ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIATKEPADA AHLI WARIS
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh : RIDA DIANA 2103076
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008
i
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah skripsi An. Sdri. Rida DIana Assalamu'alaikum Wr. Wb Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama
: Rida Diana
NIM
: 2103076
Judul
: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN
IJIN AHLI WARIS TERHADAP
PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Semarang, 02 Januari 2008 Pembimbing I
Pembimbing II
. Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag NIP. 150 231 628
Ali Imron, M.Ag NIP. 150 327 107
ii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 601291
PENGESAHAN Skripsi saudara
: Rida Diana
NIM
: 2103076
Fakultas
: Syari’ah
Jurusan
: Al Ahwal Al Syakhshiyah
Judul Skripsi
: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN
IJIN
AHLI
WARIS
TERHADAP
PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal: 23 Januari 2008 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2008/2009
Semarang, 23 Januari 2008 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Achmad Arief Budiman, M.Ag. NIP. 150 274 615
Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 327 107
Penguji I
Penguji II
Drs. Taufik, MH. NIP. 150 263 036
Drs. H. Ahmad Ghozali NIP. 150 216 992
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. NIP. 150 231 628
Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 327 107 iii
ABSTRAK Rida diana (NIM. 2103076). Analisis pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Skripsi Semarang Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris, 2) metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan ( library research). Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif, bukan dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: menurut pendapat Imam Malik pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris dibedakan menurut kondisi kesehatan pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut. Apabila pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut dalam keadaan sakit, maka ijin ahli waris tersebut tidak boleh dicabut. Karena dalam hal ini wasiat diberikan kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin dan tidak melebihi harta yang menjadi haknya pemberi wasiat yaitu sepertiga(1/3) hartanya. Apabila pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut dalam keadaan sehat, maka ijin ahli waris tersebut boleh dicabut. Karena ijin ahli waris tidaklah mengikat. Orang yang sehat masih berhak atas semua hartanya. Dia dapat menyedekahkan, menggunakan dan memberikannya kepada siapapun termasuk kepada ahli warisnya. Namun harus sesuai dengan ketentuan syara’. Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Malik yaitu saddu al-dari’ah. Karena pemberi wasiat memberikan wasiat tersebut kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin dengan tujuan kemaslahatan ahli waris yang miskin dan agar bisa sebanding dengan ahli waris lainnya. Maka tujuan yang baik tersebut harus dibukakan peluang. Dan ketidak bolehan dalam pencabutan ijin ini bertujuan agar dapat mencegah ahli waris (yang memberi ijin) memiliki semua harta peninggalan dan dapat terlaksananya hak wasiat sepertiga(1/3) harta yang menjadi haknya pemberi wasiat.
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 02 Januari 2008 Deklarator,
Rida Diana
v
MOTTO
ﺿﻌَﺎﻓًﺎ ﺧَﺎﻓُﻮا ِ ﺧ ْﻠ ِﻔ ِﻬ ْﻢ ُذرﱢﻳﱠ ًﺔ َ ﻦ ْ ﻦ َﻟ ْﻮ َﺗ َﺮآُﻮا ِﻣ َ ﺶ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺨ ْ َو ْﻟ َﻴ : )اﻟﻨﺴﺎء.ﺳﺪِﻳﺪًا َ ﷲ َو ْﻟ َﻴ ُﻘﻮﻟُﻮا َﻗ ْﻮ َﻻ َ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻓ ْﻠ َﻴ ﱠﺘﻘُﻮا ا َ (9 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’ : 9).
vi
PERSEMBAHAN Karya ilmiah yang sederhana ini penulis persembahkan: ~
Abah Abdul Wahib Maksum dan Umi Syarifah Zahra tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang tulus serta do’a-do’a yang selalu dipanjatkan untukku dengan tiada hentinya.
~
Kakakku Royan Habibi dan adikku M. Faisal Yahya tersayang yang selalu memberikan motivasi.
~
Sahabat-sahabatku yang selalu mendampingi baik suka dan duka.
Harapan penyusun semoga buah karya yang sederhana ini mampu memberikan motivasi untuk langkah-langkah berikutnya dalam mengarungi bahtera kehidupan.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga tersusunlah skripsi ini meskipun dalam bentuk yang relatif sederhana. Sholawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, para keluarga, dan pengikutnya. Skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada: 1. Drs. H. Muhyidin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag., selaku dosen pembimbing I, serta Bapak Ali Imron, M. Ag., selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyusun skripsi ini. 3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Abah Abdul Wahib Maksum dan Umi Syarifah Zahra tercinta atas segala kasih sayang, do’a, pengorbanan dan kesabarannya. 5. Kakak Royan Habibi dan Adik M. Faisal Yahya tersayang yang selalu memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 6. Sahabat-sahabatku baik di kampus maupun di kost yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang memberikan bantuan, semangat dan yang selalu menemani disaat sedih dan senang. 7. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama penulisan skripsi ini.
viii
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa hanya untaian terima kasih dengan tulus dan iringan do’a, semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan ‘inayah-Nya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak memiliki kekurangan, untuk itu penulis memohon kepada para pembaca untuk menginsafi dan memberikan saransaran yang bersifat membangun agar menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam penulisan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan yang telah tersusun dengan sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi umat Islam pada umumnya. Kepada Allah SWT penulis memohon semoga apa yang menjadi harapan penulis terkabulkan. Amien.
Semarang, 02 Januari 2008 Penulis
Rida Diana
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ..............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iii
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................
iv
HALAMAN DEKLARASI..............................................................................
v
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
vi
HALAMAN PEMSEMBAHAN...................................................................... vii HALAMAN KATA PENGANTAR................................................................ viii HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................... BAB I
x
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Rumusan Masalah.....................................................................
8
C. Tujuan Penulisan ......................................................................
9
D. Telaah Pustaka..........................................................................
9
E. Metode Penulisan Skripsi ......................................................... 11 F. Sistematika Penulisan Skripsi................................................... 14 BAB II
: TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT A. Pengertian Wasiat ..................................................................... 16 B. Dasar Hukum Wasiat................................................................ 21 C. Syarat dan Rukun Wasiat ......................................................... 25 D. Wasiat Kepada Ahli Waris ....................................................... 33
BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS x
A. Biografi Imam Malik ................................................................ 37 B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik ..................................... 43 C. Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris......................... 54 BAB IV : ANALISIS
PENDAPAT
IMAM
MALIK
TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris................ 57 B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris................................................................................. 66 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................... 72 B. Saran-saran ............................................................................... 73 C. Penutup ..................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Harta merupakan salah satu karunia Allah SWT yang diberikan untuk kesejahteraan manusia, keberadaan harta bagi manusia sangat penting sebagai salah satu penopang kelangsungan hidup. Namun bukan berarti harta adalah tujuan akhir dalam kehidupan manusia, karena ia hanya sebagai sarana untuk mengantarkan kehidupan yang abadi yaitu di akhirat nanti. Maka Allah pun memberikan peraturan-peraturan syar’i yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia dalam men-tasharaf-kan harta yang dimilikinya.1 Di antara sekian banyak cara men-tasharaf-kan harta adalah wasiat yaitu pemberian seseorang kepada orang lain berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang lain yang menerima wasiat (mushalahu) dan dilaksanakan sesudah orang yang berwasiat (mushi) meninggal dunia.2 Manusia selalu berupaya berbuat amal kebajikan sewaktu ia masih hidup. Salah satu amal kebajikan tersebut adalah membuat wasiat semasa hidupnya agar sebagian harta yang dimilikinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
1
Yang dimaksud disini adalah mengelola, mengeluarkan, memindahkan harta kepunyaan atau hak milik dari seseorang atau satu pihak kepada orang atau pihak lain, di antaranya shadaqah, zakat, nafkah, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sebagainya yang kesemuanya telah diatur ketentuannya secara syar’i baik dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah 2 Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, terj, Mudzakir, “Fiqh Sunnah:, Bandung: al-Ma’arif, 1998, hlm. 215.
1
2 Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya kelak jika ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Di samping itu wasiat juga sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi kepada karib kerabat, sehingga rasa persaudaraan dan solidaritas tidak akan renggang atau putus. Di dalam al-Qur'an dan sunnah disebutkan bahwa wasiat merupakan kewajiban seorang muslim yang harus dilaksanakan ketika muslim tersebut meninggalkan harta yang cukup bagi ahli warisnya. Firman Allah SWT:
ﻦ ِ ﺻﱠﻴ ُﺔ ِﻟ ْﻠﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِ ﺧ ْﻴﺮًا ا ْﻟ َﻮ َ ك َ ن َﺗ َﺮ ْ ت ِإ ُ ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻀ َﺮ َأ َ ﺣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإذَا َ ﺐ َ ُآ ِﺘ (180 : ﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ َ ﺎﺣﻘ َ ف ِ ﻦ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو َ ﻷ ْﻗ َﺮﺑِﻴ َ َو ْا Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf,3 (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 180).4 Sabda Rasulullah yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. :
ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ ﻣﺎ ﺣﻖ اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ:اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﻞ )رواﻩ.ﻟﻪ ﺷﺊ ﻳﻮﺻىﻔﻴﻪ ﻳﺒﻴﺖ ﻟﻴﻠﺘﻴﻦ اﻻ ووﺻﻴّﺘﻪ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﻋﻨﺪﻩ 5 (اﻟﺒﺠﺎرى و ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah hak seorang musim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya. (HR. Bukhari-Muslim)
3
Ma’ruf adalah adil dan baik, wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang meninggal itu. 4 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya: Semarang: PT. Toha Putra, 1995, hlm. 44. 5 Imam Abi Abdullah, Shahih al-Buhkari, Juz 3, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1992, hlm. 253.
3 Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat, mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat hukumnya tidak fardhu ‘ain,6 baik kepada kedua orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan,7 termasuk juga kepada mereka yang karena suatu hal tidak mendapatkan bagian warisan.8 Akan tetapi apabila dikaitkan dengan sifat hukum maka hukum wasiat bisa bermacam-macam adakalanya wasiat itu wajib apabila wasiat bertujuan untuk membayar hutang atau mengembalikan barang titipan. Bisa menjadi sunnah apabila wasiat untuk kerabat yang tidak menerima warisan untuk berbuat kebaikan. Mubah jika wasiat untuk saudara atau kerabat yang kaya. Bisa haram jika wasiat untuk kejelekan atau kemaksiatan. Adanya perbedaan pendapat ini dikarenakan ada beberapa alasan; Pertama, Nabi tidak menjelaskan masalah ini lagi secara terperinci sampai beliau wafat. Kedua, para sahabat dalam prakteknya tidak melakukan wasiat kecuali untuk tujuan taqarrub kepada Allah SWT, kebiasaan itu dinilai sebagai ijma’ sukuti (kesepakatan tidak langsung) sebagai dasar bahwa wasiat hukumnya bukan fardhu ‘ain. Ketiga, wasiat adalah pemberian hal yang tidak wajib diserahkan pada saat orang yang berwasiat meninggal dunia, karena pada dasarnya, tindakan wasiat akan sangat tergantung pada situasi dan
6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 445 Kelompok ini dalam istilah ahli waris disebut dengan ash-habul furud, jamak dari al-Fard yang menurut bahasa artinya ketetapan/ ketentuan, sedangkan menurut istilah adalah para ahli waris yang mendapatkan bagian warisan menurut kadar yang telah ditetapkan syara’. Lihat Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 29 8 Istilah ini disebut dengan Hijab yang artinya dinding atau penghalang bagi ahli waris semestinya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapat atau berkurang dari bagian yang semestinya, karena ahli wais yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal. Dan orang yang menjadi penghalang disebut hijab yang orang yang terhalang disebut mahjub. Ibid. hlm. 27 7
4 kondisi sekarang. Apakah pada saat ia akan meninggal mempunyai cukup harta atau tidak.9 Para ulama telah sepakat membatalkan wasiat yang mengandung unsur yang membahayakan (madharat). Wasiat yang mengandung madharat secara jelas dilarang oleh al-Qur'an, al-Hadits dan ijma’. Diantara madharat tersebut adalah mengutamakan sebagian ahli waris atas sebagian lainnya, dimana Nabi sendiri menyebut perbuatan tersebut sebagai perbuatan aniaya. Bentuk madharat lainnya adalah jika dengan wasiat tersebut seseorang bermaksud mengharamkan para ahli waris yang lain untuk mendapatkan sebagian atau seluruh warisan mereka.10 Fuqaha telah sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris. Akan tetapi mereka juga berpendapat tentang larangan itu. Apakah karena ibadah atau karena ahli waris. Sebagian fuqaha mengatakan larangan itu karena ibadah, maka mereka mengatakan tidak boleh meskipun diijinkan oleh ahli waris. Adapun fuqaha lain mengatakan di larangannya karena ahli waris, maka ia membolehkannya apabila diijinkan oleh ahli waris yang lain. Wasiat itu tidak diperbolehkan bagi ahli waris sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahilli, dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ اﺑﻰ اﻣﺎﻣﺔ اﻟﺒﺎهﻠﻰ ﻗﺎل )رواﻩ،ﻖ ﺣﻘﻪ ﻓﻼ وﺻﻴّﺔ ﻟﻮارث ّ إن اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ آﻞ ذى ﺣ:ﻳﻘﻮل 11 ( وﺣﺴًﻨﻪ اﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﺬى،اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ اﻻ اﻟﻨّﺴﺎئ 9
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 445-446 Syaikh Kamil Muhammad, Uwaidah, al-Jami’ Fil Fiqhi an-Nisa’, Terj. M. Abdul Ghoffar, E.M., Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 493. 11 Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199 10
5 Artinya: Dari Abu Umarah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah) Menurut
Imam
Malik:
“Yang
disunatkan
dan
sudah
tidak
diperdebatkan lagi adalah bahwasanya tidak ada wasiat bagi ahli waris, kecuali jika para ahli waris membolehkannya.12 Wasiat mempunyai batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh pewasiat. Para ulama fiqh bersepakat bahwa wasiat yang dilaksanakan tidak boleh melebihi dari sepertiga dari harta.13 Ketentuan ini berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW:
ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﺪ ﻧﻌﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ اﺑﺮاهﻢ ﻋﻦ ﻋﺎﻣﺮﺑﻦ ﺳﻌﺪﺑﻦ ﺟﺎء اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻌﻮد ﻧﻰ واﻧﺎ ﺑﻤﻜﺔ: اﺑﻰ وﻗﺎص ﻳﺮﺣﻢ اﷲ اﺑﻦ:وهﻮﻳﻜﺮﻩ ان ﻳﻤﻮت ﺑﺎﻻرض اﻟﺘﻰ هﺎﺟﺮﻣﻨﻬﺎ ﻗﺎل ﻋﻔﺮاء ﻗﻠﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ اوﺻﻰ ﺑﻤﺎﻟﻰ آﻠﻪ ﻗﺎل ﻻ ﻗﻠﺖ ﻓﺎاﻟﺸﻄﺮ ﻗﺎل ﻻ ﻗﻠﺖ اﻟﺜﻠﺚ ﻗﺎل ﻓﺎﻟﺜﻠﺚ واﻟﺜﻠﺚ آﺜﻴﺮاﻧﻚ ان ﺗﺪع ورﺛﺘﻚ اﻏﻨﻴﺎء 14 .ﺧﻴﺮﻣﻦ ان ﺗﺪﻋﻬﻢ ﻋﺎﻟﺔ ﻳﺘﻜﻔﻔﻮن اﻟﻨﺎس Artinya: “Nabi SAW datang menjengukku ketika di Mekah, beliau tampaknya kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda: “Semoga Allah mengasihimu Ibn Afra”. Aku bertanya: ”Wahai Rasulullah SAW, aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku”. Beliau menjawab: “Jangan”. “Separuh”, tanyaku, “Jangan”, jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga?” kata beliau: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan minta-minta kepada orang lain. ”
12
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Ibid. Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, terj Maskur A.B. at.al. “Fiqh Lima Madzhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 513. 14 Imam Abi Abdullah, Ibid, hlm. 254 13
6 Hadits di atas menjadi batasan dalam melaksanakan wasiat harta yang dijadikan acuan oleh para ulama bahwa wasiat tidak boleh melebihi ketentuan sepertiga dari harta kecuali ada ijin dari ahli waris. Bahkan yang lebih utama adalah wasiat kurang dari sepertiga.15 Di samping adanya batasan dalam wasiat, wasiat juga harus memenuhi beberapa rukun dan syarat yang telah ditentukan, agar wasiat yang dilakukan sah secara syar’i tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan karena wasiat menyangkut hubungan hak milik antar manusia. Ketentuan tentang batasan sepertiga dalam wasiat sebagaimana yang dikemukakan di atas diikuti dan diyakini selama ini oleh mayoritas umat Islam. Apabila lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan ijin dari ahli waris. Begitu juga kalau wasiat diberikan kepada ahli waris, harus mendapat ijin ahli warisnya. Yang menjadi permasalahan adalah apabila ahli waris telah mengijinkan kepada pewasiat untuk memberikan wasiat kepada ahli waris atau lebih dari sepertiga (1/3) harta, akan tetapi setelah pewasiat meninggal dunia, ahli waris tersebut mencabut kembali ijin yang telah diberikannya. Apakah ahli waris tersebut boleh mencabut ijin yang telah diberikannya? Dari permasalahan di atas para imam madzhab berbeda pendapat.16
15
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001, hlm. 347 16 Yang dimaksud para Imam Madzhab disini adalah Imam Hanafi, Syafi'i dan Hambali, mengatakan kebolehannya pencabutan ijin yang diberikan ahli waris, baik ijin itu diberikan ketika pewasiat berada dalam keadaan sehat maupun sakit. Sedangkan Imam Malik berbeda pendapat (lihat Muhammad Jawad Mugniyah, op. Cit., hlm. 513).
7 Imam Malik berpendapat bahwa jika ahli waris memberikan ijin kepada pemberi wasiat, ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit, maka ijin tersebut tidak dapat dicabut. Namun jika pemberi wasiat dalam keadaan sehat maka ijin tersebut boleh dicabut. Dalam kitab al-Muwaththo’ diriwayatkan oleh Yahya dikemukakan sebagai berikut:
أﻧﻪ. اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺜﺎﺑﺘﺔ ﻋﻨﺪ ﻧﺎ اﻟﺘﻰ ﻻاﺣﺘﻼف ﻓﻴﻬﺎ: وﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮل:ﻗﺎل وأﻧﻪ ان. اﻻ أن ﻳﺠﻴﺰﻟﻪ ذاﻟﻚ ورﺛﺔ اﻟﻤﻴﺖ.ﻻ ﺗﺠﻮزوﺻﻴﺔ ﻟﻮارث , وﻣﻦ أﺑﻰ. ﺟﺎزﻟﻪ ﺣﻖ ﻣﻦ أﺟﺎزﻣﻨﻬﻢ. وأﺑﻰ ﺑﻌﺾ.أﺟﺎزﻟﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ 17 .أﺧﺬﺣﻘﻪ ﻣﻦ ذﻟﻚ Artinya: “Yahya berkata: Aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin). Apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.”
ﻓﻴﺴﺘﺄذن ورﺛﺘﻪ, وﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮل ﻓﻲ اﻟﻤﺮﻳﺾ اﻟﺬي ﻳﻮﺻﻲ:ﻗﺎل ﻓﻴﺄذﻧﻮن ﻟﻪ أن. ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ اﻻ ﺛﻠﺜﻪ,ﻓﻲ وﺻﻴﺘﻪ وهﻮ ﻣﺮﻳﺾ اﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﻢ أن ﻳﺮﺟﻌﻮا ﻓﻲ:ﻳﻮﺻﻲ ﻟﺒﻌﺾ ورﺛﺘﻪ ﺑﺄآﺜﺮﻣﻦ ﺛﻠﺜﻪ 18 ذاﻟﻚ Artinya: “(Yahya) berkata: Aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang wasiat, para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit. Yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal 1/3 para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari 1/3 nya. (ia berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya”
, ﻓﺄﻣﺎ أن ﻳﺴﺘﺄذن ورﺛﺘﻪ ﻓﻲ وﺻﻴﺔ ﻳﻮﺻﻲ ﺑﻬﺎ ﻟﻮارث ﻓﻲ ﺻﺤﺘﻪ:ﻗﺎل 19 . وﻟﻮرﺛﺘﻪ أن ﻳﺮدوا ذﻟﻚ ان ﺷﺎءوا. ﻓﺎن ذﻟﻚ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻬﻢ.ﻓﻴﺄذﻧﻮن ﻟﻪ 17
Malik bin Anas Al-Muwatho, Beirut: Darul Ihya al-Ulum, tth., hlm. 582. Ibid 19 Ibid. 18
8 Artinya: “(Imam Malik) berkata: Apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka maka, para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka menginginkannya.” Pendapat Imam Malik ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Ternyata Imam Malik berpendapat bahwa boleh tidaknya pencabutan ijin ahli waris dikaitkan dengan kondisi kesehatan pemberi wasiat. Padahal ketentuan di Hadits Nabi secara normatif sudah jelas tidak boleh berwasiat kepada ahli waris dan lebih dari batasan sepertiga (1/3), sementara pendapat imam madzhab lain membolehkan pencabutan ijin ahli waris tersebut secara mutlak. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji persoalan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS.”
B. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris? 2. Bagaimana Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris?
9 C. Tujuan Penulisan Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai penulis, antara lain: a. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. b. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.
D. Telaah Pustaka Telaah atau kajian pustaka bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti agar penulis mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif agar tidak terjadi pengulangan dengan penelitian yang telah ada. Berikut ini penulis mencoba menelaah kitab-kitab dan buku- buku yang berkaitan dengan wasiat, antara lain: Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah Al mujtahid, mengatakan bahwa menurut segolongan fuqoha kadar yang mustahab adalah kurang dari sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi dalam hadits: ”dan sepertiga itu banyak”. Sayid Sabiq dalam Fiqh sunnah 14, menerangkan tentang pengertian wasiat, hukum wasiat, syarat-syarat wasiat dan ketentuan kadar wasiat. Abdul Rofiq (NIM: 2199136) dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis terhadap Konsep Madzhab Maliki tentang Keharusan Qabul dalam Ikrar Wasiat”, membahas tiga persoalan: 1). Pendapat madzhab Maliki tentang
10 keharusan qabul dalam ikrar wasiat, 2). Konsep istinbath hukum madzhab Maliki tentang keharusan qabul dalam ikrar wasiat, apabila dinilai dari segi kacamata pandang ushul fiqh, 3). Implementasi madzhab Maliki tentang keharusan qabul dalam ikrar wasiat pada masa sekarang. Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa tentang keharusan qabul dalam penerima wasiat. Belum disinggung tentang pencabutan ijin ahli waris. Thowilan (NIM: 2199119) dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Madzhab Malik tentang Wasiat Kepada Pembunuh” menyimpulkan bahwa berwasiat kepada seorang pembunuh adalah sah dan tidak menyalahi konsep istinbath hukum dan juga kaidah ushul fiqh pada umumnya; Imam Malik mengqiaskan wasiat dengan hibah bukan dengan waris. Berwasiat kepada seorang pembunuh secara tidak sengaja baik wasiat itu diberikan sebelum terjadi upaya pembunuhan atau sesudah upaya pembunuhan, maka wasiat itu sah. Skripsi ini dalam kajiannya belum menyinggung tentang pencabutan ijin ahli waris. Asaroh (NIM: 2100261) dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis terhadap pendapat Imam Malik tentang kebolehan wasiat anak kecil yang belum baligh”. Menyimpulkan bahwa pendapat Imam Malik yang mengatakan tentang orang yang lemah akal, orang safih, orang gila yang terkadang sadar dan anak kecil mereka boleh berwasiat dengan syarat tahu dan mengerti tentang wasiat. Skripsi ini dalam kajiannya belum disinggung tentang pencabutan ijin ahli waris. Berdasarkan kajian terhadap buku-buku dan hasil penelitian tersebut jelas bahwa permasalahan yang penulis kaji pada skripsi ini belum pernah dibahas dalam karya tulis sebelumnya.
11 Dalam skripsi ini penulis menekankan kajian tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Menurut Imam Malik boleh tidaknya pencabutan ijin terkait dengan kondisi kesehatan pewasiat. Kemudian penulis menganalisis tentang istinbath hukum yang digunakan Imam Malik. Mengapa Imam Malik berpendapat demikian.
E. Metode Penulisan Skripsi Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama dalam sebuah penelitian. Apabila seseorang mengadakan penelitian kurang tepat dalam menggunakan metode penelitiannya, tentu akan mengalami kesulitan bahkan tidak akan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Berkaitan dengan persoalan di atas, Winarno Surahmah mengatakan bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai tujuan.20 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksud untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang
20
Winarno Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah: dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsita Rimbun, 1995, hlm. 65.
12 yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, manfaat data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.21 2. Sumber data a. Sumber Data Primer Sumber Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari sumber asli yang memuat suatu informasi.22 Dalam hal ini penulis menggunakan kitab Al-Muwaththo’ karya Imam Malik bin Anas sebagai data primer. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli atau bersifat komplemen, yaitu: 1.
Bidayah Al-Mujtahid karya Ibn Rusyd
2.
Fiqih Sunnah 14 karya Sayyid Sabiq
3.
Al-Fiqh ‘ala al-Madzhabil al-Khomsah karya Muhammad Jawad Mughniyah. Metode ini penulis gunakan dalam membahas Bab II dan III
3. Metode Pengumpulan Data Dari penelaahan literatur tersebut akan diperoleh data-data yang melatarbelakangi tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris yang lain dengan masalah yang dibahas dan tahap selanjutnya dianalisis secara kualitatif berupa penjelasan-penjelasan,
21
Masri Singarimbunan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 45. 22 Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 135.
13 bukan berupa angka-angka statistik dan bukan angka yang lain.23 Dengan menggunakan nalar pikir induktif serta ditulis dengan menggunakan penulisan deskriptif analisis yaitu menuturkan, menggambarkan dan mengklarifikasi
secara
obyektif
dan
menginterpretasikan
serta
menganalisis data tersebut.24 Dalam rangka pengumpulan data ini penulis mengadakan riset kepustakaan (library research), yakni penulis membaca buku-buku dan menganalisisnya guna memperoleh data-data yang diperlukan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Analisis Data Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis menggunakan analisis deskriptif (Descriptive Analysis) untuk memudahkan dalam menggambarkan fenomena yang muncul dalam situasi tertentu serta mengetahui bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan.25 Skripsi ini merupakan bentuk penelitian kualitatif tentang kajian seorang tokoh, maka dengan metode tersebut dapat digunakan untuk menguraikan secara menyeluruh tentang sisi kehidupan, corak pemikiran, latar belakang dan dasar pemikiran Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Metode ini penulis pergunakan dalam membahas Bab IV.
23
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm. 106 24 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 37. 25 Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 73.
14 F. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika penulisan ini merupakan hal yang sangat penting karena mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar masing-masing bab. Hal ini dimaksudkan agar penulis dapat memperoleh penelitian yang alamiah dan sistematis. Dalam usulan penelitian ini penulis akan membagi dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini dikemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT Dalam bab ini dibahas tentang pengertian wasiat, dasar hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, wasiat kepada ahli waris. BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS Dalam bab ini membahas tentang biografi Imam Malik yang terdiri dari : riwayat hidup Imam Malik, pendidikan, guru dan murid Imam Malik, karya-karya Imam Malik, metode istinbath hukum Imam Malik serta pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.
15 BAB IV : ANALISIS
PENDAPAT
IMAM
MALIK
TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS Dalam bab ini diuraikan tentang analisis pendapat Imam Malik serta analisis metode istinbath hukum Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris BAB V : PENUTUP Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT
A.
Pengertian Wasiat Untuk mengetahui pengertian wasiat secara jelas, penulis akan mengemukakan pengertian wasiat baik secara etimologis ( )ﻟﻐﻪmaupun terminologis ()اﺻﻄﻼﺣﺎ. 1. Pengertian wasiat secara etimologis () ﻟﻐﻪ Kata wasiat berasal dari bahasa Arab “wasiyyat” sejenis isa’
kata isim masdar dan bermakna tausiyyat
( )وﺻﻴﺔyang
()ﺗﻮﺻﻴﺔ
atau
( )اﻳﺼﺎءatau yusii ( )ﻳﻮﺻﻰtersusun dari tiga huruf asal yaitu ,و
ى,) وﺻﻰ( ص
yang berarti jatuh dari kedudukan yang tinggi
menyambung dan mempertemukan.1 Dalam kamus Al-Munjid keduanya berarti mengikat janji atas sesuatu, memerintahkan, menjadikan hak milik setelah meninggal dunia, seseorang dan menjadikan kepercayaan atas seseorang. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam kata wasaa ( )وﺻﻰdiartikan sebagai pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah meninggal.2
1
Louis Makluff, al-Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyah, 1964, hlm. 904 Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1996, hlm. 1926 2
16
17 Sementara dalam Syarh Fath al Mu’in dijelaskan bahwa kata wasiat ( )وﺻﻴﺔmenurut bahasa berarti menyampaikan, menyambung. Istilah wasiat ini berasal dari kata silah bih (ﺑﻪ
)ﺻﻠﻪ
yang artinya
menyambung, karena pewasiat menyambungkan kebagusan dunianya dengan akhiratnya.3 Kata wasiat dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, kata wasiat disebut sebanyak 14 kali dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 25 kali.4 Dalam Al-Qur’an, kata wasiat banyak ditemukan dengan arti dan makna yang berbeda-beda dalam konteks dan permasalahannya. Diantaranya arti wasiat itu antara lain : a. Menunjukkan makna syari’at, sebagaimana Firman Allah :
ﻚ َوﻣَﺎ َ ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴ َ ﻦ ﻣَﺎ َوﺻﱠﻰ ِﺑ ِﻪ ﻧُﻮﺣًﺎ وَاﱠﻟﺬِي َأ ْو ِ ﻦ اﻟﺪﱢﻳ َ ع َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺷ َﺮ َ ﻦ َ ن َأﻗِﻴﻤُﻮا اﻟﺪﱢﻳ ْ ﺻ ْﻴﻨَﺎ ِﺑ ِﻪ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوﻣُﻮﺳَﻰ َوﻋِﻴﺴَﻰ َأ َو ﱠ (13 : )اﻟﺸﻮرى.... Artinya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama...” (Q.S. Al-Syura : 13).5 Kata ma wasaa (وﺻﱠﻰ َ
)ﻣَﺎdisini mempunyai pengertian sesuatu
yang disyari’atkan kepada Nabi Nuh. 3
Abdul Aziz Al-Malabari, Syarh Fathul Mu’in, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1990, hlm. 92 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000, hlm. 438 5 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT Toha Putra, 1995, hlm. 785
18 b. Menunjukkan makna pesan, sebagaimana Firman Allah :
: ﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤﱠﺘﻘِﻴ َ ﺎﺣﻘ َ ف ِ ﻦ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو َ ﻦ وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑِﻴ ِ ﺻﱠﻴ ُﺔ ِﻟ ْﻠﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِ ا ْﻟ َﻮ... (180 Artinya : “… Berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 180).6 Kata al wasiatu ( )اﻟﻮﺻﻴﺔdisini mempunyai pengertian pesan kepada orang tua. c. Menunjukkan makna nasehat, sebagaimana Firman Allah :
1(3 : ﺼ ْﺒ ِﺮ )اﻟﻌﺼﺮ ﺻﻮْا ﺑِﺎﻟ ﱠ َ ﻖ َو َﺗ َﻮا ﺤﱢ َ ﺻﻮْا ﺑِﺎ ْﻟ َ َو َﺗﻮَا.... Artinya : “….Dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al-Ashr : 3)7 d. Menunjukkan makna perintah, sebagaimana Firman Allah :
ﻦ َو ِﻓﺼَﺎُﻟ ُﻪ ٍ ﻋﻠَﻰ َو ْه َ ﺣ َﻤَﻠ ْﺘ ُﻪ ُأﻣﱡ ُﻪ َو ْهﻨًﺎ َ ن ِﺑﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِﻪ َ ﺻ ْﻴﻨَﺎ ا ْﻟِﺈ ْﻧﺴَﺎ َو َو ﱠ (14 : ﻲ ا ْﻟ َﻤﺼِﻴ ُﺮ )اﻟﻘﻤﺎن ﻚ ِإَﻟ ﱠ َ ﺷ ُﻜ ْﺮ ﻟِﻲ َوِﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ْ نا ِ ﻦ َأ ِ ﻓِﻲ ﻋَﺎ َﻣ ْﻴ Artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah dan menyapihnya dalam dua tahun, Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu”. (Q.S. Al-Luqman : 14)8 2. Pengertian wasiat secara terminologi () اﺻﻄﻼﺣﺎ Ibnu Rusyd, dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, mendefinisikan wasiat sebagai penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut. Atau pembebasan 6
Ibid., hlm. 44 Ibid., hlm. 1099 8 Ibid., hlm. 655 7
19 hambanya baik dijelaskan dengan lafal wasiat atau tidak.9 Sedangkan menurut para Fuqaha dalam mengartikan pendapat tersebut, wasiat dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak yaitu pihak si pemberi wasiat. Sayyid Sabiq mendefinisikan wasiat yaitu :
هﺒﺔ اﻻﻧﺴﺎن ﻏﻴﺮﻩ ﻋﻴﻨﺎ اودﻳﻨﺎ اوﻣﻨﻔﻌﺔ ﻋﻠﻰ ان ﻳﻤﻠﻚ اﻟﻤﻮﺻﻰ ﻟﻪ 10 .اﻟﻬﺒﺔ ﺑﻌﺪ ﻣﻮت اﻟﻤﻮﺻﻲ Artinya : “Pemberian seseorang kepada orang lain berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal”. Pendapat lain mengatakan bahwa wasiat adalah pernyataan atau perkataan seseorang kepada orang lain, bahwa ia memberikan kepada orang lain itu hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau memberikan manfaat suatu barang kepunyaannya setelah ia meninggal dunia.11 Sedangkan 4 Imam Madzhab mendefinisikan wasiat yaitu : a. Definisi wasiat menurut Madzhab Syafi’iyah :
ﺳﻮاء أﺿﺎﻓﻪ,اﻟﻮﺻﻴﺔ ﺗﺒﺮع ﺑﺤﻖ ﻣﻀﺎف اﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت 12 .ﻟﻔﻈﺎ أوﻻ Artinya : “Pemberian suatu hak atas dasar tabaru’ yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggalnya si pemberi wasiat baik dilakukan dengan ucapan atau bukan”.
9
Ibn Rusyd, Budayah al-Mujtahid, Abdurrahman, terj. Bidayah al-Mujtahid, Semarang: Asy-Syiofa’, 1990, hlm. 455 10 Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr. 1977, hlm. 414 11 Zakiah daradjat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 161 12 Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Fqih ala Madzhab Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiah, 1410, hlm. 278
20 b. Definisi wasiat menurut madzhab Hanabilah
اﻟﻮﺻﻴﻪ هﻲ اﻻﻣﺮ ﺑﺎاﻟﺘﺼﺮف ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت آﺄن ﻳﻮﺻﻰ ﺷﺨﺼﺎ ﺑﺄن ﻳﻘﻮم ﻋﻠﻰ اوﻻدﻩ اﻟﺼﻐﺎر اوﻳﺰوج ﺑﻨﺎﺗﻪ اوﺑﻔﺮق ﺛﻠﺚ ﻣﺎﻟﻪ 13 .وﻧﺤﻮ ذﻟﻚ Artinya : “Wasiat adalah suatu perintah dengan mentasarufkan harta benda setelah meninggalnya orang yang berwasiat seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anakanaknya yang measih kecil, menikahkan anak perempuan atau memisahkan 1/3 hartanya atau semisalnya”. c. Definisi wasiat menurut Madzhab Hanafiyah 14
.اﻟﻮﺻﻴﻪ ﺗﻤﻠﻴﻚ ﻣﻀﺎف اﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت ﺑﻄﺮﻳﻖ اﻟﺘﺒﺮع
Artinya : “Wasiat adalah memindahkan hak milik kepada seseorang yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dengan jalan tabarru ( sukarela )’”. d. Definisi wasiat menurut Madzhab Malikiyah
اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﺮف اﻟﻔﻘﻬﺎء ﻋﻘﺪ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﻘﺎ ﻓﻰ ﺛﻠﺚ ﻣﺎل ﻋﺎﻗﺪﻩ 15 . اوﻳﻮﺟﺐ ﻧﻴﺎﺑﺔ ﻋﻨﻪ ﺑﻌﺪﻩ,ﻳﻠﺰم ﺑﻤﻮﺗﻪ Artinya : “Wasiat menurut ahli fiqh adalah perjanjian yang menetapkan adanya suatu hak pada sepertiga harta orang yang melakukan perjanjian itu berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat, atau menentukan penggantinya sesudah seseorang meninggal dunia”. Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau beberapa orang (lembaga) baik berupa barang, pembebasan, atau pelunasan hutang atau manfaat yang akan menjadi milik orang yang akan diberi wasiat tanpa mengharapkan imbalan (tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
13
Ibid. Ibid., hlm. 277 15 Ibid. 14
21 Dalam hal ini tidak ada kontroversi, karena mereka memahami wasiat melalui pandangan tekstual, dimana pandangan ini berpegang pada suatu pendekatan induktif yang berpijak pada teori qiyas16. Yang bersandar pada ‘illat jali (‘illat yang jelas).
B.
Dasar Hukum Wasiat Wasiat yang merupakan salah satu amalan ibadah yang disyari’atkan dalam Islam memiliki sumber hukum yang berdasarkan pada : 1. Al-Qur’an, sebagaimana Firman Allah SWT. Q.S. Al-Baqarah : 180
ﺻ ﱠﻴ ُﺔ ِ ﺧ ْﻴﺮًا ا ْﻟ َﻮ َ ك َ ن َﺗ َﺮ ْ ت ِإ ُ ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻀ َﺮ َأ َ ﺣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإذَا َ ﺐ َ ُآ ِﺘ (180 : ﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ َ ﺎﺣﻘ َ ف ِ ﻦ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو َ ﻦ وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑِﻴ ِ ِﻟ ْﻠﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang ma’ruf. Ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.”(Qs. Al-Baqarah : 180)17 Dalam surat Al-Baqarah ayat 181 :
ﺳﻤِﻴ ٌﻊ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ﻦ ُﻳ َﺒ ﱢﺪﻟُﻮ َﻧ ُﻪ ِإ ﱠ َ ﻋﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺳ ِﻤ َﻌ ُﻪ َﻓِﺈ ﱠﻧﻤَﺎ ِإ ْﺛ ُﻤ ُﻪ َ ﻦ َﺑ ﱠﺪَﻟ ُﻪ َﺑ ْﻌ َﺪﻣَﺎ ْ َﻓ َﻤ 1(181 : ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )اﻟﺒﻘﺮة َ Artinya :
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Qs. Al-Baqarah : 181).18
Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 :
16
Qiyas adalah mempersamakan hukum atau peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya karena adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. (lihat Muhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandaung: al-Ma’arif, 1986, hlm. 66). 17 Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44 18 Ibid,
22
ﺟ ِﻬ ْﻢ َﻣﺘَﺎﻋًﺎ ِإﻟَﻰ ِ ﺻ ﱠﻴ ًﺔ ِﻟَﺄ ْزوَا ِ ن َأ ْزوَاﺟًﺎ َو َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َو َﻳ َﺬرُو َ ﻦ ُﻳ َﺘ َﻮ ﱠﻓ ْﻮ َ وَاﱠﻟﺬِﻳ ﻦ ﻓِﻲ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ ﻣَﺎ َﻓ َﻌ ْﻠ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﻦ َﻓﻠَﺎ َﺟ ْ ﺧ َﺮ َ ن ْ ج َﻓِﺈ ٍ ﺧﺮَا ْ ﻏ ْﻴ َﺮ ِإ َ ل ِ ﺤ ْﻮ َ ا ْﻟ (240 : ﺣﻜِﻴ ٌﻢ )اﻟﺒﻘﺮة َ ﻋﺰِﻳ ٌﺰ َ ف وَاﻟﻠﱠ ُﻪ ٍ ﻦ َﻣ ْﻌﺮُو ْ ﻦ ِﻣ ﺴ ِﻬ ﱠ ِ َأ ْﻧ ُﻔ Artinya :
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteriisterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 240).19
Dalam surat Al-Maidah ayat 106 :
ﻦ َ ت ﺣِﻴ ُ ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻀ َﺮ َأ َ ﺣ َ ﺷﻬَﺎ َد ُة َﺑ ْﻴ ِﻨ ُﻜ ْﻢ ِإذَا َ ﻦ َأ َﻣﻨُﻮا َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺿ َﺮ ْﺑ ُﺘ ْﻢ َ ن َأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ ْ ﻏ ْﻴ ِﺮ ُآ ْﻢ ِإ َ ﻦ ْ ن ِﻣ ِ ﺧﺮَا َ ل ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َأ ْو َأ ٍ ﻋ ْﺪ َ ن َذوَا ِ ﺻ ﱠﻴ ِﺔ ا ْﺛﻨَﺎ ِ ا ْﻟ َﻮ ﺼﻠَﻮ ِة ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ اﻟ ﱠ ْ ﺤ ِﺒﺴُﻮ َﻧ ُﻬ َﻤﺎ ِﻣ ْ ت َﺗ ِ ض َﻓَﺄﺻَﺎ َﺑ ْﺘ ُﻜ ْﻢ ُﻣﺼِﻴ َﺒ ُﺔ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ ِ ﻓِﻲ ا ْﻟَﺄ ْر ن ذَا ُﻗ ْﺮﺑَﻰ َوﻟَﺎ َ ﺸ َﺘﺮِي ِﺑ ِﻪ َﺛ َﻤﻨًﺎ َوَﻟ ْﻮ آَﺎ ْ ن ا ْر َﺗ ْﺒ ُﺘ ْﻢ ﻟَﺎ َﻧ ِ ن ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ ِإ ِ ﺴﻤَﺎ ِ َﻓ ُﻴ ْﻘ ﻦ َ ﻦ اﻟْﺂ ِﺛﻤِﻴ َ ﺷﻬَﺎ َد َة اﻟﱠﻠ ِﻪ ِإﻧﱠﺎ ِإذًا َﻟ ِﻤ َ َﻧ ْﻜ ُﺘ ُﻢ (106 : )اﻟﻤﺎﺋﺪة Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". (QS. Al-Maidah : 106).20 Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan tentang wasiat, penulis tidak mengungkapkan semuanya.
19 20
Ibid, hlm. 59 Ibid, hlm. 180
23 Ayat-ayat diatas menunjukkan secara jelas mengenai hukum wasiat serta teknis pelaksanaannya serta materi yang menjadi obyek wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan hukum wasiat. 2. As-Sunnah Adapun hadits Rasulullah Saw. yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum wasiat diantaranya adalah : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqas ra. :
ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﺪ ﻧﻌﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ اﺑﺮاهﻢ ﻋﻦ ﻋﺎﻣﺮﺑﻦ ﺟﺎء اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻌﻮدﻧﻰ واﻧﺎ: ﺳﻌﺪﺑﻦ اﺑﻰ وﻗﺎص ﺑﻤﻜﻪ وهﻮ ﻳﻜﺮﻩ ان ﻳﻤﻮت ﺑﺎاﻻرض اﻟﺘﻰ هﺎﺟﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﻗﺎل ﻳﺮﺣﻢ ،اﷲ اﺑﻦ ﻋﻔﺮاء ﻗﻠﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ اوﺻﻰ ﺑﻤﺎﻟﻰ آﻠﻪ ﻗﺎل ﻻ ﻗﻠﺖ ﻓﺎاﻟﺸﻄﺮ ﻗﺎل ﻻ ﻗﻠﺖ اﻟﺜﻠﺚ واﻟﺜﻠﺚ آﺜﻴﺮ اﻧﻚ ان ﺗﺪع ورﺛﺘﻚ اﻏﻨﻴﺎء ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ان ﺗﺪﻋﻬﻢ ﻋﺎﻟﻪ ﻳﺘﻜﻔﻔﻮن اﻟﻨﺎس ﻣﻦ اﻳﺪ ﻳﻬﻢ واﻧﻚ ﻣﻬﻤﺎ اﻧﻔﻘﺖ ﻣﻦ ﻧﻔﻘﺔ ﻓﺎﻧّﻬﺎ ﺻﺪﻗﺔ ﺣﺘﻰ اﻟﻠّﻘﻤﺔ ﺗﺮﻓﻌﻬﺎ اﻟﻰ ﻓﻰ اﻣﺮأﺗﻚ وﻋﺴﻰ اﷲ ان ﻳﺮﻓﻌﻚ ﻓﻴﻨﺘﻔﻊ ﺑﻚ ﻧﺎس وﻳﻀﺮك ﺑﻚ 21 ()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى.ﻻ اﺑﻨﺔ ّ اﺧﺮون وﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻳﻮﻣﺌﺬ ا Artinya : “Nabi Saw. Datang menjengukku ketika di Mekkah, beliau tampaknya kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda “semoga Allah mengasihimu Ibn Afra’”. Aku bertanya : “Wahai rasulullah Saw. Aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku”. Beliau menjawab : “jangan”. “separuh”, tanyaku, “jangan” jawab beliau. Aku bertanya “sepertiga”? kata beliau : “sepertiga”, sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya kamu ketika menginfakkan sesuatu adalah merupakan sadaqah hingga sesuap nasi yang engkau suapkan kepada mulut isterimu. Dan semoga Allah akan 21
Imam Abi Abdullah, Shahih al-Bukhari, juz 3, Beirut: Dar al-Kitab Al-‘ilmiyah, 1992, hlm. 253
24 mengangkatmu, sehingga orang lain dapat memperoleh manfaat dari kamu, sementara sebagian lain menderita, dan hari itu tidak ada lain kecuali seorang anak perempuan”. (Riwayat al-Bukhari). Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. :
ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎ ﺣﻖ اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ ﻟﻪ ﺷﺊ ﻳﻮﺻىﻔﻴﻪ ﻳﺒﻴﺖ:وﺳﻠﻢ ﻗﻞ )رواﻩ اﻟﺒﺠﺎرى و.ﻟﻴﻠﺘﻴﻦ اﻻ ووﺻﻴّﺘﻪ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﻋﻨﺪﻩ 22 (ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “Rasulullah bersabda : “Bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiat telah dicatat di sisi-Nya”. (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim). Hadits-hadits diatas dapat dipahami bahwa wasiat itu penting, selain sebagai pelaksanaan ibadah untuk kehidupan akhirat, ia akan memberi manfaat bagi kepentingan orang lain atau masyarakat pada umumnya. 3. Ijma’ Ijma’ menurut istilah para Ushul Fiqh adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah Saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.23 Praktek pelaksanaan wasiat telah dilakukan oleh umat Islam sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Tindakan yang demikian tidak pernah diingkari oleh siapapun. Dan ketiadaan ingkar seseorang itu menunjukkan adanya ijma’ atau kesepakatan umat Islam bahwa wasiat merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya yang didasarkan atas nash-nash 22 23
ibid. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 56
25 Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menerangkan tentang keberadaan wasiat. C.
Rukun dan Syarat Wasiat Wasiat merupakan satu amalan yang sangat dianjurkan karena dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan mendapat pahala dari Allah dan juga mengandung nilai sosial yang akan menghasilkan kemaslahatan yang banyak di dunia. Oleh karena itu hampir semua kitab fiqh terdapat pembahasan tentang wasiat seiring dengan pembahasan masalah waris karena keduanya terdapat korelasi antara satu dengan yang lainnya dan saling berhubungan. Agar wasiat dapat dilaksanakan sesuai dengan kehendak syari'at, maka dibutuhkan sebuah aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan syarat wasiat. Rukun dan syarat itu merupakan komponen yang penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat. Adapun rukun wasiat itu adalah sebagai berikut : Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan rukun wasiat yaitu : 24
ارآﺎﻧﻬﺎ ﻣﻮﺻﻰ و ﻣﻮﺻىﻠﻪ و ﻣﻮﺻﻰ ﺑﻪ و ﺻﻴﻐﺔ
Artinya : Rukun wasiat yaitu orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan dan sighat”. Tetapi beda halnya dengan pendapat ulama Hanafiyah, rukun wasiat itu hanya satu yaitu ijab dan qabul.25 Sebenarnya ulama Hanafiyah dalam memberikan ketentuan tentang rukun wasiat adalah sama seperti yang dikemukakan oleh Jawad Mughniyah,
24 25
Abdurrahman Al-Jaziri, op. cit., hlm. 316 ibid., hlm. 317
26 karena ijab dan qabul itu membutuhkan subyek dan obyek, sehingga walaupun rukun wasiat itu hanya disebutkan satu saja sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, akan tetapi ijab dan qabul telah mencapai rukun-rukun yang lain yaitu adanya orang berwasiat dan penerima wasiat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rukun wasiat terdiri dari empat hal,. Yaitu : 1. Mushi (orang yang berwasiat) 2. Musha lahu (orang yang menerima wasiat) 3. Musha bihi (orang yang diwasiatkan) 4. Sighat (ijab qabul/lafadz) Dari keempat rukun di atas masing-masing memiliki syarat yang harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masingmasing rukun wasiat tersebut adalah : 1. Orang yang berwasiat (Mushi) Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki kesanggupan untuk melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli tabarru’). Oleh karena itu mushi haruslah orang yang telah baligh, berakal, dan merdeka. Apabila pemberi wasiat itu masih anak-anak, gila, hamba
sahaya,
dipaksa
atau
dibatasi,
maka
ulama
Syafi'iyah
menghukumi tidak sah. Imam Malik berpendapat bahwa wasiatnya anak kecil yang belum dewasa atau belum baligh tetapi berakal adalah sah. Lain halnya
27 dengan Abu Hanifah beliau menghukumi tidak sah wasiat anak kecil yang belum baligh.26 Ulama Hanabillah dan Malikiyah dalam menghukumi sah tidaknya wasiat anak kecil yang belum mumayyiz yaitu anak yang telah berusia 10 tahun, atau mendekatinya adalah sah karena dalam usia tersebut mendekati berakal dan wasiat merupakan tasharuf yang hanya mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kemadharatan baginya. Mengingat harta yang diwasiatkan masih menjadi hak miliknya selama ia masih hidup dan dapat menarik kembali atau mencabut kembali wasiat yang
telah
dibuat.
Oleh
karena
itu
wasiat
anak
mumayyiz
diperbolehkan.27 Di samping syarat-syarat di atas disyaratkan pula bagi mushi harus ridha dan tidak dipaksa maupun terpaksa terhadap wasiat yang ia buat, karena wasiat merupakan satu tindakan yang akan berakibat beralihnya hak milik dari orang yang berwasiat terhadap orang yang menerima wasiat, maka kerelaan terhadap wasiat yang ia buat tanpa didasari atas paksaan, mutlak diperlukan yang selanjutnya menjadi syarat bagi sahnya wasiat. Dalam KHI, Pasal 194 ayat (1) menjelaskan bahwa orang berwasiat adalah orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
26 27
26
Ibnu Rusy, op.cit. hlm.449 Wahbah Azzuhaily, Al-fiqh al-Islam Wa’aadiluhu, juz. IV, Beirut: Dar Al-fikr, t.th., hlm.
28 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain ataupun lembaga.28 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang berwasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut : a. Sudah baligh dan rasyid (cerdik) b. Berakal sehat c. Merdeka d. Tidak dipaksa. 2. Orang yang menerima wasiat (musha lahu) Bagi orang yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut : a. Penerima wasiat masih hidup ketika wasiat diucapkan, walaupun keberadaannya hanya sebatas perkiraan saja. Keberadaan wasiat memang harus jelas kepada siapa dan untuk siapa wasiat tersebut ditujukan, akan tetapi jika mushi telah menunjukkan kepada siapa ia berwasiat, kemudian musha lahu atau orang yang ditunjuk menerima wasiat tadi meninggal terlebih dahulu dari pewasiatnya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama dalam masalah ini berpendapat bahwa wasiat yang penerimanya meninggal lebih dahulu adalah batal atau gugur, sedang sebagian ulama yang lain berpendapat tidak gugur dan harta yang diwasiatkan menjadi hak ahli waris penerima wasiat. 28
Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993, hlm.217
29 b. Penerima wasiat bukan ahli waris dari mushi Berdasarkan hadits Rasul saw :
ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ: ﻋﻦ اﺑﻰ اﻣﺎﻣﺔ اﻟﺒﺎهﻠﻰ ﻗﺎل ﻓﻼ وﺻﻴّﺔ،ﻖ ﺣﻘﻪ ّ إن اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ آﻞ ذى ﺣ:وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل وﺣﺴًﻨﻪ اﺣﻤﺪ،)رواﻩ اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ اﻻ اﻟﻨّﺴﺎئ،ﻟﻮارث 29 (واﻟﺘﺮﻣﺬى Artinya : Dari Abu Umarah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudy dan Ibnu Majah) Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa wasiat kepada ahli waris adalah tidak sah bahkan Ibn Hasm dan fuqaha Malikiyah yang masyhur mengharamkan wasiat bagi ahli waris dengan alasan Allah menghapus ayat wasiat dengan ayat waris. Sedangkan madzhab Syafi'iyah dan Hanafiyah membolehkan wasiat terhadap ahli waris manakala mendapat ijin dari semua ahli waris. Pendapat ini berdasarkan atas hadits Rasul saw :
ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ان اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠىﺎﷲ ﻻ ان ﻳﺠﻴﺰ اﻟﻮرﺛﺔ )رواﻩ ّ ﻻوﺻﻴﺔ ﻟﻮارث ا: ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل 30 (اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ Artinya : Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris” (HR. Ad. Daru Quthny). Dalam KHI Pasal 195 ayat (3) menjelaskan bahwa wasiat kepada ahli waris hanya berlaku apabila disetujui oleh semua ahli waris.31
29
Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199 T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet. 1, Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001, hlm. 346 30
30 c. Penerima Wasiat bukan pembunuh mushi Abu Yusuf berpendapat bahwa berwasiat kepada orang yang telah membunuh pewasiat baik wasiat itu diijinkan oleh ahli waris atau tidak adalah tidak sah.32 Pendapat beliau ini berdasarkan qiyas yang mempersamakan mawani (hal-hal yang dapat menghalangi) seseorang untuk memperoleh pusaka dengan jalan wasiat. Ulama Hanafiyah menghukumi tidak sah wasiat kepada orang yang telah membunuh pewasiat, namun dalam pembunuhan karena kelalaian (kesalahan) yang dilakukan oleh penerima wasiat dan memperoleh ijin dari ahli waris maka wasiatnya sah.33 Ulama Malikiyah menetapkan 2 syarat untuk sahnya wasiat ada orang yang telah membunuh pewasiat : 1.) Wasiat tersebut dibatalkan setelah adanya tindakan pendahuluan untuk membunuh, misalnya memukul, menyiksa. 2.) Si korban mengenal kepada pembunuhnya bahwa dialah yang sebenarnya telah menjalankan tindakan atas pembunuhan itu. Dalam KHI Pasal 197 ayat (1) menjelaskan bahwa wasiat tidak sah atau batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: 1.) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
31
Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, loc. Cit. Fatchurrahman, Ilmu waris, Bandaung: al-Ma’arif, 1981, hlm. 58 33 Ibid, 32
31 2.) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lebih berat. 3.) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat. 4.) Dipersalahkan
telah
menggelapkan
atau
merusak
atau
memalsukan surat wasiat dari pewasiat. d. Penerima wasiat adalah orang yang diketahui meskipun hanya memberikan ciri-cirinya saja seperti berwasiat kepada fakir miskin dan lembaga-lembaga sosial. Sedangkan dalam KHI Pasal 197 ayat (2) menjelaskan bahwa penerima wasiat harus ia sebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Maka, wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk menerima wasiat itu: 1.) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. 2.) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya. 3.) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima
atau
menolak
meninggalnya pewasiat.
sampai
ia
meninggal
sebelum
32 3. Benda/barang yang diwasiatkan (musha bihi) Adapun syarat-syarat benda atau barang yang diwasiatkan sebagai berikut : a. Seseorang yang ingin mewasiatkan sesuatu barang hendaknya barang tersebut adalah milik pribadi orang yang memberi wasiat, bukan milik orang lain meskipun mendapat ijin dari pemilik barang tersebut. b. Barang yang diwasiatkan berwujud, maksudnya sesuatu yang diwasiatkan itu telah ada pada waktu wasiat terjadi dan dapat dialihmilikkan dari pewasiat kepada penerima wasiat. Maka, jika barang yang diwasiatkan musnah batallah wasiat tersebut (KHI Pasal 197 ayat 3). Sedangkan yang berupa selain barang yang berwujud seperti manfaat atau hak, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama memperbolehkan wasiat yang berupa manfaat alasan mereka manfaat termasuk wasiat, sedang menurut Ibn Abi Laila, Abu Sibramah, dan ahli Zahir menghukumi batal wasiat yang berupa manfaat.34 Dalam KHI Pasal 198, wasiat yang berupa hasil atau pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. c. Barang yang diwasiatkan bukan sesuatu yang dilarang oleh syar’i. Ahmad Hasan al-Khatib menyatakan tidak sah wasiat berupa minuman keras, sedangkan ulama Malikiyah berpendapat syarat barang yang diwasiatkan tidak harus suci, tetapi harus bermanfaat. d. Barang yang diwasiatkan tidak lebih dari 1/3 harta peninggalan.
34
Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 452
33 4. Sighat Wasiat Sighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab merupakan pernyataan yang diucapkan oleh pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu, sedangkan qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima wasiat. Sebagai tanda terima atas ijab pewasiat, ijab dan qabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan.
D.
Wasiat Kepada Ahli Waris 1. Pengertian ahli waris Kata ahli waris secara bahasa berarti keluarga. Tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia. Karena kedekatan hubungan kekeluargaan juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan. Karena jalur yang dilaluinya perempuan.35 Ahli waris adalah seseorang yang pada saat seorang pewaris meninggal dunia, mempunyai hubungan darah (ahli waris nasabiyah)36 atau hubungan perkawinan dengan pewaris (ahli waris sababiyah),
35
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, ed.Revisi, cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001,
hlm.59.
36
Maksud hubungan darah : - Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki paman dan kakek. - Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. [lihat KHI. Bab II, Ahli Waris, Pasal 174 ayat 1(a)]
34 beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.37 Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. 2. Hukum wasiat kepada ahli waris Para ulama sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah.
ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ: ﻋﻦ اﺑﻰ اﻣﺎﻣﺔ اﻟﺒﺎهﻠﻰ ﻗﺎل ﻓﻼ وﺻﻴّﺔ،ﻖ ﺣﻘﻪ ّ إن اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ آﻞ ذى ﺣ:وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل وﺣﺴًﻨﻪ اﺣﻤﺪ، )رواﻩ اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ اﻻ اﻟﻨّﺴﺎئ،ﻟﻮارث 38 (واﻟﺘﺮﻣﺬى Artinya : “Dari Abu Umamah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah) Namun ada pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujuinya. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin syu’aib:
37
Departemen Agama RI., Pedoman Penyuluhan Hukum: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995, hlm. 104 38 Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199
35
ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ان اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻻ ان ﻳﺠﻴﺰ اﻟﻮرﺛﺔ )رواﻩ ّ ﻻوﺻﻴﺔ ﻟﻮارث ا:وﺳﻠﻢ ﻗﺎل 39 (اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ Artinya : “Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris”(HR. Ad. Daru Quthny) Ibn Munzhir dan ibn Abdil Barr40 mengatakan bahwa pendapat ini telah disepakati oleh seluruh fuqaha’. Karena Nabi Muhammad Saw. telah melarang memberikan wasiat kepada ahli waris yang dapat menerima warisan, sekiranya tidak mendapatkan ijin dari para ahli waris yang lain. Beliau juga melarang kepada seseorang yang berada dalam keadaan sehat dan kuat terhadap hak kepemilikan hartanya dan mampu melaksanakan keadilan terhadap anak-anaknya, untuk memberikan sesuatu kepada salah seorang anaknya lebih banyak dari pada anaknya yang lain. Sebab tindakan yang demikian itu akan mudah menimbulkan persengketaan dan iri hati satu sama lain. Apalagi pemberian itu dilaksanakan disaat kematiannya atau dalam keadaan sakit dan lemah. Pelanggaran hak dan rusaknya rasa keadilan diantara mereka akan lebih besar lagi. Namun jika ahli waris yang lain menyetujuinya. Maka wasiat itu diperbolehkan. Ibn Qudamah dalam syarhnya, berkata apabila seseorang memberikan wasiat kepada ahli warisnya, tetapi ahli waris yang lain tidak menyetujuinya, maka wasiat itu tidak sah.
39 40
216
T.M Hasbi Ahs Siddieqy, loc. Cit. Ja’far Subani, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqh, Jakarta: Lentera, 2002. hlm.
36 Fuqaha Syi’ah Zaidiyah membolehkan memberi wasiat 1/3 harta peninggalan atau kurang kepada ahli waris yang menerima warisan tanpa tergantung perijinan dari ahli waris. Sebab yang dinasakh dalam surat albaqarah: 180 itu adalah kewajiban berwasiat kepada orang yang menerima warisan. Menasakh kewajiban berwasiat tidak berarti menasakh kebolehannya. Oleh karena itu berwasiat kepada ahli waris adalah boleh dan sah tanpa tergantung ijin ahli waris.41 3. Ijin ahli waris Perijinan
ahli
waris
merupakan
suatu
kerelaan
untuk
dikuranginya hak-hak mereka, karena harta yang telah diwariskan orang yang wafat merupakan hak mereka bersama yang harus dibagi sesuai dengan ketentuan syara’. Untuk itu ulama fiqh sepakat mensyaratkan : 1.) Ijin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah cakap bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal serta mengetahui adanya wasiat tersebut. Oleh sebab itu ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris yang belum atau tidak cukup bertindak hukum tidak sah. 2.) Ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris itu diungkapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Oleh sebab itu ijin atau kebolehan dari ahli waris semasa hidup al-mushi tidak sah, karena ada kemungkinan bahwa ijin mereka itu hanya bersifat semu, demi menjaga perasaan al-mushi. Karenanya apabila ijin terhadap wasiat itu diungkapkan ahli waris lain semasa al-mushi hidup, kemudian 41
Fatchurrahman, op.cit, hlm 61
37 setelah al-mushi wafat, mereka membatalkan ijin atau kebolehan wasiat itu, maka wasiat itu batal.42
42
Abdul Aziz Dahlan et.al, op. cit., hlm. 1929
BAB III PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS
A. Biografi Imam Malik 1. Riwayat Hidup Imam Malik Imam Malik hidup pada tahun 716-795 M. Ahli dalam ilmu hadits dan fiqh. Beliau dipandang sebagai perawi hadits Madinah yang paling terpercaya dan sanad (sumbernya) paling siqah (terpercaya). Beliau menguasai fatwa-fatwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin Khattab dan Aisyah binti Abu Bakar serta muridnya.1 Beliau dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, dari sepasang suami istri Anas bin Maliki dan St. Al Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Maliki sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Walaupun demikian, beliau pernah mempelajari sedikit banyak hadits-hadits Rasulullah.2
1
Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994, hlm.142. 2 M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003,hlm.
37
38 Nama kecil Imam Malik adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Dengan riwayat ini jelas bahwa beliau adalah seorang keturunan dari bangsa Arab yang terhormat, berstatus sosial tinggi, dari dusun Dzul Ashbah, sebuah dusun di kota Himayar dari jajahan negeri Zaman.3 Imam Malik adalah salah seorang penulis ayat Al-Qur’an dan Abdul Azis pernah meminta pendapatnya. Beliau bertempat tinggal di Dzul Marwah, nama suatu tempat di padang pasir di sebelah utara Madinah. Kemudian beliau tinggal di ‘Al-Akik buat sementara waktu akhirnya beliau terus menetap di Madinah.4 Silsilah Imam Malik bin Anas adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaimah bin Huthail bin Amru bin Al Haris dan beliau pendukung Bani Tamim ibn Murrah. Datuknya yang kedua Abu Amir bin Amru salah satu sahabat Rasulullah SAW yang ikut berperang bersama Rasulullah kecuali dengan perang Badar. Datuk Malik yang pertama adalah Malik bin Amar dari golongan Taqrin, gelarnya adalah Abu Anas.5 Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan anak laki-laki (Muhammad, Hammad, Yahya) dan seorang anak perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm al-Mu’minin). Menurut
3
Ibid. Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Aimatul Arba’ah, terj. Drs. Sabil Huda, Drs. H.A. Ahmadi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993,hlm.72 5 Hafid al Ansori, op .cit., hlm.139. 4
39 Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik kitab Al- muwaththa’. Imam Malik menjadi seorang alim besar dan terkenal dimanamana setelah ijtihad atau buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka buah ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan mazhab Maliki.6 Imam Malik mengalami sakit selama dua puluh hari, pada malam menghembuskan nafasnya yang terakhir, dengan secara kebetulan Bakar Sulaiman Asy Syafwah bersama beliau. Imam Malik meninggal di Madinah yaitu pada tanggal 14 bulan Robiul awal tahun 179 H. ada juga yang berpendapat meninggal dunia pada tanggal 11;13;14 bulan Rajab. Sementara An-Nawawi juga berpendapat beliau meninggal pada bulan Safar, pendapat pertama adalah lebih termasyur, Malik di kebumikan di Baqi kuburnya di pintu al Baqi. 2. Pendidikan Imam Malik Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara para tabiin, para cerdik pandai dan para ahli hukum Islam. Beliau dididik di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil beliau membaca Al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula tentang sunah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para 6
Munawar Kholil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hlm. 80.
40 ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliranaliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau pandai tentang semuanya itu.7 Imam Malik sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam Nawawi mencatat dalam kitabnya “Tahdzibul-Asma’ wal-Lughat” bahwa ia berguru pada 900 syekh, 300 dari tabi’in dan 600 dari tabi’it tabi’in. Ia juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga agamanya dan memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadist yang terpercaya.8 3. Guru-guru Imam Malik Imam Malik dikarenakan putra seorang tabi’in yang terkenal dan cucu seorang alim besar golongan tabi’in tertua. Maka sudah tentu beliau terdidik suka kepada ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan ilmu agama, lebih-lebih memang sejak menunjukkan bahwa beliau seorang yang akan menjadi pemimpin besar lingkungan umat Islam. Beliau menuntut ilmu pada ulama Madinah, orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah Abdurrahman bin Harmuz, Beliau tinggal bersama Abdurrahman. Beliau juga belajar kepada Nafi’maula ibn Umar dan Ibnu Syihab, Azzuhari. Adapun gurunya dalam fiqh adalah beliau Robi’ah bin Abdurrahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu.9
7
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 195 8 Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit, hlm. 75. 9 Ramli, Muqaranah Muzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 22-23.
41 Para guru beliau selain dari pada empat yang tersebut itu, juga masih banyak di antaranya adalah Imam Ibrahim bin Abi Hakim al Madani, wafat pada tahun148 H, Imam Ismail bin Abi Hakim Al Madani, wafat pada tahun 130 H, Imam Tsaur bin Zaid Ad Dalili, Wafat pada tahun 135 H, Imam Humaidi bin Abu Humaid at Ta’wil, wafat pada tahun 143 H, Imam Daud bin Hasbin Al Amawy, wafat pada tahun139 H, Imam Zaid bin Aslam Al Madany, wafat pada tahun 136 H, Imam Zaid bin Abi Anisah, wafat pada tahun 135 H, Imam Salim bin Abi Umayah Al Quraisyi, wafat pada tahun 129 H.10 4. Murid-Murid Imam Malik Murid Imam Malik antara lain adalah Muhammad bin Hasan, Asy Syaibani, As Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i, Abdullah bin Wahab (125-197 H) penulis Mudawanah al Kubra, Abdullah Malik bin Habib as Sulami, Ismail bin Ishak, Asyhab bin Abdul Aziz al Khaisy, Abdurrahman bin Kasim, Usman bin Hakam dan Abdurrahim bin Khalid. Selain di Mesir mazhab Maliki juga dianut umat Islam yang berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan, Bahrain, Kuwait, dan daerah Islam lain di sebelah barat, termasuk Andalusia. Ibnu Rusyd yang di dunia barat dikenal sebagai komentator dari Aristoteles termasuk pengikut Imam
10
Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 89.
42 Malik, sementara itu di dunia Islam sebelah timur mazhab Malik kurang berkembang.11 5. Karya-karya Imam Malik Imam Malik telah mengarang sebuah kitab yaitu Al Muwattha’. Kitab tersebut berisikan kumpulan dari beberapa hadits yang dijadikan bab-bab yang beliau anggap sebagai sandaran fiqih, dan sebagai landasan ilmu bagi para pengikutnya. kitab Al Muwattha’ yang dikonfirmasikan oleh As’ad bin Furot, kemudian beliau mengambilnya dari beberapa bagian kitab tersebut dan beliau menertibkannya serta menyebarluaskan dengan nama Al Mudawwanah al Kubro.12 Adapun isi yang terkandung didalam “al-Muwattha” yang sekarang tersebar luas di seluruh dunia itu, menurut keterangan Imam Abu Bakar Al Abhary adalah hadits-hadits dari Nabi SAW, dan atsar-atsar dari pada sahabat serta para tabi’in sejumlah 1720 hadits. Hadits-hadits yang sebanyak itu menurut penyelidikan para ulama ahli hadits adalah: 600 hadits yang musnad, 222 hadits yang mursal, 613 hadits yang mauquf dan 285 yang dari perkataan para tabi’in.13 Hadits-hadts yang sekian banyaknya itu, yang dari Imam Malik sendiri ada sejumlah 1005 hadits, dan yang selain dari jalan beliau, ada 175 hadits dan di antaranya yang dari jalan Imam Hanafi ada 13 hadits, yang selainnya lagi adalah: dari jalan yang selain dari kedua imam itu.
11
Ibid, hlm. 90. Huston Smith, Ensiklopedi Islam Cyril Alasse, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3, 2002, hlm. 250. 13 Munawar Kholil, op.cit, hlm 142. 12
43 Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu khususnya ilmu hadits dan fiqh tentang penguasaannya dalam hadits beliau sendiri pernah mengatakan, aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits.14
B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik Sebagaimana ditegaskan oleh Abū Sulaiman (ahli usul fiqih berkebangsaan Arab Saudi), bahwa ushul fiqih sebagai metode instinbat dalam pembentukan hukum fiqih. Baru dibukukan sebagai satu disiplin ilmu pada periode Syafi’i menjadi Mujtahid, itu berarti pada periode Imam Malik ibn Anas menjadi mujtahid uşul fiqih baru ada dalam praktek, belum tersusun secara sistematis dalam sebuah buku. Meskipun demikian dari karya-karya Imam Malik ibn Anas seperti Al-Muwaţţa’ (kitab hadit) dan Al Mudawwanah Al-Kubra (kitab fiqih), oleh murid-murid dan pengikutnya disimpulkan metode istinbatnya secara sistematis. Seperti halnya menurut para pendiri madhab fiqih lainnya. Mengenai metode istinbat hukum madhab Malik telah dijelaskan oleh al-Qadi Iyad dalam kitabnya “Al Madaarik dar ar-Rasid, dan juga salah seorang fuqaha Malikiyah dalam kitabnya al Bahjah yang disimpulkan oleh pengarang kitab Tarih al-Madahibil Islamiyyah sebagai berikut :
وﺧﻼﺻﺔ ﻣﺎذآﺮﻩ هﺬان اﻟﻌﺎﻟﻤﺎن وﻏﻴﺮهﻤﺎ أن ﻣﻨﻬﺎج إﻣﺎم دار ﻓﺈن ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻓﻰ آﺘﺎب اﷲ،اﻟﻬﺠﺮة اﻧﻪ ﻳﺄﺧﺬ ﺑﻜﺘﺎب اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ أوﻻ ﻋﻨﺪﻩ أﺣﺎدﻳﺚ رﺳﻮل.ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻧﺺ اﺗﺠﻪ إﻟﻰ اﻟﺴﻨﺔ وﻳﺪﺧﻞ ﻓﻰ اﻟﺴﻨﺔ 14
Ramli, op cit, hlm. 24.
44
وﻣﻦ، وﻓﺘﺎوي اﻟﺼﺤﺎﺑﻪ وأﻗﺼﻴﺘﻬﻢ وﻋﻤﻞ أهﻞ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ،اﷲ ﺻﻠﻢ .ﺑﻌﺪ اﻟﺴﻨﺔ ﺑﺸﺘﻰ ﻓﺮوﻋﻬﺎ ﻳﺠﺮاﻟﻘﻴﺎس Artinya : “Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ‘ulama’ ini dan yang lainnya, bahwasannya metode ijtihad Imam Darul Hijriyah itu adalah : bahwa beliau tidak mendapatkan sesuatu naš di dalamnya maka beliau mencarinya di dalam sunnah, dan menurut beliau masih termasuk kepada kategori sunnah perkataan Rasulullah, fatwa-fatwa para sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah, dan setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas.15 Walaupun para ‘ulama’ hadits yang ditemui oleh Malik ibn Anas termasuk kelompok ‘ulama’ tradisional yang menolak pemakaian akal dalam kajian hukum, namun pengaruh Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id tetap kuat pada corak kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum madzhab Malik yang bersumber pada : Al-Qur’an, As-Sunnah, Tradisi Masyarakat Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah al Mursalah, Ihtisan, Al Saddu al-Dara’i. Sedangkan menurut Muhammad Hasbi ash-Shidieqy mengatakan bahwa Malik ibn Anas mendasarkan fatwanya kepada : Kitabullah, Sunnah Rasul yang beliau pandang sahih, ‘Amal ahl al-Madinah., Qiyas, Istihsan.16 Menurut As-Satibi dalam kitab al-Muwafaqat menyimpulkan dasardasar Malik ibn Anas ada 4 yaitu ; al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijma’, ar-Ra’yu. Qaul sahabat dan ‘Amal ahl al-Madinah digolongkan dalam as-Sunnah, sedangkan ar-Ra’yu meliputi, maslahat al-mursalah, saddu al-dara’i, adat (urf), istihsan dan istishab.
15
Imam Muhammad Abu Zahrah, Tārih al-Madāhibil Islāmiyyah, Juz II, Bairut: Darul Fikri, 1986, hlm. 432 16 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, ibid, hlm. 88
45 Secara garis besar dapat disimpulkan dasar-dasar Imam Malik yang dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat adalah : 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah
kalam Allah semuanya. Semua
ulama
menggunakan Al-Qur’an sebagai pegangan utama untuk mengambil suatu hukum, dan di situ pula keutuhan Al-Qur’an dalam kebenaran benar-benar terpelihara sebagaimana firman Allah Swt:
(9 : ن )اﻟﺤﺠﺮ َ ﻦ َﻧ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎ اﻟ ﱢﺬ ْآ َﺮ َوِإﻧﱠﺎ َﻟ ُﻪ َﻟﺤَﺎ ِﻓﻈُﻮ ُﺤ ْ ِإﻧﱠﺎ َﻧ Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Qs. Al Hijr : 9).17
2. As-Sunah As-Sunah merupakan sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari pada Al-Qur’an. Artinya adalah bahwa seorang mujtahud dalam menetapkan hukum sustu peristiwa tidak akan mencari dalam As-Sunah lebih dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan ketetntuan hukumnya di dalam Al-Qur’an.18 As-Sunah yang merupakan dasar hukum Islam yang kedua. perlu dipergunakan karena segala perbuatan Nabi sesuai dengan Al-Qur’an dan jikalau tidak ada ayat Al-Qur’an maka sunahnya yang menjadi penjelas
17
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT Toha Putra, 1995, hlm. 391. 18 Mukhtar Yahya, Fatchurrohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung,: Al- Ma’arif, 1986, hlm. 44.
46 Al-Qur’an, karena memang juga tidak di dapat dalam Al-Qur’an.19 Mengikuti sunah Rasul itu adalah wajib, sesuai dengan firman Allah:
ﻦ )ال َ ﺤﺐﱡ ا ْﻟﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ ِ ﻻ ُﻳ َ ﷲ َ نا ن َﺗ َﻮﱠﻟﻮْا َﻓِﺈ ﱠ ْ ل َﻓِﺈ َ ﷲ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻞ َأﻃِﻴﻌُﻮا ا ْ ُﻗ (32 : ﻋﻤﺮان Artinya: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang kafir"(Ali Imran ayat: 32).20
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ ك َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ ﻦ َﺗ َﻮﻟﱠﻰ َﻓﻤَﺎ َأ ْر ْ ﷲ َو َﻣ َ ع ا َ ل َﻓ َﻘ ْﺪ َأﻃَﺎ َ ﻄ ِﻊ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ِ ﻦ ُﻳ ْ َﻣ (80 : ﺣﻔِﻴﻈًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء َ Artinya:“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”( An Nisa’ ayat: 80).21 Mengikuti sunah merupakan kewajiban bagi orang Islam, sebagai sumber hukum Islam tidak hanya legislasi Al-Qur’an saja yang telah memberi petunjuk tetapi juga sunah.22 Dalam
pemakaian
as-Sunnah
ini,
Imam
Malik
lebih
mengutamakan sunnah mutawawtir, kemudian yang mashur, sedang hadist-hadist ahad akan ia tinggalkan seandainya bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Tetapi seandainya tidak bertentangan dari norma-norma adat masyarakat Madinah itu tidak memberikan jawaban apa-apa terdapat persoalan-persoalan yang dihadapinya, maka akan digunakan hadist ahad sejauh ma’mul bih.
19
Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Risponsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-2, 2000, hlm. 52. 20 Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 80 21 Ibid, hlm. 132. 22 Teungku Muhammad Hasby Asy Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1999, Cet ke-2, hlm. 183.
47 3. Ijma’ Sedangkan mengenai Ijma’ Imam Malik adalah:
وﻣﺎ آﺎن ﻓﻴﻪ اﻻﻣﺮ اﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺎاﺟﺘﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻮل اهﻞ اﻟﻔﻘﻪ واﻟﻌﻠﻢ ﻟﻢ ﻳﺨﺘﻠﻔﻮا ﻓﻴﻪ Artinya :”Dan sesuatu urusan yang telah di ijmai, maka Beliau telah di ijma’i oleh ahli fikih dan para ahli ilmu, mereka tidak berselisih didalamnya”.23 Ijma’ adalah persetujuan pendapat ahlu halli wal aqli dari umat ini, terhadap suatu urusan dari urusan itu.24 Kehujjahan ijma’ adalah: a. Pertama adalah :
ﻷ ْﻣ ِﺮ َ ل َوأُوﻟِﻲ ْا َ ﷲ َوَأﻃِﻴﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا ا َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ْ ل ِإ ِ ﷲ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ِ ﻲ ٍء َﻓ ُﺮدﱡو ُﻩ ِإﻟَﻰ ا ْ ﺷ َ ﻋ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ ْ ن َﺗﻨَﺎ َز ْ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈ ﻼ )اﻟﻨﺴﺎء ك ً ﻦ َﺗ ْﺄوِﻳ ُﺴ َﺣ ْ ﺧ ْﻴ ٌﺮ َوَأ َ ﻚ َ ﺧ ِﺮ َذِﻟ ِ ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اْﻵ ِ ن ﺑِﺎ َ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ (59 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. ( An Nisa’:59) .25 Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan para Rasulnya serta para Ulil Amri, lafal al amru berarti suatu urusan dan Beliau adalah umum yang meliputi urusan Agama dan duniawi. Ulil amri
23
Teungku Muhammad Hasby Asy shiddiqi, Pokok–Pokok pegangan Imam Antar Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1997, cet ke-1, hlm. 209. 24 Ibid. hlm. 209. 25 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 128.
48 dunia adalah para Raja, para amir dan para penguasa. Sedangkan Ulil amri agama adalah para Mujtahid dan para ahli fatwa.26 b. Sebagaimana sabda Nabi Saw :
ﻣﺎ راﻩ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮﻋﻨﺪ اﷲ ﺣﺴﻦ Artinya: “Apa yang dipandang Umatku sebagai kebaikan maka di sisi Allah adalah baik”.27 Hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat islam pada hakekatnya adalah hukum umat islam yang diwakili oleh para mujtahid mereka. Perbedaan pendapat mereka merupakan dalil. Bahwasanya kesatuan kebenaran itulah yang menghimpun kalimat mereka dan mengalahkan hal-hal yang menyebabkan mereka berbeda pendapat.28 4. Amal Ahlu Madinah Imam Malik menggunakan amal ahli madinah sebagai hujjah yang setara dengan As-Sunnah dan inilah yang dimaksudkan dengan “al-Amrul mujtama indana” sebagaimana mengikuti gurunya Imam Malik. Sebagaimana pendapat Beliau 29
اﻟﻒ ﻋﻦ اﻟﻒ ﺧﻴﺮﻣﻦ واﺣﺪﻋﻦ واﺣﺪ
Artinya: “Seribu orang mengambil dari seribu orang lebih baik dari seorang mengambil dari seorang”. Menurut Imam Malik apa yang di ijma’ oleh ulama Madinah tidak ditentang oleh para ulama, Amal ahlul Madinah yang dimaksud Imam Malik didahulukan atas khabar (hadist) ahad.30 26
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semaraang: Dina Utama, 1994, hlm. 58-59. Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, loc. cit 28 Abdul Wahhab Khalaf, op.cit, hlm. 60 29 Ibid 27
49 Dengan ringkas, tidak dapatlah kita mengritik Malik yang menghargai amal ahlu Madinah apabila yang di ijma’ itu berdasarkan atas apa yang mereka nukilkan itu, Itulah yang diterima oleh semua ulama’ mengenai ijma’ ulama Madinah, Masalah yang di istinbathkan ada 3 riwayat: a. Imam Malik tidak memandang sebagai hujjah b. Imam Malik tidak memandangnya sebagai hujjah tetapi ijma’ amal ahlul Madinah bisa dijadikan penguat c. Imam Malik memandangnya hujjah, pendapat ini diambil sebagian ulama makkiyyah, karena amal ahli Madinah yang bersandar naqal didahulukan atas hadits ahad.31 5. Qaul/ Fatwa Sahabi Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah, mareka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an (walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana kaitan hadis Nabi dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan itu. Imam Malik adalah seorang imam yang mempelajari fatwa-fatwa sahabat dan mengumpulkannya dan menjadikan dasar mazhabnya. Dengan tegas Imam Malik mengharuskan seorang mufti mengambil fatwa sahabat. Beliau berpendapat bahwa yang dikatakan sunah adalah sesuatu yang diamalkan oleh para sahabat. Ada dua Sahabat yang dipegang Imam 30 31
Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, op .cit., hlm. 212. Ibid, hlm. 104.
50 Malik yaitu Abu Bakar as Siddiq dan pendapat Umar Bin Khattab saja. Ringkasnya Imam Malik menghargai pendapat para sahabat.32 Imam Malik juga beranggapan bahwa qaul sahabat harus didahulukan dari pada Qiyas. 6. Qiyas Qiyas dalam fiqih adalah
اﻟﺤﺎق اﻣﺮﻏﻴﺮ ﻣﻨﺼﻮص ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻤﻪ ﺑﺎﻣﺮاﺧﺮﻣﻨﺼﻮص ﻋﻠﻰ اﻟﺤﻜﻤﻪ ﻟﻌﻠﻪ ﺟﺎﻣﻌﺖ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻣﺸﺘﺮآﺖ ﻓﻬﻴﻤﺎ Artinya: “Menghubungkan suatu urusan yang tidak dinasahkan hukumnya dengan suatu urusan yang lain dinasahkan hukumnya, karena ada illat yang mengumpulkan antara keduanya yang bersekutu padanya”.33 Al-Qur’an dan as sunah bahkan akal membenarkan prinsip-prinsi qiyas ini. Para sahabat mempergunakan qiyas dalam mengeluarkan hukum yang mereka tidak temukan zahir Al-Qur’an dan sunah. Lalu disamakan hukumnya dengan hukum yang tidak dinashkan yang sama illatnya.34 Imam Malik sedikit menggunakan Qiyas, karena beliau lebih mengutamakan penggunaan Amal Ahlu Madinah dan Qaul sahabat yang di pandang sahih.
7. Maslahah mursalah
32
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, hlm. 184. Ibid 34 Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, op. cit., hlm. 214-215. 33
51 Adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’, suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil yang memerintahkan untuk mengantikannya atau mengabaikannya.35 Imam Malik menggunakan maslahatul mursalah apabila tidak ada nash Qur’ani atau hadis an Nabawi, karena syara’ itu tidak datang kecuali untuk kemaslahatan manusia, Setiap masalah syara’ mengandung kemaslahatan, tanpa ada keraguan. Apabila tidak ada nash, maka masalah yang hakiki itu memenuhi tahap tujuan (maqasid) syara’.36 8. Istihsan Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas yang Jalli (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khofi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisna’ (pengecualian) ada yang menyebabkan beliau mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.37 Imam Malik dalam berijtihad itu menggunakan istihsan. Imam Malik tidak menjadikan istihsan sebagai kaidah, tetapi dijadikan sebagai dasar pengecualian dalam kaidah Ulama Malik menghindari pemakaian qiyas yang berlebihan dengan jalan kembali kepada urf (adat kebiasan) dan kepada prinsip menolak kepicikan dan menolak kesukaran. Dalam pendapat Imam Malik kebanyakan
35
itu
adalah
mengikuti
sahabat
Abdul Wahab Khallaf, op .cit., hlm. 116. Teungku Muhammad Habsi Asy-Syiddieqy, op. cit., hlm. 222. 37 Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm. 110. 36
Umar
yaitu
lebih
52 mengedepankan istihsan dari pada qiyas sedangkan qiyas itu adalah pendapat sahabat Ali.38 Dalam pendapat Imam Malik, istihsan itu berarti melaksanakan sesuatu berdasarkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang umum. 9. Istishab Istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan yang sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut atau Beliau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.39 Istishab ini berdasarkan kaedah :
ان اﻻ ﺻﻞ ﻓﻲ اﻻ ﺷﻴﺎء اﻻ ﺑﺎﺣﻪ Artinya: “Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”.40 10. Syadud Dzara’i Secara lughah adalah dzariah artinya wasilah (perantara) dan syadudzara’i adalah menyumbat wasilah.41 Dasar istinbath ini banyak dipakai Imam Malik, banyak dijumpai masalah furu’iyyah yang dinukil darinya yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan, maka akan menjadi haram pula, sarana yang menyampaikan pada yang halal maka hukumnya adalah halal sesuai
38 Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2002, hlm. 71-72. 39 Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hlm. 127. 40 Abdul Wahab Khallaf, loc, cit 41 Teungku Muhammad Hasby Asy Shiddiqi, Loc. cit.
53 dengan tuntutan kehalalannya, begitu pula yang membawa kemaslahatan adalah haram. Beliau membagi kerusakan (mafsadat) menjadi empat: 1. Sarana yang secara pasti membawa kepada kerusakan 2. Sarana yang diduga kuat ajakan mengantarkan pada kerusakan 3. Sarana yang jarang sekali membawa kerusakan 4. Sarana yang banyak sekali mengantarkan kepada kerusakan tetapi tidak dipandang umum.42 11. Urf (adat kebiasaan) Adalah apa yang menjadi kebiasaan masyarakat dan dijadikan jalannya terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.43 Adat yang sah bagi mujtahid, wajib diperhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk penetapan hukumnya. Dalam kaidah fiqh dikatakan:
اﻟﻌﺎدة ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻣﺤﻜﻤﺔ
Artinya: “Adat kebiasaan itu menjadi aturan hukum yang di kokohkan”.44
Dalam adat kebiasaan, Imam Malik lebih cenderung menggunakan urf yang sholih yang di situ menjadi kebiasaan penduduk Madinah. Namun metode istinbath yang sering di gunakan Imam Malik yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Aml Ahli Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan, dan Saddu al-Dari’.
42
Ibid, hlm. 229-230 Abdul Wahab Khallaf, op .cit., hlm. 723. 44 Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’at, cet.1, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987, hlm. 87 43
54 C. Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris Dalam kitab Al-Muwaththa’ yang diriwayatkan oleh Yahya dikemukakan sebagai berikut:
. اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺜﺎﺑﺔ ﻋﻨﺪﻧﺎ اﻟﺘﻰ ﻻ اﺧﺘﻼف ﻓﻴﻬﺎ: وﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮل: ﻗﺎل واﻧﻪ ان. اﻻ ان ﻳﺠﻴﺰ ﻟﻪ ذﻟﻚ ورﺛﺔ اﻟﻤﻴﺖ.اﻧّﻪ ﻻﺗﺠﻮز وﺻﻴﺔ ﻟﻮارث ، وﻣﻦ أﺑﻰ.ﻖ ﻣﻦ اﺟﺎز ﻣﻨﻬﻢ ّ ﺟﺎز ﻟﻪ ﺣ. وأﺑﻰ ﺑﻌﺾ.اﺟﺎز ﻟﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ 45 .اﺧﺬ ﺣﻘﻪ ﻣﻦ ذﻟﻚ Artinya : Yahya berkata: aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin), apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi. Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya mengenai hukum wasiat kepada ahli waris. Imam Malik juga membolehkanya, berwasiat kepada ahli waris, jika ahli waris yang lain memberikan ijin kepada pewasiat. Dan persetujuan tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup. Namun menurut Imam Hanafi persetujuan haruslah diperoleh setelah si pemberi wasiat meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat bahwa persetujuan ahli waris tersebut tidaklah penting, persetujuan tersebut boleh diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup atau setelah meninggal dunia. Dalam penjelasan lebih lanjut Imam Malik membedakan pemberian ijin yang diberikan ahli waris tersebut dalam dua keadaan atau situasi, yaitu ketika pewasiat dalam keadaan sakit atau sehat. Seperti berikut:
45
Imam Malik bin Anas, al-Muwatho’, Beirut: Darul Ihya’ al-‘Ulum, t.th., hlm. 582
55
ﻓﻴﺴﺘﺄذن ورﺛﺘﻪ، وﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮل ﻓﻰ اﻟﻤﺮﻳﺾ اﻟّﺬى ﻳﻮﺻﻲ: ﻗﺎل ﻓﻴﺄذﻧﻮن ﻟﻪ ان.ﻻ ﺛﻠﺜﻪ ّ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ا، ﻓﻰ وﺻﻴﺘﻪ وهﻮ ﻣﺮﻳﺾ اﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﻢ ان ﻳﺮﺟﻌﻮا ﻓﻰ: ﻳﻮﺻﻲ ﻟﺒﻌﺾ ورﺛﺘﻪ ﺑﺄآﺜﺮ ﻣﻦ ﺛﻠﺜﻪ 46 .ذﻟﻚ Artinya : (Yahya) berkata: aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang berwasiat para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit, yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal sepertiga, para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari sepertiganya (ia berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya). Imam Malik berpendapat bahwa seseorang yang sakit (dalam hal ini sakit yang mengakibatkan kematian) yang akan membuat wasiat dan ia hanya mengatur sepertiga hartanya, bermaksud akan memberikan wasiat kepada ahli warisnya, dan ahli waris yang lain telah memberikan ijin, maka ijin tersebut tidak dapat dicabut kembali setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan alasan si pemberi wasiat tidak mengurangi bagian atau hak-hak ahli waris terhadap harta peninggalan si pemberi wasiat, dia hanya memberikan sepertiga (1/3) yang merupakan hak atas dirinya. Jika mereka (ahli waris) dibolehkan mencabut ijin yang telah diberikan, setiap ahli waris akan melakukan hal yang sama, dan ketika pemberi wasiat meninggal dunia, mereka akan mengambil hak itu untuk diri mereka (ahli waris) sendiri. dan dapat mencegah hak wasiat sepertiga (1/3) harta yang merupakan hak bagi pewasiat tersebut.
، ﻓﺄﻣﺎ ان ﻳﺴﺘﺄذن ورﺛﺘﻪ ﻓﻰ وﺻﻴﺔ ﻳﻮﺻﻰ ﺑﻬﺎ ﻟﻮارث ﻓﻰ ﺻﺤﺘﻪ: ﻗﺎل 47 . وﻟﻮرﺛﻪ ان ﻳﺮدوا ذﻟﻚ ان ﺷﺄوا.ﻓﻴﺄذﻧﻮن ﻟﻪ ﻓﺈن ذﻟﻚ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻬﻢ 46 47
Ibid. Ibid
56 Artinya : (Imam Malik) berkata: apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka , maka para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka mengijinkannya. Pendapat diatas menjelaskan bahwasanya ketika pemberi wasiat berwasiat kepada ahli warisnya dalam keadaan ia sedang sehat, dan ahli waris yang lain mengijinkan, maka perijinan tersebut tidaklah mengikat. Para ahli waris dapat mencabut atau membatalkan jika mereka mau. Menurut Imam Malik jika seseorang sedang sehat, ia lebih berhak atas hartanya. Ia dapat menggunakan, menyedekahkan atau memberikannya kepada siapapun yang ia mau. Permohonan ijin yang dilakukan pemberi wasiat bertujuan agar ahli waris mengetahui adanya wasiat tersebut dan ketika mereka memberikan ijin, kekuasaan atas seluruh harta pemberi wasiat tertutup baginya dan tidak diperbolehkan berwasiat lebih dari sepertiga(1/3).
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS
A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris Seperti yang telah penulis bahas dalam Bab III, bahwa pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris dibedakan menjadi dua keadaan atau situasi pemberi wasiat pada saat ijin tersebut diberikan. Namun sebelumnya penulis akan menganalisis pendapat Imam Malik tentang wasiat kepada ahli waris. Dalam kitab al-Muwaththa’ yang diriwayatkan oleh Yahya, Imam Malik berpendapat:
. اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺜﺎﺑﺔ ﻋﻨﺪﻧﺎ اﻟﺘﻰ ﻻ اﺧﺘﻼف ﻓﻴﻬﺎ: وﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮل: ﻗﺎل واﻧﻪ ان. اﻻ ان ﻳﺠﻴﺰ ﻟﻪ ذﻟﻚ ورﺛﺔ اﻟﻤﻴﺖ.اﻧﻪ ﻻﺗﺠﻮز وﺻﻴﺔ ﻟﻮارث ، وﻣﻦ أﺑﻰ.ﻖ ﻣﻦ اﺟﺎز ﻣﻨﻬﻢ ّ ﺟﺎز ﻟﻪ ﺣ. وأﺑﻰ ﺑﻌﺾ.اﺟﺎز ﻟﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ .اﺧﺬ ﺣﻘﻪ ﻣﻦ ذﻟﻚ 1
Artinya : Yahya berkata: aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin), apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.
1
Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, Bairut: Darul Ihya’ Al-Ulum, tth, hlm. 582
57
58 Berdasarkan pendapat diatas, jelas bahwa Imam Malik membolehkan wasiat kepada ahli waris, jika mendapatkan ijin dari ahli waris yang lainnya. Pendapat beliau berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib sebagai berikut:
ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ان اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠىﺎﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ (ﻻ ان ﻳﺠﻴﺰ اﻟﻮرﺛﺔ )رواﻩ اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ ّ ﻻوﺻﻴﺔ ﻟﻮارث ا:ﻗﺎل 2
Artinya : “Nabi Saw. bersabda: tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris lainnya” (HR. Ad. Daru Quthny). Apabila sebagian ahli waris memberikan ijin dan sebagian lainnya tidak memberikan ijin, maka wasiat tersebut tetap harus dilaksanakan. Karena wasiat merupakan keinginan terakhir pemberi wasiat sebelum meninggal dan sebagai tujuan untuk menyempurnakan ibadahnya disaat dia hidup. Untuk ahli waris yang tidak memberikan ijin, maka hak-haknya harus dipenuhi. Ijin tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup. Dalam wasiat kepada ahli waris ini para ulama berbeda pendapat, Ibn Hazm dan sebagian ulama Makkiyah secara mutlak menolak wasiat kepada ahli waris, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dari Abu Umamah, berkata: ia mendengar Rasulullah SAW berkutbah pada tahun haji wada’:
ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ اﺑﻰ اﻣﺎﻣﺔ اﻟﺒﺎهﻠﻰ ﻗﺎل )رواﻩ، ﻓﻼ وﺻﻴّﺔ ﻟﻮارث،ﻖ ﺣﻘﻪ ّ إن اﷲ ﻗﺪ اﻋﻄﻰ آﻞ ذى ﺣ:ﻳﻘﻮل ( وﺣﺴًﻨﻪ اﺣﻤﺪ واﻟﺘﺮﻣﺬى،اﺣﻤﺪ واﻻرﺑﻌﺔ اﻻ اﻟﻨّﺴﺎئ 3
Artinya : Dari Abu Umamah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat 2 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001, hlm. 346 3 Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199
59 bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah) Hadits di atas yang menjelaskan bahwa tidak adanya wasiat bagi ahli waris (ﻟﻮارث
)ﻻوﺻﻴﺔdilihat dari sisi sanadnya, Hadits ini bermuara pada
beberapa sahabat, seperti Abi Hurairah melalui jalur Al-Baihāqi, Ibnu Majah dan Al-Bazzār. Sedangkan dari matan Hadits menurut Al-Baihāqi, bahwa matan Hadits ini adalah mutawatir, bahkan ulama Malikiyah mengatakan bahwa Hadits ini menasakh ketentuan surat al-Baqarah ayat 180, tentang wasiat yang diberikan kepada kedua orang tua dan kerabat. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat ini “dinaskh” bagi orang yang menerima warisan.Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa apa yang ditemukan oleh mereka itu bukan naskh, karena itu ayat waris yang hanya menghilangkan ketentuan bagi beberapa individu yang ditentukan oleh keumuman ayat wasiat, sebab kata kerabat itu lebih universal dari pada kata ahli waris. Dan menetapkan bukan ahli waris seperti ditunjukkan oleh ayat pertama.4 Sebagian ulama menilai bahwa ayat yang menjelaskan tentang wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat yang bukan ahli waris itu boleh dilaksanakan tetapi makruh hukumnya. Sedangkan al-Hasan dan Tawus berpendapat bahwa wasiat kepada selain keluarga ditolak. Ishaq juga mengemukakan pendapatnya seperti di atas, Golongan ini berdasarkan firman Allah SWT. : 4 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Al-Aliyyah Qodir Li Ikhtisar Tafsir Ibnu Kasir, jilid I, terj. Syihabudin, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999, hlm.283.
60
ﺻ ﱠﻴ ُﺔ ِ ﺧ ْﻴﺮًا ا ْﻟ َﻮ َ ك َ ت إِن َﺗ َﺮ ُ ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻀ َﺮ َأ َ ﺣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإذَا َ ﺐ َ ُآ ِﺘ (180 : ﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ َ ﺎﺣﻘ َ ف ِ ﻦ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو َ ﻦ وَاﻷ ْﻗ َﺮﺑِﻴ ِ ِﻟ ْﻠﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ Artinya :“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang baik. Ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah : 180) 5 Huruf alif lam (al) pada kata-kata al-Walidain dan al-aqrabin berarti pembatasan, yaitu pembatasan kepada kedua golongan yang tersebut dalam ayat yaitu orang tua dan kerabat.6 Sebenarnya apabila kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa pada permulaan Islam wasiat itu hukumnya sunnah sebelum dinaskh, maka persoalan akan menjadi sederhana. Kewajiban wasiat kepada Ibu Bapak dan kerabat yang merupakan ahli waris dinaskh oleh ijma’, bahkan hal itu dilarang berdasarkan hadits yang dikemukakan diatas: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Golongan lain yang membolehkan wasiat kepada ahli waris, jika diperbolehkan ahli waris lain yaitu madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah.7 Menurut madzhab Imamiyah bahwa wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris dan tidak tergantung pada persetujuan para ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.
5
Departemen Agama RI, al-qur’an dan terjemahannya, Semarang: PT Toha Putra, 1995,
hlm. 44
6
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, loc. cit. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet IV, 2000, hlm 452-453 7
61 Dalam KHI Pasal 195 ayat 3 menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Jadi pada dasarnya wasiat kepada ahli waris telah disepakati oleh para ulama. Namun semua itu haruslah mendapat ijin dari ahli waris lainnya. Mengenai pemberian ijin yang telah diberikan ahli waris tersebut, ulama fiqh mensyaratkan sebagai berikut: a. Ijin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah cakap bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal, serta mengetahui adanya wasiat tersebut. b. Ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris itu diungkapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia..8 Dalam penjelasan lebih lanjut bahwa Imam Malik membedakan pemberian ijin ahli waris dalam dua keadaan atau situasi pemberi wasiat pada saat ijin tersebut diberikan. Dalam kitab al-muwaththa’ dijelaskan sebagai berikut:
ﻓﻴﺴﺘﺄذن ورﺛﺘﻪ، وﺳﻤﻌﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻳﻘﻮل ﻓﻰ اﻟﻤﺮﻳﺾ اﻟّﺬى ﻳﻮﺻﻲ: ﻗﺎل ﻓﻴﺄذﻧﻮن ﻟﻪ ان.ﻻ ﺛﻠﺜﻪ ّ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ا، ﻓﻰ وﺻﻴﺘﻪ وهﻮ ﻣﺮﻳﺾ اﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﻢ ان ﻳﺮﺟﻌﻮا ﻓﻰ: ﻳﻮﺻﻲ ﻟﺒﻌﺾ ورﺛﺘﻪ ﺑﺄآﺜﺮ ﻣﻦ ﺛﻠﺜﻪ .ذﻟﻚ 9
Artinya : (Yahya) berkata: aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang berwasiat para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit, yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal sepertiga, para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari sepertiganya (ia 8 Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houven, 1996, hlm 192. 9 Imam Malik bin Anas, loc. cit..
62 berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya)
ﻓﺄﻣﺎ ان ﻳﺴﺘﺄذن ورﺛﺘﻪ ﻓﻰ وﺻﻴﺔ ﻳﻮﺻﻰ ﺑﻬﺎ ﻟﻮارث ﻓﻰ: ﻗﺎل وﻟﻮرﺛﻪ ان ﻳﺮدوا ذﻟﻚ ان. ﻓﺈن ذﻟﻚ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻬﻢ. ﻓﻴﺄذﻧﻮن ﻟﻪ،ﺻﺤﺘﻪ .ﺷﺄوا 10
Artinya : (Imam Malik) berkata: apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka , maka para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka mengijinkannya. Berdasarkan pendapat Imam Malik diatas, yang pertama bahwa ketika orang sakit (yang mengakibatkan kematian) berwasiat kepada ahli warisnya dengan sepertiga (1/3) hartanya ataupun lebih dan ahli waris lain telah memberikan ijin atas hal tersebut, maka setelah pemberi wasiat meninggal dunia ijin tersebut tidak boleh di cabut kembali. Dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh penganut madzhab maliki bahwasanya Imam Malik berpendapat demikian dikarenakan ahli waris yang diberi wasiat tersebut dalam keadaan miskin dibandingkan dengan ahli waris yang lainnya. Permintaan ijin tersebut bertujuan agar ahli waris lain mengatahui adanya wasiat tersebut. Wasiat kepada ahli waris yang dalam kondisi kekurangan atau miskin dianjurkan karena meninggalkan ahli waris dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada dalam keadaan kekurangan. Berdasarkan alqur’an Q.S.An-nisa’: 9, sebagai berikut:
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻓ ْﻠ َﻴﱠﺘﻘُﻮا َ ﺿﻌَﺎﻓًﺎ ﺧَﺎﻓُﻮا ِ ﺧ ْﻠ ِﻔ ِﻬ ْﻢ ُذرﱢﻳﱠ ًﺔ َ ﻦ ْ ﻦ َﻟ ْﻮ َﺗ َﺮآُﻮا ِﻣ َ ﺶ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺨ ْ َو ْﻟ َﻴ (9:)اﻟﻨﺴﺎء.ﺳﺪِﻳﺪًا َ ﻻ َ ﷲ َو ْﻟ َﻴﻘُﻮﻟُﻮا َﻗ ْﻮ َ ا Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang 10
Ibid.
63 lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(QS. An-Nisa’ : 9).11 Dan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai berikut:
ان ﺗﺪر ورﺛﺘﻚ اﻏﻨﻴﺎء ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ان ﺗﺪﻋﻬﻢ ﻋﺎﻟﺔ ﻳﺘﻜﻔﻔﻮن اﻟﻨﺎس Artinya: ”Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan sulit serta meminta-minta kepada arang lain”. Disamping itu pemberi wasiat tidak mengurangi hak-hak ahli waris terhadap harta peninggalan si pemberi wasiat. Dia hanya memberikan sepertiga (1/3) hartanya yang merupakan hak atas dirinya. Jika ahli waris yang memberikan ijin tersebut diperbolehkan mencabut ijinnya, setiap ahli waris akan melakukan hal yang sama, dan ketika pemberi wasiat meninggal dunia, mereka akan mengambil hak itu untuk mereka (ahli waris) sendiri. Dan dapat mencegah hak wasiat sepertiga (1/3) harta yang merupakan hak bagi pemberi wasiat. Pendapat Imam Malik ini berbeda dari ulama lainnya.Ulama madzhab Az-Zahiri dan Abi Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani berpendapat bahwa berwasiat kepada salah seorang ahli waris, sekalipun diijinkan oleh ahli waris lainnya, hukumnya tidak sah. Apabila setelah al-mushi meninggal kemudian para ahli waris menyetujui wasiat al-mushi pada salah seorang diantara mereka, maka hukum wasiat berubah menjadi hibah ahli waris kepada orang yang diberi wasiat. Karena harta orang yang berwasiat telah berpindah milik
11
Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 116
64 kepada ahli warisnya. Dengan demikian para ahli waris memberikan sejumlah harta sesuai dengan wasiat al-mushi menurut mereka, statusnya adalah hibah, bukan wasiat lagi.12 Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali, penolakan ataupun ijin hanya berlaku sesudah meninggalnya al-mushi, maka jika mereka memberi ijin ketika dia (al-mushi) masih hidup, kemudian berbalik pikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat meninggal, mereka berhak melakukannya, baik ijin itu mereka berikan ketika al-mushi berada dalam keadaan sakit ataupun sehat. Madzhab imamiyah berpendapat: jika para ahli waris memberi ijin, maka mereka tidak berhak menarik kembali ijin mereka, baik ijin itu diberikan pada saat al-mushi masih hidup ataupun sudah meninggal. Dari uraian diatas, penulis kurang setuju terhadap pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris yang dibedakan antara boleh dan tidaknya dengan kondisi kesehatan pemberi wasiat ketika wasiat tersebut diberikan yaitu dalam keadaan sakit atau sehat. Pemberian yang diberikan disaat kematian atau dalam keadaan sakit dan lemah, mengakibatkan pelanggaran terhadap hak dan rusaknya rasa keadilan diantara para ahli waris akan lebih besar. Dalam KHI Pasal 207 menjelaskan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada oarang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit
12
Abdul Aziz Dahlan et.al, loc.cit.
65 hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Dari sini jelas bahwa wasiat orang sakit yang dikhawatirkan kematiannya tidaklah sah. Maka ijin ahli waris tersebut boleh atau dapat dicabut kembali. Karena setelah orang yang memberi wasiat meninggal harta kekeyaannya secara otomatis pindah ke ahli waris. Dan merekalah yang berhak sepenuhnya terhadap hartanya. Kalaupun ada wasiat yang hukumnya wajib, maka mereka harus menjalankannya, misalnya membayar utang dan sebagainya. Namun kalau wasiat tersebut hukumnya makruh, seperti halnya wasiat kepada ahli waris,
keputusan untuk menjalankan wasiat tersebut
dikembalikan kepada semua ahli warisnya. Menurut penulis sebaiknya dikembalikan ke hukum asalnya. Wasiat tidak boleh untuk ahli waris. Dan itu sesuai dengan hadits yang artinya : sesungguhnya Allah telah memberikan hak-hak kepada tiap-tiap yang berhak, oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris. Ahli waris telah mendapatkan bagian masing-masing dan apabila mendapat wasiat secara otomatis bagian ahli waris yang diberi wasiat lebih banyak dari yang lainnya. Dan itu dapat menimbulkan tumbuhnya sikap permusuhan dan iri hati diantara ahli waris. Walaupun wasiat tersebut diberikan kepada ahli waris yang miskin yang bertujuan untuk kemaslahatan ahli waris yang miskin tersebut. Namun wasiat tersebut juga akan membawa banyak mafsadat bagi para ahli waris lainya. Mencegah mafsadat secara umum lebih baik dari pada mendapatkan satu kemaslahatan. Seperti dalam kaidah fiqh:
درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ Artinya: “Mencegah mafsadat didahulukan daripada mendapatkan maslahah”
66 Maka dari itu dalam pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit ataupun sehat, menurut penulis boleh dicabut kembali setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dan juga dalam hal ini penulis mengacu kepada rukun dan syarat wasiat yang menjelaskan bahwa dalam penerima wasiat disyaratkan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris Dalam menentukan hukum Imam Malik pertama-tama mencarinya dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah pangkal hukum syari’at Islam dan juga pegangan umat Islam yang pertama, dengan al-Qur’an pula kita akan mengetahui hukum Allah SWT. Al-Qur’an di dalamnya juga menerangkan syari’at secara kulli (keseluruhan), oleh karena itu Al-Qur’an mempunyai daya tahan sepanjang zaman dan dapat sesuai dengan kondisi tiap-tiap masyarakat, juga hukumnya bersifat mujmal yang perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad.13 Di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an kadang kita memerlukan penjelasan (takwil) dengan cara mempelajari As-Sunnah. As-Sunnah sangat diperlukan karena bukan saja dia sebagai sumber yang kedua bagi syar’i, akan
13
Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pegantar Ilmu Fiqih, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm 176
67 tetapi juga karena dialah yang menafsirkan al-Qur’an, pensyarah al-Qur’an, menafsirkan yang mujmal dan mentaqyidkan mutlaqnya.14 Ketika suatu hukum tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah), karena Madinah merupakan tempat Rasulullah SAW. berhijrah dari Mekkah, dan di kota itulah beliau tinggal untuk menyampaikan ajaran agama kepada para sahabat, kemudian para sahabat yang tinggal di Madinah tersebut bergaul lama dengan Rasulullah SAW dan banyak mengetahui latar belakang turunnya ayat. Praktek-praktek keagamaan menurut para sahabat Imam Malik, tidak lain adalah praktek yang diwarisi dari Rasulullah SAW, kemudian praktek tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya sampai kepada Imam Malik. Dengan demikian praktek penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) yang disepakati atau praktek mayoritas penduduk Madinah dianggap sebagai kristalisasi dari ajaran Rasulullah SAW, sehingga harus dijadikan sumber hukum dalam Islam, dan kedudukannya sebagai Hadits mutawatir. Selanjutnya jika hukum tersebut tidak ditemukan dalam sumbersumber tersebut, Imam Malik merujuk kepada fatwa sahabat. Fatwa sahabat adalah :
ﺼﺤَﺎ َﺑ ِﺔ اﻟ ِﻜﺒَﺎ ِر ﻦ اﻟ ﱠ َ ﻲ ِﻣ ًّ ﺻﺤَﺎ ِﺑ َ ﻣَﺎ َأ ْﻓ َﺘ َﺮ ِﺑ ِﻪ Artinya : “Fatwa yang dikeluarkan oleh seseorang ‘ulama’ sahabi”
14
Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm 186
68 Fatwa sahabat yang dimaksudkan adalah sahabat yang telah beriman sebelum Hudaibiyah, dan juga turut berperang bersama Rasulullah SAW serta mashur dalam bidang fatwa dan fiqih serta belajar lama dengan Rasulullah SAW, demikian menurut pendapat ‘ulama’ usul. Mengenai fatwa sahabat yang tidak mungkin dicapai dengan akal, tentulah yang demikian itu dijadikan hujjah, mengingat bahwa sahabat itu tentu mengatakan pendapatnya berdasar suatu keterangan yang diperoleh dari Rasulullah SAW. Imam Malik ibn Anas juga dengan tegas mengharuskan seorang mufti mengambil fatwa sahabat, beliau berpendapat bahwa apa yang dikatakan AsSunnah adalah sesuatu yang diamalkan para sahabat. Sebagaimana ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz saat hendak mengembangkan putusan-putusan yang diambil para sahabat. Di antara ‘ulama’ yang menolak fatwa sahabat adalah Al-Ġazali dan As-Syaukani. Setelah berbagai metode yang ditempuh di atas belum juga bisa menemukan suatu ketetapan hukum, kemudian Imam Malik ibn Anas menggunakan qiyas. Yang dinamakan qiyas, menurut ahli usul fiqih, adalah menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya, lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.15 Namun Imam Malik jarang menggunakan Qiyas.
15
Muhtar Yahya dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung : Al Ma’arif, 1986, hlm. 66
69 Metodologi qiyas Imam Malik tidak berbeda dengan Abu Hanifah, hanya saja konsep istihsannya berlainan. Kalau Abu Hanifah
melakukan
istihsan dengan mengalihkan furu’ pada aşal yang lain ‘illatnya lemah, tetapi hasil hukumnya lebih baik, maka konsep istihsan Imam Malik adalah beralih dari hasil qiyas pada kajian maslahat. Selanjutnya metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik adalah maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh
syara’
yang
memerintahkan
untuk
memperhatikannya
atau
mengabaikannya16 Maksud syari’at Islam itu tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan manusia,
yakni
manfaat,
menolak
kemudaratan
dan
menghilangkan
kesusahan, kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macamnya dan tidak terhingga jumlahnya, ia selalu bertambah dan berkembang mengikuti situasi dan kondisi masyarakat. Menurut asy-Satibi, salah satu tokoh madzhab Malik menyatakan bahwa yang dimaksud maslahah al-mursalah yang digunakan Imam Malik adalah apa yang dianggap maslahat oleh akal pikiran yang sehat, tetapi tidak ada dalil secara khusus yang melarang dan tidak pula ada yang membenarkannya, namun hal itu termasuk dalam tujuan syari’at secara umum, karena mendukung tercapainya tujuan pokok syari’at yaitu memelihara agama, nyawa, akal,. Keturunan dan harta. Metode istinbath hukum yang terakhir yang digunakan Imam Malik adalah saddu al-dara’i. Secara sematik kata al-dara’i berarti sarana, sedangkan 16
Ibid., hlm. 105
70 menurut ahli usul fiqih adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan, dan tujuan yang dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat dan adakalanya perbuatan maksiat.17 Seandainya sarana itu membawa kepada perbuatan-perbuatan taat, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya, dan hal ini akan membawa kepada maslahat. Sedangkan kalau sarana itu akan membawa kepada perbuatan maksiat dan menimbulkan mafsadat, maka sarana itu harus ditutup, yang dalam istilah usul fiqih disebut saddu al-dari’ah. Menetapkan hukum dengan melihat kemungkinan-kemungkinan akibat yang akan timbul dari sesuatu perbuatan, kalau perbuatan itu kendati hukum asalnya boleh tetapi akan menimbulkan mafsadat atau maksiat, maka perbuatan tersebut hukumnya menjadi haram. Begitu juga kalau perbuatan itu akan menimbulkan maslahat, maka perbuatan itu tetap boleh, atau bahkan mungkin meningkat menjadi wajib. Imam Malik dalam hal pembahasan ini, lebih condong menggunakan metode saddud al-dara’i. Seperti uraian diatas bahwa apabila suatu sarana atau jalan membawa kepada perbuatan taat dan dapat menimbulkan kemaslahatan, maka harus dibuka peluang itu. Dalam permasalahan ini, Imam Malik tidak membolehkannya mencabut ijin yang diberikan ahli waris tersebut ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit, karena orang yang berwasiat tersebut mewasiatkannya kepada ahli waris yang miskin, dengan tujuan kemaslahatan ahli waris yang miskin tersebut, yaitu agar bisa hidup berkecukupan sama dengan ahli waris yang lainnya. Dan juga dalam wasiat ini pemberi wasiat 17
Wahbah az-Zuhaily, al Ushul al-Fiqih al-Islami, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978, hlm 423
71 tidak memberikan lebih dari pada haknya yaitu sepertiga (1/3) hartanya. Jadi pemberi wasiat tidak mengambil hak-hak ahli waris. Dan wasiat tersebut merupakan pesan terakhir, dan pemberi wasiat berharap wasiat tersebut bisa dilaksanakan, supaya pemberi wasiat bisa tenang meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan berkecukupan semua. Imam Malik juga memberi alasan, apabila ijin yang telah diberikan ahli waris tersebut boleh dicabut, maka para ahli waris akan melakukan hal itu untuk diri mereka sendiri, dan mereka dapat mencegah hak wasiat sepertiga(1/3), yang merupakan hak pewasiat. Pemberian ijin ahli waris yang diberikan ketika pewasiat dalam keadaan sehat, maka boleh dicabut. Dengan alasan orang yang sehat berhak melakukan apa saja terhadap hartanya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari beberapa bahasan mengenai pendapat Imam Malik, tentang pencabutan izin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris lain mulai dari bab I sampai Bab IV dengan mengkomparasikan pendapat ‘ulama’‘ulama’ lain, dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Menurut pendapat Imam Malik, bahwa berwasiat kepada ahli waris boleh apabila
mendapat
izin dari
ahli waris lainnya, berdasarkan hadist:
ﻻ ان ﻳﺠﻴﺰ اﻟﻮرﺛﺔ ّ “ ﻻوﺻﻴﺔ ﻟﻮارث اTidak ada wasiat kepada ahli waris kecuali izin dari ahli waris lain”. Ijin tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup. Setelah pemberian izin itu diberikan, izin tersebut menurut Imam Malik tidak dapat dicabut kembali. Karena ketika ia ( ahli waris ) memberikan izin, maka ia sudah rela dikurangi haknya. Dalam masalah pencabutan izin ini Imam Malik membaginya dalam dua keadaan atau situasi yaitu: Pertama, izin itu diberikan ketika pewasiat dalam keadaan sakit, maka izin tersebut tidak boleh di cabut. Karena dalam hal ini wasiat yang diberikan kepada ahli waris, adalah ahli waris yang dalam keadaan miskin. Yang mempunyai tujuan untuk kemaslahatan ahli waris yang miskin tersebut. Dan itu merupakan keinginan terakhir pemberi wasiat yang berharap bisa untuk dilaksanakan. Kedua, izin itu diberikan ketika pewasiat dalam keadaan sehat, dalam hal ini izin yang 72
73 telah diberikan tersebut boleh dicabut, Karena orang yang sehat mempunyai
hak
atas
hartanya.
Dia
dapat
menggunakannya,
menyedekahkannya atau memberikannya kepada siapa pun yang ia mau. Namun harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. 2. Mengenai dasar hukum yang digunakan Imam Malik kaitannya dengan pencabutan izin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris lain adalah saddud al-dara’i yaitu sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan, dan tujuan dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat dan adakalanya perbuatan maksiat. Kalau perbuatan taat dan menimbulkan maslahah, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya. Seperti ketidakbolehan pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Karena wasiat tersebut diberikan kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin, maka ijin tersebut tidak boleh dicabut demi kemaslahatan ahli waris yang miskin tersebut.
B. Saran-saran Apapun pendapat dari seorang ‘ulama’ fiqih atau seorang mujtahid, layak menjadi pertimbangan dan perlu menjadi perbendaharaan dalam hasanah hukum Islam, sehingga kita tidak terjebak pada sikap ta’asub (fanatik) pada satu madzhab. Oleh sebab itu rasionalitas hukum Islam sangat diperlukan sebagai fiqih alternatif dari hasanah fiqih yang sudah ada, karena pada dasarnya fiqih
74 bersifat relatif dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan keadaan zaman dan budaya syara’ atau syari’at yang bersifat universal dan abadi. Rasionalisasi hukum Islam berarti mempunyai makna ganda. Di satu sisi menolak interpretasi Islam yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, sedangkan di sisi lain harus pula dilakukan upaya penafsiran Islam secara baru. Adapun upaya rasionalisasi hukum Islam haruslah diikuti dengan pengkajian kembali terhadap tradisi Islam, satu-satunya jalan yang mungkin untuk melakukan kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam, dengan cara di mana al-Qur’an dan Sunnah Rasul dipelajari, ditangani dan ditafsirkan.
C. Penutup Dengan rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itulah penulis berharap saran, masukan yang bersifat konstruktif demi sempurnanya penelitian ini. Akhirnya penulis berharap, apapun bentuknya tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi saya sendiri. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Imam Abi, Shahih al-Buhkari, Juz 3, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1992. al-‘Asqalani, Hafidh bin Hajar, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th. Al-Ansori, Hafid, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994. Al-Jaziri, Abdur Rahman, Kitab Fqih ala Madzhab Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1410. Al-Malabari, Abdul Aziz, Syarh Fathul Mu’in, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub alArabiyah, 1990. al-Qardhawi, Yusuf, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2002. Amin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Al-Aliyyah Qodir Li Ikhtisar Tafsir Ibnu Kasir, jilid I, terj. Syihabudin, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby, Koleksi Hadist-Hadist Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001. _______, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1999, Cet ke2. _______, Pokok–Pokok pegangan Imam Antar Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1997, Cet ke-1. _______, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Asy-Syurbasi, Ahmad, Al-Aimatul Arba’ah, terj. Sabil Huda, A. Ahmadi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Az-Zuhaily, Wahbah, Al-fiqh al-Islam Wa’aadiluhu, juz. IV, Beirut: Dar Al-fikr, t.th. _______, Al-Wasit Fi Usul al-Fiqih al-Islami, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978. Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1996. Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995. Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT Toha Putra, 1995.
_______., Pedoman Penyuluhan Hukum: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995. Fatchurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al- Ma’arif, 1981. Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, cet ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994. Kholil, Munawar, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Mahmud, Ali Abdul Halim, Fikih Risponsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-2, 2000. Makluff, Louis, al-Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyah, 1964. Malik, Imam, bin Anas, Al-Muwaththa’, Bairut: Darul Ihya’ Al-Ulum, tth. Maruzi, Muslich, Pokok-Pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin, 1981. Masri Singarimbunan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1985. Mugniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, terj Maskur A.B. at.al. “Fiqh Lima Madzhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001. Muhammad, Syaikh Kamil, Uwaidah, al-Jami’ Fil Fiqhi an-Nisa’, Terj. M. Abdul Ghoffar, E.M., Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001. Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993. Ramli, Muqaranah Muzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Rofiq, Ahmad Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000. _______, Fiqh Mawaris, ed.Revisi, cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Rusyd, Ibn, Budayah al-Mujtahid, Abdurrahman, terj. Bidayah al-Mujtahid, Semarang: Asy-Syiofa’, 1990. Sabiq, Sayyid , Fiqh Sunnah, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr. 1977. _______, Fiqhu Sunnah, terj, Mudzakir, “Fiqh Sunnah:, Bandung: al-Ma’arif, 1998 Sevilla, Consuelo G., dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993. Smith, Huston, Ensiklopedi Islam Cyril Alasse, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3, 2002.
Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Subani, Ja’far, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqh, Jakarta: Lentera, 2002. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Surahmat, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsita Rimbun, 1995. Suryadilaga, M. Alfatih, (editor), Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003. Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Bandung: Al- Ma’arif, 1986. Zahrah, Imam Muhammad Abu, Tārih al-Madahibil Islamiyyah, Juz II, Bairut: Darul Fikri, 1986. Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum Syari’at, cet.1, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987.