WAHYUNI ET AL.: MUTU BENIH PADI GOGO PADA LINGKUNGAN TUMBUH BERBEDA
Hasil dan Mutu Benih Padi Gogo pada Lingkungan Tumbuh Berbeda Sri Wahyuni, Triny S. Kadir, dan Udin S. Nugraha Balai Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
ABSTRACT. Yield and Seed Quality of Upland Rice Varieties in Three Locations. An experiment to study the seed yield and seed quality of upland rice varieties produced at lowland rice field in the dry season and at the dry land in the wet season was carried out at the Indonesian Institute for Rice Research in 2003. Rice seeds of eight varieties were planted on the lowland rice field of Sukamandi Field Station in the dry season of 2003 and at the dry land intercropping with young-rubber crop at Subang and intercropping with young-teak crop at Indramayu in the wet season of 2003/2004. Variables to be evaluated consisted of seed yield, initial seed quality (germination percentage and vigor) and quality of seed after storage at the ambient condition, physical characteristics of seed (density and 1000 grain weight), intensity of dormancy and seed health. The seed yield of upland rice produced in the dry season was higher than that of the wet season. Three varieties i.e. Towuti, Situ Bagendit and Limboto produced the highest seed yield (5.6 ton seed/ha) in the dry season of 2003. In the wet season of 2003/2004 at dry land intercropping with teak, Situ Patenggang variety showed the highest seed yield and comparable to Limboto and Cirata, whereas in dry land intercroping with rubber crop, Situ Patenggang also showed the highest one. Upland rice seed produced in the dry season had high initial vigor and had more than 90% vigor (AAT) after 3-month storage. Quality of seeds produced at dry land intercropping with teak crop was higher than that in dryland intercropping with rubber crop. Seed produced at dry land intercropping with teak crop had 90% vigor until 3 month storage period except Cirata (86%), whereas seed produced at dryland intercropping with rubber crop had vigor less than 80%, seeds of C-22 and Batutugi showed less than 70% vigor after 3 month storage. Among eight varieties tested, Limboto was suitable variety for seed production in lowland in the dry season and at dry land intercropping with teak in the wet season, whereas Situ Patenggang was suitable variety for seed production at dryland intercropping with rubber crop in the wet season. Production of upland rice seed in the dry season is an option to improve the seed yield and seed quality of upland rice. Keywords: Upland rice, seed yield, seed quality, seed vigor ABSTRAK. Penelitian bertujuan mempelajari hasil dan mutu benih padi gogo yang dihasilkan dari pertanaman pada musim kemarau di lahan sawah dan di lahan kering pada musim hujan. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Padi pada tahun 2003. Sebanyak delapan varietas padi gogo ditanam di lahan sawah Inlitpa Sukamandi pada MK 2003 dan di lahan kering tumpang sari karet muda di Subang dan tumpang sari jati muda di Indramayu pada MH 2003/2004. Peubah yang dievaluasi meliputi hasil, mutu benih awal (daya berkecambah dan vigor), mutu benih setelah disimpan dalam kondisi kamar, karakteristik fisik benih (densitas dan bobot 1000 butir), intensitas dormansi dan kesehatan benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil benih dari pertanaman di lahan sawah pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering pada musim hujan. Varietas Towuti, Situ Bagendit, dan Limboto memberikan hasil 5,6 t/ha benih pada musim kemarau, pada musim hujan Situ Patenggang memberikan hasil benih tertinggi di lahan kering jati muda dan di lahan kering karet muda. Benih yang di-
30
produksi pada musim kemarau mempunyai vigor awal yang tinggi dan tetap mempunyai vigor 90% atau lebih setelah 3 bulan penyimpanan. Benih yang diproduksi di lahan kering jati muda mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan yang diproduksi di lahan kering karet muda. Vigor benih yang diproduksi di lahan kering jati muda masih sekitar 90% sampai 3 bulan penyimpanan, kecuali benih Cirata (86%). Vigor benih dari beberapa varietas yang diproduksi di lahan kering karet muda sudah menurun di bawah 80%, dan bahkan benih C-22 dan Batutugi telah mempunyai vigor di bawah 70% setelah disimpan selama 3 bulan. Di antara delapan varietas yang diuji, Limboto paling sesuai untuk pertanaman di lahan sawah dan di lahan kering jati muda. Situ Patenggang merupakan varietas terbaik di lahan kering karet muda. Berdasarkan semua peubah yang dipelajari, memproduksi benih padi gogo pada musim kemarau merupakan alternatif untuk meningkatkan hasil dan mutu benih padi gogo.
P
Kata kunci: Padi gogo, produksi benih, mutu benih, vigor benih
engembangan padi gogo merupakan usaha komplementer dalam meningkatkan produksi beras nasional guna meningkatkan ketahanan pangan. Produktivitas padi gogo di Indonesia relatif masih rendah, berkisar antara 1,68-2,96 t/ha dengan ratarata 2,58 t/ha (Biro Pusat Statistik Indonesia 2004). Saat ini sebagian besar petani menanam padi gogo dengan teknik budi daya yang belum optimal (Wahyuni et al. 1999; Toha et al. 2001). Dengan perbaikan teknik produksi seperti penggunaan varietas unggul, teknik budi daya dan pengendalian hama dan penyakit tanaman, produktivitas padi gogo dapat mencapai 5,46,8 t/ha (Permadi dan Toha 1996; Guswara et al. 1998). Ketersediaan benih bermutu varietas unggul padi gogo dalam jumlah yang cukup diharapkan dapat mendorong diadopsinya teknologi budi daya yang lebih produktif. Sebagian besar petani padi gogo menanam varietas lokal yang berdaya hasil rendah dan menggunakan benih produksi sendiri dari hasil panen pertanaman musim hujan tahun sebelumnya (Wahyuni et al. 1999). Peng-amatan terhadap mutu benih yang digunakan menunjukkan hanya 50% yang mempunyai mutu yang baik (daya berkecambah > 80% dan vigor > 70%). Benih umumnya telah terinfeksi oleh 10 jenis cendawan gudang dan terbawa benih (Nugraha et al. 1997; Wahyuni et al. 1999). Penggunaan varietas lokal berdaya hasil rendah, benih bermutu rendah, dan penerapan teknik budi daya yang belum optimal diduga merupakan penyebab rendahnya produktivitas padi gogo. Ketidaktersediaan benih gogo di pasaran merupakan salah satu
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
penyebab penggunanan benih sendiri yang bermutu rendah tersebut. Penanaman padi gogo untuk keperluan konsumsi maupun benih dilakukan sekali setahun pada musim hujan. Bila produksi benih dilaksanakan pada musim hujan, risiko terjadinya deteriorasi prapanen yang berakibat rendahnya mutu benih awal sangat tinggi. Selain itu, benih padi gogo juga harus mengalami penyimpanan selama 6-8 bulan sampai digunakan untuk pertanaman tahun berikutnya. Penyimpanan benih dalam masa yang lama selain memperbesar biaya penyimpanan juga dapat menurunkan mutu benih secara drastis, terutama jika mutu awal benih rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diteliti produksi benih padi gogo di lahan sawah pada musim kemarau, yang diharapkan dapat dihasilkan benih bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hasil dan mutu benih varietas padi gogo yang diproduksi di lahan sawah pada musim kemarau dan di lahan kering pada musim hujan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian produksi benih padi gogo dilakukan di tiga kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda, yakni (1) di lahan sawah Inlitpa Sukamandi pada musim kemarau (MK) 2003, (2) di lahan kering tumpangsari dengan tanaman karet muda di Desa Cipeundeuy, Kabupaten Subang, dan (3) di lahan kering tumpangsari dengan tanaman jati muda di Desa Sanca, Kabupaten Indramayu pada musim hujan (MH) 2003/2004. Pada MK 2003 di lahan sawah, penanaman dilakukan secara tanam pindah dengan mengadopsi konsep pengelolaan tanaman terpadu/PTT (Las et al. 2002), yakni penggunaan bibit berumur 15 hari, 1 bibit/lubang, pemupukan N berdasarkan pengamatan dengan bagan warna daun. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm. Pupuk kandang 2 t/ha diaplikasikan saat pengolahan tanah. Petak percobaan berukuran 5 m x 8 m. Delapan varietas padi gogo yang dievaluasi adalah: C22, Way Rarem, Batutugi, Towuti, Situ Patenggang, Situ Bagendit, Cirata, dan Limboto. Rancangan percobaan adalah acak kelompok dengan empat ulangan. Tanaman dipelihara sebaik mungkin sesuai dengan anjuran untuk mendapatkan pertanaman dengan pertumbuhan optimal. Dilakukan rouging (membuang rumpun-rumpun tanaman yang ciri-ciri morfologisnya menyimpang dari ciri-ciri varietas yang ditanam) untuk mendapatkan benih dengan mutu dan tingkat kemurnian yang tinggi. Panen dilakukan secara hati-hati,
kemudian gabah dirontok. Setelah perontokkan diambil contoh benih untuk analisis intensitas dormansi, sisa benih dikeringkan dan dibersihkan. Setelah prosesing benih selesai, dilakukan pengukuran hasil benih (seed yield) per petak (berat benih bersih, KA 11%), densitas benih dengan menggunakan bulk-density meter, bobot 1000 butir, mutu benih awal yang meliputi daya berkecambah dan vigor benih. Intensitas dormansi menggambarkan persentase benih dorman pada saat panen. Analisis daya berkecambah benih mengikuti metode ISTA (2003) dengan modifikasi substrat menggunakan kertas merang dan analisis vigor dengan metode AAT (accelerated ageing test) mengikuti metode AOSA (1981). Sebagian benih lainnya disimpan dalam kantong plastik tebal 0,08 mm yang dikelim rapat. Evaluasi daya simpan benih dilakukan dengan mengamati daya berkecambah dan vigor benih setiap bulan sampai tiga bulan. Analisis kesehatan benih (persentase benih terinfeksi dan identifikasi patogen) mengikuti prosedur IRRI (1994) dilakukan satu bulan sesudah penyimpanan. Delapan varietas yang sama dengan pertanaman MK 2003 ditanam pada MH 2003/2004 di lahan kering, diawali dengan pengolahan tanah dan pemberian pupuk kandang. Benih ditugal dengan jarak tanam legowo yakni 20-30 cm antarbaris dan 10 cm dalam barisan, 4-5 benih/lubang sesuai dengan anjuran. Pupuk yang digunakan adalah 90 kg N, 36 kg P2O5, dan 60 kg K2O/ha. Seluruh pupuk P dan K serta setengah takaran pupuk N diberikan 14 hari setelah tanam (HST), sesuai dengan anjuran Pirngadi et al. (2001). Sisa pupuk N diberikan saat 30 HST, sesuai dengan anjuran Toha et al. (2001). Jumlah pupuk kandang, ukuran petak percobaan, varietas yang dievaluasi, rancangan percobaaan, pemeliharaan tanaman, dan peubah yang diamati pada pertanaman MH 2003/2004 sama dengan pertanaman MK 2003. Data dari ketiga kondisi lingkungan produksi yang berbeda dievaluasi dengan analisis gabungan, dan dilanjutkan dengan pengujian perbedaan nilai tengah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Benih, Densitas, dan Bobot 1000 Butir
Hasil benih (kadar air 11%), densitas, dan bobot 1000 butir dari delapan varietas padi gogo yang diuji beragam antarvarietas dan antarkondisi lingkungan tumbuh. Interaksi antara lokasi produksi dengan varietas juga nyata pada ketiga variabel yang diamati (Tabel 1). Di lahan sawah, varietas Towuti, Situ Bagendit, dan Limboto memberi hasil tertinggi (5,57 t/ha), berbeda nyata dibandingkan dengan lima varietas lainnya (Tabel 2). 31
WAHYUNI ET AL.: MUTU BENIH PADI GOGO PADA LINGKUNGAN TUMBUH BERBEDA
Pengujian di dua lokasi lahan kering pada MH 2003/ 2004 menunjukkan bahwa hasil benih padi gogo dari tumpangsari dengan karet muda lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari dengan jati muda (Tabel 2). Varietas Situ Patenggang dan Limboto memberikan hasil tertinggi di kedua lokasi lahan kering tersebut. Varietas Cirata memberikan hasil yang tinggi di lahan kering jati muda, setara dengan varietas Situ Patenggang dan Limboto, namun di lahan kering karet muda hasilnya sangat rendah. Hal ini disebabkan karena varietas Cirata tertular penyakit blas daun dan blas leher pada fase generatif awal di lahan kering karet muda, sedangkan di lahan kering jati muda tanaman tertular blas leher pada fase generatif akhir/pematangan biji. Dalam kondisi tumbuh yang berbeda, varietas Situ Patenggang memberikan hasil yang stabil, perbedaan hasilnya antartiga kondisi tumbuh relatif kecil. C-22, Way Rarem, Batutugi, dan Limboto termasuk varietas yang daya hasilnya moderat. Varietas Towuti, Situ Bagendit, dan Cirata sangat peka terhadap perbedaan kondisi lingkungan tumbuh (Tabel 2), yang menunjukkan adanya penurunan hasil pada lahan kering. Densitas benih beragam antarvarietas dan antarkondisi lingkungan produksi. Pada umumnya densitas benih yang diproduksi di lahan sawah pada MK 2003 lebih tinggi dibandingkan dengan densitas benih dari kedua lokasi lahan kering pada MH 2003/2004 (Tabel 3). Benih dengan densitas dan bobot 1000 butir yang tinggi menunjukkan tingkat pengisian biji lebih sempurna (Wahyuni et al. 2004). Tingkat fotosintesis yang tinggi
Tabel 1. Nilai F-hitung peubah hasil dan mutu benih padi gogo.
karena intensitas cahaya yang optimum pada pertanaman MK yang ditunjang oleh ketersediaan air yang mencukupi di lahan sawah menghasilkan asimilat yang cukup untuk pengisian biji (Ishii 1995), yang pada akhirnya memberikan kontribusi bagi densitas, bobot 1000 butir, dan hasil yang tinggi. Densitas benih dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dan kondisi lingkungan produksi, demikian pula bobot 1000 butir (Tabel 1). Densitas tertinggi benih padi gogo pada pertanaman MK di lahan sawah dan pada pertanaman MH di lahan kering jati muda ditunjukkan oleh Way Rarem (Tabel 3). Di lahan kering karet muda, densitas tertinggi ditunjukkan oleh Situ Patenggang yang tidak berbeda dibandingkan dengan Way Rarem dan Limboto (Tabel 3). Ditinjau dari bobot 1000 butir masingmasing varietas pada tiga kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda terlihat bahwa pengaruh varietas lebih dominan, pada ketiga lokasi tersebut bobot 1000 butir relatif stabil. Bobot 1000 butir tertinggi dari pertanaman MK di lahan sawah dan pertanaman MH di lahan kering jati muda ditunjukkan oleh Cirata (28,3 g), namun hasilnya rendah di lahan kering karet muda. Hal ini disebabkan oleh penularan penyakit blas daun dan blas leher. Penelitian Sudir et al. (2002) di Cikumpay (lahan kering karet muda) menunjukkan bahwa Cirata sangat peka terhadap blas leher dengan intensitas penularan mencapai 74%. Adanya penyakit blas daun dan blas leher menyebabkan proses fotosintesis maupun translokasi asimilat dari batang dan daun ke bulir padi menjadi terganggu, yang berakibat rendahnya bobot 1000 butir. Way Rarem, Situ Patenggang, dan Limboto merupakan varietas yang densitas benihnya relatif stabil
Nilai F hitung1) Peubah yang diamati Lokasi
Hasil benih 1095** Densitas benih 175** Bobot 1000 butir 290** Daya berkecambah awal 5,3 * Vigor benih awal 272** Intensitas dormansi 100** DB simpan 1 bulan 221** DB simpan 2 bulan 281** DB simpan 3 bulan 233** Vigor simpan 1 bulan 468** Vigor simpan 2 bulan 166** Vigor simpan 3 bulan 104** Persentase benih terinfeksi a. T. padwickii 15,1** b. Curvularia sp. 10,3** c. Aspergillus sp. 16,8** d. Fusarium sp. 3,7ns DB = Daya berkecambah 1) * dan ** = nyata pada taraf 0,05 dan 0,01
32
Varietas
Lokasi x varietas
10,4** 82,3** 178** 7,7** 3,6** 16,3** 10,0** 10,5** 9,4** 4,3** 16,5** 10,7**
10,2** 12,9** 7,1** 4,3** 4,1** 10,0** 5,4** 3,8** 5,6** 4,4** 11,8** 9,4**
17,3** 19,0** 14,7** 35,4**
5,6** 5,3** 4,5** 5,6**
Tabel 2. Hasil benih varietas padi gogo, pada tiga kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda. Hasil benih (t/ha, KA 11%) Varietas
Kepekaan Lahan Lahan kering Lahan kering terhadap sawah jati muda karet muda lingkungan (MK) (MH) (MH)
C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
4,44 c 4,56 c 4,31 c 5,57 a 4,97 b 5,56 a 5,09 b 5,55 a
3,95 3,74 4,07 3,50 5,10 3,98 4,86 4,94
Rata-rata cv (%)
5,01 4,79
4,27 8,12
bc bc b c a bc a a
2,41 2,58 2,87 1,40 3,05 1,73 1,18 2,90
ab a a c a bc c a
Sedang Sedang Sedang Peka Stabil Peka Peka Sedang
2,27 16.16
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Tabel 3. Densitas benih padi gogo dari tiga kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda. Varietas
C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
Lahan sawah (MK)
543,3 e
Lahan kering jati muda (MH)
Lahan kering karet muda (MH)
.........................Densitas benih (g/dm 3)......................... 507,0 cd 582,8 a 567,3 a 514,5 a 542,5 c 514,8 c 452,7 b 532,3 d 460,5 e 401,8 c 559,3 b 529,5 bc 534,6 a 535,5 d 483,0 de 433,9 b 545,9 c 465,0 e 442,8 b 546,1 c 541,3 b 527,6 a
Rata-rata CV (%)
548,5 0,43
C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
...................Bobot gabah (g/1000 butir)....................... 22,0 e 21,9 e 21,1 d 26,6 bc 26,5 c 25,5 b 23,8 d 24,7 d 23,9 c 28,1 a 27,7 b 25,3 b 26,8 b 26,4 c 25,0 b 25,7 c 26,5 c 24,2 c 28,3 a 28,1 a 25,8 b 26,1 bc 27,4 b 26,8 a
CV (%)
2,17
508,6 3,30
2,06
Kepekaan terhadap lingkungan
443,2 b Naungan Stabil Naungan Peka terhadap kondisi kering Stabil Peka terhadap kondisi kering Peka terhadap kondisi kering Stabil
468,9 2,84
2,22
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
terhadap perbedaan kondisi lingkungan tumbuh. Varietas C-22 dan Batutugi menurun densitasnya pada pertanaman lahan kering karet muda. Hal ini diduga berkaitan dengan kepekaan tanaman terhadap naungan. Varietas Towuti, Situ Bagendit, dan Cirata menurun densitas benihnya pada kondisi kering. Mutu Benih Awal
Mutu (daya berkecambah dan vigor) benih awal simpan beragam antarvarietas, antarkondisi lingkungan produksi, dan antarvarietas dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Tabel 1). Secara umum mutu benih awal dari pertanaman di lahan sawah MK 2003 lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering jati muda maupun lahan kering karet muda pada MH 2003/2004 (Tabel 4, 5). Daya berkecambah dan vigor benih awal dari semua varietas yang diuji di atas 90% pada pertanaman MK 2003 dan pada pertanaman di lahan kering jati muda MH 2003/2004. Namun, untuk pertanaman di lahan kering karet muda pada MH 2003/2004 beberapa varietas menunjukkan daya berkecambah maupun vigor benih yang lebih rendah. Selain disebabkan oleh penyakit blas, hal ini juga disebabkan oleh terjadinya deteriorasi prapanen karena kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (suboptimal), yaitu pada saat tanaman
mendekati panen terjadi panas dan hujan silih berganti. Mutu benih (daya berkecambah dan vigor) awal merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan daya simpan benih (Agrawal 1981), selain kadar air, jenis kemasan, dan kondisi ruang penyimpanan (Agrawal 1981; Harrington 1972; Nugraha dan Wahyuni 1998). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan mutu benih awal yang tinggi berkorelasi positif dengan daya simpan yang panjang (Wahyuni dan Nugraha 1995). Di sisi lain, bila benih hasil pertanaman MH akan digunakan untuk benih pertanaman gogo pada MH tahun berikutnya, maka benih tersebut memerlukan masa penyimpanan yang cukup panjang, 6-8 bulan. Hal ini dapat berakibat pada penurunan mutu benih. Sebaliknya, benih hasil pertanaman MK dapat langsung digunakan untuk benih pertanaman gogo pada MH. Dengan demikian terdapat peluang untuk memproduksi benih padi gogo di lahan sawah dengan cara tanam basah. Data menunjukkan bahwa hasil dan mutu benih yang diproduksi pada MK lebih tinggi dibandingkan dengan MH. Intensitas dormansi benih yang dihasilkan di lahan kering jati muda pada MH 2003/2004 relatif sama dengan di lahan sawah pada MK 2003, semua varietas mempunyai intensitas dormansi di atas 90%, kecuali Batutugi dan Limboto (Tabel 5). Intensitas dormansi yang berbeda terjadi pada benih yang diproduksi di lahan kering 33
WAHYUNI ET AL.: MUTU BENIH PADI GOGO PADA LINGKUNGAN TUMBUH BERBEDA
Tabel 4. Daya berkecambah dan vigor benih awal padi gogo. Varietas
Lahan sawah (MK)
Tabel 5. Intensitas dormansi benih padi gogo.
Lahan kering Lahan kering jati muda (MH) karet muda (MH)
Intensitas dormansi (%) Varietas
C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
Daya berkecambah benih awal (%) 94 ab 91 c 91 bc 93 ab 92 bc 92 abc 93 b 96 a 87 d 94 ab 93 b 94 a 96 a 96 a 94 a 93 ab 93 b 90 c 94 ab 91 c 90 c 95 a 95 a 93 ab
Rata-rata CV (%)
94,0 4,01
93,4 2,42
91,4 2,02
C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
96 ab 97 ab 98 a 98 a 98 a 98 a 98 a 96 b
Vigor benih awal (%) 93 ab 95 a 96 a 96 a 95 a 94 a 90 b 94 a
89 bc 89 bc 85 c 91 ab 94 a 90 b 88 bc 92 ab
Rata-rata CV (%)
97,4 1,08
94,1 6,42
89,8 3,66
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
karet muda pada MH 2003/2004, semua varietas mempunyai intensitas dormansi di bawah 90%, kecuali Situ Patenggang. Pada agroekosistem ini sebelum panen terjadi hujan dan panas silih berganti, sehingga sebagian benih diduga mengalami patah dormansinya. Berkaitan dengan intensitas dormansi, apabila benih yang diproduksi pada MK akan digunakan sebagai bahan pertanaman pada MH, maka benih perlu dipatahkan dormansinya terlebih dahulu, terutama untuk varietas-varietas padi gogo yang mempunyai persistensi dormansi lebih dari empat minggu seperti varietas Way Rarem (Soejadi dan Nugraha 2000). Mutu Benih Selama Penyimpanan
Mutu benih (daya berkecambah dan vigor) padi gogo setelah disimpan ditampilkan pada Tabel 6. Benih yang diproduksi di lahan sawah pada MK 2003 masih mempunyai daya berkecambah yang tinggi (>90%) sampai 3 bulan penyimpanan. Vigor benih juga masih cukup tinggi, di atas 90% setelah 3 bulan penyimpanan (Tabel 7). Apabila benih hasil pertanaman MK akan digunakan untuk bahan pertanaman MH, maka penyimpanan cukup 1-2 bulan, sehingga daya berkecambah maupun vigor masih tinggi. 34
Lahan sawah (MK)
C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto Rata-rata CV (%)
Lahan kering Lahan kering jati muda (MH) karet muda (MH)
100 a 98 a 88 c 98 a 97 a 96 ab 91 bc 84 d
99 a 95 ab 87 d 92 bc 95 ab 95 ab 94 b 88 cd
87 bcd 79 d 72 e 81 cd 90 a 84 bcd 80 d 88 ab
94,0 3,42
93,1 3,00
82,6 5,29
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Daya berkecambah benih delapan varietas padi gogo yang diproduksi di lahan kering jati muda pada MH 2003/ 2004 masih di atas 90%, kecuali Cirata setelah 3 bulan penyimpanan (Tabel 6). Namun, daya berkecambah benih empat varietas dari lahan kering karet muda pada musim yang sama sudah di bawah 90% di awal penyimpanan dan setelah penyimpanan selama 3 bulan daya berkecambah beberapa varietas sudah di bawah 80% (Tabel 6). Vigor benih beberapa varietas padi gogo yang diproduksi di lahan kering karet muda turun di bawah 80% setelah disimpan selama 3 bulan, bahkan benih C-22 dan Batutugi hanya memiliki vigor di bawah 70% (Tabel 7). Bila dibandingkan antarkedua lokasi ini terlihat bahwa mutu benih setelah disimpan sangat dipengaruhi oleh mutu benih awal; mutu benih awal dari produksi di lahan kering jati muda lebih tinggi sehingga mutu benih setelah simpan juga lebih tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu, bahwa mutu benih awal, terutama vigor benih, sangat menentukan mutu benih selama penyimpanan (Wahyuni dan Nugraha 1995). Meskipun mutu benih yang diproduksi di lahan kering jati muda masih cukup tinggi sampai 3 bulan penyimpanan, namun benih perlu disimpan selama 6-8 bulan apabila akan digunakan untuk pertanaman MH tahun berikutnya, yang berarti perlu gudang dan biaya penyimpanan. Apabila benih dari produksi lahan kering karet muda akan digunakan untuk pertanaman MH berikutnya, berdasarkan data mutu benih sampai penyimpanan 3 bulan dapat diprediksi bahwa daya berkecambah setelah disimpan selama 6-8 bulan sudah rendah, demikian juga vigor benihnya. Oleh karena itu benih padi gogo yang diproduksi di lahan sawah, terutama untuk varietas-varietas yang bersifat adaptif pada lahan tergenang, merupakan salah satu cara untuk men-
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Tabel 6. Daya berkecambah benih padi gogo pada periode simpan 1-3 bulan.
Tabel 7. Vigor benih padi gogo pada periode simpan 1-3 bulan. Vigor benih (%)
Daya berkecambah benih (%)
Varietas
Varietas 1 bulan
2 bulan
Lahan sawah, MK 2003 C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
95 96 97 98 95 96 97 96
95 97 97 98 97 97 98 96
96 97 95 97 97 98 96 96
Rata-rata CV (%)
96,3 2,4
96,9 1,7
96,5 2,3
Lahan kering jati muda, MH 2003/2004 C 22 95 ab 91 c Way Rarem 96 a 95 a Batutugi 96 a 93 bc Towuti 94 ab 93 bc Situ Patenggang 93 b 94 ab Situ Bagendit 96 a 92 bc Cirata 91 c 89 d Limboto 96 a 91 c
91 bc 95 a 93 ab 94 a 94 a 93 ab 89 c 94 a
Rata-rata CV (%)
92,8 1,44
94,6 1,19
93,2 1,59
Lahan kering karet muda, MH 2003/2004 C 22 87 bc 85 cd Way Rarem 84 cb 87 bcd Batutugi 82 d 83 d Towuti 90 b 86 bcd Situ Patenggang 94 a 92 a Situ Bagendit 90 b 89 abc Cirata 87 bc 86 bcd Limboto 90 b 90 ab
78 cd 84 ab 76 d 84 ab 87 a 85 ab 82 bc 89 a
Rata-rata CV (%)
83,1 3,84
88,0 2,78
87,2 2,86
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT ns: tidak berbeda
dapatkan hasil dan mutu benih yang lebih tinggi dan menghemat biaya penyimpanan benih. Infeksi Cendawan pada Benih
1 bulan
2 bulan
3 bulan
Lahan sawah, MK 2003 C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
93 d 96 bc 97 bc 98 ab 98 ab 99 a 96 bc 96 bc
95 c 97 ab 98 a 97 ab 98 ab 98 a 96 bc 96 bc
94 c 96 ab 98 a 96 ab 97 a 97 a 95 bc 93 c
Rata-rata CV (%)
96,6 1,45
96,7 1,5
95,8 2,4
Lahan kering jati muda, MH 2003/2004 C 22 93 bc Way Rarem 95 a Batutugi 96 a Towuti 96 a Situ Patenggang 95 a Situ Bagendit 94 ab Cirata 90 c Limboto 94 ab
94 a 96 a 93 a 93 a 95 a 94 a 88 b 93 a
90 b 94 a 92 ab 93 a 93 a 92 ab 86 c 92 ab
Rata-rata CV (%)
93,3 1,87
91,5 1,67
3 bulan
Tingkat infeksi benih oleh cendawan, baik dari seed borne diseases maupun cendawan gudang, ditampilkan pada Tabel 8. Benih asal lahan sawah pada MK 2003 terinfeksi oleh cendawan Curvularia, Aspergillus dan Fusarium pada tingkat yang relatif rendah, kurang dari 6%. Ou (1985) menyatakan bahwa Curvularia ditemukan pada benih padi dan menimbulkan penyimpangan warna gluma. Kato et al. (1988) juga menyatakan bahwa
94,1 1,55
Lahan kering karet muda, MH 2003/2004 C 22 85 ab 76 d Way Rarem 87 ab 87 ab Batutugi 79 c 70 e Towuti 87 ab 83 bc Situ Patenggang 89 ab 88 a Situ Bagendit 88 ab 85 abc Cirata 86 ab 81 c Limboto 90 a 84 abc
66 b 78 ab 61 c 83 a 85 a 85 a 77 ab 79 ab
Rata-rata CV (%)
76,7 11,50
86,4 4,43
81,8 3,92
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Curvularia merupakan cendawan penyebab penyimpangan warna pada aleuron, lapisan pati, dan kulit gabah menjadi berwarna coklat. Aspergilus merupakan cendawan gudang; persentase benih terinfeksi yang rendah menunjukkan bahwa teknik penyimpanan yang dilakukan relatif baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan beberapa spesies Fusarium ditemukan pada benih padi (Bugnicourt dalam Ou 1985). Fusarium merupakan salah satu dari tujuh penyebab penyakit padi yang toleransi keberadaannya pada benih dipersyaratkan 0% untuk daerah ASEAN (Singh 1988). Persentase benih terinfeksi Trichoconis padwickii lebih tinggi, berkisar 35
WAHYUNI ET AL.: MUTU BENIH PADI GOGO PADA LINGKUNGAN TUMBUH BERBEDA
Tabel 8. Persentase benih terinfeksi cendawan. Persentase benih terinfeksi (%) Varietas T. padwickii Curvularia Aspergillus Fusarium Lahan sawah, MK C 22 Way Rarem Batutugi Towuti Situ Patenggang Situ Bagendit Cirata Limboto
2003 8,6 a 4,5 b 6,4 ab 7,1 a 4,3 b 4,0 b 6,4 ab 4,1 b
2,1 c 1,0 d 2,4 bc 5,9 a 3,1 bc 3,6 b 0,4 e 0,4 e
1,9 ab 0,5 b 2,2 ab 4,1 a 1,8 ab 1,3 b 0,9 b 1,4 b
0,3 d 1,3 c 1,6 c 3,9 ab 6,1 a 1,8 c 2,5 bc 0,4 d
2,36 18,1
1,76 18,1
2,23 17,5
Lahan kering jati muda, MH 2003/2004 C 22 4,8 a 2,7 cde Way Rarem 6,6 bcd 0,5 e Batutugi 12,3 a 4,9 abc Towuti 12,9 a 7,0 ab Situ Patenggang 7,6 bc 3,1 bcd Situ Bagendit 8,3 b 4,5 abc Cirata 5,3 cd 7,5 a Limboto 2,1 e 1,4 de
0,5 b 0,6 b 3,8 a 4,3 a 3,8 a 3,0 a 1,4 b 0,8 b
0,5 b 1,0 b 5,1 a 4,8 a 3,3 a 3,4 a 0,5 b 0,5 b
Rata-rata CV (%)
2,33 17,5
2,39 22,8
Lahan kering karet muda, MH 2003/2004 C 22 3,1 c 3,0 b Way Rarem 3,9 b 0,5 c Batutugi 8,1 a 5,9 a Towuti 8,1 a 5,8 a Situ Patenggang 3,1 bc 3,0 b Situ Bagendit 6,5 a 1,9 b Cirata 4,0 b 3,0 b Limboto 3,1 bc 2,9 b
1,5 c 0,8 c 4,6 b 5,9 ab 3,6 b 4,4 b 5,5 ab 8,0 a
0,5 d 0,5 d 5,4 a 5,3 a 2,0 c 3,6 b 3,3 b 1,4 c
Rata-rata CV (%)
4,29 12,2
2,75 15,3
Rata-rata CV (%)
5,68 15,5
7,49 13,9
4,99 17,6
3,95 12,5
3,25 20,0
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT ns: tidak berbeda nyata
antara 4-9%; varietas C-22 menunjukkan persentase benih terinfeksi T. padwickii tertinggi. Infeksi cendawan T. padwickii pada benih, lokasi patogennya berada pada permukaan benih dan mycelia dalam kondisi istirahat (dorman) terdapat pada jaringan endosperm, embrio, lapisan pati, dan gulma; sedangkan sclerotia jamur dapat ditemukan dalam endosperm (Matthur 1990). Benih yang terinfeksi T. padwickii pada umumnya mempunyai daya berkecambah yang rendah, koleoptil membusuk yang disertai dengan matinya bibit muda. Jenis cendawan yang menginfeksi benih yang diproduksi di lahan kering jati muda dan karet muda pada MH 2003/2004 sama dengan yang menginfeksi benih dari 36
pertanaman di lahan sawah pada MK 2003, yakni Trichoconis padwickii, Curvularia, Aspergillus, dan Fusarium. Benih yang diproduksi pada MH lebih banyak terinfeksi cendawan, terutama T. padwickii, mencapai lebih dari 12% pada benih Towuti dan Batutugi yang diproduksi di lahan kering jati muda. Gejala umum penularan T. padwickii adalah berupa bercak besar pada sekam, mycelia tumbuh pada epidermis, sekam, dan endosperm. Di daerah subtropis jamur ini menimbulkan penyimpangan warna bila pembungaan terjadi pada saat temperatur tinggi (Kato et al. 1988). Jumlah benih yang terinfeksi oleh cendawan Curvularia, Fusarium, dan Aspergillus di lahan kering jati muda maupun di lahan kering karet muda di bawah 6%, kecuali Curvularia pada benih varietas Towuti dan Cirata yang diproduksi di lahan kering jati muda dan Aspergillus pada benih Limboto yang diproduksi di lahan kering karet muda (Tabel 8). Varietas Limboto paling sesuai diproduksi di lahan sawah pada MK, hasilnya sebanding dengan Towuti dan Situ Patenggang di Sukamandi pada MK 2003 (Tabel 1). Mutu awal benih Limboto dan selama penyimpanan juga tinggi (Tabel 4, 5), persentase benih terinfeksi lebih rendah dibandingkan dengan varietas Towuti dan Situ Patenggang (Tabel 8). Data yang sama juga tampak pada pertanaman MH 2003/2004 di lahan kering jati muda, yang menunjukkan varietas Limboto paling sesuai di antara varietas yang dievaluasi. Untuk pertanaman di lahan kering karet muda, Situ Patenggang memberikan hasil tertinggi (Tabel 1), dengan mutu benih yang tinggi, dan persentase benih terinfeksi yang rendah (Tabel 4, 5, 8). Situ Patenggang merupakan varietas yang sesuai untuk pertanaman gogo di daerah tersebut.
KESIMPULAN
Produksi benih padi gogo di lahan sawah pada musim kemarau memberikan hasil dan mutu benih yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi di lahan kering pada musim hujan. Hasil tertinggi pada pertanaman di lahan sawah MK 2003 diberikan oleh Towuti, Situ Bagendit, dan Limboto. Di lahan kering jati muda, hasil tertinggi dicapai oleh varietas Situ Patenggang, Limboto, dan Cirata, sedangkan di lahan kering karet muda oleh Situ Patenggang. Vigor awal dan vigor simpan benih padi gogo yang diproduksi di lahan sawah pada MK lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering pada musim hujan. Sampai 3 bulan penyimpanan semua benih yang diproduksi pada MK masih mempunyai vigor di atas 92%.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 1 2006
Berdasarkan hasil, mutu benih, dan persentase benih terinfeksi jamur, Limboto merupakan varietas yang paling baik di antara delapan varietas yang diuji di lahan sawah pada MK dan di lahan kering jati muda pada MH. Untuk pertanaman di lahan kering karet muda MH, Situ Patenggang merupakan varietas yang paling baik. Produksi benih padi gogo di lahan sawah pada musim kemarau merupakan satu cara untuk mendapatkan hasil dan mutu benih yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, R.L. 1981. Seed technology. Oxford and IBH Publ. Co., New Delhi. 318 p.
Matthur. 1990. Seed-borne diseases of rice. International Rice Research Institute, Phillipines. Nugraha, U.S.; Wahyuni, S.; Kadir, T.S. dan Nuryanto, B. 1997. Cara pengelolaan benih padi gogo di tingkat petani dan mutu benih yang dihasilkan. Proseding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang, 27-29 Oktober 1997: 647-651. Nugraha, U.S. dan S. Wahyuni, 1998. Pengaruh kadar air benih dan jenis kemasan terhadap daya simpan benih kedelai pada suhu kamar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 17(1): 59-67. Ou, S.H. 1985. Rice Diseases. 2nd Ed. Commonwealth Mycological Institute. 380 p.
Permadi, P. dan Toha, H.M. 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengembangan Wilayah Lahan Kering No. 18: 27-39. Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
Biro Pusat Statistik Indonesia. 2005. Statistik Indonesia Tahun 2004. BPS, Jakarta. 152p.
Pirngadi, K., H.M.Toha, K. Permadi dan A.Guswara. 2001. Optimasi hara dalam tanah dan pemacuan penyerapan hara oleh tanaman padi gogo melalui modifikasi cara tanam dan pemupukan. Kumpulan Makalah Hasil Penelitian 2000. Balai Penelitian Tanaman Padi. 10p.
Guswara, A.; Toha, H.M. dan Permadi, K. 1998. Perbaikan budidaya padi gogo di tingkat petani perhutanan sosial. Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi. Balai Penelitian Tanaman padi, Sukamandi.
Sudir, Suprihanto, A. Guswara dan H.M. Toha. 2002. Pengaruh genotipe, pupuk dan fungisida terhadap blas leher pada padi gogo. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 21(1): 39-42.
AOSA. 1981. Rules for testing seeds. Proc. Assoc. of Off. Seed Anal. , 60: 1-126. Delouche, J.C. 1973. Percepts of seed storage. Proceedings of Missisipi Shortcourse for Seedsmen. MSU, pp: 97-123.
International Rice Research Institute. 1994. A Manual of Rice Seed Health Testing. pp: 25-28. Ishii, R. 1995. Effect of physiological factors on individual leaves on photosynthesis and respiration. In Matsuo, T., Kumazawa, K., Ishii, R., Ishii, K. and Hirata, H. (Eds.). Science of the Rice Plant. Vol. II. Physiology. Food and Agriculture Policy Research Centre, Tokyo. pp. 566-596. International Seed Testing Association. 2003. International Rules for Seed Testing. ISTA, Switzerland. Kato, Ohata, Kauraw, L.P. and Lee, H.Y. 1988. Fungal diseases of rice seed. International Rice Research Institute, Phillipines.
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdurachman. 2002. Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Departemen Pertanian, Jakarta. 37p.
Singh, K.G. 1988. Asean plant quarantine system. In Rice Seed Health. International Rice Research Institute, Phillipines.
Toha, H.M.; Pirngadi, K. dan Permadi, K. 2001. Karakterisasi agronomi varietas padi gogo untuk budidaya pada penetrasi pencahayaan rendah. Kumpulan Makalah Hasil Penelitian Tahun 2000. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi Wahyuni, S. dan U.S. Nugraha. 1995. Viabilitas dan vigor benih padi dari berbagai berat jenis selama penyimpannan. Jurnal Penelitian Pertanian 14(3): 174-185.
Wahyuni, S., Nugraha, U.S. dan Kadir, T.S. 1999. Evaluasi teknik pengelolaan dan mutu benih padi gogo di tingkat petani. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol 8 (1): 1-5. Wahyuni, S., U.S. Nugraha, dan Triny S. Kadir. 2004. Viabilitas dan vigor benih dari beberapa varietas dan berat jenis serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan mutu benih. Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia VII. Kerja sama PERIPI dengan BALITKABI. pp: 302-311.
37