TRANSFORMASI GENETIK PADI (Oryza sativa L.) DENGAN GEN PENYANDI METALLOTHIONEIN TIPE II DARI Melastoma malabathricum L. (MaMt2) MENGGUNAKAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens
NURUL FITRIAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transformasi Genetik Padi (Oryza sativa L.) dengan Gen Penyandi Metallothionein Tipe II dari Melastoma malabathricum L. (MaMt2) Menggunakan Perantara Agrobacterium tumefaciens adalah benar karya saya bersama pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Nurul Fitriah NIM P051090051
RINGKASAN NURUL FITRIAH. Transformasi Genetik Padi (Oryza sativa L.) dengan Gen Penyandi Metallothionein Tipe II dari Melastoma malabathricum L. (MaMt2) Menggunakan Perantara Agrobacterium tumefaciens. Dibimbing oleh SUHARSONO dan UTUT WIDYASTUTI. Produksi padi dapat mengalami penurunan karena cekaman abiotik (abiotic stress). Cekaman abiotik ini dapat menimbulkan cekaman oksidatif pada tanaman yang menyebabkan produksi berlebih spesies oksigen radikal (ROS). ROS dapat menyebabkan kerusakan sel dan kematian pada tanaman. Varietas-varietas yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap cekaman abiotik, dapat dirakit dengan mengintroduksikan dan mengekspresikan gen-gen yang berperan dalam ketahanan terhadap cekaman abiotik. Metallothionein (MT) adalah salah satu protein yang terlibat dalam sistem toleransi suatu organisme terhadap ion metal. Gen MaMt2 adalah gen penyandi metallothionein tipe II yang berasal dari tanaman Melastoma affine. Tanaman yang mengekspresikan gen ini secara berlebih diperkirakan menjadi toleran terhadap ion logam termasuk aluminium. Penelitian ini bertujuan untuk mengintroduksikan gen MaMt2 kedalam genom padi. Dua kultivar padi yaitu Kasalath dan Nipponbare telah ditransformasi dengan gen MaMt2 menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens. Kasalath adalah padi indica dan Nipponbare adalah padi japonica. Transformasi genetik padi dilakukan dengan menggunakan kalus dari biji sebagai eksplan. Kalus diperoleh dari biji yang ditanam di media 2N6 yang mengandung 2 mg/L 2.4 D. Sebanyak 235 kalus kultivar Kasalath dan 165 kalus kultivar Nipponbare yang berumur 3 - 4 minggu dikokultivasi dengan Agrobacterium tumefaciens LBA4404 yang mengandung plasmid pIG6-SMt2 yang membawa gen MaMt2 dibawah kendali promoter Ubiquitin dan terminator Nos. Kokultivasi dilakukan selama 3 hari pada media 2N6 yang mengandung 100 mg/L asetosiringon. Setelah kokultivasi diseleksi secara bertahap pada media 2NBK yang mengandung 20 mg/L dan nN6C yang mengandung 30 mg/L higromisin dan diregenerasikan pada media 2N6 yang mengandung 0.5 mg/L kinetin. Jumlah kalus yang tahan higromisin yang dipindahkan ke media regenerasi adalah 33 kalus (14.04%) untuk kultivar Kasalath dan 32 kalus (19.39%) untuk kultivar Nipponbare. Jumlah kalus yang menghasilkan tunas di media regenerasi adalah dua kalus (6.06%) untuk kultivar Kasalath dan sembilan (28.1%) kalus untuk kultivar Nipponbare. Masing-masing kalus menghasilkan satu tunas transgenik putatif. Analisis molekular terhadap ke-sebelas tanaman padi transgenik putatif dengan PCR menggunakan primer spesifik untuk fragmen DNA dari promoter Ubiquitin sampai dengan daerah penyandi gen MaMt2 menunjukkan bahwa dua dari sebelas tanaman padi mengandung gen MaMt2 dibawah kendali promoter Ubiquitin. Tanaman transgenik ini dapat digunakan sebagai sumber gen MaMt2 yang dapat dipindahkan ke dalam varietas padi lainnya melalui persilangan konvensional. Kata kunci: indica, MaMt2, Oryza sativa, transformasi genetik
SUMMARY NURUL FITRIAH. Genetic transformation of rice (Oryza sativa L.) with gene encoding Melastoma malabathricum metallothionein type II (MaMt2) using Agrobacterium tumefaciens-mediated transfer. Under Direction of SUHARSONO and UTUT WIDYASTUTI. Rice production can be decrease caused by abiotic stresses. These abiotic stresses, cause oxidative stress in plants overproducting radical oxygen species (ROS). ROS could cause damage and death in plants cells. The tolerant varieties adapted to abiotic stress could be created by introducing and expressing the abiotic stress tolerant genes. Metallothionein (MT) has an important role to detoxity some heavy-metal ions, e.g. cadmium and mercury by binding these metal ions. MaMt2 gene encoding for metallothionein type II had been isolated from Melastoma malabathricum. We suppose that plant overexpressing this gene would be tolerant to metal ions, including Al. This research had an objective to introduce this MaMt2 gene under the control of pUbiquitin promoter and NosT terminator into rice (Oryza sativa L.) genom. Two rice cultivars i.e. Kasalath and Nipponbare were transformed with MaMt2, through Agrobacterium-mediated gene transfer method. Kasalath is indica rice and Nipponbare is japonica rice. Genetic transformation of rice was carried out on Kasalath and Nipponbare cultivars by using calli of seeds as explants. The calli were obtained from seeds cultivated in 2N6 medium containing 2 mg/L 2.4 D. These 3-4 week old calli (235 calli of Kasalath and 165 calli of Nipponbare) were co-cultivated with A. tumefaciens LBA4404 carrying pIG6-SMt2 containing MaMt2 gene under the control of Ubiquitin promoter and Nos terminator. Co-cultivation was carried out 3 days in the 2N6 media containing 100 mg/L acetosiringone. After cocultivation, the calli were selected in two steps in 2NBK and nN6C media containing 20 and 30 mg/L hygromycin respectively. The resistant calli were regenerated in 2N6 medium containing 0.5 mg/L kinetin. Based on hygromycin resistant calli on hygromycin selection medium, the transformation efficiency in Kasalath was 14.04%, while in Nipponbare was 19.39%. Based on resistant calli on selective medium, the efficiency of regeneration of transgenic shoots in Kasalath was 6.06%, while in Nipponbare was 28.1%. Molecular analysis by PCR showed that two of eleven putative rice transgenic were confirmed as transgenic ones containing MaMt2 transgene under the control of Ubiquitin promoter and NosT terminator. This transgenic rice can be used as source of MaMt2 that can be transferred to other cultivars of rice by conventional crossing.
Keywords: indica, MaMt2, Oryza sativa, genetic transformation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TRANSFORMASI GENETIK PADI (Oryza sativa L.) DENGAN GEN PENYANDI METALLOTHIONEIN TIPE II DARI Melastoma malabathricum L. (MaMt2) MENGGUNAKAN PERANTARA Agrobacterium tumefaciens
NURUL FITRIAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Hajrial Aswidinnoor, MSc
Judul Tesis
Nama NIM
: Transformasi Genetik Padi (Oryza sativa L.) dengan Gen Penyandi Metallothionein Tipe II dari Melastoma malabathricum L. (MaMt2) Menggunakan Perantara Agrobacterium tumefaciens : Nurul Fitriah : P051090051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Suharsono, DEA Ketua
Dr Ir Utut Widyastuti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 23 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan keseluruhan rangkaian studi untuk mendapatkan gelar magister. Terima kasih teruntuk kedua pembimbing, yaitu: Bapak Prof Dr Ir Suharsono, DEA dan Ibu Dr Ir Utut Widyastuti MSi, yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan dan bimbingan sejak penulis masuk ke dalam tim penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Penelitian Tim Pascasarjana Tahun 2013 dari Ditjen DIKTI Kementrian Pendidikan Nasional dengan judul “Rekayasa ekspresi gen-gen pembungaan dan toleransi aluminium pada tanaman” a.n. Prof. Dr. Suharsono, DEA. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Hajrial Aswidinnoor, MSc selaku penguji luar komisi atas sarannya terhadap kesempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan timur atas bantuan beasiswa stimulan dan penulisan tugas akhir melalui program “Beasiswa Kaltim Cemerlang” sejak tahun 2010 hingga 2012. Tak lupa ungkapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan dalam penelitian sepanjang tahun 2010 sampai 2012, terima kasih atas perhatian, bantuan, dan doanya semoga apa yang kita lakukan bermanfaat dan mendapatkan pahala Aamiin. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mba Pepi, Mba Sarah, pak Mulya, pak Asep dan Pak Sairi atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian. Serta tidak lupa juga pada rekan-rekan P.S. Bioteknologi angkatan 2009 atas kebersamaan dan persahabatan selama penulis menuntut ilmu di P.S. Bioteknologi hingga menyelesaikan studi. Teruntuk kedua orang tua terkasih bapak H. Dhamrah Bakrie, BA dan ibu Hj. Siti Normasyam, saudaraku Maulida Rahmah, SSi dan Nuril Farizah MSi, terima kasih atas segala curahan kasih sayang dan doanya kepada ananda, semoga selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT, Aamiin. Akhir kata, semoga tesis ini dapat berguna dalam rangka pengembangan bioteknologi khususnya perakitan tanaman transgenik.
Bogor, April 2013 Nurul Fitriah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 3 September 1981, dari Bapak H. Dhamrah Bakrie, BA dan Ibu Hj. Siti Normasyam. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Samarinda dan pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin Makassar dan selesai pada tahun 2005 dengan gelar Sarjana Sains. Selama mengikuti perkuliahan di Universitas Hasanuddin, pernah aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, baik yang bersifat intern sebagai Anggota dalam lingkup Keluarga Mahasiswa Kimia UNHAS di jurusan Kimia, maupun yang bersifat eksternal. Dibidang akademik penulis, sebagai asisten Praktikum Kimia Dasar (2004 - 2005). Tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan Strata dua (S2) di Institut Pertanian Bogor dengan biaya Mandiri pada Program Studi Bioteknologi (PS. BTK).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... xv 1 PENDAHULUAN ...............................................................................................
1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian.....................................................................................
1 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi (Oryza sativa L.).............................................................................. 3 2.2 Pengaruh Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Padi ............................... 6 2.3 Metallothionein........................................................................................ 8 2.4 Transformasi Genetik Padi ...................................................................... 14 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Bahan ....................................................................................................... 3.2 Metode Penelitian .................................................................................... 3.2.1 Persiapan Eksplan ................................................................................. 3.2.2 Ko-kultivasi .......................................................................................... 3.2.3 Seleksi .................................................................................................. 3.2.4 Regenerasi dan Pengakaran .................................................................. 3.2.5 Aklimatisasi.......................................................................................... 3.2.6 Isolasi DNA Genom Padi ..................................................................... 3.2.7 Deteksi dengan PCR.............................................................................
23 23 24 24 25 25 25 25 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................ 27 4.1 Transformasi Genetik Oryza sativa L. dengan gen MaMt2 .................... 27 4.2 Analisis Tanaman Transgenik ................................................................. 32 4.2.1 Uji Integrasi Transgen MaMt2 pada Oryza sativa L ............................ 32 5 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 35 5.1 Simpulan .................................................................................................. 35 5.2 Saran ........................................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 37 LAMPIRAN ............................................................................................................ 45 RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. 57
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Jumlah Kromosom dan Distribusi dari Spesies Oryza ………………….
4
2. Ekogenetik dari Ras Oryza sativa L. Berdasarkan Perbandingan Karakteristik Fisiologi dan Morfologi (Chang 2003)……………………
5
3. Ekspresi Gen Metallothionein pada Beberapa Tanaman (Robinson et al. 1993)……………………………………………………
12
4. Gen Metallothionein pada Padi (Zhou et al. 2006)………………………
13
5. Penggunaan Tanaman Transgenik dan Gen Penanda dalam Publikasi Paper Jurnal Tahun 2002 (Miki dan McHugh 2003)………….
21
6. Perkembangan Jumlah Eksplan Oryza sativa L. selama Proses Transformasi dan Seleksi ………………………………..
31
7. Regenerasi Oryza sativa L. dari Kalus Transgenik………………………
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Morfologi Tanaman Padi (Datta 1981)………………………………….
6
2. Mekanisme Selular yang Mempengaruhi Sintesis dan Degradasi Metallothionein (Cousins 1983)................................................
9
3. Urutan Asam Amino Metallothionein dari Tanaman yang Memiliki Kesamaan dengan Protein Ec (Robinson et al. 1993)……………………
10
4. Model Mekanisme Aksi Metallothionein pada Tanaman (Jia et al. 2012)...................................................................
12
5. Proses Transformasi Genetik Tanaman oleh A. tumefaciens ....................
16
6. Peta Daerah T-DNA Plasmid pIG6-SMt2 .........................................
23
7. Skema Kerja Perakitan Tanaman Transgenik Oryza sativa L. .................
24
8. Tahapan Induksi Kalus dari Biji Oryza sativa L. .....................................
27
9. Tahapan Kokultivasi dan Seleksi Kalus Transforman .................................
29
10. Proses Regenerasi dari KalusTransforman.....................................
30
11. Hasil Analisis PCR DNA Tanaman Oryza sativa L. ……………………
33
12. Kontrol Positif dan Kontrol Negatif biji Oryza sativa L. .........................
34
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Timeline dari Protocol Transformasi Hiei dan Komari (2008) ................
45
2. Prosedur Pembuatan Media Induksi Kalus ..............................................
46
3. Prosedur Pembuatan Media untuk A. tumefaciens ...................................
48
4. Prosedur Pembuatan Media Kokultivasi AAM.........................................
49
5. Prosedur Pembuatan Media Kokultivasi 2N6-As.....................................
51
6. Prosedur Pembuatan Media Seleksi I .......................................................
52
7. Prosedur Pembuatan Media Seleksi II......................................................
53
8. Prosedur Pembuatan Media Regenerasi....................................................
54
9. Prosedur Pembuatan Media Pengakaran ..................................................
55
10. Penentuan Efisiensi Transformasi ……………………………………….
56
11. Penentuan Frekuensi Regenerasi…………………………………………
56
1
1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada periode 10 tahun terakhir jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertumbuhan per tahun sekitar 1,49 persen. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa (BPS 2011), ini mengakibatkan meningkatnya permintaan pangan. Padi merupakan salah satu tanaman pangan sangat penting, yang dikonsumsi oleh hampir 80% penduduk dunia terutama di Asia. Indonesia memiliki konsumsi beras yang mencapai 139 kg per orang per tahun, di atas rata-rata konsumsi beras dunia yaitu sebesar 60 kg per orang per tahun (FAO 2009). Sementara itu, produksi padi Indonesia tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 65,39 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), atau turun sebanyak 1,08 juta ton beras (1,63 persen) dibandingkan tahun 2010. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen yaitu 29,07 ribu hektar (0,22 %) (BPS 2011). Menurut Grover et al. (2009), beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produksi padi di Indonesia adalah periode musim kemarau yang panjang dan terendamnya 10% lahan pertanian pada musim penghujan. Cekaman abiotik merupakan salah satu penyebab penurunan produksi padi, karena tanaman padi sangat peka terhadap cekaman abiotik. Beberapa cekaman abiotik antara lain adalah kekeringan, salinitas, suhu yang ekstrim, ion-ion toksik, kelebihan air, polusi udara, angin, pasir dan tanah padat (Harjadi dan Yahya 1988). Cekaman abiotik ini menyebabkan timbulnya cekaman oksidatif pada tanaman yang berakibat produksi berlebih dari spesies oksigen radikal (ROS), yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan kematian pada tanaman. Untuk meningkatkan produksi nasional, perakitan varietas padi yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang kurang menguntungkan seperti cekaman abiotik sangat diperlukan. Varietas yang toleran terhadap cekaman abiotik dapat digunakan untuk memperluas areal tanam. Upaya pengembangan varietas-varietas yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, dapat dilakukan dengan pemuliaan tanaman yang salah satunya adalah dengan bioteknologi. Penggunaan bioteknologi melalui introduksi gen-gen yang berperan dalam ketahanan terhadap cekaman lingkungan (abiotic stress) diharapkan akan diperoleh varietas-varietas yang toleran, terutama toleransi terhadap cekaman abiotik sehingga dapat mempertinggi produksi tanaman budidaya di lahan marginal. Untuk merakit varietas yang baru dengan mengintroduksikan gen diperlukan sumber gen, salah satu sumber gen untuk toleransi terhadap cekaman lingkungan adalah Melastoma malabathricum L. atau Melastoma affine L. Tanaman Melastoma malabathricum L. merupakan tanaman semak (gulma) tidak bernilai ekonomi, asli Asia Tenggara yang toleran terhadap cekaman aluminium (Al) pada tanah masam. Gen-gen yang ekspresinya diinduksi oleh aluminium, pada tanaman ini diduga terlibat dalam sistem toleransi terhadap Al. Ekspresi gen MaMt2 diakar meningkat pada Melastoma malabathricum L. yang mendapat cekaman 3.2 mM Al pada pH 4 dibandingkan dengan tanaman yang tidak mendapat cekaman Al (Trisnaningrum 2009). Gen MaMt2 adalah gen penyandi
2
metallothionein tipe II yang telah diisolasi dari tanaman Melastoma affine L. (Suharsono et al. 2009). Gen MaMt2 ini telah difusikan dengan promoter ubiquitin di dalam plasmid pIG6 dan telah diintroduksi ke dalam tanaman kedelai (Anggraito et al. 2012). Gen Metallothionein telah diisolasi dari berbagai spesies tanaman seperti Arabidopsis (Zhou dan Goldsbrough 1994), jagung (Framond de 1991), padi (Fukuzawa et al. 2004; Jin et al. 2006; Zhou et al. 2006), dan Melastoma affine L. (Suharsono et al. 2009). Metallothionein adalah salah satu protein yang berperan dalam toleransi terhadap logam-logam berbahaya, homeostatis logam, detokfikasi logam berat. Pada kondisi lingkungan normal MT berperan dalam penyimpanan dan mobilisasi logam esensial seperti Cu dan Zn (Hall 2001). Metallothionein (MT) adalah protein yang banyak mengandung sistein yang berfungsi mengikat logam (metal binding peptides). Klasifikasi metallothionein pertama kali diperkenalkan oleh Robinson et al. (1993) yang membagi metallothionein ke dalam dua kategori yaitu tipe 1 dan 2, selanjutnya klasifikasi ini diperbarui oleh Cobbett dan Goldbrough (2002), menjadi empat kategori yaitu tipe 1, 2, 3, dan 4. Klasifikasi ini disusun berdasarkan sekuen asam aminonya, Menurut Duncan et al. (2006), motif dan susunan residu sistein (Cys) yang dimiliki oleh metallothionein (MT) diduga berkaitan dengan kemampuan MT mengikat logam dan kestabilan protein. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis ekspresi Metallothionein (MT) yaitu pada tanaman Silene vulgaris (Hoof van et al. 2001), Arabidopsis (Zhou dan Goldsbrough 1994; Guo et al. 2003), padi (Zhou et al. 2005; Hsieh et al. 1996) dan Melastoma affine L. (Trisnaningrum 2009). Ekspresi Metallothionein (MT) pada tanaman sebagian besar diinduksi oleh logam berat seperti tembaga (Cu), seng (Zn), cadmium (Cd), dan aluminium (Al) (Cousins et al. 1983; Hall 2001). Introduksi gen penyandi metallotionein tipe II dari Melastoma malabathricum L. (MaMt2) melalui transformasi genetik ke dalam tanaman pertanian seperti padi diharapkan dapat menghasilkan tanaman yang memiliki ketahanan terhadap ion-ion logam toksik.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengintroduksi gen MaMt2 yang diisolasi dari tanaman Melastoma affine L. dibawah kendali promoter ubiquitin ke dalam genom tanaman padi (Oryza sativa L.) kultivar Kasalath dan Nipponbare melalui perantara Agrobacterium tumefaciens.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi (Oryza sativa L.) Padi merupakan tanaman yang paling luas dibudidayakan di dunia dan dikonsumsi oleh hampir 80% penduduk dunia terutama di kawasan Asia. Terdapat sekitar 20 spesies padi yang tersebar pada daerah kelembabpan tropis seperti Afrika, Asia Selatan dan Tenggara, China bagian Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan, dan Australia (Chang 2003). Luas areal padi pada setiap negara sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah. Dibandingkan tanaman pangan lainnya padi mempunyai spektrum penyebaran lebih luas karena dapat dibudidayakan dalam berbagai agroekosistem. Negara-negara beriklim tropis dan subtropis dikenal sebagai negara penghasil padi utama. Padi adalah tanaman serealia, termasuk dalam genus Oryza, famili poaceae dan tribus oryzeae (Vaughan dan Morishima 2003). Secara umum skema klasifikasi dan nomenklatur dari genus Oryza mengikuti satu aturan taksonomi yaitu jumlah kromosom dan wilayah penyebarannya ditunjukkan pada Tabel 1. Padi yang dibudidayakan saat ini ada dua jenis yaitu Oryza sativa L. (padi Asia) dan Oryza glaberrima (padi Afrika), namun hanya Oryza sativa L. yang dibudidayakan secara luas terutama di Asia (Datta 1981). Oryza sativa berdasarkan ekogeografi terbagi kedalam tiga klasifikasi yaitu: indica, javanica dan japonica dimana ketiganya memiliki perbedaan secara ekogenetik yang ditunjukkan pada Tabel 2. Padi indica adalah subspesies indigenus Asia dengan iklim tropis dan subtropis sedangkan, padi japonica (disebut sinicas atau keng di China) terbatas pada wilayah subtropis dan zona temperatur (Chang 2003). Untuk Indonesia padi yang paling banyak ditanam adalah subspesies javanica. Berdasarkan zona air dan daratan, budidaya tanaman padi diklasifikasikan, menjadi tiga yaitu : (1) lahan kering (upland), tanpa air sedikit pun yang tergenang atau tanpa pengairan, (2) lahan basah (lowland) dengan ketinggian air sekitar 5-50 cm, dan (3) tergenang (deepwater) dengan ketinggian air > 51 cm (Datta, 1981). Secara umum padi adalah tanaman semusim yang berumpun kuat dengan tinggi batang yang beragam sekitar ± 1-1.8 m, helai daun berbentuk garis, sebagian besar bertepi kasar dengan panjang 50-100 cm dan lebar daun 2-2.5 cm serta memiliki malai dengan panjang 15-40 cm yang tumbuh keatas. Malai merupakan bulir padi yang memiliki ukuran/bentuk yang beraneka ragam antara lain kadang berjarum pendek atau panjang atau tidak sama sekali, licin atau kasar, berwarna hijau atau coklat, dan gundul atau berambut (IRRI 2008). Pertumbuhan tanaman padi dibedakan dalam tiga fase, yaitu fase vegetatif, generatif dan pematangan. Fase vegetatif terjadi di awal pertumbuhan sampai pembentukan malai, sedangkan fase reproduktif dimulai dari pembentukan malai sampai pembungaan, dan fase pematangan dimulai dari pembungaan sampai gabah matang. Di daerah tropis, fase generatif berlangsung 35 hari dan fase pematangan 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan dibedakan berdasar lamanya fase vegetatif (IRRI 2008). Morfologi padi disajikan pada Gambar 1.
4
Tabel 1. Jumlah kromosom dan distribusi dari spesies Oryza (Chang 2003) Spesies
Jumlah kromosom (2n)
O. alta Swallen
48 -
Amerika Selatan Afrika
O. australiensis Domin
24
Australia
O. brachyantha A.Chev. et Roehr.
24
Afrika Tengah dan Barat
O. breviligulata A.Chev. et Roehr.
24
Afrika Barat
O. coarctata Roxb.
48
Burma, India dan Pakistan
O. eichingeri A. Peter
24, 48
Ceylon and Afrika Timur
O. glaberrima Steud.
24
Afrika Barat
O. grandiglumis (Doell) Prod.
48
Amerika Selatan
O. granulata Nees et Arn. ex Hook f.
24
Asia Selatan dan Tenggara
O. latifolia Desv.
48
O. longiglumis Jansen
48
Amerika Selatan Tengah New Guinea
O. malampuzhaensis Krish. et Chand.
48
India
O. meyeriana (Zoll et Mor. ex Steud.) Baill. O. minuta J. S. Presl ex C. B. Presl
24
Asia Tenggara
48
Asia Tenggara
O. officinalis Wall. ex Watt
24
Asia Selatan dan Tenggara
24
Asia Selatan dan Tenggara
24
Afrika
24
Amerika Selatan, Indies Barat Malagasay
O. angustifolia C. E. Hubbard
1
O. perennis Moench subsp. Balunga O. perennis Moench subsp. barthii
1
O. perennis Moench subsp. cubensis O. perrieri A. Camus
24, 48
Tengah
dan
dan
Afrika
O. ridleyi Hook f.
48
Asia Tenggara
O. sativa L.
24
Asia, Afrika, Australia, Eropa, Amerika Asia, Australia, Amerika Selatan, Malagasay New Guinea
2
O. sativa L. v. fatua Prain or O. sativa L. f. spontanea Roschev. 2 O. schlechteri Pilger
24
O. stapfii Roschev.
24
Afrika Barat
O. tisseranti A. Chev.
24
Afrika Tengah
penandaan sementara penggunaan nama masih belum tetap
2
1
24
O. punctata Kotschy ex Steud.
1
Distribusi
-
5
Tabel 2. Ekogenetik dari Oryza sativa berdasarkan perbandingan karakteristik fisiologi dan morfologi (Chang 2003) Indica
Japonica
Javanica
Bentuk daun lebar menyempit hijau muda
Bentuk daun menyempit dengan warna hijau tua
Bentuk daun lebar, kasar/kaku, hijau muda
Panjang hingga pendek, ramping, butir padi bertingkat
Pendek, butir padi berentetan
Panjang, besar, butir padi rapat dan padat
Paling banyak ditanam petani
Cukup diminati petani
Kurang diminati petani
Tipis, dengan rambut pendek pada lemma dan palea
Tebal, dengan rambut panjang pada lemma dan palea
Berambut panjang pada lemma dan palea
Mudah untuk digiling
Rendah untuk digiling
Rendah untuk digiling
Jaringan tanaman lunak Sensitivitas yang bervariasi terhadap fotoperiodik Amilose 23-31% Temperatur gelatin berubah-ubah (rendah/intermediet)
Jaringan tanaman keras Sensitivitas dari nol hingga rendah terhadap fotoperiodik
Jaringan tanaman keras Sensitivitas rendah terhadap fotoperiodik
Amilose 10-20% Temperatur gelatin rendah
Amilose 20-25% Temperatur gelatin rendah
6
Gambar 1 Morfologi tanaman padi. A. Struktur biji padi, B. Bagian dari anakan/batang primer dan sekunder, C. Komponen malai, D. Bagianbagian dari bunga padi (spikelet), dan E. Perkecambahan biji padi (Datta 1981).
2.2 Pengaruh Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Padi Adanya fenomena alam yang ekstrim, seperti periode musim kemarau dan musim penghujan yang bertambah panjang, tanah masam, salinitas yang tinggi dan temperatur ekstrim akibat pemanasan global secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi padi dunia. Cekaman lingkungan (abiotic stress) yang terus meningkat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Grover et al. 2009). Cekaman air seperti kekeringan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produktivitas padi. Cekaman air pada fase vegetatif menyebabkan berkurangnya lebar daun, dan asimilasi CO2, tinggi tanaman, jumlah anakan dan
7
area daun. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi adalah tanah masam, sehingga upaya pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan kering dan rawa menjadi kurang berkembang dikarenakan kondisi tanah yang masam dengan pH 3.5-5.5 (Noor 1996). Toksisitas aluminium merupakan salah satu cekaman abiotik yang biasanya ditemukan pada lahan masam. Aluminium adalah salah satu diantara unsur yang memiliki kelimpahan paling banyak di bumi, mewakili sekitar 8% berat lapisan bumi (Asher 1991). Keracunan Al merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan yang penting bagi tanaman pada berbagai tanah masam dunia, yang meliputi 50% lebih dari lahan pertanian didunia adalah tanah asam (Bot et al. 2000). Tanah masam adalah tanah yang memiliki pH yang rendah, tanah ini terbentuk karena dekomposisi bahan organik dan curah hujan yang tinggi (Salisbury dan Ross 1995). Pengaruh cekaman Al tidak sama pada semua tanaman, bahkan dalam spesies yang sama. Akar merupakan bagian tanaman yang paling sensitif terhadap keracunan Al. Gejala awal yang tampak pada tanaman yang keracunan Al, yaitu tidak berkembangnya sistem perakaran sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel (Purnamaningsih dan Mariska 2008). Keracunan Al yang berat terutama pada pH tanah dibawah 5, Al menjadi terionisasi dengan bentuk ion trivalent (Al3+ ) bersifat toksik bagi tanaman dan merusak sistem perakaran tanaman (Kochian et al. 2004). Namun tidak semua Al bersifat toksik, Al yang membentuk ikatan dengan ligand seperti aluminium silikat tidak beracun bagi tanaman. Rout et al. (2001), mengemukakan bahwa kelarutan Al yang tinggi di dalam tanah sangat merugikan tanaman karena menghambat pertumbuhan akar. Namun terdapat beberapa spesies tanaman yang memiliki toleransi terhadap konsentrasi Al yang tinggi (Bell dan Edwards 1987). Akar dari tanaman yang toleran Al akan sedikit atau sama sekali tidak mengalami kerusakan ketika tercekaman Al dibandingkan akar dari tanaman yang sensitif Al (Delhaize et al. 2004), sehingga akar dari tanaman yang toleran Al akan memiliki kemampuan pertumbuhan akar kembali yang lebih tinggi dibanding akar dari tanaman yang sensitif Al. Kemampuan toleransi ini dikontrol secara genetik. Menurut Taylor (1991) mekanisme toleransi tanaman terhadap Al terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1) dengan mencegah Al masuk ke dalam simplas dan sampai daerah metabolik yang peka di dalam sel tanaman (mekanisme ekslusi), dan 2) dengan detoksikasi, imobilisasi atau pengubahan dalam metabolisme saat Al telah masuk ke dalam simplas sehingga memungkinkan tanaman melanjutkan proses tumbuhnya (mekanisme internal). Mekanisme (eksklusi) berhubungan dengan: imobilisasi Al dalam dinding sel, sifat selektif permeabel membran plasma, meningkatkan pH di sekitar perakaran, dan kelatisasi Al oleh asam organik. Mekanisme internal berhubungan dengan: kelatisasi Al dalam sitosol oleh asam organik atau protein, kompartementasi Al dalam vakuola, evolusi enzim pada tanaman toleransi Al (Anggraito 2012). Selain itu beberapa peneliti melaporkan bahwa toleransi terhadap Al juga dipengaruhi oleh mucilage pada tanaman. Mucilage adalah bahan seperti gel yang dihasilkan pada bagian ujung akar yang sedang berkembang. Mucilage merupakan partikel penting pada tanah mineral asam untuk melindungi meristem akar, Watanabe et al. (2008) menyebutkan bahwa mucilage akar berperan dalam imobilisasi kation-kation logam misalnya Al pada rizofer. Pada tanaman Vigna unguiculata dan M. Malabathricum memiliki toleransi terhadap Al karena dapat
8
menghasilkan sejumlah besar mucilage jika dibandingkan dengan yang sensitif (Suthipradit et al. 1990; Watanabe et al. 2008). Pada tanaman padi keracunan Al, menyebabkan kerusakan sistem akar, dimana tanaman padi yang sensitif Al yaitu IR64 dan Krowal, mengalami pertumbuhan akar terhambat dibandingkan tanaman padi yang toleran Al yaitu Grogol dan Hawara Bunar. Akumulasi Al yang tinggi pada tanaman padi yang sensitif Al menyebabkan kerusakan akar, dan ini tidak terjadi pada tanaman padi yang toleran Al (Roslim 2011).
2.3 Metallothionein Metallothionein adalah molekul metalloprotein dengan berat molekul rendah yang memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah unsur transisi. Seng (Zn), tembaga (Cu) dan air raksa (Hg) merupakan logam yang paling sering berasosiasi dengan protein ini. Protein ini pertamakali di isolasi pada tahun 1957 dari kortek ginjal yang mengandung sejumlah besar sulfur dan kadmium oleh Margoshes dan Vallee, dan protein ini selanjutnya dikarakteristik oleh Kagi dan Vallee pada tahun 1960 (Cousins 1983). Ciri-ciri yang menonjol dari protein ini adalah: 1) berupa rantai tunggal polipeptida tersusun dari 61 asam amino, 2) protein yang memiliki kemampuan mengikat logam antara 5 dan 7 gram atom per mol, 3) 25-35% dari residu asam aminonya adalah sistein dan tidak memiliki ikatan disulfida seperti umumnya pada protein, 4) tidak memiliki asam amino aromatik yang terdapat pada polipetida dan 5) polymorphis ditunjukkan dengan sedikitnya dua mayor dan sejumlah minor isometallothionein di setiap ekstrak jaringan (Cousins 1983). Metallothionein merupakan protein unik berukuran kecil yang berada pada posisi antara hormon-hormon polipetida dari protein globular intrasellular. Ukuran metallothionein pada kondisi denaturasi diperkirakan sekitar 6600 dalton, sedangkan ketika penyesuaian dengan muatan logam, polipetida bebas-logam (misalnya thionein) sekitar 6000 dalton. Tembaga dan seng merupakan logam utama yang berikatan dengan metallothionein (Cousins 1983). Level metallothionen yang mengikat logam seperti seng pada individu yang sehat terjaga pada kondisi tetap rendah, level ini akan meningkat disebabkan penyakit, stres, atau berubah mencolok akibat penggunaan tembaga atau seng. Ekspos kadmium dan air raksa menghasilkan pengikatan metallothionein dengan sejumlah logam dalam jaringan. Berdasarkan struktur primer dari metallothionein ginjal, terdapat tiga residu sistein utama yang berperan dalam pengikatan ligan dengan logam (Cousins 1983). Korelasi yang tinggi antara kenaikan tingkat metallothionein dan logam dalam jaringan seringkali ditemukan, protein metallothionein ini bersifat induce. Logam kadmium, seng dan tembaga dapat menginduksi metallothionein, selain itu dexamethasone dan steroid dengan aktivitas glukokortikoid juga dapat merubah ekspresi gen metallothionein dan meningkatkan akumulasi seng dan kadmium dalam kultur sel parenchymal hati (Cousins 1983). Literatur degradasi metallothionein masih sangat terbatas dibandingkan sintesis metallothionein. Investigasi degradasi metallothionein liver yang diinduksi seng secara in vivo menggunakan pelabelan 65Zn dan 35S-sistein. Hasil
9
yang diperoleh menunjukkan bahwa degradasi metallothionein dipengaruhi ikatan logam. Konsep ini juga diperkuat melalui eksperimen degradasi secara in vitro, yaitu pelabelan seng dan kadmium yang menginduksi metallothionein, selanjutnya metallothionein diisolasi dan diinkubasi dengan protease. Protease mendegradasi protein metallothionein. Protein metallothionein kadmium lebih resisten dibandingkan protein metallothionein seng (Cousins 1983). Degradasi metallothionein tembaga berlangsung dengan cepat pada kondisi in vivo. Aspek utama dari sintesis dan degradasi metallothionein ditunjukkan pada Gambar 2 (Cousins 1983).
Gambar 2 Mekanisme sellular yang mempengaruhi sintesis dan degradasi metallothionein (Cousins et al. 1983) Fungsi dari metallothionein menurut Cousins (1983) adalah sebagai berikut: 1) metallothionein memiliki peranan yang penting dalam metabolisme sellular, 2) metallothionein merupakan suatu ligan penyangga untuk menetralkan atau menghilangkan pengaruh logam-logam toksik dan 3) metallothionein merupakan kelompok sulfur yang terlibat dalam oksidasi-reduksi dan terkait erat dengan pengikatan logam. Metallothionein juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan (Robinson et al. 1993). Kerusakan DNA yang diakibatkan oleh cekaman oksidatif mengalami penurunan dengan meningkatnya level metallothionein. Selama tiga dekade berikutnya, protein metallothionein telah berhasil diidentifikasi pada semua makhluk hidup, termasuk hewan, cyanobacteria, fungi, dan tanaman tingkat tinggi (Cobbett dan Goldsbrough 2002). Struktur yang mirip metallothionein pada protein tanaman pertama kali diidentifikasi pada protein Ec gandum dan gen yang menyandi protein mirip
10
metallothionein ini berhasil diisolasi oleh Kawashima pada tahun 1992, gen ini terletak dikromosom gandum hexaploid 1A, 1B dan 1D (Robinson et al. 1993). Protein metallothionein dari beberapa spesies tanaman ditunjukkan pada Gambar 3. Posisi residu sistein dengan motif khusus Cys-Xaa-Cys menunjukkan bahwa protein ini memiliki kemampuan mengikat ion logam, sehingga protein ini memiliki peranan dalam metabolisme logam (Robinson et al. 1993).
Gambar 3 Urutan asam amino metallothionein dari tanaman yang memiliki kesamaan dengan protein Ec . Distribusi residu sistein -ditandai dengan warna merah- (Robinson et al. 1993). Berdasarkan posisi residu sistein protein metallothionein dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu tipe 1 dan 2 (Gambar 3). Tipe 1 memiliki motif Cys-XaaCys sedangkan pada tipe 2 memiliki motif Cys-Cys dan sepasang Cys-Xaa-XaaCys dalam domain N-terminal (Robinson et al. 1993). Klasifikasi protein metallothionein disusun berdasarkan susunan residu asam amino sistein, yang sebagian besar residu sistein dalam metallothionein akan membentuk suatu mercaptide dengan sejumlah logam. Hal ini dikarenakan sistein memiliki komposisi organosulfur yaitu group karbon yang berikatan dengan sulfurhidroksil (C-SH atau R-SH) disebut juga thiol, yang memiliki afinitas sulfur tinggi yang dapat mengikat ion logam toksik. Gugus thiol ini sangat penting pada proses biologi seperti pembentukan protein melalui ikatan disulfida, struktur protein (tersier dan kuarter) dan mekanisme terhadap ion logam berat. Menurut Cobbet dan Goldsbrough (2002), protein metallothionein pada tanaman terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan sekuen asam aminonya. Untuk tipe 1 dan 2 mengikuti klasifikasi Robinson et al. (1993), sedangkan metallothionein tipe 3 diekspresikan pada saat pematangan buah, dan tipe 4 sebagai contoh adalah protein Ec pada gandum.
11
Metallothionein tipe 1 tersusun dari enam motif Cys-Xaa-Cys (dimana Xaa adalah asam amino lain), yang terdistribusi secara merata dalam dua domain. Kebanyakan metallothionein tipe 1, terdiri dari dua domain dipisahkan oleh ± 40 asam amino termasuk asam amino aromatik, namun terdapat juga domain kaya sistein yang dipisahkan ± 10 asam amino, yang tidak termasuk residu aromatik dalam MT tipe 1 dari beberapa Brassicaceae (Cobbet dan Goldsbrough 2002). Metallothionein tipe 2 terdiri dari dua domain yang dipisahkan oleh ± 40 residu asam amino, pada pasangan sistein pertama terdapat motif Cys-Cys pada asam amino posisi 3 dan 4 dari protein ini. Motif Cys-Gly-Gly-Cys terdapat di ujung dari N terminal domain yang kaya sistein. Untuk metallothionein tipe 3, hanya terdiri dari empat residu sistein pada domain N terminal. Konsensus untuk tiga sistein pertama memiliki motif Cys-Gly-Asn-Cys-Asp-Cys. Sedangkan sistein yang tipe 4 memiliki motif yaitu Gln-Cys-Xaa-Lys-Lys-Gly. Metallothionein tipe 4 berbeda dengan metallothionein tipe yang lain, yaitu memiliki tiga domain kaya sistein, masing-masing memiliki 5 atau 6 residu sistein yang terkonservasi (Cobbet dan Goldsbrough 2002). Isolasi dan pengklonan gen-gen mengkode protein metallothionein telah dilakukan sejak lama, pertama kali dilakukan oleh Miranda et al. tahun 1990 pada tanaman Mimulus guttatus dan jagung (Framond 1991). Semua gen yang mengkodekan protein ini memiliki dua domain yang kaya sistein dengan motif Cys-Xaa-Cys dimana Xaa adalah asam amino selain sistein (Robinson et al. 1993). Sampai saat ini isolasi dan pengklonan gen penyandi metallothionein masih terus berlangsung, untuk kelompok Angiospermae termasuk Arabidopsis, padi dan tebu memiliki keempat tipe dari gen metallothionein (Cobbet dan Goldsbrough 2002), Helianthus tuberosus (Chang et al. 2002), Prosopis juliflora (Usha et al. 2009) dan Colocassia esculentum (Parmar et al. 2012). Studi detail pada tanaman menunjukkan bahwa fungsi protein metallothionein tidak saja pada metabolisme dan detoksifikasi logam (Hall 2001; Cobbett dan Goldsbrough 2002) tetapi juga ikut terlibat dalam berbagai proses biologi seperti apotosis, pertumbuhan, perkembangan embrio, perkembangan mikrospora, senessense, pematangan, perkembangan buah dan respon terhadap stres (Cobbett dan Goldsbrough 2002; Lee et al. 2004; Ahn et al. 2011; Jia et al. 2012), selain itu berperan dalam pertumbuhan sel, proliferasi sel, aktivitas metalloenzim dan faktor transkripsi (Palmiter 2004; Haq et al. 2003), dan merupakan scavenger spesies oksigen reaktif (ROS) (Wong et al. 2004). Informasi mengenai ekspresi gen metallothionein pada berbagai tanaman ditunjukkan pada Tabel 3. Analisis pola ekspresi dapat membantu untuk mengungkapkan kemungkinan fungsi biologi dari gen Metallothionein, misalnya gen Metallothionein pada gandum Ec dan barley diekspresikan pada tahap perkembangan benih, sedangkan metallothionein pada kedelai diekspresikan lebih kuat pada daun dibandingkan di bagian akar. Untuk pea, Mimulus, dan jagung diekspresikan pada perkembangan akar (Robinson et al. 1993). Ekspresi gen Metallothionein pada tanaman diregulasi oleh berbagai faktor antara lain: ion-ion logam, cekaman abiotik antara lain: cekaman osmotik, temperatur rendah, heat shock, serta serangan patogen (Hsieh et al. 1996; Wong et al. 2004; Jin et al. 2006; Usha et al. 2009; Jia et al. 2012). Mekanisme metallothionein pada tanaman ditunjukkan pada Gambar 4 (Jia et al. 2012).
12
Famili gen Metallothionein juga terdapat pada padi. Hsieh et al. (1995) berhasil mengisolasi gen metallothionein dari pustaka genom Oryza sativa. Gen metallothionein yang terdiri dari 2 ekson dan 1 intron. Protein yang disandikan oleh gen ini terdiri dari 72 asam amino yang terinduksi oleh cekaman pengurangan sukrosa dan tembaga. Metallothionein terekspresi kuat diberbagai organ padi. Gen OsMT1 dan OsMT2 telah isolasi dari cDNA metallothionein. Peran gen OsMT2 lebih kompleks dibandingkan OsMT1 yaitu berperan dalam respon sel terhadap berbagai cekaman, OsMT2 terekspresi oleh cekaman sukrosa, heat shock, dan asam abscisic, sedangkan OsMT1 terinduksi oleh logam tembaga (Hsieh et al. 1996). Tabel 3 Ekspresi gen metallothionein pada beberapa tanaman (Robinson et al.1993)
Gambar 4 Model mekanisme aksi metallothionein pada tanaman (Jia et al. 2012) Gen OsMT2b berperan menangkap spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies) dan homeostatis logam, regulasi ekspresi gen OsMT2b secara sinergis oleh OsRac1 dapat mengurangi serangan blast pada tanaman padi (Wong et al. 2004). Fukuzawa et al. (2004) telah mengisolasi gen Metallothionein tipe 4 (ricMT) dari padi yang terekspresi kuat di batang, promotor ricMT terekspresi sangat kuat pada tanaman transgenik kecuali di endosperm.
13
Lengkapnya analisis sekuen genom padi dengan keterangan 37500 gen yang menjadi fokus perhatian pada analisis molekular berasal dari famili gen MT (Zhou et al. 2006). Analisis yang menyeluruh dari sekuen genom padi menunjukkan ada 11 gen yang menyandikan metallothionein padi (OsMt), ini mengindikasikan bahwa OsMt merupakan famili gen pada genom padi. Famili gen MT padi diklasifikasikan kedalam dua kelas, kelas satu dibagi kedalam empat tipe yang berdasarkan kemiripan skuen dan hubungan filogenetik, sedangkan kelas dua berdasarkan pola susunan residu sistein, gen Metallothionein pada padi ditunjukkan pada Tabel 4. Ekspresi dari tiap gen dalam famili gen OsMt memperlihatkan perbedaan, tidak hanya pada sekuennya tetapi juga pada pola ekspresi dari jaringannya (Zhou et al. 2006). Tabel 4 Gen Metallothionein pada padi (Zhou et al. 2006)
a
nomor aksesi GenBank untuk setiap gen; bmengindikasikan lokasi dari posisi nukleotida pertama c dan terakhir untuk setiap gen dalam kromosom; tanda kurung menunjukkan nama sebelumnya; tanda bintang menunjukkan metallothionein baru dari pencarian database.
Saat ini, gen Metallothionein telah banyak diisolasi dari berbagai jenis tanaman dan diekspresikan didalam berbagai jaringan maupun organ seperti pada akar, batang, daun, biji, dan buah dari berbagai spesies tanaman yang berbeda, ini bertujuan untuk meningkatkan nilai suatu tanaman, terutama tanaman budidaya. Gen Metallothionein dari berbagai organisme dengan bentuk yang sesuai dengan asosiasi ion-ion logam telah diekspresikan dalam E. coli dan yeast (Lee et al. 2004), Arabidopsis t. (Robinson et al.1996; Guo et al. 2003; Ahn et al. 2011), Nicotiana benthamiana (Anggraito et al. 2012), Avicennia mariana (Huang dan Wang 2010), padi (Fukuzawa et al. 2004; Wong et al. 2004; Yang et al. 2009), kedelai (Anggraito 2012) dan jatropa (Siregar 2012). Gen MaMt2 adalah gen penyandi metallothionein tipe 2 yang diisolasi dari tanaman Melastoma Malabathricum L dan berhasil diklon oleh Suharsono et al. (2009). Gen ini diduga memiliki sifat toleransi terhadap toksisitas aluminium pada tanah masam, hal ini berdasarkan kemampuan tanaman Melastoma affine (sekarang bernama Melastoma malabathricum L.) dalam mengakumulasi Al. Tanaman ini dapat bertahan pada cekaman Al dengan konsentrasi Al 3,2 mM (Trisnaningrum 2009). Gen ini terdiri dari 246 pb dan mengkode 81 asam amino, dan memiliki 14 residu sistein dengan motif Cys-Cys, Cys-X-Cys, dan Cys-X-XCys (Suharsono et al. 2008), gen ini telah difusikan dengan promotor ubiquitin (Anggraito et al. 2012).
14
2.4 Transformasi Genetik Padi Transformasi genetik adalah proses introduksi gen dari satu organisme ke organisme lain yang memungkinkan untuk memunculkan sifat harapan tanpa mengubah sifat lain. Transformasi pertama kali ditemukan oleh Frederick Griffith pada tahun 1928, sedangkan transformasi genetik tanaman adalah pengubahan genetik tanaman melalui transfer DNA eksogen yang berasal dari spesies yang berbeda yang disertai ekspresi DNA tersebut ke dalam genom tanaman target (Skerritt 2000). Menurut Birch (1997) transformasi genetik pada tanaman dilakukan sebagai alat eksperimen untuk mempelajari fisiologi tanaman, dan untuk pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman umumnya ditentukan oleh sistem reproduksi tanaman, apakah menyerbuk sendiri atau silang. Tanaman menyerbuk sendiri cenderung melakukan peristiwa silang dalam (inbreeding) yang menghasilkan homozigositas dan stabilitas genetik, dari segi kepentingan tanaman menyerbuk sendiri dipertahankan sebagai populasi homozigot dan menghasilkan keturunannya yang sama atau mendekati tetuanya. Sebaliknya tanaman menyerbuk silang merupakan pelaku silang luar (outbreeding) dan dipertahankan dalam populasi heterozigot dan heterogen, dimana setiap tanaman dapat saling berbeda satu sama lain dalam satu populasi, keturunannya cenderung berbeda dengan tetuanya. Pemuliaan tanaman secara konvensional memiliki beberapa kendala, antara lain: 1) terbatasnya persediaan sumber gen baru, karena harus bersumber dari spesies atau genus yang sama, 2) sulitnya melakukan persilangan antara dua genera yang berbeda, karena adanya faktor sterilitas dan inkompatibilitas, dan 3) biasanya memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang relatif sangat besar (Nasir 2002). Alternatif untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menggunakan rekayasa genetik melalui transformasi genetik. Pemuliaan tanaman melalui transformasi genetik memiliki keunggulan antara lain : 1) dengan transformasi genetik memungkinkan gen penyandi sifat tertentu dipilih secara spesifik dan ditransfer ke tanaman target, 2) memungkinkan introduksi gen dari tanaman atau organisme lain yang tidak berkerabat tanpa terkendala oleh kompatibilitas seksual dalam persilangan, sehingga menghemat waktu dan mengurangi peluang ikutnya sifat-sifat yang tak diinginkan pada tanaman yang ditransformasi (Jauhar 2006; Wieczorek dan Wright 2012). Ekspresi gen yang akan ditransfer ke tanaman target dapat dimodifikasi melalui perakitan gen dengan komponen promotor dan elemen pemacu (enhancer) tertentu. Fukuzawa et al. (2004) menggunakan promotor kuat untuk ekspresi gen Metallothionein pada tanaman tembakau dan padi, dimana gen Metallothionein terekspresi kuat pada batang dan akar tetapi tidak pada endosperma. Komponen dasar dan penting untuk menghasilkan tanaman transgenik antara lain: 1) ketersediaan jaringan target meliputi sel-sel yang kompeten untuk transformasi dan beregenerasi, 2) metode introduksi DNA ke dalam sel-sel akan beregenerasi, dan 3) prosedur seleksi dan regenerasi tanaman transforman (Birch 1997). Transformasi genetik pada padi dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya elektroporasi, perlakukan PEG, bombardemen proyektil mikro dan Agrobacterium tumifaciens (Ashikari et al. 2004). Transformasi genetik tanaman yang dimediasi oleh Agrobacterium tumefaciens telah menjadi metode yang
15
paling popular untuk mengintroduksi gen asing ke dalam sel tanaman padi dan regenerasi dari tanaman transgenik. Transfer gen dengan perantara Agrobacterium tumefaciens adalah metode yang paling efektif, karena memberikan efisiensi transformasi yang tinggi, dapat digunakan untuk transgen berukuran besar dan cenderung menghasilkan integrasi salinan tunggal transgen pada genom tanaman padi (Hiei dan Komari 2008). Secara alami Agrobacterium tumefaciens hanya menginfeksi tanaman dikotil dan menunjukkan efisiensi transformasi yang rendah pada tanaman monokotil seperti padi, namun seiring berjalan waktu dan banyaknya penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi transformasi pada tanaman monokotil. Saat ini, transformasi genetik menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens menjadi sangat popular dibandingkan teknik yang lain, terutama pada tanaman padi. Berdasarkan penelitian singkat, dari ± 300 paper jurnal yang dipilih secara acak menunjukkan 80% lebih menggunakan Agrobacterium tumefaciens sebagai alat untuk transfer gen. Hiei et al. (1994) menjadi pelopor teknik transformasi genetik padi yang menggunakan perantara bakteri Agrobacterium tumefaciens. Sejumlah besar tanaman padi transgenik telah dihasilkan dengan menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens sebagai vektor untuk mentransfer gen (Hiei et al. 1994; Rashid et al. 1995; Kumar et al. 2005; Toki et al. 2006; Nandakumar et al. 2007; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010). Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri tanah golongan gram negatif, dengan suhu optimal pertumbuhan bakteri adalah 28-30oC. Bakteri ini bersifat fitopatogen karena dapat membentuk tumor (crown gall) pada sel tanaman, mampu menginfeksi sejumlah besar tanaman dikotil dan sejumlah kecil tanaman monokotil. Pembentukan tumor adalah hasil transfer, integrasi dan ekspresi gen dari segmen spesifik yang disebut T-DNA (transfered-DNA), terdapat pada plasmid Ti (tumor inducing). Mekanisme transfer gen oleh Agrobacterium tumefaciens ke sel inang (host) dengan jalan memindahkan segmen T-DNA dari plasmid Ti ke dalam genom tanaman inang. Proses transformasi genetik tanaman dengan perantara bakteri Agrobacterium tumefaciens, terdiri dari 10 tahap utama yaitu: 1) pengenalan dan perlekatan Agrobacterium tumefaciens pada sel inang, yang diikuti dengan 2) penginderaan sinyal tanaman yang spesifik oleh dua komponen sistem tranduksi signal pada Agrobacterium tumefaciens yaitu VirA atau VirG, 3) ekspresi daerah vir yang menghasilkan protein-protein vir yang memulai proses transfer T-DNA, 4) salinan T-DNA yang akan ditransfer ke tanaman diproduksi oleh kerja protein VirD1/VirD2, bersama-sama dengan beberapa protein Vir lainnya kedalam sitoplasma sel inang, 6) Vir E2 berasosiasi dengan utas T-DNA dan bergerak menuju sitoplasma sel inang, 7) kompleks T-DNA masuk ke dalam inti sel inang melalui proses impor aktif, 8) setelah berada dalam inti sel, T-DNA menuju tempat integrasi DNA pada kromosom, 9) protein-protein pengawal DNA terlepas dan 10) DNA terintegrasi ke dalam genom sel inang, (Gambar 5) (Tzfira dan Citovsky 2006).
16
Gambar 5. Proses transformasi genetik tanaman oleh Agrobacterium tumefaciens Kemampuan alami Agrobacterium tumefaciens dalam mentransformasi, dapat digunakan sebagai alat untuk mengintoduksi gen-gen asing ke dalam tanaman dan untuk memproduksi tanaman transgenik. Perangkat molekular yang dibutuhkan untuk produksi T-DNA dan transpornya ke dalam sel inang terdiri dari protein-protein yang dikode oleh gen-gen virulensi pada kromosom atau chv (chromosomal virulence) dan gen-gen virulensi (vir) yang terdapat pada plasmid Ti, selain itu berbagai protein pada inang juga terlibat dalam tahap transport interselular, proses masuk dan integrasi T-DNA dalam inti sel (Tzfira dan Citovsky 2006). Daerah T-DNA dan daerah vir pada Agrobacterium tumefaciens tipe liar berada dalam satu vektor plasmid Ti, sedangkan untuk tujuan rekayasa genetika tanaman, sistem vektor pada Agrobacterium tumefaciens dimodifikasi. Sistem biner merupakan sistem vektor yang popular pada Agrobacterium tumefaciens untuk transformasi genetik tanaman, dimana pada sistem ini terjadi pemisahan vektor berdasarkan fungsinya, yaitu untuk plasmid vektor pembawa daerah vir terpisah dari plasmid vektor pembawa T-DNA. Plasmid yang berfungsi sebagai vektor vir disebut juga plasmid Ti lumpuh (disarmed Ti plasmid) dikarenakan gen-gen patogen yang terdapat di T-DNAnya dihilangkan, sedangkan plasmid lainnya dirancang untuk membawa T-DNA rekombinan yang mengandung gen marka seleksi dan gen target eksogen yang diinginkan (Tzfira dan Citovsky 2006). Berbagai strain Agrobacterium tumefaciens rekombinan yang mendukung sistem biner telah banyak dikembangkan dalam transformasi genetik padi seperti strain LBA4404, EHA101, dan EHA105 (Hiei et al. 1994; Rashid et al. 1995; Toki et al. 2006; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010; Sahoo et al. 2011).
17
Transformasi yang diperantarai Agrobacterium tumefaciens meliputi dua proses yang berdiri sendiri yaitu: aktivasi gen virulensi dan penempelan pada sel inang. Aktivasi gen vir selama kokultivasi dengan sel tanaman membutuhkan dua gen yaitu virA dan virG, walaupun virA dan virG terekspresi secara konstitutif pada level yang rendah, gen ini juga terinduksi dalam suatu mode autoregulator. Sistem kedua gen vir ini bersama-sama mengaktifkan transkripsi, dimana VirG berikatan PO4 pada sekuen DNA 12 pb spesifik dari promoter vir (vir box) (McCullen dan Binns 2006). Perbedaan pada dua komponen sistem pengendalian yaitu sistem virulensi dari patogen, dan signal dari sel inang yang bertanggung jawab untuk pengaktifan sistem VirA atau VirG. Beberapa diantaranya senyawa fenol seperti asetosiringon, aldosa monosakrida, pH rendah dan konsentrasi PO 4 yang rendah. Senyawa fenol mutlak dibutuhkan untuk menginduksi ekspresi gen vir, dimana bakteri ini sangat sensitif pada fenol (McCullen dan Binns 2006). Fenol diidentifikasi sebagai senyawa yang menginduksi ekspresi gen vir, pertamakali ditemukan pada eksudat yang berasal dari akar dan proplast daun. Pengaktifan signal oleh pH dan PO4 yang rendah mengaktifkan ekspresi virG yang selanjutnya mengaktifkan promotor kompleks virG dan ekspresi gen-gen vir lainnya (McCullen dan Binns 2006). Beberapa jenis monosakarida juga berfungsi sebagai signal, hal ini dimungkinkan adanya interaksi dan asosiasi antara protein VirA dengan protein ChvE yang berfungsi sebagai protein pengikat gula pada periplasma. Signal yang ada akan mengaktifkan VirA, yang pada akhirnya mengaktifkan protein VirG melalui proses fosforilasi. VirG bertindak sebagai faktor transkripsi yang akan mengaktifkan ekspresi gen-gen vir lainnya (Riva et al. 1998). Integrasi T-DNA merupakan suatu proses yang sangat menarik, yang mana segmen DNA prokariotik yang berasal dari bakteri berikatan secara kovalen dengan DNA genom eukariotik (tanaman). Perkawinan molekul DNA antar kingdom sangat unik dan terjadi secara alami, menjadi sangat penting yang kemudian menjadi dasar dan aplikasi sains (Ziemienowicz et al. 2008). Proses pemindahan T-DNA ke sel tanaman diawali dengan pemotongan utas T-DNA dari plasmid Ti, yang dilakukan oleh protein VirD1 dan VirD2 yang memiliki aktivitas endonuklease. Protein ini mengenali skuen batas T-DNA dan memotong utas DNA pada posisi tersebut dan melepaskan utas tunggal T-DNA, setelah pemotongan protein VirD2 tetap terikat secara kovalen pada ujung 5 utas T-DNA (right border). Asosiasi VirD2 melindungi T-DNA dari aktivitas eksonuklease pada ujung 5 T-DNA (Riva et al. 1998) dan juga berfungsi membedakan ujung 5 T-DNA (right border) sebagai ujung yang akan ditransfer terlebih dahulu ke sel tanaman. Sintesis utas T-DNA dimulai dari batas kanan TDNA dan berlangsung dari arah 5’ ke 3’, kompleks utas tunggal T-DNA-VirD2 dibungkus oleh protein VirE2. Asosiasi protein ini mencegah serangan nuklease dan berfungsi untuk membentangkan utas komplek T-DNA sehingga bentuk menjadi lebih ramping dan mudah melintasi kanal membran (Riva et al. 1998). Kompleks T-DNA dan beberapa protein Vir lainnya yaitu VirE2 dan VirF, diekspor dari bakteri menuju sel inang melalui sistem sekresi tipe IV. Sistem sekresi tipe IV adalah kanal penghubung bakteri-inang yang tersusun atas protein VirD4 dan 11 jenis protein VirB. Protein-protein VirB membentuk kanal membran dan juga berfungsi sebagai ATPase yang menyediakan energi untuk
18
pembentukan kanal maupun ekspor T-DNA. VirD berfungsi menunjang interaksi kompleks T-DNA-VirD2 dengan komponen sekresi VirB (Gelvin 2003). VirD2 pada kompleks T-DNA akan mengarahkan pergerakan kompleks menuju protein VirD4 pada kanal sekresi dan menuju sitoplasma sel tanaman. Pada sel tanaman inang, kompleks T-DNA bergerak menuju nukleus melintasi membran inti. Sinyal lokasi inti (nuclear location signals = NLS) yang terdapat pada protein VirD2 dan VirE2 mengarahkan kompleks menuju nukleus. Transfer kompleks T-DNA menuju nukleus dibantu oelh perangkat transfor intrasellular yang dimiliki oleh sel inang. Kompleks T-DNA masuk ke dalam inti sel melalui kompleks pori nukleus atau (nuclear-pore complex = NPC). Proses masuknya DNA ke dalam inti sel melibatkan kerjasama antara komponen sel inang seperti karyopherin α(KAPα) dan protein interaksi VirE2 1 atau VirE2interacting protein 1 (VIP1), dengan faktor-faktor bakteri seperti VirD2, VirE2, dan VirE3 (Ziemienowicz et al. 2008). Tahap akhir dalam transfer T-DNA adalah integrasi ke dalam genom tanaman inang, mekanisme molekular yang mendasari integrasi T-DNA masih belum jelas, diduga integrasi T-DNA terjadi melalui rekombinasi yang difasilitasi oleh perangkat perbaikan DNA sel inang. Utas tunggal T-DNA diubah menjadi molekul intermediat berutas ganda. Molekul intermediate tersebut akan dikenali sebagai fragmen DNA yang putus, dan kemudian akan digabungkan kembali ke dalam genom inang (Ziemienowicz et al. 2008). Perakitan tanaman transgenik melalui transformasi genetik dengan perantara Agrobacterium tumefaciens dilakukan menggunakan sistem kultur in vitro dengan beberapa modifikasi teknik dan media yang digunakan. Hal ini dikarenakan hanya sedikit genotipe tanaman (tanaman model) yang mudah untuk proses transformasi dengan Agrobacterium tumefaciens dan regenerasi (Lin dan Zhang 2005), faktor yang menjadi pembatas adalah efisiensi dari transfer T-DNA dan prosedur transformasi tidak dapat diterapkan secara optimal pada genotipe tanaman lainnya (Li dan Gray 2005). Eksplorasi teknik transformasi dan regenerasi tanaman harus terus dilakukan untuk mendapatkan suatu protokol umum yang dapat diterapkan pada semua genotipe tanaman. Selain itu, rendahnya efisiensi regenerasi dari transforman merupakan kendala yang paling sering ditemukan dalam transformasi genetik tanaman, melalui optimalisasi teknik kultur in vitro diharapkan efisiensi regenerasi dapat ditingkatkan. Kultur in vitro atau lebih dikenal juga dengan kultur jaringan adalah satu teknik yang dapat digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman. Teknik ini berkembang sejak tahun 1990-an (Caponetti et al. 2005). Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditujukan pada budi daya secara in vitro terhadap berbagai bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel, protoplas, dan embrio. Bagian-bagian tersebut yang diistilahkan sebagai eksplan dan dikultur pada medium buatan steril sehingga dapat beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan 1992). Pada kultur in vitro kondisi pertumbuhan dapat dimaksimalkan dengan penambahan unsur hara makro dan mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Terdapat perbedaan prosedur antara kultur in vitro yang biasa dengan kultur jaringan untuk transformasi, dibutuhkan rangkaian subkultur pada media yang mengandung antibiotik yang disebut tahap seleksi, selain itu adanya penggunaan
19
antibiotik cepotaxime atau carbenicillin yang bertujuan menghambat pertumbuhan Agrobacterium setelah kokultivasi (Lin dan Zhang 2005). Kultur in vitro tanaman memerlukan beberapa komponen utama, salah satunya adalah medium yang sesuai. Sebagian besar medium yang saat ini banyak digunakan merupakan hasil modifikasi dari medium yang dikembangkan sebelumnya, yang telah terbukti sesuai untuk kultur suatu jaringan ataupun organ tertentu. Kebutuhan akan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antarspesies ataupun antarvarietas. Genotipe tanaman sangat menentukan jenis sistem kultur in vitro yang akan digunakan (Lin dan Zhang 2005). Kebanyakan genotipe padi indica masih sedikit yang berhasil untuk modifikasi genetik karena potensi regenerasi masih sangat rendah (Sahoo et al. 2011). Kultivar japonica umumnya bersifat lebih responsif terhadap kultur in vitro dan lebih mudah ditransformasi dibandingkan kultivar indica (Hiei dan Komari 2008). Kultivar Nipponbare merupakan padi japonica yang paling sering digunakan sebagai tanaman model pada transformasi genetik padi, kultivar Nipponbare memiliki efisiensi transformasi yang tinggi sebesar 9598% menggunakan eksplan kalus primer (Toki et al. 2006). Beberapa genotipe japonica yang digunakan dalam transformasi genetik padi antara lain: Yukihikari, Nipponbare dan Kinmaze (Ashikari et al. 2004; Hiei dan Komari 2008; Davis 2012). Pada padi indica, transformasi genetik sangat sedikit yang sukses, walaupun berhasil dilakukan tetapi efisiensi transformasi sangat rendah (Tie et al. 2012), dan berhasil hanya pada spesifik genotipe. Genotipe padi indica bersifat rekalsitran terhadap kultur in vitro apalagi untuk kegiatan transformasi genetik, dimana kalus tidak berkembang dengan baik, cenderung berwarna kecoklatan dibandingkan kuning cerah dan sering mengalami kematian pada periode kultur yang lama (Kumar et al. 2005). Setiap spesies atau genotipe memiliki kondisi optimal sendiri untuk pertumbuhannya, tidak sama dengan yang lain (Lin dan Zhang 2005). Metode subkultur dan regenerasi yang digunakan masih belum memiliki protokol baku yang dapat digunakan secara luas untuk semua spesies indica, namun demikian penelitian transformasi genetik pada padi indica terus dilakukan. Beberapa kultivar padi indica yang digunakan dalam transformasi genetik antara lain: IR64, IR72, CSR 10, Pusa Basmati, Swarna, dan Kasalath (Aldemita dan Hodges 1996; Rashid et al. 1996; Mohanty et al. 1999; Kumar et al. 2005; Arockiasamy dan Ignacimuthu 2007; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010; Sahoo et al. 2011). Kultivar Kasalath merupakan padi subspecies indica yang paling sering digunakan sebagai tanaman model pada transformasi genetik padi (Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010). Optimalisasi kondisi kultur jaringan dengan media subkultur dan diferensiasi, serta teknik transformasi meningkatkan efisiensi transformasi pada padi indica. Selain itu penggunaan embrio muda menjadi salah satu cara mengatasi sifat rekalsitran padi indica (Hiei dan Komari 2008). Embriogenesis somatik melalui kultur kalus dianjurkan sebagai jalur regenerasi dalam transformasi genetik pada padi, karena dapat menghasilkan galur independen tanaman transgenik yang berasal dari kejadian transformasi pada satu sel tunggal, sehingga mencegah terbentuknya kimera pada tanaman transgenik. Kalus embriogenik pada padi dapat diinduksi dari embrio biji matang maupun embrio muda (immature) (Hiei dan Komari 2008). Kultur kalus diperoleh dari
20
membiakkan sekelompok sel yang berasal dari jaringan tanaman yang tumbuh, seperti akar, batang, daun, meristem dan anther (Gunawan 1992), serta dari embrio (Hiei dan Komari 2008). Kultur kalus ditumbuhkan dalam medium steril pada suhu 20-25oC kondisi gelap atau terang tergantung genotipe tanaman. Subkultur kalus biasanya berlangsung dalam interval waktu yang tetap yaitu 28 hari sekali, namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus, ini bertujuan untuk mempertahankan kemampuan totipotensi (Gunawan 1992). Perkembangan kalus dikendalikan juga oleh zat pengatur tumbuh (ZPT), ZPT adalah senyawa-senyawa organik selain dari nutrien yang dapat dihasilkan oleh tanaman secara endogen atau dibuat secara sintetik. Senyawa ini berperan merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju diferensiasi tertentu (Gunawan 1992). Penambahan zat pengatur tumbuh juga diperlukan dalam kultur in vitro untuk mendukung pertumbuhan. Kombinasi zat pengatur tumbuh yang digunakan meliputi: (1) untuk perbanyakan (proliferation) sel dapat digunakan 2,4 dichlorophenoxy acetic acid (2,4 D) atau 1-naphtalena acetic acid (NAA) dan sitokinin (kinetin, benzyl adenosine, 2-isopentyladenosine, zeatin, TDZ), sedangkan (2) untuk regenerasi diperlukan auksin 1-naphtalena acetic acid (NAA), indole acetic acid (IAA), atau indole butyric acid (IBA) (Gunawan 1992). Auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01-10 ppm untuk pertumbuhan kalus atau organogenesis, sedangkan untuk kultur kalus dari scutellum biji padi matang digunakan auksin 2,4 D dengan konsentrasi 2.0 mg/L (Hiei dan Komari 2008). Zat pengatur tumbuh lainnya adalah kinetin dan benziladenin (BA atau BAP) merupakan sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kutur in vitro. Pemberian sitokinin ke dalam media kultur jaringan penting untuk menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Senyawa tersebut dapat meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis pucuk (Gunawan 1992). Media dasar yang biasa digunakan dalam transformasi padi adalah media N6 yang terdiri dari unsur makro dan mikro garam N6, vitamin N6, sukrosa dan zat pengatur tumbuh (Toki et al. 2006; Hiei dan Komari 2008; Saika dan Toki 2010). Penggunaan sukrosa sebagai sumber karbohidrat pada media, dimana sukrosa dihidrolisis menjadi monosakarida. Konsentrasi sukrosa tergantung dari jenis kultur, dalam kultur kalus dan pucuk, konsentrasi antara 2-4 % merupakan konsentrasi optimum (Gunawan 1992). Meskipun demikian, medium dasar MS yang telah dimodifikasi juga digunakan dalam transformasi padi (Mohanty et al. 1999; Kumar et al. 2005; Lin dan Zhang 2005; Sahoo et al. 2011), hal ini dikarenakan medium MS memiliki kandungan garam-garam yang lebih tinggi daripada media lain. Aspek yang juga sangat menentukan keberhasilan perakitan tanaman transgenik selain menggunakan kultur in vitro, adalah seleksi pada sel yang telah tertransformasi (transforman). Seleksi transforman umumnya dilakukan dengan menggunakan antibiotik, diperkirakan ada sekitar 50 gen marker yang digunakan pada penelitian tanaman transgenik, dimana gen penanda seleksi dikelompokkan
21
ke dalam beberapa kategori (Miki dan McHugh 2003). Pemilihan antibiotik sebagai agen seleksi disesuaikan dengan gen penanda seleksi yang terdapat pada konstruksi DNA yang diintroduksikan. Semua sistem transformasi untuk menghasilkan tanaman transgenik membutuhkan beberapa proses untuk mengintroduksi klon DNA kedalam sel tanaman hidup. Gen penanda seleksi menjadi sangat penting untuk perkembangan teknologi transformasi tanaman, karena untuk mengidentifikasi atau mengisolasi sel yang mengekspresikan DNA yang diklon dan untuk memonitor serta menyeleksi keturunan transforman. Biasanya hanya sejumlah kecil sel yang tertransformasi di semua eksperimen, kemungkinan untuk mendapat transgenik tanpa seleksi sangat rendah. Gen penanda seleksi selalu dikonstruk sebagai gen khimerik yang diekspresikan menggunakan promotor konstitutif pada tanaman. Antibiotik yang paling banyak digunakan untuk seleksi adalah kanamisin atau higromisin dan herbisida phosphinothricin (Tabel 5) (Miki dan McHugh 2003). Higromisin phosphotransferase atau higromisin B adalah antibiotik aminocyclitol yang berkerja menghambat sintesis protein dan memiliki aktivitas spektrum yang luas pada prokariotik dan eukariotik. Pada tanaman, antibiotik ini bersifat sangat toksik, efektif dalam seleksi dengan berbagai spesies tanaman termasuk dikotil, monokotil dan gymospermae. Higromisin B merupakan antibiotik kedua yang paling popular setelah kanamisin (Miki dan McHugh 2003). Tabel 5 Penggunaan tanaman transgenik dan gen penanda seleksi dalam publikasi paper jurnal tahun 2002 (Miki dan McHugh 2003)
Paper tidak termasuk mutan T-DNA Arabidopsis. Diperkirakan sekitar 450 paper yang diperiksa a Publikasi penelitian transgenik baik pada ilmu hewan dan tanaman.
23
3 BAHAN DAN METODE 3.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji padi kultivar Kasalath dan Nipponbare. Kasalath adalah padi subspesies indica dan Nipponbare adalah padi subspesies japonica. Bakteri Agrobacterium tumefaciens LBA4404 yang mengandung vektor biner pIG6 rekombinan yang membawa sisipan gen MaMt2 dibawah kendali promoter ubiquitin di dalam daerah T-DNA, digunakan untuk melakukan transformasi padi. Peta daerah T-DNA disajikan pada Gambar 6 (Anggraito 2012).
Gambar 6 Peta daerah T-DNA plasmid pIG6-SMt2. RB = right border; TNos = terminator nopaline sythase untuk gen target; MaMt2 = gen target; Pubiquitin = promotor konstitutif untuk gen target; P35S = promotor konstitutif 35S CaMV untuk gen marka seleksi hygromycin phosphotransferase II; 35S polyA = signal/terminator transkripsi; LB = left border; kanamisin (R) = gen marka seleksi neomycin phosphortransferase II di luar T-DNA. Plasmid ini memiliki T-DNA yang mengandung gen hptII (hygromycin phosphotransferase) dan situs pengklonan ganda (multiple cloning sites) yang diapit oleh promoter Ubiquitin dari jagung dan terminator Nos (nopaline synthase), selain itu plasmid ini mempunyai gen nptII (neomycin phosphortransferase) di luar T-DNA. Primer UbiQF (5’-TGATGATGTGGTCTGGGT TGG-3’) dan SMt2R (5‟-GTCAACTAGTTCACTTGCAGGTGCAAG-3‟) untuk mendeteksi integrasi transgen MaMt2 di dalam genom padi transgenik. Primer 3UTRactinF (5’-TCGGACCCAAGAATGCTAAG-3’) dan 3UTRactinR (5’-GCC GGTTGA AAACTTTGTCC-3’) digunakan untuk kontrol internal PCR.
3.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu : a) perakitan tanaman transgenik Oryza sativa kultivar Kasalath dan Nipponbare menggunakan kalus dari biji padi matang (mature seed), b) analisis tanaman Oryza sativa kultivar Kasalath dan Nipponbare (Gambar 7, Lampiran 1).
24
Gambar 7 Skema kerja perakitan tanaman transgenik Oryza sativa L. 3.2.1 Persiapan Eksplan Biji padi dikupas kulitnya kemudian dicelupkan kedalam etanol 70% selama 1 menit, tahap selanjutnya perendaman padi dengan larutan sodium hipoklorit (NaOCl) 2% yang mengandung 1 tetes tween 20 per 25 ml NaOCl selama 60 menit dengan pengocokan. Biji padi dibilas dengan akuades steril sebanyak 5 kali. Selanjutnya biji ditumbuhkan pada media induksi kalus, media 2N6 (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 2) selama 7 hari pada suhu 25οC dalam kondisi gelap. Kalus yang diperoleh dipisahkan dari endosperm dan tunas yang terbentuk, selanjutnya kalus ditumbuhkan pada media yang sama dengan media induksi kalus, selama 3 hari pada suhu 25οC dalam kondisi terang. Kalus ini selanjutnya siap untuk ditransformasi. 3.2.2 Ko-kultivasi Inokulum Agrobacterium tumefaciens strain LBA4404 yang mengandung plasmid pIG6-SMt2 yang membawa gen MaMt2 ditumbuhkan pada media AB (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 3) yang mengandung antibiotik kanamisin (50 mg L-1 ) higromisin (50 mg L-1) dan streptomycin (100 mg L -1) selama 3 hari. Koloni bakteri yang terbentuk disuspensikan dalam media AAM (Hiei dan
25 Komari 2008, Lampiran 4) dengan densitas sel 1 x 10 8 CFU (OD = 0,01 pada λ 600 nm). Kalus-kalus yang siap ditransformasikan dipindahkan dari media induksi kalus ke cawan petri steril yang berisi 5 ml air steril (dilakukan perendaman). Setelah itu, air steril yang digunakan untuk proses perendaman dibuang, kemudian 1 ml inokulum bakteri ditambahkan ke kalus dan dibiarkan selama 2-5 menit. Kalus dipindahkan ke media kokultivasi 2N6-As yang mengandung 100 mg L-1 asetosiringon (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 5). Ko-kultivasi ini dilakukan selama 3 hari pada suhu 28οC pada kondisi gelap. 3.2.3 Seleksi Setelah diinkubasi selama 3 hari pada media kokultivasi, kalus dipindahkan ke media seleksi. Seleksi dilakukan dua tahap. Seleksi I dilakukan pada media 2NBKCH20 (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 6) dan diinkubasi pada suhu 28οC dalam kondisi terang selama dua puluh hari. Kalus yang hidup dari seleksi I dengan kondisi kalus berwarna putih kekuningan yang berproliferasi dipindahkan ke media seleksi II yaitu nN6CH30 (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 7) dan diinkubasi selama 10 hari pada kondisi terang dan suhu 28οC. 3.2.4 Regenerasi dan Pengakaran Kalus-kalus yang berdiameter 0.5 – 1.0 mm dipindahkan ke media regenerasi 2N6R (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 8). Inkubasi dilakukan selama ± 8 minggu dalam kondisi terang pada suhu 28οC. Tunas yang tumbuh dipindahkan ke media induksi akar 2N6F (Hiei dan Komari 2008, Lampiran 9) dan diinkubasi selama 1-2 minggu dalam kondisi terang pada suhu 28οC. 3.2.5 Aklimatisasi Tanaman transgenik putatif yang diperoleh kemudian dipindahkan ke pot berisi campuran tanah dan kompos, selanjutnya ditumbuhkan di rumah kaca. 3.2.6 Isolasi DNA Genom Daun tanaman padi yang masih muda ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan ke dalam mortar dan digerus hingga halus dengan bantuan nitrogen cair. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikrotube eppendorf ukuran 1.5 ml dan ditambahi dengan buffer 2 x CTAB(1 M Tris pH 7.5, 5 M NaCl, 0.5 M EDTA pH 8.0), dan β-merkaptoetanol (0.2%). Tabung dibolak-balik beberapa kali dan diinkubasikan pada suhu 65οC selama 30 menit. Tabung disimpan di dalam es, kemudian, ditambahi kloroform-isoamil alkohol (24:1(v/v)) sebanyak 1 kali volume larutan, dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm (Jouan BR 4i) selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh, dipindahkan ke dalam tabung mikrotube 1.5 ml, dan ditambahi PCI (phenol-choroform-isoamil alkohol 25:24:21 (v/v/v)) sebanyak 1 kali volume larutan, dibolak-balik dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang
26
terbentuk dipindahkan ke tabung mikrotube baru, dan ditambahi sodium asetat 0.2 M sebanyak 0.1 kali volume larutan dan etanol absolut sebanyak 2 kali volume larutan, tabung dibolak-balik beberapa kali, kemudian disimpan dalam es/freezer (-20οC) selama semalam. Kemudian, tabung disentrifugasi lagi pada kecepatan 10000 rpm selama 20 menit, supernatan dibuang dan endapan yang terbentuk ditambahi dengan 1 ml etanol 70% (v/v) dan disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit, kemudian endapan DNA dikeringkan dan diberi ddH2O dan RNAse (1 mg/ml). 3.2.7 Deteksi dengan PCR DNA yang telah diisolasi kemudian digunakan untuk analisis DNA dengan PCR dengan menggunakan primer 3UTRact, hpt, Ubiquitin-Nos, dan SMt2. Volume satu campuran reaksi PCR berjumlah 10 μl terdiri dari 1 μl template DNA yang telah diencerkan (1:10), 5 μl Dream TaqTM Green PCR Master Mix (2x), 0.25 μl primer forward (10 pmol/μl), 0.25 μl primer reverse (10 pmol/μl), dan 3.5 μl akuabides. Amplifikasi dilakukan menggunakan mesin PCR Applied Biosystem dengan kondisi PCR terdiri dari pra PCR 94οC selama 5 menit, dilanjutkan dengan denaturasi pada suhu 94οC selama 2 menit, annealing pada suhu 60οC selama 1 menit 20 detik, extension pada suhu 72οselama 1 menit dan keseluruhan rangkaian dilakukan sebanyak 30 siklus, dan diakhiri dengan pasca PCR pada suhu 72οselama 5 menit. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1% (b/v) pada voltase 100 volt selama 30 menit. Selanjutnya gel direndam dalam larutan etidium bromide (0.5 mg L-1). Visualisasi pita amplikon diamati pada UV transilluminator setelah gel diwarnai dengan etidium bromide. Hasil foto elektroforesis didokumentasikan dengan gel-doc.
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Transformasi genetik Oryza sativa L. dengan gen MaMt2 Transformasi genetik Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan Nipponbare dilakukan menggunakan eksplan yang berupa kalus skutella yang diperoleh dari biji padi (mature seeds). Kalus ini diperoleh dari skutella yang ditumbuhkan pada media induksi kalus yaitu 2N6 yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) 2.4 D dengan konsentrasi 2.0 mg/L. 2,4 D merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang digunakan secara luas untuk menginduksi kalus (Toki et al. 2006; Hiei dan Komari 2008; Wanichanan et al. 2010). Kalus mulai terbentuk pada hari ketiga untuk kultivar Kasalath dan Nipponbare, hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Toki et al. (2006), penggunaan 2,4 D konsentrasi 2.0 mg/L pada proses induksi kalus dari biji padi Kasalath, menunjukkan diferensiasi sel (kalus) mulai terbentuk pada hari ketiga. Kalus yang dapat ditransformasi minimal berumur 3 4 minggu, dengan penampakan fisik kalus berbentuk butiran globular berwarna kuning muda cerah dengan ukuran > 3 mm (Gambar 8).
Gambar 8 Tahapan induksi kalus dari biji Oryza sativa L. kultivar Kasalath pada media 2N6 yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) 2.4 D, A. biji Oryza sativa L. (gabah), B. biji padi Kasalath. ditanam dalam media 2N6. C. kalus berumur ± 2 minggu dengan ukuran 3 mm, D. kalus berumur 1 bulan dengan ukuran > 3 mm. Penggunaan eksplan yang berupa kalus dari biji (mature seed) pada transformasi genetik Oryza sativa L. dengan perantara A. tumefaciens, memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih mudah dilakukan karena dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak dan selalu tersedia setiap waktu di laboratorium (Hiei dan Komari 2008).
28
Kalus-kalus yang akan ditransformasi sebelumnya disubkultur pada media baru selama tiga hari dalam kondisi terang, yang bertujuan menyegarkan kalus sehingga kualitas kalus tetap bagus untuk proses transformasi. Kualitas kalus merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan transformasi dan regenerasi tanaman (Kyozuka dan Shimamoto 1991). Transformasi genetik Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan Nipponbare dilakukan dengan perantara bakteri A. tumefaciens LB4404 yang mengandung plasmid pIG6-SMt2 yang membawa gen MaMt2. Penggunaan bakteri A. tumefaciens sebagai perantara dalam transformasi genetik dilakukan berdasarkan kemampuan bakteri ini dalam mentransfer T-DNAnya. Selain itu, bakteri A. tumefaciens memiliki efisiensi transformasi yang tinggi. Bakteri A. tumefaciens dapat mengintegrasikan sejumlah kecil dari copy T-DNA ke dalam kromosom, dapat mentransfer segmen DNA yang relatif besar dan sedikit mengalami perubahan selama proses transformasi (Hie dan Komari 2008). Kokultivasi dilakukan dengan perendaman eksplan di dalam suspensi A. tumefaciens yang diperkaya dengan senyawa asetosiringon selama 2-5 menit, yang selanjutnya eksplan dikeringkan dan ditanam pada media kokultivasi padat selama 3 hari dalam kondisi gelap dengan suhu 28οC. Teknik perendaman merupakan teknik yang umum digunakan untuk infeksi dalam proses transformasi genetik (Hong et al. 2007; Li et al. 2007; Hiei dan Komari 2008; Sharma et al. 2009). Penambahan asetosiringon pada media kokultivasi padat maupun cair berfungsi untuk menginduksi A. tumefaciens agar dapat menginfeksi kalus dan mentransfer T-DNA A. tumefaciens ke kromosom tanaman padi. Senyawa ini meningkatkan ekspresi gen vir sehingga dapat meningkatkan frekuensi transformasi. Gen virA dari A. tumefaciens aktif menginfeksi pada kondisi pH asam, adanya senyawa fenolik seperti asetosiringon serta golongan monosakarida yang memiliki efek sinergi dengan senyawa fenolik (Ankenbauer et al. 1990; Winans 1992). Salah satu faktor penentuan keberhasilan transformasi genetik padi menggunakan eksplan kalus adalah mencegah terjadinya pertumbuhan berlebihan dari bakteri A. tumefaciens atau overgrowth. Pertumbuhan berlebih dari A. tumefaciens menyebabkan persentase kalus transforman menurun dratis, yang mana untuk mengatasi overgrowth bakteri A. tumefaciens pada kalus dilakukan pencucian kalus dengan antibiotik cepotaxime. Antibiotik cepotaxime berfungsi untuk membunuh bakteri A. tumefaciens, namun penggunaan cepotaxime dengan konsentrasi tinggi dan dalam durasi yang lama bersifat toksik pada kalus padi. Kalus menjadi mencoklat dan pada akhirnya mengalami kematian setelah dicuci dengan cepotaxime, pada penelitian ini selain antibiotik cepotaxime juga digunakan antibiotik carbecillin yang memiliki fungsi yang sama yaitu membunuh bakteri A. tumefaciens (Hie dan Komari 2008). Penggunaan antibiotik cepotaxime dan carbecillin untuk membunuh bakteri A. tumefaciens pada saat pencucian kalus setelah tahapan ko-kultivasi maupun pada media seleksi menurunkan persentase kalus yang ditransformasi. Untuk mencegah terjadinya overgrowth bakteri A. tumefaciens, nilai OD600 dari kultur bakteri A. tumefaciens yang digunakan harus kecil yaitu 0.01 dan perendaman kalus dilakukan selama 2-5 menit. Teknik ini terbukti mencegah terjadinya
29
overgrowth dari bakteri A. tumefaciens, sehingga tidak diperlukan pencucian kalus setelah ko-kultivasi. Tahap seleksi pada proses penelitian ini, dilakukan sebanyak dua tahapan dengan penggunaan konsentrasi antibiotik higromisin secara bertingkat. Untuk seleksi tahap pertama, konsentrasi antibiotik higromisin yang digunakan adalah sebesar 20 mg/L selama dua puluh hari, dimana setiap sepuluh hari disubkultur di media baru yang mengandung antibiotik dengan konsentrasi yang sama. Kalus yang dapat bertahan dan berproliferasi memiliki warna kuning cerah atau pucat dan berbentuk seperti butiran pasir kering (Hiei dan Komari 2008). Pada seleksi kedua, konsentrasi higromisin dinaikkan menjadi 30 mg/L selama lima-sepuluh hari. Hal ini, sama dengan yang dilakukan oleh Lin dan Zhang (2005) menggunakan higromisin 30 mg/L untuk seleksi kalus transforman pada padi indica. Kalus yang bertahan pada media seleksi ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pada seleksi pertama. Penggunaan konsentrasi antibiotik higromisin yang bertingkat dilakukan untuk mendapatkan kalus-kalus transforman yang stabil (Anggraito 2012). Menurut Kyozuka dan Shimamoto (1991), seleksi higromisin dengan konsentrasi 30 mg/L sebanyak dua kali yang terbagi atas seleksi pertama dan kedua menjamin bahwa tunas yang diperoleh adalah transforman. Penggunaan antibiotik higromisin B (Hm) sebagai penanda seleksi pada kalus-kalus transforman sangat efektif dan popular pada tanaman, terutama pada transformasi padi dibandingkan dengan penanda seleksi Kmr (nptII) (Kyozuka dan Shimamoto 1991; Hiei dan Komari 2008). Higromisin berfungsi juga sebagai gen reporter, dimana mekanisme higromisin adalah memblok translokasi dari asam amino menjadi peptida, yang diinaktifkan oleh phosphotransferase. Proses kokultivasi dan seleksi kalus transforman pada media higromisin dengan konsentrasi bertingkat 20 mg/L (Gambar 9b) dan 30 mg/L (Gambar 9c).
Gambar 9 Tahapan kokultivasi dan seleksi kalus transforman pada media seleksi higromisin dengan konsentrasi bertingkat yaitu 20 – 30 mg/L. A. kalus ditumbuhkan pada media kokultivasi 2N6 yang diperkaya asetosiringon B. kalus-kalus yang ditumbuhkan pada media seleksi higromisin dengan konsentrasi 20 mg/L. C. kalus-kalus yang dapat bertahan dan berproliferasi selanjutnya ditumbuhkan pada media seleksi higromisin dengan konsentrasi 30 mg/L. Kalus-kalus transforman yang diperoleh selanjutnya diregenerasi pada media regenerasi tanpa higromisin, hal ini sesuai dengan Kyozuka dan Shimamoto
30
(1991), karena penambahan higromisin pada media regenerasi menyebabkan menurunnya kemampuan kalus untuk beregenerasi. Di media regenerasi dengan higromisin bintik-bintik atau bercak hijau yang muncul pada kalus mengalami perubahan warna menjadi coklat dan pembentukan tunas terhambat yang akhirnya kalus mengalami kematian. Tunas-tunas transgenik putatif tumbuh dari bercakbercak hijau yang terdapat di kalus, setelah 3 - 4 minggu di media 2N6R. Tunastunas ini selanjutnya dipindahkan pada media pengakaran (2N6F) tanpa higromisin sampai terbentuk akar dan selanjutnya siap diaklimatisasi (Gambar 10). Faktor penentu keberhasilan regenerasi kalus transforman adalah subkultur terjadwal setiap minggu dan penggunaan media yang segar, hal ini sesuai dengan Kyozuka dan Shimamoto (1991).
Gambar 10 Proses regenerasi dari kalus-kalus transforman pada media regenerasi (2N6R) dan pengakaran (2N6F) hingga terbentuk planlet dan siap untuk diaklimatisasi. A. terbentuknya bercak hijau pada kalus transforman setelah 1-2 minggu disubkultur pada media regenerasi (2N6R ). B. pembentukan tunas dari kalus transforman. C. plantlet cv Kasalath hasil transformasi pada media pengakaran (2N6F). D. plantlet cv Nipponbare hasil transformasi pada media pengakaran (2N6F). E. adaptasi planlet (aklimatisasi). F. padi cv Nipponbare hasil transformasi berumur 6 bulan.
31
Berdasarkan hasil seleksi kalus, efisiensi transformasi Oryza sativa L. kultivar Kasalath adalah sebesar 14.04%, sedangkan untuk Oryza sativa L. kultivar Nipponbare adalah sebesar 19.39% (Lampiran 10). Efisiensi transformasi pada Oryza sativa L. kultivar Nipponbare lebih tinggi dibandingkan pada kultivar Kasalath, yang menunjukkan bahwa efisiensi transformasi sangat dipengaruhi oleh genotipe tanaman. Kalus Nipponbare lebih mudah untuk ditransformasi dan menghasilkan tunas yang lebih tinggi daripada kalus Kasalath (Hiei dan Komari 2008). Umumnya transformasi genetik pada Oryza sativa L. kultivar japonica relatif lebih mudah dibandingkan kultivar indica. Kalus dari kultivar indica sering menjadi coklat dan mengalami kematian (Rashid et al. 1996; Nandakumar et al. 2007; Karthikeyan et al. 2011). Untuk kultivar padi yang rekalsitran, seperti padi indica beberapa modifikasi komposisi medium perlu dilakukan atau memerlukan kondisi kultur tertentu (Kyozuka dan Shimamoto 1991). Selain itu, pertumbuhan A. tumefaciens yang berlebihan pada kalus menyebabkan kematian, dan akhirnya ini mempengaruhi efisiensi transformasi. Oleh sebab itu seleksi dilakukan secara bertahap. Pada penelitian ini seleksi dilakukan dua tahap seperti yang dilakukan oleh Hiei dan Komari (2008). Data jumlah eksplan Oryza sativa L. pada proses transformasi dan seleksi, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perkembangan jumlah eksplan Oryza sativa transformasi dan seleksi
Galur tanaman Kasalath Nipponbare
Jumlah eksplan yang ditanam 235 165
Seleksi I (2NBKC, 20 Mg/L) Kalus Hidup Mati 100 135 75 90
L. selama proses
Seleksi II (nN6C, 30 Mg/L) Kalus Hidup Mati 33 67 32 43
Transformasi genetik pada Oryza sativa L. memiliki efisiensi transformasi yang bervariasi yaitu padi japonica sebesar 23% (Chan et al. 1993), 27% (Aldemita dan Hodges 1996), 3.8% - 38% (Nishizawa et al. 1999), sedangkan untuk padi indica sebesar 22% (Rashid et al. 1996), 5.6 - 6.2% (Arockiasamy dan Ignacimuthu 2007), 2.0% - 7.6% (Nandakumar et al. 2007), dan 9.33% (Karthikeyan et al. 2011). Hasil ini menunjukkan bahwa padi indica bersifat rekalsitran dan sulit untuk ditransformasi (Zhang et al. 1998; Lin dan Zhang 2005). Efisiensi regenerasi dari kalus transforman Oryza sativa L. kultivar Kasalath adalah sebesar 14.04%, dan untuk kultivar Nipponbare sebesar 19.39% (Lampiran 11). Efisiensi regenerasi Oryza sativa L. disajikan pada Tabel 7. Kemampuan regenerasi dari kalus transforman sangat dipengaruhi oleh kondisi kultur kalus, komposisi media regenerasi seperti zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan, dan subkultur media secara rutin dan teratur hingga tunas terbentuk. Komposisi media regenerasi yang tepat menjadi faktor utama dalam regenerasi tanaman. Selain itu, kemampuan regenerasi juga dipengaruhi oleh genotipe tanaman, padi subspesies japonica relatif lebih mudah beregenerasi dibandingkan padi indica (Zhang et al. 1998; Lin dan Zhang 2005; Hiei dan Komari 2008).
32
Tabel 7 Regenerasi Oryza sativa L. dari kalus transgenik Jumlah eksplan
Jumlah eksplan bertunas
Jumlah tunas
% eksplan bertunas
Kasalath
33
2
2
6.06%
Nipponbare
32
9
9
28.1%
Galur tanaman
4.2 Analisis Tanaman Transgenik 4.2.1 Uji integrasi transgen MaMt2 pada Oryza sativa L. Transformasi genetik Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan Nipponbare menghasilkan beberapa tunas tanaman transgenik putatif dan berhasil diaklimatisasi sampai menghasilkan biji. Untuk kultivar Kasalath menghasilkan 2 tanaman transgenik putatif dan untuk kultivar Nipponbare menghasilkan 9 tanaman transgenik putatif. Analisis PCR dari 11 tanaman transgenik putatif menunjukkan bahwa 2 dari 11 tanaman transgenik putatif tersebut adalah transgenik yang dianalisis dengan primer UbiQF-SMt2R dan SMt2F-NosTR (Gambar 11). Tanaman transgenik ini selanjutnya disebut TK01 (kultivar Kasalath transgenik generasi nol galur 1) dan TN01 (kultivar Nipponbare transgenik generasi nol galur 1). PCR dengan menggunakan primer UbiQF-SMt2R terhadap tanaman P1 menghasilkan amplikon berukuran 960 pb (Gambar 11a). Ukuran amplikon ini sesuai dengan ukuran DNA dari primer UbiQF yang terdapat pada promoter Ubiquitin, dan primer SMt2R yang terdapat pada gen MaMt2. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman TK01 adalah transgenik yang mengandung transgen MaMt2 utuh dibawah kendali promoter pUbiquitin dan terminator NosT. Sedangkan untuk tanaman Nipponbare transgenik TN0 1 dikonfirmasi dengan PCR yang menggunakan primer SMt2F-NosTR. Hasil PCR adalah amplikon sebesar sekitar 526 pb yang sesuai dengan ukuran daerah antara Mt2 dan terminator Nos (Gambar 11b), yang menunjukkan bahwa tanaman TN01 mengandung transgen Mt2 dan terminator Nos. Untuk dapat diekspresikan gen Mt2 harus dikendalikan oleh suatu promotor dan promotor ubiquitin merupakan promotor yang mengendalikan ekspresi pada tingkat yang tinggi. Untuk tanaman padi transgenik yang mengandung transgen MaMt2 dan Nos harus dikonfirmasi dengan primer UbiQF-SMt2R yang mengamplifikasi dari daerah promotor sampai dengan akhir gen MaMt2. Analisis terhadap tanaman padi non transgenik menunjukkan bahwa PCR dengan menggunakan pasangan primer UbiQF-SMt2R dan SMt2F-NosTR tidak menghasilkan amplikon (Gambar 11a dan 11b). Hasil PCR terhadap tanaman non transgenik menunjukkan bahwa pasangan primer UbiQF-SMt2R dan SMt2FNosTR tidak dapat mengamplifikasi Mt2 endogen dari padi, sehingga bersifat spesifik untuk mengamplifikasi transgen MaMt2. Kedua pasangan primer ini juga
33
tidak bisa mengamplifikasi Mt2 endogen dari kedelai, tembakau dan jatropa (Anggraito 2012; Siregar 2012). PCR dengan primer Actin, baik tanaman transgenik TK01, TN01 dan non transgenik menghasilkan amplikon sekitar 109 pb (Gambar 11c) yang menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi dari kedua tanaman tersebut, yaitu P1, P2 dan non transgenik mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik.
Gambar 11 Hasil analisis PCR DNA tanaman Oryza sativa L. (a) cv. Kasalath transgenik T0. dengan primer gen spesifik yaitu UbiQF dan SMt2R. M = marker 1 Kb ladder; 1 = plasmid pIG6-MaMt2; 2 = cv Kasalath tipe liar (WT); 3 = Kasalath transgenik T0 . (b) cv Nipponbare transgenik T0. dengan primer gen spesifik yaitu SMt2F dan NosTR. M = Marker 1 Kb ladder; 1= plasmid pIG6-MaMt2; 2 = Nipponbare tipe liar (WT); 3 = Nipponbare transgenik T 0. (c) dengan primer gen internal aktin padi (3’UTR Actin). M = marker 100 bp; 1 = Kasalath non transgenik (WT); 2 = Nipponbare non transgenik (WT); 3 = Kasalath transgenik T0; 4 = Nipponbare transgenik T0. Pada penelitian ini, biji padi dari tanaman padi non transgenik yang ditanam pada media N6 yang mengandung higromisin 30 mg/L, hanya berkecambah saja kemudian mati, sedangkan biji T1 dari tanaman transgenik putatif kultivar Kasalath dapat berkecambah dan tumbuh di media yang mengandung higromisin (Gambar 12). Hasil menunjukkan bahwa tanaman padi non transgenik tidak memiliki ketahanan terhadap antibiotik higromisin pada konsentrasi yang digunakan untuk menyeleksi kalus transgenik. Tanaman transgenik yang diperoleh yaitu TK01, dan TN01 dapat digunakan sebagai sumber transgen MaMt2 untuk dipindahkan kedalam tanaman padi yang mempunyai sifat agronomis yang baik. Proses pemindahan transgen MaMt2 dari tanaman transgenik ini dilakukan dengan persilangan terhadap varietas sasaran yang diikuti dengan silang balik (Back Cross). Proses pemindahan gen mudah dilakukan pada gen yang jumlah salinannya tunggal. Untuk itu tanaman transgenik harus diseleksi sehingga tanaman transgenik yang mempunyai salinan tunggal dapat diperoleh. Analisis jumlah salinan gen sasaran dapat dilakukan dengan hibridisasi southern. Selain itu, agar semua keturunan adalah transgenik, maka tanaman ini harus dalam keadaan homozigot. Untuk mendapatkan tanaman
34
homozigot, tanaman ini dibiarkan menyerbuk sendiri. Hasil silang sendiri diseleksi dengan higromisin, dan keturunan yang tidak bersegresi untuk sifat toleransi terhadap higromisin adalah transgenik homozigot.
Gambar 12 Kontrol positif dan kontrol negatif biji Oryza sativa L. pada media seleksi dilakukan selama 16 hari, A. biji padi cv Nipponbare ditumbuhkan pada media 2N6RH30, B. biji padi cv Nipponbare ditumbuhkan pada media regenerasi (2N6R) tanpa higromisin, C. biji padi Kasalath ditumbuhkan pada media 2N6RH30, D. biji padi Kasalath ditumbuhkan pada media (2N6R) tanpa higromisin, E. biji T1 dari kultivar Kasalath transgenik T0 ditumbuhkan pada media 2N6RH30.
1
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Gen MaMt2 telah berhasil diintroduksikan ke dalam genom Oryza sativa L. kultivar Kasalath dan kultivar Nipponbare dibawah kendali promoter Ubiquitin dan terminator Nos. Satu dari dua tanaman transgenik putatif yang diperoleh telah menghasilkan biji T1. Efisiensi regenerasi tunas dari kalus tahan higromisin dan efisiensi transformasi pada penelitian ini, untuk kultivar Kasalath adalah sebesar 14.04% dan 6.06%, sedangkan untuk kultivar Nipponbare adalah sebesar 19.39% dan 28.1%. 5.2 Saran Efisiensi regenerasi tunas transgenik putatif yang rendah dapat ditingkatkan dengan melakukan regenerasi kalus transgenik putatif di media regenerasi tanpa penambahan agen seleksi dan tunas yang terbentuk dianalisis secara ketat. Analisis Southern Blot perlu dilakukan terhadap galur-galur tanaman transgenik T0 untuk mengetahui integrasi dan jumlah salinan transgen MaMt2. Seleksi galur tanaman transgenik didasarkan pada tanaman yang mengandung satu salinan transgen. Tanaman transgenik dengan salinan tunggal transgen dikembangkan menjadi tanaman transgenik homozigot. Selanjutnya, fungsi gen MT dalam toleransi padi terhadap cekaman abiotik dapat dianalisis dengan uji tantang pada galur-galur tanaman transgenik MaMt2 homozigot.
37
DAFTAR PUSTAKA Ahn YO, Kim SH, Lee J, Kim HR, Lee HS, Kwak SS. 2011. Three Brassica rapa metallothionein genes are differentially regulated under various stress conditions. Mol Biol Rep. DOI 10.1007/s11033-011-0953-5 Aldemita PR, Hodges TK. 1996. Agrobacterium tumefaciens-mediated transformation of japonica and indica rice varieties. Planta 199:612617.doi:10.1007/BF00195194 Anggraito YU, Suharsono, Pardal SJ, Sopandie D. 2012. Konstruksi vektor ekspresi gen MaMt2 penyandi metallothionein tipe II dan introduksinya ke dalam Nicotiana nenthamiana. Forum Pasca Sarjana 35(3):179-188. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.ISSN 0126-1886 Anggraito YU. 2012. Transformasi genetik Nicotiana benthamiana L. dan kedelai dengan gen MaMt2 penyandi metallothionein tipe II dari Melastoma malabathrricum L. [Disertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Ankenbauer RG, Nester, EW. 1990. Sugar-mediated induction of Agrobacterium tumefaciens virulence genes: structural specificity and activities of monosaccharides. J Bacteriol 172: 6442-6446. Arockiasamy S, Ignacimuthu S. 2007. Regeneration of transgenic plants from two indica rice (Oryza sativa L.) cultivars using shoot apex explants. Plant Cell Reports 26:1745-1753.doi:10.1007/s00299-007-0377-9 Asher CJ. 1991. Beneficial element functional nutrients and possible new essensial element. Di dalam: Mortvedt JJ, Cox FR, Shuman LM, Welch RM, editor. Micronutrients in agriculture. Ed ke-2. Winconsin (US): The Soil Science Society of America Inc. hlm 703-731. Ashikari M, Matsuoka M, Datta SK. 2004. Transgenic rice plants. Di dalam Curtis IS, editor. Transgenic crops of the world: Essential Protocols. Dordrecht (NL): Kluwer Academic Publishing. Bell LC, Edwards DG. 1987. The role of aluminum in acid soil infertility. Di dalam Latham M, editor. Soil management under humid condtion in Asia (ASIALAND) Proc. 1 st Regional Seminar Soil Management under humid condition in Asia and the Pasific Khon Kae; October 1986; Bangkok, Thailand (TH): IBSRAM Inc. Birch RG. 1997. Plant transformation: problems and strategies for practical application. Annu Rev Plant Physiol 48:297-326. [BPS] Badan Pusat Statitik (ID). 2011. Laporan bulanan: Data Sosial Ekonomi 18:36-37.
38
Bot AJ, Nachtergaele FO, Young A. 2000. Land resource potential and constraints at regional and country levels. Food and Agricultural Organization of the United Nations. Rome (IT):114 p. Chang TJ, Chen L, Lu ZX, Chen WX, Liu X, Zhu Z. 2002. Cloning and expression of a metallothionein-like gene htMT2 of Helianthus tuberosus. Acta Bot Sin 44(10):1188-1193. Chang TT. 2003. Origin, domestication, and diversification. Di dalam: Smith CW, Dilday RH, editor. Rice: origin, history, technology, and production. Chap 1.1. The United States of America (US): JohnWiley & Sons Inc. hlm 3-25. Caponetti, JD, Gray DJ, Trigiano RN. 2005. History of plant tissue and cell culture. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant development and biotechnology Chap 2. The United States of America (US): CRC Press LLC. hlm 9-16. Cobbett C, Goldbrough P. 2002. Phytochelatins and metallothioneins : roles in heavy metal detoxification and homeostatis. Ann Rev Plant Biol 53:159182.doi:10.1146/annurev.arplant.53.100301.135154 Cousins RJ. 1983. Metallothionein-aspects related to copper and zinc metabolism. J Inher Metab Di. 6 Suppl 1: I5-21.ISSN 0141-8955 Datta SK. 1981. Principles and practices of rice production. Singapore (SG): A wiley interscience publication. Davis LMM. 2012. Transformasi genetik padi japonica (Oryza sativa L. subsp. japonica) dengan gen penyandi superoksida dismutase dari Melastoma malabathricum menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Delhaize E, Ryan PR, Hebb DM, Yamamoto Y, Sasaki T, Matsumoto H. 2004. Engineering high level aluminum tolerance in barley with the ALMT1 gene. Proc Natl Acad Sci USA 101(42): 15249-15254. Duncan KER, Ngu TT, Chan J, Salgado MT, Merrifield ME, Stillman MJ. 2006. Peptide folding, metal binding mechanism, and binding site structure in metallothionein. Society for experimental biology and medicine 14881499. [FAO]. Food and Agriculture Organization of the United Nations (IT). 2009. FAOSTAT database. [online]. http:/faostat.fao.org. Framond de AJ. 1991. A metallothionein-like gene from maize (Zea mays): cloning and characterization. FEBS Lett 290:103-106.doi:10.1016.00145793(91)81236-2
39
Fukuzawa H, Li-Hua Y, Umeda-Hara C, Tagawa M, Uchimiya H. 2004. The rice metallothionein gene promoter does not direct foreign gene expression in seed endosperm. Plant Cell Rep 23:231-235.doi:10.1007/s00299-004-0813z Gelvin SB. 2003. Agrobacterium-mediated plant transformation: the biology behind the “gene-jockeying” tool. Microbiol Mol Biol Rev 67:16-37.doi: 10.1128/MMBR.67.1.16-37.2003 Guo WJ, Bundithya W, Goldsborough PB. 2003. Characterization of the Arabidopsis metallothionein gene family: tissue-specific expression and induction during senescence and in response to copper. New Phytol 159:369-381.doi:10.1046/j.1469-8137.2003.00813.x Gunawan LW. 1992. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Grover A, Chandramouli A, Agarwal S, Katiyar-Agarwal S, Agarwal M, Sahi C. 2009. Abiotic stress tolerance in rice. Di dalam: Datta SK, editor. Rice improvement in the genomics era Chap ke-9. The United States of America (US): CRC Press. hlm 237-242. Hall JL. 2001. Cellular mechanism for heavy metal detoxification and tolerance. J Exp Bot 53(366):1-11.doi:10.1093/jexbot/53.366.1 Haq F, Mahoney M, Koropatnick J . 2003. Signaling events for metallothionein induction. Mutat Res 523:211–226. Harjadi SS, Yahya S. 1988. Fisiologi stres lingkungan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hiei Y, Ohta, S, Komari T, Kumashiro T. 1994. Efficient transformation of rice (Oryza sativa L.) mediated by Agrobacterium and sequence analysis of the boundaries of the T-DNA. Plant J 6:271-282.doi: 10.1046/j.1365313X.1994.6020271.x Hiei Y, Komari T. 2008. Agrobacterium-mediated transformation of rice using immature embryos or calli induced from mature seed. Nature Protocols 3(5):824-834.doi:10.1038/nprot.2008.46 Hong HP, Zhang H, Olhoft P, Hill S, Wiley H, Toren E, Hillebrand H, Jones T, Cheng M. 2007. Organogenic callus as the target for plant regeneration and transformation via Agrobacterium in soybean (Glycine max (L) Merr) In Vitro Cell Dev Biol Plant 43:558–568. Hoof van NALM, Hassinen VH, Hakvoort H, Ballintijn KF, Schat H. 2001. Enhanced copper tolerance in Silene vulgaris (Moench) garcke population from copper mines is associated with increased transcript levels of a 2b-type metallothionein gene. Plant Physiol 126 : 1519-1526.
40
Hsieh HM, Liu WK, Huang PC. 1995. A novel stress-inducible metallothioneinlike gene from rice. Plant Mol Biol 28:381-389.doi:10.1007/BF00020388 Hsieh HM, Liu WK, Chang A, Huang PC. 1996. RNA expression patterns of a type 2 metallothionein-like gene from rice. Plant Mol Biol 32:525-529.doi: 10.1007/BF00019104 Huang GY, Wang YS. 2010. Expression and characterization analysis of type 2 metallothionein from grey mangrove species (Avicennia marina) in response to metal stress. Aquat Toxicol 99:86-92.doi:10.1016/j.aquatox. 2010.04.004 [IRRI] International Rice Research Institute. 2008. The rice plant and how it grows. [terhubung berkala] http://www.knowledgebank.irri.org. [23 Juli 2011]. Jauhar PP. 2006. Modern biotechnology as an integral supplement to conventional plant breeding: The prospect and challenges. Crop Sci 46:1841-1859. doi:10.2135/cropsci2005.07-0223 Jia DU, Jing-Li Y, Cheng-Hao LI. 2012. Advances in metallothionein studies in forest trees. POJ 5(1): 46-51.ISSN:1836-3644 Jin S, Cheng Y, Guan Q, Liu D, Takano T, Liu S. A metallothionein-like protein of rice (rgMT) functions in E. coli and its gene expression is induced by abiotic stress.Biotechnol Lett 28:1749-1753.doi:10.1007/s10529-006-9152-1 Karthikeyan A, Pandian SK, Ramesh M. 2011. Agrobacterium-mediated transformation of leaf base derived callus tissues of popular indica rice (Oryza sativa L. subsp. indica cv. ADT 43). Plant Sci 181:258-268.doi:10. 1016/j.plantsci.2011.05.011 Kochian LV, Hoekenga OA, Pineros MA. 2004. How do crop plants tolerance acid soils? Mechanisme of aluminum tolerance and phosphorous efficiency. Annual Review of Plant Biology 55: 459-493.doi:10.1146/annurev.arplant. 55.031903.141655 Kumar KK, Maruthasalam S, Loganathan M, Sudhakar D, Balasubramanian P. 2005. An improved Agrobacterium-mediated transformation protocol for recalcitrant elite indica rice cultivars. Plant Mol Biol Rep 23:67-73.doi: 10.1007/BF02772648 Kyozuka J, Shimamoto K. 1991. Transformation and regeneration of rice protoplast. Di dalam: Lindsey K, editor. Plant Tissue Culture Manual: fundamental and applications Sec B. Netherlands (NL): Kluwer Academic Publisher p:1-17. ISBN 0-7923-1115-9 Lee J, Shim D, Song WY, Hwang I, Lee Y. 2004. Arabidopsis metallothioneins 2a and 3 enhance resistance to cadmium when expressed in Vicia faba guard cells. Plant Mol Biol 54: 805–815.doi:10.1007/s11103-004-0190-6
41
Li ZT, Gray DJ. 2005. Genetic engineering technologies. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant development and biotechnology Chap 19. The United States of America (US): CRC Press LLC. hlm 241-250. Lin YJ, Zhang Q. 2005. Optimising the tissue culture conditions for high efficiency transformation of indica rice. Plant Cell Rep 23:540-547.doi:10. 1007/s00299-004-0843-6 McCullen CA, Binns AN. 2006. Agrobacterium tumefaciens and plant cell interactions and activities required for interkingdom macromolecular transfer. Annu Rev Cell Dev Biol 22:101-127.doi: 10.1146/annurev.cellbio. 22.011105.102022 Miki B, McHugh S. 2003. Selectable marker genes in transgenic plants: applications, alternatives and biosafety. J Biotec 107:193-232.doi:10.1016/ j.jbiotec.2003.10.011 Mohanty A, Sarma NP, Tyagi AK. 1999. Agrobacterium-mediated high frequency transformation of an elite indica rice variety Pusa Basmati 1 and transmission of the transgene to R2 progeny. Plant Science 147:127-137. doi:10.1016/S0168-9452(99)00103-X Nandakumar R, Babu S, Kalpana K, Raguchander T, Balasubramanian P, Samiyappan R. 2007. Agrobacterium-mediated transformation of indica rice with chitinase gene for enhanced sheath blight resistance. Biol Plant 51 (1):142-148.doi: 10.1007/s10535-007-0027-7 Nasir M. 2002. Bioteknologi molekular: teknik rekayasa genetik tanaman. Bandung (ID): PT. Citra Aditya Bakti. Noor M. 1996. Padi lahan marjinal. Jakarta (ID): PT. Penebar Swadaya. Palmiter RD. 2004. Protection against zinc toxicity by metallothionein and zinc transporter 1. Proc. Natl. Acad. Sci .101(14): 4918-4923.doi:10.1073/pnas. 0401022101 Parmar P, Patel M, Dave B, Subramanian RB, Hyeun-jong B. 2012. Isolation, cloning and expression of novel metallothionein type II protein from Colocassia esculentum. Universal Journal of Medicine and Dentistry Vol 1(3): 037-045. Purnamaningsih R, Mariska I. 2008. Pengujian nomor-nomor harapan padi tahan Al dan pH rendah hasil seleksi in vitro dengan kultur hara. J. AgroBiogen 4(1): 18−23. Rashid H, Yokoi S, Toriyama K, Hinata K. 1995. Transgenic plant production mediated by Agrobacterium in indica rice. Plant Cell Rep. 15: 727-730.doi: 10.1007/BF00232216
42
Riva de la GA, Gonzalez-Cabrera J, Vazquenz-Padron R, Ayra-Pardo C. 1998. Agrobacterium tumefaciens: as natural tool for plant transformation. Electron J Biotechnol 1(3):118-133.doi: 10.2225/vol1-issue3-fulltext-1 Robinson NJ, Tommey AM, Kuske C, Jackson PJ. 1993. Plant metallothionein. Biochem J 295:1-10. Robinson NJ, Wilson JR, Turner JS. 1996. Expression of the type 2 metaliothionein-like gene MT2 from Arabidopsis thaliana in Zn 2+metallothionein-deficient Synechococcus PCC 7942: putative role for MT2 in Zn 2+ metabolism. Plant Mol Biol 30: 1169-1179.doi:10.1007/ bf00019550 Roslim DI. 2011. Isolasi dan karakterisasi gen toleran Aluminium dari tanaman padi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rout GR, Samantaray S, Das P. 2001. Aluminum toxicity in plants: a review. Agronomie 21: 3-21.doi: 10.1051/agro:2001105 Sahoo KK, Tripathi AK, Pareek A, Sopory SK, Singla-Pareek SL. 2011. An improved protocol for efficient transformation and regeneration of diverse indica rice cultivars. Plant Methods 7:49.doi:10.1186/1746-4811-7-49 Saika H, Toki S. 2010. Mature seed-derived callus of the model indica rice variety kasalath is highly competent in Agrobacterium-mediated transformation. Plant Cell Rep 29:1351-1364.doi:10.1007/s00299-010-0921-x Salisbury BF, Ross CW. 1995. Plant Physiology 4th Ed. Utah (US): Wadsworth Publishing. Siregar NAR. 2012. Transformasi genetik jatropa curcas dengan gen penyandi metallothionein tipe II dari Melastoma malabatricum L. (MaMt2) menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens. Seminar Hasil Sekolah Program Pascasarjana, Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Skerritt JH. 2000. Genetically modified plants: developing countries and the public acceptance debate. Ag Biotech Net 2:1-8. Suharsono, Trisnaningrum N, Sulistyaningsih LD, Widyastuti U. 2009. Isolation and cloning of cDNA of gene encoding for metallothionein type 2 from Melastoma affine. Biotropia 16(1):28-37. Sutipradhit S, Edward DG, Asher CJ. 1990. Effect of aluminum root elongation of soybean (Glycine max), cowpea (Vigna anguiculata), mung green gram (Vigna radiata) grown in the presence of organic acid. Plant & Soil 124(12):169-174. Taylor HM. 1991. Root zone modification, fundamental and alternative. Di dalam Arkin GF, Taylor HM, editor. Modifying the Root Environmen to Reduce
43
Crop Stress. ONASE Monograph No. 4 in Series American Soc. Agric. Engineers. p.3-17. Tie W, Zhou F, Wang L, Xie W, Chen H, Li X, Lin Y. 2012. Reasons for lower transformation efficiency in indica rice using Agrobacterium tumefaciensmediated transformation: lessons from transformation assays and genomewide expression profiling. Plant Mol Biol 78:1–18.doi:10.1007/s11103-0119842-5 Toki S, Hara N, Ono K, Onodera H, Tagiri A, Oka S, Tanaka H. 2006. Early infection of scutellum tissue with Agrobacterium allows high-speed transformation of rice. Plant J 47:969-976.doi:10.1111/j1365-313x.2006.02 836.x Trisnaningrum N. 2009. Analisis ekspresi gen penyandi metallothionein tipe II pada Melastoma affine L. yang mendapat cekaman pH rendah dan aluminium [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tzfira T, Citovsky V. 2006. Agrobacterium-mediated genetic transformation of plants: biology and biotechnology. Curr Opin Plant Biotechnol 17:147-154. Usha B, Venkataraman G, Parida A. 2009. Heavy metal and abiotic stress inducible metallothionein isoforms from Prosopis juliflora (SW) D.C. show differences in binding to heavy metals in vitro. Mol Genet Genomics 281: 99-108.doi:10.1007/s00438-008-0398-2 Vaughan DA, Morishima H. 2002. Biosystematics of the genus Oryza. Di dalam: Smith CW and Dilday RH, editor. Rice: origin, history, technology, and production Chap 1.2. The United States of America (US): JohnWiley & Sons Inc. hlm 27-65. Yang Z, Wu Y, Li Y, Ling HQ, Chu C. 2009. OsMT1a, a type 1 metallothionein, plays the pivotal role in zinc homeostasis and drought tolerance in rice. Plant Mol Biol 70:219–229.doi:10.1007/s11103-009-9466-1 Zhang S, Song WY, Chen L, Ruan D, Taylor N, Ronald P, Beachy R, Fauquet C. 1998. Transgenic elite indica rice varieties resistant to Xanthomonas oryzae pv.oryzae. Mol Breed 4: 551-558.doi:10.1023/A:1009601520901 Zhou J, Goldsbrough PB. 1994. Functional homologs of fungal metallothionein genes from Arabidopsis. Plant Cell 6:875-884. Zhou GK, Xu YE, Liu JY. 2005. Characterization of a rice class II metallothionein gene: tissue expression patterns and induction in response to abiotic factors. J Plant Physiol 162:686-696.doi:10.1016/j.jplph. 2004.11.006 Zhou GK, Xu YF, Li J, Yang L, Liu JY. 2006. Molecular analysis of the metallothionein gene family in rice (Oryza sativa L.). J Biochem Mol Biol 39:595-606.doi:10.5483/BMBRep.2006.39.5.595
44
Ziemienowicz A, Tzfira T, Hohn B. 2008. Mechanisms of T-DNA integration. Di dalam: Tzfira T, Citovsky V, editor. Agrobacterium: from biology to biotechnology Chap 11. New York (US): Springer. Hlm 395-440. Wanichananan P, Teerakathiti T, Roytrakul S, Kirdmanee C, Peyachoknagul S. 2010. A highly efficient method for Agrobacterium mediated transformation in elite rice varieties (Oryza sativa L. spp. indica). Afr J Biotechnol (34):5488-5495.doi:10.5897/AJB10.327 Watanabe T, Misawa S, Hiradate S, Osaki M. 2008. Root mucilage enhances aluminum accumulation in Melastoma malabathricum, an aluminum accumulator. Plant Signal & Behav 3(8):603-605. Wieczorex AM, Wright MG. 2012. History of agriculture biotechnology: How crop development has evolved. Nat Edu Knowledge 3(3):9. Wong HL, Sakamoto T, Kawasaki T, Umemura K, Shimamoto K. 2004. Downregulation of metallothionein a reactive oxygen scavenger by the small GTPase OsRac1 in rice. Plant Physiol 135: 1447-1456.doi:10.1104/ pp.103.036384 Winans SC. 1992. Two-way chemical signaling in Agrobacterium-plant interactions. Microbiol Rev 56:12-31.
45
Lampiran 1 Timeline dari Protocol Transformasi Hiei dan Komari (2008)
46
Lampiran 2 Prosedur Pembuatan Media Induksi Kalus Komposisi Media Induksi Kalus (2N6) Untuk 1 Liter Bahan: 1. 10 x N6 Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x N6 Minor Salt 4. 100 x N6 Vitamin 5. 100 mg L-1 2,4-D 6. Sukrosa 7. Myo-inositol 8. Prolin 9. Vitamin Casamino Acid 10. Gelrite
100 ml 10 ml 10 ml 10 ml 20 ml 30 gr 0.1 gr 0.5 gr 0.5 gr 4 gr
Cara pembuatan : Semua bahan dicampur tidak termasuk agar (gelrite), dilarutkan dengan akuades sebanyak 700 ml selanjutnya ukur pH media hingga 5.8 dan cukupkan volume media hingga 1 liter dan tambahkan gelrite. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Selanjutnya tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
Komposisi Larutan Stok 10 x N6 Major Salt Komposisi Jumlah (g) KNO3 28. 3 (NH4)2SO4 4.63 CaCl2 .2H2O 1.66 KH2PO4 4.0 MgSO4.7H2O 1.85 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4οC.
Komposisi Larutan Stok 100 x FeEDTA Komposisi FeSO4.7H2O EDTA
Jumlah (g) 2.78 3.73
Cara pembuatan : Bahan FeSO4.7H2O dilarutkan dalam akuades panas sebanyak 700 ml selanjutnya tambahkan 3.73 g EDTA, setelah suhu menurun menjadi 25οC cukupkan volume menjadi 1000 ml, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 4οC.
47
Komposisi Larutan Stok 100 x N6 Minor Salt Komposisi Jumlah (g) MnSO4.4H2O 0.44 ZnSO 4.7H2O 0.15 H3BO3 0.16 KI 0.08 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4 οC.
Komposisi Larutan Stok 100 x N6 Vitamin Komposisi Jumlah (g) Thiamine hydrochloride 0.1 Pyridoxine hydrochloride 0.05 Nicotinic acid 0.05 Gly 0.2 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4 οC.
48
Lampiran 3 Prosedur Pembuatan Media untuk A. tumifaciens Media AB plate Untuk 1 Liter Bahan: 1. Glukosa 2. Agar (Difco)
5 gr 15 gr
Cara pembuatan : Larutkan glukosa dengan akuades steril sebanyak 800 ml, selanjutnya cukupkan volumenya menjadi 900 ml dan tambahkan agar. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 121 0 C selama 15 menit. Selanjutnya dinginkan media hingga suhu sekitar 60οC, tambahkan 50 ml 20 x AB Salt, 50 ml 20 x AB buffer, dan antibiotik(sesuai yang terdapat pada plasmid), tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
Komposisi larutan Stok 20 x AB Salt Komposisi NH 4Cl KCl MgSO4.7H2O CaCl2.2H2O FeSO 4.7H2O
Jumlah (g) 20 3 6 0.265 0.05
Cara pembuatan : Semua bahan dicampur dan dilarutkan dengan akuades steril sebanyak 1000 ml, selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 0 C selama 15 menit dan simpan pada suhu 4οC.
Komposisi larutan Stok 20 x AB Buffer Komposisi NaH 4PO4 K2HPO4
Jumlah (g) 20 60
Cara pembuatan : Semua bahan dicampur dan dilarutkan dengan akuades steril sebanyak 1000 ml, atur pH larutan pada pH 7.0 selanjutnya sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit dan simpan pada suhu 4οC.
49
Lampiran 4 Prosedur Pembuatan Media Kokultivasi AAM Media Kokultivasi Untuk 1 Liter Bahan: 1. 20 x AA Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x B5 Minor Salt 4. 100 x B5 Vitamin 5. 10 x AA Amino Acid 6. 100 mM Asetosiringon 7. Sukrosa 8. Glukosa 9. Vitamin Casamino Acid
50 ml 10 ml 10 ml 10 ml 100 ml 1 ml 68.5 gr 36 gr 0.5 gr
Cara pembuatan : Semua bahan dicampur dan dilarutkan dengan akuades steril sebanyak 1000 ml, selanjutnya disterilisasi dengan menggunakan dengan filter asetat sellulase 0.22 μm dan simpan pada suhu 4οC.
Komposisi larutan Stok 20 x AA Major Salt Komposisi Jumlah (g) KCl 59 CaCl2.2H2O 3 MgSO4.7H2 O 10 NaH2PO 4.H2O 3 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4 οC.
Komposisi larutan Stok 100 x B5 Minor Salt Komposisi Jumlah (g) MnSO4.4H2O 1.32 ZnSO4.7H2O 0.2 CuSO4.5H2O 0.0025 Na2MoO4.2H2O 0.025 CoCl2.6H2O 0.0025 H3 BO3 0.3 KI 0.075 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4 οC.
50
Komposisi larutan Stok 100 x B5 Vitamin Komposisi Jumlah (g) Myo-inositol 10 Thiamine hydrochloride 1 Pyridoxine hydrochloride 0.1 Nicotinic acid 0.1 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4οC.
Komposisi larutan Stok 10 x AA Amino Acid Komposisi Gln Asp Arg Gly
Jumlah (g) 8.76 2.66 1.74 0.075
Cara pembuatan: Semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades steril, selanjutnya disterilisasi dengan filter asetat sellulase 0.22 μm dan disimpan pada suhu 4οC.
51
Lampiran 5 Prosedur Pembuatan Media Kokultivasi 2N6-As Komposisi Media Kokultivasi Untuk 1 Liter Bahan: 1. 10 x N6 Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x N6 Minor Salt 4. 100 x N6 Vitamin 5. 100 mg L-1 2,4-D 6. Sukrosa 7. Glukosa 8. Vitamin Casamino Acid 9. Gelrite
100 ml 10 ml 10 ml 10 ml 20 ml 20 gr 10 gr 0.5 gr 4 gr
Cara pembuatan : Semua bahan tidak termasuk agar (gelrite) dilarutkan dengan akuades sebanyak 700 ml selanjutnya ukur pH media hingga 5.2 dan cukupkan volume media hingga 1 liter dan tambahkan gelrite. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Selanjutnya dinginkan media hingga suhu sekitar 50οC dan tambahkan 1 ml 100 mM Asetosiringon, tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
52
Lampiran 6 Prosedur Pembuatan Media Seleksi I Komposisi Media Seleksi 2NBKCH20 Untuk 1 Liter Bahan: 1. 10 x N6K Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x B5 Minor Salt 4. 100 x B5 Vitamin 5. 100 mg L-1 2,4-D 6. Maltosa 7. Myo-inositol 8. Prolin 9. Vitamin Casamino Acid 10. Gelrite
100 ml 10 ml 10 ml 10 ml 20 ml 30 gr 0.1 gr 0.5 gr 0.5 gr 4 gr
Cara pembuatan : Semua bahan tidak termasuk agar (gelrite) dilarutkan dengan akuades sebanyak 700 ml selanjutnya ukur pH media hingga 5.8 dan cukupkan volume media hingga 1 liter dan tambahkan gelrite. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Selanjutnya dinginkan media hingga suhu sekitar 60οC dan tambahkan 100 ml 10 x AA amino acid pH 5.8, 0.4 ml 50 mg L-1 higromisin (konsentrasi akhir 20 mg L -1), 1 ml 250 g L-1 cefotaxime dan 0.4 ml 250 g L-1 carbenicilin, tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
Komposisi larutan Stok 10 x N6K Major Salt Komposisi Jumlah (g) KNO3 20.22 CaCl2 .2H2O 1.66 MgSO4.7H2O 1.85 KH2PO4 4.0 Catatan: semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades simpan pada suhu 4οC.
53
Lampiran 7 Prosedur Pembuatan Media Seleksi II Komposisi Media Seleksi nN6CH30 Untuk 1 Liter Bahan: 1. 10 x N6 Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x N6 Minor Salt 4. 100 x N6 Vitamin 5. 100 mg L-1 2,4-D 6. 100 mg L-1 NAA 7. 100 mg L-1 6BA 8. Sukrosa 9. Sarbitol 10. Prolin 11. Vitamin Casamino Acid 12. Gelrite
100 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 5 ml 1 ml 20 gr 55 gr 0.5 gr 0.5 gr 5 gr
Cara pembuatan : Semua bahan tidak termasuk agar (gelrite), dilarutkan dengan akuades sebanyak 700 ml selanjutnya ukur pH media hingga 5.8 dan cukupkan volume media hingga 1 liter dan tambahkan gelrite. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Selanjutnya dinginkan media hingga suhu sekitar 50οC dan tambahkan, 0.6 ml 50 mg L-1 higromisin (konsentrasi akhir 30 mg L-1), 1 ml 250 g L -1 cefotaxime dan 0.4 ml 250 g L-1 carbenicilin, tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
54
Lampiran 8 Prosedur Pembuatan Media Regenerasi Komposisi Media Regenerasi (2N6R) Untuk 1 Liter Bahan: 1. 10 x N6 Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x N6 Minor Salt 4. 100 x N6 Vitamin 5. 100 mg L-1 Kinetin 6. Sukrosa 7. Sarbitol 8. Vitamin Casamino Acid 9. Gelrite
50 ml 10 ml 10 ml 10 ml 5 ml 20 gr 30 gr 1 gr 4 gr
Cara pembuatan : Semua bahan dicampur tidak termasuk agar (gelrite), dilarutkan dengan akuades sebanyak 700 ml selanjutnya ukur pH media hingga 5.8 dan cukupkan volume media hingga 1 liter dan tambahkan gelrite. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 121 0 C selama 15 menit. Selanjutnya dinginkan media hingga suhu sekitar 60οC dan tambahkan 100 ml 10 x AA amino acid pH-free, tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
55
Lampiran 9 Prosedur Pembuatan Media Pengakaran Komposisi Media Pengakaran (2N6F) Untuk 1 Liter Bahan: 1. 10 x N6 Major Salt 2. 100 x FeEDTA 3. 100 x N6 Minor Salt 4. 100 x N6 Vitamin 5. Sukrosa 6. Sarbitol 7. Vitamin Casamino Acid 8. Gelrite
50 ml 10 ml 10 ml 10 ml 15 gr 30 gr 1 gr 3 gr
Cara pembuatan : Semua bahan dicampur tidak termasuk agar (gelrite), dilarutkan dengan akuades sebanyak 700 ml selanjutnya ukur pH media hingga 5.8 dan cukupkan volume media hingga 1 liter dan tambahkan gelrite. Sterilisasi media dengan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Selanjutnya dinginkan media hingga suhu sekitar 60οC dan tambahkan 100 ml 10 x AA amino acid pH 5.8, tuang media pada cawan petri, dan simpan dalam kondisi gelap suhu 25οC.
Komposisi larutan Stok 10 x AA Amino Acid pH 5.8 Komposisi Gln Asp Arg Gly
Jumlah (g) 8.76 2.66 1.74 0.075
Cara pembuatan: Semua bahan dilarutkan dalam 1000 ml akuades steril dan atur pH menjadi 5.8, selanjutnya disterilisasi dengan filter asetat sellulase 0.22 μm dan disimpan pada suhu 4οC.
56
Lampiran 10 Penentuan Efisiensi Transformasi
Efisiensi Transformasi (%) =
.
× 100 %
Lampiran 11 Penentuan Frekuensi Regenerasi
Frekuensi Regenerasi (%) =
× 100 %