STUDI KOMPARASI SISTEM PLASMA-INTI DAN SISTEM SEWA PADA PENGELOLAAN TANAMAN STEVIA SECARA EKONOMI DI KECAMATAN TAWANGMANGU Tria Hesti Dewosekarsari, Suprapti Supardi, Susi Wuri Ani Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta Telp/Fax (0271) 63745, Pesawat 111 email:
[email protected], Telp. 08568818332 Abstract: This study aims to examine some problems which were how much the expense and income, the profit, and the profitability in Stevia Farm by the plasma core in Tawangmangu village and lease system in Tengklik village. Data Analysis Method that have been used was cost analysis (TC = TFC + TVC), income (TR = Q x Pq), profit (π = TR – TC), and profitability (L/M x 100%). The method used was descriptive. Implementation research using survey techniques. Intake of sample areas was done by purposive. Results of this research showed that the average cultivation cost of stevia by plasma-core system was Rp 3.364.712 per farm with revenue Rp 4.815.022 and the average cultivation cost of stevia by lease system was Rp 4.197.458 per farm with revenue Rp 4.848.298. The average farmers profit by plasma-core system was Rp 1.450.310, and the lease system was Rp 650.840 which could be concluded that the plasma-core system was more profitable for farmers than the lease system. Profitability of cultivation level by plasma-core system was 43,1 % and 15,5 % for lease system. Keywords : Distric Tawangmangu, cost analysis, income analysis, profit analysis, and rentability Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya biaya dan penerimaan, keuntungan, dan tingkat rentabilitas pada usahatani stevia dengan sistem plasma-inti di Desa Tawangmangu dan sistem sewa di Desa Tengklik. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis biaya (TC = TFC + TVC), penerimaan (TR = Q x Pq), keuntungan (π = TR – TC), dan Rentabilitas (L/M x 100%). Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Pelaksanaan penelitian menggunakan teknik survey. Pengambilan daerah sampel dilakukan secara sengaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya usahatani stevia dengan sistem plasma-inti adalah Rp 3.364.712 per usahatani dengan penerimaan sebesar Rp 4.815.022 dan rata-rata biaya usahatani stevia dengan sistem sewa adalah Rp 4.197.458 per usahatani dengan penerimaan sebesar Rp 4.848.298. Rata-rata keuntungan petani dangan sistem plasma-inti adalah Rp 1.450.310 dan pada sistem sewa adalah Rp 650.840. Dapat diambil kesimpulan bahwa sistem plasma-inti lebih menguntungkan petani daripada sistem sewa. Tingkat rentabilitas pada usahatani dengan sistem plasma sebesar 43,1 % dan pada sistem sewa sebesar 15,5 %. Kata kunci: Kecamatan Tawangmangu, analisis biaya, analisis penerimaan, analisis keuntungan, rentabilitas
PENDAHULUAN Salah satu produk industri hasil perkebunan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah gula. Masyarakat di Indonesia umumnya hanya mengenal tebu dan aren sebagai tanaman penghasil gula, padahal ada tanaman lain yang dimanfaatkan sebagai pemanis yakni stevia. Tanaman ini memang lebih populer di wilayah asalnya, Amerika Selatan, dan juga di Asia Timur seperti Jepang, China dan Korea Selatan. Stevia baik bila dijadikan pengganti gula bagi penderita diabetes dan obesitas. Daun stevia mampu menjadi bahan pemanis yang bisa menghasilkan rasa manis hingga 400 kali lipat dibandingkan dengan manis yang dihasilkan gula tebu. Penelitian ilmiah mengindikasikan bahwa stevia efektif meregulasi gula darah dan dapat menormalkan gula darah. Daun stevia menghambat pertumbuhan bakteri dan organisme yang menyebabkan infeksi, termasuk bakteri yang menyebabkan gangguan gigi dan penyakit gusi. Selain itu, stevia menghasilkan rasa manis yang unik tidak seperti pemanis kebanyakan yang menimbulkan rasa pahit pada akhirnya. Air daun stevia dapat pula digunakan untuk perawatan kulit (Cahyono, 2011). Strategi pembudidayaan tanaman stevia yang dapat dilakukan yaitu melalui pengembangan sistem kemitraan agribisnis. Sistem ini menunjang nilai komersial dari usahatani yang merupakan strategi bisnis yang dapat dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu, untuk menarik keuntungan bersama dengan prinsip saling memperkuat dengan memperhatikan
tanggung jawab moral dan etika bisnis. Kemitraan dapat dilaksanakan antara lain dengan pola inti-plasma yaitu hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. (Anonim, 2008:4) Kegiatan usahatani bertujuan untuk mencapai pendapatan dari pertanian. Penerimaan usahatani akan mendorong petani untuk dapat mengalokasikan modal dalam berbagai kegunaan sebagai biaya produksi periode selanjutnya, untuk tabungan dan pengeluaran lain-lain guna memenuhi kebutuhan keluarga. Pembudidayaan tanaman stevia di Provinsi Jawa Tengah berada di daerah Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Kecamatan Tawangmangu cocok untuk pembudidayaan tanaman stevia karena lokasi ini memiliki kecocokan untuk penanaman stevia. Pada penelitian ini terdapat dua buah sistem dalam pembudidayaan tanaman stevia, yaitu sistem sewa yang diterapkan di Desa Tengklik dan sistem plasma-inti yang diterapkan di Desa Tawangmangu. Sistem sewa yang dilakukan petani adalah sistem penyewaan tanah atau oleh petani kepada investor atau perusahaan yang membudidayakan tanaman stevia. Sedangkan sistem plasma-inti adalah sistem yang diterapkan ketika investor
memberikan modal kepada petani guna membudidayakan stevia. Dalam hal ini petani bertanggungjawab langsung dalam proses penanaman pada lahan yang dimiliki kemudian hasil panen stevia langsung dibeli oleh investor. Dari kedua sistem tersebut, kemudian dilakukan studi komparasi usahatani guna mengetahui sistem yang dapat menghasilkan pendapatan lebih besar dan menyejahterakan petani. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang di peroleh petani stevia di Desa Tawangmangu dan Tengklik, mengetahui keuntungan dari sistem plasma-inti di Desa Tawangmangu dan sistem sewa di Desa Tengklik, dan mengetahui tingkat rentabilitas dari sistem plasma-inti di Desa Tawangmangu dan sistem sewa di Deasa Tengklik. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Sedangkan teknik pelaksanaan penelitian dilakukan dengan teknik survey. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tawangmangu dan Desa Tengklilk yang merupakan desa dengan produksi tanaman stevia yang cukup besar. Penentuan petani sampel dilakukan secara sensus sebanyak 48 orang yang terdiri dari 18 orang petani stevia dengan sistem sewa dari Desa Tengklik dan 30 orang petani stevia dari Desa Tawangmangu dengan sistem plasma-inti. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan pencatatan.
Metode Analisis Data Biaya dan Penerimaan. Biaya: Perhitungkan dari penjumlahan nilai total biaya tetap (TFC) dengan nilai biaya variabel total (TVC) sebagai berikut : TC = TFC + TVC, Keterangan : TC = Biaya total (Rp), TFC = Biaya tetap total (Rp) (peralatan bertani), TVC = Biaya variabel total (Rp) (bibit, tenaga kerja, pupuk, dan obat-obatan pestisida) Penerimaan: Perkalian antara jumlah produk stevia yang terjual dengan harga stevia sebagai berikut : TR = Q x Pq, Keterangan: TR = Total penerimaan (Rp), Q = Jumlah produk stevia kering (Kg), Pq = Harga produk (Rp/Kg) Keuntungan. Keuntungan usaha adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya, dirumuskan sebagi berikut : π = TR – TC, Keterangan: π = keuntungan usaha (Rp), TC = Biaya total (Rp) ,TR= Total penerimaan (Rp). Rentabilitas. Nilai rentabilitas merupakan hasil bagi antara keuntungan usaha dengan total modal atau total biaya yang digunakan dalam usahatani stevia. Dirumuskan sebagai laba dibagi dengan modal dikalikan dengan seratus persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Identitas Responden. Identitas responden yang dikaji dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota yang aktif dalam usaha ,dan lama mengusahakan. Adapun identitas responden pada usahatani daun stevia di Desa Tawangmangu dan Desa
Tengklik, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan petani dalam mengelola usahatani adalah umur, pendidikan dan pengalaman. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata umur responden adalah 47 tahun yang berarti masih tergolong usia produktif. Pada usia produktif masih dimungkinkan adanya peningkatan ketrampilan dan pengetahuan petani dalam mengelola usahatani serta penyerapan teknologi baru. Selain itu, petani akan selalu berusaha untuk meningkatkan pendapatan yang diperoleh dan berani menanggung resiko karena usahatani stevia ini mempunyai prospek yang cukup baik. Lama pendidikan formal yaitu 12 tahun atau setara dengan lulusan dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Kesadaran berpendidikan yang baik akan memudahkan penyerapan informasi dan teknologi. Lama berusahatani yaitu 3 tahun. Umur, pendidikan dan pengalaman petani akan berpengaruh pada pola pikir, cara kerja dan kemampuan petani dalam menerima informasi dan mengadopsi teknologi serta berpengaruh pula dalam pengambilan keputusan usahatani. Usahatani stevia bukan merupakan usahatani yang diturunkan oleh keluarga. Petani melakukan usahatani stevia karena melihat adanya peluang mendapatkan penghasilan yang besar dalam membudidayakan stevia ini, selain itu adanya sistem kerjasama dengan swasta dan juga bantuan pemerintah dalam mengembangkan usahatani stevia menjadikan petani tergerak untuk memperluas area penanaman stevia.
Tabel 1. Identitas Responden Petani Stevia di Desa Tawangmangu dan Desa Tengklik, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, 2013 no 1 2 3 4 5 6
Identitas Responden Umur (tahun) Lama pendidikan formal (tahun) Lama berusahatani daun stevia (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Jumlah anggota keluarga yang aktif usahatani (orang) Luas Lahan Tanaman Stevia(m2)
Sumber : Analisis Data Primer Rata-rata jumlah anggota keluarga petani stevia di Desa Tawangmangu dan Desa Tengklik yaitu 4 orang, yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Sedangkan rata-rata jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usahatani adalah 2 orang yaitu suami dan istri. Jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usahatani akan berpengaruh pada besarnya penggunaan tenaga kerja luar. Bila usahatani sudah bisa
rata-rata Plasma-inti Sewa 46 48 12 12 3 3 4 4 2 2 892 1.626
dilakukan sendiri oleh petani dan keluarga petani maka penggunaan tenaga kerja luar dapat dikurangi. Rata-rata luas lahan penanaman stevia seluas 892 m2 (usahatani stevia dengan sistem plasma-inti) dan 1.626 m2 (usahatani stevia dengan sistem sewa). Luasnya lahan ber-pengaruh terhadap banyaknya benih yang ditanam sehingga berpengaruh pada penerimaan yang diperoleh juga lebih banyak.
Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Tabel 2. Rata-rata Biaya Usahatani Stevia dengan Sistem Plasma-Inti dan Sewa Selama Satu Tahun dengan rata-rata luas 1.000 m2 (April 2012Maret 2013) No. 1
2
3
Uraian Penggunaan Saprodi - bibit stevia - biost - pupuk kandang - mulsa - pengangkutan Tenaga kerja - luar - dalam Lain-lain -Pelubangan mulsa -Sewa lahan Jumlah
Plasma-inti (Rp) 2.595.343 1.719.919 64.072 219.910 488.739 102.703 646.847 431.231 215.616
77,2 51,1 2 6.5 14,5 3,1 19,2 12,8 6,4
122.532
3,6
3.364.712
100,00
Sumber : Analisis Data Primer Biaya adalah sejumlah nilai uang yang dikeluarkan oleh petani untuk membiayai kegiatan usahataninya. Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya pembelian sarana produksi, biaya tenaga kerja luar dan dalam serta lain-lain. Besarnya biaya yang dikeluarkan dalam usahatani stevia di Desa Tawangmangu dengan sistem plasma-inti dan usahatani stevia dengan sistem sewa dapat dilihat pada Tabel 2.
%
Sewa (Rp) 2.647.026 1.774.969 64.289 223.350 492.169 92.251 385.402 256.935 128.468 1.165.025 123.001 1.042.025 4.197.458
% 63,1 42,2 1,5 5,3 11,7 2,2 9,2 6,1 3,1 27,7 2,9 24,8 100,00
Setelah mengetahui besar-nya biaya usahatani maka dapat diketahui besarnya pendapatan usahatani dengan mengurangkan penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Penerimaan petani dari usahatani stevia berupa tanaman stevia yang telah dikeringkan. Besarnya biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani stevia di Desa Tawangmangu dan Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Produksi, Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani Daun Stevia Selama Satu Tahun (April 2012-Maret 2013) No 1 2 3 4 5 6
Uraian Produksi stevia basah (kg) Produksi stevia kering (kg) Penerimaan (Rp) Total Biaya (Rp) Keuntungan (Rp) Rentabilitas (%)
Sumber : Analisis Data Primer
Plasma-Inti 4.788,8 481,5 4.815.022 3.364.712 1.450.310 43,1
Sewa 4952 484,8 4.848.298 4.197.458 650.840 15,5
Dalam analisis ini biaya, penerimaan, dan keuntungan dalam usahatani stevia di Kecamatan Tawangmangu ini dibedakan menjadi dua macam yaitu usahatani dengan sistem plasma-inti dan usahatani dengan sistem sewa. Biaya yang berpengaruh pada usahatani stevia adalah biaya penggunaan saprodi yang terdiri dari pembelian bibit stevia, biaya pembelian biost, pupuk, mulsa, dan pengangkutan. Selain itu terdapat juga biaya tenaga kerja yang terdiri dari tenaga kerja luar dan tenaga kerja dalam serta biaya lainlain yang terdiri dari pelubangan mulsa dan sewa lahan. Biaya sewa lahan hanya terdapat pada usahatani dengan sistem sewa dan tidak terdapat dalam sistem plasma-inti dikarenakan lahan yang digunakan petani merupakan lahan milik sendiri. Perbandingan biaya usahatani, meliputi biaya penggunaan saprodi, tenaga kerja, dan biaya lain-lain seperti biaya sewa dan pelubangan mulsa seperti pada gambar diagram berikut :
Gambar 1. Biaya Usahatani Stevia Sistem Sewa
Gambar 2. Biaya Usahatani Stevia Sistem Plasma-Inti Biaya sewa lahan dalam penelitian ini merupakan biaya tetap yang paling besar dikeluarkan dalam usahatani stevia denggan sistem sewa. Besarnya biaya sewa tanah ini sangat bervariasi, semakin luas tanah atau lahan semakin tinggi pula biaya sewa tanahnya. Rata-rata biaya untuk sewa lahan adalah Rp 2.500.000 setiap tahunnya. Biaya yang harus dikeluarkan petani setiap 1000 m2 adalah Rp 1.042.025. Biaya sewa tanah mempengaruhi 24,8% dari seluruh biaya yang dikeluarkan petani stevia dengan sewa. Hal ini tentu menguntungkan petani dengan sistem plasma-inti yang tidak perlu membayar lagi untuk menyewa tanah dalam melakukan usahatani stevia. Petani stevia di Kecamatan Tawangmangu tidak mengeluarkan biaya pengairan dalam usahatani stevia karena curah hujan dianggap sudah memenuhi kebutuhan air untuk melakukan usahatani stevia. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan volume produksi. Biaya ini terdiri dari biaya pembelian bibit tanaman stevia, biaya pembelian pupuk, biaya pembelian biost, biaya pengadaan mulsa dan pembolongan mulsa, biaya transportasi dan biaya tenaga kerja. Usahatani stevia di Tawangmangu menggunakan bibit sebanyak
sebanyak + 5.359 bibit stevia/1000 m2 (sistem plasma-inti) dan + 7.192 bibit stevia/1000 m2 (sistem sewa). Petani stevia dengan sistem plasmainti menggunakan lebih sedikit bibit dikarenakan jumlah bibit sudah mencukupi atau sesuai dengan luas lahan stevia. Petani dengan sistem sewa menggunakan bibit yang lebih banyak dikarenakan minimnya pengetahuan tentang tanaman stevia merupakan hambatan pada budidaya tanaman stevia. Banyaknya bibit yang dipakai juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman stevia karena terjadinya persaingan dalam memperebutkan unsur hara. Bibit yang digunakan petani stevia di Tawangmangu diperoleh dari membeli bibit pada penangkar bibit karena sulitnya menemukan petani yang membudidayakan bibit stevia. Bibit yang ditanam dapat menghasilkan tanaman stevia sampai dengan empat atau lima kali panen. Namun setelah generasi kelima dianjurkan untuk menanan bibit baru karena tingkat produktivitas tanaman sudah menurun. Biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk membeli bibit stevia ini sebesar Rp 1.719.919,(sistem plasma-inti) dan Rp 1.774.969,- (sistem sewa). Harga rata-rata bibit adalah sebesar Rp 350,-/bibit stevia. Pupuk yang digunakan dalam budidaya stevia adalah pupuk kandang yang telah siap pakai. Transaksi jual beli pupuk kandang antar petani dan pedagang di Kecamatan Tawangmangu menggunakan satuan pikul seharga Rp 3.500,-. Penggunaan pupuk kandang ini digunakan sebagai pupuk dasar sebelum ditanami tanaman stevia dan penggunaan
pupuk kimia dirasa tidak diperlukan lagi. Harga pupuk kandang relatif murah dan jumlahnya pun sangat banyak sehingga petani lebih cenderung menggunakan pupuk kandang. Petani juga menambahkan penggunaan biost pada usahatani stevia. Usahatani stevia di Desa Tawangmangu dengan sistem plasma-inti menghabiskan biaya sebesar Rp 64.072 sedikit lebih besar dibandingkan dengan sistem sewa yang menghabiskan biaya Rp 64.288. Manfaat penggunaan biost yaitu sebagai perangsang tumbuh pada tanaman stevia sehingga daun akan tumbuh lebih banyak dan lebih rimbun. Minimnya pengetahuan tentang budidaya stevia menjadi kendala bagi petani dengan sistem sewa. Berbeda dengan petani dengan sistem plasma-inti yang didampingi investor dalam membudidayakan tanaman stevia sehingga usahatani stevia lebih terawasi. Penggunaan mulsa plastik hitam perak sudah hampir menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses produksi tanaman stevia. Manfaat mulsa plastik adalah melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi dan menjaga kelembaban tanah, struktur tanah, kesuburan tanah serta menghambat pertumbuhan gulma rumput liar yang berada di sekitar tanaman yang dibudayakan dengan sistem tanpa mulsa. Pada sistem budidaya stevia yang digunakan adalah mulsa hitam perak untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan hama serta penyakit dan gulma. Selain itu dengan menggunakan mulsa, lahan stevia akan terawat dengan baik dan berpengaruh baik bagi pertumbuhan
tanaman stevia. Pertumbuhan gulma dapat dibatasi, perawatan lahan stevia lebih mudah. Biaya yang dikeluarkan petani untuk pengadaan mulsa adalah Rp 488.739,- (sistem plasma-inti) dan Rp 492.168,(sistem sewa) dengan harga mulsa adalah Rp 4.500,-/m. Penggunaan mulsa diantara kedua sistem ini berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh panjang lahan. Lahan dengan sistem sewa memiliki rata-rata lahan yang lebih memanjang. Biaya rata-rata tenaga kerja yang dikeluarkan dalam usahatani stevia dengan sistem plasma-inti adalah sebesar Rp 646.847,- per usahatani yang terdiri dari Rp 431.231,- biaya tenaga kerja luar dan Rp 215.616,biaya tenaga kerja dalam. Sedangkan biaya rata-rata tenaga kerja yang dikeluarkan dalam usahatani stevia dengan sistem sewa adalah sebesar Rp 385.402,- per usahatani yang terdiri dari Rp 256.935,- biaya tenaga kerja luar dan Rp 128.467,- biaya tenaga kerja dalam. Tenaga kerja untuk mengelola usahatani stevia ini berasal baik dari dalam maupun dari luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja dari luar lebih banyak dibandingkan dari dalam keluarga. karena sebagian besar anggota keluarga lebih memilih bekerja di kota dan industri. Tenaga kerja luar yang digunakan biasanya mengambil masyarakat dari luar desa seperti Desa Ngemplak dan Desa Kalisoro. Tenaga kerja pada usahatani stevia di Desa Tawang-mangu dan Desa Tengklik. Tenaga kerja untuk memanen tanaman stevia biasanya tenaga kerja wanita. Berbeda dengan kegiatan pengolahan lahan dan pemasangan mulsa yang memerlukan tenaga kerja pria. Tahap terahir
adalah pengeringan yang memerlukan tenaga kerja pria. Pada proses ini tenaga kerja diupah lebih banyak dibandingkan proses lainnya. Upah tenaga kerja adalah Rp 25.000 untuk tenaga kerja pria, Rp 20.000 untuk tenaga kerja wanita dan Rp 30.000 untuk tenaga kerja yang bertugas mengeringkan atau menjemur stevia. Biaya tenaga kerja usahatani stebia sistem plasma-inti dan sistem sewa berbeda secara signifikan. Hal itu dikarenakan kebutuhan tenaga kerja pada sistem plasma-inti dirasa belum mencukupi kebutuhan akan tenaga kerja. Transportasi merupakan faktor yang mempengaruhi biaya variabel. Rata-rata biaya total usahatani pada sisem plasma-inti sebesar Rp 102.703,-. Sedangkan pada usahatani stevia dengan sistem sewa memerlukan biaya Rp 92.251,-. Terdapat kendala transportasi di lokasi penelitian. Desa Tawangmangu hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua. Hal itu dikarenakan kondisi jalan yang tidak cukup bagus dan tidak memungkinkan untuk kendaraan beroda empat. Selain itu, lahan yang letaknyaa berjauhan, antara satu lahan dengan lahan yang lain, juga menjadi kendala dalam usahatani dengan sistem plasma-inti ini. Tidak berbeda dengan Desa Tawangmangu, Desa Tengklik juga mengalami kedala transportasi. Tempat yang sulit ditempuh menjadi salah satu faktor mahalnya baya transportasi. Pada usahatani dengan sistem sewa, jalan yang tidak baik dan sangat sempit tidak memungkinkan kendaraan beroda empat untuk masuk ke lokasi. Selain itu, lokasi jalan yang curam dan berdekatan
dengan jurang menjadi salah satu kendala bagi petani yang hendak membawa tanaman stevia untuk dikeringkan. Petani stevia dengan sistem plasma-inti langsung menjual hasil panennya ke investor sesuai perjanjian (berapapun hasilnya). Petani menjual tanaman stevia kering dengan harga Rp 10.000/kg. Stevia kering tersebut akan dipasarkan ke industri besar yaitu perusahaan jamu Sidomuncul dengan harga jual sebesar Rp. 12.000/kg. Pada satu kali penanaman bibit, tanaman stevia dapat menghasilkan lima kali panen. Petani stevia dengan sistem plasmainti memperoleh penerimaan sebesar Rp 4.815.022,-. Petani stevia dengan sistem sewa memasarkan hasil panennya pada pihak swasta yang berperan sebagai tengkulak. Harga stevia kering adalah Rp 10.000/kg. Harga tersebut sama dengan harga beli investor pada sistem plasma-inti. Stevia kering juga dipasarkan ke industri besar yaitu perusahaan jamu Sidomuncul dengan harga jual sebesar Rp 12.000/kg. Sama dengan sistem plasma-inti, dalam satu kali penanaman bibit, tanaman stevia dapat menghasilkan lima kali panen. Petani stevia dengan sistem sewa mampu memperoleh penerimaan sebesar Rp 4.848.298,-. Perbandingan penerimaan antara usahatani dengan sistem plasma-inti dan usahatani dengan sistem sewa dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3. Penerimaan Usahatani Stevia Sistem Plasma-Inti dan Sewa Penerimaan petani stevia dengan sistem sewa lebih besar dibandingan dengan penerimaan petani dengan sistem plasma-inti dikarenakan perbedaan lebar lahan dan jumlah hasil produksi. Semakin tinggi hasil produksi dan harga hasil produksi, maka semakin besar pula penerimaan yang akan diperoleh petani, begitu pula sebaliknya. Namun penerimaan yang tinggi belum tentu mencerminkan keuntungan yang tinggi pula. Ratarata produksi stevia kering pada sistem plasma-inti 481,5 kg dan 484,8 kg pada sistem sewa. Dalam penelitian ini, pendapatan usahatani stevia menggunakan pendekatan keuntungan karena petani bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan. Berdasarkan hasil penelitian pada usahatani stevia dapat dilihat perbedaan rata-rata biaya, penerimaan, dan keuntungan antara usahatani dengan sistem plasma-inti maupun usahatani dengan sistem sewa. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4. Komposisi Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan Usahatani Stevia Rata-rata penerimaan stevia dengan sistem plasma-inti sebesar Rp 4.815.022,- dengan biaya sebesar Rp 3.364.712,- sehingga petani memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.450.310,- per usahatani. Sedangkan pada usahatani stevia dengan sistem sewa diperoleh rata-rata penerimaan sebesar Rp 4.848.298,- dengan biaya sebesar Rp 4.197.458,- sehingga petani memperoleh keuntungan sebesar Rp 650.840,- per usahatani. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat diketahui bahwa keuntungan petani dengan sistem plasma-inti lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan petani dengan sistem sewa. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang pertama penggunaan saprodi dalam usahatani stevia dengan sistem sewa lebih banyak dibandingkan dengan usahatani stevia dengan sistem plasma-inti. Minimnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman stevia menjadi salah satu faktor membengkaknya biaya pada usahatani stevia dengan sistem sewa. Penggunaan saprodi yang berlebihan seperti penggunaan bibit yang berlebihan, penggunaan biost, dan pupuk dasar. Faktor yang kedua adalah biaya sewa pada usahatani dengan sistem sewa menyebabkan
biaya usahatani lebih besar dibandingkan dengan usahatani dengan sistem plasma-inti yaitu petani tidak mengeluarkan biaya sewa lahan. Dan faktor terahir yaitu usahatani plasma-inti mendapatkan pengawasaan dari investor guna menjaga mutu stevia sesuai permintaan pasar. Hal ini menjadikan petani lebih memaham cara bercocok tanam stevia dibandingkan dengan petani sewa yang lebih awam dalam bercocok tanam stevia. Kendala yang sering dihadapi petani yang dapat mempengaruhi besar kecilnya penerimaan dan keuntungan yang diterima petani stevia antara lain : Kondisi iklim. Pada musim penghujan hasil panen yang diperoleh petani lebih kecil. Grading pada sistem plasma-inti memerlukan waktu yang lebih lama. Hal ini merupakan kendala bila terjadi pada musim hujan, tanaman stevia yang sudah siap panen rawan mengalami kerusakan apabila tidak segera dipanen. Pada musim hujan, serangan hama dan penyakit lebih besar dan lebih ganas daripada musim kemarau, sehingga dapat merugikan petani. Selain itu pengeringan manual yang dilakukan dengan sinar matahari merupakan
faktor penghambat baik pada sistem plasma-inti dan juga sistem sewa. Keawaman. Masih awamnya pengetahuan petani pada usahatani stevia menyebabkan petani kurang cakap dalam melakukan usahatani stevia sehingga kurang dapat meminimalkan biaya dan tidak dapat memaksimalkan pendapatan. Perhitungan tingkat keuntungan atau rentabilitas berkaitan dengan laba dan modal yang dipergunakan (dinyatakan dalam persen). Rentabilitas ini sering dimaksudkan sebagai kemampuan suatu usaha, dengan seluruh modal yang bekerja didalamnya, untuk menghasilkan laba. Jadi modal dan laba yang diperhitungkan untuk mengukur rentabilitas hanyalah yang berasal dari operasi kegiatan usahatani stevia tersebut. Semakin besar laba yang diperoleh dan semakin kecil modal yang dipergunakan, berarti nilai rentabilitas yang dihasilkan semakin besar pula. Hal tersebut dapat dijadikan salah satu indikator kemampuan suatu usaha tersebut untuk memperoleh laba. Tingkat rentabilitas usahatani stevia di Desa Tawangmangu adalah sebesar 43,1% dan tingkat rentabilitas usahatani di Desa Tengklik adalah sebesar 15,5%. Ini berarti bahwa pada sistem plasma-inti, dengan modal yang digunakan sebesar Rp 1,- mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 43,1. Pada sistem sewa, dengan modal yang digunakan Rp 1,mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 15,5. Berdasarkan hipotesis pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa biaya usahatani stevia dengan sistem sewa terbukti
lebih besar dari usahatani stevia denga sistem plasma-inti. Selain itu usahatani stevia dengan sistem plasma-inti terbukti memberikan keuntungan lebih besar daripada usahatani stevia dengan sistem sewa. Berdasarkan hasil hipotesis diketahui bahwa tingkat rentabilitas usahatani sistem plasma-inti terbukti lebih besar dari usahatani sistem sewa. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yang pertama yaitu rata-rata biaya usahatani stevia dengan sistem plasma-inti adalah Rp 3.364.712,per 1000 m2 usahatani dengan penerimaan sebesar Rp 4.815.022,-. Rata-rata biaya usahatani stevia dengan sistem sewa adalah Rp 4.197.458,- per 1000 m2 dengan penerimaan sebesar Rp 4.848.298,-. Yang kedua yaitu rata-rata keuntungan petani dangan sistem plasma-inti per 1000 m2 adalah Rp 1.450.310,- dan pada sistem sewa adalah Rp 650.840,-. Dan yang terahir adalah tingkat rentabilitas pada usahatani stevia per 1000 m2 dengan sistem plasma sebesar 43,1 % dan pada sistem sewa sebesar 15,5 %. Saran Dari hasil penelitian ini, sedikit sumbang saran yang dapat penulis berikan diantaranya sebagai berikut : Kendala yang dihadapi pada usahatani stevia yaitu pada saat pengeringan daun stevia pada musim hujan. Kendala lain adalah lokasi yang sulit dicapai sehingga proses pemasaran terhambat. Oleh karena itu disarankan untuk lebih
memperhatikan aspek teknis dan aspek ekonomi untuk dapat memperkirakan resiko yang akan dihadapi agar dapat terhindar dari kerugian. Pemerintah hendaknya memberi perhatian lebih pada usahatani stevia mengingat potensi yang dimiliki dan hasil dari usahatani stevia dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Perhatian pemerintah dapat diwujudkan dengan memberikan penyuluhan mengenai usahatani stevia intensif kepada petani tentang teknik budidaya stevia yang baik.
Anonim
Daftar Pustaka 2008. Pola Hubungan Hukum Pada Program Kemitraan Usahatani Tembakau di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. https://www.google.com/url? sa=f&rct=j&url=http://www. damandiri.or.id/file/arirahmat hakimundipringkasan.pdf&q =&esrc=s&ei=rX_vUeDMK Y7prQeFnoDYBw&usg=AF QjCNFA4Qar3N9Xi16mdw BBYwQEHSPcyQ. Diakes
12 Desember 2012 pukul 13.20 Cahyono 2011. Stevia, tanaman manis sebagai pengganti gula non kalori. http://cahyonoblog.blogsp ot.com/2011/01/steviatanaman-manis-sebagaipengganti.html . Diakses 20 Febuari 2013. Mosher 1991. Getting and agriculture moving. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Aglonema (Aglaonema sp.) di Samarinda (Studi Kasus
Pada Usaha Agribisnis Salma Shofa Samarinda). Samarinda Nuraini dan Hidayat 2001. Manajemen usahatani. Analisis Kelayakan Usahatani Kangkung Air. Banyumas Soedarsono 1995. Pengantar ekonomi pertanian. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Aglonema (Aglaonema sp.) di Samarinda (Studi Kasus Pada Usaha Agribisnis Salma Shofa Samarinda). Samarinda Suratiyah 2006. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.