i
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI KASUS BULYYING SD TRISULA BUKITTINGGI DAN SD PERCONTOHAN SUMATRA UTARA
MAKALAH NON-SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi
SANIE AULIA FATIMAH 1106085301
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI HUBUNGAN MASYARAKAT
DEPOK DESEMBER 2014
i
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
Studi Kasus Bullying SD Trisula Bukittinggi dan SD Percontohan Sumatra Utara Sanie Aulia Fatimah dan Askariani Kartono Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
[email protected] [email protected] ABSTRAK Jurnal ini membahas bagaimana pengaruh lingkungan sosial, mempengaruhi sikap dan tingkah laku individu sehingga melakukan aksi bullying. Penulis menggunakan kasus kekerasan yang terjadi di SD Trisula Bukittinggi dan SD Percontohan Sumatra Utara. Dua kasus tersebut memiliki kesamaan yaitu: dilakukan secara berkelompok, serta dipengaruhi oleh media dan kelompok pertemanan. Penulis mengkaji dua kasus tersebut dengan Social Influence Theory¸ yang menghasilkan temuan: (1) Lingkungan sosial dapat mempengaruhi individu dalam dua tingkatan, secara keseluruhan (acceptance) atau hanya sebagian (compliance). (2) Dalam kasus ini, individu yang berada dalam tingkatan compliance dilakukan atas obedience atas social power dengan tipe coercive power. (3) Pola asuh yang diterapkan orangtua mempengaruhi sifat anak. (4) Dampak conformity yaitu menciptakan norma baru. (5) Polarisasi kelompok meningkatkan sifat agresif pelaku. (kata kunci : “Social Influence”,”Bullying”) Study Case of Bullying in SD Trisula Bukittinggi and SD Percontohan North Sumatra ABSTRACT This journal discusses the influence of the social environment such as influence the attitudes and behavior of individuals that commit acts of bullying. The Case I used occurred at the SD Trisula in Bukittinggi and SD Percontohan North Sumatra. Two of these cases have in common namely done in groups, and are influenced by the media and groups community. I reviewed those two cases based on the Social Influence Theory, which resulted in 5 findings: (1) the social environment can affect individuals in two levels, overall (acceptance) or only partially (compliance). (2) In this case, individuals who are in the top level of compliance is done on social obedience coercive power with the type of power. (3) Parenting that is applied affects the nature of the child. (4) The impact of conformity that is creating a new norm. (5) Polarization community has increased the executants by aggressively. (keywords : Social Influence, Bullying)
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
1
I. Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tulisan ini dilatarbelakangi atas ketertarikan penulis terhadap aksi kekerasan yang terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia. Aksi kekerasan atau yang lebih sering disebut dengan bullying dalam dunia pendidikan di Indonesia semakin memprihatinkan. Meskipun bullying memiliki makna yang berbeda disetiap Negara. Namun dalam (Dwipayanti & Indrawati, 2014) terdapat beberapa tokoh yang mendefinisikan tentang bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang baik fisik, verbal maupun psikologis dan biasanya terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku maupun korban Perilaku bullying bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman, pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya dan banyak faktor lainnya. Hal ini terlihat dari faktor penyebab perilaku bullying tidak hanya dari pola asuh atau lingkungan keluarga saja. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga merupakan institusi pertama dalam proses perkembangan dan pendidikan anak dan remaja, sehingga peran pola asuh orang tua terhadap anak sangat menentukan bagaimana perkembangan mereka kelak di kemudian hari. Karena tinggi rendahnya tingkat agresivitas pada sebagian remaja, salah satunya dipengaruhi oleh pengasuhan yang mereka dapatkan. Kasus bullying yang terjadi dalam Institusi Pendidikan sendiri menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah, yakni sekitar 25% dari semua kasus-kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 1 Fakta lainnya, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Latitude News dalam 40 negara, Indonesia menempati posisi kedua sebagai Negara dengan kasus bullying terbanyak setelah Jepang2. Kasus bullying di Indonesia sudah sangat berkembang, Dari hasil penelitian KPAI ternyata Sebanyak 17% kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah. Bahkan pada 2013, tercatat 181 kasus yang berujung pada tewasnya korban, 141 kasus korban menderita luka berat, dan 97 kasus korban luka ringan. 3 Tindakan kekerasan di sekolah bisa dilakukan oleh guru, kepala sekolah, bahkan sesama peserta didik. Namun, kasus bullying sesama peserta didik memiliki karakteristik 1
http://lbhmawarsaron.or.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=149:bullying-pada-institusi-pendidikan-ditinjaudari-sudut-pandang-hukum&catid=79&Itemid=213 2 http://uniqpost.com/50241/negara-negara-dengan-kasus-bullying-tertinggi-indonesia-di-urutan-ke-2/ 3 http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-9-I-P3DI-Mei-2014-63.pdf
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
2
berbeda dari kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak biasanya dilakukan oleh pelaku tunggal sedangkan bullying oleh sesama murid biasanya berlangsung secara berkelompok. Bahkan menurut penelitian lintas negara yang dilakukan Craig dkk., anak yang menjadi korban bullying cenderung terlibat dalam penggencetan anak lain. Ini berarti sebuah lingkaran tanpa akhir ketika korban berubah menjadi pelaku. Dengan begitu, praktek kekerasan menjadi budaya di kalangan anak-anak Misalnya saja, belum lama ini terjadi kekerasan di SMAN 3 Jakarta, yang menyebabkan satu orang korban tewas. Hal ini terjadi ketika pelantikan sebuah kegiatan ekstrakulikuler pencinta alam di Tangkuban Perahu. Menurut informasi yang didapatkan oleh penulis, kegiatan ini juga terdapat campur tangan alumni. Kegiatan ini seolah sudah menjadi sebuah tradisi yang terulang dalam kegiatan ekstrakulikuer tersebut. Tersangka yang diduga berjumlah lima orang itu, salah satunya divonis satu setengah tahun penjara, sementara empat orang lainnya bebas bersyarat4. Aksi kekerasan dalam dunia pendidikan terhadap sesama pelajar juga sempat terjadi di SMAN 70 Jakarta. Dimana Masa Orientasi Siswa (MOS) yang seharusnya menjadi kegiatan positif dalam pengenalan sekolah dan masa SMA diisi dengan tindak kekerasan oleh senior. Terdapat tiga belas orang murid kelas tiga yang dituduh telah melakukkan kekerasan seperti memukul dan menendang. Namun, salah satu korban tindakan kekerasan tersebut merupakan seorang anak pejabat, yang menyebabkan pihak sekolah mengeluarkan tiga belas orang siswa5. Berdasarkan beberapa kasus bullying yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia (seperti contoh diatas), beberapa pihak menganggap bahwa kekerasan tersebut merupakan sebuah lingkaran yang tidak akan terputus. Seorang pelaku dari bullying pernah menjadi seorang pelaku dimasa lalu. Sehingga apa yang dilakukkan terhadap juniornya merupakan tindakan balas dendam yang akan terus berlanjut. Namun, baru-baru ini kasus kekerasan juga marak terjadi pada sekolah dasar. Misalnya saja, pada awal bulan Mei tahun ini sudah dua korban kekerasan di sekolah dasar diberitakan di media massa. Pada tanggal 3 Mei 2014, seorang siswa SD berusia 11 tahun di SDN 09 Pagi-Makasar Jakarta dihajar kakak kelasnya karena menyenggol gelas es milik sang senior. Dua hari setelah itu seorang siswi kelas 4 SD di Muara Enim meninggal dengan luka lebam di tubuhnya. Kekerasan di sekolah dasar bukan akhir-akhir ini saja terjadi. Pada 27 4
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/05/06421171/Dwiki.Dituntut.Lebih.Berat.dalam.Kasus.SMAN.3.Jakarta.Pengacara.Sebut.S ederet.Keberatan 5 http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/22/18275151/KPAI.Ungkap.Kronologi.Dugaan.Kasus.Bullying.di.SMAN.70
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
3
Maret 2014, seorang murid kelas 1 SD, Ahmad Syukur dikeroyok 3 temannya di Makasar. Ia meninggal di Rumah Sakit Ibnu Sina beberapa hari setelah itu.6 Sementara, Riyana (2009) dalam (Dwipayanti & Indrawati, 2014) mengemukakan terjadinya kasus lain seperti yang dialami oleh Putri (10 tahun). Putri yang saat ini duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar ini mengalami kesakitan pada bagian dadanya. Hal ini dikarenakan Putri ditendang oleh salah satu temannya di kelas. Kejadian ini berlangsung ketika jam istirahat, pada saat itu siswa dan siswi Sekolah Dasar yang berada di wilayah Umbulharjo sedang bercanda di dalam kelas. Namun ternyata kegiatan tersebut malah menimbulkan pertengkaran karena salah satu teman laki-laki Putri merasa tidak nyaman dengan hal tersebut. Pelaku kemudian secara spontan menendang Putri yang pada saat itu berada di dekatnya, namun Putri tidak melawan karena pelaku terkenal sebagai anak yang bandel. Putri juga merasa takut untuk melaporkannya kepada guru. Kejadian tersebut terulang kembali dan korbannya pun bertambah yaitu lebih dari satu orang. Akhirnya kejadian tersebut dilaporkan dan pelaku kemudian dipanggil oleh kepala sekolah. Berbeda dengan beberapa kasus diatas, kekerasan pada tingkat sekolah dasar juga ada yang dilakukkan oleh sebuah kelompok. Misalnya saja di SD Trisula Bukit Tinggi, sebuah video mengenai kekerasan oleh sekelompok siswa terhadap seorang siswi. Dalam video tersebut diketahui bahwa kejadian ini berlangsung di dalam sekolah tepatnya di dalam ruang kelas. Pada saat itu seharusnya anak-anak pergi ke musala sekolah untuk pelajaran agama. Namun, guru yang harus mengajar tidak datang karena harus mengajar di sekolah lain sehingga jam pelajaran tersebut kosong. Sebuah fakta baru mengungkapkan, bahwa tindakan kekerasan antar siswa memang sudah menjadi hal yang biasa di sekolah tersebut, tanpa adanya sanksi atau upaya pencegahan dari pihak sekolah. 7Peristiwa kekerasan tersebut terjadi saat jam pelajaran agama di dalam musala, sang guru bahkan telah melaporkan hal tersebut kepada pihak sekolah. Namun, tidak ditanggapi dengan serius. Dalam video tersebut terlihat seorang anak yang dipukuli dan ditendang secara bergantian oleh teman-teman sekelasnya. Korban hanya bisa menangis dipojokan sementara teman-teman kelasnya yang lain hanya menonton dan memberikan dukungan pada para pelaku. Kejadian ini direkam oleh seorang anak. Lalu, salah satu anak mengadukan hal tersebut kepada penjaga warung di depan sekolah yang langsung melaporkan kepada Datuk, tokoh masyarakat setempat. Video itu akhirnya diunggah ke akun Facebook-nya sehingga 6 7
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-9-I-P3DI-Mei-2014-63.pdf http://news.okezone.com/read/2014/10/18/340/1053783/kekerasan-sd-bukittinggi-sekolah-kambinghitamkan-guru-agama
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
4
tersebar. Selain dianiaya teman sekelasnya, korban ternyata juga kerap diperas. Uang jajan yang dibawanya pun terpaksa ia bagi kepada sejumlah teman laki-lakinya. Pemerasan yang dialami hampir setiap hari oleh korban ini, bahkan baru diketahui orangtua korban saat mendatangi sekolah. Menurut sejumlah keterangan, perilaku kasar bahkan cenderung sadis para siswa itu dipengaruhi tayangan televisi dan game online yang umumnya bergenre kekerasan.8 Selain itu, di SD Percontohan Sumatra Utara juga terjadi tindak kekerasan sekaligus pelecehan seksual yang terjadi pada seorang siswi sekolah dasar. Kasus ini juga dilakukan di dalam lingkungan sekolah dan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Kasus kekerasan ini dilakukan oleh lima orang siswi, dua orang sebagai pelaku dan tiga lainnya berjaga diluar. Korban disekap di kamar mandi, lalu kemaluan dan anusnya ditusuk menggunakan gagang sikat toilet. Aksi pelaku diduga dipicu tontonan video porno, yang didapatkan dari temannya yang sudah pindah dari sekolah tersebut. Penganiayaan itu tidak hanya sekali, kekerasan ini diulangi pelaku hingga 3 hari berturut-turut, yaitu pada 29 dan 30 September, serta 1 Oktober 2014. Berdasarkan pemeriksaan medis, akibat kejadian itu, anus korban robek, namun selaput kemaluan korban tidak rusak.9 I.2 Perumusan Masalah (Rakhmad, 2007) Konsep ini menegaskan bahwa sikap manusia bukan saja dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, namun manusia juga memiliki potensi yang dimiliki sejak lahir. Dengan kasus yang terjadi di SD Trisula Bukittingi dan SD Percontohan Sumatra Utara, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana sebuah pengaruh dari lingkungan sosial mempengaruhi seorang individu itu sendiri sehingga melakukkan aksi bullying. Penulis ingin mencoba menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap perubahaan sikap dan tingkah laku individu melalui konsep Social Inflluence. Pada konsep tersebut menjelaskan bahwa perubahan sikap dan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari adanya interaksi dengan orang lain. Penulis juga ingin melihat sebesar apa pengaruh dari lingkungan sosial terhadap sikap dan perilaku individu-individu yang sehingga melakukan bullying.
I.3 Tujuan Penulisan 8
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-kekerasan-siswa-sd-di-bukittinggi-diduga-efek-game-dan-filmkekerasan/ 9 http://harianandalas.com/kanal-berita-utama/astaga-anus-anak-sd-ditusuk-gagang-brush
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
5
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah gambaran bagaimana pengaruh lingkungan sosial terhadap perilaku bulliying. I.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode pengumpulan data sekunder. Data tersebut diambil dari beberapa artikel dalam berita online. Selain itu penulis juga menggunakan beberapa data dari hasil penelitian sebelumnya yang sesuai dengan tulisan ini, sebagai referensi.
II. Kerangka Pemikiran -
Social Influence Merupakan perubahan sikap atau perilaku, sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain. Perbedaan yang dimilika masing – masing individu menyebabkan berbeda pula kecenderungan untuk menyesuaikan diri, faktor – faktor yang mempengaruhinya untuk menyesuaikan diri, antara lain (1) status; (2) gender; (3) personality traits ; dan (4) budaya. Terdapat perbedaan tingkat penerimaan pengaruh sosial pada individu, jika seseorang menerima sepenuhnya pengaruh pengaruh orang lain tersebut Acceptance atau hanya perubahan secara parsial (hanya untuk memenuhi), tidak menerima pengaruh tersebut secara utuh Compliance. Dalam kasus ini beberapa pelaku sudah ditahap acceptance dan ada juga yang hanya sekedar compliance.
Berikut ini penulis akan menjabarkan pengertian dari kedua tingkatan penerimaan pengaruh sosial, yaitu: 1. Acceptance (Penerimaan) Perubahan yang terjadi di dalam batin kita sebagai hasil dari pengaruh sosial disebut dengan penerimaan (acceptance). Jika seseorang atau sebuah kelompok meyakinkan Anda untuk mempercayai dan juga bertindak seperti yang diinginkan maka perubahan yang Anda lakukan berdasarkan proses yang terjadi di dalam batin. Berikut merupakan bentuk – bentuk dari acceptance. a. Indentification (Identifikasi) Kita mungkin menerima pengaruh karena kita mengindentifikasi atau memihak sebuah kelompok, individu atau karena alasan tertentu. Identifikasi membantu mempertahankan hubungan personal antara
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
6
mereka yang terlibat. Pada bentuk penerimaan ini, isi dari perubahan keyakinan dan perilaku bukanlah suatu hal yang penting jika dibandingkan dengan hasilnya. Contoh, Anda memihak suatu lembaga sosial dan meenrima aturan – aturan yang ada pada lembaga tersebut meskipun Anda belum mengetahui aturan – aturan itu secar menyeluruh. b. Internalization (internalisasi) Bentuk penerimaan yang paling dalam adalah ketika seseorang merasa yakin untuk mempercayai perubahan sikap. Pada kasus ini, seseorang telah terinternalisasi dengan keyakinan baru, menerima makna dan bentuk sosial. Misalnya, Anda bergabung dengan sebuah lembaga sosial karena Anda sepakat dengan standar yang berlaku di dalamnya (internalisasi), bukan karena Anda merasa anggota lembaga tersebut sama dengan Anda (identifikasi). 2. Compliance yang terbagi atas beberapa bentuk, yaitu: 1. Conformity yaitu patuh atau berubahnya sikap atau perilaku yang disebabkan adanya tekanan dari kelompok (group pressure). Hal ini memiliki dampak yang terbagi atas dua proses, yaitu: a. Pembentukan Norma: norma dapat dan akan berubah, dan kita dengan individu lainnya harus terus saling mempelajari untuk menentukan norma apa yang ada dan bagaimana harus berperilaku. Sherif (1930)
menunjukkan
bahwa meskipun tidak saling mengenal, orang menyandarkan persepsi orang lain untuk menentukan sebuah norma, lalu menyesuaikan penilaian yang dibuatnya sendiri dengan norma tersebut. Penularan sosial (social Contagion) Ketika norma terbentuk, norma menyebar luas dengan cepat. b. Tekanan Kelompok (Group pressure) Asch (1940) Meskipun berada diantara orang yang tidak dikenal, individu secara sosial tepengaruh untuk melakukan konformitas dengan norma – norma, bahkan ketika subjek dapat melihat sendiri realitas yang ada. Keberadaan orang lain yang dapat terlihat secara fisik, menciptakn tekanan kelompok untuk conform. 2. Obedience pengaruh individu terhadap perubahan perilaku individu lainnya adalah hasil permintaan secara langsung atau perintah. Dalam hal ini terdapat konsep Experimental realism, yakni realitas terhadap pengalaman yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dimana individu menafsirkan situasi yang sangat kuat, membuat kebanyakan individu sulit untuk melawan. Penelitian Milgram
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
7
lebih lanjut mengidnetifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi kemauan individu untuk patuh dan kemampuan untuk tidak patuh, antaralain: a. Sosok berwenang Semakin dekat subjek dengan seseorang yang berwenang, semakin tinggi kemungkinan individu untuk patuh. Beberapa studi menyatakan bahwa subjek akan menuruti perintah dari orang yang diyakini mempunyai wewenang, dengan menilai dari pakaian (misal seragam) atau petunjuk lain (seperti tanda pangkat, bahasa atau gelar). b. Dukungan kelompok Dukungan kelompok berpengaruh terhadap kepatuhan. Makin banyak anggota kelompok yang patuh, makin besar individu lain untuk juga patuh. Demikian pula sebaliknya. Bentuk ketiga dari pengaruh sosial adalah kekuasaan sosial (social power). c. Sosial Power Studi mengenai konformitas dan kepatuhan ini tidak hanya berbeda dalam susunannya, tetapi juga sifat kekuasaan atau power, yaitu tekanan untuk menyesuaikan diri yang timbul dari power sebuah kelompok sosial, sementara tekanan untuk patuh datang dari power seseorang yang berwenang. Power didefinisikan sebagai kekuatan dari pemberi pengaruh yang menyebabkan perubahan
sikap
dan
perilaku
seseorang.
Betram
Raven
dkk.
Mengidentifikasikan tipe power: -
Reward power (kekuasaan imbalan) Pengaruh yang berdasarkan
kepemilikan (kekayaan), yaitu kemampuan untuk memberi sesuatu yang diinginkan oleh orang lain (seperti pujian/persetujuan dan uang) atau mengambil
sesuatu
yang
tidak
disukai/diinginkan
orang
(misalnya
ketidaknyamanan dan kesulitan). -
Coercive power (kekuasaan hukuman) Seseorang dikatakan mempunyai
coercive power atas anda apabila ia mempengaruhi anda dengan cara mengancam akan mengambil sesuatu dari anda (seperti uang dan kasih sayang) atau membuat anda menderita. -
Legitimate
power
(kekuasaan
legitimasi)
Sebagian
orang
dapat
mempengaruhi kita karena adanya pengakuan dari kita bahwa mereka punya
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
8
hak untuk melakukannya disebabkan wewenang, status atau kedudukan sosial yang mereka miliki. Ini merupakan pengaruh sosial berdasarkan kekuatan legitimasi. -
Referent power (Kekuasaan rujukan) Selain peran profesional, bentuk lain
dari hubungan bisa mempunyai pengaruh sosial. DI bawah pengaruh referent power, seseorang yang mengidentifikasikan dirinya (atau berharap menjadi sama) dengan pemberi pengaruh akan menurutinya. Seluruh tipe power tersebut mempunyai ketergantungan secara sosial. Artinya, bergantung pada kualitas, strategi atau modal yang dimiliki oleh pemberi pengaruh, yang dapat membuat perintah menjadi lebih efektif. Jika seseorang yang hendak memengaruhi, tetapi tidak bisa memberi imbalan atau hukuman kepada orang yang akan dipengaruhi, juga bukan orang yang disukai atau hormati, dan tidak memiliki keahlian atau informasi yang relevan maka orang itu tidak memiliki power yang cukup untuk mempengaruhi. Namun, dalam dua kasus yang akan dibahas oleh penulis, tipe power yang paling dominan adalah (Weber, 1992) -
Changing Attitudes Theory Teori ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang bisa berubah, dari yang tidak suka menjadi suka maupun sebaliknya. Ketika sikap dibentuk oleh pengalaman maka pengalaman baru dan penemuan terhadap informasi baru yang akan mengubah sikap seseorang. Selain faktor tersebut, sikap juga bisa berubah sebagai hasil dari persuasi, sebagai bentuk pengaruh sosial yang merubah keyakinan, perasaan, maupun perilaku seseorang. Menurut Carl Hovland, perubahan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang persuasif. Ada tiga faktor utama yang membuat sebuah komunikasi menjadi lebih persuasif, yaitu orang yang menyampaikan pesan, pesan yang disampaikan, dan penerima pesan itu sendiri. (Weber, 1992)
-
Polarisasi Kelompok Menurut Stoner, manusia membuat keputusan yang lebih berani ketika mereka berada dalam kelompok daripada ketika mereka sendirian. Gejala ini dikenal dengan the risky shift (geseran resiko). Biasanya yang terjadi dalam kelompok adalah apabila sebelum diskusi kelompok para anggotanya mempunyai sikap agak mendukung tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan itu.
Sebaliknya apabila sebelum diskusi para anggota agak menentang tindakan
tertentu, setelah diskusi mereka akan menentangnya lebih keras lagi. (Rakhmad,
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
9
2007), polarisasi mengandung dua implikasi negative. Pertama, kecenderungan kea rah ekstremisme menyebabkan para anggota menjadi lebih jauh dari dunia nyata karena itu makin besar peluang bagi mereka untuk berbuat kesalahan. Kedua, polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok tersebut. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota – anggota yang memiliki pandangan yang sama. Ketika mereka berdiskusi, pandangan yang sama ini semakin dipertegas sehingga mereka makin yakin akan kebenarannya
III. Analisis dan Pembahasan Dalam jurnal ini, penulis akan mengangkat dua kasus kekerasan yang terjadi pada murid sekolah dasar. Penulis memilih dua kasus ini karena dalam kedua kasus ini memiliki kesamaan, yaitu dilakukan secara kelompok. Selain itu, menurut informasi yang didapatkan oleh penulis kedua kasus disebabkan oleh efek dari pengaruh lingkungan sosial. Penulis akan mencoba menjabarkan informasi-informasi, yang penulis dapatkan melalui data sekunder yaitu beberapa portal berita online. Selain itu, penulis juga akan menambahkan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan kasus ini. Lalu, dari kedua data tersebut, penulis akan mencoba mengaitkan informasi mengenai kasus dan hasil penelitian dengan beberapa teori yang sudah dijabarkan pada kerangka pemikiran. Kasus pertama terjadi di SD Trisula Perwari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Sebuah video mengenai kekerasan oleh sekelompok siswa terhadap seorang siswi ini diunggah ke sebuah akun Facebook milik seorang tokoh di masyarakat setempat. Dalam video tersebut diketahui bahwa kejadian ini berlangsung di dalam sekolah tepatnya di dalam ruang kelas. Pada saat itu seharusnya anak-anak pergi ke musala sekolah untuk pelajaran agama. Namun, guru yang seharusnya mengajar tidak datang karena harus mengajar di sekolah lain, sehingga jam pelajaran tersebut kosong. Menurut informasi yang didapatkan penulis, hal ini diawali dengan bercandaan, dimana korban sempat mengejek ibu dari salah satu pelaku, Ia menyamakan ibu dari pelaku dengan sepatu. Dalam video tersebut terlihat seorang anak yang dipukuli dan ditendang secara bergantian oleh teman-teman sekelasnya. Korban hanya bisa menangis dipojokan, dengan muka yang seakan meminta dikasihani. Namun, para pelaku tetap memukulinya. Temanteman kelasnya yang lain hanya menonton dan memberi dukungan pada para pelaku. Selain
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
10
kerap dianiaya teman sekelasnya,berdasarkan informasi yang didapatkan oleh penulis korban ternyata juga kerap diperas. Uang jajan yang dibawanya pun terpaksa Ia bagi kepada sejumlah teman laki-lakinya. Pemerasan yang dialami hampir setiap hari oleh korban ini, bahkan baru diketahui orangtua korban saat mendatangi sekolah. Kejadian kekerasan ini direkam oleh seorang anak yang membawa telfon genggam ibunya tanpa izin. Lalu, anak tersebut mengadukan hal tersebut kepada penjaga warung di depan sekolah yang langsung melaporkan kepada Datuk, tokoh masyarakat setempat. Video itu akhirnya diunggah ke akun Facebook-nya atas dasar prihatin mengenai system pendidikan di Indonesia. Lalu, salah satu teman datuk yang juga prihatin dengan video tersebut turut mengunggah ke prihatin dengan video tersebut turut mengunggah ke YouTube sehingga video tersebut tersebar. Sekarang Datuk dan temannya sedang menjalani pemeriksaan atas tuntutan yang diajukan oleh KPAI. Menurut sejumlah keterangan, perilaku kasar bahkan cenderung sadis para siswa itu dipengaruhi tayangan televisi dan game online yang umumnya bergenre kekerasan. Tim pemeriksa kondisi psikologis korban dan pelaku kekerasan di Sekolah SD Trisula Bukittinggi, mengatakan para siswa pelaku penganiayaan terhadap rekan mereka bersikap brutal karena terpengaruh tayangan televisi. "Pengaruh tontonan itu terlihat dalam gaya kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap si korban," kata ketua tim, Yosi Molina. Menurut Yosi, hasil pemeriksaan mengarah pada fakta bahwa siswa dan siswi SD Perwari terpapar oleh game online, PlayStation, dan tayangan yang mengadung kekerasan di televisi. Mereka rata-rata kerap menonton film kartun dan sinetron yang mengumbar adegan kekerasan. "Dampaknya, anak merasa ingin tahu, ingin mencoba, dan agresif setelah menonton acara tersebut." 10 Selain siswa terpengaruh tontonan, hasil pemeriksaan juga menunjukkan fungsi keluarga yang lemah, dimana pola asuh yang dikerapkan pesimis demokratis. Berdasarkan informasi yang didapatkan penulis, guru agama yang seharusnya mengajar pada kejadiaan diberikan sanksi. Namun, dengan kejadian tersebut terdapat fakta yang baru terungkap yang didapatkan oleh penulis, yaitu menurut guru agama tersebut, Ia tidak seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang salah. Karena menurutnya tindakan kekerasan antar siswa memang sudah menjadi hal yang biasa di sekolah tersebut, tanpa adanya sanksi atau upaya pencegahan dari pihak sekolah. Peristiwa kekerasan dengan pelaku dan korban yang sama pernah terjadi saat jam pelajaran agama di dalam musala, sang guru 10
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/19/058615329/Kekerasan-di-SD-Bukittinggi-Akibat-Pengaruh-TV
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
11
bahkan telah melaporkan hal tersebut kepada pihak sekolah namun tidak ditanggapi dengan serius. Penulis juga mendapatkan pendapat dari salah satu orangtua alumni SD Trisula. Menurut Idris Sanur (48) pemerintah atau masyarakat sangat tidak pantas memvonis SD Trisula Perwari sebagai sekolah yang negatif, karena pemerintah dan masyarakat harus tahu dulu seperti apa kondisi pembelajaran di SD tersebut. Menurut Idris Sanur, sekitar 75 persen murid SD Perwari Bukittinggi merupakan anak korban broken home, dan tempat penampungan anak-anak nakal yang tidak bisa ditampung di sekolah lain. Menurutnya, di sana tempat berkumpul anak-anak nakal, seperti yang suka berkelahi hingga pengonsumsi narkoba. “Jangankan di belakang guru, di depan guru saja anak-anak itu mau berkelahi. Beberapa di antaranya juga pernah ditangkap akibat menghirup lem. Anak saya pernah sekolah di sana, jadi saya tahu persis seperti apa kondisi di sekolah itu, dan saya menilai guru-guru dan kepala sekolah itu cukup sabar dalam mena-ngani anak-anak nakal seperti itu,” ujar Idris Sanur. Idris Sanur mengatakan, Semenjak menem-puh pendidikan di SD Perwari, Idris Sanur mengungkapkan anaknya ikut-ikutan terlibat mengonsumsi narkoba di sekolah. Informasi itu menurut Idris Sanur didapatkan dari gurunya. Bahkan guru dan pihak sekolah mengumpulkan orangtua murid yang anaknya terindikasi narkoba, untuk berdiskusi menentukan langkahlangkah yang diambil untuk memberantas permasalahan narkoba itu. Solusi itu juga membuat anaknya kembali sehat dan tidak lagi mengonsumsi narkoba. Meski kondisi sekolah tersebut tergolong parah, namun menurut Idris Sanur, tidak sedikitpun perhatian yang diberikan Pemko Bukittinggi kepada SD Perwari.
11
Bahkan, gubernur Sumatra Barat juga sempat tak
simpatik mengenai kasus ini. Baginya hal ini sudah biasa, sehingga tidak perlu dibesarbesarkan. Hingga akhirnya video yang diunggah oleh tokoh masyarakat tersempat disebarkan lagi oleh temannya ke YouTube hingga mendapat perhatian media. Penulis juga menggunakan satu kasus tambahan sebagai bahan pembanding. Di SD Percontohan Sumatra Utara, juga terjadi tindak kekerasan sekaligus pelecehan seksual yang terjadi pada seorang siswi sekolah dasar. Kasus ini juga dilakukan di dalam lingkungan sekolah dan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Saat jam istirahat, korban dipanggil oleh para pelaku. Korban agak ragu untuk ikut, hingga harus dipaksa oleh kedua pelaku untuk masuk ke dalam kamar mandi. Kedua pelaku, juga mengajak 3 pelaku lain yang disuruh 11
http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/sumbar/34900-anak-sd-perwari-terkenal-bandel
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
12
untuk menjaga pintu kamar mandi dan melarang siapa pun masuk. Di dalam kamar mandi, korban dipaksa buka celana. Kedua pelaku mulai memperlakukan korban secara tak manusiawi. Anus dan kemaluan korban ditusuk dengan menggunakan gagang sikat pembersih WC. Para pelaku yang berjaga diluar takut dengan pelaku utama, mereka takut akan diperlakukan seperti korban . Tapi ternyata mereka tetap menceritakan pada temannya, lalu salah satu dari temannya cerita ke orangtuanya. Dari situlah pihak sekolah tau, karena ada orangtua murid yang bertanya kepada guru mengenai kejadian tersebut. Selain itu, perbuatan ini tentu membuat korban mengeluh kesakita, dan pengalaman menyakitkan itu membuatnya trauma. Korban tak mau berangkat sekolah, Ia merasa kesakitan tiap kali buang air dan akhirnya menceritakan kelakuan 5 teman sekolahnya kepada orangtuanya. Menurut orangtua korban, pelaku sudah sering mengganggu korban sejak kelas 3 SD. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata pelaku meniru tontonan video kekerasan yang dilakukan siswa SMA pada rekan sekolah. Di video itu terlihat adegan dimana para siswa SMA yang sedang menganiaya rekannya, dengan cara yang persis ditiru oleh mereka. Tontonan video porno tersebut diduga didapatkan dari temannya yang sudah pindah ke sekolah lain. Berdasarkan pemeriksaan medis, akibat kejadian itu, anus korban robek, namun selaput kemaluan korban tidak rusak. Berdasarkan penjabaran kasus diatas, penulis akan mencoba menjelaskan dua kasus diatas, dimana penulis melihat adanya bentuk Social Influence dari lingkungan sosial. Misalnya saja, berdasarkan informasi yang didapatkan oleh penulis, salah satu penyebab dari tindak kekerasan tersebut dipicu oleh media yang mereka konsumsi. Dimana dalam kasus SD Trisula, kekerasan diduga disebabkan oleh games dan tontonan yang ber-genre kekerasan. Bahkan dalam kasus pelecehan di SD Percontohan Sumatra Utara, pelaku diduga melakukkan kekerasan serupa yang dilakukka oleh anak SMA dalam sebuah video yang sebelumnya ditonton oleh pelaku. Penulis melihat bahwa pengaruh tersebut diterima secara penuh oleh pelaku (acceptance). Karena, informasi yang didapatkan oleh pelaku langsung “ditelan secara mentah” dengan langsung melakukkan hal tersebut kepada temannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tinsey dalam (Dwipayanti & Indrawati, 2014) televisi memiliki potensi dalam memunculkan perilaku yang membahayakan bagi anak. Tayangan sinetron yang sering mempertontonkan tindakan bullying seperti kekerasan atau kebencian yang dikarenakan status sosial seperti orang kaya yang benci dengan orang miskin atau geng
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
13
gaul yang suka mengejek anak yang mereka anggap ketinggalan jaman dan sebagainya. Anak-anak dapat melihat adegan kekerasan di televisi, dan jika tidak memperoleh perhatian dan pendampingan penuh dari orang tua, maka anak akan cenderung untuk meniru adegan kekerasan yang dilihatnya. Namun, jika berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, tidak semua pengaruh para pelaku kekerasan sampai hingga ketahap acceptance. Misalnya, salah satu pelaku pelecehan di Sumatra Utara yang berjaga diluar, salah satunya mengaku bahwa Ia terpaksa melakukkan hal tersebut, karena Ia tidak mau mengalami hal serupa dengan korban. Bahkan pelaku tersebut yang menyebarkan ke temannya, sehingga temannya melaporkan kepada orangtuanya, sehingga kasus ini diketahui oleh sekolah. Ia mengaku melakukkan hal tersebut karena takut dengan pelaku yang mengajaknya. Disini penulis melihat adanya Compliance yang terjadi terhadap pelaku yang melakukkan karena terpaksa. Menurut penulis, compliance yang terjadi merupakan bentuk dari
obedience. Karena menurut penulis pengaruh ini terjadi atas dasar kepatuhan atas
permintaan secara langsung yang dilakukan oleh pelaku utama. Ia tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh pelaku utama, namun adanya social power yang dimiliki oleh pelaku utama. Menurut penulis, pelaku utama memiliki suatu jenis power yaitu tipe coercive power. Karena, menurut kesaksiannya pelaku takut jika pelakua utama akan membuatnya menderita seperti korbannya. Penulis juga melihat adanya Changing Attitude Theory, sebagai efek dari Social Inflluence tersebut.
Hal ini terjadi karena ketidak sempurnaan sosialisasi norma yang
dilakukan oleh agen sosial primer kepada para siswa/i pada tingkat sekolah dasar. Sehingga, ketika para pelaku mendapatkan sosialisasi dari agen sosial sekunder, norma yang dipahami menjadi berubah. Menurut Fuller dan Jacobs (1973) dalam (Sunarto, 2004), yang termasuk ke dalam agen-agen sosialisasi diantaranya adalah : 1. Keluarga 2. Kelompok bermain 3. Media masa. Keluarga sebagai agen untuk sosialisasi primer, sedangkan kelompok bermain dan media massa menjadi agen sosialisasi sekunder. Berdasarkan informasi yang didapat oleh penulis, hasil dari penelitian tim psikolog pada SD Trisula, agen sosial pertama atau yang dianggap sebagai sosialisasi primer yaitu keluarga, tidak memiliki peran yang kuat dalam pembentukan karakter anak. Selain siswa terpengaruh tontonan, hasil pemeriksaan juga menunjukkan fungsi keluarga yang lemah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh (Andina, 2014) anak dapat menjadi pelaku
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
14
bullying didasari beberapa faktor, yaitu: Pertama, anak meniru orang lain. Anak tidak mendapatkan perilakunya sendiri, melainkan meniru dari lingkungan, terutama orang dewasa. Perilaku orang dewasa yang buruk menjadi teladan bagi anak. Kedua, anak tidak dibekali pengetahuan mengenai nilai-nilai positif. Hal ini menyebabkan anak tidak tahu bahwa perilakunya tersebut tidak baik. Ketiga, anak ingin tahu dampak perilaku negatif yang ditirunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Farrington (2000 dalam (Sari, Saparwati, & Yusfantina, 2014)) bahwa pola asuh orang tua memiliki kemungkinan berkorelasi dengan perilaku pembulian pada anak, sehingga anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, cenderung menjadi pelaku pembulian. Pemaksaan dan kontrol yang sangat ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam berinisiatif pada anak dan memiliki keterampilan komunikasi yang sangat rendah. Anak akan menjadi seorang yang sulit untuk bersosialisasi dengan teman-temannya sehingga anak akan mempunyai rasa sepi dan ingin diperhatikan oleh orang lain dengan cara berperilaku agresif. Selain itu, orangtua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh orangtua akan membuat anak marah dan kesal kepada orangtuanya tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskan kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Dengan pola asuh orang tua yang tidak terlalu mengekang, anak akan menjadi anak yang berinisiatif, percaya diri dan mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif. Sedangkan pola asuh permisif dan demokratis cenderung menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian. Sedangkan, berdasarkan informasi dari tim psikolog, pola asuh pada para pelaku di SD Trisula cenderung permisif dan peran ayah yang tidak kuat menyebabkan anak-anak tak paham akan aturan dan batasan-batasan perilaku. Tidak efektifnya komunikasi di dalam keluarga menyebabkan anak-anak mencari bentuk komunikasi lain yang negatif. 12 Sehingga anak cenderung tidak dapat membatasi sifat agresif mereka, dan lebih mudah terkena pengaruh dari agen sosialisasi lainnya yaitu teman bermain dan media.
12
http://www.tempo.co/read/news/2014/10/19/058615329/Kekerasan-di-SD-Bukittinggi-Akibat-Pengaruh-TV
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
15
Dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual, penulis juga melihat perbandingan yang ada terhadap anak yang mendapatkan sosialisasi yang sempurna dan tidak sempurna. Dimana ketika kelompok tersebut mendapat informasi dari teman sepermainannya mengenai video kekerasan, terdapat pengaruh yang berbeda terhadap pelaku. Pelaku yang lebih agresif langsung terpengaruhi, Ia langsung menjadi penasaran untuk melakukkan hal tersebut kepada temannya. Namun, pelaku yang hanya berperan sebagai penjaga cenderung tidak terpengaruh oleh video tersebut, Ia melakukkanya sebatas patuh dengan temannya karena takut akan diperlakukkan sama dengan apa yang teman-temannya lakukkan terhadap korban. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kekuatan sosialisasi primer yang dibutuhkan oleh murid dari sekolah tersebut. Menurut penulis, dampak dari Social Influence yaitu Comformity, juga dapat dilihat dalam kasus ini. Misalnya, pada kasus di Bukittinggi, kelompok pelakuk kekerasan yang jumlahnya kurang lebih sebanyak lima orang tersebut sebenarnya juga sering melakukkan pemalakan kepada teman-temannya yang lain. Menurut infomasi yang didapat oleh penulis kekerasan ini sudah dimulai sejak kelas tiga hingga sekarang kelas lima. Kepatuhan yang dilakukkan oleh para korbannya seakan dianggap sebagai pembenaran oleh para pelaku, sehingga mereka melakukkannya secara berulang. Sesuai dengan salah satu dampak komformitas yaitu pembentukkan norma. Norma yang secara tidak langsung “disetujui” oleh para pelaku menyebar kepada siswa/i lainnya. Hal ini terlihat dalam video tersebut, ketika aksi kekerasan terjadi tidak ada satu orangpun yang menolong korban. Teman-teman sekelasnya yang juga pernah menjadi korban turut memberi semangat pada para pelaku. Dalam dua kasus yang dibahas, terdapat kesamaan dimana kedua kasus ini terjadi secara berkelompok. Maka, penulis mencoba untuk melihat pengaruh kelompok terhadap individu. Penulis melihat adanya Polarisasi Kelompok dalam kasus ini. Menurut penulis tingginya tingkat agresif yang dilakukan oleh para pelaku dalam melakukkan kekerasan ini salah satunya disebabkan oleh pengaruh kelompok. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Stoner, dimana menurutnya manusia membuat keputusan yang lebih berani ketika mereka berada dalam kelompok daripada ketika mereka sendirian Misalnya saja, dalam kasus SDTrisula, para pelaku terlihat sangat percaya diri unutk mengabadikan tindak kekerasannya. Menurut penulis hal ini dikarenakan Ia merasa dalam sebuah kelompok sehingga mereka cenderung lebih berani dan lebih agresif untuk menunjukkan bentuk kekerasannya tersebut atau yang dikenal dengan the risky shift (geseran
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
16
resiko). Menurut penulis hal ini terjadi karena mereka tidak merasa sendiri dan memiliki “teman”, meskipun mereka tau bahwa ini merupakan tindakan yang salah. Namun mereka tetap melakukannya karena mereka merasa mendapatkan dukungan, dan jika mereka akan mendapatkan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan, mereka tidak akan mengalami hal itu sendirian. Penulis juga melihat adanya pengaruh tersebut dalam kasus di SD Percontohan Sumatra Utara. Para pelaku berani untuk menarik korban dari tempat yang ramai ke tempat yang sepi. Padahal, waktu itu sedang jam istirahat, dimana anak-anak yang lain berada diluar kelas. Selain itu, korban bisa saja melawan atau meminta pertolongan orang lain dalam perjalanan dari kelas ke toilet. Namun, karena menurut penulis tingkat keagresifan pelaku terjadi dikarenakan Ia merasa menang dijumlah jika dibandingkan dengan korban, maka Ia berfikir bahwa korban akan sangat takut dan bahkan menurutinya. Selain itu, jika korban melakukan sesuatu yang akan menjatuhkanya Ia akan mendapat perlindungan dari anggota kelompok yang lainnya. Selain itu, menurut penulis dengan terbentuknya kelompok-kelompok tersebut, paraindividu didalamnya seolah meyakini terbentuknya norma yang baru di dalam kelompok mereka. Norma tersebut berisikan bahwa para anggota kelompok seolah menyetuji kekerasan kepada teman merupakan hal yang wajar dan dapat diterima dengan lingkungannya (dalam hal ini merupakan teman sekelasnya). Jikahal ini dilihat melalui teori social influence, anggota telah sampai pada tingkat acceptance yang mungkin terjadi karena dua hal, identifikasi dan internalisasi. Jika hal ini masuk kedalam identifikasi, anggota memasuki kelompok atas alasan hubungan personal didlamanya tanpa mengetahui peraturan yang ada. Namun, jika masuk kedalam internalisasi anggota juga setuju dengan peraturan didalamnya, bukan hanya berdasarkan hubungan didalamnya. Selain itu, norma baru mengenai “pembenaran” atas perlakuan kekerasan terhadap teman sekelas ini juga dapat menyebar kelingkungan sekitar. Pemahaman tersebut semakin berkembang, sehingga orang-orang diluar kelompok tersebut juga tidak lagi melihat adanya kesalahan dalam pemahaman tersebut. Para pelaku yang bertindak seakan kekerasan itu merupakan hal yang biasa bahkan keren untuk dilakukkan sehingga anak-anak lainnya mulai melihat hal tersebut menjadi hal yang menarik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Jalaludin Rahmat, polarisasi mengandung dua
implikasi
negatif. Pertama, kecenderungan kearah ekstremisme
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
17
menyebabkan para anggota menjadi lebih jauh dari dunia nyata karena itu makin besar peluang bagi mereka untuk berbuat kesalahan. Kedua, polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok tersebut. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota – anggota yang memiliki pandangan yang sama. Ketika mereka berdiskusi, pandangan yang sama ini semakin dipertegas sehingga mereka makin yakin akan kebenaran pendapat mereka. Selain itu, sebagai data tambahan penulis juga mendapatkan informasi bagaimana faktor kepribadian mempengaruhi apakah seseorang akan menjadi pelaku
atau korban
bullying. Menurut (Nuryadi, 2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan remaja menjadi korban ataupun pelaku bullying, salah satunya adalah faktor kepribadian. Dalam perkembangan penelitian bullying, beberapa tokoh melakukan penelitian dan mengaitkan tipe kepribadian dengan perilaku bullying. (Rigby, 2007) menyimpulkan faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku bullying , baik pelaku maupun korban bullying dapat dilihat dari salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu dari tipe kepribadiannya. Berdasarkan hasil penelitian (Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), dari profil kepribadian biasanya korban
bullying secara sosial kurang mampu bergaul, cenderung
menyendiri dan suka melamun, kurang mampu menikmati kebersamaan dengan orang lain, dan cenderung bersikap kaku sehingga kurang terampil bersosialisasi. Hal ini sejalan degan perspektif teori Atribusi terhadap Perbedaan Individual, bahwa korban bullying biasanya secara psikologis introvert, memiliki harga diri yang rendah, dan kurang memiliki keterampilan sosial, khususnya dalam hal asertivitas (Rigby, 2007). Selain itu, secara kognitif, korban bullying memiliki kemampuan berpikir yang agak rendah karena faktor B (intelligence) tergolong rendah, sehingga memungkinkan lamban dalam mempelajari sesuatu yang baru dan kurang dapat belajar dari pengalaman. Hal inilah yang membuat para pelaku, menganggap kepribadian korban yang penurut, pendiam, dan kurang dapat belajar dari pengalaman dianggap target yang cocok. IV. Kesimpulan Dari keseluruhan analisis social influence yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku individu sehingga melakukan kekerasan, dalam dua kasus kekerasan di SD Trisula Bukittinggi dan SD Percontohan Sumatra Utara beserta pembahasannya, penulis kemudian menyimpulkan hal-hal berikut ini::
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
18
1. Lingkungan sosial dapat mempengaruhi perubahan sikap atau tingkah laku individu. Biasanya pemberian pengaruh tersebut dilakukan oleh agen sosialisasi sekunder yaitu kelompok bermain ataupun media. Jika sosialisasi yang dilakukkan oleh agen sosialisasi primer (keluarga) tidak sempurna, maka akan sangat mudah dipengaruhi oleh agen sosialisasi sekunder. Meskipun perubahan tersebut terbagi menjadi dua tingkatan sepenuhnya (acceptance) dan sebagian (compliance). Dalam dua kasus yang dibahas oleh penulis terlihat sangat jelas bagaimana media dan teman bermain dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku individu untuk melakukan kekerasan terhadap teman sekelas. 2. Dalam
kasus
SD
Percontohan,
para
pelaku
yang
terpengaruh
oleh
lingkungannya dalam tingkat compliance merupakan sebuah bentuk dari obedience. Individu tersebut, tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang akan dilakukan, namun adanya kepatuhan atas permintaan dari temannya yang memiliki social power. Kepatuhan tersebut disebabkan oleh adanya anggapan bahwa jika Ia tidak menuruti temannya, maka sang pemilik power dapat membuat hidupnya menderita. 3. Pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anaknya, dapat berengaruh terhadap perilaku sang anak. Menurut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim psikologi terhadap kasus SD Trisula Bukittinggi, pola asuh pada para pelaku di SD Trisula cenderung permisif dan peran ayah yang tidak kuat menyebabkan anak-anak tak paham akan aturan dan batasan-batasan perilaku. Selain itu berdasrakan penelitian yang dilakukan oleh Farrington, pola asuh pesimis demokratis, cenderung membuat anak tidak dapat mengimbangi dan membatasi sifat agresifnya. 4. Dampak comformity dapat membuat terbentuknya norma baru yang secara tidak disengaja, disetujui oleh lingkungan. Misalnya saja, meskipun para pelaku kekerasan di SD Trisula juga sering melakukan kekerasan atau pemalakan terhadap teman-teman sekelasnya yang lain. Namun, ketika kelompok tersebut melakukan pengeroyokan terhadap korban, teman-teman yang lain tidak ada yang membantu korban bahkan cenderung memberikan dukungan terhadap para pelaku. Selain itu, norma baru tersebut memiliki kecendrungan sifat untuk tersebar dengan sangat mudah. 5. Polarisasi kelompok membuat para pelaku lebih agresif karena adanya the risky sift. Pada kasus SD Trisula, para pelaku terlihat sangat berani dan nyaman ketika adegan kekerasan yang mereka lakukan direkam oleh teman sekelasnya. Bahkan
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
19
dalam video, salah satu pelaku ada yang sempat berpose dengan mengeluarkan jari tengahnya ke kamera. Selain itu, dalam kasus SD Percontohan Sumatra Utara perilaku agresif terlihat ketika para pelaku dengan beraninya menarik korban dari tempat ramai dan pada jam istirahat. Padahal, korban bisa saja teriak dan minta tolong dalam perjalanan dari kelas ke wc sekolah tersebut.
Daftar Pustaka Buku Armando, S. (2008). Psikologi Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Rakhmad, J. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rigby, K. (2007). Bullying in School and What To Do About It, Revised And Update. Australia: Acer Press. Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Weber, A. (1992). Social Psychology. New York: HarperCollins Publisher, Inc. Jurnal
Andina, E. (2014, Mei). Info Singkat Kesejahteraan Sosial. Budaya Kekerasan Antar Anak Di Sekolah Dasar , pp. 1-4. Astarini, K. (2013). Educational Psychology Journal. Hubungan Perilaku Over Protective Orangtua dan Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar , 30-34. Dwipayanti, I. A., & Indrawati, K. R. (2014). Hubungan Antara Tindakan Bullying dengan Prestasi Belajar Anak Korban Bullying. Jurnal Psikologi Udayana , 10. Hertinjung, W. S., Susilowati, & Wardhani, I. R. (2012). Prosiding Seminar Nasional Psikologi Islami. Profil Kepribadian 16 PF Pelaku dan Korban Bullying , 190-199. Sari, T. P., Saparwati, M., & Yusfantina, R. (2014). Hubungan Antara Tipe Kepribadian Anak Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Kelas VIII DI SMP NEGERI 1 PATI . Website http://lbhmawarsaron.or.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=149:bull ying-pada-institusi-pendidikan-ditinjau-dari-sudut-pandang-hukum&catid=79&Itemid=213
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014
20
http://uniqpost.com/50241/negara-negara-dengan-kasus-bullying-tertinggi-indonesia-diurutan-ke-2/ http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-9-I-P3DI-Mei-201463.pdf\ http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/05/06421171/Dwiki.Dituntut.Lebih.Berat.dala m.Kasus.SMAN.3.Jakarta.Pengacara.Sebut.Sederet.Keberatan http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/22/18275151/KPAI.Ungkap.Kronologi.Dugaan .Kasus.Bullying.di.SMAN.70http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Si ngkat-VI-9-I-P3DI-Mei-2014-63.pdf http://news.okezone.com/read/2014/10/18/340/1053783/kekerasan-sd-bukittinggi-sekolahkambinghitamkan-guru-agama http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-kekerasan-siswa-sd-di-bukittinggi-diduga-efekgame-dan-film-kekerasan/ http://harianandalas.com/kanal-berita-utama/astaga-anus-anak-sd-ditusuk-gagang-brush http://www.tempo.co/read/news/2014/10/19/058615329/Kekerasan-di-SD-BukittinggiAkibat-Pengaruh-TV http://news.okezone.com/read/2014/10/18/340/1053783/kekerasan-sd-bukittinggi-sekolahkambinghitamkan-guru-agama http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-kekerasan-siswa-sd-di-bukittinggi-diduga-efekgame-dan-film-kekerasan/ http://harianandalas.com/kanal-berita-utama/astaga-anus-anak-sd-ditusuk-gagang-brush http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/sumbar/34900-anak-sd-perwari-terkenalbandel
Studi kasus..., Sanie Aulia Fatimah, FISIP UI, 2014