemikian rupa sehingga menumbuhkan iklim yang penuh integritas, profesionalisme, dan bersemangat entrepreneurship.
Darmawan mengatakan, dirinya tergolong dekat dengan mahasiswa. Termasuk, dengan Badan Eksekutif Mahasiswa di level fakultas. Salah satu bentuk dukungannya terhadap para mahasiswa, terkait peningkatan kualitas soft skill mereka, adalah mengawal segala kegiatan agar lebih bernilai. “Misalnya, mereka diberi anggaran tahunan seratus tiga puluh juta rupiah. Nah, kegiatan mereka nanti seharusnya bernilai tujuh ratus juta rupiah atau semiliar rupiah. Dalam wujud, sponsorship atau kolaborasi kegiatan dengan pihak luar. Kemampuan bekerjasama dengan pihak lain itu kan merupakan latihan untuk mengasah jiwa entrepreneurship,” kata Darmawan. Dia juga menegaskan, karir seorang mahasiswa sejatinya dimulai saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Bukan setelah lulus. Maksudnya, pembentukkan karakter yang siap dan sigap untuk bekerja atau mengabdi pada masyarakat mesti dilakukan sedini mungkin. Akan sangat terlambat, bila baru dilaksanakan tatkala mereka memakai toga. Dosen yang menamatkan kuliah program magister pada 1994 ini mengungkapkan, saat melakukan research training di Jepang sekitar 1999-2000 silam, dia melihat ada pola di negeri Sakura, yang layak dijadikan referensi di dalam negeri. Yakni, terkait dengan etos kerja orang-orang Jepang yang berkomitmen dan tangkas. Juga, sehubungan dengan kemampuan mengelola kemampuan di bidang kedokteran gigi. Tak terkecuali, keahlian klinik-klinik memromosikan jasa perawatan gigi. Meski demikian, yang terpenting tetaplah kualitas keilmuan yang ada di sana. Nah, elemen-elemen yang dijelaskan tadi, bila disinergikan dengan rapi dan konsisten oleh lulusan kedokteran gigi di tanah air, pastilah SDM bangsa ini dapat bersaing di ranah global. Khususnya, bagi para alumnus di FKG UNAIR. Sebab, fakultas ini telah memiliki banyak jejaring internasional yang pasti dapat menjadi media penambah wawasan bagi mahasiswa, dosen, dan
tenaga kependidikan yang ada. Sudah banyak kampus-kampus dari Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan Malaysia, yang menjalin hubungan baik dengan fakultas ini. Model kerjasamanya beraneka rupa. Mulai dari student exchange, staff exchange, lecturer exchange, kolaborasi riset, dan kegiatan akademik lainnya. “Sivitas akademika bisa belajar dari mana saja. Termasuk, dari narasumber asing di luar negeri. Tujuannya, meningkatkan kualitas dan wawasan internasional,” papar dia. Sementara itu, selain aktif menjadi Dekan, Darmawan juga dikenal sebagai peneliti yang memiliki banyak publikasi. Baik di jurnal terakreditasi nasional, maupun bereputasi internasional. Penelitian yang sudah dipublikasikan itu di antaranya “Prevalence of a Second Canal in the Mesiobuccal Root of Permanent Maxiliary First Molars from an Indonesian Population” pada tahun 2011, dan “Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Karies pada Pengunjung Poli Gigi Puskesmas Kenjeran” pada tahun 2013, Juga, “The Toddlers Caries in Urban and Rural Area” pada tahun 2014, “Hubungan Karies dengan Status Gizi pada Balita Usia 4 – 5 tahun di Kota Mojokerto” tahun 2014, dan “Hubungan Tingkat Keparahan Karies dengan Status Gizi pada Anak Umur 6 – 12 tahun” tahun 2015. Darmawan juga aktif dalam berbagai asosiasi. Darmawan pernah aktif sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia cabang Surabaya pada tahun 1988 – 2015. Pada tahun 2004 – 2008, Darmawan tercatat sebagai Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Pada tahun 2015, Darmawan tergabung dalam Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia. Pada tahun 2015 sampai sekarang, Darmawan tercatat aktif sebagai anggota Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia. (*)
CSR Bukan Sekadar “Sedekah” UNAIR NEWS – Semua perusahaan sudah selayaknya menyediakan slot anggaran untuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Terlebih, bila perusahaan itu berhubungan dengan penggalian potensi sumber daya alam. Dana CSR umumnya diberikan pada masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut menjalankan usaha. Selama ini, sudah banyak perusahaan yang menyalurkan CSR dalam jumlah besar. Namun pertanyaannya, apakah gelontoran uang tersebut tepat sasaran dan benar-benar berdampak positif secara simultan? Untuk menjawab pertanyaan itu, bisa dilihat dari kondisi para penerima CSR selama ini. Apakah mereka mengalami pemberdayaan secara kontinu. Khususnya, di aspek sosial, ekonomi, dan pemeliharaan lingkungan. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si menyatakan, ada banyak hal yang mesti disiapkan sebuah perusahaan sebelum menjalankan usahanya. Apalagi, bila usaha itu secara khusus berhubungan dengan pengelolaan atau penggalian sumber daya alam. Biasanya, perusahaan melakukan analasia mengenai dampak terhadap lingkungan. Termasuk di dalamnya, analisa terhadap polusi yang mungkin terjadi, lalu lintas yang bisa jadi tambah padat di area usaha, dan lain sebagainya. Meski demikian, ada yang jauh lebih penting. Yakni, analisa penerimaan masyarakat pada keberadaan perusahaan tersebut. Kalau problem yang bukan manusia, pasti ada treatment penanggulangannya yang sudah baku. Namun, bila masalah yang muncul bersumber dari dampak gesekan dengan masyarakat, formula yang digunakan untuk mengatasi masalah ini pun pasti berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain.
Penerimaan masyarakat ini juga memiliki hubungan dengan penyaluran dana CSR. Sebab, penerima dana CSR itu, harus diutamakan berasal dari masyarakat sekitar tempat usaha. Maka itu, sedari awal, harus ada komunikasi antara perusahaan dan masyarakat setempat. Di dalamnya, dibahas pula tentang pengaplikasian program CSR. Perusahaan harus melakukan pemetaan menyeluruh tentang kondisi, kebutuhan, dan potensi masyarakat. Sehingga, program CSR bisa dijalankan secara tepat sasaran. “CSR itu bukan sekadar pemberian uang untuk kegiatan sosial atau sedekah, bangun jembatan, atau bantuan dana untuk acara di kelurahan. Lebih dari itu, CSR harus dialokasikan untuk program yang bisa memberdayakan masyarakat,” kata dosen Sosiologi tersebut. Harus ada telaah mendalam yang ekstra detail dari perusahaan. Pihak perusahaan tidak boleh malas untuk melakukan ini. Kebutuhan masyarakat harus dipetakan, lantas ditanya pada masyarakat itu secara langsung terkait apa yang mereka butuhkan. Setelah itu, ajak elemen masyarakat atau tokoh setempat merumuskan program bersama. Misalnya, di kawasan itu potrensi batik, maka harus ada pelatihan batik yang melibatkan pihak berkompeten. Selain disiapkan sarana dan prasarananya, disediakan pula modalnya. Demikian pula, bila di daerah tersebut potensinya adalah beternak ayam. Maka, mesti disiapkan apa saja yang diperlukan agar masyarakat dapat terus berkarya dan berjalan roda ekonominya di bidang ternak tersebut. “Para akademisi atau peneliti bisa berperan sebagai pihak yang mengawal proses pemetaan ini. Nanti, ikut pula dalam melakukan evaluasi,” ungkap Musta’in. Dengan demikian, lambat laun, ekonomi rakyat dapat berdaya dan makin kuat. Bisa jadi, pada satu waktu, program itu sudah tidak mendapat bantuan CSR lagi. Karena, kalau sudah mandiri dan berdaya, masyarakat pasti sudah tidak butuh bantuan di
bidang itu. Lantas, dana CSR yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang perlu dikembangkan. Kalau konsep dasar yang digunakan perusahaan sejak awal berbasis kondisi, kebutuhan, potensi, modal sosial, dan jaringan masyarakat yang bersifat lokalitas semacam itu, secara umum, warga pasti dengan senang hati menerima perusahaan tersebut. Lebih dari itu, CSR juga memiliki manfaat kongkret. “CSR idealnya menjadi investasi produktif. Bukan yang dipakai habis, dipakai habis,” ungkap profesor kelahiran Tulungagung tersebut. . Problemnya, tidak semua perusahaan mengacu pada standar ideal itu. Bahkan, kata Musta’in, dia pernah melakukan pengamatan pada sebuah kabupaten yang punya banyak perusahaan. Di sana, nyaris semua pola CSR di sana hanyalah berbentuk hibah atau bantuan yang sifatnya langsung habis. Imbasnya, tidak ada pendidikan, pembelajaran, dan pemberdayaan yang meningkatkan kualitas warga setempat. Apa yang dibutuhkan warga, hanya ditanyakan oleh perusahaan melalui Camat atau Lurah. Hasilnya, tidak ada interaksi intensif yang berkesinambungan antara perusahaan dan masyarakat akar rumput. Transformasi masyarakat utuk menjadi kekuatan yang lebih baik tidak bisa terwujud secara komprehensif. Padahal, bila CSR dikelola dengan standar ideal secara cermat, akuntabilitasnya pun tetap terjaga. tidak ada pihak-pihak yang berani melakukan penyelewengan dana. Sebab, semua masyarakat dilibatkan. Semua warga turut mengontrol. Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi UNAIR ini meyakini program CSR yang ditawarkan perusahaan swasta di Indonesia bisa membangun masyarakat yang mandiri. Program CSR pun harus didasari dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat (community development). Melalui pendekatan tersebut, program CSR diharapkan mengembangkan masyarakat berdasarkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Kesejahteraan sosial dan penguatan ekonomi dapat terwujud. (*)
Mengubah Beternak Ayam Secara Tradisional Menjadi Semi Intensif UNAIR NEWS – Terinspirasi dari kondisi masyarakat Desa Tanjungsari, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, khusunya ibu-ibu yang banyak menggemari memelihara ayam kampung. Sayangnya, sistem pemeliharaannya masih tradisional, padahal kebutuhan ayam kampung di pasaran semakin meningkat. Untuk itulah kelompok lima mahasiswa Universitas Airlangga berinisiatif memberdayakan masyarakat tersebut melalui ternak ayam kampung yang nantinya diharapkan dapat menjadi penopang kegiatan ekonomi produktif di Desa Tanjungsari, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Selain itu juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik. Setelah melihat kondisi masyarakat di desa tersebut, Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian (PKMM) UNAIR ini terinspirasi dan melakukan pelatihan program MAMA TERAPUNG, kependekan dari “Manajerial Masyarakat Peternakan Ayam Kampung”. Dibawah bimbingan dosennya, Sunaryo Hadi Warsito, drh., M.P., PKM MAMA TERAPUNG ini dituangkan ke dalam proposal. Setelah melalui penilaian Dikti, proposal bertajuk “MAMA TERAPUNG: Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat di Desa Tanjungsari, Boyolangu, Tulungagung dengan pelatihan manajerial beternak ayam kampung Menggunakan Metode P3E” ini lolos dan berhak
memperoleh dana Program PKM dari Kemenristekdikti tahun 2017. Menurut Septiana Megasari, ketua Tim PKMM ini, pelatihan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap dan metode, antara lain pendahuluan (survey), tahap pelaksaan yang meliputi penyuluhan dan praktek langsung, serta pendampingan dan yang terakhir evaluasi. Mitra dari program MAMA TERAPUNG ini, adalah peternak Pak Maripin dan istrinya. Kemudian pada saat penyuluhan dilakukan di Balai Desa Tanjungsari dengan mendatangkan pemateri dari Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung. Kemudian dilakukan praktek langsung atau pemberian contoh yang dilakukan di rumah mitra (peternak), yaitu tentang perubahan sistem kandang dari yang semula umbaran (dibiarkan liar) menjadi semi intensif, yaitu ayam yang biasanya dibiarkan mencari makan sendiri kini diubah dalam manajemen pakan yang terjadwal.
TIM PKMM Mahasiswa UNAIR. (Foto: Dok PKMM) ”Sebagai pedoman ibu-ibu PKK Desa Tanjungsari dalam beternak ayam kampung, juga kami buatkan modul beternak yang di
dalamnya meliputi materi pembuatan kandang, pemeliharaan ayam kampung serta penyusunan pakan,” demikian Septiana, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR ini. Melalui progam MAMA TERAPUNG ini dapat menjadikan masyarakat, khususnya ibu-ibu PKK di Desa Tanjungsari menjadi terampil beternak ayam kampong, sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga, bahkan dapat menciptakan desa tersebut sebagai pusat percontohan peternakan ayam kampung. Selain dipandegani oleh Septiana Megasari dari FKH sebagai ketua kelompok PKMM, juga terdapat empat orang mahasiswa lain sebagai anggota tim, yaitu Tiara Prastiana Putri dan Evania Haris Chandra (keduanya dari Fakultas Kedokteran Hewan), Arizqa Miftahurrohmah (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Intan Nurmahani (Fakultas Hukum). ”Kami berharap taraf hidup masyarakat di Desa Tanjungsari, Kec. Boyolangu, Tulungagung ini juga meningkat, seiring berkembangnya peternakan mereka,” kata Septiana memungkasi. (*) Editor: Bambang Bes
Mengonsumsi Jus Stroberi Secara Rutin Bisa untuk Atasi Diabetes Melitus UNAIR NEWS – Empat mahasiswa jurusan biologi Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, dalam inovasi penelitiannya berhasil membuktikan bahwa dengan mengonsumsi jus stroberi secara rutin dapat menurunkan kadar gula darah
bagi penderita diabetes secara signifikan. Hal itu diketahui melalui uji pada hewan mencit. Konsumsi jus stroberi merupakan alternatif bagi pengobatan penyakit diabetes mellitus (DM) yang sangat mahal. Empat orang mahasiswa UNAIR tersebut adalah Dwiyana Indah Safitri (17) Ketua Kelompok penelitian, Eka Kartika Arum Puspita Sari (18), Daulah Iftitah (18), dan Nabilatun Nisa (21). Hasil penelitian yang dituangkan dalam proposal Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE) berjudul “Manfaat Anti Oksidan Buah Stroberi (Fragaria sp.) Sebagai Obat Diabetes Mellitus Pada Mencit (Mus musculus)”. Dinilai prospektif, sehingga lolos penilaian Dirjen Dikti dan berhak atas dana hibah penelitian Kemenristekdiktik program PKM tahun 2017. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, tahun 2013 diperkirakan penduduk Indonesia penyandang DM mencapai 16,5 juta. Diperkirakan pada tahun 2030 nanti di Indonesia terdapat sekitar 25 juta penyandang DM. Saat ini Indonesia menempati urutan keempat jumlah penderita DM terbesar di dunia setelah AS, India, dan Cina. DM merupakan
penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan,
tetapi bisa dikurangi dan dikontrol kadar gula darahnya. Selain itu juga bisa dicegah. Jika tidak diobati, penyakit DM ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah, misalnya penyakit jantung, gagal ginjal, stroke, gangguan otak, dll. Karena biaya pengobatan DM yang relatif mahal, maka dibutuhkan pengobatan alternatif yang lebih terjangkau, namun tetap tepat sasaran, yaitu dapat mengontrol atau menurunkan kadar gula darah bagi penderitanya secara signifikan. Dalam sebuah jurnal yang dimuat di British Journal of Nutrition (2010) disebutkan bahwa konsumsi buah-buahan berries (termasuk stroberi) memiliki respon sangat baik untuk menurunkan kadar glukosa.
INDUKSI jus stroberi pada hewan uji, mencit. (Foto: Tim PKM-PE FST) Di bawah bimbingan dosennya, Drs. Saikhu Akhmad Husen, M.Kes., keempat mahasiswa ini mencoba meneliti manfaat buah stroberi yang mengandung flavonoid alami, yaitu fisetin (3,3’,4’7 Tetrahydroxyflavone). Fisetin ini dapat mencegah terjadinya komplikasi pada penderita DM. Untuk menguji manfaat fisetin, buah stroberi diujikan pada hewan mencit. ”Kami mencoba memberikan pengobatan alternatif bagi penderita diabetes mellitus karena obat bagi penderita ini tergolong sangat mahal, sehingga banyak masyarakat penderita DM yang tidak sanggup membeli obat atau melakukan pengobatan,” ujar Dwiyana Indah Safitri, ketua kelompok Tim PKM ini. Buah stroberi dibuat menjadi jus, dimaksudkan agar lebih mudah dikonsumsi. Kemudian jus stroberi diinduksi pada mencit untuk mengetahui pengaruhnya terhadap penurunan kadar gula darah. Kadar gula darah saat diabetes dan setelah diinduksi jus stroberi ini diukur untuk mengetahui perubahannya. Hasil penelitian kemudian dianalisis menggunakan software komputer untuk mengetahui perbedaan serta korelasi antara
masing-masing data yang diperoleh. Analisis statistik meliputi normalitas menggunakan uji Kolmogrov Smirnov. Kemudian data diuji homogenits-nya dengan uji Lavene. Jika data berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05) selanjutnya data diuji dengan one Way ANOVA (α = 0,05) untuk mengetahui pengaruh kelompok perlakuan. Hasil menunjukkan pengaruh yang nyata (p < 0,05) maka dilanjutkan uji Duncan (α = 0,05) untuk mengetahui beda pengaruh antar kelompok perlakuan. Hasil analisis menunjukkan jus stroberi yang diinduksi pada hewan uji (mencit) memiliki data yang homogen dan terdistribusi normal. Hal itu membuktikan bahwa mengonsumsi jus stroberi secara rutin dapat menurunkan kadar gula darah dan menaikkan berat badan penderita diabetes. Sehingga jus stroberi yang harganya relatif murah dapat digunakan sebagai obat alternatif penderita diabetes menggantikan obat diabetes yang sangat mahal. (*) Editor: Bambang Bes
Mahasiswa UNAIR Temukan Material Penumbuh Sel Tulang dari Cangkang Bekicot UNAIR NEWS – Tulang merupakan organ yang penting bagi manusia, sehingga jika terjadi kerusakan pada tulang, akan menyebabkan manusia menjadi menderita. Salah satu kerusakan tulang yang sering dijumpai adalah kanker tulang (osteosarcoma),yang merupakan penyakit ganas yang menyerang sel tulang dan beberapa komponen bagian tulang tersebut. Atas permasalahan itulah, lima orang mahasiswa Fakultas Sains
dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga melakukan penelitian dan berhasil menemukan material yang diyakini dapat meningkatkan sifat mekanis dan mempercepat proses pertumbuhan sel pada tulang (osteoblas) yang ditemukan dari cangkang bekicot (Achatina Fullica) yang memiliki kandungan kitosan lebih besar dari cangkang udang, kepiting rajungan, dan sebagainya. Kelima mahasiswa FST tersebut adalah Teky Putri Rahayu (angkatan 2015), Ilham Nur Dimas Yahya (2013), Mohamad Heykal Putra Ardana (2013), Anissa Treby Marliandini (2015), dan Laila Firdaus Zakiya (2015). Dibawah bimbingan dosennya, Drs. Djony Izak Rudyardjo, M.Si., mereka menuangkan penelitian ini dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKM- PE) dengan judul “Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Bekicot (Achatina Fullica) untuk Pembuatan Biokeramik Berpori sebagai Bone Filler Pada Defek Tulang Akibat Kanker Tulang”. Setelah melalui penilaian ketat Dikti, proposal ini lolos untuk mendapatkan pendanaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada program PKM tahun 2017. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat dan modern, merangsang manusia berinovasi untuk menghadapi perkembangan jaman, termasuk juga di bidang medis yang terkait dengan penyakit tulang tersebut. Diantaranya dalam mengatasi penyakit osteosarcoma dapat dilakukan dengan merehabilitasi jaringan tulang yang rusak dengan melakukan pembedahan untuk memotong sel yang terkena kanker, kemudian dilanjutkan dengan pemberian biomaterial yang memiliki kesamaan karakteristik dari tulang.
SEORANG anggota tim PKMPE mahasiswa FST UNAIR menunjukkan kitosan sebagai sampel bone filler yang telah berhasil dibuat. (Foto: Dok PKM-PE FST) Dijelaskan oleh Mohamad Heykal Putra Ardana, yang mewakili timnya, biomaterial yang biasa digunakan adalah bone filler yang merupakan bahan pengisi ke dalam rongga tulang yang rusak. Sedangkan bahan utama pembuatan bone filler itu adalah hidroksiapatit yang mempunyai sifat mekanis yang rendah, sehingga untuk meningkatkan sifat tersebut diperlukan bahan tambahan. “Kitosan merupakan bahan material yang diyakini selain bisa meningkatkan sifat mekanis juga dapat untuk mempercepat proses pertumbuhan sel pada tulang (osteoblas) pasca penanganan kanker tulang,” tutur Heykal. Sedangkan kitosan, lanjut Heykal, biasa ditemukan pada hewan
yang bercangkang atau berkulit keras. Dipilihnya bahan yang berasal dari cangkang bekicot karena di dalamnya terdapat kandungan kitosan yang lebih besar dibandingkan dengan kulit udang, kepiting, rajungan, dan sebagainya. Teky Putri Rahayu menambahkan, dalam pembuatan material ini diperlukan beberapa tahapan yang cukup panjang. Cangkang bekicot yang sudah digiling dan menjadi serbuk, lalu ditambahkan dengan larutan tertentu agar kandungan yang ada pada cangkang seperti protein, mineral, dan zat besi menjadi hilang, sehingga didapatkan kitosan. Kitosan ini yang berikutnya ditambahkan ke dalam bone filler untuk dilakukan beberapa pengujian, sehingga hasil dari bone filler yang telah ditambahkan kitosan tersebut mampu memiliki sifat karateristik sesuai dengan standar medis, dan dapat dikembangkan menjadi biomaterial dengan kinerja pemulihan jaringan tulang yang baik dan optimal. (*) Editor: Bambang Bes
Ahmad Khalid, Sempat Merasa Kesepian Ketika Hari Raya Tiba UNAIR NEWS – Hari Raya Idul Fitri merupakan hari besar bagi umat Islam khususnya di Indonesia yang merupakan negara berpopulasi muslim terbesar di dunia. Momen Idul Fitri biasanya digunakan sebagai ajang silaturahmi keluarga besar dan makan bersama. Namun keadaan ini berbeda dengan Ahmad Khalid.
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga ini sudah lima tahun merayakan Idul Fitri di Surabaya seorang diri. Khalid bercerita, dirinya selalu merasa kesusahan jika hari raya tiba. Pasalnya, ia kesusahan untuk mencari makan. “Sangat sepi sekali. Semua orang mudik, saya bingung cari makan, semuanya tutup. Saya cuma ditemani suara tikus-tikus di depan rumah kos saya,” cerita Khalid sambil tertawa. Selama ia terpisah jarak dengan keluarga, Khalid menghubungi keluarganya di Palestina melalui sambungan telepon. Melalui panggilan suara itulah, penerima Beasiswa Unggulan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bertukar cerita dan salam dengan sanak keluarganya. Tak berbeda Khalid mengatakan, perayaan Idul Fitri di negaranya dan Indonesia tak berbeda. Warga kota Bani Na’im, Palestina, tersebut bercerita, bahwa Idul Fitri dimanfaatkan sebagai momen silaturahmi bersama keluarga besar. Saat Idul Fitri, semua keluarga besar saling menyapa dan bercerita satu sama lain. “Saat berkumpul, biasanya kita makan kue dan minum kopi. Makanan tradisional yang disajikan di sana sewaktu Idul Fitri yakni Mamool (sejenis kukis) dan juga ada kopi Arabica untuk keluarga. Saya sangat rindu suasana itu, nikmat bersama keluargaku memang terpenting,” kisah mahasiswa FKG UNAIR. Ditanya mengenai makanan Indonesia, Khalid mengaku meskipun sudah hampir lima tahun berada di Indonesia ia belum sepenuhnya menikmati makanan Indonesia. “Orang-orang di sini biasanya kalau sahur atau buka kalau tanpa nasi biasanya kurang puas, tapi disana sebenarnya dengan kurma dan air putih saja cukup,” jelasnya.
Ia lantas berharap, dirinya segera menyelesaikan studi dan kembali ke tanah airnya untuk berkumpul dengan keluarga yang ia rindukan. Penulis: Faridah Hari Editor: Defrina Sukma S
Konsentrat Jantung Pisang, Turunkan Kolesterol pada Daging Kambing UNAIR NEWS – Kreativitas dan inovasi mahasiswa Universitas Airlangga terus berlanjut. Kali ini mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR PSDKU Banyuwangi berhasil membuat ransum konsentrat, pakan tambahan ternak, yang terbuat dari jantung pisang dan bekatul sebagai feed additive. Hasilnya, kambing dan domba yang diberi konsentrat ini berat badannya cepat meningkat dan dagingnya lebih sehat untuk dikonsumsi karena rendah kolesterol, sehingga bisa untuk mengatasi masalah phobia masyarakat terhadap kolesterol tinggi. ”Itu keunggulan dari PKM kami. Tapi hasil itu akan didapatkan jika menambahkan konsentrat tepung jantung pisang dan bekatul sebagai feed additive pakan kambing atau domba dan diberikan secara rutin,” demikian penjelasan Dina Deviana, ketua tim peneliti Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKM-PE) FKH UNAIR Banyuwangi. Atas keberhasilan ini, Dina Deviana (FKH 2014) dan tiga anggota timnya, Nur Prabowo Dwi Cahyo (FKH 2014), Dwi Retna Kumalaningrum (FPK 2014), dan Widya Kusuma (FKH 2015),
menuangkannya dalam proposal PKM bidang Penelitian Ekonomi. Setelah melalui penilaian ketat oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, proposal ini lolos dan mendapatkan dana penelitian dari Kemenristekdikti dalam program PKM 2017.
ANGGOTA tim mengiris jantung pisang (ontong) untuk dikeringkan dan dijadikan tepung. (Foto: Dok Tim)
Jantung pisang kering, siap dijadikan tepung. (Foto: Dok Tim) Dina Dkk berinovasi pada produk ini karena ingin memanfaatkan melimpahnya bahan baku jantung pisang, dimana Banyuwangi merupakan sentra penghasil pisang di Jawa Timur. Selain itu
perekonomian di kota yang dijuluki “Sunrise Of Java” ini banyak ditunjang oleh sektor perikanan, pertanian dan peternakan. ”Maka salah satu cara untuk peningkatan kualitas peternakan di Kabupaten Banyuwangi yaitu dengan meningkatkan kualitas pakan untuk ternak itu,” tambah Dina Deviana. Apalagi, mayoritas peternak di Banyuwangi selama ini hanya mengandalkan rumput sebagai pakan ternaknya, tanpa adanya makanan tambahan lainnya. Malahan, pemberian rumput pun juga terbatas, sehingga kualitas daging yang dihasilkan dari ternaknya turun dan pertumbuhan ternak menjadi terganggu, tubuh kambing menjadi kurus. Melihat kasusnya demikian, Tim PKMPE Dina Dkk mengevaluasi bahwa perlu adanya pemberian nutrisi dengan gizi yang seimbang untuk ternak di Banyuwangi. Makanan tambahan itu akan melengkapi kebutuhan nutrisi, dalam hal ini adalah konsentrat sebagai makanan tambahan untuk kambing/domba. Caranya dengan menambahkan kandungan nutrisi seperti protein, energi, dan mineral. Akhirnya ditemukan dalam penelitian tim ini bahwa konsentrat yang digunakan ialah bekatul padi yang dikombinasikan dengan jantung pisang sebagai feed additive. Dipilihnya jantung pisang karena mengandung banyak vitamin C, serat, dan saponin yang cukup tinggi. Jika “suplemen” ini secara rutin diberikan pada kambing/domba, maka kandungan unsur yang ada itu dapat menurunkan kolesterol pada dagingnya. Selain itu jantung pisang sangat bermanfaat bagi ternak kambing maupun manusia yang mengonsumsi daging kambing tersebut. Diterangkan oleh mereka, membuatnya pun relatif mudah. Diawali dengan jantung pisang itu dibuat tepung dahulu. Jantung pisang basah digiling (cooper), lalu dilakukan penjemuran pada sinar matahari atau pengovenan hingga kadar airnya tersisa maksimal 14%. Selanjutnya dilakukan penggilingan.
Setelah itu dibuat ransum dengan bekatul sesuai persentase tertentu. Tim PKM ini kemudian menguji dan mempraktikan pada kambing/domba sesuai metode penelitiannya. Dari catatan dan pengamatan dalam pengujian, diperoleh hasil yang sangat baik, konsentrat bikinan Dina Dkk ini mampu menurunkan kadar kolesterol dalam daging kambing/domba serta mampu lebih cepat meningkatkan berat badan ternak. ”Daging kambing yang rendah kolesterol tentunya lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat, bagi mereka phobia terhadap kolesterol tinggi pun bisa mengonsumsinya,” katanya. (*) Editor: Bambang Bes
Mudik Gratis BEM UNAIR Berangkatkan Delapan Bus ke Enam Tujuan UNAIR NEWS – Seperti dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga kembali mengadakan aksi ”Mudik Gratis 2017”. Sebanyak 350 orang peserta mudik yang terdiri dari mahasiswa UNAIR dan masyarakat umum, diantarkan menggunakan delapan bus, menuju enam daerah tujuan. Dengan mengibaskan bendera BEM UNAIR oleh Wakil Rektor I UNAIR Prof. Joko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., PhD., FINASIM bersama dengan Perwakilan dari Dinas Perhubungan Pemprov Jatim Ir. Subhan Wahyudiono, menandai diberangkatkan ”Mudik Gratis 2017” secara resmi, di halaman Rektorat UNAIR, Rabu (21/6). Sebelum itu bersama Direktur Kemahasiswaan Dr. M. Hadi
Shubhan, SH., MH., CN., Wakil Rektor Prof. Djoko Santoso juga melepas rangkaian puluhan balon udara berbanner “Mudik Gratis 2017 BEM UNAIR”. Turut hadir menyaksikan pemberangkatan delapan bus itu adalah perwakilan Polsekta Mulyorejo, dan Ketua BEM UNAIR Anang Fajrul. Anang Fajrul menjelaskan, kegiatan “Mudik Gratis 2017” ini dilaksanakan oleh Kementerian Pengabdian Masyarakat BEM UNAIR bekerjasama dengan Dinas Perhubungan Provinsi jawa Timur. Kerjasama antar-keduanya dalam aksi mudik gratis kali ini untuk yang ketujuh. Artinya sudah dijalin sejak tujuh tahun lalu. Tahun ini hanya memberangkatkan delapan bus dengan 350 penumpangnya dari mahasiswa dan beberapa masyarakat umum. Tahun ini mudik dilaksanakan menuju ke enam rute tujuan, antaralain Surabaya-Sumenep (Madura), Surabaya-Malang, Surabaya-Ponorogo-Madiun-Pacitan, Surabaya-Blitar – Tulungagung – Trenggalek, Surabaya-Bojonegoro, dan Surabaya Jember-Banyuwangi. ”Harapan kami, dengan kegiatan ini dapat membantu teman-teman dan warga sekitar UNAIR yang hendak merayakan Hari Raya di kampung halaman dengan perjalanan lancar dan selamat, hingga berbahagia bersama keluarganya,” kata Anang.
BAGAI TERMINAL. Halaman Rektorat UNAIR bagaikan terminal
dengan acara “Mudik Gratis 2017” BEM UNAIR. (Foto: Bambang Bes) Wakil Rektor I UNAIR Prof. Djoko Santoso dalam sambutannya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada panitia (BEM KM UNAIR) dan Dinas Perhubungan yang telah sekian lama menjalin kerjasama yang hasilnya dapat membantu banyak orang, terutama mahasiswa UNAIR. ”Kita ini lembaga yang mempunyai tugas membangun keilmuan dan kepercayaan, akan mencetak calon-calon pemimpin masa depan. Dengan bermodalkan sikap fitri (suci) kita harapan akan semakin disukseskan,” kata Guru Besar FK UNAIR ini. Bagi Dinas Perhubungan, kata Ir. Subhan Wahyudiono dalam sambutannya, mudik bersama ini tujuan utama untuk membantu masyarakat dalam merayakan Hari Raya dengan perjalanan lancar dan selamat. Untuk itu 2.277 bus dikerahkan dan diberangkatkan dari 12 lokasi sejenis di UNAIR ini. Misalnya juga di ITS, Maspion, Pasar Induk Sayur, DLLAJR, Kantor Dishub, dan sebagainya. ”Itu yang dengan menggunakan bus, tetapi juga ada yang menggunakan kereta api dan kapal untuk mudik diluar pulau, seperti tujuan Pulau Masalembo, Pulau Raas, Pulau Bawean, dsb,” katanya. (*) Penulis: Bambang Bes
Mahasiswa Cetuskan Ide Ketahanan Pangan di Kawasan
Eks Lokalisasi UNAIR NEWS – Mahasiswa lintas fakultas Universitas Airlangga mengubah citra kawasan eks lokalisasi Dolly yang terletak di Kecamatan Pakis Sidokumpul, Surabaya. Mereka melibatkan warga setempat untuk menyisihkan lahan untuk tanaman hidroponik di kawasan padat penduduk. Keempat mahasiswa yang beranggotakan Fitria Budiarti, Nina Agustina, Enis Rezqi Maulida, dan Nelza Manora Veronica mengusung konsep Green Wall Training dalam proposal program kreativitas mahasiswa pengabdian masyarakat (PKM–M). Proposal PKM–M berjudul “Green Wall Training sebagai Upaya Pengembangan Kampung Hijau untuk Mengubah Citra Masyarakat Dolly” tersebut berhasil lolos seleksi pendanaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2017. “Masyarakat sudah mulai menyesuaikan diri terhadap keputusan penutupan lokalisasi Dolly. Namun, image negatif tentang Dolly belum berubah. Oleh karena itu, kami ingin mengembangkan kampung hijau sebagai upaya untuk mengubah citra terhadap Dolly,” tutur Fitria. Akibat keterbatasan lahan di kawasan Pakis, mereka menggunakan metode hidroponik dalam menanam tanaman sayur dan buah-buahan. Dalam program green wall training, mereka membagi warga menjadi tiga kelompok penanam. Kelompok pertama mendapat jatah menanam tanaman sayur bayam hijau dan bayam merah, kelompok kedua menanam sayur sawi dan selada, sedangkan kelompok ketiga menanam kangkung dan pakcoy. “Pemilihan jenis sayuran sudah kami tentukan berdasarkan jangka waktu tercepat untuk panen tanaman. Keenam sayur tersebut ditargetkan akan siap dipanen dalam rentang waktu satu bulan mendatang,” imbuh Fitria.
Fitria menambahkan, rentang waktu tersebut sudah direncanakan berdasarkan masa panen tanaman. Pada minggu pertama, mahasiswa dan warga menyemai bibit hingga tumbuh. Satu bulan kemudian, akan dilakukan pindah tanam pada media yang ditentukan. Media yang digunakan pun beragam sesuai kemampuan dan keinginan warga setempat di antaranya berupa ember, botol air mineral bekas, dan pipa paralon. “Semua media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pada awal training kami sudah menjelaskan secara tuntas. Keputusan pun dipilih berdasarkan kemampuan ibu-ibu dalam merawat tanamannya kelak,” tutur Fitria yang juga mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan. Harapannya, dengan adanya program green wall training, warga setempat dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga secara mandiri. Selain itu, program green wall training bisa membantu pencapaian ketahanan pangan di Indonesia. Editor: Defrina Sukma S