STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN OBAT INDONESIA
DISERTASI
Oleh: HARRIZUL RIVAI 06301035
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2012
ii
STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN OBAT INDONESIA
Oleh: Harrizul Rivai (Di bawah bimbingan Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar) RINGKASAN Pada monografi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat Indonesia terdapat beberapa kelemahan dalam teknik analisis yang dipakainya. Di antara kelemahan itu adalah tidak adanya optimasi penyiapan sampel yang berupa simplisia tumbuhan obat dan pembuatan ekstrak tumbuhan obat, padahal tahap penyiapan sampel sangat berpengaruh terhadap perolehan zat aktif dan hasil analisis (Gaedcke et al., 2003). Selain itu, identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat dengan menggunakan spektroskopi UV, IR dan teknikteknik kromatografi belum ada yang lengkap dalam monografi-monografi tersebut di atas. Oleh karena itu studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat perlu dilakukan, terutama dalam hal optimasi penyiapan sampel untuk analisis, studi teknik identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat dengan spektroskopi UV dan IR serta studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dan teknik kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Tujuan penelitian: (1) Mempelajari cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan alam sehingga diperoleh senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari beberapa obat bahan alam. (2) Mencari pelarut ekstraksi dan mempelajari cara ekstraksi yang paling cocok untuk mendapatkan senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari obat bahan alam. (3)
iii
Mempelajari cara-cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan metode spektrofotometri inframerah (FT-IR), kromatografi lapis tipis (KLT), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). (4) Mengisolasi senyawa fenolat yang bersifat antioksidan dalam obat bahan alam. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Padang, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Serpong sejak April 2008 sampai dengan Maret 2011. Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi pereaksi FolinCiocalteau, 1,1-difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), rutin, kuersetin, katekin, asam galat, metanol, etanol, aseton dan asetonitril. Obat bahan alam yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC), daun jambu biji (Psidium guajava L.) dan herba meniran (Phyllanthus niruri L.). Metode penelitian: (1) Penentuan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam. (2) Penentuan pengaruh pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam. (3) Penentuan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam. (4) Penentuan kadar zat tersari (rendemen). (5) Penentuan kadar senyawa fenolat total. (6) Penentuan aktivitas antioksidan. (7) Penentuan pola kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (8) Penentuan sidik jari fourir transform infra red (FTIR) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (9) Penentuan pola kromatogram
iv
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) beberapa ekstrak tumbuhan obat. (10) Isolasi senyawa antioksidan sebagai penanda dalam pengawasan mutu ekstrak tumbuhan obat. Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering angin dan untuk mendapat daya antioksidan tertinggi tidak banyak dipengaruhi oleh cara pengeringan. Pengeringan daun dewa dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 208,5 ± 0,6 mg/g. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4039 ± 0,0074% dan daya antioksidan IC50 3,042 µg/mL. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat daya antioksidan tertinggi adalah dengan kering angin. Pengeringan daun jambu biji dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 165,4 ± 0,4 mg/g. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4550 ± 0,0045%. Pengeringan daun jambu biji dengan diangin-anginkan menghasilkan daya antioksidan IC50 2,825 µg/mL. Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang tertinggi adalah dengan
v kering oven 40 oC. Pengeringan herba meniran dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 202,1 ± 0,1 mg/g, kadar senyawa fenolat sebesar 0,1007 ± 0,0018% dan daya antioksidan IC50 1,395 µg/mL. Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g, masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%, 0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut metanol. Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 60:40. Kedua perbandingan metanolair ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05). Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara
vi
ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa. Berdasarkan hasil analisis KLT didapatkan bahwa komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia. Berdasarkan analisis spektrum FTIR didapatkan bahwa pola spektrum serbuk dan ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia. Pada monografi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (Depkes, 2008) belum ada data spektrum FTIR ketiga simplisia atau ekstrak tumbuhan obat tersebut. Dari hasil penelitian karaketrisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan KCKT dapat dilihat bahwa ketiga simplisia ini memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin, yang terdapat pada fraksi etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan
vii
sebagai senyawa identitas untuk penentuan mutu ekstrak ketiga simplisia tersebut. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu ekstrak ketiga simplisia tersebut.. Ekstrak metanol daun dewa menunjukkan aktivitas antioksidan yang paling kuat. Selanjutnya ekstrak metanol daun dewa diisolasi dengan kromatografi kertas preparatif. Hasil isolasi diuji aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH dan dikarakterisasi dengan metode kimia dan spektroskopi (UV, FTIR, MS, 1H-NMR dan
13
C-NMR). Hasilnya menunjukkan bahwa senyawa 5,7,3’,4’-
tetrahidroksi flavonol (kuersetin) adalah senyawa yang paling aktif sebagai antioksidan dalam daun dewa. Senyawa ini belum ditemukan sebelumnya dalam daun dewa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Dalam pengawasan mutu simplisia tumbuhan obat, cara penyiapan sampel dengan pengeringan tergantung pada jenis tumbuhan obat yang dikeringkan.
Cara
pengeringan
daun
dewa
yang
terbaik
untuk
mendapatkan kadar sari tertinggi (208,5 ± 0,6 mg/g) adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4039 ± 0,0074%) dan daya antioksidan tertinggi (IC50 3,042 µg/mL) adalah dengan kering angin. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4550 ± 0,0045%) adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat daya antioksidan tertinggi (IC50 2,825 µg/mL ) adalah dengan kering angin.
viii
Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari (202,1 ± 0,1 mg/g), kadar senyawa fenolat (0,1007 ± 0,0018% ) dan daya antioksidan (IC50 1,395 µg/mL) yang tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC. 2. Untuk analisis simplisia obat bahan alam, pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g, masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%, 0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut metanol. 3. Untuk analisis simplisia obat bahan alam, perbandingan pelarut metanolair yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum dari simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran adalah perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 50:50. Kedua perbandingan metanol-air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).
ix
4. Untuk analisis simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran, cara ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa. 5. Daun dewa yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC, menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (208,3 ± 0,4 mg/g) dan kadar senyawa fenolat total tertinggi (0,7929 ± 0,0084 %) bila diekstraksi dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol. Daun jambu biji yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC, menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) bila diekstraksi dengan cara refluks memakai pelarut metanol dan menghasilkan kadar senyawa fenolat total tertinggi (0,4976 ± 0,0040 %) bila diekstraksi dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanolair (50:50). Herba meniran yang dikeringkan dengan oven pada 40 oC, menghasilkan kadar zat tersari tertinggi (295,0 ± 0,1 mg/g) bila diekstraksi dengan cara perkolasi memakai pelarut campuran metanol – air (60:40) dan menghasilkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,6826 ± 0,0026 %) bila diekstraksi dengan cara refluks memakai pelarut metanol. 6. Komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil
x
asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia. 7. Pola spektrum FTIR serbuk dan ekstrak simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia. 8. Daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Hal ini ditunjukkan dari puncak-puncak ketiga senyawa tersebut yang terdapat pada fraksi etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa identitas untuk pemastian ekstrak ketiga simplisia tersebut. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu simplisia dan ekstrak ketiga simplisia tersebut. 9. Berdasarkan proses isolasi yang dituntun dengan pengujian aktivitas antioksidan, analisis data spektrum UV dengan pereaksi geser dan analisis data spektrum LC-MS ESI ion positif, NMR, IR, serta perbandingan dengan data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi yang terkandung dalam daun dewa adalah 3’,4’,5,7-tetrahidroksi flavonol (kuersetin).
xi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa tumbuhan obat dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Dalam penggunaan cara-cara analisis untuk pengawasan mutu obat bahan alam sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia, pengeringan simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran hendaklah dilakukan pada suhu tidak lebih dari 40 oC. Ekstraksi daun dewa hendaklah dilakukan dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol, ekstraksi daun jambu biji dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol – air (50:50) dan ekstraksi herba meniran dengan cara refluks memakai pelarut metanol. 2. Monografi herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan pola KLT fraksi-fraksinya dengan memakai eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 atau petroleum eter-aseton 7:3. 3. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data spektrum FTIR dari serbuk dan ekstrak ketiga simplisia tersebut. 4. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data profil KCKT fraksi-fraksinya dengan menggunakan rutin, isokuersetin dan kuersetin sebagai senyawa identitas. 5. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa fenolat yang paling aktif sebagai antioksidan dalam daun jambu biji dan herba meniran sehingga dapat dipakai sebagai senyawa penanda dalam pengawasan mutu simplisia, ekstrak dan sediaan fitofarmaka yang mengandung kedua tumbuhan obat tersebut.
xii
6. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa penanda yang aktif sebagai antimikroba dan antikanker untuk pengawasan mutu sediaan fitofarmaka yang mengandung simplisia atau ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
xiii
STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG SENYAWA FENOLAT UNTUK PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN OBAT INDONESIA
Oleh: HARRIZUL RIVAI 06301035
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Kimia pada Program Pascasarjana Universitas Andalas
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2012
xiv
Judul Penelitian
: STUDI METODE ANALISIS BAHAN ALAM YANG MENGANDUNG
SENYAWA
FENOLAT
UNTUK
PENGEMBANGAN DATA MONOGRAFI TUMBUHAN OBAT INDONESIA Nama Mahasiswa
: HARRIZUL RIVAI
Nomor Pokok
: 06301035
Program Studi
: Kimia
Disertasi ini telah diuji dan dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Doktor Kimia pada Program Pascasarjana Universitas Andalas dan dinyatakan lulus pada tanggal 5 Desember 2011 Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H. Hazli Nurdin, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Hamzar Suyani, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. H. Amri Bakhtiar, M.S., Apt. Anggota
2. Ketua Program Studi Kimia
3. Direktur Program Pascasarjana
Prof.Dr.H. Yunazar Manjang
Prof. Dr. Ir. H. Novirman Jamarun, M.Sc
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 September 1953 di Payakumbuh, sebagai anak kedua dari Ayah Rivai Said dan Ibu Saridahanum. Penulis menamatkan SD di Talago pada tahun 1966, SMP di Dangung-Dangung pada tahun 1969 dan SAA YIB di Bukittinggi pada tahun 1972. Penulis memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas di Padang pada tahun 1984 dan memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung pada tahun 1986. Sejak tahun 1987 sampai sekarang penulis ditugaskan sebagai dosen oleh Depertemen Pendidikan Nasional pada Fakultas Farmasi Universitas Andalas di Padang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan meneruskan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Andalas di Padang.
xvi
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan hidayahNya penulis telah dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Studi Metode Analisis Bahan Alam yang Mengandung Senyawa Fenolat untuk Pengembangan Data Monografi Tumbuhan Obat Indonesia”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Hazli Nurdin, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing atas saran, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan disertasi ini. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Prof. Dr. Hamzar Suyani, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. H. Amri Bakhtiar, M.S., Apt. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dan kritik, sehingga disertasi ini terwujud. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Auzal Halim, Apt yang telah bersedia meminjamkan fasilitas laboratorium di Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Tamansiswa Padang selama penelitian ini berlangsung. Kepada Ibu Titin Rosidah dan Ibu Retno Yusiasih, M.Si dari Pusat Penelitian Kimia-LIPI yang telah membantu dalam analisis UV, FTIR, LC-MS, 1H-NMR dan 13C-NMR diucapkan terima kasih. Bantuan dari semua pihak, terutama dari Laboratorium Kimia Farmasi dan Laboratorium Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian STIFARM Padang, Fakultas Farmasi Universitas Andalas dan Program Pascasarjana Universitas Andalas sangat dihargai.
xvii
Akhirnya penulis berharap semoga hasil-hasil penelitian yang dituangkan dalam disertasi ini akan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang obat bahan alam dan pengembangan data monografi ekstrak tumbuhan obat Indonesia.
Padang, Desember 2011
Penulis
xviii
DAFTAR PUBLIKASI
Disertasi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dipublikasikan sebagian dalam jurnal ilmiah dan dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah sebagai berikut: 1. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh campuran etanol-air sebagai pelarut ekstraksi terhadap mutu ekstrak herba meniran. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (JIFI) 8(2): 69-73 (Terakreditasi DIKTI). 2. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari herba meniran (Phyllanthus niruri Linn.). Majalah Farmasi Indonesia (MFI) 22(1), 73 – 76, (Terakreditasi DIKTI). 3. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun jambu biji (Psidium guajava Linn.). Jurnal Bahan Alam Indonesia (JBAI) 7( 4): 175-178 (Terakreditasi DIKTI). 4. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2008. Pengaruh perbandingan etanol-air sebagai pelarut ekstraksi terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun jambu biji (Psidium guajava Linn.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi (JSTF) 13(2): 79-85 (Terakreditasi DIKTI). 5. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2010. Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan ekstraktif, kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC]. Majalah Obat Tradisional (MOT) 15(1): 26-33 (Terakreditasi DIKTI). 6. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi ekstrak herba meniran (Phyllanthus niruri L.) dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Berita Biologi, submitted Januari 2011 (Terakreditasi LIPI) 7. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi ekstrak daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] dengan
xix
kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Farmasi Indonesia (JFI), 5(3):134-141 (Terakreditasi DIKTI) 8. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani dan Amri Bakhtiar, 2011. Karakterisasi bahan baku fitofarmaka ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn.) dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Ilmiah Media Farmasi/Presentasi Oral dalam Seminar & Workshop Pharmacy Update 3 di Medan 18-19 Maret 2011 9. Harrizul Rivai, Hazli Nurdin, Hamzar Suyani, Amri Bakhtiar dan Dewi Weltasari, 2011. Identifikasi senyawa antioksidan dari daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi/Presentasi Oral dalam Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik di Padang 24 September 2011
xx
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
xvi
DAFTAR PUBLIKASI …………………………………………………..
xvii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xx
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xxx
I.
II.
PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
10
2.1 Tinjauan Kimia Senyawa Fenolat .................................................
10
2.2 Sumber Senyawa Fenolat dari Bahan Alam ..... ............................
16
2.3 Metode Analisis Senyawa Fenolat …………................................
17
2.4 Aktivitas Biologis Senyawa Fenolat Tumbuhan ...........................
28
2.5 Mutu dan Standardisasi Obat Bahan Alam ...................................
40
2.6 Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) .................................
65
2.7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) ….………………………
75
2.8 Tumbuhan Meniran (Phyllanthus niruri L.) ..……………………
79
xxi
III. BAHAN DAN METODE ....................................................................
85
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 85 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 85 3.3 Metode Penelitian ............................................................................. 86 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 97 4.1 Validasi Metode Analisis Senyawa Fenolat Total ........................... 97 4.2 Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar zat tersari dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam ........................... 98 4.3 Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam ……………………………………….. 107 4.4 Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam ……………………………………….. 112 4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam …………………………………………………
117
4.6 Karakterisasi herba meniran dengan kromatografi lapis tipis …..
126
4.7 Karakterisasi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan spektrofotometri fourir-transformer infrared (FTIR) ….
120
4.8 Karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) ……. 4.9 Isolasi senyawa antioksidan dari simplisia daun dewa ……….
137 148
xxii
V.
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
162
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………
162
5.2 Saran ……………………………………………………………
165
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
167
LAMPIRAN ................................................................................................
185
xxiii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1
Beberapa sumber flavonoid dan asam fenolat dari bahan alam …
17
2.2
Aktivitas antioksidan senyawa fenolat dan parameter molekulnya 34
4.1
Hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm …………………………………………………………… 98
4.2
Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran segar dan yang dikeringkan dengan berbagai cara …………………………………………………….. 99
4.3
Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran segar dan yang dikeringkan dengan berbagai cara …………………………………………….. 102
4.4
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun dewa yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 104
4.5
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun jambu biji yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 105
4.6
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari Herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat ………………………………………….. 106
4.7
Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut ……………………………………………………………. 108
4.8
Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut …………………………………………….. 109
4.9
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun dewa yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut ………. 110
4.10
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun jambu biji yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut …. 110
xxiv
4.11
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang diekstaksi dengan berbagai jenis pelarut .….
111
4.12
Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air ………………………………………… 113
4.13
Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air …………………………..….. 115
4.14
Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara ….. 118
4.15
Perolehan kadar senyawa fenolat total (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara …………………………………………………….
120
4.16
Karakter kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan berbagai eluen …………………………………. 124
4.17
Analisis spektrum FTIR serbuk daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……..………………………………………..
126
Analisis spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..……………………
130
4.18
4.19
Analisis spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………. 132
4.20
Analisis spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..…………………………. 134
4.21
Analisis spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………..……………………………………..
136
Waktu retensi senyawa pembanding rutin, isokuersertin dan kuersetin yang diukur berulang kali …………………………….
139
Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun dewa ………………………………..
143
Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji …………………………..
145
Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran ……………………………
146
4.22
4.23
4.24
4.25
xxv
4.26
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …………
150
4.27
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …….. 152
4.28
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) .. 153
4.29
Data spektrum 1H NMR dan 13C NMR untuk isolat A2 dari ekstrak daun dewa dan kuersetin (500 MHz, DMSO-d6) ……….
161
xxvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1
Bagan penggolongan senyawa fenolat ..........................................
10
2.2
Struktur dasar senyawa flavonoid ……………………………….
11
2.3
Struktur dasar senyawa tanin ……………………………………. 13
2.4
Struktur dasar asam fenolat ……………………………………… 13
2.5
Perubahan struktur kalkon menjadi produk-produk biosintesisnya 14
2.6
Struktur katekin dan antosianindin ……………………………… 15
2.7
Struktur asam sinamat, asam kafeat dan asam protokatekuat …… 15
2.8
Gugus-gugus yang penting untuk peredaman radikal bebas oleh senyawa flavonoid ……………………………………………….
31
2.9
Rumus struktur turunan fenolat dan asam dihidrokafeat ………..
33
2.10
Rumus struktur turunan asam sinamat …………………………... 33
2.11
Rumus struktur turunan tirosol ………………………………….. 34
2.12
Rumus struktur -tokoferol dan trolox ………………………….
34
2.13
Pengaruh pemberian anggur merah terhadap konsentrasi asam kafeat dalam plasma darah ………………………………………
38
2.14
Kromatogram gas minyak atsiri dari kemokultivar bunga kamil .. 43
2.15
Pengaruh cara ekstraksi dan kepolaran pelarut terhadap kandungan flavonoid dalam ekstrak bunga kamil ………………. 44
2.16
Hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida selama ekstraksi bunga kamil dengan berbagai campuran etanol/air ……………… 45
2.17
Sosok tumbuhan daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) (Koleksi Pribadi) dan herbariumnya (Koleksi Natural History Museum, London, UK, BM000924534) ………………………… 66
2.18
Sosok tumbuhan jambu biji ……………………………………… 76
2.19
Sosok tumbuhan meniran ………………………………………
80
xxvii
4.1
Kurva kalibrasi hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm …..
98
4.2
Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………………………………………………………….. 114
4.3
Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……………………………………………….. 116
4.4
Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran …………………………………………………………… 117
4.5
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ……….…… 119
4.6
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.. 121
4.7
Pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran ………………………. 122
4.8
Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen heksan-etil asetat 7:3 … 124
4.9
Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen petroleum eter-aseton 7:3 ……………………………………………………………….
125
4.10
Spektrum FTIR serbuk daun dewa ……………………………… 127
4.11
Spektrum FTIR serbuk daun jambu biji …………………………
127
4.12
Spektrum FTIR serbuk herba meniran ..…………………………
128
4.13
Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa .……………
128
4.14
Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun jambu biji .………
129
4.15
Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter herba meniran …………
129
4.16
Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa …….…………… 131
xxviii
4.17
Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun jambu biji ….…………… 131
4.18
Spektrum FTIR ekstrak kloroform herba meniran ….…………… 132
4.19
Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa ……….…………… 133
4.20
Spektrum FTIR ekstrak metanol daun jambu biji ….…………… 133
4.21
Spektrum FTIR ekstrak metanol herba meniran .….……………
134
4.22
Spektrum FTIR residu daun dewa ………..……….……………
135
4.23
Spektrum FTIR residu daun jambu biji .…..……….……………
135
4.24
Spektrum FTIR residu herba meniran ………..……….………… 136
4.25
Kromatogram rutin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ……………...
138
4.26
Kromatogram isokuersetin dan kuersetin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ………………………………………………………... 138
4.27
Kromatogram campuran rutin, isokuersetin dan kuersetin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm ……………………………………………... 139
4.28
Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun dewa dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm .…….. 144
4.29
Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun jambu biji dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm …………………………………………………………. 145
4.30
Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak herba meniran dengan kolom fase terbalik
xxix
Chromasil-C18, panjang 25 cm, diameter 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detector UV pada 360 nm .…….. 148 4.31
4.32
4.33
4.34
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) …………
150
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL) ……
152
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
153
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol ………………………………………………………….
154
4.35
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (hitam) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis putus-putus) ………………………………………………. 155
4.36
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (hitam) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis titik-titik) dan setelah 5 menit (garis putus-putus) ………..
155
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) ……………………………………………………...
156
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) dan setelah penambahan asam borat (garis putus-putus) ....
157
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) ..……………………………………………………..
158
Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) dan setelah penambahan asam klorida (garis putusputus) .…………………………………………………………..
158
Struktur 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) ……………
159
4.37
4.38
4.39
4.40
4.41
xxx
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Daftar ekstrak tumbuhan obat bahan alam Indonesia yang mengandung senyawa fenolat ………………………………… 185
2.
Hasil pengolahan data dengan Microsoft Excel 2007 untuk hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm .…………………………………………………
187
Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS …
188
3.
4.
Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu Biji terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS 190
5.
Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap perolehan kadar zat tersari dengan program SPSS … 192
6.
Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS ……… 194
7.
Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu Biji terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS …
196
8.
Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar senyawa fenolat dengan program SPSS ……… 198
9.
Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS ………. 200
10.
Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS ….. 202
11.
Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan program SPSS …….. 204
12.
Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar fenolat dengan program SPSS ………….. 206
13.
Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar fenolat dengan program SPSS .…….. 208
14.
Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba
xxxi
meniran terhadap kadar fenolat dengan program SPSS ……….. 210 15.
Hasil optimasi sistem kromatografi lapis tipis (KLT) untuk karakterisasi herba meniran …………………………………… 212
16.
Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia ………………………………….
216
17.
Hasil uji kesesuaian sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis campuran beberapa flavonoid ...……… 217
18.
Spektrum infra merah isolat A2 dari ekstrak daun dewa ……... 221
19.
Kromatogram LC-MS isolat A2 dari ekstrak daun dewa ……..
222
20.
Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dengan LC-MS ESI Positive Ion Mode ……………………………….
223
Spektrum 1H NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6 ……………………………………………………..
224
Spektrum 13C NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6 ……………………………………………………..
225
21.
22.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kedua terkaya setelah Brasil dalam aspek keanekaragaman hayati berupa plasma nutfah, flora dan fauna yang berpotensi sebagai obat bahan alam. Salah satu obat bahan alam yang paling banyak dimanfaatkan adalah yang berasal dari tumbuhan, yang biasa disebut tumbuhan obat (TO). Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 9.606 spesies (32,02%) diketahui sebagai tumbuhan obat dan baru 350 spesies (3,64%) dimanfaatkan dan dibudidayakan secara komersial. Sebagai negara penghasil tumbuhan obat, Indonesia hanya di posisi ke-19 pada tahun 1999, bahkan menurun menjadi posisi 31 pada tahun 2003 (Kadiman, 2006). Oleh karena itu, tumbuhan obat Indonesia perlu diteliti dan dikembangkan terus menjadi obat bahan alam (OBA) yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya. Penelitian dan pengembangan OBA, dapat diarahkan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) jamu (obat tradisional Indonesia), (b) obat herbal terstandar, dan (c) fitofarmaka. Jamu adalah OBA yang pembuktian manfaatnya dilakukan secara empirik. Obat herbal terstandar adalah OBA yang bahan bakunya terstandar dan telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji praklinik. Fitofarmaka adalah OBA yang bahan baku dan produknya sudah terstandar dan telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. OBA yang telah memenuhi syarat sebagai fitofarmaka akan diperlakukan seperti halnya obat modern yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan (BPOM, 2004a). Sampai awal tahun 2010, sebagian besar produk OBA Indonesia adalah berupa
2
jamu, 17 produk obat herbal terstandar dan 5 produk fitofarmaka (Sarmoko, 2011). Mengingat besarnya potensi tumbuhan obat, tersedianya teknologi, dan tingginya kebutuhan obat di dalam negeri dan pasar luar negeri, maka perlu dilakukan peningkatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kesehatan bidang obat dalam pengelolaan tanaman obat di Indonesia. Salah satu arah penelitian, pengembangan dan penerapan iptek kesehatan di bidang bahan baku obat, sediaan obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan periode tahun 2005-2025 adalah pengembangan produk herbal terstandar dan fitofarmaka. Indikator keberhasilan penelitian dan pengembangan produk herbal terstandar dan fitofarmaka adalah (a) Jumlah simplisia dan ekstrak terstandar untuk produk herbal terstandar dan fitofarmaka, (b) Jumlah produk herbal terstandar dan fitofarmaka untuk sindrom metabolik (penyakit kronik) dan degeneratif (Kadiman, 2006). Sedangkan prioritas pengembangan obat herbal Indonesia terutama adalah untuk penyakit degeneratif, imunomodulator dan untuk pemeliharaan kesehatan. Jika obat bahan alam Indonesia ingin dikembangkan menjadi fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, maka bahan baku tumbuhan obat, ekstrak tumbuhan obat dan produk fitofarmaka perlu distandardisasi dan mutunya harus terjamin. Mutu menjadi dasar untuk menjamin khasiat dan keamanan obat bahan alam Indonesia yang konsisten. Mutu adalah status suatu obat, yang ditentukan baik dengan identitas, kemurnian, kandungan kimia dan sifat-sifat kimia, fisika dan biologis lainnya, ataupun dengan proses
3
pembuatan (Bauer, 1998). Definisi mutu ini juga berlaku pada obat bahan alam Indonesia. Dalam standardisasi dan pengawasan mutu obat bahan alam, banyak permasalahan yang dihadapi, antara lain (Bauer, 1998; Nash et al., 2006): 1. Obat bahan alam adalah campuran dari berbagai bahan aktif dan bahan tambahan lainnya sehingga sulit distandardisasi. 2. Pada umumnya komponen aktif yang bertangung jawab terhadap khasiatnya belum diketahui secara pasti. 3. Belum ada metode analisis yang selektif untuk penentuan komponenkomponen kimia yang ada dalam obat bahan alam. 4. Senyawa pembanding mungkin belum tersedia secara komersial. 5. Adanya variabilitas kimia tumbuhan obat. 6. Adanya variasi/keragaman hayati alamiah. 7. Pengaruh kondisi pemanenan, pengeringan dan penyimpanan. 8. Pengaruh pemrosesan ekstraksi yang berbeda-beda: kepolaran pelarut, cara ekstraksi, ketidakstabilan konstituen. Untuk mengatasi kesulitan ini, perlu dikembangkan metode yang sensitif (dapat mendeteksi dan mengkuantitasi analit dalam konsentrasi yang sangat rendah) dan metode yang dapat memperlihatkan profil (seperti pola spektrum UV dan IR, pola kromatogram KLT dan KCKT) bahan baku atau produk obat bahan alam sehingga dapat digunakan untuk menetapkan spesifikasi standar bahan tumbuhan obat yang dapat dihubungkan dengan aktivitas biologisnya. Dengan demikian metode itu dapat dipakai untuk pengawasan mutu dalam produksi obat
4
bahan alam dan dapat pula untuk menentukan kadar komponen-komponen yang diketahui atau yang mungkin aktif secara biologis. Oleh karena banyaknya macam obat bahan alam dan banyaknya kandungan kimia dalam obat bahan alam, maka pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada standardisasi dan pengawasan mutu bahan obat alam yang mengandung senyawa fenolat, karena senyawa fenolat telah terbukti dari berbagai penelitian dapat bermanfaat bagi kesehatan, terutama untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan ketuaan seperti diabetes, hipertensi, stroke, kanker dan lain-lain. Selain itu, senyawa fenolat merupakan komponen fitokimia yang paling banyak terdapat dalam tumbuhan dan mempunyai berbagai macam manfaat bagi kesehatan manusia (Scalbert et al., 2005). Dewasa ini muncul kecenderungan baru dalam standardisasi obat bahan alam, yaitu standardisasi dengan menentukan kandungan total senyawa fitokonstituen seperti senyawa fenolat yang dapat dihubungkan dengan aktivitas biologis seperti aktivitas antioksidan (Palav & Priscillia, 2006). Aktivitas antioksidan itu mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan gangguan patofisiologis pada manusia seperti hipertensi, stroke, diabetes, kanker, inflamasi dan gangguan lain yang berkaitan dengan usia. Obat bahan alam yang diketahui mengandung senyawa fenolat, antara lain: daun dewa (Gynura pseudochina) (Suda et al., 2005; Herwindriandita, 2006), meniran (Phyllanthus niruri) (Ishiharu et al., 1992; Bagalkotkar et al., 2006; Than et al., 2006; Shakil et al., 2007) dan daun jambu biji (Psidium guajava) (Khadeem dan Muhammed, 1959; Zhen dan Wang, 2001; Arima dan Danno, 2002).
5
Ketiga tumbuhan obat tersebut di atas telah diteliti lebih lanjut karena berbagai alasan. Pertama, ketiga tumbuhan obat tersebut mengandung senyawa fenolat sebagai komponen utama. Kedua, daun dewa sudah banyak dipakai secara tradisional dan telah terbukti khasiat dan keamanannya baik secara empiris maupun secara praklinis, namun monografinya belum ada tercantum dalam Materia Medika Indonesia, Farmakope Indonesia, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia atau Farmakope Herbal Indonesia. Ketiga, herba meniran dan daun jambu biji sudah dipakai sebagai bahan baku fitofarmaka (Sarmoko, 2011), namun cara standardisasi dan pengawasan mutunya belum lengkap dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1 (BPOM RI, 2004b) atau Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008). Sementara itu di Indonesia, persyaratan mutu simplisia tumbuhan obat telah disusun dalam buku Materia Medika Indonesia Jilid 1-6 (Depkes RI, 19771995) dan Farmakope Herbal Indonesia (Depker RI, 2008). Dalam buku-buku itu, persyaratan simplisia meliputi pemerian, identifikasi, kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam air, kadar sari yang larut dalam etanol, bahan organik asing dan penentuan kadar zat aktif. Sedangkan parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat meliputi parameter non-spesifik dan parameter spesifik. Parameter non-spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi susut pengeringan, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, residu pestisida, cemaran logam berat dan cemaran mikroba. Parameter spesifik meliputi identitas, organoleptik, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, kadar total golongan kandungan kimia dan kadar kandungan kimia tertentu (Depkes RI, 2000). Berdasarkan parameter-parameter tersebut telah disusun monografi untuk
6
65 jenis ekstrak tumbuhan obat Indonesia (BPOM RI, 2004b dan BPOM, 2006). Namun demikian, monografi tersebut belum mencantumkan standardisasi ekstrak tumbuhan obat terhadap kandungan total senyawa fenolat dan bioaktivitasnya sebagai antioksidan. Mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat menyumbang pada penyempurnaan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia pada edisi yang akan terbit di masa datang. Pada monografi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat Indonesia terdapat beberapa kelemahan dalam teknik analisis yang dipakainya. Di antara kelemahan itu adalah tidak adanya optimasi penyiapan sampel yang berupa simplisia tumbuhan obat dan pembuatan ekstrak tumbuhan obat, padahal tahap penyiapan sampel sangat berpengaruh terhadap perolehan zat aktif dan hasil analisis (Gaedcke et al., 2003). Selain itu, identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat dengan menggunakan spektroskopi UV, IR dan teknikteknik kromatografi belum ada yang lengkap dalam monografi-monografi tersebut di atas. Oleh karena itu studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat perlu dilakukan, terutama dalam hal optimasi penyiapan sampel untuk analisis, studi teknik identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak tumbuhan obat dengan spektroskopi UV dan IR serta studi metode analisis simplisia dan ekstrak tumbuhan obat dengan teknik-teknik kromatografi (KLT dan KCKT).
1.2 Perumusan Masalah Mengingat pentingnya masalah studi metode analisis untuk standardisasi dan pengawasan mutu obat bahan alam yang mengandung senyawa fenolat
7
sebagai komponen utama, maka masalah pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan alam yang baik agar diperoleh kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari beberapa tumbuhan obat bahan alam? 2. Apakah pelarut ekstraksi dan bagaimana cara ekstraksi yang paling cocok untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari beberapa tumbuhan obat bahan alam? 3. Bagaimana cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan menggunakan metode spektroskopi inframerah, kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi? 4. Apa senyawa fenolat yang dapat dijadikan sebagai penanda (marker) dalam standardisasi obat bahan alam?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari cara penyiapan sampel yang berupa simplisia obat bahan alam sehingga diperoleh senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari beberapa obat bahan alam. 2. Mencari pelarut ekstraksi dan mempelajari cara ekstraksi yang paling cocok untuk mendapatkan senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan yang optimum dari obat bahan alam.
8
3. Mempelajari cara-cara karakterisasi yang baik untuk identifikasi dan autentisasi simplisia dan ekstrak obat bahan alam dengan metode spektrofotometri inframerah (FT-IR), kromatografi lapis tipis (KLT), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). 4. Mengisolasi senyawa fenolat yang bersifat antioksidan dalam obat bahan alam.
1.4 Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini bermanfaat
dalam membantu
memecahkan masalah pembangunan dalam bidang kesehatan, terutama dalam pengembangan obat bahan alam Indonesia menjadi fitofarmaka. Selain itu, secara khusus hasil penelitian ini bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam pengembangan pengetahuan tentang kandungan kimia dan aktivitas biologis obat bahan alam serta penyempurnaan teknologi untuk pengawasan mutu obat bahan alam. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah atau melengkapi data dalam monografi obat bahan alam (khususnya daun dewa, daun jambu biji dan heba meniran) baik dalam Materia Medika Indonesia maupun dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia atau Farmakope Herbal Indonesia yang sudah ada sekarang. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengawasan mutu bahan baku obat bahan alam (khususnya daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran) yang akan diproduksi menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka oleh perusahaan-perusahaan obat bahan alam di Indonesia. Walaupun monografi ekstrak daun jambu biji dan herba meniran telah
9
ada dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume I (BPOM RI, 2004b), namun parameter mutunya belum lengkap. Dengan demikian, hasil penelitian ini bermanfaat dalam menciptakan monografi baru daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) yang orisinil karena monografinya belum ada selama ini. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam melengkapi data monografi herba meniran dan daun jambu biji yang sudah ada selama ini.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Kimia Senyawa Fenolat Senyawa fenolat adalah salah satu golongan fitokimia bioaktif yang tersebar luas dalam dunia tumbuhan (Strube et al., 1993). Secara kimia, senyawa fenolat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama: polifenol dan fenol sederhana. Polifenol dapat dibagi lebih lanjut menjadi dua golongan: flavonoid (flavon, flavonol, flavanon, flavanol, isoflavon, antosianidin dan kalkon) dan tanin (polimer asam fenolat, katekin atau isokatekin). Fenol sederhana dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok: asam fenolat (asam sinamat atau asam benzoat dan turunan-turunannya) dan kumarin (lihat Gambar 2.1) (Luthria, 2006). ASAM HIDROKSIBENZOAT
KUMARIN FENOL SEDERHANA SENYAWA FENOLAT
ASAM FENOLAT
FLAVONOID POLIFENOL TANIN
DAPAT DIHIDROLISIS
TIDAK DAPAT DIHIDROLISIS
POLIMER ASAM GALAT
POLIMER KATEKIN DAN EPIKATEKIN
ASAM HIDROKSISINAMAT Flavon Khalkon Flavonol Flavanon Isoflavon Flavanol Antosianidin
Gambar 2.1 Bagan penggolongan senyawa fenolat (Luthria, 2006)
11
2.1.1 Flavonoid Struktur dasar senyawa flavonoid adalah inti flavon (2-fenil-benzo-γpiran) tetapi, tergantung pada metode klasifikasi, golongan flavonoid dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat oksidasi cincin C dan hidroksilasi inti flavonoid serta gula yang terikat padanya (Kuhnau, 1976). Harborne dan Baxter (1999) membagi struktur flavonoid menjadi sebelas kelas, yaitu: flavon (1), flavonol (2), flavanon (3), dihidroflavonol (4), flavan (5), isoflavonoid (6), biflavonil (7), antosianin (8), kalkon (9), dihidrokalkon (10) dan auron (11) (Gambar 2.2). OH OH HO
OH HO
O
O OH
OH
O
OH
1
O 2 OH OH
OH HO
HO
O
O
OH OH
O
OH
O 4
3
OH OH HO
O
HO
O
OH
OH 5
O
OH
6
Gambar 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid (Harborne dan Baxter, 1999)
12
OH OH HO
O
OH
OH + O
HO
O HO
OH OH
O
OH
O
OH
7
8
HO
HO
OH
O
OCH3
OH 9
O 10
HO
O
OH OH
OCH3
O 11
Gambar 2.2 Struktur dasar senyawa flavonoid (Harborne dan Baxter, 1999) (Lanjutan) 2.1.2 Tanin Tanin adalah nama umum untuk senyawa fenolat yang dapat menyamak kulit atau mengendapkan gelatin dari larutan (Haslam, 1996). Tanin dapat dibagi menjadi tanin terkondensasi seperti proantosianidin C-1 (12) dan tanin yang dapat terhidrolisis seperti ellagitanin (13) dan gallotanin(14) (Gambar 2.3, Haslam, 1998).
2.1.3 Asam Fenolat Ada dua golongan asam fenolat yang penting, yaitu golongan asam hidroksibenzoat (15) dan golongan asam hidroksisinamat (16) (Gambar 2.4, Macheix dan Fleuriet, 1998).
13
OH OH HO
O OH OH OH HO
OH
O OH OH
OH
OH HO
O OH OH
12
Gambar 2.3 Struktur dasar senyawa tanin (Haslam, 1998) HO
O
OH
OH
HO
HO O
HO
HO 15
16
Gambar 2.4 Struktur dasar asam fenolat (Macheix dan Fleuriet, 1998)
2.1.4 Biosintesis Senyawa Fenolat Istilah ‘senyawa fenolat’ mencakup berbagai senyawa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih substituen hidroksil.
14
Seringkali senyawa-senyawa ini berikatan dengan gula (glikosida) dan karena itu cenderung dapat larut dalam air. Flavonoid adalah kelompok terbesar dari senyawa fenolat. Flavonoid adalah senyawa dengan 15 atom C yang tersusun dari dua cincin fenolat yang dihubungkan oleh unit tiga-karbon. Secara biosintetis, flavonoid diperoleh dari asetat dan shikimat (Mann, 1978) sehingga cincin A mempunyai pola hidroksilasi yang khas pada posisi 5 dan 7. Cincin B biasanya terhidroksilasi pada posisi 4’, 3’4’ atau 3’4’5’. Gambar 5 memperlihatkan perubahan struktur flavonoid golongan kalkon (17), menjadi flavonol (18 kuersetin) dan flavon (19 luteolin). Isoflavonoid (20) diperoleh dengan siklisasi kalkon (17) sedemikian rupa sehingga cincin B terletak pada posisi 3 (Gambar 2.5). OH OH OH
HO
8
HO
2
6
3 OH OH
O
OH
B 4' 5'
O
A 3 OH
3'
2'
O 18
17
OH 2'
8
HO
8
HO
O 2
A 6
3 OH
O 20
O 2
A 6
OH
B 4' 5'
3
B OH
3'
OH
O 19
Gambar 2.5 Perubahan struktur kalkon menjadi produk-produk biosintesisnya
15
Kelompok flavonoid penting lainnya adalah katekin (21) (sering dijumpai sebagai ester dengan asam galat dalam teh) dan antosianidin (22), yang merupakan pigmen sangat berwarna-warni (Gambar 2.6). OH
OH OH
8
HO
B
O
OH
2
A 6
+ O
8
HO
2
A 6
3 OH OH
B
3 OH OH
21
22
Gambar 2.6 Struktur katekin dan antosianindin
Di antara asam-asam fenolat sederhana, asam sinamat (23) dan turunannya tersebar luas dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa ini diperoleh terutama dari jalur shikimat melalui fenilalanin atau tirosin (Mann, 1978) dan contohcontohnya yang penting (Gambar 2.7) adalah asam kumarat (satu gugus hidroksil) dan asam kafeat (24). Oksidasi rantai samping asam kafeat dapat menghasilkan turunan asam benzoat seperti asam protokatekuat (25) dan asam gentisat. Senyawa-senyawa ini biasanya dijumpai di alam sebagai eter glukosa atau dalam senyawa ester dengan asam kuinat.
COOH
COOH
COOH
HO 23
24 OH
HO
25 OH
Gambar 2.7 Struktur asam sinamat(23), asam kafeat (24) dan asam protokatekuat (25)
Senyawa-senyawa fenolat yang penting lainnya adalah resveratrol, senyawa hidroksi stilben yang dijumpai dalam anggur merah (Pace-Asciak et al.,
16
1995), oleuropein, zat pahit dari zaitun (Visioli dan Galli, 1994). Selain itu, senyawa-senyawa fenolat terdapat dalam bentuk senyawa-senyawa kompleks yang mungkin berasal dari penggandengan oksidatif senyawa-senyawa fenolat sederhana, misalnya asam salvianolat yang diisolasi dari Salvia miltiorrhiza, tumbuhan yang digunakan dalam obat tradisional Cina (Lin et al., 1996).
2.2 Sumber Senyawa Fenolat dari Bahan Alam Beberapa sumber utama senyawa fenolat dari makanan diuraikan dalam Tabel 2.1. Asupan flavonoid setiap hari diperkirakan antara 20 mg sampai 1 g (Hertog et al., 1993). Flavonol, terutama katekin dan ester katekin-galat serta flavonol (kuersetin), dijumpai dalam minuman seperti teh hijau dan teh hitam (Stagg dan Millin, 1975) dan anggur merah (Frankel et al., 1995). Kuersetin juga merupakan komponen utama dari bawang, apel dan buah beri. Flavanon, seperti naringin, dijumpai terutama dalam buah jeruk. Asam-asam fenolat tersebar luas dalam bahan makanan dan minuman termasuk anggur merah. Pola senyawa fenolat dalam anggur diselidiki sebagai suatu cara untuk menentukan ‘sidik jari’ anggur (Soleas et al., 1997). Berdasarkan “Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia” Volume 1 (BPOM RI, 2004b) dan Volume 2 (BPOM RI, 2006), ada beberapa obat bahan alam Indonesia yang telah terbukti mengandung senyawa fenolat, terutama golongan flavonoid (Lampiran 1). Dari 65 monografi ekstrak tumbuhan obat Indonesia dalam kedua buku itu, 39 di antaranya mengandung senyawa fenolat. Senyawa fenolat ini digunakan sebagai penanda dalam standardisasi dan pengawasan mutu ekstrak tumbuhan obat tersebut.
17
Tabel 2.1 Beberapa sumber flavonoid dan asam fenolat dari bahan alam Flavonoid
Sumber
Katekin
Teh, anggur merah
Flavanon
Buah jeruk
Flavonol (misalnya kuersetin)
Bawang, zaitun, teh, anggur, apel
Antiosianidin
Buah ceri, strowberi, anggur, buah berwarna
Asam kafeat
Buah anggur, minuman anggur, zaitun, kopi, apel, tomat, buah plum, buah ceri
2.3 Metode Analisis Senyawa Fenolat Beberapa tinjauan telah dipublikasikan tentang analisis senyawa-senyawa fenolat dalam tumbuh-tumbuhan (Harborne, 1989; Waterman dan Mole, 1994; Harborne, 1998) dan dalam makanan yang berasal dari tumbuhan (Macheix et al., 1990; Lee dan Widmer, 1996). Sedangkan Hermann (1989) dan WaksmundzkaHajnos (1998) telah meninjau analisis asam hidroksisinamat dan asam hidroksibenzoat dalam tumbuh-tumbuhan dan makanan yang berasal dari tumbuhan. Analisis flavonoid juga telah ditinjau secara luas oleh Markham (1982, 1989), oleh Harborne (1988, 1994) dan oleh Robards dan Antolovich (1997). Analisis senyawa fenolat dalam matriks obat bahan alam, makanan mentah ataupun makanan olahan dimulai dengan ekstraksi. Prosedur ekstraksi tergantung pada jenis bahan yang akan dianalisis, senyawa fenolat yang akan ditentukan, dan prosedur analisis yang akan digunakan (Lee dan Widmer, 1996). Tahap pertama adalah menghancurkan bahan, menggiling dan memaserasi sampel untuk meningkatkan luas permukaan, sehingga memungkinkan kontak yang lebih baik antara pelarut pengekstraksi dengan sampel (Waterman dan Mole, 1994). Proses ini juga membantu pencampuran sampel untuk menjamin bahwa bagian yang diekstraksi mewakili keseluruhan sampel. Karena beberapa senyawa fenolat terdapat sebagai glikosida atau ester, maka penyiapan sampel bisa meliputi
18
hidrolisis dengan asam, basa atau enzimatik untuk membebaskan senyawasenyawa fenolat yang terikat. Tahap hidrolisis diabaikan jika senyawa fenolat itu akan dianalisis sebagai turunannya.
2.3.1 Analisis Flavonoid 2.3.1.1 Teknik-teknik Ekstraksi dan Hidrolisis Flavonoid Umumnya senyawa flavonoid adalah senyawa yang stabil dan bisa diekstraksi dari bahan tumbuhan segar, kering atau yang telah digiling, dengan pelarut dingin atau panas. Pelarut yang cocok untuk ekstraksi senyawa fenolat adalah campuran air dengan etanol, metanol, aseton atau dimetilformamida (Robards dan Antolovich, 1997). Ekstraksi flavonol telah dilakukan dengan maserasi bahan tumbuhan segar dalam pelarut pengekstraksi (Wildanger dan Herman, 1973; Bilyk dan Sapers, 1986; Dick et al., 1987; Price et al., 1999), dengan ekstraksi sampel buah-buahan segar yang dihomogenkan (Amiot et al., 1995; Heinonen et al., 1998) atau dengan ekstraksi sampel yang dikering-bekukan (liofilisasi) (Hertog et al., 1992a,b; Crozier et al., 1997; Justesen et al., 1998). Analisis kuantitatif masing-masing flavonol glikosida dalam buah-buahan sulit karena kebanyakan senyawa pembanding tidak sedia dalam perdagangan. Selain itu, lebih dari 30 jenis senyawa flavonol glikosida telah diidentifikasi dalam buah-buahan (Macheix et al., 1990). Hidrolisis flavonol glikosida menjadi aglikonnya masing-masing memberikan metode yang praktis untuk kuantifikasi flavonol dalam makanan (Robards dan Antolovich, 1997). Hidrolisis flavonol dengan asam hidroklorida (HCl) telah dijelaskan oleh Harborne (1965). Wildanger dan Hermann (1973) dan Bylik dan Sapers (1986) menyelidiki
19
kandungan flavonol dalam buah-buahan dengan menggunakan hidrolisis asam tetapi tanpa optimasi prosedur ekstraksi dan hidrolisis. Hertog et al. (1992a) telah mengoptimasi ekstraksi dan kondisi hidrolisis asam (dalam metanol berair dengan HCl) untuk analisis flavonol dan flavon dalam sayur-sayuran dan buah-buahan yang dikering-bekukan. Ekstraksi dan hidrolisis dalam metanol berair dengan HCl telah digunakan pula untuk menyelidiki flavonoid aglikon pada sayur-sayuran dan buah-buahan oleh Justesen et al. (1998) dan Ewald et al. (1999). Rommel dan Wrolstad (1993a,b) menggunakan hidrolisis basa (NaOH 2N) untuk menyelidiki flavonol, asam hidroksisinamat dan asam hidroksibenzoat dalam buah-buahan. Laju hidrolisis asam/basa dari glikosida tergantung pada kekuatan asam/basa, sifat bagian gula dan posisinya pada inti flavonoid. Hidrolisis enzimatik memberikan metode yang cepat untuk pemutusan monosakarida khusus dari flavonoid-O-glikosida. Hidrolisis enzimatik dengan enzim -gluronidase dan sulfatase telah digunakan untuk menyelidiki flavonoid dalam plasma manusia oleh Manach et al. (1998) dan Erlund et al. (1999).
2.3.1.2 Teknik-teknik Kromatografi Flavonoid Metode kromatografi kertas dikembangkan untuk flavonoid dalam tahun 1950-an dan 1960-an (Markham, 1982, Robards dan Antolovich, 1997). Teknik ini digantikan oleh kromatografi lapis tipis (KLT) dalam tahun 1970-an yang menyediakan teknik yang murah dan bermanfaat untuk analisis secara bersamaan beberapa sampel sekaligus (Robards dan Antolovick, 1997; Harborne, 1998). Pemilihan fase diam dan pelarut yang sesuai tergantung pada golongan flavonoid yang akan diperiksa. Flavonoid yang bersifat hidrofilik, seperti flavonol, dapat
20
dipisahkan dengan mudah dengan KLT pada fase diam poliamida atau mikrokristalin selulosa (Wildamer dan Herman, 1973; Robards dan Antolovich, 1997). KLT masih lazim digunakan untuk pemisahan preparatif (Lee dan Widmer, 1996) dan sebagai metode skrining yang cepat dan murah untuk menentukan golongan flavonoid yang ada dalam buah-buahan (Fernandez de Simon et al., 1992) dan madu (Sabatier et al., 1992). Kromatografi gas (KG) terbatas pemakaiannya pada analisis flavonoid dan senyawa fenolik lainnya karena kemudahannya menguap juga terbatas. Karena itu ada tahap tambahan yang diperlukan untuk menjamin kemudahan menguap senyawa fenolik itu (Lee dan Widmer, 1996; Robards dan Antolovich, 1997). Namun demikian, analisis KG dengan deteksi spektrometri massa (MS) telah digunakan untuk analisis flavonol dalam teh hitam (Finger et al., 1991) dan kubis (Nielsen et al., 1993). Keuntungan analisis KG adalah meningkatnya pemisahan isomer-isomer yang berkaitan erat dan sederhananya penggandengan dengan detektor MS untuk identifikasi melalui pola fragmentasi (Mouly et al., 1993; Schmidt et al., 1994). Kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT)
telah
menjadi teknik
kromatografi yang paling banyak digunakan dalam analisis flavonoid dewasa ini (Harborne, 1988; Robards dan Antolovich, 1997; Merken dan Beecher, 2000). Teknik ini telah menambah dimensi baru pada penyelidikan flavonoid dalam tumbuhan-tumbuhan dan ekstraknya. Keuntungan utamanya adalah meningkatnya resolusi campuran flavonoid dibandingkan dengan teknik kromatografi lainnya, kemampuannya memperoleh data kualitatif dan data kuantitatif yang teliti dalam satu operasi, tingginya kecepatan analisis (Harborne, 1988; Markham, 1989).
21
Kromatografi fase-normal telah digunakan untuk pemisahan flavonoid (flavon, flavonol dan flavanon aglikon) dalam air jeruk (Galensa dan Hermann, 1980a,b). Flavonoid dipisahkan secara isokratik pada LiChrosorb Si60 dengan menggunakan sistem pelarut benzena-asetonitril, benzena-etanol atau iso-oktanaetanol-asetonitril dan dideteksi pada 312 atau 270 nm. Akan tetapi, untuk sistem fase-normal, ada kekhawatiran bahwa senyawa yang sangat polar bisa tertahan secara irreversibel dalam kolom sehingga karakteristik pemisahannya dapat berubah secara berangsur-angsur (Vande Cateele et al., 1983). Oleh karena adanya keterbatasan kromatografi fase-normal, maka kromatografi fase-terbalik telah menjadi metode pilihan untuk pemisahan senyawa-senyawa fenolat dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa fenolat yang berasal dari alam mempunyai sifat yang dapat larut dalam pelarut polar. Sifat ini mendorong ke arah kemungkinan penggunaan KCKT fase terbalik dalam analisis senyawa-senyawa fenolat. Waktu retensi yang cukup akan dicapai dengan menggunakan kondisi asam untuk menghindarkan adanya bentuk terionisasi dari analit (Waksmundzka-Hajnos, 1998). Oktadesilsilan (ODS, C18, RP-18) adalah fase diam yang paling populer, baik untuk analisis secara umum maupun untuk analisis senyawa-senyawa fenolat (Majors, 2001). Bahan-bahan fase-terbalik lainnya (misalnya C8) jarang dipakai (Robards dan Antolovich, 1997), karena produk itu tidak tersedia di pasaran (Majors, 2001). Walaupun demikian, tanin terkondensasi tidak bisa dianalisis dengan menggunakan KCKT fase terbalik karena senyawa itu terserap terlalu kuat pada fase diam (Schofield et al., 1998). Oleh karena itu, tanin terkondensasi harus dianalisis dengan menggunakan teknik KCKT fase normal (Waksmundzka-Hajnos, 1998).
22
Eluen yang digunakan dalam analisis KCKT fase terbalik untuk senyawasenyawa fenolat adalah campuran zat pengubah pH air dengan pelarut organik polar yang larut-air: metanol (MeOH), asetonitril (ACN) atau tetrahidrofuran (THF). Walaupun THF mempunyai keuntungan tersendiri karena keselektifannya, namun pelarut ini jarang dipakai karena mudah terurai, waktu kesetimbangannya lama, beracun, dan serapan latar belakang ultravioletnya tinggi di bawah 240 nm (Dolan, 2000). Namun demikian, beberapa metode yang menggunakan THF sebagai pelarut organik dalam fase gerak telah dipublikasikan (Dick et al., 1987). Pelarut-pelarut organik lain seperti 2-propanol dan n-butanol jarang dipakai dalam fase gerak, namun bila dipakai, itu disebabkan terutama karena alasan keselektifannya (Bronner dan Beecher, 1995). Zat pengubah pH yang berupa senyawa organik pada konsentrasi rendah dapat pula mempunyai pengaruh yang besar pada waktu retensi senyawa fenolat (Arin et al., 1995). Sedangkan pH adalah salah satu faktor penting terutama dalam pemisahan senyawa-senyawa yang dapat terionisasi seperti asam-asam fenolat. Zat pengubah pH yang paling sering digunakan dalam metode KCKT fase terbalik untuk senyawa-senyawa fenolat adalah asam formiat, asam asetat, asam trifluoroasetat dan asam fosfat, serta buffer fosfat yang diatur pada pH asam untuk mencapai bentuk tak terionisasi dari analit-analit fenolat (Robards dan Antolovich, 1997, Waksmundzka-Hajnos, 1998).
2.3.2 Analisis Asam Fenolat 2.3.2.1 Teknik-teknik Ekstraksi dan Hidrolisis
23
Pelarut yang lazim digunakan untuk ekstraksi asam-asam fenolat matriks tumbuhan adalah etil asetat (Azar et al., 1987; Fernandez de Simon et al., 1990, 1992), dietil eter (Fernandes de Simon et al., 1990,1992) metanol atau metanol berair (Kuninori dan Nishiyama, 1986; Torres et al., 1987; McRae et al., 1990; Tomas-Lorente, 1992). Hidrolisis enzimatik dengan enzim -glukosidase (Kanes et al., 1993) atau enzim hidrosinamoil-kuinat esterase (Goupy et al., 1990) telah digunakan untuk analisis asam-asam fenolat. Namun demikian, hidrolisis asam dan basa lebih lazim digunakan untuk penentuan asam-asam fenolat dalam tumbuh-tumbuhan (Lee dan Widmer, 1996). Hidrolisis asam untuk penentuan asam-asam fenolat telah dilakukan dengan cara memanaskan sampel dengan asam klorida (HCl) selama 2 jam atau lebih (Kuninori dan Nishiyama, 1986). Hidrolisis ester asam benzoat dan ester asam sinamat dengan basa dapat dilakukan dengan natrium hidroksida (NaOH) pada suhu kamar selama 4-24 jam (Seo dan Morr, 1984; Torres et al., 1987; Peleg et al., 1991; Roussef et al., 1992a,b; Rommel dan Wrolstad, 1993a). Rommel dan Wrolstad (1993a) menguji hidrolisis asam (HCl) dan basa (NaOH) dalam analisis komposisi senyawa
fenolat
(asam elegat,
asam
hidroksibenzoat,
asam
hidroksisinamat, favonol dan flavan-3-ol) dari air buah raspberi. Pola senyawa fenolat sampel yang dihidrolisis basa sangat serupa dengan pola senyawa fenolat sampel yang dihidrolisis asam. Hanya satu senyawa asam elegat terhidrolisis lebih efektif dalam kondisi basa daripada dalam kondisi asam. Perolehan kembali (recovery) sangat jelek (57-67 %) untuk asam hidroksisinamat yang diekstraksi dari air buah setelah hidrolisis basa (Peleg et al., 1991). Namun demikian, Seo dan Morr (1984) menemukan bahwa hidrolisis dengan NaOH menyebabkan
24
perolehan kembali asam ferulat dari produk protein kedele lebih baik daripada hidrolisis dengan HCl. Hollman dan Venema (1993) menguji ekstraksi dan hidrolisis asam elegat dari kenari dan buah-buahan dengan menggunakan berbagai konsentrasi HCl dan metanol dalam air bersama-sama dengan variasi lamanya hidrolisis. Karakteristik hidrolisis elegitanin dari kenari (optimum HCl 5 M dalam metanol 57% selama 1 jam) berbeda dari karakteristik hidrolisis buah-buahan (optimum HCl 3,5 M dalam metanol 72% selama 4-8 jam). Pada umumnya, optimisasi ekstraksi dan kondisi hidrolisis selalu diperlukan bila asam-asam fenolat ditentukan kadarnya dari buah-buahan atau bahan tumbuhan lainnya (Lee dan Widmer, 1996).
2.3.2.2 Teknik-teknik Kromatografi untuk Asam Fenolat Pemakaian kromatografi lapis tipis (KLT) untuk analisis kuantitatif asamasam fenolat (Azar et al., 1987; Regnault-Roger et al., 1987; Srisuma et al., 1989) biasanya dilakukan dengan menggunakan kromatografi fase-normal pada lapisan tipis selulosa atau silika dan fase gerak campuran pelarut nonpolar (toluen, dioksan atau benzena) dan zat pengubah organik polar (aseton, butanol, etanol atau asam asetat). Keuntungan penapisan ekstrak sampel dengan KLT sebelum analisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah deteksi kotoran yang bisa terserap pada fase diam dalam kolom KCKT, atau penentuan kondisi pelarut yang perlu untuk berhasilnya pemisahan
senyawa-senyawa fenolat
(Fernandez de Simon et al., 1992; Lee dan Widmer, 1996). Pada tahun 1980-an, kromatografi gas (KG) digunakan untuk analisis asam-asam fenolat dalam buah-buahan (Moller dan Hermann, 1983; Schuster dan
25
Herrmann, 1985) dan sayur-sayuran (Huang et al., 1986). Namun demikian, KCKT, terutama KCKT fase-terbalik, adalah metode pilihan dalam analisis asamasam fenolat. Sistem pelarut yang digunakan dalam analisis KCKT biasanya meliputi elusi gradien biner dengan menggunakan pelarut larutan asam asetat, asam formiat atau asam fosfat dalam air dengan memakai metanol atau asetonitril sebagai zat pengubah kepolaran organik. Kekuatan ionik dan pH fase gerak diketahui mempengaruhi retensi senyawa-senyawa fenolat dalam kolom yang tergantung pada protonasi, disosiasi, atau disosiasi parsial (Marko-Varga dan Barcelo, 1992). Perubahan pH yang meningkatkan ionisasi suatu sampel dapat mengurangi retensi dalam pemisahan fase-terbalik. Jadi, sejumlah kecil asam asetat (2-5%), asam formiat, asam fosfat atau asam trikloroasetat (0,1%) dimasukkan ke dalam sistem pelarut untuk menekan ionisasi gugus fenolat dan gugus karboksilat dan karena itu meningkatkan resolusi dan keterulangan proses kromatografi.
2.3.3 Deteksi dan Identifikasi Senyawa-senyawa Fenolat Senyawa-senyawa fenolat menyerap dalam daerah ultraviolet (UV) dan detektor yang lazim dipakai untuk KCKT adalah detektor panjang gelombang bervariasi UV atau UV-Visible (Lee dan Widmer, 1996; Robards dan Antolovich, 1997). Tidak ada satu panjang gelombang yang ideal untuk memantau semua golongan senyawa fenolat kerena mereka memperlihatkan serapan maksimum pada berbagai panjang gelombang (Delage et al., 1991). Kebanyakan turunan asam benzoat memperlihatkan serapan maksimum pada 246-262 nm, kecuali untuk asam galat dan asam siringat yang mempunyai serapan maksimum pada 271
26
dan 275 nm, masing-masing (Torres et al., 1987). Turunan asam hidroksisinamat menyerap pada dua daerah UV, satu serapan maksimum pada rentang 225-235 nm dan satu lagi pada rentang 290-330 nm (Ribereau-Gayon, 1972). Pada 320 nm, turunan asam sinamat dapat dideteksi tanpa gangguan dari turunan asam benzoat, yang mempunyai daya serap lebih tinggi pada 254 nm. Namun demikian, deteksi pada 280 nm adalah pilihan terbaik untuk penentuan kedua golongan senyawa fenolat itu (Pussayanawin dan Wetzel, 1987). Rentang serapan pada panjang gelombang 350-370 nm telah banyak digunakan untuk flavonol aglikon dan panjang gelombang 280 nm untuk flavan-3-ol dan flavonol glikosida (Robard dan Antolovich, 1997). Luasnya penggunaan photo-diode array (PDA) dalam analisis flavonoid dan asam fenolat dapat disebabkan oleh kemampuannya mengumpulkan spektrum secara on-line (Hertog et al., 1992a,b; Rommel dan Wrolstad, 1993a,b; Justesen et al., 1998) tanpa menggunakan teknik aliran-terhenti. Ini telah mendorong banyaknya
peningkatan
analisis
KCKT
untuk
tujuan
identifikasi
dan
membuktikan manfaat informasi kualitatif dalam analisis senyawa fenolat yang didasarkan pada spektrum serapan (Jaworski dan Lee, 1987; Mazza dan Velioglu, 1992, Fernandez de Simon et al., 1992). PDA mempunyai tiga keuntungan utama: deteksi panjang gelombang berganda, identifikasi puncak, dan penentuan kemurnian puncak (Lee dan Widmer, 1996). Deteksi fluoresensi lebih peka dan lebih selektif daripada deteksi UV. Namun demikian, deteksi fluoresensi belum banyak dipakai pada analisis senyawa fenolat (Lee dan Widmer, 1996). Dalam analisis senyawa fenolat dalam air jeruk, deteksi fluoresensi memberikan keuntungan yang lebih baik daripada deteksi UV
27
dalam kaitan dengan peningkatan keselektifan dan kepekaannya (Roussef et al., 1992b). Deteksi fluoresensi telah dipakai pula untuk analisis asam-asam fenolat dalam buah kesemak (Gorinstein, 1994), asam elegat dalam buah berry dan kacang (Hollman dan Venema, 1993), dan flavonol (Hollman et al., 1996) dan isomer resveratrol dalam plasma (Giachetti et al., 1999). Deteksi elektrokimia sangat peka untuk senyawa-senyawa yang dapat dioksidasi atau direduksi pada potensial voltage rendah. Deteksi elektrokimia menjadi semakin penting untuk penentuan jumlah senyawa fenolat yang sangat kecil, karena deteksi elektrokimia ini memperlihatkan kepekaan dan keselektifan yang lebih meningkat dibandingkan dengan deteksi UV (van Sumere, 1989; Akasbi et al., 1993). Deteksi elektrokimia telah digunakan untuk deteksi flavonol dan asam fenolat dalam sayur-sayuran (Chiavari et al., 1988), minuman (Lunte, 1987), dan plasma (Erlund et al., 1999). Metode gabungan kromatografi cair kinerja tinggi dengan spektrometri massa (KCKT-SM) adalah metode yang yang cepat dan handal untuk analisis struktur senyawa-senyawa fenolat yang tidak mudah menguap, semenjak teknikteknik yang lebih baik telah dikembangkan untuk pemisahan fase gerak cair sebelum ionisasi (Careri et al., 1998). Pietta et al. (1994) memperlihatkan bahwa termospray liquid chromatography (LC)-MS adalah suatu teknik yang sangat baik untuk analisis flavonol glikosida dari tumbuhan obat. Flavan-3-ol (Lin et al., 1993) dan berbagai golongan fenolat termasuk flavonol glikosida (Kiehne dan Engelhardt, 1996) dalam teh telah diselidiki dengan menggunakan thermospray LC-MS. Positive ion fast atom bambardment (FAB)-MS telah digunakan untuk menyelidik ikatan glikosida dalam diglikosil flavonoid (Li dan Claeys, 1994).
28
Electrospray dan variasinya adalah perkembangan yang lebih baru dalam spektrometri massa ionisasi pada tekanan atmosfer (Robards dan Antolovich, 1997). Teknik gabungan HPLC-electospray ionisation (ESI)-MS memberikan keuntungan dalam kaitannya dengan kepekaan dan kapasitas untuk analisis senyawa-senyawa yang sangat polar dan labil secara termal (Robards dan Antolovich, 1997; Careri et al., 1998). HPLC-ESI-MS telah digunakan utnuk menyelidiki flavonoid dalam teh (Poon, 1998) dan dalam tomat dan plasma (Mauri et al, 1999). Teknik atmospheric pressure ionisastion (API)-MS telah digunakan untuk analisis flavonoid dalam buah-buahan dan sayur-sayuran (Justesen et al., 1998).
2.4 Aktivitas Biologis Senyawa Fenolat Tumbuhan Senyawa fenolat tersebar luas dalam tumbuhan. Salah satu kelompok senyawa fenolat yang penting adalah senyawa flavonoid, yang penting dalam menyumbang pada bau dan warna buah-buahan dan sayur-sayuran serta produkproduk yang besasal darinya seperti anggur, teh dan coklat. Peranan biologis beberapa senyawa fenolat sederhana lainnya tidak diketahui sepenuhnya; senyawa-senyawa itu mungkin memainkan peranan sebagai bahan penyusun untuk senyawa-senyawa lain atau dalam mekanisme pertahanan tumbuhan. Senyawa-senyawa fenolat yang berhubungan dengan makanan pada umumnya dianggap sebagai zat bukan-gizi dan manfaatnya yang mungkin bagi kesehatan manusia baru akhir-akhir ini dipertimbangkan orang. Dewasa ini, banyak perhatian ditujukan pada efek biologis senyawa-senyawa fenolat itu semenjak ditemukan bukti bahwa makanan yang banyak mengandung buah-buahan dan
29
sayur-sayuran terbukti dapat melindungi terhadap penyakit kardiovaskular dan beberapa bentuk penyakit kanker (Block, 1992; Hertog et al., 1993; Block dan Langseth, 1994). Semenjak radikal bebas oksigen dan peroksidasi lemak dianggap terlibat dalam beberapa kondisi penyakit seperti aterosklerosis, kanker dan inflamasi kronik, maka aktivitas antioksidan senyawa-senyawa fenolat telah mendapat perhatian yang banyak (Halliwell, 1994). Akhir-akir ini telah ada beberapa tinjauan tentang aktivitas antioksidan flavonoid (Bors et al., 1990; RiceEvans et al., 1996; Cook dan Saman, 1996), sedangkan informasi tentang senyawa fenolat lainnya masih sedikit tersedia. Walaupun banyak kemajuan penting dalam
memahami aktivitas
aktioksidan senyawa-senyawa fenolat secara in vitro dan sejumlah kajian tentang penyerapannya pada hewan, namun baru sedikit tersedia data baik tentang penyerapan ataupun tentang efek antioksidan senyawa-senyawa ini secara in vivo pada manusia. Bagian ini akan menguraikan pemahaman baru tentang aktivitas antioksidan flavonoid dan asam fenolat, ketersediaan hayatinya dan metodemetode untuk menilai efek antioksidannya secara in vivo.
2.4.1 Aktivitas Antioksidan Flavonoid dan Asam Fenolat Radikal bebas dihasilkan dalam tubuh sebagai bagian metabolisme normal, misalnya superoksida (O2-) dan nitrogen oksida (NO.) yang mempunyai fungsi fisiologi penting. Pada umumnya, radikal bebas sangat reaktif dan dapat menyerang lipid membran misalnya, yang menimbulkan radikal karbon yang selanjutnya bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksil yang bisa menyerang asam-asam lemak berdekatan menghasilkan radikal karbon baru.
30
Proses ini menyebabkan reaksi berantai yang menghasilkan produk peroksidasi lipid (Halliwel, 1994). Dengan cara ini satu radikal saja bisa merusak banyak molekul dengan memulai reaksi berantai peroksidasi lipid. Karena kuatnya sifat merusak dari radikal bebas itu, maka tubuh mempunyai sejumlah mekanisme pertahanan antioksidan yang meliputi enzim-enzim seperti superoksida dismutase, katalase, transport tembaga dan besi serta protein cadangan, dan antioksidanantioksidan molekular baik yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Stres oksidatif bisa timbul apabila pertahanan antioksidan tidak bisa mengatasi produksi radikal bebas, dan ini bisa disebabkan oleh aksi racun-racun tertentu atau karena stres fisiologis (Halliwell, 1994). Flavonoid dan asam fenolat dapat bertindak sebagai antioksidan dengan beberapa cara yang mungkin. Cara yang paling penting mungkin dengan meredam radikal bebas karena fenolat dapat memutus reaksi berantai radikal bebas. Agar suatu senyawa dapat didefinisikan sebagai antioksidan maka senyawa itu harus memenuhi dua syarat: (i) apabila ada pada konsentrasi rendah dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi ia dapat menunda atau mencegah oksidasi substrat; (ii) radikal yang terbentuk pada fenolat harus stabil sehingga mencegahnya bertindak sebagai radikal yang memperbanyak reaksi berantai (Halliwell et al., 1995). Stabilisasi ini biasanya melalui delokalisasi, ikatan hidrogen intramolekular atau dengan oksidasi lebih lanjut oleh reaksi dengan radikal lipid lainnya (Shahidi dan Wanasundara, 1992). Sejumlah penelitian telah dilakukan mengenai hubungan antara struktur-aktivitas antioksidan dari flavonoid (Bors et al., 1990; Chen et al., 1996; Rice-Evans et al., 1996; Van Acker et al.,
31
1996; Cao et al., 1997). Ciri struktur utama dari flavonoid yang diperlukan untuk peredaman radikal yang efisien dapat diringkaskan sebagai berikut: 1. Struktur orto-dihidroksi (katekol) pada cincin B, untuk delokalisasi elektron; 2. Ikatan rangkap 2,3 berkonjugasi dengan gugus fungsi 4-keto, memberikan delokalisasi elektron dari cincin B; 3. Gugus hidroksil pada posisi 3 dan 5, memberikan ikatan hidrogen pada gugus keton. Ciri-ciri struktur ini dilukiskan dalam Gambar 8 berikut ini.
Gambar 2.8 Gugus-gugus yang penting untuk peredaman radikal bebas oleh senyawa flavonoid
Asam-asam fenolat bisa pula menjadi antioksidan yang baik, terutama yang mempunyai struktur jenis-katekol seperti asam kafeat (Laranjiha et al., 1994; Nardini et al., 1995; Abu-Amsha et al., 1996; Velkov et al., 2007). Beberapa
32
penelitian baru-baru ini telah memperlihatkan bahwa asam-asam fenolat sederhana yang berasal dari sel seperti asam 3-hidroksiantranilat bisa pula menjadi ko-antioksidan yang efisien untuk alfa-tokofenol, dapat menghambat peroksidasi lipoprotein dan lipid plasma pada manusia (Thomas et al., 1996). Interaksi yang mungkin antara flavonoid dan asam fenolat dengan antioksidan fisiologis lainnya seperti askorbat atau tokoferol adalah cara kerja antiokasidan lainnya yang mungkin untuk senyawa-senyawa ini. Interaksi sinergistik dari senyawa-senyawa antioksidan ini bisa dicontohkan dengan peningkatan efek antiproliferatif kuersetin oleh asam askorbat, mungkin disebabkan oleh kemampuannya melindungi fenolat dari penguraian oksidatif (Kandaswami et al., 1993). Dengan cara yang sama, pencampuran low-density liprotein (LDL) dengan askorbat dan asam kafeat atau asam kumarat menyebabkan perlindungan sinergistik dari oksidasi yang disebabkan oleh ferilmioglobin (Vieira et al., 1998a). Selain struktur kimia, aktivitas antioksidan senyawa-senyawa fenolat sangat dipengaruhi oleh interaksi yang rumit dalam sel makhluk hidup. Namun demikian, upaya untuk menyederhanakan masalah ini telah dilakukan dengan mencari hubungan langsung antara karakteristik molekul senyawa-senyawa fenolat dengan aktivitas peredaman radikal bebas difenil pikril hidrazil (DPPH), dengan mengabaikan kondisi lingkungan sel makhluk hidup (Velkov et al., 2007). Struktur molekul senyawa-senyawa fenolat yang diselidiki dilukiskan dalam Gambar 2.9 – 2.12 dan hasil pengukuran aktivitas antioksidan serta parameter molekulnya disajikan dalam Tabel 2.2. OH A1
A5
A2
A4 A3
Butil hidroksi toluen (BHT): A1 = A5 = t-butil; A3 = CH3; A2 = A4 = H
33
Butil hidroksi anisol 1 (BHA1): A2 = t-butil, A3 = OCH3, A1 = A4 = A5 = H Butil hidroksi anisol 2 (BHA 2): A1 = t-butil; A3 = OCH3; A2 = A4 = A5 = H Tersier butil hidrokuinin (TBHK): A2 = t-butil; A1 = A4 = A5 = H H
O
HO OH
Asam hidroksikafeat
H
HO H
Gambar 2.9 Rumus struktur turunan fenolat dan asam dihidrokafeat O
B1 B2
OB5 H
B3 B4
Asam sinamat Asam o-kumarat Asam m-kumarat Asam p-kumarat Asam ferulat Asam isoferulat Asam kafeat Asam sinapat Asam rosmarinat
B1 = B2 = B3 = B4 = B5 = H B1 = OH, B2 = B3 = B4 = B5 = H B2 = OH, B1 = B3 = B4 = B5 = H B3 = OH, B1 = B2 = B4 = B5 = H B2 = OCH3, B3 = OH, B1 = B4 = B5 = H B2 = OH, B3 = OCH3, B1 = B4 = B5 = H B2 = B3 = OH, B1 = B4 = B5 = H B2 = B4 = OCH3, B3 = OH, B1 = B5 = H B3 = B4 = OH, B1 = B2 = H B5 =
Asam klorogenat
B2 = B3 = OH, B1 = B4 = H
B5 =
Gambar 2.10 Rumus struktur turunan asam sinamat
H E1
OE3
E2
H H
Tirosol: E2 = OH; E1 = E3 = H Hidroksitirosol: E1 = E2 = OH; E3 = H Oleuropein: E1 = E2 = OH; E3 =
34
Gambar 2.11 Rumus struktur turunan tirosol
Gambar 2.12 Rumus struktur -tokoferol dan trolox
Tabel 2.2 Aktivitas antioksidan senyawa fenolat dan parameter molekulnya (Velkov et al., 2007) No.
Senyawa Fenolat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Asam dihidrokafeat Asam rosmarinat Asam kafeat Asam klorogenat Asam sinapat Asam ferulat Asam isoferulat Asam p-kumarat Hidroksitirosol Oleuropein Tirosol -Tokoferol Trolox TBHK BHA1 BHA2 BHT Asam o-kumarat Asam m-kumarat Asam sinamat
Keterangan:
RSA, %
93,9 88,4 76,6 52,0 56,1 30,9 3,5 3,6 57,0 41,3 2,7 54,0 53,4 58,7 22,3 22,3 8,0 3,5 2,6 0,5
Energi HOMO, eV -
0,2221 0,2212 0,2291 0,2270 0,2238 0,2226 0,2243 0,2336 0,2195 0,2218 0,2256 0,1927 0,1975 0,2099 0,2064 0,2058 0,2294 0,2376 0,2421 0,2495
Panjang ikatan C-O, A o 1,2601 1,2523 1,2843 1,2528 1,2453 1,2515 1,2510 1,2497 1,2603 1,2599 1,2594 1,2603 1,2597 1,2588 1,2598 1,2592 1,2575 1,2518 1,2597 1,2706
Kerapatan putaran pada atom O 0,3461 0,2856 0,3801 0,2869 0,3151 0,3159 0,3754 0,3350 0,3446 0,3405 0,4049 0,3511 0,3552 0,3621 0,3794 0,3577 0,3476 0,3698 0,4234 0,5507
RSA = relative scavenging activity HOMO = highest occupied molecular orbital
Berdasarkan hasil penelitian Velkov et al. (2007) di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat untuk meramalkan aktivitas peredaman radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat, yaitu: 1. Tersedianya gugus O-H pada sistem aromatik 2. Adanya substituen dengan efek elektronik induktif dan mesomerik positif
35
3. Adanya ikatan hidrogen yang melibatkan gugus hidroksi yang dapat terdisosiasi dan gugus fungsional yang berdekatan Cara lain kerja antioksidan flavonoid, terutama dalam sistem oksidasi yang menggunakan ion logam transisi seperti tembaga atau besi, adalah pembentukan kompleks khelat dengan ion-ion logam itu. Pembentukan kompleks khelat dari ion-ion logam katalitik bisa mencegah keterlibatannya dalam reaksi Fenton yang dapat menimbulkan radikal hidroksil yang sangat reaktif (Halliwell et al., 1995). H2O2 + Cu+ OH + OH- + Cu2+ Cu2+ + O2- Cu+ + O2 Kemampuan senyawa fenolat bereaksi dengan ion-ion logam bisa pula mengubahnya menjadi pro-oksidan. Sebagai contoh, dalam suatu penelitian oleh Cao et al. (1997) dengan menggunakan tiga sistem oksidasi yang berbeda-beda, flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat terhadap radikal peroksil yang dibangkitkan dari AAPH dan terhadap radikal hidroksil tetapi merupakan pro-oksidan dengan Cu2+. Kemungkinan flavonoid dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ dan karena itu memungkinkan terbentuknya radikal mula-mula. Asam kafeat juga telah dibuktikan mempunyai aktivitas pro-oksidan pada oksidasi LDL yang diinduksi Cu2+ (Yamanaka et al., 1997). Perlu dicatat bahwa aktivitas pro-oksidan ini hanya terlihat pada fase perambatan oksidasi, tidak pada fase awal di mana asam kafeat menghambat oksidasi lipoprotein, sesuai dengan temuan-temuan terdahulu (Laranjiha et al., 1994; Nardini et al., 1995; Abu-Amsha et al., 1996). Efek pro-oksidan yang mungkin dari flavonoid bisa menjadi penting secara in vivo jika ion-ion logam transisi bebas terlihat dalam proses oksidasi. Dalam tubuh manusia yang sehat, ion-ion logam kelihatannya lebih banyak
36
diasingkan dalam bentuk yang tidak bisa mengkatalisis reaksi radikal bebas (Halliwell dan Gutteridge, 1990). Akan tetapi, kerusakan pada jaringan bisa melepaskan besi dan tembaga (Halliwell et al., 1992) dan ion-ion logam katalitik telah diukur pada luka-luka aterosklerotik (Smith et al., 1992). Dalam hal ini kemungkinan flavonoid bertindak sebagai pro-oksidan tidak dapat diabaikan. Kerja biologis lainnya dari senyawa-senyawa fenolat mungkin berkaitan erat dengan efeknya pada kesehatan manusia. Sebagai contoh, asam kafeat bisa mempunyai efek sitoprotektif pada sel-sel endotelial yang berkaitan tidak hanya dengan kerja antioksidannya tetapi juga dengan kemampuannya menghalangi naiknya kalsium intraselular dalam merespon lipoprotein yang teroksidasi (Vieira et al., 1998b). Beberapa senyawa fenolat bisa pula menghambat agregasi platelet (Pace-Asciak et al., 1996), sementara senyawa fenolat lain bisa bertindak sebagai penghambat faktor transkripsi inti NF-B (Natarajan et al., 1996). Kemampuan senyawa-senyawa fenolat menangkap elektrofil mutagenik seperti reactive nitrogen species (RNS) bisa pula melindungi molekul-molekul biologis dari kerusakan (Kato et al., 1997).
37
2.4.2 Absorpsi dan Ketersediaan Hayati Senyawa Fenolat Pemahaman tentang absorpsi dan ketersediaan hayati senyawa-senyawa fenolat, serta ukuran dan penanda efeknya pada kerusakan oksidatif secara in vivo, perlu untuk menilai asupan makanan yang optimal dari senyawa-senyawa ini. Walaupun data mengenai ketersediaan hayati senyawa-senyawa fenolat pada manusia langka, namun ada bukti yang cukup menunjukkan bahwa flavonoid diserap dalam jumlah yang banyak (Hollman, 1997). Flavonoid seperti kuersetin dapat diserap baik sebagai aglikon bebas maupun glikosida, dan telah terdeteksi dalam darah dan urin (Cova et al., 1992; Hollman et al., 1995). Ada beberapa bukti bahwa absorpsi puncak bisa 2-3 jam setelah proses pencernaan (Hackett, 1983). Flavonoid yang diabsorpsi bisa membentuk konjugat seperti glukuronida atau
sulfat
dalam
hati.
Metabolisme
flavonoid
ditentukan
oleh
pola
hidroksilasinya, senyawa-senyawa yang mempunyai hidroksilasi 5,7 dan 3’,4’ akan mudah terhidrolisis dan pemecahan cincin heterosiklik oleh degradasi mikrobiologis dalam usus besar (Griffiths, 1982). Apakah hidrolisis flavonoid glikosida perlu untuk absorpsi tidak pasti, walaupun metode-metode baru telah mendeteksi flavonoid sebagai glikosida dalam plasma manusia (Panganga dan Rice-Evans, 1997). Katekin adalah golongan flavonoid utama lainnya yang telah terbukti diserap; senyawa itu ada dalam plasma setelah 1 jam dan juga terdeteksi dalam sampel urine 24 jam setelah satu dosis oral tunggal (Lee et al., 1995). Bukti selanjutnya untuk absorpsi flavonoid berasal dari sejumlah penelitian dengan isoflavonoid. Konsentrasi daidzein dan genistein dalam plasma ditemukan 15-40 kali lebih tinggi pada pria yang makan makanan Jepang dibandingkan dengan pria yang makan makanan Eropah (Adlercreutz et al.,
38
1993). Ini mencerminkan kandungan kedele (yang kaya dengan isoflavonoid) yang tinggi dari makanan Jepang. Orang yang diberi makanan tambahan dengan minuman kedele yang mengandung 2 mg isoflavon memperlihatkan konsentrasi plasma 2 M setelah 6,5 jam (Xu et al., 1994). Walaupun beberapa aspek metabolisme dan ketersediaan hayati flavonoid masih belum banyak diketahui, namun ada cukup bukti menunjukkan bahwa beberapa flavonoid dijumpai dalam plasma dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk memberikan efek biologis. Kemajuan metodologi untuk mengukur flavonoid dalam plasma akan terus memberikan informasi yang berharga dalam bidang ini. Informasi tentang absorpsi asam-asam fenolat pada manusia sangat terbatas. Data penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa kadar asam kafeat dalam plasma sangat meningkat dalam 1-4 jam setelah minum segelas anggur merah (Croft, 1999). Peningkatan asam kafeat dalam plasma terjadi karena penggunaan anggur merah dengan atau tanpa pengurangan alkohol (Gambar 2.13).
Gambar 2.13 Pengaruh pemberian anggur merah terhadap konsentrasi asam kafeat dalam plasma darah (Croft, 1999)
39
2.4.3 Metode-metode untuk Penilaian Kerusakan Oksidatif In Vivo Pengembangan metode-metode yang sesuai dan biomarker untuk menentukan kerusakan oksidatif pada manusia penting untuk penilaian antioksidan (Halliwell, 1996). Sebagai contoh, metode-metode untuk penilaian peroksidasi lipid total pada manusia telah dibatasi pada pengukuran ekskresi gas hidrokarbon dalam udara pernapasan yang dihembuskan. Metode-metode ini bersifat non-spesifik dan dipengaruhi oleh komponen-komponen dalam makanan atau lingkungan (Halliwell, 1996). F2 isoprostana yang dibentuk oleh kerusakan radikal bebas pada asam arakidonat dalam tubuh dapat diukur dalam plasma atau urine dan bisa menjadi ukuran yang baik untuk peroksidasi lipid pada posisi mantap (Morrow dan Roberts, 1996). Walaupun metode analisis yang ideal memerlukan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS), namun kit immunoassay enzim komersial telah tersedia, dan pengukuran yang sesuai dengan metode GC-MS telah dilaporkan (Wang et al., 1995). Untuk pengukuran kerusakan DNA oksidatif, ekskresi 8-hidroksideoksiguanin dalam urin telah digunakan tetapi masih mengalami beberapa masalah teknis serta kontribusi dari asupan makanan (Halliwell, 1996). Penilaian efek in vivo senyawa-senyawa fenolat makanan dapat menjadi sangat sulit. Namun demikian, akhir-akhir ini, telah diselidiki efek antioksidan senyawa fenolat dalam minuman seperti anggur merah terhadap oksidasi LDL (Abu-Amsha et al., 1996). Oleh karena kerusakan oksidatif pada LDL telah dihubungkan dengan timbulnya aterosklerosis dan penyakit jantung, maka kandungan flavonoid yang tinggi pada anggur merah telah menjadi pertimbangan kemungkinannya bermanfaat melawan penyakit jantung. Walaupun sejumlah
40
penelitian in vitro jelas memperlihatkan efek antioksidan yang kuat dari senyawa fenolat dalam anggur merah terhadap oksidasi LDL (Frankel et al., 1993; AbuAmsha et al., 1996; Puddey dan Croft, 1997), namun beberapa percobaan klinis pada manusia telah memberikan hasil yang berlawanan (Fuhrman et al., 1995; Sharpe et al., 1995; De Rijke et al., 1996). Ini mungkin timbul dari kenyataan bahwa alkohol itu sendiri adalah pro-oksidan dan efek keseluruhan dari minuman mungkin disebabkan oleh keseimbangan antara komponen pro-oksidannya dan komponen antioksidannya (Puddey dan Croft, 1997). Selain itu, kebanyakan penelitian menggunakan kerentanan oksidatif dari LDL terisolasi yang mungkin tidak selalu berkaitan dengan kerusakan oksidatif yang terjadi in vivo. Lagi pula, mungkin perlu mempertimbangkan lokasi senyawa-senyawa fenolat yang mungkin secara in vivo. Dalam suatu penelitian yang menarik baru-baru ini, Carbonneau et al. (1997) memberikan senyawa fenolat anggur merah kepada 20 orang sukarelawan, yang meningkat kapasitas antioksidan plasma mereka tetapi tidak mempunyai pengaruh terhadap kemampuan oksidasi LDL terisolasi. Diduga bahwa senyawa-senyawa fenolat itu bisa bekerja dalam fase air atau pada permukaan partikel-partikel lipoprotein, dan diduga bahwa ini mungkin terlepas dari partikel-partikel itu selama tahap dialisis dalam isolasi lipoprotein.
2.5 Mutu dan Standardisasi Obat Bahan Alam Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat telah mendorong perkembangan obat bahan alam, yang meliputi peningkatan mutu, keamanan, penemuan indikasi baru dan formulasi. Obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia disebut obat bahan alam Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta
41
jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiatnya, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu harus memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang berlaku, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data emperis dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria: aman sesuai denyan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik, telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadinya dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Sedangkan fitofarmaka harus memenuhi kriteria: aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik, telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadinya dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (BPOM, 2004a). Berdasarkan uraian di atas terlihat bahan obat bahan alam harus aman, berkhasiat (manjur), bermutu dan bahan bakunya terstandardisasi. Oleh karena itu obat bahan alam Indonesia harus terjamin keamanan, kasiat dan mutunya. Untuk menjamin mutu obat bahan alam itu perlu dilakukan standardisasi terhadap bahan baku dan produk jadinya.
2.5.1 Definisi Mutu Obat Bahan Alam Mutu obat dapat didefinisikan sebagai status suatu obat, yang ditentukan baik dengan identitas, kemurnian, kandungan, dan sifat-sifat kimia, fisika dan biologis lainnya, ataupun dengan proses pembuatan (Bauer, 1998). Agar obat bahan alam (terutama fitofarmaka) dapat dipakai sebagai obat yang aman dan manjur, maka definisi ini harus berlaku pula pada obat bahan alam (fitofarmaka)
42
2.5.2 Kesulitan dalam pengendalian mutu obat bahan alam Semua bahan (alam atau sintetis) yang digunakan untuk pengobatan manusia dan hewan harus telah terbukti mutu, kemanan dan kemanjurannya. Akan tetapi, dibandingkan dengan obat-obat sintetis, kriteria dan cara pengendalian mutu, keamanan dan kemanjuran obat bahan alam jauh lebih rumit. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi mutu obat bahan alam, yang tidak ada pada obat sintetis. Aspek-aspek tersebut menimbulkan kesulitan dalam pengendalian mutu obat bahan alam. 1. Obat bahan alam selalu merupakan campuran dari banyak komponen. Campuran ini jauh lebih sulit dikarakterisasi daripada senyawa murni. Oleh karena itu, senyawa-senyawa yang diisolasi dari bahan alam atau senyawa bahan alam murni tidak digolongkan sebagai obat bahan alam tetapi sebagai zat kimia murni (WHO, 2000). 2. Zat aktif dalam obat bahan alam tidak selalu diketahui dengan pasti. Zat aktif itu bahkan mungkin berupa campuran beberapa senyawa yang berbeda-beda golongannya. Sebagai contoh, bunga kamil (Chamomilla recutita (L.) Rauschert II) mengandung beberapa golongan zat aktif farmakologis, yaitu minyak atsiri, poliasetilen, terpenoid, flavonoid, kumarin dan polisakarida (Carle, Fleischhauer dan Fehr 1987). Karena banyaknya golongan senyawa yang aktif dalam obat bahan alam itu, maka sulit menetapkan kriteria mutunya secara menyeluruh. 3. Tumbuhan obat mengalami variasi alamiah. Oleh karena itu, mutu tumbuhan obat yang dikumpulkan dari tempat yang berbeda-beda bisa saja sangat bervariasi. Salah satu strategi untuk menjaga agar variasi ini kecil
43
adalah dengan cara budidaya (penanaman). Namun demikian, kadangkadang masih ada kemovarietas pada tanaman obat yang dibudidayakan itu sehingga bisa mempengaruhi mutu produk obat bahan alam. Sebagai contoh, berbagai kemokultivar bunga kamil ada di pasaran, yang berbeda komposisi minyak atsirinya dan dapat dibedakan dengan analisis kromatografi gas (Gambar 2.14) (Carle et al., 1987). 4. Pemanenan, pengeringan dan penyimpanan. Cara pemanenan, pengeringan dan penyimpanan dapat pula mempengaruhi mutu bahan mentah obat bahan alam. Oleh karena itu, prosedur pemanenan, pengeringan dan penyimpanan harus distandardisasi sebaik mungkin.
Gambar 2.14 Kromatogram gas minyak atsiri dari kemokultivar bunga kamil (Carle et al., 1987)
44
5. Pengolahan bahan mentah menjadi produk jadi. Cara pengolahan bahan mentah obat bahan alam menjadi produk jadi dapat mempengaruhi konstituen
yang
ada
dalam
bahan
tersebut
sehingga
akhirnya
mempengaruhi mutu produk jadinya. Kepolaran pelarutan yang berbedabeda dan cara ekstraksi yang berbeda-beda dapat menghasilkan ekstrak yang sangat berbeda konsentrasi konstituennya. Selain itu, ketidakstabilan beberapa konstituen bisa mempengaruhi komposisi ekstrak. Sebagai contoh, apabila bunga kamil diekstraksi dengan alkohol yang berbedabeda, seperti metanol, etanol dan isopropanol, maka ekstrak yang dihasilkan mempunyai mutu yang berbeda-beda dalam hal konsentrasi flavonoidnya (Gambar 2.15) (Bauer, 1998)
Gambar 2.15 Pengaruh cara ekstraksi dan kepolaran pelarut terhadap kandungan flavonoid dalam ekstrak bunga kamil (Bauer, 1998)
45
6. Pengaruh enzim-enzim dalam obat bahan alam. Jika penguraian secara enzimatik terjadi dalam obat bahan alam, etanol 50% pun mungkin tidak cukup untuk menstabilkan produk obat bahan alam. Sebagai contoh, pada ekstraksi bunga kamil, hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida masih tetap terjadi walaupun menggunakan konsentrasi alkohol yang tinggi untuk ekstraksi (Schreiber et al., 1990). Proses enzimatik menimbulkan situasi di mana ekstrak yang lebih polar mengandung aglikon yang kurang polar (apigenin) yang lebih tinggi konsentrasinya daripada ekstrak yang dibuat dengan pelarut yang tinggi kadar alkoholnya (lihat Gambar 2.16). Oleh karena itu, pengendalian enzim dapat pula menjadi masalah penting dalam standardisasi sediaan obat bahan alam.
Gambar 2.16 Hidrolisis enzimatik apigenin-7-O-glikosida selama ekstraksi bunga kamil dengan berbagai campuran etanol/air (Bauer, 1998)
Dengan mengingat aspek-aspek di atas, maka proses pengolahan obat bahan alam yang distandardisasi merupakan persyaratan dasar untuk penetapan mutu sediaan obat bahan alam yang reprodusibel dan reliabel. Mutu hanya dapat
46
dihasilkan, tidak dapat dipindahkan ke dalam suatu produk dengan menggunakan metode-metode analisis. Oleh karena proses pengolahan yang berbeda-beda dapat menyebabkan mutu ekstrak yang berbeda-beda pula, maka setiap produk obat bahan alam harus memenuhi kriteria mutu tertentu.
2.5.3 Parameter Mutu Obat Bahan Alam Untuk pengendalian mutu obat bahan alam, perlu ditetapkan kriteria mutu dan spesifikasi masing-masing untuk setiap obat bahan alam dalam bentuk “monografi” atau “master file”. Kriteria mutu dan spesifikasi ini bisa serupa dengan monografi dalam farmakope tetapi biasanya lebih luas daripada monografi farmakope. Parameter standar umum untuk ekstrak tumbuhan obat Indonesia telah dipublikasi oleh Depkes RI (2000). WHO (2000) telah membuat pedoman penilaian mutu obat bahan alam. Di samping itu, monografi ekstrak beberapa tumbuhan obat Indonesia telah ditetapkan oleh BPOM RI (2004b; 2006). Selain itu, beberapa artikel dapat dijumpai dalam literatur untuk membantu dalam melaksanakan pedoman-pedoman di atas.
2.5.3.1 Parameter Mutu Menurut WHO WHO (2000) menegaskan bahwa penilaian mutu obat bahan alam harus merujuk kepada monografi farmakope jika ada. Jika monografi farmakope obat bahan alam itu belum ada, maka suatu monografi harus dibuat dan disusun seperti yang ada dalam farmakope. Dalam penilaian mutu obat bahan alam, WHO mengelompokkan obat bahan alam menjadi tiga jenis, yaitu: bahan tumbuhan mentah, sediaan tumbuhan dan produk jadi.
47
1. Bahan tumbuhan mentah Pada monografi bahan tumbuhan mentah, definisi botani, termasuk genus, spesies dan sumber, harus diberikan untuk menjamin identifikasi yang benar suatu tumbuhan obat. Definisi dan uraian tentang bagian tumbuhan yang digunakan (misalnya daun, bunga, batang atau akar) harus diberikan, disertai dengan petunjuk apakah bahan segar, bahan kering atau bahan yang diperoses secara tradisional yang digunakan. Konstituen aktif dan konstituen khas harus ditetapkan dan, jika mungkin, batas-batas kandungan konstituen tersebut harus ditetapkan. Benda asing, kotoran dan kandungan mikroba harus ditentukan atau dibatasi. Spesimen contoh yang mewakili setiap kelompok bahan tanaman yang diproses, harus disahkan oleh ahli botani dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama 10 tahun. Nomor lot harus dibuat dan ini harus kelihatan pada label produk. 2. Sediaan tumbuhan obat Sediaan tumbuhan obat meliputi bahan tanaman yang dijadikan serbuk, ekstrak, tingtur, lemak atau minyak atsiri, perasan buah dan sediaansediaan yang pembuatannya melibatkan fraksinasi, pemurnian atau pemekatan.
Pada
monografi
sediaan
tumbuhan
obat,
prosedur
pembuatannya harus diuraikan secara rinci. Jika bahan lain ditambahkan selama pembuatan untuk mengatur sediaan tumbuhan obat itu terhadap kadar zat aktif atau zat penanda tertentu atau untuk sembarang tujuan lainnya, maka bahan tambahan itu harus disebutkan dalam prosedur pembuatan. Metode untuk identifikasi dan, bila mungkin, untuk analisis sediaan tumbuhan obat itu harus ditambahkan. Jika identifikasi suatu zat
48
aktif tidak mungkin, maka cukuplah mengidentifikasi suatu senyawa penanda atau campuran senyawa (misalnya “sidik jari kromatografi”) untuk menjamin mutu yang konsisten dari sediaan tumbuhan obat itu. 3. Produk jadi Pada monografi produk jadi, formula dan prosedur pembuatannya, termasuk jumlah bahan pembantu, harus diuraikan secara rinci. Spesifikasi produk jadi itu harus ditetapkan. Metode identifikasi dan, bila mungkin, metode kuantifikasi bahan tumbuhan dalam produk jadi harus ditetapkan. Jika identifikasi zat aktif tidak mungkin, maka cukuplah mengidentifikasi senyawa penanda atau campuran senyawa (misalnya “sidik jari kromatografi”) untuk menjamin mutu yang konsisten dari produk jadi itu. Produk jadi harus memenuhi persyaratan umum untuk bentuk sediaan tertentu.
2.5.3.2 Paramater Mutu Menurut Departemen Kesehatan RI Depkes RI (2000) telah menetapkan parameter umum ekstrak tumbuhan obat. Parameter ini digunakan untuk menyusun standar mutu, keamanan dan kemanfaatan ekstrak tumbuhan obat. Secara umum, parameter mutu ekstrak tumbuhan obat terdiri atas dua bagian, yaitu parameter non-spesifik dan parameter spesifik. Parameter mutu non-spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi:
parameter susut pengeringan,
parameter bobot jenis,
parameter kadar air,
49
parameter kadar abu,
parameter sisa pelarut,
parameter residu pestisida,
parameter cemaran logam berat,
parameter cemaran mikroba,
parameter cemaran kapang, kamir dan aflatoksin. Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah
pengeringan pada temperatur 105 oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap), parameter susut pengeringan identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer atau lingkungan udara terbuka. Parameter susut pengeringan ini bertujuan untuk memberikan batasan maksimal besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Nilai parameter ini mempunyai rentang yang diperbolehkan dan terkait dengan kemurnian serta kontaminasi ekstrak tumbuhan obat. Parameter bobot jenis adalah massa per satuan volume pada suhu kamar tertentu (25 oC). Parameter ini ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Parameter bobot jenis bertujuan untuk memberikan batasan besarnya massa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Selain itu, parameter bobot jenis juga bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan kimia terlarut. Parameter ini mempunyai nilai minimal atau rentang yang diperbolehkan. Nilai parameter ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.
50
Parameter kadar air adalah penentuan kandungan air yang berada di dalam bahan, yang dilakukan dengan cara yang tepat seperti cara titrasi, destilasi atau gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam ekstrak tumbuhan obat. Nilai parameter ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat. Parameter kadar abu ditentukan dengan cara pemanasan bahan pada temperatur tinggi sehingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Hasil pemanasan itu adalah unsur mineral dan senyawa anorganik. Parameter kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Nilai ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat. Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) dalam ekstrak tumbuhan obat. Pada umumnya sisa pelarut ini ditentukan dengan kromatografi gas. Sebagai contoh penentuan kadar alkohol dalam ekstrak cair. Untuk ekstrak kental dan ekstrak kering, parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa selama proses pembuatan ekstrak tidak tersisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair, parameter ini bertujuan untuk menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal yang diperbolehkan, tetapi dalam hal pelarut berbahaya seperti kloroform, nilai parameter ini harus negatif sesuai dengan batas deteksi instrumen. Nilai parameter ini juga terkait dengan kemurnian dan kontaminasi ekstrak tumbuhan obat.
51
Parameter residu pestisida adalah penentuan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mencemari bahan simplesia untuk pembuatan ekstrak. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Parameter ini terkait dengan kontaminasi sisa pertanian. Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau cara lainnya yang lebih valid. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, As) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan dalam ekstrak tumbuhan obat. Parameter cemaran mikroba adalah penentuan (identifikasi) adanya mikroba patogen dengan cara analisis mikrobiologis. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non-patogen melebihi batas yang ditetapkan. Mikroba ini berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperolehkan dalam ekstrak tumbuhaan obat. Parameter cemaran kapang, khamir dan aflatoksin adalah penentuan adanya jamur dengan cara mikrobiologis dan penentuan adanya aflatoksin dengan cara kromatografi lapis tipis. Parameter ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi batas yang ditetapkan karena jamur berpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan aflatoksin berbahaya
52
bagi kesehatan. Parameter ini mempunyai nilai maksimal atau rentang yang diperbolehkan dalam ekstrak tumbuhan obat. Parameter mutu spesifik untuk ekstrak tumbuhan obat meliputi:
Parameter identitas
Parameter organoleptik
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Uji kandungan kimia Parameter identitas ekstrak tumbuhan obat meliputi:
Deskripsi tata nama: o Nama ekstrak (nama generik, nama dagang, nama paten) o Nama latin tumbuhan obat (sistematika botani) o Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb.) o Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu Parameter identitas ekstrak bertujuan untuk memberikan identitas objektif
dari nama dan identitas spesifik dari senyawa identitas. Parameter organoleptik ekstrak adalah penggunaan panca indera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa ekstrak tubuhan obat sebagai berikut:
Bentuk : padat, sebuk-kering, kental, cair
Warna : kuning, coklat, dll.
Bau : aromatik, tidak berbau, dll.
Rasa: pahit, manis, kelat, dll
53
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu adalah penentuan jumlah senyawa yang terlarut dalam pelarut air, etanol, heksana atau diklorometana dengan metode gravimetri. Parameter ini bertujuan untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak obat bahan alam. Parameter ini mempunyai nilai monimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu untuk setiap ekstrak tumbuhan obat. Uji kandungan kimia ekstrak tumbuhan obat meliputi:
Parameter pola kromatogram
Parameter kadar total golongan kandungan kimia
Parameter kadar kandungan kimia tertentu Parameter pola kromatogram ekstrak tumbuhan obat dapat ditentukan
dengan cara mengekstraksi ekstrak dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian melakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Pola kromatogram itu bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia ekstrak berdasarkan pola kromatogram dari kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau kromatografi gas (KG). Pola kromatogram itu dibandingkan dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu. Parameter kadar total golongan kandungan kimia ditentukan dengan metode spektrofotometri, titrimetri, gravimetri atau metode lainnya. Metode tersebut harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linearitasnya. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya, yaitu:
Golongan minyak atsiri
54
Golongan steroid
Golongan tanin
Golongan flavonoid
Golongan triterpenoid (saponin)
Golongan alkaloid
Golongan antrakinon Parameter kadar total golongan kandungan kimia bertujuan untuk
memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. Parameter ini mempunyai nilai minimal atau rentang yang telah ditetapkan. Parameter kadar kandungan kimia tertentu adalah penentuan kadar kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama atau kandungan kimia lainnya. Penetapan kadar senyawa ini dapat ditentukan dengan densitometer, kromatografi gas, kromatografi cair kinerja tinggi atau instrumen lain yang sesuai. Metode penetapan kadar itu harus diuji terlebih dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain.
2.5.4 Pengendalian Mutu Obat Bahan Alam Obat bahan alam dan sediaan-sediaannya telah banyak digunakan selama ratusan tahun di negara-negara timur seperti Cina, Korea, Jepang, India dan Indonesia. Salah satu sifat khas sediaan obat bahan alam timur adalah bahwa semua obat bahan alam itu, baik yang disajikan sebagai tumbuhan obat tunggal ataupun sebagai kumpulan dari beberapa tumbuhan obat, diekstraksi dengan air
55
mendidih selama proses perebusan. Karena itu pengendalian mutu obat bahan alam lebih sulit daripada pengendalian mutu obat sintetis (Liang et al., 2004). Walupun demikian, penelitian tentang keamanan dan kemanjuran obat bahan alam harus dimajukan, dan mutu penelitian harus ditingkatkan. Penilaian mutu obat bahan alam harus merujuk kepada monografi farmakope jika ada. Jika monografi seperti itu tidak ada, maka monografi obat bahan alam itu harus disusun (WHO, 2000). Untuk menilai mutu dan keaslian atau kebenaran obat bahan alam biasanya digunakan satu atau lebih zat penanda atau komponen aktif farmakologis yang ada dalam tumbuhan obat atau campuran tumbuhan obat. Akan tetapi, penentuan satu atau lebih senyawa penanda itu tidak memberikan gambaran yang lengkap tentang produk obat bahan alam, karena konstituen gabungan biasanya bertanggung jawab terhadap efek terapinya. Konstituen gabungan ini bisa bekerja ‘secara sinergistik’ dan susah dipisahkan menjadi bagian-bagian aktif. Selain itu, konstituen kimia dalam tumbuhan obat yang menyusun produk obat bahan alam bisa bervariasi tergantung pada musim panen, asal tumbuhan, proses pengeringan dan faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, kelihatannya perlu menentukan sebagian besar konstituen fitokimia produk bahan alam untuk menjamin keandalan dan keterulangan penelitian farmakologis dan penelitian klinis, untuk memahami bioaktivitas dan efek samping yang mungkin dari senyawa aktif itu dan untuk meningkatkan pengawasan mutu produk (Bauer, 1998). Untuk menentukan sebagian besar konstituen fitokimia dalam obat bahan alam dapat digunakan beberapa teknik kromatografi, seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), elektroforesis kapiler (EK) dan
56
kromatografi lapis tipis (KLT). Dengan cara ini, produk bahan alam keseluruhan dapat dianggap sebagai ‘senyawa’ aktif. Untuk menjamin konsistensi ‘senyawa’ aktif dalam produk obat bahan alam, maka konsep fitoekivalensi telah dikembangkan di Jerman (Tyler, 1999). Menurut konsep ini, profil kimia, seperti sidik jari kromatografi, untuk produk obat bahan alam harus dibuat dan dibandingkan dengan profil kimia produk pembanding yang telah terbukti secara klinis. Menurut definisi, sidik jari kromatografi suatu obat bahan alam adalah pola kromatografi ekstrak untuk beberapa komponen kimia umum yang aktif secara farmakologis dan atau khas secara kimia (Li et al., 2004). Pola kromatografi ini harus ditonjolkan dengan sifat-sifat dasar “kejelasan” dan “ketidakjelasan” atau “persamaan” dan “perbedaan” untuk bisa menunjukkan secara kimia obat bahan alam yang diselidiki. Dengan bantuan sidik jari kromatografi yang diperoleh, kebenaran dan identifikasi obat bahan alam dapat dilakukan dengan teliti (“kejelasan”) walaupun jumlah dan/atau konsentrasi konstituen yang khas secara kimia tidak tepat sama pada berbagai sampel obat bahan alam ini (“ketidakjelasan”) atau, sidik jari kromatografi dapat memperlihatkan baik “persamaan” maupun “perbedaan” antar berbagai sampel. Jadi, kita harus mempertimbangkan secara serentak berbagai konsituen dalam ekstrak obat bahan alam, dan tidak mempertimbangkan secara individu hanya satu atau dua komponen penanda saja untuk menilai mutu produk obat bahan alam. Bagaimanapun, dalam setiap obat bahan alam dan ekstraknya, ada ratusan komponen yang tidak diketahui dan banyak di antaranya dalam jumlah yang kecil. Selain itu, biasanya ada variabilitas di dalam bahan mentah obat bahan alam yang
57
sama (Bauer, 1998). Akibatnya, untuk memperoleh sidik jari kromatografi yang dapat diandalkan untuk menunjukkan komponen aktif farmakologis dan komponen khas secara kimia bukanlah pekerjaan yang mudah. Untunglah, kromatografi mempunyai kemampuan pemisahan yang sangat kuat, sehingga komponen-komponen kimia yang rumit dalam ekstrak obat bahan alam dapat dipisahkan menjadi beberapa sub-fraksi yang agak sederhana. Selanjutnya, pendekatan baru dengan menggunakan teknik gabungan kromatografi dan spektrometri seperti kromatografi cair kinerja tinggi-diode array detection (KCKT-DAD), kromatografi gas-spektroskopi massa (KG-SM), elektroforesis kapiler-diode array detection (EK-DAD), KCKT-SM dan KCKT-RMI, dapat memberikan informasi spektrum tambahan, yang akan sangat membantu untuk analisis kualitatif dan bahkan untuk elusidasi struktur secara langsung. Dengan bantuan informasi spektrum itu, alat-alat gabungan itu memperlihatkan unjuk kerja yang sangat baik dalam kaitannya dengan peniadaan gangguan instrumental, koreksi
pergeseran
waktu
retensi,
selektivitas,
kemampuan
pemisahan
kromatografi, keseksamaan pengukuran. Jika kromatografi gabungan itu selanjutnya digabung lagi dengan pendekatan kemometri, maka gambaran yang lebih jelas bisa dikembangkan untuk menilai sidik jari kromatografi yang diperoleh. Sidik jari kimia yang diperoleh dengan kromatografi gabungan itu akan menjadi alat utama untuk pengendalian mutu obat bahan alam (Welsh et al., 1996; Lazarowych dan Pekos, 1998; Valentao et al., 1999).
58
2.5.4.1 Metode Kromatografi Pada umumnya, metode-metode untuk pengendalian mutu obat bahan alam melibatkan pemeriksaan dengan panca indera (pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis) dan pemeriksaan kimia dengan menggunakan teknik-teknik instrumental seperti KLT, KCKT, KG-MS, KC-MS, inframerah dekat, dan spektrofotometer lainnya. Selain itu, metode-metode ekstraksi dan penyiapan sampel juga sangat penting dalam pembuatan sidik jari yang baik untuk obat bahan alam. Namun demikian, di sini hanya akan dibahas bagaimana cara membuat profil fitokimia yang baik dan evaluasinya untuk tujuan pengendalian mutu.
2.5.4.1.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT adalah metode pilihan yang lazim untuk analisis obat bahan alam sebelum metode kromatografi instrumental seperti KG dan KCKT diciptakan. Bahkan dewasa ini, KLT masih sering digunakan untuk analisis obat bahan alam karena berbagai farmakope masih menggunakan KLT untuk memberikan ciri khas pertama sidik jari tumbuhan obat. KLT bisa pula digunakan secara bersamaan untuk identifikasi kualitatif dan penentuan kadar senyawa penanda dalam obat bahan alam (Cheng et al., 2005). Malahan, KLT digunakan sebagai suatu metode yang lebih mudah untuk penapisan awal dengan evaluasi semikuantitatif bersamasama dengan teknik-teknik kromatografi lainnya (Qian et al., 2007). KLT mempunyai banyak keuntungan untuk mendeteksi komponen aktif atau penanda dalam analisis obat bahan alam. Selain itu, KLT agak sederhana dan dapat digunakan untuk analisis banyak sampel sekaligus. Untuk setiap plat, lebih
59
dari 30 noda sampel dapat dipelajari secara bersamaan dalam satu waktu. Karena itu, penggunaan KLT untuk menganalisis obat bahan alam masih populer dewasa ini (Ramírez-Durón et al., 2007). Keuntungan menggunakan KLT untuk membuat sidik jari obat bahan alam adalah kesederhanaannya, keluasan penggunaannya, kecepatannya tinggi, kepekaannya dan penyiapan sampelnya sederhana. Dengan demikian, KLT adalah suatu metode yang baik sekali untuk menentukan mutu dan kemungkinan pemalsuan produk obat bahan alam. Selain itu, KLT dapat pula digunakan untuk menentukan bioaktivitas obat bahan alam. Sebagai contoh, untuk menilai kapasitas antioksidan dan mutu obat tradisional Cina Gu et al. (2006) menggunakan metode KLT-bioautografi. Kromatogram KLT dari ekstrak sampel yang telah dikembangkan dengan pelarut tertentu, disemprot dengan larutan DPPH dalam etanol. Luas noda yang menghilangkan warna larutan DPPH diukur untuk menunjukkan kapasitas antioksidan obat bahan alam yang diuji itu. KLT-bioautografi ini dapat digunakan tidak hanya untuk penapisan komponen yang mempunyai potensi antioksidan tetapi juga untuk penilaian mutu obat bahan alam pada waktu yang sama, dan metode ini terbukti selektif, sederhana dan dapat direproduksi.
2.5.4.1.2 Kromatografi Gas Beberapa komponen aktif farmakologis dalam obat bahan alam adalah senyawa yang dapat menguap. Karena itu, analisis senyawa yang dapat menguap dengan kromatografi gas (KG) sangat penting dalam analisis obat bahan alam. Analisis KG minyak menguap (minyak atsiri) mempunyai banyak keuntungan.
60
Pertama, KG minyak menguap memberikan “sidik jari” yang pantas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tumbuhan. Komposisi dan konsentrasi relatif senyawa organik dalam minyak atsiri merupakan ciri khas tumbuhan tertentu dan adanya kotoran dalam minyak atsiri dapat dideteksi dengan mudah. Kedua, ekstraksi minyak atsiri agak lebih jelas dan dapat distandardisasi dan komponenkomponennya dapat diidentifikasi dengan mudah dengan menggunakan analisis KG-SM. Jumlah relatif komponen-komponen itu dapat digunakan untuk memantau atau menilai ciri-ciri khas tertentu obat bahan alam. Perubahan komposisi minyak atsiri bisa pula digunakan sebagai indikator terjadinya oksidasi, perubahan enzimatik atau fermentasi mikroba. Keuntungan KG jelas terletak pada kepekaan deteksinya yang tinggi untuk hampir semua senyawa kimia yang dapat menguap. Ini terutama berlaku untuk deteksi FID biasa dan KG-SM. Selain itu, selektivitas kapiler kolom yang tinggi memungkinkan pemisahan beberapa senyawa yang dapat menguap secara bersamaan dalam waktu yang cukup singkat. Dengan demikian, pada dasawarsa yang lalu, KG merupakan alat analitik yang populer dan bermanfaat dalam bidang penelitian obat bahan alam, terutama teknik kromatografi gas yang digabung dengan spektrometri massa (Yan et al., 2006; Li et al., 2007). Sebaliknya, kelemahan KG adalah bahwa ia tidak cocok untuk analisis sampel yang mengandung senyawa polar dan senyawa yang tidak mudah menguap. Untuk senyawa-senyawa seperti ini, perlu pengolahan sampel terlebih dahulu seperti derivatisasi. Salah satu contoh terbaru penggunaan kromatografi gas dalam pengendalian mutu obat bahan alam adalah identifikasi dan penentuan
61
kadar 11 konstituen flavonoid dalam Kaempferia parviflora (Sutthanut et al., 2007).
2.5.4.1.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) KCKT adalah suatu metode yang banyak digunakan untuk analisis obat bahan alam karena mudahnya mempelajari dan menggunakannya serta tidak dibatasi oleh kemudahan menguap atau kestabilan senyawa sampel. Pada umumnya, KCKT dapat digunakan untuk menganalisis hampir semua senyawa dalam obat bahan alam. Karena itu, akhir-akhir ini, KCKT banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam (Qian et al., 2007). Kolom fase terbalik adalah kolom yang paling banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam. Dalam pemakaian KCKT untuk analisis obat bahan alam perlu diperhatikan bahwa kondisi pemisahan yang optimal dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti misalnya komposisi fase gerak, pengaturan pH dan tekanan pompa. Oleh karena itu, rancangan percobaan yang baik untuk mendapatkan pemisahan yang baik sangat diperlukan. Untuk memperoleh pemisahan yang lebih baik, beberapa teknik baru telah dikembangkan akhir-akhir ini dalam bidang penelitian kromatografi cair. Salah satu contoh teknik KCKT yang telah dikembangkan adalah penggabungan KCKT dengan electrospray ionization (ESI), spektrometri massa (SM) dan photodiode array detection (DAD) untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi flavonoid dalam sediaan obat bahan alam Cina (Wang et al., 2008).
62
2.5.4.2 Metode Elektroforetik Elektroforesis kapiler diperkenalkan pada awal tahun 1980-an sebagai suatu teknik pemisahan dan analitik yang sangat kuat dan sejak itu telah berkembang pesat. Metode ini dapat digunakan untuk analisis komponenkomponen sampel yang bermuatan mulai dari ion anorganik sederhana sampai DNA. Dengan demikian, metode elektroforetik, terutama elektroforesis kapiler, sangat banyak digunakan dalam analisis obat bahan alam akhir-akhir ini. Beberapa contoh pengembangan dan pemakaian metode elektroforetik akan dibahas berikut ini. Teknik-teknik yang berdasarkan elektroforesis kapiler telah dikembangkan untuk analisis alkaloid dalam obat bahan alam Cina. Teknik analisis alkaloid dalam ekstrak air dan ekstrak bukan air dari tumbuhan obat Cina itu dikembangkan dengan menggabungkan elektroforesis kapiler dan diode array detection (CE-DAD) dan mengabungan elektroforesis kapiler dengan spektrometri massa (CE-MS). Teknik ini dapat mengidentifikasi dan menentukan kadar tujuh alkaloid protoberberin dan satu alkaloid aporphinoid dalam rhizoma coptidis (Chen et al., 2008).
2.5.4.3 Metode Gabungan Dalam dua dasawarsa terakhir ini, penggabungan sistem pemisahan kromatografi secara langsung dengan detektor spektroskopi untuk memperoleh informasi struktur analit yang ada dalam sampel telah menjadi pendekatan yang sangat penting untuk identifikasi dan/atau penegasan identitas target dan senyawa kimia yang tidak diketahui. Untuk sebagian besar masalah dalam bidang
63
penelitian obat bahan alam, gabungan kromatografi cair kolom atau kromatografi gas kapiler dengan spektrometer UV-Vis atau spektrometer massa menjadi pendekatan yang lebih disukai untuk analisis obat bahan alam.
2.5.4.3.1 Gabungan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa Spektrometri massa adalah metode yang sangat sensitif dan selektif untuk analisis molekular dan dapat menghasilkan informasi mengenai berat molekul serta
struktur molekul. Gabungan kromatografi dengan spektrometri massa
memberikan keuntungan baik bagi kromatografi sebagai metode pemisahan maupun bagi spektrometri massa sebagai metode identifikasi. Pada spektrometri massa, ada sejumlah metode untuk mengionkan senyawa dan kemudian memisahkan ion-ion itu. Metode pengionan yang lazim digunakan bersama-sama dengan kromatografi gas adalah electron impact (EI) dan electron capture impact (ECI). EI terutama digunakan untuk memilih ion positif, sedangkan ECI biasanya digunakan untuk ion negatif. EI terutama berguna untuk analisis sehari-hari dan memberikan spektrum massa yang dapat direproduksi sehingga memberikan informasi struktural. Salah satu contoh pemakaian gabungan kromatografi gasspektrometri massa adalah identifikasi dan penilaian mutu sediaan obat bahan alam Houttuynia cordata (Lu et al., 2006). Dengan teknik gabungan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS), dapat dihasilkan tidak hanya sidik jari kromatografi minyak atsiri dalam obat bahan alam, tetapi juga informasi yang berkaitan dengan komposisi kualitatif dan kuantitatifnya. Karena itu, jika teknik ini digunakan dalam analisi obat bahan alam, ada dua keuntungan yang nyata, yaitu: (1) dengan kolom kapiler, GC-MS
64
pada umumnya mempunyai kemampuan pemisahan yang sangat baik, yang dapat menghasilkan sidik jari kimia yang bermutu tinggi; (2) dengan spektroskopi massa yang digabung itu dan database spektrum massa yang bersesuaian, informasi kualitatif dan kuantitatif tentang tumbuhan obat yang diselidiki dapat diberikan oleh GC-MS, yang akan bermanfaat untuk menjelaskan hubungan antara konstituen kimia dan efek farmakologinya dalam penelitian selanjutnya. Dengan demikian, GC-MS akan menjadi alat yang sangat disukai untuk analisis senyawa kimia yang dapat menguap dalam obat bahan alam.
2.5.4.3.2 Gabungan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)-DAD Penggabungan kromatografi cair kinerja tinggi dengan diode aray detection (KCKT-DAD) telah menjadi teknik yang lazim di kebanyakan laboratorium analitik di dunia dewasa ini. Dengan adanya informasi spektrum UV tambahan, analisis kualitatif sampel-sampel yang rumit dalam obat bahan alam ternyata lebih mudah daripada sebelumnya. Sebagai contoh, analisis kualitatif dilakukan dengan memeriksa kemurnian puncak dan membandingkan spektrum standar senyawa kimia yang diketahui dengan spektrum senyawa dalam sampel yang diselidiki. Dengan berkembangnya spektrometri massa elektrospray, penggabungan kromatografi cair dan spektometri massa telah membuka cara baru untuk pemakaian secara luas
pada analisis obat bahan alam. Sidik jari
kromatogafi KCKT dapat digunakan selanjutnya untuk dokumentasi ekstrak herbal lengkap yang mengandung lebih banyak informasi dan analisis kualitatif secara langsung menjadi mungkin untuk dilakukan.
65
2.6 Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) 2.6.1 Tinjauan Botani Daun Dewa Klasifikasi (Davies, 1979, 1980; Bosch, 2004): Superregnum : Eukaryota Regnum
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta (Spermatophyta)
Classis
: Magnoliopsida (Dicotyledonae)
Ordo
: Asterales
Familia
: Asteraceae (Compositae)
Subfamilia
: Asteroideae
Tribus
: Senecioneae
Genus
: Gynura
Species
: Gynura pseudochina (L.) DC.
Sinonim: Gynura segetum (Lour.) Merr. Gynura miniata Welv. Nama Daerah (Depkes RI, 1989): Daun Dewa (Melayu, Jawa Tengah) Beluntas Cina (Sumatera) Sabungai (Filipina) San Qi Cao (Cina) Deskripsi: Tumbuhan daun dewa adalah tumbuhan semak semusim, tingginya 10-25 cm. Batangnya lunak, bulat, berambut halus, warna ungu kehijauan. Daunnya
66
tunggal, bentuk bulat telur, tersebar mengelilingi batang, berbulu lebat, ujung tumpul, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan daun menyirip, permukaan atas hijau, permukaan bawah ungu. Bunganya majemuk berbentuk bongkol, berbulu, tangkai bungan 20 – 30 cm, kelopak hijau berbentuk cawan, mahkota 11,5 cm, benang sari berwarna kuning, bentuk jarum. Buah kecil berwarna coklat. Bijinya berbentuk jarum, panjang ± 0,5 cm, warna coklat. Akarnya membentuk umbi, panjang 5-8 cm, penampang 3-5 cm. Kulit umbi berwarna keabu-abuan, sedangkan daging umbinya tampak bening sampai keruh (Davies, 1979, 1980; Bosch, 2004). Sosok tumbuhan ini diperlihatkan pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Sosok tumbuhan daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) (Koleksi Pribadi) dan herbariumnya (Koleksi Natural History Museum, London, UK, BM000924534) Kegunaan: Di Indononesia, secara tradisional daun dewa digunakan untuk obat demam (antipiretik) (Depkes RI, 1989), kanker, kencing manis, tekanan darah tinggi dan penyakit kulit (obat luar) (Soedibyo, 1998). Selain itu daun dewa juga
67
digunakan untuk pengobatan penyakit ginjal dan ruam-ruam pada muka (Perry, 1980). Di Nigeria, daun dewa digunakan sebagai sayur dan untuk obat demam serta sakit mata. Di Asia daun dewa digunakan untuk mengurangi iritasi kulit yang disebabkan oleh sengatan serangga, jerawat dan memar, dan untuk menyembuhkan skabies dan luka bakar. Daun, batang dan umbi dipercayai mempunyai aktivitas hemostatik, antipiretik dan kekebalan tubuh. Bagian-bagian tumbuhan ini digunakan untuk mengatur haid, mengobati tumor payudara, infeksi herpes dan sakit tenggorokan (Bosch, 2004).
2.6.2 Tinjauan Fitokimia Daun Dewa Hasil penapisan fitokimia daun dewa menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid, flavonoid, tanin, steroid dan triterpenoid (Sajuthi et al. 2000). Pada penelitian lain simplisia daun dewa diekstraksi secara refluks menggunakan pelarut etanol 95%, dilanjutkan dengan fraksinasi ekstrak secara ekstraksi caircair dan pemisahan lebih lanjut secara kromatografi kertas. Satu senyawa golongan flavonoid telah diisolasi dari fraksi ekstrak etanol dan dikarakterisasi secara spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak. Berdasarkan telaah data spektrum ultraviolet-sinar tampak, isolat termasuk flavonol yang tersubstitusi dengan gula pada posisi 3-O dan 7-O serta memiliki gugus hidroksi pada posisi C5, C-3’ dan C-4’. Isolat ini diduga kuersetin 3,7-O-diglikosida (Herwindriandita, 2006). Zaini (2006) melaporkan bahwa komponen bioaktif terhadap larva udang dari daun dewa adalah senyawa golongan flavonoid yang mempunyai gugus fungsi O-H, C=O keton, C=C aromatik dan C-O.
68
Hasil penapisan fitokimia simplisia umbi daun dewa menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid, alkaloid dan flavonoid. Serbuk simplisia umbi daun dewa diekstraksi secara refluks berturut-turut menggunakan n-heksana, etil asetat dan etanol. Ekstrak etil asetat difraksinasi secara kromatografi cair vakum dengan 21 macam komposisi eluen. Isolat dimurnikan secara kromatografi lapis tipis preparatif, kemudian dikarakterisasi menggunakan penampak bercak spesifik, spektrofotometer ultraviolet-sinar tampak dan spektrofotometer inframerah. Dengan demikian diperoleh satu isolat dari fraksi etil asetat, yang merupakan senyawa triterpenoid dengan gugus –OH, -CH2-, -CH3, C=O dan tidak mempunyai ikatan rangkat terkonjugasi (Ayuningsih, 2006). Penelitian sebelumnya menunjukkan, daun dewa mengandung enam jenis alkaloid, tetapi baru empat jenis alkaloid yang dapat diidentifikasi berdasarkan data spektrumnya (Yuan et al., 1990). Keempat alkaloid itu adalah: senecionine, seneciphylline, seneciphyllinine dan seneciphyllinine N-oxide. Sedangkan Fu et al. (2002) menemukan alkaloid pirolizidina (senecionine dan seneciphylline) dalam daun dewa yang digunakan dalam obat herbal Cina. Baru-baru ini, Qi et al. (2009) menemukan 20 jenis senyawa dalam daun dewa, tiga di antaranya adalah alkoloid pirolizidina dan satu alkaloid pirolizina Noksida. Alkaloid pirolizidina itu adalah seneciphylline, senecionine dan seneciphyllinine.
Sedangkan
alkaloid
pirolizidina
N-oksida
adalah
seneciphyllinine N-oxide. Enam belas senyawa lainnya dilaporkan pertama kali terdapat dalam daun dewa dan tetrahydrosenecionine belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai bahan alam. Kadar alkaloid pirolizidina tersebut dapat ditentukan secara bersamaan dengan metode KCKT fase terbalik (Yang et al.,
69
2009), dengan metode kromatografi kapiler elektrokinetik miselar (KKEM) (Qi et al., 2009) dan dengan TLC Scanner (Hutajulu et al., 2009). Pewnim dan Thadaniti (1988) melaporkan kandungan enzim peroksidase dalam daun dewa. Aktivitas enzim peroksidase itu adalah 1.600 unit/mg protein pada akar, 625 unit/mg protein pada batang dan 90 unit/mg protein pada daun dari tumbuhan daun dewa. Selanjutnya Pewnim (1993) membuktikan bahwa enzim peroksidase yang terdapat dalam daun dari tumbuhan daun dewa terdiri atas dua jenis enzim isoperoksidase. Enzim itu dapat dipakai untuk penentuan kadar glukosa. Dengan melakukan fraksinasi, isolasi dan identifikasi ekstrak metanol daun dewa yang dituntun dengan uji antiinflamasi, Siriwatanametanon dan Heinrich (2011) mendapatkan empat senyawa baru yang belum pernah dilaporkan dari tumbuhan ini. Keempat senyawa itu adalah kuersetin-3-rutinosida, asam 3,5di-kafeilkuinat, asam 4,5-di-kafeilkuinat dan asam 5-mono-kafeilkuinat.
2.6.3 Tinjauan Farmakologi Daun Dewa 2.6.3.1 Antikanker Sajuthi et al. (2000) melaporkan bahwa ekstrak heksana dari daun dewa menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap larva udang laut. LC50 ekstrak ini adalah 159,7 ppm yang menunjukkan bahwa ekstrak ini berpeluang sebagai obat anti kanker. Sedangkan ekstrak etanol daun dewa memberikan aktivitas sitotoksik yang dapat menghambat 56% pertumbuhan sel kanker HeLa pada konsentrasi 1.000 ppm dibandingkan dengan kontrol.
70
Selanjutnya, Sajuthi (2001) melaporkan bahwa uji toksisitas ekstrak semi polar dari daun dewa terhadap sel kanker menghasilkan persen penghambatan pada sel HeLa sebesar 3,03 – 42,4%, sel Hep-2 sebesar 20,3 – 24,1% dan pada sel Raji sebesar 5,3 – 25,2%. Sedangkan ekstrak polar pada konsentrasi 250 ppm menghasilkan persen penghambatan pada sel HeLa sebesar 13,3 – 22,7%, sel Hep-2 sebesar 22,2 – 41,7% dan sel Raji sebesar 12,8 – 46,6%. Dengan demikian, fraksi polar ternyata cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel kanker jenis limpoma secara in vitro. Aktivitas antikanker daun dewa juga telah dibuktikan oleh Siriwatanametanon et al. (2010) dengan menggunakan sel HeLa, sel CCRF-CEM leukemia manusia dan sel CEM/ADR5000 multidrug-resistant. Hasil penelitian ini memperkuat dasar penggunaan daun dewa secara tradisional sebagai obat kanker (Mangan, 2003).
2.6.3.2 Obat Luka Novayanti (2009) telah meneliti pengaruh ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.)DC.) terhadap perdarahan dan koagulasi pada tikus putih (Rattus norwegicus L.) jantan strain Wistar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun dewa dapat mempercepat waktu perdarahan, waktu koagulasi dan mampu berfungsi sebagai antiseptik. Ekstrak daun dewa 60% mempercepat waktu perdarahan secara sangat bermakna dengan rata-rata waktu 31 detik, sedangkan ekstrak daun dewa 45% mempercepat waktu koagulasi secara bermakna dengan rata-rata waktu 13 detik. Tingkat kesembuhan tikus membutuhkan waktu rata-rata 10 hari pada setiap perlakuan. Selain itu, perasan
71
daun dewa dapat mempercepat pembekuan darah pada tikus percobaan (Prihanti, 2008).
2.6.3.3 Antikolesterol Abdullah (2005) telah melakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak etanol daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.) terhadap kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol HDL dan serum tikus jantan yang diberi diet tinggi kolesterol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun dewa dapat menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun dewa dapat menaikkan kadar kolesterol HDL. Dengan demikian daun dewa berpotensi sebagai obat untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Selain itu, ekstrak etanol daun dewa dapat menurunkan keparahan aterosklerosis pada burung puyuh yang diinduksi dengan makanan berlemak tinggi (Zerizka, 2009)
2.6.3.4 Penghambat Aktivitas Enzim Lipase Ekstrak kasar daun dewa yang dibuat dengan cara sokletasi memakai metanol sebagai pelarut mengandung senyawa alkaloid. Ekstrak ini dapat menghambat aktivitas enzim lipase yang diperoleh dari bakteri Bacillus subtilis. Kondisi optimum aktivitas enzim lipase pada pH 7, waktu inkubasi 8 menit dan konsentrasi substrat 2,5% dapat dihambat oleh ekstrak kasar daun dewa 60 mg/mL dengan aktivitas 1,25 µmol/mL.menit (Khalifah, 2008).
72
2.6.3.5 Antiinflamasi dan Analgesik Daun dewa yang digunakan sebagai obat tradisional di Thailand telah terbukti
dapat
menunjukkan
efek
antiinflamasi
secara
in
vitro
(Siriwatanametanon, et al., 2011). Namun demikian, efek antiinflamasinya secara in vivo perlu diteliti lebih lanjut untuk memperkuat dasar ilmiah penggunaannya secara tradisional. Infus daun dewa 5% dan 10% dapat menghambat respon rasa nyeri meskipun daya hambatnya tidak sebanding dengan metampiron. Sedangkan infus daun dewa 20% menunjukkan efek analgesik yang setara dengan metampiron. Makin tinggi konsentrasi infus daun dewa, makin tinggi pula hambatan respon rasa nyerinya (Putri, 2006).
2.6.3.6 Antioksidan Daya antioksidan daun dewa telah dibuktikan secara in vitro menggunakan metode DPPH, peroksidasi-lipid dan Folin-Ciocalteau (Siriwatanametanon et al., 2011). Daya antioksidan daun dewa ini dipengaruhi oleh proses pengeringan (Deswati, 2009) dan jenis pelarut yang dipakai untuk ekstraksinya (Mariani, 2010).
2.6.3.7 Penurunan Kadar Asam Urat Darah Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol (Fitria, 2008) dan dekokta (Astari, 2008) daun dewa dapat menurunkan kadar asam urat darah mencit putih jantan yang diinduksi dengan kalium oksonat. Ini memperkuat dasar penggunaan daun dewa sebagai obat tradisional untuk penyakit rematik.
73
2.6.4 Pengawasan Mutu Simplisia dan Ekstrak Daun Dewa Monografi simplisia daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) belum ada dalam Materia Medika Indonesia dan monografi lainnya. Namun demikian, simplisia daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) harus memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Materia Media Indonesia (Depkes RI, 1989). Menurut persyaratan itu simplisia daun sambung nyawa harus mengandung minyak atsiri dan flavonoid, tetapi tidak disebut berapa kadarnya dan bagaimana cara menentukannya. Selain itu, identifikasi simplisia ini dilakukan dengan beberapa uji kimia dan kromatografi lapis tipis. Namun demikian, tidak ada uji yang spesifik untuk simplisia ini, apalagi untuk simpilisia dewa dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Mutu ekstrak daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (BPOM RI, 2004b). Berdasarkan monografi tersebut, ekstrak kental daun sambung nyawa adalah ekstrak yang dibuat dari tumbuhan Gynura procumbens (Lour.) Mer., suku Asteraceae, mengandung flavonoid tidak kurang dari 4%. Ekstrak itu dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%. Satu bagian serbuk kering daun dewa dimasukkan ke dalam maserator, ditambah 10 bagian etanol 70%, direndam selama 6 jam sambil sekali-sekali diaduk. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh ditimbang dan dicatat. Rendemen tidak kurang dari 5,9%.
74
Ekstrak daun sambung nyawa yang memenuhi syarat monografi itu berbentuk kental, warna coklat, bau tidak khas dan rasa agak pahit. Ekstrak itu dikenali dengan kandungan kimianya senyawa flavonoid dengan komponen utama 7-asetil-5-hidroksi-3-metoksi-4’-ribosilflavon. Selain itu, ekstrak ini harus memenuhi parameter nonspesifik, yaitu kadar air tidak lebih dari 10,6%, kadar abu total tidak lebih dari 30,1%, kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 5,6%, residu pestisida fosfor organik dan klor organik tidak lebih dari 5 g/kg, cemaran logam berat Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg dan As tidak lebih dari 10 g/kg, cemaran aflatoksin tidak lebih dari 20 g/kg dan cemaran mikroba: angka lempeng total tidak lebih dari 10 koloni/g, angka kapang/khamir tidak lebih dari 10 koloni/g dan bakteri patogen negatif. Berdasarkan kajian literatur sampai dengan pertengahan tahun 2011, standardisasi mutu ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) belum ada, sedangkan standardisasi ekstrak daun sambung nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.) belum mencakup karakteristiknya dengan profil KLT, KCKT atau KG. Selain itu, standardisasi mutunya belum ada yang mengungkapkan tentang aktivitas biologis, terutama yang berkaitan dengan daya antioksidannya. Walaupun persyaratan kadar flavonoid total telah dinyatakan dalam monografi beberapa ekstrak tumbuhan obat, namun persyaratan kadar senyawa fenolik total belum ada, sedangkan senyawa fenolik ini sangat erat kaitannya dengan daya antioksidannya.
75
2.7 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) 2.7.1 Tinjauan Botani Jambu Biji Klasifikasi tumbuhan jambu biji menurut USDA (2011) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Superdivision : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Division
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Class
: Magnoliosida (dicotyledonae, tumbuhan biji berkeping)
Subclass
: Rosidae
Ordo
: Myrtales
Family
: Myrtaceae
Genus
: Psidium
Species
: Psidium guajava L.
Deskripsi tumbuhan jambu biji adalah sebagai berikut: Tumbuhan jambu biji berupa semak atau pohon, tinggi 3 meter sampai 10 meter, kulit batang halus permukaannya, berwarna coklat dan mudah mengelupas. Daun tunggal, bertangkai pendek, panjang tangkai daun 0,5 cm sampai 1 cm; helai daun berbentuk bundar telur agak menjorong atau bulat memanjang, panjang 5 cm sampai 13 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm; pinggir daun rata agak menggulung ke atas; permukaan atas agak licin, warna hijau kelabu, kelenjar minyak tampak sebagai bintik-bintik yang tembus cahaya; ibu tulang daun dan tulang cabang menonjol pada permukaan bawah, bertulang menyirip, warna putih kehijauan. Perbungaan terdiri dari 1 sampai 3 bunga, panjang gagang perbungaan 2 cm
76
sampai 4 cm, panjang kelopak 7 mm sampai 10 mm, tajuk berbentuk bundar telur sunsang, panjang 1,5 cm sampai 2 cm. Buah bentuk bulat telur, kalau masak berwarna kuning, panjang 5 cm sampai 8,5 cm, berdaging yang menyelimuti bijibiji dan masa berwarna kuning merah jambu (Depkes, 1980). Sosok tumbuhan jambu biji diperlihatkan dalam Gambar 2.18.
Gambar 2.18 Sosok tumbuhan jambu biji
2.7.2 Tinjauan Fitokimia Jambu Biji Kajian fitokimia daun jambu biji menunjukkan bahwa kandungan kimia daun jambu biji dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan senyawa, yaitu: flavonoid, tanin dan isoprenoid (Metwally et al., 2011). 1. Senyawa Flavonoid
77
i.
Kuersetin dan glikosidanya: avikularin, guajaverin, isokuersetin, hiperin, kuersitrin, kuersetin 3-O--D-arabinopiranosida, kuersetin 3-Ogentiobiosida dan kuersetin 4’-glukuronoida.
ii.
Senyawa flavonoid lain meliputi morin-3-O-α-L-liksopiranosida, morin3-O-α-L-arabinopiranosida, kaempferol, luteolin-7-O-glukosida dan apigenin-7-O-glukosida.
2. Senyawa Tanin i.
Amritosida (asam elegat 4-gentiobiosida)
ii.
Guavin A, B, C dan D
iii.
Isostriktinin, striktinin dan pedunkulagin (antidiabetes)
iv.
(+)-galokatekin (antimutagenik)
3. Senyawa Isoprenoid i.
Monoterpen: karyofilen oksoda, -selinen, 1,8-sineol, α-pinen, mirsen, elemen, d-limonen, karyofilen, linalool, eugenol, -bisabolol, -bisabolen, -seskuifelandren, metil 2-metil-tiazolidin-4-(R)-karboksilat (cis dan trans), etil 2-metil-tiazolidin-4-(R)-karboksilat (cis dan trans), aromadendren, αdan -selinen, karyofelen epoksida, karyofiladienol, (e)-nerolidol, selin-11en-4-alfa-ol.
ii.
Terpenoid: asam guavanoat, asam guavakumarat, asam guajanoat, asam ursolat, asam 2α-hidroksiursolat, asam maslinat, asam asiatat, asam jakumarat, asam isoneriukumarat, asam guajavanoat, guajavolida dan asam guavenoat.
2.7.3 Tinjauan Farmakologi Jambu Biji
78
Kajian farmakologis terhadap daun jambu biji membuktikan bahwa daun jambu biji mempunyai berbagai aksi farmasologis. Beberapa aksi farmakologis daun jambu biji yang menonjol adalah sebagai berikut (Metwally et al., 2011; Dutta & Das, 2011): 1. Kerja sebagai obat batuk 2. Aktivitas spasmolitik 3. Aktivitas antibakteri 4. Aktivitas antiamuba 5. Aktivitas antijamur 6. Aktivitas antidiare 7. Aktivitas antisestoda 8. Aktivitas antidiabetik, hipoglikemik dan anti-hiperlipidemik 9. Aktivitas antioksidan 10. Efek kardioprotektif 11. Aktivitas antimutagenik 12. Aktivitas penghambatan enzim retroviral reverse trascriptase 13. Aktivitas penekanan sistem saraf pusat 14. Aktivitas antinosiseptif/analgesik 15. Aktivitas anti-inflamasi 16. Efek pada tekanan darah arteri 17. Aktivitas antiulcer 18. Aktivitas hepatoprotektif
2.8 Tumbuhan Meniran (Phyllanthus niruri L.) 2.8.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Meniran
79
Klasifikasi (Anonim, 2011): Kingdom:
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom:
Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi:
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi:
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas:
Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas:
Rosidae
Ordo:
Euphorbiales
Famili:
Euphorbiaceae
Genus:
Phyllanthus
Spesies:
Phyllanthus niruri L.
Nama umum: Indonesia:
Meniran
Melayu:
Dukung anak
Pilipina:
Sampa sampalukan
Sinonim: Nama lain dari Phyllanthus niruri L. adalah P. urinaria L., P. alatus Bl., P. cantonensis Hornem., P. echinathus Wall., P. lepidocarpus Sieb. et Zuc., P. leptocarpus Weigh, (Dalimarta, 2008). Morfologi: Meniran merupakan tumbuhan terna semusim, tegak, tinggi hingga 1 m. Batang bulat, liat, masif, tidak berbulu, licin, hijau keunguan, diameter ± 3 mm, sering sangat bercabang dengan tangkai dan cabang-cabang hijau keunguan. Daun majemuk berseling, warna hijau, anak daun 15-24 helai, bular
80
telur, tepi rata, pangkal membulat, ujung tumpul, di bawah ibu tulang daun sering terdapat butiran kecil-kecil, menggantung. Bunga tunggal. Daun kelopak berbentuk bintang, mahkota putih kecil. Buah kotak, bulat, hijau keunguan. Biji kecil, keras, bentuk ginjal, coklat tua (Sudarsono et al., 1996). Sosok tumbuhan meniran diperlihatkan dalam Gambar 19.
Gambar 2.19 Sosok tumbuhan meniran (Anonim, 2011)
2.8.2 Tinjauan Kimia Tumbuhan Meniran Khasiat meniran tidak terlepas dari kandungan kimianya. Kandungan kimia tumbuhan meniran dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yakni (Damle et al., 2011): -
Lignan, terdiri dari filantin, hipofilantin, nirantin, nirtetralin, nirfilin, filtetralin, lintetralin, isotetralin, dan filnirurin.
-
Flavonoid, terdiri dari kuersetrin, isokuersetrin, rutin, astragalin, nirurin, dan nirutenin.
81
-
Alkaloid, terdiri dari sekurinin, norsekurinin, filantosida.
-
Steroid, terdiri dari estradiol dan sitosterol.
-
Lipid, terdiri dari asam risinoleat, asam linoleat, asam linolenat, asam detriankontanoat. Meniran mengandung golongan senyawa kimia golongan flavonoid,
antara lain quercetin, quercetrin, isoquercetrin, astragalin, rutin kaemperol-4’rhamnopyranoside,
eriodictyol-7-rhamnopyranoside,
fisetin-4’-O-glicoside,
5,6,7,4’-tetrahydroxy-8-(3-methylbut-2-enyl)-flavonone-5-O-runoside
(nirurin).
Pada akarnya terdapat 3,5,7-trihydroxyflavonl-4”-O--L-(-) rhamnopyranoside; suatu senyawa glikosida flavonoid dengan kaemperol sebagai aglikon dan rhamnosa sebagai bagian glikon. Ikatan glikosida terdapat pada posisi 4 sebagai glikosida flavonoid terdapat pula 5,3’,4;-rihydroxyflavononone-7-O--L(-),
suatu flavonone (eriodictyol); L(-)-rhamnose sebagai bagian gikon. Di
samping itu terdapat senyawa lignan, norsecurinine, securinine, allosecurinine, dan
senyawa alkaloid (entnorsecurinine).
Lignan:
pentamethoxy-4-hydroxy,4’,5-methylendioxylignan,
nirphyllin (3,3’,5,9,9’phyllnirurin
methylendioxy-5’-methoxy-9-hidroxy-4’-7-epoxy-8,3’-neolignan), hypophyllanthin hinikinin,
(tidak
pahit).
(3,4-
isolintetrain,
Nirtetralin, niranthin, phyllanthin (pahit),
ligtetralin, phyllanthostatin A, dan alkaloid dari trans-phytol
(Sudarsono et al., 1996; Bagalkotkar et al., 2006).
2.8.3 Tinjauan Farmakologi Tumbuhan Meniran
82
Meniran merupakan salah satu tumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit yang telah dipakai secara turun temurun. Secara tradisiomal, khasiatnya telah terbukti ampuh mengobati penyakit hepatitis. Selain mengobati lever yang terkena serangan virus hepatitis, meniran juga terkenal sebagai pembangkit libido. Khasiat lainnya adalah peluruh air seni, gangguan saluran pernapasan, kencing manis, diare, demam, penyakit kelamin, dan cacar (Dalimartha, 2008). Penelitian terbaru tentang meniran mengungkapkan bahwa tumbuhan ini bisa membantu mencegah berbagai macam infeksi virus dan bakteri serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Pada intinya, selain berkhasiat sebagai antikanker, meniran juga berkhasiat sebagai imunoterapi atau terapi adjuven mendampingi obat kanker lainnya (Sulaksana, 2004). Meniran berbatang hijau kemerahan (Phyllanthus urinaria) ataupun meniran berbatang hijau pucat (Phyllanthus niruri) mempunyai khasiat yang hampir sama. Secara etnomedisinal, meniran digunakan masyarakat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, meniran telah digunakan secara turuntemurun dan diyakini dapat menyembuhkan penyakit malaria, sariawan, mencret, sampai nyeri ginjal. Bila dicampur dengan pegagan, meniran bisa digunakan untuk mengobati kencing batu. Sementara di Thailand, meniran dimanfaatkan untuk mengobati demam dan sebagai deuretik (Sulaksana, 2004). Dalam pengobatan tradisional India (ayurveda) yang telah digunakan selama lebih dari 2.000 tahun yang lalu, meniran secara luas dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit kuning (jaundice), diabetes, kencing nanah, gangguan menstruasi, serta gangguan pada kulit seperti bengkak dan gatal-gatal. Di India,
83
secangkir rebusan daun meniran diminum untuk mengobati diare. Hal ini mungkin disebabkan oleh daun meniran yang mengandung senyawa-senyawa antibakteri seperti filantin, hipofilantin, nirantin, dan nirtetralin (Sulaksana, 2004). Di Amerika Selatan, meniran digunakan untuk mengatasi oedema, kelebihan asam urat, pengobatan batu ginjal, batu empedu, flu, dan demam. Di samping itu, digunakan juga sebagai deuretik dan infeksi saluran kemih. Orangorang Peru menggunakan meniran untuk menghancurkan dan mengeluarkan batu ginjal dan batu empedu. Hal ini juga dipercaya dapat merangsang poduksi empedu dan meningkatkan fungsi hati serta kandung empedu. Sering juga ditemukan, rebusan meniran yang dicampur dengan air jeruk dipakai sebagai tonikum untuk penderita lever dan diabetes. Selain itu manfaat lain dari meniran adalah mengobati sakit maag, melancarkan air seni, menghancurkan batu ginjal, menghancurkan batu empedu, mengobati sakit malaria, menghilangkan nyeri haid, menurunkan berat badan, menghilangkan jerawat, menyembuhkan sakit gigi, antitusif (pereda batuk), menyembuhkan luka bakar, dan mengobati sakit ayan (Sulaksana, 2004). Kajian farmakologis terhadap herba meniran membuktikan bahwa herba meniran mempunyai berbagai aksi farmasologis. Beberapa aksi farmakologis herba meniran yang menonjol adalah sebagai berikut (Damle et al., 2011): 1. Efek hepatoprotektif 2. Penghambatan replikasi HIV (Human Immunodeficiency Virus) 3. Aktivitas penurunan kadar lipid serum darah 4. Aktivitas antidiabetik 5. Aktivitas antimalaria
84
6. Aktivitas terhadap nyamuk filarial (Culex quinquefasciatus) 7. Aktivitas antispasmodik 8. Aktivitas analgesik 9. Penghambatan penyimpangan kromosom
85
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi, Laboratorium Sentral Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Laboratorium Biota Sumatera Universitas Andalas, Laboratorium Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Padang, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Serpong. Penelitian ini telah dilakukan selama tiga tahun sejak April 2008 sampai dengan Maret 2011
3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pereaksi Folin-Ciocalteau 2. 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH) 3. Rutin 4. Quercetin 5. Katekin 6. Asam galat 7. Metanol 8. Etanol 9. Aseton 10. Asetonitril Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Shimadzu UV/Vis Spectrophotometer 1240
86
2. Perkin Elmer FT-IR Spectrophotometer 3. Shimadzu LC-10A/10Avp High Performance Liquid Chromatography 4. System Controller SCL-10 Avp for Shimadzu HPLC 5. Software Shimadzu LC Workstation CLASS-VP Obat bahan alam yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) 2. Herba meniran (Phyllanthus niruri L.) 3. Daun jambu biji (Psidium guajava L.) Obat bahan alam itu dikumpulkan dari berbagai daerah di Sumatera Barat, spesimen masing-masing tumbuhan itu akan diidentifikasi berdasarkan literatur dan dengan bantuan Herbarium Universitas Andalas. Spesimen HR01 (daun dewa), HR02 (jambu biji) dan HR03 (herba meniran) diisimpan di Laboratorium Sentral Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penentuan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam 1. Bahan tumbuhan obat dikumpulkan dari lapangan dan disimpan dalam kantong plastik selama perjalanan ke laboratorium untuk mempertahankan kesegarannya 2. Bahan tumbuhan obat segar itu dipisahkan menjadi empat kelompok. 3. Masing-masing kelompok diberi perlakuan sebagai berikut:
87
a. Kelompok 1 dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di dalam ruangan bersirkulasi udara yang baik, kemudian ditimbang. Pengeringan dilanjutkan sampai bobotnya konstan (lebih kurang seminggu). b. Kelompok 2 dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan sampai suhu kamar. Pengeringan dan penimbangan diulangi setiap jam sampai bobotnya konstan (lebih kurang 9 jam). c. Kelompok 3 dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang setelah didinginkan sampai suhu kamar. Pengeringan dan penimbanan diulangi setiap jam sampai bobotnya konstan (lebih kurang 6 jam). d. Kelompok 4 dikeringkan dalam oven microwave pada suhu ± 40 o
C selama 1 menit, kemudian ditimbang setelah didinginkan
sampai suhu kamar. Pengeringan dan penimbangan diulangi setiap menit sampai bobot konstan (lebih kurang 5 menit). 4. Masing masing kelompok diekstraksi dengan cara merendam sebanyak 5 g serbuk kering tumbuhan obat tersebut dalam 50 ml larutan etanol 50 % selama 24 jam sambil sekali-sekali diaduk, kemudian disaring dan ulangi ekstraksi beberapa kali dengan 50 ml larutan etanol 50 % sampai filtrat terakhir tidak berwarna lagi. Kumpulkan hasil saringan dan uapkan dengan penguap putar pada suhu < 50 oC sampai kental. 5. Masing-masing ekstrak kental dilarutkan dalam campuran metanol-air (1:1) dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif (rendemen) dengan cara pada bagian 3.3.4, kadar senyawa fenolat total
88
dengan cara pada bagian 3.3.5 dan aktivitas antioksidan dengan cara pada bagian 3.3.6. 6. Prosedur 1 sampai 5 diulangi dua kali lagi untuk ketiga jenis tumbuhan obat yang diteliti.
3.3.2 Penentuan pengaruh pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam 1.
Bahan tumbuhan obat dikeringkan dengan pengeringan yang paling cocok sesuai dengan percobaan optimasi pengeringan di atas.
2.
Bahan tumbuhan obat kering dibagi menjadi tiga kelompok, masingmasing ditimbang seksama sebanyak 5 g dan diekstraksi dengan cara seperti di atas, dengan mengganti pelarutnya sebagai berikut: a. Kelompok 1 dengan pelarut etanol 50 % b. Kelompok 2 dengan pelarut metanol 50 % c. Kelompok 3 dengan pelarut aseton 50%
3.
Masing-masing ekstrak dilarutkan dalam campuran metanol-air (1:1) dalam labu ukur 10 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif (rendemen), kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidannya.
4.
Prosedur 1 sampai 3 diulangi dua kali lagi.
5.
Jenis pelarut yang optimal dioptimasi lagi dengan memvariasikan konsentrasi pelarut ekstraksi untuk mendapatkan perbandingan pelarut dan air yang optimum.
89
3.3.3 Penentuan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam 1. Bahan tumbuhan obat yang telah dikeringkan dengan cara pengeringan yang cocok, ditimbang seksama sebanyak 5 gram, diekstraksi dengan empat cara ekstraksi menggunakan pelarut yang paling cocok sesuai percobaan di atas: a. Ekstraksi dengan cara maserasi dengan 50 mL pelarut yang cocok selama 24 jam dan setelah disaring, ampasnya dimaserasi lagi beberapa kali dengan pelarut baru sampai maserat terakhir tidak bersisa bila diuapkan. b. Ekstraksi dengan cara perkolasi dengan pelarut yang cocok sampai perkolat terakhir tidak bersisa lagi bila diuapkan. c. Ekstraksi dengan cara refluks dengan pelarut yang cocok selama satu jam dan setelah disaring, ampasnya direfluks lagi dengan pelarut baru sampai ekstrak terakhir tidak bersisa lagi bila diuapkan. d. Ekstraksi dengan cara sokletasi sampai tetesan terakhir tidak berwarna 2. Masing-masing ekstrak diuapkan dengan penguap putar pada suhu < 50 oC sampai kental. 3. Masing-masing ekstrak kental dilarutkan dalam campuran metanol-air (1:1) dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditentukan kadar ekstraktif (rendemen), kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidannya.
90
4. Prosedur 1 sampai 3 diulangi dua kali lagi.
3.3.4 Penentuan kadar ekstraktif (rendemen) Penentuan kadar ekstraktif (rendeman) ekstrak yang diperoleh dengan berbagai cara di atas dilakukan menurut metode WHO (1998) sebagai berikut: 1. Larutan ekstrak yang telah disiapkan dengan cara-cara di atas dipipet sebanyak 10 mL ke dalam piring penguap yang telah ditara. 2. Pelarutnya diuapkan di atas pengas air sampai kering. 3. Sisa pengeringan itu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 OC selama 6 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu segera ditimbang. 4. Kadar ekstraktif (rendemen) dihitung dalam satuan mg per g simplisia kering.
3.3.5 Penentuan kadar senyawa fenolat total Senyawa fenolat total dalam larutan sampel ditentukan dengan pereaksi Folin-Ciocalteau menggunakan prosedur Pourmorad et al. (2006) dengan modifikasi sebagai berikut: 1. Larutan encer masing-masing ekstrak tumbuhan obat (0,5 ml ekstrak 1:10 g/mL) atau larutan asam galat (senyawa fenolat standar) dicampur dengan pereaksi Folin-Ciocalteau (5 mL, diencerkan 1:10 dengan air suling) dan larutan natrium karbonat (4 mL, 1 M)
91
2. Campuran di atas dibiarkan selama 15 menit dan kadar senyawa fenolat total ditentukan dengan mengukur serapan pada 765 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. 3. Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan asam galat dengan konsentrasi 0; 50; 100; 150; 200; 250 mg/L dalam metanol:air (1:1) 4. Kadar senyawa fenolat total dinyatakan sebagai setara asam galat (mg/g massa kering atau segar)
3.3.6 Penentuan aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan metode DPPH yang digunakan oleh Mosquera et al. (2007) dengan modifikasi sebagai berikut: 1. Masing-masing ekstrak encer tumbuhan obat sebanyak 1 mL dicampur dengan 2 mL larutan DPPH (20 mg/L) yang baru dibuat. 2. Masing-masing campuran itu dikocok dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar di tempat gelap 3. Kemudian serapan masing-masing campuran itu diukur pada panjang gelombang 517 nm dengan spektrofotometer UV-Vis 4. Sebagai blanko, digunakan larutan yang dibuat dengan mencampurkan 1 mL metanol-air (1:1) dengan 2 ml larutan DPPH (20 mg/L) 5. Untuk meniadakan serapan ekstrak pada panjang gelombang ini, sampel blanko dibuat dengan mencampurkan 1 ml ekstrak dengan 2 ml metanolair (1:1).
92
6. Persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Aktivitas Antioksidan(%)
Akontrol Aekstrak x100% Akontrol
Di sini Akontrol adalah serapan larutan DPPH tanpa ekstrak, Aekstrak adalah serapan ekstrak uji yang sama dengan serapan ekstrak tumbuhan obat + DPPH dikurangi dengan serapan ekstrak blanko tanpa DPPH 7. Nilai IC50 ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan mengukur persentase aktivitas antioksidan larutan ekstrak tumbuhan dengan konsentrasi 100, 50, 25, 12,5 dan 6,76 mg/mL melalui analisis regresi linear
3.3.7 Penentuan pola kromatogram kromatografi lapis tipis (KLT) beberapa ekstrak tumbuhan obat Pola kromatogram kromatografi lapis tipis ekstrak tumbuhan obat ditentukan dengan prosedur yang digunakan oleh Hu et al. (2005) dengan modifikasi sebagai berikut: 1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah dioptimasi pada percobaan terdahulu, kemudian difraksinasi berturut-turut dengan petroleun eter, kloroform dan metanol untuk memisahkan komponen kimia berdasarkan tingkat kepolarannya, mulai dari yang nonpolar, semipolar sampai polar. 2. Masing-masing fraksi dipekatkan dan kemudian dilarutkan dalam kloroform sampai 50 mL. 3. Plat KLT silica gel 60 F254 10 x 10 cm (Merck) dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 30 menit
93
4. Larutan uji (10 µL) yang berupa larutan fraksi petroleum eter, fraksi kloroform dan fraksi metanol dalam kloroform, larutan zat pembanding dalam kloroform ditotolkan pada plat KLT. 5. Kemudian plat dikembangkan dalam chamber yang dijenuhkan terlebih dahulu dengan fase gerak 6. Fasa gerak yang digunakan dioptimasi dengan memvariasikan campuran heksana-etilasetat dan campuran petroleum eter-aseton. 7. Setelah fase gerak mencapai 9 cm, plat dikeringkan di udara dan bercak dilihat di bawah sinar ultraviolet (254 nm) 8. Kemudian plat disemprot dengan larutan H2SO4 5 % dalam metanol, dipanaskan pada 110 oC selama 10 menit dan dilihat di bawah sinar ultraviolet.
3.3.8 Penentuan sidik jari fourir transform infra red (FTIR) beberapa ekstrak tumbuhan obat Sidik jari FTIR ditentukan dengan prosedur yang dipakai oleh Liu et al. (2006) dengan modifikasi sebagai berikut: 1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah dioptimasi pada percobaan terdahulu, kemudian difraksinasi berturut-turut dengan petroleum eter, kloroform dan metanol. 2. Masing-masing fraksi diuapkan pelarutnya dan dikeringkan-bekukan, kemudian masing-masing sampel sebanyak 2 mg dicampur dengan 100 mg KBr lalu dikempa menjadi pellet. 3. Masing-masing pellet sampel diukur spektrumnya dengan spektrometer FTIR pada bilangan gelombang 400 – 4000 cm-1.
94
3.3.9 Penentuan pola kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) beberapa ekstrak tumbuhan obat Pola kromatogram KCKT ditentukan dengan prosedur yang dipakai oleh Chaudary et al. (2007) dengan modifikasi sebagai berikut: 1. Larutan ekstrak encer tumbuhan obat dibuat dengan cara yang telah dioptimasi pada percobaan terdahulu (cara refluks dengan campuran metanol-air (70:30) , kemudian difraksinasi berturut-turut dengan heksana, etil asetat, butanol dan air. 2. Masing-masing fraksi diuapkan pelarutnya dan dilarutkan kembali dalam metanol sampai 50 mL, kemudian disaring melalui filter 0,45 µm ke dalam vial kromatografi, kemudian 20 µL larutan ekstrak diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi 3. Sistem kromatografi yang digunakan terdiri dari Shimadzu LC-10ATVP dan SPD-M10AVP detector 4. Pemisahan kromatografi cair dilakukan pada kolom Kromasil-C18 (5 µm, 4,6 x 250 mm) pada suhu kamar 5. Data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan perangkat lunak Shimadzu Class-VP 6.12 6. Pelarut yang digunakan dioptimasi dengan memvariasikan campuran asetonitril-air, metanol-air dan metanol-asam asetat 1% dalam berbagai perbandingan. 7. Laju alir fase mobil adalah 1 mL/menit 8. Panjang gelombang deteksi diatur pada 210, 254, 300 dan 360 nm.
95
9. Larutan rutin, kuersetin dan isokuersetin 1 mg/mL digunakan sebagai sebagai standar pembanding
3.3.10 Isolasi senyawa antioksidan sebagai penanda dalam pengawasan mutu ekstrak daun dewa Penyiapan sampel bahan tumbuhan Daun dewa segar sebanyak 1 kilogram, dicuci dengan air sampai bersih lalu dikering-anginkan pada suhu kamar. Pengeringan ini dilakukan sampai daun dewa menjadi kering (kadar air kurang dari 10 %). Setelah kering, daun dewa digiling dengan blender menjadi serbuk kasar. Ekstraksi dan pengujian daya antioksidan ekstrak Sebanyak 100 g serbuk daun dewa kering diekstraksi dengan cara refluks berturut dengan n-heksana, kloroform dan metanol. Masing-masing ekstrak diuapkan dengan penguap putar sampai diperoleh ekstrak kental. Masing-masing ekstrak kental diuji daya antioksidannya dengan menggunakan metode DPPH (Mosquera et al., 2009). Isolasi dan pengujian daya antioksidan isolat Ekstrak yang mempunyai daya antioksidan yang tinggi diidentifikasi dan diisolasi dengan menggunakan kromatografi kertas dua arah dan kromatografi kertas preparatif. Masing-masing isolat diuji daya antioksidannya dengan menggunakan metode DPPH (Mosquera et al., 2009). Identifikasi isolat yang aktif sebagai antioksidan Isolat yang mempunyai daya antioksidan tinggi dimurnikan dengan cara rekristalisasi menggunakan metanol panas. Kemurnian isolat tersebut diuji dengan
96
KLT pada plat silica F254 dengan fase gerak campuran heksan-etil asetat (7:3) dan noda dilihat di bawah sinar UV 254 dan 366 nm, setelah itu disemprot dengan larutan asam sufat pekat 5% dalam metanol dan nodanya dilihat di bawah sinar tampak. Karakterisasi kimia dari isolat yang aktif sebagai antioksidan dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, FT-IR, LC-MS, 1H-NMR dan 13
C-NMR.
97
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Validasi metode analisis senyawa fenolat total Pengukuran kadar senyawa fenolat total dalam beberapa tumbuhan obat segar dan yang telah dikeringkan dilakukan dengan menggunakan pereaksi FolinCiocalteau yang telah digunakan sebelumnya oleh Pourmorad et al. (2006) untuk penentuan kadar senyawa fenolat dalam tumbuhan obat di Iran. Agar metode itu dapat dipakai dalam penelitian ini, unjuk kerja dan validasi metode tersebut harus dievaluasi terlebih dahulu karena sampel yang dipakainya berbeda dari yang dipakai dalam penelitian ini. Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi metode analisis disebut figures of merit (Mitra dan Brukh, 2003). Hasil evaluasi dan validasi metode tersebut menunjukkan persamaan regresi hubungan antara absorban (y) dan konsentrasi senyawa fenolat (x) sebagai y = 0,0158 + 0,0064 x, dengan koefisien korelasi R = 0,9967, koefisien determinasi R2 = 0,9934, rentang linearitas 25 – 125 µg/mL, batas deteksi 11,172 µg/mL, batas kuantisasi 37,240 µg/mL, perolehan kembali 97% dan simpangan baku relatif 0,24% (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa metode analisis untuk menentukan kadar senyawa fenolat secara spektrofotometri dengan pereaksi Folin-Ciocalteau mempunyai ketepatan dan ketelitian yang tinggi sesuai dengan batas-batas unjuk kerja yang baik (Harmita, 2004). Pengolahan data dengan analisis regresi linear memakai Microsoft Excel 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.
98
Tabel 4.1 Hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm. Konsentrasi (mcg/mL) 25 50 75 100 125
Absorban 0,200 0,311 0,476 0,665 0,821
0.9 y = 0,0158 + 0,0064x R² = 0,9934
0.8
Serapan
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0
50
100
150
Kadar Asam Galat (µg/mL) Gambar 4.1 Kurva kalibrasi hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm.
4.2 Pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat alam bahan Tabel 4.2 memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Cara pengeringan kelihatannya mempunyai kecenderungan yang sama dalam
99
mempengaruhi perolehan kadar zat tersari. Pengeringan daun dewa dengan cara kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan cara kering oven dan kering microwave (Hasil pengolahan data dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 3). Kadar zat tersari yang paling tinggi diperoleh dengan pengeringan memakai oven microwave.
Namun
demikian, kadar zat tersari yang tinggi belum tentu juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan.
Tabel 4.2 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara Jenis Sampel Cara Pengeringan Daun Dewa
Kering Angin Rata-rata ± SD Kering Oven 40 oC Rata-rata ± SD Kering Oven 60 oC Rata-rata ± SD Kering Oven Microwave Rata-rata ± SD
184,4 185,1 184,8 184,8 ± 0,4a 207,9 208,6 209,1 208,5 ± 0,6b 194,6 195,2 194,9 194,9 ± 0,3c 332,8 334,7 333,8 333,8 ± 0,9d
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
120,1 119,9 120,2 120,1 ± 0,2a 150,3 149,9 150,4 150,2 ± 0,3b 165,4 165,7 165,0 165,4 ± 0,4c
194,9 195,1 194,9 195,0 ± 0,1a 202,2 202,0 202,3 202,1 ± 0,1b 162,9 163,0 162,7 162,9 ± 0,1c
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai ratarata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengeringan daun dewa dengan oven microwave memberikan kadar zat tersari yang jauh lebih tinggi (Tabel 4.2). Namun demikian pengeringan dengan oven microwave tidak praktis karena sulitnya menentukan lama pengeringan yang
100
tepat. Pengeringan yang terlalu lama akan menyebabkan simplisia menjadi terlalu kering dan malahan bisa hangus. Oleh karena itu, percobaan pengeringan tumbuhan obat lain dengan oven microwave tidak dilanjutkan. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa, selain pengeringan dengan microwave, pengeringan daun dewa dengan oven pada suhu 40 oC memberikan kadar zat tersari yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan diangin-anginkan atau oven 60 oC. Dengan pengeringan pada 40 oC dapat diperoleh zat tersari yang lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat (BPOM RI, 2006).
Hasil penelitian ini dipertegas oleh laporan sebelumnya
dalam literatur bahwa pengeringan dengan oven 40 oC lebih menguntungkan daripada pengeringan dengan cara lain (Mahanom, et al., 1999). Tabel 4.2 juga memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari daun jambu biji setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Cara pengeringan kelihatannya mempunyai kecenderungan yang sama dalam mempengaruhi perolehan kadar zat tersari. Pengeringan daun jambu biji dengan cara kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan cara kering oven (Hasil pengolahan data dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 4). Kadar zat tersari yang paling tinggi diperoleh dengan pengeringan memakai oven pada suhu 60 oC. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC memberikan kadar zat tersari yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan diangin-anginkan atau oven 40 oC. Dengan pengeringan pada 60 oC dapat diperoleh zat tersari yang lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat (BPOM RI, 2006).
Namun demikian, kadar zat
101
tersari yang tinggi belum tentu juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan. Tabel 4.2 juga memperlihatkan kadar zat tersari yang diperoleh dari herba meniran setelah dikeringkan dengan berbagai cara. Pengeringan herba meniran dengan cara kering angin menyebabkan penurunan kadar zat tersari yang nyata (p < 0,05) dibandingkan dengan cara kering oven 40 oC (Hasil pengolahan data dengan SPSS dapat dilihat pada Lampiran 5). Kadar zat tersari yang paling tinggi diperoleh dengan pengeringan herba meniran memakai oven pada suhu 40 oC. Dengan pengeringan memakai oven pada 40 oC dapat diperoleh zat tersari yang lebih banyak karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat (BPOM RI, 2006).
Namun demikian, kadar zat tersari yang tinggi belum tentu
juga menunjukkan kadar zat aktif yang tinggi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan parameter lain yang dipengaruhi oleh cara pengeringan, seperti kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan. Tabel 4.3 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan oven pada suhu 40 oC, 60 oC dan oven microwave. Sedangkan pengeringan daun dewa dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan senyawa fenolat yang sama rendah dengan pengeringan memakai oven microwave (p < 0,05; lihat Lampiran 6). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang tinggi, daun dewa harus dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Hal ini sesuai dengan cara
102
pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah menguap.
Tabel 4.3 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara Jenis Sampel Cara Pengeringan
Kering Angin Rata-rata ± SD Kering Oven 40 oC Rata-rata ± SD Kering Oven 60 oC Rata-rata ± SD Kering Oven Microwave Rata-rata ± SD
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
0,4007 0,3987 0,4124 0,4039 ± 0,0074a 0,2913 0,3019 0,2854 0,2929 ± 0,0084b 0,1624 0,1711 0,1605 0,1647 ± 0,0057c 0,1673 0,1702 0,1655 0,1677 ± 0,0024c
0,4140 0,4251 0,3992 0,4128 ± 0,0130a 0,4536 0,4601 0,4514 0,4550 ± 0,0045b 0,4189 0,4201 0,4184 0,4191 ± 0,0209a
0,0975 0,1016 0,0966 0,0986 ± 0,0027a 0,1014 0,0987 0,1021 0,1007 ± 0,0018a 0,0814 0,0855 0,0808 0,0826 ± 0,0026b
Keterangan: Kadar senyawa fenolat dihitung dalam satuan % berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Tabel 4.3 juga memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun jambu biji. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan angin dan oven pada suhu 60 oC (p < 0,05; lihat Lampiran 7). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang tinggi, daun jambu biji harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 o
C. Hal ini sesuai dengan cara pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI
103
(2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah menguap. Pada Tabel 4.3 memperlihatkan pula pengaruh cara pengeringan terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari herba meniran. Pengeringan herba meniran dengan cara oven 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat total yang lebih tinggi daripada pengeringan dengan oven pada suhu 60 oC, tetapi tidak berbeda nyata dengan pengeringan dengan diangin-anginkan (p < 0,05; lihat Lampiran 8). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang tinggi, herba meniran harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 oC atau diangin-anginkan saja. Hal ini sesuai dengan cara pengeringan yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006) untuk pengeringan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun dan sebagainya atau yang mengandung senyawa aktif mudah menguap. Tabel 4.4 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa. Aktivitas antioksidan daun dewa dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat dalam daun dewa yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Kelihatannya cara pengeringan tidak banyaknya pengaruhnya terhadap daya antioksidan daun dewa. Namun demikian, pengeringan daun dewa dengan kering angin dan kering oven pada suhu 60 oC memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan simplisia daun dewa yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi harus dikeringkan dengan mengangin-anginkan. Hal ini juga sesuai dengan cara pengeringan
104
simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006). Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al., 2003).
Tabel 4.4 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun dewa yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat Cara Pengeringan Kering Oven Kering Oven 40 oC 60 oC 32,01 33,58
Kadar (µg/mL)
Asam galat (pembanding)
Kering Angin
1
42,94
33,33
2
57,77
41,06
39,98
41,67
32,85
3
72,46
50,60
47,10
50,00
44,81
4
84,60
57,73
55,07
58,45
58,70
5
92,66
65,58
63,65
66,67
70,77
IC50
1,409
3,042
3,312
2,991
3,345
Kering Microwave 21,38
Tabel 4.5 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas antioksidan dari daun jambu biji. Aktivitas antioksidan daun jambu biji dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Pengeringan daun jambu biji dengan kering angin memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan simplisia daun jambu biji yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi harus dikeringkan dengan mengangin-anginkan. Hal ini juga sesuai dengan cara pengeringan simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006). Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al., 2003).
105
Tabel 4.5 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun jambu biji yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat Cara Pengeringan Kering Oven Kering Angin 40 oC
Kadar (µg/mL)
Asam galat (pembanding)
1
42,94
35,31
33,06
31,56
2
57,77
42,04
40,99
39,65
3
72,46
52,58
48,11
48,08
4
84,60
59,71
56,08
56,43
5
92,66
67,56
64,66
64,63
IC50
1,409
2,825
3,181
3,233
Kering Oven 60 oC
Tabel 4.6 memperlihatkan pengaruh cara pengeringan terhadap aktivitas antioksidan dari herba meniran. Aktivitas antioksidan herba meniran dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat dalam herba meniran yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Pengeringan herba meniran dengan kering oven pada suhu 40 oC memberikan persen inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara pengeringan lainnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan simplisia herba meniran yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi harus dikeringkan dengan oven pada suhu 40 oC. Hal ini juga sesuai dengan cara pengeringan simplisia daun yang dianjurkan oleh BPOM RI (2006). Selain itu, jumlah dan komposisi ekstrak yang diperoleh dari bahan herbal dipengaruhi oleh cara pengeringan bahan awal herbal tersebut (Gaedcke, et al., 2003).
Tabel 4.6
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang dikeringkan dengan berbagai cara dan pembanding asam galat
106
Cara Pengeringan Kering Oven Kering Angin 40 oC
Kadar (µg/mL)
Asam galat (pembanding)
1
42,94
29,58
48,55
37,43
2
57,77
36,59
53,50
44,68
3
72,46
42,02
57,60
53,98
4
84,60
50,25
65,21
57,24
5
92,66
56,64
71,73
65,10
IC50
1,409
4,030
1,395
2,752
Kering Oven 60 oC
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering angin dan untuk mendapat daya antioksidan tertinggi tidak banyak dipengaruhi oleh cara pengeringan. Pengeringan daun dewa dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 208,5 ± 0,6 mg/g. Pengeringan daun dewa dengan cara diangin-anginkan menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4039 ± 0,0074% dan daya antioksidan IC50 3,042 µg/mL. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk mendapat daya antioksidan tertinggi adalah dengan kering angin. Pengeringan daun jambu biji dengan oven pada suhu 60 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 165,4 ± 0,4 mg/g. Pengeringan daun jambu biji dengan cara oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar senyawa fenolat sebesar 0,4550 ± 0,0045%. Pengeringan
107
daun jambu biji dengan diangin-anginkan menghasilkan daya antioksidan IC50 2,825 µg/mL. Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC. Pengeringan herba meniran dengan oven pada suhu 40 oC menghasilkan kadar zat tersari sebesar 202,1 ± 0,1 mg/g, kadar senyawa fenolat sebesar 0,1007 ± 0,0018% dan daya antioksidan IC50 1,395 µg/mL.
4.3 Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat alam bahan Tabel 4.7 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Pelarut metanol, etanol dan aseton memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peroleh kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa metanol mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap peroleh kadar zat tersari, diikuti oleh etanol dan aseton (lihat Lampiran 9, 10 dan 11). Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kepolaran pelarut. Metanol mempunyai kepolaran yang paling tinggi di antara ketiga pelarut tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Bauer (1998) yang menemukan bahwa metanol merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi bunga kamil.
Tabel 4.7 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
108
Jenis Sampel Jenis Pelarut
Metanol Rata-rata ± SD Etanol Rata-rata ± SD Aseton Rata-rata ± SD
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
239,1 240,2 239,0 239,4 ± 0,7a 184,8 185,2 184,7 184,9 ± 0,3b 178,5 178,0 178,6 178,4 ± 0,3c
182,0 182,0 181,5 181,8 ± 0,3a 120,1 119,9 120,2 120,1 ± 0,2b 140,3 140,0 140,4 140,2 ± 0,2a
209,1 209,0 209,3 209,1 ± 0,2a 194,9 195,1 194,9 195,0 ± 0,1a 192,2 192,0 192,3 192,1 ± 0,1b
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai ratarata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Tabel 4.8 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Pelarut metanol, etanol dan aseton mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa metanol mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat, diikuti oleh etanol dan aseton (lihat Lampiran 12, 13 dan 14). Perbedaan ini disebabkan oleh tingkat kepolaran pelarut. Metanol mempunyai kepolaran yang paling tinggi di antara ketiga pelarut tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Bauer (1998) yang menemukan bahwa metanol merupakan pelarut terbaik untuk ekstraksi bunga kamil.
Tabel 4.8
Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut
Jenis Pelarut
Jenis Sampel
109
Metanol Rata-rata ± SD Etanol Rata-rata ± SD Aseton Rata-rata ± SD
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
0,7512 0,7589 0,7520 0,7540 ± 0,0042a 0,4007 0,3987 0,4124 0,4029 ± 0,0074b 0,2902 0,3008 0,2954 0,2955 ± 0,0053c
0,4931 0,5002 0,4913 0,4949 ± 0,0047a 0,4140 0,4251 0,3992 0,4128 ± 0,0130b 0,4525 0,4585 0,4503 0,4538 ± 0,0042a
0,4930 0,4937 0,5124 0,4997 ± 0,0110a 0,0975 0,1016 0,0966 0,0986 ± 0,0027a 0,1014 0,0987 0.1021 0,1007 ± 0,0018b
Keterangan: Kadar fenolat dihitung dalam satuan persen berat kering, nilai ratarata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Tabel 4.9 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa. Aktivitas antioksidan daun dewa dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat dalam daun dewa yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Daun dewa yang diekstraksi dengan pelarut metanol menunjukkan daya antioksidan yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut etanol dan aseton. Hal ini disebabkan oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa golongan flavonoid yang terekstraksi dengan metanol (Bauer, 1998). Tabel 4.9
Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun dewa yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut Jenis Pelarut
Kadar (µg/mL)
Asam galat
1
Metanol
Etanol
Aseton
42,94
25,22
33,33
21,38
2
57,77
38,79
41,06
28,94
3
72,46
55,82
50,60
47,37
4
84,60
69,78
57,73
62,09
5
92,66
74,01
65,58
73,65
IC50
1,409
2,788
3,042
3,241
110
Tabel 4.10 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun jambu biji. Aktivitas antioksidan daun jambu biji dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Daun jambu biji yang diekstraksi dengan pelarut etanol menunjukkan daya antioksidan yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut metanol dan aseton. Hal ini disebabkan oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa golongan flavonoid yang terekstraksi dengan etanol.
Tabel 4.10 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari daun jambu biji yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut Jenis Pelarut Kadar (µg/mL)
Asam galat
1
Metanol
Etanol
Aseton
42,94
26,72
35,31
30,06
2
57,77
33,48
42,04
37,99
3
72,46
42,54
52,58
45,11
4
84,60
49,90
59,71
51,08
5
92,66
58,03
67,56
59,66
IC50
1,409
3,995
2,825
3,722
Tabel 4.11 memperlihatkan pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari herba meniran. Aktivitas antioksidan herba meniran dihitung sebagai persentase penghambatan radikal bebas DPPH oleh senyawa fenolat yang terdapat dalam daun jambu biji yang dihitung sebagai kadar sampel yang setara dengan jumlah µg asam galat dalam setiap mL larutan sampel. Herba meniran yang diekstraksi dengan pelarut metanol menunjukkan daya antioksidan yang tertinggi dibandingkan dengan pelarut etanol dan aseton. Hal ini disebabkan oleh banyaknya senyawa fenolat yang bersifat antioksidan seperti senyawa golongan flavonoid yang terekstraksi dengan metanol (Bauer, 1998).
111
Tabel 4.11 Daya antioksidan (% Inhibisi DPPH) dan IC50 (µg/mL) dari herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai jenis pelarut Jenis Pelarut Kadar (µg/mL)
Asam galat
1
Metanol
Etanol
Aseton
42,94
31,56
29,58
28,55
2
57,77
38,18
36,59
33,50
3
72,46
46,15
42,02
47,60
4
84,60
54,97
50,25
55,21
5
92,66
62,46
56,64
61,73
IC50
1,409
3,424
4,030
3,532
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g, masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%, 0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut metanol.
4.4 Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam Tabel 4.12 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
112
Perbandingan metanol-air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa perbandingan metanol-air 60:40 mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap peroleh kadar zat tersari, diikuti oleh perbandingan metanol-air 70:30, 80:20, 50:50, 100:0 dan 40:60. Pengaruh
perbandingan
metanol-air
terhadap
kadar
zat
tersari
diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa daun dewa menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 70:30, sedangan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 50:50 dan herba meniran dengan metanol 60:40. Secara menyeluruh, campuran metanol-air antara 50:50 sampai 70:30 merupakan pelarut yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari yang optimum dari ketiga tumbuhan obat tersebut. Adanya air yang cukup dalam pelarut ekstraksi diperlukan agar pelarut dapat merembes ke dalam sel tumbuhan obat sehingga dapat melarutkan komponen-komponen aktif dari tumbuhan obat tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Fenomena seperti ini juga telah dibuktikan oleh Bauer (1998) dalam mengekstraksi bunga kamil dengan pelarut metanol.
Tabel 4.12 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air Perbandingan Metanolair 100:0 rata-rata SD 80:20
Jenis Sampel Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
220,6
85,7
184,3
218,5
86,0
181,5
219,4
81,2
180,1
219,5a
84,3a
182,0a
1,1
2,7
2,1
241,1
87,1
220,6
240,8
84,5
221,0
113
rata-rata
240,9
87,1
218,7
240,9b
86,2b
220,1b
SD
0,2
1,5
1,2
266,5
93,4
242,1
265,4
94,4
248,9
266,3
92,0
250,1
rata-rata
266,1c
93,3c
247,0c
SD
0,6
1,2
4,3
250,1
117,4
265,9
249,7
113,6
263,1
249,5
116,4
267,1
rata-rata
249,8d
115,8d
265,4d
SD
0,3
2,0
2,1
184,8
120,5
192,2
185,2
118,7
195,4
184,7
120,4
194,5
184,9e
119,9e
194,0e
70:30
60:40
50:50 rata-rata SD
0,3
1,0
1,7
126,8
108,6
116,8
40:60
125,7
107,4
114,7
126,5
110,7
117,1
rata-rata
126,3f
108,9f
116,2f
SD
0,6
1,7
1,3
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai ratarata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
300
Kadar zat tersari (mg/g)
250 200 Daun Dewa 150
Daun Jambu Biji Herba Meniran
100 50 0 100:0
80:20
70:30
60:40
50:50
40:60
Perbandingan Metanol-Air
Gambar 4.2 Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
114
Tabel 4.13 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Perbandingan metanol-air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa perbandingan metanol-air 70:30 dan 60:40 mempunyai pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p > 0,05), sedangkan perbandingan metanol-air 50:50, 80:20, 40:60 dan 100:0 dan 40:60 mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p < 0,05). Adanya air yang cukup dalam pelarut ekstraksi mempermudah pelarut menembus dinding sel tumbuhan obat sehingga pelarut dapat melarutkan senyawa fenolat yang ada dalam sel tumbuhan obat tersebut (Gaedcke, et al., 2003). Hal ini telah dibuktikan pula sebelumnya oleh Bauer (1998) dalam mengekstrasi flavonoid dari bunga kamil memakai pelarut metanol.
115
Tabel 4.13 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai perbandingan metanol-air Perbandingan MetanolAir
Jenis Sampel Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
0,3766
0,1750
0,1030
0,3689
0,1720
0,1037
0,3751
0,1800
0,1064
rata-rata
0,3735a
0,1757a
0,1044a
SD
0,0041
0,0040
0,0018
0,4786
0,2070
0,1396
80:20
0,4802
0,2060
0,1381
0,4795
0,2060
0,1413
rata-rata
0,4794b
0,2063b
0,1397b
SD
0,0008
0,0006
0,0016
0,5897
0,3100
0,1448
70:30
0,5875
0,3060
0,1447
0,5768
0,3080
0,1443
rata-rata
0,5847c
0,3080c
0,1446c
SD
0,0069
0,0020
0,0003
0,5165
0,3650
0,1493
60:40
0,5045
0,3500
0,1489
0,5211
0,3450
0,1493
rata-rata
0,5140c
0,3533c
0,1492c
SD
0,0086
0,0104
0,0002
0,4007
0,4140
0,1016
0,3987
0,3992
0,0975
0,4124
0,4251
0,0966
rata-rata
d
0,4039
d
0,4128
0,0986d
SD
0,0074
0,0130
0,0027
0,3567
0,3420
0,0884
0,3548
0,3430
0,0876
0,3495
0,3450
0,0867
rata-rata
e
0,3537
e
0,3433
0,0876e
SD
0,0037
0,0015
0,0009
100:0
50:50
40:60
Keterangan: Kadar senyawa fenolat total dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengaruh perbandingan metanol-air terhadap kadar senyawa fenolat diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.3. Dari gambar terlihat bahwa daun dewa menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 70:30, sedangkan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari
116
paling tinggi bila diekstraksi dengan metanol-air 50:50 dan herba meniran dengan metanol-air 60:40. Secara menyeluruh, campuran metanol-air antara 50:50 sampai dengan 70:30 merupakan pelarut yang terbaik untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat yang optimum dari ketiga tumbuhan obat tersebut.
Kadar senyawa fenolat (%)
0.700 0.600 0.500 0.400 Daun Dewa
0.300
Daun Jambu Biji 0.200
Herba Meniran
0.100 100:0 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 Perbandingan Metanol:Air
Gambar 4.3
Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Gambar 4.4 memperlihatkan pengaruh perbandingan metanol-air terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Kelihatannya
perbandingan
pelarut
ekstraksi
metanol-air
tidak
banyak
pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan ketiga tumbuhan tersebut. Namun demikian, herba meniran dan daun jambu biji menunjukkan pengaruh yang agak berbeda, karena ekstraksi kedua tumbuhan obat itu dengan perbandingan pelarut metanol-air 70:30 dan 60:40 menyebabkan daya antioksidannya mendekati daya antioksidan asam galat. Sebaliknya, ekstraksi daun dewa dengan pelarut metanolair 60:40 menyebabkan daya antioksidannya bertambah (IC-50 menurun).
117
4
3 IC-50 (mcg/mL)
Daun Dewa Daun Jambu Biji
2
Herba Meniran Asam Galat (Pembanding)
1
0 100:0
80:20
70:30
60:40
50:50
40:60
Perbandingan Metanol-Air
Gambar 4.4
Pengaruh perbandingan pelarut metanol-air terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan aktivitas antioksidan, dapat disimpulkan bahwa perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 60:40. Kedua perbandingan metanolair ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05).
4.5 Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan beberapa obat bahan alam Tabel 4.14 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Cara ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar zat tersari (p < 0,05). Pengujian secara statistik menunjukkan bahwa cara sokletasi
118
mempunyai pengaruh yang tertinggi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara perkolasi untuk herba meniran.
Tabel 4.14 Perolehan kadar zat tersari (mg/g) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara Cara Ekstraksi
Jenis Sampel Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
149,0
122,0
249,1
150,2
122,0
249,0
149,0
121,5
249,1
rata-rata
149,4a
121,8a
249,1a
SD
0,7
0,3
0,1
184,7
130,1
294,9
185,5
130,9
295,1
184,8
130,2
294,9
185,0b
130,4b
295,0b
Maserasi
Perkolasi rata-rata SD Sokletasi rata-rata SD
0,5
0,4
0,1
208,4
150,3
202,2
207,8
150,0
202,0
208,6
150,4
202,3
208,3c
150,2c
202,1c
0,4
0,2
0,1
194,3
165,4
262,9
195,1
165,7
263,0
194,8
165,0
262,7
rata-rata
194,7d
165,4d
262,9d
SD
0,4
0,4
0,1
Refluks
Keterangan: Kadar zat tersari dihitung dalam satuan mg/g berat kering, nilai ratarata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.5. Dari gambar itu terlihat bahwa daun dewa menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan cara sokletasi, sedangkan herba meniran menghasilkan kadar zat tersari paling tinggi bila diekstraksi dengan cara perkolasi dan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari tertinggi bila diekstraksi dengan cara refluks. Kelihatan dari hasil penelitian
119
ini bahwa cara ekstraksi mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap perolehan kadar zat tersari, tergantung pada tumbuhan obat yang diekstraksi (Gaedcke, et al., 2003). Cara ekstraksi dingin (perkolasi) cocok untuk mendapatkan kadar zat tersari dari herba meniran, sedangkan ekstraksi panas (sokletasi dan refluks) lebih cocok untuk daun dewa dan daun jambu biji. Fenomena seperti ini telah ditemukan pula sebelumnya oleh Bauer (1998) dalam mengekstrasi bunga kamil dengan cara maserasi dan sokletasi.
350
Kadar zat tersari (mg/g)
300 250 Daun Dewa
200
Daun Jambu Biji 150
Herba Meniran
100 50 0 Maserasi
Perkolasi
Sokletasi
Refluks
Cara Ekstraksi
Gambar 4.5
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar zat tersari dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Tabel 4.15 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Cara ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perolehan kadar senyawa fenolat (p < 0,05).
Tabel 4.15 Perolehan kadar senyawa fenolat total (%) dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yang diekstraksi dengan berbagai cara Cara Ekstraksi
Jenis Sampel
120
Daun Dewa
Daun Jambu Biji
Herba Meniran
0,6547
0,4954
0,4980
0,6604
0,5022
0,4957
0,6535
0,4953
0,5154
rata-rata
0,6562a
0,4976a
0,5030a
SD
0,0037
0,0040
0,0108
0,7007
0,4144
0,5975
Perkolasi
0,6987
0,4262
0,6016
0,7124
0,3992
0,5966
rata-rata
0,7039b
0,4133b
0,5986b
SD
0,0074
0,0135
0,0027
0,7913
0,4566
0,6014
Sokletasi
0,8019
0,4592
0,5987
0,7854
0,4514
0,6021
rata-rata
0,7929c
0,4557c
0,6007c
SD
0,0084
0,0040
0,0018
0,7624
0,4179
0,6814
Refluks
0,7711
0,4199
0,6855
0,7605
0,4184
0,6808
rata-rata
0,7647d
0,4187d
0,6826d
SD
0,0057
0,0010
0,0026
Maserasi
Keterangan: Kadar senyawa fenolat total dihitung dalam satuan % berat kering, nilai rata-rata ± SD, n = 3; nilai yang mempunyai superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p < 0,05)
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat diperlihatkan dengan jelas pada Gambar 4.6. Dari gambar itu terlihat bahwa daun dewa menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan cara sokletasi, sedangkan herba meniran menghasilkan kadar senyawa fenolat paling tinggi bila diekstraksi dengan cara refluks dan daun jambu biji menghasilkan kadar zat tersari tertinggi bila diekstraksi dengan cara maserasi. Kelihatan dari hasil penelitian ini bahwa cara ekstraksi mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total, tergantung pada tumbuhan obat yang diekstraksi (Gaedcke, et al., 2003). Cara ekstraksi dingin (maserasi) cocok untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat dari daun jambu biji, sedangkan ekstraksi panas (sokletasi dan refluks) lebih cocok untuk daun dewa dan herba meniran. Hasil penelitian seperti ini telah ditemukan pula sebelumnya
121
oleh Bauer (1998) dalam mengekstrasi senyawa flavonoid dari bunga kamil dengan cara maserasi dan sokletasi.
0.9000 0.8000 Kadar fenolat (%)
0.7000 0.6000 0.5000 Daun Dewa
0.4000 0.3000
Daun Jambu Biji
0.2000
Herba Meniran
0.1000 Maserasi Perkolasi Sokletasi
Refluks
Cara Ekstraksi
Gambar 4.6
Pengaruh cara ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat total dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Gambar 4.7 memperlihatkan pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Kelihatannya cara ekstraksi banyak pengaruhnya terhadap daya antioksidan ketiga tumbuhan tersebut. Herba meniran menunjukkan pengaruh yang agak berbeda, karena ekstraksi tumbuhan obat itu dengan cara sokletasi menyebabkan aktivitas antioksidannya mendekati daya antioksidan asam galat. Sebaliknya, ekstraksi daun dewa dan daun jambu biji dengan cara perkolasi menyebabkan aktivitas antioksidannya bertambah (IC-50 menurun).
122
4
IC-50 (mcg/mL)
3 Daun Dewa Daun Jambu Biji
2
Herba Meniran Asam Galat (Pembanding)
1
0 Maserasi
Perkolasi
Sokletasi
Refluks
Cara Ekstraksi
Gambar 4.7 Pengaruh cara ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan dari daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Berdasarkan tiga parameter yang dipakai, yaitu perolehan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan, dapat disimpulkan bahwa cara ekstraksi terbaik tergantung pada jenis tumbuhan obat yang diekstraksi. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan daya antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa.
123
4.6 Karakterisasi herba meniran dengan kromatografi lapis tipis (KLT) Sebelum penggunaan KLT untuk karakterisasi herba meniran, campuran pelarut yang digunakan sebagai eluen dioptimasi terlebih dahulu. Ada dua eluen yang digunakan: eluen pertama adalah campuran heksana-etil asetat dengan perbandingan antara 9:1 sampai 5:5 (kepolaran antara 0,53 sampai 2,25). Eluen kedua adalah campuran petroleum eter-aseton dengan perbandingan antara 9:1 sampai 5:5 (kepolaran antara 0,6 sampai 2,6). Hasil optimasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 15. Hasil optimasi analisis kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran menunjukkan bahwa eluen campuran petroleum eter – aseton yang paling baik pemisahannya dan paling banyak noda diperoleh adalah pada perbandingan 7:3. Pada fraksi petroleum eter ada 9 noda dengan Rf 0,96; 0,88; 0,82; 0,76; 0,72; 0,66; 0,6; 0,54; dan 0,16. Pada fraksi kloroform ada 11 noda dengan Rf 0,96; 0,86; 0,76; 0,68; 0,64; 0,58; 0,52; 0,36; 0,28; 0,2 dan 0,1. Pada fraksi metanol ada 4 noda dengan Rf 0,6; 0,42; 0,34; dan 0,24 (Table 4.16 dan Gambar 4.8 dan 4.9). Eluen campuran heksan – etil asetat yang paling baik pemisahannya adalah pada perbandingan 7:3. Pada fraksi petroleum eter ada 7 noda dengan Rf 0,94; 0,8; 0,74; 0,64; 0,5; 0,4; dan 0,32. Pada fraksi kloroform ada 9 noda dengan Rf 0,9; 0,8; 0,72; 0,6; 0,52; 0,42; 0,3; 0,24; dan 0,1. Pada fraksi metanol ada 2 noda dengan Rf 0,6 dan 0,1 (Table 4.10 dan Gambar 4.8 dan 4.9).
124
Tabel 4.16 Karakter kromatografi lapis tipis fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan berbagai eluen Jenis Fraksi Jenis Eluen Fraksi Fraksi Fraksi petroleum eter kloroform metanol Noda: 7 noda Noda: 9 noda Noda: 2 noda Heksan-etil asetat Rf: 0,90, 0,80, Rf: 0,94, 0,8, 0,74, 7:3 0,72, 0,60, 0,52, 0,64, 0,50, 0,4, Rf: 0,6, 0,1 (Kepolaran 1,39) 0,42, 0,30, 0,24, 0,32 0,1 Noda :9 noda Noda : 11 noda Noda : 4 noda Petroleum eterRf : 0,96, 0,88, Rf : 0,96, 0,86, aseton 7:3 0,82 0,76, 0,72, 0,76, 0,68, 0,64, Rf : 0,6, 0,42, (Kepolaran 1,6) 0,66, 0,60, 0,54, 0,58, 0,52, 0,36, 0,34, 0,24 0,16 0,28, 0,20, 0,1 Catatan: Noda dilihat di bawah sinar tampak, sinar UV 254 nm dan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol
Gambar 4.8
Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen heksan-etil asetat 7:3
Keterangan: Gambar kiri dilihat dengan sinar tampak, gambar tengah dilihat dengan sinar UV 254 nm dan gambar kanan dilihat dengan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol
125
Gambar 4.9
Kromatogram lapis tipis fraksi petroleum eter (P), fraksi kloroform (K), fraksi metanol (M) dari ekstrak herba meniran dan pembanding kuersetin (Q) dengan eluen petroleum eter – aseton 7:3 Keterangan : Gambar kiri dilihat dengan sinar tampak, gambar tengah dilihat dengan sinar UV 254 nm dan gambar kanan dilihat dengan sinar tampak setelah disemprot dengan larutan asam sulfat 5% dalam metanol
Berdasarkan hasil analisis KLT di atas dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen kimia dalam fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008). Pola kromatografi lapis tipis herba meniran tersebut disajikan pada Lampiran 16.
126
4.7 Karakterisasi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan spektrofotometri fourir-transformer infrared (FTIR) Spektrum FTIR serbuk kering daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.10, 4.11 dan 4.12. Dari gambar-gambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah serbuk kering daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.17).
Tabel 4.17
Analisis spektrum FTIR serbuk daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran
Puncak/Pita Spektrum Daun Dewa (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum Daun Jambu Biji (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum Herba Meniran (cm-1)
Daerah Spektrum (cm-1)
3433
3414
3414
3750 - 3000
2920
2928
2919
3300 - 2900
3000 - 2700
2400 - 2100
1900 - 1650
Jenis Ikatan (Cresswell et al., 1982) Regang O – H atau N–H Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H pada aldehida Regang C ≡ C atau C ≡N Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida, ester, anhidrida) Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang C=NLentur C – H pada atom C tersier
1637
1624
1636
1675 - 1500
1384
1317
1387
1475 - 1300
1384, 1130, 1104, 1063, 1043
1317, 1056
1387, 1232, 1077
< 1500
Daerah sidik jari
988, 819, 668
781
625
1000 - 650
Lentur C – H pada alkena dan Ar – H (luar bidang)
127
Gambar 4.10 Spektrum FTIR serbuk daun dewa
34.17
33.5 33.0 32.5 32.0 31.5 31.0 30.5 781
%T 30.0 29.5 29.0 2928
28.5 28.0 1317
27.5
1056
27.0
1624
26.5 26.04 4000.0
3414
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
Gambar 4.11 Spektrum FTIR serbuk daun jambu biji
1200
1000
800
600
450.0
128
20.3
19 18 17 625
16 15 14 1387
13
1232
%T 12 2919
11 1077
10 9
1636
8 7 6 3414
5.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
Gambar 4.12 Spektrum FTIR serbuk herba meniran
Gambar 4.13 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa
800
600
450.0
129
Gambar 4.14 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun jambu biji
31.0 30 28 807
26 720
24 22 20 1541 1032
18 1378
16 1514
%T
1112 1261 1156 1237 1139
14 3433
12
3008 1463
10 1744
8 6 4 2918 2850
2 0.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
Gambar 4.15 Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter herba meniran
600
450.0
130
Spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.13, 4.14 dan 4.15. Dari gambargambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.18).
Tabel 4.18 Analisis spektrum FTIR ekstrak petroleum eter daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran Puncak/Pita Spektrum Daun Dewa (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum Daun Jambu Biji (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum Herba Meniran (cm-1)
Daerah Spektrum (cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al., 1982)
3436
3573, 3425
3433, 3008
3750 3000
2958, 2920
2925
2918
3300 2900
2856
2852
2850
3000 2700
1509
1629
1541, 1514
1675 1500
1465, 1429, 1366
1437, 1381, 1304
1463, 1378
1475 1300
Regang O – H atau N–H Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H pada aldehida Regang C ≡ C atau C≡N Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida, ester, anhidrida) Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang C=NLentur C – H pada atom C tersier
1465, 1429, 1366, 1229, 1082, 716, 698
1437, 1381, 1304, 11,83, 1023
1463, 1378, 1261, 1237, 1156,1139, 1112, 1032
< 1500
Daerah sidik jari
807, 720
1000 - 650
Lentur C – H pada alkena dan Ar – H (luar bidang)
2400 2100
2380, 2346
1734
716, 698
1744
1900 1650
131
Spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.16, 4.17 dan 4.18. Dari gambar-gambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.19).
Gambar 4.16 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform daun dewa
132
35.0 34 33 32
3784 3660
31 30
3572
29 28 3409
%T
27 2854 1457
26
1167 1617
25
2926
24 23 22 21 20.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
600
450.0
Gambar 4.17 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform daun jambu biji
31.0 30
28 720
26
1513 1498 1378
24
1033 1261 1158 1237 1100
22 1716
1463 1457
20 1740
%T 18
16
3435
14 2851
12
2919
10
8.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
Gambar 4.18 Spektrum FTIR Ekstrak kloroform herba meniran
Tabel 4.19 Analisis spektrum FTIR ekstrak kloroform daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran Puncak/Pita Spektrum
Puncak/Pita Spektrum
Puncak/Pita Spektrum
Daerah Spektrum
Jenis Ikatan (Cresswell et al.,
133
Daun Dewa (cm-1)
(cm-1)
1982)
3435
3750 3000
2926
2919
3300 2900
2854
2851
3000 2700
1475 1300
Regang O – H atau N – H Regang C – H pada alkuna, alkena atau ArH Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H pada aldehida Regang C ≡ C atau C ≡ N Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida, ester, anhidrida) Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang C=NLentur C – H pada atom C tersier
< 1500
Daerah sidik jari
1000 - 650
Lentur C – H pada alkena dan Ar – H (luar bidang)
Daun Jambu Biji (cm-1) 3660, 3572, 3409
Herba Meniran (cm-1)
2921
2856
3433
2400 2100 1734
1513
1617
1458, 1363
1457
1458, 1364, 1165, 1105, 925, 696
1457, 1167
925, 696
1740, 1716
1900 1650
1513
1675 1500
1463, 1457, 1378 1498, 1463, 1457, 1378, 1261, 1237, 1158, 1100, 1033 720
Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.19, 4.20 dan 4.21. Dari gambar-gambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.20).
134
Gambar 4.19 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa 45.0 44 42 40 3751
38 36 34 32 1518
30
1699
579
28 %T 26 24
1448
22
2925
1231 1611
20
1048
18 16 3393
14 12 10.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm -1
1600
1400
1200
Gambar 4.20 Spektrum FTIR ekstrak metanol daun jambu biji
1000
800
600
450.0
135
24.0 23 22 21
3780
20
624
19 18 17 16 15 1212
14 %T
1051
13 12 1624
11 10
1384
9 8 7 6 5
3424
4 3 2.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm -1
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
Gambar 4.21 Spektrum FTIR ekstrak metanol herba meniran Tabel 4.20 Analisis spektrum FTIR ekstrak metanol daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran Puncak/Pita Spektrum Daun dewa (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum Daun Jambu Biji (cm-1)
Puncak/Pita Spektrum Herba Meniran (cm-1)
3437
3393
3427
2927
2925
Daerah Spektrum (cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al., 1982)
3750 3000 3300 2900
1734
1699
1631
1611, 1518
1624
1675 1500
1384
1448
1384
1475 1300
Regang O – H atau N – H Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H Regang C – H pada CH3, -CH2-, H pada atom C tersier dan H pada aldehida Regang C ≡ C atau C ≡ N Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida, ester, anhidrida) Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang C=NLentur C – H pada atom C tersier
1448, 1231, 1048
1384, 1212, 1051
< 1500
Daerah sidik jari
1000 - 650
Lentur C – H pada
3000 2700 2400 2100
1384, 1989, 1056, 915, 821, 662 915, 821, 662
1900 1650
136
alkena dan Ar – H (luar bidang)
Spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran diperlihatkan dalam Gambar 4.22, 4.23 dan 4.24. Dari gambar-gambar ini terlihat ciri khas pita-pita serapan infra merah residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran pada bilangan gelombang tertentu (Tabel 4.21).
Gambar 4.22 Spektrum FTIR residu daun dewa
137
38.0 37 36
2346
35 34 33
781 605
32 31 30 %T
29
1443 2928
28
1237
27 1318
26
1052
25 24 23 22 1623
21
3421
20.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
Gambar 4.23 Spektrum FTIR residu daun jambu biji 20.0 19 18 17 16
647
15 14 13
%T
1388
12
2931
1320
11
1232
10 9 8 1095 1639
7 6
3409
5 4.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm -1
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
Gambar 4.24 Spektrum FTIR residu herba meniran Tabel 4.21
Puncak/Pita Spektrum Daun Dewa (cm-1) 3433
Analisis spektrum FTIR residu daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran Puncak/Pita Spektrum Daun Jambu Biji (cm-1) 3424
Puncak/Pita Spektrum Herba Meniran (cm-1) 3409
Daerah Spektrum (cm-1)
Jenis Ikatan (Cresswell et al., 1982)
3750 -
Regang O – H atau N – H
138
2931
2870
3000 3300 2900
2928
3000 2700
2346
2400 2100
Regang C – H pada alkuna, alkena atau Ar-H Regang C – H pada CH3-, -CH2-, H pada atom C tersier dan H pada aldehida Regang C ≡ C atau C ≡ N
1623
1639
1675 1500
1443, 1318
1388, 1320
1475 1300
Regang C=O (asam, aldehida, keton, amida, ester, anhidrida) Regang C = C (alifatik dan aromatik), regang C=NLentur C – H pada atom C tersier
1150, 1103,694
1443, 1318, 1237, 1052
1388, 1320, 1232, 1095
< 1500
Daerah sidik jari
694
781
647
1000 - 650
Lentur C – H pada alkena dan Ar – H (luar bidang)
1900 1650
1720
1632, 1579
Berdasarkan analisis spektrum FTIR di atas dapat dilihat bahwa pola spektrum serbuk dan ekstrak ketiga simplisia itu menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia. Pada monografi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (Depkes, 2008) belum ada data spektrum FTIR ketiga simplisia atau ekstrak tumbuhan obat tersebut.
4.8 Karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) Dari beberapa perbandingan fase gerak yang digunakan untuk pemisahan campuran senyawa pembanding flavonoid diperoleh hasil terbaik dengan menggunakan fase gerak metanol : asam asetat 1% pada perbandingan 70 : 30 dan sistem KCKT partisi fase terbalik RP 18 (250 x 4,6 mm, 5 µm), detektor UV pada
139
panjang gelombang 360 nm dan kecepatan alir 1 mL/menit. Dari kromatogram dapat dilihat bahwa senyawa rutin terlihat pada waktu retensi 3,225 menit (Gambar 4.25), sedangkan pada kromatogram pembanding kuersetin terdapat dua puncak yaitu isokuersitrin terlihat pada waktu retensi 4,450 menit dan kuersetin terlihat pada waktu retensi 5,683 menit (Gambar 4.26). Kromatogram campuran ketiga senyawa pembanding tersebut menunjukkan tiga puncak pada waktu retensi 3,208, 4,483 dan 5,767 menit (Gambar 4.27). Pada pengukuran KCKT senyawa pembanding secara berulang diperoleh waktu retensi seperti pada Tabel 4.22.
Gambar 4.25 Kromatogram Rutin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
140
Gambar 4.26 Kromatogram isokuersetin dan quersetin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
Gambar 4.27 Kromatogram campuran rutin, isokuersitrin dan kuersetin dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
141
Tabel 4.22
Waktu retensi senyawa pembanding rutin, isokuersitrin dan kuersetin yang diukur berulang kali
Senyawa Pembanding
Rutin
Isokuersitrin
Kuersetin
Waktu Retensi (menit) 3,225 3,250 3,242 3,225 3,233 4,450 4,525 4,508 4,467 4,517 5,808 5,817 5,800 5,683 5,725
Rata-rata (menit)
Minimum (menit)
Maksimum (menit)
3,235
3,225
3,250
4,493
4,450
4,525
5,767
5,683
5,817
Ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran difraksinasi terlebih dahulu untuk memisahkan senyawa yang bersifat non polar, semi polar dan polar. Pelarut yang digunakan pada proses fraksinasi ini adalah heksan (non polar), etil asetat (semi polar) dan butanol (polar) dan air (paling polar). Dari fraksinasi ekstrak daun dewa didapat 4 fraksi yaitu fraksi heksan, fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air. Dari keempat fraksi ini, fraksi heksan tidak dikarakterisasi dengan KCKT karena dikhawatirkan fraksi heksan yang bersifat non polar akan terikat kuat dalam kolom. Fraksi-fraksi etil asetat, butanol dan air dikarakterisasi menggunakan KCKT. Fraksi-fraksi ini mengandung senyawa fenolat dan senyawa semi polar lainnya. Hasil fraksinasi ini diuapkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh larutan pekat. Larutan pekat ini dilarutkan dalam metanol lalu diukur dengan menggunakan KCKT fase terbalik.
142
Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan KCKT, uji kesesuaian sistem perlu dilakukan terlebih dahulu. Untuk uji kesesuaian sistem, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah jenis kolom yang digunakan, jenis fase gerak yang cocok dan panjang gelombang detektor.
Pada penelitian ini kolom yang
digunakan adalah kolom Chromasil-C18, ukuran 250 mm x 4,6 mm. Pemilihan kolom ini disesuaikan dengan metode KCKT yang digunakan yaitu KCKT partisi fase terbalik yang dapat digunakan dengan fase gerak polar dan semi polar. Uji kesesuaian sistem ini dilakukan dengan menggunakan senyawa pembanding yang diperkirakan terkandung dalam ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran yaitu rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Dari kromatogram yang dihasilkan dihitung nilai tinggi plat teoritis (HETP), jumlah plat teoritis (N), faktor kesimetrisan (TF), resolusi (R), selektivitas (α) dan faktor kapasitas (k’). Hasil uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisis campuran beberapa flavonoid disajikan selengkapnya pada Lampiran 17. Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang 360 nm. Panjang gelombang ini dipilih karena senyawa pembanding yang digunakan adalah senyawa flavonoid yaitu rutin, isokuersitrin dan kuersetin yang memiliki banyak gugus kromofor pada strukturnya sehingga bisa terdeteksi panjang gelombang 360 nm. Selain itu, senyawa flavonoid dapat terdeteksi secara maksimal pada panjang gelombang tersebut (Pennarietta et al., 2007). Pada penelitian ini fase gerak yang dicobakan adalah campuran asetonitril – air (50:50, 60:40, 70:30), campuran metanol – air (50:50, 60:40, 70:30) dan campuran metanol – asam asetat 1% (50:50, 60:40, 70:30). Dari semua fase gerak
143
yang telah dicobakan diperoleh pemisahan yang terbaik untuk campuran senyawa pembanding rutin, isokuersitrin dan kuersetin dengan menggunakan fase gerak campuran metanol – asam asetat 1% dengan perbandingan 70:30 (Gambar 4.27). Dari hasil uji kesesuaian sistem tersebut dapat disimpulkan bahwa kolom yang dapat digunakan untuk memisahkan ketiga komponen itu dengan baik adalah kolom fase terbalik Chromasil-C18 (250 x 4,6 mm, 5 µm) dengan memakai fase gerak campuran metanol – asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL dan laju alir 1 mL/menit. Karena itu sistem ini dapat dipakai untuk karakterisasi ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran. Untuk menentukan senyawa kimia yang terkandung di dalam fraksi etil asetat, butanol dan air digunakan senyawa pembanding. Senyawa pembanding yang digunakan adalah rutin dan kuersetin. Kedua senyawa ini digunakan sebagai pembanding karena ekstrak daun dewa mengandung senyawa flavonoid dengan komponen utama kuersetin dan rutin (Herwindriandita et al., 2006). Syarat senyawa pembanding yang baik adalah senyawa harus murni yang menghasilkan satu puncak. Senyawa pembanding rutin menunjukkan satu puncak yang dominan pada pada waktu retensi 3,208 (Gambar 4.27) sehingga dapat dipakai sebagai pembanding. Senyawa pembanding kuersetin menunjukkan dua puncak yang dominan pada waktu retensi 4,483 menit dan 5,767 menit. Waktu retensi 4,483 menit menunjukkan senyawa isokuersitrin dan waktu retensi 5,767 menit menunjukkan senyawa kuersetin. Senyawa pembanding kuersetin yang diperoleh dari Laboratorium Biota Sumatra Universitas Andalas berupa campuran isokuersitrin dan kuersetin. Senyawa isokuersitrin memiliki satu gugus gula pada strukturnya sedangkan senyawa kuersetin tidak memiliki gugus gula (aglikon).
144
Oleh karena itu senyawa isokuersitrin lebih polar dibandingkan dengan kuersetin sehingga isokuersitrin lebih dulu keluar pada kromatogram (Gambar 4.26 dan 4.27). Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak daun dewa (Gambar 4.28) dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.23. Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.28A) terdeteksi lima senyawa dengan waktu retensi 3,358, 4,833, 6,350, 11,867 dan 12,317 menit. Pada kromatogram fraksi butanol (Gambar 4.28B) terdeteksi tujuh senyawa dengan waktu retensi 2,742, 2,942, 3,275, 3,625, 4,592, 5,000 dan 6,150 menit. Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar 4.28C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu retensi 2,717, 2,875, 3,267, 7,500, 8,667 dan 13,150 menit.
Tabel 4.23
Fraksi Etil Asetat Butanol Air
Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun dewa
Jumlah Puncak
Puncak 1 (menit)
Puncak 2 (menit)
Puncak 3 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 5 (menit)
5
3,358
4,833
6,350
11,867
12,317
7 6
2,742 2,717
2,942 2,875
3,275 3,267
3,625 5,883
4,592 8,667
Puncak 6 (menit)
Puncak 7 (menit)
5,000 13,150
6,150
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak daun dewa memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,358 menit), fraksi butanol (waktu rentensi 3,275 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,267 menit). Puncak isokuersetin terlihat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 4,833 menit) dan pada fraksi butanol (waktu retensi 4,582 menit). Pada fraksi air dari ekstrak daun dewa
145
tidak terlihat puncak isokuersetin. Namun kedua puncak isokuersetin ini pada fraksi etil asetat dan fraksi butanol dari ekstrak daun dewa tidak dominan. Puncak kuersetin tidak terlihat pada fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun dewa. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu ekstrak daun dewa.
146
A
B
C Gambar 4.28 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun dewa dengn kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak daun jambu biji (Gambar 4.29) dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.25. Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.29A) terdeteksi tiga senyawa dengan waktu retensi 2,792, 3,433 dan 7,725 menit. Pada kromatogram fraksi butanol (Gambar 4.29B) terdeteksi empat senyawa dengan waktu retensi 2,759, 3,242, 4,175 dan 5,208 menit. Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar
147
4.29C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu retensi 2,042, 2,692, 3,200, 3,758, 4,200 dan 6,317 menit.
A
B
C Gambar 4.29 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak daun jambu biji dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm Tabel 4.24 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji Fraksi Etil Asetat Butanol Air
Jumlah Puncak
Puncak 1 (menit)
Puncak 2 (menit)
Puncak 3 (menit)
3
2,792
3,433
7,725
4 6
2,750 2,042
3,242 2,692
4,175 3,200
Puncak 4 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 6 (menit)
5,208 3,758
4,200
6,317
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak daun jambu biji memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari
148
puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,433 menit), fraksi butanol (waktu retensi 3,242 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,200 menit). Puncak isokuersitrin dan puncak kuersetin tidak terlihat dengan nyata pada fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak daun jambu biji. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu ekstrak daun jambu biji. Dari kromatogram hasil pengukuran ekstrak herba meniran (Gambar 4.30) dapat dilihat bahwa pada fraksi etil asetat, butanol dan air dapat terdeteksi beberapa senyawa. Karakteristik kromatogram itu diringkaskan dalam Tabel 4.25. Pada kromatogram fraksi etil asetat (Gambar 4.30A) terdeteksi dua senyawa dengan waktu retensi 3,167 menit dan 3,817 menit. Pada kromatogram fraksi butanol (Gambar 4.30B) terdeteksi lima senyawa dengan waktu retensi 1,992 menit, 3,183 menit, 3,625 menit, 4,158 menit dan 9,142 menit. Sedangkan pada kromatogram fraksi air (Gambar 4.30C) terdeteksi enam senyawa dengan waktu retensi 2,442 menit, 2,675 menit, 3,192 menit, 7,500 menit, 7,842 menit dan 9,950 menit.
Tabel 4.25 Karakteristik kromatogram fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran Fraksi Etil Asetat Butanol Air
Jumlah Puncak
Puncak 1 (menit)
Puncak 2 (menit)
2
3,167
3,817
5 6
1,992 2,442
3,183 2,675
Puncak 3 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 4 (menit)
Puncak 6 (menit)
3,625 3,192
4,158 7,500
9,142 7,842
9,950
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ekstrak herba meniran memiliki kandungan kimia flavonoid, terutama rutin. Hal ini ditunjukkan dari puncak rutin yang terdapat pada fraksi etil asetat (waktu retensi 3,167 menit),
149
fraksi butanol (waktu retensi 3,183 menit) dan fraksi air (waktu retensi 3,192 menit). Puncak isokuersitrin dan puncak kuersetin tidak terlihat dengan nyata pada fraksi etil asetat, fraksi butanol dan fraksi air dari ekstrak herba meniran. Dengan demikian pola KCKT ini dapat dipakai untuk identifikasi dan pemastian mutu ekstrak herba meniran.
150
A
B
C Gambar 4.30 Kromatogram KCKT fraksi etil asetat (A), fraksi butanol (B) dan fraksi air (C) dari ekstrak herba meniran dengan kolom fase terbalik Chromasil-C18, panjang 25 cm, diamater 4,6 mm, ukuran partikel 5 µm, fase gerak metanol-asam asetat 1% (70 : 30), volume sampel 20 µL, laju alir 1 mL/menit, detektor UV pada 360 nm
4.9 Isolasi senyawa antioksidan dari daun dewa Serbuk kering daun dewa (100 g) telah diekstraksi dengan cara refluks secara berturut-turut dengan n-heksana, kloroform dan metanol. Setelah
151
pelarutnya diuapkan dengan penguap putar diperoleh ekstrak kental n-heksana sebanyak 17,1 g (17,1%), ekstrak kental kloroform 13,2 g (13,2%) dan ekstrak kental metanol 11,3 g (11,3%). Walaupun persentase ekstrak n-heksana paling tinggi di antara ketiga ekstrak tersebut, namun aktivitas antioksidannya belum tentu lebih tinggi. Karena itu, pengujian aktivitas antioksidan ketiga ekstrak ini perlu dilakukan. Hasil pengujian aktivitas antioksidan ketiga ekstrak tersebut menunjukkan bahwa ekstrak heksana menunjukkan persen inhibisi 5,75%, ekstrak kloroform 9,28% dan ekstrak metanol 87,32% pada konsentrasi 0,4 mg/mL. Sedangkan senyawa pembanding kuersetin menunjukkan persen inhibisi 90,23% pada konsentrasi 0,1 mg/mL. Hasil pengujian ini memperlihatkan bahwa ekstrak metanol mempunyai aktivitas antioksidan dan paling tinggi (Tabel 4.26, Gambar 4.31). Oleh karena itu, ekstrak metanol daun dewa diidentifikasi dan diisolasi lebih lanjut dengan kromatografi kertas.
152
Tabel 4.26 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Jenis Ekstrak Heksana Kloroform Metanol Kuersetin Total
Ulangan 3 3 3 3 12
% Inhibisi Rata-rata 5,75a 9,28b 87,32c 90,23d 48,14
Simpangan Baku 0,21 0,60 2,11 0,27 42,48
Kesalahan baku 0,12 0,35 1,22 0,15 12,26
Selang Kepercayaan 95% Batas Batas Bawah Atas 5,23 6,26 7,79 10,77 82,09 92,55 89,56 90,89 21,15 75,13
Catatan: Nilai % inhibisi rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05
Gambar 4.31 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) ekstrak daun dewa (0,4 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Pengujian ekstrak metanol daun dewa dengan kromatografi kertas dua arah menunjukkan tiga bercak yang berwarna kuning redup di bawah sinar UV 366 nm dan warna kuningnya lebih nyata bila diberi uap amoniak. Hasil pengujian ini
153
menunjukkan bahwa ketiga bercak tersebut adalah senyawa flavonoid golongan flavonol yang mengandung 3-OH bebas dengan atau tanpa 5-OH bebas (Markham, 1988). Berdasarkan pola sebaran bercak pada kertas kromatografi tersebut dapat ditafsirkan senyawa flavonoid yang mungkin ada dalam ekstrak metanol adalah aglikon (flavon, flavonol, biflavon, khalkon and auron) dan glikosida (flavonol 3-O-diglikosida, flavonol 3-O-monoglikosida), katekin atau epikatekin (Markham, 1988). Hasil pengujian ini membuktikan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun dewa disebabkan oleh adanya senyawa flavonoid. Selanjut perlu dibuktikan senyawa flavonoid apa yang mempunyai aktivitas antioksidan paling tinggi dalam ekstrak metanol daun dewa tersebut. Hasil pemisahan senyawa flavonoid dalam ekstrak metanol daun dewa dengan kromatografi kertas preparatif memakai eluen asam asetat 15% menunjukkan dua pita berwarna kuning redup di bawah sinar UV dan berwarna kuning bila ditambah amoniak. Kedua pita itu adalah senyawa flavonoid yang perlu diuji aktivitas antioksidannya. Hasil pengujian aktivitas antioksidan isolat kedua pita itu menunjukkan bahwa isolat pita A (Rf = 0,14) memberikan persen inhibisi DPPH sebesar 89,0% dan isolat pita B (0,6) sebesar 8,08%. Dengan demikian isolat pita A mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada isolat pita B (Tabel 4.27, Gambar 4.32). Karena itu, isolat pita A selanjutnya diuji kemurnian dan identitasnya.
154
Tabel 4.27
Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Selang Kepercayaan Jenis % Inhibisi Simpangan Kesalahan 95% Ulangan Isolat Rata-rata Baku Baku Batas Batas Bawah Atas Isolat A 3 89,02a 0,60 0,35 6,59 9,57 b Isolat B 3 8,08 0,46 0,26 87,88 90,16 c Kuersetin 3 90,23 0,27 0,15 89,56 90,89 Total 9 62,44 40,78 13,59 31,09 93,79 Catatan: Nilai rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05
Gambar 4.32 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Hasil pengujian kemurnian isolat A dengan menggunakan kromatografi kertas memakai eluen asam asetat 25% menunjukkan bahwa isolat A belum murni, karena ada dua bercak dengan Rf 0,16 dan 0,18. Oleh karena itu isolat A diisolasi lebih lanjut dengan kromatografi kertas preparatif memakai eluen asam asetat 25% dan diuji aktivitas antioksidannya. Hasilnya menunjukkan bahwa
155
isolat A1 (Rf 0,16) memberikan persen inhibisi DPPH sebesar 60,1% dan isolat A2 (Rf 0,18) sebesar 91,0%. Dengan demikian isolat A2 mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada isolat A1 (Tabel 4.28, Gambar 4.33). Karena itu, isolat A2 diidentifikasi lebih lanjut baik secara kimia maupun secara spektrofotometri.
Tabel 4.28 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
Jenis Isolat
Ulangan
% Inhibisi rata-rata
Simpangan Baku
Kesalahan Baku
Selang Kepercayaan 95% Batas Bawah
Batas Atas
Isolat A1 3 59,78a 1,21 0,70 56,78 62,78 b Isolat A2 3 90,61 0,46 0,26 89,47 91,75 b Kuersetin 3 90,21 0,34 0,20 89,37 91,06 Total 9 80,20 15,33 5,11 68,41 91,99 Catatan: Nilai rata-rata yang mempunyai superkrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada P < 0,05
Gambar 4.33 Aktivitas antioksidan (% Inhibisi DPPH) isolat A dari ekstrak daun dewa (0,1 mg/mL) dan pembanding kuersetin (0,1 mg/mL)
156
Isolat A2 berupa serbuk warna kuning muda yang menghasilkan reaksi positif dengan larutan besi(III) klorida dan uji Shinoda (Mg-HCl). Uji kimia ini menunjukkan adanya senyawa polifenol dan kerangka flavonoid. Spektrum UV isolat A2 memperlihat pita I pada 368,20 nm dan pita II pada 255,60 nm (Gambar 4.34). Pita I terletak pada rentang 350-385 nm dan pita II terletak pada rentang 250-280 nm yang membuktikan adanya senyawa flavonol dengan 3-OH bebas (Markham, 1988).
Gambar 4.34 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol
Pada penambahan pereaksi diagnostik natrium metoksida ke dalam larutan isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum seperti Gambar 4.35. Pada gambar ini terlihat pergeseran batokromik pada pita I sebesar 48,6 nm (dari 368,20 nm menjadi 416,80 nm) dengan adanya penurunan intensitas (dari absorban 0,525 menjadi 0,305). Setelah lima menit spektrumnya diukur kembali dan ternyata intensitasnya menurun lebih lanjut (dari absorban 0,305 menjadi 0,250) (Gambar 4.36). Penurun intensitas spektrum setelah waktu tertentu merupakan petunjuk
157
adanya gugus yang peka terhadap basa. Dengan demikian senyawa flavonoid tersebut mempunyai gugus 3,4’-OH, o-diOH pada cincin A; pada cincin B: 3’-OH yang berdampingan (Markham, 1988)
Gambar 4.35 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis putus-putus)
Gambar 4.36 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium metoksida (garis titik-titik) dan setelah 5 menit (garis putus-putus)
Pada penambahan natrium asetat ke dalam larutan isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum UV seperti Gambar 4.37 dengan geseran batokromik sebesar 12,6 nm pada pita II (dari 255,60 nm menjadi 268,20 nm). Penambahan
158
natrium asetat ke dalam larutan isolat A2 bermanfaat untuk mendeteksi gugus spesifik 7-hidroksil bebas (atau yang setara). Natrium asetat akan menyebabkan pengionan pada gugus hidroksil flavonoid yang paling asam (Markham, 1988). Ionisasi gugus 7-hidroksil sebagian besar mempengaruhi pita II, sedangkan gugus 3- dan/atau 4’-hidroksil sebagian besar mempengaruhi pita I. Dengan demikian isolat A2 adalah senyawa flavonol yang mempunyai gugus 7-hidroksil.
Gambar 4.37 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan natrium asetat (garis tipis)
Pada penambahan asam borat ke dalam larutan flavonoid dalam metanol yang telah diberi natrium asetat, asam borat akan membentuk kompleks dengan gugus o-dihidroksil dan digunakan untuk mendeteksi gugus tersebut (Markham, 1988). Spektrum UV larutan isolat A2 dalam metanol yang telah ditambah dengan natrium asetat dan asam borat (Gambar 4.38) memperlihatkan adanya geseran batokromik sebesar 11,4 nm (< 12 nm) nisbi terhadap spektrum dalam larutan metanol pada pita I (dari 368,20 nm menjadi 379,60 nm). Hal ini menunjukkan adanya gugus o-dihidroksil pada cincin A (pada posisi 6,7 atau 7,8).
159
Gambar 4.38 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan natrium asetat (garis tipis) dan setelah penambahan asam borat (garis putus-putus)
Penambahan pereaksi aluminium klorida ke dalam larutan flavonoid dalam metanol akan membentuk kompleks tahan asam antara gugus hidroksil dan keto yang bertetangga dan membentuk kompleks tidak tahan asam dengan gugus odihidroksil. Karena itu pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus tersebut (Markham, 1988). Pada penambahan pereaksi aluminium klorida ke dalam larutan isolat A2 dalam metanol diperoleh spektrum UV seperti Gambar 4.39. Pada gambar itu terlihat adanya geseran batokromik sebesar 64,40 nm (dari 368,20 nm menjadi 432,60 nm) pada pita I. Penambahan asam klorida ke dalam larutan isolat A2 yang telah diberi aluminium klorida menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik sebesar 60 nm (dari 368,2 nm menjadi 428,20 nm) pada pita I (Gambar 4.40). Dengan demikian kompleks antara flavonoid dan aluminium klorida tersebut tahan terhadap asam. Hal ini menunjukkan bahwa isolat A2 adalah senyawa flavon atau flavonol yang mempunyai gugus 3-OH (dengan atau tanpa 5-OH).
160
Gambar 4.39 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal) dan setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis)
Gambar 4.40 Spektrum UV senyawa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam metanol (garis tebal), setelah penambahan aluminium klorida (garis tipis) dan setelah penambahan asam klorida (garis putus-putus)
Berdasarkan penafsiran dari spektrum UV isolat A2 dalam metanol dan setelah ditambah dengan pereaksi-pereaksi geser dapat disimpulkan bahwa isolat A2 tersebut diduga senyawa flavonoid dengan struktur seperti Gambar 4.41. Kepastian struktur flavonoid tersebut diuji lebih lanjut dengan spektrofotometer inframerah, spektroskopi massa, spektroskopi 1H-NMR dan 13C-NMR.
161
5' 6'
OH
4'
1
HO
8 7
9
1'
O
2 6
10
2'
OH
4 3
5
OH
3'
OH
O
Gambar 4.41 Struktur 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin)
Pita absorpsi inframerah pada bilangan gelombang 3292, 1614, 1517 dan 1165 cm-1 (Lampiran 18) menunjukkan adanya gugus-gugus hiroksil, karbonil, cincin aromatik dan gugus eter pada isolat A2 (William & Fleming, 1980). Data spektrum absorpsi inframerah isolat A2 ini memperkuat bukti bahwa isolat A2 dari ekstrak metanol daun dewa adalah senyawa flavonol. Analisis kemurnian isolat A2 dengan LC-MS menunjukkan bahwa isolat A2 sudah murni dengan satu puncak pada waktu retensi 4,0 menit (Lampiran 19). Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak metanol daun dewa dengan LC-MS ESI ion positif menunjukkan ion puncak [M+H]+ pada 303,11 m/z (Lampiran 20). Angka ini menunjukkan bahwa isolat A2 mempunyai bobot molekul 302,11 karena ion molekul menangkap satu proton (Kazakevich & LoBrutto, 2007). Spektrum 1H NMR (500 MHz, DMSO-d6) isolat A2 (Lampiran 21) menunjukkan signal pada 6,18 ppm (1 H, d) dan 6,40 ppm (1 H, d) yang disebabkan oleh proton berpasangan meta pada cincin-A (H-6 dan H-8) inti flavonoid. Sedangkan signal pada 6,88 ppm (1 H, d), 7,67 ppm (1 H, d) dan 7,53 ppm (1 H, q) disebabkan oleh H-5’, H-2’ dan H-6’ pada cincin B inti flavonoid. Sinyal pada 12,49 ppm (1 H, s) disebabkan oleh ikatan hidrogen yang kuat pada posisi 5-OH dan sinyal pada 9,35 ppm (2 H, d), 9,60 ppm (1 H, s) dan 10,79 ppm
162 (1 H, s) di-sebabkan oleh gugus OH lainnya. Spektrum 1H NMR ini menunjukkan adanya inti flavonoid (Markham, 1988). Spektrum 13C NMR (500 MHz, DMSO-d6) isolat A2 dari ekstrak metanol daun dewa menunjukkan adanya 15 atom karbon yang disebabkan oleh inti flavonoid (Lampiran 22). Signal pada 175,8552 ppm disebabkan oleh gugus karbonil pada C-4 inti flavonoid. Signal 163,8942 ppm disebabkan oleh C-7, signal 160,7370 ppm oleh C-5, signal 156,1491 ppm oleh C-9, signal 147,7172 ppm oleh C-4’, signal 146,8015 ppm oleh C-2, signal 145,0751 ppm oleh C-3’, signal 135,7561 ppm oleh C-3, signal 121,9637 oleh C-1’, signal 119,9893 ppm oleh C-6’, signal 115,6207 ppm oleh C-5’, signal 115,0675 ppm oleh C-2’, signal 103,0302 ppm oleh C-10, signal 98,1942 ppm oleh C-6 dan signal 93,3678 ppm oleh C-8 (Markham, 1988).
163 Tabel 4.29 Data spektrum 1H NMR dan 13C NMR untuk isolat A2 dari ekstrak daun dewa dan kuersetin (500 MHz, DMSO-d6) 1
Posisi 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’ 5-OH OH lain
Data H Isolat A2
1
Data H Kuersetin (Adeyemi et al. 2010)
6,18 (d)
6,18 (d)
6,40 (d)
6,40 (d)
7,67 (d)
7,68 (d)
6,88 (d) 7,53 (q) 12,49 (s) 9,35 – 10,79
6,89 (d) 7,55 (q) 12,48 (s) 9,4 – 11,2
13
13
Data C Isolat A2
Data C Kuersetin (Adeyemi et al. 2010)
146,8015 135,7561 175,8552 160,7370 98,1942 163,8942 93,3678 156,1491 103,0302 121,9637 115,0675 145,0751 147,7172 115,6207 119,9893
147,5 136,3 176,5 161,4 98,9 164,5 94,0 156,8 103,7 122,6 115,8 145,7 148,4 116,3 120,7
Data 13C Kuersetin (Markham, 1988) 146,8 135,6 175,9 160,7 98,2 163,9 93,5 156,2 103,1 121,7 115,3 145,0 147,6 115,6 120,0
Data spektrum NMR isolat A2 (Tabel 4.29) sangat mirip dengan data spektrum 3’,4’,5,7-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) yang dilaporkan dalam literatur (Markham, 1988; Adeyemi et al., 2010). Berdasarkan data spektrum LCMS ESI ion positif, NMR, IR, UV dan perbandingan dengan data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid antioksidan yang terkandung dalam daun dewa adalah 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol (kuersetin) dengan struktur seperti pada Gambar 4.41.
164
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 10. Untuk analisis simplisia obat bahan alam yang mengandung senyawa fenolat, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah cara pengeringan sampel, jenis pelarut yang dipakai untuk ekstraksi, perbandingan campuran pelarut dengan air dan cara ekstraksi. Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan obat bahan alam yang dianalisis. a. Cara pengeringan daun dewa yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi (208,5 ± 0,6 mg/g) adalah dengan kering oven 40 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4039 ± 0,0074%) dan daya antioksidan tertinggi (IC50 3,042 µg/mL) adalah dengan kering angin. Cara pengeringan daun jambu biji yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari tertinggi (165,4 ± 0,4 mg/g) adalah dengan kering oven 60 oC, untuk mendapatkan kadar senyawa fenolat tertinggi (0,4550
± 0,0045%) adalah dengan kering oven 40 oC dan untuk
mendapat daya antioksidan tertinggi (IC50 2,825 µg/mL ) adalah dengan kering angin. Cara pengeringan herba meniran yang terbaik untuk mendapatkan kadar sari (202,1 ± 0,1 mg/g), kadar senyawa fenolat (0,1007 ± 0,0018% ) dan daya antioksidan (IC50 1,395 µg/mL) yang tertinggi adalah dengan kering oven 40 oC.
165
b. Jenis pelarut ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum adalah metanol. Ekstraksi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dengan pelarut metanol menghasilkan kadar zat tersari sebesar 239,4 ± 0,7 mg/g, 181,8 ± 0,3 mg/g dan 209,1 ± 0,2 mg/g, masing-masing, dan kadar senyawa fenolat total sebesar 0,7540 ± 0,0042%, 0,4949 ± 0,0047% dan 0,4997 ± 0,0110%, masing-masing. Sedangkan daya antioksidan dari ketiga simplisia tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Daya antioksidan daun dewa yang tertinggi diperoleh dengan pelarut metanol, daun jambu biji dengan pelarut etanol dan herba meniran dengan pelarut metanol. c. Perbandingan pelarut metanol-air yang terbaik untuk mendapatkan kadar zat tersari, kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan yang optimum dari simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran adalah perbandingan metanol-air antara 70:30 dan 50:50. Kedua perbandingan metanol-air ini tidak berbeda nyata unjuk kerjanya dalam memperoleh kadar senyawa fenolat total dari ketiga tumbuhan obat yang diuji (p > 0,05). d. Cara perkolasi cocok untuk mendapatkan zat tersari yang tertinggi untuk herba meniran, cara refluks untuk daun jambu biji dan cara sokletasi untuk daun dewa. Untuk mendapatkan senyawa fenolat yang optimal, cara sokletasi cocok untuk daun dewa, cara refluks untuk herba meniran dan cara maserasi untuk daun jambu biji. Untuk mendapatkan daya
166
antioksidan yang tinggi, cara sokletasi cocok untuk herba meniran, cara perkolasi cocok untuk daun jambu biji dan daun dewa. 11. Untuk identifikasi simplisia tumbuhan obat yang mengandung senyawa fenolat dapat digunakan pola-pola yang ditunjukkan oleh kromatografi lapis tipis (KLT), spektrofotometri inframerah (IR) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dari simplisia dan fraksi-fraksinya.
a. Pola kromatografi lapis tipis dari fraksi-fraksi herba meniran dapat memisah dengan baik dengan menggunakan eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 (kepolaran 1,39) atau campuran petroleum eter – aseton 7:3 (kepolaran 1,6). Pola KLT ini dapat dipakai sebagai salah satu parameter untuk menentukan identitas herba meniran sebagai pelengkap pola kromatografi yang ada dalam Farmakope Herbal Indonesia. b. Pola spektrum FTIR serbuk dan ekstrak simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran menunjukkan pola yang khas. Oleh karena itu, spektrum FTIR dapat digunakan sebagai pelengkap data monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia.
c. Pola kromatogram kromatografi cair kinerja tinggi fraksi-fraksi etil asetat, butanol dan air dari ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran menunjukkan adanya kandungan kimia flavonoid, terutama rutin, isokuersitrin dan kuersetin. Hal ini ditunjukkan oleh puncakpuncak ketiga senyawa tersebut yang terdapat pada kromatogram fraksi etil asetat, butanol dan air sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa
167
identitas untuk pemastian mutu simplisia dan ekstrak ketiga simplisia tersebut. 12. Berdasarkan proses isolasi yang dituntun dengan pengujian aktivitas antioksidan, analisis data spektrum UV dengan pereaksi geser dan analisis data spektrum LC-MS ESI ion positif, NMR, IR, serta perbandingan dengan data literatur dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi yang terkandung dalam daun dewa adalah 3’,4’,5,7tetrahidroksi flavonol (kuersetin).
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa tumbuhan obat dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 7. Dalam penggunaan cara-cara analisis untuk pengawasan mutu obat bahan alam sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia, pengeringan simplisia daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran hendaklah dilakukan pada suhu tidak lebih dari 40 oC. Ekstraksi daun dewa hendaklah dilakukan dengan cara sokletasi memakai pelarut metanol, ekstraksi daun jambu biji dengan cara maserasi memakai pelarut campuran metanol – air (50:50) dan ekstraksi herba meniran dengan cara refluks memakai pelarut metanol. 8. Monografi herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan pola KLT fraksi-fraksinya dengan memakai eluen campuran heksan-etil asetat 7:3 atau petroleum eter-aseton 7:3.
168
9. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data spektrum FTIR dari serbuk dan ekstrak ketiga simplisia tersebut. 10. Monografi daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran dalam Farmakope Herbal Indonesia hendaklah dilengkapi dengan data profil KCKT fraksi-fraksinya dengan menggunakan rutin, kuersetin dan isokuersetin sebagai senyawa identitas. 11. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa fenolat yang aktif sebagai antioksidan dalam daun jambu biji dan herba meniran sehingga dapat dipakai sebagai senyawa identitas dalam pengawasan mutu simplisia, ekstrak dan sediaan fitofarmaka yang mengandung kedua tumbuhan obat tersebut. 12. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan senyawa identitas yang aktif sebagai antimikroba dan antikanker untuk pengawasan mutu sediaan fitofarmaka yang mengandung simplisia atau ekstrak daun dewa, daun jambu biji dan herba meniran.
169
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC) terhadap kadar kolesterol total, kolesterol HDL dan kolesterol LDL dalam serum tikus jantan hiperkolesterolemik. Tesis. Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Abu-Amsha, R., K.D. Croft, I.B. Puddey, J.M. Proudfoot and L.J. Beilin. 1996. Phenolic content of various beverages determines the extent of inhibition of human serum and low density lipoprotein oxidation in vivo identification and mechanism of action of some cinnamic acid derivatives from red wine. Clinical Science 91: 449-458. Adlercreutz, H., H. Markkanen and S. Watanabe. 1993. Plasma concentration of phytoestrogens in Japanese men and women consuming a traditional Japanese diet. Lancet 342: 1209-1210. Akasbi, M., D.W. Shoeman and A.S. Csallany. 1993. High performance liquid chromatography of selected phenolic compounds in olive oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 70: 367–370. Amiot, M.J., M. Tachimi, S.Y. Aubert and W. Oleszek. 1995. Influence of Cultivar, Maturity Stage, and Storage Conditions on Phenolic Composition and Enzymatic Browning of Pear Fruits, J. Agric. Food Chem 43: 11321137. Anonim, 2011. Meniran (Phyllanthus niruri), Plantamor.com situs dunia tumbuhan. http://www.plantamor.com/index.php?plant=990 (diakses 11 Agustus 2011) Arima, H. and G. Danno. 2002. Isolation of Antimicrobial Compound from Guava (Psidium guajava L.) and Their Structural Elucidation, Bioscience, Biotechnology and Biochemistry 66(8): 1727-1730. Arin, M.J., M.T. Diez and J.A. Resines. 1995. High-performance liquid chromatographic determination of phenolic acids isolated from plants. J. Liq. Chromatogr. 18(20): 4183-4192. Astari, E.Y. 2008. Pengaruh pemberian decocta daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC.] terhadap penurunan kadar asam urat serum pada mencit putih jantan galur Balb-C hiperurisemia. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Ayuningsih, W. 2006. Telaah kandungan kimia umbi daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.). Skripsi Sekolah Farmasi ITB. http://www.bahanalam.fa.itb.ac.id (diakses 5 Mei 2009).
170
Azar, M., E. Verette and S. Brun. 1987. Identification of Some Phenolic Compounds in Bilberry Juice Viccinium myrtillus. J. Food Sci. 52: 12551257 Bagalkotkar, G., S.R. Sagineedu, M.S. Saad and J. Stanslas. 2006. Phytochemical from Phyllanthus niruri Linn. and Their Pharmacological Properties: A Review, J. Pharm Pharmacol. 58(12): 1559-1570. Bauer, R. 1998. Quality criteria and standardization of phytopharmaceuticals: can acceptable drug standards be achieved? Drug Information Journal 32:101110. Bilyk, A. and G.M. Sapers. 1986. Varietal differences in the quercetin, kaempferol, and myricetin contents of highbush blueberry, cranberry, and thornless blackberry, J. Agric. Food Chem. 34: 585-588. Block, G. and L. Langseth. 1994. Antioxidant vitamins and disease prevention. Food Technology July: 80-84. Block, G. 1992. A role for antioxidants in reducing cancer risk. Nutition Review 50: 207-213. Bors, W., W. Heller, C. Michael and M. Saran. 1990. Flavonoids as antioxidants: determination of radical-scavenging efficiencies. Methods in Enzymology 186: 343-355. Bosch, C.H. 2004. Gynura pseudochina (L.) DC. In: Grubben, G.J.H. & Denton, O.A. (Editors). PROTA 2: Vetertables/Legumes. [CD-Rom]. PROTA, Wageningen, Netherlands. BPOM RI. 2004a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. BPOM RI. 2004b. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 1, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta. BPOM RI. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume 2, Badang Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta. Bronner,W.E. and G.R. Beecher. 1995. Extraction and measurement of prominent flavonoids in orange and grapefruit juice concentrates. J. Chromatogr. A 705(2): 247.256. Cao, G., E. Sofic and R.L. Prior. 1997. Antioxidant and pro-oxidant hehavior of flavonoids: structure-activity relationships. Free Radical Biology and Medicine 22(5): 749-760.
171
Careri, M., M. Mangia and M. Musci. 1998 Overview of the applications of liquid chromatography-mass spectrometry interfacing systems in food analysis: Naturally occurring substances in food. J Chromatogr A. 794: 263–297. Carbonneau, M.A., C.L. Lager, L. Monnier, C. Bonnet, F. Michel, G. Fouret, F. Deieu and B. Descomps. 1997. Supplementation with wine phenolic compounds increases the antioxidant capacity of plasma and vitamin E of low-density lipoprotein without changing the lipoprotein Cu2+ oxidazability: possible explanation by phenolic location. European Journal of Clinical Nutrition 51: 682-690. Carle, R., I. Fleischhauer and D. Fehr. 1987. Judgement of quality of chamomile oil, Dtsch. Apoth. Ztg. 127(47):2451-2457. Chaudhary, M.I., H. Qing, P.G. Xiao and Y.Y. Cheng. 2007. Clematis huchouensis Tamura: A tradisonal Chinese herbal medicine and its quality control using a high performance liquid chromatography technique, Biol. Pharm. Bull. 30(1): 165-168. Chen, J., H. Zhao, X. Wang, F.S. Lee, H. Yang and L. Zheng. 2008. Analysis of major alkaloid in rhizoma coptidis by capillary electrophoresiselectrospray-time of flight mass spectrometry with different background elektrolytes, Electrophoresis 29(10): 2135-2147. Chen, Z.Y., P.T. Chan, K.Y. Ho, K.P. Fung and J. Wang. 1996. Antioxidant activity of natural flavonoids is governed by number and location of their aromatic hydroxyl groups. Chemistry and Physics of Lipids 76: 157-163. Cheng, Z.H., G.X. Chou and Z.T. Wang. 2005. A study on quality standard for Herba Siegesbeckidae. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi 30(4): 257-259. Chiavari, G., V. Concialini and G.C. Galletti. 1988. Electrochemical detection in the high-performance liquid chromatographic analysis of plant phenolics. Analyst. 113: 91–94. Cook, N.C. and S. Samman. 1996. Flavonoids, chemistry, metabolism, cardioprotective effects amd dietary sources. Journal of Nutritional Biochemistry 7: 66-76. Cova, D., L. De Angelis, F. Giavarini, G. Palladini and R. Parego. 1992. Pharmacokinetics and metabolism of oral diosmin in healthy volunteers. International Journal of Clinical Pharmacology Therapeutics and Toxicology 30: 279-286. Cresswell, J.C., O.A. Runquist and M.M. Campbell, 1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik, Edisi Ke-2, Diterjemahkan oleh K. Padmawinata dan I. Soediro, Penerbit ITB, Bandung
172
Croft, K.D. 1999. Antioxidant effects of plant phenolic compounds. In T.K. Basu, N.J. Temple, & M.L. Garg (Eds.), Antioxidants in human health and disease. New York: CABI Publishing. Crozier, A., M.E.J. Lean, M.S. McDonald and C. Black. 1997. Quantitative Analysis of The Flavonoid Content of Commercial Tomatoes, Onions, Lettuce, and Celery, J. Agric. Food Chem. 45: 590-595. Dalimartha, S. 2008. Atlas tumbuhan obat Indonesia, Jilid 2, Cetakan X, Jakarta: Trubus Agriwidya. Damle, M.C., S.H. Gala, A.A. Joshi, K. Rajagopalan and S. Vora. 2011. Phyllanthus Niruri, Pharmainfo.net http://www.pharmainfo.net/reviews/ phyllanthus-niruri, diakses 5 September 2011. Davies, F.G. 1979. The genus of Gynura (Compositae) in Eastern Asia and Himalayas. Kew Bulletin. 33(4): 629-640. Davies, F.G. 1980. The genus of Gynura (Compositae) in India, Sri Lanka abd the Seychelles. Kew Bulletin. 35(2): 373-367. Delage, E., G.B. Baron and J-F. Drilleau. 1991. High-performance liquid chromatography of the phenolic compounds in the juice of some French cider apple varieties. J Chromatogr. 555: 125–136. de Rijke, X.B., P.N.M. Demacker, N.A. Assen, L.M. Sloots, M.B. Katan and A.F.H. Stalenhoef. 1996. Red wine consumption does not effect oxidizability of low density lipoproteins in volunteers. American Journal of Clinical Nutrition 63: 329-334. Depkes RI. 1977-1995. Materia Medika Indonesia Jilid I-VI, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Deswati. 2009. Pengaruh cara pengeringan dengan microwave terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan aktivitas antioksidan dari daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) Merr.]. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Padang Dick, A.J., P.R. Redden, A.C. de Marco, P.D. Lidster and T.B.Grindley. 1987. Flavonoid glycosides of Spartan apple peel. J. Agric. Food Chem. 35(4): 529-531. Dolan , J.W. 2000. Starting out right, Part I . Selecting the tools. LC GC-Mag. Sep. Sci. 13(1): 12-15.
173
Dutta, S. and S. Das. 2011. Effect of the leaves of Psidium guajava Linn. on experimentally induced colitis in animal models. IJGP. 5(1): 55-60. Ewald C., S. Fjelkner-Modig, K. Johansson, I. Sjoholm and B. Akesson. 1999. Effect of processing on major flavonoids in processed onions, green beans, and peas, Food Chem. 64: 231-235. Erlund, I., G. Alfthan, H. Siren, K. Ariniemi and A. Aro. 1999. Validated method for the quantitation of quercetin from human plasma using highperformance liquid chromatography with electrochemical detection, J. Chromatogr. A 727: 179-189 Fernandez de Simon, B., J. Perez-Ilzarbe, T. Hernandez, C. Gomez-Cordoves and I. Esterella. 1990. HPLC study of efficiency of extraction of phenolic compounds, Chromatogr. 30: 35-37 Fernandez de Simon, B., J. Perez-Ilzarbe, T. Hernandez, C. Gomez-Cordoves and I. Esterella. 1992. Importance of phenolic compounds for the characterization of fruit juices. J. Agric. Food Chem. 40: 1531-1535 Finger, A., U.H. Engelhardt and V. Wray. 1991. Flavonol glycosides in tea – kaempferol and quercetin rhamnodiglucosides. J. Sci. Food Agric. 55: 313321 Fitria, A.T. 2008. Efek ekstrak etanol daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC] terhadap penurunan kadar asam urat mencit putih jantan galur Balb-C. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Frankel, E.N., A.L. Waterhouse and P.L. Teissedre.1995. Principle phenolic phytochemicals in selected Californian wines and their antioxidant activity in inhibitung oxidation of human low-density lipoproteins. Journal of Agricultural and Food Chemistry 43: 890-894. Fu, P.P., Y.C. Yang, Q. Xia, M.W. Chou, Y.Y. Cui and G.Lin. 2002. Pyrrolizidine alkaloids – Tumorigenic components in Chinese herbal medicines and dietary supplements. Journal of Food and Drug Analysis 10(4): 198-211. Gaedcke, F., B. Steinhoff and H. Blasius. 2003. Herbal Medicinal Product. Medpharm Scientific Publisher, Stuttgart, Germany Galensa, R. and K. Herrmann. 1980a. Analysis of flavonoids by high-performance liquid chromatography. J. Chromatogr. 189: 217-224 Galensa R. and K. Herrmann. 1980b. Hochdruck flussigkeits chromatographische bestimmung von hesperidin in orangensaften, Dtsch. Lebensm-Rundsch 76: 270-273 Giachetti, C., C. Tognolono, P. Gnemi and A. Tenchoni. 1999. Simultaneous determination of trans- and cis-resveratrol in spiked plasma by high-
174
performance liquid chromatography with photo-diode array UV-Vis and fluorimetric detection. Chromatogr. 50: 571–577. Goupy, P.M., P.J.A. Varoquaux, J.J. Nicolas and J.J. Macheix. 1990. Identification and localization of hydroxycinnamoyl an flavonol derivatives from endive (Cichorium endivia L. cv. geante Maraichere) leaves. J. Agric. Food Chem. 38: 2116-2121 Gorinstein, S., M. Zemser and M. Weisz. 1994. Fluorometric analysis of phenolics in persimmons. Biosci Biotech Biochem 58: 1087–1092. Griffiths, L. 1982. Mammalian metabolism of flavonoids. In: J. Harborne and T. Marby (eds). The Flavonoids: Advances in Research. Chapman and Hall, London, hal. 681-718. Gu, L.H., T. Wu, Z.J. Zhang, G.X. Chou and Z.T. Wang. 2006. Evaluation of antioxidant activity of radix linderae and other two Chinese drugs using TLC-bioautography. Yao Xue Xue Bao 41(10): 956-962. Hackett, A.M. 1983. The metabolism and excretion of (+)-14C-cyanidenol-3 in man following oral administration. Xenobiotica 13: 279-286. Halliwell, B. and J.M.C. Gutteridge. 1990. The antioxidants of human extracellular fluids. Archives of Biochemistry and Biophysics 280: 1-8. Halliwell, B. 1994. Free radicals, antioxidants and human disease: curiosity, cause or consequence? Lancet 344: 721-724. Halliwell, B. (1996). Oxidative stress, nutrition and health. Experimental strategies for optimation of nutritional antioxidant intake in humans. Free Radical Research 25: 54-74. Halliwell, B., J.M.C. Gutteridge and C.E. Cross. 1992. Free radicals, antioxidants and human disease: where are we now? Journal of Laboratory Clinical Medicine 119: 598-620. Halliwell, B., R. Aeschbach, J. Loliger and O.I. Aruoma. 1995. The Characterization of Antioxidants, Food Chemical Toxicity 33: 601-617. Harborne, J.B. 1965. Plant Polyphenols XIV. Characterization of flavonoid glycosides by acidic and enzymic hydrolysis, Phytochem. 4: 107-120. Harborne, J.B. 1988. The Flavonoids: Recent Advances. In: Goodwin, T.W. ed. Plant Pigments. Academic Press, London Harborne, J.B. 1989. Plant polyphenol. In: Dey, P.M. and J.B. Harborne (Eds.), Methods in Plant Biochemistry, Vol. 1, Academic Press, London. Harborne, J.B. 1994). The flavonoids: advances in research since 1986, Chapman and Hall, London
175
Harborne, J.B. 1998. Phytochemical methods: a guide to modern techniques of plant analysis, Chapman and Hall, London Harborne, J.B. and H. Baxter, Eds. 1999. The handbook of natural flavonoid, Vol 1 dan 2, John Wiley and Sons, Chichester Harmita, 2004. Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(3): 117-135 Haslam, E. 1996. Natural polyphenols (vegetable tannins) as drug: possible modes of action. J. Nat. Prod. 59(2): 205-215 Haslam, E. 1998): Practical poliphenolics, from structure to molecular recognition and physiological action, Cambridge University Press, Cambridge. Heinonen, I.M., A.S. Meyer and E.N. Frankel. 1998. Antioxidant activity of berry phenolic on human low-density lipoprotein and liposome oxidation. J. Agric. Food Chem. 46(10): 4107-4112. Hermann, K. 1989. Occurence and content of hydrocinnamic acid and hydroxybenzoic acid compounds in food. Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 28: 315-347. Hertog, M.G.L., P.C.H. Holman and D.P. Venema. 1992a. Optimation of a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids in Vegetables and Fruits. J. Agi. Food Chem. 40: 1591-1598. Hertog, M.G.L., P.C.H. Holman and M.B. Katan. 1992b. Content of potentially antiarcinogenic flavonoids of 28 vegetables and 9 fruits commonly consumed in The Netherlands J. Agi. Food Chem. 40: 2379-2383. Hertog, M.G.L., E.J.M. Feskens, P.C.H. Hollman, M.B. Katan and D. Kromhout. 1993. Dietary antioxidant flavonoids and risk of coronary heart disease, The Zutphen Elderly Study. Lancet 342: 1007-1011. Herwindriandita. 2006. Telaah fitokimia daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Skripsi Sekolah Farmasi ITB. http://www.bahan-alam.fa.itb.ac.id (diakses 5 Mei 2009). Hollman, P.C.H. and D.P. Venema. 1993. The content of potentially anticarcinogenic ellagic acid in plant foods. In: Waldron, K.W., I.T. Johnson and G.R. Fenwick (eds.). Food and Cancer Prevention: Chemical and Biological Aspects. Royal Society of Chemistry, Cambridge Hollman, P.C.H., J.H. van Vries, S.D. van Leeuwen, M.J. Mengelers and M.B. Katan. 1995. Absorption of dietary quercetin glycosides and quercetin in healthy ileostomy volunteers. American Journal of Clinical Nutrition 62: 1276-1282.
176
Hollman, P.C.H., J.M.P. van Trijp and N.C.P. Buysman. 1996. Fluorescence detection of flavonols in HPLC by postcolumn chelation with aluminium. Anal. Chem. 68: 3511–3515. Hollman, P.C.H. 1997. Bioavailability of Flavonoids. European Journal of Clinical Nutrition 51: S66-S69. Hu, P., G.A. Luo, Z. Zhao and Z.H. Jiang. 2005. Quality assessment of radix Salviae miltiorrhizae. Chem. Pharm. Bull. 53(5): 481-486. Hutajulu, T.F., R. Sari dan E.S. Hartanto. 2009. Analisis kandungan senyawa pirolizidin dalam hasil olahan kering teh herbal daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC). Journal of Agro-Based Industry. 26(2): 1-12 Ishiharu, K., K. Yoshimatsu, T. Yamakawa, H. Kamada and K. Shimomura. 1992. Phenolic constituents in tissue cultures of Phyllanthus niruri, Phytochem. 31(6): 2015-2018 Jaworski, A.W. and C.Y. Lee. 1987. Fractionation and HPLC determination of grape phenolics. J Agric Food Chem 38: 257–259. Justesen, U., P. Knuthsen and T. Leth. 1998. Quantitative analysis of flavonols, flavones, and flavanones in fruits, vegetables and beverages by highperformance liquid chromatography with photo-diode array and mass spectrometric detection. J. Chromatogr. A 799: 101-110. Kadiman, K. 2006. Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek Bidang Kesehatan dan Obat 2005–2025, Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Jakarta Kandaswami, G., E. Perkins, D.S. Soloniuk, G. Drzewiecki and E. Middleton. 1993. Ascorbic acid enhanced antiproliferative effect of flavonoids on squamous cell carcinoma in vitro. Anticancer Drugs 4: 91-96. Kanes, K., B. Tisserat, M. Berhow and C. Vandercook. 1993. Phenolic composition in various tissues of rutaceae species. Phytochem. 32: 967-974 Kato, Y., Y. Ogino, T. Aoki, K. Uchida, S. Kawakishi and T. Osawa. 1997. Phenolic antioxidants prevent peroxynitrite-derived collagen modification in vitro. J. Agric. Food Chem. 45: 3004-3009. Khadeem, E.H.E. and Y.S. Muhammed. 1959. Constituents of the leaves of Psidium guajava L. J. Chem. Soc. 11: 3320-3323. Khalifah, N. 2008. Pengaruh ekstrak kasar senyawa alkaloi dari daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] terhadap aktivitas enzim lipase. Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Malang. Kiehne, A. and U.H. Engelhardt. 1996Thermospray -LC-MS analysis of various groups of polyphenols in tea. Z Lebensm-Unters Forsch. 202; 48–54.
177
Kuninori, T and J. Nishiyama. 1986. Separation and quantitation of ferulic acid and tyrosin in wheat seeds (Triticum aestivum) by reversed-phase highperformance liquid chromatography. J. Chromatogr. 362: 255-262 Laranjinha, J.A.N., L.M. Almeida and V.M.C. Madeira. 1994. Reactivity of dietary phenolic acids with peroxyl radicals: antioxidant activity upon low density lipoprotein peroxidation. Biochemical Pharmacology 48: 487-494. Lazarowych, N.J. and P. Pekos. 1998. Use of fingerprinting and marker compounds for identification and standardization of botanical drugs: strategies for applying pharmaceutical HPLC analysis to herbal product. Drug Information Journal 32: 497-512. Lee, M.J., Z.Y. Wang, H. Li, L. Chen, Y. Sun, S. Gabbo, D.A. Balentine and C.S. Yang. 1995. Analysis of plasma and urinary tea polyphenols in human subjects. Cancer Epidemiology, Biomarker and Preventors 4: 393-399. Lee, H.S and B.W. Widmer. 1996., Phenolic compounds. In: Handbook of Food Analysis. Physical Characterization and Nutrient Analysis. Vol. 1, Marcel Dekker, Inc., New York, USA. Li, Q.M. and M. Claeys. 1994. Characterization and differentiation of diglycosyl flavonoids by positive ion fast atom bombardment and tandem mass spectrometry. Biol Mass Spectrom. 23: 406–416. Li, Y., Z. Hu and L. He. 2007. An approach to develop binary chromatographic fingerprints of the total alkaloids from Caulophyllum robustum by high performance liquid chromatography/diode array detector and gas chromatography/mass spectrometry. J Pharm Biomed Anal. 43(5): 1667-72. Li, B.Y., Y. Hu, Y.Z. Liang, P.S. Xieb and Y.P. Du. 2004. Quality evaluation of fingerprints of herbal medicine with chromatographic data. Analytica Chimica Acta 514: 69-77 Liang, Y.Z., P. Xie and K. Chan. 2004. Quality control of herbal medicines. J. Chromatogr. B 812: 53-73 Lin, Y.Y., K.J. Ng and S. Yang. 1993Characterization of flavonoids by liquid chromatography-tandem mass spectrometry. J. Chromatogr. 629: 389–393. Lin, T.J., K.J. Zhang and G.T. Liu. 1996. Effects of salvianolic acid A on oxigen radicals released by rat neutrophils and on neutrophil function. Biochemical Pharmacology 51: 1237-1241. Liu, H.X., S.Q. Sun, G.H. Lv and K.K.C. Chan. 2006. Study on angelica and its different extracts by Fourier transform infrared spectroscopy and twodimentional correlation IR spectroscopy, Spectrochimica Acta, Part A 64: 321-326.
178
Liu, X.Q., L.L. Du, W.W. Li, H.F. Guan and F. Liu. 2008. Simultaneous qualitative and quantitative analysis of commercial bistorta rhizome and its differentiation from closely related herbs using TLC and HPLC-DAD fingerprinting, Chem. Pharm. Bull. 56(1): 75-78. Lu, H.M., Y.Z. Liang and S. Chen. 2006. Identification and quality assessment of Houttuynia cordata injection using GC-MS fingerprint: a standardization approach. J. Ethnopharmacol. 105(3): 436-440. Lunte, S.M. 1987. Structural classification of flavonoids in beverages by liquid chromatography with ultraviolet-visible and electrochemical detection. J Chromatogr. 384: 371–382. Luthria, L. 2006. Influence of Sample Preparation on the Assay of Phytochemicals, American Laboratory, March 2006: 12-14 Macheix, J.J. and A. Fleuriet. 1998. Phenolic acids in fruits, In: Rive-Evans, C.A. and L. Packer (Eds.), Flavonoids in Health and Disease, Marcel Dekker Inc., New York. Macheix, J.J., A. Fleuriet and J. Billot. 1990. Fruit phenolics. CRC Press, Boca Raton, USA. Mahanom, H. , A.H. Azizah and M.H. Dzulkifly. 1999. Effect of different drying methods on concentrations of several phytochemicals in herbal preparation of 8 medicinal plants leaves. Mal J Nutr 5:47-54 Majors, R.E. 2001. New chromatography columns and accessories at the 2001 Pittsburgh Conference, Part 1. LC GC Eur. 14(5): 284-301 Manach, C., C. Morand and V. Crespy. 1998. Quercetin is recovered in human plasma as conjugated derivatives which retain antioxidant properties. FEBS Lett. 426: 331-336 Mangan, Y. 2003. Cara bijak menaklukkan kanker. Jakarta: AgroMedia Mann, J. 1978. Secondary metabolism. Oxford Chemistry Series, Clarendon Press, Oxford. Mariani. 2010. Pengaruh jenis pelarut ekstraksi terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan daya antioksidan daun dewa [Gynura pseudochina (Lour.) DC]. Skripsi. Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Padang Markham, K.R. 1982. Technique of flavonoid identification, Academic Press, New York, USA. Markham, K.R. 1989. Flavones, flavonols and their glycoside, In: Dey, P.M. and J.B. Harborne (Eds.) Methods in Plant Biochemistry, Vol. 1 Plant Phenolics, Academic Press, London
179
Marko-Varga, G. and D. Barcelo. 1992. Liquid chromatographic retention and separation of phenols and related aromatic compounds on reversed phase columns. Chromatogr. 34: 146–154. Mauri, P.L., L. Iemoli and C. Gardana. 1999. Liquid chromatography/electrospray ionization mass spectrometric characterization of flavonol glycosides in tomato extracts and human plasma. Rapid Comm Mass Spectr. 13: 924–931. Mazza, G. and Y.S. Velioglu. 1992. Anthocyanins and other phenolic compounds in fruits of red-flesh apples. Food Chem 43: 113–117. McRae, K.B., P.D. Lidster, A.C. DeMarco and A.J. Dick. 1990. Comparison of the polyphenol profiles of apple fruit cultivars by correspondence analysis, J. Sci. Food Agric. 50: 329-342 Merken, H.M. and G.R. Beecher. 2000. Measurement of food flavonoids by highperformance liquid chromatography: a review. J. Agric. Food Chem. 48: 577-599 Metwally, A.M., A.A. Omar, N.M. Ghazy, F.M. Harraz and A.M. El Sohafy. 2011. Monography of Psidium guajava L. leaves. Phcog J. 3(21): 89-104 Mitra, S. and R. Brukh. 2003. Sample Preparation: An Analytical Perspective, in Sample Preparation Techniques in Analytical Chemistry, (Ed: Mitra, S.), New York: John Wiley & Sons, Inc., 1-36 Möller, B. and K. Herrmann. 1983. Quinic acid esters of hydroxycinnamic acids in stone and pome fruit. Phytochem. 22: 477–481. Morrow, J.D. and L.J. Roberts. 1996. The isoprostanes: current knowledge and directions for future research. Biochemical Pharmacology 51: 1-9. Mosquera, O.M., Y.M. Correa, D.C. Buitrago and J. Nino. 2007. Antioxidant activity of twenty five plants from Columbian biodiversity. Mem Inst Oswaldo Cruz 102(5): 631-634 Mosquera, O. M., Y.M. Correa, and J. Nino. 2009. Antioxidant activity of plants extract from Colombian flora, Braz. J. Pharmacogn., 19(2A), 382-387 Mouly, P., E.M. Gaydou and J. Estienne. 1993. Column liquid chromatographic determination of flavanone in citrus, J. Chromatogr. 634: 129-134 Nardini, M., M. D’Aquino, G. Tomassi, V. Gentili, N. Di Felice and C. Scaccini. 1995. Inhibition of human LDL oxidation by caffeic acid and other hydroxycinnamic acid derivatives. Free Radical Biology and Medicine 19: 541-552. Nash, R.J., H.P. Parry and A.A. Watson. 2006. Method for monitoring the quality of a herbal medicine, US Patent No. 2006/0003029 A1.
180
Natarajan, K. S. Singh, T.R. Burke, D. Grunberger and B.B. Aggarwal. 1996. Caffeic acid phenethyl ester is a potent and specific inhibitor of activation on nuclear transcription factor NF-B. Proceedings of the National Academy of sciences, USA 93, 9090-9095. Nielson, J.K., C.E. Olsen and M.K. Peterson. 1993. Acylated flavonol glycosides from cabbage leaves, Phytochem. 34: 539-544 Novayanti, D. 2009. Pengaruh ekstrak daun dewa (Gynura pseudochina (Lour.) DC.) terhadap waktu perdarahan and koagulasi pada tikus putih (Rattus norwegicus L.). Skripsi Sarjana. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Pace-Asciak, C.R., S. Hahn, E. Diamandis, G. Soleas and D.M. Goldberg. 1995. The red wine phenolics trans-resveritrol and quercetin block human platelet aggregation and eicosanoid synthesis: implication for protection against coronary heart disease. Clinica Chimica Acta 235: 207-219. Paganga, G. and C.A. Rice-Evans. 1997. The identification of flavonoids as glycosides in human plasma. FEBS Letters 401: 78-82. Palav, Y.K and P.M.D. Priscilla. 2006. Standardization of selected Indian medicinal herbal raw materials containing polyphenol as major phytoconstituents, Indian Journal of Pharmaceutical Sciences 68(4): 506509 Peleg, H., M. Naim, R.L. Roussef and U. Zehavi. 1991. Distribution of bound and free phenolic acids in oranges (Citrus sinensis) and grapefruit (Citrus paradisi), J. Sci. Food Agric. 57: 417-426 Pennarietta, J.M., Alvarado, J.A., Akesson, B. and Bergenstahk, B. 2007. Separation of phenolic compounds from foods by reversed-phased high performance liquid chromatography. Bolivian Journal of Chemistry 24(1): 1-4. Perry, L.M. 1980. Medicinal Plants of East and South East Asia: Attributed Properties and Uses. MIT Press, Cambridge, M.A. Pewnim, T. 1993. Production of peroxidase from plants in the Thachin basin. Research Abstract: Silpakorn University 1993: 156 Pewnim, T. and S. Thadaniti. 1988. Study on medicinal plants of the Thachin basin with emphasis on the chemical and biological properties. Research Summary: Silpakorn University No. 3: 158 Pietta, P., R.M. Facino, M. Carini and P. Mauri. 1994. Thermospray liquid chromatography-mass spectrometry of flavonol glycosides from medicinal plants. J Chromatogr A. 661: 121–126. Poon, G.K. 1998. Analysis of catechins in tea extracts by liquid chromatographyelectrospray ionization mass spectrometry. J Chromatogr. 794: 63–74.
181
Pourmorad, F., S.J. Hosseinimehr, N. Sgahabimajd. 2006. Antioxidant activity, phenol and flavonoid contents of some selected Iranian medicinal plants, African Journal of Biotechnology 5(11): 11-42-1145. Price, K.R., T. Prosser, A.M.F. Richetin and M.J.C. Rodes. 1999. A comparison of the flavonol content and composition in desert, cooking and cidermaking apples; distribution within the fruit and effect of juicing, Food Chem. 66: 489-494. Prihanti, A.M.H. 2008. Pengaruh pemberian perasan daun dewa [Gynura segetum (Lour.) Merr.] terhadap bleeding time dan cloting time pada tikus Wistar jantan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember. Puddey, I.B. and K.D. Croft. 1997. Alcoholic beverages and lipid peroxidation: relevance to cardiovascular disease. Addiction Biology 2: 269-276. Pussayanawin, V. and D.L. Wetzel. 1987. High-performance liquid chromatographic determination of ferulic acid in wheat milling fractions as a measure of bran contamination. J Chromatogr 391: 243–255. Putri, C.A.R. 2006. Efek infusum daun dewa [Gynura segetum (Lour.) Merr.] terhadap hambatan respon rasa nyeri: Penelitian eksperimental laboratoris pada mencit Balb C. Skripsi. Universitas Airlaingga, Surabaya. Qi, X., B. Wu, Y. Cheng and H. Qu. 2009. Simultaneous characterization of pyrrolizidine alkaloids and N-oxides in Gynura segetum by liquid chromatography/ion trap mass spectrometry. Rapid Commun. Mass Spectrom. 23(2): 291-302 Qian, G.S., Q. Wang, K.S. Leung, Y. Qin, Z. Zao and Z.H. Jiang. 2007. Quality assessment of rhizoma et radix notopterygii by HPTLC and HPLC fingerprinting and HPLC quantitative analysis. J. Pharm. Biomed. Anal. 44(3): 812-817. Ramírez-Durón, R., L. Ceniceros-Almaguer, R. Salazar-Aranda , L. SalazarCavazos and N. Waksman de Torres. 2007. Evaluation of thin-layer chromatography methods for quality control of commercial products containing Aesculus hippocastanum, Turnera diffusa, Matricaria recutita, Passiflora incarnata, and Tilia occidentalis. J AOAC Int. 90(4): 920-924 Regnault-Roger, C., R. Hadidane, J.F. Biard and K. Boukef. 1987. High performance liquid and thin-layer chromatographic determination of phenolic acids in palm (Phoenix dactilifera) products. Food Chem 25: 61– 71. Ribereau-Gayon, P. 1972. Plant Phenolics. New York, USA: Hafner Rice-Evans, C.A., N. Miller and G. Paganga. 1996. Structure-antioxidant Activity Relationships of Flavonoids and Phenolic Acids. Free Radic. Biol. Med. 20(7): 933-956.
182
Robards, K. and M. Antolovich. 1997. Analytical chemistry of fruit bioflavonoids: a review, Analyst. 122(2): 11R-34R. Rommel, A. and R.E. Wrolstad. 1993a. Influence of acid and base hydrolysis on the phenolic composition of red raspberry juice, J. Agric. Food. Chem. 41: 1237-1241 Rommel, A. and R.E. Wrolstad. 1993b. Composition of flavonol in red raspberry juice as influenced by cultivar, processing, and environment factors, J. Agric. Food. Chem. 41: 1941-1950 Rouseff, R.L., K. Seetharaman, M. Naim, S. Nagy and U. Zahevi. 1992a. Improved HPLC determination of hydroxycinnamic acids in orange juice using solvents containing THF, J. Agic. Food Chem. 40: 1139-1143 Rouseff, R.L., G.R. Dettweiler and R.M. Swaine. 1992b. Solid-phase extraction and HPLC determination of 4-vinyl guaiacol and its precursor, ferulic acid, in orange juice, J. Chromatogr. Sci. 30: 383-387 Sabatier, S., M.J. Amiot, M. Tacchini and S. Aubert. 1992. Identification of flavonoids in sunflower honey. J. Food Sci. 57: 773-777 Sajuthi, D., L.K. Darusman, I.H. Suparto, A. Imanah. 2000. Potensi senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudochina) sebagai antikanker, Tahap I. Buletin Kimia (Indonesia) 1(1): 23-29 Sajuthi, D. 2001. Ekstraksi, fraksinasi, karakterisasi dan uji hayati in vitro senyawa bioaktif daun dewa (Gynura pseudochina) sebagai antikanker, Tahap II. Buletin Kimia 1: 75-79 Sarmoko, 2011. Fitofatmaka di Indonesia. http://moko31.wordpress.com/ 2009/05/01/fitofarmaka-di-indonesia/ diakses tanggal 14 Oktober 2011. Scalbert, A., I.T. Johnson and M. Saltmarsh. 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond, Am. J. Clin. Nutr. 81(suppl.): 215S-217S. Schmidt, T.J., I. Merfort and G. Willuhn. 1994. Gas chromatography-mass spectrometry of flavonoid aglicones II. Structure-retention relationships and a possibility of differentiation between isomeric 6- and 8-methoxyflavones, J. Chromatogr. A. 669: 236-240 Schofield, J.A., A.E. Hagerman and A. Harold. 1998. Loss of tannins and other phenolics from willow leaf litter. J. Chem. Ecol. 24(8): 1409-1421 Schreiber, A., R. Carle and E. Reinhard. 1990. On the accumulation of apigenin in chamomile flowers Planta Medica 56:179-181 Schuster, B. and K. Herrmann. 1985. Hydroxybenzoic and hydroxycinnamic acid derivatives in soft fruits. Phytochem. 24: 2761–2764.
183
Seo,
A. and C.V. Morr. 1984. Improved high-performance liquid chromatographyc analysis of phenolic acids and isoflavonoids from soybean protein products, J. Agric. Food Chem. 32: 530-533
Shahidi, F. and P.K.J.P.D. Wanasundara. 1992. Phenolic antioxidants. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 32(1): 67-103. Shakil, N.S., Pankaj, J. Kumar, R.K. Pandey and D.B. Saxena. 2007. Nematicidal prenylated flavanones from Phyllanthus niruri. Phytochemistry Sep 2007: [Epub ahead of print] Sharpe, P.C., L.T. McGrath, E. McLean, I.S. Yound and G.P. Archibold. 1995. Effect of red wine consumption on lipoprotein (a) and other risk factors for atherosclerosis. Quarterly Journal of Medicine 88: 101-108. Sriwatanametanon, N., B.L. Fiebich, T. Efferth, J.M. Prieto and M. Heinrich. 2010. Traditionally used Thai medicinal plants: in vitro anti-inflammatory, anticancer and antioxidant activities. J. Ethnopharmacol. 130(2): 196-207 Siriwatanametanon, N. and M. Heinrich. 2011. The Thai medicinal plant Gynura pseudochina var. hispida: chemical composition and in vitro NF-kappaB inhibitory activity. Nat Prod Commun. 6(5): 627-630 Smith, C., M.J. Mitchinson, O.I. Arudma and B. Helliwell. 1992. Stimulation of lipid peroxidation and hydroxyl radical generation by the contents of atherosclerotic lesions. Biochemical Journal 288: 901-905. Soedibyo, B.R.A.M. 1998. Alam sumber kesehatan: manfaat dan kegunaan. Balai Pustaka, Jakarta. Soleas, G.J., D.M. Goldberg and E.P. Diamandis. 1997. Towards the fingerprinting of wines: cultivar-related patterns of polyphenolic constituents in Ontario wines. Journal of Agricultural and Food Chemistry 45: 38713880. Srisuma N., R. Hammersschmidt, M.A. Uebersax, S. Ruengsakulrach, M.R. Bennink, G.L. Hosfield. 1989. Storage induced changes of phenolic acids and the development of hard-to-cook in dry beans (Phaseolus vulgaris, var. Seafarer). J Food Sci 54: 311–317. Stagg, G.V. and D.J. Millin. 1975. The nutritional and therapeutic value of tea – a review. Journal of Science, Food and Agriculture 26: 1439-1459. Strube, M., L.O. Dragstedt and J.C. Larsen, Eds. 1993. Naturally occuring antitumourigens. I. Plant Phenols. The Nordic Council of Minesters, Copenhagen. Suda, I., T. Oki, Y. Nishiba, M. Masuda, M. Konayashi, S. Nagai, R. Hiyane and T. Miyashige. 2005. Polyphenol contents and radical scavenging activity of
184
extracts from fruit and vegetables in cultivated in Okinawa, Japan, Nippon Shokuhin Kagaku Kaishi 52(10): 462-471. Sudarsono, A. Pudjoanto, D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, M. Drajad, S. Wibowo, dan Ngatidjan, 1996, Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan, 44-52, Pusat Penelitian Obat Tradisional, UGM, Yogyakarta. Sulaksana, J. 2004. Meniran Budi Daya dan Pemanfaatan Untuk Obat, Jakarta: Penebar Swadaya Sutthanut, K., B. Sripanidkulchai, C. Yenjai and M. Jay. 2007. Simultaneous identification and quantitation of 11 flavonoid constituents in Kaempferia parviflora by gas chromatography. J. Chromatogr. A. 1143(1-2): 227-233. Than, N.N., S. Fotso, B. Poeggeler, R. Hardeland and H. Laatsch. 2006. Niruriflavone, a new antioxidant flavone sulfonic acid from Phyllanthus niruri, Z. Natureforsch. 61(b): 1-4 Thomas, S.R., P.K. Witting and R. Stocker. 1996. 3-Hydroxyanthranilic acid is an efficient, cell-derived co-antioxidant for -tocopherol, inhibiting human low density lipoprotein and plasma lipid peroxidation. J. Biol. Chem. 271: 3271432721. Tomas-Lorente, F., C. Garcia-Viguera, F. Ferreres and F.A. Tomas-Barberan. 1992. Phenolic compounds analysis in the determination of fruit jam genuineness. J. Agric. Food Chem. 40: 1800-1804 Torres, A.M., T. Mau-Lastovicka and R. Rezaaiyan. 1987. Total phenolics and high-performance liquid chromatography of phenolic acids of avocado, J. Agric. Food Chem. 35: 921-925 Tyler, V.E. 1999. Phytomedicines: back to the future. Journal of Product. 62(11): 1589-92.
Natural
USDA, 2011. Plants Profil for Psidium guajava http://plants.usda.gov/java/profile (diakses 23 Juni 2011)
(guava).
Valentão, P., P.B. Andrade, F. Areias, F. Ferreres and R.M. Seabra. 1999. Analysis of vervain flavonoids by HPLC/diode array detector method. Its application to quality control. J. Agric. Food Chem. 47(11): 4579 -4582 Van Acker, S.A.B.E., D.J. Van Denberg, M.N.J.L. Tromp, D.H. Griffinoen, W.P. Van Bennekom, W.J.F. Van Dervijgh and A. Bast. 1996. Structural aspects of antioxidant activity of flavonoids. Free radical Biology and Medicine 20: 331-342. Vande Casteele, K., H. Geiger and C.F. van Sumere. 1983. Separation of phenolics (benzoic acids, cinnamic acids, phenylacetic acids, miscellaneous phenolics) and coumarins by reversed-phase high-performance liquid chromatography, J. Chromatogr. 258: 111-124
185
Van Sumere, C.F. 1989. Phenols and phenolic acids. In: Dey PM, Harborne JB, eds. Methods in Plant Biochemistry. London, UK: Academic Press, p. 29–74. Velkov, Z.A., M.K. Kolev and A.V. Tadjer. 2007. Modelling and statistical analysis of DPPH scavenging activity of phenolics. Collection of Czechoslovak Chemical Communication 72(11): 1461-1471. Viera, O., J. Laranjinha, V. Madeira and L. Almeida. 1998a. Cholesteryl ester hydroperoxide formation in myoglobin-catalysed low density lipoprotein oxidation: concerted antioxidation activity of caffeic and coumaric acids with ascorbate. Biochemical Pharmacology 55: 333-340. Viera, O., I. Escargueil-Blanc, O. Meilhac, J.P. Basile, J. Laranjinha, L. Almeida, R. Salvayre and A. Negre-Salvayre. 1998b. Effect of dietary phenolic compounds on apoptosis of human cultured endothelial cells induced by oxidized LDL. British Journal of Pharmacology 123: 565-573. Visioli, F. and C. Galli. 1994. Oleuropein protects low density lipoprotein from oxidation. Life Science 55: 1965-1971. Waksmundzka-Hajnos, M. 1998. Chromatografic separation of aromatic carboxylic acid, J. Chromatogr. B 717: 93-118. Wang, H., G. Cao and R.L. Prior. 1996. Total antioxidant capacity of fruits. J. Agric. Food Chem. 44(3): 701-705 Wang, Y., L. Yang, Y.Q. He, C.H. Wang, E,W. Welbeck, S.W. Bligh and Z.T. Wang. 2008. Characterization of fifty-one flavonoids in a Chinese herbal preparation Longdan Xiegan Decoction by high-performance liquid chromatography coupled to electrospray ionization tandem mass spectrometry and photodiode array detection. Rapid Commun. Mass Spectrom. 22(12): 1767-1778. Wang, Z., G. Ciabattoni, C. Creminon, J. Lawson, G.A. Fitzgerald, C. Patrono and J. Maclouf. 1995. Immunological characterization of urinary 8-epiprostaglandin F2 excretion in man. Journal of Pharmacology and Experimental Theraphy 275: 94-100. Waterman, P.G and S. Mole. 1994. Analysis of phenolic plant metabolites, In: Lawton, J.H. and G.E. Likens (Eds.), The Methods in Ecology Series, Blackwell Scientific Publicaions, Oxford Welsh, W.J., W. Lin, S.H. Tersigni, E. Collantes, R. Duta, M.S. Carey, W.L. Zielinski, J. Brower, J.A. Spencer and T.P. Layloff. 1996. Pharmaceutical fingerprinting: evaluation of neural networks and chemometric techniques for distinguishing among same-product manufacturers. Anal. Chem. 68(19): 3473 -3482 WHO. 2000. General guidelines for methodologies on research and evaluation of traditional medicine. World Health Organization, Geneva.
186
WHO. 2011. Quality control methods for herbal materials. World Health Organization, Geneva. Wildanger, W. and K. Herman. 1973. The phenolics of fruits. II. The flavonols of fruits, Z. Lebensm-Unters Forsch 151: 103-108. Williams, D.H. and I. Fleming. 1980. Spectroscopic methods in organic chemistry. 3rd Edition, McGraw-Hill Book Company (UK) Limited, Maidenhead, Berkshire, England. Xu, X., H.J. Wang, B.A. Murphy, L. Cook and S. Hendrich . 1994. Daidzin is a more bioavailable soymilk isoflavone than is genestein in adult women. Journal of Nutrition 124: 825-832. Yamanaka. N., O. Oda and S. Nagao. 1997. Pro-oxidant activity of caffeic acid, dietary non-flavonoid phenolic acid, on Cu2+-induced low density lipoprotein oxidation. FEBS Letters 405: 186-190. Yan, S., W. Xin, G. Luo, Y. Wang and Y. Cheng. 2006. Chemical fingerprinting of Gardenia jasminoides fruit using direct sample introduction and gas chromatography with mass spectrometry detection. J AOAC Int. 89(1): 405. Yang, M., J-Y. Li, X-Y. Li, L-B. Cong, J. Zhu, H. Xie, H-L. Yuan and X-H. Xiao. 2009. Simultaneous determination of senecionine, seneciphylline and Senecionine N-oxide in Gynura segetum by RP-HPLC. Analytical Letters. 42(12): 1820-1830 Yuan, S.Q., G.M. Gu and T.T. Wei. 1990. Studies on the alkaloids of Gynura segetum (Lour.) Merr. Yao Xue Xue Bao 25(3): 191-197 Zaini, R. 2006. Isolasi komponen bioaktif flavonoid dari tanaman daun dewa Gynura pseudochina (Lour) DC, Tesis¸Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zerizka. 2009. Pengaruh ekstrak etanol daun dewa [Gynura pseudochina (L.) DC] terhadap aterosklerosis. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang Zhen, W. and S.Y. Wang. 2001. Antioxidant activity and phenolic compounds in selected herbs, J. Agric. Food Chem. 49: 5165-5170.
187
Lampiran 1. Daftar ekstrak tumbuhan obat bahan alam Indonesia yang mengandung senyawa fenolat (BPOM RI, 2004b; BPOM RI, 2006) No.
Nama Simplisia
1
Buah Adas
2
Daun Jinten
3
Daun Ungu
4
Rimpang Jahe
5
Rimpang Jahe Merah
6
Daun Jambu Biji Daun Jambu Mete Daun Jati Blanda Daun Katu
7 8 9 10 11
Buah Kayu Putih Biji Kedawung
12
Rimpang Kencur
13
Daun Kumis Kucing Rimpang Kunyit Rimpang Lempuyang Gajah Rimpang Lengkuas Buah Mengkudu Herba Meniran Biji Pala
14 15
16 17 18 19 20 21
Akar Pasak Bumi Daun Salam
Nama Ilmiah Tumbuhan Foeniculum vulgare Miller Coleus amboinicis (L.) Spreng Graptophyllum pictum (L.) Griff. Zingiber officinale Rosc. Zingiber officinale (Willd.) Rosc. Var. rubrum Psidium guajava L.
Suku Apiaceae
Kandungan Fenolat Trans-anetol 7,8%
Lamiaceae
Flavonoid 5,2%
Acantaceae
Flavonoid 0,4%
Zingiberacea
Gingerol
Zingiberacea
Gingerol
Myrtaceae
Flavonoid 1,4%
Anacardium occidentale L. Guazuma ulmifolia Lamk. Sauropus androgynus (L.) Merr. Melaleuca leucadendron L. Parkia roxburghii G. Don. Kaempferia galanga L.
Anacardiaceae
Flavonoid 2,3%
Sterculiaceae
Flavonoid 3,2%
Euphorbiaceae
Flavonoid 0,5%
Myrtaceae
Flavonoid 5,6 %
Fabaceae
Flavonoid 3,2%
Zingiberaceae
Orthosiphon stamineus L. Curcuma domestica Val. Zingiber zerumbet L.
Lamiaceae
Etil-pmetoksisinamat 4,3% Flavonoid 1,1%
Zingiberaceae
Kurkuminoid 33,9%
Zingiberaceae
Kurkumin 1,8%
Languas galanga (L.) Stuntz. Morinda citrifolia L.
Zingiberaceae
Galangin
Rubiaceae
Skopoletin 0,4%
Phyllanthus niruri L. Myristica fragrans Houtt. Eurycoma longifolia Jack Syzigium polyanthum (Wigh.) Walp.
Euphorbiaceae Myristicaceae
Flavonoid 3,2% Miristisin
Simarubaceae
Tanin 5%
Myrtaceae
Tanin 21,7%
188
22 23 24 25 26 27 28 29
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Daun Sambung Nyawa Kayu Secang Herba Seledri Daun Sirih Daun Tapak Liman Daun Tempuyung Rimpang Temu Giring Rimpang Temu Kunci
Gynura procumbens (Lour.) Merr. Caesalpinia sappan L. Apium graviolens L. Piper betle L. Elephantopus scaber Linn. Sonchus arvensis L.
Asteraceae
Curcuma heyneana Val. dan V. Zyp. Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht. Curcuma xanthorrhiza Roxb. Averrhoa bilimbi L.
Zingiberaceae
Flavonoid 7glukosillutein 0,9% Kurkuminoid 2%
Zingiberaceae
Flavonoid 0,2%
Zingiberaceae
Kurkuminoid 14,2%
Merremia mammosa Hall Plantago major L.
Convolvulaceae
Punica granatum L.
Punicaceae
Flavonoid total 0,7% Polifenol total 10,6% Flavonoid total 0,1% Polifenol 2,8%
Rubiaceae
Katekin 90,0%
Kulit Kayu Rapat Daun Paliasa
Uncaria gambir (Hunter) Roxb. Parameria laevigata (Juss.) Moldenke Kleinhovia hospita L.
Kulit Batang Pulasari Daun Sembung
Alyxia reinwardtii Blume Blumea balsamifera
Apocynaceae
Rimpang Temulawak Daun Blimbing Wuluh Umbi Bidara Upas Daun Sendok Kulit Buah Delima Putih Daun Gambir
Caesalpiniaceae Apiaceae Piperaceae Asteraceae Asteraceae
Oxalidaceae
Plantaginaceae
Flavonoid 4% Brazilin Apiin 1,4% Flavonoid 0,3% Flavonoid 6,2%
Apocynaceae
Tanin 5%
Sterculiaceae
Flavonoid total 2,9% Kumarin 0,19%
Asteraceae
Flavonoid total 2,4%
189
Lampiran 2.
Hasil pengolahan data dengan Microsoft Excel 2007 untuk hasil pengukuran absorban hasil reaksi larutan standar asam galat dengan pereaksi Folin-Ciocalteau pada panjang gelombang 765 nm
Kadar
Serapan
25
0,200
SUMMARY OUTPUT
50
0,311
75
0,476
Multiple R
0,996688
100
0,665
0,993387
125
0,821
R Square Adjusted R Square Standard Error
Regression Statistics
0,991183 0,023774
Observations
5
ANOVA df
SS
MS
F 450,6752
Significance F
Regression
1
0,254722
0,254722
Residual
3
0,001696
0,000565
Total
4
0,256417
Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
0,0158
0,024934
0,633665
0,571312
-0,06355
0,006384
0,000301
21,22911
0,000229
0,005427
BD =
11,17196
BK = Recovery =
37,23987
Intercept X Variable 1
0,000229
Lower 95%
RESIDUAL OUTPUT
Observation
Predicted Y
Residuals
1
0,1754
0,0246
2
0,335
-0,024
3
0,4946
-0,0186
4
0,6542
0,0108
5
0,8138
0,0072
97%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
0,095152
-0,06355
0,095152
0,007341
0,005427
0,007341
190
Lampiran 3. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar Ekstraktif 95% Confidence Interval for Mean
Std. N
Mean
Deviation
Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Angin
3
184.767
.3512
.2028
183.894
185.639
184.4
185.1
Oven 40 C
3
208.533
.6028
.3480
207.036
210.031
207.9
209.1
Oven 60 C
3
194.923
.3150
.1819
194.141
195.706
194.6
195.2
Microwave
3
333.767
.9504
.5487
331.406
336.128
332.8
334.7
12
230.497
62.8955
18.1564
190.536
270.459
184.4
334.7
Total
ANOVA Kadar Ekstraktif Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
43511.328
3
14503.776
2.978
8
.372
43514.306
11
F 38956.356
Sig. .000
191
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar Ekstraktif (I) Cara
(J) Cara
Mean
95% Confidence Interval
Pengering Pengering Difference (I-
Tukey
an
an
Angin
Oven 40 C
-23.7667
Oven 60 C
-10.1567
Microwave
-149.0000
HSD
J)
Oven 40 C Angin
Std. Error .4982
.000
-25.362
-22.171
*
.4982
.000
-11.752
-8.561
*
.4982
.000
-150.595
-147.405
*
.4982
.000
22.171
25.362
*
.4982
.000
12.015
15.205
*
.4982
.000
-126.829
-123.638
*
.4982
.000
8.561
11.752
*
.4982
.000
-15.205
-12.015
*
.4982
.000
-140.439
-137.248
*
.4982
.000
147.405
150.595
*
.4982
.000
123.638
126.829
*
.4982
.000
137.248
140.439
Oven 60 C
13.6100
Microwave
-125.2333
10.1567
Oven 40 C
-13.6100
Microwave
-138.8433
Microwave Angin
Lower Bound Upper Bound
*
23.7667
Oven 60 C Angin
Sig.
149.0000
Oven 40 C
125.2333
Oven 60 C
138.8433
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar Ekstraktif Cara Pengeringan a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05 N
1
Angin
3
Oven 60 C
3
Oven 40 C
3
Microwave
3
Sig. a
Duncan
3
Oven 60 C
3
Oven 40 C
3
Microwave
3
3
4
184.767 194.923 208.533 333.767 1.000
Angin
Sig.
2
1.000
1.000
1.000
184.767 194.923 208.533 333.767 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
1.000
1.000
192
Lampiran 4. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar zat tersari (mg/g) 95% Confidence Interval for Mean N Kering Angin Kering Oven 40 C Kering Oven 60 C Total
Mean
Std. Deviation
Lower Bound
Std. Error
Upper Bound
Minimum
Maximum
3
120.067
.1528
.0882 119.687
120.446
119.9
120.2
3
150.200
.2646
.1528 149.543
150.857
149.9
150.4
3
165.367
.3512
.2028 164.494
166.239
165.0
165.7
9
145.211
19.9705
6.6568 129.860
160.562
119.9
165.7
Test of Homogeneity of Variances Kadar zat tersari (mg/g) Levene Statistic .855
df1
df2 2
Sig. 6
.471
ANOVA Kadar zat tersari (mg/g) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
3190.136 .433
2 6
Total
3190.569
8
1595.068 .072
F 22085.554
Sig. .000
193
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Cara (J) Cara Pengeringan Pengeringan Tukey HSD
Mean Difference (I-J) Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*
.2194
.000
-30.807
-29.460
*
.2194
.000
-45.973
-44.627
*
.2194
.000
29.460
30.807
*
.2194
.000
-15.840
-14.493
*
.2194
.000
44.627
45.973
*
.2194
.000
14.493
15.840
Kering Angin Kering Oven 40 C
-30.1333
Kering Oven 60 C
-45.3000
Kering Oven Kering Angin 40 C Kering Oven 60 C
30.1333
Kering Oven Kering Angin 60 C Kering Oven 40 C
95% Confidence Interval
-15.1667
45.3000 15.1667
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar zat tersari (mg/g) Subset for alpha = 0.05 Cara Pengeringan a
Tukey HSD
N
1
Kering Angin
3
Kering Oven 40 C
3
Kering Oven 60 C
3
Sig. a
Duncan
2
120.067 150.200 165.367 1.000
Kering Angin
3
Kering Oven 40 C
3
Kering Oven 60 C
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
3
1.000
1.000
120.067 150.200 165.367 1.000
1.000
1.000
194
Lampiran 5. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar zat tersari (mg/g) 95% Confidence Interval for Mean N Kering Angin Kering Oven 40 C Kering Oven 60 C Total
Std. Deviation Std. Error
Mean
Lower Bound
Upper Bound
Minimum Maximum
3 194.972
.1268
.0732
194.657
195.287
194.9
195.1
3 202.140
.1462
.0844
201.777
202.503
202.0
202.3
3 162.874
.1357
.0784
162.537
163.211
162.7
163.0
9 186.662
18.1093
6.0364
172.742
200.582
162.7
202.3
Test of Homogeneity of Variances Kadar zat tersari (mg/g) Levene Statistic
df1
.065
df2 2
Sig. 6
.938
ANOVA Kadar zat tersari (mg/g) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
2623.466 .112
2 6
Total
2623.578
8
1311.733 .019
F 70445.434
Sig. .000
195
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g) 95% Confidence Interval (I) Cara (J) Cara Pengeringan Pengeringan
Mean Difference (I-J)
Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C
-7.1673
Kering Oven 60 C
32.0983
Kering Oven Kering Angin 40 C Kering Oven 60 C
7.1673
Std. Error
Lower Bound
.1114
.000
-7.509
-6.825
*
.1114
.000
31.756
32.440
*
.1114
.000
6.825
7.509
*
.1114
.000
38.924
39.608
*
.1114
.000
-32.440
-31.756
*
.1114
.000
-39.608
-38.924
-32.0983 -39.2657
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar zat tersari (mg/g) Subset for alpha = 0.05 Cara Pengeringan a
Tukey HSD
N
1
Kering Oven 60 C
3
Kering Angin
3
Kering Oven 40 C
3
Sig. a
Duncan
2
3
Kering Angin
3
Kering Oven 40 C
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
3
162.874 194.972 202.140 1.000
Kering Oven 60 C
Upper Bound
*
39.2657
Kering Oven Kering Angin 60 C Kering Oven 40 C
Sig.
1.000
1.000
162.874 194.972 202.140 1.000
1.000
1.000
196
Lampiran 6. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun dewa terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS Oneway Descriptives Kadar Fenolat (%) 95% Confidence Interval for Mean N
Std. Deviation
Mean
Lower Bound
Std. Error
Upper Bound
Minimum
Maximum
Kering Angin
3
.403933
.0074002
.0042725
.385550 .422317
.3987
.4124
Kering Oven 40 C
3
.292867
.0083608
.0048271
.272097 .313636
.2854
.3019
Kering Oven 60 C
3
.164667
.0056518
.0032631
.150627 .178707
.1605
.1711
Kering Oven Microwave
3
.167667
.0023714
.0013691
.161776 .173557
.1655
.1702
12
.257283
.1037780
.0299581
.191346 .323221
.1605
.4124
Total
Test of Homogeneity of Variances Kadar Fenolat (%) Levene Statistic
df1
1.639
df2 3
Sig. 8
.256
ANOVA Kadar Fenolat (%) Sum of Squares Between Groups
.118
Within Groups Total
df
Mean Square 3
.039
.000
8
.000
.118
11
F 970.981
Sig. .000
197
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)
(I) Cara Pengeringa n (J) Cara Pengeringan Tukey HSD Kering Angin
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
Std. Error .0051999
.000
.094415
.127719
.0051999
.000
.222615
.255919
*
.0051999
.000
.219615
.252919
*
.0051999
.000
-.127719
-.094415
*
.0051999
.000
.111548
.144852
*
.0051999
.000
.108548
.141852
*
.0051999
.000
-.255919
-.222615
-.1282000
*
.0051999
.000
-.144852
-.111548
-.0030000
.0051999
.936
-.019652
.013652
*
.0051999
.000
-.252919
-.219615
-.1252000
*
.0051999
.000
-.141852
-.108548
.0030000
.0051999
.936
-.013652
.019652
Kering Oven 60 C
.2392667 .2362667 -.1110667 .1282000
Kering Oven Microwave Kering Kering Angin Oven 60 C Kering Oven 40 C
.1252000 -.2392667
Kering Oven Microwave Kering Kering Angin Oven Kering Oven 40 C Microwave Kering Oven 60 C
Upper Bound
*
.1110667
Kering Oven Microwave
Lower Bound
*
Kering Oven 40 C
Kering Kering Angin Oven 40 C Kering Oven 60 C
Sig.
-.2362667
*. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogeneous Subsets Kadar Fenolat (%) Subset for alpha = 0.05 Cara Pengeringan Tukey HSD
a
N
1 3
.164667
Kering Oven Microwave
3
.167667
Kering Oven 40 C
3
Kering Angin
3
Sig. a
Duncan
2
Kering Oven 60 C
.292867 .403933 .936
Kering Oven 60 C
3
.164667
Kering Oven Microwave
3
.167667
Kering Oven 40 C
3
Kering Angin
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
3
1.000
1.000
.292867 .403933 .580
1.000
1.000
198
Lampiran 7. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan daun jambu biji terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar fenolat (%) 95% Confidence Interval for Mean N Kering Angin
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
.380488
.445045
.3992
.4251
.443796
.466271
.4514
.4601
.416963
.421304
.4184
.4201
.412909
.445046
.3992
.4601
3 .412767 .0129940 .007502 1 3 .455033 .0045236 .002611 7 3 .419133 .0008737 .000504 4 9 .428978 .0209044 .006968 1
Kering Oven 40 C Kering Oven 60 C Total
Minimum
Maximum
Test of Homogeneity of Variances Kadar fenolat (%) Levene Statistic 3.329
df1
df2 2
Sig. 6
.107
ANOVA Kadar fenolat (%) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
.003 .000
2 6
Total
.003
8
.002 .000
F 24.589
Sig. .001
199
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar fenolat (%)
(I) Cara (J) Cara Pengeringan Pengeringan Tukey HSD
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Lower Bound
Sig.
Kering Angin Kering Oven 40 C
-.0422667
*
.0064991
.002 -.062208 -.022326
Kering Oven 60 C
-.0063667
.0064991
.615 -.026308 .013574
Kering Oven Kering Angin 40 C Kering Oven 60 C
.0422667
*
.0064991
.002 .022326 .062208
*
.0359000
.0064991
.004 .015959 .055841
Kering Oven Kering Angin 60 C Kering Oven 40 C
.0063667
.0064991
.615 -.013574 .026308
*
.0064991
.004 -.055841 -.015959
-.0359000
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar fenolat (%) Subset for alpha = 0.05 Cara Pengeringan a
Tukey HSD
N
1
Duncan
2
Kering Angin
3
.412767
Kering Oven 60 C
3
.419133
Kering Oven 40 C
3
Sig. a
Upper Bound
.455033 .615
Kering Angin
3
.412767
Kering Oven 60 C
3
.419133
Kering Oven 40 C
3
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
.455033 .365
1.000
200
Lampiran 8. Hasil pengolahan data pengaruh cara pengeringan herba meniran terhadap kadar senyawa fenolat dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar fenolat (%) 95% Confidence Interval for Mean N Kering Angin Kering Oven 40 C Kering Oven 60 C Total
Mean
Std. Deviation Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
3 .098567 .0026652 .0015388
.091946
.105187
.0966
.1016
3 .100733 .0017954 .0010366
.096273
.105193
.0987
.1021
3 .082567 .0025580 .0014769
.076212
.088921
.0808
.0855
9 .093956 .0088350 .0029450
.087164
.100747
.0808
.1021
Test of Homogeneity of Variances Kadar fenolat (%) Levene Statistic .541
df1
df2 2
Sig. 6
.608
ANOVA Kadar fenolat (%) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
.001 .000
2 6
Total
.001
8
.000 .000
F 52.524
Sig. .000
201
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar fenolat (%) 95% Confidence Interval (I) Cara (J) Cara Mean Pengeringan Pengeringan Difference (I-J)
Std. Error
Lower Bound
Sig.
Upper Bound
Tukey HSD Kering Angin Kering Oven 40 C
-.0021667
.0019362
.538
-.008107
.003774
Kering Oven 60 C
.0160000
*
.0019362
.000
.010059
.021941
Kering Oven Kering Angin 40 C Kering Oven 60 C
.0021667
.0019362
.538
-.003774
.008107
*
.0019362
.000
.012226
.024107
*
.0019362
.000
-.021941
-.010059
*
.0019362
.000
-.024107
-.012226
Kering Oven Kering Angin 60 C Kering Oven 40 C
.0181667 -.0160000 -.0181667
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar fenolat (%) Subset for alpha = 0.05 Cara Pengeringan a
Tukey HSD
N
1
Kering Oven 60 C
3
Kering Angin
3
.098567
Kering Oven 40 C
3
.100733
Sig. a
Duncan
2
.082567
1.000
.538
Kering Oven 60 C
3
Kering Angin
3
.098567
Kering Oven 40 C
3
.100733
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
.082567
1.000
.306
202
Lampiran 9. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar zat tersari (mg/g) 95% Confidence Interval for Mean N Metanol Etanol Aseton Total
Mean 3 3 3 9
Std. Deviation
239.433 184.900 178.367 200.900
Lower Bound
Std. Error
.6658 .2646 .3215 29.0408
.3844 .1528 .1856 9.6803
Upper Bound
237.779 184.243 177.568 178.577
Minimum
241.087 185.557 179.165 223.223
239.0 184.7 178.0 178.0
Maximum 240.2 185.2 178.6 240.2
Test of Homogeneity of Variances Kadar zat tersari (mg/g) Levene Statistic
df1
3.389
df2 2
Sig. 6
.104
ANOVA Kadar zat tersari (mg/g) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
6745.707 1.233
2 6
Total
6746.940
8
3372.853 .206
F 16408.476
Sig. .000
203
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Jenis (J) Jenis Pelarut Pelarut Tukey HSD Metanol Etanol
Mean Difference (I-J)
Metanol
Lower Bound
Sig.
Upper Bound
*
.3702
.000
53.398
55.669
*
.3702
.000
59.931
62.202
*
.3702
.000
-55.669
-53.398
*
.3702
.000
5.398
7.669
*
.3702
.000
-62.202
-59.931
*
.3702
.000
-7.669
-5.398
61.0667 -54.5333
Aseton Aseton Metanol Etanol
Std. Error
54.5333
Aseton Etanol
95% Confidence Interval
6.5333 -61.0667 -6.5333
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar zat tersari (mg/g) Jenis Pelarut a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05 N
1
Aseton
3
Etanol
3
Metanol
3
Sig. a
Duncan
3
Etanol
3
Metanol
3
Sig.
3
178.367 184.900 239.433 1.000
Aseton
2
1.000
1.000
178.367 184.900 239.433 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
1.000
204
Lampiran 10. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar zat tersari (mg/g) 95% Confidence Interval for Mean N Metanol Etanol Aseton Total
Std. Deviation
Mean 3 3 3 9
181.833 120.067 140.233 147.378
Std. Error
Lower Bound
.2887 .1667 .1528 .0882 .2082 .1202 27.2779 9.0926
Upper Bound
181.116 119.687 139.716 126.410
Minimum
182.550 120.446 140.750 168.345
181.5 119.9 140.0 119.9
Test of Homogeneity of Variances Kadar zat tersari (mg/g) Levene Statistic
df1
1.333
df2
Sig.
2
6
.332
ANOVA Kadar zat tersari (mg/g) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
5952.376 .300
2 6
Total
5952.676
8
2976.188 .050
F 59523.756
Sig. .000
Maximum 182.0 120.2 140.4 182.0
205
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g)
(I) Jenis Pelarut Tukey HSD Metanol
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference (I-J) Std. Error
Etanol
Etanol Aseton
.1826
.000
61.206
62.327
.1826
.000
41.040
42.160
*
.1826
.000
-62.327
-61.206
*
.1826
.000
-20.727
-19.606
*
.1826
.000
-42.160
-41.040
*
.1826
.000
19.606
20.727
-61.7667
Aseton
-20.1667
Metanol
-41.6000
Etanol
Upper Bound
*
41.6000
Metanol
Lower Bound
Sig.
*
61.7667
Aseton
95% Confidence Interval
20.1667
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar zat tersari (mg/g) Jenis Pelarut a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05 N
1
Etanol
3
Aseton
3
Metanol
3
Sig. a
Duncan
3
Aseton
3
Metanol
3
3
120.067 140.233 181.833 1.000
Etanol
Sig.
2
1.000
1.000
120.067 140.233 181.833 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
1.000
206
Lampiran 11. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar zat tersari dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar zat tersari (mg/g) 95% Confidence Interval for Mean N Metanol Etanol Aseton Total
Std. Deviation
Mean 3 3 3 9
209.133 194.967 192.167 198.756
Std. Error
Lower Bound
.1528 .0882 .1155 .0667 .1528 .0882 7.8782 2.6261
Upper Bound
208.754 194.680 191.787 192.700
Minimum Maximum
209.513 195.254 192.546 204.811
209.0 194.9 192.0 192.0
209.3 195.1 192.3 209.3
Test of Homogeneity of Variances Kadar zat tersari (mg/g) Levene Statistic
df1
.133
df2 2
Sig. 6
.878
ANOVA Kadar zat tersari (mg/g) Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
496.402
2
248.201
.120
6
.020
496.522
8
F 12410.056
Sig. .000
207
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar zat tersari (mg/g) (I) Jenis Pelarut Tukey HSD
Metanol Etanol
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference (I-J) Std. Error
Aseton
Etanol
Upper Bound
.1155
.000
13.812
14.521
.1155
.000
16.612
17.321
*
.1155
.000
-14.521
-13.812
*
.1155
.000
2.446
3.154
*
.1155
.000
-17.321
-16.612
*
.1155
.000
-3.154
-2.446
16.9667
Metanol
Lower Bound
*
14.1667
Aseton
-14.1667
Aseton
Sig.
*
Etanol Metanol
95% Confidence Interval
2.8000 -16.9667 -2.8000
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Kadar zat tersari (mg/g) Jenis Pelarut a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05 N
1
Aseton
3
Etanol
3
Metanol
3
Sig. a
Duncan
3
Etanol
3
Metanol
3
3
192.167 194.967 209.133 1.000
Aseton
Sig.
2
1.000
1.000
192.167 194.967 209.133 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
1.000
208
Lampiran 12. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun dewa terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar Fenolat (%) 95% Confidence Interval for Mean N Metanol Etanol Aseton Total
3 3 3 9
Mean
Std. Deviation Std. Error
.754033 .403933 .295467 .484478
.0042336 .0074002 .0053003 .2076114
.0024443 .0042725 .0030601 .0692038
Lower Bound .743516 .385550 .282300 .324894
Upper Bound
Minimum
.764550 .422317 .308633 .644062
.7512 .3987 .2902 .2902
Maximum .7589 .4124 .3008 .7589
Test of Homogeneity of Variances Kadar Fenolat (%) Levene Statistic .841
df1
df2 2
Sig. 6
.477
ANOVA Kadar Fenolat (%) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
.345 .000
2 6
Total
.345
8
.172 .000
F 5129.268
Sig. .000
209
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar Fenolat (%) (I) Jenis Pelarut Tukey HSD Metanol Etanol
Sig. .000
.335580
.364620
.000
.444046
.473087
*
-.3501000 .0047324
.000
-.364620
-.335580
*
.000
.093946
.122987
*
-.4585667 .0047324
.000
-.473087
-.444046
*
.000
-.122987
-.093946
.4585667 .0047324 .1084667 .0047324
Metanol Etanol
-.1084667 .0047324
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar Fenolat (%) Jenis Pelarut a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05 N
1
Aseton
3
Etanol
3
Metanol
3
Sig. a
Duncan
3
Etanol
3
Metanol
3
2
3
.295467 .403933 .754033 1.000
Aseton
Sig.
Upper Bound
*
.3501000 .0047324
Aseton Metanol
Lower Bound
*
Etanol
Aseton Aseton
95% Confidence Interval
(J) Jenis Mean Pelarut Difference (I-J) Std. Error
1.000
1.000
.295467 .403933 .754033 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
1.000
210
Lampiran 13. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi daun jambu biji terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar Fenolat (%) 95% Confidence Interval for Mean N Metanol Etanol Aseton Total
Std. Deviation Std. Error
Mean 3 3 3 9
.494867 .412767 .453767 .453800
.0047057 .0129940 .0042442 .0362778
Lower Bound
.0027168 .0075021 .0024504 .0120926
Upper Bound
.483177 .380488 .443223 .425914
.506556 .445045 .464310 .481686
Minimum .4913 .3992 .4503 .3992
Maximum .5002 .4251 .4585 .5002
Test of Homogeneity of Variances Kadar Fenolat (%) Levene Statistic 1.860
df1
df2 2
Sig. 6
.235
ANOVA Kadar Fenolat (%) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
.010 .000
2 6
Total
.011
8
.005 .000
F 72.564
Sig. .000
211
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar Fenolat (%)
(I) Jenis Pelarut Tukey HSD Metanol
(J) Jenis Pelarut Etanol Aseton
Etanol
Metanol Aseton
Aseton
Metanol Etanol
Mean Difference (I-J) Std. Error
95% Confidence Interval Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*
.000
.061190
.103010
*
.002
.020190
.062010
*
-.0821000 .0068150
.000
-.103010
-.061190
*
-.0410000 .0068150
.002
-.061910
-.020090
*
-.0411000 .0068150
.002
-.062010
-.020190
*
.002
.020090
.061910
.0821000 .0068150 .0411000 .0068150
.0410000 .0068150
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar Fenolat (%) Jenis Pelarut a
Tukey HSD
Subset for alpha = 0.05 N
1
Etanol
3
Aseton
3
Metanol
3
Sig. a
Duncan
3
Aseton
3
Metanol
3
3
.412767 .453767 .494867 1.000
Etanol
Sig.
2
1.000
1.000
.412767 .453767 .494867 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
1.000
212
Lampiran 14. Hasil pengolahan data pengaruh jenis pelarut ekstraksi herba meniran terhadap kadar fenolat dengan Program SPSS
Oneway Descriptives Kadar Fenolat (%) 95% Confidence Interval for Mean N Metanol Etanol Aseton Total
Std. Deviation
Mean 3 3 3 9
.499700 .098567 .100733 .233000
Std. Error
.0110041 .0026652 .0017954 .2001093
Lower Bound
.0063532 .0015388 .0010366 .0667031
.472364 .091946 .096273 .079182
Upper Bound .527036 .105187 .105193 .386818
Minimum
Maximum
.4930 .0966 .0987 .0966
.5124 .1016 .1021 .5124
Test of Homogeneity of Variances Kadar Fenolat (%) Levene Statistic 9.255
df1
df2 2
Sig. 6
.015
ANOVA Kadar Fenolat (%) Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
.320 .000
2 6
Total
.320
8
.160 .000
F 3653.498
Sig. .000
213
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable:Kadar Fenolat (%) (I) Jenis Pelarut Tukey HSD Metanol Etanol Aseton
(J) Jenis Pelarut
Mean Difference (I-J)
95% Confidence Interval Std. Error
Sig.
Lower Bound Upper Bound
*
.0054040
.000
.384552
.417714
*
.0054040
.000
.382386
.415548
Metanol
*
-.4011333
.0054040
.000
-.417714
-.384552
Aseton
-.0021667
.0054040
.916
-.018748
.014414
*
-.3989667
.0054040
.000
-.415548
-.382386
.0021667
.0054040
.916
-.014414
.018748
Etanol
.4011333
Aseton
.3989667
Metanol Etanol
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets Kadar Fenolat (%) Subset for alpha = 0.05 Jenis Pelarut a
Tukey HSD
N
1
Etanol
3
.098567
Aseton
3
.100733
Metanol
3
Sig. a
Duncan
2
.499700 .916
Etanol
3
.098567
Aseton
3
.100733
Metanol
3
Sig.
1.000
.499700 .702
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1.000
214
Lampiran 15. Hasil optimasi sistem kromatografi lapis tipis (KLT) untuk karakterisasi herba meniran
Gambar 15.1 Kromatogram lapis tipis berbagai fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen campuran heksan-etil asetat (5:5, 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1) dan penampak noda H2SO4 5% dalam metanol Keterangan: P : fraksi petroleum eter K : fraksi kloroform M : fraksi metanol Q : pembanding kuersetin
215
Tabel 15.1
Hasil pengujian profil KLT fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen berbagai perbandingan campuran heksan - etil asetat
Fraksi
Petroleum eter
Kloroform
Metanol
Kuersetin
Sistem pelarut heksana-etil asetat
Jumlah noda & harga Rf (penampak noda H2SO4 5% dalam metanol) 4 noda Rf 0,4, 0,2, 0,1, 0,06 9 noda Rf 0,76, 0,68, 0,52, 0,44, 0,4, 0,34, 0,28, 0,22, 0,14 7 noda Rf 0,94, 0,8, 0,74, 0,64, 0,5, 0,4, 0,32 6 noda Rf 0,86, 0,76, 0,66, 0,6, 0,46, 0,06
Perbandingan
Kepolaran
9 :1
0,53
8:2
0,96
7:3
1,39
6:4
1,82
5:5
2,25
9:1
0,53
8:2
0,96
7:3
1,39
6:4
1,82
5:5
2,25
9:1
0,53
Tidak tampak noda
8:2
0,96
7:3
1,39
6:4
1,82
5:5
2,25
Tidak tampak noda 2 noda Rf 0,1, 0,6 2 noda Rf 0,2, 0,1 4 noda Rf 0,62, 0,32, 0,22, 0,08
9:1
0,53
Tidak tampak noda
8:2
0,96
7:3
1,39
6:4
1,82
Tidak tampak noda 1 noda Rf 0,2 Tidak tampak noda
5:5
2,25
Tidak tampak noda
5 noda Rf 0,9, 0,7, 0,6, 0,2, 0,12 5 noda Rf 0,76, 0,36, 0,2, 0,12, 0,04 7 noda Rf 0,92, 0,74, 0,66, 0,52, 0,38, 0,2, 0,14 7 noda Rf 0,9, 0,8, 0,72, 0,6, 0,52, 0,42, 0,3 8 noda Rf 0,94, 0,86, 0,76, 0,68, 0,6, 0,5, 0,24, 01 9 noda Rf 0,94, 0,88, 0,76, 0,66, 0,54, 0,4, 0,3, 0,18, 0,08
216
Gambar 15.2 Kromatogram lapis tipis berbagai fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen campuran petroleum eter-aseton (5:5, 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1) dan penampak noda H2SO4 5% dalam metanol Keterangan: P : fraksi petroleum eter K : fraksi kloroform M : fraksi metanol Q : pembanding kuersetin
217
Tabel 15.2 Hasil pengujian profil KLT fraksi-fraksi dari ekstrak herba meniran dengan eluen berbagai perbandingan campuran petroleum eter - aseton Fraksi
Petroleum eter
Kloroform
Metanol
Kuersetin
Sistem pelarut petroleum eteraseton Perbandingan Kepolaran 9:1
0,6
8:2
1,1
7:3
1,6
6:4
2,1
5:5
2,6
9:1
0,6
8:2
1,1
7:3
1,6
6:4
2,1
5:5
2,6
9:1
0,6
8:2
1,1
7:3
1,6
6:4
2,1
5:5
2,6
9:1
0,6
8:2
1,1
7:3
1,6
6:4
2,1
5:5
2,6
Jumlah noda & harga Rf ( penampak noda H2SO4 5% dalam metanol) 3 noda Rf 0,46, 0,22, 0,26 7 noda Rf 0,74, 0,64, 0,48, 0,42, 0,36, 0,26, 0,2 7 noda Rf 0,88, 0,76, 0,72, 0,66, 0,6, 0,54, 0,16 9 noda Rf 0,86, 0,78, 0,74, 0,64, 0,6, 0,54, 0,48, 0,2, 0,1 6 noda Rf 0,96, 0,88, 0,6, 0,52, 0,38, 0,3 3 noda Rf 0,86, 0,48, 0,26 8 noda Rf 0,72, 0,64, 0,48, 0,4, 0,36, 0,3, 0,24, 0,18 11 noda Rf 0,96, 0,86, 0,76, 0,68, 0,64, 0,58, 0,52, 0,36, 0,28, 0,2, 0,1 10 nada Rf 0,92, 0,84, 0,76, 0,7, 0,64, 0,6, 0,56, 0,5, 0,26, 0,16 10 noda Rf 0,96, 0,88, 0,82, 0,76, 0,68, 0,6, 0,52, 0,46, 0,3, 0,22 Tidak ada noda 1 noda Rf 0,16 4 noda Rf 0,6, 0,42, 0,34, 0,24 4 noda Rf 0,58, 0,52, 0,4, 0,3 5 noda Rf 0,78, 0,62, 0,52, 0,38, 0,16 Tidak ada noda 1 noda Rf 0.1 1 noda Rf 0,2 2 noda Rf 0,2, 0,4 2 noda Rf 0,8, 0,7
218
Lampiran 16. Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008)
Gambar 16.1 Pola kromatografi lapis tipis simplisia herba meniran menurut Farmakope Herbal Indonesia (Depkes RI, 2008)
219
Lampiran 17. Hasil uji keseuaian sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk analisis campuran beberapa flavonoid
Gambar 17.1 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak metanol : aquabidest (60:40) Tabel 17.1 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak methanol : aquabidestilata (60:40) No
Senyawa
tR (menit)
w (menit)
N
1. 2 3.
Rutin Isokuersetin Kuersetin
4,167 4,892 11,925
1,4 0,8 1,2
141,747 598,292 1580,06
HETP (mm) 0,176 0,042 0,016
TF
k’
R
α
0,95 -
0,603 0,882 3,587
0,659 7,033
1,46 4,06
220
Gambar 17.2 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak metanol : aquabidest (70:30) Tabel 17.2 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak metanol : aquabidestilata (70:30) No
Senyawa
tR (menit)
W (menit)
N
1. 2 3.
Rutin Isokuersetin Kuersetin
3,317 4,808 6,000
1,0 1,5 1,9
176,039 164,387 158,557
HETP (mm) 0,142 0,152 0,158
TF
k’
R
α
2,333 0,938 2,636
0,229 0,781 1,222
1,193 0,701
3,41 1,56
221
Gambar 17.3 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak metanol : asam asetat 1 % (60:40) Tabel 17.3 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak methanol : asam asetat 1% (60:40) No
Senyawa
tR (menit)
W (menit)
N
1. 2. 3.
Rutin Isokuersetin Kuersetin
3,933 6,983 10,383
1,9 2,3 2
68,5584 147,485 431,227
HETP (mm) 0,365 0,169 0,058
TF
k’
R
α
1,2 1,5 1,5
0,513 1,686 2,993
1,452 1,581
3,28 1,77
222
Gambar 17.4 Kromatogram rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak metanol : asam asetat 1 % (70:30) Tabel 17.4 Uji kesesuaian sistem KCKT untuk analisa rutin, isokuersetin dan kuersetin pada fasa gerak methanol : asam asetat 1% (70:30) No
Senyawa
1 2 3
Rutin Isokuersetin Kuersetin
tR (menit) 3,300 4,625 5,942
W (menit)
N
1,1 1,1 1,2
144 282,85 392,3
HETP (mm) 0,174 0,088 0,064
TF
k’
R
α
0,917 1,55 0,5
0,222 0,713 1,201
1,20 1,14
3,208 1,68
Keterangan: 2
t N 16 R w 2t t R 2 1 w2 w1
HETP
L N
TF
b a
k '
tR t0 t0
α
N
= Jumlah pelat teori
TF
= Faktor kesimetrisan
tR
= Waktu retensi zat (menit)
k’
= Faktor kapasitas
t0
= Waktu retensi pelarut
R
= Resolusi
w
= Lebar puncak (menit)
α
= selektifitas
HETP = Tinggi yang setara dengan plat teoritis L
= Panjang kolom (mm)
t R 2 t0 t R1 t 0
Lampiran 18. Spektrum infra merah isolat A2 dari ekstrak daun dewa 100
% T
95
90
175 9.08
2609.69 2719.63
2916.37
1460.11
1165.00
1213.23
1319.31 1361.74
1517.98
60
1244.09
1614.42
1294.24
1431.18
65
1099.43
1670.35
3292.49
70
3194.12
3093.82
3425.58
75
2833.43
2953.02
2472.74
80
1870.95
2308.79
1926.89
85
55
50 4000 3600 S TIF /H R O 1 /01 12
3200
2800
2400
2000
1800
1600
Lampiran 19. Kromatogram LC-MS isolat A2 dari ekstrak daun dewa
1400
1200
ccxxiv
BPI=>NR(2.00)
T4.0
100
90
80
70
% I ntensi ty
60
50
40
30
20
10
0
0
4
8
12 Retention Time (Min)
16
ccxxv
Lampiran 20. Spektrum massa isolat A2 dari ekstrak daun dewa dengan LCMS ESI Positive Ion Mode
Mariner Spec /82:84 (T /3.91:4.01) -67:71 (T -3.91:4.01) ASC=>NR(2.00)[BP = 303.1, 2920] 100
303.11
90
80
70
% Intensity
60
50
40
30
20
304.12
10
305.11 0 99.0
319.2
397.12
657.39 539.4
759.6 Mass (m/z)
ccxxvi Lampiran 21. Spektrum 1H NMR isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6
ccxxvii
Lampiran 22.
Spektrum 13C NMR Isolat A2 dari ekstrak daun dewa dalam DMSO-d6