PEN NGELOLA AAN ZONA A PEMANF FAATAN EKOSISTE E EM MA ANGROVE E MELALU UI OPTIM MASI PEMA ANFAATA AN SU UMBERDA AYA KEPIITING BA AKAU (Scyllla serrata) D TAMAN DI N NASION NAL KUTA AI PROVIN NSI KALIMANTAN N TIMUR
NIR RMALAS SARI IDHA A WIJAY YA
SE EKOLAH H PASCAS SARJANA A INS STITUT P PERTANIA AN BOGO OR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2011
Nirmalasari Idha Wijaya NIM C262070071
ABSTRACT NIRMALASARI IDHA WIJAYA. General Use Zone Governance by Optimizing of Scylla serrata Utilization in Kutai National Park on East Kalimantan Province. Under direction of FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, and SRI JUWANA. Mud crab is one of the resources in Kutai National Park (Kutai NP) mangrove ecosystem that can be utilized for the sylvofishery. This is an alternative livelihood for local residents, that doesn’t damage the forest to meet their necessity. The objectives of this study were: 1) to identify bioecological status of crabs resources in Kutai NP mangrove forest, 2) to review environmental carrying capacity for sylvofishery of S. serrata in Kutai NP’s mangrove ecosystem, and 3) make recommendations of mangrove crabs management to ensure the sustainability of its utilization and at the same time preserving the mangrove forest in the Kutai NP. The data was collected since Oktober 2008 to June 2010. The S. serrata’s bioecological status was analyzed by calculating the growth parameters and prediction of the exploitation rate of S. serrata using FISAT II instrumen. The carrying capacity of region was analyzed using Habitat Suitability Index (HSI) method, and the analysis of management sustainability was done using dinamic models. The results showed that there was a high interest from the public to cultivate mud crabs with sylvofishery system. But the catching of S. serrata, to meet of the mud crab seed, necessary to be regulated carefully. It was caused the factual exploitation rate of the Muara Sangatta and Teluk Perancis was exceeds the rate of allowed exploitation. The rate of exploitation was between 0.524-0.67/year. However, exploitation in Muara Sangkima is still slightly below the allowed exploitation. To reduce fishing pressure on S. serrata, sylvofishery cultivation needs to be done. The cultivation make the growth coefficient (K) of S. serrata to be higher, or the growth of crabs more faster than in wild live. HSI analysis showed the highest carriying capacity in the Muara Sangatta region was 0.622 and capable to supporting 490 of sylvofishery pen units. Based on the bioecological status of S. serrata and the carrying capacity of the region, it is known that the Muara Sangatta suitable for sylvofishery zone and Muara Sangkima according to fishing zone of S. serrata. Dynamic model analysis shows that the optimistic scenario provides a more optimal and sustainable resource in utilization of S. serrata.
Key words: Scylla serrata, mangrove, Kutai National Park, bioecology, sylvofishery, zoning.
RINGKASAN NIRMALASARI IDHA WIJAYA. Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan FREDINAN YULIANDA, MENNOFATRIA BOER, dan SRI JUWANA. Taman Nasional Kutai (TNK) memiliki ± 5 227 ha hutan mangrove di sepanjang pesisir pantainya. Hampir 23% luas hutan mangrove ini mengalami degradasi akibat konversi lahan dan pemanfaatan yang merusak. Untuk itu perlu dicari konsep pengelolaan yang dapat mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, namun juga mempertimbangkan keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi; sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK; 2) melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di ekosistem mangrove TNK; 3) membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya S. serrata di kawasan konservasi mangrove TN Kutai. Pengumpulan data biologi S. serrata diperoleh dari observasi terhadap kepiting bakau yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim kemarau). Pengumpulan data seluruhnya dilakukan sejak Oktober 2008Juni 2010, pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik habitat mangrove. Data biologi S. serrata dianalisis dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II. Daya dukung kawasan dianalisis menggunakan pendekatan Habitat Suitability Index (HSI), dan keberlanjutan pengelolaan dianalisis dengan menggunakan model dinamik dengan alat bantu Powersim Studio 2005. Hasil penelitian tentang kondisi ekobiologi S. serrata menunjukkan bahwa pola pertumbuhan S. serrata jantan di habitat mangrove TN Kutai bersifat allometrik positif (pertambahan bobot lebih cepat dibanding pertambahan lebar karapasnya) sedangkan S. serrata betina bersifat allometrik negatif. Koefisien pertumbuhan (K) S. serrata berkisar antara 0.45-1.50. Koefisien pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Lebar karapas S. serrata di zona tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat pengait, 83.88% berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm dan ratio jantan:betina 1:0.47. Sebaran ukuran lebar karapas S. serrata di zona pinggiran hutan mangrove, ukuran lebar karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm, dan ratio jantan:betina 1:0.85. Sebaran ukuran lebar karapas S. serrata di zona perairan laut, 42% merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar 58% merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm, dan ratio jantan:betina 1:2.5. Kelimpahan individu betina matang gonade mencapai puncak pada bulan Januari, Februari, dan Maret. Diduga terjadi puncak kelimpahan yang kedua pada bulan Agustus dan September. Berdasarkan kondisi biologi S. serrata yang diolah dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S. serrata sudah berada di atas laju eksploitasi
maksimal, hanya di lokasi Muara Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi maksimal yang diperbolehkan. Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang berkelanjutan adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit kurungan tancap berukuran 10x20 m. Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis bioekologi dan daya dukung adalah perlu kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona perikanan tangkap S. serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan sebagai zona perlindungan. Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan perikanan tangkap S. serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan S. serrata, sesuai zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan S. serrata. Pada lokasi Muara Sangatta kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus, sedangkan di Muara Sangkima penutupan pada bulan Januari-April perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk betina yang matang gonade dan kepiting juvenil; 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau, disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau. Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat tangkap bubu/rakkang. Ukuran bukaan mulut rakkang juga perlu diatur diameter ukurannya agar lebih kecil dibanding lebar karapas kepiting bakau matang gonade; 5) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Penangkapan S. serrata di mangrove TN Kutai tidak boleh melebihi dari angka kisaran 6 563 - 10 261 kg/tahun agar sumberdaya kepiting bakau dapat berkelanjutan; 6) restoking S. serrata dapat dilakukan dengan mengembalikan ke alam minimal sebesar 1% dari hasil panen budidaya sylvofishery. Restoking kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan stok induk betina di alam. Pengembangan budidaya sylvofishery S. serrata dapat dilakukan pada area Muara Sungai Sangatta, dengan kapasitas sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m, dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit. Sylvofishery terutama perlu dilakukan pada area mangrove yang telah rusak akibat pembukaan tambak. Benih yang tersedia sesuai daya dukung lingkungan yang ada sebanyak 31 363 ekor benih, kekurangan benih untuk budidaya dapat diperoleh dari lokasi di luar mangrove TN Kutai. Hasil simulasi terhadap model dinamik, menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TN Kutai bila dilakukan dengan pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata. Kata kunci: Scylla serrata, mangrove, Taman Nasional Kutai, bioekologi, sylvofishery, zonasi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN ZONA PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE MELALUI OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMAN NASIONAL KUTAI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
NIRMALASARI IDHA WIJAYA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. 2. Dr. Ir. Samedi, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Dr. Irwandi Idris 2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
Judul Disertasi
: Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur
Nama
: Nirmalasari Idha Wijaya
NRP
: C262070071
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota
Prof (R). Dr. Sri Juwana. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.
Tanggal Ujian : 3 Januari 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah “Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan degradasi mangrove di TNK melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya sylvofishery. Pemanfaatan ini merupakan salah satu bentuk matapencaharian alternatif bagi penduduk lokal dalam kawasan TNK agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak hutan mangrove. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Prof (R).Dr. Sri Juwana selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan, juga kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. dan Dr.Ir. Samedi, M.Sc., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, serta kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Irwandi Idris selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, para dosen dan mahasiswa Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi perbaikan karya ini. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Ketua Stiper Kutai Timur yang telah memberikan ijin tugas belajar dan Bupati Kutai Timur yang telah memberikan bantuan stimulan dana penelitian. Secara khusus ucapan terima kasih tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas segala doa, dukungan, kasih sayang, dan kesabaran menunggu selama proses penyelesaian pendidikan doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2010 Nirmalasari Idha Wijaya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Achyani dan Ibunda (Alm-ah) Sri Muljati. Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis selesaikan di Pati, selanjutnya pendidikan S1 ditempuh sejak tahun 1991 di Program Studi Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus pada tahun 1996. Tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BPPS Dikti dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi yang sama, dan lulus pada tahun 2010. Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Penggerak Pembangunan Agribisnis (SP2AB) di Kab. Kutai Timur pada tahun 2001 dan kemudian menjadi Dosen Kopertis XI wilayah Kalimantan diperbantukan di Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur sejak tahun 2001 sampai sekarang. Selama menjadi Dosen, penulis pernah diangkat sebagai Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Kutai Timur sebagai utusan dari perguruan tinggi dari tahun 2003-2005. Karya ilmiah berjudul ‘Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F.) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur’ telah diterbitkan dalam prosiding dan disajikan pada Seminar Internasional dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (PIT-ISOI) ke VII tahun 2010. Artikel tersebut juga akan diterbitkan pada jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, LIPI, Volume 36 Nomor 3 Bulan Desember 2010. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis. Hasil penelitian disertasi “Pengelolaan Zona Pemanfaatan Ekosistem Mangrove melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur” telah diseminarkan pada Simposium HAPPI (Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia) tanggal 18 Oktober 2010.
DAFTAR ISI Halaman
1
2
DAFTAR TABEL ……......…………………..…………................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xv xvii xix
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ….…………………………………...…........................... 1.2 Perumusan Masalah …..…………………………..…..........…................. 1.3 Tujuan Penelitian .......…………………………..…….............................. 1.4 Hipotesis ..................................................................................................... 1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian ............................................................... 1.6. Kebaruan Penelitian ....................................................................................
1 3 9 10 10 11
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau ............................................................................. 2.1.1 Klasifikasi S. serrata......................................................................... 2.1.2 Morfologi S. serrata.......................................................................... 2.1.3 Daur hidup S. serrata......................................................................... 2.1.4 Karakter dewasa kelamin .................................................................. 2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau) ........ 2.2 Ekologi Habitat Mangrove .........................................................…........... 2.2.1 Karakteristik dan fungsi ekosistem mangrove ................................. 2.2.2 Keterkaitan antara kepiting bakau dengan mangrove....................... 2.2.3 Perkembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau ..................... 2.2.4. Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI) ........... 2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata ................................... 2.3.1 Berpikir sistem (System Thinking) .................................................... 2.3.2 Umpan balik ..................................................................................... 2.3.3 Pemodelan dinamika sistem ............................................................. 2.4 Sejarah Taman Nasional ............................................................................. 2.5 Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai ........... 2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM) ............. 2.7 Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional ............. 2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya .................................. 2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan .......... 2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ........................................................... 2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan ................................................................................................ 2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan .............................................................................. 2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
15 15 17 19 21 25 26 27 28 29 31 33 33 34 37 41 42 47 51 51 52 53
54 55
xii
Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil .......................................................... 2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional .................................................................. 2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional ...................................... 2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang Penunjukkan Taman Nasional Kutai ................................................... 3
4
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................................... 3.2 Metode Penelitian .......................................................................................... 3.3 Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kondisi Umum TNK................... 3.3.1 Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat ........................ 3.3.2 Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat ................ 3.3.3 Analisis data sosial ekonomi masyarakat ...................................... 3.4 Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan .............................. 3.4.1 Pengumpulan dan analisis data vegetasi mangrove di TNK ......... 3.4.2 Pengumpulan dan analisis data produksi serasah mangrove ......... 3.4.3 Pengumpulan dan analisis data makrozoobenthos ........................ 3.4.4 Pengumpulan dan analisis data kualitas perairan ......................... 3.4.5 Analisis hubungan sebaran spasial kepiting bakau dengan karakteristik vegetasi mangrove .................................................. 3.4.6 Penilaian Daya Dukung Lingkungan ............................................ 3.5 Analisis Status Biologi Scylla serrata .......................................................... 3.5.1 Pengumpulan dan analisis data biologi Scylla serrata .................. 3.5.2 Analisis hubungan panjang dan bobot ........................................... 3.5.3 Analisis data kelompok ukuran .................................................... 3.5.4 Analisis data parameter pertumbuhan ........................................... 3.5.5 Analisis pendugaan laju eksploitasi Scylla serrata ....................... 3.5.6 Analisis Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut (B/R) ............................................................................................. 3.6 Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau di TNK ............................ 3.6.1 Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir ........................... 3.6.2 Submodel Habitat Mangrove ......................................................... 3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting .................................................. 3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran .................................................. 3.6.5 Submodel Ekonomi ....................................................................... 3.6.6 Submodel Sosial ............................................................................ 3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata ............................... 3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK ........................ 3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK ............................................................. KONDISI UMUM TN KUTAI 4.1 Sejarah Kawasan TNK .............................................................................. 4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK ........................................................ 4.3 Geologi dan Iklim .....................................................................................
57 58 59 60
61 62 63 63 63 64 71 71 73 73 74 74 75 77 77 77 78 79 80 81 83 84 84 87 89 90 90 91 92 93
97 98 100
xiii
4.4 4.5
4.6 4.7
4.8
5
6
Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK .......................................... Permasalahan Pengelolaan TNK ............................................................... 4.5.1 Perambahan Hutan ......................................................................... 4.5.2 Illegal Logging ............................................................................. Proses Enclave di TNK .............................................................................. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Lokal di TNK .................... 4.7.1 Jenis Matapencaharian ................................................................... 4.7.2 Jumlah Penduduk .......................................................................... 4.7.3 Agama ........................................................................................... 4.7.4 Pendidikan .................................................................................... 4.7.5 Kesehatan ...................................................................................... 4.7.6 Aspek Kelembagaan ..................................................................... Persepsi Masyarakat .................................................................................. 4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove. 4.8.2 Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata .................
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung habitat mangrove TNK ............. 5.1.1 Ekologi habitat mangrove TNK .................................................... 5.1.2 Karakteristik habitat mangrove TNK ............................................ 5.1.3 Biologi S. serrata ........................................................................... 5.1.4 Daya Dukung Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata ............. 5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan S. serrata ...................................... 5.2.1 Permintaan S. serrata .................................................................... 5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK .......................... 5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S.serrata di TNK ...................... 5.2.4 Analisis Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata ................................. 5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata ................................... 5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK ...................................... 5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK ... 5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK.............................................................................. 5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata ................................... 5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata ......................... 5.3.5 Model Pengelolaan Sumberdaya S. serrata di Mangrove TNK .... 5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK ........ 5.4 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di Kawasan Mangrove TNK .......................................................................... 5.5 Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK ......................
101 101 101 102 105 109 110 111 111 112 113 114 114 116 116 118 119 119 129 133 153 159 159 161 163 167 168 169 169 175 178 187 189 198 206 214
SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ................................................................................................... 6.2 Saran .........................................................................................................
217 218
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
219 231
xiv
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Halaman Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan (1998) ........................................................................................... Hasil tata batas di TNK ............................................................... Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata ............... Sejarah kawasan TNK .................................................................. Deskripsi penutupan lahan TNK .................................................. Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster 2005 .............................................................................................. Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan BontangSangatta (1999-2001) ................................................................... Hasil pengamanan hutan tahun 2005............................................ Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave ........... Jumlah pemeluk agama dan tempat ibadah di desa definitif dalam TNK.................................................................................... Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK............................. Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove ........... Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan sumber daya S. serrata .............................................................................. Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta ....... Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi Pohon di Teluk Perancis ........................................................................................ Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Teluk Perancis ......................................... Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara Sangkima ..................................................................................... Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Muara Sangkima .................................... Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata ............... Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK .... Mortalitas dan laju eksploitasi Scylla serrata di habitat mangrove TNK ............................................................................ Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan pengait ................................................................................... Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV ................ Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNKuntuk kepiting bakau ............................................................ Daya dukung mangrove TNK untuk unit budidaya ..................... Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008 ....... Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove ...................................................................................... Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK ............................................... Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario kebijakan ......................................................................................
15 60 93 97 98 99 102 104 106 112 114 117 118 119 120 121 122 122 134 140 141 144 149 155 157 159 165 191 203
xv
Nomor Halaman 30. Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi ........................ 203 31. Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di TNK ................................................................. 207
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
33. 34. 35. 36.
Halaman Kerangka pendekatan penelitian ................................................. Kepiting betina dan kepiting jantan ............................................ Morfologi Scylla serrata ............................................................. Diagram siklus hidup kepiting bakau ......................................... Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008) .............................. Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem ......................... Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem .............................. Pola bergelombang struktur sistem ............................................. Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem ....................... Dasar metodologi dinamika sistem (Sushil 1993) ...................... Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000) ............................. Peta lokasi penelitian .................................................................. Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden ....................... Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau .......................... Sebaran lokasi alat tangkap kepiting bakau di kawasan mangrove TNK ............................................................................ Skema penempatan petak contoh ................................................ Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup untuk HSI kepiting bakau Scylla serrata .................................... Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK ......................................................... Diagram kausal submodel habitat mangrove .............................. Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau ............ Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau Diagram kausal submodel ekonomi ............................................. Diagram kausal submodel sosial ................................................. Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata .................. Peta perambahan hutan di TNK ................................................... Jumlah penduduk sesuai jenis mata pencaharian ........................ Jumlah penduduk di lima desa definitif dalam TNK ................... Sarana pendidikan di desa definitif dalam TNK .......................... Tingkat pendidikan masyarakat di desa definitif dalam TNK ..... Kelimpahan makrozoobenthos di habitat mangrove TNK .......... Grafik nilai rata-rata produksi serasah di habitat mangrove TNK Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli ............................................................................................. Distribusi lebar karapas S. serrata di beberapa zona hutan mangrove .................................................................................... Sebaran induk betina matang gonade TKG IV ......................... Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK ......................................................................... Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di TNK ..........................................................................................
14 17 18 21 32 35 36 36 37 38 41 61 65 67 68 72 76 86 87 88 89 90 91 91 105 110 111 112 113 124 125
130 145 150 161 163
xvii
Nomor 37. Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery ...................... 38. Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove ................................. 39. Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK ............................................................ 40. Dinamika RPUEj, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil tangkapan S. serrata pada Tahun 2009 ........................................ 41. Ratio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove TNK ........... 42. Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK ............................................................................ 43. Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove ................. 44. Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata ................. 45. Diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery ................... 46. Diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S. serrata .......................................................................................... 47. Diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata 48. Hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK ..... 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55.
56.
57.
58.
Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan 10% .............................................................................................. Perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan 10% ............................................................................................. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik .................................... Grafik hasil simulasi skenario moderat ...................................... Grafik hasil simulasi skenario optimistik ................................... Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan mangrove TNK ............................................................................ Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................ Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ..................................................................... Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square) ........................................
Halaman 166 177 181 183 185 191 193 195 196 197 198 199 201 201 204 205 206 209
210
211
213
214
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Halaman Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara Sangkima ...................................................................................... Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara Sangkima ..................................................................................... Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Muara Sangatta ........................................................................................ Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Muara Sangatta ....................................................................................... Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Jantan Teluk Perancis ....................................................................................... Distribusi Kelompok Ukuran Scylla serrata Betina Teluk Perancis ........................................................................................ Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangatta .......... Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Teluk Perancis ............ Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Muara Sangkima ....... Hubungan Panjang Bobot Scylla serrata Budidaya Sylvofishery Analisis Laju Mortalitas Dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Jantan Muara Sangatta ................................................................. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Betina Muara Sangatta ................................................................ Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Jantan Teluk Perancis ................................................................... Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Betina Teluk Perancis ................................................................. Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Jantan Muara Sangkima ............................................................... Analisis Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Scylla serrata Betina Muara Sangkima ............................................................... Parameter Pertumbuhan pada Budidaya Sylvofishery ................. Asumsi-asumsi untuk HSI .......................................................... Skor Suitability Index untuk HSI ................................................ Hasil Analisis PCA Juli ............................................................... Hasil Analisis PCA Desember ..................................................... Analisis Makrozoobenthos .......................................................... Data Fisik Kimia Perairan ........................................................... Rincian Anggaran Biaya Budidaya Sylvofishery S. serrata ....... Cash Flow Analisis kelayakan Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata (200 m²) .......................................................................... Analisis Pendapatan Nelayan ...................................................... Karakteristik Responden ............................................................. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove ....................................
231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 243 245 247 249 251 253 254 255 260 263 263 264 265 273 272 273 274
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah jenis kepiting yang hidup di habitat mangrove/hutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping rajungan (Portunus pelagicus). Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air (Juwana 2004). Ada dua spesies dari kelompok Scylla sp yang ditemukan di Indonesia, yaitu yang berwarna hijau kemerahan/kecoklatan dan hijau keabu-abuan. Jenis ini adalah S. serrata dan S. serrata var. paramamosain (Moosa et al. dalam Cholik & Hanafi 1991). Berikutnya ditemukan spesies Scylla yang lain, yaitu S. tranquebarica dan S. olivacea. Namun, studi morfometri dan allozyme yang digunakan untuk menyatakan spesiasi dalam genus (Fuseya & Watanabe; Overton et al.; Sugama & Hutapea; dalam LeVay 2001) merevisi genus Scylla menjadi empat jenis, S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain, berdasarkan allozyme elektroforesis, DNA mitokondria sekuensing dan analisis morfometri (Keenan et al. 1998). Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia. Diperkirakan sekitar 80% dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies ini (Cholik & Hanafi 1991). Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya; pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang (Cholik & Hanafi 1991). Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat, tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kesehatan. Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu juga merupakan
sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak (Muskar 2007). Bukan hanya daging kepiting yang mempunyai nilai komersil, kulitnya pun mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai antivirus dan antibakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar, selain dapat digunakan sebagai pengawet makanan yang murah dan aman (Muskar 2007). Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau estuaria, dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat (Cholik 1999). Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa provinsi penghasil utama kepiting bakau justru agak lambat dan cenderung menurun (Cholik 1999). Kasry (1996) menyatakan bahwa di banyak tempat di pulau Jawa, nelayan kepiting bakau sudah mulai kesulitan memperoleh hasil tangkapan. Kepiting bakau yang bernilai sebagai sumber makanan dan pendapatan di Kosrae, Negara Bagian Micronesia, juga mengalami deplesi pada kelimpahan dan ukuran, akibat tekanan penangkapan yang dipengaruhi oleh distribusi penduduk dan lokasi usaha perikanan komersial (Bonine et al. 2008). Penurunan populasi kepiting bakau di alam diduga disebabkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over exploitation) (Siahainenia 2008).
Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Keberlanjutan pengembangan budidaya kepiting sangat memerlukan integrasi antara perikanan dengan pengelolaan mangrove. Status ekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan pengelolaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan dan budidaya kepiting bakau yang berkelanjutan (LeVay 2001). Penelitian mengenai status bioekologi kepiting diperlukan untuk mengetahui status kepiting ini di alam, agar dapat dikelola dengan benar dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.
1.2 Perumusan Masalah Hutan mangrove di kawasan TNK merupakan salah satu habitat kepiting di Kabupaten Kutai Timur. Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Kutai (TNK) terletak pada tiga wilayah administrasi Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara (± 17,48%), dan Kota Administratif Bontang (± 2,52%). Kawasan konservasi TNK memiliki hutan mangrove seluas ± 5 131.55 ha, yaitu 1-2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera (TNK 2005). UU RI No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68/1998 kawasan konservasi tersebut terdiri dari kawasan pelestarian alam/KPA (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam), kawasan suaka alam/KSA (suaka margasatwa dan cagar alam) dan taman buru. Taman nasional termasuk dalam kelompok kawasan pelestarian alam (KPA). Definisi kawasan pelestarian alam dalam UU RI No. 5 Tahun1990 adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan definisi ini, dapat
dipahami bahwa pengelolaan taman nasional memungkinkan adanya pemanfaatan secara lestari terhadap sumberdaya di dalam kawasan. Kategori II dalam IUCN menyatakan Taman Nasional sebagai kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi. Definisi taman nasional menurut kategori II IUCN adalah area alam daratan dan/atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis dari satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, (b) meniadakan eksploitasi atau kegiatan yang bertentangan dengan tujuan penunjukan kawasan dan (c) memberikan landasan bagi spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung, yang semuanya harus menjamin lingkungan dan budaya yang kompatibel. Umumnya kawasan konservasi alam di Indonesia berada di bawah rejim properti milik publik (common property regimes) yang dikuasai negara (stateproperty). Dalam banyak kasus seringkali terjadi pertikaian antara pemerintah dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat. Secara khusus, walaupun kawasan secara de jure dikontrol oleh pemerintah, tetapi secara de facto di beberapa lokasi dikontrol oleh penduduk lokal atau pelaku bisnis lokal yang mengeksploitasi wilayah kawasan secara terorganisasi. Itu ditandai dengan maraknya penebangan liar dan perburuan liar pada beberapa kawasan konservasi. Ketika kontrol pemerintah dan komunitas lokal tidak berjalan efektif atau tidak ada sama sekali di lapangan, maka wilayah kawasan konservasi menjadi open access. Kondisi ini merupakan ekspresi dari 'tragedy of the commons' yang dikuatirkan Hardin penggagasnya, yaitu musnahnya sumber daya (PHKA-Dephut et al. 2002). Selain itu konflik juga muncul, karena konsep model pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional di negara-negara selatan, termasuk Indonesia mengadopsi konsep Amerika Serikat yang bersifat ‘pengelolaan eksklusif’ yang secara tegas memisahkan antara kepentingan kawasan konservasi dengan keinginan masyarakat lokal dalam mengelola kawasan konservasi. Sehingga kuat sekali dominasi negara atau pihak swasta dalam mengelola kawasan konservasi. Model ‘pengelolaan inklusif’ yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat belum terpakai di Indonesia.
Pada model ini keinginan masyarakat lokal dan administrasi setempat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua model ini masingmasing memiliki kelebihan masing-masing, pengelolaan eksklusif sukses melindungi hidupan liar dan keindahan panorama, walaupun tanpa pelibatan masyarakat lokal. Sedangkan pengelolaan inklusif berhasil memasukan peranan masyarakat lokal dalam aras pengelolaan kawasan konservasi (Borrini-Feyerabend et al. dalam PHKA-Dephut et al. 2002). Transformasi pola pengelolaan sumber daya alam oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan saat ini kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme. Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa negara-negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal 'pengelolaan eksklusif’ kawasan konservasi telah mulai bergeser menuju pengelolaan kolaboratif (PHKADephut et al. 2002). Di Indonesia sendiri, mulai terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi di kawasan pesisir. Beberapa kawasan konservasi pesisir saat ini mulai dikelola secara kolaboratif, dengan pembentukan DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang dikelola oleh masyarakat, sebagai contohnya antara lain Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Pengelolaan TNKT dikembangkan suatu sistem pengelolaan yang kolaboratif mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No. P.19/MenhutII/2004 (tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam), dengan mengakomodir konsep DPL Berbasis Masyarakat yang telah berjalan dengan baik di kawasan Togean, yaitu DPL Kabalutan dan DPL Teluk Kilat. Kawasan TNKT tidak berbentuk kawasan yang tertutup sepenuhnya untuk aktivitas pemanfaatan, namun berupa area yang menjadi zona inti dengan zona penyangga di sekitarnya, dimana di zona penyangga tersebut masyarakat lokal secara terbatas dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada (Zamani et al. 2007).
Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumber daya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (PHKADephut et al. 2002). Di dalam kawasan mangrove TNK saat ini telah berdiri 4 desa definitif berdasarkan SK Gurbernur Kalimantan Timur No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997 tentang Penetapan desa definitif di dalam TNK, yaitu Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan; dan SK. No. 410.44/ K.452/1999 tentang pemekaran Desa Sangatta Selatan menjadi Singa Geweh dan Sangatta Selatan. Sehingga muncul wacana dari pemerintah daerah untuk meng-enclave hutan mangrove tersebut agar dikeluarkan dari kawasan taman nasional dan digunakan untuk pemanfaatan lain. Hutan dan masyarakat di sekitarnya memiliki hubungan yang sangat erat dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kondisi demikian terjadi pula pada masyarakat yang mendiami daerah sekitar hutan mangrove yang merupakan bagian dari kawasan TNK. Masyarakat banyak memanfaatkan sumber daya alam yang ada pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya adalah: mencari ikan, kerang, dan kepiting baik untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual; pemanfaatan daun nipah sebagai bahan atap atau ketupat; pemanfaatan nira nipah menjadi gula/arak; pemanfaatan buah nipah sebagai campuran es buah atau dimakan segar; pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu bakar, jembatan, tiang bagang, tiang penambat perahu; pemanfaatan buah rambai laut (Sonneratia alba) sebagai campuran sayuran; dan pemanfaatan ekosistem mangrove menjadi tambak. Akibatnya tingkat kerusakan ekosistem mangrove di kawasan TNK menjadi semakin luas.
Pada saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar TNK masih memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang merusak, seperti membuka mangrove untuk tambak atau menebang pohon mangrove untuk diambil kayunya. Sesuai data dasar TNK (2005), luas hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai Timur sekitar 5 131.55 ha (2,58 % total luas TNK). Saat ini luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi lahan terbuka seluas 1 361.34 ha (26.53 % total luas mangrove), yaitu untuk tambak 155.81 ha (3.04 %) dan menjadi lahan terbuka lain seluas 1 205.53 ha (23.49 %). Formasi mangrove yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba, sedangkan di pesisir Desa Sangatta Selatan sangat rentan terhadap degradasi. Untuk
meminimalisasi
rusaknya
ekosistem
mangrove
diperlukan
pengembangan model pengelolaan mangrove yang melibatkan masyarakat dalam kawasan tersebut, karena keberadaan masyarakat sekitar hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga diperlukan adanya suatu model pengelolaan kolaboratif yang dapat mendistribusikan tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola pemanfaatan hutan mangrove, terutama hutan mangrove dalam kawasan konservasi. Penelitian ini penting untuk memberikan masukan rekomendasi kebijakan atau perubahan legislasi mengenai pengelolaan kolaboratif yang berbasis ilmiah sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya alam bakau dapat dilakukan namun tujuan utama pengelolaan taman nasional untuk konservasi keanekaragaman hayati tetap dapat dipertahankan. Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dua tipe pemanfaatan kepiting bakau dari alam, yaitu penangkapan kepiting bakau dewasa (ukuran lebih dari 300 gram) untuk konsumsi dan penangkapan kepiting bakau muda (ukuran ± 100 gram) untuk benih dalam pembesaran kepiting. Potensi kepiting bakau di habitat mangrove TNK, yang diduga masih besar, dapat dijadikan alternatif mata pencaharian bagi penduduk lokal, agar tidak merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan sumberdaya
kepiting bakau, bila dioptimalkan dengan memperhatikan daya dukung sumberdaya yang ada, maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lain keutuhan habitat hutan mangrove akan tetap terjaga. Pemanfaatan lestari kepiting bakau dengan model pengelolaan kolaboratif berpotensi menurunkan kerusakan hutan bakau minimal sebesar 700 ha, yaitu seluas kerusakan mangrove yang terjadi akibat pembukaan hutan mangrove untuk tambak. Budidaya tambak yang dilakukan di TNK selama ini belum menunjukkan produksi maupun nilai keuntungan yang cukup seimbang dibandingkan kerugian yang diperoleh akibat kerusakan mangrove. Penurunan luas kerusakan mangrove diharapkan terjadi dengan mengalihkan pemanfaatan mangrove dari pembukaan tambak menjadi sylvofishery kepiting bakau. Hutan mangrove merupakan habitat utama bagi S. serrata. Dengan rusak dan hilangnya habitat dasar serta fungsi utama ekosistem mangrove maka akan menghilangkan habitat alami dari S. serrata yang pada akhirnya menurunkan jumlah populasi salah satu jenis krustasea yang bernilai ekonomi tinggi ini. Seperti yang diduga Siahainenia (2008) telah terjadi di perairan mangrove Kabupaten
Subang.
Penurunan
populasi
S.
serrata
selain
disebabkan
penangkapan (eksploitasi) secara berlebihan oleh nelayan juga disebabkan hilangnya
habitat
alami
(kerusakan
ekosistem
mangrove),
sehingga
menghilangkan kesempatan bagi S. serrata untuk berkembang dan tumbuh dengan baik. Dua tipe pemanfaatan kepiting bakau, yaitu penangkapan dan budidaya, perlu dipertahankan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan nelayan lokal dan pembudidaya. Walaupun demikian, kedua kegiatan ini harus diterapkan secara bertanggung jawab dan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian untuk tujuan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdayanya (Cholik 1999). Pemanfaatan sumberdaya kepiting, baik secara penangkapan atau pun melalui budidaya pembesaran kepiting, pada dasarnya dilakukan dengan menangkap kepiting dari alam. Oleh karena itu, bila tidak dikelola dengan benar, maka dikhawatirkan pada suatu saat akan terjadi penurunan hasil tangkapan, hingga habisnya stok kepiting di alam.
Perikanan tangkap kepiting bakau dapat ditingkatkan melalui perbaikan habitat dan restoking (Cholik 1999), sedangkan budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove (Ikhwanuddin & Oakley 1999). Namun menurut Genodepa (1999), sistem tambak tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting bakau. Sedangkan sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan mengijinkan kepiting hidup dalam lingkungan alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston & Keenan 1999). Beberapa teknologi yang mendukung kegiatan budidaya kepiting bakau, yaitu: pembenihan, pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunak/soka. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, maka beberapa pertanyaan yang muncul adalah: 1. Pada area hutan mangrove bagian mana saja di TNK yang dapat dimanfaatkan sumberdaya kepitingnya untuk suatu pemanfaatan yang berkelanjutan? 2. Apakah sumberdaya kepiting di TNK sudah mengalami penurunan saat ini dibandingkan waktu yang lalu? 3. Seberapa besar daya dukung sumberdaya di zona pemanfaatan TNK bagi populasi kepiting untuk penangkapan maupun budidaya pembesaran? 4. Bagaimana bentuk pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya kepiting dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di TNK sebagai habitat bagi kepiting tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi status bioekologi sumberdaya S. serrata meliputi; sebaran ukuran, parameter pertumbuhan, pola distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasinya di hutan mangrove TNK. 2. Melakukan kajian daya dukung lingkungan bagi sumberdaya S. serrata di ekosistem mangrove TNK.
3. Membuat rekomendasi pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di kawasan
konservasi
mangrove
untuk
menjamin
keberlanjutan
pemanfaatannya dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di TNK.
1.4 Hipotesis Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah: Jika pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di zona pemanfaatan hutan mangrove TNK dioptimalkan sesuai daya dukung lingkungannya melalui sylvofishery, maka akan membentuk model pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, yang diindikasikan dengan adanya penurunan laju kerusakan ekosistem mangrove.
1.5 Kerangka Pendekatan Penelitian Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kepiting bakau di habitat hutan mangrove TNK adalah ancaman penurunan populasi kepiting bakau akibat eksploitasi hutan mangrove oleh masyarakat. Sementara itu, diduga pemanfaatan kepiting bakau di TNK masih di bawah potensi yang ada, sedangkan disisi lain, TNK sebagai kawasan konservasi tidak boleh ditebang/dikurangi keutuhan kawasannya. Pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam kawasan taman nasional pada dasarnya diperbolehkan (pasal 26, 27, 28 dan 30 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Salah satu jenis sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove TNK adalah kepiting bakau (S. serrata). Kepiting bakau dimanfaatkan dengan cara penangkapan kepiting dewasa di alam dan penangkapan kepiting muda untuk budidaya pembesaran kepiting. Namun dalam pemanfaatan sumberdaya ini perlu diperhatikan kelangsungan populasi dan daya dukungnya, oleh karena itu perlu kajian dalam pemanfaatan sumberdaya kepiting tersebut. Dalam pemanfaatan sumberdaya kepiting di ekosistem mangrove TNK, terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Sehingga diperlukan
pendekatan sistem, agar ketiga aspek tersebut dapat dikaji secara menyeluruh. Untuk memperoleh data dan informasi tentang aspek bioekologi kepiting bakau perlu dilakukan beberapa pendekatan. Data dan informasi tentang tipe dan karakteristik habitat kepiting bakau diperoleh dengan melakukan klasifikasi wilayah (zona) berdasarkan karakter-karakter khusus yang dimiliki tiap zona. Selanjutnya pada tiap zona dilakukan pengamatan dan analisa parameter biofisik dan kimia lingkungan, meliputi: parameter fisik-kimia substrat dan perairan, karakteristik vegetasi mangrove, produksi serasah mangrove dan kelimpahan organisme makrozoobenthos sebagai pakan alami kepiting bakau. Untuk mengetahui status bioekologi kepiting bakau dilakukan kajian tentang kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal, pola pertumbuhan,
serta laju eksploitasi kepiting bakau. Data untuk kajian status
bioekologi kepiting bakau diperoleh dari data primer dan data sekunder. Kajian mengenai daya dukung lingkungan dilakukan dengan pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies S. serrata, berdasarkan hipotesa hubungan spesieshabitat. Alur pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
1.6 Kebaruan Penelitian Di Indonesia, khususnya di Institut Pertanian Bogor sendiri, sudah banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui status bioekologi kepiting bakau, antara lain oleh: 1) Siahainenia (2008) telah melakukan penelitian bioekologi kepiting bakau di ekosistem mangrove Kabupaten Subang, yang meliputi struktur populasi, potensi reproduksi, dan distribusi spasial dan temporal kepiting bakau; 2) Mulya (2000) meneliti kelimpahan dan distribusi kepiting bakau di hutan mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat, Sumatera Utara; 3) Nazar (2002) meneliti keterkaitan karakteristik habitat dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau; 4) Dianthani (2002) mengevaluasi kondisi lingkungan perairan Muara Badak, Kalimantan Timur dalam kaitannya dengan perkembangan larva kepiting bakau. Namun penelitian-penelitian tersebut belum
memberikan jalan bagaimana menggunakan hasil penelitian tersebut untuk rencana pengelolaan sumberdaya kepiting bakau. Penelitian ini dilakukan di kawasan konservasi Taman Nasional, dimana menurut UU No. 5 tahun 1990 dilarang dilakukan kegiatan yang bersifat merubah keutuhan kawasan, seperti menangkap hewan atau menebang pohon. Namun saat ini telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi, yang semula perlindungan alam tanpa mengijinkan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat, menjadi perlindungan dengan pemanfaatan yang berkelanjutan. Model pengelolaan ekosistem mangrove di salah satu desa dalam kawasan TNK sudah pernah diteliti oleh Gunawan et al. (2005) yang melakukan penelitian tentang Model Pelestarian Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Kutai oleh Masyarakat Dusun Teluk Lombok, namun dalam penelitian ini model yang dihasilkan hanya berupa deskripsi tentang pelaksanaan pengelolaan mangrove yang telah rusak/dibuka di kawasan tersebut oleh masyarakat bersama dengan LSM Bikal. Sedangkan bagaimana solusi dari permasalahan mengapa mangrove dirusak tidak dibahas dalam penelitian tersebut. Pada penelitian ini akan disusun model pengelolaan zona pemanfaatan hutan mangrove di kawasan TNK, yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya S. serrata, sebagai biota yang mempunyai keterkaitan habitat dengan hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan sistem dinamik yang didukung oleh data bioekologi kepiting bakau dan daya dukung lingkungan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data bioekologi kepiting bakau memang masih mengikuti penelitian-penelitian sebelumnya, namun yang berbeda adalah data biekologi ini akan digunakan secara menyeluruh melalui metode analisis sistem dinamik untuk menyusun rencana pengelolaan sumberdaya kepiting bakau. Hasil dari analisis sistem berupa model pengelolaan kepiting bakau, akan mempunyai karakter yang berbeda dengan kebijakan pengelolaan kepiting bakau di perairan umum, karena memasukkan variabel aturan-aturan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah kebaruan dari penelitian ini yaitu:
a) Penggunaan data-data bioekologi dan pendugaan stok kepiting bakau secara komprehensif sebagai variabel-variabel dalam alat analisis sistem dinamik untuk menyusun rencana pengelolaan belum pernah dilakukan sebelumnya, walaupun LeVay (2001) telah menyatakan menganggap perlu untuk menggunakan data bioekologi dan stok assesment sebagai dasar pengelolaan. b) Disusunnya model untuk pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di kawasan konservasi taman nasional yang berbeda dengan model pengelolaan di perairan umum, karena harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem mangrove yang meliputi dua sistem ekologi, yaitu ekosistem hutan dan ekosistem perairan, sehingga diperlukan adanya penyelarasan peraturanperundangan untuk konservasi di kawasan kehutanan dan konservasi di kawasan perairan.
MANGROVE TNK
Sumberdaya Kepiting
Permasalahan: Degradasi habitat mangrove untuk tambak
Permasalahan: Potensi tinggi, belum dimanfaatkan
Daya dukung lingkungan
Perlu Manag. Sylvofishery
+
Analisis Probabilistik
Analisis Bio-Fisik
Analisis
HSI
Perlu Upaya Optimasi
PEMANFATAAN KEPITING
HIPOTESIS
Powersim Studio 2005
Status Bioekologi Kepiting
1. Penangkapan Kepiting Dewasa 2. Budidaya Pembesaran (kepiting muda)
Analisis Sistem
Pemodelan Pemanfatan Sumberdaya kepiting
Skenario Pemanfaatan SD Kepiting Bakau
Zonasi Pemanfaatan Hutan Mangrove Peraturan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Strategi Pengelolaan SD kepiting Bakau
Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian
Analisis SIG
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi S. serrata Kepiting bakau tergolong dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla (Jones & Morgan 1994). Saat ini ada empat spesies dari genus Scylla sebagaimana dikemukakan oleh Keenan (1999); yakni Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan Scylla olivacea. Pembedaan keempat spesies ini dilakukan berdasarkan pada electrophoresis
allozyme,
pembagian
mitokondria
DNA
dan
analisis
morphometrik (Keenan 1999). Keenan et al. (1998), membuat klasifikasi genus Scylla yang berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, dengan ciri-ciri tiap jenis seperti pada Tabel 1. Klasifikasi ilmiah bagi spesies Scylla serrata dalam menurut Motoh (1979) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Mandibulata
Kelas
: Crustacea
subkelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Pleocyemata
Seksi
: Brachyura
Famili
: Portunidae
Subfamili Genus
: Portuninae : Scylla
Species : Scylla serrata (Forsskål 1775)
2.1.2 Morfologi S. serrata Bentuk badan kepiting secara umum adalah badan yang pendek dengan abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Sedangkan
16 abdomen tereduksi menjadi tipis, rata dan terlipat di bawah cefalotoraks, karena itu kepiting dinamakan brachyura atau ekor pendek (Garth & Abbott 1980). Tabel 1 Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Keenan et al. (1998). No
Jenis
1
Scylla serrata
Pola poligon dan warna Pola poligon dan warna
Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped 2
Scylla tranquebarica
Pola poligon dan warna
Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped 3
Scylla paramamosain
Pola poligon dan warna
Duri pada dahi
Duri pada bagian luar cheliped
4
Scylla Olivaceae
Pola poligon dan warna
Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped
Ciri morfologis/faktor pembeda Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari unggu, hijau sampai hitam kecoklatan. Tinggi, sempit, dan agak tumpul, dasar cekungan (lembah) diantara dua duri membulat. Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus. Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon samar-samar, serta dua pasang kaki yang lain mempunyai pola yang lebih jelas. Pola poligon bervariasi terdapat pada abdomen betina dan tidak ada pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. serrata. Duri pada dahi agak tinggi, tumpul, dan lembah antara dua duri membulat. Sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus. Chela dan kaki-kakinya berpola poligon yang samar-samar untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai coklat kehitaman tergantung habitat. Agak tinggi, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan lembah antara dua duri berbentuk siku (2 duri tengah lebih tinggi). Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus, tetapi dengan 1 duri tumpul kecil (pada juvenile) dan propodus mempunyai sepasang duri agak tajam berukuran sedang pada bagian tepi atas, di belakang dactylus, diikuti dengan gerigi ke arah posterior.. Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari oranye kemerahan, coklat sampai coklat kehitaman tergantung habitat. Rendah, membulat dengan lembah yang dangkal diantaranya. Umumnya pada dewasa tidak ada duri pada carpus (pada betina ada**), tetapi dengan 1 duri kecil tumpul pada tepi luar (pada juvenile). Sedangkan propodus dengan sepasang duri tumpul di bagian atas belakang dactylus, dimana juvenile dan kepiting muda berduri, duri bagian dalam lebih besar daripada nyang luar.
17 Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih, dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Motoh dalam Karim 1998 ). Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur (Moosa et al. 1985).
A
B
Gambar 2 Kepiting betina dan kepiting jantan. A. S. serrata betina dewasa kelamin B. S. serrata jantan moulting Foto: Phelan & Grubert (2007) Ciri-ciri umum dari genus Scylla adalah memiliki karapas berbentuk menyerupai segi enam, agak bulat atau oval, ukuran chela kanan lebih panjang daripada chela kiri, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih dan diadaptasikan untuk berenang, sisi anteroteral karapas berduri sembilan buah dengan ukuran yang hampir sama, jarak antar ruang rongga mata (orbital) luas, bagian depan
18 mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang menggembung. Pasangan kaki pejalan yang terakhir (pleopod V) berbentuk memipih pada ruas terakhirnya (propodus dan daktilus). Capit (pleopod I) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan yang licin (Gambar 3). Selanjutnya Siahainenia (2008) yang memodifikasi dari Keenan (1998) menambahkan bahwa kriteria klasifikasi S. serrata dewasa adalah warna bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman. Pola poligonal terlihat jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran panjang hampir sama sehingga terlihat rata. Terdapat dua duri yang tajam pada propodus dan dua duri yang tajam pada carpus. mata
antene
daktilus propondus karpus merus
kaki jalan I kaki jalan II
karapas
kaki jalan III
basis ischium
kaki renang
Gambar 3 Morfologi Scylla serrata. Foto: Pratiwi & Wijaya (2010) Berbagai jenis krustasea hidup di mangrove menggali tanah sampai permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga terhadap predator. Jenis-jenis Portunidae seperti S. serrata dapat menggali lubang hingga 5 meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Lubang yang digali bervariasi fungsinya, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan organik, sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat
19 pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Dengan adanya kaki perenang (menyerupai dayung), jenis S. serrata memiliki kemampuan berenang yang cepat yang bertujuan untuk proteksi diri dari predator dan menangkap mangsa (Kasry 1996). Pada saat larva, jenis S. serrata dan kebanyakan jenis kepiting lainnya hidup sebagai plankton, berenang-renang bebas, terbawa arus, dan setelah dewasa hidup di dasar perairan . Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Kepiting bakau juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada tambak yang cukup tersedia cukup pakan bagi kelangsungan hidupnya. Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan diri dengan habitatnya.
2.1.3 Daur hidup Scylla serrata Scylla serrata merupakan jenis biota yang melakukan ruaya selama daur hidupnya, sehingga pada setiap tahapan hidupnya S. serrata menempati habitat yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Organisme, jarang yang secara acak menyebar di sepanjang lingkungan (Condit et al.; Bertnes et al.; dalam Webley et al. 2009). Pada hewan, distribusi yang tidak acak ini dibangkitkan oleh mekanisme pilihan tempat tinggal. Kematian, merupakan salah satu mekanisme yang mungkin terjadi. Hewan yang rekruit secara acak, dan sebagian mati di tempat yang tidak nyaman, namun akan bertahan hidup di tempat lain akan menyebar secara tidak acak dan berasosiasi dengan habitat yang sesuai (Crowe & Underwood dalam Webley 2009). Pemahaman akan biologi S. serrata dan ekologi lingkungannya diperlukan agar dapat mengelola sumberdaya S. serrata dengan benar. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine et al. 2008). Scylla serrata betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm (Hill;
20 Heasman et al. dalam Bonine et al. 2008). Sedangkan S. serrata jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine et al. 2008). Scylla serrata menunjukkan sifat seksualitas dimorfisme, dimana kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina pada lebar karapas yang sama (Chakrabarti dalam Bonine et al. 2008; Siahainenia 2008). Di wilayah tropis, reproduksi S. serrata berlangsung sepanjang tahun, dengan puncaknya pada musim hujan (Le Vay 2001). Scylla serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975). Kasry (1996) menyatakan bahwa kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Peristiwa pemijahan S. serrata terjadi pada periode bulan-bulan tertentu, terutama awal tahun. Jarak yang ditempuh dalam beruaya untuk memijah tidak lebih dari satu kilometer ke arah laut menjauhi pantai. Motoh (1979) menyatakan bahwa perkembangan kepiting bakau S. serrata mulai dari telur hingga mencapai dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia megalopa, stadia kepiting muda (juvenil), dan stadia kepiting dewasa. Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas, dan melalui fase larva yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, hingga mencapai Zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari (Warner 1977). Kemudian berganti kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tahap megalopa berlangsung antara 7-9 hari (Phelan & Grubert 2007). Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan B A berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan
21 muara
sungai,
kemudian
ke
perairan
berhutan
bakau
untuk
kembali
melangsungkan perkawinan (Gambar 4). Secara ringkas siklus hidup kepiting bakau S. serrata menurut Afrianto & Liviawaty (1993) dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Pembuahan
Telur
Kepiting dewasa
Kepiting muda
Larva Zoea
Megalopa
Gambar 4 Diagram siklus hidup kepiting bakau. Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pergantian kulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat. Pada tingkat zoea terjadi ± 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa (Afrianto & Liviawaty 1993). Setelah
megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasuki fase
kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkan perkawinan pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalam fase kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapas lebih kurang 99 mm (Phelan & Grubert 2007).
2.1.4 Karakter dewasa kelamin Siahainenia (2008) menyatakan, dewasa kelamin adalah tingkat dalam siklus hidup kepiting bakau dimana alat-alat reproduksi telah berkembang secara baik dan siap melakukan proses reproduksi. Untuk tujuan pengelolaan populasi ataupun untuk tujuan budidaya kepiting bakau perlu diketahui secara pasti status dewasa kelamin kepiting bakau mengingat ketika memasuki masa reproduksi yang diawali dengan proses perkawinan, kepiting bakau harus telah mencapai tingkat dewasa kelamin. Warner (1977) menyatakan pada tingkat dewasa kelamin, kepiting bakau jantan telah menghasilkan sperma dan siap melakukan stimulasi untuk merangsang kepiting bakau betina melakukan ganti kulit (moulting) agar
22 proses kopulasi dapat berlangsung serta mampu melakukan proses kopulasi dengan cara memasukkan pleopodnya ke bukaan kelamin dan mentransfer spermatophore (kantong berisi sperma) ke dalam wadah sperma (spermatheca) yang terdapat pada tubuh kepiting bakau betina. Ketika mencapai tingkat dewasa kelamin kepiting bakau betina telah siap melepaskan traktan kimiawi (pheromon) untuk menarik perhatian jantan juga telah siap menerima sperma untuk kemudian disimpannya di dalam spermatheca, serta menghasilkan telur-telur untuk dipijahkan, dibuahi dan ditetaskan. Jadi ketika kepiting bakau mencapai tingkat dewasa kelamin, semua organ yang berkaitan dan mendukung urutan aktifitas reproduksi harus telah siap untuk digunakan, dengan demikian akan terjadi perubahan morfologi tubuh yang menyertai perkembangan kepiting bakau ke arah tingkat dewasa kelamin. Tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa kelamin mudah dibuka sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin sulit dibuka. Hal ini disebabkan karena tutup abdomen kepiting bakau jantan dewasa kelamin dihubungkan pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau jantan pradewasa kelamin menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang pengait yang terdapat pada ruas dada (thorachic) ke-enam. Selain itu ada thorachic sternum dari kepiting bakau jantan dewasa kelamin terutama pada bagian ujung atas terlihat adanya pigmentasi yang kuat yang membentuk warna kuning kecoklatan sebaliknya pada jantan pradewasa kelamin pigmentasi pada bagian ujung atas thorachic sternum belum nampak sehingga terlihat bersih. Untuk mengenal kepiting bakau jantan dewasa kelamin dapat juga digunakan ukuran chela sebagai karakter pembeda dimana umumnya kepiting bakau jantan dewasa kelamin memiliki chela yang berkembang cepat sehingga ukuran lebih besar sebaliknya kepiting bakau jantan pradewasa kelamin memiliki ukuran chela yang kecil, ukuran chela yang besar pada kepiting bakau jantan dewasa kelamin sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau betina selama masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini berada dalam posisi "doublers" serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina ketika proses kopulasi akan berlangsung. Chela yang besar juga dibutuhkan
23 kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting teritory), mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau betina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya. Selain itu terdapat juga tanda-tanda khusus pada bagian tubuh kepiting bakau jantan yang dapat menjadi karakter pembeda tingkat dewasa kelamin, seperti adanya goresan atau pengikisan selaput kulit terutama pada bagian posterior chela dan pada bagian ventral tubuh serta adanya parutan bekas luka pada permukaan tubuh terutama pada kaki-kaki jalan yang mengindikasikan suksesnya kepiting bakau jantan melakukan kopulasi, yang secara otomatis berarti kepiting bakau tersebut telah mencapai tingkat dewasa kelamin. Goresan atau pengikisan selaput kulit terjadi karena selama masa "doublers" kepiting jantan mengepit kepiting bakau betina dengan posisi betina berada dibawah abdomennya dan karena proses ini berlangsung cukup lama sehingga terjadi pergesekan tubuh kepiting bakau tersebut. Tanda-tanda luka dapat disebabkan karena terjadi pertarungan dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin maupun karena upaya melindungi kepiting bakau betina selama berada dalam kondisi kulit tubuh yang lunak akibat moulting dari serangan maupun pemangsaan kepiting bakau lain (Siahainenia 2008). Tutup abdomen pada kepiting bakau betina dewasa kelamin umumnya lebih besar, melebar ke samping dan cekung membentuk ruang dalam abdomen yang luas serta memiliki ruang antar ruas yang pendek. Sebaliknya bentuk tutup abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin umumnya lebih sempit, memanjang keatas, relatif datar sehingga membentuk ruang dalam abdomen yang sempit serta memiliki ruang antar ruas yang panjang. Pigmentasi pada tutup abdomen kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih kuat yakni membentuk kecoklatan sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi pada abdomen belum nampak jelas. Pada kepiting bakau betina kelamin tutup abdomen menempel pada thorachic sternum melalui sepasang otot yang lentur. Sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin tutup abdomen
24 umumnya menempel sangat rapat pada thorachic sternum melalui sepasang pengait yang terdapat pada ruas dada ke-enam. Oleh karena itu tutup abdomen kepiting bakau betina dewasa kelamin lebih mudah dibuka, sebaliknya tutup abdomen pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin sulit dibuka. Bila tutup abdomen dibuka akan nampak empat pasang pleopod yang merupakan tempat menempelnya masa telur setelah dikeluarkan dari tubuh melalui proses pemijahan, sehingga pleopod pada kepiting bakau betina juga pelengkap organ kelamin yaitu sebagai organ inkubasi telur. Bentuk pleopod pada kepiting bakau betina juga dapat menjadi salah satu karakter pembeda tingkat dewasa kelamin. Pada pleopod kepiting bakau betina kelamin terdapat rambutrambut yang lebih panjang, banyak dan rapat, sedangkan pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin rambut-rambut pleopod pendek dan jarang. Pada thorachic sternum kepiting bakau betina terdapat sepasang bukaan kelamin (Oviduct Openings) atau yang juga disebut gonophores yang merupakan corong saluran keluarnya telur ketika memijah. Lewat corong ini juga bakau jantan mentransfer spermathophore berisi sperma melalui pleopod-nya ke dalam spermatheca pada tubuh kepiting bakau betina. Pada kepiting bakau betina dewasa kelamin pasangan bukaan kelamin nampak besar terbuka, berbentuk lingkaran oval yang dibatasi oleh selaput yang lembut. Pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pasangan bukaan kelamin terlihat tertutup, membentuk celah sempit dan dibatasi oleh selaput lembut yang menonjol. Perubahan karakter tubuh yang nyata antara kepiting bakau betina dewasa kelamin dan pradewasa kelamin juga nampak terlihat melalui pigmentasi pada bagian ujung atas thorachic sternum. Pada kepiting bakau betina dewasa kelamin terjadi pigmentasi kuat membentuk warna kuning kecoklatan seperti warna karat sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin pigmentasi belum nampak. Selain itu karakter pembeda tampak terjadi pada ruas dactylus, propodus, carpus, merus dan basi-ischium (endopod) kaki jalan dan kaki renang. Pada kepiting bakau betina dewasa kelamin, endopod telah ditumbuhi bulu-bulu halus yang panjang, sebaliknya pada kepiting bakau betina pradewasa kelamin, rambutrambut pada endopod terlihat lebih pendek (Siahainenia 2008).
25 2.1.5 Kepiting bakau sebagai hewan air (kehalalan kepiting bakau) Konsumsi kepiting bakau pada masyarakat di Indonesia belum se-populer krustasea yang lain, seperti udang. Hal ini diduga terjadi karena sampai saat ini, sebagian masyarakat masih banyak yang meragukan kehalalan kepiting, terutama jenis kepiting bakau, sebagai bahan makanan. Keraguan ini disebabkan perilaku kepiting bakau yang mampu bertahan hidup lebih lama dibandingkan hewan air lainnya, dalam kondisi tidak ada air, sehingga kepiting bakau sering dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam, seperti halnya katak/kodok. Pemahaman ini sedikit banyak berimbas pada rendahnya tingkat permintaan kepiting di negara-negara muslim, utamanya di Indonesia sendiri. Namun yang sebenarnya, berdasarkan ketetapan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditetapkan/difatwakan pada tanggal 15 Juli 2002, kepiting dinyatakan halal untuk dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Rapat Komisi Fatwa MUI menyampaikan, ada empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas yaitu, Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla paramamosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan 'kepiting' saja. Kepiting ini disebut binatang air dengan alasan; a) bernafas dengan insang; b) berhabitat di air; c) tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air. Kepiting termasuk keempat jenis diatas tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam: di laut dan di darat. Jadi, rapat Komisi Fatwa MUI dalam hal kepiting menyatakan adalah jelas bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam. Secara morfologis penjelasan atas kemampuan kepiting bakau bertahan hidup cukup lama dalam kondisi kekurangan air adalah karena kepiting bakau bernafas dengan insang dan memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan diri dengan habitatnya. Ruang-ruang pernafasan terletak dibawah atap insang. Masing-masing ruang dilindungi oleh selaput kutikular yang memisahkannya dari hepatopankreas di sebelah anterior dan dari
26 bagian dalam karapas di sebelah posterior. Ujung depan masing-masing insang menyempit dan dibelakangnya terletak suatu ruang pompa kecil melindungi skapognatit. Di dalam ruang pernafasan juga terletak maksiliped-maksiliped dan epipod, maksiliped II dan III membersihkan permukaan ventral insang-insang. Sedangkan epipod maksiliped I yang panjang menyapu permukaan dorsal insang. Arus pernafasan masuk ke ruang pernafasan melalui celah-celah yang berambut antara kaki-jalan dan ujung bawah dari atap insang. Lubang atau pintu terbesar milne-edwards terletak di basis capit. Setelah air melalui insang lalu menuju ruang di bawah insang. Pertukaran gas terjadi saat arus melewati masing-masing insang. Hal ini dilakukan oleh sistem arus yang teratur, dengan sistem ini darah mengalir di dalam insang dari arah yang berlawanan dengan aliran air diantara lamelalamela (ada 9 insang). Dalam masing-masing ruang pernafasan, arus air mengalir ke ruang pompa. Dari ruang skapognatit air dikeluarkan melalui lubang pengeluaran. Lubang pengeluaran terletak di kedua sisi epistoma tepat di bawah mulut (Warner 1977). Kepiting bakau dewasa merupakan salah satu dari biota yang hidup pada kisaran kadar garam yang luas (euryhaline) dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang cukup tinggi. Selain itu kepiting bakau memiliki alat gerak berupa kaki jalan dan kaki renang, sehingga mampu untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial yang cukup menyediakan pakan bagi kelangsungan hidupnya.
2.2 Ekologi Habitat Mangrove Hutan Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove mempunyai ciri-ciri antara lain; a) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung dan berpasir; b) Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove; c) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; d) Terlindung dari gelombang
27 besar dan arus pasang surut yang kuat; e) Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil) (Bengen 2000). Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berdasarkan adaptasinya terhadap salinitas, tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu halophyta, yang tumbuh dan seluruh fase hidupnya berada dalam habitat yang memiliki salinitas tinggi, dan non-halophyta, yang hidup pada habitat non-salin. Mangrove bersifat fakultatif halophyta, yaitu dapat tumbuh pada kondisi salin dan tawar. Mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salin dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (McKee 1996). Mangrove memperlihatkan adanya tiga stratifikasi utama secara vertikal, yaitu: zona supratidal, intertidal, dan subtidal. Masing-masing strata ini secara unik dihuni oleh organisme yang berasosiasi dengan karakteristik struktur vegetasi mangrove pada tiap strata (McKee 1996), yaitu: 1. Strata supratidal mencakup bagian hutan arboreal, dan wilayah ini dihuni oleh burung, reptil, kepiting, siput, serangga, dan laba-laba. 2. Strata intertidal meluas dari wilayah yang dapat dicapai air pasang tertinggi hingga air pasang terendah dan meliputi mangrove dengan sistem perakaran udara dan cadangan tanah gambut. Organisme yang hidup di zona ini adalah kekerangan, isopods, kepiting, tiram, amphipods, siput, dan algae. Organisme ini mengalami penggenangan secara periodik oleh pasang surut. 3.
Strata subtidal berada di bawah air pasang terendah dimana akar mangrove dan tanah gambut menyediakan substrat untuk adaptasi organisme pada penggenangan yang terus menerus. Organisme yang hidup di zona ini adalah algae, sponge, tunicate, anemon, octocoral, udang, cacing polychaeta, bintang ular, nudibranch, ubur-ubur, dan rumput laut.
2.2.1 Karakteristik dan Fungsi Ekosistem Mangrove Karakteristik dari hutan mangrove, diantaranya secara spesifik membantu menahan erosi dan abrasi laut dari kerusakan pantai akibat hempasan gelombang air laut. Adapun kondisi ekologis yang mengatur dan melindunginya, sangat
28 tergantung kepada keseimbangan dari persediaan kadar garam dan air tawar, nutrisi yang cukup dan substrat yang stabil. Semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh ekosistem hutan mangrove (Bengen 2004). Perakaran mangrove yang kuat mampu meredam gerak pasang surut, juga mampu terendam dalam air yang kadar garamnya bervariasi. Lebih dari itu, perakaran mangrove dapat mengendalikan lumpur, sehingga ia mampu memperluas penambahan formasi dan “surfacing land“ (McKee 1996). Fungsi ekologis mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekonomi. Berjenis-jenis biota laut hidup di sini atau dengan kata lain sangat bergantung dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan, udang, kerang, dan bermacam-macam kepiting yang kesemuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam peristiwa rantai makanan akuatik (Kusmana 1995). Ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Chapman dalam Kusmana (1995) terdiri 5 (lima) habitat, yakni: (1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga. (2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk). (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang. (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak. (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
2.2.2 Keterkaitan antara Kepiting Bakau dengan Mangrove Scylla serrata ditemukan melimpah di sungai-sungai pesisir, lagun, sekitar pulau-pulau kecil, di perairan payau, dan di kawasan hutan bakau (mangrove)
29 (Cholik & Hanafi 1992) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Menurut Hutching & Saenger (1987), kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, memakan akar-akarnya (pneumatophore) dan merupakan habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di Afrika Selatan dan Australia, identifikasi terhadap material yang terdapat di lambung kepiting menunjukkan bahwa 50% adalah moluska, 20-22% adalah krustasea, dan sisanya 28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan debris. Pada kepiting Scylla serrata yang isi lambungnya kurang dari 50% penuh, material inorganik mengisi hampir 100%, hal ini menunjukkan bahwa kepiting cenderung untuk menelan banyak material yang tidak dapat dicerna (Hill 1979). Kepiting bakau hidup di habitat intertidal dan subtidal, dimana mereka secara dominan memangsa moluska dan invertebrata lain yang kurang bergerak, seperti bivalvia, siput, kepiting lain, dan cacing (Michelli dalam Arifin 2006). Dalam habitat intertidal, kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari predator (Motoh 1979). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972) menambahkan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lobang sampai karapasnya mengeras. Wolff et al. diacu oleh Arifin (2006) melaporkan bahwa 99 % dari sistem biomassa total dibuat oleh mangrove. Sisa biomassa didistribusikan antara wilayah pelagis dan bentik dengan pembagian 10% dan 90%. Melalui serasah, mangrove menyumbangkan sumber makanan primer utama ke dalam sistem, yang dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, diuraikan oleh bakteri dan oleh hewan pemakan detritus (Uca spp). Herbivora seperti Uca spp adalah pakan alami bagi S. serrata.
2.2.3 Perkembangan Budidaya Sylvofishery Kepiting Bakau Sylvofishery adalah salah satu konsep kuno dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan konservasi mangrove dengan
30 budidaya air payau (Quarto dalam Arifin 2006). Ini adalah bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini memungkinkan untuk mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau. Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat ekonomi dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan aktivitas yang berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam sistem ini akan menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas sebagai aktivitas yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove. Sylvofishery juga menyediakan alternatif aktivitas ekonomi bagi rakyat pedesaan yang miskin dan hal itu mungkin dapat mengurangi tekanan ekologi terhadap hutan mangrove (Arifin 2006). Quarto dalam Arifin (2006) menggambarkan dua model dasar Sylvofishery yaitu model empang parit dan model mangrove yang berselang-seling (komplangan). Model empang parit menyajikan tingkatan yang lebih besar dalam penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove dalam area tambak, dengan penutupan mangrove antara 60-80% dalam parit di tambak. Sedangkan model berselang-seling merekomendasikan untuk mempertahankan mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus dipertahankan 8 ha mangrove disekeliling tambak tersebut. Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove (Ikhwanuddin & Oakley 1999). Budidaya kepiting dalam kurungan tancap lebih mendekati model empang parit, karena kurungan tancap kepiting dibangun dalam area rawa mangrove, dan tumbuh-tumbuhan dalam area mangrove dibiarkan tetap utuh untuk menyediakan lingkungan yang alami untuk kepiting untuk tumbuh dan bereproduksi, parit keliling yang tidak terlalu luas dibuat untuk memenuhi kebutuhan air asin bagi kepiting (Wei Say & Ikhwanuddin 1999). Genodepa (1999) menyatakan sistem tambak tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting
31 bakau. Sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam lingkungan alaminya (Ikhwanuddin & Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston & Keenan 1999). Kurungan tancap dapat dibangun dengan menggunakan batang pohon dari suatu jenis tanaman palma (Oncosperma tigillaria) (Ikhwanuddin & Oakley 1999). Alternatif lain adalah dengan menggunakan jaring nilon/waring dengan ukuran mata jaring 1 cm untuk pengganti papan untuk pagar kurungan tancap dan kerangka yang digunakan adalah kerangka bambu. Penggunaan waring dapat mengurangi frekuensi penebangan pohon untuk memperoleh papan, walapun mungkin biaya yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Untuk penggunaan jaring/waring sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan papan sedalam ± 1.2 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang dalam lumpur (Genodepa 1999).
2.2.4 Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI) Pada dasawarsa terakhir ini kebutuhan akan budidaya perikanan semakin meningkat. Alasan dari peningkatan tersebut antara lain karena terbatasnya pengembangan kawasan di daratan, upaya penangkapan yang sudah berlebih (over-exploitation), peningkatan permintaan terhadap ikan hasil budidaya terkait dengan isu keberlanjutan sumberdaya, mutu produk budidaya lebih terkontrol dan lebih kontinu dalam kualitas dan kuantitas. Lebih 40% dari jumlah seluruh ikan yang dikonsumsi dihasilkan dari budidaya (FAO 2003). Peningkatan kegiatan budidaya perikanan sebagai Revolusi Biru akan menimbulkan efek yang sama dengan Revolusi Hijau pada bidang pertanian, jika dilakukan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Dampak terhadap lingkungan sebagai akibat dari penggunaan pupuk, pestisida, dan rekayasa genetika lainnya baru akan disadari setelah tiga puluh tahun kemudian (Wolowicks 2005). Salah satu pendekatan dalam konsep daya dukung lingkungan adalah dengan pendekatan Indeks Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability Index/HSI). Model HSI digunakan secara meluas sebagai alat dalam pengelolaan spesies,
32 penilaian dampak ekologis, dan penelitian pemulihan ekologi (Duel et al.; Gore & Hamilton;
Maddock
dalam
Van
der
Lee
2006).
Kurva
HSI
model
menggambarkan hubungan antara variabel habitat dengan kesesuaian untuk spesies khusus (Van der Lee 2006). HSI adalah sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat yang diberikan untuk mendukung spesies yang dipilih. Model ini didasarkan pada hipotesa hubungan spesies-habitat lebih daripada pernyataan-pernyataan yang menimbulkan hubungan sebab-akibat. HSI model menghasilkan gambaran dari karakteristik masing-masing habitat dan interaksinya terkait dengan habitat suatu spesies. Model dapat dibangun dalam berbagai cara, seperti model kata-kata, sebuah model mekanistik, atau sebuah model statistik multivarian, atau kombinasi dari metode ini (Jewett & Onuf 1988). HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies (AED 2008). Berikut ini adalah diagram skematis untuk membangun sebuah HSI (Gambar 5).
Gambar 5 Tahapan dalam menyusun HSI (AED 2008).
33 2.3 Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Scylla serrata 2.3.1 Berpikir Sistem (System Thinking) Paradigma Dinamika Sistem (DS) berangkat dari cara berpikir secara sistemik yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan dalam dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikirnya manusia dalam memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu (know) terhadap realitas yang dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan memilah-milah (analisis) kemudian merangkainya (sintesa). Dengan ini akan dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh). Berpikir sistem adalah upaya untuk memahami struktur dari sebuah sistem yang diamati kemudian mempelajari pola perilaku untuk menyimpulkan kejadian yang terjadi pada sistem tersebut. Hasilnya dapat ditemukan pengungkit (leverage) yang mempengaruhi dari sistem yang terjadi untuk dijadikan dasar proses perbaikan struktural. Senge (1995) menyebut leverage sebagai pilarnya DS, yang menurutnya bahwa dalam melihat aksi dan perubahan dalam struktur yang menjadi pemicu signifikan memperbaiki penyakit kronis. Seringkali pengungkit mengikuti prinsip eknonomi, yang artinya di mana hasil terbaik tidak datang dari usaha berskala besar melainkan dari kegiatan kecil yang berfokus dengan baik. Berpikir sistemik menurut Balle (1994) akan sangat berguna untuk menghindari pembuatan kesalahan yang mendatangkan malapetaka ketimbang menemukan kebijakan yang paling cemerlang dan optimal. Pandangannya dapat bertahan dalam jangka panjang, bukan mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek. Pendekatan sistem merupakan kajian lintas disiplin ilmu dan keberhasilan dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh suatu tim yang multidisipliner pula dan yang terpenting dari tim tersebut adalah adanya komunikasi interpersonal dan pengorganisasian (Eriyatno 2003). Berpikir sistemik mempunyai corak dan sangat tergantung dari pelaku yang menerapkannya terkait pada kebiasaaan dan kebutuhannya. Kebiasaan berhubungan dengan bidang pengetahuan yang melekat dalam diri seseorang. Kebutuhan berpikir berhubungan dengan pembelajaran dari pengalaman dalam
34 pekerjaan yang membutuhkan corak berpikir tertentu, seperti bidang teknik dan ekonomi memiliki corak berpikir yang berbeda. Masing-masing corak memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan biasanya ada yang menggunakannya dengan menggabungkan menjadi satu. Tiga corak yang dimaksud adalah berpikir sistem masukan-keluaran, berpikir sistem umpan balik dan berpikir sistem umpan balik adaptif (Aminullah 2004). Corak pertama tidak menjadikan keluaran untuk mempengaruhi masukan kembali. Kedua, penyempurnaan corak pertama di mana keluaran dijadikan umpan kembali untuk mempengaruhi masukan. Ketiga, seperti corak kedua hanya saja pengaruh lingkungan luar turut dijadikan pertimbangan. 2.3.2 Umpan Balik Kerangka kerja berpikir sistem menggunakan beberapa alat konseptual untuk merepresentasikan dan menguraikan sebuah realita agar mudah dipahami. Umpan balik sebagai konsep utama berpikir sistem yang lebih dari sekedar berpikir. Untuk menggambarkan sebuah konsep umpan balik pada struktur sistem, dalam DS dikenal sebuah diagram kausal (causal loop diagrams atau CLD). Sterman (2000) menyatakan CLD sangat baik untuk : 1. Menangkap secara cepat sebuah hipotesis tentang penyebab dinamika. 2. Menimbulkan dan menangkap model mental individu atau kelompok. 3. Komunikasi umpan balik penting yang dipercaya sebagai tanggung jawab
untuk sebuah masalah. CLD terdiri dari variabel yang saling berhubungan dengan tanda panah menandakan pengaruh penyebab diantara variabel. Keterkaitan variabel A dan variabel B berkonsekuensi saling memberi sebab, misalnya A mengakibatkan B atau B mengakibatkan A. Kadangkala dalam realitas ditemukan bahwa pada saat B akibat dari A dan B akan berbalik lagi menjadi penyebab dari A. Kejadian ini membentuk sebuah lingkaran sebab-akibat yang dikenal dengan istilah simpal kausal. Keterkaitan antar unsur dapat pula memiliki dampak pengaruh yang diberikannya. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif (menguatkan) biasanya disimbolkan dengan huruf ”R” (reinforcement), artinya jika A menguat (melemah) menyebabkan B menguat (melemah). Hubungan yang lain dapat berupa pengaruh negatif (menyeimbangkan) biasanya disimbolkan dengan huruf
35 ”B” (balance), artinya jika A menguat (melemah) menyebabkan B melemah (menguat). Hubungan terakhir dapat berupa hubungan yang memberi pengaruh tapi terdapat penundaan (delay), artinya A menunda akibat pada B (Balle 1994). Struktur sistem yang terbentuk dari beberapa gabungan simpal kausal dan dengan kombinasi pengaruh yang diberikan memberi corak terhadap perilaku sistem. Perilaku sistem berbeda-beda, sehingga menghasilkan kinerja sistem yang berbeda pula seiring perubahan waktu. Terdapat empat pola dasar perilaku sistem yang telah dipelajari dan diidentifikasi oleh para ahli DS yaitu : pertumbuhan eksponensial, mencari tujuan, bergelombang, dan S-shaped growth. Interaksi dari keempat pola dasar dapat membentuk pola lagi yang lebih kompleks (Senge 1995; Kirkwood 1998; Balle 1994; Muhammadi et al. 2001). Pola pertumbuhan eksponensial (exponential growth) atau disebut juga pola bola salju dibangkitkan oleh dominasi pengaruh positif. Umpan balik positif memberi efek perubahan penguatan dengan banyaknya kejadian perubahan. Perubahan pertumbuhannya sering dikenal dengan eksponensial. Pada tahap awal perubahannya lambat kemudian bergerak cepat. Gambar 6 adalah contoh struktur sistem dan pola perilaku model simpanan uang di bank konvensional. Semakin besar saldo simpanan berpengaruh terhadap besarnya bunga yang diterima. Struktur sistem Bank Balance
Bank balance
+
(+) Interest earned
Pola perilaku
+
Time
Gambar 6 Pola pertumbuhan eksponensial struktur sistem. Pola perilaku mencari tujuan (goal seeking) dibentuk oleh umpan balik negatif yang simpalnya mencari tujuan keseimbangan dan statis. Simpal umpan balik negatif bekerja memberikan keadaan terhadap sistem untuk mencapai tujuan atau keadaan yang diinginkan. Pola ini mirip seperti sistem tindakan koreksi
36 dengan penundaan yang dibahas pada bagian pola gelombang. Gambar 7 adalah contoh struktur sistem dan pola perilaku pada pengaturan suhu temperatur. Pola perilaku
+
+
Actual temperature
Struktur sistem Temperatur setting
(-) Gap
Actual temperature
Desired temperature
+
Desired temperature
Time
Gambar 7 Pola perilaku mencari tujuan struktur sistem. Pola bergelombang (oscilations) perilakunya seperti mencari tujuan yang dibangkitkan oleh simpal umpan balik negatif tetapi dengan penambahan delay (penundaan). Pola ini mempunyai perilaku tindakan perbaikan dengan penundaan. Kejadian antara yang diinginkan dan aktual menimbulkan kesenjangan. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan tindakan koreksi tetapi mengalami penundaan, artinya koreksi tidak langsung menghasilkan sebuah perbaikan. Oleh karena tindakan pertama tidak langsung menimbulkan perbaikan, sehingga masalah akan meningkat yang berakibat tindakan koreksi kedua lebih besar dari pertama. Kejadian ini berlanjut terus dan menimbulkan kejadian naik turun (bergelombang). Jenis pola ini lebih lanjut banyak variasinya seperti damped oscilation, limit cycle dan chaos. Gambar 8 adalah contoh struktur sistem dan pola perilaku pada jasa layanan. Struktur sistem Service reputation
(-)
+
Gap
+ Customer demand
Service standar
Service quality
-
Cstomer demand
+
Pola perilaku
Time
Gambar 8 Pola bergelombang struktur sistem.
37 Pola batas pertumbuhan awalnya pertumbuhan eksponensial tetapi secara pelan dan lambat menuju pada kondisi pencapaian sistem yang berada pada kesetimbangan, sehingga seperti membentuk huruf ”S”. Pola yang disebut juga batas pertumbuhan merupakan kombinasi simpal negatif dan positif. Pola batas pertumbuhan memiliki empat unsur, yaitu kejadian aktual, kejadian diinginkan, kesenjangan, dan tindakan koreksi. Kesenjangan (kejadian diinginkan dengan aktual) yang timbul untuk memecahkan masalah diperlukan tindakan koreksi yang pada awalnya besar dan makin lama makin kecil menuju nol. Jika terdapat penundaan, tindakan koreksi berikutnya akan melewati batas kejadian yang diinginkan selanjutnya menurun kembali. Demikian seterusnya jika batas adalah sumber yang dapat diperbaharui, maka terjadi gelombang pada keadaan tunak. Gambar 9 adalah contoh struktur dan pola perilaku pada kasus penjualan. Pola perilaku
Struktur sistem Motivation/ Productivity
(-) Morale
+
-
-
Sales
(-)
+
Saturation of market niche
+
Performance
+
Size of market niche
Income opportunities
Time Delay
Gambar 9 Pola perilaku batas pertumbuhan struktur sistem.
2.3.3 Pemodelan Dinamika Sistem Dinamika sistem (DS) awalnya digunakan untuk mengkaji dinamika industri oleh JW Forrester dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan hasilnya didokumentasikan dalam buku yang terkenal pada tahun 1962 berjudul “Industrial Dynamics”. DS adalah pendekatan yang membantu manajemen puncak dalam memecahkan permasalahan kecil dan dianggap sukar untuk dipecahkan. Kebanyakan orang dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapai pada awalnya terlalu rendah. Hal yang diinginkan adalah sebuah peningkatan dengan sikap umum yang dilakukan dalam lingkungan akademis, yaitu dengan menjelaskan perilakunya setelah itu menemukan struktur dan kebijakan untuk hasil yang lebih baik (Forrester dalam Sterman 2000).
38 DS menurut MIT adalah metodologi untuk mempelajari permasalahan di sekitar kita yang melihat permasalahan secara keseluruhan (holistik). Tidak seperti metodologi lain yang mengkaji permasalahan dengan memilahnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi (restriktif). Konsep utama DS adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain. DS menurut System dynamics society adalah metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem sosial lainnya. Sterman (2000) mendefinisikan, bahwa DS adalah metode untuk meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks. Lebih lanjut, metode ini diilustrasikan seperti sebuah flight simulator (simulasi dalam kokpit pesawat) bagi manajemen untuk memahami dalam belajar dinamika yang kompleks, memahami sumber resistensi (hambatan) dalam kebijakan, dan merancang kebijakan yang lebih efektif. Untuk memahami kekompleksan tersebut, maka DS didasarkan atas teori dinamika non-linier dan kontrol umpan balik yang dikembangkan dalam disiplin ilmu matematika, fisika, dan kerekayasaan. Sushil (1993) membuat keterpaduan antara teori-teori tersebut ke dalam sebuah ilustrasi dibawah ini (Gambar 10). Bangunan metodologi DS terdiri atas tiga latar belakang disiplin ilmu manajerial tradisional, sibernetika, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini saling bersinergi dengan mengesampingkan dari kelemahannya masing-masing dalam memecahkan permasalahan manajerial secara holistik. Manajemen tradisional atas sistem sosial
- Informasi - Pengalaman - Penilaian
Cybernetics
Prinsip pemilihan
Simulasi komputer
Komputasi
Prinsip pemilihan
Model
Perilaku dinamis dan kebijakan perbaikan
Gambar 10 Dasar metodologi Dinamika Sistem (Sushil 1993).
39 Manajemen tradisional adalah dunia nyata dari praktisi manajerial yang mengandalkan pengalaman dan penilaian dari para manajer. Dasar utama dari manajemen tradisional adalah basis data mental dan model mental dengan kekuatan utama pada kekayaan atas informasi kualitatif yang didapat dari pengamatan langsung dan pengalaman. Sibernetika adalah ilmu mengenai komunikasi dan kontrol yang didasari oleh teori umpan balik. Kekayaan informasi yang terkandung dalam basis data mental tidak dapat digunakan secara efektif tanpa adanya prinsip tentang pemilihan yang relevan dan prinsip tentang strukturisasi informasi. Informasi yang dapat difiltrasi dan dihubungkan satu sama lain maka akan membentuk struktur kausal dan umpan balik dalam sistem dengan adanya sibernetika. Simulasi komputer digunakan untuk mempelajari konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku dinamis dari suatu sistem. Perkembangan pesat dalam dunia simulasi komputer membuat simulasi dari konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku dinamis ini dapat dilakukan dengan biaya yang rendah. Simulasi yang akan diterapkan dalam suatu sistem dengan kemampuan untuk memberikan konsekuensi yang akan ditimbulkan atas setiap kebijakan tersebut. Pemodelan (modeling) adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual (Eriyatno 1998). Istilah lainnya disebut tiruan model dunia nyata yang dibuat virtual (Sterman 2000). Karena bentuknya tiruan, model tidak mesti harus sama persis dengan aslinya, tetapi minimal memiliki keserupaan (mirip). Pemodelan merupakan proses iteratif, di mana hasil pada setiap langkah dikembalikan lagi untuk diperbaiki agar didapat hasil yang mendekati model aslinya (dunia nyata) yang cukup ideal untuk dapat dijadikan representasi (Eriyatno 1998; Sterman 2000). Proses pemodelan
(Gambar 11) terdiri dari
langkah-langkah sebagai berikut (Sterman 2000) : 1. Perumusan masalah dan pemilihan batasan-batasannya dari dunia nyata. Tahap ini meliputi kegiatan pemilihan tema yang akan dikaji, penentuan variabel kunci, rencana waktu untuk mempertimbangkan masa depan yang jadi pertimbangan serta seberapa jauh kejadian masa lalu dari akar masalah tersebut dan selanjutnya mendefinisikan masalah dinamisnya.
40 2. Formulasi hipotesa dinamis dengan menetapkan hipotesis berdasar pada teori perilaku terhadap masalahnya dan bangun peta struktur kausal melalui gambaran model mental pemodel dengan bantuan alat-alat seperti causal loop diagrams (CLD), stock flow diagrams (SFD) dan alat lainnya. Model mental adalah asumsi yang sangat dalam melekat, umum atau bahkan suatu gambaran dari bayangan atau citra yang berpengaruh pada bagaimana kita memahami dunia dan bagaimana kita mengambil tindakan. 3. Tahap formulasi model simulasi dilakukan spesifikasi struktur, aturan keputusan (decision rules), estimasi parameter dan uji konsistensi dengan tujuan dan batasan yang telah ditetapkan dilangkah sebelumnya. 4. Pengujian meliputi pengujian membandingkan dari model yang dijadikan referensi, pengujian kehandalan (robustness), dan uji sensitivitas. 5. Evaluasi dan perancangan kebijakan berdasarkan skenario yang telah diujicobakan dari hasil simulasi. Tahap ini kebijakan yang dibuat harus dianalisis dampaknya, kehandalan model pada skenario yang berbeda dengan tingkat ketidakpastian yang berbeda pula serta keterkaitan antar kebijakan agar dapat bersinergi. Analisis model DS dilakukan menggunakan analisis model simulasi. Simulasi sebagai teknik penunjang keputusan dalam pemodelan, misalnya pemecahan masalah bisnis secara ekonomis dan tepat menghadapi perhitungan rumit dan data yang banyak. Simulasi adalah aktifitas di mana pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui penelaahan perilaku model yang selaras, di mana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1998). Perangkat lunak dalam pemodelan DS seperti Vensim, Powersim, Stella dan lainnya sebagai alat bantu yang dapat memudahkan pemodel dalam menerjemahkan bahasa CLD dalam membangun SFD yang dilengkapi dengan persamaan matematik dan nilai awal untuk aktifitas simulasi. Perangkat pemodelan DS juga dilengkapi berbagai kemudahan seperti tampilannya yang mudah dimengerti, sehingga memudahkan bagi pemodel ataupun pemakai yang tidak mengerti secara teknis sekalipun. Powersim yang dipakai dalam penelitian
41 ini merupakan suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model DS dengan kemampuan tinggi dalam melakukan simulasi. Dunia nyata
Keputusan (eksperimen organisasi
Informasi umpan balik
1. Artikulasi masalah (pemilihan batasan)
5. Formulasi kebijakan & evaluasi 4. Pengujian
Strategi, susunan, aturan keputusan
2. Hipotesis dinamik
3. Formulasi
Model mental dunia nyata
Gambar 11 Pemodelan dinamika sistem (Sterman 2000). 2.4 Sejarah Taman Nasional Berkembangnya taman nasional tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangan pemikiran lingkungan hidup dan konservasi. Sejarah penetapan kawasan konservasi (kawasan dilindungi) diawali pada tahun 252 SM, pada saat Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan. Kemudian pada tahun 1084 M, Raja Wiliam I dari Inggris memerintahkan penyiapan The Domesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru, dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang akan digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan nasional bagi pengelolaan dan pembangunan di negaranya (MacKinnon & MacKinnon 1986). Konsep taman nasional atau national park mulai berkembang di negara barat ketika Yellowstone ditetapkan sebagai taman nasional di Amerika Serikat pada tahun 1872. Model yellowstone dikelola dengan pendekatan perlindungan alam yang ketat, sehingga tidak diperkenankan kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsisten maupun untuk pemanfataan sumberdaya alam demi tujuan komersial, meskipun terdapat beberapa kelompok suku asli yang sudah mendiami kawasan itu selama beberapa generasi (Sangaji et al. dalam Damanik et al. 2006).
42 Sejak saat itu, ide taman nasional menyebar ke negara-negara lain, dan dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun sudah ada lebih dari 2.000 taman nasional yang ditetapkan di 136 negara (Wiratno et al. dalam Damanik et al. 2006) Di Indonesia, sejarah penetapan kawasan dilindungi sebenarnya telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, pada saat itu pemerintah telah menetapkan beberapa kawasan dilindungi seperti Cagar Alam (CA) Arca Domas (1913), CA Junghun di Bandung (1919), CA Tangkuban Perahu (1919), dan CA Rawa Danau di Serang (1921) (Dephut 2007). Pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Lima taman nasional pertama dengan luas total 1.430.948 ha ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon, TN Baluran, dan TN Komodo (Wiratno et al. dalam Damanik et al 2006). Selanjutnya pada tahun 1982, saat Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indonesia mendeklarasikan 11 Taman Nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN Kep. Seribu,, TN Bromo-Tengger-Semeru, TN Meru Betiri, TN Tanjung Puting, TN Kutai, TN Bali Barat, TN Lore Lindu, TN Bogani Nani Warta Bone, dan TN Manusela (Wiratno et al. dalam Damanik et al. 2006). 2.5
Konsep Keterpaduan (Integrated Coastal Management/ICM) dan Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai Konsep pengelolaan pesisir dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu
konsep pengelolaan secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu (ICM = Integrated coastal management). Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan, pertanian pantai, pelabuhan dan sebagainya. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dilakukan secara menyeluruh (comprehensive assessment), merupakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap
43 kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (Stakeholders), daya dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada (Dahuri 2001). Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya
dan
kegiatan
pemanfaatan
(pembangunan)
secara
terpadu
(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (Dahuri 2001) dan proses dinamis yang berjalan secara terus menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan (Bengen 2004), serta merupakan suatu upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan masyarakat, ilmu pengetahuan dengan manajemen, kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan pengembangan ekosistem pesisir terpadu (GESAMP 1996). Taman Nasional Kutai memiliki garis pantai sepanjang ± 52 km. Sepanjang garis pantai ini sejauh 1-2 km ke arah daratan ditumbuhi hutan mangrove, yang merupakan ekosistem spesifik pesisir. Walaupun pesisir dan hutan mangrove di wilayah ini masuk dalam kawasan pelestarian alam, namun area ini sarat dengan permasalahan pengelolaan, karena banyaknya penggunaan lain di wilayah ini, antara lain: pada wilayah pesisir ini terdapat 2 kecamatan dengan beberapa desa pantai yang dihuni oleh kelompok masyarakat, adanya perusahaan pertambangan minyak pertamina dalam kawasan TN Kutai, dan adanya akses jalan poros Bontang-Sangatta sejauh 56 km. Berbagai kondisi ini menyebabkan munculnya konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pelestarian alam Taman Nasional Kutai, yang seharusnya dilindungi. Berbagai kepentingan dari para pihak yang terkait dengan sumberdaya alam di kawasan hutan mangrove TN Kutai perlu dikelola secara terpadu. ThiaEng (2006) menyatakan ada tiga prinsip fundamental dalam pengelolaan pesisir terpadu (ICM), yaitu: mananajemen adaptif, keterpaduan dan inter-relasi, serta
44 manajemen berbasis ekosistem. Prinsip ini menjadi dasar dalam praktek ICM dan membedakan ICM dengan sektor lain. Fokus ICM saat ini tidak hanya meliputi perlindungan keanekaragaman dan keutuhan ekologis, serta keberlanjutan mata pencaharian saja, namun juga menyelamatkan kehidupan manusia. Manajemen Adaptif Prinsip pertama dalam ICM adalah manajemen adaptif. Walters dan Holling dalam Thia-Eng (2006) mendeskripsikan manajemen adaptif sebagai upaya belajar dengan mencoba. Pendekatan manajemen adaptif didasarkan pada pemikiran bahwa informasi dan pengetahuan tentang sistem sumberdaya dan bagaimana mengelolanya sangat tidak lengkap dan penuh dengan ketidakpastian. Manajemen adaptif dilakukan dengan tahapan ‘merencanakan, mengimplementasikan, menilai dan mengulanginya lagi’. Keterpaduan dan Inter-relasi Prinsip kedua ICM adalah keterpaduan dan inter-relasi, yang terdiri dari tiga integrasi yaitu: 1) System integration: dalam keterpaduan sistem memasukan pertimbangan dimensi spatial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Keterpaduan ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang dibutuhan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. 2) Functional Integration: Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Maksud rencana zonasi yaitu membagi kawasan pengelolaan laut dan pesisir dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. 3) Policy integration: Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan
45 program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Namun demikian, kebijakan dan strategi penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. Manajemen Berbasis Ekosistem Pendekatan manajemen berbasis ekosistem muncul dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity/CBD). CBD mendefinisikan ekosistem sebagai dinamika kompleks komunitas tanaman, hewan dan mikro-organisme, serta lingkungan non-hidup yang berinteraksi sebagai unit fungsional. Fokus dari pendekatan berbasis ekosistem adalah mempertahankan keutuhan ekosistem yang menyediakan jasa dan sumberdaya yang penting untuk kegiatan dan kesejahteraan manusia (Thia-Eng 2006). IUCN - World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 Tahun 1996 menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif (juga disebut co-management, atau joint, participatory atau multi-stakeholder management) adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggungjawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya (IUCN 1997). Pengelolaan Kolaboratif dalam kawasan konservasi dapat diartikan sebagai kemitraan di antara berbagai pihak yang menyetujui untuk berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab manajemen dalam mengelola daerah atau sumber daya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi (PHKADephut et al. 2002). Pengelolaan Kolaboratif berbeda dengan pengelolaan partisipatori lainnya atau dengan 'pengelolaan berbasis masyarakat' (community-based resources management), karena menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal. Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan perencanaan partisipatori ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok-kelompok kepentingan terkait dan sah (legitimate) dalam mengelola dan melestarikan sumber daya alam.
46 Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan kolaboratif dapat dibayangkan berada 'ditengah-tengah' atau 'jalan kompromistik' antara manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan dibawah kendali penuh masyarakat. Pengelolaan secara ko-manajemen hendaknya dibaca sebagai konsep yang luas yang mencakup berbagai cara dimana organisasi yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan stakeholders menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif. Beberapa prinsip dan asumsi yang perlu diperhatikan dalam strategi pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend dalam PHKA-Dephut et al. (2002) yang mungkin dapat diterapkan untuk pengelolaan TNK adalah: a. Menggunakan pendekatan yang pluralistik dalam mengurus sumber daya; memadukan peranan para pihak kepentingan; tujuan akhirnya pada umumnya adalah konservasi lingkungan, pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan manfaat dan tanggung-jawab. b. Dalam proses pengelolaan kolaboratif membutuhkan beberapa kondisi dasar untuk dikembangkan di antaranya: akses penuh terhadap informasi dan opsi-opsi, kebebasan dan kapasitas untuk mengorganisasi, kebebasan untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepedulian, lingkungan sosial non-diskriminatif, keinginan para mitra untuk bernegosiasi, saling percaya dalam menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih. c. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam. d. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas kepentingan bersama, keyakinan bahwa ada kemungkinan untuk menjalankan suatu bentuk pengelolaan yang memadukan berbagai kepentingan. e. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta terjadi kekeliruan proses. Yang paling penting adalah kerjasama pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi berbagai kebutuhan secara efektif. f. Mengekspresikan masyarakat sipil yang dewasa dan memahami tidak ada solusi yang 'unik dan tidak berat sebelah' dalam mengelola sumber daya
47 alam, tetapi
keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan
pengetahuan
lokal
dan
scientifik
serta
berkemampuan
untuk
mempertemukan kebutuhan konservasi dengan pembangunan. g. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas prinsip mengaitkan antara hakhak pengelolaan dan tanggung jawab. ‘Wewenang dan tanggung jawab terkait secara konseptual. Apabila tidak dikaitkan dan diberikan kepada aktor yang berbeda, maka keduanya akan hancur’. h. Tantangan
dalam
pengelolaan
kolaboratif
adalah
bagaimana
menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi. i. Secara khusus dalam proses pengelolaan kolaboratif bidang pengelolaan daerah dilindungi, persetujuan yang dibangun dalam bentuk kemitraan di antaranya:
fungsi
dan
tanggung-jawab
masing-masing
pemangku
kepentingan, luasan dan batas daerah dilindungi atau sumber daya alam, kisaran fungsi dan penggunaan berkelanjutan yang dapat diselenggarakan, pengakuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat, prosedur untuk mengatasi konflik dan bernegosiasi pengambilan keputusan kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan rencana pengelolaan, prosedur menjalankan setiap keputusan dan aturan spesifik untuk pemantauan, evaluasi dan kaji ulang persetujuan-persetujuan kemitraan dan rencana pengelolaan. j. Menekankan proses negosiasi ketimbang proses litigasi dalam mengatasi konflik yang hanya memenangkan salah satu pihak yang bertikai. 2.6
Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecobased Management/EBM) Paradigma ekosistem menjadi penting sebagai pendekatan utama untuk
mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Upaya pengelolaan tradisional diatur seputar pemanfaatan khusus seperti pertanian atau turisme, yang menghasilkan pengelolaan sektoral untuk masing-masing pemanfaatan. Pada masa berikutnya, hal ini menjadi kenampakan bahwa kebanyakan pendekatan berakibat pada konflik antar pengguna dan kurangnya perlindungan terhadap lingkungan (UNEP 2006). Pergeseran paradigma dari pengelolaan sumberdaya individual
48 menjadi pendekatan sistem direfleksikan sebagai aksi dari banyak negara (Juda; Laffoley et al. dalam UNEP 2006). Pada Tahun 1997, Commission on Sustainable Development dari United Nation (UN/PBB) menemukan bahwa: konsep pengelolaan terpadu pada area perairan, daerah aliran sungai, estuari, pesisir dan laut saat ini secara besarbesaran diterima dalam sistem United Nation dan pada banyak negara sebagai pendekatan berbasis ekosistem untuk pembangunan berkelanjutan (UNEP 2006). Singkatnya, Ecosystem-based Management mengenali bahwa komunitas tanaman, hewan, dan manusia adalah saling berketergantungan dan berinteraksi dengan lingkungan fisiknya untuk membentuk unit ekologis yang disebut ekosistem. Ekosistem adalah lintas batas dalam karakter, khususnya memotong keberadaan kebijakan politik dan batas hukum (UNEP 2006). Ecosystem-based Management didefinisikan sebagai pengelolaan yang dikendalikan oleh tujuan eksplisit yang ditentukan oleh kebijakan, aturan-aturan dan pelaksanaan, dan dibuat dapat diadaptasikan melalui pengawasan yang berbasis penelitian pada pemahaman terbaik terhadap interaksi ekologi dan proses penting untuk keberlanjutan struktur dan fungsi ekosistem (Christensen et al. dalam UNEP 2006). Pendekatan
manajemen
berbasis
ekosistem
(Ecosystem-based
Management/EBM) bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang dihasilkan oleh pemanfaatan sumberdaya. Pendekatan ini juga menempatkan penekanan penting pada peningkatan manajemen, baik temporal maupun spasial (Thia-Eng 2006). Manajemen berbasis ekosistem (Ecosystem-based Management/EBM) adalah pendekatan terpadu yang mempertimbangkan keseluruhan ekosistem, termasuk manusia (McLeod et al. dalam Leslie & McLeod 2007). EBM kelautan berbeda dengan pendekatan saat ini yang selalu terfokus pada spesies atau sektor tunggal, dan termasuk juga mempertimbangkan interaksi antar komponen ekosistem dan dampak kumulatif dari berbagai aktivitas. Pendekatan untuk menerapkan EBM kelautan berbagai macam, namun semua terfokus pada perlindungan struktur, fungsi dan proses kunci dalam ekosistem.
49 Dalam
EBM,
hubungan
antara
populasi
manusia
dan
sistem
ekonomi/sosial tampak sebagai bagian terpadu dari ekosistem. Lebih penting lagi, EBM difokuskan dengan proses perubahan sistem hidup dan keberlanjutan jasa dan pelayanan yang menghasilkan ekosistem yang sehat. EBM selanjutnya didesain dan dilaksanakan sebagai adaptive berbasis proses pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip metode ilmiah untuk proses pengelolaan (UNEP 2006). Ada dua alasan utama mengapa pendekatan berbasis ekosistem lebih baik untuk status quo. Pertama, ilmuwan menemukan bukti bahwa interaksi dalam sistem ekologi pesisir dan laut penting untuk ketahanan dan kesehatan sistem ini. Ketika koneksi ini rusak atau rusak parah, melalui hilangnya atau penurunan spesies, perusakan habitat kunci, atau perubahan rezim gangguan, kemampuan sistem pesisir dan laut akan menurun untuk pulih dari gangguan (recover) dan untuk terus memberikan layanan yang bernilai (Paine et al.; Steneck et al.; Hughes et al. dalam Leslie & McLeod 2007). Kedua, rezim pengelolaan arus laut di AS dan di tempat lain tidak cukup mampu mempertahankan sumber daya pesisir dan laut (POC; USCOP dalam Leslie & McLeod 2007). Leslie & McLeod (2007) menjelaskan elemen kunci dari pengelolaan berbasis ekosistem laut meliputi: 1. Koneksi: Pada intinya, EBM adalah tentang mengakui koneksi, termasuk hubungan antara ekosistem laut dan masyarakat manusia, ekonomi dan sistem kelembagaan, serta mereka di antara berbagai spesies di dalam ekosistem laut dan di antara tempat-tempat yang dihubungkan oleh gerakan spesies, bahan, dan arus laut. 2. Dampak Kumulatif: EBM berfokus pada bagaimana tindakan individu mempengaruhi jasa ekosistem yang mengalir dari sistem sosial-ekologi digabungkan secara terpadu, daripada mempertimbangkan dampak secara sedikit demi sedikit. 3. Beberapa tujuan: EBM berfokus pada beragam manfaat yang disediakan oleh sistem laut, bukan pada jasa ekosistem tunggal. Manfaat tersebut atau jasa termasuk perikanan komersial dan rekreasi hidup, konservasi keanekaragaman
50 hayati, energi terbarukan dari angin atau gelombang, perlindungan pantai, menyelam, dan rekreasi dengan kayak laut. 4. Merangkul perubahan: Ditambah sistem sosial-ekologi yang terus berubah dengan cara yang tidak bisa sepenuhnya diperkirakan atau dikendalikan. Memahami ketahanan sistem ini, yaitu, sejauh mana mereka dapat mempertahankan struktur, fungsi, dan identitas dalam menghadapi gangguan, dapat memungkinkan prediksi yang lebih baik tentang bagaimana mereka akan merespon tidak hanya baik gangguan alami dan antropogenik, termasuk perubahan dalam lingkungan manajemen. 5. Pembelajaran dan adaptasi: Karena kurangnya kontrol dan prediktabilitas sistem
sosial-ekologi
digabungkan,
pendekatan
pengelolaan
adaptif
dianjurkan. Terutama, tidak ada jalan yang benar tunggal untuk manajemen berbasis ekosistem - di darat atau di laut. Pendekatan ini akan dipraktekkan di berbagai tempat di berbagai skala geografis, masing-masing dengan konteks sejarah sendiri yang unik, ekologi, dan sosial. Olsen dalam UNEP (2006) menyatakan ada empat keluaran yang diharapkan dalam pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), yaitu: 1. Kondisi yang memungkinkan (enabling), meliputi: Komitmen pemerintah dalam
kewenangan
dan
pembiayaan;
kapasitas
kelembagaan
dalam
implementasi; tujuan yang tidak tumpang tindih; dan adanya kesepakatan pada tingkat lokal dan nasional. 2. Perubahan perilaku, meliputi: perubahan perilaku pada kelembagaan dan kelompok stakeholder; perubahan perilaku sehubungan dengan efektivitas pemanfaatan sumberdaya; perubahan dalam strategi investasi. 3. Panen, meliputi: keinginan sosial dan kualitas lingkungan dipertahankan, dan diperbaiki. 4. Pembangunan ekosistem pesisir berkelanjutan, meliputi: keinginan dan keseimbangan berkelanjutan.
dinamik antara
sosial dan
kondisi
lingkungan
yang
51 2.7
Landasan Peraturan Perundangan Pemanfaatan Taman Nasional
2.7.1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya UU ini boleh dikatakan merupakan peraturan pokok bagi pengelolaan kawasan pelestarian alam, seperti TN Kutai. Bentuk-bentuk kawasan pelestarian alam antara lain adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam (Pasal 29). Fungsi dari kawasan pelestarian alam antara lain untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 30). Pada bagian penjelasan dikatakan bahwa usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang. Berdasarkan pasal ini, tampak bahwa pemanfaatan lestari pada dasarnya diijinkan dilakukan di kawasan taman nasional. Bentuk kegiatan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati telah dijelaskan pada pasal sebelumnya, yaitu Pasal 26 yang menyatakan bahwa pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; dan b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Lebih lanjut pada Pasal 31 dikatakan: (1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan (Pasal 32), oleh karena itu penggunaan kawasan untuk kegiatan tersebut harus sesuai dengan fungsi masing-masing zona.
52 Adapun jenis kegiatan yang dilarang dilakukan dinyatakan dalam Pasal 33 sebagai berikut: (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
2.7.2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dalam UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan diatur dalam Pasal 23, yang berbunyi “Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”. Selanjutnya dalam Pasal 24 dijelaskan bahwa “Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional”. Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa di kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kutai, dapat dilakukan pemanfaatan di luar zona inti dan zona rimba. Bila dikaitkan dengan UU No 5/1990, maka ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan pemanfaatan di zona pemanfaatan taman nasional adalah: 1) Adanya usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang; 2) Bentuk kegiatan yang diijinkan adalah: a) pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; dan b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar; 3) Kegiatan yang menunjang budidaya harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan;
53 4) Penggunaan kawasan untuk kegiatan tersebut harus sesuai dengan fungsi masing-masing zona; 5) Dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional seperti mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Selain itu, Pasal 19 dalam UU 41/1999 ini juga menyediakan skema perubahan fungsi sebagai berikut: (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. (2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.7.3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ekosistem mangrove, selama ini hanya dipandang dari sisi vegetasinya sebagai hutan mangrove, sehingga dalam pengelolaannya juga lebih banyak mengacu pada peraturan kehutanan. Namun, pada kenyataannya ekosistem mangrove berada pada wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan merupakan habitat bagi biota perikanan. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem mangrove juga semestinya mengacu pada UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Zonasi kawasan konservasi dalam UU 27/2007 diatur dalam Pasal 29, yang menyatakan: Kawasan konservasi dibagi atas tiga zona, yaitu: a. Zona inti; b. Zona pemanfaatan terbatas; dan c. Zona lain sesuai dengan peruntukan Kawasan.
54 Penjelasan atas Pasal 29 ini adalah: Huruf a Zona inti merupakan bagian dari Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan populasi Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian. Huruf b Zona pemanfaatan terbatas merupakan bagian dari zona konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional. Huruf c Cukup jelas 2.7.4 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan PP No. 6 Tahun 2007 merupakan aturan yang dibuat sebagai pelaksanaan Pasal 22 UU No 41 Tahun 1999. PP ini disusun dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan beberapa langkah strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan pengelolaan hutan lestari. Pasal-pasal dalam PP No. 6 Tahun 2007 yang berisi aturan pemanfaatan hutan konservasi antara lain Pasal 17, 18, 19 dan Pasal 22, sebagai berikut: Pasal 17 (1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. (2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kawasan;
55 b. pemanfaatan jasa lingkungan; c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. (3) Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. Pasal 18 Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu kawasan; a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi Pasal 19 Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang meliputi : a. IUPK; b. IUPJL; c. IUPHHK; d. IUPHHBK; e. IPHHK ; dan f. IPHHBK. Pasal 22 Pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.7.5 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Peraturan lain yang terkait dengan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya pesisir adalah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang
56 Konservasi Sumberdaya Ikan. PP ini pada dasarnya mengijinkan adanya pemanfaatan pada konservasi sumberdaya ikan. Beberapa pasal dalam PP 60 Tahun 2007 yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan konservasi untuk budidaya, yaitu: 1) Pasal 2 poin (2), Konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan prinsip: a. pendekatan kehati-hatian; b. pertimbangan bukti ilmiah; c. pertimbangan kearifan lokal; d. pengelolaan berbasis masyarakat; e. keterpaduan pengembangan wilayah pesisir; f. pencegahan tangkap lebih; g.pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan, dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan; h. pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat; i. pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan; j. perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis; k. perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan; dan l. pengelolaan adaptif. 2) Pasal 6, konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan: a. perlindungan habitat dan populasi ikan; b. rehabilitasi habitat dan populasi ikan; c. penelitian dan pengembangan; d. pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan; e. pengembangan sosial ekonomi masyarakat; f. pengawasan dan pengendalian; dan/atau g. monitoring dan evaluasi. 3) Pasal 30 poin (1), pemanfaatan konservasi sumber daya ikan meliputi: a. pemanfaatan kawasan konservasi perairan; dan b. pemanfaatan jenis ikan dan genetik ikan. Pasal 30 poin (2), pemanfaatan kawasan konservasi perairan dilakukan melalui kegiatan: a.penangkapan ikan;
57 b.pembudidayaan ikan; c. pariwisata alam perairan; atau d.penelitian dan pendidikan. Pasal
32
poin
(1),
Pemanfaatan
kawasan
konservasi
perairan
untuk
pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b dilakukan di zona perikanan berkelanjutan. 2.7.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pola pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dalam Pasal 31, sebagai berikut: (1) Pola pengelolaan KKP3K dan KKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b, dilakukan melalui sistem zonasi. (2) Sistem zonasi KKP3K dan KKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri: a. zona inti; b. zona pemanfaatan terbatas; dan/atau c. zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan. (3) Zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib dimiliki setiap jenis KKP3K dan KKM. (4) Setiap jenis KKP3K dan KKM dapat memiliki satu atau lebih zonasi sesuai dengan luasan dan karakter bio-fisik serta sosial ekonomi dan budaya KKP3K dan KKM. Selanjutnya dalam Pasal 32 dijelaskan fungsi dari masing-masing zona tersebut, yaitu: (1) Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a, antara lain diperuntukkan: a. perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut; b. perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan; c. perlindungan situs budaya/adat tradisional; d. penelitian; dan/atau e. pendidikan.
58 (2) Zona Pemanfaatan terbatas antara lain diperuntukkan: a. perlindungan habitat dan populasi ikan; b. pariwisata dan rekreasi; c. penelitian dan pengembangan; dan/atau d. pendidikan. (3) Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti dan zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi. Berdasarkan pembagian dan fungsi masing-masing zona, dapat diketahui bahwa di daerah konservasi pesisir dan laut dapat digunakan untuk pemanfaatan terbatas yang merupakan perikanan berkelanjutan. 2.7.7 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Dalam PP ini dikatakan, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. Pasal 51 mengatakan kawasan lindung nasional terdiri atas: a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; b. kawasan perlindungan setempat; c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; d. kawasan rawan bencana alam; e. kawasan lindung geologi; dan f. kawasan lindung lainnya. Selanjutnya, Pasal 51c dijelaskan dalam Pasal 52 poin (3), yaitu: Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, terdiri atas: a. kawasan suaka alam; b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya; c. suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut; d. cagar alam dan cagar alam laut; e. kawasan pantai berhutan bakau; f. taman nasional dan taman nasional laut; g. taman hutan raya; h. taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan
59 i.
kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan lokasi-lokasi yang termasuk dalam kawasan lindung diatur dalam Lampiran VIII PP No. 26/2008 tentang Kawasan Lindung Nasional, dimana menyebutkan Taman Nasional Kutai termasuk dalam kawasan taman nasional dengan status pengembangan tahap I. 2.7.8 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Menurut permen ini yang dimaksud dengan Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yaitu dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajiankajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dalam Pasal 2 (dua) disebutkan bahwa Pedoman zonasi taman nasional dimaksudkan sebagai acuan bagi pengelola kawasan taman nasional dalam melaksanakan penataan zona di kawasan taman nasional. Tujuan dari Pedoman zonasi taman nasional adalah untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya. Menurut Pasal 3 (tiga) zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari: 1. Zona inti; 2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; 3. Zona pemanfaatan; 4. Zona lain, antara lain: 1. Zona tradisional; 2. Zona rehabilitasi; 3. Zona religi, budaya dan sejarah; 4. Zona khusus.
60 Penataan zona taman nasional didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Adanya berbagai zona yang ditetapkan dalam permen ini, zona tradisional atau pun zona khusus merupakan bagian yang memungkinkan menjadi solusi bagi permasalahan penduduk dalam kawasan TN Kutai. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. 2.7.9 Keputusan Menteri Kehutanan Penunjukkan Taman Nasional Kutai
No.325/Kpts-II/1995
tentang
Pengelolaan TN Kutai membutuhkan kepastian kawasan sehingga memiliki kepastian hukum yang pada akhirnya memiliki konsekuensi hukum. Dalam hal pengukuhan kawasan, TN Kutai baru sampai pada tahap penunjukkan kawasan (SK Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995) dan saat ini TN Kutai sedang dalam proses penyelesaian berita acara tata batas sebagai bahan untuk dilanjutkan ke proses penetapan kawasan dalam rangka penegasan status hukum kawasan taman nasional. Tabel 2 menyajikan informasi luas TN Kutai yang telah ditata batas. Tabel 2 Hasil Tata Batas di TN Kutai. Fungsi No. Kawasan
Luas (ha)
Panjang Batas (m)
1
Konservasi 198 629
274 021.17
2
Enclave
3
Konservasi
Sudah ditata batas Panjang Tahun (m) 84 358
1979
29 880
1999
159 783.17 2002
Rekonstrukasi Batas Panjang Tahun (m) 11 000 1982 9 000 1984 10 000 1986 10 000 1989 53 000 1992 31 358 1995 68 000 2004
Ket.
BPKH Badan SIG Kutai Timur BPKH
Sumber : Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV dalam Pemkab Kutim (2005)
3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai (TNK) seluas 5 277.79 ha. Waktu pengambilan data antara bulan Oktober 2008Juni 2010.
Gambar 12 Peta lokasi penelitian. Metode penentuan titik stasiun untuk survey bioekologi dilakukan secara purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil antara lain berdasarkan karakteristik ekologis habitat mangrove dan kependudukan. Habitat mangrove TNK dibagi menjadi 3 stasiun utama, yaitu: Muara Sungai Sangatta (Sta. A), Teluk Perancis (Sta. B), dan Muara Sungai Sangkimah (Sta. C). Pada masing-masing stasiun tersebut akan dibuat substasiun-substasiun mulai dari perairan pantai menuju mangrove ke arah daratan.
62
Perbedaan karakteristik pada masing-masing stasiun tersebut adalah: ‒ Stasiun A: Sungai Sangatta merupakan muara sungai besar, telah dibuka tambak dan ada perkampungan kecil, mangrove didominasi jenis Avicenia. ‒ Stasiun B: Teluk Perancis merupakan teluk yang cukup terlindung, di teluk ini bermuara beberapa alur sungai kecil, belum ada pemukiman, mangrove didominasi jenis Rhizophora apiculata. ‒ Stasiun C: Sungai Sangkimah terletak di dekat areal perusahaan minyak Pertamina, ada pemukiman penduduk pada jarak yang tidak terlalu jauh, terdapat teluk yang lebih kecil dibanding Teluk Perancis dimana bermuara S. Sangkimah,
mangrove
didominasi
Rhizophora
apiculata,
Bruguiera
parviflora, dan Sonneratia alba. Lokasi masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 12.
3.2 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif guna mendapatkan fakta dari kondisi yang ada melalui survei dan analisis laboratorium. Tujuannya, untuk mendapatkan data kondisi bioekologi S. serrata di kawasan mangrove TN Kutai, status pemanfaatan sumberdaya S. serrata, dan penilaian dampak pemanfaatan sumberdaya S. serrata terhadap kelestarian ekosistem mangrove dan dampak sosial ekonomi pada masyarakat lokal, terutama nelayan dan petambak di kawasan mangrove TN Kutai. Gay dalam Sevilla et al. (1993) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang meyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi 6 tahapan, yaitu: 1. Analisis sosial ekonomi masyarakat dan kondisi umum TN Kutai. 2. Analisis status bioekologi kepiting bakau dan daya dukung lingkungan. 3. Analisis pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau. 4. Identifikasi sistem pengelolaan kepiting bakau di TNK. 5. Pemodelan dan simulasi skenario pengelolaan sumberdaya kepiting bakau.
63
6. Penyusunan rekomendasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di hutan mangrove TNK. Berdasarkan masalah yang diteliti tersebut, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode survei, yaitu mengadakan penyelidikan untuk mendapatkan fakta-fakta dari gejala yang ada dihubungkan dengan kondisi faktual dari daerah dimana lokasi penelitian itu berada (Sevilla et al. 1993). 3.3
Analisis sosial ekonomi masyarakat dan kondisi umum TN Kutai 3.3.1
Jenis dan sumber data sosial ekonomi masyarakat
Jenis data yang diperlukan yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Kutai berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan, meliputi: aspek sosial ekonomi (mata pencaharian, analisis usaha kegiatan penangkapan, analisis usaha budidaya sylvofishery kepiting bakau, struktur sosial, dan data persepsi masyarakat), dan aspek kebijakan (pendapat pakar berkaitan kebijakan pengelolaan kawasan hutan mangrove di TNK). Data sekunder yang diperlukan meliputi: aspek kependudukan (jumlah penduduk, pendidikan, agama, dan kesehatan), dan aspek hukum/kelembagaan (rencana tata ruang, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, dan kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi).
3.3.2
Metode pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat
A. Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer dilaksanakan dengan cara memberikan kuesioner kepada para responden pada tiga desa yang dipilih menggunakan metode purposive sampling, sesuai dengan lokasi untuk pengumpulan data biofisik. Ketiga desa tersebut adalah Desa Sangkima, Desa Sangkima Lama, dan Desa Singa Geweh, yang merupakan desa pantai yang berlokasi di dalam kawasan hutan mangrove Taman Nasional Kutai. Pemilihan jenis responden sebagai unit penelitian untuk data sosial ekonomi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan jenis mata
64
pencaharian responden, dengan pertimbangan bahwa responden terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan mangrove TN Kutai. Untuk kepentingan penelitian ini, maka jenis responden yang digunakan adalah; (1) nelayan kepiting bakau, (2) pedagang pengumpul kepiting bakau, (3) petambak, (4) nelayan lain, dan (5) pengambil kebijakan. Selain itu juga dilakukan wawancara mendalam (deep interview) dengan para pengambil kebijakan yang terkait dengan pengelolaan TN Kutai, dengan substansi yang menyangkut (a) Permasalahan kerusakan habitat mangrove yang meluas akibat pemanfaatan yang merusak, (b) bentuk-bentuk pemanfaatan ramah lingkungan yang dapat dilakukan dalam habitat mangrove, (c) kebijakan pemerintah yang perlu dilakukan agar habitat mangrove di TN Kutai dapat dimanfaatkan dengan menjaga kelestarian lingkungan. Responden untuk deep interview dipilih secara sengaja (purposive sampling) dari kelompok berikut: (i)
Pemerintah Daerah (Kepala Desa, Bappeda, Dinas Kelautan Perikanan),
(ii)
Pengelola Taman Nasional Kutai (Kepala Balai TNK),
(iii) Pengelola perusahaan yang ada di dalam wilayah TNK (Pertamina). B. Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder antara lain berupa literatur penunjang yang ditelusuri dari hasil penelitian sebelumnya, data monografi Kecamatan Sangatta Selatan, data statistik Badan Pusat Statistik, data dasar Balai Taman Nasional Kutai, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, dan data dari instansi lain yang terkait dengan penelitian ini. 3.3.3 A.
Analisis data sosial ekonomi masyarakat Penentuan Jumlah Unit Responden Jumlah sampel untuk responden ditentukan secara random proporsional
berlapis (Stratified Proporsional Random Sampling). Stratified Proporsional Random Sampling merupakan salah satu satu cara pengambilan sampel berdasarkan strata. Strata ditentukan dari jenis matapencaharian penduduk yang terkait dengan ekosistem mangrove.
65
Jumlah unit sampel untuk responden petambak dan nelayan ikan ditentukan berdasarkan persamaan estimasi proporsi sebagai berikut (Cochran dalam Nazir 2003): ............................................................................
(1)
Keterangan : n = jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D = B2/4 (B adalah bound of error = 0,10 ), dan p (estimator dari proporsi populasi = 0,1). Selanjutnya, pemilihan responden yang diambil sebagai obyek penelitian ditentukan secara random sampling, untuk mengurangi subyektivitas. Responden nelayan kepiting bakau, pedagang pengumpul kepiting bakau, dan pengambil kebijakan, pemilihan responden sebagai obyek penelitian dilakukan secara sensus, karena jumlah unit sampelnya kurang dari 25 orang. Prosedur penentuan jumlah dan pemilihan responden dapat dilihat pada diagram Gambar 13. Data Sosial Ekonomi Jenis Responden Nelayan kepiting bakau
Pedagang pengumpul kepiting bakau
N1=15
N2=1
Pengambil kebijakan N3=7
Sensus
n1 = 15
n2 = 1
petambak
Nelayan lain
N4= 32
N5= 160
Ukuran Sampel
n3 = 7
n4 = 17
Purposive Sampling
Jumlah responden (sampel)
n5=30
Sensus
Stratified Proporsional Random Sampling
23
47
Gambar 13 Bagan alir penentuan jumlah dan jenis responden.
Pemilihan responden
66
B.
Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Scylla serrata Untuk mengetahui mata rantai sistem pemanfaatan sumberdaya S. serrata
di kawasan mangrove TN Kutai dilakukan penelusuran dengan melakukan wawancara pada pengguna S. serrata. Responden yang digunakan dalam wawancara ini adalah responden nelayan yang sama dengan yang digunakan untuk kuisioner sosial ekonomi. Sebagai data pendukung dilakukan penelusuran pada instansi-instansi yang terkait dengan sistem pemanfaatan S. serrata, antara lain Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur dan Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan. i. Pengumpulan Data Budidaya Pembesaran S. serrata Budidaya pembesaran kepiting bakau yang akan dianalisis adalah budidaya
yang
menggunakan
metode
sylvofishery,
yaitu
dengan
cara
membesarkan kepiting bakau dalam karamba tancap dalam kawasan hutan mangrove. Lokasi untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa mangrove yang berada pada kisaran pasang surut air laut, sehingga penggantian air dalam kurungan dapat dilakukan setiap hari dengan mengikuti mekanisme pasang surut air laut . Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m (200 m2) dan tinggi jaring adalah 2.5 meter untuk mencegah pemangsa (predator) dan untuk mencegah kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25 inchi. Jaring didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter. Tinggi tonggak 3 meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk penggunaan waring sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan papan sedalam ± 0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang dalam lumpur. Untuk mencegah masuknya hama/predator, pada bagian luar dari jaring pagar dibuat pagar keliling dari bahan bambu yang dibelah. Tinggi pagar bambu minimal sepanjang ukuran biawak terbesar, yaitu ± 1 meter. Di dalam kurungan tancap, digali saluran keliling dengan ukuran lebar antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m. Suatu saluran kecil lebar 0.3 m dan dalam 0.3 m dibangun menyeberang dalam kurungan tancap itu. Tanah galian dari saluran
67
keliling ditimbunkan di kaki pagar untuk membangun suatu jembatan. Saluran keliling dihubungkan kepada inlet/outlet yang mengalir keluar kurungan tancap. Sketsa pelaksanaan budidaya pembesaran kepiting bakau tersebut disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Sketsa sylvofishery pembesaran kepiting bakau. Kepiting yang digunakan untuk stok benih pada budidaya ini dikumpulkan dari penangkapan alam. Kepiting yang digunakan adalah kepiting yang berukuran lebar karapas ± 60-80 mm. Berdasarkan hasil penelitian Triño (2002) tingkat padat penebaran 1.5 ekor/m2 memberikan hasil tingkat survival yang paling tinggi dan pertambahan berat yang tidak berbeda nyata dibandingkan kepadatan 0.5 ekor/m2, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan padat penebaran sebanyak 1.5 ekor/m2, atau 300 ekor/kurungan. Analisis budidaya dilakukan dengan menghitung pertumbuhan kepiting bakau, dan tingkat kelulushidupan (survival rate). ii.
Pengumpulan Data Penangkapan S. serrata Data yang dikumpulkan dari nelayan berupa hasil tangkapan harian,
ukuran, jenis kelamin, lokasi tangkapan, jenis alat tangkap, lama upaya menangkap, dan harga jual kepiting bakau.
68
Area penangkapan ditentukan pada 3 zona, sesuai dengan area operasional 3 jenis alat tangkap kepiting bakau yang digunakan, yaitu zona tengah hutan mangrove (jenis alat pengait), zona depan hutan mangrove/pinggir pantai (jenis alat rakkang), dan zona perairan pantai (jenis alat rengge). Sebaran alat tangkap kepiting bakau pada area hutan mangrove disajikan pada Gambar 15. 117°33'
117°30'
117°36'
117°39'
0°27'
2
0
117°42'
2 Kilometers
0°27'
c Ú Ê
Ú Ê Ú Ê
0°24'
Ú ÊA_Muara Sangatta Ú ÊÚ Ê Ú Ê Ú Ê
c
Ú Ê B_Teluk Perancis
LEGENDA: Ú Ê Ú Ê Ú Ê
N
0°24'
Ú Ê
pengait rakkang rengge/gillnet mangrove nipah Area lain TNK tambak vegetasi pantai Stasiun utama
c Batas TNK
SELATMAKASSAR 0°21'
0°21'
cC_Muara Sangkima
sumber peta: 1. Peta Dasar TNK 2. Survei Lapangan
SARAWAK
Ú Ê
Ú Ê 0°18'
Ú Ê
117°30'
KALIMANTANTIMUR 0°18'
Ú Ê Ú Ê 117°33'
117°36'
117°39'
117°42'
disusun oleh: Nirmalasari Idha Wijaya Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Gambar 15 Sebaran lokasi alat tangkap kepiting di area hutan mangrove TN Kutai
C.
Perkiraan Pendapatan dari Pemanfaatan Scylla serrata
i. Budidaya sylvofishery Scylla serrata Produksi kepiting bakau merupakan stok yang menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Produksi kepiting S. serrata diperoleh dari produksi budidaya sylvofishery dan produksi hasil tangkapan. Bila produksi ini dikalikan harga, maka akan diperoleh sebagai keuntungan (π). Keuntungan dihitung sebagai Total Revenue (TR) dikurangi Total Cost (TC). Sehingga diperoleh formula berikut: ................................................................................. (2) ................................................................................ (3)
69
π TR TC Pγ
= keuntungan Y = total produksi kepiting (kg) = total revenue (penerimaan total) Px = harga per satuan input = total cost (biaya total) (Rp/unit) = harga per satuan produk kepiting (Rp/kg) Xi = jumlah input yang digunakan
ii. Penangkapan Scylla serrata Analisis pendapatan dari penangkapan S. Serrata dilakukan untuk mengetahui keuntungan per bulan yang diperoleh nelayan S. Serrata. Keuntungan ini didapat berdasarkan nilai pasar dari suatu komoditi atau jumlah hasil produksi. Prakiraan keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung langsung tetapi diperkirakan melalui perhitungan pendapatan per unit effort (RPUE), dengan persamaan yang dimodifikasi dari Bene & Tewfik (2000) berikut: ...................................................................................... (4) RPUE j = pendapatan per unit effort pada bulan ke- j (asumsi untuk mencerminkan pendapatan yang diperoleh pengumpul pada setiap bulan), CPUE j = hasil tangkap per unit usaha pada bulan ke- j (asumsi untuk mencerminkan ketersediaan S. serrata pada setiap bulan), dan P = harga S. serrata yang berlaku. Nilai CPUE j didapat dengan memanfaatkan persamaan: ..................................................................................... (5) C j = hasil tangkap pada hari ke- j dan E j = jumlah upaya pada hari ke- j. iii. Analisis Kelayakan Usaha Analisis kelayakan usaha mencakup pada perhitungan penentuan biaya investasi, biaya operasional dan penerimaan. Analisis ini menggunakan kriteria Revenue Cost Ratio (R/C), Net Benefit (π), Net Present Value (NPV), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). a).
Revenue Cost Ratio (R/C) Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang
dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama periode waktu tertentu (satu musim tanam). Secara matematis R/C dituliskan: R/C = TR/TC ............................................................................... (6) Dimana: TR = total penerimaan (Total Revenue) TC = total pengeluaran (Total Cost)
70
Kriteria Usaha:
R/C > 1, usaha menguntungkan R/C = 1, usaha impas R/C < 1, usaha merugikan
b).
Net Present Value (NPV) Net Present Value (nilai saat ini) adalah nilai kini dari keuntungan bersih
yang akan diperoleh di masa yang akan datang. NPV merupakan selisih antara present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Secara matematis NPV dapat dituliskan: n ( B − Ct ) NPV = ∑ t ............................................................................ (7) t t = 0 (1 + r ) Bt Ct r n t
= Manfaat pada tahun ke-t = Biaya pada tahun ke-t = Tingkat bunga diskonto (discount rate) = umur ekonomis = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n
Kriteria Usaha:
NPV > 1, usaha layak untuk dilaksanakan NPV = 1, pengembalian sebesar opportunity cost modal NPV < 1, usaha tidak layak dilakukan
c).
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C merupakan perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu
usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai net B/C digunakan persamaan berikut: n
NetB / C =
∑ t =0 n
∑
( Bt − C t ) (1 + i ) t (C t − Bt )
untuk ( Bt − C t ) > 0
......................................... (8)
untuk ( Bt − C t ) < 0 (1 + i ) t = Manfaat pada tahun ke-t = Biaya pada tahun ke-t = Tingkat bunga diskonto (discount rate) = umur ekonomis = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n t =1
Bt Ct r n t
Kriteria Usaha: Net B/C > 1, usaha layak untuk dilaksanakan Net B/C = 1, usaha perlu ditinjau kembali Net B/C < 1, usaha tidak layak dilakukan
71
3.4
Analisis Status Ekologi dan Daya Dukung Lingkungan Aspek ekologi dilakukan dengan melakukan analisis vegetasi, analisis
makrozoobenthos, analisis serasah mangrove, dan analisis fisik kimia lingkungan. Untuk fisik-kimia dilakukan analisis kondisi fisik-kimia substrat sedimen dan perairan hutan mangrove, meliputi: data suhu air, salinitas air, oksigen terlarut (DO), Biological Oxygen Demand (BOD), pH air dan pH substrat, tekstur substrat, dan pasang surut air laut. 3.4.1
Pengumpulan dan Analisis Data Vegetasi Mangrove di TNK
A. Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Pengumpulan data vegetasi hutan mangrove terbagi atas jalur-jalur di sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian dan kondisi di lapangan (purposive sampling), yang dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di TNK. Tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan tegakan mangrove, jenis dan keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat di TNK. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan dua pola yaitu: pengambilan data untuk pancang/anakan, dan pohon dewasa. Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masing-masing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon. Data komunitas mangrove dikumpulkan pada tiap stasiun dengan menggunakan metode line plots transect (English et al. 1997). Prosedur yang dilakukan adalah: •
Ditarik garis tegak lurus garis pantai, mulai dari batas garis pantai ke arah belakang hutan mangrove,
•
Di sepanjang garis transek dibuat petak pengamatan berukuran 10 x 10 m untuk kategori pohon (diameter >10 cm), 5 x 5 m untuk kategori anakan (diameter 2-10 cm). Metode transek kuadrat (garis berpetak) dilakukan dengan cara melompati
satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama, seperti pada Gambar 16.
72
B
A
10 m Arah rintis
A
B Gambar 16 Skema penempatan petak contoh. Keterangan: A: Petak pengamatan pacang (5 x 5 m) B: Petak pengamatan pohon (10 x 10 m) Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pacang dan semai serta jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek dilakukan pengukuran parameter-parameter lingkungan, yaitu suhu, salinitas, dan pH. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat (lumpur, lumpur berpasir, lempung, pasir, liat, dsb).
B. Analisis Data Vegetasi Mangrove Karakteristik habitat mangrove akan dianalisis dengan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan software Ermapper 6.4. Zonasi vegetasi mangrove akan dibuat berdasarkan analisis citra di kawasan mangrove TNK. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah Terra-ASTER tahun 2005. Hasil analisis citra akan digunakan sebagai dasar penentuan stasiun pengamatan untuk observasi lapangan. Pada observasi lapangan akan dilakukan pengamatan dan pengukuran pada vegetasi mangrove dan kualitas perairan di sekitarnya. Analisis dilakukan untuk mengetahui kerapatan vegetasi, jenis dominan, dan INP dari tiap jenis vegetasi. Kerapatan = Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh. KR =
Kerapatan satu jenis x 100% Kerapatan semua jenis
................................................ (9)
73
3.4.2
Pengumpulan dan Analisis Data Produksi Serasah Mangrove
A. Pengumpulan Data Produksi Serasah Mangrove Pengumpulan serasah mangrove dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: •
Dua buah jala penampung serasah ditempatkan pada petak pengamatan pada tiap stasiun.
•
Serasah kemudian dikering-anginkan dan selanjutnya dikeringkan pada oven bersuhu 80ºC dan ditimbang bobotnya.
•
Penampungan dilakukan selama 15 hari setiap 6 bulan untuk mewakili musim.
B. Analisis Data Produksi Serasah Mangrove Untuk menganalisa rata-rata produksi serasah pada setiap stasiun digunakan rumus (Sasekumar & Loi 1983): TL = L * (A/a) .................................................................................... (10) TL L A a
= bobot total serasah (kg) = rata-rata bobot serasah tiap perangkap (kg) = luas areal penelitian (m2) = ukuran perangkap serasah (m2)
3.4.3
Pengumpulan dan Analisis Data Makrozoobenthos
A. Pengumpulan Data Makrozoobenthos Pengumpulan makrozoobenthos dilakukan dengan prosedur sampling sebagai berikut: •
Dibuat petak pengamatan berukuran 1 x 1 m
•
Pada
tiap
petak
pengamatan
dilakukan
pengumpulan
organisme
makrozoobenthos, baik yang termasuk epifauna maupun fauna pohon. •
Organisme yang diperoleh dari hasil pengumpulan diklasifikasi dan dihitung jumlahnya, selanjutnya sampel dikoleksi.
•
Sampel koleksi diawetkan dengan larutan formalin 10% dan selanjutnya diidentifikasi dengan berpedoman pada buku identifikasi (Kozloff 1987; Lovett 1981; Suwignyo et al. 2005; Sowerbys 1996) .
74
B. Analisis Data Makrozoobenthos Untuk menganalisa kelimpahan jenis organisme makrozoobenthos digunakan rumus (Brower et al. 1990):
Ni =
∑n
i
A Ni Σ ni A
3.4.4
............................................................................................. (11) = kelimpahan individu atau jenis ke-i (ind/ha) = jumlah individu atau jenis ke-i (ind) = luas daerah pengambilan contoh (ha)
Pengumpulan dan Analisis Data Kualitas Perairan
A. Pengumpulan Data Kualitas Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia lingkungan dilakukan langsung di lapangan pada tiap stasiun pengamatan secara acak dengan pengulangan pada tiap periode musim yang berbeda (kemarau dan penghujan). Parameter yang akan diamati adalah: suhu air, salinitas air dan , pH air dan pH substrat, tekstur substrat, DO, dan BOD. B. Analisis Data Kualitas Perairan Habitat Mangrove Kualitas perairan habitat mangrove dianalisis di Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan Universitas Mulawarman Samarinda. Hasil analisis diolah dengan menggunakan software excel 2007 untuk melihat statistik deskriptifnya. 3.4.5
Analisis Hubungan Sebaran Spasial S. serrata dengan Karakteristik Vegetasi Mangrove Analisa karakteristik habitat kepiting bakau berdasarkan variasi parameter
biofisik dan kimia lingkungan pada tiap stasiun, dianalisa dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Komponen Analysis/PCA) (Bengen 2000). Analisis Koresponden ini bertujuan untuk mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter atau variabel pada variabel matrik data kontingensi serta mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antar individu berdasarkan konfigurasi pada tabel atau matrik data disjongtif lengkap (Bengen 2000).
75
3.4.6
Penilaian Daya Dukung Lingkungan Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan
pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI adalah sebuah angka indeks yang mencerminkan kapasitas habitat yang diberikan untuk mendukung spesies yang dipilih. HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies. Variabel habitat, yang dapat dianggap sebagai stressor, diberi bobot kesesuaian dengan skor 1 untuk habitat yang optimal dan 0 untuk habitat yang tidak cocok. HSI menggabungkan nilai ini menjadi satu yang memprediksi indeks kemampuan dari habitat untuk mendukung spesies. Jadi pada dasarnya, HSI adalah untuk mengukur daya atau ukuran populasi yang dapat didukung oleh sumber daya yang tersedia di habitat tersebut. Pada penelitian ini, HSI diterapkan untuk siklus hidup kepiting bakau Scylla serrata muda (juvenil) dan dewasa yang sudah dapat dimanfaatkan oleh manusia, dan juga berdasarkan asumsi bahwa di habitat mangrove tidak ditemukan kepiting pada siklus larva (zoea) dan megalopa. Sehingga komponen kebutuhan hidup yang akan digunakan untuk menilai daya dukung habitat adalah yang sesuai dengan kebutuhan hidup kepiting muda dan dewasa, yaitu komponen kualitas air, komponen substrat, dan komponen vegetasi. Variabel-variabel dari ketiga komponen tersebut adalah oksigen terlarut (V 1 ), Biological Oxygen Demand (V 2 ), salinitas air (V 3 ), temperatur air (V 4 ), pH air (V 5 ), pH substrat (V 6 ), pasang surut air laut (V 7 ), tekstur substrat (V 8 ), kepadatan makrozoobenthos (V 9 ), jenis vegetasi (V 10 ), kerapatan vegetasi (V 11 ), dan produksi serasah (V 12 ). Penilaian untuk masing-masing variabel dilakukan dalam dua tahap, yaitu: 1) Memberikan skor 0 sd. 1, untuk hasil pengukuran kualitas lingkungan masingmasing variabel sesuai dengan standar SI kebutuhan hidup kepiting S. serrata, yang telah disusun berdasarkan penelitian sebelumnya (lihat Lampiran 18) 2) Memberikan bobot variabel 0 sd. 1, yang dilakukan dengan cara membandingkan ke-12 variabel tersebut mana yang paling besar pengaruhnya bagi kehidupan S. serrata. Variabel yang paling besar pengaruhnya akan
76
diberi bobot tertinggi, yaitu 1. Semakin kecil pengaruhnya, bobot akan semakin berkurang. oksigen terlarut (V1) BOD (V2) Komponen kualitas air
salinitas air (V3) temperatur air (V4) pH air (V5) pH substrat (V6) Pasut air laut (V7) fraksi substrat (V8) kepadatan makrozoobe nthos (V9)
Komponen substrat
Habitat mangrove
HSI
Komponen vegetasi
jenis vegetas (V10) kerapatan vegetasi (V11) produksi serasah (V12)
Gambar 17 Hubungan antara variabel habitat dengan kebutuhan hidup untuk HSI kepiting bakau Scylla serrata (juvenil dan dewasa) Nilai SI untuk masing-masing komponen dihitung dari hasil perkalian bobot dengan skor. Nilai SI untuk tiap komponen dihitung secara Geometrik Mean Model dan hubungan antara nilai indeks kesesuaian (SI) dari masingmasing variabel (lihat Lampiran 19) dengan nilai HSI dirumuskan sebagai berikut (Mulholland 1984; Chen et al. 2009): Komponen
Formula
Kualitas Air (KA)
(SI V1 x SI V2 x SI V3 x SI V4 x SI V5 ) 1/5
Substrat (Su)
(SI V6 x SI V7 x SI V8 x SI V9 ) ¼
Vegetasi (Veg)
(x SI V10 x SI V11 x SI V12 ) ⅓
HSI = (KA + Su + Veg) / 3 .................................................. (12) HSI = Indeks Kesesuaian Habitat
Su = SI komponen substrat
KA = SI komponen kualitas air
Veg = SI komponen vegetasi
77
Selanjutnya HSI dari masing-masing area mangrove akan dikalikan dengan biomass kepiting bakau berdasarkan angka kelimpahan individu maksimal yang diperoleh selama penelitian. Dengan demikian, akan diperoleh daya dukung yang berupa jumlah biomassa kepiting yang dapat didukung oleh setiap hektar kawasan. Dalam formula: ............................................................. (13) CC i = Daya dukung area ke-i (ind/ha)
LL i = Luas Lahan area ke-i (ha)
HSI i = indeks kesesuaian lahan area ke-i
N imax = Kelimpahan individu maksimum pada area ke-i (ind)
3.5
Analisis Status Biologi Scylla serrata Aspek biologi kepiting bakau di TNK dikaji dengan melihat parameter
pertumbuhan, kelimpahan, sebaran ukuran, pola distribusi spasial dan temporal, serta laju eksploitasi kepiting bakau. 3.5.1
Pengumpulan dan Analisis Data Biologi Scylla serrata Pengumpulan data biologi Scylla serrata dilakukan berdasarkan data
primer. Data primer diperoleh dari observasi terhadap kepiting bakau oleh peneliti yang dilakukan selama 8 bulan (4 bulan di musim hujan dan 4 bulan di musim kemarau), pada lokasi tiga stasiun pengamatan yang dipilih sesuai karakteristik habitat mangrove. Data yang dikumpulkan berupa hasil tangkapan harian, sebaran ukuran, jenis kelamin, lokasi tangkapan, jenis alat tangkap, lama upaya menangkap, dan musim. 3.5.2
Analisis Hubungan Panjang dan Bobot Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik
dan alometrik (Hile dalam Effendie 1979). Untuk kedua pola ini berlaku persamaan: W = aLb .................................................................................... (14) W L a b
= bobot individu kepiting dalam gram; = lebar karapas kepiting dalam mm; = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu y; = Penduga pola pertumbuhan panjang-bobot
78
Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan sebagai berikut : Ln W = Ln a + b Ln L .............................................................. (15) Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan Ln W sebagai Y dan Ln L sebagai X, maka didapatkan persamaan regresi : Y=a+bX Untuk menguji nilai b = 3 atau b≠ 3 dilakukan uji -t (uji parsial), dengan hipotesis : H0
: b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.
H1
: b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, yaitu:
Allometrik positif, jika b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang). Allometrik negatif, jika b < 3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). t hitung = b1-b0/Sb1 Keterangan : b1
: b (dari hubungan panjang berat)
b0
: 3
Sb1
: Simpangan koefisien b
Bandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhan kepiting, kaidah keputusan yang diambil adalah :
3.5.3
t hitung > t tabel
: tolak hipotesis nol (Ho)
t hitung < t tabel
: gagal tolak hipotesis nol (Ho)
Analisis Data Kelompok Ukuran Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis data
frekuensi panjang. Data frekuensi panjang dianalisis menggunakan program Bhattacharya’s Method yang dikemas dalam paket program FISAT II (FAOICLARM Stock Assessmet Tool). Ukuran panjang diasumsikan menyebar normal.
79
Kelompok ukuran diperoleh dengan memisahkan data frekuensi panjang ke dalam kelompok-kelompok dengan panjang rata-rata tertentu serta simpangan bakunya. Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah data lebar karapas dari kepiting di Muara Sangkima, Muara Sangatta dan Teluk Perancis. Tahap untuk menganalisis data frekuensi lebar karapas kepiting yaitu : b. Menentukan selang kelas yang diperlukan menggunakan rumus Walpole (1990). c. Menentukan lebar selang kelas. d. Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing dengan memasukkan masing-masing lebar karapas kepiting pada selang kelas yang telah ditentukan. e. Distribusi frekuensi lebar karapas kepiting yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Pada grafik tersebut dapat dilihat pergeseran distribusi kelas lebar karapas. Pergeseran distribusi frekuensi lebar karapas menggambarkan jumlah kelomppok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi lebar karapas berarti terdapat lebih dari satu kohort. 3.5.4
Analisis Data Parameter Pertumbuhan Plot-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam
menduga parameter pertumbuhan ∞L dan K dari
persamaan von Bertalanffy
dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1997). Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy. L t = L∞ (1-e[-K(t-t0)]) ................................................................... (16) Lt L∞ K t0
: Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu) : Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik) : Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu) : umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan
von Bertalanffy dengan t 0 sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai berikut. Lt
= L∞(1-e[-K(t-t0)]) .................................................................................... (17)
Lt
= L∞ - L∞ e [-Kt]
80
L∞ - L t
= L∞ e [-Kt]
Setelah L t+1 disubtitusikan ke dalam persamaan (9) maka diperoleh perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (9) seperti berikut. L t+1 – L t = L∞ (1-e[-K(t+1)]) - L∞ e [-Kt]) ............................................................. (18) = -L∞ e[-K(t+1)] + L∞ e [-Kt] = L∞ e [-Kt] (1-e[-K]) ............................................................................... (19) Persamaan (18) disubtitusikan ke dalam persamaan (19) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut. L t+1 – L t
= L∞ e [-Kt] (1-e[-K]) = L∞ (1-e[-K]) – L 1 + L t e[-K] = L∞ (1-e[-K]) + L t e[-K] ............................................................. (20)
Persamaan (12) bentuk persamaan linier dan jika L t (sumbu x) diplotkan terhadap L t+1 (sumbu y) maka garis lurus yang berbentuk akan memiliki kemiringan (slope) (b) = e[-K]. L t dan L t+1 merupakan lebar karapas kepiting pada saat t dan lebar karapas kepiting yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly dalam Sparre & Venema 1999). Nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analisis) yang terdapat dalam program FISAT II. Umur teoritis kepiting pada saat lebar karapas sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly dalam Sparre & Venema 1999) sebagai berikut. Log (-t 0 ) = 0.3922 – 0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K) ................................... (21)
3.5.5
Pendugaan Laju Eksploitasi Scylla serrata Data primer berupa data frekuensi lebar karapas kepiting bakau Scylla
serrata digunakan untuk menduga laju eksploitasi kepiting bakau. Pendugaan laju eksploitasi S. serrata dilakukan dengan menggunakan data parameter-parameter pertumbuhan kepiting bakau yang telah dihitung sebelumnya. Setelah parameter-parameter pertumbuhan kepiting bakau diketahui maka dilakukan pendugaan laju mortalitas (Z) berdasarkan persamaan Beverton & Holt (Sparre & Venema 1999) sebagai berikut:
81
Z=K
(L∞ − L ) (L − L')
.............................................................................................. (22)
Di mana L adalah panjang rata-rata ukuran, L’ adalah panjang di mana semua kepiting bakau pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. L’ dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre & Venema 1999). Selanjutnya untuk pendugaan laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly dalam Sparre & Venema (1999) sebagai berikut: Log M = -0.0066-0.279*Log L +0.6543*Log K +0.4634*LogT ................... (23) T adalah temperatur perairan. Nilai Z dan M digunakan untuk menduga kematian kepiting bakau akibat penangkapan (F) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: F=Z–M
.................................................................................... (24)
Berdasarkan nilai Z dan F maka laju eksploitasi kepiting bakau (E) dapat diduga dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
E = Z = total laju mortalitas (per tahun)
F ................................................. (25) Z F = laju mortalitas penangkapan (per tahun)
M = laju mortalitas alami (per tahun) E = laju eksploitasi (per tahun)
3.5.6
Penghitungan Yield per Rekrut Relatif (Y/R) dan Biomass per Rekrut (B/R) Setelah diketahui nilai laju eksploitasi, maka selanjutnya dapat dihitung
nilai Yield per Rekrut (Y/R). Dalam pengelolaan perikanan, adalah penting untuk menentukan perubahan dalam Y/R untuk nilai F yang berbeda-beda. Nilai Y/R ini digunakan untuk mendeteksi apakah penangkapan kepiting bakau di TNK sudah melebihi atau masih dibawah kemampuan rekruitnya. Asumsi yang melatarbelakangi pendekatan Model Tangkapan per Rekruit Beverton dan Holt ini adalah: (1) Rekruitmen konstan. (2) Semua ikan dalam satu kohort lahir pada saat yang sama.
82
(3) Rekruitmen dan seleksi berbentuk ”mata pisau”. (4) Mortalitas alami dan mortalitas tangkap konstan sejak kohort tersebut masuk ke fase ekploitasi. (5) Terjadi pencampuran sempurna dalam stok. (6) Hubungan panjang-bobot berpangkat 3, yaitu W=qL3. Daur hidup satu kohort dalam Model Model Beverton & Holt ini diasumsikan sebagai berikut: (1) Pada umur t r semua ikan dalam satu kohort tertentu masuk ke daerah tangkap pada saat yang sama: ”rekruitmen mata pisau”. (2) Dari umur t r sampai umur t e , kohort tersebut tidak mengalami mortalitas tangkap. Semua ikan antara umur t r dan t e bisa lolos jika masuk ke dalam alat tangkap. Dengan demikian pada periode itu, ikan-ikan tersebut hanya mengalami mortalitas alami, M, yang dianggap konstan selama masa hidup kohort. (3) Pada umur t e , umur saat pertama kali tertangkap, kohort tersebut dianggap mengalami mortalitas tangkap penuh, F, yang konstan selama sisa hidup kohort tersebut. Persamaan Y/R dapat ditulis sesuai dengan saran Gulland dalam Sparre & Venema (1999) sbb: ..................................... (26) Beberapa parameter yang menentukan hasil tangkap per rekruit dikendalikan secara biologi, yaitu K, W∞ and M. Namun demikian, dua diantara parameter-parameter tersebut, yaitu laju mortalitas tangkap/F (proporsional terhadap upaya) dan umur saat pertama tertangkap/te (fungsi dari selektivitas alat tangkap), pada dasarnya dapat dikendalikan oleh otoritas pengelolaan perikanan. Analisis hasil tangkap per upaya dapat memberikan gambaran konsekwensi dari pilihan F dan t e yang berbeda. Model Biomasa per Rekruit (Beverton & Holt dalam Sparre & Venema 1999) menyatakan biomasa rata-rata dalam tahunan dari ikan- ikan yang hidup sebagai suatu fungsi dari mortalitas penangkapan (atau upaya). Biomasa rata-rata berhubungan dengan hasil tangkapan per unit usaha dengan persamaan CPUE(t) = q*N(t).
83
Apabila dilakukan penambahan bobot pada kedua sisi menjadi:
.................................. (27) Nilai E (tingkat eksploitasi) pada kurva Y/R dan B/R didapatkan dari hasil perhitungan Y/R dan B/R relatif yang terdapat dalam program FISAT II.
3.6
Identifikasi Sistem Pengelolaan Kepiting Bakau S. Serrata di TNK Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai
dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: 1) mencari semua faktor penting yang berpengaruh, dalam rangka mendapatkan solusi untuk mencapai tujuan, 2) adanya model untuk membantu pengambilan keputusan, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif (Eriyatno 2003). Pendekatan sistem pemanfaatan kepiting bakau di ekosistem mangrove TNK dimulai dengan identifikasi sistem. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) (Eriyatno 2003). Identifikasi sistem dilakukan dengan pemilihan variabel-variabel yang berpengaruh dalam pemanfaatan kepiting (system boundary). Variabel tersebut dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu indigenous (variabel dari dalam sistem yang merupakan variabel kunci), exogenous (variabel dari dalam sistem yang tidak
84
secara langsung berpengaruh terhadap pemanfaatan kepiting), dan excluded (variabel dari luar sistem yang mempengaruhi pemanfaatan kepiting) (Ford 1999). Pemilihan tema dan variabel kunci merupakan bagian dari tahapan pendekatan sistem, sehingga berdasarkan pendekatan sistem yang telah dilakukan tersebut dapat dibuat suatu diagram sebab akibat (causal loop diagrams). Diagram tersebut merupakan pengungkapan interaksi antara komponen di dalam sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi kinerja sistem. CLD (causal loop diagrams) dapat digunakan untuk membangun struktur model yang memudahkan secara visual bagi pengguna model dalam memahami dan menangkap hipotesis sistem yang dimaksud. Struktur model dilanjutkan dengan membangun diagram alir dengan alat SFD (stock-flow diagrams) untuk menghantar pada tahap simulasi. Sebelum membangun diagram alir, harus dipahami dahulu variabel atau parameter yang akan dijadikan stock (akumulasi) dan flow (aliran) yang dapat mengubah nilai stock.
3.6.1
Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir Model pemanfaatan kepiting bakau disusun dari 5 submodel, yaitu
submodel habitat mangrove, submodel penangkapan kepiting, submodel budidaya pembesaran kepiting, submodel pasar, dan submodel sosial (Gambar 18).
3.6.2
Submodel Habitat Mangrove Mangrove sebagai habitat kepiting sangat besar pengaruhnya terhadap
kelimpahan populasi kepiting di kawasan mangrove TNK. Pertumbuhan populasi kepiting membutuhkan kualitas ekosistem mangrove dan kualitas perairan yang mendukung. Kualitas ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh sistem sosial dan sistem ekologi yang terkait dengan ekosistem mangrove tersebut. Kerusakan ekosistem mangrove saat ini banyak terjadi akibat ekstraksi mangrove untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu mengetahui bagaimana pola pemanfaatan mangrove di TNK yang mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan.
85
Selain itu sistem sosial juga menghasilkan limbah, yang dampaknya dapat mempengaruhi kualitas biofisik dalam ekosistem mangrove. Kualitas biofisik dipengaruhi juga oleh kualitas perairan, kualitas substrat, jenis dan kerapatan vegetasi, dan produksi serasah mangrove. Diagram alir submodel habitat mangrove dapat dilihat pada Gambar 18. Submodel mangrove dibangun dari elemen luas mangrove, zona pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang dipengaruhi oleh laju konversi
dan
laju
penambahan
luas
mangrove,
kondisi
habitat
yang
mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan pengaruh tingkat kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove. Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove. Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya, maka yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun. Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak (mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi. Perbaikan pola pemanfaatan mangrove diharapkan dapat terjadi bila ada peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan mangrove. Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan untuk pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang dilindungi dapat digunakan untuk pemanfaatan terbatas. Interfensi kebijakan ini sangat besar pengaruhnya dalam pola pemanfaatan mangrove, karena akan mempengaruhi besarnya daya dukung kawasan, pada penelitian ini daya dukung untuk budidaya sylvofishery. Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas
86
perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan cukup baik, maka HSI juga akan meningkat.
Panen
+
+
Proses Budidaya
Induk Matang
+
R+
+
Inflasi Daya Dukung Budidaya Kualitas Biofisik Hutan Mangrove
-
SUB-MODEL BUDIDAYA
+ +
Harga Eksport Harga
+
+
+
Kepiting Muda
+
+ Luas Zona Pemanfaatan Mangrove B-
Jumlah Tangkapan Boleh (TAC)
SUB-MODEL MANGROVE
+
SUBMODEL TANGKAP
+
Restocking
Stok Kepiting Bakau
+
+
+
Kepiting Dewasa
Pendapatan -
Pendapatan Sumber lain
+ +
Pola Pemanfaatan Mangrove
+
SUB-MODEL PASAR
B+
B-
Produksi Kepiting
+
+
Jumlah Tangkapan Lestari (MSY)
Permintaan Lokal
+
+ peraturan Pengelolaan Kawasan Konservasi
+ Pendapatan keluarga R+
Kelembagaan +
+ Pendidikan
SUB-MODEL SOSIAL
Gambar 18 Diagram kausal model konseptual pemanfaatan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK
Pengeluaran
87
komponen kualitas perairan
komponen vegetasi mangrove +
SUBMODEL MANGROVE
+
+
komponen substrat
Kualitas Biofisik Hutan Mangrove
+ produksi serasah
+ B-
Luas ZonaPemanfaatan Habitat Mangrove
SUB-MODEL TANGKAP
-
Limbah
+ Alih Fungsi Lahan
Pemanfaatan Mangrove
-
SUB-MODEL SOSIAL
Daya Dukung Budidaya
SUB-MODEL BUDIDAYA
Gambar 19 Diagram kausal submodel habitat mangrove. Keterkaitan submodel mangrove dengan submodel penangkapan adalah pada pengaruh luas mangrove terhadap potensi S. serrata. Sedangkan keterkaitan submodel mangrove dengan submodel budidaya adalah pada tersedianya daya dukung lingkungan bagi pengembangan budidaya sylvofishery. 3.6.3 Submodel Penangkapan Kepiting Kelimpahan kepiting yang ada pada ekosistem mangrove TNK merupakan stok yang dapat dimanfaatkan untuk penangkapan dan budidaya pembesaran kepiting. Kepiting yang dapat dimanfaatkan untuk penangkapan adalah kepiting yang sudah dewasa (berukuran besar, minimal 250 gr/ekor). Untuk mengetahui seberapa besar daya dukung sumberdaya kepiting untuk upaya penangkapan perlu diketahui MSY kepiting. Perkiraan MSY ini akan menentukan seberapa besar upaya penangkapan boleh dilakukan (TAC). Submodel penangkapan kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 20.
88
SUB-MODEL BUDIDAYA
Jumlah Tangkapan Boleh (TAC)
+
+ Jumlah Tangkapan Lestari (MSY)
SUBMODEL TANGKAP
Kepiting Dewasa
Byield per rekrut
+
Stok Kepiting Bakau
+
Kematian Alami
-
+
Produksi
SUB-MODEL PASAR
-
Penangkapan
SUB-MODEL MANGROVE
Gambar 20 Diagram kausal submodel penangkapan kepiting bakau. Submodel penangkapan Scylla serrata dibangun oleh elemen potensi produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju eksploitasi maksimal, laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan, stok Scylla serrata total, kuota tangkapan Scylla serrata, besarnya restok induk betina, pengaruh luas mangrove. Potensi produksi Scylla serrata di habitat mangrove TN Kutai, diperkirakan dari produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun (sebagai potensi faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi yang belum dieksploitasi. Potensi S. serrata dapat berubah dengan adanya masukan induk dari restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan potensi dimasukkan juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan luas area mangrove. Untuk menentukan total stok S. serrata yang boleh dieksploitasi di kawasan ini, potensi S. serrata tersebut dikalikan dengan konstanta ekploitasi maksimal yang diperbolehkan (e-maks). Stok total S. serrata tersebut akan dibagi dalam 2 bagian, yaitu fraksi tangkapan S. serrata untuk benih budidaya sylvofishery dan sisanya fraksi tangkapan S. serrata untuk konsumsi/dijual langsung. Fraksi stok S. serrata untuk konsumsi merupakan kuota tangkapan yang diijinkan untuk mencapai produksi perikanan yang berkelanjutan.
89
Keterkaitan submodel penangkapan dengan submodel budidaya adalah pada fraksi stok benih untuk budidaya sylvofishery yang merupakan bagian dari stok total S. serrata di habitat mangrove TNK. 3.6.4 Submodel Budidaya Pembesaran Stok kepiting yang dimanfaatkan untuk budidaya pembesaran kepiting adalah kepiting muda yang berukuran kurang dari 100 gr/ekor. Untuk mencapai ukuran konsumsi sekitar 300 gr/ekor, kepiting muda ini harus menjalani proses pembesaran hingga masa panen. Produksi yang diperoleh pada masa panen perlu dikembalikan
sebagian
ke
ekosistem
alaminya,
sebagai
sarana
untuk
mempertahankan populasi stok kepiting di alam. Benih yang digunakan dalam budidaya pembesaran kepiting ini adalah kepiting muda hasil tangkapan dari alam, sehingga stok induk perlu ditambahkan (restocking) agar tetap tersedia stok kepiting muda (Gambar 21). SUB-MODEL PASAR
Tenaga kerja
Produksi +
Perawatan + pakan benih
+
+
+
+
Proses Budidaya
Daya Dukung Budidaya + Ekobiologi Kepiting bakau
Induk Matang R+
+
SUB-MODEL MANGROVE
Panen
+
SUB-MODEL BUDIDAYA
Kepiting Muda Restocking
SUBMODEL TANGKAP
Gambar 21 Diagram kausal submodel budidaya pembesaran kepiting bakau. Daya dukung lingkungan merupakan elemen yang paling berpengaruh dalam submodel budidaya. Daya dukung lingkungan menentukan berapa unit karamba yang dapat dibangun pada zona pemanfaatan budidaya.
90
3.6.5 Submodel Ekonomi Produk kepiting dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran kepiting merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat tergantung dari harga yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga pasar, maka tingkat pendapatan nelayan/petani akan semakin meningkat. Harga pasar ditentukan oleh permintaan konsumen (demand) lokal, dan harga eksport. Pendapatan yang diperoleh nelayan/petani akan menentukan tingkat pendapatan keluarga (Gambar 22). -
Biaya Transportasi -
+
Harga Eksport
Penyusutan
Harga SUBMODEL TANGKAP
permintaan lokal
+ +
-
Inflasi
Produksi Kepiting SUB-MODEL PASAR
B+ SUB-MODEL BUDIDAYA
+ Pendapatan -
-
Pajak
Pengeluaran pendapatan keluarga
SUB-MODEL SOSIAL
Gambar 22 Diagram kausal submodel ekonomi. 3.6.6 Submodel Sosial Peningkatan pendapatan keluarga selanjutnya akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat yang ada di sekitar ekosistem mangrove dalam mengelola ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan berubah sesuai dengan tingkat kesadaran lingkungan masyarakat dan peraturan perundangan atau kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi. Selanjutnya pola pemanfaatan mangrove ini akan berpengaruh terhadap konversi lahan dan kualitas mangrove (Gambar 23).
91
+
SUB-MODEL MANGROVE
peraturan pengelolaan kawasan konservasi
+
+
Pola Pemanfaatan Mangrove R+ +
pendapatan sumber lain
Pendapatan keluarga
SUB-MODEL SOSIAL
tingkat pengetahuan
SUB-MODEL PASAR
+ Pendidikan +
Gambar 23 Diagram kausal submodel sosial. 3.7 Pemodelan dan Simulasi Sistem Pengelolaan S. serrata Tahapan pemodelan diuraikan ke dalam dua bagian, yaitu aspek konseptual dan aspek teknis. Bagian konseptual merupakan masukan dari strukturisasi sistem yang telah difiltrasi. Alur pemodelan digambarkan pada Gambar 24.
Mulai
Formulasi model simulasi
Persamaan matematik, parameter, initial
Verifikasi dan validasi Uji statistik : MAPE
Pemilihan tema Sensitivitas (leverage point) penentuan variabel kunci Skenario kebijakan
CLD
Membangun causal diagram
SFD
Membangun flow diagram
Rekomendasi kebijakan terbaik dan tepat
Kesimpulan dan saran
Selesai
Konseptual
Teknis
Gambar 24 Alur tahapan pemodelan pengelolaan Scylla serrata. (modifikasi Rohmatullah 2008)
92
Membangun struktur model untuk memudahkan secara visual bagi pengguna model dalam memahami dan menangkap hipotesis dinamis yang dimaksud dengan menggunakan alat CLD. Secara konseptual, pada bagian awal bab ini telah dibangun diagram sebab akibat (CLD) sistem pengelolaan kepiting bakau di TNK. Kemudian, struktur model dilanjutkan dengan membangun diagram alir dengan alat SFD untuk mengantarkan pada tahap simulasi. Sebelum membangun diagram alir, harus dipahami dahulu variabel atau parameter yang akan dijadikan stock (akumulasi) dan flow (aliran) yang dapat mengubah nilai stock. Tahap selanjutnya setelah pembuatan diagram stock flow (SFD) adalah memformulasikan
diagram
tersebut.
Tahap
formulasi
model
simulasi
menggunakan alat bantu program komputer Powersim Studio 2005. Model simulasi harus sudah dilengkapi dengan persamaan matematis yang benar, parameter dan penentuan kondisi nilai awal (initial) agar dapat dijalankan (run). Powersim pertama kali menghitung nilai awal untuk mengukur stock dan aliran sebuah flow. Kemudian flow digunakan untuk memperbaharui stock tersebut. Nilai baru stock digunakan kembali untuk menghitung dan seterusnya seiring dengan perubahan waktu secara berulang. 3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK Sesuai UU No. 5 Tahun 1990 pasal 32, kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Kawasan Taman Nasional Kutai meliputi hutan daratan dan hutan mangrove dengan luas keseluruhan mencapai kurang lebih ± 198 000 ha, dimana ± 5.227 ha diantaranya merupakan hutan mangrove. Sumberdaya bukan kayu dalam hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan adalah kepiting bakau S. serrata. Untuk mencegah kepiting bakau tersebut dari pemanfaatan yang berlebihan, maka perlu diatur zonasi pemanfaatan S. serrata. Zonasi pemanfaatan S. serrata ditentukan untuk zona pemanfaatan perikanan tangkap dan zona pemanfaatan budidaya sylvofishery. Penentuan kesesuaian zona pemanfaatan dilakukan berdasarkan parameter indeks kesesuaian habitat (HSI), laju eksploitasi (E) S. serrata, dan kondisi konversi mangrove pada
93
masing-masing area. Analisis dilakukan dengan menggunakan software ArcView 3.2. Matriks parameter kesesuaian zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata No. Kriteria 1 2 3 3.9
HSI Laju Eksploitasi S. serrata Konversi mangrove
Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata Zona Budidaya Zona Tangkap Zona Inti tinggi sedang Rendah sedangtinggi rendah rendah tinggi sedang Rendah
Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK Pada awal 1990-an, berkembang instrumen yang didesain langsung pada
pengendalian sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi. Lima prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah: 1) Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol; 2) Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman ekologi; 3) Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar dapat dimaksimalkan; 4) Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan; 5) Pengelolaan hendaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan SDA dan lingkungan (Yulianda 2006). Kebijakan adalah aturan umum bagaimana status keputusan dibuat berdasar pada informasi yang tersedia. Setiap kebijakan memiliki empat komponen, yaitu kondisi saat ini (aktual) dan yang diinginkan, kecepatan tanggapan dan tindakan perbaikan (Forrester dalam Lyneis 1980). Kecepatan tanggap dalam studi ini menggunakan matrik yang terdiri dari tiga pilihan pengaturan parameter, yaitu agresif, moderat dan lambat (Lyneis 1980). Skenario kebijakan pada kajian ini dalam rentangan waktu (time horizon) dua puluh tahun kedepan (tahun 2010-2030). Rentangan waktu 20 tahun dianggap mewakili kondisi bila diasumsikan hutan mangrove mulai tumbuh dengan baik dari saat mulai ditanam dan dapat menjadi habitat bagi biota lain. Simulasi skenario kebijakan pemanfaatan akan dilakukan melalui 2 tahap, yaitu analisis skenario dasar dan analisis perilaku dinamik. Analisis skenario dasar
94
(base case scenario) menguraikan perilaku sistem pada tahun mendatang (tahun 2009-2029) dipengaruhi oleh unjuk kerja parameter dengan sensitif tinggi, yaitu luasan mangrove dan pendapatan dari Scylla serrata. Parameter lainnya yang memiliki sensitif sedang dan rendah diasumsikan tidak mengalami perubahan dari tahun 2009. Analisis perilaku dinamik memungkinkan bagi pengguna model untuk merubah nilai parameter. Meskipun analisis base case scenario run penting sebagai cerminan dari kondisi aktual di lapangan, namun pengambilan keputusan dalam pengelolaan Scylla serrata pada tahun-tahun yang akan datang perlu meramalkan kondisi mendatang berdasarkan cerminan kondisi aktual tersebut. Perubahan nilai parameter dibagi kedalam tiga skenario, yaitu skenario agresif (optimis), moderat dan lambat (pesimis). Ketiga skenario secara berturutturut pemodel sebut dengan scenario run 1 (SR1), scenario run 2 (SR2) dan scenario run 3 (SR3). Skenario pengelolaan disusun berdasarkan perubahan nilai parameter yang dilakukan secara apriori oleh peneliti dalam proyeksi 20 tahun mendatang. Keberlanjutan pengelolaan mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau Scylla serrata, selanjutnya akan dianalisis secara statistik multivariate dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS). Analisis multidimensi menurut Bengen (2000) merupakan analisis data yang menggambarkan karakter-karakter kuantitatif dan kualitatif suatu/sekumpulan individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif dari pada statistik inferensial. Analisis keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi
mangrove
melalui
pemanfaatan
sylvofishery kepiting
bakau.
Keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di kawasan mangrove TNK dianalisis menggunakan metode Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment Techniques for Crab Sylvofishery Management). Metode Rap-CRASYMAN merupakan modifikasi dari metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British
95
Columbia, Kanada, untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil analisis ini dinyatakan dalam bentuk Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau. Analisis keberlanjutan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) Penentuan atribut pengelolaan berkelanjutan sylvofishery kepiting bakau yang meliputi empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi hukum-kelembagaan. (2) penilaian (skoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi. Mengacu pada teknik RAPFISH, maka skor yang diberikan berupa nilai “buruk” (bad) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling tidak menguntungkan, dan juga berupa nilai “baik” (good) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling menguntungkan. Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara. Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. dan Heershman et al. dalam Laapo (2010), maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak 3 (tiga) yakni nilai buruk diberi skor 0 (nol), nilai antara diberi skor 1 (satu) dan nilai baik diberi skor 2 (dua). (3) Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau. Penilaian status keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi dikategorikan menurut Kavanagh (1999) sebagai berikut: - nilai indeks 0-24.99 % (kategori tidak berkelanjutan) - nilai indeks 25-49.99 % (kategori kurang berkelanjutan) - nilai indeks 50-74.99 % (kategori cukup berkelanjutan) dan - nilai indeks 75-100 % (kategori berkelanjutan). Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal dengan proses rotasi. Posisi titik dapat
divisualisasikan
pada
sumbu
horisontal
dengan
nilai
indeks
keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50%, maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable). Sistem tidak akan berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50%.
96
(4) Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan
kontribusi
terhadap
indeks
keberlanjutan
pengelolaan
sylvofishery kepiting bakau. Peran masing-masing atribut terhadap nilai indeks dianalisis dengan “attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Peran (pengaruh) setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-x. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan (sensitivitas) tinggi dari hasil analisis ini, dianggap sebagai faktor pengungkit, yang apabila dilakukan perbaikan pada atribut tersebut maka akan berpengaruh besar dalam mengungkit nilai indeks keberlanjutan menjadi lebih baik. Perbaikan terhadap atribut sensitif, yang merupakan faktor pengungkit tersebut, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya Scylla serrata di kawasan mangrove TNK.
4 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI
4.1 Sejarah Kawasan TNK Kawasan TNK pada awalnya berstatus sebagai Hutan Persediaan dengan luas 2 000 000 ha berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Belanda (GB) Nomor: 3843/AZ/1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK (ZB) Nomor: 80/22ZB/1936 dengan luas 306 000 ha (TNK 2005). Sejak keberadaannya, TNK tidak pernah lepas dari konflik kepentingan. Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas secara drastis seperti tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4 Sejarah status kawasan Taman Nasional Kutai. Luas (ha)
Institusi
Keputusan
Status
Pemerintah Hindia Belanda Pemerintah Kerajaan Kutai Menteri Pertanian
SK (GB) No. 3843/Z/1934
Hutan Persediaan
2 000 000
SK (ZB) No. 80/22-B/1936
Suaka Margasatwa
306 000
SK No. 110/UN/ 1957, tanggal 14 Juni 1957 SK No. 30/Kpts/ Um/6/1971, tanggal 23 Juli 1971
Suaka Margasatwa Kutai Suaka Margasatwa Kutai
306 000
Menteri Pertanian
SK No. 736/ Mentan/X/ 1982
200 000
Menteri Kehutanan
SK No. 435/Kpts-XX/ 1991 SK Menhut No. 325/KptsII/1995 Surat No. 997/ Menhut-VII/ 1997
Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kutai Taman Nasional Kutai
Menteri Pertanian
Menteri kehutanan Menteri Kehutanan
Sumber: TNK (2005)
200 000
198 629
198 629
198 629
Keterangan
Ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa
Dilepas 106 000 ha, 60 000 ha yang masih asli untuk HPH PT kayu Mas dan sisanya untuk perluasan Industri pupuk dan gas alam. 100 000 ha yang dikelola oleh HPH pada tahun 1969 kemudian dikembalikan ke SMK Dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali sebagai satu dari 11 calon TN Luasnya dikurangi 1 371 ha untuk perluasan Bontang dan PT Pupuk Kaltim Perubahan fungsi dan penunjukan SMK menjadi Taman Nasional Kutai Izin prinsip pelepasan kawasan TNK seluas 25 ha untuk keperluan pengembangan fasilitas pemerintah daerah Bontang
98
4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK TNK membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar sebagai batas bagian timur menuju arah daratan sepanjang kurang dari 65 km. Kawasan ini juga dibatasi Sungai Sangatta di sebelah utara, sebelah selatan dibatasi Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya, dan sebelah barat dibatasi ex HTI PT Kiani Lestari dan HPH PT Surya Hutani Jaya. Tabel 5 Deskripsi penutupan lahan TNK. Kategori Penutupan lahan
Luas (ha)
Persentase Kawasan
Hutan primer
59 202.14
29.81
Hutan sekunder
85 931.03
43.27
Belukar Semak
28 952.26 2 452.68
14.58 1.23
Alang-alang
705.47
0.36
Rawa Belukar rawa
4 712 1 802.88
2.37 0.91
Mangrove
5 131.55
2.48
Konversi mangrove menjadi lahan terbuka
1 205.53
0.61
155.81
0.08
329.38 6 935.36 577.94 73.08 636.01 198 605.21
0.17 3.49 0.29 0.04 0.32 100.00
Tambak
Tanah terbuka Pertanian campuran Lahan terbangun Tubuh air Tidak ada data Jumlah Sumber : TNK (2005)
Keterangan Terdapat di bagian tengah kawasan dan menyebar ke arah barat sampai utara Terdapat di bagian barat kawasan yang berbatasan dengan wilayah konsesi HPH Akibat aktivitas pembalakan, pemukiman, dan kegiatan pertanian lahan kering oleh masyarakat dan bencana kebakaran
Formasi yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba. Sedangkan di pesisir Desa Singa Geweh sangat rentan terhadap degradasi Terdapat di pesisir bagian selatan (Dusun Kanimbungan) dan bagian tengah (Desa Sangkima) Muara S. Sangatta, Muara S. Sangatta Tua, Teluk Lombok/Teluk Perancis, Muara Sungai Sangkima, Teluk Pandan
99
TNK secara geografis berada di 0°7’54”-0°33’53”LU dan 116°58’48”117°35’29”BT, sedangkan secara administrasi pemerintahan, kawasan dengan luas 198 629 ha ini terletak di Kabupaten Kutai Timur (± 80%), Kabupaten Kutai Kartanegara (± 17.48%) dan Kota Bontang (± 2.52%). Buku data dasar TNK (2005) menyatakan bahwa secara umum TNK memiliki topografi datar yang tersebar hampir di seluruh luasan kawasan (92%) dan topografi bergelombang hingga berbukit-bukit tersebar pada bagian tengah kawasan yang membentang arah utara selatan (8%). Sebagian besar kawasan memiliki kelas ketinggian antara 0 – 100 m dpl (61%) yang tersebar pada bagian timur dan barat kawasan. Tingkat ketinggian bagian tengah kawasan antara 100 – 250 m dpl (39%). Deskripsi penutupan lahan menurut buku data dasar TNK disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil pengolahan Citra Terra Aster tahun 2005, diperoleh informasi yang sedikit berbeda dalam luas penutupan lahan (Tabel 6). Tabel 6 Deskripsi penutupan lahan hasil interpretasi citra Terra-Aster 2005. Kategori Penutupan Lahan Luas (ha) areal kota Bontang 77.854 areal pertamina 282.836 areal perusahaan/industri 790.249 areal terbuka 5 533.383 Danau 72.248 genangan air laut 209.129 hutan primer 28 375.278 hutan sekunder 40 658.373 hutan terdegradasi berat 66 274.775 hutan terdegradasi sedang 40 979.635 Mangrove 5 277.779 Nipah 182.086 padang alang-alang, rumput 3 094.044 pemukiman, kebun 5 600.646 Tambak 644.702 JUMLAH 198 053.017 Sumber: Pengolahan Data Citra Terra ASTER tahun 2005
% luas 0.04 0.14 0.40 2.79 0.04 0.11 14.33 20.53 33.46 20.69 2.66 0.09 1.56 2.83 0.33 100.00
100
Bila dibandingkan antara hasil pengolahan citra oleh peneliti dengan data dari TNK terdapat perbedaan luas tambak yaitu 155.81 ha (data TNK) dan 644.702 ha (olah data citra). Sementara luas mangrove menurut data TNK adalah 5 131 ha dan menurut hasil olah data citra adalah 5 277.799 ha ditambah dengan 182.086 ha nipah. Perbedaan luas tambak mungkin terjadi karena terdapat perbedaan interpretasi pada tambak yang kering dan tidak dimanfaatkan (lahan kritis), oleh TNK hanya dianggap sebagai konversi mangrove sebagai lahan terbuka. Sementara menurut peneliti, pembukaan lahan mangrove yang awalnya digunakan sebagai tambak, walaupun akhirnya menjadi lahan kritis, tetap dihitung sebagai luasan tambak. Luas lahan tambak yang mencapai 12.22% dari total luas mangrove merupakan ancaman bagi kelestarian habitat mengrove, selain penebangan mangrove menjadi lahan terbuka dan pemanfaatan lain yang mencapai lebih dari 7% dari luas total mangrove.
4.3 Geologi dan Iklim Berdasarkan peta geologi Kalimantan Timur, formasi geologi kawasan ini sebagian besar meliputi tiga bagian, yaitu: 1) Bagian pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu karang. 2) Bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas. 3) Bagian barat terdiri dari batuan sedimen bawah. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, TNK beriklim tipe B dengan nilai Q berkisar antara 14.3 % - 33.3 %. Curah hujan rata-rata setahun 1543.6 mm atau rata-rata 128.6 m dengan rata-rata hari hujan setahun 66.4 hari atau rata-rata bulanan 5.5 hari. Suhu rata-rata adalah 26oC (berkisar antara 21-34 derajat Celcius) dengan kelembaban relatif 67% - 69% dan kecepatan angin normal rata-rata 2 – 4 knot/jam (TNK 2005). Sungai-sungai yang mengalir di dalam dan sekitar TNK antara lain: Sungai Sangatta, Sungai Sangatta Tua, Sungai Banjar, Sungai Banu Muda, Sungai Sesayap, Sungai Sangkima, Sungai Kandolo, Sungai Selimpus, Sungai Teluk
101
Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri, Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan.
4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK Vayda dan Sahur dalam TNK (2005) mengelompokkan pemukim di TNK berdasarkan 3 wilayah, yaitu (1) Teluk Pandan, disebutkan bahwa pemukim dari Bugis yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan, datang pertama kali pada pertengahan
tahun
1960
untuk
menghindari
kesulitan
ekonomi
akibat
pemberontakan Kahar Muzakar, (2) Selimpus/Kandolo, dihuni pertama kali tahun 1974 dan berkembang tahun 1977 oleh Suku Bugis dan (3) Sangkima, yang dihuni pertama kali tahun 1924 oleh Suku Bugis. Saat itu, Sangkima merupakan hunian peladang berpindah bagi penduduk asli. Keduanya berasimilasi dan semakin banyak pemukim yang berasal dari Selawesi Selatan pada tahun 1954 dan 1960 karena pemberontakan Kahar Muzakar. Ketiga kampung di TNK tersebut berkembang dan diakui keberadaannya oleh Gubernur Propinsi Kalimantan Timur dengan menetapkannya sebagai desa definitif (Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan) melalui Keputusan No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997. Dalam perkembangannya, Desa Sangatta Selatan dipecah menjadi dua desa, yaitu Desa Sangatta Selatan dan Singa Geweh dengan adanya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur No. 410.44/K.452/1999 (TNK 2005).
4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK 4.5.1
Perambahan Hutan Taman Nasional Kutai awalnya memiliki 80 % dari spesies burung dan
sebagian dari seluruh mamalia yang ada di Kalimantan termasuk 11 dari 13 spesies primata Borneo (TNK 2005). Namun Taman Nasional Kutai kini banyak mengalami permasalahan. Hal ini disebabkan adanya pembangunan industri, kegiatan pertambangan, eksploitasi hutan di sekitar dan di dalam TNK serta pembangunan jalan trans Kalimantan khususnya ruas jalan Bontang-Sangatta sepanjang 56 km yang melintasi Taman Nasional Kutai. Dampaknya saat ini menyebabkan gangguan yang meluas terhadap keberadaan TNK.
102
Menurut pengamatan di lapangan dan data dari BTNK (Balai Taman Nasional Kutai) menunjukkan grafik luas perambahan hutan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan yang cukup tinggi dan ada indikasi spekulan-spekulan tanah yang memanfaatkan ketidakpastian hukum di Taman Nasional Kutai (Pemkab Kutim 2005). Data perambahan hutan selama tiga tahun disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta (19992001). Lokasi
Okt 1999
Luas Areal Perambahan (ha) Nov Peb Mar Mei 1999 2000 2000 2000
Pinang/Masabang Sangkima Teluk Pandan Kandolo/ Teluk Kaba Temputuk, dsk Di dalam enclave1 Di luar areal enclave2 Jumlah
3 322 1 693 1 433 1 543
3 322 1 693 2 336 2 999 1 543
4 307 1 693 2 336 3 883 1 543
4 307 2 477 2 336 5 083 2 475
4 307 2 477 2 336 5 088 2 485
7 991
11 893
13 762
16 678
16 693
Mei 2001
Des 2001
23 712 23 712
23 712 255.75 23 968
Sumber: peta perambahan BTNK 2000 (Pemkab Kutim 2001) 1 : Laporan Tim Enclave, Pemkab Kutim 2001 2 : Kegiatan Penyuluhan Tata Batas Enclave, BTNK 2001
Pada Desember 2001 luas lahan yang diduduki masyarakat di luar kawasan enclave sepanjang jalan Bontang - Sangatta adalah 255.75 ha, sedangkan jumlah kepala keluarga (kk) yang mendiaminya adalah 151 (rata-rata luas penguasaan lahan 1.69 ha/kk). Berdasarkan observasi lapangan, diketahui sebagian besar masyarakat mendiami daerah tersebut baru sekitar tahun 19992000. Lokasi perambahan hutan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 25 . Perambahan hutan cenderung terjadi di sepanjang jalan Bontang – Sangatta, yang membelah kawasan TNK, menuju ke arah pesisir pantai. Perambahan ke arah pesisir terjadi karena memang pada awalnya pemukiman penduduk adalah di kawasan pesisir pantai TNK, sehingga menyambung dari arah jalan ke pesisir dan sebaliknya.
103
Gambar 25 Peta perambahan hutan di Taman Nasional Kutai (TNK 2005). Data perambahan hutan mangrove di kawasan TNK dari Balai TNK tidak diperoleh, namun berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa perambahan hutan mangrove terjadi karena pembukaan lahan untuk pemukiman (dibentuk 4 desa definitif di pesisir kawasan TNK), untuk tambak, pemanfaatan kayu mangrove untuk bangunan dan pembuatan alat tangkap ikan (bubu, sero/belat, bagan), pemanfaatan nipah untuk atap. Dokumentasi perambahan hutan mangrove dapat dilihat pada lampiran 29.
4.5.2 Illegal Logging Salah satu masalah terbesar yang menyebabkan rusaknya TNK adalah illegal logging. Data pencurian kayu pada tahun 2005 (TNK 2005) disajikan pada Tabel 8.
104
Tabel 8 Hasil pengamanan hutan di TNK tahun 2005. No. Tempat/Lokasi Kejadian 1 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, Teluk Kaba II, SKW I 2 Km. 9 Ex Jalan PT Kayu Mas, SKW I 3 Km. 9 Ex. Jalan PT Kayu Mas, SKW I 4 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I 5 Senara, SKW II
6 Km.9 Pertamina, SKW II
Barang Bukti
Instansi yang Menangani
1 unit chainsaw
PPNS BTNK Bontang
Kayu ulin = 4.005 Kayu Meranti = 0.868 1 unit chainsaw
PPNS BTNK Bontang PPNS BTNK Bontang
Temuan
Kayu ulin + 2.44 m3 1 unit chainsaw 2 unit chainsaw Meranti 20x20x4=12 batang Ulin 10x10x4 = 10 batang 3 unit chainsaw
PPNS
Temuan
Polres Kutim
Jaksa Penuntut Umum
Polres Kutim
Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum
7 Km. 12 Jl. Sangatta – Bontang, SKW II
PPNS TNK
8
PPNS TNK
9
10
11
1 unit chainsaw 1 buah parang Kayu ulin 10x10x2 = 20 batang Km.9 Jl. Bontang – Sangatta, Pick-up KT 8341 CB SKW I Kayu 2x14x2 = 230 batang = 1.2 m3 Km. 10 Jl. Bontang – Truk KT 8754 R Sangatta, SKW I muatan blambangan + 6 m3 Truk KT 8594 AK muatan blambangan + 5 m3 Km.5 Jl. Bontang-Sangatta, Pick-up Zebra KT 8012 SKW II BU Ulin flooring ukuran 2x10x200 = 250 batang = 1 m3 Teluk Kaba II, SKW I Kayu ulin = 0.3 m3
12 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ulin = 0.78 m3 13 Km. 9 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I
Penyelesaian/ Tahap Penyelesaian Temuan
2 unit chain saw BB. Kayu 6x12x2 =12 batang Kayu temuan 10x10x4 = 14 batang = 0.56 m3 14 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ukuran 10x10x4 =16 batang =0.6 m3 Kayu 10x5x4=10 batang = 0.2m3
PPNS TNK
Temuan
Keterangan Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional
Operasi Fungsional Perambahan
Jaksa Penuntut Umum
Operasi Fungsional Tanpa SKSHH Jaksa Penuntut Operasi Umum Fungsional Tanpa SKSHH Operasi
PPNS TNK
Jaksa Penuntut Umum
Operasi Fungsional Tanpa SKSHH Operasi
PPNS
Temuan
PPNS
Temuan
Polres Kutim
Polres Kutim
Operasi Fungsional Operasi Fungsional Operasi Fungsional
PPNS
Temuan
Operasi Fungsional
Sumber: TNK (2005)
Setelah pengawasan terhadap mafia pencurian kayu di hutan diperketat, yang berimbas pada tingginya harga kayu hutan seperti ulin dan bengkirai, maka saat ini kayu bakau menjadi alternatif pilihan sebagai kayu bangunan.
105
4.6 Proses Enclave di TNK Permasalahan yang kompleks dalam mengelola TNK, terutama berkaitan dengan adanya penduduk di dalam kawasan TNK, mendorong inisiatif pemerintah daerah untuk mengadakan kegiatan lokakarya Taman Nasional Kutai pada tanggal 31 Oktober 2000. Lokakarya tersebut diikuti hampir semua stakeholder yang terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Kutai. Kegiatan enclave sendiri merupakan salah satu rekomendasi dari kegiatan lokakarya tersebut. Lokakarya
merekomendasikan
bahwa
salah
satu
cara
untuk
menyelamatkan TNK adalah melalui enclave dan relokasi penduduk melalui beberapa tahap kegiatan, yaitu: -
Perlu segera ditetapkan tapal batas 4 desa didalam TNK sesuai dengan konsep enclave, sementara penduduk yang ada di luar batas enclave desa harus masuk ke dalam wilayah desa yang ditetapkan (Desa Teluk Pandan, Desa Sangkima, Desa Sangatta Selatan dan Desa Singa Geweh)
-
Bagi penduduk yang tidak mau bergabung masuk kedalam batas enclave desa diupayakan untuk masuk program transmigrasi lokal (relokasi) yang letaknya antara sepanjang jalan Sangkulirang (Maloy) hingga Muara Wahau.
Kegiatan enclave ini ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Kerja dari Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No. 830/DJ-V/LH/2000 tanggal 20 November 2000 kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk melaksanakan Tata Batas Enclave 4 desa definitif di Taman Nasional Kutai. Tata Batas Taman Nasional Kutai adalah salah satu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur sebelum dilakukan enclave. Persoalan Tata Batas menjadi penting ketika konsep enclave disetujui sebagai salah satu cara untuk penyelesaian berbagai permasalahan di Taman Nasional Kutai. Tahapan proses Tata Batas Taman Nasional Kutai dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Penunjukan Kawasan Hutan : Menurut surat keputusan terakhir adalah sesuai SK Menhut No. 79/Kpts-II/2001 sebagai TNK seluas 198 269 ha. 2. Penataan Batas
106
Tata Batas Suaka Margasatwa Kutai tahun 1979 sepanjang 274 Km (temu gelang) oleh Direktorat Bina Program Kehutanan. Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas Kabupaten Dati II Kutai tanggal 2 Agustus 1979, disahkan Mentan tanggal 1 Oktober 1980. Tata batas alam 55.7 Km (tahun 2003) yg telah ditandatangani di Panitia Tata Batas Kabupaten Kutai Timur. Rekonstruksi batas buatan 83.7 Km (tahun 2005). Informasi tentang rencana dan realisasi tata batas yang telah dilakukan di areal rencana enclave dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave No
Desa
Rencana Jarak datar (m)
Realisasi Jarak datar (m)
Luas (ha)
Sangatta Selatan 2 Singa Geweh 3 Sangkima 4 Teluk Pandan
15 500
20 259.39 **
5 200
39 980 23 530 42 250
36 734.83 ** 30 516.80 ** 58 400.87 *
3 600 6 215 8 697
JUMLAH
121 260
1
145 908.89
23 712
Keterangan ** Sudah sampai pemancangan pal definitif * Baru sampai pemancangan patok sementara
Sumber : Laporan Pelaksanaan Tata Batas Enclave, Pelaksanaan Relokasi Penduduk, dan Program Rehabilitasi dan Pemagaran Taman Nasional Kutai, Pemkab Kutai Timur 2009
Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dari 23 712 ha kawasan enclave yang akan ditata batas, baru 15 015 ha atau sepanjang 87 511.02 m yang sudah di tata batas definitif. Sisanya seluas 8 697 ha atau sepanjang 58 500.87 m di desa Teluk Pandan belum dilaksanakan tata batas definitif. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung, menyebutkan bahwa pengukuhan status kawasan dimulai dari proses penunjukan kawasan, penataan batas, pengukuran, pemetaan sampai pada proses penetapan status kawasan. Persoalan tata batas yang belum definitif ini juga menjadi persoalan penting mengapa hingga saat ini proses tata batas belum selesai. Keterlambatan proses tata batas ini bisa berakibat munculnya spekulan-spekulan tanah. Hasil
107
survei Yayasan BIKAL dalam Pemkab Kutai Timur (2005), menunjukkan bahwa para spekulan tanah di TNK 50.5% berasal dari Bontang dan 35.5% berasal dari Sangatta. Tercatat pada Desember 2001 seluas 255.75 ha diluar kawasan enclave telah dikuasai oleh para spekulan dan kemungkinan luasan tersebut akan semakin bertambah bila proses enclave belum selesai. Pada tanggal 29 – 31 Mei 2006 di Sangatta dilaksanakan ”Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai”. Kegiatan diskusi tersebut diikuti beberapa stakeholder penting yaitu Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional III, Direktorat Jenderal PHKA, Badan Planologi Departemen Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Yayasan Bina Kelola Lingkungan, Dinas Kehutanan Kutai Timur, Bappeda Kutai Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Fasda Kalimantan. Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai menghasilkan beberapa keputusan yaitu disepakatinya 3 (tiga) alternatif rekomendasi penyelesaian permasalahan Taman Nasional Kutai, meliputi: 9 Alternatif 1: menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas 23 712 ha. Bentuk dan kerjasama pengelolaan akan dirumuskan kemudian dengan mengacu pada SK DIRJEN PHKA terkait. 9 Alternatif 2:
menyelesaikan tata batas TNK yang prosesnya belum
ditetapkan oleh Menhut. Ini dilakukan dengan memperbaharui gabungan hasil pengukuran tata batas pemukiman masyarakat di bagian barat dengan hasil tata batas luar. 9 Alternatif 3 : penyelesaian masalah penggunaaan areal TNK akan dilakukan dengan berdasarkan pasal 19 UU 41 /1999 pada scheme perubahan fungsi. Tiga Alternatif tersebut nanti akan dikaji oleh Tim Pengkajian yang dibentuk oleh Departemen Kehutanan dan di SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Tim tersebut dibentuk untuk mengkaji 3 (tiga) alternatif yang dimungkinkan paling tepat untuk pengelolaan Taman Nasional Kutai. Berselang 1 (satu) minggu dari kegiatan diskusi pada tanggal 29-31 Mei 2006 tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2006 melalui Surat No:
108
S.360/Menhut-IV/2006 Menteri Kehutanan Mengeluarkan surat ”Penyelesaian Penataan Batas 4 Desa Dalam Kawasan TNK”. Berikut kutipan isi surat tersebut pada butir 4 : ”Untuk membatasi kerusakan yang lebih luas maka tata batas desa Teluk Pandan dapat dilanjutkan dengan syarat tidak mengakses hal-hal yang tidak dapat dibuktikan keabsahannya dan dilakukan dengan metoda minimalis”. Berdasarkan surat tersebut Pemkab Kutai Timur melalui Dinas Lingkungan Hidup telah mempersiapkan kegiatan penyelesaian Tata Batas TNK. Pada tanggal 13 Juli 2006, Dinas Lingkungan Hidup mengadakan rapat awal penyelesaian penataan batas yang di hadiri oleh Tim Tata Batas Enclave Desa Teluk Pandan. Tim Tata Batas ini melibatkan semua stakehoder yang terkait dengan tata batas di desa Teluk Pandan yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, Bagian Hukum Setkab Kutai Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kaltim, Kepala Desa Teluk Pandan, Kepala Desa Martadinata, Kepala Desa Kandolo, Yayasan Bikal. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menyusun rencana kegiatan penataan batas desa Teluk Pandan. Menindaklanjuti keluarnya Surat Menteri Kehutanan tersebut maka dilaksanakan beberapa kali pertemuan dengan Tim Tata Batas yang melibatkan Pihak BPKH dan BTNK. 1. Pertemuan Tanggal 30 Nopember 2006 o Pertemuan membahas hal-hal yang perlu segera dilaksanakan terkait dengan Surat Menteri Kehutanan. o Membahas rencana pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. 2. Pertemuan Tanggal 14 Desember 2006 o Persiapan Teknis Pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. o Persiapan alat dan bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. 3. Pelaksanaan Tata Batas Pengaman Enclave Desa Teluk Pandan, Desa Martadinata dan Desa Kondolo pada tanggal 8 – 23 Januari 2007
109
4.7 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat dalam Lokasi TNK Pada masa yang lalu pengelolaan kawasan konservasi sering merugikan masyarakat karena terjadi pembatasan akses mereka terhadap sumberdaya. Masyarakat lokal yang bergantung pada sumberdaya dalam kawasan konservasi yang umumnya paling terpengaruh oleh kondisi ini. Dalam jangka panjang kawasan konservasi akan lestari hanya bila didukung oleh masyarakat lokal. Idealnya kawasan konservasi seharusnya menjadi aset yang sangat berharga yang menghormati hak-hak, mengentaskan kemiskinan, dan memberikan solusi dalam konflik manusia-alam (human-wildlife conflict) agar kawasan konservasi dapat bertahan sesuai fungsinya. Penolakan masyarakat lokal atas beberapa Taman Nasional di Indonesia, baik yang lama maupun yang baru ditetapkan, sesungguhnya hal yang wajar terjadi karena masyarakat juga memiliki konsep, pemikiran dan kepentingan tersendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Mereka juga berhak atas sumberdaya alam yang ada dalam Taman Nasional karena dari situlah kehidupan mereka terbentuk. Maka adalah hak mereka juga untuk duduk setara dengan pihak lain dan menyampaikan konsepnya secara langsung dalam setiap proses pengambilan keputusan. CII (2006) menyatakan potensi konflik yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional tak sekedar dipicu oleh prosesnya yang bersifat top-down, namun juga oleh dua hal penting lainnya, yaitu persoalan aksesibilitas dan manfaat bagi masyarakat. Aksesibilitas terhadap sumberdaya alam merupakan faktor yang harus dipertimbangkan lewat perspektif sosio-kultural mengingat pengelolaan Taman Nasional dimanifestasikan dalam sistem permintakatan (zonasi) dengan berbagai pengaturannya. Persoalan lantas muncul manakala aturan tersebut berimplikasi pada penyempitan, bahkan penghapusan akses penduduk terhadap sumberdaya alam yang dijadikan zonasi tertentu, terutama pada zona inti (no-take zone). Faktor manfaat kehadiran taman nasional juga perlu dikaji lebih dalam. Masyarakat lokal cenderung mengharapkan manfaat yang bersifat langsung dari apapun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan. Manfaat itu sendiri tidak melulu bersifat ekonomi dan materil, tapi yang lebih mendasar
110
adalah a hak masyarakat m d dalam pengeelolaan ruanng dan sumbberdaya alam m di sekitar mereka; m serrta hak terhhadap keterrsediaan sum mber daya alam yang menjamin kelangsunga k an hidup merreka. Pemaahaman atass kondisi soosial budayaa masyarakaat yang tingggal dalam kawasan tam man nasionaal akan mem mbantu keberhasilan dalam menyusuun rencana pengelolaann Taman Nassional Kutai.. 4.7.1 Jenis J Matap pencaharian n Mataapencahariann masyarakaat di dalam lokasi TNK K tersaji dalaam Gambar 26. 2 bidang usaha jasa paling p banyyak dilakukaan oleh pendduduk yang tinggal di dalam d lokasi TNK, berikkutnya adalaah usaha perrtanian tanam man pangan dan diikuti dengan d usah ha perdaganggan. Tingginnya jumlah penduduk p yaang berusahaa di bidang pertanian p taanaman pang gan dan perrkebunan daapat menjaddi indikator banyaknya konversi k huttan menjadii lahan pertaanian. Bidanng perikanann tidak menjjadi bidang usaha u pentin ng bagi pend duduk. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Sangatta Selatan Singa Geeweh Sangkim ma Sangkim ma Lama
G Gambar 26 Juumlah penduuduk sesuai jenis mata ppencaharian. (Sumber: Monografi M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)
4.7.2 Jumlah J Penduduk TNK K berada di tengah-tenggah daerah industri. i Perrkembangan n perkotaan yang y tidak terkendali t menyebabkan m n masyarakatt bermukim baik di dalaam maupun di d sekitar kawasan k karrena keinginnan untuk memperolehh lapangan pekerjaan. Jumlah J pendduduk desa di d dalam TN NK tersaji dallam Gambarr 27.
111
6152
6918
Saangatta Selatan n Sin nga Geweh
1207
Saangkima 3072
5278
Saangkima Lama Teeluk Pandan
Gam mbar 27 Jum mlah penduduuk di empat desa definitiif dalam TN NK. (Sumber: ( 1. Daata Identifikasii Enclave TNK K Tahun 2005, Dinas Lingkunngan Hidup Ku utai Timur; 2. Monografi M Keccamatan Sangattta Selatan Tahhun 2008)
Jumllah pendudu uk Desa Saangatta Selattan terbanyak dibandinngkan desa yang y lainnyaa, karena Deesa Sangattaa Selatan meerupakan dessa tertua di Kecamatan K Sangatta, seebelum dimeekarkan mennjadi Kecam matan Sangattta Utara daan Sangatta Selatan. Deesa Sangattaa Selatan sendiri termasuk dalam m Kecamatan n Sangatta Selatan yang g terdiri darii 3 desa, yaiitu Desa Sanngatta Selataan, Desa Sinnga Geweh, dan d Desa Saangkima. Desaa
Teluk
P Pandan
sellanjutnya
merupakan m
desa
yanng
jumlah
pendudukny p ya tertinggi kedua. Namun, perkkembangan selanjutnyaa desa ini lagi menjaadi Desa Teeluk Pandan dimekarkan d n, Kandolo dan Martaddinata, dan statusnya seekarang mennjadi kecam matan. Deng gan berdirinnya sebuah kecamatan baru, b maka permasalaha p an perambahhan hutan di TNK menjaadi semakin kompleks. Adanya A pem mekaran keecamatan berimplikasi pada pembbangunan sarana s dan prasarana p um mum bagi peenduduk, sepperti sekolah h, tempat ibaadah, saranaa kesehatan dll, d dan akhiirnya pemecahan masalaah TNK mennjadi semakin sulit.
4.7.3 Agama A Agam ma yang diaanut pendudduk di desa definitif d dalaam kawasann TNK dan tempat t ibadaah yang dim miliki disajikaan dalam Tabbel 10.
112
Tabel T 10 Jum mlah pemelu uk agama daan tempat ibaadah di desa definitif dallam TNK Sangatta Selatan Jml TI 6 651 144
Agama Islam Protestan
Singa Geweh** Jml T TI 5 179 11
Sangkim ma* Jml 2 969
TI 7
San ngkima Laama* Jml TI 1 2022 3
Teluk Pandan* Jml TI 5 017 166
81
1
89
-
103
1
5
-
4
-
186
1
10
-
-
-
-
-
-
-
Budha
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Hindu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Katolik
Sumber: Mo onografi Keecamatan Saangatta Selattan dan Keccamatan Telluk Pandan Tahhun 2008 Keterangan: K i *: Desa Panntai, Jml: juumlah pemeeluk agama, TI: tempat ibadah ggal dalam Tabeel 10 menunnjukkan bahhwa mayorittas penduduuk yang ting lokasi l TNK K beragama Islam. I Jumlaah tempat ib badah yang dibangun dalam d TNK juga j sudah cukup c banyaak yaitu sekittar 51 masjidd dan mushoolla, serta 3 gereja. g 4.7.4 Pendidikan P Saran na pendidik kan di desa definitif daalam kawasaan TNK terrsaji dalam Gambar G 28 dan d Gambarr 29.
3 2.5 5 2 Unit 1.5 5 1 0.5 5 0
Sangattaa Selatan Singa Ge eweh Sangkim ma Sangkim ma Lama Teluk Paandan
G Gambar 28 Sarana S pendidikan di dessa definitif ddalam TNK. (Sumber: ( M Monografi Keec. Sangatta Selatan dan Kec. Teluk Pandan Tahu un 2008) Gam mbar 28 mennunjukkan baahwa fasilitaas sarana penndidikan yanng tersedia bagi b masyaarakat yang berada dallam TNK sudah s relatiff lengkap, mulai dari
113
pendidikan p TK hingga Sekolah Menengah Atas. Denngan demikkian dapat dikatakan d baahwa masyaarakat sudahh memperoleeh pendidikaan yang cuku up. Namun demikian d haasil survei kepada k respoonden menu unjukkan ratta-rata respo onden yang bekerja b di biidang perikaanan lebih daari 70% hanyya bersekolaah sampai SD D dan tidak lulus l SD. Gamb bar 29 menuunjukkan daari keempat desa definittif yang adaa di dalam TNK T umum mnya lebih dari d 30% pennduduknya hanya h berseekolah sampai SD, dan yang y bersek kolah samppai SLTA hanya sekiitar 10-20% %. Rendahny ya tingkat pendidikan p masyarakatt akan meempengaruhii pemaham man masyarrakat akan pentingnya p menjaga keelestarian linngkungan, teerkait dengaan lingkung gan mereka yang y merupaakan kawasaan taman nassional. 60 50 40
Tidak Sekolah SD
30
SLTP 20
SLTA Perguruaan Tinggi
10 0 Saangatta S Selatan
Singga Geweh
Sangkima
Teluk Pandan
Gambaar 29 Tingkatt pendidikann masyarakatt di desa deffinitif dalam TNK. (Sumbeer: Data Inden ntifikasi Enclaave Taman Nasional N Kutaii tahun 2005, Dinas L Lingkungan H Hidup Kab. Kutai K Timur)
Kegiaatan pengelolaan ekosisttem mangrov ve akan efekktif bila diduukung oleh sumberdayaa manusia yang berm mutu. Hal ini berarti seseorang memiliki kemampuan k n berpikir daan keteramppilan untuk berbuat sessuatu karenaa memiliki tingkat t penngetahuan yang y tingggi. Dengan tingginya tingkat peengetahuan diharapkan d masyarakat dapat lebihh memaham mi manfaat ppengelolaan ekosistem mangrove m untuk u kehiduupan merekaa dan juga dapat berpeeran aktif daalam setiap kegiatan k penngelolaan maangrove.
114
4.7.5
Kesehatan
Sarana kesehatan di desa definitif dalam kawasan TNK disajikan dalam Tabel 11. Sarana kesehatan bagi masyarakat dalam lokasi TNK cukup tersedia dengan adanya 1 Rumah sakit, 2 puskesmas dan 2 puskesmas bantu. Tabel 11 Sarana kesehatan di desa definitif dalam TNK Fasilitas Kesehatan RUMAH SAKIT PUSKESMAS PUSBAN POSYANDU
Sangatta Selatan Jml
Singa Geweh Jml
Jml
Sangkima Lama Jml
Teluk Pandan Jml
-
-
1
-
-
1 7
2
1 2
1 1
1 -
Sangkima
Sumber: Monografi Kecamatan Sangatta Selatan dan Kecamatan Teluk Pandan Tahun 2008 4.7.6
Aspek Kelembagaan
Kelembagaan yang terlibat dalam kegiatan kelestarian lingkungan yang beraktivitas di kawasan TNK terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut antara lain: 1. Balai TNK Balai TNK yang berkedudukan di Kota Bontang, Propinsi Kalimantan Timur, merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai TNK mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem TNK dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam menyelenggarakan tugas pokok tersebut, BTNK mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan TNK; b. Pengelolaan TNK; c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari TNK; d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran TNK;
115
e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; f. Kerjasama pengelolaan TNK; g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. 2. LSM BIKAL (Bina Kelola Alam) BIKAL adalah salah satu lembaga swadaya yang sangat perhatian pada kelestarian alam Taman Nasional Kutai. Untuk saat ini BIKAL memiliki program yaitu : a.
Penguatan masyarakat sipil Kutai Timur dalam mendorong partisipasi publik
b.
Analisis Kelembagaan (DPRD, Masyarakat, dan Konflik Pengelolaan SDA)
c.
Pengembangan media informasi
d.
Pembuatan fungsi kontrol
e.
Menggalang aliansi
3. LSM BEBSIC (Borneo Ecological Biodiversity Science) BEBSIC
merupakan
LSM
yang
banyak
menaruh
perhatian
pada
keanekaragaman hayati. Adapun program BEBSIC yang ada di TNK adalah : a.
Riset Keanekaragaman Hayati (Orangutan)
b.
Kampanye Kesadaran Publik
4. Polres Bontang Polres Bontang adalah instansi yang bertanggungjawab terhadap pengamanan kawasan terutama pada kasus-kasus pencurian kayu dan perambahan hutan yang mengganggu keberadaan Taman Nasional Kutai. Program utama kepolisian dalam pengamanan TNK adalah melakukan kegiatan-kegiatan operasi di wilayah TNK dengan sandi Operasi Jaring Kakap, Operasi Wanalaga I Mahakam dan Operasi Wanalaga II Mahakam dengan sasaran penertiban penebangan-penebangan liar dan perambahan hutan. Kegiatan tersebut bekerjasama dengan Polsus Jagawana TNK. 5. Mitra TNK Dalam upaya pengelolaan kawasan, Balai TNK telah menggandeng 8 perusahaan berskala besar yang mempunyai lokasi kegiatan bersebelahan dengan TNK dalam wadah Mitra Kutai (Friends of Kutai). Perusahaan tersebut yaitu PT. KPC dan PT. Indominco Mandiri (tambang batubara), PT Pupuk
116
Kaltim (pupuk), PT Badak NGL dan Pertamina (minyak dan gas) serta PT. Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT Porodisa (pemegang konsesi hutan). Mitra Kutai memberikan dukungan finansial dan teknis yang sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan kepada Balai TNK. Bentuk partisipasi dan kerjasama Mitra Kutai tersebut dikukuhkan melalui SK Dirjen PHPA No. 121/Kpts/Dj-VI/1995 tanggal 30 April 1994.
4.8 Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat terkait dengan pengelolaan mangrove di TNK ditelusuri dengan menggunakan alat kuisioner dan wawancara secara mendalam. Hasil penelusuran terhadap persepsi masyarakat disajikan secara deskriptif berikut. 4.8.1 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove Dalam
penelitian
ini,
pemahaman
masyarakat
diartikan
sebagai
pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove, peraturan, fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove di kawasan TNK khususnya terhadap kondisi, rehabilitasi dan konservasi mangrove secara umum cukup baik. Namun tingkat pemahaman terhadap fungsi dan peraturan yang terkait dengan ekosistem ini relatif rendah. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang paham terhadap kondisi mangrove di TNK, apakah masih bagus atau mulai terdegradasi, sebesar 67%. Responden yang memahami perlunya rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove di TNK sebanyak 50%. Namun demikian, walaupun banyak responden yang setuju untuk konservasi mangrove, mereka juga merasa pemanfaatan hutan mangrove bebas dilakukan, kelompok ini sejumlah 58.33%. Sebanyak 25% masyarakat memahami fungsi mangrove bagi perikanan, dan namun yang mengerti peraturan perundangan tentang mangrove hanya 20 % (Tabel 12). Pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dalam hal ini adalah sebagai pencegah abrasi dan erosi, tempat hidup, bertelur dan berkembang biak beberapa jenis ikan, udang, kepiting dan kerang.
117
Tabel 12 Pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan mangrove. No Tingkat Pemahaman Masyarakat Persentase (%) 1 Kondisi mangrove 66.67 2 Fungsi ekologis mangrove 25 3 Peraturan tentang mangrove 20 4 Setuju Rehabilitasi dan konservasi 50 5 Bebas memanfaatkan mangrove 58.33 Sumber: Hasil olahan data primer 2009
Pemahaman terhadap rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove menunjukkan seberapa penting kedua kegiatan ini dilakukan. Masyarakat sangat mendukung diadakannya program-program rehabilitasi dengan syarat tidak membatasi mereka dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Walaupun masyarakat mendukung program rehabilitasi, namun di sisi lain masyarakat masih memanfaatkan mangrove dengan cara yang merusak, misalnya mengambil kayu untuk bangunan atau membuka tambak. Sehingga diduga bahwa pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan mangrove masih bersifat sepotong-sepotong, dimana keterkaitan antara fungsi, pemanfaatan dan konservasi mangrove belum dipahami seutuhnya. Tingkat pemahaman yang rendah terhadap peraturan yang berkaitan dengan mangrove di TNK umumnya disebabkan kurangnya sosialisasi dan informasi terhadap peraturan-peraturan yang ada yang menyebabkan masyarakat memanfaatkan mangrove secara tidak terkendali dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi mangrove. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih intensif dalam sosialisasi peraturan-peraturan tentang perlindungan mangrove dan sanksi-sanksi terhadap peraturan yang ada. Selain itu diperlukan juga informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan dalam hal pemanfaatan sumberdaya mangrove. Tingkat persepsi yang berkembang dalam masyarakat dibangun oleh beberapa faktor internal yang terdapat dalam masyarakat, faktor-faktor internal tersebut merupakan kekuatan yang mendukung terhadap segala bentuk kegiatan masyarakat khususnya yang menyangkut perilakunya dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Namun demikian, persepsi masyarakat ini tidak dapat dijadikan ukuran mutlak untuk melihat suatu gejala, karena persepsi tersebut
118
dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan maupun pengetahuan seseorang.
4.8.2
Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan S. serrata
Kepiting bakau sebagai salah satu sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem mangrove TNK sudah lama dikenal masyarakat sebagai bahan makanan. Sampai saat ini masyarakat hanya mengetahui cara memperoleh kepiting bakau hanya melalui penangkapan kepiting bakau di alam. Sedangkan teknologi budidaya kepiting bakau bagi sebagian besar masyarakat di TNK masih menjadi hal yang asing. Namun demikian animo masyarakat, terutama dari kalangan nelayan untuk menerima introduksi teknologi budidaya kepiting bakau cukup besar. Hasil dari pengolahan data kuisioner mengenai persepsi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya S. serrata disajikan dalam Tabel 13. Dari hasil analisis kuisioner diketahui bahwa tidak banyak masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya S. serrata untuk matapencaharian yaitu hanya 16.67% saja. Hanya orang-orang yang mempunyai keahlian dalam mencari dan menangkap kepiting bakau saja yang mau memanfaatkan kepiting bakau untuk matapencahariannya. Tabel 13 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai pemanfaatan S. serrata. Persentase No Tingkat Pemahaman Masyarakat (%) 1 Matapencaharian S. Serrata 16.67 2 Setuju membudidayakan S. Serrata 46.67 Mengganti pemanfaatan mangrove dg S. 3 20 Serrata Sumber: Hasil olahan data primer 2009 Namun demikian, pada saat diperkenalkan dengan teknologi budidaya kepiting bakau, hampir separuhnya (46.67%) menyatakan tertarik dan menganggap sebagai matapencaharian yang baik. Hanya saja, masyarakat juga masih beranggapan bahwa mangrove boleh dimanfaatkan dengan bebas, dan sebagian masyarakat menyatakan bahwa pendapatan dari mangrove tidak dapat digantikan dengan usaha budidaya kepiting bakau (20%). Hal ini disebabkan masyarakat belum yakin akan keberhasilan budidaya kepiting bakau.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung Habitat Mangrove TNK 5.1.1 Ekologi Habitat Mangrove TNK Ekosistem mangrove pada umumnya dijadikan sebagai tempat hidup berbagai jenis satwa liar, seperti: ikan, serangga, invertebrata, burung, dan mamalia besar. Hal tersebut disebabkan pada tipe ekosistem mangrove ini memungkinkan tersedianya unsur hara dan makanan satwa liar sepanjang tahun. Satwa liar yang terdapat di kawasan hutan mangrove TNK berdasarkan hasil survey Rahmadani et al. (2004) meliputi jenis burung, primata, dan reptilia. 5.1.1.1
Jenis dan Kerapatan Vegetasi Mangrove
a) Muara Sangata Mangrove di Muara Sangatta merupakan hutan bekas tebangan yang telah kehilangan pohon berdiameter besar dan sebagian dari areal ini telah dijadikan tambak. Di dalam plot tidak dijumpai pohon-pohon berdiameter besar, sebagian besar merupakan trubusan dengan diameter <10 cm. Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi mangrove di Muara Sangatta pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa kerapatan 1 113 individu/ha, dbh rata-rata 4 cm, basal area 1.677±0.427 m2/ha dan minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 3 marga dan 3 suku. Jenis pohon yang ditemui ada 4, jenis yang dominan adalah Aegiceras corniculatum dengan INP = 142.031%, menyusul Nypa fructicans dengan INP = 130.481%, Ceriops tagal dengan INP = 15.350%, dan Ceriops decandra dengan INP = 12.138%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi di Muara Sangatta. No. 1 2 3 4
Nama Jenis Aegiceras corniculatum Nypa fructicans Ceriops tagal Ceriops decandra
Nama Suku
Nama Lokal
INP (%)
Myrsinaceae
Gedangan
142.031
Arecaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Jumlah
Nipah Soga tingi Bido-bido
130.481 15.350 12.138 300.000
120
b) Teluk Perancis Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan Muara Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar tambak tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis. Ekosistem mangrove Teluk Perancis mempunyai struktur pertumbuhan vegetasi yang lengkap pada tingkat semai, pancang, dan pohon sehingga proses regenerasi dapat berlangsung dan akan terwujud kelestarian apabila tingkat ancaman/gangguan kerusakan terhadap ekosistem tersebut rendah. Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh ≥10 cm pada 8 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan pohon di
Teluk Perancis TNK 550 pohon/ha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area
7.421±0.224 m2/ha dan minimum ada 3 jenis pohon yang termasuk dalam 2 marga dan 1 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini. Ekosistem mangrove Teluk Perancis memiliki keanekaragaman jenis yang tergolong rendah pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi dan didominasi oleh Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza. Selain jenis-jenis tersebut, berdasarkan laporan survei potensi mangrove di TNK yang dilakukan oleh Rahmadani et al. (2004) dijumpai pula jenis Avicennia alba, Ceriops tagal, Casuarina equisetifolia, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, dan Lumnitzera racemosa. Dari 3 jenis pohon yang ditemui di Teluk Perancis, jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 184.650%, menyusul Rhizophora mucronata dengan INP = 79.491%, dan Bruguiera gymnorrhiza dengan INP = 35.860%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Teluk Perancis. No. Nama Jenis 1 Rhizophora apiculata 2 Rhizophora mucronata 3 Bruguiera gymnorrhiza
Nama Suku Rhizophoraceae Rhizophoraceae
Nama Lokal Bakau minyak Bakau hitam
Rhizophoraceae
Bakau daun besar
Jumlah
INP (%) 184.650 79.491 35.860 300.000
121
Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh 2 10 cm pada 8 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa kerapatan anakan 800 individu/ha, dbh rata-rata 6.83 cm, basal area 3.037±0.566 m2/ha dan minimum ada 4 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 2 marga dan 1 suku yang dijumpai di Teluk Perancis ini. Indeks nilai penting anakan pohon dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Teluk Perancis. Nama Suku
Nama Lokal
No.
Nama Jenis
1 2
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
Rhizophoraceae Rhizophoraceae
Bakau minyak Bakau hitam
3
Ceriops decandra
Rhizophoraceae
Bido-bido
66.900
4
Ceriops tagal
Rhizophoraceae
Soga tingi
15.396
Jumlah
INP (%) 141.288 76.415
300.000
c) Muara Sangkima Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap vegetasi pohon dengan dbh ≥10 cm pada 16 petak ukur berukuran 10 x 10 m diketahui bahwa kerapatan pohon di Muara Sangkima TNK 613 pohon/ha, dbh rata-rata 35.2 cm, basal area 64.69±16.181 m2/ha dan minimum ada 6 jenis pohon yang termasuk dalam 6 marga dan 4 suku berbeda yang dijumpai di kawasan ini. Dari 6 jenis pohon yang ditemui di Muara Sangkima, jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 167.667%, menyusul Bruguiera gymnorrhiza dengan INP = 91.555%, dan Ceriops decandra dengan INP = 26.397%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan hasil analisis plot botani terhadap anakan pohon dengan dbh 2 - 10 cm pada 16 petak contoh yang berukuran 5 x 5 meter diketahui bahwa kerapatan 1250 individu/ha, dbh rata-rata 5.21 cm, basal area 3.127±0.514 m2/ha dan minimum ada 7 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 6 marga dan 4 suku yang dijumpai di Muara Sangkima ini.
122
Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi pohon di Muara Sangkima. No. Nama Jenis 1 Rhizophora apiculata 2 Bruguiera gymnorrhiza 3 Ceriops decandra 4 Osbornia octodonta 5 Hibiscus tiliaceus 6 Lumnitzera littorea
Nama Suku Rhizophoraceae
Nama Lokal Bakau minyak
Rhizophoraceae Rhizophoraceae Myrtaceae Malvaceae Combretaceae Jumlah
Bakau daun besar Bido-bido Waru
INP (%) 167.667 91.555 26.397 4.836 4.772 4.772 300.000
Dari 7 jenis pohon yang ditemui, jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 133.451%, menyusul Bruguiera gymnorrhiza dengan INP = 66.177%, dan Ceriops decandra dengan INP = 58.471%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Indeks Nilai Penting (INP) dari vegetasi anakan pohon diamater 2 – 10 cm di Muara Sangkima. No. Nama Jenis 1 Rhizophora apiculata 2 Bruguiera gymnorrhiza 3 Ceriops decandra 4 Osbornia octodonta 5 Avicennia lanata 6 Ceriops tagal 7 Hibiscus tiliaceus
5.1.1.2
Nama Suku Rhizophoraceae
Nama Lokal Bakau minyak
Rhizophoraceae
Bakau daun besar
Rhizophoraceae Myrtaceae Verbenaceae Rhizophoraceae Malvaceae Jumlah
Bido-bido Api-api Soga tingi Waru
INP (%) 133.451 66.177 58.471 15.216 13.853 6.576 6.255 300.000
Kelimpahan Makrozoobenthos Makrozoobentos adalah organisme yang tidak mempunyai tulang belakang
dan hidup di dasar perairan dengan ukuran > 1 mm. Umumnya hewan bentos yang berada di perairan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya Echinodermata, Crustacea dan Moluska (Ziegelmeier 1972). Berdasarkan ukurannya, hewan bentos dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu macrofauna yang berukuran > 1 mm, microfana yang berukuran < 50 μm dan meiofauna yang berukuran antara macrofauna dan microfauna (Sumich 1979).
123
Kepiting bakau merupakan pemakan segala bangkai (omnivorous scavengers) (Arriola dalam Moosa et al. 1985). Kepiting bakau dewasa juga merupakan hewan pemakan benthos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang/kelomang, cacing, gastropoda, dan krustasea (Juwana pers comm. 2009). Oleh karena itu, kelimpahan hewan benthos dapat digunakan sebagai indikator pakan alami, untuk menduga kehadiran S. serrata pada suatu ekosistem. Kepiting bakau makan dengan menggunakan capitnya, maka hewan benthos yang diamati dalam penelitian ini adalah macrofauna, yang termasuk dalam kelompok epifauna dan fauna pohon, Epifauna (surface fauna) adalah fauna yang hidup di atas permukaan tanah dan meliang (menggali lubang). Fauna pohon, adalah fauna yang menempel pada akar dan batang atau cabang pohon. Hewan benthos yang berukuran mikro tidak diamati karena ukurannya yang terlalu kecil juga tidak memungkinkan bagi kepiting untuk mengambil dengan capitnya. Makrozoobentos yang diperoleh selama penelitian sebanyak 21 famili dari 4 kelas, meliputi 10 famili dari kelas Gastropoda, 5 famili dari kelas Pelecypoda, 6 famili dari kelas Malacostraca, dan 1 famili Polychaeta (Lampiran 22). Kelimpahan makrozoobenthos di tiga lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 30 . Pada kelas Gastropoda, kelimpahan makrozoobenthos yang tertinggi adalah Littoridae dengan kepadatan 8 ind/m2. Selanjutnya adalah Potamodidae (Telescopium sp), Muricidae, Cherithidae, dan Potamodidae (Telebralia sp). Pada kelas Pelecypoda (Bivalvia) makrozoobenthos yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Ostreidae dengan rata-rata kelimpahan 5.5 ind/m2, kemudian diikuti oleh Corbiculidae, dari jenis Geloina sp sebesar 2.75 ind/m2. Sedangkan dari kelas Malacostraca, kelimpahan tertinggi terdapat pada famili Paguridae, yang meliputi berbagai jenis kelomang air, dengan kelimpahan 8 ind/m2. Famili lain yang melimpah adalah Ocypodidae (Uca sp) dengan kelimpahan 6 ind/m2.
124
T Perancis
M Sangkim mah
8 7
2.75
3
6 5 0.75
5
1.75 2.25
0.5
1.5
0 1.25 0.25 0.75 0.75 5 0.5 0 0.25 0
KELAS PELECYPODA
Olividae
Muricidae
Nassaridae
Trochidae hid
2.5 0.25 0.5 1.75
0
0.5
0.75
3 1.25
25 1.2
0.25 0.25 0
0.5
KELAS POLYCHAETA
2
1 0.2 25 0..5
Paguridae (Pagurus sp)
0.5
Ostreidae
1 1.25
0 0.75 0 0.5 0.2 0.5 0.25 0 025 0 0.25 0.25 0.25 0.225
Neritidae
Littoridae
Telescopium
Telebralia
KELAS GASTROPODA
0
2
Tapes philippinarum
1 1.25
Dentaliidae
2
Corbiculidae (Geloina sp)
2.75
1
1
Upogebidae (Upogebia sp)
1.5
Ocypodidae (Ucha sp)
2
JEENIS MAKROZO OOBENTHOS
Gamb bar 30 Kelim mpahan makkrozoobenthoos di habitat mangrove TNK T Di lookasi Muara Sangatta beeberapa famiili Gastropodda cenderung tidak ada atau a sedikit ditemukan dibandingka d an pada lokasi lainnya. H Hal ini munggkin terjadi karena k kepaadatan vegetasi di lokasii Muara San ngatta juga llebih rendahh dibanding lokasi l lain.. Di lokassi ini makrrozoobenthoos lebih diidominasi oleh o kelas Malacostrac M ca, karena koondisi lokassi ini lebih terbuka t dan banyak lahaan tambak, sehingga baanyak jenis ini yang ikkut terbawa pasang darii laut melalu ui saluransaluran air. 5.1.1.3 5
Produksi P Seerasah Serasah adalah sisa s organik dari tanamann dan hewann, yang ditem mukan baik
di d permukaaan tanah ataau di dalam m mineral taanah. Serasaah terdiri ataas guguran cabang, c bataang utama, daun, d dan buah, yang menumpuk m p pada permukkaan tanah. Kehilangan K tahunan dari d daun, bunga, buaah, ranting,, dan serpiihan kulit, merupakan m bagian utam ma dari gugguran serasaah pada ekoosistem hutaan. Serasah
Nereis limnicola
4
Grapsidae (Sesarma sp)
1.5
Penaidae (Penaeus sp)
1.5
KELAS MALACOSTRACA
3.75 1.5
Anadara
3
0.75
1.75
Lucinidae
0.25 0.5
Portunidae (Thalamita sp) Portunidae (Thalamita sp)
4
Cherithidae
KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS i d/ ² ind/m²
M Sangatta
125
daun d meruppakan 70% % dari totall serasah di d permukaaan tanah (W Waring & Schlesinger dalam Sihaiinenia 2008)). Serasah merupaakan salah ssatu alternaatif makanann alami bag gi kepiting bakau. b Hasiil penelitiann McCann ddalam Arifinn (2006) meenyatakan bahwa 50% materi m yang g diidentifik kasi pada peencernaan kepiting k adaalah moluskka, 20-22% adalah a krusttasea, dan sisanya s 28-330% terdiri atas sejumllah kecil tannaman dan serasah. 25.00
7 23.77
24.45 5
23.89 9
20.00 15.00
13.38 11.56
12.47
10.00
prroduksi serasah h (to on/ha/th) juli prroduksi serasah h (to on/ha/th) deseember
5.00 0.00 muara sangatta
teluk prancis
muara sangkima
3 Grafik niilai rata-rata produksi serrasah di habitat mangrovve TNK. Gambar 31 Hasil analisa prroduksi seraasah memperrlihatkan baahwa produkksi serasah mangrove m dii beberapa lookasi di TNK K bervariasii antara 11.556 – 13.38 toon/ha/tahun pada p musim m kemarau dan antara 23.77 – 244.45 ton/ha/tth pada musim hujan. Produksi P seerasah di Teluk T Peranncis menunjjukkan nilaai yang palling tinggi dibanding d dii lokasi lainnnya, karena kkerapatan veegetasi manggrove di lokaasi tersebut juga j paling tinggi dan jenis vegetaasi yang meendominasi adalah Rhizzophora sp yang y daunnyya relatif lebbih tebal, seehingga seraasahnya lebihh berat. Nilaai produksi serasah manngrove di TN NK dapat dillihat pada Gambar 31 . Prodduksi serasahh mangrove di TNK paada musim hhujan jauh lebih tinggi dibanding d p pada musim kemarau. S Soeroyo (200 03) menyataakan, salah satu faktor yang y memppengaruhi guuguran seraasah mangroove adalah curah c hujann. Guguran serasah manngrove Sembbilang, Sum matera Utara jauh lebih ttinggi di muusim hujan dibandingka d an dengan musim kem marau. Hall ini sejalaan dengan penelitian
126
Bunyavejchewin dan Nuyim dalam Zamroni (2008), guguran serasah daun di hutan mangrove primer Thailand selatan sangat fluktuatif. Selama musim panas serasah meningkat pada bulan Januari-Maret, Pertengahan musim hujan serasah meningkat di bulan Juli-Agustus, dan di akhir musim hujan serasah meningkat di bulan November-Desember.
5.1.1.4
Kondisi Hidro-Oseanografi
A. Pasang Surut Laut Pasang surut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur termasuk tipe campuran cenderung ke harian ganda atau mixed prevailing semidiurnal (Unmul 2002), yaitu kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Fluktuasi pasang surut maksimum tercatat sebesar 2.5 meter pada saat pasang purnama (Dishidros 2005; Unmul 2002). Tinggi rendah pasang surut akan berpengaruh dalam kelimpahan S. serrata, karena S. serrata keluar masuk habitat mangrove biasanya bersamaan dengan mekanisme arus pasang dan surut. Selama pelaksanaan penelitian diketahui bahwa S. serrata akan masuk ke hutan mangrove pada saat pasang untuk mencari makan, sehingga pada saat seperti inilah para nelayan akan memasang perangkap di tepi-tepi perairan, berupa rakkang yang diberi umpan ikan rucah untuk memancing kepiting masuk dalam perangkap. Sedangkan nelayan yang menangkap kepiting dengan pengait akan mencari kepiting tepat pada saat air mulai surut, karena pada saat itu kepiting akan mencari lubang untuk bersembunyi. Semua nelayan yang diwawancarai sepakat menyatakan bahwa kepiting tidak akan ditemukan pada saat ‘konda’, yaitu kondisi dimana air diam, tidak pasang dan tidak juga surut. Konda terjadi diantara dua pasang besar yang terjadi pada setiap bulan. Menurut perhitungan nelayan di kawasan mangrove TNK, pasang besar terjadi pada saat air pasang/surut besar pada setiap tanggal 13-18 kalender hijriah (menjelang purnama-setelah purnama) dan tanggal 29-3 (bulan mati/bulan sabit). Di luar tanggal-tanggal tersebut terjadilah konda. Konda biasanya terjadi antara 3-5 hari.
127
Karena pesisir Kutai Timur termasuk dalam jenis pasang tipe campuran cenderung ke harian ganda (Dahuri 2001), maka terjadi dua kali pasang harian dengan puncak yang berbeda. Air pasang harian, atau nyorong menurut istilah nelayan, mulai terjadi jam 5-6 sore, mencapai puncak tertinggi jam 9-10 malam. Selanjutnya air mulai surut, hingga surut terendah harian terjadi pada jam 11-12 malam. Pasang berikutnya terjadi pada pukul 7-8 pagi, dan mulai surut pada jam 12 siang. Pasang surut ini juga berpengaruh dalam usaha budidaya sylvofishery kepiting bakau, karena mekanisme penggantian air dalam kurungan tancap tergantung pada pasang surut air laut tersebut. Sehingga pada areal yang tidak selalu tergenang oleh pasut akan memerlukan teknologi tambahan berupa pompa air untuk mengganti air dalam kurungan, sementara secara teknis hal ini agak sulit dilakukan pada daerah pesisir yang terpencil dan akses yang sulit untuk memperoleh listrik atau bahan bakar minyak. B. Arus Laut Kecepatan arus permukaan maksimum di perairan pesisir Kab. Kutai Timur terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, yaitu saat neap tide dan spring tide dengan kecepatan arus rata-rata mencapai 20-80 cm/detik dengan arah arus pasang 250°-333° dan arah arus surut mempunyai arah 36°-130° (Unmul 2002). Arus perairan yang terjadi di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur dikaitkan dengan fluktuasi pasang surut memperlihatkan perubahan arah dan kecepatan
arus
sesuai
dengan
perubahan
pasang
surut.
Hal
tersebut
mengindikasikan adanya pengaruh yang dominan dari pasang surut terhadap arus. Kecepatan arus pada waktu air pasang lebih kecil dibanding kecepatan arus pada waktu air surut, karena pada waktu surut ada tambahan massa air tawar. Arah arus laut dapat menjadi indikasi bagi arah ruaya kepiting bakau betina yang beruaya ke laut untuk memijah. C. Gelombang Laut Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari jenis gelombang alun dan gelombang angin. Gelombang alun merupakan
128
gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang alun dan gelombang angin (Unmul 2002). Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara (Pebruari-April), musim angin selatan (Mei-September), dan musim angin pancaroba/peralihan (Oktober-Januari). Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi pelayaran. Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil. Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal maksimum sekitar 30 – 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang lebih tinggi dibandingkan wilayah laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai tinggi gelombang berkisar 50 – 70 cm (Unmul 2002). Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur dengan Universitas Mulawarman (2002) yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20 detik per rangkaian gelombang. Tinggi gelombang laut ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan budidaya sylvofishery dalam mangrove. Karena budidaya ini menggunakan jaring nilon yang relatif lemah, adanya gelombang yang besar dan kadang kala membawa batang-batang kayu yang dapat menghancurkan jaring. Pada bulan Februari-Maret 2010 ini, tingginya gelombang pada musim peralihan telah menghancurkan kurungan tancap kepiting nelayan di Muara Sangatta, dan juga alat tangkap ikan yang berupa belat (sero) yang dipasang di pinggir pantai. Oleh karena itu perlu diperhatikan teknologi dalam pembuatan kurungan tancap sylvofishery ini, agar dapat mengantisipasi kondisi buruk akibat gelombang.
129
5.1.2 Karakteristik Habitat Mangrove Karakteristik habitat mangrove dianalisis dengan analisis statistik multivariabel,
yaitu
dengan
menggunakan
Analisis
Komponen
Utama
(PCA/Principal Component Analysis). Hasil analisis matriks korelasi menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter tergambarkan pada dua sumbu utama (F1 dan F2), dengan kualitas informasi masing-masing 43% dan 25%, sehingga ragam karakteristik habitat mangrove menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan sudah dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama sebesar 68% dari ragam total. Parameter lainnya yang berada pada sumbu F3 dan seterusnya tidak dibahas disini, karena dianggap kecil pengaruhnya. Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F1 adalah DO, salinitas, tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata. Parameter yang berkontribusi pada
sumbu
utama
F2
adalah
kerapatan
vegetasi,
pH,
kelimpahan
makrozoobenthos, COD, dan temperatur.
Biplot on axes 1 and 2 (68% )
Correlations circle on axes 1 and 2 (68% ) 3
C-1 C-2
1.5 2 pHa
0.5
DOa
0
SALa -0.5 BENTH
VEG
-- axe 2 (25% ) -->
-- axis 2 (25% ) -->
1
SCYL TEKs BODa
1
pHa
C-3 A-1 SCYL A-3 SALa TEKs BODa B-1 CODa B-3 BENTH TEMPa A-2 DOa
0
-1
CODa TEMPa
-1
-2
-1.5
-3
VEG
B-2 -2
a
-1
0 1 -- axis 1 (43% ) -->
Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan dengan kelimpahan S. serrata pada sumbu F1 dan F2.
2
-4
-2
0 2 4 -- axe 1 (43% ) -->
6
b Diagram representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan paramater biofisik kimia lingkungan pada sumbu F1 dan F2.
Gambar 32 Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli 2009.
130
Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 32 a) untuk data pengamatan bulan Juli (kondisi musim kemarau) memperlihatkan adanya korelasi positif antara parameter kelimpahan S. serrata dengan BOD dan tekstur substrat yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sedangkan parameter DO, dan salinitas berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan S. serrata sangat dipengaruhi oleh tekstur substrat dan BOD. Peningkatan fraksi debu/silt (lumpur) pada tekstur substrat akan meningkatkan kelimpahan S. serrata. Tekstur substrat dan kerapatan vegetasi mempunyai hubungan yang positif, semakin tinggi kerapatan vegetasi makin tinggi lumpur substratnya. Peningkatan salinitas akan berpengaruh negatif terhadap kelimpahan S. serrata, sedangkan BOD akan menurun bila DO meningkat. Kerapatan vegetasi membentuk sumbu F2 positif, dan mempunyai hubungan positif terhadap kelimpahan S. serrata. pH air yang terletak pada sumbu F2 positif, mempunyai hubungan yang negatif dengan temperatur dan COD, setiap peningkatan COD dan temperatur akan menurunkan pH dan menurunkan kelimpahan S. serrata. Dekatnya hubungan antara kerapatan vegetasi, tekstur substrat dan kelimpahan kepiting bakau menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan habitat bagi kepiting bakau. Hal ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Moosa et al. (1985), yang menyatakan bahwa jenis kepiting bakau berdistribusi luas sesuai dengan sebaran geografi hutan mangrove di Indopasifik Barat, sehingga daerah perikanan kepiting bakau yang produktif diperkirakan selalu berada di sekitar hutan mangrove. Sedangkan McNae dalam Sihainenia (2008), menyatakan bahwa sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan hutan mangrove. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang padat dan kusut, merupakan tempat yang aman bagi kepiting bakau untuk berlindung terutama ketika berada dalam keadaan bertubuh lunak setelah proses ganti kulit. Snedaker dan Getter (1985), menyatakan bahwa habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak sedimen, sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut Nybakken (1992), gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove
131
ditingkatkan oleh mangrove itu sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang ke bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut, sehingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau memiliki tingkah laku menggali lobang dan membenamkan diri dalam lumpur untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken (1992), menyatakan bahwa lobang-lobang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove (mangal), yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk ke dalam substrat yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik, mengingat substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang ideal bagi kepiting bakau. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada tingkat megalopa dan kepiting muda (juvenil), yang setelah melewati stadia zoea akan kembali memasuki hutan mangrove. Setelah menetas, megalopa dan kepiting muda akan terbawa arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan berlindung. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber makanan alami bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk kepiting bakau. Hutching & Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Kelimpahan S. serrata dipengaruhi juga oleh salinitas perairan. Kasry (1996) meneliti bahwa salinitas yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada tingkat zoea berkisar antara 29-33 ‰, sedangkan pada fase megalopa perkembangan terbaik ada pada salinitas yang lebih rendah yaitu pada kisaran 2127 ‰. Penelitian Ong (1964) menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata S. serrata fase pasca larva pada salinitas 21-26 ‰ jauh lebih cepat dibanding pada salinitas 25-26 ‰ atau pada salinitas 30-31 ‰. Mardjono et al. (1992) menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefisien
132
penyerapan, tekanan osmosis, dan viskositas. Perubahan salinitas akan mempengaruhi
sifat
fungsional
dan
struktur
organisme.
Untuk
dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme kepiting bakau lebih besar pada perairan payau, asin atau sangat asin dibandingkan pada perairan tawar. Oleh karena itu, pada tahap akhir fase larva kepiting bakau harus mencari perairan muara sungai atau perairan hutan bakau yang salinitasnya lebih rendah untuk berlindung dan mencari makan (Kasry 1996). Pengaruh salinitas terhadap kelimpahan S. serrata dapat diamati dengan jelas pada saat terjadi hujan di daratan. Runoff yang tinggi menyebabkan terjadinya salinitas 0 ppm di muara sungai, pada kondisi seperti ini biasanya nelayan sulit mendapatkan kepiting dengan menggunakan rakkang. Demikian juga yang terjadi pada saat konda, dimana air tidak pasang dan tidak surut, dimana lantai mangrove akan sedikit tertutup air selama 3-4 hari, pada kondisi ini kepiting sulit ditemukan. Diagram representasi stasiun penelitian, dalam kaitannya dengan parameter biofisik kimia lingkungan pada perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 32 b), memperlihatkan adanya 3 kelompok substasiun. Kelompok substasiun B1 dan B3 (B1: zona perairan Teluk Perancis, B3: zona tengah hutan Teluk Perancis) dicirikan oleh parameter kelimpahan makrozoobenthos, dan salinitas air yang tinggi. Sedangkan kelompok substasiun A1 (zona perairan Muara Sangatta), A2 (zona depan hutan mangrove Muara Sangatta), A3 (zona tengah hutan mangrove Muara Sangatta), dan C3 (zona tengah hutan mangrove Muara Sangkima) dicirikan dengan adanya kerapatan vegetasi, tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata yang tinggi. Dan kelompok C1, C2, dan B2, dicirikan oleh parameter lain yang tidak terangkum disini. 5.1.3 Biologi Scylla serrata 5.1.3.1
Hubungan Lebar Karapas dan Bobot Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisa menggunakan metode regresi
dengan melihat hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dengan bobot
133
tubuhnya. Hubungan lebar karapas dan bobot S. serrata di ketiga stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 19. Nilai b akan menjadi indikator yang mendeskripsikan pola pertumbuhan kepiting bakau, sedangkan melalui nilai koefisien korelasi (r2) dapat dilihat keeratan hubungan antara lebar karapas kepiting bakau dan bobot tubuhnya, sehingga dapat ditentukan apakah individu dalam suatu populasi dapat diduga bobot tubuhnya dengan mengetahui ukuran tubuhnya atau tidak dapat diduga. Nilai koefisien korelasi (r2) untuk pola pertumbuhan kepiting tangkapan dari alam berkisar antara 0.886-0.924 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara ukuran lebar karapas dengan dengan bobot tubuhnya, sehingga biomass suatu populasi dapat diduga dengan mengetahui ukurannya. Namun r2 untuk S. serrata hasil sylvofishery mempunyai nilai yang lebih rendah, yaitu 0.577-0.674. Rendahnya koefisien korelasi pada pola pertumbuhan
budidaya
sylvofishery kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel yang digunakan. Tabel 19 Hubungan lebar karapas dan bobot kepiting S. serrata. W= a Lb b
R2
0.0001
3.038
0.886
155
0.004
2.328
0.876
252
148
0.0004
3.393
0.917
Betina
114
138
0.001
2.609
0.913
Jantan
346
154
0.0006
3.323
0.924
Betina
194
151
0.0001
2.680
0.886
Jantan
65
97
0.002
2.409
0.577
Betina
135
98
0.002
2.422
0.674
Stasiun Sangatta
Tl prancis Sangkima Sylvofishery
Sex
N
Lmax
Jantan
656
143
Betina
591
Jantan
Uji t betina thit = 6.02056 ttabel = 3.1824 P = 0.009
A
Uji t jantan thit = 3.3692 ttabel = 3.1824 P = 0.0434
Hasil uji t nilai b untuk kepiting jantan maupun kepiting betina menunjukkan bahwa thit lebih besar dibanding ttabel, sehingga dapat dikatakan
134
hubungan lebar karapas dengan bobot S. serrata di habitat mangrove TNK tidak isometrik. Perbedaan ini cukup signifikan dengan nilai P<0,05. Pola pertumbuhan S. serrata jantan di alam pada semua lokasi menunjukkan nilai konstanta b>3, berarti konstanta pertumbuhan S. serrata jantan di wilayah tersebut adalah allometrik positif, atau dapat dikatakan pertumbuhan bobot tubuh lebih cepat daripada pertumbuhan lebar karapas. Hal ini terjadi karena S. serrata jantan adalah memiliki morfologi bentuk chela yang lebih besar dibanding S. serrata betina. Sehingga bila berada pada ukuran lebar karapas yang sama, kecenderungan S. serrata jantan lebih berat bobotnya, karena chela menambah bobot tubuhnya. Penelitian Chakrabarti dalam Bonine et al. (2008) dan Siahainenia (2008) menunjukkan S. serrata memiliki sifat seksualitas dimorfisme, dimana kepiting jantan cenderung menjadi lebih berat dibanding kepiting betina pada lebar karapaks yang sama. Selain itu, hasil tangkapan S. serrata jantan pada penelitian ini kebanyakan berukuran besar yang sudah matang gonade, sehingga kepiting jantan sudah jarang melakukan moulting dibanding pada saat kepiting masih juvenil. Dengan frekuensi moulting yang rendah, asupan makanan lebih banyak digunakan untuk pertambahan bobot. Pola pertumbuhan S. serrata betina di semua lokasi penelitian menunjukkan nilai konstanta b<3, berarti pola pertumbuhan kepiting betina di habitat mangrove TNK adalah alometrik negatif, atau berarti pertumbuhan bobot tubuh lebih lambat daripada pertumbuhan karapasnya. Pada kepiting betina pola allometrik negatif terjadi karena S. serrata betina menggunakan asupan makanan lebih banyak untuk moulting dan proses kematangan gonad (bertelur). Pertumbuhan kepiting betina cenderung lebih ke arah lebar karapas karena kepiting betina akan moulting setiap akan melakukan proses kopulasi. Pada Scylla serrata jantan moulting lebih jarang terjadi, asupan makanan cenderung digunakan untuk memanjangkan dan membesarkan chelae (capit), yang berperan penting pada proses perkawinan. Onyango (2002) menyatakan, Scylla serrata jantan biasanya memiliki capit sangat besar dibandingkan dengan betina dengan ukuran yang sama dan lebih disukai oleh nelayan selama lebar karapas lebih dari 70 mm, hal ini bisa menghasilkan perbedaan ukuran yang signifikan antara jantan dan betina. Oleh karena itu bila berada pada ukuran lebar
135
karapas yang sama, kecenderungan S. serrata jantan lebih besar bobotnya, karena capitnya menambah bobot tubuhnya. Kasry (1996), menyatakan capit (chela) kepiting bakau yang besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh, atau merobek-robek makanannya. Allometri dari capit kepiting jantan dapat digunakan untuk menentukan ukuran morfometrik jantan dewasa, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan konservasi (Hall et al. 2006). Analisis pertumbuhan secara allometri pada capit dibanding ukuran tubuh (lebar karapas) dipakai untuk memperkirakan rata-rata awal ukuran dewasa kepiting (Watters and Hobday 1998; Bueno & Shimizu 2009). Walton et al. (2006) menyatakan hubungan alometrik antara tinggi chela dan lebar karapas menunjukkan 50% kepiting jantan memperoleh kedewasaan chela pada lebar karapas internal (Internal Carapace Width/ICW) 10.2 cm. Ukuran capit yang besar pada kepiting bakau jantan dewasa kelamin sangat berfungsi ketika mendekap atau mengepit kepiting bakau betina selama masa percumbuan yakni ketika kedua individu kepiting bakau ini berada dalam posisi berpasangan (doublers), serta untuk membalik tubuh kepiting bakau betina ketika proses kopulasi akan berlangsung (Siahainenia 2008). Capit yang besar juga dibutuhkan kepiting bakau jantan dewasa kelamin untuk bertarung dengan jantan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah kawin (matting territory), mempertahankan dirinya sendiri serta melindungi dan mempertahankan betina yang menjadi pasangan kawinnya, mengingat menjelang kopulasi kepiting bakau betina melakukan pergantian kulit (moulting) sehingga bertubuh lunak dan sangat rentan terhadap serangan atau bahkan pemangsaan dari kepiting bakau lainnya, karena sifat kanibalisme yang dimilikinya (Kasry 1996). Penelitian Ali et al. (2004) menunjukkan hubungan lebar karapas-bobot untuk S. serrata jantan di ekosistem mangrove di Khulna Bangladesh adalah W = 0.0078 CW3.06, sedangkan pada S. serrata betina W = 0.0078 CW1.8928. Di Rannong Thailand, Cheewasedtham dalam Ali et al. (2004) melaporkan hubungan CW (mm) and W (g) untuk jantan dan betina masing-masing adalah 0.097131 L3.369 dan 0.559879 L2.559, menurut Poovachiranon (1992) hubungan lebar karapas-bobot kepiting bakau di ekosistem mangrove Laut Andaman, untuk jantan adalah 0.0423 L3.726 dan untuk betina 0.3357 L2.726. Hubungan lebar karapas
136
dengan bobot pada induk betina S. serrata matang gonade di Estuari Umlalazy Afrika Selatan adalah Y = 0,0014 X2,56 (Davis et al. 2004). 5.1.3.2
Distribusi Frekuensi Lebar Karapas
A. Muara Sangatta i. Jantan Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan di Muara Sangatta pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada bulan Oktober 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 67.5 mm hingga 121 mm. Modus panjang berada pada ukuran 94.5 mm. Pada bulan November kisaran kelas panjang dan modusnya masih tetap sama dengan bulan Oktober. Bulan Desember modus bergeser ke ukuran 103.5 mm, menunjukkan adanya pertumbuhan. Modus panjang yang ditemukan pada bulan Januari 2009 ditemukan adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 85.5 mm dan 130.5 m, hal ini menunjukkan adanya kelompok individu baru pada bulan Januari. Selanjutnya modus ganda pada bulan Februari 2009 pada kelas 85.5 mm dan 121.5 mm. Pada bulan Maret 2009 modus menjadi tunggal, dan bergeser ke kiri lagi pada bulan April menjadi ganda pada ukuran 76.5 mm dan 121.5 mm. Hingga bulan Juni 2009, modus panjang tetap bimodus, namun tidak pernah bergeser ke kiri lagi Adanya pergeseran modus ke kiri menunjukkan adanya rekruitmen yang terjadi pada bulan Desember 2008 sehingga masuk individu-individu baru serta membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen berikutnya terjadi pada bulan Maret 2009, yang menyebabkan terbentuk kelompok baru pada bulan April 2009. Pergeseran modus terjadi dari November 2008 sampai Januari 2009 (kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga Maret 2009 (kelompok umur kedua). April sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di Muara Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Oktober, Januari, dan Maret. ii. Betina Modus ganda yang menunjukkan adanya 2 kelompok ukuran kepiting betina terjadi pada bulan Februari 2009, dimana modus yang semula pada ukuran
137
102 mm bergeser ke kiri pada ukuran 90 mm, sehingga diduga terjadi rekruitmen individu baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen berikutnya terjadi pada bulan Maret 2009, yang menyebabkan terjadi kelompok ukuran baru pada bulan April 2009. Pergeseran modus terjadi dari Oktober 2008 sampai Januari 2009 (kelompok umur pertama). Februari 2009 hingga April 2009 (kelompok umur kedua). Mei sampai Juli 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting betina di Muara Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan September, Februari, dan Mei. Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun M. Sangatta dapat dilihat pada Lampiran 4. Kejadian rekruitmen individu jantan dan betina di Muara Sangatta terjadi pada bulan yang relatif sama yaitu Januari dan Maret. B. Teluk Prancis i. Jantan Pergeseran modus terjadi dari Desember 2008 sampai Pebruari 2009 (kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Mei 2009 (kelompok umur kedua). Kemudian pada bulan Juni 2009 (kelompok umur ketiga). Kepiting jantan di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan November, Pebruari, dan Mei. Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan pada tiap bulannya di stasiun Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 5. ii. Betina Pergeseran modus terjadi dari Januari 2009 sampai Pebruari 2009 (kelompok umur pertama). Maret 2009 hingga Juni 2009 (kelompok umur kedua). Kepiting betina di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 2 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Desember, dan Maret. Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 6.
138
C. Muara Sangkima i. Jantan Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau di stasiun M. Sangkima pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pada bulan November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008 ditemukan adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian pada bulan Desember 2008 pada kelas 101 mm dan 128 mm. Selanjutnya berturut-turut modus berada pada kelas 110 mm untuk Januari 2009 dan 116 mm untuk Februari 2009. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran modus dari November 2008 hingga Februari 2009 yang menunjukkan adanya pertumbuhan (kelompok umur pertama). Sedangkan pada Maret 2009 modus bergeser kembali ke kiri. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen yang terjadi pada bulan Februari 2009 sehingga masuk individu-individu baru serta membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Maret 2009, pada bulan Maret terjadi bimodus pada kelas ukuran 100 mm dan 140 mm. Selanjutnya pada bulan April modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 92 mm, hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus ke kanan yakni pada kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009 (kelompok umur kedua). Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November 2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur yang berbeda pada kepiting jantan yang diamati di M. Sangkima, dengan rekruitmen yang diduga terjadi pada bulan Februari dan April. ii. Betina Pada bulan November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008 ditemukan adanya modus ganda (bimodus) yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 modus pada kelas 100 mm. Selanjutnya terjadi pergeseran modus ke arah kiri pada bulan Februari 2009, yaitu di kelas 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen pada bulan Januari 2009 yang membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Februari 2009.
139
Pada Maret 2009 modus bergeser ke kanan di kelas ukuran 105 dan 135 mm, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Selanjutnya pada bulan April 2009 modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus ke kanan yakni pada kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009. Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November 2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur yang berbeda pada kepiting betina yang diamati di M. Sangkima, dimana diduga rekruitmen terjadi pada bulan Januari dan April. Pada wilayah perairan mangrove Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan terdapat dua puncak rekruitmen kepiting bakau yakni terjadi pada bulan April dan Mei serta bulan Agustus dan September (Sihainenia 2008). Adanya pola rekruitmen kepiting bakau pada bulan-bulan tertentu pada suatu wilayah merupakan dasar pertimbangan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu
untuk
menentukan
waktu
penangkapan.
Adanya
rekruitmen
mengindikasikan adanya kepiting betina yang memijah, sehingga perlu diatur agar sebelum terjadi rekruitmen tidak dilakukan penangkapan untuk menghindari tertangkapnya kepiting bakau betina matang gonade. 5.1.3.3
Parameter Pertumbuhan von Bertalanffy Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen sebagai
indikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh yang digunakan adalah lebar karapas. Dengan menggunakan bantuan program Elefan dari FISAT-II diperoleh nilai dugaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy yang meliputi panjang infiniti (L∞) dan kecepatan pertumbuhan (K). Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK dapat dilihat pada Tabel 20. Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Alasannya adalah karena parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran stok rekruitmen, dan laju kematian (mortalitas) dari suatu populasi (Sparre & Venema 1999).
140
Tabel 20 Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK. STASIUN Sangatta Tl prancis Sangkima Sylvofishery
♂♀
n
Lmin
Lmaks
L∞
K
t0
Jantan
656
50
143
151.2
1.2
-0.748
Betina
591
40
155
161.18
1.5
-0.799
Jantan
252
71
148
154.39
0.80
-0.896
Betina
114
73
138
147.0
1.1
-0.781
Jantan
346
76
154
159.08
0.45
-1.158
Betina
194
65
151
156.98
0.69
-0.956
Jantan
65
54
97
96.6
0.45
-0.606
Betina
135
50
98
102.9
4.2
-0.155
Hasil analisa Elefan memperlihatkan lebar karapas maksimum yang dapat dicapai berkisar antara 143 – 155 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar antara 0.45 - 1.5. Di Subang, kecepatan pertumbuhan (K) kepiting bakau dari 4 spesies scylla berkisar antara 1.10-1.50/tahun (Siahainenia 2008). Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya, dengan L∞ yang juga lebih besar. Kondisi Muara Sangatta yang merupakan muara sungai besar, menjadikan kawasan tersebut menjadi estuari yang subur dan tinggi produktifitas perikanannya. Suburnya kawasan ini mungkin salah satu pendorong tingginya jumlah kepiting yang ada disana. Umumnya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran dibawah dewasa kelamin (lebar karapas kurang dari 110 mm). Menurut Siahainena (2008) kepiting yang berukuran kecil memberikan garis regresi ke arah slope yang lebih tajam, karena modus tertinggi yang dilalui garis pertumbuhan lebih banyak pada kelompok kepiting kecil, sehingga K menjadi besar. Walaupun di Muara Sangatta kebanyakan ditemukan kepiting kecil, namun demikian, di kawasan tersebut diperoleh juga kepiting betina dewasa kelamin yang berukuran besar hingga 155 mm. Hal ini diduga terjadi karena Muara Sungai Sangatta menjadi pintu masuk bagi induk-induk kepiting yang selesai memijah di laut untuk kembali ke dalam habitat mangrove. Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangkima menunjukkan kecenderungan yang relatif lebih kecil dibanding pada kedua lokasi lainnya. Hal
141
ini berkaitan dengan kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrata yang ditemukan di wilayah tersebut umumnya berukuran lebih dari dewasa kelamin, sehingga kecepatan pertumbuhannya menjadi lebih lambat. Kepiting betina dewasa kelamin lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan dan perkembangan gonade (Lavina dalam Siahainenia 2008). 5.1.3.4
Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas adalah
laju kematian, yang didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam satu satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati alami karena umur tua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah, misalnya akibat perubahan lingkungan yang ekstrim atau tidak tercukupinya makanan alami (Sparre & Venema 1999). Analisa laju mortalitas kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan estimasi mortalitas dari FISAT-II, yang didasarkan pada data lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap. Laju mortalitas total (Z) digambarkan sebagai nilai numerik dari kemiringan (slope) garis regresi antara logaritma N/dt terhadap umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang dikenal dengan metode kurva hasil tangkapan. Nilai laju mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan pada Tabel 21. Tabel 21 Mortalitas dan laju eksploitasi S. serrata di habitat mangrove TNK. STASIUN
Sangatta
Tl prancis
Sangkima
JENIS
Z
M
F
E fakt
E max
Jantan
2.89
1.2584
1.6316
0.564
0.457
Betina
4.71
1.430
3.280
0.554
0.355
Jantan
2.87
0.9430
1.9270
0.671
0.606
Betina
3.40
1.1774
2.2226
0.654
0.555
Jantan
1.36
0.64177
0.71823
0.528
0.555
Betina
1.79
0.85202
0.93798
0.524
0.516
142
a) Muara Sangatta Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangatta adalah 2.89 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 1.2584 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 1.6316 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Selain itu, laju eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangatta sebesar 0.5645 yang berarti 56.45% kematian kepiting jantan di Muara Sangatta disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Pada kepiting betina Z adalah 4.71 per tahun dengan M sebesar 1.4305 per tahun dan F sebesar 3.280 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 55.40%. Tekanan penangkapan di Muara Sangatta dikatakan sudah berlebihan, karena laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 45.7% untuk kepiting jantan dan 35.5% untuk kepiting betina. Tingginya kematian karena penangkapan ini terjadi diduga karena di Muara Sangatta terdapat pemukiman nelayan, sehingga aktifitas penangkapan cukup tinggi. Selain itu, kondisi ekosistem mangrove Muara Sangatta juga telah terdegradasi akibat tingginya pembukaan mangrove untuk tambak. Areal lahan kritis di mangrove Muara Sangatta mencapai ± 440.3 ha. Siahainenia (2008) pada penelitiannya di Kabupaten Subang juga menemukan bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah umumnya dijumpai pada zona belakang hutan yang memiliki tingkat kerapatan vegetasi mangrove rendah, serta berada di sekitar areal pemukiman penduduk atau mendapat tekanan akibat tingginya aktifitas masyarakat. b) Teluk Perancis Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Teluk Perancis adalah 2.87 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.9430 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 1.9270 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju eksploitasi faktual kepiting jantan di Teluk Perancis sebesar 0.671 yang berarti 67.1% kematian kepiting jantan di Teluk Perancis disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Pada kepiting betina Z adalah 3.40 per tahun dengan M sebesar 1.1774 per tahun dan F sebesar 2.2226 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 65.40%, menunjukkan kematian kepiting betina lebih banyak karena penangkapan. Tekanan penangkapan di Teluk Perancis sudah melebihi laju eksploitasi maksimal
143
yang diperbolehkan untuk perikanan lestari. Laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 60.6% untuk kepiting jantan dan 55.5% untuk kepiting betina. Tingginya angka mortalitas penangkapan diduga karena penangkapan kepiting bakau di lokasi ini lebih banyak menggunakan alat tangkap pancing/pengait. Teluk Perancis memiliki hutan mangrove yang masih cukup rapat, sehingga alat tangkap yang sesuai digunakan adalah pengait. Alat tangkap pengait cenderung hanya menangkap kepiting yang berukuran besar saja, akibatnya hasil perhitungan konstanta pertumbuhan (K) menjadi kecil, karena semakin besar kepiting semakin lambat pertumbuhan lebar karapasnya. Nilai K merupakan salah satu variabel yang dipakai dalam rumus untuk menghitung mortalitas alami. Kecilnya nilai K akan mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) menjadi lebih kecil (Pauli yang diacu oleh Sparre & Venema 1999), dan akibatnya nilai mortalitas penangkapan (F) cenderung menjadi lebih besar. Selain itu, di Dusun Teluk Lombok yang berdekatan dengan Teluk Perancis juga cukup banyak penduduk, sehingga aktifitas penangkapan juga menjadi lebih besar. c) Muara Sangkima Laju mortalitas total (Z) kepiting jantan di Muara Sangkima adalah 1.36 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.6412 per tahun dan laju mortalitas penangkapan sebesar 0.71823 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangkima sebesar 0.5281 yang berarti 52.81% kematian kepiting jantan di Muara Sangkima disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Eksploitasi faktual ini masih di bawah eksploitasi maksimal yang sebesar 55.5%. Pada kepiting betina Z adalah 1.79 per tahun dengan M sebesar 0.852 per tahun dan F sebesar 0.938 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 52.40%, sedikit di atas laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan sebesar 51.6%. Di lokasi Muara Sangkima banyak terdapat tambak-tambak tradisional. Kepiting yang ditemukan lebih bervariasi ukuran lebar karapasnya, dibanding
144
kepiting yang ditangkap dalam hutan mangrove. Rendahnya tekanan penangkapan diduga karena lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk. Walton (yang diacu oleh Ewel 2008) menyatakan bahwa populasi Scylla serrata dapat mempunyai sebaran ukuran yang berbeda karena perbedaan kondisi lingkungan dan pola penangkapan. Maka Ewel (2008) menyarankan peraturan lokal (local regulations) sebagai tambahan daerah larangan (regional restrictions) mungkin layak (appropriate) untuk banyak wilayah di Indo-Pacific. Pemantauan populasi secara teratur dapat meningkatkan komunitas kecil terpisah mengelola sumberdaya penting secara berkelanjutan. 5.1.3.5
Distribusi Spasial S. serrata Scylla serrata hasil tangkapan di kawasan mangrove TNK memiliki
struktur ukuran lebar karapas yang bervariasi berdasarkan lokasi penangkapannya. Lokasi penangkapan dalam penelitian ini meliputi 3 kondisi habitat yang berbeda, yaitu kawasan bagian tengah hutan mangrove, kawasan pinggiran hutan mangrove (garis pantai), dan kawasan perairan pantai (inshore). Alat tangkap yang digunakan pada setiap lokasi berbeda-beda, tergantung pada spesifikasi dan kemampuan alat tangkap. Pada bagian tengah hutan mangrove digunakan pengait, pada bagian pinggir pantai digunakan rakkang, dan di perairan pantai digunakan alat tangkap rengge. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan ketiga jenis alat tangkap pada tiga lokasi selama 8 bulan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan pengait. Alat Tangkap
Jumlah Individu
Jumlah
Ukuran Maks-Min (mm)
Total (ekor)
Jantan
Betina
449
975
50-143
45-171
669
311
980
68-154
65-171
59
141
200
70-142
73-135
Jantan
Betina
Rakkang
526
Pengait Rengge
Tabel 22 menunjukkan bahwa ukuran lebar karapas terkecil kepiting yang tertangkap adalah 45 mm dan ukuran lebar karapas terbesar adalah 171 mm.
145
Ukuran kepiting yang terkecil menunjukkan bahwa kepiting yang mulai dapat tertangkap oleh alat tangkap adalah kepiting yang berukuran 45 mm. Grafik histogram sebaran ukuran dan sebaran jenis kelamin S. serrata berdasarkan hasil tangkapan dari bulan Oktober 2008 - Juni 2009 dengan menggunakan alat tangkap rakkang, rengge, dan pengait dapat dilihat pada Gambar 33. A. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Tengah Mangrove Lebar karapas S. serrata hasil tangkapan alat pengait memiliki kisaran antara 65 – 171 mm, setelah dibagi menjadi 11 kelas dengan interval 10 mm, maka diperoleh histogram seperti yang disajikan pada Gambar 33 .
Gambar 33 Distribusi S. serrata di beberapa zona hutan mangrove. Lebar karapas S. serrata di tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat pengait, umumnya berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm. Ukuran lebar karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm adalah 16.12%, artinya
146
hanya 16% kepiting yang ditangkap dengan alat pengait yang belum dewasa kelamin. Sisanya, sekitar 83.88% merupakan kepiting yang diduga sudah dewasa kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan tengah hutan mangrove cenderung lebih banyak terdapat kepiting yang berukuran besar (dewasa kelamin). Selain itu, sifat alat tangkap pengait yang cukup selektif juga mempengaruhi ukuran kepiting hasil tangkapan. Alat pengait digunakan di lubang-lubang kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait biasanya pada siang hari, saat air surut, karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Kepiting yang bersembunyi dalam lubang umumnya adalah kepiting jantan yang berukuran besar. Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan pengait lebih didominasi jenis kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.47 dan nilai P<0.05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari pergeseran rasio kelamin 1:1. Dominasi jantan dapat terjadi karena adanya pola migrasi pada kepiting S. serrata. S. serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya (berenang) ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975). Hasil ini bersesuaian dengan hasil penelitian Le Vay et al. (2007) yang menemukan bahwa hasil tangkapan kembali (recaptured) kepiting bakau S. paramamosain yang telah ditandai (marking) adalah 79% tertangkap pada malam hari di dataran lumpur pinggiran mangrove menuju ke laut, 14% yang tertangkap pada siang hari di dalam mangrove dengan pancingan dan 7% tertangkap gillnets ditetapkan setidaknya pada jarak 1 km lepas pantai dari pinggiran bakau. B. Struktur ukuran S. serrata di zona depan hutan mangrove Lebar karapas S. serrata di zona depan hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat rakkang, memiliki kisaran lebar karapas antara 40 – 155 mm. Pada zona depan hutan mangrove diperoleh struktur ukuran lebar karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95%, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm. Ukuran 100 mm
147
merupakan ukuran lebar karapas kepiting bakau yang masih belum dewasa kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak kepiting muda yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap rakkang. Alat tangkap rakkang dioperasikan dengan cara rakkang dipasang ketika air sedang surut, setelah sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang rakkang dibiarkan terendam dalam air, kemudian ketika air telah surut rakkang diangkat dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya. Alat rakkang umumnya dipasang di muara sungai, pinggiran sungai, pinggiran pantai yang berlumpur dan sering terendam air pasang. Banyaknya kepiting muda yang tertangkap dengan rakkang disebabkan pada tingkat megalopa kepiting mulai beruaya pada dasar perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Afrianto & Liviawaty 1993). Webley et al (2009) menyatakan bahwa megalopa dari beberapa spesies kepiting menunjukkan seleksi habitat aktif ketika menetap. Megalopa ini biasanya memilih habitat kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan dan makanan. Kepiting lumpur yang portunid, S. serrata , umumnya ditemukan di muara yang berlumpur Indo-Pasifik Barat setelah mencapai lebar karapas > 40 mm. Meskipun telah dilakukan upaya besar, mekanisme perekrutan kepiting lumpur remaja ke muara tidak dipahami karena megalopa dan tahap awal kepiting muda (lebar karapas < 30 mm) jarang ditemukan. Binatang ini ditempatkan di arena di mana mereka punya pilihan habitat: lamun, lumpur atau pasir, dan arena di mana mereka tidak punya pilihan. Berlawanan dengan asosiasi yang ditunjukkan oleh megalopa kepiting portunid lain, megalopa S. serrata tidak selektif di antara habitat muara ini, menunjukkan bahwa mereka cenderung tidak akan memilih habitat ini, atau, tidak memperoleh keuntungan dengan memilih salah satu dari yang lain. Namun para kepiting muda (crablets), sangat memilih lamun, menunjukkan bahwa yang berada dalam lamun adalah bermanfaat bagi kepiting muda dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Perilaku yang selektif mulai berkembang pada tahap kepiting muda, namun belum tampak pada tahap megalopa.
148
Berdasarkan histogram tersebut juga tampak bahwa rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rakkang lebih didominasi jenis kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.85 dan nilai P<0.05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari rasio kelamin 1:1. Dominasi jantan diduga terjadi karena adanya persaingan makanan. S. serrata jantan lebih aktif/agresif dalam mencari makanan sehingga pada saat ada umpan dalam rakkang, kepiting jantan akan mendahului masuk dalam perangkap, sedangkan kepiting betina tidak berani masuk bila sudah ada kepiting jantan di dalam rakkang. Oleh karena itu, lebih banyak S. serrata jantan yang tertangkap dibanding yang betina. C. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Perairan Pantai Lebar karapas S. serrata di perairan pantai, yang ditangkap dengan alat rengge memiliki kisaran antara 70 – 142 mm. S. serrata hasil tangkapan pada zona perairan pantai dengan menggunakan alat rengge, menunjukkan sebesar 42% merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar 58% merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm dan diduga sudah dewasa kelamin. Sebaran lebar karapas S. serrata lebih bervariasi dibandingkan kedua alat sebelumnya, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 89.5121.5 mm. Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rengge lebih didominasi jenis kelamin betina dengan rasio jantan:betina adalah 1:2.5. Nilai P<0.05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada pergeseran rasio jantan betina. Lebih banyaknya kepiting betina yang tertangkap karena pola migrasi reproduksi kepiting betina yang memijah di laut, sehingga mereka berenang ke laut dan tertangkap oleh alat rengge. Rengge/gillnet digunakan di perairan dangkal di pesisir. Nelayan umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang atau malam hari. Pada bagian lain penelitian ini disampaikan bahwa kepiting betina yang tertangkap sebagian adalah kepiting yang matang gonade dan akan memijah, atau sebagian lagi adalah kepiting betina yang salin (selesai memijah). Variasi pada ukuran lebar karapas kepiting yang tertangkap oleh alat rengge
149
terjadi karena ada kepiting betina matang gonade yang bermigrasi ke laut untuk memijah dan ada kepiting muda (juvenil) yang bermigrasi ke hutan bakau untuk mencari makan dan kawin. 5.1.3.6
Sebaran Temporal Induk Betina Matang Gonade Pengamatan terhadap induk betina matang gonade dilakukan secara
morfologi pada semua sampel kepiting. Tingkat kematangan gonade yang diamati adalah TKG IV, dimana secara morfologi dapat diamati dengan jelas secara visual. Induk betina matang gonade TKG IV yang tertangkap di habitat mangrove TNK mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara minimum 91 mm dan maksimum 171 mm. Sedangkan ukuran berat tubuhnya berkisar antara minimum 170 gram dan maksimum 870 gram. Sebaran ukuran minimum dan maksimum Induk betina matang gonade TKG IV pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 23. Grafik sebaran frekuensi induk betina TKG IV pada masingmasing stasiun dapat dilihat pada Gambar 34 . Tabel 23 Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV. Ukuran Maks-Min (mm) lebar karapas Berat 91-171 190-870
Muara Sangatta
Jumlah Ind (ekor) 73
Teluk Perancis
25
93-136
210-700
Muara Sangkimah
44
92-151
170-650
Lokasi
Pada ketiga lokasi pengamatan, tampak bahwa ukuran minimum betina matang gonade adalah pada lebar karapas lebih dari 91 mm. Penelitian dari MacIntosh et al. (1993) di Rannong, Thailand menunjukkan bahwa ukuran betina matang gonade berkisar antara 10-11.5 cm, dengan nilai puncak indeks gonosomatik pada bulan September.
150
Gambar 34 Sebaran induk betina S. serrata matang gonade TKG IV. Berdasarkan data tangkapan dari bulan November 2008-Juni 2009, diketahui bahwa di Muara Sangatta, induk betina matang gonade TKG IV yang tertangkap mencapai frekuensi tertinggi pada bulan Maret dan mulai meningkat lagi pada bulan Juni. Sedangkan di Teluk Prancis, puncaknya dicapai antara bulan Januari-Februari. Di Muara Sangkima puncak tertangkapnya induk betina matang gonade pada bulan Februari. Kelimpahan individu betina matang gonade terbanyak di Muara Sangatta dibanding di lokasi Teluk Perancis dan Muara Sangkima. Hal ini terjadi karena Sungai Sangatta merupakan sungai terbesar di kawasan hutan mangrove TNK, sehingga menjadi pintu masuk utama kepiting bakau yang beruaya kembali ke hutan mangrove. Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG IV pada lokasi Muara Sangatta memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai mengalami peningkatan pada bulan Januari dan mencapai puncak pada bulan Maret, kemudian cenderung menurun bulan April dan ada indikasi mulai meningkat kembali pada bulan Juni. Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG IV pada lokasi Muara Sangkima memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan Februari, kemudian cenderung menurun bulan April dan tidak menunjukkan indikasi adanya peningkatan kembali. Kelimpahan individu betina matang gonade
151
Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan Januari, kemudian menurun pada bulan April. Namun, puncak kelimpahan induk betina S. serrata matang gonade TKG IV, diduga terjadi 2 kali dalam satu tahun. Hal ini dapat dilihat dari trend frekuensi induk matang gonade yang mulai meningkat lagi pada bulan Juni. Oleh karena itu diduga di lokasi Muara Sangatta puncak frekuensi betina matang gonade yang kedua terjadi pada bulan Agustus-September, dan di Teluk Perancis terjadi pada bulan September. Dugaan ini dilandasi oleh adanya pola pergeseran kelompok umur. Pola pergeseran kelompok ini menyebabkan adanya dugaan bahwa rekruitmen yang terjadi di Muara Sangatta adalah pada bulan Oktober, Februari, dan Mei; di Teluk Perancis pada bulan Desember, dan Maret; sedangkan di Muara Sangkima pada bulan Januari dan April. Rekruitmen yang terjadi pada bulan-bulan September, Desember, dan Januari akan terjadi apabila ada pemijahan yang terjadi pada kurun waktu ±2 bulan sebelumnya. Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult dari tahap zoea I – crab I memerlukan waktu 23-25 hari (Quinitio et al. 2001), Menurut Motoh et al. (1977) untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada salinitas 31±2 ppt, jika dilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu hanya 7-8 hari. Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan rekruitmen S. serrata dalam penelitian ini baru terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehingga muncul dugaan waktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmen adalah sekitar 2-3 bulan. Siahainenia (2008) menemukan bahwa pada bulan Maret sampai Agustus terjadi peningkatan kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir (TKG IV dan V) baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut maupun Mayangan (Kabupaten Subang), sehingga bulan-bulan tersebut diduga merupakan puncak aktifitas pemijahan atau puncak musim pemijahan kepiting bakau.
152
Kasry (1996) menyatakan bahwa musim memijah kepiting bakau berlangsung sepanjang tahun tetapi puncak kegiatan memijah pada setiap perairan tidak sama. Di Australia puncak musim pemijahan berlangsung pada bulan November-Desember atau akhir musim semi sampai awal musim panas (Heasman et al. 1985), di Papua New Guinea puncak betina memijah pada April- Juni and September- Oktober (Quinn & Kojis dalam LeVay 2001), di Thailand berlangsung dari bulan Juli-Desember atau pertengahan awal musim panas sampai musim hujan (Varikul et al. dalam Macinthos et al. 1993), di India berlangsung dari bulan Desember-Februari (Pillai & Nair dalam Heasman et al. 1985) sedangkan di Filipina berlangsung dari bulan Mei-September atau akhir musim semi sampai awal musim panas (Arriola; Estampador; Pagcatipunan dalam Siahainenia 2008). Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laut. Arriolla dan Brick, yang diacu oleh Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Migrasi kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan menetaskan
telur.
Dengan
demikian
merupakan
juga
upaya
penjamin
kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut menurut Kasry (1996), terutama terhadap parameter suhu dan salinitas lingkungan. intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut berarti puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai menjelang awal musim panas. Siahainenia (2008) menduga hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya. Pada musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui aliran sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan menjadi lebih tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi pada musim panas, yang menyebabkan terjadinya fotosintesa fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton selanjutnya akan berdampak terhadap kehadiran zooplankton yang merupakan makanan alami larva kepiting bakau. Hastuti (1998), menyatakan bahwa telur tingkat akhir, embrio, dan larva kepiting
153
bakau merupakan penghuni laut dengan media bersalinitas tinggi (polihaline). Pada stadia ini kepiting bakau berada dalam lingkungan media dengan osmolaritas yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel telur, kepiting bakau sudah membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatif tinggi. 5.1.4
Daya Dukung Habitat Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan
pendekatan indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index/HSI). HSI menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies, yang meliputi komponen kualitas air, komponen substrat, dan komponen vegetasi. Variabel-variabel dari ketiga komponen tersebut adalah oksigen terlarut (V1), Biological Oksigen Demand (V2), salinitas air (V3), temperatur air (V4), pH air (V5), pH substrat (V6), pasang surut air laut (V7), tekstur substrat (V8), kepadatan makrozoobenthos (V9), jenis vegetasi (V10), kerapatan vegetasi (V11), dan produksi serasah (V12). Karena antara ke-12 variabel tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kehidupan kepiting, maka masing-masing variabel diberi bobot terlebih dahulu yang menunjukkan nilai pentingnya dibanding variabel yang lain. Sedangkan skor kesesuaiannya diberikan sesuai dengan indeks yang dibuat sesuai asumsiasumsi kebutuhan hidup kepiting (Lampiran 19). Nilai dari masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 24. Variabel yang paling penting pada usaha budidaya pembesaran kepiting adalah pasang surut air laut dan kondisi tekstur tanah (substrat). Pasang surut akan menentukan lokasi mana yang sering tergenang air laut, karena kepiting sangat memerlukan air laut untuk hidupnya. Sedangkan variabel substrat penting, karena sifat kepiting yang suka membenamkan diri dalam lumpur. Bila substratnya banyak mengandung bahan organik (gambut) atau pasir yang porous dan mudah meresapkan air, maka kondisi tanah akan cepat kering pada saat surut air laut. Sementara kepiting membenamkan diri dalam lumpur adalah karena mencari tempat yang cukup basah dan dingin selama air surut. Oleh karena itu, kepiting lebih sering membuat lubang-lubang persembunyian di tepi-tepi parit kecil/sungai
154
atau di tambak-tambak. Tekstur substrat dan lamanya perendaman pasut juga menjadi variabel yang menentukan jenis vegetasi mangrove yang dapat hidup di ekosistem mangrove tersebut (Bengen 2004). Selain itu sifat tekstur substrat juga relatif lebih stabil dibanding variabel lain, misalnya salinitas dan temperatur yang besar variasinya, sehingga bila digunakan sebagai penduga daya dukung juga akan lebih stabil nilainya. Hal ini didukung oleh hasil analisis PCA habitat mangrove, yang menunjukkan adanya pengaruh yang besar antara tekstur substrat dengan kelimpahan S. serrata . Namun demikian, bukan berarti bahwa kelimpahan hanya ditentukan oleh kondisi tekstur substrat saja, karena walaupun tekstur sesuai namun bila tidak ada vegetasi mangrove, maka kepiting bakau juga tidak akan ditemukan (Siahainenia 2008). Oleh karena itu, kerapatan vegetasi mangrove menduduki peringkat kedua dalam pembobotan variabel. Pada komponen kualitas air, kisaran nilai SI antar ketiga lokasi tidak terlalu berbeda jauh, yaitu Muara Sangatta 0.69 kemudian Muara Sangkima 0.62 dan terakhir Teluk Perancis 0.56. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di ketiga lokasi hampir sama. Permasalahan kualitas air umumnya adalah akibat pH air yang cenderung asam. Pada komponen substrat, yang meliputi empat variabel (pasut, tekstur, pH, dan makrozoobenthos), nilai SI terbaik pada lokasi Muara Sangatta yaitu sebesar 0.72, berikutnya lokasi Teluk Perancis sebesar 0.66 dan Muara Sangkima sebesar 0.56. Lokasi Muara Sangatta, yang terletak di muara sungai besar memiliki kondisi tekstur substrat yang liat berlempung, dengan fraksi liat sebesar 40.9060.70 %. Kondisi ini yang menyebabkan di Muara Sangatta lebih banyak dibuat tambak-tambak bandeng dibanding lokasi lainnya di habitat mangrove TNK. Nilai SI pasang surut di lokasi ini juga paling tinggi. Runoff yang cukup tinggi dari daratan melalui Sungai Sangatta memberikan suplai air tawar. Suplai air tawar yang cukup intensif ini merupakan nilai lebih lain dari lokasi Muara Sangatta, karena kepiting menyukai salinitas air yang payau. Menurut Kasry (1996) kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan salinitas 15 ‰ – 20 ‰, dan kemudian beruaya ke laut dalam untuk memijah. Berdasarkan analisis kelimpahan, kepiting bakau di lokasi ini juga yang paling tinggi kelimpahannya.
Tabel 24 Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNK untuk kepiting bakau. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
VARIABEL oksigen terlarut (DO) (V1) BOD (V2) salinitas air (V3) temperatur air (V4) pH Air (V5) SI KA pH substrat (V6) pasang surut air laut (V7) fraksi substrat (V8) kepadatan makrozoobenthos (V9) SI SU jenis vegetasi dominan (V10)
Bobot Variabel
Ma Sangatta
skor
SI**
Tl Perancis
skor
SI**
Ma Sangkima
skor
SI**
1
6.3 - 10.9
1
1
7.3 – 11.9
1
1
7.3 – 11.7
1
1
0.6 0.7 0.8 0.6
3.1 - 6.3 0 - 25 (25*) 24 - 29 (28*) 6.1 – 7.1 (7*)
1 0.9 0.95 0.9
2.1 – 3.3 24 - 34 (30*) 25 - 28 (27*) 5.2 – 7.9 (6.8*)
0.6 0.7 0.9 0.7
0.7 0.8 0.8 1
5.1-6.8 (6.5*)
0.7
4.3-5.7
0.4
0.36 0.49 0.72 0.42 0.56 0.2
2.6 – 5.4 10-34 (29*) 24 - 26 (26*) 7.1 - 7.6
0.5
0.6 0.63 0.76 0.54 0.69 0.35
5.6-6.9
0.7
0.42 0.56 0.64 0.6 0.62 0.35
1
1.2-2.5 (1.2*)
0.9
0.9
1.2-2.4 (1.2*)
0.9
0.9
1.3-2.3 (1.3*)
0.9
0.9
1
clay loam
1
1
sandy loam
0.3
0.3
sandy loam
0.3
0.3
0.7
20.25
0.9
0.63
22.75
1
0.7
19
0.8
0.56
0.67 0.7
kerapatan vegetasi 0.9 (V11) produksi serasah 0.3 (V12) SI VEG HSI *) frekuensi paling sering **) SI = bobot variabel x skor
0.44
0.48
A. corniculatum Nypa fructicans
0.6
0.42
R. apiculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza
556
0.8
0.72
1350
0.9
0.81
1863
0.8
0.72
17.03
0.6
0.18
19.47
0.5
0.15
18.55
0.5
0.15
0.38 0.622000
0.7
0.49
R. apiculata, B. parviflora, S. alba
0.9
0.63
0.39 0.535444
0.41 0.557167
156
Variabel vegetasi diberi bobot yang berbeda untuk jenis vegetasi, kerapatan vegetasi, dan produksi serasah. Variabel vegetasi yang dianggap paling berpengaruh bagi kehidupan kepiting adalah kerapatan vegetasi. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, banyak peneliti menemukan adanya keterkaitan yang erat antara kerapatan vegetasi mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau (LeVay 2001; Siahainenia 2008), sehingga kerapatan vegetasi diberi bobot 0.9. Namun demikian, hasil penelitian menemukan bahwa kepiting bakau tidak selalu berada dalam hutan mangrove yang rapat vegetasinya, tapi berada di pinggir sungai/parit/tambak atau tempat-tempat yang berair dan terbuka di sekitar hutan mangrove. Kepiting lebih sering ditemukan nelayan pada lokasi-lokasi tersebut karena dua alasan, yaitu kepiting menyukai membuat lubang di tempat yang berlumpur, dan alasan lain adalah nelayan lebih mudah menemukan kepiting pada lokasi tersebut dibandingkan mencari kepiting di bawah perakaran mangrove yang padat. Variabel jenis vegetasi diberi bobot 0.7 karena jenis vegetasi menentukan terbentuknya perakaran di lantai mangrove. Kepiting bakau menyukai jenis vegetasi yang bentuk perakarannya mampu menyediakan makanan dan tempat berlindung baginya (Hutching & Saenger 1987). Namun pembentukan perakaran mangrove sendiri terkait dengan sifat tekstur substrat tempatnya melekat dan periode pasang surut air laut, hanya jenis vegetasi tertentu dengan bentuk perakaran tertentu yang mampu bertahan hidup pada kondisi substrat di lokasi tersebut. Atau dengan kata lain, jenis vegetasi merupakan variabel turunan dari variabel tekstur substrat. Menurut Kepmen LH No 201 tahun 2004 status kondisi mangrove di lokasi Teluk Perancis diklasifikasikan baik (sedang), dan Muara Sangkima yang didominasi jenis Rhizophora status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam kategori baik (sangat padat). Sedangkan di lokasi Muara Sangatta didominasi jenis Aegiceras dengan kategori baik (sedang). Produksi serasah diberi bobot yang relatif kecil, yaitu 0.3 karena walapun diasumsikan kepiting memakan jenis serasah daun tertentu untuk dietnya, namun persentasenya dalam diet kepiting bakau hanya sekitar 28-30% (McCann dalam Arifin 2006). Keterkaitan serasah adalah dengan kelimpahan makrozoobenthos sebagai pakan utama kepiting bakau, seperti telah diungkapkan dari hasil analisis
157
PCA sebelumnya. Oleh karena itu variabel kelimpahan makrozoobenthos diberi bobot 0.7. Secara keseluruhan Muara Sangatta memiliki nilai indeks kesesuaian lahan (HSI) yang paling tinggi, yaitu 0.622, berikutnya adalah Muara Sangkima sebesar 0.557 dan Teluk Perancis sebesar 0.535. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa lokasi Muara Sangatta merupakan lokasi yang paling baik dalam mendukung kehidupan S. serrata. Sehingga lokasi Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai bila digunakan untuk usaha pembesaran kepiting bakau. Dengan nilai indeks HSI tersebut maka dapat diperkirakan jumlah individu kepiting bakau atau unit budidaya yang dapat dipelihara di habitat mangrove TNK. Perhitungan jumlah individu/unit budidaya yang mampu didukung oleh masing-masing lokasi di TNK disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Daya dukung Mangrove TNK untuk unit budidaya. Kelimpahan Daya dukung Unit kepiting kepiting (ekor) budidaya (ind/m²)
Lokasi
HSI
Luas area (m2)
Muara Sangatta
0.622
15746741.58
0.025
244862
490
Teluk Prancis
0.535
13412280.46
0.01
71815
144
Muara Sangkima
0.557
13084719.28
0.015
109356
219
Hasil analisis daya dukung menunjukkan bahwa di lokasi Muara Sangatta individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya yang berkelanjutan adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit budidaya kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Unit karamba sejumlah ini memerlukan lahan seluas ± 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar ± 400.03 ha lahan kritis bekas tambak. Unit-unit karamba ini dapat dibangun di bekas tambak yang sudah tidak produktif lagi di Muara Sangatta, sekaligus sebagai upaya untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut. Muara Sangkima yang mempunyai kondisi mangrove baik (sangat rapat) dapat mendukung sekitar 219 unit kurungan tancap, sedangkan Teluk Perancis dapat mendukung sekitar 144 unit kurungan tancap. Namun hal ini bukan berarti
158
bahwa pada lokasi tersebut dapat dibuat unit karamba budidaya sylvofishery. Budidaya sylvofishery dengan kurungan tancap ini baru dapat dilaksanakan bila telah dibuat pengaturan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Kutai, karena tidak semua zona dapat dilakukan pemanfaatan. Bila melihat dari nilai indeks kesesuaian lahan yang rendah, dapat dikatakan lokasi Teluk Perancis dan Muara Sangkima tidak sesuai untuk budidaya sylvofishery.
5.2
Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan Scylla serrata Kepiting bakau atau kepiting lumpur, atau kepiting hijau (Scylla serrata)
(Moosa et al. 1985) merupakan manfaat tidak langsung dari sumberdaya mangrove yang mempunyai nilai ekonomis penting. Kepiting bakau di wilayah provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2000 sudah menjadi salah satu komoditas ekspor. Harga lokal dari nelayan pada tahun 2009 sekitar Rp 25 000/kg dan dapat mencapai harga Rp 48 000/kg untuk ekspor. Kepiting bakau untuk ekspor ini umumnya berasal dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Tarakan, dan Kabupaten Berau. Sementara dari Kabupaten Kutai Timur sendiri belum ada yang masuk ke pasar ekspor. Pemanfaatan kepiting S. serrata hasil tangkapan nelayan di kawasan mangrove TNK, umumnya langsung dijual ke rumah makan-rumah makan seafood yang terdapat di kota Sangatta. Sebagian kecil dijual ke pasar tradisional. Sebagian lagi diolah oleh ibu-ibu nelayan Kelompok Kerja (Pokja) Kerupuk Kepiting menjadi produk kerupuk kepiting. Krupuk kepiting produksi Pokja ini dihargai Rp 40 000,00 per kg. Penjualannya merambah ke beberapa kota seperti Sangatta, Samarinda, dan Bontang. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna Masyarakat tingkat Kabupaten Kutai Timur dan tingkat Propinsi Kalimantan Timur, mereka berhasil meraih kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili Kalimantan Timur dalam lomba tingkat nasional yang diselenggarakan September 2005 di Palembang.
5.2.1
Permintaan Scylla serrata Konsumen kepiting bakau di Kota Sangatta meliputi konsumen rumah
tangga dan rumah-rumah makan. Kepiting bakau dijual di pasar-pasar di Kota
159
Sangatta oleh pedagang maupun dijual keliling secara langsung oleh penangkap kepiting. Kepiting bakau yang dijual di pasar Kota Sangatta berasal dari hasil tangkapan nelayan lokal dan kepiting yang dikirim dari Kecamatan Muara Badak. Berdasarkan hasil survei terhadap tiga pasar yang ada di Kota Sangatta, kebutuhan kepiting untuk memenuhi konsumsi masyarakat Kota Sangatta diperkirakan mencapai lebih dari 200 kg/hari, berdasarkan rata-rata penjualan kepiting per hari pada tiga pasar yang ada di Kota Sangatta. Permintaan Scylla serrata tidak hanya berasal dari lokal saja, namun juga berasal dari kota-kota besar di Indonesia dan dari luar negeri. Data pengiriman kepiting bakau Scylla serrata keluar daerah maupun keluar negeri yang diperoleh dari Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan disajikan pada Tabel 26. Menurut informasi dari Ibu Yuni, Kasie Data dan Informasi Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan, yang dimaksud dengan ekspor adalah pengiriman kepiting bakau keluar negeri (Singapura), karena bandara Sepinggan merupakan bandara internasional dimana ada penerbangan langsung ke Singapura. Sedangkan yang dimaksud domestik keluar adalah pengiriman kepiting keluar negeri, ke negara selain Singapura, namun melalui transit di Jakarta dan Surabaya. Pengiriman domestik adalah pengiriman kepiting bakau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain. Satuan data yang ada di Balai Karantina adalah ekor bukan dalam satuan bobot, karena sesuai tupoksinya, Balai Karantina bertugas untuk mengetahui kondisi penyakit ikan, sehingga pencatatan dilakukan per ekor ikan. Tabel 26 Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008. Tahun
Ekspor
Domestik
Domestik Keluar %
(ekor)
%
(ekor)
2006
2 231 042
36.12
222 567 588
62.18 13 426 948 39.82 238 225 578
59.88
2007
2 110 455
34.17
95 613 618
26.71
26.56
2008
1 835 441
29.71
39 783 234
11.11 12 344 530 36.61
Total
6 176 938
100
357 964 440
100
(ekor)
7 949 698
33 721 176
%
Lalu lintas Total (ekor)
23.57 105 673 771
100
%
53 963 205
13.56
397 862 554
100
Sumber: Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan Tahun 2009
Tabel 26 menunjukkan bahwa total lalu lintas pengiriman kepiting bakau hidup dari tahun 2006 sampai dengan 2008 cenderung menurun, dengan
160
penurunan yang mencapai separuh dari volume tahun sebelumnya. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya penurunan produksi tangkapan kepiting bakau dari alam. Informasi dari Bapak Sab Lestiawan, Kasie Pelayanan Operasional Balai Karantina Ikan Balikpapan, daerah Handil di Balikpapan yang pada tahun-tahun awal pengiriman kepiting bakau mendominasi produksi, saat sekarang ini sudah tidak berproduksi lagi. Demikian juga dengan daerah Muara Badak yang mulai jarang mengirimkan kepiting. Saat ini kepiting bakau yang dikirim keluar Balikpapan didominasi dari daerah Tarakan dan Berau. Bila melihat data persentase jumlah kiriman untuk domestik dan luar negeri, tampak bahwa produksi kepiting yang ada lebih diutamakan untuk kepentingan ekspor, dibanding untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Hal ini terlihat dari angka persentase yang cenderung stabil dari tahun ke tahun untuk keperluan ekspor dan domestik keluar, sekalipun pernah terjadi sedikit penurunan pada tahun 2007 untuk domestik keluar. 5.2.2
Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK Kepiting jenis S. serrata di wilayah TNK, saat ini dimanfaatkan untuk
perikanan tangkap dan budidaya pembesaran, walaupun untuk kegiatan budidaya pembesaran masih sedikit dilakukan. 5.2.2.1
Jenis Alat Tangkap S. serrata Kegiatan perikanan tangkap S. serrata di kawasan mangrove TNK
umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat tangkap, yaitu bubu/rakkang,
pengait,
dan
rengge/gillnet.
Masing-masing
alat
tangkap
mempunyai spesifikasi lokasi dan cara penangkapan yang berbeda. Bentuk dari alat-alat tangkap kepiting tersebut dapat dilihat pada Gambar 35. Bubu, baik dari jenis bubu lipat maupun rakkang digunakan pada area berlumpur yang selalu digenangi pasut, misalnya di pinggir sungai atau tepi pantai. Cara penangkapan kepiting dengan menggunakan bubu adalah bubu dipasang ketika air sedang surut, setelah sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang bubu dibiarkan terendam dalam air, kemudian
161
ketika air telah surut bubu diangkat dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya. Pengait digunakan di lubang-lubang kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait biasanya pada siang hari, saat air surut, karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Penangkapan dengan menggunakan pengait sering memberikan hasil tangkapan kepiting yang luka/cacat akibat kaitan. Hal ini terjadi karena kepiting yang bersembunyi dipaksa keluar dari lubangnya dengan menggunakan kaitan besi, sehingga capit/chela patah.
a. Bubu Lipat
b.Rengge/gillnet
c. Rakkang (bubu)
d. Pengait
Gambar 35 Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK. Rengge/gillnet digunakan di perairan dangkal di pesisir pantai. Nelayan umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang atau malam hari.
162
Nelayan yang menangkap kepiting didominasi oleh suku Bugis/Makassar dan sedikit dari suku Jawa. Jumlah nelayan di wilayah TNK yang menangkap kepiting seluruhnya kurang lebih hanya ada 15 orang. Frekuensi nelayan dalam menangkap kepiting bakau dengan menggunakan rakkang umumnya berkisar antara 2 sampai 3 kali per minggu. Penangkapan dilakukan pada saat air pasang. Pasut di pesisir Kutai Timur bersifat mixed prevailing semidiurnal dimana kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Pasang dengan amplitudo lebih tinggi terjadi pada malam hari. Sehingga nelayan menangkap kepiting pada saat pasang purnama dan pasang perbani. Diantara kedua pasang tersebut ada masa air tenang, dalam bahasa lokal nelayan menyebutnya dengan ‘konda’ yaitu kondisi dimana massa air diam tidak terjadi pasang ataupun surut. Pada saat konda tersebut, kepiting juga tidak masuk ke daratan, sehingga tidak bisa ditangkap.
5.2.2.2
Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Alat Tangkap S. serrata Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, rakkang merupakan alat tangkap
yang paling banyak digunakan. Setiap nelayan kepiting yang menggunakan rakkang, rata-rata memiliki alat tersebut minimal 50 unit, sehingga diperkirakan di kawasan mangrove TNK ada sekitar 250 unit rakkang. Dari segi efisiensi tenaga dan waktu, dibanding pengait dan rengge, alat tangkap rakkang lebih efisien untuk menangkap kepiting, karena nelayan tidak perlu mencari-cari keberadaan kepiting, cukup memasang umpan pada rakkang dan kepiting yang akan datang sendiri. Rakkang pun tidak perlu ditunggui, bila sudah ada kepiting yang masuk maka kepiting akan terus terperangkap dalam rakkang sampai saat diangkat kembali oleh nelayan. Hasil tangkapan kepiting rata-rata antara 3-5 ekor/unit alat. Kelemahan dari alat tangkap rakkang adalah kepiting yang tertangkap umumnya berukuran kecil (kepiting muda) yang belum dewasa kelamin. Kepiting muda yang berukuran di bawah ukuran konsumsi (200-300 gram) umumnya mempunyai nilai jual yang rendah, sehingga kurang menguntungkan. Alat tangkap lain yang cukup banyak digunakan di kawasan mangrove TNK adalah pengait/pancing. Jumlah pengait yang ada di kawasan ini tidak
163
sebanyak rakkang, hanya ada sekitar 10 unit saja, karena umumnya tiap satu orang nelayan hanya memerlukan satu buah pengait untuk operasional menangkap kepiting. Kelebihan dari alat pengait adalah nelayan cenderung memperoleh kepiting yang berukuran besar dan harga yang lebih baik. Namun kelemahannya adalah jumlah hasil tangkapannya relatif sedikit dibanding bila menangkap dengan rakkang. Selain itu hasil tangkapan juga sering cacat, karena kepiting terluka oleh pengait.
5.2.3
Keragaan Budidaya Pembesaran S. serrata di TNK Budidaya kepiting bakau yang telah dilakukan di hutan mangrove TNK
hanya berupa budidaya pembesaran. Wadah untuk memelihara kepiting bakau ada berbagai bentuk, antara lain kurungan bambu dalam tambak, karamba di laut, dan kurungan jaring dalam mangrove. Gambar berbagai bentuk wadah pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 36.
b. Kurungan jaring
a. Kurungan Bambu
Gambar 36 Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di TNK.
Budidaya
pembesaran
dilakukan
dengan
tujuan
sebagai
usaha
pemeliharaan sementara bagi kepiting, yang berukuran terlalu kecil untuk langsung dijual ke pasar. Pembesaran dilakukan dengan menempatkan kepiting
164
hasil tangkapan alam ke dalam wadah tertentu dan dipelihara hingga ukuran layak dijual. Hasil budidaya pembesaran kepiting bakau dengan kurungan bambu yang pernah dilakukan di kawasan mangrove TNK ini belum menunjukkan keberhasilan yang cukup memuaskan. Beberapa kelemahan yang diduga menjadi penyebab kegagalan usaha budidaya tersebut adalah: 1. Tingkat kepadatan benih kepiting bakau yang dipelihara dalam kurungan bambu tidak diperhatikan, sehingga terjadi perebutan ruang dan pakan antar kepiting. Sementara kepiting bakau sendiri merupakan jenis biota yang kanibal (pemakan sesama), sehingga diduga terjadi saling bunuh antar individu kepiting bakau. 2. Jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan tidak konsisten, sedangkan dalam kurungan tidak tersedia pakan alami, sehingga kepiting akan memakan sesamanya. 3. Teknologi kurungan bambu tidak menyediakan habitat alami yang disukai kepiting bakau, sehingga pada saat ada perubahan lingkungan seperti peningkatan suhu pada siang hari, atau perubahan salinitas, kepiting bakau tidak bisa berlindung dan menjadi stress, yang akhirnya berdampak pada kematian. 4. Tinggi kurungan bambu yang hanya sekitar 1 meter sangat rawan terkena banjir pada saat terjadi pasang naik. Sementara kepiting bakau adalah binatang yang sangat mobile, yang mempunyai kaki renang dan kaki jalan, sehingga kepiting dapat berenang dan memanjat pagar yang mengurungnya untuk melepaskan diri. Selain itu teknologi budidaya seperti ini tidak mengkonservasi habitat mangrove, karena menebang habis pohon mangrovenya. Hal ini dapat berdampak buruk dalam banyak hal, akibat hilangnya fungsi ekologis mangrove.
5.2.3.1
Budidaya Pembesaran S. serrata dengan Teknik Sylvofishery Budidaya pembesaran S. serrata yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah budidaya dalam kurungan tancap dalam mangrove (sylvofishery). Lokasi untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa mangrove yang
165
berada pada kisaran pasang surut air laut. Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove secara ringkas disajikan dalam Tabel 27. Tabel 27 Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Parameter Dimensi kurungan Ukuran mata jaring Ukuran Parit Keliling Berat Benih CW Benih Padat penebaran Pakan Sampling Kerapatan vegetasi
10
Jenis vegetasi
11 12 13
Berat ind. panen CW ind. panen Survival Rate (SR)
Alat/Bahan Jaring + papan kayu
Ikan rucah Bubu/rakkang Anakan mangrove
Satuan 10m x 20m x 2m 1.25” 1 m x 0.8 m 68.8±1.92 g 67.83±0.74 mm 300 ekor/kurungan 3 % biomass/hari Per 2 minggu 1113 ind/ha Aegiceras, Nypa, Rhizophora 184.75±8.24 g 88.65±0.94 mm 76.5%
Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m (200 m2) dan tinggi jaring adalah 2 meter untuk mencegah pemangsa (predator) dan untuk mencegah kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25 inchi. Jaring didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter dari material tanaman bakau. Tinggi tonggak 3 meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk penggunaan jaring sebagai pagar, pada bagian bawah jaring tetap perlu ditancapkan papan sedalam ± 0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang dalam lumpur. Di dalam kurungan tancap, digali saluran keliling dengan ukuran lebar antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m.
5.2.3.2
Hasil Budidaya Pembesaran S. serrata Pelaksanaan pembesaran kepiting bakau telah dilakukan selama 10
minggu, namun belum sampai pada tahap panen. Pertumbuhan kepiting selama budidaya sylvofishery diketahui dari sampling sebanyak 25 ekor kepiting setiap
166
dua minggu. Data pertumbuhan kepiting bakau yang diperoleh selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 37. Selama 10 minggu pengamatan menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan kepiting bakau, baik dari ukuran lebar karapas maupun pada ukuran berat tubuhnya. Ukuran lebar karapas benih awal rata-rata sekitar 67.83±0.74 mm, setelah 10 minggu terjadi penambahan CW hingga 88.65±0.94 mm. Sedangkan berat benih awal sekitar 68.8±1.92 g, setelah 10 minggu terjadi penambahan menjadi rata-rata 184.75±8.24 g. Bila dirata-ratakan penambahan berat yang terjadi ± 11.60 gr tiap minggu. Tingkat kelulushidupan/survival rate (SR) pada minggu ke-10 adalah ± 76.5%. Namun kepiting bakau belum mencapai usia panen, sehingga belum diketahui berapa SR kepiting yang berhasil lulus hidup sampai panen.
Pertumbuhan sampling 25 ekor kepiting
250,00 184,75
200,00 161,50 150,00 100,00
95,00
108,50 berat tubuh
68,80 71,50
lebar karapas
50,00 0,00
67,83 67,95 77,55 78,95 88,10 88,65 0
2
4
6
8
10
Minggu
Gambar 37 Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery. Untuk mencapai panen, kepiting bakau yang semula berat tubuhnya 100 g perlu ditingkatkan menjadi 250-300 g, sebagai ukuran konsumsi. Dengan asumsi terjadi peningkatan berat yang tetap, yaitu 11.6 gr tiap minggu, maka diperlukan waktu sekitar 16 minggu (± 4 bulan) untuk mencapai panen dalam penelitian ini. Menurut Genodepa (1999) diperlukan waktu sekitar 4-7 bulan untuk mencapai ukuran tersebut.
167
5.2.3.3
Permasalahan dalam Budidaya Sylvofishery S. serrata Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pembesaran kepiting bakau
secara sylvofishery adalah: •
Adanya hama berupa biawak kalimantan (Varanus vomeensis), yang masuk ke dalam kurungan dengan cara melubangi jaring untuk mengambil ikan rucah yang menjadi pakan kepiting bakau. Masuknya biawak ke dalam kurungan tidak untuk makan kepiting, namun lubang yang dibuat biawak pada jaring menyebabkan kepiting melarikan diri keluar jaring. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu upaya tambahan untuk mencegah biawak masuk, yaitu dengan membuat pagar bambu keliling yang tingginya minimal sepanjang biawak terbesar yang masuk ke karamba (± 1 m), sehingga cukup untuk mencegah biawak memanjat.
•
Adanya angin musim pada bulan-bulan tertentu yang menyebabkan gelombang laut menjadi besar. Di pesisir Kabupaten Kutai Timur musim gelombang besar ini mulai terjadi dari bulan Januari hingga bulan Maret, dan mencapai puncaknya pada bulan Februari. Gelombang besar ini dapat mengakibatkan kerusakan karamba yang berupa tercabutnya jaring dari posisinya atau robeknya jaring akibat hantaman batang-batang pohon yang terseret gelombang. Untuk mencegah kerusakan akibat gelombang, maka perlu adanya papan kayu yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengikat jaring.
•
Adanya run off dari daratan dapat membawa bahan-bahan beracun limbah dari pemukiman dan industri pertambangan yang ada di hulu sungai. Bila tidak diantisipasi kejadian runoff dapat menyebabkan kematian massal kepiting budidaya dalam karamba tancap.
5.2.4
Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Sylofishery S. serrata Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung
dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan, dan pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen.
168
Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue Cost Ratio (R/C) dan keuntungan (π) untuk mengetahui kelayakan pada saat ini tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang (undiscounted criteria). Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan memasukkan faktor nilai uang (discounted criteria) digunakan kriteria Net Benefit Cost (Net B/C). Tingkat discount rate diasumsikan sebesar 12 %, perhitungan rentang usaha selama 2 tahun, umur ekonomis peralatan 2 tahun, dan usaha budidaya dioperasikan mulai tahun pertama (Lampiran 24). Dari hasil analisis (Lampiran 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan biaya (R/C) pada sylvofishery kepiting bakau seluas 200 m2 per tahun sebesar 2.87. Nilai R/C 2.87 bermakna bahwa setiap Rp 1 000 000,- uang yang dipakai untuk pembiayaan budidaya akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 2870000,-. Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 1 tahun 3 bulan. Nilai Net B/C yang diperoleh sebesar 2.05 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang diperoleh adalah sebesar 2.05 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa usaha
budidaya
kepiting
bakau
dengan
teknologi
sylvofishery
layak
direkomendasikan untuk dikembangkan.
5.2.5
Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meliputi
pendapatan dari hasil penangkapan dan pendapatan dari hasil budidaya sylvofishery. Dari hasil penangkapan dengan alat tangkap rakkang nelayan memperoleh pendapatan sekitar Rp 1 - 1.5 juta/bulan. Nilai ini diambil dari rata-rata produksi kepiting tangkapan nelayan setiap bulan dikurangi dengan biaya operasional penangkapan. Dalam satu bulan nelayan umumnya menangkap kepiting sebanyak 10 kali, yaitu pada saat pasang purnama dan pasang perbani (bulan mati). Jumlah yang diperoleh rata-rata 98 kg/bln dengan harga Rp 25 000,-/kg, sehingga rerata penerimaan nelayan adalah sekitar Rp. 2 400 000,-/bulan. Setelah dikurangi biaya operasional penangkapan, yaitu untuk bahan bakar minyak (BBM), pembelian
169
umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-/bulan (Lampiran 26). Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha (Lampiran 25) total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- /unit karamba/tahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-/unit karamba/tahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101 250,-/unit karamba/tahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka (kepiting lunak) atau kepiting bertelur.
5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK 5.3.1
Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 325/Kpts-II/1995, TNK yang semula adalah Suaka Margasatwa berubah fungsi dan statusnya menjadi penunjukkan Taman Nasional. Selanjutnya status ini dipertegas lagi dengan munculnya PP no 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pasal 52 (Lampiran VIII tentang kawasan Lindung Nasional), yang mengkategorikannya sebagai Taman Nasional Kutai dengan status tahap pengembangan I (I/A/4). Kewenangan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional berada di bawah Balai Taman Nasional Kutai (BTNK) sebagai unit teknis dari BKSDA kehutanan. Pengelolaan TNK didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan habitatnya dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, beserta aturan-aturan turunannya. Hingga saat ini pengelolaan hutan, terutama hutan lindung, masih terkesan disakralkan, tertutup dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat. Namun Sukardi (2009) menyatakan bahwa ruang ini mulai terbuka sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No 3 Tahun 2008. Namun demikian secara substansial peraturan ini telah mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan hutan.
170
UU 41/1999 tentang kehutanan Pasal 23 dan pasal 24 menyatakan “Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya” dan “Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional”. Selanjutnya pada Pasal 25 dikatakan “Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Aturan turunan untuk pasal 25 UU 41/1999 ini adalah Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006. Selanjutnya dalam pasal 68, disebutkan “masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”. Dengan demikian dapat dikatakan akses bagi masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan telah dibuka, baik dalam hutan produksi maupun hutan lindung, kecuali pada hutan cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan tersebut meliputi tiga hal pokok, yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu. Secara rinci pemanfaatan hutan ini diatur dalam PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008. Walaupun secara legalitas hukum sudah ada aturan-aturan yang mengijinkan adanya akses masyarakat untuk pemanfaatan hutan, namun hingga saat ini pengelolaan TNK masih tertutup bagi masyarakat. Masyarakat belum diberi hak untuk memanfaatkan dan dibatasi aksesnya berdasarkan pasal 21 UU No. 5 Tahun 1990 dan pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Selain itu tidak ada rencana zonasi yang jelas sesuai amanat undang-undang, yang dibuat untuk kawasan TNK. Sementara itu kenyataan berbicara lain, dengan adanya pelaranganpelarangan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pengelola taman nasional, bukannya berhasil menjaga keutuhan hutan, bahkan pada saat ini TNK justru sangat sarat dengan permasalahan. Isu permasalahan yang paling banyak terjadi adalah adanya perambahan hutan dan penebangan kayu tidak legal (illegal logging). Gambar 25 menunjukkan perambahan hutan cenderung terjadi di bagian
171
pesisir TNK (sebelah timur jalan poros Bontang-Sangatta), yang merupakan kawasan hutan mangrove. Perambahan hutan ini antara lain dilakukan untuk pembuatan jalan poros Bontang – Sangatta, yang pada akhirnya berimbas pada perluasan permukiman penduduk, hingga terbentuknya kecamatan baru, yaitu kecamatan Teluk Pandan, setelah sebelumnya sudah ada kecamatan yang berdiri lebih dahulu, yaitu Kecamatan Sangatta Selatan. Adanya pengembangan wilayah ke arah pesisir ini sangat mengancam keberadaan hutan mangrove di TNK. Karena dengan adanya penduduk dalam wilayah TNK, akhirnya penduduk memanfaatkan hutan mangrove, dimana sebagian besar dilakukan dengan cara yang merusak, seperti menebang mangrove dan membukanya untuk penggunaan lain (pemukiman, tambak). Sementara itu, zonasi TNK sampai saat ini juga belum disusun, sehingga permasalahan perambahan hutan di wilayah TK Kutai menjadi semakin meluas dan berlarut-larut. Untuk penyelesaian masalah tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur berinisiatif mengusulkan beberapa alternatif pengelolaan kawasan TNK yang bermasalah tersebut, salah satunya adalah rencana enclave. Namun rencana ini juga mengalami banyak kendala. Berbagai kendala yang muncul pada rencana enclave ini, antara lain: i. Perbedaan persepsi dalam penafsiran enclave antara Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menafsirkan bahwa kawasan enclave akan dikelola pemerintah daerah setelah enclave selesai. Sedangkan Departemen Kehutanan tetap menghendaki pengelolaan berada pada BTNK (Surat Dirjen PHKA No. 285/DJ-V/KK/2000 tanggal 28 April 2000). ii. Pemerintah Pusat menolak penyelesaian permasalahan TNK melalui enclave, yaitu
dengan
dikeluarkannya
surat Menteri
Kehutanan
RI
Nomor.
1889/Menhut-II/2002 tanggal 21 Nopember 2002 yang isinya menyatakan bahwa Departemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskan wilayah enclave dari Taman Nasional Kutai. Selama belum ada kebijakan untuk penyelesaian permasalahan TNK, diperlukan solusi jangka pendek untuk mencegah semakin meluasnya perusakan
172
sumberdaya alam di TNK, termasuk diantaranya sumberdaya yang di dalam hutan mangrove. Dari hasil penelusuran terhadap peraturan perundangan yang ada, beberapa pasal yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan di TNK, khususnya bagi permasalahan pemanfaatan yang merusak mangrove, yaitu: 1. Pasal 26, 27, 28, 30, dan 32 UU No. 5 tahun 1990, 2. Pasal 23, 24, dan 25 UU No. 41 tahun 1999, 3. Pasal 29 UU No. 27 tahun 2007 beserta penjelasannya, 4. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 60 tahun 2007, 5. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 6 tahun 2007 6. Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Berdasarkan pasal-pasal tersebut, permasalahan pengelolaan mangrove dapat diatasi dengan membuat sistem zonasi yang dapat melindungi kepentingan pelestarian alam, sekaligus mengakomodir hak masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam untuk kebutuhan hidupnya. Bila pada UU No. 5/1990 zonasi dalam kawasan taman nasional hanya dibagi menjadi 3, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya, maka pada aturan turunannya yaitu Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006, zonasi dibuat lebih rinci lagi, yaitu: 1. Zona inti; 2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; 3. Zona pemanfaatan; 4. Zona lain, antara lain: 1. Zona tradisional; 2. Zona rehabilitasi; 3. Zona religi, budaya dan sejarah; 5. Zona khusus. Berdasarkan Permen ini, maka ada tiga zona yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu zona pemanfaatan, zona lain, dan zona khusus.
173
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Dari berbagai peraturan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemanfaatan sumberdaya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kutai masih dimungkinkan, selama pemanfaatan tersebut masih dalam batas aturan yang diijinkan dan tidak keluar dari tujuan undang-undang, antara lain: 1) Konservasi
sumber
daya
alam
hayati
dan
ekosistemnya
bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990); 2) Tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam (pasal 19 UU No. 5 Tahun 1990); 3) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari (pasal 3 poin c UU No. 41 Tahun 1999); 4) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (pasal 27 dan 28, UU No. 5 Tahun 1990); 5) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik
174
berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu (pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007); 6) Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam (pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007). Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau dari jenis S. serrata, yang merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis tinggi dari hutan mangrove, sebagai sumberdaya yang dapat dikelola secara kolaboratif oleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari pemanfaatan kepiting bakau di kawasan TNK adalah: i) kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dan merupakan hasil hutan bukan kayu, ii) kepiting bakau bukan merupakan komoditas yang tinggal menetap dalam hutan mangrove, karena mempunyai sifat ruaya, sehingga dalam setiap tahapan hidupnya menempati lokasi yang berbeda. Kepiting bakau yang tinggal dalam mangrove adalah kepiting bakau dewasa yang menggunakan habitat mangrove untuk kawin dan mencari makanan, sedangkan pada tahap sebelum dewasa kepiting bakau lebih banyak berada di perairan. iii) pemanfaatan
hutan
mangrove
untuk
budidaya
sylvofishery
tidak
mengambil kayu atau pun merubah bentang alamnya, karena yang dimanfaatkan hanyalah fungsi ekologis mangrove sebagai habitat (tempat hidup) kepiting bakau (pemanfaatan kawasan). iv) Benih kepiting bakau yang digunakan untuk budidaya adalah kepiting muda (crablets) yang ditangkap di perairan pantai, sehingga sudah berada di luar batas kawasan TNK. v) Kepiting dewasa yang dihasilkan dari budidaya sylvofishery sebagian dapat digunakan untuk restocking induk kepiting di habitat mangrove TNK, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan proses reproduksi kepiting bakau.
175
Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka peneliti merekomendasikan pengembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau S. serrata sebagai alternatif pemanfaatan hutan mangrove yang ramah lingkungan di zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan hutan mangrove TNK.
5.3.2
Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Ekosistem Mangrove TNK Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam pemanfaatan kawasan hutan
mangrove untuk habitat budidaya kepiting bakau adalah penentuan zonasi yang tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman Taman Nasional Bali Barat dalam sejarah pengelolaan kawasannya, dapat diketahui bahwa masyarakat lokal yang sudah terlanjur tinggal di dalam kawasan TN tidak dapat dengan mudah direlokasi ke tempat lain, sebagaimana tidak mudah juga untuk merubah status kawasan TN. Namun demikian deliniasi zonasi kawasan yang tegas, dan bersamaan dengan upaya peningkatan kesadaran mayarakat dalam kawasan untuk menjaga kawasan konservasi pada akhirnya berhasil menekan permasalahan agar tidak menjadi semakin luas. Berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan di kawasan mangrove TNK, daya dukung dan kesesuaian lahan untuk budidaya sylvofishery kepiting bakau, dan laju eksploitasi kepiting bakau Scylla serrata serta kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat lokal, maka lokasi yang dapat direkomendasikan untuk zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 38. Zona pemanfaatan budidaya sesuai ditempatkan di lokasi Muara Sangatta karena daya dukung kawasan Muara Sangatta bagi budidaya sylvofishery paling besar dibanding lokasi yang lainnya. Kawasan ini dapat mendukung budidaya sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove. Muara Sangatta merupakan sebuah dusun yang terletak di muara Sungai Sangatta. Sungai Sangatta sendiri merupakan sungai terbesar yang membelah kota Sangatta menjadi dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangatta Selatan dan kecamatan Sangatta Utara. Sungai Sangatta juga menjadi batas sebelah utara wilayah TNK, sehingga kecamatan Sangatta Selatan menjadi masuk dalam
176
wilayah TNK. Hilir Sungai Sangatta berada di kecamatan Singa Geweh dan bermuara di Selat Makassar. Informasi yang diperoleh dari Bapak Sidin, ketua RT di Muara Sangatta, Dusun Muara Sangatta terdiri dari 18 buah rumah yang diisi oleh 23 Kepala Keluarga (KK) dengan penghuni sebanyak 96 orang dewasa. Dari 23 KK tersebut semuanya bekerja sebagai nelayan, hanya ada 5 KK yang bekerja sebagai petambak. Namun dari 5 KK yang bekerja sebagai petambak, hanya 1 orang yang memiliki tambak sendiri, sementara yang lainnya hanya bekerja untuk menjaga tambak dengan sistem upah bagi hasil. Luas tambak yang tercatat memiliki girik di dusun ini sekitar 70 ha, dimana tambak yang produktif hanya sekitar 7 ha saja. Tambak yang tidak produktif ini umumnya dibiarkan begitu saja, sehingga bekas-bekas tebangan pohon mangrove tumbuh kembali tunasnya sebagai pokok trubusan yang berukuran diameter <10 cm, seperti yang telah disampaikan pada subbab 5.2.1. Hasil pengamatan menunjukkan di lokasi Muara Sangatta, kerapatan vegetasi adalah 1113 ind/ha, namun ini adalah kerapatan untuk vegetasi anakan, karena diameternya kurang dari 10 cm. Parameter fisik kimia lingkungan di Muara Sangatta dicirikan dengan adanya
kerapatan
vegetasi,
pH
substrat,
oksigen
terlarut,
kelimpahan
makrozoobenthos, salinitas air, dan produksi serasah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan lokasi Teluk Perancis, dan Muara Sangkima. Namun pada lokasi ini justru kepiting lebih banyak diperoleh nelayan dibanding kedua lokasi yang lain. Dari hasil pengamatan, jarang ditemui kepiting bakau atau pun lubang/sarangnya pada lokasi yang perakaran mangrovenya sangat padat atau pun pada lantai mangrove yang banyak mengandung serasah (jenis tanah gambut). Kepiting banyak membuat lubang di area yang liat atau berlumpur dan tergenang air, seperti tepi parit, sungai, dan tambak dalam mangrove. Dan kondisi seperti inilah yang banyak ditemukan di Muara Sangatta, yang merupakan muara sungai besar. Oleh karena itu, adanya sylvofishery diharapkan dapat memanfaatkan lahan-lahan kritis bekas tambak tersebut, setelah dilakukan rehabilitasi mangrove. Zona penangkapan kepiting bakau S. serrata sesuai diletakkan di lokasi Muara Sangkima, karena tekanan penangkapan kepiting bakau di lokasi ini paling rendah. Lokasi Muara Sangkima yang jauh dari pemukiman membuat tekanan
177
penangkapan sumberdaya S. serrata di lokasi ini relatif lebih rendah dibanding pada lokasi Muara Sangatta dan Teluk Perancis.
Zonasi Pemanfaatan Mangrove 117°27'
117°30'
t Sira r S. kapu g n a n S. A S. Ni pah Kecil S. S. Nipah Pa da ng
0°24'
117°39'
117°42'
0°30'
b
0°27'
B_Teluk Perancis 0°24'
SELATMAKASSAR
0°21'
0°18'
S. Kenduung
il ec
da luk Te . S
0
4 Kilometers
LEGENDA:
b
Stasiun Zona perikanan tangkap scylla Zona sylvofishery scylla Sungai Batas TNK tambak nipah mangrove kawasan hutan lain TN Kutai
0°15' 1. Peta RBI, Bakosurtanal
SARAWAK
Tahun 1991, 1:250.000 2. Citra Terra Aster, Tahun 2005
KALIMANTANTIMUR
S. Ken ibu ng
0°12'
mputu k
117°24'
S
4
Sumber Peta:
K 0°15' Danau Besar lam
0°12'
E
A_Muara Sangatta
C_Muara Sangkima
S. K end ulu
W
117°45'
b
s pu lim Se S.
0°18'
117°36'
S. Palu
b
0°27'
S. Pari
S. Na ga
am oas Lab S.
S. Keluang
0°21'
117°33'
S. H
0°30'
S. Masa
117°24'
N
117°27'
117°30'
117°33'
117°36'
117°39'
117°42'
117°45'
Disusun oleh: Nirmalasari Idha Wijaya mayor Pengelolaan SD Pesisir Laut IPB
Gambar 38 Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove TNK. Hal lain yang mendukung Muara Sangkima sebagai zona penangkapan adalah walaupun di lokasi ini banyak dibuat tambak, namun kondisi vegetasi mangrove masih baik dengan kerapatan sangat padat. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh tidak adanya pemukiman di kawasan tersebut. Pemukiman yang ada hanya sebatas pondok-pondok tempat tinggal penjaga tambak. Sehingga pemanfaatan mangrove yang merusak, juga relatif rendah. Zona perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata sesuai bila diletakkan di lokasi Teluk Perancis. Teluk Perancis termasuk dalam dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima. Di lokasi Teluk Perancis sendiri tidak ada pemukiman penduduk, namun di Dusun Teluk Lombok ada pemukiman penduduk yang cukup ramai karena berada di area perusahaan minyak Pertamina. Teluk Lombok juga merupakan kawasan wisata pesisir.
178
Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan Muara Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar tambak sudah tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis. Kerapatan pohon di Stasiun Teluk Perancis TNK ±550 pohon/ha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area ±7.421 m2/ha. Jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 184.650%. Jenis mangrove Rhizophora mempunyai bentuk perakaran tongkat yang saling menyilang untuk mempertahankan kedudukannya pada substrat yang tidak stabil, demikian juga dengan Bruguiera yang mempunyai jenis perakaran lutut. Padatnya perakaran ini menyebabkan tidak ada ruang gerak dan ruang untuk membuat lubang persembunyian yang terendam air pada lantai dasar mangrove bagi S. serrata. Indikator yang menunjukkan bahwa potensi S. serrata di Teluk Perancis rendah adalah laju eksploitasi faktual di atas laju eksploitasi maksimal, ini menunjukkan bahwa tekanan penangkapan sudah cukup tinggi dan sulit untuk memperoleh kepiting S. serrata di lokasi ini. Di sisi lain, kondisi vegetasi mangrove di Teluk Perancis yang relatif lebih bagus dibandingkan mangrove di Muara Sangatta merupakan suatu alasan untuk menjadikan kawasan ini sebagai zona perlindungan mangrove. Sebagai zona perlindungan mangrove, kawasan ini sekaligus juga merupakan zona perlidungan kepiting bakau. Artinya, di kawasan ini tidak boleh dilakukan upaya pemanfaatan S. serrata, baik berupa penangkapan maupun pembudidayaan. 5.3.3
Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata Analisis terhadap laju eksploitasi S. serrata di kawasan mangrove TNK
secara umum, kecuali di Muara Sangkima, menunjukkan adanya indikasi tangkap lebih (overexploitation) di kawasan ini, sehingga diperlukan pengelolaan perikanan tangkap S. serrata. Freon et al. dalam Yanuar (2008) menyebutkan bahwa mekanisme pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi enam kategori: pengaturan ukuran ikan; pengaturan kuota, pengaturan kapasitas armada tangkap, pengaturan standar pengusahaan penangkapan ikan, pengaturan musim tangkap,
179
penutupan area dan penentuan kawasan lindung terkait dengan kawasan penangkapan. Yanuar (2008) dalam tesisnya menyatakan bahwa aturan optimasi jumlah alat tangkap serta penangkapan ikan tertentu hanya dalam bulan-bulan tertentu, hanya akan berhasil apabila hal ini diterapkan dalam aturan pengelolaan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Penekanan ini biasanya tidak cukup, karena umumnya dampaknya tidak segera dirasakan dan ketika dampaknya dirasakan (jumlah hasil tangkapan bertambah dan ukuran ikan meningkat) akan merangsang kembali tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi. Sanchirico et al. dalam Yanuar (2008)
juga
menyatakan
bahwa
kawasan
lindung
dapat
menyediakan
perlindungan terhadap habitat kritis, situs bersejarah serta keanekaragaman hayati namun fungsinya untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dampaknya sering tidak terlihat. Hal ini terjadi karena fakta bahwa kawasan lindung hanya ’mengobati’ gejalanya tapi tidak mengobati masalah fundamental terjadinya tekanan pemanfaatan yang tinggi. Diperlukan keterpaduan terhadap kompleksitas interaksi antara faktor-faktor biologi, ekonomi dan institusi. Penekanan diberikan pada bagaimana memberikan insentif kepada nelayan yang beroperasi di kawasan lindung agar mau berperan terhadap faktor-faktor tersebut sehingga efektifitas kawasan lindung, khususnya terhadap peningkatan pengelolaan perikanan, dapat tercapai. Peluang untuk tercapainya tujuan tersebut masih terbuka mengingat skala usaha nelayan umumnya adalah perikanan skala kecil. Perikanan skala kecil secara ekologis lebih efisien, menghasilkan lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih berkelanjutan dibandingkan perikanan skala besar atau skala industri (Pauly dalam Yanuar 2008). Panayotou (1982) menyatakan bahwa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan seperti penetapan alat tangkap, penetapan musim, atau penutupan daerah penangkapan secara sementara atau permanen bertujuan untuk membatasi ukuran dan umur ikan ketika ditangkap. Pendekatan seperti penetapan kuota bertujuan untuk membatasi jumlah upaya penangkapan serta jumlah kepiting bakau yang ditangkap. Bentuk pendekatan lainnya bertujuan membentuk iklim yang kondusif yang memungkinkan nelayan melakukan sendiri pengendalian dan pengawasan penangkapan kepiting bakau. Langkah-langkah ini selanjutnya akan
180
menjadi dasar pengelolaan S. serrata pada masing-masing lokasi di TNK, walaupun tidak seluruh langkah ini harus dilakukan, namun perlu melihat kondisi bioekologi kepiting S. serrata pada lokasi tersebut. Demikian pula yang terjadi di kawasan mangrove TNK, pengelolaan kawasan hutan mangrove baru akan berhasil bila zonasi pemanfaatan dan pengaturan penangkapan S. serrata dalam kawasan diterapkan secara bersamaan. Kondisi ekobiologi S. serrata di habitat mangrove TNK telah dipaparkan secara rinci di bab sebelumnya. Beberapa hal dari kondisi ekobiologi tersebut penting sebagai dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap S. serrata. Perikanan tangkap S. serrata berdasarkan hasil analisis daya dukung dan pertimbangan kondisi ekobiologi S. serrata hanya bisa dilakukan di lokasi Muara Sangatta dan Muara Sangkima, yang disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya dan zona pemanfaatan tangkap. Sedangkan lokasi Teluk Perancis lebih sesuai untuk zona perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam kebijakan pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di lokasi Muara Sangatta dan Muara Sangkima adalah: 1) Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau dilakukan berdasarkan prinsip zonasi pemanfaatan yang telah dibahas sebelumnya. Penangkapan kepiting bakau S. serrata hanya diijinkan di lokasi Muara Sangkima yang merupakan zona pemanfaatan perikanan tangkap. Di lokasi ini S. serrata dapat ditangkap di dalam hutan mangrove, sesuai dengan kuota yang telah ditentukan berdasarkan kondisi biologi S. serrata. Zona terbuka dan tertutup bagi penangkapan S. serrata dapat dilihat pada Gambar 39. Lokasi Teluk Perancis merupakan zona perlindungan yang ditutup bagi penangkapan kepiting bakau. Demikian juga di lokasi Muara Sangatta, yang disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya TNK, juga tidak boleh dilakukan penangkapan di dalam areal hutan mangrove. Namun demikian penangkapan benih kepiting di perairan pantai masih memungkinkan karena sudah berada di luar kawasan TNK.
181
ZONA BUKA TUTUP PENANGKAPAN S. SERRATA 117°33'
117°34'
0°26' aboasam
117°35'
a Nag S.
L
S. Keluang 0°25'
b
117°36'
S. Pari
117°37'
S. Palu
117°32'
S.
117°31'
N W
E
117°38'
S
A_Muara Sangatta 0°26'
1
b
0°25'
S. Ruh
0
1 Kilometers
LEGENDA : Zona Terbuka
0°24' 0°23'
S. Sirat
S. N i
pah
0°24'
B_Teluk Perancis
S. An angka pur
0°23'
0°22'
0°22' 0°21'
S. Pa da ng C_Muara Sangkima
b
0°20'
Sungai kecil Batas tnk
SELAT MAKASSAR
0°21'
Zona Tertutup Kawasan TN Kutai
Sumber Peta: 1. Peta RBI, Bakosurtanal, Tahun 1991 skala 1 : 250 000 2. Citra Terra Aster Tahun 2005 3. Peta Dasar TNK, Balai TNK, Tahun 2005
0°20'
0°19'
0°19'
SARAWAK KALIMANTANTIMUR
0°18'
S. Kenduung 117°31'
117°32'
117°33'
117°34'
117°35'
117°36'
117°37'
117°38'
0°18'
Dibuat oleh: Nirmalasari IdhaWIjaya PengelolaanPumberdaya Pesisir dan Laut
Gambar 39 Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK.
2) Penutupan Musim Penangkapan Kepiting Bakau Penutupan musim penangkapan kepiting bakau merupakan pendekatan manajemen yang umumnya dilakukan di negara yang sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat sumberdaya kepiting bakau yang sangat bergantung pada musim. Musim kepiting bakau bergantung pada siklus hidup kepiting bakau yang lahir, besar, dan mati pada waktu tertentu. Dengan mempertimbangkan musim kepiting bakau ini, manajemen sumberdaya kepiting bakau dengan cara penutupan musim penangkapan dapat dilakukan. Ada dua bentuk penutupan musim penangkapan kepiting bakau. Pertama, menutup musim penangkapan kepiting bakau pada waktu tertentu untuk me mungkinkan kepiting bakau dapat memijah dan berkembang. Kedua, penutupan kegiatan penangkapan kepiting bakau karena sumberdaya kepiting bakau telah mengalami degradasi dan kepiting bakau yang ditangkap semakin sedikit. Oleh
182
karena itu, kebijakan penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang pada sumberdaya kepiting bakau yang masih tersisa untuk memperbaiki populasinya. Indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau pembukaan kegiatan penangkapan kepiting bakau adalah status siklus hidup dari sumberdaya kepiting bakau itu sendiri. Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah diketahui waktu kepiting bakau kawin, memijah, atau mengasuh anaknya, waktu itu harus dipertimbangkan sebagai musim penangkapan kepiting bakau ditutup. Pada lokasi Muara Sangatta rekruitmen kepiting S. serrata terjadi pada bulan Oktober, Januari, Desember dan Maret, dengan frekuensi induk matang gonade TKG IV tertinggi pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli-Agustus. Oleh karena itu kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-MaretApril dan Juli-Agustus perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk betina yang matang gonade dan kepiting juvenil. Pada lokasi Muara Sangkima diduga rekruitmen kepiting S. serrata jantan terjadi pada bulan Februari dan April, sedangkan S. serrata betina terjadi pada bulan bulan Januari dan April. Puncak tertangkapnya induk betina matang gonade pada bulan Februari. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulanFebruari-April. Untuk menganalisis apakah penutupan musim penangkapan dapat berpengaruh pada pendapatan nelayan, maka dilakukan tabulasi data RPUE j , puncak rekruitmen, dan hasil tangkapan (catch) seperti terlihat pada Gambar 40. Gambar 40 menunjukkan bahwa secara umum alokasi upaya penangkapan (RPUEj) akan meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan dan meningkatnya kelimpahan induk S. serrata matang gonade TKG IV. Bila pada bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan kepiting bakau, hal ini dapat berarti akan terjadi penurunan pendapatan nelayan kepiting bakau dan pasokan kepiting bakau ke pasar menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Namun kemungkinan ini dapat diantisipasi melalui produksi S. serrata dari hasil budidaya sylvofishery, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
183
Gambar 40 Dinamika RPUE j , kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil tangkapan S. serrata pada Tahun 2009. Kebijakan penutupan musim penangkapan kepiting bakau dapat diimplementasikan secara baik dengan cara pengendalian dan pengawasan di basisbasis pemukiman nelayan untuk mencegah mereka melakukan kegiatan penangkapan kepiting bakau. Meski demikian, pengawasan langsung di lapangan atau di daerah penangkapan kepiting bakau masih perlu dilakukan untuk menjamin bahwa penutupan musim ini berlangsung secara efektif. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan di pasar karena seringkali adanya permintaan konsumen menjadi pendorong bagi nelayan untuk melanggar peraturan. 3) Pembatasan alat tangkap kepiting bakau Kebijakan atau pendekatan pembatasan/selektivitas alat tangkap dalam manajemen penangkapan
sumberdaya kepiting bakau adalah metode pemilihan alat kepiting
bakau
yang
bertujuan
untuk
mencapai
atau
mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok kepiting bakau. Kebijakan ini mempunyai tujuan memberi kesempatan pada kepiting bakau yang produktif untuk bereproduksi dalam rangka mempertahankan keberlanjutan populasi S. serrata di alam. Dengan kata lain, penangkapan kepiting bakau dilakukan secara selektif hanya pada kepiting bakau yang tidak masuk dalam kategori ini. Dengan cara demikian, penangkapan kepiting bakau dapat dilakukan secara kontinyu karena kepiting bakau yang tidak ditangkap memiliki kesempatan
184
untuk bereproduksi dan menghasilkan kepiting bakau muda yang akan berkembang dan memiliki kemampuan bereproduksi. Penangkapan kepiting bakau secara selektif berarti menjaga kontinyuitas kegiatan penangkapan kepiting bakau sehingga keberlanjutan sumberdaya kepiting bakau terjamin. Alat tangkap rakkang, yang cenderung menangkap kepiting yang berukuran kecil, direkomendasikan untuk digunakan pada lokasi zona depan hutan mangrove TNK. Alasan yang mendasarinya adalah karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan sebagai benih pada budidaya sylvofishery. Pengaturan yang perlu dilakukan adalah pada ukuran diameter bukaan mulut rakkang. Diameter mulut rakkang diatur agar berukuran kurang dari 100 mm, sehingga hanya kepiting yang berukuran benih saja yang akan tertangkap, sedangkan kepiting yang berukuran besar (terutama induk betina) tidak dapat masuk ke dalam rakkang. Kepiting berukuran kecil ini bila ditangkap terus menerus akan menyebabkan habisnya stok induk di alam, karena kematian alami dari induk yang tidak tertangkap. Oleh karena itu, restoking induk dari sebagian hasil panen budidaya sylvofishery merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagai kompensasi atas sumberdaya yang telah diambil dari alam. Alat tangkap rengge, yang cenderung menangkap hasil sampingan berupa induk S. serrata matang gonade yang sedang beruaya ke laut untuk memijah, sebaiknya tidak digunakan, terutama pada bulan-bulan dimana terjadi puncak frekuensi induk betina matang gonade. Alat tangkap pengait dapat digunakan pada zona penangkapan kepiting bakau di tengah hutan mangrove. Alat pengait cukup selektif menangkap kepiting yang berukuran besar. Selain itu penangkapan di zona tengah hutan mangrove juga berpotensi lebih besar memperoleh kepiting jantan. Penangkapan kepiting jantan akan membantu terbentuknya keseimbangan rasio kepiting jantan : betina dalam hutan mangrove. Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu, kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya kepiting
185
bakau dan penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang dilarang.
4) Pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau Ratio jantan betina pada zona tengah hutan dan depan hutan mangrove yang didominasi oleh kepiting jantan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran keseimbangan jumlah individu jantan dan individu betina (Gambar 41) . tengah hutan
0,47
perairan
depan hutan
0,85
1 1
1
2,5
jantan betina
Gambar 41 Rasio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove. Jumlah individu jantan yang mendominasi dari sudut pandang reproduksi tidak menguntungkan, karena kepiting betina hanya memerlukan satu kali proses kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting bakau betina memiliki spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting jantan hingga beberapa bulan (Phelan & Grubert 2007). Dengan sifatnya ini, maka jumlah jantan yang lebih banyak dari betina menjadi tidak efektif. Untuk itu disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan. Penangkapan dengan alat tangkap pengait dapat mendukung saran ini karena penangkapan di lubang cenderung memperoleh kepiting jantan.
5) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau Pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau dapat dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan kepiting bakau. Namun pada pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di TNK, kuota penangkapan dapat diterapkan sesuai daerah penangkapannya. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta, keduanya sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi
186
penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Kuota tangkapan yang dapat diberikan adalah berkisar antara 6 563 - 10 261 ton/tahun. Kuota penangkapan ini diperoleh dari angka pendekatan dari hasil analisis laju eksploitasi, yaitu perkiraan potensi S. serrata sebesar 18 488.80 kg/th dikalikan dengan laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan yaitu terendah 0.355 sampai 0.555. Namun hasil simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kuota tangkapan setelah ada perbaikan dalam pemanfaatan mangrove, sehingga konversi mangrove yang semakin menurun akan menambah potensi stok S. serrata.
6) Restoking kepiting bakau Pengendalian yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup dari kepiting bakau dengan tetap menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat adalah dengan menggunakan metode restoking yaitu perbaikan kondisi kelimpahan kepiting bakau di suatu daerah dengan mengambil jenis kepiting bakau dari daerah lain untuk ditebarkan di daerah yang mengalami degradasi kepiting bakau. Restoking dapat juga dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen budidaya sylvofishery yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembalian hasil panen, terutama jenis kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan stok induk betina di alam. Penerapan metode ini dapat dilakukan pada saat penutupan daerah penangkapan kepiting bakau. Beberapa hal yang harus diketahui untuk menggunakan metode ini adalah pertama, kesesuaian parameter lingkungan dimana kepiting bakau dapat bertahan hidup diantaranya parameter fisika, kimia dan biologi. Kedua, harus diketahui bioekologi dari kepiting bakau sendiri. Kelemahan dari metode ini adalah akan terjadi homogenitas spesies karena kebanyakan kepiting bakau yang ditebarkan harus beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga peluang hidupnya akan kecil. Lokasi Muara Sangatta yang melimpah kepiting berukuran kecil menjadi sumber benih bagi budidaya sylvofishery, dan juga merupakan sumber restoking induk (dari hasil budidaya pembesaran sylvofishery) untuk ditebar di lokasi lain (Teluk Perancis) yang sesuai sebagai zona perlindungan bagi kepiting bakau.
187
Restoking induk betina di lokasi Teluk Perancis perlu dilakukan untuk menyeimbangkan ratio jantan betina karena cukup besar rationya yaitu 1:0.47 dan menjadikan kawasan ini sebagai bank benih S. serrata. Induk betina S. serrata yang akan digunakan untuk restoking adalah kepiting yang berasal dari hasil panen sylvofishery. Hasil analisis sistem dinamik menunjukan 1% dari hasil panen yang dikembalikan ke alam akan memperbaiki stok kepiting bakau dan meningkatkan produksi sebanyak ± 6 ton pada tahun berikutnya.
5.3.4
Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata Salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau untuk
mengurangi upaya penangkapan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya. Tujuannya, meningkatkan nilai ekonomi kepiting bakau yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat dan mengurangi upaya penangkapan kepiting bakau yang berlebihan di ekosistem mangrove. Pada dasarnya, secara ekologis kegiatan budidaya bertujuan untuk tetap menjaga keberadaan siklus hidup dari kepiting bakau, karena kegiatan budidaya yang dilakukan adalah mulai dari proses perkawinan, pemijahan, pemeliharaan (dimana benih awalnya diambil dari alam) sampai pada ukuran kepiting mencapai ukuran dewasa yang dapat dipanen tanpa mengganggu kehidupan alami dari kepiting bakau. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa konstanta pertumbuhan (K) kepiting S. serrata pada budidaya pembesaran sylvofishery mencapai nilai 4.2 sedangkan konstanta pertumbuhan kepiting yang hidup di alam berkisar antara 0.45-1.5. Adanya perlakuan budidaya seperti pemberian pakan dan pengendalian terhadap kualitas perairan diduga merupakan faktor-faktor yang mendorong tingginya konstanta pertumbuhan pada S. serrata. Konstanta pertumbuhan yang lebih baik pada budidaya sylvofishery merupakan alasan yang mendasar untuk merekomendasikan kegiatan budidaya sylvofishery di habitat mangrove TNK. Secara sosial-ekonomi dengan kegiatan budidaya dapat merubah pola hidup dari masyarakat yang awalnya sebagai penangkap beralih fungsi sebagai pemelihara kepiting bakau, dan dari kegiatan budidaya dapat mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat.
188
Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini, dimana hatchery (pembenihan) kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana (2004) larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satusatunya pilihan. Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka (kepiting lunak). Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m, dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekor/unit atau sebesar 1.5-2.5 ekor/m2. Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor benih S. serrata/musim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum. Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut: produksi kepiting bakau (empat spesies) tahun 2008 = 12.1 ton (data statistik Dinas KP Kutim 2009) bila diasumsikan S. serrata = 80% dari total (Cholik & Hanafi 1991), maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis
189
dengan FISAT II diketahui laju eksploitasi maksimum jantan adalah 45.7 % dan betina 40.7 % (rata-rata 43.2 %). produksi maksimum S. serrata adalah = 7.26 x 0.455 = 3.033 ton, dengan asumsi per ekor S. serrata = 100 gram, maka tersedia benih = (3.033 x 1.000.000)/100 = 30 333 ekor benih. Budidaya sylvofishery direkomendasikan dilakukan di lokasi Muara Sangatta, tidak mesti dilakukan pada kawasan yang masih memiliki vegetasi mangrove yang baik. Penelitian Triño dan Rodriguez (2002) di Aklan, Philipina menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik di lokasi mangrove yang sedang direhabilitasi (reforested mangrove). Hasil yang paling menguntungkan adalah budidaya dengan kepadatan benih 1.5 ekor/m2 dan pemberian pakan campuran 75% kerang coklat dan 25% ikan rucah yang diasin. Mengacu pada hasil penelitian ini, maka lokasi Muara Sangatta yang banyak terdapat lahan kritis bekas tambak yang tidak produktif lagi, sangat potensial direforestasi untuk budidaya sylvofishery. Dengan adanya reforestasi ini, maka minimal akan diperoleh dua keuntungan, yaitu mengembalikan kondisi hutan mangrove menjadi lebih baik dan keuntungan dari hasil budidaya sylvofishery kepiting bakau untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
5.3.5 Model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK Model pengelolaan sumberdaya S. serrata dikembangkan melalui dinamika interkoneksi antar parameter kunci seiring dengan perubahan waktu dari sistem ekologi-ekonomi-sosial yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar perumusan model mengacu pada efek berantai, dimana terjadinya perubahan dalam parameter pengelolaan dapat mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata. Perumusan dalam model yang dibangun didasarkan pada model matematika sederhana. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Powersim Studio 2005. Selanjutnya model pengelolaan sumberdaya Scylla serrata ini disebut dengan model CRASYMAN (Crab Sylvofishery Management).
sub mode l budidaya sylvofishe ry
sub mode l mangrove
harga_be nih
fraksi_pe manft_mgr konve rsi_biomass_ SR_bddy pe r e kor
luas_mgr
zona_pe manft_mgr
pane n_bddy
DD_Lingk prose s_bddy
pe rluasan Konstanta_ pe nambh_mgrv SI_VEG
HSI
pakan
fraksi re stock_induk
padat_te bar_ be nih
be nih_pe r_ karamba
SI_SUB prluasn_pmukimn
biaya_bddy
prod_bddy
juml_ unit_ karamba
pe nambh_mgr te bang_mgr
TK
biaya_be nih
re stock_induk
SI_KA konve rsi_mgrv
vol_prod_bddy
fraksi_be nih
re habilitasi mgr
stok_be nih
konve rsi_bobot_ pane n
pe ngaruh_luas_ mgrv_thd pote nsi scylla
konst_tambak tambak
sub mode l sosial pe ngaruh ke sadarn lingk_thd konve rsi mgrv
laju_pote nsi
pe nge tahuan_ kadaluarsa fraksi_pe nge tahuan _kadaluarsa
pe ngaruh_dana_pe nddk_te rhadap_pe nge tahuan
alokasi_dana_ pe ndidikan
stok_scylla
produksi_scyl e _fact
stok_tkp kuota_tkp
pe ndpt_klg fraksi_dana_pe ddk
e _max
pote nsi_scylla
tkt_ ke sadaran_lingk pe ningkatan_pe nge tahuan
re rata_ke limphn_ 23,188.96 k g /yr scylla
pe ndapatan_lain
prod_tkp
fraksi_pe ngaturan_ tangkap sub mode l pe nangkapan M
Z
F
jml_klg
biaya_tkp
harga_scylla
ke unt_bddy
sub mode l e konomi
ke unt_tkp
pe ndapatan_scylla ke unt_total
Gambar 42 Diagram alir stok (SFD) model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK.
191
Langkah awal pengembangan model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK adalah merumuskan model secara matematis, lalu memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun dan terakhir dilakukan analisis model. Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK disajikan pada Tabel 28 dan diagram alir stok disajikan pada Gambar 42. Tabel 28 Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK Submodel dan Parameter
Nilai Dugaan
I Submodel Mangrove 1. initial luasan mangrove (ha) 5277.79 2. laju perluasan mangrove (ha/th) 3. penebangan kayu mangrove (ha/th) 12.25 4. perluasan pemukiman (ha/th) 13 5. pembukaan tambak (ha/th) 10 6. laju konversi mangrove (ha/th) 7. pertambahan luas mangrove (ha/th) 0.257 8.zona pemanfaatan mangrove (ha) 1 028.85 9. konstanta pertambahan luas (%/th) 0.05 10. konstanta fraksi zona 20 pemanfaatan mangrove (%) 11. Habitat Suitability Index (HSI) 0.622 (tanpa unit satuan/TS) 12. daya dukung lingk untuk S. 19 688.60 serrata (kg/th) II Submodel Penangkapan S. serrata 13. potensi S. serrata (kg/th) 22 192.43
14. produksi tangkapan S. serrata per tahun (kg/th) 15. laju potensi S. serrata 16. laju eksploitasi faktual (TS) 17. Z = total laju mortalitas (TS) 18. M = laju mortalitas alami (TS) 19. F = laju mortalitas penangkapan (TS) 20. fraksi pengaturan tangkap (%) 21. rerata eksploitasi maksimal (TS)
Keterangan Hasil analisis citra Terra Aster 2005 var 7 – var 6 Analisis trend/rata-rata) Analisis trend/rata-rata Analisis trend/rata-rata var 3 + var 4 + var 5 var 1 * var 9 var 1 * var 10 Data sekunder (Laju akresi) Dahuri (2003) Hasil Analisis HSI (Data Primer Yang Diolah 2009) var 11 * var 10 * var 24
Analisis Deskriptif (Data Primer Yang Diolah 2009) 6 800 Analisis Deskriptif (series data diolah 2005-2009) 18 488.80 0.556 Z /F 2.41 Hasil olahan FISAT (Data Primer Yang Diolah 2009) 1.07 Hasil olahan FISAT (Data Primer Yang Diolah 2009) 1.34 Var 17 – var 18 100
Asumsi kebijakan penangkapan 100% 0.455 Hasil olahan FISAT (Data Primer Yang Diolah 2009)
192
Submodel dan Parameter
Nilai Dugaan
Keterangan
22. stok total S. serrata (kg/th) 10 030.98 var13 * var 21 23. stok tangkapan S. serrata (kg/th) 4 011.96 Stok total – stok benih 24. rerata kelimpahan S. serrata 43.1 var 13 / var 1 (kg/ha.th) III Submodel Budidaya S. serrata 25. jumlah unit karamba (unit) 490 var 12 / var 25 26. konstanta padat tebar benih/unit 30 Triño & Rodriguez (2002) (kg/unit) 27. stok benih untuk budidaya (kg/th) 6 018.59 var 22 * var 28 28. fraksi stok benih (%) 60 Scientist judgement 29. ketersediaan padat tebar benih 60 var 27 / var 25 budidaya (kg/unit) 30. SR budidaya (TS) 0.76 Hasil analisis data primer 2010 31. konversi biomass per ekor 4 Hasil analisis data primer 2010 (ekor/kg) 32. panen budidaya (ekor/th ) 117 884 Var 29*var 30*var 31 33. fraksi restoking induk (%) 1 Warner (1977) 34. restoking induk S. serrata 1 167 var 33*var 34 (ekor/th) 35. produksi budidaya (ekor/th) 116 705 var 32 – var 34 Konversi produksi bddy (kg/th) 29 176.25 36. total biaya budidaya (IDR/th) 452 197 398 var 37 + var 38 + var 39 37. biaya benih (IDR/th) 177 197 398 Hasil analisis data primer 2010 38. biaya Tenaga Kerja (TK) 150 000 000 Hasil analisis data primer 2010 (IDR/th) 39. biaya pakan (IDR/th) 125 000 000 Hasil analisis data primer 2010 IV Submodel Ekonomi 40. harga ekspor S. serrata (IDR/kg) 35 000 Hasil analisis data 2010 41. biaya penangkapan (%) 30 Asumsi 42. keuntungan penangkapan S. 84 251 133 (var 23*var 40)-var 41 serrata (IDR/th) 43. keuntungan budidaya S. serrata 568 971 352 (var 35*var 40)-var 36 (IDR/th) 44. keuntungan total (IDR/th) 653 222 485 var 42 + var 43 V Submodel Sosial 45. potensi jumlah pembudidaya 60 Hasil analisis kuisioner 2009 (KK) 46. pendapatan keluarga (IDR/th) (var 44/var 45) + var 47 47. pendapatan sumber lain (IDR/th) 500 000 Asumsi 48. fraksi dana pendidikan (%) 15 Hasil analisis kuisioner 2009 49. alokasi dana pendidikan (IDR/th) 1 703 740 var 46*var 48 50. pengaruh dana pendidikan Hasil analisis regresi berdasarkan terhadap pengetahuan masyarakat asumsi (TS) 51. pengaruh pengetahuan terhadap Asumsi peningkatan kesadaran lingkn (%)
Nilai level (stock), laju (rate), variabel (auxiliary) dan konstanta dari masingmasing submodel yang tercantum pada Tabel 28 dapat dijelaskan sebagai berikut:
193
5.3.5.1 Submodel mangrove Submodel mangrove menggambarkan dinamika meningkat/menurunnya luasan dan kualitas hutan mangrove di TNK. Submodel dibangun dari elemen luas mangrove, zona pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang dipengaruhi oleh laju konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi habitat yang mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya (HSI), dan pengaruh tingkat kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove. Dengan menggunakan alat bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel mangrove seperti diperlihatkan pada Gambar 43. Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove. Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya, maka yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun. sub model mangrove fraksi_pemanft_mgr
luas_mgr
zona_pemanft_mgr
DD_Lingk
perluasan Konstanta_ penambh_mgrv penambh_mgr SI_VEG
tebang_mgr
HSI
SI_SUB prluasn_pmukimn
SI_KA konversi_mgrv rehabilitasi mgr
konst_tambak tambak
pengaruh_luas_ mgrv_thd potensi scylla
Gambar 43 Diagram alir stok (SFD) submodel habitat mangrove.
194
Initial (luas awal) habitat mangrove ditentukan berdasarkan hasil analisis Citra Terra Aster Tahun 2005, yaitu seluas 5 277.779 ha. Adanya pemanfaatan mangrove untuk penggunaan lain, yaitu menjadi tambak, perluasan pemukiman, dan penebangan pohon mangrove, telah menyebabkan terjadi konversi mangrove. Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak (mengkonversi mangrove) agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi. Kesadaran lingkungan yang diasumsikan semakin meningkat dengan adanya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan formal, akan mempengaruhi pola pemanfaatan mangrove oleh masyarakat pembudidaya. Bila semula menggunakan mangrove untuk membuka tambak, maka selanjutnya akan menggunakan mangrove sebagai lahan budidaya kepiting bakau, sehingga tidak perlu membuka mangrove lagi. Selain itu, peningkatan kesadaran lingkungan juga akan mendorong masyarakat untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah terdegradasi. Dengan adanya penurunan laju pembukaan tambak dan upaya rehabilitasi akan meningkatkan kembali luas hutan mangrove. Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan untuk pemanfaatan. Interfensi kebijakan ini sangat besar pengaruhnya dalam pola pemanfaatan mangrove, karena akan mempengaruhi besarnya daya dukung kawasan, pada penelitian ini daya dukung kawasan adalah untuk pemanfaatan budidaya sylvofishery. Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks kesesuaian lingkungan (HSI). HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan baik, maka HSI juga akan meningkat. 5.3.5.2 Submodel Penangkapan S. serrata Submodel penangkapan S. serrata menggambarkan dinamika potensi stok S. serrata yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Submodel dibangun
195
oleh parameter potensi produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju eksploitasi maksimal, laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan, stok S. serrata total, kuota tangkapan S. serrata, besarnya restok induk betina, pengaruh luas mangrove terhadap stok S. serrata. Dengan menggunakan alat bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung
maupun
tidak
langsung
dan
diformulasikan
secara
numerik
menghasilkan diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 44.
rerata_kelimphn_ scylla
e_max
potensi_scylla laju_potensi
stok_scylla
produksi_scyl e_fact
stok_tkp kuota_tkp
prod_tkp
fraksi_pengaturan_ tangkap sub model penangkapan M
F
Z
Gambar 44 Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata. 5.3.5.3 Submodel Budidaya Sylvofishery S. serrata Submodel budidaya S. serrata merupakan skenario yang dibangun untuk menata kelola zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK. Karena pada kondisi saat ini, budidaya sylvofishery belum dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat. Namun telah dilakukan introduksi teknologi budidaya sylvofishery pada masyarakat saat penelitian berlangsung, dengan hasil yang cukup baik. Data yang diperoleh dari introduksi ini digunakan untuk nilai dugaan dalam membangun submodel budidaya sylvofishery. Submodel sylvofishery terdiri atas elemen daya dukung lingkungan, jumlah unit karamba yang dapat dibangun, berlangsungnya proses budidaya yang
196
dipengaruhi oleh biomassa dan survival rate (SR), elemen panen budidaya, restok induk yang dipengaruhi oleh besarnya fraksi restok, parameter-parameter input produksi yang meliputi biaya benih, tenaga kerja, dan pakan. Semua peubahpeubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 45. sub model budidaya sylvofishery harga_benih konversi_biomass_ SR_bddy per ekor
TK
pakan
biaya_benih
panen_bddy proses_bddy
DD_Lingk
biaya_bddy
prod_bddy
juml_ unit_ karamba
benih_per_ karamba
padat_tebar_ benih
fraksi restock_induk restock_induk
fraksi_benih stok_benih
vol_prod_bddy konversi_berat_ panen
Gambar 45 diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery. 5.3.5.4 Submodel ekonomi S. serrata Submodel ekonomi S. serrata menggambarkan dinamika keuntungan yang diperoleh masyarakat bila memanfaatkan sumberdaya S. serrata. Produk kepiting dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran kepiting merupakan salah sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat tergantung dari harga yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga pasar, maka tingkat pendapatan nelayan/petani akan semakin meningkat. Bila produksi ini dikalikan harga, maka akan diperoleh sebagai keuntungan (π). Keuntungan dihitung sebagai Total Revenue (TR) dikurangi Total Cost (TC).
197
Keuntungan total dari pemanfaatan S. serrata merupakan penjumlahan dari keuntungan yang diperoleh dari penangkapan dan keuntungan dari budidaya. Keuntungan total ini juga menjadi pendapatan masyarakat yang diperoleh dari sumberdaya S. serrata. Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung
maupun
tidak
langsung
dan
diformulasikan
secara
numerik
menghasilkan diagram alir stok submodel ekonomi pemanfaatan S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 46.
biaya_tkp prod_tkp
harga_scylla vol_prod_bddy biaya_bddy
sub model ekonomi
keunt_tkp
keunt_bddy
pendapatan keunt_total
Gambar 46 diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S. serrata. 5.3.5.5 Submodel sosial Submodel sosial merupakan gambaran dari pengaruh pendapatan terhadap tingkat kesadaran lingkungan masyarakat. Peningkatan pendapatan keluarga akan mempengaruhi tingkat pengetahuan melalui jenjang pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh masyarakat. Asumsinya, semakin tinggi jenjang pendidikan formal yang diperoleh, tingkat pengetahuan masyarakat akan semakin meningkat. Selanjutnya tingkat pengetahuan ini akan mempengaruhi kesadaran lingkungan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove TNK dalam pola pemanfaatan ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan berubah sesuai dengan tingkat kesadaran masyarakat dan peraturan perundangan atau kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi. Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel sosial seperti diperlihatkan pada Gambar 47.
198
sub model sosial pengaruh kesadarn lingk_thd konversi mgrv
tkt_ kesadaran_lingk peningkatan_penge tahuan
pengetahuan_ kadaluarsa fraksi_pengetahuan _kadaluarsa
pengaruh_dana_pe nddk_terhadap_pe ngetahuan
alokasi_dana_ pendidikan pendpt_klg
fraksi_dana_peddk
pendapatan_lain jml_klg
Gambar 47 diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata. 5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang dapat dilakukan pada kondisi di lapangan untuk mempengaruhi perilaku parameter pada suatu sistem pemodelan. 5.3.6.1 Analisis skenario dasar Analisis skenario dasar (base case scenario) menguraikan perilaku sumberdaya yang digambarkan oleh parameter luas mangrove, stok S. serrata, panen budidaya sylvofishery, peningkatan pendapatan dari S. serrata, berdasarkan kondisi nyata pada saat ini, hasil analisis terhadap skenario dasar dan simulasi kondisi sampai 20 tahun mendatang (tahun 2010-2030) disajikan pada gambar 48. Gambar 48 menunjukkan bahwa berdasarkan data riil yang disimulasikan hingga 20 tahun ke depan, luasan mangrove cenderung terus menurun. Sementara itu, stok S. serrata masih ada kemungkinan untuk meningkat hingga sekitar tahun 2018, namun setelah itu akan cenderung menurun. Data statistik Dinas Kelautan Kabupaten Kutai Timur menunjukkan hasil tangkapan kepiting bakau secara umum (4 spesies) masih terus meningkat, yaitu pada tahun 2006 sebesar 11.4 ton hingga tahun 2008 menjadi 12.1 ton. Namun demikian penurunan luasan
199
mangrove dan penangkapan kepiting bakau yang tidak terkendali diperkirakan dapat menurunkan stok S. serrata setelah tahun 2018 ke depan. Penurunan stok S. ini berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan pendapatan
serrata
masyarakat nelayan, yang juga ikut menurun karena hasil tangkapan menurun. Sehingga dapat dikatakan bila menggunakan skenario dasar, maka pengelolaan sumberdaya di hutan mangrove TNK tidak akan berkelanjutan, baik bagi sumberdaya vegetasi hutan maupun bagi sumberdaya kepiting bakau (S. serrata).
stok_scylla
luas_mgr
ha 5,200 5,100 5,000 1/1/2010
1/1/2020
6,000 1/1/2010
tkt_ kesadaran_lingk
pendpt_klg
9,000
1/1/2030
rupiah/KK pe r KK 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 0 1/1/2010
k g/yr 12,000
1/1/2025
1/1/2020
1/1/2030
1/1/2020
1/1/2030
7 6 5 4 3 2 1 1/1/2010
Gambar 48 hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK. Luas awal habitat mangrove ditentukan dari hasil analisis Citra Terra Aster Tahun 2005, yaitu seluas 5 277 ha, Hasil simulasi menggunakan skenario dasar menunjukkan pada tahun 2030 diperkirakan luas mangrove tersebut tersisa 4 926.28 ha. Potensi produksi S. serrata di habitat mangrove TNK, diperkirakan dari produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun (sebagai potensi faktual yang telah dieksploitasi) ditambah dengan sisa potensi yang belum dieksploitasi. Produksi yang diperoleh pada tahun 2008 pada tingkat eksploitasi faktual 0.556 adalah sebesar 6 800 kg/th. Sehingga potensi S. serrata di habitat mangrove TNK pada tahun 2030 diduga sebesar 22 192.43 kg/th. Potensi S. serrata ini merupakan penurunan dari potensi yang semula sebesar 27 374.13
200
kg/th. Namun, potensi ini dapat berubah dengan adanya masukan induk dari restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan potensi dimasukkan juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan luas area mangrove. 5.3.6.2 Identifikasi parameter kunci Hasil simulasi kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem saat ini memberikan ancaman bagi kelestarian habitat mangrove dan keberlanjutan sumberdaya S. serrata yang ada di dalamnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu skenario strategi yang dapat mengendalikan pola pemanfaatan yang merusak habitat mangrove di TNK. Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya mengoptimasikan pemanfaatan S. serrata secara berkelanjutan dilakukan berdasarkan hasil uji sensitivitas. Uji sensitivitas dilakukan untuk memilih parameter kunci, yang berpengaruh besar terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Uji
sensitivitas
pada
dasarnya
mengasumsikan
kemungkinan-
kemungkinan suatu kondisi yang terjadi di dunia nyata dan pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pengambil keputusan. Uji sensitivitas model pada penelitian ini menggunakan parameter yang berpengaruh tinggi terhadap kinerja sistem, yaitu fraksi zona pemanfaatan mangrove (submodel mangrove), fraksi stok untuk benih budidaya (submodel penangkapan), fraksi alokasi dana pendidikan (submodel sosial), dan harga S. serrata ekonomi). Metode yang dipakai untuk melihat kepekaan parameter
(submodel tersebut
dengan best–worst case scenario (Sterman 2000). Setiap perubahan parameter, dalam hal ini dinaikkan (diturunkan) sebesar 10% dari nilai parameter skenario dasar, akan dilihat responnya terhadap perubahan parameter utama. Bila terbukti perubahan pada parameter tersebut mengakibatkan perubahan yang nyata pada parameter lain, maka parameter-parameter tersebut akan dianggap sebagai parameter kunci (key variable). Gambar 49 dan 50 merupakan grafik hasil uji sensitivitas dari simulasi Powersim.
ha
ha
5,200
5,250
luas_mgr
luas_mgr
201
5,100 5,000 4,900 4,800
5,200 5,150 5,100
1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
Gambar 49 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan 10%. Gambar 49 menunjukkan adanya peningkatan luas mangrove pada tahun 2020 saat variabel kunci dinaikkan 10%. Sedangkan Gambar 50 menunjukkan bila variabel kunci diturunkan 10% maka luas mangrove yang tersisa pada tahun
ha
ha
5,200
5,200 5,100
luas_mgr
luas_mgr
2030 tinggal 4 580.75 ha, menurun dari skenario dasar semula seluas 4 926.28 ha.
5,100 5,000 4,900 4,800 4,700 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
5,000 4,900 4,800 4,700 4,600 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
Gambar 50 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan 10%. Berdasarkan hasil uji sensitivitas tersebut, maka parameter fraksi zona pemanfaatan mangrove, fraksi stok untuk benih budidaya, fraksi alokasi dana pendidikan, dan harga S. serrata , digunakan sebagai parameter yang akan diintervensi sebagai faktor yang berpengaruh pada kondisi yang akan terjadi di masa depan. Deskripsi
dari
masing-masing
parameter
kunci
dan
hubungan
interkoneksinya dengan parameter yang lain adalah sebagai berikut: a) Fraksi zona pemanfaatan mangrove adalah kebijakan yang mengatur berapa bagian dari luas mangrove seluruhnya yang dapat digunakan untuk zona pemanfaatan. Dahuri (2003) mengusulkan 20% dari kawasan yang dilindungi dapat digunakan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui peraturan perundangan.
202
b) Fraksi stok untuk benih budidaya adalah pembagian dari stok S. serrata total yang digunakan untuk keperluan budidaya. Bagian yang lain adalah stok S. serrata yang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap konsumsi (langsung jual). Fraksi stok ini dapat diatur pembagiannya dalam kebijakan kuota perikanan tangkap. c) Fraksi alokasi dana pendidikan adalah bagian dari pendapatan keluarga yang dialokasikan untuk biaya pendidikan. Umumnya pada keluarga nelayan bagian ini rendah sekali, tidak mencapai 10% dari pendapatan. Pada masyarakat yang berpendapatan rendah alokasi yang paling besar masih untuk kebutuhan makanan (Sukardi 2009). Namun bila terjadi peningkatan pendapatan bagian ini menjadi lebih kecil dan alokasi untuk kebutuhan lain seperti pakaian dan pendidikan akan meningkat. d) Harga S. serrata yang digunakan disini adalah harga S. serrata untuk pasar ekspor. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa bila S. serrata cukup banyak diproduksi maka dapat memenuhi kebutuhan ekspor yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Skenario kebijakan pemanfaatan
sumberdaya S. serrata disusun
berdasarkan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Selanjutnya dari masing-masing kondisi tersebut dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar berbagai kondisi tersebut. Kombinasi-kombinasi tersebut disusun untuk memperoleh tiga bentuk skenario, yaitu: 1) skenario optimistik, 2) skenario moderat, dan 3) skenario pesismistik. Tabel 29 menyajikan keterkaitan antara parameter kebijakan dengan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Jenis skenario untuk kebijakan pemanfaatan kepiting bakau S. serrata di habitat mangrove TNK yang dapat disusun lebih dari tiga kombinasi. Namun untuk mencari kondisi yang optimal dari berbagai kondisi, ketiga kombinasi tersebut dipilih sebagai kemungkinan yang paling besar terjadi di masa depan.
203
Tabel 29 Keterkaitan antar parameter dan kondisi (state) untuk skenario kebijakan. No Faktor 1 Fraksi zona pemanfaatan
Kondisi di masa mendatang 1A 1B 0% 20 % Tidak ada zona Sesuai teori Pemanfaatan, yang berlaku di seperti kondisi kalangan saat ini akademisi saat ini
2 Fraksi stok untuk benih budidaya
2A 0% Tidak ada stok untuk sylvofishery
2B 40% Peningkatan fraksi untuk budidaya
3 Fraksi alokasi dana pendidikan
3A 10% Alokasi menurun karena pendapatan berkurang 4A Menurun Preferensi konsumen menurun
3B 15% Tetap seperti saat ini
4 Harga S. serrata
4B tetap Tetap seperti kondisi saat ini
1C 40% Terjadi peningkatan karena kebutuhan SDA lebih besar, sehingga ada kebijakan peningkatan luas zona pemanfaatan mangrove 2C 60% Lebih diutamakan stok untuk benih budidaya, karena lebih menguntungkan 3C 20% Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meningkat 4C Meningkat Peningkatan permintaan konsumen
Berdasarkan berbagai kondisi tersebut, disusun kombinasi untuk tiga kemungkinan skenario (Tabel 30). Tabel 30 Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi. No.
Skenario
Kombinasi kondisi parameter
1
Pesimistik
1A, 2A, 3B, 4A
2
Moderat
1B, 2B, 3B, 4C
3
Optimistik
1C, 2C, 3C, 4C
204
5.3.6.3 Skenario Pesimistik Skenario pesimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai berikut: 1) tidak ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan, 2) tidak ada alokasi benih untuk sylvofishery seluruh stok hanya untuk penangkapan, 3) alokasi dana untuk pendidikan tetap 15% dari pendapatan keluarga seperti kondisi saat ini, 4) harga S. serrata menurun menjadi harga lokal karena permintaan ekspor berkurang. Penerapan skenario pesimistis ini akan memberikan implikasi terhadap sumberdaya sebagai berikut: 1) Terjadi penurunan luas mangrove, hingga tahun 2030 mangrove yang tersisa seluas 4 554,54 ha; 2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 9 519,93 kg/th pada tahun 2030. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik disajikan pada Gambar 51. kg/yr 12,000
ha
s t o k _ s c y lla
lu a s _ m g r
5,200 5,000 4,800 4,600 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
10,000 8,000 6,000 4,000 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
Gambar 51 Grafik hasil simulasi skenario pesimistik.
5.3.6.4 Skenario Moderat Skenario moderat dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai berikut: 1) ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 20% dari luas total hutan mangrove, 2) benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar 40% dari total stok kepiting yang diduga, 3) alokasi dana untuk pendidikan tetap 15% dari pendapatan keluarga, 4) harga S. serrata karena permintaan ekspor meningkat.
meningkat 10% dari harga semula
205
Penerapan skenario moderat akan memberikan implikasi terhadap sumberdaya sebagai berikut: 3) Mangrove yang awalnya seluas 5 277.79 ha tahun 2010, mengalami penurunan luas hingga 5 134.56 ha pada tahun 2018, namun setelah itu terjadi peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 236.33 ha tahun 2030; 4) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 030,98 kg/th pada tahun 2030, namun penurunan ini masih lebih lambat dibanding pada skenario pesismistik. Grafik hasil simulasi skenario moderat disajikan pada Gambar 52. kg/yr 12,000
ha
lu a s m g r
s t o k s c y lla
5,250
10,000
5,200 5,150 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
8,000 6,000 4,000 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
Gambar 52 Grafik hasil simulasi skenario moderat. 5.3.6.5 Skenario Optimistik Skenario optimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai berikut: 1) ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 30% dari luas total hutan mangrove, 2) benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar 60% dari total stok kepiting yang diduga, 3) alokasi dana untuk pendidikan meningkat menjadi 20% dari pendapatan keluarga, 4) harga S. serrata meningkat 10% dari harga semula karena permintaan ekspor meningkat. Penerapan skenario optimistik ini akan memberikan implikasi terhadap sumberdaya sebagai berikut: 1) Mangrove mengalami penurunan luas hingga 5 175.42 ha pada tahun 2018, namun setelah itu terjadi peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 288.05 ha tahun 2030, dan menjadi stagnan;
206
2) Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 124.32 kg/th pada tahun 2030, penurunan ini lebih lambat dibanding penurunan pada skenario moderat. Grafik hasil simulasi skenario optimistik disajikan pada Gambar 53. kg/yr 12,000
s t o k _ s c y lla
lu a s _ m g r
ha
5,250
5,200
1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
10,000 8,000 6,000 4,000 1/1/2010
1/1/2020
1/1/2030
Gambar 53 Grafik hasil simulasi skenario optimistik.
Berdasarkan hasil simulasi dengan ketiga skenario tersebut, implikasi menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TNK bila dilakukan dengan pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata. 5.4.
Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di Kawasan Mangrove TNK Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata)
dipertimbangkan dari empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi dimensi sosial dan dimensi kelembagaan. Dalam setiap dimensi terdiri atas beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan selanjutnya akan diberi bobot menggunakan metode Multidimensional Scalling (MDS). Analisis dilakukan dengan software Rapfish yang dimodifikasi, selanjutnya analisis MDS ini disebut Rap-CRASYMAN (Rapid Assesment Techniques for Crab Sylvofishery Management). Pemberian skor atribut pada masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pengelolaan kepiting bakau di kawasan mangrove TNK. Hasil survei dan pengukuran terhadap masingmasing atribut per dimensi di disajikan pada Tabel 31.
207
Tabel 31 Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di TNK. No
Dimensi dan Atribut
A.
Dimensi Ekologi
Realitas saat ini
Skor
Baik
Buruk
1. Kerapatan vegetasi mangrove
0; 1; 2
2
0
Sedang11` = skor 1
0= jarang; 1= sedang; 2= sangat rapat
2. Potensi stok kepiting bakau
0; 1; 2
2
0
Menurun = skor 1
0= habis; 1= menurun; 2= meningkat
3. Laju eksploitasi kepiting bakau
0; 1; 2
2
0
Lebih dari E-maks = skor 0
0= lebih dari E-maks; 1= sama dgn E-maks; 2= kurang dari E-maks
4. Daya dukung mangrove bagi budidaya sylvofishery S. serrata 5. Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery
0; 1; 2
2
0
antara 0.57.5 = skor 1
0= kurang dari 0.5; 1= antara 0.5-7.5 ; 2= lebih dari 7.5
0; 1; 2
2
0
lebih luas = skor 2
0= kurang luas; 1= sama luas; 2= lebih luas (dibandingkan kebutuhan sylvofishery)
1. Kuota tangkapan kepiting bakau (kg/bulan)
0; 1; 2
2
0
100-1000 kg = skor 1
0= kurang dari 100 kg; 1=100-1000 kg; 2 = lebih dari 1000 kg
2. Harga produk kepiting bakau (Rp/kg)
0; 1; 2
2
0
Trend meningkat= skor 2
0= trend menurun; 1 = tetap; 2= trend meningkat
3. Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau (Rp/tahun)
0; 1; 2
2
0
Lebih besar = skor 2
0= lebih kecil; 1 = sama; 2 = lebih besar (dibanding keuntungan budidaya tambak)
4. Keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau (Rp/tahun)
0; 1; 2
2
0
Sama = skor 1
0= lebih kecil; 1 = sama; 2 = lebih besar (dibanding keuntungan budidaya tambak)
5. Permintaan pasar ekspor thd kepiting bakau
0; 1; 2
2
0
trend meningkat = skor 2
0= trend menurun; 1 = tetap; 2= trend meningkat
B.
Keterangan
Dimensi Ekonomi
208
No
Dimensi dan Atribut
C.
Dimensi Sosial
Realitas saat ini
Skor
Baik
Buruk
1. Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan mangrove
0; 1; 2
2
0
2. Penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery
0; 1; 2
2
0
3. Kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau
0; 1; 2
2
0
Rendah = skor 0
0= rendah; 1= sedang; 2= tinggi
4. Potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain
0; 1; 2
2
0
> 5 sektor = skor 0
0 = > 5 sektor; 1 = 2-5 sektor; 2 = <2 sektor
5. Potensi penyerapan tenaga kerja
0; 1; 2
2
0
meningkat = skor 2
0= menurun; 1= konstan; 2= meningkat
6. Dukungan elemen pemerintah dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan
0; 1; 2
2
0
<2 sektor = skor 0
0 = <2 elemen; 1 = 2-5 elemen; 2 = > 5 elemen
1. Keberadaan aturan pengelolaan ekosistem mangrove
0; 1; 2
2
0
tdk ada = skor 0
0= tdk ada; 1=ada, tdk dilaksanakan; 2= ada, dilaksanakan
2. Keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove
0; 1; 2
2
0
Ada, aktif = skor 2
0= tdk ada; 1=ada, tdk aktif; 2= ada, aktif
3. Zonasi kawasan mangrove TNK
0; 1; 2
2
0
tdk ada = skor 0
0= tdk ada; 1=ada, tdk dilaksanakan; 2= ada dilaksanakan
0; 1
1
0
ada = skor 1
D.
25-75% = skor 1
Keterangan
0 = < 25% ; 1 = 2575%; 2 = >75%
>75% = skor 2 0 = < 25% ; 1 = 2575%; 2 = >75%
Dimensi Kelembagaan
4. Adanya otoritas lembaga pengelola TNK
0= tdk ada; 1= ada
209
No
Dimensi dan Atribut
5. Penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggar
Skor
Baik
Buruk
0; 1; 2
2
0
Realitas saat ini hanya sebagian= skor 1
0; 1
1
0
ada = skor 1
6. Dukungan perusahaan Mitra TNK
5.4.1
Keterangan 0= tdk ada; 1= hanya sebagian kasus; 2= seluruh kasus 0= tdk ada; 1= ada
Status Keberlanjutan Pengelolaan Kepiting Bakau Analisis dengan MDS ini menghasilkan status dan indeks keberlanjutan
pengelolaan sylvofishery di kawasan mangrove TNK. Status Keberlanjutan yang dimaksud adalah apakah pengelolaan sylvofishery saat ini telah efektif dan akan berkelanjutan berdasarkan keempat dimensi pengelolaan yang dikaji dan indeks yang diperoleh (Gambar 54). DIAGRAM LAYANG-LAYANG SYLVOFISHERY Dimensi Ekologi
100 80 60 46.640
40 20 Dimensi Kelembagaan
60.626
0
76.422
Dimensi Ekonomi
38.829
Dimensi Sosial
Gambar 54 Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan mangroveTNK.
Hasil analisis dengan Rap-CRASYMAN diperoleh indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 46.640 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 76.422% dengan status berkelanjutan, dimensi sosial
210
sebesar 38.829% dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi kelembagaan sebesar 60.626% dengan status cukup berkelanjutan. Indeks ini merupakan gambaran keberlanjutan dari masing-masing atribut berdasarkan pengelolaan saat ini. Untuk memperoleh peningkatan status menjadi berkelanjutan, maka masa yang akan datang perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut-atribut pada masingmasing dimensi tersebut. 5.4.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Status keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah ‘kurang berkelanjutan’. Atribut yang berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1) Kerapatan vegetasi mangrove; 2) Potensi stok kepiting bakau; 3) Laju eksploitasi kepiting bakau; 4) Daya dukung lingkungan mangrove bagi budidaya sylvofishery; 5) Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery. Dari kelima atribut tersebut, setelah dilakukan leveraging analysis, diketahui bahwa atribut yang cukup sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah laju eksploitasi kepiting bakau (Gambar 55). Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga bila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara keseluruhannya. Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi
Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery
2.49
A ttrib u te
Daya dukung lingkungan mangrove bagi budidaya sylvofishery
3.47
Laju eksploitasi kepiting bakau
9.77
Potensi stok kepiting bakau
2.01
Kerapatan vegetasi mangrove
0.30
0
2
4
6
8
10
12
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 55 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square).
211
Perbaikan untuk atribut laju eksploitasi kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara, antara lain pengaturan perikanan tangkap kepiting bakau dan pengembangan budidaya kepiting bakau ramah lingkungan. 5.4.3 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada pengelolaan sylvofishery kepiting bakau adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 76.422%. Atribut yang berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1) Kuota tangkapan kepiting bakau (kg/bulan); 2) Harga produk kepiting bakau (Rp/kg); 3) Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau (Rp/tahun); 4) Keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau (Rp/tahun); dan 5) Permintaan pasar ekspor terhadap kepiting bakau. Atribut yang cukup sensitif dalam mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ada tiga, yaitu: harga produk kepiting bakau, keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau, keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau (Gambar 56). Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi
Attribute
Permintaan pasar ekspor thd kepiting bakau
3.37
Keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau (Rp/tahun)
9.32
Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau (Rp/tahun)
7.98
Harga produk kepiting bakau (Rp/kg)
5.99
Kuota tangkapan kepiting bakau (kg/bulan)
5.02
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Root Me a n Square Cha nge in Ordination w hen Se lecte d Attribute Re move d (on Sustaina bility sca le 0 to 100)
Gambar 56 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square). Perbaikan terhadap keuntungan pembudidaya dan keuntungan nelayan penangkap kepiting bakau dapat diupayakan melalui peningkatan jumlah dan kualitas produk. Peningkatan jumlah produk hanya bisa dilakukan bila teknologi
212
pembenihan kepiting bakau dapat dilakukan secara budidaya, tidak hanya mengandalkan tangkapan alam. Penelitian-penelitian untuk pembuatan hatchery kepiting bakau merupakan langkah yang mutlak perlu dilakukan. Perbaikan kualitas produk kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam teknologi budidaya, tidak hanya sekedar budidaya pembesaran, namun juga jenis budidaya yang lain seperti budidaya kepiting bertelur atau budidaya kepiting lunak (soka). 5.4.4 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Status keberlanjutan dari dimensi sosial dalam pengelolaan sylvofishery adalah kurang berkelanjutan (indeks 38.829%). Perlu dilakukan perbaikan untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Atribut yang berpengaruh dalam dimensi sosial terdiri dari enam jenis, yaitu: 1) pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan mangrove; 2)
penerimaan masyarakat pada usaha budidaya
sylvofishery; 3) kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau; 4) potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain; 5) potensi penyerapan tenaga kerja; 6) dukungan elemen pemerintah dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan. Faktor Pengungkit Dimensi Sosial
Dukungan elemen pemerintah dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan
6.09
A ttribu te
Potensi penyerapan tenaga kerja
7.41
Potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain
12.42
Kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau
14.79
Penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery
11.60
Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan mangrove
5.91
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d (on Susta ina bility sca le 0 to 100)
Gambar 57 Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square).
213
Atribut yang sensitif dan dapat menjadi pengungkit dalam dimensi sosial ada empat jenis, yaitu: penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery, kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau, potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain, dan potensi penyerapan tenaga kerja (Gambar 57). Pemanfaatan kepiting bakau oleh masyarakat memang relatif masih sedikit dilakukan di lokasi TNK, karena masyarakat belum memiliki teknologi pemanfaatan kepiting bakau. Bila kemampuan ini dapat ditingkatkan, maka diharapkan akan terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dan masyarakat akan lebih menerima budidaya sylvofishery dibandingkan budidaya perikanan lain yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan perbaikan terhadap potensi konflik dapat dilakukan dengan adanya pengaturan zonasi yang tegas. 5.4.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Status keberlanjutan dari dimensi kelembagaan dalam pengelolaan sylvofishery adalah ‘cukup berkelanjutan’ (indeks 60.626%). Atribut yang berpengaruh dalam dimensi kelembagaan terdiri dari enam jenis, yaitu: 1) tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove; 2) keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove; 3) adanya zonasi di kawasan mangrove TNK; 4) otoritas lembaga pengelola TNK; 5) penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggar; 6) dukungan perusahaan Mitra TNK. Berdasarkan hasil analisis leverage, diketahui ada dua atribut yang sangat sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu adanya zonasi di kawasan mangrove TNK dan otoritas lembaga pengelola TNK. Sedangkan tiga atribut yang lain cukup sensitif mempengaruhi nilai indeks, yaitu: tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove, keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove, dan dukungan perusahaan Mitra TNK (Gambar 58). Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan adalah perlu disusun rencana zonasi di kawasan mangrove TNK agar tidak terjadi perusakan yang semakin meluas. Perbaikan lain yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan kewenangan pengelolaan kawasan TNK yang sebaik-baiknya. Lembaga pengelola TNK, yaitu Balai TNK, selama ini terkesan
214
kurang berani dalam menindak pelanggaran yang terjadi di kawasan TNK, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh perusahaan di sekitar kawasan. Selain itu lembaga pengelola TNK juga belum menyediakan perangkat untuk mengelola, seperti aturan-aturan yang bersifat detil dan teknis untuk pengelolaan kawasan TNK. Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan
Dukungan perusahaan Mitra TNK
7.84
Attribute
Penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggar
2.44
Otoritas lembaga pengelola TNK
11.33
Zonasi kawasan mangrove TNK
15.12
Keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove
7.58
Keberadaan aturan pengelolaan ekosistem mangrove
7.85
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Root Me an Squa re Change in Ordina tion w he n Sele cted Attribute Remove d (on Susta inability scale 0 to 100)
Gambar 58 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS (Root Mean Square). 5.5.
Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK Dari berbagai kajian ilmiah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
kesimpulan yang dapat diambil adalah perlu adanya penatakelolaan kembali kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai, untuk mempertahankan fungsi ekologisnya, sekaligus mencegahnya dari degradasi yang lebih parah dan mengembalikan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam. IUCN (1994) menyatakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi issue masyarakat yang menetap dalam kawasan TN antara lain adalah: kemungkinan untuk dipindahkan (relokasi), pemberian kompensasi untuk perpindahan komunitas masyarakat, diberikan pilihan alternatif mata pencaharian lain, atau perubahan pendekatan pengelolaan dalam berbagai kondisi.
215
Berdasarkan berbagai hasil analisis penelitian yang telah dilakukan di atas, rekomendasi yang dapat disampaikan untuk penatakelolaan kawasan mangrove TNK adalah: 1 Perlu segera dilakukan penataan ruang kawasan (zonasi) sesuai fungsinya di kawasan TNK secara umum, maupun secara khusus di kawasan mangrove TNK sebagai bagian dari TNK. 2 Perlu perubahan pendekatan dalam pengelolaan kawasan TNK, agar terbentuk pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat lokal yang terlanjur tinggal di dalam kawasan TN. Pengelolaan kolaboratif adalah pendekatan pengelolaan yang direkomendasikan untuk mengelola mangrove di TNK. Salah satu hasil Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai adalah menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas 23 712 ha. 3 Perlu
perubahan
paradigma
pengelolaan
yang
membatasi
akses
masyarakat terhadap sumberdaya alam dalam TNK, menjadi peluang untuk memanfaatkan sumberdaya secara bertanggung jawab sesuai peraturan yang berlaku. Khusus untuk sumberdaya di kawasan mangrove, budidaya
sylvofishery
kepiting
bakau
merupakan
alternatif
matapencaharian untuk kelangsungan hidup masyarakat. Masyarakat yang telah menetap dalam kawasan diberi hak pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya, dengan kontrol pengawasan dari pemerintah. Sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Pemanfaatan kepiting bakau melalui budidaya sylvofishery atau pun penangkapan dilakukan pada zona yang telah ditentukan sesuai fungsinya. 4 Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, berkewajiban menyediakan elemen untuk kontrol pengawasan bagi pengelolaan oleh masyarakat. Elemen kontrol ini antara lain berupa peraturan perundangan yang disepakati oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kawasan. Selain itu tersedianya aparat pengawasan yang jumlahnya mencukupi untuk wilayah yang luas, juga perlu diperhatikan. Selama ini tidak efektifnya pengawasan dan tidak tegasnya penerapan sanksi menyebabkan pelanggaran aturan yang meluas di kalangan masyarakat lokal.
216
5 Perlu adanya aturan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya dalam ekosistem mangrove. Pembatasan dapat dilakukan melalui pengaturan kuota sesuai daya dukung lingkungan, restoking, dan pembayaran retribusi atas penggunaan sumberdaya. Sehingga pemanfaatan sumberdaya di kawasan pelestarian alam bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat, dan tidak untuk komersialisasi atau pun privatisasi. 6 Masyarakat lokal perlu diberi informasi yang benar tentang konsep pengelolaan kolaborasi dan tujuan pengelolaan kawasan taman nasional, sehingga semua pihak akan mempunyai tujuan yang sama untuk mempertahankan fungsi TNK sebagai kawasan konservasi sekaligus dapat mengelolanya secara berkelanjutan untuk kehidupan masyarakat. 7 Perlu peninjauan kembali penunjukkan dan luas wilayah TNK sebagai Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional, mengingat saratnya masalah politis dan kependudukan dalam kawasan TNK. 8
Kebijakan pengelolaan dengan menggunakan skenario optimistik dari model pemanfaatan kepiting bakau berdasarkan kondisi ekobiologi perlu diterapkan untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan.
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan 1.
Kondisi bioekologi S. serrata di kawasan mangrove TN Kutai, berdasarkan hasil analisis dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S. serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksimal, hanya di lokasi Muara Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi maksimal yang diperbolehkan.
2.
Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung budidaya sylvofishery di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang berkelanjutan adalah sebanyak 244.862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Ketersediaan benih di lokasi tersebut diperkirakan sebesar 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum. Unit karamba sejumlah ini memerlukan lahan seluas 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar 400.03 ha lahan kritis. Unitunit karamba ini dapat dibangun di lahan tersebut, sekaligus sebagai upaya untuk rehabilitasi lahan kritis.
3.
Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis bioekologi dan daya dukung adalah kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona perikanan tangkap Scylla serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan sebagai zona perlindungan. Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan Scylla serrata adalah 1) Penutupan daerah penangkapan Scylla serrata, sesuai zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2) penutupan musim penangkapan Scylla serrata. 3) pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau, disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio kepiting jantan:betina di alam; 4) pembatasan alat tangkap kepiting bakau.
220
Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat tangkap bubu/rakkang dengan lokasi tangkapan pada zona depan hutan mangrove/pinggiran pantai, karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan sebagai benih pada budidaya sylvofishery; 4) pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi penangkapan, maupun dari jumlah nelayan; 6) restoking Scylla serrata dapat dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen budidaya sylvofishery. Restoking induk betina Scylla serrata minimal sebesar 1% dari panen budidaya sylvofishery. 6.2
Saran Penelitian ini belum melakukan kajian untuk optimasi budidaya sylvofishery, sehingga belum dapat menduga optimasi ekonomi pemanfaatan hutan mangrove .
DAFTAR PUSTAKA
[AED] Atlantic Ecology Division. 2008. Habitat Suitability Index (HSI). http://www.epa.gov/aed/html/research/scallop/hsi.html Afrianto E, E Liviawaty. 1993. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius. Yogyakarta. Ali MY, D Kamal, SMM Hossain, MA Azam, W Sabbir, A Murshida, B Ahmed, K Azam. 2004. Biological studies of the mud crab, Scylla serrata (Forskal) of the sundarbans mangrove ecosystem in Khulna Region of Bangladesh. Pakistan Journal of Biological Sciences 7: 1981-1987. Aminullah E. 2004. Berpikir Sistemik Untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis, dan Ekonomi. Jakarta : Penerbit PPM. Arifin Z. 2006. Carrying Capacity Assessment on Mangrove Forest with Special Emphasize on Mud Crab Sylvofishery System: A Case Studi in Tanjung Jabung Timur District Jambi Province. [Thesis]. Post Graduate School. Bogor Agricultural University. Balle M. 1994. Managing with Systems Thinking, Making Dynamics Work for You in Business Decision making. London : Irwin McGraw Hill. Bene C, Tewfik A. 2000. Analysis of Fishing Effort Allocation and Fishermen Behaviour Trough a System Approach. Centre For The Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE Res.pap.) . Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bonine KM, EP Bjorkstedt, KC Ewel, M Palik. 2008. Population characteristik of the mangrove crab Scylla serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae, Federation States of Micronesia: effect of harvest and implications for management. Jurnal Pacific Science 62: 1-19. Brower JE, JH Zar, CN Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edisi Ketiga. Wm C. Brown Publishers. United States of Amerika. Bueno SLS, RM Shimizu. 2009. Allometric growth, sexual maturity and adult male chelae dimorphism in Aegla franca (Decapoda: Anomura: Aeglidae). Journal of Crustacean Biology 29(3): 317-328. Chen X, G Li, B Feng, S Tian. 2009. Habitat Suitability Index of Chub Mackerel (Scomber japonicus) from July to September in the East China Sea. Journal of Oceanography 6: 93-102.
220
Cholik F, A Hanafi. 1991. A review of the status of the mud crab (Scylla sp.) fishery and culture in Indonesia. Reports of The Seminar on The Mud Crab Culture and Trade. Surat Thani, Thailand, November 5-8 1991. Cholik F, A Hanafi. 1992. A Review of the status of mud crab fishery and culture in Indonesia. Central Research Institute for Fisheries. Jakarta. p 3-6. Cholik F. 1999. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Australia. [CII]
Conservation International Indonesia. 2006. Konservasi berbasis masyarakat melalui Daerah Perlindungan Laut di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Palu: CII Togean Program.
Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, cetakan kedua. Pradnya Paramita. Jakarta. 326 p. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK. IPB. Bogor. Damanik R, B Prasetiamartati, A Satria. 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. Davis JA, GJ Churchill, T Hecht, P Sorgeloss. 2004. Spawning characteristics of the South African mudcrab Scylla serrata (Forskall) in captivity. Journal of The World Aquaculture Society 35:121-133. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Departemen Kehutanan RI. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Kawasan Konservasi Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dianthani D. 2002. Evaluasi kondisi lingkungan perairan Muara Badak kaitannya dengan larva kepiting bakau. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Downs JA, RJ Gates, AT Murray. 2008. Estimating carrying capacity for sandhill cranes using habitat suitability and spatial optimization models. Jurnal Ecological Modelling 214: 284-292. Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor: 112 p. English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resource, 2nd edition. Australian Intitute of Marine Science. Townsville. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid satu. Edisi ketiga. IPB Press. Bogor. Ewel KC. 2008. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be best managed locally. Journal of Sea Research 59: 114 – 120.
221
Ford A. 1999. Modeling the Environment, An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Island Press. Washington DC. USA. Forrester JW. 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR. http://sysdyn.clexchange.org/road-maps/rm-toc.html. [8 Desember 2006]. Garth JS, DP Abbott. 1980. Branchyura: The True Crabs. In Intertidal Invertebrates of California. California: Stanford University Press. Page. 594 – 623. Genodepa JG. 1999. Pen Culture Experiments of the Mud Crab Scylla serrata in Mangrove Areas. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Australia. [GESAMP] Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental Protection. 1996. The contributions of science to integrated coastal management. Reports and studies No. 61. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome Gunawan W, WC Adinugroho, Noorcahyati. 2005. Model pelestarian ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai oleh masyarakat dusun Teluk Lombok. Loka Litbang Satwa Primata, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Hall NG, KD Smith, S de Lestang, IC Potter. 2006. Does the largest chela of the males of three crab species undergo an allometric change that can be used to determine morphometric maturity ?. ICES Journal Marine Science 63 (1): 140-150. Haddon M, S Frusher, T Hay, M Hearnden, N Gribble, I Brown. 2004. Mud crab (scylla serrata) assessment workshop. Fishery report no. 79. Presented in Mud crab (scylla serrata) assessment workshop Fisheries Group, Department of Business, Industry and Resource Development, Darwin, 26 28 july 2004. Website at www.fisheries.nt.gov.au Harjanto D. 2002. Tinjauan Perspektif Pengelolaan Kawasan Mangrove. Tantangan Dan Peluang Rehabilitasinya. Makalah Pelatihan dan Workshop Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. INSTIPER Yogyakarta 24-30 September 2002. Haryani EBS, A Dermawan, K Isao, Indriani. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Dirjen P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Jakarta. Hastuti S. 1998. Pertumbuhan embrio kepiting bakau, Scylla serrata, pada beberapa tingkat salinitas media. (Thesis). Program Pascasarjana IPB. Bogor Heasman MP, DR Fielder, Sheperd. 1985. Mating and spawning in the mud crab Scylla serrata (Forskal). Australian Journal of Freshwater Research. 36: 773-783.
222
Hill BJ. 1975. Abundance, breeding and growth of the crab Scylla serrata in two South African estuaries. Marine Biology 32: 119–126. Hill BJ. 1979. Aspects of feeding strategy of predatory crab, Scylla serrata. Marine Biology 55:209-214. Hyland SJ, BJ Hill, CP Lee. 1984. Movement within and between different habitats by the portunid crab Scylla serrata. Marine Biology 80: 57-61 Hutching B, P Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press. St. Lucia, London, New York. 388 p. Ikhwanuddin A Mhd, S Oakley. 1999. Culture of mud crabs in mangrove areas : the Sarawak experience. In Press Procs. Of Regional workshop on integrated management of Mangrove/coastal ecosystems for sustainable aquaculture development. 23rd-25th (Ed, Mackintosh, D.) Kuching, Sarawak, Malaysia. Indrawan M, RB Primack, J Supriatna. 1997. Biologi Konservasi. Jakarta: Buku Obor. 624 hlm. [IUCN] International United Conservation Nature. 1994. Guidelines for Protected Areas Management Categories. IUCN, Cambridge, UK and Gland, Switzerland. 261pp. Jewett SC, CP Onuf. 1988. Habitat suitability index models: red king crab. U.S. Wildlife Service Biologi Reproduction 82:110-153. Johnston D, CP Keenan. 1999. Mud Crab Culture in the Minh Hai Province, South Vietnam. In Mud Crab Aquaculture and Biology.Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No. 78. Canberra. Australia. Jones D, G Morgan. 1994. Crustaceans of Australian Waters. Image Productions. Singapure. Page: 1:126. Jorgensen SE. 1994. Fundamental of Ecological Modeling. Elsevier. Amsterdam. Juan F, EG Gurriar´an. 1998. New approaches to the behavioural ecology of decapod crustaceans using telemetry and electronic tags. Hydrobiologia 371/372: 123–132 Juwana S. 2004. Penelitian Budidaya Rajungan dan Kepiting: Pengalaman Laboratorium dan Lapangan. Budi Setyawan, W. et al. Editor. Interaksi daratan dan Lautan: pengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan. Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta. 428-473. Juwana S. 1995. Budidaya Kepiting di Negara-negara Asia. Oceana XX: 1-9. Karim MY. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis Artemia salina) yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 dalam
223
Pemeliharaan larva Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal). [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Karim MY, Arifin, K Amri. 2002. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal) yang Dipelihara dalam Kurungan di Laut. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan 7: 124 -129 Kasry A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta. 93 hal. Kathiresan K, BL Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Marine Biology 40: 81-251. Kavanagh P. 1999. Rapfish SPSS Automation and Analysis of Technique. UBC Fisheries Centre. Unpublished report. Keenan CP. 1997. The Fourth Species of Scylla. Proceedings of an international scientific forum held in Darwin, Australia, 21–24 April 1997 Bribie Island Aquaculture Research Centre, Queensland. Australia Keenan CP, PJF Davie, DL Mann. 1998. A Revision of the genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46 (1): 217-245. Keenan CP. 1999. The Fourth Spesies of Scylla. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra. Page. 48-58. King M. 1997. Population Dynamics. In: Fisheries Biology, Assessment and Management, 2nd Edn. Fishing News Books, Oxford, pp: 79-197. Kirkwood CW. 1998. System Dynamics Methods : A Quick Introduction. Arizona: Arizona State University. Kozloff EN, LH Price. 1987. Marine Invertebrates of The Pasific Nortwest (book 1, 2, 3). University of Washington Press. Seatle and London. Kuntiyo, Z Arifin, T Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Kusmana C. 1995. Habitat Hutan Mangrove dan Biota. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusmana C. 1995. Metode Survey Vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Laapo A. 2010. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi [tidak dipublikasikan]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 187 hal. Leslie HM, KL McLeod. 2007. Confronting the challenges of implementing marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ 5(10): 540–548.
224
Le Vay L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian Fisheries Sciense 14:101-111. Le Vay L, JH Lebata, M Walton, J Primavera, E Quinitio, C Lavilla-Pitogo, F Parado-Estepa, E Rodriguez, VNg Ut, TT Nghia, P Sorgeloos, M Wille. 2008. Approaches to stock enhancement in mangrove-associated crab fisheries. Reviews in Fisheries Science 16:72–80. Le Vay L, VNg Ut, M Walton. 2007. Population ecology of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) in an estuarine mangrove system; a markrecapture study. Marine Biology 151:1127–1135. Lovett DL. 1981. A Guide to The Shrimps, Prawns, Lobsters, and Crabs of Malaysia And Singapore. Faculty of Fisheries and Marine Science, University Pertanian Malaysia. Selangor. 156. Lyneis JM. 1980. Corporate Planning and Policy Design : A System Dynamics Approach. Massachussetts : The MIT Press. Macintosh DJ, C Thongkum, K Swamy, C Cheewasedtham, N Paphavisit. 1993. Broodstock management and the potential to improve the exploitation of mangrove crabs, Scylla serrata (Forskål), through pond fattening in Ranong, Thailand. Aquaculture & Fisheries Management 24:261-269. MacKinnon J, K MacKinnon. 1986. Managing Protected Areas in The Tropics. IUCN and UNEP. Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Markidakis S, SC Wheelwright, VE McGee. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jakarta : Penerbit Erlangga. Mardjono M, N Anindiastuti, IS Hamid, Djunaidah, WH Satyantani. 1994. Pedoman pembenihan kepiting bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta. Mardjono M, N Hamid, ML Nurdjana. 1992. Budidaya Kepiting Bakau: Lahan Baru yang Menguntungkan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 33 hal. McKee KL. 1996. Mangrove ecosystems: definitions, distribution, zonation, forest structure, trophic structure, and ecological significance. In Mangrove Ecology Workshop Manual, Mangrove ecology: a manual for a field course a field manual focused on the biocomplexity on mangrove ecosystems. Feller I.C. and M. Sitnik Eds. Smithsonian Institution. 136 hal. McLeod KL, HM Leslie, editors. 2009. Ecosystem-Based Management for the Oceans. Island Press, Washington, DC. Moosa MK, I Aswandy, A Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal,1775) dari Perairan Indonesia. Sumberdaya Hayati Perairan LONLIPI. Jakarta. 18 hal.
225
Motoh H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC Aquaculture Department. 136-153. Motoh H. 1979. Edible crustaceans in Philippines, 11th in A series. Asian Aquaculture 2:5. Muhammadi, E Aminullah, B Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta : UMJ Press. Mulholland R. 1984. Habitat suitability index models: hard clam. U.S. Fish Wildlife Service. FWS/OBS-82/10.77. 21 pp. Mulya MB. 2000. Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau serta keterkaitannya dengan karakteristik biofisik hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Muskar YF. 2007. Mempersiapkan Kepiting menjadi Komoditas Andalan. Pusat Informasi & Data PSDA Sulawesi. http://www.lestari-m3.org Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nazar F. 2002. Karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan tiga jenis kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata di perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap. Jawa Tengah. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Nurdiani R, C Zeng. 2007. Effects of temperature and salinity on the survival and development of mud crab, Scylla serrata (Forsskal), Larvae. Aquaculture Research, 38:1529-1538 Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, cetakan kedua. Alih Bahasa Eidman M, DG Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. PT Gramedia. Jakarta. Ong KS. 1964. The Early development stage of Scylla serrata (Forskal) (Crustacea : Portunidae), reared in the laboratory. Fisheries. Research. Institute Glugor, Penang, Prociding IPFC. 1 (2) : 135-146. Onyango SD. 2002. The breeding cycle of Scylla serrata (Forskål, 1755) at Ramisi River estuary, Kenya. Wetlands Ecology and Management 10: 257– 263. Pagcatipunan P. 1972. Observation on the culture of Alimango, Scylla serrata at Camarines Norte (Philippines), pp. 362-365. In T.R.V. Pillay, ed. Coastal Aquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (books). Manila, Philippines. Panayotou T. 1982. Management Concept for Small-scale Fisheries : Economic and Social Aspect. FAO-UN. Rome. 53p.
226
[Pemkab] Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. 2005. Permasalahan dan Upaya Penyelesaian Taman Nasional Kutai, (Makalah Bupati Kutai Timur). Bapedda Kutai Timur, Sangatta. 13 p. Pratiwi R, NI Wijaya. 2010. Laporan Ekspedisi Kapal Penelitian Baruna Jaya VIII di Perairan Kalimantan Selatan, Hasanuddin et al. (editor). Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), 19 November – 1 Desember, 2010, 120 hal. Phelan M, M Grubert. 2007. The Life Cycle of the Mud Crab. Fishnote No: 11. Coastal Research Unit, Department of Primary Industry, Fisheries and Mines. Northern Territory Government of Australia, Darwin. http://www.nt.gov.au/ dpifm. PHKA-dephut, NRM/EPIQ, WWF, Wallacea, TNC. 2002. Membangun kembali upaya mengelola kawasan konservasi di indonesia melalui manajemen kolaboratif: Prinsip, kerangka kerja dan panduan implementasi. Naskah kerja teknis. NRM/EPIQ. Jakarta. Poovachiranon S. 1992. Biological studies of the mud crab Scylla serrata (Forskål) of the mangrove ecosystem in the Andaman Sea. In: Angell, C.A. (Ed.), Report of the Seminar on the Mud Crab Culture and Trade. Surat Thani, Thailand, November 5-8, 1991. Bay of Bengal Programme, Brackishwater Culture, BOBP/REP/51, Madras, India, pp: 49-57. Quinitio ET, FD Parado-Estepa. 2001. Molting and regeneration in Scylla serrata juveniles.Workshop on Mud Crab Rearing, Ecology and Fisheries. 8-10 January 2001, Cantho University, Vietnam. p. 23. Rahmadani F, MA Ismawan, M Syoim. 2004. Wajah Mangrove Taman Nasional Kutai: Laporan Survei Potensi Mangrove di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Samarinda : Yayasan BIKAL. Rohmatulloh. 2008. Studi Dinamika Sistem Penilaian Kinerja Pabrik Gula : Kasus PT PG Rajawali II Unit PG Subang Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun 1990, No. 49. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 84. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 134. Sekretariat Negara. Jakarta.
227
Rönnbäck P. 1999. The Ecological Basis for Economic Value of Seafood Production Supported by Mangrove Ecosystems. Elsevier. Jurnal Ecological Economics 29 : 235-252. Sara La. 2010. Study on the size structure and population paramaters of mud crab Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of Coastal Development 13:133-147 Sargent RG. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding of 1998 Winter Simulation Conference, p. 121-130. Sasekumar A, JJ Loi . 1983. Litter production in three mangrove forest zones in the Malay Peninsula. Aquatic Botany 17: 283-290. SEAFDEC-AQD. 2000. Mangroves and Community Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan. Philipina. Senge PM. 1995. Fifth Discipline : The Art and Practice of The Learning Organization. Terjemahan. Jakarta : Binarupa Aksara. Sevilla CG, JA Ochave, TG Punsalan, BP Regala, GG Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Siahainenia L. 2008. Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. [SIMPATIK] Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan Perikanan. 2006. http://www.dkp.go.id// Snedaker SC, Getter CD. 1985. Coastal resources management guidelines. research planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney. 334 p. Soeroyo. 2003. Pengamatan gugur serasah di hutan mangrove Sembilang Sumatra Selatan. P3O-LIPI: 38-44 Sowerbys. 1996. Book of Shells. Crown Publisher, Inc. New York. Sparre P, SC Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), PBB. Edisi Bahasa Indonesia: Puslitbangkan. Indonesia. Sterman JD. 2000. Business Dynamics : System Thinking and Modeling for a Complex World. Boston : Irwin McGraw-Hill. Sudiarta IK. 1988. Studi Kelimpahan dan Penyebaran Burayak Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Teluk Hurun Lampung. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Sukardi L. 2009. Desain model pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan (kasus masyarakat sekitar kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani Pulau Lombok). [Disertasi]. Sekolah
228
Pascasarjana IPB. Bogor. Sumich JL. 1979. An Introduction to The Biology of Marine Life. WM C Brown Company Publisher. USA. Sushil. 1993. System Dynamics : A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi : Willey Eastern Ltd. Susila WR. 1991. Verifikasi dan Validasi Model. Forum Statistik, Maret-Juni 1991, hal: 22-26. Suwignyo, Sugiarti, B Widigdo, Y Wardiatno, M Krisanti. 2005. Avertebrata Air jilid 1 dan 2. Jakarta: Penebar Swadaya Thia-Eng C. 2006. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management. Ocean & Coastal Management. Elsevier Science Publishers Ltd, England Printed in Northern Ireland. Trin˜o AT, EM Rodriguez. 2002. Pen culture of mud crab Scylla serrata in tidal flats reforested with mangrove trees. Elsevier, Journal Aquaculture 211:125– 134. [TNK] Taman Nasional Kutai. 2005. Data Dasar Taman Nasional Kutai. Balai Taman Nasional Kutai. Bontang, Kalimantan Timur. [UNEP/GPA]. 2006. Ecosystem-based management: Markers for assessing progress. United Nations Environment Programme (UNEP), Global Programme of Action for the Protection of the Marine Environment from Land-based Activities (GPA). The Hague. [Unmul] Universitas Mulawarman. 2002. Survei Potensi Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur, Laporan Penelitian. Universitas Mulawarman (Unmul) dan Bappeda Kabupaten Kutai Timur. Sangatta Van der Lee GEM., DT Van der Molen, HFP Van den Boogaard, H Van der Klis. 2006. Uncertainty analysis of a spatial habitat suitability model and implications for ecological management of water bodies. Landscape Ecology 21 :1019–1032 Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. B. Sumantri, penerjemah; Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 488 hlm. Walton ME, L Le Vay, LM Truong, VNg Ut. 2006. Significance of mangrove– mudflat boundaries as nursery grounds for the mud crab, Scylla paramamosain. Marine Biology 149: 1199–1207 Watters G, AJ Hobday. 1998. A new method for estimating the morphometric size at maturity of crabs. Journal Fisheries Aquaculture Science 55(3): 704-714. Webley, J.A.C., R.M. Connolly and R.A. Young 2009. Habitat selectivity of megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891-899.
229
Warner GF. 1977. The biologi of carbs. Eleck Science, London. Webley JAC, MC Rod, RA Young. 2009. Habitat selectivity of megalopae and juvenile mud crabs (Scylla serrata): implications for recruitment mechanism. Marine Biology 156: 891-899 Wei Say WC, AMhd Ikhwanuddin. 1999. Pen Culture of Mud Crabs, Genus Scylla in the Mangrove Ecosystems of Sarawak, East Malaysia. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Proceedings No. 78. Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin, Australia, 21–24 April 1997. Canberra. Australia. Wolowicks K. 2005. The Fishprint of Aquaculture, Can the blue revolution be sustainable? Redefining Progress. Oakland, California. Yanuar Y. 2008. Optimasi Kegiatan Nelayan melalui Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yulianda F. 2006. Prinsip Dasar Pengelolaan Konservasi. Bahan Kuliah Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Zamani NP, JL Gaol, H Madduppa, RE Arhatin, KS Putra, M Khazali, K Anwar, L Zulkah. 2007. Profil sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Togean. CII, BTNKT, TKL IPB dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una. 215 hlm. Zamroni Y, IS Rohyani. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas 9: 284-287 Ziegelmeier E. 1972. Bottom Living Animals Macrobenthos. Dalam; Research Methods in Marine Biology. Sidgwick & Jackson. London; pp 104-141.
231 LAMPIRAN 1 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN MUARA SANGKIMA Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
232 LAMPIRAN 2 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA MUARA SANGKIMA Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
233 LAMPIRAN 3 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN MUARA SANGATTA Okt 2008
Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
234 LAMPIRAN 4 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA MUARA SANGATTA Okt 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
235 LAMPIRAN 5 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata JANTAN TELUK PERANCIS Okt 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
236 LAMPIRAN 6 DISTRIBUSI KELOMPOK UKURAN Scylla serrata BETINA TELUK PERANCIS
Jan 2009
Feb 2009
Mar 2009
Jun 2009
237
LAMPIRAN 7 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGATTA A. JANTAN 1200
Bobot (gram)
1000 800
y = 0.001x3.038 R² = 0.886
600 400 200 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
Panjang (mm)
B. BETINA 800 700
y = 0.004x2.328 R² = 0.876
Bobot (gram)
600 500 400 300 200 100 0 0
50
100 Panjang (mm)
150
200
238 LAMPIRAN 8 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata TELUK PERANCIS A. JANTAN 1200
bobot (gram)
1000
y = 6E‐05x3.323 R² = 0.924
800 600 400 200 0 0
50
100
150
200
Panjang (mm)
B. BETINA
700
Bobot (gram)
600
y = 0.001x2.680 R² = 0.886
500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
100
Panjang (mm)
120
140
160
239 LAMPIRAN 9 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata MUARA SANGKIMA
A. JANTAN
1000 900
y = 4E‐05x3.393 R² = 0.917
Bobot (gram)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
120
140
160
Panjang (mm)
B. BETINA
600
Bobot (gram)
500
y = 0.001x2.609 R² = 0.913
400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
100
Panjang (mm)
240 LAMPIRAN 10 HUBUNGAN PANJANG BOBOT Scylla serrata BUDIDAYA SYLVOFISHERY A. JANTAN 300
Bobot (gram)
250
y = 0.002x2.409 R² = 0.577
200 150 100 50 0 0
20
40
60
80
100
120
Panjang (mm)
B. BETINA
250
Bobot (gram)
200
y = 0.002x2.422 R² = 0.674
150 100 50 0 0
20
40
60 Panjang (mm)
80
100
120
241 LAMPIRAN 11 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI Scylla serrata JANTAN MUARA SANGATTA i. MORTALITAS TOTAL
242 ii. MORTALITAS ALAMI
iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R
243 LAMPIRAN 12 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI Scylla serrata BETINA MUARA SANGATTA
i. MORTALITAS TOTAL
244
ii. MORTALITAS ALAMI
iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R
245 LAMPIRAN 13 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI Scylla serrata JANTAN TELUK PERANCIS i. MORTALITAS TOTAL
246 ii. MORTALITAS ALAMI
iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R
247 LAMPIRAN 14 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI Scylla serrata BETINA TELUK PERANCIS i. MORTALITAS TOTAL
248
ii. MORTALITAS ALAMI
iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R
249 LAMPIRAN 15 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI Scylla serrata JANTAN MUARA SANGKIMA
i. MORTALITAS TOTAL
250 ii. MORTALITAS ALAMI
iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R
251 LAMPIRAN 16 ANALISIS LAJU MORTALITAS DAN LAJU EKSPLOITASI Scylla serrata BETINA MUARA SANGKIMA
i. MORTALITAS TOTAL
252 ii. MORTALITAS ALAMI
iii. EKSPLOITASI Y/R VERSUS B/R
253 LAMPIRAN 17 PARAMETER PERTUMBUHAN PADA BUDIDAYA SYLVOFISHERY KEPITING BETINA
KEPITING JANTAN
254 LAMPIRAN 18 ASUMSI-ASUMSI UNTUK HSI Variabel oksigen terlarut DO (V1) BOD (V2)
salinitas air (V3),
temperatur air (V4)
pH air (V5) pH substrat (V6) Pasut air laut (V7) fraksi substrat (V8)
kepadatan makrozoobenthos (V9)
jenis vegetasi (V10)
kerapatan vegetasi (V11) produksi serasah (V12)
Asumsi dan Referensi DO lebih 4 ppm salinity range from 2-38 ppt (Hill, 1974); salinity range of 15-30 ppt (Cholik 1991); salinity range of 10-25 ppt is considered optimal for growth (Cholik 1991); At low salinity (10 ppt) - At high salinity (40 ppt) (Chen and Chia, 1996a). It is distributed over a wide range of salinity, from 2 ppt. to oceanic waters. They are essentially euryhaline, but die beyond 70 ppt (Md Giasuddin Khan and Md Fokhrul Alam). S. serrata larvae tolerate a broad range of salinity and temperature conditions. Rearing temperature 25-30 °C and salinity 20-35 g L-1 generally result in reasonable survival. However, from an aquaculture point of view, a higher temperature range of 28-30 °C and a salinity range of 20-30 g L-1 are recommended as it shortens the culture cycle (Nurdiani and Zeng 2007). temperature 28-33°C (Cholik 1991); Feeding activity and growth ceases in winter, when temperatures drop below 20°C (Heasman 1980), Kuntinyo et al.(1994), berpendapat bahwa suhu yang baik untuk budidaya kepiting bakau berkisar antara 26-32°C, jika suhu air 20°C atau kurang, kepiting bakau tidak tumbuh.
penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara. Wahyuni dan Ismail (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6.16 dan pada perairan dengan pH rata-rata 6.5. Wahyuni dan Ismail (1987), mendapatkan kepiting bakau pada kedalaman 30 – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan 30 – 125 cm di muara sungai. kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari predator (Motoh 1979) Makanan alami kepiting bakau mengandung 50% moluska dan 21 % krustasea, terutama grapsid crab. Opnai (1986), menyatakan isi lambung kepiting bakau di perairan hutan mangrove Purari dan Aird Deltas (Papua New Guinea), 89% berisi bivalva, gastropoda dan moluska lainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea yang sulit diidentifikasikan. Sedangkan Gunarto et al. (1987) menyatakan bahwa 90% isi lambung kepiting bakau terdiri dari jenis-jenis alga (Spirogyra sp, dan Chara sp), larva insekta dan benih tiram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua metode memberikan perkiraan serupa preferensi. daun R. mangle lebih dipilih daripada A.germinans dan L. racemosa. Persen daridaun R. mangle dengan kerusakan adalah sekitar 20-30 kali lebih besar daripada spesies lain, dan stomata daun R. mangle 3-20 kali lebih berlimpah di lambung kepiting dibandingkan dengan stomata daun dari spesies lainnya Herbivore feeding preferences as measured by leaf damage and stomatal ingestion: a mangrove crab example. Authors: Erickson, Amy A.
[email protected]; Saltis, Mark1 Bell, Susan S.1; Dawes, Clinton J.1 Source: Journal of Experimental Marine Biology & Ecology; Apr2003, Vol. 289 Issue 1, p123, 16p) Sihainenia (2008), Hasil penelitian McCann (1996) dalam Arifin (2006) menyatakan bahwa 50% materi yang diidentifikasi pada pencernaan kepiting adalah moluska, 20-22% adalah crustasea, dan sisanya 28-30% terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan serasah.
255 LAMPIRAN 19 SKOR SUITABILITY INDEX UNTUK HSI 1.20
Suitability Index
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5
>6
DO (mg/L)
1.20
Suitability Index
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
Salinitas (ppm)
30.0
35.0
>35
256
Suitability Index
1.00
0.10 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 pH
1.2
Suitability Index
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 5
10
15
20
25
Temperatur Air (°C)
30
35
>36
Kerapatan Vegetassi (ind/ha)
>1000
951‐1000
901‐950
H Hibiscus
851‐900
801‐850
751‐800
Ceriops
701‐750
651‐700
601‐650
Avicen nnia Aegiceraas Rhizophoraa Bruguiera
551‐600
501‐550
451‐500
401‐450
300‐400
251‐300
201‐250
151‐200
101 150 101‐150
61‐100
51‐60
11‐50
1‐10
0
Suitability Index
Suitability Index
257
1.2 1
0.8
0.6
0.4
0.2
0 N Nypa
Jenis Vegetassi
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
258
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0.95 1‐2 3‐4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 >15
Suitability Index
Suitability Index
259
1.2 1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Ketinggian Pasut (cm)
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Produksi Serasah (ton/ha/th)
LAMPIRAN 20 HASIL ANALISIS PCA JULI STASIUN A-1 A-2
pHa 6.900 6.100
SALa 16.000 16.000
DOa 6.300 5.100
BODa 3.100 5.600
TEMPa 28.000 29.000
CODa 20.200 26.300
TEKs 3.000 3.000
VEG 1113.000 1113.000
BENTH 20.750 20.750
SCYL 0.025 0.025
A-3
6.100
16.000
4.400
5.200
28.000
21.400
1.000
1113.000
20.750
0.025
B-1 B-2 B-3
7.900 5.200 7.100
33.000 34.000 33.000
6.400 5.900 5.100
3.300 2.400 2.300
26.000 28.000 27.000
23.400 21.800 20.900
1.000 1.000 1.000
800.000 800.000 800.000
24.000 24.000 24.000
0.010 0.010 0.010
C-1 C-2
7.600 7.200
28.000 19.000
6.200 5.600
2.800 2.600
25.000 26.000
19.300 18.300
1.000 1.000
1250.000 1250.000
20.000 20.000
0.015 0.015
C-3
7.100
34.000
4.200
4.200
26.000
24.700
2.000
1250.000
20.000
0.015
BENTH 0.1423 0.5872 0.2955 0.4140 0.1539 0.1188 0.3785 0.9923 1 0.6286
SCYL
XLSTAT - Correlations and Principal Components Analysis / Started on 25/06/2010 at 6:59:18 PM Correlation coefficient type : Classical Data range : Workbook = PCA_HABITAT.xls / Sheet = PCA JULI FIX (3) / Range = $A$1:$K$10 Correlations matrix : pHa
SALa
DOa
BODa
TEMPa
CODa
TEKs
VEG
pHa SALa DOa
1 0.1947 0.2841
0.1947 1 0.0692
0.2841 0.0692 1
-0.2694 -0.5076 -0.5847
-0.7809 -0.4899 -0.2086
-0.2328 0.1293 -0.3985
-0.1506 -0.4880 -0.0579
0.1981 -0.4990 -0.2822
BODa TEMPa CODa
-0.2694 -0.7809 -0.2328
-0.5076 -0.4899 0.1293
-0.5847 -0.2086 -0.3985
1 0.4795 0.6782
0.4795 1 0.4029
0.6782 0.4029 1
0.4757 0.5357 0.4749
0.3376 -0.2592 -0.1547
TEKs
-0.1506
-0.4880
-0.0579
0.4757
0.5357
0.4749
1
0.3053
VEG BENTH
0.1981 -0.1423
-0.4990 0.5872
-0.2822 0.2955
0.3376 -0.4140
-0.2592 0.1539
-0.1547 0.1188
0.3053 -0.3785
1 -0.9923
SCYL
-0.2677
-0.8944
-0.2549
0.7193
0.5714
0.1563
0.6786
0.5274
-0.2677 -0.8944 -0.2549 0.7193 0.5714 0.1563 0.6786 0.5274 -0.6286 1
261
Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) : Eigenvalues Value % of variability Cumulative % Vectors : pHa
1.0000 4.3418
2.0000 2.5007
3.0000 1.4145
4.0000 0.9772
5.0000 0.4559
6.0000 0.2537
7.0000 0.0557
8.0000 0.0004
9.0000 0.0000
10.0000 0.0000
0.4342
0.2501
0.1415
0.0977
0.0456
0.0254
0.0056
0.0000
0.0000
0.0000
0.4342 1.0000 -0.1765
0.6843 2.0000 0.4090
0.8257 3.0000 -0.1929
0.9234 4.0000 0.5060
0.9690 5.0000 -0.4707
0.9944 6.0000 -0.4093
1.0000 7.0000 -0.0488
1.0000 8.0000 0.3398
1.0000 10.0000 -0.0366
SALa
-0.3778
-0.1490
-0.4003
0.0796
0.3910
0.0510
0.6222
0.3408
DOa
-0.2246
0.0877
0.5559
0.4837
0.0055
0.6148
0.0491
0.1320
BODa
0.4029
-0.1202
-0.3075
0.0437
-0.4417
0.3617
0.1475
0.0281
TEMPa CODa
0.2885 0.1879
-0.4430 -0.3727
0.3036 -0.4697
-0.0812 0.4071
0.0197 0.0395
-0.1933 0.2824
-0.1350 -0.2766
0.7521 -0.0306
TEKs VEG BENTH SCYL
0.3488 0.2703 -0.3130 0.4496
-0.0655 0.4867 -0.4554 0.0681
0.1128 -0.1414 0.0989 0.2091
0.5601 -0.0923 0.0806 0.0271
0.4713 0.3103 -0.2527 -0.2148
-0.3730 0.1863 -0.1612 -0.0638
0.0227 -0.1411 0.0292 0.6858
-0.2651 0.2447 -0.2098 -0.0968
1.0000 9.0000 0.0097 0.0254 0.0083 0.1580 0.0020 0.1361 0.0873 0.6514 0.6893 0.2204
0.0954 0.0313 0.5943 0.0076 -0.5120 0.3286 0.1627 0.2616 -0.4127
262
Correlations between initial variables and principal factors :
pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
factor 1 -0.3677 -0.7872 -0.4680 0.8396 0.6012 0.3916 0.7267 0.5632 -0.6522 0.9368
factor 2 0.6468 -0.2357 0.1386 -0.1900 -0.7006 -0.5894 -0.1036 0.7696 -0.7202 0.1076
factor 3 -0.2294 -0.4761 0.6611 -0.3657 0.3611 -0.5587 0.1342 -0.1681 0.1176 0.2487
factor 4 0.5002 0.0786 0.4782 0.0432 -0.0803 0.4025 0.5537 -0.0913 0.0797 0.0267
factor 5 -0.3178 0.2640 0.0037 -0.2982 0.0133 0.0266 0.3182 0.2095 -0.1706 -0.1450
factor 6 -0.2062 0.0257 0.3097 0.1822 -0.0974 0.1423 -0.1879 0.0938 -0.0812 -0.0321
factor 7 -0.0115 0.1469 0.0116 0.0348 -0.0319 -0.0653 0.0054 -0.0333 0.0069 0.1619
factor 8 0.0069 0.0069 0.0027 0.0006 0.0152 -0.0006 -0.0053 0.0049 -0.0042 -0.0020
factor 9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
factor 10 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
axis 4 1.0855 0.8743 -1.6835 1.5165 -0.9309 -0.3297 0.1261 -0.8343 0.1761
axis 5 0.3783 -0.0029 -1.0836 -1.0418 0.9455 -0.2209 0.1502 0.0181 0.8571
axis 6 -0.5105 0.2783 0.0761 0.3488 0.5608 -1.0401 0.5981 -0.0679 -0.2436
axis 7 0.2343 -0.2751 0.2398 -0.0352 0.0257 -0.0214 0.2374 -0.4965 0.0911
axis 8 -0.0161 0.0247 -0.0090 -0.0196 -0.0076 0.0269 0.0323 -0.0136 -0.0180
axis 9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
axis 10 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Coordinates of observations on principal axes :
A-1 A-2 A-3 B-1 B-2 B-3 C-1 C-2 C-3
axis 1 1.5884 3.6929 2.3086 -2.5653 -1.8457 -2.3205 -1.2001 -0.4274 0.7691
axis 2 0.6029 -1.4944 -0.2689 -0.6585 -2.4883 -1.0843 2.5605 2.2738 0.5572
axis 3 2.0960 -0.1803 -0.1482 -0.4360 0.8406 -0.1895 0.0258 0.6287 -2.6371
263 LAMPIRAN 21 HASIL ANALISIS PCA DESEMBER Stasiun A-1 A-2
pHa 7.1 6.7
SALa 25 10
Doa 6.6 5.4
BODa 4.6 6.3
TEMPa 25 25
CODa 18.2 21.4
TEKs 3 3
VEG 1113 1113
BENTH 20.75 20.75
SCYL 0.025 0.025
A-3
6.7
5
5.2
6
24
17.5
1
1113
20.75
0.025
B-1 B-2
7.2 7.3
27 25
6.5 6.2
2.4 2.9
26 26
24 22.3
1 1
800 800
24 24
0.010 0.010
B-3
7
24
5.5
2.1
25
22.4
1
800
24
0.010
C-1 C-2 C-3
7.5 7.1 7.1
24 13 10
5.8 5.1 5.3
3.3 3.8 5.4
24 24 24
17.2 16.3 18.2
1 1 1
1250 1250 1250
20 20 20
0.015 0.015 0.015
XLSTAT - Correlations and Principal Components Analysis / Started on 25/06/2010 at 7:36:55 PM Correlation coefficient type : Classical Data range : Workbook = PCA_HABITAT.xls / Sheet = PCA DES FIX (3) / Range = $A$1:$K$10 Number of additional rows : 0 Number of additional variables : 0 Number of rows removed before computations : 0 Correlations matrix : pHa pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
1 0.7149 0.4802 -0.6731 0.1482 -0.0200 -0.3895 -0.0472 0.1356 -0.6330
SALa 0.7149 1 0.8153 -0.8355 0.6421 0.4837 -0.0409 -0.5758 0.6090 -0.5620
Doa 0.4802 0.8153 1 -0.4411 0.7280 0.4565 0.2652 -0.4939 0.4763 -0.1657
BODa -0.6731 -0.8355 -0.4411 1 -0.4832 -0.4571 0.4949 0.6242 -0.6962 0.8565
TEMPa 0.1482 0.6421 0.7280 -0.4832 1 0.8873 0.1512 -0.8668 0.8486 -0.3780
CODa -0.0200 0.4837 0.4565 -0.4571 0.8873 1 0.0158 -0.8965 0.8880 -0.4617
TEKs -0.3895 -0.0409 0.2652 0.4949 0.1512 0.0158 1 0.1665 -0.2566 0.7143
VEG -0.0472 -0.5758 -0.4939 0.6242 -0.8668 -0.8965 0.1665 1 -0.9923 0.5274
BENTH 0.1356 0.6090 0.4763 -0.6962 0.8486 0.8880 -0.2566 -0.9923 1 -0.6286
SCYL -0.6330 -0.5620 -0.1657 0.8565 -0.3780 -0.4617 0.7143 0.5274 -0.6286 1
264
Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) : Eigenvalues Value % of variability Cumulative % Vectors : pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
1.0000 5.7511 0.5751 0.5751 1.0000 0.2072 0.3550 0.2821 -0.3574 0.3524 0.3329 -0.1095 -0.3665 0.3810 -0.3118
2.0000 2.1890 0.2189 0.7940 2.0000 -0.4455 -0.0707 0.1856 0.2874 0.3247 0.3015 0.5245 -0.2102 0.1369 0.3809
3.0000 1.4960 0.1496 0.9436 3.0000 0.4286 0.3891 0.5107 -0.0249 0.0204 -0.2419 0.4015 0.2615 -0.2694 0.2057
4.0000 0.2365 0.0237 0.9673 4.0000 0.2540 -0.3600 0.4397 0.5372 0.2909 0.0545 -0.4835 0.0342 -0.0337 0.0162
5.0000 0.2239 0.0224 0.9897 5.0000 0.2866 -0.1129 -0.3087 0.1835 0.2089 0.4781 0.3605 0.3233 -0.2280 -0.4664
6.0000 0.0546 0.0055 0.9951 6.0000 -0.0439 0.2424 0.1964 0.1187 -0.6317 0.6473 -0.1846 0.0650 -0.0819 0.1539
7.0000 0.0318 0.0032 0.9983 7.0000 0.5613 0.1644 -0.4617 0.3353 -0.0667 -0.0156 0.0530 -0.3445 0.2612 0.3713
8.0000 0.0171 0.0017 1.0000 8.0000 0.0848 -0.0550 -0.2033 -0.4454 0.3909 0.2820 -0.2736 0.2158 -0.2798 0.5639
9.0000 0.0000 0.0000 1.0000 9.0000 -0.0871 0.1882 -0.0562 0.1016 0.0788 -0.0263 -0.0745 0.6910 0.6686 0.0811
10.0000 0.0000 0.0000 1.0000 10.0000 -0.3107 0.6716 -0.2005 0.3626 0.2814 -0.0938 -0.2659 -0.0223 -0.3319 -0.1070
factor 5 0.1356 -0.0534 -0.1461 0.0868 0.0989 0.2262 0.1706 0.1530 -0.1079 -0.2207
factor 6 -0.0102 0.0566 0.0459 0.0277 -0.1476 0.1512 -0.0431 0.0152 -0.0191 0.0360
factor 7 0.1000 0.0293 -0.0823 0.0598 -0.0119 -0.0028 0.0095 -0.0614 0.0465 0.0662
factor 8 0.0111 -0.0072 -0.0266 -0.0582 0.0511 0.0368 -0.0357 0.0282 -0.0366 0.0737
factor 9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
factor 10 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Correlations between initial variables and principal factors :
pHa SALa Doa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL
factor 1 0.4969 0.8514 0.6765 -0.8572 0.8451 0.7983 -0.2626 -0.8789 0.9136 -0.7478
factor 2 -0.6591 -0.1046 0.2746 0.4252 0.4804 0.4462 0.7761 -0.3110 0.2025 0.5636
factor 3 0.5242 0.4759 0.6247 -0.0305 0.0250 -0.2959 0.4911 0.3199 -0.3295 0.2517
factor 4 0.1235 -0.1751 0.2139 0.2613 0.1415 0.0265 -0.2351 0.0167 -0.0164 0.0079
265
Coordinates of observations on principal axes :
A-1 A-2 A-3 B-1 B-2 B-3 C-1 C-2 C-3
axis 1 -0.3551 -2.0015 -2.9335 3.8178 3.3201 2.4120 -0.4061 -1.8380 -2.0157
axis 2 1.5745 2.7218 0.5174 0.4138 0.0486 -0.1946 -2.2897 -1.7087 -1.0829
axis 3 2.5722 -0.3248 -1.3876 -0.1180 -0.1775 -1.4401 1.5647 -0.2656 -0.4233
axis 4 -0.1970 -0.2309 0.4334 0.4251 0.5216 -0.9789 -0.0796 -0.4083 0.5147
axis 5 -0.4610 0.7630 -0.9289 0.0191 0.0915 -0.1924 0.0877 0.0747 0.5464
axis 6 -0.0691 0.0314 0.0728 0.1916 -0.3737 0.1580 0.2695 -0.4291 0.1485
axis 7 -0.0819 0.0882 0.0690 -0.3051 0.2656 0.0578 0.2130 -0.2134 -0.0933
axis 8 -0.1314 0.1139 0.0583 0.1312 -0.0402 -0.1173 0.1382 0.0919 -0.2446
axis 9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
axis 10 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
266 LAMPIRAN 22 MAKROZOOBENTHOS
MUARA SANGATTA SPESIES
TELUK PRANCIS
MUARA SANGKIMA Total
ni (ind)
A (m²)
N (ind/m²)
ni (ind)
A (m²)
N (ind/m²)
ni (ind)
A (m²)
N (ind/m²)
KELAS GASTROPODA Potamodidae (Telebralia sp) Potamodidae (Telescopium sp) Littoridae Neritidae Cherithidae Trochidae
11 8 5 2 1 0
4 4 4 4 4 4
2.75 2 1.25 0.5 0.25 0
2 6 15 0 8 3
4 4 4 4 4 4
0.5 1.5 3.75 0 2 0.75
1 2 12 4 6 5
4 4 4 4 4 4
0.25 0.5 3 1 1.5 1.25
3.5 4 8 1.5 3.75 2
Dentaliidae
1
4
0.25
0
4
0
0
4
0
0.25
Nassaridae
1
4
0.25
2
4
0.5
2
4
0.5
1.25
Muricidae
1
4
0.25
8
4
2
6
4
1.5
3.75
Olividae
1
4
0.25
0
4
0
1
4
0.25
0.5
3 3 2
4 4 4 4 4
0.75 0.75 0.5 1.25 0
2 16 1
4 4 4 4 4
0.5 4 0.25 0 0.25
6 3 0
4 4 4 4 4
1.5 0.75 0 1 0
2.75 5.5 0.75 2.25 0.25
4 4
2.5 0.75
4 4
1.75 0.5
4 4
1.75 0.25
6 1.5
4 4 4
1.5 0.5 0.25
4 4 4
0.75 0.25 0.25
4 2 0.5
4
2.25
7 1 3 1 1 11
4
2.75
8
4
1.25
4
4
1
2.75
24
76
KELAS PELECYPODA Corbiculidae (Geloina sp) Ostreidae Veneridae (T philippinarum) Lucinidae Arcidae (Anadara sp)
5 0
0 1
KELAS MALACOSTRACA Ocypodidae (Ucha sp)
10
Penaidae (Penaeus sp) Grapsidae (Sesarma sp) Portunidae (Thalamita sp) Upogebidae (Upogebia sp) Paguridae (Pagurus sp)
3 7 5 0 12
4 4 4
1.75 1.25 0
4
3
7 2 6 2 1 9
Nereis limnicola
2
4
0.5
5
total
81
20.75
91
4 0
KELAS POLYCHAETA
20
267 LAMPIRAN 23 DATA FISIK KIMIA PERAIRAN Ph air
SALINITAS AIR
DO
TEMPERATUR AIR
BOD
PH SUBSTRAT
COD SUBSTRAT
TEMPERATUR SUBSTRAT
FRAKSI SUBSTRAT
JUL
DES
JUL
DES
JUL
DES
JUL
DES
STASIUN JUL
DES
JUL
DES
JUL
DES
JUL
DES
JUL
DES
MUARA SANGATTA Sub A‐1
6.9
7.1
16
20
1.3
6.2
3.1
4.6
28
25
6.7
6.8
20.2
18.2
27
24
clay
clay
Sub A‐2
6.1
6.7
0
10
0
5.5
5.6
6.3
29
25
5.3
7
26.3
21.4
28
25
clay
clay
Sub A‐3
6.1
6.7
0
0
4.5
5.3
5.2
6
28
24
5.1
6.6
21.4
17.5
27
23
sandy loam
sandy loam
sandy loam
sandy loam
sandy loam sandy loam
sandy loam sandy loam
sandy loam sandy loam sandy loam
sandy loam sandy loam sandy loam
TELUK PERANCIS Sub B‐1
7.1
7.2
33
27
6.2
6
2.8.
2.4
26
26
6.32
6.7
26.5
24
26
26
Sub B‐2
6.9
7.3
31
25
5.4
5.2
3.4
2.9
28
26
6.45
6.5
25
22.3
25
24
Sub B‐3
7
7
29
24
5.1
4.1
3.7
2.1
27
25
5.68
6.3
23.5
22.4
25
24
MUARA SANGKIMAH Sub C‐1
7.6
7.5
26
10
2.3
5.2
2.8
3.3
25
24
6.32
6.7
19.3
17.2
24
22
Sub C‐2
7.2
7.1
25
13
2.7
4.4
2.6
3.8
26
24
6.45
6.9
18.3
16.3
25
23
Sub C‐3
7.1
7.1
19
0
0.9
4.2
4.2
5.4
26
24
5.68
6.5
24.7
18.2
25
23
1 = zona perairan 2 = zona depan mangrove 3 = zona tengah mangrove
268 LAMPIRAN 24 RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA SYLVOFISHERY S. serrata (Rp/unit/musim) NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH A. Biaya 1 Investasi a. Jaring trawl 1,25" Gulung 2 b. Papan kayu Kubik 1 c. bambu Batang 20 d. Tali nilon Gulung 1 SUB TOTAL 2 Biaya Tetap/Peralatan a. Bubu/rakkang b. Peralatan Panen c. Timbangan SUB TOTAL
Unit Unit Unit
HARGA
TOTAL
500000 1500000 20000 100000
750000 1500000 400000 100000 2750000
40000 200000 100000
200000 200000 100000 500000
5 1 1
3 Biaya Variabel/modal kerja a. benih S. serrata
Ekor
b. pakan ikan rucah
Kg
c. Upah pemeliharaan
Bln
500 750
375,000
200 3,000
600,000
5 200,000
SUB TOTAL
B.
TOTAL BIAYA Manfaat Penjualan Hasil Panen (SR 60%) Kg
1,000,000 1,975,000 5,225,000
90
35,000
3,150,000
269 LAMPIRAN 25
Komponen
Cash Flow Analisis kelayakan Usaha Budidaya Sylvofishery S. serrata (200 m²) Tahun ke… 0 1
1. INVESTASI a. Jaring trawl 1,25" b. Papan kayu c. bambu d. Tali nilon SUB TOTAL
750000 1500000 400000 100000 2750000
2. BIAYA TETAP a. Bubu/rakkang b. Peralatan Panen c. Timbangan SUB TOTAL Penyusutan (25%)
200000 200000 100000 500000 125000
125000
125000
375000 600000 1000000 1975000 98750
375000 600000 1000000 1975000 98750
2198750
2198750
6300000
6300000
6300000
6300000
-3375000
4101250
4101250
1.00
0.89
0.80
0.00 -3375000 3556322 2.05 1.23
2.87 3661830
2.87 3269491
3. BIAYA VARIABEL a. benih S. serrata b. pakan ikan rucah c. Upah pemeliharaan SUB TOTAL Lain-lain (5%) TOTAL BIAYA
3375000
4. PENERIMAAN panen kepiting TOTAL PENERIMAAN NET BENEFIT (π) DF (12%) R/C PV NPV B/C PBP
2
270 LAMPIRAN 26 ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN KEPITING BAKAU
No. Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penerimaan Jumlah Total Tangkapan Harga Penerimaan (kg/bln) (Rp)
Biaya BBM
Perawatan dan lain2
Total Biaya (Rp)
Pendapatan (Rp)
143
25 000
3,575,000
400,000
1,000,000
1,400,000
2,175,000
Rudi
65
25 000
1,625,000
200,000
500,000
700,000
925,000
Imam
117
25 000
2,925,000
100,000
750,000
850,000
2,075,000
Santoso
98
25 000
2,437,500
400,000
750,000
1,150,000
1,287,500
Jamali
91
25 000
2,275,000
100,000
750,000
850,000
1,425,000
Sudin
98
25 000
2,437,500
100,000
750,000
850,000
1,587,500
Sulak
143
25 000
3,562,500
500,000
800,000
1,300,000
2,262,500
Bacok
98
25 000
2,437,500
100,000
750,000
850,000
1,587,500
Sanidai
75
25 000
1,875,000
100,000
600,000
700,000
1,175,000
Bombira
84
25 000
2,100,000
100,000
700,000
800,000
1,300,000
Hamang
95
25 000
2,362,500
100,000
750,000
850,000
1,512,500
Asri
105
25 000
2,625,000
100,000
750,000
850,000
1,775,000
Iyel
75
25 000
1,875,000
100,000
700,000
800,000
1,075,000
Acok
90
25 000
2,250,000
100,000
700,000
800,000
1,450,000
Syarif
98
25 000
2,437,500
100,000
750,000
850,000
1,587,500
98
25,000
2,453,333
173,333
733,333
906,667
1,546,667
Hendra
RERATA
271 LAMPIRAN 27 KARAKTERISTIK RESPONDEN KEPITING BAKAU Responden Nelayan Kepiting Bakau No.
Responden
Lokasi
(Nama) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Hendra Rudi Imam Santoso Jamali Sudin Sulak Bacok Sanidai Bombira Hamang Asri Iyel Acok Syarif
Ma. Sangatta Ma. Sangatta Ma. Sangatta Ma. Sangatta Ma. Sangatta Ma. Sangatta Tl. Perancis Tl. Perancis Tl. Perancis Tl. Perancis Tl. Perancis Ma. Sangkima Ma. Sangkima Ma. Sangkima Ma. Sangkima
J u m l a h R a t a
- r a t a
Jenis Kelamin
Umur
Mulai Usaha
Hsl.Tkp
Hsl.Tkp
Harga
Pemasukan
BBM
LAIN2
TOTAL BIAYA
Pendapatan
(L/P)
(Tahun)
(Tahun)
(Ekor/bln)
(Kg/bln)
Rp/Kg)
(Rp)
L
24
SD
1993
1100
143
25000
3,575,000
400,000
1,000,000
1,400,000
2,175,000
L
23
SD
1993
500
65
25000
1,625,000
200,000
500,000
700,000
925,000
L
65
SD
1993
900
117
25000
2,925,000
100,000
750,000
850,000
2,075,000
L
41
SD
1995
750
98
25000
2,437,500
400,000
750,000
1,150,000
1,287,500
L
52
SD
1995
700
91
25000
2,275,000
100,000
750,000
850,000
1,425,000
L
49
SD
1993
750
98
25000
2,437,500
100,000
750,000
850,000
1,587,500
L
37
SD
2003
950
143
25000
3,562,500
500,000
800,000
1,300,000
2,262,500
L
40
SD
2001
650
98
25000
2,437,500
100,000
750,000
850,000
1,587,500
L
47
SD
1993
500
75
25000
1,875,000
100,000
600,000
700,000
1,175,000
L
33
SD
2001
560
84
25000
2,100,000
100,000
700,000
800,000
1,300,000
L
36
SD
1993
630
95
25000
2,362,500
100,000
750,000
850,000
1,512,500
L
36
SD
2003
700
105
25000
2,625,000
100,000
750,000
850,000
1,775,000
L
48
SD
1993
500
75
25000
1,875,000
100,000
700,000
800,000
1,075,000
L
35
SD
1993
600
90
25000
2,250,000
100,000
700,000
800,000
1,450,000
L
49
SD
1993
1,587,500
Tkt.Pend.
650
98
25000
2,437,500
100,000
750,000
850,000
21 010
1,472
375,000
36,800,000
2,600,000
11,000,000
13,600,000
23,200,000
98
25,000
2,453,333
173,333
733,333
906,667
1,546,667
272 Responden Pedagang Pengumpul Kepiting Bakau Responden
Jenis Kelamin
Umur
(Nama)
(L/P)
(Tahun)
L
39
Santoso
Pendidikan
Domisili
Mulai Usaha
Produksi
Pendapatan
(Tahun)
(Tahun)
(Ekr/Bln)
(Rp./Bln.)
2001
2005
300-500
3 000 000
SD
Responden Pengambil Kebijakan Jenis Kelamin
Umur
(Nama) Tandio
(L/P) L
50
Sarjana kehutanan
Balai TN Kutai
Kepala Balai
Aminuddin
L
37
Sarjana Perikanan
Dinas Kelautan dan Perikanan
Kasubid. Pengelolaan Pesisir
Rupiansyah
L
51
Sarjana Ekonomi
BAPPEDA
Kepala Bappeda
Sumarjana
L
48
Sarjana Teknik
BAPPEDA
Kabid Fisik & Prasarana
Elly Herliawati
P
37
Magister Teknik
BAPPEDA
Kasubid. Tata Ruang & Tata Guna Lahan
Murdoko
L
54
SMA
KADES
Kepala Desa Sangkima
Suhariyanto
L
49
Diploma
KADES
Kepala Desa Singa Geweh
Responden
Pendidikan
Instansi
Jabatan
273 LAMPIRAN 28 INDEKS NILAI PENTING VEGETASI MANGROVE
INDEKS NILAI PENTING MUARA SANGATTA No
Nama lokal
K
F
LBD (m2)
KR
FR
DoR
INP
ni/N
log (ni/N)
H
Myrsinaceae
Gedangan
49
8
0.057
55.056
44.444
42.531
142.031
0.551
-0.259
-0.143
Rhizophoraceae
Bido-bido
2
1
0.006
2.247
5.556
4.335
12.138
0.022
-1.648
-0.037
Ceriops tagal
Rhizophoraceae
Soga tingi
2
2
0.003
2.247
11.111
1.992
15.350
0.022
-1.648
-0.037
Nypa fructicans
Arecaceae
Nipah
36
7
0.069
40.449
38.889
51.142
130.481
0.404
-0.393
-0.159
89
18
0.134
100
100
100
300
1
Nama jenis Aegiceras corniculatum
Nama suku
2
Ceriops decandra
3 4
Jumlah Kerapatan =
1.113 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) =
0, 376
Basal area
1,677 m2/ha
-0.376
INDEKS NILAI PENTING TELUK PERANCIS Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Pohon di Stasiun Teluk Prancis
No Nama jenis
Nama suku
Nama lokal
Bruguiera Bakau daun gymnorrhiza Rhizophoraceae besar Rhizophora Bakau apiculata Rhizophoraceae minyak Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Bakau hitam
1 2 3
Jumlah Kerapatan =
550 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) =
0, 330
Basal area
7,421 m2/ha
LBD (m2)
K
F
4
3
0.060
32
8
8 44
KR
log (ni/N)
FR
DoR
INP
ni/N
9.091
16.667
10.102
35.860
0.091
-1.041
-0.095
0.4006
72.727
44.444
67.478 184.650
0.727
-0.138
-0.101
7
0.1331
18.182
38.889
22.420
0.182
-0.740
-0.135
18
0.5937
100.000
79.491
H
100.000 100.000 300.000
-0.330
Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Teluk Prancis
No
Nama jenis
Nama lokal
K
F
LBD (m2)
KR
FR
DoR
INP
ni/N
log (ni/N)
1
Rhizophora apiculata
H
Rhizophoraceae
Bakau minyak
2
Rhizophora mucronata
8
8
0.0304
50.000
57.143
50.025
157.167
0.500
-0.301
-0.151
Rhizophoraceae
Bakau hitam
4
3
0.0164
25.000
21.429
27.037
73.466
0.250
-0.602
-0.151
3
Ceriops decandra
Rhizophoraceae
Bido-bido
3
2
0.0099
18.750
14.286
16.309
49.345
0.188
-0.727
-0.136
Ceriops tagal
4
Rhizophoraceae
Soga tingi
1
1
0.0040
6.250
7.143
6.629
20.022
0.063
-1.204
-0.075
16
14
0.0607
100.000
100.000
100.000
300.000
Nama suku
Jumlah Kerapatan =
800 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) = Basal Arean
0, 513 3,037 m2/ha
-0.513
274
INDEKS NILAI PENTING MUARA SANGKIMA Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Pohon di Stasiun Muara Sangkima N o 1 2 3 4 5 6
Nama jenis
Nama suku
Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra Osbornia octodonta Hibiscus tiliaceus Lumnitzera littorea
Rhizophoracea e Rhizophoracea e Rhizophoracea e
Nama lokal Bakau minyak Bakau daun besar Bido-bido
Myrtaceae Malvaceae
Waru
Combretaceae
Jumlah
Kerapatan =
613 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) =
0, 427
Basal area
64,69 m2/ha
K
F
LBD (m2)
KR
FR
DoR
INP
ni/N
log (ni/N)
H
62
13
6.1664
63.265
44.828
59.575
167.667
0.633
-0.199
-0.126
25
9
3.6238
25.510
31.034
35.010
91.555
0.255
-0.593
-0.151
8
4
0.4596
8.163
13.793
4.441
26.397
0.082
-1.088
-0.089
1
1
0.0380
1.020
3.448
0.367
4.836
0.010
-1.991
-0.020
1
1
0.0314
1.020
3.448
0.304
4.772
0.010
-1.991
-0.020
1
1
0.0314
-1.991
-0.020
10.3508
0.304 100.00 0
0.010
29
3.448 100.00 0
4.772
98
1.020 100.00 0
0.16
612.5
64.692
300.000
-0.427
Indeks Nilai Penting (INP) dari Vegetasi Anakan Pohon (diameter <10 cm) di Stasiun Muara Sangkima
No 1
Nama jenis Avicennia lanata
3
Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra
4
Ceriops tagal
2
5 6 7
Hibiscus tiliaceus Osbornia octodonta Rhizophora apiculata
Nama suku
Nama lokal
Verbenaceae
K
F
LBD (m2)
KR
FR
DoR
INP
ni/N
log (ni/N)
H
2
1
0.0079
4.000
3.571
6.281
13.853
0.040
-1.398
-0.056
Rhizophoraceae
Bakau daun besar
10
6
0.0310
20.000
21.429
24.749
66.177
0.200
-0.699
-0.140
Rhizophoraceae
Bido-bido
8
6
0.0263
16.000
21.429
21.043
58.471
0.160
-0.796
-0.127
Rhizophoraceae
Soga tingi
1
1
0.0013
2.000
3.571
1.005
6.576
0.020
-1.699
-0.034
1
1
0.0009
2.000
3.571
0.684
6.255
0.020
-1.699
-0.034
3
2
0.0026
6.000
7.143
2.073
15.216
0.060
-1.222
-0.073
25
11
0.0552
50.000
39.286
44.166
133.451
0.500
-0.301
-0.151
50
28
0.1251
100
100
100
300
Malvaceae Myrtaceae Rhizophoraceae
Bakau minyak
Jumlah
Kerapatan =
1250 pohon/ha
Indeks Keragaman (H) =
0,124
Basal Area
3,127 m2/ha
0.04
3.1272
-0.124