STUDI FISIOLOGI DAN IDENTIFIKASI PROTEIN FOTOSINTETIK PADI GOGO TOLERAN NAUNGAN
ANDI ETE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Fisiologi dan Identifikasi Protein Fotosintetik Padi Gogo Toleran Naungan adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
Andi Ete AGR 965023
ABSTRACT ANDI ETE, Study on Physiology and Identification of Photosynthetic Protein of Shade Tolerant Upland Rice. Under direction of DIDY SOPANDIE, SARSIDI SASTROSUMARJO, MUHAMMAD AHMAD CHOZIN, AHMAD SURKATI, and MARIA BINTANG. The research was aimed to study the upland rice response of shading, which was conducted in two stage studies, as followed: firstly, the analysis of agronomical and morpho-physiological characteristics using a split plot design, shading as main plot and genotype/variety as sub plot, and arranged in a block randomized design in three replications. Secondly, study was aimed to find out the specific protein characterization of upland rice as affected by shading using a completely randomized design with two factors in three replications. First factor was shading and second factor was variety. The first study results showed that the both genotypes observed had changed in case of characteristics of agronomy and morpho-physiology. The tolerant upland rice had more increase in plant height and panicle length than intolerances. In contrary, the sensitive upland rice varieties had more decrease in leave total, maximum seedlings, productive seedlings, grain per panicle, 1000 seeds weight, unfilled grain percentage and dry ground grain weight, compared with the tolerance. According to the change of agronomical and morphophysiological characteristics of tolerant (TB 177 E-28-B-3) and sensitive (TB 154 E-TB-1) upland rice might be categorized as inconsistence. Furthermore, the 50% of shading might increased leave nitrogen total concentration, but decreased the soluble N, protein soluble N and TCA soluble N. Whiles, the path analysis in 9 and 18 days of shading showed a decrease in leave nitrogen total and soluble nitrogen in both genotypes, tolerance and intolerance. The second study results showed the tolerant upland rice (Jatiluhur) under 50% of shading had a higher decrease of total protein and chloroplast protein leaf compared with the intolerance (Kalimutu) in active vegetative and grain filled phases, although the consentration mean of the tolerant genotype was still higher than the sensitive genotype. Whereas, there was lower increase in leaf membrane thylakoid protein of the tolerant genotype than the sensitive genotype either in active vegetative or grain filled phases. According to path analysis on 50% shading for 3,9 and 19 days, the tolerant genotype had more decrease in thylakoid membrane protein consentrantion than the intolerance. The specific protein analysis on tolerant upland rice under shading showed gradation in chloroplast protein band tickness at molecule weight of 64 kDa, as known as polyphenol oxidization, the 55 kDa protein was coded by rbc L gene as known as a large sub-unit Rubisco enzyme (Rubisco-L), the 33 kDa protein was coded by psb O gene as a protein complex OEC1 (Oxygen-Evolving Complex), and the 18 kDa protein coded by psb Q gene. In addition, there were also gradations in thylakoid membrane protein at molecule weight of 31, coded by psb A, 23 kDa protein was coded by psb Q and 20 kDa protein produced by Lhcb6 gene as known as CP 24 protein, that is pigment-protein light harvesting complex in photosystem II (LHC-II). Keywords: upland rice, shading, nitrogen, protein, chloroplast, thylakoid membrane
ABSTRAK ANDI ETE. Studi Fisiologi dan Identifikasi Protein Fotosintetik Padi Gogo Toleran Naungan. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, MUHAMMAD AHMAD CHOZIN, SARSIDI SASTROSUMARJO, AHMAD SURKATI dan MARIA BINTANG. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon padi gogo terhadap naungan yang dilakukan pada dua tahap yaitu: pertama analisis karakter agronomi, morfo-siologi dengan menggunakan rancanagan petak terpisah, sebagai petak utama adalah naungan dan genotipe/varietas sebagai anak petak dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan yang diulang tiga kali. Tahap kedua adalah untuk mengetahui karakteristik protein spesifik padi gogo akibat naungan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial yang diulang tiga kali. Faktor pertama adalah naungan dan faktor kedua adalah varietas. Hasil penelitian pada tahap pertama menunjukkan: kedua genotipe yang diuji mengalami perubahan karakter agronomi dan morfo-fisiologi akibat naungan. Padi gogo genotipe toleran mengalami peningkatan tinggi tanaman dan panjang malai lebih banyak dari pada genotipe peka. Sebaliknya genotipe peka mengalami penurunan lebih banyak dari genotipe toleran pada jumlah daun, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah hampa dan bobot gabah kering giling. Sesuai perubahan karakter agronomi, maka galur TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) kelompok genotipe toleran dan TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) kelompok galur peka keduanya tergolong tidak konsisten. Naungan 50% meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun, sebaliknya N terlarut, protein N terlarut dan N terlarut TCA. Demikian pula pada Uji Cepat 9 dan 18 hari menyebabkan penurunan konsentrasi total nitrogen daun dan nitrogen terlarut pada kedua genotipe toleran dan peka. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa naungan 50 % pada padi gogo genotipe toleran mengalami penurunan konsentrasi total protein daun dan protein kloroplas lebih tinggi dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada fase vegetatif aktif dan fase pengisian biji, walaupun konsentrasi rata-rata genotipe toleran Jatiluhur masih lebih tinggi dari pada genotipe peka Kalimutu. Sementara itu, peningkatan protein membran tilakoid pada genotipe toleran lebih rendah dari pada genotipe peka, baik pada fase vegtatif aktif maupun pengisian biji. Uji cepat pada naungan 50% selama 3, 9 dan 18 hari pada genotipe toleran mengalami penurunan konsentrasi protein membran tilakoid, namun penurunannya lebih rendah dari genotipe peka. Analisis protein spesifik pada padi gogo toleran yang dinaungi 50% menujukkan penurunan ketebalan pita protein kloroplas (pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, protein 55 kDa dikode oleh gen rbc L sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L), protein membran ekstrinsik 33 kDa dikode gen psb O dan 18 kDa dikode gen psb Q.), selain itu terjadi penurunan ketebalan pita protein pada membran tilakoid (pada bobot molekul 31 kDa dikode gen psb A, 23 kDa dikode gen psb Q dan protein 20 kDa merupakan produk gen Lhcb6 dikenal sebagai protein CP 24 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II atau LHC-II-b ). Kata kunci : padi gogo, naungan, nitrogen, protein, kloroplas, membran tilakoid
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI FISIOLOGI DAN IDENTIFIKASI PROTEIN FOTOSINTETIK PADI GOGO TOLERAN NAUNGAN
ANDI ETE
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi Nama NIM
: Studi Fisiologi dan Identifikasi Protein Fotosintetik Padi Gogo Toleran Naungan : Andi Ete : Agr 965023
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumarjo
Prof. Dr. Ir. H.M.A. Chozin, M.Agr.
Anggota
Anggota
Prof.Dr.Ir. H. Ahmad Surkati Abidin
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS.
Anggota
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Sartriyas Ilyas, MS.
Tanggal Ujian : 4 Juni 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Tidak ada kata yang paling pantas diucapkan kecuali rasa syukur pada Allah SWT atas segala karunia dan kemudahan serta izin-Nya yang diberikan ditengah kesukaran yang dihadapi sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Studi Fisiologi Dan Identifikasi Protein Fotosintetik Padi Gogo Toleran Naungan” dapat diselesaikan. Berbagai pengalaman dan ide yang penulis peroleh sejak menulis proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang mendalam serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: Bapak Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr, sebagai ketua komisi pembimbing yang banyak memberikan perhatian, saran dan koreksi yang sangat berarti, meskipun ditengah kesibukan sebagai pejabat di Fakultas, selalu meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis agar berfikir secara dinamis, sistimatis dalam menghadapi berbagai masalah selama pengajuan proposal, penelitian hingga penulisan disertasi ini. Bapak Prof. Dr. Ir. H.M.A. Chozin, M.Agr, selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi arahan dalam penulisan, saran dan koreksi yang sangat menolong dalam perbaikan tulisan ini, meskipun ditengah-tengah kesibukannya sebagai pejabat di Rektorat, selalu bersedia dan ramah menerima penulis untuk berkonsultasi. Bapak Prof. Dr. Ir. Sarsidi Sastrosumarjo, MSc, selaku anggota komisi pembimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran memberi arahan dan saran demi perbaikan tulisan ini. Bapak Prof.Dr. Ir. H. Ahmad Sukarti Abidin, MSc, selaku anggota komisi pembimbing banyak memberi perhatian dan nasihat kepada penulis demi perbaikan tulisan ini. Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk diskusi, membimbing, memberikan semangat, saran dan koreksi yang sangat berarti kepada penulis. Peran semua komisi pembimbing sungguh sangat berarti sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat dirampungkan. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Suwarno, MS. dan Ibu Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Agr. yang telah meluangkan waktu dan berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka serta Ibu Dr.
Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. yang berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan memberikan masukan yang amat berharga sehingga memberi bobot tersendiri dalam disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada: 1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Rektor Universitas Tadulako dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Agronomi atas kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian pendidikan Program Doktor (S3). 2. Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah atas bantuan berupa fasilitas tempat tinggal yang telah disediakan. 3. Kepala Kebun Percobaan PSPT Cikabayan Darmaga dan staf serta Balai Penelitian Padi Muara, yang telah memberikan dukungan moril dan fasilitas pelaksanaan percobaan di lapangan. 4. Staf Laboratorium Biokimia-IPB, Laboratorium PSPT, Laboratorium Balitvet dan Laboratorium HPT yang telah memfasilitasi dalam analisis laboratorium. 5. Rekan-rekan sesama mahasiswa, khususnya program studi Agronomi IPB, serta rekan-rekan yang tergabung dalam wadah HIMPAST, atas dorongan moril dan bantuan yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih yang tak terhingga buat kedua orang tua (Alm) atas jasa mereka yang telah mendidik dan membesarkan penulis, serta kakak-kakak dan adik-adik atas kasih sayang dan doa yang dipanjatkan untuk penulis, kepada suami dan anakku Annisa Nur Rahma dan Andika Nur Hikmah yang penuh pengertian dengan kondisi penulis yang pergi menuntut ilmu. Akhirnya, kepada semua pihak yang turut membantu dalam penelitian hingga penulisan disertasi ini, penulis sampaikan terima kasih, dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pertanian khususnya bidang fisiologi tanaman. Bogor, Agustus 2007 penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mamboro Palu Sulawesi Tengah,
tanggal 4 Juli
1962, sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara dari ayah Yunus H. Mahmud (Alm) dan ibu Indocani Djuraedjo (Almarhumah). Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri I Palu pada tahun 1981.
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako Palu, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1990 penulis memperoleh beasiswa dari BPPS DIKTI untuk mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Progran Studi Agronomi KPK IPB – UNSRAT dan lulus tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Agronomi Institut Pertanian Bogor pada tahun 1996 dengan beasiswa ADBLOAN. Pada tahun 1987 diangkat sebagai pegawai negeri sipil hingga saat ini sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako Palu.
DAFTAR ISI Halaman xii DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan .................................................................................................... Hipotesis................................................................................................... Manfaat Penelitian.................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................
1 1 3 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman ........... Pengaruh Naungan terhadap Metabolisme Tanaman............................. Struktur Kloroplas, Membran Tilakoid dan Fotosistem II......................... Mekanisme Adaptasi Padi terhadap Naungan......................................... Sintesis Protein Spesifik pada Kondisi Cekaman..................................... Sintesis Protein Fotosintetik......................................................................
6 6 8 10 17 20 22
STUDI KARAKTER AGRONOMI DAN MORFOFISIOLOGI PADI GOGO TERHADAP NAUNGAN Abstract.................................................................................................... Abstrak..................................................................................................... Pendahuluan............................................................................................ Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan...................................................................................................... Bahan dan Metode ................................................................................. Hasil dan Pembahasan............................................................................ Simpulan..................................................................................................
27 27 28 29 29 30 30 32 52
STUDI KARAKTERISASI PROTEIN SPESIFIK PADA PADI GOGO TOLERAN DAN PEKA NAUNGAN
53
Abstract................................................................................................... Abstrak.................................................................................................. Pendahuluan.......................................................................................... Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan.................................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................... Hasil dan Pembahasan.......................................................................... Simpulan................................................................................................
53 54 55 55 57 57 59 73
PEMBAHASAN UMUM...............................................................................
75
SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
90
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe padi gogo untuk karakter morfologi dan agronomi pada naungan 0% dan 50 % ............................... 33
2.
Perubahan bobot gabah kering giling galur/varietas toleran dan peka pada naungan paranet 50 % ...................................................................... 40
3.
Hasil analisis komponen utama terhadap 13 galur/varietas padi gogo pada kondisi naungan paranet 50 % .........................................................
42
4.
Konsistensi toleransi genotipe padi gogo pada naungan 50 % ...................
45
5.
Konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0% dan 50 %..................... 60
6.
Konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0% dan 50 % .................... 61
7.
Konsentrasi protein membran tilakoid pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif dan pengisian biji pada naungan 0% dan 50 %............ 62
8.
Estimasi bobot molekul protein kloroplas pada varietas toleran dan peka pada naungan 0% dan 50% pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji .... 67
9.
Estimasi bobot molekul protein tilakoid pada varietas toleran dan peka pada naungan 0% sdan 50% pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji.... 70
10. Estimasi bobot molekul protein tilakoid pada uji cepat varietas toleran dan peka pada naungan 50% pada fase vegetatif aktif ..................................... 72
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Alur kegiatan penelitian ..........................................................................
5
2. Struktur kloroplas dan perangkat-perangkatnya ....................................
10
3. Skema mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap cahaya rendah
18
4. Diagram skor komponen genotipe toleran, moderat dan peka pada naungan 50 % ........................................................................................
43
5. Dendogram 13 galur/varietas padi gogo pada naungan 50 % ..............
44
6. Konsentrasi total nitrogen daun pada naungan 0% dan 50 % ..............
46
7. Konsentrasi nitrogen terlarut pada naungan 0% dan 50 % ..................
48
8. Konsentrasi protein-nitrogen terlarut pada naungan 0% dan 50 % .......
49
9. Konsentrasi total nitrogen daun pada uji cepat ....................................
50
10. Konsentrasi nitrogen terlarut pada uji cepat ..........................................
51
11. Konsentrasi protein membran tilakoid padi genotipe toleran Jatiluhur dan peka Kalimutu pada uji cepat ..........................................................
63
12. Profil kloroplas dan membran tilakoid daun padi pada gradien sukrosa berbeda....................................................................................................
65
13. Komposisi protein kloroplas dua genotipe padi gogo pada dua perlakuan naungan dan dua fase pertumbuhan melalui SDS-PAGE .....
66
14. Komposisi protein membran tilakoid dua genotipe padi gogo pada naungan 0% dan 50% melalui SDS-PAGE ............................................
69
15. Komposisi protein membran tilakoid uji cepat dua genotipe padi gogo pada 3, 9 dan 18 hari naungan melalui SDS-PAGE................................
71
16 Diagram lintas karakter morfologi padi gogo pada naungan 50 %........
76
17 Skema fotosistem II (PS II) dikutip dari Matto et al 1999).......................
85
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Analisis ragam respon genotipe padi gogo terhadap naungan paranet pada karakter agronomi dan fisiologi ........................................................
104
2.
Tinggi tanaman genotipe padi gogo pada naungan paranet .....................
106
3.
Jumlah daun genotipe padi gogo pada naungan paranet .........................
106
4.
Umur berbunga genotipe padi gogo pada naungan paranet ....................
107
5.
Umur panen genotipe padi gogo pada naungan paranet ..........................
107
6.
Jumlah anakan maksimum genotipe padi gogo pada naungan paranet ....
108
7.
Panjang malai genotipe padi gogo pada naungan paranet .......................
108
8.
Jumlah anakan produktif genotipe padi gogo pada naungan paranet.........
109
9.
Jumlah gabah per malai genotipe padi gogo pada naungan paranet .......
109
10. Persentase gabah hampa genotipe padi gogo pada naungan paranet ...
110
11. Bobot 1000 butir genotipe padi gogo pada naungan paranet ...................
110
12. Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas toleran dan peka terhadap naungan pada fase vegetatif ........................................................................
111
13. Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas toleran dan peka terhadap naungan pada fase pengisian biji..................................................................
111
14. Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas toleran terhadap naungan pada fase vegetatif dengan uji cepat (short term).........................................
112
15. Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas peka terhadap naungan pada fase vegetatif dengan uji cepat (short term).........................................
112
16. Perubahan konsentrasi protein total (μg/ml) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dan pengisian biji ............................................
113
17. Perubahan konsentrasi protein kloroplas (μg/ml) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dan pengisian biji ...........................
113
18. Perubahan konsentrasi protein tilakoid (mg/g) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dan pengisian biji ...........................
114
19. Perubahan konsentrasi protein tilakoid (mg/g) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dengan uji cepat (short term)........
114
20. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein kloroplas padi gogo fase vegetatif ....
115
21. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein kloroplas padi gogo fase pengisian biji .....................................................................................................................
116
22. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein membran tilakoid padi gogo fase vegetatif ......................................................................................................
117
23. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein membran tilakoid padi gogo fase pengisian biji ...............................................................................................
117
24. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein membran tilakoid padi gogo pada uji cepat ............................................................................................................
118
25. Migrasi dan Rf protein standar untuk protein kloroplas .............................
118
26. Migrasi dan Rf protein standar untuk protein membran tilakoid ................
119
27. Migrasi dan Rf protein standar untuk protein membran tilakoid uji cepat .... 28. Prosedur analisis karakterisasi protein fotosintetik ....................................
120 121
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka Dr. Ir. Suwarno, MS. Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Agr.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peningkatan produksi yang dicapai tahun 2006 sebesar 0.46 % belum mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan sehingga terus dilakukan impor beras sebanyak 2 juta ton (BPS 2007). Kondisi ini menjadi semakin serius bila dikaitkan neraca pangan 2000 – 2010 dimana pada tahun 2010 Indonesia masih mengalami defisit sebanyak 1 juta ton (Sopandie 2006). Menyikapi kondisi ini diperlukan usaha yang konkrit untuk meningkatkan produksi baik melalui intensifikasi, extensifiksi maupun diversifikasi sekaligus mengurangi ketergantungan impor beras. Pendayagunaan lahan kering sebagai salah satu sasaran extensifikasi untuk peningkatan produksi dapat dinilai potensial. Ini dikarenakan luas lahan kering yang dimiliki mencapai kurang lebih 76,3 juta ha. Sesuai data tahun 2005, pemanfaatan lahan kering untuk bidang pertanian baru mencapai 13,36 juta ha termasuk didalamnya penanaman padi gogo seluas 1.105.610 ha.
Produksi
yang dicapai pada luasan tersebut adalah sabanyak 2.832.556 ton atau setara dengan 2,5 ton per ha (BPS 2005). Kedua informasi ini memberikan penguatan akan peningkatan produksi beras melalui pengembangan tanaman padi gogo. Fakta lapangan menunjukkan pemanfatan lahan kering yang masih didominasi oleh pengembangan tanaman tahunan dan setahun.
Kondisi ini
mengharuskan adanya pengembangan teknologi pemanfaatan areal disela tanaman utama khususnya pada tanaman tahunan seperti karet, kelapa dan lainnya. Secara agronomis ketersediaan cahaya menjadi kendala utama yang sering muncul pada penanaman tanaman sela khususnya kelompok sun crops seperti halnya padi.
Defisit cahaya pada tanaman padi gogo menyebabkan
terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi kepada menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chaturvedi dan Ingram 1989, Vijayalaksmi et al. 1991, Murty et al. 1992, Watanabe et al. 1993, Jiao et al. 1993, Yeo et al. 1994). Kondisi demikian akan menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. Dalam
pemanfaatan
padi
gogo
sebagai
tanaman
sela
kriteria
penggunaan varietas padi gogo tahan naungan merupakan salah satu faktor yang sangat penting. padi
Harahap dkk. (1995) melaporkan dari sejumlah varietas
gogo yang telah dilepas oleh pemerintah, baru varietas Jatiluhur yang
dinyatakan toleran terhadap naungan.
Chozin (2006) menyatakan tantangan
2
pertanian di masa mendatang semakin kompleks, teknologi konvensional saja menjadi kurang efektif untuk menjawab persoalan pembangunan pertanian. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi terbaru sebagai komplemen teknologi konvensional diharapkan mampu menjadi katalisator pencapaian hasil menjadi lebih singkat dan efisien, salah satu diantaranya adalah teknologi biologi molekuler.
Teknologi ini mampu mengidentifikasi protein fotosintetik spesifik
pada tingkat molekuler yang sangat dibutuhkan untuk mengenali sifat tanaman. Peningkatan kapasitas fotosintesis pada kondisi cahaya terbatas umumnya didukung oleh penyesuaian protein membran tilakoid dan ultrastruktur kloroplas. Anderson (1999) dan Schiethaler et al. (1999) melaporkan bahwa kloroplas pada tanaman toleran naungan menunjukkan peningkatan perluasan grana dan lebih banyak grana per kloroplas dan relatif banyak tumpukan pada tilakoid. Demikian pula Khumaida (2002) melaporkan struktur kloroplas tanaman kedelai genotipe toleran pada kondisi naungan 50 % memiliki perkembangan pembentukan kloroplas yang baik pada grana, pati dan membran tilakoid dalam tiap grana, memiliki persentase yang tinggi pada tumpukan grana, jumlah stroma sedikit dan ukuran kloroplas lebih kecil. Tanaman yang terekspos pada lingkungan yang ekstrim (cekaman) akan menginduksi protein spesifik sebagai suatu bentuk mekanisme adaptasi terhadap cekaman tersebut (Tanaka dan Melis 1997).
Informasi mengenai cekaman
cahaya rendah (naungan) terutama yang berkaitan dengan karakterisasi protein fotosintetik pada padi gogo belum ada publikasi.
Oleh karena itu identifikasi
protein fotosintetik pada padi gogo khususnya mengenai pola pita protein fotosintetik sangat dibutuhkan. Protein spesifik dapat berupa kompleks protein yang terlibat dalam proses fotosintesis yang berada pada kloroplas terutama pada membran tilakoid.
Adanya protein spesifik diduga terlibat dalam proses
transpor elektron yang erat kaitannya dengan peningkatan kompleks protein pemanen cahaya (LHC-II) dan pembesaran antena pada fotosistem II yang mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya (Tanaka dan Melis 1997). Bertitik tolak dari hal tersebut sehingga masih diperlukan studi-studi yang berkaitan dengan identifikasi karakter protein fotosintetik guna mengetahui kandungan protein dan pola protein spesifik padi gogo melalui pemisahan kloroplas maupun membran tilakoid.
3
Tujuan
1. Mengevaluasi konsistensi toleransi galur/varietas padi gogo terhadap naungan alami di bawah tegakan karet dan naungan paranet (50 %). 2. Mengidentifikasi kandungan total nitrogen daun, total protein daun, kandungan dan bobot molekul protein kloroplas, protein membran tilakoid pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. 3. Mengidentifikasi protein spesifik dari protein kloroplas serta protein membran tilakoid pada galur/varietas yang toleran terhadap naungan. 4. Mengetahui mekanisme adaptasi tanaman padi gogo terhadap naungan.
Hipotesis
1. Terdapat galur/varietas padi gogo yang konsisten toleran maupun konsisten peka dari beberapa galur/varietas yang di uji pada naungan yang berbeda. 2. Terdapat perbedaan konsentrasi total nitrogen daun, total protein daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. 3. Terdapat perbedaan bobot molekul dan komposisi protein fotosintetik pada galur/varietas yang toleran dan peka terhadap naungan dan galur/varietas yang toleran naungan mengekpresikan pola protein spesifik yang berbeda dengan galur yang peka naungan.
Manfaat Penelitian
Secara umum manfaat penelitian ini adalah dalam rangka pengembangan ilmu pertanian khususnya di bidang agronomi tanaman, dan secara khusus manfaat penelitian ini dapat menerangkan beberapa gejala yang disebabkan oleh cekaman cahaya rendah.
Informasi ini dapat dijadikan sebagai suatu
informasi dasar, guna kepentingan pengembangan padi gogo yang toleran naungan terutama untuk menunjang program perbaikan varietas tanaman padi pada tahap proses seleksi yang lebih efisien dan efektif. Perubahan pola protein spesifik dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi perekayasa genetik maupun pemulia tanaman.
4
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menjelaskan mekanisme adaptasi antara genotipe padi gogo toleran naungan dan peka naungan, dari aspek morfofisiologi dan aspek biokimia. Kedua aspek tersebut dirumuskan ke dalam subjudul penelitian : (1) studi karakter agronomi dan morfofisiologi padi gogo terhadap naungan, (2) studi identifikasi karakter protein padi gogo toleran dan peka naungan. Pada subjudul penelitian 1 menyangkut : respon karakter agronomi dan morfologi, evaluasi konsistensi toleransi genotipe padi gogo dan respon karakter fisiologi fotosintetik padi gogo terhadap naungan, dan subjudul penelitian 2 mengenai : pengukuran konsentrasi total protein daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid serta melihat komposisi protein fotosintetik yang dipengaruhi oleh naungan . Dalam pelaksanaan penelitian pada kajian karakter agronomi dan morfologi, serta evaluasi konsistensi toleransi genotipe padi gogo, menggunakan 13 galur/varietas baik pada fase vegetatif aktif maupun fase pengisian biji dalam periode waktu yang lama (long-term) dengan perlakuan naungan 0 %, 25% dan 50%. Sementara kajian karakter fisiologi fotosintetik, kandungan total nitrogen daun, total protein daun, protein kloroplas dan membran tilakoid menggunakan genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji dalam periode waktu yang lama (long-term) dengan perlakuan naungan 0 % dan 50%. Khususnya kandungan nitrogen daun dan protein membran tilakoid, selain dilakukan dalam periode waktu yang lama (long-term) juga dilakukan dalam peride singkat atau uji cepat (short-term) dengan perlakuan 3, 9 dan 18 hari naungan pada naungan 50%. Garis besar keseluruhan alur kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 1.
5
Evaluasi 200 Aksesi Padi Gogo di bawah Tegakan Karet Evaluasi Konsistensi Toleransi Genotipe Padi Gogo
Evaluasi Toleransi terhadap 13 Genotipe terpilih pada Naungan paranet 50%
Respon Karakter Agronomi dan Morfologi
Respon Karakter Fisiologi Fotosintetik Konsentrasi Total N Daun
Konsentrasi Total Protein Daun
Konsentrasi Protein Kloroplas
Identifikasi Protein Fotosintetik:
Konsentrasi Protein Membran Tilakoid
Komposisi Protein: Kloroplas dan Membran Tilakoid
Mekanisme Adaptasi
Gambar 1. Alur kegiatan penelitian.
Long-term Naungan 0 dan 50% Veg dan Pengisian Biji
Long -term Naungan 0 dan 50 % Vegetatif dan Pengisian Biji
Short- term Naungan 50 % Vegetatif
TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Bila faktor-faktor lain tidak merupakan kendala, maka cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman (Fischer 1975) dan terdapat hubungan yang erat antara radiasi dengan fotosintesis bersih (Webster dan Wilson 1980) produksi gabah kering berkorelasi positif dengan intensitas radiasi (De Datta 1981). Menurut Gupta dan O’Toole (1986) intensitas radiasi yang relatif rendah merupakan salah satu sebab rendahnya produksi padi di daerah tropik. Naungan secara langsung berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang sampai di permukaan tajuk tanaman, sehingga dapat menciptakan iklim mikro tersendiri terhadap tanaman (Man et al. 1980). Unsur-unsur iklim mikro disekitar tanaman ternaungi akan berbeda sebagai akibat perbedaan intensitas dan keseimbangan radiasi (Gupta dan O,Toole 1986). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa naungan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Baharsjah (1980) membuktikan bahwa tanggap tanaman kedelai terhadap naungan berbeda menurut tingkat perkembangan tanaman dan mengakibatkan menurunnya hasil biji kedelai. Naungan ditunjukkan
berpengaruh dengan
nyata
terhadap
meningkatnya
pertumbuhan
proporsi
naungan,
padi
gogo
tinggi
yang
tanaman
bertambah, jumlah tunas semakin berkurang, semakin kecil luas daun dan semakin berkurang bahan kering (Irsal 1982, 1983; Irsal dan Muladi 1986). Selanjutnya dikemukakan dengan berkurangnya proporsi naungan, jumlah gabah meningkat, tetapi persentase gabah hampa cenderung meningkat pula, diduga bukan disebabkan oleh peningkatan intensitas radiasi secara langsung, tetapi hal ini diperkirakan erat kaitannya dengan meningkatnya jumlah gabah tiap rumpun sebagai penumpukan asimilat (sink) yang tidak terimbangi masukan senyawa organik hasil fotosintesis sebagai sumber (source). Selain itu dengan meningkatnya intensitas radiasi, suhu udara juga meningkat sehingga laju respirasi makin besar. Kedua faktor tersebut menyebabkan kurang sempurnanya proses pengisian sebagian gabah. Pada percobaan Irsal (1983) dengan perlakuan 3 taraf naungan fisik (naungan kawat kasa) menunjukkan penurunan taraf radiasi dari 100 % (0
7 lapis) menjadi 78 % (1 lapis) dan 35 % (3 lapis) naungan kawat kasa, dapat menurunkan kapasitas sink rata-rata dari 62.4 g per rumpun menjadi 52.9 g per rumpun dan 46.0 g per rumpun. Penurunan tersebut berkaitan erat dengan penurunan jumlah malai, jumlah gabah serta sejalan dengan penurunan komponen pertumbuhan lainnya. Bharali et al. (1995) mengemukakan bobot 1000 biji gabah tidak nyata dipengaruhi oleh naungan akan tetapi lebih ditentukan oleh varietas/galur padi gogo. Saodah, Yuyun dan Qamariah (1992) pada percobaan padi gogo di bawah naungan kayu Africa (Maesopsis eminii Engl) menunjukkan bahwa pada naungan 75 %, 50 % dan 25 % terjadi perbedaan tinggi tanaman dan jumlah anakan sampai umur 10 minggu. Wibawa (1994) pada percobaan padi gogo diantara tanaman karet yang berumur 3 tahun dengan naungan sekitar 60-80 % dapat menghasilkan gabah kering giling berkisar 1-2 ton ha-1, sedang padi gogo di antara tanaman karet berumur kurang dari setahun, menghasilkan 3.8 ton ha-1 gabah kering giling. Hasil penelitian yang dilakukan Kim et al. (1991) pada varietas Soebaegbyeo (genjah) menunjukkan bahwa produksi biji dan berat 1000 biji pada kondisi cahaya penuh, 50 % dan 75 % berturut-turut adalah 5.17, 3.14 dan 2.84 ton ha-1 dan 23.0, 20.5 dan 20.0 gram, sedang pada varietas berumur medium Dodongbyeo hasilnya adalah 5.57, 3.45 dan 3.18 ton ha-1 dan 23.0, 23.0 dan 22.5 gram. Hal ini menunjukkan varietas yang berumur genjah lebih peka terhadap kondisi cahaya rendah dibandingkan varietas berumur medium. Hasil penelitian Cabuslay et al. (1995) menunjukkan naungan sebesar 50% mengurangi berat kering tanaman rata-rata 34.13%.
Penelitian yang
dilakukan oleh Murty dan Dey (1992) dengan naungan 50% menurunkan berat kering tanaman rata-rata sebesar 47%.
Selanjutnya dikemukakan bahwa
naungan 50% menurunkan berat kering tanaman rata-rata 63%, pengurangan ini berkisar antara 25 - 76%. Pada semua galur atau varietas yang diuji dengan naungan 50%, penurunan berat kering yang besar dijumpai pada varietas yang peka terhadap naungan. Sopandie et al. (1999) menyatakan bahwa naungan 50% berpengaruh terhadap peningkatan jumlah malai, jumlah biji per malai tinggi dan gabah yang steril rendah pada padi gogo toleran. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Chozin et al. (2000) tanaman padi gogo toleran pada naungan 50% menunjukkan peningkatan panjang daun, luas daun, tinggi tanaman, sudut
8 ketegakan daun, jumlah gabah per malai dan persentase gabah hampa lebih kecil.
Demikian pula hasil penelitian Khumaida (2002) menunjukkan pada
kondisi naungan 50%, genotipe toleran Jatiluhur dan C22 mempunyai jumlah malai per tanaman lebih tinggi .
Pengaruh Naungan terhadap Metabolisme Tanaman Tanggap berbagai tanaman terhadap macam kualitas dan tingkat intensitas cahaya yang tersedia tidak sama.
Hal tersebut ditentukan oleh
macam fitokrom yang dikandung, lintasan fotosintesis atau ada tidaknya fotorespirasi dan keadaan lingkungan fisik lainnya serta tingkat pertumbuhan dari tanaman itu sendiri (Noggle dan Fritz 1977). Proses-proses di dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh naungan adalah fotosintesis, transpirasi, respirasi, reduksi nitrat, sintesis protein, produksi hormon, translokasi, umur tanaman (Struik dan Deinum 1982) pertumbuhan akar (Wong dan Wilson 1980; Stoskopf 1981), dan penyerapan mineral (Larcher 1975; Marschner 1995).
Naungan juga dapat mengurangi
hilangnya kelengasan tanah, mempertahankan unsur hara, menekan gulma, menurunkan suhu tanah dan tanaman pada waktu siang, menaikan suhu udara malam, perlindungan dari limpasan air hujan, pemindahan uap air dan CO2 (Strigter 1984). Tanaman di bawah naungan memperlihatkan sifat-sifat tumbuh yang berbeda dengan tanaman di luar naungan. Tanaman yang tumbuh di bawah naungan lebih tinggi dan tegak dari tanaman yang tumbuh pada cahaya penuh (Wong dan Wilson 1980). Selanjutnya dikemukakan naungan dapat menaikan proporsi daun dan menyebabkan luas daun lebih tersebar ke seluruh kanopi. Gejala tersebut menurut Smith (1982) merupakan usaha dari tanaman untuk menghindar dari naungan.
Hal itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Hidema et al. (1992) bahwa tanaman akan mengubah morfologi daun dan komposisi kloroplas sebagai respon adaptasi terhadap perubahan penyinaran. Daun-daun lebih tipis namun mempunyai luas permukaan yang lebih besar (Salisbury dan Ross 1995). Pada intensitas cahaya yang cukup tersedia, proses fotosintesis berjalan
dengan
baik.
Proses
fotosintesis
merupakan
suatu
proses
pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia untuk menyusun senyawa
9 organik dari karbon dioksida dan air. Fotosintesis dapat terjadi pada bagian hijau tanaman terutama daun dengan bagian permukaan yang luas serta kloroplas melimpah yang merupakan pusat utama proses tersebut. Kloroplas merupakan plastid yang mengandung pigmen klorofil dan berasal dari proplastid.
Proplastid ini membelah diri saat embrio biji
berkembang, pada saat daun atau batang terbentuk maka proplastid berkembang menjadi kloroplas.
Kloroplas muda (yang baru terbentuk) juga
aktif membelah diri terutama bila mendapat cukup cahaya.
Membran ganda
kloroplas berperan mengatur keluar masuknya ion atau senyawa ke kloroplas dan dari kloroplas. Pada membran internal kloroplas terdapat pigmen fotosintesis dan pigmen ini banyak terdapat pada permukaan luar membran internal yang disebut tilakoid yang berbentuk bulat pipih seperti kantong.
Pada posisi
tertentu tilakoid akan menumpuk rapih membentuk struktur yang disebut granum. Tilakoid yang memanjang yang menghubungkan granum yang satu dengan yang lain di dalam matriks kloroplas yang disebut stroma. Pada bagian dalam grana maupun stroma terdapat rongga yang berisi air dan garam-garam yang terlarut dalam air. Pigmen utama terdapat dalam membran tilakoid adalah klorofil a, klorofil b dan karatenoid (karotin dan xantofil). Semua klorofil dan karotenoid ini terbenam/melekat pada molekul protein oleh ikatan non kovalen. Kompleks protein yang ada dalam membran tilakoid yaitu semua kompleks protein yang terlibat dalam proses transpor elektron, antara lain LHC I, LHC II, plastoquinon, sitokrom b6, sitokrom f, plastosianin, feredoksin dan lainnya (Becker dan Deamer 1991). Tanaman yang ditumbuhkan pada penyinaran berbeda akan mengalami sistem fotosintesis yang berbeda. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh salah satu karakteristik penyesuaian tanaman terhadap penyinaran yaitu mengurangi nisbah klorofil a/b dengan meningkatnya klorofil b. Menurut Hale dan Orcutt (1987) intensitas cahaya yang rendah, konsentrasi klorofil b meningkat pada hampir semua tanaman baik tergolong tanaman ternaung (shade plant) maupun tanaman matahari (sun plant).
Peningkatan klorofil b ini menurut
Hidema et al. (1992) berhubungan dengan meningkatnya Light Harvesting Compleks II (LHC II) serta membesarnya antena pada Photosistem II (PS II) yang mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya.
10 Menurut Murty dan Sahu (1987) varietas yang adaptif terhadap cahaya rendah memiliki kandungan klorofil b yang tinggi. Lebih lanjut dikemukakan, walaupun klorofil meningkat tetapi laju fotosintesis turun akibat terganggunya aktivitas RuBP karboksilase.
Naungan akan mengurangi respirasi gelap, titik
jenuh dan kompensasi cahaya serta kerapatan stomata (Marler 1994) mengurangi sintesis rubisco enzim yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2 (Mae et al. 1993). Struktur Kloroplas, Membran Tilakoid dan Fotosistem II. Kloroplas.
Proses fotosintesis berada dalam organel semi-autonom yakni
kloroplas yang memiliki genom sirkular dengan ukuran 120-127 kb merupakan komponen yang terlibat dalam kedua kompartemen, larutan (stroma) dan membran (tilakoid) (Mullet 1990).
Struktur kloroplas dan perangkat-
perangkatnya di sajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pembesaran struktur tiga dimensi dari kloroplas. Sumber : Becker et al. (2000). Kloroplas adalah satu anggota famili organel yang unik pd tanaman merupakan anggota yang terbesar pada famili organel plastida. Plastida ada dalam semua kehidupan sel tanaman, tiap tipe sel mempunyai komplemen karakter tersendiri.
Semua plastida memberikan ciri-ciri tertentu, khususnya
semua plastida terutama didalam spesies tanaman yang mengandung copy
11 ganda yang secara relatif sama genom kecil dan tertutupi oleh envlope terdiri atas dua membran konsentrik. Semua tanaman berkembang dari proplastida
yang secara relatif
organel kecil ada dalam sel belum matang pada meristem tanaman. Proplastida berkembang menurut keperluan tiap diferensiasi sel, dan tipe ini ditentukan sebagian besar oleh genom inti. Bila daun tumbuh pada cahaya gelap, proplastida ini memperluas dan berkembang menjadi etioplas, yang mempunyai susunan kristalin pada membran internal yang mengandung klorofil kuning merupakan prekursor dari klorofil.
Bila terekspos cahaya etioplas
dengan cepat berkembang menjadi kloroplas melalui perubahan prekursor ini ke klorofil dan mensintesis membran baru, pigmen, enzim fotosintetik dan komponen-komponen pada rantai transpor-elektron. Fakta biokimia menunjukkan bahwa kloroplas merupakan turunan dari bakteri fotosintetik produksi-oksigen yang merupakan endositos dan hidup dalam
simbiosis
dengan
sel
eucaryot
primitif.
Kloroplas
melakukan
pengubahan antar energinya memalui mekanisme kemiosmotik, dan mereka diorganisir pada prinsip yang sama. Analisis mikroskop elektron menunjukkan bahwa kloroplas pada tanaman tingkat tinggi mempunyai lingkaran envlope 1020 nm pada dua membran (membran luar dan dalam), yang dipisahkan oleh ruang intermembran yang sempit. Membran luar yang sangat permeabel untuk bobot molekul rendah dan membran dalam yang sedikit permeabel melewatkan protein pembawa khususnya ion-ion atau molekul menggunakan translokator seperti fosfat, C3-translokator. Membran dalam dikelilingi ruang yang besar disebut stroma, yang mengandung berbagai enzim-enzim, ribosom, RNA dan DNA.
Membran
envlope penting untuk meregulasi transport metabolit, juga sebagai sistim translokasi untuk mensintesis prekursor polypeptida komplemen sitoplasmik disertai transit sekuen atau transit sekuen sebelumnya.
Diameter kloroplas
bervariasi antara 3-4 µm dan ketebalannya kira-kira 1-3 µm. Jumlah kloroplas per sel dan distribusinya juga bervariasi dan sangat tergantung pada pertumbuhan dan kondisi lingkungan seperti pencahayaan.
Sel mesofil pada
tanaman C3 (bayam, gandum dan padi) ditemukan kira-kira 20-100 kloroplas per sel (Irrgang 1999). Pada tanaman tingkat tinggi, kloroplas membantu meregulasi distribusi energi cahaya diantara fotosistem pada lingkungan teresterial atau wilayah
12 membran appres memberikan interkoneksi pada PS II untuk menangkap energi cahaya lebih efisien. Kloroplas pada tanaman naungan dan tanaman cahaya rendah mempunyai beberapa tumpukan grana yang lebih banyak dan lebih besar dan sedikit tilakoid non appressed dibandingkan tanaman cahaya dan cahaya tinggi.
Sebagai contoh rata-rata panjang rasio membran appressed
hingga nonappressed dengan ranges dari 4-5 untuk kloroplas tanaman naungan dan 1-1.5 untuk kloroplas tanaman matahari (Anderson et al. 1988). Disamping itu daun-daunnya mempunyai gradien tumpukan tilakoid kloroplas dibagian atas permukaan yang tidak ternaung mempunyai sedikit tumpukan grana dibandingkan dengan sel-sel yang berada pada permukaan ternaungi (Terashima 1989). Kloroplas tanaman matahari dan cahaya tinggi mempunyai kompleks PS II yang lebih banyak, masing-masing dengan antena pemanen-cahaya yang relatif lebih kecil dari PS I, sedangkan kloroplas tanaman naungan dan cahaya rendah mampunyai kompleks PS II lebih sedikit masing-masing dengan antena pemanen cahaya lebih besar (Anderson et al. 1988). Membran Tilakoid. Elektron mikrografi menunjukkan ketiga sistim membran vesikel di dalam kloroplas, yang memiliki struktur seperti kantong yang disebut membran tilakoid, membran ini melekat ke dalam matriks yang disebut stroma yang mengandung plastid DNA sirkular, ribosom, plastoglobuli osmifilik, pati dan enzim untuk fiksasi CO2 (siklus reduksi pentosa, siklus Calvin). Keberadaan membran tilakoid yang tersusun dari wilayah appressed (grana) dan non-appressed (stroma lamela) wilayah ruang ini saling berhubungan yang menunjukkan asimetris polypeptida, lipid dan komposisi pigmen mereka (Booij et al. 1999). Derajat tumpukan grana membran tilakoid pada tanaman diregulasi oleh aklimatisasi cahaya, respon pada keduanya kualitas dan kuantitas cahaya (Anderson 1986).
Peningkatan derajat tumpukan tilakoid pada kloroplas
aklimatisasi sampai cahaya rendah adalah berhubungan dengan peningkatan tarikan Van der Waals’ melalui peningkatan pada kelimpahan protein Chl a/b pemanen-cahaya (Chow et al. 1991).
Membran tilakoid tebalnya kira-kira 5-7
nm dan kira-kira setengah beratnya terdiri atas lipid, dan total panjang bervariasi tiap spesies tetapi rata-rata 250-260 nm yang terpanjang (Hall dan Rao 1994).
Rantai transpor-elekton juga sistim absorbsi–cahaya dan ATP
13 sintase, semua berada dalam membran tilakoid.
Fase cair pada vesikel
(lumen) yang lebarnya 5-10 nm. Lumen pada tiap tilakoid merupakan saluran yang menghubungkan dengan lumen pada tilakoid lainnya, dengan demikian terdapat kompartemen internal yang ketiga disebut ruang tilakoid yang terpisah dari stroma oleh membran tilakoid. Secara umum, tumpukan grana adalah perluasan kompartemen seluler yang terjadi selama evolusi sebagai strategi umum untuk meregulasi peningkatan lintasan metabolik yang rumit (Anderson dan Anderson 1988). Dugaan bahwa tumpukan grana pada tanaman tingkat tinggi untuk meregulasi laju degradasi protein D1 dan karenanya penggantian protein D1 cepat. Dugaan lainnya bahwa membran appressed meningkatkan fosforilasi non-siklik (Chow 1984). Hall dan Rao (1994) mengemukakan empat kompleks protein integral supra molekul yang melekat di dalam membran tilakoid; PS II, kompleks Cyt b6/f, PS I dan ATPase serta beberapa polypeptida periferal yang melekat, mengikat pigmen dan sistem redoks.
Protein periferal hidrofilik merupakan
protein yang melekat pada membran atau larutan dalam ruang matriks (feredoksin) atau protein yang melekat pada lumen (plastoquinon).
Tiga
kompleks protein pertama (PS II, kompleks Cyt b6/f dan PS I) yang berpartisipasi pada transpor elektron dari H2O ke NADP+. Kompleks protein ke 4 (ATPase) yang digunakan gradien elektrokimia melintasi tilakoid, merupakan kopel dari rantai elektron, untuk sintesis ATP.
Enzim (ATPase) yang
memediasi reduksi CO2 menjadi gula fosfat yang berada dalam matriks stroma menggunakan ATP dan NADPH. sementara kompleks Cyt b6/f
ATPase ditemukan dilamela stroma,
didistribusi merata di grana dan di stroma
tilakoid. Tiap kompleks membran utuh mempunyai ukuran rata-rata kira-kira 350 kDa mengandung beberapa subunit polypeptida dengan berat molekul dari sangat rendah (4 kDa hingga 64 kDa).
Kompleks Fotosistem II (PS II).
Kompleks multiprotein disebut fotosistem
mengkatalisis konversi energi cahaya yang ditangkap dieksitasi molekul klorofil menjadi bentuk bermanfaat.
Fotosistem terdiri atas dua komponen yang
berhubungan erat dengan pusat reaksi fotokimia yang tersusun dari kompleks protein dan molekul klorofil yang memungkinkan energi cahaya dapat dikonversi ke dalam energi kimia dan kompleks antena terdiri dari molekul
14 pigmen yang menangkap energi cahaya dan menyalurkan ke pusat reaksi. Kompleks antena penting untuk menangkap energi cahaya .
Dalam kloroplas
kompleks antena terdiri atas beberapa ribu molekul klorofil yang saling berkaitan dengan protein, terikat kuat pada membran tilakoid (Trebst 1995). Fotosistem II merupakan kompleks protein-pigmen di dalam kloroplas yang mengkatalisis transfer elektron yang diinduksi cahaya dari air ke plastoquinon,
terdiri atas antena pigmen klorofil, komplek pusat reaksi serta
molekul P680 mengikat struktur protein dan menghubungkan komponenkomponen P680 ke enzim kompleks water-spliting dan ke aseptor elektron pada P680 (Booij et al. 1999). PS II mengoksidasi air menjadi molekul oksigen dan menyediakan elektron dan proton,
mengandung kira-kira 30 klorofil antena
pusat (hanya klorofil a) yang menyalurkan energi eksitasi ke klorofil pusat reaksi. Disamping sistem pemanen cahaya (LHCP) kira-kira 300 klorofil (a dan b) dan disertai pigmen pelengkap yang secara fungsional dan secara struktural melekat ke polypeptida antena pusat. Komposisi polypeptida fungsional evolusi oksigen kompleks PS II terdiri atas 7 protein integral hidrofobik (BM 47 dan 43, protein D1 dan D2, dua polypeptida subunit dari cytokrom b559 dan produk dari gen psb I ) dan 3 polypeptida periferal hidrofobik (Barber 1992; Satoh 1992). Sebagian besar komponen PS II berada dalam tumpukan grana pada membran tilakoid kloroplas dan digambarkan dengan baik sebagai holokompleks sebab tersusun dari beberapa organisasi khusus sub-set dari protein pigmen (Gantt, 1996; Whitmarsh dan Govindjee 1995). Fungsi enzimatik PS II pada perangkat fotosintesis yaitu untuk mengkatalisis proses yang dikendalikan-cahaya pada water splitting untuk menghasilkan molekul oksigen dan proton dan mentransfer fungsi reduksi yang sama (elektron) diekstraksi dari air ke plastoquinon (PQ); karena itu PS II dapat dinyatakan sebagai water-redok PQ. Beberapa aspek mengenai molekuler dan keterkaitan organisasi struktur dari unit PS II dimulai dengan memahami struktur yang berhubungan dengan absorbsi dan transfer energi eksitasi dari kompleks antene ke kompleks pusat reaksi (Bassi et al. 1993; Diner dan Babcock 1996; Kuhlbrandt et al. 1994; Whitmarsh dan Govindjee 1995).
Kompleks protein-pigmen diorganisasi ke
dalam 3 sub set utama yaitu; antene periferal (kompleks pemanen-cahaya IIb atau LHC IIb), antene dalam (CP24, CP26 dan CP29) dan pusat PS II (sebagian besar kompleks protein CP47, CP43, Cyt b559 dan kompleks heterodimer dikenal sebagai D1/D2, khusus Chl a pada P680 molekul klorofil
15 yang merespon untuk reaksi pemisahan-muatan (charge–separation) (Vermaas et al. 1993; Bassi et al. 1993; Lee dan Thornber 1995; Xiong et al. 1996 ). Antena periferal PS II sebagian besar disusun kompleks trimerik dari LHC IIb, disingkat sebagai IIb. Subset LHC IIb merupakan fungsi mobil antara grana PS II– diperkaya membran dan stroma, PS I–diperkaya membran tilakoid (Allen 1992; Bennett 1991).
Proses mobilisasi dari LHC IIb dikontrol oleh
fosforilasi spesifik stroma. Hal ini diduga meregulasi distribusi spektral energi cahaya dan redistribusi antara 2 fotosistem untuk mengoptimasi transpor elektron non-siklik.
Kompleks LHC IIb dari antena periferal mengandung
sampai 50 % (110-120 Chl a+b) dari total Chl (Npig = 240-300) dari unit PS II dengan molekul minimum 7 Chl a dan 5 Chl b per LHC IIb monomer ( Bassi et al. 1993; Kuhlbrandt et al. 1994). CPs minor (CP24, CP26 dan CP29) pada antena dalam relatif immobil ke pusat PS II dan kemungkinan bertindak sebagai jembatan dalam mentrasfer energi eksitasi dari antena periferal ke pusat PS IIb. CPs minor diduga untuk menyusun bagian integral dari mekanisme fotoprotektif yang penting, juga berpengaruh terhadap struktur dan konformasi integritas/stabilitas dari pusat PS II (Gilmore 1997).
Pusat reaksi PS II tersusun atas protein D1, D2, 2 sub
unit Cyt b559 dan beberapa polypeptida berat molekul kecil (Nanba dan Satoh, 1987; Matto et al. 1989).
Pada pusat PS II dan protein D1/D2 heterodimer
mengikat redoks merupakan faktor penting untuk transfer elektron melintasi membran dan protein Cyt b.559, kemudian protein klorofil a bagian dalam (CP47 dan CP43), beberapa protein minor Chl a/b juga berhubungan dengan protein D1/D2 heterodimer pada kompleks pemanen-cahaya pada PS II, LHC II ( Anderson dan Styring 1991). Pada sistim kloroplas, kompleks tersebut diistilahkan LHC II dan LHC I. Kompleks PS II/LHC II berada dalam wilayah membran tumpukan grana, sedangkan kompleks PS I/LHC I berada pada wilayah membran sroma. Sifat penting lainnya dari kompleks protein pigmen dalam PS I dan PS II mempunyai kekuatan spektrum yang nyata, aktivitas PS II dominan pada cahaya merah, sementara PS I mengabsorbsi cahaya merah-jauh.
Kekuatan spektrum
tersebut merefleksikan perbedaan sifat-sifat absorbsi cahaya dari molekul Chl a pusat reaksi PS maupun perbedaan nisbah Chl a/b LHC II vs LHC I (Bullerjahn 1999).
16 PS II mengandung kira-kira 25 polypeptida diorganisir ke dalam sistim water-splitting disebut OEC (Oksigen Evolving Compleks), kompleks protein klorofil pemanen cahaya (LHC II) dan pusat reaksi. OEC ini berada pada sisi lumen tilakoid dan terdiri atas kluster 4 atom Mn dan 3 protein ekstrinsik hidrofilik 33, 23 dan 18 kDa (OEC33, OEC23 dan OEC 18) dan membutuhkan keberadaan ion Clorida dan Calsium (Booij et al. 1999; Matto et al. 1999). Protein 33 kDa merupakan komponen yang sangat penting pada kompleks evolusi-oksigen pada organisasi struktural, dikode oleh gen psb O, ditemukan pada semua organisme oksigenik. Pemindahan protein 33 kDa dari preparasi PS II menyebabkan kehilangan stabilitas pada kluster Mn pada kondisi Cl rendah (<100mM). Pada konsentrasi Cl tinggi (>100mM) kluster Mn stabil dan evolusi-oksigen terjadi pada laju yang rendah. Pada membran PS II yang telah menipis, protein 33 kDa membutuhkan dua kali lipat konsentrasi Ca yang tinggi untuk mengoptimalkan aktivitas evolusi-oksigen.
Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa protein 33 kDa berperan di dalam konsentrasi dan mengikat Ca pada PS II. Protein 33 kDa mengandung 2 atom Mn terikat kuat sangat responsif terhadap evolusi O2, terikat kuat pada komponen PS II dan berhubungan erat dengan jumlah kompleks instrinsik PS II, berhubungan dengan loop extrinsik CP 47, berasosiasi dengan protein D1, D2, CP 43, Cyt b559 dan protein psb I. Gangguan pada kluster Mn berpengaruh pada kehilangan kemampuan dari PS II untuk mengoksidasi molekul air, oleh karena itu protein 33 kDa dipertimbangkan sebagai protein penstabilisasi Mn, kehilangan Mn diikuti kehilangan protein 33 kDa, dengan demikian Mn menstabilisasi protein extrinsic pada PS II (Critchley 1999). Protein 24 kDa kemungkinan secara elektrostatis terikat ke 33 kDa dan18 kDa. Juga berhubungan erat dengan PS II dan kompleks M yaitu : Cyt b559, protein 10 kDa dengan 2 polypeptida setiap heme, mempunyai peran meregulasi dan esensial untuk evolusi O2.
Protein 18 kDa, juga berfungsi
meregulasi evolusi O2. Protein 24 kDa membutuhkan protein ekstrinsik 33 kDa untuk mengikat ke PS II dan protein 18 kDa membutuhkan protein ekstrinsik 24 kDa untuk mengikat ke PS II. Pemindahan protein ekstrinsik 24 kDa dan 18 kDa dapat meningkatkan lebih banyak jumlah Ca dan Cl yang dibutuhkan untuk memaksimalkan
evolusi-oksigen.
Pada
konsentrasi
kofaktor
rendah,
ketidakhadiran protein 24 kDa dan 18 kDa dapat menghambat laju evolusi-
17 oksigen sebesar 80%.
Keberadaan protein ekstrinsik 24 kDa berasosiasi
dengan penurunan kebutuhan Ca, sedangkan keberadaan protein ekstrinsik 18 kDa berasosiasi dengan penurunan kebutuhan Cl. Keberadaan protein 24 kDa untuk memproteksi kluster Mn dari pengaruh reduktan-reduktan seperti hidroquinon sementara hubungan kedua protein (24 kDa dan 18 kDa) dengan PS II stabil melalui keberadaan kluster Mn (Ghanotakis et al. 1999).
Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Naungan Naungan merupakan salah satu bentuk stress (cekaman) cahaya rendah. Tanaman yang secara kontinu terekspos cekaman lingkungan akan mempengaruhi perkembangan, pertumbuhan dan produktivitasnya. Cekaman cahaya rendah membatasi permukaan terbesar absorbsi cahaya yang dapat dimanfaatkan dalam proses fotosintesis.
Laju fotosintesis dan transpirasi
kebanyakan berkurang pada bagian tanaman yang ternaungi. Laju fotosintesis berkurang ini sebagai akibat langsung dari berkurangnya absorpsi foton dalam kloroplas (Pons dan Bergkotte 1996). Keadaan seperti ini sering dihadapi oleh tanaman-tanaman
yang
ternaungi.
Namun
demikian,
tanaman
mengembangkan berbagai strategi agar dapat melindungi diri dari kondisi cekaman (Bjorkman dan Demming-Adams 1994). Lawlor (2002) melaporkan bahwa terjadi pengurangan fotosintesis netto (Pn) karena kondisi cahaya rendah.
Umumnya untuk tanaman-tanaman yang telah teraklimatisasi
pengurangan intensitas cahaya atau naungan mengurangi fotosintesis netto pada tanaman.
Pengurangan fotosintesis akan mengurangi produksi bobot
kering yang akhirnya akan berpengaruh pada produktivitas tanaman. dan Sahu (1987) menyatakan
Murty
pengurangan cahaya sampai 30 % tidak
mengganggu translokasi fotosintat, tetapi pengurangan di atas 50 % akan menyebabkan gangguan translokasi fotosintat. Karakter fotosintetik tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada intensitas cahaya rendah (naungan) berbeda dengan tanaman yang tidak dapat menyesuaikan
pada
kondisi
ternaung.
Pada
kebanyakan
tanaman,
kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung kepada kemampuannya dalam melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orcutt (1987) menjelaskan bahwa adaptasi tanaman terhadap naungan pada dasarnya dapat melalui dua cara, yaitu melalui : (a) peningkatan
18 luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit, dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan.
Levitt (1980) membuat
hipotesis bahwa adaptasi terhadap naungan dicapai melalui : (a) mekanisme penghindaran (avoidance) berkaitan dengan respon perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien (Gambar 3) serta (b) mekanisme toleran (tolerance) yang berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya serta respirasi yang efisien.
Efisiensi penangkapan cahaya (Avoidance)
Meningkatkan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik
Meningkatkan area penangkapan cahaya
Meningkatkan proporsi area Fotosintetik
Penghindaran Refleksi
Penghindaran Transmisi
Hilangnya kutikula, lilin dan rambut pada permukaan daun
Peningkatan kandungan kloroplas
Peningkatan kandungan per sel mesofil
Penghindaran absorbsi yang tak berguna
Hilangnya pigmen nonkloroplas (ex. Antosianin)
Peningkatan kandungan pigmen per kloroplas
Peningkatan kloroplas dalam sel epidemis
. Gambar 3. Mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap cahaya rendah Kemampuan adaptasi tanaman pada kondisi naungan sangat ditentukan oleh kemampuan tanaman untuk menghindar maupun mentoleransi kondisi kurang cahaya tersebut. Pada tanaman yang toleran, intensitas cahaya yang rendah dapat diatasi antara lain dengan menurunkan cahaya yang ditransmisi melalui peningkatan konsentrasi kloroplas dan pigmen kloroplas per unit sel mesofil.
Adaptasi tanaman terhadap perbedaan cahaya memerlukan
19 spesifikasi pada struktur daun dan komposisi kloroplas. Daun pada tanaman naungan biasanya lebih tipis dibanding daun matahari dan memiliki lebih besar dan lebih banyak kloroplas, tersusun paralel dipermukaan daun agar supaya memaksimalkan absorbsi cahaya (Bjorkman 1981; Anderson 1986; Anderson et al. 1988, 1998). Tanaman memiliki sensitifitas dalam merespon terhadap cekaman maupun merespon perubahan kondisi lingkungan yang sub optimal terutama intensitas cahaya.
Dari fakta yang ada, tanaman memiliki kemampuan untuk
mengelaborasi strategi protektif untuk menstabilisasi perangkat fotosintesis kloroplas terutama pada fotosistim II (PS II) akibat cekaman lingkungan yang ekstrim.
Critchley (1999) menyatakan bahwa strategi tanaman dalam
menstabilisasi dan mencegah kerusakan perangkat fotosintesis mereka, tanaman akan melakukan proses aklimatisasi spesifik. Tanaman yang mengalami cekaman cahaya dapat mentoleransi cekaman tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Anderson (1986) dan Burkey et al. (1997) daun yang ternaung secara potensial terlibat dalam merespon
aklimatisasi
cahaya,
termasuk
perubahan
dalam
kapasitas
fotosintesis dan komposisi kloroplas. Menurut Holmberg dan Bulow (1998) bila terjadi cekaman pada tanaman, maka tanaman tersebut memberi respon dan dapat
beradaptasi
pada kondisi yang tidak sesuai. Adaptasi ini sering melalui perubahanperubahan metabolik.
Menurut Morgan (1984) berbagai adaptasi penting
tanaman yang mengalami cekaman dengan cara penimbunan bahan organik tertentu misalnya sukrosa, asam amino (prolin), dan beberapa zat lainnya yang dapat menurunkan potensial osmotik, sehingga potensial air menurun dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim. Akibat menurunnya potensial osmotik ini maka tanaman melakukan pengaturan osmotik atau osmoregulasi. Menurut Salisbury dan Ross (1995) tanaman dapat beradaptasi terhadap naungan dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya, memperlambat fotosintesis sehingga fotosintesis dapat jenuh pada tingkat radiasi yang rendah. Cabuslay, Vergara dan Quintana (1995) mengemukakan tanaman padi yang toleran terhadap naungan daunnya cenderung memanjang serta meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun. Daun-daun tanaman yang ternaungi lebih tipis namun mempunyai luas permukaan yang lebih besar dibandingkan daun-daun tanaman yang di tempat terbuka. Selain
20 itu
tanaman
berusaha
meningkatkan
absorpsi
cahaya
dengan
cara
meningkatkan jumlah klorofil perunit luas daun. Maxwell et al. (1999) menunjukkan bahwa aklimatisasi tanaman Gusmania monostachia pada intensitas cahaya rendah mengakibatkan peningkatan sangat nyata pada ukuran kloroplas, dan perluasan grana. Demikian pula jumlah tilakoid per kloroplas lebih banyak, mempunyai volume tilakoid besar dan jumlah tumpukan lebih besar per granum. Volume tilakoid kira-kira 38 % dari kloroplas pada intensitas cahaya rendah, sedangkan volume tilakoid pada intensitas cahaya tinggi hanya 15 %. Rata-rata jumlah tumpukan per granum adalah 14 pada intensitas cahaya rendah dan rata-rata tumpukan per granum lebih rendah hanya 5 pada intensitas cahaya tinggi.
Sintesis Protein Spesifik pada Kondisi Cekaman Salah satu fungsi utama protein adalah sebagai katalis. Protein yang termasuk dalam katagori ini sering disebut sebagai enzim yang mengkatalisis semua reaksi metabolit di dalam sel termasuk reaksi sintesis dan reaksi degradatif. Mengingat pentingnya protein, maka sintesis protein yang terjadi akan sangat berpengaruh di dalam kehidupan suatu organisme. Untuk membentuk protein yang mempunyai fungsi biologis spesifik maka diperlukan pola (template) yang spesifik. Pola (template) tersebut adalah m-RNA yang dibentuk melalui proses transkripsi (Becker et al. 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa pola yang ada pada m-RNA sesungguhnya adalah urutan basa N yang mencerminkan
sebuah
informasi
genetik
yang
diperoleh
pada
proses
transkripsi dengan DNA sebagai pola untuk diteruskan pada protein yang dibentuk.
Informasi genetik mengalir dari DNA dan melalui RNA, informasi
diekspresikan menjadi protein dengan fungsi enzimatik tertentu.
Beberapa
protein bekerja pada suatu lintasan metabolik untuk menentukan sifat suatu tanaman. Beberapa peneliti melaporkan adanya sintesis protein baru (spesifik) sebagai respon terhadap berbagai cekaman di antaranya : Sintesis protein spesifik ketika terjadi perubahan suhu
ekstrim
(Burke dan Orzech 1988).
Akumulasi beberapa polypeptida pada cekaman garam (Yen et al. 1997). Protein spesifik 26 k Da diinduksi cekaman air pada kultivar padi Sinaloa dan IR 10120 (Perez et al. 1996). Larcher et al. (1990) melaporkan tentang cekaman
21 garam pada kultur tembakau menunjukkan terbentuknya beberapa protein baru, khususnya protein berbobot molekul rendah yang disebut osmotin. osmotin ini banyak tertimbun pada sel yang mengalami cekaman osmotik dan diduga membantu melindungi diri dari keadaan cekaman tersebut. Akumulasi osmotin ditunjukkan tanaman karena perubahan tekanan turgor dalam sel (Singh et al. 1987; Thomas et al. 1993). Pola protein (pola pita) yang berubah juga sebagai respon terhadap cekaman garam (Singh et al. 1987; Hasegawa et al. 1987; Iraki et al. 1989; Schnapp et al. 1990). Hasil penelitian Hurkman et al. (1988) tentang pengaruh cekaman garam pada membran akar barley menunjukkan adanya polipeptida (protein) baru yang muncul akibat cekaman. Burke dan Orzech (1988) melaporkan terdapat beberapa Heat Shock Protein (HSP) yang mempunyai bobot molekul tinggi (HSP 70 kDa) banyak terdapat pada berbagai organisme termasuk tumbuhan dan kelompok HSP dengan bobot molekul rendah sebesar 20-30 (15-27 kDa) terdapat pada tumbuhan. HSP ini muncul dengan cepat dan sering menjadi bagian terbesar dari protein total dalam waktu 30 menit setelah terjadi perubahan mendadak misalnya dari 28 0C menjadi 41 0C.
Sintesis protein itu berlangsung terus
selama 3-4 jam berikutnya, tetapi setelah 8 jam pola sintesis akan sama dengan pada suhu rendah awal. HSP juga muncul bila peningkatan suhu lebih bertahap, 3 atau 4 jam setelah kembali ke suhu normal, HSP tidak diproduksi lagi tapi HSP tetap ada, ini menunjukkan bahwa protein tersebut sangat stabil. Semakin jelas bahwa HSP berperan dalam toleransi terhadap heat (bahang), mungkin dengan melindungi enzim dan asam amino esensial dari denaturasi akibat bahang juga HSP berperan sebagai protektif fotoinhibition. Bibit kedelai yang diberi perlakuan 50-75μM arsenit selama beberapa jam mengembangkan toleransi terhadap perlakuan bahang sebelumnya dan menghasilkan pola protein yang mirip dengan HSP kedelai (Key et al. 1985). Bhagwat dan Apte (1989) melaporkan protein yang dihasilkan pada Cyanobakteri (Anabaena sp) penambat-N oleh heat shock, salinitas dan cekaman osmotik, mereka menemukan 15 polipeptida baru, 4 diantaranya khusus akibat heat shock, 4 lainnya diinduksi oleh 3 cekaman. Bray (1988); Bensen et al. (1988); Ramagopal (1987a, 1987b) dan Ranieri et al. (1989), melaporkan bahwa cekaman air menyebabkan perubahan pola protein. Sachs dan Ho (1986) mengamati protein khusus yang terbentuk sebagai respon terhadap logam berat, dan terhadap cahaya ultraviolet Gilmour et al (1988) melaporkan mengenai protein aklimasi suhu dingin (CAP), ditemukan
22 pola peptida baru (empat 47 k Da, serta satu 160 kDa) yang dijumpai pada tumbuhan Arabidopsis thaliana, teraklimasi pada suhu dingin. Protein tersebut beberapa kali lebih efisien daripada sukrosa dalam melindungi membran tilakoid dari kerusakan akibat suhu dingin (Hincha et al. 1989). Pada penelitian mengenai perubahan komposisi protein di ribosom sitoplasmik pada fase vegetatif daun barley teretiolasi, ditemukan 89 protein dari fraksi ribosomal, 8 diantaranya mengubah jumlah copy yang tergantung pada stadia
vegetatif.
Protein ribosomal yang muncul setelah iluminasi
didapatkan pada fraksi daun teretiolasi.
Diduga protein tersebut disintesis
setelah teriluminasi (Koyama et al. 1996). Critchley (1999) mencatat bahwa penurunan tingkat denaturasi asam lemak berkaitan dengan fenomena aklimatisasi dan berhubungan dengan fotosintesis. Telah dilaporkan munculnya toleransi bahang (heat) dapat dicapai dalam beberapa jam melalui sintesis polypeptida Heat-Shock Protein (HSP), untuk mencegah kerusakan kloroplas (Sachs dan Ho 1986; Yandanov et al. 1989). Pada cahaya rendah (100 μmol foton m-2 det-1) disintesis 4 apoprotein LHC-II bermigrasi pada 32,31, 30 dan 28.5 kDa yang dikenal sebagai LHC-II-1, LHC-II-2, LHC-II-3 dan LHC-II-4 (Tanaka dan Melis 1997). Sintesis Protein Fotosintetik Protein berfungsi selain sebagai unsur pembentuk struktur sel juga sebagai protein yang aktif, seperti enzim, yang berperan sebagai katalis segala proses biokimia dalam sel (Becker et al. 2000). Suatu protein terdiri atas satu atau lebih polipeptida (polimer asam amino) yang terlipat dan terbelit membentuk suatu kesesuaian yang spesifik.
Semua
molekul protein merupakan polimer yang dibangun dari kumpulan 20 asam amino (Campbell et al. 2000). Pembentukan asam amino berawal dari reduksi NO3- menjadi NH3. Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk mengubah senyawa anorganik, seperti nitrat (NO3-) dan Amonia (NH3+) menjadi asam amino yang merupakan kerangka dasar protein. dengan jalan menyerap NO3- atau ion amonia
Tumbuhan memperoleh N (NH3+) dalam larutan tanah.
Amonia (NH3+) merupakan senyawa N utama dibebaskan oleh pembusukan asam organik. Pada tanah NH3+ langsung dioksidasi menjadi NO3- sehingga ion NO3- merupakan sumber utama N bagi tumbuhan. Namun demikian setelah
23
diserap, ion NO3- direduksi kembali menjadi amonia sebelum komponen N-nya dapat bergabung ke dalam asam amino dan senyawa organik N lain. Reaksi NO3- ke NH3+ melalui 3 tahap (Loveless 1991): NO3nitrat NO2 nitrit NH2OH hidrosilamin NH3 (nitrat) reduktase (nitrit) reduktase (hidroksil amin) reduktase (amonia) Sintesis asam amino di dalam tanaman terjadi dari penggabungan N ke dalam NH3+ menjadi molekul asam amino dimulai dengan pembentukan asam glutamat dengan aminasi reduksi asam α ketoglutarat : Asam α ketoglutarat + NH3+ +
2(H)
Asam glutamat + H2O
Pada reduksi nitrat donor H yaitu NADH atau NADPH diperoleh dari respirasi dan fotosintesis.
Karena asam glutamat merupakan asam amino
yang dapat terbentuk langsung dari amonia, maka asam glutamat menduduki posisi kunci pada metabolisme N.
Setelah asam glutamat terbentuk, asam
glutamat ini dapat berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis asam amino lain melalui proses transaminasi. Sintesis asam amino tersebut dapat dilihat pada reaksi seperti yang dikemukakan oleh Loveless (1991) sebagai berikut :
Setiap polipeptida mempunyai amino terminal dan karboksi terminal. Sintesis potein dimulai pada amino terminal. Untuk protein yang mempunyai sekuens seperti H2N - Met - Trp - Asp ....…Pro - Val - COOH, menandakan Metionin adalah asam amino inisiasi dan Valin adalah asam amino terminasi pada rantai. Sintesis protein secara garis besar terdiri atas 3 tahap : Inisiasi rantai polipeptida, elongasi dan terminasi. Pada tahap inisiasi yang utama adalah
24 pengikatan mRNA pada ribosom, seleksi dari kodon inisiasi dan pengikatan pada tRNA, asam amino pertama. Pada tahap elongasi ada 2 tahap yaitu gabungan asam amino melalui bentuk ikatan peptida dan perpindahan mRNA, ribosom serta molekul lain bahwa kodon ditranslasi dengan baik. Pada tahap terminasi, protein lengkap berdisosiasi dari ribosom, yang dilepas untuk memulai siklus sintesis lain. Sintesis protein di dalam tanaman terjadi dari asam amino bebas yang diaktifkan dengan cara bereaksi dengan ATP dan enzim pengaktifan khas (aminoasil-tRNA sintase) menghasilkan aminoasiladenilat yang terikat pada enzim. Dalam kompleks ini asam amino disambungkan dengan 5-fosfat AMP melalui gugus karboksilnya sebagai anhidrida. ATP + asam amino + enzim
enzim (AMP-asam amino) + PP
Asam amino yang diaktifkan kemudian dialihkan ke molekul asam ribonukleat alih (t-RNA) yang khas dan terikat pada t-RNA dengan ikatan ester yang berimbang antara posisi 2’ dan 3’ pada satuan AMP ujung dalam t-RNA. Enzim-(AMP-asam amino) + t-RNA
t-RNA-asam amino + enzim
Dengan membentuk pasangan basa secara triplet (kodon), molekul tRNA yang berbeda masing-masing dengan asam aminonya, membentuk barisan sepanjang molekul mRNA dan dengan menggunakan sistem enzim ribosom ikatan peptida dibentuk secara berturut-turut antara asam amino yang bersebelahan, mulai dari asam amino yang akan menjadi ujung terminal-N protein. Akhirnya protein dilepas dari ribosom (Robinson 1991). Di daun sekitar setengah dari jumlah protein berada pada kloroplas, dan kloroplas mengandung enzim untuk sintesis kebanyakan asam amino. Produk utama pada reaksi glutamin sintase dan glutamat sintase dalam stroma adalah glutamin dan glutamat dan gugus amino ini menyediakan untuk pembentukan asam amino lainnya (Millard 1988). Kloroplas mengandung DNA yang mengkode (menyandi) untuk rRNA, tRNA dan untuk mRNAs untuk sintesis beberapa protein tilakoid dan protein stroma (Lawlor 1987). Menurut Taiz dan Zeiger (1991) kloroplas mengandung DNA dan mengkode untuk sintesis beberapa protein yang esensial untuk fotosintesis. Protein yang dikode oleh DNA inti disintesis di sitoplasma dan di impor ke kloroplas di tempat mereka dirakit ke dalam membran tilakoid. Selanjutnya dikemukakan bahwa protein yang ditemukan di kloroplas dikode
25 melalui salah satu dari DNA kloroplas atau DNA inti. Protein yang dikode oleh DNA kloroplas, disintesis pada ribosom kloroplas, sedangkan protein yang dikode oleh DNA inti disintesis pada ribosom sitoplasmik dan kemudian ditranspor ke kloroplas.
Protein transpor kloroplas yang disintesis di
sitoplasmik, merupakan protein yang bersifat pengatur (regulator) yang baik, sebagai contoh enzim Rubisco yang berfungsi dalam fiksasi CO2 mempunyai dua tipe, sub unit besar dikode-DNA kloroplas dan sub unit kecil dikode-DNA inti. Sub unit kecil Rubisco disintesis di sitoplasma dan ditranspor ke kloroplas, tempat perakitan berlangsung (Taiz dan Zeiger 1991). Umumnya protein yang dipersiapkan untuk kloroplas disintesis sebagai protein prekursor serta presekuen N-terminal sebagai jalur ke dalam kloroplas. Protein prekursor ini di arahkan (target) ke permukaan membran organel yang cocok setelah dilepas dari ribosom dan selanjutnya dipertahankan sesuai dengan bentuk untuk ditranslokasi melalui kedua membran envelope (Lubeck, Heins dan Soll 1997).
Selanjutnya di translokasi ke dalam organel, protein
kloroplas disortir ke sub organel tempat tujuan misalnya membran envelope dalam, membran tilakoid
dan lumen tilakoid.
Kompleks kloroplas direfleksi
melalui berbagai jalur mekanisme hingga protein mencapai lokasi terakhir di dalam kloroplas. Sebagian besar polipeptida organel dikode oleh DNA inti, disintesis di sitosol dan ditranslokasi ke dalam organel pada translasi akhir (Lubeck et al. 1997).
Selanjutnya
dikemukakan
bahwa
umumnya
polipeptida
yang
dipersiapkan untuk kloroplas, disintesis di sitosol sebagai protein prekursor dengan
perluasan
pelipatan
N-terminal
yang
disebut
peptida
transit.
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lea dan Leegood (1993) semua protein kloroplas yang dikode oleh DNA inti awalnya disintesis sebagai protein prekursor yang mempunyai perluasan N-terminal dari 20 asam amino dan panjang
yang tidak ditemukan pada protein dewasa (lengkap).
Sekuen N-terminal
ini bertindak sebagai kloroplas-addressing domain yang
disebut peptida transit (TP).
Memasuki kloroplas, peptida transit berpindah
melalui proteolisis untuk menghasilkan protein dewasa. Peptida transit ini sangat diperlukan dan harus mencukupi sebab protein kloroplas target ke stroma telah di arahkan oleh prekursor sub unit kecil Rubisco tidak dapat di arahkan ke kloroplas tanpa adanya peptida transit.
26
Menurut Lawlor (1987) mekanisme sintesis protein fotosintetik berada di kloroplas. Sintesis protein terjadi selama fase perkembangan kloroplas. Sintesis protein selama fase pertumbuhan cepat, sebagai akibat dari penyimpanan atau translokasi substrat dan penyediaan energi dari respirasi. Setelah pertumbuhan cepat pada kloroplas, jaringan daun muda menjadi dewasa, sintesis protein menurun lambat. Periode ketika daun mendekati dewasa, kloroplas kembali ditekan perkembangannya dan periode ini beberapa hari melalui penurunan aktivitas fotosintesis dari titik puncak perluasan daun dewasa.
Kehilangan aktivitas menunjukkan penghentian sintesis protein
kloroplas.
Protein pada daun tua tidak berpindah dan akhirnya didegradasi
oleh enzim proteolitik yang dibentuk di sitosol, mungkin produksi awal dari mRNA tetapi laten sampai daun menjadi tua. Selanjutnya dikemukakan bahwa protein yang diketahui dibuat di kloroplas adalah sub unit besar dari RuBP karboksilase, yaitu protein 32 kD di membran tilakoid. Beberapa protein lainnya pada komponen PS I dan PS II, citokrom f dan beberapa polipeptida yang fungsinya belum diketahui, juga spesifik yang disintesis di kloroplas, dan kompleks protein Light-Harvesting Chlorophyll (protein-LHC) dikode di inti dan diatur pada sistem fitokrom. Selanjutnya dijelaskan, diferensiasi pengaturan cahaya pada tilakoid, baik perubahan jumlah, luas dan derajat tumpukan tilakoid, ini diperoleh melalui perubahan dalam kompleks pemanen cahaya dan sintesis klorofil b. Transkripsi pada gen inti untuk protein kompleks pemanen cahaya, ini diatur fitokrom. Dalam kondisi cahaya yang terputus-putus (light intermittent) yang disintesis adalah klorofil a, dan jika cahaya yang terputusputus berganti dengan cahaya terus menerus maka protein kompleks pemanen cahaya dengan cepat dibuat bersama-sama dengan klorofil b.
STUDY ON AGRONOMICAL AND MORPHO-PHYSIOLOGICAL CHARACTERISTICS OF UPLAND RICE UNDER SHADING ABSTRACT The experiment was aimed to assess the agronomical and morphophysiological characteristics of upland rice under shading. It was arranged in split plot design, and block randomized design as environmental design in three replication. There were two factors, the first factor was shading (S) as main plot that consisted of three levels (S0 = no shading, S1= 25% of shading, S2 = 50% of shading). The second factor was variety (V) as sub plot that consisted of 13 selected genotypes/varieties (8 tolerant, 2 moderate and 3 intolerant varieties). The result of study showed agronomy and morpho-physiology characteristics of tolerant upland rice had more increase in plant height and panicle length than intolerances. In contrary, the intolerant upland rice varieties had more decrease in leave total, maximum seedlings, productive seedlings, grain per panicle, 1000 seeds weight, unfilled grain percentage and dry ground grain weight, compared with the tolerance. Furthermore, the 50% of shading might increased leave nitrogen total concentration, but decreased the soluble N, protein soluble N and TCA soluble N. Whiles, the path analysis in 9 and 18 days of shading showed a decrease in leave nitrogen total and soluble nitrogen in genotypes, tolerance and intolerance. According to the change of agronomical and morpho-physiological characteristics of tolerant (TB 177 E-28-B-3) and intolerant (TB 154 E-TB-1) upland rice might be categorized as inconsistence. Keywords:
upland rice, shading, variety, nitrogen
28
STUDI KARAKTER AGRONOMI DAN MORFOFISIOLOGI PADI GOGO TERHADAP NAUNGAN ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui karakter agronomi, morfo-fisiologi tanaman padi gogo yang diberi naungan. Percobaan ini menggunakan rancangan perlakuan Petak Terpisah (Split Plot), dengan rancangan Acak Kelompok (RAK) sebagai rancangan lingkungan yang diulangi tiga kali. Petak utama adalah naungan (S) terdiri tiga taraf yaitu S0 = tanpa naungan, S1 = naungan 25 %, S2 = naungan 50 %. Sebagai anak petak adalah varietas (V) terdiri atas 13 genotipe/varietas yang terpilih (8 toleran, 2 moderat dan 3 peka). Hasil penelitian menunjukkan: karakter agronomi dan morfofisiologi tanaman padi gogo genotipe toleran mengalami pertambahan lebih banyak dari genotipe peka pada tinggi tanaman dan panjang malai. Sebaliknya genotipe peka mengalami penurunan lebih banyak dari genotipe toleran pada jumlah daun, jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah hampa dan bobot gabah kering giling. Naungan 50% meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun, sebaliknya N terlarut, protein N terlarut dan N terlarut TCA. Demikian pula pada Uji Cepat 9 dan 18 hari menyebabkan penurunan konsentrasi total nitrogen daun dan nitrogen terlarut pada kedua genotipe toleran dan peka. Sesuai perubahan karakter agronomi dan morfofisiologi tanaman padi gogo, galur TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) kelompok genotipe toleran dan TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) kelompok galur peka keduanya tergolong tidak konsisten. Kata kunci : padi gogo, naungan, nitrogen, varietas
29
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanaman yang tumbuh pada kondisi intensitas cahaya rendah (ternaungi) memberi respon adaptif sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bersaing dengan kondisi lingkungannya (Logan et al. 1999).
Respon adaptif tanaman dapat dikaji dari karakter agronomi dan
morfofisiologi tanaman.
Kedua karakter ini saling berpengaruh sehingga untuk
menjelaskan mekanisme adaptif yang terjadi pada tanaman perlu mengkaji kedua karakter tersebut. Tanaman yang yang tumbuh pada kondisi ternaungi umunya memiliki laju fotosintesis maksimum lebih rendah dibandingkan tanaman tanpa naungan (Bjorkman, 1981) karena itu cenderung untuk mengalokasi sumber (source) ke jaringan fotosintesis sehingga secara relatif memiliki nisbah biomasa akar/daun rendah (Givnish 1988).
Karakter-karakter tanaman yang dipengaruhi oleh
intensitas cahaya rendah meliputi karakter morfologi terutama menyangkut arsitektur daun, peningkatan nisbah luas daun terhadap berat daun (luas daun spesifik) yang menyebabkan daun lebih lebar untuk mengumpulkan energi eksitasi lebih banyak pada daerah diagonal (Logan et al. 1999). Sedangkan karakter fisiologi meliputi pergerakan kloroplas, respon perangkat fotosintesis: kompleks pemanen cahaya, transpor elektron, rubisco, kandungan N dan kompleks protein fotosintetik (Lawlor 1987; Evans 1988; Anderson et al. 1995; Logan et al. 1999; Chozin et al. 2000; Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a). Cabuslay et al. (1995) menyatakan tanaman padi yang toleran naungan daunnya cenderung memanjang serta meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun.
Terjadi penurunan berat kering tanaman padi rata-rata
47% (Murty dan Dey 1992) penurunan sekitar 68 % (Cabuslay et al. 1995). Makino et al. (1997) melaporkan bahwa berat kering total tanaman padi pada saat panen sangat nyata lebih kecil pada cahaya rendah dibandingkan dengan cahaya tinggi. Perubahan karakter morfologi pada padi gogo akibat naungan telah pula dilaporkan Sopandie et al. 1999; Chozin et al. (2000). Kandungan N per unit biomassa (% dalam berat kering) sering digunakan sebagai indikasi bagaimana kemampuan N untuk pertumbuhan tanaman (Lawlor et al. 2001).
Pada kondisi lapang normal, produksi vegetatif relatif dan organ
reproduktif berbeda antar tempat dan musim, sebagai akibat perbedaan
30
lingkungan terutama ketersediaan N dalam jaringan.
Kira-kira 75% N dalam
jaringan daun tanaman C3 dialokasikan ke dalam kloroplas (Chapin et al. 1987), konsentrasi nitrogen yang lebih rendah pada jaringan tanaman dialokasikan keperangkat fotosintesis (tilakoid) (Osmond 1987; Evans 1990). Hasil analisis Fichtner et al. (1995) pada 2 genotipe yang ditumbuhkan pada cahaya tinggi (1400 µ mol m-2s-1) dan cahaya rendah (400 µ mol m-2s-1) dan pada amonium nitrat tinggi (5.0 mmol) dan amonium nitrat rendah (0.5 mmol) mengindikasikan hubungan yang kuat dan langsung antara ketersediaan sumber dan pertumbuhan. Khususnya pada cahaya terbatas konsentrasi N di dalam tanaman adalah secara positif berhubungan dengan jumlah N tersedia dan sebaliknya pada cahaya tersedia. Pada kondisi intensitas cahaya rendah ketersediaan N dalam jaringan dan akumulasi N terhambat sebagai akibat asimilasi N rendah yang menyebabkan ketesediaan fotosintatnya rendah (Quick et al. 1991).
Lawlor et
al. (1987a,b,c, 1988) menyatakan bahwa kandungan N yang rendah menurunkan larutan (soluble) termasuk rubisco, kandungan protein dan laju sintesis protein per daun tetapi meningkatkan nisbah struktur protein ke non-protein.
Genotipe
padi gogo yang toleran naungan mempunyai kandungan N terlarut lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka (Sulistyono et al. 1999).
Tujuan Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui respon beberapa karakter agronomi, morfo-fisiologi tanaman padi gogo pada kondisi intensitas cahaya rendah (naungan).
BAHAN DAN METODE
Bahan tanaman. Benih padi gogo yang terpilih sebanyak 13 genotipe diperoleh dari percobaan pendahuluan dilaksanakan di Kebun Cikumpay PT. Perkebunan Nusantara VIII, Subang Jawa Barat, berlangsung sejak Desember 1997 hingga April 1998. Genotipe-genotipe terpilih yakni: JATILUHUR nomor galur 1, TB 177 E-28-B-3 nomor galur 2, B 9266 F-PN-7-MR-2-PN-4 nomor galur 6, TB 165 E-TB-6
nomor galur 7, TB 13 G-TB-2 nomor galur 8, B 149 F-MR-7 nomor galur 9, DODOKAN nomor galur 10, (toleran), ITA 247 nomor galur 11, S 382 B-2-2-3 nomor
31
galur 3, TB 177 E-30-B-3 nomor galur 12 (moderat), KALIMUTU nomor galur 4, IRAT 379 nomor galur 5, TB 154 E-TB-1 nomor galur 13 (peka).
Persiapan tanaman. Persiapan media tumbuh dengan terlebih dahulu membersihkan tanah dari kotoran dan rumput-rumputan, dikeringanginkan, dicampur dengan pupuk kandang kemudian diisi ke dalam polybag masing-masing sebanyak 15 kg. Penempatan polybag sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Pemberian pupuk dasar masing-masing polybag sebanyak 0.75 g Urea, 0.70 g TSP, dan 0.70 g. Pupuk TSP dan KCl diberikan seluruhnya pada saat tanam, sedangkan Urea diberikan dua kali yaitu pada umur 15 hst dan pada saat primordia masing-masing setengah takaran, dengan cara tugal di kedua sisi tanaman sedalam 5 cm kemudian ditimbun dengan tanah.
Benih ditanam
dengan cara tugal, sebanyak tiga biji per polybag. Pada umur seminggu setelah tanam, dilakukan penjarangan tanaman dengan menyisakan dua tanaman per polybag, dipilih yang baik pertumbuhannya. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif meliputi penyiraman dua kali pagi dan sore hari, penyiangan dari gulma dan perlindungan tanaman terhadap hama dan penyakit dilakukan penyemprotan insektisida dan fungisida dua kali seminggu tergantung besarnya serangan.
Pencegahan hama tikus dengan memasang plastik pengaman
kesekeliling petakan. Penanaman di bawah naungan paranet 50% dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Bogor, berlangsung sejak Juli 1998 hingga bulan Oktober 1998. Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dengan menggunakan rancangan perlakuan Petak Terpisah (Split Plot), sedangkan rancangan lingkungan yang digunakan adalah rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial diulangi sebanyak tiga kali. Perlakuan pada percobaan ini terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah naungan (S) sebagai petak utama terdiri atas tiga taraf masing-masing : 1). S0 = tanpa naungan, 2). S1 = naungan 25 %, dan 3). S2 = naungan 50 % . Faktor kedua adalah varietas (V) sebagai anak petak terdiri atas 13 genotipe/varietas yang terpilih dari percobaan I (8 toleran, 2 moderat dan 3 peka).
32
Pengamatan. Untuk karakter agronomi dan morfologi padi gogo dilakukan pengamatan terhadap : tinggi tanaman (cm), jumlah anakan maksimum per rumpun, jumlah anakan produktif
(anakan yang menghasilkan malai)
per rumpun, umur
berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah (gabah berisi dan gabah hampa) per malai, persentase gabah hampa, bobot 1000 biji (g), produksi gabah kering giling (GKG) dengan kadar air 14 persen dan persentase penurunan hasil gabah kering pada setiap tingkat naungan, dihitung dengan cara GKG kontrol dikurangi GKG naungan tertentu dibagi GKG kontrol dikali 100 %. Untuk karakter fisiologi fotosintetik padi gogo dilakukan pengamatan terhadap total nitrogen daun (total leaf N), nitrogen terlarut (soluble N), protein nitrogen terlarut (soluble protein N), nitrogen tidak terlarut (insoluble N) dan nitrogen terlarut trichloroacid (TCA soluble N) menggunakan metode Mae, Makino dan Ohira (1983) dan prosedur pengukuran disajikan pada Tabel Lampiran 28.
Analisis data. Semua data yang diperoleh, dianalisis dengan sidik ragam dan diuji pada taraf 5 % dan 1 %, menggunakan program SAS (N.C. Release 6.12) dan bila analisis ragam menunjukkan hasil yang nyata maka perbandingan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Tukey.
Sedangkan untuk membandingkan
karakter-karakter yang diamati antar kelompok genotipe digunakan Uji t. Untuk mengetahui komponen utama yang berpengaruh pada toleransi terhadap naungan digunakan Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis) dan untuk mengetahui komponen utama yang mana yang berpengaruh langsung terhadap toleransi digunakan Analisis Lintas (Path Analysis).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Karakter Agronomi dan Morfologi Padi Gogo Terhadap Naungan
Komponen pertumbuhan. Tanaman padi gogo yang tumbuh pada kondisi ternaungi yang mendapat intensitas cahaya rendah, akan memberi tanggap dengan melakukan perubahanperubahan, baik terhadap karakter morfologi maupun karakter fisiologisnya. Hal
33
ini sebagai upaya adaptasi terhadap kondisi ternaungi tersebut. Tanaman yang meningkatkan intersepsi cahaya dengan memproduksi daun yang lebih lebar, merupakan salah satu bentuk respon morfologi. Tinggi tanaman. Pemberian naungan paranet 50 % menyebabkan perubahanperubahan antara kelompok genotipe toleran berbeda dengan peka dan besarnya perubahan tersebut disajikan pada Tabel 1. Naungan paranet 50 % menyebabkan peningkatan tinggi tanaman, rata-rata peningkatan tinggi tanaman pada (Lampiran 2) kelompok genotipe toleran mencapai 22.78 % lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok peka sebesar 19.77 %. Berdasarkan hasil uji nilai rata-rata antar kelompok (Tabel 1) didapatkan bahwa pada naungan 0 % kelompok toleran tidak berbeda nyata dengan kelompok peka, namun pada naungan 50 % genotipe toleran berbeda nyata. Perbedaan peningkatan tinggi tanaman ini diduga berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam merespon cahaya radiasi matahari. Tanaman yang mengalami kekurangan intensitas atau distribusi cahaya biasanya lebih tinggi dibandingkan tanaman yang mendapat cahaya cukup. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa peningkatan tinggi tanaman pada tanaman yang ternaungi merupakan adaptasi terhadap lingkungan yang tidak memungkinkan tanaman untuk menaikan daunnya ke atas dengan cara memanjangkan batangnya. Tabel 1. Uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe padi gogo untuk karakter morfologi dan agronomi pada naungan 0 % dan 50 % Naungan Karakter
0%
50%
Toleran Peka Toleran Peka Tinggi tanaman 102.75 a 106.00 b 125.50 a (122,78) 121.89 b (119,77) Jumlah daun 104.70 a 97.22 b 44.50 a (42,44) 42.33 a (41,53) Jumlah anakan maks. 27.71 a 26.67 a 12.79 a (48,31) 11.00 b (40,66) Jumlah anakan prod. 17.50 a 18.78 b 10.88 a (63.34) 8.67 b (43.68) Umur berbunga 73.75 a 70.67 b 73.21 a (99,27) 69.33 b (98,44) Umur panen 103.96 a 101.78 a 103.62 a (99,68) 99.56 b (98,00) Panjang malai 24.81 a 22.92 a 25.51a (103,23) 21.60 b (94,09) Jumlah gabah/malai 172.88 a 128.56 b 170.71 a (98,93) 118.44 b (91,54) Persen gabah hampa 15.76 a 18.22 b 23.59 a (155,59) 39.99 b (217,25) Bobot 1000 Butir 26.63 a 26.54 a 26.29 a (98,70) 25.81 a (97,29) BG kering giling 45.52 a 44.70 a 30.68 a (69,46) 22.77 b (47,60) Ket: Angka dalam kurung adalah nilai relatif terhadap nilai kontrol (0%) dan huruf yang sama dalam baris yang sama pada kondisi naungan yang sama, berarti tidak berbeda nyata pada taraf Uji t 5 %.
34
Peningkatan tinggi tanaman ini juga terjadi karena adanya perbedaan pemanjangan sel tanaman yang diakibatkan oleh aktivitas hormon auxin dalam tubuh tanaman dan adanya sifat fotomorfogenetis yang banyak dipengaruhi oleh infrared sebagai akibat pembauran radiasi oleh tajuk tanaman bagian atas (Salisbury dan Ross 1995). Perbedaan penambahan tinggi tanaman ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Chozin et al. (2000); Lautt (2003) yang memperlihatkan genotipe toleran memberikan respon penambahan tinggi tanaman lebih besar dibandingkan dengan genotipe peka. Jumlah daun. Jumlah daun akibat pemberian naungan 50 %, menyebabkan penurunan jumlah daun baik pada kelompok toleran maupun kelompok peka. Berdasarkan hasil uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe (Tabel 1) nampak bahwa jumlah daun pada naungan 0 % kelompok toleran berbeda nyata dengan kelompok peka, namun pada naungan 50 % genotipe toleran tidak berbeda nyata. Penurunan jumlah daun lebih besar terjadi pada kelompok genotipe peka dibandingkan genotipe toleran. Berdasarkan nilai perubahannya (Lampiran 3), jumlah daun tanaman unrtuk genotipe toleran menurun sebesar 57.56 % sedangkan untuk genotipe peka menurun sebesar 58.47 %. Perubahan ini bila dilihat pada uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe menunjukkan bahwa pada kondisi 0 % untuk genotipe toleran dan peka berturut-turut 104.71 dan 97.22 helai berkurang menjadi 44.50 dan 42.33 helai pada kondisi 50 %. Jumlah daun yang tertinggi pada kondisi 0 % terdapat pada genotipe toleran B 149 F-MR–7 (110.33 helai) dan terendah terdapat pada genotipe peka Kalimutu (62.33 helai), sedangkan pada kondisi 50 % genotipe toleran Dodokan memiliki jumlah daun tertinggi 52.33 helai dan paling rendah 22.67 helai pada genotipe peka Kalimutu. Perubahan jumlah daun pada naungan 50%
secara statistik tidak
berbeda nyata antar kelompok genotipe. Hal ini menunjukkan bahwa naungan tidak secara langsung berpengaruh terhadap jumlah daun tetapi kemungkinan lebih dipengaruhi hara tanaman terutama N yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan daun kurang terpenuhi. Menurut Lawlor (2002) bahwa pada cahaya rendah laju penyerapan N rendah, sementara N dibutuhkan untuk pertumbuhan daun melalui jumlah daun dan ukuran daun. Jumlah daun yang tinggi akan berimplikasi pada luas daun total semakin meningkat.
Intersepsi
cahaya bergantung pada indeks luas daun (LAI : nisbah luas daun terhadap luas permukaan bagian bawah). Dengan meningkatnya indeks luas daun, intersepsi cahaya juga akan meningkat yang pada gilirannya akan meningkatkan aktivitas
35
fotosintesis.
Peningkatan aktivitas fotosintesis akan mempercepat laju
pertumbuhan yang dapat meningkatkan hasil tanaman (Taiz dan Zeiger 1991). Umur berbunga. Kondisi naungan 50 % menyebabkan umur berbunga padi gogo genotipe toleran maupun genotipe peka bertambah lebih cepat beberapa hari, namun perubahan ini sangat kecil (Tabel 1).
Rata-rata umur berbunga
untuk genotipe toleran 73.75 hari tanpa naungan (0 %) dan pada naungan 50 % berkurang menjadi 73.21 hari.
Pada genotipe peka tanpa naungan 70.67 hari
berkurang menjadi 69.33 hari pada naungan 50 %. Rata-rata perubahan umur berbunga lebih cepat terjadi pada kelompok genotipe peka (1.56 hari) dibandingkan dengan kelompok genotipe toleran (0.73 hari ). Umur berbunga padi gogo tercepat (berumur pendek) pada genotipe peka Kalimutu baik tanpa naungan ( 0% ) 63.33 hari maupun pada naungan 50 % 64.33 hari (Lampiran 4).
Sedangkan umur berbunga pada genotipe toleran
tercepat pada varietas Dodokan 66.00 hari pada naungan 0%, dan 64.67 hari pada naungan 50 %.
Umur berbunga padi gogo berdasarkan hasil analisis
ragam tidak dipengaruhi oleh naungan tetapi dipengaruhi oleh galur (Lampiran 1), meskipun berdasarkan hasil uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe, umur berbunga berbeda nyata antara genotipe toleran dengan genotipe peka, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh faktor genotipe dimana perbedaan ini lebih bersifat genetis. Umur panen. Perlakuan naungan 50 %, mengakibatkan perubahan pada umur panen menjadi lebih cepat baik pada genotipe toleran maupun genotipe peka, namun perubahan umur panen tersebut lebih cepat terjadi pada kelompok genotipe peka 1.99 hari dibandingkan genotipe toleran 0.32 hari (Tabel1). Ratarata umur panen terbesar dimiliki oleh genotipe toleran TB 177 E – 30 – B – 2 (109.33 hari) sedangkan umur panen terendah dimiliki oleh genotipe peka Kalimutu (94.67 hari). Hasil uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe, umur panen genotipe toleran dan peka tidak berbeda nyata pada kondisi tanpa naungan (0%), akan tetapi pada kondisi naungan 50 % genotipe toleran berbeda nyata dengan genotipe peka. Perbedaan ini diduga berkaitan erat dengan perbedaan kondisi suhu udara. Suhu udara rata-rata di tempat terbuka pada kondisi tanpa naungan lebih tinggi dibandingkan suhu udara pada naungan 50 %. Hal ini ditunjukkan pada hasil penelitian Haris et al. (1998) bahwa rata-rata suhu udara pada kondisi 0 % lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata suhu udara pada naungan 50 %.
36
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Las (1982) bahwa umur tanaman cenderung lebih pendek apabila ditanam pada daerah yang mempunyai suhu tinggi dibanding dengan daerah bersuhu rendah. Jumlah anakan maksimum. Penurunan jumlah anakan maksimum yang diberi naungan 50 % terjadi baik pada kelompok genotipe toleran maupun genotipe peka, namun penurunan pada kelompok genotipe peka lebih besar dibanding dengan kelompok genotipe toleran. Naungan 50 % menurunkan rata-rata jumlah anakan maksimum pada genotipe toleran sebesar 51.69 % yaitu dari 27.21 anakan turun menjadi 12.79 anakan, sedangkan pada genotipe peka 59.34 % yaitu
26.67 turun menjadi 11.00 anakan (Tabel 1).
Tampak pula bahwa
penurunan jumlah anakan maksimum paling sedikit terjadi pada genotipe toleran TB 165 E – TB – 6 yaitu sebesar 12 % dari 16.70 anakan berkurang menjadi 14.67 anakan (Lampiran 6 ).
Berdasarkan hasil uji nilai rata-rata kelompok
genotipe, pada naungan 50 % nampak bahwa jumlah anakan maksimum kelompok genotipe toleran berbeda nyata dengan kelompok genotipe peka. Ini menunjukkan bahwa genotipe toleran mampu mempertahankan kehidupannya pada kondisi ternaungi dan mampu bersaing akan kekurangan radiasi matahari, hara maupun air di antara anakan itu sendiri untuk menjadi anakan produktif. Jumlah anakan yang banyak akan lebih menguntungkan karena mampu mengkompensasi rumpun yang mati dan luas daun total tanaman akan bertambah (Gupta dan O’Toole 1986).
Produksi dan Komponen Produksi Tanaman.
Panjang malai. Kondisi naungan 50 % menyebabkan perubahan panjang malai sangat bervariasi, namun dari hasil uji nilai rata-rata kelompok genotipe, genotipe toleran bertambah panjang sebesar 3.23 % yaitu dari 24.81 cm menjadi 25.51 cm dibandingkan dengan kelompok genotipe peka justru menurun sebesar 5.91 % yaitu dari 22.92 menjadi 21.60 cm (Tabel 1). Rata-rata panjang malai (Lampiran 7) bervariasi dari 19.20-28.07 cm pada naungan 50%, sementara pada naungan 0% adalah 20.77-29.73 cm.
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1),
panjang malai tidak dipengaruhi oleh naungan tetapi galur sangat nyata mempengaruhi panjang malai. Panjang malai mencapai maksimum setelah daun bendera keluar dan nilainya sangat dipengaruhi oleh galur/varietas. Ini
37
mengindikasikan bahwa panjang malai lebih ditentukan oleh genotipe, dengan demikian karakter panjang malai lebih bersifat genetis tanaman. Jumlah anakan produktif. Pemberian naungan 50% menyebabkan perubahan dan nyata mengurangi jumlah anakan produktif (jumlah malai per rumpun) baik pada kelompok toleran maupun kelompok genotipe peka. Pengurangan terbesar terjadi pada kelompok genotipe peka Kalimutu sebesar 70.20 % dan 57.35 % pada genotipe toleran TB 13 G – TB – 2. Namun ada genotipe toleran yang paling sedikit penurunan jumlah anakan produktifnya adalah genotipe TB 165 E – TB – 6 hanya sebesar 17.92 % yaitu dari 13.00 anakan menjadi 10.67 anakan (Lampiran 8).
Hal ini menunjukkan bahwa galur tersebut mempunyai
kemampuan yang tinggi membentuk anakan maksimum menjadi anakan produktif.
Las dan Muladi (1986) menyatakan bahwa anakan yang telah
membentuk 4 daun atau lebih pada fase anakan maksimum dicapai akan mampu menghasilkan malai.
Banyaknya malai terbentuk juga erat kaitannya dengan
jumlah anakan yang banyak pada varietas tersebut. Jumlah gabah per malai. Kondisi naungan 50 % mengakibatkan perubahan pada jumlah gabah per malai (Tabel 1) . Perubahan ini sangat bervariasi baik pada kelompok genotipe toleran maupun kelompok genotipe peka. Rata-rata perubahan pada genotipe peka lebih besar pengurangannya mencapai 8.46 %, sedangkan perubahan pada genotipe toleran sebesar 1.07 %. Jumlah gabah per malai pada naungan 50 % tertinggi dimiliki oleh genotipe toleran TB 165 E – TB – 6 mencapai 209 butir (Lampiran 9) dan bila di lihat dari hasil perubahannya juga meningkat sebesar 0.16 %. Genotipe toleran lainnya yaitu Dodokan juga mengalami peningkatan sebesar 5.37 % pada naungan 50 %.
Hal ini erat kaitannya dengan laju pertumbuhan tanaman
tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya gabah dalam tiap malai adalah perkembangan dan berat kering tanaman. Peningkatan jumlah gabah per malai, ini dimungkinkan karena memilki jumlah daun banyak dan jumlah anakan produktif cukup tinggi bahkan terdapat galur yang memiliki jumlah anakan produktif melebihi dari yang dimiliki oleh galur toleran Jatiluhur. Jumlah daun yang banyak yang berdampak pada penambahan luas daun total tanaman.
Hal ini pula yang memungkinkan peningkatan laju
fotosintesis sehingga diharapkan translokasi fotosintat secara efisien dari source ke sink pada tanaman dengan kata lain fotosintat akan mencukupi untuk pembentukan dan pengisian gabah.
38
Persentase gabah hampa. Pemberian naungan 50 % menyebabkan terjadinya peningkatan persentase kehampaan.
Rata-rata persentase kehampaan pada
naungan 0% genotipe toleran 15.76% dan peka 18.22% setelah dinaungi kehampaan meningkat sebesar 23.50 % (toleran) dan 39.99% (peka) ini artinya perubahan pada genotipe toleran sebesar 55.59% sedangkan pada genotipe peka mencapai 117.25 % (Tabel 1). Peningkatan persentase kehampaan pada kedua kelompok genotipe ini bervariasi dan nampak bahwa yang mempunyai persen kehampaan paling sedikit adalah galur toleran TB 117 E – 30 – B – 2 sebesar 3.79 % yaitu persen kehampaan meningkat dari 19.53 % menjadi 20.27 % (Lampiran 10). Berdasarkan hasil uji Tukey’s galur tersebut tidak berbeda nyata dengan galur toleran Jatiluhur sebesar 9.55 % atau peningkatan persentase kehampaannya dari 18.53 menjadi 20.30 %. Pada genotipe peka yang mempunyai persentase kehampaan paling tinggi sebesar 174.23 % pada galur peka IRAT 379 yaitu persentase kehampaannya dari 18.90 menjadi 51.83 % dan tidak berbeda nyata dengan varietas peka Kalimutu (145.79 %). Berdasarkan hasil uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe, nampak bahwa persentase gabah hampa genotipe toleran berbeda nyata dengan genotipe peka, baik pada tanpa naungan (0%) maupun pada naungan 50 % (Tabel 1). Kehampaan yang tinggi menyebabkan hasil berkurang. Peningkatan persentase kehampaan kemungkinan disebabkan oleh jumlah gabah yang dihasilkan cukup tinggi. Akibatnya jumlah asimilat yang dihasilkan tidak cukup untuk mengisi semua gabah dengan sempurna. Makin tinggi jumlah gabah yang dihasilkan suatu varietas/galur padi kebutuhan akan asimilat makin besar, jika tidak diimbangi dengan suplai karbohidrat dari sumbernya, akan makin banyak gabah yang tidak terisi dengan demikian persentase gabah isi makin berkurang dan tingkat kehampaan makin tinggi. Menurut Chaturvedi et al. (1994) bahwa sterilitas yang tinggi pada padi pada kondisi cahaya rendah disebabkan oleh gangguan metabolisme N dan akumulasi N terlarut pada malai (panicle) tinggi, yang menyebabkan gangguan dalam pengisian biji. Selain faktor di atas diduga pada kelompok genotipe peka yang dinaungi 50 % sebagian energi yang tersimpan pada fase vegetatif digunakan untuk membentuk tunas-tunas, karena jumlah gabah tiap rumpun yang terbentuk cukup banyak sehingga energi yang tersedia untuk pengisian gabah-gabah menjadi terbatas.
Akibatnya persentase gabah hampa makin
tinggi. Demikian sebaliknya, pada genotipe toleran yang mempunyai persentase
39
kehampaan rendah diduga energi yang tersedia untuk pengisian gabah cukup memadai sehingga persentase gabah hampa yang terbentuk relatif sedikit. Bobot 1000 butir. Penurunan pada bobot 1000 butir juga terjadi sebagai akibat pemberian naungan 50 %. Penurunan bobot 1000 butir terjadi pada kelompok genotipe toleran rata-rata sebesar 1.30 % lebih kecil dibandingkan dengan kelompok genotipe peka rata-rata sebesar 2.71 %. Penurunan bobot 1000 butir sangat bervariasi pada setiap galur/varietas baik pada genotipe toleran maupun genotipe peka.
Namun berdasarkan hasil uji nilai rata-rata antar kelompok
genotipe, bobot 1000 butir kelompok genotipe toleran tidak berbeda nyata dengan kelompok genotipe peka. Hal ini menunjukkan bahwa bobot 1000 butir tidak dipengaruhi oleh naungan kemungkinan hal ini merupakan sifat genetis tanaman. Dalam penelitian ini varietas/galur yang memiliki bobot 1000 butir tertinggi dicapai oleh varietas/galur peka IRAT 379 sebesar 32.47 gram yang diikuti oleh galur peka Kalimutu sebesar 23.30 gram sedangkan pada genotipe toleran tertinggi terjadi pada galur TB 177 E- 30 – B -2 (31.20 gram), yang diikuti oleh varietas toleran Jatiluhur sebesar 28.90 gram pada naungan 50 %. Variasi bobot 1000 butir antar varietas/galur berkisar antara 21.67 gram hingga 32.47 gram (Lampiran 11). Bobot gabah kering giling.
Pemberian naungan 50 % sangat nyata
menurunkan bobot gabah kering giling padi gogo.
Penurunan ini sangat
bervariasi diantara kelompok genotipe toleran dan genotipe peka. Hasil uji nilai rata-rata antar kelompok genotipe (Tabel 2) nampak bahwa kelompok genotipe toleran berbeda nyata dengan kelompok genotipe peka.
Rata-rata penurunan
bobot gabah kering giling (BGKG) terbesar terjadi pada kelompok genotipe peka sebesar 52.40 % sedangkan pada kelompok genotipe toleran sebesar 30.54 %. Penurunan bobot gabah kering giling pada varietas toleran Jatiluhur tampak paling rendah (20.46 %) yaitu dari 41.55 gram pada naungan 0 % menurun menjadi 33.05 gram pada naungan 50 %.
Varietas peka Kalimutu mengalami
penurunan bobot gabah paling tinggi (66.17%) yaitu dari 39.40 gram pada naungan 0% menjadi 13.35 gram pada naungan 50 %. Hasil bobot gabah kering giling sangat erat kaitannya dengan hasil pada komponen tumbuh maupun komponen produksi. Hal ini dapat ditunjukkan pada hasil analisis lintasan (Path Analysis) bahwa jumlah daun, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah gabah per malai berpengaruh positif
40
terhadap produksi relatif ( % control).
Karakter daun merupakan salah satu
karakter morfologik yang memilki kaitan erat dengan produktivitas tanaman. Tabel 2. Perubahan bobot gabah kering giling varietas/galur toleran dan peka pada naungan paranet 50 % Tingkat Naungan
Kelompok Genotipe 0% TOLERAN JATILUHUR TB177E-30-B-2 B9266F-PN-7-MR-2-PN-4 TB165E-TB-6 TB 13G-TB-2 B194F-MR-7 DODOKAN ITA24719 Rata-rata Toleran PEKA KALIMUTU IRAT 379 TB 154 E-TB-1
Rerata Uji Tukey :1.08
50%
- g/rumpun 41.55 33.05 34.70 26.82 45.10 36.78 33.33 24.85 56.59 33.93 63.50 34.01 31.09 22.13 58.32 33.86 45.52 30.68
(79,54) (77,29) (81,55) (74,56) (59,96) (53,56) (71,18) (58,06) (69,46)
37.30 30.76 40.94 29.09 45.26 48.76 26.61 46.09 38.10
(89.77) (88.65) (90.78) (87.28) (79.98) (76.78) (85.59) (79.03) (84.73)
39.40 36.44 58.26
(33,83) (38,91) (70,05)
26.37 25.31 49.54
(66.92) (69.46) (85.02)
13.33 14.18 40.81
Rata-rata Peka 44.70 22.77 (47,60) 33.74 (73.80) Rerata 45.30 28.52 81.75 Keterangan: Angka dalam kurung adalah nilai relatif terhadap nilai kontrol (0%).
Karakter daun yang dikehendaki adalah daun yang tumbuh tegak. Karakter yang demikian memungkinkan distribusi cahaya merata karena permukaan daun yang menerima cahaya lebih luas atau indeks luas daunnya besar.
Hal ini yang
menyebabkan kemampuan intersepsi radiasinya menjadi lebih besar dan titik kompensasi cahaya tercapai sehingga berat kering tanaman yang dihasilkan juga menjadi besar. Rendahnya rata-rata penurunan bobot gabah kering giling pada varietas toleran Jatiluhur selain ditentukan oleh sifat genetis dari varietas tersebut juga disebabkan karena memiliki indeks luas daun yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lautt (2003) bahwa varietas toleran Jatiluhur memiliki luas daun maksimum 3203.40 cm2
yang
berbeda
sangat
nyata dengan
genotipe peka. Dengan meningkatnya indeks luas daun, intersepsi cahaya juga akan meningkat yang pada gilirannya akan meningkatkan laju fotosintesis. Peningkatan laju
fotosintesis akan meningkatkan perolehan jumlah fotosintat.
Dengan demikian, diharapkan translokasi fotosintat secara efisien dari source ke
41
sink pada tanaman yang dapat mempercepat laju pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan produksi bahan kering tanaman (Lawlor, 1987; Taiz dan Zeiger, 1991; Pessarakli, 1996).
Evaluasi Konsistensi Toleransi Genotipe Padi Gogo Terhadap Naungan
Evaluasi Genotipe Toleran pada Naungan Tegakan Karet (In–Situ).
Berdasarkan hasil penelitian evaluasi plasma nutfah padi gogo untuk toleransi terhadap naungan alami di bawah tegakan tanaman karet yang berumur 1 sampai 4 tahun menunjukkan bahwa distribusi dari 200 genotipe padi gogo mempunyai hasil relatif yang sangat beragam berturut-turut pada karet yang berumur 1 tahun 65 – 90 %, untuk karet umur 2 tahun 45 – 75 % dan untuk karet yang berumur 3 tahun 50 - 55 %, serta untuk karet umur 4 tahun memberikan hasil relatif yang paling rendah yaitu hanya 5 – 35 % untuk keseluruhan genotipe (Chozin et al. 2000). Beragamnya hasil relatif ini sangat ditentukan oleh seberapa besar lolosnya intensitas cahaya matahari yang sampai kepermukaan tanaman padi gogo. Hasil penelitian Haris et al. (1998) menunjukkan bahwa rata-rata intensitas cahaya pada naungan alami tanaman karet berumur 3 tahun adalah sebesar 120.5 kalori/cm2/hari, besarnya intensitas cahaya ini setara dengan intensitas cahaya pada naungan buatan paranet 50 % sebesar 130.14 kalori/cm2/hari. Menurut
Las (1983) bahwa untuk menunjang pertumbuhan padi gogo
dibutuhkan intensitas cahaya matahari minimum sebesar 256 kalori/cm2/hari. Ini berarti intensitas cahaya matahari pada naungan karet umur 3 tahun dan naungan paranet 50 % sudah mencapai setengah dari kebutuhan intensitas cahaya minimum padi gogo. Hal ini diduga menyebabkan penurunan rata-rata bobot gabah kering giling baik pada genotipe toleran maupun genotipe peka. Kombinasi hasil skoring terhadap performa pertumbuhan dan hasil relatif dari 200 genotipe padi gogo yang diamati sehingga diperoleh 3 kelompok genotipe yaitu: 25 genotipe toleran, 83 genotipe moderat dan 92 genotipe peka dan dari 25 genotipe toleran terdapat 9 genotipe toleran yang mempunyai potensi hasil yang cukup tinggi berkisar 1.73 sampai 3.5 ton per hektar.
42
Evaluasi Genotipe Toleran pada Naungan Paranet (Ex–Situ).
Evaluasi genotipe toleran pada naungan paranet menggunakan 3 kelompok genotipe padi gogo hasil dari evaluasi pada naungan tegakan karet (Insitu) sejumlah 13 galur/varietas yang terdiri atas 8 galur/varietas toleran, 2 galur/varietas moderat dan 3 galur/varietas peka. Evaluasi genotipe-genotipe ini berdasarkan pada 11 karakter morfologi pertumbuhan dan produksi dari 13 galur yang terpilih dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis). Tabel 3. Hasil analisis komponen utama terhadap 13 galur/varietas padi gogo pada kondisi naungan paranet 50 % Eigenvalue Karakter
Z 1 (58.8 %)
Z 2 (20.5 %)
Z 3 (7.9 %)
Bobot gabah kering giling
-0.203
0.529
-0.004
Jumlah gabah per malai
0.337
-0.176
0.186
Persen gabah hampa
-0.335
-0.098
-0.041
Jumlah anakan produktif
-0.344
-0.102
-0.237
Jumlah anakan maksimum
-0.270
0.393
-0.090
Panjang malai
0.227
-0.442
-0.425
Bobot 1000 butir
-0.331
-0.200
-0.330
Umur berbunga
-0.332
-0.188
-0.331
Umur panen
0.222
0.349
-0.591
Tinggi tanaman
-0.296
-0.349
0.210
Jumlah daun
-0.346
0.015
0.327
Hasil analisis komponen utama terhadap 13 galur/varietas nampak pada Tabel 3,
yang menunjukkan Nilai Eigen (Eigenvalue) tiga komponen utama
terbesar yang dapat menggambarkan sekitar 87.2 % dari keragaman total. Nilai Eigen tersebut menurut Gaspersz (1991) bahwa 87.2 % keragaman dari skor komponen yang diamati dapat dijelaskan melalui tiga komponen utama. Komponen utama pertama (Z1) menjelaskan 58.8 % keragaman dari peubah yang diamati, terdapat 5 karakter yang memiliki nilai terbesar antara lain jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, jumlah anakan produktif, umur
43
berbunga dan jumlah daun. Juga terdapat 5 karakter terbesar yang digambarkan oleh komponen utama kedua (Z2) sebesar 20.5 % yaitu bobot gabah kering giling, jumlah anakan maksimum, panjang malai, umur panen dan tinggi tanaman serta terdapat 2 karakter terbesar yang digambarkan oleh komponen utama ketiga (Z3) sebesar 7.9 % adalah panjang malai dan umur panen. Hasil diagram penyebaran berdasarkan skor komponen dari proyeksi aksis komponen Z1 dan Z2 terhadap skor komponen morfologi dan pertumbuhan dari 13 galur/varietas padi gogo pada naungan 50 % menunjukkan adanya 3 kelompok utama (Gambar 4).
Z2 4 10
7 9 6
5
8 11
Z1 1 2 12 13 3
Aksis skor komponen utama Z1 dan Z2. Gambar 4. Diagram skor komponen genotipe toleran ( ), moderat ( ) dan peka ( ) pada naungan 50 %. Ketiga kelompok utama tersebut secara berurutan sesuai dengan kelompok genotipe toleran, moderat dan peka berdasarkan hasil seleksi pada naungan paranet 50%. Nampak pada Gambar 4, kelompok genotipe toleran dipisahkan secara nyata oleh komponen utama kedua (Z2), artinya genotipe toleran mempunyai bobot gabah kering giling, jumlah anakan maksimum yang tinggi, panjang malai yang pendek, umur panen yang dalam dan tanaman yang tinggi. Sedangkan kelompok genotipe moderat dipisahkan secara nyata oleh
44
komponen utama pertama (Z1) antara lain jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, jumlah anakan produktif, umur berbunga dan jumlah daun dan kelompok genotipe peka dipisahkan oleh komponen ketiga (Z3) yaitu panjang malai dan umur panen. Hasil analisis pengelompokan Hirarki (Hierarchical Cluster Analysis) melalui tahap-tahap Amalgamasi (Amalgamation Steps) yang menunjukkan adanya tiga kelompok genotipe toleran, moderat dan genotipe peka berdasarkan nilai skor komponen 11 karakter pertumbuhan dan produksi relatif (sebagai nilai variabel) terhadap 13 galur/varietas (sebagai nilai observasi). Pengelompokan ini berdasarkan pada tingkat kesamaan (similarity level) dan tingkat jarak (distance level) sehingga terjadi kluster gabungan (clusters joined) yang nampak jelas terjadi tiga kelompok utama. Hal ini dapat ditunjukkan oleh dendogram (Gambar 5).
y 0
Kesamaan (%)
25
50
75
100 4
5
1
6
9
8
11
10
7
2
3
12
13
Nomor galur Gambar 5. Dendogram 13 galur/varietas padi gogo pada naungan 50 %.
Pada Gambar 5 nampak bahwa kelompok genotipe toleran terdapat tujuh galur/varietas yaitu: Jatiluhur (nomor galur 1), B 9266 F-PN-7-MR-2-PN-4 (nomor galur 6), B 149 F-MR-7 (nomor galur 9), TB 13 G-TB-2 (nomor galur 8), ITA 247 (nomor galur 11), Dodokan (nomor galur 10), dan TB 165 E-TB-6 (nomor galur 7); kelompok genotipe moderat sejumlah empat galur/varietas yaitu: TB 177 E28-B-3 (nomor galur 2), S 382 B-2-2-3 (nomor galur 3), TB 177 E-30-B-2 (nomor
45
galur12) dan TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) sedangkan kelompok genotipe peka terdapat dua galur/varietas yaitu : Kalimutu (nomor galur 4) dan IRAT 379 (nomor galur 5). Berdasarkan hasil evaluasi pada kedua metode analisis di atas, didapatkan suatu kekonsistenan toleransi dari genotipe-genotipe padi gogo disajikan pada (Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan genotipe-genotipe yang konsisten (baik di bawah tegakan karet maupun pada naungan paranet) terdapat tujuh galur/varietas yang konsisten toleran, yaitu Jatiluhur (nomor galur 1), B 9266 -PN -7-MR-2-PN-4 (nomor galur 6), TB 165 E-TB - 6 (nomor galur 7), TB 13 G -TB - 2 (nomor galur 8), B 149 F-MR-7 (nomor galur 9), Dodokan (nomor galur 10) dan ITA 247 (nomor galur 11).
Sedangkan yang konsisten moderat terdapat dua
galur/varietas yaitu S 382 B-2-2-3 (nomor galur 3), dan TB 177 E-30-B-3 (nomor galur 12) demikian pula yang konsisten peka terdapat dua galur/varietas yakni Kalimutu (nomor galur 4) dan IRAT 379 (nomor galur 5).
Tabel 4 . Konsistensi toleransi genotipe padi gogo pada naungan 50% No Galur
Galur/Varietas Evaluasi pada Naungan Karet
Tingkat toleransi di lapang
1 JATILUHUR T 2 TB 177 E-28-B-3 T 6 B 9266 F-PN-7-MR-2-PN-4 T 7 TB 165 E-TB-6 T 8 TB 13 G-TB-2 T 9 B 149 F-MR-7 T 10 DODOKAN T 11 ITA 247 T 3 S 382 B-2-2-3 M 12 TB 177 E-30-B-3 M 4 KALIMUTU P 5 IRAT 379 P 13 TB 154 E-TB-1 P Ket : T = Toleran M = Moderat P = Peka K = Konsisten
Tingkat toleransi di Ket: Naungan Paranet T K M TK T K T K T K T K T K T K M K M K P K P K M TK TK = Tidak Konsisten.
Hasil analisis juga menunjukkan terdapat dua galur yang tidak konsisten yaitu TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) galur tersebut merupakan kelompok genotipe toleran berdasarkan evaluasi pada naungan tegakan karet, namun berdasarkan evaluasi pada naungan paranet 50%, galur TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) masuk ke dalam kelompok genotipe moderat. Hal yang sama terjadi pula pada galur TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) yang merupakan kelompok genotipe peka hasil evaluasi pada naungan tegakan karet dan masuk
46
ke dalam kelompok genotipe moderat berdasarkan evaluasi pada naungan paranet 50%.
Perubahan atau peralihan ke dua galur tersebut di atas ke
kelompok genotipe moderat, terutama disebabkan oleh karakter jumlah daun dan jumlah anakan produktif yang rendah akan tetapi mempunyai jumlah gabah per malai yang cukup tinggi dimana karakter tersebut merupakan salah satu karakter yang paling menentukan dalam pengelompokan genotipe moderat.
Respon Karakter Fisiologi Padi Gogo Terhadap Naungan
Tanaman yang tumbuh pada kondisi lingkungan cahaya yang rendah juga menunjukkan perubahan fisiologisnya. Salah satu bentuk respon fisiologis tanaman, dengan memperlihatkan perbedaan baik berupa perbedaan kandungan klorofil, kandungan rubisco dan aktivitasnya maupun kandungan nitrogen daunnya.
Pada perlakuan naungan 50 % pada fase vegetatif aktif dan fase
pengisian biji memperlihatkan adanya perubahan total nitrogen daun (total leaf N), nitrogen terlarut (soluble N), protein nitrogen terlarut (soluble protein N), nitrogen tidak terlarut (insoluble N) dan nitrogen terlarut dalam trichloroacid (TCA) (TCA soluble N) data di sajikan pada Lampiran 12 - 16.
Kons. N Total Daun (mg/g)
Veg. Aktif
Pengisian Biji
40 35 30 25 20 15 10 5 0 JL 0
JL 50
KM 0
KM 50
Naungan (%) JL 0 = Jatiluhur pada nauangan 0% KM 0 = Kalimutu pada nauangan 0% JL 50 = Jatiluhur pada nauangan 50% KM 50 = Kalimutu pada nauangan 50%
Gambar 6. Konsentrasi total nitrogen daun pada naungan 0 dan 50 %.
47
Perlakuan naungan 50 % meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun kedua genotipe Jatiluhur dan Kalimutu terutama pada Jatiluhur genotipe toleran naungan baik fase vegetatif aktif maupun fase pengisian biji (Gambar 6). Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun jauh lebih besar terjadi pada varietas Jatiluhur dari 4.2 meningkat menjadi 19.7 mg/g dibandingkan dengan varietas peka Kalimutu dari 9.6 menjadi 24.4 mg/g walaupun kelihatannya ratarata konsentrasi total nitrogen daun Kalimutu lebih tinggi dari konsentrasi yang dimiliki Jatiluhur. Total N daun varietas Jatiluhur meningkat pada fase pengisian biji juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas Kalimutu dan peningkatannya berturut-turut dari 10.7 mg/g menjadi 31.4 mg/g untuk Jatiluhur dan 23.5 mg/g menjadi 33.6 mg/g untuk Kalimutu.
Peningkatan total nitrogen
pada Jatiluhur ini kemungkinan untuk meningkatkan laju fotosintesis pada kondisi ternaungi.
Van Kulen et al. (1989) mengemukakan bahwa laju fotosintesis
maksimum per unit luas daun berhubungan dengan kandungan nitrogen di daun. Sejalan dengan pernyataan Evans (1989); Sinclair dan Horie (1989) bahwa sebagian besar nitrogen di daun adalah enzim-enzim yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Konsentrasi total nitrogen daun pada varietas toleran Jatiluhur
yang
meningkat,
kemungkinan
pula
sebagai
bentuk
upaya
mempertahankan laju fotosintesisnya sebab nitrogen daun dalam jumlah besar digunakan untuk menyusun protein-protein yang bertanggung jawab terhadap proses fotosintesis sehingga daun yang mempunyai konsentrasi total N daun yang tinggi cenderung memiliki laju fotosintesis potensial lebih tinggi. Sinclair dan Horie (1989) menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi N pada luas daun
dasar
tanaman
menghasilkan
laju
fotosintesis
lebih
tinggi
yang
berpengaruh pada efisiensi penggunaan cahaya. Kandungan N daun berpengaruh nyata terhadap efisiensi penggunaan cahaya telah dilaporkan pada beberapa studi (Pons et al. 1989; Muchow dan Sinclair 1994; Gastal dan Lemaire 1994). Sejumlah peneliti melaporkan pula bahwa kandungan total nitrogen daun sangat erat hubungannya dengan kapasitas fotosintesis daun (Rowland-Bamford et al. 1991; Roger et al. 1996). Hasil penelitian Nakano et al. (1997) menunjukkan bahwa penekanan fotosintesis dihubungkan dengan menurunnya kandungan total nitrogen daun. Pemberian naungan paranet 50 % menyebabkan penurunan terhadap N terlarut, protein N terlarut dan N terlarut TCA baik pada pada varietas Jatiluhur
48
maupun varietas Kalimutu. Penurunan N terlarut pada genotipe toleran Jatiluhur lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka Kalimutu (Gambar 7). Rata-rata konsentrasi N terlarut pada genotipe toleran 1.79 mg/g pada naungan kondisi 0% lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka 1.86 mg/g.
Sedangkan pada kondisi naungan 50% genotipe toleran menurun
menjadi 1.46 mg/g dan pada genotipe peka menurun menjadi 1.37 mg/g.
Kons. N Terlarut (mg/g)
Veg. Aktif
Pengisian Biji
2.5 2 1.5 1 0.5 0 JL 0
JL 50
KM 0
KM 50
Naungan (%)
JL 0 = Jatiluhur pada nauangan 0% KM 0 = Kalimutu pada nauangan 0% JL 50 = Jatiluhur pada nauangan 50% KM 50 = Kalimutu pada nauangan 50%
Gambar 7. Konsentrasi nitrogen terlarut pada naungan 0 dan 50 %.
Dengan demikian konsentrasi
N
terlarut menurun sebesar 18.53 % pada
genotipe toleran Jatiluhur lebih rendah bila dibandingkan dengan penurunan konsentrasi N terlarut pada genotipe peka Kalimutu sebesar 26.48 %. Penurunan konsentrasi N terlarut yang rendah pada genotipe toleran Jatiluhur sejalan dengan hasil penelitian Sulistyono et al. (1999) yang menunjukkan bahwa galur padi gogo toleran naungan mempunyai konsentrasi N terlarut pada daun yang lebih rendah dibandingkan dengan galur peka. Demikian pula diperkirakan genotipe kedelai toleran naungan akan memiliki konsentrasi nitrogen terlarut yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka pada kondisi naungan (Sopandie et al. 2003b). Naungan 50% menurunkan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe Jatiluhur maupun Kalimutu pada fase vegetatif dan pengisian biji (Gambar 8).
49
Konsentrasi Prot. N terlarut (mg/g)
Veg. Aktif
Pengisian Biji
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 JL 0
JL 50
KM 0
KM 50
Naungan (%)
JL 0 = Jatiluhur pada nauangan 0% KM 0 = Kalimutu pada nauangan 0% JL 50 = Jatiluhur pada nauangan 50% KM 50 = Kalimutu pada nauangan 50%
Gambar 8. Konsentrasi protein-nitrogen terlarut pada naungan 0 dan 50 %.
Rata-rata konsentrasi protein N terlarut pada genotipe toleran 0.31 mg/g pada naungan kondisi 0% juga lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka 0.37 mg/g. Sedangkan pada kondisi naungan 50% genotipe toleran menurun menjadi 0.24 mg/g dan pada genotipe peka menurun menjadi 0.15 mg/g. Dengan demikian penurunan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe peka Kalimutu penurunannya lebih tinggi hingga (59.03 %) bila dibandingkan dengan konsentrasi pada genotipe toleran Jatiluhur sebesar (21.29 %). Penurunan konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada kondisi naungan 50% kemungkinan terkait dengan melemahnya intensitas cahaya di dalam daun sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastal dan Lemaire (2002) bahwa kandungan nitrogen daun lebih rendah pada kanopi tanaman pada intensitas cahaya rendah.
Hal ini terkait dengan jumlah nitrogen daun lebih
rendah dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun pada intensitas cahaya rendah. Konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe toleran lebih tinggi bila dibandingkan dengan genotipe peka pada kondisi naungan 50% akan tetapi pada kondisi 0% genotipe peka nampak lebih tinggi dari genotipe toleran. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan
50
protein-N dan nitrogen terlarut pada varietas padi yang peka menyebabkan terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan. Nitrogen tidak larut (insoluble N) mengalami peningkatan pada kondisi naungan 50 % peningkatannya lebih besar pada genotipe toleran dibandingkan dengan genotipe peka baik pada fase vegetatif maupun pada fase pengisian biji. Pada fase vegetatif N tidak terlarut pada varietas Jatiluhur meningkat dari 2.37 mg/g menjadi 18.28 mg/g sedangkan varietas Kalimutu dari 7.69 mg/g meningkat menjadi 23.46 mg/g (Lampiran 12).
Pada fase pengisian biji, N tidak larut
varietas Jatiluhur meningkat dari 8.63 mg/g menjadi 29.94 mg/g dan Kalimutu dari 21.49 mg/g menjadi 32.16 mg/g. Terjadi penurunan pada N terlarut TCA, baik pada varietas Jatiluhur maupun varietas Kalimutu (Lampiran 12). Perlakuan naungan 50% pada “ Uji Cepat ” memperlihatkan perubahan konsentrasi total nitrogen daun (Gambar 9 ) dan nitrogen terlarut (Gambar 10) baik pada genotipe toleran maupun genotipe peka.
Lama Naungan Hari)
Jatiluhur
Kalim utu
18
9
3 0
10
20
30
40
Kons. N Total Daun (m g/g)
Gambar 9.
Konsentrasi total nitrogen daun pada uji cepat.
Tampak pada Gambar 9 peningkatan konsentrasi total N varietas Jatiluhur pada perlakuan naungan 9 hari sebesar 1.45 % namun pada naungan 18 hari terjadi penurunan hingga 15.97 % sedangkan varietas Kalimutu terjadi penurunan 10.34% pada naungan 9 hari dan 25.69% pada naungan 18 hari.
51
Secara keseluruhan terjadi penurunan konsentrasi nitrogen daun pada perlakuan naungan 9 dan 18 hari baik pada genotipe toleran Jatiluhur maupun genotipe peka Kalimutu.
Penurunan konsentrasi nitrogen daun berkaitan
dengan penggunaan nitrogen untuk tetap melakukan aktivitas fotosintesis. Hirose dan Werger (1987) menyatakan bahwa sejumlah nitrogen dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun. nitrogen
daun
pada
kanopi
Karena itu diduga terjadi gradien
menggambarkan
cara
tanaman
untuk
memaksimalkan asimilasi karbon melalui kanopi.
Lama Naungan (Hari)
Jatiluhur
Kalim utu
18
9
3 0
0.5
1
1.5
Kons. N Terlarut (m g/g)
Gambar 10. Konsentrasi nitrogen terlarut pada uji
Menurut Gastal and Lemaire (2002) terjadi gradien atau penurunan pada kandungan nitrogen daun termasuk nitrogen terlarut dan protein-N terlarut yang mengindikasikan daya adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya selama pertumbuhan daun dan kapasitas mobilisasi nitrogen yang berhubungan ke perubahan
lingkungan
terutama
cahaya.
Sinclair
dan
Horie
(1989)
mengemukakan bahwa secara umum nitrogen mempengaruhi pertumbuhan tanaman terkait pada keduanya yaitu mempengaruhi perkembangan tanaman melalui pengaruhnya pada aktivitas fotosintesis daun dan mempengaruhi pertumbuhan daun melalui pembentukan jaringan daun baru agar supaya meningkatkan luas daun.
52
SIMPULAN
1. Karakter agronomi dan morfofisiologi tanaman padi gogo mengalami perubahan baik pada genotipe toleran maupun peka. Pada genotipe toleran terjadi peningkatan tinggi tanaman dan panjang malai lebih besar dari genotipe peka.
Sebaliknya pada jumlah daun, jumlah anakan
maksimum dan jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah hampa dan bobot gabah kering giling mengalami
penurunan
yang
lebih
besar
pada
genotipe
peka
dibandingkan dengan genotipe toleran. 2. Perubahan karakter agronomi dan morfofisiologi
tanaman padi gogo
berimplikasi pada ketidakkonsistennya kedua galur;
TB 177 E-28-B-3
(nomor galur 2) kelompok genotipe toleran dan TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) kelompok galur peka. 3. Perlakuan naungan 50 % meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun baik genotipe toleran maupun genotipe peka terutama pada genotipe toleran naungan lebih besar dibandingkan genotipe peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji. Sebaliknya N terlarut, protein N terlarut dan N terlarut TCA mengalami penurunan pada kedua genotipe. Perlakuan naungan 50% pada Uji Cepat 9 dan 18 hari menyebabkan penurunan konsentrasi total nitrogen daun dan nitrogen terlarut baik pada genotipe toleran maupun genotipe peka. 4. Toleransi tanaman padi gogo terhadap naungan secara morfofisiologi ditentukan oleh tingginya kandungan total N dan rendahnya N terlarut pada daun tanaman. Peningkatan ini diindikasi sebagai suatu bentuk mekanisme adaptasi tanaman terhadap naungan.
STUDY ON SPECIFIC PROTEIN CHARACTERIZATION OF TOLERANT AND SENSITIVE UPLAND RICE ABSTRACT The experiment was aimed to identify photosinthetical protein of tolerant and sensitive upland rice. It was arranged in a completely randomized design with two level factors in three replications. The first factor was shading levels (0% and 50%), and the second factor was genotype/varieties (tolerance = Jatiluhur and sensitive = Kalimutu) planted in polybags. The results showed the tolerant upland rice (Jatiluhur) under 50% of shading had a higher decrease of total protein and chloroplast protein leaf compared with the intolerance (Kalimutu) in active vegetative and grain filled phases, although the consentration mean of the tolerant genotype was still higher than the sensitive genotype. Whereas, there was lower increase in leaf membrane thylakoid protein of the tolerant genotype than the sensitive genotype either in active vegetative or grain filled phases. According to path analysis on 50% shading for 3,9 and 19 days, the tolerant genotype had more decrease in thylakoid membrane protein consentrantion than the intolerance. The specific protein analysis on tolerant upland rice under shading showed gradation in chloroplast protein band tickness at molecule weight of 64 kDa, as known as polyphenol oxidization, the 55 kDa protein was coded by rbc L gene as known as a large sub-unit Rubisco enzyme (Rubisco-L), the 33 kDa protein was coded by psb O gene as a protein complex OEC1 (Oxygen-Evolving Complex), and the 18 kDa protein coded by psb Q gene. In addition, there were also gradations in thylakoid membrane protein at molecule weight of 31, coded by psb A, 23 kDa protein was coded by psb Q and 20 kDa protein produced by Lhcb6 gene as known as CP 24 protein, that is pigmentprotein light harvesting complex in photo system II (LHC-II). Keywords: protein, chloroplast, thylakoid membrane, upland rice
54
STUDI KARAKTERISASI PROTEIN SPESIFIK PADA PADI GOGO TOLERAN DAN PEKA NAUNGAN ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter protein fotosintetik padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dalam pola faktorial diulang tiga kali. Faktor pertama adalah naungan terdiri atas 2 taraf yaitu naungan; 0 % dan 50 % sedang faktor kedua adalah varieas terdiri atas genotipe/varietas toleran (Jatiluhur) dan peka naungan (Kalimutu) yang ditanam pada polybag. Hasil penelitian menunjukkan naungan 50 % pada padi gogo genotipe toleran mengalami penurunan konsentrasi protein total dan protein kloroplas lebih tinggi dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada fase vegetatif aktif dan fase pengisian biji, meskipun konsentrasi rata-rata genotipe toleran Jatiluhur masih lebih tinggi daripada genotipe peka Kalimutu. Sementara itu, peningkatan protein membran tilakoid pada genotipe toleran lebih rendah dari pada genotipe peka, baik pada fase vegtatif aktif maupun pengisian biji. Uji cepat pada naungan 50% selama 3, 9 dan 18 hari pada genotipe toleran mengalami penurunan konsentrasi protein membran tilakoid, namun penurunannya lebih rendah dari genotipe peka. Analisis protein spesifik pada padi gogo toleran yang dinaungi menunjukkan penurunan ketebalan pita protein kloroplas (pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, protein 55 kDa dikode oleh gen rbc L sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L), protein membran ekstrinsik 33 kDa dikode gen psb O dan 18 kDa dikode gen psb Q.), selain itu terjadi penurunan ketebalan pita protein pada membran tilakoid (pada bobot molekul 31 kDa dikode gen psb A, 23 kDa dikode gen psb Q dan protein 20 kDa merupakan produk gen Lhcb6 dikenal sebagai protein CP 24 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II atau LHC-II-b ). Kata kunci: protein, kloroplas, membran tilakoid, padi gogo
55
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanaman memanen energi cahaya pada spektrum tampak (400-700nm) dan mengubahnya ke dalam energi kimia (ATP) dan mereduksi (NADP) dalam proses fotosintesis. Energi cahaya yang ditangkap oleh klorofil yang terikat ke kompleks protein pemanen cahaya dan ditransfer kepusat reaksi pigmen P680 dan P700 pada fotosistem II (PS II) dan fotosistem I (PS I). Fotosintesis berada dalam organel semi-autonom kloroplas komponen yang terlibat dalam kedua kompartemen, larutan (stroma) dan membran (tilakoid).
Kehadiran membran
tilakoid yang tersusun dari wilayah appressed (bagian grana) dan interkoneksi non-appressed (stroma lamela) disekeliling lumen tilakoid (Hall dan Rao 1994). Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar yang disebabkan oleh pengurangan jumlah lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 1991; Chozin et al. 2000; Sopandie et al. 2003a). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan terjadi pengurangan jumlah lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibandingkan dengan genotipe peka yang menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a). Tanaman ternaungi mengandung 4-5 kali klorofil a dan klorofil b per unit volume kloroplas dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih tinggi sebab kompleks pemanen cahaya (LHC) meningkat (Lawlor 1987). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo dibanding gentotipe yang peka (Sulistyono et al. 1999; Chozin et al. 2000; Sopandie et al. 2003b; Lautt 2003) Kondisi serup juga terjadi pada tanaman kedelai (Khumaida 2002; Khumaida et al. 2003; Sopandie et al. 2003a; Tyas 2006; Jufri 2006).
Penelitian lain melaporkan bahwa
intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b (Hidema et al. 1992). Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada kompleks pemanen cahaya IIb. Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan fotosistem I dan fotosistem II menurun tetapi nisbah antena klorofil ke pusat reaksi sedikit lebih besar dibandingkan
pertumbuhan
pada
tanaman
intensitas
menggambakan bahwa pada tanaman yang ternaungi
yang
tinggi.
Ini
akan meningkatkan
kapasitas penangkapan cahaya dan transfer energi ke pusat reaksi.
Karena
56 tanaman ternaungi memiliki perangkat pemanen cahaya lebih besar tetapi pelengkap pembawa elektron lebih kecil dibandingkan tanaman yang tidak ternaungi (Allen dan Pfannschmidt 2000). Tanaman yang ternaungi menyebabkan laju transpor elektron terbatas melalui jumlah foton yang jatuh pada daun. Kondisi ini tidak menguntungkan tanaman ternaungi untuk menghasilkan kapasitas yang besar pada rantai transpor elektron serta pool plastoquinon menerima elektron dari pusat reksi PS II. Namun demikian, sistim absorbsi cahaya yang dimiliki tanaman ternaungi sangat efektif dalam pengumpulan cahaya yang tersedia dan melewati dengan cepat ke pusat reaksi pada cahaya rendah (Lawlor 1987). menunjukkan
Penelitian lain
untuk mencapai toleransi yang tinggi pada genotipe toleran
tanaman kedelai Ceneng terhadap intensitas cahaya rendah yaitu dengan cara meningkatkan laju transpor elektron dan laju fotosintesis, mempertahankan aktivitas enzim fotosintetik rubisco dan SPS (sukrosa fosfat sintase).
(La
Muhuria, 2007) Kloroplas tanaman ternaungi biasanya jumlahnya sedikit pada sel mesofil dan tersusun dekat permukaan daun bagian atas walaupun sel pada mesofil lebih rendah dan sering memiliki klorofil lebih sedikit per unit luas daun. Grana sering tidak tetap orientasinya yang mungkin meningkatkan penangkapan cahaya difus/sebar atau orientasi cahaya berubah-ubah. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1995). Tanaman Gusmania monostachia yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah (50 µmol m-2 s-1) menghasilkan kloroplas per sel, volume kloroplas, kloroplas pada bidang cross-sectional, volume tilakoid dan jumlah tumpukan per granum lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh pada cahaya tinggi (650 µmol m-2 s-1) (Maxwell et al. 1999). Gambaran diatas menunjukkan untuk mengenali mekanisme adaptasi tanaman terhadap cahaya rendah diperlukan informasi tentang karakter protein fotosintetik spesifik.
Protein spesifik ini diduga terinduksi oleh adanya cahaya
rendah yang kemungkinan terkait dengan mekanisme adaptasi terhadap cahaya rendah.
57
Tujuan Percobaan
ini
bertujuan
untuk
mengidentifikasi
karakter
protein
fotosintetik padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan.
BAHAN DAN METODE
Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah dua genotipe/varietas standar toleran dan peka naungan yaitu varietas Jatiluhur (toleran naungan)
dan varietas Kalimutu (peka naungan).
Bahan tanaman
diperoleh dari tanaman naungan paranet 50% yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Bogor, bulan Juli 1998 hingga Oktober 1998. Tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tanpa naungan (0%) dan kondisi naungan paranet (50%). Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam pola faktorial, dengan 3 ulangan. Faktor pertama terdiri atas 2 taraf naungan ; 0 % dan 50 %, sedang faktor kedua adalah dua varietas pada dua fase pertumbuhan sehingga kombinasi perlakuan terdapat 12 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan menggunakan 12 polybag.
Analisis protein fotosintetik Karakter yang diamati untuk identifikasi protein fotosintetik meliputi: kandungan total protein daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid. Pengukuran kandungan total protein daun, protein kloroplas, dan membran tilakoid dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976).
Prosedur
disajikan pada Lampiran 28. Pengukuran total protein daun, dilakukan di laboratorium biokimia MIPAIPB, isolasi protein kloroplas dan isolasi protein membran tilakoid dilakukan di laboratorium PSPT, laboratorium HPT dan laboratorium BALITVET.
Persiapan Sampel.
Sampel yang dibutuhkan untuk isolasi protein total daun,
protein kloroplas dan protein membran tilakoid, diambil dari daun padi yang sudah berkembang penuh daun ke tiga dari atas, yang diperoleh dari 2 genotipe/varietas yang toleran dan peka masing-masing diambil pada perlakuan tanpa naungan (0 %) dan naungan 50 %. Pengambilan sampel pada saat pukul 10.00-11.00 pagi, dan pengambilan sampel dilakukan pada dua fase yaitu pada
58 fase vegetatif aktif (45 hari setelah tanam) dan pengambilan sampel pada fase pengisian biji, disesuaikan dengan umur stadia pengisian biji masing-masing genotipe (75 HST untuk Jatiluhur dan 65 HST untuk Kalimutu). Pengambilan sampel untuk kebutuhan pengujian singkat/ uji cepat (short term) (3, 9 dan18 hari dinaungi) diperoleh dari fase vegetatif yaitu tanaman padi selama kurang lebih 40 hari ditumbuhkan pada kondisi tanpa naungan, kemudian semua tanaman untuk kebutuhan analisis ditempatkan pada kondisi naungan 50%.
Pengambilan
sampel disesuaikan dengan perlakuan 3, 9 dan 18 hari setelah dinaungi. Isolasi Total Protein Daun . Sampel daun padi (kurang lebih 3 g berat basah) digerus di dalam mortar dengan bantuan nitrogen cair kemudian ditambahkan buffer ekstraksi (100 mM Tris-HCl pH 7.4, 4 mM EDTA, 10 mM
β-
merkaptoetanol, 1 mM PMS, 1mM PVP, 1mM DTT) dengan perbandingan 1 : 2. Sampel disentrifus dengan kecepatan 20.000 g selama 30 menit. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ketabung eppendorf dan disimpan dalam suhu 40 C sampai analisis selanjutnya. Isolasi Protein Kloroplas. Isolasi protein kloroplas daun padi dilakukan dengan menggunakan metode Kin-Ying et al, (1996). Sampel daun padi (kurang lebih 3 g berat segar) dihomogenasi dengan menggunakan buffer ekstraksi (50 mM HEPES, pH 8.0, 1 mM MgCl2, 1 mM MnCl2, 2 mM EDTA, 330 mM Sorbitol, 5 mM Sodium askobat)
dengan perbandingan 1 : 5.
Sampel difiltrasi dengan
menggunakan dua lapis Miracloth. Filtrat disentrifus dengan kecepatan 22.000 g selama 30 menit pada suhu 4 0C. Pelet (kloroplas) yang terkumpul selanjutnya dilisis dan diekstrak dengan buffer garam tinggi yang mengandung (20 mM HEPES pH. 8.0, 5 mM MgCl2, 1mM EDTA, 1mM DTT, 1mM PMSF, 1mM Benzanidin, 5mM ε- amino- n- caproic acid, 1 mM NaCl, 15 % gliserol). Presipitasi dilakukan dengan penambahan amonium sulfat selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 22.000 g selama 30 menit pada suhu 4 0C.
Pelet yang
didapatkan disuspensi dengan aquades, kemudian dilisis dengan buffer yang mengandung 50 mM Sodium pospat pH 6.8, 0.2 mM EDTA, 0.5 mM PMSF, 0.5 mM DTT dan 10 % Gliserol. Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 22.000 g selama 30 menit pada suhu 4 0C. Kloroplas dikumpulkan dan disimpan dalam suhu -80 0C sampai analisis selanjutnya.
59
Isolasi Protein Membran Tilakoid.
Isolasi protein membran tilakoid daun padi
dilakukan dengan menggunakan metode Shinohara dan Akino (1996). Sampel 10 g digerus dengan bantuan nitrogen cair, selanjutnya dihomogenasi dengan 50 ml buffer A yaitu 50 mM HEPES-KOH (pH 7.6), 10 mM EDTA dan 10 % (w/v) PEG-4000. Filtrasi dilakukan dengan menggunakan 2 lapis miracloth dilakukan 2 kali. Debris disuspensi dalam buffer yang sama, kemudian dihomogenasi dan difiltrasi. Filtrat kemudian disentrifus dengan kecepatan 20. 000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Pelet disuspensi dalam 5 ml bufer buffer B yaitu 50 mM HEPES-KOH (pH 7.6) dan 10 mM EDTA. Suspensi dibagi 3 lapisan dalam 3 tahap gradien (8 ml pada 2 M sukrosa, 1.5 ml pada 1.3 M sukrosa dan 8 ml pada 0.4 M sukrosa) dalam bufer (B) kemudian disentrifus pada kecepatan 80.000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Membran tilakoid dikumpulkan dari lapisan antara batas larutan sukrosa 1.3 M dan 2 M sukrosa. Membran tilakoid yang didapatkan kemudian diencerkan 6 kali dengan aquades dan disentrifus dengan kecepatan 20.000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Pelet (membran tilakoid) dikumpulkan dan disimpan pada suhu - 80 0C untuk analisis selanjutnya.
Analisis Pemisahan Protein.
Pemisahan protein kloroplas, membran tilakoid
dan protein membran tilakoid pada uji cepat dilakukan dengan menggunakan Elektroforesis SDS-PAGE. Prosedur kerja disajikan pada Lampiran 28. Analisis data. Data kandungan total protein daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid dianalalisis dengan menggunakan prosedur Anova, dilanjutkan dengan Uji t pada taraf uji 5 %. Hasil analisis disajikan sebagian dalam bentuk Tabel, Grafik dan Histogram serta bentuk Gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Protein Daun Kondisi naungan 50 % menyebabkan menurunnya konsentrasi protein total daun baik pada genotipe toleran naungan Jatiluhur maupun genotipe peka naungan Kalimutu (Tabel 5).
Nampak pada Tabel 5 rata-rata konsentrasi total
protein daun pada genotipe toleran Jatiluhur lebih rendah bila dibandingkan dengan genotipe peka Kalimutu baik pada kondisi tanpa naungan maupun pada naungan 50%, namun secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
60 Penurunan konsentrasi protein total lebih tinggi pada varietas Jatiluhur sebesar 23.03 % dibandingkan dengan varietas Kalimutu (7.03%) pada kondisi naungan 50% pada fase vegetatif aktif.
Demikian pula pada fase pengisian biji
penurunan lebih besar terjadi pada varietas Jatiluhur (20.92%) dibandingkan dengan Kalimutu (6.16 %). Tabel 5. Konsentrasi total protein daun (μg g-1) pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0 % dan 50 % Naungan
Genotipe
NR (%)
0%
50%
Jatiluhur
424.36 a
326.61 a
76.97
Kalimutu
518.65 a
482.19 a
92.97
Vegetatif
Pengisisan Biji Jatiluhur
279.56 c
221.09 c
79.08
Kalimutu
217.02 c
203.65 c
93.84
Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom pada fase yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5 %. NR = Nilai Relatif (persen kontrol).
Penurunan konsentrasi protein total daun diduga berkaitan dengan terganggunya sintesis protein yang bertanggung jawab terhadap proses fotontesis.
Terganggunya sintesis protein tersebut, terkait dengan tingginya
konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe toleran bila dibandingkan dengan genotipe peka pada kondisi naungan 50% pada fase vegetatif aktif (Lampiran 12). Hal ini sesuai dengan pernyataan Murty dan Sahu (1987) bahwa terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan, erat kaitannya dengan peningkatan nitrogen terlarut dan protein-N terlarut. Telah dilaporkan Evans (1988) bahwa terjadi penurunan protein terlarut dan tingkat Rubisco di daun akibat naungan.
Jumlah total protein terlarut
berkurang oleh naungan, untuk daun tanpa naungan sebesar 4.7 g m daun dinaungi sebesar 3.5 g m
-2
.
-2
dan
61
Protein Kloroplas Rata-rata konsentrasi perotein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur 430.66 μg g-1 lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 414.65 μg μg g-1 pada kondisi tanpa naungan, tetapi secara statistik konsentrasi protein kloroplas tidak berbeda nyata antara genotipe toleran dan peka. Demikian pula pada kondisi naungan 50% konsentrasi perotein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur 413.05 μg/g lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 409.85 μg/g (Tabel 6). Tabel 6. Konsentrasi protein kloroplas (μg g-1) pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0 % dan 50 % Tingkat Naungan (%)
NR (%)
0%
50%
Jatiluhur
430.66 a
413.05 a
95.91
Kalimutu
414.65 a
409.85 a
98.84
Jatiluhur
443.47 c
409.05 c
92.24
Kalimutu
422.66 c
415.07 c
98.20
Genotipe Vegetatif
Pengisian Biji
Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom pada fase yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5 %. NR = Nilai Relatif (persen kontrol).
Perlakuan naungan 50% menurunkan konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur
dan genotipe peka Kalimutu dengan derajat yang
relatif sama pada fase vegetatif aktif.
Sedangkan pada fase pengisian biji,
Jatiluhur mengalami penurunan konsentrasi protein kloroplas yang lebih besar dibandingkan Kalimutu nampak pada nilai relatif. Penurunan konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran naungan kemungkinan sebagai akibat aklimatisasi tanaman terhadap cahaya rendah sehingga terjadi perubahan komposisi kloroplas yang diindikasikan oleh menurunnya konsentrasi protein kloroplas. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan laju fotosintesis maksimum tanaman lebih rendah pada intensitas cahaya rendah dibandingkan dengan laju fotosintesis maksimum pada intensitas cahaya tinggi. Konsentrasi perotein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur 413.05 μg g
-1
lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 409.85 μg g-1 pada kondisi
62 naungan 50% lebih tingginya konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran, diduga merupakan suatu bentuk mekanisme adaptasi sebagai respon spesifik terhadap kondisi defisit cahaya. Hal ini didukung oleh pernyataan (Bjorkman 1981; Anderson 1986; Anderson et al. 1988, 1996) bahwa adaptasi tanaman tingkat tinggi terhadap perbedaan cahaya memerlukan spesifikasi tanaman pada struktur daun dan komposisi kloroplas.
Protein Membran Tilakoid Konsentrasi protein membran tilakoid pada fase vegetatif aktif, genotipe toleran Jatiluhur maupun peka Kalimutu mengalami perubahan pada naungan 50% (Tabel 7). Tabel 7. Konsentrasi protein membran tilakoid (μg g-1) padi genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0 % dan 50 % Tingkat Naungan (%) 0%
50%
NR (%)
Jatiluhur
0.2081 a
0.2197 a
105.59
Kalimutu
0.1666 b
0.2002 b
120.20
Jatiluhur
0.1501 c
0.2792 c
186.01
Kalimutu
0.1514 d
0.2499 d
165.09
Genotipe Vegetatif
Pengisian Biji
Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom pada fase yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5 %. NR = Nilai Relatif (persen kontrol).
Genotipe toleran Jatiluhur mengalami peningkatan konsentrasi protein tilakoid akan tetapi genotipe peka Kalimutu mengalami peningkatan dengan derajat yang lebih besar. Peningkatan yang sama terjadi pada genotipe peka Kalimutu pada fase pengisian biji namun untuk genotipe toleran Jatiluhur mengalami peningkatan dengan sangat drastis dan secara statistik protein tilakoid berbeda nyata antara genotipe toleran dan peka baik pada kondisi tanpa naungan maupun pada naungan 50%. Pada kondisi tanpa naungan, rata-rata konsentrasi perotein tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur 0.2081 μg g-1 lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 0.1666 μg g-1. Demikian pula pada kondisi naungan 50%, konsentrasi
63 perotein tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur 0.2197 μg/g lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 0.2002 μg/g. Peningkatan konsentrasi perotein tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur terkait dengan aklimatisasi tanaman terhadap cahaya rendah diduga mempunyai peranan yang penting dalam memaksimalkan penangkapan cahaya. Dalam hal ini genotipe toleran Jatiluhur membutuhkan peningkatan protein tilakoid yang lebih besar untuk dapat beradaptasi pada kondisi defisit cahaya dibandingkan genotipe peka Kalimutu. Hal ini telah diteliti dengan baik oleh Maxwell et al. (1999) bahwa aklimatisasi fotosintesis tanaman cenderung rasionalis dalam cara tanaman mengoptimalisasi efisiensi fotosintetik pada kondisi cahaya berbeda; yaitu memaksimalkan penangkapan cahaya pada kondisi cahaya rendah dan memaksimalkan kapasitas fotosintetik pada kondisi cahaya tinggi.
Lama Naungan (Hari)
Jatiluhur
Kalim utu
18
9
3 0
0.2
0.4
0.6
Kons. Prot.Tilakoid (Ug/g)
Gambar 11. Konsentrasi protein membran tilakoid padi genotipe toleran jatiluhur dan peka kalimutu pada uji cepat. Perlakuan defisit cahaya (naungan) pada periode yang lama (long term), berbeda dengan uji cepat, perlakuan defisit cahaya pada 3, 9 dan 18 hari naungan (short term) menurunkan konsentrasi protein tilakoid secara drastis, terutama pada genotipe peka Kalimutu dibandingkan dengan genotipe toleran Jatiluhur (Gambar 11).
Penurunan protein membran tilakoid pada uji cepat
menunjukkan bahwa optimalisasi tanaman pada kondisi defisit cahaya untuk memaksimalkan penangkapan cahaya fotosintesis belum optimal, sehingga
64 protein membran tilakoid rendah dan kemungkinan tanaman pada kondisi cahaya terbatas disertai oleh pengurangan secara paralel penangkapan energi eksitasi. Penurunan protein membran tilakoid yang lebih rendah pada genotipe toleran diduga merupakan suatu bentuk mekanisme untuk memelihara penggunaan cahaya fotosintetik pada kondisi cahaya terbatas agar dapat beradaptasi. Hal ini sejalan denghan pernyataan Maxwell et al. (1999) bahwa adaptasi tanaman terhadap lingkungan cahaya juga melibatkan perubahan fungsionil dan keseimbangan komposisi pada morfologi daun dan komposisi membran tilakoid dan enzim pelengkap.
Meskipun demikian, mekanisme
perubahan-perubahan tersebut masih belum jelas.
Pengaruh Naungan terhadap Komposisi Protein Fotosintetik Protein kloroplas dan protein membran tilakoid yang diisolasi dari daun tanaman padi genotipe toleran dan genotipe peka naungan dianalisis pada periode yang lama (fase vegetatif aktif dan fase pengisian biji).
Sedangkan
membran tilakoid selain perlakuan defisit cahaya pada periode lama juga dilakukan pada periode singkat/uji cepat pada 3, 9 dan 18 hari naungan (short term). Pola atau komposisi protein dianalisis dengan cara memurnikan protein kloroplas dan protein membran tilakoid melalui sentrifugasi gradien sukrosa (sucrose density gradient centrifugation) .
Pemurnian protein kloroplas melalui
sentrifugasi gradien sukrosa dengan komposisi gradien sukrosa yakni sejumlah 16 ml pada 60 % sukrosa untuk lapisan bawah dan 8 ml pada 30 % sukrosa untuk lapisan atas.
Dilakukan sentrifus pada kecepatan 22.000 g, pada suhu 4
0
C selama 30 menit. Untuk memperoleh protein membran tilakoid dilakukan pemurnian melalui
sentrifugasi gradien sukrosa dengan susunan sebagai berikut : sejumlah 8 ml pada konsentrasi 2 M sukrosa untuk lapisan pertama (bagian bawah), sejumlah 15 ml pada 1.3 M sukrosa pada lapisan kedua (tengah) dan 8 ml pada 0.4 M sukrosa pada lapisan ketiga (bagian atas).
Dilakukan sentrifus dengan
0
kecepatan 80.000 g, pada suhu 4 C selama 60 menit. Pengumpulan protein kloroplas dan membran tilakoid dilakukan dengan cara mengeluarkan lapisan hijau yang terbentuk pada lapisan tertentu dengan bantuan jarum suntikan. Protein kloroplas yang terkumpul berwarna hijau terletak antara lapisan batas
65 antara 30 % dan 60 % sukrosa.
Sedangkan protein membran tilakoid yang
terkumpul terletak antara lapisan 1.3 M dan 2 M sukrosa (Gambar 12).
Protein
yang terkumpul disimpan pada suhu -80 0C sampai analisis selanjutnya.
JL 0
JL 50
KM 0
KM 50
JL 0
Kloroplas
JL 50
KM 0
KM 50
Membran Tilakoid
Gambar 12. Profil kloroplas dan tilakoid daun padi pada gradien sukrosa berbeda. Keterangan: JL 0 = Jatiluhur naungan 0% KM 0 = Kalimutu naungan 0%
JL 50 = Jatiluhur naungan 50% KM 50 = Kalimutu naungan 50%
Analisis pemisahan protein dengan elektroforesis menggunakan metode menurut Andrews (1986) yang telah dimodifikasi.
Pemisahan protein dimulai
dari persiapan pereaksi: pembuatan larutan stock, Bahan A : Tris-HCl 1.5 M pH = 8.8; bahan B : sodium dodecyl sulfate - 10 %, bahan C : akrilamid/bis = 30 %T, 2.67 % C; bahan D : Ammonium Persulfat 10 %; bahan E : Tris - Hcl 0.5 M Ph 6.8; bahan F : Running Buffer (25 Mm Tris, 192 Mm Glycine, 0.1 % Sds, Ph = 8.3); bahan G : Larutan Pewarna (Staining); bahan H : Larutan Pencuci (Destaining); bahan I : Buffer Contoh; bahan J : Ammonium Sulfat 60 %; bahan K :
Sodium Dodecyl Sulfat 1 %.
Selanjutnya pembuatan media gel,
preparasi sampel, proses pemisahan (running elektroforesis), pewarnaan dan pencucian warna kemudian penetapan penanda protein. Estimasi bobot molekul (BM) dilakukan dengan cara mengukur jarak migrasi pita protein. Bobot molekul dari masing-masing protein monomer ditentukan dengan menghitung nilai Rf dari pita-pita protin yang tampak, lalu dibuat kurva standar Log BM terhadap nilai Rf pita protein standar (marker) untuk mengetahui bobot molekul dari sampel.
66
Analisis komposisi protein melalui SDS-PAGE, menunjukkan jumlah polypeptida yang diinduksi oleh perlakuan naungan pada genotipe toleran Jatiluhur lebih padat/tebal pada kondisi naungan 0% dibandingkan dengan kondisi naungan 50%.
Sebaliknya pada genotipe peka Kalimutu tidak
menunjukkan perbedaan kepadatan antara naungan 0% dan naungan 50% baik pada fase vegetatif maupun pada fase pengisian biji (Gambar 13).
4
5
6
7
Kalimutu 50 %
3
Kalimutu 0 %
2
Jatiluhur 50 %
Kalimutu 0 %
1
Jatiluhur 0 %
Jatiluhur 50 %
S
Fase Pengisian Biji
Kalimutu 50 %
Jatiluhur 0 %
(Da) 116400
Standar
Fase Vegetatif
8
85200 55600
64
k 39200
55
26600
20100
33 18
14300 Gambar 13. Komposisi protein kloroplas dua genotipe padi gogo pada dua perlakuan naungan dan dua fase pertumbuhan melalui SDS-PAGE
67
Hasil estimasi bobot molekul protein kloroplas dan membran tilakoid serta bobot molekul membran tilakoid pada uji cepat, yang ditentukan berdasarkan nilai Rf dari migrasi pita protein yang tampak dan hasil perhitungan kurva standar Log BM terhadap nilai Rf protein marker, disajikan pada Tabel 8, 9 dan 10.
Tabel 8. Estimasi bobot molekul protein kloroplas pada varietas toleran dan peka pada naungn 0 % dan 50% pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji Estimasi Bobot Molekul (kDa) Pita Ke-n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Vegetatif Aktif Jatiluhur
Pengisian Biji
Kalimutu
Jatiluhur
Kalimutu
0
50
0
50
0
50
0
50
98 80 64 55 49 42 36 33 20 18 15 14
98 80 64 55 49 42 36 33 20 18 15 14
98 78 65 55 44 41 35 33 19 18 15 14
98 78 63 54 44 41 35 33 19 18 15 14
78 64 57 52 35 19 18 14 0 0 0 0
78 64 0 52 0 0 0 0 0 0 0 0
80 65 57 52 0 0 19 0 0 0 0 0
80 65 61 57 54 52 19 0 0 0 0 0
Pada fase vegetatif aktif, pita protein kloroplas yang tampak dari hasil elektroforesis SDS-PAGE (Gambar 13) menunjukkan genotipe toleran Jatiluhur mengakumulasi 12 polypertida pada kondisi naungan 0 % (kontrol), dan mempunyai bobot molekul hasil estimasi dengan kisaran 14 kDa – 98 kDa (Tabel 8). Sementara pada kondisi naungan 50 %, akumulasi protein kloroplas tampak masih menunjukkan jumlah akumulasi polypeptida dan bobot molekul yang relatif sama dengan jumlah akumulasi polypeptida dan bobot molekul pada kondisi tanpa naungan. Meskipun demikian, perlakuan naungan 50% menyebabkan pita protein kloroplas genotipe toleran Jatiluhur mengalami perubahan, yakni terjadi penurunan (gradation) ketebalan pita menjadi lebih tipis, baik pada fase vegetatif aktif maupun fase pengisian biji, namun perubahan ini tidak terjadi pada genotipe peka Kalimutu.
Ketebalan pita protein yang mengalami penurunan tersebut
kemungkinan berhubungan erat dengan konsentrasi protein kloroplas yang menurun pada kondisi naungan (Tabel 6), yang diduga sebagai bentuk aklimatisasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah, yang terkait dengan
68
terjadinya perubahan komposisi kloroplas tanaman dalam merespon perubahan kondisi cahaya, untuk memaksimalkan intersepsi cahaya bila cahaya terbatas. Namun dalam hal ini optimalisasi tanaman belum mencapai maksimal, yang diindikasikan oleh terjadinya penurunan ketebalan pita protein kloroplas tersebut. Pada genotipe peka Kalimutu, perlakuan naungan tidak mempengaruhi jumlah akumulasi polypeptida yang tampak, baik pada kondisi tanpa naungan (0%) maupun pada kondisi naungan 50 %.
Demikian pula dengan ketebalan pita
protein tidak berbeda antara kondisi 0% dan 50%,
baik
fase vegetatif aktif
maupun fase pengisian biji. Hal ini diduga, kemungkinan genotipe peka tidak responsif terhadap perubahan kondisi cahaya. Induksi naungan pada genotipe toleran Jatiluhur terhadap pola pita protein kloroplas menunjukkan terjadiya penurunan ketebalan pita protein sebanyak
4 pita, sebaliknya tidak terjadi penurunan pada genotipe peka
Kalimutu. Keempat pita yang mengalami penurunan terjadi pada bobot molekul 64 kDa, diikuti bobot molekul 55 kDa, 33 kDa dan bobot molekul 18 kDa. Beberapa pita protein genotipe toleran Jatiluhur yang mengalami penurunan ketebalan pada kondisi naungan 50% menunjukkan pita semakin tipis, baik pada fase vegetatif aktif bahkan menghilang sama sekali pada fase pengisian biji.
Penurunan pita protein tersebut sejalan dengan kondisi
konsentrasi protein kloroplas yang menurun pada kondisi naungan 50% yang diduga sebagai bentuk aklimatisasi tanaman terhadap kondisi defisit cahaya. Pita protein kloroplas dengan bobot molekul tertentu yang mengalami penurunan pada Gambar 13, merupakan protein yang bertanggung jawab dalam proses fotosintesis seperti halnya pada bobot molekul 64 kDa termasuk protein kloroplas yang mempunyai fungsi tertentu dalam meregulasi mekanisme fotosintesis, yang diidentifikasi sebagai polyfenol oksidase. Protein 55 kDa yang dikenal sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L), dikode oleh gen rbc L yang berperan dalam fiksasi CO2,
dan protein membran ekstrinsik 33 kDa
merupakan kompleks protein pada fotosistem II yang terlibat dalam proses fotolisa air.
Protein membran ekstrinsik 33 kDa ini dikode oleh gen psb O
merupakan kompleks protein evolusi-oksigen (Oksigen-Evolving Complex) OEC1 yang mempunyai fungsi sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air dan merupakan protein penstabilisasi mangan (Mn). Protein dengan bobot molekul 18 kDa juga merupakan kompleks protein membran ekstrinsik pada fotosistem II yang terlibat dalam proses fotolisa air, dan dikode oleh gen psb Q
69
adalah kompleks protein evolusi-oksigen OEC3 yang mempunyai fungsi sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air.
4
5
6
7
Kalimutu 50 %
3
Kalimutu 0 %
2
Jatiluhur 50 %
Kalimutu 0 %
1
Jatiluhur 0 %
Jatiluhur 50 %
S
Fase Pengisian Biji Kalimutu 50 %
Jatiluhur 0 %
(Da)
Standar
Fase Vegetatif
8
94000 67000 43000 30000
31
20100 23
14400
20
Gambar 14. Komposisi protein membran tilakoid dua genotipe padi gogo pada naungan 0% dan 50% melalui SDS-PAGE
Pita protein membran tilakoid yang tampak dari hasil elektroforesis SDSPAGE (Gambar 14) pada kondisi naungan 0 % menunjukkan genotipe toleran Jatiluhur pada fase vegetatif aktif mengakumulasi 7 polypertida dan mempunyai bobot molekul dari hasil estimasi berkisar 15 kDa – 63 kDa (Tabel 9).
70
Tabel 9. Estimasi bobot molekul protein tilakoid pada varietas toleran dan peka pada naungn 0 % dan 50% pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji Pita Ken 1 2 3 4 5 6 7
Estimasi Bobot Molekul (kDa) Vegetatif Aktif Jatiluhur
Kalimutu
Pengisian Biji
Jatiluhur
Kalimutu
0
50
0
50
0
50
0
50
63 55 31 23 20 17 15
63 55 31 23 19 18 15
63 53 31 23 19 17 15
61 53 31 24 18 17 15
64 56 32 25 0 0 15
64 56 32 25 0 0 15
64 56 32 25 0 0 15
64 56 32 25 0 0 15
Pada kondisi naungan 50 % tampak akumulasi membran tilakoid menunjukkan akumulasi polypeptida dengan jumlah yang sama sebanyak 7 dan mempunyai bobot molekul dengan derajat yang sama pada kondisi tanpa naungan. Pola pita protein membran tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur dan genotipe peka Kalimutu melalui SDS-PAGE pada Gambar 14, menunjukkan genotipe toleran Jatiluhur terjadi perubahan ketebalan pita protein menjadi lebih padat sebanyak 3 pita pada kondisi naungan 50%, perubahan yang terjadi sejalan dengan konsentrasi protein membran tilakoid genotipe toleran Jatiluhur meningkat pada kondisi naungan 50% (Tabel 7). Peningkatan kepadatan pita protein membran tilakoid pada genotipe toleran tersebut, terkait dengan aklimatisasi tanaman pada kondisi cahaya rendah, yang diduga merupakan suatu bentuk mekanisme tanaman untuk meningkatkan proporsi grana lebih besar, jumlah tumpukan tilakoid lebih banyak, dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi pada kompleks pemanen cahaya pada fotosistem II (LHC II), yang dalam hal ini diindikasikan dengan konsentrasi protein membran tilakoid genotipe toleran Jatiluhur lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka Kalimutu. Pita protein membran tilakoid yang mengalami perubahan berturut-turut terjadi pada bobot molekul 31 kDa, 23 kDa, dan bobot molekul 20 kDa. Protein yang mengalami perubahan tersebut merupakan protein-pigmen yang terikat pada antena yang terlibat dalam pemanen cahaya. Protein membran tilakoid genotipe toleran Jatiluhur yang mengalami perubahan pada Gambar 13 adalah protein dengan bobot molekul 31 kDa dikenal sebagai protein membran instrinsik komponen dari fotosistem II yang dikode oleh gen psb A, protein sub unit pusat reaksi, mengikat cofaktor oksidasireduksi (redoks), sedangkan protein dengan bobot molekul 23 kDa adalah
71
termasuk kompleks protein membran ekstrinsik pada fotosistem II yang terlibat dalam proses fotolisa air, dikode oleh gen psb Q
adalah kompleks protein
evolusi-oksigen OEC2 mempunyai fungsi sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air. Protein dengan bobot molekul 20 kDa dikenal sebagai protein CP 24 merupakan produk gen Lhcb6 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II (LHC-II ) dalam membran tilakoid. Protein membran tilakoid yang mengalami penurunan pada uji cepat juga protein membran ekstrinsik 33 kDa disajikan pada Gambar 15.
2
3
4
5
Kalimutu
Jatiluhur
18 Hari Kalimutu
1
Jatiluhur
S
9 Hari Kalimutu
Jatiluhur
(Da)
Standar
3 Hari
6
94000
67000 43000
30000 33 20100
14400 Gambar 15. Komposisi protein membran tilakoid uji cepat dua genotipe padi gogo pada 3, 9 dan 18 hari naungan melalui SDS-PAGE Pita protein membran tilakoid yang tampak pada uji cepat dari hasil elektroforesis SDS-PAGE pada Gambar 14, menunjukkan jumlah akumulasi
72
polypertida yang sama (5 pita) pada perlakuan 3, dan 9 serta 18 hari naungan dan mempunyai bobot molekul hasil estimasi dengan derajat yang sama berkisar 25 kDa – 62 kDa (Tabel 10). Meskipun demikian, pada kondisi naungan 50%, tampak pita protein membran tilakoid genotipe toleran Jatiluhur menunjukkan ketebalan pita lebih tipis dibandingkan dengan genotipe peka Kalimutu pada perlakuan 3 dan 18 hari naungan, namun pada perlakuan
9 hari naungan,
menunjukkan ketebalan pita protein membran tilakoid relatif sama antara genotipe toleran Jatiluhur dan genotipe peka Kalimutu.
Tabel 10. Estimasi bobot molekul protein tilakoid pada "uji cepat" varietas toleran dan peka pada naungan 50% pada fase vegetatif aktif Pita Ken 1 2 3 4 5
Estimasi Bobot Molekul (kDa) 3 Hari Jatiluhur Kalimutu 62 63 55 55 45 46 35 33 25 25
9 Hari Jatiluhur Kalimutu 62 62 54 55 44 45 33 34 25 25
18 Hari Jatiluhur Kalimutu 62 62 55 55 0 0 34 34 25 25
Induksi naungan pada genotipe toleran Jatiluhur terhadap pola pita protein membran tilakoid pada uji cepat, menunjukkan adanya penurunan kepadatan pita protein pada bobot molekul 33 kDa. Kepadatan pita protein pada kondisi 3 hari naungan mengalami penurunan lebih tinggi nampak lebih tipis dibandingkan dengan kondisi 9 dan 18 hari naungan.
Hal ini menunjukkan
tanaman belum dapat beradaptasi pada kondisi awal kekurangan cahaya, dan hal ini diduga terkait dengan kemampuan tanaman untuk mengoptimalisasi pemanenan cahaya belum mencapai maksimal. Sedangkan pada kondisi 9 dan 18 hari naungan, nampak kepadatan pita protein relatif sama pada genotipe toleran Jatiluhur dan peka Kalimutu.
Diduga pada kondisi tersebut, tanaman
sudah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi kekurangan cahaya, dan kemungkinan dalam upaya meningkatkan pemanenan cahaya telah mencapai kondisi steady state pada perlakuan naungan 9 hari.
Hal ini ditunjukkan oleh
peningkatan kepadatan pita protein genotipe toleran Jatiluhur pada perlakuan 9 hari naungan.
Penyesuaian tanaman pada kondisi 9 hari tersebut, sejalan
dengan pernyataan Levitt (1980) bahwa waktu yang dibutuhkan tanaman untuk dapat beradaptasi terhadap stres cahaya sekitar 8 hari.
73
Terjadinya penurunan ketebalan pita protein yang ditunjukkan oleh protein kloroplas dan membran tilakoid mengindikasikan tanaman melakukan aklimatisasi terhadap perubahan kondisi cahaya yang rendah, dengan cara tanaman mengoptimalisasi penangkapan cahaya agar dapat meningkatkan laju fotosintesis.
Disamping itu, tanaman melakukan perubahan dalam komposisi
protein kloroplas dan membran tilakoid diduga mempertahankan fungsi-fungsi mereka yang terganggu, sehingga dapat berjalan secara optimal. Tyas (2006), melaporkan bahwa bentuk kloroplas kedelai genotipe toleran Ceneng mengalami perubahan cenderung cembung pada kondisi cahaya 50% yang berbeda dengan kondisi cahaya normal (100%) yang memiliki bentuk kloroplas memanjang. Demikian pula kompak grana lebih banyak ditemukan pada cahaya 50 % dibandingkan cahaya 100%.
Hal tersebut diduga agar dapat memperluas
penangkapan cahaya dari berbagai sisi. Sebagian besar protein-protein yang mengalami penurunan kepadatan (densitas) pita setelah perlakuan naungan 50 % merupakan protein-pigmen yang terlibat dalam proses fotosintesis. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Khumaida (2003) bahwa ekspresi gen Rubisco sub unit besar (rbcL) dan gen Rubisco aktivase (rca) pada kondisi naungan 50 % menurun pada genotipe toleran Jatiluhur bila dibandingkan pada kondisi cahaya penuh. Penurunan protein yang terjadi pada tanaman yang ternaungi, kemungkinan sebagai bentuk usaha untuk memaksimalkan penangkapan cahaya,
dan
kemungkinan pula sebagai bentuk adaptasi fisiologi yang penting untuk mencegah kerusakan akibat kekurangan cahaya. Dengan demikian, tanaman dapat melakukan aktivitas metaboliknya secara optimal.
SIMPULAN Dari hasil analisis terhadap protein kloroplas dan protein membran tilakoid dapat disimpulkan bahwa : 1.
Perlakuan naungan 50 % pada padi gogo menyebabkan penurunan konsentrasi protein total daun dan protein kloroplas yang lebih tinggi pada genotipe toleran dibanding genotipe peka baik pada fase vegetatif aktif maupun pengisian biji. Secara kuantitatif konsentrasi protein total dan protein kloroplas baik pada naungan maupun tanpa naungan lebih tinggi pada genotipe toleran dibanding genotipe peka
74
2.
Perlakuan naungan 50 %, konsentrasi protein membran tilakoid meningkat. Peningkatan protein memban tilakoid pada genotipe toleran lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka baik pada fase vegetatif aktif maupun pengisian biji.
3.
Uji cepat perlakuan naungan 50 %, rata-rata konsentrasi protein membran tilakoid menurun, baik genotipe toleran maupun genotipe peka pada perlakuan 3, 9 dan 18 hari naungan.
4.
Penurunan ketebalan/gradasi pita protein kloroplas terjadi pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, 55 kDa dikode oleh gen rbc L sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L), protein membran ekstrinsik 33 kDa dikode gen psb O dan 18 kDa dikode gen psb Q. Pada membran tilakoid penurunan ketebalan pita protein terjadi pada bobot molekul 31 kDa dikode gen psb A, 23 kDa dikode gen psb Q dan protein 20 kDa merupakan produk gen Lhcb6 dikenal sebagai protein CP 24 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II (LHC-II-b ) dalam membran tilakoid.
Protein-protein yang teridentifikasi
tersebut pada hakikatnya berperan dalam proses fotosintesis khususnya berperan dalam rantai transpor elektron. 5.
Secara umum mekanisme adaptasi tanaman dari tinjauan fisologi menunjukkan
tanaman
padi
gogo
yang
dinaungi
menyebabkan
peningkatan protein kloroplas dan protein membran tilakoid genotipe toleran dan penurunan ketebalan pita protein kloroplas maupun pita protein membran tilakoid diindikasi sebagai bentuk mekanisme adaptasi naungan. Ini berarti secara fisiologi toleransi tanaman padi gogo terhadap naungan ditentukan oleh konsentrasi protein kloroplas dan membran tilakoid.
PEMBAHASAN UMUM Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya tanaman sela di area ternaungi adalah rendahnya intensitas cahaya yang mencapai tanaman yang berakibat pada menurunnya pertumbuhan dan produksi tanaman karena tanaman mengalami penurunan laju fotosintesis. Upaya mengatasi rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman di area ternaungi adalah dengan memilih varietas/galur yang toleran terhadap kondisi ternaungi (stres cahaya rendah) tersebut dan dapat berproduksi optimal. Pencapaian upaya mengatasi rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman pada kondisi suboptimal yang dalam hal ini kondisi defisit cahaya bukanlah suatu hal yang tidak mungkin sebab saat ini ketersediaan teknologi dan metode pemuliaan sangat mendukung dan progres pemuliaan sedapat mungkin dipercepat jika karakteristik morfologis, fisiologis maupun biokimia digunakan sebagai kriteria seleksi. Di dalam program perbaikan tanaman dibutuhkan karakter-karakter yang unggul dari galur yang akan digunakan sebagai sumber genetik dalam persilangan sehingga akan diperoleh galur tanaman yang sesuai dengan karakter yang diinginkan dan tentunya dengan potensi hasil tinggi. Dalam hal ini kemungkinan padi gogo yang toleran naungan dapat dijadikan salah satu karakter yang baik sebagai sumber genetik dalam mendukung program tersebut. Pemahaman mekanisme adaptasi padi gogo terhadap kondisi defisit cahaya selain dari aspek karakter morfologi dan agronomi juga dibutuhkan pemahaman dari aspek karakter fisiologi maupun biokimia terutama pada perangkat fotosintetiknya. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adaptasi tanaman padi gogo terhadap kondisi defisit cahaya berkaitan dengan karakter-karakter morfologi yang direfleksikan oleh luas daun yang lebih tinggi, ketebalan daun berkurang dan karakter fisiologi direfleksikan oleh peningkatan kandungan klorofil total, aktivitas Rubisco, aktivitas sukrosa fosfat sintase (SPS), aktivitas fosfogliserat kinase (PGK) tinggi pada genotipe toleran Jatiluhur (Chozin et al. 1999; Sopandie et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan pemberian naungan 50% menyebabkan karakter morfologi dan agronomi mengalami perubahan dan besarnya perubahan dari setiap karakter berbeda antar kelompok genotipe toleran dengan yang peka (Tabel 1).
Perubahan karakter tersebut diduga sebagai bentuk mekanisme
adaptasi genotipe toleran terhadap naungan.
76
Kemampuan tanaman dalam mengatasi stres cahaya rendah adalah tergantung kepada kemampuan tanaman dalam berfotosintesis secara normal pada kondisi cahaya rendah. Oleh karena itu perubahan karakter morfologi pada genotipe toleran naungan lebih mengarah pada pembentukan arsitektur daun beserta perangkatnya yang efisien dalam pemanenan cahaya, penggunaan energi eksitasi dan proses fotosintesis yang normal tetap berlangsung pada kondisi cahaya rendah.
Sementara perubahan karakter anatomi cenderung
meningkatkan kandungan klorofil a dan mempertahankan nisbah klorofil a/b yang lebih tinggi, menekan peningkatan klorofil b dan menurunkan tingkat ketebalan sel-sel mesofil, guna mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya dan penggunaan energi dari intensitas cahaya yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan pada naungan 50% genotipe toleran naungan memiliki jumlah anakan produktif dan jumlah gabah per malai lebih tinggi, persentase gabah hampa yang lebih rendah dan memiliki produksi relatif yang tinggi bila dibandingkan dengan genotipe peka naungan (Tabel 1). Hal ini didukung oleh hasil analisis sidik lintas (Gambar 16) yang memperlihatkan jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai dan persentase gabah hampa berpengaruh langsung terhadap produksi relatif (persen kontrol).
Keterangan :
Z4
X1 : Jumlah gabah per Malai
X1 0.76*
X2 : Persen gabah hampa X3 : Jum. anakan produktif
Z5
Z4: Jum. anakan maksimum Z5 : Panjang malai Z6 : Bobot 1000 butir Z7 : Jumlah daun
0.76*
0.53*
X2
Y Produksi Relatif
0.76*
-0.44
Z6
-0.93
X3 0.47*
Z7
Gambar 16. Diagram lintas karakter morfologi padi gogo pada naungan 50 %.
77
Hasil analisis sidik lintas menunjukkan karakter jumlah gabah per malai, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah daun berpengaruh positif terhadap produksi relatif (persen kontrol) padi gogo. Sebaliknya pada karakter persentase gabah hampa dan bobot 1000 butir berpengaruh negatif terhadap produksi relatif. Jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif berpengaruh sangat nyata terhadap produksi relatif dan kedua karakter tersebut mempunyai pengaruh total sama yaitu 0.76 **. Keadaan ini menjelaskan bahwa suatu genotipe tanaman membentuk jumlah anakan maksimum yang relatif tinggi mempunyai kemampuan menghasilkan anakan produktif (membentuk malai ) yang tinggi pula pada kondisi ternaungi. Persentase gabah hampa berpengaruh langsung negatif sangat nyata terhadap persentase produksi relatif dan pengaruh totalnya sebesar – 0.93 **. Hal ini menunjukkan bahwa persentase gabah hampa sangat berpengaruh terhadap penurunan produksi relatif padi gogo pada kondisi naungan 50 %. Dengan demikian dapat diartikan semakin tinggi persentase kehampaan akan mengakibatkan produksi relatif semakin rendah. Demikian pula dengan bobot 1000 butir pengaruhnya relatif kecil (- 0.44) terhadap penurunan produksi relatif. Karakter panjang malai berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui persentase gabah hampa. Kedua karakter panjang malai dan persentase gabah hampa menunjukkan korelasi negatif tetapi berkorelasi positif terhadap jumlah gabah per malai.
Keadaan ini menggambarkan semakin
panjang malai dapat meningkatkan jumlah gabah per malai dan dapat menurunkan persentase gabah hampa.
Sedangkan jumlah daun dan jumlah
anakan maksimum berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui jumlah anakan produktif.
Jumlah daun berkorelasi positif terhadap jumlah
anakan maksimum dan jumlah anakan maksimum berkorelasi positif terhadap jumlah anakan produktif. Hal ini menunjukkan jumlah daun yang tinggi dapat meningkatkan
jumlah
anakan
maksimum
meningkatkan jumlah anakan produktif.
dan
pada
gilirannya
dapat
Karakter bobot 1000 butir berpengaruh
tidak langsung terhadap produksi relatif melalui jumlah gabah per malai dan menunjukkan nilai korelasi negatif antara keduanya yang artinya jumlah gabah per malai yang tinggi dapat mengurangi bobot 1000 butir. Berdasarkan analisis sidik lintas pada Gambar 16 nampak karakter jumlah daun, bobot 1000 butir, panjang malai dan jumlah anakan maksimum berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif.
Hal ini mengindikasikan
78
bahwa karakter-karakter ini bukan merupakan karakter penentu produksi padi gogo.
Dengan demikian, karakter tanaman yang menjadi karakter penentu
produksi padi gogo adalah; jumlah gabah per malai, persen gabah hampa dan karakter jumlah anakan produktif. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa karakter-karakter tersebut memberi pengaruh langsung terhadap hasil produksi relatif padi gogo. Galur-galur tanaman padi gogo yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil evaluasi di bawah tegakan karet (pengelompokkan genotipe toleran, moderat dan peka).
Untuk melihat konsistensi toleransi galur–galur
tersebut pada naungan paranet (50 %) maka dilakukan evaluasi toleransi dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh 3 kelompok genotipe (toleran, moderat dan peka) yang masing-masing secara nyata dipisahkan oleh karakter tertentu (Gambar 4). Hasil Dendogram (Gambar 5) menunjukkan 7 galur/varietas yang konsisten toleran ditunjukkan oleh galur Jatiluhur (nomor galur 1), B 9266 F-PN7-MR-2-PN-4 (nomor galur 6), B 149 F-MR-7 (nomor galur 9), TB 13 G-TB-2 (nomor galur 8), ITA 247 (nomor galur 11), Dodokan (nomor galur 10), dan TB 165 E-TB-6 (nomor galur 7); dan terdapat 2 galur/varietas konsisten moderat yaitu S 382 B-2-2-3 (nomor galur 3) dan TB 177 E-30-B-3 (nomor galur 12) serta dua galur/varietas yang konsisten peka yakni Kalimutu (nomor galur 4) dan IRAT 379 (nomor galur 5).
Hasil analisis juga menunjukkan galur TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) yang tidak konsisten toleran dan galur TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) tidak konsisten peka. Perubahan atau peralihan ke dua galur tersebut ke kelompok genotipe moderat terutama disebabkan oleh karakter jumlah daun dan jumlah anakan produktif yang rendah akan tetapi mempunyai jumlah gabah per malai yang cukup tinggi dimana karakter tersebut merupakan salah satu karakter yang paling menentukan dalam pengelompokan genotipe moderat. Toleransi genotipe berdasarkan hasil analisis komponen utama sangat ditentukan oleh karakter agronomi dan morfologi yang ditunjukkan terutama karakter bobot gabah kering yang tinggi, jumlah anakan maksimum tinggi dan persentase gabah hampa yang rendah.
Karakter-karakter tersebut sejalan
dengan hasil analisis sidik lintas (Gambar 16) menunjukkan bahwa bobot gabah kering (produksi relatif) yang tinggi dan sangat ditentukan oleh karakter jumlah
79
anakan produktif, jumlah gabah per malai yang tinggi dan rendahnya persen gabah hampa. Kemampuan tanaman dalam berfotosintesis secara normal pada kondisi cahaya rendah membutuhkan strategi fotosintetik dan strategi fotosintetik ini dapat dicapai melalui efisiensi fotosintesis. Hal tersebut dapat diperbaiki melalui efisiensi dari proses ini, salah satunya pada tingkat penangkapan cahaya. Peningkatan efisiensi fotosintesis melibatkan perubahan luas intersepsi cahaya pada tanaman dan organel yang berperan dalam proses ini adalah kloroplas. Kloroplas merupakan organel yang berada di dalam subseluler perangkat fotosintetik yaitu membran besar kompleks polypeptida yang mempunyai fungsi untuk kebutuhan pigmen-pigmen untuk absorbsi cahaya, proses transfer energi eksitasi dan pengangkutan muatan seperti rantai transpor elektron yang digunakan untuk merubah energi cahaya ke dalam energi kimia terutama untuk pelepasan oksigen, NADPH dan produksi ATP. Sel mesofil kloroplas mengandung organisasi seperti membran tilakoid dibedakan ke dalam wilayah appress (lamela grana) dan non-appress (lamela stroma). Wilayah ruang ini saling berhubungan yang menunjukkan asimetris polypeptida, lipid dan komposisi pigmennya
(Hall dan Rao 1994).
Protein
kloroplas terdiri atas kompleks pemanen cahaya (LHC II), fotosistem II, kompleks Cyt b 6/f, fotosistem I termasuk LHC I dan ATPsintase.
Protein
fotosintetik termasuk sejumlah besar rubisco dan kompleks protein pemanen cahaya (LHC) menggambarkan proporsi total nitrogen daun (Evans 1983, 1989a; Field dan Mooney 1986). Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi total nitrogen daun meningkat jauh lebih besar pada genotipe toleran Jatiluhur dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada kondisi naungan 50 %. Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun diduga sebagai bentuk mekanisme adaptasi terhadap naungan. Dugaan tersebut didukung oleh hasil penelitian Sinclair dan Horie (1989) bahwa nitrogen daun dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun melalui pertambahan luas daun. Peningkatan konsentrasi nitrogen pada luas daun dasar tanaman menghasilkan laju fotosintesis lebih tinggi yang berpengaruh pada efisiensi penggunaan cahaya. Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun kemungkinan sebagai bentuk upaya mempertahankan laju fotosintesis tanaman.
Hal ini sejalan
dengan pernyataan Lawlor (2002) bahwa nitrogen daun dalam jumlah besar
80
digunakan untuk menyusun protein-protein yang bertanggung jawab terhadap proses fotosintesis sehingga daun yang mempunyai konsentrasi total N daun yang tinggi cenderung memiliki laju fotosintesis potensial lebih tinggi. Besarnya pengaruh dari kandungan nitrogen daun terhadap efisiensi penggunaan cahaya dari daun adalah tergantung spesies, kemungkinan dalam hubungannya dengan pembagian nitrogen daun antara rubisco dan kompleks protein pemanen cahaya (LHC) (Evans 1989a). Menurut Levitt (1980) salah satu bentuk adaptasi tanaman
terhadap
naungan dengan cara penghindaran melalui peningkatan efisiensi penangkapan cahaya dan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik yaitu dengan meningkatkan proporsi area fotosintetik.
Protein sebagai unsur pembentuk
struktur dalam membran sel juga sebagai protein yang aktif, umumnya reaktif dan sangat spesifik. Strukturnya tidak stabil terhadap beberapa faktor seperti radiasi, pH, temperatur dan medium pelarut organik. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran menurun lebih besar setelah dinaungi dibandingkan dengan genotipe peka. Menurunnya konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran diduga akibat sintesis protein terganggu dan ini sangat erat kaitannya dengan rendahnya konsentrasi nitrogen terlarut pada genotipe toleran pada fase vegetatif aktif
(Lampiran 13).
Keeratan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya
korelasi negatif (-0.92 **) antara nitrogen terlarut dan konsentrasi total protein daun. Keadaan ini menunjukkan bila konsentrasi nitrogen terlarut rendah akan mempengaruhi konsentrasi total protein daun rendah pula. Konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe toleran rendah pada kondisi naungan 50%.
Rendahnya konsentrasi
nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut kemungkinan terkait dengan rendahnya jumlah cahaya yang diabsorbsi oleh daun pada kondisi tersebut. Keberadaan nitrogen terlarut rendah menunjukkan nitrogen tidak larut meningkat. Dengan meningkatnya nitrogen tidak larut mengindikasikan bahwa ketersediaan nitrogen dalam tanaman rendah.
Gastal dan Lemaire (2002) mengemukakan
bahwa kandungan nitrogen daun lebih rendah pada bagian kanopi tanaman pada intensitas cahaya rendah.
Hal ini terkait dengan jumlah nitrogen daun lebih
rendah dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun pada intensitas cahaya rendah.
81
Konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur menurun pada kondisi naungan 50 % dengan derajat yang sama pada genotipe peka Kalimutu. Menurunnya konsentrasi protein kloroplas nampaknya berhubungan erat dengan konsentrasi nitrogen terlarut yang rendah yang ditunjukkan oleh korelasi yang sangat erat (-0.99 **) antara nitrogen terlarut dengan konsentrasi protein kloroplas. Menurut Levitt (1980) peningkatan penangkapan cahaya per area fotosintetik dilakukan dengan menghindari refleksi, transmisi dan absorpsi cahaya yang tidak berguna. Penghindaran transmisi dilakukan dengan meningkatkan kandungan kloroplas dan kandungan pigmen per kloroplas. Hipotesis
Levitt
diperkuat
oleh
hasil
penelitian
Burkey
et
al.
(1997)
mengemukakan bahwa daun-daun yang ternaungi secara potensial terlibat dalam
merespon
penyesuaian
cahaya
termasuk
perubahan
kapasitas
fotosintesis dan perubahan komposisi kloroplasnya. Pada kondisi pencahayaan rendah hingga PFD rendah,
kloroplas di
dalam sel palisade pada daun aklimatisasi-naungan cenderung letaknya berdekatan pada dinding sel periklinal, tegak lurus pada sorotan cahaya (datangnya cahaya) dan dengan demikian kloroplas dalam posisi optimal untuk mengintersepsi energi cahaya (Chow et al. 1987).
Posisi kloroplas tersebut
tidak statis, kloroplas pada tanaman aklimasi-cahaya dan aklimasi-naungan dapat berpindah/bergerak dalam merespon terhadap perubahan kondisi cahaya agar memaksimalkan intersepsi cahaya bila cahaya terbatas dan meminimalisasi intersepsi cahaya bila kejenuhan cahaya (Haupt dan Schenerlein 1990). Hasil penelitian ini menunjukkan naungan 50% menyebabkan perubahan konsentrasi protein kloroplas. Meskipun demikian, perubahan konsentrasi protein kloroplas ini relatif kecil baik pada genotipe toleran (4.1 %) maupun genotipe peka (1.6 %). Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka pada kondisi naungan 50% (Tabel 6). Hasil ini mengindikasikan genotipe toleran Jatiluhur mempunyai kemampuan untuk memelihara perkembangan kloroplas yang normal meskipun pada kondisi defisit cahaya dan ini diduga sebagai bentuk adaptasi tanaman terhadap naungan. Tyas (2006) melaporkan bahwa bentuk kloroplas kedelai genotipe toleran Ceneng berbeda dengan genotipe peka Godek. Pada kondisi cahaya normal (100%) genotipe toleran Ceneng memiliki bentuk kloroplas memanjang dan
82
mengalami perubahan cenderung cembung pada kondisi cahaya 50%. Demikian pula kompak grana lebih banyak ditemukan pada cahaya 50 % dibandingkan cahaya 100%.
Hal tersebut diduga agar dapat memperluas penangkapan
cahaya dari berbagai sisi. Kloroplas pada daun aklimasi-naungan mempunyai proporsi grana lebih besar, tumpukan membran tilakoid lebih besar (Chow et al. 1987; Anderson et al. 1988; Terashima 1989).
Bjorkman dan Demmig-Adams (1995) menyatakan
bahwa daun yang ternaungi cenderung mempunyai kloroplas dan volume serta jumlah grana yang lebih besar dan nisbah klorofil pemanen cahaya/enzim pada stroma yang lebih besar dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Maxwell et al. (1999) menunjukkan daun pada tanaman yang ternaung biasanya mempunyai kloroplas lebih besar dan lebih banyak, tersusun paralel dipermukaan daun agar supaya memaksimalkan absorbsi cahaya dan mempunyai volume tilakoid lebih besar dan jumlah tumpukan lebih besar per granum, untuk membantu meregulasi distribusi energi cahaya di antara fotosistem pada lingkungan teresterial atau wilayah membran appress memberikan interkoneksi pada PS II untuk menangkap energi cahaya lebih efisien. Protein supramolekul yang melekat dalam membran tilakoid merupakan kompleks protein yang berpartisipasi pada transpor elektron dari air ke NADP+. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi protein membran tilakoid meningkat setelah dianaungi 50 % pada kedua genotipe. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Maxwell et al. (1999) yang menunjukkan bahwa jumlah tilakoid per kloroplas dan jumlah tumpukan membran lebih tinggi pada kondisi cahaya rendah. Volume membran tilakoid kira-kira 38 % pada intensitas cahaya rendah, sedangkan volume membran tilakoid pada intensitas cahaya tinggi hanya 15 %. Rata-rata tumpukan membran per granum 14 pada intensitas cahaya rendah dan rata-rata 5 tumpukan pada intensitas cahaya tinggi.
Meningkatnya derajat
tumpukan tilakoid dikaitkan dengan konsentrasi tinggi pada kompleks pemanen cahaya periferal pada
fotosistem II (LHC IIs) (Chow et al. 1987) dan
berhubungan dengan peningkatan tarikan Van der Waals’ melalui peningkatan pada kelimpahan protein pemanen-cahaya klorofil a/b (Chow 1991). Meningkatnya konsentrasi protein membran tilakoid berkaitan erat dengan meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maxwell et al. (1999) bahwa sintesis kebanyakan protein
83
kloroplastik meningkat sebanding dengan kandungan nitrogen daunnya. Evans (1988) mengemukakan bahwa bagian utama dari nitrogen daun adalah rubisco dan sisanya adalah protein yang berada di dalam membran tilakoid dan enzimenzim siklus Calvin. Berdasarkan data yang diperoleh rata-rata konsentrasi protein membran tilakoid lebih tinggi pada genotipe toleran dibandingkan dengan genotipe peka (Tabel 7). Tingginya konsentrasi protein membran tilakoid pada genotipe toleran diduga
sebagai
bentuk
mekanisme
untuk
mempertahankan
agar
berlangsungnya proses fotosintesis pada kondisi defisit cahaya.
tetap
Hal ini
dimungkinkan mengingat membran tilakoid yang sebagian besar berisi pigmenpigmen fotosintesis klorofil a, klorofil b dan pigmen pelengkap karotenoid dan sebagai tempat berlangsungnya pengangkutan elektron dan fotofosforilasi. Dugaan ini didasarkan pula pada kenyataan bahwa pada naungan 50 % klorofil, aktivitas Rubisco, aktivitas sukrosa fosfat sintase, aktivitas fosfogliserat kinase genotipe toleran lebih tinggi dari pada genotipe peka (Sopandie et al. 2003; Juhaeti et al. 2000; Soverda 2002; Lautt et al. 2000).
Khumaida (2002) juga
melaporkan bahwa perlakuan naungan 50% tidak menghambat perkembangan membran tilakoid pada kedelai genotipe toleran seperti Pangrango dan B613, tetapi menghambat perkembangan kloroplas genotipe peka Godek. Konsentrasi protein membran tilakoid sangat nyata dipengaruhi oleh naungan pada perlakuan uji cepat dan tampak perubahan secara drastis terutama pada genotipe peka. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi protein membran tilakoid menurun pada genotipe toleran Jatiluhur sebesar 27.38% lebih rendah dibandingkan genotipe peka Kalimutu 45%.
Gambar 15 menunjukkan
penurunan konsentrasi protein membran tilakoid lebih tajam pada hari ke-9 setelah dinaungi dibandingkan pada hari ke-18 setelah dinaungi. Hal tersebut mengindikasikan tanaman melakukan optimalisasi pada kondisi cahaya terbatas yang ditandai telah terjadi proses penyesuaian setelah 9 hari naungan. Sebaliknya pada genotipe peka belum mencapai tahap adaptasi yang cukup. Meskipun demikian, mekanisme tersebut masih belum jelas. Chow et al. (1990) menyatakan optimalisasi tanaman terhadap kondisi cahaya terbatas dapat dicapai dengan penyesuaian aktual pada jumlah PS II, PS I dan LHCP’s yang dimodulasi ukuran antena pemanen-cahaya tanaman tersebut.
Hal ini dikemukakan pula oleh Anderson et al. (1988) bahwa
penyesuaian pada tanaman ternaung dan kondisi cahaya rendah mempunyai
84
kompleks PS II lebih sedikit dengan ukuran antena pemanen cahaya lebih besar. Prioul et al. (1980) mengemukakan bahwa daun-daun menunjukkan penyesuaian struktur dan fungsi perangkat fotosintetik pada intensitas cahaya yang dialami selama pertumbuhan sangat reversibel dalam beberapa hari. Waktu yang dibutuhkan tanaman untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan stress cahaya sekitar 8 hari (Levitt 1980). Tanaman
telah
mengembangkan
berbagai
strategi
untuk
dapat
beradaptasi pada lingkungan yang terbatas. Kemungkinan perubahan-perubahan pada tanaman tersebut sebagai bentuk adaptasi morfologi maupun bentuk adaptasi fisiologi yang penting untuk mencegah kerusakan akibat defisit cahaya. Mullineaux dan Emlyn-Jones (2004) menunjukkan salah satu bentuk adaptasi tanaman adalah kondisi transisi (transition-state) yang secara fisiologis sangat penting untuk memaksimumkan efisiensi pemanen cahaya pada intensitas cahaya rendah. Maxwell et al. (1999) mengemukakan bila tanaman terekspos lama pada kondisi defisit cahaya akan terjadi proses induksi. Hasil penelitian menunjukkan pola/komposisi protein yang dianalisis melalui SDS-PAGE pada kloroplas dan membran tilakoid memperlihatkan perbedaan pola pita yang jelas antara perlakuan tanpa naungan (0%) dan naungan 50 %.
Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan
(gradation) pita protein pada genotipe toleran atau terjadinya pengurangan ketebalan pita protein pada kondisi naungan 50%, sedangkan pada genotipe peka tidak terlihat adanya pengurangan ketebalan pita (ketebalan pita sama antara naungan 0 dan 50%). Protein-protein yang mengalami penurunan ketebalan tersebut adalah protein yang terlibat di dalam proses fotosintetis yaitu pada rantai pengangkutan elektron pada fotosintem II (Gambar 17) dan merupakan protein-pigmen yang terikat pada antena yang terlibat dalam pemanen cahaya.
Fotosistem II ini
mengkatalisis proses pemecahan air pada induksi cahaya yang melepaskan molekul O2, dan merupakan membran kompleks protein terdiri atas kompleks pusat, dikelilingi oleh sistim antena dikenal sebagai LHC II yang terdiri atas 20 sub unit yang berbeda, yang ditandai oleh gen psb A sampai psb X mempunyai bobot molekul antara 3 - 47 kDa (Irrgang 1999). Hasil elektroforesis protein kloroplas padi gogo (Gambar 13) menunjukkan empat akumulasi pita protein yang mengalami perubahan yakni terjadi pada protein bobot molekul 64, 55, 33 dan 18 kDa
yang secara keseluruhan merupakan
85
protein yang bertanggung jawab dalam proses fotosintesis.
Protein tersebut
merupakan protein membran instrinsik maupun membran exstrinsik yaitu kompleks protein-pigmen yang berada pada antena periferal (kompleks pemanen-cahaya atau LHC II-b), antena dalam (CPs minor) dan protein pusat reaksi yang terikat kuat pada kompleks fotosistem II.
OEC 33 kDa Gambar 17. Skema Fotosistem II (PS II) dikutip dari Matto et al (1999)
Protein-protein ini telah dikarakterisasi oleh Mattoo et al. (1999) bahwa bobot molekul 64 kDa termasuk protein kloroplas yang mempunyai fungsi tertentu dalam meregulasi mekanisme fotosintesis yang diidentifikasi sebagai polyfenol oksidase, protein 55 kDa yang dikenal sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L) dikode oleh gen rbc L yang berperan dalam fiksasi CO2, dan protein membran ekstrinsik 33 kDa merupakan kompleks protein pada fotosistem II yang terlibat dalam proses fotolisa air. Protein membran ekstrinsik 33 kDa ini dikode oleh gen psb O merupakan kompleks protein evolusi-oksigen (OksigenEvolving Complex)
OEC1 yang mempunyai fungsi sebagai protein sub unit
regulator pada oksidasi air dan merupakan protein penstabilisasi mangan (Mn). Protein dengan bobot molekul 33 kDa merupakan sub unit protein hidrofilik yang terletak pada lumen tilakoid yang dikenal sebagai Oxygen Evolving Complex (OEC) yang terlibat dalam proses oksidasi air (Water-Oxidising System). Protein 33 kDa terikat kuat pada komponen PS II dan berhubungan erat dengan jumlah kompleks PS I juga protein CP 47.
Berasosiasi dengan protein D1, protein D2,
CP 47, Cytokrom b-559 dan protein psb I.
Protein 18 kDa juga merupakan
86
kompleks protein membran ekstrinsik pada fotosistem II yang terlibat dalam proses fotolisa air dan dikode oleh gen psb Q adalah kompleks protein evolusioksigen OEC3 yang mempunyai fungsi sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air. Hasil elektroforesis protein membran tilakoid (Gambar 14) menunjukkan pita protein genotipe toleran Jatiluhur mengalami perubahan berturut-turut terjadi pada bobot molekul 31 kDa, 23 kDa dan bobot molekul 20 kDa. Sementara hasil elektroforesis protein membran tilakoid pada uji cepat (short term) (Gambar 15) menunjukkan pita protein genotipe toleran Jatiluhur mengalami perubahan pada bobot molekul 33 kDa. Protein 31 kDa dikenal sebagai protein membran instrinsik komponen dari fotosistem II yang dikode oleh gen psb A, protein sub unit pusat reaksi, mengikat cofaktor oksidasi-reduksi (redoks). Protein dengan bobot molekul 31 kDa juga dikenal sebagai protein D1. Protein D1 berada pada genom kloroplas (Kim et al. 1994). Preparasi protein D1 dan D2 dilaporkan dapat mengoksidasi P680 (Satoh 1992). Hal ini menunjukkan bahwa protein D1 berada pada pusat rekasi P680, yang berperan untuk mengikat beberapa kofaktor termasuk klorofil donor utama P680, aseptor utama pheofitin QA, QB dan donor utama Tyrozin Z dan Tyrozin D. Protein 23 kDa adalah termasuk kompleks protein membran ekstrinsik pada fotosistem II yang juga terlibat dalam proses fotolisa air, dikode oleh gen psb Q
adalah kompleks protein evolusi-oksigen OEC2 mempunyai fungsi
sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air.
Protein dengan bobot
molekul 20 kDa dikenal sebagai protein CP 24 (CPs minor) merupakan produk gen Lhcb6 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II (LHC-II-b ) dalam membran tilakoid, berperan
sebagai bagian integral dari
mekanisme fotoprotektif yang penting. Mereka juga berpengaruh kuat terhadap struktur dan konformasi integritas/ satabilitas dari pusat PS II (Gilmore 1997) juga bertindak sebagai jembatan dalam mentrasfer energi eksitasi dari antena periferal ke pusat PS II. Protein 24 kDa secara elektrostatis terikat ke 33 kDa dan18 kDa berhubungan erat dengan PS II. Protein 24 kDa mempunyai peran meregulasi yang berhubungan dengan evolusi O2 dan esensial untuk evolusi O2. Protein extrinsik 33, 23 dan 18 kDa merupakan kompleks protein-Mn dan sangat berperan dalam evolusi O2 atau sebagai polypeptida utama pada kompleks water-splitting.
Protein 33 kDa terikat kuat pada 2 atom Mn dan
sangat responsif terhadap evolusi oksigen.
Diduga protein extrinsik 33 kDa
87
adalah protein penstabilisasi Mn, maka kehilangan Mn akan diikuti kehilangan 33 kDa, sementara Mn berperan menstabilisasi protein extrinsik pada PS II (Vermaas et al. (1993). Protein yang mengalami penurunan ketebalan pita pada genotipe toleran diduga fungsi-fungsi mereka mengalami gangguan sebagai akibat naungan. Dengan demikian terganggunya protein instrinsik dan protein extrinsik pada kloroplas dan membran tilakoid dapat menginaktifasi fungsi fotosistem II. Meskipun demikian, nampaknya genotipe toleran mampu melakukan proses fotosintesis.
Hal ini menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki regulator/
pengaturan secara fisiologis (dengan cara menurunkan atau meningkatkan konsentrasi protein mereka serta menurunkan ketebalan pita protein) yang diduga
proses ini sebagai bentuk aklimatisasi tanaman dalam merespon
naungan untuk memaksimalkan penangkapan cahaya pada kondisi cahaya terbatas. Dugaan ini berdasarkan fakta bahwa keberadaan protein-protein yang mengalami penurunan ketebalan pita tersebut sebagian besar merupakan komponen protein dari PS II yang mempunyai peran yang sangat penting dalam proses fotosintesis terutama berperan pada rantai transpor elektron pada pengangkutan elektron utama antara PS II dan pusat reaksi.
Proses
pengangkutan utama dimulai dari penangkapan foton oleh antena fotosistem dan transfer energi eksitasi ke PS II dan PS I, menyediakan energi untuk oksidasi air dan pemindahan elektron ke aseptor yang menyumbang elektron ke proses biokimia dan untuk pengangkutan proton ke lumen tilakoid untuk sintesis ATP (Govindjee 2002; Ben-Sem et al. 2004; Allen 2002; Vasil’ev dan Bruce 2004). Perubahan-perubahan karakter fisiologis maupun biokimia padi gogo genotipe toleran naungan melalui peningkatan konsentrasi total nitrogen daun, protein kloroplas dan membran tilakoid serta terjadi gradasi/penurunan ketebalan pita protein yang diduga sebagai akibat terganggunya fungsi-fungsi mereka sebagai konsekuensi dari cahaya terbatas yang diterima tanaman padi gogo dan perubahan-perubahan ini kemungkinan terkait dengan bentuk mekanisme aklimatisasi tanaman dan adaptasi terhadap kondisi defisit cahaya. Disamping itu terjadinya gradasi/penurunan ketebalan pita protein diduga sebagai strategi protektif yang penting di dalam tanaman padi gogo agar fungsi fotosistem II tetap aktif.
Namun demikian, secara keseluruhan mekanisme perubahan karakter
protein–protein tersebut dalam hubungannya dengan mekanisme adaptasi terhadap kondisi defisit cahaya relatif belum jelas.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Tanaman padi gogo yang ternaung mengalami perubahan karakter agronomi dan morfo-fisiologi.
Perubahan pada padi gogo genotipe
toleran lebih kecil dibanding genotipe peka yang menyebabkan produksi padi gogo genotipe toleran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka dan karakter agronomi yang menjadi karakter penentu produksi relatif padi gogo toleran naungan adalah jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa dan jumlah anakan produktif. 2. Toleransi yang tinggi pada genotipe toleran naungan direfleksikan oleh tanaman yang memiliki karakter bobot gabah kering yang tinggi, jumlah anakan maksimum tinggi dan persentase kehampaan yang lebih rendah. Berdasarkan karakter agronomi, TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) adalah galur
yang
tidak konsisten toleran sementara galur yang memiliki
konsistensi toleransi yang tinggi pada naungan 50% ditunjukkan oleh Jatiluhur (nomor galur 1), B 9266 -PN -7-MR-2-PN-4 (nomor galur 6), TB 165 E-TB - 6 (nomor galur 7), TB 13 G -TB - 2 (nomor galur 8), B 149 FMR-7 (nomor galur 9), Dodokan (nomor galur 10) dan ITA 247 (nomor galur 11). 3. Adaptasi yang tinggi terhadap naungan ditunjukkan genotipe toleran Jatiluhur yang direfleksikan oleh konsentrasi total nitrogen daun meningkat lebih besar, N terlarut menurun lebih rendah, protein kloroplas dan protein membran tilakoid lebih tinggi dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji. 4. Penurunan konsentrasi total nitrogen daun, nitrogen terlarut dan protein membran tilakoid pada uji cepat lebih besar ditunjukkan oleh genotipe peka Kalimutu pada kondisi 9 hari naungan. 5. Penurunan ketebalan/gradasi pita protein kloroplas terjadi pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, 55 kDa sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L) dikode oleh gen rbc L, protein membran ekstrinsik 33 kDa dikode gen psb O dan 18 kDa dikode gen psb Q dan pada membran tilakoid terjadi pada bobot molekul 31 kDa dikode gen psb A, 23 kDa dikode gen psb Q dan protein 20 kDa merupakan produk gen Lhcb6 dikenal sebagai protein CP 24 yaitu kompleks protein-
89
pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II (LHC-II-b ) dalam membran tilakoid. 6. Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun, N terlarut lebih rendah, protein kloroplas dan protein membran tilakoid yang lebih tinggi serta penurunan/gradasi ketebalan pita protein pada kloroplas dan membran tilakoid diindikasi sebagai regulator fisiologis yang terkait dengan mekanisme adaptasi fisiologis genotipe toleran terhadap naungan.
SARAN
Kloroplas dan membran tilakoid merupakan organ yang sangat penting dalam merespon kondisi lingkungan cahaya yang rendah, dan sebagian besar komponen protein fotosintetik yang terlibat di dalam proses fotosintesis berada dalam membran ini. Untuk itu perlu penelitian lanjutan ke arah pola ekspresi gen-gen fotosintetik yang memiliki daya adaptasi terhadap kondisi naungan. Kompleks protein yang paling responsif terhadap kondisi cahaya rendah adalah kompleks protein pigmen pemanen-cahaya (LHC II) fotosistem II (PS II), sehingga perlu mempelajari lebih dalam tentang protein-pigmen yang berada pada fotosistem II maupun fotosistem I.
Penelitian ke arah ini, akan lebih
berpeluang untuk menjawab mekanisme aklimatisasi tanaman terhadap lingkungan cahaya rendah (naungan).
DAFTAR PUSTAKA
Allen JF, Pfannschmidt T. 2000. Balancing the two photosystems: photosynthesis elctron transfer governs transcription of the reaction centre genes in cloroplasts. J Phil. Trans. R. Soc. Lond. B 355: 1351-1359. Allen JF. 1992. Protein phosphorylation Biochem. Biophys. Acta 1098: 275-335.
in regulation of photosynthesis.
Allen JF. 2002. Plastoquenone redox control of chloroplast thylakoid protein phosphorylation and distribution of excitation energy between photosystem: discovery, background, implications. Minireview Photosyntesis Res 73: 139148. Anderson JM and Anderson B. 1988. Dynamic photosynthetic membrane and regulation of solar energy conversion. The Biochem Sci. 13: 351-355. Anderson JM and Styring S. 1991. Photosystem II: molecular organization, function and acclimation. Current topics in bioenergy. 16: 1-81. Anderson JM, Aro EM. 1994. Grana stacking and protection of photosystem II in thylakoid membranes of higher plant leaves under sustained high irradiance: an hypothesis. J Photosynthesis Res 41: 315-326. Anderson JM, Chow WS, Park YI. 1996. The grand design photosynthesis of acclimation of the photosynthetic apparatus to enviromental cues. Photosynth Res 46: 129-139. Anderson JM, Park YI, Chow WS. 1998. Unifying model for the photoinactivation of photosystem II in vivo under steady state photosynthesis. Photosynth.Res. 56:1-13. Anderson JM. 1986. Photoregulation of the composition, function and structure of thylakoid membrane. Annu Rev Plant Physiol. 37: 93-136. Anderson JM. 1999. Insight into the consequences of grana stacking of thylakoid membranes in vascular palnts: a personal perspective. Aust. J. Plant physiol. 26: 625-639. Anderson JMG, Chow WS, Goodchild DJ. 1988. Thylakoid membrane organization in sun/shade acclimation. Aust. J. Plant Physiol 15 : 11-26. Badan Penelitian dn Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Lima Komoditas; Beras, Jagung, Kedelai, Gula dan Daging Sapi. Balitbangtan Deptan, Jakarta. Baharsjah JS. 1980. Pengaruh naungan pada berbagai tahap perkembangan dan populasi tanaman terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil kedelai (Glycine max L. Merr.) [disertasi]. SPS-IPB..
91
Barber J. 1992. Photosynthetic reaction centres: a common link. Trends Biochem. Sci. 12: 321-236. Bassi R, Pineau B, Dainese P and Marquardt J. 1993. Carotenoid-binding protein of photosystem II. Eur. J. Biochem. 212: 297-303. Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J. 2000. The World of the Cell. 4th ed. CA: Benjamin/Cummings. Becker WM and Deamer DW. 1991. The world of the cell . Edition Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc. California. 886 p.
2nd
. The
Bennet J. 1993. Gene for crop improvements. Genetic Engineering. 16: 93-113. Bennett J. (1991). Protein phosphorylation in green plant chloroplasts. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 42: 281-311 Bensen, Robbert J., Boyer JS and Mullet JE. 1988. Water deficit-induced change in abscicic acid, growth, polysomes and translatable RNA in soybean hypocotyls. Plant Physiol. 88:289-294. Bensen, Robbert J., Boyer JS and Mullet JE. 1988. Water deficit-induced change in abscicic acid, growth, polysomes, and translatable RNA in soybean hypocotyls. Plant Physiol. 88:289-294. Ben-Shem A, Frolow F, Nelson N. 2004. Light-harvesting features revealed by the structure of plant Photosystem I. J Photosynthesis Res 81: 239-250. Bhagwat AA and Apte SK. 1989. Comparative analysis of proteins induced by heat shock, salinity and osmotic stress in the nitrogen-fixing cyanobacterium Anabaena sp. strain L-31. Journal of Bacteriology 171(9):5187-5189. Bharali BK, Chandra and Dey SC, 1995. Evolution of production effeciency of some rice varietas for low light stress. Indian. J. of Plant Physiol. 38 (2): 158159. Björkman O, Demming-Adams B. 1994. Regulation of photosynthetic light energy capture, convertion and dissipation in leaves of higher plants. Di dalam: Schulze ED and Cadwel MM. Eds. Ecofisioligy of Photosynthesis, Springer-Verlag, Berlin. hlm 17-47. Björkman O. 1981. Responses to different quantum flux intensities. In Lange OL, Nobel PS, Osmond CB, Ziegler H, editor, Encyclopedia of Plant Physiology, Vol 12A. Springer-Verlag, Berlin. hlm 57-107. Booij SI, Franklin E, Callahan, Marcel AK, Jansen, Marvin E and Matto AK. (1999). Photoregulation and photoprotection of the photosystem II reaction center heterodimer. Di dalam: Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrgang KD and Govindjee, editor. Concepts in photobiology photosynthesis and photomorphogenesis. Narosa Publishing House : New Delhi. hlm 549-571. BPS. 2007. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
92
Bradford MM.1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principles of protein-cycle binding. J. Anal. Biochem. 72:248-254 Bray EA. 1988. Drought and ABA-induced changes on polypeptide and mRNA accumulation in tomato leaves. Plants Physiol. 88:1210-1214. Bullerjahn GS. 1999. Regulation of photosynthesis by protein phosphorylation: state 1 and 2 transitions. Di dalam: Pessarakli, editor. Handbook of photosynthesis. Marcel Dekker Inc : New York. hlm 257-267. Burke JJ and Orzech KA. 1988. The heat-shock response in higher plants. A Biochemical Model. Plant, Cell and Environment 11:441-444. Burkey KO, Wilson RF and Wells R. 1997. Effects of canopy shade on the lipid composition of soybean leaves. Physiol Plant. 101 : 591-598. Cabuslay GS, Vergara BS and Quintana RU, 1995. Low light stress: mechanism of tolerance and screening method. Phillipine. J. of Crop Sci. 16(1):39 Campbell NA, Reece JB, Mitchel GB. 2000. Biology 5th edition. Jakarta: Penerbit Erlangga. Chapin FS, Bloom AJ, Field CB, Waring RH. 1987. Plant responses to multiple environmental factors. Bio Science 37: 49-57. Chaturvedi GS, Ingram KT. 1989. Growth and yield of lowland rice in response to shade and drainage. Philippine J. Crop Sci., 14(2):61-67. Chaturvedi GS, Ram PC, Singh AK, Ram P, Ingram KT, Singh BB, Singh RK, Singh VK. 1994. Carbohydtrate status of rainfed lowland rice in relation to submergence, drought and shade tolerance, hlm. 104-122. Di dalam: Lucknow V P (Ed.), Physiology of Stress Tolerance in Rice. India-IRRI Philippines. Chow WS, Anderson JM. 1987a. Photosynthetic responses of Pisum sativum to an ancrease in irradiance during growth I. Photosynthetic activities. Aust. J. Plant Physiol. 14:1-8. Chow WS, Anderson JM. 1987b. Photosynthetic responses of Pisum sativum to an ancrease in irradiance during growth II. Thylakoid membrane components. Aust. J. Plant Physiol. 14: 9-19 Chow WS, Melis A, Anderson JM. 1990. Adjustments of photosystem stoichiometry in chloroplast improve the quantum efficiency of photosynthesis. Proc Natl Acad Sci USA 87:7502-7506. Chow WS, Melis A, Anderson JM. 1991. Surface charges, the heterogeneus lateral distribution. Of the two photosystems, and thylakoid stacking. Biochim Biophis Acta 1057: 69-77.
93
Chow WS. (1984). Electron transport, phosphorylation and thylakoid stacking. Di dalam: Sybesima C (ed) Advances in photosynthesis research. Vol III, pp 8386. Chow, W.S., Qian, L., Goodchild,D.J. and Anderson, J.M. 1987. Photosynthetic acclimation of Alocasia macrorrhiza (L.) G. Don to growth irradiance: structure, function and composition of cloroplast. Aust. J. Plant Physiol.15:107-122 Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumarjo S, Sowarno. 2000. Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report Of Graduate Team Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture. Chozin MA. 2006. Peran ekofisiologi tanaman dalam pengembangan teknologi budidaya pertanian. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Agronomi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 24 Juni 2006. Critchley C. 1999. Molecular adaptation to irraiance: the dual functionality of photosystem II. Di dalam: Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrgang KD and Govindjee. 1999. Concepts in photobiology photosynthesis and photomorphogenesis. Narosa Publishing house : New Delhi. hlm 572-587. De Datta SK and Vergara BS. 1981. Principles and practices of rice production. A Willey Interscience Publish. A. Willey & Sons, New York. hlm 618. Diner BA and Babcock GT.. 1996. Structure, dynamic and energy conversion efficiency in photosystem II. Di dalam: Oxygenic photosynthesis. The light reactions. Hlm 213-247. Evans JR. 1988. Aclimation by the thylakoid membranes to growth irradiance and partitioning of nitrogen between soluble and thylakoid proteins. Aust. J. Plant Physiol. 15:93-106. Evans JR. 1983. Nitrogen and photosyntesis in the flag leaf of wheat (Triticum aestivum L.). Plant Physiology 72, 297-302 Evans JR. 1989a. Photosynthesis and nitrogen relationship in leaves of C3 plants. Oecologia 78,9-19. Evans JR. 1990. Photosynthesis-the dependences of nitrogen partitioning. Di dam: Lambers H, Cambridge ML, Konings H, Pons TL. Editor. Causes and consequences of variation in growth rate and productivity of higher plants. SPB Academic Publ, The Hague, pp 159-174. Fichtner K, Koch GW, Mooney HA. 1995,. Photosynthesis, storage, and allocation. Di dalam: Schulze ED and Cadwel MM. Editor. Ecophysiology of photosynthesis. Springer-verlag Berlin Heidelberg New York. 133-146. Field C and Mooney HA. 1986. The photosynthesis-nitrogen relationship in wild plants. In: Givnish, T.J. (ed.) On The Economi of Plant Form and Function, pp 25-55. Cambridge University Press. Cambridge
94
Fischer RA., 1975. Yield potential in dwarf spring wheat and the effect of shading. Crop Sci. 15:607-613 Gantt E. 1996. Pigment protein complexes and the concept of the photosynthetic unit: chlorophyll complexes and phycobilisomes. Photosynth. Res. 48: 47-53. Gastal F, Lemaire G. 2002. N uptake and distribution in crops: an agronomical and ecophysiological perspective. J. Experimental Botany 53(370): 789-799. Gastal F, Nelson CJ. 1994. Nitrogen use within the growing leaf blade of tall fecue. J. Plant Physiol 105 : 191-197. Ghanotakis DF, Georgios T and Terry MB. 1999. Polypeptides of photosystem II: structure and function. Di dalam: Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrgang KD and Govindjee. Concepts in photobiology photosynthesis and photomorphogenesis. Narosa Publishing house : New Delhi. hlm 264-291. Gilmore AM. 1997. Mechanistic aspects of xanthophylls cycle-dependent photoprotection in higher plant chloroplasts and leaves. Physiol plant. 99: 197209. Gilmour SJ, Hajela RK and Thomashow MF. 1988. Cold acclimation in Arabidopsis thaliana. Plant Physiol. 87:745-750. Givnish, T.J. 1988. Adaptation to sun and shade: a whole plant perspective. Aust. J. Plant Physiol. 15: 63-92. Govindjee. 2002. A Role for a light harvesting antenna complex of photosystem II in photoprotection. J. The plant Cell 14: 1663. Gupta PC and O’toole. 1986. Upland rice. A global prespective. IRRI Los Banos, Phillipines. 106p. Hale MG and Orcutt. 1987. The physiology of plant under stress. A. Willey Interscience Publication. Jhon Willey & Sons Inc. Virginia. 206p. Hall DO, Rao KK. 1994. Photosynthesis. Cambridge University Press, Boca Raton, FL. Handayani T. 2003. Pola pewarisan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai (Glycine max (L) Merill) dengan penciri spesifik karakter anatomi, morfoloi dan molekuler [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Harahap Z, Suwarno E, Lubis dan Susanto TW. 1995. Padi unggul toleran naungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Haris AB, Chozin MA, Sopandie D, Las I. 1998. Karakteristik ekosistem tanaman sela padi gogo dengan tanaman karet. Seminar nasional peningkatan produksi padi nasional, Bandar lampung 9-10 Desember 1998.
95
Hasegawa PM, Bressan RA and Handa AK. 1987. Cellular mechanism of salinity tolerance. HortScience : 21: 1317-1324 Haupt, W. and Scheunerlein, R. 1990. Chloroplast movement. Plant Cell Environ. 13. 595-614. Hidema JA, Makino, Kurita Y, Mae T and Ojima K. 1992. Change in the Level of clorophyl and light-harvesting clorophyl a/b protein of PSII in rice leaves ages under different irradiances from full expantion through senescence. JSPP. Plant Cell Physiol. 33(8):1209-1214. Hincha DK, Heber U and Shcmiit J. 1989. Freezing reptures thylakoid membranes in leaves, and repture can be prevented in vitro by cryoprotective proteins. Plant Physiology and Biochemistry 27(15):795-801. Hirose T, Werger MJA. 1987. Maximizing daily canopy photosynthesis with respects to the leaf nitrogen allocation pattern in a canopy. Oecologia 72:520526. Holmberg N and Bulow L. 1998. Improving stress tolerance in plants by gene transfer. Trends in Plant Science. Reviews. Vol. 3. No. 2. Hurkman WJ, Tanaka CK, and Du Pont FM. 1988. The effects of salt stress on polypeptides in membrane fractions from barley roots. Plant Physiol. 88:12631273. Iraki NM, Bressan RA, Hasegawa PM and Carpita NC. 1989. Alteration of the physical and chemical structure of the primary cell wall of growth-limited plants cells adapted to osmotic stress. Plants Physiology 91:39-47. Irrgang KD. 1999. Architecture of the thylakoid membrane. Di dalam: Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrgang KD and Govindjee. Editor. Concepts in Photobiology: Photosynthesis and Photomorphogenesis. Narosa Publishing House, India. hlm 139-180. Jiao, DM, Tong HY, Zhang JX. 1993. Identification of photosynthetic characteristics adapted to wide range of light intensities in rice varieties.. Chinese J: Rice Sci. 7(4): 243-246. Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai (Glycine max (L) Merill) terhadap cekaman intensitas cahaya rendah [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Juhaeti T. 2000. Perubahan biokimiawi pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan: karakteristik enzim Rubisco [tesis]. Bogor: Program Pacasarjana Institut Pertanian Bogor. Kephart KD, Buxton DR, Taylor SE. 1992. Growth of C3 and C4 perennial grasses in reduced irradiance. Crop Sci. 32:1033-1038. Key JL, Kimpel J, Vierling E, Lin C, Nagao RT, Czarnecka E and Schoffl F.1985. Physiological and molecular analysis of the heat shock response in plants. 237-348 p. in B.G. Atkinson and D.B Walden (eds.), Changes in Eukaryotic.
96
Gene Expression in Response to Environmental Stress. Academic press, New York. Khumaida N, Takami Y, Sugiyama N, Sopandie D, Takano T. 2003. Photosynthetic properties of LI-tolerant and LI-sensitive soybean. Proceeding of the 2nd Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo: Tokyo University, February 15-16,2003. Khumaida N. 2002. Studies on adaptability of soybean and upland rice to shade stress [disertasi]. Tokyo : University of Tokyo. Kim J, Gamble KP and Mullet JE. 1994. Synthesis and turnover of photosystem II reaction center protein D1. J. Biol. Chem. 269: 17918-17923. Kim KS, Kim SK and Yoon KM. 1991. Effect of shading at heading stage on yield component in rice. Jour. Of Crop. Sci. 36 (2): 127-123. Kin-ying T, Ming-chih C, Der-fen S, Dir-pu M, Long-fong OC and Shu-chen GC. 1996. Characterization of the light-responsive promoter of rice chloroplast psbd-c operon and the sequence-specific DNA binding factor. Plant. Cell Physiol. 37 (5): 660-666. Koyama K, Wada A, Maki Y and Tanaka A. 1996. Chages in the protein composition of cytoplasmic ribosomes during the greening of etiolated barley leaves. Physiol. Plant. 96: 85-90. Kuhlbrandt W, Wang DN and Fujiyoshi Y. 1994. Atomic model of plant lightharvesting complex by electron crystallography. Nature 367: 614-621. La Muhuria. 2007. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya rendah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. La Rosa PC, Singh NK, Hasegawa PM, and Bressan RA. 1989. Stable NaCl tolerance of tobacco cell is associated with enhanced accumulation of osmotin. Plant Physiol. 143: 250-253. Larcher W. 1975. Phisyological plant ecology. Translated by Bilderman M. A.Thorson Springer-Verlage. 253p. Larcher, W., Wagner J. Thammathaworn, A. 1990. Effects of superimposed temperature stress on in vivo chlorophyll fluorescene of Vigna unguiculata undee saline stress. J. Plant Physiol. 136:92-102. Las I dan Muladi. 1986. Penampilan fisiologis dan produktivitas padi sawah pada tiga taraf radiasi surya. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Ballittan, Bogor. 17-18 Desember 1986. Ballittan, Bogor. 106-118p Las I, 1983. Efesiensi radiasi surya dan pengaruh naungan terhadap padi gogo. Penelitian Pertanian Vol. 3 No.1 .
97
Las I. 1982. Efesiensi radiasi surya dan pengaruh naungan fisis terhadap pertumbuhan padi gogo. Tesis, FPS-IPB. Lautt BS, Chozin MA, Sopandie D, Darusman LK. 2000. Perimbangan patisukrosa dan aktivitas enzim sukrosa fosfatsintase pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7 (2): 31-34. Lautt BS. 2003. Fisiologi toleransi padi gogo terhadap naungan: tinjauan karakteristik fotosintesis dan respirasi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institute Pertanian Bogor Lawlor DW, Boyle FA, Kendall AC, Keys AJ. 1987a. Nitrate nutrition and temperature effects on wheat: enzyme composition, nitrate and total amino acid content of leaves. Journal of Experimental Botany 38: 378-392. Lawlor DW, Boyle FA, Keys AJ, Kendall AC, Young AT. 1988. Nitrate nutrition and temperature effects on wheat: a synthesis of plant growth and nitrogen uptake in relation to metabolic and physiological processes. Journal Of Experimental Botany 39: 329-343. Lawlor DW, Boyle FA, Young AT, Kendall AC, Keys AJ. 1987c. Nitrate nutrition and temperature effects on wheat: soluble components of leaves and carbon fluxes to amino acids and sucrose. Journal Of Experimental Botany 38: 10911103. Lawlor DW, Boyle FA, Young AT, Keys AJ ,Kendall AC. 1987b. Nitrate nutrition and temperature effects on wheat: photosynthesis and photorespiration of leaves. Journal Of Experimental Botany 38: 393-408. Lawlor DW, Lemaire G, Gastal F. 2001. Nitrogen, plant growth and crop yield. In: Lea PJ, Morot-Gaudry J-F, eds. Plant nitrogen. Berlin: Springer -Verlag, 343367. Lawlor DW. 1987. Photosynthesis: metabolism, control and physiology. longman scientific and technical. John Wiley Sons, Inc, New York. 262p. Lawlor DW. 2002. Carbon and nitrogen assimilation in relation to yield: mechanisms are the key to understanding production systems. Journal of Experimental Botany 53, 773-787.Lea PJ. and Leegood RC, 1993. Plant biochemistry and molecular biology. John Wiley & Sons. New York. 312 p. Lea PJ and Leegood RC. 1993. Plant biochemistry and molecular biology. John Wiley & Sons. New York.312 p. Lee AI and Thornber JP. 1995. Analysis of pigment stoichiometry of pigmentprotein complexes from barley (hordeum vulgare). Plant physiol. 107: 565574. Levitt J. 1980. Response of plants to environmental stress. Academic Press, Inc.
New
York:
Logan BA, Demmig-Adams B, Adams WW III. 1999. acclimation of photosynthesis to the environment. In: Singhal GS, Renger G, Sopory SK,
98
Irrgang K-D,Govindjee (eds). Concepts In Photobiolgy: Photosynthesis and Photomorphogenesis..Narosa Publishing House,New Delhi. Loveless AR. 1991. Principles of plant biology for the triopics. Terjemahan Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. p. 408. Lubeck J, Heins L and Soll J. 1997. Protein import into chloroplasts. Physiol. Plant. 100: 53-64 Mae T, Makino A and Ohiro K. 1983. Changes in the amounts of ribulose bisphosphate carboxylase synthesized and degraded during the life span of rice leaf (Oryza sativa L.) Mae T, Thomas H, Gay AP, Makino A and Hidema J. 1993. Leaf development in Lolium termulentum photosynthesis and photosyntetic protein in leaves senescing under different irradiances. Plant Cell Phys. 34:131-139. Makino A, Harada M, Sato T, Nakano H, Mae T. 1997. Growth and nitrogen allocation in rice plants grown under CO2 enrichment. Plant Physiol 115: 199203. Man JE, Curry GL, Michele DW and Baker DN. 1980. Light penetration in a rowcrop with random plant spacing. Agr. J. 72:131-139. Marler TL. 1994. Developmental light level effect growth, morphology, and leaf fisiology of young carambola trees. J.Amer. Sec. Hort. Sci. 199 (4): 711-718. Marschner H. 1995. Mineral nutrition of higher plants. Academics Press Inc. San Diego. 889p. Matto AK, Marder JB and Edelman M. 1989. reaction center. Cell 56: 241-246.
Dynamics of photosystem II
Mattoo AK, Giardi MT, Raskind A, Edelman M. 1999. Dynamic Metabolism of photosystem II reaction center protein and pigments. J Physiologia Plantarum 107: 454-461. Maxwell K, Marrison JL, Leech RM, Griffiths H, Horton P. 1999. Cloroplast acclimation in leaves of Guzmania monostachia in response to high light. J Plant Physiology 121: 89-95. Millard P. 1988. The accumalation and strorage of nitrogen by herbaceous plants. Plants, Cell and Environment. 11 :1-8. Morgan JM. 1984. Osmoregulation and water stress in higher plants. Annual Review of Plant Physiology 35:299-348. Morgan RM, Ivanov AG, Priscu JC, Maxwell DP, Hunner NPA. 1998. Structures and composition of the photochemical apparatus of the antarctic green alga, Chlamydomonas subcaudata. Photosyntesis Res 56: 303-314.
99
Mullet JE. 1990. Molecular biology of photosynthesis in higher plant Di dalam: Plant physiology, biochemistry and molecular biology, Dennis DT and Turpin DH. Editor. hlm 198-211. Longman scientific & technical, Longman group, UK. Murty KS and Sahu G. 1987. Impact of low light stress on growth and yield of rice. P.94-100. weather and rice, proc. International workshop on impact of weather parameters on growth an yield of rice. IRRI. Los Banos. Phillipines. Murty KS and Dey SK. 1992. Low light tolerant restores in hybrid rice breeding. IRRN. 17(1): 6-7. Murty KS and Sahu G. 1984. Impact of low light stress on growth and yield of rice. Central Rice Research Institute. Cuttack, India. 94-101 p. Murty KS, Dey SK, Swain P and Baig MJ. 1992a. Low light adapted restorers of different maturity durations for hybrid rice breeding. Di dalam: Rice Res. Newsletter. 17(6):6-7. Murty, KS, and Sahu G. 1987. Impact of low light stress on growth and yield of rice. P.94-100. weather and rice, proc. International workshop on impact of weather parameters on growth an yield of rice. IRRI. Los Banos. Phillipines. Nakano H, Makino A, Mae T. 1997. The effects of elevated partial pressures of CO2 on the relationship between photosynthetic capacity and N content in rice leaves. Plant Physiology 115, 191-198. Nanba O and Satoh K. 1987. Isolation of photosystem II reaction center consisting of D1 and D2 polypeptides and cytocrome b 559. Proc Natl Acad. Sci. USA 84: 109-112. Noggle GR and Fritz GJ, 1979. Introductory plant physiology. Prentice Hall of India Private Limited. New Delhi. 721 p. Osmond CB. 1987 . Photsynthesis and carbon economy of plants. New Phytol 106 (suppl): 161-175. Perez-Molphe-Balch E, Gidekel M, Segura-Nieto M, Herrera-Estrella L and Ochoa-Alejo N. 1996. Effects of water stress on plant growth and root proteins in three cultivars of rice (Oryza sativa) with different levels of drought tolerance. Physiol Plant. 96: 284-290. Pessarakli M. 1996. Handbook of photosynthesis. Marcel Dekker Inc : New York. 986p. Pons TL and Bergkotte M. 1996. Nitrogen allocation in response to parsial shading of plant: possible mechanisme physiol. Plant. 98: 571-577 Pons TL and Pearcy RW. 1994. Nitrogen reallocation and photosynthetic aclimation in responses to partil shading in soybean plants. Physiologia. Plantarum. 92:636-644. Pons TL, Schieving F, Hirose T, Werger MJA. 1989. Optimization of leaf nitrogen allocation for canopy photosyntesis in Lysimachia vulgaris L. In: Lambers H,
100
Cambridge ML, Konongs H, Pons TL, editor. Causes and consequences of variation in growth rate and productivity of higher plants. The Hague: SPB Academic Press,175-186. Prioul JL, Brangeon J, Reyss A. 1980. Interaction between external and internal condition in the development of photosynthetic features in a grass leaf. I. Regional responses along a leaf during and after low-light or high-light. Plant Physiology 66,762-769. Quick WP, Schurr U, Scheibe R, Schulze E.D, Rodermel SR, Bogorad L, Stitt, M. 1991. Decreased ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase-oxygenase in transgenic tobacco transformed with “antisense” rbcS I. Impact on photosynthesis in ambient growth conditions. Planta 183: 542-554. Ramagopal S. 1987a. Messenger RNA changes during drought stress maize leaves. J. Plant. Physiol. 129:311-317. Ramagopal S. 1987b. Salinity stress induced tissue-specific proteins in barley seedlings. Plants Physiol. 84:324-331 Rani UR and Reddy AR. 1994. Salt stress responsive polypeptides in germinating seeds and young seedlings of indica rice (Oryza sativa L.). J. Plant Physiol. 143: 250-253. Ranieri, Annamaria, Bernardi R, Lanese P and Soldatini GF. 1989. Change in free amino acid content and protein pattern of maize seedlings under water stress. Environmental and Experimental Botany 29(3)351-357. Robinson T. 1991. The organic constituents of higher plant, 6th edition. Terjemahan kandungan organik tumbuhan tinggi. Penerbit ITB, Bandung. p.367. Rogers GS, Milham PJ, Gillings M, Conroy JP. 1996. Sink strength may be the key to growth and nitrogen responses in N-deficient wheat at elevated CO2. Aust J Plant Physiol 23: 253-264. Rowland-Bamford AJ, Baker JT, Allen LHJr, Bowes G. 1991. Acclimilation of rice to changing atmospheric carbon dioxide concentration. Plant Cell Environ 14:577-583. Sachs MM and David Ho TH.1986. Alteration of gene expression during enviromental stress in plants. Annual Review of Plant Physiology 37:363-367. Salisbury FB and Ros CW, 1995. Plant physiology 4th edition. Terjemahan fisiologi tumbuhan. Penerbit ITB Bandung. Saodah DW, Yuyun S dan Qamariah. 1992. Pertumbuhan dan hasil padi gogo pada berbagai keadaan naungan kayu africa. Ballittan, Bogor. 22p. Satoh K. 1992. Structure and function photosystem II reaction center. Di dalam : Murata N. editor. Research in photosynthesis vol II. Kluwer Dordrecht. 5.35.12.
101
Schiefthaler U, Russel AW, Bohlar-Nordenkampf HR, Crithley C. 1999. Photoregulation and photodamage in Schefflera arboricola leavas adapted to different light environments. Aust. J. Plant Physiol. 26: 485-494. Schmidt GW and Mishkind ML. 1986. The transport of protein into chloroplast. Annu. Rev. Biochem. 55:879-912. Schnapp SR, Bressan RA and Hasegawa PM, 1990. Carbon use efficiency and cell expansion of NaCl-adapted tobacco cells. Plants Physiology 93: 384-388. Shinohara K and Akino M. 1996. Changes in levels of thylakoid components in chloroplasts of pine needles of different ages. Plant Cell Physiol. 37(8): 11021107. Sinclair TR, Horie H. 1989. Leaf nitrogen, photosynthesis and crop radiation use efficiency: a review. Crop Science 29: 90-98. Singh NK, Bracker CA, Hasegawa PM, Handa AK, Buckel S, Hermodson MA, Pfankoch E, Regnier F and Brassen RA. 1987. Characterization of osmotin. A Thaumatin-like Protein Associated with osmotic adaptation in plants cells. Plant Physiology 85: 529-536. Smith H. 1982. Light quality, photoperception and plant stratify. An Rev. Plant Physiol. 33: 481-518. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Handayani T, Djufri, Takano, T. 2003a. Adaptability of soybean to shade stress: identification of morphophysiological responses. Proceedings of the 2nd seminar on “toward harmonization between development and environmental conservation in biological production”, the university of tokyo, japan, february 15-26,2003. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Handayani T, Djufrie A, Takano T. 2002. pengembangan kedelai sebagai tanaman sela: fisiologi dan pemuliaan untuk toleransi terhadap naungan. Laporan penelitian hibah bersaing, direktorat jenderal pendidikan tinggi. Sopandie D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di lahan marjinal. Orasi ilmiah guru besar tetap fisiologi tanaman. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sopandie D. Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T dan Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati. Vol. 10. No.2: 71-75. Sopandie D. Chozin MA, Suwignyo S, Lontoh AP. 1999. Study on tolerance of upland rice and soybean to shading environment. Research team grant. first year report. Sopandie, D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida. 2005. Fisiologi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah: efisiensi penggunaan cahaya pada genitipe toleran. Seminar hasil-hasil penelitian fakultas pertanian IPB, september 21-22.
102
Sopandie, D. Jusuf M, Marzuki I. 2003b. Aluminium tolerance in soybean: protein profiles and accumulation in roots. Hayati 10:15-20. Soverda N. 2002. Karakteistik fisiologi fotosintetik dan pewarisan sifat toleran naungan pada padi gogo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Stoskopf NC. 1981. Understanding crop production. Company Inc. Reston Virginia. 433 p.
Reston Publishing
Strigter CJ. 1984. Shading. A tradisional methode of microclimate manipulation. Neth. J. Agric. 32: 81-86. Struik PC and Deinum B. 1982. Effect of light intensity after flowering on the productivity and quality of sligae maize. Neth. J. Agric. Sci. 30: 297-316. Sulistyono E, Sopandie D, Chozin MA, Suwarno. 1999. Adaptasi padi gogo terhadap naungan: Pendekatan morfologi dan fisiologi. Comm. Ag. 4: 1-7. Taiz L and Zeiger E. 1991. Plant physiology. Publishing Company, Inc. California. 559 p.
The Benjamin/Cummings
Tanaka A, Melis A. 1997. Irradiance-dependent changes in the size and composition of the chlorophyll a-b light-harvesting complex in the green alga Dunaliella salina. Plant cell physiol. 38(1): 17-24. Terashima I. 1989. Productive structure of a leaf. In: Briggs WR (ed) Photosynthesis, pp 206-226. Alan R Liss Inc, New York. Trebst, 1995. Dynamic in photosystem II structure and function. Di dalam: Schulze ED and Cadwel MM. Editor. Ecophysiology of photosynthesis. Springer-verlag Berlin Heidelberg New York. 3-16. Tyas KN. 2006. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui efisiensi penangkapan cahaya [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Van Kulen H, Goudriaan J, Seligman NG. 1989. Modelling the effects of nitrogen on canopy development and crop growth.In: Rusel G, Marshal LB, Jarvis PG, eds. Plant canopies: their growth, form and function. Cambridge University Press, 83-104. Vasil’ev S, Bruce D. 2004. Optimization and evolution of light harvesting in photosynthesis: The Role of antenna chlorophyll conserved between photosystem II and photosystem I. J The Plant Cell 16: 3059-3068. Vermaas WFJ, Styring S, Schroeder WP and Anderson B. 1993. Photosynthetic water oxidation the protein framework. Photosynth. Res. 38: 249-263. Vijayalakshmi C, Radhakrishnan R, Nagarajan M, and Rajendran C. 1991. Effect of solar irradiation deficit on rice productivity. J. Agron. Crop Sci. 167(3):184-187.
103
Wada H, Murata N. 1990. Temperature-induced changes in the fatty acid composition of the cyanobacterium Synechocystis PCC 6803. Plant Physiol. 92. 1062-1069. Watanabe N, Fujii C, Shirota M, Furuta Y. 1993. Changes in chlorophyll, thylakoid proteins and photosynthetic adaptation to sun and shade environments in diploid and tetraploid Oryza punctuata Kotschy and diploid Oryza eichingeri Peter. Plant Physiol. Biochem. Paris. 31(4):469-474. Webster CC and Wilson PN. London. 371p.
1980. Agriculture in the tropics 2nd.
Logman,
Whitmarsh AM and Govindjee 1995. How higher plants respond to excess light: energy dissipation in photosystem II. Di dalam: Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrgang KD and Govindjee, editor. Concepts in photobiology photosynthesis and photomorphogenesis. Narosa Publishing House : New Delhi. hlm 513-548. Wibawa G dan Roshid MJ. 1996. Peningkatan produktivitas padi sebagai tanaman sela karet muda. Warta Pusat Penelitian Karet. 4(1):40-46. Wibawa G. 1994. Pola tanam padi gogo, jagung dan tanaman lainnya sebagai tanaman sela karet muda. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Pertanian. Jambi. Makalah. 30:27p. Wong CC and Wilson JR. 1980. Effect of shading on the growth and nitrogen content of grain panic and siratro in pure and mixed swards defliated at two frequencies. Aus. J. Agric. Res. 31:269-289 Xiong J. Subramaniam S and Govindjee 1996. Modeling of the D1/D2 protein and cofactors of the photosystem II reaction center: implications for herbicide and bicarbonate binding. Protein Science 5: 639-648. Yeo ME, Yeo AR, Flowers TJ. 1994. Photosynthesis and photorespiration in the genus oryza. J. Exp. Bot. 45(274):553-560. Yordanov IT, Golstev V, Doltcinkova V, Kruleva L. 1989. Effect of some polyamines on the functional activity of thylakoid membranes. Photosynthetica 23: 314-323. Yoshida T. 1976. Climate influence on growth and nutrient uptake of rice roots with special reference the growh unit theory (Proceedings of the Simposium on Climate and Rice). The Int. Rice. Ins. 265 - 280 p.
104 Lampiran 1. Analisis ragam respon genotipe padi gogo terhadap naungan paranet pada karakter agronomi dan fisiologi F Hitung KK
R2
26.27 **
2.16
0.99
100.70 **
13.94 **
8.22
0.98
274.33 **
46.41 **
5.68 **
9.91
0.94
Umur Berbunga
2.95 ns
386.74 **
8.37 **
1.20
0.98
Umur Panen
1.20 ns
286.78 **
7.09 **
1.02
0.98
Panjang Malai
.97 ns
25.02 **
2.00 *
5.24
0.82
Jumlah Gabah/Malai
5.11 **
860.04 **
12.90 **
2.04
0.99
513.22 **
129.64 **
37.84 **
6.58
0.98
Bobot 1000 Butir
1.98 ns
291.18 **
4.13 **
2.13
0.98
BG Kering Giling
659.60 **
195.44 **
13.08 **
5.28
0.98
Peubah
Naungan
Galur
N X G
Tinggi Tanaman
57.30**
189.66 **
Jumlah Anakan Max.
825.46**
Jumlah Anakan Prod.
Karakter Agronomi
Persen Gabah Hampa
Karakter Fisiologi
Fase Vegetatif
N - Total
57.30 ns
189.66 **
0.16 ns
3.69
0.99
N - Larut
2.20 ns
0.02 ns
0.89 ns
7.43
0.95
N - Protein Larut
3.14 ns
0.01ns
0.57 ns
54.36 0.69
N - Tidak Larut
81.04 ns
235.72 **
0.04 ns
3.74
0.99
N - Larut TCA
1.86 ns
235.72 ns
0.04 ns
7.07
0.93
Prot.Total Crude
332.38 *
2.00 ns
163.11**
0.55
0.99
Prot.Total Purifikasi
3.03 ns
4.95 ns
0.30 ns
18.13 0.81
Protein Tilakoid
0.50 ns
21.28 *
12.22 ns
14.21 0.98
105 Lanjutan Lampiran 1. Fase pengisian Biji N - Total
93.61 ns
136.32 **
67.67 *
3.65
0.99
N - Larut
58.19 **
0.57 ns
0.48 ns
6.98
0.96
N - Protein Larut
1.11 ns
1.42 ns
0.07 ns
33.21
0.72
N - Tidak Larut
99.81 ns
135.20 **
67.46 *
3.98
0.99
N - Larut TCA
94.50 ns
3.19 ns
1.20 ns
5.88
0.97
Prot.Total Crude
5.29 ns
3.87 ns
0.60 ns
12.56
0.92
Prot.Total Purifikasi
0.39 ns
0.53 ns
0.17 ns
33.79
0.79
Protein Tilakoid
49.55 **
36.48 **
35.39 ns
7.82
0.99
Uji Cepat (Short Term) N - Total
18.55 ns
6.04 ns
2.03 ns
5.66
0.96
N - Larut
0.15 ns
1.15 ns
0.40 ns
16.84
0.71
N - Protein Larut
50.19 *
20.68 *
13.321 *
44.29
0.97
N - Tidak Larut
1.23 ns
6.69 ns
2.25 ns
5.82
0.96
N - Larut TCA
0.15 ns
3.04 ns
1.39 ns
19.15
0.77
Protein Tilakoid
89.83 **
13.35 *
2.01 ns
11.71
0.99
106 Lampiran 2. Tinggi tanaman genotipe padi gogo pada naungan paranet Kelompok Genotipe 0%
Tingkat Naungan 50%
TOLERAN
Rerata Uji Tukey : 1.27 - Cm -
JATILUHUR
107.33
120.67
(112,43)
114.00
(106,21)
TB177E-30-B-2
111.33
132.33
(118,86)
121.83
(109,43)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
89.33
123.67
(138,44)
106.50
(119,22)
TB165E-TB-6
116.33
146.00
(125,51)
131.17
(112,75)
TB 13G-TB-2
94.00
120.33
(128,01)
107.17
(114,01)
B194F-MR-7
92.00
120.33
(130,79)
106.17
(115,40)
DODOKAN
116.00
127.33
(109,77)
121.67
(104,88)
ITA24719
95.67
113.33
(118,46)
104.50
(109,23)
Rata-rata Toleran
102.75
125.50
(122,78)
114.12
(111,39)
KALIMUTU
138.67
131.00
(94,47)
134.84
(97,23)
IRAT 379
105.67
130.67
(123,66)
118.17
(111,83)
TB 154 E-TB-1
73.67
104.00
(141,17)
88.84
(120,59)
Rata-rata Peka Rerata
106.00 106.24
121.89 124.86
(118,38)
113.69 115.53
(109,19)
PEKA
Lampiran 3. Jumlah daun genotipe padi gogo pada naungan paranet Kelompok Genotipe
Tingkat Naungan 0%
Rerata
50% - Helai -
TOLERAN
Uji Tukey : 1.16
JATILUHUR
121.00
47.00
(38,84)
84.00
(69,42)
TB177E-30-B-2
109.00
51.67
(47,40)
80.34
(73,70)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
110.00
44.00
(40,00)
77.00
(70,00)
TB165E-TB-6
63.33
24.67
(38,95)
44.00
(69,48)
TB 13G-TB-2
103.00
39.00
(37,86)
71.00
(68,93)
B194F-MR-7
110.33
51.67
(46,83)
81.00
(73,42)
DODOKAN
126.00
52.33
(41,53)
89.17
(70,77)
ITA24719
95.00
45.67
(48,07)
70.34
(74,04)
Rata-rata Toleran
104.71
44.50
(42,50)
74.60
(71,25)
KALIMUTU
62.33
22.67
(36,37)
42.50
(68,19)
IRAT 379
104.33
30.00
(28,75)
67.17
(64,38)
TB 154 E-TB-1
125.00
74.33
(59,46)
99.67
(79,73)
Rata-rata Peka
97.22
42.33
(43,54)
69.78
(71,77)
Rerata
100.85
43.57
PEKA
73.12
107 Lampiran 4. Umur berbunga genotipe padi gogo pada naungan paranet
Kelompok Genotipe 0%
Tingkat Naungan 50%
TOLERAN JATILUHUR
Rerata Uji Tukey : 1.27 - Hari -
73.00
74
(101,37)
73.50
(100,68)
TB177E-30-B-2
79.00
79
(100,00)
79.00
(100,00)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
77.00
75
(97,40)
76.00
(98,70)
TB165E-TB-6
72.00
74.33
(103,24)
73.17
(101,62)
TB 13G-TB-2
74.00
72.67
(98,23)
73.34
(99,10)
B194F-MR-7
75.33
74
(98,23)
74.67
(99,12)
DODOKAN
66.00
64.67
(97,98)
65.34
(98,99)
ITA24719
73.67
72
(97,73)
72.84
(98,87)
Rata-rata Toleran
73.75
73.21
(99,27)
73.48
(99,64)
63.33
64.33
(101,58)
63.83
(100,79)
PEKA KALIMUTU IRAT 379
66.00
65.33
(99,98)
65.67
(99,49)
TB 154 E-TB-1
82.67
78.33
(94,75)
80.50
(97,38)
Rata-rata Peka
70.67
69.33
(98,38)
70.27
(99,19)
Rerata
72.06
71.85
71.82
Lampiran 5. Umur panen genotipe padi gogo pada naungan paranet Kelompok Genotipe
0%
Tingkat Naungan 50%
Rerata Uji Tukey : 0.57 - Hari -
TOLERAN JATILUHUR
103.00
103.33
(100,32)
103.17
(100,16)
TB177E-30-B-2
109.33
109.33
(100,00)
109.33
(100,00)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4 TB165E-TB-6
107.00 102.00
105.33 105.33
(98,44) (103,26)
106.17 103.67
(99,22) (101,63)
TB 13G-TB-2
104.00
103.00
(99,04)
103.50
(99,52)
B194F-MR-7
105.33
104.67
(99,37)
105.00
(99,69)
DODOKAN
96.67
95.33
(98,61)
96.00
(99,31)
ITA24719
104.33
102.67
(98,41)
103.50
(99,20)
Rata-rata Toleran
103.96
103.62
(99,68)
103.79
(99,84)
PEKA KALIMUTU
95.00
94.67
94.84
(99,83)
IRAT 379
96.00
95.33
(99,30)
95.67
(99,65)
TB 154 E-TB-1
114.33
108.67
(95,05)
111.50
(99,52)
Rata-rata Peka
101.78
99.56
(97,82)
100.67
(98,91)
Rerata
103.31
102.29
(99,65)
102.83
108 Lampiran 6. Jumlah anakan maksimum genotipe padi gogo pada naungan paranet Tingkat Naungan
Kelompok Genotipe 0% TOLERAN JATILUHUR
Rerata
50%
Uji Tukey : 0.95
- Batang 33.33
15.00
(45,00)
300.03
(900,18)
TB177E-30-B-2
29.00
13.33
(45,97)
344.83
(1189,06)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
30.00
14.67
(45,90)
333.33
(1111,11)
TB165E-TB-6
16.67
14.67
(88,00)
599.88
(3598,56)
TB 13G-TB-2
27.00
9.67
(35,81)
370.37
(1371,74)
B194F-MR-7
28.33
13.00
(45,89)
352.98
(1245,97)
DODOKAN
32.67
12.33
(37,74)
306.09
(936,92)
ITA24719
24.67
9.67
(39,20)
405.35
(1643,09)
Rata-rata Toleran PEKA
27.71
12.79
(46,17)
360.90
(1302,47)
KALIMUTU
17.33
6.67
(38,49)
577.03
(3329,68)
IRAT 379
30.67
9.00
(29,34)
326.05
(1063,10)
TB 154 E-TB-1
32.00
17.33
(54,16)
312.50
(976,56)
Rata-rata Peka
26.67
11.00
(41,25)
375.00
(1406,25)
Rerata
26.16
11.60
395.81
Lampiran 7. Panjang malai genotipe padi gogo pada naungan paranet Tingkat Naungan
Kelompok Genotipe 0%
50%
Uji Tukey : 0.69 - Cm -
TOLERAN JATILUHUR
Rerata
24.13
24.07
(99,75)
414.42
(1717,45)
TB177E-30-B-2
24.47
24.20
(98,89)
408.66
(1670,06)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
26.70
27.67
(103,63)
374.53
(1402,74)
TB165E-TB-6
29.73
28.07
(94,42)
336.36
(1131,38)
TB 13G-TB-2
21.33
24.30
(113,92)
468.82
(2197,95)
B194F-MR-7
24.27
24.20
(99,71)
412.03
(1697,70)
DODOKAN
23.43
24.37
(104,01)
426.80
(1821,61)
ITA24719
24.40
27.20
(111,48)
409.84
(1679,66)
Rata-rata Toleran PEKA
24.81
25.51
(103,23)
406.43
(1664,82)
KALIMUTU
22.67
21.17
(93,38)
441.11
(1945,79)
IRAT 379
20.77
19.20
(92,44)
481.46
(2318,07)
TB 154 E-TB-1
25.33
24.43
(96,45)
394.79
(1558,58)
Rata-rata Peka
22.92
21.60
(100,16)
426.74
(1831,42)
Rerata
24.23
24.31
415.54
109 Lampiran 8. Jumlah anakan produktif genotipe padi gogo pada naungan paranet.
Kelompok Genotipe
Tingkat Naungan 0%
50%
TOLERAN JATILUHUR
Rerata Uji Tukey : 0.78
- Batang 20.33
12.00
(59,03)
16.17
(79,51)
TB177E-30-B-2
16.67
10.67
(64,01)
13.67
(82,00)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
17.00
12.67
(74,53)
14.84
(87,26)
TB165E-TB-6
13.00
10.67
(82,08)
11.84
(91,04)
TB 13G-TB-2
20.33
8.67
(42,65)
14.50
(71,32)
B194F-MR-7
16.67
11.67
(70,01)
14.17
(85,00)
DODOKAN
18.33
12.67
(69,12)
15.50
(84,56)
ITA24719
17.67
8.00
945,27)
12.84
(72,64)
Rata-rata Toleran
17.50
10.88
-62.16
14.19
(81,08)
KALIMUTU
15.67
4.67
(29,80)
638.16
(4072,51)
IRAT 379
17.00
6.67
(39,24)
588.24
(3460,21)
TB 154 E-TB-1
23.66
14.67
(62,00)
422.65
(1786,37)
Rata-rata Peka
18.78
8.67
(46,17)
532.58
(2836,37)
Rerata
17.73
9.80
PEKA
210.53
Lampiran 9. Jumlah gabah per malai genotipe padi gogo pada naungan paranet Kelompok Genotipe 0%
Tingkat Naungan 50%
Rerata Uji Tukey : 1.71
- Butir -
TOLERAN JATILUHUR
197.67
181.33
(91,73)
50.59
(25,59)
TB177E-30-B-2
129.67
129.00
(99,48)
77.12
(59,47)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
189.00
185.67
(98,24)
52.91
(27,99)
TB165E-TB-6
208.67
209.00
(100,16)
47.92
(22,97)
TB 13G-TB-2
158.33
159.33
(100,63)
63.16
(39,89)
B194F-MR-7
193.00
194.67
(100,87)
51.81
(26,85)
DODOKAN
149.00
157.00
(105,37)
67.11
(45,04)
ITA24719
157.67
149.67
(94,93)
63.42
(40,23)
Rata-rata Toleran PEKA
172.88
170.71
(98,93)
59.26
(36,00)
KALIMUTU
135.33
125.33
(92,61)
73.89
(54,60)
IRAT 379
112.67
92.67
(82,25)
88.75
(78,77)
TB 154 E-TB-1
137.67
137.33
(99,75)
72.64
(52,76)
Rata-rata Peka
128.56
118.44
(95,64)
70.85
(51,24)
Rerata
159.24
154.63
64.57
110 Lampiran 10. Persentase gabah hampa genotipe padi gogo pada naungan paranet
Tingkat Naungan
Kelompok Genotipe 0%
Rerata
50 %
TOLERAN
Uji Tukey : 0.78 - % -
JATILUHUR
18.53
20.30
(109,55)
539.67
(2912,39)
TB177E-30-B-2
19.53
20.27
(103,79)
512.03
(2621,78)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
14.73
19.00
(128,99)
678.89
(4608,87)
TB165E-TB-6
17.90
22.03
(123,07)
558.66
(3121,00)
TB 13G-TB-2
14.53
31.17
(214,5)
688.23
(4736,62)
B194F-MR-7
14.20
27.20
(191,55)
704.23
(4959,33)
DODOKAN
14.27
19.50
(136,65)
700.77
(4910,79)
ITA24719
12.37
29.27
(236,62)
808.41
(6535,23)
Rata-rata Toleran
15.76
23.59
(155,59)
648.86
(4300,75)
KALIMUTU
18.43
45.30
(245,79)
542.59
(2944,08)
IRAT 379
18.90
51.83
(274,23)
529.10
(2799,47)
TB 154 E-TB-1
17.33
22.83
(131,74)
577.03
(3329,68)
Rata-rata Peka
18.22
39.99
(196,77)
634.46
(4136,67)
Rerata
16.65
29.83
PEKA
618.97
Lampiran 11. Bobot 1000 butir genotipe padi gogo pada naungan paranet Tingkat Naungan
Kelompok Genotipe 0%
Rerata
50 %
Uji Tukey : 0.34
TOLERAN JATILUHUR
28.90
28.77
(99,55)
346.02
(1197,30)
TB177E-30-B-2
31.23
31.20
(99,90)
320.20
(1025,31)
B9266F-PN-7-MR-2-PN-4
25.93
25.80
(99,49)
385.65
(1487,29)
TB165E-TB-6
25.47
25.43
(99,84)
392.62
(1541,49)
TB 13G-TB-2
24.77
24.70
(99,72)
403.71
(1629,85)
B194F-MR-7
24.57
23.50
(95,65)
407.00
(1656,49)
DODOKAN
25.67
25.53
(99,45)
389.56
(1517,57)
ITA24719
26.47
25.40
(95,96)
377.79
(1427,22)
Rata-rata Toleran PEKA
26.63
26.29
(98,70)
377.82
(1435,32)
KALIMUTU
23.47
23.30
(99,28)
426.08
(1815,41)
IRAT 379
33.53
32.47
(96,84)
298.24
(889,47)
TB 154 E-TB-1
22.63
21.67
(95,76)
441.89
(1952,68)
Rata-rata Peka
26.54
25.81
(97,66)
385.23
(1506,28)
Rerata
26.60
26.14
380.91
111 Lampiran 12.
Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas toleran dan peka terhadap naungan pada fase vegetatif Jatiluhur
Long Term
Kalimutu
Tingkat Naungan
Tingkat Naungan
Rerata
Uji Tukey
0%
50%
0%
50%
N - Total
4.1607
19.7407
9.5546
24.8345
14.5726
1.6383
N - Larut N - Protein Larut
1.7945
1.4619
1.8630
1.3698
1.62227
0.3667
0.3056
0.2406
0.3737
0.1531
0.2682
0.4436
N - tidak Larut
2.3664
18.2788
7.6916
23.4647
12.9503
1.4729
N - Larut TCA
1.4889
1.2214
1.4894
1.2167
1.35405
0.2912
Vegetatif
Lampiran 13.
Long Term Pengsian Biji
Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas toleran dan peka terhadap naungan pada fase pengisian biji Jatiluhur
Kalimutu
Tingkat Naungan
Tingkat Naungan
0%
50%
0%
Rerata
Uji Tukey
50%
N - Total
10.7361
31.4100
23.4726
33.6175
24.809
2.7536
N - Larut N - Protein Larut
2.1045
1.4668
1.9792
1.4612
1.7529
0.372
0.1761
0.1384
0.2389
0.1780
0.1828
0.1847
N - tidak Larut
8.6316
29.9432
21.4934
32.1564
23.0561
2.7892
N - Larut TCA
1.9284
1.3284
1.7404
1.2832
1.5701
0.2811
112 Lampiran 14.
Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas toleran terhadap naungan pada fase vegetatif dengan uji cepat (short term) Jatiluhur
Short Term
Tingkat Naungan
Perubahan
Tingkat Naungan
Rerata Perubahan Uji Tukey : 3.2
18 Hari
3 Hari
9 Hari
N - Total
30.9757
31.4238
1.4466
26.0301
-15.9661
29.4760
N - Larut
1.1958
1.0095
-15.5802
1.0644
-10.9889
1.0899
N - Protein Larut
0.0441
0.0207
-53.1215
0.0204
-53.8025
0.0284
N - tidak Larut
29.7799
30.4143
2.1303
24.9657
-16.1659
28.3866
N - Larut TCA
1.1517
0.9888
-14.1443
1.0440
-9.3514
1.0615
Vegetatif Aktif
Lampiran 15.
Perubahan konsentrasi nitrogen (mg/g) varietas peka terhadap naungan pada fase vegetatif dengan uji cepat (short term) Kalimutu
Short Term
Tingkat Naungan
Perubahan
Tingkat Naungan
Perubahan
Rerata Uji Tukey : 3.2
3 Hari
9 Hari
18 Hari
N - Total
36.3069
32.5538
-10.3373
26.9769
-25.6976
31.9460
N - Larut
0.9618
0.9489
-1.3412
1.0350
7.6055
0.9819
N - Protein Larut
0.2488
0.0371
-85.1055
0.0356
-85.6884
0.1071
N - tidak Larut
35.3451
31.6049
-10.5821
25.9420
-26.6038
30.9640
N - Larut TCA
0.7131
0.9119
27.8802
0.9994
40.1515
0.8748
Vegetatif Aktif
113 Lampiran 16. Perubahan konsentrasi protein total (μg/ml) varietas toleran, peka terhadap naungan padafase vegetatif dan pengisian biji Jatiluhur Long Term
Kalimutu
Tingkat Naungan
Tingkat Naungan
Rerata
Uji Tukey
0%
50%
0%
50%
Crude
5703.975
4803.935
5472.555
5092.945
5268.350
87.67
Purifikasi Pengisian Biji
424.355
326.610
518.650
482.185
437.949
241.54
Crude
5025.545
3893.550
4591.850
2893.585
4101.260
1566.90
Purifikasi
279.555
221.085
217.015
203.650
230.326
236.78
Vegetatif
Lampiran 17. Perubahan konsentrasi protein kloroplas (μ/ml) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dan pengisian biji Jatiluhur Long Term
Tingkat Naungan
Kalimutu Tingkat Naungan 0% 50%
Rerata
0%
50%
Crude
787.680
537.930
717.240
716.440
689.823
Purifikasi
430.660
413.050
414.650
409.850
417.053
Crude
1067.050
505.910
574.750
512.310
665.005
Purifikasi
443.470
409.050
422.660
415.070
430.063
Vegetatif
Pengisian Biji
114 Lampiran 18.
Perubahan konsentrasi protein tilakoid (mg/g) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dan pengisian biji
Jatiluhur Long Term
Kalimutu
Tingkat Naungan
Tingkat Naungan
Rerata
Uji Tukey
0%
50%
0%
50%
Vegetatif
0.2081
0.2197
0.1666
0.2002
0.1987
0.0751
Peng. Biji
0.1501
0.2792
0.1514
0.2499
0.2076
0.0613
Lampiran 19. Perubahan konsentrasi protein tilakoid (mg/g) varietas toleran, peka terhadap naungan pada fase vegetatif dengan uji cepat (short term) Vegetatif Aktif
Short Term
Lama Naungan
3 Hari
Perubahan
9 Hari
Lama Naungan
Perubahan
Rerata Uji Tukey : 0.051
18 Hari Jatiluhur
Protein
0.4875
0.1335
-72.6154
0.0021
-99.5692
0.2077
0.0428
-91.7590
0.26622
Kalimutu Protein
0.5188
0.2372
-54.2843
115 Lampiran. 20. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein kloroplast padi gogo fase vegetatif
Pita ke – n
Migrasi Cm)
Rf
Estimasi BM
Migrasi
(kDa)
Cm)
Estimasi BM
Rf
(kDa)
Tingkat Naungan Jatiluhur
0%
50 %
1
0.4
0.0471
98,8
0.4
0.0465
98,8
2
1.3
0.1529
79,7
1.3
0.1512
79,7
3
2.2
0.2588
64,3
2.2
0.2558
64,3
4
2.8
0.3294
55,7
2.9
0.3372
55,7
5
3.3
0.3882
49,4
3.2
0.3721
49,4
6
4
0.4706
41,8
0
0
0
7
4.6
0.5412
36,2
4.8
0.5581
41, 8
8
4.9
0.5765
33,7
5
0.5814
36,2
9
7.1
0.8353
19,9
0
0
0
10
7.5
0.8824
18,1
7.6
0.8837
33,7
11
8.2
0.9647
15,3
0
0
0
12
8.5
1.0000
14, 3
8.6
1.0000
19,9
Kalimutu
0%
50 %
1
0.4
0.0465
98,9
0.4
0.0465
98,9
2
1.4
0.1628
78,1
1.4
0.1628
78,1
3
2.2
0.2558
64,7
2.3
0.2674
63, 2
4
2.9
0.3372
54,8
2.9
0.3372
54,8
5
3.8
0.4419
44,3
3.8
0.4419
44,3
6
4.1
0.4767
41,3
4.1
0.4767
41,3
7
4.8
0.5581
34,9
4.8
0.5581
34,9
8
5
0.5814
33,4
5
0.5814
33,4
9
7.7
0.8953
17,6
7.7
0.8953
17,6
10
8.4
0.9767
14,9
0
0
0
11
8.6
1.0000
14,3
8.6
1.0000
14,3
116 Lampiran. 21. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein kloroplas padi gogo fase pengisian biji Pita ke – n
Migrasi
Rf
(Cm)
Estimasi BM
Migrasi
(kDa)
Cm)
Rf
Estimasi BM (kDa)
Tingkat Naungan Jatiluhur
0%
50 %
1
1.4
0.1609
78,4
1.4
0.1609
78,4
2
2.3
0.2644
63,6
2.3
0.2644
63,6
3
2.8
0.3218
56,6
0
0
0
4
3.2
0.3678
51,5
3.2
0.3678
51,5
5
4.8
0.5517
35,4
0
0
0
6
7.4
0.8506
19,3
0
0
0
7
7.7
0.8851
18,0
0
0
0
8
8.7
1.0000
14,3
0
0
0
Kalimutu
0%
50 %
1
1.3
0.1494
80,3
1.3
0.1494
80,3
2
2.2
0.2529
65,1
2.2
0.2529
65,1
3
0
0
0
2.5
0.2874
60,7
4
2.8
0.3218
56,6
2.8
0.3218
56,6
5
0
0
0
3
0.3448
53,9
6
3.2
0.3678
51,5
3.2
0.3678
51,5
7
7.7
0.8851
18,0
7.7
0.8851
18,0
117 Lampiran 22. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein tilakoid padi gogo fase vegetatif.
Pita ke - n
Migrasi Cm)
Rf
Estimasi BM (kDa) Tingkat Naungan
Jatiluhur 1 2 3 4 5 6 7
1.2 1.5 2.8 3.5 3.8 4.2 4.5
Kalimutu 1 2 3 4 5
1.2 1.6 2.8 3.5 3.9
0% 0.2667 63,2 0.3333 55,5 0.6222 31,5 0.7778 23,3 0.8444 20,4 0.9333 17,2 1.0000 15,1 Tingkat Naungan 0% 0.2667 63,2 0.3556 53,2 0.6222 31,5 0.7778 23,3 0.8667 19,6
6 7
4.2 4.5
0.9333 1.0000
17,2 15,1
Migrasi Cm)
Rf
Estimasi BM (kDa)
1.2 1.5 2.8 3.4 3.9 4.1 4.5
50 % 0.2667 0.3333 0.6222 0.7556 0.8667 0.9111 1.0000
63,2 55,5 31,5 24,3 19, 6 17,9 15,1
1.3 1.6 2.8 3.4 4
50 % 0.2889 0.3556 0.6222 0.7556 0.8889
60,5 53,1 31,5 24,3 18,7
4.2 4.5
0.9333 1.0000
17,2 15,1
Lampiran 23. Migrasi, Rf dan Estimasi BM Protein Tilakoid Padi Gogo Fase Pengisian Biji.
Pita ke - n
Migrasi Cm)
Jatiluhur 1 2 3 4 5
1.2 1.5 2.8 3.4 4.6
Kalimutu 1 2 3 4 5
1.2 1.5 2.8 3.4 4.6
Rf
Estimasi BM (kDa) Tingkat Naungan
0% 0.2609 63,9 0.3261 56,3 0.6087 32,4 0.7391 25,1 1.0000 15,1 Tingkat Naungan 0% 0.2609 63,9 0.3261 56,3 0.6087 32,4 0.7391 25,1 1.0000 15,1
Migrasi Cm)
Rf
Estimasi BM (kDa)
1.2 1.5 2.8 3.4 4.6
50 % 0.2609 0.3261 0.6087 0.7391 1.0000
63,9 56,3 32,4 25,1 15,1
1.2 1.5 2.8 3.4 4.6
50 % 0.2609 0.3261 0.6087 0.7391 1.0000
63,9 56,3 32,4 25,1 15,1
118 Lampiran. 24. Migrasi, Rf dan estimasi BM protein tilakoid padi gogo pada "Uji Cepat". Pita ke - n
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4
Migrasi Rf Estimasi BM Cm) (kDa) Jatiluhur ( 3 Hari ) 1.1 0.2200 62,3 1.4 0.2800 55,1 1.9 0.3800 44,8 2.6 0.5200 33,6 3.3 0.6600 25,2 Jatiluhur ( 9 Hari ) 1.1 0.2245 61,8 1.4 0.2857 54,5 1.9 0.3878 44,1 2.6 0.5306 32,9 3.3 0.6735 24,5 Jatiluhur ( 18 Hari ) 1.1 0.2200 62,3 1.4 0.2800 55,1 2.6 0.5200 33,6 3.3 0.6600 25,2
Migrasi Cm) 1.1 1.4 1.9 2.6 3.4 1.1 1.4 1.9 2.6 3.3 1.1 1.4 2.6 3.3
Rf
Estimasi BM (kDa) Kalimutu ( 3 Hari) 0.2157 62,9 0.2745 55,7 0.3725 45,5 0.5098 34,3 0.6667 24,8 Kalimutu ( 9 Hari) 0.2200 62,3 0.2800 55,1 0.3800 44,8 0.5200 33,6 0.6600 25,2 Kalimutu ( 18 Hari) 0.2200 62,3 0.2800 55,1 0.5200 33,6 0.6600 25,2
Lampiran. 25. Migrasi dan Rf protein standar untuk total protein daun BM Standar Migrasi Log BM Rf (Da) Cm) 94000 4.973127854 1.2 0.1429 67000 4.826074803 2 0.2381 43000 4.633468456 3.3 0.3929 30000 4.477121255 4.9 0.5833 20100 4.303196057 7 0.8333 14400 4.158362492 8.7 1.0357 Keterangan: Jarak start - finish = 8.7 cm.
119 Lampiran. 26. Migrasi dan Rf protein standar untuk tilakoid
BM Standar Log BM (Da) 116400 5.0659530 85200 4.9304396 55600 4.7450748 39200 4.5932861 26600 4.4248816 20100 4.3031961 14300 4.1553360 Keterangan: Jarak start - finish = 4.4 cm.
Migrasi Cm) 0.1 0.5 1.3 1.9 3.1 4.1 4.4
Rf 0.0227 0.1136 0.2955 0.4318 0.7045 0.9318 1.0000
120 Lampiran. 27. Migrasi dan Rf protein standar untuk tilakoid uji cepat BM Standar Log BM (Da) 116400 5.0659530 85200 4.9304396 55600 4.7450748 39200 4.5932861 26600 4.4248816 20100 4.3031961 14300 4.1553360 Keterangan: Jarak start - finish = 5.1 cm.
Migrasi Cm) 0.1 0.4 1.2 1.8 3 3.9 4.8
Rf 0.0196 0.0784 0.2353 0.3529 0.5882 0.7647 0.9412
121 Lampiran 28. Prosedur analisis karakterisasi protein fotosintetik Penyediaan sampel Sebanyak 96 sampel yang dipersiapkan untuk kebutuhan analisis terdiri atas 48 sampel pada stadia vegetatif aktif dan 48 sampel pada stadia pengisian biji. Pengambilan sampel daun padi pada stadia vegetatif aktif diambil secara keseluruhan, sedangkan pada stadia pengisian biji diambil dari daun ke-1, ke-2 dan ke-3 di bawah daun bendera.
Kemudian daun digunting kecil-kecil dan
dittempatkan dalam aluminium foil lalu disiram nitrogen cair.
Selanjutnya
dibungkus dengan aluminium foil tersebut, dimasukkan dalam plastik dan diberi label. Sampel disimpan dalam freezer pada suhu - 80 0C untuk menunggu proses analisis selanjutnya. Total nitrogen daun Penentuan total nitrogen daun dengan menggunakan metode (Mae, Makino dan Ohira, 1983). Sampel daun padi (kurang lebih 3 g berat basah) digerus di dalam mortar dengan bantuan nitrogen cair dan ditambahkan buffer ekstraksi (50 mM sorium phosphate buffer pH 7.4, 15 nM 2-mercaptoetanol, 1.5% (v/v) insoluble PVP) . Fraksinasi nitrogen daun, dilakukan dengan cara sampel dihomogenasi 5 kali volume, homogenat disaring 4 lapis cheescloth. Filtrat disentrifus pada kecepatan 27000 g selama 50 menit.
Supernatan
digunakan untuk menentukan nitrogen daun terlarut (soluble leaf N) dan untuk fraksinasi selanjutnya. Supernatan dibagi dalam volume yang sama, kemudian ditambahkan larutan 15 % (W/V) TCA untuk presipitasi soluble protein-N dan campuran tadi disimpan pada 0 0C selama 30 menit, kemudian disentrifus. Presipitan (endapan) dikumpulkan dan dicuci dengan
etanol sekali.
Fraksi
digunakan untuk menentukan protein-N terlarut (soluble protein-N). Penentuan total nitrogen daun (total leaf N), sampel didiges dengan menambahkan H2SO4H2O2, kemudian ditentukan dengan penambahan Reagent Nesslers, yang selanjutnya diukur dengan menggunakan spectrofotometer. Nitrogen terlarut dan protein–N terlarut ditentukan dengan metode yang sama (penambahan H2SO4H2O2 dan Reagent Nesslers). Nitrogen tidak larut (insoluble N) dihitung dengan pengurangan Total leaf N dengan Soluble N. Untuk penentuan TCA soluble N didapatkan dari hasil pengurangan soluble N dikurangi Soluble protein-N.
122 Isolasi protein total Sampel daun padi sebanyak kurang lebih 3 gram ditempatkan dalam lumpang perselin (mortar) kemudian digerus ditambah nitrogen cair dan ditambahkan buffer ekstraki (100 mM Tris-HCl pH 7.8, 2 mM MgCl2, 20 mM EDTA, 100 mM DTT, 100 mM KCl dan 20 % Sukrosa) dengan perbandingan 1:2. Kemudian dihomogenasi dengan 400 μl larutan phenol jenuh selama 10 menit pada temperatur ruang. Setelah itu disentrifus pada kecepatan 13.000 g selama 30 menit.
Lapisan atas (fase organik) dikumpulkan kemudian diekstrak lagi
dengan 400 μl buffer ekstrak. Setelah disentrifus pada kecepatan yang sama lapisan atas dikumpulkan (200 μl) dan untuk presipitasi protein dengan penambahan 0.1 M amonium asetat dalam metanol. Untuk memperoleh protein yang disentrifus pada kecepatan 13.000 g selama 5 menit, pellet dikumpulkan dan dibilas 3 kali dengan 0.1 M amonium asetat dalam metanol dan sekali dengan
80
%
aseton
ditambah
10
mM
p-merkaptoetanol.
Protein
dikeringanginkan pada temperatur ruang selama 15 menit dan diresipitasi dengan 200 μl buffer A O’farrell (Perez et al., 1996). Dialisis sampel ekstraksi Sampel
ekstraksi
ditempatkan
dalam
kantong
dialisis
(selopan).
Kemudian kantong tersebut dimasukkan ke dalam buffer ekstrak dingin, diaduk perlahan-lahan dengan pengaduk magnit di dalam lemari pendingin (40C). Buffer ekstraksi diganti dua kali setelah 3 jam pengadukan. Pengadukan yang terakhir dilakukan selama semalam dalam lemari pendingin tersebut. Isolasi protein kloroplas Sampel sebanyak
3 g dihomogenasi dengan baffer ekstraksi dengan
perban-dingan 1 : 5 yang mengandung (50 mM HEPES pH. 8.0, 1 mM MgCl2, 1 mM MnCl2, 2 mM EDTA, 330 mM Sorbitol, 5 mM Sodium askorbat). Kemudian dilakukan filtrasi dengan 2 lapis Miracloth.
Filtrat disentrifus pada 22.000 g
0
selama 30 menit pada suhu 4 C. Pellet yang didapatkan disuspensi dengan buffer ekstraksi dalam volume kecil. Selanjutnya pada tahap gradien ditetapkan 16 ml pada 60 % sukrosa pada lapisan bawah dan 8 ml pada 30% sukrosa pada lapisan atas, disentrifus pada 22.000 g selama 30 menit dengan rotor Hitachi SRP 28.
Setelah disentrifus pada lapisan antarbatas yang berwarna hijau
kloroplas dikumpulkan . Kloroplas kemudian di dialisis dan diekstrak dengan
123 buffer garam tinggi yang mengandung (20 mM HEPES pH 8.0, 5 mM MgCl2, 1 mM EDTA, 1 mM DTT, 1 mM PMSF, 1 mM benzamidin, 5 mM caproic acid, 1 M NaCl dan 15 % gliserol).
ε - amino-n-
Ekstrak di presipitasi
melalui
penambahan amonium sulfat sampai 70 % kemudian diikuti sentrifus untuk mengumpulkan pellet. Pellet disuspensikan lagi dan didialisis lagi dengan buffer yang mengandung (50 mM Sodium pospat ph 6.8, 0.2 mM EDTA, 0.5 mM PMSF, 0.5 mM DTT dan 10 % gliserol), Ying-To et al (1996). Isolasi protein membran tilakoid Sampel 10 g, digerus ditambah dengan nitrogen cair dihomogenasi dalam 50 ml buffer(*) yang mengandung 50 mM HEPES- KOH (pH 7.6), 10 mM EDTA dan 10 % (w/v) PEG-4000. Homogenat difiltrasi dengan 2 lapis miracloth. Debris disuspensi dalam baffer yang sama, dihomogenasi lagi dan difiltrasi.
Filtrat
0
digabung, kemudian disentrifus 20. 000 g selama 60 menit pada 4 C. Pelet disuspensi dalam 5 ml buffer (**) yang mengandung 50 mM HEPES-KOH (pH 7.6) dan 10 mM EDTA. Suspensi dibagi 3 lapisan dalam 3 tahap gradien (8 ml pada 2 M sukrosa, 1.5 ml pada 1.3 M sukrosa dan 8 ml pada 0.4 M sukrosa) dalam buffer (**) kemudian disentifus pada 80.000 g selama 60 menit. Membran tilakoid dikumpulkan dari lapisan antarbatas 1.3 M dan 2 M sukrosa. Membran tilakoid diencerkan 6 kali dengan aquadest dan disentrifus lagi pada 20.000 g selama 60 menit. Pellet dikumpulkan dan disimpan pada -80 0C sampai analisis selanjutnya. Analisis kandungan protein terlarut total Purifikasi Suspensikan 2 g sephadex G-200 dalam buffer fosfat pH 8.2 dan simpan 3 malam pada suhu 10 oC. Suspensi dituang ke dalam kolom, jangan sampai ada gelembung udara. Kemudian sampel yang akan dipisahkan dimasukan ± 1 ml. Fraksi ditampung 3 ml sampai semua molekul terelusi. Kadar protein dari tiap fraksi diukur dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 590 nm.
124 Menentukan kadar protein dengan metode Bradford (1976). Kadar protein ditentukan dengan metode Bradford, menggunakan Bovin Serum Albumin (BSA) untuk pembuatan kurva standar. Di dalam tabung 10 ml, dibuat campuran seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Pembuatan Kurva Standar Metode Bradford. No H2O Tabung (μ l) 1 2 3 4 5 6 7
100 95 90 80 60 30 0
Na OH 0.1 M (μl )
BSA mg/ml (μl)
100 100 100 100 100 100 100
0 5 10 20 40 70 100
Reagen Bradford (ml) 3 3 3 3 3 3 3
Komposisi campuran untuk sampel ekstrak sama dengan standar, kecuali sampel yang diambil jumlahnya sebanyak 10 atau 20 μl dan tidak mengandung BSA Larutan tersebut kemudian dicampur dengan menggunakan vorteks dan dibiarkan pada suhu kamar selama 15 menit. sebagai blanko.
Tabung
nomor 1 digunakan
Pembacaan absorbansi dilakukan pada panjang gelombang
595 nm.
Kurva standar dibuat antara konsentrasi standar protein terhadap
absorban.
Kadar protein total di dalam ekstrak ditentukan secara intrapolasi
berdasarkan absorbansi sampel dengan menggunakan kurva standar tersebut.
Analisis pemisahan protein dengan elektroforesis. Persiapan pereaksi Pembuatan larutan stok: Bahan A : Tris-HCl 1.5 M pH = 8.8 Dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 54.45 g Tris base dengan ± 80 ml H2O kemudian pH nya diatur, sehingga tepat 8.8 dengan HCl 1 N lalu ditambahkan H2O sampai volume larutan 150 ml. Bahan B : Sodium Dodecyl Sulfate - 10 % Dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 10 g SDS dalam 100 ml H2O.
125 Bahan C : Akrilamid/Bis = 30 % T, 2.67 % C 46 g Akrilamid ditambah 4g Bis-Akrilamid dilarutkan dalam 500 ml H2O. Bahan D : Ammonium Persulfat 10 % 10 g APS dilarutkan dalam 100 ml H2O (segar) Bahan E : Tris - HCl 0.5 M pH 6.8 Dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 6 g Tris base dengan ±60 ml H2O kemudian pH nya diatur, sehingga tepat 6.8 dengan HCl 1N lalu ditambahkan H2O sampai volume larutan 100 ml. Bahan F : Running Buffer (25 mM Tris, 192 mM glycine, 0.1 % SDS, pH = 8.3) Dibuat dengan cara mencampur zat-zat sebagai berikut : Tris Base
= 9.0 g
Glysine
= 43.2 g
SDS
=3g
H2O
= 600 ml.
Bahan G : Larutan pewarna (staining) Dibuat dengan cara melarutkan : 1.25 g Coomassie Blue R 250 dan 500 g Asam Trikloroasetat dalam 500 ml H2O. Bahan H : Larutan Pencuci (Destaining) Dibuat dengan cara mencampurkan : 70 ml asam asetat pekat 250ml metanol 95% dan H2O ditambah hingga volume larutan 1 l. Bahan I : Buffer Contoh Aquades
4.0 ml
Tris-HCl 0.5 M pH 6.8 1.0 ml Gliserol
0.8 ml
SDS 10 %
1.6 ml
Merkaptoetanol
0.4 ml
Bromofenol blue 5 %
0.2 ml
Bahan J : Ammonium Sulfat 60 % 60 g (NH4 )2 SO4 dilarutkan dengan 100 ml H2O. Bahan K : Sodium Dodecyl Sulfat 1 % 1g SDS dilarutkan dalam 100 ml H2O.
126 Pembuatan media gel Media gel terdiri dari gel bawah (separating gel) dan gel atas (stacking gel) dibuat dengan cara mencampur bahan-bahan pada Tabel 2. Tabel 2. Pembuatan Media gel Pereaksi
Gel Bawah 15 % 4.600 ml 5.000 ml 0.200 ml 10.000 ml 0.020 ml 0.008 ml (3 tetes)
Aquades Tris-HCl SDS - 10 % Akrilamid/Bis APS - 10 % TEMED Jumlah
Gel Atas 5% 5.500 ml 1.000 ml 0.080 ml 1.300 ml 0.080 ml 0.008 ml (3 tetes)
Keterangan : *) Tris-HCL untuk gel bawah pH 8.8 dan gel atas pH 6.8
Larutan gel bawah dituangkan ke dalam cetakan gel (gel plate) dengan batas kira-kira 1 cm di bawah sisir (comb) kemudian di atas larutan gel diberi lapisan air untuk menghindari kontak udara dengan gel. Gel bawah terbentuk kira-kira 15 menit, lalu lapisan air di atas gel dikeringkan dengan kertas pengering. Gel lapisan atas dibuat setelah gel bawah terbentuk. Larutan gel atas dituangkan ke dalam cetakan gel kemudian dengan hati-hati sisir dipasang dan setelah gel bawah terbentuk kira-kira 20 menit, sisir diangkat. Preparasi sampel Preparasi sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut: Sampel
hasil
ekstraksi
yang
telah
ditentukan
kandungan
proteinnya
dipersiapkan, sampel yang mengandung jumlah protein tertentu dari masingmasing perlakuan di masukkan ke dalam tabung ependorf dan ditambahkan buffer sampel sebanyak ¼ volume.
Campuran ini selanjutnya diaduk dan
dididihkan selama 4 menit. Campuran sampel ini diangkat dari pemanas dan didinginkan pada suhu kamar.
127 Proses pemisahan Cetakan gel ditempatkan ke dalam box gel kemudian reservoir atas dan bawah diisi dengan running buffer . Sebanyak 10 μl sampel dengan menggunakan pipet disposable dimasukkan (loading) ke dalam masing-masing sumur tempat sampel dan pada sumur pertama dimasukkan protein standar, setelah itu elektroforesis dihubungkan dengan arus listrik bertegangan 110 volt, selama 4 - 5 jam. Arus listrik dihentikan setelah pewarna protein standar mencapai batas akhir yaitu kirakira 1 cm dari ujung gel dan gel dipindahkan ke dalam wadah pewarnaan. Pewarnaan dan pencuci warna. Pewarnaan dilakukan dengan cara merendam gel ke dalam larutan pewarna dengan commassie brilliant blue R 250 selama 20 menit sambil diaduk dengan menggunakan shaker.
Setelah selesai proses pewarnaan, gel dicuci dengan
menggunakan aquades lalu direndam dalam larutan pencuci warna.
Larutan
pencuci dapat diganti-ganti sampai diperoleh gel yang jernih.
Estimasi bobot molekul Estimasi bobot molekul protein dilakukan dengan cara mengukur jarak migrasi pita protein. Nilai Rf-nya dihitung dengan menggunakan rumus : Jarak pergerakan pita protein dari tempat awal (cm) Rf = Jarak pergerakan pewarna protein pelacak dari tempat awal (cm). Bobot molekul dari masing-masing protein monomer dapat ditentukan dengan cara menghitung nilai Rf dari pita-pita protein yang nampak, lalu dibuat kurva standar log bobot molekul terhadap nilai Rf pita protein standar/marker, untuk mengetahui bobot molekul dari sampel.