STUDI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI Oleh : Heru Setiawan Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. P. Kemerdekaan Km 16,5 Sudiang Makassar. Email :
[email protected]
ABSTRACT This study was aimed to know the ecological condition of mangrove forests in Rawa Aopa Watumohai National Park. This research would be covered on vegetation diversity, water quality and diversity of microorganisms. Data collection for vegetation diversity was conducted by combining the quadrates/plots method and transects method. The location for water sampling and identification of microorganisms was taken subjectively by considered the difference of biophysical condition. The results of this research obtained 9 species for seedlings and 9 species for sapling. Poles and trees consist of 9 and 10 species respectively. In general, the diversity of vegetation included in medium category and dominated by Ceriops tagal. The results of water analysis showed that the temperature vary between 26°c - 31°c, average of salinity 16.21 ppt, suspended solid 13.7 ppm, turbidity 8.27 NTU, dissolved oxygen (DO) 4.4 ppm, biochemical oxygen demand (BOD) 2.6 ppm and pH 7.3. Plankton identification showed that there were 25 species of plankton consist of 19 species phytoplankton and 6 species zooplankton with an average abundance of 29 cells/ ml. By considered the result of water analysis and plankton diversity can be known that water quality categorized on the good condition according to the government regulation. Keywords: Mangrove diversity, water quality, microorganisms, Rawa Aopa Watumohai National Park
-1-
I.
PENDAHULUAN Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik, karena berada pada
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Dengan keunikan yang dimiliki, tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil (Kusmana et al., 2003). Hutan mangrove memiliki karakteristik fisika dan kimia yang berbeda dengan ekosistem lainnya, yang berdampak pada respon terhadap bentuk kehidupan, baik tumbuhan maupun hewan menjadi sangat unik. Biota yang hidup dalam lingkungan ini harus dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang ekstrim, seperti pasang surut, perubahan kadar garam, kecerahan yang rendah dan sedimentasi yang tinggi. Adanya faktor lingkungan tersebut menyebabkan habitat mangrove bersifat spesifik, yang hanya dapat ditempati oleh jenis tumbuhan dan fauna tertentu yang telah teradaptasi dengan lingkungan setempat (Nursal et al., 2005). Ekosistem ini mempunyai berbagai manfaat bagi kehidupan manusia dan makhuk hidup pada umumnya. Hutan mangrove merupakan benteng terakhir yang melindungi pemukiman dan lingkungan darat lainnya dari berbagai bencana alam, seperti abrasi, badai (rob), gelombang tsunami, angin kencang dan intrusi air laut (Onrizal, 2003). Mangrove diketahui sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah perawatan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground)
bagi berbagai jenis biota laut (Suyadi, 2009).
Sebagian manusia
mengintervensi ekosistem mangrove untuk memenuhi keperluan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi mangrove menjadi tambak dan pemukiman. Mangrove juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit untuk tanin, arang, bahan kertas, obat-obatan, dan makanan. Kawasan hutan mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN. RAW) merupakan salah kawasan mangrove terluas di Sulawesi yang masih dalam kondisi bagus. Ekosistem mangrove terletak di bagian selatan kawasan, membentang dari barat ke timur sepanjang 24 km dengan luas 6.173 hektar.
-2-
Ketebalan hutan mangrove dari titik terdalam sampai pantai mencapai 7 km. dan masih dapat dijumpai pohon mangrove berdiameter satu sampai dua meter (Liana, 2011). Peranan hutan mangrove di kawasan TN. RAW sangat besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai nelayan, membuat pondok-pondok di muara sungai untuk memudahkan mereka menangkap ikan atau udang. Salah satu satunya adalah muara Sungai Lanawulu. Masyarakat yang tinggal di muara Sungai Lanawulu menggantungkan kebutuhan hidupnya dengan menangkap udang, kepiting, ikan, kerang dan bertani rumput laut. Rata-rata pendapatan nelayan di muara Sungai Lanawulu mencapai Rp.130.000,00/hari (Sugiharto, 2007). Dengan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hasil laut, maka kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan mangrove juga tinggi karena mereka menyadari bahwa hutan mangrove berperan besar dalam menjaga keberlangsungan kehidupan biota laut yang menjadi penghasilan utama mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekologi hutan mangrove di kawasan TN. RAW. Terdapat tiga aspek kondisi hutan mangrove yang diteliti, yaitu analisis vegetasi, sifat fisik dan kimia air, serta analisis keanekaragaman mikroorganisme (plankton). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove di masa mendatang sekaligus juga sebagai sarana monitoring terhadap kualitas kesehatan ekosistem mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. II. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan untuk penelitian adalah meteran tali, kompas, pH meter, salinometer, termometer batang, kertas pH, roll meter, plankton net, GPS, kamera, tally sheet, buku dan alat tulis menulis. Bahan penelitian terdiri dari cairan formalin dan alkohol yang digunakan sebagai bahan pengawet, MnSO4, alkaliodida dan sebagai obyek penelitian adalah ekosistem mangrove di TN. RAW
-3-
B. Cara Pengambilan Data Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode jalur atau transek dan metode kuadrat. Transek yang digunakan berupa garis tegak lurus dari arah pantai ke darat atau dari darat ke pantai. Analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat yang berukuran 20 x 20 meter untuk pohon (diameter > 20 cm; tinggi > 4 m), untuk tiang (diameter 10-20 cm) dibuat ukuran 10 x 10 meter, untuk pancang (diameter < 10 cm, tinggi >1,5 m) dibuat ukuran 5 x 5 meter dan untuk semai (tinggi < 1,5 m) dibuat petak ukuran 2 x 2 meter. Jarak antara petak pengamatan satu dan yang lain adalah 200 meter dengan posisi petak berselang-seling di kiri dan kanan jalur. Pengambilan sampel air dan plankton dilakukan
pada
titik-titik
yang
ditentukan
secara
subyektif
dengan
mempertimbangkan perbedaan kondisi biofisik kawasan. Dengan demikikan sampel yang diambil diharapkan dapat mewakili kondisi ekologi keseluruhan kawasan. C. Analisa Data Analisis sifat fisik air dilakukan secara langsung di lapangan sedangkan untuk sifat kimia dan identifikasi plankton dilakukan di laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Data dari hasil pengukuran vegetasi dilapangan selanjutnya di tabulasikan dan dianalisis. Dominasi dari setiap jenis vegetasi dalam tegakan ditentukan dengan menggunakan Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Cottam dan Curtis (1956) indeks tersebut merupakan nilai gabungan antara kerapatan relatif (KR), dominasi relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR). Beberapa formula yang digunakan untuk menilai kualitas tegakan diantaranya adalah indeks keragaman jenis (H’) yang dihitung berdasarkan persamaan Shannon dan Wiener (Molles, 2002), indeks kemerataan jenis (E) yang dihitung dengan menggunakan rumus Pielow Evennes Indices (Ludwig dan Reynolds, 1988) dan indeks dominasi jenis (D) yang dihitung dengan menggunakan rumus Odum (1994).
-4-
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan tingkat dominasi atau penguasaan jenis vegetasi pada suatu wilayah. Semakin tinggi indeks nilai penting suatu jenis maka semakin tinggi pula tingkat dominasi jenis tersebut dalam suatu komunitas (Sidiyasa, 2007). Indeks nilai penting ketiga jenis tertinggi pada tiap tingkatan pertumbuhan disajikan pada gambar 1.
160.0
148.9
142.1
140.0 100.0
100.8 84.1 53.3
50.2
Xylocarpus granatum
60.0
Rhizopora apiculata
80.0 28.1
24.8
Rhizopora apiculata
24.9
29.0
Rhizophora mucronata
40.0
Lumnitcera litoralis
41.3 28.3
Rhizopora apiculata
INP (%)
120.0
20.0
Semai
Pancang
Ceriop tagal
Ceriop tagal
Xylocarpus granatum
Xylocarpus molucensis
Ceriop tagal
Ceriop tagal
-
Tiang
Pohon
Tingkatan Pertumbuhan
Gambar 1. Indeks nilai penting tiga jenis mangrove tertinggi pada masingmasing tingkatan pertumbuhan di kawasan mangrove TN. RAW Hasil analisis data vegetasi menunjukkan nilai INP yang tinggi untuk tingkat semai secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (84,088%), Rhizopora apiculata (28,313%) dan Lumnitsera litoralis (24,863%). Nilai INP untuk tingkat pancang adalah Ceriop tagal (142,058%), Xylocarpus molucensis (41,309%) dan Xylocarpus granatum (28,966%) sedangkan untuk tingkat tiang secara berturutturut adalah Ceriop tagal (148,909%), Rhizophora mucronata (28,071%), Rhizopora apiculata (24,830%). Nilai INP untuk tingkat pohon secara berturutturut adalah Ceriop tagal (100,808%), Rhizopora apiculata Xylocarpus granatum (50,220%).
-5-
(53,292%),
Tingkat kestabilan suatu komunitas hutan dapat diidentifikasi dengan menggunakan tingkat keanekaragaman hayati. Tabel 1 adalah gambaran umum secara kuantitatif hasil pengolahan data potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN. RAW. Tabel 1. Potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN. RAW No 1 2 3 4 5
Parameter Jumlah Individu Jumlah Jenis Indeks diversitas (H') Indeks dominasi (C) Indeks kemerataan (E)
Semai 188 9 1,495 0,332 0,681
Pancang 172 9 1,504 0,361 0,685
Tiang 139 9 1,632 0,314 0,743
Pohon 251 10 1,695 0,252 0,736
Pada pengukuran nilai indeks diversitas Shannon-Wiener (H’) di kawasan hutan mangrove TN. RAW diperoleh nilai indeks diversitas yang tertinggi pada tingkat pohon (1,695) dan terendah pada tingkat semai (1,495). Secara umum, tingkat keanekaragaman vegetasi mangrove pada semua tingkat pertumbuhan memiliki tingkat keanekaragaman sedang, dengan nilai H’ = 1-3. Indeks dominasi (C) digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Dari hasil pengolahan data perhitungan nilai indeks dominasi menunjukkan, nilai indeks dominasi yang tertinggi terdapat pada tingkat pancang, yaitu sebesar 0,361 dan terendah pada tingkat pohon 0,252. Secara keseluruhan indeks dominasi vegetasi tergolong rendah (<0,5) yang menggambarkan bahwa pada semua tingkatan pertumbuhan, tidak ada jenis yang mendominasi kawasan. Menurut Odum (1994), nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1. Apabila nilai indeks indeks dominasi mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi, Jika nilai indeks dominasi mendekati 1, berarti ada salah satu spesies yang mendominasi kawasan. Indeks kemerataan (E) menunjukkan sebaran masing-masing spesies dalam sebuah komunitas. Nilai indeks kemerataan yang mendekati 1 menunjukkan kelimpahan masing-masing jenis cukup merata. Hasil perhitungan nilai indeks kemerataan menunjukkan bahwa, nilai indeks kemerataan pada semua tingkatan mendekati 1 (>0,5), yang menunjukkan bahwa pada semua tingkatan
-6-
pertumbuhan, tingkatan kelimpahan masing-masing spesies mangrove di lokasi penelitian termasuk dalam kategori merata. Untuk mengetahui kualitas air di hutan mangrove TN. RAW sebagai acuan digunakan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan. Secara umum, hasil pengukuran temperatur rata-rata air berkisar antara 26°c sampai 31°c. Suhu air optimal untuk kehidupan biota di daerah tropis, bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25°c sampai 32°c (Erdward et al., 2003). Tingkat kekeruhan air rata-rata 8,27 NTU. Nilai ambang batas untuk kekeruhan air laut adalah 30 NTU, sedangkan tingkat kekeruhan air yang paling baik adalah 5 NTU. Pada pengukuran tingkat salinitas air didapatkan hasil rata-rata 16,21°/∞. Tidak ada aturan baku tentang nilai ambang batas salinitas, nilai salinitas berfluktuatif secara alami. Pada pengukuran total padatan tersuspensi (TSS) rata-rata keseluruhan 13,7 ppm. Nilai ambang batas TSS adalah 80 ppm, dengan demikian secara umum tingkat TSS pada perairan mangrove di TN. RAW masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan undang-undang. Pengukuran nilai pH sangat penting dilakukan karena mempengaruhi proses biokimiawi perairan. Hasil pengukuran nilai pH rata-rata di lapangan adalah 7,3. Tingkatan pH yang baik untuk kehidupan organisme laut berkisar antara 6,5 - 8,5. Analisis kandungan amoniak penting dilakukan, karena merupakan parameter kunci layak tidaknya perairan untuk kehidupan biota laut. Konsentrasi amonia yang tinggi pada perairan dapat menyebabkan kematian pada ikan. Kadar Amoniak (NH3) di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0.01 ppm, hasil tersebut menunjukkan kualitas air masih berada dibawah ambang batas normal yaitu kurang dari sama dengan 1 ppm. Hasil pengukuran kadar oksigen terlarut (DO) air di laboratorium rata-rata adalah 4,4 ppm. Nilai ambang batas minimal untuk DO adalah lebih dari sama dengan 4 ppm dan yang paling ideal adalah 6 ppm, sehingga kondisi perairan mangrove di TN. RAW masih berada di bawah ambang batas. Ikan dapat hidup dengan normal pada kandungan oksigen bebas lebih besar dari 3 ppm. Biochemical Oksigen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah
-7-
banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencerna) yang terdapat di dalam air secara biologi. Hasil pengukuran BOD rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,6 ppm. Dalam klasifikasi derajat pencemaran, semua lokasi penelitian termasuk dalam golongan tidak tercemar (BOD<3). Menurut Lee (1978), klasifikasi derajat pencemaran perairan ditentukan oleh parameter indeks diversitas, DO, BOD, SS dan NH3. Daftar klasifikasi derajat pencemaran ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 2. Daftar klasifikasi derajat pencemaran No 1 2 3 4
Derajat Pencemaran Tidak Ringan Sedang Berat
DO (ppm) >6,5 4,5-6,5 2,0-4,4 <2,0
BOD (ppm) <3,0 3,0-4,9 5,0-15 >15
TSS (ppm) <20 20-49 50-100 >100
NH3 (ppm) <0,5 0,5-0,9 1,0-3,0 >3,0
Indeks Diversitas >2,0 2,0-1,6 1,5-1,0 <1,0
Berdasarkan klasifikasi derajat pencemaran pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa, hasil pengukuran oksigen terlarut di laboratorium rata-rata sebesar 4,4 ppm, termasuk dalam kelas tercemar ringan. Berdasarkan besarnya nilai BOD, hasil pengukuran BOD menunjukkan nilai BOD rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,7 ppm, termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Berdasarkan besarnya nilai TSS, hasil pengukuran TSS rata-rata 13,7 ppm termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Berdasarkan besarnya nilai kadar Amoniak (NH3), hasil pengukuran di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0.01 ppm, termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator sehat dan tidaknya perairan tersebut. Hal tersebut didasari karena plankton berperan sebagai produsen dalam rantai makanan yang menjadi sumber makanan bagi biota laut yang lebih besar dan selanjutnya dikonsumsi oleh konsumen kedua, sehingga dalam perputaran ekosistem laut secara eksplisit plankton memegang peranan yang sangat penting. Hasil identifikasi jenis plankton menunjukkan terdapat 25 spesies plankton, yang terdiri atas fitoplankton sebanyak 19 spesies dan zooplankton sebanyak 6 spesies. Nilai kelimpahan rata-rata sebesar 29,3 sel/ml.
-8-
Jenis plankton yang terbanyak dijumpai yaitu Rhizosolenia stolterforthii dengan kelimpahan rata-rata 9,2 sel/ml dan yang paling sedikit dijumpai adalah Guinardia sp dengan tingkat kelimpahan rata-rata 0,1 sel/ml. Hasil perhitungan indeks keragaman jenis (H’) plankton adalah 2,592 yang berarti tingkat keanekaragamannya tergolong sedang. Hasil perhitungan terhadap nilai indeks dominasi jenis (D) menunjukkan bahwa nilai indeks dominasi jenis plankton di lokasi penelitian sebesar 0,131. Hasil ini menggambarkan tidak adanya jenis plankton yang mendominasi karena indeks dominasinya mendekati angka nol. Menurut Odum (1971), nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1. Apabila nilai indeks indeks dominasi mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi, Jika nilai indeks dominasi mendekati 1, berarti ada salah satu spesies yang mendominasi dan diikuti oleh nilai indeks keseragaman yang semakin kecil (Odum, 1994). Hasil perhitungan terhadap nilai indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan bahwa nilai indeks kemerataan jenis plankton di lokasi penelitian sebesar 0,805. Menurut Soerianegara et al (2005), besaran E < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ > 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi, sehingga dapat dinyatakan bahwa indeks kemerataan jenis plankton di lokasi penelitian tergolong tinggi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Komposisi jenis mangrove di kawasan hutan mangrove TN. RAW pada tingkat semai 9 jenis, pancang 9 jenis, tiang 9 jenis dan tingkat pohon sebanyak 10 jenis. Jenis yang paling mendominasi adalah Ceriops tagal dengan nilai INP tertinggi pada semua tingkatan pertumbuhan. Kondisi perairan tergolong bagus dengan kadar DO 4,4 ppm dan BOD 2,7 ppm. Terdapat 25 spesies plankton yang terdiri atas fitoplankton 19 spesies dan zooplankton sebanyak 6 spesies dengan tingkat kelimpahan rata-rata sebesar 29,3 sel/ml. Jenis plankton yang terbanyak dijumpai yaitu Rhizosolenia stolterforthii dengan kelimpahan rata-rata 9,2 sel/ml dan yang paling sedikit dijumpai adalah Guinardia sp dengan tingkat kelimpahan
-9-
rata-rata 0,1 sel/ml. B. Saran Hutan mangrove di TN. RAW termasuk dalam kondisi bagus dengan indikator biologi dan fisik yang berada dibawah ambang batas yang ditetapkan undang-undang. Monitoring dengan melakukan kegiatan pemantauan secara berkala perlu dilakukan sebagai sarana untuk menilai dan mengevaluasi kesehatan hutan. Penelitian lanjutan perlu dilakukan misalnya tentang keanekaragaman satwa sebagai tamban data yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove TN. RAW kedepan.
DAFTAR PUSTAKA Cottam, G. and J.T. Curtis. 1956. The Use of Distance Measurements in Phytosociological Sampling. Ecology 37 : 451-460 Edward dan Tarigan, Z. 2003. Pemantauan Kondisi Hidrologi di Perairan Raha P. Muna Sulawesi Tenggara dalam Kaitannya dengan Kondisi Terumbu Karang. Jurnal Makara Sains Vol 7 No 2. Universitas Indonesia. Jakarta Kementerian Negara KLH. 1988. Keputusan Menteri No. Kep-02/MNKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, Kementrian Negara KLH, Jakarta. Kusmana, C. S, Wilarso. I, Hilwan. P, Pamoengkas. C, Wibowo. T, Tiryana. A, Triswanto. Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Lee, T. D. 1978. Handbook of Variables of Environmental Impact Assessment. Arbor: An Arbor Science Publisher Inc. Michigan Liana. 2011. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Diunduh pada http://kabaena.forumplatinum.com/t1350-taman-nasional-rawa-aopawatumohai. Ludwig, J.A. and Reynold. 1988. Statistical Ecologi. Toronto: Willey Interscience Publ. John Wiley and Sons. Molles, M.C. 2002. Ecology: Concepts and Application (2th Ed). USA: The McGraw-Hill Companies. Nursal. Fauziah, Y. Ismiati. 2005. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal Biogenesis Vol 2 No 1. Riau. Odum, E.P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan T. FMIPA IPB. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
- 10 -
Onrizal. 2003. Hutan Mangrove dan Perlindungan Pantai dari Gelombang Tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah 11 (3). 26-27 Sidiyasa, K. 2007. Vegetasi dan Keanekaragaman Tumbuhan di Sekitar Areal Tambang Batubara Daeng Setuju dan Tanah Putih Pulau Sebuku Kalimantan Selatan. Info Hutan Vol IV Nomor 2 Hal 111-121. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Soerianegara, I. dan A, Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Sugiharto, D.P. 2007. Kearifan Tradisional TOGO di Muara Lanowul;, Rahasia Dibalik Sukses Kota Tinanggea sebagi Penghasil Terasi. Warta Konservasi Lahan Basah Vol. 15 No. 2. Bogor Suyadi. 2009. Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Ambon; Prospek dan Tantangan. Berita Biologi Vol. 9 Nomor 5. Pusat Penelitian Biologi LIPI
- 11 -