STUDI EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) DI KABUPATEN SERANG (Kasus: Desa Ciruas, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)
LINGGA PERMESTI I34063207
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT LINGGA PERMESTI. STUDY EVALUATION OF FARMER EMPOWERMENT THROUGH AGRICULTURAL TECHNOLOGY AND INFORMATION (FEATI) PROGRAM IN KABUPATEN SERANG. (Case: Desa Ciruas, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten). Supervised by SITI SUGIAH MUGNIESYAH. The result of previous study on FEATI, especially regarding the introduction of PTT innovation among the paddy community, are lack of attention on the assessment of the project‟s outputs in the individual and household levels as well as in the farmer‟s institution level. This study demonstrates that of the total of 45 farmers who participated on the FEATI in Ciruas Village, the majority of them are low in their formal and non formal educational level, while their communication pattern is localit. Almost half of them belong to medium category of the social stratification (the average of land holding size was about 0.25 to 0.5 Ha). As most of them are sharecroppers, the PTT farmer‟s household are belong to the poor household. This study found that the majority of the farmers was in the medium category of their attitude regarding the PTT. However, the training on PTT‟s paddy Cultivation caused the majority of PTT‟s farmers participated on agricutural extension programes which was facilitated by UP-FMA and Gapoktan were in high category. This, in turn led to the fact that the majority of the PTT‟s farmers were high category on their knowledge on PTT. It is not followed, however, with the high level of their attitude and practice on PTT, as the majority of the farmers were on the medium category on the two aspects, 56 percent and 49 percent respectively. Further, this situation led to the fact that the majority (69 percet) of farmers were low in the level of their rice productivity and household income as well. Interestingly, however, this study found that the training of PTT‟s Paddy Cultivation facilitated the achievement of the project‟s objectives which is the higher the knowledge of farmers on PTT, the more positive their attitude on PTT, and in turn the higher the implementation of the PTT. The higher the three variables of individual project ouputs the higher the household project outputs. As this study also found that the UP-FMA and Gapoktan are still low in their performance, accordingly, the Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) should increase their effort to empower the UP-FMA and Gapoktan Harum Mekar so the two farmer organizations could improve their capability to help their members (farmer groups) to increase their household income by developing agribusiness and business partnerships as mandated on the objective of the FEATI. Key words: Characteristics of Farmers, Individual and Household Project‟s Outputs, UP-FMA HarumMekar, BPKP
RINGKASAN LINGGA PERMESTI. STUDI EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) DI KABUPATEN SERANG. (Kasus: Desa Ciruas, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten). Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH. Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) merupakan pilot project yang bertujuan untuk memberdayakan petani dan organisasi petani dalam peningkatan produktivitas usahatani, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan aksesibilitas terhadap informasi, teknologi, modal dan sarana produksi, pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha. Untuk mewujudkannya dilakukan dengan memfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani (Farmers Managed Extension Activities (FMA) melalui wadah kelembagaan Unit Pengelola FMA (UP-FMA). Kabupaten Serang adalah salah satu dari 68 kabupaten/kota di Indonesia yang menjadi lokasi P3TIP. Salah satu inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani di Kabupaten Serang adalah Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (a) profil petani peserta P3TIP, (b) bantuan teknis dan dana hibah yang diperoleh UP-FMA, (c) pencapaian tujuan (keluaran) P3TIP yang mencakup: perubahan pada perilaku individu dan rumahtangga petani peserta P3TIP, keberdayaan kelembagaan UPFMA, serta menelaah ada tidaknya penerapan pendekatan learning process dalam pelaksanaan P3TIP dan permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian keluaran P3TIP, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian dilakukan di Desa Ciruas, Kabupaten Serang, yang dipilih secara sengaja dengan mempertimbangkan rekomendasi dari pihak BPKP Kabupaten Serang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif (survei menggunakan kuesioner terstruktur) dan pendekatan kualitatif (observasi dan wawancara mendalam) untuk mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer meliputi sejumlah variabel bebas dan tidak bebas yang tercakup dalam karakteristik individu dan rumahtangga petani, peranserta petani PTT, input P3TIP, dan keluaran P3TIP pada tingkat individu dan rumahtangga petani peserta, tingkat kelembagaan petani (UP-FMA) dan kelembagaan BPKP. Data sekunder adalah data dan informasi dari sejumlah dokumen tertulis berupa Laporan BPKP, Monografi Desa, serta publikasi tercetak dan elektronik guna melengkapi/mendukung penjelasan atas temuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2010. Penelitian ini mengacu pada beragam konsep, pendekatan, dan teori-teori dalam disiplin ilmu penyuluhan, khususnya tentang studi evaluasi program/proyek penyuluhan yang didukung hasil-hasil empiris dari penelitian sejenis, serta merujuk pada tujuan dan strategi yang digunakan dalam P3TIP. Berdasar hal tersebut, penelitian ini menguji secara statistik hubungan-hubungan antara sejumlah variabel bebas pada: Karakteristik Individu dan Rumahtangga Petani, serta Peranserta Petani dalam P3TIP dengan sejumlah variabel tidak bebas pada Keluaran P3TIP, khususnya Perubahan Perilaku Tingkat Individu dan Perubahan pada Rumahtangga Petani Peserta PTT. Hubungan Input Proyek P3TIP dengan
Keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan petani dan BPKP dianalisis secara kualitatif. Penelitian inipun menguji secara statistik hubungan antar variabel tidak bebas pada keluaran PTT padi, khususnya pada tingkat individu dan rumahtangga petani peserta PTT. Dari total 45 petani peserta PTT di Desa Ciruas, mayoritas tergolong rendah baik dalam pendidikan formal dan non formal mereka, karenanya sebagian besar pola perilaku komunikasi mereka tergolong lokalit. Rata-rata pengalaman berusahatani padi mereka 23 tahun. Dari total rumahtangga petani peserta PTT, separuhnya tergolong petani lapisan menengah yang menguasai lahan seluas 0,25–0,50 hektar (mayoritas petani penggarap). Hal ini menyebabkan banyak petani memiliki tingkat kebutuhan akan PTT pada kategori sedang (53 persen). Dalam hal karakteristik rumahtangga mereka, diketahui bahwa rata-rata jumlah ART sebanyak enam orang per rumahtangga. Mayoritas ART berjenis kelamin laki-laki dan tidak bekerja (masing-masing sekitar 51 persen), serta separuhnya tergolong usia non produktif (di bawah 15 tahun). Meskipun rasio ketergantungan pada rumahtangga petani PTT tergolong rendah (0,33), namun sekitar 89 persen rumahtangga mereka berstatus rumahtangga miskin. Kegiatan PRA merupakan bagian dari penguatan kelembagaan petani (UP FMA dan Gapoktan Harum Mekar), sementara lokakarya dan forum desa merupakan penguatan organisasi bagi GAPOKTAN. Meskipun petani peserta PTT di Desa Ciruas berpartisipasi dalam kegiatan PRA bagi penyusunan RDK dan RDKK UP-FMA Harum Mekar, namun menurut mereka gagasan yang menjadi embrio proposal pelaksanaan Kursus Budidaya Padi PTT dominan berdasar usulan penyuluh dan para pengurus UP-FMA serta Gapoktan Harum Mekar. Karenanya, kegiatan PRA dalam proyek sistem PTT padi di desa ini sebenarnya merupakan media komunikasi guna menumbuhkan kesadaran petani agar mereka menjadikan inovasi PTT sebagai kebutuhan yang mereka rasakan; belum menerapkan pendekatan learning process yang sesungguhnya, karena masih ada unsur top down. Kondisi ini membawa pada rendahnya kategori peranserta petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan PTT (58 persen). Meskipun demikian, partisipasi mereka –sebagai kelompok tani- dalam Kursus Budidaya Padi PTT telah memfasilitasi mereka untuk menerima sejumlah materi berbentuk natura yang totalnya senilai Rp2.241.000,-. Dana tersebut merupakan bagian dari total dana yang diperoleh UP-FMA Harum Mekar dari BPKP sebesar Rp12.410.000. Sebagai suatu kegiatan berbasis partisipatif, masyarakat lokal juga berpartisipasi dalam penyediaan dana (Rp2.610.000,-). Kegiatan kursus Budidaya Padi PTT menyebabkan mayoritas petani peserta PTT (92 persen) tergolong berpartisipasi dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi program PTT. Hal ini membawa pada perubahan perilaku mereka, terbukti dari tidak seorangpun diantara mereka yang memiliki tingkat pengetahuan rendah, mayoritas (60 persen) tergolong tinggi. Akan tetapi, hal ini tidak diikuti oleh tingginya sikap mereka terhadap PTT dan tingkat penerapan inovasi PTT oleh mereka, terbukti bahwa mayoritas petani tergolong sedang dalam kedua variabel tersebut, yakni 56 persen untuk Sikap terhadap PTT dan 49 persen untuk penerapan inovasi PTT. Mereka yang tergolong tinggi dalam hal Sikap terhadap PTT dan penerapan inovasi PTT, berturut-turut sekitar 18 dan 16 persen. Kondisi ini tampaknya berhubungan dengan fakta bahwa mayoritas petani peserta PTT tergolong rendah dalam hal tingkat produksi usahataninya (69
persen), dan keadaan ini yang pada gilirannya menjadikan mayoritas mereka juga tergolong rendah dalam hal tingkat pendapatan yang diperoleh dari penerapan inovasi PTT, dengan persentase yang sama. Adanya Kursus Budidaya Padi PTT membawa pada temuan penelitian bahwa dari lima variabel karakteristik individu petani, hanya tingkat Pendidikan Non Formal yang berhubungan cukup baik terhadap Sikap Petani akan PTT, namun berhubungan kurang baik terhadap Tingkat Penerapan PTT oleh petani peserta PTT. Selain itu, lebih dominannya interaksi diantara sesama petani peserta kursus tersebut membawa pada temuan Pola Perilaku Komunikasi juga berhubungan terhadap Sikap Petani terhadap PTT dan Tingkat Penerapan PTT, meskipun sifat hubungannya juga kurang baik. Temuan lainnya: (a) Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT, dan (b) Luas Lahan Usahatani dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga berhubungan nyata dengan Sikap petani terhadap PTT. Selanjutnya, Luas Lahan Usahatani dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga dan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT. Dalam hal peranserta petani PTT, diketahui Frekuensi Mengikuti Penyuluhan berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan, sementara Tingkat Partisipasi Petani Dalam Programa PTT berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT. Hasil uji statistik atas hubungan antara lima variabel karakteristik individu petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga menunjukkan hasil bahwa variabel Pola Perilaku Komunikasi dan Tingkat Pendidikan Non Formal berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani. Adapun Luas Lahan Usahatani, Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani, dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga berhubungan nyata, baik dengan Tingkat Produksi Usahatani maupun Tingkat Pendapatan. Kursus Budidaya PTT padi berbasis PRA mampu memfasilitasi tercapainya keluaran kursus. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan nyata antar variabel keluaran tersebut dan mendukung kecenderungan: (a) semakin tinggi tingkat pengetahuan petani PTT semakin tinggi sikap mereka terhadap PTT dan (b) semakin positif Sikap Petani terhadap PTT semakin tinggi Tingkat Penerapan PTT. Meskipun persentase terbesar petani peserta PTT tergolong rendah baik dalam Tingkat Produksi maupun Tingkat Pendapatan mereka, hasil uji statistik menemukan hubungan nyata antara tiga variabel tidak bebas pada keluaran tingkat individu dengan dua variabel tidak bebas pada keluaran pada tingkat rumahtangga. Keberlanjutan penerapan sistem PTT padi oleh para petani di Desa Ciruas menghadapi permasalahan. Pihak UP FMA Harum Mekar sebaiknya menjadi negosiator untuk membantu petani penggarap dalam meyakinkan petani pemilik atas keunggulan sistem PTT, sehingga mereka mengizinkan penggarapnya melanjutkan penerapan PTT padi di lahan garapannya. Pihak Gapoktan dan UP FMA Harum Mekar sebaiknya melihat langkanya ternak domba/kambing sebagai suatu peluang bagi pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha dengan pihak stakeholders. Namun semua itu menuntut adanya ulur tangan pihak BPP Ciruas dan BPKP untuk meningkatkan penguatan organisasi kepada pengurus UP FMA dan Gapoktan Harum Mekar agar mampu menjalankan peranan mereka dalam melaksanakan pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha sebagaimana ditetapkan dalam tujuan P3TIP.
STUDI EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) DI KABUPATEN SERANG (Kasus: Desa Ciruas, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)
Oleh: LINGGA PERMESTI I34063207 Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama : Lingga Permesti NIM : I34063207 Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) di Kabupaten Serang (Kasus: Desa Ciruas, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS NIP. 19511121 197903 2 003
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STUDI EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) DI KABUPATEN SERANG
(KASUS:
DESA
KABUPATEN SERANG,
CIRUAS,
PROVINSI
KECAMATAN
BANTEN)”
CIRUAS,
BELUM PERNAH
DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2010
Lingga Permesti I34063207
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 22 Agustus 1987. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Aip Syarifudin dan Ibu Wiwin Robiatul Adawiyah. Semenjak memasuki usia sekolah penulis tinggal di Kota Cilegon, Banten. Penulis menamatkan pendidikan di TK Aisyah tahun 1994, SD Negeri V Cilegon tahun 2000, SLTP Madinatul Hadid Cilegon tahun 2003, SMAN 1 Cilegon tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan kemudian diterima di Mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) dengan Minor Ilmu Konsumen. Penulis tercatat sebagai Asisten Dosen Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi (KPM 210) dan Mata Kuliah Sosiologi Umum (KPM 130) pada periode tahun 2009 selama dua semester. Selama menjalani aktivitas perkuliahan, penulis
juga
tergabung
dalam
beberapa
organisasi
dan
kepanitiaan
kemahasiswaaan IPB diantaranya dalam kegiatan Koran Kampus tahun (2006) sebagai reporter dan Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (FORSIA) sebagai Sekretaris Umum II periode 2007/2008. Pada kepanitiaan, penulis tercatat menjadi PJK MPKMB, MPF, dan Launching Kelembagaan FEMA (Link FEMA 2008). Penulis aktif mengikuti kegiatan beragam lomba penulisan karya populer baik di tingkat IPB maupun luar IPB. Penulis termasuk ke dalam kelompok sepuluh besar masing-masing dalam Writing Politic Competition yang diselenggarakan BEM TPB dan penulisan cerpen SANG PUJANGGA 2008 oleh Fakultas Ekonomi Manajemen. Selain itu, penulis menjadi Juara II dalam perlombaan menulis cerita mini yang diselenggarakan oleh INDOSIAR, serta telah dipublikasikan dua buku kumpulan cerpen pemenang perlombaan tersebut yang diterbitkan oleh Elex Media Computindo pada tahun 2008 dan 2009. Penulis juga tercatat sebagai 20 besar kompetisi nasional film dokumenter Eagle Awards Metro TV 2010.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi Dan Informasi Pertanian (P3TIP) Di Kabupaten Serang (Kasus: Desa Ciruas, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten)”. Berbasis tujuan P3TIP, Bab I hingga Bab III memuat yang tercantum dari riset proposal berupa pendahuluan, pendekatan teoritis dan metodologi penelitian. Sementara Bab IV berisi tentang keadaan umum wilayah Kabupaten Serang dan Desa Ciruas. Adapun skripsi ini bertujuan mengetahui profil organisasi P3TIP yang tertuang dalam Bab V, profil individu dan rumahtangga petani peserta P3TIP pada BaB VI, serta capaian program pada tingkat individu dan rumahtangga petani P3TIP, kelembagaan petani dan kelembagaan BPKP yang tertuang pada Bab VII. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ada tidaknya permasalahan yang ditemui dalam mencapai tujuan P3TIP serta penerapan pendekatan farmer first dan learning process approach dalam pelaksanaan P3TIP di Kabupaten Serang. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut telah membantu penulis dengan menyumbangkan pemikiran, memberikan masukan, dan mendukung penulis baik secara moril dan/atau materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS sebagai dosen pembimbing, atas segala bimbingan, motivasi, saran, mencurahkan waktu dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr.Ir. Siti Amanah, MSc yang telah bersedia menjadi dosen penguji utama. 3. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS sebagai dosen penguji wakil komisi pendidikan. 4. Ir.Yatri Indah Kusumastuti, MS sebagai dosen Pembimbing Akademik dan Dr.Ir. Ana Fatchiya, MSI sebagai dosen Pembimbing Studi Pustaka.
5. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Aip Syarifudin dan Ibu Wiwin Rabiatul Adawiyah yang selalu memberikan segenap kasih sayangnya, kakakku Ilan Failani dan adik-adikku, Anggit Rahayu dan Muhammad Idham. 6. Keluarga besar Alm Endin Sukandi dan Alm Ibrahim di Sukabumi. 7. Dosen-dosen pada Departemen Sains KPM FEMA IPB yang telah membekali beragam ilmu kepada penulis selama perkuliahan. 8. Dr.Ir. Machfud, MS sebagai dosen TIN IPB. 9. Mbak Maria, Mbak Annisa, Bu Susi dan Bu Neni sebagai tenaga kependidikan pada Departemen SKPM-FEMA IPB, yang membantu penulis terkait masalah administrasi dan kepustakaan selama penulis menyelesaikan studi. 10. Ir.Sri Budi P, MM dan Ir.Edi Suhardiman,MM dari pihak Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Kabupaten Serang yang memberi izin untuk melakukan penelitian di Desa Ciruas, Ateng Suryana, SP dan
Neneng
Suparningsih, SP dari pihak Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Ciruas atas kesempatan
dan
kesediaan
yang
diberikan
sehingga
penulis
dapat
melaksanakan penelitian di FMA Harum Mekar. 11. Bapak Arifin, Bapak Didin, Bapak Harun serta para pengurus FMA Harum Mekar lainnya atas bantuan dan informasi yang dibutuhkan pada penelitian ini. 12. Sahabat-sahabatku dari KPM 43: Raisita, Rehasti Dya, Desni, Sulastri, Febi, Evi, Abdillah, Ani, Adha, dan sahabat-sahabatku dari SMAN 1 Cilegon: Yubee, Nash, Anggie, Dados, Nurholis, Reza, Inra, Nia, dan Teh Aza. Sahabatku di kosan yang jadi keluarga keduaku. Rizki A, Gita RW, dan Zatil A yang sudah menyediakan tempat terbaik dan nyaman sampai saat ini, termasuk dalam menjalani (menikmati) kebersamaan. 13. Kak Gilang Kartiwa N dan Kak Ika Puspitasari sebagai teman satu dosen pembimbing untuk berbagi ilmu dan pengalamannya selama ini. Bogor, Agustus 2010
Penulis
xii DAFTAR ISI DAFTAR ISI...................................................................................................... DAFTAR TABEL.............................................................................................. DAFTAR GAMBAR......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….
Halaman xii xv xvii xviii
BAB I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
PENDAHULUAN......................................................................... Latar Belakang............................................................................... Perumusan Masalah……............................................................... Tujuan Penelitian........................................................................... Kegunaan Penelitian......................................................................
1 1 4 6 7
BAB II 2.1.
PENDEKATAN TEORITIS....................................................... Tinjauan Pustaka……………........................................................ 2.1.1 Pengertian dan Lingkup Penyuluhan………………….... 2.1.2. Pendekatan Penyuluhan……………………………….... 2.1.3. Evaluasi Program Penyuluhan………………………….. 2.1.4. Ruang Lingkup P3TIP………………………………….. 2.1.5. Hasil-Hasil Studi Proyek P3TIP di Indonesia………….. 2.1.6. Pembelajaran Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT)……………………….............................. 2.1.7. Karakteristik Rumahtangga Petani………….……….….. 2.1.8. Kelembagaan Kelompok Petani…………….……….….. Kerangka Pemikiran………………………………..….……….... Hipotesis Pengarah…………………………………………......... Definisi Operasional……………………………………………..
8 8 8 9 9 12 15
BAB III 3.1. 3.2. 3.3. 3.4.
METODOLOGI PENELITIAN................................................. Metode Penelitian.......................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................... Penentuan Responden.................................................................... Teknik Pengolahan dan Analisis Data...............................................
29 29 30 30 30
BAB IV 4.1
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN........................... Keadaan Umum Kabupaten Serang………………………….….. 4.1.1. Lokasi dan Kondisi Geografis………………………….. 4.1.2. Keadaan Umum Penduduk……………………………… Keadaan Umum Desa Ciruas......................................................... 4.2.1. Lokasi dan Kondisi Geografis…………………………... 4.2.2. Tataguna Lahan…………………………………….......... 4.2.3. Kondisi Umum Penduduk………………………….......... 4.2.4. Sarana dan Prasarana……………………………….........
32 32 32 34 38 38 39 40 43
2.2. 2.3. 2.4.
4.2
16 18 19 20 24 24
xiii
BAB V
5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
BAB VI
6.1
6.2
BAB VII
7.1
7.2.
PROFIL KELEMBAGAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)..... Latar Belakang, Tujuan dan Lingkup P3TIP di Kabupaten Serang……………………………………………………....……. Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Kabupaten Serang……………………………………..………………........... Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Ciruas………….. Unit Pengelola FMA Farmer Management Extension Activities (FMA) Harum Mekar…………………………………….……… KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)…………………………………………. Karakteristik Individu.................................................................... 6.1.1. Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin............................................................................. 6.1.2. Umur................................................................................. 6.1.3. Jenis Pekerjaan………………………………………...... 6.1.4. Status Perkawinan…………………………………….… 6.1.5. Tingkat Pendidikan Formal……………..………………. Karakteristik Rumahtangga........................................................... 6.2.1. Tingkat Kekayaan..……………………………………... 6.2.2. Status Kategori Rumahtangga…...…………………….... 6.2.3 Luas Lahan Usaha Tani……………………………...….. HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU, RUMAHTANGGA DAN INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP) SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA……………………………………… Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu........... 7.1.1 Hubungan Antara Karakteristik Pribadi dengan Perubahan Perilaku Pada Tingkat Individu……………... 7.1.2 Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Perubahan Perilaku Pada Tingkat Individu……………... 7.1.3. Hubungan Antara Peranserta dengan Perubahan Perilaku Pada Tingkat Individu…………………………………... Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga.. 7.2.1 Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Perubahan Pada Tingkat Rumahtangga ………………... 7.2.2 Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Perubahan Pada Tingkat Rumahtangga …………...…… 7.2.3. Hubungan Antara Peranserta dengan Perubahan Pada
45 45 46 53 55
58 58 58 59 60 61 62 63 63 64 65
66 66 66 70 72 74 74 77 79
xiv Tingkat Rumahtangga………………………………….. Hubungan Antar Variabel Keluaran P3TIP pada Tingkat Individu dan Rumahtangga ……………………………………... Hubungan Input Proyek dengan Keluaran P3TIP di Tingkat Kelembagaan…………………………………………………..… 7.4.1 Hubungan Input Proyek dengan Keluaran P3TIP di Tingkat Kelembagaan BPKP…...…………………...…… 7.4.2 Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan Petani…………………………...………… Permasalahan dalam Penyelenggaraan P3TIP………………….
83 86
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 8.1 Kesimpulan.................................................................................... 8.2 Saran...............................................................................................
91 98 100
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ LAMPIRAN…………………………………………………………………...
103 97
7.3. 7.4.
7.5.
80 81 81
xv DAFTAR TABEL
Nomor. Tabel 1. Tabel 2.
Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10.
Tabel 11. Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18.
Halaman Teks Luas dan Tata Guna Lahan di Kabupaten Serang Tahun 2005 (dalam hektar dan persen)……………………………... Klasifikasi Wilayah di Kabupaten Serang Menurut Karakteristik Ketinggian, Kemiringan dan Luas Wilayahnya (dalam hektar dan persen)…………………………………… Penduduk Kabupaten Serang Menurut Lapangan Kerja Utama, Tahun 2000 (dalam jumlah dan persen)……………. Penduduk Menurut Status Bekerja Tahun 2000 (dalam jumlah dan persen)…………………………………………... Penduduk Kabupaten Serang Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2000 (dalam jumlah dan persen) Rumahtangga Pertanian di Kabupaten Serang Menurut Komoditas Usaha Tahun 2005 (dalam jumlah dan persen) Wilayah Desa Ciruas Menurut Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2009 (dalam hektar dan persen)………........................ Penduduk Desa Ciruas Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen)…………... Penduduk Desa Ciruas Menurut Jenis Mata Pencaharian Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen)…………………….. Penduduk Desa Ciruas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen)………………………………………………………. Penyuluh Pertanian di BPKP Kabupaten Serang menurut Jenjang Pendididkan Formal dan Jenis Kelamin Tahun 2009 Anggota Rumahtangga Petani Peserta PTT Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen)………………………………………….. Anggota Rumahtangga Petani Peserta PTT Menurut Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2010 (dalam jumlah dan persentase)……………………………………………… Anggota Rumahtangga Petani Peserta PTT Menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen)………………………………………….. Anggota Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Pendidikan Formal serta Jenis Kelamin Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen)………………………………………………………. Status Rumahtangga Petani Miskin Menurut Indikator BPS Tahun 2010 (dalam jumlah rumahtangga dan persen)……… Rumahtangga Petani Menurut Penguasaan Lahan Usahatani Sawah (dalam jumlah dan persen)…………………………. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Perubahan Perilaku Pada Tingkat Individu Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen)……….
33
34 35 36 37 38 40 41 42
43 52
59
60
61
62 64 65
67
xvi Tabel 19.
Tabel 20.
Tabel 21.
Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24. Tabel 25.
Tabel 26. Tabel 27.
Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Perubahan Perilaku Pada Tingkat Individu Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen)………………………………………………………. Hubungan Antara Variabel-variabel Peran Serta Petani Peserta PTT dengan Perubahan Perilaku Pada Tingkat Individu Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen)………. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Perubahan Pada Tingkat Rumahtangga Petani Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen)………… Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Perubahan Pada Tingkat Rumahtangga Petani Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen)………………………………………………………. Hubungan Antara Variabel-variabel Peran Serta Petani Peserta PTT dengan Perubahan Pada Tingkat Rumahtangga Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen)………………... Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antar Variabel Tidak Bebas………………………………………………………... Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Variabel Keluaran Tingkat Individu dengan Variabel Keluaran Tingkat Rumahtangga Petani………………………………………… Bentuk Pengembangan SDM dan Fasilitas pada P3TIP Kabupaten Serang Tahun 2008………………………..……. Input (Stimulan) dan Bantuan Teknis yang Diterima UPFMA Harum Mekar Di Desa Ciruas Tahun 2008…………...
\
71
73
75
78
79 80
81 82 84
xvii DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar 1.
Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.
Halaman Teks Hubungan antara Varibel –variabel Bebas dan Tak Bebas pada Program Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP)…………………………... Bagan Struktur Organisasi Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Kabupaten Serang…………… Bagan Struktur Organisasi Pelaksana P3TIP di Kabupaten Serang Bagan Struktur Organisasi Unit Pengelola FMA Harum Mekar……………………………………………………….
23
47 50 56
xviii DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11.
Halaman Teks Jadwal Penelitian……………………………………………. Peta Kabupaten Serang dan Peta Desa Ciruas………………. Kriteria Kemiskinan Menurut BPS…………………………. Petani Peserta PTT Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Karakteristik Individu, Rumahtangga, Peranserta Petani dalam PTT dan Keluaran PTT……………………….. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Variabel-Variabel Pada Karakteristik Individu, Karakteristik Rumahtangga dan Peran Serta dengan Keluaran Pada Tingkat Individu……….. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Variabel-Variabel Pada Karakteristik Individu, Karakteristik Rumahtangga dan Peran Serta dengan Keluaran Pada Tingkat Rumahtangga…. Analisis Usahatani Padi Sawah Musim Tanam 2009……….. Rencana Definitif Kegiatan (RDK) UP-FMA Harum Mekar Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) UP-FMA Harum Mekar………………………………………………….. Programa Desa Ciruas………………………………………… Dokumentasi UP-FMA Harum Mekar, Desa Ciruas………...
104 105 106
107
108
109 110 111 112 113 114
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Mosher (1978) mengemukakan bahwa kebijakan Perencanaan Nasional Pembangunan Pertanian merupakan salah satu dari lima syarat pelancar program pembangunan pertanian. Sejarah mencatat bahwa Revolusi Hijau merupakan bagian dari kebijakan dan program pembangunan pertanian di banyak negara di Asia. Di Indonesia, Revolusi Hijau diintroduksikan sejak 1963 melalui Program Bimbingan Massal, yang merupakan embrio program Panca Usaha Pertanian yang kemudian mendasari beragam program, diantaranya Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus yang secara akumulatif menghantarkan Indonesia mencapai Swasembada Pangan khususnya beras tahun 1984 (Mugniesyah, forthcoming). Meskipun demikian, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor berbagai komoditi pertanian, seperti beras, kedelai, produk hortikultura dan ternak. Itu sebabnya pembangunan pertanian di negeri ini belum berkelanjutan, sebagaimana tercermin dari kecenderungan menurunnya luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani dan masih banyaknya penduduk miskin di pedesaan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 diakui adanya penurunan luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani dari rata-rata 1,3 ha pada Sensus Pertanian (ST) 1983 menjadi 0,7 ha pada ST 2003. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada bulan Maret 2008 masih terdapat sekitar 22,19 juta orang atau 18,93 persen penduduk miskin pedesaan. Kondisi tersebut di atas tampaknya berhubungan dengan pendapat beberapa ahli, diantaranya (Reintjes 1992; Chambers 1993; Uphoff 1993 yang dikutip Mugniesyah, unpublish) yang menyatakan bahwa ketidakberhasilan Revolusi Hijau diantaranya disebabkan oleh penelitian dan penyuluhan pertanian yang: (1) hanya menekankan kepada komoditi tunggal (khususnya padi), (2) mengabaikan sumberdaya lahan kering, (3) mengabaikan pengetahuan dan teknologi petani, (4) menekankan penelitian yang berbasis pada pusat-pusat penelitian bukan pada usaha petani, serta (5) tidak berorientasi pada sumberdaya manusia itu sendiri dan mengabaikan kelembagaan-kelembagaan lokal (Mugniesyah, forthcoming). Selain
2
itu, Chambers juga menyatakan bahwa pendekatan pembangunan pertanian cenderung berbasis alih teknologi dan cetak biru (“blue print”), bukan kepada orangnya dan kurang menekankan pada proses belajar. Ini sebabnya, Chambers menyatakan perlunya peralihan paradigma pembangunan ke arah pendekatan farmer first dan learning process approach yang menekankan pada pemberdayaan sumberdaya manusia dan respek pada pengetahuan. Pemerintah Indonesia juga mengakui adanya sejumlah masalah yang dihadapi para petani, diantaranya adalah lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani, sangat terbatasnya akses mereka terhadap sumberdaya produktif permodalan dan layanan usaha serta masih rendahnya sistem alih teknologi dan diseminasi teknologi (RPJMN 2004-2009). Sehubungan dengan itu, pemerintah menetapkan arah kebijakan perencanaan pembangunan pertanian melalui program Revitalisasi Pertanian, yang diantaranya ditempuh melalui: (1) peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya serta (2) peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian. Berkenaan dengan
aspek
pertama,
diarahkan
untuk
revitalisasi
penyuluhan
dan
pendampingan petani yang bertujuan menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dan pedesaan, serta peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian. Adapun mengenai aspek yang kedua, diantaranya dilakukan melalui pengembangan usaha pertanian berbasis agribisnis. Untuk itu, terdapat sejumlah program/proyek yang dilaksanakan di lingkungan Departemen Pertanian (Deptan), diantaranya adalah Farmer Empowerment through Agricultural Technology and Information Project (FEATI) atau dalam Bahasa Indonesia disebut Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP), yang merupakan kegiatan pilot project sebagai wujud pelaksanaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Proyek ini dilaksanakan selama lima tahun (2007-2011) dan dirancang untuk mewujudkan sistem penelitian dan penyuluhan pertanian yang mampu memenuhi kebutuhan petani dalam menghadapi perkembangan ekonomi global. Dalam pelaksanaannya, Deptan menunjuk Badan
3
Pengembangan
SDM
Pertanian
(BPSDMP)
sebagai
agen
pelaksana
(http://www.deptan.go.id/feati/), Menurut informasi yang bersumber dari (http://www.deptan.go.id/feati/), tujuan P3TIP adalah untuk memberdayakan petani dan organisasi petani dalam meningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan aksesibilitas terhadap informasi, teknologi, modal dan sarana produksi, pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha. Proyek ini memiliki kegiatan inti dalam memfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani atau Farmers Management Extension Activities (FMA). Melalui kegiatan ini petani difasilitasi untuk merencanakan dan mengelola sendiri kebutuhan belajarnya, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Proses pembelajaran di tingkat desa dimulai dari kajian desa secara partisipatif yang dilaksanakan dengan difasilitasi oleh penyuluh swadaya yang dipilih secara demokratis dari dan oleh pelaku utama maupun pelaku usaha setempat. Meskipun P3TIP sudah diintroduksikan sejak tahun 2007, namun studi-studi yang mengemukakan pelaksanaannya belum banyak dilakukan. Terdapat sejumlah publikasi, diantaranya oleh Soekartawi (2008) dan berupa Laporan Tahunan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat (NTB) 2008. Kedua publikasi tersebut mencakup informasi hasil evaluasi sebatas basis data (data base) teknologi pertanian tepat guna, dan belum melaporkan keberhasilan pencapaian tujuan P3TIP secara holistik, baik pada tingkat rumahtangga petani maupun kelembagaan petani. Selain itu, informasi yang dipublikasikan dalam website P3TIP (http://www.deptan.go.id/feati/) dan Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (http://www.litbang.deptan.go.id) juga terbatas pada informasi beragam kegiatan yang dilakukan oleh P3TIP. Studi tentang penerapan inovasi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) telah dilakukan di Kabupaten Serang (Kartono, 2009). Namun demikian, inovasi PTT tersebut ternyata merupakan komponen Proyek PRIMA TANI, bukan P3TIP. Meskipun studi tersebut melihat pengaruh intensitas kegiatan penyuluhan sebagai faktor yang mempengaruhi penerapan inovasi PTT, namun studi tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit aspek input yang berasal dari kelembagaan
4
penyuluhan yang berperan dalam mengintroduksi PTT padi sawah tersebut. Selain itu, juga tidak memperhitungkan variabel yang mempengaruhi pada penerapan inovasi PTT dari aspek kelembagaan petani, baik itu kelmpok tani maupun Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan); padahal kedua aspek yang terakhir ini merupakan bagian integral dalam penguatan kelembagaan petani yang diintroduksikan dalam
PRIMA TANI.
Dengan demikian, belum ada studi
evaluasi P3TIP yang dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang lebih kmprehensif dan sistematis. Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, Studi Evaluasi P3TIP menjadi sangat penting, terutama untuk mengkaji keberhasilan proyek ini dalam mencapai tujuannya, terutama dalam melakukan Penguatan Sistem Penyuluhan yang sesuai dengan Kebutuhan Petani serta Penguatan Kelembagaan dan Kemampuan Petugas P3TIP.
1.2. Perumusan Masalah Seperti diketahui, P3TIP merupakan pilot project yang didanai Bank Dunia dan dilaksanakan di 68 kabupaten/kota yang berada di 18 wilayah provinsi di Indonesia, diantaranya di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Di kabupaten ini, Unit Pelaksana P3TIP adalah Badan Pelaksana Penyuluh (BAPELLUH) dan Badan Penyuluh dan Ketahanan Pangan (BPKP), namun pelaksanaannya dilakukan oleh Balai Penyuluh Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan memfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani di tingkat desa atau yang dikenal sebagai Unit Pengelola Farmers Managed Extension Activities (UP-FMA). Sehubungan dengan itu, bagaimanakah kelembagaan atau organisasi P3TIP di Kabupaten Serang, baik dalam hal struktur organisasi dan pembagian kerja (tugas pokok dan fungsi) pada ketiga kelembagaan tersebut? Merujuk pada pendapat para ahli penyuluhan dalam Mugniesyah (forthcoming), studi evaluasi dilakukan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu proyek/ program dalam mencapai tujuan yang ditetapkannya, yang disebut sebagai keluaran (output) proyek/program. Berdasar tujuan P3TIP tersebut di atas, dapatkah P3TIP memberdayakan petani yang menjadi sasarannya? Merujuk
5
tujuan umum penyuluhan, apakah terjadi perubahan perilaku pada para petani peserta P3TIP? Merujuk rumusan tujuan P3TIP, apakah P3TIP juga mampu memberdayakan petani dalam peningkatan produktivitas dan pendapatan? Di pihak lain, sebagaimana diketahui petani itu heterogen baik sebagai individu maupun sebagai anggota rumahtangga petani. Sehubungan dengan itu bagaimanakah karakteristik individu dan rumahtangga petani peserta P3TIP? Untuk mewujudkan tercapainya tujuan P3TIP terdapat komponen Penguatan Sistem Penyuluhan yang mencakup: (1) memberikan bantuan teknis untuk kegiatan penyuluhan di desa yang dikelola oleh organisasi petani yang disebut Unit Pengelola FMA atau UP-FMA, (2) penyediaan dana hibah bagi UP-FMA untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penyuluhan, dan (3) penguatan organisasi petani khususnya UP-FMA. Sehubungan dengan itu, bantuan teknis apakah dan seberapa besar dana hibah yang diperoleh UP-FMA? Penguatan organisasi yang bagaimanakah yang dilakukan oleh penyelenggara P3TIP terhadap UP-FMA dan GAPOKTAN? Merujuk pada pedoman pelaksanaan dan tujuan P3TIP di Kabupaten Serang tersebut di atas, keluaran (output) program apa sajakah yang berhasil dicapai pada tingkat individu petani, rumahtangga petani, dan SDM di lingkungan BPKP? Apakah kedua karakteristik: individu dan rumahtangga petani peserta P3TIP mempengaruhi perubahan pada perilaku individu petani dalam konteks inovasi P3TIP dan
tingkat rumahtangga petani? Apakah penguatan organisasi melalui
P3TIP dapat meningkatkan kemampuan UP-FMA dalam memberdayakan anggotanya? Seberapa banyakkah
jumlah penyuluh di tingkat BPKP yang
mengikuti pelatihan dan pendidikan lanjutan? Pengadaan fasilitas dan prasarana apakah yang dibangun dan/atau dikembangkan oleh BPKP? Lebih lanjut, merujuk pada prinsip dasar pelaksanaan P3TIP di Kabupaten Serang, apakah kegiatan penyuluhan P3TIP telah menerapkan pendekatan farmers first dan learning process approach sebagaimana dikemukakan Chambers (1993)? Adakah permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian keluaran (output) P3TIP di Kabupaten Serang? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhinya?
6
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan dan hasil yang dicapai melalui P3TIP di Kabupaten Serang. Berdasar pada perumusan masalah tersebut di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Profil kelembagaan penyelenggara P3TIP di Kabupaten Serang, baik pada tingkat kabupaten (BPKP), Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan UP-FMA, baik dalam hal struktur organisasi maupun pembagian kerja (tugas pokok dan fungsi) pada ketiga kelembagaan tersebut. 2. Karakteristik individu dan rumahtangga dari petani peserta P3TIP, khususnya yang meliputi aspek demografi sosial, penguasaan lahan, tingkat kekayaan dan status rumahtangga mereka menurut tingkat kemiskinan, serta peranserta mereka dalam P3TIP. 3. Bentuk dan jumlah bantuan teknis, dana hibah serta penguatan organisasi yang diperoleh UP-FMA dan GAPOKTAN melalui P3TIP dari BPKP. 4. Pencapaian tujuan P3TIP dalam memberdayakan petani atau keluaran (output) P3TIP, khususnya perubahan
perilaku
peserta
P3TIP
baik dalam hal
pengetahuan, sikap maupun penerapan inovasi dalam P3TIP, serta perubahan pada tingkat rumahtangga, khususnya dalam peningkatan produksi dan pendapatan rumahtangga. 5. Pencapaian tujuan P3TIP pada aspek kelembagaan: (a)
peningkatan
kemampuan UP-FMA dalam memberdayakan anggotanya, dan (b) jumlah penyuluh di tingkat BPKP yang mengikuti pelatihan dan pendidikan lanjutan, serta (c) pengadaan fasilitas dan prasarana
yang dibangun dan/atau
dikembangkan oleh BPKP. 6. Penerapan pendekatan farmers first dan learning process approach dalam pelaksanaan P3TIP di Kabupaten Serang. 7. Permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian keluaran dalam pelaksanaan P3TIP serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
7
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya adalah: 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam menerapkan berbagai konsep dan teori yang berhubungan dengan
studi
evaluasi proyek penyuluhan pertanian, khususnya dalam pelaksanaan P3TIP di Kabupaten Serang. 2. Bagi para peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sekaligus rujukan untuk melengkapi hasil-hasil studi evaluasi P3TIP yang ada di Provinsi Banten, baik sebagai bahan studi pustaka maupun informasi awal dalam penelitian evaluasi lanjutan. 3. Bagi Pemerintah Kabupaten Serang, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Serang, Balai Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Kabupaten Serang, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari aktivitas monitoring dalam pelaksanaan proyek P3TIP, khususnya di lokasi penelitian terpilih.
8
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pengertian dan Lingkup Penyuluhan Sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (forthcoming), terdapat sejumlah ahli yang merumuskan definisi penyuluhan pertanian. Diantara mereka, Savile dalam Maunder (1972) mendefinisikan penyuluhan pertanian sebagai kegiatan untuk mengajar
orang-orang
yang
hidup
di
pedesaan
mengenai
bagaimana
meningkatkan standar hidup mereka dengan usaha mereka sendiri, dengan mempergunakan sumberdaya manusia dan materil yang mereka miliki, dengan sedikit bantuan dari pemerintah. Wiriaatmadja (1973) mendefinisikan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolahan untuk keluargakeluarga tani di pedesaan, di mana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu dan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Adapun Mosher (1978) menyatakan bahwa: “proses penyuluhan adalah bekerja dengan masyarakat pedesaan melalui pendidikan luar sekolah, sejalan dengan minat dan kebutuhan mereka yang erat hubungannya untuk memperoleh penghidupan, memperbaiki tingkat kehidupan keluarga pedesaan secara fisik serta mengangkat kesejahteraan masyarakat pedesaan”. Selanjutnya Mugniesyah (forthcoming), mengemukakan bahwa sebagai suatu kegiatan pendidikan, penyuluhan pertanian bertujuan untuk merubah perilaku petani, yang mencakup 3 ranah, yaitu: (1) kognitif atau pengetahuan (knowledge), yakni merubah aspek pengetahuan petani dari tidak tahu menjadi tahu sesuatu hal yang baru; (2) afektif atau sikap (attitude), yakni merubah predisposisi atau kecenderungan untuk bertindak, dan (3) ranah psikomotor atau tindakan/keterampilan (action/skill), di mana individu melakukan tindakan sedemikian rupa sehingga dia terampil melakukannya. Dinyatakan lebih lanjut bahwa perubahan perilaku tersebut pada gilirannya diharapkan dapat menghantar petani dan keluarganya mencapai kondisi yang oleh Kelsey dan Hearne (1955)
9
disebut sebagai berusahatani lebih baik, berbisnis lebih baik dan berkehidupan lebih baik (better farming, better business and better living).
2.1.2. Pendekatan Penyuluhan Chambers dalam Mugniesyah (forthcoming) memandang penting paradigma pembangunan yang memprioritaskan petani atau dikenal sebagai pendekatan farmers first. Lebih lanjut dikemukakan bahwa mengingat pembangunan pertanian termasuk di dalamnya penyuluhan pertanian ditujukan untuk mengubah perilaku petani agar lebih berdaya, maka selain menempatkan petani sebagai prioritas, pendekatan penyuluhan yang semula tergolong bersifat “blue print” (cetak biru) menjadi pendekatan proses belajar atau learning process approach. Hal ini menjadi penting mengingat pendekatan proses belajar seharusnya berorientasi pada pemberdayaan sumberdaya manusia dan respek pada pengetahuan lokal. Adapun karakteristik dari pendekatan “blue print” di antaranya didesain oleh para ahli dengan sumberdaya utama berasal dari dana dan teknisi pusat yang biasanya didukung oleh organisasi yang sudah ada atau bentukan supra desa. Berbeda dengan ”blue print”, pendekatan proses belajar atau learning process approach merupakan pendekatan yang dirancang dengan adanya pelibatan masyarakat dimana proses saling belajar dan berbagi pengalaman dilakukan oleh sumberdaya manusia lokal. Selain itu, pendekatan ini menekankan pada proses belajar melalui aksi berbasis lapangan dengan pelaksanaan yang gradual dan sesuai perkembangan subyek serta dievaluasi secara internal dan berkesinambungan.
2.1.3. Evaluasi Program Penyuluhan Evaluasi merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan program pembangunan, khususnya pembangunan pertanian. Terdapat sejumlah ahli yang mengemukakan berbagai konsep penting dalam kaitannya dengan studi evaluasi, diantaranya Potter, Mortiss dan Roudabough (Mugniesyah, forthcoming). Menurut Potter (1972) evaluasi program adalah proses pengujian dan pembuatan penilaian secara sistematis tentang relevansi dari tujuan-tujuan dengan maksud
10
program, keadaan melalui mana tujuan bisa dicapai, keefektivan metode yang digunakan dan efisisensi penggunaan sumberdaya. Mortiss (1993) mengemukakan beberapa manfaat evaluasi program, diantaranya adalah: (1) memperbaiki profesionalisme dan motivasi petugas penyuluh, (2) menguji tujuan, metode, dan hasil program penyuluhan, (3) memungkinkan penyuluh untuk menjawab kritikan yang datang dari dalam dan luar organisasi, (4) membantu penyuluh dalam memberikan umpan balik bagi peneliti, dan (5) menjadi bukti keberhasilan yang akan membantu penyuluh dalam memperoleh dukungan dana bagi program yang akan dilaksanakan. Adapun Raudabough (1962) mengategorikan evaluasi program ke dalam tiga kategori menurut waktu dilakukannya evaluasi program, sebagai berikut: 1. Evaluasi awal (ex-ante evaluation atau pre-evaluation) adalah evaluasi yang dilakukan sebelum sesuatu proyek/program dilaksanakan/diintroduksikan dengan maksud untuk mengetahui apakah sesuatu proyek memang layak dilakukan secara ekonomis, teknis, finansial, sosial, maupun politis. Evaluasi ini diperlukan untuk menentukan prioritas masalah dan kebutuhan klien atau subyek penyuluhan yang difokuskan pada seberapa banyak dan jauh subyek penyuluhan dilibatkan dalam pengumpulan fakta berkenaan masalah, penentuan prioritas masalah dan kebutuhan serta penentuan solusinya. 2. Evaluasi proses (process or on-going evaluation) adalah evaluasi yang dilakukan selama sesuatu proyek/program sedang berjalan untuk mengetahui apakah kegiatan-kegiatan berlangsung sebagaimana mestinya, sesuatu yang dirumuskan pada setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek/program. 3. Evaluasi akhir proyek (terminal evaluation, project completion evaluation) adalah evaluasi yang dilakukan pada saat sesuatu proyek/program selesai dilaksanakan atau berakhir. Lebih lanjut, evaluasi akhir ini dibedakan ke dalam tiga kategori berdasar pada isi atau substansi yang akan dievaluasinya yakni: hasil atau keluaran (outputs), pengaruh (effects) dan dampak (impacts) dari program/proyek. Dalam hal hasil atau keluaran, evaluasi dilakukan untuk menilai ketercapaian tujuan proyek/program penyuluhan sebagaimana telah ditetapkan dalam rencana kerja. Dalam hal ini, aspek yang dinilai dapat dikategorikan ke dalam aspek perubahan perilaku, baik dalam pengetahuan,
11
sikap, dan keterampilan, serta juga dalam konteks fisik dan ekonomi. Dalam hal pengaruh, evaluasi dilakukan terhadap perubahan yang berlangsung pada tingkat individu dan atau keluarga dari target proyek/program sebagai akibat langsung dari keluaran yang dicapai proyek. Dalam hal dampak berhubungan dengan perubahan yang terjadi sebagai akibat lebih jauh dari pelaksanaan atau penerimaan inovasi (perubahan perilaku) pada individu, tingkat keluarga, kelompok atau masyarakat luas, misalnya penciptaan peluang kerja dan peningkatan kesejahteraan. Menurut The United Nations ACC Task Force on Rural Development Panel on Monitoring and Evaluation (1984), program adalah seperangkat aktvitas, proyek, proses atau jasa yang diorganisasikan untuk pencapaian suatu tujuantujuan yang spesifik. Adapun proyek merupakan bagian dari program yang terencana yang di dalamnya terdapat serangkaian aktivitas yang berhubungan satu dengan lainnya yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan khusus tertentu dengan anggaran dana dan periode waktu tertentu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sebuah program atau proyek dirancang untuk merubah seperangkat sumberdaya (input) ke dalam hasil-hasil yang dinginkan (sesuai tujuan-tujuan) melalui serangkaian aktivitas atau proses. Hasi-hasil tersebut dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: keluaran (outputs), pengaruh (effects) dan dampak (impacts). Input atau asupan sebuah program atau proyek bisa berupa barang-barang, jasa, dana, teknologi, informasi dan sumberdaya lainnya yang diberikan kepada mereka yang menjadi sasaran (subyek) program/proyek untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas dengan harapan agar tercapai keluaran (output). Keluaran (output) adalah produk atau jasa yang diharapkan dihasilkan melalui aktivitas yang memanfaatkan input dalam rangka mencapai tujuan-tujuan program. Keluaran (output) sebuah program bisa berupa: (a) fisik, seperti jumlah kelompok tani atau koperasi primer tani, jumlah kilometer jalan dan atau saluran irigasi yang dibangun, (b) jasa, seperti petani dan/atau penyuluh yang mengikuti pelatihan,
memperoleh
kredit
dan/atau
layanan
jasa.
Sebuah
keluaran
program/proyek dimungkinkan menjadi input bagi keluaran lainnya. Sebagai contoh, keluaran berupa jalan beraspal menjadi input bagi aksesibilitas petani terhadap pasar.
12
Pengaruh (effect) merupakan hasil (outcome) dari penggunaan keluaran proyek (project output), seperti peningkatan produksi pada tingkat usahatani sebagai hasil dari penerapan teknologi budidaya suatu komoditi tertentu. Pengaruh proyek umumnya terjadi setelah selesainya suatu pelaksanaan sebuah proyek. Adapun dampak (impact) adalah hasil-hasil (outcomes) dari terjadinya pengaruh proyek (project effects). Dampak biasanya berlangsung pada tingkatan yang lebih luas, bisa pada tingkat rumahtangga, keluarga dan/atau komunitas tertentu. Perbedaan antara keluaran, efek dan dampak tergantung pada sifat, lingkup dan ukuran proyek, dan lebih dari itu, tergantung pada tujuan-tujuan spesifik dari sebuah program/proyek.
2.1.4. Ruang Lingkup P3TIP Terdapat lima kelompok kegiatan utama yang dilakukan untuk mencapai tujuan P3TIP (http://feati.deptan.go.id/), yakni Komponen A, B, C, D dan E, dengan rincian sebagai berikut: 1. Komponen A berupa penguatan sistem penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani. Komponen ini bertujuan untuk memberdayakan petani dalam
merencanakan,
melaksanakan
penyuluhan,
serta
meningkatkan
kemampuan mereka dalam: (1) mengadopsi inovasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, (2) mengembangkan kemampuan mengelola agribisnis, dan (3) mengembangkan kemitraan usaha dengan berbagai pihak di tingkat desa, kabupaten dan provinsi. 2. Komponen B berupa penguatan kelembagaan dan kemampuan aparat, yang bertujuan untuk mengembangkan sistem penyuluhan yang terdesentralisasi melalui kerjasama antara penyedia layanan penyuluhan swasta dengan kelompok tani dan perusahaan untuk keuntungan bersama. Terdapat beberapa kegiatan di dalamnya, yaitu pelatihan, perbaikan infrastruktur beserta perlengkapannya, serta penyediaan dana operasional dari pemerintah untuk pelayanan penyuluhan di tingkat kecamatan dan kabupaten. 3. Komponen C berupa peningkatan kapasitas Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dalam pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian, yang bertujuan untuk penguatan kelembagaan Balai Besar Pengkajian dan
13
Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) dan BPTP, penguatan koordinasi dan manajemen bagi BBP2TP dan BPTP, serta penguatan hubungan keterkaitan dan jaringan kerja yang melembaga antara penelitian-penyuluhanpelaku utama/pelaku usaha. 4. Komponen D berupa
perbaikan pelayanan informasi dan teknologi untuk
petani yang dalam hal ini bertujuan meningkatkan kapasitas Departemen Pertanian dalam mengembangkan dan mendukung komunikasi petani berbasis komputer (e-Petani) termasuk penyediaan muatan informasi yang sesuai kebutuhan petani, pengembangan sistem jaringan informasi dengan aplikasi Information Communication Technology (ICT), pelatihan dan sosialisasi ePetani, penyediaan fasilitas perangkat keras (seperti jaringan komputer, telepon) untuk mendukung e-Petani, serta dukungan manajemen bagi Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin). 5. Komponen E berupa penguatan dan perbaikan dukungan kebijakan dan manajemen pusat, khususnya kepada Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSDMP) untuk melakukan sosialisasi UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) serta melakukan tinjauan terhadap peraturan daerah (Perda) di bidang penyuluhan pertanian, penyediaan dukungan pelatihan manajemen, penyediaan konsultan dan dukungan manajemen. Ruang lingkup P3TIP mencakup: (1) pengembangan kelembagaan penyuluhan, (2) pengembangan kelembagaan petani, (3) penguatan ketenagaan penyuluhan, (4) perbaikan sistem dan metode penyuluhan, (5) perbaikan penyelenggaraan penyuluhan, (6) penguatan dukungan teknologi pada usaha tani/agribisnis di tingkat petani, dan (7) perbaikan pelayanan teknologi dan informasi pertanian. Dalam pelaksanaannya, P3TIP juga berperan dalam memasilitasi salah satu metoda pengembangan kapasitas pelaku utama yang dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang dikelola oleh pelaku utama itu sendiri (Farmers Managed Extension Activites/FMA). Metode ini menitikberatkan pada pengembangan kapasitas manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan pelaku utama dalam pengelolaaan kegiatan penyuluhan pertanian. Dalam metode FMA
14
ini pelaku utama dan pelaku usaha mengidentifikasi permasalahan dan potensi yang ada pada diri, usaha dan wilayah mereka, merencanakan kegiatan belajar mereka yang sesuai dengan kebutuhan mereka, secara partisipatif dalam rangka meningkatkan produktivitas usaha mereka guna peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Adapun tujuan umum pelaksanaan FMA adalah untuk meningkatkan kemampuan
pelaku
utama
dan
pelaku
usaha
dalam
merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatankegiatan penyuluhan pertanian dari, oleh dan untuk pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha mereka secara optimal dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga pelaku utama secara berkelanjutan. Adapun langkah-langkah pokok dalam perencanaan dan pelaksanaan FMA dalam satu tahun/musim tanam yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap monitoring. Untuk tahap persiapan mencakup kegiatan: (a) sosialisasi konsepsi FMA; (b) pembentukan Unit Pengelola FMA (UP-FMA) dan pengurusnya; serta (c) pemilihan penyuluh swadaya. Pada tahap perencanaan dilakukan beberapa kegiatan yang mencakup: (a) pelaksanaan PRA; (b) penyusunan rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK); (c) penyusunan Programa Penyuluhan Desa; (d) penetapan prioritas kegiatan yang akan diusulkan untuk dibiayai dana UP-FMA desa; (e) Penyusunan Proposal UP-FMA; (f) penilaian kelayakan dan rekomendasi persetujuan proposal UP-FMA oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten, dan (g) persetujuan dari PPK-P3TIP untuk pemberian dana bagi UP-FMA. Pelaksanaan kegiatan FMA dilakukan langsung oleh kelompok tani sesuai dengan rencana kegiatan dan jadwal yang telah disepakati bersama. Disamping itu, pengurus UP-FMA diharuskan menyusun laporan kegiatan dan hasilnya serta keuangan yang mencakup penerimaan, penggunaan dan pembukuan dana untuk dilaporkan kepada masyarakat desa dan pemangku kepentingan lainnya. Monitoring dan evaluasi mencakup kegiatan-kegiatan: (a) pemantauan terhadap proses pelaksanaan kegiatan FMA dan hasil kegiatan belajar secara partisipatif; (b) pemantauan terhadap pelaksanaan rencana tindak lanjut peserta setelah selesai mengikuti FMA dan identifikasi masalah yang dihadapi; (c) evaluasi dampak
15
FMA terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan peserta dan masyarakat desa; dan (c) pengusulan rekomendasi untuk siklus kegiatan berikutnya. Adapun kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan oleh Tim Monitoring dan Evaluasi yang dibentuk oleh Rembugtani Desa.
2.1.5. Hasil-Hasil Studi Proyek P3TIP di Indonesia Pada tahun 2008 kegiatan P3TIP di Provinsi Banten yang dikelola oleh BPTP Banten meliputi: (1) Kegiatan Gelar Teknologi Padi Sawah yang dilaksanakan di Desa Pulokencana, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, dan (2) Lokakarya penyebaran informasi teknologi ke penyuluh dan petani, serta (3) pelatihan Teknologi PTT Padi Sawah, Perangkat Uji Tanah Sawah dan Bagan Warna Daun. Kegiatan Gelar Teknologi Budidaya Padi Sawah meliputi: (1) pengolahan tanah, (2) persemaian, (3) penanaman bibit, (5) pengendalian gulma, (6) pengendalian hama dan penyakit (7) panen, dan (8) perontokan gabah. Pelaksanaan Gelar Teknologi Budidaya Padi Sawah ini dilaksanakan oleh Kelompok Tani Banyu Mukti, yang melibatkan petani pemilik dan penggarap yang lahan sawah mereka merupakan sawah beririgasi teknis dalam sehamparan, seluruhnya seluas 3 ha. Pada tahun yang sama di Provinsi Nusa Tenggara Barat telah dilaksanakan P3TIP yang bertujuan untuk: (1) menyusun perencanaan kegiatan Komponen C pada tahun 2008-2011, untuk memahami paradigma dan menyamakan persepsi proyek P3TIP di kalangan BPTP, (2) mengembangkan media informasi dan komunikasi hasil-hasil pengkajian di lokasi P3TIP untuk menganalisis dan mengidentifikasi basis data (data base) teknologi di lingkungan Badan Litbang Pertanian, serta (3) akselerasi diseminasi dan pengembangan (scaling up) hasilhasil penelitian dan pengkajian dengan adanya pengembangan informasi melalui SMS center dan website. Adapun tingkat penerapan PTT padi oleh petani dilaporkan Kartono (2009) sebagai berhubungan nyata dengan sejumlah variabel persepsi petani atas sejumlah komponen teknologi PTT padi sawah itu sendiri, yakni : (1) penggunaan varietas unggul, (2) perlakuan benih bermutu, (3) penggunaan umur bibit muda dan jumlah tanam 2-3 batang per-rumpun, (4) sistem tanam, (5) penggunaan
16
Bagan Warna Daun (BWD), (6) penggunaan bahan organik, (7) sistem pengairan berselang, (8) pengendalian hama dan penyakit, dan (9) penanganan panen dan pasca panen. Terlepas dari adanya kelemahan dalam pendekatan teoritis yang digunakannya1, studi
Kartono (2009) di Kabupaten Serang
yang menguji
hubungan antara sejumlah variabel bebas - dari karakteristik petani, penguasaan lahan, iklim usaha dan kegiatan penyuluhan - dengan variabel tidak bebasnya, yakni persepsi petani tentang inovasi PTT padi sawah,
menemukan bahwa
kekosmopolitan, pendapatan, iklim usaha dan penyuluhan berhubungan nyata, sementara variabel-variabel: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman dan luas lahan tidak berhubungan nyata dengan persepsi petani akan PTT padi sawah.
2.1.6. Pembelajaran Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi merupakan metodologi atau strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, air, tanah, dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik (menyeluruh) dan berkelanjutan (Balai Besar Padi, 2008). Pendekatan yang ditempuh dalam penerapan komponen PTT bersifat partisipatif, dinamis, spesifik lokasi, keterpaduan dan sinergis antar komponen. Penerapan PTT didasarkan pada empat prinsip. Pertama, PTT bukan merupakan teknologi maupun paket teknologi, tetapi merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, lahan dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya. Kedua, PTT memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan 1 Dalam studinya Kartono (2009) merujuk teori proses adopsi dari Wilkening (1955) yang mencakup lima tahapan: kesadaran (awareness), minat (interest), evaluasi (evaluation), mencoba (trial) dan adopsi (adoption) sebagai indikator untuk mengukur tingkat penerapan inovasi PTT padi sawah. Merujuk penjelasan teori adopsi tersebut, sebenarnya penerapan inovasi hanya menunjuk pada “aktivitas” mencoba dan/atau adopsi saja, bukan mencakup semua tahapan dalam proses adopsi tersebut. Di pihak lain, dan yang terpenting, teori tersebut juga sudah dikritisi oleh Rogers dan Shoemaker sebagaimana dikutip Mugniesyah (forthcoming). Beberapa kritikan mereka terhadap mode adopsi tersebut sebagai berikut: 1) Model proses adopsi mengemukakan bahwa proses adopsi selalu berakhir dengan adopsi, padahal pada kenyataannya, individu dapat menolak inovasi. Karenanya diperlukan istilah yang lebih umum daripada “proses adopsi”, yang memungkin-kan adanya adopsi atau menolak inovasi. 2) Kelima tahapan tidak selalu terjadi secara berurutan, tahapan-tahapan tersebut dapat saja terjadi secara tidak berurutan, bahkan terjadi loncatan, khususnya tahap mencoba (trial). Pada kenyataannya tahap evaluasi juga terjadi pada keseluruhan proses, tidak hanya sebagai salah satu tahap dari lima tahapan adopsi. 3) Proses adopsi jarang berakhir dengan adopsi, individu bisa saja mencari informasi lebih jauh untuk mengonfirmasikan atau mengukuhkan keputusan, atau individu bisa saja berganti dari adopsi menjadi menolak atau terjadi penghentian/pemutusan adopsi (discontinuance); sehingga setelah tahap adopsi, masih ada tahapan lain.
17
diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi. Ketiga, PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial ekonomi petani. Keempat, PTT bersifat partisipatif yang berarti melibatkan petani untuk menguji dan memilih teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat melalui proses pembelajaran. Dalam program PTT diintroduksikan cara bertanam sistem legowo, yang di dalamnya mencakup: (1) penggunaan benih varietas unggul/bermutu, (2) pengaturan jarak tanam, (3) penggunaan benih muda, (4) penggunaan bahan organik, (5) pemupukan sesuai dengan kebutuhan, (6) pengendalian OPT sesuai konsep PHT, dan (7) pengelolaan air sesuai kondisi lapangan. Varietas benih unggul bermutu yang dianjurkan adalah Ciherang, Mekongga, Conde, Cigeulis, Widas, Cimelati, Gilirang, Angke, Tukad Balian, dan Tukad Petani. Adapun jarak tanam legowo dilakukan dengan mengatur jarak tanam padi dengan pola berselang; dimana diantara dua atau empat baris bibit yang ditanam dibiarkan satu baris kosong. Lebih lanjut, khusus pada bagian sisi atau tepi bidang tanam, ditanami bibit padi dengan jarak tanam lebih rapat atau separuh dari jarak tanam normal. Hal ini didasarkan pada hasil
kajian dan
observasi para ahli yang menemukan bahwa pada umumnya tanaman padi yang berada di tepi bidang tanam cenderung tumbuh lebih tinggi, lebih subur, dan lebih lebat bulirnya dibandingkan dengan padi yang berada di bagian tengah bidang tanam. Jarak tanam legowo yang dianjurkan adalah legowo 4:1 (20 cm x 10 cm). Dalam hal bibit, petani dianjurkan untuk menggunakan bibit muda tunggal yang ditanam secara dangkal dengan umur bibit 14 hari setelah sebar (HSS). Hal ini dengan pertimbangan bahwa penggunaan bibit muda akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan akar yang lebih baik, sehingga jumlah anakannya akan lebih banyak dan tanaman padi tersebut lebih mampu beradaptasi dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari bibit yang lebih tua. Dalam hal pemupukan, sistem legowo mensyaratkan penggunaan bahan organik atau kompos yang terbuat dari hasil fermentasi bahan-bahan yang antara lain terdiri dari jerami, kotoran sapi atau ayam, dedaunan pupuk dan serasah. Penggunaan pupuk organik ini bertujuan untuk memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Namun demikian, petani diharuskan melakukan pengecekkan
18
terhadap hasil pemupukan tersebut dengan menggunakan metode pengukuran tingkat kehijauan daun padi yang dinamakan Bagan Warna Daun (BWD). Dalam hal ini, petani mengontrol kualitas warna daun tanaman padi yang tumbuh dengan membandingkannya dengan warna daun padi yang ada pada BWD. Selanjutnya, jika warna daun tanaman padi tersebut belum sesuai dengan yang ada pada BWD, petani dapat memberi pupuk tambahan berupa urea yang dosisnya disesuaikan dengan formula yang dianjurkan pada BWD tersebut. Sistem legowo juga menganjurkan agar pengendalian hama dan penyakit tanaman padi merujuk pada prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang menganjurkan petani untuk melakukan tanam serempak dan melakukan pengamatan hama secara periodik guna memantau perkembangan populasi organisme pengganggu tanaman yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam menentukan perlu tidaknya pengendalian hama dengan pengunaan pestisida. Berbeda dengan budidaya padi konvensional, dalam sistem legowo sistem pengairan pada tingkat usahatani dilakukan dengan cara pengairan berselang (intermitten) yang dilakukan untuk memberi kesempatan tanah sawah menjadi kering beberapa saat dengan tujuan mencegah terjadinya penumpukkan bahan beracun pada lapisan perakaran sebagai akibat pengenangan sawah secara terus menerus.
2.1.7. Karakteristik Rumahtangga Petani Rumahtangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri. Menurut BPS (2000) secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan jika pengurusan
19
kebutuhan
sehari-hari
dikelola
bersama-sama.
Adapun
White
(1978)
mengemukakan bahwa rumahtangga di pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi prinsip safety first, yaitu suatu prinsip dahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyakbanyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada beberapa kebiasaan dalam perilaku rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknikteknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyekproyek pembangunan. Sebagai unit ekonomi yang merangkap fungsi banyak, menurut White (1978), rumahtangga di pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka diantara beberapa jenis kegiatan, yang mencakup: (a) pekerjaan yang tidak semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaanpekerjaan pemeliharaan rumahtangga seperti mengurus rumah tangga, mengasuh anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki rumah, (b) pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambatan, serta (c) pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan.
2.1.8. Kelembagaan Kelompok Petani Para ahli mengemukakan beberapa pengertian kelembagaan. Menurut Koentjaraningrat (1964) dalam Tonny (2003), kelembagaan adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, kelembagaan kelompok petani dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Hal tersebut dimaksudkan agar kelompok dapat berfungsi sebagai kelas belajar, wahana kerja sama dan unit produksi, unit
20
penyedia sarana dan prasarana produksi, unit pengolahan dan pemasaran, serta unit jasa penunjang sehingga menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri.
2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul “Studi Evaluasi Penyelenggaraan Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) di Kabupaten Serang” ini merujuk pada sejumlah konsep dan teori studi evaluasi proyek/program dari berbagai ahli dan organisasi dalam lingkup Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dikutip Mugniesyah (forthcoming). Mengingat proyek P3TIP sudah dilaksanakan pada tahun 2009, lingkup studi evaluasi ini tergolong evaluasi akhir (evaluasi sumatif), yang secara khusus akan mengukur keluaran (outputs) proyek P3TIP. Merujuk pada rumusan tujuan program
P3TIP, keluaran P3TIP dalam studi ini terutama berkenaan dengan
komponen Penguatan Sistem Penyuluhan yang sesuai dengan Kebutuhan Petani (PSPKP) yang berlangsung pada tingkat individu dan rumahtangga petani. Keluaran pada tingkat individu petani berkenaan dengan perubahan perilaku pada para petani yang menjadi subyek P3TIP, yang diukur oleh tiga variabel yang meliputi: Tingkat Pengetahuan Petani PTT (Y1), Sikap Petani terhadap PTT (Y2) serta Tingkat Penerapan PTT (Y3). Dengan merujuk pada pendapat White (1978) bahwa pengelolaan usahatani itu melibatkan rumahtangga petani, maka variabelvariabel perubahan perilaku pada tingkat individu ini diduga akan mempengaruhi perubahan pada tingkat rumahtangga petani, yang dalam penelitian ini diukur melalui dua variabel: Tingkat Produksi Usahatani (Y4) dan Tingkat Pendapatan Hasil Usahatani Padi Sistem PTT (Y5). Mengingat tujuan P3TIP pada komponen PSPKP juga mencakup penguatan organisasi petani, maka keluaran P3TIP juga diduga berlangsung pada kelembagaan petani. Merujuk pada Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani (Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/Ot.160/4/2007), yang tergolong sebagai variabel terpengaruh pada tingkat kelembagaan, diukur oleh Tingkat Keberdayaan UP-FMA (Y6), khususnya dalam menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana diharapkan dalam P3TIP.
21
Variabel-variabel tidak bebas pada komponen keluaran tersebut di atas diduga berhubungan dengan sejumlah variabel bebas, baik berupa input proyek P3TIP, karakteristik individu dan rumahtangga petani peserta P3TIP, maupun stimulan atau input yang diintroduksikan melalui P3TIP. Merujuk pada hasil-hasil studi terdahulu (Mugniesyah dan Lubis, 1990) terdapat sejumlah variabel pada karakteristik individu petani yang diduga mempengaruhi keluaran P3TIP, yakni: Tingkat Pendidikan Formal (X1), Tingkat Pendidikan Nonformal (X2), Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5). Mengingat pengelolaan usahatani dilakukan oleh rumahtangga petani, dan merujuk pada hasil studi terdahulu berkenaan pengelolaan usahatani, terdapat sejumlah variabel yang
diduga berpengaruh
terhadap keluaran P3TIP, yaitu: Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9). Lebih lanjut, merujuk pada pedoman P3TIP, sejumlah variabel bebas pada komponen input stimulan yang diduga berhubungan dengan keluaran P3TIP adalah: Jumlah Bantuan Teknis yang dikelola UP-FMA (X12), Jumlah Dana Hibah FMA (X13), Tingkat Penguatan Kelembagaan dan Aparat (X14), yang berhubungan dengan Peranserta Petani dalam P3TIP baik dalam Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi (perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi P3TIP) atau X11. Lebih lanjut, keluaran pada komponen Penguatan Kelembagaan dan Kemampuan Petugas, diukur melalui
beberapa
variabel, yaitu, Jumlah Fasilitas dan Pelayanan yang diperoleh BPKP (Y7) serta Jumlah Penyuluh Peserta Pelatihan dan Pendidikan Tinggi (Y8). Sebagaimana diketahui keluaran (output) dari Proyek PTT di Desa Ciruas yang ditetapkan BPKP adalah meningkatkan pengetahuan, memperbaiki sikap dan meningkatkan keterampilan peserta dalam berbudidaya padi yang mengarah pada peningkatan produksi padi dan pendapatan petani. Rumusan ini tampaknya sejalan dengan Wiriaatmadja (1973) dalam Mugniesyah (forthcoming) yang menyatakan bahwa melalui kegiatan penyuluhan, petani akan meningkat pengetahuannya dan pengetahuan ini akan membawanya untuk mau menerapkan anjuran penyuluh
22
sehingga petani akan meningkat ketrampilannya, yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan produksi dan pendapatan petani. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis hubungan antar variabel tidak bebas; yang dalam hal ini diduga variabel Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang dimiliki petani peserta PTT berhubungan dengan variabel Sikap Petani terhadap PTT (Y2). Selanjutnya, variabel Sikap Petani terhadap PTT (Y2) diduga berhubungan dengan variabel Tingkat Penerapan PTT (Y3). Ketiga variabel pada perilaku individu petani PTT tersebut, diduga berhubungan dengan dua variabel keluaran pada tingkat rumahtangga, yaitu Tingkat Produksi Usahatani (Y4) dan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y4). Khusus berkenaan pendekatan penyuluhan P3TIP, jika pelaksanaannya dilakukan dengan mendahulukan atau memprioritaskan petani serta memberikan pilihan-pilihan yang lebih luas bagi petani dalam rangka memberdayakan petani, maka diduga pendekatan P3TIP dapat digolongkan ke dalam farmer first, dan jika sebaliknya berarti masih tergolong pendekatan alih teknologi (transfer of knowledge). Demikian halnya jika dalam pelaksanaannya melibatkan masyarakat dimana prosesnya saling belajar dan berbagi pengalaman serta dievaluasi secara internal dan kontinyu, pendekatan P3TIP dapat dikategorikan ke dalam pendekatan proses belajar (learning process), sementara jika sebaliknya tergolong pendekatan cetak biru (blue print). Berdasar pada kerangka pemikiran di atas, hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variabel tak bebas dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
23
PERANSERTA PETANI DALAM PROYEK P3TIP X10. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan X11. Tingkat Partisipasi (Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi Proyek) KARAKTERISTIK INDIVIDU PETANI X1. Tingkat Pendidikan Formal X2. Tingkat Pendidikan Non-formal X3. Tingkat Pengalaman Berusaha tani X4. Pola Perilaku Komunikasi X5. Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT
KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PETANI X6. Luas Lahan Usahatani X7. Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani X8. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga X9. Jumlah Tenaga kerja Luar Keluarga
Keterangan:
KELUARAN P3TIP a. Keluaran pada Tingkat Individu Y1. Tingkat Pengetahuan PTT Y2. Sikap Terhadap PTT Y3. Tingkat Penerapan PTT b. Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Y4. Tingkat Produksi Usahatani Y5. Tingkat Pendapatan Usahatani
INPUT PROYEK P3TIP X12. Jumlah Bantuan teknis yang dikelola UPFarmers\Managed Extension Activities (FMA)\ X13. Jumlah Dana Hibah X14.Tingkat Penguatan Kelembagaan dan Kemampuan aparat
KELUARAN P3TIP Tingkat Kelembagaan Petani Y6. Tingkat Keberdayaan UP-FMA Tingkat Kelembagaan BPKP Y7. Jumlah Fasilitas dan Pelayanan yang diperoleh BPKP Y8. Jumlah Penyuluh Peserta Pelatihan
Hubungan yang dianalisis secara kuantitatif Hubungan yang dianalisis secara kualitatif
Gambar 1. Hubungan antara Varibel –variabel Bebas dan Tidak Bebas pada Program Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP)
24
2.3. Hipotesis Pengarah 1. Terdapat hubungan antara variabel-variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani, Karakteristik Rumahtangga Petani, Peranserta Petani dalam P3TIP dengan variabel-variabel tidak bebas pada Keluaran P3TIP, baik pada tingkat individu maupun rumahtangga petani. 2. Terdapat hubungan antara variabel pada Keluaran P3TIP pada Tingkat Individu, dan antara variabel keluaran pada Tingkat Individu dengan Tingkat Rumahtangga. 3. Terdapat hubungan antara jumlah bantuan teknis dan dana UP-FMA yang diberikan dari P3TIP dengan tingkat keberdayaan UP-FMA. 4. Terdapat hubungan antara peluang yang diberikan pimpinan Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) dan organisasi
P3TIP
kepada penyuluh
dengan jumlah penyuluh yang mengikuti pelatihan. 5. Terdapat hubungan antara jumlah dukungan dana dan prasarana yang diberikan Proyek P3TIP dengan fasilitas yang dimiliki oleh BPKP. 6. Terdapat hubungan antara pendekatan partisipatif yang dilaksanakan dalam P3TIP
dengan penerapan
pendekatan learning approach dalam kegiatan
penyuluhan. Kecuali hipotesis pengarah pada butir 1 dan 2 di atas, hipotesis selainnya dianalisis secara kualitatif.
2.4. Definisi Operasional Sejumlah variabel dalam penelitian ini merujuk pada hasil perhitungan yang didasarkan pada nilai (jumlah/skor) minimal dan maksimal serta rata-rata untuk setiap variabel, yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. 1. Tingkat Pendidikan Formal (X1) adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika tidak sekolah, tamat dan tidak tamat SD/sederajat, (2) sedang, jika tamat SLTP dan SLTA/sederajat dan (3) tinggi, jika pernah mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. 2. Tingkat Pendidikan Non-Formal (X2) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani berupa pelatihan berkenaan
25
dengan teknologi budidaya padi sawah dan yang relevan dengan itu, kemudian dibobotkan menurut tingkatan penyelenggaraannya (tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi/nasional berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5) dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS 1-5, (2) sedang, jika total skor mengikuti kegiatan PLS antara 6-10, dan (2) tinggi, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS 11-15. 3. Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) adalah lamanya (tahun) melakukan budidaya/usahatani padi, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika petani berpengalaman berbudidaya padi sawah sekitar 2-18 tahun (2) sedang, jika petani berpengalaman berbudidaya padi sawah sekitar 17-34 tahun, dan (3) tinggi, jika petani berpengalaman berbudidaya padi awah sekitar 34 - 50 tahun. 4. Pola Perilaku Komunikasi atau PPK (X4) adalah akumulasi skor dari interaksi komunikasi petani dengan beragam sumber informasi yang diperoleh melalui komunikasi interpersonal, baik lokalit maupun kosmopolit serta media massa. Pada komunikasi interpersonal lokalit diukur dari pola interaksi dominan dengan sumber-sumber informasi yang berdomisili di: satu RT, satu RW, satu kampung, dan satu desa; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, dan skor 4. Pada komunikasi interpersonal kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan petani: ketua kelompok tani, kontak tani/tokoh masyarakat, kepala desa, dan kontak dengan penyuluh; berturut-turut diberi: skor 1, skor 2, skor 3, dan skor 4, sedangkan pada media massa diukur dari akses petani mencari informasi mengenai pertanian melalui: koran, radio,televisi dan internet berturut-turut diberi: skor 1, skor 2, skor 3, dan skor 4. Selanjutnya Pola Perilaku Komunikasi dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika akumulasi skor PPK petani
sekitar 1-10, (2) sedang, jika
akumulasi skor PPK petani sekitar 11-20, dan (3) tinggi, jika akumulasi skor PPK petani sekitar 21-30. 5. Tingkat Kebutuhan Petani (TKP) akan PTT (X5) adalah akumulasi skor motivasi petani untuk menjadi peserta PTT padi sawah, khususnya berkenaan dengan 12 aspek sistem budidaya PTT padi sawah, yang kemudian dibedakan
26
ke dalam kategori: (1) rendah, jika akumulasi skor TKP petani sekitar 1-4, (2) sedang, jika akumulasi skor TKP petani sekitar 5-8, dan (3) tinggi, jika akumulasi skor TKP petani sekitar 9-12. 6. Luas Lahan Usahatani (X6) adalah rata-rata luas lahan usahatani yang dikuasai (milik dan/atau garapan) rumahtangga petani responden; yang dengan merujuk pada konsep stratifikasi sosial masyarakat petani menurut Sajogyo (1990) dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika rumahtangga petani menguasai lahan kurang dari 0,25 Ha, (2) menengah, jika rumahtangga petani menguasai lahan 0,25-0,5 Ha, dan (3) tinggi jika rumahtangga petani menguasai lahan lebih dari 0,5 Ha. 7. Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) adalah jumlah (rupiah) dari nilai kekayaan yang dimiliki rumahtangga petani (menurut harga ketika penelitian berlangsung), meliputi: lahan, rumah, kendaraan bermotor, dan hewan ternak, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika nilai kekayaan rumahtangganya sekitar Rp100.000,- sampai dengan Rp4.450.000,- (2) sedang, jika nilai kekayaan rumahtangganya sekitar Rp4.450.00,- sampai dengan Rp8.800.000,- , dan (3) tinggi, jika nilai kekayaan rumahtangganya sekitar Rp8.800.000,sampai dengan Rp13.150.000,8. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) adalah banyaknya jumlah anggota rumahtangga petani yang mengerjakan budidaya padi sawah dengan sistem PTTdibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika hanya melibatkan tenaga kerja suami saja; (2) sedang, jika melibatkan tenaga kerja suami dan istri, dan (3) tinggi, jika melibatkan tenaga kerja terdiri atas suami, istri dan anak-anak mereka yang tergolong usia kerja. 9. Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) adalah banyaknya tenaga kerja (buruh) dari luar rumahtangga yang dipekerjakan oleh petani peserta PTT dalam berbudidaya padi sawah PTT dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, (2) sedang dan (3) tinggi, berturut-turut jika petani peserta PTT menggunakan tenaga kerja (buruh) sebanyak 1-2 orang, 3-4 orang , dan 5 orang atau lebih. 10. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) adalah jumlah kehadiran (frekuensi) petani peserta PTT dalam mengikuti penyuluhan P3TIP selama dua tahun terakhir. Terdapat 24 kali kegiatan penyuluhan, karenanya Frekuensi
27
Mengikuti penyuluhan petani peserta PTT dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika mereka mengikuti sekitar 1-8 kali, (2) sedang, jika mereka mengikuti 9-16
kali, dan (3) tinggi, jika mengikuti sekitar
17-24
kali
kegiatan penyuluhan P3TIP. 11. Tingkat Partisipasi Petani (X11) adalah jumlah (frekuensi) peranserta petani dalam
kegiatan-kegiatan
programa
penyuluhan
(perencanaan
dan
pelaksanaaan, monitoring dan evaluasi) proyek P3TIP. Terdapat 12 kegiatan programa penyuluhan P3TIP, karenanya tingkat partisipasi petani dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika berperan serta 1-4 skor, (2) sedang, jika berperan serta antara 5-8 skor, (3) tinggi, jika berperan serta 9-12 skor. 12. Jumlah bantuan teknis yang dikelola Farmers Managed Extension Activities (FMA) (X12) adalah frekuensi dilaksanakannya kegiatan penyuluhan bagi UP-FMA yang meliputi: demonstrasi hasil, cara, demplot yang diberikan kepada petani peserta dan kelompok tani. 13. Jumlah Penyediaan Dana Hibah (X13) adalah jumlah dana (rupiah) kepada petani peserta UP FMA di tingkat desa sesuai dengan ruang lingkup dan materi FMA. 14. Tingkat Penguatan Kelembagaan dan Aparat (X14) adalah jumlah/banyaknya pembinaan yang dilakukan terhadap kelembagaan dan aparat yang bertugas. 15. Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) adalah pengetahuan petani tentang komponen teknis budidaya padi PTT dari sejak Desember 2008 sampai dengan Januari 2010 Dengan total skor sebanyak 24, Tingkat Pengetahuan Petani tentang PTT ini dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika total skornya antara 1-9, (2) sedang, jika total skornya 9-16 skor, dan (3) tinggi, jika mengetahui 17 - 24. 16. Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) adalah suatu kecenderungan petani untuk setuju atau tidak setuju terhadap semua komponen-komponen budidaya PTT yang diintroduksikan akan diberi skor 0 (nol) jika tidak setuju dan skor 1 (satu) jika setuju dengan total skor 24 yang bedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menyetujui 1-8 skor, (2) sedang, jika menyetujui 9-16 skor, dan (3) tinggi, jika menyetujui 17-24 skor. 17. Tingkat Penerapan PTT (Y3) adalah jumlah inovasi yang diterapkan oleh petani dalam budidaya padi PTT. Penerapan adalah pelaksanaan setiap setiap
28
tahap kegiatan dalam budidaya tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh yang dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika hanya mengikuti tahapan kegiatan penerapan 1-8 skor, (2) sedang, jika hanya mengikuti tahapan kegiatan penerapan 9-16 skor, (3) tinggi, jika mengikuti tahapan kegiatan penerapan 17-24 skor. 18. Tingkat Produksi Usahatani (Y4) adalah jumlah produksi padi pada usahatani yang dimiliki rumahtangga petani dalam satu musim tanam terakhir, yang dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika produksi padi lahan sawah <4 ton/ha, (2) sedang, jika produksi padi lahan sawah antara 4 ton sampai kurang <6 ton/ha, (3) tinggi, jika produksi padi lahan sawah ≥6 ton/ha sampai dengan 8 ton/ha (produksi tertinggi) 19. Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) adalah penghasilan (dalam rupiah) yang diperoleh petani dari kegiatan berbudidaya padi PTT selama satu musim tanam tahun terakhir (ketika penelitian). Hasilnya dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara Rp747.000,- sampai dengan
status jabatan yang dikirim untuk mengikuti beragam pelatihan yang diselenggarakan oleh di BPKP.
29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode sensus,sementara pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder.
Data primer terdiri atas data berkenaan sejumlah variabel pada
karakteristik individu dan rumahtangga petani peserta PTT, peranserta petani dalam P3TIP serta pada keluaran P3TIP baik pada tingkat individu rumahtangga maupun kelembagaan yang akan dikaji hubungannya dalam penelitian ini. Adapun data sekunder berupa dokumen yang mencakup semua data dan informasi berkenaan dengan kondisi umum daerah penelitian, profil kelembagaan dan data tentang keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan di lingkungan BPKP Kabupaten Serang yang tertulis dalam beragam bentuk publikasi, seperti monografi desa, Kabupaten Serang Dalam Angka, Laporan Akhir P3TIP 2008 serta Laporan Programa Penyuluhan Balai Penyuluh Pertanian 2010. Sensus dilakukan karena studi ini menjadikan semua petani di Desa Ciruas yang menjadi peserta PTT sebagai responden, dan mewawancarai mereka atas sejumlah pertanyaan yang tertulis dalam kuesioner terstruktur. Terdapat tiga kuesioner yang digunakan, meliputi: (1) Kuesioner A, yakni kuesioner yang memuat sejumlah pertanyaan berkenaan data karakteristik individu dan profil rumahtangga petani, (2) Kuesioner B, yang memuat sejumlah pertanyaan berkenaan data penggunaan tenaga kerja dalam budidaya serta analisis usahatani padi sawah, dan (3) Kuesioner C mencakup sejumlah pertanyaan berkenaan dengan keluaran Proyek P3TIP pada tingkat individu dan kelompok tani. Khusus Kuesioner A dan B disusun dengan mengadaptasi kuesioner sejenis yang digunakan dalam penelitian Pemberdayaan Wanita dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Untuk Meningkatkan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga (Mugniesyah dkk. 2003). Penggunaan kuesioner yang sudah baku
30
tersebut memungkinkan peneliti untuk tidak melakukan validasi isi dalam studi ini. Wawancara mendalam dilakukan terutama untuk lebih mengelaborasi data primer berkenaan perilaku petani penerima Sistem PTT dan memperoleh informasi tentang sejumlah aspek berkenaan kelembagaan, sementara observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran pelaksanaan P3TIP di tingkat lapangan, terutama dalam pelaksanaan PTT Padi.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten yang dipilih secara sengaja, dengan pertimbangan bahwa desa tersebut menjadi salah satu desa lokasi P3TIP selama periode tiga tahun (2007-2010) dan dianggap berhasil oleh pihak BPKP. Selain itu, juga dengan pertimbangan bahwa Provinsi Banten dipandang sebagai provinsi yang relatif baru terbentuk, karena dari hasil telaahan pustaka menunjukkan belum adanya penelitian yang menelaah penyelenggaraan dan mengevaluasi keberhasilan P3TIP di provinsi ini. Pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama enam minggu yaitu pada bulan Februari dan Maret 2010. Adapun rincian jadwal pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.3. Penentuan Responden Populasi penelitian ini adalah
petani di Desa Ciruas Kabupaten Serang
yang menjadi peserta proyek P3TIP dan mendapatkan stimulan PTT padi sawah. Seluruhnya berjumlah 45 orang, terdiri atas empat perempuan dan 41 laki-laki. Selain responden, juga terdapat lima orang informan yang terdiri atas pengurus UP-FMA Harum Mekar dan GAPOKTAN Harum Mekar.
3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah dikumpulkan dibersihkan dan diedit terlebih dahulu untuk kemudian dientry dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2007, untuk kemudian diolah dan dianalisis ke dalam bentuk tabulasi frekuensi dan tabulasi silang dengan menggunakan program PIVOT. Selain itu, juga digunakan
31
Program SPSS 17 for windows untuk menganalisis hubungan antara variabel bebas dan tidak bebas dalam studi ini sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Untuk menguji hipotesis kerja atau tepatnya hubungan antar variabel pada Gambar 1, khususnya antara karakteristik individu, karakteristik rumahtangga, peranserta petani dengan keluaran pada tingkat individu dan rumahtangga petani digunakan metode statistik non parametrik Uji Korelasi Rank Spearman (rs). Uji korelasi Rank Spearman dipilih dengan pertimbangan bahwa variabel-variabel bebas dan tidak bebas dalam penelitian ini menggunakan pengukuran dalam skala ordinal. Dengan merujuk pada Siegel (1992), di bawah ini dikemukakan formula uji korelasi “Rank Spearman” (rs) yang digunakan dalam studi ini. rs = 6ΣD2 N(N2 – 1) Keterangan : = Koefisiens Korelasi Spearman‟s rank
rs N
= Jumlah sampel 2
Σp = Jumlah perbedaan rangking pada setiap pasangan yang telah dikuadratkan.
32
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Bab ini mendeskripsikan keadaan umum lokasi penelitian, baik tentang Kabupaten Serang maupun Desa Ciruas. Penjelasan keadaan umum Kabupaten Serang meliputi lokasi dan kondisi geografis dan keadaan umum penduduk, sementara penjelasan tentang keadaan umum Desa Ciruas meliputi beberapa aspek yang mencakup: lokasi dan kondisi geografis, tata guna lahan, keadaan umum penduduk, dan sarana serta prasarana desa.
4.1. Keadaan Umum Kabupaten Serang 4.1.1. Lokasi dan Kondisi Geografis Kabupaten Serang merupakan salah satu dari empat kabupaten di Provinsi Banten. Kabupaten ini berada di ujung barat laut Pulau Jawa, berbatasan dengan Laut Jawa dan Kota Serang di sebelah utara, dengan Kabupaten Tangerang di sebelah timur, sementara di sebelah selatan dan sebelah barat berturut-turut berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Kota Cilegon. Peta Kabupaten Serang dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebagian besar wilayah Kabupaten Serang berupa dataran rendah, kecuali di wilayah yang terletak di perbatasan dengan Kabupaten Pandeglang terdapat rangkaian pegunungan, salah satu diantaranya memiliki puncak tertinggi, yaitu Gunung Karang (1.778 m). Kabupaten Serang terdiri atas 28 kecamatan, yaitu kecamatan-kecamatan: Anyar, Bandung, Baros, Binuang, Bojonegara, Carenang, Cikande, Cikeusal, Cinangka, Ciomas, Ciruas, Gunungsari, Jawilan, Kibin, Kopo, Kragilan, Kramatwatu, Mancak, Pabuaran, Padarincang, Pamarayan, Petir, Pontang, Pulo Ampel, Tanara, Tirtayasa, Tunjung Teja dan Waringin Kurung. Kabupaten ini dilintasi jalan negara dan jalur kereta api lintas JakartaMerak. Posisinya sangat strategis, karena berada di jalur utama penghubung lintas Jawa-Sumatera dimana Pelabuhan Merak menjadi titik penyeberangan antara pulau Jawa dan Sumatera. Luas total wilayah Kabupaten Serang sekitar 161.403,75 hektar. Menurut topografi wilayahnya, dari total luas wilayah tersebut keadaan agroekologi
33
kabupaten ini terdiri dari wilayah-wilayah dengan ketinggian: (a) 0-100 meter di atas permukaan laut (84,04 persen), ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut (14,11 persen) dan ketinggian di atas 500 meter di atas permukaan laut (1,85 persen). Adapun rincian tata guna lahan dan luasnya masing-masing dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tata Guna Lahan di Kabupaten Serang Tahun 2005 (dalam hektar dan persen) Jenis Lahan I . Lahan Sawah Irigasi teknis Irigasi setengah teknis Irigasi sederhana non PU Irigasi sederhana PU Tadah hujan Sub-total II Lahan Darat/Kering Pekarangan Tegalan/kebun Ladang/huma Penggembalaan Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Sementara tidak diusahakan Lain-lain Sub-total Total
Luas (Ha)
Persen
14.555 10.503 7.578 4.757 15.755 53.148
8,44 6,09 4,40 2,76 9,14 30,83
29.714 45.974 10.192 153 8.086 4.837 2.179 7.743 10.377,75 119.255,75 172.403,75
17,24 26,67 5,91 0,09 4,69 2,81 1,26 4,49 6,02 69,17 100,00
Sumber: Laporan Akhir P3TIP Kabupaten Serang 2008
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa wilayah Kabupaten Serang didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah, tegalan/kebun, maupun ladang/huma, yang luasnya mencakup sekitar 63,41 persen dari luas total lahan di Kabupaten Serang. Persentase ini akan meningkat menjadi sekitar 81 persen atau lebih tinggi sekitar enam persen dibanding pernyataan Laporan P3TIP di atas, jika memperhitungkan lahan pekarangan -yang selama ini dipandang sebagai lahan potensial sebagai sumberdaya bagi produksi pertanian, khususnya tanaman hortikultura-
serta
lahan perkebunan. Lebih lanjut, menurut karakteristik ketinggian dan kemiringan lahannya, wilayah Kabupaten Serang dibagi ke dalam enam wilayah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.
34
Tabel 2. Klasifikasi Wilayah di Kabupaten Serang Menurut Karakteristik Ketinggian, Kemiringan dan Luas Wilayahnya (dalam hektar dan persen) Luas Wilayah Wilayah Tanah Usaha I Wilayah Tanah Usaha Utama IB dan IIB Wilayah Tanah Usaha I C Wilayah Tanah Usaha Utama I D Wilayah Tanah Usaha Utama II Wilayah Tanah Usaha Utama Terbatas II
Ketinggia n (mdpl) 0-2 3 -25
Kemiringan (persen) 3 4-15
Ha 17.798 66.308
(persen) 9,4 35,1
25-100 100-500 500-1000 1000
2-40 2-40 15-40 >40
63.801 37.832 2.390 540
33,8 20,1 1,3 0,3
Sumber: Laporan Akhir P3TIP 2009 Kabupaten Serang
Mengacu pada tabel di atas, wilayah tanah Usaha Utama IB dan IIB merupakan wilayah terluas, sementara wilayah terkecil adalah wilayah tanah Usaha Utama terbatas II. Dominannya wilayah tanah Usaha Utama IB dan IIB ini, serta adanya empat buah sungai yang ada di kabupaten ini, yaitu sungai Cidurian, Ciujung, Cibanten dan Cidanau, menjadikan potensi lahan pertanian juga dominan. Menurut Dinas Pertanian, dari total luas wilayah di kabupaten ini, potensi lahan pertanian mencapai 121.726 hektar atau 75,41 persen. 4.1.2. Keadaan Umum Penduduk Meskipun semula Kabupaten Serang menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat, namun tidak semua penduduk berbahasa Sunda. Bahasa yang digunakan penduduk di kabupaten ini menunjukkan keragaman. Bahasa Sunda umumnya digunakan oleh masyarakat yang berdomisili di daerah selatan (Kecamatan Ciomas, Pabuaran, Padarincang, Cinangka, Anyar, Baros, Petir, Cikeusal, Kopo, Cikande, dan Pamarayan), sementara Bahasa Jawa Banten atau yang dikenal dengan Bahasa Jawa Serang kebanyakan digunakan mereka yang berdomisili di daerah pantai utara (Kecamatan Cilegon, Merak, Bojonegara, Pontang, Tirtayasa, Ciruas, Carenang, Kasemen, dan Kramatwatu). Jumlah penduduk Kabupaten Serang pada tahun 2008 sebanyak 1.652.763 jiwa (www.serangkab.go.id) terdiri atas 50,1 persen laki-laki dan 49,9 persen perempuan. Adapun kepadatan penduduk di kabupaten ini sekitar 896 jiwa/km2, sementara laju pertambahan penduduknya sebesar 2,8 persen.
35
Keadaan umum penduduk di Kabupaten Serang dewasa ini, khususnya berkenaan dengan ketenagakerjaan tidak diperoleh, oleh karenanya data ketenagakerjaan tersebut merujuk pada data yang diperoleh dari Sensus Penduduk Tahun 2000. Khusus berkenaan penduduk di Kabupaten Serang menurut lapangan pekerjaan utama dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Penduduk Kabupaten Serang Menurut Lapangan Pekerjaaan Utama, Tahun 2000 (dalam jumlah dan persen) Jenis Pekerjaan Utama
Laki-laki
Perempuan
Total
Jumlah 94.230
Persen 25,83
Jumlah 53.316
Persen 24,53
Jumlah 147.546
Persen
4.246
1,16
3.116
1,43
7.362
1,26
Perikanan
5.494
1,51
818
0,38
6.312
1,08
Peternakan
1.571
0,43
452
0,21
2.023
0,35
Pertanian Lainnya
20.941
5,74
8.859
4,08
29.800
5,12
Industri
48.990
13,43
27.968
12,87
76.958
13,22
Perdagangan
65.170
17,86
47.015
21,63
112.185
19,27
Jasa
67.122
18,40
21.130
9,72
88.252
15,16
Angkutan/transportasi
17.410
4,77
1.245
0,57
18.655
3,2
Lainnya
39.681
10,88
53.404
24,57
93.085
15,99
Total
364.855
100,00
217.323
100
582.178
100
Pertanian tanaman pangan Perkebunan
25,34
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000
Sebagaimana terlihat pada Tabel 3, dari total penduduk usia kerja di Kabupaten Serang, sekitar sepertiganya bekerja di sektor pertanian, dimana mayoritas diantara mereka bekerja di sektor pertanian tanaman pangan (sekitar 76 persen dari total penduduk yang bekerja di sektor pertanian). Hal ini berhubungan dengan dominannya luas wilayah sawah beririgasi di kabupaten ini sebagaimana telah dikemukakan di atas (63,4 persen total wilayah Kabupaten Serang). Sektor berikutnya yang menyerap tenaga kerja di kabupaten ini adalah sektor perdagangan, yakni sekitar dua pertiga dari mereka yang bekerja di sektor pertanian. Selain mereka yang bekerja di sektor “lainnya”, dua sektor lainnya yang menyerap tenaga kerja di kabupaten ini adalah sektor-sektor jasa dan industri. Diduga ketiga sektor ini –selain pertanian- berkembang seiring dengan adanya dua zona industri di kabupaten ini, yaitu Zona Industri Serang Barat dan
36
Zona Industri Serang Timur. Zona Industri Serang Barat mencakup Kecamatan Bojonegara, Puloampel dan Kramatwatu dengan luas total 4,000 Ha, dimana di wilayah tersebut beroperasi sekitar 64 perusahaan, sedangkan Zona Industri Serang Timur terletak di Kecamatan Cikande dan Kragilan dengan kawasan industri seluas 1.115 Ha yang di dalamnya meliputi beberapa kawasan industri seperti Nikomas Gemilang, Indah Kiat dan Modern Cikande. Jika dilihat menurut jenis kelaminnya, terdapat perbedaan pola lapangan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun mayoritas keduanya bekerja di sektor pertanian, namun persentase tertinggi berikutnya pada laki-laki berturutturut bekerja di sektor jasa, perdagangan dan industri; sementara pada perempuan urutannya berturut-turut adalah mereka yang bekerja di sektor lainnya, sektor jasa, perdagangan, industri, dan jasa. Kondisi lapangan pekerjaan penduduk tersebut di atas berhubungan dengan kondisi status bekerja mereka, sebagaimana terlihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Penduduk Menurut Status Bekerja Tahun 2000 (dalam jumlah dan persen) Laki-laki Status Bekerja
Perempuan
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Berusaha sendiri Berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap Berusaha dengan buruh tetap
158.049
43,32
63.250
29,10
221.299
38,01
42.800
11,73
15.635
7,19
58.435
10,04
6.243
1,71
1.850
0,85
8.093
1,39
Buruh/karyawan
137.077
37,57
57.463
26,44
194.540
33,42
Pekerja tidak dibayar
20.686
5,67
79.125
36,41
99.811
17,14
Total
364.855
100
217.323
100
582.178
100,00
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000
Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 4, dari total penduduk di kabupaten ini mayoritas mereka bekerja dengan status berusaha sendiri dan buruh/karyawan. Namun demikian, jika dilihat menurut jenis kelaminnya, pola status bekerja pada perempuan mayoritas bekerja dengan status pekerja tidak dibayar (pekerja keluarga), diikuti oleh mereka yang berusaha sendiri, buruh/karyawan serta berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap. Adapun pada laki-laki, persentase
37
tertinggi berusaha sendiri, selanjutnya diikuti oleh mereka yang status bekerjanya sebagai buruh/karyawan, dan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap. Yang menarik, penduduk perempuan yang berstatus sebagai pekerja tidak dibayar, persentasenya sekitar enam kali lipat dibanding laki-laki pada status bekerja yang sama. Ini memperkuat dugaan bahwa mayoritas perempuan bekerja di sektor informal, baik di sektor pertanian, perdagangan maupun jasa. Lebih tingginya laki-laki yang bekerja sebagai buruh/karyawan diduga selain bekerja di sektor informal, juga bekerja di sektor formal, yakni di berbagai perusahaan di sektor industri sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kondisi ketenagakerjaan penduduk di Kabupaten Serang sebagaimana dijelaskan di atas, tampaknya berhubungan dengan kondisi pendidikan mereka, sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Penduduk Kabupaten Serang Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2000 (dalam jumlah dan persen) Laki-laki Tingkat Pendidikan
Perempuan
Total
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Tidak/Belum Tamat SD
299.262
41,0
322.701
44,4
621.963
42,72
Tamat SD
246.889
33,8
271.603
37,4
518.492
35,61
SLTP
87.710
12,0
73.039
10,1
160.749
11,04
SLTA
82.029
11,2
51.524
7,1
133.553
9,17
Diploma/Akademi
7.475
1,0
5.008
0,7
12.483
0,86
Universitas
6.013
0,8
2.636
0,4
8.649
0,59
729.378
100
726.511
100
1.455.889
100,00
Total
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000
Seperti terlihat pada Tabel 5, terdapat kecenderungan yang sama dalam hal tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Serang, baik terhadap total penduduk maupun terhadap penduduk menurut jenis kelamin, yakni semakin tinggi tingkat pendidikan semakin menurun persentase penduduk yang menikmati pendidikan. Namun demikian, membanding menurut jenis kelaminnya, penduduk laki-laki yang menikmati pendidikan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibanding perempuan. Fakta bahwa mayoritas penduduk baik laki-laki maupun perempuan berpendidikan belum tamat SD dan tamat SD diduga berhubungan dengan berhasilnya Program Wajib Belajar 9 tahun
38
di kabupaten ini. Lebih lanjut, lebih rendahnya kualitas pendidikan perempuan ini menjadikan sebagian besar perempuan memasuki lapangan pekerjaan di sektor informal sebagaimana dijelaskan di atas. Sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan, dalam hal pembangunan sumber daya manusia, khususnya aspek pendidikan, di Kabupaten Serang dewasa ini sudah terdapat sejumlah perguruan tinggi, antara lain Universitas Tirtayasa, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Maulana Hasanuddin, dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Maulana Yusuf. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian, mencakup 406.705 rumahtangga pertanian di Kabupaten Serang. Adapun kondisi rumahtangga pertanian menurut jenis komoditas yang dibudidayakannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rumahtangga Pertanian di Kabupaten Serang Menurut Komoditas Usaha, Tahun 2005 (dalam jumlah dan persen) Jenis Komoditas Padi dan palawija Padi Hortikultura Palawija Perkebunan Total
Jumlah 143.287 130.309 67.684 48.192 17.233 406.705
Persen 35,23 32,04 16,64 11,85 4,24 100,00
Sumber: Dinas Pertanian 2005
Berdasar data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rumahtangga petani di Kabupaten Serang adalah rumahtangga pertanian tanaman pangan, yang jumlahnya sekitar 79 persen. Hal terpenting lainnya adalah bahwa sistem PTT tampaknya relevan diintroduksikan kepada mereka mengingat sekitar 67 persen diantara rumahtangga tersebut merupakan rumahtangga pembudidaya padi.
4.2. Keadaan Umum Desa Ciruas 4.2.1. Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Ciruas merupakan salah satu dari 17 desa yang ada di wilayah Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang. Secara geografis, desa ini berbatasan dengan Desa Kepandian di sebelah utara dan dengan Desa Ranjeng di sebelah
39
selatan. Di sebelah timur desa ini berbatasan dengan Desa Kadikaran, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Teritih, Kecamatan Walantaka, dan Kota Serang. Peta Desa Ciruas dapat dilihat pada Lampiran 2. Desa Ciruas berjarak sekitar satu kilometer dari ibukota Kecamatan Ciruas dan ibukota Kabupaten Serang. Dari ibukota kabupaten, desa ini dapat dicapai selama setengah jam perjalanan jika menggunakan kendaraan bermotor (roda dua atau roda empat), baik dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Kendaraan umum yang tersedia berupa ojek dan angkutan umum dengan trayek Ciruas-Pontang yang setiap harinya beroperasi antara pukul 06.00-17.00 WIB. Desa Ciruas terdiri dari dua Rukun Warga (RW) dan lima Rukun Tetangga (RT) yang tersebar di tiga wilayah kampung, yaitu Kampung Ciwandan, Kampung Bunder dan Kampung Cembeh. Antara kampung satu dengan kampung lainnya dipisahkan oleh areal pertanian sawah dan jalan yang sudah diaspal. Secara umum topografi Desa Ciruas berupa dataran rendah, dengan ketinggian kurang lebih 15 mdpl. Dalam hal iklim, suhu di desa ini berturut-turut sekitar 270 - 300C pada siang hari dan sekitar 200 - 230C pada malam hari. Adapun rata-rata curah hujan dalam sepuluh tahun terakhir di desa ini sekitar 132,58 mm, dengan rata-rata jumlah hari hujan sebanyak 102 hari. Karakteristik tanah di desa Ciruas tergolong jenis Glei Humus dan Alluvial kelabu dengan kisaran pH antara empat setengah sampai dengan enam, sementara tingkat kesuburan tanahnya tergolong sedang. Desa Ciruas merupakan daerah yang cukup potensial untuk pengembangan lahan usaha tani terutama padi sawah, karena sebagian besar lahan sawah didukung oleh irigasi pengairan teknis yang bersumber dari bendungan Pamarayan Barat.
4.2.2. Tataguna Lahan Luas wilayah Desa Ciruas sekitar 153 hektar, dengan peruntukkan lahan seperti terlihat pada pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa sebagian besar lahan merupakan areal sawah. Areal sawah tersebut tersebar merata di tiga wilayah kampung yang ada di desa Ciruas. Dua pertiga dari wilayah persawahan di desa ini tergolong sawah beririgasi teknis yang memanfaatkan air dari Bendungan Pamayaran Barat.
40
Tabel 7. Wilayah Desa Ciruas Menurut Jenis Penggunaan Lahan, Tahun 2009 (dalam hektar dan persen) Jenis Penggunaan Lahan Sawah Perkantoran dan prasarana umum lainnya Pemukiman Tegalan Jalan Total
Total (Ha) 120 20 5 5 3 153
Persen 78,43 13,07 3,27 3,27 1,96 100,00
Sumber: Monografi Desa Ciruas Tahun 2009
Dengan luas sawah tersebut di atas dan dengan membanding terhadap total rumahtangga yang ada di desa ini (558 rumahtangga) diperkirakan bahwa ratarata luas lahan pertanian yang diusahakan oleh rumahtangga di Desa Ciruas seluas 0,27 hektar. Sementara itu, penggunaan lahan untuk pemukiman dengan luas sekitar lima hektar atau tiga persen adalah seperempat dari luas perkantoran dan prasarana umum. Namun demikian, pemukiman penduduk terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang dipisahkan oleh areal persawahan dan perkebunan serta jalan desa dan jalan antar kampung. Pada rumah tangga yang memiliki lahan pekarangan, ada rumahtangga yang beternak ayam, itik, domba, dan/atau kerbau dengan proporsi terbesar berupa ternak itik.
4.2.3. Kondisi Umum Penduduk Jumlah penduduk Desa Ciruas sampai dengan bulan Juli 2009 tercatat sebanyak 2167 jiwa, dengan proporsi sebanyak 1107 jiwa atau 51,08 persen lakilaki dan 1060 jiwa atau 48,92 persen perempuan. Dengan merujuk pada total rumahtangga yang ada di desa ini, maka rata-rata jumlah anggota rumahtangga di desa ini sekitar kurang dari empat orang. Diduga hal ini berhubungan dengan tingginya kesadaran warga Desa Ciruas untuk mengikuti program Keluarga Berencana. Kepadatan penduduk di desa ini sebesar 14,17 jiwa per kilometer. Menurut pekerjaan kepala keluarganya, dari total sebanyak 558 rumahtangga di desa ini, terdapat sekitar 226 rumahtangga petani dan 332 rumahtangga non-pertanian. Menurut data dalam Monografi Desa Ciruas Tahun 2009, seluruh penduduk desa memeluk agama Islam.
41
Secara umum struktur penduduk di Desa Ciruas tergolong muda dan mayoritas penduduknya tergolong usia produktif (15 tahun sampai dengan 54 tahun), yaitu sebesar 71,25 persen. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika dilihat menurut jenis kelamin, yakni sekitar 71,21 persen dan 71,0 persen berturut-turut untuk penduduk laki-laki dan perempuan. Diantara mereka yang tergolong usia produktif ini ada yang masih menikmati pendidikan di tingkat sekolah menengah (SMP dan SLTA). Data penduduk Desa Ciruas menurut kelompok umur dan jenis kelamin selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Penduduk Desa Ciruas Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Kelompok Umur (tahun) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-29 30-49 50-54 55- >60 Total
Laki-laki Jumlah Persen 58 5,34 111 10,21 96 8,83 101 9,29 268 24,66 335 30,82 70 6,44 48 4,42 1087 100,00
Perempuan Jumlah Persen 59 5,46 124 11,48 91 8,43 100 9,26 259 23,98 344 31,85 67 6,20 36 3,33 1080 100,00
Total Jumlah Persen 117 5,40 235 10,84 187 8,63 201 9,28 527 24,32 679 31,33 137 6,32 84 3,88 2167 100,00
Sumber: Monografi Desa Ciruas Tahun 2009
Dari hasil observasi diketahui bahwa mayoritas pemuda yang tergolong usia produktif di desa ini tidak mempunyai pekerjaan yang jelas, terkadang hanya menghabiskan waktu untuk berkumpul bersama teman-temannya. Yang menarik, meskipun persentase penduduk laki-laki di desa ini dominan, namun persentase penduduk perempuan pada tiga kelompok umur pertama (umur 0 – 14 tahun) menunjukkan persentase lebih tinggi dibanding laki-laki pada kategori yang sama. Demikian pula pada kelompok umur 30-39 tahun. Namun demikian, data di atas tidak dapat menjelaskan tentang penduduk usia lanjut, karena data yang tersedia tidak mencantumkan mereka yang tergolong kelompok umur di atas 60 tahun secara tersendiri. Pada Tabel 9 disajikan data jumlah penduduk Desa Ciruas menurut jenis mata pencaharian mereka.
42
Tabel 9. Penduduk Desa Ciruas Menurut Jenis Mata Pencaharian, Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Mata Pencaharian Buruh tani dan non tani
Jumlah (jiwa) 534
Persen 30,85
Petani
449
25,94
Pedagang Pegawai Swasta
412 323
23,80 18,66
Pegawai Negeri Sipil (PNS) TNI/POLRI
10 3
0,58 0,17
1731
100,00
Total Sumber: Monografi Desa Ciruas Tahun 2009
Seperti terlihat pada Tabel 9, mayoritas penduduk Desa Ciruas bekerja sebagai buruh tani tani dan non tani, yakni sekitar 5-10 persen lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja sebagai petani, pedagang dan pegawai swasta. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa para buruh (baik tani dan non-tani) tersebut bisa bekerja seminggu atau sebulan penuh di luar desa. Mereka yang bekerja sebagai buruh tani umumnya bekerja dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan upah sebesar Rp25.000,- untuk laki-laki dan sebesar Rp20.000,- untuk perempuan, sedangkan mereka yang bekerja sebagai buruh non tani umumnya bekerja di sektor konstruksi. Diantara mereka selain bekerja di sektor informal juga di sektor formal, seperti bekerja di pabrik-pabrik yang ada di Zona Industri Serang Timur yang terletak di Kecamatan Cikande dan Kragilan yang lokasinya berdekatan dengan Desa Ciruas. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, di Zona Industri ini terdapat beberapa kawasan industri seperti Nikomas Gemilang, Indah Kiat, dan Modern Cikande. Adapun mereka yang bekerja selaku petani, sebagian besar diantara mereka membudidayakan padi sawah. Selain itu, terdapat mereka yang membudidayakan tanaman palawija seperti kacang tanah dan umbi-umbian, serta tanaman hortikultura seperti mentimun dan kacang panjang. Mereka yang bekerja sebagai pedagang, umumnya terdiri dari mereka yang memiliki warung di depan rumah dan berdagang di pasar, sementara yang bekerja sebagai pegawai swasta adalah mereka yang bekerja di berbagai perusahaan dan/atau pabrik yang ada di Kabupaten Serang. Mereka yang berstatus PNS, diantaranya bekerja sebagai guru dan instansi pemerintah.
43
Kondisi pekerjaan penduduk di desa Ciruas tampaknya berhubungan dengan kondisi penduduk desa menurut tingkat pendidikan mereka sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10. Sebagaimana kondisi di tingkat kabupaten, data pada Tabel 10 menunjukkan kecenderungan bahwa secara umum semakin tinggi jenjang pendidikan semakin menurun persentase penduduk yang menikmati pendidikan. Tabel 10. Penduduk Desa Ciruas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Tingkat Pendidikan Buta Huruf Putus sekolah (Drop out) SD SD SLTP SLTA Diploma Total
Jumlah 139 389 615 810 204 10 2167
Persen 6,41 17,95 28,38 37,38 9,41 0,46 100,00
Sumber: Monografi Desa Ciruas Tahun 2009
Fakta bahwa mayoritas penduduk di desa ini berpendidikan tamat SD dan SLTP, tampaknya berhubungan dengan adanya kebijakan pemerintah berkenaan Wajib Belajar 12 tahun sebagai bagian capaian Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals), khususnya berkenaan dengan Gerakan Program Pendidikan Untuk Semua atau PUS (Education For All). Relatif masih banyaknya penduduk yang buta huruf dan tingginya persentase murid yang keluar (drop out) SD diduga berhubungan dengan relatif tingginya rumahtangga penduduk yang tergolong buruh tani dan non tani yang tergolong miskin. Adapun relatif masih rendahnya mereka yang berpendidikan SLTA dan Diploma, selain berhubungan dengan faktor kemiskinan, diduga juga karena lokasi gedung SLTA dan PT ini relatif jauh letaknya dari Desa Ciruas, yakni sekitar dua kilometer. Ongkos pulang pergi dari desa ke sekolah atau perguruan tinggi tersebut jika naik angkutan umum sebesar Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah), sedangkan untuk ojeg sebesar Rp15.000,- (lima belas ribu rupiah). 4.2.3. Sarana dan Prasarana Desa Ciruas mempunyai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan masyarakat, baik dalam kegiatan formal maupun informal. Sarana yang
44
mendukung kegiatan pemerintahan desa adalah Balai Desa/Kantor Desa. Adapun untuk kegiatan peribadatan, desa ini memiliki empat buah masjid. Dalam hal pendidikan, di desa ini terdapat masing-masing satu gedung Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Dalam bidang kesehatan, terdapat sebuah Puskesmas yang dalam memberikan pelayanan kepada keluarga dibantu oleh seorang bidan. Terdapat tiga Posyandu, masing-masing sebuah di setiap kampung yang ada di desa ini. Prasarana olah raga yang ada di desa ini diantaranya berupa satu lapangan sepakbola. Dalam hal sarana komunikasi, hanya ada satu unit saluran telepon yang dimiliki desa. Namun demikian, dari hasil pengamatan telah banyak penduduk desa yang menggunakan telepon seluler sebagai alat komunikasi. Di samping itu, di desa ini juga terdapat sebanyak 325 buah televisi yang dimiliki warga desa. Dengan perkataan lain, sekitar 58,24 persen rumahtangga di desa ini telah akses pada media massa televisi. Namun demikian, pemilikan media massa tampaknya masih dipandang warga memenuhi fungsi sebatas sebagai media hiburan. Hal ini tampak dari hasil observasi, dimana anggota rumahtangga petani sebagian besar memanfaatkan media televisi terutama untuk menonton sinetron.
45
BAB V PROFIL KELEMBAGAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank Dunia telah membuat kesepakatan dan komitmen tentang Pelaksanaan Proyek Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) yang dilaksanakan mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Di Kabupaten Serang, penyelenggaraan pelaksanaan P3TIP tersebut menjadi tanggung jawab Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP). Sehubungan dengan itu, dalam bab ini dikemukakan penjelasan singkat tentang latar belakang, tujuan dan lingkup P3TIP di Kabupaten Serang serta pelaksanaannya yang meliputi organisasi BPKP dan profil sumberdaya manusianya, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Ciruas dan UP-FMA Harum Mekar. Dalam penjelasan pelaksanaan P3TIP tersebut juga mencakup deskripsi berkenaan keluaran yang dicapai pada tingkat BPKP dan BPP dan UPFMA.
5.1. Latar Belakang, Tujuan dan Lingkup P3TIP di Kabupaten Serang Introduksi P3TIP di Kabupaten Serang dilatarbelakangi oleh beragam permasalahan yang ada di kabupaten ini, diantaranya adalah: lemahnya kelompok tani, tidak memadainya kondisi bangunan Badan Penyuluhan Pertanian, rendahnya kemampuan
petani dalam menerapkan teknologi dan manajemen
usahatani yang lebih efisien, serta kebutuhan untuk mengembangkan kemitraan agribisnis secara berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, tujuan dari P3TIP di Kabupaten Serang adalah untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan keluarga tani melalui pemberdayaan keluarga petani dan organisasi petani untuk mengakses informasi, teknologi, modal dan sarana produksi dalam upaya mengembangkan usaha agribisnis dan mengembangkan kemitraan dengan sektor swasta.
46
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, terdapat sejumlah aspek dalam ruang lingkup P3TIP di kabupaten ini, yakni: 1. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Serang, khususnya Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP). 2. Pengembangan kelembagaan petani di desa sebagai mitra kerja sejajar penyuluh pertanian, khususnya kelompok tani-nelayan, wanita tani, dan taruna tani. 3. Penguatan ketenagaan penyuluhan, baik penyuluh terampil maupun penyuluh ahli agar dapat menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan uraian tugas jabatan (job description) masing-masing. 4. Perbaikan sistem dan metode penyuluhan di Kabupaten Serang, antara lain: sistem LAKU (latihan dan kunjungan) dengan sistem kerja layanan konsultasi dan metode pendekatan partisipatif yang sesuai dengan kondisi wilayah. 5. Perbaikan penyelenggaraan penyuluhan yang berbasis pada prinsip otonomi dan
dekonsentralisasi,
kemitrasejajaran,
demokrasi,
keterbukaan,
keswadayaan, akuntabilitas, integrasi dan keberpihakan. 6. Penguatan dukungan teknologi pada usaha tani, yang dilaksanakan melalui riset aksi di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan di desa guna memperoleh hasil yang dapat merekomendasikannya sebagai materi penyuluhan pertanian bagi penyuluh swadaya.
5.2. Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk pada tanggal 19 Juni 2006 sesuai SK Bupati Kabupaten Serang No 40 Tahun 2008. Kelembagaan BPKP ini belum menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Sistem P3K), khususnya Bab V Pasal 8 ayat (2) yang mengamanatkan perlunya kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan (Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian Perikanan dan Kehutanan atau BP4K). Sebagaimana diketahui, sebelum adanya undang-undang tersebut, kelembagaan penyuluhan pertanian merupakan bagian
47
dari Dinas Pertanian Kabupaten Serang. Struktur organisasi BPKP selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2. Kepala BPKP
Sekretariat
SBK
BPPIT
BPKSDM
SBPE
SBU
SBPK
SBPSDM
SBPPI
SBPT
BDKP
BKP
SBAKPP
SBPKP
SBDP
SBKKP
Gambar 2. Bagan Struktur Organisasi Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Kabupaten Serang Sumber: Laporan Akhir P3TIP BPKP Kabupaten Serang
Kepala BPKP berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah yang mempunyai tugas pokok memimpin, merumuskan, mengkoordinir sasaran kegiatan pelaksanaan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, melakukan pembinaan dan melaporkan kegiatan BPKP agar terlaksana dengan baik, efektif dan efisien, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepala BPKP membawahi lima bidang, yakni Sektretariat, Bidang Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM), Bidang Pengembangan
Pelayanan
Informasi
dan
Teknologi
(BPPIT),
Bidang
Ketersediaan Pangan (BKP), serta Bidang Distribusi dan Konsumsi Pangan (BDKP). Kecuali sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris, empat bidang selainnya dipimpin oleh seorang Kepala Bidang. Kesekretariatan membawahi tiga sub-bidang, sementara keempat bidang lainnya masing-masing membawahi dua sub-bidang, di mana setiap sub-bidang juga dipimpin seorang kepala. Sekretaris menjalankan tugas pokok yang mencakup: (a) memimpin dan mengoordinir sekretariat,
penyusunan
(b)
rencana
program
penyiapan koordinasi
dan
pengendalian
penyusunan kebijakan
kegiatan pembinaan
kepegawaian, dan (c) pengaturan pengelolaan ketatausahaan, rumahtangga dan
48
perlengkapan badan. Kesekretariatan membawahi Sub Bagian Program dan Evaluasi (SBPE), Sub Bagian Umum (SBU), dan Sub Bagian Keuangan (SBK). Kepala SBPE bertugas melaksanakan penyusunan rencana kegiatan SBPE, menyusun rencana strategis badan, melaksanakan penghimpunan rencana kerja sekretariat dan bidang, melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data laporan hasil kegiatan, menyusun laporan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan SBPE; sementara
Kepala
SBU
bertugas
dalam
melaksanakan
pengelolaan
kerumahtanggaan BPKP, menyusun rencana kebutuhan peralatan, perlengkapan, jasa, distribusi barang, pemeliharaan dan pemanfaatan barang, melaksanakan pengelolaan administrasi umum, tata usaha, administrasi kepegawaian badan serta melaksanakan evaluasi dan pelaporan SBU. Adapun tugas Kepala SBK adalah menyusun rencana kegiatan SBK, melaksanakan pengelolaan administrasi gaji pegawai BPKP, menyusun anggaran belanja langsung dan tidak langsung, menyusun alur kas keuangan badan, melaksanakan administrasi keuangan, menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan dan melaksanakan evaluasi dan pelaporan keuangan badan. Kepala BPKSDM mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam perencanaan penyusunan program dan pengendalian kegiatan pada BPKSDM, mengkoordinir, menyelenggarakan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan BPKSDM, serta membagi tugas dan mengatur serta memberi petunjuk kegiatan BPKSDM. Terdapat dua sub-bidang yang dibawahi Kepala BPKSDM, yakni Sub Bidang Pengembangan Kelembagaan (SBPK) dan Sub Bidang Pengembangan Sumber Daya
Manusia
(SBPSDM).
Kepala
SBPK,
tugas
pokoknya
meliputi
merencanakan dan mengevaluasi kegiatan sub bidang, memberi petunjuk dan membagi tugas serta membimbing, memeriksa dan mengoreksi hasil kerja bawahan serta membuat laporan Sub Bidang Pengembangan Kelembagaan. Adapun Kepala SBPSDM mempunyai tugas pokok merencanakan dan mengevaluasi kegiatan SBPSDM, memberi petunjuk dan membagi tugas serta membuat laporan SBPSDM. Bidang Pengembangan Pelayanan Informasi dan Teknologi (BPPIT) berfungsi sebagai bidang yang membawahi pengembangan dan pelayanan informasi teknologi. Terdapat dua sub-bidang yang dibawahi oleh Kepala BPPIT,
49
yaitu: Sub Bidang Pengembangan Pelayanan dan Informasi (SBPPI) dan Sub Bidang Pengembangan Teknologi (SBPT). Kepala SBPPI bertugas merencanakan dan mengevaluasi kegiatan SBPPI serta memberi petunjuk, membagi tugas, membimbing, memeriksa hasil kerja bawahan dan membuat laporan SBPPI. Sementara tugas pokok Kepala SBPT adalah sebagai pelaksana penyusunan rencana kegiatan, pelaksana kegiatan, pelaksana penganalisaan data, pelaksana pembinaan dan pengawasan, pelaksana evaluasi dan pelaporan SBPT. Kepala Bidang Ketersediaan Pangan (BKP) mempunyai tugas pokok menyelenggarakan
program,
kegiatan,
pengendalian,
penyelenggarakan
perumusan kebijakan teknis BKP. Terdapat dua sub-bidang yang dibawahi oleh Kepala BKP, yaitu: Sub Bidang Analisis Kebutuhan dan Pengadaan Pangan (SBAKPP) dan Sub Bidang Penanganan Kerawanan Pangan (SBPKP). Kepala SBAKPP bertugas merencanakan dan mengevaluasi kegiatan SBAKPP serta memberi petunjuk, membagi tugas, membimbing, memeriksa hasil kerja bawahan dan membuat laporan SBAKPP; sementara tugas pokok Kepala SBPKP adalah sebagai pelaksana penyusunan rencana kegiatan, pelaksana kegiatan, pelaksana penganalisaan data, pelaksana pembinaan dan pengawasan, pelaksana evaluasi dan pelaporan SBPKP. Pada
bidang
merencanakan,
yang
kelima,
mengkoordinir,
Kepala
BDKP
menyelenggarakan
bertugas dan
memimpin,
mengawasi
serta
mengevaluasi kegiatan bidang BDKP yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Sub Bidang Distribusi Pangan (SBDP) dan Sub Bidang Kualitas Konsumsi Pangan (SBKKP). Kepala SBDP mempunyai tugas pokok merencanakan dan mengevaluasi kegiatan SBDP serta memberi petunjuk, membagi tugas, membimbing, memeriksa hasil kerja bawahan dan membuat laporan SBDP; sementara tugas pokok Kepala SBKKP adalah sebagai pelaksana penyusunan rencana kegiatan, pelaksana kegiatan, pelaksana penganalisaan data, pelaksana pembinaan dan pengawasan, pelaksana evaluasi dan pelaporan SBKKP. Program
P3TIP
menjadi
tanggung-jawab
Bidang
Pengembangan
Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM). Namun demikian, dalam pelaksanaannya dibentuk organisasi tersendiri sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.
50
BUPATI KONSULTAN TIM PENILAI FMA PENILAI FMA
BIDANG TEKNIS
PENANGGUNG JAWAB HARIAN
PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN BIDANG PENGADAAN BARANG/JAS A
BIDANG KEUANGAN
MONITORIN G EVALUASI
BENDAHAR A
Gambar 3. Bagan Struktur Organisasi Pelaksana P3TIP di Kabupaten Serang Sumber: Laporan Akhir P3TIP BPKP Kabupaten Serang, Tahun 2008
Penanggung Jawab Harian adalah Kepala Dinas Pertanian dan Kepala BPKP yang secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati. Pejabat Pembuat Komitmen (P2K) atau Pemimpin Bagian Proyek Daerah bertugas memimpin penyelenggaraan kegiatan bagian proyek baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun pembinaan terhadap pencapaian tujuan proyek. Dalam melaksanakan tugasnya, P2K bertanggung jawab baik berkenaan aspek fisik maupun keuangan atas pelaksanaan proyek dan penyampaian laporan kegiatan, serta penyelesaian proyek tepat waktu kepada kepala BPKP. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas P2K, terdapat lima bidang pendukung, yakni bidang teknis, bidang pengadaan barang dan jasa (procurement), bidang keuangan atau financial officer (FO), pengawasan (monitoring) dan evaluasi, serta bendahara. Kecuali bidang teknis, keempat bidang lainnya dipimpin oleh seorang kepala. Bidang teknis menjadi tanggung jawab Sekretaris Bagian P3TIP yang bertugas membantu dan mengelola administrasi atau ketatausahaan proyek, personalia, perlengkapan, kerumahtanggaan, perjalanan dinas, melakukan hubungan dan kerja sama dengan pelaksana bagian proyek lainnya serta instansi yang berkaitan dengan kegiatan bagian P3TIP. Kepala bidang pengadaan barang dan jasa (procurement) bertanggungjawab melaksanakan tugas pengadaan barang dan jasa yang diperlukan oleh bagian proyek dengan sejumlah uraian tugas diantaranya: 1) merencanakan dan
51
melaksanakan kegiatan lelang pengadaan barang dan jasa, 2) menyusun petunjuk pelaksanaan tentang prosedur dan administrasi pengadaan barang dan jasa yang akan dilaksanakan, serta 3) memantau dan mengevaluasi pengadaan barang dan jasa. Kepala bidang keuangan bertanggung jawab dalam mengawasi pelaksanaan dan pelaporan kegiatan proyek dengan melakukan pengawasan, pembinaan, serta evaluasi pelaksanaan keuangan bagian proyek. Selain itu, juga bertugas melakukan pengecekan keabsahan semua dokumen transaksi, melakukan koordinasi dengan bendahara dalam aplikasi penarikan dana, serta menyiapkan dan menyusun laporan keuangan untuk disampaikan ke Bank Dunia dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kepala bidang Monitoring dan Evaluasi membantu P2K dalam pelaksanaan pengumpulan,
pengelolaan,
pemantauan
evaluasi
kegiatan
P3TIP
serta
penyusunan bahan laporan bulanan, triwulan, tahunan kegiatan P3TIP. Adapun bendahara, bertanggung jawab mengelola keuangan proyek sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
menyelenggarakan
pembukuan
yang sesuai
berlaku, dengan
diantaranya
ketentuan,
bertugas
membuat
dan
menyampaikan Laporan Keadaan Kas (LKK). Guna pelaksanaan P3TIP berlangsung secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, dibentuk
Tim Pengawas pelaksanaan proyek yang
terdiri dari Konsultan, Tim Penilai FMA dan Penilai FMA yang berfungsi membantu Penanggung Jawab Harian dalam menetapkan tindakan-tindakan kuratif dan sanksi untuk kasus penggelapan dan korupsi yang dilaporkan, jika telah ditemukan bukti-buktinya. Konsultan, Tim Penilai dan Penilai FMA ini terdiri dari staf senior yang memiliki keahlian teknis di bidang pertanian dan/atau keuangan yang berasal dari lembaga penyuluhan, pemerintah daerah tingkat provinsi, perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan. Mereka ditugaskan oleh Kepala Lembaga Penyuluhan Provinsi untuk membantu Sekretariat Komisi Penyuluhan Provinsi. Tim ini bertugas untuk menilai kelayakan proposal FMA yang diajukan oleh organisasi petani tingkat kabupaten berdasarkan kriteria yang telah disepakati oleh Komisi Penyuluhan Provinsi, serta menyampaikan rekomendasi hasil penilaian tersebut kepada Komisi Penyuluhan Provinsi untuk memperoleh persetujuan.
52
Profil penyuluh pertanian di BPKP Kabupaten Serang menurut jenjang pendidikan formal dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Penyuluh Pertanian di BPKP Kabupaten Serang menurut Jenjang Pendididkan Formal dan Jenis Kelamin, Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Jumlah Persen Jumlah Persen SPMA 3 4,05 0 0 D3 15 20,27 1 1,35 S1 50 67,57 2 2,7 S2 3 4,05 0 0 Total 71 100 3 100,00 Sumber: Laporan Akhir P3TIP Tahun 2008
Total Jumlah Persen 3 4,05 16 21,62 52 70,27 3 4,05 74 100,00
Pada Tabel 11 dapat dilihat adanya 74 orang penyuluh yang bertugas di 34 BPP yang ada di Kabupaten Serang. Dengan demikian, penyuluh tersebut terdistribusi tidak merata di setiap BPP, bahkan di BPP Kecamatan Kragilan tidak dijumpai adanya penyuluh. Apabila dibandingkan dengan jumlah kelompok tani yang ada di Kabupaten Serang (sekitar 1554 kelompok tani), tenaga penyuluh tersebut sangat tidak memadai, karena dengan demikian rasionya adalah 1: 21. Hal ini berarti tidak sesuai dengan Peraturan Sistem Laku (Latihan dan Kunjungan)2 yang menyatakan bahwa setiap penyuluh membina 8-16 kelompok tani. Jika dilihat menurut perspektif gender, jumlah penyuluh laki-laki dan perempuan sangat tidak seimbang, karena dari total penyuluh yang ada di BPKP Kabupaten Serang, hanya empat persen penyuluh perempuan. Hal ini dimungkinkan karena sistem sosial masyarakat Banten tergolong patriarkhi. Namun demikian, yang menarik adalah bahwa ternyata sebagian besar penyuluh itu berpendidikan Sarjana; sebagian besar lulusan sejumlah universitas daerah, terutama URINDO dan Universitas Terbuka.
2
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani; Pedoman Sistem Kerja Latihan Dan Kunjungan (Laku), Departemen Pertanian
53
5.3. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Ciruas Terdapat sejumlah tugas dan fungsi dari BPP Kecamatan Ciruas, antara lain memfasilitasi petani dalam pembentukan unit pengelola kegiatan desa. Selain itu membantu petani pemandu (petani fasilitator desa) dalam: (a) memfasilitasi Pengkajian Desa Partisipatif (Participatory Rural Appraisal atau PRA), (b) penyusunan Rencana Usaha Keluarga (RUK), Rencana Kegiatan Kelompok (RKK), Rencana Kegiatan Desa (RKD), dan Rencana Kegiatan Penyuluhan Desa (RKPD) yang disusun berdasarkan pendekatan PRA, (c) menyusun rencana penyuluhan kecamatan berdasarkan kebutuhan petani yang tertuang dalam RKPD, (d) memfasilitasi kegiatan proses pembelajaran di desa dengan menggunakan metode partisipatif, (e) melaksanakan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif pelaksanaan kegiatan kegiatan di kecamatan wilayah kerjanya, (d) menyampaikan laporan bulanan tentang kegiatan tenaga penyuluh lapangan untuk disampaikan kepada kepala BPKP, dan (e) melaksanakan pertemuan bulanan para pengurus unit pengelola kegiatan penyuluhan desa di tingkat kecamatan. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di Kecamatan Ciruas dipimpin oleh kepala balai yang dibantu oleh dua orang ketua divisi yang terdiri dari divisi agribisnis/kaji terap dan divisi pelatihan/kursus dan evaluasi. Untuk divisi pelatihan merangkap kepala tata usaha. Di BPP ini terdapat masing-masing dua orang Petugas Penyuluh Lapang (PPL), Tenaga Harian Lepas (THL) dan staf penunjang. Tugas
penyuluh adalah melaksanakan programa penyuluhan
pertanian yang telah disesuaikan dengan kebutuhan petani dan menjalin kerjasama dengan petani. Wilayah Binaan di BPP mencakup beberapa kelompok tani yang menjadi bimbingan para PPL yang terdapat di BPP Ciruas tersebut. Kantor BPP terletak sekitar 0,5 km dari kantor Kecamatan Ciruas, dengan lokasi yang berada di tepi jalan raya yang dilalui transportasi umum, sehingga masyarakat sekitar mudah untuk menghubungi PPL apabila mereka membutuhkan bantuan. Terdapat sejumlah media informasi yang dimiliki BPP Ciruas, diantaranya berupa surat kabar “Sinar Tani” dan leaflet yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan BPKP Kabupaten Serang. Perlengkapan yang ada di BPP Ciruas terdiri dari meja, kursi, almari, rak buku, soundsistem (perlengkapan pengeras suara), papan tulis putih dan hijau, papan struktur organisasi, dan sepeda motor. Dalam hal
54
fasilitas komunikasi, para penyuluh di BPP Ciruas menggunakan telepon genggam pribadi yang digunakan untuk memperlancar komunikasi baik dalam kegiatan-kegiatan operasional harian maupun
pelaksanaan
penyuluhan yang
berhubungan dengan kelompok tani. Penyuluh pertanian membuat pelaporan kegiatan penyuluhan, pelaksanaan kunjungan ke wilayah kerja dan pelaporan dari hasil kunjungan kepada kepala BPP. Adanya pelaporan tersebut bermanfaat dalam pelaksanaan evaluasi. Di BPP Ciruas terdapat dua macam evaluasi, yaitu: (a) evaluasi bulanan yang dilakukan oleh PPL dan Tenaga Harian Lapangan (THL) yang laporannya diberikan kepada Pimpinan/Koordinator BPP, dan (b) evaluasi dua mingguan yang dilakukan oleh Koordinator BPP (secara keseluruhan) yang laporannya diberikan kepada Kepala BPKP (sebagai pimpinan kelembagaan pemberi dana). Laporan evaluasi yang dilakukan oleh PPL dan THL akan dikaji oleh Pimpinan atau Koordinator BPP, yang akan mengecek segala kegiatan program penyuluhan yang telah dilaksanakan mereka, sedangkan evaluasi yang dilakukan oleh BPP kepada BPKP memuat laporan mengenai segala kegiatan penyuluhan, pelatihan serta kunjungan yang telah dilakukan oleh BPP. Alur proses dari evaluasi yaitu kegiatan (penyuluhan, kunjungan, pelatihan) ditindaklanjuti oleh PPL yang kemudian dilaporkan secara tertulis kepada BPKP. Wilayah kerja penyuluhan BPP di Kecamatan Ciruas meliputi 4.542 hektar, yang terdiri dari lahan sawah seluas 3.083 hektar dan lahan darat seluas 1.459 hektar. Meskipun jumlah desa yang ada di wilayah BPP Ciruas terdiri dari 17 desa, namun wilayah kerja penyuluhannya dibagi ke dalam tujuh wilayah kerja yakni: Ciruas, Citereup, Beberan, Singamerta, Kebon Ratu, Bumi Jaya, Kepandean dan Pamong. Dengan demikian, terhadap total luas wilayah yang tercakup oleh BPP Ciruas, masing-masing wilayah kerja penyuluhan mencakup dua sampai tiga desa, dan rata-rata luas lahan binaannya seluas 564,87 hektar. Di BPP Ciruas terdapat 83 kelompok tani, namun jumlahnya tidak terdistribusi merata di setiap desa yang ada di kecamatan ini, berkisar antara satu sampai dengan delapan kelompok tani. Ada sebanyak tiga desa yang masingmasing memiliki tiga kelompok tani, tiga desa lainnya memiliki masing-masing sebanyak empat kelompok tani. Terdapat sembilan desa yang memiliki jumlah
55
kelompok tani lebih dari empat, namun masih dijumpai sebuah desa yang hanya memiliki satu kelompok tani yaitu Desa Plawad. Kondisi ini menyebabkan tidak setiap desa memiliki semua kelas kelompok tani: kelompok pemula, lanjut, madya dan utama. Secara umum, di BPP Ciruas mayoritas kelompok tani tergolong kelompok tani madya (46 persen), kemudian diikuti oleh kelompok tani lanjut, kelompok tani pemula, dan kelompok tani utama berturut-turut sebesar 25 persen, 17 persen, dan tujuh persen. Dari 17 desa yang ada dalam wilayah BPP Ciruas, hanya sebanyak tiga desa yang memiliki kelompok tani dari empat kelas. Desadesa selainnya umumnya memiliki kurang dari empat kelas kelompok tani. Yang menarik, terdapat 15 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dari 17 desa yang ada di wilayah binaan BPP Kecamatan Ciruas. Dengan perkataan lain hanya dua desa saja yang belum memiliki Gapoktan. Terlepas dari kemungkinan beragamnya kualitas Gapoktan di kecamatan ini, kondisi tersebut tampaknya sudah mendekati target Departemen Pertanian yang menghendaki agar Gapoktan terbentuk di setiap desa. Sebagaimana diketahui, Departemen Pertanian menargetkan akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya yang berbasiskan pertanian, dimana target akhir Departemen Pertanian adalah terbentuknya 66.000 Gapoktan di seluruh Indonesia (Syahyuti, 2007).
5.4. Unit Pengelola FMA Harum Mekar Sebagaimana
telah
dikemukakan
sebelumnya,
salah
satu
metode
pengembangan kapasitas pelaku utama dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang dikelola oleh Unit Pengelola Farmers Managed Extension Activites atau UP- FMA, yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat petani di setiap desa. Khusus Di Desa Ciruas, UP-FMA ini disebut sebagai UP-FMA Harum Mekar yang dibentuk pada tanggal 23 Nopember 2007. Kelembagaan UPFMA ini memiliki pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara, yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Adapun penyuluh swadayanya terdiri atas masing-masing seorang laki-laki dan perempuan. Struktur organisasi UPFMA Harum Mekar ini dapat dilihat pada Gambar 4.
56
Tim penyuluh lapangan
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Penyuluh Swadaya 1 Penyuluh Swadaya 2 1
Pelaku utama di desa
Gambar 4. Bagan Struktur Organisasi Unit Pengelola FMA Harum Mekar Sumber: Proposal UP-FMA Harum Mekar, Tahun 2008
Ketua UP-FMA Harum Mekar bertanggung jawab terhadap hal-hal yang bersifat teknis dan administratif, mencakup: 1) memeriksa buku kas untuk terselenggaranya administrasi keuangan yang tertib dan transparan, 2) mendorong masyarakat untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan di desa, 3) mengatur kegiatan yang akan dilaksanakan di desa, 4) bersama pengurus lainnya merencanakan yang akan diusulkan dalam proposal, 5) bersama pengurus lainnya menyusun jadwal kegiatan yang telah disetujui, 6) memonitor pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok kegiatan belajar. Pemilihan ketua UPFMA Harum Mekar
dilakukan dengan musyawarah mufakat. Meskipun
demikian, pemilihan ketua yang sekarang masih bersifat nepotisme, karena posisi ketua UP FMA Harum Mekar dipimpin oleh anak dari Ketua UP FMA sebelumnya. Sekretaris UP-FMA bertanggung jawab untuk memonitor dan mencatat hasil pelaksanaan kegiatan, dan bersama ketua menyusun laporan pelaksaaan kegiatan dan hasilnya, kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya dan jumlah dana yang telah digunakan. Adapun bendahara, bertanggung jawab dalam administrasi keuangan yang mencakup: pembuatan buku kas, menandatangani kwitansi, menyusun laporan penggunaan dana (pemasukan dan pengeluaran. Dalam melaksanakan kegiatannya UP-FMA Harum Mekar didampingi oleh penyuluh yang terdiri masing-masing seorang penyuluh pendamping/pembina dan penyuluh swadaya laki-laki dan perempuan.
57
Penyusunan RDK (Rencana Definitif Kegiatan) dilakukan oleh pengurus dan anggota FMA yang mengikuti kegiatan. Penyusunan ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 dengan biaya yang bersumber dari P3TIP. Dari RDK tersebut diperoleh hal-hal yang menjadi prioritas masalah dari Desa Ciruas yakni pada usaha padi sawah yang tepatnya berlokasi di Kampung Cembeh dan Kampung Ciwandan serta usaha budidaya itik berlokasi di Kampung Bunder. Kemudian karena prioritas masalah tersebut, maka tujuan dari kegiatan yang dilakukan adalah untuk meningkatkan produksi padi dan meningkatkan hasil budidaya itik. Kegiatan yang dilakukan berupa kursus pengelolaan padi pola PTT dan kursus teknik pemeliharaan itik. Keseluruhan dana berasal dari P3TIP yang berjumlah sebesar Rp12.410.000,- yang digunakan untuk kursus budidaya padi, sementara berjumlah sebesar Rp3.400.000,- yang digunakan untuk kursus teknik pemeliharaan itik. Pelaku dalam kegiatan yang dilakukan adalah UP-FMA sebagai penangggung jawab dan Gapoktan sebagai pelaksana kegiatan. Adapun
Rencana
Definitif
Kebutuhan
Kelompok
(RDKK)
yang
mengkhususkan kepada jenis usaha padi sawah dengan beberapa tahap kegiatan. Tahap pertama adalah kursus pengelolaan padi pola PTT (pembuatan bokashi) yang membutuhkan kebutuhan saprodi (jerami, pupuk kandang, sekam, EM-4, gula pasir, dedak dan air) dengan biaya sebesar Rp476.000,-. Tahap kedua adalah persiapan alat yakni karung goni, cangkul, ember, golok dan terpal dengan biaya sebesar Rp190.000,-. Kemudian pada tahap kegiatan ketiga adalah penyediaan alat tulis, konsumsi dan narasumber dengan jumlah biaya sebesar Rp1.575.000,-. Unit Pengelola FMA (UP-FMA) juga membuat programa desa. Programa ini yang disusun terdiri dari beberapa kegiatan yakni kursus pembuatan bokashi, bimbingan teknis pemeliharaan itik, kursus pembuatan rempeyek tepung beras dan perbaikan jalan poros desa (Kampung Cembeh). Beberapa metode yang dilakukan pada kegiatan ini adalah ceramah, diskusi, pemutaran film dan praktik langsung. Sasaran kegiatan pembuatan bokashi dan pemeliharaan itik adalah anggota kelompok, sementara sasaran kursus pembuatan rempeyek dan perbaikan jalan berturut-turut adalah ibu-ibu (kaum wanita) dan masyarakat Kampung Cembeh. Laporan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 9.
58
BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)
Bab ini mendeskripsikan karakteristik demografi individu petani peserta Proyek Budidaya padi dengan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), selanjutnya ditulis petani peserta PTT di Desa Ciruas dan karakteristik rumahtangga mereka. Dalam hal karakteristik individu, meliputi rata-rata jumlah anggota rumahtangga, jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, status perkawinan, sementara pada karakteristik rumahtangganya meliputi tingkat kekayaan dan status kategori rumahtangga. Deskripsi karakteristik individu dan rumahtangga ini diperoleh melalui survey terhadap sejumlah 45 rumahtangga petani peserta PTT.
6.1. Karakteristik Individu 6.1.1. Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin Dari total rumahtangga contoh petani peserta PTT, terdapat sebanyak 271 anggota rumahtangga (ART). Dengan perkataan lain, rata-rata terdapat sekitar enam ART per rumahtangga petani. Kondisi ini sangat berbeda dibanding ratarata jumlah anggota rumahtangga di Desa Ciruas sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya (kurang dari empat orang per rumahtangga). Diduga kondisi ini berhubungan
dengan
melemahnya
Program
Keluarga
Berencana
yang
dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Serang. Selain itu, karena mayoritas rumahtangga bekerja di sektor pertanian yang masih tradisional, jumlah ART yang melebihi anjuran Program BKKBN ini kemungkinan disebabkan oleh masih kuatnya sistim nilai “banyak anak banyak rezeki” di kalangan mereka. Di pihak lain dimungkinkan sebagai tenaga kerja keluarga yang dibutuhkan dalam pengelolaan usahatani sawah. Menurut jenis kelaminnya, persentase ART laki-laki sekitar 51,3 persen atau 2,6 persen lebih tinggi dibanding ART perempuan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan kondisi umum penduduk di Desa Ciruas, dimana persentase penduduk
59
laki-laki juga lebih tinggi sekitar satu persen dibanding penduduk perempuan (Tabel 8).
6.1.2. Umur Tabel 12 menyajikan data kondisi rumahtangga petani menurut kelompok umur. Tabel 12. Anggota Rumahtangga Petani Peserta PTT Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen) Kategori Umur (tahun) <15 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Total
Laki-laki Jumlah Persen (orang) 26 18,71 12 8,63 19 13,67 15 10,79 14 10,07 13 9,35 6 4,32 5 3,6 11 7,91 5 3,6 6 4,32 7 5,04 139 100
Perempuan Jumlah Persen (orang) 34 25,76 20 15,15 14 10,61 12 9,09 11 8,33 13 9,85 7 5,3 4 3,03 8 6,06 8 6,06 0 0 1 0,76 132 100
Total Jumlah Persen (orang) 60 23,33 32 12,9 33 11,66 27 9,68 25 8,93 26 9,68 13 4,96 9 3,23 19 6,7 13 5,21 6 1,49 8 2,23 271 100
Meskipun data penduduk di Desa Ciruas (Tabel 8) menunjukkan persentase yang relatif tidak berbeda antara penduduk laki-laki dan perempuan pada kelompok umur bukan produktif (di bawah 15 tahun) - sekitar 25 persen -, namun pada rumahtangga contoh peserta PTT keadaannya tidak demikian. Sebagaimana terlihat pada Tabel 12, persentase ART perempuan yang bukan usia produktif lebih tinggi sekitar tujuh persen dibanding ART laki-laki. Yang menarik adalah laporan menunjukkan bahwa rata-rata umur harapan hidup (life expectancy) perempuan di Provinsi Banten pada tahun 2007 untuk perempuan 66,5 tahun, sementara pada laki-laki 62.4 tahun3. Dengan demikian, tampaknya kondisi pada rumahtangga petani peserta PTT sangat berbeda karena persentase ART laki-laki 3
Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005 dan 2006, Kerjasama BPS dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (diakses dari http://www.menegpp.go.id/aplikasi data/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=4&Itemid=65) tanggal 7 Juli 2010.
60
berumur 60 tahun dan di atasnya lebih tinggi sekitar 8,6 persen dibanding ART perempuan pada kelompok umur yang sama. Lebih lanjut, merujuk pada rumus Rusli (1995), diketahui bahwa rasio ketergantungan (dependency ratio)4 pada rumahtangga petani PTT
tergolong
rendah yakni sekitar 0,33 atau kurang dari satu, yang artinya bahwa jumlah penduduk usia kerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang bukan usia kerja (penduduk usia muda dan tua atau lanjut usia).
6.1.3. Jenis Pekerjaan Pada Tabel 13 disajikan data mengenai kondisi rumahtangga berdasarkan pekerjaannya. Tabel 13. Anggota Rumahtangga Petani Peserta PTT Menurut Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam jumlah dan persentase) Jenis Pekerjaan Utama Tidak bekerja Petani Pemilik Petani Penggarap Buruh tani Buruh nontani Pedagang Industri rumahtangga Lainnya Total
Laki-laki Jumlah Persen (orang) 48 34,53 7 5,04 45 32,37 2 1,44 18 12,95 11 7,91 3 2,16 5 3,60 139 100,00
Perempuan Jumlah Persen (orang) 78 59,09 1 0,76 18 13,64 2 1,52 15 11,36 9 6,82 0 0,00 9 6,82 132 100,00
Total Jumlah Persen (orang) 126 50,62 8 2,23 63 20,10 4 1,49 33 11,91 20 7,20 3 0,74 14 5,71 271 100,00
Berdasarkan tabel di atas, secara umum lebih dari separuh dari ART petani menyatakan tidak bekerja. Jika dilihat menurut jenis kelaminnya, diketahui bahwa persentase ART perempuan yang tidak bekerja lebih tinggi sekitar 25 persen dibanding ART laki-laki. Hal ini dimungkinkan oleh karena selain relatif lebih tingginya persentase ART perempuan yang bukan tergolong usia produktif (usia balita dan usia sekolah). Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12, juga karena pada umumnya ART perempuan dewasa pada rumahtangga petani mengaku hanya berstatus pekerja keluarga tidak diupah. Meskipun ART perempuan dan
4
Rumus dependency ratio= Jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65+ tahun Jumlah penduduk umur 15-64 tahun
61
laki-laki yang berstatus petani pemilik sama-sama relatif rendah, namun persentase ART perempuan berstatus tersebut jauh lebih rendah dibanding ART laki-laki. Tidak demikian halnya pada mereka yang berstatus petani penggarap dan buruh tani. Persentase ART perempuan berstatus petani penggarap sekitar lebih dari separuh persentase ART laki-laki; bahkan pada mereka yang bekerja sebagai buruh tani persentase keduanya tidak jauh berbeda (sekitar 1,5 persen). Meskipun demikian, upah buru tani berbeda menurut jenis kelamin yakni berturut-turut Rp15.000,- untuk laki-laki dan 10.000,- rupiah untuk perempuan.
6.1.4. Status Perkawinan Pada Tabel 14 disajikan data mengenai profil ART petani peserta PTT menurut status perkawinannya. Tabel 14. Anggota Rumahtangga Petani Peserta PTT Menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen) Kategori Kawin Umur Jumlah Persen (tahun) (orang) <15 0 0,00 15-19 0 0,00 20-24 5 3,65 25-29 18 13,14 30-34 25 18,25 35-39 25 18,25 40-44 13 9,49 45-49 9 6,57 50-54 17 12,41 55-59 12 8,76 60-64 6 4,38 65+ 7 5,11 Total 137 100,0
Belum Kawin Jumlah Persen (orang) 60 46,51 32 24,81 28 21,71 9 6,98 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 129 100,0
Janda/duda mati Jumlah Persen (orang) 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 20,00 0 0,00 0 0,00 2 40,00 1 20,00 0 0,00 0 20,00 5 100,00
Total Jumlah Persen (orang) 60 22,14 32 11,81 33 12,18 27 9,96 25 9,23 26 9,59 13 4,80 9 3,32 19 7,01 13 4,80 6 2,21 8 2,95 271 100,00
Sebagaimana terlihat pada Tabel 14, secara umum proporsi ART petani peserta PTT yang berstatus kawin dan belum kawin tidak berbeda jauh, berturutturut sebesar 50,5 persen dan 47,6 persen. Yang menarik adalah bahwa ART berstatus belum kawin seluruhnya ditemukan pada mereka yang berada pada kategori kelompok umur 25-29 tahun. Di lain pihak, ternyata tidak seorangpun ART yang berstatus kawin berada pada kelompok umur di bawah 20 tahun. Ini
62
berarti, meskipun sebelumnya banyak temuan bahwa ART rumahtangga petani di pedesaan banyak menikah pada usia muda, maka sekarang hal tersebut sudah berubah.
6.1.5. Tingkat Pendidikan Formal Kondisi masyarakat pedesaan pada umumnya kurang akses terhadap pendidikan. Seperti halnya kondisi masyarakat Desa Ciruas pada umumnya, tingkat pendidikan mayoritas ART rumahtangga petani peserta PTT sebagain besar berpendidikan lulusan Sekolah Dasar. Data ART menurut tingkat pendidikan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Anggota Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Pendidikan Formal serta Jenis Kelamin, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen) Tingkat Pendidikan Formal Tidak sekolah Belum sekolah Bersekolah di SD Bersekolah di SLTP Bersekolah di SMA Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMA Total
Laki-laki Jumlah (orang) 1 9 10 6 4 16 61 27 4 138
Persen 0,4 3,3 3,7 2,2 1,5 5,9 22,5 10 1,5 50,9
Perempuan Jumlah (orang) 1 9 20 6 7 15 25 31 19 133
Persen 0,4 3,3 7,4 2,2 2,6 5,5 9,2 11,4 7 49,1
Total Jumlah (orang) 2 18 30 12 11 31 86 58 23 271
Persen 0,8 6,6 11,1 4,4 4,1 11,4 31,7 21,4 8,5 100
Tabel 15 memperlihatkan bahwa secara umum tingkat pendidikan ART petani peserta PTT mayoritas berpendidikan Tamat SD, diikuti oleh mereka yang berpendidikan SLTP dengan persentase sekitar 10 persen lebih rendah dibanding mereka yang berpendidikan Tamat SD. Gambaran ini memperkuat kecenderungan bahwa Program Wajib Belajar 12 tahun berdampak positif bagi rumahtangga petani. Namun demikian, sehubungan dengan fakta bahwa sebagian besar rumahtangga petani peserta PTT adalah petani penggarap dan buruh serta pedagang kecil; dan bersamaan dengan itu tidak ada fasilitas pendidikan SLTA di Desa Ciruas, maka persentase ART rumahtangga yang berpendidikan SLTA jauh
63
lebih rendah dibanding mereka yang berpendidikan SD dan SLTP; berturut-turut lebih sebesar 31,7 persen dan 21,4 persen. Kondisi ini sangat dimungkinkan, mengingat sebagian besar rumahtangga di Desa Ciruas tergolong miskin. Selain rendahnya kemampuan ekonomi, masih ditemukan adanya sebagian warga yang menganggap pendidikan bukan hal yang penting karena menurut mereka pendidikan tinggi belum tentu dapat menjamin masa depan anak-anak mereka. Itu sebabnya masih ada yang lebih memilih untuk mengalokasikan uang yang mereka miliki untuk modal usaha daripada untuk menyekolahkan anaknya. Hal lainnya adalah adanya kecenderungan anak-anak petani yang mengikuti kebiasaan orangtua mereka (yang miskin) untuk langsung bekerja setelah tamat dari Sekolah Dasar.
6.2. Karakteristik Rumahtangga 6.2.1. Tingkat Kekayaan Tingkat kekayaan pada rumahtangga miskin dihitung berdasarkan nilai rupiah dari kepemilikan barang-barang berharga. Kepemilikan barang-barang berharga mencakup kepemilikan barang elektronik, kendaraan bermotor, meja kursi tamu, dan ternak. Dari keseluruhan kepemilikan barang berharga tersebut, kekayaan rata-rata rumahtangga petani peserta PTT sebesar Rp2.940.000,-. Dari total rumahtangga petani peserta, sebanyak 82,2 persen rumahtangga petani memiliki kekayaan dengan kisaran kurang dari Rp4.350.000,-, sementara sebanyak 11,1 persen diantaranya termasuk memiliki kekayaan dengan kisaran Rp4.350.000,- sampai dengan Rp8.700.000,-. Adapun sisanya, yaitu sebesar 6,7 persen memiliki harta kekayaan di atas Rp8.700.000,-. Meskipun sebagian besar tingkat kekayaan mereka tergolong rendah yaitu sebesar 83 persen (Lampiran 4), diketahui bahwa dari 45 rumahtangga petani responden di Desa Ciruas, sekitar 70 persen rumah mereka berstatus milik sendiri, berupa bangunan tunggal, berdinding tembok, berlantai keramik dan beratap dari genting dengan rata-rata luas bangunan 89,49 m2 dan rata-rata luas kamar per individu 3m x 3m. Namun demikian, masyarakat di desa ini kurang memperhatikan fasilitas sanitasi seperti kamar mandi keperluan MCK. Sebanyak 15 rumahtangga atau 33,33 persen tidak memiliki MCK pribadi, sedangkan
64
selebihnya sudah memiliki MCK pribadi. Kondisi ini dimungkinkan karena letak rumah sangat berdekatan sehingga tidak memungkinkan untuk memilikinya karena akan mengganggu kualitas air sumur mereka. Meskipun demikian, yang menarik adalah bahwa hampir semua rumahtangga responden memiliki barangbarang elektronik seperti televisi, radio, kursi tamu dan lemari pajangan, sepeda dan kendaraan bermotor.5 Dengan demikian, meskipun secara kategori tingkat kekayaan mereka tergolong rendah (Lampiran 4), namun tampaknya gaya hidup masyarakat desa ini hampir menyamai mereka yang kaya. Media elektronik ini dijadikan sebagian media hiburan bagi semua anggota rumahtangga. Dalam hal kepemilikan ternak, hanya sedikit diantara rumahtangga petani PTT yang memiliki kerbau atau sapi, Sebanyak dua rumahtangga memiliki satu hingga dua ekor kerbau, enam rumah tangga memiliki satu hingga lima kambing, dan selebihnya memelihara bebek dan ayam. Sebagian besar dari rumahtangga petani PTT memilih untuk memelihara bebek dan ayam.6 Hal ini disebabkan karena mayoritas petani dengan tingkat kekayaan rendah tidak mampu membeli ternak besar, serta tidak memiliki lahan pekarangan bagi kandang kerbau atau sapinya karena rumah-rumah mereka juga berdempetan.
6.2.2. Status Kategori Rumahtangga Kategori rumahtangga miskin dalam studi ini menggunakan indikator yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yakni dengan memperhitungkan ciriciri: tempat tinggal, air minum, kepemilikan aset, aspek pangan, aspek sandang dan kegiatan sosial (Lampiran 3). Adapun keadaan rumahtangga petani peserta PTT menurut kategori kemiskinan BPS disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Status Rumahtangga Petani Miskin Menurut Indikator BPS, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam jumlah rumahtangga dan persen) Status Kategori Rumahtangga Miskin Tidak Miskin Total 5
Jumlah Rumahtangga 40 5 45
Persen 88,89 11,11 100,00
Harga taksiran rata-rata barang elektronik: televisi seharga Rp500.000; radio seharga Rp70.000; kursi tamu: Rp100.000, sepeda: Rp200.000. Untuk kendaraan bermotor berkisar antara Rp1.000.000 hingga Rp6.000.000 6 Harga taksiran hewan ternak rata-rata untuk kambing sekitar Rp700.000/ekor, sementara untuk bebek dan ayam berturutturut seharga Rp 40.000/ekor dan Rp. 30.000/ekor
65
Berdasar Tabel 16, mayoritas rumahtangga tergolong rumahtangga miskin menurut kriteria miskin. Penyebab utama adalah belum terpenuhinya ciri-ciri atau kriteria rumahtangga miskin menurut BPS. Rata-rata petani memiliki luas lahan perkapita kurang dari 8 m2, jenis lantai masih dari tanah dan beberapa meminum air dari sungai/bendungan. Sementara itu, walaupun beberapa rumahtangga memiliki aset berupa ternak, televisi, kendaraan bermotor akan tetapi aspek sandang, papan dan kegiatan sosial tidak mencukupi.
6.2.3. Luas Lahan Usaha Tani Luas lahan usahatani yang dikuasai rumahtangga petani peserta PTT berkisar antara 0,075 - 1,5 hektar, dengan rata-rata seluas 0,51 hektar. Untuk ratarata lahan sawah yang dimiliki petani pemilik adalah seluas 0,98 hektar, sementara rata-rata lahan sawah yang digarap oleh petani penggarap seluas 0,35 hektar. Dari hasil penelitian, diperoleh sebagian besar petani responden tergolong lapisan sedang menurut kriteria luas lahan usahatani Sayogyo (1990) yaitu pada kisaran 0,25-0,5 hektar. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Rumahtangga Petani Menurut Penguasaan Lahan Usahatani Sawah, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam jumlah dan persen) Kategori Luas Lahan <0,25 0,25-0,5 >0,5 Total
Petani Pemilik Jumlah Persen 2 4,4 1 2,2 5 11,1 8 17,8
Penguasaan Lahan Petani Penggarap Jumlah Persen 6 13,3 22 48,9 9 20,0 37 82,2
Total Jumlah Persen 8 17,8 23 51,1 14 31,1 45 100,0
Seperti yang diketahui dalam tabel, sebagian besar rumahtangga petani mempunyai rata-rata luas lahan garapan 0,25-0,5 hektar yaitu sebanyak 23 orang atau 51,1 persen yang didominasi oleh petani penggarap. Menjadi menarik adalah petani penggarap sebanyak 20 persen menggarap >0,5 hektar atau rata-rata luas lahan sekitar 0,98 hektar, ini berarti diduga petani memiliki luas garapan yang cukup luas.
66
BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PTT SERTA INPUT PROGRAM DENGAN KELUARAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi evaluasi P3TIP ini adalah pada keluaran yang dicapai dari program inovasi sistem Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang diintroduksikan kepada para petani di BPP Ciruas. Sehubungan dengan itu, bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji dan analisis statistik atas sejumlah hipotesis berkenaan hubungan antara karakteristik individu dan rumahtangga petani peserta PTT serta peranserta mereka dalam Proyek PTT dengan keluaran P3TIP pada tingkatan individu dan rumahtangga petani peserta PTT. Di samping itu, bab ini juga menjelaskan secara kualitatif hubungan input proyek P3TIP terhadap peranserta petani dalam P3TIP - khususnya berkenaan bentuk dan jumlah dana hibah- serta penguatan kelembagaan petani terhadap keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan petani dan BPKP sebagaimana dikemukakan pada Gambar 2. 7.1. Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu 7.1.1. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada Karakteristik Individu Petani, yakni: Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Nonformal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT dengan keluaran yang terjadi pada petani peserta PTT pada tiga ranah, yakni pengetahuan, sikap dan tindakan/penerapan. Data berkenaan hubungan antara lima variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani PTT dengan tiga variabel pada Keluaran disajikan pada Tabel 18. Adapun data pendukung, berupa persentase petani peserta PTT menurut kategori kriteria
67
dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 18. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Keluaran Pada Tingkat Individu, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Karakteristik Individu
Tingkat Pengetahuan PTT
Sikap Petani terhadap PTT
RenSeTing- Rendah dang gi dah 1.Tingkat Pendidikan Formal (X1) Rendah 0 33 47 24 Sedang 0 7 13 2 Tinggi 0 0 0 0 2. Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Rendah 0 36 49 24 Sedang 0 4 11 2 Tinggi 0 0 0 0 3. Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3) Rendah 0 16 20 11 Sedang 0 11 27 9 Tinggi 0 13 13 6 4. Pola Perilaku Komunikasi (X4) Rendah 0 16 20 13 Sedang 0 20 26 11 Tinggi 0 4 14 2 5. Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5) Rendah 0 14 20 11 Sedang 0 22 31 13 Tinggi 0 4 9 2
Sedang
Tinggi
42 14 0
14 4 0
49 7 0
Tingkat Penerapan PTT Rendah
Sedang
Tinggi
31 4 0
38 11 0
11 5 0
12 6 0
31 4 0
44 5 0
10 6 0
20 22 14
5 7 6
13 11 11
20 20 9
3 7 6
16 31 9
7 4 7
18 13 4
11 31 7
7 2 7
16 31 9
7 9 2
16 15 4
11 31 7
7 7 2
Berdasar data pada Tabel 18 di atas, diketahui bahwa tidak satupun petani peserta PTT memiliki Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang tergolong kriteria rendah. Persentase mereka (total) yang tergolong memiliki pengetahuan kriteria tinggi lebih besar sekitar 20 persen dibanding mereka yang tergolong kriteria sedang. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari karakteristik individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05. Hal ini disebabkan karena fakta sebagaimana terlihat pada Lampiran 4 bahwa mayoritas peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori rendah baik dalam hal Tingkat Pendidikan Formal (X1) maupun Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) mereka, berturut-turut sebesar 80 persen dan 85 persen. Di samping itu, mayoritas petani
68
tergolong sedang dalam hal tiga variabel pada karakteristik individu lainnya, yakni 38 persen, 46 persen dan 53 persen berturut-turut pada variabel Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5). Temuan ini memperkuat hasil penelitian Kartono (2009) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal dan tingkat pengalaman usahatani tidak berhubungan secara nyata dengan persepsi petani terhadap inovasi PTT pada taraf α= 0,05. Lebih lanjut, sebagaimana terlihat pada Tabel 18, meskipun tidak ada petani peserta PTT yang tingkat pengetahuannya tergolong rendah, namun mereka terdistribusi ke dalam tiga kategori Sikap Petani terhadap PTT (Y2), dimana mayoritas tergolong kategori sedang (56 persen), kemudian diikuti oleh mereka yang tergolong rendah dan tinggi, berturut-turut sebesar 26 persen dan 18 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel karakteristik individu peserta PTT, khususnya pada dua variabel yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) tidak berhubungan nyata dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada pada taraf α=0.05. Hal ini disebabkan tidak adanya peserta PTT yang tergolong kriteria tinggi pada kedua variabel tersebut. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α berturut-turut sebesar 0,10 dan 0,20; sementara variabel Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) berhubungan nyata dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α masing-masing sekitar 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti dengan tingkat signifikansi sebesar 0,10 variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dianggap cukup baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Adapun untuk variabel-variabel yang tingkat signifikansinya sebesar 0,20 sampai dengan 0,30, yakni Pola Perilaku Komunikasi (X4), Tingkat Pendidikan Formal (X1), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap kurang baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Hal ini dimungkinkan, karena umumnya semua
69
petani yang menjadi peserta PTT adalah mereka yang memiliki sawah sehamparan yang menjadi bagian dari UP-FMA yang secara sepihak (top down) ditetapkan sebagai peserta oleh pihak Pimpinan P3TIP. Selain itu, sebagian besar diantara mereka mau menjadi peserta PTT dengan motivasi memperoleh insentif berupa stimulan pelatihan dan dana bagi usahatani mereka. Meskipun persentase mereka yang tergolong rendah dalam Sikap Petani terhadap PTT (Y2) hanya 26 persen, namun mereka yang Tingkat Penerapan PTT (Y3) -nya dalam kategori rendah ternyata menunjukkan persentase yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain, mereka yang Tingkat Penerapan PTT (Y3)-nya pada kategori sedang dan tinggi lebih rendah dibanding dengan persentase mereka dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada dua kategori yang sama. Ini menunjukkan mereka yang meskipun sikapnya positif terhadap Inovasi PTT, namun tidak diikuti dengan menerapkan inovasi PTT secara utuh. Selanjutnya, hubungan antara variabel-variabel karakteristik individu peserta PTT dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3), khususnya pada dua variabel yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Non Formal (X2) yang tidak berhubungan nyata tampaknya disebabkan oleh tidak adanya peserta PTT yang tergolong kriteria tinggi pada kedua variabel tersebut. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari karakteristik individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05. Hal ini terjadi karena pada fakta sebagaimana terlihat pada Lampiran 4 bahwa mayoritas peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori sedang, baik dalam hal Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), maupun Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5), dengan persentase berturut-turut sebesar 38 persen, 46 persen, dan 53 persen. Namun demikian, sebagaimana terlihat pada Lampiran 5, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) pada taraf α=0,20. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal ini dapat diartikan bahwa variabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3), sementara Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap tidak baik
70
mempengaruhi dan sangat tidak signifikan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) karena berhubungan pada taraf α lebih dari 0,30. Hal ini dimungkinkan oleh karena petani peserta PTT memiliki pendidikan non formal dan perilaku komunikasi yang sebagian besar lebih banyak berhubungan dengan pelatihan sebatas program PTT. Di samping itu, karena sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya (Tabel 17), mayoritas petani peserta PTT (83 persen) terdiri atas petani penggarap yang tidak sepenuhnya berhak mengambil keputusan untuk menerapkan inovasi PTT, karena hal itu umumnya dilakukan oleh pemilik lahan. 7.1.2. Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel bebas pada Karakteristik Rumahtangga Petani, yakni: Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani ( X7), Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) dengan Keluaran yang terjadi pada petani
peserta
PTT
pada
tiga
ranah,
yakni
pengetahuan,
sikap
dan
penerapan/keterampilan. Tabel 19 menyajikan data berkenaan huungan antara empat variabel bebas pada karakteristik rumahtangga petani dengan tiga variabel tidak bebas pada tiga ranah perilaku tersebut. Adapun persentase petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari semua variabel karakteristik rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4. Data pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa dari hasil uji korelasi rank Spearman, diketahui bahwa Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05. Hal ini diduga karena sebagian besar usahatani (budidaya padi PTT) dikerjakan sendiri oleh petani peserta PTT (87 persen) -kriteria tergolong kriteria rendah- , sehingga tingkat pengetahuan disini mencerminkan pengetahuan peserta PTT itu sendiri. Hal ini tampaknya memperkuat hasil penelitian Kartono (2009), yang juga menemukan bahwa luas lahan usahatani tidak berhubungan nyata dengan persepsi terhadap PTT. Variabel-variabel Luas Lahan Usahatani (X6), Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9), dan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (X1) berturut-turut pada taraf α 0,10,
71
0,20, dan 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti variabel Luas Lahan Usahatani (X6) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Pengetahuan PTT (Y1); sementara Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9), dan Tingkat
Kekayaan
Rumahtangga
Petani
(X7)
dianggap
kurang
baik
mempengaruhi Tingkat Pengetahuan PTT (Y1). Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) VariabelVariabel Karakteristik Rumahtangga
Tingkat Pengetahuan PTT
Rendah
Sedang
Tinggi
Sikap Petani terhadap PTT
Rendah
1. Luas Lahan Usaha Tani (X6) Rendah 0 9 9 11 Sedang 0 24 27 15 Tinggi 0 7 24 0 2. Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Rendah 0 36 47 26 Sedang 0 2 9 0 Tinggi 0 2 4 0 3. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) Rendah 0 40 47 23 Sedang 0 0 13 3 Tinggi 0 0 0 0 4. Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Rendah 0 25 27 22 Sedang 0 4 4 4 Tinggi 0 11 29 0
Tingkat Penerapan PTT
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
5 29 22
2 7 9
11 24 0
5 22 22
2 5 9
48 4 4
9 7 2
35 0 0
43 4 2
5 7 4
48 8 0
16 2 0
33 2 0
38 11 0
16 0 0
25 2 29
5 2 11
27 4 4
20 2 27
5 2 9
Adanya hubungan yang cukup baik dari kedua variabel tersebut dengan Tingkat Pengetahuan PTT dimungkinkan karena sebagaimana terlihat pada Tabel 19 ada kecenderungan semakin tinggi persentase masing-masing variabel semakin Tingkat Pengetahuan PTT (Y1). Hal ini karena sebagian besar petani peserta PTT memiliki Luas Lahan Usahatani (X6) tergolong sedang (51 persen) dan tinggi (31 persen) yang berarti membutuhan tenaga kerja luar keluarga. Dalam hal tingkat kekayaan, sayangnya ternyata sebagian besar tergolong rendah (87 persen), yang berarti relatif homogen keadaannya. Lebih lanjut dalam hal ranah kedua, yakni Sikap Petani Terhadap PTT (Y2), sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5, uji korelasi Spearman menunjukkan
72
bahwa dua variabel yakni Luas Lahan Usahatani (X6) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) berhubungan nyata pada pada taraf α=0.05; sementara Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α sebesar 0,10. Adapun variabel selainnya yakni Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) berhubungan dengan Sikap Petani terhadap PTT (Y2) pada taraf α lebih besar dari 0,30. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), Luas Lahan Usahatani (X6) dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) sangat signifikan mempengaruhi Sikap Petani terhadap PTT (Y2), oleh karena baik petani pemilik maupun penggarapnya menyepakati/bersedia mengikuti aturan yang ditetapkan sebagai peserta PTT. Selain itu, pada dasarnya semakin tinggi luas usahatani semakin banyak stimulannya diperoleh. Adapun pada dua variabel selainnya diduga karena karakterstik pada kedua varabel tersebut mayoritas homogen kondisinya, yakni persentasenya sebagian besar tergolong rendah. Dalam hal hasil uji korelasi rank Spearman antara empat variabel karakteristik rumahtangga dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) diperoleh hasil bahwa Luas Lahan Usaha Tani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga (X7) berhubungan nyata dan signifikan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05, sementara variabel Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) memperlihatkan hubungan pada taraf α lebih dari 0,30, hal ini berarti variabel ini tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan dalam mempengaruhi Tingkat Penerapan Petani (Y3). Sebagaimana dikemukakan di atas, hal ini diduga karena semakin luas usahatani semakin besar stimulan yang diperoleh petani dan diaplikasikan dalam usahataninya, semakin kaya memungkinkan menerapkan inovasi oleh karena sebenarnya mereka tidak lain adalah anggota pengurus UP FMA dan Gapoktan.
7.1.3. Hubungan Antara Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Individu Diduga terdapat hubungan positif antara dua variabel pada Peranserta Petani dalam P3TIP, yakni: Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi Petani dalam program PTT (X11) dengan keluaran tiga ranah perilaku
73
petani peserta PTT. Tabel 20 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel-variabel bebas dan tidak bebas tersebut. Adapun distribusi petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari variabel Peran Serta Petani dalam PTT dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 20. Hubungan Antara Variabel-variabel Peranserta Petani Peserta PTT dengan Pada Tingkat Individu, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Tingkat Pengetahuan PTT Sikap Petani terhadap PTT Peran Serta Petani Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Rendah 0 31 27 17 32 9 Sedang 0 9 27 9 22 5 Tinggi 0 0 6 0 2 4 2. Tingkat Partisipasi Petani (X11) Rendah 0 40 52 26 52 14 Sedang 0 0 4 0 0 4 Tinggi 0 0 4 0 4 0
Tingkat Penerapan PTT Rendah
Sedang
Tinggi
24 11 0
27 20 2
7 5 4
35 0 0
45 0 4
12 4 0
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, tidak satupun petani peserta PTT memiliki pengetahuan tentang PTT yang tergolong kriteria rendah. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa hanya variabel Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) pada taraf α=0.05; sementara Tingkat Partisipasi Petani (X11) dengan Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) berhubungan pada taraf α sebesar 0,10. Yang menarik bahwa sekalipun sebagian besar petani PTT tergolong rendah dalam frekuensi
mengikuti penyuluhan (58 persen) dan partisipasinya dalam
penyelenggaraan program (90 persen), namun tidak seorangpun diantara mereka yang berpengetahuan tentang PTT yang tergolong rendah. Hal ini dimungkinkan oleh karena sebenarnya pengetahuan tentang unsurunsur inovasi PTT diperoleh sebagian besar pada awal kegiatan penyuluhan PTT, yakni dalam pelatihan PTT. Frekuensi pertemuan sebanyak 24 kali itu sebagian besar memang dilakukan setelah pelatihan, dimana petani tidak terlalu berminat mengikutinya, karena bagi mereka motivasinya memperoleh stimulan, dan itu diberikan pada awal pelatihan. Pada masa pelatihan pula bahwa mereka dilibatkan dalam perencanaan, namun kegiatan monitoring dan sesudahnya mereka kurang
74
berpartisipasi. Hal ini antara lain diduga karena sebagian besar petani PTT itu terdiri dari petani penggarap yang karena kesibukannya bekerja di luar pertanian, seperti mengojek dan dagang. Berkenaan dengan ranah yang kedua, hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa ternyata kedua variabel pada peranserta petani dalam PTT berhubungan dengan Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) berturut-turut pada taraf α = 0,10 untuk variabel Tingkat Partisipasi (X11) dan pada taraf α = 0,20 untuk Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10). Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti Tingkat Tingkat Partisipasi (X11) dianggap cukup baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2) sementara Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dianggap kurang baik mempengaruhi Sikap Petani Terhadap PTT (Y2). Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sebagian besar petani peserta bersikap positif terhadap inovasi PTT karena harapan untuk memperoleh stimulan; dan hal ini hanya diperoleh jika petani ikut dalam perencanaan yang dilakukan sebelum pelatihan dilakukan. Selanjutnya diketahui bahwa hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi (X11) berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) pada taraf α=0.05, sementara variabel Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) berhubungan dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3) tersebut pada taraf α 0,10. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat diartikan bahwa Tingkat Tingkat Partisipasi (X11) dianggap baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3), sementara Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Penerapan PTT (Y3).
7.2. Hubungan Antara Karakteristik Individu, Rumahtangga dan Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga 7.2.1. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabelvariabel pengaruh pada Karakteristik Individu Petani, yakni: Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Non-formal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola
75
Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT dengan keluaran pada tingkat rumahtangga, yakni: Tingkat Produksi Usahatani dan Tingkat Pendapatan. Data berkenaan hubungan antara lima variabel bebas pada Karakteristik Individu Petani PTT dengan dua variabel pada Keluaran pada Tingkat Rumahtangga selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Individu Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Karakteristik Individu
Tingkat Produksi Usahatani
Rendah Sedang 1.Tingkat Pendidikan Formal (X1) Rendah 56 11 Sedang 13 0 Tinggi 0 0 2. Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Rendah 60 11 Sedang 9 0 Tinggi 0 0 3. Tingkat Pengalaman Berusaha Tani (X3) Rendah 27 2 Sedang 24 7 Tinggi 18 2 4. Pola Perilaku Komunikasi (X4) Rendah 31 2 Sedang 27 9 Tinggi 11 0 5. Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5) Rendah 29 2 Sedang 29 9 Tinggi 11 0
Tinggi
Tingkat Pendapatan Petani Rendah
Sedang
Tinggi
13 7 0
56 13 0
13 5 0
11 2 0
14 6 0
64 5 0
11 7 0
10 3 0
7 7 6
24 25 20
9 7 2
3 6 4
3 10 7
31 29 9
2 11 5
3 6 4
3 15 2
29 31 9
2 14 2
3 8 2
Berdasar data pada Tabel 21, diketahui bahwa mayoritas petani peserta PTT memiliki Tingkat Produksi Usahatani (Y4) yang tergolong kriteria rendah, dengan rata-rata produksi kurang dari 4 ton per hektar. Sebagaimana terlihat pada Lampiran 4, persentase mereka sebesar 69 persen, atau 49 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tingkat produksi usahataninya tergolong tinggi (≥6 ton). Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tidak satu variabelpun dari Karakteristik Individu petani yang berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α=0.05. Hal inipun karena mayoritas
76
peserta PTT terdiri dari petani yang tergolong kategori rendah baik dalam hal Tingkat Pendidikan Formal (X1) maupun Tingkat Pendidikan Non Formal (X2), berturut-turut sebesar 80 persen dan 85 persen; sementara itu pada tiga variabel lainnya menunjukkan kriteria sedang, yakni sebesar 38 persen, 46 persen dan 53 persen berturut-turut pada variabel Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), Pola Perilaku Komunikasi (X4), dan Tingkat Kebutuhan akan PTT (X5). Namun demikian, hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel Pola Perilaku Komunikasi (X4) dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α sebesar 0,10; sementara variabelvariabel Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) pada taraf α masing-masing sekitar 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti bahwa Pola Perilaku Komunikasi (X4) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4). Hal ini diduga berhubungan dengan pola komunikasi petani peserta PTT yang cenderung lebih kosmopolit, antara lain tercermin komunikasi mereka dengan sumber inovasi PTT, yakni sekitar 77 persen berkomunikasi dengan Ketua Gapoktan, 68 persen dengan PPL, dan sekitar 20 persen dengan Kontak tani. Selanjutnya, dalam hal Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) dianggap kurang baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4) diduga karena faktanya menunjukkan bahwa kecuali mengikuti pelatihan yang diadakan BPKP dalam konteks PTT, hampir semua petani tidak pernah mengikuti pelatihan lainnya yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas usahatani mereka; sementara itu kebutuhan petani akan PTT lebih banyak karena motivasi mendapat stimulan. Dua variabel lainnya, yakni Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) tergolong tidak baik mempengaruhi Tingkat Produksi Usahatani (Y4) karena faktanya petani peserta PTT homogen, dalam arti mayoritas berpendidikan rendah, sementara dalam hal Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), meskipun cenderung relatif heterogen dan terdistribusi normal namun pengalaman tersebut belum menyangkut semua hal berkenaan dengan inovasi PTT. Hanya dua aspek, yakni penggunaan benih unggul dan bibit muda
77
yang lebih dari 60 persen diadopsi petani PTT, untuk lima unsur lainnya kurang dari 50 persen petani yang menerapkannya, bahkan semua petani menyatakan bahwa pupuk organik yang mereka gunakan tidak sesuai dengan kebutuhan karena tidak tersedia secara lokal. Dalam hal hubungan antara lima variabel pada karakteristik individu dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), diketahui kecuali Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4), tiga variabel selainnya tidak berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) dan Pola Perilaku Komunikasi (X4) berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (X5) pada taraf α=0.05. Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α 0,20; sementara Tingkat Pendidikan Formal (X2) dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) mempengaruhi Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α lebih dari 0,30. Tingkat Pendidikan Formal (X1), Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3), dan Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) tidak berhubungan dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) karena pada dasarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani terbatas pada pendapatan yang diperoleh secara langsung dari hasil produksi usahatani, yang sepenuhnya sangat ditentukan oleh luasan usahatani sawah dan penerapan inovasi teknologi dalam budidaya padi dengan sistem PTT, sebagaimana dijelaskan pada sub-bab selanjutnya. 7.2.2. Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga dengan Keluaran Pada Tingkat Rumahtangga Sebagaimana dikemukakan di depan, diduga terdapat hubungan antara empat variabel pada Karakteristik Rumahtangga Petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga petani yakni Tingkat Produksi Usahatani (Y4) dan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Seperti terlihat pada Lampiran 4, tingkat produksi usahatani petani peserta PTT mayoritas (69 persen) tergolong rendah, atau lebih besar 49 persen dibanding mereka yang tingkat produksinya tergolong kriteria tinggi. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan bahwa kecuali variabel Jumlah Tenaga
78
Kerja Dalam Keluarga (X8), Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) berhubungan nyata dengan Tingkat Produksi (Y4) pada taraf α=0.05. Hal terakhir ini dimungkinkan oleh karena sebagaimana terlihat pada Tabel 22, terdapat kecenderungan dimana tingkat produksi pada petani dengan luas usaha tani yang kriterianya rendah semuanya (100 persen) rendah, sebaliknya pada petani dengan luas usaha tani yang kriterianya tinggi sebagian besar terdapat yakni sekitar 65 persen tergolong tinggi dalam tingkat produksi. Demikian pula halnya dengan dua variabel lainnya -Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Adapun data semua varibel bebas dan tidak bebas tersebut disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Hubungan Antara Variabel-variabel Karakteristik Rumahtangga Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani, Desa Ciruas, Tahun 2010 (dalam persen) VariabelVariabel Karakteristik Rumahtangga
Tingkat Produksi
Rendah Sedang 1. Luas Lahan Usaha Tani (X6) Rendah
18
Tingkat Pendapatan Petani Tinggi
0
Sedang 49 2 Tinggi 2 9 2. Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Rendah 62 11 Sedang 5 0 Tinggi 2 0 3. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) Rendah 63 4 Sedang 6 7 Tinggi 0 0 4. Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Rendah 50 2 Sedang 8 0 Tinggi 11 9
0
Rendah
Sedang
Tinggi
0 20
18 42 9
0 9 9
0 0 13
9 7 4
65 4 0
11 5 2
7 2 4
20 0 0
62 7 0
16 2 0
9 4 0
0 0 20
50 3 16
2 5 11
0 0 13
Demikian pula halnya hasil uji korelasi rank Spearman atas hubungan antara empat variabel pada karakteristik rumahtangga dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), ditemukan bahwa Luas Lahan Usahatani (X6), Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7), dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9)
79
berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf taraf α=0.05, sementara variabel Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) tidak berhubungan nyata. Hal ini dimungkinkan karena Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) sebenarnya mencerminkan hasil penjualan atas produksi usahatani dari menerapkan inovasi PTT. Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (X8) tidak berhubungan nyata dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5), oleh karena sebagaimana diketahui sekitar 51 persen dan 31 persen rumahtangga petani PTT memiliki lahan yang sedang dan luas, dalam arti bahwa sebagian besar kegiatan usahatani sawah dikerjakan tenaga kerja luar keluarga.
7.2.3. Hubungan Antara Peranserta Petani dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada Peranserta Petani dalam P3TIP, yakni: Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat Partisipasi Petani dalam program PTT (X11) dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Petani Peserta PTT. Tabel 23 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut, distribusi petani peserta PTT menurut kategori kriteria dari variabel Peranserta Petani dalam PTT dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 23. Hubungan Antara Variabel-variabel Peran Serta Petani Peserta PTT dengan Keluaran pada Tingkat Rumahtangga Di Desa Ciruas Tahun 2010 (dalam persen) Variabelvariabel Tingkat Produksi Peran Serta Petani dalam P3TIP Rendah Sedang Tinggi 1. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Rendah 40 9 9 Sedang 27 2 7 Tinggi 2 0 4 2. Tingkat Partisipasi Petani (X11) Rendah 65 11 16 Sedang 0 0 4 Tinggi 4 0 0
Tingkat Pendapatan Rendah
Sedang
Tinggi
42 27 0
7 7 4
9 2 2
67 0 2
14 2 2
11 2 0
Berdasarkan Tabel 23, dapat diketahui bahwa apapun kriteria petani peserta PTT baik pada Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) dan Tingkat
80
Partisipasi (X11), sebagian besar usahatani mereka tergolong memiliki tingkat produksi rendah. Tampaknya hal ini berhubungan dengan fakta bahwa tingkat produksi tersebut sangat ditentukan (berhubungan langsung) dengan tingkat penerapan inovasi PTT yang ternyata tidak sepenuhnya diterapkan pasca pelatihan. Selain itu, tingkat produksi berhubungan dengan aspek-aspek teknis budidaya lainnya lahan yang tidak ditelaah dalam penelitian. Gejala yang dijumpai pada aspek Tingkat Produksi Usahatani (Y4) juga berlaku pada aspek Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5). Namun demikian, Tingkat Partisipasi Petani (X11) berhubungan dengan Tingkat Pendapatan Usahatani (Y5) pada taraf α
sebesar 0,10; yang berarti variabel Tingkat
Partisipasi Petani (X11) dianggap cukup baik mempengaruhi Tingkat Pendapatan PTT (Y5). Hal ini diduga karena baik pada variabel Tingkat Partisipasi Petani (X11) maupun Tingkat Pendapatan PTT (Y5) cenderung relatif homogen, dalam arti mayoritas tergolong kriteria rendah.
7.3. Hubungan Antar Variabel Keluaran P3TIP pada Tingkat Individu dan Rumahtangga Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, diduga terdapat hubungan antara variabel Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) yang dimiliki petani peserta PTT dengan variabel Sikap Petani terhadap PTT (Y2), dan variabel Sikap Petani terhadap PTT ini diduga berhubungan dengan variabel Tingkat Penerapan PTT (Y3). Hasil uji korelasi rank Spearman antar variabel tidak bebas tersebut dapat dilihat Tabel 24. Tabel 24. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antar Variabel Tidak Bebas, Desa Ciruas, Tahun 2010 Variabel Antar Keluaran Tingkat pengetahuan (Y1) dengan Sikap Petani terhadap PTT Sikap Petani terhadap PTT (Y2) dengan Tingkat Penerapan PTT (Y3)
rs 0,652
Sig. 0.00
0,844
0.00
Seperti terlihat pada Tabel 24 hubungan antar variabel tidak bebas pada tingkat
individu tersebut menunjukkan hubungan nyata pada taraf α =0,05.
Dengan perkataan lain peningkatan pengetahuan akan PTT di kalangan petani peserta berhubungan dengan sikap mereka terhadap PTT, dan pada gilirannya
81
sikap mereka terhadap PTT berhubungan dengan tingkat penerapan PTT di usahatani mereka. Hal ini memperkuat hasil penelitian Kartono (2009) yang mengemukakan adanya hubungan yang nyata antara persepsi petani terhadap PTT dengan penerapan PTT petani. Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan bahwa ketiga variabel pada perilaku petani PTT tersebut berhubungan nyata dengan dua variabel pada tingkat rumahtangga, yaitu Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan. Tabel 25. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Variabel Keluaran Tingkat Individu dengan Variabel Keluaran Tingkat Rumahtangga Petani, Desa Ciruas, Tahun 2010 Variabel-Variabel Tingkat pengetahuan (Y1) Sikap Petani terhadap PTT (Y2) Tingkat Penerapan PTT (Y3)
Tingkat Pendapatan (Y5) Sig. rs 0,373 0,012 0,343 0,021 1 0,003
Tingkat Produksi Y4 Sig. rs 0,326 0,029 0,39 0,008 0,507 0.00
Sebagaimana terlihat pada Tabel 25, hasil uji korelasi rank Spearman antar variabel tidak bebas pada tingkat individu berhubungan nyata dengan semua variabel keluaran pada tingkat rumahtangga (Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan). Demikian pula halnya, terdapat hubungan antara Tingkat Produksi dengan Tingkat Pendapatan dengan korelasi (rs) sebesar 0,6 pada taraf α 0,00. 7.4. Hubungan Input Proyek dengan Keluaran P3TIP di Tingkat Kelembagaan Sub-bab ini mengemukakan deskripsi berkenaan hubungan input dan keluaran P3TIP pada tingkat kelembagaan BPKP dan petani. Pada tingkat kelembagaan BPKP meliputi jumlah pengembangan SDM penyuluhan, jumlah fasilitas (sarana) dan pelayanan yang diperoleh BPKP, serta jumlah penyuluh peserta pelatihan dan yang melanjutkan pendidikan tinggi. Sementara pada tingkat kelembagaan petani meliputi tingkat keberdayaan UP-FMA 7.4.1. Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan BPKP Penguatan
kelembagaan
dan
kemampuan
aparat
bertujuan
untuk
mengembangkan sistem penyuluhan yang terdesentralisasi melalui kerjasama
82
antara penyedia layanan penyuluhan swasta dengan kelompok tani dan perusahaan untuk keuntungan bersama. Untuk keperluan tersebut pemerintah mengintroduksikan beberapa kegiatan yang
mencakup:
penyediaan
pelatihan,
perbaikan
infrastruktur
beserta
perlengkapannya, serta penyediaan dana operasional bagi pelayanan penyuluhan di kecamatan dan kabupaten. Sejalan dengan ruang lingkup dari P3TIP, BPKP telah merealisasi pengembangan SDM dan fasilitas. Bentuk pengembangan kelembagaan yang dilakukan oleh BPKP melalui P3TIP itu tidak semata-mata berhubungan langsung dengan substansi P3TIP. Hal ini terlihat dari adanya aktivitas berupa pemilihan Konsultan Perencanaan Pengawas dan pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) di lingkungan kelembagaan penyuluhan dan tokoh masyarakat. Salah seorang diantara peserta pelatihan anti korupsi adalah Kepala BPP Ciruas. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Bentuk Pengembangan SDM dan Fasilitas pada P3TIP, Kabupaten Serang, Tahun 2008 Bentuk Pengembangan
Input
Materi
Output
Pelatihan metode fasilitasi dan FMA untuk para penyuluh pertanian di tingkat kecamatan (2 angkatan)
Dana penyelenggaraan sebesar Rp125.523.600,dan Fasilitator yang terdiri atas Tim Penyuluh Lapangan.
Pengkajian desa Secara Partisipatif (Partisipatory Rural Approach atau PRA) dan menyusun rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK), programa penyuluhan desa, dan proposal FMA, serta mengelola keuangan FMA dan penyuluhan desa secara partisipatif.
Penyuluh mampu melakukan: fasilitasi pertemuan-pertemuan tingkat kelompok/dusun/ desa, PRA, serta menyusun rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK), programa penyuluhan desa, serta proposal FMA, mengelola keuangan FMA dan penyuluhan desa secara partisipatif.
Konsultan perencanaan pengawas
Perencana, Surat Keputusan, Dokumen seleksi, dokumen teknis
Pembentukan panitia,pemilihan dan penilaian konsultan,
Terpilihnya konsultan, rencana anggaran belanja
Pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders)
Dana Rp13.799.000,- dan fasilitator yang berasal dari provinsi
Pertemuan anti korupsi yang dihadiri oleh 30 orang yang terdiri dari perwakilan Komisi Penyuluhan, anggota KTNA, Kepala BPP di 15 kecamatan, Ketua Bappeda, dan pemuka masyarakat.
Stakeholders dan peserta memahami tentang kegiatan yang akan dilaksanakan P3TIP Kabupaten Serang mulai tahun 2008 sampai dengan 2011
Pembangunan BPP Baru
Rp1.448.999.000,-
Membangun gedung BPP di lima kecamatan
Lima gedung BPP baru
Renovasi BPP
Rp 625.599.000,-
Merenovasi gedung BPP di lima kecamatan
Lima gedung BPP yang telah diperbaiki
Perlengkapan BPP baru
Rp 91.999.000,-
Membeli mebelair baru untuk lima BPP
Lima BPP yang diberi mebelair baru
Sumber: Laporan Akhir P3TIP Tahun 2008
83
Lebih lanjut, dari total dana sekitar Rp. 2. 305.919.600,- , sebagian besar yakni hampir 94 persennya dialokasikan untuk pembangunan sarana fisik, yakni sekitar 66,8 persen digunakan untuk membangun lima Kantor BPP baru beserta perlengkapan mebeleirnya dan 27 persen lainnya untuk renovasi BPP yang ada. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja (5,4 persen) yang dialokasikan untuk penguatan kelembagaan petani, termasuk yang dinikmati petani di BPP Ciruas yang menjadi peserta PTT.
7.4.2. Hubungan Input Proyek dengan Keluaran Pada Tingkat Kelembagaan Petani di Desa Ciruas Pada periode tahun 2007-2009 terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh UP-FMA Harum Mekar, diantaranya kursus budidaya padi sistem PTT dan budidaya ternak itik. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan kursus tersebut meliputi ceramah, diskusi, simulasi/bermain peran dan praktik di lahan sawah. Adapun bentuk dan besarnya stimulan dan bantuan teknis yang diterima oleh UP-FMA Harum Mekar. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penjelasan selanjutnya secara khusus menelaah aspek berkenaan budidaya PTT. Pembinaan yang dilakukan BPKP kepada UP-FMA dan Gapoktan dilakukan
dalam
kegiatan
pengembangan
organisasi
petani
melalui
penyelenggaraan Lokakarya Pengembangan Jaringan dan Koordinasi Petani dengan pendanaan sebanyak Rp31.720.00,-. diikuti dengan pembentukan forum petani di tingkat desa dan kecamatan. Forum petani dan penyuluh di tingkat desa dilaksanakan di 40 desa pelaksana P3TIP, yang diikuti perwakilan dari masingmasing kelompok tani (ketua dan anggota), ketua Gapoktan, pengelola UP-FMA dan pamong/aparat desa, termasuk yang berasal dari Ciruas. Dalam forum penyuluhan desa ini dilakukan pembahasan permasalahan yang dihadapi oleh para petani di masing-masing desa, untuk kemudian mencari kesepakatan berkenaan kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut. Dana yang dialokasikan untuk kegiatan ini sebesar Rp20.000.000,-, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Serang. Kegiatan
84
pembinaan tersebut melibatkan sumber daya manusia berupa tim penyuluhan yang terdiri dari sejumlah penyuluh dari tingkat BPP di Kecamatan Ciruas. Jumlah keseluruhan dana hibah yang diterima oleh UP_FMA Harum Mekar adalah sebesar Rp17.000.000,-. Pertemuan UP-FMA umumnya dilakukan di tempat khusus yang disebut saung meeting, dimana pertemuan berbagai kegiatan setiap dua mingguan atau bulanan dilaksanakan di saung yang dibangun di lokasi kelompok hamparan PTT. Jumlah peserta pada kursus padi pola PTT sebanyak 45 orang sedangkan pada budidaya itik sebanyak 25 orang. Adapun data selengkapnya mengenai input dan bantuan teknis yang diterima UP-FMA dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Input (Stimulan) dan Bantuan Teknis yang Diterima UP-FMA Harum Mekar, Desa Ciruas, Tahun 2008 Bentuk Pengembangan
Input
Materi
Output
Kursus budidaya padi pola PTT
Dana bagi kegiatan UPFMA sebesar Rp12.410.000 ,Dana swadaya masyarakat Rp2.610.000, -
Dinamika kelompok Persiapan lahan dan pembibitan padi Praktik penanaman (legowo) Pengenalan dan pengendalian hama/penyakit padi Pemupukan Praktik pembuatan bokashi Tata guna air Pengetahuan umum pertanian Temu lapang
Meningkatkan pengetahuan, memperbaiki pola pikir dan meningkatkan keterampilan peserta dalam berbudidaya padi yang mengarah pada peningkatan produksi padi dan pendapatan petani di Desa Ciruas.
Kursus budidaya ternak itik
Dana UPFMA Rp3.400.000, Dana swadaya masyarakat Rp5.350.000, -
Budidaya ternak itik: Pemeliharaan itik Menyusun ransum itik Pengendalian penyakit itik Pengawetan telur Praktik pengawetan telur
Peserta kursus dapat memahami dengan baik konsep-konsep budidaya itik, terampil mengaplikasikan teknologi budidaya itik, terampil menangani penyakit itik dan terampil dalam melaksanakan pengawetan telur itik
Sumber: Laporan FMA Harum Mekar 2009
85
Kursus budidaya PTT ini dilakukan selama dua minggu dengan kegiatan pemaparan teknis dan praktik budidaya PTT secara langsung. Keseluruhan peserta budidaya PTT terkadang tidak seluruhnya dapat menghadiri pelatihan tersebut secara rutin. Sementara itu, pada kursus budidaya itik, peserta membuat tempat penetasan di lokasi yang berdekatan dengan pengurus UP-FMA. Peserta kursus budidaya itik dipilih karena kepemilikan ternak khususnya itik. Keluaran yang dihasilkan pada tingkat kelembagaan UP FMA. Dalam hal Keberdayaan UP-FMA antara lain diperlihatkan terutama oleh aksesnya anggota peserta terhadap pelatihan budidaya padi dan aksesnya anggota Kelompok Tani: Tani Mulya, Harapan dan Sawargi terhadap kursus budidaya itik; dimana kepada setiap peserta pelatihan tersebut kemudian diharuskan mendiseminasikan inovasi PTT padi sawah dan Budidaya Itik kepada masing-masing lima orang petani lainnya yang ada di kampung tempat mereka berdomisili. Yang menarik adalah bahwa keikutsertaan dalam kedua pelatihan (kursus) tersebut tampaknya merupakan representasi keluarga petani, dalam arti bahwa peserta kursus bisa diwakili
laki-laki
(suami)
atau
perempuan
(isteri).
Dengan
demikian,
kelompoktani dapat berfungsi sebagai media bagi proses difusi dari kedua jenis inovasi tersebut. Hal ini pada gilirannya dapat membawa pada kegiatan penyuluhan sehingga penyuluhan dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien. Dalam memperkuat kelembagaan kelompok tani yang menjadi tanggungawabnya, UP FMA Harum Mekar memberikan penyuluhan yang dilakukan melalui metode ceramah/diskusi usahatani dengan nara sumber penyuluh dan melaksanakan, forum diskusi yang membahas agenda kelompok. Hal-hal yang dibicarakan dalam pertemuan kelompok tersebut diantaranya adalah membuat kesepakatan menentukan waktu tanam bersama yang efektif (dengan maksud untuk memotong siklus hidup hama), mengatasi masalah hama, memberi bantuan finansial, dan memberi rekomendasi saprotan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa mayoritas petani anggota UP-FMA Harum Mekar mengikuti kegiatan penyuluhan dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan Program PTT dalam kategori rendah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini disebabkan karena para petani umumnya mengikuti
86
semua kegiatan penyuluhan yang diberikan menjelang dan selama pelatihan Budidaya padi PTT, termasuk demonstrasi plot dan pendampingan pada awal penerapan inovasi PTT sebagaimana dikemukakan di atas. Adapun dalam kegiatan setelahnya cenderung menurun, mungkin karena tidak ada lagi stimulan bagi mereka. Hasil wawancara dengan petani anggota UP-Harum Mekar menunjukkan bahwa mereka tidak terlibat aktif dalam kelompoktani karena beberapa alasan, antara lain karena: (1) aktivitas yang dilakukan kelompok tidak sesuai dengan kebutuhan anggota karena kegiatan kelompok hanya
sebatas pertemuan atau
berkumpul kalau ada kunjungan pihak luar (BPKP) dan bahwa kegiatan tersebut dipandang menyita waktu mereka, (2) kegiatan kelompok tidak berkembang atau tidak ada keluaran dari dulu sampai sekarang, (3) kegiatan kelompoktani tidak memecahkan permasalahan petani, dan (4) sejumlah petani tidak mengetahui manfaat kelompok. Kondisi ini dimungkinkan karena pembinaan oleh pihak BPKP sebagai penanggungjawab Program P3TIP juga hanya dilakukan secara intensif pada awal hingga pelatihan, sementara pemberdayaan yang seharusnya dilakukan oleh petugas penyuluh di BPP Ciruas setelah pelatihan hampir tidak dilakukan karena anggapan terlalu luasnya wilayah kerja mereka. Kondisi terakhir ini tampaknya akan berpengaruh pada menururnya dinamika kelompok petani dan UP-FMA Harum Mekar, padahal interaksi antar kelompok
tani
dalam
wadah
UP
FMA
sangat
penting
guna
menumbuhkembangkan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput yang dapat berfungsi sebagai forum belajar sekaligus forum mengambil keputusan untuk memperbaiki nasib mereka.
7.5. Permasalahan dalam Penyelenggaraan P3TIP Seperti telah dijelaskan sebelumnya, introduksi P3TIP bagi masyarakat petani pada dasarnya memiliki kegiatan inti yang secara konsep memandang petani sebagai prioritas utama dan melalui proses belajar (learning process approach). Kegiatan inti ini berupa kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani atau Unit Pengelola Farmers Managed Extension Activities (UPFMA). Melalui kegiatan ini petani difasilitasi untuk merencanakan dan mengelola
87
sendiri kebutuhan belajarnya, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Proses pembelajaran di tingkat desa dimulai dari kajian desa secara partisipatif yang dilaksanakan dengan difasilitasi oleh penyuluh swadaya yang dipilih secara demokratis dari dan oleh petani peserta. Kenyataan menunjukkan bahwa program P3TIP ini sudah berjalan dari tahun 2007, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menghadapi beberapa permasalahan, diantaranya sebagaimana dijelaskan di atas meliputi aspek kelembagaan P3TIP, sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Khusus di Desa Ciruas, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, meskipun implementasi P3TIP telah difasilitasi melalui PRA dan berhasil menyusun proposal UP FMA secara partisipatif, namun dalam kenyataan, sebagian gagasan dan ide-ide yang berkembang dalam PRA tersebut didominasi oleh pengurus FMA dan penyuluh pendamping. Hal ini dimungkinkan karena menurut Sekretariat Feati pada Evaluasi Pelaksanaan FMA Tahun 2008 dalam pelaksanaan P3TIP, penyusunan programa penyuluhan desa terkesan dilakukan terburu-buru karena
mengejar
target
tenggat
waktu
dalam
(http://feati.deptan.go.id/tampil.php?page=berita&id=275).
penyerapan Masalah
biaya lainnya
adalah bahwa frekuensi kunjungan penyuluh desa dan petani pemandu kepada UP-FMA juga cenderung menurun, antara lain diduga karena rendahnya rasio penyuluh dengan kelompok tani sebagaimana dikemukakan sebelumnya (1:21). Dalam hal pelaksanaan kegiatan Participatory Rural Appraisal (PRA) tampaknya juga tidak dilaksanakan dengan semestinya, baik dalam pengumpulan data maupun dalam interpretasi hasil PRA. Seperti yang dilaporkan pada proposal UP-FMA Harum Mekar Desa Ciruas tahun 2008, PRA pada prinsipnya alat atau metode yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama masyarakat, akan tetapi penjabaran PRA itu sendiri pada laporan tersebut masih mengedepankan gagasan penyuluh – yang berasal dari atas- bukan sebagai fasilitator. Selain hal tersebut di atas, terdapat permasalahan lain yang secara umum ada dalam pelaksanaan P3TIP sebagaimana dilaporkan oleh dalam website P3TIP ada dugaan bahwa Tim Verifikasi dari BPKP belum berfungsi optimal dalam
88
meloloskan atau menolak proposal yang diajukan, karena semua proposal yang berasal dari UP FMA diterima; hanya jumlah dana beragam tergantung pembenaran atas dana yang diajukan. Lebih lanjut, konsep dan “metodologi” FMA , khususnya di tingkat lapangan di hampir seluruh Kabupaten Serang untuk tahun 2007-2008 belum diterapkan secara taat azas, dan belum berorientasi pada pengembangan agribisnis yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Itu sebabnya, menyatakan perlunya tindakan korektif terhadap penerapan konsep dan metode tersebut di tingkat lapangan sebelum adanya implementasi FMA pada anggaran selanjutnya.7 Di pihak lain, sebagaimana diketahui, sebenarnya tujuan P3TIP adalah untuk memberdayakan petani dan organisasi petani dalam meningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan aksesibilitas terhadap informasi, teknologi, modal dan sarana produksi, pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha. Namun demikian, setelah sekitar dua tahun pelaksanaannya ternyata tujuan di atas, khususnya berkenaan dengan aspek pengembangan agribisnis dan kemitraan usaha belum dilaksanakan. Hal ini tercermin belum mampunya UP FMA Harum Mekar dalam mengembangkan kemitraan dengan pelaku usaha lainnya, karena Gapoktan Harum Mekar yang membawahi mereka baru sebatas penyedia input produksi saja.
Data dalam
Laporan Akhir P3TIP 2008 memperkuat gejala tersebut, terlihat dari pernyataan bahwa program-program yang telah dilakukan dalam P3TIP sebatas perubahan perilaku individu petani, terutama peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam berbudidaya padi PTT. Dalam laporan juga dikemukakan bahwa hanya sekitar 40 persen dari 40 desa yang ada di Kabupaten Serang yang mendapatkan program ini PTT. Dalam kasus di Desa Ciruas, peserta yang dapat mengikuti kegiatan ini hanya sekitar 10 persen dari seluruh petani yang ada di desa ini. Padahal dengan kompleksitas permasalahan yang ada, petani yang mengikuti kursus tidak dapat berbagi pengalaman sepenuhnya dengan petani lainnya (difusi inovasi PTT), sehingga secara keseluruhan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Selain itu, banyak petani yang mengikuti program ini adalah petani kecil, dimana 7
http://feati.deptan.go.id/tampil.php?page=berita&id=275
89
waktunya banyak dicurahkan untuk mencari penghasilan tambahan di luar kegiatan usahatani di sawah. Oleh karena itu, para petani ini tidak dapat mengikuti kegiatan belajar secara penuh dalam satu musim. Kondisi tersebut, bersamaan dengan tidak adanya kegiatan lanjutan yang dapat melakukan pendampingan kepada para petani peserta PTT secara rutin diduga akan menghambat keberlanjutan penerapan PTT. Untuk kepengurusan UP-FMA, diakui oleh pengurus UP-FMA bahwa hingga saat penelitian berlangsung belum dijumpai permasalahan yang besar dalam pelaksanaan program P3TIP. Meskipun demikian, dari segi kepengurusan pernah ada pergantian penyuluh swadaya karena penyuluh swadaya terdahulu disibukkan oleh urusan pribadinya. Selain itu, pernah terjadi kurangnya koordinasi antar pengurus, dalam hal pertanggungjawaban dana, sehingga salah seorang pengurus merasa terbebani dengan tugas yang cukup besar. Pernah juga muncul isu yang mempertanyakan kejelasan atau transparansi dana UP-FMA yang dipegang oleh pengurus UP-FMA. Di pihak lain para anggota menyatakan keluhan mereka sehubungan dengan kegiatan kelompok yang seringkali tanpa rencana dan mendadak, yang ditentukan secara sepihak sesuai ketersediaan waktu tenaga lapang, sehingga menyulitkan kesinambungan kehadiran mereka. Berkenaan dengan budidaya tanam padi berdasar konsep PTT, secara umum para petani menganggap bahwa sejumlah komponen teknologi yang diintroduksikan dalam PTT sesuai dengan pengalaman dalam sistem budidaya padi yang konvensional, khususnya dalam hal: varietas unggul, benih bermutu, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, serta penggunaan bibit muda dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Namun demikian, terdapat sejumlah komponen yang menurut pandangan petani berbeda dengan sistem konvensional, yaitu penggunaan pupuk organik (bokashi) dan penanaman bibit sebanyak 1-3 bibit per rumpun dan menerapkan jarak tanam legowo. Penggunaan pupuk organik dianggap agak menyulitkan karena mereka tidak memiliki limbah ternak yang dibutuhkan untuk membuat bokashi secara swadaya. Terkait dengan penanaman bibit dan jarak tanam legowo, petani merasa terkendala oleh karena kedua kegiatan tersebut karena faktanya kegiatan pemupukan biasnya dilakukan
90
oleh buruh tani, sementara di pihak lain buruh tani menolak penggunaan pupuk bokashi dengan alasan tidak terbiasa. Terlepas dari adanya permasalahan tersebut di atas, petani peserta PTT merasa terbantu dengan adanya proyek ini karena mereka mendapat inovasi mengenai budidaya padi sawah sistem legowo (terjadi peningkatan pengetahuan terhadap PTT, sikap terhadap PTT dan penerapan PTT). Khusus petani lapisan atas (pemilik 0,5 ha ke atas) memperoleh manfaat berupa peningkatan produksi usahatani mereka dengan rata-rata produksi sekitar 3,2 ton/ha. Namun demikian, terdapat sejumlah petani berstatus penggarap yang menyatakan bahwa petani pemilik lahan usahatani mereka menyatakan tidak mau melanjutkan adopsi budidaya padi sistem PTT, karena kurangnya buruh tani yang mampu melakukan sistem tandur dan legowo. Gejala tersebut memperkuat belum terealisasinya pendekatan learning approach yang di dalamnya menuntut dilakukannya pelibatan masyarakat dimana proses saling belajar dan berbagi pengalaman dilakukan oleh sumberdaya manusia lokal, proses belajar melalui aksi berbasis lapangan dengan pelaksanaan yang gradual dan sesuai perkembangan subyek, dievaluasi secara internal menekankan adanya keberlanjutan.
91
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Kabupaten Serang merupakan salah satu dari 68 kabupaten/kota yang berada di 18 wilayah provinsi di Indonesia yang menjadi lokasi Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP), sebuah pilot project yang dilaksanakan dalam rangka merespon pelaksanaan Undangundang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Proyek yang berdurasi lima tahun
ini (2007-2011)
dirancang untuk mewujudkan sistem penelitian dan penyuluhan pertanian yang mampu memenuhi kebutuhan petani dalam menghadapi perkembangan ekonomi global. Terpilihnya Kabupaten Serang ini sesuai dengan fakta bahwa di kabupaten ini lahan pertanian sangat dominan, mencakup sekitar 63,41 persen dari luas total lahan di kabupaten ini (sekitar 161.000 ha) dan bahwa mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian tanaman pangan (sekitar 76 persen dari 1,6 juta penduduk yang bekerja di sektor pertanian). Salah satu inovasi dalam P3TIP yang diintroduksikan kepada rumahtangga petani tanaman pangan di Kabupaten Serang adalah Sistem Pengolahan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah, yang meliputi tujuh komponen: penggunaan varietas benih unggul bermutu, pengaturan jarak tanam legowo, penggunaan benih muda, penggunaan pupuk organik, pemupukan sesuai kebutuhan, Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengairan berselang. Inovasi budidaya padi PTT ini dintroduksikan kepada masyarakat petani di 40 desa yang ada di Kabupaten Serang, salah satunya di Desa Ciruas. Desa Ciruas tepat menjadi lokasi PTT padi sawah, karena dari sekitar 153 hektar luas wilayah desa ini, sekitar 78 persennya merupakan lahan sawah dan mayoritas penduduknya juga bekerja di sektor pertanian. Dari 1.731 penduduk yang bekerja di desa ini, sekitar 26 persennya bekerja sebagai petani dan hampir 31 persen sebagai buruh tani. Lokasi Desa Ciruas yang dekat dengan Zona Industri Serang Timur menjadikan sebagian penduduk desa ini bekerja di sektor industri atau swasta (19 persen); bahkan di antara petani penggarap dan buruh tani
92
ada yang bekerja di sektor ini sebagai buruh harian, khususnya sewaktu peluang kerja di desa relatif langka karena musim panen belum tiba. Sesuai gambaran di tingkat kabupaten, penduduk desa inipun mayoritas berpendidikan SD (46 persen berpendidikan SD, termasuk 17 persen diantaranya putus sekolah SD). Kelembagaan yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan P3TIP di Kabupaten Serang adalah Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP), namun operasionalisasinya menjadi tanggung-jawab Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Dengan demikian, lembaga ini pula yang bertanggungjawab memfasilitasi kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat desa, yang dalam proyek ini menjadi tanggungjawab para petani yang menjadi pengurus Unit Pengelola Farmers Managed Extension Activities (UP-FMA) dan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN). Terdapat 45 orang petani peserta PTT di Desa Ciruas dengan karakteristik individu yang tergolong rendah dalam hal pendidikan formal (80 persen SD), pendidikan non formal (95 persen hanya kontak dengan tokoh masyarakat lokal), namun tergolong sedang dalam hal tingkat pengalaman berusahatani (38 persen), pola perilaku komunikasi (46 persen), dan tingkat kebutuhan mereka akan PTT (53 persen). Meskipun 83 persen tergolong memiliki tingkat kekayaan rendah, namun
pelapisan sosial
rumahtangga mereka tergolong sedang dan tinggi,
berturut-turut terdapat 51 persen rumahtangga menguasai lahan sawah sekitar 0,25 – 0,50 hektar (mayoritas petani penggarap),dan sekitar 31 persen menguasai 0,9 hektar (sebagian besar petani pemilik). Kondisi ini berhubungan dengan fakta bahwa mayoritas mereka mengerjakan usahatani dengan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga (87 persen); namun diantara mereka juga menggunakan tenaga kerja luar keluarga (40 persen diantaranya tergolong kategori tinggi). Dalam hal karakteristik rumahtangganya, terdapat 271 anggota rumahtangga (ART) dari total rumahtangga petani peserta PTT, dengan rata-rata jumlah ART enam orang per rumahtangga. Menurut jenis kelaminnya, persentase ART lakilaki dominan (51,3 persen). Dari total ART petani PTT, sekitar 51 persen menyatakan tidak bekerja, diantara mereka separuhnya tergolong usia non produktif (di bawah 15 tahun). Meskipun rasio ketergantungan (dependency ratio) pada rumahtangga petani PTT tergolong rendah (0,33), namun dengan merujuk
93
pada kriteria BPS, mayoritas mereka
berstatus
rumahtangga miskin (88,89
persen). Petani peserta PTT di Desa Ciruas merupakan anggota dari salah satu kelompok tani yang menjadi subyek penyuluhan UP-FMA Harum Mekar. Meskipun mereka berpartisipasi dalam kegiatan PRA yang kemudian hasilnya menjadi basis penyusunan RDK dan RDKK yang tertuang dalam dua proposal tentang Kursus Budidaya Padi SLPTT dan Kursus Budidaya Itik, namun menurut mereka sebagian besar usulan tersebut didominasi oleh gagasan yang berasal dari penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan para pengurus UP-FMA serta Gapoktan Harum Mekar. Dengan perkataan lain, sebenarnya kegiatan PRA dalam proyek sistem PTT padi sawah tersebut merupakan forum guna menyosialisasikan inovasi dari Departemen Pertanian untuk menumbuhkan kesadaran para petani, sehingga inovasi PTT menjadi kebutuhan yang dirasakan para petani. Kegiatan PRA juga merupakan bagian dari penguatan kelembagaan petani, khususnya bagi UP FMA dan Gapoktan Harum Mekar. Khusus kepada Gapoktan Harum Mekar juga dilakukan penguatan organisasi melalui lokakarya dan forum desa. Kondisi tersebut di atas, tampaknya membawa pada rendahnya kategori peran serta petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan PTT (58 persen). Namun demikian, mereka menerima stimulan yang terintegrasi dalam paket kedua kegiatan kursus tersebut di atas. Melalui kursus pengelolaan padi pola PTT mereka menerima sejumlah materi berbentuk natura guna pembuatan bokashi senilai Rp476.000,-. Selainnya berupa alat perlengkapan seperti karung goni, cangkul, ember, golok dan terpal senilai Rp190.000,- serta berupa alat tulis, konsumsi dan nara sumber senilai Rp1.575.000,-. Dana tersebut merupakan bagian dari total dana yang diperoleh UP-FMA Harum Mekar dari BPKP untuk kursus budidaya padi tersebut (Rp12.410.000,-). Masyarakat juga berpartisipasi dalam penyediaan dana, yakni sekitar Rp2.610.000,-. Berbeda dari Kursus PTT padi sawah, untuk kursus budidaya itik, stimulan yang diterima para peserta lebih sedikit daripada dana yang swadaya masyarakat, karena dana yang diperoleh UP-FMA sebesar Rp3.400.000,- atau lebih rendah sekitar Rp.1.950.000 dibanding dana swadaya masyarakat (sebesar Rp5.350.000,-).
94
Proses yang melibatkan petani dalam kegiatan dua kursus tersebut di atas membawa pada fakta bahwa mayoritas petani peserta PTT (92 persen) tergolong berpartisipasi
dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi
program. Hal ini membawa pada perubahan perilaku mereka, terbukti dari tidak seorangpun diantara mereka yang memiliki tingkat pengetahuan rendah, mayoritas (60 persen) tergolong tinggi. Namun demikian, hal ini tidak diikuti oleh tingginya sikap mereka terhadap PTT dan tingkat penerapan inovasi PTT oleh mereka. Dalam kedua variabel perilaku tersebut, mayoritas petani tergolong sedang, berturut-turut sebesar 56 persen untuk Sikap terhadap PTT dan 49 persen untuk penerapan inovasi PTT. Mereka yang tergolong tinggi dalam hal Sikap terhadap PTT dan penerapan inovasi PTT berturut-turut sekitar 18 dan 16 persen. Kondisi ini tampaknya berhubungan dengan fakta bahwa mayoritas petani peserta PTT tergolong rendah dalam hal tingkat produksi usahataninya (69 persen), dan keadaan ini yang pada gilirannya menjadikan mayoritas mereka juga tergolong rendah dalam hal tingkat pendapatan yang diperoleh dari penerapan inovasi PTT, dengan persentase yang sama. Dengan kondisi karakteristik individu petani peserta PTT tersebut di atas membawa pada hasil penelitian yang menemukan bahwa tidak satupun dari lima variabel pada karakteristik individu petani – Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Non Formal, Tingkat Pengalaman Berusahatani, Pola Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Petani- berhubungan nyata pada α=0,05 dengan semua ranah perubahan perilaku pada tingkat individu. Namun, Tingkat Pendidikan Non Formal berhubungan cukup baik (α=0,10) terhadap Sikap Petani akan PTT, dan berhubungan kurang baik (α=0,20-0,30) terhadap Tingkat Penerapan PTT oleh petani peserta PTT. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas petani berpendidikan non formal yang tidak lain mereka alami melalui Kursus Budidaya Padi PTT. Demikian pula halnya pada hasil penelitian dimana Pola Perilaku Komunikasi juga berhubungan kurang baik terhadap dua ranah, yaitu Sikap Petani terhadap PTT dan Tingkat Penerapan PTT, dimungkinkan karena adanya interaksi diantara sesama petani peserta kursus tersebut. Dari empat variabel karakteristik rumahtangga petani yang diduga berhubungan dengan tiga ranah perilaku petani peserta PTT, satu diantaranya
95
yakni Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga berhubungan nyata pada α=0,05 dengan ranah Tingkat Pengetahuan PTT. Luas Lahan Usahatani dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga berhubungan
nyata pada α=0,05 dengan Sikap
petani terhadap PTT; kedua variabel tersebut bersamaan dengan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani juga berhubungan nyata pada α=0,05 dengan Tingkat Penerapan PTT. Namun demikian, dijumpai adanya beberapa variabel karakteristik rumahtangga yang berhubungan cukup baik (α=0,10) dengan dua ranah perubahan perilaku petani PTT, yakni Luas Lahan Usahatani dan Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani, keduanya
berhubungan cukup baik
dengan
Tingkat Pengetahuan PTT. Namun, hanya Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani yang berhubungan cukup baik dengan Sikap terhadap PTT. Dalam hal hasil uji antara dua variabel peranserta petani dalam Program P3TIP dengan perubahan perilaku individu, penelitian ini menemukan adanya variabel yang berhubungan nyata pada α=0,05; yaitu Frekuensi Mengikuti Penyuluhan berhubungan sangat nyata dengan Tingkat Pengetahuan, sementara Tingkat Partisipasi Petani Dalam Programa PTT berhubungan dengan Tingkat Penerapan PTT. Hasil uji statistik atas hubungan antara lima variabel karakteristik individu petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga menunjukkan hasil bahwa hanya variabel Pola Perilaku Komunikasi yang berhubungan dengan Tingkat Produksi (α=0,10), namun demikian variabel Pola Perilaku Komunikasi tersebut beramaan dengan Tingkat Pendidikan Non Formal berhubungan nyata pada α=0,05 dengan Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani. Dalam hal hasil uji antara empat variabel karakteristik rumahtangga petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga menunjukkan hasil bahwa tiga variabel, yaitu Luas Lahan Usahatani, Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani, dan Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga berhubungan nyata pada α=0,05 baik dengan Tingkat Produksi Usahatani (Y4) maupun Tingkat Pendapatan. Adapun Jumlah Tenaga Kerja Dalam Keluarga hanya berhubungan nyata pada α=0,10 dengan Tingkat Pendapatan. Hasil uji statistik antara peran serta petani dengan keluaran pada tingkat rumahtangga petani menunjukkan bahwa hanya variabel
96
Partisipasi dalam Programa Penyuluhan yang berhubungan dengan Tingkat Pendapatan, itupun pada taraf α=0,10 . Sebagaimana diketahui, tujuan pelaksanaan Kursus Budidaya PTT padi sawah oleh UP FMA Harum Mekar adalah meningkatkan pengetahuan, memperbaiki pola pikir dan meningkatkan keterampilan budidaya padi yang mengarah pada peningkatan produksi padi dan pendapatan petani di Desa Ciruas. Temuan penting penelitian ini adalah bahwa kursus tersebut yang dilaksanakan dengan berbasis hasil Kajian Pedesaan Secara Partisipatif (PRA), telah mampu memfasilitasi tercapainya keluaran yang telah ditetapkan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh gejala dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan petani PTT, semakin tinggi sikap mereka terhadap PTT padi sawah. Hasil uji korelasi hubungan antara kedua variabel tersebut nyata pada taraf α =0,00. Selanjutnya, Sikap Petani terhadap PTT berhubungan nyata dengan Tingkat Penerapan PTT di usahatni mereka, pada taraf
α=0,00. Yang menarik, semua variabel pada
keluaran P3TIP pada tingkat individu (tiga ranah perilaku petani PTT) juga berhubungan nyata dengan dua variabel pada keluaran P3TIP pada tingkat rumahtangga (Tingkat Produksi dan Tingkat Pendapatan) pada taraf, semuanya pada taraf berkisar antara α =0,00 sampai α =0,02. Keberhasilan pencapaian keluaran (output) pada tingkat individu dan rumahtangga sebagaimana dijelaskan di atas, belum diikuti dengan keberhasilan pencapaian tujuan P3TIP pada aspek kelembagaan, baik pada UP FMA dan Gapoktan Harum Mekar. Selama ini UP-FMA hanya melaksanakan beragam kegiatan sesuai RDK dan RDKK yang tercantum pada Proposal Budidaya PTT padi sawah dan Budidaya itik, itupun terbatas pada aspek produksi saja, belum sampai pada ketrampilan beragribisnis sebagaimana diharapkan oleh tujuan P3TIP. Kondisi ini diperkuat oleh kenyataan dimana mayoritas petani peserta PTT umumnya mengikuti semua kegiatan penyuluhan yang diberikan menjelang dan selama pelatihan Budidaya padi PTT, termasuk demonstrasi plot dan pendampingan pada awal penerapan inovasi PTT sebagaimana dikemukakan di atas, tidak demikian sesudahnya. Demikian pula halnya GAPOKTAN, belum mampu menjalankan fungsinya sebagaimana diharapkan.
97
Merujuk laporan pelaksanaan P3TIP di Kabupaten Serang, diketahui bahwa bentuk pengembangan kelembagaan yang dilakukan oleh BPKP melalui P3TIP meliputi berbagai aspek baik yang berhubungan langsung dengan substansi P3TIP maupun lainnya. Yang terakhir ini antara lain berupa pemilihan konsultan perencanaan pengawas dan pelatihan anti korupsi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) di lingkungan kelembagaan penyuluhan dan tokoh masyarakat; termasuk di dalamnya Kepala BPP Ciruas. Satu hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa dari total dana pelaksanaan P3TIP di lingkungan BPKP (Rp2. 305.919.600,-), hampir 94 persennya dialokasikan untuk pembangunan sarana fisik BPP: 66,8 persen untuk membangun lima Kantor BPP baru beserta perlengkapan mebeleirnya dan 27 persen lainnya untuk renovasi BPP. Sisanya, sekitar 5,4 persen dari total dana dialokasikan untuk penguatan kelembagaan petani, termasuk yang dinikmati petani di BPP Ciruas. Merujuk pada hasil proses yang dilalui dalam penyelenggaraan PTT padi sawah di Desa Ciruas serta pada hasil wawancara mendalam dengan sejumah responden, diketahui bahwa gagasan yang kemudian menjadi basis bagi tersusunnya RDK dan RDKK serta Program Desa oleh UP FMA Harum Mekar mayoritas sebagai gagasan dari para penyuluh baik PNS maupun swadaya dan pendamping, serta pengurus UP- FMA Harum Mekar. Dengan demikian, kegiatan kursus lebih berfungsi sebagai proses sosialisasi proyek P3TIP yang sifatnya masih cenderung “top down”. Dengan perkataan lain, pendepatan “learning process” belum terwujud. Proses pembelajaran yang berlangsung lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan mereka antara lain dijumpai dalam proses pemilihan fasilitatornya yang juga penyuluh swadaya, yang dipilih secara demokratis. Terdapat sejumlah permasalahan yang dihadapi petani dan pengurus UP FMA dan Gapoktan Harum Mekar. Permasalahan pertama berkenaan hubungan sosial produksi antara petani penggarap yang menjadi peserta PTT padi sawah dengan patronnya (petani pemilik). Ketidakbersediaan petani pemilik untuk menerapkan sistem PTT , khususnya penerapan sistem legowo dan pupuk bokashi diduga akan mengancam keberlanjutan penerapan sistem PTT padi sawah di Desa Ciruas. Kedua, permasalahan pada kelembagaan petani baik UP-FMA maupun Gapoktan yang tampaknya berkegiatan sebatas PTT dan Budidaya Itik dan belum
98
mampu mengembangkan kemitraan dengan pelaku usaha lainnya, mencrminkan bahwa kelembagaan tersebut berkegiatan sebatas dalam penyediaan input produksi, belum berperspektif agribisnis. Pengurus kelembagaan petani tersebut juga mengakui adanya kebutuhan atas pengetahuan dan penguasaan dalam melaksanakan PRA bagi mereka sekaligus bagi penyuluh swadaya.
Masalah
lainnya adalah bahwa frekuensi kunjungan penyuluh desa dan petani pemandu kepada UP-FMA juga cenderung menurun, antara lain diduga karena rendahnya rasio penyuluh dengan kelompok tani sebagaimana dikemukakan sebelumnya (1:21).
8.2. Saran Berdasar permasalahan tersebut di atas terdapat sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikannya, diantaranya pelatihan PRA bagi petani maju penyuluh swadaya, penyuluh pendamping dan UP-FMA dan Gapoktan Harum Mekar dan tokoh masyarakat desa sebaiknya dilanjutkan. Karena proyek sifatnya sangat terbatas dalam hal dana dan waktu (hanya sampai 2011), tampaknya kerjasama dengan perguruan tinggi lokal sebagai stakeholders penyuluhan sebagaimana diamanatkan UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K sangat dimungkinkan. Pelatihan berkenaan tupoksi
dan peranan penyuluhan bagi
penyuluh desa dan penyuluh pendamping yang lebih intensif juga diperlukan untuk meningkatkan pemahaman sekaligus sikap positif
mereka dalam
memberdayakan
pelatihan
kelembagaan
petani.
Demikian
halnya
bagi
penyusunan programa penyuluhan desa diperlukan, agar penyusunannya tidak hanya berorientasi pada proyek yang didanai pusat (Departemen Pertanian), tetapi juga melalui anggaran desa dan APBD Kabupaten Serang. Agar UP-FMA dan Gapoktan Harum Mekar mampu menerapkan secara taat azas, diperlukan pembelajaran baik dari sisi suplai dan permintaan, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan kemampuan mereka dalam pengembangan agribisnis. Dengan demikian, pertemuan yang rutin dan intensif dengan penyuluh sebagai fasilitator untuk memperjelas substansi pelatihan dan dalam hal pembagian kerja di pengurus UP-FMA, termasuk di dalamnya
99
memfasilitasi pertemuan anggota dengan para pengurus baru serta pendampingan bagi mereka. Berkenaan masalah yang dihadapi petani penggarap peserta PTT, diharapkan dapat diatasi dengan upaya pendekatan kunjungan rumah yang dilakukan penyuluh pertanian baik swadaya maupun PNS serta juga pengurus UP FMA dan Gapoktan Harum Mekar kepada para pemilik lahan sawah tersebut mendukung keberlanjutan PTT padi sawah. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan upaya pemberdayaan UP-FMA agar dapat menyusun proposal pengadaan kredit ternak kambing/domba secara individual maupun bergulir untuk mendukung pengadaan bahan bagi pembuatan pupuk bokashi secara swadaya yang berkelanjutan. Dalam kaitan ini, peranan Gapoktan dibutuhkan agar dapat memfasilitasi UP-FMA Harum Mekar dalam mengembangkan kemitraan petani angotanya
dengan
pemangku
kepentingan
lainnya,
yang
bersedia
mengembangkan kerjasama dalam pengembangan usaha ternak tersebut. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan Gapoktan yang ada di Desa Ciruas ini, dituntut peningkatan kunjungan penyuluh pertanian (PNS)_yang diharapkan
dapat
bertanggung
jawab
dalam
meningkatkan
penguatan
kelembagaan petani sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Kunjungan).
Sistem LAKU (Latihan dan
100
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan. 2008. Laporan Akhir P3TIP Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kabupaten Serang. BPKP. Banten. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Revitalisasi Pertanian, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. BAPPENAS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1994. Sensus Pertanian (ST) 1983. Jakarta. Badan
Pusat Statistik. 2000. „Konsep Dasar Rumah Tangga‟. http://demografi.bps.go.id/versi2/index.php?option=com_content&view=a rticle&id=948&Itemid=112&lang=en (Diakses pada tanggal 10 Juni 2010)
Badan Pusat Statistik Propinsi Banten. 2001. Karakteristik Penduduk Banten. Hasil Sensus Penduduk 2000. Banten. . 2008. „Analisis dan Tingkat Penghitungan Kemiskinan 2008‟. Katalog BPS: 3205015. BPS. Jakarta. http://daps.bps.go.id/File%20Pub/ Analisis%20Kemiskinan%202008.pdf (Diakses pada tanggal 2 Desember 2009). Balai Besar Padi. 2008. „Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi‟. www.http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&t ask=view&id=12&Itemid=46. (Diakses pada tanggal 13 Februari 2010) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2008. Laporan Tahunan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat (NTB). BPTP. Jakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. 2009. „Kegiatan FEATI Tahun 2008 Menambah Ketrampilan dan Pengetahuan Petani Provinsi Banten‟http://banten.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=comconte nt&view=article&id=149:feati2008&catid=22:feati&Itemid=26 (Diakses pada 2 Febuari 2010). Balai Penyuluhan Pertanian.2010. Programa Penyuluhan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Ciruas. BPP. Banten. Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273 /Kpts/OT.160 /4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Republik Indonesia. Deptan. Jakarta. . Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT.Deptan.Jakarta. Gunawan AW, Achmadi SS, Arianti L. 2004. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Bogor: IPB Press.
101
Kartono. 2009.Persepsi Petani dan Penerapan Inovasi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah di Lokasi Prima Tani, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah, S.S.M dan Djuara Lubis. 1990. Studi Hubungan Tipe pengambilan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok Tani (Studi Kasus di WKPP Tambakdahan dan WKPP Mariuk, KPP Binong Subang Jawa Barat). Bogor: Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian-Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah dkk 2003. Pemberdayaan Wanita Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Untuk Meningkatkan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga. LPPM Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah, S.S.M. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Akan dipublikasikan. Nikodemus. 2009. Seri Membongkar Misteri Microsoft Excel 2007. Yogyakarta. Diterbitkan atas kerja sama Penerbit Andi dan MADCOMS. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani; Pedoman Sistem Kerja Latihan Dan Kunjungan (Laku), Departemen Pertanian. http://www.deptan.go.id /bpsdmp/admin/peraturan/permentan_273_kamp_3.PDF (diakses tanggal 15 Juli 2010) Priyatno, Duwi. 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: Penerbit Andi. Purnaningsih, Ninuk.2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rusli, Said.1995.Pengantar Ilmu Kependudukan-cet 7 (revisi). Jakarta. PT Pusaka LP3ES. Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai Kelembagaan Ekonomi Perdesaan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 5, No. 1.Maret 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sayogyo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Siegel, Sidney. 1992. Statistik Nonparametrik;Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. 1989.
102
Situs Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. http://www.litbang.deptan.go.id (Diakses tanggal 1 Desember 2009) Situs Banten Culture Tourism http://www.bantenculturetourism.com/index.php? option=com_content&task=view&id=17&Itemid=33 (Diakses tanggal 10 Juli 2010) Situs Departemen Pertanian http://www.deptan.go.id/feati (Diakses tanggal 1 Desember 2009) Situs Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&t ask=doc_download&gid=4&Itemid=65 (Diakses tanggal 7 Juli 2010) Situs Pemerintah Kabupaten Serang www.serangkab.go.id (Diakses tanggal 28 Juni 2010) Situs P3TIP 1 http://feati.deptan.go.id/tampil.php?page=berita&id=275 (Diakses tanggal 28 Juni 2010) Soekartawi. 2008. „Perlu Sentuhan „Information and Communication Technology (ICT) dalam Pengembangan Agribisnis di Indonesia‟. Makalah dipublikasikan pada Departemen Agribisnis IPB, dalam Bunga Rampai Agribisnis: Teori, Strategi dan Kebijakan Pemasaran. http://www.profsoekartawi.net/index.php? pilih=publikasi&mod=es&aksi =lihat&id=1177. (Diakses tanggal 29 November 2009). Tabloid Sinar Tani Edisi 19-25 Agustus 2009 No. 3317 Tahun 2009. „Dari FEATI Belajar Beragribisnis, Mengembangkan Usahanya dari PUAP‟ Tim Editor Sosiologi Umum. 2003. Sosiologi Umum. Bagian Ilmu-Ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia IPB. Bogor.Tidak dipublikasikan. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) United Nations. 1994. Guiding Principles for the Design and use of Monitoring and Evaluation in Rural Development Projects and Programmes. UN ACC Task Force on Rural Developmentt, Panel on Monitoring and Evaluation, Rome, Italy (December). https://www.ptb.de/.../UN__2005__Review _of_the_Technical_Cooperation_Activities_of_UNCTAD.pdf (Diakses tanggal 30 Juni 2010) Wahyuni, Ekawati S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. White, Benjamin. 1978. „Rumahtangga Sebagai Unit Analisa‟. Dipresentasikan pada Lokakarya Studi Dinamika Pedesaan Jawa Timur-Survey Agro Ekonomi Universitas Brawijaya.
103
LAMPIRAN
104
Lampiran 1. Jadwal Penelitian No
Kegiatan
Desember 1
2
3
Januari 4
1
Penulisan Proposal dan Kolokium
2
Penyusunan Draft dan Revisi Konsultasi Proposal Observasi Lapang Kolokium dan Perbaikan Studi Lapang Studi Penjajagan Pengumpulan Data Entri dan Cleaning Data Pengolahan Data Analisis Data
3
Penulisan Skripsi
4
Penyusunan Draft dan Revisi Konsultasi Skripsi Ujian Skripsi Ujian Perbaikan Skripsi
1
2
3
Febuari 4
1
2
3
Maret 4
1
2
3
April 4
1
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Juli 4
1
2
3
4
105
Lampiran 2. Peta Kabupaten Serang dan Peta Desa Ciruas
Peta Kabupaten Serang (Sumber: http://www.bantenculturetourism.com/index.php? option=com_content&task=view&id=17&Itemid=33)
Peta Desa Ciruas (Sumber: http://maps.google.com/)
106
Lampiran 3. Kriteria Kemiskinan Menurut BPS (Sumber: www.bps.go.id) Dibawah ini variabel terpilih menurut kelompok klasifikasi dengan penentuan skor 1 yg mengacu pada sifat-sifat kemiskinan dan skor 0 mengacu pada ketidakmiskinan. Skor maksimum delapan untuk yang paling miskin dan skor minimum yaitu nol untuk yang paling tidak miskin. Skor batas kemiskinan adalah lima. Aspek Ciri tempat tinggal
Skor Luaslahan perkapita: <= 8m2 (skor1) dan >8m2 (skor 0) Jenis lantai:tanah (skor 1) dan bukan tanah (skor 0) Air minum: air hujan, sumur tudak terlindung (skor 1) dan ledeng/PAM/sumur terlindung (skor 0) dan bersama/sendiri (skor 0)
Kepemilikan:
tidak punya asset (1) dan punya asset (skor 0) meliputi asset
produktif
(sawah,kebun,ternak,ojek,angkutan)
dan asset non produktif (tv, radio, perhiasan, mebel, sepeda, kendaraan bermotor. Aspek pangan:
Konsumsi lauk pauk (daging,ikan, telur, ayam) tidak ada/ada, tapi tidak bervariasi (skor1) dan ada, bervariasi (skor 0)
Aspek sandang:
dalam satu tahun membeli pakaian minimal satu stel pakaian: ya (skor 0) dan tidak (skor 1)Kegiatan sosial: pernah hadir dalam acara arisan, rapat RT, rapat sekolah/BP3, undangan perkawinan dalam tiga bulan terakhir: ya (skor 0) dan tidak (skor 1)
107
Lampiran 4. Petani Peserta PTT Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Karakteristik Individu, Rumahtangga, Peranserta Petani dalam PTT dan Keluaran PTT Variabel-variabel Tingkat Pendidikan Formal (X1) Tingkat Pendidikan Nonformal (X2) Tingkat Pengalaman Berusaha tani (X3) Pola Perilaku Komunikasi (X4) Tingkat Kebutuhan Petani akan PTT (X5) Luas Lahan Usahatani (X6) Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8) Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Tingkat partisipasi (X11) Tingkat Pengetahuan PTT (Y1) Sikap Terhadap PTT (Y2) Tingkat Penerapan PTT (Y3) Tingkat Produksi Usahatani (Y4) Tingkat Pendapatan (Y5)
Kategori (Persen) Rendah Sedang Tinggi 80 20 0
Rendah tidak/tamat SD
85
15
0
skor 1-5
skor 6-10
skor 11-15
3,16
2
1,65
8
1
36
38
26
2-18 tahun
19-34 tahun
35-50 tahun
23
20
12,87
50
2
36
46
18
skor 1-10
skor 11-20
skor 20-30
13,82
13
6,87
26
1
34
53
13
skor 1-4
skor 5-8
skor 8-12
1,64
1
0,8
3
1
18
51
31
0,25-0,5 ha
0,5 -1,5ha
0,51 ha
0,45
0,37
1,5
0,075
83
11
6
Rp 3.002.700,-
Rp 13.150.000,-
Rp 100.000
0
52
8
40
1-2 orang
58
36
6
skor 1-8
skor 9-16
8.800.000Rp13.150.000,suami, istri dan anak-anak. 5 orang atau lebih skor 17-24
Rp 2.750.000,-
13
Rp4.450.000Rp8.800.000 suami dan istri bekerja 3-4 orang
Rp 2.940.000,-
87
Rp100.0004.450.000 suami saja
8,96
8
3,45
20
1
92
4
4
skor 1-4
skor 5-8
skor 8-12
2,75
2
1,86
9
1
0
40
60
skor 1-8
skor 9-16
skor 17-24
17,76
18
2,89
23
11
26 35
56 49
18 16
skor 1-8 skor 1-8
skor 9-16 skor 9-16
skor 17-24 skor 17-24
13,87 11,98
15 12
4,55 4
22 20
6 6
69
11
20
3,2
2,4
2,1
6,7
0,9
0,9-4 ton/ha
4-<6 ton/ha Rp4.500.000,- Rp9.000.000,-
6-8 ton/ha Rp9.000.00014.180.000,-
Rp4.300.00 0,-
Rp2.750.000 ,-
Rp3.825.000 ,-
Rp14.180.000, -
Rp750.00 0,-
69
18
13
0,075-0,25 ha
Kategori Kriteria (Skor) Sedang Tinggi Tamat SMP Tamat SMA/PT
Rata-rata
Median
Parameter Statistik Std
Max
Min
108
Lampiran 5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Variabel-Variabel Pada Karakteristik Individu, Karakteristik Rumahtangga dan Peran Serta dengan Keluaran Pada Tingkat Individu Keluaran Program Variabel-variabel
Pengetahuan (Y1) rs
Sig.
Sikap (Y2) rs
Penerapan (Y3)
Sig.
rs
Sig.
Karakteristik Individu Tingkat Pendidikan Formal (X1) Tingkat Pendidikan Non Formal (X2) Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3) Pola Perilaku Komunikasi (X4) Tingkat Kebutuhan Petani Akan PTT (X5)
0,068
0,657
0,155
0,309
0,147
0,334
0,1
0,51
0,237
0,117**
0,191
0,208***
-0,028
0,856
0,112
0,465
0,075
0,623
0,108
0,48
0,196
0,197***
0,2
0,188***
0,023
0,879
0,066
0,667
0,077
0,614
Karakteristik Rumahtangga Luas Lahan Usahatani (X6) Tingkat Kekayaan Rumahtangga Petani (X7) Jumlah Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8) Jumlah Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9)
0,232
0,126**
0,43
0,03*
0,463
0,01*
0,136
0,371
0,4
0,06**
0,531
0,00*
0,32
0,032*
0,056
0,714
0,044
0,774
0,189
0,213***
0,449
0,002*
0,386
0,009*
Peran Serta Petani dalam Program P3TIP Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10) Partisipasi dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi Proyek (X11)
0,348
0,019*
0,168
0,269***
0,235
0,12**
0,255
0,091**
0,265
0,079**
0,3
0,045*
Ket: * Signifikansi α=0,05 (mempengaruhi dan signifikan) ** Signifikansi α=0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) *** Signifikansi α=0,20 sampai α=0,30 (kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan) Signifikansi > α=0,30 (tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan)
109
Lampiran 6. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Variabel-Variabel Pada Karakteristik Individu, Karakteristik Rumahtangga dan Peran Serta dengan Keluaran Pada Tingkat Rumahtangga Keluaran Program Variabel-variabel
Produksi (Y4) rs
Pendapatan (Y5)
Sig.
rs
Sig.
Karakteristik Individu Tingkat Pendidikan Formal (X1)
0,063
0,681
0,013
0,932
Tingkat Pendidikan Non Formal (X2)
0,151
0,323
0,362
0,015*
Tingkat Pengalaman Berusahatani (X3)
0,076
0,618
-0,007
0,962
Pola Perilaku Komunikasi (X4)
0,272
0,070**
0,306
0,04*
1
0,260***
0,217
0,152***
Tingkat Kebutuhan Petani Akan PTT (X5)
Karakteristik Rumahtangga Luas Lahan Usahatani (X6)
0,807
0,0*
0,609
0,0*
Jumlah Kekayaan Rumahtangga Petani (X7)
0.380
0,01*
0,468
0,01*
0,074
0,628
0,188
0,216***
0,688
0,0*
0,603
0,00*
Frekuensi Mengikuti Penyuluhan (X10)
0,09
0,557
0,146
0,338
Partisipasi dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi Proyek (X11
0,146
0,399
0,267
0,076**
Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja dalam Keluarga (X8) Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (X9) Peran Serta Petani dalam Program P3TIP
Ket: * Signifikansi α=0,05 (mempengaruhi dan signifikan) ** Signifikansi α=0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) *** Signifikansi α=0,20 sampai α=0,30 (kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan) Signifikansi > α=0,30 (tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan)
110
Lampiran 7. Analisis Usahatani Padi Sawah Musim Tanam 2009 Usahatani Konvensional (Rp)
Usahatani Sistem PTT (Rp)
Benih8
127170
127170
Garam
19674
21150
Pupuk Urea
430288
391235
Pupuk TSP
238100
247228
Pupuk KCL
139041
57056
Pupuk ZA
115741
176511
Pestisida
208796
136268
Biaya traktor (borongan)
400444
520000
Biaya tanam
507955
507955
Biaya pemeliharaan (penyiangan, pemupukan, penyemprotan)
172110
198000
Biaya panen dan bawon
920406
1057000
Total Biaya
3279725
3312403
Gabah Kering Panen (2300kg X Rp3000) untuk konvensional dan (2600kg X Rp3000)
6900000
7800000
Pendapatan Petani (Output-Input)
3620275
4487597
Komponen A. INPUT 1. Biaya Input Teknologi
2. Biaya Tenaga Kerja
B. OUTPUT/HASIL
8
Untuk usahatani PTT, bibit didanai oleh pemerintah
111
Lampiran 8. Rencana Definitif Kegiatan UP-FMA Harum Mekar Pelaku No
Prioritas Masalah
Kegiatan
Tujuan
Tahap Kegiatan
Biaya Lokasi
Penanggung jawab
Pelaksana
Waktu Rp
Sumber
1
Usaha Padi Sawah
Kursus pengelolaan padi pola PTT
Meningkatkan produksi padi
Persiapan
FMA
Gapoktan
Kp.Cembeh
6.205.000
P3TIP
Minggu I November 2008
2
Usaha Padi Sawah
Kursus pengelolaan padi pola PTT
Meningkatkan produksi padi
SDA
FMA
Gapoktan
Kp.Ciwandan
6.205.000
P3TIP
Minggu I November 2008
3
Usaha Budidaya Itik
Kursus teknik pemeliharaan itik
Meningkatkan hasil budidaya itik
SDA
FMA
Gapoktan
Kp.Bunder
3.400.000`
P3TIP
Minggu II November 2008
Sumber:Proposal Kegiatan FMA Harum Mekar, Kecamatan Ciruas Tahun 2008
112
Lampiran 9. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) UP-FMA Harum Mekar No
Jenis Usaha
1
Padi Sawah
Tahap Kegiatan Usaha/Budidaya
Jenis Kebutuhan
Jumlah (Volume)
Harga (rp) Satuan (Rp) Total (Rp)
a. Kursus pemeliharaan padi pola PTT
Jenis Kebutuhan Saprodi: - jerami - pupuk kandang - sekam - EM4 - gula pasir - dedak - air
200 kg 200 kg 100 kg 1 liter 2 kg 25 kg 10 liter
1000 500 1000 30000 6000 1000 Jumlah (a)
200.000 100.000 100.000 30.000 12.000 25.000 467.000
b. Penyiapan alat
- karung goni - cangkul - ember - golok - terpal
10 liter 1 3 4 10
1500 35000 10000 15000 6000 Jumlah (b)
15.000 35.000 20.000 60.000 60.000 190.000
c. Penyediaan alat tulis, konsumsi dan nara sumber
- 1 paket (25 orang) (buku, pulpen, dan lainlain) 40000 5000 100000 Jumlah (c)
1.000.000 75.000 500.000 1.575/000 2.232.000
- konsumsi - nara sumber
Sumber:Proposal Kegiatan FMA Harum Mekar, Kecamatan Ciruas Tahun 2008
Tanggal
Okt-08
113
Lampiran 10. Programa Desa Ciruas No 1
Kegiatan Kursus pembuatan bokasi
Tujuan - penanggulangan kelangkaan dan mahalnya pupuk organik
Metode
Sasaran
- ceramah, - diskusi, - praktik
anggota kelompok
M1 Minggu I Nov 2008
Bulan/tahun M2 M3
M4
Lokasi Rumah Bapak Saidi Kp. Cembeh
Fasilitator FMA
Sumber Biaya P3TIP
Alat dan Bahan Alat: Pacul, terpal, golok, ember dll bahan: jerami, sekam, pupuk kandang, EM4 dll
2
Bimbingan teknis pemeliharaan itik
- membuka lahan usaha baru
- ceramah, diskusi, pemutaran film
anggota kelompok
3
Kursus pembuatan rempeyak tepung
-peningkatan keterampilan usaha keluarga
- praktek, diskusi
-ibu-ibu, wanita tani, anggota PKK
Minggu II Nov 2008
SDA
FMA
P3TIP
Laptop, LCD, obat-obatan, itik
Minggu III Nov 2008
Rumah Kepala Desa Ciruas Kp Bunder
Tim PKK Desa
P3TIP
Bahan: tepung beras dll, Alat: kompor, penngorengan
Minggu III Nov 2008
Desa Ciruas Kp Bunder
PU. Cipta Karya Kabupaten Serang
APBD Kab. Serang
-Batu, pasir, aspal
- peningkatan kualitas produk rempeyek 4
Perbaikan jalan poros desa (Kp. Cembeh)
- memperlancar arus transportasi
pengerasan, pengaspalan
masyarakat Kp. Cembeh Sumber:Proposal Kegiatan FMA Harum Mekar, Kecamatan Ciruas Tahun 2008
114
Lampiran 12. Dokumentasi UP-FMA Harum Mekar, Desa Ciruas, Kabupaten Serang
(a ) Pemaparan teknis sistem PTT
(c) Praktik penanaman legowo sistem PTT Sumber: Dokumentasi UP-FMA Harum Mekar Tahun 2008
(b ) praktik pembuatan bokashi
(c) Praktik penanaman legowo sistem PTT