KOMPARASI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PENGELOLAAN LEMBAGA AMIL ZAKAT Nikmatuniayah Politeknik Negeri Semarang, Jl Prof. Sudarto SH Tembalang Semarang Surel:
[email protected] Abstrak: Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan Lembaga Amil Zakat. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi praktik sistem pengendalian internal pengelolaan zakat dalam rangka meninjau akuntabilitas beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan multiple case study dengan analisis kualitatif deskriptif. Hasil riset menunjukkan LAZ telah memiliki prosedur penerimaan dan pengeluaran zakat yang sederhana. Namun demikian masih terdapat kelemahan dalam kepatuhan terhadap pengendalian internal, yaitu pemisahan fungsi akuntansi, pemegang otorisasi, rotasi jabatan, tersedianya divisi khusus akuntansi yang terpisah, dan pengawasan internal. Abstract: Comparation of Internal Control System of Zakat Management Institution. The aim of this research is to evaluate the internal control system of management practices of zakat institution (LAZ) in Semarang in term of their accountability. The research method used is multiple case study through descriptive qualitative approach. The result indicates that most zakat institutions have weak and simple procedures in accepting and distributing zakat. Moreover, there are also other weaknesses in internal control, in term of separation of accounting function, position rotation, and also the availability of specific accounting division and internal auditor. Kata kunci : Sistem pengendalian internal, Akuntabilitas, Lembaga Amil Zakat
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 5 Nomor 3 Halaman 345-510 Malang, Desember 2014 pISSN 2086-7603 eISSN 2089-5879
Tanggal Masuk: masuk: 21 2014 26 Agustus Maret 2014 Tanggal Revisi: revisi: 20 14 Oktober Mei 20142014 Tanggal Tanggal Diterima: diterima: 23 21 Desember Mei 2014 2014
demikian, rata-rata tingkat serapan ZIS oleh Lembaga Amil Zakat Jawa Tengah masih rendah, yaitu hanya 0,1 persen. Hal ini membuktikan bahwa kolektivitas pengumpulan zakat masih jauh dari harapan. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya penerimaan zakat di Indonesia. Rulian (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi muzaki dalam memilih organisasi pengelola zakat terdiri dari variabel pendidikan, penghasilan, pengetahuan, citra lembaga, reliability, responsiveness, akses dan promosi lembaga. Hasil temuan menunjukkan, bahwa muzaki cenderung membayar zakat langsung ke mustahik daripada melalui lembaga amil zakat. Pembayaran
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mengelola Zakat Infak Sedekah (ZIS) ikut berperan dalam program pengentasan kemiskinan nasional melalui distribusi ekonomi kuat ke ekonomi lemah. Sugiyo et al. (2009) menyatakan bahwa potensi ZIS di Jawa Tengah sebesar Rp4.017.638.091.692. Secara khusus, bahkan Kota Semarang saja memiliki potensi sebesar Rp153.445.980.564. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa pengumpulan ZIS di Jawa Tengah sangat potensial. Namun faktanya, dari jumlah potensial tersebut, ternyata ZIS yang dapat digali di wilayah Jawa Tengah hanya sebesar Rp4.082.637.195, sementara ZIS Kota Semarang hanya terkumpul sebesar Rp2.013.776.252. Dengan 498
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...499
zakat melalui mustahik, masjid, atau pun panitia Amil bentukan masyarakat menyebabkan penerimaan zakat menjadi tidak terdata secara valid. Belum lagi BAZ atau LAZ yang belum mampu melaporkan penerimaan dan distribusi zakat secara publish. Berdasarkan penelitian Rulian (2014) tersebut diketahui, bahwa ada kecenderungan muzaki kurang percaya dengan LAZ. Ada apa dengan LAZ? Salah satu cara meningkatkan kepercayaan penyaluran zakat para muzaki di Indonesia melalui lembaga amil zakat, adalah dengan menerapkan sistem pengendalian intern. Konsekuensinya, dana yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dengan baik pula (Novatiani dan Feriansyah 2012). Pengendalian intern organisasi yang baik dapat dilakukan dengan cara: (1) menjalankan organisasi secara efektif dan efisien, (2) membuat Laporan Keuangan secara akuntabel, (3) mematuhi hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan alasan tersebut di atas menjadi sangat penting melakukan evaluasi pengendalian internal Lembaga Amil Zakat. Pembenahan organisasi LAZ penting dilakukan dalam upaya untuk menjadikan LAZ sebagai lembagai profesional pengelola dana ZIS. Manajemen profesional tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia yang terampil di bidangnya, tetapi juga dalam hal pengelolaan dana ZIS. Beberapa hal yang berkenaan profesionalitas pengelolaan seperti sistem pengendalian dan pengawasan distribusi dana ZIS (outstanding ZIS funds), Sistem Pengendalian Intern (SPI), Sistem Informasi Akuntansi (SIA), Sistem dan Mekanisme Pemeriksaan (auditing), serta mekanisme akuntabilitas (accountabilility). Penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2005) menunjukkan bahwa dari berbagai lembaga zakat yang memiliki laporan keuangan, pengumpulan zakat BAZIZ mencapai 94%, LAZIS 100%, sedangkan ZIS Masjid sebanyak 97%. Berkenaan dengan keberadaan supervisi, LAZIZ dan ZIS Masjid masing-masing memiliki 93% dan ZIS Masjid 65% supervisi internal; sedangkan keseluruhan BAZIS hanya memiliki 54% supervisi eksternal. Kendala utama yang dihadapi OPZ dalam penyusunan laporan keuangan adalah belum adanya standar pelaporan keuangan OPZ dari pemerintah maupun IAI dan terbatasnya pengetahuan sumber daya manusia
yang menjadi operator administrasi penyusunan laporan keuangan. Penelitian Tjiptohadi dan Huda (2013) mengenai akuntabilitas pengelolaan zakat menunjukkan (1) program pemberdayaan antar organisasi pengelola zakat saling tumpang tindih; (2) data muzaki dan mustahik tidak akurat; (3) kemitraan OPZ sangat terbatas; (4) kebijakan pemerintah bertentangan dengan program pendayagunaan; (5) belum terdapat model promosi yang murah; dan (6) profesionalitas amil terbatas. Berdasarkan temuan-temuan di atas, evaluasi pengendalian internal sistem pengelolaan zakat menjadi sangat mendesak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi praktik sistem pengendalian intern pengelolaan zakat untuk akuntabi litas LAZ, khusus di kota Semarang. Evaluasi Sistem Pengendalian Internal LAZ dilihat dari empat aspek, yaitu struktur organisasi, (Fungsi, Tugas, Pemisahan Tugas, Otorisasi pihak berwenang), sistem akuntansi (prosedur, flowchart, kelengkapan dokumen, jurnal, buku besar, dan laporan keuangan), pengendalian (deskripsi pekerjaan, rotasi kerja, dokumen bernomor urut tercetak, divisi khusus akuntansi, auditor internal, dan laporan keuangan yang diaudit), dan akuntabilitas laporan keuangan METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan multiple case study yang bersifat kualitatifdeskriptif. Subyek yang diteliti adalah Lembaga Amil Zakat di Kota Semarang yang mempunyai sumber penerimaan zakat terbesar dan distribusi terluas, yaitu LAZIS Kota, LAZ Masjid Agung (LAZiMAS), serta Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Baiturrahman (LAZISBA) Masjid Baiturrahman Simpang Lima Semarang. Penelitian mengunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara mendalam melalui teknik pengamatan dan kuesioner. Peneliti mengadakan peninjauan (survey lapangan) ke objek penelitian dengan melakukan wawancara secara langsung kepada pihak-pihak yang terlibat dengan pengelolaan zakat. Melalui teknik pengamatan dapat dilihat prosedur penerimaan dan pengeluaran zakat secara nyata. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data mengenai sejauh mana proses pengelolaan dana LAZ, pertanggungjawabannya kepada masyarakat sesuai dengan prinsip syariah, keadaan manajemen LAZ, dan sistem
500
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
dan prosedur akuntansi yang diterapkan dalam pengelolaan dana. Data sekunder diperoleh dalam bentuk laporan keuangan, publikasi-publikasi dan SOP. Selanjutnya data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan pokok bahasan penelitian. Data sekunder kualitatif adalah kenyataan sosial organisasi berupa model organisasi, manajemen, operasi, sistem informasi akuntansi, dan lain lainnya. Unsur-unsur yang dinilai meliputi: (1) Ketersediaan Laporan Keuangan, (2) Aspek sistem akuntansi, (3) Sistem pengendalian internal, (4) Aspek Akuntabilitas. Butir-butir pertanyaan kuesioner diadopsi dari penelitian Roekhuddin dan Triyuwono (2000) dengan penyesuaian standar COSO. Pendekatan studi menghendaki adanya kedekatan jarak antara objek studi (yaitu organisasi yang menjadi obyek studi dan individu-individu yang terlibat langsung dalam operasi organisasi) dengan peneliti. Secara epistemologis pendekatan ini mengklaim bahwa kenyataan sosial pada dasarnya ada dan hanya dapat dimengerti oleh subjek secara langsung, dan masuk dalam kerangka referensi di mana organisasi berada dan bekerja. Pemahaman sangat mendalam akan kenyataan sosial organisasi sangat penting mengingat bahwa pemahaman ini merupakan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari dunia nyata yang nantinya menjadi bahan baku dalam merumuskan konsep-konsep praktis. Konsep-konsep praksis dideskripsikan melalui kombinasi temuan dan atau pemahaman atas kenyataan empiris organisasi dengan merujuk pada konsep sistem pengendalian intern, akuntabilitas, dan konsep lain yang
terkait. Cara ini diturunkan dari prinsip epistemologi “berpasangan” (Al-Faruqi 1992; Al ‘Ali 1993; Dhaouadi 1993), yaitu epistemologi yang mengakui adanya sinergi dari beberapa hal yang berbeda dan bertentangan. Penggunaan prinsip berpasangan, konsep-konsep praksis yang dihasilkan akan memancarkan kekuatan karena formulasi ini bersifat lebih komprehensif dan dimungkinkan sesuai kultur organisasi bersangkutan. Dokumen-dokumen yang terkumpul dilakukan analisis kajian isi. Wawancara dilakukan terhadap tokoh kunci pengelola LAZ dengan berpegangan pada kuesioner yang telah disiapkan peneliti. Selanjutnya dilakukan kajian deskriptif terhadap penerapan pengendalian intern LAZ dan dilanjutkan kajian refleksi untuk mengembangkan temuan kebaruan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif Organisasi. Berdasarkan temuan, ketiga LAZ berbentuk yayasan, bedanya LAZIS merupakan badan amil zakat yang mandiri, sedang LAZISBA dan LAZiMAS berada di bawah organisasi masjid besar di kota Semarang, yaitu Masjid Baiturrahman dan Masjid Agung Semarang. LAZISBA dibuka pertama kali pada tanggal 10 Agustus 2010, dengan SK Yayasan Masjid Baiturrahman: tanggal 23 Maret 2006 atau 22 Shafar 1427 H dengan Nomor 015/ SKEP/ YMB/ III /2006. Lembaga ini di bawah pembinaan Yayasan Masjid Baiturrahman, Semarang. Program yang diusung tidak hanya berupa program penyaluran, tetapi lebih pada pemberdayaan masyarakat, khususnya ekonomi. LAZISBA berusaha menjadikan zakat sebagai sarana pengentasan kemiskinan, yaitu merubah
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...501
Tabel 1. Pokok bahasan Penelitian Unsur-unsur
Bagian
Pengukuran
1. Struktur Organisasi
a Fungsi dan Tugas b Pemisahan Tugas c Otorisasi pihak berwenang
Diukur dengan analisis deskriptif organisasi dengan skala ordinal: 1 = Tersedia 2 = Tidak tersedia
2. Aspek Sistem Akuntansi
a b c d e f
Diukur dengan analisis deskriptif organisasi dengan skala ordinal: 1 = Tersedia 2 = Tidak tersedia
3. Sistem Pengendalian Intern
a b c d
Ketersediaan Job deskripsi Rotasi kerja dan cuti berkala Dokumen dengan nomor tercetak Divisi khusus akuntansi yang terpisah e Ketersediaan Auditor internal f Laporan keuangan yang diaudit akuntan publik
Diukur dengan analisis deskriptif organisasi Diukur dengan skala ordinal: 1 = Tersedia 2 = Tidak tersedia
4. Aspek Akuntabilitas
a Aspek Fisik (Muzakki , munfiq, musaddiq) b Pertanggungjawaban kepada Dewan Penasehat c Aspek Spiritual (Pertanggungjawaban kepada Tuhan)
Diukur dengan analisis deskriptif
Prosedur (SOP) Flowchart Kelengkapan dokumen Jurnal Buku Besar Laporan Keuangan
Mustahik (ekonomi lemah) menjadi Muzaki (ekonomi mandiri). Inilah yang menjadi inti program LAZISBA. Yayasan LAZIS Kota Semarang bertanggung jawab kepada dewan pembina yang merupakan representasi para pendiri yayasan. Dewan pembina berhak mengangkat dan memberhentikan dewan pengawas syariah dan dewan pengurus harian. Dewan pengawas dalam LAZ terdiri dari dewan pengawas syariah dan dewan pengawas manajemen. Struktur pokok pengurus harian terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara, namun biasanya LAZ terdiri dari ketua, kepala bidang penghimpunan dana, kepala bidang administrasi dan keuangan, dan kepala bidang pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat. Dalam hal sumber daya manusia, sebagian besar LAZ memiliki amil zakat dengan status full time. Posisi-posisi seperti ketua dan kepala bidang biasanya ditempati amil zakat yang full time mengingat tanggung jawab kerja yang besar. Ketiga LAZ memiliki fungsi yang sama yaitu melakukan penghimpunan dana, melakukan fungsi administrasi dan keuangan, dan fungsi pendistribusian dana.
Fungsi penghimpunan dana oleh lembaga amil zakat (LAZ) dilakukan dengan berbagai cara antara lain: mengambil langsung ke muzaki sesuai permintaan muzaki ke kantor LAZ atau dengan mengirimkan zakat tersebut melalui wesel pos atau rekening bank yang ditunjuk LAZ tersebut. LAZ juga melakukan fungsi administrasi dan keuangan. Muzaki yang melakukan pembayaran zakat akan dicatat dan didokumentasikan oleh LAZ. Dana yang berhasil dihimpun oleh LAZ akan dicatat sesuai dengan jenisnya. Selain mencatat dana-dana yang dihimpun, LAZ juga menyiapkan laporan keuangan sebagai pertanggung jawaban kepada publik. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa semua LAZ telah memiliki struktur organisasi yang jelas, meskipun sebanyak 66% belum memiliki fungsi pemisahan tugas dan otorisasi. LAZ Masjid Agung Semarang belum dilakukan pemisahan petugas antara penerima zakat, pencatat, dan pengeluaran zakat. Otorisasi pengeluaran zakat dibuat oleh pengurus harian bukan petugas khusus (manajer) yang mendapat wewenang. Bisa jadi pengeluaran zakat dibayarkan oleh orang berbeda-beda. Padahal pengeluaran zakat tanpa otorisasi pihak yang berwenang,
502
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
mengakibatkan distribusi ZIS menjadi salah sasaran. Makna dari temuan di atas, yaitu masih terdapat kekurangan dalam praktik struktur organisasi, yaitu pemisahan tugas (34%) dan otorisasi pihak berwenang (34%). Struktur organisasi LAZiMAS menunjukkan pemisahan tugas dan wewenang belum dapat dilaksanakan dengan tegas. Hal ini dapat dimaklumi karena pengurus harian LAZiMAS masih terbatas, sehingga tidak mungkin dilakukan pemisahan tugas. Pengurus harian dipegang orang yang berfungsi sebagai penerima donasi maupun pencatat buku zakat. Diungkapkan oleh Muhaimin, pengurus LAZiMAS bahwa:
Sumber: LAZIS Jateng
“Di LAZiMAS pemisahan tugas belum dilakukan karena petugasnya satu orang. Satu orang itu mengurus semua penerimaan zakat atau penyaluran zakat. Administrasi dipegang satu orang, tapi dalam pelaksanaan harian ada pengurus yang piket Jumatan. Setiap Jumat para pengurus berkumpul untuk menghitung uang kotak amal dan atau rapat pengurus Jumatan”. Terdapat keunikan di LAZiMAS, yaitu bahwa para pengurusnya yang berjumlah tujuh orang adalah tokoh kyai Masjid dan ustadz muda. Setiap Jumat mengadakan pertemuan di kantor dengan tujuan
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...503
menghitung kotak amal dan rapat Jumatan. Rata-rata penerimaan kotak amal sebesar 2 juta sampai 4 jutaan, maka biasanya penghitung uang kotak amal dibantu sukarelawan dari anggota Jamaah, dengan dasar ikhlas. Sedangkan baik LAZISBA maupun LAZIS pengurus zakat dipegang oleh orang tersendiri yang lebih profesional. Tokoh kyai Masjid Baiturrahman sebatas menjadi dewan pengawas. Untuk LAZIS sebagai lembaga zakat swasta yang terorganisir yang memang bermotif pemberdayaan zakat, Tim Pengelola dirasakan paling solid dan profesional. Sistem Pengelolaan Zakat. Sistem pengelolaan zakat terdiri dari prosedur penerimaan zakat, prosedur pengeluaran zakat, dan prosedur pelaporan zakat untuk
publik. Prosedur penerimaan zakat meliputi proses yang mengatur bagian penerimaan menerima zakat dan mencatatnya dalam buku sumber penerimaan zakat. Sebaliknya prosedur pengeluaran zakat menggambarkan alur bagian pengeluaran ketika mengeluarkan dana zakat dan mencatatnya dalam buku pengeluaran zakat. Kemudian pada akhir periode dilanjutkan prosedur pelaporan zakat yang tujuannya melaporkan penerimaan dan penyaluran zakat untuk publik. Unsur-unsur yang harus dimiliki oleh sebuah sistem adalah: dokumen yang terkait, catatan yang terkait, bagian dan fungsi yang melaksanakan sistem, prosedur yang membentuk sistem, dan laporan yang
Tabel 2 Ringkasan Ketersediaan Struktur Organisasi
Struktur Organisasi
Tersedia (persen)
Tidak tersedia (persen)
Fungsi dan Tugas
100
0
Pemisahan Tugas
66
34
Otorisasi pihak berwenang
66
34
504
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
dihasilkan. Berdasarkan pengamatan diketahui, bahwa semua LAZ sudah memiliki prosedur (SOP) yang baku, namun belum semua digambarkan dalam arus dokumen (flowchart). Untuk hal-hal lain seperti: kelengkapan dokumen dan laporan keuangan baru 66%, sedang pencatatan dalam jurnal dan buku besar baru dilaksanakan 62%. Dari ketiga LAZ, LAZIS Semarang dan LAZISBA yang sudah mengikuti standar SOP, dokumen, pencatatan, dan laporan. Sedang pada LAZ masjid Agung Semarang karena hanya menerima zakat dan mengeluarkan zakat dengan uang saja, maka bagi mereka belum dipandang perlu. Namun oleh pengelola dikatakan, bahwa LAZiMAS mulai berbenah dalam persiapan menuju pelebaran produk-produk kreatif zakat. “Nuwun sewu, kalau LAZiMAS ini hanya menerima zakat dalam bentuk uang. Kami sangat konservatif dalam hukum syariah, bahwa zakat adalah kelebihan rejeki dari orang kaya yang dibayarkan untuk kaum dhuafa dalam bentuk uang. Karena itu zakat dibayarkan dalam bentuk uang, kami belum berpikir untuk program lain seperti kesehatan, bantuan pinjaman atau beasiswa pendidikan. Untuk klinik dan ambulan diambilkan dari SPBU. Pinjaman modal tanpa modal diberikan oleh KOSAMAS”.
Berbeda dengan LAZiMAS, kedua LAZ yang lain yaitu LAZISBA dan LAZIS lebih banyak memiliki varian produk. Zakat tidak hanya disalurkan dalam bentuk uang santunan belaka, melainkan programprogram kreatif seperti ambulance, klinik sehat, beasiswa pendidikan, atau bantuan lunak tanpa bunga. Seperti LAZISBA ini menyediakan celengan untuk beasiswa pendidikan anak dhuafa, dan memiliki binaan group usaha rumah tangga. Bantuan kredit tanpa bunga ini dibedakan meliputi kredit usaha kecil sebesar lima jutaan dan kredit usaha kelas menengah sampai 10 jutaan. Sistem Pengendalian Intern. Sistem pengendalian intern bertujuan untuk menjaga kekayaan organisasi, memeriksa keakuratan data akuntansi, mendorong efisiensi, dan mendorong manajemen organisasi untuk mengikuti kebijakan organisasi. Komponen model pengendalian intern tersebut terdiri dari lingkungan pengendalian, aktivitas pengendalian, perhitungan resiko, informasi dan komunikasi, dan pemantauan (Krismiaji 2002). Berdasarkan definisi dari AICPA terdapat empat fungsi sistem pengendalian intern, yaitu: (1) menjaga aset (safeguarding of assets), (2) mengecek keakuratan dan reliabilitas data akuntansi (cheking the accuracy and reliability of its accounting data), (3) meningkatkan efisiensi operasional (promoting
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...505
Tabel 3 Ringkasan Pertanyaan Aspek Akuntansi Aspek Sistem Akuntansi
Tersedia (persen)
Prosedur (SOP)
Tidak tersedia (pesen)
100
0
37,5
62,5
Kelengkapan Dokumen
66
34
Jurnal
62
36
Buku Besar
62
36
Laporan Keuangan
66
34
Flowchart
operational efficiency), dan (4) mendorong ditaatinya kebijakan manajemen (encourage aderence to prescribed managerial policies). Berdasarkan ringkasan sistem pengendalian intern pada Tabel 4, hampir semua LAZ telah memiliki struktur organisasi yang baku dengan pemisahan wewenang dan tanggung jawab yang dijabarkan dalam job description, kecuali LAZiMAS. Pada LAZiMAS belum dilakukan pemisahan tugas dan wewenang yang tegas. Pertimbangan pengurus karena zakat di LAZiMAS hanya menyalurkan dalam bentuk uang saja, sehingga job distribution belum dilakukan sepenuhnya. Artinya dibandingkan dengan LAZISBA atau LAZIS yang menyalurkan zakat dalam berbagai bentuk macam produk (kartu sehat, beasiswa pendidikan, ambulan, atau kredit tanpa bunga dan lainlain) LAZiMAS ini mendistribusikan zakat uang dalam bentuk pemberian hibah uang. Sedangkan untuk klinik sehat, mobil ambulance, dan kredit tanpa bunga diambil dari unit usaha badan pengelola masjid, SPBU.
Berkaitan dengan rotasi kerja dan cuti berkala ternyata 62,5% LAZ yang memiliki kebijakan tersebut untuk memberikan penyegaran bagi pengelolanya serta untuk menjamin akurasi dan kevalidan datadata keuangan yang ada. Dalam rotasi kerja biasanya dipertimbangkan kualifikasi personal masing-masing yang sesuai dengan keahlian, sehingga tidak mungkin terjadi adanya rotasi antara pengelola divisi pemberdayaan ekonomi dengan latar belakang pendidikan di luar ekonomi. Berkaitan dengan ketersediaan dokumen dengan nomor urut tercetak khususnya kuitansi penerimaan dan pembayaran, hanya 25% LAZ yang belum menerapkan dokumen tercetak dengan alasan keterbatasan SDM dan pengetahuan mengenai fungsi adanya dokumen bernomor urut tercetak. Selanjutnya tentang ketersediaan divisi khusus akuntansi yang terpisah baru 62,5% yang dilakukan oleh LAZ. Seperti LAZiMAS bagian pencatat zakat memang berasal dari disiplin ilmu Akuntansi, tetapi
Tabel 4 Ringkasan Sistem Pengendalian Internal Tersedia (peren)
Tidak Tersedia (peren)
Ketersediaan job deskripsi
87,5
12,5
Adanya rotasi kerja dan cuti berkala
62,5
37,5
Ketersediaan dokumen dengan nomer urut tercetak
75
25
Ketersediaan divisi khusus akuntansi yang terpisah
62,5
37,5
Ketersediaan auditor internal
62,5
37,5
25
75
Aspek Pengendalian Internal
Laporan keuangan yang diaudit akuntan publik
506
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
bagian tersebut juga merangkap operasional penerimaan dan pengeluaran zakat. Alasannya, bagi mereka dengan pengelola yang berjumlah 20 (aktif 15) orang, tentu sangat belum memadai untuk menangani unit-unit sosial Masjid Agung Semarang yang sedemikian banyak. Lagi pula pengelolaan zakat bagi mereka hanya sebagai menjadi perantara uang dari muzaki ke penerima zakat. Sehubungan dengan ketersediaan auditor internal, hanya 62% LAZ yang memiliki auditor internal. Seperti halnya LAZiMAS, sebenarnya auditor internal dalam struktur organisasi adalah BAWASDA, tetapi frekuensi pelaksanaan audit tidak kontinyu. Laporan keuangan yang telah diaudit baru 25% laporan keuangan LAZ yang telah diaudit oleh auditor independen. Seperti diungkapkan Slamet seorang pengurus LAZISBA ketika diwawancarai menyatakan, bahwa meski Lembaga sudah memiliki laporan keuangan zakat, namun dirinya belum memiliki tenaga profesional akuntansi yang dapat menyusun laporan keuangan zakat. Seperti LAZISBA pengurus hanya mencatat transaksi pemasukan dan pengeluaran harian, sedangkan untuk menyajikan laporan keuangan dimintakan kantor konsultan keuangan. LAZIS Kota Semarang dapat dikatakan sebagai LAZ yang paling profesional diantara ketiganya. Hal ini ditegaskan Diah, seorang pengurus LAZIS Kota Semarang, ketika diwawancarai:
“Hal ini dapat dimaklumi karena LAZIS adalah lembaga zakat yang publish, yang tentunya pengelolaan harus terorganisasi secara lembaga tidak hanya mengandalkan keikhlasan semata”. Secara umum dapat dilihat bahwa kesungguhan dalam mengelola zakat sudah ada dalam semua LAZ yang ada di Kota Semarang, terlihat dari kepemilikan struktur organisasi yang jelas dan peletakan divisi yang khusus menangani akuntansi, meskipun disana sini masih ada perangkapan jabatan. Namun ada wacana semua masing-masing LAZ mengembangkan organisasinya menjadi organisasi pengelola zakat yang memadai. Akuntabilitas Publik. Penetapan akuntabilitas mekanisme pemeriksaan sangat penting dilakukan, terutama yang berkaitan dengan upaya memastikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh agent benar-benar dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan dan profesional. Pengelolaan profesionalitas ini, pada nantinya akan berdampak positif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap LAZ. Akuntabilitas timbul sebagai konsekuensi logis atas adanya hubungan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) sehingga muncul hubungan yang dinamis berupa agent-principal relationship. Principal dalam hal ini memberikan kewenangan
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...507
penuh pada agent untuk melakukan aktivitas operasi organisasi. Sebagai konsekuensi atas wewenang ini, maka agen harus mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada principal. Agent-principal relationship dalam kajian ini (dalam konteks LAZ) lebih luas dibandingkan dengan pengertian di atas. Keluasan ini terletak pada pengertian principal, atau siapa sebetulnya principal dari organisasi LAZ ini. Dalam pengertian yang umum seperti di atas, principal adalah para pemegang saham (stockholders). Sedangkan prinsipal dalam kontel LAZ terdiri dari: (1) muzakki, munfiq, dan musaddiq, (2) Dewan Penasehat, dan (3) Tuhan. Hal ini berarti manejemen/pengelola LAZ dalam hal ini sebagai agent harus bertanggung jawab atas penggunaan sumberdaya kepada pihak tersebut di atas. Dalam konteks LAZ, dapat dipersepsikan bahwa orang-orang yang telah mempercayakan amanahnya adalah orang-orang yang memiliki kepentingan atau harapan di lembaga LAZ tersebut. Mereka adalah orang-orang yang menyedekahkan sebagian hartanya dengan mengharap ridho Allah. Meskipun orang-orang penyetor sedekah/ zakat tersebut ikhlas, dan sebetulnya mereka tidak mengharapkan balasan atau imbalan jasa (ucapan terimakasih), tetapi pengelola zakat tetap wajib melaporkan dana zakat kepada publik, khususnya pembayar zakat. Dengan mengetahui penggunaan dan penyaluran dana zakat dengan benar, maka prinsipal/publik akan menjadi percaya kepada Amil Zakat. Dengan kepercayaan itu, semakin besar zakat yang dapat dikumpulkan untuk kemakmuran masyarakat. Informasi yang diberikan agen kepada prinsipal biasanya berupa laporan keuangan. Dengan kata lain manajemen LAZ mempunyai kewajiban untuk membuat laporan keuangan kepada muzakki, munfiq, dan musaddiq. Pada organisasi bisnis secara formal laporan keuangan terdiri dari Neraca, Laporan, Laba Rugi, Laporan Arus Dana, dan catatan atas laporan keuangan dapat diterbitkan setiap bulan. Laporan keuangan tersebut dibuat dalam format yang baku sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) ETAP yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Tetapi sebaliknya organisasi LAZ yang menjadi sasaran utama dalam penelitian ini tidak mempunyai laporan keuangan yang baku. Pada umumnya mereka membuat laporan
keuangan yang sangat sederhana dalam bentuk laporan sumber dan penggunaan dana (Funds Statemens). Laporan keuangan merupakan media fisik yang menghubungkan manajemen LAZ dengan para muzakki, munfiq, dan musaddiq. Secara ideal dan harus dipraktekkan oleh LAZ adalah bahwa hubungan tersebut tidak terbatas pada hubungan fisik, tetapi juga hubungan moral dan spritual. Dengan demikian akan tercipta suatu keterikatan yang erat antara manajemen dengan muzakki, munfiq, dan musaddiq. Dan keterikatan inilah yang membuahkan kepercayaan muzakki, munfiq, dan musaddiq atau publik terhadap LAZ. Pertanggungjawaban kepada Dewan Penasehat. Dewan penasehat dapat diibaratkan sebagai Dewan Komisaris pada organisasi bisnis. Anggota dewan ini merupakan orang-orang yang dipercaya oleh pemegang saham, atau merupakan wakil pemegang saham, untuk menentukan arah kemana perusahaan beroperasi. Demikian pula dengan LAZ, dewan penasehat tersebut bertindak sebagai wakil dari muzakki, munfiq, dan musaddiq yang juga berfungsi sebagai badan yang mengontrol aktivitas manajemen. Manajemen harus bertanggung jawab terhadap dewan komisaris, atau dalam konteks LAZ, manajemen juga harus bertanggung jawab kepada dewan penasehat. Bentuk akuntabilitas manajemen terhadap dewan penasehat tidak terbatas pada laporan ditetapkan laporan kuantitatif, yaitu: laporan keuangan, tetapi juga laporan lainnya yang bersifat kualitatif. Laporan kualitatif dapat berupa laporan tentang pencapaian program-program kualitatif yang telah ditetapkan sebelumnya. Dewan penasehat dapat menilai kinerja manajemen dengan menggunakan bentuk laporan tersebut. Pertanggungjawaban kepada Tuhan. Di samping bertanggung jawab kepada muzakki, munfiq, dan musaddiq atau publik, manajemen juga harus mempertanggungjawabkan semua bentuk operasinya kepada Tuhan. Bentuk akuntabilitas ini memang tidak dalam bentuk fisik berupa laporan keuangan atau laporan bentuk lainnya, tetapi secara moral dan spiritual manajemen bertanggung jawab atas semua aktivitas yang dilakukannya. Dalam agama Islam moral yang dimaksud dapat diartikan sebagai akhlak. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
508
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
menyebutkan dalam Mukhtasar Minhaj Al-Qashidin, bahwa akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan (Gasim 2009). Jika perbuatan itu baik, maka disebut akhlak yang baik dan jika buruk disebut akhlak yang buruk. Akhlak juga dapat berarti dien (agama) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qalam:4 yang artinya ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. Terdapat hadis dalam Shahih Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya tentang akhlak Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu beliau menjawab bahwa akhlak Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an (Gasim 2009). Dengan demikian, akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang yang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan (Pramono dan Purwanto 2006). Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakhul karimah. Sebaliknya, akhlak yang buruk disebut akhlak mazmumah. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bentuk akuntabilitas ini diapresiasikan dengan dipraktekkannya prinsip-prinsip etika syariah berdasarkan akhlak yang bersumber Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Dari deskripsi di atas dapat dilihat bahwa bentuk akuntabilitas dari organisasi LAZ ini terdiri dari tiga lapisan, yaitu fisik, moral, dan spritual. Secara hierarkis bentuk akuntabilitas LAZ terlihat dalam gambar 6. Pada tingkat pertama, akuntabilitas manajemen LAZ adalah kepada para muzakki, munfiq, dan musaddiq. Media yang dapat dipergunakan dalam hal ini adalah laporan keuangan dan laporan lainnya yang bersifat kuantitatif (laporan fisik). Pada tingkat kedua, akuntabilitas manajemen diarahkan kepada Dewan Penasehat. Media yang dipergunakan terdiri dari laporan keuangan (kuantitatif) dan laporan lainnya yang bersifat kualitatif. Bentuk laporan ini dapat berupa laporan tentang pencapaian program-program kualitatif yang ditetapkan dewan penasehat, atau laporan ditaatinya dan dipraktikkannya prinsip-prinsip syariah.
Sedangkan pada tingkat tiga, akuntabi litas manajemen berupa pertanggungjawaban kepada Tuhan. Bentuk akuntabilitas pada tingkat ini tidak dapat diukur secara kuantitatif, melainkan apresiasi terhadap pengamalan nilai-nilai akhlak Islam yang diperankan oleh manajemen LAZ. Implementasi pertanggungjawaban kepada Tuhan dapat dilihat dari rasa nyaman, ilkhlas, dan amal pengelola LAZ. Indikator tersebut tidak dapat dilihat secara kasat mata, melainkan kepercayaan publik yang diberikan kepada manajemen LAZ itu sendiri. Evaluasi Pengendalian Intern Berdasarkan pembahasan sebelumnya dikatakan, bahwa praktik akuntabilitas pada LAZ memiliki tiga tingkatan, yaitu: (1) muzakki, munfiq, dan musaddiq, (2) dewan pengawas, dan (3) Tuhan. Pengertian akunta bilitas ini lebih luas bila dibandingkan dengan organisasi bisnis, karena tidak saja menyangkut aspek fisik dan mental, tetapi juga spiritual. Pada tingkat fisik dan mental dimana akuntabilitas ditujukan pada muzakki, munfiq, dan musaddiq, dan dewan penasehat, terdapat praktik yang tidak konsisten, karena ada konsep dan praktik sistem pengendalian intern yang lemah. Berdasarkan hasil pengamatan, masih terdapat kelemahan dalam kepatuhan dap pengendalian intern, antara terha lain ditunjukkan dalam hal melemahnya pemisahan tugas, pemegang otorisasi, rotasi jabatan, dan pengawasan internal. Fakta ini memperkuat temuan Roekhudin dan Triyuwono (2000), yang menyatakan bahwa sumber daya manusia pengelola LAZ yang lemah. Hal ini telah diakui oleh manajemen LAZ Masjid Agung Semarang yang kekurangan tenaga ahli (Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi syariah). Untuk organisasi LAZ yang lainnya juga, kalaupun ada tenaga ahli itu pun tenaga part time, dan dewan penasehat pun rata-rata diambil dari Takhmir Masjid yang relatif tidak ekonomi syariah. berpengalaman dalam Sehubungan dengan standar akuntansi zakat yang tertuang dalam PSAK 109, Istutik (2013) menyatakan bahwa lembaga amil belum menerapkan standar akuntansi ZIS (PSAK 109) untuk penyusunan laporan keuangannya. Di sisi lain pertanggungjawaban keuangan yang dimaksud masih sebatas laporan penerimaan dan pengeluaran kas.
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...509
Refleksi. Zakat infak shodaqoh atau dikenal dengan nama ZIS adalah suatu amal yang tidak berwujud dan konpensasinya yang disebut pahala tidak berwujud pula. Kompensasi yang tidak berwujud ini menjadikan pembayar zakat kurang semangat, terlihat dari masih jauh dari harapan terkumpulnya zakat berdasarkan potensinya. Ratarata tingkat serapan ZIS oleh Lembaga Amil Zakat Jawa tengah masih rendah, yaitu hanya 0,1 persen (Soegiyo 2009). Bisa jadi jika setiap pembayar zakat langsung mendapat hadiah, seperti halnya penabung di bank, bisa jadi zakat yang terkumpul lebih banyak. Namun ide ini dapat menjadi kontroversial di antara umat Islam. Karena hadiah berupa materi yang diberikan, walaupun kecil nilainya tetap akan mengurangi keikhlasan muzaki. Sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an Surat Az Zalzalah: ayat 8, “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarahpun niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”. Keikhlasan itu ibarat semut hitam yang berada di batu hitam pada waktu malam hari, sehingga betul-betul tanpa pamrih tidak mengharapkan hadiah. Muzaki jika dirangsang dengan hadiah, akan mengurangi keikhlasan amal. Produk-produk yang ditawarkan LAZiMAS kurang variatif dan sebaran area muzaki kurang luas dibandingkan dengan LAZISBA atau LAZIS Kota Semarang. LAZiMAS tidak memiliki website sebagaimana LAZISBA atau LAZIS Kota Semarang. Namun, LAZiMAS memiliki pengurus yang memiliki keikhlasan yang tinggi, karena pengurus sebagian besar adalah kyai
atau ustazd Masjid Agung Kota Semarang. Pertanggungjawaban pengurus pertama ditujukan kepada Tuhan. Berikutnya akunta bilitas laporan keuangan dana ZIS ditujukan kepada pemangku kepentingan LAZ. Pemangku kepentingan yang dimaksud disini adalah pembayar zakat (muzaki), masyarakat, dan pemerintah. Pembayar zakat perlu mengetahui laporan distribusi dana ZIS apakah sudah disalurkan pada yang berhak secara benar. Masyarakat perlu mempercayai LAZ bahwa organisasi ini sudah memenuhi kewajibannya melayani masyarakat secara syariah. Bertanggung jawab kepada pemerintah artinya LAZ juga melaporkan penggunaan dana ZIS kepada pemerintah, sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2011, yang mensyaratkan manajemen dan akuntabilitas laporan keuangan LAZ dengan baik. Gambar 7 memperlihatkan rangkaian pertanggungjawaban LAZ kepada Tuhan dan pemangku kepentingan LAZ. Pengurus LAZ melalui pengawasan Dewan Pengawas Syariah bertanggung jawab kepada Zat yang paling tinggi, yaitu Tuhan SWT. Berikutnya secara horisontal pengurus LAZ bertanggung jawab kepada masyarakat dan peme rintah. Bentuk pertanggungjawaban LAZ kepada masyarakat dapat berupa publikasi laporan keuangan zakat, sedang pertanggungjawaban LAZ kepada pemerintah dalam bentuk kepatuhan terhadap UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat, atau laporan pengurang pajak dari zakat yang dibayar.
510
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
SIMPULAN Pada dasarnya semua LAZ di kota Semarang telah memenuhi kaidah sistem pengelolaan zakat, hal ini dapat ditunjukkan dengan ketersediaan struktur organisasi yang lengkap beserta fungsi dan tugas terkait. Dipenuhinya standar prosedur operasional sistem akuntansi zakat meskipun secara sederhana. Berdasarkan pengamatan, ditemukan bahwa LAZ memiliki prosedur penerimaan dan pengeluaran zakat yang sederhana. Hasil pengamatan juga menunjukkan, masih terdapat kelemahan dalam kepatuhan terhadap pengendalian intern, antara lain ditunjukkan dalam hal melemahnya pemisahan tugas, pemegang otorisasi, rotasi jabatan, dokumen tidak bernomor urut tercetak, dan pengawasan internal. Fakta ini memperkuat temuan Roekhudin dan Triyuwono (2000) yang menyatakan lemahnya sumber daya manusia pengelola LAZ. Berdasarkan analisis wawancara mendalam dengan tokoh LAZ disimpulkan, bahwa kelemahan tersebut masih dapat dikuatkan dengan adanya akuntabilitas dari manajemen LAZ yang tidak dapat diragukan, yaitu akuntabilitas terhadap Tuhan. Manajemen LAZ sangat bertanggung jawab kepada Tuhannya, mereka tidak berharap imbalan atau balas jasa. Seiring dengan tumbuhnya LAZ dan meningkatnya kesadaran masyarakat, maka kinerja LAZ dapat ditingkatkan akuntabilitasnya terhadap pemangku kepentingan ZIS. Pengendalian internal dapat diperbaiki dengan digunakannya tenaga ahli ekonomi, manajemen, atau akuntansi syariah secara full time. Dengan bekerja penuh waktu, mereka dapat mencurahkan segenap daya untuk meningkatkan eksistensi akuntabilitas LAZ. Dewan pengawas syariah dapat menjadi jembatan pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan. DAFTAR RUJUKAN Al-A’li. E. 1993. “Assumptions concerning the social sciences: a comparative perspective”. The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol.10, No. 4, hlm 485-90.
Al-Faruqi, I. R. 1992. Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life. The International Institute of Islamic Though. Herndon Dhaouadi, M. 1993. “Reflections into the spirit of the islamic corpus of knowledge and rise of the new science”. The American Journal of Islamic Social Science, Vol. 10, No. 2, hlm 153-64. Istutik. 2013. “Analisis Implementasi Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah (PSAK: 109) pada Lembaga Amil Zakat di Kota Malang”. Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. 2, No.1, hlm 19–24 Krismiaji. 2002. Sistem Informasi Akuntansi. Penerbit YKPN. Yogyakarta Novatiani, A.R. dan I. Feriansyah. 2012. ”Efect of Internal Control on the Improvement of Public Trust (Case Study at the Institute of Amil Zakat)”. Proceedings Seminar Nasional Akuntansi dan Bisnis (SNAB) 2012. Universitas Widyatama. Bandung Pramono, W. dan S.K. Purwanto. 2006. Etika – Membangun Masyarakat Islam Modern. Graha Ilmu. Yogyakarta Roekhudin dan I. Triyuwono. 2000. “Konsistensi Praktik Sistem Pengendalian Intern dan Akuntabilitas pada LAZIS – Studi kasus di LAZIS X Jakarta”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3, No. 2, hlm 151-167. Rulian, N.A. 2014. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Muzaki dalam memilih OPZ: Studi Kasus BAZNAZ Kota Bogor”. Skripsi Tidak Dipublikasikan. IPB. Sawarjuwono, T. dan N. Huda. 2013. “Akuntabilitas Pengelolaan Zakat Melalui Pendekatan Modifikasi Action Research”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 3, No. 3, hlm 376-388. Sugiyo, H.A. Setyawan, dan A. Pujiono. 2009. Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Binaan Lembaga Amil Zakat Jawa Tengah dalam Mengentaskan Kemiskinan yang Bersumber dari Dana Zakat Infak dan Sedekah. Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.