11
BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Sumber Hukum Ahli Waris Kata ahli waris berasal dari dua kata yaitu ahli dan waris, kata ahli menurut kamus Bahasa Indonesia berarti orang yang faham sekali dalam bidang Ilmu.1 Sedangkan kata waris keturunan yang berhak2. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.3 Dalam buku Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sajuti Thalib memberi definisi, ahli waris adalah orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Dalam literatur lain ahli waris diartikan, seorang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan.4 Ahli waris juga diartikan orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.5 Menurut Kompilasi Hukum Islam ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
1
Hamzah Ahmad, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, (Surabaya:Fajar Mulya,1996), h.13
2
Ibid, h.411
3
Hajar M, Hukum Kewarisan Islam,(Pekanbaru: Alaf Riau, 2007),cet. Pertama, h.32
4
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta:PT Grafindo Persada, 2002),cet.5,
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta:Kencana,2004),cet.2. h.210
h.262
12
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.6 Wirjono Prodjodikoro waris menurut hukum waris nasional dalam suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang. Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.7 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang berhak menerima warisan disebabkan adanya hubungan kerabat dan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.8 Jika ditelusuri lebih dalam, dasar utama kewarisan ini sudah lengkap terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah nabi Muhammad SAW. Dalam hal-hal tertentu, para fuqaha’ berupaya pula untuk melakukan ijtihad dengan menggunakan seluruh kemampuannya. Sumber hukum yang berasal dari alQur’an , antara lain: Firman Allah dalam QS: an-Nisa:4: 7 :
6
Himpunan Perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia, 2007), h.56 7 8
Beni Ahmad Saebani,Fiqih Mawaris,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2009),cet. 1,h.17
Ibid.
13
Artinya: “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.9 Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap ahli waris baik laki-laki maupun perempuan berhak atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh karib kerabatnya (pewaris) dengan ketentuan bagian yang telah disebutkan oleh hukum faraidh. Dalam hukum Islam (al-Qur’an) telah menjelaskan bahwa bagian anak laki-laki sama dengan dua banding satu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Sebagaimana disebutkan Allah dalam QS an-Nisa:4 :11 :
9
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, ,(Jakarta:PT Mahmud Yunus Wad Zuryah, 2006), Cet I,h.15
14
Artinya :“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.10 Sunnah Nabi diantaranya adalah sebagai berikut:
10
Ibid
15
َﺿﻲَ ﷲُ َﻋ ْﻨﮭُﻤﺎ َ َﻋﻦِ اﻟﻨ ﱠﺒِﻲِ ﺻَ ﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل ِ َس ر ِ َﻋﻦْ أَﺑِﯿٌ ِﮫ ﻋَﻦْ إِ ْﺑﻦُ َﻋﺒﱠﺎ 11
ٍاَﻟٌﺤِ ﻘُﻮْ ااﻟﻔَﺮاَﺋِﺾَ ﺑِﺎ َ ْھﻠِﮭَﺎ ﻓَ َﻤﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﻓَﮭُﻮَ اﻷَوْ ﻟَﻰ رَ ُﺟﻞٍ َذ َﻛر
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a Nabi SAW, berkata ia: berikanlah faraidh (bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur’an) kepada yang berhak dan sisanya berikanlah kepada keluarga laki-laki.
ﺟَ ﺄ ًتْ اﻟ ﱠﺠ َﺪةُ إﻟﻰَ أَﺑِﻲْ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﻓَﺘَ ْﺴﺄ َﻟ ْﺘﮫُ ِﻣ ْﯿﺮَ ﺛَﮭَﺎ ﻗَﺎلَ ﻟَﮭَﺎ َﻣﺎ: ﺐ ﻗَﺎ َل ٍ َﻋﻦْ ﻗَﺒِ ْﯿﺼَ ﺔَ ْﺑﻦ ُد ًو ْﯾ َب ﷲِ َﺷ ْﯿ ٌﻰ ﻓَﺎرْ ﺟِ ِﻌﻲْ ﺣَ ﺘﱠﻰ أَ ْﺳﺄلَ اﻟﱠﻨﺎسَ ﻓَﻘَﺎلَ اﻟ ُﻤ ِﻐ ْﯿﺮَ اةُ ا ْﺑﻦُ ُﺷ َﻌ ْﯿﺒَﺔ ِ ﻟِﻚِ ﻓِﻲْ ِﻛﺘَﺎ ِﺣَ ﻀَ ﺮْ تُ رَ ُﺳﻮْ لَ ﷲ ﺻَ ﻠَﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﻋﻄَﺎھَﺎ اﻟ ُﺴ ُﺪ سَ ﻓَﻘَﺎلَ أَﺑُﻮْ ﺑَ َﻜﺮْ ھَﻞْ َﻣ َﻌﻚ ََﻏ ْﯿﺮَ كِ ؟ ﻓَﻘَﺎ َم ُﻣﺤَ ﱠﻤ ُﺪ ْﺑﻦُ ُﻣ َﺴﻠَ َﻤﺔَ اﻻاّ ْﻧﺼﺎري ﻓَﻘَﺎلَ ِﻣ ْﺜﻞَ َﻣﺎ ﻗَﺎلَ اﻟُﻤ ِﻐ ْﯿﺮَ اةٌ ْﺑﻦُ ُﺷ ْﻌﺒَﺔ 12
.ﻓَﺄ ّ ْﻧﻔَ َﺬهَ ﻟَﮭَﺎ اَﺑُﻮْ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ
Artinya: Dari Qubaishah bin Zueb yang berkata : seseorang nenek mendatangi abu bakar yang meminta warisan kepada cucunya. Berkata kepadanya Abu Bakar: “saya tidak menemukan sesuatu untukmu dalam kitab Allah dan saya tidak mengetahui ada hakmu dalam sunah Nabi. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini” Maghirah dan Su’bah berkata :” saya pernah menghadiri Nabi memberikan nenek sebanyak seperenam (1/6)”. Berkata Abu Bakar:”Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya.” Muhammad bin Maslamah dan berkata seperti yang dikatakan Maghirah. Maka akhirnya Abu Bakar memberikan hak kewarisan nenek itu. 13
. ُ اﻟﻘَﺎﺗِ ُﻞ َﻻﯾُ ِﺮث: ََﻋﻦْ أَﺑِﻰْ ھُ َﺮ ْﯾﺮَ ةَ َﻋﻦْ رَ ُﺳﻮْ لِ ﷲِ ﺻَ ﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎل
11
Bukhari, al-Jami’ Shakhihu al-Bukhari, (Kairo: Daru wa mathaba’ah’u alSya’bi), Juz VII, h.181. 12 Isa al-Tirmidzhi, Abu, al-Jami’ al-Shahih, (Kairo: Musthafa al-Babi, 1939), h.320. 13
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Kairo:Musthafa al-Babi al-Halbi, 1952), Jilid II, h.100
16
Artinya: Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, bersabda: pembunuh terhalang mewarisi.
ِھَﺘَﺎن
ََﻋﻦْ ﺟَ ﺎﺑِ ٍﺮ ْﺑﻦِ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ﻗَﺎلَ ﺟَ ﺄ َتْ اﻟ َﻤﺮْ أَةُ ﺑِﺎ ْﺑﻨَﺘَ ْﯿﻦِ ﻟَﮭَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ ْﯾﺎ رَ ُﺳﻮل
ﺢ ﻗُﺘِﻞَ َﻣ َﻌﻚَ ﯾَﻮْ َم اُ ُﺣ ٍﺪ َﺷ ِﮭﺪاً وَ اِنﱠ َﻋ ﱠﻤﮭُ َﻤﺎ اَﺧَ َﺪ َﻣﺎ ﻟَﮭُ َﻤﺎ ﻓَﻠَ ْﻢ ِ إِ ْﺑﻨَﺘَﺎ َﺳ ِﻌ ْﯿﺪ ﺑﻦ اﻟﺮَ ﺑِ ْﯿ ُﯾَ َﺪ ْع ﻟَﮭُ َﻤﺎ َﻣ ًﺎﻻ َو َﻻ ﺗُ ْﻨ ِﻜﺤَ ﺎنِ اِ ﱠﻻ وَ ﻟَﮭُ َﻤﺎ َﻣﺎ ٌل ﻗَﺎلَ ﯾَ ْﻘﻀِ ﻰ ﷲ ِﻓﻰ َذاﻟِﻚَ ﻓَﻨَﺰَ ﻟَﺖْ اَﯾَﺔ : َث ﻓَﺒَ َﻌﺚَ رَ ُﺳﻮْ ُل ﷲِ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اِﻟَﻰ َﻋ ﱢﻤ ِﮭ َﻤﺎ ﻓَﻘَﺎل ِ اﻟ ِﻤﯿﺮَ ا 14
. َأَ ْﻋﻂِ اِ ْﺑﻨَﺘَﻲْ َﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟﺜﱡﻠُﺜُ ْﯿﻦِ وَ ْأ ْﻋﻂِ اُ ﱡﻣﮭُ َﻤﺎ اﻟﺜﱡ ُﻤﻦَ وَ َﻣﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﻓَﮭُﻮَ ﻟَﻚ
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah berkata ia: Janda Saat ibn Rabi’ datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur dalam peperangan Uhud bersama kamu. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka, dan tidak memberikan apaapa untuk mereka. Keduanya tidak mengkin menikah tanpa harta. Nabi berkata: Allah akan menetapkan hukum dalam kasus ini. Sesudah itu turunlah ayat-ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Rasul memanggil paman dari kedua anak perempuan itu, dan berkata: seperdelapan (1/8) untuk jandanya dan sisanya untuk kamu.
B. Faktor Hubungan Kewarisan Hubungan kewarisan antara seseorang dengan orang lain disebabkan oleh dua faktor, yaitu : 1.
Adanya hubungan darah atau kekerabatan dan adanya hubungan perkawinan.
2. Hubungan kerabatat kelahiran.15
14 15
Ibid. h. 109. Hajar M, Op.cit., h. 17
ditentukan pada saat
terjadinya
peristiwa
17
Pada tahap awal, seorang anak yang lahir dari seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkan itu. Hak itu tidak dapat dibantah, karena anak tersebut secara nyata keluar dari rahim ibu. Hubungan darah ini bersifat alamiah, dan berlaku sejak awal adanya manusia. Dengan berlakunya hubungan kerabat antara seorang anak dengan ibunya, berlaku pula hubungan darah, yang menyebabkan mereka saling berhubungan kewarisan. Ulama berbeda pendapat, semata-mata aqad nikah apakah sudah cukup untuk menentuka hubungan kekerabatan. Mayoritas fuqaha’ berpendapat bahwa semata- mata aqad nikah belum menjamin terjadinya hubungan kekerabatan. Sahnya hubungan kerabat, selain didahului aqad nikah yang sah, disyaratkan pula bahwa diantara keduanya sedah berhubungan kelamin. Ulama hanafi mengatakan bahwa semata-mata aqad nikah sah, sedah cukup untuk menetapkan hubungan kekerabatan.16 Kedua kelompok ulama di atas sepakat sebab hakiki adanyan hubungan kelamin yang menghasilkan janin, tetapi karena tidak nyata maka diganti dengan mazinnahnya( akad nikah yang sah antara ayah dan ibu).
Keduannya juga
sepakat bahwa mazinnah yang dapat dijadikan Ilat hukum adalah aqad nikah.bila sebab hakiki itu tidak mungkin dibuktikan, apakah semata-mata mazinnah sudah cukup kuat untuk dijadikan bukti. Dalam tersebut terdapat perbedaan pendapat. Jumhur ulama’ menetapkan bahwa mazinnah itu tidak lagi diperhatikan bila
16
Ibid., h.18
18
dipastikan bahwa yang menjadi sebab hakiki itu tidak ada. Sedangkan ulama Hanafi menetapkan bahwa yang dijadikan dasar tetap muzinnah.17 Kelahiran terjadi ketika ayah dan ibu masih dalam ikatan perkawinan, anak yang lahir mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayahnya, kecuali jika ayah mengikarinya dalam sumpah li’an. Jika ketika lahir, hubungan perkawinan antara suami isteri sudah putus, untuk membuktikan adanya hubungan kekerabatan antara anak yang lahir dengan suami yang menceraikan ibunya, diukur jarak waktu antara putusnya perkawinan dengan waktu kelahiran atau diukur dari maksimal masa kandungannya.18 Hubungan kewarisan juga dapat terwujud disebabkan adanya kelahiran yang pernikahannya terjadi secara subhat. Subhat ada dua, subhat perbuatan dan subhat aqad. Subhat perbuatan adalah hubungan kelamin yang yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan dengan keadaan tertentu yang masing-masing mengira bahwa yang digaulinya adalah pasangan yang sah. Sedangkan subhat aqad adalah hubungan kelamin yang terjadi karena aqad yang semula sah, tetapi kemudian ternyata pasangannya itu tidak sah dinikahinya. Kelahiran yang disebabkan oleh hubungan kelamin secara subhat, baik subhat aqad maupun subhat perbuatan, menyebabkan terjalinnya hubungan kewarisan antara anak yang lahir dengan yang membuahinya secara subhat itu.19
17
Ibid., h.19 18
19
Ibid. Ibid., h.21
19
Untuk sahnya pembuktian kekerabatan
ini
diperlukan beberapa
persyaratan yaitu: a. Ada orang yang hilang dan ada pula pihak keluarga yang kehilanagan. b. Dari segi usia antara orang hilang antara pihak keluarga yang kehilangan adalah pantas berhubun gan kerabat. c. Kedua pihak sama-sama mengakui bahwa mereka memang berhubungan kerabat. Selain hubungan kekerabatan, adanya hubungan kewwrisan juga disebabkan terjalinnya hubungan kewarisan.20 Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan isteri didasarkan pada dua ketentuan yaitu: a. Bahwa keduanya telah berlangsung aqad nikah yang sah. Aqad nikah yang tidak sah dalam segala bentuknya tidak menyebabkan adanya hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan, termasuk hubungan kewarisan. b. Diantara suami dan isteri masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat meninggalnya salah satu pihak . jika salah satu pihak meninggal dunia, sementara ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i, isteri yang sedang mengalami masa iddah talak raj’i tetap berstatus sebagai isteri dengan segala akibat hukumnya, kecuali berhubungan kelamin. Hubungan kelamin telah berakhir dengan terjadinya perceraian.21
20 21
Ibid., h.21-22 Ibid., h.18 22-23
20
3. Al-Wala Yaitu kekerabatan sebab hukum. Disebut juga wala al-‘itqi dan wala an-ni’amah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. dalam hal ini, orang yang membebaskan mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-itqi.22 Kekerabatan terjadi karena adanya hubungan keturunan antara dua orang, baik keduanya berada dalam satu titik hubungan (satu jalur) seperti ayah keatas dan anak kebawah, maupun pada jalur yang memunculkan orang ketiga, yaitu saudara-saudara paman dari ayah dan ibu. Keturunan yang seyah (Syar’i) mencakup pernikahan yang sah dan percampuran syubhat, sedangkan perkawinan tidak bisa terjadi, kecuali dengan adanya akad sah antara laki-laki dan seorang perempuan.23 Dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya waris mewarisi adalah kekeluargaan atau nasab, sabagaimana telah dijelaaskan dalam
QS.an-
Nisa’:4:7.24 Karena adanya ikatan perkawinan, dan dengan jalan memerdekakan hamba sahaya.25 Dalam tergabung lengkapnya ahli waris dalam kasus kewarisan, maka akan timbullah persoalan pengutamaan sesama ahli waris itu. Ada yang perlu didahulukan untuk mewaris dan adapula yang menempati urutan agak dibelakang. Penyelesaian persoalan ini ada kalanya dilakukan dengan 22 23
24 25
Beni Ahmad saebani, op.cit., h. 109 Ibid., h.110 Ibid., h.111 Ibid.
21
merumuskan kelompok keutamaan dan ada kalanya dengan mempergunakan lembaga yang dikenal dengan istilah hijab mahjub.26 Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup aau penghalang, orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub. Hijab ada dua, pertama hijab nuqsan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami, seharusnya menerima bahagian ½, karena bersama anak perempuan, bagiannya terkurangi menjadi ¼. Kedua hijab hirman yaitu menghalangi secara total. Hak-hak waris si mahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghijab. Misalnya, saudara perempuan sekandung semula berhak menerima bagian ½, tetapi karena bersama anak lakilaki, menjadi tertutup sama sekali.27 Tentang hijab ini terdapat perbedaan antara kelompok ahlu sunnah dan Syi’ah. Menurut Ahlu Sunnah, yang berhak menghijab secara penuh adalah kelompok ahli waris laki-laki, kecuali dalam hal tertentu seperti anak perempuan menutup saudara seibu. Syi’ah berpendapat bahwa perempuan juga dapat menghijab secara penuh. Rincian hijab menurut Ahlu Sunnah ialah : 1. Cucu baik laki-laki maupun perempuan ditutup oleh anak laki-laki. 2. Kakek ditutup oleh ayah. 3. Nenek ditutup oleh ibu dan ayah.
26
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakara:Sinar Grafika,2004), h.85. Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 2001, h.71 27
22
4. Saudara kandung ditutup oleh anak atau cucu laki-laki. 5. Saudara seayah ditutup oleh saudara sekandung laki-laki dan oleh ahli waris yang menutup saudara kandung. 6. Saudara seibu ditutup oleh anak,cucu,ayah,dan kakek. 7. Anak saudara kandung ditutup oleh saudara laki-laki seayah dan oleh ahli waris yang menutup saudara laki-laki seayah. 8. Anak saudara seayah ditutup oleh anak laki-laki saudara kandung dan oleh ahli waris yang menutup anak saudara kandung. 9. Paman kandung ditutup oleh anak laki-laki saudara seayah dan oleh ahli waris yang menutup anak laki-laki saudara seayah. 10. Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan oleh ahli waris yang menutup paman kandung. 11. Anak laki-laki paman kandung ditutup oleh paman seayah dan oleh ahli waris yang menutup paman seayah. 12. Anak laki-laki paman seayah ditutup oleh anak laki-laki paman kandung dan oleh ahli waris yang menutup anak laki-laki paman kandung.28
C. Kategori Ahli Waris. Ahli waris atau disebut juga dengan warist dalam istilah fiqih ialah orang yang berhak atas hartwarisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Ahli waris dapat dikelompokkan kepada tiga kelompok: 1. Ahli waris ashab al-furud
28
Hajar M, Op cit, h.28
23
2. Ahli waris ashabah. 3. Ahli waris dzawu al-arham.29 1. Ahli waris ashab al-furudh Ahli waris ashab al-furudh adalah ahli waris yang bagiannya telah diteapkan secara pasti di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka menerima harta warisan dalam urutan yang pertama. Ahli waris yang secara hukum syara’ berhak menerima warisan karena tidak ada yang menutupnya. Ahli waris ashab al-furudh terdiri dari dua belas orang, yang terdiri dari delapan orang perempuan dan empat orang dari anak laki-laki. Yang di maksud dengan ahli waris ashab al-furudh adalah ahli waris yang mendapat bagianbagian tertentu sebagaimana yang telah di tetapkan oleh syara’ baik besar maupun kecil. Bagian- bagian tertentu (al furudh muqaddharah) itu ada enam macam, yaitu: a. Seperdua (1/2) b. Seperempat (1/4) c. Seperdelapan (1/8) d. Duapertiga (2/3) e. Sepertiga (1/3) f. Seperenam (1/6). Adapun ahli waris tersebut adalah:
29
Ahmad Rofiq, Op.cit,.h.49
24
1. Anak perempuan, mendapat: ½ jika sendirian dan tidak bersama anak lakilaki, 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan anak laki-laki. 2. Cucu perempuan, mendapat: ½ jika sendirian dan tidak bersama cucu lakilaki dan tidak terhijab, 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama cucu laki-laki, 1/6 jika bersama seorang anak perempuan. 3. Ibu , mendapat: 1/6 jika ada anak atau cucu atau dua orang bersaudara atau lebih, 1/3 jika tidak meninggalkan anak atau cucu atau dua orang saudara atau lebih. 4. Ayah , mendapat: 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, 1/6 jika + sisa jika tidak ada anak laki-laki dan cucu laki-laki. 5. Suami (duda), mendapat: ½ jika tidak meninggalkan anak atau cucu, ¼ jika ada anak atau cucu. 6. Istri (janda), mendapat: ¼ jika tidak ada anak atau cucu, 1/8 jika ada anak atau cucu. 7. Saudara perempuan seayah, mendapat: ½ jika sendiri dan tidak ada saudara laki-laki maupun saudara perempuan seayah, 2/3 jika lebih dari seorang dan tidak bersama saudara laki-laki atau saudara perempuan seayah, 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan kandung. 8. Saudara perempuan seibu, mendapat: 1/6 jika hanya sendirian saja, 1/3 jika dari seorang laki-laki maupun perempuan atau mereka berhimpun laki-laki dengan perempuan.
25
9. Saudara perempuan kandung, mendapat: ½ jika sendirian dan tidak ada saudara laki-laki, 2/3 jika lebih dari seorang dan tidak bersama saudara lakilaki. 10. Saudara laki-laki seibu, mendapat: 1/6 bila dia adalah seorang, 1/3 untuk dua orang atau lebih. 11. Kakek , mendapat: 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu, mendapat sisa harta bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, 1/6 kemudian sisa harta bila bersamanya ada anak atau cucu perempuan. 12. Nenek,
mendapat:
1/6
selama
tidak
terhijab
oleh
ahli
waris
yang lain.30 2. Ahli waris ashabah. Ahli waris ashabah adalah ahli waris yang berhak namun tidak dijelaskan bagiannya dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dia menerima hak dalam urutan kedua. Dia mengambil seluruh harta bila tidak ada bersamanya ahli waris dzawu al- furudh dan mengambil sisa harta setelah diberikan lebih dahulu kepada ahli waris dzawu al- furudh yang ada bersamanya.31 Apabila harta warisan itu masih bersisa hendaknya diberikan kepada ahli waris laki-laki yang terdekat hubungan keluarganya dengan pewaris. Ulama Sayyid Sabiq membagi ashabah kepada dua bagian yaitu: - Ashabah Nasabiyah, yaitu berdasarkan adanya hubungan kekerabatan. - Ashabah Sababiyah, yaitu berdasarkan adanya sebab memerdekakan budak.Selanjutnya ashabah nasabiyah itu terbagi atas tiga golongan, yaitu: 30
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih,(Bogor: Kencana,2003), Cet 1,h.163-165
31
Ibid,h.165
26
1) Ashabah bi Nafsi, yaitu golongan laki-laki yang dipertalikan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh perempuan. Ashabah ini mempunyai empat jihat: a) Jihat Bunuwwah (anak keturunan), yaitu anak laki-laki dari orang yang meninggal dunia dari keturunannya terus ke bawah. b) Jihat Ubuwwah (bapak dan Leluhur), yaitu meliputi ayah, dan kakek dari orang yang meninggal dan seterusnya ke atas. c) Jihat Ukhuwwah (saudara dan keurunannya), meliputi saudara laki-laki sekandung saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seterusnya ke bawah. d) Jihat ummah (paman dan keturunannya), meliputi paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman seayah. 2) Ashabah bil Ghairi, terbatas kepada empat orang perempuan yang meliputi: a) Anak perempuan, termasuk kedalam golongan ashabah dengan saudaranya laki-laki. b) Cucu perempuan. c) Saudara perempuan sekandung, termasuk kedalam golongan ashabah apabila dia mewarisi bersama saudara laki-laki. d) Saudara perempuan seayah, apabila ia bersama saudara laki-laki seayah dengan demikian masing-masing mereka menjadi ashabah bersama
27
saudara laki-lakinya dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. 3) Ashabah ma’al ghairi khusus untuk saudara perempuan sekandung atau perempuan seayah, yang mewarisi harta bersama dengan anak-anak perempuan atau cucu perempuan dengan syara mereka tidak bersama dengan saudara laki-laki, ashabah ini dikatakan juga dengan ahli waris perempuan yang membutuhkan ahli waris perempuan lainnya untuk menjadi ahli waris ashabah.32 1. Ahli waris Dzawu al-Arham Ahli waris Dzawu al-Arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam al-Qur’an dan atau Hadis Nabi sebagai dzawu al-furudh dan tidak pula dalam kelompok ashabah. Bila kerabat yang menjadi ashabah adalah laki-laki, maka Dzawu al-Arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.33 Dzawu al-Arham dapat dikelompokan menjadi empat kelompok sesuai dengan garis keturunan yaitu: 1. Garis keturunan lurus kebawah yaitu: a. Anak laki-laki atau anak perempuan dari anak perempuan dan keturunannya. b. Anak laki-laki atau anak perempuan dari cucu perempuan dan keturunannya. 32
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Ter, Muzakir,(Bandung:Al Ma’arif,1993),h.260
33
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Kencana, 2004), h.149.
28
2. Garis keturunan lurus keatas yaitu: a. Ayah dari ibu dan seterusnya keatas. b.Ayah dari ibunya dan seterusnya keatas c.Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya keatas. 3. Garis keturunan kesamping poertama yaitu: a. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya. b.Saudara laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya kebawah 4. Garis keturunan kesamping kedua yaitu: a. Saudara perempuan (kandung, seayah dan seibu) dari ayah dan anaknya. b.Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya kebawah. c.Saudara laki- laki atau perempuan (kandung, seayah dan seibu) dari ibu dan seterusnya kebawah.34
34
Amir Syarifuddin, Loc.cit.