STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL- IMAM AL-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : MUH. ABDUL MUGHNI NIM : 062111012
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ii
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 3 Juni 2011 Deklarator
MUH. ABDUL MUGHNI NIM : 62111012
iv
ABSTRAKSI Khuntsa adalah orang yang memeiliki dua alat kelamin (alat kelamin lakilaki dan alat kelamin perempuan). Dalam Al-Qur’an jelas dikemukakan secara detail mengenai hukum kewarisan, erat hubungannya dengan asbabul furud, yang jelas pembagiannya masing-masing antra laki-laki dan perempuan. Tapi belum ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum waris bagi khuntsa. Para ulama ahli fara’id berbeda pendapat mengenai kewarisan khuntsa musykil setelah penghitungan dua perkiraan (di perkirakan laki-laki dan perempuan). Oleh karna itu penulis mengankat sekripsi dengan tema “Studi Analisis Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil” yang disepesifikasikan dari kebanyakan pendapat madzhab Al-Syafi’i. yaitu “memberikan bagian paling sedikit kepada khuntsa dan ahli waris kemudian menangguhkan sisa harta hingga khuntsa menjadi jelas setatusnya”. Adapun penulisan ini bertujuan 1) Untuk mengetahui pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil, 2) Untuk mengetahui metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, dan dalam hal ini penulis mengkaji pendapat Al-Imam Al-Mawardi selaku ulama’Syafi’iyah, dalam kitabnya Al-Khawi Al-Kabir. Sebagai pendekatan penulis menggunakan usul fiqh dalam mendukung penelitiannya. Pada dasarnya pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa musykil sama dengan pendapat ulama’Syafi’iyah lainnya, tapi dalam hal ini ada sedikit perbedaan dalam penyajiannya dengan pengembangan sebab yang menjadi dasar alasan hukum bagai mana Al-Imam Al-Mawardi mengatakan, dua sebab yang melatar belakangi konsep kewarisan madzhab Syafi’yah tersebut. Sebab pertama, orang yang mewaris tidak bisa mendapat hak warisnya, kecuali dengan ketentuan yang pasti dan meyakinkan tanpa adanya keragu-raguan di dalamnya, sebab kedua, pada dasarnya semua hukum itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan yakin begitu pula mengenai ketentuan hukum waris tersebut haruslah dengan yakin. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, para ahli hukum agama, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
v
MOTTO
“Keyakinan, tidak hilang dengan keraguan”. (“Sesungguhnya pewaris tidak bisa mendapat haknya, kecuali dengan kejelasan, tidak dengan keragu-raguan”).
vi
PERSEMBAHAN Saya persembahkan untuk :
Ibunda dan Ayahanda tercinta dan tersayang Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putramu. Para Kiai, Guru, Dosen dan Asatiid Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta’at dan berbakti. Kakek dan Nenek yang saya ta’dzimi Nasehat dan do’amu membangkitkan jiwa ku untuk menatap masa depan. Seluruh keluarga Dukungan kalian adalah motivasi pembelajaran diri.
Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Analisis Terhadap Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil dengan baik tanpa banyak menemui kendala yang berarti. Shalawat dan Salam Allah SWT. semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya yang telah membawa dan mengembangkan Islam hingga seperti sekarang ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata hasil dari “jerih payah” penulis secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada : 1. Bapak Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Drs. H. Ahmad Ghozali Ihsan, M. SI. dan Anthin Lathifah, M. Ag., selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II penulis skripsi ini, dengan penuh kesabaran telah mencurahkan perhatian yang besar dalam memberikan bimbingan. 3. Bapak/Ibu Ketua & Sekretaris Jurusan yang telah memberikan berbagai motifasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya. 4. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi. 5. Kepada teman-teman satu angkatan dan satu pembelajaran Al-Ahwal AlSyahsiah/AS A06 pada khususnya, Al-Anam El-Kend inspirasi, semangat dan sastra “ALAS TUWO”, El-Kamto “Yanto” nggaslo tapi so pastilah, Gus Mus
viii
“Si Mbahe” spiritual religions, Robot TO-PIC, lucu and semangat baru yang tak terlewatkan, Ucil Marucil, “tuwo-tuwo nom” sing penting cool, GALIH “ manusia yang tak terlupakkan dan tak ada habisnya tuk ketawa, AlVians”Generation low in AS A06, “Aneq” figur atlit As A06 dan temen yang selalu mengharapkan perubahan Your, “Mr. Blenco” dari generasi ke generasi intelegensi tinggi, El-Khanip sip…guys, Isnan “Mr. Sotank”, ngapak-ngapak wae ya, “para kaum hawa” As A06, Ni’mah, Lenny, Irma, Ani, Iinnayah dan Naeylul. Dan tak ketinggalan As B06, yang mungkin tak dapat ku sebutkan satu persatu, kalian adalah “my motivation”. 6. Teman-teman kos “BONDET” tercinta rumah ke2 bagi ku mengayuh kasih sayang, “Haris Petrucci” guru kecil ku yang penuh wawasan, “Mas Dhony” sebuah pijakan dan langkah merangkai sebuah simphony yang indah, dan kalian “my inspirasi”, Rifki “Keboe”, Rifki “Gaboe”, Hasan, Saekul, Toriq, Bom-bom, Imam “Bengkelers”, dan adik-adiku tersayang, Lutfi, Amien, Blendong, “The Young Generation” Eka F-Day, Sons “Ting Ki Wingki”, Wahyu MOYO, Ki2 Tegal, Fanny, and Afif. 7. Thanks telah memberi inspirasi baru bagiku, “METALLICA”, Helloween, SO7, Underground spracta99, Best Fuctural and tak ketinggalan Komplikasi Band. 8. Semua pihak yang ikut serta dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan do’a semoga Allah SWT, membalas segala jasa dan budi baik mereka dengan balasan yang setimpal. Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar tercapai hasil yang semaksimal pula. Namun penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
ix
Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Semarang, 2011 Penulis,
MUH. ABDUL MUGHNI Nim : 062111012
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii
HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii HALAMAN DEKLARASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv HALAMAN ABSTRAKS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v HALAMAN MOTTO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi HALAMAN PERSEMBAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii HALAMAN KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii HALAMAN DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . BAB I
x
: Pendahuluan A. Latar Belakang Permasalahan …………………………………….1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………5 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………6 D. Telaah Pustaka ……………………………………………………6 E. Metode Penelitian ………………………………………………...9 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………11
BAB II : Ketentuan Umum Tentang Waris Khuntsa Musykil A. Pengertian Warisan Khuntsa Musykil………………………….....13 B. Harta Warisan Khuntsa Musykil……………………………….....24 C. Pendapat Ulama’ Tentang Waris Khuntsa Musykil..……………..28 BAB III : Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil A. Biografi Al-Imam Al-Mawardi……………………………..........32 B. Pendapat
Al-Imam
Al-Mawardi
Tentang
Waris
Khuntsa
Musykil…………………………………………………………..38 C. Istinbath Hukum Al-Imam Al-Mawardi ………………………...47 1. Metode Istinbath Hukum Al-Imam Al-Mawardi……………..47
xi
2. Metode Istinbath Hukum Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil……………………………………………...56 BAB IV : Analisis Pendapat Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil A. Analisis Terhadap Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil…………………………………………………61 B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Al-Imam AlMawardi……………………………………………………….....75 BAB V : Penutup A. Kesimpulan………………………………………………………82 B. Saran-saran…………………………………………………….....84 C. Penutup…………………………………………………………...84 DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Mawaris secara etimologi adalah bentuk jama‟ dari kata miras artinya warisan.1 Hukum kewarisan, merupakan salah satu aspek yang di atur secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan pada masyarakatnya.2 Oleh karna banyaknya permasalahan yang mendasari dinamika dan problematika sosial dalam dkehidupan masyarakat terutama dalam pembagian harta waris, hukum kewarisan Islam memberi solusi penyelesaian pengatur tatanan hidup masyarakat guna hal pembagian waris. Dalam pembagian waris Islam terkait masalah genre (jenis kelamin), Islam sejak dahulu telah memiliki sikap tersendiri berkaitan dengan status jenis kelamin seseorang. Sederhananya, bila alat kelamin salah satu jenis itu lebih dominan, maka dia ditetapkan sebagai jenis kelamin tersebut, misalnya bila organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk, ukuran, fungsi dan sebagainya, maka berlaku padanya hukum-hukum syari‟at bagi laki-laki,, antara lain mengenai batas aurat, mahram, nikah, wali, warisan dan hukumhukum lain yang berkaitan dengan hukum syari‟at bagi laki-laki. Dan sebaliknya, bila organ kelamin wanita yang lebih dominan dan berfungsi, maka 1
Ahmad Rofik, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 1. Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hal. 14. 2
1
2
jelas dia adalah wanita dan pada dirinya berlaku hukum-hukum syari‟at sebagai wanita. 3 Namun ada juga yang dari segi dominasinya berimbang, dalam literatur fiqih disebut dengan istilah khuntsa musykil yakni orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.4 Khuntsa musykil dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah hermafrodit (kelamin ganda).5
Jelas orang tersebut dinamakan khuntsa
musykil, karna sulit baginya untuk menentukan indentitasnya, dengan kedua alat kelamin yang sama-sama berfungsi. Salah satu permasalahan khuntsa musykil adalah dalam hal menentukan hak waris atau kewarisanya, dan juga menjadikan persoalan kepada penetapan status hak memperoleh bagian warisnya. Hukum waris di Indonesia telah di atur di dalam perundang-undangan yang telah ditetapkan, seperti dalam KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan juga dalam dasar kewarisan hukum Islam atau dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Namun baik dalam KUHPerdata maupun KHI tidak diterangkan mengenai ketentuan hukum waris bagi khuntsa,
hal inilah yang mendorong penulis untuk
mempelajari dan mengkaji tentang penentuan hukum waris bagi khuntsa. Seperti halnya qonun al-mawarits (kitab undang-undang hukum warisan mesir) di dalam menetapkan harta pusaka kepada khuntsa musykil mengambil dari
3
Zunly Nadia, Antara Hermaproditif (Khuntsa) dan Transeksualitas (Mukhannats) http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/11727 4 Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: PT. Alma‟arif, hlm. 482. 5 Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas Media, hlm. 183.
3
pendapat Abu Hanifah. Pendapat tersebut dicantumkan dalam K.U.H.W, pada pasal 46.6 Dalam KHI tinjauan hukum waris yang digunakan adalah dasar-dasar dalam hukum Islam dan ijtihad para Fuqoha‟ (ulama-ulama ahli fiqih) dalam ilmu Faroid (ilmu Kewarisan). Dalam salah satu riwayat di jelaskan.
Artinya :“Dari Abbas r.a, Rosulullah bersabda: “Bagikanlah harta pusaka antara ahli waris menurut kitabullah (Al-Qur’an)” , HR. Muslim.7
Namun demikian masih ada masalah mengenai hukum waris yang tidak tercantum dalam Al-Qur‟an, sehingga menimbulkan beberapa pendapat, seperti pada permasalahan khuntsa musykil. Mengenai permasalahan kewarisan khuntsa musykil, para fuqoha‟ sepakat bahwa penentuan waris bagi khuntsa musykil harus di tinjau secara biological (jasmaniah) bukan secara pesicological (kejiwaan).8 Para ulama‟ ahli faroid berbeda-beda pendapat mengenai cara-cara untuk memberikan bagian harta pusaka khuntsa musykil setelah di ketahui dua
6
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin. 1993, hlm. 84. Imam Muslim, Sakhih Muslim, Bairut: Darul Kutub Alamiah, 1992, Juz, 3, hlm. 23. 8 Muslich Maruzi, op. cit hlm. 85. 7
4
macam penerimaan berdasarkan perkiraan laki-laki dan perkiraan perempuan dan bagian para ahli waris lainnya. Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat bahawa khuntsa musykil mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa musykil dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan)”. 9 Menurut pendapat yang lebih unggul (madzhab Syafi‟iyah)
khuntsa diperlakukan
dengan
perlakuan yang merugikan. Maka harus di perhatikan perolehan warisannya dengan perkiraan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.10 Sedangkan ulama‟ Hanafiyah berpendapat bahwa, khuntsa musykil mendapat bagian yang terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari dua perkiraan tersebut di atas, dan tidak ada sisa untuk ditahan terlebih dahulu .11 Sedangkan pada kalangan ulama‟ Malikiyah berpendapat lain lagi, khuntsa musykil mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan dan demikian juga ahli waris lainnya”.12 Konsep penentuan hak waris khuntsa musykil menurut pendapat Ulama‟ Syafi‟iyah, seperti halnya Al-Imam Al-Mawardi, Al-Imam Al-Nawawi, AlImam As-Syarbaniy, dan ulama‟-ulama‟ Syafiiyah lainnya, di kerjakan dua kali, yang pertama dianggap sebagai lelaki dan yang ke dua dianggap sebagai 9
Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaris, Baerut: „Alamul Kutub hlm. 165. Suhrawadi K. Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, S.H., Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 1997, hlm. 165. 11 Ash-Shabuni, Ibid., hlm. 165. 12 Ash-Shabuni, Ibid,, hlm. 167. 10
5
perempuan. Kemudian si banci (khuntsa musykil) tersebut diberi bagian terkecil di antara dua bagian tadi, sisanya ditangguhkan menunggu sampai persoalannya jelas, atau sampai ada perdamaian antara para ahli waris, atau sampai pada si matinya banci dan hartanya di bagikan pada ahli waris yang ada.13 Makna pemberian hak khuntsa musykil dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqoha‟ mawarits mu’amalah bil adhar yaitu jika khuntsa dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita, dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki.14 Berpijak pada pentingnya masalah di atas, maka penulis hendak mengangkat tema ini dengan judul: “Studi Analisis Pendapat Al-Imam AlMawardi Tentang Konsep Hukum Waris Khuntsa Musykil”.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15 Bertitik dari keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan. 1. Bagaimana pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil ?
13
Suhrawadi K. Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, Ibid., hlm. 166. Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995, hlm. 166. 15 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312. 14
6
2. Bagaimana metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil . 2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil .
D. Telaah Pustaka Dari beberapa penulis atau peneliti terdahulu, baik dalam bentuk skripsi atau karya tulis ilmiah lain yang telah membahas seputar hukum waris yang penulis jumpai diantaranya: 1. Al-Imam
Al-Baihaqi
dalam
kitabnya
Al-Sunan
Al-Kubro,
yang
menjelaskan bagimana tentang ketentuan hak waris bagi khuntsa musykil, dari sahabat Ali R.A, untuk menentukan hak waris bagi khuntsa musykil ialah dengan jalan melihat dari mana jalan air kencingnya.16 2. Al-Imam Al-Nawawi dalam kitabnya Raudho At-tholibin, juga di tegaskan adanya penangguhan harta bagi khuntsa untuk menungguh kejelasan status jenis kelamin bagi khuntsa itu sendiri.
16
Imam Al-Baihaqi, Sunan Al-Akbar, Kairo: Darul Fikir, 1996 hlm. 261.
7
3. Al-Imam Al-Sairozy dalam kitabnya Al-Muhadzab, di jelaskan ketika khuntsa tersebut tak dapat di tentukan setatusnya (musykil), maka pembagian harta warisnya dengan di perkirakan laki-laki atau perempuan kemudian sisa dari pembagian harta tersebut di tangguhkan.17 4. Ash-Sharbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj, ditegaskan juga mengenai pembagian waris bagi khuntsa musykil, “memberikan atas bagian yang terkecil dari yang lain, kemudian sisanya ditangguhkan dulu sampai kedudukannya menjadi jelas. Tapi jika si khuntsa menerima bagian yang sama banyak antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan, tidak menimbulkan kesulitan, masing-masing menerima menurut ketentuan mereka dan tidak ada sisa yang diragukan.”18 5. Muhamad Ali Ash-Shabuni, dalam kitabnya Al Mawaris fi Syariat AlIslamiyah Ala Dzawil Kitab Wa Sunnah di tegaskan bahwa, “untuk banci (khuntsa musykil) menurut pendapat yang paling rajih hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya. 6. Akhmad Khaerudin (2101184), dalam skripsinya yang berjudul”Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi‟i Tetang Warisan Orang Yang Hilang 17
Abu Ishak Al-Fairazy, Al-Muhadzab, Bairut: Darul Kitab Ilmiyah 674 H Juz 2. hlm. 419. Syamsudin Ash-Sarbini, Al-Mughnil Mughtaj, Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1991, juz III, hlm. 29. 18
8
(Mafqud)”. Yang menjelaskan tentang kententuan
waris bagi mafqud
(orang yang hilang), sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i. 7. Agus Wildan (2197190) dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Sistem Pembagian Harta Waris Satu Banding Satu Di Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal. Yang menjelaskan tentang konsep pembagian waris masyarakat Bumi Jawa, dalam konsep pembagian waris satu banding satu, yang dilihat dari sudut pandang hukum kewarisan Islam. 8. Nuruddin (2199129) dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Asuyuthi Tentang Cara Menentukan Jenis Kelamin Khuntsa. Yang menjelaskan tentang cara penentuan atau menentukan jenis kelamin khuntsa, melalui jalan keluarnya air kencing dan ketentuan-ketentuan lainnya. Berdasarkan skripsi-skripsi di atas, mengenai definisi secara umum kewarisan dalam presepektif hukum Islam terdapat beberapa kesamaan dan salah satu dari skripsi di atas, juga menunjukkan persamaan pendapat tentang penentuan jenis kelamin khuntsa. Namun dalam skripsi ini penulis lebih mensefesivikasikan konsep hukum kewarisan bagi khunsa musykil, dan menfokuskan kajiannya pada salah satu dari pendapat ulama‟Syafi‟iyah yakni, Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khunsa musykil, sesuai dengan judul skripsi penulis, “Studi Analisis Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Konsep Hukum Waris Khuntsa musykil ”.
9
E. Metodologi Penelitian Metode penelitian skripsi ini dapat di jelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Untuk mendapatkan data sebaik-baiknya, kemudian ditempuhlah teknik-teknik tertentu diantaranya yang paling utama adalah research yakni mengumpulkan bahan dengan membaca kitab-kitab, buku-buku dan bentuk-bentuk bahan lain yang lazim di sebut dengan penelitian melalui perpustakaan (library research) adalah salah satu penelitian melalui perpustakaan. 19 2. Sumber Data Terdapat dua sumber data pada penelitian ini yaitu primer dan sekunder. a. Primer Sumber data primer adalah bahan orisinil yang menjadi dasar bagi peneliti lain, dan merupakan penyajian formal pertama dari hasil penelitian. Sumber primer yang digunakan adalah kitab-kitab karya ulama‟ Syafi‟iyah sebagai data pokok , seperti dalam kitab Al-Hawi AlKabir, karya Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi (Al-Imam Al-Mawardi). b. Sekunder Sumber data skunder, adalah sumber yang mempermudah proses penilaian literatur primer, yang mengemas ulang, menata kembali,
19
Sutresno Hadi, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hal. 9.
10
menginterprestasi ulang, merangkum, mengindeks atau dengan cara lain ”menambah nilai”pada informasi baru yang dilaporkan dalam literature primer.20 Sedang sumber data sekunder yang dugunakaan adalah kitab “Raudho At-tholibin” karya Al-Imam Al-Nawawi, “AlMuhadzab” karya Abu Ishak Ibrahim Al-Sairazy,” Mughni AlMughtaj” karya Ash-Sharbini, kitab “Al-Mawaris fi Syariat AlIslamiyah Ala Dzawil kitab Wa Sunnah “ karya Ash-Shabuni, dan kitab ulama‟ Syafi‟iyah lainnya, buku-buku penunjang data pokok.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam metode ini penulis mengadakan riset kepustakaan (library research) yaitu metode yang di lakukan dengan menghimpun data-data dari berbagai literatur.21 Yang berupa sumber data primer dan sumber data sekunder, sumber data primer yakni data yang menjadi rujukan utama dalam pembahasan masalah waris bagi khuntsa musykil yang berupa kitab karya ulama‟ Syafi‟iyah yang mengkaji tentang waris khuntsa musykil sumber primer tersebut adalah kitab “Al-Hawi Al-Kabir” karya Abu Khasan Ibrahim Al-Mawardi. Sumber data sekunder yakni data yang menjadi penunjang data utama, seperti kitab-kitab ulama‟ Syafi‟iyah lainnya kitab “Raudho At-tholibin” karya Al-Imam Al-Nawawi, “AlMuhadzab” karya Abu Ishak Ibrahim Al-Sairazy, “Mughni Al-Mughtaj”
20
Lexi J. Moleong, Metode Penelitiani Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007, hlm. 11. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Paktek, Cet.12,PT. Rineca Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 206.
11
karya Ash-Sharbini, kitab “Al-Mawaris fi Syariat Al-Islamiyah Ala Dzawil kitab Wa Sunnah “ karya Ash-Shabuni, dan yang berupa buku-buku sebagai penunjang dalam analisis masalah tersebut
seperti buku ilmu
waris, karya Fatchur Rahman, dan lain sebagainya.
4. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data, penelitian menggunakan analisis deskriptif yaitu metode yang menjelaskan suatu obyek permasalahan sistematis dan memberikan analisis secara cermat dan tepat terhadap objek kalian tersebut.22 Setelah mengetahui pendapat Imam Al-Mawardi dari kitab “AlHawi Al-Kabir”, maka penulis juga mengambil pendapat ulama‟ Syafi‟iyah lainnya, selanjutnya melakukan analisis kritis.
F. Sistematika Penulisaan Dalam sistematika penulisan ini, agar dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka skripsi ini di sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab yang maarsing-masing menampakkan karakteristik berbeda namun dalam satu kesatuan tak terpisah, sebagai berikut: Bab I
: Berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara ijmali namun holistic dengan memuat: latar belakang masalah, pokok masalah, tinjauan penelitian, kegunaan
22
hlm. 25.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009,
12
penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan. Bab II
: Berisi tinjauan umum tentang waris khuntsa musykil yang meliputi pengertian waris, pengertian khuntsa musykil, konsep pembagian waris, pendapat ulama‟ tentang waris khuntsa musykil.
Bab III
: Berisi pendapat Al-Imam Al-Mawardi
tentang khuntsa
musykil dalam pandangan hukum islam yang meliputi biografi
ulama‟
Syafi‟iyah,
Al-Imam
Al-Mawardi,
Pendidikan dan karya-karyanya, pendapat Al-Imam AlMawardi tentang khuntsa musykil (waris khuntsa musykil, konsep waris khuntsa musykil), metode istinbat hukum AlImam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa musykil. Bab IV
: Berisi analisis pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa musykil, metode istimbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa musykil.
Bab V
: Berisi, meliputi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN KHUNTSA MUSYKIL
A. Pengertian Warisan Khuntsa Musykil 1. Pengertian Warisan Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris.1 Sedang pengertian pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan yang sebagiannya akan diwariskan, kepada ahli waris. Begitupula ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.2 Undang-undang perdata barat (BW), dalam penempatannya pasal 528 dan 584 KUHPerdata Bab XII sampai dengan, Bab XVII KUHPerdata. 3 Pada prinsipnya pewarisan terjadi karena adanya hubungan pewaris dengan sejumlah harta, hak-hak dan kewajiban di bidang harta kekayaan “beralih demi hukum”. Sedangkan hukum yang berkaitan dengan masalah kewarisan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) diatur dalam buku ke II, bab I ketentuan umum pasal 171, dalam ketentuan umum hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta.
1
Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: Al-Ma‟arif, 1981, hlm. 36. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Study Kasus Perbandingan Ajaran Syafi‟i (Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek di Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hillco, hlm. 3839. 3 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata Bab XII s.d KUHPerdata Bab XVII pasal 582 dan pasal 584, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1995. hlm. 84. 2
13
14
(tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.4 Sumber hukum kewarisan Islam adalah Al-Qur‟an, Sunnah Rosul, dan Ijtihad, bagaimana penggunaan tiga sumber ini di dasarkan pada salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini, dalam Al-Qur‟an surat An Nisaa‟ ayat 59:
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. 5
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mukmin diharuskan mengikuti atau taat kepada Allah, Rosul dan ulil amri. Hal ini dapat diberi pengertian, bahwa seorang mukmin dalam memecahkan bebrbagai aspek harus senantiasa mengikuti dan mendasarkan pendapatnya pada ketiga sumber tersebut. Karena itu pengertian taat kepada Allah di namakan
4
Abdul Ghofur Anshori, op. cit., hlm. 203. Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1995/1996, hlm. 195. 5
15
sumber Al-Qur‟an, sedangkan taat kepada Rosul dinamakan dengan sumber sunnah, dan ulil amri di namakan sebagai sumber ijtihad para mujtahid.6 Dalam hukum waris Islam juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan kewarisan, yang harus di perhatikan dengan baik: a. Rukun Waris 1) Mawarist, orang yang hartanya di pindahkan (ke orang lain). Ia adalah si mayit (orang yang meninggalkan harta warisan) 2) Waarist, orang yang di pindahkan harta tersebut kepadanya (orang yang berhak menerima warisan) 3) Mauruust, harta yang di pindahkan (harta warisan)7 b. Syarat-syarat Waris
1) Orang-orang yang mewariskan hartanya telah meninggal, baik secara hakiki maupun secara hukum.
Artinya :”Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah (seseorang yang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan 6 7
hlm. 27.
Munawar Chalil, Ulil Amri, Semarang: Ramadhani, 1984, hlm. 20. Abu Ihsan Al-Atsari, Panduan Praktis Hukum Waris, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2009,
16
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”(QS. an-Nisa‟:153).8
2) Ahli waris masih hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal walaupun hanya sekejap, baik secara hakiki maupun secara hukum. 3) Harta warisan si mati telah di kurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat. c. Sebab Menerima Waris Pada dasarnya sebab-sebab seseorang mewarisi ada empat macam, tetapi dalam kasus tertentu dan waktu serta geografis tertentu, bisa dicukupkan pada dua macam saja. 1) Hubungan Kekerabatan Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris yang disebabkan faktor kelahiran, seorang anak pada intinya memiliki hubungan kekrabatan dengan bapak, dan ibu yang melahirkannya. 9
8
R.H.A. Soenarjo, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Jakarta: Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, 1971, hlm. 153. 9 Fatchur Rahman, op. cit., hlm.116.
17
2) Hubungan Pernikahan Nikah yaitu akad yang dilakukan suami istri secara sah. Dengan sebab akad tersebut suami mewarisi harta si istri dan si istri mewarisi harta si suami walaupun belum pernah melakukan hubungan badan dan berkhalwat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An Nisaa‟ ayat 12:
Artinya :”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Keterangan diatas pada intinya antara saumi dan istri bisa saling mawirisi satu samalainnya, dengan ketentuan- ketentuan yang telah
10
R.H.A. Soenarjo, op.cit., hlm. 117.
18
ada. Bagi mana dinyatakan pada ayat diatas, suami mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan istri jika mereka tidak mempunyai anak, jika memiliki anak maka suami mendapat bagian seperempat dari peninggalan istri. Begitu pula istri mendapat seperempat harta dari peninggalan suami jika tidak mempunyai anak maka, jika memiliki anak maka istri mendapat seperdelapan dari harta peninggalan suami. 3) Hubungan Wala‟ Wala‟ artinya memerdekakan. Yakni bagian „ashabah orang yang memerdekakan si mayit dan keluarga orang yang memerdekakan, mendapatkan „ashabah bi nafsihi .baik ia memerdekakan karena santunan ataupun di sebabkan kewajiban, seperti zakat, nadzar atau kafarat.11 4) Berlainan Agama. Berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarist, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam.12
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk (menguasai orang-orang yang beriman), ) QS. al-Nisa‟ : 141).13
11
Abu Ihsan Al-Atsari, op. cit., hlm. 31. Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 36. 13 R.H.A. Soenarjo, op. cit., hlm. 234. 12
19
d. Penghalang-Penghalang Waris.
1) Hamba. Seorang hamba tidak mendapatkan pusaka dari sekalian keluarganya yang meninggal selama ia masih bersifat hamba, Allah berfirman dalam surat An Nahl ayat 75:
Artinya :”Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”.14
Maksud dari perumpamaan ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang menyamakan Tuhan yang memberi rezki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya. 2) Pembunuh, dalam kaitannya dengan hak waris mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat hak mewarisi dari pewaris tersebut. 3) Murtad, seorang yang keluar dari agama Islam tidak mewarisi dari keluarganya, yang masih tetap memeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya orang murtad tidak dapat mewariskan hartanya kepada keluarganya yang masih memeluk agama Islam. 14
220.
Mohamad Noer, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra,1996, hlm.
20
4) Orang yang tidak memeluk agama Islam (kafir) tidak berhak menerima warisan, dari keluarganya yang beragama Islam.“tidak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama”.15 e. Urutan Ashabah Ashabah adalah: ahli waris yang hannya mendapat sisa warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang mendapat bagian tertentu. 16 Menurut istilah ahli fiqh ashabah artinya: waris yang menerima semua harta warisan apabila ia sendirian, dan memnerima kelebihan yang dibagi apabila ia tidak sendirian.17 Waris yang menjadi ashabah ialah: 1) Anak Firman Allah:
... Artinya:“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”. (QS. An-Nisa‟: 11)18
2) Ayah. Firman Allah:
… …
15
Abu Ihsan Al-Atsari, op. cit., hlm. 42. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm.50 17 Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 16
184. 18
H.A.A. Dahlan, M. Zaka Alfarisi, Asbab An-Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002, hlm. 128.
21
Artinya:“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ½”.19
3) Anak laki-laki 4) Cucu laki-laki dari anak laki-laki. 5) Kakek. 6) Saudara laki-laki sekandung. 7) Kemudian saudara laki-laki seayah. 8) Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. 9) Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah. 10) Paman. 11) Anak laki-laki dari paman. Kalau semuanya tidak ada maka terakhir ialah orangb yang memerdekakan.20 2. Pengertian Khuntsa Musykil Lafadz khuntsa berasal dari lafadz al-khantsu, menurut bahasa artinya lemah atau pecah21. Khuntsa menurut Istilah, hampir semua ulama sama pendapatnya dalam mendefinisikan khuntsa. Menurut Ash Shobuni dan menurut Dr. Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Khuntsa ialah : „Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya. Menurut penulis kitab Syarah Ar Rahbiyah yaitu Syaikh Muhammad bin 19
H.A.A. Dahlan, M. Zaka Alfarisi, loc. cit., hlm. 128. Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, loc. cit., hlm. 184. 21 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 65. 20
22
Muhammad Dimasqi, kiranya sulit atau tidak mungkin bila tidak ada sama sekali alat dari keduanya, sehingga diartikan baginya lubang yang berfungsi untuk kencing atau lainnya.22 Kedua alat kelamin mempunyai urgensi yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-laki atau perempuan. Tidak ada kelamin yang lain yang dapat di gunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga. Tuhan telah menciptakan Nabi Adam a.s. dan Hawa sebagai cikal bakal manusia seluruhnya. Adapun yang dimaksud Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah dalam berbagai ayat Al Qur‟an seperti ayat 1 surah An Nisaa‟, ayat 13 surah Al Hujurat, ayat 49 -50 surah As Syura, ayat 45 surah An Najm dan lain sebagainya. Menurut ayatayat diatas dan ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai lelaki atau perempuan.23 Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa‟ ayat 1:
22
Ash Shobuny, Muhammad Aly, Al Mawarist fis Syariatil Islamiyah Ala Dlauil Kitab Was Sunnah, Syirkah Iqolatuddin, Makkah Al Mukarromah, 1388 H. hlm. 168. 23 Asy Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad , Nailul Authar, Mesir: Matbaah Al Halaly, 1952/1371. hlm. 189.
23
Artinya
:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”24
Begitu juga pendapat Al-Imam Al- Nawawi dalam Al Majmu‟ Syarah Al-Muhadzab yang menjelaskan bahwa khuntsa itu ada 2 (dua) macam, yaitu orang yang mempunya dua alat kelamin (kelamin lelaki dan kelamin perempuan) dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi ada lubang (serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya. Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada bagian luar tidak sama dengan bagian dalam, misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan memiliki penis atau memiliki keduanya (penis dan vagina), ada juga yang memiliki kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya. Bahkan ada yang tidak 24
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 110.
24
memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lobang vagina dan hanya lubang kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis. 25 Seorang anak khuntsa yang dapat di tentukan statusnya dengan tidak menimbulkan kesulitan, disebut dengan khuntsa ghoirul musykil, adapun jika ia membuang air kecil melewati kedua alat kelamin yang bersamasama disebut khunsa musykil, termasuk juga dalam ketentuan ini seorang khuntsa yang tidak mempunyai alat kelamin sama sekali, sehingga untuk kepentingan membuang
keperluan air
kecil maupun air besar dibuat
lubang tiruan. Oleh karenanya segala sesuatu yang berlaku bagi khuntsa musykil berlaku juga untuknya.26
B. Harta Warisan Khuntsa Musykil Setiap ahli waris berhak menerima bagian warisnya, setelah apa yang mereka harus penuhi telah terlaksana. Yaitu memenuhi hak-hak seperti halnya, biaya-biaya perawatan jenazah, pelunasan utang-utang dan penunaian wasiat simayit.27 Selain itu haruslah tidak ada penyebab yang dapat menghalangi untuknya mendapat warisan atau penghalang kewarisan. Jenis hukum yang tidak di bedakan antara laki-laki dan peremppuan sehingga tak perlu adanya
25
Imam An Nawawi, Al Majmu‟Syarah Al Muhadzab, Bairut: Darul Fakir juz,III, hlm.
26
Asy-Syarbiny ,Mughni Al-Muhtaj, ,Bairut: Darul Kitab A-Alamiyah juz: II hlm. 29 Ali Hasan, Hukum Kewarisan dalam Islam, jakarta: Bulan Bintang,1981, hlm. 20.
103. 27
25
pengkhususan masalah khuntsa musykil, seperti masalah zakat harta, zakat fitrah dan sejenisnya. Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman. Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah seperti lelaki. Di dalam Al-Qur‟an Allah Ta‟ala, telah banyak menjelaskan ayat-ayat tentang waris bagi laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya, tetapi tidak menjelaskan waris bagi khuntsa.untuk menghindari terjadinya ke vakuman hukum, para ahli faro‟id berijtihad, ijtihad mereka itu bertitik tolak dengan ketentuan yang telah ada. Ijtihad yang dilakukan adalah dengan jalan mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan. Dalam mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan ada dua cara yang di gunakan. 1.
Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing.
26
Jika seorang anak membuang air kecil melalui dzakar atau farjinya, tapi air yang lewat dzakar lebih dahulu keluarnya dari pada yang lewat farji maka ia dianggap sebagai orang laki-laki, sebaliknya jika ia terlebih dahulu kencing melalui farji maka ia dianggap sebagai orang perempuan.28
Artinya :"Berikanlah warisan menurut kelamin mana ia pertama kali buang air kecil”. (HR. Ibnu Abbas)30 Dikisahkan bahwa Amir Al-Adawany dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian menvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orangorang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: “Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya.” Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. 31
28 29
Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 483. Imam Al-Baehaki, Al-Sunan Al-Kubro, Dar Al-Fikr, tth., hlm. 261.
30 31
Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 484.
27
Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: “Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan.” Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.32 2.
Meneliti tanda-tanda kedewasaannya. Jika penelitian alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalan lain yaitu meneliti kedewasaan bagi si khuntsa, sebagaimana diketahui adannya ciri kesamaan laki-laki dan perempuan juga ada ciri perbedaannya. Bila seseorang mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya perempuan, sebab lelaki menurut kodratnya tidak haidl. Namun bila ia haidl tapi air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya khuntsa musykil. Bila sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur normal maka status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu mengalami haidl teratur pada waktunya sampai umur monopose, kehamilan dan melahirkan.33 Bila seorang khuntsa talah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau
32
As-Sayyid as-Syarif, Loc, Cit. Asy Syaafi‟I, Muhammad bin Idris, Al Um, Beirut: Darul Marifah Kitabiyah wan Nasyr tth. hlm. 129 33
28
perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan sebagainya.34 Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai dewasa tetap musykil.35 Jika seorang khuntsa susah ditentukan jenisnya, baik dengan dua ketentuan atau cara di atas, begitu ditegaskan benar-benar kemusykilannya. Kesulitan menentukan jenis kelaminnya membawa kesulitan dalam menetapkan pembagian warisnya. Para faradhiyun setelah mengadakan penyelidikan, menetapkan para ahli waris khuntsa musykil yang menimbulkan kemusykilannya dalam penyelesaian waris itu ada tujuh orang dan tercakup dalam empat jihat. a) Jihat Bunuwah (garis anak) Terdiri dari dua orang yaitu anak dan cucu. b) Jihat Ukhuwah (garis saudara) Terdiri dari saudara dan anak saudara. c) Jihat „Umumah (garis paman) Terdiri dari paman dan anak paman (keponakan) d) Jihat Wala‟ (perwalian budak) Yakni hanya satu orang maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan budaknya).36
34
Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Al Mirats fis Syariatil Islamiyah, Muassassatul Risalah, Beirut, 1986/1407 H hlm.175. 35 Ibid., hlm. 175. 36 Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 484
29
C. Pendapat Ulama’ Tentang Waris Khuntsa Musykil Para ulama‟ telah sepakat mengenai ketentuan kadar perhitungan waris bagi khuntsa musykil dengan mengidentifikasi perkiraan sebagi laki-laki dan sebagai perempuan. Tapi kemudian mereka berselisih pendapat dalam menerimakan bagian khuntsa musykil setelah di ketahui dua pekiraan. Menurut para ulama‟ bahwa dari hasil dua perkiraan tidak terlepas dari lima keadaan keadan, sebagai berikut: 1. Baik dikira-kira laki-laki maupun perempuan, khuntsa menerima bagian yang sama besarnya. 2. Perkiraan laki-laki lebih banyak penerimannya dari pada perempuan. 3. Penerimaan atas perkiraan perempuan dari pada perkiraan penerimaan laki-laki.37 Dari perkiraan penerimaan bagian laki-laki dan perkiraan bagian perempuan waris khuntsa musykil, para ulama‟ berbeda pendapat tentang caracara tau konsep pemberian waris terhadap khuntsa musykil. Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada khuntsa musykil ini:
1) Madzhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris khuntsa adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Namun halnya Imam Hanfi menentukan, untuk menunggu terlebih dahulu kejelasan si khuntsa tersebut, tapi jika masa tunggu telah berakhir
37
Ibid., hlm. 173.
30
namun khuntsa pun tetap belum jelas (khuntsa musykil) maka perhitungannya seperti penjelasan di atas.38 2) Madzhab Malikiyah, Hanabilah, Syiah Zaidiyah dan Syi‟ah Imamiyah, dalam satu pendapatnya, pemberian hak waris kepada para khuntsa musykil hendaklah
tengah-tengah
(separoh)
di
antara
kedua
bagiannya.39
Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian khuntsa.
Syaikh Ibnu Jibrin, dalam fatawa Islamiyah, khuntsa atau orang yang belum jelas statusnya, apakah ia seorang laki-laki ataukah seorang perempuan. Jika ditinggal mati ketika masih kecil dan setelah besar pun masih belum jelas statusnya, maka diberikan kepadanya setengah bagian laki-laki dan setengah bagian perempuan. Jika tidak demikian, maka bisa diberikan berdasarkan status yang diyakini atau ditangguhkan pemberiannya sampai dia baligh sehingga statusnya jelas.40 3) Madzhab Syafi‟i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan khuntsa musykil diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat
38
Muhammad Yusuf Musa, At-Tirkah Wal Mirats Fil-Islam,Kairo: Darul Ma‟rifah, hlm.
352, tth. 39 40
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo, 1998, hlm. 146. Ibnu Jibrin, Fatwa Islamiyah, Gersik: Ma‟had Al-Furqon, 2008, Juz, 3, hlm. 54.
31
yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan ulama‟ Syafi‟iyah.
41
di
perkuat dengan pendapat rajih ulama‟ Syafi‟iyah, Diantaranya itu Al-Imam Al-Mawardi. Argument pendapat yang muncul dan berbeda-beda antra ulama‟ulama‟ ahli faro‟id, menyuguhkan bermacam-macam konsep pembagin waris bagi khuntsa musykil, guna menghindari kevakuman hukum, dan berijtihad mencari penyelesaian masalah, suatu hal yang harus kita perhatiakan, baik kita kaji lebih dalam.
41
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995, hlm. 59.
BAB III PENDAPAT AL-IMAM AL-IMAM AL-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL
A. Biografi Al-Imam Al-Mawardi 1. Al-Imam Al-Mawardi Nama lengkap Al-Imam Al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia lahir di Basra 364 H/975 M, dan wafat di Bagdad 450 H/1058 M. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Al-Imam Al-Mawardi merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang terkenal, Ia juga merupakan tokoh terkemuka mazhab Syafi‟i. ia menjadi hakim Agung (Qâdi al-Qudât) dalam pemerintahan Abbasiyah disaat al-Qadir berkuasa. Sungguhpun demikian, ia termasuk penulis produktif, cukup banyak bukunya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari ilmu bahasa, sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan. 1 Al-Imam Al-Mawardi mempunyai reputasi tinggi di kalangan orangorang lama dalam barisan juru ulas Al-Quran. Ulasannya yang berjudul Nukat-wa‟luyun mendapat tempat tersendiri diantara ulasan-ulasan klasik dari Al Qusyairi, Al-Razi, Al-Isfahani, dan Al-Kirmani. Tuduhan bahwa
1
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1990, hlm. 61.
32
33
ulasan-ulasannya yang tertentu mengandung kuman-kuman pandangan Mu‟tazilah tidaklah wajar, dan orang-orang terkemuka seperti Ibn Taimiyah telah memasukkan karya Al-Imam Al-Mawardi ke dalam buku-buku yang bagus mengenai persoalannya. Ulasannya atas Al-Qur‟an popular sekali, dan buku ini telah dipersingkat oleh seorang penulis. Seorang sarjana Muslim Spanyol bernama Abul Hasan Ali telah datang jauh dari Saragosa di Spanyol, untuk membaca buku tersebut dari pengarangnya sendiri.2 Al-Imam
Al-Mawardi
juga
menulis
sebuah
buku
tentang
perumpamaan dalam Al-Qur‟an, yang menurut pendapat As-Suyuti merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Imam Al-Mawardi menulis, “salah satu dari ilmu Qur‟an yang pokok adalah ilmu ibarat, atau umpama. Orang telah mengabaikan hal ini, karena mereka membatasi perhatiannya hanya kepada perumpamaan, dan hilang pandangannya kepada umpama-umpamanya yang disebutkan dalam kiasan itu. Suatu perumpamaan tanpa suatu persamaan (misal), ibarat kuda tanpa kekang, atau unta tanpa penuntun.”3
2. Guru-gurunya Walaupun Al-Imam Al-Mawardi lahir di Basra, tapi ia dibesarkan di Bagdad. Dari ulama-ulama terkemuka di Baghad ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara guru-gurunya dalam bidang ilmu-ilmu agama : 2 3
Ibid, hlm. 62. Munawir Sadzali, loc. cit, hlm. 62.
34
Bidang hadis adalah:
a. Hasan bin Ali bin Muhammad Al-Jabali (sahabat Abu Hanifah AlJumahi) b. Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri. c. Muhammad bin Al-Ma‟alli Al-Azdi d. Ja‟far bin Muhammad bin Al-fadhl Al-Baghdadi. e. Abu Al-Qasim Al-Qushairi.
Bidang fiqh adalah:
1) Abu Al-Qasim Ash-Shumairi diBasrah. 2) Ali Abu Al-Asfarayni (Imam madzhab Syafi‟I di Baghdad).
Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri Al-Imam AlMawardi. Pada gurunya itulah ia mendalami mazhab Syafi‟i dalam kuliah rutin yang diadakan disebuah masjid yang terkenal dengan masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.4
3. Murid-muridnya
4
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, , 1996, hlm. 1162.
35
Diantaranya adalah:
a. Imam besar, Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib AlBaghdadi. b. Abu Al-Izzi Ahmad bin kadasy.5
4. Buku-Buku Peninggalannya
Diantara buku-buku karangan Al-Imam Al-Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut:
Pertama; Dalam fiqh,Yaitu:
a. Al-Hawi Al-Kabir b. Al-Iqna‟u
Dalam ilmu fiqih, inilah Al-Imam Al-Mawardi, menunjukkan suatu pemikarannya yang merujuk pada Al-Imam Al-Syafi‟i, atau condong pada pemikiran-pemikiran ulama‟ Syafi‟iyah, seperti dalam kitabnya, Al-hawi Alkabir. Buku ini ditulis oleh Al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib AlImam Al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Al-Imam Al-Muzani. Buku ini merupakan syarah Al-Mukhtashar yang sangat panjang.
6
Di dalamnya dikemukakan
pendapat-pendapat Al-Imam Al-Syafi‟i, juga pendapat ashshab Imam Syafi‟i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh 5
Abdul Aziz Dahlan, loc, cit. hlm. 1162. Abu Khasan Al-Mawardi, Al-Basriy, Al-Hawi al-Kabir, Ilmiyyah, tth. Jilid I, hlm. 3. 6
Beirut:
Darul Kutub al-
36
lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab Syafi‟iyah.
Kedua; Dalam fiqh politik, Yaitu:
1) Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah 2) Siyasatu Al-Wizarati wa Siyasatu Al-Maliki 3) Tashilu An-Nadzari wa Ta‟jilu Adz-Dzafari fie Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasatu Al-Maliki 4) Siyasatu Al-Maliki 5) Nashihatu Al-Muluk
Ketigal; Dalam Tafsir, Yaitu: a) Tafsiru Al-Qur‟anul Karim b) An-Nukatu wa Al-Uyunu c) Al-Amtsalu wa Al-Hikamu7
Kemudian ada juga kitab dalam bidang sastra diantaranya, Adabu AdDunya wa Ad-Dini, kemudian ada juga dalam bidang aqidah yaitu kitab A‟lamu An-Nubuwah.8
5. Pujian Para Ulama Terhadapnya
7
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, http://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/26/biografi-imam-mawardi/ 8 Muhammad Mu‟awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud, loc. cit.
37
Sejarawan Ibnu Al-Atsir berkata: “ Al-Imam Al-Mawardi adalah seorang Al-Imam.Abu Fadhl ibnu Khairun Al-Hafidz berkata: Al-Imam AlMawardi adalah orang hebat. Ia mendapatkan kedudukan tinggi dimata sulthan. Ia adalah salah seorang imam, dan mempunyai karya tulis bermutu dalam berbagai disiplin Ilmu. Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: Al-Imam AlMawardi termasuk tokoh ahli fiqh madzhab Al-Imam Al-Syafi‟i. Aku menulis darinya dan ia adalah orang yang berintegritas tinggi.9 Ada diantara para Ulama diantaranya adalah Al-Imam Ad-Dzahabi yang menuduhnya sebagai Mu‟tazili, tetapi oleh para ulama yang lain diantaranya Ibnu Al-Subki, dan Ibnu Hajr menyangkal hal itu. Walaupun memang benar bahwa ada sebagian pendapat-pendapatnya yang sejalan dengan
pendapat
sekte
Mu‟tazilah,
diantaranya
adalah
pertama,
pendapatnya berkaitan tentang kewajiban hukum dan pengamalannya apakah hal tersebut berdasarkan syariat atau akal? Al-Imam Al-Mawardi berpendapat bahwa hal tersebut berdasarkan akal. Kedua, pendapatnya tentang penafsiran satu ayat Al – A‟raaf, ia berkata : “ Allah tidak menghendaki penyembahan berhala-berhala.10 Menurut beberapa muridnya, menjelang wafat Al-Imam Al-Mawardi pernah mengatakan: “Buku-buku saya ada di si Fulan. Saya tidak akan mengeluarkannya, karena saya .khawatir saya tidak ikhlas . jika saya mati tolong pegang tangan saya. jika tangan saya bisa menggenggam, maka tulisan saya hanya sedikit yang dapat diterima, maka tolong ambil tulisan-tulisan 9
Abdul Aziz Dahlan, op. cit, hlm. 1163. Sirajuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi‟I, Jakarta: CV. Pustaka Tarbiyah, 2003, hlm. 213. 10
38
saya lalu buang ke suangai Trigis. Akan tetapi jika tangan saya terbuka, maka itu berarti diterima Allah”.
Si murid mengatakan: “Kemudian saya laksanakan pesannya begitu beliau meninggal. Ternyata tangan beliau terbuka. Maka saya tahu karangankarangannya diterima di sisi Allah. Lalu saya publikasikan”. 11 Al-Imam Al-Mawardi meninggal pada akhir bulan Rabi‟al Awal tahun 450 H dan di makamkan di Bab al Harb, Baghdad.
B. Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil Al-Imam Al-Mawardi dalam beberapa penjelasan dan keterangan mengenai ketentuan hukum waris bagi khuntsa musykil dan ketentuanketentuan hukum yang digunakan di dalamnya Al-Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir, Bab Mawaris Al-Khuntsa, menjelaskan:
ﺇ
11
Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001, hlm. 152. 12 Abu Khasan Al-Mawardi, Al-Basriy, op. cit., hlm. 168.
39
“Al-Imam Al-Syafi‟i berkata, ”khuntsa adalah apa yang ada pada dirinya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan atau tidak ada pada dirinya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan dan dibuatkan lubang sebagai jalan keluarnya air kencing, dan jika khuntsa itu musykil tetap tidak akan lepas keadaannya dari jenis lelaki atau perempuan. Dan apabila ada khuntsa musykil dengan dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan maka untuk menentukan khuntsa itu laki-laki atau perempuan, lihatlah, apabila air kencingnya keluar dari salah satu kedua alat kelaminnya maka itulah yang di hukumi, dan apabila air kencingnya keluar dari kelamin laki-laki (dzakar) maka berlaku baginya hukum laki-laki dalam kewarisan dan lainnya, dan adapun kelamin lainnya itu anggota tambahan, dan apabila air kencingnya keluar dari alat kelamin perempuan “farji” (vagina) maka berlaku baginya hukum perempuan di dalam kewarisan dan lainnya, dan adapun kelamin lainnya itu anggota tambahan”.
Dari riwayat Ibnu Abbas diriwayatkan sebagai berikut:
13
Artinya :”Diriwayatkan dari al-kalby dari abi soleh dari ibnu abbas dari Nabi SAW., sesungguhnya nabi telah ditanyai tentang anak yang dilahirkan terdapat kelamin laki-laki dan terdapat kelamin perempuan Nabi SAW., berkata: ”di wariskan dari mana ia mengeluarkan air kencingnya”. (HR. Ibnu Abbas)
Maksud hadist di atas adalah bagaimana ketika terdapat seorang anak yang memiliki alat kelamin dengan dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan maka hadis di atas menjelaskan cara mengidentifikasi dari mana ia mngeluarkan air kencing, sebagai ketentuan kewarisannya. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa untuk menentukan setatus khuntsa (apakah digolongkan berjenis kelamin laki-laki atau berjenis kelamin
13
Imam Al-Baehaki, Ma‟rifatu Al- Sunan Wal Ashar , Baerut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiah, hlm. 77 tth
40
perempuan adalah dengan cara mengidentifikasi indikasi fisik yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan (bukan penampilan pisikis atau/kejiwaan). Cara lain yang dilakukan untuk menentukan jenis kelamin khuntsa adalah dengan cara meneliti tanda-tanda kedewasaannya, sebab lazim antara orang laki-laki dan seorang perempuan terdapat tanda-tanda kedewasaan lainya.14 Mengenai konsep pembagian waris
khuntsa musykil setelah melihat
bagaimana kemusykilan tersebut tetap belum dapat di jelaskan baik dengan cara di atas, Al-Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir menegaskan, di dalam konsep kewarisan madzhab Syafi‟iyah bahwa, bagian waris khuntsa itu lebih sedikit (yang terkecil) dari bagian waris laki-laki dan bagian waris perempuan, bagian setiap ahli waris dan khuntsa diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris, sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya.
“Adapun khuntsa musykil para fuqaha‟ berbeda pendapat mengenai kewarisannya di dalam madzhab Al-Syafi‟i khuntsa mendapat lebih sedikit dari bagian waris laki-laki, atau perempuan. Dan ahli waris yang bersama khuntsa mereka diberi bagian lebih sedikit dari bagian waris laki-laki atau
14
Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Madzhab Syafi‟I, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), Cet I, hlm. 84. 15 Abu Khasan Al-Mawardi, Al-Basriy, op. cit., hlm. 169.
41
perempuan. Dan di tangguhkan sisa pembagian warisnya sampai ada kejelasan dari setatus khuntsa tersebut”. Al-Imam Al-Mawardi berpendapat ada dua sebab lebih utama yang menjadikan ketentuan penangguhan harta kewarisan khuntsa musykil.
16
“Sesungguhnya warisan tidak bisa di miliki, kecuali dengan kejelasan, tidak dengan keragu-raguan. Dan apa yang di katakana Al-Imam Al-Syafi‟i itu kejelasan, dan apa yang dikatakan selain dari Al-Imam Al-Syafi‟i (yang tidak terdapat kejelasan) adalah keragu-raguan”(dalam hal ini mengenai masalah setatus jenis kelamin khuntsa).
Sebab pertama, pewarisan tidak bisa di hakki, kecuali dengan ketentuan yang kejelasan (mngenai khuntsa bagaimana kejelasan setatus jenis kelaminnya) dan meyakinkan tanpa adanya keragu-raguan di dalamnya.
17
“Sesungguhnya semua hukum khuntsa selain waris tidak bisa dikerjakan kecuali yakin, begitu juga waris”.
16
Abu Khasan Al-Mawardi, loc. cit., hlm. 169. Ibid., hlm. 169.
17
42
Sebab kedua, pada dasarnya semua hukum mengenai khuntsa itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan yakin begitu pula mengenai ketentuan hukum kewarisannya tersebut haruslah dengan yakin. Misalnya, orang mati meninggalkan anak laki-laki dan anak khuntsa musykil, menurut pendapat Al-Imam Al-Mawardi sesuai konsep kewarisan madzhab Al-Syafi‟i bagian waris bagi anak laki-laki tersebut adalah setengah ½, dan bagian waris untuk anak khuntsa tersebut adalah seper tiga 1/3, dan ditahan 1/6 bagian waris lainnya, kalau jelas si khuntsa tersebut laki-laki maka bagian waris yang ditahan dikembalikan kepada khuntsa tersebut, kalau si khuntsa tersebut adalah perempuan maka bagian waris yang ditahan dikembalikan kepada laki-laki.18 Anak laki-laki
= 1/2
Anak khuntsa musykil
= 1/3
Bagian waris yang yang ditahan
= 1/6
Sampai status si khuntsa itu menjadi jelas masalahnya, bagian waris 1/6 tetap ditahan, atau kalau si khuntsa masih tetap diragukan maka ditawajubkan antara ahli waris, islah adanya perdamaian para ahli waris.19 Dalam hal ini juga di perkuat dengan pendapat ulama‟ Syafi‟iyah lainnya yang berpendapat tentang kewarisan khuntsa musykil. Al-Imam memaparkan:
18 19
Ibid., hlm. 169. Ibid, hlm. 170.
Al-Nawawi
dalam
kitabnya
Roudho
At-Tholibin,
43
“Dan jika ada khuntsa mewarisi dengan dua perkiraan, tapi mengambil salah satu perkiraan maka khuntsa di beri yang lebih sedikit, dan ada pun sisanya di tahan, dan sisa yang ditahan itu, menjadi hak orang yang akan mewaris bersama khuntsa yang sudah di perkirakan dari dua perkiraan”.
Contoh singkat yang menjelaskan tentang masalah khuntsa, Seorang mati meninggalkan dua anak perempuan, anak laki-laki dari anak laki-laki (khuntsa), dan saudra laki-laki. Maka dua anak permpuan tersebut mendapat bagian waris 2/3 dan sisanya di tangguhkan.21 Al-Imam Al-Saerazy dalam kitabnya Al-Muhadzab, menjelaskan ketentuan khuntsa musykil, dan apabila khuntsa tak dapat di ketahui setatus khuntsanya maka itu adalah khuntsa musykil, mengenai kewarisannya maka terlebih dahulu khuntsa tersebut di perkirakan laki-laki atau perempuan, khuntsa musykil mendapat seperti kewarisan perempuan maka apabila perempuan hanya seorang akan mendapat bagian waris separoh, dan apabila di antara khuntsa itu ada anak laki-laki, maka si khuntsa musykil tersebut mendapat bagian 1/3, dan anak laki-laki mendapat separoh, dan sisa 1/6 di tangguhkan (ditahan) karna khuntsa musykil itu masih setatus
20
Imam Abi Zakariya An-Nawawi, Roudho At-Tholibin, Bairut: Darul Ilmiyah, 676 H, Juz 5, hlm. 41. 21
Ibid hlm. 42.
44
diragukan. Ketika ada dua khuntsa maka bagian warisnya 2/3 dan sisanya di tangguhkan.22 Bila persoalan khuntsa jelas, penerimaan semua ahli waris disempurnakan dengan menambahkan bagian kepada mereka yang berkurang menurut penerimaan yang seharusnya mereka terima.
Bila
sampai waktu cukup tapi status khuntsa belum jelas maka semua ahli waris mengadakan perundingan damai (islah) untuk saling memberikan terhadap sisa yang ditahan. Sebab tanpa perundingan tidak ada jalan/cara yang dapat mengesahkan/ menghalalkan. Dan perundingan semacam ini adalah boleh/ sah, kendatipun menurut syarat hibah itu harus diketahuinya secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan kebutuhan atau dlarurat.
Bila
khuntsa diperkirakan dengan salah satu perkiraan menjadi terhalang, maka khuntsa itu dilarang menerima warisan (mahrum /mahjub). Dan bila salah satu ahli waris terhalang oleh perkiraan khuntsa lelaki atau perempuan, maka khuntsa tetap terhalang.23 Begitu pula jika ada salah seorang ahli waris terhalang apabila ia diperkirakan sebagai laki-laki atau perempuan, maka ia sebagai ahli waris harus terhalang sementara. Demikian menurut pendapat yang dapat dipakai sebagai pegangan . Di dalam madzhab Al-Syafi‟i. untuk ini Mandhumah Rahabiyah, mengisyaratkan sebagai berikut:
22
Abu Ishak Al-Syrazy, Al-Muhadzab, Bairut: Darul Kitab Ilmiyah, 674 H, Juz 2, hlm.
23
Fatchur Rahman op. cit. hal. 488.
418.
45
1.
Bila diantara orang-orang yang memperoleh warisan yang betul-betul banci dan jelas meragukan.
2.
Maka bagilah harta warisan untuknya yang paling sedikit, maka anda akan memperoleh system yang jelas akan kebenarannya.24 Konsep Amaliah Hak Waris Khuntsa Musykil, contoh terhadap
pembagian kewarisnya, dalam system konsep ulama‟ Syafi‟iyah dalam ketentuan “Memberikan atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk saling hibah menghibahkan sisa yang diragukan itu” Penjelasan mengenai penghitungan kewarisan khuntsa musykil dalam konsep madzhab Syafi‟iyah, seorang mati meninggalkan anak laki-laki dan anak khuntsa. Khuntsa diperkirakan lelaki dan
khuntsa diperkirakan
perempuan. a. Diperkirakan laki-laki. Asal masalahnya adalah dari 2, bagian ahli waris dari perkiraan laki-laki disini, berarti terdapat dua anak laki-laki dalam ahli waris,
yang
penerimaan bagian masing-masing adalah 1 dari asal masalah 2. b. Diperkirakan perempuan. Asal masalahnya adalah dari 3, bagian ahli waris dari perkiraan perempuan disini berarti terdapat satu anak laki-laki dan satu anak
24
Abdul Hamed Zahwan dan Agus Listianto, Hukum Waris, CV.Pustaka Mantiq,cet.1 tahun 1994. Hlm. 56.
46
perempuan, oleh karna itu maka bagian anak laki-laki adalah 2 dan bagian anak perempuan adalah 1 dari asal masalah 3. Karena kedua masalah ini belum sama besarnya, maka harus dicari asal masalah yang dapat mencakup kedua-duanya yang disebut asal masalah Jamiah (gabungan) hingga nilai dari kedua perkiraan itu sama. Untuk mencari asal masalah jumlah itu harus dilihat lagi ketentuan Tamatsul (beberapa suku bilangan) yang 12 bersamaan maqaam, Tabayun (dua angka yang berlebih kurang tapi keduanya tidak bisa habis dan harus dikalikan), Tawafuq (usaha menyamakan dua angka yang berlebih kurang) dan Tadakhal memasukkan bilangan kecil pada bilangan yang besar agar ada persamaan. Karena disini ada dua asal masalahnya yakni 2 dan 3 itu tabayu, maka asal masalah jamiahnya adalah 6 sebagai perkalian dari 2 x 3 = 6. 25 jelasnya sebagai berikut : 1) Khuntsa diperkirakan lelaki. Dari asal masalah 2 yang kemudian asal masalah jamiyahnya menjadi 6 dari hasil perkalian 2 dengan 3 Tabayun, kemudian bagian penerimaan dari asal masalah jamiyah 6, dua ahli waris laki-laki yang masing-masing mendapat bagian 3, dari penghitungan 1 x 6/2 = 3. 2) Khuntsa diperkirakan perempuan. Dari asal masalah 3 yang kemudian asal masalah jam‟iyahnya menjadi 6 dari hasil perkalian 2 dengan 3 Tabayun, kemudian bagian penerimaan dari asal masalah jamiyah 6, satu ahli waris laki-laki mendapat bagian 4
25
Fatchur Rahman, op. cit hlm. 491.
47
dan satu ahli waris perempuan mendapat bagian 2, dari penghitungan 2 x 6/2 = 4 dan 1 x 6/2 = 2. Jadi bagian yang diberikan kepada ahli waris menurut penghitungan diatas dalam pendapat Al-Imam Al-Mawardi yang juga sesuai dengan konsep kewarisan madzhab Syafi‟iyah adalah sebagai berikut: a) Anak laki-laki
=3
b) Khuntsa
=2
Jumlah
=5
(masih ada sisa 1 yang ditahan sampai jelas persoalannya atau ditawhubkan antar ahli waris).26 Contoh lain bagian waris khuntsa musykil dengan pengembangan ahli waris. Seorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak khuntsa. Bila anak khuntsa ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (jamiah) antara dua masalah, seperti dalam masalah munasakhht (pemindahan bagian seorang ahli waris kepada ahli waris lain, karna kematian ahli waris yang pertama sebelum pembagian harta pusaka di laksanakan). Bagian anak laki-laki adalah delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4), dan bagian anak banci lima
26
Ibid, hlm. 492.
48
(5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti.27
C. Istinmbat Hukum Al-Imam Al- Mawardi 1. Metode Istinbath Hukum Al-Imam Al-Mawardi Seperti halnya Ulama‟-ulama‟Syafi‟iyah lainnya dalam menentukan sebuah hukum Al-Imam Al-Mawardi juga menggunakan dasar-dasar hukum yang di gunakan Al-Imam Al-Syafi‟i, dalam menetapkan hukum berdasarkan kitabullah (Al-Quran), dan Sunnah, yang ijma‟nya tidak mengandung perbedaan pendapat. Al-Imam Al-Syafi‟i menyatakan, “Tidak di perkenankan memberikan hukum atau fatwa melainkan berdasarkan berita yang benar yang dating dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah atau apa-apa yang di sepakati oleh ahli ilmu yang tidak berbeda, atau dengan mengtadakan qiyas.28 Mengenai itu Al-Imam Al-Mawardi menetapkan ketentuan hukum atas dasar kebenaran lahir dan batin (yang nyata dan yang tersembunyi), Al-Imam Al-Mawardi juga menetapkan ketentuan hukum berdasarkan ijma‟ dan qiyas (perbandingan) namun qiyas lebih lemah dari pada ijma‟. Berikut ini di kemukakan secara singkat pokok-pokok pemikiran yang menjadi dasar hukum Al-Imam Al-Mawardi mengenai keempat dalil tersebut.
27
Ash Shobuny, op. cit., hlm. 56. Moch. Tolchah Mansoer, Noer Iskandar Al-Barsany, Andi Asy‟ari, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, 1985, hlm. 143. 28
49
1. Al-Qur‟an Al-Quran adalah kalamullah yang di turunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Di tuturkan secara mutawatir, atinya kumpulan wahyu, firman-firman Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia.29 Adapun yang di pindahkan tidak secara mutawatir tidak dinamakan Al-Qur‟an, karna Al-Qur‟an sesempurna-sesempurnanya seruan yang keadaannya
perkataan Allah SWT, yang mengandung
hukum-hukum syara‟ dan menjadi mu‟jizat bagi Nabi maka mustahil AlQur‟an itu tidak di pindahkan secara mutawatir.30 Sedangkan isi dalam Al-Qru‟an lainnya adalah: a. Tauhid, sebagai initi dari semua aqidah (kepercayaan), karena manusia ada yang menyembah berhala dan menyembah Allah. b. Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam hati dan menerapkan dalam jiwa arti hubungan antara makhluk dengan khaliqnya . c. Janji baik dan janji buruk, janji baik terhadap orang yang dikehendaki dan member kabar gembira dengan kebaikan pahala, janji buruk terhadap orang ynag tidak berpegang terhadap Al-Qur‟an dan di beri janji menyediakan dengan segala akibat-akibatnya. d. Menjelaskan jalan kebahagian dengan cara-cara melaluinya, agar mencapai kesenangan dunia akhirat
29 30
Hamid Al-Husaein,op. cit. hlm. 433. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003) cet. 3 hlm. 36.
50
e. Cerita-cerita dan sejarah-sejarah, sejarah orang yang berpegang pada peraturan Allah dan hukum-hukum agama yaitu para rosul dan orangorang salih dan sejarah orang-orang yang melampaui perintahperintah Allah dan tidak mengindahkan hokum-hukumnya secara dhahir, sedangkan, Allah memberikan pedoman ikhtiar dengan jalan yang baik dan mengetahui peraturan-peraturan Allah kepada manusia.31 Al-Imam Al-Syafi‟i menggunakan Al-Quran sebagai sumber pertama dalam menyelesaikan hukum, karena Al-Qur‟an itu baik lafalnya maupun maknanya bersumber langsung dari Allah sedang rosul itu hanya membaca dan menyampaikan wahyu.32 Begitu juga Imam Mawardi selaku ulama‟ Syafi‟yah mengunakan dasar utama atau merupakan dasar pokok dalam menentukan hukum. 2. As-Sunnah As-Sunnah secara bahasa berarti: jalan yang biasa dilaui atau cara yang senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatau yang baik atau buruk. Sunah menurut ahli ushul fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi saw. Berupa perbuatan, perkataan yang berkaitan dengan hukum.33
31
Imam Syafi‟I, Al-Risalah Fi Ilmu al-Ushul, (Mesir,al-Alamiah, tt.) hlm. 32. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Tej. Nur Iskandar, et al. Kaidah-Kaidah hokum Islam,(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), cet. 6 hlm. 57. 33 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, cet. 2, hlm. 38. 32
51
Berdasarkan definisi Sunnah yang di kemukakan ulama ushul fiqh di atas, Sunnah yang menjadi sumber kedua hukum Islam itu ada tiga macam: a. Sunnah Fi‟liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi saw. Yang dilihat atau di ketahui dan di sampaikan para sahabat kepada orang lain. b. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Nabi saw. Yang di dengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain. c. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw., tetapi nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegahnya Nabi saw, menunjukkan persetujuan Nabi saw.34 Dalam periwayatannya Sunnah di bagi menja tiga macam, mutawatir dan ahad. 1) Sunnah Mutawatir, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rosullah saw. Oleh sekumpulan perawi yang menurut kebiasaannya, individu-individunya itu tidak mungkin sepakat untuk berbohong, di sebabkan jumlah mereka yang banyak, sikap amanah mereka, kemudian dari kelompok perawi ini, sejumlah perwi yang sepadan dengannya meriwayatkan sunnah itu, sehingga sunnah itu sampai kepada kita dengan sanad masing-masing tingkatan dari para perawinya yang tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk
34
Ibid, hlm. 39.
52
berdusta, mulai dari penerimaan sunnah dari Rosul sampai datang kepada kita.35 2) Sunnah Masyhurah adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh seorang atau dua orang, atau tiga orang sahabat yang tidak menjadi jumlah tawatur (perawi hadits mutawatir), kemudian dari perawi atau para perawi seorang yang mencapai tawatur meriwayatkannya, kemudian sekelompok perawi yang sepadan dengannya meriwayatkan
dari mereka, dan dari
kelompk perawi ini sekelompok perawi yang sepadan dengan mereka meriwayatkan sunnah itu sehingga sunah itu sampai kepada kita dengan suatu sanad, dimana tingkat pertama dalam sanad itu yang perkataan Rosulullah atau yang menyaksikan tindakkan beliau hanya satu orang, atau dua orang, atau beberapa orang, yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran, sedangkan tingkatan-tingkatan sanadnya merupakan jumlah perawi yang mutawatir.36 3) Sunnah Ahad adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh perseorangan yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran. Dengan
suatu
sanad
yang
seluruh
tingkatannya
adalah
perseorangan, bukan kelompok yang mutawatir.37 Al-Imam Al-Mawardi mengunakan dasar hukum sunnah, sebagai dasar pokok kedua setelah Al-Quran, mengunakan dasar-dasar hadisthadist dalam penentuan hukum. 35 36 37
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 49. Ibid, hlm. 50. Ibid, hlm. 51.
53
3. Ijma‟ Ijma‟ adalah kesepakatan para mujtahid dan kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Atas suatu hukum syara‟dalam suatu kasus tertentu. Dan difinisi tersebut dapat di tarik beberapa pengetrtian tantang ijma‟yaitu: a. Terdapat beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru bisa terjadi apabila ada beberapa mujtahid. b. Lurus ada kesepakatan di antara mereka c. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah dinamakan ijma‟.38 Ijma‟ ada dua macam: 1) Ijma‟
qauli
ialah
dimana
semua
mujtahid
mengeluarkan
persetujuannya, baik dengan lisan maupun tulisan terhadap pendapat mujtahid lain, dalam bentuk ini tidak disyaratkan bahwa mereka berkumpul dalam satu tempat, tetapi cukup sepakat dalam satu pendapat, hasil ijma‟ yang seperti ini juga di sebut ijma‟qath‟i. 2) Ijma‟ sukuti yaitu para mujtahid dalam bentuk ini tidak memberikan pendapat, baik menerima atau menolak maka dengan diam mereka dinamakan ijma‟ sukuti dan ijma‟ sukuti baru dalam tahapan zanni. Al-Imam Al-Malik dan Al-Imam Al-Syafi‟I menganggap ijma‟ sukuti tidak dapat di jadikan sumber fiqih karena dengan diamnya
38
A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005), cet. 5, hlm. 74.
54
para mujtahid tidak menunjukkan persetujuan tetapi mungkin juga mereka tidak setuju namun mereka tidak mengeluarkan pendapat.39 Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma‟ itu bisa dari dalil qath‟I, yaitu Al-Qur‟an, Sunnah mutawatir, serta bisa juga berdasarkan dari dalil zhanni seperti hadist ahad dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma‟ yang dilakukan para sahabat tentang mandi wajib setelah gersetubuh dengan istri, landasan ini menurut mereka adalah hadist ahad.40 Ulama‟ Syafi‟iyah atau dalam madzhab Syafi‟I ijma‟ juga di jadikan salah satu hujjah/doktrin pemikiran hukum. Al-Imam Al-Syafi‟i yang pernah berguru kepada Al-Imam Al-Malik, mengatakan bahwa ijma‟ merupakan hujjah. Dalam system istinbat hukum Syafi‟I menempatkan ijma‟ pada urutan ke tiga setelah Al-Qur‟an dan AlSunnah.41 Jelas bagaimana madzhab Syafi‟iyah menjadikan ijma‟ sebagai dasar hukum setelah Al-Qur‟an dan Sunnah, merupakan hujjah di dalamnya, begitu Al-Imam Al-Mawardi menrerapkan ijma‟ dalamn dasar pemikiran hukumnya. 4. Qiyas Qiyas menurut bahasa adalah ukuran atau perbandingan dan menurut para fuqoha‟ adalahuntuk menamakan suatu proses diduksi
39
Syafi‟i Karim, Fiqih/Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 70. Nasrun Haroen, MA, op. cit, hlm. 59. 41 Hasbi Ash Shidqi, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazdhab Dalam Membina Hukum Islam, II. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. 1, hlm. 26-27. 40
55
melalui yang disebutkan oleh nash hukum terhadap yang tidak tercantum dalam bahasanya dan yang tidak diatur dalam pengerian nash. Sedang para fuqoha‟memberikan difinisi tentang qiyas mereka katakana qiyas adalah menghubungkan sesuatu peristiwa yang ada nash hukumnya dengan di samakan hukumnyadengan cara yang tercantum dalam nash itu karena adanya persamaandalam kedua peristiwa pada „illat hukumnya.42 Qiyas harus memiliki empat unsur ialah: a. Pokok (Ashal) Qiyas yang dimaksud dengan pokok qiyas ialahsuatu peristiwa yang sudah ada hukumnya, baik ditetapkan melalui AlQur‟an maupun Sunnah. b. Cabang (Faru‟) Qiyas yang di maksud dengan cabang qiyas ialah sesuatu yang belum ada hukumnya. Disyaratkan pada cabang bahwa kuantitas sebab yang ada pada cabang dan pokok sekurangnya sama atau lebih berat dari yang ada pada pokokdan hukum cabang belum di tetapkan baik melalui Al-Quran maupun Sunnah.43 c. Hukum (Ahkam), yakni ketetapan hukum pada pokok dan ia akan di brlakukan sama pada cabang. d. „illat ialah sifat atau keadaan yang terdapat pada pokok dan ia menjadi dasar pensyari‟atan hukum. Pemberlakuan hukum pokok pada cabang bertitik tolak dari kesamaan‟illat antara keduanya yaitu pokok dan cabang. Alyasa Abu Bakar menjelaskan bahwa „illat itu 42 43
Syafi‟I Karim, op. cit, hlm. 70. Ibid, hlm. 71.
56
merupakan sesuatu yang harus jelas, relative dapat di ukur, mengandung relevansi sehingga kuat dengan dialah yang menjadi alasan penetapan satu hukum.44 Keempat hukum yang disebutkan di atas merupakan patokan dalam melakukan qiyas. Bagi oaring yang akan melakukan qiyas terlebih dahulu harus mengetahui dan meneliti nash dan hukumyang terkandung didalamnya. Setelah itu meneliti „illat yang di pergunakan syar‟I sebagai sandaran hukum di dalam nash tersebut dan‟illat pada persoalan baru (cabang) yang tak di sebutkan oleh nash, jika „illat sudah diketahui antara pokok dan cabang maka segera dilakukan qiyas di antara keduanya. orang yang akan melakukan „illat dituntut berhati-hati dalam memahami nash dan hukum serta harus cerma daam meneliti „illat yang trdapat pada cabang, apakah ada relevansinya dengan pokok yang di jadikan sebagai sandaran qiyas.45 Dalam madzhab Al-Syafi‟i, qiyas menduduki tempat terakhir dalam kerangka teori hukum Al-Syafi‟i, ia memandangnya lebih lemah dari pada ijma‟, ia tak membolehkan penggunaan qiyas apabila ada tradisi (khabar), ia menganggapnya suatu hal yang perlu dalam keadaan darurat (manzilatu dharuratin) . sebagai mana di perbolehkannya tayamum apabila tidak di temukan air demikian katanya, demikian juga halnya dengan qiyas. Lebih jauh ia berpendapat karna tidaklah sah
44 45
Romli, Muqaranah Mazdhib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 104. Abdul Wahab Khalaf, op. cit, hlm. 25.
57
bersuci dengan tayamum, apabila air dapat di peroleh, maka demikian penggunaan qiyas tidaklah sah apabila ada khabar.46
2. Metode Istinbath Hukum Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil Al-Imam Al-Mawardi menggunakan kaidah fiqhiyah sebagai metode penentuan dasar hukum kewarisan khuntsa musykil. Adapun alasan-alasan yang mendorong penggunaan kaidah fiqhyah adalah sebaga berikut. 1. Di dalam Al qur‟an belum di temukan ayat yang menjelaskan serta mengatur kewarisan khuntsa musykil. 2. Dalam Hadits ada yang mengatur kewarisan khuntsa musykil
47
Artinya :”Diriwayatkan dari al-kalby dari abi soleh dari ibnu abbas dari Nabi SAW., sesungguhnya nabi telah ditanyai tentang anak yang dilahirkan terdapat kelamin laki-laki dan terdapat kelamin perempuan Nabi SAW., berkata: ”di wariskan dari mana ia mengeluarkan air kencingnya”. (HR. Ibnu Abbas)
Akan tetapi, telah terdapat kesulitan dalam menentukan jenis kelami secara pasti terhadap khuntsa musykil yang alat kelaminnya berfungsi sama baik.
46 47
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 50. Imam Al-Baehaki, loc. cit,. hlm. 177
58
3. Dalam ijma‟ telah diatur bahwa identifikasi jenis kelamin khuntsa musykil dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, dengan melihat tampilan fisik serta tanda-tanda kedewasaaanya (haid atau mimpi basah). Akan tetapi belum diatur bagi khuntsa musykil yang mengalami mimpi basah serta haid. 4. Hukum mengenai kewarisan khuntsa musykil belum dapat di qiyaskan dengan dasar hukum apapun. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi (1994), penggunaan kaidah fiqih bagi peminat hukum Islam memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah: 1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum, karena kaidah telah di jadikan patokan yang mencakup banyak persoalan. 2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan,
karena
kaidah
dapat
mengelompokkan
persoalan-persoalan berdasarkan „illat yang di kandung. 3. Mendidik orang yang berbakat fikih dalam melakukan analogi (ilbaq) untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru. 4. Memepermudah
orang
yang
berbakat
fiqih
dalam
mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu. 5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
59
6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian mempermudah cara memahami furu‟ yang bermacam-macam.48 Kaidah fiqhiyah yang digunakan Al-Imam Al-Mawardi adalah kaidah pokok fiqhiyah yang berbunyi:
49
“Keyakinan, tidak hilang dengan keraguan”. Dalil „aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath‟I yang meyakinkan. Atas dasar itu lah di katakana bahwa keyakinan tidak boleh di rusak oleh keraguan.50 Disebutkan dalam kitab Al-Imam Al-Mawardi “Al-Hawi Al-Kabir”, Al-Imam Al-Mawardi berpendapat “Sesungguhnya orang yang mewaris itu tidak bisa mendapat haknya, kecuali dengan ketentuan sesungguhnya, tidak dengan keragu-raguan.”, dalam madzhab Al-Sayfi‟i, memberikan bagian sedikit kepada khunsa musykil dan ahli waris kemudian menangguhkan yang di ragukan dalam pembagian itu lebih baik karena ada dua sebab yang yang dapat di tarik garis besarnya dalam kaidah fiqhiyah di atas: 51
48
Jaih Mubarok, Kidah Fiqih, Sejarah Dan Kaidah-Kaidah Asasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002, hlm. 28-29. 49 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm. 26 50 Muhamad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz Fi Idbah Qawa‟id Al-Fiqh Al-Kulliyat (Beirut: Mu‟asah Al-Risalah, 1983), hlm. 68. 51 Abu Khasan Al-Mawardi, loc. cit., hlm.
60
“Sesungguhnya warisan tidak bisa di miliki, kecuali dengan kejelasan sesungguhnya, tanpa keragu-raguan.
Sebab yang pertama, orang yang mewaris tidak bisa mendapat hak warisnya, kecuali dengan ketentuan yang pasti (yang di maksud disini adalah bagaimana setatus kejelasan jenis kelamin khuntsa) dan meyakinkan tanpa adanya keragu-raguan di dalamnya. Sebab yang kedua, pada dasarnya semua hukum khuntsa itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan yakin begitu pula mengenai ketentuan hukum waris tersebut haruslah dengan yakin. Di jelaskan juga dalam kitab Al-Imam Al-Nawawi Roudho AtTholibin, yang termasuk dalam kaidah fiqhiyah:
52
“Harta benda yang ditahan sebab khuntsa, pasti penahanannnya selama khuntsa masih pada kemusykilannya”.
Yang dimaksud dari berbagi hal diatas adalah, madzhab Al-Syafi‟i berpendapat bahwa dalam memutuskan kasus-kasus waris terutama waris khuntsa musykil haruslah ada keyakinan sehingga harta pusaka tersebut dapat di bagikan kepada ahli warisnya (yang berhak) setelah di putuskan.
52
Imam Abi Zakariya An-Nawawi, loc. cit., hlm.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT Al-IMAM Al-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL
A. Analisis Terhadap Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil Setelah penulis memaparkan secara keseluruhan tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, batalnya pusaka dan aspek-aspek yang lainnya serta pendapat yang di sampaikan oleh para ulama‟dan khususnya AlImam Al-Mawardi tentang warisan khuntsa musykil, maka pada bab ini penulis akan mengemukakan analisis secara khusus terhadap pendapat AlImam Al-Mawardi tentang khuntsa musykil serta implikasinya. Dalam bab sebelumnya yaitu bab III telah penulis jelaskan pendapat Al-Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir mengenai ketentuan waris bagi khuntsa musykil, Al-Imam Al- Mawardi
berpendapat bahwa
dalam madzhab Al-Syafi‟i menentukan hak waris khuntsa musykil pertama brdasarkan ketentuan hadis yang menyebutkan, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara / jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijma‟ para fuqaha dan juga faradliyun. kemudian diteliti terlebih dahulu yang lebih berfungsi, zakarnya atau farjinya, teliti pula tanda kedewasaannya, bila sudah dewasa secara biological. Bila khuntsa talah jelas status hukumnya, maka sudah dapat ditentukan apakah khuntsa tersebut berjenis kelamin lelaki atau perempuan, seketika itu
61
62
pula berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, pergaulannya dan dalam hal kewarisannya. Apabila tanda-tanda di atas bisa diketemukan dengan mudah, maka jelaslah status khuntsa tersebut ( laki-laki tau perempuan), ini disebut khuntsa ghoirul musykil. Tetapi apabila setelah diteliti tanda-tanda tersebut masih meragukan, maka ia di sebut khuntsa musykil.1 Mengenai ketentuan kadar perhitungan waris bagi khuntsa musykil para
ulama‟
ahli
faroi‟d
ikhtilaf
(mencari
jalan
keluar)
dengan
mengidentifikasi perkiraan sebagi laki-laki dan sebagai perempuan. Tapi kemudian mereka berselisih pendapat dalam menerimakan bagian khuntsa musykil setelah di ketahui dua pekiraan. Al-Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir, menegaskan bagaimana ketentuan kadar penghitungan waris bagi khuntsa musykil dalam kalangan madzhab Syafi‟iyah adalah bagian setiap ahli waris dan khuntsa diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan ulama‟ Syafi‟iyah.
1
Muslih Maruzi, op. cit., hlm. 86.
63
2
“Adapun khuntsa musykil para fuqaha‟ berbeda pendapat mengenai kewarisannya di dalam madzhab Al-Syafi‟i khuntsa mendapat lebih sedikit dari bagian waris laki-laki, atau perempuan. Dan ahli waris yang bersama khuntsa mereka diberi bagian lebih sedikit dari bagian waris laki-laki atau perempuan. Dan di tangguhkan sisa pembagian warisnya sampai ada kejelasan dari setatus khuntsa tersebut”. Menurut pendapat Al-Imam Al-Mawardi “Sesungguhnya orang yang mewaris itu (pewaris) tidak bisa mendapat haknya, kecuali dengan ketentuan sesungguhnya, tidak dengan keragu-raguan.”. 3
“Sesungguhnya warisan tidak bisa di miliki, kecuali dengan kejelasan sesungguhnya, tidak dengan keragu-raguan”.
Memberikan bagian sedikit kepada khuntsa musykil dan ahli waris kemudian menangguhkan yang di ragukan dalam pembagian itu lebih baik dan lebih meyakinkan karena ada dua sebab Sebab pertama, orang yang mewaris tidak bisa mendapat hak warisnya, kecuali dengan ketentuan yang pasti dan meyakinkan tanpa adanya keraguraguan di dalamnya. Jelas bagaimana melihat pendapat dari kalanga ulama‟ Syafi‟iyah tentang penangguhan harta, bahwa penghitungan dua perkiraan
2 3
Al-Mawardi, loc, cit., hlm. 169 Ibid., hlm. 169
64
masih dalam tahap perkiran, guna mengantisipasi setatus jenis kelamin khuntsa, akan lebih meyakinkan bagi ahli waris. Sebab kedua, pada dasarnya semua hukum itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan yakin begitu pula mengenai ketentuan hukum waris tersebut haruslah dengan yakin. Tentunya sebab kedua ini semakin memperjelas kententuan penangguhan harta bagi khuntsa. Semua hukum harus dijalankan dengan penuh keyakinan begitupula mengenai hukum waris haruslah meyakinkan pembagiannya bagi para ahli waris. Dalam
kitab
Mughni
Al-Muhtaj
dijelaskan
juga
mengenai
penangguhan harta waris bagi khuntsa musykil.
“Dan hak ahli waris lainnya (bersama dengan khuntsa) itu di tahan untuk yang diragukan di dalam pembagiannya, sehingga jelas ketentuanya”. Jelas dalam dua kalimat di atas bahawasanya khuntsa berhak atas waris, namun dari pembagian itu haruslah ada bagian yang tersisa untuk ditangguhkan hingga khuntsa tersebut jelas keadaannya. Jadi para ulama‟ Syafi‟iyah sepakat adanya penangguhan harta dalam pembagian waris khuntsa musykil tersebut. Sesuai dengan pendapat madzhab Al-Syafi‟i bahwa, kadar penghitungan waris bagi khuntsa musykil adalah bagian setiap ahli waris dan khuntsa diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena 4
Asy-Syarbiny, op. cit., hlm. 51.
65
pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Maksud makna memperlakukannya dengan yang lebih sedikit ialah bila ia mewarisi dalam setiap keadaan dan pewarisnya sebagai perempuan lebih sedikit, maka ia pun dianggap perempuan. Bila mana warisnya sebagai lakilaki lebih sedikit, maka ia pun di anggap laki-laki. Bilamana dalam kedua anggapan itu ia tidak mendapat waris maka nihillah bagiannya. Begitupula jika salah seorang pewaris tidak mendapat apa-apa bersama khuntsa dengan menganggapnya laki-laki dan perempuan. Inilah pendapat yang di andalkan menurut madzhab Al-Syafi‟i dan itulah yang di isyaratkan oleh penyusun Mandhumatur Rahbiyah dalam perkataan: Jika khuntsa yang berhak atas harta dan jelas kerumitannya maka bagilah dengan yang lebih sedikit berdasar keyakinan tentu kau peroleh hak yang jelas dalam pembagian. 5
Namun dengan itu haruslah menangguhkan sisa dari harta pusaka tersebut hingga menunggu jelas bagaimana setatus kemuskilannya, dan menjadi lebih jelas bagiannya. Dalam beberapa pendapat fuqoha‟, beberapa pendapat yang
madzhab lainnya menyebutkan
berbeda dengan pendapat madzhab Al-Syafi‟i
diantaranya:
5
Muchamad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris, Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1992, hlm. 170-171.
66
Pendapat yang di kemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan diikuti oleh KUHW Mesir ialah: Memberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan antara laki-laki dan perempuan kepada khuntsa musykil, dan sisanya kepada ahri waris lain. Maksudnya apabila di perkirakan laki-laki ternyata bagiannya lebih kecil dari pada kalau di perkirakan perempuan, maka si khuntsa, di beri bagian laki-laki begitulah sebaliknya.6
“Didalam madzhab Hanafiyah, pada fatwanya mengambil ketetapan untuk khuntsa musykil itu lebih sedikit bagiannya”.
Maksud dari pendapat di atas ialah setelah khuntsa diprkirakan antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan lalu khuntsa di berikan bagian terkecil, pendapat ini hampir sama dengan kalangan madzhab Syafi;iyah namun dalam hal ini tidak ada sisa harta yang di tangguhkan. Namun halnya imam hanfi menentukan, untuk menunggu terlebih dahulu kejelasan si khuntsa tersebut, tapi jika masa tunggu telah berakhir namun khuntsa pun tetap belum jelas (khuntsa musykil) maka perhitungannya seperti penjelasan di atas, sesuai dengan ketentuannya.
8
6 7
354.
Muslih Maruzi, loc. cit. Muhamad Mustafa Salby, Ahkam Al-Mawaris, Al-Fiqh wa Al-Qonun, Beirut: 1978, hlm.
67
“Imam Malik pernah ditannya tentang khuntsa, maka Al-Imam AlMalik berkata, saya tidak tau tentang khuntsa baik khuntsa itu laki-laki maupun perempuan, di dalam suatu riwayat Al-Imam Al-Malik menjadikan khuntsa itu laki-laki, juga dalam suatu riwayat dari Imam Malik bahwa khuntsa itu di beri separoh waris laki-laki dan separoh waris perempuan, dan ini juga perkataan dari Ibn Abbas, Sa‟abiy, Ibn Abu Lail, dan yang paling terakhir adalah perkataan dari Abu Yusuf”.
Sedang dalam pendapat madzhab Malikiyah di sebutkan bahwa bagian waris untuk khuntsa musykil ialah Orang khuntsa itu di beri bagian rata-rata dari dua bagian, maka masalah itu dipecah menjadi dua. Kemudian bagian itu di satukan dalam kedua masalah dan di bagi dua, hasilnya itulah yang menjadi bagian khuntsa.9 Maksud dari pendapat madzhab Al-Maliki diatas ialah khuntsa tersebut mendapat separoh dari bagian ahli waris lainnya, dan juga tak menyisakan harta untuk ditangguhkan pula. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan (laki-laki dan perempuan), kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian khuntsa. Dalam hal ini penulis mencoba menganalisis pendapat dengan mengelompokkan
masing-masing
pendapat
ulama‟-ulama‟
madzhab
mengenai konsep kewarisan khuntsa musykil tersebut secara ringkas, guna mencari kesimpulan setiap pendapat satu samalainnya bagaimana yang sesuai dengan
pembahasan
penulis
mengenai
kewarisannya.
8 9
Al-Mawardi, loc. cit., 169 Muchamad Ali Ash-Shabuni, op. cit., hlm. 169.
ketentuan-ketentuan
konsep
68
Adanya perbedaan pendapat antara ulama‟-ulama‟ madzhab mengenai kewarisan khuntsa musykil, sesuai dengan penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan diatas, penulis membuat tabel pengelompokkan pendapat sesuai ulama‟ madzhab masing-masing dengan keterangan-keterangan di dalamnya. Lebih jelasnya seperti tabel di bawah ini:
No
1.
Menurut
Bagian
Madzhab
Khuntsa Musykil
dan Imam
dan Ahli waris
Syafi‟iyah
Mereka
Dengan ketentuan
diberikan 1. Jika
hasil
Keterangan
dua 1. Kalau
bagian yang
perkiraan,
terkecil dan yang
berlebih
meyakinkan
mereka diberikan
khuntsa
dua perkiraan laki-
bagian
menjadi
laki
terkecil.
dari
dan
perempuan,
untuk tangguhkan.
kurang,
yang
hanya
menerima harta di
yang ditahandiberi
menurut satu
persoalan si
jelas, jumlah
2. Jika
sehingga menyisakan
kemudian
salah perkiraan
kan
yang berhak.
saja,
mereka 2. Kalau
diberi
bagian
yang meyakinkan. 3. Jika
hasil
dua
kepada
tidak
menjadi jelas,
harus
diadakan
69
perkiraan
sama,
tidak
ada
perjanjian tawahub
persoalan. 2.
Hanafiyah
1. Khuntsa
1. Jika si khuntsa Jika perkiraan
a.
Abu Yusuf
mendapat
b.
Qanun
bagian
Al-mawarist
terkecil
(K.U.H.W.
dua
Mesir)
laki-laki
terhijab, tak perlu tersebut yang
perkiraan dan
2. Bagian
dari perkiraan
laki-laki
dan
perempuan. Malikiyah
Separoh
kondisi
dapat kenyataannya,
mempusakai dan pembagian dalam
yang
terbesar
3
meleset
dari 2. Jika dalam suatu dengan
perempuan.
dua
diberi.
kondisi semula
yang lain tidak dibatalkan, dapat
dirubah
mempusakai, tak dengan perlu ada yang pembagian ditahan untuknya. yang baru.
jumlah 1. Jika
hasil
dua
dua perkiraan laki-
perkiraan
laki
berlebih kurang,
perempuan.
dan
diberi
½
duaperkiraan. 2. Jika
hanya
menerima menurut
salah
70
satu saja,
perkiraan diberi
½
nya. 3. Jika
hasil
dua
perkiraan
sama
diberi
salah
satunya.
Di dasari dari sebuah hadist dan juga sudah menjadi kesepakatan para ulama‟(ijma‟) mengenai ketentuan waris bagi khuntsa melalui tanda-tanda yang telah di sebutkan sebelumnya, para ulama‟ Madzhab ikhtilaf mengenai penghitungan waris bagi khuntsa, ketika khuntsa tetap pada kemusykilannya terhadap istinbath hukum yang ada. Para ulama‟ dituntut untuk berijtihad terhadap masalah yang memang tidak terdapat dalam dasar-dasar hukum yang telah ditetapkan. Melihat pemaparan tabel di atas mengenai perbedaan ikhtilaf para ulama‟ Madazhab dan pembahasan yang dikhususkan terhadap pendapat ulama‟ Syafi‟iyah yang dalam hal ini dikhususkan pembahasannya dalam kitab Al-Imam Al-mawardi, penulis lebih cenderung sepakat terhadap pemikiran dan ijtihad para ulama‟ Syafi‟yah dan pemaparan pendapat AlImam Al-Mawardi tentang penentuan kadar penghitungan waris bagi khuntsa musykil, dengan ketentuan bagian setiap ahli waris dan khuntsa diberikan dalam jumlah yang paling sedikit, sedangkan sisanya (dari harta waris yang
71
ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Konsep penghitungan waris khuntsa musykil sesuai dengan apa yang dijelaskan Al-Imam Al-Mawardi sesuai dalam konsep penghitungan madzhab Al-Syafi‟i seperti contoh penempghitungan waris khuntsa musykil di bawah ini: Apabila seorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari, anak lakilaki dan anak khuntsa musykil, harta warisannya sejumlah Rp 24.000.000,dengan penghitungan dua perkiraan, diperkirakan laki-laki dan diperkirakan permpuan, bagian masing-masing adalah: 1. Dengan perkiraan laki-laki Ahli waris
Bagian Asal
Penghitungan
Penerimaan
Masalah
hak waris
harta waris
Anak laki-laki
½
24
24 x ½
12. 000.000,-
Anak khuntsa
1/3
-
24 x 1/3
8.000.000,-
Jumlah
20.000.000,-
Dari hasil pembagian tersebut masih ada sisa harta sebesar (Rp 24.000.000,- − Rp 20.000.000,-) = Rp 4.000.000,- sisa harta tersebut ditangguhkan hingga setatus khuntsa tersebut menjadi jelas atau kalau si khuntsa masih tetap diragukan maka ditawajubkan antara ahli waris, islah adanya perdamaian para ahli waris (diselesaikan menurut kesepakatan ahli waris).
72
2. Dengan perkiraan perempuan. Ahli waris
Bagian Asal
Penghitungan
Penerimaan
Masalah
hak waris
harta waris
Anak laki-laki
2/3
24
24 x 2/3
16. 000.000,-
Anak khuntsa
1/4
-
24 x ¼
6.000.000,-
Jumlah
22.000.000,-
Dari hasil pembagian tersebut masih ada sisa harta sebesar (Rp 24.000.000,- − Rp 22.000.000,-) = Rp 2.000.000,- sisa harta tersebut ditangguhkan hingga setatus khuntsa tersebut menjadi jelas atau kalau si khuntsa masih tetap diragukan maka ditawajubkan antara ahli waris, islah adanya perdamaian para ahli waris (diselesaikan menurut kesepakatan ahli waris). Penulis sependapat dengan pendapat dan alasan Al-Imam Al-Mawardi diatas, menurut penulis hal tersebut sesuai dengan prinsip penetapan hukum waris dan hukum syara‟ lainnya. Menetapkan suatu hukum haruslah meyakinkan dan jauh dari keragu-raguan. Yang pada dasarnya kehati-hatian itu lebih meyakinkan demi kemaslahatan, dengan alasan yang tepat, menurut penulis penerapan kadar penghitungan waris bagi khuntsa untuk membagikan harta yang terkecil kepada khuntsa dan ahli waris dengan menangguhkan sisa harta pembagian tersebut lebih meyakinkan kepada setiap ahli waris, sampai jelas setatus khuntsa tersebut laki-laki atau perempuan kemudian dibagikan terhadap ahli waris yang berhak. Apabila setatus khuntsa tetap tidak menjadi
73
jelas agar mencapai kemaslahatan bersama, maka harus diadakan perjanjian tawahub (saling menghibahkan) para ahli waris, menurut penulis hal itu lebih mencerminkan rasa keadilan tanpa saling merugikan satu sama lain. Penulis ingin menambai sedikit keterangan lain dalam penyelesaian setatus jenis kelamin khutsa musykil, di massa modern saat ini dunia kedokteran jelas semakin maju dan canggih dengan peralatan-peralatan yang ada pada saat ini beberapa masalah kedokteran terdahulu pastilah dapat di selesaikan. Seperti masalah khuntsa musykil (orang yang memiliki dua alat kelamin sekaligus/vagina dan penis) tersebut, Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada bagian luar tidak sama dengan bagian dalam, misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan memiliki penis atau memiliki keduanya ( penis dan vagina), ada juga yang memiliki kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya. Bahkan ada yang tidak memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lobang vagina dan hanya lubang kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis.10 Dengan ketentuan jelas bagaimana ketika tanda-tanda yang telah di parparkan dalam bab sebelumnya oleh para Farodliyun dapat di ketahui dengan benar-benar jelas. Maka dapatlah di pastikan pengoprasian penentuan salah satu alat kelamin tersebut sesuai dengan keputusan di atas. Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
10
Isnet Media, http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/Islam/Waris/Banci.html.
74
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya. Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. 11 Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Jadi status kewarisannya dengan berpedoman pada indikasi fisik bukan kepada jiwa, sepanjang cara tersebut tidak sulit dilakukan. Bila orang khuntsa talah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan 11
Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), j. IV. hlm. 693.
75
sebagainya. Dalam hal yang sudah jelas ini sebaiknya dimohonkan putusan, pengadilan tentang status hukumnya lelaki atau perempuan agar ada kepastian hukumnya dan menghindari sifat mendua dalam pergaulan dan jenis kelamin yang sudah jelas ini kemudian ditegaskan dalam kartu identitas seperti KTP, SIM, ATM, dan sebagainya. Namun semua itu pastilah ada pengecualianya baik dari kesehatan dan hal lain yang justru menimbulkan kemadharatan, masalah khuntsa memang sangat jarang untuk kita temui apalagi menyangkut masalah kewarisannya, tetapi alangkah lebih baiknya kita berfikir kedepan demi kemaslahatan bersama. Penulis tetap lebih sepakat terhadap pendapat
Al-Imam Al-
Mawardi dan ulama‟ Syafi‟iyah lainnya, karena menurut penulis kesuatu hati-hatian lebih baik dari pada terjerumus kepada kesalahan yang bersifat syar‟i.
B. Analisis Terhadap Metode Istinbat Hukum Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil Istinbat merupakan sistem atau metode para ulama‟ guna menemukan atau menetapkan suatu hukum. Istinbat erat kaitannya dengan fiqh, karena fiqh tidak lain adalah ijtihad para ulama‟, dalam menetukan suatu hukum. Menurut Al-Iman Al-Syafi‟i, ia tidak melihat pendapat seorang tertentu yang di pakai sabagai hujjah. Al-Imam Al-Syafi‟i membolehkan menolak pendapat para sahabat secara keseluruhan serta melakukan ijtihad untuk mengistimbatkan hukum. Hal ini lantaran pendapat mereka merupakan ijtihad
76
secara individual yang dilakukan person-person yang tidak ma‟sum. Begitupula sahabat tersebut boleh menolak pendapat sahabat lainnya, yang berarti mujtahid periode berikutnya boleh menolak pendapat sahabat.12 Jelas pada dasarnya penjelasan penggunaan ijtihad di atas, menurut penulis ijtihad sudah di laksanakan jauh pada massa sahabat terdahulu, setelah Rasulullah saw wafat. Namun seorang mujtahid, bukan sembarang harus melalui ketentuan yang telah di syaratkan untuk menjadi seorang mujtahid dalam berijtihad. Oleh karna itu ijtihad merupakan salah satu jalan untuk memecahkan sebuah masalah hukum untuk kemaslahatan umat tenyunya, seorang ahli hukum mengerahkan segala kemampuan yang ada di dalam mengistinbathkan yang amaliyah dari dalil-dalil yang tafsiliy. Begitu juga masalah khuntsa musykil yang termasuk problem genetika manusia, yang menimbul kan kerancauan dalam permasalah menentukan bagian warisnya, dengan jalan ijtihadlah para ulama‟memecahkannya. Berdasarkan firman Allah SWT :
Artinya :”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan 12
Abdul Wahab Khalaf, loc. cit. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jakarta: Lembaga Percetakan Departemen Agama RI, 2009, Jilid, 9, Juz, 26, hlm. 419. 13
77
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujuraat, Ayat: 13) Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Karena itu setatus hukum yang di berlakukan oleh agama terhadap seseorang dilihat dari keadaannya secara lahir, termasuk setatus hukum menurut jenis kelamin. Hal ini juga di jelaskan oleh Rosulullah SAW dalam sebuah sabdanya, bahwa ia di perintah Allah SWT menetapkan hukum berdasarkan fakta yang tampak, sedang Allah SWT menetapkan atau mengetahui segala yang tidak tampak atau tersembunyi. (HR. dari Abu Sa‟ad al-Khudri).14 Berdasarkan sebuah hadist yang menetapan kewarisan orang khuntsa menurut cara / jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijma‟ para fuqaha dan juga faradliyun.
Artinya :”Diriwayatkan dari Al-kalby dari Abi Soleh dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW., sesungguhnya nabi telah ditanyai tentang anak yang dilahirkan terdapat kelamin laki-laki dan terdapat kelamin perempuan Nabi SAW., berkata: ”di wariskan dari mana ia mengeluarkan air kencingnya”. (HR. Ibnu Abbas)
14
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Hoeve, 1996, J. 6, hlm. 934. 15
Imam Al-Baehaki, loc, cit.
78
Menurut penulis dari hadist yang menjelaskan tentang jalan kewarisan khuntsa musykil tersebut sudah menjadi patokan dasar hukum, karna jelas dalam Sunnah (hadist), ijma‟ para fuqaha‟dan juga faradliyun yang telah disepakati merupakan dasar-dasar hukum, selain dalam Al-Qur‟an tentang masalah kewarisan, yang telah disampikan penjelasannya di bab sebelumnya, begitu pula pada kalangan ulama‟ Syafi‟yah yang dalam hal ini di antaranya adalah Al-Imam Al-Mawardi pada kitabnya sebagai kajian pokok penulis. Namun para ulama‟ berbeda pendapat tentang cara-cara atau konsep pemberian waris terhadap khuntsa musykil. Dalam hal ini tentunya penulis lebih pada pendapat Al-Imam Al-Mawardi dalam madzhab Al-Syafi‟i menegaskan bahwa pemberian waris bagi khuntsa musykil ialah lebih sedikit (yang terkecil) dari bagian waris laki-laki dan bagian waris perempuan, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Seperti pada penjelasan yang telah di paparkan dalam bab sebelumnya, jelas itu menjadi sebuah ijtihad ulama‟ Syafi‟iyah untuk menentukan pembagian waris bagi khuntsa musykil. Metode penggunaan hukum pada kaidah fiqhiyah Al-Imam AlMawardi dan madzhab Al-Syafi‟i, berdasarkan kaidah pokok yang telah di sampaikan pada bab sebelumnya yaitu,
79
16
“Keyakinan, tidak hilang dengan keraguan”.
Dan sudah pula di jelaskan dalam bab sebelumnya bahwa pada intinya Al-Imam Al-Mawardi berpendapat “sesungguhnya kewarisan itu harus jelas dalam haknya tanpa adanya keragu-raguan, sejalan dengan pendapat Al-Imam Al-Syafi‟i, “bahwa segala sesuatu itu harus jelas ketentuannya tanpa adanya keragu-raguan”, bahkan suatu perkara tidak boleh dikerjakan kecuali yakin begitu juga bab waris.
17
“Sesungguhnya warisan tidak bisa di miliki, kecuali dengan kejelasan, tidak dengan keragu-raguan. Dan apa yang di katakana Al-Imam Al-Syafi‟i itu kejelasan, dan apa yang dikatakan selain dari Al-Imam Al-Syafi‟i (yang tidak terdapat kejelasan) adalah keragu-raguan”(dalam hal ini mengenai masalah penghitungan waris bagi khuntsa setelah penghitungan dua perkiran). Dalam kitab ,”Mughni Al-Muhtaj”, Al-Imam Al-Khatib Ash-Sharbini, menegaskan suatu kaidah tentang keyakinan untuk pembagian waris bagi khuntsa musykil, dan jauh dari keragu – raguan, karena kemusykilannya tersebut.
16 17
Abdul Hamid Hakim, loc. cit. Abu Khasan Al-Mawardi, loc. Cit.
80
“Dan apabila tidak jelas setatus khuntsa musykil, maka harus di lakukan dengan yakin di dalam hak kewarisan khuntsa musykil”.
19
“Khuntsa mendapat bagian waris lebih sedikit dari selain khuntsa, baik itu laki-laki maupun perempuan dan menangguhkan sisa harta yang di bagikan, sehingga jelas setatus khuntsa itu”. Dan ini perkataan Abu Daud dan Abu Tsaur”. Menurut Al-Imam Abu Daud dan Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir atTabari (225 H/839 M - 310 H/ 923 M), keduanya dari madzhab Al-Syafi‟i, bagian yang terkecil dari warisan di berikan kepada semua ahli waris khuntsa, sisanya ditangguhkan sampai ada kejelasan atau penyelesaiannya di sepakati secara bersama antara ahli waris lainnya.”Dalam pembagian harta yang terpenting adalah prinsip keadilan”.20
21
“„ilat hukum bersesuaian dengan hukumnya, hukum tiada disebabkan ketiadaan sebabnya”.
18
Asy-Syarbiny, loc. cit. Al-Mawardi, loc. cit. 20 Abdul Aziz Dahlan, op. cit., hlm. 935. 21 Abi Muhamad Al-Silmi, Qawaid al-Ahkam Fi Masail Al-Anam, (Mesir: Al-Istiqamah, t.th), juz, 1, hlm. 182. 19
81
Hukum dengan sebab hukum atau „ilat hukum merupakan satu kesatuan, bahwasannya hukum bergantung pada „ilat hukum, ia ada sepanjang „ilat itu ada dan ia tiada apabila „ilat itu itu telah tiada. Begitu pula apa yang dilakukan ulama‟ Syafi‟iyah bagaimana memecahkan masalah hukum kewarisan khuntsa musykil untuk menentukan ketentuan hukumnya hingga menjadi jelas. Suatu hukum tidak akan berdiri tanpa adanya sebuah sebab permasalahan hukum tersebut. Menurut hemat penulis ada sebuah kaidah yang juga bisa di jadikan sandaran dalam melihat kaidah hukum lain, kaidah kunci yang dimaksud bahwa seluruh kaidah fikih pada dasarnya, dapat di kembalikan pada suatu kaidah, yaitu:
“Menolak ke mafsadatan dan mendapat maslahat”.
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapat kemaslahatan, jelas bagaimana mengenai masalah khuntsa musykil, dengan jalan pembagian bagi khuntsa musykil lebih kecil, dan menangguhkan sisa dari pembagian waris tersebut, sampai khuntsa musykil tersebut menjadi jelas setatus kemusykilannya lalu dibagikan sesuai ketentuannya. Mencegah kemafsadatan hukum dan mendapatkan kemaslahatan bersama antar ahli waris tidak ada yang merasa dirugikan. 22
Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 104.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari selurh uraian pembahasan dalam skripsi ini dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Al-Imam Al-Mawardi selaku ulama’ Syafi’iyah dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir, menegaskan pendapat madzhab Al-Syafi’i mengenai konsep pembagian waris bagi khuntsa musykil, setelah diperkirakan dengan dua perkirakan baik diperkiraan laki-laki maupun diperkirakan perempuan, bahwa khuntsa musykil mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa musykil dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan). 2. Istinbath hukum yang digunakan, sebagai dasar penguat hukum atas pendapatnya tentang konsep pembagian waris bagi khuntsa musykil tersebut Al-Imam Al-Marwadi dalam kitabnya menjelaskan, berdasarkan dari sebuah hadist dan juga sudah menjadi kesepakatan para ulama’(ijma’) mengenai ketentuan waris bagi khuntsa melalui tanda-tanda yang telah disebutkan baik dengan jalan melihat keluar darimana ia buang air kecil maupun dengan cara melihat tanda-tanda kedewasaannya, namun apabila khuntsa tersebut masih tetap dalam kemusykilannya, para ulama’ Madzhab ikhtilaf
82
83
mengenai penghitungan waris bagi khuntsa. Al-Imam Al-Mawardi menggunakan dasar kaidah pokok fiqhiyah sebagai metode penentuan dasar hukum kewarisan khuntsa musykil, “Sesuatu yang diyakini, tidak dapat hilang dengan sebab sesuatu yang diragukan”. dalam madzhab Al-Syafi’i ditegaskan,
memberikan bagian sedikit kepada khunsa musykil dan
menangguhkan yang diragukan dalam pembagian itu lebih baik karena ada dua sebab yang menjadi dasar hukumnya: a. Sebab pertama, orang yang mewaris tidak bisa mendapat hak warisnya, kecuali dengan ketentuan yang pasti dan meyakinkan tanpa adanya keragu-raguan di dalamnya. b. Sebab kedua, pada dasarnya semua hukum itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan yakin begitu pula mengenai ketentuan hukum waris tersebut haruslah dengan yakin 3. Penulis sepakat terhadap pemikiran dan ijtihad para ulama’ Syafi’iyah tentang penentuan kadar penghitungan waris bagi khuntsa musykil, dengan ketentuan bagian setiap ahli waris dan khuntsa diberikan dalam jumlah yang paling sedikit, sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip penetapan hukum waris dan hukum syara’ lainnya. Menetapkan suatu hukum haruslah meyakin dan jauh dari keragu-raguan, dan kehati-hatian itu lebih meyakinkan demi kemaslahatan.
84
B. Saran-saran Ada beberapa saran yang patut kiranya penulis sampaikan diakhir bab ini, yaitu: 1. Hendaknya kita senantiasa jeli dan teliti dalam menentukan sikap untuk memilih suatu pendapat yang di lontarkan oleh para imam. 2. Dalam rangka menggalakkan studi analisis dalam hukum syari’ah terutama di kalangan Mahasiswa syari’ah maka kiranya perlu meningkatkan dalam mendalami ilmu-ilmu tersebut, sehingga hasil yang diperoleh bisa dipertanggung jawabkan (valid). 3. Seperti halnya qonunul mawarits (kitab undang-undang hukum warisan mesir) di dalam menetapkan harta pusaka kepada khuntsa musykil mengambil
dari pendapat Abu Hanifah pendapat tersebut dicantumkan
dalam K.U.H.W, pada pasal 46, alangkah lebih baiknya ketika hal itu bisa di terapkan dalam perundang-undangan hukum waris di Indonesia sesuai dengan pendapat madzhab yang telah di tentukan, mungkin masalah khuntsa memang sangat jarang untuk kita temui apalagi menyangkut masalah kewarisannya, tetapi alangkah lebih baiknya lagi ketika kita mau berfikir kedepan demi kemaslahatan bersama.
C. Kata penutup Al-hamdu lillahi rabbil’alamin, berkat rahmat dan inayahNya, penulis dapat menyelesaikan pembahasan dalam bentuk sekripsi ini.
85
Dan sebagai penutup, penulis sadar bahwa kajian sekripsi ini hanyalah merupakan bagian pembahasan terkecil dari sebuah permasalahan Hukum Islam yang universal lagi kompleks, baik dari segi materi maupun penyajiannya. Untuk itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan pembahasan di massa yang akan datang. Walaupun demikian, penulis tetap mengharapkan semoga kajian yang tidak seberapa ini akan tetap ada manfaatnya baik bagi penulis maupun bagi pembaca yang arif, amin.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Pustaka Tarbiyah, 2003.
Jakarta: CV.
Abu Achmadi, dan Cholid Narbuko, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009. Agus Listianto, dan Abdul Hamed Zahwan, Mantiq,cet.1 tahun 1994.
Hukum Waris, CV.Pustaka
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, http://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/26/biografi-imam-mawardi/ Al-Atsari, Abu Ihsan, Panduan Praktis Hukum Waris, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2009. Al-Baehaki, Imam, Al-Sunan Al-Kubro, Kairo: Darul Fikir, tth. , Ma’rifatu Al- Sunan Wal Ashar , Baerut: Dar Al-Kitab AlIlmiah, tth. Al-Fairazy, Abu Ishak, Al-Muhadzab, Bairut: Darul Kitab Ilmiyah 674 H Juz 2, tth. Al-Husaini, Ishak Musa, Ikhwanul Muslimin, Jakarta: Grafiti Press, 1993. Al-Maraghi, Abdullah Mustofa, Yogyakarta: LKPSM, 2001.
Pakar-Pakar
Fiqh
Sepanjang
Sejarah,
Al-Mawardi, Abu Khasan, Al-Basriy, Al-Hawi Al-Kabir, Bab Mawaris AlKhuntsa, Bairut: Darul Kutub Alalamiah, juz, 8. An Nawawi, Imam Abi Zakariya, Al Majmu’Syarah Al Muhadzab, Bairut: Darul Fakir juz,III. , Roudho At-Tholibin, Bairut: Darul Ilmiyah, 676 H, Juz 5. Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2002. Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Paktek, Cet.12,PT. Rineca Cipta, Jakarta, 2002
Ash Shabuni, Muhammad Ali, Al Mawarist fis Syariatil Islamiyah Ala Dlauil Kitab Was Sunnah, Syirkah Iqolatuddin, Makkah Al Mukarromah, 1388 H. Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam, A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995. Ash Shidqi, Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazdhab Dalam Membina Hukum Islam, II. Jakarta: Bulan Bintang, 2003. Al-Silmi, Abi Muhamad, qawaid al-Ahkam Fi Masail Al-Anam, (Mesir: AlIstiqamah, t.th) Asy Syaafi’i, Muhammad bin Idris, Al Um, Beirut: Darul Marifah Kitabiyah wan Nasyr. Asy Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad , Nailul Authar, Matbaah Al Halaly, Mesir 1952/1371. Asy-Syarbiny, Mughnil-Mukhtaj, ,Bairut: Darul Kitab A-Alamiyah juz: III.tth. Az-Zuhaili , Wahbah, dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar alFikr, 1984) Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003). Chalil, Munawar, Ulil Amri, Semarang: Ramadhani, 1984. Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Dahlan, H.A.A. dan Alfarisi, M. Zaka, Asbab An-Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002. Daradikah, Yasin Ahmad Ibrahim, Al Mirats fis Syariatil Islamiyah, Muassassatul Risalah, Beirut, 1986/1407 H Departemen Agama RI, Al Quran dan tTafsirnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1995/1996. Djazuli, A., Ilmu Fiqh, (Jakarta: Pranada Media, 2005) Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981. Hadi, Sutresno, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1990. Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hasan, Ali, Hukum Kewarisan dalam Islam, jakarta: Bulan Bintang, 1981. Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984. Ibn Ahmad al-Burnu, Muhamad Shidqi, Al-Wajiz Fi Idbah Qawa’id Al-Fiqh AlKulliyat (Beirut: Mu’asah Al-Risalah, 1983). Idris, Abdul Fatah, dan Ahmadi, Abu, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Karim, Syafi’i, Fiqih/Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Tej. Nur Iskandar, et al. Kaidah-Kaidah hukum Islam,(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996) Mansoer, Moch. Tolchah, Noer Iskandar Al-Barsany, dan Andi Asy’ari, KaidahKaidah Hukum Islam, Bandung: Risalah, 1985. Maruzi, Muslich, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin. 1993. Media Isnet, http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/Islam/Waris/Banci.html. Moleong, Lexi J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007. Mubarok, Jaih, Kidah Fiqih, Sejarah Dan Kaidah-Kaidah Asasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002. Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997. Muslim, Imam, Sakhih Muslim, Bairut: Darul Kutub Alamiah, 1992 Mustafa Salby, Muhamad, Ahkam Al-Mawaris, Al-Fiqh wa Al-Qonun, Beirut: 1978. Nadia, Zunly, Antara Hermaproditif (Khuntsa) dan Transeksualitas (Mukhannats) http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/11727 Noer, Mohamad, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra,1996. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Rahman, Fatchur, Ilmu Mawaris, Bandung: PT. Alma’arif, 1981.
Ramulyo, Idris, Hukum Kewarisan Islam (Study Kasus Perbandingan Ajaran Syafi’i (Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek di Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hillco, 2005. Subekti, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata Bab XII s.d KUHPerdata Bab XVII pasal 582 dan pasal 584, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1995. Suhrawadi K. Lubis, S dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 1997 Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Jibrin, Syaikh Ibnu, Fatawa Islamiyah, edisi, Indonesia: Darul Haq, juz 3. Rofik, Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Romli, Muqaranah Mazdhib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UIPress, Jakarta, 1990. Soenarjo, R.H.A., Al-Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta: Penterjemah/Pentafsir AlQur’an, 1971. Syafi’i, Imam, Al-Risalah Fi Ilmu al-Ushul, (Mesir,al-Alamiah, tt.) Yusuf Musa, Muhammad, At-Tirkah Wal Mirats Fil-Islam,Kairo: Darul Ma’rifah, tth.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama
: Muh. Abdul Mughni
Tempat Tanggal Lahir
: Batang, 18 Juli 1988
Alamat Asal
: Babadan RT/RW 01/03 Limpung Batang
Alamat Sekarang
: Jl. Tanjung Sari Utara 07/05 Ngaliyan Semarang
Riwayat Pendidikan
: 1. MI Babadan I, Lulus tahun 2000 2. MTs Al-Sya’iriyah Plumbon Limpung Lulus tahun 2003 3. MA NU Nurul Huda Semarang Lulus tahun 2006 4. S1
Fakultas
Syari’ah
IAIN
Walisongo
Semarang masuk tahun 2006
Demikian Riwayat Pendidikan ini penulis buat dengan sebenarnya untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 3 Juni 2011 Penulis
Muh. Abdul Mughni