PENGEMBANGAN PADI GOGO INDICA TOLERAN KEKERINGAN MELALUI TRANSFORMASI GENETIK GEN REGULATOR HD-ZIP OSHOX6 DAN SELEKSI POPULASI PADI MENGANDUNG MARKA GENETIK QTL 12.1.
ENUNG SRI MULYANINGSIH
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Padi Gogo Indica Toleran Kekeringan melalui Transformasi Genetik Gen Regulator HD-Zip Oshox6 dan Seleksi Populasi Padi yang Mengandung Marka Genetik QTL 12.1 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011 Enung Sri Mulyaningsih NIM A161060061
ABSTRACT ENUNG SRI MULYANINGSIH. Development of Drought Tolerance Upland Indica Rice by Genetic Transformation of HD-Zip oshox6 Regulator Gene and Through Selection on Rice Population Harboring Genetic Marker QTL 12.1. Under direction of HAJRIAL ASWIDINNOOR, DIDY SOPANDIE, INEZ H. SLAMET-LOEDIN, and PIETER B.F. OUWERKERK Drought is the main factor affecting rice productivity in sub-optimal dryland. Therefore, a drought tolerance upland rice cultivar is needed for extensification purposes. Two approaches to generate drought tolerance rice plants have been carried out in this research. First is a genetic transformation and the second is selection for drought tolerance on rice population harboring genetic marker qtl 12.1 in the field. In the first approach, a regulator gene of HD-Zip Oshox6 under a drought inducible OsLEA promotor, has been transformed into Batutegi and Kasalath cultivars. A number of 12 independent lines of each cultivar having one to four copy numbers have been produced. The inserted gene has been observed to follow Mendelian segregation (3:1). Based on the evaluation results of drought stress in the greenhouse, transpiration rate of Batutegi and Kasalath cultivars began to drop in FTSW value of 0.2 and 0.3 respectively, which indicates severe stress. Integration of oshox-6 gene in Batutegi cultivar had no significant effects on the Ψd, RWC and praline content between transgenic and non-transgenic plants. Effects of oshox-6 gene integration are more evident in the Kasalath cultivar at the end of drought period. Character selection to obtain tolerance lines of transgenic plants were: scoring of leaves performance under drought, NTR, Ψd, and RWC, while the proline content was excluded. The transgenic lines of Batutegi (tolerant) and Kasalath (moderate) have self-defense responses most probably through avoidance. Yield of transgenic plants after drought in a pot test is an early indication of plants normality. Futher evaluation needs to be done in the rain-free screen house facility or field. Results of selection in the field in 2008 from F7 rice population harboring genetic marker qtl 12.1 and without marker qtl. 12.1, 21 lines have been selected (13 lines with qtl and 8 lines without qtl). In 2009, 12 moderate genotypes and one tolerant genotype from severe stress were obtained. These lines have high adaptability to the environment. Selection of drought tolerant genotype based on qtl 12.1 marker was not effective. The presence or absence of qtl 12.1 was not restricted with drought tolerance in the lines selected. The reference genotypes, Qtl 71(+) and Qtl 98(+), that were tested in the greenhouse had a defense response most probably through avoidance (by keeping the Ψd and RWC). The FTSW drought test method could differentiate different level of drought stress and drought tolerance of plants. There was drought tolerance correlation in the field and in the greenhouse based on data from selected genotypes of Qtl 71(+) and Qtl 98(+). The FTSW drought evaluation method in the greenhouse can represent the real drought stress condition in the field. Keywords: upland rice, marker selection, FTSW,(cv. Batutegi, cv.Kasalath), transgenic
RINGKASAN ENUNG SRI MULYANINGSIH. Pengembangan Padi Gogo Indica Toleran Kekeringan melalui Transformasi Genetik Gen Regulator HD-Zip Oshox6 dan Seleksi Populasi Padi yang Mengandung Marka Genetik QTL 12.1. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR, DIDY SOPANDIE, INEZ H. SLAMETLOEDIN, dan PIETER B.F. OUWERKERK. Pada tahun 2009, konsumsi beras Indonesia mencapai 139 kg per orang per tahun melebihi rata-rata dunia (60 kg per orang per tahun). Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,4% per tahun, kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2030 mencapai 44 juta ton. Kebutuhan yang demikian besar tanpa diimbangi oleh produksi dikhawatirkan akan menyebabkan kerawanan pangan. Tuntutan produksi yang besar tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang menyebabkan produktivitas padi menurun. Permasalahan tersebut antara lain penyempitan areal lahan sawah, sumber air berkurang, dan perubahan iklim ekstrim akibat pemanasan global. Fenomena perubahan iklim ekstrim antara lain kemarau panjang yang menyebabkan cekaman kekeringan. Disisi lain Indonesia memiliki lahan kering yang mencapai 51 juta ha dan belum dimanfaatkan maksimal. Oleh karena itu, ekstensifikasi ke lahan kering merupakan pilihan potensial sebagai upaya memenuhi kebutuhan beras. Kultivar padi yang tepat diaplikasikan pada lahan tersebut ialah padi gogo. Namun demikian, cekaman kekeringan menjadi salah satu kendala di lahan padi gogo. Anomali iklim yang lebih sering terjadi dan tidak dapat diprediksi menyebabkan periode kekeringan lebih lama. Oleh karena itu perlu dikembangkan kultivar padi gogo toleran kekeringan untuk mengantisipasi perubahan iklim agar bisa dimanfaatkan maksimal di lahan gogo. Selain itu, galur yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk bahan persilangan dengan padi sawah guna mengantisipasi cekaman kekeringan yang terjadi di lahan sawah atau lahan tadah hujan. Padi toleran kekeringan dapat diperoleh melalui persilangan dengan seleksi menggunakan marka molekuler dan transformasi genetik. Transformasi gen regulator faktor transkripsi (FT) berpeluang untuk mendapatkan tanaman padi toleran kekeringan. FT akan meregulasi sejumlah gen lain yang bertanggung jawab terhadap toleransi kekeringan. Gen FT yang digunakan dalam penelitian ini ialah HD-Zip Oshox6 (Homeodomain leucine zipper Oryza sativa homeobox). Gen ini responsif terhadap cekaman kekeringan. Gen ini dikendalikan oleh promotor terinduksi kekeringan (OsLEA/ late embryogenesis abundant). Promotor OsLEA::Oshox6 berada dalam plasmid pC1301H oshox-6 dan ditransformasikan ke dalam genom tanaman padi cv. Batutegi dan Kasalath. Diperoleh masingmasing 12 galur independen dari cv. Batutegi dan Kasalath, dengan jumlah salinan gen sisipan antara 1-4. Gen sisipan yang terintegrasi diwariskan secara Mendel (3:1) berdasarkan hasil PCR dan ekpresi gen hpt pada daun tanaman transgenik cv. Batutegi dan Kasalath. Sebanyak 13 galur transgenik, masing-masing 5 galur dari cv. Batutegi dan 8 galur cv. Kasalath diuji kekeringan di dalam rumah kaca menggunakan metode FTSW. Hasil percobaan menunjukkan akhir periode cekaman kekeringan cv. Batutegi lebih lama dibandingkan cv. Kasalath, hal ini sangat ditentukan oleh latar belakang genetik. Kurva hubungan NTR dan FTSW menunjukkan bahwa
transpirasi cv. Batutegi mulai turun pada nilai FTSW 0,2 dan pada cv. Kasalath 0,3. Kedua nilai FTSW menunjukkan tingkat cekaman berat. Berdasarkan tingkat skoring kekeringan daun dan nilai NTR serta FTSW diperoleh 3 galur Batutegi transgenik toleran dan satu galur moderat toleran. Integrasi gen oshox-6 pada cv. Batutegi secara statistik tidak berbeda nyata untuk karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin diantara transgenik dengan kontrol (BT-WT). kenaikan nilai pengamatan ke arah karakter toleransi kecil antara BTWT dengan transgenik. Diduga karena cv. Batutegi adalah kultivar unggul dan moderat toleran terhadap cekaman kekeringan sehingga pengaruh gen sisipan kecil. Pada cv. Kasalath diperoleh 5 galur toleran kekeringan dan satu moderat toleran. Pengaruh gen oshox6 terhadap toleransi kekeringan nyata pada cv. Kasalath di akhir periode kekeringan (30 hsk) di bandingkan pada cv. Batutegi. Karakter pengamatan yang bisa dijadikan karakter seleksi pada galur-galur transgenik (cv. Batutegi dan cv. Kasalath) untuk mendapatkan galur toleran ialah skoring kekeringan daun, nilai NTR, Ψd dan RWC, sementara kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Galur-galur yang dianggap toleran dan moderat cenderung tidak menunjukkan peningkatan prolin di akhir periode kekeringan. Berdasarkan percobaan ini, galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath toleran dan moderat cenderung memiliki respon pertahanan diri melalui mekanisme penghindaran, dan untuk mekanisme pertahanan lainnya perlu dievalusi lebih lanjut. Nilai produksi tanaman transgenik setelah uji kekeringan dalam pot merupakan indikasi awal normalitas tanaman. Percobaan pot lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis. Seleksi galur unggul perlu dilakukan di fasilitas rumah kasa bebas hujan atau lapang. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter agronomi, terjadi kenaikan bobot gabah per rumpun, biomassa kering dan jumlah gabah bernas per malai ketika terjadi kekeringan pada galur T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A, dan T1-Kas. IV.1A, galur-galur ini merupakan galur potensial unggul. Galur toleran kekeringan dalam penelitian diperoleh juga melalui seleksi terhadap populasi hasil persilangan cv. Vandana x Way rarem. Pada generasi F3 diketahui bahwa segregan persilangan ada yang mengandung marka qtl 12.1 (quantitatif trait loci) dan ada yang tidak mengandung marka. Marka ini mampu mempertahankan hasil ketika terjadi cekaman kekeringan berat pada fase reproduktif menjelang berbunga. Sebanyak 100 genotipe F7 diuji kekeringan pada MK 2008 terpilih 21 genotipe untuk di uji kembali pada MK 2009. Hasil seleksi menunjukkan bahwa karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi karena perlakuan cekaman kekeringan dilakukan ketika jumlah anakan maksimum (menjelang fase generatif). Karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi pada populasi hasil persilangan Vandana x Way rarem. Sementara bobot gabah per umpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per petak (plot), waktu berbunga, indeks panen, indeks sensitivitas kekeringan dapat menjadi karakter seleksi dalam memilih galur-galur potensial toleran dan produktivitas tinggi. Pada percobaan MK-2009, kekeringan cekaman parah dapat menurunkan bobot gabah per umpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per petak, indeks panen dan memperlambat pembungaan. Diperoleh 12 genotipe moderat dan satu toleran pada cekaman berat. Genotipe-genotipe
tersebut memiliki daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, artinya jika ditanam pada lokasi tanpa cekaman maka produktivitas tinggi, dan ketika dalam lingkungan kekeringan, produktivitas tanaman masih cukup tinggi. Galur dengan daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan akan bermanfaat jika ditanam di berbagai lokasi lahan kering dan dapat mengantisipasi kemungkinan kekeringan yang tidak dapat diprediksi. Berdasarkan MK I dan MK II, seleksi genotipe potensial dan toleran kekeringan cukup berdasarkan data dari lingkungan normal dan cekaman berat berat, karena hasil pengamatan lingkungan normal tidak berbeda nyata dengan lingkungan cekaman sedang. Seleksi genotipe toleran kekeringan kurang efektif bila hanya berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1, karena genotipe unggul diperoleh pula dari genotipe yang tidak mengandung marka tersebut. Berdasarkan karakter-karakter seleksi yang digunakan dalam penelitian ini, sulit membedakan antara tanaman toleran dari genotipe yang memiliki marka qtl 12.1 dengan genotipe toleran yang tidak memiliki marka qtl 12.1. Genotipe-genotipe pembanding QTL 71 (+) dan QTL 98(+) yang diuji kekeringan bersama dengan tanaman transgenik cenderung memiliki respon pertahanan diri penghindaran yaitu dengan mempertahankan Ψd dan RWC. Sementara karakter kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Genotipe-genotipe toleran kekeringan dari lapang diduga memiliki daya adaptasi luas, sehingga bisa ditanam diberbagai kondisi dan dapat mengantisipasi cekaman kekeringan yang tidak dapat diduga kejadiannya. Hasil uji kekeringan di rumah kaca dengan tujuan memvalidasi metode uji kekeringan menunjukkan bahwa metode FTSW dapat membedakan tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman yang terjadi selama percobaan. Semakin rendah nilai FTSW semakin berat cekaman yang terjadi. Nilai FTSW yang rendah mempengaruhi nilai normalisasi transpirasi (NTR), sehingga transpirasi semakin rendah. Hasil percobaan menujukkan bahwa tingkat cekaman yang terjadi bersifat berat yang terjadi pada fase reproduktif. Hasil skoring kekeringan daun dalam menentukan klasifikasi toleransi galur-galur tanaman selaras dengan nilai NTR dan FTSW. Ada keselarasan tingkat toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca berdasarkan data dari genotipe terpilih Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) menunjukkan bahwa metode uji kekeringan FTSW di rumah kaca dapat representatif menggambarkan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan.
Kata kunci : padi gogo, seleksi marka, FTSW, (cv. Batutegi, cv. Kasalath), transgenik
C Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN PADI GOGO INDICA TOLERAN KEKERINGAN MELALUI TRANSFORMASI GENETIK GEN REGULATOR HD-ZIP OSHOX6 DAN SELEKSI POPULASI PADI YANG MENGANDUNG MARKA GENETIK QTL 12.1.
ENUNG SRI MULYANINGSIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Trikoesoemaningtyas Dr. Sobir Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Bambang S. Purwoko
Judul Disertasi
Nama NIM
: Pengembangan Padi Gogo Indica Toleran Kekeringan melalui Transformasi Genetik Gen Regulator HD-Zip Oshox6 dan Seleksi Populasi Padi yang Mengandung Marka Genetik QTL 12.1. : Enung Sri Mulyaningsih : A.161060061
Disetujui, Komisi pembimbing
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
Ketua
Anggota
Dr. Ir. Inez H. Slamet-Loedin
Pieter B.F. Ouwerkerk. Ph.D
Anggota
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Agronomi,
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MSc
Tanggal Ujian : 23 Desember 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian dilaksanakan mulai Oktober 2007-Mei 2010, di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Puslit Biologi LIPI dan Kebun Percobaan Balai Penelitian Kacang dan Umbi, Probolinggo. Judul disertasi ialah Pengembangan Padi Gogo Indica Toleran Kekeringan melalui Transformasi Genetik Gen Regulator HD-Zip Oshox6 dan Seleksi Populasi Padi yang Mengandung Marka Genetik QTL 12.1. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc, Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr, Dr. Ir. Inez H. Slamet-Loedin dan Pieter B.F. Ouwerkerk. Ph.D selaku pembimbing atas segala saran, bimbingan, kritik dan nasehatnya selama penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Bambang Prasetya (Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI), atas kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan dan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atas beasiswa yang penulis terima. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dr. Satya Nugroho dan Dr. Amy Estiati (Puslit Bioteknologi LIPI) atas bantuan bahan kimia, dan diskusi. Terimakasih kepada Dr. Paul Naiola dan Dr Nuril Hidayati (Puslit. Biologi LIPI) atas diskusi dan perkenannya menggunakan lab. Fisiologi cekaman.Terimakasih kepada Ir. Imam Sutrisno selaku Kepala KP-Balitkabi Probolinggo beserta staf (Bapak Robert dan Bapak Rohmin) atas segala bantuan selama penelitian lapang berlangsung. Terima kasih kepada Dr. Wien Kusharyoto (Puslit. Bioteknologi LIPI), Imam Sanjaya (Mahasiswa Statistik IPB) atas bantuan analisis grafik dan data. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Oktri Yurika, Bapak Adang dan Bapak Tohar yang telah membantu penelitian di Lab. dan rumah kaca. Terimakasih kepada semua teman di kelti padi atas dukungan dan pengertiannya. Terimakasih kepada teman-teman Agronomi, Biologi dan HPT IPB 2006 atas persahabatannya. Terimakasih untuk temanku Syamsidah Rahmawati dan Sri Hartati, serta semua rekan di Puslit. Bioteknologi LIPI yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dengan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Bapak (Alm), Ibu (Alm), Bapak Mertua (Alm), Mamah mertua, kakakkakak, adik-adik dan keponakan-keponakan di Bogor dan Jakarta atas doa, dorongan dan pengertiannya. Dengan segenap kasih sayang, penulis mengucapkan terima kasih kepada suamiku dan sahabat hatiku Dr. Asrul Muhamad Fuad, MSc, atas doa, kasih sayang, semangat, kesabaran, kesetiaan, diskusi, dan sarannya. Untuk anakanakku tersayang Kaka Akbar dan Dede Rizky, keberhasilan, canda tawa kalian akan selalu menjadi semangat Ibu…. Semoga Allah SWT melimpahkan balasan kepada semua pihak yang telah membantu penelitian dan penulisan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk dunia ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Agustus 1969 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Soekandi dan Mamah. Penulis menikah dengan Asrul Muhamad Fuad pada tahun 1997 dan dikaruniai dua orang putra yaitu Muhamad Akbar Fuad dan Muhamad Rizky Fuad. Penulis menyelesaikan Diploma III Perbenihan IPB pada tahun 1991 dan tahun 1996 mendapatkan gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Djuanda Bogor. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2001 melalui program karyasiswa LIPI. Melalui program karyasiswa LIPI pula pada tahun 2006, penulis menempuh pendidikan S3 di program studi Agronomi IPB. Penulis bekerja di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sejak tahun 1992 dengan jenjang fungsional Peneliti Madya. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi telah diterbitkan pada beberapa jurnal ilmiah nasional. Makalah tersebut ialah: 1. Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi di Jurnal Biologi Indonesia. Vol 6(3): 376-382. 2. Transformasi Padi Indica Kultivar Batutegi dan Kasalath dengan Gen Regulator HD-Zip untuk Perakitan Toleran Kekeringan diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia. Vol 38(1): 1-7. 3. Pewarisan Gen Penanda hpt (hygromycine phosphotransferase) berdasarkan analisis PCR dan ekspresinya pada populasi padi transforman mengoverekspresikan gen HD Zip Oshox-6, diterbitkan pada Berita Biologi Vol 10(1): 59-66.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
…………………………………………………… xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xvi DAFTAR SINGKATAN
……………………………………………
xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang
……………………………………………
Tujuan Penelitian
……………………………………………. 5
Manfaat Penelitian
……………………………………………. 5
Ruang Lingkup Penelitian
1
……………………………………. 6
TINJAUAN PUSTAKA Pengelompokkan Tanaman Padi ...................................................
7
Lahan Marginal dan Cekaman Kekeringan pada Tanaman .......
8
Gen Regulator Faktor Transkripsi untuk Sifat Toleransi Kekeringan .................................................................................... Transformasi Genetik ...................................................................
10 12
Resistensi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan....................
15
Lokus Sifat Kuantitatif (QTL) Cekaman Kekeringan .................
16
Uji Kekeringan ..............................................................................
17
JUDUL 1. Pengujian Tiga Metode Transformasi Agrobacterium untuk Padi Gogo Indica cv. Batutegi dan Kasalath Abstrak ........................................................................................... 21 Abstract …………………………………………………………. 22 Pendahuluan ……………………………………………………... 22 Bahan dan Metode ………………………………………………. 24 Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 30 Kesimpulan
……………………………………………………. 35
JUDUL 2.
Transformasi Padi Indica Kultivar Batutegi dan Kasalath dengan Gen Regulator HD-Zip oshox6 untuk Perakitan padi Toleran Kekeringan
Abstrak ………………………………………………………….
36
Abstract …………………………………………………………
37
Pendahuluan …………………………………………………….
37
Bahan dan Metode ………………………………………………
38
Hasil dan Pembahasan …………………………………………..
41
Kesimpulan
45
……………………………………………………
JUDUL 3. Pewarisan gen penanda hpt (hygromycine phosphotransferase ) berdasarkan analisis PCR dan ekspresinya pada populasi padi transforman Mengandung gen HD Zip Oshox-6 Abstrak ………………………………………………………….
46
Abstract …………………………………………………………
46
Pendahuluan ……………………………………………………..
47
Bahan dan Metode ………………………………………………
50
Hasil dan Pembahasan …………………………………………..
52
Kesimpulan ……………………………………………………..
55
JUDUL 4. Penapisan Genotipe Padi Gogo Toleran Kekeringan dari Populasi Mengandung Marka qtl 12.1. Abstrak …………………………………………………………
56
Abstract ………………………………………………………..
57
Pendahuluan ……………………………………………………
57
Bahan dan Metode ……………………………………………..
59
Hasil dan Pembahasan …………………………………………
63
Kesimpulan ……………………………………………………
74
JUDUL 5. Uji kekeringan galur transgenik cv. Batutegi dan Kasalath mengandung gen regulator HD Zip Oshox-6 dan galur toleran kekeringan hasil seleksi di lapang Abstrak …………………………………………………………
75
Abstract …………………………………………………………
76
Pendahuluan ……………………………………………………
76
Bahan dan Metode …………………………………………….
78
Hasil dan Pembahasan …………………………………………
84
Kesimpulan …………………………………………………….
110
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………..
111
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………..
117
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
120
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
128
DAFTAR TABEL Halaman
1.
Perbedaan dalam tiga teknik transformasi yang digunakan
28
2.
Transformasi menggunakan metode B (Toki et al., 2006)
30
3.
Efisiensi transformasi menggunakan metode C dengan plasmid pNU400 (Hiei dan Komari, 2006)
31
4.
Efisiensi transformasi menggunakan metode C dengan plasmid pUR224 (Hiei dan Komari, 2006)
31
5.
Hasil analisis integrasi gen hpt dan gusA pada cv. Batutegi dan Kasalath
33
6.
Hasil analisis Southern blot cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan DNA pelacak hpt
34
7.
Transformasi pC1301H oshox-6 pada cv. Batutegi dan Kasalath
42
8.
Integrasi gen sisipan (PLEA + oshox6) pada generasi pertama (T0) padi cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan primer dan pelacak hpt
45
9.
Analisis pewarisan untuk karakter keberadaan gen hpt dalam genom dan ekspresi hpt pada populasi tanaman transgenik cv. Batutegi dan Kasalath generasi kedua (T1).
54
10.
Genotipe terpilih berdasarkan percobaan MK 2008 dan digunakan dalam percobaan MK 2009.
62
11.
Rangkuman analisis keragaman perlakuan genotipe, perlakuan kekeringan dan interaksinya pada karakter jumlah anakan produktif, bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas per malai genotipe terpilih, Muneng, MK 2008.
63
12.
Hasil uji lanjut faktor lingkungan terhadap karakter anakan produktif, bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas/ malai genotipe terpilih, Muneng, MK 2008.
64
13.
Hasil genotipe terpilih dan kultivar pembanding untuk karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per plot, berdasarkan uji Tukey, Muneng, MK 2008.
65
xiii
14.
Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, perlakuan kekeringan dan interaksinya pada semua karakter pengamatan dari genotipe terpilih, Muneng, MK 2009.
66
15.
Hasil uji lanjut faktor lingkungan terhadap semua karakter dari genotipe terpilih, Muneng, MK 2009.
67
16.
Hasil uji lanjut faktor genotipe untuk karakter bobot gabah per rumpun, tinggi tanaman, waktu berbunga 50%, jumlah anakan produktif dan jumlah gabah bernas per malai, genotipe terpilih, Muneng MK 2009.
68
17.
Uji lanjut interaksi bobot gabah per petak genotipe terpilih, Muneng MK 2009.
71
18.
Rata-rata hasil gabah, nilai indeks kepekaan genotipe, peringkat hasil dan indeks panen pada kondisi normal dan tercekam dari genotipe terpilih, Muneng, MK 2009.
73
19.
Nilai skoring kekeringan daun pada galur-galur transgenik dan kultivar pembanding
85
20.
Nilai NTR dan FTSW pada galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath terhadap kultivar-kultivar pembanding
86
21.
Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interkasinya pada semua peubah fisiologis cv. Batutegi.
92
22.
Nilai potensial air daun (Ψd) 7 hsk, kandungan air relatif (RWC) 7 hsk dan 45 hsk pada cv. Batutegi.
93
23.
Rerata Potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif (RWC), dan kandungan prolin pada galur transgenik cv. Batutegi dan tanaman pembanding.
95
24.
Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interkasinya pada semua peubah fisiologis cv. Kasalath
97
25.
Uji lanjut faktor lingkungan untuk karakter pengamatan kandungan air relatif (RWC) 7 hsk cv. Kasalath
97
26.
Nilai potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif (RWC), dan kandungan prolin pada beberapa galur transgenik cv. Kasalath dan tanaman pembanding
99
xiv
27.
Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interaksinya pada peubah agronomi cv. Batutegi
28.
Hasil uji lanjut faktor genotipe, galur transgenik cv. Batutegi dan genotipe pembanding untuk karakter bobot gabah per rumpun, jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, waktu berbunga, biomasa kering tanaman dan tinggi tanaman berdasarkan uji Tukey.
100
101
29.
Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interaksinya pada peubah agronomi cv. Kasalath transforman
104
30.
Hasil uji lanjut faktor genotipe, galur transgenik cv. Kasalath dan genotipe pembanding untuk karakter bobot gabah per rumpun, jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, biomasa kering tanaman dan tinggi tanaman berdasarkan uji Tukey.
105
31
Hasil Hasil uji lanjut faktor lingkungan, galur transgenik cv. Kasalath dan genotipe pembanding untuk karakter waktu berbunga dan panjang akar
106
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Struktur gen regulator HD-Zip.
11
2.
Tipe kurva respon tanaman kacang tanah JL24 terhadap cekaman kekeringan dengan metode uji kekeringan FTSW
20
3.
Daerah T-DNA dalam vektor transformasi pUR224.
pNU400 dan
25
4.
Ekspresi GFP dari transforman plasmid pNU400 pada cv. Kasalath dan Batutegi
32
5.
Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt dan gusA pada padi cv. Batutegi dan kasalath
33
6.
Hasil analisis Southern pada cv. Batutegi (A) dan Kasalath (B) denganDNA pelacak hpt.
35
7.
Skema daerah T-DNA dalam vektor transformasi pC1301H Oshox-6.
39
8.
Kegiatan transformasi dan regenerasi kultivar Batutegi dan Kasalath
42
9.
Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt pada populasi Batutegi dan Kasalath hasil transformasi menggunakan pC1301H oshox-6.
44
10.
Hasil analisis Southern blot menggunakan pelacak hpt pada populasi Batutegi (a) dan Kasalath (b) hasil transformasi menggunakan pC1301H oshox-6.
45
11.
Skema daerah T-DNA dalam vektor transformasi pC1301H Oshox-6.
50
12.
Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt pada generasi kedua (T1) tanaman padi transgenik mengandung pC1301H oshox-6 pada cv. Batutegi galur T1-BT II 1B (A) dan Kasalath galur T1-Kas VII 6A (B)
52
13.
Hasil Uji higromisin pada daun tanaman.
54
14.
Hubungan transpirasi harian (NTR) terhadap waktu perlakuan kekeringan.
88
xvi
15.
Hubungan fraksi transpirasi air tanah (FTSW) terhadap waktu perlakuan kekeringan
89
16.
Kurva hubungan antara nilai laju transpirasi harian (NTR) terhadap laju penurunan fraksi traspirasi air tanah (FTSW).
91
17.
Galur-galur transgenik Batutegi merupakan kandidat galur unggul.
109
xvii
dan
Kasalath
yang
PENDAHULUAN Latar Belakang Padi ialah pangan utama yang dikonsumsi sebagain besar penduduk di dunia terutama Asia. Konsumsi beras Indonesia mencapai 139 kg per orang per tahun (teringgi dunia) jauh di atas rata-rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kg per orang per tahun (FAO 2009). Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,4% per tahun (BPS 2006), maka kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2030 mencapai 44 juta ton. Pada tingkat dunia diperlukan peningkatan produksi padi sebesar 40% dalam 25 tahun mendatang (Bernier et al. 2008). Kebutuhan yang demikian besar tanpa diimbangi oleh produksi dikhawatirkan akan menyebabkan kerawanan pangan. Tuntutan produksi yang besar tidak lepas dari berbagai permasalahan yang seringkali menyebabkan turunnya produktivitas padi secara nasional maupun dunia. Permasalahan tersebut antara lain penyempitan areal lahan sawah akibat konversi fungsi lahan, berkurangnya sumber air, dan perubahan iklim ekstrim akibat pemanasan global. Fenomena perubahan iklim ekstrim antara lain kemarau panjang, sehingga Burke et al. (2006) memprediksi luas lahan kering akan terus meningkat di masa mendatang dan persentase lahan kering dunia meningkat dua kali pada periode 1970 hingga awal tahun 2000. Di Pulau Jawa dan Bali pada periode 1979-2004 menunjukkan penundaan musim tanam hingga 30 hari akibat gejala alam El Nino, dan penurunan hasil mencapai 11% (~540 ribu ton). Analisis model iklim memproyeksikan keterlambatan hujan akan semakin sering terjadi di Jawa dan Bali (Naylor et al. 2007). Kejadian El Nino tahun 1997/1998 menyebabkan volume impor beras Indonesia mencapai 5,8 juta ton yang setara dengan 20% dari total perdagangan beras dunia. Musim kemarau panjang tahun 2006 juga menyebabkan sebagian besar lahan pertanaman padi gagal panen dan membuka kembali impor beras. Kedaan ini bukan saja melanda Indonesia, yang secara geografis dipengaruhui oleh iklim makro di sekitar wilayahnya tetapi juga dirasakan secara global. Disisi lain Indonesia memiliki lahan-lahan sub optimal potensial, salah satunya lahan kering. Luas lahan kering Indonesia mencapai 51 juta ha (Ar-Riza 2000) yang belum dimanfaatkan maksimal. Oleh karena itu, ekstensifikasi ke
1
lahan kering merupakan pilihan potensial sebagai upaya memenuhi kebutuhan beras. Kultivar padi yang tepat diaplikasikan pada lahan tersebut ialah padi gogo. Meskipun secara umum produktivitas padi gogo masih rendah dibandingkan padi sawah, namun keberadaannya bisa menjadi solusi guna mengoptimalkan lahan kering sebagai substitusi lahan sawah yang terkonversi. Namun demikian, cekaman kekeringan menjadi salah satu kendala di lahan padi gogo. Anomali iklim yang lebih sering terjadi dan tidak dapat diprediksi menyebabkan periode kekeringan lebih lama. Oleh karena itu perlu dikembangkan kultivar padi gogo toleran kekeringan untuk mengantisipasi perubahan iklim agar bisa dimanfaatkan maksimal di lahan gogo.
Selain itu, tingkat pendapatan petani lahan gogo
umumnya lebih rendah dari petani lahan sawah sehingga secara sosial sangat rentan terhadap kemungkinan gagal panen akibat kekeringan. Galur padi gogo toleran yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk bahan persilangan dengan padi sawah guna mengantisipasi cekaman kekeringan yang terjadi di lahan sawah atau lahan tadah hujan. Padi toleran kekeringan dapat diperoleh melalui persilangan biasa, persilangan dengan seleksi menggunakan marka molekuler, dan transformasi genetik. Hal yang penting dalam pengembangan ini ialah memahami mekanisme toleransi kekeringan karena sifat ini disandikan oleh banyak gen. Shinozaki dan Yamaguchi (2007) mengelompokkan gen-gen ini dalam dua grup. Pertama ialah gen-gen terkait dengan perlindungan sel selama kekeringan (menjaga tekanan osmotik, perbaikan sel, detoksifikasi dan adaptasi struktural) dan kedua terkait dengan mekanisme regulasi respon terhadap kekeringan (protein kinase, enzimenzim terkait metabolisme phosphoinositide, dan faktor transkripsi (FT)). Gengen tersebut ada yang ekspresinya tergantung ABA (asam absisik) dan ada yang tidak (Yamaguchi-Shinozaki dan Shinozaki 2005). Transformasi genetik pada level FT berpeluang untuk mendapatkan tanaman padi toleran kekeringan, karena FT berperan dalam meregulasi sejumlah gen lain yang bertanggung jawab terhadap sifat kekeringan. Beberapa gen regulator FT yang telah dikarakterisasi antara lain DREB (dehydration response element binding) (Yamaguchi-Shinozaki dan Shinozaki 2001), SNAC 1 (stressresponsive NAC1) (Hu et al. 2006), OsNAC10 (Jeong et al. 2010), AP37 dan
2
AP39 (Oh et al 2009), PeSCL7 (Ma et al. 2010) dan HD-Zip (Homeodomain leucine zipper) (Meijer et al. 1997; Meijer et al. 2000). Peningkatan ekspresi gengen regulator ini pada berbagai tanaman dapat meningkatkan toleransi cekaman kekeringan (Scarpella et al. 2005; Hu et al. 2006). Beberapa bukti menunjukkan bahwa HD-Zip terkait dengan adaptasi perkembangan tanaman terhadap cekaman lingkungan. Gen HD-Zip oshox (Oryza sativa homeobox) tanaman padi terdiri dari 33 gen, dikelompokkan dalam famili I, II, III yang posisinya tersebar dalam 12 kromosom. Dari jumlah tersebut baru dua gen oshox yang telah diidentifikasi yaitu oshox1 (HD-Zip II) dan oshox4 (HD-Zip I) (Agalou et al. 2008). Gen oshox6 termasuk HD-Zip I yang responsif kekeringan, regulasinya meningkat ketika ada cekaman kekeringan, namun karakterisasi fungsi gen ini belum dipelajari (Agalou et al. 2008). Perakitan tanaman transgenik dengan menggunakan gen regulator FT untuk cekaman kekeringan umumnya menggunakan promotor konstitutif seperti 35S CaMV (Cauliflower Mosaic Virus). Penggunaan promotor tersebut sering menyebabkan tanaman menjadi kerdil, steril dan berbunga lambat (Jaglo-Ottosen et al. 1998; Kasuga et al. 1999; Purwantomo 2007, Pino et al. 2007). Penggunaan promotor terinduksi kekeringan menjadi dasar pertimbangan karena promotor ini akan bekerja mengekspresi gen targetnya hanya jika ada induser. Beberapa promotor terinduksi kekeringan yang telah digunakan antara lain:
HVA22,
RD29A, dan OsLEA (Xiao et al. 2009; Kasuga et al. 2004; Xiao et al. 2007). Dalam penelitian digunakan promotor terinduksi cekaman kekeringan OsLEA (late embryogenesis abundant) yang memiliki ekspresi kuat pada kondisi kekeringan dan rendah pada saat kondisi normal (Xiao et al. 2007). Gen Oshox6 dikendalikan promotor OsLEA dalam plasmid yang dinamankan pC1301H oshox6. Pada daerah T-DNA plasmid tersebut terdapat gen penyeleksi hpt (hygromycin phosphotransferase) dan penanda gusA yang keduanya dikendalikan promotor 35S CaMV. Gen sisipan hasil transfornasi pada tanaman generasi pertama akan terintegrasi di salah satu pasangan kromosom sehingga tetua bersifat hemizygous. Gen sisipan akan diwariskan pada turunannya. Apabila gen yang terintegrasi
3
bersifat dominan dan terintegrasi pada satu lokus maka pola segregasi akan mengikuti hukum Mendel dengan rasio 3:1. Padi indica banyak dibudidayakan di Asia termasuk Indonesia, namun keberhasilan transformasi genetiknya masih terbatas. Kebanyakan kultivar Indica digolongkan pada indica grup I, yang sebagian besar merupakan kultivar rekalsitran untuk kegiatan kultur jaringan dan transformasi (Zhang et al. 1998; Wunn et al. 1996). Pada padi Indica sering dijumpai kondisi transformasi dan regenerasi yang optimum untuk suatu genotipe tidak optimum untuk genotipe lain. Oleh karena itu, sistem transformasi dan regenerasi tanaman yang efisien dan dapat diulang sangat diperlukan untuk menghasilkan tanaman transgenik. Kegiatan persilangan tanaman padi telah lama dilakukan dan memberikan sumbangan besar bagi terciptanya kultivar unggul. Kegiatan persilangan dengan seleksi menggunakan marka molekuler dapat membantu seleksi lebih akurat. Salah satu marka terkait sifat toleran kekeringan ialah marka qtl 12.1 (quantitative trait locus). International Rice Research Institute (IRRI) membuat persilangan padi gogo kultivar Vandana asal India dan Way rarem asal Indonesia. Pada generasi F3 dilakukan seleksi menggunakan marka molekuler qtl 12.1. Keberadaan marka qtl 12.1
mampu mempertahankan hasil ketika terjadi
cekaman kekeringan berat pada fase reproduktif menjelang berbunga. Pada kondisi tanpa cekaman, qtl 12.1 tidak berdampak nyata pada sejumlah respon pengamatan (Bernier et al. 2007). Lokasi qtl 12.1 berada pada kromosom 12 antara marka SSR RM28048 dan RM 511 (Mc Couch et al. 2002). Seleksi galurgalur unggul di lapangan dilakukan terhadap generasi silangan Vandana x Way rarem dengan perlakuan kekeringan menjelang berbunga. Di Indonesia, tanaman transgenik yang diperoleh tidak dapat diuji langsung di lapangan. Sesuai Peraturan Pemerintah no. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, maka setiap tanaman transgenik harus diuji pada setiap tahapnya. Terkait dengan hal tersebut maka pengujian tanaman transgenik untuk toleransi kekeringan di tahap awal hanya mungkin dilakukan di rumah kaca. Disadari bahwa kondisi lingkungan kekeringan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Uji kekeringan di rumah kaca selayaknya dapat mewakili kondisi
lingkungan kekeringan di lapang untuk dapat melakukan seleksi awal. Selain
4
pemilihan metode uji kekeringan, hal lain yang mungkin dilakukan adalah menggunakan tanaman pembanding toleran kekeringan yang teruji dilapangan. Galur toleran yang digunakan dalam penelitian ini merupakan generasi persilangan cv. Vandana dan Way rarem yang memiliki marka qtl 12.1 yang telah terseleksi di lapangan. Dengan menggunakan pembanding tersebut diharapkan hasil pengujian di rumah kaca dan lapang dapat selaras. Tanaman toleran kekeringan hasil transformasi genetik dan hasil seleksi lapangan
dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekstensifikasi ke lahan marginal
kering. Lahan-lahan yang demikian sebagian besar berada di luar Pulau Jawa. Tanaman toleran yang diperoleh juga bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya musim kering yang tidak dapat diprediksi.
Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan padi gogo transgenik cv. Batutegi dan Kasalath yang mengandung gen toleran kekeringan Oshox6
dikendalikan
promotor
terinduksi kekeringan OsLEA dan teruji toleran kekeringan. 2. Mendapatkan genotipe toleran kekeringan hasil persilangan cv. Vandana dan Way rarem mengandung marka qtl 12.1 dan tidak mengandung marka qtl 12.1. 3. Mendapatkan informasi validasi metode uji kekeringan FTSW (fraction transpiration saol water) untuk seleksi galur toleran kekeringan di tingkat rumah kaca yang menginterpolasi cekaman kekeringan di lapang. Manfaat Penelitian Diperolehnya galur-galur unggul dan toleran kekeringan dari hasil transformasi genetik menggunakan gen regulator oshox-6 dan seleksi populasi yang mengandung marka qtl 12.1 dapat bermanfaat untuk : 1. Menunjang program ekstensifikasi padi di lahan sub-optimal kering 2. Memperbaiki kultivar yang sudah dilepas (Batutegi dan Way rarem) sehingga diharapkan meningkatkan sifat unggul dari kultivar tersebut. 3. Meningkatkan sumbangan produksi beras dari lahan marginal kering. 4. Memperkuat ketahanan pangan nasional.
5
Ruang Lingkup Penelitian 1. Transformasi genetik dengan gen penanda (hpt, gusA dan gfp) pada padi indica cv. Batutegi dan Kasalath. 2. Transformasi gen HD-Zip oshox6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan (OsLEA) pada cv. Batutegi dan Kasalath. 3. Analisis integrasi dan pewarisan gen sisipan dalam genom generasi kedua. 4. Melakukan seleksi genotipe pada populasi hasil persilangan cv. Vandana x Way rarem yang mengandung dan tidak mengandung marka qtl 12.1 di lapangan (MK-1 dan MK-2). 5. Uji kekeringan galur-galur transgenik cv. Batutegi dan Kasalath mengandung gen HD-Zip oshox6 dan genotipe terpilih toleran kekeringan yang memiliki marka qtl 12.1 di rumah kaca.
6
TINJAUAN PUSTAKA Pengelompokan Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan utama yang dikonsumsi sebagian besar penduduk dunia. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari benua Asia dan Afrika Barat-Tropis hingga Subtropis. Bukti sejarah secara arkeologi menunjukkan bahwa padi telah ada pada 8000 tahun sebelum masehi (SM), meskipun waktu budidayanya masih menjadi perdebatan. Terdapat dua spesies padi yang dibudibayakan yaitu Oryza sativa di wilayah Asia dan O. glaberrima di Afrika kedua jenis ini memiliki sejarah budidaya yang unik (Sweeney & McCouch 2007). Genus Oryza memiliki 21 kelompok padi liar yang dibudidayakan (Vaughan et al. 2003). Genus ini dibagi kedalam empat kelompok species yaitu O. sativa, O. officinalis, O. ridelyi dan O. granulata. Semua anggota genus Oryza memiliki jumlah n = 12 kromosom. Persilangan diantara keempat kelompok ini memungkinkan terjadi (Vaughan et al. 2003). Kelompok O. sativa memilki dua species yang dibudidayakan yaitu O. sativa dan O. glaberrima dan enam species liar yaitu O. rufipogon, O. nivara, O. barthii, O. longistaminata, O. meridionalis dan O. glumaepatula yang semuanya diploid.
O. rufipogon sebagai species
tanaman tahunan dan O. nivara sebagai tanaman semusim atau dugaan keduanya sebagai leluhur dari O. sativa hingga saat ini masih menjadi perdebatan (Sweeney & McCouch 2007). Secara botani tanaman padi diklasifikasikan menjadi: Divisi: Spermatophyta, Sub Divisi: Angiospermae; Kelas: Monokotiledonae; Ordo: Gramineales, Famili: Graminiae (Poaceae), Genus: Oryza, Species: Oryza sativa. Berdasarkan ekologinya Oryza sativa mengalami evolusi yang membentuk 3 ras yaitu (a) indica, (b) japonica/sinica dan (c) javanica dengan sebaran area di wilayah Selatan, Tenggara dan Timur Asia (Gupta & O’toole 1986). Adapun ciri-ciri ke-3 ras tersebut menurut Chang dan Bardenas (1976) sebagai berikut: Japonica/Sinica : daun berukuran sempit-lebar, berwarna hijau muda, gabah panjang-pendek, berbentuk bulat panjang dan agak pendek, umumnya gabah tidak berekor, bulu sekam jarang dan pendek, gabah mudah rontok, anakan banyak,
7
batang sedang-tinggi, jaringan lunak, kepekaan terhadap panjang hari bervariasi, kandungan amilosa 23-31% dan suhu membukanya lema dan palea bervariasi. Indica : daun berukuran sempit berwarna hijau tua, gabah pendek dan agak bulat panjang, gabah tidak berekor kalaupun ada berbentuk panjang, bulu sekam lebat dan panjang, gabah sedikit rontok, anakan sedang, batang sedang-pendek, jaringan keras, tidak peka terhadap panjang hari atau agak peka, kandungan amilosa 10-24% dan suhu membukanya lema dan palea rendah. Javanica : daun berukuran lebar, kaku dan berwarna hijau muda, gabah panjang lebar dan tebal, berbentuk bulat panjang dan agak pendek, gabah berekor panjang atau tidak ada, bulu sekam panjang, gabah sedikit rontok, anakan sedikit, batang tinggi, jaringan keras, agak peka terhadap panjang hari, kandungan amilosa 2025% dan suhu membukanya lema dan palea rendah. Berdasarkan habitatnya padi dikelompokkan menjadi padi gogo, padi sawah dan padi kumbang (rawa). Padi gogo tumbuh di lahan kering, padi sawah di lahan tergenang, dan padi rawa di daerah rawa yang dalam. Hampir semua padi unggul yang ditanam di Indonesia tergolong padi cere (indica) (Harahap et al. 1977).
Budidaya padi sawah di Indonesia lebih populer dari padi gogo, jumlah
kultivar padi sawah lebih banyak dari padi gogo, begitu pula produktivitas padi sawah lebih tinggi dari padi gogo. Produktivitas padi secara nasional hingga saat ini masih didominasi padi sawah. Lahan Marginal dan Cekaman Kekeringan pada Tanaman Salah satu upaya peningkatan produktivitas pangan di Indonesia adalah dengan ekstensifikasi pada lahan sub-optimal seperti lahan kering. Luas lahan kering potensial mencapai 51 juta ha, 48 juta ha diantaranya berada di luar Jawa (Ar-Riza 2002) dan baru 10,3% yang telah dimanfaatkan
(BPS 2006).
Ekstensifikasi di lahan marginal tidak terlepas dari cekaman kekeringan terlebih dengan sering terjadinya perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi. Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji 2003). Topologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari
8
pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang (As-syakur 2007). Menurut Sopandie (2006) peningkatan produksi di lahan marginal dapat dicapai melalui berbagai perbaikan yaitu: (1) perbaikan potensi hasil dari galurgalur beradaptasi luas (2) memperbaiki tingkat adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik dan resistensi terhadap cekaman biotik, dengan membuat genotipe tanaman yang lebih sesuai dengan lingkungan tumbuh (3) perbaikan teknik budidaya yang berbasis pengetahuan fisiologis dan ekofisiologis tanaman. Faktor-faktor tersebut harus sinergis agar peningkatan hasil dapat tercapai. Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungan tumbuhnya yaitu media tanam. Menurut Levitt (1980) cekaman kekeringan (drought stress) pada tanaman dapat disebabkan oleh dua hal yaitu (1) kekurangan air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup. Pada lahan kering, cekaman kekeringan pada tanaman terjadi karena suplai air yang tidak mencukupi. Air ialah komponen utama bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Ketiadaan atau kekurangan air bagi tanaman dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan tanaman dan menurunkan produktivitas.
Cekaman kekeringan
adalah salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman di lahan kering, akibat pertumbuhan terhambat dan tingginya sterilitas gabah. Penurunan hasil akibat kekeringan sangat ditentukan oleh derajat kekeringan, periode kekurangan air dan fase pertumbuhan tanaman (Jongdee et al. 2002). Kekeringan pada fase vegetatif seringkali tidak berakibat menurunkan hasil secara nyata (Boonjung & Fukai 1996; Jongdee et al. 2006). Kekeringan yang terjadi ketika pertumbuhan anakan maksimum hingga periode pembungaan dapat menurunkan hasil secara nyata. Kekeringan yang terjadi selama pembungaan berakibat pada rendahnya fertilitas gabah (Boonjung & Fukai 1996; Jongdee et al. 2006; Liu et al. 2006).
9
Gen Regulator Faktor Transkripsi untuk Toleransi Kekeringan Sifat toleran kekeringan merupakan sifat yang kompleks dan dikontrol oleh banyak gen. Gen-gen ini terbagi dalam dua grup, pertama ialah gen-gen terkait dengan perlindungan sel selama kekeringan dan kedua gen-gen yang terkait mekanisme regulasi untuk respon terhadap kekeringan (Shinozaki & YamaguchiShinozaki. 2007). Grup pertama termasuk gen-gen yang menyandikan protein untuk menjaga tekanan osmotik, perlindungan sel terhadap kerusakan, perbaikan sel dan adaptasi struktural. Kelompok gen yang kedua merupakan protein signal transduksi seperti protein kinase dan faktor transkripsi (FT). Faktor transkripsi ialah urutan khusus asam amino yang mampu berikatan dengan DNA untuk mengontrol proses penempelan RNA polimerase sehingga transkripsi terjadi (de Sauza et al. 2003). Identifikasi FT didasarkan pada domain khusus dan daerah yang berperan pada DNA binding atau oligomerisasi (Liu et al. 1999). Rekayasa genetika pada level faktor transkripsi berpeluang untuk mendapatkan tanaman padi toleran kekeringan, karena faktor transkripsi berperan dalam meregulasi ekspresi sejumlah gen lain yang terkait toleransi kekeringan. Beberapa kelas faktor transkripsi yang termasuk dalam respon tanaman terhadap cekaman ialah MYC, MYB, bZIP, AP2, zinc finger protein dan homeodomain-leucin zipper protein (HD-Zip). HD-Zip mempunyai fungsi luas yang terkait dalam perkembangan dan adaptasi tanaman terhadap cekaman. Gen HD-Zip termasuk dalam grup homeobox (HB), hanya dijumpai pada tanaman dan tidak ditemukan pada eukariot lain (Agalou et al. 2008). Kelompok lain homeobox (HB) antara lain: knox (kotted1 like homeobox), HD-Bell, PHD-finger (plant homeodomain-finger), PALE (penta aminoacid loop extension) dan Ndx (PostmaHaarsma 2002).
Masing-masing gen HB dikodekan oleh 61 sekuen asam amino
terkonservasi yang dinamakan homeodomain (HD). Homeodomain mengandung protein faktor transkripasi dan berperan dalam pengikatan DNA spesifik. HD-Zip dalam tanaman bersifat spesifik dan dikarakterisasi berdasarkan keberadaan suatu motif leucin zipper (zip) pada ujung C dari HD. Motif leucin zipper berfungsi dalam pembentukan dimerisasi membentuk homo dan heterodimer dari protein HD-Zip (Ruberti et al. 1991). Berdasarkan sekuen HD dan daerah Zip, kelompok HD-Zip dapat dibedakan menjadi I, II, III, dan IV
10
(Agalou et al. 2008). Kelompok HD pada genom padi merupakan kelompok HDZip I, II dan III. Perbedaan dalam kelompok tersebut diketahui sebagai represor (menekan ekspresi gen) atau aktivator (mengaktifkan ekspresi gen) melalui transkripsi gen. Gen HD-Zip terkait dengan adaptasi perkembangan tanaman terhadap cekaman lingkungan. Gen HD-Zip Athb2 (Arabidopsis thaliana homeobox) dari Arabidopsis berfungsi untuk pertahanan tanaman terhadap naungan.
Gen ini
terinduksi cahaya merah dan overekpresinya mendorong terjadi pemanjangan sel (Steindler et al. 1999). Gen-gen HD-Zip Athb6, Athb7 dan Athb12 pada Arabidopsis ekspresinya terinduksi saat cekaman kekeringan (Lee et al. 2001; Soedarman et al. 1999). Sebanyak 7 gen HD-Zip asal tanaman Craterostigma plantagenium diidentifikasi responsif terhadap kekeringan melalui mekanisme up dan down regulation (Frank et al. 1998; Deng et al. 2002) dan HD-Zip hahb-4 (Helianthus anuus homeobox) dari bunga matahari berpotensi untuk pertahanan diri terhadap kekurangan air.
Helix 3
Leucin zipper 3 Helix2
Helix 1 -
+ H N3
HD DNA pengikat
-COO
Zip dimerisasi
Gambar 1. Struktur gen regulator HD-Zip. Motif HD berperan sebagai DNA pengikat pada ujung N, dan leucin zipper pada ujung C untuk dimerisasi
Meijer et al. (1997; 2000), mengidentifikasi tujuh gen HD-Zip dalam tanaman padi yang dinamakan oshox1-7 (Oryza sativa homeobox). Sekuen gengen tersebut kemudian digunakan untuk menganalisis gen-gen HD-Zip lain (I, II dan III) dalam genom padi dengan program BLAST pada level mRNA dan
11
genomik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 33 gen
HD-Zip pada
tanaman padi japonica yang diklasifikasikan menjadi kelompok I (14 gen), II (14 gene) dan III (5 gen) dengan lokasi tersebar pada 12 kromosom padi (Agalou et al. 2008). Kelompok gen HD-Zip I dan II dari padi (oshox 4, -6, -11, -19, -20, -22, 24, dan -27) diketahui responsif terhadap cekaman kekeringan. Eskpresinya dapat meningkat (ekpresi gen semakin kuat) maupun menurun (ekpresi gen semakin lemah) ketika cekaman kekeringan. Gen oshox6 (HD-Zip I) diketahui pola regulasinya meningkat ketika ada cekaman kekeringan pada cv. Zhenshan (padi sawah indica, sensitif) dan IRAT 109 (padi gogo) setelah tiga hari perlakuan cekaman kekeringan. Pada kultivar IRAT 112, Cabacu, Cisadane, Nipponbare dan T-309 ekspresi gen oshox6 menurun setelah diberi perlakuan kekeringan 48 jam dan gen ini diinduksi ABA pada bagian akar, sehingga jalur transduksi sinyal melalui ABA (Purwantomo 2007; Agalou et al. 2008). Dari sejumlah gen oshox yang ada, baru dua gen yang telah dikarakterisasi yaitu oshox1 (HD-Zip II) dan oshox4 (HD-Zip I) yang diregulasi oleh cekaman kekeringan (Agalou et al. 2008). Karakterisasi oshox1 (HD-Zip II) berfungsi dalam perkembangan tanaman tepatnya di jaringan pembuluh (Scarpella et al. 2000). Karakterisasi gen oshox4 melalui pendekatan overekspresi menunjukkan bahwa gen oshox4 mampu menekan jumlah dan ukuran sel serta memperpanjang fase vegetatif. Oshox4 terekpresi kuat pada jaringan pembuluh akar, batang, dan daun tapi memperlihatkan lokasi khusus pada jaringan floem batang.
Kemampuan
menunda penuaan dan kontrol terhadap jumlah dan ukuran sel menjadi faktor penting untuk potensi aplikasi gen oshox4 dalam pengembangan padi toleran kekeringan (Purwantomo 2007). Transformasi Genetik Teknik transformasi genetik menungkinkan diperoleh tanaman dengan sifat agronomis tertentu. Melalui teknik ini introduksi gen dari organisme lain dapat dilakukan. Potongan gen (DNA) asing dari organisme lain tersebut akan menyatu ke dalam genom tanaman. Pengembangan teknik ini dilakukan setelah ditemukan enzim restriksi (enzim pemotong) yang mampu memotong urutan nukleotida
12
DNA pada tempat spesifik, dan enzim ligase (enzim penyambung) yang menyatukan fragmen–fragmen DNA. Berbagai metode transfomasi genetik tanaman telah dikembangkan, pemilihan metode sangat tergantung pada kemampuan jaringan atau sel tanaman untuk beregenerasi. Salah satu teknik transformasi ialah menggunakan Agrobacterium tumefaciens. A. tumefaciens merupakan bakteri aerob obligat gram negatif yang hidup alami dalam tanah dan dapat menyebabkan penyakit crown gall pada tanaman dikotil (Sheng & Citovsky 1996).
Beberapa keuntungan transformasi menggunakan A. tumefaciens antara
lain: dapat diulang (reproducible), relatif lebih murah, jumlah salinan gen sedikit (antara 1-3), efisiensi transformasi serupa dengan tanaman dikotil, ekspresi dan pewarisan gen stabil, transfer segmen DNA relatif besar dan morfologi tanaman normal dengan fertilitas tinggi (Hiei et al. 1994; Slamet-Loedin 1994). Pada awalnya transformasi dengan Agrobacterium hanya dapat dilakukan pada tanaman dikotil, namun sekarang berhasil digunakan pada monokotil. Hal ini terkait dengan penggunaan senyawa fenolik yang ditambahkan saat transformasi tanaman monokotil.
Senyawa fenolik secara alami dihasilkan
tanaman dikotil sebagai respon pelukaan. Senyawa ini diperlukan bakteri untuk menginduksi gen-gen vir (Sheng & Citovsky 1996). Senyawa fenolik asetosiringone yang ditambahkan ke dalam media ko-kultivasi saat transformasi telah memungkinkan diperoleh tanaman padi transgenik (Hiei et al. 1994). Transformasi genetik padi yang dikemukakan pada pertengahan tahun 1980 bertujuan untuk memodifikasi genetik kultivar-kultivar penting. Kultivar tersebut diharapkan memiliki ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, dengan padi japonica sebagai model. Transformasi genetik pada padi indica belum sebanyak padi japonica, meskipun tanaman indica adalah mayoritas yang dibudidayakan di Asia. Kebanyakan kultivar indica termasuk grup I, yang dinamakan ’true Indica rice’ (Zhang et al. 1998) yang sebagian besar diantaranya merupakan varietas rekalsitran untuk kegiatan kultur jaringan dan transformasi (Wunn et al. 1996). Transformasi genetik sangat terkait dengan sistem regenerasi tanaman. Studi regenerasi melalui kultur jaringan bertujuan untuk melihat respon suatu genotipe terhadap kondisi kultur jaringan. Pada padi indica sering dijumpai bahwa kondisi transformasi dan regenerasi yang optimum untuk suatu genotipe tidak optimum
13
untuk genotipe lain atau optimum hanya pada spektrum sempit. Menurut Ge et al. (2006) potensi induksi kalus dan regenerasi kultur jaringan padi sangat tergantung pada beberapa faktor seperti genotipe tanaman, tipe dan status fisiologi eksplan, komposisi dan konsentrasi garam, komponen organik dan hormon pertumbuhan dalam media. Ge et al. (2006) mengembangkan sistem kultur jaringan untuk peningkatan efisiensi regenerasi terhadap suatu seri near isogenic line dari kultivar IR 24 (4 genotipe) dan tiga kultivar indica lainnya. Genotipe padi yang digunakan ini mewakili keragaman plasma nutfah padi indica. Modifikasi yang dilakukan ialah pada media induksi kalus, media subkultur dan media regenerasi. Percobaan modifikasi media subkultur dan regenerasi pada empat kultivar indica berhasil meningkatkan laju pertumbuhan tanaman, kualitas, diferensiasi kalus dan efisiensi transformasi (Lin & Zhang 2005). Padi indica pertama kali berhasil ditransformasi melalui penembakan DNA (Christou et al. 1991). Transformasi genetik yang berhasil dilakukan melalui A. tumefaciens antara lain terhadap: cv. TSC10 dan IR72 (Aldemita et al. 1996), Tiga kultivar indica Basmati (Rashid et al. 1996), cv. Minghui 63, Zhensan 97, W9864S dan Zhong 419 (Lin & Zhang 2005), cv. Pusa Basmati I (Zhang et al. 1997), IR 64 (Khanna & Raina 2002). Efisiensi transformasi tertinggi (>50%) diperoleh pada sepuluh kultivar indica grup I dengan eksplan berupa embrio zigotik belum masak (Hiei & Komari 2006). Beberapa faktor penting lain untuk keberhasilan transformasi genetik antara lain: tipe dan umur jaringan, genotipe dan berbagai kondisi kultur jaringan yang digunakan, jenis vektor, ukuran vektor, strain Agrobacteruim, konsentrasi dan jenis antibiotik (Hiei et al. 1997). Efisiensi transformasi yang rendah pada indica diduga terkait pula dengan antibiotik yang digunakan, karena antibiotik dapat meracuni kalus (Khanna & Raina. 1999; Rashid et al. 1996). Pemilihan jaringan sebagai material awal yang akan digunakan adalah faktor penting yang menentukan keberhasilan transformasi. Inisiasi kalus dari skutelum padi japonica yang akan transformasi lebih baik dibanding penggunaan material lain seperti tunas dan immature embrio (Hiei et al. 1994). Percobaan menggunakan jaringan muda dan segar dari tanaman sehat yang berupa embrio muda (imature) serta kokultivasi pada jaringan segar juga menentukan
14
keberhasilan transformasi indica (Hiei et al. 2006). Ketepatan pemilihan jaringan dan waktu transformasi dapat
mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan tanaman transgenik. Penggunaan kalus dari bagian skutelum benih padi japonica memerlukan waktu 3 bulan untuk
mendapatkan tanaman
transgenik. Pendekatan lain (Toki et al. 2006), waktu pra kultur yang singkat (1-5 hari) yang kemudian ditransformasi dapat menghemat waktu dua bulan dibandingan menggunakan kalus embriogenik.Teknik ini berhasil dilakukan pada padi japonica seperti Nipponbare, Koshihikari, Dontokoi dan indica Basmati 370, meskipun nilai efisiensi transformasi tidak dikemukakan. Resistensi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan terjadi melalui proses transduksi sinyal. Proses tersebut melibatkan reseptor sebagai penerima signal, phosphoprotein cascade sebagai penghantar signal, dan trans acting factor sebagai pengaktif gen-gen yang mengendalikan respon. Pada gen tertentu ABA berperan sebagai reseptor sekunder yang menghubungkan reseptor utama di membran dengan phosphoprotein cascade, namun pada gen lain respon tanaman tidak tergantung ABA (Mundree et al. 2002; Yamaguchi-Shinozaki & Shinozaki 2005). Mekanisme resistensi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Tanaman padi toleran kekeringan menggunakan mekanisme avoidance dan tolerance. Drought avoidance adalah kemampuan tanaman untuk menyerap air atau untuk menekan hilangnya air sehingga dapat menjaga kecukupan air dalam sel atau jaringan.
Drought
tolerance ialah kemampuan sel untuk hidup dan melakukan fungsi metabolisme meskipun jaringan mengalami kekeringan (Tajima 1995). Fukai dan Cooper (1995) membagi mekanisme adaptasi tanaman terhadap kekeringan di lahan tadah hujan menjadi empat yaitu: drought escape, avoidance, tolerance, dan drought recovery. Sementara Gupta & O’Toole (1986) membagi mekanisme ketahanan kekeringan menjadi lima yaitu: (1) Tahan kekeringan (drought resistance) ialah kemampuan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan secara memuaskan saat terjadi kekurangan air, atau kemampuan tanaman untuk
15
hidup dengan kecukupan air yang terbatas.
(2) Escape kekeringan (drought
escape) ialah kemampuan tanaman untuk masak sebelum cekaman kekeringan terjadi yang merupakan faktor pembatas yang serius.
Pemasakan awal dan
panjang hari adalah terkait dengan mekanisme escape terhadap kekeringan. (3) Penghindaran kekeringan (Drought avoidance) ialah kemampuan tanaman untuk menjaga status kecukupan air selama kekeringan. Bagian tanaman yang berupa akar dan tajuk adalah yang terkait dengan mekanisme penghindaran. (4) Toleran kekeringan (drought tolerance) ialah kemampuan tanaman untuk bertahan pada saat kekurangan air yang diukur melalui derajat dan lamanya potensial air yang rendah dalam tanaman. Toleransi kekeringan mengakibatkan perubahan fisiologi tanaman. (5) Mekanisme penyembuhan (Drought recovery) ialah kemampuan tanaman tumbuh kembali dan menghasilkan setelah terkena cekaman kekeringan. Lokus Sifat Kuantitatif (QTL) Cekaman Kekeringan Teknologi marka molekuler yang terus berkembang sekarang ini telah memungkinkan dipelajari alel-alel terkait yang mengendalikan suatu sifat komplek. Analisis QTL (quantitative trait locus) dapat menyediakan informasi relevan untuk mempelajari sifat-sifat agronomis melalui marka molekuler dengan identifikasi daerah spesifik dalam genom yang mempengaruhi pengukuran suatu sifat (Suh et al. 2005). Dengan menggunakan peta keterpautan molekuler dan analisis QTL, jumlah lokus yang mengendalikan variasi genetik dalam suatu populasi bersegregasi dapat diduga dan diketahui posisinya dalam genom, aksi gen, pengaruh fenotipik, pengaruh pleotropik dan interaksi epistasis dengan QTL lain (Cho et al. 2006). Keberhasilan penggunaan marka molekuler untuk sifat tolelan kekeringan telah dilaporkan. Beberapa karakter yang diamati yaitu: hasil (Lanceras et al. 2004), panjang akar, ketebalan akar, daun menggulung dan sensitivitas stomata (Price et al. 2002; Courtois et al. 2003), osmotic adjusment (Lilley et al. 1996). Seleksi galur toleran kekeringan dan produktivitas tinggi dilakukan dengan menguji galur-galur potensial tersebut pada kondisi tercekam. Seleksi langsung terhadap hasil pada kondisi lapangan cukup air dan kondisi tercekam sangat umum dilakukan untuk mendapatkan galur terpilih. Uji kekeringan di lapangan
16
pada periode anthesis telah dilakukan dengan karakter pengamatan komponen hasil dan komponen agronomi lainnya (Babu et al. 2003; Lanceras et al. 2004). Seleksi galur unggul juga dilakukan terhadap generasi silangan Vandana (India) x Way Rarem (Indonesia) dengan perlakuan kekeringan menjelang berbunga. Hasil percobaan
menunjukkan
bahwa
keberadaan
marka
qtl
12.1
mampu
mempertahankan hasil meskipun cekaman berat (Bernier et al. 2007). Marka qtl 12.1 diwariskan dari kultivar Way Rarem, yang merupakan kultivar tidak toleran kekeringan namun produktivitas tinggi. Sementara Vandana ialah kultivar toleran kekeringan namun produktivitas rendah. Marka qtl 12.1 adalah yang pertama dilaporkan mampu mempertahankan hasil saat kekeringan pada fase reproduksi. Peningkatan hasil mencapai 47% pada cekaman kekeringan berat (Bernier et al. 2007). Lokasi marka qtl 12.1 berada pada daerah 10.2 cM di antara marka RM 28048 dan RM 511 (Mc Couch et al. 2002). Uji Kekeringan Kondisi cekaman kekeringan dipengaruhi oleh banyak faktor. Sifat toleran kekeringan juga dikendalikan oleh banyak gen. Tanaman tahan cekaman kekeringan sangat ditentukan oleh respon tanaman terhadap cekaman tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu metode uji kekeringan yang dapat melihat mekanisme pertahanan tanaman. Karakter pengamatan untuk tanaman dengan respon escape, akan berbeda dengan respon tanaman avoidance begitu pula dengan respon kemampuan penyembuhan setelah terkena kekeringan. Oleh karena itu diperlukan banyak karakter pengamatan agar mekanisme pertahanan tanaman dapat diamati. Dengan kata lain, tidak cukup hanya satu karakter pengamatan untuk menseleksi tingkat toleransi kekeringan dari suatu populasi genetik yang beragam (Price et al. 2002). Populasi hasil silangan kultivar Bala x Azucena yang diuji pada lingkungan berbeda memberikan hasil skoring ketahanan berbeda untuk karakter yang sama. Pengujian kekeringan di lapangan perlu dilakukan pada saat musim kering ketika dijamin bahwa air dalam jumlah terbatas dan dikombinasi dengan penggunaan irigasi. Kondisi yang demikian sangat berat bagi tanaman dan kemungkinan tidak menggambarkan kondisi lingkungan kekeringan alami yang umumnya terjadi.
17
Hal-hal penting lain saat pengujian dilakukan pada lahan demikian ialah kemungkinan irigasi membasahi seluruh tanah hingga kedalaman tertentu sehingga tanah bagian bawah basah, cahaya matahari
penuh, iklim yang panas
dan kering yang mungkin menyebabkan stres fisiologis pada pucuk tanaman (Price et al. 2002).
Uji Kekeringan pada fase generatif lebih berpengaruh
terhadap hasil dibandingkan pengujian pada fase vegetatif. Dengan demikian pengujian pada fase ini dianggap penting dilakukan agar diperoleh gambaran tingkat ketahanan suatu genotipe tanaman terhadap cekamam kekeringan. Seleksi langsung terhadap hasil pada kondisi lapangan cukup air dan kondisi tercekam sangat umum dilakukan untuk mendapatkan tanaman terpilih. Beberapa penelitian lapang untuk populasi tanaman mengandung marka QTL toleran kekeringan antar lain: populasi dauble haploid
(DH), generasi hasil
persilangan padi gogo japonica dengan indica, generasi hasil silangan Vandana x Way Rarem dengan target fase reproduktif (Babu et al. 2003; Lanceras et al. 2004; Bernier et al. 2007). Tanaman transgenik yang telah diperoleh, sebelum diuji di lapangan harus melewati pengujian di rumah kaca. Disadari bahwa kondisi lingkungan kekeringan dipengaruhi oleh banyak faktor yang komplek.
Oleh karena,
pemilihan metode pengujian di rumah kaca hendaknya dapat menginterpolasi kondisi kekeringan di lapang. Penggunaan kultivar atau galur pembanding yang teruji dilapang merupakan hal lain yang perlu dicermati. Uji kekeringan di lapangan dan rumah kaca telah dilakukan terhadap padi transgenik yang mengandung gen SNAC1 (Stress–responsive NAC1) yang bersifat responsif terhadap kekeringan. Percobaan di lapang dilakukan pada fase generatif sedangkan percobaan di rumah kaca dilakukan pada fase vegetatif. Pada percobaan di rumah kaca, setelah pengairan dihentikan semua daun tanaman kontrol menggulung dan sedikit pada transgenik. Sebanyak 50% tanaman transgenik dan 10% tanaman kontrol pulih setelah seminggu pengairan dinormalkan. Karakter yang diamati meliputi karakter fisiologi seperti: tekanan turgor, pengamatan stomata, daun menggulung dan laju fotosintesis (Hu et al. 2006).
18
Evaluasi tanaman toleran kekeringan umumnya dilakukan dengan tingkat cekaman yang sangat berat. Kondisi demikian sangat berbeda dengan kondisi cekaman yang terjadi di alam (Bharnagar-Mathur et al. 2008), seperti yang dilakukan pada percobaan Pellegrineschi et al. (2004).
Selain sistem yang
digunakan untuk menguji penampakan tanaman tersebut, pengamatan dapat dilakukan setidaknya terhadap akumulasi biomasa yang terjadi selama percobaan kekeringan (Bharnagar-Mathur et al. 2008). Karakter lain yang dapat diamati ialah tingkat efisiensi penggunaan air (water use eficiency= WUE) (Sivamani et al. 2000), bobot segar tanaman (Sun et al. 2000), laju pertumbuhan dan pemanjangan batang (Pilon-Smith et al. 1995) serta daya hidup tanaman (Pardo et al. 1998). Menurut Sinclair dan Ludlow (1986), respon tanaman terhadap kekeringan dibagi dalam tiga level (Gambar 2). Kekeringan level pertama ialah: air masih cukup banyak, tanaman dapat mengambil air untuk transpirasi dan stomata terbuka penuh.
Kekeringan level kedua, akar tanaman tidak mampu lagi
menunjang suplai air yang cukup ke bagian atas tanaman (daun) dan stomata secara bertahap menutup menyesuaikan dengan kehilangan air agar turgor daun dapat dipertahankan. Kekeringan level ketiga, ketika akar tanaman sudah tidak bisa lagi mencukupi air untuk transpirasi, stomata menutup dan semua proses fisiologis yang terlibat dalam pertumbuhan termasuk fotosintesis terhambat. Penelitian ini dijadikan dasar uji kekeringan yang kejadiannya berlangsung secara bertahap. Respon tanaman terhadap kekeringan dianggap sebagai fungsi dari fraksi air tanah yang tersedia bagi tanaman (fraction of transpirable soil water, FTSW) dan bukan sebagai fungsi dari periode kekeringan (hari) setelah cekaman kekeringan dilakukan (Bhratnagar-Mathur et al. 2008).
Aplikasi pengujian
kekeringan ini telah digunakan pada tanaman kedelai dan jagung (Ray & Sinclair 1998), kedelai (Sinclair 2005; Hufstetler et al. 2007), kacang tanah (BhratnagarMathur et al. 2007).
19
Gambar 2. Tipe kurva respon tanaman kacang tanah JL24 terhadap cekaman kekeringan dengan metode uji kekeringan FTSW
20
Pengujian Tiga Metode Transformasi Agrobacterium untuk Padi Gogo Indica cv. Batutegi dan Kasalath Examination of Three Methods of Agrobacterium-mediated Transformation for Batutegi and Kasalath Upland Rice Indica Cultivars E.S.Mulyaningsih1,3, H.Aswidinnoor2, D.Sopandie2, I.H. Slamet- Loedin3, P.B.F.Ouwerkerk4 1,3
Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, 3Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 4 Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands
ABSTRAK Transformasi genetik dengan Agrobacterium pada padi japonica sudah banyak dilaporkan dan memiliki efisiensi transformasi tinggi. Akan tetapi informasi keberhasilan pada padi indica sangat terbatas. Optimasi dan evaluasi suatu kultivar indica dapat dilakukan dengan menggunakan gen penanda atau gen pelapor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode transformasi Agrobacterium terbaik untuk padi gogo cv. Batutegi dengan membandingkan tiga metode transformasi sebelumnya. Dua plasmid yang dinamakan pNU400 dan pUR224 digunakan untuk mendapatkan tanaman transforman padi indica cv. Batutegi (padi gogo Indonesia) dan Kasalath (padi gogo Thailand). Plasmid pNU400 mengandung GFP (green flourescens protein) sebagai gen pelapor, plasmid pUR224 mengandung gen penyeleksi hpt (hygromycin phosphotransferase) dan gusA (glucoronidase) sebagai gen pelapor. Masingmasing plasmid ditransformasikan ke dalam genom tanaman padi kultivar Batutegi dan Kasalath dengan A.tumefaciens menggunakan tiga metode transformasi. Transformasi dengan metode C (Hiei dan Komari 2006) adalah yang terbaik untuk menghasilkan tanaman transgenik kedua kultivar dengan menggunakan kedua plasmid. Pembentukan kalus embriogenik Batutegi lebih sulit dari Kasalath, namun regenerasi Batutegi lebih baik dibandingkan Kasalath. Integrasi gen hpt dilakukan dengan PCR dan Southern blot sedangkan gen gfp analisis ekspresi berdasarkan pendaran protein GFP dalam jaringan tanaman. Hasil Southern blot diperoleh 3 galur tanaman independen pada cv Batutegi dan 7 galur pada cv. Kasalath. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa cv. Batutegi dapat ditransformasi dan dapat dijadikan sebagai tanaman target untuk transformasi padi indica. Kata kunci: : Transformasi Agrobacterium, plasmid, gen penyeleksi, gen pelapor
21
ABSTRACT Highly efficiency Agrobacterium mediated transformation on rice has already been reported. However, information on successefully transformation of indica rice varieties is still limited. Optimation and evaluation of an indica rice cultivar could carried out using a selectable marker gene or a reporter gene. The aim of this research is to evaluate the best transformation method for upland rice cultivar Batutegi among three different methods of Agrobacterium-meditated transformation. Two plasmids namely pNU400 and pUR224 were used to obtained transformants of indica rice cultivars Batutegi (Indonesian upland rice) and Kasalath (Thailand upland rice). The pNU400 contains GFP (green flourescens protein) as a reporter gene, whereas the pUR224 harboring the hpt (hygromycin phosphotransferase) and gusA (glucoronidase) genes as selectable marker and reporter gene respectively. Each plasmid was transformed into rice genome of Batutegi and Kasalath cultivars by Agrobacterium mediated transformation using three different methods. The transformation method according to Hiei and Komari 2006 (method C) was the best method to produce transgenic plants from both cultivars, using both plasmids. Formation of embryogenic calli of cv. Batutegi is more difficult than that of cv. Kasalath. However, Batutegi regeneration process was better than the Kasalath. The hpt gene integration was analyzed using PCR and Southern blot, whereas the GFP protein was used to analyze protein expression according to the GFP fluorescences in the plant cells. Southern blot analysis has revealed that there were 3 independent lines from Batutegi dan 7 independent lines from Kasalath. This research has proved that Batutegi cultivar could be transformed and could be used as the target plant for the indica transformation. Key words: Agrobacterium transformation, plasmid, selectable marker, repoter gene.
PENDAHULUAN Padi merupakan makanan pokok bagi lebih dari separuh penduduk dunia terutama Asia termasuk Indonesia. Perbaikan genetik padi melalui persilangan telah menghasilkan banyak kultivar unggul. Akan tetapi, perbaikan sifat tertentu ada kalanya tidak dapat dilakukan karena sumber gen tidak tersedia pada tanaman padi atau kerabatnya. Teknik rekayasa genetika dapat dilakukan untuk melengkapi keterbatasan tersebut sehingga dapat diperoleh tanaman yang memiliki satu sifat beda dari aslinya. Terdapat dua kelompok besar tanaman padi budidaya yaitu jenis indica dan japonica. Padi indica ditanam dan dikonsumsi secara luas di dunia termasuk di Indonesia. Namun, informasi keberhasilan transformasi genetik pada padi jenis ini masih terbatas.
Padi indica sulit ditransformasi karena umumnya sensitif
22
terhadap kegiatan kultur jaringan dan
kurang responsif jika ditransformasi.
Respon padi jenis ini sangat buruk dalam pembentukan kalus, embriogenesis somatik, dan regenerasi (Lin & Zhang 2005). Oleh karena itu diperlukan metode transformasi yang sifatnya dapat diulang untuk menghasilkan tanaman transforman. Transformasi genetik pada tanaman padi dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui Agrobacterium tumefaciens (Agrobacterium mediated transformation = AMT).
AMT memiliki beberapa keuntungan antara lain
efisinesi transformasi lebih tinggi, kemampuan transfer gen dengan ukuran lebih besar, integrasi salinan gen sedikit dan lebih murah. Keberhasilan transformasi genetik dengan AMT diawali pada padi japonica (Hiei et al. 1994) yang kemudian berkembang hingga dapat diaplikasikan untuk padi jenis lain. Transformasi padi japonica dengan AMT memiliki nilai efisiensi yang tinggi, sebaliknya pada indica rendah (Rashid et al. 1996; Nayak et al. 1997; Khanna & Raina 2002). Efisiensi transformasi dapat ditingkatkan terhadap empat kultivar indica dengan melakukan variasi media dasar (Lin & Zhang, 2005). Hiei dan Komari (2006) menggunakan eksplan embrio zigotik muda (immature embryo) hingga efisiensi transformasi mencapai lebih dari 50%. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan nilai efisiensi transformasi indica antara lain tipe eksplan. Eksplan dapat berupa kalus yang dihasilkan oleh skutelum benih (Hiei et al. 1994; Rashid et al. 1996; Kumar et al. 2005; Rames & Gupta 2005), transformasi menggunakan benih secara langsung
(Toki et al.
2006), kalus dari embrio muda (Dong et al. 1996), embrio zigotik muda (Hiei & Komari 2006) dan tunas pucuk (Hiei et al. 1994). Untuk mengetahui kemampuan suatu kultivar padi indica ditransformasi, dapat dilakukan dengan mengintroduksi gen-gen penanda (gen penyeleksi dan gen pelapor) terlebih dahulu. Diperolehnya tanaman hasil modifikasi sangat tergantung pada seleksi jaringan tanaman pasca transformasi. Gen penyeksi yang umum digunakan pada tanaman ialah ketahanan terhadap antibiotik misalnya higromisin (hpt). Jaringan atau sel tanaman yang menerima gen penyeleksi akan mengekspresikan gen hpt ketika ada senyawa antibiotik higromisin dalam media. Gen hpt akan menghasilkan enzim higromisin fosfotransferase yang mampu
23
mendetoksifikasi aminosiklitol higromisin B (Rodriguez & Nottenburg 2002), sehingga sel atau jaringan tersebut tahan dalam media seleksi. Selain menggunakan gen seleksi, studi awal transformasi dapat pula menggunakan gen pelapor. Dengan menggunakan gen pelapor, ekspresi suatu gen dapat langsung dilihat pada jaringan tanaman. Gen pelapor yang biasa digunakan ialah gusA dan gfp. Gen gusA menghasilkan enzim β-glukoronidase (GUS), ekspresinya berwarna biru pada jaringan tanaman ketika ada substrat yang sesuai. Gen gfp akan menghasilkan protein green flourescent dalam jaringan. Gen pelapor gfp memiliki kelebihan karena bersifat tidak merusak jaringan sehingga dapat mengatasi analisis transforman pada material tanaman yang jumlahnya terbatas (El-Shemy et al. 2008). Kultivar indica yang berhasil ditransformasi dan diseleksi menggunakan higromisin dan ekpresi GUS antara lain IR 64 dan IR 72 (efisiensi transformasi masing-masing 4,6-5,5% dan 6,4 – 7,3%), (efisiensi transformasi 22,2%),
ADT 39
MDU 5 (efisiensi transformasi 7,0 – 8,3%)
(Kumar et al 2005; Tyagi et al 2007; Zaidi et al 2006). Keberhasilan transformasi menggunakan gen penanda membuka peluang dilakukannya
transformasi
menggunakan gen-gen target. Pada penelitian ini digunakan padi indica cv. Batutegi yang merupakan kultivar unggul padi gogo asal Indonesia dan cv. Kasalath sebagai pembanding yang berasal dari Thailand. Pada penelitian awal telah dilakukan seleksi terhadap tujuh kultivar padi gogo untuk kegiatan kultur jaringan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa cv. Batutegi adalah yang memberikan respon paling baik untuk menghasilkan plantlet. Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode transformasi paling sesuai untuk padi gogo indica cv. Batutegi dan cv. Kasalath Penelitian dilakukan dengan membandingkan tiga metode transformasi AMT yang telah digunakan sebelumnya (metode Hiei et al. 1994, Toki et al. 2006 dan Hiei & Komari 2006).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler dan rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, pada Oktober 2007-November 2008.
24
Material Penelitian Benih padi cv. Batutegi dan Kasalath diperoleh dari Instalasi Penelitian Padi Muara Bogor. Plasmid rekombinan pNU400 dan pUR224, diperoleh dari Dr. Narayana Uppadhyaya (CSIRO Plant Industry-Australia).
Persiapan Eksplan Benih masak atau benih muda (8-12 hari setelah anthesis) padi cv. Batutegi dan Kasalath dikupas dan disterilisasi (Toki et al. 2006). Eksplan berupa benih masak ditiriskan diatas kertas saring steril sebelum ditanam pada media induksi kalus (Hiei et al. 1994) atau sebelum ditransformasi langsung (Toki et al. 2006). Pada kedua metode ini selanjutnya eksplan disimpan dalam ruang gelap dengan suhu 26°C. Pada ekplan benih muda, embrio zigotik diperoleh dengan cara mengeluarkan embrio muda dari benih menggunakan pinset dalam ruang laminar. Embrio zigotik berukuran 1,3 – 1,8 mm digunakan untuk transformasi.
Strain Bakteri dan Plasmid Plasmid rekombinan (pNU400 and pUR224) ditransformasikan ke dalam sel kompetan A. tumefaciens srain Agl-1 menggunakan elektroporator.
A.
tumefaciens ditumbuhkan dalam medium agar yang mengandung 100 mg/l carbeniksilin dan 50 mg/l kanamisin untuk pNU400. Bakteri yang ditransformasi dengan plasmid pUR224 ditumbuhkan dalam media AB yang mengandung 100 mg/l carbeniksilin dan 50 mg/l spectinomisin. Bakteri ditumbuhkan selama 3 hari pada 28°C. Bakteri diambil dengan menggunakan spatula dan dilarutkan menggunakan media AAM (amino acid medium, yang mengandung 100 mM asetosiringone) hingga mencapai kerapatan sel sesuai dengan metode (Tabel 1).
A B
RB
UbiP
RB
Ub6iP
gfp
Ds5’
UbiP
ori-AmpR
Ac
gusA
Ds3’
LB
bar
35S
hpt
LB
Gambar 1. Daerah T-DNA dalam vektor transformasi pNU400 dan pUR224. (A). (B).
T-DNA vektor pNU400: membawa gen gfp yang dikendalikan promotor ubi. T-DNA vektor pUR224: membawa penanda gen gusA dan hpt yang dikendalikan promotor 35S CaMV.
25
Metode Transformasi A (Hiei et al. 1994) Transformasi dilakukan ke dalam kalus embriogenik dengan media yang dimodifikasi Slamet-Loedin et al (1997). Benih masak yang telah disterilisasi ditanam pada media induksi kalus IK3 sehingga diperoleh kalus embriogenik (media dasar LS yang mengandung 2,5 mg/l 2,4-D dan dipadatkan dengan 0,2% phytagel). Induksi kalus dilakukan selama 2 minggu dalam ruang gelap. Pada saat infeksi, kalus direndam dalam kultur cair Agrobacterium selama 15 menit. Kalus dan bakteri di ko-kultivasi dalam media IK3-AS (IK3 yang mengandung 0,1 M asetosiringone) dan diinkubasi pada suhu 25°C selama 3 hari dalam gelap. Setelah ko-kultivasi kalus dicuci dengan 400 mg/l cefotaxime. Kalus dari plasmid pUR224 diseleksi pada media IK3C250 H50 (IK3 yang mengandung 250 mg/l cefotaxime dan 50 mg/l higromisin) dan kalus transforman pNU400 ditanam pada media yang sama tanpa higromisin. Dua minggu kemudian kalus transforman pUR224 dipindah ke media seleksi IK3C50H50 dan tanpa higromisin untuk kalus transforman pNU400. Kalus yang tahan antibiotik higromisin dari pUR224 dan kalus dari pNU400 disubkultur ke dalam media regenerasi R3B (LS mengandung 0,5 mg/l IAA, 0,3 mg/l BAP dan 0,5% phytagel). Semua plantlet yang diperoleh ditanam pada media MS tanpa hormon, planlet dari pUR224 ditanam pada media MS mengandung 50 mg/l higromisin.
Metode Transformasi B (Toki et al. 2006) Benih masak yang telah steril diprakultur dalam media induksi kalus (media dasar MS yang mengandung 1 mg/l 2,4-D) dan 3% phytagel sebagai bahan padat. Prakultur dilakukan 4 - 6 hari pada ruang gelap dengan suhu 26°C. Setelah prakultur, benih dimasukkan dalam tabung dan direndam dalam larutan Agrobacterium sambil dibolak balik selama 1,5 menit,
kemudian ditiriskan di
atas kertas saring steril. Benih selanjutnya ditempatkan di atas kertas filter steril (Whatman diameter 9 cm) yang telah dilembabkan dengan 0,5 ml larutan bakteri, lalu ditempatkan di atas media kokultivasi (MS mengandung 1 mg/l 2,4-D, 0,1 M asetosiringone). Kokultivasi dilakukan pada kondisi gelap selama 3 hari pada suhu 25°C. Benih dicuci menggunakan air steril 5 kali dan 1 kali dengan larutan yang mengandung 400 mg/l cefotaksim untuk mematikan Agrobacterium. Benih
26
dikeringkan di atas kertas saring steril dan dikultur dalam media seleksi (MS mengandung 1 mg/l 2,4-D, 50 mg/l higromisin dan 250 mg/l cefotaksime) untuk benih yang ditransformasi dengan pUR224 dan pada media yang sama tanpa higromisin untuk benih yang ditransformasi pNU400. Selama dalam media seleksi, kultur disimpan dalam kondisi terang dengan suhu
27°C selama 2
minggu. Kalus yang terbentuk dari bagian skutelum dipindahkan dalam media praregenerasi selama 2 minggu (MS mengandung 1 mg/l kinetin dan 1 mg/l NAA) dan ditambahkan 50 mg/l higromisin untuk transforman dari pUR224. Kalus di subkultur ke dalam media yang sama sebagai media regenerasi. Untuk transforman yang berasal dari pUR224, planlet yang diperoleh ditanam pada media dasar MS tanpa hormon dan mengandung 50 mg/l higromisin.
Metode Transformasi C ( Hiei & Komari 2006) Embrio zigotik muda dikultur dalam media kokultivasi NB-As (media dasar N6 mengandung 2 mg/l 2,4-D, 1 mg/l NAA, 1 mg/l BA, 0,1 M asetosiringone, 5,5 g/l agarose tipe 1). Kokultivasi dengan Agrobacterium dilakukan pada suhu 25°C dalam gelap selama 7 hari, dan tunas yang terbentuk dipotong menggunakan skalpel. Setiap langkah subkuktur menggunakan suhu 30°C dalam kondisi terang. Setelah kokultivasi, embrio zigotik muda disubkultur ke dalam media seleksi NBM-1 selama 5 hari (media NB mengandung 2 mg/l 2,4-D, 1 mg/l NAA, 0,2 mg/l BA, 5 g/l gelrite, 250 mg/l cefotaxim dan 100 mg/l timentin) dengan bagian skutelum menghadap ke atas. Kultur dari plasmid pUR224 dipindahkan ke dalam media seleksi NBM-2 (NBM-1 mengandung 50 mg/l higromisin) selama 3 minggu sedangkan transforman pNU400 dipindahkan ke dalam media NBM-1. Kalus transforman tahan higromisin dari pUR224 dipindahkan ke media pra regenerasi NBPR-hig (media NB mengandung 2 mg/l 2,4-D, 2 mg/l NAA, 1 mg/l BA, 7 g/l gelrite, 50 mg/l higromisin) dan kalus transforman pNU400 ke media NBPR tanpa higromisin selama 10 hari. Selama dalam media NBPR pengamatan terhadap kalus transforman pNU400 yang berpendar dilakukan di atas lampu UV (dark reader). Kalus yang telah cukup besar dan kehijauan asal pUR224 dipindahkan ke dalam media regenerasi RNM-hig (media NB mengandung, 1 mg/l NAA, 3 mg/l BA, 4 g/l agarose tipe-1,
27
40 mg/l higromisin), serta kalus berpendar asal pNU400 dipindahkan ke dalam media regenerasi yang sama tanpa higromisin. Dua minggu kemudian plantlet asal pUR224 dipindahkan ke media perakaran (MS mengandung 2 mg/l NAA, 25 mg/l higromisin) dan tanpa higromisisn untuk pNU400.
Plantlet dengan
perakaran cukup kuat dipindahkan ke dalam media tanah dalam pot. Perbedaan ketiga teknik transformasi disajikan dalam Tabel 1. Pengamatan dilakukan terhadap : Efisiensi transformasi pUR224(%) = Jumlah event PCR hpt +
x 100%
Jumlah benih/ embrio zigotik ditransformasi Efisiensi transformasi pNU400(%) = Jumlah event GFP +
x 100%
Jumlah embrio zigotik ditransformasi Efisiensi regenerasi (%) = Jumlah event GFP +/hpt+_
x 100%
Jumlah embrio zigotik tahan higromisin/GFP + Tabel 1. Perbedaan dalam tiga teknik transformasi yang digunakan Perbedaan Metode A Metode B Metode C Konsentrasi sel OD 600 0,5 - 1 0,1 0,3 Umur benih masak masak belum masak Material tanaman kalus benih embrio belum embriogenik masak Pra inkubasi Tidak Ya Tidak Persiapan kalus Ya Tidak Tidak Waktu infeksi 15 menit 1,5 menit Ditetes langsung Waktu kokultivasi 3 hari 3 hari 1 minggu Waktu seleksi I 2 minggu 2 minggu, 1 minggu Waktu seleksi II 2 minggu 2 minggu 3 minggu Pra regenerasi Tidak Ya, suhu 25°C Ya, suhu 30°C Analisis Integrasi Gen dengan Metode Polimerase chain reaction (PCR) Analisis PCR dilakukan terhadap tanaman transforman generasi pertama (T0) dari plasmid pUR224.
Analisis ini bertujuan untuk mengkonfirmasi
keberadaan gen penyeleksi hpt dan gen pelapor gusA pada genom tanaman. DNA tanaman diisolasi dari tanaman kontrol (tidak ditransformasi)
dan kandidat
tanaman transgenik. Metode isolasi DNA adalah sebagai berikut: daun muda sepanjang 5 cm dimasukan ke dalam tabung 1.5 ml, diberi N2 cair lalu digerus dan ditambahkan 750 μl dapar isolasi. Dapar isolasi terdiri dari dapar lisis (Tris-HCl
28
pH 7.5 0.2 M, EDTA 0.05 M, NaCl 2 M, dan CTAB 2% , CTAB =hexaecyl trimethyl ammonium bromide), dapar ekstraksi (sorbitol 0.35 M, Tris-HCl pH 7.5 0.1 M, 5 mM EDTA) dan 5% sarkosil. Selanjutnya reaksi diinkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam. Kemudian ke dalam tube ditambahkan 750 μl chloroform:isoamylalkohol (24:1) dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 8.000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan ditambah dengan 400 μl isopropanol dingin, lalu disentrifugasi selama 6 menit dengan kecepatan 8.000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 70% etanol. Pelet dalam tabung dikeringkan dan dilarutkan dengan 50 μl dapar TE pH 8.0. Primer yang digunakan ialah gusA forward 5’-TCACCGAAGTTCATGC CAGTCC-3’ dan reverse 5’-ACGCTCACACCGATACCATCAG-3’, hpt forward 5’-GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG-3’ dan reverse 5’-GCATCTCCCGCCG TGCAC-3’. Volume untuk 1x reaksi PCR ialah 20 µl dengan komposisi sebagai berikut: 1x dapar PCR, 0.05 mM dNTP, 0.05 u Taq polymerase, 0,2 μM masingmasing primer (gusA reverse dan forward dan hpt reverse dan forward) dan 100 ng DNA hasil isolasi sebagai cetakan. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan alat PCR Thermal Cycler (Biometra), pada kondisi: satu siklus denaturasi (95oC, 3 menit); 30 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 55oC 1 menit, sintesis 72oC 1 menit]; 72oC 10 menit (pemanjangan final); 4oC (penyimpanan). Hasil PCR dipisahkan dengan alat elektroforesis menggunakan 1% gel agarose selama 45 menit pada tegangan 100 volt. Gel diwarnai menggunakan ethidium bromida (0,5 mg/liter) untuk visualisasi pita DNA produk PCR.
Produk
amplifikasi yang diharapkan masing-masing berukuran 500 pb (pasang basa) untuk gen gusA dan 400 pb untuk hpt. Analisis integrasi
gen pelapor gfp dari plasmid pNU400 dilakukan
terhadap kalus dan plantlet transforman. Ekspresi GFP ditunjukkan oleh pendaran warna hijau dari kalus atau plantlet ketika diamati di bawah UV.
Analisis Integrasi Gen dengan Metode Southern blot Analisis Southern blot bertujuan untuk mengetahui pola integrasi gen dan jumlah salinan gen sisipan pada generasi tanaman pertama (T0).
Hibridisasi
29
Southern dilakukan terhadap tanaman hasil transformasi dengan pUR224. dengan menggunakan fragmen gen hpt sebagai pelacak. DNA genom diisolasi dengan metoda CTAB. Selanjutnya 10 μg DNA genom dipotong menggunakan enzim restriksi ApaI semalam.
Setelah dipisahkan dalam agarose gel 0,8%,
blotting dilakukan dengan metoda alkali transfer ke membran nilon bermuatan positif. Analisis pola integrasi dilakukan dengan hibridisasi Southern mengacu kepada protokol kit dari GE Healthcare (Amersham, UK).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Transformasi Genetik Transformasi dengan metode A (Hiei et al. 1994) tidak menghasilkan plantlet transgenik dari kedua plasmid (pUR224 dan pNU400), meskipun transformasi pUR224 telah dilakukan terhadap 900 kalus Batutegi dan 700 kalus Kasalat. Transformasi dengan plasmid pNU400 dilakukan terhadap 780 kalus Batutegi dan 540 kalus Kasalath. Transformasi dengan metode B (Toki et al. 2006), hanya berhasil diperoleh dari kultivar Kasalath dengan plasmid pUR224. Efisiensi transformasi sebesar 0,65 % dan efisiensi regenerasi sebesar 27,3%. Dari plasmid pNU400 tidak diperoleh kalus ataupun plantlet transgenik yang berpendar sebagai ciri terekspresinya gen penanda gfp (Tabel 2.). Tabel 2. Efisiensi transformasi menggunakan metode B (Toki et al. 2006)
Kultivar
Plasmid
Kasalath pUR224
J. benih J. kalus J. event J. plantlet ditrans. tahan hig. PCR hpt + tahan hig. (C) (A) (B)
465
11
3
3
Efisiensi transformasi (%) (C/A)
Efisiensi regenerasi (%) (C/B)
0,65
27,3
Transformasi metode C (Hiei & Komari, 2006) untuk cv. Batutegi dan Kasalath menunjukkan bahwa metode ini adalah yang terbaik dibandingkan metode A dan B. Hasil transformasi disajikan pada Tabel 3,4 dan Gambar 2.
30
Tabel 3. Efisiensi transformasi menggunakan metode C dengan plasmid pNU400 (Hiei dan Komari, 2006) Kultivar
Kasalath Batutegi
J. embrio J. embrio GFP + ditrans. Plasmid (A) (B)
pNU400
20 60
J.event GFP + (C)
J. plantlet GFP +
Efisiensi transformasi (%) (C/A)
Efisiensi regenerasi (%) (C/B)
10 19
17 30
50,0 31,7
66,7 86,4
15 22
Tabel 4. Efisiensi transformasi menggunakan metode C dengan plasmid pUR224 (Hiei dan Komari, 2006) Kultivar
J. embrio J. embrio J. event J. plantlet Efisiensi ditrans. tahan hig. PCR hpt + tahan hig. transformasi (A) (B) (C) (%) (C/A) Plasmid
Kasalath pUR224 Batutegi
86 101 62
22 2 8
11 2 6
17 13 12
12,8 2,0 9,7
Efisiensi regenerasi (%) (C/B)
50.0 100.0 75.0
Berdasarkan nilai efisiensi transformasi pada Tabel 3 dan 4, nampak bahwa cv. Batutegi lebih rekalsitran dibandingkan cv. Kasalath, untuk kegiatan transformasi genetik. Pada padi indica sering dijumpai kondisi transformasi dan regenerasi yang optimum untuk suatu genotipe, menjadi tidak optimum untuk genotipe lain. Hal ini terjadi pula antara cv. Batutegi dan cv. Kasalath. Untuk mendapatkan sejumlah kalus tahan higromisin atau kalus yang berpendar hasil transformasi dengan plasmid pUR224 dan pNU400 diperlukan jumlah eksplan yang sangat banyak untuk ditransformasi. Metode transformasi A (Hiei et al. 1994) paling tidak sesuai untuk cv. Batutegi dan Kasalath. Dengan plasmid pUR224 yang sama pada japonica cv. Nipponbare, diperoleh lebih dari 1500 tanaman transgenik dengan efisiensi transformasi mencapai 95,6% (Nugroho dkk. 2007). Meskipun metode B (Toki et al. 2006) dapat digunakan untuk merakit tanaman transgenik dengan waktu lebih cepat pada padi japonica tetapi aplikasinya pada indica sangat sulit. Berdasarkan hasil penelitian, metode transformasi C (Hiei dan Komari, 2006) adalah yang terbaik untuk kedua kultivar tersebut. Pencoklatan jaringan setelah diinfeksi adalah masalah paling dominan pada transformasi padi cv. Batutegi, diduga karena pengaruh negatif antibiotik yang dapat meracuni kalus seperti penelitian sebelumnya (Khanna & Raina 1999). Pada metoda A dan B sulit dihasilkan kalus embriogenik (kalus remah, globular
31
dan berwarna putih kekuningan). Selain itu, meskipun kalus bersifat embriogenik tetapi kemampuan kalus untuk membentuk plantlet sangat rendah.
a
e
b
c
f
d
g
Gambar 2. Ekspresi GFP dari transforman plasmid pNU400 pada cv. Kasalath dan Batutegi a dan b kalus cv. Kasalath diamati pada dark reader dan lampu neon c dan d kalus cv. Batutegi diamati pada dark reader dan lampu neon e dan f plantlet Kasalath dan Batutegi, g Plantlet Kasalat GFP + (kiri) dan GFP- (kanan)
Metode transformasi C (Hiei & Komari 2006) adalah yang terbaik untuk menghasilkan transforman bagi kedua kultivar, namun tingkat efisiensi transformasi pada Batutegi lebih rendah dibandingkan Kasalath.
Kalus
embriogenik Batutegi lebih sulit diperoleh dibandingkan Kasalath. Akan tetapi daya regenerasi kalus embriogenik Batutegi lebih tinggi dibandingkan Kasalath sehingga jumlah tanaman yang dihasilkan pada Batutegi lebih banyak dibandingkan Kasalath. Meskipun keberhasilan yang diperoleh dalam penelitian ini masih relatif kecil, tapi membuktikan bahwa cv. Batutegi yang merupakan padi gogo asal Indonesia dapat ditransformasi. Adanya respon untuk transformasi pada cv. Batutegi telah membuka peluang dijadikannya kultivar ini sebagai target transformasi genetik. Terpilihnya metode transformasi C sebagai metode terbaik untuk cv. Batutegi dan Kasalath diduga selain ditentukan oleh teknik transformasi dan media, juga eksplan yang digunakan. Eskplan berupa embrio zigotik muda merupakan kumpulan sel meristem yang aktif membelah.
32
Analisis Integrasi Gen Analisis PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk gen hpt dan gusA dilakukan terhadap 25 tanaman cv. Batutegi dan 17 tanaman cv. Kasalath. Tanaman-tanaman tersebut merupakan hasil transformasi dari plasmid pUR224. Hasil analisis dibedakan antara tanaman yang mengandung hpt dan gusA, mengandung hpt tapi tidak mengandung gusA, mengandung gusA tetapi tidak mengandung hpt, dan tanaman yang tidak mengandung gusA maupun hpt (Tabel 5 dan Gambar 3). Tabel 5. Hasil analisis integrasi gen hpt dan gusA pada cv. Batutegi dan Kasalath Jumlah Tanaman
Kultivar
J. tanaman diuji
Hpt +/Gus+
Hpt +/Gus-
Hpt -/Gus-
Batutegi Kasalath
25 17 Total Total tan.
19 9 28 42
4 6 10
2 2 4
gus, 500 bp λ
1 2 3 4 5 6 7
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
hpt, 400 bp
Gambar 3. Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt dan gusA pada padi cv. Batutegi dan kasalath χ hind III; 1. plasmid pUR224; 2. pCambia 1301; 3. K+ pUR224 (cv Nipponbare); 4. K- Niponbare ; 5. K- Batutegi ; 6. K- Kasalath; 7.air ; 8 - 23 cv. Transforman Batutegi; 24 – 35 transforman Kasalath
Berdasarkan data hasil analisis PCR diperoleh bahwa dari 25 tanaman cv Batutegi, 19 tanaman diantaranya menunjukkan keberadaan pita yang berukuran 500 pb (gusA) dan 400 pb (hpt). Sedangkan pada cv. Kasalath dari 17 tanaman yang diuji, 9 tanaman menunjukkan adanya kedua pita hasil amplifikasi. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada satupun tanaman yang hanya mengandung pita amplifikasi gusA. Analisis PCR dan Southern blot hanya dilakukan terhadap tanaman hasil transformasi dengan plasmid pUR224, sementara integrasi gen gfp dilakukan berdasarkan ekspresi gen tersebut yang diamati pada uv dark reader.
33
Analisis Southern blot selain bertujuan untuk mengetahui integrasi gen sisipan juga untuk melihat pola integrasinya dalam genom. Material tanaman yang digunakan untuk analisis ialah yang mengandung gen hpt dan gusA berdasarkan PCR. Jumlah tanaman diuji masing-masing sebanyak 12 tanaman cv. Batutegi dan 9 tanaman Kasalath (Tabel 6 dan Gambar 4).
Tabel 6. Hasil analisis Southern blot cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan DNA pelacak hpt Kultuivar Percobaan Jumlah ke transforman
Lajur
Batutegi
6,7,8 11
Jumlah salinan gen
1
Kasalath
I II III II IV V VII VIII
3 1 1 3 1 1 1 1
3
4
1
Tdk ditampilkan
7,8,9 10 11 13 14
2 3 1
3 1 1
1 1 Hasil analisis Southern blot pada cv. Batutegi menujukkan bahwa BT-1-8, BT-1-9,
BT-1-10 adalah merupakan galur yang sama (sister line) dengan 2
salinan gen sisipan. Tanaman-tanaman tersebut berasal satu embrio zigotik bahkan diduga berasal dari satu sel yang kemudian berploriferasi membentuk tanaman. Galur BT-2-16 dan BT-3-3 masing-masing memiliki 1 dan 2 gen sisipan. Dengan demikian pada cv Batutegi diperoleh 3 galur tanaman yang berbeda. Pada cv Kasalath diperoleh 7 galur yang berbeda yaitu Kas-2-2a, Kas2-2b, Kas-2-5, Kas-4-1, Kas-5-2, Kas-7-4, Kas-8-2. Meskipun tanaman Kas-2-2 dan
Kas-2-5 berasal dari embrio zigotik yang sama saat transformasi tetapi
diduga mereka berkembang dari sel berbeda. Ketiadaan pita dari hasil hibridisasi Southern pada beberapa galur yang diuji diduga karena kualitas DNA yang kurang baik, meskipun galur-galur tersebut menunjukkan keberadaan pita gen hpt saat PCR.
34
1
2
3
4 5 6
7 8 9 10 11
1
2 3 4 5
6
7 8 9 10 11 12 13 14
Batutegi A
Kasalath B
Gambar 4. Hasil analisis Southern pada cv. Batutegi (A) dan Kasalath (B) denganDNA pelacak hpt. A. Kolom 1, 2 : plasmid pUR224, kolom 3: Batutuegi non transforman, kolom 4, 5, 6, 7, 8, dan 11 : BT-1-6, BT-1-7, BT-1-8, BT-1-9, BT-1-10, BT-2-16 B. Kolom 1, 2 : plasmid pUR224, kolom 3: Kasalath non transforman, kolom 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14: Kas-1-1, Kas-2-2a, Kas-2-2b, Kas-2-5, Kas-4-1, Kas-5-2,Kas-7-1, Kas-7-4, Kas-8-2.
KESIMPULAN 1. Metode transformasi C (Hiei & Komari 2006) adalah yang terbaik untuk cv. Batutegi dan Kasalath. 2. Efisiensi transformasi pNU400 50% dan 31,7% masing-masing untuk cv. Kasalath dan cv. Batutegi. Efisiensi transformasi pUR224 12,8% dan 2%9,7% masing-masing untuk cv. Kasalath dan cv. Batutegi. 3. Kalus embriogenik Batutegi lebih sulit diperoleh dibandingkan Kasalath, namun daya regenerasi Batutegi lebih baik dibandingkan Kasalath. 4. Diperoleh tanaman transforman dari plasmid pUR224 masing-masing 17 tanaman cv. Kasalath dan 25 tanaman cv. Batutegi.
Pada transforman
pNU400 diperoleh 17 tanaman cv. Kasalath dan 30 tanaman dari cv. Batutegi. Integrasi gen sisipan, diperoleh 3 galur tanaman independen pada
cv.
Batutegi dan 7 galur pada cv. Kasalath hasil transformasi dengan pUR224.
35
Transformasi Padi Indica Kultivar Batutegi dan Kasalath dengan Gen Regulator HD-Zip oshox6 untuk Perakitan padi Toleran Kekeringan Transformation of HD-Zip oshox6 Regulatory Gene for Batutegi and Kasalath Indica Rice cultivars for Drought Tolerant E.S.Mulyaningsih1,3, H.Aswidinnoor2, D.Sopandie2, I.H. Slamet- Loedin3, P.B.F.Ouwerkerk4 1,3
Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, 3Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 4 Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands
ABSTRAK Ekstensifikasi tanaman di lahan sub-optimum kering seringkali dibatasi oleh musin kemarau yang panjang dan kekurangan air. Rekayasa genetika pada level faktor transkripsi (TF) merupakan strategi menjanjikan dalam mengembangkan kultivar padi toleran kekeringan. Gen-gen HD-Zip merupakan faktor transkripsi yang memiliki fungsi untuk adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan termasuk kekurangan air. Plasmid rekombinan plasmid pC1301H oshox-6 yang mengandung gen HD-Zip oshox6 dikendalikan oleh promotor terinduksi kekeringan OsLEA posisinya tandem dengan gen gusA dan hpt yang dikendalikan promotor konstitutif. Plasmid rekombinan ditransformasi ke dalam embrio zigotik muda menggunakan Agrobacterium tumefaciens. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan padi indica transgenik dari kultivar Batutegi dan Kasalath menggunakan plasmid pC1301Hoshox-6. Pembentukan kalus embriogenik yang rendah dan pencoklatan jaringan adalah masalah utama pada transformasi padi cv. Batutegi. Rendahnya efisiensi transformasi cv. Batutegi diduga karena kultivar ini rekalsitran untuk kegiatan transformasi. Jumlah plantlet putatif transforman masing-masing 61 plantlet Batutegi dan 46 plantlet Kasalath. Keberadaan gen hpt dalam genom dapat menjadi indikasi keberadaan gen target OsLEA :: oshox-6. Pita hpt hasil PCR dapat muncul pada sebagian tanaman dan tidak muncul pada sebagian lainnya meskipun tanaman-tanaman tersebut berkembang dari satu embrio, diduga tanaman-tanaman tersebut berkembang dari sel yang berbeda. Diperoleh 12 galur independen masing- masing untuk Batutegi dan Kasalath, dengan jumlah salinan gen sisipan antara 1-4. Kata kunci: padi gogo, oshox6
Agrobacterium tumefaciens, LEA promotor, HD-Zip
36
ABSTRACT Crop extensification in marginal dryland is often repressed by extended dry season and water deficiency. Genetic engineering at the level of transcription factors (TF) is a promising strategy in developing drought tolerant rice cultivar. HD-Zip genes are TF that function in plant adaptation to some environmental stresses including water deficit. The recombinant plasmid pC1301H oshox-6 which contained HD-Zip oshox6 gene was placed under a drought inducible OsLEA promoter, whereas gusA and hpt genes were driven by the constitutive CaMV promotor. The recombinant plasmid was transformed into immature rice embryos using Agrobacterium tumefaciens. The aim of this research is to obtain indica rice transgenic plants of Batutegi and Kasalath cultivars using pC1301H oshox-6 plasmid. Low number of callus formation and browning phenomenon were the main problem of the Batutegi transformation. A very low transformation efficiency of Batutegi was suggested due to recalcitrant type of this cultivar against transformation processes. The number of putative plantlet obtained were 61 and 46 plantlet from each Batutegi and Kasalath respectively. The integration of hpt gene into the genome might indicate the presence of the target gene OsLEA::oshox-6 within the genome. The hpt gene was detected in some plantlets but not detected in some others eventhough they were originated from the same embryo. It was suggested that they were developed from different cells within the same embryo. A number of 12 independent lines having 1 to 4 gene(s) copy number were obtained from each Batutegi and Kasalath cultivars. Key words: upland rice, Agrobacterium tumefaciens, LEA promotor, HD-Zip oshox6
PENDAHULUAN Salah satu upaya peningkatan produktivitas padi di Indonesia adalah dengan ekstensifikasi ke lahan marginal kering. Luas lahan kering potensial yang dapat dimanfaatkan mencapai 51 juta ha, 48 juta ha diantaranya berada di luar Jawa (ArRiza, 2002). Salah satu masalah utama ekstensifikasi pada lahan ini adalah cekaman kekeringan terlebih dengan anomali musim yang sering terjadi akhirakhir ini. Akibat anomali musim, seringkali periode kekeringan menjadi semakin lama. Oleh karena itu, perlu dikembangkan varietas padi gogo toleran kekeringan. Teknik transformasi genetik memungkinkan diperoleh tanaman transgenik yang memiliki sifat lebih unggul dari tanaman aslinya. Sifat toleran kekeringan disandikan banyak gen, oleh karena itu transformasi genetik dengan menggunakan gen regulator seperti faktor transkripsi (FT) berpeluang untuk mendapatkan
37
tanaman padi toleran kekeringan. Gen regulator FT berperan dalam meregulasi sejumlah gen lain yang bertanggung jawab terhadap sifat toleransi kekeringan. Gen HD-Zip adalah salah satu faktor transkripsi yang terkait dengan adaptasi perkembangan tanaman terhadap cekaman lingkungan. Pada tanaman padi terdapat 33 gen HD-Zip oshox (Oryza sativa homeobox). Pola ekspresi sebagian gen ini meningkat pada beberapa kultivar ketika terjadi cekaman kekeringan. Namun pada sebagain gen lainnya menurun ketika ada cekaman kekeringan. Hal ini ditentukan oleh tingkat sensitivitas tanaman terhadap cekaman kekeringan (Agalou et al. 2008). Dua gen oshox yang telah dikarakterisasi ialah oshox1 (HD-Zip II) dan oshox4 (HD-Zip I) yang diregulasi oleh cekaman kekeringan. Salah satu gen oshox yang belum dikarakterisasi fungsinyan ialah oshox6 (HD-Zip I). Pola ekspresi gen ini meningkat atau menurun pada beberapa kultivar ketika ada cekaman kekeringan (Purwantomo 2007; Agalou et al. 2008). Penggunaan promotor terinduksi kekeringan menjadi pertimbangan mendapatkan tanaman transgenik yang diharapkan.
Salah satu promotor
terinduksi cekaman kekeringan ialah OsLEA (Oryza sativa late embryogenesis abundant) yang memiliki ekspresi kuat hanya pada kondisi cekaman kekeringan dan memiliki ekspresi rendah pada saat kondisi normal (Xiao et al. 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan padi gogo indica transgenik kultivar Batutegi dan Kasalath yang mengandung gen HD-Zip Oshox6 yang dikendalikan promotor OsLEA.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler dan rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, pada Oktober 2008-November 2009. Material Penelitian Benih padi cv. Batutegi dan Kasalath diperoleh dari Balai Penelitian Padi Muara Bogor. Plasmid rekombinan pC1301H oshox-6 diperoleh dari Dr. Pieter B.F. Ouwerkerk, PRI Leiden University.
38
Persiapan Eksplan Benih muda (immature) yang berumur 8-12 hari setelah anthesis dari cv. Batutegi dan Kasalath dikupas dan disterilisasi mengikuti prosedur yang dikemukakan Toki et al. (2006).
Embrio zigotik muda dikeluarkan dari benih
immature menggunakan pinset dalam ruang laminar. Embrio zigotik muda berukuran 1.3 – 1.8 mm digunakan sebagai eksplan untuk transformasi genetik.
Strain Bakteri dan Plasmid Plasmid rekombinan pC1301H oshox-6 (Gambar 1) ditransformasikan ke dalam sel kompetan A. tumefaciens strain EHA 105 dengan menggunakan elektroporator.
A. tumefaciens ditumbuhkan 3 hari dalam medium AB yang
mengandung 20 mg/l rifampisin dan 50 mg/l kanamisin pada suhu 28°C. Bakteri diambil menggunakan spatula dan dilarutkan menggunakan media AAM (media asam amino mengandung 0.1 M asetosiringone) hingga kerapatan sel mencapai sekitar 0.3 pada panjang gelombang λ600. LB
hpt II
CaMV
Oshox6
OsLEA
CaMV
gusA
RB
Gambar 1. Skema daerah T-DNA dalam vektor transformasi pC1301H Oshox-6. RB, Right border; hpt II, gen penyeleksi higromisin; CaMV, Promoter dari Cauliflower Mozaic Virus; gen oshox-6; OsLEA, promotor dari padi late embryogenesis abundant, gen penanda gusA; RB, Right Border.
Transformasi Genetik ke dalam Embrio Transformasi
genetik menggunakan metode yang dikemukan Hiei dan
Komari (2006) karena metode ini paling sesuai untuk cv. Batutegi dan Kasalath (Mulyaningsih et al. 2010a). Material tananan yang ditransformasi ialah embrio zigotik muda yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada saat regenerasi, kalus kultivar Batutegi yang telah cukup besar dan mulai menunjukkan warna kehijauan dipindahkan ke dalam media regenerasi RNM (Hiei dan Komari 2006). Pada Kasalath kalus yang mulai menunjukkan kehijauan diregenerasikan dalam media R05 (Slamet-Loedin, 2007 tidak dipublikasi). Media tersebut terdiri dari media dasar MS + 30 g/l sukrosa + 30 g/l sorbitol + 1 mg/l kinetin + 1 mg/l NAA + 10 g/l agarose tipe 1. Dua minggu kemudian plantlet yang terbentuk dikultur pada 39
media perakaran (MS + 2 mg/l NAA + 25 mg/l higromisin). Plantlet dengan perakaran cukup kuat selanjutnya dipindahkan ke dalam media tanah dalam pot.
Pengamatan dilakukan terhadap : Efisiensi transformasi (%) = Jumlah event PCR hpt +
x 100%
Jumlah embrio zigotik ditransformasi Efisiensi regenerasi (%) =
Jumlah event PCR hpt +_
x 100%
Jumlah embrio zigotik tahan higromisin
Analisis Integrasi Gen Metode PCR (polimerase chain reaction) Analisis PCR dilakukan untuk konfirmasi keberadaan gen sisipan pada tanaman generasi pertama (T0). Konfirmasi berdasarkan keberadaan gen hpt. DNA tanaman diisolasi dari tanaman kontrol (tidak ditransformasi) dan kandidat tanaman transgenik. Metode isolasi DNA mengacu pada percobaan sebelumnya menggunakan CTAB (hexaecyl trimethyl ammonium bromide). Primer yang digunakan ialah hpt forward 5’-GATGCCTCCGCTCGAAGTA GCG-3’dan hpt reverse 5’-GCATCTCCCGCCGTGCAC-3’. Volume untuk 1x reaksi PCR ialah 12.5 µl dengan komposisi : 6.25 μl taq polimerase kit (dream taq), 0.2 μM primer hpt reverse, 0.2 μM primer hpt forward, 100 ng DNA hasil isolasi sebagai cetakan. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan alat PCR Thermal Cycler (Biometra) pada kondisi PCR sebagai berikut:
satu siklus
denaturasi (95oC, 3 menit); 30 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 65oC 1 menit, sintesis 72oC 1 menit]; 72oC 10 menit (pemanjangan final); 4oC (penyimpanan). Hasil PCR dianalisis pada 1% gel agarose. Gel diwarnai menggunakan ethidium bromida untuk visualisasi pita DNA produk PCR. Produk amplifikasi yang diharapkan berukuran +500 pb (pasang basa).
Analisis Integrasi Gen dengan Southern Blot Analisis Southern blot bertujuan untuk mengetahui pola integrasi gen sisipan dalam genom dan jumlah salinan gen tersebut. Pengujian dilakukan terhadap transforman generasi pertama (T0) dengan menggunakan DNA pelacak hpt. Metode Southern blot memerlukan DNA genom sebagai DNA cetakan yang 40
dianalisis. DNA tanaman diperoleh dari hasil isolasi daun dengan menggunakan metoda CTAB. Sebanyak 10 μg DNA genom dipotong menggunakan enzim restriksi BamHI semalam. Setelah dipisahkan dalam agarose gel 0.8%, blotting dilakukan dengan metoda alkali transfer ke membran nilon bermuatan positif. Analisis Southern hibridisasi mengacu pada protokol kit dari GE Healthcare (Amersham, UK).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Transformasi Genetik ke dalam Embrio padi Pada cv. Batutegi, hasil transformasi diperoleh dari tiga kejadian (event) transformasi meskipun telah dilakukan 50 kali transformasi. Kegiatan transformasi pada Kasalath telah dilakukan sebanyak
38 kali, dan diperoleh
tanaman transgenik dari lima event transformasi. Kesulitan dalam transformasi padi indica cv. Batutegi dan Kasalath antara lain rendahnya kemampuan embrio membentuk kalus embriogenik, rendahnya kalus beregenerasi, dan pencoklatan jaringan setelah kokultivasi (Mulyaningsih et al. 2010a). Diduga pula rendahnya efisiensi transformasi pada indica terkait dengan antibiotik yang digunakan, karena antibiotik dapat bersifat meracuni kalus (Khanna & Raina 1999). Jumlah kalus embriogenik dan tahan higromisin yang diperoleh setelah transformasi akan mempengaruhi nilai efisiensi transformasi. Secara umum nilai efisiensi yang diperoleh pada kedua kultivar masih sangat rendah masing-masing antara 1,0-8,6 % untuk Batutegi dan 0,5 – 5,0% untuk Kasalath. Persentase nilai efisiensi yang rendah diduga karena kegiatan transformasi menggunakan embrio zigotik utuh (tidak dilakukan pemotongan embrio), sementara pada percobaan Hiei dan Komari (2006) dilakukan pemotongan embrio. Selain itu, diduga bahwa kultivar ini termasuk indica grup I (Zhang et al. 1998) yang sebagian besar bersifat rekalsitran untuk kegiatan kultur jaringan (Wunn et al. 1996). Kemampuan kalus cv. Batutegi untuk beregenerasi cukup tinggi (66,7% 83,8%) dibandingkan pada cv. Kasalath (12,8% - 50%).
Dari tiga kegiatan
transformasi cv. Batutegi diperoleh 61 tanaman transforman tahan higromisin sedangkan pada cv. Kasalath diperoleh 46 tanaman dari lima event transformasi
41
(Tabel 1 dan Gambar 2). Hasil ini selaras dengan penelitian sebelumnya yaitu, kemampuan cv. Batutegi untuk beregenerasi lebih tinggi dibandingkan Kasalath. Satu embrio Batutegi dapat menghasilkan tanaman transforman lebih banyak dibandingkan Kasalath. Fenomena ini diduga karena Kasalath adalah varietas lokal Thailand, sedangkan Batutegi adalah varietas unggul padi gogo hasil persilangan. Ada kemungkinan silsilah tetua termasuk japonica tropis/javanica yang menyebabkan respon regenerasi Batutegi lebih baik dari Kasalath. Tabel 1. Efisiensi transformasi OsLEA :: oshox-6 pada cv. Batutegi dan Kasalat serta regenerasinya.
Kultivar BATUTEGI
II III IV Total
J. embrio J. embrio J. plantlet J. event + Efisiensi Efisiensi ditransformasi tahan hig. tahan hig. PCR hpt transformasi (%) regenerasi (%) (A) (B) (C) (C/A) (C/B)
58 196 248
6 3 4
20 21 20 61
5 2 3 10
8,6 1,0 1,2
83,3 66,7 75,0
338 167 184 85 120
20 39 4 2 34
7 7 6 8 18 46
3 5 1 1 6 16
0,9 3,0 0,5 1,2 5,0
15,0 12,8 25,0 50,0 17,6
KASALATH
III IV V VI VII Total
Keterangan : kegiatan transformasi I pada Batutegi serta I dan II pada Kasalath tidak dianalisis.
a
b
c
d
e
Gambar 2. Kegiatan transformasi dan regenerasi kultivar Batutegi dan Kasalath a) Perbandingan antara embrio setelah kokultivasi pada Kasalath (kiri) dan Batutegi (kanan) b) Kalus embriogenik Kasalath dari banyak embrio c) Kalus embriogenik dan plantlet Batutegi dari satu embrio d) Plantlet Kasalat e) Plantlet Batutegi
Hiei dan Komari (2006) telah menggunakan media regenerasi RNM dalam percobaannya terhadap 10 kultivar indica. Pada penelitian ini nampak bahwa penggunaan media RNM untuk Batutegi telah berhasil menghasilkan plantlet
42
dalam jumlah banyak. Akan tetapi, media RNM kurang tepat jika digunakan pada Kasalath karena seringkali daya regenerasi kalus menjadi hilang meskipun telah terbentuk spot hijau dalam media pra regenerasi. Oleh karena itu, media regenerasi yang digunakan untuk cv. Kasalath ialah R05. Menurut Ge et al. (2006) potensi induksi kalus dan regenerasi kultur jaringan padi sangat tergantung pada beberapa faktor seperti genotipe tanaman donor, tipe dan status fisiologi eksplan, komposisi dan konsentrasi garam, komponen organik dan hormon pengatur pertumbuhan dalam media. Dari sejumlah faktor tersebut, perbedaan genotipe adalah yang paling penting. Ge et al. (2006) mengembangkan sistem kultur jaringan untuk peningkatan efisiensi regenerasi terhadap suatu seri near isogenic line dari kultivar IR 24 (4 genotipe) dan tiga kultivar indica lainnya. Genotipe padi yang digunakan ini mewakili keragaman plasma nutfah padi indica. Modifikasi yang dilakukan ialah pada media induksi kalus, media subkultur dan media regenerasi. Modifikasi media induksi kalus dan media regenerasi untuk meningkatkan efisiensi transformasi dan regenerasi telah dilakukan (Lin & Zhang 2005; Zaidi et al. 2006).
Analisis Integrasi Gen Analisis PCR dilakukan dengan menggunakan primer spesifik untuk gen hpt. Posisi gen hpt pada T-DNA dalam plasmid pC1301H oshox-6 berdampingan dengan LB (batas kiri). Keberadaan gen hpt dalam genom dapat merupakan indikasi keberadaan gen lain dalam satu T-DNA termasuk promotor OsLEA :: oshox-6. Keberdaan gen hpt sebagai indikasi integrasi gen target telah dilakukan (Zaidi et al. 2006). Hasil PCR menunjukkan 30 tanaman cv. Batutegi mengandung gen hpt dari 36 tanaman yang diuji. Pada Kasalath dari 23 tanaman diuji terdapat 20 tanaman mengandung hpt (Tabel 2). Keberadaan gen hpt diamati berdasarkan munculnya pita hasil amplifikasi sebesar 500 pb (Gambar 3). Hasil PCR dapat menunjukkan keberadaan pita hpt pada sebagian tanaman yang berasal dari satu embrio. Diduga bahwa tanaman-tanaman tersebut berkembang dari beberapa sel yang berbeda meskipun dari embrio yang sama. Ketahanannya dalam media yang mengandung higromisin diduga bersifat escape. Oleh karena itu perlu dianalisis pola integrasi
43
gen sisipan dalam genom untuk membedakan tanaman-tanaman tersebut secara genetik. Pola integrasi gen dilakukan dengan analisis Southern blot.
223 3130 bp 9416 bp 6557 bp 4361 bp 2322 bp 2027 bp 5 6 0 bp
500 pb
χ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32
Gambar 3. Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt pada populasi Batutegi dan Kasalath hasil transformasi menggunakan pC1301H oshox-6. χ hind III; 1. plasmid pC1301H oshox-6; 2. Batutegi K+; 3. Kasalath K+; 4. Batutegi K-, 5. Kontrol air. 6-13 Transforman Batutegi; 14-32 transforman Kasalath
Tabel 2. Integrasi gen sisipan (PLEA + oshox6) pada generasi pertama (T0) padi cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan primer dan pelacak hpt Kultivar
Percobaan ke
Jumlah transforman
Batutegi
II III IV III IV V VI VII
14 15 7 5 6 4 2 6
Kasalath
Jumlah Tanaman PCR + 14 9 7 5 5 4 2* 4
Hasil Southern Jumlah salinan gen 1 2 3 4 4 2 2 1 1 2 4 1 2 2 2
1
* = tidak dianalisis Southern blot.
Hasil analisis Southern blot pada kultivar Batutegi diperoleh jumlah salinan gen sisipan antara 1 - 4 salinan dan 1- 3 salinan pada Kasalath. Berdasarkan posisi integrasi dalam genom, gen sisipan dapat dipetakan. Tanaman-tanaman dari satu embrio yang sama dianggap seragam secara genetik apabila jumlah dan posisi gen sisipan dalam genom berada dalam pola yang sama. Tanaman-tanaman tersebut dinamakan sister lines (galur-galur kembar). Sebaliknya jika posisi dan jumlah gen sisipan berbeda meskipun berasal dari embrio maka secara genetik tanaman tersebut berbeda. Hal ini terjadi karena pada saat transformasi banyak sel dari embrio tanaman yang tersisipi, dan masing-masing sel tersebut akan 44
membentuk tanaman. Tanaman-tanaman yang demikian dinamakan independent line (galur independen). Berdasarkan pola integrasi gen sisipan pada cv. Batutegi diperoleh 12 galur independen masing-masing 8 galur dengan salinan tunggal, 3 galur dengan 3 salinan gen, dan 1 galur dengan 4 salinan.
Pada Kasalath
diperoleh 12 galur independen, masing masing 9 galur dengan salinan tunggal, 1 galur dengan 2 salinan dan 2 galur dengan 3 salinan (Tabel 2 dan Gambar 4). 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1213 14 15 16 1718 19 20 21 22 23 24 25 26 27 29 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 1516 17 18
b
a
Gambar 4: Hasil analisis Southern blot menggunakan pelacak hpt pada populasi Batutegi (a) dan Kasalath (b) hasil transformasi menggunakan pC1301H oshox-6. Lingkaran menunjukkan pola integrasi gen sisipan tunggal a. 1 λ, 2. Batutegi Kontrol, 3. BT II IB, 4. BT II IA, 5. BT II IB, 6. BT II ID, 7. BT II IE, 8. BT II 2A, 9. BT II 3A, 10. BT II 4A, 11. BT II 5B, 12. BT III 1A, 13. BT III 1B, 14. BT III 1C, 15. BT III 1D, 16. BT III 1E, 17. BT III 1G, 18. BT III 1H, 19. BT III 1I, 20. BT III 2A, 21. BT III 2B, 22. BT III 2C, 23. BT III 2F, 24. BT IV 1A, 25. BT IV 3B, 26. K III 1B, 27. K III 2A, 29. pC1301H Oshox6 b. 1 λ, 2. Batutegi Kontrol, 3. K III 2B, 4. K III 2C, 5. K III 3A, 6. K IV 1A, 7. K IV 1B, 8. K IV 2A, 9. K V 1A, 10. K V 1B, 11. K VII 1A, 12. K VII 2A1, 13. K VII 2A2, 14. K VII 3A, 15. K VII 6A, 16. Kasalat Kontrol, 18. pC1301H Oshox6
KESIMPULAN 1. Efisiensi transformasi 1,0-8,6% pada cv. Batutegi dan 0,5-5,0% pada cv. Kasalath hasil transformasi menggunakan plasmid pC1301H Oshox6. Jumlah plantlet yang diperoleh masing-masing 61 dari cv. Batutegi dan 46 dari Kasalath. 2. Padi gogo indica transgenik mengandung gen oshox6 diperoleh dari cv. Batutegi (30 tanaman) dan cv. Kasalath (20 tanaman). 3. Galur independent untuk cv. Batutegi dan cv. Kasalath masing-masing 12 galur, dengan jumlah salinan gen sisipan antara 1-4.
45
Pewarisan Gen Penanda hpt (hygromycine phosphotransferase ) Berdasarkan Analisis PCR dan Ekspresinya pada Populasi Padi Transforman Mengandung Gen HD Zip Oshox-6 Segregation of hpt gene by PCR analysis and its expression in transgenic rice population containing HD-Zip oshox6 gene 1,3
2
2
EnungE.S.Mulyaningsih , H.Aswidinnoor , D.Sopandie ,
I.H. Slamet- Loedin3, P.B.F.Ouwerkerk4 1,3
Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, 3Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 4 Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands
ABSTRAK Gen sisipan yang ditransfornasi pada generasi pertama terintegrasi di salah satu pasangan kromosom sehingga tetua bersifat hemizygous, dan akan bersegregasi pada turunanya. Apabila gen sisipan bersifat dominan dan terintegrasi pada satu lokus dalam inti sel maka segregasi akan mengikuti hukum Mendel dengan rasio 3:1. Segregasi gen sisipan dapat dilakukan dengan cara menganalisis keberadaan gen dalam genom dan menganalisis ekspresinya. Analisis segregasi gen sisipan dihitung dengan persamaan khi kuadrat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pewarisan gen sisipan hpt sekaligus untuk menduga pola pewarisan gen OsLEA :: oshox6 dalam genom padi transgenik generasi kedua (T1) dari cv. Batutegi dan Kasalath. Analisis segregasi hpt dilakukan menggunakan metode PCR. Analisis ekspresi gen dilakukan dengan menguji ketahanan daun tanaman terhadap antibiotik higromisin. Analisis dilakukan terhadap 17 galur tanaman transgenik T1 dari kultivar Batutegi dan Kasalath. Gen hpt diwariskan secara Mendellian dengan pola 3:1. Segregasi gen hpt menjadi indikasi pewarisan gen oshox6. Ekspresi gen higromisin pada daun menujukkan bahwa dari 17 galur yang diuji, hanya galur T1-BT III 2C yang tidak mengikuti pola pewarisan Mendel. Adanya daun tanaman transgenik nekrotik ketika diuji higromisin sangat ditentukan oleh tingkat ekspresi gen hpt pada tiap individu tanaman. Ekspresi yang terjadi mungkin sangat rendah atau sama sekali tidak terekpresi. Kata kunci : Mendellian, hpt, OsLEA-oshox6, higromisin tes daun ABSRACT The transgene that was transformed at the fisrt generation was integrated into one of the chromosome pair which make the parental plant hemizygous. This transgene would be segregated on its progeny. In the case that the target gene was dominant and integrated at one locus within the nucleus, then segregation would follow the Mendelian inheritance with 3:1 ratio. Segregation of the 46
transgene might be analyzed by the presence of the gene within the genome and its expression. Segregation analysis of the transgene might be calculated by khi quadrate equation. The purpose of this research was to identify the transgene segregation pattern of a marker gene (hpt) as well as the introduced OsLEA::oshox6 gene in the second generation (T1) of transgenic rice plants Batutegi and Kasalath cultivars. Gene segregation (hpt) analysis was carried out using PCR method. Gene expression analysis was done by hygromycin antibiotic resistant test of leaf samples. Analysis was carried out on 17 lines of T1 transgenic rice plants from Batutegi and Kasalath cultivars. The hpt gene was inherited by mendelian segregation (3:1). This segregation suggested the same inheritance trait for the oshox-6 gene. The hpt gene expression in leaves has shown that one line (T1-BT III 2C) out of 17 lines was not follow the mendelian inheritance rule. The hygromycine test has shown that some transgenic plants showed necrotic effects when was chalanged by hygromycin.This effect was suggested mainly due to different individual plant characteristic. The gene expression might be very low or having no expression at all.
Key word: Mendellian, hpt, OsLEA-oshox6, higromycin test
PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1.34% pada tahun 2000-2005 (BPS 2006) yang jika tidak diimbangi oleh peningkatan produksi pangan dapat menyebabkan kerawan pangan. Produksi pangan di Indonesia khususnya beras sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting antara lain: pemanasan global, penurunan luas lahan garapan akibat alih fungsi lahan, kelangkaan air, jumlah air irigasi menurun, degradasi lingkungan dan erosi, serangan hama dan penyakit, serta perubahan iklim yang sulit diprediksi (Miflin 2000). Peningkatan produksi padi Indonesia di masa mendatang sangat tergantung pada pemanfaatan lahan sub optimum termasuk lahan kering. Ekstensifikasi pada lahan kering terkait erat dengan perubahan iklim global yang seringkali menyebabkan periode musim kering yang lebih panjang. Perubahan iklim seperti El Nino berpengaruh besar terhadap produktivitas padi. El Nino tahun 1997/1998 menyebabkan impor beras Indonesia mencapai 5,8 juta ton atau setara dengan 20% dari total perdagangan beras dunia (Naylor et al. 2007). Kemarau panjang tahun 2006 juga menyebabkan sebagian besar lahan pertanaman padi gagal panen. Pengembangan padi gogo toleran kekeringan sangat diperlukan untuk megantisipasi perubahan iklim yang demikian.
47
Pengembangan
padi
toleran
kekeringan
dapat
dilakukan
melalui
transformasi genetik menggunakan gen regulator faktor transkripsi (FT). Gen FT berperan dalam meregulasi sejumlah gen lain yang bertanggung jawab untuk menghadapi cekaman kekeringan. Salah satu gen regulator tersebut ialah HD-Zip oshox6 yang responsif kekeringan. Regulasinya meningkat ketika ada cekaman kekeringan (Agalou et al. 2008), namun karakterisasi fungsi gen ini belum dipelajari. Gen ini dikendalikan oleh promotor terinduksi kekeringan yaitu OsLEA (late embryogenesis abundant) di dalam plasmid pC1301H oshox-6. Pada daerah T-DNA terdapat gen hpt (hygromycin phosphotransferase) dan penanda gusA yang keduanya dikendalikan promotor 35S CaMV (Cauliflower Mosaic Virus). Plasmid pC1301H oshox-6 telah berhasil ditransformasikan ke dalam genom padi indica cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan Agrobacterium tumefaciens. Pada generasi pertama (T0), gen hpt terintegrasi dalam genom dengan jumlah salinan gen antara 1-4. Gen sisipan hasil transfornasi pada tanaman generasi pertama akan terintegrasi di salah satu pasangan kromosom sehingga tetua bersifat hemizygous. Gen sisipan akan bersegregasi pada turunannya. Apabila gen yang terintegrasi bersifat dominan dan terintegrasi pada satu lokus maka pola segregasi akan mengikuti hukum Mendel dengan rasio 3:1.
Segregasi gen sisipan dapat
dilakukan dengan cara menganalisis keberadaan gen dalam genom dan menganalisis ekspresinya. Analisis segregasi gen sisipan dihitung dengan persamaan khi kuadrat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pewarisan gen sisipan hpt sekaligus untuk menduga pola pewarisan gen oshox6 dalam genom padi transgenik generasi kedua (T1) dari cv. Batutegi dan Kasalath.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler dan rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, pada Desember 2009 – Februari 2010.
48
Material Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah 7 galur tanaman transgenik cv. Batutegi (BT) dan 10 galur Kasalath (Kas) generasi kedua (T1). Galur-galur yang diuji diutamakan memiliki jumlah salinan gen sisipan tunggal dan memiliki jumlah benih cukup banyak. Namun demikian, disertakan pula beberapa galur yang memiliki jumlah salinan gen lebih dari satu.
Galur-galur dengan salinan
gen tunggal ialah: T1- BT III 2C, T1-BT III 1A, T1-BT II 4A, T1-BT II 1B, T1BT II 2A, T1-Kas III 1B, T1-Kas V 1B, T1-Kas IV 1A, T1-Kas VII 6A, T1-Kas III 3A, T1-Kas III 2B, T1-Kas V 1A, dan T1-Kas III 2A. Galur-galur dengan tiga salinan gen sisipan ialah: T1-BT II 1A, T1-BT III 1E, T1-Kas IV 2A dan T1-Kas IV 1B. Persiapan Tanaman Benih generasi kedua ditanam dalam bak plastik berukuran 40 cm x 30 cm x 10 cm. Media pembibitan ialah campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Masing-masing galur ditanam 50 benih dalam setiap bak. Kemudian dipilih 30 tanaman secara acak untuk dianalisis PCR dan ketahanan higromisin.
Isolasi DNA genomik Daun padi diambil dari bibit yang berumur 15 hari. DNA padi diisolasi dengan metode CTAB. Daun sepanjang 5 cm dimasukan ke dalam tabung 1.5 ml, diberi N2 cair lalu digerus dan ditambahkan 750 μl dapar isolasi. Dapar isolasi terdiri dari dapar lisis (Tris-HCl pH 7.5 0.2 M, EDTA 0.05 M, NaCl 2 M, dan CTAB 2%)], dapar ekstraksi (sorbitol 0.35 M, Tris-HCl pH 7.5 0.1 M, 5 mM EDTA) dan 5% sarkosil. Selanjutnya reaksi diinkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam. Kemudian ke dalam tabung ditambahkan 750 μl chloroform:isoamylalkohol (24:1) dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 8.000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan ditambah dengan 400 μl isopropanol dingin, lalu disentrifugasi selama 6 menit dengan kecepatan 8.000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 70% etanol. Pelet dalam tabung dikeringkan dan dilarutkan dengan 20 μl dapar TE pH 8.0. 49
Analisis integrasi gen hpt Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan untuk mengetahui keberadaan gen sisipan dalam genom padi transgenik generasi kedua (T1). Posisi gen hpt berada dalam T-DNA yang sama dengan gen target oshox-6 (Gambar 1).
LB
hpt II
CaMV
Oshox6
P-OsLEA
CaMV
gusA
RB
Gambar 1. Skema daerah T-DNA dalam vektor transformasi pC1301H Oshox-6. Sepasang primer untuk penggandaan gen hpt ialah: hpt forward 5’-GATGC CTCCGCTCGAAGTAGCG-3’ dan reverse 5’-GCATCTCCCGCCGTGCAC-3’. Volume untuk 1x reaksi PCR ialah 12.5 µl dengan komposisi : 6.25 μl taq polimerase mix (dream taq mix (Fermentas), 0.2 μM primer hpt reverse, 0.2 μM primer hpt forward, 100 ng DNA hasil isolasi sebagai cetakan, dan dH2O. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan alat PCR Thermal Cycler (Biometra). Kondisi PCR ialah: satu siklus denaturasi (95oC, 3 menit); 30 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 65oC 1 menit, sintesis 72oC 1 menit]; 72oC 10 menit (pemanjangan final); 4oC (penyimpanan). Hasil PCR dianalisis pada 1% gel agarose. Gel diwarnai menggunakan ethidium bromida (0,5 mg/liter) untuk visualisasi pita DNA. Produk amplifikasi berukuran +500 pb.
Segregasi gen hpt Pola segregasi gen hpt berdasarkan keberadaan pita DNA hasil amplifikasi yang dianalisis dengan khi-kuadrat, yaitu membandingkan nilai khi kuadrat hitung dengan nilai Tabel. Nilai khi-kuadrat (X2) dihitung dengan persamaan: X2 = (Oi-ei)2 ei dimana: Oi = jumlah suatu fenotipe ke-i menurut hasil pengamatan. ei = jumlah fenotipe tersebut yang diharapkan menurut hipotesis
50
Analisis ekspresi dan segregasi gen hpt Analisis dilakukan terhadap daun tanaman berumur 3 minggu. Larutan penguji terdiri dari: 0,01% gel (gelrite) 1000 µl yang telah dipanaskan, 780 µl air steril, 1% triton X-100 200 µl, setelah suhu larutan sekitar 30°C, ditambahkan 20 µl higromisin (stok 50 µg/ml). Larutan kontrol dibuat seperti larutan penguji tanpa higromisin. Pada satu helai daun dibuat dua buah lingkaran dengan menggunakan spidol. Disamping masing-masing lingkaran diberi tanda (+) dan (–) untuk memudahkan aplikasi pengujian. Lingkaran dengan tanda (+) diulasi dengan larutan penguji dan pada lingkaran (-) diulasi dengan larutan kontrol. Pengamatan ketahanan daun tanaman terhadap higromisin dilakukan setelah 3 hari perlakuan. Daun yang mengalami nekrotik pada lingkaran yang diulas larutan penguji menunjukkan tanaman tersebut peka terhadap antibiotik higromisin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis segregasi gen hpt dengan PCR Pada dasarnya analisis PCR bertujuan untuk mengetahui integrasi suatu gen.
Dalam penelitian ini selain mengetahui integrasi gen hpt, hasil PCR
digunakan juga untuk melihat pewarisan gen tersebut berdasarkan jumlah tanaman terintegrasi.
Hasil PCR menunjukkan bahwa sebagian besar segregan (30
tanaman per galur) dari 17 galur yang diuji menghasilkan produk amplifikasi gen hpt sebesar + 500 pb. Selanjutnya hasil analisis pewarisan menunjukkan bahwa gen tersebut terwariskan secara Mendelian dengan pola 3:1 pada semua galur (Tabel 1 dan Gambar 2). Berdasarkan hasil tersebut, diduga gen hpt masuk ke dalam genom inti sel tanaman dan terwariskan pada generasinya. Pola segregasi gen hpt dapat menjadi indikasi pewarisan gen lain dalam satu T-DNA termasuk gen oshox6.
51
23130 bp 9416 bp 6557 bp 4361 bp
A
2322 bp 220 027 bp 5 6 0 bp
500 pb χ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
23130 bp 9416 bp 6557 bp 4361 bp
hpt
B
2322 bp 2027 bp
500 pb
5 6 0 bp χ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33
hpt
Gambar 2. Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt pada generasi kedua (T1) padi transgenik mengandung promotor OsLEA:: oshox-6. A. Batutegi galur T1-BT II 1B, B. Kasalath galur T1-Kas VII 6A χ. χ/HindIII; 1. plasmid pC1301H Oshox-6; 2. Batutegi T0 K+/ Kasalath T0 K+ 3. Batutegi T1 K- / Kasalath T1 K-; 4. air; 5-33 pada A. transforman Batutegi; 5-35 pada B. transforman Kasalath. Panah dengan 500 pb adalah gen hpt .
Analisis ekspresi dan segregasi gen hpt Higromisin merupakan sistem marker ketahanan antibiotik yang banyak digunakan untuk transformasi pada tanaman monokotil terutama gramineae (Bashir et al. 2004). Uji ketahanan terhadap higromisin pada daun tanaman segregan transgenik merupakan salah satu cara untuk mengetahui keberadaan gen hpt di genom dan ekspresinya. Antibiotik higromisin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein melalui gangguan translokasi yang menyebabkan kesalahan translokasi pada ribosom 80S (Bashir et al. 2004). Hasil pengamatan ekspresi higromisin menunjukkan bahwa galur T1-BT III 2C tidak mengikuti pola pewarisan Mendel, meskipun berdasarkan PCR mengikuti pola segregasi Mendel. Daun yang menunjukkan gejala nekrotik merupakan tanaman peka terhadap higromisin, sebaliknya daun yang segar tahan higromisin. Tanaman transgenik yang mengandung gen hpt (berdasarkan uji PCR) dan mengekspresikan gen tersebut tidak menunjukkan gejala nekrotik pada lingkaran yang disapu dengan larutan uji. Ekspresi gen hpt terjadi pada sebagian besar segregan yang diuji. Pada tanaman demikian, enzim higromisin fosfo-
52
transferase yang dihasilkan gen hpt mampu mendetoksifikasi aminosiklitol higromisin B (Rodriguez & Nottenburg 2002) dan mengkatalisis fosforilasi kelompok hydroxyl dalam antibiotik higromisin sehingga menjadi tidak aktif dan tidak meracuni sel tanaman (Brasileiro & Aragao 2001). Keberadaan gen hpt dalam genom tidak selalu menunjukkan ekspresi gen tersebut. Tanaman transgenik yang tidak mampu mengekspresikan ketahanan higromisin menunjukkan gejala nekrotik pada daerah lingkaran yang disapu dengan larutan uji dan tidak nekrotik pada lingkaran yang disapu larutan kontrol. Gejala nekrotik pada tanaman transgenik serupa dengan gejala nekrotik pada kontrol, artinya tanaman transgenik tersebut peka seperti tanaman kontrol. Pada 12 galur transgenik yang diuji, populasi jumlah tanaman yang mampu mengekspresikan ketahanan higromisin lebih sedikit dibandingkan jumlah tanaman yang mengandung hpt berdasarkan PCR (Tabel 1 dan Gambar 3). Pada tanaman yang demikian ada dua kemungkinan yang terjadi.
Pertama adalah
bahwa gen tersebut mungkin diekspresikan tetapi dengan level yang sangat rendah. Jika pengujian ketahanan ini menggunakan konsentrasi higromisin yang lebih rendah, ada kemungkinan daun tanaman tersebut tidak menunjukkan gejala nekrotik. Dengan demikian sensitivitas tanaman terhadap higromisin akan sangat beragam tergantung pada tingkat ekspresi gen tersebut dalam setiap individu tanaman. Kemungkinan kedua yang lebih jauh ialah bahwa gen tersebut benarbenar tidak terekspresi. Artinya gejala nekrotik tetap terjadi meskipun konsentrasi larutan higromisin dalam level yang sangat rendah.
Pada tanaman demikian
diduga telah terjadi mekanisme gene silencing terhadap ekspresi gen hpt. Namun demikian hal ini masih perlu dibuktikan dengan analisis lanjut misalnya dengan melihat level mRNA (analisis dengan northern blot).
53
Tabel 1. Analisis pewarisan untuk parameter keberadaan gen hpt dalam genom dan ekspresi gen hpt pada populasi tanaman transgenik cv. Batutegi dan Kasalath generasi kedua (T1). Galur
Populasi Nilai E
T1-BT III 2C T1-BT II 1A T1-BT III 1E T1-BT III 1A T1-BT II 4A T1-BT II 1B T1-BT II 2A T1-Kas III 1B T1-Kas V 1B T1-Kas IV 2A T1-Kas IV 1A T1-Kas VII 6A T1-Kas III 3A T1-Kas III 2B T1-Kas V 1A T1-Kas III 2A T1-Kas IV 1B
30 30 19 30 30 29 30 30 30 19 30 30 30 30 30 30 16
X2
Nilai O PCR Hig 14 11 30 29 18 15 28 27 19 18 25 25 29 27 21 21 30 28 17 16 27 27 30 24 29 29 24 21 24 21 27 24 16 16
22,5 22,5 14,3 22,5 22,5 21,8 22,5 22,5 22,5 14,3 22,5 22,5 22,5 22,5 22,5 22,5 12,0
PCR 3,2 2,5 1,0 1,3 0,5 0,5 1,9 0,1 2,5 0,5 0,9 2,5 1,9 0,1 0,1 0,9 1,3
Hig 5,9 1,9 0,0 0,9 0,9 0,5 0,9 0,1 1,3 0,2 0,9 0,1 1,9 0,1 0,1 0,1 1,3
X2 Tabel 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8
Kesimpulan PCR Hig. 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keterangan : - Hipotesis Ho : Data yang diamati sesuai dengan nisbah 3:1 H1 : Data yang diamati tidak sesuai dengan nisbah 3:1 - Kesimpulan: 1= terima H0, 2 = terima H1
+
-
+
-
B. Kasalath kontrol (peka)
A. Batutetgi kontrol (peka)
peka
+
C. T1- BT III. 1A
-
+
tahan D. T1-Kas V.1B
Gambar 3. Hasil Uji higromisin pada daun tanaman. A-B adalah daun tanaman kontrol cv. Batutegi dan Kasalath C-D daun tanaman galur transgenik yang tahan dan peka terhadap higromisin. (+) lingkaran disapu larutan higromisin, (–) lingkaran disapu larutan kontrol
54
KESIMPULAN 1. Pada semua galur transgenik yang diuji berdasarkan keberadaan gen hpt, gen tersebut diwariskan dan mengikuti hukum pewarisan Mendel 3:1 untuk gen tunggal dominan, sehingga gen sisipan terintegrasi pada inti sel dan pada lokus tunggal. 2. Ekspresi gen hpt pada daun menunjukkan bahwa dari 17 galur yang diuji, hanya galur T1-BT III 2C yang tidak mengikuti pola pewarisan Mendel. 3. Daun tanaman transgenik yang nekrotik ketika diuji higromisin sangat ditentukan oleh tingkat ekspresi gen hpt pada tiap individu tanaman. Ekspresi yang terjadi mungkin sangat rendah atau sama sekali tidak terekpresi.
55
Penapisan Genotipe Padi Gogo Toleran Kekeringan Dari Populasi Mengandung Marka qtl 12.1. Upland Rice Screening for Drought Tolerant Genotype Among Population Having qtl 12.1. marker E.S.Mulyaningsih1,4, H.Aswidinnoor2, D.Sopandie2, I.H. Slamet- Loedin3, P.B.F.Ouwerkerk4 1,3
Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, 3Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 4 Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands
ABSTRAK Cekaman kekeringan yang terjadi pada fase reproduktif perpengaruh terhadap penurunan hasil padi. IRRI telah berhasil mendapatkan generasi hasil persilangan cv. Vandana x Way rarem yang mengandung marka qtl 12.1. Marka ini bertanggung jawab dalam mempertahankan hasil ketika terjadi cekaman kekeringan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan mendapatkan genotipe-genotipe potensial toleran kekeringan dengan produktivitas tinggi dari generasi hasil persilangan Vandana x Way rarem. Uji kekeringan dilakukan pada fase reproduktif pada lahan gogo di Kebun Percobaan Balitkabi, Muneng Probolinggo, Jawa Timur selama musim kemarau (MK) 2008 dan 2009. Sebanyak 100 genotipe ditanam (MK 2008) yang sebagian diantaranya mengandung marka qtl 12.1. dievaluasi pada kondisi cekaman kekeringan sedang, cekaman kekeringan parah dan tanpa cekaman kekeringan yang dilakukan selama dua masa percobaan. Berdasarkan percobaan 2008, dipilih 21 genotipe (13 genotipe mangandung qtl 12.1 dan 8 genotipe tanpa qtl 12.1) yang menunjukkan toleransi terhadap cekaman kekeringan dengan produktivitas tinggi. Genotipe-genotipe ini selanjutnya digunakan pada percobaan MK 2009. Hasil percobaan menunjukkan bahwa cekaman parah berakibat menurunkan bobot gabah/rumpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas/malai, bobot gabah/plot, indeks panen dan memperlambat pembungaan. Karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi sementara bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas per malai dapat dijadikan karakter seleksi galur toleran dan unggul. Berdasarkan MK I dan MK II, seleksi genotipe potensial dan toleran kekeringan cukup berdasarkan data dari lingkungan normal dan cekaman berat berat, karena hasil pengamatan lingkungan normal tidak berbeda nyata dengan lingkungan cekaman sedang. Seleksi genotipe toleran kekeringan kurang efektif bila hanya berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1, karena genotipe unggul diperoleh pula dari genotipe yang tidak mengandung marka tersebut. Kata kunci : Toleran kekeringan, Vandana, Way rarem, Qtl 12.1
56
ABSTRACT Drought stress at reproductive stage influences rice production. IRRI has produced segregant lines of a cross between the upland rice cultivars Vandana and Way rarem having qtl 12.1 marker. This is the first qtl reported in rice having a large and repeatable effect on grain yield under severe drought stress in the field. The objectives of this research were to evaluate and obtain potential drought tolerance lines and high productivity from a cross of Vandana and Way rarem derived cultivars. The lines were tested for drought tolerant at their reproductive stage, under upland conditions at Balitkabi field trial area, at Muneng, Probolinggo, East Java during the dry season of 2008 and 2009. A hundred lines (at 2008) in which half of them having qtl 12.1 were evaluated at stress medium, severe and non stress trial in both years. In 2008, we have selected 21 lines (13 lines having qtl 12.1 and 8 without qtl 12.1) which showed drought tolerant potential having high productivity. These lines were used in the following dry season in 2009. The research showed that severe drought might caused reduction in weight of grain/ plant, height of plant, number of filled grain/panicle, weight of grain/plot, harvest index, and lately of flowering. Number of productive tillers was suggested to be selective characteristic, whereas weight of grain per plot and number of filled grain per panicle could be used as selected characteristic for potential and drought tolerant line(s). Based on the results of MK-I and MK-II, potential genotype and drought tolerant selection was stated from normal and severe drought treatments. It was shown that there was no significant different between normal and medium drought treatments. Selection of drought tolerant genotypes was less effective if it was based on the presence of the qtl 12.1 marker only. In fact, some superior genotypes have also been obtained from genotypes having no qtl 12.1 marker. Key words: Upland rice, drought tolerant,Vandana, Way rarem, qtl 12.1
PENDAHULUAN Rendahnya produktivitas padi di lahan kering salah satunya disebabkan oleh cekaman kekeringan, yang berakibat pada tertekannya pertumbuhan dan tingginya sterilitas gabah. Penurunan hasil akibat kekeringan sangat ditentukan oleh derajat kekeringan, periode kekurangan air dan fase pertumbuhan tanaman (Jongdee et al. 2002). Kekeringan pada fase vegetatif tanaman seringkali tidak berakibat menurunkan hasil secara nyata (Boonjung & Fukai 1996; Jongdee et al. 2006). Kekeringan pada fase ini hanya memperlambat pertumbuhan tanaman, dan setelah air tersedia kembali sebagian besar anakan dapat tumbuh dengan vigor baik serta menghasilkan gabah (Tajima 1995). Kekeringan yang terjadi ketika pertumbuhan anakan maksimum hingga periode pembungaan dapat menurunkan hasil secara nyata. Kekeringan yang terjadi selama pembungaan berakibat pada rendahnya
57
fertilitas gabah (Boonjung & Fukai 1996; Jongdee et al. 2006; Liu et al. 2006). Produktivitas padi gogo yang terkena cekaman kekeringan menurun akibat penurunan bobot gabah dan peningkatan sterilitas tanaman. Hal ini terkait dengan fase pertumbuhan, derajat dan periode kekurangan air (Gupta & O’Toole 1986). Untuk antisipasi menghadapi cekaman kekeringan yang dapat terjadi selama pertumbuhan tanaman, diperlukan kultivar padi yang toleran terhadap cekaman tersebut. Tanaman toleran kekeringan ialah tanaman yang mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan, yang ditunjukkan oleh hasil gabah yang tidak menurun secara nyata (Haque et al. 1992). Varietas padi toleran kekeringan diperlukan untuk mengantisipasi musim kering yang kejadiannya tidak dapat diprediksi, seperti yang sering terjadi sekarang ini (Pantuwan et al. 2002). Perakitan kultivar padi toleran kekeringan dapat dilakukan dengan persilangan, menggabungkan sifat tahan dari suatu tetua dengan tetua lainnya yang mempunyai produktivitas tinggi. Penggunaan teknik marka molekuler dapat membantu seleksi menjadi lebih akurat. Salah satu marka terkait sifat toleran kekeringan ialah marka qtl (quantitatve trait loci) 12.1.
International Rice
Research Institute (IRRI) membuat persilangan padi gogo kultivar Vandana asal India dan Way rarem asal Indonesia. Vandana bersifat toleran kekeringan namun produksinya rendah. Sementara Way rarem adalah kultivar unggul yang memiliki produktivitas tinggi dan tetapi tidak toleran kekeringan. diketahui mengandung marka qtl 12.1.
Pada generasi F3
Keberadaan marka ini mampu
mempertahankan hasil ketika terjadi cekaman kekeringan berat pada fase reproduktif menjelang berbunga. Pada kondisi tanpa cekaman, marka qtl 12.1 tidak berdampak nyata pada sejumlah respon pengamatan (Bernier et al. 2007). Marka qtl 12.1 berada pada kromosom 12 antara marka SSR RM28048 dan RM 511 (Mc Couch et al. 2002). Keberhasilan seleksi menggunakan marka molekuler untuk sifat yang komplek dalam mendapatkan kultivar padi toleran kekeringan telah dilaporkan. Beberapa marka yang telah dipelajari antara lain terkait dengan hasil (Lanceras et al. 2004),
panjang akar, ketebalan akar, daun menggulung dan sensitivitas
stomata (Price et al. 2002; Courtois et al. 2003), osmotic adjusment (Lilley et al. 1996).
58
Untuk
mengidentifikasi
kultivar
padi
toleran
kekeringan
dengan
produktivitas tinggi perlu dilakukan pengujian galur putatif toleran pada kondisi tercekam. Seleksi langsung terhadap hasil pada kondisi lapangan cukup air dan kondisi tercekam sangat umum dilakukan untuk mendapatkan tanaman terpilih. Uji toleransi kekeringan di lapangan menggunakan populasi double haploid (DH) dilakukan dengan perlakukan kekeringan pada periode anthesis (Babu et al. 2003), pengamatan terhadap komponen hasil dan sifat agronomi (Lanceras et al. 2004). Seleksi galur unggul juga dilakukan terhadap generasi silangan Vandana x Way rarem dengan perlakuan kekeringan menjelang berbunga. Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberadaan marka qtl 12.1 mampu mempertahankan hasil meskipun cekaman yang diberikan berat (Bernier et al. 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe toleran kekeringan berdaya hasil baik, dari populasi hasil persilangan Vandana x Way rarem yang mengandung dan tidak mengandung marka qtl 12.1.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kacang dan Umbi, Muneng-Probolinggo Jawa Timur. Waktu pelaksanaa yaitu pada musim kemarau tahun 2008 dan 2009.
Materi dan Lokasi Materi penelitian terdiri dari seratus genotipe generasi F7 hasil silangan cv.Vandana x cv. Way rarem, 50 galur mengandung qtl12.1 dan 50 galur tanpa qtl 12.1. Menggunakan pembanding Way rarem, Vandana, Salumpikit dan IR 20. Jenis tanah di lokasi percobaan Mediteran ortic, terdiri atas 14% pasir, 60% debu, 26% liat,
pH tanah berkisar antara 6,5-7. Curah hujan antara 1084-1217
mm/tahun dengan jumlah hari hujan 86 hari/tahun, suhu harian antara 21.9– 32.3°C. Selama percobaan MK-I dan MK-II tidak terjadi hujan.
59
Percobaan tahun I (MK 2008) Pada percobaan tahun I (MK 2008), sebanyak 100 genotipe segregan F7 ditanam pada MK 2008. Lima puluh genotipe diidentifikasi mengandung marka qtl 12.1 sedangkan separuh lainnya tidak membawa marka tersebut (Barnier et al. 2007). Pembanding tanaman peka IR 20, pembanding toleran Salumpikit, Vandana dan Wayrarem sebagai tetua. Plot berupa baris tunggal sepanjang 2 meter, jarak plot 0,25 m dan jarak tanam dalam baris 0,2 m yang diulang 3 kali. Percobaan menggunakan rancangan split plot.
Petak utama ialah perlakuan
kekeringan (tanpa cekaman (N) = disiram 2 kali per minggu; cekaman sedang (CS) = disiram 1 kali per minggu; cekaman berat (CB) = disiram 1 kali per 2 minggu) dan genotipe sebagai anak petak. Penanaman dilakukan dengan satu benih tiap lubang tanam. Dosis pemupukan 100 kg SP36/ha dan 75 kg KCl/ha saat tanam, serta urea yang diberikan secara bertahap yaitu 65 kg/ha (7 hst), 70 kg/ha (4 mst) dan 65 kg/ha (7 mst). Pengendalian hama, penyakit dan penyiangan gulma disesuaikan dengan kondisi tanaman.
Pemilihan galur toleran adalah
berdasarkan jumlah anakan produktif, bobot gabah per plot, dan jumlah gabah bernas per malai.
Percobaan tahun II (MK 2009) Percobaan tahun II (MK 2009) terdiri dari 21 genotipe, yaitu 13 genotipe mengandung qtl 12.1(+) dan 8 genotipe tidak mengandung qtl 12.1(-), IR 20, Salumpikit dan pembanding kedua tetua. Ke 21 genotipe ini dipilih berdasarkan hasil uji pada MK 2008 (Tabel 1). Percobaan menggunakan rancangan split plot dengan tiga ulangan. Petak utama ialah perlakuan kekeringan (seperti perlakuan pada MK 2008) dan genotipe sebagai anak petak. Luas petak untuk setiap genotipe ialah 1 m x 3,6 m, jarak tanam 20 cm x 20 cm. Penanaman dilakukan dengan satu benih tiap lubang tanam. Dosis dan waktu pemupukan, penyiangan serta pengendalian hama penyakit sama dengan percobaan sebelumnya.
Perlakuan kekeringan dan karakter yang diamati Perlakuan kekeringan dilakukan menjelang fase generatif
(45 hst).
Perlakuan kekeringan dilakukan dengan mengatur frekuensi pengairan. Sejak
60
tanam hingga memasuki waktu perlakuan kekeringan, frekuensi pengairan dilakukan 2 kali per minggu. Frekuensi pengairan diubah ketika memasuki waktu perlakuan. Taraf cekaman yang diberikan ialah: Normal (tanpa cekaman), diairi 2 kali per minggu; cekaman sedang, diairi 1 kali per minggu; dan cekaman berat, diairi 1 kali per 2 minggu. Pengairan dinormalkan kembali (2 kali per minggu) ketika daun tanaman kontrol peka atau genotipe yang diuji menggulung. Pada percobaan MK 2008, pengairan dinormalkan kembali setelah perlakuan kekeringan selama 37 hari dan 35 hari pada MK 2009. Sebanyak 5 rumpun tanaman diambil secara acak dalam setiap genotipe sebagai tanaman contoh. Karakter yang diamati meliputi:
bobot gabah per
rumpun, tinggi tanaman, umur berbunga 50%, jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai (dari 3 malai), bobot gabah per plot dan indeks panen. Bobot gabah per plot pada percobaan MK 2008 dihitung dari 5 tanaman contoh. Pada MK 2009 bobot gabah per plot didasarkan pada hasil per petak. Nilai bobot gabah per petak pada luas petakan yang digunakan, dikonversi untuk menduga nilai produksi pada skala yang lebih luas (ha). Index panen dihitung dengan membandingkan nilai bobot gabah per rumpun (pada kadar air gabah 14%) terhadap bobot biomassa kering tanaman. Respon tanaman terhadap kekeringan dinyatakan oleh nilai indeks sensitivitas terhadap kekeringan (S). Persamaannya ialah S = (1-Y/Yp)/(1-X/Xp), dimana Y dan Yp masing-masing adalah rata-rata pengamatan untuk seluruh genotipe tertentu pada kondisi tercekam dan tidak tercekam. X dan Xp masingmasing adalah rata-rata pengamatan untuk seluruh genotipe pada kondisi tercekam dan tidak tercekam (Fischer dan Maurer 1978). Suatu genotipe dikelompokkan sebagai toleran terhadap cekamam kekeringan jika memiliki nilai S< 0,5, medium toleran jika 0,5<S<1, dan peka jika S>1. Pada percobaan ini, nilai S dibagi menjadi dua yaitu nilai S yang merupakan perbandingan hasil antara cekaman sedang terhadap normal dan nilai S antara cekaman parah terhadap normal.
61
Tabel 1. Genotipe terpilih berdasarkan percobaan MK 2008 dan digunakan dalam percobaan MK 2009. No.
Qtl 12.1
57 59 61 62 71 84 89 93 94 95 96 98 109 110 122 123 131 134 141 144 148
+ + + + + + + + + + + + +
Silsilah IR 79971-B-103-B-B IR 79971-B-108-B-B IR 79971-B-110-B-B IR 79971-B-113-B-B IR 79971-B-127-B-B IR 79971-B-149-B-B IR 79971-B-154-B-B IR 79971-B-161-B-B IR 79971-B-162-B-B IR 79971-B-164-B-B IR 79971-B-166-B-B IR 79971-B-16-B-B IR 79971-B-18-B-B IR 79971-B-191-B-B IR 79971-B-214-B-B IR 79971-B-215-B-B IR 79971-B-222-B-B IR 79971-B-227-B-B IR 79971-B-282-B-B IR 79971-B-303-B-B IR 79971-B-369-B-B
Keterangan (dipilih berdasarkan) * 1, 4, 6,10 2,5,6,8 2,6,8 1,5,9 1,2,3,4,5,6 1,2,3,4,5,6,8 1,2,4,5 2,3,4,6,8 2,4,5,6,10 1,3,5 10 1,2,4,5,6,10 1,2,3,4,5,6,10 2,4,5,10 2,3,4,6,7 1,3,5,6 2,6,7 1,2,3,4,5,6 2,3,7 1,4,6,10 4
Keterangan * 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Hasil index dalam lampiran index toleransi jumlah gabah bernas/ malai pada cekaman berat index toleransi jumlah gabah bernas/ malai pada cekaman sedang index toleransi bobot gabah/ malai pada cekaman berat index toleransi bobot gabah/ malai pada cekaman sedang index toleransi bobot gabah/ rumpun pada cekaman berat index toleransi bobot gabah/ rumpun pada cekaman sedang bobot gabah per rumpun rangking antara 1 - 20 pada normal dan cekaman sedang bobot gabah per rumpun rangking antara 1 - 20 pada normal dan cekaman berat bobot gabah per rumpun rangking antara 1 - 20 pada cekaman sedang dan cekaman berat bobot gabah per rumpun rangking antara 1 - 20 pada normal, cekaman sedang dan cekaman berat
62
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Genotipe pada MK-2008 Selama percobaan MK 2008 berlangsung tidak terjadi hujan sehingga air tersedia hanya berasal dari penyiraman. Dari percobaan MK 2008 dipilih sebanyak 21 genotipe sebagai kandidat toleran kekeringan yang diseleksi berdasarkan beberapa karakter terkait produksi (Tabel 1). Dari 21 genotipe terpilih, 13 genotipe yang memiliki marka qtl 12.1 dan 8 genotipe tidak mengandung marka (identifikasi keberadaan marka telah dilakukan sebelumnya, Bernier et al. 2007). Nilai analisis keragaman dan
uji lanjut untuk karakter
pengamatan (Mk 2008) disajikan pada Tabel 2, 3 dan 4. Tabel 2.
Rangkuman analisis keragaman perlakuan genotipe, taraf cekaman lingkungan dan interaksinya pada karakter jumlah anakan produktif, bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas per malai genotipe terpilih, Muneng, MK 2008.
Karakter Pengamatan Anakan produktif Bobot gabah/plot (gr) Jumlah gabah bernas/malai
Genotipe 5,75** 7,06** 8,41**
Taraf cekaman lingkungan 74,68** 261,24** 169,49**
Interaksi (G x L) 0,87tn 1,06 tn 1,28tn
Keterangan : (**) berbeda sangat nyata (tn) tidak berbeda nyata, uji F pada taraf 5%
Berdasarkan Tabel 2, faktor interaksi antara lingkungan dengan genotipe tidak berbeda nyata untuk ketiga karakter. Artinya semua genotipe akan memberikan respon sama terhadap perlakuan yang diberikan. Masing-masing faktor (lingkungan dan genotipe) dianalisis secara tunggal. Faktor lingkungan dan genotipe secara tunggal berbeda nyata terhadap ketiga karakter. Hasil uji lanjut faktor lingkungan menunjukkan bahwa karakter anakan produktif antara lingkungan normal dan cekaman sedang tidak berbeda nyata. Jumlah anakan produktif rendah pada cekaman kekeringan berat.
Meskipun
demikian, karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi karena perlakuan cekaman diberikan ketika jumlah anakan maksimum, menjelang fase generatif. Bobot gabah per plot pada lingkunga normal tidak berbeda nyata dengan bobot gabah per plot pada cekaman kekeringan sedang. Bobot gabah per
63
plot rendah pada cekaman kekeringan berat. Karakter bobot gabah per plot dapat dijadikan karakter seleksi pada faktor lingkungan. Jumlah gabah bernas per malai tidak berbeda nyata antara cekaman kekeringan berat dan lingkungan normal. Karakter gabah bernas pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh taraf cekaman kekeringan ketika tanaman dalam fase generatif. Lingkungan kekeringan dapat menyebabkan gagalnya proses penyerbukan sehingga meningkatkan kehampaan. Jumlah gabah bernas pada kondisi cekaman berat adalah yang paling rendah dengan rerata 80 gabah bernas/ malai. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada kondisi lingkungan yang berbeda menunjukkan bahwa lingkungan tersebut tidak mempengaruhi karaker seleksi yang diamati. Berdasarkan percobaan MK-I, seleksi galur potensial toleran cukup berdasarkan data lingkungan normal dan berat. Hal ini disebabkan karena tidak ada perbedaan nyata antara kasil pengamatan karakter pada lingkungan normal dengan cekaman sedang.
Tabel 3. Hasil uji lanjut faktor lingkungan terhadap karakter anakan produktif, bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas/ malai genotipe terpilih, Muneng, MK 2008. Penyiraman N CS CB
Anakan produktif 13 a 13 a 11 b
Jumlah gabah bernas/malai 88 b 101 a 80 b
Bobot gabah/plot (gram) 115 a 122 a 73 b
Keterangan : N = tanpa cekaman (normal), CS = cekaman sedang, CB = cekaman berat. Angka sekolom diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata, uji Tukey pada taraf 5%
Hasil uji lanjut terhadap faktor genotipe dilakukan dengan cara membandingkan semua genotipe terhadap pembanding IR20 dan Way rarem. Genotipe terpilih memiliki jumlah anakan produktif antara 12-16 batang dan kultivar pembanding 8-9 batang untuk IR20 dan Way rarem. Hasil uji lanjut faktor genotipe menunjukkan bahwa 14 genotipe terpilih memiliki jumlah anakan produktif yang nyata lebih tinggi dibandingkan IR20 dan 7 genotipe lainnya tidak berbeda nyata. Terhadap Way rarem, 8 genotipe menunjukkan jumlah anakan yang berbeda nyata lebih tinggi dan 13 genotipe lain tidak berbeda nyata.
64
Jumlah gabah bernas per malai menurun pada cekaman kekeringan berat. Hasil uji lanjut genotipe terseleksi memiliki jumlah gabah bernas antara 87-119 per malai. Jumlah gabah bernas per malai pada kultivar pembanding ialah 76 dan 40 masing-masing untuk kultivar Way rarem dan IR20. Sebanyak 12 genotipe memiliki jumlah gabah bernas lebih tinggi dibandingkan IR20. Jumlah gabah bernas per malai tidak berbeda nyata untuk semua genotipe terpilih terhadap pembanding Wayrarem. Rata-rata jumlah gabah bernas per malai genotipe 71 (+), 84(+) dan 134(-) meningkat meskipun pada kondisi cekaman kekeringan berat (data tidak ditampilkan). Tabel 4. Hasil genotipe terpilih dan kultivar pembanding untuk karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per plot, berdasarkan uji Tukey, Muneng, MK 2008. Genotipe
57+ 596162+ 71+ 84+ 89+ 9394+ 95+ 9698+ 109+ 110122+ 123+ 131134141+ 144148+ Vandana Salumpikit Wayrarem IR20
Jumlah anakan produktif 14 a 13 16 ab 14 a 12 12 13 14 a 13 12 16 ab 15 ab 14 a 16 ab 13 15 ab 15 ab 12 a 16 ab 14 a 16 ab 9 10 9 8
Karakter Jumlah gabah bernas / malai 100 a 96 98 98 116 a 109 a 106 a 106 a 119 a 89 108 a 99 a 106 a 100 a 110 a 94 89 102 91 87 107 a 103 68 76 40
Bobot gabah per plot (gram) 130 a 115 a 132 a 137 ab 121 a 130 a 129 a 132 a 137 ab 105 a 155 ab 141 ab 136 a 142 ab 136 a 120 a 129 a 111 a 137 ab 137 ab 149 ab 31 69 119 36
Keterangan: N = normal, CS = cekaman sedang, CP = cekaman parah Angka sekolom diikuti huruf a berbeda nyata terhadap pembanding IR 20, dan b berbeda nyata terhadap pembanding Way rarem, uji Tukey pada taraf 5%.
65
Bobot gabah per plot dari genotipe terpilih berkisar antara 105 gr – 155 gr. Semua genotipe terpilih menunjukkan bobot gabah per plot yang nyata lebih tinggi dibandingkan cv. IR20. Presentase bobot gabah per plot genotipe terpilih terhadap cv. IR 20 sebesar 291% - 430%. Sebanyak 8 genotipe terpilih juga memiliki bobot gabah per plot yang nyata lebih tinggi dibandingkan cv. Way rarem. Seleksi Genotipe pada MK-2009 Seperti pada MK-2008, pada MK-2009 pun tidak terjadi hujan selama percobaan berlangsung. Karakter bobot gabah per rumpun, tinggi tanaman, waktu berbunga 50%, jumlah anakan produktif dan jumlah gabah bernas per malai tidak menunjukkan pengaruh interaksi antara taraf cekaman lingkungan dengan genotipe (Tabel 5), kecuali untuk karakter bobot gabah per petak. Faktor lingkungan dan genotipe selanjutnya diuji lanjut secara tunggal (Tabel 6 dan 7). Tabel 5. Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, perlakuan taraf cekaman lingkungan dan interaksinya pada semua karakter pengamatan dari genotipe terpilih, Muneng, MK 2009 Karakter Pengamatan Genotipe Taraf cekaman Interaksi lingkungan (G x L) Bobot gabah/rumpun (gr) 5,7** 56,4** 1,3tn Tinggi tanaman (cm) 24,9** 70,0** 0,9 tn Waktu berbunga 50% (hst) 34,8** 53,5** 1,1 tn Jumlah anakan produktif 4,5** 32,8** 1,1 tn Jumlah gabah bernas/malai 11,0** 118,0** 1,4 tn Bobot gabah/petak (gr) 9,7** 172,7** 1,8** Keterangan : (**) berbeda sangat nyata (tn) tidak berbeda nyata, uji F pada taraf 5%
Hasil uji lanjut faktor lingkungan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan normal dan lingkungan cekaman kekeringan sedang tidak berbeda nyata untuk karakter bobot gabah per rumpun, tinggi tanaman, waktu berbunga 50%, jumlah gabah bernas per malai tetapi berbeda nyata untuk karakter jumlah anakan produktif.
Seperti percobaan MK-2008, karakter pengamatan jumlah anakan
produktif tidak dapat dijadikan karakter seleksi, karena perlakuan kekeringan diberikan ketika jumlah anakan mencapai maksimum. Perbedaan nyata antara lingkungan diduga lebih disebabkan oleh perbedaan genetik. Pada hampir semua karakter pengamatan, lingkungan normal tidak berbeda nyata dengan lingkungan
66
cekaman sedang. Oleh karena itu, seleksi untuk mencari genotipe toleran cukup menggunakan data dari lingkungan normal dan cekaman berat. Tabel 6. Hasil uji lanjut faktor taraf lingkungan terhadap semua karakter dari genotipe terpilih, Muneng, MK 2009. BG/R TT JAP JGB/M WB 50% (gram) (cm) Lingkungan (hst) N 32 a 99 a 77 b 11 b 104 a CS 34 a 98 a 77 b 13 a 113 a CB 23 b 90 b 81 a 14 a 76 b Keterangan : N = tanpa cekaman (normal), CS = cekaman sedang, CB = cekaman berat. BG/R = bobot gabah per rumpun, TT = tinggi tanaman, WB = waktu berbunga, JAP= jumlah anakan produktif, JGB/M = jumlah gabah bernas per malai. Angka sekolom, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata , uji Tukey pada taraf 5%.
Faktor genotipe untuk karakter bobot gabah per rumpun menunjukkan semua genotipe terpilih lebih tinggi dibandingkan terhadap IR20. Bobot gabah genotipe terpilih berkisar antara 27- 37 gram per rumpun sedangkan IR20 sebesar 17 gram. Kenaikan bobot yang terjadi antara genotipe terpilih terhadap IR20 ialah antara 158% - 217%. Pembanding Wayrarem memiliki bobot gabah 25 gram per rumpun, dan terdapat 10 galur yang secara nyata memiliki bobot gabah lebih tinggi dibandingkan Wayrarem (32-37 gram per rumpun). Sepuluh genotipe kandidat unggul tersebut ialah: 61(-), 94(+), 95(+), 96(-), 122(+), 123(+), 131(-), 134(-), 144(-), dan 148(+) (Tabel 7). Nilai rata-rata bobot gabah per rumpun pada sebagian besar genotipe menunjukkan peningkatan ketika cekaman kekeringan sedang dibandingkan kondisi lingkungan normal (data tidak ditampilkan). Pada cekaman kekeringan berat, bobot gabah per rumpun menurun pada semua genotipe walaupun penurunannya tidak sebesar pada kultivar pembanding (Way rarem dan IR20). Tinggi
tanaman
pada
lingkungan
cekaman
sedang
lebih
rendah
dibandingkan normal meskipun tidak berbeda nyata. Pada hampir semua genotipe, tinggi tanaman menjadi lebih rendah pada lingkungan cekaman berat. Tingkat ketersediaan air menekan pertumbuhan tanaman antara 1-5 cm pada cekaman kekeringan sedang dan 4-15 cm pada cekaman kekeringan berat. Tinggi tanaman beberapa genotipe meningkat pada perlakuan cekaman kekeringan sedang, yaitu 59(-), 61(-), 84(+), 94(+) dan 95(+) (data rerata tidak ditampilkan).
67
Waktu pembungaan 50% terjadi sangat lambat (81 hst) pada lingkungan cekaman kekeringan berat dibandingkan lingkungan normal dan cekaman kekeringan sedang yang terjadi pada 77 hst (Tabel 6). Pelambatan waktu berbunga akibat cekaman parah berkisar antara 2-10 hari. Semua genotipe yang diuji tidak satupun menunjukkan waktu berbunga lebih awal untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Beberapa genotipe mengindikasikan fenomena escape pada cekaman Tabel 7. Hasil uji lanjut faktor genotipe untuk karakter bobot gabah per rumpun, tinggi tanaman, waktu berbunga 50%, jumlah anakan produktif dan jumlah gabah bernas per malai, genotipe terpilih, Muneng MK 2009. Genotipe
BG/R TT WB 50% JAP JGB/M (gram) (cm) (hst) 57+ 28 a 94 a 74 ab 11 96 5930 a 95 a 76 ab 11 96 6137 ab 89 a 84 a 15 b 100 62+ 28 a 97 a 75 ab 12 89 71+ 31 a 103 ab 82 a 11 118 a 84+ 30 a 96 a 81 a 12 115 a 89+ 31 a 98 a 80 a 11 111 a 9330 a 91 a 83 a 15 b 94 94+ 34 ab 101 ab 79 a 11 129 ab 95+ 33 ab 100 ab 81 a 14 b 96 9633 ab 101 ab 79 a 14 b 97 98+ 26 a 96 a 74 ab 11 88 109+ 31 a 96 a 77 a 12 103 a 11029 a 96 a 75 ab 12 105 a 122+ 33 ab 105 ab 81 a 11 110 a 123+ 33 ab 101 ab 77 a 14 b 100 a 13132 ab 98 a 83 a 12 88 13432 ab 98 a 80 a 12 111 a 141+ 27 a 99 ab 83 a 13 86 14434 ab 96 a 75 ab 14 b 93 148+ 32 ab 102 ab 83 a 13 109 a Vandana 13 84 57 15 39 Salumpikit 24 97 68 15 83 Wayrarem 25 90 80 10 103 IR20 17 61 88 12 80 Keterangan: BG/R = bobot gabah/rumpun, TT = tinggi tanaman, WB 50% = berbunga 50%, JAP = jumlah anakan produktif, JGB/M = jumlah gabah bernas/malai. Angka sekolom, diikuti huruf a berbeda nyata terhadap IR 20 dan b berbeda nyata terhadap Way rarem, uji Tukey pada taraf 5%..
kekeringan sedang dibandingkan dengan lingkungan normal (data rerata tidak ditampilkan). Waktu berbunga yang cepat berpengaruh terhadap peningkatan bobot gabah per rumpun. Berdasarkan Tabel 7, nampak bahwa semua genotipe terpilih berbunga lebih cepat (74 – 84 hst) dibandingkan kultivar pembanding IR20 (88 hst). Waktu berbunga 50% pada 6 genotipe terpilih (57(+), 59(-), 62(+),
68
98(+), 110(-), 144(-)) menunjukkan perbedaan yang nyata lebih cepat dibanding kan kultivar pembanding Wayrarem (80 hst). Jumlah anakan produktif meningkat nyata akibat perlakuan cekaman kekeringan sedang dan cekaman kekeringan parah dibandingkan kondisi normal kecuali pada genotipe 96(-) dan 109(+). Rata-rata jumlah anakan produktif pada kondisi normal ialah 9-13 batang, pada cekaman sedang 10-15 batang, dan pada cekaman parah 12-17 batang (data rata-rata tidak ditampilkan). Berdasarkan analisis lanjut faktor genotipe untuk karakter jumlah anakan produktif nampak bahwa semua genotipe tidak berbeda nyata terhadap pembanding IR20 dan hanya 6 genotipe yang berbeda nyata terhadap Way rarem (Tabel 7). Hasil uji lanjut faktor lingkungan menunjukkan bahwa jumlah gabah bernas per malai lebih tinggi pada cekaman sedang dibandingkan normal dan rendah pada cekaman berat. Jumlah gabah bernas pada kondisi cekaman sedang terhadap normal tidak berbeda nyata. Penurunan jumlah gabah bernas pada cekaman kekeringan berat berbeda nyata terhadap normal (Tabel 6). Hasil uji lanjut faktor genotipe menunjukkan bahwa terdapat 10 genotipe yang memiliki jumlah gabah bernas per malai lebih tinggi dibandingkan IR20 dan satu diantaranya juga lebih tinggi dibandingkan Way rarem (genotipe 94(+)). Faktor interaksi antara lingkungan dan genotipe berpengaruh nyata untuk respon pengamatan bobot gabah per petak (Tabel 5). Berdasarkan uji lanjut, bobot gabah per petak pada hampir semua genotipe terpilih di lingkungan normal dan cekaman sedang serta genotipe B-96(-) (genotipe 96(-) pada cekaman berat) berbeda nyata terhadap kultivar N-IR20 (IR20- normal). Bobot gabah per petak yang berbeda nyata terhadap N-IR20 berkisar antara 1502 gram - 2603 gram. Seperti halnya terhadap pembanding N-IR20, hal yang sama juga terjadi pada pembanding S-IR20 (IR20-cekaman sedang). Terhadap S-IR20 sebagian besar genotipe terpilih pada lingkungan normal, cekaman sedang
dan B-96(-)
menunjukkan bobot gabah per petak yang nyata lebih tinggi. Perbandingan genotipe terpilih terhadap
B-IR20 (IR20-cekaman berat) diberbagai taraf
lingkungan cekaman menunjukkan semua genotipe pada lingkungan normal dan cekaman sedang, serta sebagian di cekaman berat berbeda nyata. Bobot gabah per
69
petak kultivar IR20 menurun seiring dengan semakin berat cekaman yang diberikan (Tabel 8). Hasil uji lanjut dengan membandingkan genotipe terpilih pada semua lingkungan terhadap kultivar N-Way rarem (Way rarem-normal) menunjukkan lima genotipe memiliki bobot gabah per petak yang nyata lebih tinggi. Genotipegenotipe tersebut ialah: N-71(+), N-131(-), N-141(+), S-61(-) dan S-95(+) dan tidak satu pun genotipe dari lingkungan cekaman berat. Selain ke lima genotipe tersebut, terdapat lima genotipe lain yang nyata lebih tinggi ketika dibandingkan terhadap S-Way rarem (Way rarem-cekaman sedang). Ke lima galur tersebut ialah: N-59(-), N-94(+), N-96(-), N-110(-), dan S-71(+). Semua genotipe terpilih pada lingkungan normal dan cekaman sedang, serta lima genotipe dari cekaman kekeringan berat secara nyata berbeda dibandingkan terhadap B-Way rarem (Way rarem-cekaman berat). Laju penurunan bobot gabah per petak kultivar Way rarem terhadap cekaman normal ialah 14% dan 68,6% masing-masing ketika cekaman sedang dan cekaman berat. Pada genotipe-genotipe terpilih laju penurunan berkisar antara 4,9% - 29,8% dan 24,3% - 64,2% masing-masing ketika cekaman sedang dan cekaman berat dibandingkan cekaman normal (Tabel 8). Pada cekaman kekeringan sedang genotipe S-61(-), S-84(+), S-93(-), S-95(+), S-98(+), S-109(+) dan S-122(+) menghasilkan produksi per petak lebih tinggi dibandingkan lingkungan normal.
Pada cekaman kekeringan berat,
meskipun terjadi penurunan bobot gabah per petak, tetapi genotipe B-71(+), B94(+), B-96(-), B-98(+), B-131(-) dan B-134(-) masih menghasilkan produksi > 1000 gram. Pada kultivar pembanding, bobot gabah per petak menurun tajam ketika terjadi cekaman kekeringan berat. Besarnya penurunan hasil kultivar Way rarem saat cekaman berat terhadap kondisi normal ialah 68,6% dan penurunan sebesar 87,7% pada IR20. Beberapa genotipe potensial
unggul dan toleran
kekeringan mengalami penurunan bobot gabah per petak kurang dari 40% pada cekaman berat dibandingkan lingkungan normal.
Genotipe-genotipe tersebut
ialah: 71(+), 96(-), 98(+), 134(-) dengan nilai penurunan berturut-turut 37,5%; 28,6%; 28,8%; dan 24,3%.
70
Tabel 8. Uji lanjut faktor interaksi bobot gabah per petak genotipe terpilih, Muneng MK 2009. N-Genotipe
BG/P
(gram)
S-Genotipe
BG/P
P-Genotipe
(gram)
BG/P
(gram)
N-57+ 1735 abcz S-57+ 1254 cz B-57+ 945 N-592056 abcyz S-591689 abcz B-59737 N-611813 abcz S-612451 abcxyz B-61960 N-62+ 1699 abcz S-62+ 1397 bcz B-62+ 909 N-71+ 2139 abc xyz S-71+ 1986 abcyz B-71+ 1336 cz N-84+ 1760 abcz S-84+ 1781 abcz B-84+ 636 N-89+ 1802 abcz S-89+ 1408 bcz B-89+ 925 N-931895 abcz S-931899 abcz B-93761 N-94+ 2123 abcyz S-94+ 1539 abcz B-94+ 1213 cz N-95+ 1812 abcz S-95+ 2388 abcxyz B-95+ 913 N-962105 abcyz S-961762 abcz B-961502 abcz N-98+ 1679 abcz S-98+ 1884 abcz B-98+ 1196 cz N-109+ 1583 abcz S-109+ 1825 abcz B-109+ 845 N-1102110 abcyz S-1101556 abcz B-110866 N-122+ 1802 abcz S-122+ 1923 abcz B-122+ 799 N-123+ 1747 abcz S-123+ 1554 abcz B-123+ 911 N-1312603 abcxyz S-1311898 abcz B-1311066 c N-1341768 abcz S-1341442 bcz B-1341339 cz N-141+ 2156 abcxyz S-141+ 1514 abcz B-141+ 911 N-1441644 abcz S-1441549 abcz B-144944 N-148+ 1941 abcz S-148+ 1845 abcz B-148+ 958 N-Vandana 1483 S- Vandana 1275 B- Vandana 466 N-Salumpikit 807 S- Salumpikit 705 B- Salumpikit 99 N-Wayrarem 1483 S-Wayrarem 1275 B-Wayrarem 466 N-IR20 807 S-IR20 705 B-IR20 99 Keterangan: BG//P = bobot gabah/petak, N = kondisi normal, S = cekaman sedang, B = Cekaman parah Angka sekolom, diikuti huruf a berbeda nyata terhadap pembanding N- IR 20 (IR20-normal) b berbeda nyata terhadap pembanding S- IR 20 (IR20-cekaman sedang) c berbeda nyata terhadap pembanding B- IR 20 (IR20-cekaman parah), uji Tukey pada taraf 5%. Angka sekolom, diikuti huruf x berbeda nyata terhadap N-Wayrarem (Wayrarem- normal) y berbeda nyata terhadap pembanding S-Wayrarem (Wayrarem- cekaman sedang) z berbeda nyata terhadap pembanding B-Wayrarem (Wayrarem-cekaman berat), uji Tukey pada taraf 5%.
Data bobot
gabah per petak dari luasan petak yang digunakan dalam
percobaan dapat dikonversi untuk menduga hasil produksi pada skala lebih luas (ha). Hasil konversi produksi tersebut untuk masing-masing lingkungan ialah: 4,4 – 7,2 ton/ha pada kondisi normal, 3,5 – 6,8 ton/ha pada cekaman kekeringan sedang dan 1,8 – 4,2 ton/ha pada cekaman kekeringan berat (Tabel 9). Indeks kepekaan terhadap kekeringan (S) merupakan ukuran produktivitas suatu genotipe pada keadaan tercekam. Suatu genotipe toleran kekeringan ditafsirkan memiliki nilai S rendah, karena penampilan hasil pada kondisi
71
tercekam tidak jauh berbeda dengan kondisi normal. Pada cekaman kekeringan sedang, sejumlah genotipe memiliki nilai S lebih rendah (Tabel 9). Genotipegenotipe ini mampu mempertahankan hasil ketika cekaman kekeringan sedang, bahkan pada beberapa genotipe terjadi peningkatan hasil dibandingkan kondisi normal. Genotipe dengan kategori toleran ialah 61(-), 84(+), 93(-), 95(+), 98(+), 109(+), dan 122(+). Genotipe dengan kategori moderat toleran ialah 71(+), 144(-) dan 148(+) dan genotipe lainnya termasuk peka. Nilai S pada saat cekaman berat dapat mengubah kategori suatu genotipe. Pada cekaman sedang suatu genotipe termasuk kategori toleran dan berubah menjadi moderat pada cekaman berat. Suatu genotipe dengan kategori moderat pada cekaman sedang dapat menjadi peka pada cekaman berat. Perubahan ini disebabkan karena tingkat cekaman yang diberikan semakin berat. Pada cekaman berat terdapat 12 genotipe moderat yaitu: genotipe 57(+), 61(-), 62(+), 71(+), 89(+), 94(+), 95(+), 96(-), 98(+), 109(+), 123(+) dan 144(-) dan satu genotipe toleran 134(-). Terdapat tujuh genotipe yang termasuk lima peringkat hasil tertinggi pada cekaman kekeringan sedang. Genotipe-genotipe tersebut ialah:
61(-), 95(+),
71(+), 93(-), 122(+), 131(-), 98(+) yang merupakan genotipe toleran dan moderat pada cekaman kekeringan sedang, kecuali genotipe 131(-) yang termasuk peka. Lima peringkat terbaik berdasarkan hasil pada cekaman kekeringan berat ialah genotipe
96(-), 71(+), 134(-), 94(+),
98(+), dan 131(-).
Genotipe-genotipe
tersebut termasuk moderat toleran pada kondisi kekeringan berat, kecuali genotipe 131 (-). Berdasarkan indeks panen, semua genotipe dan kultivar pembanding menurun ketika kondisi lingkungan cekaman kekeringan berat dibandingkan kondisi normal. Pada cekaman kekeringan sedang penurunan indeks panen tidak nyata terlihat. Berdasarkan hasil percobaan ini, meskipun genotipe terpilih pada tahun pertama didominasi oleh genotipe mengandung marka qtl12.1, tetapi tidak berarti bahwa yang tidak mengandung marka tersebut hasilnya lebih buruk. Beberapa genotipe dengan produktivitas tinggi berdasarkan hasil MK-2008 diantaranya galur 96(-) dan 61(-) yang tidak mengandung markan qtl 12.1. Oleh karena itu
72
seleksi genotipe toleran kekeringan kurang efektif bila hanya berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1. Jika pemilihan hanya berdasarkan keberadaan marka, maka banyak genotipe potensial yang tidak terseleksi.
Terpilihnya genotipe
unggul dan toleran dari genotipe yang tidak mengandung marka qtl 12.1 diduga ada marka lain yang belum dipelajari dan membawa gen-gen yang bertanggung jawab terhadap sifat toleran kekeringan dan mempertahankan hasil ketika cekaman kekeringan. Tabel 9. Rata-rata hasil gabah, nilai indeks kepekaan genotipe, peringkat hasil dan indeks panen pada kondisi normal dan tercekam dari genotipe terpilih, Muneng, MK 2009. MK 2009 Genotipe 57+ 596162+ 71+ 84+ 89+ 9394+ 95+ 9698+ 109+ 110122+ 123+ 131134141+ 144148+ Vandana Salumpikit Wayrarem IR20 Keterangan:
Ton/ha Ton/ha Peringkat N CS hasil CS 4,8 3,5 (12) 5,7 4,7 (8) 5,0 6,8 (1) 4,7 3,9 (11) 5,9 5,5 (3) 4,9 4,9 (7) 5,0 3,9 (11) 5,3 5,3 (4) 5,9 4,3 (9) 5,0 6,6 (2) 5,8 4,9 (7) 4,7 5,2 (5) 4,4 5,1 (6) 5,9 4,3 (9) 5,0 5,3 (4) 4,9 4,3 (9) 7,2 5,3 (4) 4,9 4,0 (19) 6,0 4,2 (10) 4,6 4,3 (9) 5,4 5,1 (6) 1,9 1,2 5,4 5,3 3,5 (12) 4,1 2,0 (13) 2,2
Ton/ha Peringkat Nilai S CB hasil CB CS CB 2,6 (7) 3,1 0,9 2,0 (21) 2,0 1,3 2,7 (6) -3,9 0,9 2,5 (8) 2,0 0,9 3,7 (2) 0,8 0,8 1,8 (13) -0,1 1,3 2,6 (11) 2,5 0,9 2,1 (12) -0,0 1,2 3,4 (3) 3,1 0,8 2,5 (8) -3,6 0,9 4,2 (1) 1,8 0,6 3,3 (7) -1,4 0,6 2,3 (10) -1,7 0,9 2,4 (9) 2,9 1,2 2,2 (11) -0,7 1,1 2,5 (8) 1,2 0,9 3,0 (5) 3,0 1,2 3,7 (2) 2,0 0,4 2,5 (8) 3,4 1,1 2,6 (7) 0,6 0,8 2,7 (6) 0, 6 1,0 1,1 4,4 0,9 2,2 -0,2 1,2 1,3 (14) 1,6 1,4 0,3 (15) 1,4 1,8
Indeks panen N CS CB 1,1 1,4 0,9 1,6 1,5 0,9 1,5 1,9 0,9 1,1 1,6 0,9 1,3 1,6 0,9 1,7 1,6 0,8 1,8 1,7 1,1 1,6 1,6 0,6 1,5 1,5 1,2 1,3 1,7 0,7 1,5 1,7 1,0 1,0 1,2 0,8 1,4 1,7 0,9 1,4 1,5 1,1 1,3 1,5 0,9 1,4 1,2 0,8 1,8 1,3 0,9 1,5 1,3 1,0 1,3 1,3 0,6 1,3 1,5 1,2 1,6 1,2 1,1 0,9 0,8 0,6 1,2 1,3 0,7 1,2 1,6 0,6 1,3 1,1 0,6
N = kondisi normal, CS = cekaman sedang, CB = cekaman berat Nilai S = indeks sensitivitas toleransi
73
KESIMPULAN 1. Diperoleh 21 genotipe terseleksi berdasarkan MK-2008, yang terdiri dari 13 genotipe mengandung qtl 12.1 dan 8 genotipe tidak mengandung qtl 12.1. 2. Diperoleh lima genotipe potensial unggul berdasarkan produktivitas pada MK-2009 yaitu genotipe 71(+), 94(+), 96(-), 98(+) dan 134(-). 3. Genotipe 57(+), 61(-), 62(+), 71(+), 89(+), 94(+), 95(+), 96(-), 98(+), 109(+), 123(+) dan 144(-) termasuk moderat pada cekaman kekeringan parah dan genotipe 134(-) toleran, berdasarkan nilai indek sensitivitas kekeringan. 4. Karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi, sementara karakter bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas per malai dapat dijadikan karakter seleksi. 5. Berdasarkan MK-2008 dan MK-2009, seleksi genotipe potensial dan toleran kekeringan cukup berdasarkan data lingkungan normal dan cekaman berat. 6. Bobot gabah per petak pada hampir semua genotipe terpilih di lingkungan normal dan cekaman sedang serta genotipe B-96(-) berbeda nyata terhadap pembanding N-IR20. Bobot gabah per petak kultivar IR20 menurun seiring dengan semakin berat cekaman. 7. Bobot gabah per petak kultivar Wayrarem dan IR20 turun masing-masing 68,6% dan 87,7% ketika cekaman berat, sementara pada galur-galur potensial unggul penurunan kurang dari 40%. 8. Nilai index sensitivitas kekeringan pada cekaman berat dapat mengubah kategori suatu genotipe akibat tingkat cekaman yang semakin berat. 9. Seleksi genotipe toleran kekeringan kurang efektif bila hanya berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1, karena genotipe unggul diperoleh pula dari genotipe yang tidak mengandung marka tersebut.
74
Uji kekeringan galur transgenik cv. Batutegi dan Kasalath mengandung gen regulator HD Zip Oshox-6 dan galur toleran kekeringan hasil seleksi di lapang Drought Evaluation of Batutegi and Kasalath Cultivars Transformants Containing regulatory gene HD-Zip Oshox-6 and drought tolerant lines select from the field E.S.Mulyaningsih1,4, H.Aswidinnoor2, D.Sopandie2, I.H. Slamet- Loedin3, P.B.F.Ouwerkerk4 1,3
Mahasiswa Pasca Sarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, 3Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 4Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands
ABSTRAK Kekeringan menyebabkan perubahan fisiologi, biokimia, dan molekuler tanaman, menginduksi kemampuan tanaman beradaptasi pada kondisi lingkungan terbatas, yang ditentukan oleh intensitas dan periode cekaman, fase perkembangan dan genotipe tanaman. Padi toleran cekaman kekeringan adalah hal yang menjanjikan untuk peningkatan hasil tanaman. Gen regulator faktor transkripsi oshox6 dari padi yang dikendalikan promoter terinduksi kekeringan OsLEA, telah ditransformasi ke dalam cv Batutegi dan cv. Kasalath melalui transformasi Agrobacterium. Uji kekeringan 13 galur transgenik (5 galur Batutegi dan 8 galur Kasalath) dan 2 galur terpilih dari lapangan (QTl 71(+) dan QTL 98(+)) dilakukan di rumah kaca menggunakan metode uji kekeringan FTSW (fraction of transpirable soil water). Tujuan penelitian ialah mendapatkan galur-galur transgenik cv. Batutegi dan Kasalath toleran kekeringan yang dibandingkan dengan genotipe hasil seleksi lapangan yang mengandung marka qtl 12.1. Selain itu bertujuan untuk mendapatkan informasi validasi metode uji kekeringan FTSW di rumah kaca sehingga bisa menggambarkan kondisi cekaman di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode uji kekeringan FTSW dapat membedakan tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman. Hasil skoring daun, nilai NTR dan FTSW dapat menentukan klasifikasi toleransi galur. Kurva hubungan NTR dan FTSW menunjukkan transpirasi cv. Batutegi mulai turun pada FTSW 0,2 dan 0,3 pada cv. Kasalath. Data genotipe Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) menunjukkan ada keselarasan toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca. Metode FTSW menggambarkan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan. Galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath toleran dan moderat kemungkinan besar memiliki respon pertahanan diri melalui penghindaran begitu pula genotipe pembanding (QTL 71 (+) dan QTL 98(+)). Percobaan pot lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis. Galur T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A, dan T1-Kas. IV.1A merupakan galur potensial unggul. Kata kunci: HD-Zip oshox6, FTSW, cv. Batutegi, cv.Kasalath, QTL 12.1
75
ABSTRACT Drought induces a diverse set of physiological, biochemical, and molecular responses in plant, which provide the ability to adapt to limited environmental condition, depending on intensity and periods of stress, development stage and genotype of plants. Rice tolerant under drought conditions is thought to be the most promising trait to improve crop yields. A regulatory gene transcription factor oshox6 from rice, driven by drought inducible promotor OsLEA, was introduced into Batutegi and Kasalath rice cultivars through Agrobacterium-mediated transformation. Drought evaluation of 13 transgenic lines (5 lines Batutegi and 8 lines Kasalath) and selected line from field (QTl 71(+) dan QTL 98(+)) was carried out under contained greenhouse condition using FTSW (fraction of transpirable soil water) method at severe drought stress. There are two aims of the research, firstly is to obtain rice transgenic lines from Batutegi and Kasalath cultivars having drought tolerance in comparison with the reference lines having the qtl 12.1 marker. Secondly, is to gather information on the validation method of drought test based on FTSW in the greenhouse which representative drought stress on the field. The results showed that the FTSW drought test method could differentiate different level of drought stress and drought tolerance level of individual rice lines. Results of the leaf scoring showed that both NTR and FTSW values could determine and classify different drought tolerance lines. The NTR and FTSW curve showed that transpiration rate of Batutegi started to drop at FTSW value of 0,2, whereas Kasalatf started to drop at 0,3. The two reference lines, Qtl 71(+) and Qtl 98(+), showed that there was a correlation between their drought tolerance characteristics on the field and in the greenhouse. Therefore this method could mimic drought stress on the field. The tolerance and moderate Batutegi and Kasalath transgenic lines were showed to have self defense responses most probably through avaoidance drought stress as well as the reference lines (Qtl 71(+) and Qtl 98(+)). Experiment using the pots was mainly aimed to investigate some physiologic parameters. The transgenic lines T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A and T1-Kas IV.1A have been proved to be potential lines. Key words: HD-Zip oshox6, FTSW,Batutegi, Kasalath, QTL 12.1
PENDAHULUAN Padi ialah pangan utama yang dikonsumsi sebagain besar penduduk di dunia. Kebutuhan padi akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Diperkirakan populasi penduduk dunia akan mencapai delapan miliyar jiwa pada tahun 2030, dan diperlukan peningkatan produksi padi sebesar 40% (Bernier et al. 2008). Tuntutan produksi yang demikian besar tidak terlepas dari berbagai ancaman cekaman yang seringkali terjadi selama
76
pertumbuhan tanaman. Salah satu cekaman tersebut ialah kekeringan, yang frekuensinya semakin sering terjadi. Keterbatasan air yang tersedia bagi tanaman merupakan cekaman abiotik utama yang membatasi produktivitas tanaman. Menurut Burke et al. (2006), area lahan kering semakin meluas dan diperkirakan akan terus bertambah pada masa mendatang. Besarnya kehilangan hasil akibat cekaman kekeringan di alam sangat tergantung pada banyak faktor antara lain waktu cekaman berlangsung, intensitas cekaman dan periode cekaman kekeringan. Faktorfaktor tersebut berkaitan erat dengan lokasi lingkungan yang spesifik seperti penyinaran dan suhu lingkungan. Selain faktor cekaman kekeringan, toleransi kekeringan juga bersifat komplek yang dipengaruhi oleh ekspresi terkoordinasi dari suatu jaringan gen (Xiong et al. 2002) dan dipengaruhi pula oleh sejumlah faktor besar yaitu lingkungan, anatomi, fisiologi, biofisika, biokimia dan faktor perkembangan tanaman (Soltis & Soltis 2003). Hal ini yang menyebabkan perbaikan genetik untuk sifat toleransi kekeringan berjalan sangat lambat. Strategi untuk mendapatkan tanaman toleran kekeringan melalui rekayasa genetika ialah dengan mentransformasi gen faktor transkripsi yang fungsinya meregulasi sejumlah gen lain terkait cekaman abiotik (Chinnusamy et al. 2005; Bhatnagar-Mathur et al. 2007). Penggunaan promotor terinduksi cekaman kekeringan adalah strategi lain yang harus diperhatikan sehingga ekspresi gen faktor transkripsi yang dikendalikan hanya aktif jika ada cekaman kekeringan. Penggunaan promotor demikian memungkinkan diperolehnya tanaman toleran kekeringan dengan fenotipe tanaman normal pada kacang tanah (Bhatnagar-Mathur et al. 2007). Prosedur untuk pengujian cekaman guna mengevaluasi fenotipe tanaman transgenik terhadap cekaman kekeringan atau cekaman lainnya masih diperdebatkan (Sinclair et al. 2004). Protokol yang digunakan untuk evaluasi seringkali menggunakan tanaman muda yang ditumbuhkan dalam pot kecil, tanpa memperhatikan kandungan air dalam pot dan umumya tanaman dipertahankan pada kondisi pertumbuhan dan cahaya yang tidak tepat ( Xu et al. 1996; Pellegrineschi et al. 2004). Oleh karena itu seringkali cekaman yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi cekaman sesungguhnya di lapang
77
(Bhatnagar -Mathur et al. 2008). Selain metode pengujian untuk evaluasi fenotipe tanaman, paling tidak satu hal yang diharapkan dalam evaluasi yaitu akumulasi biomasa selama cekaman (Bhatnagar -Mathur et al. 2008). Terbatasnya kemungkinan pengujian tanaman transgenik di lapangan, menyebabkan uji kekeringan yang dilakukan di rumah kaca harus dapat mewakili kondisi lingkungan kekeringan di lapang untuk dapat melakukan seleksi awal. Dalam penelitian ini dievalusi peningkatan cekaman kekeringan secara bertahap berdasarkan besarnya air yang hilang dari tanah akibat transpirasi. Metode percobaan ini telah dilakukan sebelumnya pada tanaman kacang tanah, jagung dan kedelai (Ray & Sinclair 1998; Bhatnagar-Mathur et al. 2007). Selain metode evaluasi, tanaman pembanding toleran kekeringan yang digunakan juga telah teruji di lapangan sehingga ada hubungan antara lapangan dan rumah kaca. Genotipe toleran yang digunakan dalam penelitian ini merupakan generasi persilangan cv. Vandana dan Way rarem yang memiliki marka qtl 12.1. Marka qtl 12.1 memiliki efek major dalam mempertahankan hasil ketika terjadi cekaman kekeringan pada fase reproduktif menjelang berbunga (Bernier et al. 2007). Seleksi genotipe yang digunakan dalam penelitian ini telah dilakukan di lapangan selama dua musim tanam. Material tanaman yang digunakan dalam penelitian ialah galur-galur transgenik padi cv. Batutegi dan Kasalath yang mengandung gen regulator HD-Zip oshox6. Gen ini responsif kekeringan, regulasinya meningkat ketika cekaman kekeringan (Agalou et al. 2008). Gen oshox6 dikendalikan promotor terinduksi kekeringan OsLEA (late embryogenesis abundant), ekspresinya kuat pada kondisi kekeringan dan rendah pada kondisi normal (Xiao et al. 2007). Plasmid rekombinan pC1301H yang mengandung gen oshox-6 dan promotor OsLEA telah ditransformasikan ke dalam genom padi indica cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan Agrobacterium tumefaciens. Tujuan penelitian ialah mendapatkan galur-galur padi transgenik cv. Batutegi dan kasalath (mengandung gen regulator oshox6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan) yang toleran kekeringan dan dibandingkan
78
dengan genotipe hasil seleksi lapang yang mengandung marka qtl 12.1. selain itu, diperoleh informasi validasi metode uji kekeringan FTSW di rumah kaca sehingga bisa menggambarkan kondisi cekaman di lapangan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler dan rumah kaca Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI serta Laboratorium Fisiologi Cekaman, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong-Bogor. Penelitian berlangsung pada bulan Februari – Mei 2010. Material Penelitian Bibit tanaman yang digunakan berumur 21 hari dari cv. Batutegi kontrol (BT-WT); Kasalath kontrol (Kas-WT); tanaman transgenik dan genotipe pembanding unggul dari lapangan yang mengandung marka qtl12.1 yaitu genotipe nomor 71(+) dan 98(+). Galur transgenik yang digunakan ialah yang bersegregasi Mendel 3:1 untuk keberadaan gen hpt dan mengekspresikan gen hpt berdasarkan penelitian sebelumnya. Sebanyak 13 galur transgenik digunakan dalam percobaan. Galur dengan yang memiliki jumlah salinan gen sisipan tunggal ialah: T1-BT II 1B, T1-BT II 2A, T1-BT II 4A, T1-BT III 1A, T1-Kas III 2A, T1-Kas III 2B, T1-Kas III 3A, T1-Kas IV 1A, T1-Kas V 1A, T1-Kas VII 6A, T1-Kas V 1B. Galur transgenik dengan tiga salinan gen sisipan ialah: T1-BT II 1A, T1-Kas IV 2A. Kode BT melambangkan galur transgenik Batutegi dan kode Kas melambangkan transgenik Kasalath. Kode tanaman BT-WT atau Kas-WT masing-masing melambangkan tanaman cv. Batutegi non transgenik (wild type) dan Kasalath non transgenik. Percobaan Kekeringan Pot yang digunakan berupa paralon berdiameter 20 cm dan tinggi 80 cm. Bagian bawah pot paralon dilubangi dan ditutup dengan karet penutup. Media yang digunakan adalah campuran pasir : tanah: cocopeat (perbandingan 1:2:1)
79
dengan kadar air 24%. Setiap paralon diisi dengan media seberat 16 kg, dan diisi air hingga jenuh (macak-macak/ tidak tergenang).
Sebanyak 3 bibit
ditanam pada setiap paralon. Pemupukan pada saat tanam dengan 0,4 gram TSP dan 0,3 gram KCl. Pemupukan dengan urea dilakukan pada 7 hst (hari setelah tanam), 4 mst dan 6 mst (minggu setelah tanam) masing masing dengan dosis 0,3 gram. Pada 2 dan 4 mst dilakukan pencabutan bibit bertahap, sehingga setiap paralon disisakan satu tanaman. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap 2 faktorial. Faktor pertama ialah pengairan normal (WW = well watered) dan perlakuan kekeringan (DS = drought stress). Faktor kedua ialah genotipe yang terdiri dari 17 galur. Percobaan kekeringan dilakukan dengan mengukur laju transpirasi air tanah (FTSW= fraction of transpirable soil water) mengacu pada metode yang dikemukakan Ray dan Sinclair (1998). Total air tanah tersedia untuk mendukung pertukaran gas melalui daun dinamakan transpirable soil water dan kekeringan relatif tanah sebagai FTSW dinyatakan dengan nilai antara 1,0 (tertinggi) hingga 0,0 (rendah). Nilai FTSW 1,0 menunjukkan air tersedia bagi tanaman dan mendekati 0,0 air tidak tersedia. Percobaan kekeringan dilakukan 45 hst (sejak bibit dipindahkan ke paralon). Sehari sebelum kekeringan, pot paralon dijenuhkan air dan sore harinya karet penutup dibuka hingga air tiris (dibiarkan semalam). Selanjutnya karet paralon ditutup, dan paralon diisi dengan 3 liter air (air cukup dan tidak menggenang). Permukaan paralon ditutup plastik bening, disisipi selang air dan antara batang padi dengan plastik ditutup dengan alumunium foil, sehingga tidak ada celah untuk penguapan air dari tanah. Selanjutnya pot ditimbang, dan bobot pot ini dianggap sebagai bobot awal. Transpirasi harian dihitung sebagai perbedaan bobot pot hari ini terhadap bobot pot hari sebelumnya. Pengukuran bobot pot dilakukan pada jam yang sama. Pada perlakuan WW, bobot air yang ditambahkan adalah sama dengan jumlah air yang ditranspirasi. Pada perlakuan DS, jika transpirasi yang terjadi lebih tinggi dari tranpirasi harian maksimum (lebih dari 220 gram/hari) maka pada pot tersebut akan ditambahkan air seberat selisih antara bobot hari tersebut terhadap transpirasi maksimum (220 gram). Hal ini dilakukan untuk
80
menyakinkan bahwa pengurangan air yang terjadi tidak berlangsung terlalu cepat. Untuk meminimalkan pengaruh variasi yang besar dari transpirasi harian, maka laju transpirasi harian dari perlakuan DS dinormalisasi terhadap laju transpirasi dari tanaman WW. Normalisasi harian (TR) diperoleh dengan cara membagi transpirasi harian setiap individu tanaman dari tanaman DS dengan rata-rata transpirasi harian dari tanaman WW.
Laju transpirasi dihitung
dengan persamaan: TR = Transpirasi tanaman tercekam Rata-rata transpirasi tanaman kontrol Nilai TR dapat bervariasi diantara individu tanaman, untuk memfasilitasi perbandingan antara tanaman dilakukan normalisasi kedua sehingga laju transpirasi dari setiap tanaman berkisar pada nilai 1,0, yaitu ketika air tanah cukup tinggi. Nilai NTR (normalized transpiration ratio) dihitung dengan cara nilai TR setiap tanaman dibagi dengan rata-rata nilai TR hari ke 1 sampai hari ke 5. Pot akan dibiarkan mengering karena transpirasi, sampai nilai NTR < 0,1, yang didefinisikan sebagai titik akhir perlakukan cekaman kekeringan. Selisih bobot pot awal dan bobot pot akhir merupakan air tanah yang tersedia untuk transpirasi tanaman. Perbandingan antara setiap tanaman dalam pot mengekspresikan ketersediaan air tanah sebagai fraksi traspirasi air tanah (FTSW) untuk setiap pot pada kondisi tercekam untuk setiap harinya. Hubungan antara FTSW dengan transpirasi untuk setiap tanaman dievaluasi dengan regresi non linear. Nilai FTSW harian dihitung dengan persamaan:
FTSW harian = bobot pot harian – bobot pot akhir bobot pot awal – bobot pot akhir
81
Karakter Pengamatan Karakter kualitatif yang diamati ialah skoring tingkat kekeringan pada daun bendera (Protokol laboratorium fisiologi kekeringan, IRRI 2006), yaitu sebagai berikut : Skor
0 = Tidak ada gejala 1 = Ujung daun mulai mengering 3 = Ujung daun mengering hingga ¼ 5 = ¼ - ½ ujung daung mengering 7 = > 2/3 daun kering 9 = Semua bagian daun kering dan mati Karakter agronomi yang diamati meliputi: jumlah anakan produktif,
bobot gabah per rumpun, jumlah gabah bernas per malai, biomassa kering bagian atas tanaman dan waktu berbunga. Karakter Fisiologi yang diamati meliputi: laju transpirasi (NTR), nilai FTSW, potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif daun (RWC) dan kandungan prolin. Potensial air daun diukur menggunakan alat WP4 Dewpoint Potential Meter. Sampel daun sepanjang + 10 cm diambil pada waktu dini hari (sekitar jam 4 pagi) dan dimasukkan ke dalam cup alat WP4. Daun dipotong-potong dalam cup lalu diukur dalam chamber alat WP4. Nilai potensial air akan terbaca pada layar alat sekitar 5 menit kemudian. Waktu pengukuran dilakukan pada minggu pertama perlakuan (7 hsk) dan akhir percobaan yaitu ketika daun bendera mengalami kekeringan. Nilai potensial air daun menggambarkan besarnya cekaman yang terjadi pada tanaman. Potensial air didefinisikan sebagai energi potensial air per unit bobot air dalam suatu sistem. Total potensial air suatu sampel merupakan jumlah dari empat komponen potensial, yaitu gravitasi, matrik, osmotik dan tekanan. Potensial (Ψ) air suatu sampel dapat dicari dengan menghubungkan antara Ψ air sampel yang terbaca terhadap tekanan uap udara dalam keseimbangan dari sampel tersebut (ICT International, EST NSW Australia). Hubungan ini dinyatakan dalam persamaan:
82
Ψ = RT . ln P M P0 Keterangan: P = tekanan uap dari udara, P0 = tekanan uap jenuh pada suhu sampel, R = konstanta gas (8,31 J/mol K), T = suhu (Kelvin), M = Biomassa air.
Alat WP4 Dewpoint Potential Meter mengukur Ψ air dengan cara melakukan keseimbangan fase cair dari sampel dengan fase uapnya di dalam suatu chamber tertutup kemudian mengukur tekanan uap air dari ruang tersebut. Dalam alat ini terdapat blok sensor yang terdiri dari kipas, sensor titik embun, sensor suhu dan termometer infra merah. Sensor titik embun mengukur suhu embun dari udara, termometer infra merah mengukur suhu sampel, kipas berfungsi untuk mempercepat dicapainya titik keseimbangan dan mengontrol boundary layer conductance dari poin sensor embun. Dari pengukuran ini tekanan uap dari udara dalam chamber dihitung sebagai tekanan uap jenuh pada suhu titik embun. Ketika Ψ air sampel dan udara dalam chamber mencapai keseimbangan, pengukuran tekanan uap dan suhu sampel (dimana tekanan uap jenuh dihitung) adalah sebagai nilai potensial air dari sampel tersebut. Nilai potensial air dinyatakan dengan satuan MPa (Mega Pascal) (ICT International, EST NSW Australia). Pengukuran kandungan air daun relatif (RWC) dilakukan bersamaan dengan pengukuran potensial air daun. Nilai RWC normal pada saat jaringan turgid ialah 98%, dan RWC mencapai 40% ketika terjadi cekaman kekeringan berat, dan sebagian besar tanaman akan layu ketika nilai RWC sekitar 60%. Sampel daun yang telah diukur potensial air (telah ditimbang bobotnya = bobot segar (FW)) kemudian
dikembalikan dengan cara merendam daun
dalam cup WP4 dengan akuades. Kemudian permukaan cup ditutup dengan kertas saring sehingga daun tidak mengambang. Cup disimpan dalam lemari pendingin selama 24 jam. Kemudian daun ditiriskan dan ditimbang untuk mendapatkan bobot turgid (TW). Sampel daun dikeringkan pada suhu 70°C selama 3 hari lalu daun ditimbang kembali sebagai berat kering (DW). Nilai RWC dihitung dengan persamaan berikut: RWC = [(FW-DW) / (TW-DW)] x 100
83
Analisis kandungan prolin dilakukan dengan mengacu pada metode Bates et al. (1973), dengan prosedur sebagai berikut: daun segar sepanjang + 15 cm digerus menggunakan nitrogen cair, dan sekitar 100 mg hasil gerusan ditempatkan dalam tabung mikro. Kemudian ditambah 3% b/v asam sulfosalisilat dan divortek.
Untuk memisahkan supernatan dengan debris
daun, tabung disentrifuse pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya diambil 200 μl supernatan dan dimasukkan ke dalam tabung baru dan direaksikan dengan 200 μl larutan asam ninhidril (0,125 gr ninhidril, 3 ml asam asetat glasial, 2 ml 6M asam fosforic dengan agitasi dan pemanasan) dan diaduk dengan vortek. Tabung diinkubasi dalam waterbath pada suhu 100°C, selama 1 jam, lalu disimpan dalam es untuk menghentikan reaksi. Ke dalam setiap tabung dimasukkan 400 μl toluen lalu diaduk dengan vortek. Sebanyak 100 μl cairan merah dari hasil reaksi dicampur dengan 900 μl toluen, lalu diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Konsentrasi prolin ditentukan terhadap kurva standar prolin yang dibuat menggunakan prolin murni.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter kualitatif Percobaan kekeringan untuk cv. Kasalath dihentikan pada hari ke 30 dan hari ke 44 pada cv Batutegi yaitu ketika daun kultivar pembanding mengering.
Pada akhir percobaan kekeringan, kondisi daun bendera
mengering dengan skor 9. Berdasarkan fenotipe tanaman dan skoring daun, galur-galur transgenik dibagi dalam tiga kategori yaitu peka, moderat dan toleran kekeringan, yang dibandingkan terhadap genotipe toleran (Qtl 71 (+) dan Qtl 98 (+)) maupun terhadap Kasalath-WT atau Batutegi-WT (Tabel 1). Berdasarkan nilai skoring kekeringan diperoleh tiga galur tanaman transgenik toleran kekeringan kultivar Batutegi dan lima galur dari Kasalath. Galur dengan kategori moderat masing-masing satu galur transgenik Batutegi dan Kasalath. Berdasarkan skoring daun, daun tanaman kontrol telah merngering dengan skor 9. Skoring kekeringan daun dapat membedakan
84
ketahanan tanaman secara fenotipe. Fenotipe tanaman cv. Batutegi-WT dan Kasalath-WT, galur pembanding tahan dan galur transforman toleran Batutegi dan Kasalath disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
Nilai skoring kekeringan daun pada galur-galur transgenik dan kultivar pembanding Galur
Skor daun mengering 9 1 9 3 5 3 9 1 9 5 3 3 3 1 9 3 3
Kategori
BT-WT P T1-BT II 1A T T1-BT II 1B P T1-BT II 2A T T1-BT II 4A M T1-BT III 1A T Kas-WT P T1-Kas III 2A T T1-Kas III 2B P T1-Kas III 3A M T1-Kas IV 1A T T1-Kas IV 2A T T1-Kas V 1A T T1-Kas V 1B T T1-Kas VII 6A P QTL 71 T QTL 98 T Keterangan : Skor 1-3 : toleran, skor 5 : moderat, skor 9 : peka P= peka, M= moderat, T= toleran
Karakter Fisiologi Tanaman NTR dan FTSW Uji kekeringan dengan metode FTSW (Ray & Sinclair 1998) dalam percobaan ini dapat mengukur tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman. Tingkat cekaman dicerminkan oleh besar atau kecilnya nilai FTSW. Semakin kecilnya nilai FTSW, maka semakin besar tingkat cekaman yang terjadi. Tingkat toleransi tanaman dilihat berdasarkan nilai laju transpirasi harian (NTR), semakin kecil nilai NTR tanaman semakin peka. Dalam percobaan ini, kekeringan yang terjadi bersifat sangat berat yang ditunjukkan dengan nilai FTSW sekitar 0,1. Pada nilai FTSW demikian, akar telah mengeluarkan air yang ada di dalamnya untuk transpirasi (Bhratnagar-Mathur et al. 2008). Galur-galur dengan kategori peka berdasarkan penilaian skoring daun
85
memiliki nilai NTR sekitar 0,1, sedangkan pada galur moderat dan toleran nilai NTR masih cukup tinggi, dengan besaran yang bervariasi. Perbedaan waktu berakhirnya periode kekeringan kultivar Batutegi dan Kasalath menunjukkan tingkat toleransi genetik berbeda, diduga Kasalath lebih peka dari Batutegi berdasarkan nilai skoring daun dan nilai NTR. Tabel 2. Nilai NTR dan FTSW pada galur-galur transgenik cv. Batutegi dan cv. Kasalath terhadap kultivar-kultivar pembanding Galur BT-WT T1-BT II 1A T1-BT II 1B T1-BT II 2A T1-BT II 4A T1-BT III 1A Qtl 71(+) Qtl 98(+)
NTR
FTSW
0,2 0,4 0,0 0,6 0,1 0,5 0,6 0,4
0,0 0,1 0,0 0,1 0,0 0,1 0,0 0,1
Kas-WT 0,1 0,0 T1-Kas III 2A 0,5 0,1 T1-Kas III 2B 0,1 0,0 T1-Kas III 3A 0,4 0,0 T1-Kas IV 1A 0,4 0,1 T1-Kas IV 2A 0,6 0,1 T1-Kas V 1A 0,5 0,1 T1-Kas V 1B 0,7 0,1 T1-Kas VII 6A 0,1 0,0 Qtl 71(+) 1,7 0,3 Qtl 98(+) 0,7 0,3 Keterangan : Nilai NTR kasalath pada 30 hsk dan 44 hsk pada Batutegi Nilai FTSW Kasalath pada 28 hsk dan 40 hsk pada Batutegi Nilai NTR Qtl 71(+) dan Qtl 98(+) diamati pada 30 hsk dan 44 hsk Nilai FTSW Qtl 71(+) dan qtl 98(+) diamati pada hari ke -28 dan ke- 42
Nilai NTR semakin rendah ketika waktu perlakuan kekeringan semakin lama.
Pada galur-galur Batutegi, nilai NTR di akhir periode kekeringan
bervariasi antara 0,0 – 0,6. Nilai NTR 0,0 terjadi pada galur T1-BT II 1B, hasil ini selaras dengan nilai kekeringan daun dengan kategori peka. Nilai NTR 0,0 menunjukkan bahwa transpirasi sudah tidak terjadi. Galur T1-BT II 1B lebih peka dibandingkan BT-WT, karena nilai FTSW telah sama diposisi 0,0. Galur-galur Batutegi dengan kategori moderat dan toleran memiliki nilai NTR 0,1-0,6. Galur pembanding yang berasal dari lapang yaitu qtl 71 (+) dan
86
98(+) masih memiliki nilai NTR cukup tinggi, yang setara dengan nilai NTR beberapa galur trasgenik Batutegi. Adanya keselarasan tingkat toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca dari genotipe terpilih Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) menunjukkan bahwa metode pengujian kekeringan FTSW bersifat representatif menggambarkan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan. Nilai NTR beberapa galur pada Kasalath bervariasi antara 0,1- 0,7. Pada beberapa galur dengan kategori moderat dan toleran (berdasarkan nilai fenotipe), memiliki nilai NTR 0,4 – 0,7 (Gambar 1). Pada kondisi NTR demikian, laju transpirasi masih cukup tinggi. Nilai NTR pada galur-galur peka T1-Kas III 2B dan T1-Kas VII 6A, sama dengan nilai NTR pada tanaman Kas-WT. Diperolehnya beberapa kandidat galur toleran dan moderat pada tingkat cekaman kekeringan berat, menunjukkan bahwa gen regulator oshox-6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan (OsLEA) telah terekspresi dan meregulasi sejumlah gen lain yang diaturnya. Nilai FTSW pada akhir percobaan kekeringan cv. Batutegi sangat rendah. Pada dasarnya Batutegi adalah kultivar moderat toleran kekeringan sehingga nilai FTSW rendah baru tercapai setelah perlakuan kekeringan diberikan selama 42 hari. Sementara pada kasalath, diduga sifatnya lebih peka dibandingkan Batutegi, nilai FTSW 0,0 pada Kas-WT terjadi pada hari ke 28. Nilai FTSW akan semakin turun dengan semakin lama perlakuan kekeringan (Gambar 2). Nilai FTSW sebesar 0,1 pada galur T1-BT II 1B terjadi pada 32 hsk, sementara pada BT-WT 36 hsk. Dengan nilai FTSW 0,1 di hari ke-32, maka mempercepat nilai NTR menjadi rendah. Nilai FTSW 0,1 paling lambat terjadi pada 40 hsk untuk galur: T1-BT II 1A, T1-BT II 2A, T1BT III 1A dan qtl 98(+). Nilai FTSW galur T1-Kas VII 6A sebesar 0,1 pada 24 hsk dan menjadi 0,0 pada 26 hsk, sementara nilai FTSW 0,1 Kas-WT pada 24 hsk dan menjadi 0,0 pada 28 hsk.
87
2,5 BT WT
Batutegi
QTL 71 QTL 98
2,0
T1-BT II 1A T1-BT II 1B T1-BT II 2A T1-BT II 4A
1,5
NTR
T1-BT III 1A
1,0
0,5
0,0 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
A
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
42
44
Hari
2,5
Kasalath
Kas WT QTL 71 QTL 98
2,0
T1-Kas III 2A T1-Kas III 2B T1-Kas III 3A T1-Kas IV 1A
1,5
NTR
T1-Kas IV 2A T1-Kas V 1A T1-Kas VII 6A 1,0
T1-Kas V 1B
0,5
0,0 2
B
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
42
44
Hari
Gambar 1. Hubungan normalisasi transpirasi (NTR) terhadap waktu perlakuan kekeringan.
88
1,2
Batutegi
BT WT QTL 71 QTL 98
1,0
T1-BT II 1A T1-BT II 1B T1-BT II 2A
0, 8
FTSW
T1-BT II 4A T1-BT III 1A 0,6
0,4
0,2
A 0,0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
Hari 1,2
Kasalath
Kas WT QTL 71 QTL 98
1,0
T1-Kas III 2A T1-Kas III 2B T1-Kas III 3A
0,8
FTSW
T1-Kas IV 1A T1-Kas IV 2A T1-Kas V 1A
0,6
T1-Kas VII 6A T1-Kas V 1B 0,4
0,2
B 0,0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
Hari
Gambar 3. Hubungan air tanah yang dapat transpirasikan (FTSW) terhadap waktu kekeringan
89
Hubungan NTR dan FTSW cv. Batutegi dan Kasalath disajikan dalam kurva (Gambar 4). Pada cv Batutegi, nampak bahwa laju transpirasi mulai turun ketika tingkat cekaman mendekati fase-III dengan nilai FTSW sekitar 0,2. Pada kacang tanah transgenik laju transpirasi mulai turun pada FTSW 0,5 (Bhatnagar-Mathur et al. 2007), 0,31 pada jagung dan 0,35 pada kedelai (Ray & Sinclair 1998). Integrasi gen regulator oshox6 yang responsif kekeringan meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada cv. Batutegi maupun Kasalath. Pada Kacang tanah, jagung dan kedelai kurva yang terbentuk antara fase cekaman I, II dan III sangat nyata terlihat, sementara pada cv. Batutegi, antara fase II dan III hampir tidak dapat dibedakan. Kurva hubungan NTR dan FTSW pada Kasalath tidak sama dengan pada Batutegi. Pada Kasalath, penurunan laju transpirasi mulai terjadi pada sekitar FTSW 0,3 seperti yang terjadi pada jagung dan kedelai. Nilai NTR dan FTSW
mendukung
penilaian
toleransi
berdasarkan
skoring
fenotipe
kekeringan daun.
90
2.0
BT WT QTL 71 QTL 98 T1-BT II 1A T1-BT II 1B T1-BT II 2A T1-BT II 4A T1-BT III 1A
A
NTR
1.5
1.0
0.5
0.0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
FTSW
2.0
Kas WT QTL 71 QTL 98 T1-Kas III 2A T1-Kas III 2B T1-Kas III 3A T1-Kas IV 1A T1-Kas IV 1B T1-Kas V 1A T1-Kas VII 6A T1-Kas V 1B
B
NTR
1.5
1.0
0.5
0.0 1.6
1.2
0.8
0.4
0.0
FTSW
Gambar 4. Kurva hubungan antara nilai laju transpirasi harian (NTR) terhadap laju penurunan fraksi traspirasi air tanah (FTSW). A = kultivar Batutegi, B = kultivar Kasalath
91
Potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif (RWC) dan prolin cv. Batutegi Berdasarkan analisis keragaman pada galur-galur transgenik cv. Batutegi dan kultivar pembanding untuk karakter potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif daun (RWC), dan kandungan prolin tidak menunjukkan interaksi nyata pada 7 hsk dan 45 hsk. Seperti halnya pada faktor interaksi, faktor genotipe juga tidak menunjukkan perbedaan nyata untuk semua karakter yang diamati. Perbedaan nyata dan sangat nyata terjadi pada faktor lingkungan (perlakuan kekeringan dan kontrol) untuk karakter Ψd 45 hsk, RWC 7 hsk, RWC 45 hsk, dan kandungan proline 45 hsk (Tabel 3). Tabel 3. Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interkasinya pada semua peubah fisiologis cv. Batutegi. Karakter Pengamatan
Genotipe
Lingkungan
Interaksi
0,68 tn 0,21 tn 0,54 tn Ψd7 hsk (MPa) tn 1,53 9,20** 2,01 tn Ψd 45 hsk (MPa) 0,76 tn 5,96* 1,44 tn RWC 7 hsk (%) tn 0,29 6,00* 0,26 tn RWC 45 hsk (%) tn tn 0,71 1,43 0,97 tn Kandungan Proline 7 hsk tn 1,08 9,23** 1,09 tn Kandungan Proline 45 hsk Keterangan : Ψd = potensial air daun, hsk = hari setelah kekeringan , RWC = relative water
Content, (*) berbeda nyata, (**) berbeda sangat nyata (tn) tidak berbeda nyata, uji F pada taraf 5%
Hasil uji lanjut kultivar Batutegi dan genotipe pembanding QTL terhadap faktor lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan tanpa cekaman (WW) memiliki Ψd dan RWC lebih tinggi (7 hsk dan 45 hsk) tetapi prolin rendah.
Perbedaan lingkungan terhadap karakter tersebut berbeda nyata.
Pada lingkungan DS, Ψd dan RWC, lebih rendah, menunjukkan bahwa tanaman tercekaman.
Kandungan prolin meningkat juga sebagai respon
tanaman terhadap cekaman. Pada lingkungan DS, tanaman memberikan respon toleransi dalam menghadapi cekaman, mekanismenya melalui peningkatan senyawa osmotik (prolin), sehingga turgor sel terjaga dan memfasilitasi proses fisiologi dan biokimia dalam sel.
Selain melalui mekanisme toleransi,
92
tanaman juga melakukan respon yang bersifat penghindaran dengan mempertahankan nilai RWC 7 hsk hingga 45 hsk yaitu sekitar 67% (Tabel 4). Tabel 4: Nilai potensial air daun (Ψd) 7 hsk, kandungan air relatif (RWC) 7 hsk dan 45 hsk pada cv. Batutegi. Lingkungan Kontrol (WW) Kekeringan (DS)
Ψd (MPa) 45 hsk -1,10 a -1,47 b
RWC (%) 7 hsk 76,13 a 67,66 b
RWC (%) 45 hsk 80,52 a 67,24 b
Prolin (μM) 45 hsk 32,75 a 150,86 b
Keterangan : Angka sekolom, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
Potensial air daun (Ψd) merupakan karakter yang banyak digunakan dalam mengukur status air tanaman, nilai Ψd juga merupakan penentu untuk melihat pergerakan air dalam tanaman dan indikator kekurangan air. Pada penelitian ini pengambilan sampel daun dilakukan sebelum matahari terbit (sekitar pukul 04.00 pagi), dengan waktu yang demikian diharapkan nilai Ψd yang diperoleh maksimum.
Menurut Dutt dan Gill (1978), Ψd maksimum
pada malam hari, setelah matahari terbit nilainya menurun dan nilai minimal terjadi sekitar pukul 14.00.
Nilai Ψd pagi hari (predawn leaf potential)
mewakili status air tanaman, dimana Ψd mendekati nilai potensial air tanah (Clearly et al. 1998). Analisis keragaman faktor genotipe dan interaksi tidak berbeda nyata untuk karakter Ψd 7 hsk dan 45 hsk. Namun demikian berdasarkan nilai ratarata, Ψd pada 7 hsk lebih tinggi dibandingkan saat 45 hsk, diduga karena perlakuan kekeringan baru dimulai dan air masih tersedia dalam media. Secara umum pada semua galur transgenik dan genotipe QTL terjadi penurunan nilai Ψd pada WW maupun DS ketika perlakuan kekeringan semakin lama dan fase pertumbuhan tanaman makin dewasa. Pada 45 hsk, terjadi perbedaan Ψd, antara galur tanaman pada kondisi WW dengan kondisi DS. Batutegi WT 45 hsk menunjukkan penurunan antara kondisi WW dan DS, yaitu 0,7 MPa pada WW menjadi 1,5 MPa pada DS. Galur transgenik yang juga menunjukkan penurunan ialah T1-BT-II.4A (1,2 Mpa menjadi 1,9 Mpa) dan pembanding
93
QTL 71(+) (1,1 MPa menjadi 2,0 MPa). Galur T1-BT-II.1B tidak dapat dianalisis karena tanaman kritis (Tabel 5). Penelitian O’Toole dan Cruz (1980), daun cv IR28 mulai menggulung dan ketahanan stomata meningkat pada Ψd -0,8 hingga -1,2 MPa dan daun menggulung sempurna pada Ψd -2,2 MPa. Pada penelitian ini fenomena daun menggulung tidak terjadi namun ditunjukkan oleh kekringan daun.
Pada
cekaman kekeringan berat (Ψtanah = -0,05 MPa), nilai Ψd menurun sangat cepat dibandingkan pada cekaman moderat atau cekaman kekeringan ringan (Yang et al. 2002). Secara umum nilai RWC, pada 7 hsk antara WW dengan DS tidak berbeda pada semua galur transgenik dan tanaman pembanding QTL. Kisaran nilai RWC 7 hsk ialah 68%- 87%. Pada BT-WT 7 hsk, terdapat perbedaan nyata antara RWC WW dengan RWC DS 85 % dan 52%. Nilai RWC 45 hsk galur-galur transgenik secara umum meningkat dibandingkan 7 hsk pada kondisi WW maupun DS, kecuali pada T1-BT-II.4A (74% DS dan 63% WW).
Diduga ada mekanisme penghindaran sehingga
tanaman berusaha meningkatkan atau mempertahankan RWC.
Menurut
Agalou et al. 2008, nilai RWC 75-78% tanaman dalam keadaan tercekam berat, 82 %- 85% tercekaman sedang dan 90-92% tercekam ringan. Pada RWC 70% pengambilan karbondioksida terbatas dan stomata menutup, dan jika RWC kurang dari 30% terjadi pengeringan di dalam jaringan vaskular yang tidak dapat diperbaiki (Kalefetoglu & Ekmekci 2005).
Berdasarkan data
dalam peneltian ini nampak bahwa hampir semua tanaman memiliki RWC lebih rendah dibandingkan klasifikasi Agalou et al. 2008. Hal ini mungkin karena Batutegi ialah kultivar moderat toleran kekeringan dan insersi gen regulator
oshox-6
telah
menginduksi
mekanisme
avoidance
dalam
mempertahankan diri sehingga RWC dipertahankan (naik) meskipun pada cekaman kekeringan berat sehingga fenotipe tanaman masih segar (daun tidak menggulung atau mengering) kecuali pada T1-BT-II.1B.
Pada dua genotipe
pembanding yaitu QTL 71(+) dan QTL 98 (+) juga menunjukkan hal yang sama, dimana RWC dipertahankan meskipun dalam cekaman berat.
94
Tabel 5. Rerata Potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif (RWC), dan kandungan prolin pada galur transgenik cv. Batutegi dan tanaman pembanding. Galur
Klasifikasi Ling.
Ψ (MPa) 7 hsk
BT-WT
P
T1-BT-II.1A
T
T1-BT-II.1B
P
T1-BT-II.2A
T
T1-BT-II.4A
M
T1-BT-III.1A
T
Qtl 71(+)
T
Qtl 98(+)
T
ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds
-0,9 -0,8 -0,9 -1,0 -1,1 -0,8 -1,1 -1,1 -0,8 -0,8 -0,8 -0,9 -1,0 -0,8 -0,8 -1,1
45 hsk -0,7 -1,5 -1,4 -1,4 -0,9 -1,3 -1,2 -1,9 -1,0 -1,3 -1,1 -2,0 -1,3 -1,0
RWC (%) 7 hsk
45 hsk
85 52 69 61 70 71 74 72 69 74 87 72 78 73 76 68
83 63 79 64 78 74 86 63 90 73 76 60 76 72
Proline (μM) 7 hsk 45 hsk 43 50 90 63 57 93 159 104 92 43 51 401 27 130 49 139
55 301 19 316 29 191 51 63 15 178 45 83 28 45 21 31
Keterangan : Ling. = lingkungan, hsk = hari setelah kekeringan , Ψ = potensial air daun, RWC = relative water content, - = tidak diuji, Bold = galur dengan nilai menurun anatra 7 hsk dan 45 hsk P = peka, M= moderat, T= toleran
Prolin ialah salah satu osmolit penting yang terakumulasi selama kondisi tercekam. Prolin membantu mempertahankan turgor dan mendukung kesinambungan pertumbuhan pada kondisi potensial air tanah rendah (Mullet & Whittsitt 1996). Dalam penelitian ini, secara umum kandungan proline 7 hsk DS lebih tinggi dibandingkan pada 7 hsk WW, yaitu pada BT-WT, T1-BTII.1B, T1-BT-III.1A, QTL71(+) dan QTL98(+). Sebaliknya pada galur T1-BTII.1A, T1-BT-II.2A dan T1-BT-II.4A kandungan prolin 7 hsk DS lebih rendah dibandingkan 7 hsk WW. Pada 45 hsk, semua galur transgenik dan dua genotipe pembanding menunjukkan peningkatan kandungan proline pada DS terhadap WW, walaupun besar kenaikkannya sangat bervariasi dan tidak berbeda nyata secara statistik (Tabel 5). Pada sebagian galur dengan lingkungan DS, terjadi kenaikan proline pada 45 hsk dibandingkan 7 hsk DS. Galur-galur tersebut ialah BT-WT, T1-BT-II.1A, T1-BT-II.1B, T1-BT-II.4A
95
dengan kenaikan masing-masing sebesar 602%, 501%, 205% dan 413%. Diduga
pada
galur-galur
transgenik
tersebut
gen
oshox-6
berperan
mengaktifkan gen-gen penyandi metabolisme pembentukan prolin namun kenaikkannya tidak nyata sehingga karakter prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Pada galur transgenik T1-BT-II.2A dan T1-BT-III.1A kandungan prolin menurun masing-masing 39% dan
79% pada 45 hsk
dibandingkan 7 hsk. Diduga kandungan prolin tinggi di awal kekeringan (7 hsk) merupakan respon biokimia dini tanaman ketika tercekaman kekeringan (Hanson & Hitz 1982). Pada tanaman pembanding QTL71(+) dan QTL98(+) kandungan prolin menurun pada cekaman 45 hsk dibandingkan dengan 7 hsk. Tingkat penurunan masing-masing 65% dan 78%. Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan ini diduga bukan toleransi melalui peningkatan senyawa osmotik melainkan bersifat penghindaran dengan mempertahankan RWC dan Ψd. Berdasarkan penelitian ini diketahui
bahwa galur-galur transgenik
Batutegi yang diklasifikasikan toleran dan moderat
memiliki respon
pertahanan diri dengan mekanisme penghindaran (mempertahankan Ψd dan RWC) begitu pula dengan genotipe-genotipe pembanding (QTL 71 (+) dan QTL 98(+)). Batutegi adalah kultivar unggul dan moderat toleran, integrasi gen oshox-6 secara statistik tidak berbeda nyata untuk membedakan galur-galur transgenik terhadap Batutegi kontrol (BT-WT) pada karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin. Dengan kata lain besarnya peningkatan antara BT-WT dengan transgenik tidak nyata, karena Batutegi sudah merupakan kultivar moderat toleran.
96
Potensial air daun(Ψd), kandungan air relatif (RWC) dan prolin cv. Kasalath Analisis keragaman pada galur-galur transgenik cv. Kasalath dan kultivar pembanding untuk karakter potensial air daun (Ψd) 7 hsk, kandungan air relatif daun (RWC) 7 hsk, dan kandungan prolin 7 hsk tidak menunjukkan interaksi nyata sedangkan Ψd 30 hsk, RWC 30 hsk, dan kandungan prolin 30 hsk menunjukkan interaksi nyata. Faktor genotipe untuk karakter Ψd 7 hsk, RWC 7 hsk, RWC 30 hsk dan kandungan prolin 7 hsk juga tidak menunjukkan perbedaan nyata. Perbedaan nyata hanya terjadi untuk karakter Ψd 30 hsk dan kandungan prolin 30 hsk. Perbedaan sangat nyata untuk faktor lingkungan ialah pada RWC 7 hsk, dan kandungan prolin 30 hsk (Tabel 6). Tabel 6. Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interkasinya pada semua peubah fisiologis cv. Kasalath Karakter Pengamatan
Genotipe
Lingkungan
Interaksi
1,02 tn 0,02 tn 1,39 tn tn 3,48** 0,59 3,30** tn 1,42 11,40** 0,82 tn RWC 7 hsk (%) tn tn 1,47 1,21 2,33* RWC 30 hsk (%) tn tn tn 1,45 3,35 0,99 Kandungan Proline 7 hsk (μM) 3,24** 7,90** 2,96** Kandungan Proline 30 hsk (μM) Keterangan : hsk = hari setelah kekeringan , RWC = relative water content (**) berbeda sangat nyata (tn) tidak berbeda nyata, uji F pada taraf 5%
(Ψd) 7 hsk (Mpa) (Ψd) 30hsk (Mpa)
Hasil uji lanjut cv. Kasalath terhadap perlakuan lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan WW dan DS tidak berbeda untuk karakter Ψd 30 hsk dan RWC 30 hsk. Nilai RWC 7 hsk WW lebih tinggi dibandingkan DS.
Tabel 7: Uji lanjut faktor lingkungan untuk karakter pengamatan kandungan air relatif (RWC) 7 hsk cv. Kasalath Lingkungan Kontrol (WW) Kekeringan (DS)
RWC (%) 7 hsk 79,59 a 70,41 b
Keterangan : Angka sekolom, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
97
Hasil uji lanjut pada cv. Kasalath terhadap faktor interaksi menunjukkan bahwa secara umum karakter Ψd 30 hsk pada lingkungan WW dan lingkungan DS tidak berbeda nyata. Tidak adanya perbedaan antara lingkungan WW dan DS pada galur-galur tersebut diduga karena tanaman transgenik yang diuji memiliki mekanisme penghindaran sehingga Ψd dapat dipertahankan. Pada galur T1-Kas-III.2B dan T1-Kas-VII.6A meskipun secara statistik tidak ada perbedaan antara lingkungan WW dan DS, namun nampak ada peningkatan nilai cekaman pada DS dibandingksan WW. Peningkatan cekaman nyata terdapat pada tanaman kasalath-WT, dengan Ψd 30 hsk -2,6 Mpa pada WW dan -4,5Mpa pada DS. Data ini juga tidak berbeda nyata terhadap galur pembanding QTL (Tabel 8). Fenomena pada Ψd 30 hsk juga terjadi pada karakter RWC 30 hsk, dimana secara umum tidak ada perbedaan antara kondisi lingkungan WW dengan DS untuk semua galur Kasalath transgenik dan genotipe QTL. Pada galur T1-Kas-III.2B dan T1-Kas-III.3A nilai RWC pada DS lebih rendah dibandingkan pada WW. Sementara pada Kasalath-WT, nilai RWC 30 hsk menunjukkan kandungan air dalam jaringan tanaman sangat kritis (48%). Tidak adanya perbedaan nilai secara nyata untuk semua galur transgenik antara WW dan DS diduga promotor LEA yang terinduksi kekeringan telah aktif meregulasi sejumlah gen lain sehingga kandungan air relatif dalam jaringan dapat dipertahankan sedemikian rupa sehingga mengimbangi kondisi tanaman di WW (Tabel 8). Tanaman pembanding QTL 71(+) juga tidak berbeda nyata terhadap QTL 98(+) dan kedua genotipe juga tidak berbeda nyata terhadap semua galur transgenik Kasalath. Perbedaan nyata genotipe pembanding ini hanya nanpak terhadap Kas-WT.
Diduga kedua genotipe pembanding
memiliki respon penghindaran dengan mempertahankan RWC dalam sel. Kandungan
prolin pada 30 hsk secara umum tidak berbeda nyata
antara semua galur transgenik dan pembanding.
Kandungan prolin pada
sejumlah galur transgenik (30 hsk) menurun dibandingkan 7 hsk. Akan tetapi galur transgenik T1-Kas-III.2B dan T1-Kas-VII.6A serta Kasalath-WT kandungan prolin meningkat seiring waktu kekeringan semakin lama. Kedua galur transgenik dan Kas-WT tersebut diklasifikasikan peka.
Peningkatan
98
senyawa prolin tidak cukup untuk mempertahankan diri dari cekaman kekeringan, sehingga prolin tidak bisa sebagai karakter seleksi (Tabel 8). Pada galur-galur transgenik lain, umum kandungan prolin menurun setelah periode kekeringan 30 hsk. Pada 30 hsk kandungan prolin tidak berbeda antara semua galur transgenik, juga tidak nyata antara perbedaan lingkungan (WW dan DS). Pada galur-galur ini kandungan prolin yang lebih tinggi di awal periode kekeringan diduga sebagai respon awal tanaman ketika terjadi kekeringan. Kemudian diduga tanaman melakukan biosintesis senyawa lain untuk pertahanan diri namun hal ini perlu dibuktikan lagi.
Tabel 8. Nilai potensial air daun (Ψd), kandungan air relatif (RWC), dan kandungan prolin pada beberapa galur transgenik cv. Kasalath dan tanaman pembanding. Galur
Klasifi Ling. kasi
Kas-WT
P
T1-Kas-III.2A
T
T1-Kas-III.2B
P
T1-Kas-III.3A
M
T1-Kas-IV.1A
T
T1-Kas-IV.2A
T
T1-Kas-V.1A
T
T1-Kas-V.1B
T
T1-Kas-VII.6A
P
QTL71
T
QTL98
T
ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds ww ds
Ψ (Mpa) 7 hsk 30 hsk Rerata DMRT -0,9 -2,6 ab -0,9 -4,5 c -1,1 -3,1 b -0,6 -1,8 a -1,2 -2,1 ab -1,0 -2,6 ab -0,9 -2,3 ab -1,1 -1,9 a -0,9 -2,6 ab -0,8 -1,6 a -0,9 -2,1 ab -0,9 -1,7 a -0,8 -2,0 ab -0,7 -1,8 a -0,9 -2,2 ab -1,0 -2,1 ab -0,8 -1,5 a -1,3 -2,5 ab -1,0 -2,5 ab -0,8 -1,9 a -0,8 -2,3 ab -1,1 -1,9 ab
RWC (%) 7 hsk 30 hsk Rerata DMRT 75 77 ab 59 48 c 78 81 ab 80 90 a 87 86 ab 70 62 bc 73 71 abc 75 68 abc 85 71 abc 79 84 ab 80 70 abc 74 87 ab 81 76 ab 73 79 ab 77 71 abc 52 84 ab 85 76 ab 73 88 a 78 72 abc 73 89 a 76 75 ab 68 86 ab
Proline (μM) 7 hsk 30 hsk Rerata DMRT 36 98 b 63 1344 a 53 56 b 55 46 b 77 34 b 66 876 a 798 70 b 188 58 b 72 57 b 67 96 b 31 41 b 34 73 b 47 47 b 32 35 b 40 28 b 30 29 b 53 63 b 58 160 b 27 46 b 130 92 b 49 58 b 139 85 b
Keterangan : Ling. = lingkungan, hsk = hari setelah kekeringan , Ψ = potensial air, RWC = relative water content, bold = galur transgenik dengan fenomena pertahanan seperti pada kasalath-WT. Angka sekolom, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 5% DMRT. P = peka, M= moderat, T= toleran
99
Pada tanaman pembanding QTL kandungan prolin menurun seperti pada sejumlah galur transgenik yang dianggap toleran dan moderat.. Mekanisme pertahanan tanaman bukan melalui peningkatan prolin, diduga ada mekanisme toleransi dengan mensintesis senyawa-senyawa lain yang belum dilakukan analisisnya. Namun, mekanisme yang nampak berdasarkan data dalam penelitian ini ialah penghindaran.
Karakter Agronomi Karakter Agronomi cv. Batutegi Analisis keragaman untuk karakter bobot gabah per rumpun, jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, waktu berbunga, biomasa kering tanaman dan tinggi tanaman tidak menunjukkan interaksi nyata. Sebaliknya semua karakter tersebut berbeda nyata dan sangat nyata pada faktor genotipe.
Perbedaan nyata untuk faktor lingkungan ialah
untuk
karakter waktu berbunga (Tabel 9). Tabel 9. Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interaksinya pada peubah agronomi cv. Batutegi Karakter Pengamatan Bobot gabah/rumpun (gr) Jumlah gabah bernas/malai Biomasa kering tanaman (gr) Jumlah anakan produktif Waktu berbunga (hst) Tinggi tanaman (cm)
Genotipe
Lingungan
Interaksi
2,65* 2,30* 2,83* 12,01** 4,85** 6,61**
0,95 tn 2,30 tn 0,98 tn 1,56 tn 4,04* 0,79 tn
0,87 tn 1,23 tn 1,36 tn 1,56 tn 0,78 tn 2,32 tn
Keterangan: (*) berbeda nyata, (**) berbeda sangat nyata (tn) tidak berbeda nyata, uji F taraf 5%
Hasil uji lanjut faktor genotipe dengan Tukey untuk karakter bobot gabah per rumpun, jumlah gabah bernas per malai, dan
biomasa kering
tanaman tidak menunjukkan perbedaan nyata antara galur-galur tanaman transgenik terhadap kultivar pembanding Batutegi non transforman (BT-WT), genotipe Qtl 71(+), dan Qtl 98(+) (Tabel 10). Artinya untuk karakter-karakter tersebut setiap individu tanaman yang diuji memberikan respon hampir serupa, dan
tidak menunjukkan perbedaan nyata. Hasil pengamatan fisiologi dan
skoring kekeringan daun sebelumya menunjukkan perbedaan kategori tingkat
100
toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Tanaman BT-WT dan galur BT-BT II 1B secara fisiologis termasuk peka tetapi berdasarkan bobot gabah per rumpun tanaman-tanaman ini memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanaman-tanaman lain yang diuji (meskipun tidak nyata). Diduga kepekaan tanaman terhadap cekaman justru mengalihkan fotosintatnya untuk pembentukan gabah, sebaliknya pada tanaman toleran fotosintat yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk mekanisme pertahanan menghadapi cekaman kekeringan dibandingkan untuk pengisian gabah. Jumlah gabah bernas per malai untuk cv. Batutegi cukup tinggi (> 75 gabah bernas per malai). Hasil analisis lanjut untuk karakter ini tidak berbeda nyata diantara semua galur transgenik dan pembanding. Hal ini diduga karena pada dasarnya kultivar Batutegi merupakan kultivar unggul yang telah dilepas dengan jumlah bulir bernas yang cukup tinggi. Tabel 10. Hasil uji lanjut faktor genotipe, galur transgenik cv. Batutegi dan genotipe pembanding untuk karakter bobot gabah per rumpun, jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, waktu berbunga, biomasa kering tanaman dan tinggi tanaman berdasarkan uji Tukey. Genotipe BT-WT Qtl 71(+) Qtl 98(+) T1-BT II 1A T1-BT II 1B T1-BT II 2A T1-BT II 4A T1-BT III 1A
BG/R (gr) 15,2 9,2 10,9 9,4 14,7 9,5 9,1 9,1
JGB/M 149 97 81 122 163 88 89 115
BKT (gr) 12,7 12,1 12,9 9,0 12,2 8,9 13,0 9,3
WB (hst) 67 62 58 71 c 67 73 bc 67 69 c
JAP 3c 4c 5 ab 2 bc 3c 3c 3c 2 bc
TT (cm) 150 c 144 134 a 130 a 135 a 130 a 126 ab 131 a
Keterangan : BG/R = bobot gabah per rumpun , JAP = jumlah anakan produktif, JGB/M = jumlah gabah bernas per malai, WB = waktu berbunga, BKT = biomasa kering tanaman, TT = tinggi tanaman. Angka sekolom, diikuti huruf a berbeda nyata terhadap BT-WT, b berbeda nyata terhadap Qtl 71(+) dan c berbeda nyata terhadap Qtl 98(+) pada 5% Tukey.
101
Uji kekeringan dalam pot, sulit untuk menentukan produktivitas, akan tetapi adakalanya pendugaan produktivitas juga didasarkan pada biomasa kering tanaman bagian atas. Evaluasi keragaman terhadap biomasa kering tanaman menunjukkan perbedaan nyata untuk faktor genotipe, tetapi setelah di uji lanjut ternyata tidak ada perbedaan nyata diantara semua galur transgenik terhadap semua genotipe dan kultivar pembanding.
Meskipun
secara statistik tidak nyata, akan tetapi ada kecenderungan hasil yang sama seperti pada karakter bobot gabah per rumpun. Pada galur-galur atau kultivar pembanding dengan kategori peka dan moderat toleran memiliki biomasa kering yang sedikit lebih tinggi dibandingkan galur-galur yang toleran. Pada galur-galur ini diduga hasil fotosintat tanaman yang dihasilkan banyak digunakan untuk pembentukan gabah dan biomasa. Sebalinya pada tanaman toleran hasil fotosintat banyak digunakan untuk mekanisme tanaman terhadap adapatasi tanaman. Meskipun gen oshox-6 dikontrol oleh promotor terinduksi kekeringan, tetapi karena periode cekaman kekeringan yang terjadi sangat lama maka gen regulator oshox-6 akan terus terekspresi mengatur gen-gen lain untuk mekanisme adaptasi tanaman. Akibatnya produktivitas tanaman turun dan biomasa lebih rendah. Semua galur transgenik Batutegi tidak menunjukkan mekanisme escape karena waktu berbunga tidak lebih cepat dari Batutegi-WT. Dengan demikian mekanisme pertahanan tanaman tidak dengan mempercepat siklus hidupnya, melainkan dengan penghindaran dan toleransi seperti yang telah dibahas sebelumnya. Beberapa galur transgenik (BT II 1A, T1-BT II 2A, T1-BT III 1A) menunjukkan perbedaan nyata terhadap genotipe pembanding Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+), galur-galur tersebut memiliki waktu berbunga yang lebih lama (antara 69 hst-73 hst). Hal ini seperti yang dilaporkan sebelumnya bahwa kekeringan pada tanaman padi gogo dapat memperlambat fase pembungaan, bahkan kekeringan pada 0-2 minggu menjelang berbunga menyebabkan kehampaan (Lubis et al. 1993).
Semakin lambat galur tersebut berbunga
semakin singkat waktu pengisian gabah. Kondisi kekurangan air pada padi gogo saat memasuki pengisian biji dapat menyebabkan penurunan hasil karena banyaknya bulir hampa (Lubis et al. 1993).
102
Jumlah anakan produktif adalah salah satu karakter yang dapat menentukan hasil setiap individu tanaman. Semakin banyak jumlah anakan produktif selayaknya meningkatkan hasil.
Jumlah anakan produktif pada
semua galur transgenik tidak berbeda nyata terhadap pembanding BT-WT. Diduga bahwa secara genetik, pertumbuhan anakan produktif sudah maksimum dalam kondisi pertanaman dalam pot untuk kultivar ini. Jumlah anakan produktif terbanyak diperoleh dari pembanding Qtl 98(+). Tinggi tanaman pada semua galur transgenik nyata lebih pendek dibandingkan kultivar BT-WT.
Secara umum galur-galur transgenik juga
tidak berbeda nyata dengan genotipe pembanding Qtl 71(+) dan Qtl 98(+). Besarnya penurunan tinggi tanaman antara tanaman transgenik dengan BT-WT mencapai 24 cm. Diduga bahwa penyisipan gen oshox-6 dalam tanaman padi cv. Batutegi berpengaruh terhadap penurunan tinggi tanaman.
Karakter Agronomi cv. Kasalath Berdasarkan analisis keragaman, faktor interaksi antara genotipe dengan faktor kekeringan tidak menunjukkan perbedaan nyata untuk semua karakter yang dianalisis. Karakter-karakter tersebut ialah bobot gabah per rumpun, jumlah gabah bernas per malai, jumlah anakan produktif, biomasa kering tanaman, waktu berbunga, dan tinggi tanaman. Tidak adanya interaksi untuk karakter-karakter tersebut menyebabkan sulit untuk melihat perbedaan antara nilai pengamatan pada kondisi tanpa cekaman dengan kondisi tercekam. Hal ini disebabkan karena semua galur akan memberikan respon yang sama meskipun pada lingkungan berbeda. Sebaliknya semua karakter
tersebut
berbeda nyata dan sangat nyata pada faktor genotipe kecuali untuk karakter waktu berbunga . Faktor lingkungan kekeringan berbeda nyata pada karakter biomasa, waktu berbunga dan tinggi tanaman (Tabel 11).
103
Tabel 11. Rangkuman nilai analisis keragaman perlakuan genotipe, lingkungan dan interaksinya pada peubah agronomi cv. Kasalath transforman Karakter Pengamatan
Genotipe
Kekeringan
Interaksi
Bobot gabah/rumpun (gr) Jumlah gabah bernas/malai Jumlah anakan produktif Biomasa kering tanaman (gr) Waktu berbunga (hst) Tinggi tanaman (cm)
8,62** 23,16 ** 6,92** 2,27* 1,60 tn 8,08**
1,13 tn 0,06 tn 0,87 tn 6,70* 4,57* 4,96*
1,48 tn 1,78tn 1,22 tn 1,07 tn 0,52 tn 1,38tn
Keterangan: (*) berbeda nyata, (**) berbeda sangat nyata (tn) tidak berbeda nyata, uji F pada taraf 5%
Hasil analisis lanjut karakter bobor gabah per rumpun menunjukkan enam galur transgenik Kasalath tidak berbeda nyata terhadap pembanding Kas-WT. Galur-galur tersebut memiliki bobot gabah per rumpun tinggi. Sementara itu, dua galur transgenik Kasalath (T1-Kas IV 1A dan T1-Kas IV 2A) memiliki bobot gabah per rumpun yang sangat rendah dan berbeda nyata terhadap Kas-WT.
Galur-galur yang secara fisiologis termasuk kategori
toleran dan moderat (T1-Kas III 2A, T1-Kas III 3A, T1-Kas V 1A, T1-Kas V 1B) memiliki bobot gabah per rumpun tinggi bahkan ada yang tertinggi. Genotipe pembanding QTL 71 (+) dan QTL 98(+) memiliki bobot gabah rendah dan berbeda nyata terhadap Kas-WT. Hasil analisis terhadap karakter jumlah benih bernas per malai memiliki gambaran yang sama seperti pada karakter bobot gabah per rumpun. Galur tanaman transgenik yang memiliki bobot gabah per rumpun tinggi juga memiliki jumlah benih bernas per malai tinggi. Sebaliknya galur dengan bobot per rumpun rendah memiliki jumlah benih bernas per malai rendah. Galurgalur
dengan jumlah gabah bernas tinggi tidak berbeda nyata terhadap
pembanding Kas-WT.
Sementara galur transgenik T1-Kas IV 1A, T1-Kas
IV 2A serta pembanding Qtl 71(+) dan Qtl 98(+) berbeda nyata lebih rendah dibandingkan Kas-WT.
104
Tabel 12. Hasil uji lanjut faktor genotipe, galur transgenik cv. Kasalath dan genotipe pembanding untuk karakter bobot gabah per rumpun, jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas per malai, biomasa kering tanaman dan tinggi tanaman berdasarkan uji Tukey. Genotipe Kas-WT
Qtl 71(+) Qtl 98(+)
BG/R (gr) 19,9 bc 9,2 a 10,9 a 17,6 b 17,0 16,0 8,9 a 3,9 a 15,8 20,3 bc 13,8
JGB/M 152 bc 96 a 81 a 130 c 159 bc 151 bc 38 ab 16 abc 122 155 bc 129
BKT (gr) 18,4 12,1 12,8 12,9 14,8 15,2 25,4 16,5 10,4 17,6 9,0
JAP 6b 4a 5 7b 7b 7b 4 3a 6 7b 5
TT (cm) 158 c 144 134 a 154 c 159 c 155 c 145 142 a 143 164 bc 148
T1-Kas III 2A T1-Kas III 2B T1-Kas III 3A T1-Kas IV 1A T1-Kas IV 2A T1-Kas V 1A T1-Kas V 1B T1-Kas VII 6A Keterangan : BG/R = bobot gabah per rumpun , JAP = jumlah anakan produktif, JGB/M = jumlah gabah bernas per malai, BKT = biomasa kering tanaman, TT = tinggi tanaman Angka sekolom, diikuti huruf a berbeda nyata terhadap Kas-WT, b berbeda nyata terhadap Qtl 71(+) dan c berbeda nyata terhadap Qtl 98(+) pada 5% Tukey.
Biomasa kering tanaman bagian tajuk tidak berbeda nyata untuk setiap galur tanaman transgenik terhadap semua pembanding.
Galur trangenik T1-
Kas IV 1A, dengan bobot gabah per rumpun dan jumlah gabah bernas rendah justru memiliki biomasa kering tertinggi begitu pula dengan galur T1-Kas IV 2A memiliki biomasa yang cukup tinggi. Diduga galur-galur ini potensial unggul karena memiliki biomasa yang cukup tinggi jika dilakukan penanamannya di lapang. Jumlah anakan produktif galur-galur transgenik tidak berbeda nyata dibandingkan pembanding Kas-WT kecuali pada galur T1-Kas IV 2A. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa galur T1-Kas IV 1A dan T1-Kas IV 2A memiliki jumlah anakan total lebih banyak (9 anakan) dibandingkan semua galur transgenik lainnya (6-8 anakan)
(data tidak ditampilkan).
Jumlah
anakan produktif pada Kasalath berkorelasi positif terhadap bobot gabah per rumpun. Secara umum, tinggi tanaman pada galur-galur transgenik tidak berbeda nyata dengan kultivar pembanding Kas-WT, kecuali pada galur T1-
105
Kas IV 2A yang berukuran lebih pendek. Meskipun galur-galur tersebut tidak berbeda nyata terhadap Kas-WT, namun ada kecenderungan sebagian galur transgenik memiliki ukuran lebih pendek. Seperti pada kultivar Batutegi, penyisipan gen oshox-6 dalam genom kultivar Kasalath diduga juga mempengaruhi fenotipe tanaman menjadi lebih pendek. Faktor
lingkungan
untuk
karakter
biomasa
kering
tanaman
menunjukkan peningkatan nyata dibandingkan tanpa cekaman kekeringan. Waktu berbunga pada lingkungan cekaman kekeringan nyata lebih cepat dibandingkan tanpa cekaman kekeringan. Karakter tinggi tanaman juga nyata lebih tinggi pada lingkungan cekaman kekeringan dibandingkan pada kondisi tanpa cekaman kekeringan. Diduga cekaman kekeringan yang diberikan pada kultivar Kasalath masih mampu tumbuh baik untuk karakter-karakter tersebut. Tabel 13.
Hasil Hasil uji lanjut faktor lingkungan, galur transgenik cv. Kasalath dan genotipe pembanding untuk karakter waktu berbunga dan panjang akar
Perlakuan lingkungan DS WW
Biomasa kering tanaman (gr) 17,3 a 12,7 b
Waktu berbunga (hst)
Tinggi tanaman (hst)
59,8 a 62,3 b
152 a 147 b
Keterangan : DS = perlakuan kekeringan, WW = tanpa cekaman Angka dalam kolom yang sama, diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 5% Tukey
Penurunan hasil akibat kekeringan sangat ditentukan oleh derajat kekeringan, periode kekurangan air dan fase pertumbuhan tanaman (Jongdee et al. 2002).
Kekeringan selama pembungaan berakibat pada rendahnya
fertilitas gabah (Liu et al. 2006),
bahkan kekeringan pada 0-2 minggu
menjelang berbunga menyebabkan kehampaan (Lubis et al. 1993).
Periode
kekeringan yang lebih lama dialami oleh galur transgenik Batutegi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika secara umum hasil bobot gabah per rumpun pada Batutegi lebih rendah dibandingkan pada Kasalath. Selain faktor periode waktu kekeringan, secara genetik kedua kultivar ini pun berbeda.
106
Salah satu contoh perbedaan genetik tersebut ialah waktu berbunga. Waktu berbunga kultivar Kasalath terjadi lebih cepat dari Batutegi. Diketahui pula bahwa kekeringan dipengaruhui banyak faktor dan produktivitas tanaman dipengaruhi banyak karakter, sehingga sangat sulit menentukan galur unggul berdasarkan uji produktivitas di dalam pot. Evaluasi daya hasil pada kondisi lingkungan tanpa cekaman kekeringan memerlukan event transforman dalam jumlah banyak. Hal ini dipengaruhi oleh efek posisi penyisipan gen dalam genom tanaman yang menentukan fenotipiknya. Pada penelitian ini pengamatan hasil panen setelah perlakuan kekeringan dilakukan hanya untuk mendapatkan indikasi awal produksi. Adakalanya efek posisi suatu gen dalam genom menyebabkan tanaman menjadi steril. Selain itu, pengukuran parameter panen pada perlakuan kekeringan di pot seringkali dianggap kurang valid, karena bila biomassa dan kemampuan serapan akar bertambah akan berakibat habisnya air dalam pot sebelum proses pembentukan gabah selesai, sehingga hasil menjadi lebih kecil. Percobaan kekeringan di pot lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis dan biomassa. Adanya efek posisi gen sisipan oshox-6 tidak hanya dapat diamati diantara dua kultivar tanaman yang digunakan (Batuegi dan kasalath) tetapi juga dapat terjadi pada event transforman yang berbeda dalam satu kultivar yang sama. Hal demikian dapat dicermati dari hasil pengamatan yang dilakukan pada sejumlah karakter yang dianalisis. Cekaman kekeringan pada suatu kultivar dapat terjadi pada fase vegetatif atau reproduktif, bersifat moderat maupun parah. Ketahanan yang berbeda dapat bermanfaat pada target area yang berbeda. Pada penelitian ini cekaman yang terjadi adalah sangat parah yaitu pada fase reproduktif.
Diharapkan
tanaman toleran kekeringan dari penelitian ini akan bermanfaat untuk mengantisipasi kondisi cekaman kekeringan parah yang sewaktu-waktu terjadi ketika tanaman pada fase generatif. Pengaruh gen sisipan dalam genom terhadap besarnya kenaikan ataupun penurunan hasil dapat dilakukan dengan membandingkan antara produktivitas tanaman pada kondisi tanpa cekaman dan kondisi tercekam. Pada perlakuan kekeringan cv. Batutegi galur T1-BT II.1A, T1-BT II.2A dan T1-BT III.1A
107
terdapat kenaikan bobot gabah per rumpun, biomassa dan jumlah gabah bernas per malai (kecuali T1-BT II.1A jumlah gabah bernas sedikit menurun). Dengan melihat kenaikan biomasa, diduga pada galur-galur ini akan terjadi kenaikan hasil jika air masih cukup tersedia dalam pot hingga proses pembentukan gabah terjadi secara lengkap. Sebaliknya pada Batutegi-WT terjadi penurunan untuk ketiga karakter (Gambar 4). Pada Kasalath-WT dan T1-Kas. IV.1A, terjadi kenaikan pada bobot gabah per rumpun, biomasa, dan jumlah gabah bernas ketika terjadi cekaman. Kenaikan bobot gabah per rumpun dan biomasa diperoleh dari galur T1-Kas III 2B, T1-Kas VII 6A, T1-Kas III 3A. Meskipun ketiga galur tersebut termasuk kategori peka dan moderat dalam penelitian ini, tidak menutup kemungkinan kategorinya menjadi toleran jika tingkat cekaman merupakan cekaman moderat.
Sedangkan pada galur T1-Kas IV 2A , T1-Kas V 1A
meskipun terjadi kenaikan biomasa tetapi bobot gabah per rumpun dan jumlah benih bernas permalai jauh lebih sedikit dibandingkan semua galur Kasalath transgenik lainnya (Gambar 4). Berdasarkan tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman parah, kenaikan biomasa dan hasil diperoleh tiga kandidat galur transgenik unggul Batutegi (T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A) dan satu Kasalath (T1Kas. IV.1A). Berdasarkan hasil penelitian ini, penyertaan genotipe terpilih dari lapang yang sekaligus dijadikan pembanding toleran untuk menguji tanaman transgenik adalah tepat. Metode uji kekeringan FTSW dapat menunjukkan korelasi antara lapangan dan rumah kaca. Pada genotipe Qtl 71(+) dan Qtl 98(+) terbukti bahwa kedua galur tersebut toleran kekeringan di laopang dan di rumah kaca.
108
A Bobot gabah / rumpun (g)
25
20
15
10
5
0
B 40 35
Biomasa kering (g)
30 25 20 15 10 5 0
C 180 160
Gabah bernas / malai
140 120 100 80 60 40 20 0 ww
ds
BT-WT
ww
ds
BT II 1A
ww
ds
BT II 2A
ww
ds BT III 1A
ww
ds
Kas-WT
ww
ds
Kas III 2B
ww
ds
Kas III 3A
ww
ds
Kas IV 1A
ww
ds
Kas VII 6A
Genotipe
Gambar 4. Galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath yang merupakan kandidat galur unggul. A. Karaker bobot gabah per rumpun (gram), B. Karakter biomasa kering tanaman bagian atas (gram), C. jumlah gabah bernas per malai
109
KESIMPULAN 1.
Metode uji kekeringan FTSW dapat membedakan tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman. Cekaman dalam percobaan ini bersifat berat yang terjadi pada fase reproduktif.
2.
Hasil skoring daun dalam menentukan klasifikasi toleransi suatu galur adalah selaras dengan nilai NTR dan FTSW.
3.
Perbedaan berakhirnya periode kekeringan cv. Batutegi dan Kasalath sangat ditentukan oleh faktor genetik alaminya. Kurva hubungan NTR dan FTSW menunjukkan bahwa transpirasi cv. Batutegi mulai turun pada FTSW 0,2 dan pada cv. Kasalath 0,3.
4.
Ada keselarasan tingkat toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca berdasarkan data dari genotipe terpilih Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) sehingga metode uji kekeringan FTSW dapat menggambarkan kondisi cekaman yang terjadi di lapangan.
5.
Integrasi promotor OsLEA::gen oshox6 meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada cv. Batutegi maupun Kasalath.
6.
Besarnya peningkatan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada cv. Batutegi akibat integrasi promotor OsLEA::gen oshox6 secara statistik tidak berbeda nyata untuk membedakan galur-galur transgenik terhadap Batutegi kontrol (BT-WT) pada karakter
Ψd, RWC dan
kandungan prolin, sementara pada transgenik Kasalath nyata. 7.
Galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath yang toleran dan moderat toleran kekeringan cenderung pertahanan diri melalui mekanisme penghindaran (mempertahankan Ψd dan RWC) begitu pula dengan genotipe-genotipe pembanding (QTL 71 (+) dan QTL 98(+)).
8.
Percobaan pot lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis. Seleksi galur unggulan perlu dilakukan di rumah kaca bebas hujan atau lapang
9.
Terjadi kenaikan bobot gabah/rumpun, biomassa dan jumlah gabah bernas per malai ketika terjadi kekeringan pada galur T1-BT II.1A, T1BT II.2A, T1-BT III.1A, dan T1-Kas. IV.1A. galur-galur ini potensial unggul.
110
PEMBAHASAN UMUM Tanaman toleran cekaman kekeringan dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain: 1) berpegang pada kearifan lokal untuk menseleksi kultivar lokal yang adaptif terhadap cekaman kekeringan, 2) persilangan antara tanaman toleran kekeringan produktivitas rendah dengan tanaman peka produktivitas tinggi, 3) persilangan tanaman dengan seleksi menggunakan marka toleran kekeringan 4) transformasi genetik, yaitu dengan menyisipkan gen penyandi toleransi kekeringan ke dalam genom. Transformasi genetik dapat dilakukan secara tidak langsung menggunakan agrobacterium tumefaciens dengan menggunakan gen target tertentu. Dalam penelitian ini dilakukan dua pendekatan pemuliaan untuk mendapatkan tanaman toleran kekeringan. Pendekatan pertama ialah transformasi genetik dan pendekatan kedua melalui seleksi terhadap galur-galur lanjut hasil persilangan. Keberhasilan transformasi menggunakan gen penanda dan gen penyeleksi pada cv. Batutegi dan Kasalath (pada awal penelitian) menjadi dasar dalam melakukan transformasi menggunakan gen target oshox6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan OsLEA. Pada populasi transforman generasi pertama, pita hpt hasil amplifikasi dapat muncul pada sebagian tanaman dan tidak pada sebagian lainnya meskipun tanaman-tanaman tersebut berkembang dari satu embrio, diduga tanaman-tanaman tersebut berkembang dari sel yang berbeda. Hasil transformasi diperoleh masing-masing 12 galur independen untuk cv. Batutegi dan Kasalath, dengan jumlah salinan gen sisipan antara 1-4. Gen hpt diwariskan secara Mendellian dengan pola 3:1, bersifat dominan dan terintegrasi dalam inti sel pada semua galur transgenik yang diuji. Pola segregasi gen hpt menjadi indikasi pewarisan gen oshox6. Adanya daun tanaman transgenik yang nekrotik ketika diuji higromisin sangat ditentukan oleh tingkat ekspresi gen hpt pada tiap individu tanaman. Ekspresi yang terjadi mungkin sangat rendah atau sama sekali tidak ada. Percobaan kekeringan dengan metode FTSW menunjukkan bahwa akhir dari periode cekaman kekeringan pada cv. Batutegi lebih lama dibandingkan cv. Kasalath, diduga hal ini sangat ditentukan latar belakang genetik.
Kurva
hubungan NTR dan FTSW menunjukkan bahwa transpirasi cv. Batutegi dan cv.
111
Kasalath dalam tingkat cekaman berat. Pada kisaran FTSW yang demikian, akar tanaman tidak mampu lagi menunjang suplai air yang cukup ke bagian atas tanaman (daun) dan stomata secara bertahap menutup menyesuaiakan dengan kehilangan air agar turgor daun dapat dipertahankan. Pada Batutegi nilai FTSW mendekati fase kritis. Pada tahap ini, akar tidak dapat lagi mencukupi air untuk transpirasi, stomata menutup dan semua proses fisiologis yang terlibat dalam pertumbuhan termasuk fotosintesis terhambat (Bhratnagar-Mathur et al. 2008). Berdasarkan tingkat skoring kekeringan daun dan nilai NTR serta FTSW diperoleh 3 galur Batutegi transgenik toleran dan satu galur moderat toleran. Integrasi promotor OsLEA::gen oshox6 meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada cv. Batutegi maupun Kasalath. Namun demikian, peningkatan toleransi tanaman pada cv. Batutegi untuk karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin akibat integrasi promotor OsLEA::gen oshox6 secara statistik tidak berbeda nyata antara galur-galur transgenik terhadap Batutegi kontrol (BTWT), sementara pada transgenik Kasalath nyata. Peningkatan nilai karakter fisiologis yang tidak nyata cv. Batutegi diduga karena latar belakang genetik cv. Batutegi yang bersifat moderat toleran terhadap cekaman kekeringan. Akan tetapi diperolehnya galur-galur transgenik yang lebih toleran dibandingkan cv. Batutegi kontrol menjadi indikasi bahwa gen oshox6 cukup berperan dalam upaya peningkatan pertahanan tersebut. Diperoleh lima galur toleran dan satu moderat pada cv. Kasalath. Pada Kasalath, perbedaan yang nyata pada karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin diakhir periode kekeringan mengindikasikan bahwa promotor OsLEA terekpsresi kuat dan mengendalikan gen oshox6 ketika cekaman semakin berat (di akhir periode kekeringan). Karakter pengamatan yang bisa dijadikan karakter seleksi pada galur-galur transgenik (cv. Batutegi dan cv. Kasalath) untuk mendapatkan galur toleran ialah skoring kekeringan daun, nilai NTR, Ψd dan RWC, sementara kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Galur-galur yang dianggap toleran dan moderat cenderung tidak menunjukkan peningkatan prolin di akhir periode kekeringan. Pada galur-galur ini kandungan prolin terdeteksi lebih tinggi di awal periode kekeringan, hal ini diduga sebagai respon awal tanaman ketika terjadi kekeringan. Ketika periode kekeringan lebih lama, diduga tanaman mensintesis
112
senyawa lain untuk pertahanan diri namun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut. Dalam penelitian ini, galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath toleran dan moderat cenderung
memiliki respon pertahanan diri melalui mekanisme
penghindaran namun demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan menganalisis senyawa-senyawa lain yang terkait dengan mekanisme toleransi. Hal tersebut disebabkan kerena cekaman yang terjadi sangat berat, dan umumnya tanaman akan melakukan beberapa respon sebagai upaya pertahanan diri. Tanaman transgenik moderat dan toleran kekeringan tidak selalu memiliki produktivitas tinggi. Percobaan pot yang dilakukan lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis. Seleksi galur unggul produktivitas tinggi perlu dilakukan di fasilitas rumah kasa bebas hujan atau lapang, sebelum dilakukan pengujian kekeringan. Hal ini sekaligus untuk melihat efek posisi gen sisipan, adakalanya gen sisipan yang terintegrasi meningkatkan produktivitas tanaman atau sebaliknya. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter fisiologis, skoring kekeringan daun dan karakter agronomi diperoleh galur potensial unggul yang berdasarkan kenaikan bobot gabah per rumpun, biomassa kering dan jumlah gabah bernas per malai ketika terjadi kekeringan yaitu galur T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A, dan T1-Kas. IV.1A. Seleksi genotipe hasil silangan cv. Vandana x Wayrarem menunjukkan bahwa karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi karena perlakuan cekaman kekeringan dilakukan ketika jumlah anakan maksimum (menjelang fase generatif).
Oleh karena itu perlu dievaluasi kembali untuk
menentukan waktu perlakuan kekeringan yang dilakukan. Sementara karakter bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas per malai dapat dijadikan karakter seleksi. Karakter jumlah gabah bernas sangat dipengaruhi oleh taraf cekaman kekeringan dan fase generatif tanaman. Lingkungan kekeringan menyebabkan gagalnya proses penyerbukan sehingga meningkatkan kehampaan. Berdasarkan pengujian pada MK 2008, terseleksi 21 genotipe kandidat unggul yang terdiri dari 13 genotipe mengandung qtl 12.1 dan 8 genotipe tidak mengandung qtl 12.1. Pada percobaan MK-2009, kekeringan cekaman parah dapat menurunkan bobot gabah per umpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per petak, indeks panen dan memperlambat pembungaan. Karakter-karakter
113
agronomi tersebut serta indeks sensitivitas tanaman terhadap kekeringan dan indeks panen dapat menjadi karakter seleksi dalam memilih genotipe potensial toleran dan produktivitas tinggi. Diperoleh 12 genotipe moderat dan satu toleran pada cekaman berat. Genotipe-genotipe tersebut memiliki daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, artinya jika ditanam pada lokasi tanpa cekaman produktivitas
tanaman
tinggi,
dan
ketika
dalam
lingkungan
tercekam,
produktivitas tanaman masih cukup tinggi. Genotipe dengan daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan akan bermanfaat jika ditanam di berbagai lokasi lahan kering dan dapat mengantisipasi kemungkinan kekeringan yang tidak dapat diprediksi. Berdasarkan percobaan di lapangan, seleksi genotipe potensial dan toleran kekeringan cukup berdasarkan data dari lingkungan normal dan cekaman berat berat, karena hasil pengamatan lingkungan cekaman sedang tidak berbeda nyata dengan normal. Nilai indek sensitivitas kekeringan pada saat cekaman berat dapat mengubah kategori suatu genotipe yang tersebut.
disebabkan oleh tingkat cekaman
Artinya bahwa suatu galur toleran pada
cekaman sedang menjadi
moderat atau peka ketika cekaman berat. Seleksi genotipe toleran kekeringan tidak efektif bila berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1, karena genotipe unggul diperoleh pula dari genotipe yang tidak mengandung marka tersebut. Berdasarkan karakter-karakter seleksi yang digunakan dalam penelitian ini sulit membedakan antara tanaman toleran dari genotipe yang memiliki marka qtl 12.1 dengan genotipe toleran yang tidak memiliki marka qtl 12.1. Terpilihnya galur unggul dan toleran dari tanaman yang tidak mengandung marka qtl 12.1, diduga karena karakter kekeringan disandikan oleh banyak gen sehingga marka terkait cekaman kekeringan bukan hanya marka qtl 12.1.
Pada genotipe unggul yang tidak memiliki marka qtl 12.1, diduga
terdapat marka lain yang belum diidentifikasi yang responsif terhadap cekaman kekeringan. Genotipe-genotipe pembanding (QTL 71 (+) dan QTL 98(+)) yang diuji bersama dengan tanaman transgenik di rumah kaca memiliki respon pertahanan diri yang cenderung melalui penghindaran yaitu dengan mempertahankan Ψd dan RWC, namun hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut. Sementara karakter
114
kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi karena kandungan prolin tidak meningkat ketika cekaman semakin lama. Hasil uji kekeringan di rumah kaca dengan tujuan memvalidasi metode uji kekeringan menunjukkan bahwa metode FTSW dapat membedakan tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yang diberikan. Tingkat cekaman yang terjadi diamati berdasarkan nilai FTSW yang diukur berdasarkan berat air yang ditranspirasi setiap hari. Semakin rendah nilai FTSW semakin berat cekaman yang terjadi.
Nilai FTSW yang rendah
mempengaruhi nilai normalisasi transpirasi (NTR). Dengan semakin rendah nilai FTSW maka jumlah air yang dapat ditranspirasi semakin rendah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat cekaman yang terjadi bersifat berat yang terjadi pada fase reproduktif. Hasil skoring kekeringan daun dalam menentukan klasifikasi toleransi galur-galur tanaman yang diuji. Hasil ini selaras dengan nilai NTR dan FTSW. Tanaman toleran hasil transformasi maupun tanaman hasil seleksi diduga memiliki daya adaptasi luas, sehingga bisa ditanam diberbagai kondisi dan dapat mengantisipasi cekaman kekeringan yang tidak dapat diduga. Ada keselarasan tingkat toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca pada genotipe terpilih Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) menunjukkan bahwa metode FTSW di rumah kaca mampu menggambarkan kondisi cekaman di lapangan. Metode FTSW dapat digunakan untuk menguji kekeringan sekaligus menapis galur-galur potensial unggul. Diperolehnya informasi peran gen oshox6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan OsLEA pada dua kultivar padi gogo (cv. Batutegi dan cv. Kasalath) untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah hal penting. Galur padi gogo toleran yang telah dihasilkan dapat digunakan untuk bahan persilangan dengan padi sawah, atau gen dan promotor yang sama dapat digunakan untuk transformasi pada padi sawah. Hal ini disebabkan karena masih besarnya sumbangan produksi nasional dari padi sawah, sementara anomali musim yang menyebabkan kemarau panjang semakin sering terjadi. Oleh karena itu insersi gen oshox6 dengan promotor OsLEA dapat mengantisipasi cekaman kekeringan yang terjadi di lahan sawah atau lahan tadah hujan.
115
Berdasarkan penelitian ini, tanaman toleran kekeringan dapat diperoleh dari dua pendekatan yaitu melalui transformasi genetik OsLEA:: Oshox6 maupun pendekatan seleksi hasil persilangan, namun tidak selalu berdasarkan keberadaan marka qtl 12.1 (seleksi menggunakan marka tidak efektif). Diperoleh 3 galur Batutegi transgenik toleran dan
satu galur moderat toleran sementara pada
Kasalath diperoleh lima galur toleran dan satu moderat. Tiga galur Batutegi dan satu Kasalath diantaranya adalah merupakan galur potensial unggul. Hasil seleksi dari lapangan diperoleh 12 genotipe moderat toleran dan satu toleran pada cekaman parah dan lima genotipe diantaranya (71(+), 94(+), 96(-), 98(+) dan 134(-)) potensial unggul terhadap karakter produksi.
116
DAFTAR PUSTAKA [BPS]. 2006. Statistik Indonesia. Jakarta. Indonesia. [Deptan]. 2006. Statistik Pertnian. Departemen Pertanian Indonesia [FAO]. 2009. FAOSTAT database. [online]. http://faostat.fao.org. Agalou A, Purwantomo S, Overnas E, Johannesson H, Zhu X, Estiati A, de Kam RJ, Engstrom P, Slamet-Loedin IH, Zhu Z, Wang M, Xiong L, Meijer AH, Ouwerkerk PBF. 2008. A genome wide survey of HD-Zip genes in rice and analysis of drought responsive family members. Plant Mol. Biol. 66: 87103 Aldemita RR. Hodges TK. 1996. Agrobacterium tumefaciens-mediated transformation of japonica and indica rice varieties. Planta. 199: 612-617. Ar-Riza I. 2002. Teknologi Aplikatif produksi padi gogo di lahan kering beriklim basah. Tertanian Lahan Kering dan Lahan Rawa (prosiding). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Banjar Baru 18-19 Desember 2002. As-syakur AR. 2007. Lahan kering http://mbojo.wordpress.com/2007/03/23/11/ diunduh tanggal 4 Agustus 2010, 11.19 WIB. Babu RC, Nguyen BD, Chamarerk V, Shanmugasundaram P, Chezhian P, Jeyaprakash P, Ganesh SK, Palchamy A, Sadasivam S, Sarkarung S, Wade LJ, Nguyen HT. 2003. Genetic analysis of drought resistance in rice by molecular markers: association between secondary traits and field performance. Crop Sci. 43:1457-1469. Bashir K, Rafiq M, Fatima T, Husnain T, Riazuddin S. 2004. Hygromycin based selection of transformants in a local inbred line of Zea mays (L). Pakistan J. Biol. Sci. 7(3):318-323 Bates LS, Walden RP, Teare ID. 1973. Rapid determination of free proline for water stress studies. Plant and Soil. 39: 205-207 Bernier J, Kumar A, Ramaiah V, Spaner D, Atlin G. 2007. A large-effect QTL for grain yield under reproductive-stage drought stress in upland rice. Crop Sci. 47 : 507-517. Bernier J, Atklin GN, Serraj R, Kumar A, Spaner D. 2008. Breeding upland rice for drought resistance (Rev). J. Sci. Food and Agric. 88: 927-939. Bhatnagar-Mathur P, Devi MJ, Reddy DS, Lavanya M, Vadez V, Serraj R, Yamaguchi-Shinozaki K, Sharma KK. 2007. Stress-inducible expression of At DREB1A in transgenic peanut (Arachis hypogaea L) increases transpiration efficiency under water-limiting condition. Plant Cell Rep. 26:2071-2082. Bhratnagar-Mathur P, Vadez V, Sharma KK. 2008. Transgenic approach for abiotic stress tolerance in plants: retrospect and prospects. Plant Cell Rep. 27: 411-424. Boonjung H, Fukai S. 1996. Effect of soil water deficit at different growth stages on rice growth and yield under upland condition. Field Crops Res. 48:4755. Brasileiro ACM,. Aragao FJL. 2001. Marker genes for in vitro selection of transgenic plants. J. Plant Biotech. 3(3) : 113-121.
120
Burke EJ, Brown SJ, Christidis N. 2006. Modelling the recent evolution of global drought and projection for the twenty first century with the Hadley centre climate model. J Hydrometeor. 7: 1113-1125. Chang TT, Bardenas EA. 1976. The morfology and varietal characteristic of the rice plant. Tech. Bull. 4. IRRI. Chinnusamy V, Jagendorf A, Zhu JK. 2005. Understanding and improving salt tolerance in plants. Crop Sci. 45: 437- 448. Cho Y, Choi I, Baek M, Kwon S, Suh J, Oh M, Li Z, Hwang H. 2006. QTL Mapping for agronomic traits in RIL of Japonica cultivar x Japonica Weody rice. Korean J. Breed. 38(4): 223-230. Christou P, Ford TL, Kofrom M. 1991. Production of transgenic rice (Oryza sativa L) plants from agronomically important Indica and Japonica varieties via electric discharge particle acceleration of exogenous DNA into immature zygotic embryos. Biotechnology. 9:957-966. Clearly B, Zaerr J, Hamel J. 1998. Guidelines for measuring plant moisture stresswith a pressure chamber. PMS Instrument Company. Oregon. USA. Courtois B, Shen L, Petalcorin W, Carangdang S, Mauleon R, Li Z. 2003. Locating QTLs controlling constitutive root trait in the rice population IAC 165 x Co39. Euphytica.134:335-345. De Souza CRB, de Almeida ERP, Carvalho LJCB, Gander ES. 2003. Studies toward the identification of transcription factors in cassava storage root. Braz. J. Plant Physiol. 15(3): 167-170. Deng X, Philips J, Meijer AH, Salamini F, Bartels D. 2002. Characterization of five novel dehidration responsive homeodomain leucin zipper genes from resurrection plant Craterostigma plantagineum. Plant Mol. Bio. 49:601610. Dong J, Teng W, Buchhold WG, Hall TC. 1996. Agrobacterium mediated transformation of Javanica rice. Molecular Breeding. 2:267-276. Dutt SK, Gill KS. 1978. Diurnal change in leaf water potential of rice, barley and wheat. Biologia Plantarum. 20(6): 472-474. El-Shemy HA, Khalafalla MM, Ishimoto M. 2008. The role of green flourescent protein (GFP) in transgenic plants to reduce gene silencing phenomena. Curr. Issues Mol. Biol. 11(1): 21-28. Frank W, Philips J, Salamini F, Bartels D. 1998. Two dehidration inducible transcrip from the resurrection plant Craterostigma plantagineum encode interacting homeodomain leucin zipper protein. Plant J. 15:413-421. Fukai S, Cooper M. 1995. Development of drought-resistant cultivars using physiomorphological traits in rice. Field Crops Research. 40(2): 67-86. Ge X, Chu Z, Lin Y, Wang S. 2006. A tissue culture system for different germplasms of indica rice. Plant Cell Rep. 25:392-402. Gupta PC, O’Toole JC. 1986. Upland rice a global perspective. IRRI. Los Banos, Philippines. Hanson AD, Hitz WD. 1982. Metabolic response of mesophytes to plant water deficits. Annu Rev Plant Physiol. 33:163-203. Haque MM, Mackill DJ, Ingram KT. 1992. Inheritance of leaf epicuticular wax content in rice. Crop Sci. 32:865-868. Harahap Z, Partoatmojo A, Hadisjaban I. 1977. Deskripsi varietas padi unggul. Bul Teknik. No. 3.
121
Hiei Y, Komari T, Kubo T. 1997. Transformation of rice mediated by Agrobacterium tumefaciens. Plant Mol. Biol. 35:205-218. Hiei Y, Otha S, Komari T, Kumashiro T. 1994. Efficient transformation of rice (Oryza sativa L) mediated by Agrobacterium and sequence analysis of the boundaries of the T-DNA. The Plant J. 6(0): 001-011. Hiei, Y., T. Komari. 2006. Improved protocols for transformation of indica rice mediated by Agrobacterium tumefaciens. Plant Cell Tissue and Organ Culture .85(3): 271-283. Hu H, Dai M, Yao J, Xiao B, Li X, Zhang Q, Xiong L. 2006. Overexpressing a NAM, ATAF, and CUC (NAC) transcription factor enhances drought resistance and salt tolerance in rice. PNAS. 103 (35): 12987-12992. Hufstetler EV, Boerma HR, Carter TE, Earl HJ. 2007. Genotypic variation for three physiological traits affecting drought tolerance in soybean. Crop Sci. 42: 25-35. Jaglo-Ottosen KR, Gilmour SJ, Zarka DG, Schabenberg O, Thomashow MF.1998. Arabidopsis CBF1 over-expression induces COR genes and enhances freezing tolerance. Science 280: 104-106. Jeong JS, Kim YS, Baek KH, Jung H, Ha S, Choi YD, Kim M, Reuzeau C, Kim J. 2010. Root spesific expression of OsNAC10 improves drought tolerance and grain yield in rice under field drought condition. Plant Physiol. 153:185-197. Jongdee B, Fukai S, Cooper M. 2002. Leaf water potential and osmotic adjustment as physiological traits to improve drought tolerance in rice. Field Crops Res. 76:153-163. Jongdee B, Pantuwan G, Fukai S, Fischer K. 2006. Improving drought tolerance in rainfed lowland rice: an example from Thailand. Agric. Water Manage. 80:225-240. Kalefetoglu T, Ekmekci Y. 2005. The effect of drought on plants and tolerance mechanism (Rev). G.U. J.Sci. 18(4): 723-740. Kasuga M, Liu Q, Miura S, Yamaguchi-Shinozaki K, Shinozaki K. 1999. Improving plant drought, salt, and freezing tolerance by gene transfer of a single stress-inducible transcription factor. Nature Biotechnol. 17: 229-230. Kasuga M, Miura S, Shinozaki K, Yamaguchi-Shinozaki K. 2004. A combination of the Arabidopsis DREB1A gene and stress inducible rd29A promoter improved drought and low temperature stress tolerance in tobacco by gene transfer. Plant Cell Physiol. 45:346-350. Khanna HK, Raina SK. 1999. Agrobacterium-mediated transformation of indica rice cultivars using binary and super binary vectors. Aust. J. Plant Physiol. 26: 311-324. Khanna HK, Raina SK . 2002. Elite indica transgenic rice plants expressing modified Cry1Ac endotoxin of Bacillus Thuringiensis show enhanced resistance to yellow stem borer (Scirpophaga Incertulas). Transgenic Res. 11(4): 411-423 Kumar KK, Maruthasalam S, Loganathan M, Sudhakar D, Balasubramanian P. 2005. An improved Agrobacterium-mediated transformation protocol for recalcitrant elite indica rice cultivars. PMB 23:67-73.
122
Lanceras JC, Pantuwan GP, Jongdee B, Toojinda T. 2004. Quantitative trait loci associated with drought tolerance at reproductive stage in rice. Plant Physiol. 135:384–399. Lee YH, Oh HS, Cheon CL, Hwang IT, Kim YJ, Chun JY. 2001. Structure and expression of the Arabidopsis thaliana homeobox gene Athb-12. Biochem Biophys Res Commun. 248:133-141. Levitt J. 1980. Responses of plants to invironmental stresses. Vol. II. 2nd edition. Academic Press. London Liley JM, Ludlow MM, McCouch SR, O’Toole JC. 1996. Locating QTL for osmotic adjusment and dehydration tolerance in rice. J. Exp. Botany. 47(302): 1427-1436. Lin YJ, Zhang Q. 2005. Optimising the tisuue culture conditions for high efficiency transformation of indica rice. Plant Cell Rep. 23:540-547. Liu JK, Liao DQ, Oane R, Esrtenor L, Yang XE, Li ZC. 2006. Genetic variation in sensitivity of anther dehiscence to drought stress in rice. Field Crops Res. 97:87-100. Liu L, Whitem MJ, MacRae TH. 1999. Transcription factors and their genes in higher plants: functional domain, evolution and regulation. Eur.J.Biochem. 262(2): 247-257. Lubis E, Harahap Z, Suwarno, Diredja M, Siregar H. 1993. Perbaikan varietas padi gogo untuk wilayah perhutanan beriklim kering. Risalah hasil penelitian Balittan. Bogor. Ma H, Liang D, Shuai P, Xia X, Yin W. 2010. The salt and drought inducible popolar GRAS protein SCL7 confers salt and drought tolerance in Arabidopsis thaliana. J.Exp. Bot. 61(14):4011-4019. McCouch SR, Teytelam L, Xu Y, Lobos KB, Clare K, Walton M, Fu B, Maghirang R, Li Z, Xing Y, Zhang Q, Kono I, Yano M, Fjellstrom R, DeClerk G, Schneider D, Cartinhour S, Ware D, Stein L. 2002. Development and mapping of 2240 new SSR markers for rice (Oryza sativa L,). DNA Res. 9:199–207. Meijer AH, De Kam RJ, d’Erfurth I, Shen W, Hoge JHC. 2000. HD-Zip protein of family I and II from rice: interaction and functional properties. Mol Gen Genet. 236: 12-21. Meijer AH, E Scarpella, EL van Dijk, L Qin, AJ Taal, S Rueb, SE Harrington, SR McCouch, RA Schilperoort, JHC Hoge. 1997. Transcriptional repression by oshox1, a novel homeodomain leucin zipper protein from rice. Plant J. 11:263-276. Miflin B. 2000. Crop improvement in the 21st century. J. Exp Bot. 51:1-8. Mullet JE, Whitsitt MS. 1996. Plant cellular responses to water deficits. Plant Growth Regulator. 20: 119-124. Mulyaningsih ES, Aswidinnoor H, Sopandie D, Ouwerkerk PBF, Slamet Loedin IH. 2010a. Perbandingan tiga metode transformasi Agrobacterium untuk pencarian gen-gen terkait toleransi kekeringan menggunakan transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi. J. Bio. Indo. 6(3): 376-382. Mundree SG, Baker B, Mowla S, Peters S, Marais S, Willigen C V, Govender K, Maredza A, Muyanga S, Farrant JM, Thomson JA. 2002. Physiological and molecular insight into drought tolerance. African J. Biotech. 1(2): 28-38.
123
Nayak P, Basu D, Das S, Basu A, Ghosh D, Ramakrishnan NA, Ghosh M,. Soumitra KS. 1997. Transgenic elite indica rice plant expressing cry IAc δendotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borrer (Scirpophaga incertulas). Proc. Natl. Acad Sci. USA 94:211-216. Naylor R, Battisti D, Vimonts DJ. Falcon WP, Burke MB. (2007). Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proc. Natl. Acad Sci. USA 19(104) 7752-7757. Nugroho S, Mulyaningsih ES, Astuti D, Pantouw CF. 2007. Upaya Pengembangan Populasi padi mutan dengan mutasi insersi transposon Ac/Ds pembawa gene trap untuk pencarian gen-gen penting dari padi. Prosiding Simposium, Seminar dan Kongres IX PERAGI 2007. Bandung, 15-17 November 2007. hal 105-110. O’Toole JC, Cruz RT. 1980. Response of leaf water potential, stomata resistance, and leaf rolling to water stress. Plant Physiol. 65: 428-432. Oh S, Kim Y, Kwon C, Park HK, Jeong JS, Kim J. 2009. Overexpression of the transcription factor AP37 in rice improves grain yield under drought conditions. Plant physiol. 150:1368-1379. Pantuwan G, Fukai S, Cooper M, Rajatasereekul S, O’Toole JC. 2002. Yield response of rice (Oryza sativa L,) genotype to drought under rainfed lowland, selection of drought resistant genotypes. Field Crops Res. 73:169180. Pardo JM, Reddy MP, Yang S. 1998. Stress signalling throgh Ca2+/ calmodulin dependent protein phosphatase calcineurin mediates salt adaptation in plants. Proc. Natl. Acad Sci. USA. 95: 9681-9683. Pellegrineschi A, Reynolds M, Pacheco M, Brito RM, Almeraya R, YamaguchiShinozaki K, Hoisington D. 2004. Stress induced expression in wheat of the Arabidopsis thaliana DREB1A gene delay water stress symptom under greenhouse conditions. Genome. 47:493-500. Pilon-Smith EAH, Ebskamp MJM, Paul MJ, Jeuken JW, Weisbeek, Smeekens SCM. 1995. Improved performance of transgenic fructan-accumulating tobacco under drought stress. Plant Physiol. 107: 125-130. Pino M, Skinner JS, Park E, Jeknic Z, Hayes PM, Thomashow MF, Chen THH. 2007. Use of a stress inducible promoter to drive ectopic AtCBF expression improves potato freezing tolerance while minimizing negative effects on tuber yield. Plant Biotech. J. 5:591-604. Postma-Haarsma AD. 2002. Characterization of knox class1 homeobox genes from rice [disertasi]. Leiden. Leiden University. Price AH, Cairns JE, Horton P, Jones HG, Griffiths H. 2002. Linking drought resistance mechanisms to drought avoidance in upland rice using a QTL approach: progress and new apportunities to integrate stomatal and mesophyll responses (rev). J. Exp. Botany. 53(371): 989-1004. Purwantomo S. 2007. Karakterisasi faktor transkripsi HD-Zip untuk toleransi kekeringan dan introduksi gen-gen penyandi lintasan biosintesis asam salisilat untuk ketahanan penyakit blas pada tanaman padi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Rames M, Gupta AK. 2005. Transient expression of β−glucoronidase gene indica and japonica rice (Oryza sativa L) callus cultures after different stage of co-bombardment. African J. Biotech. 4(7): 596-400.
124
Rashid H, Yokoi S, Toriyama K, Hinata K. 1996. Transgenic plant production mediated by Agrobacterium in indica rice. Plant Cell Rep. 15:727-730. Ray JD, Sinclair TR. 1998. The effect of pot size on growth and transpiration of maize and soybean during water deficit stress. J.Exp.Bot. 49 (325): 13811386. Rodriguez RC, Nottenburg C. 2002. Antibiotic resistance genes and their use in genetic transformation especially in plants. CAMBIA. http : www. cambiaip. org/ whitepapers/ Transgenic/ Ab_resistance /books / whole.pdf [18 September 2005] Ruberti I, Sessa G, Luccheti S, Morelli G.1991. A Novel class of plant protein containing a homeodomain with a closely linked leucin-zipper motif. EMBO J. 10:1787-1791. Scarpella E, Rueb S, Boot KJM, Hoge JHC, Meijer AH.2000. A role for the rice homeobox gene oshox1 in provascular cell fate commitment. Development 127: 3655-3669. Scarpella E, Simons EJ, Meijer AH. 2005. Multiple regulatory elements contribute to the vascular-spesific expression of the rice HD-Zip gene oshox1 in Arabidopsis. Plant Cell Physiol. 46(8), 1400-1410. Sheng J, Citovsky V. 1996. Agrobacterium tumefaciens transformation of monocotyledons. Transgenic Res. 2: 301-309. Shinozaki K, K Yamaguchi-Shinozaki. 2007. Gene networks involved in drought stress response and tolerance. J.Exp. Bot. 58:221-227. Sinclair TR. 2005. Theoritical analysis of soil and plant trait influencing daily plant water flux on drying soil. Agron J. 97:1148-1152. Sinclair TR, Ludlow MM. 1986. Influence of soil water supply on the plant water balance of four tropical grain legumes. Aust. J. Plant Physiol. 13:329341 Sinclair TR, Purcell LC, Sneller CH. 2004. Crop transformation and challenge to increase yield potential. Trends Plant Sci. 9:70-75. Sivamani E, Bahieldin A, Wraith JM, Al-Niemi T, Dyer WE, Ho THD, Qu R. 2000. Improved biomass productivity and water use efficiency under water deficit conditions in transgenic wheat constitutively expressing the barley HVA1 gene. Plant Sci. 155: 1-9. Slamet-Loedin IH, Rahayu W, Hutajulu S,Wibowo J. 1997. Penggunaan dua strain Agrobacterium tumefaciens supervirulen untuk ko-kultivasi tanaman padi kultivar Cisadane dan Rojolele. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Indonesia. Surabaya, 12-14 Maret 1997. hal 140-148. Slamet-Loedin IH. 1994. Transformasi genetik pada tanaman: beberapa teknik dan aspek penting. Hayati I(2):66-67. Soedarman E, Hjellstrom M, Fahleson J, Engstrom P. 1999. The HD-Zip gene Athb-6 in Arabidopsis is expressed in developing leaves, root and carpels and up regulated by water deficit condition. Plant Mol. Bio. 40:1073-1083. Soltis DE, Soltis PS. 2003. The role of phylogenetics and comparative genetics. Plant Physiol 132: 1790-1183. Sopandie D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di lahan marginal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian. IPB. 16 Sept. 2006.
125
Steindler C, Matteucci A, Sessa G, Weimer T, Ohgishi M, Aoyama T, Morelli G, Ruberti I. 1999. Shade avoidance response are mediated by the ATHB-2 HD-Zip protein, a negatif regulator of gene expression. Development. 126:4235-4245. Suh JP, Ahn SN, Cho YC, Kang KH, Choi IS, Kim YG, Suh HS, Hwang HG. 2005. Mapping of QTL for yield traits using an advanced backcross population from a cross between Oryza sativa and O. glaberrima. Korean J. Breed. 37(4): 214-220. Suwardji. 2003. Profil wilayah lahan kering provinsi NTB: Potensi, tantangan dan strategi pengembangan. Makalah Seminar Nasional FOKUSHIMITI III. Universitas Mataram. Mataram Sweeney M, McCouch S. 2007. The complex history of domestication rice. Annals of Botany. Oxford J. P. 1-7. Tajima K. 1995. Occurrence and mechanism of drought damage, In Matsuo T, K Kumazawa, R Ishii, K Ishihara, H Hirata (eds), Science of the rice plant (vol. 2) Physiology. Food and Agriculture Policy Research Centre. Tokyo. Toki S, Hara N, Ono K, Onodera H, Tagiri A, Oka S, Tanaka H. 2006. Early infection of scutellum tissue with agrobacterium allows high-speed transformation of rice. Plant J. 47:969-976. Tyagi H, Rajasubramaniam S, Dasgupta I. 2007. Regeneration and Agrobacterium mediated transformation of a popular indica rice variety. Current Sci. 93(5): 678-683. Vaughan DA, Morishima H, Kadowaki K. 2003. Diversity in the Oryza genus. Current opinion in plant mol. Bio. 6: 139-146 Wünn, J., A. Kloti, PK. Burkhardt, GCG. Biswass, K. Launis, VA. Iglesias , I. Potrykus. 1996. Transgenic indica rice breeding line IR-58 expressing a synthetic cryIAb gene from Bacillus thuringiensis provides effective insect pest control. Bio/Technol. 14:171-176. Xiao B, Chen X, Xiang C, Tang N, Zhang Q, Xiong L. 2009. Evaluation of seven function-known candidate genes for their effect on improving drought resistance of transgenic rice under field conditions. Mol. Plant. 2(1): 73-83. Xiao B, Huang Y, Tang N, Xiong L. 2007. Over-expression of a LEA gene in rice improves drought resistance under the field condition. Theor Appl Genetics 115: 35-46. Xiong L, Schumaker KS, Zhu JK. 2002. Cell signaling during cold, drought and salt stress. Plant Cell . 14: 165-183. Xiong L, Wang R, Mao G, Kocjan JM. 2006. Identification of drought tolerance determinants by genetic analysis of root response to drought stress and abscisic acid. Plant Physiol. 142: 1065-1074. Xu D, Duan X, Wang B, Hong B, Ho T, Wu R. 1996. Expression of late embryogenesis abundant protein gene, HVA1, from barley confers tolerance to water deficit and salt stress in transgenic rice. Plant Physiol. 110:249257. Yamaguchi-Shinozaki K, Shinozaki K. 2001. Improving plant drought, salt and freezing tolerance by gene transfer of a single stress-inducible transcription factor, in: Rice biotechnology: Improving yield, stress tolerance and grain quality – No. 236. (Novartis Foundation Symposium), Wiley, Chichester, 176-189.
126
Yamaguchi-Shinozaki, Shinozaki. 2005. Organization of cis-acting regulatory elements in osmotic and cold stress responsive ptomotors. TIPS 10, 88-94. Yang J, Zhang J, Liu L, Wang Z, Zhu Q. 2002. Carbon remobilization and grain filling in japonica/indica hybrid rice subjected to postanthesis water deficit. Agron. J. 94: 102-109. Zaidi MA, M Narayanan, R Sardana, I Taga, S Postel, R Johns, M McNulty, Y Mottiar, J Mao, E Loit, I Altosaar. 2006. Optimizing tissue culture media for efficient transformation of different indica rice genotypes. Agro. Res. 4(2): 563-575. Zhang J, R Xu, MC Elliott, D Chen. 1997. Agrobacterium-mediated transformation of élite indica and japonica rice cultivars. Mol. Biotech. 8(3): 223-231. Zhang, S., W. Song, L. Chen, D. Ruan, N. Taylor, P. Ronald, R. Beachy, C. Fauquet. 1998. Transgenic elite indica varieties, resistant to Xanthomonas oryzae pv. Oryzae. Mol. Breed. 4: 551-558.
127
Lapiran 1. Index toleransi kekeringan (S) berdasarkan karakter jumlah gabah bernas permalai, index bobot gabah/malai, bobot gabah/rumpun Genotipe 57(+) 59(-) 61(-) 62(+) 71(+) 84(+) 89(+) 93(-) 94(+) 95(+) 96(-) 98(+) 109(+) 110(-) 122(+) 123(+) 131(-) 134(-) 141(-) 144(-) 148(+) Keterangan: CB CS Toleran Moderat Peka
Index jumlah gabah bernas/malai CB 0,0 CS 1,1 CB CS 1,3 0,2 CB CS 1,3 0,5 CB CS -0,1 2,8 CB -1,2 CS -0,1 CB CS 0,0 -0,1 CB CS 1,0 -0,6 CB CS 2,1 -0,1 CB CS 1,2 0,5 CB -0,6 CS 1,5 CB CS 1,9 1,6 CB CS 0,2 0,6 CB CS 0,4 0,6 CB CS 2,5 -0,3 CB CS 2,5 0,2 CB -1,8 CS 2,5 CB CS 1,9 0,7 CB -0,5 CS 0,7 CB CS 2,0 -0,2 CB CS 0,5 1,4 CB CS 2,0 1,5
Index bobot gabah/malai
Bobot gabah / rumpun
CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB
CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB CB
2,3 1,2 1,3 1,4 -2,9 0,0 2,1 1,0 2,2 -2,5 1,4 1,4 -1,1 3,4 -0,4 -1,7 1,8 -0,5 0,7 1,3 1,9
CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS
0,1 1,6 1,0 1,7 -0,6 0,7 -1,0 0,7 1,0 1,7 1,1 -0,2 0,6 -0,2 0,5 3,7 1,2 0,5 1,4 -0,4 1,0
1,1 0,6 1,2 0,8 0,3 1,0 0,9 1,0 0,9 0,4 1,0 0,7 0,9 1,1 1,4 0,8 1,2 1,0 1,1 1,1 1,2
CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS CS
: cekaman berat : cekaman sedang : nilai S< 0,5 : 0,5< S< 1 : S >1
128