STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SKRIPSI
ERNI L. HUTAURUK 050805064
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA MEDAN 2009 Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SKRIPSI
OLEH: ERNI L. HUTAURUK 050805064 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Sains
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA 2009 Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
PERSETUJUAN
Judul
: STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Kategori
: SKRIPSI
Nama
: ERNI L. HUTAURUK
Nomor Induk
: 050805064
Program Studi
: SARJANA (S1) BIOLOGI
Departemen
: BIOLOGI
Fakultas
: MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Diusulkan di Medan, Desember 2009
Pembimbing II
Pembimbing I
Mayang Sari. Y., S.Si., M.Si M.Sc NIP: 197211261998022002
Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, NIP: 195810161987031003
Diketahui/Disetujui oleh Departeman Biologi FMIPA USU
Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc NIP: 196404091994031003 Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
PERNYATAAN
STUDI KEANEKARAGAMAN ECHINODERMATA DI KAWASAN PERAIRAN PULAU RUBIAH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Desember 2009
ERNI L. HUTAURUK 050805064
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam ” dalam waktu yang telah ditetapkan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku pembimbing I dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing II. Panduan ringkas, padat dan profesional telah diberikan kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku ketua penguji dan Bapak Dr. Syaf ruddin Ilyas,. MbioMed selaku sekretaris penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian skripsi ini. Kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik dan kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU serta seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Biologi. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan FMIPA USU Prof. Dr. Eddy Marlianto., M.Sc. Ucapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada yang terhormat Ayahanda tercinta R. Hutauruk, dan Ibunda tercinta R. Siregar, buat tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungan moril sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada kakak-kakakku tersayang Lusiana, Lena A.Md, untuk abangku terkasih: Irvan beserta istri, T Nababan, untuk adek-adekku Regina, Putri, dan Hendra serta keponakanku Fadli terima kasih atas semua doa dan semangat yang telah diberikan selama ini. Kepada seluruh keluarga yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan semua dukungan selama ini. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dilapangan, Team Sabang; Taripar, Misran S.Si, Sarah, Fitria Rasmita Manurung dan Valen. Team Asahan River; Misran S.Si, Toberni Sartika Situmorang S.Si, Rosida Ambarita S.Si dan juga buat Beca dan Erna S.Si. Terima kasih buat Pak Dekri, B’Arif, B’Eponk dan semua masyarakat Sabang yang telah memberi bantuan terhadap kelancaran penelitian ini. Kepada senior-seniorku tersayang: B’Frans S.Si, B’David Hutauruk S.Si, B’Ginta S.Si (B’Asuh), B’Franhot S,Si, B’Yurik S.Si, B’Boy S.Si, B’Gokmen S.Si, K’Metha S.Si, K’Rini S.Si dan seluruh abang/kakak stambuk 2003 dan stambuk 2004 dan seluruhnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Kepada adek-adekku Buntil, Kotang, Bangol, Jupentus, Jaya, Remon, Siti, Tridola dan seluruh stambuk 2006, 2007, 2008, 2009. Kepada teman-teman 1 kost: K’tiur, Atur bataks, Ature H24, Eka, Oliv, Evan dan seluruh teman-teman Gitar 3A terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Terima kasih buat Roy Stepanus Ginting yang saya sayangi, yang selalu memberi kasih sayang, semangat, doa, perhatian selama ini. Tuhan selalu memberkati.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa/I Biologi 2005: Siti, Simla, Julita, Riris, Ruth, Adel, Rico, Rebecca, Erna, Pile, Ocy, Tobz, Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Sarah, Valen, Misran, Taripar, Wulan, Imus, Widya, Winda, Susi, Nikmah, Seneng, Fatimah, Santi, Sarmut, Yanthi, Eri, Dwi, Utin, Elfrida, Kabul, Irfan, Efendi, Rahmat, Ajay, Fifi, Juned, Dahin, Diana, Verta, Nia, Andi, Umi, Dhini, Andini, Kalista. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini.
Medan, Desember 2009
Penulis
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
ABSTRAK
Penelitian tentang “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Ranggroe Aceh Darussalam” telah dilakukan pada bulan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan dengan Metoda Purposive Random Sampling yaitu menentukan 4 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas yang berlangsung di perairan tersebut. Pengamatan Echinodermata dilakukan pada transek yang berukuran 50 x 4 meter sebanyak 3 transek pada setiap stasiun. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman echinodermata dan bagaimana hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan. Dari hasil identifikasi diperoleh Echinodermata yang tergolong dalam 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies. Nilai kepadatan, kepadatan relatif tertinggi terdapat pada Diadema sp dengan nilai masing-masing sebesar 0,299 ind/m2, 41,134%. Nilai kepadatan dan kepadatan relatif terendah pada Culcita sp, Actinopyga lecanora, Holothuria edulis dan Protoreaster nodosus sebesar 0,005 ind/m2, 0,709% pada setiap stasiun. Indeks keanekaragaman Echinodermata tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Indeks keseragaman (e) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Persen tutupan karang yang tertinggi pada stasiun 2 sebesar 73,10% (kategori baik) dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28% (kategori buruk).
Kata kunci: Echinodermata, Pulau Rubiah Sabang
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
STUDY OF ECHINODERMATA DIVERSITY AT THE OCEANIK OF RUBIAH ISLAND NANGGROE ACEH DARUSSALAM
ABSTRACT
The research with the title “Study of Echinodermata Diversity At The Oceanik Of Rubiah Island Nanggroe Aceh Darussalam” have been done at May 2009. This research is done with the method of Purpossive Random Sampling that is determine 4 research stasiun of pursuant to difference of society activity that goes on around this oceanik. Echinodermata survey done at the transect that sized 4 x 50 metres by 3 restating times rill each research stasion. This research target is to see the diversity of Echinodermata and the relation to percent cover of coral reef. From result identify to the Echinodermata obtained in 4 class, 5 ordo, 7 set of family, 11 genus and 13 species. The highest abundance and relative abundance is obtained at Diadema sp that is 0,299 ind./m2 and 41,134%. The lowest abundance and relative abundance at Culcita sp, Actinopyga lecanora, Holothuria edulis and Protoreaster nodosus that is 0,005 ind/m2, 0,709% at each stasiun. The highest diversity index are at stasiun 2 that is 1,856 while the lowest are at stasiun 4 that is 1,720. Highest similarity index there are at station 3 that is 0,773 while the lowest of similarity index there are at 4 that is 0,692. The highest percent cover of coral reef are at stasiun 2 that is 73,10% (good cathegory) and the lowest are at stasiun 4 that is 16,28% (bad cathegory).
Keywords: Echinodermata, Rubiah Island Sabang
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Lampiran Daftar Gambar
ii iii iv v vi vii viii ix x
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Hipotesis 1.5 Manfaat Penelitian
1 2 2 3 3 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Echinodermata 2.2 Pembagian Echinodermata 2.3 Anatomi dan Morfologi 2.4 Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Echinodermata 2.5 Habitat dan Manfaat
4 4 5 11 12 16
Bab 3 Bahan dan Metoda 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metoda Penelitian 3.3 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 3.4 Analisa Data
17 17 18 18 20
Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Parameter Biotik 4.1.1 Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran 4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Persen Tutupan Karang (r) 4.1.3 Indeks Similaritas (IS)
23 23 31 34 36
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.2 Parameter Abiotik 4.2.1 Suhu Air 4.2.2 Penetrasi Cahaya 4.2.3 Intensitas cahaya 4.2.4 pH Air 4.2.5 Oksigen Terlarut 4.2.6 Kejenuhan Oksigen 4.2.7 BOD5 4.2.8 Salinitas 4.2.9 Jenis Substrat 4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metoda Komputerisasi SPSS Ver. 13.00
36 37 37 37 38 38 39 39 39 40 40
Bab 5 Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
43 44
Daftar Pustaka
45
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1: Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Tabel 4.1: Klassifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat pada Stasiun Penelitian Tabel 4.2: Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.3: Indeks Keanekaragaman (H’), Persen Tutupan Karang (r) dan Keseragaman (E) Echinodermata pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.4: Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.5: Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.6: Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Echinodermata dengan Faktor Fisik Kimia Perairan Tabel 4.7: Nilai Koefisien Korelasi
20 23 31
34 36 36 40 41
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran A: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 Lampiran C: Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai Besaran Temperatur Air Lampiran D: Peta Lokasi Lampiran E: Foto Lokasi Lampiran F: Jumlah dan Jenis Echinodermata yang di dapat pada Setiap Stasiun Penelitian Lampiran G: Contoh Hasil Perhitungan Lampiran H: Hasil Analisis Korelasi Pearson
47 48 49 50 51 52 53 54
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.3.1 Struktur Bintang Laut Gambar 2.3.2 Morfologi Crinoid Gambar 2.3.3 Morfologi Echinoidea Gambar 2.3.4 Morfologi Holothuroidea Gambar 2.3.5 Morfologi Ophiroidea Gambar 4.1.1 Achantaster plancii Gambar 4.1.2 Culcita sp Gambar 4.1.3 Linkia laevigata Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus Gambar 4.1.5 Colobometra sp Gambar 4.1.6 Comanthus sp Gambar 4.1.7 Diadema sp Gambar 4.1.8 Echinometra mathaei Gambar 4.1.9 Holothuria atra Gambar 4.1.10 Holothuria edulis Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora Gambar 4.1.12 Holothuria sp Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei
6 7 8 9 10 24 24 25 25 26 26 27 27 28 28 29 29 30
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 4 pulau kecil yang mengelilingi Pulau Weh: Klah, Rubiah, Seulako dan Rondo. Diantara keempatnya, Pulau Rubiah terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya dan kekayaan biota laut yang melimpah. Perairan Pulau Rubiah yang termasuk dalam kawasan Taman Wisata Bawah Laut Pulau Weh yang berada di Kota Sabang memiliki hamparan terumbu karang dan banyak kegiatan wisata alam di tempat ini seperti naik sampan, berenang, diving, penggunaan kapal mesin dan lain-lain. Beragam biota laut hidup dalam ekosistem ini, termasuk anggota Echinodermata yang merupakan salah satu pembentuk ekosistem terumbu karang (http://www.coremap.or.id/terumbu_karang).
Echinodermata berasal dari bahasa Yunani Echinus berarti landak, dan derma berarti kulit. Semua jenis Echinodermata hidup dilaut, mulai dari daerah litoral sampai kedalaman 6.000 m. Termasuk dalam filum Echinodermata antara lain bintang laut, bulu babi, teripang dan lain-lain. Umumnya berukuran besar, yang terkecil berdiameter 1 cm (Brotowidjoyo, 1994). Ekosistem terumbu karang merupakan habitat dari berbagai fauna invertebrata. Echinodermata merupakan salah satu kelompok biota penghuni terumbu karang yang cukup menonjol. Kelompok ini dapat hidup menempati berbagai macam mikro habitat seperti zona rataan terumbu, daerah pertumbuhan alga, padang lamun, koloni karang hidup dan karang mati dan juga beting karang (rubbles dan boulders). Kehadiran dan peranan fauna Echinodermata di ekosistem terumbu karang sangat banyak. Fauna Echinodermata mempunyai peranan pada ekosistem terumbu karang sebagai jaringan makanan dan juga sebagai herbivora, carnivora, omnivora ataupun sebagai pemakan detritus. Salah satu contohnya adalah beberapa jenis teripang dan bulu babi merupakan sumber pakan untuk berbagai jenis ikan karang dan apabila terjadi Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
peningkatan kelimpahan bisa membawa perubahan besar dalam struktur komunitas koral (Clark & Rowe 1971). Echinodermata merupakan sumber daya hayati perairan laut yang cukup digemari, Echinodermata diexploitasi oleh masyarakat sebagai sumber pakan, sehingga populasi echinodermata berkurang, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengambil kebijakan dalam undang-undang seperti yang tercantum dalam 3 SK Menteri Kehutanan yakni SK No. 12 Th. 1987 Tentang Flora Fauna yang Dilindungi, No. 301 Th. 1991 tentang Konversi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan No. 882 Th. 1992 tentang Perlindungan Biota Perairan Air Laut (Anonimous, 1993).
Kelangsungan hidup Echinodermata dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan seperti suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut dan lain-lain. Sejauh ini belum diketahui jenis-jenis Echinodermata yang terdapat di Pulau Rubiah dan hubungan faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman Echinodermata, serta pengaruh persen tutupan karang terhadap nilai keanekaragaman Echinodermata, oleh sebab itu dilakukan penelitian “Studi Keanekaragaman Echinodermata di Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam”.
1.2 Permasalahan
Perairan Pulau Rubiah merupakan tempat wisata yang memiliki hamparan terumbu karang yang cukup luas. Echinodermata merupakan salah satu biota yang banyak terdapat di ekosistem terumbu karang di perairan ini. Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman Echinodermata di perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam dan bagaimana hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan, oleh sebab itu dilakukan penelitian ini.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui
jenis-jenis Echinodermata di Perairan Pulau Rubiah,
Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekaragaman Echinodermata. 3. Untuk mengetahui hubungan persen tutupan terumbu karang dengan keanekaragaman Echinodermata.
1.4 Hipotesis
1. Adanya perbedaan keanekaragaman Echinodermata pada setiap stasiun penelitian di Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Adanya hubungan faktor fisik kimia perairan dengan nilai keanekaragaman Echinodermata 3. Adanya perbedaan persen tutupan karang pada setiap stasiun dan berhubungan dengan keanekaragaman Echinodermata.
1.5 Manfaat
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya mengenai keanekaragaman Echinodermata yang terdapat di Perairan Pulau Rubiah dan sumber data bagi pihak-pihak terkait yang berguna dalam usaha pelestarian biota laut yang dilindungi.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Laut
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai luas sekitar 3,1 km2 dengan kawasan pesisir menempati garis pantai sepanjang 81.000 km. Kawasan ini memiliki berbagai ekosistem pendukung yang sangat beragam seperti ekosistem hutan manggrove, terumbu karang, padang lamun. Keanekaragaman hayati lainnya terutama bagi potensi pesisir yang khas di perairan tropis dan sangat penting bagi kehidupan biota lainnya adalah terumbu karang atau (coral reff) (Romimohtarto & Juwana, 2001).
Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni karang laut yang bernama polip yang bersimbiosis dengan organisme mikroskopis yang
bernama
zooxanthellae.
Zooxhantellae
adalah
algae
dari
kelompok
Dinoflagellata yang bersimbiosis dengan hewan seperti karang, anemon, moluska dan lain sebagainya. Sebagian besar zooxhantellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxhantellae pada karang diperkiran 1 juta sel/cm2 permukaan karang. Dalam asosiasi ini karang memperoleh keuntungan berupa hasil fotosintesis seperti gula, asam amino dan oksigen sebagai nutrisi bagi karang dan zooxhantellae dapat memper oleh tempat tinggal (www.terangi.or.id/publications.pdf/biologikarang/pdf).
Banyak biota penghuni ekosistem terumbu karang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi misalnya: ikan karang, rumput laut, Echinodermata, karang batu dan lain sebagainya. Pertumbuhan terumbu karang sangat lambat, hanya beberapa cm per tahun. Terumbu karang yamg kita lihat sekarang sebenarnya adalah hasil karya karang batu selama ribuan tahun. Untuk melindungi terumbu karang ini telah dikeluarkan ketentuan-ketentuan konservasi (Nontji, 1993).
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
2.2 Echinodermata Echinodermata adalah hewan laut yang memiliki kulit berduri atau berbintil. Hewanhewan ini dibagi dalam dibagi dalam 5 kelas utama yakni: teripang (Holothuroidea), bintang laut (Asteroidea), bintang ular (Ophiuroidea), bulu babi (Echinoidea) dan lili laut (Crinoidea). Hewan ini sangat umum di jumpai di daerah pantai terutama di daerah terumbu karang. Di Indonesia dan sekitarnya (kawasan Indi-Pasifik Barat) terdapat teripang kurang lebih 141 jenis, bintang laut 87 jenis, bintang ular 142 jenis, bulu babi 84 jenis dan lili laut 91 jenis (Nontji, 1993).
Anggota filum Echinodermata adalah penghuni lingkungan bahari, terutama di laut bentik. Ciri khasnya adalah tubuh yang menjurus lima tersusun mengelilingi suatu sumbu polar. Hewan ini memiliki kerangka dalam yang mempunyai duri (spine). Sistem pencernaan cukup berkembang, tetapi tidak memiliki sistem ekskresi. Kebanyakan anggota filum Echinodermata diosius, bersaluran reproduksi sederhana, fertilisasi berlangsung eksternal (Ruppert, 1991). Brotowidjoyo (1994), menyatakan hewan ini memiliki sistem digesti lengkap walaupun anus tidak berfungsi. Menurut Niel A. Campbell et al., (2003), bahwa
reproduksi
seksual
anggota
filum
Echinodermata pada umumnya melibatkan individu jantan dan betina yang terpisah (diosius) dan membebaskan gametnya ke dalam air.
2.3 Pembagian Echinodermata
Hyman (1955), menyatakan kelas Echinodermata antara lain : Crinoidea, Asteroidea, Ophiuroidea, Echinoidea dan Holothuroidea.
2.3.1 Kelas Asteroidea
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Asteroidea atau banyak orang menyebutnya bintang laut, biasanya di jumpai merayap pada batu, pasir dan terumbu karang dalam laut. Mulut hewan ini berada di sisi bawah terletak ditengah-tengah cakram dan anus diatas. Asteroidea termasuk karnivora, makanan berupa ikan, tiram, kerang, teritip, keong, cacing, crustaceae dan lain-lain. Beberapa jenis merupakan pemakan bangkai. Achantaster merupakan hama pada terumbu karang yang memakan polip Coelenterata. Warna bintang laut ini menarik, biasanya ujung duri berwarna kemerahan atau orange sedangkan permukaan lengan berwarna abu-abu kebiruan. Habitat bintang laut ini adalah terumbu karang terutama dilereng terumbu pada kedalaman 2 sampai 6 meter (Nontji, 1993).
Seluruh tubuhnya tertutup oleh duri kecuali pada lekuk sisi oral disebut celah ambulakral dan ada juga yang tidak memiliki duri. Alat gerak berupa kaki tabung. Branchi muncul diantara papan-papan kapur yang berfungsi sebagai alat pernafasan dan ekskresi. Hewan ini memiliki sistem saluran air, lambung, madreporit (saluran keluar masuknya air) dan anus (Gambar 2.3.1). Permukaan tubuhnya terdapat pediselariae sebagai alat tambahan dan bentuk seperti angkup yang berfungsi untuk menghilangkan benda-benda asing di permukaan tubuhnya (Vinomo, 2007).
Gambar 2.3.1 Struktur tubuh bintang laut
Reproduksi Asteroid umumnya dioecious, mempunyai lima pasang gonad pada tiap tangan. Telur dan sperma dilepas ke air, pembuahan diluar dan setelah 2 hari menjadi blastula yang berenang bebas. Larva mulai makan pada saat saluran pencernaan sudah terbentuk. Makanan larva adalah fitoplankton dan partikel tersuspensi. Enam atau tujuh minggu kemudian larva turun ke substrat dan mengalami metamorfosa menjadi dewasa. Kebanyakan bintang laut berumur 10 tahun, tetapi ada Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
yang mencapai 34 tahun (Romimohtarto & Juwana, 2001). Bintang laut dan beberapa Echinodermata mampu melakukan regenerasi. Bintang laut dapat menumbuhkan kembali lengan yamg hilang dan bahkan anggota satu genus dapat menumbuhkan kembali keseluruhan tubuh dari sebuah lengan (Niel A. Campbell et al., 2003).
2.3.2 Kelas Crinoidea Kelompok hewan ini dinamakan lili laut atau bintang bulu yang mempunyai bentuk yang indah. Sebagian dari mereka hidup dilaut dan beberapa jenis mendiami laut dangkal seperti terumbu karang. Ukurannya tidak lebih dari 40 cm panjangnya dan warna mencolok. Hewan ini memiliki tangkai, kelopak dan lengan. Setiap lengan bercabang 2 atau lebih. Setiap cabang mempunyai ranting-ranting melintang disebut pinula dan cabang- cabang ini membuat hewan ini berbulu (Gambar 2.3.2). Hewan ini memakan plankton kecil dibawa oleh lengan. Hewan ini peka, tetapi mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri dari luka (Nontji, 1993).
Gambar 2.3.3. Morfologi Crinoid Reproduksi secara seksual dan dioecious. Gonad terdapat pada pangkal beberapa pinula atau pangkal tangan. Pembuahan di air laut atau dierami. Telur bintang bulu dilekatkan pada sejumlah pinula. Telur menjadi larva, berenang bebas untuk beberapa hari. Selanjutnya turun dan melekat pada substrat dan mengalami proses metamorfosis menjadi bentuk larva bertangkai kecil yang disebut pentacrinoid yang berukuran 3 mm dan proses metamorfosa membutuhkan waktu 6 minggu hingga dewasa (Hyman, 1955).
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Proses makan hewan ini dengan menyaring air, plankton masuk ke celah bersilia lalu lengan dan pinula kemudian dialirkan ke mulut. Organ pencernaan ada di calyx. Makanan dibuang melalui anus yang di dekat mulut. Semua jenis dari kelompok ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi baik untuk dijadikan bahan makanan maupun untuk bahan hiasan di akuarium, kecuali bulu seribu, mahkota seribu atau mahkota duri merupakan jenis yang merusak, karena bila populasinya berlimpah akan memakan polip-polip karang dan menyebabkan karang berwarna putih serta lama-kelamaan sebagian populasi karang akan rusak dan mati (Nybakken, 1988).
2.2.3 Kelas Echinoidea
Pada permukaan tubuh hewan ini terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang bulat yaitu tempat menempel duri yang tersusun dari zat kapur atau hewan ini sering disebut landak laut. Hewan ini terdiri dari duri, kaki tabung, turberkel (Gambar 2.3.3). Adakalanya duri tersebut panjang, runcing, di dalamnya berlubang dan rapuh ada juga duri hewan ini pendek dan tumpul. Racunnya sangat keras dan menyakitkan bagi manusia bila tertusuk. Pedicellaria pada bulu babi juga ada yang beracun, berfungsi untuk menghalau atau melumpuhkan binatang-binatang kecil yang mengotori atau mengganggu. Hewan ini biasanya hidup di sela-sela pasir atau bebatuan pantai atau di dasar laut. Tubuhnya tanpa lengan hampir bulat atau gepeng (Sugiarto, 2007).
Gambar. 2.3.3 Morfologi Echinoidea
Saluran pencernaan lengkap, terdiri atas mulut, esofagus, perut, usus yang panjang dan melingkar, rectum dan anus. Bulu babi memakan ganggang laut, hewan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
sessile, bangkai, beberapa jenis memakan detritus dan lain-lain. Reproduksi secara seksual, dioecious dan pembuahan di luar. (Ruppert, 1991).
2.3.4 Kelas Holothuroidea Sebagai contohnya, teripang atau timun laut (Thyone briereus). Tubuhnya lunak, berbentuk seperti kantung memanjang. Dalam kulitnya terdapat papan-papan kecil dari kapur. Pada satu ujung terdapat mulut yang dikelilingi oleh tentakel-tentakel bercabang (Gambar 2.3.4). Tentakel ini berongga dan dapat memanjang karena tekanan air, hewan ini tidak memiliki duri (Sugiarto, 2007).
Gambar 2.3.4. Morfologi Timun Laut Timun laut merayap lambat sekali, biasanya bersembunyi dalam lubang atau celah batu dan oral atau menanamkan diri dalam lumpur atau pasir laut dan hanya bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari berkeliaran pada mencari makan. Makanannya ialah bahan organik yang terdapat dalam sampah substrat atau plankton yang melekat pada lendir tentakel. Satu persatu tentakel dimasukkan dalam pharink dan ketika ditarik keluar maka butir-butir makanan akan melekat pada lendir tentakel dan selanjutnya ditelan. Sistem pencernaan terdiri atas mulut, pharink, esofagus, lambung, usus, cloaca, dan anus (Brotowidjoyo, 1994).
Teripang (Holothuroidea) merupakan golongan yang paling umum dijumpai. Hewan ini banyak terdapat di paparan turumbu karang, pantai berbatu atau berlumpur dan padang lamun. Bukan hanya dilaut dangkal, ada juga yang hidup di laut dalam Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
sekitar 7.000 m. Susunan bentuk dasar tubuh Echinodermata tidak jelas terlihat pada bentuk luar teripang ini karena karangka luarnya tidak ada. Hewan ini sangat bergerak lamban sehingga seakan-akan teripang selalu dalam keadaan diam pada waktu kita lihat di alam bebas. Untuk melindungi diri dari musuh, hewan ini mengeluarkan lendir yang beracun dari tubuhnya. Ada juga jenis yang menyemprotkan getah yang sangat lengket dari duburnya apabila diganggu. Banyak jenis hewan ini yang bisa dikonsumsi bahkan merupakan bahan makanan yang istimewa di restoran Cina (Nontji, 1993).
2.3.5 Kelas Ophiuroidea
Hewan ini memiliki 5 lengan atau tangan yang panjang, berfungsi sebagai alat gerak, Tangan rapuh dan mudah putus namun akan tumbuh tangan baru (Gambar 2.3.5). Kelima tangan ini bergerak-gerakkan sehingga menyerupai ular. Oleh karena itu hewan jenis ini sering disebut bintang ular laut. Hewan ini rentan terhadap lingkungan dan aktif pada malam hari, berenang dan mencari makan dengan bantuan tangantangannya yang gemulai dan dapat meliuk-liuk seperti ular. Bagian mulut akan membentuk bagian yang hilang (Ruppert, 1991).
Gambar 2.3.5. Ophiuroidea
Hewan Ofiuroidea hidup dilaut, bersembunyi diantara rumput laut, dalam lumpur atau dalam pasir yang aktif pada malam hari dan hidup berenang, makanan terdiri dari moluska, krustacae, jasad renik dan zat organik yang sedang membusuk yang berada di dasar parairan. Cara makan dengan mengangkat lengan ke atas dalam air untuk menangkap plankton dan bahan makanan lainnya. Hewan ini tidak memiliki anus, makanan yang tidak dicerna dimuntahkan kembali keluar mulut (Romimohtarto Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
& Juwana, 2001). Dalam Nontji (1993) menyatakan bintang mengular biasanya sukar dijumpai karena lebih senang pada tempat-tempat yang agak gelap di bawah batu atau celah-celah karang. Diatom merupakan makanannya utama, tetapi ada pula yang memakan berbagai hewan kecil.
Kebanyakan Ophiuroid adalah dioecious. Pembuahan diluar, menghasilkan larva ophiopluteus yang berenang bebas. Beberapa hari kemudian mengalami metamorfosa mengalami hidup dewasa. Beberapa jenis mempunyai kantung pengeraman dan larvanya berenang bebas (Brotowidjoyo, 1994).
2.3 Anatomi dan Morfologi Echinodermata Hewan Echinodermata bertubuh kasar karena ditutupi tonjolan kerangka atau duri yang memiliki berbagai fungsi tetapi ada juga sebagian tidak memiliki duri seperti timun laut. Sistem pencernaan cukup berkembang, tetapi tidak memiliki sistem ekskresi. Kebanyakan hewan ini diosius, saluran reproduksi sederhana, sedangkan fertilisasi berlangsung eksternal (Pecherik, 2005). Sistem pembuluh air berfungsi untuk mengerakkan kaki tabung (tube feet) dengan cara mengatur masuk dan keluarnya air laut melalui madreporit (saluran keluar masuknya air). Kontraksi ampula mengatur volume air dalam kaki tabung, berarti mengatur gerak kaki tabung. Kaki tabung juga berfungsi untuk merayap, berpegang pada substrat, memegang mangsa atau membantu pertukaran gas O2 dan CO2 (Nontji, 1993). Alat pernafasan utama Echinodermata ialah insang kulit yang merupakan perluasan rongga tubuh yang keluar melalui lubang-lubang kecil di antara osscle kapur. Rongga tubuh berisi cairan semacam getah bening, mengandung amebocyte yang berkepentingan dalam peredaran darah, pernafasan dan ekskresi. Didalam rongga tubuh terdapat organ dalam seperti kelenjar pencernaan (Ruppret, 1991). Hewan ini bertahan hidup dengan suatu sistem pembuluh air yang unik yang dilibatkan di dalam pernapasan, gerakan, dan pertemuan makanan. Mulut itu
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
ditempatkan di bagian bawah dari tubuh. Organ bagian badan terdiri dari suatu lima bagian simetris termasuk gigi dan struktur seperti lidah yang gemuk (Sugiarto, 2007).
2.5
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Echinodermata.
2.5.1 Cahaya
Ganggang yang hidup pada terumbu karang (zooxanthella), memerlukan cahaya yang cukup untuk dapat melakukan fotosintesis. Umumnya Echinodermata hidup pada pantai berpasir, berlumpur dan melekat pada terumbu karang. Reksodihardjo-Lilley (1996), menyatakan bahwa Echinodermata hidup pada karang merupakan hewan yang bersimbiosis dengan zooxanthella. Stowe (1987), berpendapat bahwa dasar dari rantai makanan pada komunitas terumbu adalah proses fotosintesis oleh alga yang hidup bersama dalam jaringan biota-biota lain. Nontji (1993), menyatakan bahwa makanan Echinodermata berupa ikan, tiram, kerang, teritip, keong, cacing, crustaceae, polip karang, ganggang dan lain-lain. Beberapa jenis merupakan pemakan bangkai, sedangkan Achantaster merupakan hama pada terumbu karang yang memakan polip Coelenterata.
2.5.2 Suhu
Pada setiap penelitian perairan, pengukuran suhu adalah hal yang harus dilakukan sebab kelarutan berbagai gas dalam air serta seluruh aktivitas biologis dan fisiologis organisme perairan sangat dipengaruhi oleh suhu ( Brehm dan Meijering, 1990 dalam Barus, 1996). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2002) menyebutkan bahwa batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16°C -17° dan 36° C.
Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan (Brehm et al., 1990 dalam Barus, 1996).
2.5.3 Salinitas
Ciri paling khas pada air laut adalah rasa asin, karena mengandung bermacammacam garam dan yang paling utama adalah NaCl. Diperairan Samudra salinitas biasanya berkisar antara 34-35‰ (Nontji, 1993). Salinitas rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰ , dan organisme laut tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas laut normal, 32-35 ‰ (Brotowidjojo et al., 1995). Namun pengaruh salinitas tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam seperti badai dan hujan (Supriharyono, 2002).
2.5.4 DO (Disolved Oxygen)
DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 00C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2 sedangkan nilai oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter air. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis (Barus, 2004). Menurut Michael (1994), oksigen hilang dari air alam oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
2.5.5 BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD adalah peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi air memiliki oksigen yang cukup (Wardhana, 2000). Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2 maka perairan tersebut tergolong baik, apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l – 20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower et al., 1990).
2.5.6 pH (Derajat Keasaman)
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobentos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).
2.5.8 Jenis Substrat Dasar
Menurut Seki (1982), komponen organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Sedangkan komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormon juga ditemukan di perairan.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan.
2.5.9 Intensitas Cahaya
Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai dasar (Barus, 2004).
Menurut Romimohtaro & Juwana (2001), banyaknya cahaya yang menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.
2.5.10 Penetrasi Cahaya
Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan (Brower et al., 1990). Pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.
2.6 Habitat & Manfaat Di daerah rataan terumbu binatang ini dapat menempati berbagai habitat seperti, rataan pasir (sand flat), timbunan karang mati (rubbles dan boulders) dan daerah tubir karang (reef margin area). Di Indonesia penyebaran binatang ini adalah mengikuti Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
penyebaran karang batu dan dapat juga ditemukan di daerah pulau-pulau karang atau daerah pesisir yang ditumbuhi karang batu (fringing reef) (Kobayashi dan Nakamura, 1967). Zooxanthellae adalah alga ber-sel satu yang hidup di dalam jaringan tubuh karang batu. Zooxanthelae dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan.
Zooxanthellae
menyediakan
makanan
untuk
polip
karang
melalui proses memasak yang disebut fotosintesis, sedangkan polip karang menyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zooxanthellae ( http://www.coremap.or.id/terumbu_karang).
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada 4-8 Mei 2009 di Kawasan Perairan Pulau Rubiah, Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana dalam menentukan titik koordinatnya digunakan GPS (Global Posisition System). Secara geografis lokasi penelitian ini berada pada: a) Stasiun 1, 05o53’018” LU dan 95o15’17,29” BT s/d 05o52’59,2” LU dan 95o15’18,5” BT, dimana daerah ini memiliki terumbu karang yang baik tetapi sebagian rusak akibat pengaruh dari bencana Tsunami b) Stasiun 2, 5o53’01,4” LU dan 95o15’32,4” BT s/d 5o53’06,6” LU dan 95 o
15’28,1” BT, dimana daerah ini merupakan daerah kontrol tidak terdapat
aktivitas masyarakat. c) Stasiun 3, 5o52’32,8” LU dan 95o15’34,8” BT s/d 5o52’39,2” LU dan 95o15’35,6” BT, dimana daerah ini merupakan daerah wisata pantai berpasir juga ditemukan aktifitas masyarakat seperti penginapan, snorkeling tetapi daerah ini tergolong alami karena memiliki terumbu karang yang baik d) Stasiun 4 05o52’32,1” LU dan 95o15’31,3” BT s/d 05o52’35,8” LU dan 95o15’28,97” BT, dimana daerah ini memiliki terumbu karang yang rusak atau dalam kriteria buruk karena dekat dengan pemukiman penduduk, lalu lintas kapal, keramba udang dan pengaruh dari bencana Tsunami
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.2 Metoda Penelitian
Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah “Purposive Random Sampling”. Ditentukan 4 stasiun pengamatan di daerah penelitian. Dibuat 3 transek pada setiap stasiun pengamatan dengan ukuran 50 x 4 meter sejajar garis pantai. Jarak setiap transek 10 meter, sedangkan jarak setiap stasiun adalah 300 meter. Metoda yang digunakan dalam pengamatan sample adalah Foto dan Visual Sensus, dimana pengamatan sampel dengan cara merenang (snorkling) dan menyelam (diving) sepanjang transek yang sudah ditentukan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengamati setiap transek kurang lebih 1 jam. Jenis Echinodermata yang diperoleh difoto, diamati bentuk morfologi tubuh, dihitung dan diidentifikasi.
3.3 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan
Faktor fisik kimia perairan yang diukur mencakup:
3.3.1 Suhu (ºC)
Suhu air diukur dengan menggunakan alat termometer. Diambil satu ember dari sampel air kemudian termometer dimasukkan kedalamnya. Lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat.
3.3.2 pH (Derajat Keasaman)
Pengkuran pH dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dalam ember. Kemudian dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.3.3 Salinitas (‰)
Salinititas perairan diukur dengan menggunakan refraktometer yaitu dengan cara sampel air diambil dengan menggunakan pipet tetes. Pada permukaan dasar yang telah dibersihkan diteteskan 1 tetes, ditutup dan dibaca skala penunjuk angka.
3.3.4 Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO) (mg/l)
Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja DO dapat dilihat pada lampiran A.
3.3.5 BOD5 Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. BOD5 diukur dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum. Alur kerja BOD5 dapat dilihat pada lampiran B.
3.3.6 Penetrasi cahaya (cm)
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping secchi yang dimasukkan kedalam air hingga tidak nampak dari permukaan, kemudian diukur panjang tali sebagai kedalaman penetrasi cahaya.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.3.7 Kejenuhan Oksigen ( %)
Kejenuhan =
DO (u) x 100% DO (t)
Keterangan: DO (u) = DO yang diukur di lapangan DO (t) = DO yang ada pada
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Parameter Tempat No. Satuan Alat Fisik – Kimia Pengukuran 0 1 Suhu air C Termometer In-situ 2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ 3 Intensitas Cahaya Candela Lux Meter In-situ 4 pH air pH air In-situ 5 DO Mg/l Metoda Winkler In-situ Tabel DO 6 Kejenuhan Oksigen % In-situ Metoda Winkler dan Laboratorium BOD5 Mg/l 7 Inkubasi 8 Salinitas ‰ Refraktometer In-situ 9 Jenis substrat % -In-situ
3.4 Analisa Data
Data Fauna Echinodermata yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks equitabilitas dan indeks similaritas dengan persamaan menurut Michael (1984) dan Krebs (1985) sebagai berikut:
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
3.4.1 Kepadatan Populasi (K)
K=
Jumlah individu suatu jenis Luas area pengambilan sampel
3.4.2 Kepadatan Relatif (KR)
KR =
dengan: ni ∑N
Jlh Ind suatu Spesies x 100% TotalK
= jumlah individu spesies 1 = total individu seluruh spesies
3.4.3 Frekuensi Kehadiran (FK)
FK =
dimana nilai FK :
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis x 100% Jumlah total plot
0 – 25% 25 – 50% 50 – 75% > 75%
= sangat jarang = jarang = sering = sangat sering
3.4.4 Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)
H’= -
dimana :H’ pi In pi
∑ pi ln pi
= indeks diversitas Shannon-Wienner = proporsi spesies ke-i = logaritma nature =Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
dengan nilai H’:
0
6,907
= keanekaragaman rendah = keanekaragaman sedang = keanekaragaman tinggi
3.4.5 Indeks Equitabilitas (E)
Indeks equitabilitas (E) =
dimana :H’ H maks
H' H max
= indeks diversitas Shannon-Wienner = keanekaragaman spesies maksimum = In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1
3.4.6 Indeks Similaritas (IS)
IS =
2c x 100% a+b
dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Bila:
IS = 75 – 100% IS = 50 – 75% IS = 25 – 50% IS = ≤ 25%
: sangat mirip : mirip : tidak mirip : sangat tidak mirip
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Biotik
Hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 13 spesies Echinoermata, terdiri dari: 1 filum, 4 kelas, 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies. Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Echinodermata yang didapat pada Stasiun Penelitian Filum 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Echinodermata
Kelas Asteroidea
Ordo Spinulosida Valvatida
Crinoidea
Comatulida
Echinoidea
Cidaroidea
Holothuroidea
Aspidochirotida
Famili Acanthasteridae Ophidiasteridae Oreasteridae Colobometridae Comasteridae Diadematoidae Echinometridae Holothuroidae
Genus Achantaster Linkia Protoreaster Culcita Colobometra Comanthus Diadema Echinometra Actinopyga Holothuria
Pearsonothuria
Spesies A. plancii L. laevigata P. nodosus Culcita sp Colobometra sp Comanthus sp Diadema sp Echinometra sp A.lecanora H. atra H.edulis Holothuria sp P. graffei
Deskripsi jenis Echinodermata yang ditemukan menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995) dan Nontji (1993) , seperti yang tertera dibawah ini:
a. Achantaster plancii (kaki seribu)
Hewan ini dari kelas Asteroidea atau sering disebut kaki seribu yang memiliki lengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri. Warna tubuh dominan biru dan bagian tepi berwarna hitam (Gambar 4.1.1 Achantaster plancii). Hewan ini ditemukan menempel di terumbu karang atau di bawah karang berbentuk meja. Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), bintang laut berlengan banyak dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh duri yang panjangnya kira-kira 2-4 cm. Permukaan
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
tubuh hewan ini kira-kira 20-30 cm. Lengannya berjumlah kira-kira 10-20 buah. Hewan ini memakan polip karang mati atau yang hidup.
(Foto dilapangan)
(Foto Patrick L. C. & Charles A.) Gambar 4.1.1 Achantaster plancii
b. Culcita sp (bantal raja)
Jenis bintang laut yang tidak memiliki lengan, berbentuk seperti segi lima. Tubuh tebal seperti roti. Warna tubuh hewan ini kuning kecoklatan (Gambar 4.1.2 Culcita sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), pada saat muda memiliki bentuk tubuh yang berbeda yaitu pipih, setelah dewasa berbentuk seperti segi lima dengan diameter kira-kira 20 cm. Hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.2 Culcita sp (Foto dilapangan)
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
c. Linkia laevigata (bintang laut) Berbentuk bintang yang memiliki lengan lima dan warna sangat menjolok atau kontras dengan lingkungan yaitu coklat muda, coklat tua, biru, jingga. Tiap lengan berbentuk memanjang dan langsing. Permukaan tubuh halus dan tidak terdapat tonjolan-tonjolan (Gambar 4.1.3 Linkia laevigata). Nontji (1993), tiap lengan berbentuk memanjang dan langsing sampai kira-kira 15 cm atau lebih, hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.3 Linkia laevigata (Foto dilapangan)
d. Protoreaster nodosus (bintang laut)
Berbentuk bintang lengan lima dan tergolong besar. Warna coklat kemarahan dan terdapat tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Ujung setiap lengan berwarna hitam (Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus). Nontji (1993), diameter tubuhnya kira-kira 10 cm. Ukuran hewan ini lebih besar dibanding dengan Linkia laevigata. Hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.4 Protoreaster nodosus (Foto Patrick L. C. & Charles A.) Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
e. Colobometra sp (lili laut) Memiliki bentuk tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna tubuh hitam (Gambar 4.1.5 Colobometra sp). Menurut Nontji (1993), memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri dan hidup di terumbu karang, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.5 Colobometra sp (Foto dilapangan)
f. Comanthus sp (lili laut)
Memiliki bentuh tubuh yang indah apabila hewan ini berenang. Warna kuning dan ujung cirrinya berwarna biru (Gambar 4.1.6 Comanthus sp). Menurut Nontji (1993), memiliki lengan yang banyak kira-kira sebanyak 12 buah atau lebih. Hewan ini berpegang pada batu atau tumbuhan dengan alat yang disebut dengan cirri. Hidup menempel pada terumbu karang, tumbuhan, pasir dan padang lamun.
Gambar 4.1.6 Comanthus sp (Foto dilapangan) Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
g. Diadema sp (bulu babi)
Bulu babi (Diadema sp), tubuh berwarna hitam dan ada juga berwarna putih. Seluruh tubuhnya ditutupi dur i yang tajam, lancip dan sangat rapuh (Gambar 4.1.7 Diadema sp). Hidup berkelompok, satu kelompok dapat terdiri atas 20-40 individu atau lebih. Nontji (1993), seluruh tubuhnya ditutupi duri yang berukuran kira-kira mencapai 10 cm. Makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Biasanya hidup berkelompok untuk dapat saling melindungi terhadap ancaman musuh-musuhnya dan mungkin juga untuk lebih memudahkan terjadinya fertilisasi. Ada juga beberapa ikan kecil yang senang hidup untuk berlindung disela duri-duri bulu babi.
(Foto dilapangan)
(Foto Patrick L. C. & Charles A.) Gambar 4.1.7 Diadema sp
h. Echinometra sp (bulu babi)
(Foto dilapangan)
(Foto Patrick L. C. & Charles A.) Gambar 4.1.8 Echinometra sp
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Echinometra sp mirip dengan Diadema sp, bedanya hewan ini memiliki duri lebih pendek, gemuk dan pendek dibanding Diadema sp. Tubuh berwarna hitam dan duri berwarna putih (Gambar 4.1.8 Echinometra sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), makanannya alga dan partikel organik atau detritus. Hidup di terumbu karang, karang mati dan batu.
i. Holothuria atra (teripang)
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Warna hitam (Gambar 4.1.9 Holothuria atra). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau dipermukaan pasir, panjang tubuh kira-kira sekitar 10-30 cm.
Gambar 4.1.9 Holothuria atra ((Foto Patrick L. C. & Charles A.)
j. Holothuria edulis (teripang pasir)
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Warna tubuh bagian atas warna hitam sedangkan bagian bawah warna merah (Gambar 4.1.10 Holothuria edulis). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Sering dijumpai membenamkan Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm.
Gambar 4.1.10 Holothuria edulis (Foto dilapangan)
k. Actinopyga lecanora (teripang) Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris, dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Warna coklat dan terdapat bercak-bercak hitam (Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora). Nontji (1993), tubuh berotot tebal, lembek dan permukaan kulit kasar dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir dan dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang.
Gambar 4.1.11 Actinopyga lecanora (Foto Patrick L. C. & Charles A.)
l. Holothuria sp (teripang) Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan terdapat mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Tubuh berotot tebal, lembek atau licin, kulitnya halus. Warna abu-abu dan memiliki garis di punggung atau sisinya berwarna hitam (Gambar 4.1.12 Holothuria sp). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut dan panjangnya kira-kira sekitar 10-30 cm. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir atau dipermukaan pasir.
Gambar 4.1.12 Holothuria sp (Foto dilapangan)
m. Pearsonothuria graffei Tubuh berbentuk bulat panjang atau silindris dan berotot tebal, permukaan tubuh kasar. Warna abu-abu kekuningan dan bulat-bulat berwarna coklat (Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei). Menurut Patrick L. C. & Charles A. (1995), Dengan mulut pada salah satu ujungnya dan dubur pada salah satu ujungnya. Terdapat tentakel-tentakel bercabang yang mengelilingi mulut. Sering dijumpai membenamkan diri dalam pasir, dipermukaan pasir padang lamun dan terumbu karang. Panjangn kirakira sekitar 10-30 cm.
Gambar 4.1.13 Pearsonothuria graffei (Foto dilapangan)
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.1.1
Nilai
Kepadatan,
Kepadatan
Relatif,
dan
Frekuensi
Kehadiran
Echinodermata. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian NO
Spesies
Stasiun 1
I
Asteroidae
1
Achantaster plancii
2
Culcita sp
3
Linkia laevigata
4 II
Protoreaster nodosus Crinoidae
5
Colobometra sp
6
Comanthus sp
III
Echinodae
7
Diadema sp
8
Echinometra sp
IV
Holothuroidae
9 10
Actinopyga lecanora Holothuria atra
11
Holothuria edulis
12
Holothuria sp
13
Pearsonothuria graffei
K
KR
0,011
1,694
-
-
0,066
Stasiun 2 FK
Stasiun 3
K
KR
FK
K
KR
66,66
0,011
1,940
-
0,015
2,645
66,66
0,015
66,66
0,005
10,169
100
0,144
24,691
100
0,005
0,847
33,33
0,011
1,940
0,033
5,084
100
0,033
0,115
19,491
100
0,255
42,372
0,045
0,005
Stasiun 4 FK
K
KR
FK
3,198
66,66
-
-
-
1,066
33,33
-
-
-
0,111
21,321
100
0,075
10,638
100
66,66
-
-
-
-
-
-
5,291
100
0,025
5,330
100
0,025
3,546
66,66
0,165
29,100
100
0,145
30,916
100
0,155
21,985
100
100
0,085
14,991
100
0,099
21,108
100
0,299
41,134
100
7,627
100
0,011
1,763
33,33
-
-
-
0,055
7,801
100
0,847
33,33
0,005
0,881
33,33
0,005
1,066
33,33
0,005
0,709
33,33
-
-
-
0,015
2,645
66,66
0,011
2,132
66,66
0,011
1,418
66,66
0,005
0,847
33,33
0,015
2,645
66,66
0,005
1,066
33,33
0,011
1,418
33,33
0,022
3,389
66,66
0,015
2,645
66,66
0,015
3,198
66,66
0,022
2,833
66,66
0,045
7,627
100
0,055
8,818
100
0,045
9,594
100
0,066
8,510
100
Ket: Stasiun 1: Daerah terkena tsunami Stasiun 2: Daerah kontrol. Stasiun 3: Daerah tempat wisata Stasiun 4: Daerah terkena tsunami dan dekat pemukiman masyarakat
Hasil perhitungan pada stasiun 1 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,255 ind/m2 (K), 42,372% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada 3 spesies yaitu Protoreaster nodosus, Actinopyga lecanora dan Holothuria edulis yaitu sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,847% (KR) dan 33,33% (FK). Tingginya nilai kepadatan Diadema sp pada stasiun Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
ini, karena hewan ini menyukai terumbu karang yang rusak atau mati dan batuan. Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), habitat hewan ini adalah koloni karang mati, pasir, batu dan terumbu karang. Pada stasiun ini tidak ada ditemukan Culcita sp dan Holothuria atra, hal ini karena rendahnya persen tutupan karang pada stasiun ini, selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Kondisi lingkungan di stasiun ini memiliki terumbu karang yang rusak karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004, tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan pencemar yang merusak kondisi lingkungannya. Kondisi faktor fisik kimia perairan masih tergolong alami dan tidak terdapat bahan-bahan pencemar yang merusak lingkungan. Hasil pada stasiun 2 mendapatkan bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,165 ind/m2 (K), 29,100% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada spesies Actinopyga lecanora, sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,881% (KR) dan 33,33% (FK). Kondisi lingkungan stasiun ini merupakan kontrol, dimana tidak terdapat aktivitas masyarakat atau bahan pencemar yang merusak kondisi lingkungannya dan memiliki terumbu karang yang baik. Kondisi faktor fisik kimia perairan (Tabel 4.6) pada daerah ini masih tergolong alami dan cocok untuk pertumbuhan Echinodermata dan tidak ditemukan bahan-bahan pencemar yang mempengaruhi perairan ini. Rendahnya Actinopyga lecanora ditemukan pada stasiun ini karena penelitian dilakukan pada siang padahal hewan ini aktif pada malam hari. Menurut Brotowidjoyo (1994), teripang (Actinopyga lecanora) ini jarak ditemukan karena memiliki sifat bergerak/merayap lambat sekali, biasanya bersembunyi dalam lubang atau celah batu atau menanamkan diri dalam lumpur atau pasir laut dan hanya bagian posteriornya saja yang nampak. Umumnya hewan ini aktif pada malam hari berkeliaran pada mencari makan.
Hasil perhitungan pada stasiun 3 diperoleh bahwa spesies Comanthus sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 0,145 ind/m2 (K), 30,916% (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah didapatkan pada Culcita sp, Actinopyga Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
lecanora dan Holothuria edulis sebesar 0,005 ind/m2 (K), 1,066% (KR) dan 33,33% (FK). Hal ini karena kondisi faktor fisik kimia perairan sesuai bagi pertumbuhan Comanthus sp misalnya suhu, pH, Intensitas Cahaya dan substrat dasar perairan berupa pasir, batu dan koloni karang. Stasiun ini merupakan tempat wisata, terdapat tempat penginapan dan tempat menyelam wisatawan. Daerah ini masih memiliki terumbu karang yang baik karena aktivitas masyarakat tidak terlalu berpengaruh terhadap lingkungan. Menurut Koesbiono (1979), kadar organik pada substrat adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan benthos.
Di daerah ini tidak ditemukan Protoreaster nodosus dan Echinometra sp. Hal ini karena Protoreaster nodosus memiliki bentuk tubuh yang unik dan warna yamg menarik sehingga banyak masyarakat yang mengambil. Selain itu hewan ini sering hidup pada substrat yang berupa rumput laut atau padang lamun sedangkan substrat di tempat ini berupa batu, pasir, koloni karang. Romimohtarto & Juwana (2001), menyatakan hewan ini peka terhadap lingkungan, tetapi mempunyai kemampuan regenerasi tinggi sehingga dapat menyembuhkan diri jika ada luka.
Hasil perhitungan pada stasiun 4 mendapatkan bahwa spesies Diadema sp memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi, sebesar 0,299 ind/m2 (K), 41,134 % (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah pada Actinopyga lecanora sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,709% (KR) dan 33,33% (FK). Jenis Achantaster plancii, Culcita sp dan Protoreaster nodosus tidak ada ditemukan pada lokasi ini karena substrat yang dijumpai berupa karang mati, batu, pasir dan sedikit dijumpai karang hidup sedangkan habitat Echinodermata adalah terumbu karang. Kondisi lingkungan pada stasiun ini, memiliki terumbu karang yang rusak (kategori buruk). Rusaknya terumbu karang pada daerah ini bukan karena pengaruh Diadema sp yang banyak, tetapi karena pengaruh dari tsunami yang terjadi pada tahun 2004 dan terdapat aktivitas masyarakat seperti pemukiman penduduk, keramba udang, penggunaan kapal mesin sehingga membuat terumbu karang rusak. Menurut Wargadinata (1995), menyatakan beberapa genus benthos ada yang dapat mentolerir perubahan faktor Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
lingkungan yang besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang sangat ekstrim.
Hasil penelitian yang dilakukan bila dibandingkan dengan penelitian Eddy Y. (2003) yang berada di Aceh Selatan Nanggroe Aceh Darussalam maka diperoleh keanekaragaman echinodermata di daerah ini lebih banyak dibanding perairan P. Rubiah. Daerah Aceh Selatan ditemukan sebanyak 20 spesies dari 5 kelas Echinodermata sedangkan di P. Rubiah terdapat 13 spesies dari 4 kelas Echinodermata. Rendahnya Echinodermata di P. Rubiah karena pengaruh bencana tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004, dimana terjadi kerusakan terumbu karang sebagai habitat dari hewan ini sedangkan daerah Aceh Selatan memiliki lingkungan yang masih baik untuk pertumbuhan Echinodermata.
4.1.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada Setiap Stasiun Penelitian Dari
hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan
pada
masing-masing
stasiun
penelitian diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Persen Tutupan Karang (r) pada Setiap Stasiun Penelitian Indeks Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 1,764 1,859 1,854 1,720 Keanekaragaman (H') 50,82% 73,10% 59,68% 16,28% Persen Tutupan Karang (r) 0,709 0,748 0,773 0,692 Keseragaman (E)
Dari hasil perhitungan didapat Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720. Tingginya nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun 2, karena daerah merupakan kontrol dan tidak ditemukan aktivitas masyarakat atau bahan pencemar dan memiliki terumbu karang yang baik. Stasiun 4 memiliki terumbu karang yang rusak akibat dari bencana tsunami yang melanda tempat ini tahun 2004 dan merupakan daerah pemukiman penduduk. Barus, (2004) menyatakan suatu komunitas dikatakan mempunyai Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu
masing-masing
spesies
yang
relatif
merata.
Dari
nilai
Indeks
Keanekaragaman yang diperoleh berkisar antara 1,720-1,859 dapat digolongkan bahwa pada daerah ini memiliki nilai keanekaragaman rendah.
Hasil penelitian Taripar N. & Fitria M. (2009) di Pulau Rubiah diperoleh persen tutupan terumbu karang yang tertinggi diperoleh pada stasiun 2 sebesar 73,10% dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28%. Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat hubungan keanekagaman Echinodermata dengan persen tutupan terumbu karang. Persen tutupan karang yang tinggi akan memiliki keanekaragaman Echinodermata yang tinggi seperti pada stasiun 3. Pada stasiun 4 memiliki persen terumbu karang yang rendah (kategori buruk), memiliki keanekaragaman yang sedikit. Kondisi faktor fisik kimia perairan ini tergolong baik dan cocok untuk pertumbuhan terumbu karang, misalnya suhu, pH, penetrasi cahaya, salinitas dan lain sebagainya (Tabel 4.6). Rusaknya terumbu karang di daerah penelitian ini khususnya pada stasiun 1 dan 4 karena bencana alam (Tsunami) dan pengaruh aktifitas masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001, terumbu karang di kategorikan; buruk (0-24,9 %), sedang (25-49,9 %), baik (50-74,9 %) dan baik sekali (75- 100 %).
Indeks keseragaman (E) yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar 0,773 – 0,692 dengan indeks keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. Rendahnya nilai keseragaman pada stasiun 4 karena ditemukan beberapa spesies yang mendominasi yaitu Diadema sp karena memiliki terumbu karang yang rusak sehingga penyebaran tidak marata. Krebs (1985), menyatakan indeks keseragaman (E) berkisar 0 – 1. Indeks keseragaman yang tinggi menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada masing-masing spesies merata dan sebaliknya jika Indeks Keseragaman semakin kecil maka keseragaman suatu populasi akan semakin kecil.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.1.3 Indeks Similaritas
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks Similaritas (IS) seperti pada tabel berikut:
Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Stasiun Penelitian Stasiun 1 2 3 4
1 -
2 91,66% -
3 81,81% 91,66% -
4 90,00% 90,90% 80,00% -
Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 81,81% - 91,66%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa empat stasiun memiliki nilai IS kriteria sangat mirip (75-100%). Kemiripan ini karena faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun sehingga menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies benthos pada stasiun tersebut.
4.2 Parameter Abiotik Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam diperoleh rata-rata seperti Tabel 4.6 dibawah ini:
Tabel 4.5 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam. No Faktor fisik kimia Satuan Stasiun perairan 1 2 3 4 1 Suhu Air °C 29 30 29 29 2 Penetrasi Cahaya m 4 5 4 3 3 Intensitas Cahaya Candela 1383 1229 949 1047 4 pH air -7,4 7,8 7,7 6,5 5 DO (Oksigen terlarut) mg/l 6,2 6,8 6,1 6,2 6 Kejenuhan Oksigen % 81,17 88,589 79,842 80,77 7 BOD5 mg/l 1,2 1,1 1,8 2,4 8 Salinitas ‰ 35 35 34 35 9
Jenis Substrat
Pasir, batu dan pecahan-pecahan karang
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.2.1 Suhu Hasil pengukuran suhu pada 4 stasiun penelitian, berkisar 29-30 °C. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan P. Rubiah masih dalam kisaran normal untuk perairan tropis. Ini disebabkan karena daerah penelitian ini masih tergolong alami dan dilindungi, belum terdapat banyak aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan pencemaran. Menurut Wells (1954), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25- 29°C dan batas minimum suhu berkisar 16-17°C serta batas maksimum 36°C. Menurut Nontji (1993), bahwa suhu permukaan di perairan Nusantara umunya berkisar antara 28-31°C. Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), bahwa suhu alami air laut berkisar antara suhu dibawah 0°C sampai 33°C dan perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar terhadap sifat-sifat air laut dan termasuk biota laut.
4.2.2 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu 4-5 meter. Tingginya penetrasi cahaya
ini disebabkan karena kondisi perairan di P.
Rubiah masih tergolong baik. Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi
proses fotosintesis
di dalam perairan tersebut.
Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyak faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi kotor / tidak jernih.
4.2.3 Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya yang tertinggi diperoleh
pada stasiun 1 sebesar 1383
Candela dan terendah pada stasiun 3 sebesar 949 Candela. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 3 disebabkan karena pada saat pengukuran dilakukan pada pagi hari, sedangkan pada stasiun 1 dilakukan siang hari, selain ini terdapat banyak pohon ditepi perairan ini. Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Faktor cahaya matahari yang masuk dalam perairan akan mempengaruhi sifat optis air, sebagian cahaya itu akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air.
4.2.4 pH air
Derajat keasaman
atau kebasaan (pH) tertinggi pada stasiun 2 yaitu 7,8
sedangkan yang paling rendah pada stasiun 4 yaitu 6,5. Rendahnya pH pada stasiun 4 berpengaruh terhadap jenis Echinodermata yang ditemukan, dimana nilai H’, E dan r rendah. Namun demikian secara keseluruhan nilai pH pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos. Sutrisno (1987), menyatakan pH optimum untuk spesies makrozoobenthos berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Barus (2004) menyatakan nilai ideal pH bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan organisme karena akan mengganggu metabolisme dan respirasi, disamping itu nilai pH yang asam akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium.
4.2.5 Oksigen terlarut ( DO/ Dissolved Oxygen)
Nilai DO yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian ini berkisar 6,1-6,8 mg/l. Nilai DO yang tertinggi pada stasiun 2 yaitu 6,8 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 1 sebesar 6,1 mg/l. Menurut Suin (2002), menyatakan bahwa, suhu memiliki peranan yang besar terhadap kelarutan oksigen galam air, apabila temperatur air naik maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat. Sastrawijaya (1991), bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4.2.6 Kejenuhan Oksigen (%)
Kejenuhan oksigen yang diperoleh dari 4 stasiun penelitian berkisar antara 79,84 – 89,00%. Menurut Barus (2004), menyatakan bahwa disamping pengukuran konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen air, maka diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya
4.2.7 BOD5 (Biologycal Oxygen Demand) Hasil BOD5 yang diperoleh di perairan P. Rubiah berkisar antara 1,1- 2,4 mg/l. Nilai BOD5 yang tertinggi pada stasiun 4 yaitu sebesar 2,4 mg/l sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 1,1 mg/l. Menurut Barus (2002), bahwa nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C. Pengukuran BOD didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Brower et al., (1990), bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mg/l O2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi.
4.2.6 Salinitas (‰)
Nilai Salinitas yang diperoleh pada 4 stasiun penelitian ini sama yaitu berkisar 34 - 35‰. Nilai salinitas di perairan ini masih tergolong normal seperti yang dinyatakan oleh Nontji (1986), bahwa, di Samudra umumnya salinitas berkisar antara 34-35 ‰. Zat padat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida (NaCl) yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ‰ (permil, gram per liter), sedangkan menurut Brotowidjojo et al., (1995) menyatakan organisme lautan sejati tidak dapat bertahan pada salinitas laut normal (32-35‰). Kinsman (1964), Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas 34-35‰.
4.2.8 Jenis Subtrat
Jenis substart yang umum dihuni oleh Echinodermata pada stasiun penelitian ini berupa pasir, batu, pecahan karang, rumput laut, koloni karang. Hewan ini biasanya hidup melekat (sesil) pada substrat. Kehidupan organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Dengan mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di substrat badan air (Suin, 2002).
4.3
Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00
Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman Echinodermatadengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
Tabel 4.6 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Echinodermata dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
H’
Suhu (°C)
Penetrasi (m)
I. Cahaya
pH
DO (mg/l)
K.Oksigen
BOD5 (mg/l)
Salinitas
+0,555
+0,818
-0,166
+0,922
+0,433
+0,457
-0,548
-0,555
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Keterangan: Nilai + Nilai -
= Arah Korelasi Searah = Arah Korelasi Berlawanan
Dari Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan indeks keanekaragaman (H’) berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), yaitu suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen. Berkorelasi searah dengan Indeks Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai salah satu faktor fisik kimia maka nilai Indeks Keanekaragaman akan semakin besar pula. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan yaitu Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas berkorelasi berlawanan dengan Indeks Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia perairan tersebut maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia perairan maka nilai H’ akan semakin besar. Menurut Sokal & James (1992) koefisien dapat berkisar dari +1 untuk hubungan positif sempurna sampai -1 untuk hubungan negatif sempurna.
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi searah adalah suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen, sedangkan yang berkorelasi berlawanan adalah Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas. Menurut Sugiono (2005) koefisien korelasi dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
Table 4. 7 Nilai Koefisien Korelasi Interval Koefisien 0,00 – 0,199 0,20 – 0,399 0,40 – 0,599 0,60 – 0,799 0,80 – 1,00
Tingkat Hubungan Sangat Rendah Rendah Sedang Kuat Sangat Kuat
Berdasarkan Tabel 4.7 diatas, dapat diketahui bahwa korelasi antara faktor fisik kimia dengan indeks keanekaragaman (H’) memiliki hubungan yang sangat rendah, sedang dan sangat kuat. Hubungan yang sangat rendah adalah intensitas Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
cahaya, tingkat hubungan yang sedang adalah suhu, kejenuhan oksigen, DO, BOD, salinitas. Hubungan yang sangat kuat terdiri dari penetrasi cahaya dan pH
Oksigen terlarut berkorelasi searah terhadap keanekaragaman makrozoobentos dimana semakin tinggi nilai DO maka tingkat keanekaragaman juga semakin tinggi. Menurut Sastrawijaya (1991), untuk mempertahankan hidupnya mahkluk yang tinggal di air, baik tanaman maupun hewan bergantung pada oksigen terlarut.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap keanekaragaman Echinodermata, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Echinodermata yang diperoleh 13 genera yang terdiri dari 4 kelas, 6 ordo, 7 famili, 11 genus dan 1 filum. 2. Pada stasiun 1 terdapat 5 ordo, 6 famili, 9 genus dan 11 spesies. Pada stasiun 2 terdapat 5 ordo, 7 famili, 11 genus dan 13 spesies. Pada stasiun 3 terdapat 5 ordo, 6 famili, 9 genus dan 11 spesies. Pada stasiun 3 terdapat 5 ordo, 4 famili, 8 genus dan 10 spesies. 3. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi pada Diadema setosum, sebesar 0,299 ind/m2 (K), 41,134 % (KR) dan 100% (FK). Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang terendah Culcita novaeguineae, Actinopyga lecanora, Holothuria edulis dan Protoreaster nodosus sebesar 0,005 ind/m2 (K), 0,709% (KR) dan 33,33% (FK). 0,005 ind/m2 pada setiap stasiun. 4. Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi pada stasiun 2 sebesar 1,859 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 1,720 5. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,773 dan terendah pada stasiun 4 sebesar 0,692. 6. Persen tutupan karang yang paling tinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 73,10% (kategori baik) dan terendah pada stasiun 4 sebesar 16,28% (kategori buruk). 7. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’), yaitu suhu, penetrasi cahaya, pH, DO dan kejenuhan oksigen. Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
8. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’) yaitu Intensitas cahaya, BOD dan Salinitas berkorelasi berlawanan.
5.2 Saran
Hampir semua jenis Echinodermata aktif pada malam hari, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai keanekaragaman hewan ini pada saat malam hari agar data yang diperoleh akurat dan bisa sebagai data pembanding dengan penelitian yang dilakukan pada siang hari.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1993. Mengenal Lebih Dekat Satwa yang Lindungi: Biota Laut, Kupukupu dan Reptil. Jakarta: Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press. hlm: 33-35 Brotowidjojo, M.D. 1994. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga. hlm: 118-124. Brower, J. E., H.Z. Jerrold. & Car I.N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. USA, New York: Wm. C. Brown Publisher. hlm: 52. Clark, A. M. and F. W. E. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo West Pacific Echinoderm. Trustees of Brit. Mus: 234 http://www.coremap.or.id/terumbu_karang. Diakses tanggal 5 Maret, 2008. http://cmosdoc.multiply.com/. Diakses tanggal 3 Juli, 2008. http://www.terangi.or.id/publications.pdf/biologikarang/pdf. Diakses tanggal 10 Juli, 2008. Hyman, H. L. 1955. The Invertebrates Echinodermata. New York: Mc Graw- Hill Book Company. Kinsman, D. J. J. 1964. Reef Coral Tolerance of High Temperatures and Salinities. Nature 202: 1280-1282. Kobayashi, N & K. Nakamura. 1967. Spawning Periodicity of Sea Urchin at Seto II. Diadema Setosum. Publ. Seto Mar. Biol. Lab : 173- 184 Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV. (Ekologi Perairan). Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB. hlm: 27. Krebs, C. J. 1985. Ecology. Third Edition. New York: Harper & Row Publisher. hlm: 523. Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press. hlm: 169. Niel, A. C, Jane, B. R & Lawrence, G. M. 2003. Biologi. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. hlm: 240-242. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. hlm: 200-209. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. hlm: 198. Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Patrick L. Colin & Charles Armeson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. California: Coral Reef Press. hlm: 235-265. Pecherik J. A. 2005. Biology Of the Invertebrata. Fifth edition. New York : The McGraw- Hill Companies, Inc. hlm: 485-500. Reksodihardjo- lilley, G. 1996. Panduan Pendidikan Konservasi Kelautan. Cetakan1. Jakarta: Program PengembanganKonservasi Kelautan (WWF-IP). Romimohtarto, K. & S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan. hlm: 245250. Ruppert, E. E. & Barnes D. R. 1991. Invertebrata Zoologi. Sixth Edition. America: Sounders College Publishing. hlm: 921-927. Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. hlm: 125.
Seki, H. 1982. Organic Materials in Aquatic Ecosystem. Florida: CRC Press, Inc. hlm: 56. Sinambela, M. 1994. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Sungai Babura. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. hlm: 32. Stowe, K. 1987. Essential of Ocean Science. Canada: John Wiley & Sons Inc. Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Padang: Universitas Andalas. hlm: 46. Sugiarto, H. 2007. Warta Oseanografi. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm: 8. Sutrisno, C.T & E. Suciastuti. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Bina Aksara. Supriharyono, M. S. 2002. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan. hlm: 24-25. Vinomo, B. I. 2007. Sekilas Mengenai Landak. Oseana Majalah Ilmiah Semi Populer 2007. Jakarta: Lipi Pusat Penelitian Oseanografi. hlm: 38. Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yokyakarta: Penerbit Andi. hlm: 90. Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobentos Sebagai Indikator Ekologi di Sungai Percut. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Medan: Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingkungan USU. Wells, J. W. 1954. Recent Corals of be Marshall Island. Prof. Pap. U. S. Geol. Surv., 260- I, 385- 486.
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)
Sampel Air 1 ml MnSO4 1 ml KOH – KI dikocok didiamkan Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H2SO4 dikocok didiamkan Larutan Sampel Berwarna Coklat
diambil sebanyak 100 ml ditetesi Na2S2O3 0,0125 N Sampel Berwarna Kuning Pucat ditambahkan 5 tetes amilum Sampel Berwarna Biru dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N Sampel Bening Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai (= nilai DO akhir) Hasil
( Suin, 2002, hlm: 60)
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5
Sampel Air
Sampel Air
Sampel Air diinkubasi selama 5 hari pada temperatur 20°C
dihitung nilai DO awal
dihitung nilai DO akhir
DO Akhir
DO Awal
Keterangan : • •
Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir
(Suin, 2002, hlm: 60)
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran C. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air ToC 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0,0 14, 16 13, 77 13, 40 13, 05 12,70 12, 37 12, 06 11,76 11, 47 11, 19 10, 92 10, 67 10, 43 10, 20 9, 98 9, 76 9, 56 9, 37 9, 18 9, 01 8, 84 8, 68 8, 53 8, 38 8, 25 8, 11 7, 99 7, 86 7, 75 7, 64 7, 53
0,1 14, 12 13, 74 13, 37 13, 01 12, 67 12, 34 12, 03 11, 73 11, 44 11, 16 10, 90 10, 65 10, 40 10, 17 9, 95 9, 74 9, 54 9, 35 9, 17 8, 99 8, 83 8, 67 8, 52 8, 37 8, 23 8, 10 7, 97 7, 85 7, 74 7, 62 7, 52
0,2 14, 08 13, 70 13, 33 12, 98 12, 64 12, 31 12, 00 11, 70 11, 41 11, 14 10, 87 10, 62 10, 38 10, 15 9, 93 9, 72 9, 52 9, 33 9, 15 8, 98 8, 81 8, 65 8, 50 8, 36 8, 22 8, 09 7, 96 7, 84 7,72 7, 61 7, 51
0,3 14, 04 13, 66 13, 30 12, 94 12, 60 12, 28 11, 97 11, 67 11, 38 11, 11 10, 85 10, 60 10, 36 10, 13 9, 91 9, 70 9, 50 9, 31 9, 13 8, 96 8, 79 8, 64 8, 49 8, 34 8, 21 8, 07 7, 95 7, 83 7, 71 7, 60 7, 50
0,4 14, 00 13, 63 13, 26 12, 91 12, 57 12, 25 11, 94 11, 64 11, 36 11, 08 10, 82 10, 57 10, 34 10, 11 9, 89 9, 68 9, 48 9, 30 9, 12 8, 94 8, 78 8, 62 8, 47 8, 33 8, 19 8, 06 7, 94 7, 82 7, 70 7, 59 7, 48
0,5 13, 97 13, 59 13, 22 12, 87 12, 54 12, 22 11, 91 11, 61 11, 33 11, 06 10, 80 10, 55 10, 31 10, 09 9, 87 9, 66 9, 46 9, 28 9, 10 8, 93 8, 76 8, 61 8, 46 8, 32 8, 18 8, 05 7, 92 7, 81 7, 69 7, 58 7, 47
0,6 13, 93 13, 55 13, 19 12, 84 12, 51 12, 18 11, 88 11, 58 11, 30 11, 03 10, 77 10, 53 10, 29 10, 06 9, 85 9, 64 9, 45 9, 26 9, 08 8, 91 8, 75 8, 59 8, 44 8, 30 8, 17 8, 04 7, 91 7, 79 7, 68 7, 57 7, 46
0,7 13, 89 13, 51 13, 15 12, 81 12, 47 12, 15 11, 85 11, 55 11, 27 11, 00 10, 75 10, 50 10, 27 10, 04 9, 83 9, 62 9, 43 9, 24 9, 06 8, 89 8, 73 8, 58 8, 43 8, 29 8, 15 8, 02 7, 90 7, 78 7, 67 7, 56 7, 45
0,8 13,85 13, 48 13, 12 12, 77 12, 44 12, 12 11, 82 11, 52 11, 25 10, 98 10, 72 18, 48 10, 24 10, 02 9, 81 9, 60 9, 41 9, 22 9, 04 8, 88 8, 71 8, 56 8, 41 8, 27 8, 14 8, 01 7, 89 7,77 7, 66 7, 55 7, 44
0,9 13,81 13, 44 13, 08 12, 74 12, 09 12, 09 11, 79 11, 50 11, 22 10,95 10, 70 10, 45 10, 21 10, 00 9, 78 9, 58 9, 39 9, 20 9, 03 8, 86 8, 70 8, 55 8, 40 8, 26 8, 13 8, 00 7, 88 7, 76 7, 65 7, 54 7, 43
(Barus, 2004, hlm: 149)
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran D. Peta Lokasi Penelitian
Ket: Stasiun 1: Daerah terkena tsunami Stasiun 2: Daerah kontrol. Stasiun 3: Daerah tempat wisata Stasiun 4: Daerah terkena tsunami dan dekat pemukiman masyarakat
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran E. Foto Lokasi Penelitian
Gambar 1. Stasiun 1
Gambar 2. Stasiun 2
Gambar 3. Stasiun 3
Gambar 4. Stasiun 4
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran F. Jumlah dan Jenis Echinodermata yang didapat pada setiap stasiun penelitian NO
Spesies
Stasiun 1
Ratarata
T2
T3
Ratarata
T1
T2
T3
Stasiun 3
Rat arata
T1
T2
T3
Stasiun 4
1
Achantaster plancii
1
2
-
1
1
1
-
0,66
1
1
-
0,66
-
T 2 -
2
Culcita novaeguineae
1
-
-
0,33
-
2
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Linkia laevigata
5
10
5
6,66
5
12
11
9,33
5
4
3
4
4
5
6
5
4
Protoreaster nodosus
-
-
-
-
1
-
1
0,66
1
-
-
0,33
-
-
-
-
5
Colobometra sp
2
2
1
1,66
2
1
3
2
3
2
1
2
2
3
-
1,66
Comanthus sp
10
8
11
9,66
6
12
15
11
10
5
8
7,66
11
1 0
10
3,88
7
Diadema setosum
3
10
5
6
5
6
6
5,66
15
20
15
16,6
18
2 0
20
19,3
8
Echinometra mathaei
-
-
-
-
2
-
-
0,66
5
2
2
3
4
3
4
3,66
9
Actinopyga lecanora
1
-
-
0,33
-
-
1
0,33
1
-
-
0,33
-
-
1
0,33
10
Holothuria atra
1
1
-
0,66
1
2
-
1
-
-
-
-
1
1
-
0,66
11
Holothuria edulis
1
-
-
0,33
2
-
1
1
-
1
-
0,33
1
-
1
0,66
12
Holothuria sp
-
2
1
1
2
-
1
1
-
3
1
1,33
2
-
2
1,33
13
Pearsonothuri a graffei
3
2
4
3
4
3
3
3,33
3
2
4
3
4
3
5
4
6
T1
Stasiun 2
T1
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
T3 -
-
Lampiran G. Contoh Hasil Perhitungan
a. Kepadatan Populasi K=
Jumlah individu suatu jenis (A. Leuchosternon = 74; St. 1) Luas area pengambilan sampel (200 m)
K=
74 200
= 0, 37 ind/m2
b. Kepadatan Relatif (KR) KR = dengan: ni ∑N
ni x 100% ∑N
= jumlah individu spesies i ( 0, 37 ind/m2) = total individu seluruh spesies ( 7, 185)
KR =
0, 37 x 100% 7,185
= 5, 14961 %
c. Frekuensi Kehadiran (FK) KR =
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis x 100% Jumlah plotyang ditempati seluruhjenis
KR =
3 x 100% 3
= 100 %
d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)
H’= -
∑ pi ln pi
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
dimana :H’ pi
= indeks diversitas Shannon-Wienner = proporsi spesies ke-i ( A. Leucosternon = 74; total individu dari seluruh spesies = 1437) = logaritma nature =Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)
In pi
pi =
74 = 0.051496 1437
maka pi ln pi = 0.051496 x ln 0.051496 = -0.15275 ∑ pi ln pi stasiun I
= -3, 7388
H’
= 3, 7388
e. Indeks Equitabilitas (E)
Indeks equitabilitas (E) = dimana :H’ H maks
(E) =
3,7388 ln 50
(E) =
3,7388 3,912023005
H' H max
= indeks diversitas Shannon-Wienner (St.1 = 3, 7388) = keanekaragaman spesies maksimum = In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1 ( St. 1 = 50)
= 0.9557204
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
Lampiran H. Hasil Analisis Korelasi Pearson
Suhu
suhu
P.cahaya
I.cahaya
pH
DO
1
,816
,266
,50 7
,989( *)
,184
,734
,49 3
,011
4
4
4
4
4
4
,816
1
,385
,89 7
,765
,791
,615
,10 3
,235
,209
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed) N P.caha ya
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed) N I.caha ya
N
N Pearson Correlation
Sig. (2-tailed) N K.oksi gen
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed) N BOD
N Salinit as
N H
N
,667
,445
4
4
,000
,818
1,000
,182
4
4
,702
-,166
,298
,834
4
4
-,394
,922
,606
,078
4
4
,469
,433
,531
,567
4
4
,455
,457
,545
,543
4
,266
,385
1
,18 8
,359
,378
,734
,615
,81 2
,641
,622
4
4
4
4
4
4
,507
,897
,188
1
,414
,448
,493
,103
,812
,586
,552
4
4
4
4
4
4
,989( *)
,765
,359
,41 4
1
,999(**)
,011
,235
,641
,58 6
4
4
4
4
4
4
,990( **)
,791
,378
,44 8
,999( **)
1
,010
,209
,622
,55 2
,001
4
4
4
4
4
4
4
4
4
-,575
-,609
1
-,194
-,548
,425
,391
,806
,452
4
4
4
4
,469
,455
1
-,555
,531
,545
4
4
-,581
-,881
-,734
,419
,119
,266
4
4
4
,333
,000
,702
,667
1,000
,298
4
4
4
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
,555
4
,80 0 ,20 0 4 ,39 4 ,60 6 4
,001
,555
,818
-,166
,92 2
,433
,457
,445
,182
,834
,07 8
,567
,543
4
4
4
4
4
4
4
,333
4
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
,88 1 ,11 9
H
4
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
4
Salinitas
4
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
DO
,990(**)
BO D ,58 1 ,41 9
4
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Ph
,184
K.oksigen
,73 4 ,26 6 4 ,80 0 ,20 0 4 ,57 5 ,42 5 4 ,60 9 ,39 1
4 ,19 4 ,80 6 4 ,54 8 ,45 2 4
,445 4
4
-,555
1
,445 4
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.
4
Erni L. Hutauruk : Studi Keanekaragaman Echinodermata Di Kawasan Perairan Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009.