ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI DI PROVINSI GORONTALO (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
SHERLY GLADYS JOCOM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Sherly Gladys Jocom A155050011
ABSTRACT SHERLY GLADYS JOCOM. An Analysis of the Impact and Strategy of Corn-Based Agropolitant Development on the Regional Economy and Farmers’ Income Analysis in the Province of Gorontalo (Case study of Pohuwato Regency). Under the direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI, and HIMAWAN HARIYOGA. This study was intended to identify the impact of the agropolitant development in relation to the regional development of Pohuwato Regency. The objective of the study was to analyze the impact of corn-based agropolitant development on the regional economy and farmers’ income, measure the level of people’s participation, and formulate the policies which can stimulate economic development in the agropolitant area. The research results show that corn-based agropolitant development has improved the regional economy of Pohuwato Regency through a change in the structure of regional economy and increased the farmers’ income although the major (prioritized) sectors such as agriculture, subfood crops, corn commodities and transportation are still low in competitiveness. The people’s participation in the agropolitant area was at the level of consultation. Therefore, the strategies for the development of regional economy in the agropolitant area should include (1) formation of investment service centers, (2) improvement in the promotion of UKM (small-medium scale businesses) and business opportunity campaigns, (3) the exertion of product and market diversification (4) provision of business permit / licenses under one roof ( onestop services office ), (5) improvement in facilities and quality of education as well as public and social facilities, (6) optimization in the development of growth centers in the rural areas (agropolitants), (7) improvement in cooperation policies between regions, and (8) empowerment of community and farmers’ institutions. Keywords : agropolitant, regional economy, community’s participation
RINGKASAN SHERLY GLADYS JOCOM. Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI, dan HIMAWAN HARIYOGA. Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu provinsi baru, Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Namun demikian sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Gorontalo yang menjadi kawasan rintisan pengembangan agropolitan, Kabupaten Pohuwato masih memiliki banyak permasalahan seperti tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya sarana–prasarana penunjang menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak pengembangan program agropolitan dikaitkan dalam pembangunan wilayah Kabupaten Pohuwato. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak program agropolitan terhadap perekonomian wilayah dan pendapatan masyarakat petani, mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dan merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan. Adapun alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan Multiplier Long Run, Analisis Shift Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED). Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2007. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan basis jagung ternyata meningkatkan perekonomian wilayah melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah. Secara komparatif pengembangan agropolitan basis jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total perekonomiam wilayah, namun secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah. Pengembangan agropolitan basis jagung juga meningkatkan pendapatan masyarakat petani, melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga dari pemerintah. Rata-rata pendapatan usahatani di kawasan agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan usahatani di kawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- per ha/tahun. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95%.
Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi. Berdasarkan hasil analisis, total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 dan aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan adalah 74,8 serta aspek kontrol terhadap kebijakan adalah 78,6. Kondisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan masih berada pada taraf sebagai pelaksana program, belum melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Berdasarkan hasil analisis Raled dan penentuan bobot gabungan diperoleh bahwa dimensi PEL Kabupaten Pohuwato adalah sebesar 57,19. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan status pengembangan ekonomi lokal Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Dimensi atau aspek yang memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek kelompok sasaran yaitu sebesar 67,16 dan aspek yang memiliki nilai indeks terendah adalah aspek proses manajemen yaitu sebesar 50,99. Hasil analisis Raled menunjukkan bahwa faktor pengungkit untuk aspek kelompok sasaran adalah belum tersedianya pusat layanan investasi, promosi produk UKM dari Pemda dan kampanye peluang berusaha yang masih relatif rendah. Faktor pengungkit aspek faktor lokasi adalah belum berjalannya pelayanan perijinan satu atap, kualitas dan fasilitas pendidikan yang masih rendah serta fasilitas umum dan sosial yang belum memadai. Faktor pengungkit aspek kesinergian dan fokus kebijakan adalah kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan kebijakan kerjasama antar daerah/pemda. Untuk aspek pembangunan berkelanjutan faktor pengungkitnya adalah belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar, kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan serta jumlah perusahaan yang memiliki bussiness plan. Selanjutnya untuk aspek tata pemerintahan faktor pengungkitnya adalah manfaat asosiasi bagi anggotanya, peran asosiasi terhadap kebijakan di bidang Pel dan prosedur pelayanan administrasi publik. Faktor pengungkit untuk aspek proses manajemen adalah jumlah stakeholder yang terlibat dalam perencanaan pel serta analisis dan pemetaan potensi ekonomi. Berdasarkan berbagai kondisi diatas, maka strategi pengembangan ekonomi kawasan agropolitan adalah (1) pembentukan pusat layanan investasi, (2) peningkatan Promosi UKM dan Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda, (3) upaya diversifikasi produk dan pasar, (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap, (5) perbaikan fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial, (6) mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan (Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah, (8) pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat. Kata Kunci : agropolitan, perekonomian wilayah, partisipasi masyarakat.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang Undang 1
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI DI PROVINSI GORONTALO (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
SHERLY GLADYS JOCOM
Tesis Sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)
Nama
: Sherly Gladys Jocom
NIM
: A155050011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS Ketua
Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian : 19 Desember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi pemikiran penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul : ”Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis Jagung terhadap Perekonomian Wilayah serta Analisis Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)” Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik didalam studi secara keseluruhan maupun khususnya dalam penelitian tesis ini. Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc sebagai anggota yang telah membimbing dan memberikan saran sehingga tesis dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bambang Juanda, MS yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Sains (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat Kabupaten Pohuwato atas kerjasama dan
partisipasinya selama
pengumpulan data. Demikian juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf pengajar atas kesempatan dan bekal ilmu yang diberikan. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Dikti melalui BPPS, Yayasan Dana Mandiri dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unsrat atas dukungan beasiswa dan bantuan penelitian yang telah diberikan sehingga studi penulis dapat berjalan lancar. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan kepada rekan-rekan seangkatan 2005 PWD atas segala bentuk solidaritas dan
social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai perannya dalam studi penulis. Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada suamiku Steven Tolu atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam mendampingi penulis menjalani studi. Kepada
kedua orang tua, Bapak
Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri atas doa dan perjuangannya membesarkan penulis serta adik dan keluargaku yang telah memberikan dukungan material maupun spiritual. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor,
Januari 2009
Sherly Gladys Jocom
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 9 November 1973 dari Ayah Constantein Jocom dan Ibu Welmina Mantiri. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Menikah dengan Steven Tolu, SE pada tanggal 31 Maret 2001. Pendidikan sekolah dasar ditempuh penulis pada SD Kristen Tabita II Manado dan tamat tahun 1986. Menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama pada SMPN 1 Manado pada tahun 1989. Pendidikan sekolah menengah atas pada SMAN 1 Manado dan tamat tahun 1992, selanjutnya penulis menempuh pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Ekonomi Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan tamat tahun 1997. Tahun 2003 penulis diangkat menjadi CPNS di Universitas Sam Ratulangi Manado dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan dan diterima sebagai mahasiswa pada program studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan biaya BPPS Dikti.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL …..…………………………………………………….... xiv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xvii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………... xix I.
PENDAHULUAN …………………………………………………. 1.1. Latar Belakang ……………………………………………….. 1.2. Perumusan Masalah ..……………………..………………….. 1.3. Tujuan Penelitian …....……………………………………….. 1.4. Manfaat Penelitian …….……………………………………... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………..
1 1 6 11 11 12
II.
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan. ................................. 2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan............. 2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan........................................ 2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan Lokal Perdesaan dan Kemitraan ................................................ 2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan .................. 2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan …….. 2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan ……... 2.8. Komoditi Unggulan dan Teori Basis Ekonomi ………….......... 2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)…………… 2.10 Penelitian Terdahulu …………………………………………..
13 13 16 20 23 25 26 30 32 33 37
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………… 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................………………….... 3.2. Kerangka Pendekatan Operasional …………………................ 3.3. Hipotesis ………………………………………………………
41 41 42 46
IV.
METODE PENELITIAN …………………………………............. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………. 4.2. Sumber Data …………………………………………………... 4.3. Metode Pengambilan Sampel ………………………………… 4.4. Metode Analisis ………………………………………………. 4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run (MS), dan Multiplier Long Run (ML) ..............................
47 47 47 48 50 50
V.
VI.
4.4.2. Analisis Shift-Share ......................................................... 4.4.2. Analisis Uji Beda Pendapatan .......................................... 4.4.3. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan ................................................................... 4.4.4. Analisis Rapid Assessment For Local Economic Development (RALED) ...................................................
51 53
DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN ……………….. 5.1. Deskripsi Umum Agropolitan Provinsi Gorontalo……………. 5.2. Deskripsi Umum Kabupaten Pohuwato ………………………. 5.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif …………………. 5.2.2. Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat …………………... 5.2.2.1. Kependudukan ………………………………… 5.2.2.2. Pendidikan …………………………………….. 5.2.3. Kondisi Perekonomian Wilayah ……………………….. 5.2.3.1. Struktur Perekonomian Wilayah ………………. 5.2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi ………………………… 5.3. Deskripsi Umum Kawasan Agropolitan Randangan …………. 5.3.1. Penduduk dan Pekerjaan ……………………………….. 5.3.2. Prasarana dan Sarana Kimpraswil ……………………... 5.3.3. Pola Penggunaan Lahan ………………………………... 5.3.4. Komoditi Unggulan ……………………………………. 5.4. Karakteristik Aktivitas Pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan …………………………………………………….. 5.4.1. Subsistem Penunjang …………………………………... 5.4.2. Subsistem Produksi …………………………………….. 5.4.3. Subsistem Pengolahan …………………………………. 5.4.4. Subsistem Distribusi dan Pasar ……………………….... 5.5. Fasilitasi Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan Randangan …………………………………………………….. 5.5.1. Dinas Pertanian ………………………………………… 5.5.2. Dinas Kimpraswil ……………………………………… 5.3.3. Pemerintah Daerah ……………………………………... 5.6. Deskripsi Umum Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi…………………………………………………………
58 58 59 59 61 61 62 63 63 65 66 67 67 70 70
DAMPAK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN ……………… 6.1. Analisis Ekonomi Wilayah ........................................................ 6.2. Dampak terhadap Perekonomian Wilayah ……………............. 6.2.1. Pengganda Pendapatan Jangka Pendek ............................ 6.2.2. Pengganda Pendapatan Jangka Panjang ...........................
80 80 90 90 93
54 56
71 72 72 73 73 74 75 76 77 78
VII.
DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT…... 95 7.1. Karakteristik Masyarakat di Kawasan Agropolitan…............... 95 7.1.1. Aspek Ekonomi ……………………………………….... 95 7.1.2. Aspek Sosial……………………………………..……… 96 7.1.3. Aspek Budaya…………………………………………... 96 7.2 Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani 96 7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan…………. 101
VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DI KAWASAN AGROPOLITAN ………………………………………………….. 8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato ………………………………………. 8.1.1. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran 8.1.2. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi ….... 8.1.3. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan ……...................................................... 8.1.4. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan …………………………………………... 8.1.5. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan. 8.1.6. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen. 8.2. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kawasan Agropolitan …………………………………………………… 8.2.1. Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran …………. 8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi ………………. 8.2.3. Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan……………………………………………….. 8.2.4. Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan 8.2.5. Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan ………….. 8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen ………….
IX.
108 108 110 113 118 122 127 130 133 135 136 137 139 140 141
KESIMPULAN DAN SARAN ......……………………………….. 143 9.1. Kesimpulan …………………………………………………… 143 9.2. Saran ………………………………………………………….. 144
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 146 LAMPIRAN ................................................................................................... 150
DAFTAR TABEL Halaman 1 Investasi Kimpraswil di Kawasan Agropolitan Randangan …..
5
2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005.....
7
3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2005 ………………………....
8
4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo…
9
5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2005 ……………….
9
6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis ………………………….........
24
7 Matriks Pendekatan Penelitian ………………………………..
49
8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi Menurut Arnstein ……………………………………………..
55
9 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein …………………………
56
10 Nama Kecamatan, Luas dan Jumlah desa di Kabupaten Pohuwato………………………………………………………
60
11 Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Penggunaannya di Kabupaten Pohuwato .................................................................
60
12 Penduduk Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Ratio di Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 ……………………........
61
13 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Pohuwato ………………………………………….
62
14 Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 dan 2006 ………………………………………………………
63
15 Kontribusi Sektor Ekonomi dalam PDRB Kabupaten Pohuwato Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004–2006……...
64
16 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 ……………………………
65
17 Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006……………………………………………………
66
18 Pekerjaan Fisik dan Non Fisik di Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato……………………………...
68
19 Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan …………………
70
20 Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato……………………………......................
71
21 Sebaran Kegiatan Pengembangan Agropolitan Provinsi Gorontalo Tahun 2002 – 2004………………………………...
75
22 Kegiatan Dinas Pertanian dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2005 …………....
76
23 Kegiatan Dinas Kimpraswil dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan Tahun 2002 – 2006......................…...
77
24 Profil Kawasan Agropolitan Randangan dan Non Agropolitan.
78
25 Penggunaan Lahan di Kawasan Non Agropolitan Taluditi……
79
26 Luas Lahan Pertanian Menurut Kabupaten di Provinsi Gorontalo....................................................................................
80
27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo Tahun 2001 – 2007 ...............................................................................
81
28 Hasil Analisis LQ Provinsi Gorontalo Tahun 2000 – 2006.......
83
29 Hasil Analisis LQ Kabupaten Boalemo Tahun 2000 – 2003 dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006…………….......
84
30 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sebelum Agropolitan, Tahun 2001 dan 2003............................................
88
31 Hasil Analisis Shift–Share Provinsi Gorontalo Sesudah Agropolitan, Tahun 2004 dan 2006……………………………
89
32 Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Berbagai Sektor di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 20032006……………………………………………………………
92
33 Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berbagai Sektor di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 20032006……………………………………………………………
93
34 Hasil Analisis Uji-t Perbandingan Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan…………………………......
97
35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan Randangan .................................................................................
98
36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan..............................................
99
37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan.......
103
38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan.
104
39 Status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato...
109
40 Keadaan Prasarana Pendidikan Kabupaten Pohuwato Tahun 2005............................................................................................
117
41 Kebutuhan dan Ketersediaan Jembatan Per Kecamatan Kabupaten Pohuwato..................................................................
118
42 Faktor-faktor Pengungkit yang Berpengaruh terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato..............
134
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah ......................................
15
2 Heksagonal PEL.........................................................................
37
3 Kerangka Pemikiran Penelitian..................................................
42
4 Kerangka Pendekatan Operasional………………………….....
45
5 Lokasi Penelitian........................................................................
47
6 Diagram Ekonomi Jagung ………………………………….....
59
7 Laju Pertumbuhan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 – 2006...
65
8 Peta Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato ..
69
9 Diagram Laba-laba Status Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato..................................................................
110
10 Status Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato ........
111
11 Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato ...................................................................................
111
12 Status Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato................
114
13 Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato....................................................................................
115
14 Status Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten Pohuwato ……………………………………………………...
119
15 Jumlah Perusahaan Industri Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2005............................................................................................
120
16 Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten Pohuwato ………………………………………….
122
17 Status Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato ...................................................................................
123
18 Faktor Pengungkit Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato....................................................................................
124
19 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Penduduk Kabupaten Pohuwato....................................................................................
126
20 Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kabupaten di Provinsi Gorontalo ...................................................................................
126
21 Status Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato.........
128
22 Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato....................................................................................
130
23 Status Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ........
131
24 Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ...................................................................................
132
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2006....................
150
2 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan 2000 Provinsi Gorontalo Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2006……………………………………………………...
151
3 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan 2000 Kabupaten Boalemo Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2006……………………………………………………...
152
4 Produk Domestik Regional Bruto Atas Harga Dasar Konstan 2000 Kabupaten Pohuwato Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2006……………………………………………………...
153
5 Tabulasi Responden Pendapatan Usahatani Jagung Kawasan Agropolitan (Kecamatan Randangan) dan Non Agropolitan (Kecamatan Taluditi)…………………………..........................
154
6 Analisis Uji Beda Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan…………………………………………………….
155
7 Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan………....
156
8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo………
158
9 Indikator Komponen Heksagonal PEL.......................................
159
10 Gambar Jalan Usahatani Kawasan Agropolitan Randangan......
164
11 Gambar Gudang Agribisnis PT Gorontalo Fitra Mandiri, BUMD Provinsi Gorontalo .......................................................
164
12 Gambar Program Agropolitan di Kecamatan Randangan..........
165
13 Gambar Terminal Randangan....................................................
165
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Berbagai pengalaman pembangunan daerah beberapa negara berkembang menunjukkan baik kegagalan maupun keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat menjadi pelajaran kita dalam mengembangkan strategi pengembangan wilayah bagi Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan wilayah di Brazil, misalnya yang menggunakan konsep “growth poles” telah menunjukkan kegagalan konsep tersebut. Dengan adanya aglomerasi ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia yang pesat, kawasan Utara Brazil berkembang pesat sebagai pusat kegiatan eksplorasi pertambangan dan bisnis perkebunan yang memacu pertumbuhan investasi swasta dan teknologi ke wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat ini berdampak pada semakin tertinggalnya pembangunan di wilayah Selatan yang kemudian berdampak pada kesenjangan ekonomi dan sosial antar dua wilayah tersebut (Haeruman, 2000) Kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutubkutub pertumbuhan (growth poles) yang semula diramalkan akan menciptakan trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata
net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar
(massive backwash effect). Kegagalan strategi pertumbuhan yaitu tidak terjadinya trickle down effect dan spread effect karena aktifitas industri yang dikembangkan ternyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland-nya. Salah satu alternatif pembangunan wilayah yang diharapkan dapat menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti itu adalah pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal dengan kawasan agropolitan. Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh Friedman dan Douglas (1975) atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (khususnya di Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan, antara lain: (a)
2
terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota yang padat; (b) pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d) pembagian pendapatan yang tidak merata
(kemiskinan);
(e)
kekurangan
bahan
pangan,
akibat
perhatian
pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f) penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani) dan (g) terjadinya ketergantungan pada dunia luar. Seperti kewilayahan
di
negara-negara
berkembang
lainnya,
dalam
perspektif
(regional) pembangunan di Indonesia mengalami ketidakadilan
yang cukup menonjol antar wilayah dan ruang. Terjadinya disparitas pembangunan wilayah/ruang berupa dikotomi perdesaan (rural) dengan perkotaan (urban), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), Jawa dengan luar Jawa adalah bukti “ketidakseimbangan” pembangunan (Rustiadi, et. al, 2005). Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi semakin besar karena wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula dengan hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena urbanisasi yang luar biasa. Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986). Implikasi dari keadaan tersebut menyebabkan tingginya laju urbanisasi dan kemiskinan di
3
perdesaan. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian, ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, dimana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20%. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian (Djakapermana, 2003). Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton
pada tahun 2000 dengan nilai
nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Yudhohusodo, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi urban bias. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan. Di Indonesia, agropolitan menjadi salah satu program pemerintah melalui Departemen Pertanian dan menjadi pilihan bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi-nya. Konsep ini telah mulai dilaksanakan sejak tahun anggaran 2002. Pada tahap awal pengembangan kawasan agropolitan ini dilakukan di beberapa kabupaten percontohan antara lain yaitu: Kabupaten Agam (Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejanglebong (Provinsi Bengkulu), Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I. Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barru (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo).
4
Provinsi Gorontalo
merupakan
salah
satu
provinsi
yang
mengembangkan konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu provinsi baru, Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Dilihat dari potensi sumber daya alam, Gorontalo memiliki potensi yang layak dikembangkan dibidang pertanian, peternakan dan perikanan. Dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pengembangan wilayah, maka pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3 program unggulan yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor lainnya yang meliputi : a. Pengembangan sumber daya manusia (SDM); b. Pengembangan pertanian dengan
menjadikan Gorontalo sebagai provinsi
agropolitan, provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian; c. Pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor perikanan dan pengembangan wilayah pesisir. Sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, pengembangan sektor pertanian dilaksanakan dengan pendekatan konsep pengembangan agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi sebagai komoditas utama. Konsep pengembangan agrobisnis jagung di Gorontalo dalam rangka mendukung program agropolitan didesain dalam dua model yakni demonstrasi plot (demplot) dan pengembangan. Demplot hanya dilaksanakan untuk jangka pendek (satu tahun) yang dimaksudkan sebagai proses penyuluhan dan pembelajaran petani serta meyakinkan investor bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi dalam peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi. Sementara
untuk
model
pengembangan
dilaksanakan
dengan
menggunakan aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam (PAT), peningkatan mutu intensifikasi (PMI) dan sisi off farm-nya dengan optimalisasi pengelolaan hasil, penyimpanan serta pemasarannya. Khusus untuk sektor peternakan diprioritaskan pada pengembangan sapi potong dan ayam buras yang diharapkan dengan berkembangnya ternak sapi ini akan mendorong industri pengolahan dan pasca panennya.
5
Sejak ditetapkan sebagai daerah pengembangan agropolitan pada tahun 2002 Gorontalo mulai berbenah diri dimulai dengan penyusunan program dan sosialisasi di Tilamuta (ibukota Kab. Boalemo), penetapan Kecamatan Randangan sebagai Kawasan Agropolitan untuk menjadi prioritas pembangunan hingga penetapan desa Motolohu sebagai desa pusat pertumbuhan. Selanjutnya pada tahun 2003 dilaksanakan Perencanaan dan Penyusunan Master Plan dan implementasinya beserta pengawasannya dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat di kawasan melalui lembaga pengelolaan agropolitan, Pemda setempat melalui tim Pokja, LSM, Akademisi dan Swasta. Untuk mendukung usaha pertanian yang efisien yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi maka diperlukan infrastruktur pendukung. Pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan antara lain peningkatan jalan poros desa, perbaikan pasar desa, pembangunan kios pasar serta pembangunan pelataran dan prasarana pasar. Pembangunan prasarana dan sarana perdesaan melalui pengembangan agropolitan akan mendorong iklim berusaha yang kondusif antar sesama pelaku ekonomi perdesaan, terutama usaha mikro dan usaha kecil dalam mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja. Keberadaan prasarana dan sarana ini tidak saja akan memberdayakan potensi ekonomi yang ada di masing-masing kawasan perdesaan tersebut, tetapi juga akan menarik potensi dari luar wilayah termasuk investasi swasta dalam berbagai sektor usaha jasa maupun produksi. Tabel 1 Investasi Kimpraswil pada Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Randangan No.
Tahun
Program
Volume
1
2002
3.081 m
390.690.000
2 3
2002 2003
3 Unit 5.081 m
299.940.000 1.616.200.000
4 5
2003 2003
Peningkatan Jalan Poros Desa Perbaikan Pasar Desa Peningkatan Jalan Poros Desa Pembangunan Kios Pasar Pembangunan Pelataran dan Prasarana Pasar
20 Unit 1 Paket
200.000.000 170.459.000
Sumber : Dinas Kimpraswil, 2003
Biaya
6
Pendekatan pambangunan ekonomi dan wilayah berbasis
agropolitan
yang diimplementasikan dengan pilar utama penggerak ekonomi yaitu sektor pertanian dan perikanan dipacu dan diharapkan dapat menarik perkembangan sektor-sektor yang lainnya. Dalam konsep agropolitan, fungsi kota lebih dititikberatkan sebagai
pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi,
bukan sebagai pusat pertumbuhan. Sementara itu, desalah yang diarahkan sebagai pusat pertumbuhan. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang baik, kota dan desa harus berperan dan menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan selama ini belum mampu
memberikan
perubahan
yang
signifikan
terhadap
peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Karenanya, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat memberikan solusi bagi masalah perdesaan tersebut.
1.2. Perumusan Masalah Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, konsep pengembangan
agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah tersebut selama ini secara fungsional ada dalam posisi yang saling memperlemah. Berdasarkan
hasil
studi
Hastoto
(2003),
dikemukakan
bahwa
pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Gorontalo masih menunjukkan adanya kesenjangan antar kabupaten/kota dalam provinsi maupun antara kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dengan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara. Sejalan dengan hal tersebut hasil studi P4W (2002), mengemukakan bahwa secara umum wilayah provinsi Gorontalo mengalami fenomena backwash effect, dalam arti akumulasi aliran netto nilai tambah berlangsung keluar wilayah terutama ke Bitung/Manado, Makasar atau langsung ke luar negeri. Penyebab utama aliran netto
nilai tambah negatif adalah karena keterbatasan akses
Gorontalo ke pasar ekspor langsung, kapasitas pengolahan (industri pengolahan) setempat yang terbatas, disamping lemahnya kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan lokal.
7
Oleh karenanya untuk memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo menerapkan
pendekatan konsep
agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan wilayah berbasis komunitas lokal dijadikan acuan untuk membangun kualitas pertanian di Provinsi Gorontolo. Pengembangan agropolitan berbasis jagung merupakan salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. Diharapkan dengan pendekatan ini partisipasi aktif masyarakat dapat terkristalisasi secara terpadu melalui pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah produksi serta peningkatan jumlah produksi pertanian. Sehingga pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Tabel 2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005 NO
JENIS KOMODITAS
LUAS PANEN PRODUKSI PRODUKTIVITAS (Ha) (Ton) (Ku/Ha) 2001 2005 2001 2005 2001 2005 1. Padi 35.639 39.110 158.870 167.153 44,56 42,74 2. Jagung 36.610 107.525 81.720 400.046 22,32 37,13 3. Kedelai 1.845 2.907 2.173 4.038 11,78 13,89 4. Kacang tanah 3.202 4.341 3.627 5.378 11,33 12,39 5. Kacang hijau 248 595 249 726 10,04 12,20 6. Ubi kayu 1.185 1.048 12.233 12.211 103,23 116,52 7. Ubi jalar 618 352 5.325 3.308 86,17 93,99 Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, 2006
Sebagai komoditi unggulan yang merupakan basis ekonomi di Provinsi Gorontalo, komoditas jagung mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun baik dalam luas panen maupun jumlah produksi. Pada tahun 2005 luas panen jagung mencapai 107.525 hektar dengan produksi mencapai 400.046 ton. Luas panen komoditi unggulan jagung mencapai 68,98 persen dari total luas panen Tanaman Pangan Di Provinsi Gorontalo. Perdagangan antar pulau dan
8
ekspor jagung Gorontalo tahun 2005 mencapai 127.561 ton yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ini. Sejak perkembangan
dicanangkan
sebagai
pembangunan
provinsi
Gorontalo
pengembangan
menunjukkan
agropolitan,
peningkatan
yang
signifikan. Jika dilihat dari indikator makro, provinsi Gorontalo sebagai provinsi muda hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dimana PDRB nominal meningkat dari Rp. 1,82 trilyun tahun 2001 menjadi Rp. 2,15 trilyun tahun 2002 dan meningkat menjadi Rp. 3,39 trilyun tahun 2005 (Tabel 3). Tabel 3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 - 2005 (jutaan rupiah) Lapangan Usaha 1.Pertanian 2.Pertambangan dan Penggalian 3.Industri Pengolahan 4.Listrik,Gas dan Air Bersih 5.Bangunan 6.Perdagangan, Hotel & Rest 7.Pengangkutan & Komunikasi 8.Keuangan 9.Jasa-jasa Total
2001
2002
2003
2004
2005
542.101,01 14 .591,80
660.587,16 16.074,16
804.664,88 18.621,26
853.680,92 22.668,11
981.125,31 33.195,64
189.457,97
186.766,05
197.690,30
232.691,45
50.029,58
10.964,53
16.927,87
21.571,03
25.546,01
27.381,55
127.022,00 272.192,33
171.100,04 330.452,99
172.349,21 348.528,02
184.062,42 371.749,37
218.937,40 410.987,30
194.147,21
198.063,65
200.320,02
236.354,80
280.828,24
122.597,97 349.749,47
145.357,30 423.086,86
213.620,95 502.354,01
288.805,96 585.985,29
364.595,77 819.785,13
1.822.824,30
2.148.436,09
2.479.719,69
2.801.544,32
3.386.865,92
Sumber : BPS, 2006. Pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat dari 5,38 % pada 2001 sebelum pengembangan agropolitan menjadi 7,06 % pada tahun 2005, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar agropolitan memiliki kontribusi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi Gorontalo tersebut? Pertumbuhan penduduk selang 4 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 1,83% per tahun. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, jumlah angkatan kerja di Provinsi
Gorontalo tiap tahun juga mengalami kenaikan.
9
Tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 12,29% dari angkatan kerja menurun menjadi 9,78% pada tahun 2005. Tabel 4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo Jumlah Penduduk
2002
2003
2004
2005
Penduduk Usia 15+
568.863
581.763
602.175
617.746
Angkatan Kerja
329.358
347.365
368.985
388.184
Bekerja
285.966
312.882
323.625
350.191
43.392
34.483
45.360
37.993
Pengangguran Sumber : BPS, 2006
Pertumbuhan perekonomian Gorontalo mengalami peningkatan, namun sebaran kontribusi dari masing-masing sektor belum merata. Sektor pertanian yang masih mendominasi dalam kontribusi PDRB merupakan salah satu ciri khas dari kawasan perdesaan. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2003 setelah pengembangan agropolitan sebesar 32,45% dari total PDRB diharapkan dapat menjadi pendorong bagi perkembangan sektor-sektor yang lainnya. Tabel 5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2005 Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
2005
1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik,Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Rest 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan 9. Jasa-jasa
29,74 0.80
30,75 0,75
32,45 0,75
30,47 0,81
28,04 0,95
10.39 0.60
8,69 0,79
7,97 0,87
8,31 0,91
7,18 0,79
6.97 14.93
7,96 15,38
6,95 14,06
6,57 13,27
6,29 11,89
10.65
9,22
8,08
8,44
8,07
6.73 19.19
6,77 19,69
8,61 20,26
10,31 20,92
10,48 26,31
100
100
100
100
100
Total Sumber: BPS tahun 2006, diolah.
10
Disamping itu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti dengan berkurangnya berbagai kesenjangan dalam wilayah. Kesenjangan yang ada seperti kesenjangan pendapatan, fasilitas pelayanan, pertumbuhan ekonomi, dan lainnya yang sering terjadi di perdesaan dapat menyebabkan terjadinya keterbelakangan dan kemiskinan yang dalam jangka panjang pada akhirnya dapat mengakibatkan kemandekan pertumbuhan itu sendiri. Di kawasan pengembangan agropolitan sendiri dalam hal ini Kabupaten Pohuwato masih terdapat banyak permasalahan seperti masih tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya sarana– prasarana penunjang yang ada menjadi factor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung di daerah ini. Untuk melengkapi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap pelaksanaan agropolitan di Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaannya tahun 2002, dengan mengakomodasi penelitian yang pernah ada sebelumnya maka penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apakah pengembangan agropolitan berbasis jagung yang dilaksanakan di Kabuapen Pohuwato Provinsi Gorontalo mampu menggerakkan perekonomian wilayah serta meningkatkan pendapatan masyarakat petani atau belum. Hal ini penting untuk dilakukan agar dapat diperoleh gambaran kondisi sehingga
karakteristik perekonomian setelah 5 tahun pelaksanaan agropolitan dapat
dirumuskan
kebijakan-kebijakan
yang
tepat
untuk
mengembangkan perekonomian kawasan agropolitan kedepan. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di atas maka dirumuskan batasan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berbasis jagung berperan dalam pertumbuhan ekonomi? 2. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berperan terhadap peningkatan pendapatan petani jagung? 3. Sejauhmana masyarakat telah dilibatkan dalam program pengembangan kawasan agropolitan berbasis jagung ? 4. Strategi Pembangunan seperti apa yang mampu mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan ?
11
1.3. Tujuan Penelitian : 1. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan basis jagung terhadap perekonomian wilayah. 2. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani jagung. 3. Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan agropolitan basis jagung. 4. Merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan.
1.4. Manfaat Penelitian : 1. Dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi Pemerintah dan instansi terkait dalam rangka pengembangan pertanian berbasis agropolitan. 2. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang pembangunan wilayah . 3. Sebagai acuan dimasa datang untuk pihak-pihak yang mempunyai relevansi dengan pengembangan kawasan berbasis agropolitan.
12
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Pengembangan Kawasan Agropolitan di Provinsi Gorontalo pada awalnya berada di Kabupaten Boalemo yaitu di Kecamatan Randangan. Namun sejak tahun 2003 Kabupaten Boalemo dimekarkan menjadi Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Karena keterbatasan biaya dan waktu maka penelitian ini hanya dilakukan di Kabupaten Pohuwato. Pemilihan Kabupaten Pohuwato karena pertimbangan bahwa setelah pemekaran Kecamatan Randangan sebagai kawasan agropolitan secara administratif berada di Kabupaten Pohuwato. Sebagai kawasan agropolitan, Kecamatan Randangan memiliki kondisi infrastruktur pendukung yang relatif memadai. Adapun sebagai pembanding di pilih kawasan yang belum tersentuh dengan program agropolitan dalam hal ini Kecamatan Taluditi. Pemilihan Kecamatan Taluditi sebagai Kawasan Non Agropolitan adalah karena Kecamatan Taluditi masih berada dalam cakupan Kabupaten Pohuwato dan berbatasan secara administratif dengan Kecamatan Randangan. Selain itu, infrastruktur pendukung agropolitan belum berkembang di Kecamatan Taluditi.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan Wilayah menurut UU No. 24 tahun 1992 yang diperbaharui menjadi UU No 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan menurut Winoto (1999), wilayah diartikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Sementara menurut Rustiadi et. al (2005), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningfull’, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang merujuk kepada pengertian wilayah, diantaranya adalah pemakaian istilah daerah dan kawasan.
Menurut Rustiadi et. al. (2005) meskipun pengertian daerah tidak
disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
Sedangkan penggunaan istilah kawasan di
Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu unit wilayah. Karena itu batasan/definisi dari konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki fungsifungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
14
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et. al., 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan, sedangkan plasma adalah daerah belakang (peripheri/hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et. al., 2005).
Pusat
wilayah berfungsi sebagai: 1.
Tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman);
2.
Pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri;
3.
Pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; dan
4.
Lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu.
Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: 1.
Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku;
2.
Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi;
3.
Daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma. Secara historik, pertumbuhan pusat-pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Misalnya, walaupun Solo dan Yogyakarta relatif lebih dahulu berkembang tapi Jakarta, Bandung dan Medan terbukti lebih pesat perkembangannya karena sangat ditunjang oleh hinterland yang mendukung; dan
4.
Penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis.
15
Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang dapat bersifat alamiah maupun artificial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh secara alamiah suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matriks dasar kesatuan hidroorologis yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artificial, wilayah Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi yang cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral.
Nodal (pusat - hinterland )
Homogen Sistem Sederhana
Desa - Kota
Budidaya - Lindung Wilayah
Sistem/
Sistem ekonomi: Agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Fungsional
Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir
Sistem Komplek
Sistem Sosial - Politik: cagar budaya, wilayah etnik Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan: Perencanaan/ Pengelolaan
• •
Gambar 1 Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah
Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, Kabupaten, Kota
16
Rustiadi et. al. (2005) mengemukakan pemahaman wilayah dapat dilihat dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa wilayah merupakan suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda.
Namun
sayangnya pendekatan perencanan dan pengelolaan wilayah seringkali lebih didasarkan pada aspek administrasi-politik daripada aspek keterkaitan wilayah sebagai sebuah sistem. Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang penantaan ruang, yang dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Saefulhakim (2001), kawasan perdesaan dapat didefinisikan sebagai suatu kesatuan sistem spasial yang aktifitas ekonomi utama masyarakatnya, dari sisi suplai, berbasis pada pengelolaan sumberdaya alam lokal (natural resource based economy). Sementara itu menurut Anwar (2001), pengertian wilayah perdesaan ini mencakup (scope) sangat tergantung kepada luas cakupan batas definisinya. Pada dasarnya cakupannya dipusatkan kepada ruang (daratan) yang menjadi tempat kehidupan manusia dan komponen-komponen pendukungnya yang lebih besar dari kawasan kota (ruang supra urban). Karena itu pembangunan wilayah perdesaan dapat diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kepada kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumber-sumber daya lainnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui berbagai investasi guna memperbesar kapasitas ekonomi lokal. Upaya ini bertujuan agar kapasitas produksi dan produktivitas masyarakat keseluruhan wilayah nasional secara agregat terus meningkat.
2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan
17
dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusatpusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive backwash effect). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi et. al, 2006). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerahdaerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhirnya sarat dengan permasalahanpermasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi. Dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah dapat pula dilihat dari ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah kabupaten, provinsi, regional
bahkan
nasional.
Ketimpangan
wilayah
dalam
suatu
wilayah
administratif bahkan sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah administratif, seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional bahkan sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan 2006).
pembangunan wilayah (Rustiadi dan Hadi,
18
Ketimpangan/disparitas pembangunan antar wilayah secara alamiah bisa terjadi disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu : 1.
Aspek kepemilikan sumber daya alam yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding wilayah yang lain.
2.
Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain.
Disamping itu ketimpangan juga dapat disebabkan bukan karena faktor penentu alamiah diatas, tapi karena perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih, sehingga akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan SDS yang kurang baik. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang.
Dengan demikian jelas
bahwa disparitas antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari pembangunan
yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi (efficiency),
pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi terjadinya urban bias, yaitu kecenderungan proses pembangunan untuk lebih memihak pada kepentingan kawasan perkotaan, dengan mulai lebih memperhatikan masalah pengembangan kawasan perdesaan. Pembangunan kawasan perdesaan merupakan hal yang harus mendapat perhatian karena berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kawasan perdesaan masih dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia (58%). Bahkan di pulau-pulau besar kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua jumlah penduduk yang bermukim di perdesaan masih berada diatas 70 persen. Menurut Nasution (2004), pembangunan kawasan perdesaan tidak dapat dipungkiri merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Hal ini didasari bukan hanya karena
19
terdapatnya ketimpangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan akan tetapi juga mengingat banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan. Dari sisi produksi, desa menjadi penyedia sumberdaya manusia yang merupakan faktor produksi utama selain teknologi dan modal. Dari sisi konsumsi, penduduk yang besar sekaligus merupakan potensi pasar bagi produk-produk komersial. Kenyataan ini berimplikasi bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan keniscayaan, kalau kesejahteraan masyarakat banyak yang menjadi sasaran akhir dari setiap upaya pembangunan. Salah satu alternatif solusi yang ditawarkan oleh Rustiadi dan Hadi (2006), adalah dengan menciptakan peningkatan nilai tambah di perdesaan itu sendiri. Artinya, kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya menghasilkan bahan primer pangan dan serat, melainkan juga mampu menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Otonomi Desa memberikan peluang bagi desa untuk mengembangkan perekonomian desa dengan potensi yang dimiliki desa. Menurut Anwar (2001), terdapat beberapa langkah atau upaya yang bisa dilakukan untuk mendorong pengembangan kawasan perdesaan sekaligus untuk mengurangi terjadinya urban bias dalam proses pembangunan yaitu: Tahap Pertama : 1.
Redistribusi aset (tanah, kapital dan sebagainya).
2.
Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan.
3.
Kebijaksanaan (insentif lapangan kerja) yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota.
4.
Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate) yang mendorong ekspor pertanian yang selalu kompetitif.
5.
Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.
Tahap Kedua :
20
6.
Pembangunan
regional
berbasis
kepada
pemanfaatan
sumberdaya
wilayah/kawasan berdasar keunggulan komparatif masing-masing wilayah. 7.
Kebijaksanaan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi ke arah wilayah perdesaan.
8.
Investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat - dengan membangun trust fund di daerah-daerah untuk membiayai dua kapital di atas.
9.
Industrialisasi berbasis wilayah perdesaan/pertanian (melalui pembangunan sistem mikropolitan): •
Industri pengolahan makanan dan pakan
•
Industri pengolahan pertanian lainnya
•
Industri peralatan dan input-input pertanian, serta barang konsumsi lain
10. Secara berangsur mengurangi ketergantungan kepada kapital dan bantuan luar negeri - untuk mencoba keluar dari “The Debt Trap”. Dengan memperhitungkan beberapa faktor yang kait mengkait yang mempengaruhi
pembangunan
perdesaan,
terutama
melalui
kebijaksanaan
desentralisasi, diharapkan terjadi keseimbangan ekonomi secara spatial antara wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus mampu menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara konseptual Agropolitan terdiri dari kata agro (pertanian) dan kata politan (polis=kota) sehingga agropolitan dapat diartikan kota dilahan pertanian. Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang
mampu
melayani,
pembangunan pertanian
mendorong,
menarik,
dan
menghela
kegiatan
(agribisnis) daerah wilayah sekitarnya (Anonimous,
2002). Konsep agropolitan berdasarkan Friedman (1975) yaitu terdiri dari distrikdistrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan
21
penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000 – 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang terintegrasi. Menurut Saefulhakim (2004), secara terminologi agropolitan berasal dari kata agro dan metropolis/metropolitan. Agro berasal dari istilah bahasa latin yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”, yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sementara metropolis
mempunyai
pengertian
sebagai
sebuah
titik
pusat
dari
beberapa/berbagai aktivitas. Dengan demikian agropolis atau agro-metropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Karena itu pengembangan agropolitan sendiri berarti pengembangan berbagai hal yang dapat memperkuat fungsi/peran AGROPOLIS sebagai lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis
pertanian
dimana
tipologi
pengembangan
disesuaikan
dengan
karakteristik tipologi kawasan yang dilayaninya. Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui : 1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi,
produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien; 2.
Penguatan kelembagaan petani;
3.
Pengembangan
kelembagaan
sistem
agribisnis
pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);
(penyedia
agroinput,
22
4.
Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu;
5.
Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi; Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak
saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana dan prasarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya (Anonimous, 2002). Sehingga akan mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar wilayah, kesenjangan antar kota dan desa dan kesenjangan pendapatan antara masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Menurut Rodinelli (1985), pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agroprocessing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off-farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil-menengah di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah. Sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan dapat saja mencakup satu kecamatan administratif yang berbeda di setiap daerah. Kawasan agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan dalam satu kabupaten, beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa
23
kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi. Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi Gorontalo diarahkan menjadi
kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini
memiliki fasilitas yang dapat
mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu : - Jalan-jalan akses (jalan usaha tani) - Alat-alat mesin pertanian (traktor, alat-alat prosesing) - Pengairan / jaringan irigasi - Lembaga penyuluh dan alih teknologi - Kios-kios sarana produksi - Pemasaran. Selanjutnya implementasi
program yang dijalankan adalah program
agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi Gorontalo.
2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan Lokal Perdesaan dan Kemitraan. Pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkerakyatan berarti pembangunan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana pemerintah harus memfasilitasinya. Akibat dari paradigma pembangunan di masa lalu banyak kelembagaan tradisional /lokal yang sebelumnya merupakan bagian dari perekonomian lokal menjadi rusak, bahkan hilang. Sebagai contoh, menurut Sadjad (2004) hilangnya perlumbungan beras di desa yang digantikan oleh BULOG menggeser kelembagaaan lokal dan mematikan desa sebagai desa
24
industri. Dibangunnya BULOG secara sentralistik, menyebabkan hilangnya perlumbungan di desa, pemrosesan beras oleh rakyat, transportasi beras dari desa ke kota. Kesemuanya itu merupakan proses industri yang dulunya terjadi di desa. Hal ini menyebabkan kesempatan mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri menjadi hilang di perdesaan. Oleh karena itu kelembagaan dan organisasi lokal perlu dibangkitkan kembali dan diberdayakan untuk memperkuat pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan dan mandiri. Menurut Suwandi (2004), penguatan kelembagaan dalam memberdayakan kawasan agropolitan dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan kawasan
agropolitan,
penguatan
permodalan
perdesaan
dan
penguatan
kelembagaan ekonomi. Dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting yang tentunya disesuaikan dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing, seperti terlihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis URAIAN Input
PEMERINTAH
MASYARAKAT
DUNIA USAHA
√
√
√√
√√
-
√ -
√
√√ -
√
-
√
√
√
√
Modal, benih/bibit , Pupuk,pakan, obat Pestisida Alsin Penunjang Jalan, irigasi Pasar Air bersih Pengolahan hasil Iptek Riset,Pengembangan Penyuluhan Sistem informasi
√√ √√ √√
-
Sumber : Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang, 2006.
Selanjutnya menurut Rustiadi dan Hadi (2006), untuk menghindari adanya peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan diperlukan penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sehingga
penguatan
25
kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan. Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan. Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang dapat
dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin
peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru (multiplier effect). Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan penguatan lembaga keuangan dan organisasi petani/pelaku ekonomi lokal (Rustiadi dan Hadi, 2006). Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya. Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan (stakehoders) yang terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan publicprivate- community partnership.
2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan Sebagian literatur menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara infrastrukur dengan tingkat perkembangan ekonomi. Beberapa berargumen bahwa jenis infrastruktur tertentu seperti transportasi merupakan hal terpenting dalam pembangunan ekonomi, disamping itu pendapat lain menyatakan bahwa faktor lain seperti sumberdaya manusia dan lokasi merupakan faktor terpentingnya. Pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa tanpa infrastruktur pembangunan ekonomi tidak
26
dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi (DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007). Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan. Menurut GTZ (2003) dalam Rustiadi (2007), salah satu faktor untuk menjamin keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah berfungsinya infrastruktur secara efektif (baik perangkat keras maupun lunaknya). Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha. Menurut GTZ (2003) dalam dokumen Guide to REED pelaku utama dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut. Namun
demikian,
fenomena
pengembangan kawasan agropolitan
yang
terjadi
di
lapangan
dalam
di lokasi-lokasi rintisan seperti pada
agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan dibanding masyarakat setempat (Rustiadi, 2007). 2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan dilakukan untuk mendorong pertumbuhan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang
27
tinggi, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan serta pengrusakan sumber daya alam akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri. Pergeseran pemikiran pembangunan mulai terjadi dimana selain pertumbuhan,
aspek
pemerataan/keadilan
dan
keberlanjutan
harus
ikut
diperhatikan.
Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang harus dicapai maka
perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya pertumbuhan, sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan tersebut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal. Menurut Rustiadi (2003), dalam realitanya kondisi yang optimal dan ideal ini susah untuk dirumuskan. Setiap pihak mempunyai pandangan yang masingmasing berbeda sehingga kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif. Karena itu pendekatan yang terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan konsensus diantara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang telah disepakati bersama. Sehingga dalam upaya
untuk mencapai suatu
kesepakatan bersama inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi penting. Partisipasi akan mendorong terjadinya pertukaran informasi sehingga informasi yang didapatkan menjadi lebih akurat dan komprehensif. Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan berbagai pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses pembangunan dan menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup tinggi. Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan pendekatan
partisipasi
dijadikan
mainstream
dalam
penyelenggaraan
pembangunan di hampir semua negara. Namun sampai sekarang ternyata masih terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Perubahan paradigma pembangunan memang merupakan suatu proses yang memerlukan waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya harus dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu
28
semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di lapangan. Dalam kerangka pembangunan pedesaan (rural development), COHEN dan UPHOFF dalam Darmawan et. al. (2003), memaknai konsep partisipasi sebagai: “keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk proses monitoring”. Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program, yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi, sampai dengan monitoring dan evaluasi. Sementara itu OECD dalam Darmawan et. al. (2003), melihat partisipasi sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif (participatory development) dari OECD adalah: “kemitraan (partnership) yang dibangun atas dasar dialog di antara beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan bukan sekedar penerima sebuah program”. Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip: keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan, pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktoraktif masyarakat. Selanjutnya Arnstein, S.R (1969) menggolongkan partisipasi masyarakat kedalam dalam 8 jenjang yaitu : 1. Manipulasi 2. Terapi 3. Menyampaikan informasi 4. Konsultasi 5. Peredaman (placation)
29
6. Kemitraan / partnership 7. Pendelegasian kekuasaan 8. Pengawasan masyarakat Dimana jenjang 1 dan 2 dikategorikan sebagai non partisipasi, jenjang 3 sampai 5 dikategorikan sebagai tingkat tokenisme dimana belum ada jaminan pendapat dan persepsi masyarakat akan diimplementasikan. Serta jenjang 6 sampai 8 dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat, dimana pada tingkat ini masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahwa sangat
mungkin
memiliki
kewenangan
pengembangan
kawasan
penuh
mengelola
suatu
obyek
kebijaksanaan. Dalam
agropolitan
itu
sendiri,
peranan
masyarakat dapat berupa : 1) Perguruan Tinggi a. Perguruan tinggi sebagai center of excellence akan menjadi mitra pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan. Perguruan tinggi diharapkan akan menjadi soko guru bagi pengembangan pendidikan dan pelatihan agribisnis kepada masyarakat petani dan dunia usaha. 2) Lembaga Swadaya Masyarakat Sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan good governance, serta pemerintahan yang bersih, dan berwibawa akan selalu bersikap kooperatif dan kritis, sehingga diharapkan: a. Akan terjadi mekanisme kontrol atas program-program pemerintah dalam pengembangan kawasan agropolitan. b. LSM akan memberikan masukan, kritik dan saran atas pengembangan kawasan agropolitan yang ada dan sedang berjalan, sehingga diharapkan akan memberikan feed back yang baik untuk perbaikan di masa yang akan datang. 3) Masyarakat dan dunia usaha: Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan perlu terus didorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan community driven planning. Dengan pendekatan ini diharapkan:
30
a. Terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat dan dunia usaha terhadap pengembangan kawasan agropolitan. b. Masyarakat dan dunia usaha ikut merencanakan, menggerakkan, melaksanakan dan juga mengontrol pelaksanaan program pengembangan kawasan agropolitan. c. Meningkatkan legitimasi program pembangunan kawasan agropolitan. d. Masyarakat dan dunia usaha menjadi pelaku langsung dan objek dari program pengembangan kawasan agropolitan.
2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Peranan
pemerintah
sangat
berpengaruh
terhadap
pengembangan
agropolitan. Pengembangan agropolitan juga harus didasarkan pada UU No 26 tahun 2007 untuk menjamin keberlanjutannya secara spatial.
Sesuai dengan
Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan (2002), peranan pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan kawasan agropolitan harus didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun Perannya adalah sebagai berikut : a. Pemerintah Kabupaten/Kota Sesuai dengan titik berat otonomi daerah pada kabupatenk/kota, maka penanggung
jawab
Bupati/Walikota.
Oleh
Program karena
Pengembangan itu
peran
utama
Agribisnis dari
adalah
pemerintah
Kabupaten/Kota adalah : (1) Merumuskan program, kebijakan operasional dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan agropolitan. (2) Mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan master plan, program dan melaksanakan program agropolitan. (3) Mendorong tumbuh dan berkembangnya kelembagaan dan sarana dan prasarana pendukung program agropolitan.
31
b. Pemerintah Provinsi Kewenangan pemerintah provinsi adalah membantu/memfasilitasi Pemda Kabupaten/Kota terutama dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupten/Kota serta bidang pemerintahan tertentu lainnya, melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Dalam program pengembangan agropolitan ini peranan pemerintah provinsi adalah : (1) Merumuskan dan mengkoordinasi rencana program dan kebijakan pengembangan agropolitan di wilayah provinsi. (2) Memberikan
pelayanan
informasi
(pasar,
teknologi,
agroinput,
permodalan, jasa) dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta memfasilitasi
kerjasama
lintas
kabupaten
dalam
pengembangan
agropolitan. (3) Menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan pengembangan wilayah. (4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia (5) Membantu memecahkan masalah yang diminta oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. (6) Membanun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis c. Pemerintah Pusat Tugas Pemerintah Pusat adalah membantu Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota
dalam
pengembangan
program
agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut lintas provinsi. Dalam program pengembangan agropolitan, peranan pemerintah pusat adalah : (1)
Menyusun rencana, program dan kebijakan pengembangan agropolitan dalam bentuk Pedoman Umum program pengembangan agropolitan beserta pedoman/petunjuk-petunjuk pelaksanaanya.
(2)
Merumuskan standar teknis, dan standar minimal terutama untuk sarana prasarana dan pembiayaan pengembangan agropolitan.
32
(3)
Memberikan pelayanan informasi dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta menfasilitasi kerjasama lintas provinsi dan Internasional dalam pengembangan agropolitan.
(4)
Mengembangkan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia.
( 5)
Membangun prasarana sarana publik, yang bersifat strategis. Dalam tahap awal pengembangan kawasan agropolitan pemerintah harus
memfasilitasi untuk terbentuknya satu unit pengembangan kawasan agropolitan. Selanjutnya dalam perkembangan berikutnya peran pemerintah mulai dikurangi dan hanya masuk pada sektor-sektor publik. Dalam perkembangan akhir, kawasan agropolitan adalah kawasan yang mandiri dimana pemerintah hanya berperan pada sektor-sektor yang benar-benar publik seperti : pertahanan dan keamanan, penegakan hukum dan cenderung sebagai fasilitator. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006), dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah agropolitan peranan dari pemerintah adalah untuk memberikan proteksi, menyelenggarakan pembangunan, melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan distribusi dan manajemen konflik. Selanjutnya Anwar (2006), mengemukakan peranan pemerintah dalam pembangunan adalah dalam memberikan modal permulaan untuk mereplikasi pertumbuhan kota-kota kecil yang mempunyai lokasi strategik, yang selebihnya dibangun sistem insentif melalui pajak dan transfer dalam mendorong pihak swasta untuk turut serta membinanya. Peran pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga di tingkat pusat dan daerah yang terkait dengan pengembangan kawasan. Karena sifatnya yang multi lembaga, pengembangan kawasan agropolitan menuntut adanya koordinasi antar lembaga yang bisa menjamin alokasi sumberdaya pembangunan secara efektif dan efisien. Efektif ditunjukkan oleh berperannya departemen/lembaga sesuai tugas pokok dan fungsinya, efisien berarti dijalankannya tugas dan fungsi itu secara hemat.
2.8. Komoditi Unggulan dan Teori Basis Ekonomi Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah. Posisi strategis ini didasarkan
33
pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan kelembagaan. Pengembangan suatu komoditi pertanian harus mempertimbangkan kondisi relatif sumberdaya alam, modal dan manusia untuk menghasilkan dan juga kemungkinan pemasaran hasil produksi. Menurut Bustaman dan Susanto (2003), komoditas unggulan merupakan komoditi yang layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik jika komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan layak secara ekonomi artinya komoditas tersebut menguntungkan. Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005). Komoditi unggulan diharapkan dapat menjadi basis ekonomi sehingga dapat menjadi penggerak perekonomian daerah. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang.
2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) Pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk wilayah tertentu. Tujuan
mengembangkan ekonomi pada suatu
PEL adalah untuk mengembangkan ekonomi suatu
34
wilayah yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal
guna
mempercepat
pertumbuhan
ekonomi
wilayah,
peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pengurangan kesenjangan antar kelompok masyarakat, antar sektor dan antar wilayah. PEL mulai berkembang di negara-negara maju baik di Amerika Serikat maupun Eropa sejak tahun 1960, dimana dalam perkembangannya PEL telah mengalami 3 tahapan besar atau gelombang pengembangan. Menurut Wolfe and Creutzberg (2003) dalam Bappenas (2006), ketiga gelombang tersebut adalah pertama, pendekatan tradisional (traditional approach); kedua, pengembangan kapasitas; dan ketiga, fokus pada kualitas kehidupan dan aliran informasi. Pendekatan tradisional terutama memfokuskan pada upaya menarik perusahaan-perusahaan individual
melalui input produksi yang murah,
infrastruktur yang bersbubsidi, penurunan subsidi langsung atau penurunan pajak. Dengan berbagai insentif tersebut diharapkan berbagai perusahaan individual akan menempatkan
perusahaannya
di
lokasi-lokasi
tertentu
serta
mampu
menggerakkkan perkembangan ekonomi lokal di lokasi-lokasi tersebut. Pendekatan pengembangan kapasitas (capacity building approach) mencoba mengembangkan infratruktur pendidikan dan teknologi dalam membangun basis pengetahuan yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan kemampuan kompetitif dalam merespon perubahan lingkungan ekonomi. Beberapa instrumen yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain difokuskan pada upaya penutupan kesenjangan di pasar modal; modernisasi perusahaan kecil dan menengah; percepatan transfer teknologi dari perguruan tiggi ke dunia industri; dan peningkatan kemampuan (skill) pekerja dan manajemen. Pendekatan ketiga menekankan pada peran penting dari kualitas infrastruktur fisik, sosial dan pengetahuan dalam sebuah wilayah atau lokalitas tertentu. Terwujudnya kualitas kehidupan yang baik serta lancarnya akses dan arus informasi di suatu lokasi akan mampu menjadi penggerak utama dalam proses pengembangan ekonomi lokal. Di Indonesia, banyak program dan kegiatan yang berlabel pengembangan ekonomi lokal (PEL) telah, sedang, dan akan dilaksanakan. Program–program tersebut
yang
pada
umumnya
menggunakan
pendekatan
pemberdayaan
35
masyarakat (community development), dimulai sejak digulirkannya program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1994. Selanjutnya diikuti oleh programprogram
yang lain diantaranya: Program Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintah Daerah (P2MPD), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D), Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL), Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) serta Agropolitan. Namun sebagian besar program-program tersebut belum secara substansial mengembangkan ekonomi lokal. Titik berat program lebih banyak diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek, serta bersifat top down dari pemerintah pusat. Pada umumnya program-proram tersebut tidak berkelanjutan (sustainable) setelah masa proyek berakhir. Oleh karenanya pada tahun 2006 dilakukan program revitalisasi pengembangan ekonomi lokal yaitu upaya meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal dan upaya menggerakkan kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan perekonomian wilayah secara terukur, terencana dan berkelanjutan. Terdapat beberapa konsep yang menjadi dasar bagi revitalisasi PEL, salah satunya adalah konsep Porter’s Diamond dari Michael Porter. Namun konsep tersebut mempunyai kelemahan mendasar yaitu tidak ada aspek lokasi maupun ruang (spatial). Padahal dalam ekonomi wilayah, faktor ini merupakan syarat keharusan sehingga jika tidak ada, konsep tersebut relatif sama dengan konsep ekonomi pada umumnya yang tidak memperhatikan ruang (spaceless world). Berbeda dengan konsep Porter’s Diamond,
konsep Heksagonal PEL yang
dikembangkan oleh Jorg Meyer Stamer (2004) telah memasukkan aspek ruang dalam model PEL-nya (Bappenas, 2006). Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menggambarkan dan mengukur kondisi PEL di suatu wilayah. Wilayah yang dimaksud dapat berupa wilayah administratif ataupun wilayah/kawasan pengembangan usaha/komoditi unggulan tertentu, termasuk kawasan agropolitan. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap komponen heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage
36
factor), yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Berdasarkan nilai faktor pengungkit tersebut selanjutnya disusun strategi pengembangan PEL. Komponen PEL terdiri dari 6 unsur yang disebut dengan heksagonal. Terdapat enam segitiga yang secara keseluruhan membentuk heksagonal, yang berfungsi
mengorganisasikan konsep utama dan instrumen PEL. Heksagonal
dapat membantu praktisi dan stakeholder untuk memahami kompleksitas PEL serta mempertimbangkan trade off dan kemungkinan konflik yang ada dalam PEL. Heksagonal PEL terdiri dari : 1. Kelompok sasaran PEL Kelompok sasaran PEL dibedakan atas tiga pelaku usaha yaitu pelaku usaha lokal, investor luar dan pelaku usaha baru. 2. Faktor lokasi Faktor lokasi menggambarkan daya tarik dari sebuah lokasi bagi penyelenggaraan kegiatan usaha. Terdiri dari faktor lokasi terukur (tangible factor), faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi pelaku usaha dan faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi individu. 3. Kesinergian dan fokus kebijakan Tiga hal yang saling berkaitan dalam kebijakan PEL adalah perluasan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas, serta pembangunan wilayah. Ketiga hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda namun saling berhubungan dan membentuk keterkaitan. 4. Pembangunan berkelanjutan Tiga faktor penentu pembangunan berkelanjutan terdiri dari pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek ini merupakan bagian dari pendekatan PEL yang inovatif. 5. Tata kepemerintahan Segitiga dalam ketatapemerintahan memastikan bahwa hubungan pelaku usaha masyarakat dibangun atas berlangsungnya reformasi sektor publik dan pengembangan organisasi pelaku usaha.
37
6. Proses manajemen PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga (benchmark) dan refleksi. Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (Gambar 2).
Gambar 2 Heksagonal PEL Untuk keperluan operasionalisasi konsep heksagonal PEL sebagai alat analisis selanjutnya diturunkan dalam bentuk indikator PEL (Lampiran 9). Indikator ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kuesioner evaluasi mandiri (self assessment).
2.10. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Pribadi (2005) di Kawasan Agropolitan Cianjur mengemukakan bahwa Program agropolitan sejauh ini berdampak positif yaitu mampu meningkatkan nilai tambah terutama dari biaya transportasi yang lebih rendah.
Namun,
pengembangan kawasan agropolitan tanpa memperhatikan
keterkaitan sosial ekonomi aktual yang terjadi antar hirarki wilayah di dalam
38
kawasan, akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dan pemborosan anggaran pembangunan. Hal ini karena, pada akhirnya banyak sarana-prasarana penunjang pertanian yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara optimal dan bahkan biaya pemeliharaannya justru menjadi beban masyarakat.
Pemanfaatan yang
tidak optimal ini terjadi karena lokasi penempatan fasilitas yang tidak sesuai dengan pola aktivitas sosial ekonomi yang telah berkembang, dan apabila masyarakat harus dipaksakan untuk memanfaatkannya maka yang terjadi adalah aktivitas ekonomi masyarakat justru menjadi tidak efisien dan kurang menguntungkan. Pola jaringan jalan yang bersifat denritik kurang bisa mendorong pengembangan kawasan perdesaan karena setiap unit wilayah desa harus langsung berinteraksi dengan kawasan yang memiliki kapasitas skala ekonomi (economic of scale) yang lebih besar. Akibatnya dalam konteks transaksi antar wilayah, desa tidak mempunyai bargaining position yang kuat. Pola jaringan yang bersifat networking antar desa harus diperkuat, tetapi tidak harus dalam bentuk jalan beraspal yang di-hotmix agar biaya pembangunannya tidak terlalu mahal. Jalanjalan desa yang bisa dilalui oleh motor ataupun kendaraan bak terbuka sudah mencukupi untuk membangun jalur transportasi antar desa. Sektor petanian sebagai sektor andalan di Kawasan Agropolitan Cianjur pada dasarnya sangat tergantung pada terjaganya kualitas lingkungan. Namun pada kenyataanya, kemampuan alami lahan di Kawasan Agropolitan Cianjur sudah mulai menurun karena usaha tani yang intensif pada lahan sempit dengan pola multiple cropping tanpa pernah mengistirahatkan lahan.
Sementara
ketersediaan air di kawasan agropolitan juga sudah mulai terganggu karena maraknya alih fungsi lahan menjadi villa dan bangunan.
Kondisi ini akan
mengancam keberlanjutan dari pengembangan kawasan agropolitan. Akses petani terhadap lahan ternyata semakin berkurang dengan berkembangnya infrastruktur wilayah (listrik dan sarana jalan), meningkatnya kepadatan penduduk, aksesibilitas yang dekat dengan kota (Jakarta dan Bogor), banyaknya penduduk miskin dan pengangguran di perdesaan, serta lemahnya kapasitas social capital dalam masyarakat. Pembangunan infrastruktur wilayah
39
(listrik dan sarana jalan) justru membuat akses kota lebih dominan daripada akses desa terhadap kota dan mengarah pada hubungan yang eksploitatif. Hasil studi dari Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan Departemen Pekerjaan Umum
(2005), mengemukakan bahwa
Program yang telah dilaksanakan dalam rangka pengembangan rintisan kawasan Agropolitan, sejak tahun pertama fasilitasi (tahun 2002) sampai dengan tahun ke 3 fasilitasi (tahun 2004) di 8 daerah rintisan agropolitan secara umum belum mengarah pada syarat pengembangan kawasan agropolitan. Sebagian besar masih pada pengembangan kawasan sentra produksi pertanian. Beberapa program belum dilaksanakan secara terpadu guna mendukung pengembangan kawasan, namun masih berjalan sendiri-sendiri sehingga nuansa keterkaitan dan keharmonisan program belum dirasakan oleh masyarakat. Hasil identifikasi dan inventarisasi tim survey menemukan beberapa permasalahan utama dalam mengimplementasikan program-program dari masingmasing sektor dan bidang sebagai berikut: a. Tingkat partisipasi masyarakat masih rendah karena kurang dilibatkannya masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, dan
evaluasi; b. Pemasaran produk pertanian yang berkaitan dengan informasi harga, fluktuasi harga dan kontinuitas pasar produk, merupakan permasalahan esensial yang perlu segera di atasi mengingat akses informasi mengenai masalah ini sangat minim; c. Rendahnya ketrampilan bisnis (jiwa entreprenuership) dari masyarakat sehingga perlu penanganan melalui pendidikan informal dan pelatihanpelatihan; d. Infrastruktur terutama jalan, jembatan, showroom, pusat data dan informasi serta outlet produk pertanian dan hasil olahan pada saat ini masih kurang baik kuantitas maupun kualitasnya; e. Masih rendahnya peran usaha besar dan menengah dalam berinvestasi di sektor tanaman pangan pada kawasan agropolitan; f. Masih belum samanya persepsi dari semua elemen yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini berakibat belum konsisten
40
dan sinergisnya program yang dilaksanakan baik dari pusat, provinsi maupun kabupaten. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah dalam penelitian ini tidak saja menggunakan analisis deskriptif seperti pada penelitian terdahulu tetapi juga diperkuat dengan analisis kuantitatif. Disamping itu dalam penelitian ini diterapkan suatu metode baru dalam mengidentifikasi dan merumuskan strategi pembangunan dengan menggunakan metode Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development (RALED).
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Agropolitan
adalah
konsep
pembangunan
perdesaan
yang
mengintegrasikan pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan partisipasi (participation) dan kemitraan (partnership) yang mengarah pada pembangunan dari dan untuk rakyat. Agropolitan didasari pada konsep pengembangan wilayah dengan menekankan pada pembangunan infrastruktur, kelembagaan dan permodalan/investasi. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengembangan agropolitan meliputi
pengembangan
agribisnis
komoditas
unggulan,
pembangunan
agroindustri, dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran, serta pemukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota; kelestarian lingkungan terjaga; penguatan kelembagaan; perekonomian perdesaan tumbuh berkembang; dan produktivitas pertanian meningkat. Apabila hal ini dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan kegiatan pertanian sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan. Multiplier effect selanjutnya adalah terbukanya lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi dari desa ke kota, disparitas perkembangan desa-kota dapat ditekan, dan pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata. Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah.Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apakah pengembangan agropolitan yang dilaksanakan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani dan perekonomian wilayah atau belum. Selanjutnya akan diidentifikasi kebijakan seperti apa yang dapat mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan ke depan. Secara garis besar kerangka pemikiran umum tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
42
AGROPOLITAN
Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan Wilayah
Agribisnis
Infrastruktur
Agroindustri
Kelembagaan
Kelestarian Lingkungan
Pendapatan Masyarakat
Belum
Konservasi
Ekonomi Perdesaan
Produksi Pertanian
Pembangunan Wilayah
Apakah terjadi peningkatan ?
Ya
Identifikasi Kebijakan
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian
3.2. Kerangka Pendekatan Operasional Di setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spatial-nya. Perkembangan sektor strategis tersebut akan memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud sebagai akibat perkembangan kegiatan sektor tersebut yang berdampak kepada berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan secara spatial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran. Pada tahap awal akan dilakukan analisis Location Quotient (LQ) untuk mengetahui karakteristik pemusatan aktivitas di Provinsi Gorontalo dan di daerah
43
contoh yaitu kabupaten Pohuwato sebelum dan sesudah program agropolitan. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui pusat-pusat aktivitas sektor terutama di kabupaten Pohuwoto sebagai kawasan agropolitan sebelum dan sesudah pemekaran. Pergeseran pusat-pusat aktivitas antara sebelum dan sesudah program akan memberikan gambaran sektor mana saja yang kinerjanya mengalami penurunan, sektor yang kinerjanya tetap unggul dan sektor yang muncul sebagai sektor unggulan baru. Analisis ini selanjutnya dilengkapi dengan analisis Shift-share yang dapat menunjukkan seberapa besar dinamika perekonomian wilayah dan sektor-sektor ekonomi Provinsi Gorontalo berpengaruh terhadap sektor ekonomi di kabupaten Pohuwato sebelum dan sesudah program agropolitan. Kedua analisis ini akan memberikan informasi keunggulan komparatif dan kompetitif dari sektor-sektor perekonomian di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato baik sebelum dan sesudah program agropolitan. Kedua analisis diatas kemudian dilengkapi dengan analisis deskriptif terhadap perkembangan PDRB di kedua wilayah tersebut. Analisis deskriptif ini penting untuk mengetahui pola pola perkembangan ekonomi wilayah sebelum dan sesudah program agropolitan. Dari ketiga analisis pertama ini diharapkan dapat diperoleh gambaran sampai sejauh mana program pengembangan agropolitan berperan terhadap perekonomian wilayah. Sementara itu untuk mengetahui dampak langsung dari pengembangan agropolitan terhadap masyarakat terlebih khusus pendapatan masyarakat petani, maka akan dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner.Karena pertimbangan kesulitan dalam menggali informasi tentang pendapatan masyarakat petani sebelum pelaksanaan agropolitan maka perbandingan pendapatan dilakukan dengan kawasan yang belum tersentuh program agropolitan dengan menggunakan analisis uji beda rata-rata t- student. Selain itu analisis terhadap tingkat partisipasi masyarakat juga akan dilakukan terhadap proses pelaksanaan pembangunan kawasan agropolitan. Tingkat partisipasi masyarakat tersebut akan dilihat berdasarkan indikatorindikator tertentu menurut tangga partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein.
44
Analisis tingkat partisipasi ini akan menggambarkan derajat partisipasi masyarakat dalam pengembangan agropolitan. Dalam
mengembangkan
ekonomi
kawasan
agropolitan,
seringkali
pemerintah ingin membenahi semua aspek yang terkait dalam kawasan. Disisi lain pemerintah mempunyai keterbatasan dalam kemampuan dan
dana, sehingga
diperlukan skala prioritas dalam pengembangan kawasan agropolitan agar dapat lebih terarah dan
efisien untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Untuk
mengetahui dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah yang disebut sebagai faktor pengungkit akan dilakukan analisis Heksagonal Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Analisis ini digunakan untuk mengetahui kondisi ekonomi kawasan agropolitan, sehingga dapat diketahui aspek mana saja yang menjadi prioritas untuk dibenahi. Heksagonal PEL terdiri dari 6 aspek yaitu : (1) kelompok sasaran, (2) faktor lokasi, (3) kesinergian dan fokus kebijakan, (4) pembangunan berkelanjutan, (5) tata kepemerintahan, dan (6) proses manajemen. Untuk melihat faktor-faktor pengungkit dalam Heksagonal PEL digunakan teknik Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED). Analisis ini menggunakan data primer berupa persepsi dari semua stakeholder yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan. Secara ringkas tahapan-tahapan studi dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
45
SEBELUM AGROPOLITAN
SETELAH AGROPOLITAN
Data PDRB Prov.Gorontalo
Data PDRB Kab.Boalemo
Data PDRB Prov.Gorontalo
Data PDRB Kab.Pohuwato
Analisis LQ
Analisis LQ
Analisis LQ , MS, ML
Analisis LQ , MS, ML
Analisis SSA
Analisis SSA
Analisis SSA
Analisis SSA
Peran dan Pertumbuhan Aktivitas eko regional
Peran dan Pertumbuhan Aktivitas eko Wil. contoh
Peran dan Pertumbuhan Aktivitas eko regional
Peran dan Pertumbuhan Aktivitas eko Wil.contoh
Dampak agropolitan Berdasar data sekunder
Data Primer Melalui kuesioner
Analisis beda pendapatan
Analisis Heksagonal PEL
Uji t-student
Analisis Kualitatif
RALED
Dampak terhadap Pendapatan Masyarakat
Peran Masyarakat dalam Agropolitan
Identifikasi Prioritas Kebijakan
Dampak agropolitan Berdasar data primer Pengembangan ekonomi Kawasan agropolitan
Gambar 4 Kerangka Pendekatan Operasional
Analisis Partisipasi Masy
46
3.3. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian dapat diajukan sebagai berikut : 1. Diduga kontribusi komoditi unggulan jagung menonjol terhadap ekonomi wilayah Provinsi Gorontalo 2. Pengembangan agropolitan basis jagung memberikan dampak positif terhadap tingkat pendapatan petani.
IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk melengkapi analisis kuantitatif yang fokus pada aspek output dan outcome. Selanjutnya, untuk aspek proses pengembangan agropolitan akan dijelaskan secara deskriptif.
4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini
dilakukan di Provinsi Gorontalo yaitu di Kabupaten
Pohuwato yang merupakan daerah pengembangan kawasan agropolitan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 hingga bulan Agustus 2008, meliputi tahapan persiapan hingga pelaporan. Lokasi Penelitian
Gambar 5 Lokasi Penelitian 4.2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang diuraikan sebagai berikut : 1. Data Primer Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapang dan wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan kuesioner di kawasan agropolitan dan di kawasan yang belum terpengaruh
program
agropolitan.
Disamping
itu
untuk
data
48
stakeholder digunakan data seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan ekonomi kawasan agropolitan. 2. Data Sekunder Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti BPS, Dinas Pertanian, Bappeda,
Dinas Prasarana dan
Pemukiman dan instansi-instansi terkait lainnya yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur.
4.3. Metode Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini digunakan dua tahap pengambilan sampel (multistage sampling) (Juanda, 2007). Dimana untuk penentuan lokasi kecamatan agropolitan dan non agropolitan metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu berdasarkan penetapan kawasan agropolitan dan ketersediaan infrastruktur pendukung agropolitan. Selanjutnya penarikan sampel dilakukan secara acak di masing-masing kecamatan. Responden adalah petani yang mengusahakan komoditas unggulan kawasan agropolitan yaitu komoditas jagung. Jumlah responden petani adalah sebanyak 60 orang, dimana 30 orang responden berasal dari kawasan agropolitan dan 30 orang lainnya berasal dari kawasan
non
agropolitan. Untuk sampel stakeholder, pengambilan sampel dilakukan kepada seluruh stakeholder yang tergabung dalam forum kemitraan PEL yang sudah terbentuk di daerah penelitian yang terdiri dari usahawan (swasta dan perbankan), (eksekutif dan legislatif), Organisasi Masyarakat (LSM, media massa, organisasi sosial lainnya), Perguruan Tinggi. Pengumpulan data dengan mengguankan kuesioner dilakukan secara partisipatif dalam suatu focus group discussion (FGD).
Tabel 7 Matriks Pendekatan Penelitian No
Tujuan
Aspek
Variabel
Alat Analisis
Responden
1
Menganalisis dampak pengembangan agropolitan terhadap perekonomian wilayah
Keragaan Struktur Perekonomian wilayah
PDRB, Pertumbuhan PDRB, Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian, Pertumbuhan penduduk, Pertumbuhan angkatan kerja, Peningkatan Investasi
- Analisis LQ, MS, ML - Analisis SSA - Analisis Deskriptif
2
Menganalisis dampak agropolitan terhadap pendapatan petani
Pendapatan Usaha tani
Pendapatan usaha tani Kegiatan petani sehubungan dengan agropolitan.
- Analisis Uji Beda rata-rata tstudent
Petani kawasan agropolitan dan non agropolitan
-
Wawancara kepada masyarakat petani
3
Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat sebagai pelaku pembangunan di kawasan agropolitan
Tingkat partisipasi masyarakat
Komunikasi (dialog), Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan, Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
- Kualitatif menurut tangga partisipasi Arnstein
Petani kawasan agropolitan
-
Wawancara kepada masyarakat dalam kawasan agropolitan
4
Merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan Kawasan Agropolitan
Identifikasi prioritas kebijakan pemerintah
- Kelompok Sasaran - Faktor Lokasi - Kesinergian dan Fokus Kebijakan - Pembangunan Berkelanjutan - Tata Pemerintahan - Proses Manajemen
- Analisis Heksagonal PEL - RALED
Bappeda, Pemerintah Daerah, petani, pelaku usaha, LSM
-
Bappeda, Pemerintah daerah Key Informan (stakeholer)
-
Non responden Data sekunder
Sumber Data BPS, Bappeda
50
4.4. Metode Analisis Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diangkat. Metode analisis yang dipakai antara lain: 4.4.1. Analisis Location Quotient (LQ), Multiplier Short Run (MS) dan Multiplier Long Run(ML) Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peranan/pengaruh sektoral dalam pertumbuhan ekonomi. Disamping itu juga untuk melihat kontribusi jagung sebagai komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Untuk mengetahui potensi ekonomi yang merupakan basis dan bukan basis dapat menggunakan metode Location Quotient (LQ) yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah.
LQij =
X ij / X i . X . j / X ..
Dimana : LQij
=
indeks kuosien lokasi
Xij
=
jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato untuk sector ke- j
Xi.
=
jumlah PDRB Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato total seluruh sektor
X.j
=
jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo untuk sector ke- j
X..
=
jumlah PDB Indonesia dan PDRB Provinsi Gorontalo total seluruh sektor
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ > 1 ) maka sektor
tersebut
merupakan sektor basis sedangkan jika nilainya sama atau lebih kecil dari satu (LQ < 1 ) berarti sektor yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato
51
Analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time-series/trend, artinya untuk melihat beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya sumbangan sektor/aktifitas ekonomi basis terhadap sektor/aktifitas lain dalam suatu wilayah atau dampak sektor/aktifitas basis perekonomian wilayah digunakan Koefisien Pengganda. Koefisien Pengganda Jangka Pendek dirumuskan sebagai berikut :
Ms =
1 YN 1− YN + YB
Dengan : MS
= Multiplier Short Run / Pengganda jangka pendek
YN
= Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB
= Pendapatan sektor/aktifitas basis
Dan koefisien pengganda jangka panjang dirumuskan sebagai berikut :
ML =
1 Y +I 1− N YN + YB
Dengan : ML
= Multiplier Long Run / Pengganda jangka panjang
YN
= Pendapatan sektor/aktifitas non basis
YB
= Pendapatan sektor/aktifitas basis
I
= Investasi
4.4.2. Analisis Shift Share Shift-share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil analisis shift-share
52 menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan lebih luas. Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub-wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebab yang berasal dari dinamika lokal sub-wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum (laju pertumbuhan agregat). Dengan demikian dari hasil analisis shift-share akan diperoleh gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah yang dapat dijelaskan dari 3 komponen, yaitu : 1. Komponen Laju Pertumbuhan Agregat (Komponen Agregat). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen propotional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektoral/aktifitas total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketidakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub-wilayah lain. Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut :
⎛ X..(t1)
⎞ ⎛ X..i(t1) X..(t1) ⎞ ⎛ Xij(t1) X.i(t1) ⎞ −1⎟ + ⎜ − − ⎟⎟ ⎟ + ⎜⎜ ⎟ ⎜ ⎟ X X X X X ..(t 0) ⎠ ⎝ ij (t 0) .i (t 0) ⎠ ⎝ ..(t 0) ⎠ ⎝ ..i(t 0)
SSA = ⎜⎜
a
b
c
53 dimana : a = komponen agregat / share b = komponen proportional shift c = komponen defferential shift, dan X.. = jumlah PDRB total seluruh sektor dalam total wilayah X.i = jumlah PDRB sektor tertentu dalam total wilayah Xij = jumlah PDRB sektor tertentu dalam unit wilayah tertentu ti = nilai tahun akhir t0 = nilai tahun awal
4.4.3.Analisis Uji Beda Pendapatan Selanjutnya untuk mengetahui dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan masyarakat petani dilakukan analisis perbandingan rata-rata pendapatan usaha tani jagung antara kawasan agropolitan dan non agropolitan dengan menggunakan uji t-student pada taraf 5%. Analisis data dilakukan dengan bantuan program aplikasi Minitab for Window Release 14 . Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut : H0 : µ1 = µ2 yakni rata-rata pendapatan petani kawasan agropolitan sama dengan rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan, artinya tidak ada perbedaan antara pendapatan petani kawasan agropolitan dan non agropolitan. H1 : µ1 > µ2 yakni rata rata pendapatan petani kawasan agropolitan lebih besar dari rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan. Artinya terdapat perbedaan rata-rata pendapatan petani antara kawasan agropolitan dan non agropolitan. Dengan Satistik Uji t (Steel and Torrie 1981) sebagai berikut : −
−
( x1 − x 2 ) t= S− − ( x1 − x2 )
dimana : −
=
rata-rata pendapatan petani kawasan agropolitan
x2
=
rata-rata pendapatan petani kawasan non agropolitan
S
= Standar deviasi ( x1 - x 2 )
x1 −
−
−
54 Kaidah keputusan : Bila statistik hitung > tα, maka tolak H0 (terima H1) Bila statistik hitung ≤ tα , maka terima H0 (tolak H1)
4.4.4. Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pengukuran terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan kawasan agropolitan akan didasarkan pada tangga partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1969). Analisa derajat partisipasi arnstein, menggunakan metode skoring dalam menentukan tingkat partisipasi dengan menggunakan variabel (1) derajat Komunikasi, (2) pengetahuan masyarakat atas proses pengambilan keputusan, (3) kontrol masyarakatatas kebijakan perencanaan. Variabel yang digunakan untuk mengukur derajat komunikasi adalah : 1. Informasi : Apakah anda mendapat informasi tentang adanya pelaksanaan program agropolitan. 2. Forum pengambilan keputusan : Dalam forum apa keputusan diambil dalam lingkungan desa. 3. Jumlah orang yang berpartisipasi : Menurut anda berapa persen orang yang tahu dan diajak berembuk mengenai sebuah proyek yang akan berlangsung dilingkungan anda (agropolitan). 4. Intervensi yang dilakukan aparat : seberapa besar campur tangan/intervensi aparat dalam proses fasilitasi program agropolitan? Variabel yang digunakan untuk mengukur derajat pengetahuan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan adalah : 1. Konsep partisipatif : Menurut anda apakah perencanaan yang ada di desa (dalam pengembangan agropolitan) sudah melibatkan masyarakat? 2. Tingkat kepuasan : Apakah anda puas dengan prosedur dan proses pengambilan keputusan dalam perencanaan pengembangan agropolitan? 3. Prosedur untuk berpartisipasi : Menurut anda apakah dalam perencanaan pengembangan agropolitan yang dilakukan selama ini, warga dan organisasi masyarakat tahu prosedur (tata cara) untuk ikut terlibat didalamnya?
55 4. Tingkat partisipasi dalam kelompok : Jika keputusan diambil dalam kelompok, bagaimana keputusan tersebut dibuat? Variabel yang digunakan untuk mengukur kontrol masyarakat terhadap kebijakan pembangunan adalah : 1. Akses terhadap forum perencanaan : Apakah warga dan arganisasi masyrakat lainnya dapat dengan mudah terlibat/ikutserta dalam forum perencanaan agropolitan? 2. Kritik atas mekanisme forum perencanaan: Apakah anda pernah memberi masukan
kepada
pemerintah
atau
pihak
yang
anda
anggap
bertanggungjawab untuk merubah prosedur dan proses pengambilan keputusan? 3. Keterlibatan masyarakat dalam implementasi proyek : Menurut anda bagaimana
keterlibatan
masyarakat
dalam
pelaksanaan
program
agropolitan? Tabel 8 Aspek dan Tingkatan dalam Menilai Derajat Partisipasi Menurut Arnstein Aspek
Tingkatan
Interval 30
52,5
1
52,5
75
2
75
97,5
3
Ada dialog
97,5
120
4
B. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan
Tidak Tahu
30
52,5
1
52,5
75
2
Mempengaruhi
75
97,5
3
Berperan Besar
97,5
120
4
C. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
Tidak ada
30
52,5
1
52,5
75
2
75
97,5
3
97,5
120
4
A. Komunikasi
Tidak ada komunikasi
Skor Penilaian
Komunikasi satu arah tetapi hanya sedikit keputusan publik yang bisa diklarifikasi Komunikasi telah cukup, namun masih bersifat satu arah
Tahu
Hanya bisa memberikan komentar (less control power) Bisa memberikan kritikan masukan (Has power) Bisa mengontrol (control powerly)
dan
sepenuhnya
56 Adapun tahapan perhitungan ketiga variabel tersebut dilakukan dengan cara : 1. Pemberian skor dengan skala 1 – 4 (s) 2. Menghitung distribusi frekwensi (f) 3.
Memberikan bobot penilaian terhadap variabel berdasarkan pengaruh variabel terhadap aspek yang dinilai (b)
4. Mencari interval berdasarkan kuartil atas perhitungan terhadap s x f x b dengan cara mengurangkan nilai tertinggi (jika semua memili skala tertinggi) dan nilai terendah (jika semua memilih skala terendah). 5. Membandingkan hasil dengan indeks Arnstein. Tabel 9 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein Derajat Partisipasi
Nilai Faktor
Indeks
Kelompok Tingkat Otoritas Masyarakat
A
B
C
Pengawasan Masyarakat
4
4
4
12
Pendelegasian Kekuasaan
4
3-4
3
10-11
Partnership/Kemitraan
4
3
2-3
9-10
Peredaman Kemarahan
4
2-3
2
8-9
Konsultasi
3-4
2
2
7-8
Menyampaikan informasi
2-3
1-2
1-2
7-8
Terapi
2
1
1
4
Manipulasi
1
1
1
3
Tingkat Tokenisme
Non Partisipasi
Sumber : Arnstein 1969 A = Komunikasi B = Pengetahuan Masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan C = Kontrol Masyarakat terhadap kebijakan publik
4.4.5. Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED) Untuk
mengkaji
prioritas
kebijakan
yang
dapat
mendorong
pengembangan kawasan agropolitan digunakan teknik analisis RALED. Teknik RALED didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) secara Multi Dimensional Scaling (MDS). Dimensi dalam RALED didekati dengan menggunakan Heksagonal PEL, yang terdiri dari 6 aspek yaitu : (1) kelompok sasaran, (2) faktor lokasi, (3) Kesinergian dan fokus kebijakan, (4) pembangunan berkelanjutan, (5) tata kepemerintahan, dan (6) proses manajemen. Penggunaan analisis ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
57 agropolitan merupakan salah satu
program pemerintah yang menggunakan
pendekatan pengembangan ekonomi lokal. Sementara itu Heksagonal PEL merupakan
alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis dan
menggambarkan kondisi ekonomi lokal pada suatu wilayah/kawasan, termasuk kawasan
agropolitan.
Keunggulan
analisis
ini
adalah
bahwa
indikator
pengembangan ekonomi lokal yang digunakan, yang berjumlah 87 indikator merupakan penjabaran dari keenam aspek tersebut termasuk aspek lokasi maupun ruang sehingga mampu menggambarkan keadaan perekonomian lokal secara komprehensif. Namun demikian, keterbatasan analisis ini adalah karena data yang digunakan merupakan data persepsi dari masing-masing stakeholder sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menterjemahkannya (interpretasi). Berdasarkan hasil pemetaan dari kondisi PEL tersebut kemudian dapat diidentifikasi komponen Heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit, yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Selanjutnya berdasarkan faktor pengungkit inilah maka dapat disusun strategi pengembangan selanjutnya. Dalam analisis ini, data yang dipakai adalah persepsi dari semua stakeholder yang terkait dalam pengembangan kawasan agropolitan dan data sekunder sebagai data penunjang. Data ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development (RALED). Adapun tahapan dalam analisis Raled adalah sebagai berikut : 1. Analisis dengan metode Multi Dimensional Scaling (MDS) 2. Analisis Sensitivitas 3. Analisis Montecarlo Selanjutnya untuk mengetahui kondisi atau status PEL secara keseluruhan dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy
Prosess (AHP).
V. DISKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Deskripsi Agropolitan Provinsi Gorontalo Dalam rangka memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayahnya Provinsi Gorontalo mengembangkan konsep agropolitan. Sebagai langka awal pengembangan agopolitan, pemerintah membuat masterplan pemwilayahan komoditas. Hal ini dilatarbelakangi karena kondisi lahan di suatu wilayah atau kawasan sangat beragam yang dipengaruhi oleh factor iklim, tanah, topografi dan hidrologi. Sehingga keragaman ini akan sangat perpengaruh terhadap tipe potensi lahan dan jenis tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan. Selanjutnya komoditas pertanian akan mampu berproduksi maksimal di lahan yang cocok atau sesuai dengan prasyarat tumbuhnya. Atas dasar pertimbangan tersebut jagung akhirnya dipilih sebagai komoditas unggulan daerah sebagai titik masuk dari pengembangan agropolitan, disamping karena jagung juga merupakan komoditi yang sudah dikembangkan secara turun temurun oleh masyarakat gorontalo dan merupakan makanan pokok masyarakat gorontalo. Program ini dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Gorontalo. Kabupaten Pohuwato merupakan salah satu dari 8 program rintisan pengembangan agropolitan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 2002, dimana dengan berkoordinasi dengan dinas pertanian dan dinasi kimpraswil dilakukan pembangunan sarana prasarana untuk menunjang pengembangan agropolitan. Sejalan dengan perkembangan yang ada pemeritah juga sementara merancang agar jagung sebagai komoditi unggulan dapat menjadi penggerak ekonomi dari sector-sektor lain yang terkait didalamnya melalui ‘ekonomi jagung’ (Muhammad, F. 2008). Dalam jangka panjang akan dibangun industri hulu dan hilir yang berbasis jagung. Akan tetapi rencana ini belum tertuang dalam masterplan agropolitan termasuk zonasi pusat-pusat produksi, pengolahan hasil dan pemasaran. Kondisi eksisting yang ada dilapang pusat-pusat produksi, pengolahan hasil dan pemasaran mengacu pada RTRW Provinsi Gorontalo dimana pusat-pusat produksi berada dalam Kawasan Andalan Kabupaten Boalemo (sebelum pemekaran) dan Kapet Kabupaten Gorontalo sedangkan pusat
59 pengolahan
dan
pemasaran berada di kawasan andalan Kota Gorontalo
(Lampiran 8 ).
infrastruktur Industri hilir
Industri hulu
Sweetener (Pemanis
Benih/ Pemuliaan Mesin pertanian/ Pengolahan
Ethanol Starch (Tepung)
Jagung
Pupuk R&D,Diklat/workshop Pengujian&sertifikasi
Bioproduct
Corn oil Pakan ternak
Jasa handling, Penyimpanan
Asuransi/ Perbankan
Jasa Perbengkelan
Gambar 6 Diagram Ekonomi Jagung 5.2. Deskripsi Umum Kabupaten Pohuwato 5.2.1. Keadaan Geografis dan Administratif Kabupaten Pohuwato merupakan kabupaten yang berada di ujung barat Provinsi Gorontalo dengan letak geografis antara 0,27o – 1,01o Bujur Timur dan 121,23o – 122,44o Lintang Utara, dengan iklim 24,4 – 33,2
o
C. Adapun batas
wilayah Kabupaten Pohuwato adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buol Sulawesi Tengah, sebelah selatan beratasan denga Teluk Tomini, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Boalemo. Luas wilayah Kabupaten Pohuwato
adalah 4.244,31 km2 atau 34,75
persen dari luas wilayah Provinsi Gorontalo. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Pohuwato mencakup 7 kecamatan yang terdiri dari 69 desa, 1 UPT dan
60 3 Kelurahan. Adapun nama kecamatan, jumlah desa dan luas wilayah dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Nama Kecamatan, Luas dan Jumlah Desa di Kabupaten Pohuwato No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan
Luas (Km2)
Jumlah Desa
1.392,90 807,58 449,82 331,90 803,32 159,97 298,82
15 11 10 15 12 6 4
4.244,31
73
Popayato Lemito Randangan Marisa Paguat Taluditi Patilanggio Jumlah
Sumber : Profil Kabupaten Pohuwato, 2006
Aktifitas
pertanian
di
Kabupaten
Pohuwato
dilaksanakan
untuk
meningkatkan produktifitas pertanian. Adapun komoditi yang dikembangkan bermacam-macam terdiri dari tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Namun yang menjadi prioritas dari pemerintah daerah adalah mengembangkan komoditi tanaman pangan dalam hal ini padi dan jagung sebagai komoditi basis. Sebagai produk unggulan, komoditi jagung banyak diusahakan di lahan kering yang banyak terdapat di kabupaten Pohuwato. Tabel 11 Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Penggunaannya di Kabupaten Pohuwato No
Kecamatan
Luas Sawah (Ha)
Bukan Sawah (Ha)
Jumlah (Ha)
1 2 3 4 5 6 7
Popayato Lemito Randangan Marisa Paguat Taluditi Patilanggio
80 11 140 1.266 480 850 208
139.210 80.747 44.842 31.924 79.852 44.132 29.674
139.290 30.758 44.982 33.190 80.332 15.997 29.882
Total 3.035 Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
421.396
424.431
61 Topografi Kabupaten Pohuwato umumnya adalah dataran rendah, sebagian kecil berbukit dan bergunung. Tingkat kemiringan
yakni 0 – 40o,
sedangkan ketinggiannya berkisar antara 0 – 1800 dari permukaan laut (dpl). Faktor pengendali iklim yang banyak berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pertanian adalah curah hujan dan temperatur. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pohuwato tahun 2006, curah hujan di Kabupaten Pohuwato bervariasi berkisar antara 3 – 204 mm. Pada tahun 2006 suhu rata-rata pada siang hari berkisar antara 31,2 – 33,4o C sedangkan suhu pada malam hari berkisar 21,8 – 24,1o C dengan kelembaban relative berkisar antara 71 - 85 persen.
5.2.2. Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat 5.2.2.1. Kependudukan Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006) jumlah penduduk Kabupaten Pohuwato adalah 114.650 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,2 persen per tahun. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang masing masing terdiri dari 57.721 penduduk laki-laki dan 56.929 penduduk perempuan. Hal ini tercermin dari rasio jenis kelamin penduduk Pohuwato lebih dari 100 yaitu 101 persen. Ini berarti dari setiap 100 orang perempuan terdapat 101 laki-laki. Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di Kabupaten Pohuwato dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Penduduk menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Ratio di Kabupaten Pohuwato Tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Sex ratio
Popayato Lemito Randangan Taluditi Patilanggio Marisa Paguat
10.998 7.295 6.756 3.132 4.140 15.927 9.473
11.000 7.105 6.315 3.189 3.891 15.889 9.539
100 103 107 98 106 100 99
Jumlah
57.721
56.929
101
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
62 Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar penduduk Kabupaten Pohuwato adalah berusia muda, karena 69,03 persen penduduknya berada dibawah 35 tahun. Jumlah penduduk terbanyak yaitu pada umur 10 – 14 tahun yang mencapai 12,14 persen. Dilihat dari sex ratio, kelompok umur 10 – 14 tahun memperlihatkan sex ratio yang besar dan pada kelompok umur ini jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan. Tabel 13
Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kabupaten Pohuwato
Kelompok Umur 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
6.205 5.795 8.104 5.385 4.121 4.797 4.618 5.206 4.208 2.672 2.626 1.495 1.086 1.403
6.407 6.862 5.815 4.807 5.670 5.350 5.208 4.665 3.690 2.487 2.270 1.337 1.024 1.337
12.612 12.657 13.919 10.192 9.791 10.147 9.826 9.871 7.899 5.159 4.896 2.832 2.110 2.740
57.721
56.929
114.650
- 4 - 9 - 14 - 19 - 24 - 29 - 34 - 39 - 44 - 49 - 54 - 59 - 64 65 +
Jumlah
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006
5.2.2.2. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan sumber daya manusia. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan yaitu dengan mencanangkan berbagai program seperti program wajib belajar, gerakan nasional orang tua asuh, bantuan operasional sekolah (BOS) dan lain-lain. Diharapkan dengan program ini akan tercipta sumber daya manusia yang siap bersaing dalam era globalisasi mendatang.
63 Tingkat kesadaran penduduk
kabupaten Pohuwato terhadap arti
pentingnya pendidikan relatif tingi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang dapat menikmati pendidikan formal dari pendidikan taman kanak-kanak sampai sekolah lanjut tingkat atas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 jumlah murid yang dapat menikmati pendidikan adalah sebanyak 23.206 orang siswa meningkat menjadi 27.340 siswa pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar 7,8 persen. Demikian halnya dengan jumlah guru di Kabupaten Pohuwato cukup mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah murid. Selama periode 2004 – 2006 ratio murid guru pada tingkat taman kanak-kanak
hingga SLTP di Kabupaten Pohuwato sedikit
mengalami penurunan, tapi untuk tingkat pendidikan SLTA tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa penyediaan tenaga pengajar kurang bisa mengimbangi pertambahan pelajar. Tabel 14 NO
1 2 3 4
Jumlah Murid dan Guru di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 dan 2006
Tingkat Pendidikan
Sekolah Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar /Ibtidaiyah SLTP/Tsanawiyah SLTA/Aliyah/ Kejuruan Jumlah
2004
2006
Jumlah
Jumlah
Guru
Murid
Ratio Murid & Guru
Guru
Murid
Ratio Murid & Guru
39
1.529
39
94
2.195
23
474
15.812
33
689
17.180
24
160 93
4.187 1.678
26 18
298 162
5.076 2.889
17 17
766
23.206
1.243
27.340
Sumber : Pohuwato dalam Angka, 2006.
5.2.3. Kondisi Perekonomian Wilayah 5.2.3.1. Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Pohuwato adalah kabupaten baru dalam wilayah Provinsi Gorontalo yang merupakan daerah agraris. Hal ini menyebabkan tidak mustahil jika struktur perekonomiannya masih didominasi oleh sektor pertanian
64 (berdasarkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB). Terlebih lagi, paket kebijakan pemerintah daerah selama ini lebih menitik beratkan pada sektor pertanian/agraris
diantaranya
dengan
program-program
agropolitan
dan
terobosan-terobosan baru yang menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector di kabupaten ini bahkan juga di Provinsi Gorontalo. Sejak periode 2004 - 2006 kontribusi sektor yang terbesar terhadap pembentukan PDRB adalah sektor pertanian, meskipun mengalami trend yang menurun. Tahun 2006 kontribusi sektor pertanian mencapai 40,91 persen sektor perdagangan dan akomodasi sebesar 17,50 persen, sektor jasa-jasa sebesar 13,45 persen dan sektor keuangan sebesar 11,73 persen sedangkan sektor lainnya kurang dari 10 persen Tabel 15 Kontribusi Sektor Ekonomi dalam PDRB Kabupaten Pohuwato Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004 - 2006 Sektor
2004
2005
2006
Pertanian Pertambangan & Pengagalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan & Akomodasi Angkutan dan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
46,82 0.93 5,94 0,82 6,28 18,84 3,49 8,87 8,00
45,65 0,88 6,20 0,96 6,21 18,75 3,26 10,02 8,07
40,91 0,80 5,73 0,93 5,79 17,50 3,16 11,73 13,45
PDRB
100,00
100,00
100,00
Sumber: PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
Besarnya
peranan
sektor
pertanian
bukan
hanya
terlihat
pada
kontribusinya terhadap PDRB, tetapi juga dari segi penyediaan lapangan pekerjaan. Dimana berdasarkan Susenas 2006 diperoleh bahwa kebanyakan penduduk laki-laki bekerja disektor pertanian yaitu sebesar 70,20 persen sementara disektor perdagangan hanya sebesar 7,06 persen. Untuk penduduk perempuan lebih merata yaitu sekitar 49,65 persen bekerja di sektor pertanian dan masing-masing sebesar 17,73 persen dan 22,34 persen bergelut disektor perdagangan dan jasa.
65 Tabel 16 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerja Utama di Kabupaten Pohuwato, Tahun 2006 Sektor Pertanian Pertambangan & Pengagalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Perdagangan & Akomodasi Angkutan dan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
Laki-Laki
Perempuan
70,20 2,82 3,39 2,54 7,06 8,05 0,28 5,65
49,65 0,71 7,80 1,06 17,73 0,35 0,35 22,34
100
100
Sumber: PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
5.2.3.2 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan
ekonomi
merupakan
suatu
indikator
keberhasilan
pembangunan suatu daerah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan merupakan salah satu sarana untuk mencapai kehidupan yang layak bagi penduduk suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi dapat tercermin dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari tahun sebelumnya. Perekonomian di Kabupaten Pohuwato tumbuh sebesar 7,25 persen pada tahun 2006. Pertumbuhan ekonomi yang sebesar ini diharapkan dapat dirasakan secara merata oleh masyarakat luas sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat yang hidup makmur sejahtera dapat tercapai. Gambar 7 Laju Pertumbuhan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004-2006 7,3 7,24
7,2
7,25
7,1 7 6,9
6,93
Laju pertumbuhan
6,95
6,8 6,7 2003 2004 2005 Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
2006
66 Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pohuwato mengalami peningkatan sejak tahun 2004. Sedangkan secara sektoral, terlihat bahwa sektor–sektor mengalami pertumbuhan yang positif namun cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Laju pertumbuhan sektor pertanian terlihat mengalami fluktuasi, pada tahun 2005 mengalami penurunan yaitu hanya sebesar 1,86 persen dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2006 sebesar 4,52 persen. Tabel 17
Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Kabupaten Pohuwato Tahun 2004-2006 Sektor
Pertumbuhan ( %) 2004
2005
2006
Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolaha Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan dan Akomodasi Angkutan dan Komunikasi Keuangan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
6,18 4,33 7,94 4,04 5,47 5,77 7,54 15,96 6,99
1,86 4,16 6,18 11,41 4,97 30,17 2,17 5,88 4,15
4,52 2,50 1.74 14,98 11,17 1,37 7,84 12,70 32,69
PDRB
6,95
7,24
7,25
Sumber : PDRB Kabupaten Pohuwato, 2006
Pada tahun 2006, pertumbuhan yang paling besar dialami oleh sektor jasajasa yaitu sebesar 32,69 persen jauh melesat dari tahun 2005 yang hanya 4,16 persen. Kemudian disusul oleh sektor listrik, gas dan air bersih dengan laju pertumbuhan sebesar 14,98 persen. Sektor yang mengalami kenaikan terendah pada tahun 2006 adalah perdagangan dan akomodasi yaitu hanya sebesar 1,37 persen.
5.3. Deskripsi Umum Kawasan Agropolitan Randangan Kawasan Agropolitan randangan terletak di Kabupaten Pohuwato yang merupakan Kabupaten pemekaran dari Boalemo di Provinsi Gorontalo. Peta Kawasan Agropolitan Kabupaten Pohuwato disajikan pada Halaman 69.
67 Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato memiliki luas sekitar 44.982 ha atau sekitar 10,60 persen dari luas Kabupaten Pohuwato. Dari Luas Kawasan agropolitan Randangan, sekitar 10,87 persen dari luas kawasan agropolitan di tanami dengan komoditi jagung (lahan jagung 4.889,5 ha dan lokasi pendukung lainnya seperti pasar, terminal. Warung dan ruko 36.053,43 m2). Sistem jaringan jalan kawasan Agropolitan berpola linier sepanjang jalan utama Trans Sulawesi. 5.3.1. Penduduk dan Pekerjaan Jumlah penduduk di kawasan agropolitan randangan 13.071 orang dengan tingkat pertumbuhan 1,2 persen per tahun dengan mata pencaharian dominan sebagai petani (70%) dan sisanya pedagang, nelayan, tukang, PNS, swasta, dan lain-lain. Penduduk Kawasan Agropolitan Randangan terdiri dari berbagai suku bangsa yang terdiri dari masyarakat transmigran dan masyarakat Gorontalo. Perekonomian penduduk pada umumnya beraktifitas pada kegiatan jual beli hasil pertanian yang didominasi pembeli (tengkulak), hal ini akan sangat merugikan petani karena petani berada pada posisi tawar yang lemah. Selain itu sarana dan prasarana penunjang pemasaran hasil pertanian yang belum sempurna, sehingga mereka terpaksa menjualnya pada tengkulak. Aktifitas sosial dan budaya penduduk kawasan ditunjang dengan keberadaaan fasilitas penunjang seperti lapangan olahraga, rekreasi, peribadatan, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan sarana air bersih sebagai media interaksi sosial. 5.3.2. Prasarana dan Sarana Kimpraswil Proyek fisik yang dibangun dalam kawasan ini berupa jaringan jalan penghubung dari sentra produksi di lahan perkebunan jagung dengan lebar seketar 3 m dan perkerasan penetrasi aspal. Keseluruhan panjang jalan yang dibangun adalah 6,8 Km. Proses usulan untuk pengaspalan jalan ini berasal dari usulan warga melalui wakil kelompok, kemudian disampaikan pada proyek agropolitan. Fasilitas lainnya yang dibangun adalah : terminal agropolitan di kota Randangan oleh dinasKimpraswil dan perpanjangan penetrasi jalan di dalam kawasan. Konsep
ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat di kawasan.
68 Prasarana Sarana Kimpraswil (PSK) yang dibangun di wilayah Agropolitan berupa jalan penghubung sentra produksi ke jalan penghubung ke pusat Kecamatan yakni kota Randangan, disamping itu juga dibangun fasilitas terminal agrobisinis di kota randangan. Pembangunan PSK sudah dibangun sejak tahun 2002 dan masih terus berlangsung. Tabel 18 Pekerjaan Fisik dan Non-Fisik di Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato No 1
Provinsi / Kabupaten / Kec. / Kawasan
Pekerjaan
Volume
GORONTALO Kab.Pohuwato
PENYUSUNAN RENCANA TEKNIS
Kec.Randangan
1.Penyusunan Master Plan Kawasan Agropolitan
1 Paket
2.Identifikasi kebutuhan P&S Kimpraswil
1 Paket
untuk mendukung Kawasan Agropolitan 3.Penyusunan DED Kws, Agropolitan TA. 2003
1 Paket
PEKERJAAN FISIK : 1.Peningkatan jalan poros desa (Lapen)
8,081 M'
2.Pembangunan kios pasar
20 unit
3.Pelataran dan prasarana pasar
1 unit
Sumber: Penelitian Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi, 2005.
Gambar 8 Peta Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato
70
5.3.3. Pola Penggunaan Lahan Kawasan Agropolitan Randangan terdapat di Kabupaten Pahuwato. Kawasan ini sebelumnya dikenal sebagai Kawasan Agropolitan Boalemo. Dengan dimekarkannya Kabupaten Boalemo menjadi Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Boalemo maka posisi kawasan agropolitan saat ini ada di Kabupaten Pohuwato dengan pusat tetap di Kecamatan Randangan. Secara agroklimat lokasi Kawasan Agropolitan Randangan sangat cocok untuk komoditi tanaman jagung, demikian juga dari sistem budaya pertanian maka usaha tani di bidang komoditi tanaman jagung merupakan kegiatan pertanian turun temurun mengingat makanan pokok masyarakat berasal dari jagung. Penggunaan lahan Kecamatan Randangan sebagai kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Penggunaan Lahan Sawah Pekarangan Tegalan/Kebun Ladang/Huma Perkebunan Hutan Rakyat Hutan Negara Lain-lain Penggunaan
Total Luas Lahan
Kawasan Agropolitan 140 985 863 1.630 594 1.115 29.177 10.378
44.982
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006
5.3.4. Produk/ Komodoti Unggulan Komoditas unggulan di kawasan agropolitan dan non agropolitan adalah jagung, namun petani juga mengusahakan tanaman lain seperti padi, palawija, sayuran, kelapa, kopi dan kakao. Selama ini pemasaran hasil usaha taninya dipasarkan di sekitar kawasan di sekitar Gorontalo, namun sebagian hasil taninya juga diekspor ke negara tetangga, seperti Philipina dan Malaysia melalui perusahaan eksportir di wilayah itu. Kawasan Agropolitan Randangan terletak di Kabupaten Pohuwato yang merupakan Kabupaten pemekaran dari Boalemo di
71
Provinsi Gorontalo. Kawasa Agropolitan Randangan mencakup 10 desa dengan pusat pengembangan di Ibu Kota Kecamatan Randangan yaitu desa Motolohu. Komoditas unggulan berupa pertanian jagung. Tabel 20 Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato Komoditas Unggulan Padi, jagung, palawija, sayuran, kelapa, kopi dan kakao
Daerah Pemasaran Filipina, Malaysia dan sekitar Gorontalo
Sistem Usaha Agribisnis Agribisnis hulu, Usaha tani, pengolahan hasil, pemasaran hasil dan jasa penunjang
Pengembangan Kawasan Sarana prasarana kawasan, SDM, pemodalan, kelembagaan dan usaha tani
Sumber : Penelitian Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi, 2005
Sarana Prasarana yang ada dalam kawasan agropolitan berupa prasarana jalan, sarana pendidikan, agama, kesehatan pasar dan jalan. Panjang prasarana jalan yang dibangun pada tahun anggara 2002 oleh Kimpraswil Pusat lebar 3 meter dengan panjang total 6,8 km, selain itu dibangun terminal agribisnis seluas 1 Ha
serta silo yang dibangun oleh PT. Fitra Mandiri sebuah BUMD dari
Provinsi Gorontalo yang bergerak dalam bidang pengumpulan jagung (pembeli). Komoditas unggulan berupa Jagung yang dikembangkan di kawasan ini. Sebagian besar masyarakat di kawasan agropolitan menanam jagung baik di lahan pekarangan maupun di lahan kebun yang jaraknya cukup jauh (4 km) dari lingkungan pemukiman. Selain itu dilakukan juga penanaman di sela-sela tanaman kelapa. 5.4. Karakteristik Aktivitas Pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan Karakteristik aktivitas pertanian pada dasarnya dapat dipilah berdasarkan bagian-bagian subsistem dari suatu sistem agribisnis secara keseluruhan. Berikut ini adalah karakteristik aktivitas pertanian di Kawasan Agropolitan Randangan berdasarkan karakteristik subsistem penunjang, subsistem produksi, subsistem pengolahan dan subsistem distribusi/pasar.
72
5.4.1. Subsistem Penunjang Berdasarkan data-data sekunder yang berhasil dikumpulkan dan hasil wawancara dengan para petani di Kawasan Agropolitan, nampak bahwa subsistem penunjang seperti lembaga keuangan, keberadaan dan fungsinya masih sangat terbatas.
Berdasarkan hasil wawancara hampir 100% responden menyatakan
bahwa mereka tidak pernah melakukan pinjaman ke lembaga keuangan tertentu. Mereka lebih banyak memakai modal sendiri atau meminjam dari pedagang pengumpul desa (tengkulak). Dari data sekunder di peroleh keberadaan bank di Kabupaten Pohuwato cukup tersedia, di Marisa sebagai ibukota Kabupaten Pohuwato terdapat 7 Bank baik swasta maupun bank pemerintah. Di Kecamatan Randangan sendiri terdapat 1 unit Bank Rakyat Indonesia, namun keberadaan Bank Rakyat Indonesia unit Kecamtan Randangan belum berpengaruh karena belum tersedianya skim kredit untuk para petani. Lembaga KUD sebagai sarana keuangan petani juga belum banyak membantu karena lemahnya manajemen sehingga belum dapat berfungsi secara baik. Hal ini tentunya akan sangat menghambat perkembangan pertanian di kawasan agropolitan apabila tidak segera diupayakan solusinya. Untuk lembaga penyuluhan rata-rata sudah terdapat di setiap desa, dan fungsinya cukup dapat dirasakan oleh petani, hal ini dapat dilihat dengan adanya penggunaan tekonolgi dalam proses produksi sehingga terjadi peningkatan produksi. Namun. Akses terhadap capital market yang sangat terbatas tentunya akan menghambat transformasi pertanian ke arah agribisnis. 5.4.2. Subsistem Produksi Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, diketahui bahwa untuk subsistem produksi dan penunjangnya relatif tidak terlalu bermasalah. Dengan adanya penyuluhan membuat petani mulai beralih pada penggunaan tekologi dalam proses produksi. Upaya penyuluhan yang dilakukan mulai direspon oleh petani sehingga terjadi peningkatan hasil produksi. Ketersediaan saprotan (sarana produksi pertanian) juga cukup baik, mulai dari benih, pupuk, dan pestisida. Petani bisa dengan mudah membeli saprotan di pasar terdekat, selain itu juga terdapat banyak toko atau kios yang menjual saprotan.
73
Permasalahan
yang dihadapi dalam
proses
produksi adalah
waktu
penanaman yang relatif bersamaan. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran akan sangat perpengaruh terhadap harga jual komoditas. Disaat panen raya maka harga akan cenderung untuk turun. Kelemahan utama dari subsistem produksi yang demikian adalah sulitnya suatu kawasan untuk melakukan pengaturan penanaman dalam satu kawasan guna menghindari fluktuasi harga pasar. Selain itu untuk memperoleh volume produksi yang bisa mencukupi skala ekonomi pertanian yang berorientasi industri juga sulit untuk dilakukan.
Akibatnya subsistem produksi ini sangat dipengaruhi oleh
fluktusi harga pasar dan akibat lainnya adalah industri pengolahan menjadi tidak berkembang di kawasan tersebut karena volume bahan baku yang tidak stabil dan tidak mencukupi. 5.4.3. Subsistem Pengolahan Subsistem pengolahan di kawasan agropolitan sampai sejauh ini ternyata belum banyak berkembang. Dalam beberapa kesempatan memang sempat dipamerkan produk olahan beberapa produk olahan seperti keripik singkong, dodol jagung. Namun hasil pengolahan ini masih dalam tahapan industri kecil rumah tangga dimana volume produksinya masih kecil, pasarnya masih terbatas dan belum luas, serta produksinya juga belum kontinyu. Khusus untuk dodol jagung, karena masih terbatasnya teknologi yang digunakan sehingga belum dapat dipasarkan secara luas karena masalah daya tahan dan kualitas sehingga hanya diproduksi jika ada pesanan atau order. Belum berkembangnya industri pengolahan menyebabkan petani lebih suka menjual langsung produknya ke pasar. Selain karena didesak kebutuhan, penjualan hasil panen dalam bentuk biji jagung langsung ke pasar sampai sejauh ini juga masih besar tingkat permintaannya.
Meskipun harga seringkali
mengalami fluktuasi, namun pasar untuk komoditas jagung dalam bentuk biji jagung sudah relatif lebih jelas dan sudah berlangsung sekian lama. 5.4.4. Subsistem Distribusi dan Pasar Kawasan agropolitan Randangan mempunyai 1 pasar permanen sebagai tempat penjualan atau outlet
penjualan jagung yang terletak di Pusat Desa
74
Pertumbuhan yaitu Desa Motolohu. Tetapi sebagian besar aktivitas pemasaran di kawasan agropolitan masih dikuasai oleh pedagang perantara/tengkulak. Sistem pemasaran jagung di kawasan agropolitan masih didominasi oleh tengkulak. Distribusi pemasaran jagung di kawasan agropolitan meliputi : pedagang pengumpul tingkat desa selanjutnya pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan ke eskportir di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan petani berada dalam posisi yang lemah dalam menentukan harga dimana petani hanya sebagai pengambil harga saja, atau harga masih ditentukan oleh pihak pedagang. STA yang ada di kawasan agropolitan masih belum berfungsi dengan baik. Dimana petani masih enggan menjual hasil produksi ke STA karena harga jualnya masih berada di bawah harga jual pedagang pengumpul.
5.5. Fasilitasi Pemerintah dalam Pengembangan Agropolitan Randangan Peranan
pemerintah
dalam memfasilitasi
pengembangan
kawasan
agropolitan didasarkan pada UU No 32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun 2007 sebagai penyempurnaan dari UU No 22 tahun 1999 dan PP No 25 tahun 2000, dimana masing-masing mempunyai tugas dan wewenangnya sendiri. Peran Pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga di tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten yang terkait dengan pengembangan kawasan. Hasil studi dari SK Sarana dan Prasana Desa Departemen PU (2005), selama 3 tahun di fasilitasi oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provisi maunpun Pemerintah Kabupaten, berdasarkan hasil survey lapangan berbagai program yang dilaksanakan baik fisik maupun non-fisik pada berbagai bidang ekonomi, pertanian, perkebunan, kehutanan, transportasi, koperasi usaha kecil dan menengah serta bidang-bidang lainnya. Program fisik yang paling banyak dilaksanakan di berbagai kawasan adalah pembangunan infrastruktur jalan, sub terminal, pasar desa, pasar kabupaten, pasar agropolitan, dan saluran irigasi sedangkan program non-fisik antara lain adalah peningkatan wawasan dan etos kerja serta peningkatan keterampilan masyarakat.
75
5.5.1. Dinas Pertanian Dalam rangka menunjang program pembangunan pertanian yang menjadi prioritas di Gorontalo, Dinas Pertanian sebagai pelaksana teknis dari program agropolitan melaksanakan berbagai program untuk menunjang kelancaran pengembangan kawasan agropolitan melalui dinas pertanian. Adapun penjabaran dari berbagai progran tersebut dapat dilihat pada tabel berkut : Tabel 21 No
Sebaran Kegiatan Pengembangan Agropolitan Provinsi Gorontalo Tahun 2002-2004 Bidang / Sektor / Kegiatan
Lokasi
Dana (xRp.000)
Pengembangan agropolitan
1.
Pengembangan ekstensifikasi jagung
4 kab, 1 kota
1.032.527
2.
Pengembangan intensifikasi jagung
4 kab, 1 kota
2.527.750
3.
Promosi pembangunan pertanian
4 kab, 1 kota
86.916
4.
Pengadaan buffer stok pestisida
4 kab, 1 kota
75.000
5.
Pengembangan alat dan mesin pertanian
4 kab, 1 kota
825.000
6.
Pembinaan kelompok tani penangkar benih jagung
4 kab, 1 kota
21.400
7.
Pembinaan UPJA
4 kab, 1 kota
18.655
8.
Posko Agropolitan
4 kab, 1 kota
520.479
9.
Show windows
4 kab, 1 kota
250.000
10.
Pameran ALSINTAN
Provinsi
25.000
11.
Pembangunan blending plant pupuk
Provinsi
2.000.000
12.
Pengembangan peralatan dan lahan pertanian
Provinsi
5.000.000
13.
Pengadaan mesin dryer jagung
Provinsi
1.500.000
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo, 2004
Khusus kawasan agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato , berbagai kegiatan
atau program telah dilaksanakan oleh
instasi yang terkait dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Dinas Pertanian dan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah berkoordinasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Karena sifatnya yang lintas sektoral, pengembangan agropolitan menuntut adanya koordinasi antar departemen yang bisa menjamin alokasi sumberdaya pembangunan secara efektif efisien. Efektif ditunjukkan oleh berperannya departemen sesuai tugas pokok dan fungsinya, efisien berarti dijalankannya tugas dan fungsi itu secara hemat. Adapun Program yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian terkait dengan tugas dan fungsinya yaitu memperkuat atau
76
meningkatkan kegiatan dalam on farm (peningkatan produksi) dan penguatan kelembagaan petani. Tabel 22 Kegiatan Dinas Pertanian dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Pohuwato Tahun 2005 No
Kegiatan / Program
Dana (000)
Pengembangan agropolitan 1.
Bantuan benih jagung hibrida/komposit dan arana lainnya
1.423.279
2.
Pelatihan Penangkar benih jagung
3.
Pelatihan sekolah lapang pengendali hama terpadu hama terpadu
10.000
4.
Peningkatan mutu intensifikasi padi sawah seluas 100 ha di 3 kecamatan
97.000
5.
Pemanfaatan lahan tidur untuk tanaman jagung
200.000
6.
Bantuan bibit vanili bagi KK tani prasejahtera
100.000
7.
Penunjang kegiatan posko agropolitan jagung
46.000
5.000
Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Petani 1.
Peningkatan SDM petani Kakao
2. 3. 4. 5.
Penyediaan dana pendamping Dana Pemguatan Modal (DPM) Lembaga Pemberdayaan penyuluh dan kelembagaan penyuluh Pengadaan sarana transportasi roda 2 bagi penyuluh
32.000 262.000 150.000 35.000
Sumber : Lakip Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato, 2005
5.5.2. Dinas Kimpraswil Untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk menunjang kegiatan disektor pertanian, penyediaan sarana dan prasarana fisik sangat diperlukan untuk menunjang aksebilitas masyarakat terhadap sumberdaya dan pasar. Dinas
Kimpraswil
melaksanakan beberapa program guna menunjang pelaksanaan pengembangan agropolitan sesuai dengan fungsinya sebagai penyedia sarana dan prasarana publik. Adapun beberapa kegiatan dari Dinas Kimpraswil sebagai ujung tombak pelaksanaan agropolitan adalah sebagai berikut :
77
Tabel 23 Kegiatan Dinas Kimprawil dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan Tahun 2002 - 2006 No.
Tahun
Program
Volume
1 2 3 4 5
2002 2002 2003 2003 2003
3.081 m 3 Unit 5.081 m 20 Unit 1 Paket
6
2004
7 8 9
2006 2006 2006
Peningkatan Jalan Poros Desa Perbaikan Pasar Desa Peningkatan Jalan Poros Desa Pembangunan Kios Pasar Pembangunan Pelataran dan Prasarana Pasar Pembangunan Terminal Randangan Pembangunan Pasar Hewan Pemagaran Keliling Peningkatan jalan usaha tani
Biaya 390.690.000 299.940.000 1.616.200.000 200.000.000 170.459.000
1 Paket 1 Paket 1 Paket 1.700 m
216.485.000
Sumber : Dinas Kimpraswil, 2006
5.5.3. Fasilitasi Pemerintah Daerah Selanjutnya untuk menjaga harga dari permainan tengkulak, pemerintah daerah dalan hal ini pemerintah provinsi Gorontalo melaksanakan kebijakan kepastian harga di tingkat petani
melalui Limited Government Intervention
Policy. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah menetapkan harga dasar jagung ditingkat petani sebesar Rp 700,- per kg yang sebelumnya hanya dihargai sebesar Rp.400,- per kg melalui Surat Keputusan Gubernur No 370 Tahun 2002 tentang Harga Jual Jagung dalam Wilayah Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2006 SK ini kemudian di perbaharui melalui SK Gubernur No 119 tahun 2006 tentang Harga jual jagung dalam wilayah provinsi Gorontalo, dengan penetapan harga Rp 850 di tingkat petani dan Rp 950 di tingkat pedagang (gudang). Dengan adanya jaminan harga dari pemerintah membuat petani memperoleh kepastian harga sehingga meningkatkan keinginan untuk meningkatkan produksi. Disamping itu secara perlahan pergerakan harga mulai terlihat dimana sejak tahun 2005 harga jagung tidak pernah berada di bawah angka Rp.1000,- per kg. Dengan semakin meningkatnya harga jual jagung semakin mendorong petani untuk meningkatkan hasil produksi sehingga tujuan pemerintah untuk meningkatkan perluasan dan produksi jagung menjadi semakin dipermudah.
78
Tabel 24 Profil Kawasan Agropolitan Randangan dan Non Agropolitan Kawasan Aspek
Agropolitan (Kecamatan Randangan
Luas Lahan (Ha) 44.982 Ha Jumlah Penduduk (orang) 13.071 Komoditas Utama Jagung - Tanaman Pangan Kelapa - Perkebunan Kelembambagaan Pertanian 65 - Jumlah kelompok tani (unit) 13 - Jumlah Penyuluh Lapangan (orang) Infrastruktur tersedia - Jalan desa tersedia - Jalan Usaha tani tersedia - Telekominukasi tersedia - Ketersediaan Pasar tersedia - Listrik Lembaga Keungan tersedia - Bank tersedia - Koperasi Unit Desa Sumber : - BPS Kabupaten Pohuwato - Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato
Non Agropolitan (Kecamatan Taluditi) 15.997 6.321 Jagung Kacao 46 9 tersedia belum tersedia belum tersedia tersedia tersedia belum tersedia tersedia
5.6. Deskripsi Umum Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi Kawasan non agropolitan yaitu Kecamatan Taluditi memiliki luas 15.997 ha atau sekitar 3,77 persen dari luas Kabupaten Pohuwato. Dari luas Kecamatan Taluditi sekitar 17,41 persen dari luas kawasan ditanamani dengan tanaman jagung. Jumlah penduduk Kecamatan Taluditi sebagai kawasan non sebanyak 6.321 orang dengan tingkat pertumbuhan yang sama dengan kecamatan Randangan. Sama halnya dengan kawasan agropolitan Randangan mata pencaharian penduduk kawasan non agropolitan adalah dominan petani yaitu mendekati 70 persen dan sisanya adalah sebagai pedagang, tukang, PNS, swasta dan lain-lain. Perekonomian penduduk pada umumnya bertumpu pada aktivitas jual beli produk pertanian yang didominasi oleh pedagang perantara tingkat desa (tengkulak). Sarana prasarana penunjang pemasaran belum tersedia dengan baik
79
di kawasan non agropolitan. Demikian halnya dengan prasarana kesehatan, pendidikan dan prasarana sosial lainnya. Sarana prasarana kimpraswil berupa jalan akses atau jalan usaha tani belum tersedia meskipun jalan-jalan penghubung antar desa sudah tersedia secara memadai. Adapun penggunaan lahan di kawasan non agropolitan adalah sebagai berikut : Tabel 25 Penggunaan Lahan di Kawasan Non Agropolitan Kecamatan Taluditi No 1 2 3 4 5 6 7 8
Penggunaan Lahan Sawah Pekarangan Tegalan/Kebun Ladang/Huma Perkebunan Hutan Rakyat Hutan Negara Lain-lain Penggunaan
Total Luas Lahan
Kawasan Non Agropolitan 850 626 5.150 527 2.479 310 211 5.844 15.997
Sumber : Pohuwato dalam angka, 2006
Komoditas yang banyak dikembangkan di kawasan ini adalah jagung serta komoditi perkebunan kakao dan kopi. Pemasaran komoditas jagung dikawasan ini sama seperti kawasan agropolitan randangan didominasi oleh tengkulak yang berperan sebagai pengumpul jagung tingkat desa. Karena kekurangan modal usaha, petani kawasan non agropolitan biasanya meminjam kepada pedagang desa dengan konsekuensi hasil tani harus dijual kepada pedagang tersebut.
VI. DAMPAK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN 6.1. Analisis Ekonomi Wilayah Analisis basis ekonomi atau sering disebut analisis komparatif wilayah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato melalui analisis LQ dipandang perlu untuk mengetahui sektor-sektor unggulan wilayah. Disamping itu juga untuk mengetahui apakah komoditi unggulan jagung yang dijadikan sebagai entry point pengembangan agropolitan merupakan sektor basis atau non basis. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, analisis LQ sering digunakan untuk mengestimasi sektor yang memiliki karakteristik yang dapat membawa sejumlah unit uang kepada masyarakat melalui ekspor barang dan jasa. Dari hasil analisis LQ dari setiap sektor yang ada berdasarkan nilai PDRB Provinsi Gorontalo tahun 2000 sampai tahun 2006, terlihat bahwa ada 4 sektor yang merupakan sektor basis karena memiliki nilai LQ lebih dari 1 yaitu sektor pertanian, bangunan, pengangkutan dan jasa-jasa. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sub sektor tanaman bahan makanan merupakan sektor basis sebelum dan sesudah program agropolitan, dengan nilai LQ yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2000 nilai LQ sektor pertanian adalah sebesar 1,99 dan setelah program agropolitan nilai LQ terus meningkat dimana LQ tertinggi terjadi pada tahun 2006 mencapai 2,17. Hal ini di mungkinkan karena luas lahan pertanian di Provinsi Gorontalo masih sangat potensial untuk dikembangkan. Dimana dari luas wilayah Provinsi Gorontalo 1.221.544 Ha terdapat potensi lahan pertanian sebesar 443.140,28 Ha yang terdiri dari 383.769 Ha lahan kering dan 28.260 Ha lahan sawah. Tabel 26 Luas Lahan Pertanian Menurut Kabupaten di Provinsi Gorontalo No 1 2 3 4 5
Kabupaten/Kota
Lahan Sawah (Ha)
Lahan Kering (Ha)
Total Lahan (Ha)
Kab. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Pohuwato Kab. Bone Bolango Kota Gorontalo
3.981 18.458 3.035 1.846 940
157.113,62 64.426,38 112.159,00 44.496,06 5.574,00
184.667,85 72.174,38 133.819,00 45.951,05 6.528,00
Jumlah
28.260
383.769,06
443.140,28
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2007
81
Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh bahwa komoditi Jagung dan Padi merupakan komoditi basis di Provinsi Gorontalo. Jagung sebagai komoditi unggulan daerah merupakan sektor basis dimana nilai LQ jagung sebelum agropolitan tahun 2000 sampai 2002 nilai LQ jagung mengalami trend yang cenderung menurun yaitu bernilai 4,62 tahun 2000, dan 3,62 tahun 2002. Namun setelah program agropolitan bergulir trend LQ komoditi jagung mulai mengalami peningkatan yaitu bernilai 4,48 tahun 2003 dan 6,34 tahun 2006. Peningkatan nilai LQ komoditi jagung disebabkan karena terjadinya perluasan lahan jagung dan peningkatan produksi jagung, dimana dari tahun 2001 produksi jagung adalah sebesar 81.720 ton meningkat menjadi 416.222 ton pada tahun 2006. Nilai LQ komoditi jagung sempat mengalami penurunan pada tahun 2004. Hal ini kemungkinan disebabkan karena turunnya ekspor komoditi jagung pada tahun 2004 yang hanya mencapai 12.310 ton. Tabel 27 Ekspor dan Antar Pulau Komoditi Jagung di Gorontalo 2001 - 2007 No 1 2 3 4 5 6 7
Tahun
Eksport (Ton)
Antar Pulau (Ton)
6.300 6.700 18.950 12.310 35.960 21.573 41.116
48.754 15.244 91.601 109.606 49.871
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*
Ket : * Keadaan tanggal 15 Juli 2007
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Gorontalo, 2007.
Berdasarkan perkembangan diatas mengindikasikan bahwa sejak program agropolitan bergulir sektor pertanian termasuk sub sektor bahan makanan dan komoditi jagung
mampu memberikan kontribusi yang cukup terhadap
perekonomian wilayah Gorontalo, karena mampu mendatangkan sejumlah pendapatan dari luar wilayah Gorontalo. Sektor pertambangan dan sektor listrik dan air bersih bukan merupakan sektor basis di Provinsi Gorontalo. Hal ini kemungkinan disebabkan karena SDM Gorontalo masih sangat terbatas, dimana pengelolaan sektor ini masih
82
menggunakan teknologi sederhana sehingga hasilnya belum mampu mencapai produktivitas yang maksimal. Selanjutnya sektor industri pengolahan, perdagangan dan keuangan yang terkait erat dengan program agropolitan basis jagung merupakan sektor non basis di Provinsi
Gorontalo. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena belum
berkembangnya industri yang terintegrasi di provinsi Gorontalo yang terkait dari sektor hulu sampai ke hilir. Kebanyakan produk pertanian yang merupakan input bagi sektor industri merupakan komoditi ekspor yang dikirim sebagai bahan mentah. Demikian halnya dengan komoditas jagung yang merupakan entry point dari program agropolitan masih diekspor sebagai produk bahan mentah sehingga belum ada keterkaitan ke depan yang dapat menarik sektor-sektor ekonomi yang lain. Kedepannya harus dikembangkan industri pengolahan yang berbasis pada potensi daerah seperti pengolahan industri tepung jagung atau pakan ternak sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi perekonomian wilayah. Untuk sektor bangunan dan pengangkutan juga merupakan sektor basis di Gorontalo meskipun dari tahun ke tahun mengalami trend yang menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
Provinsi Gorontalo masih didominasi oleh
daerah pertanian yang identik dengan perdesaan sehingga jika di bandingkan dengan daerah industri atau perkotaan perkembangan sektor bangunan dan pengangkutan
lebih
besar
di
perkotaan
dibanding
perdesaan.
Setelah
pengembangan agropolitanpun terlihat kecenderungan penurunan nilai LQ kedua sektor ini, hal ini mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan kedua sektor ini di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan. Sektor jasa-jasa merupakan sektor basis di Provinsi Gorontalo, nilai LQ sektor ini sedikit mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan sektor jasa-jasa cukup baik di Provinsi Gorontalo dan sejak pengembangan agropolitan terlihat bahwa sektor jasa mulai berkembang. Lebih lanjut mengenai perkembangan nilai LQ Provinsi Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 28.
83
Tabel 28 Hasil Analisis LQ Provinsi Gorontalo Tahun 2000 – 2006 Lapangan Usaha
Tahun 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1,99
2,02
2,08
2,07
1,95
2,10
2,17
Tan.Bahan Makanan
1,61
1,63
1,72
1,79
1,77
1,95
2,04
- Jagung
4.62
4,11
3,62
4,48
4,29
5.75
6,34
- Padi
1,91
1,42
1,03
1,03
0,96
1,29
0,93
Pertambangan
0,06
0,07
0,08
0,09
0,09
0,10
0,11
Industri Pengolahan
0,45
0,37
0,36
0,35
0,33
0,34
0,30
Listrik dan Air Bersih
0,94
0,97
0,94
0,91
0,91
0,93
0,87
Bangunan
1,47
1,42
1,36
1,35
1,23
1,24
1,26
Perdagangan
0,99
0,98
0,96
0,91
0,83
0,83
0,82
Pengangkutan
2,03
2,09
1,73
1,60
1,62
1,62
1,53
Keuangan
0,79
0,77
0,81
0,94
0,99
0,92
0,92
Jasa-jasa
1,58
1,75
1,86
1,90
1,78
2,03
2,06
Pertanian
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007
Pengembangan agropolitan berbasis jagung juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perekonomian
wilayah Kabupaten Pohuwato
sebagai kawasan Agropolitan, dimana sejak memisahkan diri dari kabupaten Boalemo sebagai kabupaten induk sejak tahun 2003 mulai terlihat gejala pergeseran basis ekonomi. Sebelum agropolitan tahun 2000 sampai tahun 2002 Pohuwato masih merupakan bagian dari Kabupaten Boalemo,
berdasarkan
analisis LQ ternyata terdapat 3 sektor yang merupakan basis perekonomian wilayah Kabupaten Boalemo yaitu sektor pertanian, bangunan dan jasa-jasa. Dan sejak tahun 2004 setelah program agropolitan, disaat Pohuwato sudah merupakan daerah otonom yang berdiri sendiri sebagai suatu kabupaten, terlihat bahwa terdapat 5 sektor yang menjadi basis perekonomian wilayah yaitu sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, dan perdagangan. Sektor jasa yang sebelumnya menjadi sektor basis di kabupaten Boalemo menjadi sektor non basis di Kabaputen Pohuwato. Hal ini dimungkinkan karena sebagai kabupaten yang baru dimekarkan sektor jasa belum berkembang dengan baik di
84
Kabupaten Pohuwato. Hasil analisis LQ Kabupaten Boalemo dan Pohuwato di sajikan dalam Tabel 29. Tabel 29 Hasil Analisis LQ Kabupaten Boalemo Tahun 2000 – 2003 dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 - 2006 Kabupaten Boalemo
Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Pertanian
1,24
1,24
1,24
1,30
1,71
1,55
1,50
Tan.Bahan Makanan
1,11
1,28
1,35
1,56
1,64
1,59
1,55
- Jagung
3,05
3,86
3,98
4,11
5,41
2,83
3,08
- Padi
0,48
0,60
0,85
1,15
0,65
0,81
0,42
Pertambangan
0,80
0,76
0,69
0,61
0,84
0,76
0,70
Industri Pengolahan
0,50
0,59
0,60
0,59
7,53
6,95
6,36
Listrik dan Air Bersih
0,45
0,58
0,64
0,95
1,31
1,32
1,50
Bangunan
1,33
1,34
1,33
1,29
1,12
1,07
1,06
Perdagangan
0,68
0,77
0,76
0,76
1,11
1,32
1,24
Pengangkutan
0,60
0,53
0,60
0,59
0,37
0,33
0,33
Keuangan
0,87
0,90
0,89
0,82
0,85
0,74
0,94
Jasa-jasa
1,42
1,22
1,14
1,07
0,48
0,45
0,50
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007
Sektor pertanian dari tabel diatas sejak tahun 2000 memiliki nilai LQ lebih besar dari 1. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor andalan
memang sudah menjadi sektor basis sejak belum adanya program
agropolitan. Sub sektor tanaman bahan makanan dan komoditi jagung
juga
berkontribusi terhadap ekonomi Kabupaten Pohuwato karena nilai LQ berada diatas 1 sehingga dikategorikan sebagai sektor basis meskipun dua tahun terakhir terlihat mengalami trend yang menurun. Menurunnya nilai LQ komoditi jagung di kabupaten Pohuwato kemungkinan disebabkan oleh tingginya produksi yang berpengaruh pada harga produk, dimana pada akhir tahun 2004 harga jagung sempat mengalami fluktuasi yang tajam dan sempat hanya dinilai seharga Rp. 675 atau berada dibawah harga dasar pembelian pemerintah yaitu sebesar Rp. 700,-. Hal ini disebabkan karena kurangnya kontrol pemerintah terhadap harga pembelian dari para pedagang pengumpul atau tengkulak.
85
Pergeseran basis ekonomi wilayah setelah pengembangan agropolitan terjadi pada sektor Industri pengolahan, listrik dan air bersih serta sektor perdagangan. Munculnya basis ekonomi baru ini erat kaitannya dengan pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato. Hal ini disebabkan karena program agropolitan memiliki keterkaitan dengan ke 3 sektor ini sebagai penunjang keberhasilan program agropolitan itu sendiri. Dimana sektor industri pengolahan dan perdagangan merupakan sektor yang memiliki keterkaitan kedepan sedangkan listrik dan air bersih merupakan input untuk sektor industri pengolahan. Sejak pengembangan agropolitan sektor industri pengolahan menjadi basis ekonomi daerah Kabupaten Pohuwato. Ini dimungkinkan karena keberhasilan kegiatan pertanian di kabupaten Pohuwato menyebabkan terjadinya kenaikan pendapatan masyarakat petani sehingga daya beli masyarakat meningkat. Hal ini mendorong berkembangnya industri makanan dan minuman skala rumah tangga di Kabupaten Pohuwato. Bergesernya sektor perdagangan menjadi basis ekonomi di Kabupaten Pohuwato dimungkinkan karena dengan semakin meningkatnya produksi pertanian menyebabkan meningkatnya kegiatan perdagangan produk pertanian terlebih komoditi jagung sebagai produk unggulan daerah. Sektor listrik dan air bersih juga menjadi sektor basis setelah pengembangan agropolitan, hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya tingkat kehidupan masyarakat sejak pengembangan agropolitan sehingga meningkatkan konsumsi terhadap listrik dan air bersih. Hasil analisis LQ diatas, memperlihatkan bahwa masing-masing sektor di Provinsi Gorontalo maupun di Kabupaten Boalemo dan Pohuwato penyebarannya tidak seragam. Hal ini dimungkinkan karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik dan sumber daya yang berbeda, sehingga kontribusi dari masingmasing sektor juga berbeda antar wilayah. Dengan adanya perbedaan karakteristik yang dimiliki, maka upaya pengembangan wilayah haruslah berdasarkan pada sektor basis yang mempunyai kemampuan memberikan peningkatan pada perputaran konsumsi yang ada di wilayah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato yang pada akhirnya akan meningkatkan multiplier effect bagi perekonomian daerah.
86
Karena besarnya peran sektor basis terhadap proses peningkatan output suatu wilayah melalui proses multiplier, maka sektor basis sering disebut sebagai
leading sector bagi perekonomian daerah. Berdasarkan pemahaman tersebut maka sektor yang merupakan basis diidentikkan dengan sektor-sektor yang mampu dikirim ke luar daerah dan dapat menciptakan aliran pendapatan yang berasal dari luar daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai siklus konsumsi di wilayah tersebut. Dari hasil analisis LQ terlihat bahwa
perekonomian Gorontalo tidak
mengalami pergeseran basis ekonomi karena tidak terjadi perubahan atau penambahan sektor basis. Dimana sejak tahun 2000 sampai 2006 hanya terdapat 4 sektor yang menjadi basis ekonomi wilayah yaitu sektor pertanian, bangunan, pengangkutan dan jasa-jasa. Berbeda halnya dengan Provinsi Gorontalo, di Kabupaten Pohuwato
sejak program agropolitan dicanangkan mulai terjadi
perubahan atau pergeseran basis ekonomi dimana sektor yang menjadi basis bukan saja berasal dari sektor primer yang mengandalkan sumber daya alam saja tetapi juga berasal dari sektor sekunder (industri pengolahan, listrik dan bangunan) dan sektor tersier (perdagangan) yang mengandalkan aktivitas ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat sudah mulai berkembang tidak hanya dalam kelompok sektor primer saja tapi sudah merambah sampai ke kelompok tersier. Perubahan atau pergeseran basis ekonomi di Kabupaten Pohuwato setelah pengembangan agropolitan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain karena sejak pengembangan agropolitan proses on farm dalam masyarakat cukup berhasil sehingga terjadi peningkatan produksi dan produktivitas lahan pertanian yang mengakibatkan peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan daya beli masyarakat sehingga aktivitas ekonomi dalam hal ini perdagangan dapat bergerak. Peningkatan pendapatan masyarakat juga berpengaruh terhadap industri pengolahan makanan di kabupaten Pohuwato. Dimana peningkatan pendapatan masyarakat mendorong berkembangnya industri pengolahan makanan di wilayah ini. Program agropolitan yang mengadakan penyuluhan dan pelatihan petani penangkar benih juga mendorong bertumbuhnya industri skala RT dalam penyediaan benih jagung. Selanjutnya
peningkatan
87
pendapatan dapat menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk menggunakan listrik dan air bersih sehingga terjadi peningkatan konsumsi listrik dan air bersih. Kendala yang dihadapi oleh Provinsi Gorontalo secara keseluruhan dan Kabupaten Pohuwato adalah belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis pada pertanian dalam hal ini komoditi unggulan jagung, dimana hasil pertanian terlebih khusus komoditi jagung masih diekspor dalam bentuk biji jagung sebagai bahan baku industri. Permintaan terhadap jagung yang sangat besar dari daerah lain maupun luar negeri membuka peluang pasar yang bagus buat komoditi jagung. Dalam jangka pendek, hal ini sangat menguntungkan bagi Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato karena kelebihan produksi dapat diekspor sehingga menghasilkan devisa bagi penerimaan daerah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah tumbuh cepat. Namun dalam jangka panjang, perlu dirangsang investasi untuk pengembang industri pengolahan berbasis komoditi unggulan, karena selain dapat menambah nilai tambah juga dapat mengatasi masalah tenaga kerja diluar sektor pertanian. Pada dasarnya pembangunan perdesaan tidak akan berhasil sebelum sektor non pertaniannya berkembang. Hal ini disebabkan karena produktifitas dari sektor primer pertanian secara relatif cenderung lemah (Rustiadi , 2006). Selanjutnya melengkapi analisis LQ, untuk melihat pengaruh dari masingmasing sektor ekonomi terhadap perekonomian Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato dapat dijelaskan dengan analisis shift-share (SSA). Hasil perhitungan dengan menggunakan SSA untuk tahun 2001 dan 2003 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di Provinsi Gorontalo sebelum pengembangan agropolitan adalah sebesar 0,1378. Jika diamati lebih lanjut lajut, Sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, perdagangan dan sektor pengangkutan mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari dibandingkan laju pertumbuhan total di Provinsi Gorontalo. Laju pertumbuhan sektor pertanian 0,0016 lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan di Provinsi Gorontalo. Sedangkan sektor-sektor seperti sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, pertambangan, keuangan dan jasa-jaas memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan laju laju pertumbuhan total di Provinsi Gorontalo. Dalam hal ini laju
88
pertumbuhan komoditi jagung 0,2472 lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan di provinsi Gorontalo. Nilai pergeseran differensial menunjukkan tingkat kompetisi berbagai sektor perekonomian sebelum pengembangan agropolitan. Hasil analisis menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sektor pertambangan, bangunan, perdagangan, keuangan dan jasa-jasa sebelum agropolitan mempunyai tingkat
competitiveness lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lain. Sehingga untuk mengembangkan sektor tersebut tidak akan memberikan nilai tambah yang optimal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan sektor sektor jasa-jasa 0,1527 lebih kecil dibandingkan tingkat tingkat pertumbuhan sektor tersebut secara umum di Provinsi Gorontalo. Sebaliknya sektor-sektor seperti pertanian dan turunannya, industri pengolahan, listrik dan air bersih serta pengangkutan mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar, dalam arti akan lebih meningkatkan nilai tambah jika di kembangkan. Tabel 30
Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sebelum Agropolitan Tahun 2001 dan 2003 Pertumbuhan ekonomi Lapangan Usaha
0,1378 Pergeseran proporsional
Pergeseran Differensial
-0,0016
0,0568
Tanaman Bahan Makanan
0,0677
0,2627
- Jagung
0,2472
0,0875
Pertambangan
0,1678
-0,2626
Industri Pengolahan
-0.0302
0,0074
Listrik dan Air Bersih
-0,0233
0,7195
Bangunan
-0,0238
-0,0439
Perdagangan
-0,0834
-0,0062
Pengangkutan
-0,1715
0,1061
Keuangan
0,3255
-0,1260
Jasa-jasa
0,0842
-0,1527
Pertanian
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo tahun 2001 dan 2003, diolah.
89
Hasil analisis pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo dengan analisis
shift-share pada tahun 2004 dan 2006 (setelah agropolitan) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di Provinsi Gorontalo adalah sebesar 0,1502 yang berarti terjadi peningkatan dibanding periode sebelumnya (sebelum agropolitan. Setelah program agropolitan
ada 7 sektor yang memiliki laju
pertumbuhan yang lebih besar dari laju pertumbuhan total Provinsi yaitu sektor pertanian, sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor pertambangan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan sektor jasa-jasa. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah pengembangan agropolitan terjadi perbaikan kinerja dari sektor-sektor ekonomi di provinsi Gorontalo. Sektor yang mengalami perubahan atau perbaikan kinerja yaitu sektor pertanian, sektor bangunan, sektor perdagangan dan sektor pengangkutan. Tabel 31 Hasil Analisis Shift-Share Provinsi Gorontalo Sesudah Agropolitan Tahun 2004 dan 2006 Pertumbuhan ekonomi Lapangan Usaha
0,1502 Pergeseran proporsional
Pergeseran Differensial
0,0097
-0,0952
Tanaman Bahan Makanan
0,0408
-0,0166
- Jagung
0,9082
-0,8323
Pertambangan
0,0698
-0,1523
Industri Pengolahan
-0,1649
0,0951
Listrik dan Air Bersih
-0,0793
0,2099
Bangunan
0,0285
-0,0116
Perdagangan
-0,0292
0,1988
Pengangkutan
0,0500
-0,0984
Keuangan
-0,1142
0,1574
Jasa-jasa
0,1208
0,1111
Pertanian
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo tahun 2004 dan 2006, diolah. Selanjutnya setelah pengembangan agropolitan yaitu periode tahun 2004 dan 2006, terjadi perubahan tingkat kompetisi (competitiveness) di Kabupaten Pohuwato, dimana sektor pertanian dan turunannya (Sub sektor tanaman bahan makanan dan komoditi jagung) mengalami kinerja yang menurun. sedangkan
90
sektor-sektor tersier yaitu perdagangan, keuangan dan jasa-jasa terjadi peningkatan kinerja. Hal ini mengindikasikan terjadi setelah agropolitan terjadi pergeseran keunggulan kompetitif dari sektor primer yang mengandalkan Sumber daya alam ke sektor sekunder dan tersier yang mengandalkan aktifitas ekonomi. Namun demikian terlihat juga bahwa sektor pertanian yang menjadi sektor unggulan masih setelah agropolitan justru mengalami penurunan kinerja yang menggambarkan daya saing sektor tersebut masih rendah dan perlu mendapat perhatian serius, karena dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap perekonomian wilayah.
6.2. Dampak terhadap Perekonomian Wilayah Menurut konsep basis ekonomi wilayah, bahwa pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah terjadi karena adanya efek pengganda (multiplier effect) dari pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh melalui penjualan barang dan jasa yang dihasilkan wilayah itu atas penjualan keluar wilayah. Besarnya effek pengganda pendapatan ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut yang ditunjukkan oleh koefisien pengganda pendapatan yang dihasilkannya. Untuk itu besarnya koefisien pengganda dapat diukur dengan menggunakan model analisis sebagai berikut : 6.2.1. Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Dalam model basis ekonomi, multiplier adalah perbandingan antara pendapatan non basis dengan total pendapatan daerah sehingga nilai ini menggambarkan mengenai aktivitas yang dilakukan penduduk pada suatu daerah dalam perekonomian terhadap total pendapatan.
Hasil perhitungan koefisien
pengganda jangka pendek dengan menggunakan model yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel
memperlihatkan fluktuasi
koefisien pengganda jangka pendek dari tahun 2003 sampai 2006 Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Namun besar kecilnya koefisien pengganda jangka pendek tidak hanya tergantung pada sektor basis, tetapi juga tergantung pada sektor non basis. Sehingga fluktuasi nilai pengganda jangka pendek akan dipengaruhi oleh keseimbangan pertumbuhan antara sektor non basis dan sektor basis.
91
Nilai koefisien
pengganda jangka pendek sektor pertanian dan sub
sektor tanaman bahan makanan serta komoditi jagung Kabupaten Pohuwato lebih rendah dibandingan dari Provinsi Gorontalo. Nilai pengganda jangka pendek sektor pertanian Provinsi Gorontalo mencapai nilai tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 3,28. Yang berarti bahwa setiap perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp.328,-. Dan mencapai nilai terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,10 yang berarti bahwa setiap perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp.310,-. Sedangkan nilai pengganda jangka pendek sektor pertanian Kabupaten Pohuwato mencapai nilai tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 2,17. Ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian
sebesar Rp.100,- akan
menyebabkan perubahan pendapatan daerah sebesar Rp. 217,-. Selanjutnya nilai koefisien pengganda jangka pendek komoditi jagung Provinsi Gorontalo mencapai nilai tertinggi pada tahun 2004 yaitu sebesar 30,22 dan mencapai nilai terandah tahun 2005 yaitu sebesar 15,63. Hal ini berarti bahwa pada setiap perubahan pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp.100 akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp. 3.022,- pada tahun 2004 dan Rp.1.563.- tahun 2005. Sedangkan untuk Kabupaten Pohuwato, nilai pengganda pendapatan jangka pendek mencapai nilai tertinggi pada tahun 2004 sebesar 5,59 dan nilai terendah tahun 2006 yaitu sebesar 5,24. Hal ini berarti setiap perubahan pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp. 559,- pada tahun 2004 dan Rp. 524,- pada tahun 2006. Sektor industri pengolahan di Provinsi Gorontalo memiliki nilai LQ < 1 sehingga tidak dapat dilakukan pergitungan koefisien pengganda jangka pendek. Keadaan ini berarti bahwa sektor ini dalam perekonomian Gorontalo hanya mampu mensuplai hasilnya untuk kebutuhan dalam perekonomian sendiri atau bahkan kurang dari yang dibutuhkan oleh perekonomian Provinsi Gorontalo. Sedangkan nilai koefisien pengganda pendapatan jangka pendek sektor industri pengolahan di Kabupaten Pohuwato mencapai nilai tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 16,07 dan terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 15,10. Hal ini
92
berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor industri pengolahan sebesar Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Kabupaten Pohuwato sebesar Rp. 1.607,- pada tahun 2006 dan Rp. 1.510,- pada tahun 2004. Selanjutnya sektor listrik dan air bersih memberikan dampak pengganda jangka pendek yang paling tinggi di Kabupaten Pohuwato yaitu pada sebesar 128,00 pada tahun 2004. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor listrik dan air bersih sebesar Rp.100 akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah sebesar Rp.12.800,Tabel 32 Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Berbagai Sektor di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003 - 2006 Provinsi Gorontalo
Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha
2003
2004
2005
2006
2004
2005
2006
Pertanian
3,17
3,10
3,28
3,26
2,01
2,12
2,17
Tan.Bahan Makanan
7,39
7,62
7,14
7,02
4,64
4,47
4,54
- Jagung
29,65
30,22
15,63
16,12
5,59
5,51
5,24
- Padi
20,32
-
21,88
-
-
-
-
Pertambangan
-
-
-
-
-
-
-
Industri Pengolahan
-
-
-
-
15,10
15,25
16,07
Listrik dan Air Bersih
-
-
-
-
13,00
13,94
13,61
12,99
12,42
12,69
12,24
Perdagangan
-
-
-
-
6,67
5,49
5,81
Pengangkutan
11,57
10,58
9,90
9,68
-
-
-
Keuangan
-
-
-
-
-
-
-
Jasa-jasa
5,73
6,08
5,38
5,25
-
-
-
Bangunan
128,00 123,23 114,94
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007
Dari nilai pengganda pendapatan jangka pendek terlihat bahwa sektor pertanian dan terlebih khusus komoditi unggulan jagung memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato meskipun dari tahun ke tahun mengalami kecenderungan menurun. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 32), terlihat bahwa sektor-sektor primer di Kabupaten Pohuwato memiliki koefisien pengganda jangka pendek yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor-sektor sekunder dan tersier. Hal ini mengindikasikan
93
bahwa di samping sektor primer sektor-sektor sekunder dan tersier juga memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di Kabupaten Pohuwato. 6.2.2. Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berdasarkan model pada metodologi maka perhitungan analisis jangka panjang dapat dilihat pada Tabel 33. Dari tabel terlihat bahwa nilai koefisien pengganda jangka panjang masing-masing sektor sangat fluktuatif. Sektor pertanian memiliki nilai koefisien pengganda yang cenderung stabil sepanjang tahun. Namun sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih, bangunan, pengangkutan dan jasa cenderung fluktuatif. Tabel 33 Pengganda Pendapatan Jangka Panjang Berbagai Sektor di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2003 - 2006 Provinsi Gorontalo
Kabupaten Pohuwato
Lapangan Usaha
2003
2004
2005
2006
2004
2005
2006
Pertanian
3,63
3,44
3,65
3,89
2,77
2,83
2,34
10,50
9,55
9,17
10,82
12,54
9,58
5,31
- Jagung
160,02 153,42
30.30
83,69
23,21
16,05
6,30
- Padi
108,21
67,89
-
-
-
-
Tan.Bahan Makanan
Pertambangan
-
-
-
-
-
-
-
Industri Pengolahan
-
-
-
-
14,35
18,66
33,10
Listrik dan Air Bersih
-
-
-
-
7,80
9,00
42,91
27,08
22,15
23,52
37,17
18,04
24,78
20,12
Perdagangan
-
-
-
-
71,53
15,91
7,14
Pengangkutan
21,52
14,72
14,28
18,80
-
-
-
Keuangan
-
-
-
-
-
-
-
Jasa-jasa
7,43
7,25
6,45
7,12
-
-
-
Bangunan
Sumber : Data Hasil Olahan, 2007.
Nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian Provinsi Gorontalo mencapai nilai terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 3,44 dan tertinggi pada tahun 2006 sebesar 3,89. Angka ini berarti bahwa untuk setiap perubahan pendapatan sektor pertanian sebesar Rp.100 akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Gorontalo sebesar Rp.344,- pada tahun 2004 dan sebesar Rp. 389,- pada tahun 2006. Sedangkan Kabupaten Pohuwato
94
memiliki nilai koefisien pengganda jangka panjang sektor pertanian terendah pada tahun 2006 yaitu sebesar 2,34 dan tertinggi pada tahun 2005 yaitu sebesar 2,83. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada sektor pertanian sebesar Rp.100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Kabupaten Pohuwato sebesar Rp. 234 pada tahun 2006 dan Rp. 283 pada tahun 2005. Komoditi Jagung sebagai komiditi unggulan daerah juga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah meskipun mengalami kecenderungan yang menurun dimana nilai koefisien jangka panjang komoditi jagung mencapai nilai tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar 160,02 untuk Provinsi Gorontalo dan tahun 2004 yaitu sebesar 23,21 untuk Kabupaten Pohuwato. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pendapatan pada komoditi jagung sebesar Rp. 100,- akan menyebabkan perubahan pada pendapatan daerah Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 16.002,- dan Rp.2.321,- untuk Kabupaten Pohuwato. Kecenderungan penurunan koefisien pengganda pendapatan
ini dapat
dipahami karena belum maksimalnya kinerja dari aspek-aspek yang dapat menunjang terkait dari sektor hulu sampai sektor hilir. Misalnya, Masih terbatas pengetahuan petani dan keterbatasan modal menyebabkan pemupukan belum dilakukan sesuai dengan komposisi yang seharusnya. Hal ini akan berdampak pada belum maksimalnya produktivitas dari kemampuan optimum benih yang seharusnya, yang pada akhirnya berdampak pada nilai tambah petani.
VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT
7.1. Karakteristik Masyarakat Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring serta manfaat yang dapat dirasakan masyarakat dalam setiap program atau kegiatan pembangunan. Berdasarkan hasil penelitian dari Rompon (2006), ada berbagai penyebab sehingga kurangnya partisipasi dalam kegiatan pembangunan yaitu faktor internal yang berkaitan dengan terbatasnya waktu dan faktor eksternal yang berkaitan dengan
kurangnya
transparansi
penyampaian
informasi
dalam
kegiatan
pembangunan. Disamping itu faktor lain yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terkait dengan keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. 7.1.1. Aspek Ekonomi Sebagai kawasan pertanian sebagaian besar masyarakat dikawasan agropolitan memiliki mata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil sebagai PNS, pedagang, tukang, nelayan dan lain-lain. Seluruh responden yang terdata dalam penelitian ini 100%
memiliki mata pencaharian utama sebagai petani
pemilik. Dimana 33,33% petani memiliki luas lahan kurang dari 2 Ha, 55,33% memiliki luas lahan 2 Ha dan 13,33% memiliki lahan lebih dari 2 Ha. Tingkat pendapatan petani bervariasi antara Rp.7.000.000 per ha per tahun sampai Rp.12.000.000,- per ha per tahun, dimana sebanyak 43,33% petani memiliki pendapatan kurang dari Rp.10.000.000,- per ha per tahun dan 56,66% petani memiliki pendapatan diatas Rp.10.000.000,- per ha per tahun. Karena program agropolitan sangat terkait dengan petani sebagai pelaku utama maka keterlibatan petani baik sebagai individu maupun dalam kelompok tani terlihat jelas, misalnya dengan bergabungnya petani dalam kelompok tani dan aktif menghadiri kegiatan penyuluhan. Keterlibatan masyarakat dalam hal ini petani berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini, dimana petani mendapat banyak informasi tentang usaha tani, teknologi tepat guna dan informasi tentang bantuan yang diberikan oleh pemerintah sehingga dapat meningkatkan ekonomi keluarga.
96
7.1.2. Aspek Sosial Dari aspek sosial yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat petani, terlihat bahwa sebagian besar petani dikawasan agropolitan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Responden petani dalam penelitian memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi yaitu 23,33% petani memiliki tingkat pendidikan setara SMA sedangkan sisanya 43,33% setara SMP dan 33,33% SD. Disamping itu, SDM dibidang pertanian yang ada selama ini bekerja belum berdasarkan pengetahuan dan kemampuan teknis yang memadai, tetapi hanya berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara inkremental. Keadaan in sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan agropolitan. 7.1.3. Aspek Budaya Budaya juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat. Dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang berkembang
dalam
masyarakat.
Nilai
solidaritas
sosial,
kekeluargaan,
kebersamaan dan kegotong royongan diantara warga masih melekat dalam masyarakat tani kawasan agropolitan. Budaya gotong-royong dalam masyarakat Gorontalo dikenal dengan sebutan huyula . Di bidang pertanian budaya ini terlihat dari penyiapan lahan hingga panen yang dilakukan secara gotong-royong. Begitu pula untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, hajatan maupun tertimpa musibah, masyarakat secara bersama-sama membantu mereka yang mempunyai hajatan atau tertimpa musibah.
7.2. Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Untuk mengetahui dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dan non agropolitan. Kawasan nonagropolitan yang diambil yaitu di Kecamatan Taluditi yang merupakan daerah
hinterland-nya yang berada dalam satu kabupaten yang sama yaitu kabupaten Pohuwato. Dalam analisis ini akan dilihat apakah pembangunan infrastruktur yang
97
dilakukan dikawasan agropolitan berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani. Hasil analisis usahatani pada wilayah sampel menunjukkan terdapat kecenderungan rata-rata tingkat pendapatan petani per hektar per tahun
di
kawasan agropolitan lebih tinggi di bandingkan dengan kawasan non agropolitan. Rata-rata
tingkat
pendapatan
petani
di
kawasan
agropolitan
sebesar
Rp.10.080.016,-/ ha per tahun, sedangkan rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- / ha per tahun. Hal ini berarti bahwa pembangunan infrastruktur agropolitan antara lain dengan pembangunan jalan dan pasar di kawasan agropolitan mempunyai efek yang berarti terhadap rata-rata peningkatan pendapatan petani. Lebih jauh hasil uji beda rata-rata dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 34 Hasil Analisis Uji t Perbandingan Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan Uraian Agropolitan Non agropolitan T –value T – tabel
N
Mean
Standar Deviasi
Standar Error
30 30
10080017 5506967
1727609 1000130
315417 182598
12,55 2,045
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007
Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata 95% memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan. Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai statistik tabel 2,045.
Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan
Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP) lebih baik dibandingkan di Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang. Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan
melalui
pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida. Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat
98
memasarkan produksi pertanian langsung di lahan pertanian (dikebun) sehingga mengurangi atau meminimalisasi ongkos produksi petani. Dalam hal ini biaya transportasi menjadi tanggungan dari pedagang. Hal ini tidak terjadi di desa non agropolitan, tidak tersedianya fasilitas jalan usaha tani di Kecamatan Taluditi menyebabkan tingginya biaya produksi di tingkat petani karena biaya transportasi dibebankan kepada petani. Hal ini menyebabkan share dari petani / keuntungan petani yang menjadi pendapatan petani menjadi kecil. Di desa non agropolitan transaksi atau penjualan hasil panen tidak dilakukan di lahan/lapang tetapi harus dilakukan digudang, di rumah pedagang perantara atau di jalan desa yang dapat dijangkau oleh transportasi. Biaya pengangkutan dari kebun ke tempat transaksi menjadi beban petani. Petani harus mengeluarkan biaya pengangkutan yang tinggi karena tidak tersedianya jalan akses ke pasar dari lokasi produksi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petani di desa non agropolitan
harus
mengeluarkan biaya pengangkutan rata-rata Rp.1.728.667,- per hektar per tahun untuk mengangkut hasil panen. Tabel 35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan Randangan Tahun
Luas Lahan (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2002
3.717
8.803
2,37
2003
6.517
29.326
4,50
2004
8.418
37.881
4,50
2005
10.263
51.109
5,00
Sumber : - Kecamatan Randangan dalam Angka - Dinas Pertanian
Pelaksanaan penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur pemasaran dan transportasi signifikan meningkatkan pendapatan petani. Secara hipotetik faktor yang mempengaruhi pendapatan petani diantaranya adalah meningkatnya produktivitas, menurunnya biaya usaha tani diantaranya biaya transportasi dan meningkatnya harga jual komoditi pertanian. Penyuluhan pertanian yang dilaksanakan sangat membantu petani dalam transfer teknologi sehingga terjadi peningkatan produktivitas dan hasil produksi. Ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani karena sebelum agropolitan produksi jagung hanya
99
mencapai 1 - 2 ton per hektar namun
setelah program agropolitan terjadi
peningkatan produksi sebesar 5-6 ton per hektar. Hal ini disebabkan karena petani mulai menerapkan teknologi dengan menggunakan bibit unggul dan pemupukan dalam produksi. Tersedianya infrastruktur transportasi dan pemasaran yang memadai menyebabkan petani dapat menekan biaya produksi. Di kawasan agropolitan dengan dibangunnya jalan usaha tani sampai ke sentra-sentra produksi (hamparan/kebun), memudahkan pengangkutan hasil panen petani dan menekan biaya transportasi. Fakta dilapangan juga terlihat bahwa rata-rata harga komoditi jagung di kawasan agropolitan relatif lebih tinggi dari rata-rata harga komoditi jagung di kawasan non agropolitan. Jika dilihat dari sumber pendapatan petani responden kawasan agropolitan dan non agropolitan terlihat bahwa pendapatan dari pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar dan 50 persen lebih sumber pendapatan petani responden berasal dari usahatani jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan infrastruktur agropolitan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat petani di kawasan agropolitan. Tabel 36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan Sumber Pendapatan A. On Farm • Jagung • Kelapa • Kakao B. Off Farm • Upah pertanian dan non pertanian C. Non Farm • Warung • Transportasi (musiman) Jumlah
Randangan (Rp/Tahun) 151.200.250 22.537.500
%
63,04 9,40
30.600.000
12,76
35.500.000
14,80
239.837.750
Sumber : Hasil olahan data primer, 2007
100
Taluditi (Rp/Tahun)
%
82.604.500
53,22
42.000.000
26,67
25.200.000
16,24
6.000.000
3,87
155.204.500
100
100
Jika
dibandingkan
dengan
penelitian
terdahulu
tentang
evaluasi
agropolitan terlihat bahwa pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato relatif lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan ekonomi wilayahnya melalui program agropolitan dengan menerapkan berbagai instrumen misalnya dengan aa kebijakan intervensi harga dari pemerintah. Namun demikian meskipun terjadi peningkatan pendapatan petani, namun terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan agropolitan di Kecamatan Randangan. Pertama, kemampuan permodalan petani yang masih terbatas sehingga penggunaan pupuk masih belum sesuai dengan dosis. Petani masih melaksanakan budidaya sesuai dengan kemampuan modal yang ada. Program agropolitan belum dapat meningkatkan akses petani terhadap permodalan. Petani masih
menggunakan
modal
sendiri
atau
meminjam
kepada
pedagang
pengumpul/tengkulak. Peran perbankan sebagai sarana penunjang pengembangan agribisnis belum terlihat, karena belum tersedianya skim kredit untuk pertanian dan petani masih enggan untuk meminjam di bank karena prosedur yang berbelit dan memerlukan agunan. Permasalahan kedua adalah sistem pemasaran yang masih dikuasai oleh tengkulak atau pedagang pengumpul. Petani di kawasan agropolitan cenderung lebih memilih pedagang pengumpul untuk menjual hasil produksinya karena untuk menekan biaya transportasi. Dengan terbukanya jalan usaha tani, pedagang dapat mengambil hasil produksi langsung di hamparan petani/kebun sehingga ongkos transportasi menjadi beban dari pedagang. Disatu sisi keberadaan pedagang pengumpul membantu petani dalam aspek penyediaan modal namun di sisi yang lain keberadaan pedagang pengumpul/tengkulak menyebabkan petani hanya sebagai penerima harga (price taker) karena harga komoditi ditentukan oleh pedagang. Ketiga adalah belum berfungsinya
kelembagaan petani dalam proses
pemasaran hasil, sehingga petani masih menjual hasil produksinya secara personal. Hal ini menyebabkan petani tidak mempunyai kemampuan dalam menegosiasikan harga dengan pedagang. Keberadaan KUD, kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) masih terbatas pada penyediaan saprodi dan
101
aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor, tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul. Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar belum berkembang di kawasan agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian. Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan. Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan
102
lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas lingkungan.
7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dilakukan sebagai perwujudan dari tanggapan masyarakat atas masalah yang ada dalam masyarakat serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat tersebut. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembangunan berarti memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk merumuskan masalahmasalah yang ada di masyarakat, memobilisir sumberdaya setempat dan mengembangkan kelompok organisasi masyarakat setempat. Dampak positif dari proses partisipasi ini antara lain adalah bahwa masyarakat dapat mengerti permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang diambil. Selanjutnya partisipasi masyarakat menurut Cofen dan Uphoff (1977) dalam Harahap (2001) adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana, keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program dan keterlibatan dalam evaluasi program. Berdasarkan definisi diatas, maka partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan adalah partisipasi yang interaktif dan mobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan oleh masyarakat. Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam menunjang program agropolitan diwujudkan baik secara individu maupun kelompok. Secara individu, masyarakat dalam hal ini petani berpartisipasi dengan turut terlibat dalam setiap kegiatan yang terkait dengan program dan melaksanakan penerapkan teknologi tepat guna dan penggunaan bibit unggul dalam usahatani sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Secara kelembagaan, melalui gabungan kelompok tani atau gapoktan adalah terjadinya pertukaran informasi antar sesama kelompok tani tentang usaha tani dan informasi harga. Namun fakta dilapang terlihat bahwa tujuan pembentukan kelembagaan dalam hal ini kelompok tani masih terbatas
103
pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all (2004) yang mengemukakan bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah pasca panen dan pemasaran hasil. Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6. Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 (tiga) untuk aspek komunikasi, 2 (dua) untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dan 3 (tiga) untuk aspek kontrol terhadap kebijakan publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 (delapan). Tabel 37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan No 1.
2.
3.
Aspek
Variabel • • • •
Informasi Forum pengambilan keputusan Jumlah orang yang berpartisipasi Intervensi yang dilakukan aparat
Pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan
• • • •
Konsep partisipasi Tingkat kepuasan Prosedur untuk berpartisipasi Tingkat partisipasi dalam kelompok
Kontrol terhadap kebijakan publik
• Akses terhadap forum perencanaan • Kriritk atas mekanisme forum perencanaan • Keterlibatan masyarakat dalam implementasi proyek
Komunikasi
Sumber : Data primer, hasil olahan (2007).
Total Skor
80,9
74,8
78,6
104
Hasil analisis dengan menggunakan derajat partisipasi Arnstein, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Kecamatan Randangan sebagai kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi, ini dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan hasil analisis dan jawaban dari responden terlihat bahwa 66,6% responden mengetahui adanya program agropolitan yang dilaksanakan. Dari segi komunikasi terlihat bahwa program-program dalam lingkup desa pada dasarnya sudah melalui diskusi baik kelompok tani maupun dalam forum desa. Meskipun demikian intervensi dari pemerintah masih terlihat cukup dominan. Hal ini direpresentasikan dengan 83.3% responden yang mengemukakan bahwa masyarakat masih melakukan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah baik melalui penyuluh pertanian maupun melalui petugas tingkat kecamatan. Dimana kegiatan masyarakat harus disesuaikan dengan program-program yang dijalankan oleh pemerintah. Keadaan SDM yang masih sangat rendah baik pendidikan dan keahlian membuat hal ini dimungkinkan terjadi. Jadi meskipun terjadi komunikasi, namun masih bersifat satu arah. Karena pada hakekatnya agar program dapat tersosialisasi sampai pada masyarakat maka cara yang digunakan adalah disampaikan melalui kelompok tani atau melalui pertemuan desa dalam penyuluhan. Tabel 38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan Derajat Partisipasi
Nilai Faktor
Indeks
Kelompok Tingkat Otoritas Masyarakat
A
B
C
Pengawasan Masyarakat
4
4
4
12
Pendelegasian Kekuasaan
4
3-4
3
10-11
Partnership/Kemitraan
4
3
2-3
9-10
Peredaman Kemarahan
4
2-3
2
8-9
Konsultasi
3-4
2
2
7-8
Menyampaikan informasi
2-3
1-2
1-2
7-8
Terapi
2
1
1
4
Manipulasi
1
1
1
3
Tingkat Tokenisme
Non Partisipasi
Sumber : Data primer, hasil olahan (2007)
Dari segi pengetahuan masyarakat terhadap pengambilan keputusan masyarakat tidak mengerti dan tidak pernah terlibat didalamnya. Yang diketahui
105
masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan. Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan (2005) yang mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program/ kegiatan sudah sesuai dengan apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas” Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan partisipatif
yang terkandung dalam desentralisasi (otonomi daerah) dimana
masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam pembangunan. Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik melalui wadah kelompok tani, masyarakat
bisa melakukan kritik terhadap
program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad (2004), partisipasi berada pada tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan (institutional
regidities) didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman (inertia) dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada (baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) menjalankan
106
konsep partisipasi tersebut secara benar. Kekakuan kelembagaan menyebabkan organisasi yang ada menjalankan kebiasaan yang ada dalam arti tidak mengalami perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses musrembang belum benar benar efektif berjalan masih sebatas sebagai ritual belaka. Hal ini sejalan dengan penelitian Riyanto (2003), yang mengemukakan bahwa paradigma partisipasi yang ada ternyata belum didukung oleh praksis yang memadai bahkan cenderung bertentangan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, upaya pemerintah daerah untuk membuka diri ternyata tidak diikuti oleh sebuah pemberlakuan mekanisme yang baik, atau terkesan setengah hati dan malahan menciptakan sebuah program kegiatan yang bertentangan dengan prinsip paradigmanya sendiri; hasilnya adalah sebuah bentuk konsultasi yang tidak genuine dan belum partisipatif. Program agropolitan merupakan program yang bersifat top down karena program ini merupakan program dari pusat yang ditujukan untuk mengatasi masalah disparitas pembanguan perdesaan dan perkotaan. Dalam era otonomi daerah program ini selanjutnya di delegasikan kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan untuk memacu perkembangan daerah perdesaan. Namun sangat disayangkan dalam pelaksanaannya di daerah sifat ini masih terus melekat, dimana keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan masih sangat kurang diakomodasi. Perencanaan partisipatif yang menjadi inti dari desentralisasi terkesan hanya sekedar untuk mencukupi syarat keharusan saja. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pohuwato, intervensi pemerintah masih sangat besar sehingga keterlibatan masyarakat hanya terbatas dalam pelaksanaan kegiatan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan merupakan merupakan keikutsertaan dan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat di dalam merencanakan,
melaksanakan,
melestarikan
dan
mengembangkan
hasil
pembangunan yang telah tercapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dari kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembagunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan program pembangunan serta kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil program pembangunan. Sebagai bentuk kegiatan, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan mencakup partisipasi dalam perencanaan kegiatan, pembuatan keputusan pelaksanaan
107
kegiatan,
pemantauan
dan
evaluasi
kegiatan
serta
pemanfaatan
hasil
pembangunan. Berdasarkan
uraian
diatas,
dapat
disimpulkan
bahwa
partisipasi
masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan dan keberlanjutan proyek pembangunan. Karenanya seharusnya pemerintah sebagai perencana dan pembuat kebijakan dalam pembangunan melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan yang ada melalui keterlibatan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DI KAWASAN AGROPOLITAN Seperti yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan data-data kuantitatif yang ada diketahui bahwa sejak program agropolitan basis jagung yang dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani dan perekonomian wilayah. Hal ini terlihat di tingkat mikro terjadi peningkatan pendapatan petani jagung karena hadirnya berbagai fasilitas penunjang dalam kegiatan agribisnis dan di tingkat makro terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Namun permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah adalah belum maksimalnya keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan dan masih rendahnya daya saing wilayah yang ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja dari masing-masing sektor unggulan yang ada di Kabupaten Pohuwato dibandingkan dengan total wilayah yaitu Provinsi
Gorontalo. Rendahnya daya saing wilayah dapat
menyebabkan lambatnya perkembangan ekonomi lokal wilayah Kabupaten Pohuwato. Oleh karenanya untuk memperbaiki keadaan atau kondisi tersebut perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangannya. 8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato Untuk mengetahui apakah pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal, maka harus diketahui kondisi dan status pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Dan untuk mengetahui status dan kondisi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, dilakukan analisis terhadap enam komponen atau unsur yang disebut sebagai Heksagonal PEL yaitu : kelompok sasaran PEL, faktor lokasi, kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses manajemen. Keseluruhan komponen PEL dalam Heksagonal tersebut bertujuan untuk
mengembangkan
mengetahui
faktor-faktor
ekonomi
wilayah secara
pengungkit
dari
pengembangan ekonomi lokal maka dapat
berkelanjutan. Dengan
masing-masing
aspek
dalam
diidentifikasi strategi untuk
109
mengembangkan ekonomi pada suatu kawasan pengembangan. Hal ini karena strategi pengembangan ekonomi disusun berdasarkan faktor pengungkit tersebut. Berdasarkan hasil analisis RALED secara keseluruhan status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Hal ini berdasarkan hasil analisis bobot gabungan dimensi PEL yaitu sebesar 57,19 (lihat Tabel 39). Namun hasil dari masing-masing dimensi atau aspek PEL Kabupaten Pohuwato secara parsial berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dimensi atau Aspek kelompok sasaran memiliki nilai indeks tertinggi yaitu sebesar 67,16 diikuti oleh aspek faktor lokasi dengan nilai indeks 59,50. Aspek kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses manajemen memiliki nilai indeks yang lebih rendah dibandingkan kedua aspek lainnya meskipun tidak dapat dikatakan sebagai indeks yang buruk karena sudah berada pada kisaran 50 tetapi memerlukan penanganan yang lebih teliti lagi, karena sangat rentan terhadap goncangan. Tabel 39 Status Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato No Dimensi/Aspek PEL
Nilai
Bobot
Indeks
Gabungan
Jumlah
1
Kelompok Sasaran
67,16
0,252949095 16,98806124
2
Faktor Lokasi
59,50
0,190570254 11,33893014
3
Kesinergian dan Fokus Kebijakan
53,49
0,158997939
4
Pembangunan Berkelanjutan
51,91
0,072503375 3,763650181
5
Tata Pemerintahan
51,09
0,202353005 10,33821502
6
Proses Manajemen
50,99
0,122626332 6,252716677
JUMLAH
8,50479974
57,18637299
Sumber : Hasil olahan data primer, 2007
Selanjutnya
berdasarkan
hasil dari
masing-masing
aspek
dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal dengan menggunakan analisis RALED maka dibuat perbandingan masing-masing nilai aspek dalam bentuk Diagram Radar atau diagram laba-laba seperti berikut :
110
Status Pengem bangan Ekonom i Lokal Kabupaten Pohuw ato Kelompok Sasaran 100 80
67.16
60
Proses Manajemen
Faktor Lokasi
40
50.99
59.5
20 0
53.49 51.09 Tata Pemerintahan
51.91
Kesinergian dan Fokus Kebijakan
Pembangunan Berkelanjutan
Gambar 9
Diagram Laba-laba Status Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato
Untuk lebih spesifik melihat faktor pengungkit dari masing masing aspek atau dimensi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, maka perlu dilihat faktor pengungkit dari masing-masing aspek tersebut.
8.1.1. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran Hasil analisa dengan menggunakan perangkat lunak RALED menunjukkan bahwa indeks dari aspek kelompok sasaran mencapai angka 67,16 atau berada diatas angka 50. Hal ini menunjukkan atau mengindikasikan bahwa kondisi aspek kelompok sasaran dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi baik. Secara skematis status aspek kelompok sasaran ataupun ordinasi aspek kelompok sasaran disajkan pada Gambar 10. Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya dapat ditentukan faktor pengungkit (leverage factor) dari aspek kelompok sasaran. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk dapat meningkatkan status kelompok sasaran menuju status yang lebih baik.
111
RALED Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries 0 BAD
20
40
60
References
GOOD 100 120
0 80
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 10 Status Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato
Hasil analisis faktor atribut/atribut pengungkit (leverage factor) untuk aspek kelompok sasaran di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan pada gambar 11.
Leverage of Attributes
Attribute
Kecepatan pengurusan ijin bagi investasi baru Insentif pemda dalam bentuk pemberian dana stimulan, dan keringanan biaya Pendampingan dan monitoring bisnis pelaku usaha baru Fasilitasi Pelatihan Kewirausahaan bagi Pelaku Usaha Baru Upaya Pemda untuk Peningkatan Teknologi, Manajemen dan Kelembagaan Lokal Promosi Produk UKM dari Pemda Upaya Fasilitasi Permodalan dari Pemda Pusat Layanan Investasi Kampanye Peluang Berusaha Keamanan Kepastian Berusaha dan Hukum Informasi Prospek Bisnis Peraturan tentang Kemudahan Investasi 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 11
Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran di Kabupaten Pohuwato
112
Gambar 11 menunjukan bahwa indikator yang menjadi faktor pengungkit utama untuk aspek kelompok sasaran di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut : 1) Pusat layanan investasi Pusat pelayanan investasi mempunyai peran penting dalam pengembangan ekonomi lokal karena dapat memberikan informasi bagi calon investor luar mengenai potensi investasi agribisnis dan agroindustri jagung di kawasan pengembangan. Pusat pelayanan investasi dapat memberikan jasa layanan konsultasi investasi bagi investor dari luar wilayah yang belum mengetahui tantang peta potensi investasi di kawasan pengembangan. Munculnya faktor pengungkit utama pusat pelayanan investasi diduga disebabkan karena belum tersedianya informasi tentang peta kondisi potensi investasi terlebih khusus investasi agibisnis dan agroindustri jagung yang mendukung di Kabupaten Pohuwato serta belum berkembangnya jasa konsultasi investasi di wilayah tersebut. Belum maksimalnya kinerja dinas perindustrian, koperasi dan penamanan modal tercermin dari masih kurangnya investasi dari pihak swasta di Kabupaten Pohuwato. Sampai pada tahun 2005 investasi di Kabupaten Pohuwato hanya sebesar Rp. 457.682.077.596,-
dan dari total investasi tersebut 73%
bersumber dari pemerintah dan hanya 27% dari pihak swasta.
Selanjutnya
dukungan APBD untuk mengembangkan perekonomian Kabupaten Pohuwato sebagian besar masih ditujukan untuk pengembangan infrastruktur penunjang sedangkan untuk pengembangan pertanian sendiri masih relatif kurang yaitu hanya sebesar 2,76% pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 5,98% pada tahun 2005. Disamping itu salah satu faktor penghambat masuknya investasi juga disebabkan karena
investasi merupakan kewenangan dari provinsi sehingga
kabupaten/kota sangat tergantung pada provinsi. 2) Promosi Produk UKM dari Pemda Faktor pengungkit kedua, disebabkan karena masih minimnya promosi produk UKM agribisnis dan agroindustri oleh Pemerintah Daerah. Produk-produk hasil olahan pertanian seperti dodol jagung yang sedang dikembangkan oleh BPPT, keripik dan emping yang diproduksi oleh rumah tangga belum mendapat perhatian serius dari Pemerintah Daerah.
Semestinya sebagai daerah
113
pengembangan yang baru berkembang, aspek promosi ini sangat diperlukan oleh dunia usaha untuk memperluas pasar sehingga UKM daerah dapat lebih berkembang. Salah satu penyebab dari minimnya atau kurangnya promosi UKM dari Pemda kemungkinan disebabkan karena saat ini konsentrasi pemerintah daerah masih terfokus pada pembangunan sarana-sarana fisik pelayanan publik berupa pembangunan pembangunan kantor-kantor pemerintah yang di pusatkan dalam satu kawasan pembangunan blok plan.
Kedepannya agar PEL dapat
berkembang baik maka pemerintah daerah perlu melakukan promosi UKM seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi terhadap promosi agropolitan. 3) Kampanye Peluang Berusaha. Selanjutnya faktor pengungkit ke tiga yaitu kampanye peluang berusaha dibidang agribisnis dan agroindustri jagung. Rendahnya intensitas sosialisasi peluang berusaha komoditas jagung menjadikan komoditi ini belum berkembang dalam diversifikasi produk. Dalam arti pasar produk ini masih sebatas sebagai produk ekspor yang belum diolah. Padahal jagung merupakan salah satu produk strategis karena selain dapat diekspor jagung merupakan bahan mentah bagi produk-produk lainnya seperti tepung jagung, bubur jagung, pakan ternak dan sebagainya. Prioritas pemerintah yang terfokus pada pembangunan fisik pelayanan publik menyebabkan aspek kampanye peluang berusaha belum maksimal dilakukan oleh perintah daerah. Satu hal yang luput dicontoh dari Pemda Kabupaten Pohuwato yaitu pembelajaran dari apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, dimana promosi dan kampanye peluang berusaha
yang
gencar menyebabkan mata seluruh Indonesia bahkan dunia melirik ke pPovinsi Gorontalo. Kampanye peluang berusaha yang kontinyu dilakukan baik melalui media massa maupun melalui pameran, seminar dan pada berbagai kesempatan akan membuat investor tertarik dan melakukan investasi
sehingga dapat
memperbaiki status PEL kearah yang lebih baik. 8.1.2. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi Faktor lokasi merupakan salah satu syarat keharusan dalam ekonomi wilayah. Faktor ini menggambarkan bagaimana daya tarik dari sebuah lokasi bagi penyelenggaraan suatu kegiatan usaha. Kondisi aspek faktor lokasi dalam
114
pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi baik. Hal ini didasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status faktor lokasi dengan menggunakan analisis RALED yang mencapai 59,50 atau berada diatas angka 50. Secara skematis
status aspek faktor lokasi di sajikan pada
Gambar 12.
RALED Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 Real Fisheries 0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
100
References 120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 12
Status Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato
Selanjutnya dari indeks atau status tersebut dapat ditentukan faktor pengungkit (leverage factor) dari aspek faktor lokasi. Dengan mengetahui faktor pengungkit maka akan dapat diketahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk dapat memperbaiki atau meningkatkan status faktor lokasi menuju status yang lebih baik. Gambar 13 menunjukkan hasil analisis faktor/atribut pengungkit untuk aspek faktor lokasi di Kabupaten Pohuwato.
115
Leverage of Attributes
Fasilitas umum dan fasilitas sosial Kualitas Pelayanan Kesehatan Kualitas dari fasilitas pendidikan Kualitas Lingkungan Kualitas Pemukiman
Attribute
Pelayanan perijinan satu atap Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah dan Swasta bukan Perguruan Tinggi Lembaga penelitian perguruan tinggi Peluang kerjasama dalam industri sejenis maupun industri hulu-hilir Industri yang memiliki mata rantai lengkap dari hulu ke hilir untuk suatu komoditas Citra dari dari kota/kabupaten Citra dari lokasi (sentra usaha) Peran dan kebijakan pemerintah pusat kepada daerah Peran dan kebijakan pemerintah propinsi kepada daerah Iklim perekonomian lokal Jumlah penyaluran kredit Jumlah Lembaga keuangan lokal Tenaga Kerja Terdidik Tenaga Kerja Terampil Upah TK dibanding Daerah Sekitar Infrastruktur Energi Infrastruktur Komunikasi Sarana Transportasi Akses ke Pelabuhan Udara Akses ke Pelabuhan Laut Kondisi Jaringan Jalan
0
10
20
30
40
50
60
70
Root M ean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 13
Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi di Kabupaten Pohuwato
Berdasarkan hasil analisis RALED diketahui bahwa yang menjadi faktor pengungkit aspek faktor lokasi di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut : 1) Pelayanan Perijinan satu atap Belum berjalannya pelayanan perijinan satu atap di Kabupaten Pohuwato menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit utama. Rantai birokrasi yang
116
terlalu panjang dan berbelit-belit dalam pengurusan perijinan dalam berinvetasi kemungkinan
menyebabkan pengembangan ekonomi lokal belum dapat
berkembang maksimal. Lamanya pengurusan perijinan menyebabkan salah satu faktor penentu masuknya investasi di suatu kawasan. Oleh karenanya kedepan diperlukan kemudahan dalam pengurusan perijinan, terutama terkait dengan investasi agribisnis jagung yaitu dengan memperpendek jalur birokrasi melalui pelayanan perijinan satu atap sehingga dapat menjadi pembuka jalan untuk masuknya investasi swasta di Kabupaten Pohuwato. 2) Kualitas dari Fasilitas Pendidikan Kualitas
dari
Fasilitas
pendidikan
sangat
berpengaruh
terhadap
pengembangan ekonomi lokal, ketersediaan fasilitas yang memadai dapat meningkatkan kualitas SDM dalam suatu wilayah. Kualitas pendidikan di Kabupaten Pohuwato yang masih
rendah dan belum mampu memenuhi
kebutuhan kompetensi peserta didik menjadi salah satu faktor munculnya kualitas dari fasilitas pendidikan sebagai faktor pengungkit. Rendahnya kualitas pendidikan terutama disebabkan karena : •
Ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kualitas maupun kuantitas.
•
kesejahteraan pendidik yang masih rendah,
•
fasilitas belajar yang masih belum mencukupi secara memadai,
•
biaya operasional pendidikan yang belum tersedia secara memadai. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pohuwato, tingkat
kelayakan guru yang tidak layak mengajar untuk SD/MD 90,46% untuk SMP/MTS 55,70% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 16,67% . Disamping itu keadaan prasarana pendidikan di Kabupaten Pohuwato sampai dengan tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 40. Pada tabel terlihat bahwa tingkat pendidikan anak usia dini terdiri dari 43 unit gedung dengan 73 kelas, jumlah kelas yang layak dipakai hanya 71,23% sedangkan 20,55% berada dalam kondisi rusak ringat dan 8,42% rusak berat. Keadaan prasarana pendidikan dasar terdiri dari 103 unit gedung dengan jumlah kelas sebanyak 613, dimana 88,09% layak dipakai dan 9,13% berada dalan keadaan rusak ringan dan 2,77% rusak berat. Untuk tingkat pendidikan lanjutan (setara SLTP) terdiri dari 27 unit gedung
117
dengan 146 ruang kelas, dari jumlah tersebut 84,93% berada dalam keadaan layak pakai
9,58% rusak ringan dan 5,47% rusak berat. Sedangkan untuk
pendidikan menengah (setara SMA) jumlah gedung 11 unit dengan 80 ruang kelas dimana 78,85% berada dalam kondisi layak pakai dan 21,25% berada dalam kondisi rusak ringan. Berdasarkan Uraian data tersebut nampak bahwa kebijakan pendidikan kedepan harus memprioritaskan peningkatan kualitas gedung pendidikan dan kualitas pengajar guna menunjang proses belajar mengajar. Tabel 40 Keadaan Prasarana Pendidikan Kabupaten Pohuwato Tahun 2005 No
Jenis Pendidikan
Jumlah Gedung
Jumlah Ruang Kelas
Kondisi Ruang Belajar Layak Pakai
%
Rusak Ringan
%
Rusak Berat
%
1.
TK Jlh PAUD
43 43
73 73
52 52
71,23 71.23
15 15
20,55 20,55
6 6
8,42 8,42
2. 3.
SD MI Jlh Dikdas
99 4 103
594 19 613
530 10 540
89,23 52,63 88,09
50 6 56
8,42 31,58 9,13
14 3 17
2,36 15,79 2,77
4. 5.
SMP MTs Jlh Dikdas 2
17 10 27
110 36 146
100 24 124
90,91 66,67 84,93
10 4 14
9,09 11,11 9,58
0 8 8
0.00 22,22 5,47
SMA SMK MA Jumlah Dikmen
5 2 4 11
47 18 15 80
35 16 12 63
74,47 88,89 80,00 78,75
12 2 3 17
25,53 11,11 20,00 21,25
0 0 0 0
0 0 0 0
6. 7. 8.
Sumber : Diknas Pohuwato, 2005. 3 ) Fasilitas Umum dan Sosial Sebagai kabupaten yang baru yang masih berbenah diri masih banyak fasilitas umum dan sosial yang belum tersedia secara memadai sehingga hal ini kemungkinan menjadi penyebab munculnya faktor fasilitas umum dan sosial sebagai faktor pengungkit.
Ketersediaan fasilitas jembatan untuk menunjang
kelancaran transportasi dalam menunjang proses pemasaran komoditas unggulan jagung masih belum mencukupi di Kabupaten Pohuwato. Data dari dinas
118
kimpraswil menyebutkan bahwa baru sekitar 50% ketersediaan jembatan yang ada dari kebutuhan yang seharusnya selama 5 tahun yang akan datang. Tabel 41 Kebutuhan dan Ketersediaan Jembatan Per Kecamatan Kabupaten Pohuwato No
Kecamatan
Kebutuhan (5 Thn)
Ketersediaan
1 2 3 4 5 6 7
Marisa Paguat Patilanggio Randangan Taluditi Lemito Popayato
15 bh 14 bh 9 bh 11 bh 15 bh 14 bh 17 bh
8 bh 8 bh 8 bh 6 bh 9 bh 8 bh 4 bh
Total
95 bh
52 bh
Sumber : Dinas kimpraswil Kabupaten Pohuwato
Untuk menunjang kelancaran pemasaran produk ungggulan jagung diperlukan ketersediaan jembatan, jalan usaha tani, serta jalan provinsi yang tersedia dalam kualitas baik sehingga usaha agribisnis jagung dapat terlaksana dengan baik dan semakin menarik investor untuk berinvestasi di Kabupaten Pohuwato
8.1.3.Status dan Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan Berdasarkan hasil analisis RALED untuk aspek kesinergian dan fokus kebijakan PEL di Kabupaten Pohuwato diperoleh indeks mencapai 53,49. Ini menunjukan bahwa status aspek kesinergian dan kokus kebijakan di Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi marginal atau pas-pasan. Hal ini disebabkan karena meskipun sudah berada diantara range 50-75 yang dikategorikan baik, tapi indeks ini hanya sedikit berada dibatas bawah range sehingga sangat rentan dan memerlukan perhatian yang lebih. Secara skematis hasil analisis Raled untuk aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan dapat dilihat pada Gambar 14 berikut :
119
RALED Ordination
60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
100
References
120
Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 14 Status Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten Pohuwato
Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya
dengan analisis RALED
dapat diketahui atau ditentukan faktor faktor apa sajakah yang merupakan faktor pengungkit atau faktor yang sensitif yang dapat diintervensi sehingga dapat memperbaiki atau meningkatkan status aspek kesinergian dan fokus kebijakan mejadi lebih baik lagi. Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage
attributes) untuk aspek kesinergian dan fokus kebijakan di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan dalam Gambar 16. Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan urutan prioritasnya yang menjadi faktor pengungkit utama untuk aspek kesinergian dan fokus kebijakan PEL di Kabupaten Pohuwato adalah : 1) Kebijakan Pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan perkotaan CBD Pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) diharapkan dapat mengembangkan ekonomi lokal suatu kawasan. Hal ini disebakan karena kota pertanian dikawasan agropolitan dapat menjadi pusat pertumbuhan baru yang dapat menarik dan menghela desa-desa disekitarnya sebagai daerah hinterland. Dengan adanya agropolitan yang berbasis jagung diharapkan aktivitas masyarakat
120
di bidang non pertanian juga dapat lebih berkembang seperti UKM dan Industri kecil sehingga
dapat memacu pertumbuhan ekonomi lokal di wilayah tersebut.
Berdasarkan survey lapangan di Kawasan Agropolitan Randangan, aktivitas di bidang pertanian masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi belum berkembangnya industri pengolahan yang berbasis jagung menyebabkan UKM dan IKM di kawasan agropolitan belum berkembang sehingga kemungkinan membuat faktor ini menjadi faktor pengungkit pertama. Investasi UKM dan IKM di kabupaten masih sangat terbatas padahal masih banyak potensi daerah yang dapat dimanfaatkan dan digali. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Gorontalo, jumlah perusahaan IKM masih dibawah
Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Masih
terbatasnya jumlah perusahaan yang berinvestasi menyebabkan serapan TK di sektor non pertanian pun menjadi rendah, sehingga tidak dapat mendorong pertumbuhan wilayah . Gambar 15
Jumlah Perusahaan Industri Kecil, Menengah dan Tenaga Kerja Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2005
8000 7000 6000 5000 4000
Jumlah Perusahaan Tenaga kerja
3000 2000 1000 0 Boalemo
Gorontalo Pohuw ato
Bone Bolango
Kota Gorontalo
Sumber : Gorontalo dalam angka, 2007
2) Kebijakan kerjasama antar daerah /pemda Selanjutnya untuk lebih menigkatkan ekonomi lokal suatu wilayah diperlukan kerjasama antar wilayah sehingga dapat memobilisasi potensi daerah untuk dikembangkan. Kerjasama antar daerah baik di bidang pertanian, perdagangan, perhubungan dan bidang lainnya sangat diperlukan agar alokasi sumberdaya dapat lebih efisien dan efektif. Pada hakekatnya kerjasama antar wilayah sudah menjadi kebijakan di Kabupaten Pohuwato akan tetapi dalam
121
prakteknya egoisme daerah masih terlihat dan menguasai dalam keseharian pemerintahan. Untuk pengembangan wilayah secara keseluruhan terlihat dengan adanya rencana pemerintah untuk membangun pelabuhan laut di Kabupaten Pohuwato dalam RPJM 2005-2010. Padahal di Kabupaten tetangga Boalemo terdapat pelabuhan laut yang dapat digunakan untuk aktivitas perdagangan dan bongkar muat. Jika hal ini dapat dimanfaatkan dengan baik, dalam arti Pemda Kabupaten Pohuwato dapat menjalin kerjasama dengan Kabupaten Boalemo dengan membagi share yang adil atas penggunaan pelabuhan maka dapat terjalin suatu hubungan dan kerjasama yang baik antar daerah sehingga dapat membentuk suatu keterkaitan yang saling menguntungkan. Model kerjasama yang seperti ini masih belum berjalan sehingga masing-masing wilayah ingin membangun outlet sendiri-sendiri yang memerlukan dana yang tidak sedikit sehingga anggaran pemerintah masih belum teralokasi untuk kepentingan publik yang lebih luas dan mendasar. Sedangkan kerjasama dalam pengembangan agribisnis jagung masih dalam tataran provinsi dimana terjalinya kerjasama antar provinsi dalam hal ini Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Kerjasama tersebut dalam hal pemasaran dan penyediaan bibit, dimana Provinsi Gorontalo menyediakan bibit komposit hasil penangkaran dan hasil produksi dari provinsi-provinsi tersebut di jual ke Provinsi Gorontalo. Akan tetapi kerjasama seperti ini belum terjadi pada tataran kabupaten, baik untuk memenuhi skala produksi maupun skala ekonomi. Dengan memberikan perhatian dan memperbaiki kedua faktor diatas maka diharapkan dapat membuat pengembangan ekonomi lokal Kabupaten Pohuwato ke arah yang lebih baik.
122
Leverage of Attributes Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar sentra usaha Kebijakan tata ruang PEL
Attribute
Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda Kebijakan pengembangan komunitas sep:perbaikan lingkungan, perbaikan kampung Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan perkotaan Kebijakan pembangunan kawasan industri hinterland/ industri Kebijakan pengurangan kemiskinan secara partisipatif Kebijakan pemberdayaan masyarakat berbasis kemitraan dengan dunia usaha Kebijakan Pengembangan keahlian Kebijakan informasi bursa tenaga kerja Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar pelaku ekonomi Kebijakan peningkatan peran Perusahaan Daerah Kebijakan pemberdayaan UKM Kebijakan persaingan usaha Kebijakan promosi daerah Kebijakan peningkatan investasi
0
0.2 0.4 0.6 0.8
1
1.2 1.4 1.6 1.8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 16 Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan di Kabupaten Pohuwato
8.1.4. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan Kondisi
aspek
pembangunan
berkelanjutan
dalam Pengembangan
Ekonomi Lokal Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi marjinal. Hal ini ini berdasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status aspek pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan analisis RALED yang mencapai 51,91 atau berada sedikit di atas angka 50. Secara skematis status aspek pembanguna berkelanjutan di sajikan pada Gambar 17 berikut :
123
RALED Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries 0 0 BAD
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 17
Status Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato
Berdasarkan hasil analisis faktor pengungkit diperoleh beberapa faktor utama yang merupakan faktor sensitif dari aspek pembangunan berkelanjutan. Faktor pengungkit ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk melakukan intervensi yang dianggap perlu dan penting dalam rangka peningkatan pengembangan ekonomi lokal di daerah tersebut. Gambar 18 menunjukkan faktor pengungkit untuk aspek pembangunan berkelanjutan.
124
Leverage of Attributes
Kebijakan konservasi sumber daya alam dalam PEL Pengelolaan dan pendaur ulangan limbah
Kebijakan pemecahan permasalahan lingkungan
Attribute
PEL mempertimbangkan Keberadaan adat dan kelembagaan lokal Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal Jumlah perusahaan yang melakukan Inovasi pengembangan produk dan pasar Jumlah perusahaan yang telah memiliki Business plan Pengembangan industri pendukung untuk keberlanjutan sistem industri Sistem industri yang berkelanjutan 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 18 Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato Berdasarkan analisis RALED, diperoleh beberapa faktor pengungkit utama untuk aspek pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato sesuai dengan prioritasnya yaitu sebagai berikut : 1) Jumlah Perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar, Belum adanya perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit utama dalam aspek ini. Pada tahun 2006 Pohuwato terdapat 617 industri hasil pertanian dan kehutanan, 785 industri kerajinan rumah tangga, 31 industri logam mesin dan kimia serta 5 aneka industri.
Di Kabupaten Pohuwato jumlah perusahaan yang
berinvestasi pada pengolahan komoditas jagung masih belum ada. Pengolahan komoditas jagung masih sebatas pada proses perubahan dari jagung tongkol menjadi jagung pipilan, dimana proses ini pun terjadi di tingkat petani. Kebanyakan perusahaaan yang berinvestasi masuk pada sektor perikanan karena daerah ini juga memiliki potensi yang besar di sektor ini. Potensi di sektor
125
pertanian lainnya terlebih sub sektor tanaman pangan dan perkebunan masih belum mendapat perhatian dari investor. Hal ini terbukti dengan belum berkembangnya baik industri skala kecil, menegah maupun besar untuk berinvestasi dalam sektor pertanian basis jagung. Kebanyakan hasil produksi pertanian masyarakat dalam hal ini komoditi jagung masih di pasarkan dalam bentuk biji jagung (jagung pipilan) sebagai bahan mentah produksi. Proses pengolahan jagung selanjutnya masih sebatas pada perbaikan kualitas/ mutu biji jagung yang dilakukan oleh pedagang pengumpul baik dengan cara alami melalui penjemuran
dengan
sinar
matahari
maupun
melalui
teknologi
dengan
menggunakan mesin pengering. Proses pengolahan jagung belum menyentuh pada proses perubahan bentuk Jika dilihat dari potensi yang ada sektor ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai suatu industri yang terintegrasi. Sehingga menjadi tugas pemerintah daerah untuk mempromosikan dan menjual potensi yang ada agar dilirik oleh investor. 2) Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal Pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Pohuwato secara mikro sudah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat petani namun secara absolut masih belum menghasilkan pendapatan yang memadai untuk hidup layak. Hal ini di lihat dari tingkat pendapat masyarakat yang masih rendah, meskipun dari tahun ke tahun mulai ada peningkatan. Tahun 2004 pendapatan per kapita masyarakat adalah sebesar Rp. 3.217.901 meningkat menjadi Rp. 3.570.205 pada tahun 2006. Hal ini berarti bahwa banyak masyarakat Kabupaten Pohuwato prasejahtera yang hanya memiliki pendapatan kurang lebih $ 1 per hari. Potensi sumber daya alam Pohuwato cukup banyak namun secara ekonomi belum dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat karena pemanfaatannya belum optimal.
126
Pendapatan per kapita 3600000 3400000 Pendapatan per kapita
3200000 3000000 2004
2005
2006
Gambar 19 Perkembangan pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Pohuwato Salah satu indikator kesejahteraan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan hasil dari kajian Bappenas (2008), IPM Kabupaten Pohuwato masih berada di bawah IPM Provinsi Gorontalo yaitu hanya sebesar 67,4 meskipun berada diatas kabupaten Boalemo dengan nilai indeks 66,4. Terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat Pohuwato, pengembangan agribisnis basis jagung di kabupaten pohuwato sedikit banyak sudah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat meskipun belum maksimal. Gambar 20 Indeks Pembangunan Manusia Tingkat Kabupaten di Provinsi Gorontalo IPM 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 em o Ka b. Po hu K w ab at .B o on e Bo la ng o Pr ov .G or on ta lo
al o
K ab .B oa l
K ab .G or nt
K ot a
G or on ta lo
IPM
Sumber : Human Development Index Provinsi Gorontalo, Bappenas 2008
127
3) Jumlah perusahaan yang memiliki Bussiness Plan Pada dasarnya perusahaan yang memiliki bussiness plan adalah perusahaan-perusahaan kelas menengah dan besar yang berinvestasi pada sektor pertanian secara umum dalam hal ini sektor perikanan. Sedangkan untuk industri jagung sendiri belum ada perusahaan yang berkecimpung didalamnya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, industri pengolahan jagung yang berkembang di pohuwato masih sebatas pada perubahan jagung tongkol menjadi jagung pipilan dan perbaikan kualitas biji jagung.
Karena belum berkembangnya industri
pengolahan basis jagung di Pohuwato menyebabkan perusahaan yang memiliki
bussiness plan pun belum ada. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, dimana perlu dirangsang kreativitas masyarakat untuk menghasilkan produkproduk olahan berdasarkan basis pertanian masyarakat setempat. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang sektor pertanian, karena pertanian yang tangguh perlu didukung oleh industri pengolahan berbasis pertanian. Investasi-investasi swasta perlu dirangsang melalui kemudahan dalam berinvestasi serta berbagai instrumen lain seperti kebijakan fiskal dan sebagainya.
8.1.5. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan. Kondisi aspek Tata Perintahan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi marjinal (pas-pasan). Hal ini didasarkan pada hasil analisis untuk indeks atau status Tata Pemerintahan dengan menggunakan analisis RALED ysng mencapai 51,09. Secara skematis status aspek Tata Pemerintahan di sajikan pada Gambar 21 berikut ini :
128
RALED Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40
20 Real Fisheries BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 21 Status Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato
Selanjutnya dari indeks atau status tersebut sapat ditentukan faktor pengungkit (leverage factor) dari aspek Tata Pemerintahan. Dengan mengetahui faktor pengungkit maka akan dapat diketahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk dapat memperbaiki atau mningkatkan status aspek Tata Pemerintahan menuju status yang lebih baik. Gambar 22 berikut menunjukkan hasil analisis faktor/atribut pengungkit untuk aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato. Adapun faktor pengungkit utama aspek Tata Pemerintahan berdasarkan hasil analisis adalah sebagai berikut : (1) Manfaat asosiasi/organisasi bagi anggotanya Hasil penelitian dilapang menemukan bahwa keadaan asosiasi dan organisasi industri yang dibentuk hanya untuk mencukupi syarat perlu saja. Keberadaan kelembagaan kelompok tani yang ada di kawasan agropolitan secara kuantitas memang mengalami kemajuan karena semakin meningkat tapi secara kualitas keberadaannya masih belum banyak memberikan manfaat untuk memberdayakan masyarakat tani. Hal ini disebabkan karena fungsi dan tujuan dari kelembagaan ini masih sebatas pada informasi untuk pengelolaan usaha tani belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Petani belum mampu
129
memanfaatkan kelembagaan ini sabagai wadah untuk memberdayakan diri misalnya kelompok tani yang ada membentuk suatu asosiasi petani jagung yang akan bermanfaat dalam menegosiasikan harga komoditi tersebut dengan pihak pembeli. Kelembagaan kelompok tani ini justru terlihat lebih banyak bermanfaat bagi pihak pemerintah, yaitu memudahkan kontrol dalam pemberian bantuan dan evaluasi. (2) Peran asosiasi industri/komoditi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di bidang PEL, Kelembagaan KUD yang sudah ada di desa pun masih belum banyak memberikan manfaat bagi anggotanya karena masih bersifat top down, disamping keterbatasan SDM dalam manajemen dan SDM Petani yang masih rendah. Hal ini menyebabkan manfaat dari asosiasi dan lembaga tersebut tidak dapat dirasakan oleh anggota-anggotanya. Fenomena ini sudah sangat umum terjadi di Indonesia, dimana pembentukan suatu organisasi atau asosiasi hanya untuk melengkapi presyaratan semata saja bukan merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan. Hal ini menyebabkan organisasi tidak bertahan lama dan hanya muncul disaat ada kegiatan saja. Keadaan ini menyebabkan manfaat asosiasi tidak banyak dirasakan oleh para anggotanya. Hal ini juga yang menjadi penyebab peran asosiasi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di bidang PEL belum banyak. Karena kebanyakan para pengurus hanya berperan sebagai rent
seeker untuk kepentingan sendiri. (3) Prosedur pelayanan administrasi publik. Masih lemahnya prosedur pelayanan administrasi publik merupakan masalah dan kendala dalam pengembangan ekonomi di Kabupaten Pohuwato. Pengurusan administrasi yang panjang dan berbelit menjadi penghalang masuknya investasi dan respek masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. Diharapkan dengan adanya intervensi atau perlakuan terhadap ke tiga faktor tersebut, sehingga masyarakat sudah dapat lebih merasakan manfaat dari asosiasi tempat mereka bernaung dan perbaikan terhadap pelayanan publik maka diharapkan dapat meningkatkan status aspek tata pemerintahan ke tingkat yang lebih baik.
130
Leverage of Attributes
Manfaat asosiasi/organisasi bagi anggotanya Peran Asosiasi industri/komoditi/ Forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di Status Asosiasi industri/ komoditi/ Forum Bisnis Attribute
Prosedur pelayanan administrasi publik Restrukturisasi organisasi pemerintah Reformasi sistem insentif pengembangan SDM aparatur Kemitraan di bidang pembiayaan usaha Kemitraan di bidang promosi dan perdagangan Kemitraan di bidang infrastruktur 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 22 Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan di Kabupaten Pohuwato
8.1.6. Status dan Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen. Kondisi aspek proses Manajemen dalam Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato menunjukkan status atau kondisi baik. Data hasil analisis RALED di Kabupaten Pohuwato untuk aspek Proses Manajeman menunjukkan indeks yang mencapai 50,99 dimana merupakan batas range kategori aman, sehingga dapat dikategorikan dalam posisi marginal atau pas-pasan. skematis status aspek Proses Manajemen terlihat dapam Gambar 23.
Secara
131
RALED Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries 0 0 BAD
20
40
60
80
GOOD 100 120
References Anchors
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
Gambar 23 Status Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato
Dari indeks atau status tersebut, selanjutnya
dengan analisis RALED
dapat diketahui atau ditentukan faktor faktor apa sajakah yang merupakan faktor pengungkit atau faktor yang sensitif yang dapat diintervensi sehingga dapat memperbaiki atau meningkatkan status aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan menjadi lebih baik lagi. Hasil analisis faktor /atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato ditunjukkan dalam Gambar 24 berikut.
132
Leverage of Attributes
Attribute
Penggunaan hasil evaluasi dalam perbaikan perencanaan Frekuensi dilakukan diskusi bagi proses pemecahan permasalahan Frekuensi dilakukan evaluasi mandiri (self evaluation) Keterlibatan stakeholder dalam proses monitoring dan evaluasi Keterlibatan Stakholder dalam proses penyusunan indikator evaluasi Kesesuaian implementasi dengan perencanaan Sinkronisasi lintas sektoral dan spasial dalam perencanaan PEL Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan PEL Penggunaan hasil diagnosis sebagai dasar perencanaan PEL Identifikasi stakeholder PEL Kepastian Berusaha dan Hukum Penilaian terhadap daya saing wilayah Analisis dan pemetaan potensi ekonomi
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 24 Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen di Kabupaten Pohuwato
Berdasarkan hasil analisis, sesuai dengan urutan prioritasnya yang menjadi faktor pengungkit utama untuk aspek Proses Manajemen PEL di Kabupaten Pohuwato adalah : 1) Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan PEL. Keterlibatan seluruh stakeholder yang terkait dalam perencanaan pengembangan ekonomi lokal sangat penting untuk keberhasilan program. Keterlibatan dari para pengusaha sebagai pelaku dan stakeholder utama serta dunia perbankan dan masyarakat petani sangat menentukan keberhasilan berkembangnya ekonomi lokal di satu wilayah. Disamping itu jajaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan juga sangat menentukan dalam kelangsungan dan keberlanjutan ekonomi lokal. Belum maksimalnya partisipasi dari seluruh stakeholder dalam perencanaan pengembangan ekonomi lokal menjadi penyebab
133
faktor ini sebagai pemicu utama. Hal ini dapat dilihat dimana berdasarkan kajian partisipasi terlihat bahwa partisipasi masyarakat masih dalam taraf konsultasi. Diharapkan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan dapat melihat ini sebagai faktor penting yang dapat mendorong perkembangan ekonomi lokal wilayah, sehingga dalam setiap perencanaan kebijakan pihak dunia usaha mulai dari pelaku UKM, IKM sampai usaha skala besar dan perbankan sebagai pelaku dari dan penerima efek dari setiap kebijakan yang ada dilibatkan sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan kawasan. Kurangnya keterlibatan dunia usaha dan perbankan merupakan salah datu faktor penghambat berkembangnya ekonomi lokal suatu kawasan.
8.2. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal di Kawasan Agropolitan Berdasarkan hasil analisis kondisi dan status pengembangan ekonomi lokal di kabupaten Pohuwato berdasarkan aspek kelompok sasaran, faktor lokasi, kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses manajemen diketahui bahwa status pengembangan ekonomi lokal secara keseluruhan berada dalam kondisi baik. Namun untuk lebih meningkatkan kondisi pengembangan ekonomi kearah yang lebih baik lagi diperlukan rencana pengelolaan
guna
menciptakan
kegiatan
pembangunan
yang
dapat
mengembangkan perekonomian kawasan secara berkelanjutan sebagaimana yang tertuang dalam Visi dan misi Pemerintah Kabupaten Pohuwato. Hasil-hasil analisis selanjutnya dibandingkan dengan keadaan eksisting yang ada sehingga dapat dilihat apa yang menjadi kebutuhan daerah, kebijakan mana saja yang belum dilaksanakan dan mana yang harus dioptimalkan. Adapun visi Pemerintah Kabupaten Pohuwato adalah ”Terwujudnya masyarakat Pohuwato yang produktif, tangguh dan sejahtera yang dilandasi oleh iman dan taqwa”. Sedangkan misi Pemerintah Kabupaten Pohuwato adalah : 1. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengamalan ajaran agama dan budaya dalam segala aspek kehidupan. 2. Meningkatkan produktifitas dan daya saing ekonomi daerah 3. Mewujudkan pemerintahan yang baik
134
4. Meningkatkan peran masyarakat sebagai mitra dan pelaku utama pembangunan daerah. Salah satu misi diatas adalah untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing ekonomi daerah. Untuk mencapai misi tersebut maka perlu ditingkatkan pengembangan ekonomi lokal di kawasan terbebut. Untuk mengembangkan ekonomi lokal, perlu disusun rencana pengembangan ekonomi lokal berdasarkan faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh dalam keberlanjutan sumberdaya yang dikaitkan dengan rencana strategis dari pemerintah Kabupaten Pohuwato. Secara lebih
lengkap,
faktor-faktor
pengungkit
yang
berpengaruh
terhadap
pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato ditunjukan pada Tabel 42. Tabel 42 Faktor-faktor Pengungkit yang Berpengaruh terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato No
Dimensi/Aspek Pel
1
Kelompok Sasaran
Faktor Pengungkit • Pusat layanan investasi • Promosi produk UKM dari pemda • Kampanye peluang berusaha
2
Faktor Lokasi
• Pelayanan perijinan satu atap • Kualitas dari fasilitas pendidikan • Fasilitas umum dan sosial
3
Kesinergian dan Fokus Kebijakan
• Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) • Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda
4
Pembangunan Berkelanjutan
• Jumlah perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar • Kontribusi Pel terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal • Jumlah perusahaan yang memiliki business plan
5
Tata Pemerintahan
• Manfaat asisiasi /organisasi bagi anggotanya, • Peran asosiasi industri/komoditi terhadap perbaikan kebijakan pemerintah dibidang Pel • Prosedur pelayanan administrasi publik
6
Proses Manajemen
• Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan Pel • Analisis dan pemetaan potensi ekonomi
135
8.2.1. Faktor Pengungkit Aspek Kelompok Sasaran 8.2.1.1. Pengadaan Pusat layanan investasi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagai daerah pemekaran baru Kabupeten Pohuwato masih berbenah diri. Oleh karenanya banyak aspek pelayanan publik yang belum ada dan berjalan dengan baik . Dan salah satunya adalah belum tersedianya pusat layanan investasi didaerah ini. Belum adanya data base tentang potensi daerah dan potensi investasi terlebih khusus investasi agribisnis dan agroindustri jagung daerah yang dapat diakses oleh investor menyebabkan suatu daerah sulit atau mengalami perkembangan yang lambat atau stagnan karena kurangnya investasi dari pihak swasta. Sehingga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah membentuk suatu pusat layanan investasi dimana didalamnya dapat diakses berbagai informasi potensi daerah dalam hal ini potensi agribisnis dan agroindustri jagung di kabupaten pohuwato, informasi potensi investasi yang sedang dan akan berkembang dan adanya insentif serta kemudahan investasi dari pemerintah bagi investor yang akan berinvestasi dalam agribisnis dan agroindustri jagung. Informasi ini sebaiknya dapat diakses dengan mudah oleh para investor melalui internet sehingga dapat diakses oleh investor dari berbagai negara. Atau dapat pula mencontoh dengan negara India yang mendirikan lembaga Pusat Investasi India di negara maju guna menarik modal asing swasta (Jhingan,1994). 8.2.1.2. Promosi produk UKM dari pemda Berbagai
produk
UKM
yang
berkembang
dimasyarakat
perlu
disosialisasikan sehingga mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah. Keterbatasan modal dari pengusaha UKM menyebabkan sosialisasi atau promosi ini kurang diperhatikan.
Produk biji jagung dan hasil olahan jagung yang
merupakan produk andalan daerah ini seperti dodol jagung yang merupakan industri kecil rumah tangga perlu disosialisasikan sehingga dapat menjadi produk andalan wilayah yang dapat memberikan nilai tambah pada pendapatan masyarakat kawasan. Oleh karenanya perlu adanya promosi dari pemerintah daerah tentang berbagai produk UKM termasuk didalamnya produk olahan jagung sehingga dapat menjadi daya tarik bagi ekonomi kawasan ekonomi wilayah.
dan mendorong
136
8.2.1.3. Kampanye peluang berusaha Selanjutnya untuk lebih mengembangkan perekonomian kawasan, perlu disosialisasikan atau diinformasikan berbagai peluang usaha dari berbagai skala usaha yaitu usaha skala kecil, menengah dan besar. Hal ini diperlukan agar masyarakat dan dunia usaha dapat melihat sektor-sektor mana saja yang dapat dimasuki dalam agribisnis dan agroindustri jagung, baik dari sektor hulu sampai ke sektor hilir. Dengan demikian akan membuat makin banyak masyarakat lokal dan investor luar daerah untuk tertarik dan berinvestasi di Kabupaten Pohuwato.
8.2.2. Faktor Pengungkit Aspek Faktor Lokasi 8.2.2.1. Pelayanan perijinan satu atap Proses pelayanan publik yang berbelit dengan birokrasi yang rumit menjadi faktor penghalang dalam masuknya investasi disuatu daerah. Di Kabupaten Pohuwato hal ini sering menjadi permasalahan, dimana panjangnya birokrasi dan lamanya dalam pengurusan perijinan menjadi penghambat bagi investor untuk berinvestasi. Belum adanya investor yang berinvestasi dalam sektor agribisnis dan agroindustri jagung menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengevaluasi kebijakan yang ada. Untuk memudahkan proses penyelenggaraan perijinan agar lebih efisien dan efektif diperlukan pelayanan perijinan satu atap sehingga calon investor merasa dimudahkan dan tertarik untuk berinvestasi di Kabupaten Pohuwato, disamping itu perlu adanya ransangan insentif bagi investor yang berinvestasi dalam agribisnis dan agroindustri jagung. 8.2.2.2. Kualitas dari fasilitas pendidikan Rendahnya kualitas pendidikan di kabupaten Pohuwato terutama disebabkan kaena : (1) Ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kualitas maupun kuantitas. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pohuwato, tingkat kelayakan guru yang tidak layak mengajar untuk SD/MD 90,46% untuk SMP/MTS 55,70% dan untuk SMA/SMK/MA sebesar 16,67% (2) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar yang masih belum mencukupi secara memadai, dan (4) biaya operasional pendidikan yang belum tersedia secara memadai. Disamping itu banyaknya jumlah sekolah yang berada dalam keadaan rusak menyebabkan faktor ini menjadi faktor pengungkit.
137
Pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah dengan memberikan perhatian yang lebih pada sektor ini dengan cara mengalokasikan dana yang lebih untuk sektor ini sehingga pemerintah dapat menyediakan
pelayanan
pendidikan
dasar
cuma-cuma
bagi
masyarakat
prasejahtera atau masyarakat miskin dengan kualitas fasilitas pendidikan yang baik. Selanjutnya meningkatkan, memperluas dan memeratakan pendidikan dan kesempatan belajar terutama didaerah terpencil dan masyarakat miskin. Dengan demikian maka masyarakat desa dapat tetap berada di desa karena ketersediaan pendidikan sudah dapat diperoleh di desa. 8.2.2.3.Fasilitas umum dan sosial Belum tersedianya fasilitas umum dan sosial yang memadai diseluruh kecamatan merupakan permasalahan yang banyak terdapat di Kabupaten Pohuwato. Minimnya fasilitas kesehatan dan sarana
prasarana rekreasi dan
olahraga, sangat berpengaruh terhadap produktivitas masyarakat desa karena masyarakat yang sehat akan menghasilkan kinerja yang baik dan berkontribusi terhadap pembangunan kawasan. Belum baiknya fasilitas jalan dan jembatan menjadi masalah dalam masyarakat karena terkait dengan mata pencaharian dari sebagian besar masyarakat. Karenanya salah satu usaha untuk meningkatkan pengembangan ekonomi lokal adalah dengan melengkapi pengadaan fasilitas umum dan sosial
yang lebih berkualitas bagi masyarakat desa. Diharapkan
dengan tersedianya fasilitas-fasilitas ini maka ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas dapat tersedia sehingga menghasilkan kinerja yang baik dalam kegiatan proses produksi agribisnis dan agoindustri jagung.
8.2.3. Faktor Pengungkit Aspek Kesinergian dan Fokus Kebijakan 8.2.3.1.Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) Belum maksimalnya kinerja agropolitan di Kabupaten Pohuwato disebabkan karena belum
belum adanya koordinasi yang baik dari berbagai
instansi yang terkait dengan agropolitan. Disamping itu masyarakat sebagai faktor kunci pelaksanaan agropolitan memegang peran besar dalam keberhasilan pengembangan ekonomi lokal di kabupaten pohuwato. Semangat, motivasi dan
138
kemauan keras dari mayarakat serta koordinasi yang baik dari berbagai elemen dalam pemeritahan dan dunia usaha merupakan sinergi yang dapat membawa kinerja agropolitan lebih baik lagi kedepan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan terlihat bahwa pengembangan Kawasan Agropolitan Randangan Kabupaten Pohuwato masih pada taraf pengembangan sentra produksi pertanian. Masalah ketersediaan lapangan disektor non pertanian, permukiman penduduk, sanitasi dan infrastrukur urban lainnya belum banyak tersedia di perdesaan. Karenaya perlu lebih diintensifkan lagi pengembangan sarana dan prasarana kesejahteraan sosial yang memadai sehingga masyarakat pohuwato dapat merasa nyaman berada di Pohuwato karena berbagai fasilitas yang tersedia sehingga dapat menekan laju migrasi penduduk ke kota. 8.2.3.2.Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda Permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Pohuwato sebagai kabupaten pemekaran baru masih sangat kompleks. Aspirasi untuk memisahkan diri menjadi kabupaten baru merupakan salah satu semangat dari masyarakat dan pemerintah untuk terus mengembangkan daerahnya. Namun egosentris daerah masih melekat dalam pemerintahan Kabupaten Pohuwato. Otonomi Daerah memang dapat membuat suatu kabupaten dapat berkembang cepat karena keputusan mengenai pengelolaan daerah dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah, tidak tergantung pada intervensi pusat. Namun di satu sisi dapat pula membuat daerah stagnan, jika Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan dan pembangunan tanpa melihat keterkaitan dengan daerah lain dalam hal ini keterkaitan regional. Kerjasama regional sangat diperlukan dalam pengembangan ekonomi lokal karena dengan adanya kerjasama maka alokasi dana pembangunan dapat dilakukan lebih efisien dan efektif. Perlu didorong kerjasama dengan kabupaten lain misalnya Kabupaten Boalemo terkait dengan produksi jagung sehingga dapat memenuhi skala ekonomi dan produksi. Sehingga kontinuitas produk dapat terjaga dan kelangsungan agribisnis dapat berkesinambungan.
139
8.2.4. Faktor Pengungkit Aspek Pembangunan Berkelanjutan 8.2.4.1.Jumlah perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar Belum berkembangnya industri pengolahan produk, menyebabkan jumlah perusahan yang melakukan inovasi produk belum berkembang di Kabupaten Pohuwato. Kondisi eksisting yang ada terlihat bahwa produk unggulan jagung masih memiliki pasar yang terbatas, dimana konsentrasi pemerintah masih tertuju sebagai produk eksport dalam bentuk biji jagung. Padahal jagung dapat dikembangkan menjadi produk olahan yang memiliki prospek yang besar melalui diversifikasi produk. Oleh karenaya, perlu dikembangkan keberagaman produk sehingga pasar menjadi semakin terbuka. Hal ini dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal kearah yang lebih baik. Disamping itu, terlihat bahwa pasar komoditas jagung lebih banyak memenuhi permintaan luar kawasan baik secara regional maupun internasional. Padahal diketahui bersama selain sebagai bahan baku industri, jagung merupakan bahan pangan dan merupakan makanan pokok masyarakat Gorontalo yaitu beras jagung yang dalam bahasa lokal sebagai
Baalobinthe.
Namun karena adanya ’politik perberasan’ menyebabkan beras
menjadi superior dibandingkan beras jagung sehingga posisinya menjadi termarginalkan. Dengan semakin baiknya image jagung sekarang ini sangat membuka peluang pengembangan pasar lokal untuk komoditas ini sebagai bahan pangan. Karena itu perlu diarahkan penggunaan pangan alternatif beras jagung sebagai makanan pokok masyarakat sehingga dapat merangsang investasi industri penggilingan beras jagung di tingkat masyarakat . 8.2.4.2.Kontribusi Pel terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal
kualitas
hidup
dan
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Namun demikian tingkat pendapatan masyarakat Pohuwato masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lainnya.. Karena itu diperlukan upaya-upaya memaksimalkan potensi ekonomi daerah sehingga dapat meningkatan pendapatan masyarakat Pohuwato secara keseluruhan. Perlu adanya fokus terhadap program-program yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat petani
140
dengan mengadakan berbagai pelatihan–pelatihan baik dalam budidaya maupun dalam kewirausahaan. Perlu lebih diperhatikan usaha-usaha kecil masyarakat dan perlu dirangsang penciptaan usaha-usaha baru oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan sumber daya lokal. 8.2.4.3.Jumlah perusahaan yang memiliki business plan Masih belum berkembangnya industri pengolahan di Kabupaten Pohuwato menyebabkan kurangnya investasi di Kabupaten Pohuwato, hal ini berdampak pada kurangnya jumlah perusahaan yang memiliki business plan. Ke depannya perlu dirangsang masuknya investasi swasta yang memiliki perencanaan bisnis yang matang dan memiliki keterkaitan kedepan dan kebelakang yang besar dengan basis pertanian yang ada di Kabupaten Pohuwato.
8.2.5. Faktor Pengungkit Aspek Tata Pemerintahan 8.2.5.1.Manfaat asosiasi /organisasi bagi anggotanya Berdasarkan fakta dilapangan terlihat bahwa berkembangnya kelembagaan atau organisasi petani yaitu kelompok tani dan KUD belum banyak memberikan manfaat pemberdayaan bagi masyarakat petani. Keberadaan kelembagaan tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai sarana atau wadah untuk menguatkan eksistensi petani sebagai produsen penghasil komoditi andalan jagung. Akan tetapi keberadaan kelompok tani baru sebatas sebagai sarana bagi kelembagaan penyuluh untuk menyampaikan informasi pengusahaan usaha tani dan sebagai alat kontrol bagi pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan yang ada. Keadaan ini menyebabkan manfaat organsisasi belum dirasakan oleh anggotanya. Kedepanya perlu ditumbuhkan motivasi dan keinginan dari petani agar dapat memanfaatkan organisasi yang ada sebagai wadah penguatan posisi petani dalam menegosiasikan harga produk jagung melalui asosiasi petani jagung atau sejenisnya. 8.2.5.2.Peran asosiasi industri/komoditi terhadap perbaikan kebijakan pemerintah dibidang Pel Karena
manfaatnya
belum
dapat
dirasakan
oleh
anggotanya,
menyebabkan peran dari asosiasi ini belum banyak bermanfaat terhadap perbaikan
141
kebijakan pemerintah. Ini disebabkan karena kelembagaan kebanyakan hanya dibentuk sebagai syarat perlu saja bagi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan atau programnya, sehingga kehadirannya belum banyak berkontribusi. Oleh karenanya perlu di perkuat eksistensi dari berbagai kelembagaan yang ada agar dapat keberadaannya dapat bermanfaat bagi anggotanya sehingga secara tidak langsung melalui wadah ini masyarakat dapat berkontribusi terhadap perbaikan kebijakan di bidang pel. 8.2.5.3.Prosedur pelayanan administrasi publik permasalahan yang dihadapi Kabupaten Pohuwato adalah masih lemahnya prosedur pelayanan administrasi
publik, dimana
masih banyaknya terjadi
penyimpangan. Biaya pengurusan KTP yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku merupakan salah satu masalah yang perlu diatasi. Tingginya biaya pengurusan dan lama pengurusan administrasi publik menjadi wacana yang harus mendapat perhatian pemerintah. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dilakukan sanksi pagi petugas yang melakukan pelanggaran serta menginformasikan kepada masyarakat bagaimana prosedur yang seharusnya dalam setiap pengurusan pelayanan administrasi publik seperti pengurusan KTP, akte, maupun ijin berusaha.
8.2.6. Faktor Pengungkit Aspek Proses Manajemen 8.2.6.1.Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan Pel Permasalahan yang terkait di Kabupaten Pohuwato adalah masih minimnya
kesadaran
dari
masing-masing
stakeholder
terhadap
upaya
pengembangan ekonomi lokal. Rendahnya kualitas SDM stakeholder merupakan salah satu faktor penyebab hal ini bisa terjadi. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa urusan ekonomi merupakan tanggungjawab pemerintah dan pelaku
usaha.
Padahal
masalah
pengembangan
ekonomi
merupakan
tanggungjawab seluruh komponen masyarakat. 8.2.6.2.Analisis dan pemetaan potensi ekonomi Tidak adanya pemetaan potensi ekonomi merupakan salah satu masalah yang ada di Kabupaten Pohuwato. Padahal analisis dan pemetaan potensi ekonomi merupakan salah satu panduan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan
142
pembangunan daerah supaya terarah dan tepat sasaran.
Oleh karenanya
pengadaan analisis dan pemetaan potensi ekonomi Daerah perlu dilakukan dan disosialisasikan serta dijabarkan kepada masing-masing instansi terkait sehingga dapat dirancang kebijakan yang sesuai dengan analisis dan peta potensi daerah.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang dampak agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Program agropolitan basis jagung meningkatkan perekonomian wilayah Kabupaten Pohuwato melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah. Secara komparatif pengembangan agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato mampu menarik atau menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air besih sebagai sektor sekunder dan sektor perdagangan sebagai sektor tersier sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total perekonomian wilayah. Akan tetapi secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti sub tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah. 2. Program agropolitan basis jagung di Kabupaten Pohuwato, meningkatkan pendapatan usahatani petani di kawasan agropolitan melalui kegiatan penyuluhan, tersedianya infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga dari pemerintah. Hasil analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan pendapatan usahatani di kawasan non agropolitan. Rata-rata pendapatan usahatani di kawasan agropolitan lebih tinggi dari rata-rata pendapatan usahatani non agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per ha/tahun dan Rp5.506.966,per ha/tahun. 3. Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berdasarkan tingkat partisipasi Arnstein berada pada tingkat konsultasi. Hal ini berarti bahwa partisispasi masyarakat masih sebatas pada taraf pelaksana saja karena masyarakat masih belum banyak dilibatkan dalam taraf perencanan program. Program agropolitan masih sangat bersifat top down karena intervensi pemerintah dalam setiap kegiatan masih sangat dominan. 4. Berdasarkan hasil analisis program agropolitan sedikit banyak sudah dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Status PEL di Kabupaten Pohuwato digolongkan dalam kategori baik. Untuk
144
mengembangkan dikawasan
dan meningkatkan pengembangan ekonomi lokal
agropolitan
diperlukan
beberapa
strategi
yaitu
:
(1)
pembentukan pusat layanan investasi (2) peningkatan Promosi UKM dan Kampanye Peluang Berusaha oleh Pemda (3) upaya diversifikasi produk dan pasar (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap
(5) perbaikan
fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial (6) mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan (Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah (8) pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat
9.2. Saran 1. Pengembangan Agropolitan memerlukan kerjasama lintas sektoral dan sinkronisasi kebijakan dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. 2. Perlu dibentuk pusat pelayanan investasi terlebih khusus investasi jagung untuk menarik investor menanamkan modalnya di kawasan pengembangan, serta meningkatkan kebijakan yang merangsang masuknya investasi swasta. 3. Mengoptimalkan kerjasama dengan kabupaten lain terkait penggunaan infrastruktur dan pengembangan agropolitan jagung baik untuk memenuhi kontinuitas produksi maupun dari segi pemasaran melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, magang dan studi banding misalnya dengan Kabupaten Boalemo. 4. Kebijakan pemberdayaan masyarakat perlu lebih ditingkatkan lagi dengan melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan sampai proses monitoring dan evaluasi. Perlu adanya pendampingan yang efektif untuk setiap kegiatankegiatan produktif dalam masyarakat sampai masyarakat betul-betul menjadi masyarakat yang mandiri. 5. Perlu adanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar instasi dalam pemerintah maupun pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat petani dalam pengembangan agropolitan sehingga sarana-prasarana yang ada dapat dimanfaatkan dengan efisien, misalnya dengan menjalin koordinasi yang baik dengan Dinas Perhubungan untuk pengoperasian terminal di Kecamatan Randangan.
145
6. Perlu adanya
pengawasan dalam pelaksanaan RTRW agar keberlanjutan
agropolitan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat terjaga serta perlu adanya revisi terhadap masterplan agropolitan sesuai dengan rencana pengembangan pusat-pusat produksi, pengolahan dan pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Anonimous. 1999 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2002. Penjelasan Program Strategi Nasional Bidang Pengembangan Perkotaan dan Perdesaan, Bahan Sosialisasi Agropolitan Tingkat Propinsi dan Kabupaten. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Ahmad, W.M. 2004. Evaluasi Tingkat Partisipasi Pembangunan di Tingkat Komunitas. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan. Anwar, A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-kota Menengah dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek Perintisan Pengembangan Perdesaan Bogor. Anwar, A. 2006. Pembangunan Mikropolitan dalam Mendorong Kegiatan Sektor Pertanian dan Sektor Komplemennya di Wilayah Perdesaan. pp 101-109. in Rustiadi, et al. (2006), Kawasan Agropolitan. Konsep Pembangunan DesaKota Berimbang. Crespent Press. Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Jaip Vol .35 No, 4. pp 216-224. Bappenas. 2006. Panduan Nasional Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Jakarta. 2006. Manual Operasional Penentuan Status dan Faktor Pengungkit PEL. Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah. Jakarta. BPS Provinsi Gorontalo, 2007. Propinsi Gorontalo Dalam Angka 2007. Kerjasama BPS dan Bappeda Gorontalo.
147
BPS Kabupaten Pohuwato, 2006. Pohuwato Dalam Angka 2006. Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Pohuwato. Bustaman, S. dan Susanto, N.A. 2003. Potensi Lahan dan Alternatif Komoditas Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi Pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah. Badan Litbang Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Ambon Darmawan Arya. Setiahadi. Pribadi, D.O. Iman Laode. 2003. Studi Kebijakan Pengembangan Partisipasi Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan. Kementerian Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2007. Mewujudkan Revitaslisasi Pertanian Melalui Pembangunan 9 (sembilan) Pilar Agropolitan Menuju Pertanian Modern di Gorontalo. Gorontalo. Djakapermana,R.E. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.Jakarta. Douglas, M. 1986. Regional Networks Development UNHCS-Bappenas Friedman, J. and M. Douglas. 1975. Development : Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia. Regional Economic Centre.Nagoya.Japan. Harahap MK. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan. Hastoto, E. 2003. Analisis Disparitas Pembangunan Regional di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan. Haeruman, H, Js. 2000. Pembangunan Daerah Melalui Pengembangan Wilayah. Prosiding Diseminasi dan Diskusi Progran-Program Pengembangan Wilayah dan Ekonomi Masyarakat di Daerah. Bogor. Jhingan, M.L. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Bogor. Muhammad, F. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah. Kompas Gramedia. Jakarta. Nasution, L. 2004. Agropolitan dan Permasalahan Pertanahan Perdesaan dan Pertanian. Seminar Nasional Pengembangan agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang. IPB.Bogor.
148
Pranonto, S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model Pengembangan Agropolitan. Disertasi. IPB. Tidak dipublikasikan. Pribadi, D.O. 2005. Pembangunan Agropolitan melalui Pengembangan Kota-kota Kecil Menengah,Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan Akses Masyarakat Terhadap Lahan. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan. Riyanto. 2003. Analisis Dampak Kebijaksanaan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan. Rodinelli, D.A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rompon, M.S. 2006. Kajian Pengembangan Sektor Pariwisata Dalam Rangka Meningkatkan Keragaan Perekonomian Wilayah Kabupaten Tana Toraja. Tesis. IPB. Tidak dipublikasikan. Rustiadi, et. al. 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-regional Berimbang. P4W IPB dan Bapenas. Bogor. Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan Agropolitan. Departemen Kimpraswil. Jakarta. Rustiadi, et. al. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah Tata Ruang. Program Studi PWD, Pasca Sarjana IPB.Bogor. Rustiadi, E., Hadi, S. 2006. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang.pp1-31.in Rustiadi et al (2006) Kawasan Agropolitan. Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Crespent Press. Rustiadi , E. 2007. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung Konsep Agropolitan. Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030. LPPM. IPB. Rustiadi, E., Dardak, E.E. 2008. Agropolitan : Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan pada Kawasan Perdesaan. Crestpent Press. Sadjad , S. 2004. Desa itu Industri. Makalah pada Workshop Agropolitan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saefulhakim, S. 2001. Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembahasan Kriteria Kerusakan Hutan, Lahan dan Air di Jawa Barat. Bogor. Saefulhakim, S. 2004. Pengembangan Agropolitan Memacu Pembangunan Ekonomi Regional melalui Keterkaitan Desa-Kota. Makalah Workshop “Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang”. Bogor.
149
Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan. 2005. Advisory Pengembangan Rintisan Kawasan Agropolitan Pasca 3 Tahun Fasilitasi. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Suwandi. 2004. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Perdesaan di Kawasan Agropolitan. Departemen Pertanian. Jakarta. Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta. Tim Pusat Pengkajian Perncanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W). 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-Regional Berimbang. Bappenas dan Fakultas Pertanian IPB Bogor. Yudhohusodo, S .2002 Laporan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 PRODUK DOMESTIK BRUTO INDONESIA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000 MENURUT LAPANGAN USAHA ( Dalam Jutaan ) TAHUN 2000 - 2006 LAPANGAN USAHA 2000 PERTANIAN 216.831.500 a. Tanaman Bahan Makanan 112.355.600 - Jagung * 9.117.832 - Padi * 47.507.932 PERTAMBANGAN DAN 167.692.200 PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN 385.597.900 LISTRUK, GAS DAN AIR BERSIH 8.393.800 BANGUNAN 76.573.400 PERDAGANGAN, HOTEL DAN 224.452.200 RESTORAN PENGANGKUTAN DAN 65.012.100 KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN & 115.463.000 JASA PERUSAHAAN JASA-JASA 129.753.800 TOTAL PDRB 1.389.769.900 Sumber : - BPS * merupakan data hasil proksi
2001 225.685.700 113.019.600 9.729.490 59.594.183 168.244.300
2002 232.973.400 115.925.500 10.604.571 74.402.607 169,932,000
Tahun 2003 240.387.300 119.164.800 11.878.850 75.390.975 167.603.800
398.323.900
419,388,100
441.754.900
469.952.400
491.421.800
514.192.200
9.058.300 80.080.400 234.273.000
9,868,200 84,469,800 243,409,300
10.349.200 89.621.800 256.516.600
10.897.600 96.334.400 271.142.200
11.584.100 103.483.700 293.877.200
12.263.600 112.762.200 311.903.500
70.276.100
76,173,200
85.458.400
96.896.700
109.467.100
124.399.000
123.085.500
130,928,100
140.374.400
151.123.300
161.384.300
170.495.600
133.957.400 138,982,300 145.104.900 1.442.984.600 1,506,124,400 1.577.171.300
2004 247.163.600 122.611.700 12.789.256 78.211.924 160.100.500
2005 253.726.000 125.801.800 19.481.366 62.234.364 165.085.400
2006 261.296.800 129.211.200 16.148.182 98.849.196 168.729.900
152.906.100 160.626.500 170.612.100 1.656.516.800 1.750.656.100 1.846.654.900
Lampiran 2 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000 PROVINSI GORONTALO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 – 2006 ( Dalam Jutaan ) LAPANGAN USAHA 2000 2001 PERTANIAN 458.526,55 490.838,68 Tanaman Bahan Makanan 191.290,64 198.468,02 - Jagung * 44.680,87 43.082,16 - Padi * 96.260,62 90.916,80 PERTAMBANGAN DAN 11.254,89 12.923,08 PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN 182.508,95 158.145,31 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 8.384,73 9.462,84 BANGUNAN 118.970,00 122.136,54 PERDAGANGAN, HOTEL DAN 240.435,72 248.651,84 RESTORAN PENGANGKUTAN DAN 139.861,31 158.274,83 KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN & 96.520,00 101.670,13 JASA PERUSAHAAN JASA-JASA 216.812,58 252.868,50 1.473.274,72 1.554.971,75 TOTAL PDRB Sumber : BPS Provinsi Gorontalo * NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Prov.Gorontalo
2002 533.707,94 219.218,40 42.238,45 84.403,53 14.614,92
TAHUN 2003 557.677,66 239.243,33 59.667,79 87.073,85 16.871,44
2004 575.307,36 260.353,32 65.573,02 90.230,68 17.438,24
2005 618.182,00 283.917,00 129.728,92 92.669,01 19.121,56
2006 667.260,00 310.060,00 134.974,55 106.471,49 21.274,00
166.851,96
175.163,11
184.178,38
192.881,75
181.447,00
10.196,98 126.673,28
10.545,61 136.056,51
11.803,95 142.125,89
12.446,23 148.999,86
12.640,00 167.512,00
257.727,97
262.172,86
268.829,67
281.981,00
301.344,00
145.180,38
152.937,82
187.254,42
204.780,61
224.738,00
116.897,16
148.772,95
178.719,35
172.323,00
185.139,00
283.477,31 1.655.327,91
308.990,03 1.769.187,99
326.106,02 1.891.763,26
377.00700 2.027.723,01
414.462,00 2.175.816,00
Lampiran 3 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000 KABUPATEN BOALEMO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2000 - 2006 ( Dalam Jutaan ) LAPANGAN USAHA PERTANIAN Tanaman Bahan Makanan - Jagung* - Padi * PERTAMBANGAN & PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN LISTRIK, GAS & AIR BERSIH BANGUNAN PERDAG., HOTEL & RESTORAN PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN JASA-JASA TOTAL PDRB
2000 68.061,20 25.262,15 16.262,00 7.290,00 1.068,87 10.983,85 447,24 18.855,35 19.588,44 9.990,42
2001 72.884,13 30.363,45 19.918,00 8.762,00 1.181,85 11.123,50 653,38 19.612,84 22.811,11 9.988,39
2002 79.132,11 35.479,85 20.181,00 11.701,00 1.206,28 12.039,46 785,20 20.149,62 23.516,33 10.410,48
Tahun 2003 86.948,70 44.579,37 29.329,00 12.620,00 1.232,56 12.402,70 1.198,23 20.987,84 23.910,03 10.711,38
10.015,51
10.933,40
12.459,01
14.620,81
17.113,68
16.896,73
21.078,58
36.884,49 175.895,37
37.031,14 186.219,73
38.771,77 198.470,26
39.594,21 211.606,46
41.654,50 224.671,07
44.806,48 238.771,13
46.285,57 254.636,91
Sumber : BPS Kabupaten Boalemo * NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Kabupaten Boalemo
2004 92.296,50 51.032,88 33.588,00 14.799,00 1.112,05 12.794,71 1.363,11 18.279,38 28.986,46 11.070,68
2005 98.975,56 58.035,71 27.411,00 23.911,00 1.078,74 12.982,30 1.529,28 18.180,97 33.378,29 10.942,78
2006 103.882,53 62.427,79 25.355,00 28.373,00 1.127,76 13.643,44 1.572,12 18.839,12 36.501,52 11.706,27
153
Lampiran 4 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000 KABUPATEN POHUWATO MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2004 – 2006 ( Dalam Jutaan ) LAPANGAN USAHA
Tahun 2004 169.276 73.441 60.953 10.017 2.512
2005 172.432 81.633 66.255 13.546 2.616
2006 180.220 86.240 74.732 8.066 2.682
PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan - Jagung * - Padi * PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGOLAHAN 22.551 23.945 24.362 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 2.660 2.963 3.407 BANGUNAN 27.415 28.778 31.993 PERDAGANGAN, HOTEL DAN 51.042 66.454 67.364 RESTORAN PENGANGKUTAN DAN 11.969 12.228 13.187 KOMUNIKASI KEUANGAN, PERSEWAAN DAN 26.156 27.694 31.213 JASA PERUSAHAAN JASA-JASA 26.887 28.004 37.160 340.467 365.116 391.587 TOTAL PDRB Sumber : BPS Kabupaten Boalemo * NTB Jagung dan Padi Hasil Olahan BPS Kabupaten Pohuwato
154
Lampiran 5 Tabulasi Responden Pendapatan Usahatani Jagung Kawasan Agropolitan (Kecamatan Randangan) dan Non Agropolitan (Kecamatan Taluditi) Agropolitan Non Agropolitan Nomor (Kecamatan Randangan) (Kecamatan Taluditi) Responden Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan (Rp/Ha) Per Tahun (Rp/Ha) Per Tahun (Rp/Ha) (Rp/Ha) 1 5.895.000 11.790.000 2.730.000 5.460.000 2 6.515.000 13.030.000 3.525.000 7.050.000 3 4.126.000 8.252.000 3.242.500 6.485.000 4 6.225.000 12.450.000 2.085.000 4.170.000 5 5.579.000 11.158.000 2.110.000 4.220.000 6 4.876.000 9.752.000 3.007.500 6.015.000 7 4.116.250 8.232.500 3.233.000 6.466.000 8 5.600.000 11.200.000 2.015.000 4.030.000 9 4.227.500 8.455.000 2.425.000 4.850.000 10 5.908.000 11.816.000 3.037.000 6.074.000 11 3.924.000 7.848.000 2.720.000 5.440.000 12 5.049.000 10.098.000 2.670.000 5.340.000 13 4.656.500 9.313.000 2.340.000 4.680.000 14 5.109.000 10.218.000 2.025.000 4.050.000 15 4.539.000 9.078.000 2.926.000 5.852.000 16 5.593.000 11.186.000 3.040.000 6.080.000 17 3.910.000 7.820.000 2.899.000 5.798.000 18 3.733.000 7.466.000 3.145.000 6.290.000 19 4.002.500 8.005.000 2.544.000 5.088.000 20 5.330.000 10.660.000 4.150.000 8.300.000 21 7.040.000 14.080.000 2.889.000 5.778.000 22 5.341.500 10.683.000 2.960.000 5.920.000 23 3.807.500 7.615.000 2.814.000 5.628.000 24 5.285.000 10.570.000 3.330.000 6.660.000 25 5.622.500 11.245.000 2.590.000 5.180.000 26 5.447.500 10.895.000 2.207.500 4.415.000 27 4.577.500 9.155.000 2.290.000 4.580.000 28 5.200.000 10.400.000 2.012.500 4.025.000 29 4.250.000 8.500.000 2.675.000 5.350.000 30 5.715.000 11.430.000 2.967.500 5.935.000 Jumlah 151.200.250 302.400.500 82.604.500 165.209.000 Rata-rata 5.040.008,33 10.080.016,67 2.753.483,33 5.506.966,67
155
Lampiran 6 Analisis Uji Beda Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan
Two-sample T for Agropolitan vs Non-agropolitan
Agropolitan Non-agropolitan
N 30 30
Mean 10080017 5506967
StDev 1727609 1000130
SE Mean 315417 182598
Difference = mu (Agropolitan) - mu (Non-agropolitan) Estimate for difference: 4573050 95% CI for difference: (3839434, 5306666) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 12,55 DF = 46
P-Value = 0,000
156
Lampiran 7 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan Aspek
A 1
Aspek Komunikasi Apakah anda mendapatkan informasi tentang adanya pelaksanaan pengembangan apropolitan a. Tidak b. Ya
1 4
10 20
0,3 0,3
3 24 27
33.3 66.7
Dalam forum apa keputusan diambil dalam lingkungan desa a. Tidak ada b. Diskusi perorangan c. Diskusi dalam kelompok tani d. Diskusi dalam forum desa
1 2 3 4
5 3 15 7
0,2 0,2 0,2 0,2
1 1,2 9 5,6 16,8
16.7 10.0 50.0 23.3
Menurut anda berapa orang yang tahu dan diajak berembuk menngenai sebuah proyek yang akan berlangsung di lingkungan anda (a.l. agropolitan) a. Dibawah 10 % b. Antara 10 - 30 % c. Antara 30 - 50 % d. Lebih dari 50 %
1 2 3 4
5 7 16 2
0,3 0,3 0,3 0,3
1,5 4,2 14,4 2,4 22,5
16.7 23.3 53.3 6.7
Seberapa besar intervensi dari aparat terhadap proses fasilitasi program? a. Sangat Dominan b. Dominan c. Tidak terlalu Dominan d. Tidak Dominan
1 2 3 4
7 8 10 5
0,2 0,2 0,2 0,2
1,4 3,2 6 4 14,6 80,9
23.3 26.7 33.3 16.7
2
3
4
Skor (S)
Frekwensi (F)
Bobot (B) %
No
Total B 1
2
Pengetahuan Masyarakat Atas Forum Pengambilan Keputusan Menurut anda apakah perencanaan yang ada dalam pengembangan agropolitan sudah melibatkan masyarakat ( sdh mencerminkan konsep partisipatif) a. Tidak 1 b. Ya 4 Apakah anda puas dengan prosedur dan proses pengambilan keputusan dalam forum perencanaan agropolitan? a. Tidak puas b. kurang puas c. Puas d. Sangat puas
1 2 3 4
SxFxB
%
13 17
0,25 0,25
3,25 17 20,25
43.3 56.7
6 16 8
0,25 0,25 0,25
1,5 8 6
20.0 53.3 26.7
15,5 3
Menurut anda apakah dalam perencanaan pengembangan pembangunan (agropolitan) yang dilakukan selama ini, warga dan organisasi masyarakat tahu prosedur (tata cara) untuk ikut terlibat didalamnya. a. Tidak tahu b. Tahu tapi hanya sedikit c. Tahu dan ikut terlibat d. Sangat tahu dan ikut terlibat
1 2 3 4
4 18 8
0,3 0,3 0,3
1,2 10,8 7,2
13.3 60.0 26.7
19,2 4
Jika keputusan diambil dalam kelompok, bagaimana keputusan itu dibuat? a. Ditentukan oleh ketua saja Didiskusikan dalam kelompok tapi hasil akhir b. ditentukan oleh ketua Didiskusikan dan ditentukan oleh sebagian dari c. forum Didiskusikan dan hasil ditentukan oleh seluruh d. forum
1
3
0,2
0,6
10.0
2
4
0,2
1,6
13.3 0.0
3
4
0,2
2,4
13.3
4
19
0,2
15,2 19,8
63.3
157
Total
Aspek
No c 1
Skor
Frekwensi
Bobot (B)
(S)
(F)
%
74,75
SxFxB
%
Kontrol Terhadap Kebijakan Apakan warga dan organisasi masyarakat lainnya dapat dengan mudah terlibat/ ikut serta dalam forum perencanaan a.
Sangat Sulit
1
9
0,3
2,7
30.0
b.
Sulit
2
10
0,3
6
33.3
c.
Mudah
3
8
0,3
7,2
26.7
d.
Sangat Mudah
4
3
0,3
3,6
10.0
19,5 2
Apakah anda pernah memberikan masukan kepada pemerintah atau pihak yang anda anggap bertanggungjawab untuk merubah prosedur dan proses pengambilan keputusan a.
Tidak pernah
1
5
0,4
2
16.7
b.
Pernah dan tidak mendapat tanggapan
2
c.
Pernah dan mendapat sedikit tanggapan
d.
Pernah dan mendapat tanggapan
3
8
0,4
9,6
26.7
4
10
0,4
16
33.3
27,6 3
Menurut anda, bagaimana keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan proyek agropolitan a.
Tidak baik
1
b.
Cukup baik
2
4
0,3
2,4
13.3
c.
Baik
3
7
0,3
6,3
23.3
d.
Sangat baik
4
19
0,3
22,8
63.3
31,5 Total
78,6
Lampiran 8 Peta Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Gorontalo
159
Lampiran 9 Indikator Komponen Heksagonal PEL ASPEK Kelompok Sasaran
SUB ASPEK Investor luar
Pelaku Usaha lokal
Pelaku Usaha Baru
INDIKATOR Peraturan(Perda/Perkada/SK Ka.SKPD) tentang kemudahan dalam bentuk: a. Insentif fiskal b. Penyerdehanaan Perijinan c. Penyediaan Lokasi/Lahan d. Ketenagakerjaan Informasi prospek bisnis (buku/booklet/leaflet peluang investasi, official web site) Kepastian berusaha dan hukum (a.l. ijin lokasi usaha, tata ruang, arbitrase, persaingan usaha, peradilan niaga) Keamanan(penjarahan, konflik sosial,premanisme, dan buruh mogok) Kampanye peluang usaha melalui : 1. Media massa(media cetak, elektronik, web site) 2. Kegiatan interaktif(temu usaha/pameran/seminar potensi daerah) Pusat pelayanan investasi dengan jasa layanan konsultasi investasi Upaya fasilitasi permodalan bagi dunia usaha oleh pemda Promosi produk UKM untuk memperluas pasar oleh pemda Upaya pemda untuk peningkatan teknologi, manajemen, dan kelembagaan usaha lokal (aspek ijin usaha, badan hukum, organisasi usaha) Fasilitasi pelatihan kewirausahaan bagi pengusaha baru (kemampuan teknik dan entrepreneurship) Pendampingan dan monitoring bisnis pelaku usaha baru Insentif pemda dalam bentuk pemberian dana stimulan dan keringanan biaya perijinan Kecepatan pengurusan ijin bagi investasi baru
160
ASPEK Faktor Lokasi
SUB ASPEK Faktor Lokasi Terukur
Faktor Lokasi Tidak Terukur
INDIKATOR Kondisi jaringan jalan Akses ke pelabuhan laut Akses ke pelabuhan udara Sarana transportasi Infrastruktur komunikasi Infrastruktur energi Upah tenaga kerja dibanding daerah sekitar Tenaga kerja terampil Tenaga kerja terdidik (Jumlah angkatan kerja lulusan SLTA dibanding total angkatan kerja) Jumlah lembaga keuangan lokal (Bank umum, BPR,LKM,KSP/USP) Jumlah penyaluran kredit (modal kerja dan investasi) perbankan/lembaga keuangan bukan bank Iklim perekonomian lokal Peran dan kebijakan pemerintah provinsi kepada daerah Peran dan kebijakan pemerintah pusat kepada daerah Citra dari lokasi (sentra usaha) Citra dari kota/kabupaten Industri yang memiliki mata rantai lengkap dari hulu ke hilir untuk suatu komoditas Peluang kerjasama dalam industri sejenis maupun dalam industri uluhilir Lembaga penelitian perguruan tinggi Lembaga penelitian dan pengemabngan pemerintah dan swasta bukan perguruan tinggi Pelayanan perijinan satu atap Peluang bekerja bagi tenaga kerja lokal dibanding dengan pendatang
161
ASPEK Faktor Lokasi
SUB ASPEK Faktor Lokasi Tidak Terukur Individual
Keterkaitan dan Fokus Kebijakan
Perluasan Ekonomi
Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Komunitas Pembangunan Wilayah
INDIKATOR Kualitas permukiman Kualitas lingkungan Kualitas fasilitas pendidikan Kualitas pelayanan kesehatan Kualitas fasilitas umum dan sosial Kebijakan Peningkatan Investasi Kebijakan promosi daerah Kebijakan persaingan usaha (a.l. tentang pembatasan lokasi pasar modern/ supermarket/hypermarket Kebijakan perbaiakan UKM (a.l. kemitraan dan subkontrak) Kebijakan peningkatan peran Perusahaan Daerah Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar pelaku ekonomi Kebiajkan informasi bursa tenaga kerja Kebijakan pengembangan keahlian (peningkatan ketrampilan) Kebijakan pemberdayaan masyarakat berbasis kemitraan dengan dunia usaha (memanfaatkan dana CSR) Kebijakan pengurangan kemiskinan secara partisipatif Kebijakan pembangunan kawasan industri hinterland / industri Kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan di perdesaan (agropolitan) dan perkotaan (central business district) Kebijakan pengembangan komunitas sprt: perbaikan lingkungan, perbaikan kampung Kebijakan kerjasama antar daerah/pemda Keijakan tata ruang PEL Kebijakan pengembangan jaringan usaha antar sentra usaha Sistem industri yang berkelanjutan (adanya keterkaitan pengadaan bahan baku, prodksi dan pengolahan)
162
ASPEK Pembangunan Berkelanjutan
SUB ASPEK Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Tata Kemitraan Kepemerintahan Pemerintah dan Dunia Usaha
Reformasi Sektor Publik
Pengembangan Organisasi
INDIKATOR Perkembangan industri pendukung untuk keberlanjutan sistem industri Jumlah perusahaan yang telah memiliki business plan Jumlah perusahaan yang melakukan inovasi pengembangan produk dan pasar Kontribusi PEL terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal PEL mempertimbangan keberadaan adat dan kelembagaan lokal Kebijakan pemecahan permasalahan lingkungan (a.l. penerapan amdal) Pengelolaan dan pendaur ulangan limbah (a.l. produk organik) Kebijakan konservasi sumber daya alam dalam PEL Kemitraan di bidang infrastruktur (a.l. BOT) Kemitraan di bidang promosi dan perdagangan Kemitraan di bidang pembiayaan usaha ( a.l : pinkaman, penyaluran kredit, PKBL) Reformasi sistem insentif pengembangan SDM aparatur(a.l.: remunerasi, jenjang karir Restrukturisasi organisasi pemerintah Prosedur pelayanan administrasi publik : 1. sederhana 2. jelas 3. cepat 4. terjangkau Status asosiasi industri/komoditi/ forum bisnis Peran asosiasi industri/komoditi/forum bisnis terhadap perbaikan kebijakan pemerintah di bidang PEL Manfaat asosiasi /organisasi bagi anggotanya
163
ASPEK Proses Manajemen
SUB ASPEK Diagnosa Secara Partisipatif
Perencanaan dan Implementasi Partisipatif
Monitoring dan Evaluasi secara Partisipatif
INDIKATOR Analisis dan pemetaan potensi ekonomi Penilaian terhadap daya saing wilayah Pemetaan kondisi politis lokal Identifiaksi stakeholder PEL Penggunaan hasis diagnosis sebagai dasar perencanaan PEL Jumlah stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan PEL Sinkronisasi lintas sektoral dan spasila dalam proses perencanaan PEL Kesesuaian implementasi dengan perencanaan Keterlibatan stakeholder dalam proses penyusunan indikator evaluasi Keterlibatan stakeholder dalam proses monitoring dan evaluasi Frekuensi dilakukan evaluasi mandiri (self evaluation) Frekuensi dilakukan diskusi bagi proses pemecahan permasalahan Penggunaan hasil evaluasi dalam perbaikan perencanaan
164
Lampiran 10
Gambar Jalan Usahatani Kawasan Agropolitan Randangan
Lampiran 11
Gambar Gudang Agribisnis PT Gorontalo Fitra Mandiri, BUMD Provinsi Gorontalo
165
Lampiran 12 Gambar Program Agropolitan di Kecamatan Randangan
Lampiran 13 Gambar Terminal Randangan