TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK DAUN LIDAH BUAYA (ALOE VERA) KONSENTRASI 75% LEBIH MENURUNKAN JUMLAH MAKROFAG DARIPADA KONSENTRASI 50% DAN 25% PADA RADANG MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN
I DEWA AYU NURAINI SULISTIAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
i
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK DAUN LIDAH BUAYA (ALOE VERA) KONSENTRASI 75% LEBIH MENURUNKAN JUMLAH MAKROFAG DARIPADA KONSENTRASI 50% DAN 25% PADA RADANG MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN
I DEWA AYU NURAINI SULISTIAWATI NIM 0990761039
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
PEMBERIAN EKSTRAK DAUN LIDAH BUAYA (ALOE VERA) KONSENTRASI 75% LEBIH MENURUNKAN JUMLAH MAKROFAG DARIPADA KONSENTRASI 50% DAN 25% PADA RADANG MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
I DEWA AYU NURAINI SULISTIAWATI NIM 0990761039
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 01 November 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K) NIP. 19461231 196902 1 001
Prof. dr. N.Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D NIP. 19451128 197903 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. W. Pangkahila, Sp.And.,FAACS. NIP. 19461213 197107 1 001
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 31 Oktober 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK. Rektor Universitas Udayana, No : 1678/UN14.4/HK/2011 Tanggal 31 Oktober 2011
Ketua
: Prof.Dr.dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K)
Anggota : 1. 2. 3. 4.
Prof. dr. N.Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, Sp.And.,FAACS Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si. dr. I G N Mayun SpHK
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa,TuhanYang Maha Esa, karena atas karunia-NYA lah, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul :“Pemberian Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe Vera) Konsentrasi 75% Lebih Menurunkan Jumlah Makrofag Daripada Konsentrasi 50% Dan 25% Pada Radang Mukosa Mulut Tikus Putih Jantan.” Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan dorongan, petunjuk, bimbingan dan bantuan baik materi, tenaga, fasilitas maupun hasil pemikiran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu dengan penuh rasa hormat dan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K), selaku pembimbing pertama dan Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph..D, selaku pembimbing kedua atas segala bimbingan dan arahannya yang diberikan dengan penuh perhatian dan kesabaran, serta tak henti-hentinya memberikan motivasi dari awal hingga akhir tugas ini, sehingga selalu memacu penulis untuk terus belajar dan melakukan yang terbaik. 2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, Sp. And., FAACS; Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.si; dan dr. I G N Mayun, SpHK selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi yang sangat membangun sehingga tesis ini dapat terwujud.
v
3. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta,Sp.PD (KHOM), Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Ketua Program Biomedis Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 4. Rektor Universitas Mahasaraswati Tjok. Istri Sri Ramaswati, SH., MM, dan drg. Putu Ayu Mahendri, M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Mahasaraswati atas ijin dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program magister. 5. Kepala Bagian Fakultas Kedokteran Hewan Unud dan Kepala Bagian Farmakologi Unud yang telah memberikan kesempatan mempergunakan fasilitas yang ada sehingga membantu penulis menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya. 6. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan Nasional melalui Tim Managemen Program Magister yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk BPPS sehingga meringankan beban penulis dalam mengikuti program ini. 7. Seluruh dosen dan staf pada Program Magister Biomedik Universitas Udayana Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Kedokteran dasar yang selalu memberikan motivasi dan doanya. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu dan Ayahanda, Ibu
vi vi
dan Ayah mertua (alm) tercinta yang telah penuh kasih, mengantarkan penulis menerima semua karunia Tuhan dengan penuh rasa syukur. Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta, I D. G. Budhi Janana serta putra-putriku terkasih Listiana, Adisty dan Budhi Asthana yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kesempatan, dukungan dan semangat kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Juga teman terkasih, I G. A. A. Hartini yang selalu memberikan motivasi dan dukungan melewati masa-masa sulit. Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan secara lengkap satu persatu. Jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan tesis ini mohon mendapat perhatian agar disampaikan kritik dan sarannya.
Denpasar, Oktober 2011
Penulis
vii
ABSTRAK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN LIDAH BUAYA (ALOE VERA) KONSENTRASI 75% LEBIH MENURUNKAN JUMLAH MAKROFAG DARIPADA KONSENTRASI 50% DAN 25% PADA RADANG MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN
Radang mukosa mulut sering terjadi biasanya berupa bercak putih kekuningan dengan permukaan agak cekung dan dikelilingi tepi kemerahan, serta sakit. Terapi radang mukosa mulut pada dasarnya ditujukan untuk menekan peradangan, mengurangi rasa perih dan mempercepat penyembuhan. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang seperti sel polimorfonuklear (PMN) dan sel-sel fagosit mononuclear. Daun lidah buaya (aloe vera) mengandung bahan-bahan yang dapat mengobati radang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penurunan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut tikus yang diberikan ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) dengan berbagai konsentrasi. Penelitian dilakukan dengan rancangan eksperimental (Randomized Prepost Test Control Group Design), terdiri dari empat kelompok, yaitu satu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok kontrol mendapat pemberian akuades, dan kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya dengan konsentrasi 25%, 50%, dan 75%. Hasil penelitian berdasarkan Uji perbandingan antara keempat kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa rerata jumlah makrofag pada konsentrasi 50% dan 75% sesudah diberikan perlakuan berbeda secara sangat bermakna (p<0,01). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah makrofag pada kelompok pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 50%, dan 75%. Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% terbukti paling tinggi menurunkan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut tikus. Kata Kunci: radang mukosa mulut, makrofag, daun lidah buaya
viii
ABSTRACT THE APPLICATION OF ALOE VERA EXTRACT WITH A CONCENTRATION OF 75% DECREASES THE NUMBER OF MACROPHAGES MORE THAN THE EXTRACT WITH A CONCENTRATION OF 50% AND 25% IN ORAL MUCOSA INFLAMMATION OF WHITE MALE MICE
Inflammation of oral mucosa often occurs as yellowish white spots with slightly concave and reddish halo, and painful. The treatment of oral mucosa inflammation is basically to suppress the inflammation, reduce the pain and to increase the healing process. Histopathological assessment proved infiltration of inflammatory cells such as polymorph nuclear cells (PMN) and mononuclear phagocyte cells. Aloe vera contains some compounds that can heal the inflammation. The objective of this research was to find out the decrease of macrophages in the oral mucosa of mice given extract of aloe vera in various concentrations. The research was carried out as randomized pre-test and post-test with control group design. Four groups involved in this study, including one control group and three treatment groups. The control group was given aquadest and the treatment groups were treated with aloe vera extract in the concentration of 25%, 50%, and 75%, respectively. The result based on comparison test between the groups with One Way Anova showed that the average amount of macrophages in the groups of 50% and 75% concentration after receiving the treatment was highly significantly different (p<0.01). The result of the test showed the decrease in the number of macrophages in the aloe vera treatment groups of 50% and 75% concentration. The conclusion was that the application of aloe vera extract proved in reducing inflamation with concentration of 75% was the strongest in reducing inflammation on mice oral mucosa. Keywords: Oral mucosa inflammation, macrophages, aloe vera
ix
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM PRASYARAT GELAR............................................................................ LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................... PENETAPAN PANITIA PENGUJI ......................................................... UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... ABSTRAK .............................................................................................. ABSTRACT ............................................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................... DAFTAR SINGKATAN ......................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 1.2 Rumusan Masalah ............................................................ 1.3 Tujuan penelitian .............................................................. 1.3.1 Tujuan umum ......................................................... 1.3.2 Tujuan khusus ........................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ...........................................................
ii iii iv v viii ix x xi xii xiii xiv 1 1 4 5 5 5 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 2.1 Radang Mukosa Mulut/Stomatitis .................................... 2.1.1 Batasan radang mukosa mulut ................................. 2.1.2 Klasifikasi radang mukosa mulut ............................ 2.1.3 Etiologi radang mukosa mulut ................................ 2.1.4 Diagnosa banding radang mukosa mulut ................. 2.1.5 Terapi radang mukosa mulut ................................... 2.1.6 Histopathologi ........................................................ 2.2 Anatomi Mukosa Mulut ..................................................... 2.3 Radang ............................................................................... 2.3.1 Etiologi radang ......................................................... 2.3.2 Tanda utama radang .................................................. 2.3.3 Mekanisma radang .................................................... 2.3.4 Mediator kimia radang .............................................. 2.3.5 Macam-macam sel radang ......................................... 2.4 Lidah Buaya ...................................................................... 2.4.1 Morfologi lidah buaya ............................................... 2.4.2 Kandungan lidah buaya ............................................. 2.4.3 Efek farmakologis lidah buaya .................................. 2.4.4 Senyawa nutrisi yang berperan dalam penyembuhan . 2.5 Peranan lidah Buaya Dalam Menurunkan Radang ............... 2.6 Tikus Putih ......................................................................... 2.7 Penelitian Pendahuluan .......................................................
7 7 7 8 10 12 12 14 14 16 18 18 19 26 28 35 40 42 45 46 47 51 52
x
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ................................................................... 3.1 Kerangka Berikir .......................................................... 3.2 Konsep Penelitian ......................................................... 3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................
54 54 56 56
BAB IV
METODE PENELITIAN .................................................... 4.1 Rancangan Penelitian.................................................... 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................... 4.3 Sumber Data ................................................................. 4.3.1 Besar sampel ....................................................... 4.3.2 Kriteria sampel.................................................... 4.4 Identifikasi Variabel ..................................................... 4.5 Definisi Operasional ..................................................... 4.6 Bahan dan Alat Penelitian ............................................. 4.7 Jalannya Penelitian ....................................................... 4.8 Analisis Data ................................................................
58 58 59 59 60 61 61 62 62 65 69
BAB V
HASIL PENELITIAN ......................................................... 5.1 Uji Normalitas Data ...................................................... 5.2 Uji Homogenitas Data .................................................. 5.3 Makrofag ...................................................................... 5.3.1 Analisis komparabilitas ....................................... 5.3.2 Analisis efek pemberian ekstrak daun lidah Buaya .................................................................
70 70 71 71 71
PEMBAHASAN ................................................................. 6.1 Subyek Penelitian ......................................................... 6.2 Distribusi Data Hasil Penelitian .................................... 6.3 Hubungan Ekstrak Daun Lidah Buaya terhadap Penyembuhan Radang Mukosa Mulut Tikus Putih ........
76 76 76
SIMPULAN DAN SARAN .................................................
82
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. LAMPIRAN .....................................................................................
84 88
BAB VI
BAB VII
xi
72
77
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Kandungan kimia lidah buaya.................................................. 42 Tabel 2.2 Komponen kimia lidah buaya berdasarkan manfaatnya ............ 43 Tabel 2.3 Beberapa kandungan nutrisi lidah buaya .................................. 45 Tabel 2.4 Penggunaan lidah buaya dalam penyembuhan ......................... 47 Tabel 5.1 Hasil uji normalitas data.............................................................. 70 Tabel 5.2 Homogenitas data jumlah makrofag antar kelompok perlakuan..71 Tabel 5.3 Rerata jumlah makrofag sebelum diberikan ekstrak daun lidah Buaya............................................................................................71 Tabel 5.4 Perbedaan rerata jumlah makrofag antar kelompok sesudah diberikan ekstrak daun lidah buaya............................................ 72 Tabel 5.5 Beda nyata terkecil jumlah makrofag sesudah diberikan Ekstrak daun lidah buaya antar dua kelompok........................... 73
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1Radang mukosa mulut/stomatitis…………………………..8 Gambar 2.2
Monosit………………………………………………….
33
Gambar 2.3
Lidah buaya ....................................................................... 42
Gambar 2.4
Pengamatan mikroskopis sel makrofag.......................... 53
Gambar 3.1
Konsep penelitian .............................................................. 56
Gambar 4.1
Rancangan penelitian ......................................................... 58
Gambar 4.2
Bahan dan Alat Penelitian .................................................. 63
Gambar 4.3
Alur Penelitian penelitian.................................................... 64
Gambar 4.4
Penyaringan dengan tabung erlenmeyer......................... 67
Gambar 4.5
Filtrat diuapkan dengan vacuum rotary evaporator..... 67
Gambar 4.6
Akuades dan ekstrak daun lidah buaya.............................67
Gambar 4.7
Pengolesan H2O2 30 %....................................................... 68
Gambar 4.8
Pengolesan ekstrak daun buaya....................................... 68
Gambar 4.9
Tikus dibunuh dengan chloroform.................................... 68
Gambar 4.10 Pengambilan Jaringan mukosa tikus............................... 68 Gambar 4.11 Fiksasi jaringan dengan formaldehid 10%...................... 68 Gambar 4.12 Preparat mikroskopis......................................................... 68 Gambar 5.1
Grafik perbandingan makrofag sebelum dan sesudah Perlakuan antar kelompok.................................................. 73
Gambar 5.2
Pemeriksaan mikroskopis makropag...................................
xiii
75
DAFTAR SINGKATAN
HIV
:
Human Immunodefisiensi Virus
PMN
:
Poly Morpho Nuklear
LNPF
:
Lymph Nodepermeability Faktor
SRS-A
:
Slow-Reacting Substance Anaphilaxis
DNA
:
Deoxyribo Nucleic Acid
RNA
:
Ribonucleic Acid
RES
:
Reticuloendothelial Cell
pH
:
potensial Hidrogen
H2O2
:
Hidrogen Peroksida
HE
:
Harris Hematoxcylin-Eosin
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Anova ................................................................................. 88 Lampiran 2 Post Hoct Test ...................................................................... 89
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian yang kurang menentu, secara tidak langsung akan
mempengaruhi
tingkat
kesehatan
masyarakat
pada
umumnya,
serta
mempengaruhi kesehatan di dalam rongga mulut pada khususnya. Masalah kesehatan dalam rongga mulut yang sering ditemukan pada masyarakat, adalah kasus peradangan mukosa mulut. Radang mukosa mulut/ stomatitis, merupakan sejenis penyakit radang mukosa mulut yang sangat lazim dijumpai dan diderita oleh sekitar 10-25% dari seluruh jumlah penduduk yang ada, tetapi kebanyakan dari kasus penyakit ini tergolong ringan dan dialami dengan sedikit keluhan.Radang mukosa mulut ditandai dengan ulser yang rekaren, sakit dan tanpa adanya tanda penyakit lain. Sebagian besar radang mukosa mulut terjadi pada mukosa bukal dan labial, lesi ulsernya mulai sumbuh dalam waktu 714 hari (Gandolfo dkk., 2006). Penyebab dari radang mukosa mulut masih belum diketahui secara pasti, dugaan antara lain karena trauma, infeksi, gangguan pencernaan, kelainan darah, infeksi HIV (Human Immunodefisiensi Virus), gangguan emosional, gangguan imunologik, defisiensi nutrisi, dan kelainan hormonal. Pengobatan penderita radang mukosa mulut bersifat simptomatis yang bertujuan mengurangi inflamasi, menekan rasa sakit di daerah lesi dan mempercepat penyembuhan (Cawson dan Odel, 2002).
1
Melihat kondisi ekonomi saat ini diperlukan obat alternatif yang jauh lebih murah dan lebih mudah didapat serta mempunyai efektivitas yang cukup baik dalam mengobati peradangan. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menggalakkan pemakaian bahan tradisional sebagai bahan alternatif pengobatan, karena Indonesia kaya akan tanaman berkhasiat obat dan harga yang terjangkau masyarakat (Farmakope Indonesia, 1979). Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan juga menganjurkan penggunaan dan pengembangan penelitian tanaman obat (PP RI No 8/1999) yang berkhasiat dalam mengurangi dan/menyembuhkan rasa sakit. Selain harganya relatif dapat dijangkau masyarakat, mudah diperoleh dan penggunaannya cukup praktis (Farmakope Indonesia, 1995). Melalui penelusuran berbagai literatur, ditemukan bahwa daun lidah buaya (aloe vera) mengandung bahan-bahan yang dapat mengobati radang. Namun efektivitasnya belum diteliti secara mendalam(Farmakope Indonesia, 1995). Daun lidah buaya (aloe vera) merupakan salah satu tanaman yang termasuk dalam family Liliaceae, tumbuh di daerah kering sampai basah (16-33 derajat Celcius), merupakan tanaman bergetah dan berdaging dengan ketebalan 2,5 cm. Di dalam daun terdapat gel yang merupakan bagian paling banyak digunakan, gel berwarna jernih sampai kekuningan (Jatnika dan Saptoningsih, 2009). Daun lidah buaya mengandung vitamin, enzim, protein, karbohidrat, mineral (kalsium, natrium, magnesium, seng, besi) dan asam amino. Selain itu berbagai agen anti inflamasi, di antaranya adalah asam salisilat, indometasin, manosa-6-fosfat, B sitosterol, juga komponen lignin, saponin dan anthaquinone yang terdiri atas aloin, barbaloin, anhtranol, anthracene, aloetic acid, aloe emodin merupakan bahan dasar obat yang bersifat sebagai antibiotik dan penghilang rasa sakit (Yuliani dkk., 1994; Simanjuntak, 1996; Jatnika dan Saptoningsih, 2009).
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa beberapa komponen daun lidah buaya memiliki aktivitas anti-inflamasi yang signifikan. Bob Bowden dan Wayne Smith (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa daun lidah buaya bertindak sebagai anti-inflamasi dengan menghambat integrin tertentu (Davis, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Meitha Widurini, seorang staf pengajar Biologi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, menggunakan daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 100% yang diaplikasikan pada radang mukosa mulut tikus, ternyata dapat menurunkan radang mukosa mulut tikus. Didapatkan hasil bahwa daun lidah buaya tidak mempunyai mekanisme tunggal sebagai anti inflamasi. Tanaman ini mengandung berbagai macam unsur dan zat yang dipercaya dapat bertindak sebagai agen antiinflamasi, antara lain asam salisilat, vitamin, polisakarida dan asam lemak. Disamping itu terdapat pula indometasin yang dapat mengurangi edema, menghambat enzim siklooksigenase dan menghambat motilitas dari leukosit poly morpho nuklear (PMN) yang bila jumlahnya berlebihan dapat merusak jaringan (Widurini, 2003). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan (2011), pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25% didapat rerata jumlah makrofag = 38,60, pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 50% rerata jumlah makrofag = 15,60 dan pada pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75% rerata jumlah makrofag = 9,53. Tampaknya pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75% memberikan penurunan jumlah makrofag lebih tinggi daripada konsentrasi 50% dan 25% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan. Peneliti juga melakukan penelitian pendahuluan pada kelompok pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 100% (sebagai referensi) dan didapatkan rerata jumlah makrofag = 9,65, yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian sesungguhnya didapat rata-rata jumlah makrofag =11,40.
Berdasarkan penelitian di atas penulis ingin meneliti lebih mendalam tentang pengaruh dari pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75% apakah dapat lebih menurunkan jumlah makrofag dari pada konsentrasi 50% dan 25% pada radang mukosa mulut tikus, sehingga didapatkan konsentrasi yang efektif dalam menurunkan radang mukosa mulut tikus putih jantan. Hal ini dapat membantu penderita mendapatkan obatobat yang lebih murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat. Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan penggunaan tanaman obat yang mengandung anti radang dapat lebih ditingkatkan serta dapat membantu peningkatan budidaya tanaman obat di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Bertitiktolak dari latar belakang masalah di atas, maka timbul suatu permasalahan : 1.
Apakah pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 50% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan?
2.
Apakah pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 25% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui konsentrasi pemberian ekstrak daun lidah buaya(aloe vera) yang lebih tinggi dalam menurunkan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut tikus putih jantan. 1.3.2 Tujuan khusus 1.
Untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 50% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan.
2.
Untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 25% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang kesehatan tentang potensi daun lidah buaya dalam menurunkan radang mukosa mulut tikus.
1.4.2 Manfaat klinis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan bagi peneliti lain jika pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera)
dapat digunakan untuk
menurunkan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut, dan dapat dijadikan dasar acuan penelitian lebih lanjut. 1.4.3 Manfaat sosial -
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam membantu menemukan salah satu obat alternatif dari berbagai terapi pilihan pengobatan radang mukosa mulut.
-
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam membantu menemukan obat tradisional yang murah dan mudah didapat berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Radang Mukosa mulut/ stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak ini dapat berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Radang mukosa mulut dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi serta langit-langit dalam rongga mulut (Scully, 2006). Munculnya radang mukosa mulut ini disertai rasa sakit dan merupakan penyakit mulut yang paling sering ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10% dari populasi menderita penyakit ini, dan wanita lebih mudah terserang daripada pria (Scully, 2006). Radang mukosa mulut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain defisiensi vitamin (zat besi, asam folat, Vitamin B12 atau B kompleks), psikologis, trauma, endokrin, herediter, alergi, imunologi dan lain-lain (Lewis, 1998). Sumber lain menyebutkan penyebab radang mukosa mulut sesungguhnya sangat beragam, mulai dari tergigit, luka ketika menyikat gigi, alergi terhadap makanan ataupun adanya infeksi oleh bakteri.
2.1 Radang Mukosa Mulut 2.1.1 Batasan radang mukosa mulut
Radang mukosa mulut diperkenalkan pertama kali oleh Hippocrates. Radang mukosa mulut merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan ulser rekaren, terbatas pada mukosa mulut dari penderita yang tidak mempunyai tanda penyakit lainnya. Lesi ulsernya dapat tunggal atau jamak (Paris dkk., 2000; Ship dkk., 7 2000; Greenberg, 2003). Biasanya, ulser yang perih ini timbul kembali dalam interval waktu 3 hingga 4 minggu. Kadang-kadang tidak kunjung sembuh. Kekambuhan selama satu bulan dapat terjadi, namun hal tersebut sulit diprediksi. Radang tipe minor secara individual berlangsung selama 7-14 hari kemudian pulih tanpa meninggalkan bekas. Radang mukosa mulut secara tipikal dapat mengenai daerah mukosa yang tak berkeratin, seperti mukosa bukal, mukosa labial, sulkus atau batas lateral lidah. Radang mukosa mulut sering kali timbul pada masa kanak-kanak, namun mencapai puncaknya pada masa remaja atau dewasa. Waktu timbulnya dapat bervariasi, kadang-kadang memiliki interval waktu yang relatif teratur. Kebanyakan orang yang mengalaminya tampak sehat-sehat saja, sebagian besar penderitanya bukan perokok, sebagian kecil mengalami gangguan haematologis (Cawson dan Odell, 2002).
Gambar: 2.1 Stomatitis (Cawson dan Odell, 2002)
2.1.2 Klasifikasi radang mukosa mulut
Berdasarkan gejala klinis radang mukosa mulut dapat diklasifikasikan menjadi 4 bentuk klinis (Joseph dan James, 1989; Haskell dan Gayford, 1990; Wray dkk., 2003)
1.
Bentuk minor Sebagian besar pasien (85%) menderita ulser bentuk minor, yang ditandai dengan ulser bentuk bulat atau oval, disertai rasa nyeri dengan diameter antara 2-4 mm, kurang dari 1 cm dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus. Ulser ini cenderung mengenai daerah non keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulsernya bisa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri dari empat sampai lima dan menyembuh dalam waktu 7-14 hari tanpa disertai pembentukan jaringan parut.
2.
Bentuk mayor Radang mukosa mulut tipe mayor dijumpai pada kira-kira 10% penderita, ulser bentuk mayor ini lebih besar dari bentuk minor. Ulsernya berdiameter 1-3 cm, sangat sakit dan disertai dengan demam ringan, terlihat adanya limfadenopati submandibula. Ulser ini dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah berkeratin. Berlangsung selama 4 minggu atau lebih dan sembuh disertai pembentukan jaringan parut.
3.
Bentuk Herpetiformis Bentuk Herpetiformis mirip dengan ulser yang terlihat pada infeksi herpes primer, sehingga dinamakan herpetiformis. Gambaran yang paling menonjol adalah
adanya ulser kecil berjumlah banyak dari puluhan hingga ratusan dengan ukuran mulai sebesar kepala jarum (1-2 mm) sampai gabungan ulser kecil menjadi ulser besar yang tidak terbatas jelas sehingga bentuknya tidak teratur.
4.
Bentuk Sindrom Behcet Sindrom Behcet merupakan sindrom yang mempunyai tiga gejala yaitu Aphthae dalam mulut, ulser pada genital dan radang mata. Aphthae dalam mulut dari sindrom behcet mirip dengan radang mukosa mulut dan biasanya merupakan gejala awal dari sindrom behcet.
2.1.3 Etiologi radang mukosa mulut Etiologi radang mukosa mulut masih belum diketahui secara pasti dari seluruh kasus yang ada, faktor penyebab baru dapat teridentifikasi sekitar 30%. Menurut Sonis dkk., 1995; Cawson dan Odell, 2002; bahwa faktor penyebabnya antara lain: 1.
Trauma Adanya riwayat trauma pada penderita sebagai gejala awal misalnya tergigit, trauma sikat gigi, pemakaian peralatan gigi, sehingga terjadi ulser pada mukosa mulut.
2.
Infeksi Belum adanya bukti bahwa radang mukosa mulut secara langsung disebabkan oleh mikroba, di duga yang berperan penting untuk terjadinya radang
mukosa mulut adalah adanya reaksi silang antigen dari streptococcus. Hipotesis lain, meskipun belum terbukti, menyatakan adanya gangguan regulasi imun yang disebabkan oleh virus herpes atau virus lainnya. 3.
Gangguan Imunologik Sampai saat ini etiologi radang mukosa mulut belum diketahui, radang mukosa mulut cenderung dikaitkan dengan proses autoimun. Peneliti lain mengemukakan adanya perubahan perbandingan antara limfosit T Helper dan T Supresor.
4.
Gangguan Pencernaan Radang mukosa mulut sebelumnya dikenal dengan nama dyspeptic ulcer namun jarang berkaitan dengan penyakit gastrointestinal. Adanya hubungan dengan penyakit ini biasanya karena terjadi defisiensi, terutama defisiensi vitamin B12 atau asam folat yang terjadi secara sekunder akibat malabsorbsi.
5.
Defisiensi Nutrisi Defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat, telah dilaporkan pada lebih dari 20% penderita dengan radang mukosa mulut. Pemberian vitamin B12 atau asam folat akan mempercepat penyembuhan radang mukosa mulut.
6.
Kelainan Hormonal Pada beberapa wanita, radang mukosa mulut berkaitan erat dengan fase luteal dari siklus menstruasi. Beberapa penderita, kekambuhan dari radang mukosa
mulut dikaitkan dengan stress, meskipun masih adanya pertentangan diantara peneliti. 7.
Infeksi HIV Radang mukosa mulut dapat dijumpai sebagai salah satu kelainan dari infeksi HIV. Kekambuhan dan keparahannya berhubungan dengan derajat penurunan imunitas pertahanan tubuh
8.
Faktor Genetik Terdapat sejumlah bukti tentang adanya pengaruh faktor genetik. Riwayat medis keluarga kadang dijumpai adanya anggota keluarga yang menderita radang mukosa mulut dan kelainan ini tampaknya lebih banyak mempengaruhi pasangan saudara kembar yang identik dibandingkan dengan non identik. Pendapat lain mengatakan bahwa bila kedua orangtua terserang radang mukosa mulut maka kemungkinan besar pada beberapa anaknya dapat ditemukan adanya kelainan tersebut.
2.1.4 Diagnosa banding Gambaran klinis radang mukosa mulut memiliki kemiripan dengan lesi lain didalam rongga mulut. Gambaran lesi ini secara klinis mirip dengan lesi intra oral pada ulkus traumatikus, gingivitis herpetika akut, eritema multiformis dan ulserasi dari penyakit sistemik seperti Crohn’s disease. Radang mukosa mulut dapat dibedakan dari lesi lain
didalam rongga mulut berdasarkan gambaran klinis yaitu ulser yang berbentuk bulat atau oval, bersifat kambuhan, dapat sembuh dengan sendirinya tanpa disertai gejala lainnya (Greenberg, 2003).
2.1.5 Terapi radang mukosa mulut Tujuan terapi pada dasarnya untuk menekan peradangan, mengurangi rasa perih dan mempercepat penyembuhan. Perawatan radang mukosa mulut yang sering dilakukan adalah sebagai berikut (Cawson dan Odell, 2002; Greenberg, 2003):
1.
Triamcinolon dental paste Adalah suatu pasta kortikosteroid yang dapat melekat pada mukosa yang basah, perlekatannya mulai berlangsung dari satu sampai beberapa jam. Biasanya digunakan untuk ulser yang tidak banyak dan mudah dijangkau. Obat kortikosteroid ini dapat mereduksi peradangan yang menimbulkan rasa perih sehingga penderita mudah makan dan pasokan nutrisi cukup yang selanjutnya mempercepat penyembuhan. Obat topikal ini berfungsi protektif terhadap ulser sehingga penderita merasa nyaman. Triamcinolon in ora base dapat diaplikasikan secara topical pada lesi ulser empat kali sehari, setelah makan dan pada waktu hendak tidur.
2.
Obat kumur Tetracycline
Berbagai uji coba telah dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa obat kumur tetracycline dapat mereduksi secara signifikan frekwensi dan keparahan dari ulser. Dengan cara melarutkan isi dari kapsul 250 mg dalam 50 ml air kemudian campuran ini digunakan sebagai obat kumur sebanyak empat kali sehari dan dikumur selama 2-3 menit. Pemakaian tetracycline harus diwaspadai terhadap resiko terjadinya reaksi alergi dan candidiasis oral. 3.
Obat kumur Chlorhexidine Larutan chlorhexidine 0,2% juga telah digunakan sebagai obat kumur untuk mengobati ulser. Larutan ini digunakan 3 kali setiap hari setelah makan dan dipertahankan didalam mulut selama kurang lebih 1 menit, hal ini dapat mengurangi rasa tidak enak dalam rongga mulut.
4.
Preparat Salicylate Topikal Salicylate mempunyai efek lokal anti radang. Preparat cholin salicylate dalam bentuk gel dapat diaplikasikan pada ulser.
5.
Ekstrak Sanguin 5% - Polidocanol 1% Obat ini dalam bentuk pasta dapat mengaktifkan transportasi oksigen dan nutrien dalam sel, serta merangsang metabolisme energi dalam sel, meningkatkan regenerasi sel, sehingga mempercepat perbaikan jaringan. Polidocanol dalam kadar yang rendah dapat mengurangi rasa sakit dengan cepat dan untuk waktu yang lama.
2.1.6 Histopathologi Terdapat dugaan yang kuat tentang adanya infiltrasi limfosit secara dini yang diikuti oleh kerusakan epithelium dan infiltrasi jaringan oleh neutrofil. Sel-sel mononuclear dapat pula menyelimuti pembuluh darah (perivasculer cuffing) (Cawson dan Odell, 2002). Ditemukan
proliferasi limfosit dalam merespon sejenis antigen
tertentu (Sonis dkk.,1995).
2.2 Anatomi Mukosa Mulut Jaringan lunak mulut terdiri dari mukosa pipi, bibir, ginggiva, lidah, palatum, dan dasar mulut. Struktur jaringan lunak mulut terdiri dari lapisan tipis jaringan mukosa yang licin, halus, fleksibel, dan berkeratin atau tidak berkeratin. Jaringan lunak mulut berfungsi melindungi jaringan keras di bawahnya; tempat organ, pembuluh darah, saraf, alat pengecap dan alat pengunyah. Secara histologis jaringan mukosa mulut terdiri dari 3 lapisan (Avery dan Chiego, 2006; Balogh dan Fehrenbach, 2006) : 1.
Lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari berlapislapis sel mati yang berbentuk pipih (datar) dimana lapisan sel-sel yang mati ini selalu diganti terus-menerus dari bawah, dan sel-sel ini disebut dengan stratified squamous epithelium. Struktur stratified squamous epithelium dari mukosa mulut meliputi kedua permukaan, yaitu mukosa mulut tidak berkeratin (mukosa pipi, bibir, palatum mole, dasar rongga mulut) dan mukosa berkeratin (palatum dan alveolar ridges). Terdiri dari stratum corneum, stratum granulosum, stratum spinosun dan stratum basale.
2.
Membrana basalis, yang merupakan lapisan pemisah antara lapisan ephitelium dengan lamina propria, berupa serabut kolagen dan elastis. Terdiri dari lamina lucida dan lamina densa.
3.
Lamina propria, pada lamina propria ini terdapat ujung-ujung saraf rasa sakit, raba, suhu. Selain ujung-ujung saraf tersebut terdapat juga pleksus kapiler, jaringan limfa dan elemen-elemen penghasil sekret dari kelenjar-kelenjar ludah yang kecil-kecil. Kelenjar ludah yang halus terdapat di seluruh jaringan mukosa mulut, tetapi tidak terdapat di jaringan mukosa gusi kecuali di mukosa gusi daerah retromolar. Disamping itu lamina propria ini sebagian besar terdiri dari serabut kolagen, serabut elastin dan sel-sel fibroblas,makrofag, mast sel, sel inflamatori serta sel-sel darah yang penting untuk pertahanan melawan infeksi. Jadi mukosa ini menghasilkan sekret, bersifat protektif dan sensitif. Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau rangsangan-
rangsangan yang bersifat merusak. Mukosa mulut dapat mengalami kelainan yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan kondisi herediter. Pada keadaan normal di dalam rongga mulut terdapat bermacam-macam kuman yang merupakan bagian daripada “flora mulut” dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman-kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit/infeksi. Daya tahan mulut dapat menurun karena gangguan mekanik (trauma, cedera), gangguan kimiawi, termik, defisiensi vitamin, anemia dan lain-lain. Pada individu tertentu dapat terjadi reaksi alergi terhadap jenis makanan tertentu sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa mulut, begitu juga dengan faktor psikis dan hormonal. Ini semua dapat terjadi pada suatu gangguan mulut yang disebut radang
mukosa mulut. Mukosa mulut adalah jaringan yang melapisi permukaan rongga mulut. Selain berfungsi untuk proteksi, mukosa mulut juga berfungsi untuk pertahanan terhadap antigen dengan adanya sel PMN, limfosit plasma dan makrofag (Nanchi, 2008).
2.3 Radang Radang adalah respon tubuh terhadap trauma dan invasi agen infeksi, antigen lain atau kerusakan jaringan (Gifford,2005). Radang adalah reaksi setempat dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury (Sudiono dkk., 2003). Radang merupakan mekanisme pertahanan tubuh disebabkan oleh adanya respon jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh. Pengaruh-pengaruh merusak dapat berupa faktor fisika, kimia, bakteri, parasit dan sebagainya. Penyebab fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar X dan radium, juga termasuk benda-benda asing yang tertanam pada jaringan atau sebab lain yang menimbulkan pengaruh merusak. Asam kuat, basa kuat dan racun termasuk faktor kimia. Bakteri patogen antara lain Streptococcus, Staphylococcus dan Pneumococcus (Mutschler, 1991). Pada berbagai penelitian sering digunakan binatang percobaan seperti kera dan tikus. Secara histologik, struktur dan susunan jaringan mukosa tikus tidak berbeda dengan jaringan mukosa manusia, kecuali sel lekosit PMN yang sering tampak memberikan gambaran bentuk seperti cincin (Navia, 1997). Radang dapat terjadi karena berbagai bentuk cidera terhadap jaringan (Navia, 1997). Pada penelitian yang akan peneliti lakukan, radang dibuat melalui iritasi dengan hidrogen peroksida yang
diaplikasikan ke mukosa mulut tikus. Dengan bantuan enzim tertentu bahan ini akan memecahkan membran sel epitel sehingga dapat menyebabkan kematian sel. Bila kematian sel yang terjadi tidak diimbangi oleh proses regenerasi, maka lapisan sel akan mengalami penipisan. Hal ini akan memudahkan O2 menembus lapisan epitel dan masuk ke submukosa, sehingga proses kerusakan jaringan akan berlanjut (Trowbrige dan Emling, 1997). Jaringan yang mengalami radang dapat ditemukan tanda-tanda kardinal klasik, seperti kalor (panas), rubor (merah), tumor (bengkak), dolor (rasa sakit) dan functio-laesa (gangguan fungsi). Tanda-tanda tersebut di atas dijumpai pada kondisi radang akut. Namun bila fokus-fokus radang sudah mulai berkurang, tanda-tanda tersebut akan menghilang. Hal ini dijumpai pada radang kronik (Abrams, 1995; Mitchell dan Cotran, 2003). Secara mikroskopik, pada radang akut dijumpai serbukan sel lekosit PMN yang lebih menyolok dibandingkan dengan sel-sel mononukleus, dan sebaliknya pada radang kronik dijumpai serbukan sel-sel mononukleus, terutama sel limfosit lebih mencolok dibandingkan sel lekosit PMN (Kerr dan Ash, 1978).
2.3.1Etiologi radang 1.
Benda mati a.
Rangsang fisis; trauma,benda asing, rangsang termis, listrik, tekanan, radiasi, dan lain-lain.
b.
Rangsang kimia; contohnya asam dan basa yang kuat, obat, dan lain-lain.
2.
Benda hidup; contoh kuman patogen, bakteri, virus, parasit. Selain itu juga ada reaksi imunologi dan gangguan vaskuler serta hormonal yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.Kuman dan parasit mengiritasi jaringan melalui zat kimia yang dilepaskan atau diproduksi berupa toksin, dan juga bertindak sebagai rangsang mekanis akibat adanya benda tersebut dalam sel atau jaringan.
2.3.2 Tanda utama radang Tanda utama radang (Cardinal Symptom) yang ditetapkan oleh Cornelius Celsus antara lain (Sudiono dkk., 2003) : 1.
Rubor (kemerahan), disebabkan karena adanya hiperemia aktif karena bertambah banyaknya vaskularisasi di daerah cedera tersebut.
2.
Kalor (panas), disebabkan karena hiperemia aktif.
3.
Tumor (bengkak), sebagian disebabkan karena hiperemia aktif dan sebagian disebabkan karena edema setempat serta stasis darah.
4.
Dolor (sakit), disebabkan karena terangsangnya serabut saraf pada daerah radang. Belum jelas apakah karena terangsangnya serabut saraf ataukah karena iritasi zat kimia yang terlepas, misalnya asetilkolin dan histamin. Zat ini berguna untuk meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah. Bahan lain yang berperan penting adalah bradikinin, dimana jika seseorang disuntik bradikinin tidak murni, zat ini akan menyebabkan rasa nyeri pada permukaan kulit sebelum terjadi migrasi sel darah putih.
5.
Fungtio laesa, yaitu berkurangnya fungsi.
Radang merupakan proses yang kompleks, yang menyebabkan terjadinya perubahan di dalam jaringan tubuh.
2.3.3 Mekanisme radang Perubahan vaskuler pada radang Urutan perubahan pada pembuluh darah karena pelepasan substansi vaso aktif adalah sebagai berikut (Price dan Wilson, 2005): 1.
Dilatasi arteriol yang kadang-kadang didahului vasokontriksi singkat.
2.
Aliran darah menjadi cepat dalam arteriol, kapiler dan venula.
3.
Dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler
4.
Eksudasi cairan (keluarnya cairan radang melalui membran luka) termasuk semua protein plasma (albumin, globulin dan fibrinogen).
5.
Konsentrasi sel darah merah dalam kapiler.
6.
Stasis (aliran darah menjadi lambat), kadang-kadang aliran darah berhenti (stgnasi komplit).
7.
Orientasi periferal sel darah putih pada dinding kapiler (pavamenting).
8.
Eksudat dari sel darah putih dari dalam pembuluh darah ke fokus radang. Yang pertama keluar adalah polimorfonuklear, kemudian monosit, limfosit dan sel plasma. Urutan kejadian pada pembuluh darah ini merupakan proses yang kompleks
dan dinamis, sehingga sering perubahan di atas terjadi bersamaan. Oleh karena itu, proses radang dikelompokkan dalam tiga kejadian yang saling berhubungan, yaitu
perubahan pada pembuluh darah (perubahan hemodinamik), eksudasi cairan (perubahan permeabilitas), dan eksudasi seluler (perubahan sel leukosit). Setiap ada cidera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimia tertentu yang akan menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut. Walaupun belum diketahui secara pasti, tetapi salah satu zat yang dimaksud adalah histamin. Selain itu ada pula zat lainnya misalnya, seretonin atau 5hidroksitritamin, globulin tertentu, nukleosida dan nukleotida. Zat-zat ini akan tersebar di dalam jaringan dan menyebabkan dilatasi pada arteriol. Perubahan arteriol ini terjadi beberapa menit setelah cidera jaringan. Sedangkan dilatasi kapiler yang segera terjadi setelah itu disebabkan oleh efek langsung dari bahan humoral terhadap dindingnya yang tipis. Selain itu, dilatasi ini juga disebabkan oleh zat kimia dan menimbulkan perubahan pada sel endotel pembuluh darah sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Cairan plasma keluar ke jaringan sehingga tekanan hidrostatik darah lebih tinggi. Dengan keluarnya cairan dari pembuluh darah, sel-sel darah merah akan berubah menjadi lebih lengket satu sama lain dan menggumpal, akibatnya darah menjadi lebih kental dan pergerakan menjadi lebih lambat. Aliran darah yang lambat ini akan menyebabkan terjadinya stasis, bahkan kadang-kadang dapat terhenti sama sekali, keadaan ini dinamakan stagnasi total (Sudiono dkk., 2003; Price dan Wilson, 2005). Pada keadaan normal, sel darah mengalir secara aksial, yaitu berada ditengah pembuluh darah, sedangkan di tepinya berisi cairan bening yang dinamakan zona plasma. Sel darah putih yang lebih besar dari sel darah merah berada paling jauh dari dinding pembuluh darah, dikelilingi oleh sel darah merah. Jika terjadi suatu radang akan terjadi perubahan distribusi sel-sel darah. Oleh karena aliran darah yang lambat, sel
darah merah akan menggumpal sehingga lebih besar dari sel darah putih. Akibatnya sel darah putih akan terdesak kepinggir, sedangkan sel darah merah pindah ke tengah. Makin lambat aliran darah, sel darah putih akan menempel pada sel endotel dinding pembuluh darah, makin lama makin banyak. Keadaan ini dinamakan pavamenting. Bersamaan dengan itu, terjadi pula perubahan aliran limfe. Makin banyak cairan eksudat terkumpul di jaringan, saluran limfe juga akan melebar. Selain itu, sel endotelium pembuluh limfe menjadi permeabel, sehingga sel dan molekul yang lebih besar dapat melewati dinding pembuluh darah. Hal ini berguna untuk menghilangkan eksudat daerah radang.Sel darah putih yang melekat pada pembuluh darah akan mengeluarkan pseudopodia, bergerak secara amuboid sehingga dapat keluar dari pembuluh darah ke jaringan. Selain itu muatan listrik sel endotel akan berubah. Dalam keadaan normal, sel darah bermuatan (-), dinding pembuluh darahpun bermuatan (-) sehingga sel darah mengalir ditengah (Sudiono dkk., 2003; Price dan Wilson, 2005). Jika ada radang, sel darah (-), tetapi dinding pembuluh darah berubah (+), karena itu sel darah putih tertarik ke pinggir. Sel endotel sendiri mengalami perubahan. Normalnya sel endotel gepeng tetapi dengan adanya radang, sel endotel menjadi lebih besar dan merenggang satu dengan lainnya.
Eksudasi cairan pada radang Pada keadaan normal, permeabilitas dinding kapiler terbatas sehingga hanya dapat dilalui oleh zat-zat tertentu, air, garam, asam amino, glukosa dan molekul lain yang kecil. Sedangkan protein hanya dilepaskan dalam jumlah sedikit sekali, kecuali dalam usus dan hati. Protein kecil seperti albumin dan gamma globulin lebih mudah
melewati porus endotel dibandingkan dengan protein yang lebih besar misalnya lipoprotein dan fibrinogen. Adanya tekanan yang seimbang antara tekanan hidrostatik (darah) dan tekanan osmotik koloid (protein plasma) di dalam pembuluh darah akan mengatur keluar masuknya bermacam-macam cairan melalui membran endotelnya. Jika endotel rusak misalnya karena proses radang, protein besar akan lepas ke luar dari aliran darah. Akibatnya tekanan koloid osmotik dalam pembuluh darah menurun, karena hilangnya protein tadi sehingga tekanan hidrostatiknya menjadi bertambah tinggi. Menurunnya tekanan koloid osmotik menyebabkan permeabilitas kapiler bertambah besar sehingga cairan eksudat akan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul di dalam jaringan sekitar
pembuluh
darah,
menimbulkan
edema
yang
disebut
Oedema
Inflamatoir(Sudiono dkk., 2003; Price dan Wilson, 2005). Protein yang terlepas ini sebagian akan hancur dan mengakibatkan tekanan osmotik jaringan bertambah besar sehingga cairan plasma tidak dapat mengalir masuk ke dalam pembuluh darah. Akibatnya tekanan osmotik dalam darah semakin turun, sedangkan tekanan hidrostatiknya semakin tinggi selama berlangsungnya kongesti radang. Jika cidera cukup berat, bahan molekul protein besarpun akan ikut keluar dan masuk ke jaringan, misalnya fibrinogen dapat ke luar dan masuk ke jaringan dan dapat membentuk suatu massa karena ada penggumpalan. Eksudasi cairan ini biasanya segera terjadi setelah ada proses radang dan berlanjut terus menjadi lebih nyata setelah 24 jam berikutnya. Adanya penggumpalan fibrinogen ini dapat menyumbat saluran limfe dan sela-sela jaringan sehingga dapat menghambat penyebaran infeksi atau radang.
Radang yang terjadi pada permukaan alat tubuh menyebabkan permukaan alat tubuh dilapisi oleh bekuan fibrin yang juga akan mencegah penyebaran. Setelah radang mereda, fibrin akan mencair lagi dan akan diabsorbsi. Jika absorbsi fibrin terhambat, akan dimasuki sel fibroblas dan kemudian berubah menjadi jaringan ikat sehingga menyebabkan perlekatan. Cairan yang terjadi karena radang dinamakan eksudat (Sudiono dkk., 2003; Price dan Wilson, 2005).
Eksudasi selular pada radang Adanya perubahan pada endotel kapiler akan menyebabkan keluarnya sel darah ke daerah cidera. Pavamenting sel darah putih terjadi karena aliran darah yang lambat, dimana sebagian besar merupakan sel neutrofil granulosit. Sel ini melekat karena bertambah kentalnya darah dan juga karena perubahan muatan listrik dari endotel. Setelah menempel pada dinding kapiler, leukosit akanmengeluarkan pseudopodia, kemudian akan bergerak secara amuboid menembus dinding kapiler keluar ke jaringan, proses ini disebut emigrasi. Sel polimorfonuklear terutama neutrofil adalah sel pertama yang menuju daerah radang. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncak pada 24-48 jam. Elemen seluler berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan dari monosit yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi. Muncul pertama 48-96 jam setelah terjadi radang. Sel monosit bergerak lebih lambat, karena itu sel ini pada radang akut tidak terlihat banyak sampai hari pertama atau kedua setelah radang. Setelah makrofag muncul limfosit T pada hari kelima dan mencapai puncak pada hari ketujuh. Makrofag dan limfosit T penting keberadaannya pada
penyembuhan radang. Makrofag berumur dan tetap ada sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Makrofag memfagositosis dan mencerna organisma patologis dan sisa-sisa jaringan. Makrofag juga melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah terbentuknya sel inflamasi tambahan yang membantu makrofag dalam dekontaminasi dan membersihkan sisa jaringan.
Makrofag melepas faktor pertumbuhan dan
substansi lain yang mengawali dan mempercepat pembentukan jaringan granulasi (Sudrajat, 2005). Percobaan secara in vivo maupun in vitro berhasil mengisolasi zat suatu fraksi dari protein eksudat radang yang disebut leukotaksin,menunjukkan bahwa zat ini dapat menarik leukosit, kuman piogenik dan bakteri lain misalnya streptokokus dan stapilokokus dan dinamakan kemotaksis positif.Secara in vitronampak asam silikat dan beberapa silikat yang tidak menarik leukosit, tetapi dijauhi oleh leukosit. Keadaan ini disebut kemotaksis negatif. Sel limfosit, sel plasma, dan monosit tidak dijumpai pada radang akut. Gerakan sel ini lambat, juga reaksi kemotaksisnya lebih sedikit. Oleh karena itu baru terlihat setelah radang menjadi kronis (Sudiono dkk., 2003; Price dan Wilson, 2005). Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Robbins dan Kumar, 1995).
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruhpengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins dan Kumar, 1995). Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme, walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins dan Kumar, 1995). Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari
inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronis ditandai oleh infiltrasi sel mononuklear (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell dan Cotran, 2003).
2.3.4 Mediator kimia radang Mediator kimia merupakan faktor-faktor kimia yang berhubungan dengan radang. Perubahan pada vaskular dan selular yang terjadi dapat disebabkan oleh efek langsung dari iritan, namun sebagian besar terutama karena adanya bermacam-macam zat yang disebut mediator kimia. Ada beberapa kelompok mediator kimia, antara lain: 1.
Vaso aktif amine: histamin dan 5-hidroxytryptamin (seretonin)
2.
Protease: plasmin, kalikrein dan bermacam-macam factor permeabilitas
3.
Polipeptida: bradikinin, kalidin dan leukotaksin, kinin peptida lanilla dan polipeptida lain baik asam maupun basa.
4.
Asam nukleat dan derivatnya: lymph nodepermeability faktor (LNPF).
5.
Asam lemak larut: lysolecithin, slow-reacting substance anaphilaxis (SRS-A) dan prostaglandin.
6.
lisosom: enzim lisosom, protease dan lain-lain.
7.
Toksin bakteri, kompleks antigen-antibodi, factor-faktor dari sistim komplemen, penghancuran produk-produk DNA dan RNA (Abrams, 1995; Robbins dan Kumar, 1995).
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins dan Kumar, 1995). Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995; Robbins dan Kumar, 1995).
2.3.5 Macam-macam sel radang Sel eksudat yang terkumpul di daerah yang mengalami iritasi sebagian berasal dari darah (hematogen) dan sebagian lagi berasal dari jaringan (histogen). Bermacam-
macam bentuk dari leukosit bermigrasi dari pembuluh darah. Plasma darah yang keluar dari pembuluh darah memungkinkan terjadinya pembentukan fibrin dan sel yang bergerak dari jaringan semuanya berkumpul pada daerah yang mengalami iritasi. Ketiga komponen inilah yang membentuk eksudat radang. Beberapa tipe sel yang mengambil bagian dalam proses radang yaitu: Sel polimorfonuklear/PMN (granulosit) terdiri dari neutrofil, eusinofil dan basofil; limfosit; monosit/makrofag dan sel plasma (Avery dan Chiego, 2006). Jumlah normal sel leukosit di dalam darah berkisar 5000-8000/ml3 (Avery dan Chiego, 2006). Neutrofil :
55-65% dari jumlah sel darah putih.
Limfosit
:
20-35% dari jumlah sel darah putih.
Monosit
:
3-7% dari jumlah sel darah putih.
Eusinofil :
1-3% dari jumlah sal darah putih.
Basofil
:
0-1% dari jumlah sel darah putih.
Neutrofil Ketiga sel polimorfonuklear leukosit dibedakan satu sama lain karena adanya granula yang dijumpai dalam sitoplasmanya. Biasanya yang dimaksud dengan polimorfonuklear (PMN) adalah sel neutrofil, walaupun basofil dan eusinofil juga termasuk dalam sel PMN. Sel neutrofil yang masih muda, tidak bersegmen dan jumlahnya hanya sedikit, yaitu 3-6% dari seluruh leukosit dewasa. Sel dewasa
mempunyai inti bersegmen dengan bentuk bermacam-macam, seperti kacang, tapal kuda dan lain-lain. Segmen/lobus dari inti berkisar 2-4 buah. Granula di dalam sitoplasma berukuran kecil, nampak hanya sebagai bintik-bintik kecil saja. Besarnya 1012 mikron. Dengan pewarnaan metilen biru-eosin tidak memberikan warna merah (eosinofilik) maupun biru (basofilik), karena itu disebut neutrofil. Sel ini dibentuk oleh mielosit sumsum tulang (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003) . Fungsi utamanya adalah fagositosis. Daya fagositosisnya berbeda-beda, tergantung dari jenis rangsang atau bakterinya. Ada kuman yang langsung dapat difagositosis dengan mudah, adapula kuman yang sukar difagositosis. Kuman yang resisten juga dapat difagositosis yaitu dengan jalan mengubah permukaan bakteri dengan melepaskan enzim lisosom atau opsonin.Kedua enzim ini akan melapisi bakteri tersebut sehingga dapat difagositosis, kemudian akan dicerna oleh enzim dalam sel dari sel leukosit. Namun kadang-kadang sel leukosit kalah dan mati. Sel yang mati masih berguna bagi tubuh yaitu akan melepaskan enzim proteolitik yang akan menghancurkan dan melarutkan sel yang sudah mati, kuman maupun jaringan sehingga cairan bisa diresorbsi dan akan mempercepat proses penyembuhan. Umur sel neutrofil dalam keadaan normal hanya kira-kira 4 hari, dan pada pH kira-kira 6,8 sel ini akan mati (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003).
Eosinofil Disebut demikian karena sitoplasmanya mengandung granula yang kasar dan berwarna merah terang (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996). Bentuk dan besarnya mirip dengan neutrofil, tetapi intinya lebih sederhana, sering hanya berlobus dua. Sel ini
terlihat dalam sirkulasi darah hanya beberapa jam dan cepat sekali tertarik untuk bermigrasi ke jaringan dengan meningkatnya konsentrasi histamin yang terlepas. Sel ini dibentuk dalam sumsum tulang dan dilepaskan dalam aliran darah jika diperlukan. Peningkatan jumlah sel ini dalam darah dapat disebabkan karena infeksi parasit. Sejumlah besar sel ini dapat dijumpai dalam jaringan dimana terdapat parasit. Juga dapat dijumpai dalam jumlah besar pada penyakit asma bronkial. Pada kedua keadaan ini, adanya eusinofilia mungkin karena adanya reaksi terhadap protein asing. (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003). Eosinofilia yang terjadi dalam jaringan maupun di dalam pembuluh darah sering berhubungan dengan reaksi alergi. Jika sel ini pecah, akan melepaskan histamin yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga banyak antibodi yang keluar dan berguna untuk menetralisasi antigen. Fungsi eosinofil masih belum jelas, walaupun daya kemotaksisnya dan fagositosisnya seperti neutrofil. Bila trombosit, basofil, eosinofil dan sel mast pecah akan mengeluarkan histamin (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003).
Basofil Dengan pewarnaan jaringan, sel ini nampak bergranula, kasar dan berwarna biru kehitaman, karena itu disebut basofil. Mirip neutrofil dan jarang dijumpai dalam sirkulasi darah, dapat berasal dari sel mast yang banyak dijumpai disekitar pembuluh darah dan merupakan sumber utama dari histamin atau heparin. Kedua mediator kimia ini dilepaskan jika sel mast dan basofil hancur, dan kedua zat ini memegang peranan dalam pengontrolan radang (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003).
Limfosit Sel limfosit lebih kecil dari sel PMN, tetapi lebih besar dari sel darah merah. Besarnya sekitar 8-10 mikron. Di dominasi oleh nukleus yang besar dan bulat yang mengandung kromatin padat, sedangkan sitoplasmanya hanya sedikit. Nukleusnya pucat dan tidak bergranul. Sel ini dibentuk dalam limfonodus dan kadang-kadang pada folikel limfoid yang kecil misalnya pada tonsil, usus halus dan sumsum tulang. Di dalam jaringan sel ini terdapat pada radang kronis dalam jumlah yang meningkat. Gerakannya jauh lebih lambat sehingga baru terlihat jelas pada radang kronis. Umurnya hanya 4-5 hari. Jumlahnya juga meningkat pada penyakit tertentu yang berhubungan dengan reaksi radang, misalnya tuberkulosis dan infeksi mononukleosis. Fungsi utama sel ini adalah melepaskan zat antibodi. Akan tetapi masih diperdebatkan apakah sel ini memang memproduksi zat tersebut ataukah hanya mentrasformasikan ke daerah cidera. Sirkulasi dari sel ini juga dipengaruhi oleh hormon steroid adrenal. Pada keadaan tertentu, sel ini dapat berubah menjadi mononukleus dengan daya fagositosis yang besar seperti makrofag jaringan (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003).
Mononuklear fagosit Dikenal dua golongan mononuklear fagosit yaitu: 1.
Makrofag jaringan
2.
Monosit darah.
Nama lain dari makrofag adalah histiosit, plasmatosit, sel retikuloendotelial (reticuloendothelial cell/RES). RES merupakan sel yang melapisi sinus dari kelenjar getah bening, sumsum tulang dan limfe. Makrofag yang melapisi sinus dari sel hati disebut Kupfer. Makrofag biasanya lebih panjang umurnya dibanding sel PMN, yaitu beberapa minggu hingga beberapa bulan dan dijumpai pada jaringan. Monosit darah juga dapat berubah menjadi makrofag. Dengan pulasan darah kering (dry blood smear), nukleusnya nampak seperti biji kacang atau bentuk ginjal, disekitarnya ada granula kecil, sedang sitoplasmanya berwarna abu-abu. Besar monosit 17-20 mikron. Fungsi utama kedua sel ini adalah fagositosis. Selain itu, morfologi kedua sel ini saling berhubungan erat sekali, meski sumber dan pemunculannya berbeda tempat. Kedua sel ini penting sebagai daya pertahanan tubuh. Baik monosit maupun makrofag merupakan daya pertahanan tubuh dan munculnya lebih lambat dari sel neutrofil leukosit. Sel-sel ini masih dapat aktif pada pH 6,8 dimana pada pH ini PMN sudah mati karena keasaman bertambah. Sel RES juga aktif pada saat radang akan beralih dari akut menjadi kronis (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003).
Gambar : 2.2 Monosit (Burkit dkk., 1995)
Sel Plasma
Asal sel plasma berhubungan erat dengan sel limfosit. Sel dari jaringan limfoid dapat berdifferensiasi membentuk plasmablast yang dapat membentuk sel plasma. Sel ini juga dapat berasal dari limfosit dan RES. Besar sel ini lebih besar sedikit dari sel limfosit (10-12 mikron). Gambaran sel sangat karakteristik, di dalam jaringan nampak intinya eksentrik dengan struktur seperti roda dan sitoplasma yang basofilik. Fungsi sel belum jelas, tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa sel ini merupakan sumber yang penting dari gamma globulin yang sangat penting untuk membentuk antibodi. Sel dalam jumlah banyak dapat dijumpai pada radang kronis (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003).
Sel Mast Sitoplasma sel mengandung granula yang kasar dan basofilik. Banyak terdapat di jaringan penyambung, akan tetapi sering tidak nampak karena granulanya yang spesifik sangat mudah larut dalam air. Oleh karena itu, jaringan haruslah difiksasi dengan alkohol dan digunakan pewarnaan anyline, misalnya biru toluidin. Mungkin cara terbaik untuk melihat sel ini adalah dengan teknik fluorosen, dimana granulanya akan bersinar dengan warna oranye terang. Sel ini banyak dijumpai pada jaringan perivaskular. Sel mast berasal dari jaringan dan bukan dari darah (bukan hematogen).Fungsi sel belum jelas, diduga memproduksi suatu asam mukopolisakarida, heparin dan histamin. Selain itu juga mengandung serotonin dalam jumlah yamg kecil. Pada spesies tertentu, misalnya tikus sel mast berhubungan dengan reaksi anafilaktik. Namun apakah sel ini juga berperan dalam proses imunologi pada manusia, belumlah diketahui (Burkit dkk., 1995; Leeson dkk., 1996; Sudiono dkk., 2003). Pada radang akut
sel ini sangat aktif, dan dengan keaktifan sel mast, granulanya akan hilang sehingga sel ini tidak nampak lagi. Pada saat hancur, akan dilepaskan histamin dan serotonin dan akan menyebabkan bermacam-macam perubahan pada endotel pembuluh darah. Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin, serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan komplemen dibawah pengaruh faktor Hageman dan SRS-A. Larutanmediator dapat mencapai jaringan karena meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa edema (Korolkovas, 1988). Fagosit yang mula-mula ke luar dari dinding pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklear yang menyerang dan mencerna bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel jaringan yang telah mati akibat toksin bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut mencerna bakteri. Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeabel sifatnya berubah disebut limfe radang. Leukosit dan limfe radang secara bersama membentuk eksudat radang yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan. Rasa sakit disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan. Selain itu rasa sakit disebabkan bradikinin dan prostaglandin (Insel, 1991).
2.4 Lidah Buaya Lidah buaya (Aloe vera; Latin: Aloe Barbadensis Milleer) adalah sejenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan digunakan sebagai penyembuh luka dan untuk perawatan kulit. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, pemanfaatan tanaman lidah buaya berkembang sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika, serta sebagai bahan makanan dan minuman kesehatan. Secara umum, lidah buaya merupakan satu dari sepuluh jenis tanaman terlaris didunia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tanaman obat dan bahan baku industri (Simanjuntak, 1996). Berdasarkan hasil penelitian, tanaman ini kaya akan kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, lidah buaya berkhasiat sebagai anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri dan membantu proses regenerasi sel. Dapat menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes, mengontrol tekanan darah, menstimulasi kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit kanker, serta dapat digunakan sebagai nutrisi pendukung penyakit kanker (Jatnika dan Saptoningsih, 2009). Tanaman lidah buaya dapat hidup liar di tempat yang berhawa panas atau ditanam orang di pot dan pekarangan rumah. Daunnya agak runcing berbentuk taji, tebal, getas, tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintik-bintik, panjang 50-80 cm, bunga bertangkai yang panjangnya 60-90 cm, bunga berwarna kuning kemerahan (jingga), batang tanaman aloe vera berbatang pendek. Daunnya berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sekulen (banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel), sebagai bahan baku obat. Tanaman lidah buaya tahan terhadap kekeringan karena di dalam daun banyak tersimpan cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada waktu kekurangan air. Bentuk daunnya menyerupai pedang dengan ujung meruncing, permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri lemas di pinggirnya. Bunga lidah buaya berwarna kuning atau kemerahan berupa pipa yang
mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunga biasanya muncul bila ditanam di pegunungan. Akar tanaman lidah buaya berupa akar serabut yang pendek dan berada di permukaan tanah. Panjang akar berkisar antara 50-100 cm. Untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan gembur dibagian atasnya (Kloppenberg dan Versteegh, 1998). Batangnya tidak kelihatan karena tertutup oleh daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Mulai batang ini akan muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadi anak tanaman. Peremajaan tanaman ini dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian dari sisa tunggal batang ini akan muncul tunas-tunas baru. Nutrisi dalam lidah buaya membantu membersihkan sistim perncernaan dari segala bentuk racun. American Chronicle melaporkan, lidah buaya juga bekerja sebagai agen anti bakteri dan jamur bagi tubuh sehingga mampu menghalau sejumlah penyakit. Enzim yang ditemukan dalam daging lidah buaya juga baik untuk memperlancar peredaran darah. Lidah buaya dikonsumsi dalam berbagai macam bentuk olahan seperti juice, manisan atau campuran teh. Semakin tua tumbuhan lidah buaya semakin memberi manfaat untuk nutrisi maupun pengobatan. Gel lidah buaya sering kali digunakan untuk mengobati luka gores, tersayat, gigitan serangga dan ruam. Penyembuhan dan pengobatan luar biasa dari tumbuhan ini juga bermanfaat untuk kecantikan. Dengan meminum dua sampai empat ons, atau bahkan setengah cangkir jus lidah buaya setiap hari akan membuat kulit terlihat bersih dan memperbaiki kualitas kulit. Lidah buaya dapat memperkaya persediaan mineral pembangun untuk memproduksi dan memperbaiki kesehatan kulit(Yuliani dkk., 1994).
Selama ini daun lidah buaya dimanfaatkan untuk mengobati sembelit, mengobati luka dalam dan luka lebam, mengobati batuk rejan, luka bakar, kencing manis dan wasir. Tetapi belum banyak yang mencobanya sebagai obat radang mukosa mulut/stomatitis. Dalam laporan Fujio L. Penggabaian, seorang peneliti dan pemerhati tanaman obat, mengatakan bahwa keampuhan lidah buaya tak lain karena tanaman ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi tubuh manusia. Hasil penelitian lain terhadap lidah buaya menunjukkan bahwa karbohidrat merupakan komponen terbanyak setelah air, yang menyumbangkan sejumlah kalori sebagai sumber tenaga. Sumbar lain menyebutkan bahwa, dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya, yang baik digunakan untuk pengobatan adalah jenis aloe vera Barbadensis Miller. Lidah buaya jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Diantara ke-72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh itu, terdapat 18 macam asam amino, kalbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon dan zat golongan obat, antara lain antibiotik, antiseptik, anti bakteri, anti kanker, anti virus, anti jamur, anti infeksi, anti peradangan, anti parkinson dan anti aterosklerosis (Kloppenberg dan Versteegh, 1998). Di dalam daun terdapat gel yang merupakan bagian paling banyak digunakan. Gel berwana jernih sampai kekuningan. Lidah buaya mengandung protein, karbohidrat, mineral, (kalsium, natrium, magnesium, seng, besi) dan asam amino. Selain itu berbagai agen anti inflamasi, diantaranya adalah asam salisilat, indometasin, manosa 6-fosfat, Bsitosterol. Komponen lain lignin, saponin dan anthaquinone yang terdiri atas aloin, barbaloin, anthranol, anthracene, aloetic acid, aloe emodin, merupakan bahan dasar obat yang bersifat sebagai antibiotik dan penghilang rasa sakit(Yuliani dkk., 1994).
Tanaman lidah buaya telah dibudidayakan di Indonesia mulai beberapa tahun yang lalu, salah satunya di Pontianak. Jenis yang diusahakan di daerah tersebut, yakni Aloe Chinensis yang berasal dari Cina. Budi daya lidah buaya tersebut didistribusikan untuk pasar dalam negeri dan ekspor, terutama ke Jepang. Jepang merupakan Negara pengguna lidah buaya terbesar di dunia. Kebutuhan lidah buaya segar mencapai 300 ton / bulan. Keistimewaan tanaman ini salah satunya adalah mudah diperbanyak dan tidak memerlukan perawatan intensif, baik di lahan pekarangan, dalam pot maupun polibag. Selain itu, kemampuannya bertahan hidup di daerah kering pada musim kemarau menjadi nilai tambah tanaman lidah buaya. Jika investasi sarana pertanian sudah tersedia, lidah buaya dapat diproduksi melalui system hidroponik atau secara organik (dengan pupuk kandang dan tanpa pestisida) (Jatnika dan Saptoningsih, 2009). Sejak 2200 SM, lidah buaya telah dikenal dapat berfungsi sebagai obat untuk melancarkan buang air besar (pencahar), penyubur rambut, dan penyembuh luka. Lidah buaya sudah digunakan bangsa Samaria sekitar tahun 1875 SM. Seorang peracik obatobatan tradisional berkebangsaan Yunani bernama Dioscorides, menyebutkan bahwa lidah buaya dapat mengobati berbagai penyakit, seperti bisul, kulit memar, pecahpecah, lecet, penyembuh luka bagi penderita lepra, rambut rontok, wasir, dan radang tenggorokan. Tanaman lidah buaya diberi nama Aloe Vera oleh Carl Von Linne pada tahun 1720. Ratusan catatan mengenai manfaat lidah buaya untuk pengobatan dipublikasikan oleh tabib dan dokter. Di bagian barat daya Amerika, lidah buaya ditanam sebagai tanaman hias (ornamental plants) sekaligus dimanfaatkan sebagai obat luka bakar. Selain itu, Badan Farmasi Amerika Serikat menyatakan lidah buaya terdaftar secara resmi sebagai obat pencahar dan obat untuk pelindung kulit. Pusat pengembangan lidah buaya terdapat di negara-negara Afrika Bagian Selatan (Transvaal),
yakni Eritrea, Ethiopia, dan Northern Somalia. Saat ini, Negara-negara yang telah membudidayakan tanaman lidah buaya secara komersial di antaranya Amerika Serikat, Meksiko, Karibia, Israel, Australia, Thailand, dan Indonesia. Lidah buaya merupakan salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia yang telah dikembangkan oleh Negaranegara maju sebagai bahan baku di bidang industri farmasi dan pangan (Jatnika dan Saptoningsih, 2009). Tanaman ini termasuk keluarga Lilicaea yang memiliki 4.000 jenis dan terbagi ke dalam 240 marga dan 12 anak suku. Berikut ini penggolongan klasifikasi lidah buaya. Kingdom
:
Divisi Subdivisi
: :
Kelas Bangsa
Plantae Spermatophyta Angiospermae :
:
Monocotyledoneae Liliflorae
Suku
:
Liliceae
Genus
:
Aloe
Spesies
: Aloe Vera
2.4.1 Morfologi lidah buaya Akar
Tanaman lidah buaya berakar serabut pendek dan tumbuh menyebar di batang bagian bawah tanaman (tumbuh kearah samping). Akibatnya, tanaman mudah tumbang karena akar tidak cukup kuat menahan beban daun lidah buaya yang cukup berat. Panjang akarnya mencapai 30-40 cm. Batang Umumnya batang lidah buaya tidak terlalu besar dan relative pendek (sekitar 10 cm). Penampakan batang tidak terlihat jelas karena tertutup oleh pelepah daun. Jika pelepah daun lidah buaya telah dipotong (dipanen) beberapa kali, batang akan tampak dengan jelas.
Daun Letak daun lidah buaya berhadap-hadapan dan mempunyai bentuk yang sama, yakni daun tebal dengan ujung yang runcing mengarah ke atas. Daun memiliki duri yang terletak di tepi daun. Setiap jenis lidah buaya yang satu dan yang lain memiliki penampakan fisik daun yang berbeda.
Bunga Bunga lidah buaya memiliki warna bervariasi, berkelamin dua (bisexual) dengan ukuran panjang 50-70 mm. Bunga ini berbentuk seperti lonceng, terletak di ujung atau suatu tangkai yang keluar dari ketiak daun dan bercabang. Panjang tangkai 50-100 cm dan bertekstur cukup keras serta tidak mudah patah. Bunga lidah buaya mampu bertahan 1-2 minggu. Setelah itu, bunga akan rontok dan tangkainya mengering.
Biji Biji dihasilkan dari bunga yang telah mengalami penyerbukan. Penyerbukan biasanya dilakukan oleh burung atau serangga lainnya. Namun, jenis Aloe barbadensis dan Aloe chinensis tidak membentuk biji atau tidak mengalami penyerbukan. Kegagalan ini diduga disebabkan oleh serbuk sari steril (pollen sterility) dan ketidaksesuaian diri (self incompatibility). Karena itu, kedua jenis tanaman ini berkembang biak secara vegetative melalui anakan (Jatnika dan Saptoningsih, 2009).
Gambar: 2.3 Lidah buaya (aloe vera) (Jatnika dan Saptoningsih, 2009)
2.4.2 Kandungan lidah buaya Lidah buaya mengandung air sebanyak 95%. Sisanya berupa bahan aktif (active ingredients) antara lain minyak esensial, asam amino, mineral, vitamin, enzim, dan glikoprotein. Berikut ini kandungan kimia lidah buaya dalam 100 gram bahan. Tabel 2.1 Kandungan kimia lidah buaya
No
Komponen
1
Air
2
Total Padatan Terlarut
Nilai 95,51%
a. b. c. d. e.
Lemak Karbohidrat Protein Vitamin A Vitamin C
0,067% 0,043% 0,038% 4,59 IU 3,47 Mg
(Jatnika dan Saptoningsih,2009)
Lidah buaya memiliki cairan bening seperti jeli dan cairan berwarna kekuningan yang mengandung aloin. Cairan ini berasal dari lateks yang terdapat di bagian luar kulit lidah buaya. Cairan yang mengandung aloin ini banyak dimanfaatkan sebagai obat pencahar komersial. Daging lidah buaya mengandung lebih dari 200 komponen kimia dan nutrisi alami yang secara bersinergi dan menghasilkan khasiat tertentu. Berikut ini merupakan komponen kimia yang terkandung dalam lidah buaya. Tabel 2.2 Komponen kimia lidah buaya berdasarkan manfaatnya Zat Lignin
Saponin
Manfaat Memiliki kemampuan penyerapan yang tinggi yang memudahkan peresapan gel ke kulit sehingga mampu melindungi kulit dari dehidrasi dan menjaga kelembapan kulit. -
Komplek antharaquinon aloin,
-
Memiliki kemampuan membersihkan (aspetik) Sebagai bahan pencuci yang sangat baik Bahan laksatif
barbaloin, iso-barbaloin, anthranol, aloe emodin, anthracene, aloetic acid, asam sinamat, asam krisophanat, eteral oil, dan resistanol Kalium dan natrium
Kalsium
-
Penghilang rasa sakit Mengurangi racun Senyawa antibakteri Mempunyai kandungan antibiotik
Memelihara kekencangan muka dan otot tubuh. - Regulasi dan metabolism tubuh dan penting dalam pengaturan impuls saraf Membantu pembentukan dan regenerasi tulang -
Seng (Zn)
Bermanfaat bagi kesehatan saluran air kencing.
Asam Folat
Bermanfaat bagi kesehatan kulit dan rambut
Vitamin A
Berfungsi untuk oksigenasi jaringan tubuh, terutama kulit dan kuku
Vitamin B1, B2, B6, B12, C,E, Niacinamida, dan Kolin
Berfungsi untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat.
Enzim oksidase, amylase, katalase, lipase, dan protease
-
Mengatur berbagai proses kimia dalam tubuh. Menyembuhkan luka dalam dan luar
Enzim protease bekerja sama dengan glukomannan
Penghilang rasa nyeri saat luka.
Asam krisofan
Mendorong penyembuhan kulit yang mengalami kerusakan
Mono dan polisakarida (Selulosa, glukosa, mannose, dan aldopentosa)
-
Salisilat Mukopolysakarida
Memenuhi kebutuhan metabolism tubuh. Berfungsi untuk memproduksi mukopolisakarida
Anti inflamasi dan menghilangkan rasa sakit - Memberi efek imonomodulasi -
Tennin, Aloctin A
-
Sebagai anti inflamasi
Indometasin
-
Mengurangi edema
Asam amino
-
Mineral
-
Untuk pertumbuhan dan perbaikan sertasebagai sumber energi. Aloe vera menyediakan 20 dari 22 asam amino yang dibutuhkan tubuh. Memberikan ketahanan tubuh terhadap penyakit dan berinteraksi dengan vitamin untuk fungsi tubuh.
(Jatnika dan Saptoningsih, 2009)
Daging lidah buaya memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap, diantaranya Zn, K, Fe, Vitamin A, asam folat, dan kholin. Sementara itu, lendir lidah buaya mengandung vitamin B1, B2, B6, B12, C, E inositol, dan asam folat. Kandungan mineral lidah buaya, diantaranya kalsium, fosfor, besi, natrium, magnesium, mangan, tembaga, dan seng. Berdasarkan penelitian, enzim yang dimiliki lidah buaya antara lain amylase, katalase, selulosa, karboksipeptidase, karboksihelolase, fosfatase, lipase, nukleotidase, alkaline, dan proteolitase (Santoso, 2008).
Tabel 2.3 Beberapa Kandungan nutrisi lidah buaya Bahan
Manfaat
Unsur
Konsentrasi
(ppm) Mineral
- Memberi ketahanan terhadap penyakit, menjaga kesehatan dan memberikan vitalitas.
Kalsium (Ca) Fosfor (P)
20,10
Besi (Fe)
1,18
Magnesium (Mg) Mangan (Mn) Kalum (K)]
Asam Amino
- Bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan - Untuk sintesis bahan lain - Sumber energy
458,00
60,80 1,04 797,00
Natrium (Na)
84,40
Tembaga (Cu)
0,11
Asam aspartat
43,00
Asam glutamate
52,00
Alanin
28,00
Isoleusin
14,00
Fenilalanin
14,00
Threonin
31,00
Prolin
14,00
Valin
14,00
Leusin
20,00
Histidin
18,00
Serin
45,00
Glisin
28,00
Methionin
14,00
Lisin
37,00
Arginin
14,00
Tirosin
14,00
Protein
-
Triptophan
30,00
-
0,1%
(Jatnika dan Saptoningsih, 2009)
2.4.3 Efek farmakologis lidah buaya Lidah buaya memiliki efek farmakologis, yakni pencahar (laxatic) dan parasiticide. Berikut ini beberapa manfaat lain dari lidah buaya berdasarkan hasil penelitian (Jatnika dan Saptoningsih, 2009): 1.
Antiseptik : pembersih alami dan mengobati luka dengan cepat.
2.
Antipruritik : penghilang rasa gatal.
3.
Anestetik : pereda rasa sakit.
4.
Afrodisiak : pembangkit gairah seksual.
5.
Antipiretik : penurun rasa panas.
6.
Antijamur, antivirus, dan antibakteri yang berasal dari kandungan saponin.
7.
Anti-inflamasi : berasal dari asam lemak. Selain itu, lidah buaya mengandung senyawa lignin dan polisakarida yang
berguna sebagai media pembawa zat-zat nutrisi yang diperlukan oleh kulit. Ditunjang juga oleh karakteristik lidah buaya yang memiliki tingkat keasaman (pH) yang normal, hampir sama dengan pH kulit manusia sehingga memberikan kemampuan untuk menembus kulit secara baik. Lidah buaya juga memiliki kandungan asam amino dan enzim yang masing-masing berfungsi untuk membantu perkembangan sel-sel baru dengan kecepatan luar biasa dan menghilangkan sel-sel yang telah mati dari epidermis.
2.4.4 Senyawa nutrisi yang berperan dalam penyembuhan Lidah buaya mengandung senyawa nutrisi yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan penyembuhan (terapi) berbagai penyakit. Salah satu referensi menyebutkan bahwa lidah buaya mengandung hormone pertumbuhan (human growth hormone) dan anti-penuaan (anti-aging). Efek positif meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan kepekaan panca indra manusia. Berikut ini beberapa penyakit yang mampu disembuhkan oleh lidah buaya dan senyawa yang berperan dalam penyembuhan penyakit tersebut.
Tabel 2.4 Penggunaan Lidah buaya dalam penyembuhan No
Penggunaan
Senyawa yang Berperan
1
Luka lecet, luka tersayat, sengatan matahari, dan luka bakar
Mukopolisakarida; enzim, hormone, vitamin A, B, C, E, asam folit, serta mineral Zn dan Ca
2
Bisul bernanah
Mukopolisakarida, enzim, hormone, vitamin A, B, C asam folat, serta mineral Zn dan Ca
3
Jerawat
Riboflavin, vitamin A, C, dan E, polisakarida, enzim, Zn, serta hormone penyembuhan luka
4
Memperlambat penuaan dini
Semua vitamin dan mineral yang ada, asam amino, hormone, Zn, serta kalsium
5
Anemia
Besi, asam folat, tembaga, dan vitamin C
6
Antibakteri, antibiotic, fungisida
Semua zat berperan secara sinergis
7
Tumor
Lectin dan emodin
8
Kanker
Hormon, polisakarida, dan mukopolisakarida
9
Sembelit
Thiamin dan asam folat
10
Diabetes
Kromium, inositol, vitamin A, dan getah kering lidah buaya yang mengandung hypoglycemic
11
Influenza
Vitamin A, B, C, E asam amino, dan enzim
12
Luka dalam
Polisakarida dan asam amino
13
Infeksi ginjal
Kolin, vitamin B, mineral magnesium, dan kalium
14
Stomach Ulcers
Polisakarida dan Fe
15
Sakit gigi
Vitamin C, kalsium, Fe, dan asam amino
16
AIDS
Polisakarida dan acetylated mannose
Diolah dari berbagai sumber (Jatnika dan Saptoningsih, 2009)
2.5 Peranan Lidah Buaya Dalam Menurunkan Radang Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa beberapa komponen lidah buaya memiliki aktivitas anti-inflamasi yang signifikan. Bob Bowden dan Wayne Smith menunjukkan bahwa lidah buaya memediasi mekanisme anti-inflamasi dengan menghalangi integrin tertentu. Bukti telah ditunjukkan bahwa derivat karbohidrat
terikat khusus dengan karbohidrat pada dua Beta2-integrins SS2 disebut LFA-01 dan Mac-1 yang secara signifikan dapat mengurangi migrasi neutrofil pada beberapa model penelitian tentang peradangan (Davis, 2000). Lidah buaya memiliki sistem penghambat yang menghalangi rasa sakit dan peradangan serta sistem stimulasi yang meningkatkan penyembuhan luka. Pengujian laboratorium independen tentang lidah buaya menunjukkan aktivitas lidah buaya dalam modulasi antibodi dan kekebalan seluler (Davis, 2000). Topikal steroid biasanya digunakan untuk memblokir peradangan akut dan kronis. Mereka menurunkan edema dengan mengurangi permeabilitas kapiler, vasodilatasi dan menstabilkan membran lisosom. Lidah buaya (aloe vera) dapat merangsang pertumbuhan fibroblas untuk meningkatkan penyembuhan luka dan menghalangi penyebaran infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 1% dari steroid dapat menembus stratum korneum kulit, dan 99% terbuang. Data penelitian ini menunjukkan bahwa lidah buaya dapat bertindak sebagai kendaraan bagi steroid untuk meningkatkan penyerapan dan bertindak sebagai pembawa yang efisien. Penggunaan lidah buaya adalah pertimbangan ekonomi yang signifikan. Kompleksitas komponen lidah buaya, membuat studi penelitian tentang aktifitas inflamasi dari lidah buaya sebagai sebuah tugas yang sulit (Davis, 2000). Lidah buaya (aloe vera) tidak memiliki mekanisme tunggal. Lidah buaya mengandung asam amino seperti phenylalanine dan trytophane yang memiliki aktifitas anti-inflamasi. Asam salisilat dalam lidah buaya mencegah biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Hal ini menjelaskan bagaimana aloe vera mengurangi vasodilatasi dan mengurangi efek vaskular dari histamin, seretonin dan mediator inflamasi lainnya.
Prostaglandin memainkan peran integral dalam mengatur baik peradangan dan reaksi kekebalan tubuh. Lidah buaya dapat mempengaruhi kedua sistem ini dengan memblokir sintesis prostaglandin. Efek analgesik lidah buaya sinergis dengan aspirin. Lidah buaya memiliki komponen stimulasi dan penghambatan. Lidah buaya dapat memodulasi baik reaksi kekebalan maupun reaksi inflamasi. Lidah buaya dapat bertindak sebagai stimulator penyembuhan luka dan produksi antibodi. Lidah buaya dapat memblokir sintesis prostaglandin dan memodulasi produksi limfosit dan makrofag derivat mediator (limphokinins) termasuk interleukins dan interferon. Lidah buaya, disamping memiliki efek pada reaksi inflamasi dan reaksi kekebalan, juga mengurangi oksigen radikal bebas yang dihasilkan oleh PMN’s. Vitamin C dalam lidah buaya menghambat peradangan, mengambil radikal oksigen untuk memblokir proses inflamasi. Vitamin E, yang dikenal sebagai anti oksidan, juga merupakan komponen lidah buaya. Efek-efek biologis dari karya orkestra aloe vera, bekerjasama dengan konduktor (polisakarida) menghasilkan efek terapi yang berharga (Davis, 2000). Komponen yang kurang diserap stratum korneum membutuhkan kendaraan untuk membantu mereka dalam penetrasi. Penelitian menunjukkan bahwa lidah buaya membantu dalam penyerapan vitamin C dan menambah aktivitas biologisnya. Lidah buaya dapat melarutkan senyawa larut air serta zat larut lipid. Selain itu dapat melalui membran sel stratum korneum untuk membantu berbagai bahan dalam menembus kulit. Aktivitas biologis lidah buaya dapat bertambah, bahkan bersinergi dengan banyak agen dalam meningkatkan efek terapi (Davis, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Meitha Widurini, seorang staf pengajar Biologi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, menggunakan lidah buaya (aloe
vera) konsentrasi 100% yang diaplikasikan pada radang mukosa mulut tikus, ternyata dapat menurunkan radang mukosa mulut tikus. Didapatkan hasil bahwa lidah buaya tidak mempunyai mekanisme tunggal sebagai anti inflamasi. Tanaman ini mengandung berbagai macam unsur dan zat yang dipercaya dapat bertindak sebagai agen antiinflamasi, antara lain asam salisilat vitamin, polisakarida dan asam lemak. Disamping itu terdapat pula indometasin yang dapat mengurangi edema, menghambat enzim siklooksigenase dan menghambat motilitas dari dari leukosit poly morpho nuklear (PMN) yang bila jumlahnya berlebihan dapat merusak jaringan. Dikatakan pula bahwa sebenarnya daun lidah buaya yang berkhasiat sebagai pengobatan tradisional dan dapat menyembuhkan penyakit atau kelainan pada tubuh adalah hasil dari interaksi keseluruhan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam lidah buaya dan bila masingmasing unsur tersebut dipisahkan maka khasiat atau manfaatnya akan berkurang (Widurini, 2003).
2.6 Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Tikus putih atau mencit adalah tikus rumah dan binatang asli Asia, India dan Eropa Barat. Jenis ini sekarang ditemukan diseluruh dunia karena pengenalan oleh manusia. Klasifikasi dari tikus putih (Kusumawati, 2004) : Kingdom :
Animalia
Phylum
:
Chordata
Subphylum
:
Vertebrata
Class
:
Mammalia
Order
:
Rodentia
Family
:
Muridae
Genus
:
Rattus
Species
:
Norvegicus
Tikuslaboratorium adalah spesies tikus rattus norvegicus yang dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah. Tikus laboratorium telah digunakan sebagai model hewan yang penting untuk penelitian dibidang psikologi, kedokteran dan bidang lainnya. Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak penelitian eksperimen yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obatobatan, dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Para ilmuwan telah memunculkan banyak strain atau galur tikus khusus untuk eksperimen. Sebagian besar berasal dari tikus Wistar albino, yang masih digunakan secara luas (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
2.7 Penelitian Pendahuluan Penulis telah melakukan penelitian pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2011 bertempat di bagian Farmakologi dan Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Penelitian memakai 25 ekor tikus putih jantan yang dibuat radang mukosa mulut dengan pemberian H2O2 30% (dengan cara diolesi) pada mukosa labial mulut tikus. Tikus dibagi dalam 6 kelompok yaitu :
1.
Kelompok data base : (5 ekor tikus).
2.
Kelompok kontrol dengan pemberian akuades (4 ekor tikus).
3.
Kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 25% (4 ekor tikus).
4.
Kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 50% (4 ekor tikus).
5.
Kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% (4 ekor tikus)
6.
Kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 100% (4ekor tikus)
Dari pemeriksaan secara mikroskopik pada lima lapang pandang didapatkan : 1.
Pada kelompok data base didapat rerata jumlah makrofag 38,50
2
Pada kelompok kontrol dengan pemberian akuades didapat rerata jumlah makrofag = 37,95
3.
Pada kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 25% didapat rerata jumlah makrofag = 38,60
4.
Pada kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 50% didapat rerata jumlah makrofag = 15,60
5.
Pada kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% didapat rerata jumlah makrofag = 9,53
6.
Pada kelompok dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 100% didapat rerata jumlah makrofag = 9,65
Hasil pengamatan mikroskopis sel makrofag pada radang mukosa mulut ekstrak lidah buaya konsentrasi 75% dengan mikroskop elektrik pembesaran 400x.
Gambar : 2.4. Pengamatan mikroskopis sel makrofag pembesaran 400x dengan pengecatan HE
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Radang mukosa mulut adalah radang yang terjadi di daerah mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan dengan
permukaan agak cekung dan
dikelilingi tepi kemerahan, dapat berupa bercak tunggal maupun kelompok serta sakit. Radang mukosa mulut secara tipikal dapat mengenai daerah mukosa yang tak berkeratin, seperti mukosa bukal, mukosa labial, dasar mulut, sulkus atau batas lateral lidah dan daerah berkeratin seperti palatum durum dan alveolar ridge. Etiologi radang mukosa mulut diduga; oleh karena
infeksi, trauma, gangguan nutrisi, gangguan
hormonal, gangguan imunologik, faktor genetik dan HIV. Terapi radang mukosa mulut pada dasarnya ditujukan untuk menekan peradangan, mengurangi rasa perih dan mempercepat penyembuhan. Pada pemeriksaan histopatologiditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang seperti sel polimorfonuklear (PMN). Sel-sel fagosit mononuclear dapat pula menyelimuti pembuluh darah (perivasculer cuffing).Terdapat dugaan yang kuat tentang adanya kerusakan epithelium dan infiltrasi jaringan oleh neutrofil, juga ditemukan proliferasi limfosit dalam merespon sejenis antigen tertentu. Radang adalah respon tubuh terhadap trauma dan invasi agen infeksi, antigen lain atau kerusakan jaringan. Proses radang dikelompokkan dalam tiga kejadian yang saling berhubungan, yaitu perubahan pada pembuluh darah (perubahan hemodinamik), eksudasi cairan (perubahan permeabilitas), dan eksudasi seluler (perubahan sel leukosit). Penimbunan
54
sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi radang, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri, debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti. Dikenal beberapa tipe sel yang mengambil bagian dalam proses radang antara lain : sel polimorfonuklear (neutrofil, eusinofil dan basofil), limfosit, monosit/makrofag dan sel plasma. Fagosit yang mula-mula ke luar dari dinding pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklear yang menyerang dan mencerna bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklear dan sel jaringan yang telah mati akibat toksin bakteri. Lidah buaya (Aloe vera; Latin: Aloe Barbadensis Milleer) adalah sejenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan digunakan sebagai penyembuh luka dan untuk perawatan kulit. Lidah buaya mengandung vitamin, enzim, protein, karbohidrat mineral (kalsium, natrium, magnesium, seng, besi) dan asam amino. Selain itu lidah buaya mengandung berbagai agen anti inflamasi, diantaranya adalah asam salisilat, indometasin, manosa 6-fosfat, B-sitosterol. Komponen lignin, saponin dan anthaquinone yang terdiri atas aloin, barbaloin, anthranol, anthracene, aloetic acid, aloe emodin, merupakan bahan dasar obat yang bersifat sebagai antibiotik dan penghilang rasa sakit.
3.2 Konsep Penelitian
Ekstrak daun lidah buaya
Faktor internal :
Faktor Eksternal :
1. Gangguan Imunnologi 2. Gangguan hormonal 3. Faktor genetic 4. Gangguan pencernaan
1. Trauma; mekanis, chemis, termis 2. Infeksi 3. Defisiensi nutrisi
Tikus radang mukosa mulut
Jumlah makrofag
Gambar : 3.1 Konsep penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis: 1.
Pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 50% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan .
2.
Pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 25% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan eksperimental dengan : (Randomized Pre-post Test Control Group Design).
SKEMA RANCANGAN PENELITIAN
O2
O1
___K___
___P1___
P
S
O3
04
O5
O6
07
O8
Ra
Gambar : 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan : P
:
Populasi
S
:
Sampel
Ra :
Random alokasi
O1 :
Observasi awal kelompok kontrol sebelum perlakuan
O3 :
Observasi awal kelompok II sebelum perlakuan
O5 :
58 Observasi awal kelompok III sebelum perlakuan
O7 :
Observasi awal kelompok IV sebelum perlakuan
K
Perlakuan pada kelompok kontrol diberikan akuades
:
P1 :
Perlakuan pada kelompok II diberikan ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25%
P2 :
Perlakuan pada kelompok III diberikan ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 50%
P3 :
Perlakuan pada kelompok IV diberikan ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75%
O2 :
Observasi akhir kelompok kontrol setelah diberikan akuades
O4 :
Observasi akhir kelompok II setelah diberikan ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25%
O6 :
Observasi akhir kelompok III setelah diberikan ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 50%
O8 :
Observasi akhir kelompok IV setelah diberikan ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75%
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1
Tempat penelitian : di bagian Farmakologi dan Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
4.2.2
Waktu penelitian: Maret-Juni 2011 (penelitian pendahuluan - peneliti an sesungguhnya).
4.3 Sumber Data Sesuai dengan rancangan penelitian, maka sampel (tikus) dalam penelitian ini jumlahnya 32 dan dibagi dalam empat kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok kontrol mendapat pemberian akuades. Satu kelompok perlakuan mendapat pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25%, satu kelompok perlakuan mendapat pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 50%, dan satu kelompok perlakuan mendapat pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75%.
4.3.1 Besar sampel Perhitunganbesarsampel dihitung berdasarkan rumus Frederer (Hanafiah 2004). Rumus : (n – 1) (r – 1) ≥ 15 (n – 1) (4 – 1) ≥ 15 (n – 1) ≥ 5 n ≥ 6 Keterangan : n : jumlah ulangan (replikasi) r : jumlah perlakuan
Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 per kelompok. Untuk menghindari drop out pada sampel ditambahkan 20 % sehingga jumlah sampel menjadi7,2 dan dibulatkan menjadi 8 ekor per kelompok. Jadi jumlah sampel seluruhnya adalah 32 ekor. 4.3.2 Kriteria sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) yang memenuhi kriteria sebagai berikut : Kriteria Inklusi: a.
Tikus putih jantan dewasa(Strain Wistar)
b.
Umur 3 bulan
c.
Berat badan tikus 180 – 200 gram
d.
Kesehatan umum baik
Kriteria Ekslusi :
Tikus tidak mau makan
Kriteria drop out :Tikus mati saat penelitian
4.4 Identifikasi Variabel 4.4.1
Variabel bebas
:
Ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25%, 50%,dan 75%
4.4. 2 Variabel tergantung
:
Jumlah makrofag pada radang mukosa mulut
tikus
putih jantan 4.4. 3 Variabel terkendali : a.
Galur tikus
: Tikus putih (rattus norvegicus)
b.
Umur tikus
: 3 bulan
c.
Jenis kelamin tikus
: Jantan
d.
Berat badan tikus
: 180 – 200 gram
e.
Jenis makanan tikus : Pellet broiler-11 dan air
4.5 Definisi Operasional 1. Ekstrak daun lidah buaya: adalah sediaan pekat yang didapat dengan mengekstrak zat aktif daun lidah buaya menggunakan etanol 70%, yang diperoleh secara maserasi. Pada penelitian ini dibuat konsentrasi ekstrak daun lidah buaya setelah diencerkan dengan akuades hingga mencapai konsentrasi 25%, 50% dan 75%. 2. Radang Mukosa Mulut : adalah keradangan mukosa mulut yang ditandai dengan lesi berupa bercak putih kekuningan, bentuk bulat atau oval, dengan diameter antara 2-3 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang kemerahan. Pada penelitian ini lesi dibuat dengan pengolesan bahan hidrogen peroksida (H2O2) 30% menggunakan mikrobrush (diameter 2mm) pada bagian mukosa labial di bawah
frenulum insisivus sentral rahang bawah sehingga terjadi iritasi mukosa labial tikus. 3.
Makrofag dinilai dengan menghitung jumlah sel makrofag di daerah radang mukosa labial mulut, yang telah dibuat preparat/sediaan mikroskopis dengan pengecatan Harris Hematoxcylin-Eosin dan dilihat pada lima lapang pandang dengan menggunakan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400x.
4.6 Bahan dan Alat Penelitian 4.6.1Bahan penelitian a.
b.
Bahan utama : -
Mukosa labial tikus
-
Ekstrak Daun lidah buaya 25%, 50% dan 75%
Bahan penunjang -
Anastesi (Xylonor dan Chloroform)
-
Hidrogen Peroksida (H2O2)30%
-
Akuades steril (kontrol)
-
Cat Harris Hematoxcylin –Eosin
-
Alkohol 70 %
-
Larutan formaldehid 10 %
4.6.2 Alat penelitian :
-
-
Mikroskop elektrik(Olympus Type CX 21)
-
Scalpel
Pinset -
Cotton buds
-
Mikro brush ( diameter 2mm)
-
Gunting bedah
-
Stop watch
-
Dan lain-lain.
Gambar : 4.2 Bahan dan alat penelitian Alur Penelitian
32 Ekor Tikus
Random
Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan I
Kelompok Perlakuan II
Kelompok Perlakuan III
Dibuatradang dengan diolesihidrogen peroksida 30%, 2x5 menit selama 6 hari.
Kelompok kontrol (8 ekor) diolesi aquades 3x5 menit selama 3 hari
Kelompok perlakuan I (8 ekor) diolesi aloe vera 25% sebanyak 3x5 menit selama 3 hari
Kelompok perlakuan II (8 ekor) diolesi aloe vera 50% sebanyak 3x5 menit selama 3 hari.
Dekapitasi pada hari ke-10
Pemeriksaanjumlah sel makrofag dengan mikroskop elektrik
Analisis data
Kelompok perlakuan III(8 ekor) diolesi aloevera 75% sebanyak 3x5 menit selama 3 hari.
Gambar : 4.3 Alur penelitian 4.7 Jalannya Penelitian Penelitian ini memakai 32 ekor tikus putih jantan umur 3 bulan yang dibagi dalam kelompok kontrol (8 ekor), kelompok perlakuan I (8 ekor), kelpompok perlakuan II (8 ekor) dan kelompok perlakuan III (8 ekor).
Kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan mendapat pengolesan hidrogen peroksida 30% dengan menggunakan mikrobrush pada jaringan mukosa labial mulut sebanyak 2 kali 5 menit dalam satu hari yang diberikan selama 6 hari berturut- turut bertujuan untuk membuat radang. Pada penelitian ini, bahan obat yang dipakai adalah ekstrak daun lidah buaya 25%, 50%, 75%. Ekstrak daun lidah buaya didapat dengan cara menggiling halus daun lidah buaya (panjang kira-kira 50 cm, tebal 2,5cm) yang telah dibersihkan dan dihilangkan durinya. Kemudian ditambah etanol 70% diaduk selama 30 menit dengan stirrer magnetic dan didiamkan selama 48 jam. Hasil maserasi disaring sebanyak 3 kali dengan corong buctner yang dilapisi kertas saring dan ditampung dengan erlenmeyer. Filtrat hasil penyaringan diuapkan dengan vacum
rotary evaporator. Selanjutnya
dilakukan pengenceran dengan akuades sehingga mencapai konsentrasi 25% , 50% dan 75% (Voigt, 1994). Pemberian bahan obat dilakukan mulai pada hari ketujuh sebanyak 3 x 5 menit berturut-turut dengan menggunakan cotton buds. Kelompok kontrol hanya diolesi dengan akuades 3 x 5 menit selama tiga hari berturut-turut.Pada kelompok perlakuan I
diolesi ekstrak daun lidah buaya 25% 3 x 5 menit selama tiga hari, kelompok perlakuan II diolesi ekstrak daun lidah buaya 50% 3 x 5 menit selama 3 hari dan kelompok perlakuan III diolesi ekstrak daun lidah buaya 75% 3 x 5 menit selama tiga hari berturut-turut dengan menggunakan cotton buds. Pengolesan
selama
5 menit karena dengan waktu tersebut obat sudah dapat
berpenetrasi atau meresap ke dalam jaringan mukosa rongga mulut. Pengobatan dengan bahan ini selama 3 hari diharapkan sudah terjadi penurunan jumlah sel makrofag atau bahkan penyembuhan peradangan pada jaringan mukosa rongga mulut tikus. Pada hari kesepuluh semua hewan percobaan dekapitasi dengan anastesi menggunakan chloroform. Kemudian dibuat spesimen mukosa labial rahang bawah, selanjutnya jaringan difiksasi dengan formaldehid 10% dan dibuat sediaan mikroskopik. Untuk semua spesimen, pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron, diambil untuk diwarnai dengan Harris Hematoxcylin Eosin. Perbandingan antar kelompok dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran 400x dan masing-masing sediaan dinilai dengan menghitung jumlah sel radang makrofag pada lima lapang pandang pada setiap sediaan mikroskopis.
Pembuatan ekstrak daun lidah buaya (aloe vera)
Gambar : 4.4 Penyaringan dengan tabung erlenmeyer
Gambar: 4.5 Filtrat diuapkan dengan vacum rotary evaporator
Gambar : 4.6 Akuades dan ekstrak daun lidah buaya
Perlakuan pada tikus
Gambar: 4.7 Pengolesan H2O2 30%
Gambar: 4.8 Pengolesan ekstrak daun
lidah buaya
Gambar: 4.9 Tikus dekapitasi dengan
Gambar: 4.10 Pengambilan jaringan
chloroformmukosa tikus
Gambar: 4.11 Fiksasi jaringan
Gambar: 4.12 preperat mikroskopis
dengan formaldehid 10%
4.8 Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Analisis Deskriptif.
2.
Uji normalitas dengan uji Shapiro-Wilk.
3.
Uji homogenitas dengan Levene’s test.
4.
Uji Efek Perlakuan Karena data berdistribusi normal dan homogen maka digunakan ujistatistik
parametrik yaitu One Way Anova. Untuk mengetahui beda nyata terkecil dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD) Post Hoc Test.
BAB V HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 37tikus putih jantan (Rattus novergicus) berumur 3 bulan, berat badan 180 – 200 g, dan sehat sebagai sampel, 5 ekor digunakan untuk data pre , dan 32 ekor digunakan untuk data post yang terbagi menjadi 4(empat) kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu kelompok kontrol diberikan akuades, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 25%, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 50%, dan satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 75%. Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data Data Jumlah makrofag diuji normalitasnya dengan menggunakan uji ShapiroWilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Makrofag
Kelompok Subjek
n
p
Ket.
0,089
Kontrol pre Kontrol (Aquadest) post Ekstrak daun lidah buaya 25% post Ekstrak daun lidah buaya 50% post Ekstrak daun lidah buaya 75% post
0,136
5 8 8 8 8
0,143 0,161
Normal Normal Normal Normal Normal
0,239
5.2 Uji Homogenitas Data
70
Data jumlah makrofagdiuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Homogenitas Data Jumlah MakrofagantarKelompok Perlakuan
Variabel Jumlah makrofag Post
F
p
1,418
0,356
Keterangan Homogen
5.3Makrofag 5.3.1 Analisis komparabilitas Analisis komparabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan, karena sebelum perlakuan (pre) hanya menggunakan satu kelompok dengan jumlah tikus 5 ekor. Hasil analisis deskriptif disajikan pada Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3 Rerata Jumlah MakrofagSebelumDiberikan Ekstrak Daun Lidah Buaya
Kelompok Subjek
Kontrol
n
Rerata Makrofag
SB
38,48
1,20
5
Range
36,80-39,40
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata jumlah Makrofagsebelum diberikan perlakuan adalah 38,401,20 5.3.2 Analisis efek pemberian ekstrak daun lidah buaya Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah makrofag antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa ekstrak daun lidah buaya . Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Perbedaan Rerata Jumlah MakrofagAntar Kelompok Sesudah Diberikan Ekstrak Daun Lidah Buaya
Kelompok Subjek
n
Rerata makrofag
SB
F
p
Kontrol (Aquadest) E. daun lidah buaya 25% E. daun lidah buaya 50% E. daun lidah buaya 75%
8 8 8 8
39,13
1,99
39,03
1,12
19,90
2,21
11,55
1,80
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata jumlah kontrol (aquadest) adalah
174,08
0,001
Makrofagkelompok
39,131,99, rerata kelompok ekstrak daun lidah buaya
konsentrasi 25% adalah 39,031,12, rerata kelompok ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 50% adalah 19,902,21, dan rerata kelompok ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75% adalah 11,551,80. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F =174,08 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah Makrofagpada keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,01).
Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Makrofag Sebelum dan Sesudah Perlakuan antar Kelompok
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD). Hasil uji disajikan pada Tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5 Beda Nyata TerkecilJumlah MakrofagSesudah Diberikan Ekstrak Daun lidah buaya antar Dua Kelompok
Kelompok
Beda Rerata
p
Kontrol dan Konsentrasi 25%
0,10
0,944
Kontrol dan Konsentrasi 50%
19,23
0,001*
Kontrol dan Konsentrasi 75%
27,58
0,001*
Konsentrasi 25% dan 50%
19,13
0,001*
Konsentrasi 25% dan 75%
27,48
0,001*
Konsentrasi 50% dan 75%
8,35
0,001*
*. Berbeda bermakna Uji lanjutan dengan uji Least Significant Difference–test (LSD) di atas mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Rerata jumlah makrofag kelompok kontrol tidak berbeda dengan kelompok Konsentrasi 25%(rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok konsentrasi 25%). 2. Rerata jumlah makrofag kelompok kontrol berbeda bermakna dengan kelompok Konsentrasi 50% (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok konsentrasi 50%). 3. Rerata jumlah makrofag kelompok kontrol berbeda bermakna dengan kelompok Konsentrasi 75% (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok konsentrasi 75%). 4. Rerata jumlah makrofag kelompok konsentrasi 25% berbeda bermakna dengan kelompok Konsentrasi 50%(rerata kelompok konsentrasi 25% lebih tinggi daripada rerata kelompok konsentrasi 50%).
5. Rerata jumlah makrofag kelompok konsentrasi 25% berbeda bermakna dengan kelompok Konsentrasi 75% (rerata kelompok konsentrasi 25% lebih tinggi daripada rerata kelompok konsentrasi 75%). 6. Rerata jumlah makrofagkelompok konsentrasi 50% berbeda bermakna dengan kelompok Konsentrasi 75% (rerata kelompok konsentrasi 50% lebih tinggi daripada rerata kelompok konsentrasi 75%).
Pemeriksaan mikroskopis makrofag
Makrofag pre test pembesaran400x dengan pengecatan HE
Makrofag kontrol aquadest pembesaran 400x dengan pengecatan HE
Makrofag ekstrak lidah buaya 25% pembesaran400x dengan pengecatan HE
Makrofag ekstrak lidah buaya 50% pembesaran400x dengan pengecatan HE
Gambar : 5.2
Pemeriksaan mikroskopis makrofag dengan pembesaran 400x dan dengan pengecatan HE BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Subyek Penelitian Untuk menguji pemberian ekstrak daun lidah buaya dalam menurunkan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut, maka dilakukan penelitian pada tikus putih jantan yang diberikan ekstrak daun lidah buaya. Sebagai objek dalam penelitian ini digunakan sebanyak 32 tikus putih jantan (Rattus novergicus) berumur 3 bulan, berat badan 180 – 200 g, dan sehat, yang terbagi menjadi 4(empat) kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu kelompok kontrol diberikan akuades, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 25%, satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 50%, dan satu kelompok perlakuan diberikan ekstrak daun lidah buaya 75%.
6.2 Distribusi Data Hasil Penelitian Data hasil penelitian berupa data jumlah makrofag sebelum dianalisis lebih lanjut, terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi digunakan uji Shapiro Wilk, yaitu untuk mengetahui normalitas data dan uji homogenitas dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05).
6.3 Hubungan Ekstrak Daun Lidah Buaya dengan Penyembuhan Radang Mukosa Mulut 76
Berdasarkan analisis deskriptif pada kelompok sebelum perlakuan pada 5 ekor tikus didapatkan rerata jumlah Makrofag sebesar 38,401,20. Uji perbandingan antara keempat kelompok sesudah perlakuan berupa pemberian ekstrak daun lidah buaya menggunakan One Way Anova. Rerata jumlah Makrofag kelompok kontrol (aquadest) adalah 39,131,99, rerata kelompok ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 25% adalah 39,031,12, rerata kelompok ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 50% adalah 19,902,21, dan rerata kelompok ekstrak daun lidah buaya konsentrasi 75% adalah 11,551,80. Uji perbandingan antara keempat kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna jumlah makrofag diantara keempat kelompok, yaitu padakonsentrasi 50%, dan 75% (p<0,01).
Pada saat yang sama peneliti juga melakukan penelitian pada satu kelompok tikus putih jantan 8 ekor (Rattus novergicus)dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 100% dan didapat rerata jumlah makrofag 11,40. Hal ini tidak berbeda bermakna dengan pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75 % yang didapat rerata jumlah makrofag 11,55. Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa terjadinya penurunan bermakna jumlah makrofag pada radang mukosa mulut tikus putih jantan pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak daun lidah buaya. Ini disebabkan karena daun lidah buaya (aloe vera) mengandung vitamin, enzim, protein, karbohidrat, mineral (kalsium, natrium, magnesium, seng, besi) dan asam amino, yang sebagian besar dapat berperan dalam mengobati radang. Selain itu berbagai agen anti inflamasi, di antaranya adalah asam salisilat, indometasin, manosa-6-fosfat, B sitosterol, juga komponen lignin, saponin dan anthaquinone yang terdiri atas aloin, barbaloin, anhtranol, anthracene, aloetic acid, aloe emodin merupakan bahan dasar obat yang bersifat sebagai antibiotik dan penghilang rasa sakit (Yuliani dkk 1994; Simanjuntak 1996). Tanaman ini juga kaya akan kandungan zat-zat seperti vitamin, polisakarida dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, juga berkhasiat sebagai anti inflamasi,menstimulasi kekebalan tubuh dan membantu proses regenerasi sel(Jatnika dan Saptoningsih, 2009). Bob Bowden dan Wayne Smith dalam penelitiannya menunjukkan bahwa daun lidah buaya bertindak sebagai anti-inflamasi dengan menghambat integrin tertentu (Davis, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Meitha Widurini, menggunakan daun lidah buaya (aloe vera) yang diaplikasikan pada radang mukosa mulut tikus, ternyata dapat menurunkan radang mukosa mulut tikus. Didapatkan hasil bahwa daun lidah buaya tidak
mempunyai mekanisme tunggal sebagai anti inflamasi. Lidah buaya mengandung berbagai macam unsur dan zat yang dipercaya dapat bertindak sebagai agen antiinflamasi, antara lain asam salisilat, vitamin, polisakarida dan asam lemak. Disamping itu terdapat pula indometasin yang dapat mengurangi edema, menghambat enzim siklooksigenase dan menghambat motilitas dari leukosit poly morpho nuklear (PMN) yang bila jumlahnya berlebihan dapat merusak jaringan (Widurini, 2003). Dalam laporan Fujio L. Penggabaian, seorang peneliti dan pemerhati tanaman obat, mengatakan bahwa keampuhan lidah buaya tak lain karena tanaman ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi tubuh manusia. Hasil penelitian lain terhadap lidah buaya menunjukkan bahwa karbohidrat merupakan komponen terbanyak setelah air, yang menyumbangkan sejumlah kalori sebagai sumber tenaga. Sumber lain menyebutkan bahwa, dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya, yang baik digunakan untuk pengobatan adalah jenis aloe vera Barbadensis Miller. Lidah buaya jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Diantara ke-72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh itu, terdapat 18 macam asam amino, kalbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon dan zat golongan obat, antara lain antibiotik, antiseptik, anti bakteri, anti kanker, anti virus, anti jamur, anti infeksi, anti peradangan, anti parkinson dan anti aterosklerosis (Kloppenberg dan Versteegh, 1998). Lebih lanjut Jatnika dan Saptoningsih (2009) menyatakan bahwa lidah buaya memiliki efek farmakologis, yakni pencahar (laxatic) dan parasiticide. Di samping itu lidah buaya juga memiliki manfaat lain yaitu sebagai antiseptik : pembersih alami dan mengobati luka dengan cepat; antipruritik: penghilang rasa gatal; anestetik: pereda rasa sakit; afrodisiak: pembangkit gairah seksual; antipiretik: penurun rasa panas; antijamur,
antivirus, dan antibakteri yang berasal dari kandungan saponin; dan anti-inflamasi: berasal dari asam lemak. Lidah buaya juga mengandung senyawa lignin dan polisakarida yang berguna sebagai media pembawa zat-zat nutrisi yang diperlukan oleh kulit. Ditunjang juga oleh karakteristik lidah buaya yang memiliki tingkat keasaman (pH) yang normal, hampir sama dengan pH kulit manusia sehingga memberikan kemampuan untuk menembus kulit secara baik. Lidah buaya juga memiliki kandungan asam amino dan enzim yang masingmasing berfungsi untuk membantu perkembangan sel-sel baru dengan kecepatan luar biasa dan menghilangkan sel-sel yang telah mati dari epidermis. Lidah buaya mengandung senyawa nutrisi yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan penyembuhan (terapi) berbagai penyakit. Salah satu referensi menyebutkan bahwa lidah buaya mengandung hormone pertumbuhan (human growth hormone) dan antipenuaan (anti-aging). Efek positif meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam menurunkan radang, lidah buaya memiliki sistem penghambat yang menghalangi rasa sakit serta sistem stimulasi yang meningkatkan penyembuhan luka. Pengujian laboratorium independen tentang lidah buaya menunjukkan aktivitas lidah buaya dalam modulasi antibodi dan kekebalan seluler (Davis, 2000). Topikal steroid biasanya digunakan untuk memblokir peradangan akut dan kronis. Mereka menurunkan edema dengan mengurangi permeabilitas kapiler, vasodilatasi dan menstabilkan membran lisosom. Lidah buaya (aloe vera) merangsang pertumbuhan fibroblas untuk meningkatkan penyembuhan luka dan menghalangi penyebaran infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 1% dari steroid dapat menembus stratum korneum kulit, dan 99% terbuang. Data penelitian ini menunjukkan bahwa lidah buaya dapat bertindak sebagai kendaraan bagi steroid untuk meningkatkan penyerapan dan
bertindak sebagai pembawa yang efisien. Penggunaan lidah buaya adalah pertimbangan ekonomi yang signifikan (Davis, 2000). Lidah buaya (aloe vera) tidak memiliki mekanisme tunggal. Lidah buaya mengandung asam amino seperti phenylalanine dan trytophane yang memiliki aktifitas anti-inflamasi. Asam salisilat dalam lidah buaya mencegah biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Hal ini menjelaskan bagaimana aloe vera mengurangi vasodilatasi dan mengurangi efek vaskular dari histamin, seretonin dan mediator inflamasi lainnya. Lidah buaya memodulasi produksi limfosit dan makrofag derivat mediator (limphokinins) termasuk interleukins dan interferon. Lidah buaya juga mengurangi oksigen radikal bebas yang dihasilkan oleh PMN’s. Vitamin C dalam lidah buaya menghambat peradangan, mengambil radikal oksigen untuk memblokir proses inflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa lidah buaya membantu dalam penyerapan vitamin C dan menambah aktivitas biologisnya. Vitamin E, yang dikenal sebagai anti oksidan, juga merupakan komponen lidah buaya. Efek-efek biologis dari karya orkestra aloe vera, bekerjasama dengan konduktor (polisakarida) menghasilkan efek terapi yang berharga (Davis, 2000).Lidah buaya dapat melarutkan senyawa larut air serta zat larut lipid. Selain itu dapat melalui membran sel stratum korneum untuk membantu berbagai bahan dalam menembus kulit. Aktivitas biologis lidah buaya dapat bertambah, bahkan bersinergi dengan banyak agen dalam meningkatkan efek terapi (Davis, 2010).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) didapatkan simpulan sebagai berikut: 1.
Pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 50% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan.
2.
Pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 75% lebih menurunkan jumlah makrofag daripada konsentrasi 25% pada radang mukosa mulut tikus putih jantan.
3.
Pemberian ekstrak daun lidah buaya (aloe vera) konsentrasi 25% tidak menurunkan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut tikus putih jantan.
7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Perlu melakukan penelitian lebih lanjut pemberian ekstrak daun lidah buaya konsentrasi > 75% untuk mengetahui penurunan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut tikus.
2. Disarankan untuk menggunakan ekstrak daun lidah buaya secara tepat dalam menurunkan jumlah makrofagpada radang mukosa mulut tikus. 3. Disarankan penggunaan ekstrak daun lidah buaya pada manusia untuk 82 menurunkan jumlah makrofag pada radang mukosa mulut, haruslah secara hatihati,karena penelitian ini dilakukan pada tikus.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D.1995. Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. MWilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.4th.ed. (Anugerah, P. penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992). Hal 35-61.
Aristiawati dkk., 2001. Pembahasan Pengaruh Pemutih Gigi Hidrogen Peroksida Terhadap Mukosa Rongga Mulut.Jakarta. hal 35 – 36.
Avery, J.K. dan Chiego,D.J. 2006. Essentials of Oral Histology And Embryology: A Clinical Aproach. 3 ed. By Mosby, Inc. Hal 177-183.
Balogh, M.B. Fehrenbach, M.J. 2006.Dental Embryology, Histology, and Anatomy.Second Edition.Certified Medical Illustrator, AMI. Oak Park, Illinois. Hal 105-114.
Burkit, H.G. Young, B. Heath, J.W. 1995. Histologi Fungsional. Edisi 3. Alih Bahasa Jan Tambajong. Jakarta: EGC. Hal 42-60.
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2002.Disease Of the Oral Mucosa: Non-infective stomatitis, Oral Patologi and Oral Medicine, Churchill Livingstone 192-195.
Davis, R.H. The Conductor-Orchestra Concept Of Aloe Vera. Aloe Vera and Inflamation. Available from : http://wholeleaf.com.
[email protected]. Diakses Januari 2011.
Eda, S dan Fukuyama, H. 1990. A Laboratory Manual For General and Oral Pathology. Tokyo; Quintessence Publishing.
Farmakope Indonesia.1979.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Edisi ketiga, hal 275-276.
Farmakope Indonesia.1995.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Edisi keempat, hal.414-416.
Gandolfo, Scully C, Carrozzo. 2006. Oral Medicine. Published by Unione TipograficoEditrice Torinse. Hal 44-56.
Ganiswara, S. G. Setiabudy, R. Suyatna, F.D. Purwantyastuti, Nafraldi. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed 4 th. Jakarta. FK UI 210 – 219.
Gifford, L. 2005. PATHOPHYSIOLOGY: An Essential Text For The Allied Health Prosfession. Oxford Philadelphia St84 Louis Sydney Toronto.ISBN 07506 52349.
Greenberg, M.S. 2003. Ulcerative, vesicular and Bulloys Lesions.Dalam Lynch MA, Brigman VJ, Greenberg MS. Burket Oral Medicine. Diagnosis and Treatment, eight edition hal.163-208.
Hanafiah, K.A. 2004. Rancangan Percobaan: teori dan aplikasi. Ed. Rev., Cet 9.Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada. Halaman 9.
Haskell, R dan Gayford, J.J. 1990.Edisi kedua. Alih Bahasa drg Lilian Yuwono, Hal 1-11.
Insel, P.A. (1991). Analgesic-Antipyretics and Antiinflammatory Agents: Drugs Employed in the Treatment of Rheumatoid Arthritis and Gout. Dalam: Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed 8. Editor: Gilman, A.G. etal. New York: Pergamon Press. Vol. I. Halaman 639,648,665,667.
Jatnika, A. dan Saptoningsih. 2009. Meraup Laba dari Lidah Buaya. Jakarta: Agro Media Pustaka.Hal 1-26.
Joseph, A.R dan James, J.S. 1989.Apthous Ulcers.Oral Patology. Clinical-Pathologic Corelations, WB Saunders Company, hal 46-49.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Yogyakarta: UGM Press.
Kerr, D.A & Ash M. 1978. Oral Pathology, 4 th ed. Philadelphia : Lea & Febriger 69 – 79.
Korolkovas, A. 1988.Essentials of Medicinal Chemistry. Ed 2. New York: A Wiley lnterscience Publ. Halaman 1052-1053.
Kloppenberg, J. dan Versteegh. 1998. Petunjuk lengkap mengenai tanam-tanaman di Indonesia dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisionil. Cetakan kedua,diterbitkan oleh CD.RS. Bethesda Yogyakarta dan andi Ofset, jilid II hal 80-81.
Leeson, C.R. Leeson, S.T. Paparo, A.A. 1996. Atlas Histologi. Edisi 5. Alih Bahasa Jan Tambajong dkk.Jakarta: EGC. Hal 67-78.
Lewis, A.O. 1998. Clinical Oral Medicine. Butterworth-Heinemann Ltd. Hal 47-51.
Martindale. 1982.The Extra Pharmacopecia twenty-eight Edition, Edited by Jemes E.F. Reynolds, London Hal: 691-692.
Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. 2003. Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology.7th ed.Philadelphia: Elsevier Saunders.pp33-59.
Mutschler, E. 1991.Arzneimittelwirkungen, Terjemahan: Dinamika obat oleh: Mathilda B. dan Anna S.R. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 194-195, 359, 388, 401-402.
Nanci, A. 2008. Ten Cates Oral Histology: Development, Structure, and Function. By Mosby, Inc.,an affiliate of Elsevier Inc.
Navia, J.M. 1997.Animal Modelsin Dental Research.The Univ. of Alabama Press.
Paris, P. Charles, F.S. Carl, M. Michael, F.B dan John, R.K. 2002.Celiac disease andrecurrent aphtous stomatitis; A report and review of the literature.Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Patology, Oral Radiology and Endodontic. Vol 94 Number 4, Oktober 2002, Published by Mosby, Inc St Louis, USA. P 474-478.
Price, S.A. Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Alih Bahasa Brahm U Pendit dkk. Jakarta: EGC. Hal 57-71.
Robbins, S.L. & Kumar, V. 1995. Buku ajar patologi I.4th ed.(Staf pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1987).
Santoso,H.B. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Cet.1.-Jakarta: Agro Media Pustaka.Hal 71-78.
Simanjuntak, M. 1996. Botani Lidah Buaya, Bogor. 5 – 7.
Sudiono, J. Kurniadi, B. Hendrawan, A. Djimantoro,B. 2003. Ilmu Patologi. Editor Janti Sudiono, Lilian Yuwono-Jakarta: EGC. Hal 81-96.
Sudrajat,I. 2005. “Skor Histologi CD8+ Pada Proses Penyembuhan Luka Tikus wistar” (tesis). Semarang: Universitas Diponogoro.
Sulistiawati, N. 2011. “Pemberian Ekstrak Daun Lidah Buaya (Aloe Vera) Konsentrasi 75% Lebih Menurunkan Jumlah Makrofag Daripada Konsentrasi 50% Dan 25% Pada radang Mukosa Mulut Tikus Putih Jantan”(penelitian pendahuluan). Denpasar. Universitas Udayana. Sonis, S.T. Facio, R.C, Fang, L. 1995.Oral Ulcerative Disease, Principles and Practice of Oral Medicine, 2nd Ed. WB Saunders Co. 345-349
Scully, C. 2006.Clinical Practise.Aphthous Ulceration. N Engl J Med 355(2): 165-172.
Ship, J.A, Chaves, E.M, Doerr, P.A. Henson, B.S. and Sarmadi, M. 2000.Reccurent AphthousStomatitis. Departement of Oral Medicine, Pathology, Oncology, University of Michigan, School of Dentistry, Ann Arbor, Michigan USA
[email protected] 4 Nopember 2003.
Smith, D. 1990.(ATN)Glycyrrizin : Research Still Promising, Still Limited AIDSTreatment News No 103May 18. Available from:http://www.aegis.com/pubs/atn/1990/ATN10302.html 26 April 2004.
Smith, J.B., Mangkoe Widjoyo.1988. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan Hewan Percobaan di daerah Tropis. Penerbit UI, Jakarta. Hal 1-18.
Steven, L.B. Robert, P.L dan Craig, S. 1994.Ulcerative Lesions. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning 2nd Ed, A Waperly Co. Hal 719-725.
Ten Cate, A.R. Oral Histology Development, Structure, and Function. St. Louis: The Mosby Co. 1980:340-5.
Trowbridge H.O. Emling RC. 1997. Inflammation a review of process 5 th ed. Illinois; Quintessence Pub. Co; 52 – 53, 129 – 136.
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan Noerono, S., edisi V. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 551-564.
Widurini, M. 2003. Pengaruh Daun Lidah Buaya Terhadap Peradangan Jaringan Mukosa Rongga Mulut. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia: edisi 10: 473-477.
Wray, D. Lowe, G.D.O. Dagg, J.H. Felix, D.H dan Scully, C. 2003.Oral Ulceration, Textbook of General and Oral Medicine, Churchill Livingstone.Hal. 225 – 227.
Yuliani, S. Winarti, C. Marwati, T. 1994. Manfaat Lidah Buaya dalam Perawatan Kesehatan dan Kecantikan, Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII. Hal 258 – 268.
88
Lampiran 1 Uji Normalitas Data Makrofag
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok
Statistic
Makrofa Kontrol pre g Kontrol (Aquades) post
df
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
.325
5
.091
.805
5
.089
.235
8
.200*
.865
8
.136
Ekstrak daun lidah buaya 25% post
.241
8
.191
.817
8
.143
Ekstrak daun lidah buaya 50% post
.249
8
.153
.873
8
.161
Ekstrak daun lidah buaya 75% post
.266
8
.100
.891
8
.239
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
89
Lampiran 2 Uji One Way Anova Data Makrofag antar Kelompok
95% Confidence Interval for Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Makrof Kontrol ag_pos ekstrak daun lidah t buaya 25%
8 39.1250
1.98548
.70197
37.4651
40.7849
8 39.0250
1.11835
.39540
38.0900
39.9600
ekstrak daun lidah buaya 50%
8 19.9000
2.20659 1.84081
15.5472
24.2528
ekstrak daun lidah buaya 75%
8 11.5500
1.80079
.63668
10.0445
13.0555
32 27.4000 12.55892 2.22012
22.8720
31.9280
Total
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic Makrofag_post
df1
1.418
df2 3
Sig. 28
.356
ANOVA Makrofag Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4640.710
3
1546.903
248.810
28
8.886
4889.520
31
F 174.082
Sig. .000
90
Post Hoc Tests Multiple Comparisons LSD
Depe ndent (I) Varia Kelompo ble k (J) Kelompok Makr Kontrol ofag_ post
95% Confidence Interval Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
Lower Bound
Upper Bound
ekstrak daun lidah buaya 25%
.10000 1.41646 .944
-2.7756
2.9756
ekstrak daun lidah buaya 50%
19.22500* 1.41646 .000
16.3494
22.1006
ekstrak daun lidah buaya 75%
27.57500* 1.41646 .000
24.6994
30.4506
-.10000 1.41646 .944
-2.9756
2.7756
ekstrak daun lidah buaya 50%
19.12500* 1.41646 .000
16.2494
22.0006
ekstrak daun lidah buaya 75%
27.47500* 1.41646 .000
24.5994
30.3506
ekstrak daun lidah buaya 25%
Kontrol
ekstrak daun lidah buaya
Kontrol
19.22500
ekstrak daun lidah buaya 25%
*
1.41646 .000 -22.1006 -16.3494
1.41646 .000 -22.0006 -16.2494 19.12500*
50%
ekstrak daun lidah buaya 75%
ekstrak daun lidah buaya 75%
Kontrol
8.35000* 1.41646 .000 27.57500
*
5.4744
11.2256
1.41646 .000 -30.4506 -24.6994
ekstrak daun lidah buaya 25%
1.41646 .000 -30.3506 -24.5994 27.47500*
ekstrak daun lidah buaya 50%
-8.35000* 1.41646 .000 -11.2256
*. The difference is significant at the 0.05 level.
xvi xv
-5.4744