PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TAMAN NASIONAL SEMBILANG KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN
THERESIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Theresia NIM C252130341
RINGKASAN THERESIA. Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan NIKEN T.M PRATIWI. Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting diwilayah pesisir. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/KptsII/2003 tanggal 19 Maret 2003, bahwa salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan Mangrove yang berada di Taman Nasional Sembilang. Luasan mangrove di Taman Nasional Sembilang tahun 2003 sebesar 91.679.45 ha dan tahun 2009 berkurang menjadi 83.447.23 ha atau sekitar 9,80 %. Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik, penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang. Pengelolaan ekosistem mangrove bersifat dinamis tergantung dari perkembangan dari kebijakan-kebijakan yang ada. Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam terutama ekosistem mangrove, sering menimbulkan konflik kepentingan antara konservasi dan konversi, sehingga diperlukan penilaian keberlanjutan pengelolaan terhadap sumber daya termasuk ekosistem mangrove, baik dilihat dari ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Salah satu alat yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan mangrove ini adalah metode RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability), yang salah satu alat untuk analisis status kelestarian ekosistem mangrove dengan penyesuaian berbasis Multi Dimensional Scalling (MDS). Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove dan (2) merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove agar dapat efektif dan berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan selama dua bulan, yaitu pada bulan Maret-April 2015. Kondisi tekini tahun 2015, mangrove di Taman Nasional Sembilang dimana di dominansi oleh jenis mangrove Exoceria agallocha sebesar 99,94%, nilai kerapatan relatif tertinggi 98,4%. Jenis mangrove Exoceria agallocha memberikan pengaruh dan peranan yang besar dalam komunitas mangrove di Taman Nasional Sembilang. Terjadi laju degradasi tutupan mangrove, membandingkan dua tahun, yaitu tahun 2002 dan 2013. Berdasarkan interpretasi visual terhadap data penginderaan jauh, didapatkan informasi bahwa luas tutupan mangrove mengalami penurunan tiap tahun pengamatan, tahun yang diambil didasarkan pada alasan membandingkan sebelum dan setelah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, dengan memanfaatkan citra Landsat-7 ETM dan Landsat-8, luasan tutupan mangrove pada tahun 2002 sebesar 93808.73 ha dan menurun pada tahun 2013 menjadi 78597.55 ha atau sekitar 115211.18 ha (16 %). Luasan mangrove dari tahun ke tahun berkurang, hal ini mungkin disebabkan aktivitas penduduk seperti penebangan hutan, pemanfaatan hutan mangrove untuk kegiatan pertanian, pembukaan lahan tambak serta kawasan ini juga mengalami pengurangan lahan akibat dibangunnya pelabuhan Tanjung Api-Api.
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan adalah Rp 14 milyar/tahun atau Rp 178.221,00/ha/tahun, artinya apabila ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang tetap dikelola secara berkelanjutan serta luasan mangrove tidak berkurang maka nilai yang tetap terpelihara sebesar Rp 14 milyar. Status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan adalah “Kurang berkelanjutan”dengan nilai indeks keberlanjutan multidimensi 49,81. Berdasarkan analisisi Leveragedalam metode RAPFISH terdapat empat indikator yang dominan memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan, yaitu (1) Perubahan luasan, (2) Indeks nilai penting mangrove, (3) Peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove, (4) Mata pencaharian, (5) Nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat dan (6) Tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan mangrove. Dalam hal ini, alternatif kebijakan yang direkomendasikan ialah pemberdayaan masyarakat yang bisa memiliki keterampilan dalam pemanfaatan mangrove yang lestari. Kata Kunci: Pengelolaan Mangrove, Taman Nasional Sembilang
SUMMARY THERESIA. Mangrove Ecosystem Management in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra Province. Supervised by MENNOFATRIA BOER and NIKEN T.M. PRATIWI. Mangrove has been the important life supporting ecosystem in coastal zone. According to Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 in 19 Maret 2003, one of areas in South Sumatera Province has mangrove zone located in Sembilang National Park. However reduction of 9.8% mangrove area occurred, that was from 91.679.45 ha in 2003 to 83.447.23 ha in 2009. Moreover, it was found that all problems deal with antropogenic activity which becomes the main cause for both problem and threat in area around Sembilang National Park. Management of mangrove ecosystem is dynamic and depends on existing policy development. Differences between regional, national, and international perspective in natural resource management particularly in mangrove ecosystem often causes conflict of interest between conservation and conversion. Therefore, assessment of management of resources including mangrove ecosystem should be continously evaluated in ecological, economic, social, and institutional aspect. RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability) is a tool to analyze conservation status of mangrove ecosystem through Multi Dimensional Scalling (MDS) based modification. Aims of this study were to (1) analyze continuity status of mangrove ecosystem management and (2) formulate effective and sustainable alternative policy of mangrove ecosystem management. The study was carried out in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra Province on March-April 2015. Recent condition in 2015 showed that mangrove area in Sembilang National Park was 99.94% dominated by Exoceria agallocha with highest relative density reached to 98.4%. Thus, E. agallocha had both large effects and roles in mangrove community in Sembilang National Park. Yet, degradation rate of mangrove coverage occured in 2002 and 2013. Based on visual interpretation on remote sensing data, mangrove coverage decreased in each observation year, that was year before and after the area gained its status as conservation area. By using Landsat-7 ETM and Landsat-8 images, mangrove coverage area was found to be 93.808.73 ha in 2002 and decreased about 16% or 115.211.18 ha, that was 78.597.55 ha in 2013. Decline in mangrove area over the years was probably due to human activity such as deforestation, mangrove utilization for agricultural activity, fishpond clearing and also construction of Tanjung Api-Api port. Total economy value of mangrove ecosystem in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra was IDR 14.007.740.119.00 year-1 or IDR 178.221.00 ha-1 year-1. This value means that as much as IDR 14.007.740.119.00 continues to be maintained if mangrove ecosystem in Sembilang National Park is sustainably managed and mangrove area does not decline. Sustainability status of mangrove management in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra was categorized as “Less Sustainable” with multidimensional sustainability index reached a value of 49.81. Based on Leverage analysis in RAPFISH method there were six dominant indicators contributing to
sustainability index value, those were: (1) Changes in area, (2) Important value index of mangrove, (3) Knowledge improvement on mangrove ecosystem, (4) Livelihood (5) Economic value of mangrove ecosystem on local community and (6) Synergy level between policy and institution for mangrove management. At this point, alternative policy chose as recommendation is community empowerment which later will create community equipped with skill to perform sustainable utilization of mangrove. Keywords: Mangrove Management, Sembilang National Park
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TAMAN NASIONAL SEMBILANG KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN
THERESIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sumberdaya Pengelolaan Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis mengenai Pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera berhasil diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer,DEA dan Ibu Dr Ir Niken T.M Pratiwi, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penulis juga berterima kasih kepada keluarga tercinta (Ayahanda Makmun Harun,BA, Ibunda Fatimah,S.Pd, Bapak dan Ibu mertua Supriyono, M.Si dan Dr.Hartati,M.Kes serta suami tercinta M.Gandri Haryono,S.Kel, M.P dan buah hati saya Aqilah Salsabila Haryono, serta saudara Richardo,M.M, M.Si. Nike marlini, Nia febrihatin,S.Pd dan semua keponakan tercinta) yang telah memberi doa, kasih sayang dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Rekan-rekan kuliah SPL 2013 di IPB teman-teman (bang jhotam, bu ati, syarief, sadam, nike, sigit, kak asri, caya, riqy, jhon, asni, ulin, bang tahmid, bunda yuyun) yang telah menginspirasi dan telah menjadi teman diskusi serta sebagai sumber inspirasi maupun penyemangat bagi penulis. Tesis ini masih belum terlepas dari kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunannya, untuk itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran demi penyempurnaan isi dan tulisan dalam tesis ini. Bogor, Juni 2016
Theresia
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Responden Teknik Pengolahan Data Kuisioner Analisis Data Analisis vegetasi mangrove Analisis data citra satelit Analis nilai manfaat mangrove Analisis Keberlanjutan 3 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Taman Nasional Sembilang Iklim dan Hidrologi Tipe Habitat Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sejarah Kawasan Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekosistem Hutan Mangrove Kondisi ekologi ekosistem hutan Mangrove Kondisi ekonomi ekosistem Mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang Status keberlanjutan dimensi ekologi Status keberlanjutan dimensi sosial Status keberlanjutan dimensi ekonomi Status keberlanjutan dimensi kelembagaan 5 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x x xi 1 1 3 4 4 5 5 6 8 8 10 11 11 11 13 16 16 16 18 19 20 20 21 23 23 23 28 29 31 32 33 34 36 46 47 51 63
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Sumber data sekunder Indeks keberlanjutan Parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang 5 Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 6 Nilai statistik hasil analisis RAPFISH
9 14 15 28 31 39
DAFTAR GAMBAR 1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin Sumatera Selatan 2015) 2 Kerangka penelitian 3 Peta lokasi penelitian 4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan 5 Nomogram Harry King (Sugiyono 2012) 6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang 8 Penataan zonasi kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 9 Kerapatan jenis mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 10 Indek nilai penting ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 11 Perubahan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 12 Jenis-jenis pekerjaan masyarakat Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan ( Sumber: Hasil Survei Penelitian 2015) 13 Tingkat pendidikan responden di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 14 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekologi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 15 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekologi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 16 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi sosial di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 17 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi sosial di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 18 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekonomi di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 19 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekonomi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
2 5 7 8 10 17 18 22 24 24 27 30 30 32 33 33 34 35 35
20 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi kelembagaan di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 21 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi kelembagaan di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 22 Ordinasi RAPFISH untuk status keberlanjutan multidimensi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 23 Diagram segiempat indeks keberlanjutan antar dimensi 24 Kestabilan nilai ordinasi multidimensi pengelolaan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
36 37 38 38 39
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Data ekologi mangrive di kawasan Taman Nasional Sembilang Nilai manfaat kayu bakar Nilai manfaat langsung daun Nypah Nilai manfaat langsung Kayu Tinggi Nilai manfaat hasil perikanan tangkap di Taman Nasional Sembilang Nilai manfaat Kepiting di Taman Nasional Sembilang Nilai manfaat Udang di Taman Nasional Sembilang Nilai manfaat wisata alam di Taman Nasional Sembilang Nilai manfaat langsung bibit Mangrove Nilai manfaat tidak langsung Breakwater Nilai manfaat keberadaan ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang 12 Skoring atribut dimensi ekologi,sosial,ekonomi dan kelembagaan pada pengelolaan Mangrove Taman Nasional Sembilang 13 Rekomendasi program-program pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang 14 Jenis-jenis manfaat langsung ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan
52 53 53 53 53 54 54 54 54 54 55 56 60 61
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Mangrove memberikan manfaat yang banyak bagi kehidupan manusia, menurut Nabi dan Brahmajiraou (2012), mangrove merupakan rumah bagi hewan laut dan darat serta menyediakan makanan untuk biota yang berada disekitar ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove dengan substrat berlumpur menjadi rumah bagi berbagai jenis kerang, kepiting dan ikan (Laoureen et al. 2015). Mangrove dapat tumbuh optimal di substrat tanah berlumpur dan di pengaruhi pasang surut air laut. Mangrove memberikan manfaat secara ekologis sebagai penyedia nutrien, tempat memijah serta mencari makan, melindungi garis pantai dari erosi, menyediakan area pembibitan dan makan bagi banyak spesies ikan dan krustasea, intrusi air laut dan angin kencang, penahan tsunami. Mangrove juga memberikan manfaat ekonomis antara lain sebagai penyedia berbagai hasil hutan kayu ,non kayu dan jasa ekosistem serta menyedikan tempat area pembibitan mangrove (Giri et al. 2010, Kuenzer et al. 2011, Sasidhar et al. 2013, Giri et al. 2014 dan Masood et al. 2015). Menurut Primack et al. (1998) in Kordi (2012), Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia mencapai 25% (sekitar 4.25 juta ha) atau sekitar 3.98 % dari seluruh luas hutan Indonesia, namun luas ekosistem mangrove Indonesia terus mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan pada wilayah pesisir adalah aktivitas pembangunan, seperti pemukiman, konversi lahan mangrove menjadi tambak dan industri. Kondisi tersebut membuat wilayah pesisir menjadi wilayah yang paling rentan terhadap perubahan, baik secara alami maupun fisik sehingga menyebabkan pengurangan luasan mangrove. Menurut Malik et al. (2015), pada tahun 1980-2003 setidaknya 1,1 juta ha mangrove hilang, 75% dari daerah daerah yang dikonversi ke budidaya tambak. Pendapatan ekonomi yang tinggi dari ekspor udang menjadi pendorong utama perluasan tambak. Berdasarkan data terbaru tahun 2009 oleh BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia masih mencapai 3.2 juta ha (Saputra 2009). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, bahwasalah satu wilayah di provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan Mangrove yang berada di Taman Nasional Sembilang (Rencana Pengelolaan Taman Nasional Sembilang 2010). Seiring pertambahan jumlah penduduk di kawasan Taman Nasional Sembilang, maka semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove sehingga semakin besar degradasi atau perubahan-perubahan yang akan terjadi pada ekosistem mangrove pada kawasan konservasi. Kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati ini mempunyai segudang harapan bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup, sehingga hutan mangrove sering sekali manjadi incaran para pemodal dan masyarakat untuk mengelola dan mengubah fungsi hutan mangrove tersebut (Sobari et al. 2006). Menurut Indica et al. (2011), menunjukkan bahwa luasan mangrove di Taman Nasional Sembilang tahun 2003
2
Produksi Ikan Laut (ton)
sebesar 91679 ha dan tahun 2009 berkurang menjadi 83447 ha atau sekitar 9,80 %. Begitu juga dengan hasil produksi perikanan laut terlihat bahwa dari tahun 2003-2009, hasil produksi mengalami fluktuatif, dari tahun 2003-2007 mengalami peningkatan hasil produksi perikanan laut dari 33510 – 41042 ton akan tetapi pada tahun 2008-2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 23603 ton, tahun 2014 terjadi penurunan produksi ikan dengan hasil produksi 21191 ton, hal ini dapat di lihat pada(Gambar 1). 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Produksi Ikan (ton), 21191
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
Gambar 1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin Sumatera Selatan 2015) Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik, penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang. Konflik antar Taman Nasional Sembilanh dan masyarakat setempat mengenai strategi yang menyangkut mata pencharian dan penghidupan serta konflik antara Taman Nasioanal Sembilang dan kegiatan-kegiatan bisnis ilegal dalam skala besar. Masih lemahnya koordinasi antar stakeholder serta masih adanya perspektif dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Sembilang. Masyarakat setempat telah memanfaatkan mangrove dalam kurun waktu yang lama, baik pemanfaatan secara langsung maupun tidak langsung, penilaian nilai ekonomi mangrove sangatlah penting agar masyarakat tahu akan besarnya nilai valuasi yang diberikan oleh mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengelolaan ekosistem mangrove bersifat dinamika tergantung dari perkembangan dari kebijakan-kebijakan yang ada. Adanya perbedaan perspektif daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam terutama ekosistem mangrove, sering menimbulkan konflik kepentingan antara konservasi dan konversi, sehingga diperlukan penilaian keberlanjutan pengelolaan terhadap sumber daya termasuk ekosistem mangrove, baik dilihat dari ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Salah satu alat yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan mangrove ini adalah dengan pendekatan RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability), yang salah satu alat untuk analisis status kelestarian ekosistem mangrove dengan penyesuaian berbasis Multi
3 Dimensional Scalling (MDS) dan bertujuan untuk mempresentasikan teknik ordinasi secara efektif ke dalam ruang dua atau tiga dimensi agar dapat menilai status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar menghasilkan suatu rekomendasi pengelolaan dari setiap dimensi yang paling sensitif atau berpengaruh terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Perumusan Masalah Ekosistem mangrove berperan begitu besar dalam menjaga keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem pantai dan pesisir, akan tetapi pentingnya pengelolaan ekosistem mangrove dalam menunjang ekonomi masyarakat pesisir dewasa ini menjadi sebuah perhatian yang khusus karena keberadaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Taman Nasional Sembilang saat ini mengalami penurunan seiring dengan berkembangnya pembangunan yang mengubah fungsi kawasan dari fungsi lindung menjadi peruntukan lain seperti konvesi lahan mangrove menjadi tambak budidaya dan pemukiman penduduk. Menurut Fauziah et al. 2012, permasalahan sumberdaya lingkungan yang paling dicemaskan di Taman Nasional Sembilang adalah kegiatan perikanan ilegal (penggunaan pukat harimau/trawl) dan konversi lahan tambak. Berdasarkan informasi dari pihak pengelola yaitu Balai Taman Nasional Sembilang menunjukkan bahwa isu dan permasalahan yang mengancam upaya konservasi di Taman Nasional Sembilang sangatlah kompleks. Konversi lahan (untuk tambak, kebun dan ladang), pemanfaatan hutan ilegal, kegiatan perikanan yang tidak lestari (penggunaan jaring pukat harimau, polusi kebakaran hutan serta konflik sosial. Masalah kelembagaan yang kurang koordinasi, tapal batas taman nasional yang belum jelas, dapat berpengaruh negatif pada pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan konservasi Taman Nasional Sembilang. Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik. Berdasarkan kondisi yang ada di kawasan Taman Nasional Sembilang tersebut, kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi upaya pengelolaan mangrove, mulai dari perencanaan dibentuknya Taman Nasional Sembilang sebagai kawasan konservasi sampai langkah-langkah yang diambil. Untuk mengakomodasikan dan mengontrol kebutuhan masyarakat yang tinggal dan hidup di luar maupun di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang. Ada beberapa faktor penting yang memegang peranan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang. Faktor faktor tersebut seperti ekologi, sosial ekonomi serta kelembagaannya. Salah satunya meningkatkan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove, masyarakat tidak hanya memanfaatkan saja akan tetapi dapat meremajakan mangrove itu sendiri dengan memahami apa fungsi dari ekosistem mangrove, serta mengerti ekosistem servis dari ekosistem mangrove itu sendiri yang memberikan nilai manfaat bagi masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang. Nilai ekonomi total dari mangrove sangatlah penting untuk melihat seberapa besar manfaat keberadaan ekosistem mangrove dan sebagai dasar bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Keberlanjutan ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa indikator dari dimensi ekologi, dimensi sosial ekonomi dan dimensi hukum/kelembagaan.
4 Oleh karena itu, penting untuk mengetahui status keberlanjutan ekosistem mangrove dengan analisis RAPFISH. Keterkaitan antara sub sistem ekologi, subsistem sosial ekonomi dan kelembagaan perlu dilihat untuk mengetahui arahan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara optimum, dinamis dan berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, sehingga ekosistem mangrove dapat memberi manfaat baik dari sisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Strategi yang efektif dalam mengelola ekosistem mangrove sangat diperlukan, karena ekosistem mangrove merupakan sebuah sistem yang tidak bisa berdiri sendiri dan merupakan sistem yang saling terkait satu sama lain. Dalam hal ini pengelolaan harus mempunyai pendekatan pengelolaan yang efektif agar ekosistem mangrove tetap lestari. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah : 1. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman
Nasional Sembilang 2. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove Taman
Nasional Sembilang di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar dapat efektif dan berkelanjutan. Manfaat Penelitian Sebagai bahan masukan bagi para pihak (stakeholder) untuk mengelola ekosistem mangroveTamanNasionalSembilang secara terpadu dan berkelanjutan.
5
Pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang
Fungsi ekologi
Fungsi sosial
Fungsi Ekonomi
Fungsi Kelembagaan
Permasalahan : Perubahan luasan mangrove Konversi mangrove untuk pertambakan Konflik pemanfaatan
Kondisi terkini vegetasi mangrove
Analisis vegetasi mangrove
Laju degradasi mangrove
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove
Keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove
Analisis GIS
Analisis nilai manfaat mangrove
Analisis keberlanjutan (RAPFISH)
Rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan Gambar 2 Kerangka penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Konservasi Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di dua wilayah yaitu Sektor Pengelolaan Taman Nasional 1 (STPN 1) Sungsang dan Sektor Pengelolaan Taman Nasional 2 (SPTN 2) Sembilang, Sektor Pengelolaan Taman Nasional 3 (SPTN 3) Tanah Pilih tidak menjadi wilayah penelitian dikarenakan kondisi jarak tempuh yang terlalu jauh dan rata-rata penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Lokasi sampling di tiga desa lokasi yaitu Desa Sungai Bungin, Desa Sungai Barong dan Desa Sembilang (Gambar 3). Pemilihan lokasi sampling ini didasarkan pada tiga desa tersebut merupakan masyarakat yang tinggal disekitaran mangrove dan penduduknya
6 bermatapencaharian yang memanfaatkan hutan mangrove. Penelitian ini dilaksanakan pada kurun waktu dua bulan, pada bulan Maret-April 2015. Taman Nasional Sembilang terletak di pesisir timur provinsi Sumatera Selatan, yang secara geografis berada pada 104014’-104054’ Bujur Timur dan 1053’- 2027’ Lintang Selatan. Kawasan ini secara administratif pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.Sungai bungin terdapat 25 KK (Kepala Keluarga) untuk sepanjang tahun, Sungai Barong terdapat 150 KK (Kepala Keluarga) untuk musiman, jadi penduduk yang tinggal di Sungai Barong bersifat musiman atau tidak menetap, sedangkan di Sungai Sembilang terdapat 281 KK (Kepala Keluarga) (Balai TN Sembilang, 2012). Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis, perlengkapan untuk kegiatan wawancara, kamera, recorder, komputer, Global Positioning System (GPS), kompas, meteran dan tali sheet. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peta dasar peta topografi pesisir Timur Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera, peta sebaran mangrove, data citra Landsat, kuisioner, buku identifikasi mangrove. Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan bersifat eksploratif dengan tujuan untuk menggali fakta yang ada. Arah penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi fungsi dan manfaat, nilai manfaat, serta strategi pengelolaan ekosistem mangrove untuk keberlanjutan sumberdaya pada ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang. Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah metode observasi dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan kunci,pengumpulan data sekunder, pengambilan contoh tumbuhan bakau yang kemudian diidentifikasi dengan dukungan buku-buku identifikasi. Data primer untuk responden data sosial ekonomi menggunakan teknik penarikan contoh sengaja (purpossive sampling method). Responden yang di wawancarai terdiri dari Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Desa, Aparatur Pemerintah Desa, dan masyarakat di kawasan ekosistem mangrove
Gambar 3 Peta lokasi penelitian 7
7
8 Responden masyarakat yang di wawancarai adalah responden yang menetap di daerah tersebut, yang telah mengetahui keadaan dan kondisi dari ekosistem mangrove di daerah tersebut. Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan metode transek garis dan petak contoh (line plots transect) (Bengen 2004) dan identifikasi mengacu pada Noor et al. (1999). Untuk setiap stasiun hanya diambil satu transek garis dari arah laut ke darat atau sebaliknya dengan tiga petak contoh. Petak contoh ukuran 20 x 20 m2 untuk kategori pohon (diameter >10 cm) yang ditentukan berdasarkan purposif sampling sedangkan petak contoh ukuran 5 x 5 m2 untuk kategori anakan (diameter 2 – 10 cm). Data vegetasi mangrove pada tiap petak contoh pengamatan yang dicatat terdiri dari pohon, anakan dan jumlah individu tiap jenis. Metode transek garis dan petak contoh dari arah laut ke darat sebanyak 3 petak contoh dalam satu stasiun seperti skema pada Gambar 4.
L
D
aut
arat Keteranga
n:
Petak sampling Substrat (1 x 1 m) Petak sampling anakan mangrove (5 x 5 m) Petak sampling pohon mangrove (20 x 20 m)
Gambar 4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai tulisan lainnya melalui studi pustaka yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan, berupa laporan-laporan kajian yang berhubungan dengan kajian penelitian saat ini yang telah dilakukan oleh berbagai instansi terkait. Data penunjang dan informasi yang diperoleh, data penunjang dapat dilihat pada Tabel 1. Pengambilan Responden Responden atau sampel dilihat dari jumlah populasi dan ditetapkan menggunakan Nomogram Harry King dapat dilihat pada Gambar 5. Peneliti menggunakan Nomogram Harry King dengan pertimbangan hal-hal berikut: a) Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana. b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut/ banyak sedikitnya data. c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Teknik Pengolahan Data Kuisioner Teknik kuisioner untuk mengetahui ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan menggunakan metode skala likert berbasis ordinal (Adrianto
9 2013).Jenis skala yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian (fenomena sosial spesifik), seperti sikap, pendapat, dan persepsi responden yang diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner. Menurut Nazir (2005) pengolahan data bertujuan untuk menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dipahami. Data primer yang diperoleh selanjutnyadilakukanpengolahan data untuk mendapatkan gambaran dari informasi yang dibutuhkan, antara lain melalui proses : 1. Memeriksa Data (Editing) Melakukan pengecekan pada pengisian kuisioner apakah: a) Semua pertanyaan telah terjawab, b) Tulisan jawaban dapat dibaca, c) Jawaban relevan dengan pertanyaan, d) Satuan yang digunakan seragam, e) Jawaban antar pertanyaan konsisten. 2. Pemberian Kode (Coding) Merupakan jawaban yang berupa karakter ke dalam bentuk angka atau pengolahan data ke dalam bentuk angka untuk memudahkan pengolahan. 3. Pemasukan Data (Entry Data) Seluruh data dimasukkan ke dalam komputer agar dapat mudah diolah. 4. Tabulasi Pembuatan tabel-tabel untuk mempermudah pengolahan data. 5. Analisis Pembuatan analisis untuk dasar penarikan kesimpulan. Tabel 1 Sumber data sekunder Sumber Data Balai Taman Nasional Sembilang
Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Bayuasin II
Jenis Data Profil keadaan umum Jumlah Penduduk Peta kawasan Taman Nasional Sembilang Data penduduk berdasarkan pendidikan Data penduduk berdasarkan pekerjaan Daftar nama Desa di Kawasan Taman Nasional Sembilang Luas wilayah Desa di Kawasan Taman Nasional Sembilang Rencana Program Pengelolaan Taman Nasional Sembilang Data Perikanan Tangkap Tahun 20022013 Data Budidaya Perikanan Tahun 20022013 RTP 2002-2013
10
Gambar 5 Nomogram Harry King (Sugiyono 2012) Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 456 populasi. Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10 %, maka jumlah sampel atau responden yang diambil sebanyak 456 x 0,17 = 78 responden. Berdasarkan hasil survey pada bulan Juni terdapat : jumlah responden di Sungai Bungin sebanyak 25 KK x 0,17 = 5 responden, Sungai Barong150 KK x 0,17 = 26 responden, dan Sungai Sembilang 281 KK x 0,17 = 47 responden. Analisis Data Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif adalah menggambarkan tentang keadaan pesisir sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan Taman Nasional Sembilang, menggambarkan pengelolaan nyata ekosistem mangrove. Analisis Kuantitatif adalah mengetahui stuktur dan komposisi dari ekosistem mangrove, nilai manfaat dari ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembiang, nilai keberlanjutan ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan serta rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang.
11 Analisis vegetasi mangrove Komposisi jenis dan struktur vegetasi dilakukan dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Sofiyan (2012) yaitu: a. Kerapatan Suatu Jenis (K), dihitung dengan rumus: b.
Kerapatan Relatif (KR), dihitung dengan rumus:
c.
Frekuensi (F),
d.
Frekuensi Relatif, dihitung dengan rumus:
e.
Dominansi, dihitung dengan rumus:
f.
Dominasi Relatif (DR), dihitung dengan rumus:
g.
Indeks Nilai Penting : INP = KR + FR + DR
Analisis data citra satelit Analisis citra satelit dilakukan melalui proses-proses pemotongan, koreksi radiometric, koreksi geometric, pemulihan citra, penajaman citra, klassifikasi citra, pengeditan dan pengkelasan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak system informasi geografis (SIG). SIG digunakan untuk merubah seluruh data peta dan data citra satelit menjadi polygon, line, dan point (data raster ke vector ) dan untuk mengklasifikasi data. Selanjutnya hasil anaisis spasial kemudian dilakukan tumpang susun untuk melhat perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Analisis citra menggunakan software ER Mapper 7.0 dan Arc Gis 10.1 (Santos et al. 2014, Li et al. 2013, Nguyen et al. 2013) Analis nilai manfaat mangrove Adrianto (2006) dalam Nugroho TS (2009) menyatakan bahwa nilai ekonomi total manfaat ekosistem mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang adalah : 1. Manfaat Langsung Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat diperoleh secara langsung dari ekosistem hutan mangrove yang terdiri dari manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat tersebut dapat di jabarkan : a. Manfaat Langsung Hasil Hutan (MLH) MLH = ∑ i i merupakan manfaat langsung hasil hutan ke i. Manfaat langsung hasil hutan terdiri dari: Kayu bakar, Pembuat atap nypahdan kayu tingi (Ceriops tagal) untuk tiang rumah.
12 b. Manfaat Langsung Hasil Perikanan (MLP) MLP = ∑
i
i merupakan manfaat langsung hasil perikanan ke i. Manfaat langsung hasil perikanan terdiri dari: Ikan, Kepiting bakau, Rajungan, Udang ebi, Tambak tradisional dan Tambak silvofishery. c. Manfaat langsung keseluruhan pemanfaatn hutan mangrove dapat di tuliskan sebagai berikut : ML = MLH + MLP + MJL ML merupakan manfaat Langsung, MLH disebut sebagai manfaat langsung hasil hutan sedangkan MLP singkatan dari manfaat langsung hasil perikanan dan MJL merupakan manfaat jasa lingkungan. 2. Manfaat Tidak Langsung (MTL) Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diperoleh secara tidak langsung. Meliputi : Penahan abrasi pantai. Manfaat tersebut dapat dituliskan MTLa yaitu manfaat tidak langsung penahan abrasi pantai 3. Manfaat Pilihan Manfaat pilihan adalah Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (bideversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu US $ 1500 /Km/Tahun Ruitenbek (1994) dalam Nugroho TS (2009). Manfaat pilihan dapat dituliskan sebagai berikut : MP = MPbi (dimasukan dalam nilai rupiah) MP merupakan manfaat pilihan (Rp/ha/tahun) dan MPbi merupakan manfaat pilihan biodiversity (Rp/ha/tahun). 4. Manfaat Eksistensi (ME) Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan hutan mangrove dari manfaat lainnya/ Manfaat eksistensi dapat dituliskan sebagai berikut :
ME = ∑ ME merupakan manfaat eksistensi sedangkan MEi merupakan manfaat eksistensi dari responden ke-i dan n ialah jumlah responden. 5. Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total adalah jumlah total dari nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat eksistensi. Nilai ekonomi total manfaat mangrove adalah :
13
NET = ML + MLT + MP + ME NET merupakan nilai ekonomi total dari penjumlahan ML (Manfaat langsung), MTL(Manfaat tidak langsung), MP (Manfaat pilihan) dan ME (Manfaat eksistensi). Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang dilakukan dengan memodifikasi pendekatan RAPFISH (Rapid Asessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, Univercity Of British Colombia (Kavanagh 2001 ; Pitcher dan Preikshot 2001; Alder et al. 2002; Cisse et al. 2014). Dalam penelitian ini metode RAPFISH untuk ekosistem mangrove dilakukan dengan menilai atribut/indikator yang terdapat pada masing-masing dimensi pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang yang meliputi dimensi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Secara ringkas prose algoritma metode RAPFISH melalui beberapa tahapan berikut: 1. Penentuan indikator pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang secara berkelanjutan untung masing-masing dimensi (ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan). Empat dimensi dan 23 atribut ini akan menggambarkan status keberlanjutan dari ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan.. 2. Penentuan nilai setiap indikator (skoring) dalam skala ordinal, berdasarkan kriteria berkelanjutan untuk setiap faktor dan Scientific Judgement dari pembuat skor. Penentuan kriteria nilai ini mencerminkan realitas kondisi lokasi penelitian, yang secara rinci diuraikan pada Lampiran 12. 3. Analisis Nilai Stess dapat mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi dengan nilai jarak multidimensi. Nilai stress yang dilambangkan dengan S dan koefisien determinasi (R2) digunakan dalam mengukur goodness of fit. Hasil analisis yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang rendah S < 0,25 dan nilai R2 yang tinggi (Fauzi dan Anna 2002). Untuk menentukan jarak antar masing – masing dimensi dalam kajian, dalam aplikasi MDS digunakan kuadrat jarak Euclidean. Kuadrat jarak Euclidien untuk kasus dua dimensi dapat digambarkan sebagai berikut : Teknik ordonansi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut (Gramendia et al. 2010) 4. Penentuan status keberlanjutan, berdasarkan pada indeks keberlanjutan perikanan. Indeks keberlanjutan pengelolaan mempunyai selang antara 0-100. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiapaspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75 maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75 maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 (Santoso 2012).
14 Tabel 2 Indeks keberlanjutan Nilai Indeks
Kategori
0-25
Tidak berkelanjutan
26-50
Kurang berkelanjutan
51-75
Cukup berkelanjutan
76-100
Berkelanjutan
Sumber: Susilo (2003) 5. Melakukan analisis Leverage dan analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian (Fauzi dan Anna 2005). Nilai indeks keberlanjutan dapat ditingkatkan di masa mendatang, dengan melakukan analisis Leverage untuk menentukan nilai faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan tiap dimensi. Nilai faktor berada pada rentang 2-8 (Pitcher 1999). Apabila terdapat indikator dengan nilai faktor < 2 merupakan faktor tak berpengaruh, sedangkan nilai > 8 merupakan faktor dominan. yang
Keselurahan parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output dihasilkan dari tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tujuan Menganalisis kondisi terkini dari vegetasi mangrove di Taman Nasional Sembilang
Mengestimasi besar nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang
Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang
Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove Taman Nasional Sembilang di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar dapat efektif dan berkelanjutan
No 1
2
3
4.
Alternatif kebijakan
Status ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan. Data Primer
Untuk ekologi observasi, sosial ekonomi dan kelembagaan quisioner Wawancara
Data Primer
Analisis multidimensional scaling (MDS) menggunakan RAPFISH Analisis Deskriptif
Analisis nilai total mangrove (valuasi ekonomi)
Wawancara dan Quisioner menggunakan Teknik purposive sample (Morissa,2012)
Data Primer
Analisis Analisis vegetasi (Kordi 2012) Sistem Informasi Geografis, Penginderaan jauh (Santos et al. 2014; Li et al. 2013
Sumber Data Observasi
Data Sekunder berupa citra ETM 7 dan 8
Jenis Sumber Data Data Primer
Tabel 3 Parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output
Jenis Data Vegetasi Mangrove Kerapatan Frekuensi Dominasi Indek nilai penting LajuKerusakan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 Manfaat langsung Manfaat tidak langsung Manfaat pilihan Manfaat total
Informasi tingkat keberlanjutan apakah sudah optimal apa tidak dan rekomnendasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove Taman Nasional Sembilang Rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang
Informasi nilai total manfaat mangrove yang ada pada kawasan Taman Nasional Sembilang dari kegiatan masyarakat yang memnanfaatkan mangrove.
Tingkat dan trend laju kerusakan mangrove tahun 2002 dan 2013
Output Kondisie ksistin Vegetasi ekosistem mangrove
15
15
16
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Taman Nasional Sembilang Lokasi Taman Nasional Sembilang terletak sekitar 10 53’ Lintang Selatan dimana hal ini akan menentukan suhu konstan (26-280C) yang relatif tinggi terhadap kawasan. Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat ini. Secara geografis, wilayah Taman Nasional Sembilang berada pada koordinat 1040 11’- 1040 94’ Bujur Timur dan 10 53’-2027’ Lintang Selatan. Secara administratif berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31 ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret 2003) yang sebagian besar mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembiang sebagai berikut : - Sebelah Utara : Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu - Sebelah Timur : Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Pelabuhan Tanjung Api-api. - Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai Lalan, Desa Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa Sungsang IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma. - Sebelah Barat : PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Hijau Permai, kawasan transmigrasi Karang Agung Iklim dan Hidrologi Kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki iklim tropis dengan ratarata curah hujan tahunan 2.455 mm. Musim kemarau biasanya terjadi dari bulan Mei hingga Oktober, musim hujan dengan angin barat laut yang keras dan membawa butiran hujan dari November hingga April. Sebagian besar kawasan Taman Nasional Sembilang terdiri dari habitat estuarin. Sejumlah sungai yang relatif lebih pendek menyalurkan air dari rawa air tawar tadah hujan dan hutan rawa gambut yang terletak jauh ke daratan dalam sebuah pola menyirip ke wilayah pesisir taman nasional. Sungai terbesar adalah adalah Sungai Sembilang yang diperkirakan berukuran panjang 70 Km. Sungai lainnya memberikan kontribusi pada formasi habitat estuarin. Di kawasan Taman Nasional Sembilang terdapat ± 70 sungai yang semuanya bermuara ke Laut Cina Selatan dan Selat Bangka.
17
Gambar 6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 17
18 Tipe Habitat Secara umum kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki habitathabitat yang dipengaruhi oleh sistem muara sungai. Vegetasi hutan mangrove tumbuh baik di kawasan ini, yang ke arah daratan terdapat rawa belakang (backswamps) berupa hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut. Ke arah laut di banyak tempat, terutama di Semenanjung Banyuasin terdapat dataran lumpur yang luas. Skema gradien habitat di Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada Gambar 7. Hutan mangrove yang termasuk dalam Taman Nasional Sembilang merupakan hamper seluruh hutan mangrove yang ada di pesisir timur Kabupaten Banyuasin. Hutan mangrove di sepanjang Sungai Sembilang, Terusan Dalam, dan hampir semua sungai yang bermuara di Terusan Sekanak/Teluk Benawang mempunyai tipe vegetasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata. Semakin arah daratan atau ke arah hulu Rhizophora mucronata akan berasosiasi dengan Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal.
Gambar 7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang Vegetasi Nipah (Nypa fruticans) dapat dijumpai di hulu-hulu sungai. Pada pantai berlumpur vegetasi mangrove didominasi oleh genus Avicennia (Api-api). Jenis ini menyebar dari belakang pantai berlumpur sampai ke daerah yang digenangi oleh air laut pada saat pasang, dan berasosiasi dengan spesies lain seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata atau Bruguiera gymnorrhiza. Pada tingkat tumbuhan bawah daerah yang digenangi air pasang dibelakang pantai berlumpur, umumnya merupakan spesies Acanthus illicifolius. Tipe habitat dan vegetasi ini dijumpai di Semenanjung Banyuasin. Rawa belakang umum terdapat di belakang habitat hutan mangrove atau daerah hulu sungai dengan jenis yang dominan adalah spesies Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Pada tempat yang relatif kering, ditemukan juga jenis Cerbera manghas dan Exoecaria agalocha. Rawa-rawa air tawar, ditemukan spesies indikator untuk habitat tersebut yaitu Oncosperma tigillarium (Nibung) dan Alstonia sp. (Pulai). Pada tingkat tumbuhan bawah spesies yang dominan adalah Nephrolepis sp. dan Pluchea indica, suatu spesies yang termasuk mangrove ikutan yang cenderung berada di lokasi yang tawar. Rawa air tawar ini terdapat di hulu Sungai Deringgo Besar dan
19 yang lebih luas berada di Sungai Benu, yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Berbak. Rawa air tawar dan rawa bergambut di kawasan Taman Nasional Sembilang ini sebagian besar terletak di luar kawasan Taman Nasional Sembilang. Selain berupa hutan, kawasan Taman Nasional Sembilang juga mempunyai habitat yang bervegetasi semak / belukar, dengan vegetasi dominan Acrostichum sp. Tipe habitat ini terdapat di hulu anak Sungai Sembilang (Simpang Satu) dan Pulau Alanggantang sebelah utara. Melimpahnya Acrostichum erat kaitannya dengan anthropogenic disturbance (gangguan akibat kegiatan manusia). Termasuk diantaranya kegiatan pembukaan lahan (termasuk kebakaran hutan) yang akan memberikan peluang kepada jenis Acrostichum sp. untuk berkembang secara ekstensif. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pemukiman di dalam kawasan Sembilang meliputi Terusan Dalam, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan (Merawan), Dusun Sembilang, Sungai Bungin, dan bagan bagan ikan di perairan pantai. Pemukiman juga terdapat di sekitar kawasan, seperti di Tanah Pilih, Sungsang, dan Karang Agung. Karang Agung merupakan daerah transmigrasi yang berada di selatan kawasan. Beberapa pemukiman para petambak udang terdapat di Semenanjung Banyuasin (Solok Buntu dan sekitarnya). Pemukiman Desa Tanah Pilih mayoritas masyarakatnya berasal dari suku Bugis yang tiba di pesisir Sembilang sebelah utara (dekat Sungai Benu) sekitar 30 tahun yang lalu, dan mulai membuka mangrove dan hutan rawa untuk pertanian (padi dan kelapa) sebelum beralih ke kegiatan mencari ikan di sungai di Terusan Dalam. Namun demikian, Dusun Sembilang tampaknya telah ada jauh sebelum masyarakat Bugis datang. Di Desa Sembilang dan juga Sungsang penduduknya juga terdiri dari suku Melayu. Tidak ada data mengenai kapan Dusun Sembilang mulai ada, namun Desa Sungsang diperkirakan telah ada sekitar 500 tahun yang lalu (RPTN 2010 ). Kawasan pemukiman di dalam Taman Nasional Sembilang yang cukup besar terletak di muara Sungai Sembilang yaitu Dusun Sembilang yang merupakan bagian kawasan Desa Sungsang IV. Kegiatan perikanan di kawasan perairan Sembilang sebagian besar terpusat di sini, selain di Sungsang, ibu kota kecamatan Banyuasin II yang terletak di muara Sungai Musi (di luar kawasan TN). Beberapa pemukiman juga tersebar di muara-muara sungai di kawasan Taman Nasional Sembilang ini. Di bagian utara kawasan Taman Nasional Sembilang, pemukiman yang cukup lama terletak di Terusan Dalam. Di samping itu, sejumlah keluarga juga tinggal di atas baganbagan di laut yang dangkal. Masyarakat pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Ketersediaan air bersih/tawar merupakan masalah utama masyarakat yang tinggal di kawasan Sembilang. Mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar. Perikanan tangkap merupakan kegiatan sehari-hari bagi masyarakat di Sembilang. Mereka umumnya menangkap ikan di perairan laut Sembilang dan juga di sungaisungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional. Ikan (seperti kelompok Ariidae, Carangidae, Leioghnathidae, Lutjanidae, Polynemidae, Sciaenidae, Serranidae) dan udang biasanya ditangkap antara bulan Mei hingga November, saat laut tenang.
20 Izin penangkapan setiap tahun dilelang (disebut sebagai lelang lebaklebung) yang dulunya berasal dari tingkat marga. Sistem lelang ini juga untuk hak-hak distribusi akses ke sumber daya lain, seperti Nibung (Oncosperma tigillarium, untuk tiang dan rakit), Nipah (Nypa fruticans, daunnya untuk atap), rotan (Korthalsia spp.,Calamus spp.) dan Jelutung (Dyera costulata, getahnya untuk permen karet). Setidaknya hingga tahun 1980an, pemanfaatan hasil hutan ini (dengan perkecualian untuk Jelutung dan Nipah) terlihat cukup berjalan baik. Disamping mencari ikan, masyarakat setempat juga memelihara kebun dan pertanian skala kecil, yang dikerjakan pada musim hujan. Di bagian selatan kawasan Taman Nasional, tepatnya di Semenanjung Banyuasin, terdapat kegiatan budidaya tambak yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat pendatang yang berasal dari Provinsi Lampung; beberapa masyarakat yang berasal dari Sungsang juga telah memulai usaha ini dalam kelompok-kelompok yang lebih (Balai Taman Nasional Sembilang 2012). Sejarah Kawasan Pada tanggal 28 Februari 1994 melalui Perda Dati I Sumatera Selatan Nomor 5 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Gubernur Provinsi Sumatera Selatan menunjuk seluruh kelompok hutan (Suaka Margasatwa Terusan Dalam 25.750 ha, Hutan Produksi Terbatas Terusan Dalam 49.000 ha, Hutan Lindung Sembilang 113.173 ha dan perairan 17.827 ha) menjadi Hutan Suaka Alam (HSA) seluas 205.750 ha. Pada Tahun 1996 Ditjen Bangda Depdagri bekerjasama dengan Ditjen PHPA Dephut melakukan pengkajian potensi kawasan HSA Sembilang dan sekitarnya, dan hasil pengkajian menyimpulkan bahwa kawasan tersebut memenuhi syarat/kriteria menjadi Kawasan Pelestarian Alam dalam bentuk kawasan Taman Nasional. Menindaklanjuti hasil kajian yang dilaksanakan oleh Ditjen Bangda Depdagri dan Ditjen PHPA Dephut, tahun 1998 melalui surat Nomor 552/5459/BAP-IV/1998 Gubernur Sumatera Selatan menyetujui usulan perubahan status HSA Sembilang menjadi calon taman nasional. Atas usulan tersebut tahun 2001 melalui SK Menhut Nomor 76/Kpts-II/2001 tentang penunjukan kawasan 28 hutan dan perairan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan mencantumkan kawasan TN Sembilang. Pada tahun 2003 melalui SK Menhut Nomor 95/Kpts-II/03 Tanggal 19 Maret 2003 ditetapkanlah Kawasan Taman Nasional Sembilang seluas 202.896,31 ha. Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan Visi Menjadi unit pengelola unggulan dalam konservasi biodiversitas lahan basah. Misi 1. Memantapkan legitimasi kawasan secara legal dan aktual. 2. Memperkuat kapasitas kelembagaan konservasi biodiversitas lahan basah. 3. Mengoptimalkan segenap potensi kawasan dan keanekaragaman hayati di dalamnya
21
Tujuan pengelolaan Mengukuhkan Balai Taman Nasional sebagai model pengelolaan taman nasional lahan basah, yang mampu menyelenggarakan tiga pilar konservasi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1990, sedemikian rupa sehingga berpengaruh nyata terhadap fungsi sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial, ekonomi dan budaya pada tingkat komunitas dan wilayah. Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional Taman Nasional telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896,31 ha. Panjang keseluruhan batas sesuai hasil tata batas Taman Nasional Sembilang adalah 472,10 Km dengan rincian batas luar 357,10 Km dan batas fungsi 115,00 km, dengan jumlah pal batas keseluruhannya 1.936 buah pal batas. Batas-batas tersebut masih parsial yakni menggunakan pal batas yang telah ada seperti HP, HL, dan SM. Telah dilakukan kegiatan orientasi batas sebagai tahap awal kegiatan rekonstruksi tata batas. Berdasarkan kajian koordinat tata batas dan peta digital yang ada dengan menggunakan sarana GIS, nampak bahwa hasil pemetaan kawasan belum mantap. Penataan Kawasan telah sampai pada tahap penyusunan zonasi meliputi Zona Inti; Zona Rimba; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara lain: Zona Tradisional; Zona Rehabilitasi; dan Zona Khusus. Adapun tahapan yang telah dilaksanakan sampai pada rekomendasi Bappeda Pemerintah Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan setelah dilakukan penyempurnaan hasil konsultasi publik. Dokumen sebagaimana dimaksud dikirim oleh Kepala Balai kepada Direktur Teknis untuk mendapatkan pencermatan dan diajukan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk mendapatkan pengesahan.Penataan kawasan terhadap penyusunan zonasi Taman Nasional Sembilang, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8. Pengelolaan kawasan TN Sembilang merupakan satu kesatuan pengelolaan dari tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Secara umum tata guna lahan di sekitar kawasan TN Sembilang meliputi : (1) Kawasan hutan produksi, baik yang telah dibebani hak maupun yang belum dibebani hak, (2) Areal Penggunaan ain(APL) berupa kawasan perkebunan, lahan transmigrasi dan lahan-lahan yang belum dibebani hak, (3) kawasan pelestarian alam (TN Berbak di Provinsi Jambi), dan (4) Kelompok Hutan Lindung Rimau dan Air Telang, serta (5) Pelabuhan domestik maupun internasional Tanjung Api-Api.
Gambar 8 Penataan zonasi kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010)
22
22
23
Optimalisasi pemanfaatan areal penggunaan lahan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sampai tahun 2013 sudah tercatat empat perusahaan perkebunan yang beroperasi yaitu PT. Raja Palma, PT.Citra Indo Niaga, PT. Sumber Hijau Permai dan APL Kab. Banyuasin, tidak menutup kemungkinan penerbitan izin prinsip tersebut akan terus bertambah. Kawasan transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir) dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini berdekatan langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada tahun 1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan taman nasional. Kawasan di antara ke dua taman nasional ini terdapat sebuah desa definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN Sembilang). Kondisinya telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang tersisa yang berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut. Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan dikeluarkan dari taman nasional. Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas bumi Merang (Joint Operating BodyPertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal untuk pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekosistem Hutan Mangrove Kondisi ekologi ekosistem hutan Mangrove Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang Luas ekosistem mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang sekitar 78597,55 ha. Ekosistem mangrove yang ada di lokasi penelitian terdapat 8 jenis tumbuhan mangrove antara lain: Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia officinalis, Brugueira gymnorrhiza, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Kerapatan jenis mangrove secara total untuk kategori pohon adalah 100 ind/ha (Lampiran 1). Jenis Excoecaria agallocha mendominasi areal hutan mangrove dengan tingkat kerapatan tertinggi 47,56 ind/ha untuk kategori pohon. Jenis Xylocarpus granatum dan Rhizophora mucronata mempunyai nilai kerapatan terendah yaitu 3,66 ind/ha. Kerapatan jenis mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada Gambar 9.
24
Xylocarpus granatum
0,61
Rhizophora mucronata
3,66
Rhizophora apiculata
28,66
Excoecaria agallocha
47,56
Brugueria gymnorrhiza
8,54
Avicennia offcinalis
4,27
Avicenia Alba
6,71 Kerapatan (ind/ha)
Gambar 9 Kerapatan jenis mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Peranan satu jenis mangrove terhadap jenis lainnya dapa dilihat dari indeks nilai penting (INP). Jika suatu jenis menunjukkan INP tinggi maka peranan jenis tersebut sangat besar terhadap jenis mangrove lainnyadalam ekosistem tersebut. Berdasarkan hasil analisis Excoecaria agallocha menunjukkan INP cukup tinggi sekitar 124 % untuk kategori pohon (Gambar 10). Hal ini mengindikasi bahwa Excoecaria agallocha mempunyai peranan cukup besar terhadap ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang.
Xylocarpus granatum
5
Rhizophora mucronata
9
Rhizophora apiculata
92
Excoecaria agallocha
124
Brugueria gymnorrhiza
27
Avicennia offcinalis
24
Avicenia Alba
19 0
50
100
150
Indek Nilai Penting (%) Gambar 10 Indek nilai penting ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Kondisi Satwa Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang Satwa mangrove yang ditemui umumnya meliputi: aves, mamalia, reptilian, ikan dan crustacea. Sebanyak 53 spesies mammalia terdapat di Taman Nasional Sembilang (TNS 2009) diantaranya spesies Berang-Berang yang ada di kawasan Indo-Malaya (Lutra lutra), spesies kucing besar diantaranya kucing bakau (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), harimau sumatera
25 (Panthera tigris sumatrae), juga musang air (Cyanogale bennettii), babi (Sus srofta). Setidaknya terdapat lima primata termasuk ungko (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan lutung kelabu (Presbytis cristata). Data di Balai Taman Nasional Sembilang (2009) mencatat paling sedikit 213 spesies burung berada di kawasan ini, termasuk banyak dari spesies residen yang berstatus genting. Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident) yang terancam seperti pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir dari undan (Pelecanus philippensis) di region Indo-Malaya, bangau storm (Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor bangau bluwok (Mycteria cinerea), lebih dari 300 ekor bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cangak sumatera (Ardea sumatrana), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong helm (Rhinoplax virgil), rangkong hitam (Antrhacoceros malayanus), serta lebih dari 25 spesies burung air migran, termasuk 10.000-13.000 trinil-lumpur asia (Limnodromus semipalmatus), 28 ekor trinil nordmann (Tringa guttifer), lebih dari 2.600 gajah timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies dara laut (Sternidae). Data lainnya di Balai Taman Nasional Sembilang mencatat jumlah total burung air pantai yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1 juta ekor dengan sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta Banyuasin. Dataran lumpur Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan bagi ratusan bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ibis-cucuk besi (Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari 2.000 spesies kuntul (Ardea alba) (Silvius 1986 in TNS 2009). Kajian Tim Burung Migran Balai Taman Nasional Sembilang Tahun 2008 mencatat 18 spesies burung migran mengunjungi dataran lumpur Banyuasin dengan perkiraan jumlah 27.410 ekor. Sungai-sungai dan muara dalam kawasan Taman Nasional Sembilang, buaya muara (Crocodylus porosus) dan spesies buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii) pernah tercatat ditemukan di rawa-rawa air tawar di belakang hutan mangrove. Di samping buaya, kawasan ini juga merupakan habitat bagi berbagai spesies ular seperti ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular sawah (Phyton sp.) dan species kura-kura air tawar. Kawasan perairan Taman Nasional Sembilang kaya akan keanekaragaman spesies ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan laut. Sedikitnya terdapat 142 spesies ikan dari 43 familia, 38 spesies kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia (Taman Nasional Sembilang 2009). Beberapa spesies ikan, udang dan kepiting yang bernilai ekonomi antara lain sembilang (Plotosus canius), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus tauvina), toman (Channa micropeltes), betutu (Ophiocara porocephala), bawal putih (Pampus argenteus), tenggiri (Scomberomus sexfasciatus), belanak (Mugil voigiensis), udang galah (Macrobrachium rosenbergii), udang lobster (Panulirus sp.), udang petak (Oratosquilla sp.), udang tiger (Penaeus semisulcatus), kepiting bakau (Scylla serrata), kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan sebagainya.
26 Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Perubahan lahan dapat dideteksi dengan melakukan pendekatan spasial dengan menggunakan metoda perbandingan citra hasil klasifikasi antara dua citra yang direkam dalam waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM + liputan tanggal 20 Maret 2002 dan citra Landsat 8 liputan tanggal 19 Oktober 2013 diperoleh luasan dari penutupan lahan mangrove serta perubahannya pada rentang waktu 10 tahun di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Analisis perubahan penutupan lahan yang didasarkan perbandingan citra pada tahun sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi yaitu data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 dan citra landsat 8 tahun 2013 setelah ditetapkan sebagai kawasan konservasi menunjukkan perbedaan penutupan lahan pada tahun 2002 sebesar 93808,73 ha dan menurun pada tahun 2013 menjadi 78597,55 ha atau sekitar 11521,18 ha (16 %). Perubahan penutupan lahan mangrove juga terjadi pada zona-zona mangrove seperti perubahan tutupan mangrove pada zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi, untuk lebih jelasnya perubahan penutupan lahan mangrove dapa dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Perubahan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 27
27
28 Kondisi ekonomi ekosistem Mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Nilai ekonomi total yang dihitung adalah nilai ekonomi ekosistem mangrove dari Direct use value (sektor perikanan dan manfaat kayu), inderct use value (breakwater atau penahan gelombang), non use value ( keanekaragaman hayati eksosistem mangrove) dan existence value. Nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Ekosistem Nasional Sembilang Klasifikasi Fungsi dan No Tipologi Nilai Manfaat 1 Direct use Kayu Bakar value Daun Nypah Kayu Tiang Ikan Kepiting Udang WisataAlam Bibit Mangrove 2 Indirect use Break water value 3 Option value Nilai keanekaragaman hayati ekosistem mangrove 4 Existence value Nilai keberadaan mangrove Nilai Ekonomi Total (Rp/tahun) Nilai Ekonomi Total (Rp/ha/tahun) Sumber : Hasil olah penelitian (2015)
Mangrove di Taman Nilai Ekonomi Total (Rp) 68.580.000,00 128.000.000,00 262.270.000,00 1.059.050.000,00 169.415.000,00 143.000.000,00 5.355.000,00 213.300.000,00 7.425.000,00 11.873.380.500,00 113.964.619,00 14.007.740.119,00 178.221,08
Nilai manfaat langsung (direct use value) ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat langsung ekosistem mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat Taman Nasional Sembilang adalah daun nipah, kayu bakar, tiang rumah, hasil ikan, hasil kepiting, udang ebi, bibit mangrove dan wisata alam. Manfaat tidak langsung diperoleh dari mangrove sebagai break water penahan ombak yang terdapat pada desa Sungai Barong. Pembangunan breakwater ini baru terlaksana 4 bulan yang lalu, dalam pembangunan breakwater ini Japan International Cooperation Agency (JICA) bekerja sama dengan Taman Nasional Sembilang serta masyarakat sekitar untuk mengurangi kekuatan gelombang yang langsung berhadapan pada ekosistem mangrove di Sungai Barong. Nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang (option value) mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (biodeversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu US $ 1500 /km/tahun atau US $
29 15 /ha/tahun Ruitenbek (1994) dalam Nugroho (2009). Existence value diperoleh dari kesedian masyarakat membayar dengan adanya manfaat yang dirasakan oleh ekosistem mangrove. Berdasarkan tabel nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan adalah Rp 14.007.740.119,00/tahun atau Rp 178.221,00/ha/tahun, artinya apabila ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang tetap dikelola secara berkelanjutan maka nilai yang tetap terpelihara sebesar Rp 14.007.740.119,00,. Nilai manfaat mangrove, baik manfaat langsung, tidak langsung dan manfaat keberadaan dapat dilihat pada Lampiran 2-11. Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat Penduduk merupakan faktor penting dalam perkembangan suatu wilayah dan merupakan pelaku kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut. Penduduk di Taman Nasional Sembilang merupakan pencampuran antara penduduk lokal dan pendatang salah satu pendatang yaitu dari Bugis yang telah menempati lokasi Taman Nasioanal Sembilang sekitar puluhan tahun. Penduduk tersebar di wilayah pesisir Sungsang diantaranya Sungai Bungin, Sungai Barong Kecil dan Sungai Barong Besar, Sungai Sembilang, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan, Sungai Terusan Dalam, Sungai Benu dan daerah transmigrasi Karang Agung Ilir. Masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Secara geografis, luas wilayah administrasi Kecamatan Banyuasin II adalah 2.681,35 Km2(sekitar 268.135 ha) dengan jumlah penduduk 47.696 jiwa dan kepadatannya sekitar 17,79 jiwa/ Km2. Berdasarkan data tata guna lahan, seluas 202.896 ha (2.028,96 Km2) dari luas kecamatan merupakan kawasan Taman Nasional Sembilang, berarti luas wilayah Kecamatan Banyuasin II di luar wilayah Taman Nasional Sembilang adalah 652,39 Km2. Pekerjaan merupakan aspek yang sangat penting untuk memenuhi perekonomian rumah tangga. Angka pengangguran di seluruh wilayah kecamatan rata-rata relatif rendah yaitu sekitar 5,99% tahun 2007 dan pada tahun 2008 sekitar 2,34% dari seluruh populasi angkatan kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di Kecamatan Banyuasin adalah 30.485 jiwa (BPS Banyuasin 2013). Mayoritas mata pencaharian masyarakat di kawasan TNS adalah nelayan dan petambak. Kawasan ini merupakan penghasil perikanan yang cukup tinggi, selain itu pada kawasan ini masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pengambil daun nypah, pengambil kayu bakar dan pengambil kayu tingi (Ceriops tagal). Berikut ini, dapat dilihat persentasi pekerjaan penduduk di kawasan Taman Nasional Sembilang pada Gambar 12.
30 1% 1%
Nelayan
8%
6%
37% 17%
Petambak Pemanfaat Kayu Pembuatan atap Nypah Perawat bibit mangrove
30%
Gambar 12 Jenis-jenis pekerjaan masyarakat Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan ( Sumber: Hasil Survei Penelitian 2015) Tingkat pendidikan adalah hal yang memiliki pengaruh sangat penting dalam proses pembangunan khususnya di Taman Nasional Sembilang. Tingkat pendidikan formal responden tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat adalah tidak tamat SD dan tamat SD yaitu masing-masing 44% dan 41%. Responden yang berpendidikan rendah, motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hanya untuk mendapatkan keuntungan berupa upah dari kegiatan penanaman mangrove. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan (fungsi ekonomi) dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi pemukiman (fungsi fisik dan ekologi). Hasil penelitian Rusdianti dan Sunito (2012) memperlihatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki motivasi partisipasi lebih variatif. Selain motivasi karena kesadaran mereka terhadap pentingnya ekosistem mangrove, mereka juga bisa mencari keuntungan dengan mengikuti kegiatan seperti pelatihan-pelatihan, sehingga mereka bisa menerapkan tambak ramah lingkungan berbasis penghijauan pesisir, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dari pelatihan dan memiliki nilai ekonomi bagi mereka. Tingkat pendidikan dilokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. 1% 6%
8%
SD Tamat 41%
SD Tidak Tamat SMP
44%
SMA Perguruan Tinggi
Gambar 13 Tingkat pendidikan responden di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan
31 Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang dihitung dari hasil kuisioner dengan menggunakan rating scale. Kategori tingkat nilai (N) terdiri dari sangat baik jika bernilai lebih dari 75%, baik jika bernilai 25%-50% dan buruk jika bernilai 0% - 25 %. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan didapatkan dari perhitungan kuisioner di lapangan yang diberikan kepada 78 responden. Dalam kuisioner yang diberikan terdiri dari 6 kelompok pertanyaan yang terdiri dari pemahaman masyarakat terhadap mangrove dan manfaatnya, partisipasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove, pandangan pihak pemerintah tentang mangrove, persepsi tentang status mangrove saat ini, persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap mangrove dan persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove. Berdasarkan tabulasi data dan perhitungan persentase tentang persepsi masyarakat di Taman Nasional Sembilang didapatkan nilai rata-rata 48,93% dengan demikian maka persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove adalah kurang baik. Nilai ini merupakan nilai yang memprihatinkan, karena nilai rata-rata bernilai 25% - 50%, untuk lebih jelas dapat diihat pada Table 5. Dari hasil kuisioner terlihat bahwa pada umumnya masyarakat di Taman Nasional Sembilang sudah memahami akan pentingnya manfaat dari hutan mangrove. Namun yang menjadi kendala dan permasalahan sehingga terus dilakukannya pemanfaatan secara langsung yaitu kurangnya lapangan pekerjaan dan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat mangrove selain bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sehingga sebagian masyarakat masih menjual kayu mangrove untuk keperluaan kayu bakar dan kebutuhan lainnya. Ditambahkan oleh Nfotabong-Atheull et al. (2013), bahwa pengetahuan ekologi dan pengalaman masyarakat lokal dapat digunakan untuk merekonstruksi perubahan yang terjadi dilingkungan sekitar mereka. Tabel 5 Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem Persentase No mangrove (%) 1 Pemahaman mangrove dan manfaatnya 60,15 2 Partisipasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove 55,15 3 4 5 6
Persepsi/ pandangan pihak pemerintah tentang mangrove Persepsi tentang pandangan status mangrove saat ini Persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap ekosistem mangrove Persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove Rata rata
50,00 41,2 36,4 50,7 48,93
Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Sumatera Selatan dinilai dengan teknik Multi Dimensional Scaling (MDS) melalui modifikasi pendekatan RAPFISH (Rapid Asessment
32 Technique for Fisheries) untuk ekosistem mangrove. Status keberlanjutan dalam penelitian ini menggunakan 4 dimensi yaitu, dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan kelembagaan. Tiga dimensi ini terdiri dari 23 atribut, diantaranya enam atribut dimensi ekologi, 6 atribut dimensi sosial, 5 atribut dimensi ekonomi dan 6 atribut dimensi kelembagaan. Empat dimensi dan 23 atribut ini akan menggambarkan status keberlanjutan dari pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan. Adapun hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi pengelolaan adalah sebagai berikut: Status keberlanjutan dimensi ekologi Hasil ordinasi RAPFISH terhadap ekologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 66,45 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi ekologi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 51-75 (Suliso 2003). Indikator dimensi ekologi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang terdiri dari enam indikator, yaitu (1) Jumlah jenis fauna mangrove, (2) Tutupan vegetasi mangrove, (3) Indeks nilai penting vegetasi mangrove, (4) Dominansi jenis vegetasi mangrove, (5) Kerapatan vegetasi mangrove dan (6) Jumlah jenis vegetasi mangrove. Hasil ordinasi keberlanjutan dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 14. Other Distingishing Features
60 UP 40 66,45 20 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
-20 -40 DOWN -60
Mangroves Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 14 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekologi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Analisis sensitivitas dalam metode RAPFISH bertujuan untuk melihat indikator-indikator yang sensitif serta memberi kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan ekologi. Penilaian analisis sensitivitas dinilai berdasarkan standar error yaitu adanya perbedaan antar skor dengan indikator. Terdapat dua indikator yang sangat sensitif (dominan) terhadap nilai indeks keberlanjutan ekologi, yaitu (1) Perubahan luasan mangrove dan (2) Nilai penting mangrove, dapat dilihat pada Gambar 15.
33
Jumlah Jenis Fauna
8,08
Attribute
Tutupan vegetasi mangrove
13,85
INP Vegetasi Mangrove
11,67
Dominansi Jenis Vegetasi…
9,45
Kerapatan Vegetasi Mangrove
0,77
Jumlah jenis vegetasi mangrove
8,92 0
5
10
15
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 15 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekologi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Meskipun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove memiliki kategori cukup berkelanjutan, namun masih terdapat indikator yang dapat diperbaiki agar pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan menjadi lebih optimal. Status keberlanjutan dimensi sosial
Other Distingishing Features
60 UP 40 20 0 0
BAD
21,53 20
40
60
80
GOOD 100
-20 -40 DOWN -60
Mangrove Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 16 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi sosial di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi sosial, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 21,53 (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi sosial dikategorikan “tidak berkelanjutan” karena nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 26-50.
34 Dimensi sosial untuk nilai indeks keberlanjutan yang terdapat pada sumbu y, artinya perlu perbaikan indikator-indikator yangdapat mempengaruhi nilai indeks sehingga akan meningkatkan status nilai indeks tersebut. Tingkat keberlanjutan dimensi sosial-ekonomi yang diperkirakan indikator-indikator yang memberikan pengaruh terdiri dari enam indikator, yaitu (1)Tingkat pendidikan, (2) mata pencaharian, (3) persepsi masyarakat tentang kondisi mangrove, (4) partisipasi massyarakat terhadap pengelolaan mangrove, (5) peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap mangrove dan (6) Konflik pemanfaatan mangrove. Hasil analisis sensitivitas dapat dilihat pada Gambar 17.
Attribute
Konflik Pemanfaatan Mangrove
2,41
Peningkatan Pengetahuan Masyarakat tentang mangrove Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan mangrove Persepsi Masyarakat Tentang Kondisi Mangrove
8,23 4,34 4,51
Mata Pencaharian
7,93
Tingkat Pendidikan
4,42
0
2
4
6
8
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 17 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi sosial di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan Berdasarkan hasil analisis sensitivitas (Gambar 17), terdapat satu indikator yang sangat sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu peningkatan pengetahuan masyarakat tentang mangrove. Indikator peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove memiliki kriteria skor (2) dalam hal ini tidak ada peningkatan pengetahuan yang signifikan terhadap ekosistem mangrove dengan kata lain sama saja. Status keberlanjutan dimensi ekonomi Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi ekonomi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 55,35 (Gambar 18). Hal ini berarti bahwa status keberlanjutan untuk dimensi ekonomi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 51-75.
35
Other Distingishing Features
60 UP 40 20 0
55,35 60
BAD 0
20
40
GOOD 100
80
-20 -40 DOWN -60
Mangrove Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 18.Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekonomi di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan Adapun indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan untuk dimensi ekonomi terdiri dari lima indikator, yaitu (1) persentasi nilai manfaat langsung terhadap nilai manfaat tidak langsung, (2) nilai ekonomi eksosistem mangrove bagi masyarakat setempat, (3) pendapatan rata-rata masyarakat sekitar kawasan, (4) jenis manfaat langsung hutan mangrove dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan (5) nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove. Hasil analisis sensitivitas dimensi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 19. persentasi nilai manfaat langsung terhadap nilai manfaat tidak langsung
0,49
Attribute
Nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat
5,89
Pendapatan rata-rata masyarakat sekitar kawasan
2,30
Jenis manfaat langsung hutan mangrove dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
1,59
Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove
0,41 0
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 19 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekonomi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
36 Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap dimensi ekonomi seluruh indikator (5 indikator) berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Dari kelima indikator sensitif tersebut terdapat satu indikator yang sangat sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat,seberapa besar ketergantungan masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat setempat. Status keberlanjutan dimensi kelembagaan Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi kelembagaan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 52,36. Hal ini menujukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 51-75. Hasil ordinasi keberlanjutan dimensi kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 20. Other Distingishing Features
60 UP 40 20 0
BAD 0
20
40
52,36 60
80
GOOD 100
-20 -40 DOWN -60
Mangrove Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 20 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi kelembagaan di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan terdapat pada sumbu y, artinya perlu perbaikan indikator-indikator yang mempengaruhi nilai indeks tersebut sehingga dapat meningkatkan status nilai indeks. Indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan terdiri dari enam indikator, yaitu (1) kepatuhan terhadap aturanaturan pengelolaan, (2) kelengkapan aturan main pengelolaan mangrove, (3) mekanisme pengambilan keputusan pengelolaan, (4) rencana pengelolaan, (5) tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan mangrove dan (6) kapasitas pemangku kepentingan. Hasil analisis sensitivitas dimensi kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 21.
37
Attribute
Tingkat sinergitas kebijakan dan kelembaga pengelolaan mangrove
0,55
Kapasitas pemangku kepentingan
0,14
Rencana Pengelolaan mangrove
0,14
Menaknisme pengambilan keputusan pengelolaan Kelengkapan aturan main pengelolaan mangrove Kepatuhan terhadap aturan-aturan pengelolaan
0,21 0,14
0,54
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 21 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi kelembagaan di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Berdasarkan hasil sensitivitas (Gambar 21), terlihat bahwa nilai atribut tidak ada yang melebihi depalan, maka disimpulkan atribut dimensi kelembagaan tidak ada yang sensitif/dominan yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove. Selain hasil ordinasi RAPFISH untuk setiap dimensi keberlanjutan diperoleh juga hasil ordinasi RAPFISH untuk gabungan seluruh dimensi (empat dimensi yang digunakan) atau disebut multidimensi. Nilai yang dihasilkan merupakan nilai indeks yang mencerminkan keberlanjutan pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan secara menyeluruh. Adapun hasil ordinasi RAPFISH untuk gabungan seluruh dimensi disajikan pada Gambar . Kondisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang antar dimensi juga disajikan dalam diagram segiempat pada Gambar 22. Diagram segiempat menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 23. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti bahwa semua nilai indeks harus memiliki nilai yang sangat besar, tetapi kondisi daerah tentu memiliki prioritas dimensi yang lebih dominan untuk menjadi perhatian.
38 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 0
BAD 0
20
49,81 60
40
80
GOOD 100
-20 -40 DOWN -60
Mangrove Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 22 Ordinasi RAPFISH untuk status keberlanjutan multidimensi di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
Dimensi Ekologi 80 66,45 60 40 20 Dimensi 52.,36 Kelembagaan
0
21,53
Dimensi Sosial
55,35 Dimensi Ekonomi Nilai Indeks Keberlanjutan
Gambar 23 Diagram segiempat indeks keberlanjutan antar dimensi Hasil analisis RAPFISH menunjukkan bahwa semua indikator yang dikaji terhadap status pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan memberikan hasil analisis yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini terlihat dari nilai stress yang diperoleh berkisar antara 0.13-0.17% dan nilai koefisien determinasi (R2) yang berkisar antara 0,93-0,95.Kavanagh dan pitcher (2004) menyatakan bahwa hasil
39 analisis cukuo memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25%) dan nilai R2 mendekati nilai 1.0. Nilai stress dapat digunakan untuk mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi dengan nilai jarak multidimensi (Fauzi dan Anna 2005). Informasi lain yang diperoleh dari analisis RAPFISH ini adalah jumlah iterasi. Jumlah iterasi pada setiap dimensi maupun gabungan seluruh dimensi/multidimensi adalah 2 sampai dengan 5 kali. Besarmya jumlah iterasi menyatakan pengulangan perhitungan pada analisis RAPFISH yang berguna untuk mengetahui pengaruh kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut,yang berpengaruh pada jarak terhadap titik referensi. Hasil pengukuran nilai statistik dalam analisis RAPFISH terhadap empat dimensi keberlanjutan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai statistik hasil analisis RAPFISH Nilai statistik Ekologi Sosial Ekonomi Kelembagaan Multidimensi Stress 0,13 0,14 0,15 0,17 0,13 2 R 0,94 0,94 0,93 0,93 0,95 Jumlah iterasi 3 3 3 5 2 Nilai stress dan R2 menunjukkan bahwa seluruh indikator yang digunakan dalam analisis keberlanjutan pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan relatif baik dalam menerangkan keempat dimensi keberlanjutan yang dianalisis. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), kualitas hasil analisis akan semakin baik jika nilai koefisien determinasi (R2) semakin besar (mendekati nilai 1.0). Metode RAPFISH memungkinkan untuk mengkaji aspek ketidakpastian yang disimulasikan dengan menggunakan teknik Monte Carlo. Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menunjukkan kestabilan dari nilai indeks keberlanjutan yang dihasilkan. Spence dan Young (1978) dalam Fitrianti (2014), menjelaskan bahwa analisis Monte Carlo dilakukan untuk kestabilan hasil ordinasi yang berguna untuk melihat tingkat gangguan terhadap nilai ordinasi. Hasil analisis Monte Carlo untuk keseluruhan dimensi atau multidimensi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan disajikan pada Gambar 24. Other Distingishing Features
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
-20 -40 -60
Mangroves Sustainability
Gambar 24 Kestabilan nilai ordinasi multidimensi pengelolaan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
40 Analisis Monte Carlo digunakan untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total dari dimensi dan juga membantu melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap indikator dari setiap dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap indikator, variasi pemberian skor karena perbedaan pendapat,stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau data hilang dan nilai stress yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo seperti yang tertera pada Gambar menunjukkan adanya plot yang mengumpul, hal ini berarti hasil ordinasi untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan berada pada posisi yang relatif stabil dan tidak mengalami gangguan pada keselurahan dimensi keberlanjutan. Pembahasan Penilaian terhadap status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan metode berbasis Multi Dimensional Scalling (MDS) dengan prinsip aplikasi analisis berbasis indikator yang menggunakan pendekatan RAPFISH. Analisis ini akan menghasilkan nilai indeks status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove pada masing-masing ekologi,sosial,ekonomi dan kelembagaan. Masing-masing dimensi memiliki indikator yang mencerminkan status keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai indeks yang dihasilkan meliputi nilai indeks status keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi yang merupakan gambaran tentang kondisi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi ekologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 66,45 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi ekologi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang dihasilkan pada selang nilai 51-75 (Susilo 2003). Meskipun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan memiliki kategori cukup berkelanjutan, namun masih terdapat indikator yang dapat diperbaiki agar pengelolaan mangrove diTaman Nasional Sembilang kawasan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ini menjadi lebih optimal. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan terdapat dua indikator yang sangat sensitive, yaitu tutupan vegetasi mangrove Perubahan tutupan vegetasi mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang selama kurun waktu dari tahun 2002-2013 dilihat dari hasil citra landsat 7 dan 8, mengalami penyusutan sebesar 16 %, dimana dari 93808 ha berkurang hingga 78597 ha, serta pengurangan luasan tutupan mangrove tersebut terletak pada zona-zona seperti zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Luasan mangrove dari tahun ke tahun berkurang, hal ini disebabkan aktivitas penduduk seperti penebangan hutan, pemanfaatan hutan mangrove untuk kegiatan pertanian, pembukaan lahan tambak serta kawasan ini juga mengalami pengurangan lahan akibat dibangunnya pelabuhan Tanjung Api-Api. Begitu juga dengan hasil penelitian Nurul et al (2015), di negara Malaysia mereka
41 mengidentifikasi peningkatan pesat dalam budidaya udang dari tahun 1997 dan seterusnya, dan penurunan kawasan hutan (terutama mangrove) dari 75%, dimana 60% adalah karena permintaan untuk lahan pertanian, dan 40% adalah karena pengembangan tambak udang baru. Kegiatan pembangunan tambak udang memicu terjadinya laju degradasi hutan mangrove yang mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi hutan mangrove (Duke et al. 2007; Giri et al. 2007; Guimaraes et al. 2010). NfotabongAtheull et al. (2011), menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mangrove yang tinggi di negara berkembang tidak hanya karena bencana alam, tetapi juga konversi menjadi tambak udang dan pemanenan produk kayu. Menurut Schaduw et al. (2011) pengurangan luasan dan menurunnya kualitas perairan ekosistem mangrove adalah ancaman yang serius terhadap suatu kawasan yang penduduknya sangat bergantung terhadap sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove. Hutan yang telah ditebang habis akan sangat sulit untuk pulih kembali. Menurut Bahij (2011), akibat rusak atau perubahan luasan tutupan mangrove akan mengakibatkan kacaunya siklus rantai makanan bagi seluruh biota ekosistem mangrove. Strategi yang direkomendasikan dilakukan pemeliharan pohon-pohon mangrove yang masih kecil agar tetap terjaga sampai tumbuh besar dan melakukan rehabilitasi terhadap mangrove yang sudah rusak, pembinaan masyarakat untuk pembuatan tambak silvofishery dan dibuat peraturan desa atau perdes tentang perusakan karena peraturan desa lebih efektif dan lebih ditaati oleh masyarakat setempat. Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi sosial, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 21.53 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan dimensi sosial dikategorikan “tidak berkelanjutan”. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas yang terlihat pada Gambar 17, terdapat satu indikator yang sensitif yaitu peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap ekosistem mangrove. Peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove atribut yang sangat sensitif dibandingkan atribut lainya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan terhadap fungsi dan manfaat mangrove maka ekosistem mangrove akan tetap terjaga dan dimanfaatkan secara optimal. Pengetahuan masyarakat pesisir tentang ekosistem mangrove berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terhadap pelestarian ekosistem mangrove, sedangkan sikap masyarakat terhadap pelestarian ekosistem mangrove lebih besar pengaruhnya terhadap niat selanjutnya melakukan pelestarian ekosistem mangrove. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove mengakibatkan menurunnya nilai estetika dari ekosistem mangrove itu sendiri, dampak negatif yang mungkin akan timbul dapat ditekan apabila masyarakat di sekitar hutan mangrove dilibatkan dan diberi akses untuk mengelola hutan dengan tetap melestarikan kelestariannya. Tingkat pendidikan mayarakat yang rendah merupakan salah satu faktor kurangnya pemahaman, kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian ekosistem mangrove menjadi rendah. Oleh karena itu, sangat diharapkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian eksosistem mangrove. Pemerintah juga harus intensif mengadakan penyuluhan/pelatihan/pembinaan kepada msayarakat agar masyarakat mempunyai wawasan tentang pengelolaan ekosistem mangrove. Sesuai dengan pendapat Din et al. (2008), bahwa salah satu kendala dalam
42 pengelolaan mangrove adalah tidak memadainya undang-undang tentang perlindungan mangrove. Menurut Kustanti (2011), pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain adalah dalam hal: 1) pertukaran pendapat dalam penentuan kebijakan, 2) konsultasi kebijakan teknis pelaksanaan pengelolaan dan 3) penentuan keputusan tingkat tinggi. Peran serta masyarakat sekitar secara aktif akan memberikan dampak positif dalam upaya pengelolaan dan pengamanan hutan mangrove. Agar indeks peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai, maka perbaikan-perbaikan terhadap indikator yang paling sensitif ini, pemerintah daerah atau pihak pengelola Taman Nasional Sembilang diharapkan dapat memberikan kegiatan penyuluhan tentang pemanfaatan hasil hutan mangrove, seperti hasil kayu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan kayu bakar, bahan makanan, kerajinan, obat-obatan, pariwisata dan masih banyak lagi, hal ini akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.. Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi ekonomi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 55,35 yang berarti bahwa status keberlanjutan untuk dimensi ekonomi dikategorikan “cukup berkelanjutan”. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas yang ditunjukkan pada Gambar 19, dari ke lima indikator dimensi ekonomi hanya indikator nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat yang berpengaruh dibandingkan indikator lainnya. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap dimensi ekonomi seluruh atribut (lima atribut) berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Atribut nilai ekonomi mangrove lebih berpengaruh dari atribut lainnya, hal ini dikarenakan keberadaan mangrove yang dapat menambah pendapatan masyarakat dan keberadaan mangrove untuk ekosistem keberlangsungan hidup udang, ikan dan sebagainya. Adanya keberadaan yang seperti ini akan membantu keberlangsungan hidup masyarakat setempat. Turner et al. (2000) dalam Yulianda et al. (2013), menyatakan keanekaragaman hayati memberikan manfaat kepada kesejahteraan manusia dalam konteks ecosystem life support functions, sistem produksi barang dan jasa dan aspek bioetik yang merefleksikan pandangan moral manusia terhadap keanekaragaman hayati. Fauziah et al. (2012) menyatakan bahwa perairan mangrove merupakan tempat mencari makan pada waktu terjadi pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non-ekonomis. Semakin tinggi nilai ekonomi mangrove tersebut ancaman terhadap keberadaan mangrove makin terancam, misalnya harga kayu semakin tinggi, maka masyarakat akan terus mengambil kayu mangrove akan menimbulkan ancaman bagi ekosistem mangrove. Sama halnya Setyawan et al (2006) jenis-jenis pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitarnya merupakan proses antropogenik yang secara nyata mempengaruhi kelestarian ekosistem mangrove di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian Pursetyo et al. (2013), di Surabaya, masyarakat memanfaatkan buah mangrove Sonneratia sp untuk dijual dan dimanfaatkan sebagai sirup mangrove. Beberapa aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mangrove secara luas adalah: konversi habitat ke pertambakan (ikan/udang dan garam), penebangan pohon secara berlebih untuk diambil kayunya, sedimentasi, dan pencemaran lingkungan.
43 Strategi yang direkomendasikan seperti harus adanya kesinambungan antara kepentingan ekonomi dari nilai manfaat ekonomi dengan keberlangsungan ekologi mangrove. Masyarakat diberi suatu pembelajaran bagaimana bisa memananfaatkan mangrove dengan cara lain melalui penyuluhun ke masyarakat dengan mengajarkan masyarakat untuk memanfakan batang mangrove yang besar saja dan melakukan penanaman mangrove setelah mangrove ditebang. Jangan hanya memanfatkan batang mangrove saja, tapi lebih memanfaatkan dibidang perikanan. Semakin baik ekosistem mangrovenya maka ikannya akan semakin banyak. Kondisi mangrove yang baik berkaitan dengan hasil tangkapan ikan di sekitar mangrove. Menurut Kalitouw (2015), pemanfaatan langsung kawasan hutan mangrove dengan melakukan penangkapan, pemancingan ikan dan kepiting dianggap tidak akan merusak ekosistem yang ada, kegiatan tersebut tidak perlu merubah ataupun merusak mangrove. Rajendar (2004) menyatakan mangrove menyediakan lapangan kerja kepada 0,5 juta nelayan dan 1 juta pekerjaan diseluruh dunia yang berkaitan langsung dengan perikanan. Pendapat Nagelkerken et al. (2008), bahwa banyak penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara eksosistem mangrove dan kegiatan menangkap ikan, hubungan ini diamati terutama berasal dari spesies ekonomis. Studi tersebut memberikan informasi tentang hubungan mangrove dan perikanan sebagai dasar untuk penilaian ekonomi. Hasil ordinasi RAPFISH untuk dimensi kelembagaan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 52.36 yang berarti bahwa status keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan dikategorikan “cukup berkelanjutan”. Atribut dimensi kelembagaan semua atribut mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan akan tetapi tidak ada yang paling sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove semuanya sama, akan tetapi untuk meningkatkan status keberlanjutan dimensi kelembagaan agar lebih baik lagi perlu dilakukan kerjasama dan keterbukaan semua stakeholders dalam melakukakan pengelolaan ekosistem mangrove agar lebih berkelanjutan, dengan melakukan regulasi dari masyarakat setempat untuk membuat suatu kebijakan seperti kearifan lokal, misalnya aturan jika melakukan penebangan satu batang mangrove maka wajib untuk menanam kembali mangrove. Tebang satu mangrove tanam dua mangrove, jika melanggar akan mendapatkan sanksi tegas. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, diharapkan dapat mengurangi kerusakan ekosistem mangrove pada daerah ini, masyarakat wilayah pesisir khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove secara turun menurun telah melaksanakan berbagai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber ekonominya, sehingga dampak dari kerusakan tidak dapat dihindarkan kecuali dengan adanya pengelolaan yang tepat. Hasil ordinasi RAPFISH terhadap seluruh dimensi keberlanjutan yang dipertimbangkan, baik itu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi kelembagaan, menunjukkan status “kurang berkelanjutan” dengan nilai indeks berada pada selang nilai 26-50. Kondisi tersebut dapat mencerminkan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan berada dalam kondisi kurang optimal masih ada beberapa indikator yang perlu diperbaiki. Pada diagram segiempat indeks keberlanjutan antar dimensi (Gambar 23), menunjukkan bahwa nilai indeks
44 keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 66,45; dimensi sosial 21,53; dimensi ekonomi; 55.35 dan dimensi kelembagaan 52,36. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 21.53 merupakan dimensi dengan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan dimensi ekologi, ekonomi dan kelembagaan. Hal ini disebabkan, persepsi masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang masih tergolong rendah. Menurut Diarto (2012), persepsi dan partisipasi masyarakat merupakan faktor yang mendukung dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan yang tergolong masih rendah dimana rata-rata masyarakat setempat tamatan SD atau tidak tamat SD, mengakibatkan keinginanan masyarakat untuk ikut menjaga ekosistem mangrove serta berpartisipasi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang masih rendah. Oleh karena itu untuk lebih meningkatkan status keberlanjutannya dengan melakukan penyuluhan, pendidikan dan latihan. Sumber daya manusia merupakan aset dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Peningkatan capacity building dengan diklat diperlukan untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Kembangkan forum dialog, terutama tentang pengelolaan ekosistem mangrove. Forum dialog ini diperlukan sebagai sarana komunikasi dalam menggali aspirasi masyarakat. Memberikan sarana dan prasana pada bidang IPTEK sehingga dapat berinovasi memanfaat mangrove baik pada buah,biji,dan batang mangrove sebagai sarana menciptakan produk unggulan yang memiliki daya saing agar dapat menunjang kehidupan perekonomian masyarakat setempat sehingga timbul kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove. Mengefektifkan peran serta para POLHUT, Balai Taman Nasional Sembilang, POLAIRUD semua stakeholders terkait dalam pengawasan ekosistem mangrove. Pihak stakeholders dan masyarakat berkolaborasi untuk melakukan pengelolaan ekosistem mangrove agar tercipta pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasis masyarakat. Berdasarkan uraian setiap indikator yang sensitive dari keempat dimensi keberlanjutan, disusun beberapa rekomendasi kebijakan pengelolaan yang dapat diterapkam untuk menjaga dan meningkatkan status keberlanjutan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan sebagai berikut: a. Pendidikan dan pelatihan SDM Salah satu prioritas alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Taman Nasional Sembilang adalah pendidikan dan pelatihan SDM di desa-desa yang berada di kawasan Taman Nasional Sembilang. Sumberdaya manusia wilayah pesisir merupakan faktor kunci dalam usaha pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Kondisi alam yang berbatasan dengan lautan membentuk karakter masyarakat yang tergantung pada hasil lautan. Sebagian besar masyarakat adalah nelayan , dan sebagian lainnya pemanfaat kayu,pedagang dan pegawai. Tingkat pendidikan masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang, sebagian besar hanya tamat sekolah dasar, dan hanya sebagian kecil lulus dari pendidikan sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa masih tertinggalnya masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang di bidang pendidikan.
45 Keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam meningkatkan kualitas hasil perikanan baik produksi penangkapan maupun nilai tambah yang dihasilkan menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelaitihan bagi masyarakat. Pengembangan sumberdaya manusia di wilayah pesisir, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek karakteristik masyarakat dan kondisi wilayah serta pendidikan dan pelatihan yang diberikan adalah dalam bentuk pendidikan informal dan penyuluhan dari berbagai instansi seperti pemerintah, perguruan tinggi, peneliti dan LSM. b. Pengembangan pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang Rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove selanjutnya yaitu pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu solusi agar penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan. Berbagai pendekatan pengelolaan sosial ekonomi masyarakat yang dilakukan meliputi peningkatan ekonomi masyarakat, pengembangan kelembagan masyarakat, pembinaan usaha kecil dan menengah dan ekowisata. Lebih jelasnya dapat dilihat rekomendasi program-program pengelolaan ekosistem mangrove pada Lampiran 13. c. Rehabilitasi, konservasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove Berdasarkan hasil analisis nilai manfaat mangrove sebesar Rp. 14.007.740.119,00/tahun. Keterkaitan manfaat mangrove diketahui bahwa hubungan perubahan luasan mangrove terhadapa nilai manfaat mangrove adalah linear positive, artinya jika terjadi perubahan luasan mangrove yang positif (semakin bertambah), maka nilai manfaat mangrove juga bernilai positif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan keberadaannya agar fungsi ekologis, sosial ekonomi dan nilai jasa lingkungannya dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Adanya pelibatan masyarakat setempat sebagai pengawas langsung untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove membetuk suatu lembaga masyarakat disetiap desa di Taman Nasional Sembilang. Oleh karena itu, penting dilakukan kebijakan rehabilitasi, konservasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasis masyarakat dimana meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, sosial ekonomi dan budaya yang akan berdampak pada kelestarian eksositem mangrove. Rekomendasi program-program dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada Lampiran 13. .
46
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1.
2.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan berada dalam kategori “kurang berkelanjutan”. Rekomendai strategi pengelolaan yang direkomendasikan dari penelitian ini ialah, pemberdayaan masyarakat, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia serta rehabilitasi, konservasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove, yang menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan agar dapat berkelanjutan. Saran
1.
2.
Diperlukan penerapan rekomendasi pengelolaan untuk menjaga dan meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Penting untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, dengan melibatkan masyarakat di Taman Nasional Sembilang dalam pengelolaan ekosistem mangrove, baik dalam pengawasan dan pemeliharaan ekosistem mangrove, serta di ikut sertakan masyarakat dalam semua kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove agar pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang lebih optimal dan berkelanjutan.
47
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2013. Penilaian Indikator Untuk Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approachto Fishheries Management). Direktorat Sumberdaya Ikan Kementrian Kelautan dan Perikanan. Indonesia Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Feriss B. 2000. How good isgood? A Rapid appraisal technique for evaluation of the sustainable statusof fisheriesof the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds). Methods forevaluation the impact of fisheries on the North Atlantic ecosystem. FisheriesCenter Research Reports.8(2). Bahij AL. 2011. Perubahan luasan hutan mangrove dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di kawasan Segara Anakan Jawa Tengah [Tesis]. Universitas Indonesia. Jakarta. 82 hlm. Balai Taman Nasional Sembilang. 2012. Profil Taman Nasional Sembilang. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Depeartemen Kehutanan. Sumatera Selatan Cisse AA, Fabian B, Oliver G. 2014. Sustainability of Trofical Small-Scale Fisheries: Integrated Assessmentin French Guana. Marine Policy. 44:397405. Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Banyuasin Dalam Angka 2003.Banyuasin Sumatera Selatan _______________________ . 2004. Banyuasin Dalam Angka 2004. Banyuasin. Sumatera Selatan ________________________.2005.Banyuasin Dalam Angka 2005. Banyuasin. Sumatera Selatan ________________________.2006.Bayuasin Dalam Angka 2006. Banyuasin Sumatera Selatan _________________________.2007. Banyuasin Dalam Angka 2007. Banyuasin Sumatera Selatan _________________________.2008.Banyuasin Dalam Angka 2008. Banyuasin Sumatera Selatan _________________________.2009.Banyuasin Dalam Angka 2009. Banyuasin Sumatera Selatan Duke NC, Meynecke JO, Dittmann S, Ellison AM, Anger K, et al. 2007. A world without mangroves?.Journal Science 317: 41–42 Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT Gramnedia Pustaka Utama.343 hal Fauziyah, Ulqodri TZ, Agustriani F, Simamora S. 2012. Biodiversitas Sumberdaya Ikan untuk mendukung pengelolaan kawasan mangrove di Taman Nasional Sembilangkab. Banyuasin Sumatera Selatan.Jurnal Penelitian Sains. 15 4(D):165. Giri C, Long J, Abbas S, Murali RM, Qamer FM, Pengra B, Thau D. 2014. Distribution and dynamics of mangrove forests of South Asia. Journal of Environmental Management. 1- 11. doi.org/10.1016/j.jenvman Giri C, Ochieng C, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2010. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecol Biogeography. 20: 154-159
48 Giri C, Pengra B, Zhu Z, Singh A, Tieszen LL. 2007. Monitoring mangrove forest dynamics of the Sundarbans in Bangladesh and India using multi-temporal satellite data from 1973 to 2000. Estuarine Coastal and Shelf Science. 73: 91–100. Guimaraes AS, Travassos P, Filho PWMES, Goncalves FD, Costa F. 2010. Impact of aquaculture on mangrove areas in the northern Pernambuco Coast (Brazil) using remote sensing and geographic information system. Aquaculture Research. 41: 828–838. Indica M, Ulqodry TZ, Hendri M. 2010. Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan jauh di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Maspari Journal 02(2011): 77-81 JICA. 2013. Taman Nasional Sembilang (TNS) http://www.jica.go.jp/project/indonesian/indonesia/008/outline/05.html. Di akses pada tanggal Mei 2014 pukul 19.30 WIB. Kalitow WH. 2015. Valuasi Ekonomi Hutan Mnagrove di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara [skirpsi]. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado Kathiresan K, Qasim SZ. 2005. Biodiversity of Mangrove Ecosystems; Hindustan Publishing Corporation (India). New Delhi :Pp.251 Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisalof Fishereis (RAPFISH) Project. RAPFISH Software Descreption (for Microsoft Excel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver. Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excell Software for Rapfish: A Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. University of British Columbia. Fisheries Center Research Reports. Kordi MG 2012.Potensi, fungsi, dan pengelolaan ekosistem mangrove. PT Rineka Cipta. Jakarta. 16 hal Kuenzer C, Bluemel A, Gebhardt S, Quoc TV, Dech S. 2011. Remote Sensing of Mangrove Ecosystems.Remote Sensing. 3: 878- 928. Li MS, LJ Mao, Shen WJ, Liu SQ, Wei AS. 2013. Change and fragmentation trends of zhanjiang mangrove forests in southern china using multitemporal landsat imagery (1977-2010). Journal Estuarine, Coastal and Shelf Science 130 (2013) 111-120 Loureen, George, Jared, James, Lilian.2015. The Facilitative Role of Sea Blight (Suaeda monoica) in Faunal Recolonisation of Degraded Mangroves at Mwache Creek, Kenya.IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology IOSR-JESTFT.9(2): 42-47 Malik A, Fensholt R, Mente O. 2015. Economic Valuation of Mangroves for Comparison with Commercial Aquaculture in South Sulawesi, Indonesia. Forests (6): 3028-3044. Masood, Afsar, Zamir, Kazmi. 2015. Application of Comparative Remote Sensing Techniques for Monitoring Mangroves in Indus Delta, Sindh, PakistanBiological Forum – An International Journal 7(1): 783-792. Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG, Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, Somerfield PJ. 2008. The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. Aquatic Botany.89 (2008) 155–185.
49 Nfotabong-Atheull A, Din N. 2013. Qualitative and quantitative characterization of mangrovevegetation structure and dynamics in a peri-urban settingof Douala (Cameroon): an approach using air-borne imagery. Estuaries and Coasts (2013). 36:1181–1192 Nfotabong-Atheull A, Din N, Essomè Koum LG, Satyanarayana B, Koedam N, Dahdouh GF. 2011. Assessing forest products usage and local residents’ perception of environmental changes in peri-urban and rural mangroves of Cameroon, Central Africa. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 7: 41 hal Nguyen HH, McAlpine C, Pullar D, Johansen K, Duke NC. 2013. The relationship of spatial –temporal changes in fringe mangrove extent and adjacent land-use: case study of kien giang coast, vietnam. Journal Ocean & Coastal Management 76 (2013):12-22 Nugroho TS. 2009. Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung Di Desa Dabong, Kecamatan Kubu Raya, Kalimantan Barat [tesis]. Bogor : Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Nurul AK, Shigeo F, Binaya RS.2015 . Applicability of Satellite Monitoring on Mangrove Forests in Malaysia: A Review of Potential Benefits and Challenges. International Journal of Research (IJR) 2(2) Noor YR, Khazali M, Suryadiputra NN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove diIndonesia. Bogor (ID): Wetlands International Indonesia Programe Pitcher TJ. 1999. RAPFISH, A Rapid Appraisal Technique For Fisheries and Its Application to The Code Conduct for Responsible Fisheries FAO Fisheries Circular No. 947. Rome Pitcher, David P. 2001. RAPFISH; a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research 49(2001) 255-270 Rajendran N.2004. Mangroves, Environmental Information System (ENVIS), Centre of Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University, Parangipettai, Tamil Nadu, Ministry of Environment and Forests, Government of India, New Delhi. ENVIS Publication Series, 25 p Rencana Pengelolaan Taman Nasional.2010.Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Sembilang 2010-2029.Balai Taman Nasional Sembilang.Banyuasin. Rusdianti K, Sunito S. 2012. Konversi lahan hutan mangrove serta upaya penduduk lokal dalam merehabilitasi ekosistem mangrove. (Mangrove Forest Conservation and The Role of Local Community in Mangrove Ecosytems Rehabilitations). Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6(1):1-17 Santos LCM, Matos HR, Novelli YS, Lignon MC, Bitencourt MD, Koedam N. 2014. Anthropogenic activities on mangrove areas (São Francisco River Estuary, Brazil Northeast): A GIS-based analysis of CBERS and SPOT images to aid in local management.Journal Ocean & Coastal Management 89 (2014):39-50 hal Santoso N.2011. Arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan di Muara Angke daerah khusus ibukota Jakarta [Disertasi].IPB(ID): Institut Pertanian Bogor Sasidhar K, Rao PB. 2015. Conservation Servation and Management Of Mangroves at Nizampama and Palarevu. Asia Pacific Journal of Research. 1(20)
50 Sasidhar K, Tirupathi CH, Krishna RH, Vishnuvardhan Z, Swamy, Brahmajirao P.2013.Studies of mangroves and identification of various salt resistance Species at southern Krishna delta.International Journal of Engineering & Science Research. 3(1):555-562 Schaduw JNW, Yulianda F, Bengen DG, Setyobudiandi I. 2011. Pengelolaan ekosistem mangrove pulau-pulau kecil Taman Nasional Bunaken berbasis kerentanan. Jurnal Agribisnis 12 (3): 173- 181 Setyawan W. 2006. The direct exploitation in the mangrove ecosystem in Central Java and the land use in its surrounding; degradation and its restoration effort. Biodiversitas. 7(3):282-291 Sobari MP, Adrianto L, Azis N. 2006. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Kendari : Buletin Ekonomi Perikanan.3(4) Sofian A, Harahab N, Marsoedi. 2012. Kondisi dan Manfaat Langsung Ekosistem Hutan Mangrove Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabuapaten Pasuruan Vol 2 No.2 hlm 56-63. Malang : Prodi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan dan Pembangunan Universitas Brawijaya Sugiyono. 2013. Metode penelitian kombinasi (Mixed Method). Bandung : Alfabeta. Susilo SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor [TNS] Taman Nasional Sembilang. 2009. Laporan Kegiatan: Analisis Daerah Operasi (ADO) Balai Taman Nasional Sembilang. Banyuasin: Balai TNS. Undang-undang no 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti, Kusharjani, Sang Kang. 2013. Kebijakan Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Bogor (ID). Pusdiklat Kehutanan- Departeman Kehutanan RI dan SECEM- Korea International Cooperation Agency
51
LAMPIRAN
47
7
14
78
1
6
Rhizophora apiculata
Avicennia officinalis
Brugueria gymnorrhiza
Excoecaria agallocha
Xylocarpus granatum
Rhizophora mucronata
TOTAL
11
n
Avicenia Alba
Spesies
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
1,2
A(Satu stasiun/ha)
5.000
0.833
65.000
11.667
5.833
39.167
9.167
Kerapatan
100
3.659
0.610
47.561
8.537
4.268
28.659
6.707
Kerapatan Relatif
0,111
0,111
0,556
0,444
,.5
0,667
0,222
Frekuensi
Lampiran 1 Data ekologi mangrive di kawasan Taman Nasional Sembilang
100
4.256
4.256
21.278
17.022
19.150
25.533
8.511
Frekuensi Relatif
12109,712
223,621
849782,751
21198,672
12359,415
587313,168
54452,617
Basal Area
1,009
0,019
70,815
1,767
1,030
48,943
4,538
Dominansi
26,9
24,2
92,4
18,8
INP
100
0,788
0,015
300
8,7
4,9
55,273 124,1
1,379
0,804
38,201
3,542
Dominansi Relatif
52
53 Lampiran 2 Nilai manfaat kayu bakar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Jumlah responden Jumlah produksi Harga jual Nilai Biaya operasional Pendapatan
Satuan Orang ikat/tahun Rp/ikat Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Total 13 31.380 3.000 94.140.000 25.560.000 68.580.00
Lampiran 3 Nilai manfaat langsung daun Nypah No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Jumlah responden Jumlah produksi Harga jual Nilai Biaya operasional Pendapatan
Satuan Orang ikat/tahun Rp/ikat Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Total 7 5.720 30.000 171.600.000 43.600.000 128.000.000
Lampiran 4 Nilai manfaat langsung Kayu Tinggi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Jumlah responden Jumlah produksi Harga jual Nilai Biaya operasional Pendapatan
Satuan Orang batang/tahun Rp/batang x12 meter Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Total 9 2.275 120.000 273.000.000 10.730.000 262.270.000
Lampiran 5 Nilai manfaat hasil perikanan tangkap di Taman Nasional Sembilang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Jumlah responden Jumlah produksi Kisaran Harga (Rp) Nilai Biaya operasional Pendapatan
Satuan Orang Kg/tahun Kg/tahun Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Total 27 64.300 8.000-150.000 1.898.300.000 839.250.000 1.059.050.000
54 Lampiran 6 Nilai manfaat Kepiting di Taman Nasional Sembilang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian Jumlah responden Jumlah produksi Harga jual Nilai Biaya operasional Pendapatan
Satuan Orang Kg/tahun Rp/Kg Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun
Total 7 5.725 41.000 219.265.000 49.850.000 169.415.000
Lampiran 7 Nilai manfaat Udang di Taman Nasional Sembilang No. Uraian Satuan 1. Jumlah responden Orang 2. Jumlah produksi Kg/tahun 3. Harga jual Rp/Kg 4. Nilai Rp/tahun 5. Biaya operasional Rp/tahun 6. Pendapatan Rp/tahun
Total 5 10.200 25.000 255.000.000 112.000.000 143.000.000
Lampiran 8 Nilai manfaat wisata alam di Taman Nasional Sembilang No. Uraian Satuan 1. Pengunjung Orang 2. Biaya SIMAKSI Rp/tahun x 7 bulan 3. Pendapatan Rp/tahun
Jumlah 153 5.000 5.355.000
Lampiran 9 Nilai manfaat langsung bibit Mangrove Jenis Mangrove Uraian Rizhopora apiculata Jumlah produksi Rizhopora mucronata Harga Jual Nilai Biaya operasional Pendapatan
Satuan Bibit/tahun Rp/Bibit Rp/Tahun Rp/Tahun Rp/Tahun
Total 240.000 1.000 240.000.000 26.700.000 213.300.000
Lampiran 10 Nilai manfaat tidak langsung Breakwater Jenis Mangrove Rizhpora apiculata
Jumlah
Bahan Bibit mangrove Kayu gelam Bambu Karung goni
Satuan 675 bibit 225 batang 75 batang 75 karung
Jumlah Rp 675.000 Rp 3.375.000 Rp 2.250.000 Rp 1.125.000 Rp 7.425.00
55 Lampiran 11 Nilai manfaat keberadaan ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang No
Tingkat Pendidikan
1. 2. 3. 4.
SD SMP SMA D2 PGSD Jumlah
Responden (Orang) 73 orang 4 orang 8 orang 1 orang
Kisaran Nilai Valuasi (Rp) 300.000-1.860.000 1.860.000-3.000.000 3.000.000-6.000.000 6.000.000
Presentase (%) 84,88 4,65 9,30 1,16 100
Jumlah jenis vegetasi mangrove
Kerapatan vegetasi mangrove
Dominasi jenis vegetasi mangrove
INP vegetasi mangrove
Tutupan mangrove
Jumlah jenis fauna mangrove
2
3
4
5
6
Dimensi
1
No
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
3
3
3
3
3
Kriteria Baik 1,2,3 3
1
1
1
1
1
1= jumlah fauna berkurang 2= Jumlah fauna tetap sama 3 = jumlah fauna bertambah
1 = luas tutupan mangrove berkurang 2 = luas tutupan mangrove tetap sama 3 = luas tutupan mangrove bertambah
1 = INP<100 2 = 100
300
1 = <1 2 = 13
1 = <1000 pohon/ha 2 = 1000-1500 pohon/ha 3 = > 1500 pohon/ha
Dimensi Ekologi Buruk Acuan pemberian skor 1 1 = <2 jenis mangrove 2 = 2-10 jenis mangrove 3 = > 10 jenis mangrove
3
1
3
3
3
3
Data sekunder dari Balai Taman Nasional Sembilang
Data citra landsat 7 dan landsat 8
Data primer hasil pengukuran mangrove
Data primer hasil pengukuran mangrove
Data primer hasil pengukuran mangrove
Data primer hasil pengukuran mangrove
Skor Keterangan
Lampiran 12 Skoring atribut dimensi ekologi,sosial,ekonomi dan kelembagaan pada pengelolaan Mangrove Taman Nasional Sembilang
56
Tingkat pendidikan
Mata pencaharian
Persepsi masyarakat tentang kondisi manrove
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove
Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang mangrove
Konflik pemanfaatan mangrove
2
3
4
5
6
Dimensi
1
No
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
3
3
3
3
3
Kriteria Baik 1,2,3 3
Dimensi Sosial Buruk Acuan pemberian skor 1 1 = Lulus SD 2 = Lulus SMP 3 = Lulus SMA dan PT 1 1 = > 20 % tidak memiliki mata pencaharian 2 = 20-50 % memiliki mata pencaharian tetap yang bergantung pada ekosistem mangrove 3 = < 50 % memiliki mata pencaharian tetap tetapi memiliki mata pencaharian sampingan 1 1 = persepsi rendah 2 = persepsi sedang 3 = persepsi tinggi 1 1 = partisipasi rendah 2 = partisipasi sedang 3 = partisipasi tinggi 1 1 = tidak ada peningkatan 2 = sama saja 3 = peningkatan pengetahuan tinggi 1 1 = lebih dari 5 kali/tahun 2 = 2-5 kali/tahun 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1
2
1
1
2
1
Skor
survei dan hasil wawancara
Hasil wawancara dan kuisioner
Hasil wawancara dan kuisioner
Hasil wawancara dan kuisioner
Hasil wawancara dan kuisioner
Hasil wawancara dan kuisioner
Keterangan
57
57
Kepatuhan terhadap aturan-aturan pengelolaan
Kelengkapan aturan main pengelolaan mangrove
Mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan
Rencana pengelolaan
Tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan dalam pengelolaan
Kapasitas pemangku kepentingan
2
3
4
5
6
Dimensi
1
No
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
1,2,3
3
3
3
3
3
Kriteria Baik 1,2,3 3
1
1
1
1
1
1 = tidak ada peningkatan 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaan) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaan)
1 = Konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan) 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif 3 = Sinergi antar lembaga berjalan baik
1 = belum ada RPP 2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan 3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1 = Tidak ada mekanisme pengambilan keputusan 2 = ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif 3 = ada mekanisme dan berjalan efektif
1 = tidak ada penegakan aturan main 2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif 3 = ada penegakan aturan main dan efektif
Dimensi Kelembagaan Buruk Acuan pemberian skor 1 1 = Lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
1
2
2
2
2
1
Skor
survei dengan wawancara/kuisioner
Survei dan wawancara
survei dilakukan dengan wawancara dan kuisioner
survei dan hasil wawancara
survei dan dilakukan dengan wawancara dan kuisioner
Keterangan laporan atau catatan pelanggaran dari pengawas, serta survei dan hasil wawancara
58
1,2,3
1,2,3
Pendapatan rata-rata masyarakat sekitar kawasan
Nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat
Persentase nilai manfaat langsung terhadap nilai manfaat tidak langsung
3
4
5
1,2,3
1,2,3
Jenis manfaat langsung hutan mangrove terhadap masyarakat
2
3
3
3
3
Kriteria Baik 1,2,3 3
Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove
Dimensi
1
No
1 = < UMR 2 = sama dengan UMR 3 = > UMR
1 = < 3 jenis manfaat langsung 2 = 3 - 5 jenis manfaat langsung 3 = > 5 jenis manfaat langsung
1
3 = Pernsentasi nilai manfaat langsung< nilai manfaat tidak langsung
2 = Persentasi nilai manfaat langsung sama saja dengan manfaat tidak langsung
1 = Persentasi nilai manfaat langsung > nilai manfaat tidak langsung
1 1 = Masyarakat yang memanfaatkan rendah (<30%) 2 = Masyarakat yang memanfaatkan cukup banyak (30-60%) 3 = Masyarakat yang memanfaatkan banyak (>60 %)
1
1
Dimensi Ekonomi Buruk Acuan pemberian skor 1 1 = > 5 M/tahun 2 = 5-10 M/tahun 3 = >10 M/tahun
1
3
2
2
3
Skor
59
Hasil wawancara dan perhitungan valuasi manfaat mangrove
survei dan hasil wawancara
survei dan hasil wawancara
Hasil wawancara dan kuisioner
Hasil wawancara dan perhitungan valuasi manfaat mangrove
Keterangan
59
No
4). Informasi/Dokumentasi
1). Sumber daya manusia ahli bidang yang dilatihkan; 2). Kelompok masyarakat;
3). Pelatihan-pelatihan
1). Sumber daya manusia dan 2). Kelompok masyarakat
3) Peserta pelatihan (pemerintah/swasta)
1). Sumber daya manusia ahli komunikasi; 2). Sumber daya manusia ahli hutan mangrove; 3). Kelompok masyarakat dan 4). Stakeholders terkait.
2). Konsultasi Publik
1). Ahli hutan mangrove; 2). Ahli pengembangan penelitian; 3). Kelompok masyarakat
4). Pemancingan ikan mangrove
1). Sumber daya ahli ekowisata; 2). Kelompok masyarakat; 3). Ekosistem hutan mangrove;
4. Ekosiwata
2 Research Center 1). Penelitian dan Modul
1). Sumber daya manusia ahli pendidikan; 2). Sumber daya manusia pendidik dan pelajar tingkat dasar dan menengah; 3). Kelompok masyarakat
1). Penyusunan bahan ajar dan penataan sumber daya manusia ahli mangrove; 2). Sumber daya manusia ahli pendidikan; 3). Kelompok masyarakat
1) Sumber daya manusia ahli; 2) Kelompok masyarakat
1)Sumber daya manusia ahli budidaya; 2)Sumber daya manusia pendukung; 3) Lahan pertambakan yang sudah ada 4)Jenis ikan yang akan dibudidayakan; 5) Kelompok masyarakat 1) Sumber daya industri kecil dan menengah (pembuatan sirup dari buah mangrove, kerajinan batik, terasi,presto ikan bandeng,kerupuk ikan pari dll); 2) Sumber daya manusia ahli ekonomi sumber daya alam; 3) Kelompok UMKM
b. Pembuatan Kurikulum Muatan Lokal
3. Peningkatan Pendidikan a. Pembuatan bahan ajar fungsi dan manfaat mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang
2. Pengembangan Kelembagaan
b. Pembinaan UMKM
1 Pemberdayaan 1. Peningkatan ekonomi masyarakat masyarakat a. Pelatihan dan Pengembangan silvofishery Ramah Mangrove
Terbangunnya pengetahuan pendidik dan pelajar tingkat dasaar dan menengah mengenai fungsi da n manfaat mangrove di wilayah Taman Nasional Sembilang
Terbangunnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang
Terbangunnya kelembagaan yang kuat dan aktif
Tebinanya UMKM di kawasan Taman Nasional Sembilang
Kelestarian hasil tambak silvofishery ramah lingkungan dengan intensifikasi produksi
1).Dokumen-dokumen hasil perkembangan kegiatan 2).Buletin bulananTerdokumentasinya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
Event-event pelatihan
Kegiatan konsultai publik ketika sesuatu kegiatanakan sedang dan sudah berjalan
jurnal penelitiam dan publikasi ilmiah bertaraf nasional dan internasional
Terdokumentasinya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
Sosialisasi kepada publik mengenai suatu kegiatan
Terbangunnya capacity building staf PT
1). Program-program wisata yang dapat dilakukan; Peningkatan kemampuan sumber daya 2). Sarana pendukung untuk aktivitas ekowisata; manusia di bidang ekowisata dan p 3). Pelatihan sumber daya manusia yang engembangan potensi kawasan dalam berhubungan dengan kegiatan ekowisata kegiatan ekowisata. di kawasan.
Terbentuknya kurikulum muatan lokal mengenai fungsi dan manfaat mangrove
Terbitnya buku mengenai fungsi dan manfaat mangrove
1). Kondisi kelembagaan desa yang kuat; 2). Terbentuknya lembaga pengawas hutan mangrove
Kondisi awal UMKM dan perkembangan UMKM
1) Terbentuknya tambak yang ramah lingkungan; 2) Laporan kegiatan silvofishery
Masyarakat: dilibatkan dalam kegiatan dokumentasi dan informasi . Pemerintah daerah: Mempermudah penelusuran data. Perguruan tinggi: Meningkatnya kemapuan SDM dan pengabdian kepada masyarakat.
Masyarakat: meningkatkan kemampuan SDM pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang
Mayarakat: dilibatkan dalam kegiatan pembangunan dan masyarakat mengetahui tentang kegiatan yang akan dan sudah berjalan. Pemerintah Daerah; dapat mengantisipasi konflik yang bisa timbul akibat suatu kegiatan. Perguruan tinggi; meningkatkan kemampuan SDM dan Pengabdiankepada masyarakat.
Mayarakat: Mendatangkan tambahan pendapatan bagi masyarakat melalui kegiatan ekowisata dan membatu Pemerintah Daerah dalam perencanaan pengembangan wilayah pesisir serta kelestarian eksosistem mangrove tetap terjaga walaupun dimanfaatkan untuk kegiatan wisata Masyarakat: Mengikutsertakan masyarakat dalam berpikir ilmiah dalam pengamatan fenomena alam dan pemecahan persoalan dan masyarakat luas mengetahui hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan
Masyarakat: Masyarakat mengetahui fungsi dan manfaat mangrove di wilayah Taman Nasional Sembilang, khususnya pelajar sebagai penerima estafet pembangunan dan meningkatnya kemampuan SDM
Masyarakat: Masyarakat dapat mengetahui fungsi dan manfaat mangrove dan Pemerintah Daerah dapat membatu dalam kegiatan pendidikan masyarakat
pembinaan masyarakat
Masyarakat: Masyarakat mengerti bagaimana untuk memanajemen kelompok kelembagaan, pemerintah daerah dapat membantu kegiatan
Masyarakat:Meningkatkan ekonomi masyarakat , masyarakat merasakan manfaat dengan adanya pembinaan UMKM, dapat membantu kegiatan kelembagaan perekonomian daerah
Manfaat untuk masyarakat, peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai silvofishery ramah lingkungan, meningkatkan ekonomi masyarakat dan kelestarian mangrove tetap terjaga
Lampiran 13 Rekomendasi program-program pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Program Kegiatan Input (yang diperlukan) Output (hasil) Outcome (hasil jangka panjang) Benefit
Semua pihak yang terkait.
1). Perguruan tinggi; 2). Masyarakat; 3). Pihak Pengelola Taman Nasional Sembilang semua pihak terkait.
Semua pihak yang terkait
1). Masyarakat; 2) Perguruan Tinggi; 3). Pihak pengelola Taman Nasional Sembilang 4). Aparatur Desa
1). Masyarakat; 2). Pihak Pengelola Taman Nasional Sembilang; 3). Dinas Pariwisata dan 4). Aparatur Desa.
1). Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten; 2)Pihak pengelola Taman Nasional Sembilang; 3) Masyarakat dan Stakeholders lainnya
1). Dinas Pendidikan; 2).Masyarakat; 3)Pihak pengelola Taman Nasional Sembilang.
1) masyarakat; 2) Kepala desa; 3) Balai Taman Nasional Sembilang; 4) Dinas Kesehatan; 5) Balitbang dan 6) POM 1). Masyarakat; 2). Dinas Kehutanan Provinsi dan Daerah; 3). Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Daerah 4). Aparatur Desa
Pihak terkait 1). Masyarakat; 2) Dinas kehutanan Provinsi dan kabupaten; 3) Dinas kelautan dan perikanan provinsi dan kabupaten; 4) aparatur desa
60
61
61
Lampiran 14 Jenis-jenis manfaat langsung ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan
Breakwater dengan Bentuk Segitiga
Pemanfaatan Daun Nypah Mangrove
Pemanfaatan Kayu Tingi Mangrove Jenis Ceriops tagal
Pemanfaat kayu bakarJenis Rizhopora sp
Udang Ebi di TNS
62
Tim survei pengukuran mangrove
Mangrove Trail
Pengukuran diameter pohon mangrove
Lahan mangrove yang dijadikan sebagai lahan tambak
63
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara yang dilahirkan di Palembang pada tanggal 11 Oktober 1989. Penulis merupakan putri dari Bapak Makmun Harun, BA dan Ibu Fatimah, S.Pd. Penulis melalui pendidikan dasar di SD Negeri 1 Kayuagung OKI pada tahun 19952001. Pendidikan menengah pertama dilalui di SMP Negeri 1 Kayuagung OKI pada tahun 2001-2004. Pendidikan menengah atas dilalui pada tahun 2004-2007 di SMA Negeri 1 Kayuagung OKI. Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan penulis menyelesaikan studi sarjana pada tahun 2012. Penulis sempat mengikuti Sail Takabonerate tahun 2010 di Pulau Takabonerate dan Pulau Selayar menggunakan Kapal Republik Indonesia (KRI 590) dengan rute JakartaMakassar. Penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FMIPA) selama 2 periode tahun 2009-2010 dan tahun 2010-2011. Penulis juga menjadi anggota Forum Penyelam Mahasiwa Indonesia pada tahub 2009 s.d sekarang. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi Magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis melaksanakan peneitian tesis dengan Judul Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.